Geoteknik
PREDIKSI KEDALAMAN DAN BENTUK BIDANG LONGSORAN PADA LERENG JALAN RAYA SEKARAN GUNUNGPATI SEMARANG BERDASARKAN PENGUJIAN SONDIR (147G) Hanggoro Tri Cahyo A.1, Untoro Nugroho1, dan Mego Purnomo1 1
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang
ABSTRAK Penanggulangan longsoran lereng di ruas jalan Sekaran Gunungpati Semarang sebenarnya secara parsial sudah dilakukan dari setiap tahunnya, namun di setiap musim penghujan indikasi yang sama yakni rekahan pada permukaan jalan aspal yang menunjukkan arah gerakan massa tanah selalu saja muncul secara perlahan. Hal ini menunjukkan bahwa sistem perkuatan lereng yang ada ikut bergerak bersama material longsoran karena bidang longsor berada di bawah perkuatan lerengnya. Untuk itu guna menunjang efektivitas pemilihan desain perkuatan lereng, diperlukan pemahaman tentang kedalaman dan bentuk bidang longsoran melalui serangkaian pengujian sondir, pengujian parameter tanah dan analisis stabilitas lereng dengan metode elemen hingga (SSR-FEM). Berdasarkan hasil pengujian tanah di lapangan dengan uji sondir kapasitas 5,0 ton pada lokasi studi Trangkil Gunungpati, bidang longsor diprediksi berbentuk kurva planar dan gerakan massa tanah berupa translasi pada kedalaman 10,00-13,00 meter. Hasil ini menunjukkan kecenderungan yang sama dengan hasil analisis stabilitas lereng dengan metode SSR-FEM yang menunjukkan kedalaman antara 10,00-13,00 meter dihasilkan faktor aman stabilitas lereng (S.F) mendekati 1,20 yang merupakan syarat batas kestabilan lereng. Lokasi studi yang lahannya masih berupa tegalan ini rentan terjadi gerakan massa tanah pada saat nilai kekuatan geser tanah pada zona bidang longsor terus tereduksi oleh terjadinya hujan pemicu longsoran. Kata kunci : gerakan massa tanah, bidang longsor, hujan pemicu longsoran
1.
PENDAHULUAN
Penanggulangan longsoran lereng di ruas jalan Sekaran Gunungpati Semarang sebenarnya secara parsial sudah dilakukan dari setiap tahunnya, namun di setiap musim penghujan indikasi yang sama yakni rekahan pada permukaan jalan aspal yang menunjukkan arah gerakan massa tanah selalu saja muncul secara perlahan. Hal ini menunjukkan bahwa sistem perkuatan lereng yang ada ikut bergerak bersama material longsoran karena bidang longsor berada di bawah perkuatan lerengnya. Untuk itu guna menunjang efektivitas pemilihan desain perkuatan lereng, diperlukan pemahaman tentang kedalaman dan bentuk bidang longsoran melalui serangkaian pengujian sondir, pengujian parameter tanah dan analisis stabilitas lereng dengan metode elemen hingga (SSR-FEM).
2.
LETAK DAN BENTUK BIDANG LONGSOR
Menurut Karnawati (2005), longsoran merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan yang umunya terjadi pada kemiringan lereng 20°-40° dengan massa yang bergerak berupa tanah residual, endapan koluvial dan batuan vulkanik yang lapuk. Tanah residual dan koluvial umumnya merupakan tanah yang bersifat lepas-lepas dan dapat menyimpan air. Akibatnya kekuatan gesernya relatif lemah, apalagi bila air yang dikandungnya semakin jenuh dan menekan. Peningkatan kejenuhan air dapat terjadi apabila tanah tersebut menumpang di atas lapisan tanah atau batuan yang lebih kompak dan kedap air. Sehingga air yang meresap ke dalam tanah sulit menembus lapisan tanah atau batuan di bawahnya, dan hanya terakumulasi dalam tanah yang relatif gembur. Kontak antara lapisan tanah atau batuan yang lebih kedap dengan massa tanah di atasnya sering merupakan bidang gelincir gerakan tanah. Bidang gelincir ini dapat pula berupa zona yang merupakan batas perbedaaan tingkat pelapukan batuan, bidang diskontinuitas batuan, dan lapisan batuan seperti batu lempung, batu lanau, serpih dan tuf. Massa tanah dan batuan yang tidak bergerak merupakan tanah atau batuan dasar yang bersifat lebih kompak dan lebih masif misalnya batuan breksi andesit dan andesit. Munculnya rembesan-rembesan atau mata air pada lereng umumnya terjadi pada zona kontak antara batuan kedap air dengan massa atau lapisan tanah/batuan yang lolos air. Zona kontak ini sering sebagai bidang gelincir gerakan.
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
G - 109
Geoteknik
Dalam Wesley (2010), longsoran lereng pada tanah residual terutama pada lereng yang curam, bidang gelincirnya tidak seperti tipe longsoran dalam yang berbentuk lingkaran. Pada lereng tanah residual kedalaman bidang longsornya relatif dangkal, seringkali dengan agak membentuk kurva atau hampir planar (Gambar 1). Meskipun demikian, volume dari material yang longsor masih sangat besar.
Gambar 1. Model kelongsoran pada tanah residual (Wesley, 2010)
Mekanisme terjadinya longsoran tanah melalui kenaikan muka air tanah sering terjadi pada lereng-lereng tanah residual dan koluvial. Lapisan tanah residual atau koluvial tersebut berfungsi sebagai aquifer bebas dan aquifer yang menggantung (perched aquifer) dengan kondisi muka air tanah sangat fluktuatif tergantung besarnya infiltrasi air hujan. (Karnawati, 2005). Aquifer bebas (phreatic aquifer) merupakan aliran air dalam kondisi jenuh yang terjadi di dalam aquifer yang mempunyai permukaan air yang tidak bertekanan. Sedangkan aquifer yang menggantung merupakan lapisan jenuh air yang berada di atas suatu lapisan tanah atau batuan yang bersifat kurang kedap air bila dibandingkan dengan aquifer utamanya. Adanya lapisan yang relatif kurang kedap air tersebut menyebabkan air tertahan di atasnya dan membentuk lapisan yang jenuh air. Aquifer yang menggantung umumnya tidak terlalu luas dan hanya berisi air selama musim penghujan saja. Menurut Karnawati (2005), selain mengakibatkan kenaikan muka air tanah, meresapnya air hujan ke dalam lereng juga dapat mengakibatkan a) peningkatan berat volume tanah dan batuan, b) berkurangnya tekanan air pori negatif (suction) di zona tidak jenuh air (unsaturated), c) peningkatan tekanan air pori positif, d) erosi internal dan e) perubahan kandungan mineral penyusun massa tanah dan batuan pada lereng. Efektifitas hujan dalam memicu longsoran tergantung pada besarnya curah hujan dan lamanya hujan, tingkat kelulusan air pada tanah dan kondisi kejenuhan air dalam lereng sebelum hujan. Tujuan mencari letak dan bentuk bidang gelincir adalah untuk menentukan metode penanggulangan longsoran lereng yang sesuai. Dalam Suryolelono (1993;1999), penentuan letak bidang gelincir di lapangan tidak dilakukan secara langsung, namun dikaitkan dengan menentukan besarnya tegangan geser tak terdrainase dalam tanah berdasarkan hasil korelasi nilai konus (qc) dari pengujian sondir (CPT) yang nilainya berbanding lurus. Keruntuhan lereng dapat disebabkan oleh adanya gangguan terhadap stabilitas, bilamana tegangan geser tanah lebih besar dari tegangan geser yang diijinkan dalam tanah maka proses gerakan tanah akan terjadi. Berdasarkan hasil pengujian sondir di beberapa titik sejajar arah longsoran, didapatkan potongan lereng dengan posisi titik-titik nilai konus terendah. Bilamana titik-titik ini dihubungkan akan terlihat suatu bidang yang merupakan kumpulan titik-titik lemah atau disebut bidang gelincir. Selain itu dengan metode ini potensi terjadinya kelongsoran lanjutan juga dapat diprediksi apabila terjadi gangguan-gangguan pada lereng tersebut. Lereng akan menyesuaikan sampai bentuk lereng baru dengan sudut lereng lebih kecil dari sudut lereng alam dari jenis tanah pembentuk lereng tersebut. Pengujian kelongsoran embankment skala penuh dengan curah hujan pernah dilakukan di Public Works Research Institute di Jepang (Kutara dan Ishizuka (1982) dalam Ling et al (2009)). Jenis tanah embankment adalah lempung kelanauan dengan ketinggian timbunan 4 meter, lebar puncak 2 meter dan kemiringan lereng 3:2 (h:v) diuji dengan curah hujan 15 mm/jam. Keretakan pada lereng terjadi ketika akumulasi curah hujan mencapai 250 mm. Derajat kejenuhan tanah (Sr) dan nilai konus (qc) dari pengujian sondir diukur setelah pengujian curah hujan. Pada Gambar 2, hasil penelitian menunjukkan peningkatan derajat kejenuhan setelah pengujian. Nilai konus menurun secara
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
G - 110
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
Geoteknik
drastis mengikuti peningkatan kejenuhan tanah. Pengujian triaksial dalam kondisi tidak jenuh menunjukkan nilai sudut geser dalam (ϕ) tidak dipengaruhi oleh derajat kejenuhan, tetapi besarnya kohesi (c) berkurang sesuai derajat kejenuhannya dan mendekati nol ketika tanah dalam kondisi jenuh (Sr=100%).
Gambar 2. Perilaku pengujian embankment selama pengujian curah hujan (Kutara dan Ishizuka (1982) dalam Ling et al (2009))
3.
ANALISIS STABILITAS LERENG
Kelongsoran lereng terjadi karena kekuatan geser material pada bidang longsor tidak cukup untuk menahan tegangan geser yang terjadi. Saat ini ada dua pendekatan dalam analisis stabilitas lereng yakni metode irisan keseimbangan batas (limit equilibrium) dan analisis numeris elasto-plastic menggunakan metode elemen hingga (finite element method). Menurut Wong (1984) dalam Griffiths and Lane (1999), keunggulan utama dari pendekatan finite element pada analisis stabilitas lereng dibandingkan dengan metode limit equilibrium adalah tidak diperlukannya asumsi perkiraan sebelumnya tentang gaya yang bekerja pada irisan, lokasi atau bentuk dari bidang gelincir. Keruntuhan yang terjadi secara alami melalui zone lereng dimana kekuatan geser tanah tidak mampu menahan gaya geser yang terjadi. Dalam teknik reduksi kekuatan geser (shear strength reduction) metode elemen hingga (SSR-FEM), lereng di modelkan sebagai plain-strain 2 dimensi dengan model material tanah digunakan Mohr-Coulomb. Pada model material tanah Mohr-Coulomb material ada 6 parameter tanah yang diperlukan yakni sudut geser dalam tanah (φ), kohesi tanah (c), sudut dilatasi (ψ), modulus Young’s (E), poisson rasio (ν) and berat volume tanah (γ). Dalam metode ini, parameter kekuatan geser tanah yang tersedia berturut-turut direduksi secara otomatis hingga kelongsoran terjadi. Sehingga faktor aman (SF) stabilitas lereng menjadi : ΣMsf SF dengan, cinput ϕinput creduksi ϕreduksi
= = = = = = = =
tan ϕinput / tan ϕreduksi cinput /creduksi Kekuatan geser yang tersedia / Kekuatan geser saat runtuh Nilai ΣMsf pada saat kelongsoran. kohesi tanah (kN/m2) sudut geser dalam tanah (°) kohesi tanah tereduksi (kN/m2) sudut geser dalam tereduksi (°)
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
G - 111
Geoteknik
Definisi keruntuhan lereng dalam metode elemen hingga terjadi pada saat alogaritma tidak konvergen di dalam batas ketetapan interasi maksimum oleh pengguna, hal ini menyebabkan tidak adanya distribusi tegangan yang dapat ditemukan yang secara bersamaan dapat memenuhi kriteria keruntuhan Mohr-Coulomb dan keseimbangan global. Jika alogaritma tidak dapat memenuhi kriteria ini, maka dapat dikatakan keruntuhan telah terjadi. Keruntuhan lereng dan kondisi non-konvergen terjadi secara bersamaan dan ditandai oleh penambahan perpindahan titik (nodal displacements) yang dramatis di dalam mesh. (Griffiths and Lane,1999). Menurut Nian et al. (2011) cara keruntuhan lereng, lokasi bidang gelincir dan titik ujung bidang gelincir (out-slip point) berhubungan dengan besarnya kohesi (c), sudut geser dalam (ϕ) dan kemiringan lereng. Nilai cohesi (c) yang besar, sudut geser dalam (ϕ) yang kecil atau sudut kemiringan lereng yang kecil dapat membuat kedalaman bidang gelincir yang dalam dan titik ujung bidang gelincir yang jauh dari kaki lereng.
4.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan melalui 5 (lima) tahapan penelitian yaitu : Tahap 1, penelitian diawali dengan survey di lapangan yang meliputi survey rekahan tanah dan arah longsoran yang mungkin terjadi. Survey kemudian dilajutkan dengan pengukuran topografi lereng untuk menghasilkan peta topografi dan potongan lereng yang diperlukan pada saat analisis stabilitas lereng. Tahap 2, penelitian dilanjutkan dengan penyelidikan tanah di lapangan untuk mengetahui kemampuan penetrasi tanah dengan alat Sondir (CPT) sebanyak 8 titik dan SPT (Standart Penetration Test) sebanyak 1 titik sedalam 10 meter kemudian dilanjutkan dengan pengambilan sample tanah sampel terganggu (distrubed sample) dan tidak terganggu (undistrubed sample) untuk kemudian diuji di laboratorium. Tahap 3, pengujian sampel tanah di laboratorium mekanika tanah untuk mendapatkan parameter yang berkatan dengan input parameter dalam analisis stabilitas lereng yakni kohesi tanah tidak terdrainase (cu) dan sudut geser dalam (ϕ), berat volume tanah jenuh air (γsat), dan berat volume tanah basah (γb). Serta pengujian lainnya yakni distribusi butiran tanah, konsistensi tanah, soil properties. Tahap 4, analisis stabilitas lereng dengan metode elemen hingga (SSRFEM) untuk mendapatkan nilai faktor aman (SF) stabilitas lereng hasil prediksi bidang gelicir menurut Suryolelono (1993;1999) dengan alat uji sondir.
5.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyelidikan tanah di lapangan dilaksanakan dua tahap yakni untuk lokasi studi Trangkil Gunungpati pada bulan Juli 2012 dan untuk lokasi studi Deliksari Gunungpati dilaksanakan pada bulan Setember 2012. Kondisi musim saat pelaksanaan penyelidikan tanah di lapangan adalah musim kemarau. Alat yang digunakan dalam pengujian tanah di lapangan adalah alat sondir (cone penetration test) kapasitas 2,5-5,0 ton. Kriteria penghentian pengujian adalah jika penetrasi tanah telah mencapai tanah keras dengan nilai konus (qc) > 250 kg/cm2. Penentuan titik pengujian berdasarkan kondisi lereng hasil pengukuran pada lokasi studi. Titik uji sondir pada lokasi studi Trangkil pada Gambar 3 diletakkan pada suatu potongan A-A’ dengan konfigurasi titik uji adalah zigzag. Hasil pengujian sondir pada lokasi studi Trangkil Gunungpati disajikan pada Gambar 4. Berdasarkan hasil potongan melintang dari peta pengukuran topografi yang ditumpangsusunkan dengan hasil pengujian sondir, didapatkan stratifikasi lapisan tanah dengan lapisan tanah keras bervariasi pada kedalaman 15,00-20,00 meter untuk uji sondir S1-S7. Untuk uji sondir S8, tanah keras dapat mencapai kedalaman 26,00 meter. Berdasarkan metode Suryolelono (1993,1999), prediksi kedalaman bidang gelincir ada pada kedalaman 10,00-13,00 meter yang digambarkan sebagai garis putus-putus pada Gambar 4. Berdasarkan hasil pengeboran tanah di titik BM pada lokasi studi Trangkil Gunungpati (Gambar 3) pada tanggal 5 Oktober 2012 dapat diperoleh stratifikasi lapisan tanah dari kedalaman ±0,00 hingga 10,00 meter berupa tanah lempung plastisitas tinggi. Walaupun telah memasuki awal musim penghujan, muka air tanah pada lokasi pengeboran belum ditemukan. Adapun hasil selengkapnya dari hasil pengujian tanah undisturbed sample di laboratorium mekanika tanah disajikan pada Tabel 1. Tabel. 1. Hasil pengujian undisturbed sample tanah di laboratorium Kedalaman (m)
Butiran Silt dan Clay (%)
Berat volume tanah jenuh air (γsat)
Berat volume tanah basah (γunsat)
Derajat kejenuhan (Sr)
Kohesi (cu)
m 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00
% 96,80 93,69 95,08 97,14 98,12
kN/m3 19,20 19,30 19,50 18,80 18,10
kN/m3 14,70 14,90 14,80 14,20 13,10
% 99,49 99,28 100 98,91 98,93
kN/m2 146,56 133,75 62,16 123,99 24,19
Sudut geser dalam (ϕ) ° 1,55 5,32 10,13 2,68 13,57
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
G - 112
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
Geoteknik
Gambar 3. Hasil pemetaan lokasi studi Trangkil - Gunungpati.
Gambar 4. Kondisi lapisan tanah pada lokasi studi Trangkil Gunungpati.
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
G - 113
Geoteknik
Berdasarkan hasil pengujian sondir di beberapa titik sejajar arah longsoran, didapatkan potongan lereng dengan posisi titik-titik nilai konus (qc) terendah. Bilamana titik-titik ini dihubungkan akan terlihat sesuatu bidang yang merupakan kumpulan titik-titik lemah atau disebut bidang gelincir. Bidang gelincir yang kedalamannya diprediksi berdasarkan hasil uji sondir di lokasi studi menurut metode Suryolelono (1993,1999) dimodelkan sebagai interface element. Nilai konus sondir (qc) yang cenderung meningkat sesuai dengan kedalaman tanah akan dimodelkan dalam input nilai parameter kohesi (cu) yang secara linear akan meningkat sesuai dengan kedalaman tanahnya. Untuk kondisi lempung jenuh, nilai sudut geser dalam (ϕ) = 0. Untuk menggambarkan nilai konus sondir (qc) yang menurun secara drastis sebanding dengan peningkatan kejenuhan tanah lempung (Kutara dan Ishizuka (1982) dalam Ling et al (2009)) pada zona bidang gelincir, maka interface strength awal (Rinter=1,0) akan direduksi hingga lapisan tanah lempung mulai bergerak (SF ≈ 1,00). Untuk memodelkan peningkatan nilai berat volume tanah (γ) pada saat terjadinya infiltrasi air hujan maka nilai parameter yang digunakan adalah berat volume tanah jenuh air (γsat). Model lereng dan parameter tanah yang digunakan untuk lokasi studi Trangkil Gunungpati disajikan pada Gambar 5. Dalam model, sudut lereng diambil 12° dengan ketebalan lapisan tanah lempung adalah 10 meter. Beban yang bekerja pada lereng hanya beban lalu lintas sebesar 8,0 kN/m2 untuk beban lain diasumsikan nol karena pada lokasi studi hanya berupa tegalan. Muka air tanah (m.a.t) pada lokasi studi Trangkil Gunungpati selama penelitian dilakukan belum ditemui, namun pada musim kemarau kondisi tanah masih dalam keadaan basah. Setelah disingkap beberapa saat, kondisi tanah dalam keadaan kering udara. Sehingga dalam penelitian ini elevasi muka air tanah diasumsikan berada pada kedalaman tanah kerasnya.
Gambar 5. Model lereng untuk lokasi studi Trangkil Gunungpati.
Berdasarkan hasil analisis stabilitas lereng dengan teknik reduksi kekuatan geser (shear strength reduction) metode elemen hingga (SSR-FEM) dihasilkan deformasi lereng dan arah longsoran untuk lokasi studi Trangkil Gunungpati seperti pada Gambar 6. Pergerakan tanah pada Lapisan 1 Lempung kaku dimulai dari badan jalan dan diakhiri di daerah peralihan kemiringan lereng dari sudut lereng 12° menjadi 0°. Pada saat kekuatan geser tanah di zona bidang gelincir direduksi sebesar 20% dari kondisi semula, nilai faktor aman (SF) stabilitas lereng 1,06. Kondisi awal sebelum kekuatan geser tanah direduksi, lereng masih dalam kondisi aman SF > 1,20 (= 1,23). Hasil analisis menunjukkan bahwa pada lokasi studi yang lahanya berupa tegalan ini rentan terjadinya gerakan tanah pada saat nilai kekuatan geser tanah pada zona bidang gelincir terus tereduksi selama musim penghujan.
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
G - 114
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
Geoteknik
(a) Deformasi lereng
(b) Bidang gelincir
(c) Arah pergerakan tanah pada lereng
Gambar 6. Deformasi lereng dan arah pergerakan tanah pada lokasi studi Trangkil Gunungpati.
6.
KESIMPULAN Keimpulan yang dapat dihasilkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Pertama, berdasarkan hasil pengujian tanah di lapangan dengan uji sondir pada lokasi studi Trangkil Gunungpati, kedalaman tanah keras mencapai 15,00-20,00 meter dengan bidang gelincir berbentuk kurva planar dan pergerakan tanah berupa translasi pada kedalaman 10,00-13,00 meter. Kedalaman bidang gelincir yang mencapai 10,00-13,00 meter ini menyebabkan semua bentuk perkuatan lereng yang berdiri di atas bidang gelincir akan terus bergerak pada saat musim penghujan. Kedua, berdasarkan hasil analisis stabilitas lereng dengan teknik reduksi kekuatan geser metode elemen hingga (SSR-FEM), pada saat kekuatan geser tanah di zona bidang gelincir direduksi sebesar 20% dari kondisi semula, nilai faktor aman (SF) stabilitas lereng 1,06. Kondisi awal sebelum kekuatan geser tanah direduksi, lereng masih dalam kondisi aman SF > 1,20 (= 1,23). Hasil analisis menunjukkan bahwa pada lokasi studi yang lahannya masih berupa tegalan ini rentan terjadinya gerakan tanah pada saat nilai kekuatan geser tanah pada zona bidang gelincir terus tereduksi selama musim penghujan.
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
G - 115
Geoteknik
DAFTAR PUSTAKA Griffiths, D.V., Lane, P.A., (1999), Slope stability analysis by finite elements, Geotechnique 49, No.3. Karnawati, D., (2005), Bencana Alam Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan Upaya Penaggulangannya, Penerbit Jurusan Teknik Geologi FT Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Ling, H.I, Wu, M.H, Leshchinsky, D., Leshchinsky, B., (2009), Centrifuge modeling of slope instability, Journal of Geotechnical and Geoenvironmental Engineering, ASCE, June 2009. Nian, T.K, Chen, G.Q., Wan, S.S., Luan, M.T., (2011), Non-convergen on slope stability FE analysis by strength reduction method, Journal of Convergence Information Technology, Vol.6, No.5, Mei 2011. Suryolelono, K.B., (1993), Letak bidang gelincir dan penanggulangan keruntuhan lereng utara stadion Mulawarman PT. Pupuk Kaltim Bontang, Forum Teknik Sipil No. 11/ 1 Agustus 1993, Jurusan Teknik Sipil UGM, Jogjakarta. Suryolelono, K.B., (1999), Letak bidang longsor lereng Candi Selogriyo Kab. Magelang, Forum Teknik Jilid 23, No. 3 / 3 November 1999, Fakultas Teknik UGM, Jogjakarta. Wesley, L.D.,(2010), Geotechnical engineering in residual soils, John Wiley & Sons, Inc., Hoboken, New Jersey.
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
G - 116
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013