Potret Seni dan Budaya dari Perspektif Perempuan: Cerita Rakyat dan Sinetron Adaptasi Cerita Rakyat1 Purwanti Kusumaningtyas2 Membicarakan seni, budaya, dan perempuan serta hak-hak mereka merupakan perbincangan yang kompleks dan problematik. Setiap definisi dari kata kunci yang ada memiliki kompleksitas dan problematika masing-masing. Satu kata kunci yang mempertemukan keempat hal tersebut adalah “dominasi.” Relasi gender dalam masyarakat kita masih didominasi oleh kekuasaan patriarkhi. Hubungan budaya dan seni pun memiliki kompleksitas dominasi baik secara agama, ras, kelas, ekonomi, ideology dan politik. Pembicaraan mengenai topik ini tidak mewakili seluruh keberadaan manusia, melainkan hanya salah satu sudut pandang yang perlu diperhatikan jika cita-cita manusia adalah untuk mewujudkan kehidupan yang egaliter. Dengan memandang persoalan hak asasi seni dan budaya dari sudut pandang perempuan, tulisan ini berangkat dari pertanyaan sederhana: di manakah posisi perempuan dalam budaya tradisional dan produk hiburan dalam tayangan tehnologi media? Dalam upaya mencari jawab bagi pertanyaan tersebut, tulisan ini akan mencakup pembahasan mengenai budaya dan mindset masyarakat, terutama dalam memandang relasi gender. Seni dan teknologi, dalam hal ini media, akan dibicarakan sebagai bagian dari budaya, yang secara langsung maupun tidak juga merupakan representasi patriarkhi yang menyatu dengan budayanya. Pemaparan mengenai posisi perempuan selanjutnya membawa pertanyaan yang berikut mengenai diskursus hak asasi pada tataran ideal yang tertulis dalam lembaran hukum (Undang-Undang) dan pada tataran prakmatik. Pemaparan bentuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam konteks relasi gender dan hak mengekpresikan diri akan menggunakan studi kasus cerita rakyat sebagai folktale dan yang diadaptasi dalam sinetron televisi. Melalui studi kasus ini diharapkan dapat diberikan sedikit gambaran kompleksitas upaya penegakan hak asasi manusia. Banyak ahli dengan berbagai bersi yang berupaya untuk menjelaskan makna budaya (culture). Raymond Williams3 mengemukakan bahwa pengertian “budaya” cukup kompleks dan problematik karena pemaknaannya selalu berubah seturut setting perubahan sosial. Dengan demikian budaya selalu berada dalam konteks perkembangan sejarah. Mula-mula budaya (culture) dikonotasikan sebagai peradaban (civilization). Dalam perkembangannya, culture, dapat dipahami dalam tiga kategori pendefinisian. Pertama, definisi ideal, memberi pemahaman budaya sebagai a general process of intellectual, spiritual, and aesthetic development, yang menekankan pada penemuan hal-hal yang absolute dan universal. Dalam pengertian ini karya-karya besar para filsuf, seniman dan penyair merupakan contoh hasil budaya manusia. Definisi kedua merupakan definisi dokumenter (documentary), yang memahami budaya sebagai a particular way of life whether a people, a period, or a group. Definisi ini memberi penekanan pada praktik-praktik budaya, yaitu budaya yang dihidupi manusia sehari-hari. Definisi ketiga yang merupakan pendefinisian social, memberi pengertian bahwa budaya merupakan “the works and practices of intellectuals and especially artistic activity.” Definisi ini menunjuk pada karya-karya manusia yang bersifat perlambangan / simbolik. Karya manusia dipandang sebagai representasi dari keberadaannya secara luas. Budaya seringkali dipahami secara rancu dengan ideology sebab keduanya seperti sisisisi mata uang yang tak terpisahkan. Namun demikian, merujuk pendapat Stuart Hall yang
1
Paper dipresentasikan dalam Seminar Sehari Komnas HAM: “Hak Atas Seni dan Budaya, 14 Juli 2007, Taman Budaya Surakarta, Solo. 2 Dosen Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. (With gratitude to my colleague and friends: Raema Andreyana, Wawan, Orish, Nick, Bowo, and Ayu whose presence, information, and support have made this paper into completion.) 3 Raymond Williams dalam tulisannya “The Analysis of Culture” (Storey, John. Cultural Theory and Popular Culture A Reader. New York: Harvester Wheatsheaf, 1994) mengemukakan bahwa pengertian budaya (culture) cukup luas, mencakup tiga range: ideal, documenter, dan sosial. Williams, Raymond. Marxism and Literature. Oxford University Press, 1977. Penjelasan mengenai budaya (culture) ini juga dirujuk oleh John Storey dalam bukunya An Itroductory Guide to Cultural Theory and Popular Culture, New York: Harvester Wheatsheaf, 1993.
1
dikutip oleh John Storey4, budaya dan ideologi bukanlah sinonim, sebab ketika memakai kata “ideologi”, ada sesuatu yang terlewatkan, demikian pula ketika memakai kata “budaya” ada sesuatu yang tidak ada. Sebagai salah satu pengertian yang kompleks, ada beberapa penjelasan mengenai pemahaman ideology5. Ideology dapat dipahami sebagai suatu kumpulan sistematis gagasan-gagasan yang dikeluarkan oleh sekelompok orang tertentu. Ideology juga dipahami sebagai sesuatu yang senantiasa disuguhkan oleh produk-produk budaya / teks. Seperti yang diajukan oleh Louis Althusser, ideology juga terkandung dalam praktik-praktik sehari-hari. Dalam hal ini ideology berguna untuk mereproduksi kondisi social dan relasi social yang perlu untuk kelanjutan kondisi ekonomi dan relasi ekonomi kapitalisme. Menurut Roland Barthes, ideology mengacu pada upaya-upaya hegemonic untuk membatasi konotasi, mempertegas konotasi tertentu, dan menciptakan konotasi baru.6 Ideologi juga dipandang sebagai sesatu yang memberi kedok, mengaburkan, dan menyembunyikan sesuatu. Pengertian ini mengacu pada ideology yang memenangkan kepentingan kekuasaan dan menempatkan kepentingan yang tertindas pada posisi lemah. Seringkali ideology dalam pengertian ini membawa kesadaran semu (false consciousness) demi terlaksananya praktik dominasi, meskipun kelompok yang terlibat di dalamnya tidak sadar akan apa yang mereka lakukan dan yang terjadi pada mereka. Praktik dominasi yang paling mendasar terjadi dalam hal relasi gender. Ideologi feminis memandang relasi antara laki-laki dan perempuan berada pada kondisi tidak seimbang karena dalam banyak hal hanya menguntungkan satu pihak, yaitu laki-laki. Banyak pandangan dan praktik yang mengindikasikan distorsi, penyembunyian, dan pengaburan realitas demi kepentingan kekuasaan laki-laki, yang mengorbankan kepentingan perempuan sebagai kelompok yang tertindas. Sejak zaman sebelum Socrates, pertanyaan mengenai hakikat laki-laki dan perempuan telah menempatkan perempuan pada posisi negative dan kalah.7 Selanjutnya, pemikir feminist Simone de Beauvoir dalam bukunya The Second Sex secara terbuka menegaskan bahwa pada kenyataannya perempuan selalu berada pada kutub yang negative, sementara kutub positif dan netral ditempati oleh laki-laki. Perempuan adalah kelompok “Yang Lain” (the Other) karena tidak masuk kategori mainstream yang dikuasai oleh laki-laki. Seperti para pendahulunya, Eva Figes8 dan Elaine Storkey9 menuliskan bahwa masyarakat melalui kebijakan kemasyarakatannya termasuk di dalamnya pembagian kerja dan pola keluarganya, serta melalui institusi-institusi religi dan pendidikannya, menginginkan keberadaan perempuan sebagai golongan yang tidak dominan, lemah dan perlu perlindungan, emosional, irasional, terampil, dan secara sosial berada di rumah. Masyarakat yang demikian mengagungkan hal-hal yang bersifat “jantan” seperti ketegaran, ke-tidakfleksibel-an, sulit ditawar, visi yang single-minded, tegas tak berkompromi, konfrontasi dengan lawan, dan mengalahkan musuh. Karakteristik yang dikehendaki dari perempuan antara lain: pasif, responsive, menarik (attractive), dan muda. Dalam praktik sosial tempat perempuan adalah di rumah. Perempuan bersifat intuitif, instinctual, emosional, terampil, tetapi mudah tergoda. Sebaliknya, laki-laki selalu distereotipkan sebagai makhluk yang tinggi, kuat, langsung (direct), memiliki wewenang (authoritative), protektif, pekerja keras, analitis, objektif, dan single-minded. Pada taraf yang ekstrim, feminis radikal memandang bahwa praktik patriarkhi bisa sampai pada misoginy (kebencian pada perempuan), sehingga perlu di”imbangi” dengan kebencian pada lelaki yang antara lain melahirkan lesbianisme. Dalam banyak masyarakat, patriarkhi dapat terbaca dari setiap bentuk praktik dan produk budayanya. Contoh yang termudah dapat dilihat dari penerapan standard kecantikan di berbagai budaya. Konsep kecantikan ini membawa implikasi yang luas, termasuk dalam 4
Storey, John. An Itroductory Guide to Cultural Theory and Popular Culture, New York: Harvester Wheatsheaf, 1993, hal 3. 5
Ibid, hal 3 – 6. Ibid, hal 6. Roland Barthes dalam esainya “Rhetoric of the Image” dalam bukunya Image MusicText menyatakan “This common domain of the signifieds of connotation is that of ideology, which cannot but be single for a given society and history, no matter what signifiers of connotation it may use.” Ia memandang ideology sebagai konotasi. 7 Allen, Sister Prudence, R.S.M., The Concept of Woman, The Aristotelian Revolution, 750 B.C. – A.D. 1250. Eden Press, 1985. 8 Figes, Eva Patriarchal Attitudes. New York: Persean Books, 1986. 9 Storkey, Elaine. Created of Constructed, the Great Gender Debate. UNSW Press, 2001. 6
2
praktik seni. Sebagai contoh di dalam masyarakat Jawa, terutama masyarakat tradisional Jawa Tengah, perempuan yang cantik adalah perempuan yang antara lain secara fisik langsing sintal dan berambut panjang, perangai lemah lembut, gerak-gerik gemulai, bersuara lembut dengan nada dasar tinggi namun tidak cempreng. Standard ini direpresentasikan dalam perwujudan misalnya tari-tarian Jawa Tengah tradisional, seperti tari Bedaya. Dandanan penari yang memakai kain yang dililitkan secara ketat menonjolkan lekuk tubuh perempuan penarinya. Dandanan rambutnya yang menonjolkan rambut panjang bak mayang terurai, mengekspos rambut sehat nan hitam mengkilat seperti sutra. Gerak-gerik tariannya yang terkesan lamban bagi sementara orang, mencerminkan kelemah-lembutan dan gemulai yang dapat menimbulkan rangsang kepuasan penontonnya, terutama laki-laki (karena tarian ini (mula-mula) dipersembahkan pada Raja dan tamu-tamunya yang didominasi oleh lakilaki). Selanjutnya suara sinden yang selalu perempuan selalu dituntut untuk melantunkan lagu-lagunya dengan suara melengking tinggi dan mengalun, sebagai representasi kemanjaan perempuan yang memerlukan perlindungan. Semuanya itu terfokus pada standard yang ditetapkan dengan berdasarkan pada ideology patriarkhi. Bukan berarti selalu laki-laki yang membuat standard, tetapi perempuan pun dapat membuat standard-standard yang patriarchal. Yang menjadi ukuran kemudian adalah: siapa yang menjadi focus dari satu keputusan atau kebijakan. Standar kecantikan yang diterapkan pada perempuan secara superficial tampak menjadikan perempuan sebagai focus. Tetapi, mengapa perempuan ingin tampak cantik seperti ukuran-ukuran yang telah ditetapkan masyarakat? Mengapa perempuan harus “menyenangkan” masyarakat supaya dapat diterima di dalamnya? Dalam praktik seperti ini yang terjadi adalah dominasi karena ketika perempuan tidak tampil seperti standard yang ditetapkan oleh masyarakat, maka perempuan ini akan menjadi “Yang Lain” (the Other). Mereka akan tersisih, karena mereka tidak mempunyai kesempatan. Hanya satu pilihan yang bisa membuat mereka diterima dalam kelompok, yaitu menjadi sesuai dengan standard yang ditetapkan. Perempuan bukan focus, karena yang menjadi pusat adalah kesenangan masyarakat, yang dalam hal ini terutama masyarakat laki-laki. Perempuan dalam Cerita Rakyat Cerita rakyat (folktale) adalah salah satu bagian dari folklore (budaya rakyat). Folklore sendiri merupakan budaya yang dimiliki oleh sekelompok orang yang memiliki setidaknya satu faktor yang sama (bisa berupa pekerjaan, bahasa, atau religi) didefinisikan sebagai materi-materi dalam budaya masyarakat atau kolektif yang diwariskan secara tradisional turun-temurun dan disebarkan serta diturunkan dari generasi ke generasi dengan berbagai cara, baik secara lisan maupun dengan contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device)10. Fungsi budaya rakyat itu sendiri adalah untuk membantu kelompok memiliki a sense of group identity (rasa identitas kelompok) karena budaya tersebut menjadi pusat tradisi yang sama bagi mereka. Seperti halnya budaya rakyat yang lain,11 cerita rakyat memainkan peranan yang penting dalam proses transfer nilai di banyak masyarakat. Jack Nachbar dan Kevin Lause12 mengatakan bahwa folktale, story dan storytelling milik rakyat sebagai salah satu cultural artifact (artefak budaya) disebarluaskan secara lisan di dalam kelompok terbatas yang relatif 10
Definisi yang diberikan oleh Alan Dundes (1968) masih dirujuk oleh folklorist sampai sekarang. Brunvard mengelompokkan budaya rakyat menjadi tiga jenis: (1)verbal folklore, yang meliputi bahasa rakyat, kata-kata bijak tradisional seperti peribahasa, kata-kata bijak, teka-teki, sajak tradisional, cerita rakyat, dan lagu rakyat; (2)partly verbal folklore (budaya rakyat setengah verbal), yang meliputi kepercayaan rakyat, permainan (dolanan), teater rakyat, kebiasaan. Tari-tarian, ritual, dan festival; dan (3) non-verbal folklore (budaya rakyat non-verbal), yang sama sekali tidak verbal, tetapi disebarkan secara verbal; dibagi menjadi dua, yaitu budaya material dan non-material. Budaya rakyat material meliputi arsitektur, kerajinan tangan, pakaian, ornament, makanan, dan obat-obatan tradisional; budaya non-material meliputi gesture, bunyi-bunyian untuk komunikasi seperti tanda bahaya dengan menggunakan kentongan yang dilakukan orang Jawa dan tabuhan tradisional di Afrika, serta musik rakyat (Brunvard 1968:3). 12 Nachbar, Jack dan Kevin Lause dalam artikelnya ”Getting to Know Us. An Introduction to the Study of Popular Culture: What is this Stuff that Dreams are Made of?” membedakan produk budaya cerita elit, popular, dan rakyat. Karakteristik cerita rakyat yang dikemukakan Nachbar memberikan tekanan kembali untuk karakteristik yang telah disampaikan oleh Brunvard (1968:4) bahwa cerita rakyat bersifat lisan, tradisional, bisa muncul dalam berbagai versi, anonim, cenderung berdasarkan suatu formula (pola tertentu). Danandjaja menambahkan pada ciri-ciri tersebut sifat fungsional, pre-logical, kolektif, dan naïf yang seringkali sampai pada taraf kasar dan tidak sopan (Danandjaja 1994:4). 11
3
homogen. Pengarang cerita tidak pernah jelas, bahkan tidak diketahui, namun ada tukang cerita / penyampai cerita yang memiliki kebebasan untuk melakukan modifikasi cerita sesuai dengan harapan pendengarnya. Cerita rakyat berfungsi untuk melestarikan kontinuitas budaya serta untuk mengikat kelompok sebagai satu kesatuan. Dengan demikian cerita rakyat memiliki mitos (myth, seperti yang diajukan oleh Roland Barthes) sebagai alat komunikasi13 dan mitos-mitos itu sendiri memiliki struktur yang membuatnya dimengerti oleh masyarakat yang memakainya. Analisa terhadap struktur dan narasi cerita rakyat dapat membantu mengungkapkan cara pandang (mindset) masyarakat pemiliknya. Analisis struktural ini memakai perspektif perempuan untuk menemukan bagaimana patriarkhi ada dalam masyarakat pemilik cerita rakyat yang dianalisa. Legenda Atu Belah Legenda Atu Belah (Lampiran I. A.) memiliki pola narasi yang mengikuti fungsifungsi sebagai berikut: [1] Tokoh protagonis adalah perempuan yang berbakti namun yang teraniaya. Tokoh ibu / istri adalah tokoh yang menyayangi anak-anaknya, yang pada taraf tertentu dipandang memanjakan mereka. Ketika anak-anak meminta lauk ikan padanya, ia tak mampu berbuat apa-apa karena tokoh ayah / suami belum kembali dari berburu. Yang dapat ia lakukan hanya menyuruh anaknya yang sulung untuk mengambil sendiri belalang dari lumbung. Ternyata kemudian keputusannya ini hanya menempatkannya pada posisi sangat lemah karena harus juga menanggung kesalahan perbuatan anaknya. [2] Tokoh antagonis berasal dari dalam keluarga sendiri.. Tokoh suami sebagai pemegang ”kekuasaan” di dalam rumah seolah memiliki hak untuk menentukan apa yang benar dan yang salah. Sebagai pencari makan untuk keluarga, ketika hasil jerih payahnya terganggu (belalang secara tidak sengaja terlepas semua), ia menjadi murka dan menganiaya istrinya dengan cara memotong payudaranya dan membakarnya untuk ia jadikan lauk, demi mengganti semua hasil jerih payahnya. [3] Tokoh anak-anak adalah tokoh yang innocent dan harus dilayani. Tokoh anak-anak dalam cerita hanya diceritakan sebagai anak-anak yang lapar dan harus diberi makan. Mereka mempunyai hak untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan karena mereka belum mengerti arti ”kesusahan.” [4] Tokoh anak-anak dekat dengan ibunya. Anak-anak dalam cerita ini dekat dengan ibunya, terbukti mereka mengikuti ibunya ketika si Ibu menuju ke hutan untuk menyerahkan diri pada Atu Belah. Bahkan ketika ibunya sudah tidak bisa hadir secara fisik di dekat mereka, mereka masih bisa memetik tujuh helai rambut ibunya untuk dijadikan jimat. [4] Tokoh utama perempuan, menurut tokoh-tokoh yang lain, berbuat kesalahan. Tokoh ibu menyuruh anak sulungnya mengambil sendiri belalang dari lumbung karena ia tidak dapat menyediakan lauk ikan di meja makan untuk si anak. Tetapi kecerobohan anak telah membuat belalang terbang dan lepas semuanya. Si ibu harus menerima bahwa semua itu adalah kesalahannya. [5] Tokoh utama perempuan menerima hukuman dari tokoh-tokoh yang lain. Si ibu dipotong payudaranya oleh suaminya. [6] Tokoh anak-anak yang innocent menjadi korban atas perbuatan tokoh-tokoh dewasa.
13
Will Wright, dalam artikelnya ”The Structure of Myth and The Structure of the Western Film” dalam Cultural Theory and Popular Culture , John Storey (ed.) menuliskan bahwa mitos merupakan komunikasi dari masyarakat terhadap anggotanya. Artinya, konsep dan perilaku sosial yang ditentukan oleh sejarah dan institusi suatu masyarakat dikomunikasikan kepada anggotanya melalui mitos-mitosnya.
4
Karena ibunya pergi dan akhirnya hilang ditelan Atu Belah, anak-anak hanya bisa menangis meratapi kepergian ibunya. Mereka tidak punya kesempatan untuk mencegah ibunya pergi. [7] Kekuatan magis menjadi ”penyelamat” tokoh utama dari ketertindasan. Dalam cerita Atu Belah, si ibu yang teraniaya melarikan diri di hutan dan menyerahkan diri pada kekuatan magis berupa batu raksasa yang senantiasa siap menelan korbannya apabila diminta. Dengan mengucapkan mantra berulang kali, batu akan terbelah dan menelan mangsanya. Meskipun tindakan ini merupakan tindakan bunuh diri, kematian merupakan salah satu kemungkin magis untuk melepaskan diri dari ketertindasan. Dari struktur narasi di atas dapat terlihat oposisi biner yang menjadi mitos masyarakat Gayo yang menjadi pemiliknya. Terdapat empat pasang oposisi biner yang menempatkan laki-laki dan perempuan pada posisi yang berbeda. Opisisi ini dapat digambarkan sebagai berikut: Laki-laki Perempuan
Aktif Pasif
Di luar rumah Di rumah
Pembuat keputusan Penerima keputusan
Dalam oposisi biner aktif / pasif, tokoh laki-laki dalam legenda Atu Belah adalah yang mencari nafkah untuk keluarga. Maka ia berperan aktif dalam menentukan apakah keluarga akan makan atau tidak. Sementara itu, tokoh perempuan berperan relative pasif karena ia hanya menunggu suaminya membawa pulang binatang buruan, baru ia dapat berfungsi menyediakan makanan. Berkaitan dengan oposisi aktif / pasif, maka oposisi di luar rumah / di dalam rumah menjadi penting. Karena tugas laki-laki mencari makan, maka tempatnya adalah di luar rumah, di tempat yang lebih terbuka dan luas. Sebaliknya, perempuan memiliki tugas di dalam rumah, menanti suami kembali dari bekerja, dan memelihara serta merawat anakanak. Ketika menghadapi kesulitan, perempuan hanya memiliki peluang pilihan sedikit, karena berkaitan dengan makanan, ia hanya bisa menyediakan makanan ketika suami pulang membawa hasil buruan. Maka, konsep relasi antara suami dan istri adalah suami sebagai pencari nafkah dan istri sebagai pengatur rumah tangga. Oposisi biner yang ketiga, pembuat keputusan / penerima keputusan, menempatkan laki-laki sebagai pembuat keputusan, dan perempuan sebagai penerima keputusan. Ketika terjadi masalah, laki-laki menjadi berang dan ia memutuskan bahwa perempuan bersalah, dan ia patut dihukum. Tanpa ada pembicaraan mengenai sebab-musabab segala kesulitan itu, laki-laki menentukan keputusannya. Perempuan tidak mempunyai peluan untukmengungkapkan apa yang terjadi, dan ia menjadi pihak pasif penerima keputusan. Dalam struktur cerita rakyat ini terdapat pula simbolisasi, yang dengan meminjam teori symbol Roland Barthes, analisis symbol terhadap legenda Atu Belah pun memunculkan representasi patriarchal dalam relasi gender tokoh-tokohnya. Simbolisasi lauk yang tidak tersedia mampu merepresentasikan bagaimana keluarga menjadi tidak berdaya ketika suami tidak ada. Ketika anak-anak minta lauk, maka ibu hanya bisa menunggu dan bergantung pada persediaan yang disediakan ayah. Ibu tidak mampu mencari alternative pengganti lauk karena yang ia tahu hanya mengolah bahan yang sudah disediakan. Sementara penyedia bahan adalah suami. Maka, ketika suami tidak ada, keadaan menjadi sulit. Ketiadaan lauk (makanan) menjadi arena untuk menunjukkan kekuasaan laki-laki. Meskipun ranah memasak adalah ranah istri, perempuan, ketika laki-laki tidak ada, perempuan menjadi tak berdaya. Ini menunjukkan bagaimana perempuan tanpa laki-laki tidak berarti apa-apa. Simbolisasi belalang yang terbang, makanan yang terbuang sia-sia, kembali menjadi area ekspos kekuasaan laki-laki. Belalang yang disimpan suami di dalam lumbung merupakan “tabungan” yang dikumpulkan atas jerih payah laki-laki. Perempuan yang seharusnya menjaga simpanan ini hanya bisa menghambur-hamburkannya dengan keputusan dan perbuatannya yang ceroboh. Perbuatan si Ibu menyuruh anaknya mengambil sendiri belalang di lumbung merupakan kecerobohan, karena anak dikarakterisasi sebagai innocent. Sehingga, ketika meskipun yang tanpa sengaja melepaskan belalang adalah si anak, si ibu harus menanggung akibatnya karena semua terjadi oleh keputusan si ibu. Dengan kata lain, perempuan tidak dapat membuat keputusan yang benar. Keputusannya hanya menimbulkan
5
kecelakaan pada jerih-payah suaminya. Keputusannya juga telah menimbulkan penderitaan bagi anaknya, karena mereka tidak jadi makan dengan lauk ikan. Hukuman yang diputuskan oleh laki-laki terhadap istri yang ceroboh adalah “mutilasi payudara.” Sebagai salah satu organ vital perempuan, payudara juga merupakan symbol keperempuan-an itu sendiri, sebagai perlambang keibuan, sumber makanan bagi bayi, perlindungan, cinta kasih, kesuburan. Memukuli payudara bisa menjadi symbol pertobatan14. Dalam kisah Atu Belah, payudara si perempuan dipotong dan dijadikan lauk oleh suaminya. Perlambangan ini menunjukkan bahwa perbuatannya yang ceroboh telah menimbulkan amarah suaminya, sehingga ia layak menebusnya dengan dirinya sendiri yang diwakili oleh payudaranya. Dengan kehilangan payudara, si perempuan kehilangan dirinya sendiri. Satu penghukuman yang bersifat sepihak, karena si laki-laki tidak bertanya mengapa semua itu terjadi. Laki-laki dengan semena-mena menjatuhkan hukuman yang berupa penghilangan identitas si perempuan itu. Dengan menghilangkan identitas perempuan, tidak ada lagi kesempatan baginya melakukan perubahan melalui pertobatan. Tidak ada tempat untuk penyesalan. Dalam keputusasaannya, si perempuan berlari pada Atu Belah, dengan tujuan menyerahkan dirinya sebagai korban. Sebagai kekuatan magis, batu besar ini dapat dimaknai sebagai penolong bagi perempuan malang ini. Peristiwa bunuh diri ini dapat dimaknai sebagai kemungkinan penghilangan penuh identitas perempuan yang telah berbuat salah dan tak terampuni oleh masyarakatnya, dalam hal ini suaminya. Dapat juga dipandang sebagai sikap penyerahan total si perempuan terhadap yang Maha Kuasa sebagai pernyataan kepasrahannya pada “nasib.” Simbolisasi ini menekankan pada stereotip perempuan sebagai kelompok yang religius. Anak-anak dipakai sebagai symbol innocence, kemurnian, yang juga menempatkan perempuan pada posisi tak berdaya. Kemurnian anak-anak menuntut pengorbanan perempuan untuk menanggung kesalahan mereka. Dalam kemurnian, anak-anak memerlukan perlindungan, dan itu mereka dapatkan dari ibunya. Karena itu, ketika si perempuan telah lenyap ditelan Atu Belah, masih ada kesempatan bagi anak-anak ini untuk tetap mendapatkan perlindungan dari ibunya, yaitu melalui tujuh helai rambut ibunya yang dijadikan jimat. Rambut sendiri merupakan symbol kekuatan dan energy, khususnya rambut kepala, merupakan lambang kekuatan pemikiran.15 Kesimpulan yang bisa diambil adalah bahwa mitos yang direpresentasikan oleh legenda Atu Belah merupakan cerminan ideology patriarkhi, yang memposisikan perempuan sebagai yang “kalah.” Perempuan adalah objek, yang tidak mempunyai kesempatan. Seperti yang dikatakan oleh de Beauvoir, perempuan menempati kutub negatif sebab kutub positif dan netral adalah tempat laki-laki. Karakteristik perempuan sebagai “the Other” jika ingin diterima oleh masyarakat, harus sesuai dengan yang dikehendaki oleh masyarakat: pasrah, tunduk, pasif, “nerimo”, terampil (tidak ceroboh), dan religius. Dengan membawa ideology yang demikian, maka legenda sebagai bagian dari budaya dan seni masyarakat, secara langsung maupun tidak telah mempromosikan kesenjangan yang mengarah pada praktik dominasi. Tidak mengherankan jika dalam masyarakat yang masih secara tidak sadar merayakan praktik dominasi gender, maka praktik dominasi di bidang lain akan juga sangat terasa. Ketika berbicara mengenai perlindungan hak asasi budaya dan seni, maka terjadilah keraguan apakah benar hak untuk mengekspresikan diri akan terjamin, sedangkan hak untuk menjadi manusia seutuhnya lepas dari jenis kelamin saja masih sulit. Dongeng Bawang Merah Bawang Putih Cerita rakyat yang kedua adalah dongeng Bawang Merah Bawang Putih, yang mengisahkan perbedaan kehidupan dua gadis yang bersaudara tiri. Dongeng ini termasuk kategori jenis dongeng Cinderella, yang memiliki variasi di berbagai tempat, misalnya AndeAnde Lumut dan Si Kecubung dan Si Melati. Meskipun dongeng ini memiliki pesan moral yang baik bahwa kebaikan akan menang dan kejahatan akan kalah, stereotip yang dipakai untuk menggambarkan pesan moral tersebut cukup mendiskreditkan perempuan. Melalui analisis struktur narasi cerita, oposisi biner, dan simbolisasi dongeng ini dapat ditunjukkan bagaimana dominasi laki-laki terhadap perempuan. 14 15
J.C. Cooper dalam buku An Illustrated Encyclopedia of Traditional Symbols (1978, hal 25) Ibid. hal 77
6
Struktur narasi dongeng Bawang Merah Bawang Putih dapat dituliskan sebagai berikut: [1] Tokoh protagonis perempuan adalah orang yang baik hati, namun tertindas. Bawang Putih adalah anak perempuan yang baik hati, penurut, mengalah, tidak mengenal putus asa. Ia mendapatkan perlakuan yang buruk dari Ibu Tiri dan saudara tirinya, Bawang Merah. Seluruh pekerjaan rumah adalah tanggungjawabnya dan dikerjakannya dengan ikhlas dan tulus hati. [2] Tokoh utama perempuan memiliki relasi tiri dengan tokoh antagonis. Bawang Putih memiliki saudara tiri bernama Bawang Merah, yang merupakananak kandung dari Ibu Tirinya. [3] Tokoh antagonis perempuan memiliki karakteristik yang bertentangan dengan tokoh utama perempuan. Bawang Merah, yang merupakansaudara tiri, memiliki perangai dan sifat buruk: pemalas, tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah, selalu menyuruh Bawang Putih melakukan pekerjaan untuknya, pesolek. Karakteristik seperti ini juga dimiliki oleh Ibu Tiri, yang juga kejam terhadap anak tirinya. [4] Tokoh protagonis perempuan ini melakukan “kesalahan” yang membuatnya mengalami puncak penindasan. Bawang Putih menghanyutkan baju milik Bawang Merah, dan ini berakibat pada penghukuman terhadapnya. Ia tidak boleh pulang sebelum baju yang hanyut itu ia temukan. [5] Tokoh protagonis mendapat pertolongan dari seseorang atau sesuatu dengan kekuatan magis atau yang maskulin. Bawang Putih mendapat pertolongan dari dua orang laki-laki yang ia temui. Pertama, ia bertemu Bapak Nelayan dan mendapat informasi kepada siapa ia dapat meminta tolong untuk menyelesaikan persoalannya. Pertolongan kedua datang dari Kakek Tua Bijaksana, yang selain menemukan baju Bawang Merah yang hilang, juga memberi Bawang Putih hadiah atas kebaikannya. [6] Tokoh antagonis mendapatkan “hukuman” yang setimpal atas perbuatanperbuatan jahatnya. Karena kejahatannya (serakah, membangkang) Bawang Merah dan Ibu Tiri dihukum diserang ular dan binatang berbisa yang lainnya. Mereka berdua akhirnya ”terusir” dari tempat tinggal Bawang Putih, pergi entah ke mana. [7] Tokoh protagonis hidup terbebas dari ketertindasan, bahagia untuk selamalamanya. Bawang Putih akhirnya hidup berbahagia setelah Bawang Merah dan Ibu Tiri pergi dari rumahnya. Narasi tersebut menunjukkan relasi gender yang tidak seimbang, yang terlihat lebih jelas melalui analisa oposisi biner yang dapat digambarkan sebagai berikut: Laki-laki Perempuan
Baik
”knows all” – patron Baik atau jahat ”knows all” / (angel / evil) ”knows nothing” – client
Penyelamat
Ranah publik
Korban
Ranah domestik
Relasi yang bersifat biner yang sangat menonjol adalah pertentangan baik/buruk. Dalam dongeng digambarkan bahwa Bawang Putih adalah anak baik karena bersifat pasrah, mengalah, suka bekerja keras, mau mengerjakan pekerjaan rumah, mau melayani laki-laki, tidak terlalu mengutamakan diri sendiri dalam hal bersolek, akan menjadi tokoh yang baik ( angel). Sebaliknya, Bawang Merah dan Ibu Tiri adalah perempuan-perempuan yang malas,
7
tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah, berani terhadap laki-laki (menolak melayani lakilaki), serta mengutamakan diri sendiri dengan cara mempercantik diri senantiasa, merupakan tokoh jahat (evil). Tokoh-tokoh Bapak Nelayan dan Kakek Tua Bijaksana adalah tokoh dengan image baik, meskipun kebaikannya hanya terlihat sekilas. Bapak Nelayang telah memberikan informasi yang benar kepada Bawang Putih. Kakek Tua Bijaksana telah menemukan baju Bawang Merah yang hilang dan memberikannya pada Bawang Putih. Ia juga memberi hadiah berupa labu kepada Bawang Putih karena kebaikan Bawang Putih. Oposisi ini menempatkan laki-laki pada kutub positif, karena mereka adalah sosok penolong dan maha tahu serta maha benar. Mereka adalah pengambil kebijakan. Di pihak lain, perempuan dapat masuk ke kutub positif ini apabila ia mau menerima keputusan dan standard yang ditentukan oleh laki-laki. perempuan yang menolak standard adalah perempuan yang jahat, seperti yang diwakili oleh tokoh Ibu Tiri dan Bawang Merah. Stereotip ”tiri” yang melekat pada ibu menjadikannya sosok yang negatif (jahat). Relasi biner yang kedua adalah ”knows all / knows nothing.” Dalam kesulitannya, tokoh protagonist biasanya mendapat pertolongan dari sosok magis atau dari sosok yang memiliki karakteristik maskulin, bisa dalam rupa Kakek Tua Bijaksana atau pangeran tampan yang baik hati. Kelompok penolong ini adalah sosok yang memiliki pengetahuan, yang mampu memberikan penyelesaian atas persoalan tokoh protagonis. Sebaliknya, tokoh protagonis, yang seringkali digambarkan berwajah cantik dan lemah lembut, tidak memiliki kemampuan untuk keluar dari permasalahannya tanpa pertolongan sosok-sosok magis atau bijaksana ini. Yang menarik adalah, dalam kelompok ”knows all” tokoh-tokohnya terdiri dari laki-laki dan perempuan, tetapi dalam kelompok ”know nothing” tokoh-tokohnya hanya perempuan. Kesimpulannya, laki-laki selalu positif dan penentu kebijakan / standard. Perempuan bisa positif apabila memiliki karakteristik yang sesuai dengan yang diinginkan oleh laki-laki, seperti misalnya bijaksana, baik hati, dan ramah, serta bersifat keibuan. Perempuan yang tidak memenuhi standard yang ditentukan, ia akan menjadi evil. Relasi penyelamat / korban digambarkan oleh Bapak Nelayan dan Kakek Tua Bijaksana sebagai penyelamat, dan Bawang Putih sebagai korban. Dalam menghadapi kekejaman Ibu Tiri dan Bawang Merah, sebagai korban kekejaman, Bawang Putih memerlukan pertolongan karena kelemahannya, tidak mampu mengatasi kesulitan ini. Ia akhirnya dapat keluar dari ketertindasan ketika mendapat pertolongan dari Kakek Tua Bijaksana. Ini adalah gambaran spesifik bagaimana perempuan merupakan sosok yang lemah dan perlu perlindungan dari sosok yang kuat, laki-laki. Penggambaran pekerjaan laki-laki dan perempuan sangat stereotipikal: laki-laki bekerja di ranah publik, perempuan di ranah domestik. Bawang Putih sangat rajin bekerja, tidak mengenal lelah. Jenis pekerjaan yang ia kerjakan adalah pekerjaan rumah: membersihkan rumah, memasak, mencuci pakaian, dan sejenisnya. Pada pihak lain, tokoh pencari ikan, seorang laki-laki, digambarkan melakukan pekerjaan yang bukan domestik. Memancing adalah pekerjaan di luar rumah, sehingga cocok untuk laki-laki. jika laki-laki berada di rumah, seperti Kakek Tua Bijaksana, ia akan menjadi sosok yang harus dilayani. Karena Bawang Putih mau melayani Kakek Tua Bijaksana (membersihkan rumahnya, memasak untuknya), ia mendapat hadiah. Dengan kata lain, penokohan yang seperti itu mencerminkan pola pikir yang menempatkan perempuan pada posisi penerima keputusan, penurut pada standard dan kebijakan yang ditentukan oleh laki-laki. Perempuan yang menolak melakukan pekerjaan untuk laki-laki akan mendapat hukuman. Dongeng ini pun memiliki simbol-simbol yang mencerminkan pola pikir patriarkhi. Pertama, nama-nama tokoh utama sangat stereotipikal. Bawang Putih, dengan konotasi warna putih yang menggambarkan kesucian dan kemurnian, dipakai untuk tokoh protagonis. Sementara itu, tokoh antagonis diberi nama Bawang Merah, dengan image warna merah yang melambangkan keberanian. Image ini menimbulkan image berikut, bahwa perempuan tidak seharusnya ”berani” tetapi harus pasrah, mengalah, berada di tempat tersembunyi, tidakmenonjol. Ibu Tiri tidak mempunyai nama, tetapi kata ”tiri” menjadi simbol yang menakutkan, karena senantiasa berkonotasi pada kejahatan dan kekejaman. Simbol kedua adalah pakaian. Bagi Bawang Merah, pakaian adalah simbol kecantikannya. Ia suka bersolek dan mempercantik diri, sehingga ketika pakaiannya hilang, ia menjadi marah karena pakaian adalah bagian dari kegiatannya mempercantik diri. Di sini ada unsur ”kecantikan” yang senantiasa melekat pada perempuan. Perempuan bisa ditokohkan seperti Bawang Merah karena bagi perempuan di banyak masyarakat kecantikan
8
adalah bagian yang seringkali menjadi bagian dari identitasnya. Perempuan dituntut untuk cantik, tetapi ironisnya, ketika perempuan berusaha mempercantik diri (bersolek), ia dianggap mementingkan diri sendiri. Dalam rangka memperoleh atribut ”cantik,” Bawang Merah suka bersolek, tetapi ketika ia hanya memfokuskan diri pada atribut ini, maka ia menjadi tidak sesuai dengan standard laki-laki. Bagi Bawang Putih, pakaian merupakan simbol pekerjaan domestik karena ia mendapat bagian ”mencuci pakaian.” Pekerjaan domestik ini mendukung peran Bawang Putih yang submissive, pasrah, mengalah, dan mau melayani orang lain. Ia tidak menonjolkan diri, dengan demikian ia secara otomatis memiliki ”inner beauty.” Simbolisasi ini secara kuat menggambarkan tuntutan masyarakat agar perempuan memiliki karakteristik pasrah, menurut, namun cantik. Ketika perempuan tidak memiliki kecantikan fisik atau tidak ada waktu untuk mempercantik diri, maka kepasrahan dan ke-penurut-annya, ke-domestikannya, menjadi kecantikannya. Perhiasan menjadi simbol yang memperkuat konsep kecantikan perempuan. Bawang Putih tidak pernah memiliki waktu untuk mempercantik diri, tetapi karena ia begitu domestik, rajin bekerja dan mau melayani laki-laki, ia mendapatkan hadiah berupa perhiasan yang indah sebagai simbol untuk kecantikannya yang tidak pernah ia tonjolkan. Penarikan diri perempuan sangat dianjurkan melalui dongeng ini, karena perempuan yang menonjolkan keinginannya (dalam hal ini Bawang Merah ingin cantik, sehingga ia senantiasa bersolek) adalah perempuan yang tidak baik (evil). Ular dan binatang berbisa menjadi simbol hukuman bagi perempuan yang melawan standard yang telah ditetapkan untuknya. Bawang Merah dan Ibu Tiri yang berani mengemukakan keinginannya mendapat julukan ”serakah” dan ”jahat.” Sebagai hukuman atas semua ”perlawanannya”, Bawang Merah dan Ibu Tiri mendapat labu yang berisi ular dan binatang berbisa lainnya. Perempuan yang demikian akan berakhir pada kematian dan kehancuran, seperti yang disimbolkan oleh ular dan kalajengking serta binatang berbisa lainnya.16 Kesimpulannya, dalam cerita rakyat, seperti yang direpresentasikan oleh legenda dan dongeng di atas, masyarakat secara tidak langsung mengungkapkan apa yang menjadi ”ideologi” mereka. Dalam produk budaya tradisional seperti itu jelas posisi perempuan berada di bawah laki-laki. Sejalan dengan pendapat Simone de Beauvoir, perempuan adalah negatif, laki-laki adalah positif dan netral. Cerita rakyat mencerminkan mindset patriarkhi masyarakat Indonesia. Perempuan dalam Sinetron Adaptasi Cerita Rakyat Cerita Atu Belah dan Bawang Merah Bawang Putih telah diadaptasi menjadi sinetron yang beberapa waktu lalu ditayangkan di televisi Indonesia. Bagi sebagian orang, ini merupakan upaya positif untuk memperkenalkan cerit rakyat kepada masyarakat Indonesia secara lebih luas. Upaya ini pun dipandang sebagai upaya pelestarian budaya Indonesia. Tetapi dalam konteks relasi gender di Indonesia, benarkah ini membawa ”angin segar” ? Analisa yang sama akan diterapkan untuk memperoleh gambaran bagaimana sinetron adaptasi ini mengalami beberapa pergeseran struktur narasi, oposisi biner, dan simbolisasi untuk ”menyuarakan” relasi laki-laki dan perempuan dalam patriarkhi. Sinetron ”Legenda Atu Belah” Sinetron Legenda Atu Belah memiliki struktur narasi yang hampir sama dengan versi cerita rakyat tradisional. [1] Tokoh protagonis adalah seorang perempuan miskin yang baik namun tertindas. Si Ibu adalah seorang janda yang sangat menyayangi kedua anaknya. Ia akan melakukan apa saja untuk menyenangkan mereka. Bahkan ketika ia harus kepanasan dan menempuh perjalanan berat pun akan dikrjakan, asalkan ia dapat memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Sayang, kebaikannya tidak dibalas oleh anak-anaknya dengan perbuatan yang sebaik ibunya. Anak-anak si Ibu ini adalah anak-anak yang selalu menuntut ibunya memberikan yang paling baik bagi mereka, tetapi ia tidak pernah mendapat bantuan dari anak-anak ini. Sehingga, si Ibu menjadi single fighter.
16
Ibid. hal 145, 146.
9
Terlebih lagi, anak-anaknya selalu menyalahkan kemiskinan mereka. Anak-anaknya menjadi penindasnya. [2] Anak-anak yang nakal dan manja menjadi tokoh antagonis. Kedua anak dalam cerita, satu laki-laki dan satu perempuan, adalah anak-anak yang selalu menuntut. Mereka malas bekerja, tidak mau membantu orang tua, suka mengganggu orang lain, dan tidak mau tahu akan kesulitan orang tua. Anak-anak ini menjadi ”musuh” orang tua, dalam arti perilaku mereka berlawanan dengan harapan orang tuanya. [3] Hadir tokoh-tokoh magis yang menjadi penolong bagi tokoh protagonis. Si Ibu mempunyai binatang peliharaan berupa landak berkaki dua yang ajaib karena dapat memberinya uang dan makanan. Ketika landaknya dibunuh oleh kedua anaknya, ia ditolong oleh Atu Belah, yang digambarkan sebagai batu raksasa ajaib yang baik hati. Di akhir cerita, bahkan si Ibu diterima Atu Belah untuk menjadi ”mangsanya” demi menyelamatkan si Ibu dari tekanan hidup yang sudah tak dapat ia tahan lagi. [4] Masyarakat memahami keadaan dan kesulitan tokoh protagonis. Meskipun si Ibu harus menanggung kesalahan dan kenakalan anaknya, sebenarnya masyarakat sekelilingnya merasa kasihan karena si Ibu ini miskin. Tetapi, mereka tidak dapat brbuat apa-apa selain memaafkan si Ibu dan anak-anaknya. [5] Tokoh protagonis memilih menyerah ketika tidak lagi mampu menghadapi tekanan kehidupannya. Kenakalan anak-anaknya akhirnya tak tertahan lagi, sehingga si Ibu memilih meninggalkan anak-anaknya untuk menjadi bagian dari Atu Belah yang selama ini memang sudah menolongnya. [6] Tokoh protagonis hanya bisa menyesali perbuatan jahatnya Anak-anak nakal dalam cerita ini tidak dapat brbuat apa-apa lagi ketika Ibu memilih masuk menjadi mangsa Atu Belah. Mereka hanya bisa melihat rambut ibunya yang terjepit di luar batu. Peristiwa ini hanya berakhir penyesalan bagi mereka. Narasi sinetron ini mengalami beberapa modifikasi. Pertama, tokoh protagonis adalah seorang janda miskin. Janda miskin ini digambarkan sebagai janda yang baik, yang selalu memikirkan kepentingan orang lain. Modifikasi kedua adalah perubahan penokohan anakanak, dari dua anak yang tidak jelas jenis kelaminnya tetapi memiliki image murni, innocent, ke dua anak – satu laki-laki, satu perempuan – yang nakal dan suka mengganggu orang lain. Anak-anak bukan lagi gambaran kemurnian, melainkan keusilan dan kenakalan yang merugikan orang lain, termasuk orangtuanya. Modifikasi ketiga adalah kehadiran tokohtokoh magis yang lebih banyak dari pada cerita rakyat tradisional. Pertama landak cacat, kedua batu raksasa Atu Belah. Kedua tokoh magis ini berkarakteristik laki-laki, yang diwakili oleh suaranya. Modifikasi keempat adalah kehadiran masyarakat yang mengerti akan kesulitan si janda miskin ini. Narasi tersebut diperkuat dengan oposisi biner yang dapat digambarkan seperti berikut: Laki-laki Perempuan
Patron Klien
Penolong Korban
Baik / buruk Baik
Oposisi biner pertama, patron / klien, menempatkan perempuan pada posisi di bawah laki-laki. Laki-laki menjadi penentu kebijakan dan ini tampak dari masyarakat yang diwakili hampir seluruhnya oleh pedagang laki-laki. Mereka menuntut si Ibu Janda mengganti kerugian mereka. Sementara di Ibu Janda menjadi klien yang harus memenuhi permintaan mereka. Meskipun kemudian masyarakat ini digambarkan sebagai masyarakat yang penuh pengertian terhadap si Ibu Janda, posisi patronase mereka tidak lepas, karena merekalah yang menetukan apakah si Ibu Janda harus mengganti kerugian atau tidak. Penjelasan si Ibu Janda tidak penting bagi mereka. Keputusan mereka adalah yang penting.
10
Oposisi berikut adalah penolong / korban. Kekuatan magis yang menjadi penolong si Ibu Janda dikarakterisasi sebagai makhluk berjenis kelamin laki-laki. Landak cacat diketahui jenis kelaminnya dari suaranya yang tipikal laki-laki. Atu Belah, batu raksasa pun dikarakterisasi sebagai raksasa laki-laki. Mereka adalah ”juru selamat” bagi si Ibu Janda. Oposisi terakhir adalah baik / buruk. Terjadi pergeseran di sini, bahwa tokoh yang baik diwakili oleh si Ibu Janda. Kebaikan di sini diidentikkan dengan kelemahan dan kepasrahan si Ibu Janda dalam menghadapi segala kesulitannya. Sementara itu anak-anak yang menuntut dan nakal diwakili oleh jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Tokoh jahat ini didramatisir sedemikian sehingga kenakalan mereka adalah kenakalan anak yang keterlaluan. Masyarakat yang digambarkan baik karena mengerti kesulitan si Ibu Janda pun didominasi oleh laki-laki. Dari oposisi biner tersebut dapat disimpulkan bahwa ada upaya mengubah stereotip laki-laki dan perempuan. Jika dalam cerita rakyat tradisional perempuan berada pada kutub negatif dan laki-laki pada kutub positif dan netral, sehingga bila perempuan ingin masuk kutub positif mereka harus sependapat dengan laki-laki, maka dalam sinetron ini terjadi pergeseran. Perempuan berada pada kutub positif bersama laki-laki, namun pengambil kebijakan tetaplah laki-laki. Perempuan meskipun baik, tidak memiliki kesempatan untuk bersuara, bahkan ketika berusaha menyuarakan pendapatnya, masyarakat tidak mau mendengarkan. Kebaikan perempuan adalah karena ia hadir sebagai sosok yang pasrah pada keadaannya dan berusaha dengan ikhlas menahan segala penderitaan dan melakukan pekerjaannya. Modifikasi baik / buruk pada anak-anak, dari innocent ke nakal (jahat) tetap memposisikan perempuan sebagai sosok yang mengalah, nrimo. Simbol-simbol yang dipakai dalam sinetron mengalami perubahan-perubahan dari certia rakyat tradisional yang diadaptasinya. Pertama, simbolisasi penolong yang muncul dalam jumlah lebih banyak. Penolong pertama adalah landak jantan yang cacat. Bagi si Ibu Janda, landak ini bukan hanya penolong, melainkan target untuk menyalurkan jiwa keibuannya yang besar. Dua anak yang menuntut tidak cukup membendung ”instink” keibuan si Ibu Janda. Instink ini divisualisasi sedemikian dengan menghadirkan sosok binatang yang cacat, yang helpless, yang memerlukan pertolongan dan kasih sayang keibuan. Dengan demikian kehadiran penolong pertama ini memberikan tekanan pada karakterisasi perempuan baik sebagai memiliki hasrat keibuan yang meluap-luap. Penolong kedua adalah Atu Belah, yang dalam cerita rakyat tidak terlalu menonjol penokohannya kecuali sebagai bagian dari alam yang mewakili Yang Maha Kuasa untuk menerima kembali perempuan putus asa yang tidak punya lagi pilihan selain mematikan dan melenyapkan dirinya sendiri. Dalam sinetron, Atu Belah dipersonifikasi sebagai raksasa lakilaki berupa batu. Personifikasi ini memberikan image bahwa batu karang dan kekokohannya identik dengan laki-laki. Meski kelihatan garang dan kejam, laki-laki memiliki kelembutan hati dan instink pelindung, sehingga ketika si Ibu Janda menangis sedih karena kehilangan landak jantan cacat-nya, serta-merta batu karang yang kokoh ini menjadi penolong pengganti. Stereotip ini menekankan kembali stereotip bahwa perempuan itu lemah dan perlu dilindungi oleh laki-laki yangkuat dan kokoh. Simbolisasi penolong yang berkarakteristik magis ini juga mendorong ditekankannya kembali karakteristik perempuan sebagai sosok pious, taat beribadah dan beriman teguh. Simbolisasi ini tidak terlalu menonjol di cerita rakyat, tetapi dalam sinetron dibuat sangat menyolok. Tidak jelas apakah ini ada hubungannya dengan trend tontonan televisi Indonesia yang sangat menonjolkan unsur metafisik (terbukti dengan banyaknya sinetron magis religius dan reality show ber”nada” sama). Simbol lain dalam cerita ini adalah anak-anak itu sendiri, yang dalam cerita rakyat tidak jelas jenis kelaminnya, tetapi karena tuntutan visualisasi layar kaca, mereka dibuat ”seimbang” laki-laki dan perempuan. Bagi si Ibu Janda, ini merupakan kebahagiaan karena ia bisa memperoleh anak sulung laki-laki (yang memang berbadan lebih besar dari anak perempuannya) dan anak perempuan. Anak laki-laki merupakan simbol penerus keturunan di banyak masyarakat di Indonesia. Kelengkapan jenis kelamin sebagai keturunan si Ibu Janda menunjukkan bahwa ia ”pandai.” Berdasarkan pengalaman percakapan dengan banyak orang mengenai anak, masyarakat cenderung menilai jika seorang perempuan dapat melahirkan keturunan laki-laki dan perempuan secara seimbang, ia seorang perempuan ”pintar.” Mungkin ini berhubungan dengan kepercayaan bahwa jika dalam persetubuhan perempuan lebih dulu mencapai kepuasan, maka anak yang akan lahir adalah laki-laki. Sebaliknya, bila laki-laki mendapat kepuasan terlebih dulu, anak yang akan lahir adalah perempuan.
11
Kemungkinan kepercayaan ini berhubungan erat dengan tuntutan masyarakat, terutama Jawa, bahwa dunia perempuan adalah dapur, sumur, kasur. Perempuan dengan anak dengan jenis kelamin yang seimbang menyiratkan kemampuannya di kasur, dalam melayani dan menyenangkan laki-laki secara seksual. Simbolisasi lain dari pemberian jenis kelamin pada anak-anak secara seimbang kemungkina dengan keinginan untuk menunjukkan bahwa kenakalan bukanlah ”hak milik” anak laki-laki saja, tetapi anak perempuan pun bisa nakal. Dalam hal ini gagasan untuk menyeimbangan gender bisa diterima. Meskipun demikian, karena kenakalan ini mengorbankan perempuan lain, maka stereotip bahwa perempuan adalah lemah tidak sertamerta hilang dengan gagasan penyetaraan gender tadi. Simbolisasi ”bunuh diri” yang terjadi dalam sinetron bukan terjadi karena si Ibu Janda sudah tidak lagi punya kesempatan untuk memperbaiki diri, tetapi lebih pada penonjolan keputusasaan menghadapi kesulitan hidup, yang lebih difokuskan pada kelemahannya sebagai perempuan. Bunuh diri ini seolah ”direstui” untuk memberi pelajaran pada anak yang nakal supaya tidak lagi berbuat nakal. Dalam sinetron tidak terlihat bagaimana keputusasaan melanda perempuan karena sempitnya pilihan, tetapi karena penokohan perempuan sebagai sosok tak berdaya sama sekali, yang bahkan tidak mampu melihat kesempatan untuk menjadi ”kuat” dengan dukungan masyarakat yang sebenarnya dapat melihat siapa yang salah. Kemungkinan yang dicerminkan oleh simbol ini adalah bahwa ada kemungkinan masyarakat penonton telah mengalami pergeseran dalam memandang perempuan, tetapi perempuan tetap dikondisikan lemah dengan berulang kali mengasihaninya. Dengan demikian, ini menguatkan pandangan bahwa perempuan adalah sosok lemah secara kodrati. Kesimpulan dari pembahasan di atas adalah bahwa posisi perempuan dalam sinetron tidak terlalu banyak berubah. Perempuan tetap distereotipkan sebagai sosok lemah yang memerlukan perlindungan. Bahkan sinetron cenderung menekankan bahwa kelemahan perempuan bersifat kodrati. Sinetron Dongeng Bawang Merah Bawang Putih Sinetron Bawang Merah Bawang Putih yang dianalisis di sini adalah sinetron serial. Struktur narasi sinetron ini mengalami banyak pergeseran. [1] Tokoh protagonis perempuan adalah orang yang baik hati, namun tertindas. Bawang Putih adalah anak perempuan yang baik hati, penurut, mengalah, tidak mengenal putus asa. Ia mendapatkan perlakuan yang buruk dari Ibu Tiri dan saudara tirinya, Bawang Merah. Seluruh pekerjaan rumah adalah tanggungjawabnya dan dikerjakannya dengan ikhlas dan tulus hati. Ia anak yang nrimo, dan tidak terlalu ”pusing” dengan masalah harta-benda. Sebagi tokoh baik, ia pun berprestasi di segala bidang: pandai di sekolah, disayang guru, disayang teman, berteman dengan anak-anak lain yang baik. [2] Tokoh utama perempuan memiliki relasi tiri dengan tokoh antagonis. Bawang Putih memiliki saudara tiri bernama Bawang Merah, yang merupakan anak kandung dari Ibu Tirinya. [3] Tokoh antagonis perempuan memiliki karakteristik yang bertentangan dengan tokoh utama perempuan. Bawang Merah, yang merupakansaudara tiri, memiliki perangai dan sifat buruk: pemalas, tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah, selalu menyuruh Bawang Putih melakukan pekerjaan untuknya, pesolek, dan gila harta. Sebagai tokoh jahat, ia pun jahat di segala bidang. Karakteristik seperti ini juga dimiliki oleh Ibu Tiri, yang juga kejam terhadap anak tirinya. [4] Tokoh protagonis dan antagonis berasal dari kelompok sosial ekonomi yang berbeda Bawang Putih berasal dari keluarga kaya-raya, sementara Bawang Merah dan Ibu Tiri dari keluarga miskin yang tinggal di perkampungan kumuh di sebelah real estat tempat tinggal Bawang Putih.
12
[5] Tokoh protagonis tampak terpuruk karena kejujuran dan kebaikan hatinya seolah tidak didukung oleh ”keberuntungan” (keberuntungan seolah berpihak pada yang jahat) Bawang Putih meskipun baik hati, kalah oleh kecurangan-kecurangan keluarga tirinya. Ayahnya dibuat ”cacat” oleh Ibu Tiri dan saudara tirinya, sehingga tidak ada sosok ”pelindung” di rumahnya. Kekasih Bawang Putih ”direbut” oleh Bawang Merah sehingga akhirnya mereka menikah. Meskipun Bawang Putih tidak bisa menikah dengan kekasihnya, ia telah ”memenangkan” kekasihnya karena ia telah melahirkan anak laki-laki dari hubungan mereka. Bawang Putih pun terusir dari rumah karena kecurangan Bawang Merah dan Ibu Tiri dengan motif menguasai hartanya. Meskipun demikian, Bawang Putih selalu bisa survive karena pertolongan tak terduga selalu datang. [6] Hilangnya tokoh pelindung laki-laki yang memaksa protagonis untuk ”mandiri.” Ayah Bawang Putih menjadi lumpuh karena stroke, karena kejahatan Ibu Tiri dan Bawang Merah. Dengan demikian ia tak dapat berbuat banyak untuk melindungi Bawang Putih dari kekejaman Ibu Tiri dan Bawang Merah. Tokoh pelindung laki-laki lain yang seharusnya bisa ia andalkan, yaitu kekasihnya, pun direbut oleh Bawang Merah. [7] Tokoh protagonis kehilangan kenyamanan dan hak istimewanya karena kelicikan antagonis. Bawang Putih harus mengerjakan pekerjaan rumah sebagai pengganti pembantu. Kenyamanan kendaraan roda empat pun diganti dengan angkota. [8] Tokoh protagonis mendapat pertolongan dari seseorang atau sesuatu dengan kekuatan magis atau yang maskulin. Tokoh magis seperti Peri baik hati dan tokoh ”pangeran penyelamat” hadir untuk membantu dan menyelamatkan Bawang Putih dari keterpurukan. Bahkan secara ajaib, seorang pengacara kaya yang mencintainya dengan tulus hati dengan tulus ikhlas membantunya secara material dan spiritual, sehingga ia tak perlu susah-susah bekerja untuk menghidupi dirinya dan anak hasil hubungannya dengan kekasihnya. Kehadiran orang-orang baik hati seperti seorang ibu yang memberi ijin padanya untuk tinggal bersama setelah terusir dari rumah, juga menjadi ”penyelamat.” [9] Tokoh antagonis mendapatkan “hukuman” yang setimpal atas perbuatanperbuatan jahatnya. Karena kejahatannya (serakah, curang, culas) Bawang Merah dan Ibu Tiri akhirnya terusir dari tempat tinggal Bawang Putih, pergi entah ke mana. Keserakahan mereka telah membawa mereka pada kesialan, sehingga mereka harus meninggalkan rumah mewah dan harta yang mereka dapatkan dengan cara berlaku curang. [10] Tokoh protagonis hidup terbebas dari ketertindasan, bahagia untuk selamalamanya. Bawang Putih akhirnya hidup berbahagia setelah Bawang Merah dan Ibu Tiri pergi dari rumahnya. Akhirnya ia dapat kembali bersama ibunya, yang dulu meninggal, tetapi kemudian muncul kembali. Perubahan narasi terjadi karena ada berbagai modifikasi, yaitu perubahan setting tradisional menjadi setting masa kini. Bawang Merah dan Bawang Putih dikisahkan sebagai anak-anak remaja usia SMA sampai dewasa. Kejahatan Bawang Merah dan Ibu Tiri dilukiskan sebagai kecurangan dan tipu muslihat digambarkan secara ”modern” dengan menggunakan kaki-tangan dan tehnologi. Penambahan pun terjadi di sana-sini, termasuk penokohan memasukkan persoalan seperti single parent dan penekanan pada cinta lebih penting daripada ikatan perkawinan. Bawang Putih sebagai seorang perempuan yang berhasil mendapatkan anak dari kekasihnya membuktikan bahwa cintanya tulus, meskipun ia tidak bisa menikah dengan kekasihnya. Modernisasi dongeng ini pun ditambah dengan kehadiran
13
tokoh-tokoh penolong modern seperti pengacara. Modifikasi menjadi makin beragam karena adaptasi dilakukan untuk kepentingan sinetron serial yang memiliki masa tayang beberapa episode. Representasi relasi gender pun muncul dalam oposisi biner yang ditonjolkan dalam sinetron. Laki-laki
Baik / buruk
Perempuan
Baik / buruk (evil vs. angel)
Patron / klien Klien / patron
Penolong / Korban Korban / penolong
Oposisi biner pertama adalah baik / buruk. Tokoh-tokoh yang baik dan jahat cukup merata laki-laki dan perempuan. Tetapi penggambaran menjadi sangat menyolok ketika Bawang Putih dan Ibu Tiri menjadi otak segala kejahatan, sehingga kontras antara mereka sebagai evil dan Bawang Putih yang selalu mengalah dan nrimo sebagai angel. Tokoh perempuan yang baik akan sangat baik tanpa cacat, termasuk Peri baik hati yang digambarkan perempuan. Gambaran baik / buruk dalam sinetron sangat kental, sehingga segala ukuran akan memakai ukuran baik / buruk ini. Oposisi biner yang kedua adalah patron / klien. Patron tidak lagi didominasi oleh lakilaki sebab perempuan pun dapat menjadi pemikir dan penentu kebijakan. Ketika Bawang Merah berhasil merebut kekasih Bawang Putih, nampak bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk menjadi penentu. Meskipun Bawang Merah tidak mendapatkan cinta si lelaki, ia tidak terlalu bersedih karena targetnya adalah harta suaminya. Namun demikian, Bawang Merah dapat dinilai sebagai perempuan yang tidak terlalu tergantung pada lelaki. Tetapi, hal ini ditempatkan pada posisi perbuatan buruk (jahat), sehingga terbentuk image bahwa apabila perempuan dapat menentukan keputusannya sendiri, ia akan membuat keputusan untuk hal-hal buruk. Dalam banyak penggalan dalam sinetron, oposisi patron / klien yang menempatkan perempuan sebagai patron akan menjadikannya patron yang buruk / jahat. Sementara patron laki-laki biasanya baik dan bijaksana, seperti misalnya si pengacara. Oposisi berikut adalah penolong / korban yang menempatkan perempuan sebagai lebih banyak menjadi korban daripada penolong. Bawang Putih adalah korban terparah dalam sinetron ini. Ia tak dapat hidup sendiri, tidak dapat bertahan hidup tanpa pertolongan ”ajaib” baik dari makhluk magis maupun orang-orang baik di sekelilingnya yang secara kebetulan ia temui. Sekali lagi, oposisi ini tidak lepas dari stereotip baik / buruk yang menjadi fokus utama sinetron. Ketika perempuan menjadi penolong, ia adalah sosok angel yang baik sempurna. Tetapi ketika korban adalah laki-laki, ia digambarkan sebagia laki-laki yang gagal menjadi pelindung, seperti yang terjadi pada ayah dan kekasih Bawang Putih. Si pengacara pun tampil menjadi sosok maskulin yang menjadi penolong dan pelindung sempurna bagi korban. Dari oposisi biner di atas, terlihat penekanan baik / buruk yang dimaksudkan untuk perangai tak dapat tidak mengandung bias gender. Perempuan yang ingin mandiri, tidak tergantung pada laki-laki dalam membuat keputusan akan distereotipkan sebagai perempuan jahat. Simbolisasi yang beragam dalam sinetron sekali lagi menguatkan fokus sinetron yang ingin membawa misi pertentangan baik / buruk yang membawa kemenangan pada yang baik. Pertentangan baik / buruk ini sangat menonjol pada masalah material. Tampak pertama kali dari seting yang juga menjadi simbol kesenjangan ekonomi yang mendorong manusia pada sikap rakus dan serakah akan harta. Image ini menjadi sangat kuat karena penokohan Bawang Merah dan Ibu Tiri menjadi pusat dari seluruh konflik yang timbul karena kejahatan mereka. Kedua tokoh ini menjadi simbol tersendiri karena perlambangan yang mereka bawakan begitu kuat. Ketika diperhadapkan pada perlambangan baik dalam diri Bawang Putih, maka menjadi semakin kuatlah pembangunan stereotip bahwa perempuan yang baik akan tergantung pada laki-laki, sementara perempuan mandiri yang memiliki kemauan dan mengerti akan apa yang mereka mau adalah perempuan jahat. Simbol-simbol lain terutama pada simbolisasi tokoh-tokohnya terfokus pada penekanan baik / buruk. Pengacara yang baik menjadi model stereotip laki-laki yang sejati. Ia berhasil
14
secara ekonomi dan mampu menjadi pelindung secara moril dan materiil bagi perempuan yang dicintainya. Lelaki sejati juga mencintai dengan tulus tanpa pamrih karena dicitrakan bahwa kehadirannya adalah murni untuk menjadi ”santo pelindung” bagi perempuan yang dicintainya. Kecantikan para tokoh dalam sinetron menonjolkan bagaimana perempuan dituntut untuk memiliki kecantikan ”luar – dalam.” Kecantikan luar ditunjukkan dengan penampilan para tokoh yang langsing, dengan wajah ”sempurna.” Namun, dalam banyak hal kecantikan ”dalam” (inner beauty) lebih diutamakan melalui perilaku baik yang dibawa oleh tokohtokoh baik seperti Bawang Putih. Kecantikannya menjadi tercitrakan lebih sempurna ketika selain cantik secara fisik, ia pun seroang yang lemah-lembut, nrimo, suka mengalah, tidak gila harta, berusaha menyenangkan orang lain dan rela mengorbankan dirinya demi kebaikan orang lain. Sikap dan perilaku yang cenderung pasif seperti itu menambah kecantikan dan kualitasnya sebagai perempuan. Hal yang sama tidak berlaku untuk tokoh laki-laki, karena tidak terlalu dipersoalkan apakah lelaki yang ganteng itu baik atau tidak. Jika ia ganteng, baik, melindungi perempuan, dan kaya, itu adalah citra lelaki sejati. Kesimpulannya, meskipun secara eksplisit penokohan dan jalan cerita sudah mengupayakan kesetaraan relasi laki-laki perempuan, sinetron adaptasi Bawang Merah Bawang Putih ini masih saja menempatkan stereotip perempuan sebagai sosok yang tergantung pada laki-laki untuk menjadi baik. Sekali lagi, mindset bahwa laki-laki adalah penguasa kutub positif dan perempuan kutub negatif masih kuat tercermin dalam produk sinetron. Hak atas Seni dan Budaya dan Perempuan di Indonesia Dari telaah atas cerita rakyat dan sinetron adaptasi cerita rakyat di atas, dapat terlihat praktik dominasi yang menyiratkan pelanggaran hak dalam banyak hal. Pertama, dalam kedua bentuk karya manusia baik certia rakyat maupun sinetron, terdapat nilai-nilai yang menganjurkan pelanggaran hak asasi perempuan untuk menjadi dirinya sebagai manusia, lepas dari jenis kelaminnya. Stereotip yang dihasilkan dari ideologi patriarkhi yang hidup dan berkembang dalam budaya patriarkhi menempatkan perempuan pada posisi terpinggirkan, menjadi ”the Other” ketika mereka mencoba keluar dari stereotip yang diciptakan masyarakat patriarkhal ini. Dominasi yang kedua adalah oleh produksi sinetron yang dengan ”semena-mena” memodifikasi cerita sesuai dengan kepentingan bisnisnya. Jelas terlihat pada adaptasi Bawang Merah Bawang Putih yang telah memporak-porandakan cerita asli Bawang Merah Bawang Putih versi cerita rakyat. Memang tidak dapat dielakkan, karakteristik folktales dan cerita populer memang berbeda, tetapi setidaknya diperlukan ”penghargaan” atas keaslian cerita rakyat. Dari sudut pandang penulis, praktik dominasi ini agak sulit dicegah karena dominasi mendasar yang terjadi atas perempuan oleh laki-laki dalam ideologi patriarkhi yang juga mendominasi masyarakat pada umumnya masih sangat kuat. Perbedaan yang bersifat kodrati adalahperbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Ketika perbedaan ini diperluas menjadi pembedaan gender yang dikonstruksi secara sosial untuk kepentingan salah satu kelompok saja, maka terjadilah dominasi yang paling mendasar. Ketika yang secara kodrati dari Tuhan tidak dimaksudkan untuk menjadikan yang satu lebih baik atau lebih tinggi dan lebih berkuasa dari yang lain ternodai oleh bentukan masyarakat yang menjadikannya tidak seimbang, maka dominasi yang lain-lain akan mngikuti. Bias gender menjadikan pandanganpandangan yang lain juga mengandung bias karena dominasi yang mendasar ini menjadi preseden bagi dominasi-dominasi lain dalam brbagai bentuk. Ketika ada keinginan untuk menghapuskan dominasi, maka yangperlu dilakukan pertama kali adalah penghapusan dominasi laki-laki atas perempuan, yang berarti penghapusan patriarkhi. Di lain pihak, mengganti patriarkhi dengan matriarkhi juga tidak akan menjadikan dunia lebih baik, karena konsep dominasi masih tetap ada ketika satu ideologi menguasai kehidupan manusia. Usulan yang terdengar utopis dari saya adalah ketika manusia memandang satu dengan yang lain sebagai sejajar, tanpa mempersoalkan jenis kelamin, maka akan ada harapan bahwa kesejajaran akan tercapai. Ketika hak asasi manusia dipersoalkan, maka hak asasi yang pertama yang harus menjadi prioritas adalah hak setiap manusia untuk hidup dan berkembang menjadi manusia seutuhnya tanpa memandang jenis kelamin yang diberikan Tuhan padanya.
15
Referensi Allen, Sister Prudence, R.S.M., The Concept of Woman, The Aristotelian Revolution, 750 B.C. – A.D. 1250. Eden Press, 1985. Barthes, R. (1977). Rhetoric of the Image. Music Image Text. R. Barthes. Glasgow, Fontana Press: 32 - 51. Cooper, J. C. (1978). An Illustrated Encyclopedia of Traditional Symbols. London, Thames and Hudson Ltd. Beauvoir, Simone de. ”The Second Sex.” In Jackson, Stevi et al (eds.) Women’s Studies A Reader. Harvester Wheatsheaf, New York. 1993. Figes, E. (1986). Patriarchal Attitudes. New York, Persea Books. Jack Nachbar, K. L. (1992). Getting to Know Us An Introduction to the Study of Popular Culture: What is this Stuff that Dreams are Made of? Popular Culture An Introductory Text. K. L. Jack Nachbar. Bowling Green, Bowling Green State University Press: 1 35. Storey, J. (1993). An Introductory Guide to Cultural Theory and Popular Culture. New York, Harvester Wheatsheaf. Storkey, Elaine. Created of Constructed, the Great Gender Debate. UNSW Press, 2001. Williams, R. (1977). Marxism and Literature. Oxford, Oxford University Press. Williams, R. (1994). The Analysis of Culture. Cultural Theory and Popular Culture A Reader. J. Storey. New York, Harvester Wheatsheaf: 56 - 64.
16