PROFIL PETERNAK AYAM PETELUR BERDASARKAN SKALA USAHA DI KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG, SULAWESI SELATAN St. Rohani1 dan Irma susanti2 1Fakultas
Peternakan Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Makassar 2Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Sulawesi Barat Email :
[email protected]
ABSTRAK Kajian ini bertujuan untuk mengetahui profil peternak ayam petelur berdasarkan skala usaha di Kabupaten Sidenreng Rappang. Penelitian dilakukan dengan studi kasus dan data dianalisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar peternak ayam petelur di Kabupaten Sidenreng Rappang berada pada usia produktif, tingkat pendidikan tidak terlalu rendah, semakin lama pengalaman beternak semakin besar skala usahanya. Key words: profil, ayam petelur, skala usaha PENDAHULUAN Pengembangan usaha peternakan diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui penyediaan makanan dengan nilai gizi yang relatif tinggi yang diperoleh dari konsumsi protein hewani. Salah satu usaha yang dilakukan untuk memenuhi harapan tersebut diperlukan usaha peternakan berkomoditi ayam ras petelur yang menghasilkan produk utama berupa telur dan hasil ikutan berupa ayam afkir. Mengusahakan peternakan ayam ras petelur kan menghadapi berbagai tantangan dan hambatan antara lain manajemen pemeliharaan yang lemah, fluktuasi harga produk, fluktuasi harga sarana produksi, tidak ada kepastian waktu jual, marjin usaha rendah, sarana produksi sangat tergantung impor serta persaingan global semakin ketat. Masalah yang dihadapi tersebut dapat diatasi dengan penerapan sistem agribisnis, sehingga dapat membuat usaha peternakan ayam ras petelur tetap berkembang dan semakin diminati. Di Sulawesi Selatan terdapat berbagai model agribisnis ayam ras petelur, mulai dari skala kecil, skala menengah, sampai skala besar dengan karakteristik dan ketahanan yang berbeda-beda sebagai penyuplai telur terbesar di Indonesia Timur. Produksi yang dihasilkan dari usaha ayam ras petelur diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Empat hal pokok yang menentukan keunggulan kompetitif dan daya tahan usaha dalam memproduksi ternak unggas termasuk ayam petelur, yaitu: (1) biaya produksi yang rendah; (2) iklim usaha yang kondusif; (3) skala usaha ekonomis; dan (4) kemampuan menyerap informasi teknologi (Tangendjaja, 2002). Berbagai model pengembangan usaha agribisnis ayam ras petelur di tingkat masyarakat telah dilakukan, tentu saja memiliki karakteristik dan ketahanan yang berbeda-beda. Kondisi iklim usaha yang kondusif turut menentukan keberlanjutan usaha agribisnis ayam ras petelur. Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan pengkajian yang lebih mendalam lagi tentang status usaha agribisnis ayam ras petelur
270
yang berlangsung saat ini pada tingkat peternak. Kemampuan mereka untuk tetap dapat bertahan dan menjadikan usaha ayam ras petelur sebagai sumber pendapatan menjadi menarik untuk diteliti, terutama di kabupaten Sidrap karena populasi ayam ras petelur sekitar 60% dari total populasi ayam ras petelur yang ada di Sulawesi Selatan. Di daerah tersebut terdapat banyak golongan peternak mulai dari yang melakukan usaha peternakan ayam petelur skala usaha sampingan, usaha pokok dan melaksanakan pola industri dalam setiap kegiatannya. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan peternak ayam petelur berdasarkan skala usaha. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Sidrap sebagai sentra produksi dan pengembangan peternakan ayam petelur di Sulawesi Selatan. di daerah tersebut terdapat variasi skala kepemilikan dan tingkat pengelolaan usaha, akses untuk memperoleh sarana produksi peternakan, serta mempertimbangkan akses ke wilayah pemasaran. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara gugus bertahap. Penentuan jumlah sampel melalui stratified random untuk setiap kecamatan secara strata berdasarkan skala usaha < 2.500 ekor, 2.500 – 5.000 ekor, dan skala usaha > 5.000 ekor. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 77 orang yang tersebar di tiga kecamatan. Waktu Penelitian mulai bulan Desember 2010 – Januari 2011. Data yang diperoleh di analisis dengan menggunakan analisis deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Usaha peternakan ayam ras petelur di Indonesia dinilai sangat prospektif, baik dilihat dari pasar dalam negeri maupun luar negeri. Iklim perdagangan global yang sudah mulai terasa saat ini, semakin memungkinkan produk telur ayam ras dari Indonesia untuk ke pasar luar negeri, mengingat produk ayam ras bersifat elastis terhadap perubahan pendapatan per kapita per tahun dari suatu negara. Meskipun potensi usaha budidaya ayam ras petelur sangatlah menarik, namun sejumlah tantangan bisa menjadi penghambat usaha yang bisa mengubah potensi keuntungan menjadi kerugian (Abidin, 2003). Deskripsi peternak berdasarkan skala usaha yang terdapat di Kabupaten Sidrap sebagai berikut: Umur peternak Faktor umur merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan seorang peternak karena berhubungan dengan kemampuan fisik dan cara berfikir dalam mengelola dan mengembangkan usahanya. Umur peternak responden yang dijadikan sampel pada umumnya masih berada pada kisaran umur produktif. Untuk lebih jelasnya umur peternak responden dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa umur peternak responden di daerah penelitian berada pada kisaran 25 – 70 tahun. Sebagian besar peternak masih berada pada usia produktif (15 – 55 tahun) yaitu sebanyak 65 peternak (84,42%) sedangkan sisanya sebanyak 12 orang (15,58%) berumur di atas 55 tahun. Komposisi umur peternak responden yang sebagian besar usia produktif merupakan hal yang positif karena peternak dengan usia produktif memiliki kemampuan fisik yang lebih kuat dan lebih
271
terbuka dalam menerima inovasi baru yang berhubungan dengan pengembangan usaha ternak yang dikelolanya. Hal ini mununjukkan adanya kecenderungan bahwa peternak ayam ras petelur mulai diminati oleh peternak muda. Usaha ternak ayam ras petelur telah dapat diterima pada setiap lapisan masyarakat sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi keluarga yang tidak hanya merupakan unsur pengisi waktu luang, tetapi lebih berorientasi pada nilai tambah ekonomis. Peternak yang lebih tua (di atas 55 tahun) cenderung lebih mengandalkan pengalaman-pengalaman yang diperoleh selama beternak dari pada menerima inovasi atau hal-hal baru yang berhubungan dengan usaha ternaknya. Tabel 1.
Jumlah Peternak Responden Berdasarkan Tingkat Umur pada Berbagai Skala Usaha Peternakan Ayam Ras Petelur di Kabupaten Sidenreng Rappang
Skala Usaha (ekor) Umur < 2.500 2.500–5.000 (Tahun) 15 – 24 25 – 34 10 (31,25%) 4 (15,39) 35 – 44 14 (43,75%) 10 (38,46%) 45 – 54 6 (18,75%) 5 (19,23%) 55 ke atas 2 (6,25%) 7 (26,92%) Jumlah 32 26 Sumber : Data Primer setelah Diolah, 2011
> 5.000 4 (21,05%) 4 (21,05%) 8 (42,11%) 3 (15,79%) 19
Jumlah (Orang) 18 (23,38%) 28 (36,36%) 19 (24,68%) 12 (15,58%) 77 (100%)
Tingkat pendidikan Untuk memecahkan masalah dan mengambil keputusan di peternakan, orang yang hanya memiliki keterampilan belum cukup, karena itu seseorang juga perlu dibekali dengan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dapat dimiliki oleh mereka yang mengikuti pendidikan formal atau nonformal. Tingkat pendidikan formal dijadikan sebagai salah satu ukuran karena memiliki rentang waktu dan standar tertentu. Tingkat pendidikan formal yang umum pada masyarakat kita yaitu dari tingkat pendidikan dasar (SD) hingga perguruan tinggi. Adapun tingkat pendidikan peternak sampel dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2.
Jumlah Peternak Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan pada Berbagai Skala Usaha Peternakan Ayam Ras Petelur di Kabupaten Sidenreng Rappang
Skala Usaha (ekor) Tingkat < 2.500 2.500–5.000 Pendidikan SD 1 (3,125%) 8 (30,77%) SMTP 9 (28,125%) 5 (19,23%) SMTA 20 (62,5%) 12 (46,15%) PT 2 (6,25%) 1 (3,85%) Jumlah 32 (100%) 26 (100%) Sumber : Data Primer setelah Diolah, 2011
272
> 5.000 5 (26,31%) 3 (15,79%) 9 (47,37%) 2 (10,53%) 19 (100%)
Jumlah (Orang) 14 (18,18%) 17 (22,08%) 41 (53,25%) 5 (6,49%) 77 (100%)
Tabel 2 memperlihatkan bahwa peternak dengan tingkat pendidikan SMTA merupakan yang terbesar sebanyak 41 orang atau 53,25%, sedangkan yang terkecil adalah peternak yang dapat mencapai tingkat pendidikan sampai perguruan tinggi yaitu sebanyak 5 orang atau 6,49%. Kondisi tersebut memberikan gambaran bahwa standar pendidikan peternak di Kabupaten Sidenreng Rappang tidak terlalu rendah. Hal ini juga tidak berarti bahwa pendidikan formal yang lebih tinggi tidak dibutuhkan untuk menjadi seorang peternak. Umumnya tingkat pendidikan mempengaruhi cara berpikir peternak dalam mengelola usaha ternaknya. Peternak dengan pendidikan yang relatif tinggi lebih mudah memahami suatu inovasi dibandingkan dengan peternak yang berpendidikan rendah Pengalaman beternak Pengetahuan mengenai cara beternak ayam ras petelur di Kabupaten Sidenreng Rappang sebagian besar diperoleh masyarakat dari pengalaman selama beternak. Semakin lama seorang beternak biasanya semakin menguasai teknik dan seluk beluk ternak yang dikelola. Pengalaman beternak responden dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa pengalaman beternak para responden sampel bervariasi antara 1 hingga 21 tahun lebih. Jumlah peternak responden memiliki pengalaman beternak ≤ 5 tahun adalah 38,96% (30 peternak). Kelompok tersebut jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan peternak yang memiliki pengalaman beternak 6-10 tahun yang jumlahnya 29 peternak (37,66%). Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa sebagian besar peternak (23,38%) adalah peternak lama yang merintis usaha ternaknya sebelum terjadinya krisis moneter tahun 1998 serta terjadinya wabah flu burung tahun 2003, bahkan populasi ayam yang mereka pelihara sebelum terjadinya krisis moneter lebih besar dibandingkan dengan kondisi saat ini. Tabel 3.
Jumlah Peternak Responden Berdasarkan Pengalaman Beternak Pada Berbagai Skala Usaha Peternakan Ayam Ras Petelur di Kabupaten Sidenreng Rappang
pengalaman Skala Usaha (ekor) beternak < 2.500 2.500–5.000 (Tahun) ≤5 17 (53,125%) 9 (34,62%) 6 – 10 10 (31,25%) 10 (38,48%) 11 – 15 5 (15,625%) 4 (15,38%) 16 – 20 1 (3,85%) ≥ 21 2 (7,69%) Jumlah 32 (100%) 26 (100%) Sumber : Data Primer setelah Diolah, 2011
> 5.000 4 (21,05%) 9 (47,38%) 4 (21,05%) 1 (5,26%) 1 (5,26%) 19 (100%)
Jumlah (Orang) 30 (38,96%) 29 (37,66%) 13 (16,88%) 2 (2,60%) 3 (3,90%) 77 (100%)
Responden dengan skala usaha < 2.500 sebagian besar melakukan usaha kurang dari 5 tahun. Hal ini menandakan bahwa peternak skala < 2.500 tersebut merupakan peternak pemula yang baru memulai usaha peternakannya, sedangkan peternak dengan skala usaha 2.500 – 5.000 ekor dan > 5.000 ekor umumnya telah melakukan usaha peternakan ayam ras petelur selama 6 – 10 tahun. Hal tersebut menandakan ada kecenderungan bahwa semakin besar skala usaha, maka dibutuhkan pengalaman beternak yang lebih lama.
273
Penelitian Handayani dkk (2007), bahwa pengalaman beternak yang dimulai secara turun temurun, mengakibatkan semakin bertambahnya pengalaman sehingga disinyalir dapat meningkatkan pengetahuan peternak yang dimungkinkan pada peningkatan jumlah pendapatan. Skala usaha Data yang diperoleh dari 77 orang peternak sampel menunjukkan bahwa total populasi ayam ras petelur adalah sebanyak 404.650 ekor yang terdiri atas 10.500 ekor starter, 63.670 ekor grower dan 330.480 ekor layer. Dalam Penelitian ini pengelompokan skala usaha peternak sampel didasarkan pada jumlah populasi ayam yang dipelihara oleh masing-masing peternak. Klasifikasi peternak sampel berdasarkan skala usaha dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4.
Jumlah Peternak Responden Berdasarkan Skala Usaha Peternakan Ayam Ras Petelur di Kabupaten Sidenreng Rappang
Skala Usaha
Jumlah Peternak (orang)
Jumlah Populasi (ekor)
Rata-Rata Populasi/Peternak (ekor/orang)
< 2.500 2.500 – 5.000 > 5.000
32 (41,56%) 26 (33,77%) 19 (24,67%)
63.100 94.250 247.300
1.972 3.625 13.016
404.650
18.613
Jumlah 77 (100%) Sumber : Data Primer setelah Diolah, 2011.
Tabel 4 di atas menunjukkan sebagian besar peternak sampel berada pada skala usaha kurang dari 2.500 ekor dengan rata-rata populasi sebesar 1.972 per peternak, skala 2.500 – 5.000 dengan rata-rata populasi 3.625, sedangkan peternak yang memiliki skala usaha lebih dari 5.000 ekor hanya 19 orang peternak dengan rata-rata populasi sebesar 13.016 ekor per peternak. Jumlah peternak pada skala lebih dari 5.000 ekor ini lebih sedikit karena dalam melakukan usaha peternakan butuh perizinan usaha yang lebih kompleks, modal lebih besar, jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan lebih banyak, manajemen harus lebih baik, dan tingkat penanganan resiko lebih tinggi dibanding dengan skala usaha kurang dari 2.500 ekor dan 2.500 – 5.000 ekor. Hal ini menandakan bahwa makin besar skala usaha peternakan ayam ras petelur, makin kompleks perizinan usaha yang dibutuhkan, makin banyak modal dan tenaga kerja yang dibutuhkan, serta makin tinggi manajemen dan tingkat penanganan resiko yang dibutuhkan. Hasil penelitian Suarta (2001) bahwa agribisnis ayam ras petelur yang memiliki skala yang besar akan mampu menyerap teknologi informasi yang lebih baik karena perhatian pemilik kepada usahanya sangat besar. Demikian pula peternak yang menjadikan usaha peternakannya sebagai usaha pokok membutuhkan informasi teknologi yang akurat dan tepat karena besarnya perhatian mereka kepada usaha yang dijalankannya. Di dukung hasil penelitian Sunarso (2002), bahwa terdapat korelasi yang positif antara jumlah kepemilikan ternak dengan jumlah pendapatan.
274
KESIMPULAN Peternak ayam petelur di Kabupaten Sidenreng Rappang sebagian besar berada pada usia produktif, tingkat pendidikan tidak terlalu rendah, semakin lama pengalaman beternak semakin besar skala usahanya. DAFTAR PUSTAKA Abidin, Z. 2003. Meningkatkan Produktivitas Ayam Ras Petelur. PT. Agromedia Pustaka, Jakarta. Handayani, M., A. Setiadi, S. Gayatri dan H. Setiyawan. 2007. Profil usaha peternakan itik di kabupaten brebes. Journal of Animal Agricultural Socio-economics, 3 (1) : 20-25. Johari, S. 2005. Sukses Beternak Ayam Ras Petelur. Edisi Revisi. Penebar Swadaya, Jakarta. Rahardi dan Hartono. 2003. Agribisnis Peternakan. Penebar Swadaya, Jakarta. Suarta, G. 2001. Jenis informasi dan Faktor Berpengaruh Terhadap Perkembangan Peternakan Ayam Ras Petelur di desa Babahan Kabupaten Tabanan. Majalah Ilmiah fakultas Peternakan Universitas Udayana Denpasar, bali. Sunarso. 2002. Pemetaan Potensi Subsektor Peternakan Kabupaten Blora. Laporan Penelitian UNDIP Tangendjaja. 2002. Keunggulan Petelur Dibanding Broiler Menghadapi AFTA. Kumpulan Jurnal Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan Republik Indonesia, Jakarta.
275