PROBLEM EKSISTENSI NEGARA DALAM ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL: PERSPEKTIF FILSAFAT MULLᾹ ṢADRᾹ
Oleh: CECEP ZAKARIAS EL BILAD (NIM: 211241003)
Pembimbing: Dr. Robi Nurhadi, M.Si
TESIS Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Sebagai Magister Filsafat Islam di Program Magister Ilmu Agama Islam The Islamic College for Advanced Studies (ICAS) – Paramadina Jakarta
THE ISLAMIC COLLEGE FOR ADVANCED STUDIES (ICAS)UNIVERSITAS PARAMADINA JAKARTA 2015
ABSTRAK
Penelitian ini berangkat dari sebuah pertanyaan sederhana apakah negara itu eksis di dunia nyata atau hanya fiksi dalam pikiran. Dalam Hubungan Internasional (HI), sebagai ilmu yang mengkaji fenomena sosial di tingkat internasional, negara lumrah dikonsepsikan seolah ia adalah sosok individu yang berkepribadian seperti maju, lemah dan kuat, dan melakukan pekerjaan seperti berperang, bermusuhan dan bekerjasama. Namun demikian, para ilmuan HI hampir semuanya sepakat bahwa negara hanya diperlakukan seolah-olah ada. Negara hanya dianggap sosok fiktif atau ”as if” person, karena yang nyata adalah para individu yang berkumpul. Jika benar demikian, lalu mengapa efek keberadaannya begitu nyata dan dapat dirasakan oleh semua orang? Dan bagaimana status keilmiahan ilmu HI sendiri karena mengkaji sesuatu yang fiktif? Sederet pertanyaan dapat dimunculkan dari problem ontologis ini. Pengingkaran akan eksistensi negara ini berakar dari epistemologi empirisisme yang dianut oleh mayoritas ilmuan HI terutama sejak gelombang saintifikasi disiplin tersebut pada dekade 60-an. Menurut paham epistemologis ini, pengetahuan hanya dapat diperoleh melalui persepsi inderawi, dan di luar itu tidak ada pembuktian yang pasti. Penolakan ini juga terdapat di kalangan ilmuan kritis yang muncul di dekadedekade berikutnya, seperti posmodernis, posstrukturalis dan konstruktivis, karena keyakinan ontologis mereka menolak objektifitas semua realitas. Penelitian ini ingin mengkaji status ontologis negara ini dari perspektif filsafat Mullā Ṣadrā. Sistem filsafatnya yang secara komprehensif mengkaji wujud qua wujud dan struktur eksistensial realitas, menjadi basis bagi semua kajian tentang eksistensi realitas, tanpa kecuali problem eksistensi negara ini. Kajian ini diharapkan dapat membuahkan cara pandang baru dan unik, sebagai penyegaran intelektual bagi khalayak ilmuan sosial modern yang notabe terhegemoni filsafat materialisme. Kata-Kata Kunci: Wujud, Realitas, Negara, Jiwa, Individu, Masyarakat, Filosofis
iv
ABSTRACT
This research comes from a simple question whether the state exists in the real world or is only a fiction in the mind. In International Relations (IR) as a discipline which talks about social phenomena at the international level, states are often conceptualized as if they are individuals having some qualities of personality such as being weak, strong and developed, and doing activities like going to war, having enemies and cooperating with each other. Most IR thinkers and students, however, have agreed that the state is considered as if it exists. It is only a metaphor or an “as if” person, and what really exist in the extra-mental world are those individuals “in” it. If that is the case, then why the effects of its existence are so real and can be felt by all people? And, how can IR be scientific while its subject of study is a fiction? A number of other questions can be raised about this ontological problem. The neglect of the state‟s existence is rooted in the empirical epistemology held by most IR thinkers and students especially since the wave of scientification of the discipline began in the 60‟s. They hold the empirical view that knowledge comes primaliry from sensory experience, and anything beyond it has no certainty. The similar neglect is, in fact, shared also among non-empirical IR thinkers coming about in the later decades such as postmodernists, postructuralists and constructivists, because of their idealist ontology which rejects the objectivity of realities. In this research, we want to analyze the ontological status of the state from the perspective of Mullā Ṣadrā‟s philosophy. His philosophical system that primarily concerns on the existence qua existence and the existential structure of realities, serves as the foundation of any discussion about the existence of realities or entities, without exeption that of the state. Hopefully, this conduct of research will generate a new and unique perspective from a non-materialist philosophy, as an intellectual refresh, to some extent, in the materialist world of the modern social-science society.
Keywords: Existence, Reality, State, Soul, Individual, Society, Philosophy
v
DAFTAR ISI
PERNYATAAN KEASLIAN ____________________________________________ i PERSETUJUAN PEMBIMBING _________________________________________ ii LEMBAR PERSETUJUAN _____________________________________________ iii ABSTRAK __________________________________________________________ iv DAFTAR ISI _________________________________________________________ vi DAFTAR TABEL _____________________________________________________ ix PEDOMAN TRANSLITERASI __________________________________________ x KATA PENGANTAR _________________________________________________ xii
BAB I PENDAHULUAN ______________________________________________ 1 A. Latarbelakang _____________________________________________________ 1 B. Pokok Masalah ____________________________________________________ 13 C. Batasan Masalah ___________________________________________________ 13 D. Rumusan Masalah __________________________________________________ 14 E. Hipotesis _________________________________________________________ 14 F. Tujuan Penelitian __________________________________________________ 15 G. Signifikansi Penelitian ______________________________________________ 15 H. Penelitian Terdahulu ________________________________________________ 16 I. Metode Penelitian __________________________________________________ 19 J. Sistematika Penulisan _______________________________________________ 19
BAB II ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL DAN PROBLEM EKSISTENSI NEGARA _____________________________ 21 A. Empirisisme dalam Ilmu Hubungan Internasional
21
a. Masuknya Empirisisme dalam Hubungan Internasional
25
b. Kritik Atas Empirisisme dalam Hubungan Internasional
29
B. Negara dalam Ilmu Hubungan Internasional
33
a. Konsepsi Negara
33
vi
b. Problem Eksistensi Negara
36
1. Perspektif Empiris
36
2. Perspektif Non-Empiris
41
3. Alternatif dari Non-Materialis: Sebuah Jembatan
46
BAB III FILSAFAT MULLᾹ ṢADRᾹ ___________________________________ 51 A. Sosok Mullā Ṣadrā
51
a. Kehidupan Pribadi
51
b. Konteks Perkembangan Pemikiran
55
B. Prinsip-Prinsip Filsafat Mullā Ṣadrā
58
a. Konsep Wujud
58
b. Aṣālat al-Wujūd (Keunggulan Wujud)
61
c. Tashkīk al-Wujūd (Gradasi Wujud)
65
d. Al-Wujūd adh-Dhihnī dan al-Wujūd al-Khārijī
69
e. Ma’qūlāt
71
f. Ittiḥād al-Āqil wa al-Ma’qūl
74
g. Gerak
78
1. Al-Ḥarkah al-Jauhariyyah (Gerak Transubstansial)
80
2. Gerak Transubstansial sebagai Labs ba’da Labs
85
3. Gerak sebagai Fitrah Setiap Realitas di Alam Semesta
87
h. Jiwa (an-Nafs)
91
BAB IV EKSISTENSI NEGARA DARI PERSPEKTIF FILSAFAT MULLᾹ ṢADRᾹ____________________________________ 99 A. Argumentasi atas Eksistensi Negara
100
a. Negara Menempati Level Wujud Tertentu
101
b. Negara Eksis Secara Transendental
107
c. Negara Menyatu dalam Kesadaran Manusia
110
B. Konsepsi Negara dari Perspektif al-Ḥikmah al-Muta’āliyah
112
a. Negara “Mahluk Setengah Manusia”
113
vii
b. Negara Sebagai Aktualisasi Gerak Transubstasial Jiwa
117
1. Berkumpul sebagai Fitrah Semua Realitas
117
2. Sistem Kepemimpinan dan Kesatuan Jiwa (United Souls)
124
C. Perspektif Filsafat Mullā Ṣadrā dalam Peta Perdebatan Akademik HI
130
BAB V KESIMPULAN________________________________________________ 141
DAFTAR PUSTAKA _________________________________________________ 149
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Contoh tafsir gerak transubstansial pada manusia _____________________ 84 Tabel 2: Prinsip Dasar Ontologi Realisme __________________________________ 132 Tabel 3: Perspektif Filsafat Ṣadrā dalam Garis Besar Peta Pemikiran HI __________ 139
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini adalah Turabiyan dengan beberapa pengecualian. A. Konsonan B
=
بZ
=
زF
=
ف
T
=
تS
=
سQ
=
ق
Th
=
ثSh
=
شK
=
ك
J
=
جṣ
=
صL
=
ل
ḥ
=
حḍ
=
ضM
=
م
Kh
=
خṭ
=
طN
=
ن
D
=
دẓ
=
ظH
=
ه
Dh
=
„ ذ
=
عW
=
و
R
=
رGh
=
غY
=
ي
B. Vokal Pendek
: A
=
Panjang : ā
=
Diftong
: Ay =
I
=
ِ
u
=
ُ
اĪ
=
يū
=
و
ايAw
=
او
َ
C. Ta’ Marbutah ((ة Ta‟ marbuṭah yang diiḍafkan (disambung dengan kata lain) ditulis “t”, seperti lafal أصالة الوجودditulis aṣālat al-wujūd. Ta‟ marbuṭah yang bersambung dengan kata lain tapi tidak dalam posisi muḍaf, maka ditulis “h”, seperti lafal الحركة الجوهريةditulis al-ḥarakah al-jawhariyyah.
D. Shaddah Shaddah atau tashdīd ditransliterasi dengan menggandakan dua huruf, seperti lafal متعاليّةditulis muta’āliyyah, إتّحادditulis ittiḥād, dan قوّةditulis quwwah, sedangkan tashdīd yang berada di akhir kata seperti ع ّوditulis ‘aduw
x
E. Kata sandang Kata sandang “al” dilambangkan berdasarkan pada huruf yang mengikutinya. Jika huruf setelahnya adalah huruf shamsiyyah maka ditulis sesuai dengan huruf yang bersangkutan, demikian juga dengan huruf al qamariyyah.
F. Pengecualian transliterasi Pengecualian transliterasi adalah kata bahasa arab yang telah lazim digunakan di dalam bahasa Indonesia dengan menjadi bagian dalam bahasa Indonesia seperti lafal سنة هللاmaka akan ditulis sunnatullah.
xi
KATA PENGANTAR
الحمد هلل رب العاملين و العاقبة للمتقين و ال عدوان إال على الظاملين والصالة و السالم على سيدنا محمد أشرف الانبياء و املرسلين و على آله الطيبين الطاهرين و أصحابه الصالحين اجمعين Ada kepuasan tersendiri bagi kami dengan selesainya tesis ini. Persoalan yang mendasari tesis ini kami temukan sebelum kami belajar di The Islamic College for Advanced Studies (ICAS) – Universitas Paramadina Jakarta. Pertanyaan “apakah negara itu riil di dunia nyata atau hanya fiksi dalam pikiran?” sudah bergelayut sejak kami masih menggeluti wacana metateori dalam Ilmu Hubungan Internasional (HI). Kami berasumsi, problem ontologis tersebut akan tetap misterius jika hanya mengikuti tradisi keilmuan yang sudah ada dalam HI, karena tradisi tersebut terbangun di atas fondasi-fondasi filosofis yang sepertinya memang tidak memiliki perangkat untuk memahami problem tersebut secara utuh, seperti materialisme, idealisme, empirisisme, positivisme, konstrukstivisme, dan lain sebagainya. Sementara negara adalah sebuah fakta sosial yang unik: jika ia riil, nyatanya ia tak bisa diraba pancaindera; sebaliknya, jika ia fiktif, nyatanya efek-efek keberadaannya bisa kita rasakan sehari-hari. Atas dasar ini, kami pun melirik kepada khasanah filsafat Islam yang konon sangat kaya. Berbekal sejumput wacana tentang sejarah dan profil para filsuf Muslim, kami pun memutuskan untuk mendaftar di ICAS-Paramadina, dengan sebuah harapan dapat menemukan jawaban yang memuaskan atas problem tersebut. Ternyata benar. Banyak mutiara yang hilang dalam filsafat Barat, tersimpan rapi bahkan berlimpah dalam filsafat Islam. Meski belum seberapa yang kami peroleh. Atas izin dan pertolongan Allah, jawaban itu kami temukan dalam ḥikmah yang terpancar dari sosok filsuf agung Ṣadruddīn Muḥammad Shīrāzī atau Mullā Ṣadrā. Dari sedikit yang kami pahami dari sistem filsafat beliau, kami aplikasikan untuk membaca problem eksistensi negara tersebut. Lalu kami tuangkan dengan kata-kata dalam tesis ini. Lebih dari itu semua, filsafat Mullā Ṣadrā memberi manfaat sangat besar bagi kami sebagai sebuah paradigma tentang hidup, dunia dan seluruh isinya, serta Sang
xii
Pencipta. Namun kami sadar, baru secuil yang kami pahami. Tesis ini pun tentu tidak lepas dari kekurangan dan kekeliruan. Untuk itu, kami memohon beribu maaf. Akhirnya, kami sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami selama proses studi magister ini hingga penyusunan tesis ini selesai. Semoga Allah SWT membalas semua bantuannya dengan nilai dan kualitas yang jauh lebih besar, dunia-akherat, lahir-batin. Secara khusus kami sampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya dan terimakasih banyak kepada: 1. Segenap pendiri, pimpinan dan pegawai the Islamic College for Advanced Studies (ICAS)-Paramadina Jakarta, serta semua pihak yang telah berkontribusi bagi terselenggaranya kegiatan belajar-mengajar dan program-program beasiswa studi yang tak ternilai harganya. 2. Prof. Dr. Seyyed Mofid Hoseini Koushari, selaku direktur the Islamic College for Advanced Studies (ICAS)-Paramadina Jakarta, yang telah memberikan kami kesempatan untuk menempuh studi magister di the Islamic College for Advanced Studies (ICAS)-Paramadina Jakarta. 3. Dr. Kholid Al Walid, selaku Ketua Program Magister Ilmu Agama Islam – the Islamic College for Advanced Studies (ICAS)-Paramadina Jakarta, yang telah mengizinkan kami untuk belajar filsafat Islam dari awal hingga akhir masa studi di the Islamic College for Advanced Studies (ICAS)-Paramadina Jakarta. 4. Segenap dosen the Islamic College for Advanced Studies (ICAS)-Paramadina Jakarta, yang telah memberikan kami limpahan ilmu dan hikmah yang sangat mencerahkan dan bermanfaat untuk kepentingan akademik maupun kehidupan kami sehari-hari. 5. Dr. Robi Nurhadi, M.Si, selaku pembimbing yang telah membimbing kami dengan penuh perhatian dan kesabaran, serta memberikan arahan, pertimbangan dan motivasi yang sangat berharga dari awal hingga paripurnanya tesis ini. 6. Dr. Muhsin Labib dan Dr. Abdelaziz Abbaci, yang telah membaca, menguji dan memberikan arahan-arahan yang sangat bermanfaat untuk perbaikan karya tulis ini. 7. Kedua orangtua tercinta, Ayahanda Alm.Jamhuri, S.Pd & Ibunda Nurtati, atas semua dukungan lahir dan batinnya sehingga kami dapat melangkah hingga
xiii
sejauh ini dalam hidup, dan selesainya studi magister ini hanya setetes dari limpahan kasih sayang yang senantiasa mereka berikan hingga akhir hayat. 8. Keluarga tersayang, istri Soraya, S.Pd & putri Shofwah Waliyati Al Hannan, atas kesabaran, perhatian dan bantuan lahir-batinnya selama perjuangan kami menyelesaikan studi magister ini. Semoga rampungnya studi ini menjadi pintu gerbang menuju kehidupan bersama yang cerah dan berkah, lahir-batin. Cageurbageur. 9. Kedua mertua tercinta, Ayahanda Muhammad Ichsan Horman dan Ibunda Siti Fadjeriyah, atas segala dukungan lahir dan batinnya yang sangat bernilai. Juga saudara/i ipar tercinta yang turut mendukung dan memotivasi kami untuk segera merampungkan pendidikan S2 ini. 10. Adik tercinta, Arief Fathur Rizqi, Lc, yang telah membantu kami memecahkan kesulitan-kesulitan yang kami temukan pada teks-teks Arab karya Mullā Ṣadrā. Juga segenap keluarga besar Kakek Alm. H.Tajuddin Nahrowi & Nenek Hj. Siti Qodriyah di Luwungbata, Brebes, yang dukungannya juga tak terlupakan. 11. Terakhir, teman-teman sekelas: Amirullah, Syahrial, Parid Ridwanuddin, Dida Darul Ulum, Biiznillah, Mahruf Wahono, Moh.Chotim, serta teman-teman lainnya tak dapat kami sebutkan satu per satu. Akhirnya, selamat membaca. Semoga bermanfaat.
Depok, 11 Maret 2015
Cecep Zakarias El Bilad, S.IP, M.Ud
xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latarbelakang Pada perkembangan menjelang tahun 2000-an, perdebatan akademik di kalangan ilmuan Hubungan Internasional (HI), khususnya di Eropa dan Amerika Serikat mulai merambah ke wilayah ontologi, setelah sebelumnya selama beberapa dekade berkutat di wilayah isu-isu praktis, metodologi dan epistemologi. Di wilayah ontologi ini, beberapa persoalan filosofis bermunculan. Satu di antaranya adalah yang akan menjadi pembahasan dalam penelitian ini, yakni apakah negara itu riil di dunia nyata, seperti halnya sosok manusia, binatang dan benda-benda kasatmata lainnya, atau hanya sebuah abstraksi dalam pikiran? Status ontologis negara ini adalah satu dari sekian hal yang dipersoalkan oleh sedikit akademisi HI yang beraliran filsafat realisme saintifik (scientific realism), saat mereka mengkritik basis filosofis teori-teori HI arus utama. Kritik semacam ini muncul karena para ilmuan arus utama di HI mengadopsi epistemologi empirisisme dan metodologi positivisme dalam riset-riset ilmiahnya. Sementara itu, negara selaku objek utama kajian dalam HI adalah termasuk kategori realitas unobservable (tidak kasatmata), yang tidak diakui keberadaannya oleh mazhab empirisisme. Kritik ini berkutat pada tataran metateori, yakni terkait fondasi filosofis yang menjadi pijakan dirumuskannya teori-teori praktis. Pada tataran itu pula kami melakukan kajian di penelitian ini. Oleh karena itu, sekalipun sepintas akan dibicarakan wacana sosial-internasional dan teori-teori praktis, hal tersebut hanya sebatas contoh kasus untuk argumentasi filosofis yang sedang dikembangkan. a. Problem Ontologis Empirisisme Sosial Sebagai sebuah disiplin ilmu, HI memiliki banyak paradigma.1 Sejak dekade 60-an hingga sekarang, paradigma yang paling pesat berkembang dan 1
Paradigma yang dimaksud adalah, seperti dalam definisi Thomas Kuhn, “seperangkat keyakinan ilmiah dan metafisik yang menjadi kerangka teoretis untuk menguji, mengevaluasi atau merevisi teori-teori.” Robert Audi, The Cambridge Dictionary of Philosophy (Cambridge: Canbridge University Press, 1999), hal. 641-642.
1
mendominasi disiplin tersebut adalah paradigma-paradigma yang bernuansa empiris dengan teori-teorinya yang rigit ala positivisme ilmu-ilmu alam. 2 Dua yang paling dominan adalah neorealisme dan neoliberalisme. Dalam teori dan analisanya, kedua paradigma atau mazhab teoretis tersebut memperlakukan fenomena-fenomena sosial-internasional secara saintifik (eksak) seperti halnya perlakuan terhadap fenomena-fenomena alam. Mereka berkeyakinan bahwa kejadian-kejadian sosial di tingkat internasional dapat dijelaskan secara sederhana dengan rumus-rumus tertentu. Secara ontologis mereka berkeyakinan bahwa realitas itu berada (exist) terpisah dari pikiran subjek (reality “out there”). Realitas tersebut eksis secara mandiri, dan tidak terpengaruh oleh pikiran dan diskursus manusia. Realitas semuanya bersifat material sehingga dapat tercerap oleh pancaindera.3 Realitas-realitas yang tidak kasatmata, seperti yang selama ini diyakini
keberadaannya
oleh
sebagian
masyarakat,
sulit
untuk
diakui
eksistensinya karena tidak bisa dibuktikan secara inderawi atau observasi ilmiah. Tidak ada jaminan bahwa realitas-realitas tersebut benar-benar eksis. 4 Selama ini prinsip empiris tersebut menjadi basis filosofis bagi ilmu-ilmu eksak untuk riset-riset ilmiahnya, dan memang menjadi kunci sukses ilmu-ilmu tersebut dalam menjelaskan dan merekayasa fenomena-fenomena alam. Langkah tersebut kemudian mulai diikuti oleh para ilmuan sosial. Pada dekade 60-an prinsip-prinsip empirisisme mulai diformulasikan oleh para ilmuan HI untuk diaplikasikan dalam analisa fenomena-fenomena internasional. Secara ringkas, prinsip-prinsip empiris yang dianut oleh para ilmuan HI tersebut dapat disederhanakan dalam poin-poin berikut ini5: Pertama, adanya kesatuan ilmu pengetahuan (the unity of science). Prinsip ini menyatakan bahwa dunia sosial dan dunia alamiah pada hakekatnya adalah sama, sehingga perangkat-perangkat penelitiannya juga perlu disamakan. Perangkat penelitian eksakta telah sukses menjelaskan dan memprediksi fenomena2
3
4 5
Steve Smith, Ken Booth & Marysia Zalewski, International Relations: Positivism and Beyond (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), hal. 16. Alexander Wendt, Social Theory of International Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), hal. 48-49. Wendt, Social Theory of International Politics, hal. 48-49 & 60. Smith, International Relations: Positivism and Beyond, hal. 15-16.
2
fenomena alam, ia pun akan mampu menjelaskan fenomena-fenomena sosial termasuk pada tingkat internasional. Kedua,
pengetahuan
harus
bebas
nilai.
Dalam
proses
penggalian
pengetahuan, subjek/peneliti harus menjaga jarak dengan objek yang sedang diteliti. Subjek harus netral. Perasaan, emosi dan nilai-nilai anutannya tidak boleh mempengaruhi cara pandang dan perlakuannya pada objek riset tersebut, demi menghasilkan data-data yang valid dan pengetahuan yang objektif. Ketiga, keyakinan bahwa regularitas terdapat di dunia sosial seperti halnya dalam dunia natural. Artinya, bahwa fenomena-fenomena sosial di tingkat internasional seperti perang, kerjasama dan aliansi adalah pengulangan dari fenomena serupa di masa lampau, dan akan terjadi kembali di masa yang akan datang. Meskipun tidak sama persis, karena perbedaan ruang, waktu dan aktor, peristiwa-peristiwa tersebut muncul dengan kemiripan-kemiripan sebab dan akibat. Pengkajian mendalam terhadap objek-objek tersebut secara objektif akan menghasilkan rumusan-rumusan teoretis (law-like generalizations) yang timelessspaceless dan berfaedah bagi umat manusia. Keempat, validasi empiris atau falsifikasi adalah jalan satu-satunya memperoleh pengetahuan yang sejati. Setiap hipotesis atau teori harus berkorespondensi dengan fakta-fakta di lapangan yang dibuktikan dengan standar pengujian empiris. Jika tidak, maka hipotesis atau teori tersebut dianggap tidak ilmiah. Ketika
prinsip-prinsip
tersebut
diaplikasikan
dalam
HI,
beberapa
permasalahan mengemuka. Di satu sisi, prinsip empiris hanya mengakui keberadaan realitas-realitas fisik yang dapat diobservasi. Tetapi di sisi lain, objek studi dalam HI adalah realitas-realitas tidak kasatmata seperti negara, organisasi internasional dan sistem internasional. Wujud negara tidak bisa dilihat, didengar, dicium atau dirasakan, apalagi diobservasi dengan kaidah-kaidah empiris. Berdasarkan prinsip ontologis empiris ini, berarti negara dan fakta-fakta internasional tidak kasatmata ini adalah fiktif atau tidak ada realitas sesungguhnya di dunia nyata. Namun demikian, apabila negara itu tidak riil, mengapa ia begitu penting dan perlu diteliti? Kalau memang tidak riil dan hanya sebatas fantasi
3
dalam pikiran, lalu mengapa teori-teori yang dihasilkan dari pengolahan konsep fiktif tersebut diklaim ilmiah? Kemudian, apabila negara itu tidak riil, mengapa ia dapat memberikan efek riil pada umat manusia seperti perang dan kerjasama? Persoalan-persoalan ini menjebak mereka pada posisi sulit. Empirisisme telah mempersempit cara pandang para penganutnya untuk hanya mengakui realitas-realitas yang inderawi. Tetapi dalam prakteknya, mereka tidak bisa mengelak dari kenyataan adanya realitas-realitas noninderawi yang mereka temukan di kehidupan sehari-hari dan di setiap aktifitas risetnya. Akhirnya, kesulitan tersebut disiasati dengan jalan merumuskan prinsip epistemologis yang disebut instrumentalisme (instrumentalism).6 Prinsip ini menyatakan bahwa teori tidak dianggap sebagai representasi atas realitas, apalagi hasil pengungkapan struktur misterius dari sebuah realitas, tetapi hanya sebagai perangkat untuk mengorganisasikan pengalaman-pengalaman inderawi atas realitas tersebut.7 Oleh karena itu, teori tidak harus sesuai dengan kenyataan/realitas yang sesungguhnya. Teori hanya merupakan model untuk merekonstruksi fakta, bukan sebagai deskripsi apa adanya tentang fakta tersebut.8 Ini artinya bahwa teorisasi adalah semacam upaya memanipulasi realitas. Dengan kaidah tersebut, kaum empirisis menganggap negara hanya sebatas useful fiction yang berfungsi sebagai instrumen untuk keperluan observasi terhadap fenomena-fenomena sosial tertentu yang unobservable di tingkat nasional dan internasional. Sebagai sebuah fiksi, maka negara bukan sebuah nama untuk suatu spesies yang eksis di dunia nyata. Seperti dikatakan oleh Robert Gilpin, seorang tokoh aliran realisme, bahwa, “negara tidaklah benar-benar ada di dunia nyata (the state does not really exist).”9 Negara tidak merujuk pada sesuatu yang memiliki status ontologis yang mandiri. Oleh karena itu, negara dianggap tidak eksis. Yang eksis sejatinya adalah interaksi yang terstruktur antarindividu di dalamnya. Konsep negara hanya merupakan instrumen untuk menjelaskan 6 7 8 9
Wendt, Social Theory of International Politics, hal. 60. Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science Tracts Truth (London. Routlege, 1999), hal. 15. Wendt, Social Theory of International Politics, hal.61. Robert Gilpin, “The Richness of the Tradition of Political Realism”, dalam International Organization (Massachusetts: the Massachusetts Institute of Technology and the World Peace Foundation, Vol. 38 No. 2, Spring, 1984), hal. 301.
4
pengalaman-pengalaman sosial di tingkat nasional atau internasional serta untuk keperluan membangun teori-teori terkait pengalaman tersebut. Konsep negara tidak benar-benar merujuk kepada sesuatu yang memiliki status ontologis di dunia nyata.10 Sampai di sini, beberapa persoalan dapat dimunculkan. Apabila kaum empiris HI menganggap negara itu sekedar fiksi dan tidak ada di dunia nyata, mengapa konsep tersebut begitu ampuh menjelaskan fenomena internasional? Apabila hanya sebuah konsep metaforis, mengapa ia begitu penting dan disepakati oleh semua orang sehingga sampai saat ini belum muncul satu konsep lain yang lebih baik? Kalau negara itu sekedar konsep instrumental untuk merujuk kepada fenomena sosial tertentu, mengapa belum ada satu pun ilmuan HI yang berhenti menggunakannya dan langsung merujuk pada fenomena sosial tersebut tanpa menggunakan perantara konsep negara, seperti halnya yang dilakukan para ilmuan eksak dalam mengobservasi fenomena-fenomena alam? Perdebatan ini masih terus berlangsung dan belum menemukan penyelesaian berarti. Selama ini perbincangan ontologis seperti ini nampak kurang mendapat ruang signifikan di kalangan para ilmuan HI, sehingga teori-teori yang dibangun tidak berdiri di atas fondasi epistemologis dan ontologis yang kokoh. Sebagai contoh dari inkonsistensi filosofis tersebut adalah pada kasus Kenneth Waltz, tokoh besar neorealisme. Saat berbicara perihal metodologi, dalam magnum opusnya The Theory of International Politics, Waltz berpijak pada empirisisme radikal (positivisme), dalam pernyataannya bahwa di dunia internasional terdapat regularitas sebagaimana yang terdapat pada dunia natural. Tetapi ketika memasuki ontologi, Waltz inkonsisten dengan mengakui bahwa struktur internasional keberadaannya bersifat tidak kasatmata sehingga tidak bisa diobervasi secara empiris. Setelah Waltz mendefinisikan struktur internasional11 sebagai the system-
10
11
Wendt, “The State as Person in International Theory” dalam Review of International Studies (London: British International Studies Association, Vol. 30, 2004), hal. 289. Waltz adalah pendiri mazhab teoretis realisme struktural/neorealisme dalam HI. Mazhab ini memandang dunia internasional seperti permainan bola sodok dengan negara sebagai bolabolanya. Negara-negara dipandang seperti individu-individu yang berinteraksi dalam suatu arena.
5
wide component that makes it possible to think of the system as a whole12, ia menyatakan bahwa struktur tersebut “cannot be seen, examined and observed at work as livers and income taxes can be 13. Ini berarti bahwa sebagai seorang empirisis-positivis, secara ironis Waltz mengakui eksistensi struktur internasional yang unobservable. b. Realisme Saintifik dalam HI Kritik-kritik terhadap empirisisme tersebut sebenarnya berasal dari perspektif RS. Aliran filsafat ini diadopsi oleh Alexander Wendt dalam bukunya Social Theory of International Politics, dan digunakan sebagai basis filosofis untuk melancarkan kritik terhadap kecenderungan empiris di HI serta menawarkan gagasan-gagasan alternatif, termasuk dalam masalah eksistensi negara ini. RS meyakini bahwa dunia atau realitas itu eksis, dan eksistensinya sama sekali tidak berhubungan dengan interpretasi dan diskursus manusia (a mind-independent reality). Realitas tersebut ada yang kasatmata dan ada yang tidak kasatmata. Realitas yang tidak kasatmata contohnya adalah elektron, proton dan molekul DNA. Kemudian, antara subjek yang mengetahui dan objek/realitas yang ingin diketahui terdapat jarak. Teori adalah refleksi dari realitas tersebut yang menjembatani antara subjek dan objek pengetahuan, dan teori yang benar adalah yang mampu menggambarkan realitas secara apa adanya. 14 Perspektif ini oleh Wendt digunakan untuk membaca status ontologis negara. Negara adalah fakta yang tidak kasatmata. Fakta tersebut benar-benar eksis, bukan sekedar fiksi seperti yang selama ini diyakini oleh kaum empirisis. Ketika dianalisa, negara akan merujuk kepada unsur-unsur fisik yang kasatmata yang saling terkait dan berinteraksi, seperti presiden, menteri, parlemen, undangundang, militer dan lain sebagainya, akan tetapi eksistensinya tidak tereduksi ke dalam fakta-fakta fisik tersebut.
12
13 14
Kenneth Waltz, The Theory of International Politics (Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company, 1979), hal. 79. Waltz, The Theory of International Politics, hal. 73. Howard Sankey, Scientific Realism and the Rationality of Science (Hampshire: Ashgate Publishing Limited, 2008), hal. 12-17.
6
Negara memang tidak memiliki tubuh fisik, tetapi efek-efek dari keberadaannya dapat dirasakan oleh semua orang.15 Sebagai contoh, apabila seseorang melakukan tindakan kriminal, meskipun dia mungkin menganggap negara hanya sebuah fiksi, dia tetap akan merasakan efek fisik keberadaan negara: dia akan ditangkap dan dipenjara. Tetapi tidak seorang pun akan menganggap polisi yang menangkap itu adalah negara, karena dia memang bukan sosok negara itu sendiri. Tetapi polisi tersebut adalah salah satu elemen dari negara. Polisi melakukannya tidak sebagai pribadi dirinya, tetapi sebagai bagian dari elemen negara. Kemunculan RS dalam wacana perdebatan HI ini sebenarnya adalah bagian dari rangkaian panjang perdebatan akademik disiplin tersebut. Sebagai sebuah cabang ilmu, HI telah menjalani beberapa fase perdebatan akademik, dan telah melintasi beberapa area kajian, seperti hukum, sejarah, isu-isu dan teori-teori praktis, metologi dan epistemologi. 16 Disiplin ini lahir dalam konteks ketegangan sistem internasional akibat perang berkepanjangan di banyak belahan bumi terutama di benua Eropa. Dua karya teoretis menjadi stimulus tumbuhnya disiplin ini yaitu The Twenty Years‟ Crisis karya E. H. Carr (terbit pertama 1939) dan Politics Among Nations karya Hans Morgenthau (terbit pertama 1948). Kelahiran dua karya ini dan berbagai perdebatan selanjutnya dimotivasi terutama sebagai usaha untuk memahami sifat dasar dan kultur politik internasional demi mencari solusi terbaik bagi perdamaian dunia, mengingat saat itu dunia masih dilingkupi perang antarnegara. Perdebatan berlangsung masih di seputar kajian sejarah, hukum, diplomasi, etika dan filsafat politik. Kemudian memasuki 1950-an, studi ini berkembang ke arah yang lebih saintifik. Pada fase inilah adopsi metodologi positivisme ke dalam HI dimulai. Sejak saat itu proyek teorisasi HI ditujukan untuk mencari rumusan-rumusan umum hubungan antarnegara dengan metodologi yang biasa digunakan dalam riset ilmu-ilmu alam. Ini kemudian menjadi tradisi yang dominan dalam disiplin tersebut hingga hari ini. 15 16
Wendt, Social Theory of International Politics, hal. 216. Wendt, Social Theory of International Politics, hal. 38; Jonathan Joseph & Colin Wright, Scientific Realism and International Relations (New York: Palgrave Macmillan, 2010), hal. 18.
7
Gerakan saintifikasi HI ini segera menimbulkan pro dan kontra. Sebagian ilmuan menolak gerakan tersebut. Mereka antara lain berargumen bahwa politik internasional tidak cocok dikaji dengan model riset seperti pada objek-objek alam, karena objek-objek sosial apalagi internasional sangat bervariasi dan terlalu kompleks untuk dapat disederhanakan dalam pola-pola keseragaman tertentu.17 Perdebatan ini kemudian melahirkan teori-teori dan aliran-aliran alternatif yang dikelompokkan dalam kubu pospositivisme. Hingga dekade 1990-an, telah lahir paling tidak lima kubu anti-positivisme ini, yaitu Hermeneutika, Teori Kritis, Feminisme, Posmodernisme dan Saintific Realism.18 c. Eksistensialisme dan Ontologi Mempersoalkan
riil
atau
tidaknya
negara
berarti
mempersoalkan
eksistensinya sebagai sebuah realitas. Dalam arti, bagaimana kita memahami the act of existing dari realitas yang tidak kasatmata tersebut, sehingga dapat ditentukan secara tepat esensi atau karakteristiknya dan dapat dibedakan dari realitas-realitas lainnya terutama yang kasatmata. Eksistensi sendiri adalah persoalan yang jarang diangkat atau bahkan dianggap tidak penting dalam tradisi ilmu sosial modern. Ini merupakan fenomena umum dalam dunia akademik modern di Barat yang berlatar essentialism. Tradisi ini kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia lainnya termasuk Indonesia. Problem eksistensi hanya penting dan vital bagi sejumlah ilmuan yang ber-genre existentialis. Menurut Walter Kaufmann, eksistensialisme bukan sebuah aliran atau mazhab filsafat. Ia adalah label bagi sebuah gerakan pemikiran yang lahir pada abad ke-19 yang keluar dari jalur “resmi” filsafat akademik modern dan melakukan kritik terhadap filsafat tersebut. Gerakan filosofis ini digagas oleh sejumlah filsuf seperti Dostoevsky, Kierkegaard, Jaspers, Sartre, Heidegger, dan lain-lain. 19 Secara historis, eksistensialisme adalah respon terhadap gejala yang disebut oleh John Wild sebagai breakdown of modern philosophy „keruntuhan filsafat
17
18 19
Scott Burchill, dkk., Theories of International Relations (New York: Palgrave Macmillan, 2005), hal. 1-2. Smith, International Relations: Positivism and Beyond, hal. 25. Walter Kaufmann, Existentialism from Dostoevsky to Sartre (London: A Plume Book, 1975), hal. 11.
8
modern‟ terutama di lingkungan akademik negara-negara Anglo-Saxon. Seiring dengan kemajuan pesat ilmu-ilmu alam, serta minat yang besar masyarakat terhadap ilmu-ilmu tersebut, posisi dan peran filsafat semakin terpinggirkan. Fungsi filsafat semakin tereduksi hanya sebagai perangkat dasar untuk melakukan analisa atau investigasi empiris.20 Sementara itu objek investigasi ilmu-ilmu tersebut adalah realitas-realitas alam yang observable. Para ilmuan kurang berminat untuk mendalami filsafat. Yang mereka kaji hanya hal-hal dasar dan praktis dari filsafat, sekadar cukup menjadi instrumen untuk melakukan kerja investigasi terhadap fakta-fakta berdasarkan bidang ilmunya masing-masing. Manfaat instrumental tersebut ternyata dapat mereka peroleh dari logika dan linguistik, sementara itu bagian-bagian lain dari filsafat ditinggalkan. Dengan dua perangkat filosofis inilah mereka bekerja memproduksi ilmu pengetahuan dan teknologi. Logika adalah gerbang dalam filsafat. Ia menguraikan kaidah-kaidah berpikir yang benar untuk dapat menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang benar pula. 21 Sementara linguistik atau filsafat bahasa adalah divisi filsafat yang mengkaji tentang hakikat dan cara kerja bahasa, termasuk di dalamnya tentang makna dan penggunaan bahasa.22 Dengan hanya berkutat di dua ranah ini, para ilmuan dan filosof modern terjebak dalam penjara konseptual dan logika. Perhatian mereka telah beralih kepada problem konseptualisasi dan simbol-simbol linguistik, dan semakin luput bahkan lupa kepada objek sejati yang sebenarnya ingin diobservasi. 23 Hal ini karena baik logika maupun filsafat bahasa hanya merupakan cabang di satu sisi, atau pengantar di sisi lain, untuk menuju inti filsafat, yaitu metafisika. Pada bagian intinya ini, filsafat hanya mengkaji inti realitas atau kesejatian dari semua realitas di alam semesta yang disebut eksistensi. Sementara pikiran dan bahasa, yang dikaji oleh logika dan filsafat bahasa, hanya bagian dari modus-modus eksistensi yang tak terbatas jumlahnya.
20
21 22 23
John Wild, the Challenge of Existentialism (Bloomington: Indiana University Press, 1955), hal. 9. Audi, the Cambridge Dictionary of Philosophy, hal. 679. Audi, the Cambridge Dictionary of Philosophy, 673. Wild, the Challenge of Existentialism, hal. 9.
9
Dengan berhenti di ranah logika dan bahasa, filsafat modern semakin layu dan kering karena terputus dari akarnya. Dari perspektif metafisika dapat dijelaskan, bahwa filsafat modern beserta anak-anak kandungnya, ilmu-ilmu alam dan sosial modern, tidak lagi memperdulikan eksistensi dan keragaman modus-modusnya. Perdebatan tentang riil atau tidak, eksis atau non-eksis, dianggap tidak penting dan tidak bermakna. Bagi mereka, apa yang riil/sejati adalah what it is, yaitu apa yang terdeteksi secara inderawi sehingga dapat digambarkan atau dibahasakan. Dengan kata lain, eksistensi adalah sesuatu yang jelas (taken for granted). Yang masih samar dan perlu diobservasi adalah esensinya, yaitu struktur ke-apa-an dari sesuatu yang eksis tersebut. Metafisika esensialisme ini menemukan momentumnya dalam pemikiran empirisisme David Hume, dan sejak itu menjadi tren berpikir umum hingga saat ini. 24 Dalam
konteks
ini,
eksistensialisme
adalah
gerakan
yang
ingin
mengembalikan filsafat pada wujudnya yang utuh. Terlepas dari keragaman dan pertentangan di antara mereka, para pemikir eksistensialis secara mendasar sepakat untuk menentang esensialisme dan bersama-sama menghidupkan kembali superioritas eksistensi yang telah lama runtuh.25 Setiap persoalan yang nampak di permukaan, baik alam maupun sosial, tidak bisa dipahami dan dijelaskan secara sederhana dari apa yang nampak semata. Persoalan tersebut jauh lebih kompleks karena yang nampak tersebut hanya merupakan efek dari problem yang terjadi di level eksistensi, sehingga dari ranah eksistensilah analisa suatu persoalan harus dimulai. Seperti yang dikatakan oleh Heidegger, “the „essence‟ of man lies in his existence”. 26 Kemudian, Sartre juga berkata: “The question is only complicated because there are two kinds of existentialists… What they have in common is simply the fact that existence comes before essence–or, if you will, that we must begin from the subjective.”27
24 25 26 27
Wild, the Challenge of Existentialism, hal. 17. Wild, the Challenge of Existentialism, hal. 65. Wild, the Challenge of Existentialism, hal. 65. Jean-Paul Sartre, “Existentialism is a Humanism” dalam Kaufmann, Existentialism from Dostoevsky to Sartre, hal. 347-348.
10
Dipandang dari sudut yang lain, pembicaraan tentang eksistensi ini sebenarnya bukan hal asing dalam filsafat. Sejak dahulu filsafat memiliki divisi atau cabang yang khusus membahas tentang eksistensi, yaitu ontologi. Dalam ensiklopedia filsafatnya Edward Craig menjelaskan: “Ontology is used to refer to philosophical investigation of existence or being. Such investigation may be directed towards the concept of being, asking what „being‟ means, or what it is for something to exist; it may also (or instead) be concerned with the question „what exists?‟ or „what general sorts of thing are there?‟ it is common to speak of a philosopher‟s ontology, meaning the kinds of thing they take to exist, or the ontology of a theory, meaning the things that would have to exist for that theory to be true.”28 Terkadang, ontologi juga dipandang sebagai cabang metafisika, dan didefinisikan sebagai ilmu yang membahas tentang persoalan eksistensi (being) secara umum, yang mencakup pembahasan tentang hakikat eksistensi dan struktur dasar realitas. 29 Secara ringkas dapat dikatakan, bahwa kajian ontologi adalah seputar pembahasan yang menjawab pertanyaan “what exist?”, “what there is?” atau “What basically exists?”30 Pembahasannya mencakup hakikat semua jenis realitas, baik yang kasatmata maupun yang tidak kasatmata. Dari uraian tersebut menjadi jelas bahwa, eksistensi negara adalah problem bersama yang dapat dikaji oleh setiap aliran filsafat yang memiliki perhatian besar pada eksistensi, tanpa kecuali filsafat Mullā Ṣadrā. Bahkan gagasan tentang fundamentalitas atau keunggulan eksistensi yang diusung oleh para filsuf eksistensialis Barat sejatinya sudah muncul lebih dahulu dalam tradisi filsafat Islam. Ibn Sīnā (980-1037) dan Mullā Ṣadrā (1571-1640) adalah di antara filsuf Muslim yang mengusung prinsip tersebut. Inilah yang menjadi landasan bagi kami untuk mengangkat filsafat Mullā Ṣadrā yang dikenal dengan al-ḥikmah almuta‟āliyyah ini sebagai perspektif alternatif untuk mengkaji problem eksistensi negara. Filsuf berdarah Persia ini membangun sistem filsafatnya di atas prinsip keunggulan eksistensi. 28
29
30
Edward Craig (ed), Concise Routledge Encyclopedia of Philosophy, (London. Routledge, 2000), hal. 645. Ted Honderic (ed), The Oxford Companion to Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1995), hal. 634. D.W. Hamlyn, Metaphysics (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), hal. 34-43.
11
Namun perlu ditekankan di sini bahwa kami tidak bermaksud membawa filsafat tersebut untuk berbicara tentang teori-teori HI atau isu-isu internasional praktis. Kajian akan berlangsung pada tataran the second order atau metateori, dan HI diposisikan hanya sebagai contoh kasus atau tempat berpijak bagi diskusi filosofis yang akan dikembangkan. Kajian ini dimaksudkan untuk dapat menemukan cara pandang alternatif tentang status ontologis negara, selain yang sudah ditawarkan oleh Wendt dengan realisme saintifiknya. Di antara alasan pemilihan aliran filsafat ini adalah: pertama, al-ḥikmah almuta‟āliyyah Mullā Ṣadrā merupakan sintesis dari aliran-aliran terdahulu dalam tradisi filsafat Islam. 31 Sebagai sebuah sintesis, ia mengoreksi pemikiranpemikiran terdahulu, dan kemudian menyempurnakannya sehingga menjadi mazhab tersendiri. Sebagai sebuah sintesis, dengan kadar tertentu ia mewarisi aspek-aspek
tertentu
dari
masing-masing
mazhab pendahulunya
seperti
peripatetik, iluminasi dan irfan (Gnostik). Dengan demikian, ia sangat representatif untuk mewakili filsafat Islam untuk berandil dalam perdebatan filosofis dengan mazhab-mazhab filsafat Barat. Kedua, meskipun merupakan sebuah sintesis, al-ḥikmah al-muta‟āliyyah membangun argumentasi-argumentasinya di atas fondasi tersendiri yaitu aṣālat al-wujūd (keunggulan wujud/eksistensi). Secara historis, filsafat Islam terbelah menjadi dua aliran ontologis, yaitu aṣālat al-wujūd yang diwakili oleh filsafat peripatetik Ibn Sīnā dan al-ḥikmah al-muta‟āliyyah Mullā Ṣadrā, dan aṣālat almāhiyyah (keunggulan kuiditas/esensi) yang diwakili oleh filsafat iluminasi Suhrawardī. Secara fundamental, para pendukung aliran aṣālat al-wujūd memiliki persamaan dengan para filsuf eksistensialis Barat yang mengakui peran signifikan eksistensi, sehingga lebih mudah untuk dipertemukan. Sementara aliran aṣālat almāhiyyah meyakini bahwa yang sejati adalah kuiditas, sedangkan eksistensi dianggap hanya sebagai konsep mental, tidak mewujud dalam dunia nyata. Oleh karena itu, persoalan eksistensi negara ini kemungkinan akan lebih bisa dijelaskan
31
James Winston Morris, The Wisdom of the Throne (Princeton: Princeton University Press, 1981), hal. 21-22.
12
melalui aliran aṣālat al-wujūd, dan al-ḥikmah al-muta‟āliyyah adalah mazhab yang paling mutakhir dari aliran ini.
B. Pokok Masalah Dari latarbelakang di atas beberapa masalah pokok dapat diidentifikasi untuk diuraikan di penelitian ini. Pertama, profil Ilmu Hubungan Internasional yang mencakup proses kelahiran dan perkembangannya, termasuk konteks masuknya empirisisme dalam disiplin tersebut serta permasalahan ontologis yang dihadapinya di seputar eksistensi negara. Kedua, konsepsi dan problem eksistensi negara dari berbagai perspektif, sehingga terpetakan dengan jelas persoalan yang sebenarnya, dan dari pintu mana sebuah pandangan alternatif dapat ditawarkan Ketiga, bagaimana problem status ontologis negara tersebut diuraikan menurut perspektif filsafat Mullā Ṣadrā, dan sebagai konsekuensinya bagaimana negara dikonsepsikan berdasarkan perspektif tersebut. Keempat, posisi perspektif filsafat Mullā Ṣadrā tersebut dalam peta pemikiran HI kontemporer.
C. Batasan Masalah Penelitian ini akan membatasi diri pada masalah-masalah pokok yang sudah diidentifikasi di atas. Deskripsi tentang profil HI akan diuraikan untuk menemukan alur historis dari masalah status ontologis negara ini, sehingga dapat mengungkap nilai penting bagi pengkajiannya. Proses masuknya empirisisme dan model penggunaannya dalam HI juga akan diuraikan sebatas untuk menegaskan bahwa problem ontologis ini berakar dari adopsi empirisisme. Tentang definisi negara, kami akan menguraikan beberapa konsepsi dan pandangan seputar problem eksistensi negara dari versi kaum empiris dan non-empiris Barat yang notabene masih dalam lingkup filsafat materialisme, serta pandangan alternatif dari beberapa pemikir Muslim. Sementara tentang filsafat Mullā Ṣadrā, kami akan menguraikan prinsip-prinsip dasarnya secara garis besar sekedar dapat menjadi landasan
filosofis
untuk
menguraikan problem eksistensi
negara serta
merevitalisasi konsep negara dengan perspektif tersebut. Sedangkan untuk peta
13
pemikiran HI, kami akan menguraikan hanya beberapa mazhab teori saja yang terkait langsung dengan temuan yang akan diperoleh.
D. Rumusan Masalah Dari
identifikasi
masalah
tersebut,
dapat
dirumuskan
beberapa
permasalahan yang akan dicari jawabannya dalam penelitian ini: 1. Bagaimana status eksistensi negara dari perspektif filsafat Mullā Sadrā? 2. Setelah status tersebut ditentukan, bagaimana negara kemudian dikonsepsikan berdasarkan perspektif tersebut? 3. Bagaimana konsepsi negara dari perspektif filsafat Sadrā tersebut diposisikan di antara mazhab-mazhab teoretis yang ada dalam HI?
E. Hipotesis Hipotesis yang dapat kami ajukan adalah sebagai berikut: Di luar empirisisme, ada beragam pandangan tentang problem eksistensi negara.
Dalam
formatnya
masing-masing,
sebagian pandangan tersebut
menyatakan negara sebagai eksistensi yang sejati. Dari perspektif filsafat Mullā Ṣadrā sendiri, negara itu eksis. Negara eksis tidak hanya bersifat mental (i‟tibārī), tetapi juga eksternal. Eksistensinya dapat dideteksi dari efek-efek fisik (āthār) yang dimilikinya. Ini antara lain bersandar pada pembagian wujud oleh Mullā Ṣadrā menjadi al-wujūd adh-dhihnī yakni eksistensi yang berada di dunia mental atau pikiran, dan al-wujūd al-khārijī yakni eksistensi yang eksis di dunia nyata, dari efek-efek fisik yang dimilikinya yang dapat dicerap oleh pancaindera. 32 Dilihat dari sisi ini, eksistensi negara bersifat mental, yakni berada di dimensi immaterial. Ia tidak memiliki tubuh fisik seperti halnya manusia, binatang dan tumbuhan, tetapi efek keberadaannya dapat dirasakan secara fisik dan massif oleh semua orang. Hal ini merupakan indikasi kokohnya status ontologis negara, karena menurut prinsip gradasi wujud (tashkīk al-wujūd) bahwa dunia materi berada di level terbawah dari tingkatan-tingkatan wujud, sedangkan dunia 32
Mullā Sadrā, al-Ḥikmah al-Muta‟āliyyah fī Al-Asfār al-„Aqliyyah al-Arba‟ah (Beirut: Dar alIḥyā al-Turats al-„Arabi, 1981), J. 2, hal. 56-71.
14
immaterial berada di posisi lebih tinggi sebab jarak eksistensialya yang lebih dekat dengan Wujud Absolut yang merupakan sumber pancaran segala modus wujud. Hakikat negara bukan individu-individu di dalamnya, tetapi fakta tidak kasatmata yang merupakan kesatuan jiwa atau kesadaran dari individu-individu tersebut berdasarkan kedekatan tertentu secara fisik maupun psikologis, seperti tanah kelahiran, tempat tinggal, kebutuhan, kepentingan dan cita-cita bersama. Dalam HI, pandangan semacam ini pernah dikemukakan oleh Alexander Wendt, seorang tokoh konstruktivisme, dalam teori negara sebagai kesadaran kolektif (collective consciesness).
F. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut: a. Merumuskan cara pandang baru terhadap problem filosofis yang diangkat di penelitian ini, sekaligus mencoba menawarkan filsafat Mullā Ṣadrā untuk menjadi fondasi filosofis alternatif bagi disiplin HI. b. Merumuskan konsepsi baru tentang negara berdasarkan perspektif filsafat Mullā Ṣadrā. c. Menafsirkan
filsafat
Mullā
Ṣadrā
dalam
rangka
mengkontekstualisasikannya dalam isu-isu filsafat kontemporer.
G. Signifikansi Penelitian Studi ini memiliki nilai signifikan sebagai berikut: 1. Menjadi wacana baru bagi kedua disiplin. Bagi HI, wacana ini menjadi bentuk persinggungan baru dengan filsafat non-Barat. Bagi filsafat Ṣadrā sendiri, ini menjadi sebuah penerjemahan aplikatif untuk membaca isu-isu filsafat praktis kontemporer. 2. Menjadi stimulus bagi para peneliti lain untuk melakukan penelitianpenelitian lanjutan, dalam rangka memperkenalkan filsafat Mullā Ṣadrā kepada khalayak ilmuan sosial, khususnya HI.
15
3. Memberikan cakrawala berpikir baru di kalangan ilmuan HI di tanah air dan ilmuan sosial secara umum, yang selama ini masih banyak berkiblat kepada tradisi filsafat Barat yang materialistik, sehingga dapat lebih membuka diri terhadap khasanah-khasanah filsafat yang non-materialis, terutama filsafat Islam.
H. Penelitian Terdahulu Sejauh penelurusan kami, persoalan tentang eksis atau tidaknya negara di dunia nyata pertama kali dikemukakan di arena perdebatan HI oleh Erik Ringmar dalam artikelnya “On the Ontological Status of the State” di European Journal of International Relations pada tahun 1996. Selama ini, menurut Ringmar, negara sebagai objek kajian dalam HI diperlakukan layaknya seorang manusia, yang hidup, memiliki tubuh, sifat dan perilaku. Namun tidak seorang pun mempersoalkan mengapa negara diperlakukan demikian, apakah itu sekedar metafora atau memang benar negara itu hidup, memiliki tubuh dan berinteraksi layaknya manusia. Dari kajian filosofisnya Ringmar memetakan jawaban untuk persoalan tersebut ke dalam dua kubu, empirisisme dan atomisme. Empirisisme yang diwakili oleh David Hume menjawab bahwa konsep negara hanya sebuah metafora yang menunjuk pada atribut-atribut empiris tertentu seperti pemerintah, pengadilan, undang-undang, dan lain sebagainya. Sementara atomisme yang diwakili oleh Thomas Hobbes menjawab bahwa negara itu eksis secara transendental. Negara tersusun atas individu-individu, dan setiap individu memiliki nafsu untuk saling menguasai. Negara adalah Leviathan, semacam individu jadi-jadian (artificial person), yang bertugas mengelola distribusi nafsu kekuasaan masing-masing individu itu dan menciptakan keteraturan.33 Namun demikian, Ringmar tidak puas dengan dua jawaban tersebut. Kemudian tanpa membahas lebih lanjut mana dari keduanya yang benar (negara itu hanya metafora atau benar-benar nyata) Ringmar justru menggiring pembicaraan ke luar arena filsafat. “The way out of this dilemma is to stop talking 33
Erik Ringmar, “On the Ontological Status of the State” dalam European Journal of International Relations (New York: Sage Publications, Vol. 2:4, 1996), hal. 439-466.
16
about what states really are, and start instead to talk about what things they resemble.” Ringmar tidak memihak kepada salah satu jawaban itu, dan tidak pula memberikan alternatifnya. Dia kemudian menawarkan pendekatan genealogis (genealogical approach) sebagai jalan untuk keluar dari dilema persoalan eksistensi negara. Persoalan ontologis yang diangkat Ringmar tersebut mendapat respon positif di kalangan akademisi HI di Eropa maupun Amerika Serikat. Respon yang paling komprehensif diberikan oleh Alexander Wendt dari Amerika Serikat. Dalam bukunya Social Theory of International Politics yang terbit pada 1999, Wendt menjadikan topik ini salah satu pintu masuk untuk memperkenalkan realisme saintifik dalam khalayak perdebatan HI. Realisme santifik adalah di antara aliran filsafat yang mengakui eksistensi fakta-fakta unobservable. Khususnya di bab dua pada buku tersebut, Wendt berargumen bahwa negara adalah layaknya sosok individu yang memiliki kepribadian (self). Kepribadian ini terbentuk dari kesadaran bersama individu-individu yang berkumpul di dalam suatu wilayah, untuk menciptakan kepentingan dan kebutuhan bersama serta beraksi bersama demi mencapai kepentingan tersebut. Oleh karena itu, negara layak menyandang status ontologis yang mandiri sebagaimana objek-objek empiris, meskipun pada dirinya tidak memiliki kualitas-kualitas empiris. Secara empiris yang dapat dilihat dari negara adalah segenap individu yang berada di satu tempat tertentu. Wendt kemudian berkesimpulan, “States are people too.”34 Riset lanjutan untuk topik ini dilakukan Wendt dan muncul dalam bentuk artikel “The State as Person in International Theory” dalam jurnal Review of International Studies pada 2004. Di sini Wendt, mengekplorasi lebih jauh tentang eksistensi negara sebagai sosok pribadi kolektif. Dia menyatakan bahwa negara adalah sebuah organisme. Dengan mengumpulkan beberapa pandangan tentang kriteria organisme, Wendt mengatakan bahwa negara memilik kriteria-kriteria utama untuk dapat disejajarkan dengan organisme hidup. Dengan mengajukan beberapa pertimbangan filosofis dan psikologis, ia menyimpulkan bahwa negara
34
Wendt, Social Theory of International Politics, hal. 215-218.
17
memiliki suatu kesadaran sebagaimana seorang individu, yang disebutnya sebagai “collective consciousness”.35 Sementara itu, pada disiplin filsafat Islam kami sejauh ini belum menemukan satu riset pun yang menerjemahkan filsafat Mullā Ṣadrā untuk menganalisis persoalan filosofis praktis dalam HI khususnya terkait topik ini. Penelitian ini diharapkan dapat membuka jalan baru dalam hal ini. Dari penelusuran yang dilakukan kami menemukan, filsuf Muslim kontemporer Shahīd Murtadha Muṭahharī menaruh perhatian besar dalam persoalan eksistensi masyarakat. Dalam karyanya yang berjudul Society and History (Masyarakat dan Sejarah), Shahīd Muṭahharī berpendapat bahwa masyarakat itu eksis. Pendapat ini tentu berlaku juga untuk negara, karena negara adalah bentuk terbesar dari masyarakat. Menurut Shahīd Muṭahharī, eksistensi masyarakat berbeda dengan eksistensi individu-individu yang membentuknya. Sementara itu individu-individu tersebut tetap memiliki eksistensinya masing-masing. Masyarakat juga memiliki kepribadian tersendiri yang berbeda dengan kepribadian individu-individu penyusunnya, sementara individu-individu itu sendiri memiliki kepribadian masing-masing yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Secara personal Shahīd Muṭahharī adalah seorang pengajar filsafat dan pengikut aliran filsafat Mullā Ṣadrā, sehingga sangat mungkin pandangan sosiologisnya tersebut berakar dari prinsip-prinsip filsafat yang dianutnya. Sampai di sini dapat dilihat bahwa tema yang diangkat dalam penelitian ini masih merupakan ruang yang luas untuk pengkajian. Nilai lebih penelitian ini dibandingkan dengan yang sudah ada adalah mempertemukan dua disiplin dan tradisi keilmuan yang berbeda, di mana HI yang merupakan sebuah disiplin ilmu sosial-politik dari tradisi keilmuan Barat, sementara al-ḥikmah al-muta‟āliyah adalah sebuah aliran filsafat dari tradisi keilmuan Islam. Keduanya bertemu dalam sebuah topik yang belum banyak dibicarakan oleh kedua belah pihak yaitu status eksistensi negara.
35
Wendt, The State as Person in International Theory, hal. 286-316.
18
I. Metode Penelitian Penelitian ini termasuk dalam studi pustaka. Pertama-tama, kami mengumpulkan data-data dari buku, jurnal maupun artikel. Data-data tersebut dipilah ke dalam dua kelompok, primer dan sekunder. Data primer adalah bukubuku karya Mullā Ṣadrā untuk memahami prinsip-prinsip ontologisnya. Sedangkan data-data sekunder adalah buku-buku atau jurnal yang berbicara tentang biografi atau pemikiran-pemikiran Ṣadrā untuk memperoleh informasiinformsi tambahan tentang tokoh tersebut beserta pemikiran-pemikirannya. Metode yang digunakan adalah hermeneutika Gadamerian, deskripsi dan analisis. Hermeneutika Gadamerian digunakan untuk memahami teks-teks primer filsafat Mullā Ṣadrā sesuai dengan kebutuhan dan tujuan penelitian ini, karena dalam hermeneutika ini makna sebuah teks tidak terletak pada alam pikiran penulis untuk diungkapkan, tetapi pada dialog antara penulis dan pembaca. Dengan demikian, pembaca dapat mengungkap makna-makna baru yang sesuai dengan horizon dan kebutuhannya.36 Kemudian, metode deskripsi digunakan untuk menguraikan argumentasi-argumentasi filosofis Mullā Ṣadrā. Sedangkan analisis digunakan untuk mencari korelasi argumentasi-argumentasi tersebut dengan problem filsafat yang sedang dihadirkan, sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.
J. Sistematika Penelitian BAB I Bagian pertama bab ini akan mengurai persoalan yang melatarbelakangi penelitian ini. Setelah itu, penulis dapat merumuskan persoalan tersebut dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan untuk dijawab dalam penelitian ini. Kemudian diuraikan tujuan dan manfaat penelitian, penelitian terdahulu, metode penelitian dan sistematika penelitian. BAB II Kami akan mulai dengan mengupas karakter HI secara ontologis. Kemudian akan membahas problem-problem yang muncul dari penetrasi empirisisme dalam HI dan beberapa kritik terhadapnya. Selanjutnya adalah 36
Mudjia Raharjo, Dasar-Dasar Hermeneutika: Antara Intensionalisme & Gadamerian (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hal. 75-80.
19
pembahasan tentang problem eksistensi negara menurut beberapa perspektif baik empiris maupun non-empiris. Kami juga menghadirkan beberapa pandangan alternatif dari kalangan pemikir Muslim yang lahir dari tradisi filsafat yang notabene asing bagi kalangan ilmuan sosial di Barat. BAB III Kami akan menguraikan prinsip-prinsip utama filsafat Mullā Ṣadrā, yaitu tentang konsep wujud, aṣālat al-wujūd, tashkīk al-wujūd, wujud dhihnī dan wujud khārijī, ma‟qūlāt, ittiḥād al-āqil wa al-ma‟qūl, al-ḥarakah al-jauhariyyah dan an-nafs. Semua pembahasan di bab ini menjadi instrumen teoretis untuk menguraikan permasalahan penelitian di bab berikutnya. BAB IV Kami akan menggunakan prinsip-prinsip wujud Ṣadrā tersebut untuk melihat posisi ontologis negara, dan dari situ akan diuraikan bagaimana konsepsi negara berdasarkan prinsip-prinsip tersebut. Kemudian, bab ini akan diakhiri dengan uraian tentang posisi dari perspektif filsafat Ṣadrā ini dalam peta perdebatan akademik HI. BAB V adalah kesimpulan yang berisi rangkuman singkat dari temuantemuan yang diperoleh sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian ini. Sebagai pelengkap, beberapa saran akan diberikan terkait hal-hal baru yang muncul dan prospektif untuk dilakukan riset-riset lanjutan.
20
DAFTAR PUSTAKA
Buku Albert, Mathias, dkk (ed.), Identities Borders Orders: Rethinking International Relations Theory, Minneapolis: The University of Minnesota Press, 2001. Anderson, Benedict, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, London: Verson, 1996. Audi, Robert, The Cambridge Dictionary of Philosophy, Cambridge: Canbridge University Press, 1999. Burchill, Scott, dkk., Theories of International Relations, New York: Palgrave Macmillan, 2005. Buzan, Barry, From International to World Society? English School Theory and the Social Structure of Globalization, Cambridge: Cambridge University Press, 2004. Carter, April, The Political Theory of Global Citizenship, London: Routledge, 2001. Chakravartty, Anjan, A Metaphysic for Scientific Realism: Knowing the Unobservable, New York: Cambridge University Press, 2007. Chernoff, Fred, Theory and Metatheory in International Relations, New York: Palgrave, 2007. Craig, Edward (ed), Concise Routledge Encyclopedia of Philosophy, London. Routledge, 2000. Crawford, Robert M. A., Idealism and Realism in International Relations: Beyond the Disciplilne, New York: Routledge, 2000. Gharawiyan, Mohsen, Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam, Jakarta: Sadra Press, 2012. Griffiths, Martin, dkk., Fifty Key Thinkers in International Relations (2 Edition), New York: Routledge, 2000. Hadiwinata, Bob Sugeng, “Transformasi Isu dan Aktor di dalam Studi Hubungan Internasional: Dari Realisme hingga Konstruktivisme” dalam Yulius P. Hermawan, Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor Isu dan Metodologi, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007. Hamlyn, D.W, Metaphysics, Cambridge: Cambridge University Press, 1989. Hobbes, Thomas, Leviathan, Harmondsworth: Penguin, 1651/1968. Honderic, Ted (ed), The Oxford Companion to Philosophy, Oxford: Oxford University Press, 1995. Ibn Khaldūn, „Abd al-Raḥmān, The Muqaddimah: an introduction to history, diterjemahkan ke Inggris oleh Franz Rosethal, Princeton: Princeton University Press, 1969. -------, Muqaddimah Ibn Khaldūn, Beirut: Dār al-Fikr, 2001. Joseph, Jonathan & Colin Wright, Scientific Realism and International Relations, New York: Palgrave Macmillan, 2010.
149
Kalin, Ibrahim, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Sadrā on Existence, Intellect and Intuition, New York: Oxford University Press, 2010. Kamal, Muhammad, Mullā Ṣadrā‟s Transcendent Philosophy, Aldershot: Ashgate, 2006. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Kaufmann, Walter, Existentialism from Dostoevsky to Sartre, London: A Plume Book, 1975. Khamenei, S.M., Mullā Sadrra‟s Trancendent Philosophy, Teheran: SIPRIn, 2004. Krasner, Stephen D. (ed), Problematic Sovereignty: Contested Rules and Political Possibilities, New York: Columbia University Press, 2001. Lacey, A.R., A Dictionary of Philosophy (New Edition), New York: Routledge, 1996. Little, Richard & Michael Smith (ed), Perspectives on World Politics (Third Edition), New York: Routledge, 2006. Longman Advanced American Dictionary (New Edition), Edinberg: Pearson Education Limited, 2008. Mas‟oed, Mohtar, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, Jakarta: LP3ES, 1990. McGinnis, Jon, Great Medieval Thinkers: Avicenna, New York: Oxford University Press, 2010. Morris, James Winston, The Wisdom of the Throne, Princeton: Princeton University Press, 1981. Muṭahharī, Murtaḍā, Masyarakat dan Sejarah: Kritik Islam atas Marxisme dan Teori Lainnya, Bandung:Penerbit Mizan, 1993. ------------, Durūs Falsafiyyah fī Sharḥ al-Mandhūmah, Lebanon: Shams alMashreq for The Cultural Services, 1994, juz II. Nasr, Seyyed Hossein, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, Tehran: Imperial Iraian Academy of Philosophy, 1979. -------, Three Muslim Sages, New York: Caravan Books, 1997. Patomaki, Heikki, After International Relations: Critical Realism and the Reconstruction of World Politics, London: Routledge, 2002. Psillos, Stathis, Scientific Realism: How Science Tracts Truth, London: Routlege, 1999. Raharjo, Mudjia, Dasar-Dasar Hermeneutika: Antara Intensionalisme & Gadamerian, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008. Rahman, Fazlur, The Philosophy of Mullā Sadrā, Albany: SUNY Press, 1975. Razavi, Mehdi Amin. Suhrawardī and the School of Illumination, London: Curzon, 1997. Rifā‟ī, „Abd al-Jabbār ar-, Durūs fī al-Falsafah al-Islāmiyyah: Sharḥ Tauḍīḥī li Kitāb Bidāyah al-Ḥimah, Iran: Al-Hadi, 2000. Sadrā, Mullā, al-Ḥikmah al-Muta‟āliyyah fī Al-Asfār al-„Aqliyyah al-Arba‟ah, Beirut: Dar al-Iḥyā al-Turats al-„Arabi, 1981, juz I, II, III, VIII, IX.
150
-------, Ash-Shawāhid ar-Rubūbiyyah fī al-Manāhij as-Sulūkiyyah, Mashhad: Meshed University Press, 1967. Sankey, Howard, Scientific Realism and the Rationality of Science, Hampshire: Ashgate Publishing Limited, 2008. Scruton, Roger, A short History of Modern Philosophy from Descartes to Wittgenstein (Second Edition), London: Routledge, 1995. Smith, Steve, Ken Booth & Marysia Zalewski, International Relations: Positivism and Beyond, Cambridge: Cambridge University Press, 1996. Spencer, Herbert, The Mand Versus The State, Idaho: the Caxton Printers, Ltd, 1960. Ṭabaṭaba‟ī, Shahīd Husain, Bidāyah al-Ḥikmah, Qom: Muassasah an-Nasyr alIslami, T.t Walbridge, John, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardī and Platonic Orientalism, New York: SUNY Press, 2001. Walid, Khalid Al-, Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat: Filsafat Eskatologi Mullā Ṣadrā, Jakarta: Ṣadrā Press, 2012. Waltz, Kenneth, The Theory of International Politics, Massachusetts: AddisonWesley Publishing Company, 1979. Wendt, Alexander, Social Theory of International Politics, Cambridge: Cambridge University Press, 1999. Wild, John, the Challenge of Existentialism, Bloomington: Indiana University Press, 1955.
Jurnal & Disertasi Akbarian, Reza & Mohsen Imani Naeni, “A Study on Mullā Ṣadrā‟s Innovations Inpractical Philosophy and Its Consequences on Man‟s Status” dalam Hekmah va Falsafeh, Teheren: Allameh Tabatabaii University, Vol.7, No.4, Januari, 2012. Damad, Sayyed Mustafa Muhaqqiq, “Some Notes on the Problem of Mental Existence in Islamic Philosophy”, dalam Transcendent Philosophy: An International Journal for Comparative Philosophy and Mysticism, London: London Academy of Iranian Studies, Vol.2, No.1, Maret 2001. Gilpin, Robert, “The Richness of the Tradition of Political Realism”, dalam International Organization, Massachusetts: the MIT and the World Peace Foundation, Vol. 38 No. 2, Spring, 1984. Kalin, Ibrahim, Mullā Ṣadrā‟s Theory of Knowledge and the Unification of the Intellect and the Intelligible, Disertasi, Columbian Colledge of the Arts and Sciences, the George Washington University, 2003. -------, “Mullā Ṣadrā‟s Realist Ontology of the Intelligibles and Theory of Knowledge” dalam The Muslim World. Istambul: ISAM, Vol. 94, Issue 1, Januari, 2014. Kamal, Muhammad, “Dressing after Dressing: Ṣadrā‟s Interpretation of Change” dalam Open Journal of Philosophy, SciRes, http://dx.doi.org/10.4236/ojpp.2013.31009, Vol. 3, No. 1, 2013.
151
Lapid, Yosef, “The Third Debate: On the Prospects of International Theory in a Post-Positivist Era” dalam International Studies Quarterly, New Jersey, the International Studies Association, vol. 33 No. 3, September, 1989. Ringmar, Erik, “On the Ontological Status of the State” dalam European Journal of International Relations, New York: Sage Publications, Vol. 2:4, 1996. Ruggie, John Gerard, “What Makes the World Hang Together? Neo-utilitarianism and the Social Constructivist Challenge” dalam International Organization, Massachusetts, the IO Foundation and the MIT, Vol. 54 No. 4, Autum, 1998. Smith, Steve, “the Discipline of International Relations: Still an American Social Science?” dalam British Journal of Politics and International Relations (UK, Blackwell Publishers, Vol. 2 No. 3, Oktober, 2000. Springborg, Patricia, “Hobbes's Challenge to Descartes, Bramhall and Boyle: A Corporeal God” dalam British Journal for the History of Philosophy, New York: Taylor and Francis, Vol.20, 2012. Wendt, Alexander, “The Agent-Structure Problems in International Relations Theory “ dalam International Organization, Cambridge: the MIT Press, Vol.41, No.3, Summer, 1987. -------, “Anarchy is What States Make of It: the Social Construction of Power Politics” dalam International Organization, Cambridge, the MIT Press, Vol. 46 No. 2, Spring, 1992. -------, “The State as Person in International Theory” dalam Review of International Studies, London: British International Studies Association, Vol. 30, 2004.
Artikel Online “Ancient Atomism”, di dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, http://plato.stanford.edu/entries/atomism-ancient/, (diakses, 1 Desember, 2014) http://www.al-islam.org/islam-and-religious-pluralism-ayatullahmurtadhamutahhari/biography-late-ayatullah-murtadha, (diakses, 10 Desember, 2014) http://www.collinsdictionary.com/dictionary/englishthesaurus/feeling?showCooki ePolicy=true, (diakses, 9 Desember, 2014) http://www.collinsdictionary.com/dictionary/englishthesaurus/group?showCookie Policy=true, (diakses, 9 Desember, 2014) http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/cohesion?searchDictCode= all, (diakses, 5 Januari, 2015) “Pengertian Bumi Beserta Struktur Lapisan Bumi”, http://www.gexcess.com/pengertian-bumi-beserta-struktur-lapisan-bumi.html, (diakses, 6 Januari, 2014) “Thomas Hobbes”, di dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, http://plato.stanford.edu/entries/hobbes/, (diakses, 28 November, 2014)
152