PRODUKSI BIBIT TEBU (Sacharrum officinarum L.) PADA PENANAMAN BAGAL 1, 2 DAN 3 MATA Ahmad Dhiaul Khuluq dan Ruly Hamida Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat Jln. Raya Karangploso, Kotak Pos 199, Malang 65152 Email:
[email protected] ABSTRACT Propagation cane is usually done vegetatively by planting sugarcane budset. Planting of budset can be done with a 1 bud shoot or more. At the farm level, planting sugar cane carried by 2 bads, 3 buds, even whole stem with many buds. The different ways of planting sugarcane based on the number of bud is required evaluation in order to achieve the expected results. This study aims to determine how planting method with different numbers of buds on sugarcane budset towards achieving the buds that will be used as seed source in the milled sugarcane plantation. The study was conducted in October 2011 to May 2012 at the experiment station Muktiharjo, Pati, Central of Java using vairetas PSJT 941. Treatment of research is the difference number of bud on budset with 3 levels, they are 1 bud, 2 buds and 3 buds. Research arranged in a randomized complete block design (RCBD) with 5 replications. Observations were conducted on germination, tillering, plant height, number of stems, number of suckers and number of buds. The data obtained were analyzed with ANOVA and further testing using the Duncan test. The results showed that the use of 2 bud and 3 bud on first growing produced quite well with the germination rate of 69.0 to 69.5%, number of tillers 2.24 to 4.60 shoots/groups, and plant height on germination phase 107,04-115,42 cm. The calculation of stem number on 2 bud showed the highest with 9.6 stems/m and obtained sucker numbers lowest with 0.38 suckers/m. Production buds highest obtained at planting 2 bud with 847,848.06 buds/ha which can be used as 8.83 ha for the milled sugarcane plantation. Key words: Sacharrum officinarum L., budset, bud shoot PENDAHULUAN Tebu (Sacharrum officinarum L.) merupakan salah satu tanaman perkebunan sekaligus tanaman industri yang menyumbang perekonomian nasional dan sumber mata pencaharian bagi jutaan petani (Loganadhan et al., 2012). Jawa Timur merupakan basis produksi gula nasional dengan luasan lahan dan pabrik gula terbanyak dibandingkan daerah lain. Pengembangan tebu mulai diarahkan ke lahan marginal agar dapat mengurangi kompetisi dengan komoditas pangan. pengembangan tebu di lahan non historis seperti Madura (Bangkalan dan Sampang) turut berkontribusi menambah luasan areal tenaman tebu di Jawa Timur, mengingat di wilayah pulau Jawa sudah semakin sulit mendapatkan areal untuk tanaman tebu (Dinamika Perkebunan, 2013). Program ekstensifikasi pengembangan tebu berdampak pada peningkatan kebutuhan
bibit tebu. Disamping itu program bongkar ratoon yang dicanangkan oleh Kementerian Pertanian juga mengakibatkan semakin tingginya permintaan bibit tebu. Sebagai gambaran bahwa di Jawa Timur saja dicanangkan program bongkar ratoon pada tahun 2013 seluas 28.400 ha (Dinamika Perkebunan, 2013). Diprediksi kedepan program bongkar ratoon terus ditingkatkan guna meningkatkan produktivitas tebu dan penataan varietas yang lebih baik. Salah satu kendala yang dihadapi di daerah pengembangan antara lain adalah ketersediaan benih tebu baik secara kuantitas maupun kualitas. Dengan demikian diperlukan upaya pembibitan secara efektif dan efisien agar didapatkan hasil benih tebu yang optimal untuk memenuhi kebutuhan benih tebu di kebun tebu giling (KTG). Perbanyakan tebu secara konvensional biasanya dilakukan secara vegetatif dengan menanam bagal tebu. Penanaman bagal tebu 1
dapat dilakukan dengan bagal 1 mata atau lebih (Indrawanto et al., 2010). Pada prakteknya, penanaman tebu sering dilakukan dengan menanam menggunakan bagal 2 mata dan 3 mata, akan tetapi di tingkat petani biasanya juga dilakukan penanaman tebu dengan bagal lebih dari 4 mata atau batang utuh (lonjoran). Dengan perbedaan model penanaman bagal tebu di tingkat petani maka diperlukan evaluasi dan optimalisasi penanaman bagal yang paling baik dari segi sumber bahan dan cara tanam agar tercapai hasil yang diharapkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cara tanam dengan perbedaan jumlah mata tunas pada bagal tebu di kebun bibit datar (KBD) terhadap perolehan jumlah mata tunas yang akan dijadikan sebagai sumber bahan tanam selanjutnya di kebun tebu giling (KTG). Dengan mengetahui bahan tanam atau cara tanam yang baik diharapkan dapat meningkatkan produksi bibit tebu sehingga dapat memberikan dukungan terhadap pemenuhan kebutuhan bibit untuk kesuksesan program ekstensifikasi dan bongkar ratoon nasional. METODE Percobaan dilakukan pada bulan Oktober 2011 sampai Mei 2012 di Kebun Percobaan Muktiharjo, Pati - Jawa Tengah dengan kondisi ketinggian tempat 50 dpl dan jenis tanah latosol. Bahan tanam yang digunakan adalah bagal varietas PSJT 941. Bahan pendukung lainnya adalah pupuk ZA, pupuk phonska, pupuk kandang dan air irigasi. Peralatan lapang yang digunakan adalah cangkul, sabit, sarung tangan, alat ukur tinggi tanaman, hand counter. Penelitian menggunakan perlakuan perbedaan bibit tebu dengan 3 level yang meliputi bibit tebu 1 mata, 2 mata dan 3 mata. Penelitian disusun dalam rancangan acak kelompok dengan 5 ulangan. Tiap perlakuan dibuat dalam 1 petak percobaan yang terdiri dari 5 juring dengan panjang 8 m dan jarak pusat ke pusat (PKP) 1 m. Preparasi bibit dilakukan pemotongan sesuai dengan perlakuan yaitu dipotong 1, 2 dan 3 mata (Gambar 1). Penanaman bibit dilakukan dengan menggunakan 10 mata permeter
juring. Bibit ditanam dalam juringan yang diberi bantalan tanah dibawahnya dan selanjutnya bibit ditutup tanah tipis. Pemupukan dilakukan dengan dosis rekomendasi 500 kg ZA/ha dan 500 kg Phonzka/ha. Dilakukan penambahan pupuk kandang pada waktu tanam sejumlah 10 ton/ha. Sebelum tanam bagal direndam ZA untuk memacu perkecambahan dan lubang tanam diberi furadan untuk mengantisipasi serangan rayap tanah. Pemeliharaan tanaman dilakukan sesuai standar pertanaman tebu. Pengamatan umur 1,5 bulan setelah tanam (bst) meliputi : 1). Jumlah kecambah ditentukan dengan menghitung jumlah kecambah dibandingkan dengan jumlah total mata tunas tertanam tiap juring sampel. 2). Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah sampai ujung malai daun terpanjang. 3). Jumlah anakan dihitung dari satu rumpun tanaman tebu yang muncul pada tiap mata tunas. Sedangkan pengamatan umur 7 bst meliputi : 1). Jumlah batang dihitung dari banyaknya batang dalam juring sampel yang sudah mencapai panjang lebih dari 1 m. 2). Jumlah sogolan dihitung dari banyaknya tanaman tebu pada juring sampel yang memiliki panjang batang kurang dari 1 m.dan 3). Jumlah mata tunas perbatang ditentukan dengan menghitung banyaknya mata tunas dalam juring sampel (batas atas: kuijper +4, batas bawah: dengan menghilangkan 3 ruas paling bawah, panjang batang > 1 m) dibandingkan dengan jumlah batang pada juring sampel. Pengamatan dilakukan pada juring sampel sepanjang 5 m. Setiap petak diambil 2 juring sampel yaitu juring ke-2 dan ke-4. Data yang diperoleh dianalisa dengan ANOVA α = 5% dan pengujian lanjut menggunakan uji Duncan.
Gambar 1. Benih tebu dengan 1, 2 dan 3 mata tunas varietas PSJT 941 2
HASIL DAN PEMBAHASAN Satu satu varietas tebu yang banyak dikembangkan di beberapa sentra perkebunan adalah varaietas PSJT 941. Tebu varietas PSJT 941 merupan salah satu kategori tebu masak tengah dengan produktivitas 10221472 kwintal/ha di lahan tegalan. Varietas ini memiliki daya kepras cukup baik dan toleransi kekeringan yang tinggi sehingga sangat sesuai untuk dikembangkan di lahan tegalan beriklim kering dengan potensi rendemen 9,01-12,4% (P3GI, 2009). Pemilihan bibit tebu varietas PSJT 941 dalam penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan informasi pembibitan tebu tipe masak tengah dalam mendukung penataan varietas tebu untuk mencapai proporsi ideal. Secara umum siklus pertumbuhan tanaman tebu antara lain dimulai dari fase perkecambahan, pertumbuhan anakan, pemanjangan batang, kemasakan dan diakhiri dengan fase kematian. Pertumbuhan dan perkembangan awal tunas tanaman tebu dari model penanaman bibit dengan perbedaan jumlah mata bagal dapat dilihat pada pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan perkecambahan, jumlah anakan dan tinggi tanaman pada pertanaman tebu bagal 1, 2 dan 3 mata pada umur 1,5 bst Bagal Mata Perkeca Jumlah Bud Shoot mbahan anakan per (%) rumpun 1 30,66b 0,74c a 2 69,50 4,60a a 3 69,00 2,24b
Tinggi Tanama n (cm) 73,20c 115,42a 107,04b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam baris pada masing-masing perlakuan, tidak berbeda nyata menggunakan DMRT (α=0,05). Penanaman bibit bagal 1 mata pada varietas PSJT 941 memiliki tingkat perkecambahan paling rendah (30,66 %) dibandingkan dengan bagal 2 dan 3 mata. Hasil analisa statistik dengan α = 0,05 menunjukkan perkecambahan bagal 2 dan 3 mata tidak menunjukkan berbeda nyata (Tabel 1). Tingkat kemungkinan hidup pada bibit bagal 2 dan 3 mata lebih tinggi dibandingkan penanaman bagal 1 mata. Hal ini diduga
karena pada bagal 1 mata yang merupakan potongan bagal kecil-kecil dengan 1 mata tunas tiap bagal memiliki permukaan evaporasi lebih luas dibandingkan bagal 2 dan 3 mata sehingga tingkat kehilangan air pada bagal 1 mata lebih tinggi. Kandungan air dalam bagal menentukan kesegaran mata tunas sehingga mempengaruhi perkecambahan. Pawirosemadi (2011) menjelaskan bahwa faktor internal yang mengendalikan perkecambahan adalah kandungan air, unsur hara dan zat pengatur tumbuh. Mata tunas yang terlindung oleh pelepah daun lebih mudah berkecambah daripada mata tunas yang berumur sama namun terbuka (pada kondisi daun telah diklentek dan terpapar matahari). Demikian pula mata tunas tua namun terhindar dari kekeringan karena tertutup tanah lebih mudah berkecambah daripada mata yang terletak tepat di permukaan. Fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman tebu yang cukup penting adalah fase perkecambahan. Penanaman bibit bagal 1 mata didapatkan perkecambahan yang sangat rendah (30,66%). Hal ini dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya pada pertanaman tebu sehingga potensi mendapatkan jumlah batang terpanen akan menurun. Perkecambahan yang baik memberikan fondasi pertumbuhan tanaman tebu, sedangkan pertunasan yang baik memberikan fondasi populasi tanaman dan jumlah batang (Khuluq dan Hamida, 2014). Perkecambahan dinilai berhasil apabila prosentasenya 60-90 dari mata tunas bibit yang ditanam (Kuntohartono, 1999). Pertumbuhan tanaman paling baik pada fase perkecambahan terdapat pada bagal 2 mata dengan rata-rata tinggi tanaman 115,42 cm yang diukur dari permukaan tanah sampai ujung malai daun terpanjang. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan tinggi tanaman pada bagal 2 mata menunjukkan berbeda nyata dengan bagal 1 dan 3 mata (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan awal pada tinggi tanaman bagal 2 mata lebih baik dibandingkan dengan bagal 1 mata dan 3 mata (Gambar 2). Fase perkecambahan dimulai dengan pembentukan tunas pendek dan akar stek. Selanjutnya 3
terjadi peningkatan tinggi dan jumlah tunas, kemudian dilanjutkan terjadi pembukaan daun dan setelah satu bulan setelah tanam akan muncul akar tunas dan anakan (Verheye,
2010). Kuntohartono (1999) fase perkecambahan berlangsung selama 4-6 minggu.
A B C Gambar 2. Pertumbuhan awal tanaman tebu umur 1,5 bst (A. bibit bagal 1 mata; B. bibit bagal 2 mata; C. bibit bagal 3 mata)
A B C Gambar 3. Jumlah anakan tanaman tebu umur 1,5 bst (A. bibit bagal 1 mata; B. bibit bagal 2 mata; C. bibit bagal 3 mata). Sedangkan pada parameter pengukuran jumlah anakan menunjukkan bahwa bagal 2 mata menghasilkan rata-rata jumlah anakan tertinggi mencapai 4,6 tunas tiap mata (Gambar 3). Hasil analisa sidik ragam menunjukkan jumlah anakan tunas bagal 2 mata berbeda nyata dengan bagal 1 dan 3 mata (Tabel 1). Potensi anakan tunas yang dapat dibentuk lebih besar akan memberikan peluang produksi batang lebih banyak sehingga diharapkan produksi mata tunas sebagai bahan tanam benih tebu yang dihasilkan juga akan lebih besar. Tolak ukur keberhasilan fase pertunasan ialah setiap batang induk membentuk 4-6 tunas anakan. Dengan demikian dalam satu hektar bisa muncul 120.000-130.000 tunas (Murwandono, 2013). Natarajan (2011) menyebutkan bahwa anakan tebu merupakan faktor utama untuk memperoleh produktivitas tebu yang tinggi. Pertumbuhan lebih baik
pada penanaman menggunakan bibit bagal 2 mata diduga karena cadangan makanan dalam batang tebu mencukupi untuk pertumbuhan mata tunas, sehingga sukrosa dalam nira pecah secara progresif ke dalam komponen heksosanya yaitu glukosa dan fruktosa. Reaksi tersebut menghasilkan energi yang mengakibatkan kegiatan meristematik tebu terus berlangsung (Sudarti, 1994). Pertumbuhan kurang baik pada bagal 1 mata diduga karena cadangan makanan pada bagal 1 mata cukup sedikit dan kandungan air rendah akibat tingginya evaporasi sehingga proses reaksi kimia dalam metabolisme tunas terhambat dan energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tunas dan pembentukan anakan kurang. Kondisi demikian menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan tunas menjadi lambat. Sedangkan untuk bagal 3 mata meskipun memiliki cadangan makanan cukup akan tetapi bagal 3 mata memiliki pola pertumbuhan tunas dengan dominansi pertumbuhan pada mata yang letaknya di bagian ujung bagal tanaman (mata terminal) sehingga pertumbuhan relatif kurang seragam. Hal ini mengakibatkan rerata pertumbuhan tunas dan perkembangan anakan menjadi lebih rendah dibandingkan dengan bagal 2 mata. Menurut Pawirosemadi (2011) menjelaskan bahwa faktor dominansi ujung tanaman mengakibatkan letak mata pada penanaman menjadi faktor penting terutama apabila menggunakan bibit bagal bermata lebih dari satu. Dominansi ujung tidak hanya aktif di dalam seluruh batang tetapi juga didalam setiap potongan batang yang 4
mengandung lebih dari satu mata. Dengan demikian penggunaan bibit 2 mata cukup efektif mengurangi efek dominansi ujung bagal tebu untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman tebu yang lebih seragam. KBD adalah kebun bibit datar yang berfungsi untuk menyediakan bahan tanam bagi kebun tebu giling (KTG) baik di lahan sawah maupun tegal. Tanaman tebu siap untuk dipanen sebagai bibit di KBD pada umumnya memiliki umur 7 bulan. Menurut Indrawanto et al., (2010) bibit tebu yang baik adalah bibit yang berumur 6-7 bulan, tidak tercampur dengan varietas lain, bebas dari hama penyakit dan tidak mengalami kerusakan fisik. Gambar 4 menunjukkan hubungan jumlah batang terpanen sebagai bibit dalam 5 m juring pada umur 7 bulan dengan total produksi mata /ha di tingkat KBD. Bibit bagal 2 mata memiliki jumlah batang tertinggi dibandingkan dengan bibit bagal 1 dan 3 mata. Jumlah batang pada bibit bagal 2 mata adalah sebanyak 48 batang dalam 5 m juring sampel yang artinya terdapat 9,6 batang per meter juring. Sedangkan jumlah batang bibit bagal 1 mata adalah 31,4 batang dan bagal 3 mata adalah 42,4 batang. Hasil analisa statistik dengan taraf nyata 0,05 menunjukkan jumlah batang pada bagal 1 mata berbeda nyata dengan perlakuan lainnya sedangkan jumlah batang pada bagal 2 dan 3 mata menunjukkan tidak berbeda nyata. Jumlah batang tebu berbanding lurus dengan perolehan produksi mata per hektar di KBD (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah batang sangat berpengaruh terhadap perolehan mata tunas bibit tebu. Dengan demikian optimalisasi fase pertunasan sangat diperlukan agar didapatkan hasil produksi mata tunas yang maksimal di KBD. Tingginya jumlah batang terpanen dipengaruhi oleh jumlah anakan yang terbentuk. Peningkatan jumlah anakan tunas terjadi pada tanaman tebu berumur 1 sampai 3 bulan. Pada fase pertunasan menjadi sangat penting dalam mempengaruhi jumlah populasi akhir batang terpanen. Dengan pertunasan yang optimal dan seragam maka peluang didapatkan jumlah populasi batang terpanen yang tinggi lebih besar. Pertumbuhan dan perkembangan awal bibit
bagal 2 mata yang baik dengan jumlah anakan 4,6 tunas/mata dan tinggi tunas 115,42 cm (Tabel 1) menunjukkan bahwa bibit bagal 2 mata memiliki potensi pertunasan yang baik. Dengan pertunasan yang baik pada bibit bagal 2 mata maka diperoleh jumlah batang yang lebih banyak dibandingkan dengan bibit bagal 1 dan 3 mata. Dengan demikian potensi untuk mendapatkan mata tunas bibit pada batang terpanen juga akan lebih besar. Fase pertumbuhan dan perkembangan paling kritis pada tanaman tebu adalah perkecambahan dan pembentukan tunas (Sugiyarta, 2012). Proses perbanyakan tunas pada tebu sering disebut tillering (perbanyakan anakan). Proses perbanyakan anakan ini sangat penting sebagai dasar pembentukan total populasi tanaman dan jumlah batang terpanen (Khuluq dan Hamida, 2014).
Gambar 4. Hubungan antara jumlah batang pada umur 7 bst dengan total produksi mata/ha Pada umur 7 bst dilakukan pengamatan jumlah sogolan. Sogolan (suckers) merupakan anakan tebu yang tumbuh terlambat dibandingkan dengan tunas yang lain. Karakter sogolan adalah memiliki batang besar, tanamannya pendek daunnya lebar dan tebal, biasa ditemukan muncul dari tunas primer dan tunas sekunder (Bonnett et al., 2005). Keberadaan sogolan tidak dikehendaki baik pada KBD maupun KTG. Tujuan KBD adalah untuk mendapatkan bibit tebu. Adanya sogolan dapat menurunkan jumlah mata bibit tebu produktif yang terpanen. Sedangkan pada KTG dapat menurunkan rendemen tebu terpanen yang diproses menjadi gula kristal putih di pabrik gula dikarenakan kadar sukrosa yang masih rendah. 5
Gambar 5. Jumlah sogolan pada umur 7 bst Penggunaan bibit dengan perbedaan jumlah mata bagal pada pertanaman tebu menunjukkan respon yang berbeda terhadap keberadaan sogolan. Penggunaan bibit bagal 1 mata menunjukkan jumlah sogolan pada umur tanaman tebu 7 bulan adalah paling tinggi (8,8 tanaman/5 m juring) dibandingkan bibit bagal 2 dan 3 mata (Gambar 5). Sedangkan pada penggunaan bibit bagal 2 mata menunjukkan jumlah sogolan yang paling sedikit (1,9 tanaman/5 m juring) dibandingkan dengan bagal 3 mata (5,9 tanaman/5 m juring). Hasil analisa statistik dengan taraf nyata 0,05 menunjukkan jumlah sogolan berbeda nyata pada setiap perlakuan bagal 1, 2 dan 3 mata. Bibit bagal 1 mata pada umur 1,5 bst menunjukkan jumlah tunas yang sedikit (0,74 tunas/rumpun) dibandingkan bagal 2 dan 3 mata (Tabel 1). Dengan pertunasan yang kurang baik mengakibatkan kerapatan populasi tanaman rendah sehingga ketika tebu berumur 7 bulan intensitas cahaya matahari yang masuk relatif tinggi. Hal ini menyebabkan tunas dapat tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga terbentuk sogolan. Widiastuti et al. (2004) intensitas cahaya tinggi berpengaruh terhadap aktivitas auksin pada meristem apikal. apabila intensitas cahaya tinggi maka aktivitas auksin meningkat pula, sehingga mengakibatkan tanaman krisan tumbuh tinggi. Hasil akhir dari Kebun Bibit Datar (KBD) adalah bibit tebu yang akan digunakan di Kebun Tebu Giling (KTG) untuk memproduksi tebu giling sebagai bahan baku gula kristal putih. Berdasarkan jumlah mata tunas yang diproduksi di KBD maka didapatkan bahwa hasil tertinggi jumlah mata tunas bagal umur 7 bst diperoleh dari penanaman menggunakan bagal 2 mata dengan 9,2 mata tunas/batang sedangkan hasil
terendah didapatkan dari penanaman bibit bagal 1 mata dengan 7,72 mata tunas/batang. Akan tetapi hasil analisa statistik dengan taraf nyata 0,05 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada setiap perlakuan bagal mata 1, 2 dan 3 mata (Tabel 2). Secara umum perbanyakan tanaman tebu dilakukan secara vegetatif yaitu melalui pertunasan di bagian batang tebu. Keuntungan dari perbanyakan secara vegetatif adalah rendahnya potensi penyimpangan sifat genetik yang diturunkan dari induknya karena tidak terjadi perkawinan silang. Sistem penanaman tebu dapat dilakukan dengan menggunakan bibit bagal atau budchip. Bibit bagal sudah lama dipakai oleh petani yaitu dengan memotong batang tebu menjadi beberapa bagian dengan jumlah mata tertentu dan bahkan ada yang langsung ditanam keseluruhan tanpa dipotong (lonjoran). Sedangkan cara tanam budchip dilakukan dengan menumbuhkan terlebih dahulu mata tunas dalam media tumbuh sampai umur 2-3 bulan kemudian baru ditanam di lapang (transplanting). Taksasi dan konversi bibit bagal berasarkan perbedaan jumlah mata tunas untuk penanaman di KTG dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Taksasi produksi mata tunas bagal per ha KBD dan konversi bibit untuk KTG Rerata Mata Total produksi Konversi bibit Bagal jumlah mata mata tunas/ha KTG (ha) (tanam tunas/batang 10 mata/m) di KBD a 1 7,72 465.200,65 4,85 2 9,20a 847.848,06 8,83 3 8,91a 724.972,71 7,55
Keterangan:
Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam baris pada masing-masing perlakuan, tidak berbeda nyata menggunakan DMRT (α=0,05).
Sistem pembelian bibit bagal didasarkan pada bobot batang tebu sedangkan budchip berdasarkan jumlah bibit tumbuh sehingga setiap mata tunas sangatlah berharga dan menentukan keberhasilan pembibitan budchip. Total produksi mata tunas per hektar di KBD terendah adalah dihasilkan dari penanaman menggunakan bagal 1 mata yaitu sebesar 465.200,65 mata tunas/ha sedangkan produksi mata tunas tertinggi dihasilkan dari penanaman menggunakan bagal 2 mata yaitu 6
sebesar 847.848,06 mata tunas/ha (Tabel 2). Perbedaan jumlah yang cukup besar ini didapatkan dari besarnya jumlah batang terpanen per juring pada bagal 2 mata (9,6 batang/m juring) dibandingkan dengan bagal 1 mata (6,28 batang/m juring) meskipun jumlah mata tunas perbatang tidak berbeda nyata. Kebutuhan bibit bagal tebu dalam 1 hektar adalah antara 60-80 kwintal atau sekitar 10 mata tumbuh permeter kairan/juring (Indrawanto et al., 2010). Dengan demikian kebutuhan bibit tebu di KTG per hektar (tanam 10 mata tunas/m, panjang 8 m/juring, jumlah 1200 juring/ha) berdasarkan jumlah mata tunas adalah sebanyak 96.000 mata tunas. Dengan demikian jumlah mata tunas yang dihasilkan dari penanaman bagal 2 mata di KBD dapat digunakan untuk 8,83 ha bibit di KTG. Sedangkan hasil konversi bibit KTG terendah didapatkan dari penanaman bagal 1 mata di KBD yang dapat digunakan hanya 4,85 ha di KTG. Meskipun selisih perbedaan hasil konversi antara bagal 2 mata dan 3 mata relatif kecil (1,28 ha KTG) namun demikian secara keekonomian menunjukkan selisih yang cukup besar jika dihitung biaya pengadaan bibit bagal per hektar (60-80 kwt/ha, harga Rp. 60.000/kwt) yaitu mencapai Rp. 3.600.000 sampai Rp. 4.800.000. Dengan demikian penggunaan bibit bagal 3 mata atau lebih (bibit lonjoran) pada pembibitan tebu kurang efektif dan efisien digunakan dalam produksi bibit di KBD. Pengujian korelasi pada bagal 2 mata bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tiap komponen pertumbuhan terhadap produksi mata per hektar. Tabel 3. Menunjukkan jumlah anakan, persen perkecambahan dan jumlah sogolan berkorelasi negatif dengan produksi mata tunas/ha. Sedangkan jumlah mata, jumlah batang dan tinggi tanaman (umur 1,5 bulan) berkorelasi positif dengan produksi mata tunas/ha. Semakin besar jumlah mata/batang dan jumlah batang/juring maka potensi perolehan mata tunas sebagai bibit di KBD juga semakin besar. Tinggi tanaman pada fase awal pertumbuhan menjadi cukup penting untuk kelangsungan fase pertumbuhan selanjutnya sehingga proses pembentukan
ruas batang yang merupakan tempat tumbuh mata tunas tebu dapat terjadi secara baik dan normal. Perhatian dan kontrol pada faktorfaktor yang mempengaruhi tingginya pembentukan mata tunas, batang dan pertumbuhan tanaman baik itu faktor internal maupun eksternal menjadi penting dalam pembibitan tebu agar didapatkan jumlah mata tunas sebagai sumber bibit di KTG dengan hasil yang optimal. Tabel 3. Korelasi parameter pertumbuhan terhadap produksi mata tunas/ha dari bagal 2 mata. JM JA PK JS JB TT JM 1 JA -0.6843 1 PK -0.1447 -0.0360 1 JS -0.2100 0.1481 0.3850 1 JB -0.1504 0.2227 -0.1523 -0.8951 1 TT 0.0750 0.4668 0.5297 0.3382 -0.0996 1 PM 0.9202 -0.6046 -0.2022 -0.5653 0.2473 0.0078
Keterangan: JM = jumlah mata, JA = jumlah anakan, PK = persen perkecambahan, JS = jumlah sogolan, JB = jumlah batang, TT = tinggi tanaman (1,5 bulan), PM = produksi mata/ha. SIMPULAN Penggunaan dan cara penanaman bibit bagal dapat menentukan keberhasilan pembibitan tebu di tingkat KBD. Penggunaan bibit bagal 2 mata dan 3 mata didapatkan pertumbuhan awal tanaman cukup baik dengan tingkat perkecambahan 69,0-69,5%, jumlah anakan 2,24-4,60 perumpun, dan tinggi tanaman pada fase perkecambahan 107,04-115,42 cm. Perhitungan jumlah batang bibit bagal 2 mata didapatkan hasil tertinggi dengan 9,6 batang/m dan didapatkan jumlah sogolan paling rendah sebesar 0,38/m juring. Produksi mata tunas KBD tertinggi didapatkan pada penanaman bibit bagal 2 mata dengan 847.848,06 mata tunas/ha yang berarti dapat dipergunakan sebagai bibit tanam untuk luasan 8,83 ha KTG. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini, terutama kepada kepala 7
Kebun Percobaan Muktiharjo, Ir. SE.Susilowati, MS, dan seluruh teknisi Kebun Percobaan Muktiharjo. Kepada Prof. Rochadi Abdulhadi yang telah membimbing dalam penyelesaian penulisan KTI. DAFTAR PUSTAKA Bonnett, GD, B. Salter, N. Berding, AP. Hurney. 2005. Environmental Stimuli Promoting Sucker Initiation in Sugarcane. Field Crops Research. 92:219–230.
Panwhar, R.N, H.K. Keerio, M.H. Khaan, M.A. Rajpute, G.S. Unar, M.I. Mastoi, M. Chohan, A.F. Soomro, dan A.R Keerio. 2003. Relationship betweenYield and Yield Contributing Traits in Sugarcane (Saccharum officinarum L.). Pakistas Journal of Science 3 (2) : 97-99. Pawirosemadi, M. 2011. Dasar-Dasar Teknologi Budidaya Tebu dan Pengolahan Hasilnya. UM Press. Malang. Hal. 92-93;98-99.
Dinamika Perkebunan. 2013. Jatim siap sukseskan program bongkar ratoon 2013. Majalah dinas perkebunan Propinsi Jawa Timur. Edisi Mei 2013. 31 hlm.
P3GI.
Indrawanto, C, Purwono, Siswanto, M. Syakir, W. Rumini. 2010. Budidaya dan pasca panen tebu. ESKA Media. Jakarta.
Sudarti, L. 1994. Varietas Tebu Lahan Kering (Saccharum officinarum L.) Pada Daerah Bercurah Hujan Tinggi (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Tidak DIpublikasikan. 105 hlm.
Kuntohartono. 1999. Perkecambahan tebu. Gula Indonesia. XXIV (I):56-61 Khuluq, AD dan R. Hamida. 2014. Peningkatan produktivitas dan rendemen tebu melalui rekayasa fisiologis pertunasan. Perspektif Vol.13 (1): 13-24. Loganandhan. N, B. Gujja, V. Vinad Goud, dan U. S. Natarajan. 2012. Sustainable Sugarcane Initative (SSI): A Methodology of More Mith Less. Sugar Tech. Murwandono. 2013. Budidaya Tebu di Indonesia. Makalah Seminar Bulanan Balittas 1 Oktober 2013. Malang Natarajan, U.S. 2011. Tillering in SSI – Emergence, Factors Affecting, Constraints and Solutions. First National Seminar on Sugarcane Sustainable Initiative. pp. 21-23.
2009. Varietas Unggulan. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Pasuruan. http://www.sugarresearch.or g/index.php/varietas-unggulan.htm. [di unduh Tgl. 7 Januari 2014].
Sugiyarta, E. 2012. Revitalisasi on Farm Berbasis Penataan Varietas pada Budidaya Tanaman Tebu. Pertemuan Teknis P3GI, 5 Desember 2012. Pasuruan. Verheye, W. 2010. Growth And Production of Sugarcane (Summary). Soils, Plant Growth And Crop Production. Encyclopedia of Life Support Systems (EOLSS) Vol.II. pp 10. http://www.eolss.net/samplechapters/c 10/e1-05a-22-00.pdf. [diunduh Tgl. 2 Juli 2014]. Widiastuti, L. Tohari. E. Sulistyaningsih. 2004. Pengaruh intensitas cahaya dan kadar daminosida terhadap iklim mikro dan pertumbuhan tanaman krisan dalam pot. Ilmu pertanian Vol.11 (2):35-42.
8