PREDIKSI NISBAH PELEPASAN SEDIMEN (NPS) SUB DAS JUNGGO BAGIAN HILIR DENGAN MENGGUNAKAN MODEL SURIPIN DI KECAMATAN BUMIAJI KOTA BATU
SKRIPSI
Oleh: Edwin Maulana NIM 107821407387
UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS ILMU SOSIAL JURUSAN GEOGRAFI Juli 2011
PREDIKSI NISBAH PELEPASAN SEDIMEN (NPS) SUB DAS JUNGGO BAGIAN HILIR DENGAN MENGGUNAKAN MODEL SURIPIN DI KECAMATAN BUMIAJI KOTA BATU
SKRIPSI Diajukan kepada Universitas Negeri Malang untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program Sarjana Pendidikan Geografi
Oleh Edwin Maulana NIM 107821407387
UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS ILMU SOSIAL JURUSAN GEOGRAFI Juli 2011
LEMBAR PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING Skripsi oleh Edwin Maulana ini Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji
Malang, Juni 2011 Pembimbing I
Drs. Didik Taryana, M.Si NIP. 196211271988031001
Malang, Juni 2011 Pembimbing II
Bagus Setyabudi Wiwoho, S.Si, M.Si NIP. 197303241999031003
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Edwin Maulana
NIM
: 107821407387
Jurusan
: Geografi
Program Studi
: Pendidikan Geografi
Fakultas/Program
: Fakultas Ilmu Sosial
Program
: Strata Satu (S-1)
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar tulisan saya, dan bukan merupakan plagiasi, baik sebagian atau seluruhnya. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini hasil plagiasi, baik sebagian atau seluruhnya, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Malang,
Juli 2011
Yang membuat pernyataan
Edwin Maulana
ABSTRAK Maulana, Edwin. 2011. Prediksi Nisbah Pelepasan Sedimen (NPS)sub DAS Junggo bagian Hilir dengan Menggunakan Model Suripin di Kecamatan Bumiaji Kota Batu. Skripsi, Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang. Pembimbing (1) Drs. Didik Taryana, M.Si, (2) Bagus Setyabudi Wiwoho, S.Si, M.Si. Kata Kunci: erosi, sedimen, intensitas hujan, RUSLE, NPS Model Suripin Erosi merupakan peristiwa pemindahan atau pengangkutan bagian dari tanah dari suatu tempat ke tempat yang lain melalui media alami yaitu air maupun angin. Perhitungan Nisbah Pelepasan Sedimen (Soil Delivery Ratio) atau cukup dikenal dengan SDR adalah perhitungan untuk memperkirakan besarnya erosi kotor dari suatu daerah tangkapan air. Penelitian ini merupakan penelitian survey dimana pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan secara sistematis terhadap gejala atau fenomena yang ada pada obyek penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi besar intensitas hujan yang menyebabkan run off di sub DAS Junggo bagian hilir (2) mengetahui analisa hubungan intensitas hujan dengan Nisbah Pelepasan Sedimen di Sub DAS Junggo bagian hilir (3) mengetahui luas DAS yang cocok untuk aplikasi Nisbah Pelepasan Sedimen Model Suripin di sub DAS Junggo bagian hilir. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Analisis data untuk mengetahui besarnya laju erosi potensial dengan menggunakan model RUSLE, sedangkan besarnya erosi aktual diperoleh dengan pengukuran langsung sedimen pada outlet dengan cara mengambil sampel air yang bercampur dengan sedimen pada saat run off terjadi dan kemudian dianalisis pada laboratorium tanah untuk mendapatkan besaran sedimen terangkut pada tiaptiap liter air. Hasil analisa laboratorium tanah diplotkan ke dalam hidrograf untuk mengetahui besaran sedimen terangkut pada kejadian run off. SDR dihitung berdasarkan perbandingan antara laju erosi potensial dengan laju erosi aktual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan analisis regresi antara intensitas hujan dengan volume run off dapat dilihat bahwa intensitas hujan minimum yang dapat menyebabkan terjadinya run off di sub DAS Junggo bagian hilir adalah 3,75 mm/jam. Hasil analisis hubungan intensitas hujan dengan Nisbah Pelepasan Sedimen di Sub DAS Junggo bagian hilir menunjukkan hasil yang sangat signifikan, diketahui berdasarkan analisis R yang menunjukkan nilai 0,707. Empat sampel Nisbah Pelepasan Sedimen yang diregresikan dengan luas DAS dapat diketahui bahwa (1) intensitas hujan sebesar 28,26 mm/jam dan curah hujan 49,46 mm tidak cocok untuk NPS Model Suripin, (2) intensitas hujan sebesar 21,9 mm/jam dan curah hujan sebesar 18,18 mm cocok untuk NPS Model Suripin pada luas DAS 3,35 hektar, (3) intensitas hujan sebesar 7,20 dan curah hujan sebesar 25,79 mm cocok untuk NPS Model Suripin pada luas DAS 4,78 hektar, (4) intensitas hujan sebesar 18,28 mm/jam dan curah hujan sebesar 33,11 mm cocok untuk NPS Model Suripin pada luas DAS 7,18 hektar.
i
ABSTRACT Maulana, Edwin. 2011. Estimation of Soil Delivery Ratio (NPS) sub watershed Of Junggo Downstream Using Suripin Model in Bumiaji District Batu City. Thesis, Department of Geography Faculty of Social Sciences, State University of Malang. Advicers (1) Drs. Didik Taryana, M. Si, (2) Bagus Setyabudi Wiwoho, S. Si, M. Si Keywords: erosion, sediment, rainfall intensity, RUSLE, NPS Model Suripin Erosion is the displacement events or part of land transport from one place to another through a natural medium is water and wind. Calculation of Soil Delivery Ratio or simply known as the SDR is calculated to estimate the magnitude of gross erosion from a catchment area. This study is a survey research in which data collection is done by systematic observation of the symptoms or phenomena that exist on the object of research. This study aims to (1) identify the cause of the intensity of rainfall runoff in the downstream sub-watershed Junggo (2) to analyze the relationship with rainfall intensity ratio Release of sediments in the downstream sub-watershed Junggo (3) know the vast watershed that are suitable for applications Soil Delivery Ratio Model Suripin in the downstream sub-watershed Junggo. Sampling was done by purposive sampling. Data analysis to determine the potential magnitude of erosion rate by using the RUSLE model, while the actual magnitude of erosion is obtained by direct measurements of sediment at the outlet by taking a sample of water mixed with sediment at run off occurs, and then analyzed on a laboratory scale soil to get the sediment transported in each liter of water. The results of laboratory analysis of soil into hidrograf plotted to determine the amount of sediment transported in run-off events. The SDR is calculated based on the comparison between the rate of erosion potential with actual erosion rate. Results showed that based on regression analysis between rainfall intensity with the volume of run-off can be seen that the minimum rainfall intensity that can cause run-off in the downstream sub-watershed Junggo is 3.75 mm/hour. The results of analysis of the relationship with rainfall intensity ratio on the release of sediments downstream sub-watershed Junggo showed highly significant results, it is known based on the analysis of R that shows the value of 0.707. Four samples of soil delivery ratio is regressed with the broad basin can be seen that (1) rainfall intensity of 28.26 mm/hour and 49.46 mm of rainfall is not suitable for the NPS Model Suripin, (2) the intensity of rainfall of 21.9 mm/hour and rainfall of 18.18 mm suitable for the NPS Model Suripin on 3.35 acres of watershed area, (3) rainfall intensity and rainfall amounting to 7.20 by 25.79 mm suitable for the NPS Model Suripin on watershed area 4.78 hectares, (4) the intensity of rainfall 18.28 mm/hour and rainfall of 33.11 mm suitable for the SDR Model Suripin on 7.18 acres of watershed area.
KATA PENGANTAR
Puji syukur pada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia yang dilimpahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah memberkan dorongan moral, bimbingan, petunjuk, saran dan bantuan lainnya. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Drs. Didik Taryana, M.Si selaku pembimbing I atas waktu, dukungan moril, dan kesabaran yang telah diberikan untuk mengarahkan serta membimbing penulis hingga selesainya skripsi ini. 2. Bapak Bagus Setyabudi Wiwoho, S.Si. M.Si selaku pembimbing II atas waktu dan kesabaran yang telah diberikan untuk mengarahkan serta membimbing penulis hingga selesainya skripsi ini. 3. Bapak Prof. Dr. Sugeng Utaya, M.Si selaku penguji atas saran, masukan, serta berbagai arahan yang telah diberikan kepada penulis guna kelengkapan skripsi ini. 4. Bapak Dr. Ach. Amirudin, M.Pd selaku Ketua Jurusan Pendidikan Geografi Universitas Negeri Malang yang telah memberikan kemudahan dalam penyusunan skripsi ini. 5. Bapak Prof. Dr. Hariyono, M.Pd selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang yang telah memberikan ijin dalam penelitian ini. 6. Bapak, Ibu, serta ketiga kakakku yang telah memberikan bantuan berupa doa, saran, masukan, motivasi, biaya, serta dukungan dalam penyelesaian skripsi ini. ii
7. Kepada tim peneliti erosi yang beranggotakan Meta Sandy Tristian, Listyo Yudha Irawan, Achmad Basyaruddin, serta Ichwan Dwi Pratomo, saya mengucapkan jutaan terima kasih atas segala bantuannya selama ini. Saya akan membalas segala kebaikan yang telah kalian berikan kepada saya di waktu mendatang. 8. Angkers Geografi ’07 Off A terima kasih atas kebersamaan dan kekompakan yang telah kalian tunjukkan selama ini. 9. Terima kasih kepada Mas Agus beserta keluarga yang telah memberikan tempat untuk singgah dan konsumsi selama penelitian ini berlangsung. 10. Seluruh pihak yang banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan limpahan rahmadNya kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan motivasi serta bimbingan kepada penulis. Demikian penulisan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan maupun kelemahan yang ada. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan tulisan ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.
Malang,
Penulis
iii
Juli 2011
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ………………………………………………………………………
i
KATA PENGANTAR ………………………………………………………….
ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………...
iv
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………… vi DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………... vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……………………………………………...
1
B. Rumusan Masalah …………………………………………………….
4
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………………..
4
D. Kegunaan Penelitian ………………………………………………….
5
E. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian …………………………
6
F. Definisi Operasional ………………………………………………….
6
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Intensitas Hujan dan Run Off ..……………………………………….
9
B. Intensitas Hujan dan Nisbah Pelepasan Sedimen ….…………………. 11 C. Nisbah Pelepasan Sedimen Model Suripin …………….……………..
50
BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian ………………………………………………...
52
B. Obyek dan Sampel Penelitian …………………………...……………
53
C. Instrumen Penelitian ………………………………………………….
55
D. Jenis Data ……….…………………………………………….……….
55
E. Teknik Pengumpulan Data ……………………………………...……
56
F. Langkah-Langkah Penelitian ……………………………………...….
57
G. Analisis Data ……………………………….………………………....
60
iv
BAB IV KONDISI GEOGRAFIS A. Letak, Batas, dan Luas Wilayah ...…………………………………...
65
B. Kondisi Geologi dan Geomorfologi …….……………………………
68
C. Jenis Tanah ………..………………………………………………….
74
D. Penggunaan Lahan ……………………………...……………………
80
E. Iklim ……………….…...……………………...…………………….
82
F. Kondisi Penduduk ………………………………...………………….
86
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Identifikasi Besar Intensitas Hujan Minimum yang Menyebabkan Run off…………………………….....………………………………...
88
B. Hubungan Intensitas Hujan dengan Nisbah Pelepasan Sedimen ……
90
C. Perhitungan Nisbah Pelepasan Sedimen Model Suripin …………….
111
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan …..……………….....……………………………….....
117
B. Saran ……………………………….….………………………….…
118
DAFTAR RUJUKAN .………………………………………………………
119
LAMPIRAN-LAMPIRAN .…………………………………………………
121
v
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
2.1 Klasifikasi Bahan Organik ………………………………………………….. 37 2.2 Klasifikasi Struktur Tanah .…………………………………………………. 37 2.3 Klasifikasi Permeabilitas ……………………………………………………. 37 2.4 Klasifikasi Nilai Kepekaan Erosi Tanah ….…………………………………. 38 2.5 Nilai Faktor Penutup Tanah ……….……………………………….………... 39 2.6 Nilai Faktor Pengelolaan Lahan ...…………………………………………... 40 2.7 Besaran Koreksi Bed Load .………………………………………………….. 44 2.8 Jenis Sedimen Berdasarkan Ukuran Partikel ...……………………………… 45 2.9 Hubungan Luas DAS dan Sediment Delivery Ratio (SDR)..……………….. 47 2.10 Toleransi Erosi Untuk Tanah (Thompson, 1957) ...………………………… 47 2.11 Nilai SDR menurut SCS USDA……………………………………………… 48 2.12 Beberapa Persamaan Yang Menyatakan Hubungan Antara Karakteristik DAS dan SDR …………....………………………………………………….. 48 4.1 Luas Wilayah Kecamatan Bumiaji …………………………………….……. 66 4.2 Satuan Geologi Kecamatan Bumiaji …..….…………………………………. 68 4.3 Satuan Geomorfologi Kecamatan Bumiaji ..……………………….………... 71 4.4 Penggunaan Lahan Kecamatan Bumiaji 2007 ..……………………………... 80 4.5 Curah Hujan Bulanan (dalam mm) Kecamatan Bumiaji Tahun 2001-2010... 83 4.6 Pembagian Tipe Iklim Menurut Schmidt-Ferguson ………………………… 84 4.7 Mata Pencaharian Kecamatan Bumiaji Tahun 2006 ………..………………. 87 5.1 Besar Intensitas Hujan Serta Volume Run Off ……………………………… 89 5.2 Unit Lahan Penelitian Di Sub DAS Junggo ..………………………….……. 90 5.3 Pengukuran Erosivitas (R) Di Sub DAS Junggo Tahun 2001-2010 ….……. 92 5.4 Pengharkatan Nilai Bahan Organik, Struktur dan Permeabilitas ...………… 93 5.5 Nilai Erodibilitas Unit Lahan Di Sub DAS Junggo Tahun 2010 …………... 93 5.6 Nilai LS pada Unit Lahan di Sub DAS JunggoTahun 2007 ……………...... 94 5.7 Nilai C pada Unit Lahan di Sub DAS Junggo Tahun 2010 ………………… 95 vi
5.8 Nilai P pada Unit Lahan di Sub DAS Junggo Tahun 2010 ...………………. 97 5.9 Nilai Laju Erosi Sample Pertama pada Unit Lahan di Sub DAS Junggo .....
98
5.10 Nilai Laju Erosi Sample Kedua pada Unit Lahan di Sub DAS Junggo ........
98
5.11 Nilai Laju Erosi Sample Ketiga pada Unit Lahan di Sub DAS Junggo ........
98
5.12 Nilai Laju Erosi Sample Keempat pada Unit Lahan di Sub DAS Junggo ....
98
5.13 Hasil Sedimen Pada Tiap Kejadian Run Off ……………………………….. 99 5.14 Nilai Laju Erosi Sample Pertama pada Unit Lahan di Sub DAS Junggo ..... 103 5.15 Nilai Laju Erosi Sample Kedua pada Unit Lahan di Sub DAS Junggo ........ 103 5.16 Nilai Laju Erosi Sample Ketiga pada Unit Lahan di Sub DAS Junggo ........ 103 5.17 Nilai Laju Erosi Sample Keempat pada Unit Lahan di Sub DAS Junggo .... 103 5.18 Nilai Laju Erosi Sample Pertama pada Unit Lahan di Sub DAS Junggo ..... 106 5.19 Nilai Laju Erosi Sample Kedua pada Unit Lahan di Sub DAS Junggo ........ 106 5.20 Nilai Laju Erosi Sample Ketiga pada Unit Lahan di Sub DAS Junggo ........ 106 5.21 Nilai Laju Erosi Sample Keempat pada Unit Lahan di Sub DAS Junggo .... 106 5.22 Hasil Sedimen Pada Tiap Kejadian Run Off ……………………………….. 107 5.23 Hasil Sedimen Pada Tiap Kejadian Run Off ……………………………….. 110
vii
DAFTAR PETA, GAMBAR, DAN GRAFIK
Peta
Halaman
Peta Administrasi Kecamatan Bumiaji Kota Batu ...……………………………... 67 Peta Formasi Geologi Kecamatan Bumiaji Kota Batu ..………………………….. 70 Peta Geomorfologi Kecamatan Bumiaji Kota Batu ………………………………. 73 Peta Jenis Tanah Kecamatan Bumiaji Kota Batu …...……………………………. 79 Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Bumiaji Kota Batu ……………….………… 81 Peta Unit Lahan Penelitian Dengan Luas DAS 7,359 ……………………….….... 91 Peta Kemiringan Lereng Kecamatan Bumiaji Kota Batu …………..…………….. 96 Peta Unit Lahan Penelitian Dengan Luas DAS 6,499 ……………………….….... 106 Peta Unit Lahan Penelitian Dengan Luas DAS 4,323 ……………………….….... 108
Gambar Diagram Langkah Kerja Penelitian ………………..……………………………... 59 Gambar 4.1 Tipe Iklim Daerah Penelitian Menurut Schmidt-Ferguson …………. 85
Grafik Grafik 5.1 Analisis Regresi Intensitas Hujan dengan Run off …………………… 89 Grafik 5.2 Hubungan Intensitas Hujan dengan Nisbah Pelepasan Sedimen …….. 101 Grafik 5.3 Hubungan Nisbah Pelepasan Sedimen dengan Luas DAS …………… 113 Grafik 5.3 Hubungan Nisbah Pelepasan Sedimen dengan Luas DAS …………... 114 viii
Grafik 5.3 Hubungan Nisbah Pelepasan Sedimen dengan Luas DAS …………... 115 Grafik 5.3 Hubungan Nisbah Pelepasan Sedimen dengan Luas DAS …………... 116
ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pertambahan jumlah penduduk selalu meningkat setiap waktunya. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk tersebut, maka kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan akan meningkat pula, sehingga manusia mulai melakukan berbagai inovasi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mulai dengan membangun rumah di kawasan baru, menanam tanaman pangan untuk menjaga ketahanan pangan, maupun berkebun untuk produksi pangan. Sejalan dengan pertambahan populasi penduduk di muka bumi, manusia kurang memperhatikan sisi lingkungan yang mendukung suatu proses pembangunan. Pada umumnya masyarakat hanya memanfaatkan sumber daya alam yang ada untuk mendapatkan hasil maksimal tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan yang ada. Sebagai salah satu contohnya adalah sebuah kasus yang terjadi di Kota Batu, Jawa Timur. Beberapa kawasan yang dahulunya hutan dan berfungsi sebagai area resapan, kini berubah menjadi lahan pertanian maupun perkebunan. Bukan itu saja, lereng-lereng yang tingkat kecuramnya melebihi 35%, banyak yang berubah fungsi sebagai kawasan pertanian. Hal itu diperparah dengan komoditas pertanian yang tidak cocok untuk daerah dengan topografi relatif miring serta tidak adanya tindakan konservasi yang berdampak pada terjadinya bencana alam. Bencana alam yang sering terjadi di Indonesia salah satunya adalah erosi. Erosi merupakan peristiwa pemindahan atau pengangkutan atau bagian dari tanah
1
2
dari suatu tempat ke tempat yang lain melalui media alami yaitu, air, angin, ataupun es (Arsyad, 1989 :30). Erosi dapat dipengaruhi oleh beberapa variabel utama, diantaranya adalah iklim, tanah, topografi/bentuk wilayah, dan vegetasi penutup tanah (Schwab et al, 1992) serta aktivitas manusia (Syaifuddin 1988). DAS Junggo merupakan sub dari DAS Brantas. DAS Junggo memiliki beberapa sub DAS yang juga terletak di Dusun Junggo, Desa Tulungrejo, Kota Batu. Total luas wilayah Sub DAS Junggo ini lebih dari 30 Hektar. Sub DAS Junggo merupakan salah satu kawasan yang difungsikan sebagai kawasan resapan. Hal ini dibuktikan dengan luasnya hutan pada kawasan tersebut pada era delapan puluh dan sembilan puluhan melalui interpretasi pada citra foto udara. Saat ini sub DAS Junggo telah beralih fungsi menjadi kawasan pertanian seperti apel, sawi, gubis, serta wortel, bahkan bila ditinjau dari peta Rupa Bumi Indonesia lembar Bumiaji Tahun 2001, kawasan semak-semak di sub DAS Junggo dengan luas kurang lebih 1,5 hektar, saat inipun berupah menjadi kebun apel. Kawasan yang dahulunya berfungsi sebagai resapan ini, kini beralih fungsi menjadi perkebunan untuk tanaman produksi. Perbahan yang cukup drastis ini menyebabkan terjadinya bencana erosi, karena semua areal yang dulunya hutan tersebut kini nyaris tanpa tanaman penutup yang bisa menghambat hantaman langsung air hujan terhadap permukaan tanah. Erosi menyebabkan terkikisnya lapisan tanah permukaan, hilangnya bahan organik tanah, serta menurunnya tingkat kesuburan tanah pada wilayah tersebut. Pengukuran jumlah erosi suatu wilayah dipelopori oleh Zingg pada tahun 1940. Kemudian muncul inovasi-inovasi baru dalam pengukuran erosi tanah oleh beberapa ilmuan lain seperti Smith (1941), Browning (1947) serta Musgrave
3
(1947). Pada akhirnya Wischmeier dan Smith (1965) berhasil menyempurnakan persamaan-persamaan sebelunmnya dan kemudian dikenal dengan sebutan “Persamaan Umum Kehilangan Tanah” (Universal Soil Loss Equation). Versi baru dari USLE, yang disebut dengan RUSLE (Revised Universal Soil Loss Equation) menyediakan tingkat kedetailan yang lebih tinggi, yakni faktor L dan S (panjang dan kemiringan lereng) dihitung berkali-kali, sehingga diperoleh hasil yang lebih valid. Model erosi tanah seperti Universal Soil Loss Equation (USLE) dan The Revised Universal Soil Loss Equation (RUSLE) memprediksi laju erosi potensial suatu wilayah bukan erosi aktual. Rata-rata erosi yang dihitung dengan USLE biasanya lebih besar dari pengukuran pada outlet sebenarnya (Benedict M. Mutua dan Andreas Klik (2006)). SDR digunakan untuk mengetahui perbandingan antara erosi potensial dan aktual tersebut. Perhitungan Nisbah Pelepasan Sedimen (NPS) atau cukup dikenal dengan SDR adalah perbandingan antara sedimen yang terukur di outlet dan erosi di lahan biasa (Suripin, 2001). Perhitungan besarnya SDR dianggap penting dalam menentukan prakiraan yang realistis besarnya hasil sedimen total berdasarkan perhitungan erosi total yang berlangsung di daerah tangkapan air (Asdak C., 2007). SDR adalah faktor skala yang digunakan untuk mengakomodasi perbedaan pada daerah rata-rata hasil sedimen diantara pengukuran skala (Benedict M. Mutua dan Andreas Klik (2006)). Penelitian yang dilakukan oleh Syafii, Muhammad dengan judul “Controlling The Land Use Of Brantas Upstream Basin Area In District Of Bumiaji, Batu City” menyebutkan bahwa saat ini kondisi DAS Brantas bagian
4
hulu di Desa Tulungrejo terjadi perubahan fungsi kawasan yang harusnya menjadi kawasan lindung/konservasi malah menjadi kawasan budidaya, keadaan ini juga diperparah dengan teknik pengelolaan lahan yang tidak mendukung upaya konservasi, sehingga tingakat erosi daerah tersebut akan melebihi EDP (erosi yang diperbolehkan). Berdasarkan permasalahan tersebut di atas perlu diadakan untuk memperkirakan laju erosi dengan judul: “Prediksi Nisbah Pelepasan Sedimen (NPS) Sub DAS Junggo Bagian Hilir Dengan Menggunakan Model Suripin Di Kecamatan Bumiaji Kota Batu”
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Berapa besar intensitas hujan yang menyebabkan run off di sub DAS Junggo bagian hilir? 2. Bagaimana analisis hubungan intensitas hujan dengan Nisbah Pelepasan Sedimen di Sub DAS Junggo bagian hilir? 3. Berapa luas DAS yang cocok untuk aplikasi Nisbah Pelepasan Sedimen Model Suripin di sub DAS Junggo bagian hilir?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat dirumuskan tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
5
1. Untuk mengidentifikasi besar intensitas hujan yang menyebabkan run off di sub DAS Junggo bagian hilir 2. Untuk mengetahui analisa hubungan intensitas hujan dengan Nisbah Pelepasan Sedimen di Sub DAS Junggo bagian hilir 3. Untuk mengetahui luas DAS yang cocok untuk aplikasi Nisbah Pelepasan Sedimen Model Suripin di sub DAS Junggo bagian hilir
D. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini adalah: 1. Bagi Peneliti Sebagai salah satu dari calon guru geografi, penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan atau salah satu bahan acuan pada mata pelajaran Geografi SMA kelas X semester satu pada KD “Menganalisis dinamika dan kecenderungan perubahan lithosfer dan pedosfer serta dampaknya terhadap kehidupan di muka bumi” pada materi “Membuat analisa dampak erosi terhadap kehidupan dan penanggulangannya” 2. Bagi Masyarakat Dapat memberikan informasi kepada masyarakat bahwa kawasan hutan yang beralih fungsi menjadi perkebunan di Sub DAS Junggo dapat menyebabkan erosi yang berakibat pada degradasi kesuburan tanah dan pada akhirnya menyebabkan produktivitas lahan menurun. 3. Bagi Pemerintah Daerah Dengan dilaksanakannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai mengenai tingkat erosi, sedimentasi, serta nilai
6
Nisbah Pelepasan Sedimen pada sub DAS Junggo, sehingga dapat dijadikan pijakan dalam penentuan tata ruang wilayah khususnya penggunaan lahan.
E. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini dilakukan di sub DAS Junggo Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah tidak dapat digunakannya metode plot untuk menghitung erosi karena tidak ada tempat yang memadahi untuk memasang plot.
F. Definisi Operasional 1.
Lahan adalah satuan areal di permukaan bumi yang meliputi lingkungan fisik yang terdiri atas relief, tanah, air, dan vegetasi serta benda-benda yang ada di atas permukaan bumi serta aktivitasnya. Lahan yang dimaksud dalam penelitian ini lebih dikhususkan untuk lahan perkebunan apel.
2.
Satuan unit lahan adalah satuan terkecil lahan yang mempunyai kesamaan jenis tanah, penggunaan lahan, dan topografi wilayah.
3.
Erosi adalah peristiwa pemindahan atau pengangkutan bagian dari tanah dari suatu tempat ke tempat yang lain melalui media air.
4.
Laju Erosi adalah besarnya tanah yang hilang akibat erosi yang dinyatakan dalam berat per satuan luas tertentu dalam jangka waktu tertentu dengan satuan ton/ha/tahun.
5.
Run off adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju ke sungai. Besar run off sangat dipengaruhi oleh besar
7
intensitas hujan yang terjadi, semakin besar intensitas hujan maka semakin besar run off, semakin kecil curah hujan maka semakin kecil pula run off tersebut. 6.
Intensitas hujan adalah banyaknya curah hujan yang dinyatakan dalam tinggi hujan per satuan waktu (jam).
7.
Erosivitas adalah kemampuan hujan untuk menyebabkan erosi yang dinyatakan dalam satuan milimeter.
8.
Erodibilitas adalah mudah tidaknya tanah tererosi yang dinyatakan dalam indeks erodibilitas tanah.
9.
Panjang lereng adalah jarak horizontal ke arah bawah lereng dari titik dimana aliran permukaan berasal atau mulai sampai ke titik dimana aliran permukaan masuk ke saluran-saluran permukaan atau sungai.
10. Kemiringan lereng adalah sudut yang dibentuk oleh permukaan tanah dalan bidang horizontal yang dinyatakan dalam derajat. 11. Faktor C adalah pengelolaan tanaman yang menggambarkan nisbah antara kehilangan tanah dari lahan yang diusahakan untuk suatu sistem pertanaman dengan suatu sistem pengelolaan. 12. Faktor P adalah praktek pengendalian erosi secara mekanik yang menunjukkan nisbah tanah dari suatu lahan yang dilengkapi sarana penterasan dengan besarnya tanah yang hilang dan lahan yang tidak berteras. 13. DAS (Daerah Aliran Sungai) merupakan suatu wilayah yang dibatasi oleh batas alam, seperti punggung bukit atau gunung maupun buatan sepeti jalan atau tanggul dimana air hujan yang turun di wilayah tersebut memberikan konstribusi aliran.
8
14. Hasil sedimen (sedimen yield) adalah besarnya sedimen yang berasal dari erosi yang terjadi di daerah tangkapan air. Pengukuran sedimen dilakukan pada outlet sebuah DAS, sedangkan jenis sedimen yang diukur adalah suspended load. 15. Nisbah Pelepasan Sedimen Model Suripin adalah sebuah persamaan mutlak yang telah ditentukan untuk menghitung perbandingan antara sedimen yang terukur di outlet dan erosi pada suatu unit lahan.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Intensitas Hujan dan Run off Hidrologi adalah ilmu yang mempelajari air dalam segala bentuknya (cairan, gas, padat) pada, dalam, dan di atas permukaan tanah. Hidrologi membahas tentang air yang ada di bumi, yaitu kejadian, sirkulasi dan penyebaran, sifat-sifat fisis dan kimiawi serta reaksinya terhadap lingkungan, termasuk hubungannya dengan kehidupannya (Linsley, 1989:1). Pada hidrologi, DAS merupakan cabang dari ilmu hidrologi yang mempelajari pengaruh pengelolaan vegetasi dan lahan di daerah tangkapan air di bagan hulu terhadap daur air, termasuk pengaruhnya terhadap erosi, kualitas air, banjir, dan iklim di daerah hulu dan hilir. Secara ilmiah daur hidrologi merupakan berlangsungnya air melakukan perjalanan dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut dan seterusnya tidak pernah berhenti. Air tersebut akan bertahan (sementara) di sugai, danau, waduk, dan dalam tanah sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia atau mahkluk hidup lainnya. Daur ini dimulai dengan penguapan air dari laut. Uap yang dihasilkan dibawa oleh udara yang bergerak. Dalam kondisi yang memungkinkan uap akan terkondensasi menjadi awan yang akhirnya dapat menghasilkan presipitasi. Presipitasi yang jatuh ke bumi menyebar dengan arah yang berbeda. Sebagian besar bertahan di dekat tempat jatuhnya dan dikembalikan lagi ke atmosfer oleh penguapan (evaporasi) dan pemeluhan (transpirasi) oleh tanaman. Sebagian air mencari jalannya sendiri melalui
9
10
permukaan dan bagian atas tanah menuju sungai, sementara lainnya masuk ke dalam tanah menjadi bagian dari air tanah (groundwater). Di bawah pengaruh gaya grafitasi, baik aliran air permukaan (surface stream flow) maupun air dalam tanah bergerak menuju tempat yang lebih rendah dan akhirnya mengalir ke laut. Sejumlah besar air permukaan dan air bawah tanah dikembalikan ke atmosfer oleh penguapan dan pemeluhan (transpirasi) sebelum sampai ke laut (Linsley, 1989:1). Hujan yang jatuh di daratan akan melalui jalan yang lebih panjang untuk mencapai laut. Setiap tetes air hujan yang jatuh ke tanah merupakan pukulanpukulan kecil ke tanah. Pukulan air ini memecahkan tanah yang lunak sampai batu yang keras. Partikel pecahan ini kemudian mengalir menjadi lumpur, dan lumpur ini menutupi pori-pori tanah sehingga menghalangi air hujan yang akan meresap ke dalam tanah, dengan demikian maka semakin banyak air yang mengalir di permukaan tanah. Sebagian air hujan akan meresap ke dalam tanah dan sebagian lagi akan mengalir di permukaan ke darah yang lebih rendah, dan kemudian akan berkumpul di danau atau sungai dan akhirnya mengalir ke laut. Bila curah hujan lebih besar daripada kemampuan tanah untuk menyerap air, maka kelebihan air tersebut akan mengalir dipermukaan menuju ke danau atau sungai. Air yang meresap ke dalam tanah (infiltrasi) atau yang mengalir di permukaan (run off) akan menemukan jalannya untuk kembali ke atmosfer, karena adanya evaporasi dari tanah, danau dan sungai. Run off adalah bagian curahan hujan (curah hujan dikurangi evapotranspirasi dan kehilangan air lainnya) yang mengalir dalam air sungai karena gaya gravitasi; airnya berasal dari permukaan maupun dari subpermukaan
11
(sub surface). Runoff dapat dinyatakan sebagai tebal runoff, debit aliran (river discharge) dan volume runoff. Faktor-faktor yang mempengaruhi run off diantaranya adalah iklim, terutama intensitas hujan dan segala sesuatu berhubungan dengan karakteristik daerah lahan sungai. Intensitas hujan adalah ukuran yang menyatakan tebal hujan dalam satuan waktu tertentu (mm/jam, cm/jam). Semakin lama dan semakin tinggi intensitas hujan akan menghasilkan air larian semakin besar, namun intensitas hujan yang terlalu tinggi dapat menghancurkan agregat tanah sehingga akan menutupi pori-pori tanah, akibatnya menurunkan kapasitas infiltrasi. Volume run off akan lebih besar pada hujan yang intensif dan tersebar merata di seluruh wilayah DAS dari pada hujan tidak merata, apalagi kurang intensif. Disamping itu, faktor lain yang mempengaruhi volume run off adalah bentuk dan ukuran DAS, topografi, geologi dan tataguna lahan. Kerapatan daerah aliran (drainase) mempengaruhi kecepatan run off. Kerapatan daerah aliran adalah jumlah dari semua saluran air/sungai (km) dibagi luas DAS (km2). Makin tinggi kerapatan daerah aliran makin besar kecepatan air larian sehingga debit puncak tercapai dalam waktu yang cepat.
B. Intensitas Hujan dan Nisbah Pelepasan Sedimen 1. Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah aliran sungai (watershed) merupakan semua daerah dimana semua airnya mengalir ke dalam suatu sungai yang dimaksudkan. Menurut kamus Webster (Suripin, 2001:183), DAS adalah suatu daerah yang dibatasi oleh pemisah topografi, yang menerima hujan menampung air hujan, menyimpan dan
12
mengalirkan ke sungai dan seterusnya sampai ke danau atau laut. Aktifitas dalam DAS yang menyebabkan perubahan ekosistem, misalnya perubahan tata guna lahan, khususnya di daerah hulu sehingga memberikan dampak pada daerah hilir berupa perubahan jumlah debit air dan kandungan sedimen serta material yang terkandung di dalamnya. Dalam hal ini maka pengelolaan DAS mempunyai fungsi penting sebagai pengelolaan dan alokasi sumber daya alam di daerah aliaran sungai termasuk pencegahan banjir dan erosi, serta perlindungan nilai keindahan yang berkaitan dengan sumber daya alam dan yang terpenting adalah kelangsungan ekosistem DAS. Ekosistem DAS merupakan bagian penting, karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap DAS. Perlindungan ini, antara lain dari segi fungsi tata air. Dalam hal ini DAS hulu seharusnya menjadi fokus perencanaan pengelolaan DAS mengingat bahwa dalam suatu DAS merupakan daerah hulu dan hilir yang mempunyai keterkaitan biofsik melalui daur hidrologi. DAS terdapat suatu ekosistem dimana di dalamnya terjadi suatu proses interakasi antara faktor-faktor biotik, non biotik dan manusia. Sebagai suatu ekosistem terdapat masukan (input) yang selama berlangsung menghasilkan keluaran (output). Komponen masukan dalam ekosistem DAS meliputi curah hujan, sedangkan keluaran terdiri dari debit air dan muatan sedimen. Komponen-komponen DAS yang berupa vegetasi, tanah dan saluran atau sungai hanya bertindak sebagai prosesor (Suripin, 2001:183).
2. Pengertian Erosi Erosi merupakan proses terlepasnya butiran tanah dari induknya di suatu tempat dan terangkutnya material tersebut oleh gerakan air atau angin kemudian
13
diikuti dengan pengendapan material yang terangkut di tempat lain (Suripin, 2001:9). C. L. Amstrong dkk (1982) dalam bukunya yang berjudul “Soil Erosion By Water In The Tropics” mengemukakan bahwa “erosion defined as the wearing away of the land surface by running water, wind, ice, or other geological agents, including such processes as gravitational creep.” Erosi merupakan suatu proses (peristiwa) terpindahkannya atau hilangnya bagian-bagian atau seluruh tanah lapisan permukaan (top soil) yang disebabkan gerakan/aliran permukaan atau angin (Kartasapoetra, 1988:14). Erosi merupakan pengikisan dan pengangkutan bahan dalam bentuk larutan atau suspensi dari tapak semula oleh pelaku berupa air mengalir (aliran limpas), es bergerak ataupun angin (Notohadiprawiro, 1999). Menurut Rahim (2000;28) erosi merupakan suatu proses yang terdiri dari penguraian massa tanah menjadi partikel-partikel tunggal dan pengangkutan partikel-partikel tunggal tersebut oleh tenaga erosi. Tenaga yang menyebabkan terjadinya erosi adalah air, angin, dan salju. Erosi didifinisikan sebagai peristiwa hilangnya atau terkikisnya bagian tanah dari suatu tempat yang terangkut ke tempat lain baik disebabkan oleh air, angin, maupun salju. Utomo (1994;19) mengemukakan bahwa erosi pada dasarnya adalah proses perataan kulit bumi. Proses ini terjadi dengan penghancuran, pengangkutan, dan pengendapan. Di alam, ada dua penyebab utama yang aktif dalam proses ini yakni air dan angin. Frovert, et al. (1950) mengartikan erosi tanah sebagai proses hilangnya lapisan tanah yang jauh lebih cepat dari proses kehilangan tanah pada peristiwa erosi geologi (geological erosion) (Suripin, 2001;13). Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa erosi
14
adalah proses terlepasnya bagian-bagian atau seluruh butiran tanah lapisan permukaan (top soil) dari induknya di suatu tempat dan terangkutnya material tersebut oleh gerakan air atau angin kemudian diikuti dengan pengendapan material yang terangkut di tempat lain. Pada dasarnya erosi terbagi menjadi dua yaitu erosi yang terjadi secara alami dan erosi yang dipercepat. Erosi dapat dibedakan berdasarkan produk hasil akhirnya dan kenampakan lahan akibat erosi itu sendiri. Berdasarkan pernyataan di atas, Morgan mengklasifikasikan bentuk-bentuk erosi menjadi: 1) Erosi Percikan (Splash Erosion) Erosi percikan adalah proses terkelupasnya partikel-partikel tanah bagian atas oleh tenaga kinetik air hujan bebas atau sebagai air lolos (Asdak, 2004) . Erosi percikan merupakan awal terjadinya erosi di atas tanah tanpa adanya tanaman. Besarnya curah hujan, intensitas, dan distribusi hujan dapat menentukan kekuatan persebaran hujan di permukaan tanah, kecepatan aliran permukaan serta kerusakan erosi yang ditimbulkan. Terdapat empat fase terjadinya erosi percikan, yaitu terjadinya pembasahan permukaan tanah sehingga menyebabkan penurunan gaya kohesi antar partikel tanah akibatnya terjadi peningkatan pada laju erosi percikan, terjadinya pemadatan tanah akibat pukulan air hujan, terbentuknya lapisan kerak (crust) tipis akan menurunkan besarnya percikan yang meningkatkan akumulasi air, dan fase yang terakhir adalah aliran turbulensi yang mampu menghilangkan sebagian lapisan kerak pada permukaan tanah. Erosi percikan umumnya terjadi secara maksimum setalah tanah menjadi basah dan kemudian akan menurun apabila terdapat peningkatan ketebalan lapisan air yang yang terbentuk pada permukaan tanah. Beberapa penelitian telah
15
menunjukkan bahwa nilai erosi maksimum akan terjadi kira-kira 2-3 menit setelah terjadi hujan. Pada ketebalan lapisan air untuk nilai tertentu ternyata masih dapat menimbukan terjadinya erosi percikan. Semua itu disebabkan oleh pukulan air hujan yang masih mampu menembus lapisan air tersebut. Di atas nilai ketebalan tersebut energi butiran air hujan tidak akan menembus lapisan air dan tetap menjaga permukaan tanah dari erosi percikan. Dampak dari erosi percikan adalah penyumbatan pori-pori tanah sehingga terjadi limpasan permukaan. 2) Erosi Lembaran (Sheet Erosion) Erosi lembaran adalah erosi yang terjadi ketika lapisan tipis permukaan tanah di daerah berlereng terkikis oleh kombinasi air hujan dan run off (Asdak, 2004). Pengangkutan atau pemindahan tanah terjadi merata pada seluruh permukaan tanah. Apabila erosi yang terjadi semakin meluas pada suatu lahan maka akan terlihat adanya permukaan lahan yang kering tanpa adanya tanaman. Awal terjadinya erosi lembaran dapat dilihat dari penurunan jumlah produksi tanaman yang dihasilkan. Daun-daun pada tanaman akan terlihat lebih pucat di bagian puncak dan tengah lereng, dibandingkan di kaki lereng. Hal ini bisa terjadi karena di bagian puncak dan tengah lereng kandungan bahan organik beserta unsur hara dalam tanah lebih banyak hilang dibandingkan di kaki lereng. 3) Erosi Alur (Rill Erosion) Erosi alur adalah erosi yang terjadi pada tanah yang mempunyai kemiringan sehingga sewaktu hujan turun dan airnya mengalir ke bawah, pada tempat-tempat tertentu terjadi konsentrasi aliran air hujan di permukaan (Asdak, 2004). Konsentrasi pada aliran air terjadi karena terdapat daya laju air. Hal ini menyebabkan pengikisan tanah dan berjalannya waktu akan membentuk alur-alur
16
dangkal di permukaan tanah yang arahnya memanjang dari atas ke bawah. Erosi alur memiliki kecepatan lebih tinggi dibandingkan dengan erosi lembaran, sebab kecepatan aliran limpasan lebih tinggi di alur. Erosi alur banyak disebabkan oleh peranan manusia dalam pengolahan lahan. Rata-rata manusia melakukan pengolahan tanah disertai dengan penanaman yang searah dengan kemiringan lahan. 4) Erosi Parit (Gully Erosion) Erosi parit membentuk jajaran parit yang lebih dalam dan lebar serta merupakan lanjutan dari erosi alur (Asdak, 2004). Erosi Parit merupakan erosi alur yang berkelanjutan, dimana bagian-bagian tanah terjadi pengikisan yang hebat sehingga menjadikan parit-parit yang memiliki lebar 40 cm dan kedalaman 25 cm hingga mencapai 30 m. Ketahanan tanah disekitar berlangsungnya pengikisan-pengikisan yang dapat mewujudkan pembentukan parit-parit yang berbentuk huruf U dan V. Parit yang berbentuk U terjadi apabila tanah yang terkikis itu kurang resisten (misalnya banyak kandungan pasir dan debu), sedangkan parit berbentuk V apabila bagian-bagian tanah yang terkikis lebih resisten terhadap pengikisan. Gambaran terjadinya erosi parit bentuk U dan V dikemukakan oleh Bennet (Kartasapoetra, 1988:41). 5) Erosi Tebing Sungai (Stream Bank Erosion) Erosi tebing terjadi akibat pengikisan-pengikisan tanah pada tebingtebing sungai dan penggerusan dasar sungai oleh aliran sungai (Asdak, 2004). Pada sungai dengan arah lurus jarang terjadi pengikisan di tebing dan arusnya berada di bagian tengah, kerena pada kedua sisi yang bersebelahan dengan tepinya mengalami pendangkalan akibat pengendapan. Untuk sungai yang berkelok arus
17
setelah berbelok menuju tepi yang berada di seberang akan melakukan pengikisan, sedangkan pada tepi yang sejalan dengan belokan akan terjadi pengendapan. Apabila pengikisan berlangsung secara terus-menerus akan membuat arah baru dalam wujud kelokan sungai (meander). Erosi tebing sungai juga akan lebih hebat lagi apabila tumbuhan penutup tebing telah rusak atau pengolahan lahan terlalu dekat dengan tebing.
3. Faktor Yang Mempengaruhi Erosi Baver, et al. (1972), menyatakan bahwa terjadinya erosi tanah tergantung pada beberapa faktor, yaitu (1) sifat-sifat hujan; (2) kemiringan lereng dan jaringan aliran air; (3) tanaman penutup tanah; dan (4) kemampuan tanah untuk menahan dipersi dan untuk menghisap kemudian untuk merembeskan air ke lapisan tanah yang lebih dalam. Dalam hal ini, Bever tidak memperhitungkan faktor kegiatan manusia, seperti pengolahan tanah, pembuatan teras dan lain-lain, sebagai faktor yang turut menentukan besarnya erosi. Padahal faktor tersebut cukup penting, yaitu dapat bersifat positif atau negatif. Bersifat positif berarti akan mengurangi erosi yang lebih besar, sebaliknya dapat bersifat negatif jika memperbesar laju erosi. Rahim (2000:30) mengemukakan bahwa pada dasarnya erosi dipengaruhi oleh tiga faktor utama. Ketiga kelompok tersebut meliputi (1) Energi: hujan, air limpasan, angin, kemiringan, dan panjang lereng; (2) Ketahanan: erodibilitas tanah (ditentukan oleh sifat fisik dan kimia tanah); (3) Proteksi: penutupan tanah, baik oleh vegetasi atau lainnya serta ada atau tidaknya tindakan konservasi.
18
Suripin (2001;12) dan Hudson (1976) dalam Utomo (1994;26) mengemukakan secara keseluruhan terdapat lima faktor yang menyebabkan dan mempengaruhi besarnya laju erosi, yaitu iklim, tanah, topografi atau bentuk wilayah, vegetasi penutup tanah dan kegiatan manusia. Faktor iklim yang paling menentukan dalam hal ini adalah hujan yang dinyatakan dalam nilai indeks erosivitas hujan. Besar kecilnya laju erosi banyak juga tergantung pada sifat-sifat tanah itu sendiri yang dinyatakan sebagai faktor erodibilitas tanah, yaitu kepekaan tanah terhadap erosi. Besarnya erosi dengan memperhitungkan kedua faktor ini saja, sedangkan faktor lainnya dianggap satu, disebut erosi potensial. Iklim dan geologi merupakan faktor utama yang mempengaruhi proses erosi tanah, di samping karakteristik tanah dan vegetasi, dimana keduanya bergantung pada dua faktor terdahulu dan saling pengaruh-mempengaruhi. Di luar faktor tersebut, kegiatan manusia di muka bumi juga memberi andil cukup besar pada perubahan laju erosi tanah. 1) Iklim Faktor iklim yang paling besar pengaruhnya terhadap erosi tanah adalah hujan, temperatur, dan suhu. Sejauh ini, hujan merupakan faktor yang paling penting (Suripin, 2001;41). Hujan memainkan peranan dalam erosi tanah melalui tenaga pelepasan dari pukulan butir-butir hujan pada permukaan tanah dan sebagian melalui kontribusinya terhadap aliran. Pada tahap awal, tetesan air hujan yang menghantam muka bumi mengakibatkan terlemparnya partikel tanah ke udara. Karena gravitasi bumi, partikel tersebut kembali ke bumi dan sebagian partikel halus menutup pori-pori tanah sehingga porositas menurun. Tetesan air hujan juga dapat menimbulkan pembentukan lapisan tanah keras (crust formation)
19
pada lapisan permukaan, akibatnya kapasitas infiltrasi tanah berkurang sehingga air yang mengalir di permukaan (surface run-off), sebagai faktor penyebab terjadinya erosi oleh aliran air bertambah besar. Karakteristik hujan yang mempunyai pengaruh terhadap erosi tanah meliputi jumlah atau kedalaman hujan, intensitas dan lamanya hujan. Fournier (1972) menyepakati bahwa intensitas hujan merupakan karakteristik hujan yang paling erat korelasinya dengan tanah yang tererosi. Penelitiannya menyatakan bahwa laju erosi selalu meningkat seiring dengan bertambahnya intensitas hujan. Jumlah hujan yang besar tidak selalu menyebabkan erosi berat jika intensitanya rendah, dan sebaliknya hujan lebat dalam waktu singkat mungkin juga hanya menyebabkan sedikit erosi karena jumlah hujannya hanya sedikit. (Suripin, 2001;41). Jadi dapat disimpulkan bahwa hujan akan menimbulkan erosi jika intensitasnya cukup tinggi dan jatuhnya dalam waktu yang relatif lama (Rahim, 2000;30). Evans (1980) berpendapat bahwa interaksi antara butir hujan, kecepatan hujan, bentuk butir, lama hujan, dan kecepatan angin secara kolektif mempengaruhi kekuatan hujan untuk menimbulkan erosi. Makin besar ukuran butir hujan, momentum akibat jatuhnya butir-butir hujan semakin meningkat khususnya pada saat energi kinetik mencapai maksimum, yakni pada saat intensitas hujan antara 50-100 mm/jam dan di atas 250 mm/jam. Dengan demikian, kekuatan untuk merusak agregat tanah semakin meningkat (Rahim, 2000:30). Energi hujan terdiri dari dua komponen; energi potensial (Ep) dan energi kinetik (Ek). Energi potensial timbul dengan adanya perbedaan tinggi antara benda dan titik tinjau. Energi potensial didifinisikan sebagai hasil kali
20
antara massa, beda tinggi, dan percepatan grafitasi. Energi kinetik atau energi gerak, merupakan yang berkaitan dengan massa dan kecepatan. Pada fenomena erosi tanah, energi potensial dikonversi menjadi energi kinetik (Morgan, 1988). Sehingga kekuatan erosif hujan hanya dinyatakan dalam energi kinetik saja. Karena energi kinetik berkaitan erat dengan intensitas hujan, maka dimungkinkan menggunakan intensitas hujan untuk menggunakan tenaga erosif hujan (Selbe, 1933). Beberapa korelasi antara energi kinetik dan intensitas hujan telah banyak dikenalkan oleh banayak peneliti (Morgan, 1988; Renard, et.al 1991, 1996), dimana akhirnya menjurus ke suatu rumus yang dikenal dengan sebagai “indeks erosivitas hujan” (Suripin, 2001;43). 2) Karakteristik Tanah Secara fisik, tanah terdiri dari partikel mineral dan organik dengan berbagai ukuran. Partikel-partikel tersebut tersusun dalam bentuk matriks yang pori-porinya kurang lebih 50%, sebagian terisi oleh air dan sebagian terisi oleh udara. Secara esensial, semua penggunaan tanah dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik tanah. Dalam kaitannya dengan konservasi tanah dan air, sifat fisik tanah yang berpengaruh meliputi tekstur, struktur, infiltrasi, kandungan bahan organik, (Suripin, 2001;43) sifat lapisan bawah, dan tingkat kesuburan tanah (Rahim, 2000;34). 1. Tekstur Tanah Tekstur tanah turut menentukan tata air dalam tanah, yaitu berupa kecepatan infiltrasi, penetrasi, dan kemampuan pengikatan air oleh tanah. Terjadi atau tidaknya aliran permukaan, tergantung kepada dua sifat yang dipunyai oleh tanah tersebut, yaitu:
21
a. Kapasitas infiltrasi, yaitu kemampuan tanah untuk meresapkan air, diukur dalam mm setiap satuan waktu. b. Permeabilitas dari lapisan tanah yang berlainan, yaitu kemampuan tanah untuk meluluskan air atau udara ke lapisan bawah profil tanah. Bilamana kapasitas infiltrasi dan permeabilitas besar seperti pada tanah berpasir yang mempunyai kedalaman lapisan kedap yang dalam, walaupun dengan curah hujan yang lebat kemungkinan untuk terjadi aliran permukaan kecil sekali. Sedangkan tanah-tanah bertekstur halus akan menyerap air sangat lambat, sehingga curah hujan yang cukup rendah akan menimbulkan aliran permukaan. Rahim (2000;34) mengemukakan bahwa tanah bertekstur kasar mempunyai kapasitas infiltrasi yang tinggi, sedangkan tanah yang bertekstur halus mempunyai kapasitas infiltrasi kecil, sehingga dengan curah hujan yang cukup rendahpun akan menimbulkan limpasan permukaan. Menurut Bennet (1939), tekstur kasar yang terpisah satu sama lain atau tidak membentuk agregat menunjukkan permeabilitas yang lebih tinggi dari pada tekstur halus, yang dapat mengurangi terjadinya aliran permukaan. Tetapi hal tersebut pada tanah-tanah yang cepat jenuh oleh air, bahaya erosi kemungkinan besar. Kepekaan tanah terhadap erosi ditentukan oleh mudah tidaknya butirbutir tanah atau agregat-agregat tanah didispersikan dan disuspensikan oleh air, daya infiltrasi dan ukuran butir-butir tanah yang akan menentukan mudah atau tidaknya terangkut oleh air. Karena itu, tanah dengan agregat yang mudah didispersikan oleh air dan daya infiltrasinya kecil serta dengan ukuran butir-butir tanah halus, peka terhadap erosi atau erodibilitasnya besar (Baver, 1956: Suripin, 2001;47)
22
2. Struktur Tanah Tekstur tanah digunakan untuk mengidentifikasi ukuran butiran, sedangkan struktur tanah digunakan untuk menerangkan susunan partikel-partikel tanah. Struktur tanah terdiri dari struktur makro dan struktur mikro. Struktur makro adalan susunan agregat-agregat tanah satu dengan lainnya, sedangkan struktur mikro adalah penyusunan butir-butir primer tanah (pasir, lempung, dan liat) menjadi partikel sekunder yang disebut peds atau agregat (Suripin, 2001;47). Tanah-tanah yang mempunyai struktur mantap terhadap pengaruh air, memiliki permeabilitas dan drainase yang sempurna serta tidak mudah didispersikan oleh air hujan. Permeabilitas tanah dapat menghilangkan daya air untuk mengerosi permukaan tanah, sedangkan drainase mempengaruhi baikburuknya pertukaran udara dan selanjutnya akan mempengaruhi kegiatan mikroorganisme dalam tanah, juga perakaran tanaman. Tanah dengan pori-pori yang besar dan struktur yang baik akan memiliki kecepatan infiltrasi yang besar. Tetapi menurut Bennet (1939), bila air hujan yang jatuh mendispersikan butir-butir tanah yang halus dan tanah yang terdispersi ini terbawa oleh air, lalu menutupi pori-pori tanah sehingga padat, maka kecepatan infiltrasi menjadi kecil dan aliran permukaan menjadi lebih besar. Mengingat korelasi antara kecepatan aliran dan kapasitas angkut bukan linier tapi pangkat yang lebih besar dari satu, maka kecepatan aliran permukaan akan mengakibatkan kenaikan daya angkut yang berlipat. Bila kecepatan aliran menjadi dua kali lipat, kapasitas angkut menjadi dua kalinya, bahkan sampai empat dan delapan kali lipat, tergantung dari keadaan lereng yang dilewati aliran tersebut.
23
3. Infiltrasi Infiltrasi adalah peristiwa masuknya air ke dalam tanah melalui permukaan tanah secara vertikal, sedangkan banyaknya air yang masuk melalui permukaan tanah persatuan waktu disebut laju infiltrasi. Nilai laju infiltrasi sangat tergantung pada kapasitas infiltrasi, yaitu kemampuan tanah untuk melewatkan air dari permukaan tanah secara vertikal (Suripin, 2001;49). Kapasitas infiltrasi bervariasi terhadap sifat alamiah tanah, anatara lain porositas, kelembaban awal, dan kemiringan tanah. Makin tinggi nilai kelembaban awal pada profil tanah, makin kecil laju infiltrasinya. Sifat-sifat tanah yang menentukan dan membatasi besarnya kapasitas infiltrasi tanah adalah struktur tanah yang sebagian besar ditentukan oleh tekstur tanah, pemadatan tanah dan sekelet tanah. Partikel-partikel tanah pada umumnya terdiri dari fraksi pasir, debu, dan liat. Adanya perbedaan komposisi dari ketiga fraksi tersebut menyebabkan laju infiltrasi yang berbeda pula. Di samping itu, faktor struktur tanah yang turut menambah laju infiltrasi adalah jumlah, ukuran, dan kemantapan pori. Menurut Bermanakusumah (1978), jumlah dan ukuran pori yang menentukan adalah jumlah pori yang berukuran besar. Makin banyak pori-pori besar maka kapasitas infiltrasi akan semakin besar pula. Di samping itu, proses pemadatan tanah, baik oleh pukulan air hujan, penggembalaan ternak, dan pengelolaan tanah dengan menggunakan alat berat, menyebabkan berkurangnya pori-pori tanah, sehingga menurunkan kapasitas infiltrasi (Suripin, 2001;49). 4. Kandungan Bahan Organik Bahan organik umumnya ditemukan di permukaan tanah atau lapisan tanah atas (top soil). Dalam kaitannya dengan erosi tanah, Bennet (1955)
24
menyatakan bahwa fungsi bahan organik dalam pencegahan erosi antara lain dapat memperbaiki aerasi tanah dan mempertinggi kapasitas air tanah serta memperbaiki daerah perakaran. Sedangkan Tjwan (1968) menyatakan bahwa peranan bahan organik terhadap sifat fisik tanah adalah menaikkan kemantapan agregat tanah, memperbaiki struktur tanah, dan menaikkan daya tahan air tanah. Darmawidjaya (1961) menyatakan bahwa peranan bahan organik dalam pengendalian tata air tanah antara lain untuk memperbaiki peresapan air ke dalam tanah, mengurangi aliran permukaan, dan mengurangi perbedaan kandungan air dalam tanah dan sungai antara musim penghujan dan kemarau (Suripin, 2001;54). 3) Topografi Faktor topografi umumnya dinyatakan dalam kemiringan dan panjang lereng. Topografi atau rupa muka tanah berperan penting dalam menentukan kecepatan aliran permukaan yang membawa partikel-partikel tanah tersebut. Secara umum, erosi akan meningkat seiring dengan meningkatnya kemiringan dan panjang lereng. Pada lahan datar, percikan butir air hujan melemparkan partikel tanah ke udara menuju segala arah secara acak, pada lahan miring, partikel tanah lebih banyak yang terlempar ke arah bawah dari pada ke arah atas, dengan porsi yang makin besar seiring bertambahnya kemiringan lereng. Makin panjang lereng, makin banyak pula air permukaan yang terakumulasi, sehingga aliran permukaan menjadi lebih tinggi kedalaman maupun kecepatannya. Kombinasi kedua variabel ini menyebabkan laju erosi tanah tidak sekedar proposianal dengan kemiringan lereng tetapi meningkat secara drastis dengan meningkatnya panjang lereng (Suripin, 2001;56).
25
4) Vegetasi Vegetasi mempunyai pengaruh yang bersifat melawan terahadap pengaruh faktor-faktor lain yang erosif seperti hujan, topografi, dan karakteristik tanah. Vegetasi mampu menangkap (intersepsi) butir air hujan sehingga energi kinetiknya terserap oleh tanaman dan tidak menghantam tanah secara langsung. Pengaruh intersepsi air hujan oleh tumbuhan penutup pada erosi melalui dua cara, yaitu (1) memotong butir air hujan sehingga tidak jatuh ke bumi dan memberikan kesempatan terjadinya penguapan langsung dari dedaunan dan dahan ; (2) menangkap butir hujan dan meminimalkan pengaruh negatif terhadap struktur tanah (Suripin, 2001;56). Pada dasarnya, vegetasi mampu mempengaruhi erosi karena adanya: (1) intersepsi air hujan karena adanya tajuk dan absorpsi energi air hujan, sehingga memperkecil erosivitasnya; (2) pengaruh terhadap limpasan permukaan; (3) peningkatan aktivitas biologi dalam tanah; dan (4) peningatan kecepatan kehilangan air karena transpirasi (Rahim, 2000:34). Tanaman penutup mengurangi energi aliran, meningkatkan kekasaran, sehingga mengurangi kecepatan aliran permukaan, dan selanjutnya memotong kamampuan aliran permukaan untuk melepas dan mengangkut partikel sedimen. Salain itu, perakaran tanaman meningkatkan stabilitas tanah dengan meningkatkan kekuatan tanah, granularitas, dan porositas. Aktivitas biologi yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman memberikan dampak positif pada porositas tanah. Tanaman mendorong transpirasi air, sehingga lapisan tanah atas menjadi kering dan memadatkan lapisan bawahnya.
26
Tanaman penutup meningkatkan kekasaran permukaan dan memperpanjang lintasan aliran permukaan, sehingga mengurangi kecepatan aliran permukaan. Mengingat bahwa laju erosi merupakan fungsi kecepatan aliran permukaan dengan variasi dari tiga sampai lima, pengaruh pengurangan kecepatan aliran terhadap kehilangan tanah dapat sangat signifikan. Pengaruh lain dari vegetasi terhadap erosi tanah adalah meningkatkan kehilangan air tanah. Kehilangan air tanah yang ada tanamannya terjadi melalui evaporasi dan transpirasi, sedangkan tanah yang terbuka hanya terjadi melalui evaporasi saja. Dengan demikian, tanah yang ditumbuhi tanaman akan cepat kering (lapar air), sehingga mempunyai kapasitas infiltrasi yang lebih besar, dengan demikian akan mengurangi volume aliran permukaan sangat signifikan. Efektifitas tanaman penutup dalam mengurangi erosi tergantung pada ketinggian dan kontinuitas penutupan, kerapatan penutup tanah, dan kerapatan perakaran. Makin tinggi tanaman penutup, makin tinggi efektivitasnya. Butiran air hujan yang ditangkap tanaman kemungkinan berkumpul di dedaunan dan membentuk butiran yang lebih besar. Dari tinggi jatuh sekitar 10 m, kecepatan butir hujan akan mencapai kecepatan terminal, yaitu kecepatan dimana pengaruh udara sama dengan pengaruh gravitasi, sehingga butir hujan akan menjadi lebih erosif. Tanaman penutup yang rendah tidak hanya mengurangi kecepatan aliran permukaan karena meningkatnya kekasaran, tetapi juga mencegah terkonsentrasinya aliran permukaan. Penurunan kecepatan aliran permukaan memberi peluang waktu untuk terjadinya infiltrasi. Adanya vegetasi penutup tanaman yang baik, seperti rumput yang tebal dan hutan yang lebat dapat menghilangkan pengaruh topografi terhadap erosi.
27
Tanaman yang menutup permukaan tanaman sacara rapat tidak saja memperlambat limpasan, tetapi juga menghambat pengangkutan partikel tanah (Arsyad,1983; Morgan, 1988). 5) Tindakan Campur Tangan Manusia Kegiatan manusia dikenal dengan faktor yang paling penting terhadap terjadinya erosi tanah yang cepat dan intensif. Kegiatan-kegiatan tersebut kebanyakan berkaitan dengan perubahan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap erosi, misalnya perubahan penutup tanah akibat penggundulan hutan untuk pemukiman, lahan pertanian, atau gembalaan. Perubahan topografi secara mikro akibat terasering, penggemburan tanah dengan pengolahan, serta pemakaian stabilisher dan pupuk yang berpengaruh pada struktur tanah (Suripin, 2001;59). Faktor kegiatan manusia memerankan peranan sangat penting terutama dalam pencegahan erosi, sebab manusia dapat memperlakukan faktor-faktor penyebab erosi lainnya, kecuali faktor iklim yang masih sulit untuk di atasi. Namun, kegiatan-kegiatan manusia di muka bumi juga sering mengganggu keseimbangan antara regenerasi (pembentukan) tanah dan laju erosi tanah.
4. Mekanisme Terjadinya Erosi Erosi timbul apabila aksi dispersi dan tenaga pengangkut oleh air hujan yang mengalir di permukaan tanah dan atau di dalam tanah. Jadi erosi dapat terjadi minimal dalam satu tahapan, yakni dispersi oleh air hujan dan atau oleh air limpasan. Adapun tahapan erosi meliputi (1) benturan butir-butir hujan dengan tanah; (2) percikan tanah oleh butir hujan ke sumua arah; (3) penghancuran bongkah tanah oleh butir hujan; (4) pemadatan tanah; (5) penggenangan air di
28
permukaan; (6) pelimpasan air karena adanya penggenangan dan kemiringan lahan; (7) penguatan partikel terpercik dan atau masa tanah yang terdepresi oleh air limpasan. Selama terjadi hujan, limpasan permukaan berubah terus dengan cepat, tetapi pada waktu mendekati akhir hujan, limpasan permukaan berkurang dengan laju yang sangat rendah dan pada saat ini umumnya tidak terjadi erosi (Morgan, 1988: Utomo;1989: Rahim, 2000;29) Suripin (2001;11), Foster dan Meyer (1977), serta (Utomo, 1989;19) mengemukakan bahwa proses erosi yang disebabkan oleh air meliputi tiga tahap yang terjadi dalam keadaan normal di lapangan, yaitu tahap pertama pemecahan bongkah-bongkah atau agregat tanah ke dalam bentuk butir-butir kecil atau partikel tanah (detachment), tahap kedua adalah pengangkutan atau pemindahan butir-butir yang kecil sampai sangat halus tersebut (transportation), dan tahap ketiga adalah pengendapan (depotition) partikel-partikel tersebut di tempat yang lebih rendah maupun di dasar sungai atau waduk. Ada dua penyebab utama pada tahap pertama dan kedua dari proses terjadinya erosi, ialah tetesan butir-butir hujan dan aliran permukaan. Tetesantetesan butir hujan yang jatuh ke atas tanah mengakibatkan pecahnya agregatagregat tanah tersebut, sebab tetesan butir hujan tersebut memiliki energi kinetik (Ek) yang cukup besar. Intensitas hujan yang lebih besar dapat membentuk butirbutir tetesan hujan yang lebih besar lagi dan mengakibatkan aliran di permukaan lebih banyak. Percikan hujan merupakan media utama pelepasan partikel tanah. Pada saat butiran hujan mengenai permukaan tanah yang gundul, partikel tanah dapat terlepas dan terlempar sampai beberapa centimeter ke udara. Erosi percikan (splash erosion) sebagai akibat dari kekuatan tumbukan atau tetesan butir hujan ke
29
tanah dengan nilai erosivitas tertentu adalah merupakan ukuran dari suatu tanah yang terlepas (soil detachtability), sedangkan jumlah aliran permukaan (run-off) dan tanah yang dianggap sebagai kriteria untuk erodibilitas tanah. Bila hujan telah menggenangi suatu tanah, erosi percikan di tempat itu akan berkurang karena kedalaman kritis untuk terjadinya erosi percikan adalah 3 mm, dimana bila kedalaman air telah melebihi angka tersebut, maka percikan menjadi minimal. Hanya saja bila terjadi limpasan, erosi akan didominasi oleh proses pengangkutan dan dispersi oleh limpasan permukaan (Rahim, 2000:29). Pada lahan datar partikel-partikel tanah tersebar lebih-kurang merata ke segala arah, tapi untuk lahan miring terjadi dominasi ke arah bawah lereng. Partikelpartikel tanah yang terlepas ini akan menyumbat pori-pori tanah sehingga akan menurunkan kapasitas dan laju infiltrasi. Pada kondisi dimana intensitas hujan melebihi laju infiltrasi, maka akan terjadi genangan air di permukaan tanah, yang kemudian akan menjadi aliran permukaan. Aliran permukaan ini menyediakan energi untuk mengangkut partikel-partikel yang terlepas baik oleh percikan air hujan maupun oleh adanya aliran permukaan itu sendiri. Di samping itu, massa tanah yang terangkut dalam limpasan permukaan, terutama debu, pasir, dan kerikil di dalam perjalanan menuju tempat pengendapan juga mampu untuk menggerus permukaan tanah (Utomo, 1989;19). Pada saat energi/aliran permukaan menurun dan tidak mampu lagi menampung partikel tanah yang terlepas, maka partikel tanah itu akan diendapkan. Lahan terbuka yang terhantam hujan terus-menerus menyebabkan tanah menjadi lemah. Tanah juga mengalami penghancuran oleh proses pelapukan, baik secara mekanis, maupun biokimia. Di samping itu tanah juga mengalami
30
gangguan oleh pengelolaan lahan dan injakan kaki manusia maupun binatang. Labih lanjut, airan air dan angin juga berperan terhadap pelepasan partikel tanah. Semua proses tersebut menyebabkan tanah menjadi gembur (loss) sehingga mudah terangkut oleh media pengangkut. Berat-ringannya erosi tergantung pada kuantitas suplai material yang terlepas dan kapasitas media pengangkut. Jika media pengangkut memiliki kapasitas lebih besar dari suplai material yang terlepas, proses erosi dibatasi oleh pelepasan (detachment limited). Sebaliknya, jika kuantitas suplai material melebihi kapasitas, proses erosi dibatasi oleh kapasitas (capacity limited). Luas DAS berpengaruh terhadap jumlah erosi sebuah wilayah. Semakin luas DAS maka jumlah erosinya akan semakin banyak, namun semakin luas DAS jumlah erosi yang mencapai outlet DAS akan semakin kecil, hal ini dikarenakan tanah yang tererosi masih ada yang mengendap maupun tertahan oleh barrier di bagian hulu.
5. Dampak Erosi Erosi mempunyai dampak yang sangat luas. Kerusakan dan kerugian tidak saja dialami pada daerah dimana erosi terjadi (daerah hulu), tetapi juga pada daerah yang dilewati aliran endapan (daerah tengah), dan bagian hilir. Namun demikian, kerugian yang ditimbulkan oleh adanya erosi berlainan untuk tiap daerah di hulu, tengah, dan hilir (Utomo, 1989). Secara spesifik, kerugian akibat erosi di bagian hulu antara lain mengakibatkan menurunnya kualitas lahan pertanian, perkebunan, dan padang penggembalaan. Pengikisan dan pengangkutan lapisan tanah atas akan menyebabkan terjadinya penurunan kesuburan dan produktivitas tanah (Utomo,
31
1994;7). Keadaan ini menyebabkan berkurangnya produktivitas lahan-lahan tersebut yang berarti juga akan terjadi peningkatan biaya yang dibutuhkan untuk mengembalikan tingkat kesuburan tanah. Dalam kasus yang paling ekstrrim, tidak sedikit lahan yang ditinggalkan karena produktivitasnya rendah. Bila tidak dipulihkan, dampaknya dapat meluas dan berakibat pada bencana banjir atau kekeringan (Rahim, 2000:8) Utomo (1994;8) mengemukakan bahwa terdapat tiga hal yang bertanggung jawab terhadap terjadinya penurunan produktivitas tanah karena erosi, yaitu (1) penurunan kandungan bahan organik; (2) penurunan kandungan hara tanaman; dan (3) kekurangan air. Dalam proses erosi, tanah yang terkikis dan terangkut adalah lapisan tanah atas yang merupakan sumber kehidupan tanaman karena hanya pada lapangan ini tanaman dapat memperoleh hara yang cukup. Dengan terangkutnya partikel halus dan bahan organik oleh erosi maka akan terjadi perubhan sifat tanah. Di samping itu, erosi tidak hanya berpengaruh terhadap kandungan bahan organik tanah atas, tetapi kaandungan P, Ca, Mg, K, dan lain sebagainya (Utomo, 1994;8). Keadaan lahan yang terbuka yang diikuti dengan pengangkutan bahan organik dan pemadatan tanah menyebabkan kapasitas infiltrasi tanah menurun. Akibatnya, air mengalir di permukaan tanah sebagai limpasan permukaan, dan air yang disimpan di dalam tanah sedikit. Hal ini menyebabkan kemampuan tanah menyediakan air menjadi berkurang. Daerah pertanian merupakan daerah yang paling rentan terhadap terjadinya erosi. Lahan-lahan pertanian yang terus menerus ditanami tanpa istirahat (fallow), dan tanpa disertai cara pengelolaan tanaman, tanah dan air yang baik dan tepat, khususnya di daerah basah yang curah hujannya
32
melebihi 1500 mm per tahun, akan mengalami penurunan produktivitas tanah. Penurunan produktivitas ini dapat disebabkan oleh menurunnya kesuburan tanah, dimana unsur hara yang terdapat pada lapisan tanah atas hilang bersamaan dengan terjadinya proses erosi. Bahaya erosi ini banyak terjadi di daerah lahan kering terutama yang memiliki kemiringan lereng sekitar 15% atau lebih. Keadaan ini sebagai akibat dari pengelolaan tanah dan air yang keliru, tidak mengikuti kaidahkaidah konservasi tanah dan air, dan akibat pola pertanian yang berpindah-pindah setiap tahunnya (shifting cultivation). Tanah kering yang rentan terhadap erosi terutama adalah tanah Podsolik merah kuning yang menempati areal terluas di Indonesia, kemudian disusul oleh tanah Latosol yang dengan kemiringan agak curam sampai curam, terutama tanahtanah yang tidak tertutup oleh tanaman. (Suripin, 2001;10). Tanah Podsolik ini memiliki kestabilan agregat yang rendah sekali. Sebagai akibat dari keadaan tersebut, maka tanah-tanah ini sangat mudah untuk terkikis oleh aliran air terutama hujan. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya tanah-tanah yang tererosi terutama erosi parit yang dalam di daerah-daerah yang tidak tertutup oleh vegetasi (Mulyadi, 1976; Suripin, 2001;10) Foster dan Meyer (1977) berpendapat bahwa erosi dan sedimentasi merupakan penyebab utama menurunnya produktivitas lahan pertanian, menurunnya kualitas air, membawa bahan-bahan kimia pencemaran dan mengurangi kapasitas sungai/saluran air dan waduk (Suripin, 2001;13). Akibat langsung dari erosi ini adalah hilangnya lapisan atas atau lapisan olah tanah sedikit demi sedikit, sehingga sampai pada lapisan bawah (sub soil), yang umumnya memilii sifat yang lebih jelek lagi. Berkurangnya unsur hara dalam
33
tanah adalah karena terangkut pada waktu panen, pencucian, dan terangkut pada waktu peristiwa erosi. Apabila erosi berlangsung terus-menerus mengikis lapisan permukaan tanah, maka dengan sendirinya akan terangkut kompleks liat dan humus serta partikel tanah lainnya yang kaya akan unsur hara tanaman. Di beberapa daerah, berkurangnya unsur hara akibat erosi bisa lebih besar dari akibat panen dan pencucian. Erosi tidak hanya berpengaruh langsung terhadap kesuburan fisik dan kimia tanah, akan tetapi juga berpengaruh terhadap merosotnya kesuburan biologi tanah. Pada saat lapisan tanah tererosi dan terangkut ke sungai-sungai maka bersamaan dengan itu pula terangkut sejumlah besar jasad hidup tanah dan bahan organik sebagai sumber persediaan makanan bagi mikro-organisme tersebut. Keadaan ini juga akan mengakibatkan perubahan pada faktor-faktor lingkungan hidup dari mikro-organisme tersebut. Perubahan ini bisa meliputi penurunan pH tanah, kelembapan tanah, kandungan bahan organik, daya pegang tanah terhadap air, perubahan temperatur tanah, dan struktur tanah. Pada tanah masam (pH yang rendah) dengan kelembapan rendah dan sedikit mengandung bahan organik, maka algae dan bakteri-bakteri nitrifikasi akan berkurang jumlahnya (Wakson, 1963). Sebagai akibat dari terjadinya erosi tanah maka menjadi tidak terlindung dari sinar matahari yang terik, sehingga jasad hidup makro tidak dapat berkembang dengan baik karena temperature tanah yang tingggi. Erosi air secara langsung akan menghanyutkan jasad hidup mikro di dalam tanah, sehingga penguraian sia-sia bahan organik menjadi terlambat karenanya.
34
Erosi tanah tidak hanya berpengaruh negatif pada lahan dimana terjadi erosi, tetapi juga di daerah hilirnya dimana sedimen diendapkan. Banyak bangunan-bangunan sipil di daerah hilir akan terganggu, saluran-saluran, jalur navigasi air, waduk-waduk akan mengalami pengendapan sedimen. Di samping itu, kandungan sedimen yang tinggi pada air sungai juga akan merugikan pada ketersediaan air bersih yang bersumber dari air permukaan, biaya pengelolaan akan menjadi lebih mahal. Salah satu keuntungan yang dapat diperoleh dari pengendapan sedimen barangkali adalah penyuburan tanah jika sumber sedimen berasal dari tanah yang subur. Ada dua macam kerugian atau biaya yang timbul akibat erosi tanah: kehilangan di lokasi (on-site losses) akibat rusaknya atau turunnya produksi pertanian, dan di luar lokasi (off-site costs) dalam bentuk sedimentasi saluran irigasi, waduk dan pelabuhan, gangguan air bersih untuk rumah tangga maupun industri, dan menurunnya kualitas air permukaan akibat penggunaan pupuk dan pestisida. Studi terakhir yang dilakukan oleh Margareth dan Arens (1987) tentang biaya erosi tanah di Jawa memperkirakan bahwa total biaya akibat erosi sebesar $349-415 juta per tahun atau sekitar 0,5% Pendapatan Domestik Bruto Indonesia (Indonesian GDP) (Suripin, 2001;39). Erosi menyebabkan partikel-partikel tanah yang mempunyai andil pada kesuburan tanah hilang. Hilangnya bahan organik dan diikuti dengan hilangnya nitrogen, merugikan terutama terhadap tumbuhan kacang-kacangan. Pada beberapa kasus, kehilangan ini dikembalikan dengan member tambahan Nitrogen dari pupuk pada tanah-tanah yang responsif, sehingga menambah biaya produksi.
35
Pada daerah hilir, akibat erosi yang telah sangat lama, diketahui adalah banjir dengan segala akibatnya. Pada akhir-akhir ini di daerah hilir juga dijumpai masalah penyediaan air minum. Karena air yang masuk ke dalam tanah di daerah hulu berkurang, sebagai akibat terbukanya tanah, penurunan infiltrasi, dan perkolasi, maka air tanah yang sampai ke daerah hilir berkurang (Utomo, 1994;14).
6. Prediksi Laju Erosi Dengan Model RUSLE Pendugaan erosi dapat dilakukan dengan pengukuran di lapangan maupun menggunakan metode empiris. Salah satu metode empiris yang sering digunakan adalah Persamaan Umum Kehilangan Tanah (PUKT) atau USLE (Universal Soil Loss Equation) dengan parameter yang digunakan yaitu erosivitas hujan (R), erodibilitas tanah (K), panjang dan kemiringan lereng (LS), penutup tanah (C), dan pengelolaan lahan (P). Metode USLE mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya adalah hanya dapat digunakan untuk lereng yang relatif seragam dan kurang dari 15%, hasil yang diperoleh umumnya lebih besar dari hasil pengukuran di lapangan, dan tidak menghitung erosi dari hujan tunggal serta tidak menghitung erosi parit. Mengingat masih banyaknya kelemahan tersebut, Renard dkk (1989) dalam Utomo (1994) melakukan revisi metode USLE dengan metode RUSLE. Adapun persamaan yang digunakan adalah sama, namun dilakukan perbaikan untuk perhitungan faktor LS.
36
Penghitungan laju erosi dengan persamaan RUSLE 1. Erosivitas hujan (R) Besarnya nilai erosivitas hujan tahunan dapat diperoleh dengan menjumlahkan nilai erosivitas bulanan selama satu tahun. Besarnya nilai erosivitas hujan bulanan dapat diperoleh dengan menjumlahkan erosivitas hujan harian. Rumus dalam mencari nilai erosivitas hujan di Indonesia menggunakan rumus Bolls (1978) dalam Arsyad (1989) karena data yang tersaji di Indonesia hanya terdiri atas curah hujan, hari hujan, dan hujan maksimal bulan bersangkutan sehingga rumus Bolls inilah yang relevan untuk digunakan. Rumus Bolls tersebut adalah: E I30 = 6,119 x CH1,21 x HH-0,47 x M0,53 dimana: CH = curah hujan rata-rata bulanan (cm) HH = jumlah hari hujan (hari) M = hujan maksimum selama 24 jam (cm) 2. Erodibilitas tanah (K) Mudah tidaknya suatu tanah tererosi disebut erodibilitas tanah (K). Ketahanan tanah menentukan mudah tidaknya massa tanah dihancurkan oleh air (baik air hujan maupun limpasan permukaan), sedangkan infiltrasi dan perkolasi menentukan volume limpasan permukaan. Sehingga semakin mudah massa tanah dihancurkan makin tinggi erodibilitasnya. Demikian juga juka semakin sukar tanah meresapkan air, makin besar limpasan permukaan, makin besar massa tanah yang terkikis dan terangkut, sehingga nilai K juga semakin tinggi. Metode penentuan erodibilitas tanah (K) yang selama ini banyak digunakan adalah monograf erodibilitas yang dikembangkan oleh Wischmer, dkk (1971) dalam Rahim (2000). Perhitungan indeks erodibilitas tanah dengan
37
monograf erodibilitas tanah didasarkan pada pendapat bahwa indeks erodibilitas merupakan fungsi sifat-sifat tanah. Untuk menduga erodibilitas dengan menggunakan monograf maka dilakukan analisa terhadap beberapa sifat tanah yang diduga berpengaruh dominan terhadap erodibilitas tanah yaitu struktur, tekstur, bahan organik, dan permeabilitas berdasarkan uji laboratorium. Jika hasil uji laboratorium menunjukkan indeks erodibilitas tanah (K) dengan kadar debu dan pasir sangat halus kurang dari 70% maka dapat dihitung dengan persamaan: K=
2,71 M1,14 (10-4)(12-a)+3,25(b-2)+2,5(c-3) 100
Dimana: M = nilai dari (% debu + % pasir sangat halus) (100-% liat) a = bahan organik b = harkat struktur tanah c = harkat permeabilitas Tabel 2.1 Klasifikasi Bahan Organik Harkat 0 1 2 3 4 Sumber: Arsyad (1989:51)
Kriteria <2,0 2,0-2,5 3,6-5,0 5,1-8,5 >8,6
Klasifikasi Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
Tabel 2.2 Klasifikasi Struktur Tanah Keterangan Struktur Tanah (Ukuran Diameter) Granuler sangat halus (<1mm) Granuler halus (1-2mm) Granuler sedang sampai kasar (2-10mm) Bentuk blok, plat, atau massif Sumber: Arsyad (1989)
Kelas/Harkat 1 2 3 4
Tabel 2.3 Klasifikasi Permeabilitas Kelas/Harkat 1 2 3 4 5 6 Sumber: Arsyad (1989)
Kriteria >12,5 6,25-12,5 2,00-6,25 0,50-2,00 0,125-0,50 <0,125
Klasifikasi Cepat Agak Cepat Sedang Agak Lambat Lambat Sangat Lambat
38
Tabel 2.4 Klasifikasi Nilai Kepekaan Erosi Tanah (K) Kelas/Harkat 1 2 3 4 5 6 Sumber: Arsyad (1989)
Kriteria 0,00-0,10 0,11-0,20 0,21-0,32 0,33-0,43 0,44-0,55 >0,56
Klasifikasi Amat Rendah Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi Sangat Tinggi
3. Panjang dan Kemiringan Lereng (LS) Panjang lereng adalah jarak horizontal ke arah bawah lereng dari titik dimana aliran permukaan berasal sampai pada titik dimana aliran permukaan masuk ke saluran-saluran atau kemiringan berkurang sedemikian rupa sehingga kecepatan aliran permukaan sudah sangat berkurang. Wischmeier dan Smith (1978) faktor panjang lereng dihitung dengan persamaan: L=
X= L 22,1
X 22,1
m
m
Keterangan: L = faktor panjang lereng X = panjang lereng lapangan (m) M = eksponen Sedangkan faktor kemiringan lereng dapat dihitung dengan persamaan: S = 0,065 + 0,045 s + 0,0065 s2 Keterangan: S = faktor kemiringan lereng s = nilai kecuraman lereng (%) Dalam prakteknya, nilai panjang dan kemiringan lereng dihitung sekaligus berupa faktor LS, yaitu rasio antara besarnya erosi dari sebidang tanah dengan panjang dan kecuraman tertentu terhadap besar erosi tanah. Menurut Rahim
39
(2000;63) untuk menghitung faktor panjang dan kemiringan lereng lebih besar dari 15% digunakan persamaan: LS =
L 22,1
0,6
X
S 9
1,4
Dimana: LS = panjang dan kemiringan lereng S
= kemiringan lereng
L
= panjang lereng
4. Pengelolaan tanaman (C) Faktor C menggambarkan besarnya erosi dari lahan yang terdapat tanaman dengan erosi yang terjadi pada lahan yang tidak ditanami sama sekali. Efektifitas tanaman dalam mencegah erosi tergantung pada jenis, kombinasi, kerapatan, panen, dan rotasi selama satu tahun. Besarnya nilai C ditentukan berdasarkan keanekaragaman vegetasi penutup lahan selama satu tahun di lapangan. Lebih jelasnya, nilai faktor C untuk berbagai jenis tanaman dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.5 Nilai Faktor C (penutup tanah) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Penggunaan Lahan/Tanaman Pola penampang baris Tumpang gilir+mulsa sisa tanaman Sawah irigasi Sawah tadah hujan Tebu Kopi Semak belukar Kentang ditanam sesuai kontur Ubi kayu Kentang Cabe+jahe Kedelai Padi gogo Padi+kedelai Tales
Nilai C 0,347 0,357 0,010 0,050 0,200 0,200 0,300 0,350 0,800 0,400 0,900 0,399 0,561 0,417 0,850
40
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
41 42
Rumput bede Pisang Kacang tanah-kacang tunggak Bawang Kacang panjang Kacang tanah-kacang hijau Kacang hijau Tembakau Padi+jagung Hutan produksi tebang pilih Hutan produksi memotong dengan merebahkan Cengkeh Sere wangi Kacang buncis Kelapa Jagung Apel Tegalan tanpa tanaman khusus Singkong Tanaman apotik hidup Kentang ditanam searah lereng Tanah kosong tidak diolah Tanah kosong diolah Tumpang gilir+mulsa jerami 6 ton Kebun campuran: a. Kerapatan tinggi b. Kerapatan rendah c. Kerapatan sedang Ubi kayu+kedelai Ubi kayu+kacang tanah
0,287 0,600 0,571 0,080 0,600 0,730 0,170 0,421 0,345 0,200 0,500 0,500 0,400 0,600 0,650 0,660 0,700 0,700 0,750 0,800 0,900 0,950 1,000 0,079 0,100 0,200 0,500 0,181
0,195
Sumber: Sub BRLKT Cabang Malang dan Data Pusat Penelitia Tanah (1973-1981) dalam Arsyad (1989)
5. Pengelolaan lahan (P) Nilai faktor tindakan manusia dalam pengelolaan lahan (P) merupakan nisbah antara besarnya erosi dari lahan dengan suatu tindakan konservasi tertentu terhadap besarnya erosi pada lahan tanpa tindakan konservasi. Tindakan konservasi tersebut meliputi penanaman dalam strip, pengaturan tata air dan drainase, pergiliran tanaman, pengolahan tanah menurut kontur, dan teras. Nilai dasar P adalah satu, yang diberikan untuk lahan tanpa tindakan konservasi. Tabel 2.6 Nilai faktor Pengelolaan Lahan (P) No 1 2
Konservasi Tanah Tanah tanpa tindakan konservasi Penanaman menurut kontur: a. Untuk kemiringan lereng 0%-2% b. Untuk kemiringan lereng 3%-8% c. Untuk kemiringan lereng 9%-12%
Nilai P 1,000 0,400 0,500 0,600
41
3 4
5 6 7
8 9 10
d. Untuk kemiringan lereng 13%-16% e. Untuk kemiringan lereng 17%-20% f. Untuk kemiringan lereng >21% Perkebunan dengan penutup tanah: a. Kerapatan tinggi b. Kerapatan sedang Penggunaan mulsa pada permukaan: a. Jerami/daun-daunan 6 ton/ha/tahun b. Jerami/daun-daunan 3 ton/ha/tahun c. Jerami/daun-daunan 1 ton/ha/tahun Guludan dan rumput penguat Teras tradisional Teras bangku a. Kualitas tinggi b. Kualitas sedang c. Kualitas rendah Teras gunung Kontur cropping kemiringan 8%-15% Perkampungan diolah
0,700 0,800 0,900 0,100 0,500 0,300 0,500 0,800 0,500 0,400 0,040 0,150 0,350 0,300 0,590 0,950
Sumber: - Sub BRLKT Brantas Cabang Malang - Data Pusat Penelitian Tanah (1973-1981) dalam Arsyad (1989)
7. Sedimen Sedimen merupakan hasil proses erosi, baik berupa erosi permukaan, erosi parit, atau jenis erosi tanah lainnya. Tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut dari suatu tempat yang tererosi disebut sedimen (Arsyad, 2007:7). sedimen umumnya mengendap di bagian bawah kaki bukit, di daerah genangan banjir, di saluran air, dan waduk. Hasil sedimen tergantung pada besarnya erosi total di DAS/sub-DAS dan tergantung pada transport partikel-partikel tanah yang tererosi tersebut keluar dari daerah tangkapan air DAS/sub-DAS. Produksi sedimen umumnya mengacu pada besarnya laju sedimen yang mengalir melewati satu titik pengamatan tertentu dalam suatu sistem DAS. tidak semua tanah yang tererosi di permukaan daerah tangkapan air akan sampai ke titik pengamatan, sebagian tanah yang tererosi tersebut akan terdeposisi di cekungan-cekungan permukaan tanah, di kaki-kaki lereng dan bentuk penampungan sedimen lainnya, oleh karenanya, besarnya hasil
42
sedimen biasanya bervariasi mengikuti karakteristik fisik DAS/sub-DAS (Asdak, 2004:404). Hasil sedimen diperoleh dari hasil pengukuran sedimen terlarut dalam sungai (suspended sedimen) atau dengan pengukuran langsung di dalam waduk. Pengukuran sedimen terangkut dilakukan dengan cara pengambilan contoh air sungai pada ketinggian tertentu, kemudian disaring dalam kertas saring. Analisa laboratorium dilaksanakan untuk memperoleh berat sedimen dalam satuan gram/liter dengan cara contoh sedimen yang telah disaring dikeringkan dalam oven dalam suhu kurang lebih 1050C kemudian hasilnya ditimbang sehingga diperoleh berat sedimen tiap liter air. Sampel yang terambil dalam pengukuran ini hanya mewakili beban melayang saja, karena beban dasar terendap dasar sungai sehingga tidak ikut terambil. Hasil analisa di laboratorium diverifikasi dengan hasil pengukuran kandungan sedimen yang ada di aliran sungai. Model yang paling umum adalah dengan mencari hubungan antara konsentrasi sedimen melayang dan debit terukur. Konsentrasi sedimen diperoleh dari pengambilan sampel air baik secara teratur maupun sesaat pada tempat dimana dilakukan pengukuran debit sungai. Dengan terkumpulnya serangkaian pasangan data, kemudian data debit dan konsentrasi sedimen melayang yang bersesuaian diplot pada grafik dan power regresi diterapkan untuk mendapatkan garis yang paling tepat melalui titik pancar. Garis yang diperoleh disebut lengkung sedimen (Sediment Rating Curve) dengan bentuk umum (Suripin, 2002:65): C = a (Qw)b sedangkan debit sedimen harian dapat dihitung dengan rumus (Suripin, 2002:65):
43
Qs = 0,0864 . C . Qw dumana: C
= konsentrasi sedimen melayang (mg/liter)
Qs
= debit sedimen melayang (suspended load), (ton/hari)
Qw
= debit aliran (m3/detik),
a dan b = konstanta kalibrasi. Nilai a merupakan indek terjadinya erosi, a>60 mengindikasikan terjadinya erosi tinggi, dan a< 26 berarti erosi rendah, sedangkan b adalah konstanta yang harganya bervariasi. Melalui analisis data untuk anak-anak sungai Bengawan Solo Hulu, Suripin (2002) memperoleh harga b antara 0,37 sampai 1,10. Hubungan yang ditunjukkan pada persamaan pertama di atas berlaku umum, tetapi nilai a dan b berbeda-beda untuk satu tempat dan tempat lainnya. (Suripin, 2002:65). Bahan sedimen hasil erosi seringkali menempuh jarah yang pendek sebelum akhirnya diendapkan. Sedimen ini masih tetap berada di lahan atau diendapkan di tempat lain yang lebih datar atau sebagian masuk ke sungai. Bahan endapan yang terangkut dalam aliran sungai dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu beban melayang (suspended load) dan beban dasar (bed load). Borland dan Maddock dari USBR telah menyediakan sebuah tabel untuk memperkirakan besar angkutan bed load berdasarkan konsentrasi suspended loadnya.
44
Tabel 2.7 Besaran Koreksi Bed Load Konsentrasi Sedimen Suspended (mg/lt) < 1000 1000-7500 >7500 Konsentrasi lain
Tipe Material Dasar
Pasir Pasir Pasir Lempung, Kerikil, Batu Konsentrasi lain Lempung dan Silt Sumber: Strand dan Pamberton, 1982:13
Tekstur Material Suspended 20-50% Pasir 20-50% Pasir 20-50% Pasir 25% Pasir/Kurang Tidak ada Pasir
% Bed Load Dari Suspended Load Yang Terukur 25-150 10-35 5 5-15 <2
Hasil sedimen dari suatu daerah aliran tertentu dapat ditentukan dengan pengukuran pengangkutan sedimen terlarut (suspended sediment) pada titik kontrol dari alur sungai. Sedimen yang sering dijumpai dalam sungai baik terlarut maupun tidak terlarut adalah merupakan produk dari pelapukan batuan induk yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama perubahan iklim. Hasil pelapukan batuan-batuan tersebut dikenal sebagai partikel-partikel tanah, oleh karena itu pengaruh dari tenaga kinetis air hujan dan aliran air permukaan terutama di daerah tropis, partikel-partikel tanah tersebut dapat terkelupas dan terangkut ke tempat yang lebih rendah untuk kemudian masuk ke dalam sungai dan dikenal sebagai sedimen. Karena adanya proses transport sedimen yang terjadi akibat aliran air sungai maka akan berakibat pada pendangkalan-pendangkalan dan terbentuknya tanah-tanah baru di daerah pinggir-pinggir sungai dan delta-delta sungai. Berdasarkan pada jenis sedimen dan ukuran partikel-partikel tanah serta komposisi mineral dari bahan induk yang menyusunnya dikenal berbagai jenis sedimen seperti pasir, liat dan lainnya tergantung pada ukuran partikelnya. Menurut ukurannya, sedimen dibedakan menjadi beberapa jenis seperti pada Tabel 2.8 (Dunne & Leopold, 1978 dalam Asdak C, 2007)
45
Tabel 2.8 Jenis Sedimen Berdasarkan Ukuran Partikel Jenis Sedimen Liat Debu Pasir Pasir besar
Ukuran Partikel (mm) <0.0039 0.0039-0.0625 0.0625 – 2.00 2.00 – 64
Sumber : Asdak C.2007
Kecepatan aliran sungai biasanya lebih besar pada badan sungai dibandingkan di tempat dekat dengan permukaan tebing ataupun dasar sungai, dalam pola aliran sungai yang tidak menentu (turbulance flow) tenaga momentum yang diakibatkan oleh kecepatan aliran yang tak menentu tersebut akan dipindahkan ke arah aliran air yang lebih lambat oleh gulungan-gulungan air yang berawal dan berakhir secara tidak menentu juga. Gulungan-gulungan aliran air akan mengakibatkan terjadinya bentuk perubahan dari tenaga kinetis yang dihasilkan oleh adanya gerakan aliran sungai menjadi tenaga panas, yang berarti bahwa ada tenaga yang hilang akibat gerakan gulungan aliran air tersebut. Namun ada juga sebagian tenaga kinetis yang bergerak ke dasar aliran sungai yang memungkinkan terjadinya gerakan partikel-partikel besar sedimen yang berada di dasar sungai dan dikenal sebagai sedimen merayap (Asdak C.,2007). Besarnya perkiraan hasil sedimen menurut Asdak C.2007 dapat ditentukan berdasarkan persamaan sebagai berikut : Y = E (SDR) Ws Dimana: Y = Hasil sedimen per satuan luas E = Erosi Jumlah Ws = Luas Daerah Aliran Sungai. SDR = Sediment Delivery Ratio (Nisbah Pelepasan Sedimen) Besarnya nilai SDR dalam perhitungan hasil sedimen suatu daerah
46
aliran sungai umumnya ditentukan dengan menggunakan tabel hubungan antara luas DAS dan besarnya SDR (tabel 2.12)
8. Nisbah Pelepasan Sedimen Perhitungan Nisbah Pelepasan Sedimen (Soil Delivery Ratio) atau cukup dikenal dengan SDR adalah perhitungan untuk memperkirakan besarnya hasil sedimen dari suatu daerah tangkapan air. Perhitungan besarnya SDR dianggap penting dalam menentukan prakiraan yang realistis besarnya hasil sedimen total berdasarkan perhitungan erosi total yang berlangsung di daerah tangkapan air. Perhitungan ini tergantung dari faktor-faktor yang mempengaruhi, hubungan antara besarnya hasil sedimen dan besarnya erosi total yang berlangsung di daerah tangkapan air umumnya bervariasi. Variabilitas angka SDR dari suatu DAS akan ditentukan : Sumber sedimen, jumlah sedimen, sistem transpor, Tekstur partikel-partikel tanah yang tererosi, lokasi deposisi sedimen dan karateristik DAS (Asdak C., 2007). Besarnya SDR dalam perhitungan-perhitungan erosi atau hasil sedimen untuk suatu daerah aliran sungai umumnya ditentukan dengan menggunakan grafik hubungan luas DAS dan besarnya SDR seperti dikemukakan oleh Roehl (1962) dalam Asdak C. (2007). Hubungan luas DAS dan besarnya SDR dapat dilihat pada Tabel 3.7 di bawah ini:
47
Tabel 2.9 Hubungan Luas DAS dan Sediment Delivery Ratio (SDR) Luas Km2 Ha 0.10 10 0.50 50 1.00 100 5.00 500 10.00 1000 50.00 5000 100.00 10000 500,00 50.000 Sumber : Sitanala Arsyad, 2000)
SDR 0.520 0.390 0.350 0.250 0.220 0.153 0,127 0,079
Sedang total sedimen yang diperbolehkan dalam suatu DAS adalah adalah hasil kali SDR dengan toleransi erosi untuk tanah, besarnya toleransi erosi untuk tanah menurut Thompson (1957) tergantung dari sifat tanah dan letaknya, hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.13 berikut: Tabel 2.10 Toleransi Erosi Untuk Tanah (Thompson, 1957) No 1 2 3
Sifat tanah dan substratum Tanah dangkal, di atas batuan Tanah dalam, di atas batuan Tanah dengan lapisan bawahnya (subsoil) padat, di atas sub stratum yang tidak terkonsolidasi (telah mengalami pelapukan) 4 Tanah dengan lapisan bawahnya berpermeabilitas lambat, di atas bahan yang tidak terkonsolidasi. 5 Tanah dengan lapisan bawahnya berpermeabilitas sedang, di atas bahan yang tidak terkonsolidasi. 6 Tanah yang lapisan bawahnya permeabel (agak cepat), di atas bahan yang tidak terkonsolidasi (Sumber : Sitanala Arsyad, 2000)
Toleransi erosi (ton/ha/tahun) 1,12 2,24 4,48
8,96 11,21 13,45
Sebagian saja dari sedimen yang akan sampai dan masuk ke dalam sungai dan terbawa ke luar daerah tamping atau daerah aliran sungai. Nisbah atau perbandingan jumlah sedimen yang betul-betul terbawa oleh sungai dari suatu daerah terhadap jumlah tanah yang tererosi dari daerah tersebut, disebut Nisbah Pelepasan Sedimen (NPS) atau dalam bahasa Inggrisnya disebut dengan Soil Delivery Ratio (SDR), (Arsyad, 2000:7). Perbandingan antara sedimen yang
48
terukur di outlet dan erosi di lahan biasa disebut NPS atau SDR (Suripin, 2002:82). Nilai NPS mendekati satu artinya semua tanah yang tererosi masuk ke dalam sungai, hanya mungkin terjadi pada daerah aliran sungai kecil dan yang tidak mempunyai daerah-daerah datar atau yang memiliki lereng-lereng curam, banyak butir-butir tanah halus yang terangkut , kerapatan drainase yang tinggi, atau secara umum dikatakan tidak memiliki sifat yang cenderung menghambat pengendapan sedimen di dalam daerah aliran. Nilai NPS atau sebagai fungsi luas daerah aliran tertera pada tabel berikut. Tabel 2.11 Nilai SDR menurut SCS USDA Luas (Km2) (Ha) 0,05 5 0,1 10 0,5 50 1 100 5 500 10 1000 50 5000 100 10000 500 50000 1000 100000 Sumber: Morgan (1979)
Nilai SDR 0,58 0,52 0,39 0,35 0,25 0,22 0,153 0,127 0,079 0,059
Tabel 2.12 Beberapa Persamaan Yang Menyatakan Hubungan Antara Karakteristik DAS dan SDR Pengarang Maner Rohi (1962) Williams & Berndt (1972) Mutchler & Bowie (1975) Boyce (1975) Williams (1977) Williams (1977) Mou & Meng (1980) Walling (1983) Auersald (1992) Suripin Dimana:
Daerah Studi Kansas, USA Brushy Creek, Texas USA Pigeon Roost Creek, Miss… USA Texas USA Little Elm Creek USA Dali River Basin Shaanxi, China USA Bavarian Watersheds Upper Solo
SDR
= sediment delivery ratio
L
= panjang basin
Persamaan Log SDR = 2.962+0.869 Log Rb -0.854 Log L Log SDR = 4.5-0.23Log A-0.510 Colog (Rb/L)-2.786 log Br SDR = 0.672 SLP0.403 SDR = 0.488-0.006A+0.010 QWA SDR = 0.41 A-0.3 SDR = 1.366x10-11A-0.09981(Rb/L)0.3629(CN)5.444 SDR = 4.40x10-12A-0.217(Rb/L)0.3940(CN)5.680 SDR = 1.29+1.37LN Rc-0.025 Ln A SDR (%) = Csoil(%)/Csed(%) SDR = -0.02+0.358 A-0.2 Log SDR = 2.3`+3.07Log Rb+0.41Log S-1.26Log (FL+FW)
49
A
= luas basin
Rb/L = ratio antara relief basin dan panjang basin Br
= bifurcation ratio
CN
= rata-rata jangkan panjang dari curve SCS
QWA
= runoff tahunan
Rc
= kerapatan gully
Rb
= relief basin
SLP
= (%) saluran utama
Csoil dan Csed adalah persentase clay dalam tanah dan dalam sedimen Rb
= bifurcation relief
S
= slope rata-rata DAS
FL dan FW prosentase hutan dan sawah catatan: satuan bervariasi antara satu persamaan dengan persamaan lainnya Perhitungan SDR dihitung setelah di temukan A yaitu besarnya laju erosi yang merupakan hasil dari perhitungan RUSLE. Maka SDR dapat dihitung cara seperti berikut ini (Asdak, 2007:407). SDR = Keterangan:
Y A
SDR
= Rasio pengiriman sedimen (Soil Delivery Ratio)
Y
= Hasil sedimen
A
= Laju erosi (Hasil RUSLE)
50
C. Nisbah Pelepasan Sedimen Model Suripin Nisbah atau perbandingan jumlah sedimen yang betul-betul terbawa oleh sungai dari suatu daerah terhadap jumlah tanah yang tererosi dari daerah tersebut, disebut Nisbah Pelepasan Sedimen (NPS) atau dalam bahasa Inggrisnya disebut dengan Soil Delivery Ratio (SDR), (Arsyad, 2000:7). Perbandingan antara sedimen yang terukur di outlet dan erosi di lahan biasa disebut NPS atau SDR (Suripin, 2002:82). Nilai Nisbah Pelepasan Sedimen berkisar dari 0-1. Nilai Nisbah Pelepasan Sedimen mendekati satu artinya semua tanah yang tererosi masuk ke dalam sungai, hanya mungkin terjadi pada daerah aliran sungai kecil dan yang tidak mempunyai daerah-daerah datar atau yang memiliki lereng-lereng curam, banyak butir-butir tanah halus yang terangkut , kerapatan drainase yang tinggi, atau secara umum dikatakan tidak memiliki sifat yang cenderung menghambat pengendapan sedimen di dalam daerah aliran. Perhitungan Nisbah Pelepasan Sedimen sangat dipengaruhi oleh karakteristik DAS suatu wilayah, oleh karena itu di setiap wilayah persamaan untuk menghitung NPS berbeda-beda. Persamaan umum untuk menghitung Nisbah Pelepasan Sedimen adalah membagi antara hasil sedimen yang mencapai outlet dengan erosi total suatu daerah aliran sungai. Persamaan tersebut dinyatakan dalam persamaan: SDR =
Hasil Sedimen (Sediment Yield) Laju Erosi (Nilai A)
Namun, persamaan di atas merupakan persamaan umum saja, sedangkan tiap daerah aliran sungai mempunyai karakteristik yang berbeda, oleh karenanya perlua ada penyesuaian agar SDR pada sebuah lokasi penelitian dapat ditentukan
51
sesuai dengan faktor dominan yang mempengaruhi nilai SDR tersebut. Beberapa ilmuan seperti Manner (daerah studi: Kansas, USA), Berndt (Texas, USA), dan beberapa ilmuan lain membuat persamaan sendiri untuk menentukan Nisbah Pelepasan Sedimen dalam lokasi penelitiannya. Salah satu peneliti yang menemukan persamaan untuk menghitung Nisbah Pelepasan Sedimen di Indonesia adalah Suripin. Persamaan NPS Model Suripin (daerah studi: upper solo) adalah sebagai berikut: Log SDR = 2,31 + 3,07 Log Rb + 0,41 Log S – 1,26 Log (FL+FW) Dimana: SDR
= soil delivery ratio
Rb
= bifurcation ratio
S
= Slope rata-rata DAS
(FL+FW)
= prosentase hutan dan sawah
BAB III METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian survey dimana pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan secara sistematis terhadap gejala atau fenomena yang ada pada obyek penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai Nisbah Pelepasan Sedimen di sub DAS Junggo Bagian Hilir, Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer meliputi struktur, tekstur, bahan organik, dan permeabilitas tanah untuk mencari nilai erodibilitas tanah, panjang dan kemiringan lereng, dan jenis tanaman serta besarnya sedimen yang terangkut, sedangkan data sekunder diperoleh dari lembaga-lembaga atau instansi-instansi yang terkait dengan penelitian ini. Data sekunder meliputi data curah hujan, dan peta topografi, peta jenis tanah, dan peta penggunaan lahan. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel untuk tujuan tertentu. Analisis data untuk mengetahui besarnya laju erosi potensial dengan menggunakan model RUSLE, sedangkan besarnya erosi aktual diperoleh dengan pengukuran langsung sedimen pada outlet sub DAS dengan cara mengambil sampel air yang bercampur dengan sedimen pada saat run off terjadi dan kemudian sampel tersebut dianalisis pada laboratorium tanah untuk mendapatkan besaran sedimen terangkut pada tiap-tiap liter air. Hasil analisa laboratorium tanah yang berupa sedimen tersebut diplotkan
52
53
ke dalam hidrograf untuk mengetahui besaran sedimen terangkut pada kejadian run off. NPS dihitung berdasarkan perbandingan antara laju erosi potensial dengan laju erosi aktual. Setelah nilai NPS hasil perhitungan peneliti diketahui, langkah selanjutnya adalah menghitung NPS Model Suripin. Nilai NPS Model Suripin divalidasi dengan NPS hasil perhitungan peneliti pada 3 Sub DAS dan kemudian dianalisis untuk mengetahui luas DAS serta besaran intensitas hujan yang cocok untuk NPS Model Suripin.
B. Objek dan Sampel Penelitian 1. Objek Penelitian Objek yang diteliti adalah sub sub DAS Junggo Bagian Hilir di Desa Tulungrejo Kecamatan Bumiaji kota Batu. Luas catchment area pada penelitian ini adalah 7,359 Hektar. Keseluruhan lahan pada lokasi penelitian berupa kebun apel yang diolah dengan teras bangku kualitas rendah serta digarap dengan menggunakan alat tradisional (tanpa menggunakan mesin). Jenis tanah pada lokasi penelitian ini ada dua, yakni andisol dan inceptisol yang keduanya rentan terhadap erosi (Asdak, 2004). Tingkat bahaya erosi pada kedua jenis tanah itu lebih besar karena kemiringan lereng pada sub DAS Junggo Bagian Hilir ini mempunyai kemiringan rata-rata kelas III ke atas, atau berkisar antara 16%-45%. Panjang total sungai pada lokasi penelitian tersebut adalah 3045,32 kaki atau 0,928 kilometer. Pola drainase pada sub DAS Junggo Bagian Hilir ini tergolong pada pola jari-jari lingkaran (radial) serta memiliki 2 orde sungai. Sistem (aliran) sungai pada lokasi penelitian ini adalah sistem aliran terputus (intermittent) yang umumnya run off berlangsung setelah terjadi hujan besar.
54
2. Sampel Penelitian Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling (sampel bertujuan) yaitu sampel yang dipilih untuk disesuaikan dengan pertimbangan dan tujuan penelitian itu sendiri. Sampel diambil pada keseluruhan unit lahan yang dibatasi oleh catchment area pada lokasi penelitian tanpa memperhatikan bentuk maupun kemiringan lereng. Hal ini disebabkan perhitungan Nisbah Pelepasan Sedimen mengharuskan peneliti untuk menghitung seluruh erosi potensial total pada sebuah DAS yang kemudian hasilnya dianalisis dan disesuaikan dengan erosi aktual. Sampel pertama adalah tanah yang kemudian dilakukan laboratorium untuk mendapatkan nilai persentase debu, persentase pasir sangat halus, persentase liat, kandungan bahan organik, harkat struktur tanah, serta harkat permeabilitas tanah.untuk mencari nilai erodibilitas tanah. Sampel kedua adalah panjang dan kemiringan lereng yang diukur dengan menggunakan abney level, yallon, serta meteran untuk menentukan nilai LS sebagai salah satu dasar perhitungan RUSLE. Sampel ketiga berupa hasil sedimen yang diperoleh dari pengukuran langsung di lapangan dengan cara mengambil lima suspended load pada tiap kejadian run off dan hasilnya dianalisa di laboratorium untuk mendapatkan hasil sedimen pada tiap liter air yang kemudian diplotkan dalam hidrograf untuk mengetahui besaran sedimen pada tiap kejadian run off. Sampel terakhir berupa perhitungan besaran intensitas hujan harian yang digunakan untuk mengetahui besaran rata-rata intensitas hujan yang menyebabkan run off.
55
C. Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini, instrument yang digunakan antara lain: 1. Ombrograf untuk mengetahui intensitas hujan harian. 2. Ringcopper, untuk mengambil sampel tanah yang tererosi pada daerah penelitian. 3. Meteran untuk mengukur panjang lereng. 4. Abney level, untuk mengukur kemiringan lereng. 5. Current Meter. 6. Laboratorium tanah. 7. Oven 8. Kertas Saring ukuran debu. 9. Timbangan untuk menghitung berat sedimen tiap liternya.
D. Jenis Data Sumber data dalam penelitian ini antara lain meliputi: 1. Data primer, adalah data yang diperoleh langsung dari obyek yang diteliti (Tika, 1996). Data primer meliputi persentase debu, persentase pasir sangat halus, persentase liat, kandungan bahan organik, harkat struktur tanah, serta harkat permeabilitas tanah.untuk mencari nilai erodibilitas tanah; panjang dan kemiringan lereng untuk menentukan nilai LS; hasil sedimen yang diperoleh dari pengukuran langsung di lapangan. 2. Data sekunder adalah data yang diperoleh atau data yang ada lebih dahulu dikumpulkan oleh orang lain di luar penelitian (Tika, 1996). Data sekunder meliputi data curah hujan untuk mengetahui nilai erosivitas, peta
56
penggunaan lahan, peta jenis tanah, dan peta topografi yang diterbitkan pada tahun 2001 dengan skala 1:25.000 lembar Bumiaji yang kemudian dioverlay untuk mengetahui unit lahan penelitian.
E. Teknik Pengumpulan Data 1. Teknik Observasi Teknik observasi lapangan digunakan dalam waktu pendahuluan dengan melihat kondisi lapangan dan dapat diperoleh gambaran permasalahan yang ada. Hal-hal yang diobservasi antara lain adalah lokasi penelitian, bentuk DAS, pengelolaan lahan oleh petani, jenis tanah, tutupan lahan, keadaan wilayah, serta analisa kasar mengenai kemungkinan terjadinya erosi. 2. Teknik Dokumentasi Digunakan untuk memperoleh data sekunder yang diperoleh dari instansi/lembaga yang berkaitan dengan penelitian ini dan untuk menunjang data yang sudah ada. 3. Uji laboratorium adalah data yang diperoleh melalui uji laboratorium yang sampelnya diperoleh dari lapangan. Data yang diuji meliputi persentase debu, persentase pasir sangat halus, persentase liat, kandungan bahan organik, harkat struktur tanah, serta harkat permeabilitas tanah. 4. Pengukuran di lapangan adalah teknik pengumpulan data secara langsung di lapangan dengan menggunakan alat-alat yang tersedia. Pengukuran pertama adalah panjang dan kemiringan lereng yang diukur dengan abney level, yallon, serta meteran. Pengukuran kedua adalah curah hujan harian
57
yang diukur dengan menggunakan ombrograf, dan yang ketiga adalah kandungan sedimen pada saat terjadi run off yang diukur melalui pengambilan sampel tiap liter air yang disaring sedimennya sarta pengukuran kecepatan aliran dengan menggunakan current meter.
F. Langkah-langkah Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu: 1.
Melakukan observasi lapangan sebagai penelitian pendahuluan di daerah penelitian.
2.
Mengumpulkan data-data sekunder berupa berupa peta penggunaan lahan, peta jenis tanah, dan peta topografi yang kemudian dioverlay untuk mengetahui unit lahan pada lokasi penelitian.
3.
Melakukan observasi lapangan dan dilanjutkan dengan kerja lapangan untuk memperoleh data antara lain: 1) Data curah hujan (untuk mencari nilai erosivitas (R)) yang diperoleh di BMG Karang Ploso Kabupaten Malang. 2) Sampel tanah (untuk menentukan nilai erodibilitas (K)) yang dianalisa di laboratorium untuk mengetahui persentase debu, persentase pasir sangat halus, persentase liat, kandungan bahan organik, harkat struktur tanah, serta harkat permeabilitas tanah 3) Nilai P dan C yang diperoleh melalui observasi lapangan 4) Pengukuran kemiringan dan panjang lereng (untuk mencari nilai LS) yang dilakukan dengan menggunakan abney level, yallon, serta meteran
58
4.
Berdasarkan nilai R, K, LS, C, dan P maka dapat diketahui besar laju erosi melalui analisis dengan menggunakan persamaan RUSLE.
5.
Mengukur besar intensitas hujan harian untuk mengetahui berapa besar intensitas hujan yang menyebabkan terjadinya run off. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan hidrograf untuk mendapatkan besaran run off tiap kejadian hujan. Signifikansi data diperoleh dengan analisis regresi tipe polynominal.
6.
Setelah diperoleh nilai erosi potensial, langkah berikutnya adalah menghitung besar erosi aktual yang didasarkan pada pengukuran sedimen terlarut yang terangkut pada outlet DAS. Sampel dari hasil sedimen kemudian diplotkan ke dalam hidrograf.
7.
Nilai erosi potensial dan aktual telah didapat. Langkah selanjutnya adalah menghitung nilai NPS. Untuk mendapatkan nilai NPS, dapat dihitung dengan jalan membagi hasil sedimen aktual dengan nilai erosi potensial.
8.
Setelah Nilai NPS dari tiap kejadian hujan diketahui, langkah selanjutnya adalah menghitung RUSLE dari tiap kejadian hujan. Setelah nilai sedimen (Y) dan Erosi Total (A) diketahui, maka dapat dihitung besar NPS pada tiap kejadian hujan.
9.
Nilai NPS pada tiap kejadian hujan diregresikan dengan intensitas hujan kemudian dianalisa.
10. Menghitung nilai Nisbah Pelepasan Sedimen Model Suripin. 11. NPS model Suripin diplotkan pada grafik hubungan NPS harian denganluas DAS untuk mengetahui pada luas DAS dan intensitas hujan berapa model Suripin cocok digunakan di Sud DAS Junggo bagian hilir.
59 Peta Penggunaan Lahan skala 1 : 25.000
Peta Topografi skala 1 : 25.000
Peta Jenis Tanah skala 1 : 25.000
Overlay Peta Unit Lahan
Analisis erodibilitas dilakukan berdasarkan tiaptiap intensitas hujan yang menyebabkan run off.
Sampel Tanah meliputi tekstur dan struktur
Observasi Lapangan meliputi pemantauan kondisi DAS, dan pengecekkan peta penggunaan lahan, serta memastikan lokasi sampel yang ditentukan oleh peta unit lahan.
Panjang dan Kemiringan Lereng
Vegetasi
Pengelolaan Lahan
Analisis
Analisis
Analisis
Analisis
Analisis
Nilai R
Nilai K
Nilai LS
Nilai C
Nilai P
Pengukuran Intensitas Hujan dan Erosi Aktual Pada outlet
Nilai A
Nilai NPS (Y(sedimen)/A) NPS tiap kejadian hujan diregresikan dengan intensitas hujan
Perhitungan NPS Model Suripin
Grafik hubungan Luas DAS dengan NPS Intensitas hujan dan luas DAS yang cocok dengan Model Suripin Gambar 3.1: Diagram Langkah Kerja Penelitian
60
G. Analisis Data Langkah-langkah analisis data: 1. Identifikasi Besar Intensitas Hujan yang Menyebabkan Run Off Besar intensitas hujan yang menyebabkan run off diketahui berdasarkan pengukuran di lapangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan hidrograf untuk mendapatkan besaran run off selama kejadian hujan. Signifikansi data intensitas hujan dan run off dianalisis dengan menggunakan analisis regresi tipe polynominal. Saat nilai R Square mendekati satu, maka data tersebut semakin signifikan. 2. Analisa Hubungan Intensitas Hujan dengan NPS 1.) Menghitung laju erosi dengan persamaan RUSLE a. Erosivitas Hujan Besarnya nilai erosivitas hujan tahunan dapat diperoleh dengan menjumlahkan nilai erosivitas hujan bulanan selama satu tahun. Besarnya nilai erosivitas hujan bulanan dapat diperoleh dengan menjumlahkan besar erosivitas hujan harian selama satu bulan atau dengan persamaan yang dikemukakan oleh Bols (1978) dalam Arsyad (1989:80) R = 6,119 x CH1,21 x HH-0,47 x M0,53 Keterangan: R
= erosivitas
CH = curah hujan bulanan rata-rata (cm) HH = jumlah hari hujan dalam 1 bulan M
= hujan maksimum selama 24 jam dalam bulan yang bersangkutan
61
b. Erodibilitas Tanah Perhitungan erodibilitas tanah diperoleh dari hasil pengamatan lapangan dan analisis laboratorium. Sifat tanah yang diuji adalah kandungan bahan organik, tekstur, struktur, permeabilitas tanah, yang kemudian dihitung dengan menggunakan persamaan:
K=
2,71 M1,14 (10-4)(12-a)+3,25(b-2)+2,5(c-3) 100
Keterangan: M = nilai dari (% debu + % pasir sangat halus) (100 - % liat) a = bahan organik (% C organik x 1,724) b = harkat struktur tanah c = harkat permeabilitas c. Panjang dan Kemiringan Lereng(LS) Untuk menghitung faktor LS digunakan untuk persamaan RUSLE yaitu: LS =
L 22,1
0,6
X
S 9
1,4
Dimana: LS = panjang dan kemiringan lereng S
= kemiringan lereng
L
= panjang lereng
Nilai faktor LS diketahui berdasarkan pengukuran lereng (%) hasil dari pengukuran. Pengukuran kemiringan lereng dilakukan dengan menggunakan abney level dan yallon dengan cara membidik igir dari lembah untuk mengetahui besar derajad kemiringan lereng, sedangkan
62
untuk panjang lereng diukur dengan menggunakan meteran. Pengukuran kemiringan lereng dilakukan berkali-kali dan hasilnya dirata-rata untuk mendapatkan hasil yang akurat. d. Tindakan Pengelolaan Lahan (C) Faktor C menggambarkan besarnya erosi dari lahan yang terdapat tanaman dengan erosi yang terjadi pada lahan yang tidak ditanami sama sekali. Faktor ini mengukur kombinasi pengaruh dan pengolahannya. Efektifitas tanaman dalam mencegah erosi tergantung pada tinggi dan kontinuitas kanopi, kerapatan penutup lahan, dan kerapatan perakaran. Penentuan tindakan pengelolaan lahan dilakukan berdasarkan pengamatan lapangan yang hasilnya disesuaikan dengan tabel Klasifikasi Nilai Faktot C (Penutup Tanah). e. Tindakan Konservasi (P) Faktor konservasi (P) penetapannya sama seperti penetapan pada program USLE, meliputi tipe teras dan sistem pengelolaan lahan. Penentuan tindakan konservasi dilakukan berdasarkan pengamatan lapangan yang hasilnya disesuaikan dengan tabel Klasifikasi Nilai Faktot Pengelolaan Lahan (P). f. Laju Erosi (A) Nilai erosi total dihitung dengan memperhatikan banyaknya kejadian hujan yang menyebabkan run off. Data yang berubah dari perhitungan masingmasing RUSLE ini adalah data curah hujannya, sedangkan data yang lain tetap. Perhitungan laju erosi dilakukan dengan model RUSLE: A = R x K x LS x C x P
63
Keterangan: A = jumlah tanah yang hilang (ton/ha/th) R = faktor nilai erosivitas K = faktor nilai erodibilitas LS = faktor nilai panjang dan kemiringan lereng C = faktor penutup lahan P = faktor pengelolaan lahan
2.) Perhitungan Nisbah Pelepasan Sedimen Setelah nilai A diketahui melalui perhitungan dengan model RUSLE, Soil Delivery Ratio dapat dihitung dengan cara membagi antara jumlah hasil sedimen (sedimen yield) dengan nilai A tersebut. Nilai erosi total dihitung dengan memperhatikan banyaknya kejadian hujan yang menyebabkan run off. Hasil sedimen diperoleh melalui hasil analisa sampel sedimen harian yang diplotkan ke dalam hidrograf yang akhirnya diperoleh hasil sedimen tahunan. Perhitungan dengan model NPS: NPS =
Y A
Keterangan: NPS = nisbah kehilangan tanah (Soil Delivery Ratio) Y
= hasil sedimen (sedimen yield)
A
= laju erosi (hasil RUSLE)
64
3.Analisa Luas DAS yang cocok untuk NPS Model Suripin NPS sangat dipengaruhi oleh karakteristik DAS suatu wilayah, oleh karena itu di setiap wilayah persamaan untuk menghitung NPS berbeda-beda. Persamaan NPS Model Suripin (daerah studi: upper solo) adalah sebagai berikut: Log NPS = 2,31 + 3,07 Log Rb + 0,41 Log S – 1,26 Log (FL+FW) Dimana: NPS
= soil delivery ratio
Rb
= bifurcation ratio
S
= Slope rata-rata DAS
(FL+FW)
= prosentase hutan dan sawah
Hasil perhitungan Nisbah Pelepasan Sedimen Model Suripin diplotkan pada grafik hubungan luas DAS dengan NPS untuk mengetahui berapa besar intensitas hujan dan luas DAS di Sub DAS Junggo Bagian Hilir yang dapat diaplikasikan pada perhitungan NPS Model Suripin.
BAB IV KONDISI GEOGRAFI DAERAH PENELITIAN
Kondisi lingkungan geografis menurut Bintarto (1987:20) merupakan suatu lingkungan yang mencakup lingkungan alam dan manusia atau dapat pula dikatakan meliputi lingkungan alam (Natural Environment) dan lingkungan sosial (Social Environment). Pada bab ini akan dibahas kondisi alam dan manusia yang ada di Kecamatan Bumiaji. Kondisi alam yang dikemukakan meliputi letak, luas dan batas administrasi, kondisi geologi dan kondisi geomorfologi, jenis tanah, iklim, dan tata guna lahan. Kondisi manusia yang dikemukakan meliputi kepadatan penduduk serta mata pencaharian penduduk. A. Letak, Batas, dan Luas Wilayah Letak astronomi Kecamatan Bumiaji terletak antara 07043’20” LS – 7052’50’’ LS dan 112028’30” BT – 112035’20’’ BT. Berdasarkan letak administratif wilayah Kecamatan Bumiaji dibatasi oleh wilayah lain yaitu: a. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Mojokerto. b. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Batu dan Kecamatan Junrejo. c. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Karang Ploso. d. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Pujon. Kecamatan Bumiaji memiliki luas wilayah 12.883,63 ha yang terdiri dari 9 desa, 41 dusun, 81 RW, dan 423 RT. Perincian luas masing-masing desa adalah sebagai berikut:
65
66
Tabel 4.1 Luas Wilayah Kecamatan Bumiaji Desa Desa Punten Desa Pandanrejo Desa Giripurno Desa Tulungrejo Desa Bumiaji Desa Bulukerto Desa Sumbergondo Desa Gunungsari Desa Sumber Brantas Jumlah Sumber: Kantor Kecamatan Bumiaji
Luas Wilayah (Ha) 128,275 630,119 980,881 3640,58 845,223 1005,95 245,439 796,973 3357,71 12.883,63
Desa Tulungrejo merupakan Desa terluas di Kecamatan Bumiaji dengan luas wilayah 3640,58 ha, sedangkan Desa Punten merupakan Desa paling sempit dengan luas 128,275 ha. Desa Sumber Brantas dahulu merupakan bagian dari Desa Tulungrejo, namun karena ada pemekaran wilayah dan Desa tersebut sudah dianggap bisa berdiri sendiri, maka Sumber Brantas resmi menjadi Desa pada tahun 2000. Lokasi penelitian ada di Dusun Junggo. Dusun Junggo merupakan salah satu bagian dari Desa Tulungrejo yang memiliki jumlah total 14 Dusun. Dusun Junggo terletak pada perbatasan antara Desa Tulungrejo dengan Desa Sumber Brantas.
67
68
B. Kondisi Geologi dan Kondisi Geomorfologi Kondisi suatu wilayah tertentu ditinjau dari keadaan struktur dan komposisi batuan penyusun daerah tersebut dinamakan dengan kondisi geologi, sedangkan kondisi geomorfologi merupakan keadaan suatu wilayah berdasarkan bentuk-bentuk permukaan bumi dan proses yang menghasilkan bentuk-bentuk tersebut. Jenis batuan induk penyusun permukaan bumi berpengaruh besar terhadap pembentukan karakteristik lahan dan jenis tanah. Setiap jenis tanah mempunyai sifat fisik dan kimia yang berbeda terutama kepekaan terhadap erosi. Berdasarkan deskripsi Peta Geologi yang dicetak Departemen Pertambangan dan Energi, Direktorat Jendral Geologi dan Sumberdaya Mineral, Pusat Pengembangan dan Penelitian Geologi lembar Jawa, kondisi geologi Kecamatan Bumiaji berasal dari bahan vulkanik hasil gunung api, yang dipengaruhi oleh Gunung Arjuno dan Anjasmoro di bagian utara, dan Gunung Panderman di bagian selatan. Sebaran geologi yang dijumpai di kawasan ini secara umum masih menunjukkan banyak kesamaan, yaitu berupa bahan-bahan vulkan yang berupa Breksi Gunung Api, Tuf Breksi, Lava, Tuf dan Aglomerat. Namun, secara lebih detail masih dapat dibedakan berdasar bahan-bahan dominan yang dikandungnya, gambaran geologi Kecamatan Bumiaji seperti berikut: Tabel 4.2 Satuan Geologi Kecamatan Bumiaji Satuan Geologi
Keterangan
Luas %
Qpva
Batuan Gunung api Anjasmara Muda
Ha 2706,012
Qvaw
Batuan Gunung api Arjuna-Welirang
7764,698
60,2680
Qpat
Batuan Gunung api Anjasmara Tua
2412,915
18,7285
21,0035
Total 12.883,63 100 Sumber : Peta Geologi yang dicetak Departemen Pertambangan dan Energi, Direktorat Jendral Geologi dan Sumberdaya Mineral, Pusat Pengembangan dan Penelitian Geologi lembar Jawa
69
1. Batuan Gunung api Anjasmara Muda (Qpva), merupakan batuan gunung api kuarter bawah yang tersusun atas bahan Breksi Gunung Api, Tuf Breksi, Lava, Tuf dan Aglomerat. Lava yang menyusun merupakan sisipan melidah dalam breksi dengan tebal beberapa meter. Batuan gunung api ini diperkirakan berumur Plistosen Tengah, berdasarkan kedudukan stratigrafinya yang tertindih oleh Batuan Gunung api Kuarter Tengah. 2. Batuan Gunung api Arjuna Welirang (Qvaw), merupakan satuan geologi yang terbentuk dari bahan vulkanik yang terdiri dari Breksi Gunung Api, Lava, Breksi Tufan dan Tuf. 3. Batuan Gunung api Anjasmoro Tua (Qpat), tersusun atas bahan Breksi Gunung Api, Tuf Breksi, Tuf dan Lava. Satuan ini diduga sebagai alas dari Batuan Gunung api Kuarter Bawah dan diperkirakan berumur Plistosen Awal – Tengah, hal itu berdasarkan adanya singkapan dari Batuan Gunung api Anjasmoro Tua yang tertindih tidak selaras langsung oleh Batuan Gunung api Arjuna-Welirang yang berumur Plistosen Akhir. Batuan gunung api ini tertindih oleh Batuan Gunung api Anjasmoro Muda dan Batuan Gunung api Panderman.
70
71
Kecamatan Bumiaji terletak pada lajur Solo Gunung api Kuarter. Gunung api Kuarter pada wilayah ini terdiri dari pegunungan dan kerucut Gunung api Arjuna-Welirang. Kerucut Gunung api dicirikan dengan bentuk strato dan kerucut gunung api, berketinggian antara 2000-3000 meter di atas permukaan laut. Puncak yang terdapat pada daerah penelitian adalah Gunung Arjuna dengan ketinggian ± 3339 meter dpl. Tabel 4.3 Satuan Geomorfologi Kecamatan Bumiaji Luas
Satuan Geomorfologi
Keterangan
D1 D2 F1
Perbukitan terkikis Pegunungan Terkikis Dataran Aluvial
1679,709 1542,204 848,78
13,03 11,97 6,588
V2 V3 V4 V5
Kerucut Gunungapai Lereng Gunung api Atas Lereng Gunung api Tengah Lereng Gunung api Bawah
911,434 2573,633 3233,018 2094,846
7,074 19,97 25,09 16,25
Total 12.883,62 Sumber : Perhitungan peneliti dari peta Geomorfologi lembar Bumiaji
100
Ha
%
Berdasarkan morfologinya, Kecamatan Bumiaji termasuk pada tipe gunung api strato muda, yaitu material yang dikuluarkan oleh vulkan bersifat intermediate (tidak asam atau tidak basa) dan cair kental. Batuan ekstrusi berupa andesit. Ciri khas tipe vulkan strato ini adalah vulkan berlapis-lapis dan berselangseling antara materian kasar dan halus. Karakteristik strato muda pada Kecamatan Bumiaji ada empat yakni Kerucut Gunung Api, Lereng Atas Gunung Api, Lereng Tengah Gunung Api, dan Lereng Bawah Gunung Api. Kerucut Gunung Api mempunyai lereng curam (lebih dari sama dengan 320), bongkah/blok baru, material piroklastik kubah lava, crater (kawah) (Herlambang, 2004). Kerucut Gunung Api dengan luas wilayah 911,434 hektar ini terletak di Desa Sumber
72
Brantas dan sebagian Desa Tulungrejo. Lereng Atas Gunung Api mempunyai lereng curam, eflata kasar bercampur dengan aliran lava, sumber lahar bagi gunung api aktif, longsoran dan erosi rendah (gullying) (Herlambang, 2004). Lokasi penelitian berada pada Lereng Atas Gunung Api. Lereng Atas Gunung Api yang mempunyai karakteristik lereng curam membuat daerah ini sangat peka terhadap terjadinya erosi. Lereng Atas Gunung Api dengan luas 2573,633 hektar tersebar di Desa Sumber Brantas, Desa Tulungrejo, dan Desa Sumbergondo. Lereng Tengah Gunung Api mempunyai lereng landai sampai dengan curam (5 0 150) aliran lahar bercampur dengan lairan lava dan endapan lahar (Herlambang, 2004). Lereng Tengah Gunung Api tersebar di Desa Sumber Brantas, Desa Tulungrejo, Desa Sumbergondo, Desa Bumiaji, serta Desa Giripurno. Lereng Bawah Gunung Api (kaki) mempunyai lereng landai (kurang dari 50), fluvio vulkanik, lapisan dengan blok besar terselang-seling dengan endapan aliran lava dan endapan abu (Herlambang, 2004). Lereng Bawah Gunung Api dengan luas wilayah 2094,846 hektar tersebar di Desa Pandanrejo, Desa Giripurno, Desa Sumbergondo, serta Desa Bumiaji. Dataran alluvial adalah bentukan pengendapan berupa lempung, lanau, pasir, dan bongkah yang terjadi sebagai hasil dari proses akumulasi karena pengaruh aliran sungai yang berasal dari daerah yang lebih tinggi. Dataran Alluvial dengan luas 848,78 hektar ini terletak pada Desa Giripurno, dan Desa Bumiaji.
73
74
C. Jenis Tanah Tanah merupakan lapisan terluar dari kulit bumi yang biasanya tidak bersifat padu (unconsolidated) sebagai akibat pelapukan bahan induk di bawah kondisi iklim dan topografi tertentu yang mempunyai sifat dan ciri tertentu sebagai akibat dari pengaruh iklim dan jasad hidup yang bertindak terhadap bahan induk dalam keadaan relief tertentu selama jangka waktu tertentu pula (Darmawijaya : 1990). Adapun jenis tanah yang ada di Kecamatan Bumiaji terdiri dari: 1. Alfisol Tanah-tanah yang mempunyai kandungan liat tinggi di horizon B (horizon argilik) dibedakan menjadi tanah Alfisol (pelapukan belum lanjut) dari tanah Ultisol (pelapukan lanjut). Tanah Alfisol kebanyakan ditemukan di daerah beriklim sedang, dapat pula ditemukan di daerah tropika dan subtropika terutama di tempat-tempat dengan tingkat pelapukan sedang. Alfisol ditemukan di daerahdaerah datar sampai berbukit. Proses pembentukan alfisol di Iowa memerlukan waktu 5000 tahun (Arnold dan Riecken, 1964) karena lambatnya proses akumulasi liat untuk membentuk hodison agrilik. Alfisol terbentuk di bawah vegetasi hutan berdaun lebar (deciduous). Alfisol merupakan tanah yang subur, banyak digunakan untuk pertanian, rumput ternak atau hutan. Tanah ini mempunyai kejenuhan basa tinggi, kapasitas tukar kation tinggi, cadangan unsur hara tinggi. Bahaya erosi dari kawasan alfisol ini perlu diperhatikan, karena kalau barisan argilik muncul dipermukaan, tanah menjadi kurang baik (liat terlalu tinggi).
75
2. Andisol Andisol adalah tanah yang berkembang dari bahan vulkanik seperti abu vulkanik, batu apung, sinder, lava, dan sebagainya, dan/atau bahan vulkanik klastik, yang fraksi koloidnya didominasi mineral “short range order” (alophan, imogolit, ferihidrit) atau kompleks al-humus. Dalam keadaan lingkunga tertentu, pelapukan aluminosilikat primer dalam bahan induk nonvulkanik dapat juga menghasilkan mineral “short range order” sebagian tanah seperti ini juga termasuk dalam Andisol. Andisol dapat mempunyai sembarang apipedon, asalkan prasyarat minimum untuk ordo Andisol dapat terpenuhi pada dan atau di bawah epipedon. Andisol juga dapat mempunyai sembarang regim/kelembapan dan regim temperatur tanah dan dapat ditemukan disembarang posisi landscape maupun ketinggian. Andisol memenuhi syarat sebagai tanah mineral; syarat ini untuk membedakan dengan tanah Histosol yang merupakan tanah organik. Sifat tanah Andik ditemukan pada kedalaman 60 cm teratas dari tanah mineral, dalam suatu lapisan yang tebalnya paling sedikit 35 cm, kecuali bila sentuh sela atau selasemu terdapat pada kedalaman kurang dari 35 cm. Pada bawah lapisan dengan sifat tanah andik tersebut, tanah dapat mempunyai sembarang horizon penciri, itulah syarat minimum untuk Andisol. Asal syarat ini dipenuhi maka tanah tersebut dapat dikategorikan sebagai tanah Andisol, apapun sifat tanah yang dibawahnya. Andisol sangat mudah untuk tererosi, hal ini disebabkan oleh letak Andisol sering berada pada topografi yang cukup miring (biasanya terletak pada lereng gunung, karena andisol merupakan perkembangan dari bahn vulkanik) dan berasal dari sisa bahan vulkanik yang rentan terhadap erosi.
76
3. Entisol Entisol merupakan tanah yang baru berkembang. Walaupun demikian tanah ini tidak hanya berupa bahan asal atau bahan induk tanah saja tetapi harus sudah terjadi proses pembentukan tanah yang menghasilkan epipedon okhrik. Pada Entisol mungkin juga ditemukan epipedon anthropik, horizon albik dan agrik, akumulasi garam, besi oksida dan lain-lain mungkin ditemukan tapi pada kedalaman lebih dari 1 meter. Banyak tanah Entisol yang digunakan untuk usaha pertanian misalnya di daerah endapan sungai atau daerah rawa-rawa pantai. Tanah-tanah Entisol yang berasal dari bahan alluvium umumnya merupakan tanah subur. Perbaikan drainase di daerah rawa-rawa menyebabkan munculnya out-clay yang sangat masam akibat oksidasi sulfide menjadi sulfat. Padi sawah banyak ditanam di daerah-daerah alluvial ini. Di Florida, Amerika Serikat, perkebunan jeruk terdapat pada tanah-tanah Entisol berpasir (Psamment). Tanah-tanah Entisol yang berlereng curam dan berbatu-batu banyak yang dijadikan daerah cagar alam. Pada daerah subhumid, semi arid, dan arid tanah-tanah Entisol yang kurang subur banyak digunakan sebagai padang pengembalaan sapi atau kambing. Tanah Entisol lebih tahan terhadap gejala erosi dibanding dengan Andisol karena Endisol letaknya lebih dalam dibanding Andisol dan biasanya Endisol terletak pada daerah yang bertopografi cukup datar. 4. Inceptisol Inceptisol adalah tanah-tanah yang kecuali dapat memiliki epipedon okrik dan horizon albik seperti yang dimiliki tanah Entisol juga mempunyai beberapa sifat penciri lain (misalnya horizon Kambik) tetapi belum memnuhi syarat bagi ordo tanah yang lain. Inceptisol adalah tanah yang belum matang (immature)
77
dengan perkembangan profil yang lebih lemah dibanding dengan tanah matang, dan masih banyak menyerupai sifat bahan induknya. Beberapa inceptisol yang terdapat dalam keseimbangan dengan lingkungan dan tidak akan matang bila lingkungan tidak berubah. Beberapa inceptisol yang lain telah dapat diduga arah perkembangannya apakah ke Ultisol, Alfisol, atau tanah-tanah yang lain. Penggunaan Inceptisol untuk pertanian atau non-pertanian adalah beraneka ragam. Daerah-daerah yang berlereng curam untuk hutan, rekreasi atau wildlife, yang berdrainase buruk hanya untuk tanaman pertanian setelah drainase diperbaiki. Inceptisol yang bermasalah adalah Sulfaquept, yang mengandung horizon sulfuric (cat clay) yang sangat masam. Tanah Inceptisol lebih tahan terhadap erosi karena masih belum matang (belum terlapuk secara sempurna), namun pada kejadian run off yang cukup deras, Inceptisol akan tetap tererosi secara wajar karena tanah ini biasanya terletak pada daerah yang bertopografi cukup miring. 5. Mollisol Mollisol adalah tanah dengan epipedon Molik, walaupun demikian tidak semua tanah yang mempunyai epipedon Molik diklasifikasikan sebagai Mollisol. Misalnya pada tanah Vertisol juga dapat ditemukan epipedon Molik tetapi mempunyai sifat yang plastis dengan mengembang mengkerut, sehingga sifat Molik menjadi kurang nyata. Epipedon Molik juga dapat ditemukan pada Inceptisol, tetapi gelas vulkanik dan horizon Kambik yang masam lebih banyak pengaruhnya terhadap profil tanah dari pada epipedon Molik. Demikian pula tanah yang memiliki epipedon yang memenuhi syarat sebagai epipedon Molik
78
tetapi terbentuk sebagai akibat pengapuran, tidak dapat diklasifikasikan sebagai Mollisol. Mollisol dapat mempunyai horison albik, agrilik, kalsik dan nartik. Mollisol banyak ditemukan di daerah Amerika bagian Utara Tengah, dan Eropa bagian Tenggara (rusia, Hongaria, Bulgaria, Rumania). Di Indonesia Mollisol ditemukan umumnya di daerah berbukit kapur. Tanah ini terbentuk di bawah vegetasi rumput baik tumput rendah, sedang atau tinggi. Penambahan bahan organik ketanah sekitar 100-500 kg/ha tanah. Mollosol lebih tahan terhadap erosi dibanding keempat jenis tanah lain tersebut di atas karena sifatnya yang plastis dan biasanya terletak pada daerah yang bertopografi cukup datar.
79
80
D. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di suatu wilayah dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah luas dan kesuburan tanah. Luas wilayah Kecamatan Bumiaji adalah 12883,63 Ha dengan penggunaan lahan sebagai pertanian, perkebunan, pekarangan, kehutanan, perindustrian, perumahan, dan usaha wisata. Kecamatan Bumiaji merupakan daerah yang topografinya wilayah perbukitan, sehingga mempunyai pemandangan yang sangat indah. Hal ini pada kenyataannya kekayaan alam yang dimiliki belum sepenuhnya dimanfaatkan secara optimal. Tabel 4.4 Penggunaan Lahan Kecamatan Bumiaji 2007 Jumlah Penggunaan Lahan Luas (Ha) Belukar/Semak 3401 Permukiman 535 Hutan 3291 Kebun 572 Rumput 29 Sawah Irigasi 954.63 Tanah Ladang/Tegalan 3748 Sawah Tadah Hujan 353 Jumlah 12.883,63 Sumber: Perhitungan peneliti dari peta RBI lembar Bumiaji
Presentase (%) 26,39 4,152 25,54 4,439 0,225 7,409 29,09 2,739 100
Tanah ladang/tegalan merupakan daerah terluas di Kecamatan Bumiaji dengan luas lahan mencapai 3748 ha, sedangkan rumput merupakan lahan paling sempit dengan luas hanya 29 ha. Tanah ladang/tegalan tersebar merata pada Desa Giripurno, Desa Pandanrejo, Desa Bumiaji, dan Desa Gunungsari. Belukar/semak dengan luas mencapai 3401 tersebar di Desa Tulungrejo, Desa Sumbergondo, dan Desa Sumber Brantas. Hutan dengan luas wilayah 3291 mendominasi Desa Sumber Brantas dan sebagian dari Desa Tulungrejo.
81
82
E. Iklim Iklim merupakan keadaan rata-rata cuaca dalam waktu yang lama (10-30 tahun) dan wilayah yang relatif luas, sedangkan cuaca merupakan keadaan udara di suatu tempat pada saat tertentu atau dapat diartikan sebagai keadaan rata-rata udara harian. Adapun unsur-unsur utama yang membentuk iklim adalah suhu udara harian. Adapun unsur-unsur utama yang membentuk iklim adalah suhu (temperatur udara), curah hujan dan ketinggian tempat. 1. Suhu (temperatur udara) Suhu udara merupakan keadaan panas atau dinginnya udara di suatu tempat pada waktu tertentu. Suhu udara dipengaruhi oleh sinar mataahari, ketinggian tempat dan keadaan permukaan bumi. Suhu udara diukur dengan menggunakan thermometer. Untuk mengukur suhu berdasarkan ketinggian digunakan persamaan Braak (Kartasapoetra, 2004), yaitu: T = 26,30C – ( 0,6 x Keterangan:
)
T = suhu udara pada ketinggian h (0C) 26.3 = suhu rata-rata daerah tropis 0,6 = kostanta h = Ketinggian tempat
Ketinggian Kecamatan Bumiaji adalah 1300 m di atas permukaan laut, sehingga suhu udaranya adalah sebagai berikut: T = 26,30C – ( 0,6 x
)
= 26,30C – ( 0,6 x
)
= 26,30C – ( 0,6 x 13 )
83
= 26,30C – 7,8 = 18,50 C Berdasarkan hasil perhitungan di atas maka suhu udara rata-rata di Kecamatan Bumiaji adalah 18,50 C. 2. Curah Hujan Curah hujan merupakan jumlah hujan yang jatuh ke permukaan bumi atau tanah selama periode tertentu, sedangkan satu hari hujan adalah periode selama 24 jam terkumpulnya hujan setinggi 0,5 mm atau lebih, jika kurang dari 0,5 mm maka dianggap 0 meskipun curah hujan diperhitungkan. Hal terpenting dalam curah hujan yang perlu dikettahui adalah intensitas hujan dan persebaran waktu terjadinya hujan. Tabel 4.5 Curah Hujan Bulanan (dalam mm) Kecamatan Bumiaji Tahun 2001-2010 No Bulan 2001 2002 2003 1. Januari 272 357 349 2. Pebruari 444 296 351 3. Maret 392 190 166 4. April 174 166 78 5. Mei 41 36 96 6. Juni 163 7. Juli 29 8. Agustus 9. September 28 2 10. Oktober 147 11. November 193 126 274 12. Desember 73 380 136 Jumlah 1956 1553 1450 Σ Bulan Kering 4 6 5 Σ Bulan Basah 7 6 5 Σ Bulan Lembab 1 2 Sumber: BMG Karangploso, 2011
2004 136 251 264 81 86 4
2005 219 219 175 49
2006 268 287 204 82 143 1
2007 2008 162 245 77 219 221 524 267 161 9 56 3 7 10 3 2 42 25 61 7 11 153 42 156 213 161 1 162 203 282 294 278 412 329 1353 1343 1264 1358 1949 5 5 6 6 5 5 6 5 5 7 2 1 1 1 -
2009 341 372 215 107 62 13
26 83 207 179 1605 4 6 2
2010 386 413 221 425 213 24 38 149 127 243 268 272 2779 2 10 -
Rata- rata 273,5 292,9 230,2 159 74,2 21,5 8 19,3 27,6 83,4 180,8 262,9 1633,6 4,8 6,2 1
Berdasarkan tabel di atas, dalam kurun waktu 10 tahun mulai tahun 2001 hingga tahun 2010 curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 2010 sebanyak 2779 mm/th, sedangkan curah hujan terendah terjadi pada tahun 2006 sebanyak 1264 mm/th. Rata-rata curah hujan tiap tahun di Kecamatan Bumiaji adalah 1633,6 mm/th. Jumlah hari hujan terbanyak juga terjadi pada tahun 2010 sebanyak 192
84
hari dan terendah terjadi pada tahun 2003 sebanyak 96 hari. 3. Tipe Iklim Dalam penelitian ini klasifikasi iklim daerah penelitian menggunakan klasifikasi iklim menurut Schmidt-Ferguson. Klasifikasi tipe hujan SchmidtFerguson didasarkan pada pembagian iklim menurut Mohr yang membandingkan antara jumlah bulan kering selama satu tahun dengan rata-rata jumlah basah selama satu tahun dalam jangka waktu minima 10 tahun dengan kriteria sebagai berikut: 1). Bulan kering adalah bulan dengan curah hujan kurang dari 60 mm per tahun. 2). Bulan basah adalah bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm per tahun. 3). Bulan lembab adalah bulan dengan curah hujan antara 600 mm-100 mm per tahun. Untuk menentukan tipe hujan suatu daerah, Schmidt-Ferguson menggunakan rumus sebagai berikut: Q= Tabel 4.6 Pembagian Tipe Iklim Menurut Schmidt-Ferguson Tipe iklim Nilai Q A 0% - 14% B 4,3% - 33,3% C 33,3% - 60% D 60% - 100% E 100% - 167% F 167% - 300% G 300% - 700% H > 700% sumber: Arsyad, 2000
Ciri-ciri Sangat basah Basah Agak basah Sedang Agak kering Kering Sangat kering Ekstrim kering
Berdasarkan data curah hujan Kecamatan Bumiaji selama 10 tahun terakhir yaitu tahun 2001 sampai dengan tahun 2010 diperoleh data rata-rata bulan basah 6,2 dan rata-rata bulan kering 4,8. Dari data di atas diketahui tipe iklim di Kecamatan Bumiaji adalah:
85
Q=
4,8 X 100% 6,2
= 0,7741935 x 100% = 77,42% Dari data di atas kemudian dimasukkan dalam grafik berikut:
12 700 %
11 10
H
300 %
9
G
167 %
8
F
7
100 %
E
6 5
60 %
D
4
C
33,3 %
3 B
2
14,3 %
1
A
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Rata-rata Bulan Basah Gambar 4.1 Tipe Iklim Daerah Penelitian Menurut Schmidt-Ferguson Hasil perhitungan nilai Q dan grafik di atas, maka kecamatan Bumiaji termasuk iklim C yaitu agak basah yang berarti jumlah air yang disuplai pada musim penghujan mampu mengimbangi kebutuhan air pada musim kemarau.
86
F. Kondisi Penduduk 1. Jumlah dan Persebaran Penduduk Jumlah penduduk pada suatu daerah dipengaruhi oleh perkembangan penduduk akibat kelahiran (natalitas), kematian (mortalitas), dan perpindahan penduduk (migrasi). Data kependudukan merupakan salah satu data pokok yang sangat diperlukan dalam perencanaan dan evaluasi pembangunan kerena penduduk merupakan obyek sekaligus subyek pembangunan. Fungsi obyek pembangunan bermakna penduduk menjadi target dan sasaran pembangunan yang dilakukan oleh penduduk dan fungsi subyek bermakna penduduk adalah pelaku tunggal dari sebuah pembangunan. Kedua fungsi tersebut diharapkan berjalan secara integral. Berdasarkan hasil registrasi penduduk Kecamatan Bumiaji pada tahun 2006, menunjukkan jumlah penduduk sebesar 74.878 dengan kepadatan rata-rata 1,647 per km2. 2. Mata Pencaharian Karakteristik suatu daerah tidak akan sama dengan daerah yang lain apabila dilihat dari segi perekonomiannya. Hal ini berkaitan erat dengan kondisi lingkungan alam dan budaya masyarakatnya. Sektor perekonomian di Kecamatan Bumiaji masih didominasi oleh sektor pertanian, hal ini dikarenakan wilayah kecamatan Bumiaji sebagian besar adalah wilayah pertanian, akan tetapi sektor industri dan perdagangan juga berperan dalam menjalankan roda ekonomi makro. Home industry terutama industri pengolahan hasil pertanian cukup diminati oleh pelaku ekonomi masyarakat Kecamatan Bumiaji. Banyak bertumbuhnya home industry pengolahan sari apel, jenang apel hingga kripik apel yang dapat menyerap tenaga kerja perlu adanya perhatian dan pemerintah Kota Batu, terutama di Bidang permodalan dan distribusi penjualan.
87
Dari penjelasan yang telah disebutkan maka dapat disimpulkan bahwa di Kecamatan Bumiaji merupakan daerah yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Untuk dapat lebih jelasnya dapat dilihat pada tebel berikut ini. Tabel 4.7 Mata Pencaharian Kecamatan Bumiaji Tahun 2006 Mata Pencaharian Petani, buruh tani, peternak TNI, PNS Konstruksi Pedagang/Wiraswasta Jasa Lain-lain Jumlah Sumber: Data Potensi Desa/Kelurahan Kota Batu, 2007
Jumlah 23.195 12.379 439 5.634 169 33.062 74.878
Penduduk di Kecamatan Bumiaji paling banyak berprofesi sebagai petani, buruh tani, dan peternak yaitu mencapai 23.195 warga, hal itu dapat dianalisa dari jumlah tanah ladang/tegalan maupun kebun yang sangat luas di Kecamatan Bumiaji ini. TNI, PNS, dan Swasta menempati urutan kedua dengan jumlah 12.379 warga. Di Kecamatan Bumiaji terdapat banyak TNI karena di Desa Tulungrejo terdapat perumahan TNI Angkatan Udara, sedangkan untuk PNS ratarata bekerja di kantor Desa serta Guru dari sekolah dasar sampai sekolah menengah ke Atas. Lain-lain yang tersebut dalam tabel merupakan penduduk usia non-produktif yaitu anak-anak dan lanjut usia.
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Identifikasi Besar Intensitas Hujan Minimum yang Menyebabkan Run off Run off merupakan aliran air permukaan yang timbul karena air hujan jatuh di permukaan tanah dan tidak dapat terinfiltrasi secara keseluruhan. Besar run off sangat dipengaruhi oleh besar intensitas hujan yang terjadi pada suatu wilayah. Intensitas hujan adalah ukuran yang menyatakan tebal hujan dalam satuan waktu tertentu (mm/jam). Kondisi tanah di sub DAS Junggo bagian hilir yang kandungan liat dan debunya masih tinggi menyebabkan air masih mudah untuk terinfiltrasi, namun jika tanah sudah tidak dapat menyerap air, erosi akan sangat tinggi pada tanah dengan kandungan debu dan liat yang cukup tinggi tersebut. Hampir keseluruhan lahan masih tertutup oleh kanopi yang berupa pohon apel, sehingga butiran air hujan tidak langsung menghantam tanah, sehingga agregat-agregat tanah tidak mudah terurai oleh butiran hujan jika tebal dan intensitas hujan tidak terlalu tinggi. Cekungan-cekungan di lokasi penelitian juga memperlambat terjadinya run off, karena saat butiran hujan jatuh ke permukaan tanah, air akan berkumpul terlebih dahulu pada cekungan-cekungan tersebut. Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan yang dilakukan dari bulan Januari 2011 sampai dengan Mei 2011, diperoleh empat kali kejadian hujan yang menyebabkan run off. Tiap kejadian run off, dicatat seberapa tinggi dan kecepatan run off untuk mengukur seberapa besar debit pada run off tersebut. Debit run off (m3/detik) dan lama run off dipoltkan ke dalam hidrograf (hidrograf
88
89
debit run off dapat dilihat pada lampiran 8) untuk mengetahui besar run off selama kejadian hujan tersebut. Adapun rincian mengenai besar intensitas hujan serta besar run off selama hujan terjadi dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.1 Besar Intensitas Hujan Serta Volume Run off No.
Pengambilan Tebal Sample Hujan (mm) 1 8 Maret 2011 49,46 2 2 April 2011 18,18 3 4 April 2011 25,79 4 24 April 2011 33,11 Sumber: Perhitungan Peneliti
Lama Hujan (jam) 1,75 0,83 3,58 1,93
Intensitas Hujan (mm/jam) 28,26 21,9 7,20 18,28
Volume Run off (m3) 81.000 6.150 12.600 60.750
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa kejadian run off dapat terjadi dengan intensitas hujan minimum sebesar 7,20 mm/jam. Adapun analisis statistik mengenai signifikansi hasil pengukuran lapangan mengenai besaran intensitas hujan dan run off dapat dilihat pada grfik berikut: Grafik 5.1 Analisis Regresi Intensitas Hujan dengan Run off V o l u m e R u n O f f 3,75
Intensitas Hujan (mm/jam) Grafik 5.1 menunjukkan bahwa data yang diperoleh cukup signifikan, hal tersebut ditunjukkan dengan nilai R yang mencapai 0,609, sehingga dapat disimpulakan bahwa korelasi antara Volume run off dengan intensitas hujan
90
cukup signifikan. Berdasarkan analisis regresi antara intensitas hujan dengan volume run off dapat dilihat bahwa intensitas hujan minimum yang dapat menyebabkan terjadinya run off di sub DAS Junggo bagian hilir adalah 3,75 mm/jam.
2. Hubungan Intensitas Hujan dengan Nisbah Pelepasan Sedimen a. Perhitungan Laju Erosi Dengan Menggunakan Model RUSLE Satuan terkecil yang merupakan lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, vegetasi, serta benda-benda lain yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan disebut dengan unit lahan. Berdasarkan hasil tumpang susun (overlay) 3 peta yaitu peta penggunaan lahan, peta jenis tanah, dan peta kemiringan lereng diperoleh sebanyak 5 unit lahan pada obyek penelitian. Penggunaan lahan tersebut berupa kebun apel dengan kelas lereng III sampai dengan kelas IV. Terdapat dua jenis ordo tanah yaitu Andisol dan Inceptisol. Adapun rincian unit lahan pada obyek penelitian adalah sebagai berikut. Tabel 5.2 Unit Lahan Penelitian Di Sub DAS Junggo No. Unit Lahan Penggunaan Lahan Kemiringan lereng Ordo Tanah 1 AN1 K IV Kebun Apel IV Andisol 2 IN1 K IV Kebun Apel IV Inceptisol 3 AN1 K III Kebun Apel III Andisol 4 IN1 K III Kebun Apel III Inceptisol 5 AN2 K IV Kebun Apel IV Andisol Sumber: hasil tumpang susun peta penggunaan lahan, jenis tanah, dan kemiringan lereng
Berikut ini akan dipaparkan beberapa faktor yang mempengaruhi erosi di Sub DAS Junggo:
91
Peta Unit Lahan dengan Luas DAS 7,359 Hektar.
92
1.) Erosivitas Erosivitas merupakan kemampuan air hujan untuk menghancurkan dan menghanyutkan partikel tanah yang merupakan fungsi sifat fisik curah hujan, meliputi jumlah hujan, lama hujan, ukuran butir hujan serta kecepatan jatuh hujan yang menentukan kemampuannya dalam menghancurkan dan menghanyutkan partikel tanah (erosi). Pada penelitian ini, besar intensitas hujan yang dihitung adalah intensitas hujan harian dikarenakan erosi yang dicari adalah besar erosi harian, bukan erosi tahunan. Pengukuran jumlah curah hujan dilakukan pada outlet sub DAS Junggo bagian hilir, hal ini dikarenakan untuk pemasangan ombrograf ada beberapa syarat yang harus dipenuhi diantaranya seperti tidak ada kanopi yang menutupi, tidak ada barrier, mudah dijangkau, dan lain sebagainya. Kejadian hujan pada lokasi penelitian yang diukur pada bulan Januari sampai dengan Mei 2011 diperoleh empat kali kejadian hujan yang menyebabkan run off dengan nilai erosivitas yang dapat dilihat pada tabel 5.3 berikut. Tabel 5.3 Pengukuran Erosivitas (R) Di Sub DAS Junggo Bulan Januari-Mei 2011 No. Tanggal Pengambilan Sample 1 8 Maret 2011 2 2 April 2011 3 4 April 2011 4 24 April 2011 Sumber: Perhitungan Peneliti
Curah Hujan (cm) 49,46 18,18 25,79 33,11
Erosivitas 98,717 17,315 31,8 49,127
Berdasarkan tabel 5.3 maka dapat diketahui bahwa besarnya nilai erosivitas tertinggi di Sub DAS Junggo adalah 98,717 dan terendah adalah 17,315.
2.) Erodibilitas Erodibilitas merupakan nilai kepekaan suatu jenis tanah terhadap daya penghancuran dan penghanyutan air hujan. Air hujan yang jatuh ke permukaan
93
tanah dapat memecahkan agregat-agregat tanah kemudian memindahkannya ke tempat lain. Nilai erodibilitas dipengaruhi oleh hasil analisa tanah yang terdiri dari pengharkatan nilai bahan organik, struktur, dan permeabilitas. Posisi topografi, kemiringan lereng, dan gangguan manusia juga mempengaruhi nilai erodibilitas (Suripin, 2001: 73). Berdasarkan hasil perhitungan peneliti dan analisa laboratorium yang dilakukan di laboratorium tanah Universitas Brawijaya, maka diperoleh besarnya nilai erodibilitas tanah di Sub DAS Junggo yang dapat dilihat pada tabel 5.4 berikut: Tabel 5.4 Pengharkatan Nilai Bahan Organik, Struktur dan Permeabilitas Unit Lahan
Pasir sangat Debu 100-%liat M Harkat Halus (%) (%) struktur AN1 K IV 5 48 96 5088 4 IN1 K IV 11 57 96 6528 4 AN1 K III 11 37 92 4416 2 IN1 K III 11 57 96 6528 4 AN2 K IV 5 48 96 5088 4 Sumber: Hasil perhitungan peneliti dan Analisa Laboratorium Tanah
Harkat Permeabilitas 2 2 3 2 2
Tabel 5.5 Nilai Erodibilitas Unit Lahan Di Sub DAS Junggo Tahun 2010 Unit Pasir sangat Debu Bahan Struktur P Lahan halus (%) (%) Organik AN1 K IV 5 48 1,66 Granuler 10,7 IN1 K IV 11 57 4,04 Gumpal membulat 11,6 AN1 K III 11 37 1,66 Gumpal membulat 3,3 IN1 K III 11 57 4,04 Gumpal membulat 11,6 AN2 K IV 5 48 1,66 Granuler 10,7 Sumber: Hasil perhitungan peneliti dan Analisa Laboratorium Tanah
E 0,403 0,522 0,401 0,522 0,403
Ket Agak Tinggi Tinggi Agak Tinggi Tinggi Agak Tinggi
Kandungan bahan organik pada tanah dengan ordo andosol tergolong sangat rendah, sedangkan pada ordo inceptisol tergolong sedang (Arsyad, 1989:51). Struktur tanah pada tiap unit lahan berbentuk blok, plat, atau massif, kecuali pada unit lahan AN1 K III yang berbentuk granuler sangat halus (Arsyad, 1989). Harkat permeabilitas pada tiap unit lahan adalah sedang (Arsyad, 1989). Dua titik sampel yang memiliki nilai erodibilitas tinggi yaitu unit lahan IN1 K IV
94
sebesar 0,522 dan unit lahan IN1 K III sebesar 0,522. Semakin tinggi nilai erodibilitas, berarti tanah semakin mudah tererosi (Utomo, 1989:28).
3.) Panjang dan Kemiringan Lereng Panjang dan kemiringan lereng sangat berpengaruh terhadap proses erosi Rahim (2000:30). Panjang lereng adalah jarak pengikisan aliran permukaan yang tidak mengalami hambatan, yaitu jarak yang diukur dari titik awal terjadinya aliran permukaan sampai pada titik sebagai pengendapan memasuki parit atau saluran drainase, sedangkan kemiringan lereng adalah besarnya kemiringan lereng yang mempengaruhi kecepatan dan volume limpasan permukaan. Berdasarkan hasil pengukuran pada daerah penelitian, nilai LS dapat dilihat pada tabel 5.6. Tabel 5.6 Nilai LS pada Unit Lahan di Sub DAS JunggoTahun 2010 Unit Lahan AN1 K IV IN1 K IV AN1 K III IN1 K III AN2 K IV Sumber: Hasil perhitungan peneliti
L (m) 20,67 28,67 27,67 54,67 13
S (%) 190 = 42% 13,670 = 30,37% 120 = 26,67% 10,670 = 23,71% 160 = 35,5%
Nilai LS 8,296 6,416 5,235 6,679 4,964
Berdasarkan tabel 5.6 dapat diketahui bahwa nilai LS tertinggi terdapat pada unit lahan AN1 K IV yakni sebesar 8,296 dengan panjang lereng 20,67m dan kemiringan lereng 190 atau 42%, sedangkan unit lahan yang mempunyai nilai LS terendah adalah unit lahan AN2 K IV sebesar 4,964 dengan panjang lereng 13m dan kemiringan lereng 160 atau 35,5%.
4.) Pengelolaan Tanaman (C) Faktor pengelolaan tanaman (C) adalah nisbah besarnya erosi pada sebidang lahan dengan penutup tanah dan pengelolaan lahan tertentu terhadap
95
besarnya erosi. Pada dasarnya, vegetasi mampu mempengaruhi erosi karena adanya: (1) intersepsi air hujan karena adanya tajuk dan absorpsi energi air hujan, sehingga memperkecil erosivitasnya; (2) pengaruh terhadap limpasan permukaan; (3) peningkatan aktivitas biologi dalam tanah; dan (4) peningkatan kecepatan kehilangan air karena transpirasi (Rahim, 2000:34). Faktor penutup lahan atau pengelolaan tanaman daerah penelitian ditentukan berdasarkan observasi lapangan. Faktor pengelolaan tanaman (C) ditunjukkan sebagai angka perbandingan yang berhubungan dengan tanah yang hilang pada areal yang bervegetasi dengan areal yang sama jika areal tersebut kosong dan ditanami secara teratur. Tabel 5.7 Nilai C pada Unit Lahan di Sub DAS Junggo Tahun 2010 Unit Lahan Penggunaan Lahan Jenis Tanaman Nilai C AN1 K IV Ladang/tegalan Apel 0,700 IN1 K IV Ladang/tegalan Apel 0,700 AN1 K III Ladang/tegalan Apel 0,700 IN1 K III Ladang/tegalan Apel 0,700 AN2 K IV Ladang/tegalan Apel 0,700 Sumber: Sub BRLKT Cabang Malang dan Data Pusat Penelitian Tanah dalam Arsyad (1989)
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan pada ke lima unit lahan di Sub DAS Junggo pada saat diadakan penelitian yaitu bulan Januari-Mei 2011, lahan yang digunakan untuk ladang atau tegalan yang ditanami apel sebagai tanaman utama dan tanpa ada tanaman pelengkap. Kondisi kemiringan lereng yang curam pada daerah penelitian sangat mendukung terjadinya erosi dengan kondisi penutup lahan untuk ladang atau tegalan.
96
5.) Pengelolaan Lahan (P) Faktor pengelolaan lahan (P) adalah praktek pengendalian erosi secara mekanik yang menunjukkan nisbah tanah yang hilang dari suatu lahan yang dilengkapi penterasan dengan besarnya tanah yang hilang dan lahan yang tidak berteras. Nilai faktor pengelolaan lahan di Sub DAS Junggo dapat dilihat pada tabel 5.8 berikut. Tabel 5.8 Nilai P pada Unit Lahan di Sub DAS Junggo Tahun 2010 Unit Lahan Pengelolaan Lahan Nilai P AN1 K IV Teras Bangku Kualitas Rendah 0,350 IN1 K IV Teras Bangku Kualitas Rendah 0,350 AN1 K III Teras Bangku Kualitas Rendah 0,350 IN1 K III Teras Bangku Kualitas Rendah 0,350 AN2 K IV Teras Bangku Kualitas Rendah 0,350 Sumber: Sub BRLKT Cabang Malang dan Data Pusat Penelitian Tanah dalam Arsyad (1989)
Hasil observasi unit lahan di daerah penelitian menggunakan teras bangku kualitas rendah. Teras bangku kualitas rendah tersebut dapat dilihat bahwa dengan kemiringan lereng yang sangat curam tanaman penutup berupa mulsa maupun rerumputan sangat jaran dan juga bahkan tidak ada, sehingga tanah yang kandungan liat dan debunya tinggi tersebut sangat mudah untuk tererosi ketika limpasan permukaan terjadi. Faktor pengelolaan lahan (P) akan mempengaruhi besar kecilnya laju erosi.
6.) Laju Erosi (A) Laju erosi merupakan besarnya tanah yang terangkut yang diakibatkan oleh beberapa faktor erosi. Faktor-faktor erosi tersebut meliputi erosivitas, erodibilitas, panjang dan kemiringan lereng, pengelolaan tanaman, dan pengelolaan lahan. Nilai laju erosi pada unit lahan di Sub DAS Junggo dihitung berdasarkan banyaknya kejadian run off dari bulan Januari 2011 sampai dengan
88
98
Mei 2011. Perhitungan laju erosi pada empat kejadian hujan dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 5.9 Nilai Laju Erosi Sample pertama pada Unit Lahan di Sub DAS Junggo Unit Nilai Lahan R AN1 K IV 98,717 IN1 K IV 98,717 AN1 K III 98,717 IN1 K III 98,717 AN2 K IV 98,717 Total Erosi Pada Sample Pertama Sumber: Hasil perhitungan peneliti
Nilai K 0,403 0,522 0,401 0,522 0,403
Nilai LS 8,296 6,416 5,235 6,679 4,964
Nilai C 0,700 0,700 0,700 0,700 0,700
Nilai P 0,350 0,350 0,350 0,350 0,350
Nilai A (cm/th) 80,859 80,976 50,771 84,321 48,312 345,312
Tabel 5.10 Nilai Laju Erosi Sample kedua pada Unit Lahan di Sub DAS Junggo Unit Nilai Lahan R AN1 K IV 17,315 IN1 K IV 17,315 AN1 K III 17,315 IN1 K III 17,315 AN2 K IV 17,315 Total Erosi Pada Sample Kedua Sumber: Hasil perhitungan peneliti
Nilai K 0,403 0,522 0,401 0,522 0,403
Nilai LS 8,296 6,416 5,235 6,679 4,964
Nilai C 0,700 0,700 0,700 0,700 0,700
Nilai P 0,350 0,350 0,350 0,350 0,350
Nilai A (cm/th) 14,182 14,203 8,905 14,790 8,486 60,567
Tabel 5.11 Nilai Laju Erosi Sample ketiga pada Unit Lahan di Sub DAS Junggo Unit Nilai Lahan R AN1 K IV 31,8 IN1 K IV 31,8 AN1 K III 31,8 IN1 K III 31,8 AN2 K IV 31,8 Total Erosi Pada Sample Ketiga Sumber: Hasil perhitungan peneliti
Nilai K 0,403 0,522 0,401 0,522 0,403
Nilai LS 8,296 6,416 5,235 6,679 4,964
Nilai C 0,700 0,700 0,700 0,700 0,700
Nilai P 0,350 0,350 0,350 0,350 0,350
Nilai A (cm/th) 26,047 26,085 16,355 27,162 15,585 111,236
Tabel 5.12 Nilai Laju Erosi Sample keempat pada Unit Lahan di Sub DAS Junggo Unit Nilai Lahan R AN1 K IV 49,127 IN1 K IV 49,127 AN1 K III 49,127 IN1 K III 49,127 AN2 K IV 49,127 Total Erosi Pada Sample Keempat Sumber: Hasil perhitungan peneliti
Nilai K 0,403 0,522 0,401 0,522 0,403
Nilai LS 8,296 6,416 5,235 6,679 4,964
Nilai C 0,700 0,700 0,700 0,700 0,700
Nilai P 0,350 0,350 0,350 0,350 0,350
Nilai A (cm/th) 40,240 40,298 25,266 41,963 24,078 171,846
99
Secara keseluruhan, laju erosi paling tinggi terjadi pada hari pertama, hal tersebut diakibatkan oleh tebal dan intensitas hujan yang terjadi pada hari tersebut sangat tinggi, sedangkan laju erosi terendah terjadi pada pengambian sample ke dua dengan tebal hujan sangat rendah. Kesemua faktor yang berpengaruh dalam perhitungan RUSLE tersebut tetap dan hanya diukur maupun dihitung satu kali, terkecuali faktor erosivitas yang berdasar pada hujan yang terjadi pada hari tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan dari empat kejadian hujan dengan menggunakan Metode RUSLE, unit lahan IN1 K III merupakan unit lahan dengan tingkat laju erosi paling tinggi, sedangkan tingkat laju erosi terendah terjadi pada unit lahan AN2 K IV.
b. Perhitungan Nisbah Pelepasan Sedimen Pengukuran hasil sedimen yang berupa suspended load (sedimen terangkut) dilakukan pada bulan Januari 2011 sampai dengan Mei 2011. Pengambilan sedimen dilakukan pada tiap kejadian hujan yang terjadi run off. Data sedimen kemudian dianalisis dan dikalikan dengan debit air pada kejadian run off sehingga diperoleh data sedimen harian yang kemudian hasilnya diplotkan dalam sebuah hidrograf. Hasil sedimen (perhitungan dapat dilihat pada lampiran 8) dari empat kejadian run off dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 5.13 Hasil Sedimen Pada Tiap Kejadian Run off No. Tanggal Pengambilan Sample 1 8 Maret 2011 2 2 April 2011 3 4 April 2011 4 24 April 2011 Sumber: Perhitungan Peneliti
Intensitas Hujan (mm/jam) 28,26 21,9 7,20 18,28
Hasil Sedimen (kg) 94,5 2,34 4,5 18,45
100
Nilai A yang telah diketahui melalui perhitungan dengan model RUSLE serta hasil sedimen tahunan yang telah diperoleh dengan plotting pada hidrograf kemudian dikalkulasi ke dalam rumus untuk mendapatkan nilai Nisbah Pelepasan Sedimen. NPS dapat dihitung dengan cara membagi antara jumlah hasil sedimen (sedimen yield) dengan nilai A tersebut. Perhitungan Nilai NPS pada sample pertama: SDR = SDR =
Y A 94,5 345,312
SDR = 0,2736 Perhitungan Nilai NPS pada sample kedua: SDR = SDR =
Y A 2,34 60,567
SDR = 0,0386 Perhitungan Nilai NPS pada sample ketiga: SDR =
Y A
SDR =
4,5 111,236
SDR = 0,0404 Perhitungan Nilai NPS pada sample ke empat: SDR = SDR =
Y A 18,45 171,846
SDR = 0,10736
101
c. Hubungan Intensitas Hujan dengan Nisbah Pelepasan Sedimen Hasil perhitungan Nisbah Pelepasan Sedimen pada keempat sample di atas menunjukkan bahwa sample pertama dengan intensitas hujan 28,26 merupakan NPS tertinggi dengan nilai 0,2736, sedangkan sample kedua dengan intensitas hujan sebesar 21,9 merupakan NPS terendah dengan nilai 0,0386. Hubungan antara intensitas hujan dengan Nisbah Pelepasan Sedimen dapat dilihat pada grafik berikut. Grafik 5.2 Hubungan Intensitas Hujan dengan Nisbah Pelepasan Sedimen
N P S
Intensitas Hujan (mm/jam)
Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui bahwa nilai R menunjukkan 0,707, hal ini menunjukkan bahwa pengaruh intensitas hujan terhadap Nisbah Pelepasan Sedimen cukup signifikan.
102
3. Kesesuaian Nisbah Pelepasan Sedimen Model Suripin Berdasarkan Luas DAS di Sub DAS Junggo bagian Hilir Perhitungan Nisbah Pelepasan Sedimen sangat dipengaruhi oleh Luas Suatu DAS. Semakin Luas Daerah Sungai, maka nilai Nisbah Pelepasan Sedimen akan semakin kecil, namun semakin sempit Daerah Aliran Sungai maka nilai Nisbah Pelepasan Sedimen akan mendekati satu (Asdak, 2004). Nilai NPS mendekati satu artinya semua tanah yang tererosi masuk ke dalam sungai, hanya mungkin terjadi pada daerah aliran sungai kecil dan yang tidak mempunyai daerah-daerah datar atau yang memiliki lereng-lereng curam, banyak butir-butir tanah halus yang terangkut , kerapatan drainase yang tinggi, atau secara umum dikatakan tidak memiliki sifat yang cenderung menghambat pengendapan sedimen di dalam daerah aliran. Seperti diketahui bahwa perhitungan Nisbah Pelepasan Sedimen untuk Sub DAS makro dengan luas 7,359 hektar sudah tertera pada pembahasan sebelumnya, maka pada bab ini akan dibahas mengenai perhitungan besar NPS pada sub DAS mikro dengan luas 6,499 hektar dan 4,323 hektar. a. Perhitungan Laju Erosi Dengan Menggunakan Model RUSLE 1) Perhitungan Laju Erosi Dengan Model RUSLE dengan Luas DAS 6,499 Hektar Laju erosi merupakan besarnya tanah yang terangkut yang diakibatkan oleh beberapa faktor erosi. Faktor-faktor erosi tersebut meliputi erosivitas, erodibilitas, panjang dan kemiringan lereng, pengelolaan tanaman, dan pengelolaan lahan. Nilai laju erosi pada unit lahan dengan luas total DAS sebesar 6,499 hektar di Sub DAS Junggo dihitung berdasarkan banyaknya kejadian run off
103
dari bulan Januari 2011 sampai dengan Mei 2011. Perhitungan laju erosi pada empat kejadian hujan dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 5.14 Nilai Laju Erosi Sample pertama pada Unit Lahan di Sub DAS Junggo Unit Nilai Lahan R AN1 K IV 98,717 IN1 K IV 98,717 AN1 K III 98,717 IN1 K III 98,717 AN2 K IV 98,717 Total Erosi Pada Sample Pertama Sumber: Hasil perhitungan peneliti
Nilai K 0,403 0,522 0,401 0,522 0,403
Nilai LS 8,296 6,416 5,235 6,679 4,964
Nilai C 0,700 0,700 0,700 0,700 0,700
Nilai P 0,350 0,350 0,350 0,350 0,350
Nilai A (cm/th) 80,859 80,976 50,771 84,321 48,312 345,312
Tabel 5.15 Nilai Laju Erosi Sample kedua pada Unit Lahan di Sub DAS Junggo Unit Nilai Lahan R AN1 K IV 17,315 IN1 K IV 17,315 AN1 K III 17,315 IN1 K III 17,315 AN2 K IV 17,315 Total Erosi Pada Sample Kedua Sumber: Hasil perhitungan peneliti
Nilai K 0,403 0,522 0,401 0,522 0,403
Nilai LS 8,296 6,416 5,235 6,679 4,964
Nilai C 0,700 0,700 0,700 0,700 0,700
Nilai P 0,350 0,350 0,350 0,350 0,350
Nilai A (cm/th) 14,182 14,203 8,905 14,790 8,486 60,567
Tabel 5.16 Nilai Laju Erosi Sample ketiga pada Unit Lahan di Sub DAS Junggo Unit Nilai Lahan R AN1 K IV 31,8 IN1 K IV 31,8 AN1 K III 31,8 IN1 K III 31,8 AN2 K IV 31,8 Total Erosi Pada Sample Ketiga Sumber: Hasil perhitungan peneliti
Nilai K 0,403 0,522 0,401 0,522 0,403
Nilai LS 8,296 6,416 5,235 6,679 4,964
Nilai C 0,700 0,700 0,700 0,700 0,700
Nilai P 0,350 0,350 0,350 0,350 0,350
Nilai A (cm/th) 26,047 26,085 16,355 27,162 15,585 111,236
Tabel 5.17 Nilai Laju Erosi Sample keempat pada Unit Lahan di Sub DAS Junggo Unit Nilai Lahan R AN1 K IV 49,127 IN1 K IV 49,127 AN1 K III 49,127 IN1 K III 49,127 AN2 K IV 49,127 Total Erosi Pada Sample Keempat Sumber: Hasil perhitungan peneliti
Nilai K 0,403 0,522 0,401 0,522 0,403
Nilai LS 8,296 6,416 5,235 6,679 4,964
Nilai C 0,700 0,700 0,700 0,700 0,700
Nilai P 0,350 0,350 0,350 0,350 0,350
Nilai A (cm/th) 40,240 40,298 25,266 41,963 24,078 171,846
104
Peta Unit Lahan dengan Luas DAS 6,499 Hektar.
105
Pada dasarnya, besar laju erosi pada sub DAS ke dua ini sama dengan sub DAS pertama, hal tersebut dikarenakan luasan diantara ke dua sub DAS tersebut hampir sama, selain itu unti lahan pada ke dua sub DAS tersebut juga masih sama, begitu pula dengan kemiringan dan panjang lereng rata-rata yang juga masih sama. Secara keseluruhan, laju erosi paling tinggi terjadi pada hari pertama, hal tersebut diakibatkan oleh tebal dan intensitas hujan yang terjadi pada hari tersebut sangat tinggi, sedangkan laju erosi terendah terjadi pada pengambian sample ke dua dengan tebal hujan sangat rendah. Kesemua faktor yang berpengaruh dalam perhitungan RUSLE tersebut tetap dan hanya diukur maupun dihitung satu kali, terkecuali faktor erosivitas yang berdasar pada hujan yang terjadi pada hari tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan dari empat kejadian hujan dengan menggunakan Metode RUSLE, unit lahan IN1 K III merupakan unit lahan dengan tingkat laju erosi paling tinggi, sedangkan tingkat laju erosi terendah terjadi pada unit lahan AN2 K IV.
2) Perhitungan Laju Erosi Dengan Model RUSLE dengan Luas DAS 4,323 Hektar Laju erosi merupakan besarnya tanah yang terangkut yang diakibatkan oleh beberapa faktor erosi. Faktor-faktor erosi tersebut meliputi erosivitas, erodibilitas, panjang dan kemiringan lereng, pengelolaan tanaman, dan pengelolaan lahan. Nilai laju erosi pada unit lahan dengan luasan sebesar 4,323 hektar di Sub DAS Junggo dihitung berdasarkan banyaknya kejadian run off dari bulan Januari 2011 sampai dengan Mei 2011. Perhitungan laju erosi pada empat kejadian hujan dapat dilihat pada tabel berikut.
106
Tabel 5.18 Nilai Laju Erosi Sample pertama pada Unit Lahan di Sub DAS Junggo Unit Nilai Lahan R IN1 K IV 98,717 IN1 K III 98,717 AN2 K IV 98,717 Total Erosi Pada Sample Pertama Sumber: Hasil perhitungan peneliti
Nilai K 0,522 0,522 0,403
Nilai LS 5,296 6,679 4,964
Nilai C 0,700 0,700 0,700
Nilai P 0,350 0,350 0,350
Nilai A (cm/th) 66,520 84,321 48,312 199,225
Tabel 5.19 Nilai Laju Erosi Sample kedua pada Unit Lahan di Sub DAS Junggo Unit Nilai Lahan R IN1 K IV 17,315 IN1 K III 17,315 AN2 K IV 17,315 Total Erosi Pada Sample Kedua Sumber: Hasil perhitungan peneliti
Nilai K 0,522 0,522 0,403
Nilai LS 5,296 6,679 4,964
Nilai C 0,700 0,700 0,700
Nilai P 0,350 0,350 0,350
Nilai A (cm/th) 11,667 14,790 8,486 34,944
Tabel 5.20 Nilai Laju Erosi Sample ketiga pada Unit Lahan di Sub DAS Junggo Unit Nilai Lahan R IN1 K IV 31,8 IN1 K III 31,8 AN2 K IV 31,8 Total Erosi Pada Sample Ketiga Sumber: Hasil perhitungan peneliti
Nilai K 0,522 0,522 0,403
Nilai LS 5,296 6,679 4,964
Nilai C 0,700 0,700 0,700
Nilai P 0,350 0,350 0,350
Nilai A (cm/th) 21,428 27,162 15,585 64,177
Tabel 5.21 Nilai Laju Erosi Sample keempat pada Unit Lahan di Sub DAS Junggo Unit Nilai Lahan R IN1 K IV 49,127 IN1 K III 49,127 AN2 K IV 49,127 Total Erosi Pada Sample Keempat Sumber: Hasil perhitungan peneliti
Nilai K 0,522 0,522 0,403
Nilai LS 5,296 6,679 4,964
Nilai C 0,700 0,700 0,700
Nilai P 0,350 0,350 0,350
Nilai A (cm/th) 33,104 41,963 24,078 99,145
Sub DAS mikro ke tiga ini merupakan sub DAS terkecil pada lokasi penelitian ini. Sub DAS yang mempunyai luas 4,323 hektar ini hanya memiliki tiga buah unit lahan, yakni IN1 K IV, IN1 K III, dan AN2 K IV. Secara keseluruhan, laju erosi paling tinggi terjadi pada hari pertama, hal tersebut diakibatkan oleh tebal dan intensitas hujan yang terjadi pada hari tersebut sangat tinggi, sedangkan laju erosi terendah terjadi pada pengambian sample ke dua
107
dengan tebal hujan sangat rendah. Kesemua faktor yang berpengaruh dalam perhitungan RUSLE tersebut tetap dan hanya diukur maupun dihitung satu kali, terkecuali faktor erosivitas yang berdasar pada hujan yang terjadi pada hari tersebut.
b. Perhitungan Nisbah Pelepasan Sedimen 1.) Perhitungan Nisbah Pelepasan Sedimen Pada Luasan DAS 6,499 Hektar Pengukuran besar sedimen yang berupa suspended load (sedimen terangkut) dilakukan pada bulan Januari 2011 sampai dengan Mei 2011. Pengambilan sedimen dilakukan pada tiap kejadian hujan yang terjadi run off. Data sedimen kemudian dianalisis dan dikalikan dengan debit air pada kejadian run off sehingga diperoleh data sedimen harian yang kemudian hasilnya diplotkan dalam sebuah hidrograf. Hasil sedimen dari empat kejadian run off dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 5.22 Hasil Sedimen Pada Tiap Kejadian Run off No. Tanggal Pengambilan Sample 1 8 Maret 2011 2 2 April 2011 3 4 April 2011 4 24 April 2011 Sumber: Perhitungan Peneliti
Intensitas Hujan (mm/jam) 28,26 21,9 7,20 18,28
Hasil Sedimen (kg) 67,5 1,26 9,9 26.1
Nilai A yang telah diketahui melalui perhitungan dengan model RUSLE serta hasil sedimen tahunan yang telah diperoleh dengan plotting pada hidrograf kemudian dikalkulasi ke dalam rumus untuk mendapatkan nilai Nisbah Pelepasan Sedimen. NPS dapat dihitung dengan cara membagi antara jumlah hasil sedimen (sedimen yield) dengan nilai A tersebut.
108
Peta Unit Lahan dengan Luas DAS 4,323 Hektar.
109
Perhitungan Nilai NPS pada sample pertama: SDR = SDR =
Y A 67,5 345,312
SDR = 0,195 Perhitungan Nilai NPS pada sample kedua: SDR = SDR =
Y A 1,26 60,567
SDR = 0,020 Perhitungan Nilai NPS pada sample ketiga: SDR =
Y A
SDR =
9,9 111,236
SDR = 0,0889 Perhitungan Nilai NPS pada sample ke empat: SDR = SDR =
Y A 26,1 171,846
SDR = 0,1518
Nilai Nisbah pelepasan sedimen pada empat kejadian hujan tersebut di atas tergolong sangat kecil, hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah sedimen yang terangkut sampai outlet Daerah Aliran Sungai tersebut sangat kecil. Hal tersebut dapat dikarenakan oleh beberapa faktor, diantaranya seperti terjadinya deposisi sedimen pada sebuah tebit, sedimen tertahan oleh vegetasi, maupun sistem transport DAS yang masih cukup bagus sehingga sedimen masih bisa tertahan pada sebuah DAS.
110
2.) Perhitungan Nisbah Pelepasan Sedimen Pada Luasan DAS 4,323 Hektar Pengukuran besar sedimen yang berupa suspended load (sedimen terangkut) dilakukan pada bulan Januari 2011 sampai dengan Mei 2011. Pengambilan sedimen dilakukan pada tiap kejadian hujan yang terjadi run off. Data sedimen kemudian dianalisis dan dikalikan dengan debit air pada kejadian run off sehingga diperoleh data sedimen harian yang kemudian hasilnya diplotkan dalam sebuah hidrograf. Hasil sedimen dari empat kejadian run off dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 5.23 Hasil Sedimen Pada Tiap Kejadian Run off No. Tanggal Pengambilan Sample 1 8 Maret 2011 2 2 April 2011 3 4 April 2011 4 24 April 2011 Sumber: Perhitungan Peneliti
Intensitas Hujan (mm/jam) 28,26 21,9 7,20 18,28
Hasil Sedimen (kg) 49,5 3,6 8,32 22,05
Nilai A yang telah diketahui melalui perhitungan dengan model RUSLE serta hasil sedimen tahunan yang telah diperoleh dengan plotting pada hidrograf kemudian dikalkulasi ke dalam rumus untuk mendapatkan nilai Nisbah Pelepasan Sedimen. NPS dapat dihitung dengan cara membagi antara jumlah hasil sedimen (sedimen yield) dengan nilai A tersebut. Perhitungan Nilai NPS pada sample pertama: SDR = SDR =
Y A 49,5 199,225
SDR = 0,248 Perhitungan Nilai NPS pada sample kedua: SDR =
Y A
SDR =
3,6 34,944
SDR = 0,103
111
Perhitungan Nilai NPS pada sample ketiga: SDR = SDR =
Y A 8,32 64,177
SDR = 0,1296 Perhitungan Nilai NPS pada sample ke empat: SDR = SDR =
Y A 22,05 99,145
SDR = 0,2224 Besar nilai Nisbah Pelepasan sedimen pada sub DAS mikro dengan luasan 4,323 hektar ini relative lebih tinggi dibanding dengan sub DAS pertama dan ke dua di atas. Hal tersebut sangat sesuai dengan teori Asdak, bahwa semakin sempit luas Daerah Aliran Sungai akan semakin tinggi nilai Nisbah Pelepasan Sedimen. Besarnya nilai Nisbah Pelepasan Sedimen ini dikarenakan, sedimen yang terangkut pada sud DAS Mikro ini tidak menempuh waktu dan jarak yang lama untuk mencapai outletnya, sehingga sekitar dua puluh persen sedimen keluar dari Sub DAS ini. Perhitungan empat sample kejadian hujan yang menyebabkan run off dapat diketahui bahwa sample pertama dengan curah hujan sebesar 49,46 mm memiliki nilai Nisbah Pelepasan Sedimen paling tinggi, sedangkan sample ke dua dengan curah hujan sebesar 18,18 mm memiliki nilai Nisbah Pelepasan Sedimen paling rendah dengan nilai NPS yang hanya 0,103.
c. Perhitungan Nisbah Pelepasan Sedimen Model Suripin Nisbah Pelepasan Sedimen Model Suripin merupakan persamaan untuk menghitung NPS yang dibuat oleh Suripin dengan mengambil lokasi penelitian di
112
Upper Solo. Berikut ini merupakan aplikasi perhitungan NPS Model Suripin di Sub DAS Junggo Bagian Hilir:
Log SDR = 2,31 + 3,07 Log Rb + 0,41 Log S – 1,26 Log (FL+FW) Log SDR = 2,31 + 3,07 Log(2) + 0,41 Log(31,65) – 1,26 Log(100) Log SDR = 2,31 + 3,07 (0,301) + 0,41(1,5) – 1,26 (2) Log SDR = 2,31 + 0,924 + 0,615 – 2,52 Log SDR = 1,329 SDR
= 0,1235
Perhitungan di atas menunjukkan bahwa Nilai Nisbah Pelepasan Sedimen di Sub DAS Junggo bagian hilir adalah 0,1235. Faktor-faktor yang diperhitungkan dalam Model Suripin ini diantaranya adalah bifurcation ratio (rasio percabangan sungai), slope (kemiringan lereng rata-rata), serta prosentase hutan dan sawah.
d. Kesesuaian Nisbah Pelepasan Sedimen Model Suripin Berdasarkan Luas DAS di Sub DAS Junggo bagian Hilir Kesesuaian Nisbah Pelepasan Sedimen Model Suripin Berdasarkan Luas DAS di Sub DAS Junggo bagian hilir dapat diketahui dengan cara plotting NPS Model Suripin ke dalam grafik korelasi Luas DAS dengan Nisbah Pelepasan Sedimen. Jadi, setiap sample dari kejadian hujan tersebut kita masukkan ke dalam sebuah grafik, yang nanti akan menghasilkan empat buah grafik yang kemudian akan ditentukan tingkat signifikasi grafik tersebut serta dimasukkan nilai NPS Model Suripin untuk mengetahui pada luas, curah hujan, serta intensitas hujan
113
seberapa NPS Model Suripin ini dapat diterapkan di Sub DAS Junggo Bagian hilir. 1.) Hubungan Luas DAS dengan NPS Riil Pada Sample Pertama Sample pertama dengan curah hujan sebesar 49,46 mm serta intensitas hujan sebesar 28,26 mm/jam diperoleh tiga Nilai NPS, yakni pada luasan 7,359 hektar nilai NPS 0,2736, luasan 6,499 hektar dengan nilai NPS 0,195, dan luasan 4,323 hektar dengan NPS 0,248. Grafik korelasi antara kedua variabel tersebut dapat dilihat pada grafik berikut: Grafik 5.3 Hubungan Nisbah Pelepasan Sedimen dengan Luas DAS
NPS Suripin
Berdasarkan grafik 5.3 di atas dapat diketahui bahwa nilai R Square yang hanya 0,006 menunjukkan bahwa hubungan antara NPS riil dengan Luas DAS tidak signifikan sama sekali. Nilai NPS Model Suripin juga tidak cocok diterapkan pada nilai NPS pada sample pertama dengan curah hujan 49,46 mm serta intensitas hujan sebesar 28,26 mm/jam ini. Jadi dapat disimpulkan bahwa NPS Model Suripin tidak dapat diterapkan di Sub DAS Junggo dengan intensitas hujan 28,26 mm/jam dan curah hujan 49,46 mm.
114
2.) Hubungan Luas DAS dengan NPS Riil Pada Sample Kedua Sample kedua dengan curah hujan sebesar 18,18 mm serta intensitas hujan sebesar 21,9 mm/jam diperoleh tiga Nilai NPS, yakni pada luasan 7,359 hektar nilai NPS 0,0386, luasan 6,499 hektar dengan nilai NPS 0,02, dan luasan 4,323 hektar dengan NPS 0,0103. Grafik korelasi antara kedua variabel tersebut dapat dilihat pada grafik berikut: Grafik 5.4 Hubungan Nisbah Pelepasan Sedimen dengan Luas DAS
NPS Suripin R = O,88
Berdasarkan grafik 5.4 di atas dapat diketahui bahwa nilai R adalah 0,88 menunjukkan bahwa hubungan antara NPS riil dengan Luas DAS sangat signifikan. Jadi, Nilai NPS Model Suripin dengan curah hujan 18,18 mm serta intensitas hujan sebesar 21,9 mm/jam ini cocok diterapkan pada Sub DAS Junggo bagian hilir dengan luas 3,35 hektar.
115
3.) Hubungan Luas DAS dengan NPS Riil Pada Sample Ketiga Sample ketiga dengan curah hujan sebesar 25,79 mm serta intensitas hujan sebesar 7,20 mm/jam diperoleh tiga Nilai NPS, yakni pada luasan 7,359 hektar nilai NPS 0,0404, luasan 6,499 hektar dengan nilai NPS 0,0889, dan luasan 4,323 hektar dengan NPS 0,1296. Grafik korelasi antara kedua variabel tersebut dapat dilihat pada grafik berikut: Grafik 5.5 Hubungan Nisbah Pelepasan Sedimen dengan Luas DAS
NPS Suripin
Berdasarkan grafik 5.5 di atas dapat diketahui bahwa nilai R adalah 0,956 menunjukkan bahwa hubungan antara NPS riil dengan Luas DAS sangat signifikan. NPS Model Suripin dengan curah hujan 25,79 mm serta intensitas hujan sebesar 7,20 mm/jam di sub DAS Junggo bagian hilir cocok diterapkan pada luas DAS 4,78 hektar.
116
4.) Hubungan Luas DAS dengan NPS Riil Pada Sample Keempat Sample keempat dengan curah hujan sebesar 33,11 mm serta intensitas hujan sebesar 18,28 mm/jam diperoleh tiga Nilai NPS, yakni pada luasan 7,359 hektar nilai NPS 0,10736, luasan 6,499 hektar dengan nilai NPS 0,1518, dan luasan 4,323 hektar dengan NPS 0,2224. Grafik korelasi antara kedua variabel tersebut dapat dilihat pada grafik berikut: Grafik 5.6 Hubungan Nisbah Pelepasan Sedimen dengan Luas DAS
NPS Suripin
Berdasarkan grafik 5.6 di atas dapat diketahui bahwa nilai R adalah 0,99 menunjukkan bahwa hubungan antara NPS riil dengan Luas DAS sangat signifikan. Luas DAS dan NPS dengan tingkat signifikansi paling tinggi ini sangat cocok untuk aplikasi NPS Model Suripin. NPS Model Suripin dengan curah hujan 33,11 mm serta intensitas hujan sebesar 18,28 mm/jam di sub DAS Junggo bagian hilir cocok diterapkan pada luas DAS 7,18 hektar.
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan analisis regresi antara intensitas hujan dengan volume run off dapat dilihat bahwa intensitas hujan minimum yang dapat menyebabkan terjadinya run off di sub DAS Junggo bagian hilir adalah 3,75 mm/jam. 2. Hasil analisis hubungan intensitas hujan dengan Nisbah Pelepasan Sedimen di Sub DAS Junggo bagian hilir menunjukkan hasil yang sangat signifikan, diketahui berdasarkan analisis R yang menunjukkan nilai 0,707. 3. Empat sample Nisbah Pelepasan Sedimen yang diregresikan dengan luas DAS dapat diketahui bahwa (1) intensitas hujan sebesar 28,26 mm/jam dan curah hujan 49,46 mm tidak cocok untuk NPS Model Suripin, (2) intensitas hujan sebesar 21,9 mm/jam dan curah hujan sebesar 18,18 mm cocok untuk NPS Model Suripin pada luas DAS 3,35 hektar, (3) intensitas hujan sebesar 7,20 dan curah hujan sebesar 25,79 mm cocok untuk NPS Model Suripin pada luas DAS 4,78 hektar, (4) intensitas hujan sebesar 18,28 mm/jam dan curah hujan sebesar 33,11 mm cocok untuk NPS Model Suripin pada luas DAS 7,18 hektar.
117
118
B. Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan di atas, maka peneliti memberi saran dan masukan kepada semua pihak yang terkait antara lain: 1. Hasil perhitungan intensitas hujan minimum yang menyebabkan run off sebesar 3,75 mm/jam menunjukkan bahwa tingkat infiltrasi di Sub DAS Junggo tidak terlalu tinggi, sehingga peneliti menyerankan agar lahan ditutup dengan tanaman penutup yang lebih banyak. 2. Penulis menyerankan agar petani tidak mengolah lahan yang terletak pada kelas lereng III dan IV karena lahan tersebut seharusnya dijadikan sebagai kawasan resapan. 3. Hasil sedimen Sub DAS Junggo 94,5 kg dengan intensitas hujan 28,26 mm/jam menunjukkan bahwa tingkat erosi dan sedimentasi pada Sub DAS Junggo sangat tinggi, sehingga peneliti menyarankan agar di sekitar maupun di selasela tanaman produksi agar ditanami rumput atau tanaman penutup lain sehingga debu, liat, pasir, maupun bahan organic tidak mudah terbawa oleh run off.
DAFTAR RUJUKAN Amstrong, C.L. dkk. 1982. Soil Erosion By Water In The Tropics. Research Extension Series 024. Arikunto, Suharsini. 1998. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, PT. Rineka Cipta, Jakarta. Arsyad, Sitanala. 1989. Konservasi Tanah Dan Air. Bogor. IPB Press. Asdak C., 2007. Hidrologi dan Pengendalian Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Bennet. 1955. Elements Of Soil Conservation. Tokyo. McGraw-Hill Book Company, Inc. Hardjowigeno, Sarwono. 1993. Klasifikasi Tanah Dan Pedogenesis. Jakarta. Akademika Pressindo. Henderson, Kinsey. Deriving A Spatially-Explicit Hillslope Sediment Delivery Ratio Model Based On The Travel Time Of Water Across A Hillslope. CSIRO Land and Water Davies Laboratory, Townsville, Qld 4814, Australia Juarti. 2004. Konservasi Lahan Dan Air. Malang: Universitas Negeri malang. Jinze, Mou. Sediment Delivery Ratio As Used In The Computation Of Wathershed Sediment Yield. Beijing. Institute Of Hidraulic Reseach China. Kartasapoetra, A.G. 1989. Kerusakan Tanah Pertanian Dan Usaha Untuk Merehabilitasinya. Jakarta. Bina Aksara. Klik, Andreas. dkk. 2006. Estimating Spatial Sediment Delivery Ratio on a Large Rural Catchment. Journal of Spatial Hydrology Vol.6, No.1 Spring 2006 Ouyang, Da. 2005. Assessing Sediment Loading from Agricultural Croplands in the Great Lakes Basin. Institute of Water Research, Michigan State University, East Lansing, MI 48824, USA Rahim, Supli Effendi. 2000. Pengendalian Erosi Tanah. Jakarta. Bumi Aksara. Sucipto. 2008. Kajian Sedimentasi Di Sungai Kaligarang Dalam Upaya Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kaligarang-Semarang. Masters Thesis, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Suripin. 2001. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air, Penerbit ANDI, Yogyakarta.
119
120
Utaya, Sugeng. 2001. Petunjuk Praktikum Hidrologi Terapan. Malang: Universitas Negeri malang. Utomo, Wani Hadi. 1994. Erosi Dan Konservasi Tanah. Malang. Penerbit IKIP Malang.
121
Lampiran 1 Pengharkatan Nilai Bahan Organik, Struktur dan Permeabilitas Unit Lahan
Pasir sangat Debu Halus (%) (%) AN1 K IV 5 48 IN1 K IV 11 57 AN1 K III 11 37 IN1 K III 11 57 AN2 K IV 5 48 Sumber: Analisa Laboratorium Tanah
100-%liat
M
96 96 92 96 96
5088 6528 4416 6528 5088
Harkat struktur 4 4 2 4 4
Harkat Permeabilitas 2 2 3 2 2
Perhitungan nilai erodibilitas pada unit lahan di Sub DAS Junggo tahun 2011. Unit Lahan AN1 K IV: K =
2,71 M1,14 (10-4)(12-a)+3,25(b-2)+2,5(c-3) 100
K=
2,71 50881,14 (10-4)(12-1,66)+3,25(4-2)+2,5(2-3)
K=
40,3 100
100
K = 0,403 Unit Lahan IN1 K IV:
K=
2,71 M1,14 (10-4)(12-a)+3,25(b-2)+2,5(c-3) 100
K=
2,71 65281,14 (10-4)(12-4,04)+3,25(4-2)+2,5(2-3)
K=
52,2 100
100
K = 0,522 Unit Lahan AN1 K III: K =
2,71 M1,14 (10-4)(12-a)+3,25(b-2)+2,5(c-3) 100
K=
2,71 44161,14 (10-4)(12-1,66)+3,25(2-2)+2,5(3-3)
K=
40,1 100
100
K = 0,401
122
Unit Lahan IN1 K III:
K=
2,71 M1,14 (10-4)(12-a)+3,25(b-2)+2,5(c-3) 100
K=
2,71 65281,14 (10-4)(12-4,04)+3,25(4-2)+2,5(2-3)
K=
52,2 100
100
K = 0,522 Unit Lahan AN2 K IV: K =
2,71 M1,14 (10-4)(12-a)+3,25(b-2)+2,5(c-3) 100 1,14
K=
2,71 5088
K=
40,3 100
-4
(10 )(12-1,66)+3,25(4-2)+2,5(2-3) 100
K = 0,403
123
Lampiran 2 Pengukuran Panjang dan Kemiringan Lereng Unit Lahan di Sub DAS Junggo Desa Tulungrejo Kota Batu
Titik 1. a. Panjang lereng 18m ; Kemiringan 200 ; Koordinat 7047’21,9’’LS – 112032’17,7’’ b. Panjang lereng 21m ; Kemiringan 180 ; Koordinat 7047’22,2’’LS – 112032’17,2’’ c. Panjang lereng 23m ; Kemiringan 190 ; Koordinat 7047’22,5’’LS – 112032’16,9’’
Titik 2. a. Panjang lereng 31m ; Kemiringan 110 ; Koordinat 7047’16,8’’LS – 112032’21,2’’ b. Panjang lereng 28m ; Kemiringan 170 ; Koordinat 7047’17’’LS – 112032’21,9’’ c. Panjang lereng 27m ; Kemiringan 130 ; Koordinat 7047’17,2’’LS – 112032’22,3’’
Titik 3. a. Panjang lereng 28m ; Kemiringan 140 ; Koordinat 7047’21,6’’LS – 112032’16,6’’ b. Panjang lereng 24m ; Kemiringan 90 ;
124
Koordinat 7047’22,1’’LS – 112032’16,7’’ c. Panjang lereng 31m ; Kemiringan 130 ; Koordinat 7047’22,5’’LS – 112032’16,9’’
Titik 4. a. Panjang lereng 54m ; Kemiringan 110 ; Koordinat 7047’18’’LS – 112032’22,2’’ b. Panjang lereng 62m ; Kemiringan 90 ; Koordinat 7047’18,3’’LS – 112032’22’’ c. Panjang lereng 48m ; Kemiringan 120 ; Koordinat 7047’18,4’’LS – 112032’22,6’’
Titik 5. a. Panjang lereng 13m ; Kemiringan 170 ; Koordinat 7047’16’’LS – 112032’32,1’’ b. Panjang lereng 15m ; Kemiringan 130 ; Koordinat 7047’15,9’’LS – 112032’32,2’’ c. Panjang lereng 11m ; Kemiringan 180 ; Koordinat 7047’16,1’’LS – 112032’32’’
125
Lampiran 3 Perhitungan nilai panjang dan kemiringan lereng pada unit lahan di Sub DAS Junggo Desa Tulungrejo tahun 2011 Unit Lahan AN1 K IV: LS = LS =
L 22,1
0,6
20, 6 22,1
S 9
X 0,6
1,4
19 9
1,4
X
S 9
1,4
X
13,6 9
1,4
X
S 9
1,4
X
12 9
1,4
X
S 9
1,4
X
10,6 9
1,4
LS = 8,296
Unit Lahan IN1 K IV:
LS =
L 22,1
0,6
LS =
28, 6 22,1
0,6
LS = 6,416
Unit Lahan AN1 K III:
LS =
L 22,1
0,6
LS =
27, 6 22,1
0,6
LS = 5,235
Unit Lahan IN1 K III:
0,6
LS =
L 22,1
LS =
54,67 0,6 X 22,1
LS = 6,679
126
Unit Lahan IN1 K IV:
LS =
L 22,1
0,6
LS =
13 22,1
0,6
LS = 4,964
S 9
1,4
X
16 9
1,4
X
127
Lampiran 4 Perhitungan laju erosi Dengan persamaan RUSLE unit lahan di Sub DAS Junggo Desa Tulungrejo Kota Batu Unit Lahan AN1 K IV: A = R x K x L x S x C x P = 1188,39 x 0,403 x 8,296 x 0,700 x 0,400 = 1112.47 Unit Lahan IN1 K IV: A = R x K x L x S x C x P = 1188,39 x 0,522 x 6,416 x 0,700 x 0,400 = 1114.43 Unit Lahan AN1 K III : A = R x K x L x S x C x P = 1188,39 x 0,401 x 5,235 x 0,700 x 0,400 = 698.51 Unit Lahan IN1 K III : A = R x K x L x S x C x P = 1188,39 x 0,522 x 6,679 x 0,700 x 0,400 = 1160.11 Unit Lahan AN2 K IV: A = R x K x L x S x C x P = 1188,39 x 0,403 x 4,964 x 0,700 x 0,400 = 665.66
128 Lampiran 5 Perhitungan Debit Air Pada Sub DAS Junggo Bagian Hilir
1. Pengambilan Sample Tanggal 8 Maret 2011 1.) Pengambilan Sample Pertama 7,5 11 cm
11 7,5cmcm
5,5 9,5 cm
16 cm
5,5 cm 9,5
12 7 cm cm
16 cm
A. Nilai Penampang Sungai (A) A = (p x l) + (2 x ½ x a x t) = (16 x 7) + (2 x ½ x 5,5 x 7) = 112 + 38,5 = 150,5 cm2 = 0,015 m2 B. Kecepatan Aliran (V) Kecepatan aliran yang diukur dengan menggunakan current meter pada pengambilan sample pertama ini adalah sebesar 0,3 m/dtk C. Debit (Q) Q=AxV = 0,015 m2 x 0,3 m/dtk = 0,0045 m3/dtk = 4,5 liter/dtk
129
2.) Pengambilan Sample Kedua 11 cm
11 cm
9,5 cm
16 cm
9,5 cm
12 cm
16 cm
A. Nilai Penampang Sungai (A) A = (p x l) + (2 x ½ x a x t) = (16 x 12) + (2 x ½ x 9,5 x 12) = 192 + 114 = 306 cm2 = 0,0306 m2 B. Kecepatan Aliran (V) Kecepatan aliran yang diukur dengan menggunakan current meter pada pengambilan sample kedua ini adalah sebesar 1 m/dtk C. Debit (Q) Q=AxV = 0,0306 m2 x 1 m/dtk = 0,0306 m3/dtk = 30,6 liter/dtk
130
3.) Pengambilan Sample Ketiga 11 cm
11 cm
9,5cm cm 10
16 cm
9,5 cm 10 cm
1213cm cm
16 cm
A. Nilai Penampang Sungai (A) A = (p x l) + (2 x ½ x a x t) = (16 x 13) + (2 x ½ x 10 x 13) = 208 + 130 = 338 cm2 = 0,0338 m2 B. Kecepatan Aliran (V) Kecepatan aliran yang diukur dengan menggunakan current meter pada pengambilan sample ketiga ini adalah sebesar 1,25 m/dtk C. Debit (Q) Q=AxV = 0,0338 m2 x 1,25 m/dtk = 0,04225 m3/dtk = 42,25 liter/dtk
131
4.) Pengambilan Sample Keempat 7,5 11 cm
11 7,5cm cm
5,5 9,5 cm
16 cm
5,5 cm 9,5
12 7 cm cm
16 cm
A. Nilai Penampang Sungai (A) A = (p x l) + (2 x ½ x a x t) = (16 x 7) + (2 x ½ x 5,5 x 7) = 112 + 38,5 = 150,5 cm2 = 0,015 m2 B. Kecepatan Aliran (V) Kecepatan aliran yang diukur dengan menggunakan current meter pada pengambilan sample keempat ini adalah sebesar 0,45 m/dtk C. Debit (Q) Q=AxV = 0,015 m2x 0,45 m/dtk = 0,00675 m3/dtk = 6,75 liter/dtk
132
5.) Pengambilan Sample Kelima 7,5 11 cm
11 7,5cm cm
4,5 9,5 cm
16 cm
4,5 cm 9,5
12 6 cm cm
16 cm
A. Nilai Penampang Sungai (A) A = (p x l) + (2 x ½ x a x t) = (16 x 6) + (2 x ½ x 4,5 x 6) = 96 + 27 = 123 cm2 = 0,0123 m2 B. Kecepatan Aliran (V) Kecepatan aliran yang diukur dengan menggunakan current meter pada pengambilan sample kelima ini adalah sebesar 0,4 m/dtk C. Debit (Q) Q=AxV = 0,0123 m2x 0,40 m/dtk = 0,00492 m3/dtk = 4,92 liter/dtk
133
2. Pengambilan Sample Tanggal 2 April 2011 1.) Pengambilan Sample Pertama 4,5 cm
1,2 cm
16 cm
4,5 cm
1,2 cm
2 cm
16 cm
A. Nilai Penampang Sungai (A) A = (p x l) + (2 x ½ x a x t) = (16 x 2) + (2 x ½ x 2 x 1,2) = 32 + 2,4 = 34,4 cm2 = 0,0034 m2 B. Kecepatan Aliran (V) Kecepatan aliran yang diukur dengan menggunakan current meter pada pengambilan sample pertama ini adalah sebesar 0,1 m/dtk C. Debit (Q) Q=AxV = 0,0034 m2 x 0,1 m/dtk = 0,00034 m3/dtk = 0,34 liter/dtk
134
2.) Pengambilan Sample Kedua 4,5 cm
1,2 cm
16 cm
4,5 cm
1,2 cm
2 cm
16 cm
A. Nilai Penampang Sungai (A) A = (p x l) + (2 x ½ x a x t) = (16 x 2) + (2 x ½ x 2 x 1,2) = 32 + 2,4 = 34,4 cm2 = 0,0034 m2 B. Kecepatan Aliran (V) Kecepatan aliran yang diukur dengan menggunakan current meter pada pengambilan sample kedua ini adalah sebesar 0,1 m/dtk C. Debit (Q) Q=AxV = 0,0034 m2 x 0,1 m/dtk = 0,00034 m3/dtk = 0,34 liter/dtk
135
3.) Pengambilan Sample Ketiga 4,5 cm
1,9 cm
16 cm
4,5 cm
1,9 cm
3 cm
16 cm
A. Nilai Penampang Sungai (A) A = (p x l) + (2 x ½ x a x t) = (16 x 3) + (2 x ½ x 3 x 1,9) = 48 + 5,7 = 53,7 cm2 = 0,0053 m2 B. Kecepatan Aliran (V) Kecepatan aliran yang diukur dengan menggunakan current meter pada pengambilan sample ketiga ini adalah sebesar 0,3 m/dtk C. Debit (Q) Q=AxV = 0,0053 m2 x 0,3 m/dtk = 0,00159 m3/dtk = 1,59 liter/dtk
136
4.) Pengambilan Sample Keempat 4,5 cm
16 cm
4,5 cm
5 cm
16 cm
A. Nilai Penampang Sungai (A) A = (p x l) + (2 x ½ x a x t) = (16 x 5) + (2 x ½ x 4,5 x 5) = 80 + 22,5 = 102,5 cm2 = 0,01025 m2 B. Kecepatan Aliran (V) Kecepatan aliran yang diukur dengan menggunakan current meter pada pengambilan sample keempat ini adalah sebesar 0,3 m/dtk C. Debit (Q) Q=AxV = 0,01025 m2x 0,3 m/dtk = 0,00375 m3/dtk = 3,75 liter/dtk
137
5.) Pengambilan Sample Kelima 4,5 cm
1,2 cm
16 cm
4,5 cm
1,2 cm
2 cm
16 cm
A. Nilai Penampang Sungai (A) A = (p x l) + (2 x ½ x a x t) = (16 x 2) + (2 x ½ x 2 x 1,2) = 32 + 2,4 = 34,4 cm2 = 0,0034 m2 B. Kecepatan Aliran (V) Kecepatan aliran yang diukur dengan menggunakan current meter pada pengambilan sample kelima ini adalah sebesar 0,2 m/dtk C. Debit (Q) Q=AxV = 0,0034 m2 x 0,2 m/dtk = 0,00068 m3/dtk = 0,68 liter/dtk
138
3. Pengambilan Sample Tanggal 4 April 2011 1.) Pengambilan Sample Pertama 4,5 cm
1,2 cm
16 cm
4,5 cm
1,2 cm
2 cm
16 cm
A. Nilai Penampang Sungai (A) A = (p x l) + (2 x ½ x a x t) = (16 x 2) + (2 x ½ x 2 x 1,2) = 32 + 2,4 = 34,4 cm2 = 0,0034 m2 B. Kecepatan Aliran (V) Kecepatan aliran yang diukur dengan menggunakan current meter pada pengambilan sample pertama ini adalah sebesar 0,2 m/dtk C. Debit (Q) Q=AxV = 0,0034 m2 x 0,2 m/dtk = 0,00068 m3/dtk = 0,68 liter/dtk
139
2.) Pengambilan Sample Kedua 4,5 11 cm cm
11 4,5cmcm
3,3 9,5 cm
16 cm
3,3 cm 9,5
12 4 cm cm
16 cm
A. Nilai Penampang Sungai (A) A = (p x l) + (2 x ½ x a x t) = (16 x 4) + (2 x ½ x 4 x 3,3) = 64 + 13,2 = 77,2 cm2 = 0,0077 m2 B. Kecepatan Aliran (V) Kecepatan aliran yang diukur dengan menggunakan current meter pada pengambilan sample kedua ini adalah sebesar 0,2 m/dtk C. Debit (Q) Q=AxV = 0,0077 m2 x 0,2 m/dtk = 0,00154 m3/dtk = 1,54 liter/dtk
140
3.) Pengambilan Sample Ketiga 7,5 11 cm
11 7,5 cm cm
5,5 9,5 cm
16 cm
5,5 cm 9,5
12 7 cm cm
16 cm
A. Nilai Penampang Sungai (A) A = (p x l) + (2 x ½ x a x t) = (16 x 7) + (2 x ½ x 5,5 x 7) = 112 + 38,5 = 150,5 cm2 = 0,015 m2 B. Kecepatan Aliran (V) Kecepatan aliran yang diukur dengan menggunakan current meter pada pengambilan sample ketiga ini adalah sebesar 0,4 m/dtk C. Debit (Q) Q=AxV = 0,015 m2 x 0,4 m/dtk = 0,006 m3/dtk = 6 liter/dtk
141
4.) Pengambilan Sample Keempat 4,5 cm
16 cm
4,5 cm
5 cm
16 cm
A. Nilai Penampang Sungai (A) A = (p x l) + (2 x ½ x a x t) = (16 x 5) + (2 x ½ x 4,5 x 5) = 80 + 22,5 = 102,5 cm2 = 0,01025 m2 B. Kecepatan Aliran (V) Kecepatan aliran yang diukur dengan menggunakan current meter pada pengambilan sample keempat ini adalah sebesar 0,3 m/dtk C. Debit (Q) Q=AxV = 0,01025 m2x 0,3 m/dtk = 0,00375 m3/dtk = 3,75 liter/dtk
142
5.) Pengambilan Sample Kelima 4,5 cm
1,2 cm
16 cm
4,5 cm
1,2 cm
2 cm
16 cm
A. Nilai Penampang Sungai (A) A = (p x l) + (2 x ½ x a x t) = (16 x 2) + (2 x ½ x 2 x 1,2) = 32 + 2,4 = 34,4 cm2 = 0,0034 m2 B. Kecepatan Aliran (V) Kecepatan aliran yang diukur dengan menggunakan current meter pada pengambilan sample kelima ini adalah sebesar 0,2 m/dtk C. Debit (Q) Q=AxV = 0,0034 m2 x 0,2 m/dtk = 0,00068 m3/dtk = 0,68 liter/dtk
143
4. Pengambilan Sample Tanggal 24 April 2011 1.) Pengambilan Sample Pertama 4,5 cm
16 cm
4,5 cm
5 cm
16 cm
A. Nilai Penampang Sungai (A) A = (p x l) + (2 x ½ x a x t) = (16 x 5) + (2 x ½ x 4,5 x 5) = 80 + 22,5 = 102,5 cm2 = 0,01025 m2 B. Kecepatan Aliran (V) Kecepatan aliran yang diukur dengan menggunakan current meter pada pengambilan sample pertama ini adalah sebesar 0,3 m/dtk C. Debit (Q) Q=AxV = 0,01025 m2x 0,3 m/dtk = 0,00375 m3/dtk = 3,75 liter/dtk
144
2.) Pengambilan Sample Kedua 11 cm
11 cm
8,7 cm
16 cm
8,7 cm
11 cm
16 cm
A. Nilai Penampang Sungai (A) A = (p x l) + (2 x ½ x a x t) = (16 x 11) + (2 x ½ x 8,7 x 11) = 176 + 95,7 = 271,7 cm2 = 0,0271 m2 B. Kecepatan Aliran (V) Kecepatan aliran yang diukur dengan menggunakan current meter pada pengambilan sample kedua ini adalah sebesar 1,1 m/dtk C. Debit (Q) Q=AxV = 0,0271 m2 x 1,1 m/dtk = 0,02981 m3/dtk = 29,8 liter/dtk
145
3.) Pengambilan Sample Ketiga 11 cm
11 cm
9,5 cm
16 cm
9,5 cm
12 cm
16 cm
A. Nilai Penampang Sungai (A) A = (p x l) + (2 x ½ x a x t) = (16 x 12) + (2 x ½ x 9,5 x 12) = 192 + 114 = 306 cm2 = 0,0306 m2 B. Kecepatan Aliran (V) Kecepatan aliran yang diukur dengan menggunakan current meter pada pengambilan sample kedua ini adalah sebesar 1,3 m/dtk C. Debit (Q) Q=AxV = 0,0306 m2 x 1,3 m/dtk = 0,03978 m3/dtk = 39,78 liter/dtk
146
4.) Pengambilan Sample Keempat 7,5 11 cm
11 7,5cm cm
4,5 9,5 cm
16 cm
4,5 cm 9,5
12 6 cm cm
16 cm
A. Nilai Penampang Sungai (A) A = (p x l) + (2 x ½ x a x t) = (16 x 6) + (2 x ½ x 4,5 x 6) = 96 + 27 = 123 cm2 = 0,0123 m2 B. Kecepatan Aliran (V) Kecepatan aliran yang diukur dengan menggunakan current meter pada pengambilan sample keempat ini adalah sebesar 0,5 m/dtk C. Debit (Q) Q=AxV = 0,0123 m2x 0,5 m/dtk = 0,00615 m3/dtk = 6,15 liter/dtk
147
5.) Pengambilan Sample Kelima 4,5 11 cm cm
11 4,5cmcm
3,3 9,5 cm
16 cm
3,3 cm 9,5
12 4 cm cm
16 cm
A. Nilai Penampang Sungai (A) A = (p x l) + (2 x ½ x a x t) = (16 x 4) + (2 x ½ x 4 x 3,3) = 64 + 13,2 = 77,2 cm2 = 0,0077 m2 B. Kecepatan Aliran (V) Kecepatan aliran yang diukur dengan menggunakan current meter pada pengambilan sample kelima ini adalah sebesar 0,3 m/dtk C. Debit (Q) Q=AxV = 0,0077 m2 x 0,3 m/dtk = 0,00231 m3/dtk = 2,31 liter/dtk
148
Lampiran 6 Perhitungan Intensitas Hujan 1. Pengambilan sample pertama Tanggal
: 8 Maret 2011
Awal hujan
: 12.37
Awal run off
: 14.10
Hujan berakhir
: 14.22
Run off berakhir
: 16.33
Lama Hujan
: 1 jam 45 menit = 1,75 jam
Total curah hujan
: 487 ml = 487000 mm3
Hujan selama run off
: 170 ml = 170000 mm3
Jari-jari ombograf = 56 mm Maka tebal curah hujan adalah tinggi air pada tabung ombograf.
Maka curah hujannya adalah 49,46 mm Intensitas hujan = 49,46 mm / 1,75 jam = 28,26 mm/jam
149
2. Pengambilan sample kedua Tanggal
: 2 April 2011
Awal hujan
: 14.52
Awal run off
: 15.26
Hujan berakhir
: 15.42
Run off berakhir
: 16.44
Lama Hujan
: 50 menit = 0,83 jam
Total curah hujan
: 179 ml = 179000 mm3
Hujan selama run off
: 83 ml = 83000 mm3
Jari-jari ombograf = 56 mm Maka tebal curah hujan adalah tinggi air pada tabung ombograf.
Maka curah hujannya adalah 18,18 mm Intensitas hujan = 18,18 mm / 0,83 jam = 21,9 mm/jam
150
3. Pengambilan sample ketiga Tanggal
: 4 April 2011
Awal hujan
: 15.11
Awal run off
: 15.45
Hujan berakhir
: 18.46
Run off berakhir
: 17.59
Lama Hujan
: 3 jam 35 menit = 3,58 jam
Total curah hujan
: 254 ml = 254000 mm3
Hujan selama run off
: 122 ml = 122000 mm3
Jari-jari ombograf = 56 mm Maka tebal curah hujan adalah tinggi air pada tabung ombograf.
Maka curah hujannya adalah 25,79 mm Intensitas hujan = 25,79 mm / 3,58 jam = 7,20 mm/jam
151
4. Pengambilan sample keempat Tanggal
: 24 April 2011
Awal hujan
: 12.15
Awal run off
: 13.08
Hujan berakhir
: 14.11
Run off berakhir
: 16.54
Lama Hujan
: 1 jam 56 menit = 1,93 jam
Total curah hujan
: 326 ml = 326000 mm3
Hujan selama run off
: 180 ml = 180000 mm3
Jari-jari ombograf = 56 mm Maka tebal curah hujan adalah tinggi air pada tabung ombograf.
Maka curah hujannya adalah 33,11 mm Intensitas hujan = 33,11 mm / 1,93 jam = 17,16 mm/jam
152
Lampiran 7 Kandungan Sedimen dan Volume Air pada Tiap DAS A. Daerah Aliran Sungai Dengan Catchment Area 7,359 Hektar 1. Pengambilan sample pertama 8 Maret 2011 Hidrograf Debit Air Pada Saat Terjadi Run off
Hidrograf Kandungan Sedimen Pada Saat Terjadi Run off
153
2. Pengambilan sample kedua : 2 April 2011 Hidrograf Debit Air Pada Saat Terjadi Run off
Hidrograf Kandungan Sedimen Pada Saat Terjadi Run off
154
3. Pengambilan sample ketiga : 4 April 2011 Hidrograf Debit Air Pada Saat Terjadi Run off
Hidrograf Kandungan Sedimen Pada Saat Terjadi Run off
155
4. Pengambilan sample keempat : 24 April 2011 Hidrograf Debit Air Pada Saat Terjadi Run off
Hidrograf Kandungan Sedimen Pada Saat Terjadi Run off
156
B. Daerah Aliran Sungai Dengan Catchment Area 6,499 Hektar 1. Pengambilan sample pertama 8 Maret 2011 Hidrograf Debit Air Pada Saat Terjadi Run off
Hidrograf Kandungan Sedimen Pada Saat Terjadi Run off
157
2. Pengambilan sample kedua : 2 April 2011 Hidrograf Debit Air Pada Saat Terjadi Run off
Hidrograf Kandungan Sedimen Pada Saat Terjadi Run off
158
3. Pengambilan sample ketiga : 4 April 2011 Hidrograf Debit Air Pada Saat Terjadi Run off
Hidrograf Kandungan Sedimen Pada Saat Terjadi Run off
159
4. Pengambilan sample keempat : 24 April 2011 Hidrograf Debit Air Pada Saat Terjadi Run off
Hidrograf Kandungan Sedimen Pada Saat Terjadi Run off
160
C. Daerah Aliran Sungai Dengan Catchment Area 4,323 Hektar 1. Pengambilan sample pertama 8 Maret 2011 Hidrograf Debit Air Pada Saat Terjadi Run off
Hidrograf Kandungan Sedimen Pada Saat Terjadi Run off
161
2. Pengambilan sample kedua : 2 April 2011 Hidrograf Debit Air Pada Saat Terjadi Run off
Hidrograf Kandungan Sedimen Pada Saat Terjadi Run off
162
3. Pengambilan sample ketiga : 4 April 2011 Hidrograf Debit Air Pada Saat Terjadi Run off
Hidrograf Kandungan Sedimen Pada Saat Terjadi Run off
163
4. Pengambilan sample keempat : 24 April 2011 Hidrograf Debit Air Pada Saat Terjadi Run off
Hidrograf Kandungan Sedimen Pada Saat Terjadi Run off
164
Lampiran 8 LOKASI PENELITIAN
Unit Lahan AN1 K IV
Unit Lahan IN1 K IV
165
Unit Lahan AN1 K III
Unit Lahan IN1 K III
166
Unit Lahan AN2 K IV
Lokasi Outlet Sub DAS
RIWAYAT HIDUP
Edwin Maulana lahir di Malang pada 7 April 1989. Putra terakhir dari tiga bersaudara ini memulai pendidikannya di TK Dharma Wanita dan dilanjutkan di SDN Percobaan Malang. Sekolah menengah ditempuh di SMPN 4 dan dilanjutkan di SMAN 9 Malang. Pada tahun 2007 menempuh pendidikan di Universitas Negeri Malang melalui jalur PMDK.