Profesi Dokter Kandungan Laki-Laki (Harun Mulawarman)
PROFESI DOKTER KANDUNGAN LAKI-LAKI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Harun Mulawarman Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Kertamukti No. 5 Ciputat Email:
[email protected]
Abstrak: Sejalan dengan semakin meluanya akses umat Islam (terutama perempuan) terhadap kesehatan dan kedokteran, isu seputar dokter kandungan laki-laki bagi pasien perempuan kembali menjadi diskursus akademik. Hal ini merefleksikan kebutuhan umat Islam untuk memahami sejauh mana hukum Islam melalui al-Qur’an, Hadith, dan pendapat para ulama memberikan batasan antara laki-laki dan perempuan ketika dalam konteks mengobati yang diikat oleh etika Dokter. Untuk mengetahui jawabannya, dilakukan studi dengan penelitian kepustakaan (library research). Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pada intinya ada kesamaan pandangan ulama, yang membolehkan untuk melihat bagian tubuh pasien untuk kepentingan pengobatan, namun untuk menghindari adanya fitnah, disarankan didampingi mahramnya, dan dengan mempertimbangkan: (1) Dokter harus bertakwa kepada Allah, dapat dipercaya, adil, mempunyai keistimewaan dan ilmu pengetahuan pada bidangnya. (2) Tidak membuka bagian-bagian tubuh pasien wanitanya kecuali dengan keperluan medis. (3) Selama pengobatan harus didampingi mahramnya, suami atau wanita yang dapat dipercaya seperti ibunya atau saudara wanitanya. (4) Seorang dokter tidak boleh non muslim selama masih ada yang muslim. Apabila syarat-syarat tadi terpenuhi maka dokter boleh melihat atau menyentuh bagian-bagian aurat tersebut karena Islam adalah agama yang tidak memberikan umatnya kesukaran namun mengutamakan maslahat dan kemudahan untuk ummatnya. Abstract: In line with the more wide access of Islamic people (especially woman) upon health and medicine, the issue of male obstetrician for woman raises in academic discourse. As such happened has reflected the necessity of Islam people to understand the boundary between man and woman in the context of healing which bound to medical ethics in the perspective Islamic law resources such as Quran, Hadiths, and the Ulama. In order to answer such question, this research is conducted through using library research. The result of this research shows that the Ulema have same perspective to this case in which they recognize that male obstetrician is able to see parts of patient’s body due to medical action. However, the patients must be accompanied by her mahram to avoid defamation, and there are other considerations such as (1) the Doctor must be cautious to Allah, trusted, fair, and having knowledge in medics. (2) The doctor does not open the patient’s body except for medical treatment. (3) As long as the patient is accompanied by her mahram, either her husband or her other family member (mostly woman who has been believed to accompanied the patient). (4) The doctor must be a Muslim, but if there is no muslim obstetrician, non Muslim doctor is also able to conduct medical treatment for the patients. If these prerequisites have been fulfilled, the doctor is able to see or touch the aurat of the patients because Islam is a religion which does not let its followers to live difficulties otherwise Islam emphasizes the maslahat and easiness of its followers.
Kata kunci: hukum Islam, dokter kandungan laki-laki, aurat
107
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014
PENDAHULUAN Pelayanaan kesehatan merupakan salah satu upaya dalam melestarikan kehidupan sosial yang baik. Dalam rangka pemenuhan pelayanan yang baik dan teratur, maka dibuatlah tempat bagi para masyarakat untuk berinterkasi dalam hal pemenuhan kesehatan. Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik dan berbagai tempat untuk berobat merupakan bentuk dimana keseriusan pemerintah dalam menyediakan fasilitas para pasien untuk berobat. Pada umumnya, masyarakat yang mengerti dan paham tentang pengobatan yang layak bagi mereka akan memilih Rumah Sakit atau Puskesmas sebagai tempat berobat. Di tempat itulah mereka berkumpul demi kesembuhan yang mereka inginkan mulai dari anak bayi yang menjadi pasien rumah sakit sampai dengan usia lanjut. Tidak bisa dipungkiri dengan berkumpulnya masyarakat dalam satu wadah demi tujuan yang sama yaitu hidup sehat sudah menghilangkan batas-batas pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Beberapa kata mempunyai makna baru dan bahkan ada yang meluas penggunaannya. Salah satu adalah kata “percampuran atau pergaulan”.1 Islam menganjurkan untuk setiap orang yang sedang tertimpa musibah dalam arti terkena penyakit untuk berobat. Berobat untuk meraih kesembuhan merupakan salah satu bentuk memelihara jiwa sebagaimana tujuan hukum Islam yaitu maqa>sid
shari’ah. Menjadi seorang mukmin yang kuat dan sehat merupakan salah satu bentuk sunnah Nabi. Sebagian Ulama mengharamkan wanita untuk memperlihatkan auratnya kepada yang bukan mahram. Sebagian ulama juga membolehkan memperlihatkan aurat perempuan kepada yang bukan mahramnya dengan berbagai pertimbanganpertimbangan sesuai tingkat kesulitan yang mereka rasakan. Di sinilah kita bisa melihat bagaimana tindakan para pemedis yang bekerja dalam suatu instansi kesehatan dalam hal ini Dokter dan Perawat. Dalam keadaan serta kondisi yang tidak memungkinkan, mau tidak mau para tenaga medis yaitu Dokter dan Perawat akan bercampur baur dengan para pasien baik yang laki-laki maupun perempuan. Ketika dalam kondisi tersebut tingkat untuk menghindari bersentuhnya antara laki-laki dan perempuan sangatlah susah. Tindakan yang dilakukan Dokter dan Perawat merupakan serangkaian prosedur dan etika yang harus dilakukan oleh para tenaga medis tersebut. Misalnya ketika 1
2006), 99.
108
Yusuf Qardhawi, Fiqh Wanita Segala Hal Mengenai Wanita, Cet. Ke-1, (Bandung: Jabal,
Profesi Dokter Kandungan Laki-Laki (Harun Mulawarman)
seorang dokter memeriksa pasien laki-laki atau perempuan atau seorang Suster yang menyuntik pasien yang bukan mahramnya. Kesemuanya itu merupakan prosedur yang harus dihadapi bagi para tenaga medis guna memberikan pelayanan maksimal terhadap pasien.
Bahkan, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa di dunia modern sekarang ini
keberadaan Profesi Dokter dan Perawat kian tahun semakin bertambah. Lulusan-lulusan Dokter inilah yang akan menangani pasien sesuai dengan prosedur yang ada. Misalnya saja Dokter Spesialis Kandungan Laki-Laki yang sekarang ini lagi menjadi salah satu pilihan para sarjana kedokteran. Profesi ini terkadang sebagian orang tidak sepaham karena dalam proses penanganannya pihak Dokter diharuskan untuk memeriksa seorang pasien dari segi fisiknya. Tidak hanya itu, terkadang seorang pasien harus memperlihatkan aurat dan kehormatannya demi lancarnya prosedur yang telah diatur, misalnya saja dalam kondisi seorang pasien mau melahirkan atau aborsi yang diperbolehkan sesuai dengan ketentuan yang ada. Dalam konteks inilah, studi ini ditempatkan dan memiliki signifikansi. METODE PENELITIAN Penelitian ini diarahkan untuk memperoleh gambaran dan jawaban atas profesi dokter kandungan bagi kaum laki-laki yang notabene bertentangan secara hukum Islam karena yang menjadi pasiennya adalah perempuan. Dalam arti bahwa sejauh mana hukum Islam melalui al-Qur’an, Hadith, dan pendapat para ulama memberikan batasan antara laki dan perempuan ketika dalam konteks saling mengobati atau dalam keadaan darurat atau perkara yang mengecualikan. Sesuai dengan karakteristik kajiannya, penelitian ini
termasuk penelitian
kepustakaan (library research). Artinya, data dan bahan kajian yang dipergunakan berasal dari sumber-sumber kepustakaan, baik berupa buku, ensiklopedi, jurnal, majalah, surat kabar maupun yang lainnya. Sedangkan sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis, dengan karakter dan sifat demikian, penelitian ini berusaha:
pertama, menggambarkan secara komprehensif konsep yang relevan dengan profesi kedokteran di satu sisi, dan konsep Hukum Islam di sisi lain, dan hubungan keduanya. Deskripsi ini bertujuan untuk melihat bagaimana relasi teks dan realitas dalam pemikiran hukum Islam. Kedua, menganalisis substansi deskripsi tersebut untuk menemukan alternatif tawaran pembacaan yang integral terhadap relasi teks dan realita dalam hukum Islam. Setelah semua data terkumpul maka dilakukan analisis untuk menarik kesimpulan.
109
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014
HASIL DAN PEMBAHASAN Pandangan Ulama tentang Aurat Perempuan Aurat merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang berasal dari kara “ara-
yauru-auran” yang bermakna tampak, lahir, muncul. Kata ini juga bisa bermakna aib/cela, juga bisa bermakna menimbun dengan tanah hingga terhambat mata airnya.2 Ini berarti bahwa aurat adalah suatu yang harus ditutup dan ditimbun agar tidak dapat dilihat dan dipandang.3 Kata yang bermakna aurat juga ada pada kata “sauah” seperti yang tercantum dalam Qs. T}aha ayat 121 yang artinya : “Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia” Dalam pengertian istilah, aurat adalah sesuatu yang menimbulkkan birahi atau syahwat, membangkitkan nafsu angkara murka, sedangkan ia mempunyai kehormatan yang dibawa oleh rasa malu supaya ditutupi dan dipelihara dengan tidak mengganggu manusia lainnya, serta menimbulkan kemurkaan, padahal ketentraman hidup dan kedamaian hendaklah dijaga sebaik-baiknya.4 Dalam pandangan pakar hukum Islam, aurat adalah bagian dari tubuh manusia yang pada prinsipnya tidak boleh kelihatan, kecuali dalam keadaan darurat atau kebutuhan
yang
mendesak.5
Rasulullah
Saw.
juga
bersabda
yang
artinya
“Sesungguhnya seorang anak perempuan jika telah haid (baligh), tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali wajah dan kedua tangannya hingga pergelangan tangan” (HR Abu Da>wud). Dalil-dalil ini dengan jelas menunjukkan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Juga dengan jelas menunjukkan bahwa wanita wajib menutupi auratnya, yakni menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya.6 Pengertian di atas dapat kita pahami bahwa aurat merupakan sesuatu yang wajib kita tutupi baik laki-laki maupun perempuan guna menjaga kehormatan dimata orang yang memandangnya. Sehingga menutup aurat itu dianjurkan oleh agama terkecuali dalam keadaan serta kondisi tertentu yang dibolehkan membuka aurat. 2
Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 984. Fuad Moh. Fahruddin, Aurat dan Jilbab dalam Pandangan Islam (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1984), 10-11. 4 Fuad Moh. Fahruddin, Aurat dan Jilbab dalam Pandangan Islam, 10. 5 Quraisy Shihab, Jilbab Pakaian Muslimah (Jakarta: 1 Lentera Hati, 2004), 44. 6 Taqiyudin an-Nabhani, Sistem Pergaulan Dalam Islam, Cet. Ke-3 (Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2007), 66. 3
110
Profesi Dokter Kandungan Laki-Laki (Harun Mulawarman)
Bertrand Russell menyatakan bahwa menutup aurat adalah sesuatu yang tabu. Dia bertanya: “karena para bapak dan ibu harus menutup auratnya di hadapan anakanaknya, bukankah ini yang menyebabkan rasa ingin tahu si anak timbul?. Kalaulah orang tua itu tidak berusaha menutupi auratnya, tentunya rasa ingin tahu tersebut tidak akan timbul. Orang tua harus menunjukkan auratnya di hadapan anak-anaknya agar mereka tahu segala sesuatunya dari mula pertama. Paling tidak seminggu sekali, para orang tua pergi ke tempat-tempat umum, misalnya pemandian atau sahara dan menunjukkan auratnya di hadapan anak-anaknya.”7 Para ‘ulama masih memperdebatkan masalah tentang aurat yang harus ditutupi oleh kaum wanita ketika mereka bertemu dan berinteraksi dengan kaum pria. 1. Pendapat Al-Ahnaf (pengikut Hanafi) berpendapat bahwa wanita boleh membuka muka dan kedua telapak tangan namun pria tetap haram melihat kepadanya dengan pandangan syahwat 2. Dalam mazhab Maliki terdapat tiga pendapat: a) Mengatakan wajib menutup muka dan kedua telapak tangan b) Tidak wajib menutup muka dan kedua telapak tangan, tetapi pria wajib menundukan pandanganya. c) Perbedaan cantik dan tidak cantiknya seorang wanita, jika ia cantik maka ia wajib menutup muka dan kedua telapak tangan. Sedangkan wanita yang tidak cantik tidak wajib menutupnya atau disunahkan. 3. Jumhur (golongan terbesar): Mazhab Shafi’i mengatakan tidak wajib menutup wajah dan kedua telapak tangan sekalipun mereka berfatwa untuk menutupinya. 4. Mazhab Hambali : mengatakan wajib menutup keduaanya. 5. Jumhur Fuqaha (golongan terbesar ahli-ahli fiqh) berpendapat bahwa muka dan dua telapak tangan bukan aurat karena itu tidak wajib menutupnya tetapi wajib ditutup jika dirasa tidak aman.8 Faktor-Faktor yang Membolehkan Melihat Aurat Islam memandang pergaulan antara laki-laki dan wanita sebagai suatu hal yang amat penting. Tetapi bagaimanapun juga, Islam telah menetapkan hukum secara umum mengenai masalah ini. Islam Justru memperhatikan dengan melihat tujuan atau 7
Bertrand Russell, dalam Husein Shahab, Jilbab Menurut al-Qur’an dan al-Sunnah (Bandung: Mizan, 2002), 36-37. 8 Haya binti Mubarok Al-Barik, Ensiklopedi Wanita Muslimah, terj. Amir Hamzah Fachrudin (Jakarta: Darul Falah, 1422 H), 149.
111
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014
kebaikan yang hendak diwujudkan, atau bahaya yang dimungkinkan, gambarannya dan syarat-syaratnya yang harus dipenuhi atau lainnya. Sebaik-sebaik petunjuk dalam masalah ini ialah petunjuk Rasulullah petunjuk para sahabat yang menjadi pedoman. Orang yang ingin memperhatikan petunjuk ini, niscaya akan tahu bahwa Islam tidaklah memenjarakan kaum wanita atau mengisolasi mereka seperti yang terjadi zaman kemunduran Islam9 Pada dasarnya, Qs. An-Nu>r (24):31 tidak memberikan batasan yang tegas mana aurat wanita yang boleh terlihat di hadapan wanita-wanita kafir. Hanya saja, seorang wanita muslimah mesti menjaga kehormatan dirinya dengan tidak membuka aurat yang tabu (seperti payudara, kemaluan, paha, dan lain sebagainya) di hadapan wanita wanita kafir. Hendaklah dia mengenakan pakaian yang sopan dan tidak merendahkan maruah dirinya.10 Allah telah membolehkan adanya interaksi di antara keduanya, baik dalam kehidupan khusus maupun dalam kehidupan umum. Allah misalnya, telah membolehkan kaum wanita untuk melakukan jual-beli serta mengambil dan menerima barang; mewajibkan mereka untuk menunaikan ibadah haji; membolehkan mereka untuk hadir dalam shalat berjamaah, berjihad melawan orang-orang kafir, memiliki harta dan mengembangkannya, dan sejumlah aktivitas lain yang dibolehkan atas mereka. Semua aktivitas di ini yang dibolehkan atau diwajibkan oleh syariah Islam terhadap kaum wanita, harus dilihat dulu. Jika pelaksanaan berbagai aktvitas di atas menuntut interaksi/pertemuan (ijtima’) dengan kaum pria, boleh pada saat itu ada interaksi dalam batas-batas hukum syariah dan dalam batas aktivitas yang dibolehkan atas mereka. Ini misalnya aktivitas jual-beli, akad tenaga kerja (ija>rah), belajar, kedokteran, paramedis, pertanian, industri, dan sebagainya. Sebab, dalil tentang kebolehan atau keharusan aktivitas itu berarti mencakup kebolehan interaksi karena adanya aktivitas-aktivitas itu. Namun, jika pelaksanaan berbagai aktvitas di atas tidak menuntut adanya interaksi di antarakeduanya seperti berjalan bersama-sama di jalanjalan umum; pergi bersama-sama ke masjid, ke pasar, mengunjungi sanak-famili, atau bertamasya; dan yang sejenisnya, tidak boleh seorang wanita melakukan interaksi dengan seorang pria. Sebab, dalil-dalil tentang keharusan pemisahan kaum pria dari kaum wanita bersifat umum. Tidak ada satu dalil yang membolehkan adanya interaksi
9
Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer (Jakarta: Gema Insani, 2006). Hukum wanita Muslimah menampakkan auratnya di hadapan wanita kafir, 5.
10
112
Profesi Dokter Kandungan Laki-Laki (Harun Mulawarman)
di antara pria dan wanita dalam perkara-perkara di atas, dan interaksi itu pun tidak dituntut oleh perkara yang dibolehkan oleh syariah untuk dilakukan seorang wanita.11 Seorang dokter boleh melihat aurat wanita pada tempat-tempat yang memerlukan pengobatan. Pengobatan terhadap wanita tidak diperbolehkan kecuali dengan beberapa syarat: 1. Dokter haruslah bertakwa, dapat dipercaya, adil, mempunyai keistimewaan dan ilmu pengetahuan pada bidangnya 2. Jangan membuka bagian-bagian tubuh pasien wanitanya kecuali dengan keperluan pemeriksaan 3. Selama pengobatan harus didampingi mahramnya, suami atau wanita yang dapat dipercaya seperti ibunya atau saudara wanitanya 4. Seorang dokter tidak boleh non muslim selama masih ada yang muslim. Apabila syarat-syarat tadi terpenuhi maka dokter boleh melihat atau menyentuh bagian-bagian aurat tersebut, karena Islam adalah agama yang tidak memberikan umatnya kesukaran namun mengutamakan maslahat dan kemudahan untuk ummatnya.12 Dasar hukumnya adalag Qs. al-Baqarah ayat 185, yang artinya “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”, serta kaidah fiqih yaitu: 13
ﻻ ﺿﺮر و ﻻ ﺿﺮار
Pembolehan melihat aurat untuk pengobatan ini juga dinyatakan dalam berbagai fatwa ulama, baik klasik maupun modern. Ahmad ibn Hanbal (164-241 H) misalnya, ia membolehkan dokter atau yang sejenisnya laki-laki melihat aurat pasien wanita yang bukan mahram khusus pada bagian tubuh yang menuntutnya meski aurat vitalnya, demikian pula sebaliknya, dengan alasan “tuntutan”.14 Ibn Muflih (816-884 H), Ulama Hanabilat berfatwa membolehkan menyikap dada perempuan yang lengannya terluka dan menyentuhnya karena darurat. Demikian juga, jika seorang wanita sakit dan tidak diketahui sakitnya kecuali oleh dokter laki-laki, maka dokter tersebut, jika kondisinyaa sangat menuntut demikian dibolehkan melihat tempat
11
Taqiyudin an-Nabhani Sistem Pergaulan Dalam Islam, Cet. Ke-3 (Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2007), 54. 12 Abdul Hamid Kisyik, Bimbingan Islam untuk Mencapai keluarga Sakinah, alih bahasa Ida Mursida (Bandung, Penerbit Mizan, 1992), 204-206. 13 Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyuti, al-Ashbah Wa an-Nazair (Bairut: Da>r al-Kutu>b al‘Ilmiyah), 165. 14 Muwaffiq al-Din, al-}Ti} bb min al-Kitab wa al-Sunnat (Beirut, Da>r al-Ma’rifat, 1996), 193.
113
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014
sakitnya itu, bahkan hingga bagian aurat vitalnya. Hal yang sama disampaikan pula oleh Qadli Abu Ya’la al-Hanbali, Ibn Abidin al-Hanafi dan lain-lain.15 Ibnu Qudamah berkata: "seorang dokter dibolehkan melihat bagian tubuh wanita yang sakit bila perlu diperiksa. Sebab bagian tubuh itu memang perlu dilihat. Diriwayatkan dari Uthman bahwa dibawa ke hadapannya seorang bocah yang didapati telah mencuri, beliau berkata: "periksalah dalam sarungnya!" yakni bulu kemaluannya yang menunjukkan apakah ia sudah baligh atau belum. Setelah diperiksa ternyata bulu kemaluannya belum tumbuh, beliaupun tidak memotong tangannya."16 Mengenai pemahaman penafsiran tentang menutup aurat bagi wanita dan lakilaki, masing-masing penafsir atau ulama memahami secara berbeda karena kondisi serta zaman yang berbeda. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat tetang kebolehan membuka aurat. Meskipun pada dasarnya, menutup aurat itu wajib ketika berhadapan yang bukan mahramnya. Perspektif Hukum Islam tentang Dokter Kandungan Laki-Laki Memposisikan Ilmu Kedokteran dalam kerangka ajaran Islam dilihat dari segi sumbernya, Abu al-Ashbal al-Zuhairi secara dikotomis membagi Ilmu atas dua kategori, ilmu syari’at (al-‘ilm al-shar’i) dan ilmu kealaman (al-‘ilm al-kauni). Sumber ‘ilm Shar’i adalah al-Qur’an, Hadith, dan Ijmak. Sedangkan Ilmu kealaman merupakan jenis ilmu dari hasil pengamatan, penelitian, percobaan, observasi, dan sejenisnya.17 Berdasrkan pembagian ini, posisi ilmu kedokteran termasuk jenis al-‘ilm al-kauni. Dari segi peringkat keutamaannya, sebagian ulama membagi ilmu menjadi 3 kategori: pertama, tertinggi (al-a’la) yaitu yang bersumber (langsung) dari al-Qur’an dan Hadith. Kedua, pertengahan (al-ausat}) yaitu ilmu-ilmu duniawi hasil penelitian, pengamatan, observasi, dan sejenisnya, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung, dan sebagainya. Ketiga, ilmu rendah (al-asfal) yaitu ilmu-ilmu jenis olah keterampilan, seperti olahraga, menjahit dan sebagainya.18 Terlepas dari perbedaan pendapat ulama dalam memposisikan ilmu kedokteran dalam bingkai ajaran Islam bersifat mengikat atau tidak, secara faktual ajaran Islam sangat memperhatikan masalah kedokteran, baik yang bersifat represif maupun preventif (pencegahan). Nampaknya, perbandingan perhatian ajaran Islam terhadap 15
Ibn Muflih al-Hanbali, Adab ash-Shar’iyyat (tt; ‘Alam al-Kutub,tth), II, 464. lihat kitab Al-Mughni VII/459 dan kitab Ghadza>ul Albab I/97. 17 Abd. Al-Barr, Jami’ Baya>n al-‘Ilm wa Fad}luh (Kairo: Maktabat Ibn Taimiyat, 1996), 37. 18 Abd. Al-Barr, Jami’ Baya>n al-‘Ilm wa Fad}luh (Kairo: Maktabat Ibn Taimiyat, 1996), 37. 16
114
Profesi Dokter Kandungan Laki-Laki (Harun Mulawarman)
usaha preventif terlihat lebih menonjol, lebih terurai, dan lebih aplikatif seperti dapat dilihat dari peran Rasulullah pembawa risalah yang sangat menekankan kesehatan sebagaimana dijabarkan dalam buku-buku sejarah dan hadith, juga dapat digali dari sisi
h}ikmat al-tashri’.19 Dalam kehidupan kaum Muslim, dalam segala kondisi mereka secara umum, telah ditetapkan di dalam sejumlah nash syariah, baik yang tercantum dalam al-Quran maupun as-Sunnah bahwa kehidupan kaum pria terpisah dari kaum wanita. Ketentuan ini berlaku dalam kehidupan khusus seperti di rumah-rumah dan yang sejenisnya, ataupun dalam kehidupan umum, seperti di pasar-pasar, di jalan-jalan umum, dan yang sejenisnya. Ketentuan tersebut merupakan ketetapan berdasarkan sekumpulan hukum Islam (majmu’ al-ahka>m) yang berkaitan dengan pria, wanita, atau kedua-duanya; juga diambil dari seruan al-Quran kepada kaum wanita dalam kedudukannya sebagai wanita dan kepada kaum pria dalam kedudukannya sebagai pria.20 Allah Swt. berfirman dalam surah al-Ahzab ayat 35:
ِ ِﯿﻦ َﺴ ْ ﻠو َِﻤ َاﻟ ْﻤ ُﺆ ْ ﻣ ِ ﻨ َﺎت ِ و َ اﻟ ْ ﻘ َﺎﻧ ِﺘ ِﯿﻦ َ و َ اﻟ ْ ﻘ َﺎﻧ ِﺘ َﺎت ِ و َ اﻟﺼ ﱠﺎد ِ ﻗ ِﯿﻦ َ و َ اﻟﺼ ﱠﺎد ِ ﻗ َﺎت إ ِنﺎ ﱠت ِاﻟ وْﻤ ُ َ اﻟ ُ ِﯿﻦﻣَ ِاﻟﻨ ْﻤ َ ﺴ ْ ﻠْﻤِﻤُﺆ ْو َ ﺎﺷ ِ ﻌ ِ ﯿﻦ َ و َ اﻟ ْﺨ َ ﺎﺷ ِ ﻌ َﺎت ِ و َ اﻟ ْﻤ ُ ﺘ َﺼ َ ﺪ ﱢ ﻗ ِﯿﻦ َ و َ اﻟ ْﻤ ُ ﺘ َﺼ َ ﺪ ﱢ ﻗ َﺎت ِ و َ اﻟﺼ ﱠﺎﺋ ِﻤ ِﯿﻦ َ و َ اﻟﺼ ﱠﺎﺑ ِﺮو َ َااﻟت ِﺼو َﱠﺎﺑاﻟِﺮ ِْﺨ َﯾﻦ ْ ُوﺟ َت ِﮭُﻢ ْو َواﻟَ ْاﻟ ْﺤ َ ﺎﻓ ِﻈ َﺎت ِ و َ اﻟﺬ ﱠ اﻛ ِﺮ ِ ﯾﻦ َ ﷲ ﱠ َ ﻛ َ ﺜ ِﯿﺮ ًا و َ اﻟﺬ ﱠ اﻛ ِﺮ َ ات ِ أ َ ﻋ َ ﺪ ﱠ ﷲ ﱠ ُ ﻟ َﮭُﻢ ﯿﻦ َﺼﻓ ُﱠﺎﺋﺮ ِﻤ َ ﺎ ﺤ َ ﺎﻓ ِﻈ ِو َ اﻟ (٣٥) ﻣ َ ﻐ ْ ﻔ ِﺮ َ ة ً و َ أ َﺟ ْ ﺮ ًا ﻋ َﻈ ِ ﯿﻤ ًﺎ Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. Terdapat kesenjangan antara pemahaman dokter berkaitan dengan filsafat moral, karena dokter bukan filosof dengan pakar filsafat. Karena itu diperlukan panduan praktis yang merupakan hasil pemikiran mendalam dari filosof, tetapi dapat
19
Hikmat al-Tashri’ dalam konteks ini didefenisikan sebagai ilmu yang sahih yang akan menimbulkan kehendak untuk berbuat yang bermanfaat, karena terdapat pandangan dan paham yang dalam tentang hukum-hukum dan rahasia-rahasia persoalan. Menurut definisi lain, sebagai suatu motivasi dalam pengsyariatkan hukum dalam rangka mencapai suatu mas}lahat atau menolak suatu mafsadat. Lihat ‘Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmat al-Tashri’ wa falsafatuh, (Beirut: Da>r al-Fikr,tth), j. I, 5. Muhammad Rasyid Ridla’, Tafsi>r al-Qur’an al-Haki>m al-Mashhir bi Tafsir al-Mana>r, (Beiru>t: Da>r alMa’arif, tth), j. III, 310. 20 Taqiyudin an-Nabhani Sistem Pergaulan Dalam Islam, Cet. Ke-3 (Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2007), 51.
115
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014
langsung diaplikasikan tanpa membuat dokter merasa bersalah atau berdosa. Panduan atau pedoman praktis itu termuat dalam kaidah dasar bioetika; sebagian filosof menyebutkannya dengan istilah principalism.21 Terdapat 4 kaidah dasar moral (bioetika), meliputi:22
a) Menghormati martabat manusia (respect for person/autonomy). Pertama, setiap individu (pasien) harus diperlakukan sebagai manusia yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasib diri sendiri) dan kedua, setiap manusia yang otonominya berkurang atau hilang perlu mendapatkan perlindungan. b) Berbuat baik (benefi cence). Selain menghormati martabat manusia, dokter juga harus mengusahakan agar pasien yang dirawatnya terjaga keadaan kesehatannya (patient welfare). Pengertian ”berbuat baik” diartikan bersikap ramah atau menolong, lebih dari sekedar memenuhi kewajiban. c) Tidak berbuat merugikan (non-malefi cence). Praktik kedokteran harus memilih pengobatan yang paling kecil risikonya dan paling besar manfaatnya. Pernyataan kuno: first, do no harm, tetap berlaku dan harus diikuti. d) Keadilan (justice). Perbedaan kedudukan sosial, tingkat ekonomi, pandangan politik, agama dan faham kepercayaan, kebangsaan dan kewarganegaraan, status perkawinan, serta perbedaan jender tidak boleh dan tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap pasiennya. Tidak ada pertimbangan lain selain kesehatan pasien yang menjadi perhatian utama dokter. Sedangkan menurut kaidah dasar Bioetika Islam meliputi: a) Kaidah Niat (Qaidah Niyya>t). Prinsip ini meminta dokter agar berkonsultasi dengan hati nuraninya. Terdapat banyak masalah mengenai prosedur dan keputusan medis yang tidak diketahui orang awam. Seorang dokter dapat saja melakukan suati prosedur dengan alasan yang mungkin masuk akal dari sudut pandang luar, namun sesungguhnya memiliki niatan berbeda dan tersembunyi. Contoh praktis:penggunaan morfin sebagai penghilang rasa sakit pada perawatan kondisi terminal namun niat yang sesungguhnya adalah agar terjadi depresi pernafasan yang akan menyebabkan kematian. b) Kaidah Kepastian (qaidah al-yaqi>n). Tidak ada yang benar-benar pasti (yaqi>n) dalam ilmu kedokteran, artinya tingkat kepastian dalam ilmu kedokteran tidak mencapai standar yaqi>n yang diminta oleh hukum. Meskipun demikian diharapkan dokter dalam mengambil 21
Gillon R. Medical ethics: four principles plus attention to scope, (BMJ, 1994), 309:184 – 8. Yusuf Alam Romadhon, Pola Pikir Etika dalam Praktik Kedokteran, CDK-206/ Vol. 40 No. 7, 2013, 549. 22
116
Profesi Dokter Kandungan Laki-Laki (Harun Mulawarman)
keputusan medis, mengambil keputusan dengan tingkat probabilitas terbaik dari yang ada (evidencebased medicine). Termasuk pula dalam hal diagnose, perawatan medis didasarkan dari diagnose yang paling mungkin. c) Kaidah Kerugian (Qaidah al-D{arar) 1. Intervensi medis untuk menghilangkan al-d}arar (luka, kerugian, kehilangan harihari sehat pasien) 2. Tidak boleh menghilangkan al-d}arar dengan al-d}arar yang sebanding (al-d}arar la
yuza>l bi mithlihi) 3. Keseimbangan antara kerugian vs. keuntungan. Pada situasi intervensi medis yang diusulkan memiliki efek samping, diikuti prinsip bahwa pencegahan penyakit memiliki prioritas yang lebih tinggi ketimbang keuntungan dengan nilai yang sama, dar’an mafa>sid awla min jalbi al mas}a>lih}. Jika keuntungan memiliki kepentingan yang jauh lebih tinggi daripada kerugian, maka mendapatkan keuntungan memiliki prioritas yang lebih tinggi. 4. Keseimbangan antara yang dilarang vs diperbolehkan. Dokter kadang dihadapkan dengan intervensi medis yang memiliki efek yang dilarang namun juga memiliki efek yang diperbolehkan. Petunjuk hukum adalah bahwa yang dilarang memiliki prioritas lebih tinggi untuk dikenali jika keduanya muncul bersamaan dan sebuah keputusan harus diambil, idha ijtima’a al-hala>l wa al-h}ara}m ghalaba al-hara>m al-
h}ala>l. 5. Pilihan antara dua keburukan. Jika dihadapkan dengan dua situasi medis yang keduanya akan menyebabkan kerugian dan tidak ada pilihan selain memilih salah satu dari keduanya, dipilih yang kurang merugikan, ikhtiya>r ahwan al-sharrai>n. Suatu hal yang merugikan dilakukan untuk mencegah munculnya kerugian yang lebih besar, al-d}arar al-ashadd yuza>lu bi al-d}arar al-akhaf. Dengan cara yang sama, intervensi medis yang memiliki kepentingan umum diutamakan di atas kepentingan individu, al-mas}lah}a>t al-a>mmah muqoddamat ‘ala> al-mas}lahat al-
khassat. Individu mungkin harus mendapatkan kerugian untuk melindungi kepentingan umum, yatahammalu al-d}arar al-kha>s il dafi u al-d}arar al-a>m. Untuk melawan penyakit menular, pemerintah tidak boleh melanggar / menghilangkan hak-hak umum kecuali ada keuntungan umum yang bisa didapatkan, al-tasarruf
‘ala> al-raiuyat manu>tu bi al-mas}lah}a>t. 117
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014
d) Kaidah Kesulitan (Qoidah al-Mashaqqat) 1. Kebutuhan melegalisir yang dilarang. Dalam kondisi yang menyebabkan gangguan serius pada kesehatan fisik dan mental, jika tidak segera disembuhkan, maka
kondisi
tersebut
memberikan
keringanan
dalam
mematuhi
dan
melaksanakan peraturan dan kewajiban syari’ah. 2. Batas-batas prinsip kesulitan: dalam melanggar syari’ah tersebut tidak melewati batas-batas yang diperlukan (secukupnya saja). 3. Aplikasi sementara dari prinsip kesulitan. Adanya suatu kesulitan tidak menghilangkan secara permanen hak-hak pasien yang harus direkompensasi dan dikembalikan pada keadaan semula seiring dengan waktu; kesulitan melegalisir sementara dari tindakan medis yang melanggar, berakhir setelah kondisi yang menyulitkan tadi berakhir. Dengan kata lain, jika hambatan telah dilewati, tindakan medis yang dilarang kembali menjadi terlarang. 4. Kaidah kebiasaan (Qoidah al-urf); dalam prinsip ini, standar yang diterima secara umum, seperti standard operational procedure (SOP) untuk perawatan klinis dianggap sebagai hukum dan diperkuat oleh syari’ah Dalam menentukan hukum pengobatan oleh lawan jenis, sekurangnya ada 4 hal yang menjadi pertimbangan, yaitu berhubungan dengan khalwat, berpandangan dengan lain jenis, melihat aurat pasien, dan terbukanya aib pasien. Masalah yang muncul, biasanya pertimbangan tersebut terkalahkan oleh kezaliman. Pasien biasanya dalam berobat, akan memilih orang yang telah teruji kemampuannya dan diyakini akan dapat menyembuhkan penyakitnya tanpa memandang jenisnya. Dokter atau yang sejenisnya, biasanya dalam berpraktik berlaku umum dan professional, tidak melihat jenis kelamin pasiennya. Apalagi bagi dokter yang terikat dengan Kode Etik Kedokteran dalam menunaikan tugasnya tidak dibenarkan membedakan pasien. Masalahnya disini, dalam praktiknya kadang dituntut melakukan inspeksi (periksa pandang), palpasi (perabaan), perkusi (memukulkan jari kebagian tubuh yang diperiksa), bahkan jika diperlukan mesti melihat atau memegang bagian alat vital pasien, disinilah masalah yang muncul dari perspektif hukum Islam.23
23
Zuhroni, Desertasi “Respon Ulama Indonesia Terhadap Isu-Isu Kedokteran dan Kesehatan Modern” (Jakarta: Sekolah PascaSarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2007), 95.
118
Profesi Dokter Kandungan Laki-Laki (Harun Mulawarman)
Dokter mengobati secara langsung dengan menyentuh bagian tubuh pasien hukumnya adalah boleh jika dalam keadaan darurat. Mafhum-nya, jika tidak dalam keadaan darurat, maka tidak boleh. Metode yang digunakan dalam istinbat} hukumnya yaitu dengan menggunakan istihsan bil maslahah sebagaimana Ulama Hanafi membagi istihsan dengan 6 yaitu 24
1. Istihsan Binnas} yaitu Istihsan yang didasarkan pada ayat atau hadith. Contoh pada masalah wasiat. 2. Istihsan bil Ijma’ yaitu Istihsan yang didasarkan pada ijma’. Contoh Jasa pemandian umum 3. Istihsan bil Qiyas Khofi yaitu Istihsan yang didasarkan pada Qiyas yang tersembunyi. Contoh wakaf lahan pertanian karena adanya hak melewati dan mengalirkan air di atas lahan walau tidak terantum dalam akad. 4. Istihsan bil Mas}lahah yaitu Istihsan yang didasarkan pada kemaslahatan. Contoh Bolehnya dokter melihat aurat pasiennya 5. Istihsan bil Urf’ yaitu Istihsan yang didasarkan pada adat kebiasaan yang berlaku umum. Contoh penggunaan air pemandian umum yang tidak dibatasi banyaknya. 6. Istihsan bil D}arurah yaitu Istihsan yang didasrkan pada keadaan darurat. Contoh Sumur yang kemasukan najis. Meskipun demikian, perlu dipahami bahwa bolehnya seorang dokter melihat aurat yang bukan mahramnya perlu dikaji secara mendalam. Kebolehan tersebut harus diikuti tentang prosedur yang ada serta pertanggung jawabannya dihadapan Allah. Hendaklah seorang dokter atau paramedis ketika akan melakukan tindakan pengobatan sebaiknya mengkonsultasikan dulu kepada pihak keluarga guna tidak terjadi fitnah dalam penanganan tersebut. Kewenangan seorang dokter dalam menangani seorang pasien termasuk ke dalam masalah daruriyyah, karena pembentukan hukum ini semata-mata dimaksudkan untuk tujuan pemeliharaan agama (hifz ad-di>n), pemeliharaan keturunan (hifz al-nasl), pemeliharaan jiwa (hifz an-nafs), dan pemeliharaan akal (hifz al-‘aql), pemeliharaan harta (hifz al-ma>l). Adapun syarat-syarat untuk bisa dijadikan hujjah adalah: 1. Harus merupakan suatu kemaslahatan yang hakiki, dan bukan suatu kemaslahatan yang bersifat dugaan saja 2. Maslahah itu bersifat umum, bukan bersifat perorangan atau kelompok
24
Haroen Nasution, Us}ul Fiqh (Jakarta: Logos Publising Hoese, 1996),102-107.
119
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014
3. Pembentukan hukum dengan mengambil kemaslahatan ini tidak berlawanan dengan tata hukum atau dasar ketetapan nash dan Ijma’.25
Maqa>sid shari’ah Bidang Kedokteran ditegakkannya hukum dalam Islam secara umum, atau secara khusus tujuan dokter memberikan tindakan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif pada pasien baik pribadi maupun dalam komunitas adalah untuk:26 a) Hifdh al-di>n (memberikan perlindungan terhadap agama). Tujuan sudut pandang ini adalah memberikan atau meningkatkan hari-hari produktif secara optimal bagi pasien-pasiennya (diciptakan manusia untuk beribadah). Termasuk juga dalam aspek ini adalah menjaga kelurusan aqidah dokternya sendiri, pasien yang dirawat, dan komunitas muslim. Dengan orang yang berbeda agama tetap mengedepankan prinsip toleransi. b) Hifdh al-nafs (memberikan perlindungan terhadap kehidupan). Tujuannya adalah mempertahankan kehidupan serta mengoptimalkan kualitas hidup pasien dan komunitas. Nafs ini juga diartikan harga diri atau kehormatan pasien yang dirawat. c) Hifdh al-nasl (memberikan perlindungan terhadap keturunan), Tujuannya adalah mempertahankan keruntutan garis keturunan dan kualitas keturunan. Perawatan antenatal, perinatal, dan post natal termasuk dalam usaha memberikan perlindungan terhadap kualitas keturunan. Perawatan infertilitas juga dalam maksud yang sama demikian juga dengan mendidik remaja agar menjadi orang tua yang berkualitas. d) Hifdh al-‘aql (memberikan perlindungan terhadap akal sehat). Tujuannya adalah mengoptimalkan kualitas intelektual, kecerdasan emosional dan aspek-aspek kecerdasan lainnya bagi setiap penderita ataupun komunitas yang menjadi tanggung jawab dokter. Perawatan terhadap kelainan jiwa, seperti gangguan kecemasan, depresi, psikotik serta kecanduan obat-obatan dan alkohol, dengan berusaha mengembalikan fungsi-fungsi luhur otak pada taraf yang paling optimal, serta berusaha mengkampanyekan hidup tanpa obat dan alkohol adalah termasuk dalam hal ini.
25
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Us}ul al-Fiqh (ttp: Da>r al-Qalam, 1978), 119-120. Yusuf Alam Romadhon, Pola Pikir Etika dalam Praktik Kedokteran, CDK-206/ Vol. 40 No. 7, 2013, h. 548 26
120
Profesi Dokter Kandungan Laki-Laki (Harun Mulawarman)
e) Hifdh al-ma>l (memberikan perlindungan terhadap kekayaan pribadi). Tujuan sudut pandang ini adalah dokter ketika bekerja tidak saja mempertimbangkan efektifi tasnya saja tetapi juga harus mempertimbangkan efi siensi atau keekonomisan suatu tindakan diagnosis atau terapi. Dalil yang menjelaskan kebolehan seorang dokter mengobati seorang pasiennya dalam keadaan darurat adalah hadith pada saat Nabi pergi berperang.
: ْ ﻗ َﺎﻟ َﺖ،ٍ ﻋ َﻦ ْ اﻟﺮ ﱡ ﺑ َﯿﱢﻊ ِ ﺑ ِﻨ ْﺖ ِ ﻣ ُﻌ َﻮ ﱢ ذ، َ ﻀﺪ ُﱠﻞﺑ ِْﻦ ُ ذ َﻛ ْ ﻮ َ ان ِ ﺑﺣ َْﻦ ُﺪ ﱠﺛ َاﻟﻨ َﺎْﻤ ُﺧﻔ َ ﺎﻟ،ُ ﺣ َ ﺪ ﱠﺛ َﻨ َﺎ ﺑ ِﺸ ْ ﺮ،ِ ﺣ َ ﺪ ﱠﺛ َﻨ َﺎ ﻋ َ ﻠ ِﻲ ﱡ ﺑْﻦ ُ ﻋ َ ﺒْﺪ ِ ﷲ ﱠ ِ و َ ﻧَﺮ ُ د ﱡ اﻟ ْ ﻘ َﺘ ْﻠ َﻰ إ ِﻟ َﻰ اﻟ ْﻤ َ ﺪ ِﯾﻨَﺔ،ِﻲ ﺳو ََﻠﻧ ُﱠﻢﺪ ََاو" ِي اﻟ ْﺠ َﺮ ْ ﺣ َ ﻰ َ ﻛ ُﻨ ﱠﺎ ﻣ َ ﻊ َ اﻟﻨ ﱠﺒ ِﻲ ﱢ ﺻ َ ﻠ ﱠﻰ ﷲ ُ ﻋ َﻠﻧ َﯿْﺴ ْﮫ ِﻘ و Artinya: “Telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin ‘Abdillah: telah menceritakan kepada kami Bishr bin Al-Mufadldlal: telah menceritakan kepada kami Khalid bin Dzakwan, dari Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidh, ia berkata : “Kami pernah bersama Rasulullah s}allalla>hu ‘alaihi wa sallam (dalam satu peperangan), memberi minum, mengobati orang-orang yang terluka, serta memulangkan jenazah ke Madinah”.27
ُ ﻛ"َﺎن َ ر َ ﺳ ُﻮل: َ ﻗ َﺎل، ٍ ﻋ َﻦ ْ أ َ ﻧ َﺲ ِ ﺑْﻦ ِ ﻣ َ ﺎﻟ ِﻚ،ٍ ﻋ َﻦ ْ ﺛ َﺎﺑ ِﺖ، َ ﱠﺛ َ أﻨ َﺎَﺧﯾ ْ ﺒَﺤ ْ ﯿَﺮ َ ﻧَﻲَﺎ ﺟ َ ﻌ ْ ﻔ َﺮ ُ ﺑْﻦ ُ ﺳ ُﻠ َﯿْﻤ َ ﺎن،َﻲ ﺑْﻦ ُ ﯾ َﺤ ْ ﯿﺣ َ ﺪ َ ِﯿﻦ َﺎء َ و َ ﯾُﺪ َاو ِﯾﻦ َ ﷲ ُ ُم ﱢﻋ ﺳ ُﻠ َﯿْﻢ ٍ و َ ﻧ ِﺴ ْﻮ َ ة ٍ ﻣ ِﻦ ْ اﻷ ْ َﻧ ْﺼ َ ﺎر ِ ﻣ َ ﻌ َ ﮫُ إ ِذ َا ﻏ َﺰ َ ا ﻓ َﯿ َﺴ ْاﻟﻘ ْﻤ ﱠﻰ ﺑ ِﺄ ْﺰ ُ و ﺻَﻠ َﻠ َﯿْﮫ ِ و َ ﺳ َﻠﷲﱠﻢ ﱠ َ ِ ﯾ َﻐ " اﻟ ْﺠ َ ﺮ ْ ﺣ َ ﻰ Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya: Telah mengabarkan kepada kami Ja’far bin Sulaimaan, dari Thabit, dari Anas bin Malik, ia berkata : “Dulu Rasulullah s}allalla>hu ‘alaihi wa sallam berperang dengan membawa serta Ummu Sulaim dan beberapa wanita Ans}ar lain bersama beliau. Apabila beliau berperang, mereka (para wanita) memberi air untuk minum dan mengobati pasukan yang terluka”.28 Dalam batasan-batasan tertentu, para ulama membolehkan seorang dokter atau para medis melakukan pemeriksaan terhadap pasien yang bukan mahramnya jika tidak ada seorang dokter yang mahramnya. Ibnu Abidin berkata: "Dalam kitab Al-Jauharah disebutkan: Jika penyakit tersebut menyerang seluruh tubuh si wanita maka dokter boleh melihatnya saat pengobatan, kecuali alat kelamin yang vital. Sebab hal itu termasuk darurat. Jika tempat yang sakit adalah kemaluan, maka hendaknya diajari seorang wanita lain untuk mengobatinya. Jika tidak ada juga sementara keselamatan
27 28
Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy No. 28. Diriwayatkan oleh Muslim No. 1810.
121
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014
jiwanya sangat mengkhawatirkan atau dikhawatirkan tertimpa penyakit yang tidak mampu ia tahan, maka hendaklah mereka menutup seluruh tubuhnya kecuali tempat yang sakit itu (yakni kemaluan) lalu dipersilakan dokter mengobatinya dengan tetap menahan pandangan semampunya kecuali terhadap bagian yang tengah diobati."29 Demikian pula dibolehkan bagi para perawat orang sakit untuk mewud}u'kan atau membantu istinja'nya meskipun yang dirawat seorang wanita.30 Muhammad Fu'ad berkata: "Di antara dalil yang menunjukkan bolehnya kaum pria mengobati kaum wanita -dengan batasan-batasan yang telah disebutkan tadi adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Ar-Rubayyi' binti Mu'awwidh ia berkata: "Kami pernah berperang bersama Rasulullah S}allallahu 'Alaihi wa Sallam. Tugas kami adalah memberi minum dan membantu pasukan, dan membawa pasukan yang tewas dan terluka ke Madinah.31 Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar A-Asqalani berkata: "Hukum bolehnya kaum pria mengobati kaum wanita diambil secara implisit. Imam Al-Bukhari tidak menegaskan hukum tersebut karena masih ada kemungkinan hal itu terjadi sebelum turunnya ayat yang memerintahkan berhijab. Atau masing-masing wanita ketika itu hanya mengobati suaminya atau mahramnya saja. Secara umum hukumnya: kaum wanita boleh mengobati kaum pria pada saat-saat darurat, dan harus dibatasi sesuai kebutuhan khususnya berkaitan dengan melihat dan memegang pasien atau semisalnya.32 Pada intinya ada kesamaan pandangan ulama, diperbolehkan melihat bagian tubuh pasien yang mana saja untuk mepentingan pengobatan, dan untuk menghindari adanya fitnah, disarankan didampingi mahram atau orang yang dapat dipercaya. ‘Illat pengharamannya karena akan mengundang fitnah, atau akan terjadi perzinaan, merupakan upaya preventif (sad al-dzari’at). Berdasarkan kaidah fiqhiyyat bahwa pengharaman karena sad al-dzari’at dibolehkan untuk kemaslahatan.33
29
Raddul Mukhtar V/237 dan lihat juga Al-Hidayah Al-'Ala>iyah, 245. Lihat kitab Ghidzaaul Albab I/97 31 H.R Al-Bukhari VI/80 & X/136, lihat Fathu Bari. Diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dari Anas V/196, Abu Dawud VII/205, lihat 'Aunul Ma'bud, dan Imam At-Tirmidzi V/301-302, ia berkata: Hadits ini Hasan Shahih 32 Lihat kitab Fathul Bari X/136 33 Yaitu kaidah: ” ”ﻣﺎﺣﺮم ﺳﺪا ﻟﻠﺬرﯾﻌﺔ اﺑﺢ ﻟﻠﻤﺼﻠﺤﺔاﻟﺮاﺟﺤﺔLihat ‘Ali Ahmad al-Nadzawi, al-Qawa>’id alFiqhiyyat (Damaskus: Dar al-Qalam, 1994), 155. 30
122
Profesi Dokter Kandungan Laki-Laki (Harun Mulawarman)
SIMPULAN Profesi dokter kandungan laki-laki ditinjau dari perspektif hukum Islam, intinya ada kesamaan pandangan ulama yang membolehkan untuk melihat bagian tubuh pasien yang mana saja untuk mepentingan pengobatan, namun untuk menghindari adanya fitnah, disarankan didampingi mahramnya. Selain itu, ada beberapa syarat yang diperhatikan ketika seorang dokter akan mengobati pasiennya, diantaranya adalah: (1) Dokter harus bertakwa kepada Allah, dapat dipercaya, adil, mempunyai keistimewaan dan ilmu pengetahuan pada bidangnya. (2) Jangan membuka bagian-bagian tubuh pasien wanitanya kecuali dengan keperluan pemeriksaan. (3) Selama pengobatan harus didampingi mahramnya, suami atau wanita yang dapat dipercaya seperti ibunya atau saudara wanitanya. (4) Seorang dokter tidak boleh non muslim selama masih ada yang muslim. Apabila syarat-syarat tadi terpenuhi maka dokter boleh melihat atau menyentuh bagian-bagian aurat tersebut. Hal ini dipandang sebagai manifestasi dari Islam adalah agama yang tidak memberikan kesukaran, namun mengutamakan maslahat dan kemudahan untuk ummatnya.
Daftar Pustaka An-Nabhani, Taqiyudin. Sistem Pergaulan Dalam Islam, Cet. Ke-3. Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2007. Al-Barik, Haya binti Mubarok. Ensiklopedi Wanita Muslimah, terj. Amir Hamzah
Fachrudin. Jakarta: Darul Falah, 1422 H. As-Suyuti, Abdurrahman bin Abi Bakr. al-Ashbah wa an-Naza>ir. Bei>rut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah. Al-Din, Muwaffiq. al-T}ibb min al-Kitab wa al-Sunnat. Beirut, Da>r al-Ma’rifat, 1996. Al-Hanbali, Ibn Muflih. Adab ash-Shar’iyyat. tt; ‘Alam al-Kutub,tth), j, II. Al-Barr, Abd. Jami’ Baya>n al-‘Ilm wa Fad}luh. Kairo: Maktabat Ibn Taimiyat, 1996. Al-Jurjawi, ‘Ali Ahmad. H{ikmat al-Tashri’ wa falsafatuh. Beirut: Dar al-Fikr,tth), j. I., Muhammad Rasyid Ridla’, Tafsir al-Qur’an al-Hakim al-Mashhir bi Tafsi>r al-
Mana>r. Beirut: Da>r al-Ma’arif, tth. j. III. 123
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014
Al-Nadzawi, ‘Ali Ahmad. al-Qawa>’id al-Fiqhiyyat. Damaskus: Da>r al-Qalam, 1994. Al-Mughni VII/459 dan kitab Ghadzaaul Albab I/97. Fuad Moh. Fahruddin.
Aurat dan Jilbab dalam Pandangan Islam. Jakarta: CV.
Pedoman Ilmu jaya, 1984. Gillon R. Medical Ethics: Four Principles Plus Attention to Scope, BMJ, 1994. Kisyik, Abdul Hamid. Bimbingan Islam untuk Mencapai keluarga Sakinah, alih bahasa Ida Mursida. Bandung, Penerbit Mizan, 1992. Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Us}ul al-Fiqh. ttp: Da>r al-Qalam, 1978. Munawir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawir. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997. Mukhtar, Raddul, V/237 dan lihat juga Al-Hidayah Al-'Alaiyah. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. ke-28. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010. Manzur, Ibnu. Lisa>n al-Arab, Jilid 9. Nasution, Haroen. Us}ul Fiqh. Logos Publising Hoese, 1996. Qardhawi, Yusuf. Fiqh Wanita Segala Hal Mengenai Wanita, Cet. Ke-1. Bandung: Jabal, 2006. Qardhawi, Yusuf. Fatwa-Fatwa Kontemporer. Jakarta: Gema Insani, 2006. Russell, Bertrand, dalam Husein Shahab. Jilbab Menurut al-Qur’an dan al-Sunnah. Bandung: Mizan, 2002. Shihab, Quraisy. Jilbab Pakaian Muslimah. Jakarta: 1 Lentera Hati, 2004. Sugiyono.
Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D, cet. ke-11. Bandung: Alfabeta, 2010. Romadhon, Yusuf Alam. Pola Pikir Etika dalam Praktik Kedokteran. CDK-206/ vol. 40 no. 7, 2013. Zuhroni. Respon Ulama Indonesia Terhadap Isu-Isu Kedokteran dan Kesehatan Modern. Disertasi, Jakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2007.
124