133
PRINSIP–PRINSIP TAUHID AL-GHAZALI DALAM DIMENSI TASAWUF
Hemlan Elhany Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro E-mail:
[email protected]
Abstract Al-Ghazali maintains that believing in Allah not only involving the brain, but also deep understanding in the role of God and can be placed in good way from the issue of circumstance that the human life. After through the deep study and can process the spiritual knowledge by sense, it reality that the way to make the God pure from the holy single not by the theology, not fiqih and not in debate. Al-Ghazali said that: “Syai’at without the esential is blind, and the esential without syari’at cannot be perfect. And then try to combine between syari’at and the esential. The knowledge can be movingly if the syari’at do in harmony with the esential and felt good if we believe in iman. Al-Ghazali in the principal of tauhid, not hold on the tawakal princip the source from the heart knowledge. In one sentence (there is no God except of Allah), by saying that statement, the people can be a good moslem. Keywords: Al-Ghazali, tauhid principle, sufism A. PENDAHULUAN Peranan positif yang diajarkan tasawuf dalam sejarah Islam merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari bagaimana orang Islam dapat berada sedekat mungkin dengan tuhannya. Oleh karena itu tasawuf adalah berfungsi sebagai dasar kekuatan bathin, pembersih jiwa, penyalur amal yang ikhlas dan memupuk kekuatan iman dalam memurnikan tuhan. Mengingat pentingnya membina kehidupan terutama membina mental manusia, maka sangat perlu menampilkan dasar-dasar tasawuf. Hal ini karena ajaran Islam sendiri telah menyalurkan atau menyerukan hidup harmonis yang diperoleh melalui pemahaman esensial dari ajaran Islam. Ajaran Islam mencakup aqidah, syari‟a dan tasawuf/akhlak. Dengan Aqidah, manusia dapat mengetahui bahwa tuhan Allah itu ada dan sekaligus mempercayai. Serta dapat meresapi akan wujud Tuhan; Dengan Syari‟ah,
134
│
TAPIS Vol. 14 No. 01 Januari-Juni 2014
Manusia dapat mengetahui peraturan Tuhan dan mentaatinya, kepada sesama manusia, kepada atau serta melaksanakan hak dan kewajiban kepada Tuhan kepada negara dan kepada sesama mahluk; Serta dengan tasawuf, manusia dapat melatih bathinnya untuk lebih mengenal Tuhan dan mengontrol jiwa untuk selalu ingat kepadanya. Tasawuf “mempunyai tujuan memproleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan”.
1Al-Ghazali
memberikan kesan bahwa tasawuf bukanlah
sembarang ilmu yang semata-mata, atau zauq (gevoel). Bahkan tujuan yang ialah kebahagian yang tiada taranya. Kebahagiaan yang tidak dapat digambarkan dengan tulisan, tidak dapat dihayalkan oleh penglihatan mata atau pendengaran telinga, melainkan ketentraman jiwa dalam kampung yang kekal, kampung akherat. Untuk mencapai itu haruslah membawa bekal yaitu taqwa. Yakni melepaskan segala ikatan yang merintang untuk menuju keridlaan Allah. Untuk mencapai tujuan tersebut, ahli tasawuf mengatakan:
جَتجلِّى،جَتجلِّى َنج ْف ج ج ِم ج ْف ج ْف ج ِم ْفدل ْف ُم ْف ج ِم جَتجلِّى ِم ْف ج ْف لج ِم ْفدل ْفح ُمم ْف جدةِم ج ج Artinya:Lepaskanlah dirimu dari akhlak yang tercela, hiyasilah jiwamu dengan akhlak yang terpuji, maka jelaslah Tuhan (di hadapanmu). 2 Menurut Al-Ghazali iman kepada Allah tidak cukup memakai akal semata, melainkan bisa menghayati ajaran tuhan dan bisa menempatkan diri dari gejolak lingkungan dimana mamusia hidup. Setelah melalui pengamatan yang tajam dan mampumemproses pengetahuan spiritual melalui indranya, nyatalah baginya bahwa jalan untuk memurnikan Tuhan atas ke-esaannya bukan dengan jalan theologi, bukan jalan fiqh dan bukan pula dengan jalan perdebatan. AlGhazali mengungkapkan : Syai‟at tanpa hakekat kosong, dan hakekat tanpa syari‟at tidak sempurna. Kemudian berupaya memadukan antara syari‟at dengan hakekat. Ilmu akan nampak dinamis bila syari‟at berjalan harmonis bersama hakekat dan rasa ihsan bila dihayati oleh iman.
1Muhammad 2Barmawati
Daslan, Sirajut Thahlibin, (Mesir: Mustofa Al-Babi, 1955), h. 56. Umari, Sistimatika Tasawuf, (Ramadhani, - t. th. ), h. 17.
Prinsip–Prinsip Tauhid Al-Ghazali Dalam Dimensi Tasawuf
│
135
Sudah tentu kita mengetahui bahawa Al-Ghazali yang semasa hidupnya dicurahkan untuk menggali ilmu pengetahuan dana amal. Al-Ghazali berkeiginan keras untuk mengetahui hakekat fitrah manusia. Hakekat aqidah keagamaan hakekat filsafat, dan hakekat aliran-aliran yang terjadi dalam Islam. Ia dalam hal ini ingin membedakan mana yang benar dan mana yang salah dengan segala perbedaan, keragamaan dan pertentangan yang ada padanya. Dibalik itu ia ingin mencapai pengetahuan yang paling hakiki, hingga tidak ada keraguan dan kebimbagan sedikitpun. Al-Ghazali dalam prinsip tauhidnya, tidak cukup berpegang kepada prinsip tawakkal yang bersumber kepada pengetahuan hati. Satu ucapan (tiada Tuhan selain Allah), dengan ucapan itu seseorang belum cukup mencapai keyakinan sebagai dasar tawakkal. Hal
ini
nampak
jelas
dengan
pendapatnya
dalam
kitab
Ihya‟Ulumuddin : Ketahuilah kiranya bahwa tawakkal itu sebagian dari iman. Semua iman/pintu iman itu tidak teratur selain dengan ilmu dan amal. Dan tawakkal seperti demikian juga akan teratur dari ilmu yang mencapai/menjadi pokoknya, amal itu buah (hasil) dan hal keadaan itu yang dimaksud dengan nama tawakal. 3
Dalam Islam sendiripun dikatakan bahwa, yang menjadi dasar agama dari segala dasar agama Islam adalah tauhid adalah pengakuan adanya Tuhan Yang Maha Esa. Disamping itu menjadi dasar pula “soal kerasulan, wahyu, kitab suci (Al-Qur‟an), soal mukmin dan muslim, soal kaafir dan musyrik, hubungan mahluk terutama manusia dengan Tuhannya, dan soal kafir hidup manusia yaitu sorga dan neraka”. 4 Menurut ajaran sufi, tauhid adalah mengakui bahwa Tuhan itu satu (tunggal), kekal, berpengetahuan, pengampun dan sesamanya. Pendek kata ia diberi sifat dengan segala sifat keagungan yang jauh dari sifat yang diterima oleh hambanya.
3 Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, terjemah. H. Isma‟il Ya‟kub, Jilid VI, (Jakarta: Faizan, 1985), h. 280. 4Harun Nasution, II, Islam Ditinjau dari Beberapa Aspek, Jilid II, (Jakarta: UI, 1979), h. 30.
│
136
TAPIS Vol. 14 No. 01 Januari-Juni 2014
Sedangkan menurut theotologi, Tauhid dibagi menjadi tiga bagian. Yaitu tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah dan tauhid asma dan sifat Allah. 1. Tauhid rububiyah ialah keyakinan bahwa alam semesta dan seisinya ini ada yang menciptakan yaitu Allah. 2. Tauhid uluhiyah, setingkat lebih tinggi dari tauhid rububiyah, tauhid ini terkandung makna bahwa Allah saja tempat manusia meminta dan pertolongan. Dari seluruh iman dan ihsan, manusia dengan segala bentuk ibadah hanya kepada Allah. 3. Tauhid asma dan sifat Allah ialah keyakinan bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna dan sebanding dengan Allah. Allah maha melihat dan mendengar semua ini memberi suatu pedoman bahwa segala pokok ibadah hanya dipersembahakan kepada-Nya. 5 Lain halnya dengan pandangan filosuf Islam yangdiwakili ibnu Sina Damal-Farabi. Mereka berpendapat bahwa adanya Tuhan atau wajibul wujud tidak usah dicari dengan penglihatan manusia, cukup dengan anugrah Tuhan yang
diberikan
kepada
manusia
yaitu
akal.
IbnuSinadan
Al-
Farabiberpendapatbahwa “Otakmanusiadapat membawa kepada pengakuan adanya Tuhan dengan tanpa turut serta berkecimpung dalam perdebatan yang berkepanjangan dengan ahli logika dan ahli kalam”. 6 Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut : Bagaimana prinsip tauhid menurut Al-Ghazali dan Bagaimana prinsip tauhid Al-Ghazali dalam hubungannya dengan tasawuf. Adapaun tujuan penelitian dalam tulisan ini yaitu Untuk mengetahui prinsip tauhid menurut Al-Ghazali dan ingin mengetahui prinsip tauhid menurut Al-Ghazali dalam hubungannya dengan tasawuf. Setiap penelitian, yang bertujuan untuk mengetahui suatu masalah, sehingga dapat diuji serta dikembangkan kebenarannya, dar segi bidangnya penelitian yang penulis lakukan adalah “Ide-Ide yang telah ada dalam pikiran tentang keesaan Allah menurut Al-Ghazali dalam ketaatan pada ajaran Allah dengan melalui jalan penglihatan bathin”. Sebagaiamana telah diungkapkan bahwa penelitian ini dilakukan dengan jalan memilah dan meneliti, serta mempelajari buku-buku, kitab yang 5Aboebakar 6Ibid.,
Atjeh, Penghantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Bandung: Cerdas, 1962), h. 92. h. 99-100.
Prinsip–Prinsip Tauhid Al-Ghazali Dalam Dimensi Tasawuf
│
137
berhubunganya dengan juduk di atas, dari sumber-sumber tersebut penulis kumpulkan sehingga terwujulah sekumpulan data, dengan demikian penelitian ini termasuk study bibliografi. Pada sebagian penelitian diantaranya bahwa anatara lain penelitian ini bertujuan ingin mendalami ilmu pengetahuan terutama tentang prinsip tauhid Al-Ghazali dalam disiplin tasawuf, oleh sebab itu menurut sifatnya penelitian ini bersifat menjajah yaitu : Suatu penelitian yang bertujuan untuk memperdalam pengetahuanpengetahuan suatu gejala tertentu, atau mendapatkan ide-ide baru mengenai gejala itu dengan maksud untuk merumuskan secara terperinci atau untuk mengembangkan hipotesa. 7 Langkah-langkah untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini menggunakan metode dokumenter. Sumber primer yaitu sumber data pokok mengenai karya karya Al-Ghazali baik berupa buku atau kitab-kitab. Sumber sekunder yaitu buku-buku dan kitab-kitab atau masalah yang dibahas dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Setelah data terkumpul, dan tahapan selanjutnya adalah data-data tersebut diolah kembali untuk diteliti agar diketahui apakah data-data tersebut sesuai atau tidak sehingga dapat dipersiapkan tahapan selanjutnya yaitu mengklasifikasikan pemikiran-pemikiran tersebut di atas. Sebelum
data
tersebut
dianalisa,
maka
tahapan
berikutnya
menggunakan beberapa metode yang representatif sebagai berikut :Historis dokumenter, penyelidikan untuk meneliti sesuatu yang terjadi pada masa lampau dan Deskriptif, diterapkan untuk melukiskan pembawa konsep dan disajikan apa adanya. Metode ini digunakan adalah untuk menganalisa, menjelaskan pemikiran Al-Ghazali, tentang ide-ide pemikiran Al-Ghazali dalam keesaan Allah dan ketaatannya pada ajaran Allah
dengan jalan penglihatan bathin.
Selanjutnya secara biologis (melalui buku yang ditulis tentang dirinya) mempertanyakan,
membedakan,
membersihkan,
dan
menyisihkab
demi
7Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT. Gramedia, Cet. V, 1983), h. 328.
138
│
TAPIS Vol. 14 No. 01 Januari-Juni 2014
menemukan hakekat pemikirannya. Dan yang terakhir adalah menganalisa data dengan cara analisa kualitatif, yaitu menganalisa secara logika dan teori dikembangkan. B. KAJIAN TEORI 1) Riwayat Hidup Al-Ghazali Al-Ghazali nama lengkapnya ialah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali At-Tusi, yang popular “Hujjatul Islam”, lahir di Thus kota kecil di Khurasan (Iran) pada tahun 450 H (1058), dan meninggal pada hari senin subuh buta tanggal 14 Jumadil akhir 505 H (19 Desember 1111 M), dimakamkan di Tabiran Thusi. 8 Al-Ghazali yang berusia 55 tahun itu sering juga disebut dengan nama tempat lahirnya, yaitu Ghazalah/ Ghazaliah, dengan menggunakan huruf z satu. Sedangkan yang menggunakan dua, berasal dari pekerjaan Al-Ghazali sebagai seorang tukang tenun. Dalam hal ini penulis lebih cenderung menggunakan panggilan AlGhazali sesuai populernya nama tersebut yang ditulis di literature-literatur yang ada. Ayah Al-Ghazali adalah seorang tasawuf yang shahih, berhati mulia dan pencinta ilmu, meskipun miskin tetapi sang ayah selalu memohon kepada tuhan agar dikaruniai anak shaleh dan memiliki ilmu pengetahuan agama yang luas. Harapan orang tua ini nampaknya dikabulkan tuhan dan ia dianugerahi dua anak.“anak tertua bernama muhammad, kemudian di gelarkan Abu Hamid, dan itulah yang disebut Imam Al-Ghazali,anak kedua dinamakan Ahmad, kemudian digelarkan Abdul Futuh. Dia juru da‟wah yang benar dan terkenal dengan sebutan Mujiduddin”.9 Ayah Al-Ghazali yang shaleh itu meninggal dunia ketika Al-Ghazali dan saudaranya masih kecil. Akan tetapi sebelum wafat ia telah menitipkan kedua anak tersebut kepada sahabat dekatnya seorang taswuf pula untuk mendapatkan bimbingan dan pemeliharaan dalam hidupnya, sambil berkata:
8Barmawati
Umari, Sistimatika...., h. 140. Ahmad, Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975) , h.
9ZainalAbidin
29.
Prinsip–Prinsip Tauhid Al-Ghazali Dalam Dimensi Tasawuf
│
139
إن ىل لتأسن عطيم على عدم تعلم خلطى و شتهى إستد رك وعلمهم خلطى ىل فىن ذل لرتر، ت ىف ولدى ى ي . لي ري ل ى ك ن تد ل و مه Artinya: Nasib saya sangat malangnya, karena tidak mempunyai ilmupengetahuan.Saya ingin kemalangan ku dapat di tebus oleh kedua anak. Peliharalah mereka, dan ajarlah dengan sebaik-baiknya. Dan pergunakan sampai habis segala harta warisan yang aku tinggalkan ini untuk mengajar mereka.10 Dengan harta yang sedikit, ibunya menyerahkan kedua anak tersebut kepada seorang sufi dan dididiknya sehingga bisa berfatwa. Namun sudah menjadi takdir bagi Al-Ghazali bahwa ia harus berjalan dan mencari ilmu pengetahuan dengan di sertai pengalaman pahit, pengalaman suka dan duka serta hidup dalam pengembaraan. Sesudah sang ayah meninggal, hanya ibu yang menjadi tumpuan harapan mereka dalam mencari ilmu. penderitaan Al-Ghazali semakin bertambah, hal ini di sebabkan kemiskinan sahabat sang ayah yang tidak mampu lagi membiyayai mereka. Maka mereka berdua dimasukan ke asrama sambil belajar ilmu fiqih. Asrama yang dimaksud, didirikan oleh perdana mentri Nidzamul Mulk di kota,Kabupaten yang bernama Thus. Kedua Abang dan adik yang miskin itu,mulailah meninggalkan ghozalah menuju kota thus dan tinggal di asrama rupanya sementara waktu dapat masih baik yaitu paman mereka bernama Ahmad Bin Muhammad (ahli ilmu Fiqih) banyak membantu mereka dalam belajar tersebut. Tapi sayang pula si paman tidak lama kemudian meninggal dunia di Nazharanthus.11 Al-Ghazali di Thus hingga mencapai usia 20 tahun, selain mempelajari ilmu fiqih dari Imam Ahmad Muhammad Ar-Razqani, juga mempelajari ilmu tasawuf dari yusuf Anasaj. Kemudian ia melanjutkan pelajaran kejuruan pada tahun 479 H. Dengan guru pilihan nya Amam Abunashar Al-Isma‟ili di jurjan. Tetapi ia di jurjan tidak puas dan kembali di daerah Thus selama 3 tahun.
10Abdul Halim Mahmud, Qadhiyatut Tasawuf Al-Munqidz Minadh Dhalal, (Kairo: Darul Ma‟arif, tth), h. 268. 11ZainalAbidin Ahmad, Riwayat Hidup..., h. 31.
140
│
TAPIS Vol. 14 No. 01 Januari-Juni 2014
Kemudian minat nya timbul kembali untuk mencari sekolah yang lebih tinggi, sinilah kesadaran nya dalam mencapai kebenaran mulai terungkap kembali. Setelah mempelajari sastra arab, persi, dia melanjutkan menuju Nisapbur (Naisabur) tertarik dengan sekolah tinggi Nitzaimah. Disinilah dia bertemu dekan terkenal Abul Ma‟ali Dhiyah‟uddin Al-Juwaini yang di beri gelar kehormatan „Imamul Haramain‟(imam dari 2 kota suci, yaitu Mekah & Madinah).12 Al-Ghazali mulai rajin di lapangan ilmu fiqih, mantiq ilmu qalam dan sejenisnya. Kemudian ia pindah ke baghdad (pusat kebudayaan dewasa itu). Namanya semakin termashur dan orang mulai dan orang mulai tertarik juga pertama kali megajarkan ilmu nya. Kebebasan jiwa Al-Ghazali mendapat perhatian dari perdana mentri Nidzamul mulk “pada masa itu Persia dibawah perintah keturunann sultan Saljuk. Atas kebijaksanaaan perdana mentri Nidzamul mulk, Al-Ghazali diangkat menjadi maha guru pada Universitas Islamiah pada tahun 1090”.13 Al-Ghazali berguru pada Imam Mulharamin yang juga dipanggil dengan Imam Al-Juaini, dibangsakan pada kampung kelahiran dari Juani, daerah Naisabur. Ia seorang sarjana besar yang terkenal dengan nama : Abdul Malik Bin Abdillah Bin yusuf, dengan panggilan Abdul Ma‟ali. Al-Ghazali menjadi luas ilmu nya berkat Al-Juaini. Ia menerima ilmu sebagai mahasiswa. Selain mempelajari ilmu ilmu agama, ia juga mempelajari ilmu filsafat, sehingga dapat mengimbangi kepandaian gurunya. Dan Al-Ghazali dimintanya menjadi asisten pribadinya. Meskipun Al-Ghazali miskin, tetapi mempunyai minat memproleh ilmu pengetahuan agama dan umum, bahkan setelah mencapai usia 25 tahun, keahliannya
semakin
mengagumkan.
Kepandaian
yang
dimiliki
tidak
terkalahkan oleh gurunya, ia ahli dalam Mahdzhab Islam, ahli berpandapat, ahli ilmu berdebatan, ahli logika, ahli ilmu filsafat, dan sebagainya semua ini dipelajari hingga menyebabkan membuka pikirannya untuk menulis berbagai ilmu pengetahuan dan agama. 12Ibid.,
h. 32.
13Al-Ghazali,
1975), h. 7.
Bidayatul Hidayah, Terjemah: H. Rus‟an Cet. III, (Jakarta: Bulan Bintang,
Prinsip–Prinsip Tauhid Al-Ghazali Dalam Dimensi Tasawuf
Setelah
kematian
Al-Juaini,
Al-Ghazali
mendapat
│
141
kehormatan
pendapatan perdana mentri Nitdzamul mulk untuk mengganti jabatan rekor di Universitas Nidzaimah. Kebetulan usia Al-Ghazali pada waktu itu baru mencapai 28 tahun,tentu saja semangat juangnya masih tinggi dan cakrawalanya dalam berfikir memuncak.14 2) Pola Berfikir Al-Ghazali Kehadiran
Al-Ghazali
dalam
dunia
ilmu
pengetahuan
dan
agama,sempat membuat kejutan bagi semua aliran yang pernah ia kritik.Rahasia pemikiran Al-Ghazali hanya dicurahkan pada Al-Qur‟an dan Hadist. Ia yakin bahwa semua tata kehidupan didunia dan diakhirat bisa dijawab melalui dua pedoman ini. Tanpa ini, mustahil manusia bisa mencapai kebahagiaan sempurna.Sehingga wajar saja bila ada salah seorang ilmuan mengomentari AlQur‟an adalah sumber utama dari inspirasi Al-Ghazali dan sekaligus menjadi dasar pemikirannya. Al-Ghazali dalam penyelidikannya mengomentari yaang pernah ia duduki, selalu memakai dasar-dasar logika,yang dapat diterima. Bahkan dalam penyelidikannya hampir saja tak kuat menahan perasaan skeptis dengan dasardasar Al-Qur‟an Al-Ghazali mengemukakan batas-batas realitas sebagai sikap dasar untuk mengetahui sang pencipta alam semesta. Meskipun ia dalam mencapai kebenaran mengalami tingkat skeptis,tapi tidak mempengaruhi terhadap keyakinannya ia selalu berusaha menemukan makna esensial terhadap suatu keyakinan. Dan ditemukan sebagai bahan penguat dimensi tauhid yang berurat pada dirinya. Dalam penyelidikannya diterangkan : Engkau saudara seagama,telah meminta bahwa supaya aku mengupas tujuan terakhir dan rahasia segala ilmu,seluk beluk dasardasar segala madzab,dan engkau minta supaya kuterangkan berbagai macam kesukaran yang telah kualami dalam mencapai yang hak atau (benar) dari tengah-tengah kekalutan dan pertentangan paham dan aliran,dan bagaimana aku dapat dengan tekad meninggalkan taklid (mengikuti tanpa periksa) agar dapat berfikir dengan bebas.Selanjutnya engkau minta pula ,supaya aku jelaskan ; pertama apa yang pernah 14
Abul Hasan Ali An-Nadai, Rijalul Fikri Wad Da’wah Fill Islam, (Kwait, 1977), h. 182.
142
│
TAPIS Vol. 14 No. 01 Januari-Juni 2014
kuperoleh dari ilmu kalam.Kedua,apa-apa yang pernah kuketahui setelah menyelidiki jalan-jalan kaum taklimiyah,yang untuk mencapai hak itu,mereka hanya ikut saja Al-Iman.Ketiga,apa yang tidak kusetujui dari jalan tasawuf.15 Al-Ghazali beranggapan, bahwa manusia yang masuk dalam aliran tanpa memperdalam/membuka jalan pikirannya terlebih dahulu, maka orang tersebut akan percaya bahwa aliran yang mereka pegang dan mereka andalkan adalah benar melebihi kebenaran aliran yang lain. Hal ini sesungguhnya merusak dirinya sendiri tidak terbuka berfikir bebas, sehingga segala sesuatu mudah diterima dengan cara taklid sebagaimana orang awam. Banyak aliran yang terjadi dalam Islam, sebenarnya menunjukan suatu hikmah yang tersendiri dalam alam semesta ini. Hanya saja yang perlu diteliti adalah keorsinilan aliran yang ada, yang masih konsekuen dengan Al-Qur‟an dan Hadits. Bila masih orsinil, hal itu merupakan suatu sumbangan pikiran dimana satu sama lain saling melengkapi dan saling mengambil interprestasi sesuai dengan zaman yang berlaku. Bukan adanya aliran satu sama lain saling bertentangan dan saling menganggap benar terhadap suatu aliran. Indar memberikan alasan dengan mengemukakan soal mimpi. Apa yang disaksikan dalam mimpi seperti benar-benar terjadi, tetapi setelah terbangun nyatanya semua itu hayalan belaka. Sukar baginya menghilangkan keraguan-raguan tadi dan memang tak dapat disembuhkan kecuali dengan bukti. Sedangkan tak mungkin bisa memberikan bukti, melainkan jika tersusun dari pengertian-pengertian dasar akal. Dua bulan ia menyelidiki hal tersebut, akhirnya dengan aman dan yakin ia meerima kembali segala pengertian dasar dari akal itu. “semua itu terjadi tidak dengan nur cahaya yang di pancarkan Allah kedalam bathinnya”.16 Al-Ghazali setelah mendapat karunia dengan nur itu ia pergunakan untuk mendapa karunia dengan nur itu ia pergunakan untuk mendapatkan suatu persepsi tentang kebenaran. Ia cari kebenaran itu dari empat golongan.
15 Imam Al-Ghazali, Al-Munqidz Minadh Dhalal, terjemahan Abdul Bin Nuh, (Jakarta: Tinta Emas, 1985), h. 7. 16Ibid., h. 12.
Prinsip–Prinsip Tauhid Al-Ghazali Dalam Dimensi Tasawuf
│
143
“Aku memulai dengan ilmu kalam, lalu filsafat, kemudian ajaran bathinnya dan akhirnya menempuh jalan sufi”. Tentang ilmu kalam, Al-Ghazali berpendapat, bahwa sebenarnya ilmu sampai pada tujuannya namun hal itu tidak dapat menarik pemikirannya, dan tidak dapat menyampaikan kepada tujuannya sendiri. Tujuannya ilmu kalam ialah “memelihara aqa‟id (kepercayaan) ahli sunnah, dan mempertahankannya dari gangguan kaum Bid‟ah”. Yang diyakini, sebab hal itu selalu terjadi pada masing-masing aliran, maka sesungguhnya pertentangan yang terjaadi. Dan itulah yang diramalkan rasulullah Saw. Sebagaimana sabdanya :
إن ىن إسرئيل ت رقت على لثنتني وسبعني ل وت رت أ ىت على ث ث و ىي ي رس ل هلل: وسبعني ل كلهم ىف لن ر إال ل و حدة ق ل )عليو و صح ىب (رو ه لرت ى :صلى هلل عليو وسلم؟ ق ل Artinya: Bahwasanya Bani Isra’il telah berfirqah – firqah sebanyak 72 millah (firqah), dan akan berfiqrah ummatku sebanyak 73 firqah, semuanya masuk neraka kecuali satu. Sahabat yang satu itu ya Rasul? Nabi menjawab : yang satu itu ialah orang yang berpegang (ber’i’tikad) sebagai pengaku (i’tikadku) dan pegangan sahabat-sahabatku. 17 Apa yang beliau ramalkan itu, sekarang telah hampir terbukti. Selanjutnya Al-Ghazali sendiri mengatakan : Sejak masih muda sekali sebelum berusia 20 tahun hingga kini telah berusia 50 tahun, dalam hal ini dengan tidak merasa takut. Tiap soal yang sulit itu, ku selami dengan penuh keberanian. Tiap kepercayaan dari sesuatu golongan ku selidiki sedalam-dalamnya, kukaji segala rahasia dan seluk tiap-tiap madzhab untuk mendapatkan bukti mana yang asli. Demikianlah telah kuselidiki dengan seksama ajaran-ajaran bathiniyah, zhariyah, ajaran-ajaran ahli filsafat, ahli ilmu kalam dan tasawuf, aliran aliran kaum zindiq, apa sebabnya mereka ketinggalan pula aliran kaum zindiq, apa sebabnya mereka sampai berani menyangkal adanya Tuhan.18
17
Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahli Sunnah Wal Jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1988), h.
21. 18Imam
Al-Ghazali, Al-Munqidz..., h. 8.
144
│
TAPIS Vol. 14 No. 01 Januari-Juni 2014
Minat pertama bagi Al-Ghazali, ingin mengetahui pengetahuan tentang hakekat segala sesuatu. Akhirnya pikiran itu tidak lama bisa terselisir, dan ia yakin bahwa makna ilmu adalah tersingkapnya sesuatu dengan jelas, tanpa mengandung keraguan dan kesalahan sedikitpun. Jika manusia sampai pada hakekat ilmu, maka hidupnya akan dirasa tenang bagaikan ada cahaya yang menunjukan jalan lintas. Pikiran
Al-Ghazali
semakin
meningkat,
ia
memeriksa
segala
pengetahuannya ternyata semua tidak dapat dicapai melalinkan pengetahuan yang dapat dicapai dengan perantara panca indra ditambah
dengan
pengetahuan-pengetahuan dasar dari akal. Tentang inipun akhirnya ia raguragu, sebab mana bisa panca indra dapat dipercaya, sedangkan penglihatan mata, yaitu yang terkuat dari panca indra ada kalanya terbuat seakan-akan menipu. Misalnya melihat suatu benda itu bergerak sedikit demi sedikit. Oleh karena ragu-ragu, maka ia batalkan kepercayaan nya terhadap panca indra, dengan mempertahankan kepercayaan nya pada pengetahuan dasar dari akal. Dalam hal ini Al-Ghazali merasa tidak puas keraguan muncul kembali, karena kepercayaan pada akal muncul setelah panca indra, andaikan tidak muncul, maka panca indra akan menjadi pegangan. Barang kali ada hukum lain yang dapat mendustakan hukum panca indra. Disini ia berdiam diri sejenak, ragu-ragu untuk menjawab. Allah mengajarkan yang benar kepada hambanya melalui perantara Rasulnya untuk keselamatan mereka di dunia dan akherat. Namun ada pula orang-orang yang mengajarkan aqidah yang tidak benar dan mempengaruhinya. Dengan demikian, maka timbulah golongan ahli ilmu kalam yang tampil untuk membela aqidah dengan keterangan dan alasan yang disusun rapi sehingga dapat menjelaskan kepalsuan aqidah itu. Dalam pembelaan itu mereka pergunakan dasar-dasar pemikiran yang mereka ambil dari perkataan lawan lawan mereka sendiri, yaitu merebut senjata musuh untuk memukul nya. Hal ini tidak seberapa memberikan faedah bagi orang tidak mau menerima melainkan dengan dasar pengetahuan yang pasti.
Prinsip–Prinsip Tauhid Al-Ghazali Dalam Dimensi Tasawuf
│
145
Oleh karena itu, maka ilmu kalam dapat memuaskan Al-Ghzali mengakui bahwa perkembangan ilmu kalam cukup mendorong untuk menyelidiki hakekat segala sesuatu, juga membawa Interprestasi menuju hakekat subtansi dan lebih jauh benar akan tetapi itu bukan tujuan ilmu kalam, maka penyelidikan tentang ini tidak dapat memuaskan orang yang ingin menghilangkan
keraguan
sehingga
mengakibatkan
pertentangan
antara
golongan yang satu dengan golongan yang lain, dan dapat menimbulkan kebingungan bagi orang awam yang mencapai kebenaran. Selanjutnya tentang ajaran filsafat. Setelah selesai mempelajri ilmu kalam Al-Ghazali mempelajari filsafat, ia menyelami sedalam dalam nya dalam waktu hampir 3 tahun, hingga ia dapat melihat dengan jelas mana yang benar dan mana yang salah. Al-Ghazali nmengomentari bahwa pasrah filosof itu terbagi menjadi 3 bagian yang mempunyai paham yang berbeda antara lain yang satu dengan yang lainnya, yaitu : 1) Golongan Dahri, yang tidak mengakuio adanya Tuhan pencipta alam semesta, yaitu golongan para filosof kuno yang menentang unsur keTuhanan. Mereka berpendapat bahwa segala alam isinya terjadi dengan sendirinya, tanapa bantuan dari pihak manapun. Dan perkawinan dari alam semesta ini disebabkan dari hukum alam yang berlaku tidak diciptakan oleh satu pencipta. Mereka ini oleh Al-Ghazali dinamkan oleh kafir Zindiq 2) Golongan Thabi‟i, yang memusatkan perhatian kepada penyelidikan keadaan alam. mereka ingin bebas dari aturan agama, akan tetapi mereka terpaksa mengakui adanya pencipta dengan adanya keajaiban-keajaiban yang terdapat pada hewan, tumbuh-tumbuhan dan terutama manusia.menurut mereka tak ada ganjaran bagi taat dan tak ada siksa bagi pelanggaran. mereka menuruti kehendak akal yang terbatas dan akal itu akan lenyap dengan hancurnya susunan tubuh kasarnya, dan tidak masuk akal jika yang lenyap itu akan timbulkembali, termasuk ruh juga akan lenyap. mereka tidak percaya akan adanya akhirat, surga,neraka, hari kiamat dan hisab. mereka ini pun termasuk kafir zindiq, karena mereka tidak iman kepada hari kemudian, sekalipun iman kepada Allah dan sifat-sifatnya. 3) Golonganketuhanan,.parafilosofterkemukapadagolonganiniial ah Socrates, Plato (murid Socrates) adanAristoteles (murid
146
│
TAPIS Vol. 14 No. 01 Januari-Juni 2014
Plato). Golonganinimenolakduagolongantersebut di atas, dangolonganini pula yang banyakkreatiftentanglogika, sertamenyempurnakanpendapatsebelumnya. Tetapi AlGhazalimampumenyimakkreatifitaspemikiranmerekasehingga berani.member.identitasbahwapendapatAritotelessebagianme nyebabkankafir,.sebagianmenyebabkanbid‟ah,dansebagianme nyebabkanatauditerimaakal. Selaintersebut di atasmenurut AlGhazaliadapemikirannya yang mendekati agama.19 Tentang ajaran bathiniyah, Al-Ghazali tidak mersa puas sama sekali, meskipun mazhab tersebut mengakui dapat mengetahui hakekat sesuatu dengan perantara iman yang maksum, atau dikatakan sebagai pelindung kebenaran. tetapi hal itu hanya pengelabuan belaka, setelah lahir bathin Al-Ghazali menguji kebenaran merka, maka sebenarnya Mu‟alim gha‟ib lagi maksum itu tidak ada sama sekali dan tidak pernah memberi fakta kebenaran. hal itu sengaja untuk menarik perhatian awam agar tetap yakin akan adanya imam yang maksum itu. Penyelidikan Al-Ghazali terhadap jalan sufi, seluruh perhatiannya tercurahkan kepada golongan ini. Golongan ini dicapainya melalui ilmu dan amal, bathin dibersihkan melalui zikir kapada Allah. Al-Ghazali berkata: Bagiku ilmu lebih muda dari pada amal. maka segerahlah aku memulai dengan mempelajari ilmu mereka, antara lain kitab “Qutul Qulub”karangan abu Tholib Al-Makki, dan kitab-kitab karangan AlHarist Al-Muh-haribi, dan ucapan-ucapan Al-juanidi, Asy-syibli, Abu Yazid Al-Bustami dan lain-lain. dengan itu dapatlah aku memahami tujuan mereka.penjelasan lebih lanjut kudengar sendiri dari mulut mereka. yang lebih dalam lagi dapat di capai dengan zauq, pengalaman dan perkembangan bathin.20 Ahli sufiyah mementingkan pengalaman dan bukan perkataan. apa yang di capai dengan ilmu selanjutnya Al-Ghazali mencapainya dengan dengan zauq dan suluk. Segala ilmu yang di dapat melalui Syari‟at dan akliat, keduanya mempererat imam Al-Ghazali kapada Allah.
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
19Ibid., 20Ibid.,
h. 16-18. h. 37.
Prinsip–Prinsip Tauhid Al-Ghazali Dalam Dimensi Tasawuf
│
147
1. Pokok Pikiran Al-Ghazali Al-Ghazali dalam sejarah Islam dikenal sebagai orang yang pada mulanya syak terhadap segala-galanya. perasaan syak ini, nampak diperoleh dari Al-Jua\waini yang banyak mengajarkan ilmu kalam kepadanya, yang didalamnya terdapat beberapa aliran yang yang saling bertentangan, sehingga timbul pertanyaaan dalam diri Al-Ghazali:aliran yang manakah yang benar diantara semua aliran itu?ia mencari kebenaran yang sebenarnya yaitu kebenaran yang betul-betul benar. seperti dalam ilmu matemetika, tiga kali tiga sama dengan sembilan. Sepuluh lebih banyak dari tiga. keyakinan sepuluh lebih banyak dari tiga tidak akan goyang bagi Al-Ghazali. pengetahuan demikian inilah pengetahuan yang sebenarnya. sekalipun ada yang mengatakan bahwa tiga lebih dari pada sepuluh, dengan argumen tongkat bisa menjadi ular. pengetahuan yang serupa ini,mula-mula timbul dalam hal-hal yang di tangkap dengan panca indra, tapi baginya kemudian ternyata bahwa panca indra ternyata berdusta, sebagaimana ia sebut bahwa bintang-bintang di langit kelihatan kecil, tetapi perhitungan menyatakan bahwa bintang-bintang itu lebih besar dari bumi. Oleh karena ia syak dan tidak percaya lagi pada panca indra, kemudian ia meletekannya pada akal. tetapi tapi akal juga ternyata tidak dapat dipercaya. Misal suatu bermimpi melihat hal-hal yang sebenarnya ada, setelah bangun ia sadar bahwa ia liat yang dilihat itu tidak ada, tidakkah mungkin apa yang sekarang dirasa benar menurut akal, nanti kalau kesadaran yang lebih dalam timbul, akan ternyata tidak benar pula, sebagaimana halnya dengan orang telah bangun dan sadar dari tidurnya. Maka ia kemudian mengalihkan pandangan yang dicapai oleh kaum sufi, yang mengadakan dalam keadaan tertentu mereka dapat menyaksikan hal-hal yang berlainan dengan apa yang dapat dicapai oleh akal. atau barangkali keadaan yang lebih sadar itu mati, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
)ألن س ي م و ذ ت إ ته أ ( حلديث
148
│
TAPIS Vol. 14 No. 01 Januari-Juni 2014
Artinya: Manusia itu dalam keadaan tidur, dan apabila mati, bangunlah mereka dari tidurnya.21 Memang sukar bagi Al-Ghazali keraguan-keraguan itu. namun akhirnya setelah ia hampir seperti kaum yang mendewakan rasio, yakni orangorang yang memutarbalikan hakekat dengan mempergunakan alasa-alasan mantiq yang palsu, akhirnya Al-Ghazali pikirannya kembali seperti semula dan bisa mengambil kesimpulan yang benar, yaitu dengan melalui Nur(cahaya) yang dipancarkan oleh Allah kedalam hatinya. Nur inilah kunci pemuka sebagian besar dari ilmu makrifat. sebagaimana dalam firman Allah:QS. An-Nur (24): 35 Artinya: Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi perumpamaaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang didalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara,yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, yaitu : pohon zaitun yang tumbuh tidak sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat,yang minyaknya saja hampir menerangi, walau tidak di sentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis),Allah membimbing kepada cahyaNya siapa yang dikehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah maha mengetahui segala sesuatu.(QS. An-Nur (24): 35)22 Allah memberikan hidayah kepada hambanya tidak pandang apapun, apa itu terpandang atau tidak, hanya di lihat dari kepatuhan terhadap-Nya.sebagaimana Al-Ghazali cara berfikir atau pola berfikirnya mengalami perkembangan yang cermelang, walaupun perkembangan sepanjang hidupnya penuh dengan kegoncangan bathin, sehingga sukar untuk menemukan kejelasan corak pemikirannya. misalnya dalam buku “Al-Munqiz Min Adh-Dhalal‟‟, bahkan mengkafirkan mereka dalam 3 soal : 1) Jasmani (tubuh kasar) tidak akan dibangkitkan kembali kelak pada hari mahsyar.
21
Al-Ghazali, Al-Munqiz ...,. h. 12. Agama RI., Al-Qur’an danTerjemahannya, (Surabaya: Mahkota, cet. I, 1989),
22Departemen
h. 550.
Prinsip–Prinsip Tauhid Al-Ghazali Dalam Dimensi Tasawuf
│
149
2) Allah Ta‟ala hanya mengetahui kulliyat. Sedangkan mengenai juz‟iyat (perincian
dari
apa-apa
yang
terjadi
didalam),
Allah
tidak
mengetahuinya. 3) Alam adalah kekal (qadim azali),dalam arti tidak bermula.23 Akan tetapi dalam kitab lain, dikatakan bahwa ketiga persoalan tersebut menjadi kepercayaan orang-orang tasawuf juga. Demikian pula dalam bukunya “ Al-Madhnun „Ala Ghairi Ahlihi”, ia mengakui qadinmya alam, tatapi tetapi dalam Al-Munqidz, ia mengatakan bahwa kepercayaan yang dipeluknya ialah kepercayaan orang-orang tasawuf. Jadi Al-Ghazali menentang kepercayaan tiga soal tersebut dalam beberapa bukunya yang lain, Manakah yang benar, dan bagaimanakah pendirian yang sebenarnya. Sehubungan dengan pandangan dan pemikiran-pikiran Al-Ghazali tersebut,para pembahas berbeda penafsiran sebagaimana tersebut dibawah ini: 1) Ibnu Tufail,karena Al-Ghazali perlawanan tersebut suatu kontradiksi benar-benar dari pemikiran Al-Ghazali. 2) Ibnu Salam, karena Al-Ghazali dari aliran ahli sunnah, maka pikir-pikirannya dan buku-bukunya yang berlawanan dengan aliran ini dianggap bukan dari Al-Ghazali seperti Almahdun. 3) Zakki Mubarak, dalam bukunya al-Akhlak „Indal Al-Ghazali, sejak dari murid biasa kemudian menjadi murid cemerlang, dan meningkat menjadi guru, bahkan menjadi guru yang benar-benar kenamaan. akhirnya menjadi kritikus yang kuat, kemudian menjadi pengarang besar yang membanjiri dunia dengan pembahasan-pembahasan dan buku-bukunya. 4) Dr. Sulaiman Dunia,mempunyai tafsiran lain. ia mengatakan bahwa semua buku-buku Al-Ghazali masih depegangi terus sampai akhir hakatnya. tetapi haruslah di ingat, bahwa bukubuku tersebut ada yang di tunjukan kepada orang-orang biasa (awam) dan ada pula yang khusus ditujukan orang-orang tertentu. maka oleh kerena itu isinyapun berbeda.24 Pikiran-pikiran
Al-Ghazali
yang
menimbulkan
beberapa
penafsiran para pembahas itu, bersumber pada nas-nas Al-Qur‟an dan sunnah Nabawiyah. ia yakin bahwa semua tata kehidupan didunia akan 23Ibid.,
h. 23-24. Hanafi, PengantarTheologi Islam, (Jakarta: Pustaka Alhusnat.th), h. 116-117.
24Ahmad
150
│
TAPIS Vol. 14 No. 01 Januari-Juni 2014
akhirat bisa jawab melalu dua pedoman ini. Sehingga salah seorang ilmuan memberikan komentar bahwa Al-Qur‟an adalah dasar pemikiran dan sumber utama dari inspirasi Al-Ghazali. Al-Ghazali setelah mendapatkan karunia dengan Nur cahaya dengan yang dipancarkan Allah kepadanya, maka dipergunakan untuk mendapatkan suatu persepsi tentang kebenaran itu dari 4 (empat) golongan sehingga ia menemukan bahwa kebenaaran itu dapat dijumpai dari
alternatif
terakhir,
yakni
dengan
jalan
Sufi.
Sebagaimana
pengakuannya : “aku mulai dengan ilmu kalam, lalu filsafat kemudian ajaran bathiniah dan akhirnya menempuh jalan sufi.25 2. Pandangan Tauhid Al-Ghazali Kedudukan Al-Ghazali sebagai ahli fikir Islam tidak dapat diragukan lagi, karena ia mengajarkan ilmu tauhid pada sekolah Nidzamiah Baghdad dan mengarang buku-buku yang berkaitan dengan ilmu itu.ilmu itu diperoleh dari Imamul Haramaim Dhiyouddin AlJuaini. Bahkan dalam kedudukan Al-Ghazali dalam aliran Asy‟Arya sangat penting, karena ia telah meninjau semua persoalan yang telah ada dan memberikan pendapat-pendapatnya yang hingga kini masih dipegangi ulama-ulama Islam. Karena ia mendapat gelar “hujatul Islam”(tokoh atau membela Islam ). Ia tetap setia pada pokok persoalan yang telah dibicarakan dan di bela oleh Al-Asy‟Ari yang terkenal dengan Tauhid aliran Ahlusunnah. Bahkan ia adalah tokoh aliran Asy‟ariah yang cemerlang namanya. Akan tetapi keadaan tersebut, tidak menjadi alasan baginya untuk mengeluarkan kritik-kritik terhadap ilmu tauhid, sesuai dengan jiwa kemuliaan,dan
kebebasan
pemikirannya.
Ia
memandang
bahwa
kedudukan Islam ini tidak kuat dan kegunaannyapun tidak banyak. Bahkan kegunaannyapun tergantung kepada dalil yang dipakainya. Kalau dari Al-Qur‟an dan Hadist maka hasilnya jelas, tetapi kalau keluar
25Al-Ghazali,
Al-Mungidz ...., h. 14.
Prinsip–Prinsip Tauhid Al-Ghazali Dalam Dimensi Tasawuf
│
151
dari keduanya itu hasilnya hanya perang lidah yang terkutuk dan mengulur-ulur omong kosong. Ahli tauhid dalam hal ini mengatakan sebagai berikut : Bagaimanapun juga kerasnya serangan yang dilancarkannya,namun serangan itu tidak mencerminkan pendiriannya yang terakhir sebagai seorang Asy‟ ariah, sebab dalam buku-bukunya yang lain, kita dapat melihat sifatnya yang moderat terhadap ilmu tersebut.dalam Al-Risalah Al-Laduniyah, ia mengatakan sebagai berikut : ilmu tauhid adalah ilmu yang mulia, paling penting dan paling sempurna. Ilmu ini wajib dicari setiap orang yang berakal, sebagaimana yang diperintahkan Allah/Nabi : mencari ilmu itu menjadi kewajiban setiap 26 muslim. Selanjutnya ia mengatakan “ bahwa ia theologi Islam tidak bisa dipuji seluruhnya,atau dicela seluruhnya melainkan ada yang perlu di puji dan ada pula yang perlu di cela “. Sementara ada pula orang yang menganalisa terhadap Al-Ghazali sebagai berikut: Karena pemikirannya dan penyelidikannya yang bebas luas, lebih tepat kiranya kalau di katakan bahwa Al-Ghazali bukan pengikut suatu aliran tertentu. karena ia meskipun kebanyakan pendapat-pendapatnya cocok dengan Al-Asy‟ari, namun sering-sering juga berbeda. ia mencela dengan kerasnya terhadap taqlid buta, dan ekses kefanatikannya yang sering-sering mengganggap orang lain telah keluar dari Islam.27 Dari uraian di atas,yang sementara orang menganalisa pentingnya kedudukan
Al-Ghazali
dalam
Asy‟ariyah,
sedangkan
yang
lain
mengatakan lebih tepat bahwa Al-Ghazali dikatakan bukan pengikut salah atau aliran tertentu. Dari beberapa komentar tentang pendirian Al-Ghazali di atas, maka sementara menjadikan kabur
bagi peneliti sendiri untuk
mengatakan aliran mana yang sebenarnya yang dipegangi Al-Ghazali. tetapi setelah penulis lebih lanjut jelaslah bahwa Al-Ghazali dalma pendiriannya yang akhir sebagai seorang Asy‟ariyah. Hal ini identik 26Ibid. 27Ibid.,
h. 120.
152
│
TAPIS Vol. 14 No. 01 Januari-Juni 2014
dengan ungkapan Ahmad Hanafi : “sebagaimana pun sikap Al-Ghazali terhadap ilmu alam, namun ia tetap masih setia terhadap pokok-pokok persoalan yang pernah dibahas oleh Asy‟ariah disamping memperluas dan memperdalam lapangan pembicaraanya dan memperbaharui metodenya”.28 Dalam soal metode yang menggunakan aristoteles, dan ia adalah orang pertama yang mempergunakan, sekali pun Al-Juwaini sebelumnya telah membuka jalan ke arah itu. Dengan metode ini Al-Ghazali meneliti beberapa ilmu agama dan Rasional, dan akhirnya ia memproleh keiman kepada Allah SWT, dan Rasul serta Kiamat, sebagaimana katanya : Dari ilmu-ilmu yang aku praktekan dan jalan jalan yang aku tempuh dalam meneliti ilmu agama dan rasional, aku memproleh keimanan yang yakin terhadap Allah SWT, ke Nabian, dan hari akhir. Ketiga pokok keimanan ini terpajang begitu kuat dalam jiwa ku, tidaklah dengan bukti-bukti tentu yang terbatas, tapi berdasarkan berbagai faktor hubungan dengan pengalaman yang tidak dapat dihitung. 29 Setiap pembahasan, Al-Ghazali selalu menedepankan dan menonjolkan ilmu dan amal. Keduanya selalu menjadi syarat. Bahkan antara ilmu dan amal merupakan saudara kembaar dalam menemukan Tuhan, yang bisa membuka hati seorang untuk menerima Nur keTuhanan.
D. SIMPULAN Setelah menganalisa dari pada uraian di atas akhirnya dapat disimpulkan sebagai berikut : Al-Ghazali mengajarkan ilmu Tauhid pada sekolah Nidzamah baghdad dan mengarang buku-buku yang berkaitan dengan ilmu itu. Ilmu ini diperoleh dari imamul Haramain dhlya, Udinn Al-Juwaini. Ia tetap setia pada persoalan yang telah dibicarakan sebagai seorang Al-Asy‟ari, yang terkenal dengan Tauhid aliran Ahlussunnah. 28Ahmad 29
Hanafi, Theologi Islam, (Jakarta: BulanBintang, 1974), h. 67. Mahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Ghazali Sufi Sang Filosof, (Bandung: Pustaka, 1987), h. 24.
Prinsip–Prinsip Tauhid Al-Ghazali Dalam Dimensi Tasawuf
│
153
Al-Ghazali memandang bahwa kedudukan ilmu ini kuat dan kegunaannya pun tidak banyak. Bahkan kebeerhasilan nya pun tergantung kepada dalil-dalil yang dipakai nya. Kalau dari Al-Qur‟an dan Hadit‟s maka hasil nya jelas. Tetapi kalau keluar dari keduanya itu hanya hasilnya perang Rida yang terkutuk dan mengulur-ulur omong kosong dan hakekat Tauhid bisa dicapai dengan jiwa yang bersih dari kotoran, dan dengan makrifat pada Allah sehingga mengetahui Allah cara haqul yakin. Inti Tauhid dalam Tasauh AlGhazali, bukan penolakan terhadap kehidupan lahiriah, tetapi penjajakan terusmenerus akan kesucian hati dan kritik hati yang tak henti-hentinya. DAFTAR PUSTAKA Abdul Halim Mahmud, Qadhiyatut Tasawuf Al-Munqidz Minadh Dhalal, Kairo: Darul Ma‟arif, tth. Aboebakar Atjeh, Penghantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Bandung: Cerdas, 1962. Abul Hasan Ali An-Nadai, Rijalul Fikri Wad Da’wah Fill Islam, Kwait, 1977. Ahmad Hanafi, PengantarTheologi Islam, Jakarta: Pustaka Alhusnat.th. Ahmad Hanafi, Theologi Islam, Jakarta: BulanBintang, 1974. Al-Ghazali, Bidayatul Hidayah, Terjemah: H. Rus‟an Cet. III, Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, terjemah. H. Isma‟il Ya‟kub, Jilid VI, Jakarta: Faizan, 1985. Barmawati Umari, Sistimatika Tasawuf, Ramadhani, - t. th. Departemen Agama RI., Al-Qur’an danTerjemahannya, Surabaya: Mahkota, cet. I, 1989. Harun Nasution, II, Islam Ditinjau dari Beberapa Aspek, Jilid II, Jakarta: UI, 1979. Imam Al-Ghazali, Al-Munqidz Minadh Dhalal, terjemahan Abdul Bin Nuh, Jakarta: Tinta Emas, 1985. Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT. Gramedia, Cet. V, 1983. Mahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Ghazali Sufi Sang Filosof, Bandung: Pustaka, 1987.
154
│
TAPIS Vol. 14 No. 01 Januari-Juni 2014
Muhammad Daslan, Sirajut Thahlibin, Mesir: Mustofa Al-Babi, 1955. Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahli Sunnah Wal Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1988. ZainalAbidin Ahmad, Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.