MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
PROBLEMATIKA PENDIDIKAN MODERN Oleh : Nadlelah Badaruddin Abstrak : Membicarakan wajah pendidikan di Indonesia secara umum dan daerah secara khusus selalu menarik. Pendidikan adalah jantung terhadap kemajuan bangsa ke depan. Yang diharapkan tentu saja perubahan. Baik perubahan sikap, perilaku, mental, serta pola pikir. Untuk mencapai perubahan tersebut dibutuhkan tekat kuat dari segenap elemen yang terkait dalam dunia pendidikan. Otonomi sekolah akhir-akhir ini menjadi pembicaraan yang luas. Karena ada harapan yang sangat prospektif apabila otonomi pendidikan betulbetul berjalan mulus.
PENDAHULUAN Lahirnya otonomi pendidikan diharapkan setiap sekolah mampu memberikan kualitas pada proses belajar mengajar bagi anak didik. Kesempatan ini bukan hanya sebagai tantangan, melainkan bisa menjadi pemicu (trigger) serta terbukanya kesempatan luas bagi sekolah untuk terus berkompetensi. Dalam arti, terus mengembangkan potensi demi menciptakan iklim dunia pendidikan yang bermutu. Setelah sekian lamanya pendidikan kita menganut sistem sentralisasi. Pendekatan yang sentralistik dan cenderung kepada totalitas memang terjadi
dalam
penyelenggaraan pendidikan. Kurikulum yang terpusat, penyelenggaraan serta manajemen yang dikendalikan dari atas telah menghasilkan output pendidikan manusia robot tanpa inisiatif.
1
Harus disadari, dalam otonomi pendidikan, terbuka peluang yang cukup besar untuk membuat pendidikan di daerah menjadi berkualitas. Hal ini terjadi, karena kepala daerah dewasa ini, memiliki kewenangan penuh dalam menentukan kualitas pendidikan di daerahnya masing-masing melalui sistem rekruitmen guru, rekruitmen siswa, pembinaan profesionalisme guru, rekruitmen kepala sekolah, penentuan sistem evaluasi dan sebagainya.
Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M. Sc.ed. Paradigma Baru Pendidikan Nasional (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004) hal. 87 1
19
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
Otonomi daerah secara resmi telah diberlakukan di seluruh wilayah replubik Indonesia sejak bulan Januari 2001. berdasarkan undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, pada hakekatnya otonomi daerah merupakan “kekuasaan” pemerintah daerah untuk mengatur runah tangganya sendiri dalam segala urusan, kecuali urusan tertentu yang masih menjadi urusan pemerintah pusat.
2
Bidang pendidikan merupakan salah satu bidang yang dapat diurus oleh pemerintah daerah. Pada bidang ini kenyataanya tidak serta merta segala sesuatunya diurus oleh pemerintah daerah. Akan tetapi, dalam hal pengelolaan secara penuh segala sesuatunya dirancang secara bertahap seiring dengan kesiapan dan ketersediaan pemenuhan persyaratan yang dibutuhkan. Dengan demikian, otonomi daerah membawa konsekuensi logis pada otonomi pendidikan di daerah, khususnya dalam hal reorientasi visi dan misi pendidikan. Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, persoalan demi persoalan mulai muncul. Isu sumberdaya manusia yang sangat minim menjadi penyebab utama. Demikian halnya dengan persoalan pendidikan yang turut menjadi wewenang daerah menjadi pro-kontra di masyarakat. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang pengertian otonomi, sentralisasi,
otonomi
pendidikan,
sentralisasi
pendidikan
dan
pembenahan
pendidikan. SENTRALISASI PENDIDIKAN Sentralisasi adalah seluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat. Daerah tinggal menunggu intruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut UU. Menurut ekonomi manajemen, sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang kepada sejumlah kecil manajer atau yang berada di suatu puncak pada sebuah struktur organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pemerintah sebelum otonomi daerah. Sistem sentralisasi kurang efektif dimana sebuah kebijakan dan keputusan pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang Makalah Otonomi Pendidikan Pada Kerangka Otonomi Daerah (Sebuah Harapan) oleh : Edi Herianto diakses lewat http//wordpress. Com/ 2008/05/18/otonomi pendidikan/ pada 26-11-09 pkl.20:00 2
20
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
berada di pemerintah pusat sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi lama. Dari definisi di atas, bisa diambil kesimpulan sentralisasi pendidikan adalah seluruh kebijakan terkait dengan pendidikan terpusat di pemerintah pusat. Ini telah terjadi cukup lama di Negara kita. Terutama semenjak rezim orde baru bercokol. Semua terjadi akibat pengaruh iklim politik yang berlaku pada waktu itu, yaitu suatu kecenderungan untuk mewujudkan uniformitas di dalam sebuah masyarakat dan Negara. Oleh Karena itu tidak ada tempat bagi inisiatif perorangan maupun kelompok, meskipun masyarakat kita merupakan suatu masyarakat yang heterogen atau bhineka. Pendidikan telah didepolitisasikan untuk menjadi suatu sarana menunjang struktur kekuasaan yang telah ada.
3
KELEMAHAN SENTRALISASI PENDIDIKAN Karena Indonesia sebagai Negara berkembang dengan berbagai kesamaan ciri sosial budayanya, juga mengikuti sistem sentralisasi. Konsekuensinya penyelenggara pendidikan di Indonesia serba seragam tanpa melihat tingkat relevansinya, baik kehidupan anak maupun lingkungannya. Konsekuensinya, posisi dan peran siswa cenderung dijadikan sebagai obyek agar tidak memiliki peluang untuk mengembangkan kreatifitas dan minat sesuai dengan talenta yang dimilikinya. Dengan adanya sentralisasi pendidikan telah melahirkan berbagai fenomena yang memprihatinkan, seperti: 1. Keseragaman manajemen, sejak dalam aspek perencanaan, pengelolaan , evaluasi hingga model pengembangan sekolah dan pembelajaran. 2. Keseragaman pola pembudayaan masyarakat. 3. Melemahnya kebudayaan daerah 4. Kualitas manusia yang robotic, tanpa inisiatif dan kreatifitas.
Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc.Ed. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional (Magelang:TERA, 1999) hal. 37 3
21
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
OTONOMI PENDIDIKAN Otonomi menurut UU No. 22/1999 tentang otonomi daerah adalah pelimpahan wewenang kepada daerah untuk mengurusi daerahnya sesuai dengan UU dalam kerangka NKRI. Menurut ekonomi manajemen, dalam otonomi daerah pengambilan keputusan dipangkas, cukup di daerah sehingga menghemat energi dan biaya. Dalam bahasa lain, otonomi adalah desentralisasi yang merupakan lawan kata dari sentralisasi. Beberapa alasan yang mendasari perlunya desentralisasi atau otonomi daerah: 1. Mendorong terjadinya partisipasi dari bawah secara lebih luas. 2. Mengakomodasi terwujudnya prinsip demokrasi. 3. Mengurangi biaya akibat jalur birokrasi yang panjang, sehingga dapat meningkatkan efisiensi 4. Memberi peluang untuk memanfaatkan potensi daerah secara optimal. 5. Mengakomodasi kepentingan politik. 6. Mendorong peningkatan kualitas produk yang lebih kompetitif.
4
Sistem
desentralisasi mengisyaratkan terjadinya perubahan kewenangan dalam pemerintah. Antara lain: 1. Perubahan berkaitan dengan urusan yang tidak diatur oleh pemerintah pusat, secara otomatis menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, termasuk dalam pengelolaan pendidikan. 2. Perubahan berkenaan dengan desentralisasi pengelolaan pendidikan.Dalam hal ini pelimpahan wewenang dalam pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat ke daerah otonom, yang menempatkan kabupaten/kota sebagai sentra desentralisasi.
5
Ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan yaitu: Pembangunan masyarakat demokrasi, pengembangan sosial kapital dan peningkatan daya saing bangsa. Indra Jati Sidi, Ph.d. Menuju Masyarakat Belajar, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003) hal. 29-30 5 Makalah: Sentralistik dan Desentralistik Pendidik. Oleh Abd. Syahid DKK. Di akses lewat:http//antonilamini. Wordpress.com/2008/05/18. pada 26-11-09 at 20:00 4
22
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
1. Masyarakat Demokrasi Masyarakat demokrasi atau dalam khasanah bahasa kita namakan masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang terbuka dimana setiap anggotanya merupakan pribadi yang bebas dan mempunyai tanggung jawab untuk membangun masyarakatnya sendiri. Inti dari masyarakat madani adalah adanya pribadi yang cerdas dan bermoral. Pemerintah dalam masyarakat madani adalah pemerintahan yang dipilih oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat sendiri.masyarakat demokrasi memerlukan suatu pemerintahan yang bersih (good and clean governance).
6
2. Pengembangan Sosial Kapital Para ahli ekonomi seperti Amartya Sen, pemenang nobel ekonomi tahun 1998, menekankan kepada nilai-nilai demokrasi sebagai bentuk sosial kapital yang menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi dan kehidupan yang lebih manusiawi. Demokrasi sebagai sosial kapital hanya bisa diraih dan dikembangkan melalui proses pendidikan yang menghormati nilai-nilai demokrasi tersebut. Suatu proses yang tidak menghargai akan kebebasan berpikir kritis tidak mungkin menghidupkan nilai-nilai demokrasi sebagai sosial kapital suatu bangsa. Sistem pendidikan yang sentralistik yang mematikan kemampuan berinovasi tentunya tidak sesuai dengan pengembangan suatu masyarakat demokrasi terbuka. Oleh sebab itu, desentralisasi pendidikan berarti lebih mendekatkan proses pendidikan kepada rakyat sebagai pemilik pendidikan itu sendiri. Rakyat harus berpatisipasi di dalam pembentukan sosial kapital tersebut. Ikut sertanya masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan dalam suatu masyarakat demokrasi berarti pula rakyat ikut membina lahirnya sosial kapital dari suatu bangsa. 3. Pengembangan Daya Saing Di dalam suatu masyarakat demokratis setiap anggotanya dituntut partisipasi yang optimal dalam pengembangan kehidupan pribadi dan masyarakatnya. Di dalam kehidupan bersama tersebut diperlukan kemampuan daya saing yang tinggi didalam 6
Lihat: Adi Surya Culla, Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori Dan Relevansinya Dengan Cita-Cita Reformasi.
23
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
kerjasama. Didalam masyarakat yang otoriter dan statis, daya saing tidak mempunyai tempat. Oleh sebab itu, masyarakat akan sangat lamban perkembangannya. Masyarakat bergerak dengan komando dan oleh sebab itu sikap masa bodoh dan menunggu merupakan ciri dari masyarakat otoriter. Daya saing di dalam masyarakat bukanlah kemampuan untuk saling membunuh dan saling menyingkirkan satu dengan yang lain tetapi di dalam rangka kerjasama yang semakin lama meningkat mutunya. Dunia terbuka, dunia yang telah menjadi suatu kampung global (global village) menuntut kemampuan daya saing dari setiap individu, setiap masyarakat bahkan setiap bangsa. Eksistensi suatu mayarakat dan bangsa hanya dapat terjamin apabila dia terus menerus memperbaiki diri dan meningkatkan kemampuannya. Ada empat faktor yang menentukan tingkat daya saing seseorang atau suatu masyarakat. Faktor-faktor tersebut adalah intelejensi, 7
informasi, ide baru dan inovasi.
KEKUATAN DAN KELEMAHAN OTONOMI PENDIDIKAN Berikut beberapa masalah yang menyebabkan tidak berhasilnya desentralisasi, desentralisasi tidak berhasil diakibatkan oleh beberapa hal : 1. Masa transisi dari system sentralisasi ke desentralisasi memungkinkan terjadinya perubahan secara gradual dan tidak memadai serta jadwal yang pelaksanaan yang tergesa-gesa. 2. Kurang jelasnya pembatasan rinci kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi dan daerah. 3. Kemampuan keuangan daerah yang terbatas. 4. Sumber daya manusia yang belum memadai. 5. Kapasitas manajemen daerah yang belum memadai. 6. Rekonstruksi kelembagaan daerah yang belum matang. 7. Pemerintah pusat secara psikologis kurang siap untuk kehilangan otoritasnya. Ketika pelaksanaan desentralisasi yang tidak matang, akan melahirkan berbagai persoalan baru, diantaranya:
7
Prof. Dr. H.A.R.Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002) hal. 56-57
24
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
1. Meningkatnya kesenjangan anggaran pendidikan antara daerah, antar sekolah, antar individu warga masyarakat 2. Keterbatasan kemampuan keuangan daerah dan masyarakat (otang tua) menjadikan jumlah anggaran belanja sekolah akan menurun dari waktu sebelumnya, sehingga akan menurunkan motivasi dan kreatifitas tenaga kependidikan di sekolah untuk melakukan pembaruan. 3. Biaya administrasi di sekolah meningkat karena prioritas anggaran di alokasikan untuk menutup biaya administrasi, dan sisanya baru didistribusikan ke sekolah. 4. Kebijakan pemerintah daerah yang tidak memprioritaskan pendidikan, secara akumulatif berpotensi akan menurunkan pendidikan. 5. Penggunaan otoritas masyarakat yang belum tentu memahami sepenuhnya permasalahan dan pengelolaan pendidikan yang pada akhirnya akan menurunkan mutu pendidikan. 6. Kesenjangan sumberdaya pendidikan yang tajam dikarenakan perbedaan potensi daerah yang berbeda-beda, mengakibatkan kesenjangan mutu pendidikan serta melahirkan kecemburuan sosial. 7. Terjadinya pemindahan borok-borok pengelolaan pendidikan dari pusat ke daerah. Untuk mengantisipasi munculnya permasalahan tersebut di atas, desentralisasi pendidikan dalam pelaksanaannya harus bersikap hati-hati. Ketepatan strategi yang ditempuh sangat menentukan tingkat efektifitas implementasi desentralisasi. Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan buruk tersebut ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: 1. Adanya jaminan dan keyakinan bahwa pendidikan akan tetap berfungsi sebagai wahana pemersatu bangsa. 2. Masa transisi benar-benar digunakan untuk menyiapkan berbagai hal yang dilakukan secara gradual dan dijadwalkan setepat mungkin. 3. Adanya komitmen dari pemerintah daerah terhadap pendidikan, terutama dalam hal pendanaan. 4. Adanya kesiapan sumber daya manusia dan sistem manajemen yang tepat yang telah dipersiapkan dengan matang oleh daerah.
25
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
5. Pemahaman pemerintah daerah maupun DPRD terhadap keunikan dan keberagaman sistem pengelolaan pendidikan, dimana sistem pengelolaan pendidikan tidaksama dengan pengelolaan pendidikan daerah lainnya. 6. Adanya kesadaran dari semua pihak (pemerintah, DPRD, Masyarakat) bahwa pengelolaan tenaga kependidikan di sekolah, terutama guru tidaksama dengan pengelolaan aparat birokrat lainnya. 7. Adanya kesiapan psikologis dari pemerintah pusat dan dari propinsi untuk melepas kewenangannya pada pemerintahan kabupaten/kota. Selain dampak negatif tentu saja desentralisasi pendidikan juga telah membuktikan keberhasilan. Antara lain: 1. Mampu memenuhi tujuan politis, yaitu melaksanakan demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan. 2. Mampu membangun partisipasi mayarakat sehingga melahirkan pendidikan yang relevan, karena pendidikan benar-benar dari, oleh dan untrk masyarakat. 3. Mampu menyelenggarakan pendidikan yang memfasilitasi proses belajar mengajar yang kondusif, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas belajar siswa.
8
Untuk mengimplementasikan konsep pendidikan dalam kerangka otonomi daerah, setiap pihak haruslah memberikan sumbangan pikiran yang konstruktif. Hal ini amat penting, mengingat hingga saat ini konsep otonomi pendidikan dalam kerangka otonomi daerah masih mencari bentuk (model) yang relevan. Paling tidak terdapat tiga elemen penting yang harus diperhatikan, yaitu: sekolah, masyarakat dan guru sebagai tulang punggung penentu keberhasilan pendidikan. Upaya
untuk
meningkatkan
kualitas
pendidikan
sudah
seharusnya
dikembangkan secara terus-menerus dan berkesinambungan. Secara prinsip, paradigma baru yang ingin dibangun dan serangkaian pembahasan ini adalah: 1. Pengelolaan Pendidikan Berbasis Sekolah Pada kerangka otonomi pendidikan, sekolah merupakan pilar utama dan terdepan untuk mewujudkan tujuan pendidikan secara komprehensip. Telah disadari bersama bahwa upaya mewujudkan sekolah yang mandiri dan kreatif tidak akan 8
Makalah: Sentralistik Dan Desentralistik Pendidik. Oleh Abd Syahid DKK
26
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
pernah terwujud tanpa adanya pemberian kepercayaan yang penuh bagi sekolah itu agar dapat mengaktualisasikan potensinya. Untuk itu, sekolah beserta seluruh perangkatnya segera bangkit menuju kemandirian dan senantiasa kreatif dalam melakukan setiap aktifitas.
9
2. Peran Serta Aktif Masyarakat di Bidang Pendidikan Sekolah diharapkan secara bertahap memiliki kemampuan untuk membiayai sebagian besar kebutuhannya. Sekolah didorong agar mampu melakukan suatu terobosan baru guna memperoleh dana mandiri. Perlu diingat bahwa otonomi membawa konsekuensi pada semakin berkurangnya campur tangan pemerintah terhadap peran sekolah, termasuk dalam hal ketersediaan keuangan pemberian (subsidi) sekolah. Bagi sekolah-sekolah swasta, kebijakan itu tidak terlalu membawa pengaruh pada kinerja sekolah. Meingat selama ini sekolah secara mandiri telah mendanai sebagian besar aktifitasnya. Hal itu berbeda dengan sekolah negeri yang selama ini lebih banyak bergantung pada bantuan dana pendidikan dari subsidi pemerintah. Untuk itu, peran orangtua/masyarakat melalui BP3 atau lainnya sangat menentukan kelangsungan suatu sekolah. Dukungan masyarakat (community support) terhadap kelangsungan sekolah perlu lebih ditingkatkan.
10
Sekolah perlu mencoba dan
meningkatkan kerjasama dengan pihak terkait sehingga program link and match dapat terwujud. Melalui pola tersebut, sekolah dimungkinkan memiliki rancangan kegiatan belajar yang variatif dan inovatif, sehingga masyarakat lebih tertarik dan sekaligus meningkatkan kualitas pendidikan. Masyarakat setempat (sekitar) sebagai stake holders perlu diyakinkan bahwa peningkatan kualitas sekolah adalah suatu keharusan. Untuk mewujudkannya adalah tanggung jawab bersama, yakni sekolah dan seluruh komponen masyarakat. 3. Guru yang Profesional dan Siswa yang Berkualitas sekolah dapat menawarkan program yang menarik apabila didukung oleh tenaga guru yang profesional. Sebagian besar keberhasilan sekolah-sekolah ditentukan
9
Anonim, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah. (Jakarta:Depdiknas). 2000. hal. 34 Anonim, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah. hal. 45
10
27
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
oleh kinerja guru yang professional dan optimal. Tuntutan ini tentu wajar adanya, mengingat profesi keguruan melekat suatu kewajiban dan hak yang harus dijalankan secara profesional dan optimal. Seseorang yang memilih profesi sebagai guru hendaknya menyadari bahwa pilihan itu bukanlah pilihan yang mudah dan menjanjikan (dari segi pendapatan finansial), namun melekat suatu tanggung jawab profesionalisme yang amat berat. Guru dituntut menjadi sosok ideal tanpa cacat. masyarakat sekitar.
12
11
Guru adalah panutan bagi siswa dan
Guru harus kreatif, inovatif dan mandiri. Guru memiliki
tanggung jawab bukan hanya mengajar, tetapi juga mendidik dan melatih siswa menjadi pribadi yang kreatif, inovatif dan mandiri. Telah disinyalir bahwa seseorang yang memilih profesi ini cenderung sebagai pilihan terakhir. Sebagai pilihan terakhir kadangkala berdampak pada lemahnya kinerja. Kenyataan ini disadari betul oleh pihak terkait (Depdiknas). Akan tetapi, Depdiknas serasa menemui jalan buntu untuk mencari solusinya. Kinerja guru masih belum optimal karena penghasilan gaji relatif rendah. Pemerintah tidak memiliki dana yang cukup untuk membuat penghasilan (gaji) guru menjadi lebih memadai. Di lain pihak, kualitas pendidikan amat menentukan perjalanan bangsa Indonesia. Jika kita senantiasa terbelenggu dengan kenyataan itu tanpa diimbangi dengan kinerja yang optimal, sampai kapanpun kualitas sekolah tidak akan menghasilkan sesuatu (lulusan) yang optimal. Untuk itu, mau tidak mau kita dituntut untuk bangkit dari keterpurukan itu dan senantiasa mencari solusi tepat dan manusiawi. Pada dasarnya guru yang profesional terlihat dari kemampuan guru menyediakan seluruh perangkat pembelajaran yang dinamis.
13
Jika hal ini telah
dipenuhi, persyaratan berikutnya adalah berfikir dan bertindak secara kreatif, inovatif 14
dan mandiri. semua itu tercermin pada kegiatan belajar mengajar sehari-hari. Pada kegiatan belajar konvensional terdapat kecenderungan siswa dituntut menghafal dan mengerjakan soal-soal secara tepat (tanpa salah). Siswa kurang diberikan kesempatan
M.U. Usman, menjadi guru professional. (Bandung: Remaja Rosda Karya. 1990) hal.39 Naution, Guru Yang Profesional (Surabaya:Usaha Naional) hal.51 13 Moh. Ali, Guru Dalam Proses belajar Mengajar. (bandung: Asyraf, 1999) hal.67 14 Jurnal ilmu pendidikan XII 11 12
28
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
untuk berfikir, menemukan fakta, menerjemahkan konsep dan mengungkapkan argumentasi. Dampaknya, siswa
hampir seperti “robot”. Siswa senantiasa puas
dengan perolehan NEM tinggi tanpa memahami dengan benar apa arti NEM itu sendiri bagi dirinya. Pada bagian lain, pembelajaran yang non konvensional merupakan kebalikan dari konvensional. Siswa dibimbing untuk berfikir agar mencari sendiri fakta pembelajaran, memahami konsep dan mencoba merencanakan aktualisasi konsep pada perilaku sekolah. Seperti telah dipaparkan di atas,visi dan misi utama pendidikan disekolah adalah untuk memanusiakan manusia.Oleh karena itu, siswa hendaknya dipandang sebagai manusia yang berpikir dan memiliki potensi untuk maju serta berkembang. Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh guru dalam mewujudkan harapan itu adalah melalui beberapa cara berikut ini: 1. Guru perlu berkreasi dengan menyusun muatan lokal pada setiap mata pelajaran yang dibinanya. Melalui muatan lokal itu siswa akan lebih memahami lingkungannya sehingga mereka tidak merasa asing dengan lingkungannya. 2. Kegiatan ekstrakurikuler sebagai wahana aktualisasi bakat dan minat siswa perlu dikembangkan sehingga siswa dapat melatih diri untuk menemukan jati dirinya. 3. Guru lebih kreatif dalam memilih materi pembelajaran, menyeleksi sumber belajar
dan
mengkomunikasikannya
dengan
menggunakan
strategi
pembelajaran yang tepat. Guru juga perlu mencoba dan bahkan mengembangkan penelitian tindakan kelas (classroom action research) sehingga kinerja guru menjadi lebih menarik dan menyenangkan.
15
4. Budaya baca tulis perlu senantiasa dijadikan sebagai kebutuhan dasar (utama) sehari-hari. 5. Sebagai target ke depan, guru perlu kelompok kerja guru/musyawarah guru. 6. Mata pelajaran (KKG/MGMP) perlu dikembangkan dengan suatu bentuk aktifitas yang bervariasi. KKG/MGMP bukan hanya sebagai sarana
Noeng Muhajir, pedoman pelaksanaan penelitian tindakan kelas (PTK). (yogyakarta:BP3GSD, UP3SD, UKMP-SD dirjen dikti Depdikbud, 1996)hal. 23 15
29
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
menyusun SP/RP dan soal-soal cawu, tetapi perlu diarahkan untuk pengembangan kinerja professional. 7. Evaluasi belajar bukan hanya terbatas pada kemampuan akademik semata, tetapi
perlu
diupayakan
secara
komprehensip
dan
senantiasa
berkesinambungan. Apabila beberapa pokok pikiran di atas dapat dilakukan, niscaya upaya memanusiakan manusia pada diri siswa bukanlah suatu hal yang sulit. Segalanya perlu dicoba dan dikembangkan. Seluruh perangkat sekolah harus membuktikan diri sebagai pribadi-pribadi yang mampu bertanggung jawab terhadap tugas yang diembannya. Pada akhirnya akan tumbuh suatu kinerja yang optimal. Masing-masing pihak tidak ada yang lebih dominan dari pihak lain. Setiap pihak selalu membutuhkan bantuan pihak lain. Hal inilah yang perlu disadari bersama dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. KESIMPULAN. Pengelolaan pendidikan yang baik akan menghasilkan Indonesia yang baru. Desentralisasi pendidikan merupakan suatu keharusan jika kita ingin cepat mengejar ketertinggalan dari bangsa lain. Melalui pendidikan yang demokratis akan melahirkan masyarakat yang kritis dan bertanggung jawab. Desentralisasi pendidikan perlu dijaga dari kemungkinan-kemungkinan terjadi hal-hal negatif. Apabila penyerahan wewenang tersebut hanyalah sekedar memindahkan birokrasi pendidikan dan sentralisasi pendidikan di tingkat daerah, maka desentralisasi tersebut akan mempunyai nasib yang sama sebagaimana yang kita kenal pada masa orde baru. Otonomi pendidikan pada kerangka otonomi daerah membawa konsekuensi yang cukup dilematis di kalangan persekolahan. Pada satu sisi, sekolah harus mandiri dalam mewujudkan kualitasnya, pada sisi lain sekolah masih banyak memiliki kekurangan (pendukung). Namun demikian, pada era otonomi pendidikan, sekolah harus mampu berkompetisi dengan sekolah lain dalam hal peningkatan kualitas lulusannya. Paradigma baru otonomi pendidikan yang harus diemban dan diwujudkan oleh sekolah adalah melalui: (1) pengelolaan pendidikan berbasis sekolah, (2) peran
30
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
serta aktif masyarakat di bidang pendidikan dan (3) guru yang profesional dan siswa yang berkualitas. Ketiga hal itu hanya akan terwujud jika seluruh perangkat sekolah mampu menyadari dan melaksanakan tanggung jawab mereka secara optimal dalam bentuk sinergi kerja yang saling menunjang satu sama lainnya. Tanpa semua itu, otonomi pendidikan hanya sebuah utopia. SARAN-SARAN 1. Kebijakan pendidikan seharusnya bersifat akomodatif terhadap aspirasi rakyatnya sebagai konsekuensi Indonesia menganut sistem politik demokrasi. Dengan diberlakukannya otonomi daerah yang termasuk di dalamnya otonomi bidang pendidikan, maka kebijakan pendidikan yang demokratis telah mendapat wadah pengejawantahannya secara jelas. 2. Untuk itu dalam konteks kepentingan upaya mewujudkan integrasi bangsa perlu kebijakan pendidikan di orientasikan pada peningkatan mutu SDM dan pemerataanya di daerah. 3. Persiapan pelaksanaan otonomi pendidikan yang aplikasinya dimulai dengan upaya-upaya penguatan manajemen sekolah. 4. Ide dasar desentralisasi pendidikan di era otonomi daerah adalah pengembangan pendidikan berbasis masyarakat. 5. Berkaitan dengan otonomi pendidikan yang perlu juga diperhatikan adalah mewujudkan organisasi pendidikan diseluruh kabupaten yang lebih demokratis, transparan, efisien melalui pendekatan manajemen berbasis sekolah dengan pembentukan majelis sekolah. 6. Realitas birokrasi pendidikan yang terjadi saat ini dalam perspektif manajemen tidaklah menguntungkan. 7. Pada tingkat praktis-pragmatis, sekolah yang menentukan bagaimana tujuan umum tersebut dicapai dengan keterlibatan penuh semua elemen.
31
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2003 Ali, M. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Asyraf, 1983 Anonim, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah, Jakarta: Depdiknas. 2000 Anonim. Dukungan Masyarakat Terhadap Sekolah, Jakarta : Depdiknas. 2000 De porter Bobbi DKK, Quantum Learning. Bandung: Kaifa. 2001 Highet G. Seni Mendidik (ter.j jilid I dan II), PT. pembangunan 1954 Jurnal Ilmu Pendidikan tahun XII edisi 19-20. 1999 Kemeny, JG. A Philosopher Looks At Science, New Jersey: Yale Univ Press. 1969 Muhajir, Noeng. Pedoman Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas (Ptk), Yogyakarta: BP3GSD, UP3SD, UKMP-SD Dirjen Dikti Depdikbud, 1996 Munsir, DN. Penelitian Tindakan, Jakarta: Dirjen Disdakmen Bagian Proyek Penataan Guru SLTP setara D-III, 1999 Syarief, Hidayat, Tantangan PGRI Dalam Pendidikan National. Makalah pada semiloka nasional unicef-PGRI, Jakarta. 1997 Tilaar, H.A.R. Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004 Tilaar, H.A.R. Membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002 Usman, MU. Menjadi Guru Professional, Bandung: Remaja Rosda Karya. 1990
32