PESAN PIMPINAN
Potret Multikultural Dalam Perspektif Negara Kesatuan P
Ketua DPR RI, DR. H Marzuki Alie
Tema Multikultural dalam Perspektif Negara Kesatuan yang saya tulis ini adalah tema yang sangat aktual dan penting, yang relevan bagi upaya dalam memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Pada kesempatan ini, saya membahas tema tersebut dalam perspektif multikulturalisme dalam kaitannya dengan persatuan dan kesatuan bangsa. Tentu saja, penjelasan saya ini tidak berpretensi untuk dapat menyelesaikan semua persoalan yang kita hadapi selama ini, tetapi setidaknya dapat bermanfaat sebagai informasi awal agar bisa dibahas lebih lanjut.
erspektif multikulturalisme merupakan pendekatan kebudayaan terhadap keberagaman masyarakat yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Kebudayaan dapat dipandang sebagai landasan nilai dari segala perwujudan dalam kenyataan obyektif, atau konfigurasi dari semua nilai-nilai dasar dalam kehidupan kemasyarakatan kemanusiaan. Maka, dalam kebudayaan itu kita dapat menemukan nilai estetik, yang akan menentukan corak dan bentuk kesenian, ada nilai kekuasaan yang menentukan corak, sistem, serta perilaku politik, dan seterusnya. Corak sebuah kebudayaan bisa dilihat dari konfigurasi nilai yang dimilikinya. Dinamika kehidupan sosial dapat terjadi karena adanya pertemuan atau perbenturan dari berbagai unsur kebudayaan dari kelompok etnik atau suku bangsa dengan kebudayaan lain. Oleh karena itu, kebudayaan adalah dunia nilai dan makna, yang memungkinkan masyarakat sebagai sebuah lingkungan pergaulan hidup, berfungsi dan terintegrasi. Kebudayaan nasional Indonesia adalah “puncak-puncak kebudayaan daerah,” yaitu unsur-unsur kebudayaan daerah yang berhasil masuk kedalam dan diterima sebagai bagian dari sistem makna “nasional”, yang bersifat multi-daerah dan multi-et-
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
nis. Secara simbolik hal ini dinyatakan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Disamping menyatakan bertanah air satu dan berbangsa satu serta menjunjung bahasa Indonesia, yang sesungguhnya merupakan bahasa utama daerah tertentu, tetapi juga mengatakan kesediaan menerima unsur-unsur daerah dalam suasana “komunitas” yang baru dibentuk yang bernama “bangsa Indonesia”. Jadi, bangsa Indonesia adalah suatu suasana kebudayaan yang bersifat supraetnis dan multi etnis. Pergerakan kebangsaan, dengan kehadiran berbagai partai politik maupun organisasi yang bersifat supra-etnis, dan berbagai corak aktivitas kebudayaan yang melandaskan diri pada usaha pembentukan suasana ”nasional” dengan mengaburkan batas-batas daerah, dan sebagainya, telah berhasil menciptakan suasana kebudayaan yang bersifat nasional, bukan sekedar konglomerasi dari ”puncak-puncak kebudayaan daerah”. Oleh karena itu, kebudayaan nasional merupakan hasil sumbangan daerah dalam proses pembentukan dan pertumbuhan komunitas-bangsa. Sehingga, penghormatan dan pemeliharaan kebudayaan daerah, adalah pemelihara salah sumber dinamika kebudayaan nasional. Dinamika kebudayaan terus berlanjut, meski pada suatu masa tertentu ”negara” sedemikian keras memelihara suasana ini, sehingga mengancam eksistensi dari kebudayaan daerah. Karena itu tidak dapat dipungkiri, bahwa salah satu faktor dari krisis dan konflik daerah adalah dirasakannya dominasi yang berlebihan dari negara-nasional, apalagi kalau dominasi itu dianggap sebagai perwujudan dari dukungan terhadap
kebudayaan daerah tertentu. Tetapi, terlepas dari sikap moral dan ideologi politik, kesemua pengalaman ini bisa kita lihat sebagai gejolak dalam peralihan proses nationformation yang telah menghasilkan berdirinya sebuah negara bangsa, ke arah nation-building yang tanpa henti.
Masyarakat Multikultural
Pengembangan kebudayaan yang sudah dilakukan, sampai saat ini belum sepenuhnya sesuai dengan harapan karena masih rentannya soliditas budaya dan pranata sosial yang ada di dalam masyarakat, sehingga potensi konflik belum sepenuhnya dapat diatasi. Hal itu diperberat dengan munculnya kecenderungan penguatan orientasi primordial, seperti kelompok, etnis, dan agama, yang berpotensi memperlemah keharmonisan bangsa. Permasalahan tersebut, antara lain, disebabkan oleh berbagai perubahan tatanan kehidupan, termasuk tatanan sosial budaya, yang berdampak pada terjadinya pergeseran nilai-nilai di dalam kehidupan masyarakat. Isu dinamika sosial dalam kemajemukan budaya merupakan suatu hal yang perlu mendapat perhatian. Dalam konteks kemajemukan, setiap masyarakat perlu mengembangkan derajat kesetaraan antarkelompok etnis yang berbeda, sehingga pengembangan hubungan sosial yang dinamis merupakan strategi dasar bagi terciptanya representasi kolektif yang terdiri atas nilai-nilai lokal kelompok etnis. Oleh karena itu, cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun sebuah masyarakat sipil yang demokratis, dengan penegakkan hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan Indonesia Baru itu menurut Prof. Parsudi Supar-
lan adalah sebuah “masyarakat multikultural Indonesia” yang dibagun dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak “masyarakat majemuk” (plural society). Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika bukan lagi keanekaragaman sukubangsa dan kebudayaannya, tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Dalam model multikulturalisme ini, masyarakat Indonesia mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut, yang coraknya seperti sebuah mosaik, tidak ada yang disebut minoritas. Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: “kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”. Multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan, sehingga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, seperti politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas. Sebagai ideologi, multikulturalisme harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan. Ka Parsudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia Yang Multikultural, Makalah, Disajikan pada Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia ke-3, Membangun Kembali “Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika”, Menuju Masyarakat Multikultural, Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16-19 Juli 2002.
jian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antar-manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya, akan menjadi sumbangan penting dalam upaya memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.
Demokrasi dalam Masyarakat Multikultural
Jika kita bersepakat untuk meletakkan multikulturalisme sebagai dasar membangun masyarakat dan bangsa Indonesia, maka demokrasi mutlak menjadi dasar berpijak dalam kehidupan bernegara. Dalam diskursus ilmiah mengenai demokrasi, selalu diwarnai oleh pertanyaan mengenai legitimasi kekuasaan negara atas rakyat. Gagasan bahwa rakyat dapat menentukan kebijakan-kebijakan negara, mulai lahir dengan bentuk yang masih sederhana. Sistem demokrasi yang terdapat di negara kota (city state) Yunani Kuno pada abad ke-6 sampai abad ke-3 SM, merupakan demokrasi langsung (direct democracy), yaitu suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warganegara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Singgkatnya, perkembangan demokrasi dalam arti modern, baru menjadi suatu yang nyata (real), setelah masuknya sebuah unsur baru ke dalam wawasan para pemikir politik, yaitu prinsip perwakilan atau pemerintahan representatif. Demokrasi representatif itu muncul sebagai wacana, ketika munculnya dua peristiwa besar, yaitu revolusi anti kerajaan Inggris di Amerika yang menghasikan United States of America pada tahun 1776 dan revolusi Perancis tahun 1789. Kedua peristiwa ini mengukuhkan cita-cita kekuasaan di tangan rakyat, dengan didasari oleh ideologi baru, yaitu oleh paham kehendak umum. Setelah pola pemerintahan yang demokratis dikenal dalam berbagai sistem pemerintahan, timbul pula
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
PESAN PIMPINAN
keinginan untuk menyelenggarakan hak-hak politik itu secara efektif. Untuk itu, timbul pula gagasan, bahwa cara yang terbaik untuk membatasi kekuasaan pemerintah ialah dengan suatu konstitusi, apakah ia berupa naskah (written constitution) atau tidak berupa naskah (unwritten consti-
tution).
Konstitusi, menjamin hak-hak politik dan menjalankan pembagian kekuasaan negara, sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi oleh kekuasaan parlemen dan lembagalembaga hukum. Gagasan ini dinamakan konstitusionalisme, sedangkan negara yang menganut gagasan ini dinamakan Constitutional State atau Rechtsstaat, dan konsep demokrasi yang dituangkan ke dalam konstitusi tersebut disebut sebagai demokrasi konstitusional. Istilah “negara hukum” yang kita kenal sekarang, atau dikenal luas dengan Rechsstaat (Eropa Kontinental) dan Rule of Law (Anglo Saxon), merupakan suatu penamaan yang diberikan oleh para ahli hukum pada permulaan abad ke-20 terhadap gagasan konstitusionalisme. Jika kita kembali pada konteks kebudayaan Indonesia, maka demokrasi yang dikembangkan adalah
Demokrasi Pancasila, yang menurut hemat saya telah terbukti sebagai common platform ideologis negarabangsa Indonesia yang paling tepat (feasible), sehingga cocok bagi kehidupan bangsa hari ini dan di masa datang. Sampai saat ini saya belum melihat alternatif common platform ideologis lain, yang tidak hanya dapat diterima (acceptable) bagi bangsa, tetapi juga cocok (viable) dalam perjalanan negara-bangsa Indonesia. Dengan posisi Pancasila yang demikian krusial, saya melihat urgensi yang mendesak untuk melakukan revitalisasi terhadap nilai-nilai Pancasila. Terdapat tiga hal yang diwariskan oleh para pendiri bangsa Indonesia, yaitu negara yang dibentuk sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia, falsafah dan landasan ideologi bangsa yaitu Pancasila, dan Konstitusi Negara yang dijabarkan dalam Undang-undang Dasar 1945. Pancasila, yang sejak tahun 1945 telah dinyatakan sebagai dasar negara Republik Indonesia, mungkin memang masih memerlukan pendalaman dan penjabaran konseptual agar dapat menjadi sebuah paradigma yang handal. Pendalaman dan penjabaran ini amat urgen, karena amat sukar
membayangkan akan adanya sebuah negara Indonesia, yang dalam segala segi amat majemuk tanpa dikaitkan dengan Pancasila. Nasionalisme Indonesia adalah suatu semangat, suatu tekad, dan suatu program aksi politik, suatu das Sollen. Pancasila sesungguhnya adalah suatu faham yang berpendirian bahwa semua orang yang berkeinginan membentuk masa depan bersama di bawah lindungan suatu negara, tanpa membedakan suku, ras, agama ataupun golongan, adalah suatu bangsa. Seperti dikatakan Benedict Anderson, nation adalah suatu imagined community, sehingga kita harus memandang Pancasila bukan hanya merupakan ideologi negara, melainkan vision of state, yang dimaksudkan untuk memberi andasan filosofis bersama (common philosophycal ground) sebuah masyarakat plural yang modern, yaitu Masyarakat Indonesia. Namun demikian, perlu tetap diakui, bahwa sebagai landasan bermasyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan hak dan kewajiban yang sama, baik sebagai warga negara ataupun sebagai warga masyarakat, serta tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain. Dewasa ini, penyaluran aspirasi politik masyarakat telah dapat diakomodasikan dalam sistem multipartai. Pada satu sisi, hal ini dapat mencerminkan perwujudan demokrasi, akan tetapi pada sisi lain dapat mengarah pada pelanggaran terhadap nilai-nilai Pancasila. Hal tersebut pada akhirnya dapat diselewengkan dengan pembentukan kekuatan-kekuatan dengan memobilisasi kekuatan berdasarkan asas masing-masing. Hal ini dapat bermuara pada berkembangnya primordialisme sempit berdasarkan agama, etnis ataupun ras dan aspek kedaerahan lainnya.
Mewujudkan Masyarakat Madani di Indonesia
Terbentuknya masyarakat mada-
Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. Revised Edition ed. London and New York: Verso, 1991.
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
ni adalah bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam ajaran Islam, Nabi Muhammad sendirilah yang memberi teladan kepada umat manusia kearah pembentukan masyarakat berperadaban. Setelah belasan tahun berjuang di kota Mekkah tanpa hasil menggembirakan, Allah memberikan petunjuk untuk hijrah ke Yastrib. Setelah mapan dalam kota hijrah ini, Nabi mengubah nama Yastrib menjadi al-Madinat al-nabiy (kota nabi). Secara umum, kata “madinah” diartikan sebagai “kota”, namun secara etimologi, perkataan itu mengandung makna “peradaban”. Dalam bahasa Arab, peradaban memang dinyatakan dalam kata-kata madaniyah atau tamaddun. Tindakan Nabi mengubah nama Yastrib menjadi Madinah ini, pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat, atau proklamasi, bahwa beliau hendak mendirikan dan membangun mansyarakat beradab. Nabi secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat madani, dengan menggariskan ketentuan hidup bersama dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Dalam dokumen ini umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan politik. Dengan memahami prinsipprinsip itulah, kita dapat memahami masyarakat madani yang dibangun nabi, yaitu membangun masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis, dengan landasan takwa kepada Allah dan taat kepada ajaran-Nya. Salah satu prinsip penting pengembangan masyarakat madani adalah tegakknya keadilan, sebagaimana para rasul yang dikirim ke tengah umat manusia dibekali dengan kitab suci dan ajaran keadilan (QS alHadid: 25). Masyarakat madani juga tidak akan terwujud jika tidak terdapat semangat keterbukaan di masyarakat. Keterbukaan adalah konsekuensi dari kemanusiaan, suatu pandangan yang melihat sesama manusia secara
optimis dan positif, yaitu pandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, sebelum terbukti sebaliknya (QS Al-’Araf: 172, Al-Rum: 30). Setiap masalah harus diselesaikan dengan cara musyawarah, yang pada hakikatnya memberi hak untuk menyatakan pendapat, dan saling mengakui adanya kewajiban mendengar pendapat itu. Musyawarah ialah hubungan interaktif untuk saling mengingatkan tentang kebenaran dan kebaikan, serta ketabahan dalam mencari penyelesaian masalah bersama, dalam suasana persamaan hak dan kewajiban antara warga masyarakat (QS al-’Ashar). Itulah masyarakat demokratis, yang berpangkal dari keteguhan wawasan etis dan moral berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Masyarakat demokratis tidak mungkin tanpa masyarakat berperadaban, yang menuntut setiap orang dan kelompok masyarakat, untuk menghindar dari kebiasaan merendahkan orang atau kelompok lain (QS al-Hujurat: 11). Masyarakat Madani yang dibangun nabi itu, oleh sosiolog agama Robert N. Bellah, disebut sebagai masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern, bahkan
terlalu modern, sehingga setelah nabi sendiri wafat tidak bertahan lama. Timur tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti dirintis Nabi. Namun, jika kita bandingkan dengan konteks Indonesia yang multikultur dan majemuk, Pancasila, dan Konstitusi Negara yang dijabarkan dalam Undang-undang Dasar 1945, bisa disejajarkan dengan Piagam Madinah yang diupayakan Nabi dalam membangun peradaban di Madinah. Artinya, jika Robert N. bellah mengatakan bahwa nilai-nilai madani yang diajarkan Nabi saat itu terlalu modern dari zamannya, maka tidak ada kata lain untuk kita saat ini, bahwa nilai-nilai Pancasila dan Konstitusi Negara UUD 1945 adalah lahir pada saat yang tepat, dimana bangsa Indonesia bisa berifikir dan bertindak di era yang lebih modern. Permasalahannya adalah mampukah kita mewujudkan masyarakat madani, sebagaimana yang terwujud pada era Rasulullah Muhammad SAW, pada era kini dan akan datang. Wallahu’alam Bisawab.*
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
Parlementaria Edisi 83 Tahun XLII 2011 PESAN PIMPINAN
Potret Multikultural Dalam Perspektif Negara Kesatuan
LAPORAN UTAMA
> Perlukah Merevisi UU Perkapalan? > Dewan Akan Dalami Urgensi Perubahan UU Pelayaran > Revisi UU Pelayaran Pilihan Tepat > Kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi Migas Terhambat > Tidak Perlu Diubah Cukup Dengan PP
2 08 11 14 17 19
SUMBANG SARAN
Menunggu Tuntasnya Reformasi Pelayaran Indonesia
22
PENGAWASAN
Laporan Utama
08 | Perlukah Merevisi UU Pelayaran? Undang-Undang Pelayaran ini sebetulnya belum lama disahkan DPR RI, atau tepatnya disahkanpada 8 April 2008 dalam Rapat Paripurna DPR RI yang dipimpin Ketua DPR Agung Laksono. UU ini merupakan penyempurnaan UU Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.
> Bulog Belum Bertanggungjawab Secara Penuh Terhadap Penyaluran Beras Miskin Kepada Masyarakat > Panja Ingin Jamsostek Kembali Pada Fungsi Sosialnya
Anggaran Pembangunan Gedung Baru DPR RI
64 | Hasil Perhitungan Kementrian PU Kebijakan pembangunan telah ditetapkan melalui rapat konsultasi, dewan, dan BURT yang menetapkan pembangunan gedung baru pada awal tahun 2011 melalui keputusan Rapat Konsultasi Pimpinan DPR RI, Pimpinan BURT dengan Pimpinan Fraksi, pada tanggal 19 Oktober 2010.
30
ANGGARAN
DPR Dukung Program Anggaran Nelayan
LEGISLASI
> Kedepankan Prinsip Kepentingan Umum > RUU Tentang Keimigrasian Disahkan > DPR Tuntaskan 4 RUU Pada Akhir Masa Sidang II
PROFIL Sorotan
26
Yasti Soepredjo Mokoagow (F-PAN)
kUNJUNGAN KERJA DPR
34 38 42 44 48 50
SOROTAN
Hasil Perhitungan Kementrian Pekerjaan Umum
LIPUTAN KHUSUS
Demokrasi Tidak Bisa DIdikte
66 70
SELEBRITIS
Banyak Tawaran Parpol “Nadine Chandrawinata”
72
PERNIK
Memberikan Dukungan Optimal Sesuai Dengan Tuntutan dan Perkembangan Lingkungan Strategis
POJOK PARLE Tukar Posisi
76 78
Anggaran
38 | Kedepankan Prinsip Kepentingan Umum Citra nelayan masih sangat identik dengan kemiskinan. Kemiskinan nelayan merupakan suatu ironi bagi sebuah negara maritim seperti Indonesia, walau data yang valid tidak mudah diperoleh. Pengamatan visual atau yang dilakukan secara langsung ke kampung-kampung nelayan dapat memberikan gambaran yang jauh lebih gamblang mengenai perekonomian nelayan di tengah kekayaan laut yang begitu besar.
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
SUSUNAN REDAKSI PARLEMENTARIA EDISI 83 TH.XLII 2011 Pengawas Umum Pimpinan DPR RI Penanggung Jawab/ Ketua Pengarah Dra. Nining Indra Shaleh, M.Si Wakil Ketua Pengarah Achmad Djuned SH, M.Hum Pimpinan Pelaksana Helmizar Pimpinan Redaksi Djustiawan Widjaya Wakil Pimpinan Redaksi Liber S. Silitonga, Mediantoro SE
Anggota Redaksi Dra. Trihastuti
Nita Juwita, S.Sos, Sugeng Irianto, S.Sos M. Ibnur Khalid, Iwan Armanias, Suciati, S.Sos Faizah Farah Diba, Agung Sulistiono, SH
Fotografer Eka Hindra Rizka Arinindya
Sirkulasi Supriyanto Alamat Redaksi/Tata Usaha Bagian Pemberitaan DPR RI Lt. II Gedung Nusantara II DPR RI, Jl. Jend. Gatot Soebroto Senayan, Jakarta Telp. (021) 5715348, 5715350, Fax (021) 5715341 Email :
[email protected] www.dpr.go.id/berita
!
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
LAPORAN UTAMA
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
P
residen Republik Indonesia melalui Surat Nomor R-100/ Pres/12/2010 pada tanggal 16 Desember 2010 telah menyampaikan kepada DPR RI Rancangan UndangUndang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Presiden menugaskan Menteri Perhubungan, Menteri Hukum dan HAM, serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral baik secara sendirisendiri maupun bersama-sama mewakili Pemerintah dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut bersama Komisi V DPR RI. Perubahan Undang-undang tersebut juga telah dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2011 yang merupakan usul inisiatif dari Pemerintah. Undang-Undang Pelayaran ini sebetulnya belum lama disahkan DPR RI, atau tepatnya disahkan pada 8 April 2008 dalam Rapat Paripurna DPR RI yang dipimpin Ketua DPR Agung Laksono. UU ini merupakan penyempurnaan UU Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Dalam rangka memberdayakan industri pelayaran nasional, Pemerintah telah berkomitmen untuk mene-
Raker Komisi V DPR dengan Menteri Perhubungan, Perwakilan Menteri ESDM dan Perwakilan Menteri Huklum dan HAM
rapkan azas cabotage secara konsekuen yang harus didukung oleh semua sektor baik Gubernur, Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia. Komitmen ini diwujudkan Pemerintah dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Dalam Maritime Encyclopedie (penerbitan C.de Boer, Bussum, Belanda) cabotage adalah pengangkutan orang dan barang melalui laut, udara, daratan dan perairan pedalaman antara dua tempat yang terletak dalam wilayah negara yang sama. Di bidang pelayaran khususnya angkutan laut dalam negeri, inti dari azas cabotage ini merupakan pemberian hak istimewa oleh negara kepada kapal-kapal niaga berbendera negara yang bersangkutan untuk
dapat sepenuhnya melakukan angkutan barang dan orang dari dan ke pelabuhan-pelabuhan negara yang bersangkutan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku berupa kepemilikan armada tersebut wajib dimiliki dan dioperasikan oleh warga negara atau badan usaha yang dibentuk berdasarkan ketentuan hukum negara tersebut. Dalam penerapan azas cabotage dimaksud Pemerintah telah merumuskan kebijakan dan langkah-langkah pelaksanaan yang diperlukan dan salah satunya dikukuhkan dalam bentuk landasan legalitas yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Di dalam undang-undang tersebut dalam Pasal 8 ayat (1) diatur bahwa kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
LAPORAN UTAMA
Raker Komisi V DPR dengan Menteri Perhubungan, Perwakilan Menteri ESDM dan Perwakilan Menteri Huklum dan HAM
angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia. Selanjutnya di dalam Pasal 8 ayat (2) telah diatur bahwa kapal asing dilarang mengangkut penunpang dan/ atau barang antar pulau atau antar pelabuhan di wilayah perairan Indonesia. Untuk memberikan kepastian hukum dan jangka waktu pelaksanaan pemberlakuan azas cabotage secara terukur, pada ketentuan peralihan dalam Pasal 341 telah dirumuskan mengenai kapal asing yang saat ini masih melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri tetap dapat melakukan kegiatannya paling lama 3 (tiga) tahun sejak undang-undang ini
10
berlaku, yang berarti akan segera berakhir pada tanggal 7 Mei 2011. Seiring berjalannya waktu, Pemerintah memandang penerapan UU tersebut, yang menyangkut azas cabotage belum dapat terlaksana secara konsekuen khususnya pada kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi di perairan/ lepas pantai. Hal ini disebabkan, kapal-kapal penunjang operasi minyak dan gas bumi berbendera Indonesia belum cukup tersedia. Kondisi ini berakibat, akan menghambat kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi yang mengakibatkan terganggunya kelangsungan produksi minyak dan gas bumi, terhentinya penemuan cadangan baru, menurunnya penerimaan
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
negara dan tidak tercapainya ketahanan energi nasional yang tentunya akan berdampak pada kesejahteraan rakyat Indonesia. Untuk itulah, Pemerintah memandang perlu untuk melakukan Perubahan terhadap UU tersebut, dengan maksud agar kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi tidak mengalami hambatan. Berbagai tanggapan muncul seiiring dengan pengajuan usulan Perubahan UU tersebut oleh Pemerintah. Kalangan Pengusaha Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional Indonesia (INSA) mengatakan dengan tegas UU Pelayaran tidak perlu dilakukan revisi. Mereka berpendapat UU tersebut telah mengakomodir seluruh pemangku kepentingan. Jika ada kendala pada salah satu pasal khususnya penerapan azas cabotage, hal ini dapat diatasi dengan mengeluarkan ketentuan berupa Peraturan Pemerintah (PP) atau media penunjang hukum lainnya. Sama halnya dengan INSA, Indonesian Cabotage Advocation Forum (INCAFO) juga berpendapat UU tentang Pelayaran tidak perlu dilakukan revisi. Di kalangan Dewan pun timbul pro dan kontra perlu tidaknya dilakukan revisi UU ini. Menanggapi kontroversi tersebut, Komisi V DPR saat Rapat kerja dengan Menteri Perhubungan, Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral akhirnya mengambil dua kesimpulan penting yaitu Komisi V DPR RI meminta kepada Pemerintah untuk mengubah Peraturan Perundang-Undangan dibawah Undang-undang terkait ketentuan pengoperasian kapal untuk kepentingan kegiatan usaha minyak dan gas bumi lepas pantai (offshore) yang bersifat khusus, dan tidak digunakan untuk mengangkut orang dan/atau barang. Komisi V DPR juga sepakat untuk melakukan pendalaman lebih lanjut perlu tidaknya mengubah UndangUndang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. (tt)
Dewan Akan Dalami Urgensi Perubahan UU Pelayaran Komisi V DPR RI telah melakukan rapat kerja dengan beberapa Menteri yang ditunjuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melakukan pembahasan Perubahan Rancangan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaraan.
M
enteri-menteri tersebut adalah Menteri Perhubungan, Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Selain dengan ke tiga menteri tersebut, Komisi V DPR juga telah mengundang pemangku kepentingan lainnya, agar dapat memberikan berbagai masukan terkait dengan usulan Pemerintah untuk melakukan Perubahan terhadap Undang- Undang Pelayaran. Usulan Perubahan tersebut mengundang pro dan kontra dari berbagai kalangan. Kalangan Pengusaha Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional Indonesia (INSA) berpendapat UU tentang Pelayaran tidak perlu dilakukan revisi karena UU tersebut telah cukup mengakomodir seluruh kepentingan stakeholders di bidang pelayaran. Hal senada juga disampaikan
Wakil Ketua Komisi V DPR, Muhidin M. Said
Indonesian Cabotage Advocation Forum (INCAFO) bahwa UU Pelayaran
tidak perlu dilakukan revisi. INCAFO memberi rekomendasi agar pemilik kapal asing segera melakukan kemitraan dengan perusahaan nasional Indonesia untuk dapat membuat perusahaan patungan dengan mayoritas kepemilikannya bangsa Indonesia. Menanggapi sikap pro dan kontra dari pemangku kepentingan, Wakil Ketua Komisi V DPR Muhidin M. Said mengatakan, dalam rapat kerja dengan tiga menteri , Komisi V telah mengambil kesimpulan rapat bahwa Komisi V DPR RI meminta kepada Pemerintah untuk mengubah Peraturan Perundang-Undangan dibawah Undang-undang terkait ke-
tentuan pengoperasian kapal untuk kepentingan kegiatan usaha minyak dan gas bumi lepas pantai (offshore) yang bersifat khusus, dan tidak digunakan untuk mengangkut dan/atau
barang. Komisi V DPR juga sepakat untuk melakukan pendalaman lebih lanjut perlu tidaknya mengubah UndangUndang Nomor 17 tahun 2008 ten-
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
11
LAPORAN UTAMA
Kapal jenis C untuk pengeboran minyak
tang Pelayaran. Menurut Muhidin kesimpulan rapat yang diambil Komisi V DPR merupakan keputusan tepat mengingat waktu yang relatif sangat terbatas untuk melakukan revisi undangundang tersebut. Muhidin mengatakan, untuk melakukan perubahan terhadap UU tersebut, tidak mungkin dapat diselesaikan dengan cepat. Padahal, katanya, ada kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan untuk tetap menjaga stabilitas lifting minyak. Batas waktu penggunaan kapal asing akan berakhir pada tanggal 7 Mei 2011. Ini berarti mulai tanggal 7 Mei 2011 kapal-kapal berbendera asing dan diawaki Warga Negara asing tidak dapat lagi beroperasi di perairan Indonesia. “Tidak mungkin dalam waktu sependek itu kita melakukan revisi,” kata Muhidin. Oleh karena itu, pada saat rapat kerja dengan tiga menteri, yaitu Menteri Perhubungan, Menteri ESDM dan Menteri Hukum dan HAM, Komisi
12
V DPR meminta kepada Pemerintah melakukan perbaikan atau merubah Peraturan Pemerintah terkait operasionalisasi azas cabotage. Perubahan Peraturan Pemerintah ini perlu segera dilakukan mengingat batas waktu yang sangat singkat, sehingga tidak akan mengganggu lifting minyak kita dan tidak akan berpengaruh pada perekonomian nasional. Setelah Peraturan pemerintah itu dilakukan perubahan, Dewan akan mendalami apakah UU Pelayaran perlu dilakukan perubahan atau tidak, apakah cukup dengan Peraturan Pemerintah saja. “Tergantung perdebatannya dan juga tergantung urgensinya nanti,” kata Muhidin. Usulan Perubahan UU tersebut memang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas 2011. Presiden juga telah menugaskan tiga menteri untuk melakukan pembahasan bersama-sama dengan DPR. Namun tentunya, Dewan perlu mendengar aspirasi dari seluruh
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
pemangku kepentingan dan jika setelah didalami perlu dilakukan revisi, dewan tentunya akan merevisi. Jika perubahan itu dilakukan, Dewan akan mempelajari lebih mendalam bukan hanya seputar pasal 341 yang menjadi permasalahan sekarang, tapi juga akan membuka ruang untuk beberapa hal-hal yang selama ini menjadi pertentangan antara operator dengan regulator, khususnya di bidang kepelabuhan dan keberadaan BUMN di bidang pelabuhan. Karena masih banyak permasalahan terjadi di sini. Jika masih terjadi salah penafsiran dalam UU tersebut, tentunya perlu diperbaiki, didiskusikan dan dicarikan jalan keluar agar semua sektor perekonomian bisa berjalan dengan baik. Muhidin menjelaskan, Cabotage itu sebenarnya definisinya hanya mengangkut barang dari pelabuhan ke pelabuhan di wilayah suatu negara. Artinya, ia mengangkut barang dan manusia dari pelabuhan ke pelabuhan di wilayah suatu negara harus berbendera negara itu, bendera Indonesia.
Permasalahan Kelompok “C”
Permasalahan yang terjadi sekarang menyangkut offshore kapal kelompok “C” untuk pengeboran minyak. Dalam hal ini, apakah offshore termasuk jenis kapal khusus untuk keperluan pengeboran minyak. Tentunya ini perlu mendapat kajian lebih mendalam. Untuk menanggulangi agar para investor tidak keluar dan untuk menjaga stabilitas lifting minyak, untuk sementara waktu cukup merevisi dulu Peraturan Pemerintah ini. Sambil melakukan kajian apakah dimungkinkan nantinya termasuk kapal-kapal khusus yang menyangkut
offshore.
Menanggapi pro dan kontra terhadap usulan revisi UU tersebut, Muhidin mengatakan, Dewan sepakat untuk memberdayakan industri pelayaran nasional dan mendukung azas cabotage secara konsekuen. “Kita harus tetap menjaga nasionalisme untuk tetap mengutamakan kapal berbendera Indonesia,” kata Muhidin. Tetapi di satu sisi pengusaha pelayaran nasional harus mulai mempersiapkan diri untuk menyediakan kapal-kapal penunjang operasi minyak dan gas bumi yang berbendera Indonesia. “Jangan seperti sekarang, kita ingin menerapkan azas cabotage tetapi di sisi lain kita belum cukup tersedia untuk kapal-kapal jenis khusus ini,” tambahnya. Komisi V DPR akan melihat secara langsung apakah betul memang kita mempunyai kemampuan untuk itu. Apakah sebagian kapal-kapal Kelompok “C” itu sudah ada, dan kalau belum cukup tersedia , tentunya Komisi V DPR akan mencarikan solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan tersebut. Dewan juga berharap, Pemerintah membina para pengusaha-pengusaha bidang perkapalan, sehingga kelak mereka bisa menjadi tuan rumah di negaranya sendiri. Muhidin mengatakan, ketika Komisi V DPR menanyakan keberadaan kapal kelompok “C” ini,
Raker Komisi V DPR dengan Menteri Perhubungan, Perwakilan Menteri ESDM dan Perwakilan Menteri Huklum dan HAM
Ketua INSA mengakui ada tiga jenis kapal yaitu kelompok A, B, dan C. Untuk kapal-kapal A dan B ini tidak ada masalah tetapi kelompok C ini bermasalah. “Inilah yang harus dibuktikan seberapa jauh kesiapan mereka. Kalau pengusaha pelayaran nasional memang siap, tentu saja kita harus memberikan kesempatan. Tetapi kalau tidak mampu, tentunya kita harus mengambil langkah-langkah untuk menjaga perekonomian nasional dan menjaga lifting minyak kita,” katanya. Lebih jauh Muhidin menegaskan, Peraturan Pemerintah ini harus segera dilakukan perubahan mengingat batas waktu beroperasinya kapal asing di lepas pantai Indonesia hanya sampai tanggal 7 Mei 2011. Jika hal ini tidak segera diantisipasi dikhawatirkan lifting minyak terganggu sampai dengan 200-300 ribu barel. “Bayangkan saja kalau sepertiga keluar, perekonomian kita bisa jeblok,” kata Muhidin. Menyangkut azas cabotage ini, menurut Muhidin, Dewan sepakat kalau untuk mengangkut orang atau barang dari pelabuhan ke pelabuhan sifatnya sudah final. Tetapi, untuk kapal kelompok “C”, masih membuka ruang untuk melakukan perdebatan demi menjaga kepentingan bangsa dan negara. Dalam hal kapal kelompok “C”
ini, Pengusaha Pelayaran Nasional minta diberi kesempatan untuk memenuhi kapal-kapal penunjang operasi minyak dan gas bumi. Mereka juga meminta Pemerintah memberikan pembinaan dan memberikan kemudahan urusan Perbankan. Pembinaan ini perlu dilakukan Pemerintah supaya mereka bisa kuat, mampu, dan dapat berdiri sendiri, dan mampu menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Memang disadari ini tidaklah mudah. Kapal-kapal Kelompok “C” ini harganya sangat mahal, langka dan pemakaiannya sangat terbatas. Tapi kalau Pemerintah membina, memberikan dukungan dan mereka mampu saya kira tidak masalah,” tambah Muhidin. Sejauh ini, Peraturan Pemerintah untuk mengatasi permasalahan tersebut sudah dipersiapkan, paling lambat sebelum batas waktu beroperasinya kapal asing berakhir, Peraturan Pemerintah tersebut sudah harus keluar. Dewan berharap dengan keluarnya Peraturan Pemerintah tersebut merupakan solusi terbaik dan tidak merugikan salah satu pihak baik pengusaha pelayaran nasional dan tidak mengganggu tugas pokok dan fungsi BP Migas. Sehingga kekhawatiran terganggunya kelangsungan produksi minyak dan gas bumi tidak akan terjadi. (tt)
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
13
LAPORAN UTAMA
Revisi UU Pelayaran Pilihan Tepat Sejak Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran disahkan, telah dirumuskan mengenai kapal asing yang saat ini masih melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri tetap dapat melakukan kegiatannya paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-undang ini berlaku. Ini berarti, beroperasinya kapal-kapal asing itu akan segera berakhir pada tanggal 7 Mei 2011.
M
Menteri Perhubungan RI Freddy Numberi
enteri Perhubungan Freddy Numbe-ri mengatakan, Pemerintah telah berkomitmen untuk menerapkan asas cabotage secara konsekuen yang harus didukung oleh semua sektor, Gubernur, Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Namun, dalam perjalanan waktu hampir 3 (tiga) tahun penerapan Undang-undang tersebut, asas cabotage belum dapat terlaksana secara konsekuen khususnya pada kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi di perairan/lepas pantai, karena belum tersedianya atau belum
cukup tersedia kapal-kapal penunjang operasi minyak dan gas bumi berbendera Indonesia. Menurut Freddy, kondisi ini akan dapat menghambat kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi yang mengakibatkan terganggunya kelangsungan produksi minyak dan gas bumi, terhentinya penemuan cadangan baru, menurunnya penerimaan negara, dan tidak tercapainya ketahanan energi nasional yang tentunya akan berdampak pada kesejahteraan rakyat Indonesia. Dengan diberlakukannya asas cabotage yang dimulai sejak diterbitkannya Instruksi Presiden tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional, menunjukkan adanya pe-
ningkatan jumlah dan tonase armada niaga nasional selama 5 (lima) tahun terakhir. Industri pelayaran nasional telah berkembang secara signifikan dari 6.041 unit (5,67 juta Gross Tonnage) pada bulan Maret 2005 menjadi 9.945 unit (13,1 juta Gross Tonnage) pada bulan Desember 2010 atau meningkat sebesar 64,63 % dalam jumlah jumlah armada niaga dan meningkat 136,8% dalam ukuran Gross Tonnage, dan peningkatan pangsa muatan armada niaga nasional yang semula 55,5% dari total muatan angkutan laut dalam negeri pada bulan Desember 2005 menjadi 98,1 % pada bulan Desember 2010. Berdasarkan data kebutuhan
Perkembangan Armada Kapal Sejak Diberlakukannya AsasCabotage Sejak Tahun 2005 JUMLAH ARMADA KAPAL 2005 6.041 Unit (5,67 juta Gross Tonnage)
14
PROSENTASE PENINGKATAN 2010
9.945 Unit (13,1 juta Gross Tonnage)
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
64,62 %
dan ketersediaan kapal berbendera Indonesia, terdapat kebutuhan terhadap beberapa jenis kapal yang belum ada atau belum cukup tersedia kapal berbendera Indonesia di dalam nege ri antara lain untuk kegiatan, survei minyak dan gas bumi, pengeboran, konstruksi lepas pantai dan penun-
besar, teknologi rumit, jumlah kapalkapal tesebut di dunia terbatas, penggunaan kapal tersebut bersifat global (global market) dan mobile serta waktu penggunaan yang singkat dan tidak berkelanjutan. Sementara, data kebutuhan kapal untuk kegiatan penunjang kapal-
sebanyak 16 unit terutama untuk survey seismic 3 dimensi. Ke dua, kapal untuk kegiatan pengeboran yang terdiri dari kapal jack up rig, semi submersible rig, deep water drill ship, dan tender assist rig sebanyak 55 unit. Ke tiga, kapal untuk kegiatan
KEBUTUHAN KAPAL PENUNJANG KEGIATAN USAHA HULU MIGAS S/D TAHUN 2015 No
JENIS KAPAL
TENTANG
1.
Kapal Survey (Seismic, geofisika dan geoteknik
16 unit
2.
Kapal Pengeboran (jack up rig, semi submersible rig, deep water drill ship, dan tender assist rig
55 unit
3.
Kapal Konstruksi (main working barge, derrick,crane/pipe/cable/ Subsea Umbilical Riser Flexible (SURF) laying barge/vessel)
42 unit
4.
Kapal penunjang operasi (AHTS) Deep Water > 6.000 BHP dengan Dynamic Position, Diving Support Vessel, fast metal crewboat dan platform supply vessel DP-2
122 unit
POTENSI PRODUKSI YANG DAPAT DISELAMATKAN PADA TAHUN 2011 MELALUI KAPAL-KAPAL KATEGORI C Asumsi Harga Minyak Mentah Sebesar USD 80/BBLS
BOEPD (Barel Oil Equivalent Day)
BBLS (Billion Barels)
Potensi Kehilangan Revenue (USD)
Produksi yang ditampung di FSO berbendera asing
134.369
49.044.685
3.923.574.800
Produksi dari Pemboran Sumur dan Work Over
44.010
16.063.650
1.285.092.000
Total
178.379
65.108.335
5.208.666.800
Produksi
jang operasi lepas pantai. Freddy mengatakan, ketersediaan kapal tersebut sulit dipenuhi dari kapal yang berbendera Indonesia, karena pengadaan kapal tersebut membutuhkan investasi yang cukup
kapal penunjang operasi minyak dan gas bumi sampai dengan tahun 2015 sebanyak 235 unit dengan rincian, pertama, kapal untuk kegiatan survei minyak dan gas bumi yang terdiri dari kapal seismic, geofisika dan geoteknik
konstruksi lepas pantai yang terdiri dari kapal main working barge, derrick/crane/pipe/cable/Subsea Umbilical Riser Flexible (SURF) laying barge/vessel (DSV) sebanyak 42 unit dan kapal untuk kegiatan penunjang
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
15
LAPORAN UTAMA
operasi lepas pantai yang terdiri dari kapal AHTS Deep Water > 6000 BHP dengan Dynamic Position, Diving Support Vessel, fast metal crewboat dan platform supply vessel DP-2 sebanyak 122 unit. Freddy menambahkan, Pemerin-
has antar instansi serta pemangku kepentingan terkait yang akan mengatur mengenai kapal tertentu yang digunakan untuk menunjang kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi di perairan/lepas pantai yang masih dapat menggunakan ka-
HARGA KAPAL KATEGORI “C”
JENIS KAPAL
HARGA
KETERANGAN
Jack Up Rig
Rp. 0,6 Triliun
Harga Bekas
Semi Submersible
Rp. 3,85 Triliun
Drill Ship
Rp. 6 Triliun
Largest Pipe Laying Ship
Rp. 2 Triliun
Survey Seismik
Rp. 1,3 Triliun
tah telah menyiapkan Rancangan Peraturan Menteri Perhubungan sebagai pelaksanaan dari Rancangan UndangUndang tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 17 Tahun 2008 tentang Palayaran. Rancangan Peraturan Menteri Perhubungan dimaksud telah diba-
pal asing. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang diusulkan oleh Pemerintah melalui surat Presiden Nomor R-100/Pres/12/2010 tanggal 16 Desember 2010 merupakan pilihan yang tepat untuk ditempuh secara yuridis.
Jenis kapal kategori “C”
16
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
Kapal Penunjang
Tanpa Perubahan :
Kegiatan Eksplorasi Dan Eksploitasi Migas Terhambat
Instansi yang paling berkepentingan mengusulkan Perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran adalah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
D
irektur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Evita H. Legowo mengatakan, Perubahan UU Nomor 17 Tahun 2008 perlu dilakukan mengingat penerapan UU tersebut tidak dapat dilaksanakan secara konsekuen pada kegiatan eksplorasi dan eksploitai migas di perairan/lepas pantai, karena belum tersedianya atau belum cukup tersedianya kapal-kapal penunjang operasi migas berbendera Indonesia. Menurut Evita, ketersediaan kapal tersebut sulit dipenuhi dari bendera Indonesia, karena investasi besar, teknologi rumit, terbatasnya kapal-kapal tersebut di dunia, pasaran bersifat global dan mobile serta waktu penggunaan yang singkat dan tidak berkelanjutan. Sehingga, tanpa adanya perubahan UU tersebut, maka kegiatan eksplorasi dan produksi migas di lepas pantai akan terhambat yang mengakibatkan terganggunya kelangsungan produksi migas, terhentinya penemuan cadangan baru, menurunnya penerimaan negara dan tidak tercapainya ketahanan energi nasional. Evita memberikan gambaran permasalahan secara detail bahwa apabila tidak segera dilakukan perubahan UU No, 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, maka akan menimbulkan berbagai permasalahan yaitu, terkendalanya pelaksanaan komitmen survey seismic sebesar USD 188 juta dan tertundanya pelaksanaan komitmen pengeboran sumur eksplorasi dan pengembangan migas sebesar USD 2.8 milyar.
Selain itu, terhambatnya realisasi proyek-proyek tahun 2011 dalam rangka pengembangan lapangan migas lepas pantai di blokblok Kalimantan Timur, Selat Makassar, Sumatera Tenggara, Natuna Blok A dan B, Pangkah, Kangean, Madura Barat, Lepas Pantai Jawa Barat Bagian Utara, Sampang dan Mahakam. Permasalahan lain yang ditimbulkan adalah, terganggunya target produksi migas nasional dari lapangan migas offshore terhitung mulai 7 Mei 2011 sebesar minyak bumi 156.020 BOPD, gas bumi 2.549 MMSCFD, dengan total 595.000 BOEPD. Evita menjelaskan, MiDirektur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, gas masih memiliki peran Evita H. Legowo yang sangat penting dan mendominasi dalam perUSD 12.565 milyar. Data produksi migas menunjukekonomian nasional. Hal ini terlihat dari sumber penerimaan negara pada kan bahwa 32,13 % (303.579 BOPD) tahun 2010 sebesar Rp 215 triliun atau produksi minyak bumi dan 59.78% (5.581 MMSCFD) produksi gas bumi 22 % dari total penerimaan negara. Juga untuk memenuhi kebutu- berasal dari lepas pantai. Pada tahan bahan bakar domestik (BBM lebih hun 2010, dari 24 wilayah kerja yang kurang 60 juta KL dan Gas Bumi lebih ditawarkan, 75% merupakan wilayah kurang 4.509 MMSCFD serta bahan lepas pantai yang menandakan pobaku industri (BBM lebih kurang 10 tensi peningkatan produksi migas juta KL dan Gas Bumi lebih kurang semakin bergerak kearah lepas pan1.300 MMSCFD) pada tahun 2010. tai. Menurut Evita, Azas Cabotage Selain menciptakan efek berantai digunakan oleh sedikitnya 43 negara dalam pertumbuhan ekonomi nasi- di dunia. Namun pada umumnya azas onal melalui realisasi belanja kegiatan cabotage tidak diterapkan untuk kahulu migas pada tahun 2010 sebesar pal-kapal penunjang eksplorasi dan
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
17
LAPORAN UTAMA Penerapan Azas Cabotage Industri Migas Di Indonesia STATUS BENDERA INDUSTRI MIGAS
s.d. 2010
s.d. 2009
JENIS KAPAL
INDONESIA
ASING
INDONESIA
ASING
115
34
167
0
Tanker Crude Oil Tanker Black Oil Tanker BBM
HILIR
Tanker LPG FSO STATUS BENDERA INDUSTRI MIGAS
INDONESIA
ASING
INDONESIA
ASING
Survey
2
7
2
7
Pengeboran
0
22
4
18
Konstruksi
0
84
0
84
Penunjang Operasi
500
56
582
24
HULU
eksploitasi lepas pantai. Di Brazil dan Australia, azas Cabotage dapat diterapkan dengan baik, namun tidak untuk kapal-kapal penunjang eksplorasi dan eksploitasi lepas pantai, dan mereka sangat memberikan kemudahan dalam hal perijinan. Sementara Nigeria dan Anggola yang mencoba menerapkan azas Cabotage untuk kapal-kapal penunjang eksplorasi dan eksploitasi lepas pantai menemui kendala karena tidak tersedianya kapal-kapal tersebut, akibatnya menyebabkan ekonomi biaya tinggi karena permasalahan perijinan dan birokrasi. Sebetulnya, kata Evita, inti dari perubahan UU tentang Pelayaran tersebut ada pada Pasal 341, yang berbunyi, Kapal asing yang ssat ini masih melayani kegiatan angku-
18
s.d. 2011
s.d. 2010
JENIS KAPAL
tan laut dalam negeri tetap dapat melakukan kegiatannya paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku. Pihaknya mengusulkan Perubahan Pasal 341 menjadi Kapal asing yang saat ini masih melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri tetap dapat melaksanakan kegiatannya paling lama 3 (tiga) tahun sejak UndangUndang ini berlaku, kecuali untuk kapal tertentu yang pelaksanaannya lebih lanjut ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Yang dimaksud dengan “kapal tertentu” adalah kapal-kapal untuk kegiatan : survey minyak dan gas bumi, pengeboran, kontruksi lepas pantai dan penunjang operasi lepas pantai. Sepanjang kapal tersebut belum ada atau belum cukup tersedia yang berbendera Indonesia.
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
Evita juga mengusulkan perubahan UU tersebut harus mengatur beberapa jenis kapal-kapal penunjang migas yang belum ada atau belum cukup tersedia berbendera Indonesia. Seperti, kapal untuk kegiatan survey seismik, geofisika dan geoteknik, kapal untuk kegiatan pengeboran lepas pantai, kapal untuk kegiatan konstruksi lepas pantai dan kapal untuk kegiatan penunjang operasi lepas pantai. Tanpa adanya pengecualian terhadap beberapa jenis kapal-kapal tersebut di atas, mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan tupoksi Ditjen Migas dalam menyusun dan melaksanakan kebijakan pemerintah terkait pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi yang berorientasi kepada pembangunan nasional yang berkelanjutan. (tt)
Tidak Perlu Diubah Cukup Dengan PP Persatuan Pengusaha Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional Indonesia atau Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) merupakan salah satu mitra kerja Komisi V DPR yang keberatan jika Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dilakukan perubahan.
A
lasan penolakan tersebut karena azas cabotage merupakan Program Nasional dan keberhasilannya merupakan Kedaulatan Negara.
di Dalam Negeri atau yang dikenal dengan roadmap azas cabotage. Ketua Umum INSA Johnson W. Sutjipto mengatakan, sejak 2005 hingga akhir 2009, program cabotage ber-
negeri meningkat secara signifikan yang ditandai dengan meroketnya jumlah armada niaga nasional. Hingga posisi Desember 2010, jumlah armada niaga nasional sudah
Perkembangan Armada Niaga Nasional (2005-2010)
PERIODE
JUMLAH KAPAL
Maret 2005
6.014
Maret 2009
8.321
Juli 2009
8.739
Oktober 2009
9.064
Oktober 2009
9.170
Desember 2009
9.309
Maret 2010
9.715
Oktober 2010
9.884
Desember 2010
9.945
Sumber : Kemenhub,INSA
Dilakukannya revisi sama dengan kontrak mengalahkan UU No. 17 Tahun 2008, artinya Pemerintah “gagal” melaksanakan azas cabotage dengan resiko Indonesia akan dipermalukan oleh negara lain. Pelaksanaan azas cabotage di Indonesia dimulai sejak keluarnya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Kementerian Perhubungan kemudian menerbitkan KM No. 71 tahun 2005 tentang Kegiatan Pengangkutan Laut Antar pelabuhan
jalan dengan baik. Seluruh kebutuhan kapal niaga nasional berbendera Indonesia mulai dari angkutan general cargo, container, migas dan batu bara bahkan offshore bisa dipenuhi oleh pelaku usaha pelayaran nasional. Pelaksanaan azas cabotage ini, kata Johnson, sejak tahun 2005 memberikan dampak yang luar biasa terhadap perekonomian nasional. Hal ini tercermin dari kegiatan investasi di sektor pengadaan kapal oleh pengusaha nasional baik sendiri maupun joint venture dengan pengusaha luar
mendekati angka 10.000 unit. Tercatat sebanyak 9.945 unit dengan perkiraan investasi baru selama 2005-2010 tersebut mencapai US$ 7,86 miliar dengan asumsi harga kapal everage US$ 2 juta per unit. Armada niaga nasional itu sejak azas cabotage diberlakukan tumbuh sebesar 65,4 % atau terjadi pertambahan sebanyak 3.931 unit kapal. Selain itu, perkembangan muatan dalam negeri yang diangkut kapal berbendera Merah Putih juga sangat signifikan. Saat ini, kata Johnson, ting-
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
19
LAPORAN UTAMA
Kapal Kelompok C Yang Sudah Tersedia di Indonesia
JENIS KAPAL
JUMLAH
OPERATOR
Cable/Pipe Laying Ship
1
PT Hafar Samudera
Seismic 2D
3
BPPT, LIPI, PPGL ESDM
Seismic 3D*
1
PT Elnusa
Jack Up Rig
6
PT Apexindo Pratama Duta
Keterangan : *Rencana Pengadaan 2011 Sumber : Diolah dari berbagai sumber
gal sekitar 11 juta ton atau 4,9% muatan domestik dari total 241,7 juta ton, terutama jenis migas offshore yang masih diangkut kapal berbendera asing. Dengan demikian, selama lima tahun terakhir, setidaknya ada 80 juta ton muatan domestik yang berhasil diselamatkan oleh pelayaran nasional dan diangkut dengan kapal nasional.
Menghambat Target Lifting Minyak Ide untuk merevisi UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran muncul dari Pemerintah, karena cabotage dianggap terlalu kaku dilaksanakan di Indonesia sehingga berpotensi menghambat pencapaian target lifting minyak karena kebijakan ini akan memangkas produksi minyak hingga
Rapat Dengar Pendapat Komisi V DPR dengan INSA dan INCAFO
Dengan rata-rata per ton tarif angkutan muatan tersebut sebesar US$ 25, maka setidaknya devisa negara dari nilai ongkos angkut yang berhasil diselamatkan dari program cabotage mencapai US$2 miliar.
20
200.000 barel per hari. “Padahal secara empiris hal ini belum terbukti,” kata Johnson. Sebetulnya, kata Johnson, penerapan azas cabotage tinggal menyisakan sektor offshore yang dikelom-
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
pokkan ke dalam kelompok “C”. Kapal offshore yang disebut kelompok “C” adalah jenis Jack Up Rig, Seismic 3D, Drillship, Modu, Construction Ship dan Cable/Pipe Laying Ship. Hingga saat ini, pemerintah mengklaim kapal jenis ini belum sanggup disediakan oleh pengusaha nasional, meskipun saat ini sebagian pengusaha nasional sudah menyediakan kapal jenis ini bahkan telah berbendera Merah Putih. Johnson mengatakan, jika Kepala BP. Migas mengatakan cabotage dapat mengancam lifting minyak gagal dicapai pada 2011 hal itu tidak sepenuhnya benar. Karena berdasarkan hasil survey akademis Dosen Maritim Institut Teknologi 10 November Saut Gurning, yang dilakukan selama November hingga Desember 2010 yang melibatkan operator migas asing sebagai nara sumber, hasilnya cukup mengejutkan. Dari survey tersebut, faktor pajak, pembiayaan dan delay proyek menjadi penyebab utama target lifting minyak nasional gagal tercapai. Survey itu menempatkan pelaksanaan azas cabotage di urutan kelima dari delapan indikator penyebab lifting tidak tercapai. Masalah pendanaan dalam negeri yang terbatas dan delay proyek menempati urutan teratas dengan dukungan 92% responden. Adapun faktor regulasi migas yang tidak jelas dipilih 62% responden dan faktor cuaca yang tidak
kan azas cabotage. Proteksi terhadap pengusaha nasional yang sudah mulai berinvestasi di sektor penyediaan kapal maupun fasilitas offshore kelompok “C” sangat diperlukan dengan tidak merevisi UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Saat ini. sejumlah perusahaan nasional sudah bersiap-siap masuk ke sektor offshore kelompok C sepert, PT Belian Laju Tanker (BLTA), PT Trada Maritim (Tram), PT Meratus, PT Hafar Samudera.
Rekomendasi INSA
Rapat Dengar Pendapat Komisi V DPR dengan Ikatan Alumni Fakultas Teknik Universitas Indonesia
bersahabat dipilih 46% responden. 62% responden tidak menempatkan cabotage sebagai faktor yang mengganggu lifting. Berdasarkan hasil survey tersebut, alasan lifting minyak dapat terancam akibat cabotage tidak terbukti. Namun mengapa Pemerintah tetap akan merevisi UU Pelayaran dengan alasan pengusaha Indonesia belum sanggup menyediakan kapal offshore kelompok “C” ? Johnson mengakui, kapal, fasilitas atau alat terapung offshore kelompok “C” yang berbendera Merah Putih populasinya memang masih sangat terbatas. Kondisi ini terjadi akibat pembinaan pemerintah yang minim karena sektor ini tidak pernah dibuka secara transparan kepada pengusaha nasional, terutama dari sisi kebutuhan, berapa lama kontraknya dan dimana bekerja karena pengadaan kapal jenis ini berbasis kontrak jangka panjang. Namun dalam setahun ini, ca-
botage sudah berhasil mendorong pengusaha nasional masuk ke sektor offshore kelompok “C”. Kapal yang diklaim belum bisa disediakan oleh pengusaha nasional, perlahan-lahan sudah bisa diadakan oleh pelaku usaha berbendera Merah Putih seperti jenis jack up, rig, cable/pipe laying ship dan seismic 3D. Menurut Johnson, para pemain offshore kelompok “C” ini sebenarnya sangat bergantung kepada cabotage, Karena jika cabotage dibubarkan maka opportunity mereka hilang dan competitiveness mereka anjlok mengingat kapal-kapal mereka dibiayai oleh perusahaan pembiayaan dalam negeri dengan bunga tinggi. Sementara kapal asing dibiayai oleh lembaga keuangan asing dengan bunga sangat rendah. Disparitas bunga bank di dalam negeri dan luar negeri bisa mencapai 6%-8%. Untuk itu, INSA berharap konsistensi pemerintah dalam menerap-
Inti permasalahan direvisinya UU tentang Pelayaran adalah tidak tersedianya kapal-kapal penunjang offshore kategori “C”. Karena kegiatan operasi kapal jenis ini tidak melakukan pemindahan penumpang ataupun barang, maka INSA memberikan beberapa rekomendasi mengatasi permasalahan tersebut. Rekomendasi tersebut adalah kapal-kapal penunjang offshore Kategori “C” dapat dikecualikan dari ketentuan umum Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 selama belum tersedia kapal sejenis yang berbendera Merap Putih. Untuk memenuhi kebutuhan kapal-kapal penunjang offshore khusus kategori “C”, sesuai UU No. 17 tahun 2008, Bab IV Pasal 5 Pemerintah selaku Pembina pelayaran dapat mengeluarkan ketentuan berupa Peraturan Pemerintah (PP) atau media penunjang hukum lainnya. Karena itu dengan tegas INSA berpendapat UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran tidak perlu diubah demi konsistensi hukum dan Kedaulatan Negara Republik Indonesia di mata asing. Dengan dibuatkannya Peraturan Pemerintah (PP) tanpa merubah UU No. 17 tahun 2008 ini, maka pelaksanaan azas cabotage tetap terjaga dan di lain pihak keinginan Pemerintah cq. BP Migas untuk memenuhi kebutuhan kapal penunjang offshore khusus kategori “C” dapat terpenuhi. (tt)
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
21
SUMBANG SARAN
Menunggu Tuntasnya Reformasi Pelayaran Indonesia Dalam sepuluh tahun terakhir perkembangan permintaan transportasi nasional mengalami pertumbuhan yang mengesankan. Pertumbuhan permintaan transportasi yang signifikan di berbagai moda kecuali Kereta Api, telah menunjukkan bahwa sektor ini adalah sangat dinamik dan mampu memberikan kontribusi bagi pertumbuhan Indonesia, baik dalam jangka menengah maupun panjang. transportasi yang signifikan di berbagai moda kecuali Kereta Api, telah menunjukkan bahwa sektor ini adalah sangat dinamik dan mampu memberikan kontribusi bagi pertumbuhan Indonesia, baik dalam jangka menengah maupun panjang. Pertumbuhan
Prof. Dr. Danang Parikesit (Guru Besar Transportasi Universitas Gadjah Mada, Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia, dan anggota The Board of Director, The Eastern Asia Society for Transportation Studies)
D
alam sepuluh tahun terakhir perkembangan permintaan transportasi nasional mengalami pertumbuhan yang mengesankan. Pertumbuhan permintaan
22
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
jumlah kapal pengangkut kargo dari 206,3 Juta Ton di tahun 2005 menjadi 286,4 juta Ton di tahun 2009 menunjukkan pertumbuhan sektor angkutan laut dan ketahanan (resilience) yang tinggi, termasuk pada saat krisis. Jumlah sektor yang dilayani oleh
angkutan udara juga meningkat pesat hingga mencapai 686 sektor terdiri dari 319 sektor yang dilayani dengan pesawat bermesin jet, dan 367 sektor yang dilayani dengan mesin propeler. Angkutan udara telah mengangkut 43,8 juta penumpang di tahun 2009 dengan load factor 82% yang meningkat pesat dibandingkan lima tahun lalu (2004) dengan sejumlah 23,7 juta penumpang. Di sektor angkutan darat, terdapat pertumbuhan jumlah penumpang yang dilayani oleh perusahaan angkutan, meskipun keselamatan lalulintas masih menjadi catatan bagi pemerintah dan pengusaha. Sektor transportasi laut, merupakan komponen strategis pembentuk sistem transportasi nasional baik bagi angkutan penumpang dan barang. Disamping itu, daya saing komoditas Indonesia baik barang maupun jasa terbentuk karena harga logistik nasional yang sebagian ditentukan oleh biaya transportasinya. Ada beberapa fenomena penting yang dapat diperhatikan dari pertumbuhan angkutan barang dan pelabuhan
di Indonesia. Pertama, perubahan harga atau tepatnya kenaikan harga komoditas ternyata sangat ditentukan oleh penanganan terhadap jenis komoditas yang diangkut. Semakin modern jenis komoditas yang diangkut, semakin komoditas tersebut memiliki ketahanan terhadap perubahan biaya angkut. Oleh karena itu untuk mempertahankan daya saingnya, jenis komoditas akan bergerak secara natural dari sistem bulk menjadi container dan ICT-based (lihat Gambar 1). Kedua, dari jumlah 1.887 pelabuhan yang tercatat di Kementerian Perhubungan (2011) terdapat 712 Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) dan 450 Terminal Khusus. Keadaan ini menunjukkan bahwa jumlah terminal dan pelabuhan yang tidak melayani kepentingan umum dan tidak dikelola pemerintah merupakan jumlah terbesar dari pelabuhan yang ada di Indonesia. Artinya cukup banyak perusahaan dan kawasan industri yang memiliki pandangan bahwa 111 pelabuhan komersial yang ada belum mampu melayani kebutuhan mereka, baik dari sisi efisiensi pelayanan mau-
pun dari lokasi geografisnya. Disamping itu dalam 5 (lima) tahun terakhir telah dibangun 100 terminal sebagai bagian dari pelabuhan yang telah ada, yang berarti kebutuhan untuk peningkatan kapasitas adalah sedemikian besar, terutama untuk menampung angkutan kontainer. Jelaslah bahwa masalah angkutan laut nasional memerlukan tanggapan pemerintah dalam pengaturan dan pengelolaannya. Terbitnya UU 17/2008 tentang Pelayaran membuka era baru dalam merespon tantangan modernisasi sistem pelayaran nasional serta memberikan kesempatan bagi usaha angkutan pelayaran domestik untuk mengembangkan kapasitas dan keberlanjutan usahanya. Setelah 3 (tiga) tahun dilaksanakannya UU 17/2008 tentang Pelayaran tersebut, saatnya pemerintah dan DPR meninjau kembali implementasi dari UU tersebut. Ada sekurangnya dua isu mutakhir penting yang perlu diperhatikan dalam penuntasan reformasi pelayaran nasional (1) mendorong semangat kompetisi baik di infrastuktur pelayaran, (2) mendorong peningkatan kapasitas pelayaran domestik dan daya saing industri pelayaran dalam negeri.
Kompetisi di pelabuhan komersial
Kompetisi di pelabuhan komersial mengemuka dengan munculnya proyek besar peningkatan kapasitas pelabuhan Tanjung Priok. Tuntutan kecepatan respon pemerintah dalam memenuhi kapasitas pelabuhan internasional dan tekanan untuk membuka pasar investasi pelabuhan yang menjadi spirit UU 17/2008 menjadi tantangan besar pertama dari undang-undang. Pelabuhan di Indonesia saat ini menempati urutan keempat terbesar di Negara-negara Asia dengan 7 juta TEUs dibawah India dengan 7,9 juta TEUs. Pelabuhan Tanjung Priok yang merupakan pelabuhan terbesar di Indonesia, hingga tahun 2009 belum mampu menembus tingkat pelayanan 4 juta TEUs untuk
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
23
SUMBANG SARAN
mendorong pertumbuhan ekonomi nasional 7 – 8% per tahun. Pada saat yang sama, pemerintah membentuk Badan Otoritas Pelabuhan (BOP) yang merupakan regulator pelabuhan dan member konsesi usaha Badan Usaha Pelabuhan (BUP). Tarik-menarik kepentingan dan tujuan yang ingin dicapai dari reformasi penyelenggaraan pelabuhan telah menjadi penghambat besar dalam memenuhi pertumbuhan tinggi angkutan kontainer baik untuk kepentingan perjalanan di dalam negeri maupun internasional. Proses reformasi pelabuhan yang menurut Verhoeven (2006) terdiri dari beberapa kategori seperti privatisasi, korporatisasi dan komersialisasi saat ini belum menemukan bentuknya yang akhir dan sesuai dengan kondisi Indonesia yang harus menata arsitektur kelembagaan pelayaran nasional serta menetapkan rencana induk pelayaran nasional. Dengan tujuan pelabuhan yang multi fungsi dari pendukung pengembangan ekonomi nasional yang bersifat makro
24
hingga memastikan adanya pelabuhan yang secara finansial sehat secara berkelanjutan (Robinson, 2002; Notteboom, 2001; De Langen, 2004; Der Lugt dan De Langen, 2007; Cullinane, 2007), maka reformasi kearah kompetisi seperti amanat UU 18/2008 harus benar-benar terkawal (guided) dan terkendali (controlled). Kepentingan sektor publik yang bertemu dengan kepentingan sektor swasta untuk tata kelola korporasi yang baik sering menjadi dilema, terutama pada saat pemerintah belum memiliki pengalaman dalam pengelolaan pelabuhan yang selama ini menjadi domain BUMN Pelindo. Pilihan antara perubahan bertahap (gradual change) dan perubahan radikal (radical change) seharusnya telah menjadi opsi yang dikaji dampak serta penerimaannya (acceptability) oleh pemangku kepentingan begitu UU 17/2008 diundangkan. Kelambatan pemerintah menyiapkan tatakala yang baik dalam proses reformasi pelabuhan ini men-
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
jadi masalah besar karena demikian banyaknya pelaku yang selama ini menjadi kontraktor jasa kepelabuhanan dari BUMN Pelindo. Persoalan daerah kerja pelabuhan yang menjadi ujung pangkal debat publik antara Kementerian Perhubungan dan Pelindo/Kementerian BUMN terjadi karena kurangnya pemahaman mengenai kembalinya peran pemerintah dalam pengelolaan dan penguasaan asset pelabuhan, serta tidak jelasnya milestones yang akan ditempuh pasca UU 17/2008 bagi badan usaha pelabuhan.
“Cabotage” dan kesiapan industri pelayaran dalam negeri
Diskursus kebijakan publik yang mengemuka sejak awal tahun 2011 adalah penuntasan penerapan asas Cabotage untuk pelayaran domestik. Asas ini diterapkan di banyak Negara dengan maksud melindungi kepentingan industri pelayaran nasionalnya. Kebijakan dimaksud tertuang dalam Inpres No. 5/2005 yang ke-
mudian ditegaskan lagi dalam Undang-Undang Pelayaran No. 17/2008 khususnya yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) yang menyebutkan kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal berkewarnegaraan Indonesia. Selanjutnya dipertegas lagi dengan Pasal 8 Ayat (2) yang menyebutkan kapal asing dilarang mengangkut penumpang dan/atau barang antar pulau atau antar pelabuhan di wilayah perairan Indonesia. Data statistik pelayaran nasional yang digunakan untuk melihat efektifitas UU 17/2008 telah ditunjukkan dengan tumbuhnya jumlah perusahaan pelayaran pemegang SIUPAL dari jumlah 1.274 di tahun 2005 menjadi 1.758 di tahun 2009, dan kapasitas pelayaran nasional dari jumlah kapal 6.041 di tahun 2005 menjadi 9.884 di tahun 2009. Namun demikian, patut dicatat bahwa pertambahan jumlah kapal tersebut terjadi dan sejalan dengan nilai impor kapal senilai USD 2,7 milyar di tahun 2009. Dalam 3 (tiga) tahun usia Undang-Undang No 17/2008, azas Cabotage ini belum juga sepenuhnya dapat dilaksanakan secara tuntas khususnya untuk penggunaan kapal dalam rangka menunjang kegiatan ekplorasi dan produksi migas di perairan/lepas pantai karena kapal-kapal semacam itu yang berbendera Indonesia belum cukup tersedia. Dari 556 kapal untuk keperluan operasi hulu dari minyak dan gas, 10% dari pasokan kapal tersebut masih didominasi oleh kapal berbendera asing. Pemerintah
Indonesia mengalami dilema kedua yang juga merupakan tarik menarik kepentingan antar instansi pemerintah yaitu Kementerian Perhubungan dan Kementerian ESDM. Dorongan untuk melakukan perubahan UU pada pasal dan ayat yang mengatur kategori kapal yang melayani eksplorasi minyak dan gas merupakan lemahnya kemampuan koordinasi dan penyelesaian masalah pada tingkat pemerintah. Komunikasi politik yang eksplosif dan reaktif tidak diimbangi dengan kemampuan antisipasi terhadap resiko implementasi yang timbul. Pilihan penyelesaian melalui Perubahan Pasal 5 ayat (3) PP 20/2010, Perubahan SK Menhub KM 26/2006, maupun kewajiban pembentukan perusahaan patungan merupakan alternatif yang lebih elegan dibandingkan memberikan beban tambahan bagi DPR yang telah menyelesaikan kerja kerasnya di tahun 2008 dan harus mengulangi proses yang sama dengan revisi.
Catatan akhir Dua kasus yang disampaikan dalam artikel ini menunjukkan bahwa pasca reformasi pelayaran nasional melalui terbitnya UU 17/2008 masih menyisakan persoalan-persoalan regulasi dan implementasi peraturan secara konsisten dan bertata kala baik. Komunikasi teknis antar kementerian dan lembaga pemerintah tampaknya menjadi hambatan terbesar dalam penuntasan reformasi tersebut. Di sisi lain, dunia usaha yang tumbuh cepat memerlukan kepastian dalam urusan-urusan pemerintahan yang seharusnya menjadi pekerjaan rumah dari pemerintah sendiri. Kalau hal ini berlarut-larut menjadi konsumsi publik, maka tentu saja kredibilitas pemerintah akan menjadi taruhannya. Bagaimana bisa pemerintah mengatur dan memfasilitasi dunia usaha dan masyarakat kalau mengelola tantangan dalam organisasinya sendiri masih kesulitan.*
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
25
PENGAWASAN
Bulog Belum Bertanggungjawab Secara Penuh Terhadap Penyaluran Beras Miskin Kepada Masyarakat Permasalahan raskin, bahwa masyarakat masih belum bisa menerima program raskin:
B
ahwa kenapa kita mencoba menbuat panja beras, karena pertama kita keliling daerah, bahwa masyarakat mengeluh yaitu bagaimana raskin ini harus diperbaiki, mengingat hingga saat ini Perum Bulog belum bertanggungjaw-
tuk rakyat belum menyentuh kepada masyarakat miskin yang menerima, sehingga kejadiannya adalah fatal karena bulog yang diberitanggungjawab oleh negara sebagai penyalur beras miskin kepada masyarakat namun masih sangat mengecewakan.
Anggota Komisi IV DPR Dr. Ir. Markus Nari
ab secara penuh terhadap penyaluran beras miskin kepada masyarakat. Demikian yang dikatakan Anggota Komisi IV DPR Dr.Ir. Markus Nari pada saat diwawancarai di ruang kerjanya lantai 14 gedung Nusantara I DPR Senayan Jakarta. Markus Nari juga menambahkan, bahwa selama ini beras miskin yang benar-benar diperuntukan un-
26
Dia mengatakan dimasyarakat ada hal penting yang terjadi, bahwa yang pertama keluhan yang terjadi adalah beras itu lambat tiba ditempat, yang kedua, beras busuk, dan yang ketiga, beras banyak benirnya atau banyak batunya. Oleh karena itu, dari semua daerah yang kita kunjungi adalah Komisi IV DPR mencoba mengajak bulog bagaimana memperbai-
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
ki system yang ada dibulog, sehingga masyarakat tidak lagi mengkomplain. Yang kedua, petani merasa bahwa bulog ini seakan-akan tidak lagi seperti yang dulu. Bahwa bulog hanya mengandalkan pembelian beras, tidak melalui petani langsung tetapi melalui pihak ketiga, dalam kurung yang sering kita sebut tengkulak. Jadi, kenapa tidak langsung membeli dari rakyat, kenapa harus membeli dari pihak ketiga, kata Markus. Markus menegaskan bahwa Bulog selalu beralasan, beras masyarakat yang berasal dari petani tidak memenuhi standar, artinya rendemen kadar airnya terlalu tinggi, sehingga mutu dan kualitasnya tidak masuk menurut bulog. Dia meminta jangan selalu disalahkan pada petani, pemerintah harus mempunyai peran memperbaiki semua itu, kalau itu merupakan kelemahan dari petani. Tugas kita sebagai pemerintah adalah bagaimana, kita memberikan perbaikan atau sesuatu pada petani supaya petani menjadi pintar, ungkap Markus. Ironisnya pemerintah ternyata ikut tidak konsisten dalam mengayomi petani dengan adanya kebijakan impor beras. Badan Urusan Logistik Nasional (BULOG) yang diharapkan dapat membantu petani dengan membeli hasil panennya malah sibuk melakukan terobosan import 1,5 juta ton beras dengan alas an untuk memperkuat stok pangan nasional, sementara masyarakat mengetahui secara seksama kalau di Indonesia ini beberapa daerah hasil panennya mengala-
Kantor Bulog di Labuhan Deli
mi surplus beras, yang salah satunya adalah daerah Sulawesi Selatan. Anggota Komisi IV DPR Markus Nari malah menganggap kalau kebijakan impor tersebut tidak lebih dilakukan karena harga beli impor jauh lebih murah jika dibanding dengan harga dalam negeri. Respon seperti inilah yang tentunya mengkerdilkan martabat Indonesia. Logikanya, ketika harga gabah tinggi, Bulog sangat cepat melakukan operasi pasar, tetapi pada saat harga gabah jatuh Bulog tidak sigap membeli gabah dari petani. Idealnya pemerintah melakukan terobosan konkret untuk memberdayakan petani dan cara mempermudah berbagai kebijakan pro petani, tidak malah merugikan petani ditambah daya beli petani yang sangan rendah. Markus menyesalkan, jika pemerintah tetap dengan kebijakannya memperhatikan impor beras, maka yang diuntungkan adalah spekulan dan importer. Sejatinya pemerintah dalam hal ini memperhatikan mekanisme kerja dan langkah operasionalnya dalam mengandalkan inflasi yang didorong oleh gejolak harga pangan. Apalagi secara nasional sepanjang tahun 2010 yang lalu harga beras naik 30,90 persen. Dilain pihak, laju inflasi pada bulan Februari
ini mencapai 0,3 hingga 0,5 persen atau turun dibanding bulan Januari lalu. Hal ini dipengaruhi penurunan harga beras akibat masa panen raya mulai masuk. Dari realitas tersebut, sejatinya pemerintah harus segera menghentikan orientasi menjadikan Indonesia sebagai negara konsumen melalui kebijakan impor beras. Orientasi tersebut berbahaya karena membuat Indonesia sangat tergantung, sementara produk dalam negeri dibiarkan meranggas kehilangan daya saing, ungkap Markus. Tidak Selarasnya karena potensi kita terkait produksi bahan pangan ternyata sangat besar, sehingga mestinya kita tidak perlu impor beras lagi. Kebijakan pemerintah mengenai perdagangan bebas sungguh kontra produktif karena membuat ketahanan dan kemandirian pangan sangat rentan. Ketika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, justru mempercepat Indonesia berada pada posisi de-industrialisasi, kata Markus. Anggota Komisi IV DPR Markus Nari meminta, agar petani itu mempunyai manfaat dimana ia mempunyai kegiatan. Tugas kita memberi peluang pasar sehingga dari hulu kehilir masyarakat kita terlindungi. Jadi,
dari hulu kehilir, masyarakat kita ada hal semacam sesuatu kepercayaan kepada pemerintah, bahwa apa yang telah dilakukan pemerintah ada hasilnya terutama pada pertanian bagi kesejahteraan masyarakat, ungkapnya. Dia menggambarkan bahwa kesejahteraan bermakna adanya keutuhan, sentosa, keselarasan, kebahagiaan. Keselamatan, berkat dan ketertiban. Negara adalah bentuk masyarakat yang terpenting, dan pemerintah adalah susunan masyarakat yang terkuat dan berpengaruh. Olehnya pemerintah berkewajiban menegakkan keadilan dalam rangka mewujudkan masyarakat sejahtera. Dalam masyarakat tidak mengenal batas-batas individual, sejarah merupakan perjuangan dialiktis yang berjalan tanpa kendali dari pertentangan-pertentangan golongan yang didorong oleh ketidakserasian antara pertumbuhan kekuatan produksi disatu pihak dan pengumpulan kekayaan oleh golongan-golongan kecil dengan hak-hak istimewa dilain pihak. Karena kemerdekaan tak terbatas mendorong timbulnya jurang-jurang pemisah antara kekayaan dan kemiskinan yang semakin dalam. Proses selanjutnya yaitu bila sudah mencapai batas maksimal, pertentangan golon-
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
27
PENGAWASAN
gan itu akan menghacurkan sendisendi tatanan sosial dan membinasakan kemanusiaan dan peradaban. Hal itu yang sangat kita inginkan, buat apa kita membuang-buang uang 18 triluyun untuk kepentingan petani swasembada, seperti yang dilakukan pemerintah. Sementara, kita dengan seenaknya melakukan import beras, daging dan segala macam sehingga kita tidak memperhatikan bagaimana
kemudia apabila kita dalam keadaan panen raya tetapi kita berlebihan beras, namun bagaimana nasib petani kita?. Sementara itu kita ataupun daerah-daerah tidak diberikan peluang untuk ekspor oleh menteri perdagangan. Sehingga tidak seimbang dengan barang yang ada berkualitas, tetapi tidak digunakan dan barang yang baik tetap tidak bisa digunakan. Banyak hal yang harus menjadi
segala macamnya, contohnya ternak yang ada di Indonesia, yaitu bagaimana petani yang harus mendapatkan kesejahteraan. Saya pikir semua ini harus jelas, dan menurut informasi dari informasi yang tidak jelas, antara jumlah beras apakah kita surplus atau tidak, sangat tidak jelas. Itu dikarenakan data-data yang diberikan menteri pertanian berbeda dengan data yang diberikan oleh Bulog, dan ini yang harus kita lihat bersama. Sehingga pemerintah ini harus memiliki pemikiran kedepan bagaimana kita yang sudah swasembada tidak lagi mengimpor beras. Kami setuju dapat impor beras, apabila dengan keadaan fuso contohnya, kita tidak dalam panen raya,
perhatian dan harus menjadi pertimbangan pemerintah. Yaitu, antara Mentari Perdagangan dan Menteri Pertanian harus duduk satu meja, harus dibicarakan semuanya. Jangan semena-mena kita mengambil kebijakan tanpa mendudukan semua itu. Markus Nari menjelaskan bahwa, panja yang berjalan hanya dengan Bulog, bagaimana bisa berjalan. Panja beras tersebut harus melihat dari segala aspek, bukan hanya melihat satu aspek, golnya apa? Mesti jelas golnya. Bukan karena Bulog harus menjadi alat bagi pemerintah untuk menyalurkan raskin. Karena beras itu, ada dipertanian, maka dari itu Menteri Perdagangan harus mau didudukan bersama. Karena selama ini belum
28
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
ada pembicaraan antara Menteri Pertanian dengan Menteri Perdagangan membicarakan masalah ini belum ada, karena itu ini masih jadi panjang, karena selama ini disibukkan dengan masalah yang ada. Oleh karena itu, mestinya Komisi IV DPR dan pemerintah harus bisa melihat mana prioritas yang harus kita bicarakan, bahwa beras ini prioritas, pangan ini prioritas. Kemarin kita sudah bicara horticultura dan sudah selesai, kita mencoba melihat pangan itu seperti beras contohnya. Saat ini saya sedang membicarakan menganai perlindungan petani, Undang-Undang Perlindungan Petani yang sedang dibahas Komisi IV saat ini. Sebagai inisiatif Dewan sehingga apabila ini kita lakukan kita bisa memberikan perlindungan petani, kita bisa memberikan asurasi bagi petani sehingga petani itu bisa bekerja dengan tidak mengingat-ingat konsekuensi, contoh adanya cuaca buruk, hanya memang seharusnya kita mencoba pikirkan bagaimana petani ini bisa bekerja dan menghasilkan sesuatu kualitas yang bagus, sehingga mereka bisa mendapatkan kesejahtaraan. Berarti apabila kualitas bagus, harga tinggi. Dan ini yang harus kita lindungi, bahwa apa yang harus dilakukan pemerintah. Panja beras ini sudah berjalan sejak lama, namun sampai saat ini masih saja berjalan ditempat, dan kita belum mengambil keputusan untuk itu. Oleh karena itu teman-teman berantusias membuat pansus untuk itu. Sehingga melibatkan Komisi yang terkait, termasuk Komisi VI kita akan libatkan bagaimana, karena ini menyangkut import, bukan sebatas Bulog ini yang mengimport. Tetapi kita harus melihat dari awal, kebutuhan beras kita berapa di Indonesia secara nasional, setelah itu apakah dia surplus disitu , kalau surplus apa yang harus dilakukan. Kalau tidak surplus apa yang harus dilakukan, dengan melihat daerah surplus dimana, jangan karena Sulawesi selatan itu surplus 2 juta ton, tetapi tiba-
tiba datang beras impor itu datang bagaimana?. Itu berarti tidak benar, oleh karena itu maka saya tekankan pada bulog, bahwa jangan pernah coba-coba membawa beras import kesulawesi selatan. Karena saya orang Sulawesi selatan, saya minta pada Gubernur untuk menolak. Sehingga pemerintah ini bisa bekerja dengan baik. Markus mengatakan bahwa Bulog bukan karena kalah saing, tetapi semua ini masalahnya karena HPP ini yang sangat rendah, semestinya HPP ini harus ditinggikan sehingga Bulog bisa membeli dari rakyat, tetapi yang mengherankan dengan HPP rendah Bulog bisa membeli ditengkulak, bukan dari rakyat. Dengan harga Rp. 1.650 yang ditebus masyarakat, sisanya adanya subsidi dari pemerintah. Harga beli Bulog yang Rp. 6.000, jadi kalau hal itu diberikan kerakyat tidak melalui pihak ketiga saya kira jauh lebih bagus, sehingga terjadi pembinaan pada petani. Kalau tidak bisa bekerja sama dengan BUMN ini yang coba kita kerja sama, dan Dewan ini yang membina. Jadi petani bisa bekerja sama dan mengambil dari BUMN, sehingga lebih jelas dan keuntungan bisa kembali kenegara. Saya kira, ini tergantung dari teman-teman kalau seandainya dalam panja ini tidak jelas, pasti teman-teman akan greget untuk lanjutkan ke pansus itu. Karena saat ini Komisi IV sedang disibukan dengan UU Perlindungan Petani, kalau ini sudah selesai, saya kira ini akan kita kejar terus. Banyak hal yang harus dipikirkan untuk masyarakat. Jadi kita harus melakukan pengawasan untuk itu. Menyangkut pangan, menyangkut perut rakyat kita ini sudah dikuasai oleh asing maka, yang terjadi adalah secara tidak langsung kita ini dijajah oleh asing. Panja beras ini saya harapkan kedepan, bagaimana kita bisa memperbaiki system perberasan di Indonesia, yaitu dimulai bagaimana pengolahan petani, bibit, pupuk, kemudian bagaimana penyuluhnya itu mesti jelas kepada rakyat, meng-
hasilkan suatu kualitas yang baik dan bagaimana pemasarannya. Hal ini suatu rangkaian dari perberasan yang terjadi di Indonesia. Kalau ini diperbaiki, maka rakyat kita bisa menjadi peng-eksport beras terbesar. Dan saya minta kedepan, hanya Rp. 18 Triliun kerakyat, kedepan bisa mem-
buat sampai Rp. 40 triliun, kalau perlu yang saat ini hanya menerima 1,5 persen dari APBN. Kedepan kita minta 10 persen untuk kepentingan perut rakyat. Kepentingan swasembada harus kita berikan 10 persen kepada rakyat, sehingga semua rakyat jelas. (Spy). foto:doc parle
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
29
PENGAWASAN
Panja Jamsostek Komisi IX DPR RI
Panja Ingin Jamsostek Kembali Pada Fungsi Sosialnya
Penyelenggaraan program jaminan sosial merupakan salah satu tangung jawab dan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat.
S
esuai dengan kondisi kemampuan keuangan negara, Indonesia seperti halnya berbagai negara berkembang lainnya, mengembangkan program jaminan sosial yang didanai oleh peserta dan masih terbatas pada masyarakat pekerja di sektor formal. PT. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) yang dulunya PT. Astek (Asuransi Sosial Tenaga Kerja) adalah sebagai badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan minimal bagi tenaga kerja dan keluarganya, dengan memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruhnya penghasilan yang hi-
30
lang, akibat risiko sosial. Sampai saat ini, PT Jamsostek (Persero) memberikan perlindungan 4 (empat) program, yang mencakup Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi seluruh tenaga kerja dan keluarganya. Dengan penyelenggaraan yang makin maju, program Jamsostek tidak hanya bermanfaat kepada pekerja dan pengusaha tetapi juga berperan aktif dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian bagi kesejahteraan masyarakat dan perkembangan masa depan bangsa. Namun dalam perjalanannya, Komisi IX DPR RI yang salah satu mitra kerjanya adalah Jamsostek, menemu-
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
kan Jamsostek lebih banyak fungsi bisnisnya daripada fungsi sosialnya. Mestinya fungsi sosial Jamsostek lebih besar porsinya dibandingkan dengan bisnisnya. Dhiana Anwar Anggota Panitia Kerja (Panja) Jamsostek Komisi IX menyatakan berawal dari temuan Komisi IX tersebut maka dibentuk Panja Jamsostek. “Komisi IX menganggap tidak ada ketegasan Jamsostek dan kinerjanya dianggap kurang maksimal, karena tidak sesuai dengan tugas dan fungsinya,” terang Dhiana. Dijelaskan Dhiana, ada kesepaka tan diantara seluruh Anggota Komisi IX bahwa hal ini perlu tinjau. “Intinya, kami menghendaki kinerja dari partner kerja kami tersebut, kalau memang terjadi kekeliruan atau ketidakpasan dalam tugas dan fungsinya maka kita harus kembalikan kepada tugas pokok utamanya,” jelasnya. “Di lapangan kami melihat dan temukan banyak hal yang sifat sosialnya sudah sumir sekali. Ini yang kemudian kami harus melihat, kenapa jamsostek seperti itu,” imbuh Dhiana. Dhiana memberikan contoh untuk masalah kesehatan. Menurutnya sulit sekali untuk klaim Jamsostek, bahkan klaim penggantian itu sendiri nilainya sangat rendah dan item-item yang dicover Jamsostek juga sangat standar. Padahal menurutnya penyakit sekarang sudah kompleks, khususnya penyakit akibat kerja. “Contoh saja, untuk kanker tidak dicover oleh Jamsostek, padahal kanker itu sudah merupakan trend daripada penyakit yang banyak di
masyarakat kita dan ini sangat memberatkan,” kata Anggota Komisi IX dari F-PD. Kemudian untuk perumahan, Komisi IX juga ingin tahu, apakah rumah yang disewakan kepada pekerja itu lebih murah dengan rumah sewa milik pemda. Mengapa harus lebih murah? Karena keuntungan itu sebagian besar dikembalikan kepada pemegang saham, yaitu pekerja dan pemerintah. Dalam hal ini untuk pekerja bagaimana. “Berdasarkan laporan Jamsostek bahwa investasi mereka di perumahan. Ini kita baru melihat satu yaitu perumahan dulu. Mungkin nanti selanjutnya juga kita ingin tahu bagaimana investasi di Krakatau Steel dan bagaimana investasi-investasi di tempat lainnya. Kita juga meminta jamsostek nantinya harus memiliki rumah sakit sendiri,” papar Dhiana. Menurutnya, saat ini pekerja harus menanggung dulu sendiri biaya kesehatan baru kemudian melakukan klaim pada Jamsostek. Sedangkan untuk melakukan klaim ini sangat sulit dan birokrasinya terlalu panjang. “Kita tidak mau ada peluang terjadinya manipulasi. Kita mau pekerja sakit masuk rumah sakit selesai,” kata Dhiana. Demi perbaikan dan perkembangan Jamsostek itu sendiri, Panja juga akan menyisir semua investasiinvestasi yang selama ini dilakukan PT. Jamsostek (Persero) dan akan meminta untuk meninjau kembali investasi yang tidak efektif.. Hasil tinjauan Panja Jamsostek Komisi IX ke Rusunawa (Rumah Susun Sewa Sederhana) yang merupakan salah satu investasi Jamsostek di bidang perumahan bagi pekerja di Batam dan Makasar, ditemukan perumahan tersebut masih jauh dari yang diharapkan. Masih perlu diperbanyak perumahan-perumahan bagi pekerja. “Kita akan minta untuk perumahan agar diperbanyak dan harganya harus lebih murah daripada perumahan pemerintah daerah/kota. Karena untuk pekerja masalah perumahan ini
Anggota Panja Kamsostek Komisi IX DPR, Dhiana Anwar.
khususnya di Batam merupakan beban yang berat,” pinta Dhiana. Itu dari sisi perumahan, demikian pula halnya dengan kesehatan. Sampai saat ini Jamsostek belum memiliki rumah sakit khusus pekerja. “Sungguh ironis, jika Jamsostek bisa investasi trilyunan, masa hanya untuk rumah sakit saja tidak mampu. Saya sering sampaikan bahwa Jamsostek harus mampu membangun rumah sakit khusus untuk buruh,” kata aktivis perburuhan ini. Dijelaskan Dhiana dulu pernah akan dirintis rumah sakit khusus pekerja, namun kandas di tengah jalan. Alasan Jamsostek tidak mudah membangun rumah sakit khusus pekerja. “Saya menyatakan masa sih tidak mudah kok orang lain bisa. Daripada investasi ditempat yang tidak aman, lebih baik membangun rumah sakit. Saya yakin Jamsostek pasti mampu membangun rumah sakit. Cukup membangun tiga sampai empat di sentra-sentra industri,” paparnya. Kesehatan adalah nomor satu. Jika kita tidak terlindungi dengan kesehatann, tidak terlindungi jaminan hari tua, bagaimana? Menurut Ketua Umum Serikat Perkayuan dan Kehutanan ini, orang sekaya apapun jika
harus mengeluarkan biaya kesehatan yang relatif di Indonesia masih sangat mahal maka dia bisa jual rumah, jual mobil, habis semua. Itulah yang harus kita pikirkan, apalagi buruh. Dhiana juga menyoroti proses pencairan dana PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Uang bantuan PHK yang besarnya Rp 500 ribu/orang itu jarang dilakukan. Tergantung dari besar kecil nilainya, tapi itu adalah hak yang harus diberikan kepada buruh. Seharusnya dana PHK ini secara otomatis dikeluarkan begitu ada PHK. Katakan perusahaan A ditutup dengan 1.000 karyawan, mestinya otomatis Jamsostek mengeluarkan Rp 500 ribu kali 1.000 pekerja, namun saying hal ini tidak dilakukan. Sedangkan pekerja sendiri tidak semuanya mengerti akan adanya hak. Ini yang menjadi masalah. “Saya kira tidak ada sosialisasi hal ini. Biasanya hanya pengurus serikat pekerjanya. Jika serikat pekerjanya gigih memperjuangkan, tapi bagaimana jika serikat pekerja di tingkat perusahaan tidak tahu?” tanya Dhiana. “Itu yang kami ingin selalu memperbaiki. Karena itu merupakan hak pekerja. Memperbaiki untuk mendekati kesempurnaan,” tambahnya.
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
31
PENGAWASAN
Untuk kemajuan Jamsostek kedepan, Dhiana berharap kinerja Jamsostek harus lebih ditingkatkan dan melakukan sosialisasi yang terus menerus agar anggota mengetahui hak dan kewajibannya. Dan yang paling penting, Dhiana mengharapkan Jamsostek harus kembali pada tugas dan fungsinya. Unsur sosialnya kepada anggotanya harus ditingkatkan. Khususnya pembangunan rumah sakit-rumah sakit untuk pekerja.
Jamsostek Diminta Membuat System Informasi Data Zulmiar Yanri rekan satu fraksi Dhiana, menyatakan ada beberapa hal yang menarik perhatian Komisi IX DPR mengapa sampai dibentuk Panja Jamsostek. Menurutnya diantara BUMN yang menjadi mitra Komisi IX, investasi Jamsostek cukup besar hampir 100 Trilyun. Dan sebagai BUMN ini diperbolehkan dan memang dituntut demikian. Tetapi dalam kinerjanya, Komisi IX merasa kurang puas. Sebab dari tenaga kerja formal yang berjumlah hampir 35 juta jiwa, namun yang aktif sebagai peserta
32
jamsostek hanya 9,7 juta jiwa (kurang dari 30%). Padahal UU menyatakan semua tenaga kerja formal wajib ikut jamsostek. “Kita ingin mencari apa ada kaitan antara investasi dengan kinerja operasionalnya. Itu salah satu mengapa kita membentuk Panja,” terang Zulmiar. Hasil temuan Panja Jamsostek Komisi IX DPR ke Rusunawa bagi pekerja yang menjadi peserta Jamsostek di Batam, Zulmiar menyatakan Rusunawa tersebut cukup bagus. Sebab dikhususkan bagi pekerja yang masih bujangan, dan untuk yang sudah berkeluarga Jamsostek memberikan tunjangan. Satu kamar Rusunawa
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
diperuntukan bagi empat orang pekerja yang rata-rata harus membayar Rp 100.000,- per bulan. “Menurut saya itu bagus, namun apakah fasilitas yang bagus ini juga menopang proporsi peserta Jamsostek yang aktif disana? Karena ternyata juga tidak berbeda dengan jumlah yang nasional, hanya dibawah 30% dari pekerja. Padahal kita tahu di sana banyak sekali pekerja-pekerja,” imbuh Zulmiar. Menurut Direktur Investasi PT Jamsostek (Persero) yang mendampingi Panja Jamsostek Komisi IX di Batam, kesulitan Jamsostek adalah pada pendataan. Katanya yang aktif adalah yang setiap bulan membayar premi, sedangkan yang tidak aktif, nama ada tapi kadang-kadang tidak membayar premi. Ketika ditanya mengapa Jamsostek sudah banyak investasi dengan Rusunawa dan fasilitas lain untuk menarik kepesertaan tetapi di Kepulauan Riau itu sendiri juga tidak banyak berbeda dengan peserta aktif di tingkat nasional. Alasan Jamsostek, karena pendataan dan keluar masuk tenaga kerja yang cepat. Sebagaimana kita ketahui di Batam banyak pekerja antar waktu antar daerah, istilah dalam undangundang PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu). Kadang-kadang mereka satu tahun atau dua tahun dan balik lagi, kemudian setelah itu ganti lagi. Demikian seterusnya.
“Inilah yang mereka anggap yang non aktif. Mungkin pertama di perusahaan A, kemudian setelah dua tahun pindah ke perusahaan B. Kemudian Hilang datanya,” terang Zumliar. Sehingga yang aktif adalah yang rutin membayar dan yang sudah tidak berpindah-pindah perusahaan. Selain itu yang menjadi kendala adalah pengawasan ketenagakerjaan lemah dan kurang optimal. Menurut peraturan perundangan tentang ketenagakerjaan, pengawasan tenaga kerja dibawah Menteri Tenaga Kerja dan Dinas Tenaga Kerja Provinsi dan Kabupaten. Zulmiar menyarankan agar Jamsostek membuat system informasi data seperti yang dilakukan PT Askes (Persero). “Masa untuk perusahaan sebesar Jamsostek dengan investasi di luarnya sudah lebih 100 Trilyun membuat system informasi data saja tidak bisa,” tegas Zulmiar. “Sebaiknya Jamsostek ikut membantu pemerintah pusat dan daerah untuk mendidik tenaga pengawas ketenagakerjaan atau memberikan mereka sarana atau fasilitas, sehingga pengawasan dapat lebih ditingkatkan,” tambahnya. Politisi dari Partai Demokrat ini menjelaskan, Jamkesmas yang saat ini bagi 76,6 juta masyarakat saja datanya dapat dibuat oleh manajemen PT. Askes dengan system online yang bisa diakses di seluruh Indonesia. Jika system informasi data ada, jika si pekerja pindah dari perusahaan A ke perusahaan B. Selama namanya sama, KTP sama, dan Kartru Keluarga sama bisa dilacak. “Sebenarnya semua pihak harus pro aktif, si pekerja pro aktif, pengusaha pro aktif, demikian pula dengan pemerintah dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja, Dinas Ketenagakerjaan Provinsi dan Kabupaten,” terang Zulmiar. Kerugian akibat dari data adalah sebagian dana yang diinvestasikan yang berasal dari dana JHT pekerja, pekerja yang keluar masuk tadi yang pernah membayar JHTnya dan dia
Anggota Panja Jamsostek Komisi IX DPR, Zulmiar Yanri
tidak melapor karena pindah tempat atau sesuatu hal sehingga dia tidak mengambil JHTnya. Akhirnya yang menjadi korban adalah pekerja bersangkutan. Bagi pemerintah dengan sendirinya premi yang masuk sedikit tentunya yang terlindungipun sedikit. Sedangkan bagi pengusaha juga sebenarnya sama. Tapi kesadaran inilah yang kadang-kadang belum semua pihak menyadarinya. Saat ini Jamsostek sedang membuat membuat program her regristasi. Panja sudah minta Jamsostek untuk mensosialisasikannya. Terutama bagi pekerja-pekerja yang sudah pernah membayar JHT untuk her regristasi. Soalnya dana JHT yang dianggap tidak bertuan ini sudah lebih dari 4 Trilyun. Sebagai BUMN Jamsostek dibolehkan untuk menginvestasikannya. Sebab JHT yang mereka bayarkan ke
tenaga kerja itu persyaratannya bunganya harus lebih besar dari bunga deposito. Ini salah satu alasan mengapa Jamsostek harus investasi. “Menurut saya itu baik, tetapi kami menuntut coveragenya harus lebih meningkat. Jika pekerja masuk dengan baik, begitu pula saat keluar dengan baik, dia bisa klaim JHT. Mungkin saja dulu diperusahaan A, kemudian di perushaan B dan terkahir di perusahaan C, JHT yang berada di Jamsostek masih haknya pekerja tersebut,” demikian menurut Zulmiar. Sosialisasi program her regristasi bagi peserta jamsostek akan dilakukan jamsostek bersama dengan Kementerian Tenaga Kerja di Tingkat pusat dan Dinas Tenaga Kerja Provinsi dan Kabupaten untuk tingkat daerah dan cabang-cabang Jamsostek di seluruh Indonesia. (sc)
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
33
ANGGARAN
DPR Dukung Program Anggaran Nelayan
Salah satu komunitas bangsa Indonesia yang teridentifikasi sebagai golongan miskin saat ini adalah nelayan.
34
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
P
adahal negara Indonesia adalah negara bahari yang pulau-pulaunya di kelilingi oleh lautan yang di dalamnya mengandung berbagai potensi ekonomi khususnya di bidang perikanan, namun sampai saat ini kehidupan nelayan tetap saja masih berada dalam jurang kemiskinan. Citra nelayan masih sangat identik dengan kemiskinan. Kemiskinan nelayan merupakan suatu ironi bagi sebuah negara maritim seperti Indonesia, walau data yang valid tidak mudah diperoleh. Pengamatan visual atau yang dilakukan secara langsung ke kampung-kampung nelayan dapat memberikan gambaran yang jauh lebih gamblang mengenai perekonomian nelayan di tengah kekayaan laut yang begitu besar. Kehidupan me-reka sungguh memprihatinkan karena sebagai nelayan tradisional yang tergolong ke dalam kelompok masyarakat miskin mereka seringkali dijadikan objek ekploitatif oleh para pemilik modal. Harga ikan sebagai sumber pendapatannya di kendalikan oleh para pemilik modal atau para pedagang/tengkulak, sehingga distribusi pendapatan menjadi tidak merata. Gejala modernisasi perikanan tidak banyak membantu bahkan membuat nelayan tradisional terpinggirkan, seperti munculnya kapal tangkap yang berukuran besar dan teknologi moderen. Mereka mampu menangkap ikan lebih banyak dibandingkan nelayan tradisional yang hanya menggunakan teknologi tradisional. Kehadiran lembaga ekonomi seperti koperasi belum sepenuhnya dapat membantu peningkatan taraf hidup nelayan tradisional. Hal ini ditandai dengan tidak adanya akses nelayan tradisional terhadap lembaga tersebut dalam memperoleh modal usaha. Ditambah lagi dengan pendapatan mereka yang tidak menentu membuat nelayan tergatung kepada pemilik modal yang tidak hanya sebatas kebutuhan modal usaha dan alat produksi, malah sampai kepada biaya kebutuhan hidup keluarga
sehari-hari. Dalam kondisi secara multidimensi seperti sekarang ini akan sangat sulit bagi para nelayan untuk keluar dari lingkaran kemiskinan begitu saja, mereka harus dapat bersaing dalam pemanfaatan hasil laut di era keterbukaan sekarang ini. Dan yang terjadi sekarang ini mereka selalu kalah bersaing dengan perusahaan penangkapan ikan, baik asing maupun nasional, yang berperalatan modern. Oleh karena itu, pemberdayaan komunitas nelayan merupakan langkah yang sangat krusial dalam mencapai tujuan pemanfaatan kekayaan laut Indonesia. Salah satu cara untuk mengatasi
da peningkatan kesadaran akan masalah dan potensi yang ada di dalam dan sekitar komunitas. Berbagai program telah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan nelayan. Program yang bersifat umum antara lain Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Keluarga Sejahtera, Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), dan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Sedangkan program yang secara khusus ditujukan untuk kelompok sasaran masyarakat nelayan antara lain program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (PEMP) dan Program Pengem-
Anggota Komisi IV DPR, Tamsil Linrung
kemiskinan nelayan antara lain dengan cara pemberdayaan komunitas nelayan yang harus dilakukan dengan tepat dan harus berangkat dari kultur yang ada. Penekanannya harus kepa-
bangan Usaha Perikanan Tangkap Skala Kecil (PUPTSK). Namun, secara umum programprogram tersebut belum membuat nasib nelayan menjadi lebih baik daripa-
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
35
ANGGARAN
Rombongan Komisi IV DPR saat mengunjungi balai lelang ikan
da sebelumnya. Salah satu penyebab kurang berhasilnya program-program pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan nelayan adalah Formula yang diberikan cenderung seragam padahal masalah yang dihadapi nelayan sangat beragam dan seringkali sangat spesifik lokal. Di samping itu, upaya penanggulangan kemiskinan nelayan seringkali sangat bersifat teknis perikanan, yakni bagaimana upaya meningkatkan produksi hasil tangkapan, sementara kemiskinan harus dipandang secara holistik karena permasalahan yang dihadapi sesungguhnya jauh lebih kompleks dari itu. Menurut Tamsil Linrung Anggota Komisi IV yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Nelayan Tradisonal Indonesia (PNTI), Posisi nelayan sudah seharusnya memiliki
36
hak yang sama sebagai warga negara Indonesia. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 26 bahwa warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Ditegaskan juga di Pasal 28 H, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang layak dan memadai.” Belajar dari sejarah, pada dasarnya nelayan Indonesia memiliki kemampuan handal dalam menaklukkan lautan. Namun, sejarah tak lagi mencatat kehandalan nelayan. “Kini, mereka dihadapkan pada persoalan-
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
persoalan mendasar yang bersumber pada keengganan pemerintah untuk menjalankan amanah konstitusi,”jelas Tamsil. “Melihat kondisi demikian saya berusaha untuk memperjuangkan nelayan negeri ini, agar mendapatkan keterampilan yang lebih dan mampu mendongkrak perekonomian mereka khususnya dan Indonesia pada umumnya melalui sektor perikanan. Karena siapa lagi yang akan menangkap ikan kalau bukan nelayan? Jika nelayan Indonesia tidak menangkap Ikan, maka nelayan asing yang akan bersuka cita untuk mencuri ikan-ikan di Indonesia,”tambahnya. Gambaran umum lainnya yang pertama kali bisa dilihat dari kondisi kemiskinan dan kesenjangan sosialekonomi dalam kehidupan masyara-
Rombongan Komisi IV DPR saat mengunjungi balai lelang ikan
kat nelayan adalah fakta-fakta yang bersifat fisik berupa kualitas pemukiman. Kampung-kampung nelayan yang kurang beruntung akan mudah diidentifikasi dari kondisi rumah hunian mereka. Rumah-rumah yang sangat sederhana, berdinding anyaman bambu, berlantai papan yang terlihat usang, beratap rumbia, dan keterbatasan pemilikan perabotan rumah tangga adalah tempat tinggal para nelayan buruh dan nelayan tradisional. Sebaliknnya, rumah-rumah yang megah dengan segenap fasilitas yang memadai akan mudah dikenali sebagai tempat tinggal pemilik perahu, pedagang perantara (ikan) atau pedagang berskala besar, ataupun pemilik toko. “Program Rumah Murah Untuk Nelayan, memang sudah sewajarnya
dilaksanakan, melihat kebutuhan nelayan yang juga membutuhkan tempat tinggal yang layak,”terang Tamsil. Perumahaan untuk nelayan ini nantinya harus dibangun di sekitar tempat hidup para nelayan, yakni pesisir pantai. Pembangunan di kawasan pesisir bisa dilakukan, asalkan daerah itu tidak termasuk wilayah rawan bencana, selain itu pemukimannya harus dibangun berkelompok, atau ti dak menyebar. Tujuannya, memudahkan pembuatan sarana-prasarana dan utilitas, seperti pipa air bersih dan jalan desa. Amanah yang diemban Tamsil di Komisi IV DPR RI (Bidang Pertanian, Kehutanan, Kelautan, Perikanan dan Pangan) DPR RI adalah menjadi sebuah sarana baginya untuk memperjuangkan nasib para nelayan. “Ada
empat langkah utama yang akan kami lakukan dalam memperjuangkan nasib nelayan, yaitu mendorong program-program pemerintah agar terimplementasi dengan baik, memperjuangkan alokasi anggaran untuk kesejahteraan nelayan, membuat nilai tambah dari hasil-hasil tangkapan sehingga profesi nelayan menjadi sesuatu yang menjanjikan, serta memperjuangkan bantuan pendidikan anak-anak nelayan dan pelayanan kesehatan gratis bagi mereka,”jelas Tamsil. Tamsil juga menambahkan, Ia pun sangat setuju dengan pembangunan Institut Perikanan Indonesia di Subang. Pembangunan Institut tersebut, merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. (ra)
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
37
LEGISLASI
RUU Pengadaan Tanah :
Kedepankan Prinsip Kepentingan Umum Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan harus mengedepankan prinsip kepentingan umum yakni dengan memperhatikan hak-hak individu yang harus dipenuhi, sehingga keberadaan RUU ini nantinya tidak malah merugikan warga negara.
Anggota DPR Fraksi Partai Kembangkitan Bangsa (F-PKB), abdul Malik Haramain
38
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
H
al itu disampaikan anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) Abdul Malik Haramain kepada Parlementaria di Jakarta, beberapa waktu lalu saat diminta tanggapannya tentang pembahasan RUU Pengadaan Tanah oleh Parlementaria. Menurut Malik Haramain, dalam perkembangannya, pembahasan RUU ini sangat bervariasi, ada pihak yang mendukung sepenuhnya tanpa perlu ada perubahan, ada yang mendukung dengan catatan sekian perubahan, namun ada juga yang meminta agar RUU ini ditangguhkan serta ditunda pembahasannya. Salah satu alasan yang meminta agar pembahasan RUU ini ditangguhkan adalah karena Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang belum tuntas. Bahkan hanya sepuluh provinsi yang masih membuat rencana pembangunan infrastruktur berdasarkan (RTRW). “Karena RTRW ini akan menjadi dasar serta landasan bagi pemerintah untuk melakukan pembebasan lahan untuk pembangunan demi kepentingan umum,” ujarnya. Untuk itu menurut dia, semua masukan harus dicermati serta dibuat pertimbangan penting agar pembahasan RUU ini tidak diskriminatif, dalam artian bahwa RUU ini tidak hanya berpikir untuk kepentingan pemerintah dan swasta tetapi juga kepentingan umum. Seperti diketahui, Rapat Paripurna DPR pada , Selasa (25/1), secara resmi menyetujui pembentukan Pansus RUU tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan.
Rapat paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso juga menetapkan komposisi keanggotaan pansus dengan 29 anggota, yaitu delapan dari Fraksi Partai Demokrat, lima dari Fraksi Partai Golkar, lima dari Fraksi PDIP, tiga dari PKS dan Fraksi PAN, Fraksi PPP serta Fraksi PKB masing-masing menempatkan dua kader. Sedangkan Fraksi Partai Hanura dan Gerindra masing-masing menempatkan satu anggota. Rapat paripurna DPR berharap pansus segera melaksanakan tugasnya. Dalam usulannya kepada DPR, pemerintah menjelaskan bahwa RUU itu penting untuk mempercepat pembangunan dan menggerakkan roda ekonomi. UU Pengadaan Tanah tersebut untuk menjawab macetnya program-program pemerintah, antara lain pembangungan infrastruktur, mandeknya investasi dan lemahnya daya saing. Namun UU Pengadaan Tanah tidak dibuat untuk merampas tanah rakyat secara sepihak. F-PKB sendiri kata Malik Haramain memiliki beberapa catatan kritis atas pembahasan RUU tersebut, pertama, soal posisi dan keterlibatan resmi swasta dalam RUU ini. F-PKB kata dia mempertanyakan dan mempersoalkan apa relevansi swasta dalam RUU ini. “RUU ini untuk kepentingan umum maka menurut kita keterlibatan swasta dalam RUU ini tidak diperlukan serta tidak relevan. Karena itu kami minta agar keterlibatan pihak swasta ditinjau ulang atau dikeluarkan dalam RUU ini,” tegasnya. Kedua, soal ganti rugi, F-PKB kata dia meminta agar penentuan biaya ganti rugi tidak parsial, tetapi inklusif dalam artian bahwa harus melibatkan kelompok atau perwakilan kelompok yang benar-benar mewakili hak pemilik tanah, sehingga dalam penentuan ganti rugi bisa secara ‘legowo’ diterima oleh semua kalangan. Di samping itu, persoalan ganti rugi harus dilakukan seadil-adilnya, dan ganti rugi tidak harus dalam ben-
tuk fisik, tanah atau bangunan, persoalan ganti rugi juga harus multi aspek, seperti aspek sosial, adat, dan lingkungan. “Selama ini pemerintah atau lembaga pertanahan dalam membebaskan tanah itu selalu bermasalah, salah satunya karena memang tidak melibatkan pihak atau yang punya tanah dalam pembahasan ganti rugi itu,” kata Malik. Apalagi salah satu pasal dalam RUU ini mengatakan wajib bagi hak pemilik tanah melepaskan tanahnya untuk kepentingan umum. Hal ini, kata dia bisa menjadi dasar bagi pemerintah untuk memaksa orang melepaskan dan membebaskan tanahnya. “Karena itu FPKB meminta agar pembahasan RUU ini tidak terburuburu harus dibahas sedemikian rupa sehingga tidak hanya menguntungkan salah satu pihak tetapi malah merugikan pihak yang lain,” ujarnya. Makanya lanjut Malik Haramain, FPKB meminta agar pembahasan RUU ini dibahas seinklusif mungkin dalam artian semua kalangan yang terkait dengan pembahasan RUU ini untuk diundang. “Kita dengarkan pendapatnya, sekali lagi demi kepentingan bahwa UU ini dibuat dan disahkan atas pembahasan yang terbuka dan
semua elemen yang punya kepentingan untuk bisa dilibatkan dalam pembahasan RUU ini,” ujarnya. Saat ditanya soal adanya anggapan bahwa bahwa RUU ini secara tidak langsung akan melegitimasi perampasan hak tanah seseorang. Pihaknya menganggap persepsi itu muncul karena adanya keterlibatan swasta dalam RUU ini. Ia mengatakan ada beberapa pendapat dari berbagai elemen termasuk FPKB yang menilai bahwa RUU ini memang lebih banyak menguntungkan swasta. “Ini menurut saya tidak baik, karena itu menurut saya pemerintah harus benar-benar berposisi bahwa RUU ini bukan untuk kepentingan swasta, bukan untuk memfasilitasi kepentingan investor atau konglomerat. Tetapi UU ini benarbenar dibuat untuk memfasilitasi kepentingan umum untuk kesejahteraan masyarakat,” katanya. Untuk itu pihaknya menaruh harapan agar pembahasan RUU ini tidak terburu-buru dalam pembahasannya, apalagi semangat dari RUU diharapkan akan menjadi UU yang sangat bermanfaat bukan hanya pemerintah tetapi juga untuk masyarakat umum. “UU ini akan sangat berbahaya
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
39
LEGISLASI
Ketua Panja tanah DPR , Daryatmo saat memimpin rapat panja pengadaan tanah untuk pembangunan
kalau pembahasannya terburu-buru, dan tidak melibatkan banyak pihak dalam pembahasannya. Karena bisa saja RUU ini hanya alat pemerintah dan swasta untuk melegalkan penggusuran, yang jauh dari semangat untuk kepentingan umum yang malah justru memiskinkan masyarakat umum, itu yang kita antisipasi,” tegasnya. Sekedar informasi, berdasarkan realese yang dikeluarkan, Pansus RUU Penggandaaan Tanah Untuk Pembangunan tengah melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan berbagai pihak terkait seperti pemerintah, Akademisi, Asosiasi.LSM, Pemda dan berbagai BUMN, selain melakukan RDP Pansus juga melakukan Kunjungan Kerja (Kunker) ke berbagai wilayah yang ada di Indonesia, seperti Provinsi Aceh , Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan Papua. Pemilihan wilayah yang dikunjungi ini, berdasarkan dari sudut pandang pembangunan, tanah adat/ ulayat dan hukum adat yang berlaku. Secara garis besar, dari berbagai masukan dan hasil dari kunker, terdapat masalah yang diinventarisir dan menjadi perhatian para narasumber dan pemangku kepentingan, antara lain, mencermati tentang judul
40
atau penamaan RUU, konsep penggandaan tanah untuk kepentingan pembangunan, konsep kepentingan umum, konsep ganti rugi dan juga mengenai penggandaan tanah untuk kepentingan swasta. Salah satu permasalahan yang dicermati, dibidang pertanahan di Indonesia yang berkaitan dengan penggandaan tanah untuk pembangunan adalah masalah ketersediaan tanah yang secara fisik sangat terbatas, disertai harga tanah yang tidak pasti, rawan spekulasi dan cenderung stagnan. Pola penggandaan tanah yang ditempuh selama ini adalah melalui proses pembebasan tanah, namun hasilnya kurang memuaskan, justru banyak menimbulkan permasalahan baru, seperti melambungnya harga tanah pada saat akan dibebaskan. Selain itu, lambatnya proses pembebasan tanah yang mengakibatkan terhambatnya proses pembangunan, dan sering disertai dengan ketegangan dalam masyarakat, sehingga harus berakhir di Pengadilan. Percermatan terhadap UU yang berhubungan dengan pembahasan RUU ini adalah diingatkannya untuk
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
perlu mengacu pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyebutkan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat,”. Dengan demikian pada tingkatan tertinggi hak atas tanah dikuasai oleh Negara, dan Negara melalui pemerintah memiliki kewenangan untuk mengatur serta menyelenggarakan peruntukan, penggunaan dan persediaan tanah termasuk mengatur hubungan hukum (antara orang-orang dengan tanah, menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang menyangkut tanah). Namun, perlu diingatkan pula tentang pasal 28H ayat 4 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa, “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapapun,”. Berdasarkan pasal 28H ayat 4 tersebut, dapat diartikan setiap orang yang mempunyai milik pribadi tidak dapat diambil dengan sewenang-wenang oleh siapapun termasuk tanah. Hal lain yang juga perlu dikeda-
pankan adalah Pasal 6 UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria menyebutkan, “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial,”. Dari pasal 6 UUPA ini dapat diartikan bahwa tanah yang dimiliki oleh seseorang dapat digunakan sebagai untuk kepentingan umum dengan cara memberikan ganti rugi atau kompensasi kepada pemilik tanah tanpa adanya paksaan dari siapapun juga. UU yang terkait dan memerlukan percermatan pula adalah UU No.20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan BendaBenda yang ada di atasnya. Ada empat Peraturan Perundang-undangan yang dikaji mengenai ganti rugi, yaitu, Peraturan Pemerintah No 39 tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan dengan Pencabutan HakHak Atas Tanah dan Benda-Benda di
Mengenai Tata Cara Pembebasan tanah; dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.2 tahun1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah oleh pihak swasta. Seluruh peraturan perundangundangan diatas berkaitan erat pada UU No.20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di Atasnya. Penggadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur yang dilakukan Pemerintah pada saat ini, mengacu kepada Perpres No.65 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Perpres No.36 Tahun 2005 tentang Penggandaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Perpres no.65/2006). Namun Perpres No.65/2006 tersebut dianggap belum memenuhi
Dalam penggandaan tanah selama ini masih terdapat permasalahan mendasar dalam pelaksanaannya, dan yang menjadi salah satu penghambat tercapainya tujuan pembangunan untuk kepentingan umum, khususnya dalam pembangunan infrastruktur. Oleh karena itulah, dengan adanya berbagai macam masukan serta pertimbangan, kedepannya, Pansus RUU Penggandaan Tanah Untuk Pembangunan kedepannya dalam rapat masukan nantinya, berharap akan memperolah gambaran yang lebih utuh atas persepsi dan pemahaman serta harapan-harapan dalam merumuskan dan melahirkan UU tentang Penggandaan Tanah Untuk Pembangunan tersebut. Sehingga, masyarakat yang mempunyai hak atas tanah tidak dirugikan dan setelah dilaksanakannya berbagai pembangunan untuk kepentingan
Atasnya; Intruksi Presiden No.9 tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan BendaBenda yang ada di Atasnya; Peraturan Menteri Dalam Negeri No.15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-ketentuan
rasa keadilan dan belum mampu mengatasi ketegangan yang terjadi di masyarakat akibat penguasaan tanah disetiap kegiatan pembangunan yang berkaitan dengan penggandaan lahan untuk kepentingan umum.
umum, masyarakat dapat merasakan manfaat dengan terwujudnya pembangunan yang berkeadilan sosial dan pembangunan untuk kepentingan umum bisa berjalan dengan lancar. Semoga.(nt)
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
41
LEGISLASI
RUU Tentang Keimigrasian Disahkan Arus globalisasi yang terjadi dewasa ini telah menyebabkan terjadinya perubahan pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. RUU tentang Keimigrasian yang merupakan revisi UU no. 9 tahun 1992 berupaya menjawab kondisi itu dengan peraturan yang memodernisasi pendekatan keamanan sekaligus melakukan penghormatan terhadap nilai-nilai HAM.
“
Lahirnya UU keimigrasian yang baru memiliki landasan filosofis dan sosiologis dengan paradigma mencegah penyalahgunaan wewenang. Reformasi birokrasi dan pelayanan publik yang efektif, efisien serta memiliki kepastian hukum,” tegas wakil ketua Komisi III DPR RI Fahri Hamzah saat menyampaikan laporan dalam rapat paripurna di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta, Kamis (7/4). Fahri yang juga Ketua Panja RUU Keimigrasian menjelaskan ada beberapa rumusan pembaruan yang ber hasil disepakati diantaranya penerapan Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian sebagai penunjang pelaksanaan fungsi keimigrasian dengan perangkat dan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi. “Imigrasi ibarat pintu gerbang yang bisa dielektronisasi, ini akan membuat sistem kita menjadi lebih bersih,” tekannya. Ditetapkan pula pengaturan sterilisasi area imigrasi di setiap Tempat Pemeriksaan Imigrasi di bandara, pelabuhan dan pos lintas batas. UU juga memberi kewenangan preventif dan represif Menteri Hukum dan HAM dalam penanganan perdagangan
42
Ketua Panja RUU Keimigrasian, Fahri Hamzah saat menyampaikan laporan dalam rapat paripurna
orang dan penyeludupan manusia. Beberapa poin penting yang menjadi aspirasi keluarga perkawinan campuran juga diakomodir, diantaranya tentang pemisahan kategori WNA, proses mendapatkan izin tinggal yang lebih mudah persyaratannya dan diberikan untuk waktu tidak terbatas dengan tetap memiliki kewajiban melapor ke Kantor Imigrasi setiap 5 tahun tanpa biaya. UU juga memberikan pemenuhan hak dasar mencari nafkah bagi pasangan perkawinan antar bangsa demi kebutuhan hidup keluarganya. Ditetapkan pula perluasan perspektif pengawasan keimigrasian yaitu pengawasan yang berbasis data dan informasi, pengawasan lapangan yang menyertakan tim dari badan atau instansi pemerintah terkait, serta penguatan fungsi intelijen keimigrasian. UU juga mengatur sangsi tindakan administratif keimigrasian sebagai salah satu proses penegakan hukum di luar sistem peradilan. Pe-
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
nyidik Pegawai Negeri Sipil Keimigrasian diberi wewenang sebagai penyidik tindak pidana keimigrasian. Ditetapkan pula, Rumah Detensi sebagai tempat penempatan sementara bagi orang asing yang melanggar peraturan perundang-undangan dan korban perdagangan orang seta penyeludupan manusia. “Undang-undang ini kami anggap monumental,” kata Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso. Pada saat memimpin rapat paripurna ia secara khusus memberikan aspirasi kepada hadirin yang berada di balkon yang terdiri dari organisasi Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB) dan Masyarakat Perkawinan Campur Indonesia (PerCa). ‘Fraksi balkon’ yang sebagian besar para Ibu, beberapa diantaranya dari manca negara merespon sapaan tersebut dengan melambaikan bendera kecil yang bertuliskan Bravo UU Keimigrasian. APAB dan PerCa menilai Panja RUU Keimigrasian Komisi III DPR RI berhasil menyelesaikan berbagai isu
diskriminatif yang selama ini meminggirkan hak-hak keluarga perkawinan campuran, terutama mengenai
Sekarang keluarga perkawinan campuran memiliki payung hukum baru yang meletakkan posisi keluarga kami
Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso (kanan) dan Ketua Panja RUU Keimigrasian Fahri Hamzah (tengah)
Suasana antrian di kantor imigrasi
aturan Izin Tinggal Tetap (Permanent Residence). Sebelumnya keberadaan seorang WNA yang merupakan anggota keluarga perkawinan campuran tidak diatur secara khusus, terpisah dari kelompok WNA yang lain. “Undang-undang ini sudah sangat lama kami tunggu kelahirannya.
setara dan terlindungi secara hukum seperti keluarga lain di Indonesia,” kata Julie Mace anggota Tim Advokasi Keluarga Perkawinan Campuran – TPAC. Silvi Kurnia Prihapsari anggota TPAC yang menikah dengan warga negara Pakistan memberikan apresiasi
atas pengesahan RUU Keimigrasian. Ibu satu anak berusia enam tahun ini menilai pasal-pasal dalam UU membuat dirinya sebagai pelaku kawin campur merasa tenang. Silvi yang juga Direktur Indonesian Mix Couple Marriage from Pakistan menyebut semua aspirasinya sebagai istri WNA sudah tertampung. Dia juga mengatakan UU ini sangat membantu termasuk terhadap warga Indonesia yang suami atau istrinya berasal dari 12 negara rawan yang sering mendapatkan perlakuan diskriminatif. Dengan UU Keimigrasian yang baru ia berharap tidak ada lagi pendiskriminasian atas hak-hak asasinya karena bersuamikan warga Pakistan. “Tidak semua warga Pakistan itu teroris, tidak semua warga Pakistan itu penjahat,” tandasnya. Ia menambahkan organisasi yang dipimpinnya saat ini sedang membimbing sekitar 98 orang yang akan menikah dengan warga Pakistan. TPAC berharap pemerintah dapat segera menindaklanjuti lahirnya UU dengan merumuskan peraturan pelaksana karena menurut mereka efektivitas pelaksaan UU bergantung kepada PP yang dihasilkan. Julie Mace menegaskan siap mendukung pemerintah dalam merumuskan peraturan pelaksanaan UU dengan memberikan input, usulan dan data yang dapat membantu mempercepat penyelesaiannya. Kepada wartawan usai rapat Menkumham Patrialis Akbar menyatakan pemerintah memberi perlindungan bagi masyarakat yang mengalami kawin campur, dengan catatan perkawinan tersebut sah secara hukum. Ia mengingatkat UU Keimigrasian telah menyiapkan sanksi tegas bagi pihak yang melakukan perkawinan semu dengan warga nega ra asing, misalnya untuk kepentingan bisnis. “Perkawinan semu mendapat sanksi paling lama 5 tahun akumulatif denda 500 juta rupiah. Kasus perkawinan seperti ini pernah kita temukan motifnya untuk cari duit, sanksinya tegas,” demikian Patrialis. (iky)
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
43
LEGISLASI
Kinerja legislasi :
DPR Tuntaskan 4 RUU Pada Akhir Masa Sidang III
Terdapat beberapa RUU yang berhasil dituntaskan DPR pada akhir masa sidang III, RUU tersebut yaitu RUU Transfer Dana, RUU Akuntan Publik, RUU Keimigrasian, dan RUU Informasi Geospasial.
S
idang Paripurna pada tanggal 7 April 2011 juga telah menyetujui dua usulan RUU dari Komisi X menjadi RUU Inisiatif DPR RI yaitu RUU Pendidikan Kedokteran dan RUU Pendidikan Tinggi. Adapun beberapa RUU yang telah diproses dalam Pembicaraan Tingkat I namun belum memasuki Pembicaraan Tingkat II, akan diagendakan pada Masa Persidangan IV. “DPR akan terus melakukan berbagai upaya terobosan untuk mengejar intensitas penyelesaian RUU, namun berbagai kendala masih juga dihadapi,”kata Ketua DPR Marzuki Alie saat menutup pidato akhir masa sidang III, baru-baru ini. Secara substansi krusial, paparnya, masih perlu pendalaman dan
44
kata sepakat di dalam pembahasan, semuanya dapat ditempuh melalui serangkaian lobi dan konsultasi, baik antara DPR dan Pemerintah maupun antar-fraksi di DPR-RI. Dari 4 (empat) RUU yang berhasil disahkan, hadirnya RUU tentang Transfer Dana, lanjut Marzuki, diharapkan mampu meningkatkan kegiatan perekonomian nasional dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap iklim usaha di Indonesia. Meningkatnya kepercayaan tersebut, tambahnya, tercermin dari arus transaksi perpindahan dana yang menunjukkan peningkatan, tidak saja dari sisi jumlah transaksi, tetapi juga dari sisi nilai nominal transaksinya.
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
“Pergerakan dana secara lintas batas (cross border) telah menjadi kebutuhan para pelaku ekonomi dunia, dan menuntut adanya pemanfaatan yang optimal dari Pemerintah dan otoritas yang berwenang, sebagai salah satu upaya memajukan perekonomian nasional,”tambahnya. Selain itu, UU tentang Transfer Dana diharapkan makin melengkapi “amunisi” aparat penegak hukum, untuk memburu pelaku pencucian uang, menyusul telah disahkannya UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU). Sementara untuk RUU Mata Uang, Pemerintah dan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum menyepakati pengesahan RUU tersebut dikarenakan masih terjadi silang pendapat mengenai keinginan pemerintah untuk melakukan penandatanganan pada mata uang “Masih belum ada kata sepakat antara Pemerintah dan fraksi terkait dengan masalah tanda tangan Menteri Keuangan dalam mata uang. Pemerintah masih meminta agar Menteri Keuangan turut serta menandatangani, sedangkan sebagian fraksi tidak setuju,” terang Ketua Komisi XI Emir Moeis.
Bahas Intensif RUU DIY
RUU yang menjadi perhatian masyarakat, tambah Marzuki, antara lain RUU Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan RUU tentang Intelijen Negara. Masih banyak permasalahan atas RUU-RUU tersebut yang memerlukan pendalaman lebih
lanjut berkaitan dengan materi-materi yang dianggap sangat krusial. Untuk RUU Keistimewaan Provinsi D.I. Yogyakarta, tambah Marzuki, berkaitan dengan mekanisme penetapan atau pemilihan gubernur dan wakil gubernur DIY. Sedangkan untuk RUU Intelijen Negara, berkaitan dengan kewenangan lembaga ini khususnya kewenangan penyadapan dan penangkapan yang masih perlu kajian lebih mendalam. Menyinggung Masalah Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Ketua DPR Marzuki Alie mengingatkan kembali kepada Pemerintah, bahwa Pasal 28H UUD 1945 dan UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan mengamanatkan, setiap orang berhak mendapat pelayanan kesehatan. UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, juga memberikan amanat akan hak sehat, sebagai perwujudan negara kesejahteraan. Oleh karenanya, setiap individu, keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan atas kesehatannya, dan negara bertanggung jawab mengatur terpenuhinya hak hidup sehat bagi penduduknya. “Pemerintah untuk segera melakukan evaluasi dalam penyelenggaraan Jamkesmas, agar peristiwa penelantaran pasien dapat dihindarkan,”jelasnya. Berkaitan dengan itu, Pimpinan Dewan sangat mengharapkan, pembahasan RUU tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang merupakan luncuran RUU tahun 2010, dapat segera dilanjutkan. Kepada Pemerintah, diharapkan dapat melakukan dialog kembali untuk menyelesaikan substansi yang krusial, yang diatur dalam RUU ini.
RUU KAP Atur Profesi Akuntan
RUU Kantor Akuntan Publik (KAP), kata Wakil Ketua Komisi XI DPR Achsanul Qosasih, merupakan RUU yang mengatur Kantor Akuntan yang ada di Indonesia. karena sebelumnya RUU ini hanya diatur didalam peraturan Kementerian Keuangan dan
UU tentang gelar akuntan. “Ini tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini karena tidak mengatur hal yang mendasar didalam Akuntan Publik diantaranya dinamika serta perlindungan kepentingan umum,”jelasnya. Menurutnya, terdapat beberapa hal perubahan didalam RUU ini, diantaranya perubahan pasal dari awalnya 69 pasal menjadi 62 pasal. Selain itu ada penambahan bab, dari semula 15 bab menjadi 16 bab. “Itu semua bertujuan mempermudah pemahaman dan maksud yang terkandung didalam UU
Soal keruangan
Menyinggung telah tuntasnya RUU Geospasial, Anggota Komisi VII DPR Bobby Adhityo Rizaldi dari Partai Golkar mengatakan, RUU Geospasial ini bertujuan menghindari adanya kekeliruan, kesalahan dan tumpang tindih informasi yang berakibat pada ketidakpastian hukum, inefisiensi anggaran pembangunan dan inefektivitas informasi. Informasi Geospasial dapat memberikan informasi mengenai kerua ngan, sangat bermanfaat untuk
penandatanganan pengesahan RUU Geospasial oleh Komisi VII DPR
ini,”paparnya. Terdapat beberapa Bab diantaranya menyangkut Ketentuan umum, bidang jasa, perijinan akuntan publik, Kantor Akuntan Publik (KAP), kewajiban dan larangan, asosiasi KAP, maupun pembinaan dan pengawasan. Didalam RUU ini terdapat Komite Akuntan Publik yang berfungsi sebagai lembaga banding sanksi administratif dari menteri keuangan terhadap KAP. “Untuk persoalan pembinaan dan pengawasan, telah diatur dalam RUU KAP, wewenang tersebut telah dilakukan oleh menteri keuangan dalam melakukan pembinaan, pengawasan asosiasi, KAP, serta cabang KAP,”katanya. Selain itu, terdapat sanksi administratif, yang bertujuan mengedepankan profesi pekerjaan mereka.
melakukan tindakan cepat dan tepat untuk penanggulangan bencana alam. Contohnya, bahaya banjir yang mengancam Jakarta dan sekitarnya, dapat dievaluasi dan dikalkulasi dengan cepat jika diketahui wilayah yang terancam, seberapa luas areanya, bagaimana dengan ketinggian daerah itu, jumlah penduduknya, masuk ke dalam administrasi mana, dan seterusnya. Sehingga dapat dilakukan evaluasi, rencana evakuasi, menghitung logistik yang akan diperlukan, dan lainnya. Bobby menambahkan, selain itu RUU Informasi Geospasial ini pun kedepannya diharapkan dapat menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena dengan RUU ini dapat terlihat jelas mengenai batasan-batasan wilayah daerah masing-masing kota, maupun Provinsi.(si)
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
45
PROFIL
Yasti Soepredjo Mokoagow (F-PAN) Srikandi DPR Pengagum
Tokoh Reformasi, Amien Rais K
ecintaan seorang Yasti Soepredjo Mokoagow terhadap Partai Amanat Nasional (PAN) tidak muncul tiba-tiba, semua berawal dari kekagumanya terhadap sosok tokoh reformasi, Amien Rais yang dikenal sebagai tokoh yang kritis, pandai dan menjadi penggerak mahasiswa pada era awal reformasi 1998-1999 lalu. “Kalau saya bisa jujur dahulu saya masuk PAN karena sosok Amien Rais belum melihat visi dan misi partainya,”Jelas Ketua Komisi infrastruktur ini. Menceritakan pertemuannya dengan Amien Rais, ketika itu sosok Pendiri dan mantan Ketua Umum PAN menyempatkan mengunjungi Manado, tempat kelahiran Yasti, lalu dirinya diajak oleh temannya untuk menemuinya. Namun Yasti menolaknya, kecuali dengan syarat Amien Rais harus semobil dengannya dan dirinya yang menyetir mobil tersebut. “Pak Amien harus ikut, dan saya yang menyetir mobilnya, karena memang ingin mengkritiknya. Melihat perempuan yang nyetir dia kemudian duduk di depan sementara ajudannya di belakang,”Kenang Yasti saat awalawal pertemuannya dengan tokoh reformasi tersebut. Bahkan, Yasti mengakui dulunya tidak menyukai sosok Amien Rais karena terlalu keras dalam mengkritik.
46
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
Dalam perjalanan Yasti mengajukan berbagai kritikan dan pertanyaan kepada Amien Rais yang dijawab oleh Amien dengan terarah dan focus. Hingga akhirnya Yasti kesemsem dengan pemikiran dan pandangan Amien selaku tokoh reformasi yang sangat keras dalam mengkritik pemerintahan orba. “Beliau (Amien Rais) egaliter, cerdas dan memiliki wawasan yang luas, dan sangat layak dijadikan panutan,”papar Perempuan kelahiran Manado, 8 Maret ini. Menceritakan perjuangannya saat menjadi calon legislative, dia mengatakan, persaingan dengan Caleg Golkar saat itu sangat ketat sekali karena yang dihadapi incumbent dan merupakan anaknya Bupati, yang memiliki dukungan infrsatruktur yang kuat. “Setiap hari saya terjun ke 5-6 desa kampanye tiap hari bahkan pernah punya pengalaman selalu ditolaktolak oleh penguasa setempat. Menjadi anggota DPR diakuinya
bukan merupakan cita-citanya, karena memang Yasti sudah berkarier sejak muda sebagai pengusaha yang ulet dan sukses. Bahkan sejak lulus kuliah di usianya yang masih sangat muda, sudah terjun menjadi pengusaha di bidang general suplayer dan kontraktor. Pada periode 1992-1997 Yasti sudah menancapkan bidang usahanya di PT Newmont Minahasa. Dengan omzet mencapai miliaran rupiah, dia bahkan juga sempat memperluas jaringan usahanya di dengan menjadi mitra pemerintah di bidang pembangunan infrastruktur pelabuhan. “Sekali lagi saya bilang by accident masuk DPR, satu tahun sebelum itu saya ada persoalan internal di tubuh PAN, kemudian mundur sebagai ketua DPW tetapi tidak sebagai kader PAN. Saat itu mulai proses pencalegan yang mendorong saya untuk ikut menjadi caleg saat itu, “kata Yasti yang memperoleh 48.937 suara.
Ketika itu, lanjut Yasti, dirinya mengaku siap ditempatkan di nomor berapa saja dan berjanji akan memberikan terbaik bagi Partai dalam pencalonan anggota legislatif. “Sebagai Kader PAN, memang daerah Sulut merupakan daerah merah artinya peluang kecil mendapatkan kursi didaerah itu, namun alhamdullilah akhirnya dapat mempersembahkan satu kursi bagi PAN,”paparnya. Dia mengaku semenjak menjadi anggota DPR dirinya telah mundur dari berbagai perusahaan yang dipimpinnya, karena memang ingin menjaga independensinya sebagai anggota dewan dari berbagai kepentingan pribadi dan golongan. “Semenjak jadi anggota dewan saya mundur dari posisi saya sebagai Direktur, dan pengurus perusahaan dan berbagai projectnya,”katanya. Ditengah puncak kariernya sebagai Ketua Komisi V DPR, dihati kecil seorang Yasti merasa men-
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
47
PROFIL
jadi pengusaha merupakan panggilan hidupnya, karena menjadi seorang pengusaha dapat lebih bebas mengekspresikan diri. “menjadi pengusaha saya lebih enjoy dan lepas sementara menjadi anggota DPR RI tidak merdeka dan terikat norma-
tuntutan profesi dan menjaga wibawa DPR RI dengan terpaksa berusaha menkmati semuanya,”paparnya. Meskipun dunia politik penuh intrik, Yasti berusaha mendialogkan semua persoalan dengan teman-teman anggota di Komisi V DPR. Bah-
Menurutnya pro dan kontra di dunia politik itu hal yang lumrah, bahkan dinamikanya sama seperti di perusahaan-perusahaan. “Saya sudah terbiasa menghadapi laki-laki maupun perempuan dalam bertugas dan sejauh ini kita saling menghargai satu sama lain jadi sudah merasa sebagai keluarga besar tidak ada lagi fraksifraksi di Komisi yang ada Fraksi Komisi V DPR. Selain itu saling bantu-membantu satu sama lain jika ada pembahasan dengan Pemerintah,”lanjutnya.
Bekerja maksimal
norma bahkan diteleponpun sudah sangat terbatas,”paparnya. Bahkan, lanjutnya, dahulu dirinya lebih bebas dalam berpakaian artinya bisa memakai kaos oblong, jeans dan bahkan sandal jepit. “Sebagai Ketua komisi saya merasa bukan diri saya, karena memang sudah terbiasa dengan baju-baju lapangan, karena
48
kan dirinya tidak sungkan-sungkan meminta dikoreksi apabila memang dirinya salah. “Saya telah menyampaikan kepada temen-temen komisi V DPR tolong dikoreksi karena kita sama-sama menjadi DPR RI yang disumpah untuk memperjuangkan daerah pemilihan kita dan aspirasi seluruh rakyat Indonesia,”jelasnya.
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
Selaku anggota Dewan, memiliki tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) menjalankan fungsi legislasi, anggaran, maupun pengawasan. Menyoroti fungsi legislasi Komisi V DPR mendapat jatah yang cukup besar diantaranya yaitu revisi UU Rumah susun, Revisi UU 38 tentang jalan, RUU Jasa konstruksi, RUU Pencarian dan pertolongan orang hilang. “Revisi UU pelayaran itu harus segera diselesaikan karena memang tugas beratmya yaitu mensinkronkan dengan berbagai kepentingan. Bahkan Pemerintah sendiri belum sinkron satu sama lain. Membuat UU tidak bisa cepat-cepat stakeholder diundang semua, dan sosialisasi kepada masyarakat,”tandasnya. Dia mengatakan, pernah dalam suatu pembahasan Komisi V DPR deadlock dengan Pemerintah ketika melakukan pembahasan RUU Rumah Susun. Ketika itu, pembahasan DIM masih ada kendala di tingkat pemerintah belum ada sinkronisasi, antara Dirjen Cipta karya dengan badan pertanahan. Saat ini, DPR terus mendorong dan memprioritaskan penerbitan Peraturan Turunan (Peraturan Pemerintah) terhadap UU yang menyangkut transportasi, penerbangan, UU tentang kereta api, UU tentang jalan, dan pelayaran. Artinya, PP harus segera di terbitkan agar UU bisa diimplementasikan, karena apabila sudah terbit PPnya maka program infrsatruktur bisa segera berjalan dan DPR mengharap-
kan dapat menyelesaikan persoalan transportasi yang ada sekarang ini. Selain itu, Mitra kerja harus didorong terus agar lebih efektif melakukan pembangunan infrastruktur, karena itu pemerintah harus memberikan tambahan anggaran untuk melakukan percepatan pembangunan infrsatruktur. “Pembangunan infrastruktur merupakan urat nadi tapi harus ada skala priporitas pembangunan,”paparnya. Hal itu telah disampaikan kepada rekan-rekan di DPR jangan sampai adanya dikotomi antara wilayah Indonesia barat dan timur karena itu harus mengedepankan skala prioritas apa yang sesungguhnya dibutuhkan wilayah tersebut, kemudian karakteristik daerahnya. misal kalau di Papua cukup dengan pelabuhan kenapa dibangun kereta api, kalau wilayah Sumatra dibangun kereta karena rutenya menyambung terus sesuai dengan karakteristik wilayahnya.
Hobi pingpong
Ditengah kesibukannya sebagai Ketua Komisi V DPR, Yasti masih menyempatkan bermain Pingpong, namum tidak serutin dahulu, sekarang waktunya lebih banyak digunakan untuk beristirahat karena memang jadwalnya sangat padat. “Saya dulu suka bermain golf, pingpong, dan memancing tapi sekarang kegiatannya tinggal pingpong saja, sekarang ini, kalau ada waktu sering digunakan untuk istirahat,”paparnya. Bahkan sabtuminggu saat ini selalu terisi waktunya, dengan urusan konsolidasi partai dan sebagainya. Karena itu, apabila ada schedule janji dengan teman-teman seringkali tidak bisa karena adanya penugasan partai. Kalau janji, tambahnya, selalu bilang tentative, karena memang waktunya lebih banyak mengurus kepentingan bangsa dan Negara, partai dan mengesampingkan kepentingan pribadi. Sebagai ketua komisi V DPR, hubungan DPR dengan mitra kerja selalu mengedepankan komunikasi
dalam memecahkan masalah bangsa ini. “Di Komisi V DPR kita selalu mengedepankan komunikasi dan yang dibahas bersama harus implementatif
bahkan saya bilang sama rekan-rekan anggota DPR, kita harus mengejar implementasi anggaran bukan hanya penyerapan semata,”jelasnya. (si)
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
49
KUNJUNGAN KERJA
Komisi I DPR RI:
Perkuat Industri Alutsista Dalam Negeri
Pada Masa Persidangan ke-III, Komisi I DPR telah mengadakan Kunjungan Kerja (Kunker) keberbagai daerah seperti Sumbar, Papua Barat dan Banten. Berbagai persoalan dibidang Pertahanan seperti peningkatan industri dalam negeri, Alutsista, persoalan anggaran untuk lembaga penyiaran TVRI, RRI dan Antara di daerah selalu mengemuka setiap melakukan kunjungan kerja ke berbagai daerah.
D
Rombongan Tim Kunker Komisi I Ke Sumatera Barat
isisi Lain, Kunjungan kerja juga bertujuan menyerap aspirasi masyarakat terkait Perubahan UU Penyiaran yang akan segera di bahas di DPR bersama pemerintah. Saat kunjungan ke Sumatera Barat, selaku Komisi yang membidangi persoalan pertahanan, intelijen, luar negeri dan Kominfo menyempatkan mengunjungi Pangdam I/ Bukit Barisan pada tanggal 11 April lalu. Selain itu, Tim juga mengadakan RDPU dengan TVRI, RRI, Antara selaku stakholder di bidang penyiaran.
50
Menurut Amin Suparmin dari Fraksi PPP, revisi UU Penyiaran saat ini masih dalam pembahasan tingkat I di Komisi. “DPR masih membahas dan mengodoknya di Komisi I dan masih belum tuntas sampai saat ini,”jelasnya. Saat ini, terang Amin, DPR masih meminta masukan-masukan dari daerah-daerah terkait perubahan UU Penyiaran “DPR masih menerima masukan dari TVRI daerah, KPID, RRI sebagai mitra yang memang masukannya sangat dibutuhkan dalam revisi
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLI, 2011 |
UU Penyiaran ini,”tambahnya Guna meningkatkan kinerja TVRI dan RRI di daerah-daerah, lanjut Amin, pemerintah harus memberikan dukungan yang memadai untuk lembaga tersebut. “Seperti dukungan anggaran, tanpa harus melanggar aturan-aturan yang ada,”katanya. Selain itu, likuiditas keuangan pemerintah daerah juga harus dihitung untuk lembaga tersebut. Dia mengatakan, TVRI dan RRI di daerah harus kreatif dan memfokuskan kepada program pemerintah daerah sehingga sejalan dengan misi dan visi daerah, yang dampaknya memudahkan mereka untuk mendapatkan anggaran daerah. “TVRI dan RRI harus memakai logika seni. Seni dalam arti bagaimana bermitra dengan pemerintah provinsi dan berdialog dengan gubernur, kemudian program juga betul-betul fokus untuk kepentingan public yang seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah daerah,”paparnya.. Menyinggung usulan penggabungan RRI dan TVRI, Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanudin mengatakan, usulan tersebut masih dibahas dan digodok bersama de ngan stakholder seperti RRI dan TVRI. “Apakah itu akan digabung atau tidak, yang paling penting terbaik untuk kepentingan karyawan, penyiaran maupun bangsa dan negara,”katanya. Dia menambahkan, isu krusial
Percepatan Infrastruktur
Kunjungan Kerja Komisi I DPR ke Wilayah Papua Barat menilai masih minimnya pembangunan sarana dan prasarana infrastruktur di daerah Papua Barat yang menyebabkan kurang berkembangnya sector perekonomi-
hileud.com/internet
dari perubahan UU Penyiaran saat ini yaitu mengenai penguatan peran KPID yang masih dianggap lemah dan tidak dapat bekerja maksimal. “KPID hanya bisa menegur tapi tidak memberikan sanksi dan teguran itu juga tidak bisa didengar oleh lembaga penyiaran,”paparnya. Menurutnya, Persoalan KPID nanti akan dibahas di dalam perubahan UU Penyiaran menyangkut juga persoalan perijinan siaran. “Semua harus ada kewenangan, itu juga harus diberikan kekuasaan untuk KPID,”jelasnya. Pada kesempatan itu, dia mengatakan, segala bahan masukan dalam meningkatkan kualitas informasi dan kegiatan lainnya agar diserahkan kepada DPR untuk dibahas secara nasional di Jakarta. Dia menambahkan, selaku rakyat Indonesia harus menyadari bahwa tradisi budaya daerah merupakan aset yang berharga dalam rangka menjaga stabilitas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena itu, pemerintah pusat mestinya ikut memberikan perhatian sepenuhnya dalam meningkatkan pengembangan kegiatan informasi dan komunikasi di daerah-daerah, khususnya di Sumbar. Dia mengharapkan, terdapat keseimbangan didalam masyarakat maupun industri penyiaran. Artinya, masyarakat harus menikmati siaran dengan baik, sehat dan murah, tetapi industri pertelevisian tidak boleh dipegang hanya satu orang saja. Tim Kunker Komisi I DPR dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi I Tubagus Hasanuddin didampingi oleh 15 orang anggota DPR, tim mengunjungi Sumbar pada tanggal 11-12 April dalam rangka fungsi pengawasan dewan dan menerima masukan terhadap perubahan UU Penyiaran.
Pembangunan infrastruktur di Papua Barat
an setempat, selain itu masih adanya daerah terisolir karena minimnya infrastruktur. Ketua Tim Komisi I DPR RI Hayono Isman (F-PD) mengatakan, kedatangan Tim Komisi I ke Provinsi Papua Barat dalam rangka mencari masukan dan melihat secara langsung kondisi riil pembangunan dan kendala yang dihadapi pada daerah itu. “Komisi I datang menyerap aspirasi masyarakat untuk pembangunan wilayah Papua,” katanya dengan antusias. Anggota Komisi I Yorrys Raweyai (F-PG) mengungkapkan pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua. Yorrys Raweyai mengajak seluruh masyarakat Papua untuk bangkit melaksanakan secara konsisten Undang-Undang Nomor 21 Tahun Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua, serta mengajak seluruh elemen bekerja bersama membangun Wilayah Papua. “Kita semua harus berkomitmen menuju masa depan bangsa Indonesia melalui pembangunan papua. Papua barat meru-
pakan suatu potensi dan memiliki opportunity yang lebih baik, dengan potensi sumber daya alam yang dimiliki, papua barat harus di managemen dengan baik, melalui visi yang jelas, membangun sistem yang baik, dan sumber daya manusia yang mendukung managemen.,” tegas politikus Dapil Papua itu. Dengan kekayaan sumber daya alam dan potensinya menyumbang lebih dari 30 persen, namun yang terjadi, Terang Yoris, indeks pembangunan manusia 10 tahun terakhir berada diurutan 33 dari 33 provinsi. “Yang harus segera ditangani adalah penyakit TBC, penyakit malaria, angka kematian ibu dan anak-anak,”jelasnya. Sementara Saat Kunjungan Kerja Komisi I DPR ke Banten, Komisi I DPR mendukung penuh peningkatan industri pertahanan dalam negeri guna memenuhi kebutuhan Alutsista TNI dan Polri. Melalui cara ini, diharapkan dapat mengurangi angka pengangguran dan meningkatkan perekonomian local setempat. Ketua Tim Komisi I DPR RI Enggartiasto Lukita (F-PG) mengatakan, kedatangan Tim Komisi I ke provinsi Banten dalam rangka mencari masukan apa adanya, bukan untuk mencari-cari persoalan. “Kami datang untuk mengetahui kebutuhan riil yang
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLI, 2011 |
51
KUNJUNGAN KERJA
Tim Kunker Komisi I ketika melakukan pertemuan di Papua
diperlukan prajurit di lapangan, meliputi alat utama sistem persenjataan (alutsista), kesejahteraan prajurit, dan masalah perumahan,” ucapnya saat membuka pertemuan. Sementara anggota Komisi I yang juga Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI, Mirwan Amir (F-PD) mengatakan, Kualitas alutsista produksi Badan Usaha Milik Negara Industri Strategis (BUMNIS) seperti PT. Pindad, PT. PAL, dan PT. LEN, kualitasnya tidak kalah dengan produk luar negeri. “Komisi I mendesak agar TNI mau menggunakan senjata dan amu-
nisi produksi BUMNIS, hal ini untuk mendorong kemandirian bangsa dan mengurangi ketergantungan terhadap produk luar negeri,” ujarnya. Mirwan menjelaskan DPR dan pemerintah sudah menyepakati Renstra Alutsista tahun 2014 dengan anggaran sebesar 54 triliyun rupiah di luar anggaran rutin TNI. “Tahun 2011 ini saja kita anggarkan 11 triliyun rupiah untuk alutsista,” tambahnya. Hal senada diungkapkan anggota Komisi I, Ahmed Zaki Iskandar Zulkarnain (F-PG), Anggota DPR dari daerah pemilihan Banten ini mengatakan,
alutsista produksi Pindad dan BUMNIS lainnya harus diprioritaskan daripada barang produk luar negeri. “lebih baik kita gunakan produk dalam negeri yang suku cadangnya terjamin, ketimbang produk impor yang jika ada masalah dengan cuku cadang dan amunisi, senjata itu tidak bisa digunakan lagi,” ujarnya menjelaskan. Danrem 064/Maulana Yusuf, Kol. Inf. Djoko Warsito mengungkapkan kondisi alutsista yang dimiliki prajurit di wilayah Korem 064/MY memang masih belum memadai, bahkan sebagian sudah ada yang berumur 20 tahun lebih, contohnya peralatan Radar yang dimiliki Sat Radar 211 Tanjungkait sudah berusia 26 tahun. Ketua Tim Komisi I DPR Enggartiasto kembali menegaskan Komisi I DPR mendukung peningkatan dan pengadaan alutsista untuk kebutuhan TNI. ”Kita sangat mendukung pe-ngadaan alutsista ini karena kita ingin mempunyai TNI yang kuat dan dibanggakan, karena pertaruhan adalah keutuhan NKRI,” tegasnya. Untuk itu Enggar mengatakan, Komisi I perlu data kebutuhan minimal dan mendesak seperti alutsista, alkom, kesehatan, kendaraan, dan amunisi yang akan diusahakan untuk bisa dipenuhi dalam APBN P 2011. (si)
Komisi II DPR Temukan 17 Ribu Rumah di Batam Liar
Komisi II DPR menemukan sebanyak 17.000 rumah di pulau Batam Kepulauan Riau, berdiri di atas lahan hutan milik negara.
H
al tersebut terungkap saat anggota Komisi II DPR RI berkunjung ke kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Batam (13/4). Menurut Kepala Kantor BPN Batam, Isman Hadi, hal ini terjadi karena persetujuan alih fungsi hutan yang ditempati 17.000 rumah itu belum
52
ada dari menteri kehutanan. Rumahrumah itu tersebar di berbagai wilayah di Batam. Namun Isman Hadi tidak menyebutkan secara rinci dikawasan mana saja rumah bermasalah itu. Mengetahui fakta tersebut, sejumlah anggota Komisi II DPR terkejut. “Kenapa BPN keluarkan sertifikat kalau status lahannya belum jelas.
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLI, 2011 |
Sudah tahu lahan hijau kok dikeluarkan juga sertifikatnya?” tanya anggota Komisi II DPR, Nurul Arifin (F-PG) kepada Isman Hadi. Isman Hadi menjelaskan, sertifikat bisa diproses BPN karena sudah ada reko rekomendasi dari Otorita Batam (sekarang BP Batam), selaku badan yang diberikan otoritas oleh
pemerintah pusat untuk mengelola lahan di Batam. BPN sebelumnya mengira pihak Otorita Batam sudah mendapat rekomendasi dari Menteri Kehutanan mengenai alih fungsi hutan lindung atau jalur hijau menjadi lahan komersil. “Kalau masyarakat mau protes seharusnya ke Otorita Batam. Karena yang menjual tanah ke pengusaha adalah Otorita Batam,” kata Isman Hadi memberi saran. Kepada Tim Komisi II DPR Isman Hadi berharap, Komisi II bisa menjembatani persoalan ini ke menteri terkait. Anggota Komisi II DPR Budiman Sudjatmiko (F-PDIP) berjanji akan membicarakan dengan BPN pusat saat rapat dengar Komisi II nanti. “Kita akan menyampaikan persoalan ini ke Badan Pertanahan Nasional Pusat,” kata Budiman. Sementara itu, mantan Ketua Real
Tim Kunker Komisi II Ke Batam
Tim Kunker Komisi II saat melakukan pertemuan di Kantor BPN Batam
Estate Indonesia (REI) Batam, Mulia Pamadi, mengaku terkejut mendengar informasi ini. Mulia mengungkapkan, pada akhir tahun 2010 lalu, BPN Batam mengeluarkan pernyataan bahwa sertifikat yang sudah dikeluarkan BPN sudah sah. “Loh, kok sekarang disebut masih ada 17.000 yang bermasalah. Ini menunjukkan ketidakkonsistenan dengan pernyataan sebelumnya,” kata
Mulia mempertanyakan. Wakil Ketua Kadin Kepri ini menambahkan, pada 14 Agustus 2010 lalu, saat dirinya masih menjabat sebagai Ketua REI Batam, sudah pernah Rapat Koordinasi dengan Menko Ekuin dan beberapa instansi terkait. Dalam pertemuan itu, pihak BPN menyatakan bahwa status lahan yang sudah dikeluarkan sertifikatnya oleh BPN itu sudah legal. Saat dikonfirmasi wartawan mengenai hal ini kepala BPN Batam Isman Hadi mengatakan dirinya tidak mengatakan 17.000 rumah itu illegal. “Saya tidak bilang 17 ribu rumah di Batam ilegal,” kata Isman Hadi menjelaskan. Menurutnya, komisi II DPR RI memang menanyakan soal sertifikat yang sebelumnya tak bisa diagunkan, karena masih ada persoalan alihfungsi hutan lindung atau lahan hijau yang belum ada rekomendasinya dari Menteri Kehutanan. “Masyarakat tidak perlu resah, karena memang saat ini sudah tak ada masalah lagi. Ini sebagai klarifikasi berita yang menyebutkan 17 ribu rumah di Batam ilegal,” kata Isman Hadi. Ia juga menyebutkan, saat ini, proses penerbitan sertifikat berjalan seperti biasa dan sertifikat rumah juga bisa diagunkan.*
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLI, 2011 |
53
KUNJUNGAN KERJA
Komisi IV DPR RI
Raskin Banten Dipenuhi Beras Surplus Hasil Produksi Lokal Komisi IV DPR meminta Perum Bulog (Badan Urusan Logistik) melakukan usaha pemenuhan beras raskin dari surplus hasil produksi masyarakat lokal. Perum Bulog diharapkan dapat memperhatikan kualitas dan kuantitas dalam distribusi beras raskin.
M
Tim Kunker Komisi IV Banten saat melakukan peninjauan di Gudang Bulog
enurut Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Herman Khaeron saat melakukan kunjungan kerja ke Propinsi Banten, permasalahan yang kerap dihadapi dalam penyaluran raskin terkait dengan kualitas dan kuantitas dari beras itu sendiri. Padahal dalam penyaluran raskin tersebut kuantitas maupun kualitas telah ditentukan. Sementara dari hasil kunjungan kerja ke Perum Bulog di Banten, stok beras yang akan didistribusikan untuk raskin ditenggarai merupakan beras impor dan jumlah kuantitasnya masih dalam bentuk kemasan 50 Kg. “Dalam nomenklatur sudah ditetapkan kemasannya 15 kilogram tapi tadi kan dalam kemasan 50 kilogram, nah seharusnya beras itu sudah direpackaging sebelum ke Rumah
54
Tangga Sasaran (RTS). Nah itu kan menyalahi aturan dan kalau menurut aturan kan yang menyalahi harus dikenakan sanksi, tetapi kita kan ingin mengingatkan dulu dan minta penjelasan lebih lanjut setelah reses nanti,” kata Herman di Banten, Senin (25/4). Selanjutnya Herman yang memimpin rombongan Komisi IV dengan anggota Sri Hidayati, Adiyaman Amir Saputra, Djoko Udjianto, dan I Wayan Sugiana (F-PD), Siswono Yudo Husodo dan Robert Joppy Kardinal (F-PG), Viva Yoga Mauladi dan Hendra Singkaru (F-PAN), Honing Sanny dan Sudin (F-PDIP) , Tamsil Linrung (F-PKS), dan Peggi Patricia Patippi (F-PKB), mengungkapkan program pemerintah yang tujuannya untuk mensejahterahkan rakyat ini diharap-
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLI, 2011 |
kan dapat segera dituntaskan dengan lebih baik, dimana peraturan terkait penyaluran raskin telah ditetapkan. Karena pada tahun 2011 secara nasional jumlah RTS penerima beras raskin berjumlah sebesar 17,8 juta dengan alokasi anggaran untuk raskin Rp 17,5 triliun. Disamping itu, Herman juga menekankan tentang pentingnya mempertahankan lahan pertanian untuk menunjang produksi padi nasional. “Kami terus mendukung program raskin ini dan berupaya untuk memperbaiki sistem penyalurannya. Ini program pemerintah yang harus dikawal dan kita ingin semua pihak yang terkait mendukungnya,” ujarnya. Sementara itu Wakil Gubernur Banten HM Masduki menyatakan sangat apresiatif jika pemenuhan raskin bagi RTS di Banten yang berjumlah sekitar 629.318 dipenuhi dari beras surplus hasil produksi lokal. Berdasarkan hal itu, pihaknya terus menggalakkan sapta usaha pertanian semisal pengolahan tanah, pengairan, ketersediaan pupuk dan pemberantasan hama. “Saya sangat setuju dan sependapat dengan apa yang disampaikan untuk kebutuhan raskin dibeli dari surplus yang ada. Nah alangkah baiknya kalau Bulog secara intensif melakukan kegiatan agar perhitungan surplus yang selama ini benar-benar bisa dibeli untuk stok beras nasional,” katanya. Dijelaskan Masuki, hingga 21 April 2011 jumlah besaran pagu beras miskin sudah menyerap 79% dari pagu berjalan dan diyakininya pada ahkir April 2011 bisa diselesaikan pagu sebesar 37 ribu ton. “Yang jadi masalah saat ini bukan karena besaran atau kilogramnya, kalau hal itu sudah
Kegiatan-kegiatan Tim Kunker komisi IV-Banten
sesuai yakni 15 kilogram, namun saat ini masalahnya biaya pendamping dari titik distribusi hingga ke RTS. Tapi mudah-mudahan hal ini dapat diselesaikan dengan baik,” ujarnya. “Kalau untuk lahan, kami sudah sepakat kalau lahan pertanian akan kami pertahankan termasuk lahan-lahan abadi, lahan yang tidak bertuan dan itu akan kami tertibkan agar bisa dikelola oleh masyarakat dan bertuan,” terangnya. Menyikapi pernyataan Komisi IV DPR dan Wagub Banten, Kepala Bulog Divisi Regional DKI-Banten Marwan Lintang menyatakan akan berkomitmen pemenuhan beras raskin dari surplus produksi beras lokal. Selain itu, untuk kemasan beras yang sebelumnya diberikan dengan menggunakan kantong plastik, segera akan diperbaiki dengan repackging dengan ukuran 15 kilogram. “Ini stok beras impor terakhir untuk raskin dan mulai bulan ini sudah distop. Sedangkan untuk kemasan akan kami perbaiki segera,” tukasnya.
Komisi IV Minta Konflik Perluasan Lahan TNGHS Segera Diselesaikan Komisi IV DPR meminta konflik perluasan lahan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) bisa
segera diselesaikan. “Konflik wilayah hutan ini harus segera diselesaikan, karena kami khawatir justru hal itu akan menjadi beban apabila nanti disetujui perubahan dari Rancangan Undang-undang yang saat ini dibahas di DPR dan implikasinya malah bersinggungan dengan hukum,” kata Wakil Ketua Komisi IV Herman Khaeron seusai bertemu dengan Bupati Lebak M Jayabaya saat melakukan kunjungan kerja Komisi IV ke Banten, Selasa (26/4). Pada pertemuan tersebut Bupati Lebak M Jayabaya mengungkapkan pihaknya menolak rencana perluasan taman konservasi tersebut. Hal ini dikarenakan rencana perluasan TNGHS yang awalnya seluas 40 ribu hektare menjadi 113 ribu ribu hektare justru akan meningkatkan angka kemiskinan daerah Lebak. Alasannya, akibat rencana tersebut, banyak masyarakat yang akan kehilangan mata pencarian, tempat tinggal ataupun kehilangan berbagai sarana dan prasarana untuk kegiatan sosial, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya yang sebelumnya sudah ada. Selanjutnya, Jayabaya menambahkan, rencana perluasan TNGHS tentu akan menimbulkan konsekuensi buruk bagi masyarakat setempat. Bahkan, tidak menutup kemungkinan akan menjadi sumber konflik.
Jayabaya menegaskan, di areal yang masuk dalam rencana perluasan lahan saat ini terdapat sekitar 176 unit lembaga pendidikan, 312 unit sarana keagamaan, 21 unit sarana kesehatan dan 44 unit sarana pemerintahan yang berada di 1.180,50 hektare kawasan permukiman. Sedangkan kawasan pertanian berupa kebun, ladang, dan sawah, sekitar 11.015.50 hektare. “Masalah degradasi ini memang saata ini menjadi perhatian serius sebab angkanya sangat tinggi dan hal itu tentunya juga akan berpengaruh terhadap upaya produktivitas pertanian. Sementara masyarakat Lebak yang saat ini masih dalam kategori tertinggal, jangan sampai hal ini menjadi penyebab lagi, karena saat ini produktivitas pertanian di Lebak sudah semakin membaik. Bahkan surplus, nah oleh karena itu kita minta harus dijaga fungsi lahan pertanian agar jangan sampai terjadi alih fungsi di luar pertanian dalam upaya menjaga ketahanan pangan,” ujarnya. Sementara, anggota Komisi IV dari FPD M Jafar Hafsah mengatakan, persoalan perluasan TNGHS sebenarnya harus dilihat dari akar permasalahan utamanya. Menurutnya, apakah hutan tersebut memang luasnya sudah semestinya seperti yang masuk dalam rencana perluasan dan sudah telanjur ada kegiatan masyarakat, se-
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLI, 2011 |
55
KUNJUNGAN KERJA
Jajaran Pemerintah setempat
hingga akan dikembalikan pada fungsi awalnya. Apabila kegiatan masyarakat itu dinilai baru, Pemkab Lebak diharapkan dapat mempertimbangkan untuk menyusun tata ruang baru bagi penunjang kegiatan masyarakat. “Saat ini kegiatan masyarakat Lebak sudah bagus dan perkembangannya pesat terutama pertanian, misalnya padi sudah didistribusikan ke daerah lain, dan saat ini sudah ada kegiatan ekonomi lain misalnya sengon, jabon dan sebagainya dan itu harus diperhatikan dengan serius,” terangnya. “Jadi untuk itu harus ada upaya penunjang kegiatan ekonomi masyarakat saat ini yang sebagian besar petani, peternak dan sebagainya, meningkatkan SDM, reforma agraria dengan penyediaan lahan pada masyarakat, meningkatkan infrastruktur pertanian dan lainnya,” imbuhnya.
Bulog Divre DKI-Banten
Gelar Program “Beras dari Banten untuk Banten” Banten - Kepala Perum Bulog Divre DKI-Banten Marwan Lintang menyatakan Bulog subdivre DKI-Banten siap melaksanakan program beras dari Banten untuk Banten. Program
56
beras dari Banten untuk Banten guna menunjang dan mengamankan stok beras nasional. Menurut Marwan, pelaksanaan pembelian hasil produksi beras dari petani lokal saat ini memang merupakan kelanjutan dari program sejenis yang dilaksanakan pada tahun 2009. Sedangkan pada tahun 2011 ini dinilai merupakan salah satu program untuk mengamankan stok beras yang dimaksudkan sebagai pemenuhan kebutuhan beras bagi masyarakat miskin. “Kami setuju membuat atau menyerap beras dari Banten untuk Banten karena hal itu sudah kami lakukan pada tahun 209 dan berhasil,” kaya Marwan kepada wartawan di Banten usai menerima kunjungan kerja rombongan Komisi IV DPR, Banten, Seninmalam (25/4). Selanjutnya Marwan mengun kapkan Bulog dalam program beras dari Banten untuk Banten mengharapkan adanya bentuk kerjasama dari petani untuk menginformaskan apabila mempunyai beras yang kualitas dan harganya sesuai dengan standar Bulog untuk dilakukan pembelian. Sebab saat ini, jelas Marwan, Bulog banyak mengalami kendala dalam merealisasikan program tersebut. Alasannya tidak lain karena hasil
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLI, 2011 |
produksi beras Banten yang kualitasnya dinilai bagus sehingga banyak diminati oleh tengkulak-tengkulak yang menawarkan harga lebih tinggi dari harga HPP yang sebesar Rp 3.300. Padahal Bulog, terutama Divre BantenDKI telah mengalokasikan dana setara 50 ribu ton untuk pembelian hasil produksi beras petani lokal. “Beras Banten bagus sekali dan banyak jadi rebutan pembeli dari luar Banten, misalnya Jakarta, Bekasi yang mau membeli lebih tinggi. Nah sehingga kalau sudah di tangan swasta misalnya ada perbedaan harga sebesar Rp 25 saja dari HPP yang ditetapkan pemerintah ya Bulog tidak bisa,” ujarnya. Sementara ketika dikonfirmasi terkait adanya pernyataan dari anggota dewan mengenai kemasan beras untuk raskin sebesar 50 Kg/kemasan dan berbeda dengan ketentuan pemerintah yang menetapkan sebesar 15 Kg/kemasan, Marwan menjelaskan bahwa ukuran berat internasional memang memakai patokan tersebut. Selanjutnya, Marwan menegaskan bahwa apabila pemerintah bersikeras untuk mengubah ukuran kemasan beras yang saat ini masih menggunakan produk impor ini tentunya harus bersedia menanggung bentuk konsekuensi yakni adanya biaya tambahan. “International packaging untuk beras impor itu 50 kg /pack, andaikata pemerintah mau merubah menjadi 15 kg/pack itu akan terkena biaya repackaging lagi plus nilai susut. Itu karena ada proses pemindahan dari ukuran 50 Kg ke 15 Kg,” terangnya. “Andaikata mau menekan harga, maka konsekuensinya pemerintah harus bersedia membuka semua port (pelabuhan) di Indonesia, karena selama ini port yang memperbolehkan barang masuk itu hanya Medan, Jakarta, NTT, Sultra, Sulut dan Surabaya dan itu saja melalui negosiasi yang panjang. Tetapi intinya kami ingin memberikan dan bersedia melakukan yang terbaik untuk rakyat,” tukasnya.**
Pemanfaatan Potensi Panas Bumi, Kejanggalan Potensi Timah, Dan Amdal Kepulauan Seribu Menjadi Sorotan Tim Kunjungan Kerja Komisi VII DPR RI Saat Reses Masa Persidangan III Tahun Sidang 20102011, Komisi VII DPR RI menurunkan tiga Tim Kunjungan Kerjanya ketiga provinsi yakni Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), Provinsi Bangka Belitung (Babel) dan Provinsi DKI Jakarta.
B
Tim Kunker Komisi VII DPR saat meninjau PLTP Lahedong, Sulawesi Utara
erbagai masalah yang disoroti dari kunjungan kerja tersebut mulai dari pemanfaatan potensi panas bumi di Sulut, kejanggalan potensi timah di Babel dan amdal Kepulauan Seribu. Pada kunjungan kerja ke Provinsi Sulut, Komisi VII DPR menilai dengan adanya potensi panas bumi yang cukup besar di Sulut, maka pemanfaatan panas bumi di daerah ini merupakan suatu langkah yang tepat dan perlu terus ditingkatkan kapasitasnya. Penilaian tersebut disampaikan Ketua Komisi VII DPR Teuku Rifky Harsya saat pertemuan dengan Wakil Gubernur Sulut dan jajarannya, di Aula Kantor Gubernur Sulut. Pemenuhan kebutuhan energi di dalam negeri yang meningkat cepat
sebagai konsekuensi dari perkembangan ekonomi, menurut Riefky merupakan tantangan yang harus kita hadapi di sektor energi saat ini. “Salah satu upaya yang perlu dilakukan menghadapi hal tersebut adalah peningkatan dan pemerataan kemampuan supply energi, terutama dengan mengutamakan pemanfaatan sumber energi lokal untuk pemenuhan kebutuhan energi setempat,” jelas Riefky. Pengembangan PLTP Lahendong Unit IV-VI, pengembangan PLTP Kotamobagu Unit 1-4 dan Kawasan Bunaken yang dijadikan model dalam penggunaan tenaga matahari (PLTS, Riefky menilai sebagai upaya strategis bagi peningkatan kemandirian
energi di Sulut ini. “Upaya-upaya seperti ini patut didukung dalam rangka percepatan pemerataan akses terhadap energi,” kata Riefky. “Peningkatan pemanfaatan sumber energi terbarukan merupakan solusi bagi pengurangan tingkat ketergantungan terhadap minyak bumi yang dalam satu dekade terakhir terus mengalami penurunan baik cadangan maupun produksinya,” tambahnya. Penggunaan energi terbarukan menjadi semakin penting jika dilihat dari aspek lingkungan hidup. Tingkat polusi yang dihasilkanpun relatif sangat kecil sehingga proses produksinya tidak terlalu berdampak bagi degradasi kualitas lingkungan hidup. Dijelaskan Riefky, komitmen terhadap lingkungan hidup melalui perluasan penggunaan berbagai jenis energi terbarukan yang ramah lingkungan, akan semakin meningkatkan daya tarik wilayah Sulut sebagai salah satu pusat pariwitas di Indonesia. “Kemampuan suplay energi yang berkelanjutan juga akan mendukung Sulut sebagai pintu gerbang Indonesia untuk kawasan asia timur dan pasifik,” tambahnya. Sumber daya alam harus dimanfaatkan secara optimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk mendukung hal tersebut, maka penguasaan teknologi tentu merupakan salah satu prasyarat bagi upaya peningkatan nilai tambah di dalam pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki, termasuk percepatan pemanfaatan berbagai jenis energi terbarukan yang ada di Sulut. “Oleh karena itu, pemerintah bersama pemerintah daerah harus mendorong kegiatan riset yang memiliki relevansi dengan upaya optimalisasi
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLI, 2011 |
57
KUNJUNGAN KERJA
pemanfaatan sumber daya yang dimiliki,” jelas Riefky. Riefki juga mendorong pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi energi terbarukan yang sangat luar biasa di Sulut. Sehingga Sulut dapat menjadi Propinsi Energi Terbarukan. “Jika ini dapat berjalan dengan baik bisa dijadikan sebagai proyek percontohan yang dapat ditiru bagi propinsi-propinsi lain,” terang Riefky. Dalam Kunjungan Kerja ke Provinsi Sulut Teuku Riefky Harsya (FPD) sebagai Ketua Tim, yang diikuti oleh duabelas Anggota Tim Komisi VII DPR RI yang terdiri dari Zainudin Amali (F-PG), Milton Pakpahan (F-PD), Heriyanto (F-PD), Asfihani (FPD), Albert Yaputra (F-PD), Hartanto Edhi Wibowo (F-PD), Syamsul Bachri (F-PG), Halim Kala (F-PG), Bambang Wuryanto (F-PDIP), Irna Narulita (FPPP), Agus Sulistyono (F-PKB) dan Iqbal Alan Abdullah (F-Hanura).
KOMISI VII SOROTI KEJANGGALAN PRODUKSI TIMAH Dalam Kunjungan Kerja Komisi VII DPR RI ke Provinsi Babel, Komisi VII menyatakan akan segera memanggil Bea dan Cukai untuk menjelaskan dokumen ekspor timah asal Bangka Belitung. Sebab Komisi VII menemukan
kejanggalan antara volume ekspor dengan kemampuan produksi. “Selain memanggil Bea dan Cukai, kita juga akan memanggil Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral), disitu kita bisa check berapa nilai ekspor timah dari sini dan kita akan lakukan cross check jumlah ekspornya. Nanti akan diketahui kirakira berapa jumlah yang jebol,” jelas Ketua Rombongan Kunjungan Kerja Komisi VII, Achmad Farial (FPPP) saat kunjungan kerja ke Sungailiat. Komisi VII meminta Kantor Bea dan Cukai di Bangka Belitung untuk melakukan pengawasan ekstra terhadap dokumen pengiriman timah ke luar negeri. Selain masalah ekspor, Komisi VII beharap pemerintah daerah melalui Dinas Pertambangan dan Energi dibantu Kepolisian mengawasi kegiatan penambangan tanpa izin. “Semua aparat harus bekerja sama. Sebab ini demi kepentingan negara,” ujarnya. Farial mengakui bahwa pajak dan royalti yang masuk ke kas negara tidak terlalu besar. Menurut informasi yang diperolehnya, kemampuan PT. Timah dalam memproduksi timah hanya sekitar 50.000 ton per tahun. Sementara PT. Koba Tin hanya mencapai 8 ribu hingga 10 ribu ton per tahun. “Menurut informasi yang saya dapat, PT. Timah hanya memproduksi timah sebanyak sekitar 50 ribu ton
Kunjungan Kerja Komisi VII DPR ke PT Timah, Propinsi Bangka Belitung
58
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLI, 2011 |
pertahun, ada lagi PT. Koba Tin hanya sekitar 8 ribu hingga 10 ribu ton per tahun, jadi ada kelebihan sekitar 30 ribuan ton yang tidak terdaftar apakah masuk royalti atau bukan saya tidak tahu,” terangnya. Dia menggambarkan, penghasilan dalam bentuk pajak dan royalti hampir mencapai 1,8 triliun per tahun. Berarti dari 50 ribu ton timah, PT. Timah, Tbk hanya membayar sekitar 2 triliun dalam bentuk pajak dan royalti. “Kalau 30 ribu ton pertahun tinggal hitung saja, berarti 76 persen dari 2 triliun tadi, inilah yang jadi pertanyaan bagi DPR. PT. Timah membayar pajak dan royalti sesuai dengan kapasitas produksinya yakni 50 ribu ton pertahun, sedangkan timah ekspor kita hampir mencapai 100 ribu ton, jadi yang 30 ribu ton kemana?,” tanyanya. Farial menambahkan, Dia meminta agar perusahan penambangan juga dapat memenuhi sejumlah kewajiban, termasuk kewajiban mereklamasi lahan bekas penambangan. “Lahan yang sudah digali oleh PT Timah sesuai dengan kewajibannya mesti direklamasi. “Seandainya lahan sudah ditambang tidak direklamasi maka kita akan getok kepalanya. Kalau yang melakukan perusakan itu penambang liar, siapa yang akan kita getok, sebab kita
tidak tahu. Dan itulah yang menjadi masalah saat ini,” tegas Farial. Menanggapi pernyataan Komisi VIIKepala Seksi Kepabean dan Cukai, Taufik mengaku tidak bisa memberikan data. Menurutnya bagi siapapun termasuk instansi harus mengirimkan permintaan resmi tertulis ke Direktorat Jendral Bea dan Cukai Jakarta. “Sesuai Surat Edaran 12/DC/2006 kita tidak bisa memberikan data. Jika mau langsung ke pusat,” tegasnya. Mengenai volume ekspor timah dengan kemampuan produksi yang tidak sebanding, Taufik mengatakan telah melakukan pengawasan terhadap aktivitas ekspor balok timah ini. “Kita juga punya unit pengawasan di Bangka Belitung. Sudah pastikalau DPR mempertanyakan,kita siap,”pungkasnya. Kunjungan Kerja Komisi VII ke Provinsi Babel ini dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi VII, Achmad Farial (FPPP) dan diikuti beberapa anggota Komisi lainnya, antara lain Teuku Irwan (F-PD), Azwir Dainy Tara (F-PG), Bobby Adhityo Rizaldi (F-PG), Tri Hanurita (F-PG), Dewi Aryani Hilman (F-PDI Perjuangan), Syarif Bastaman (F-PDI Perjuangan), Sugihono Karyosuwondo (F-PKS), Alimin Abdullah (FPAN), Totok Daryanto, (F-PAN), Nur Yasin (F-PKB).
AMDAL KEPULAUAN SERIBU HARUS DIPERHATIKAN
Tim Kunjungan Kerja Komisi VII DPR RI ke DKI Jakarta yang dipimpin Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Effendi MS. Simbolon meminta perusahaan kilang minyak yang berproduksi di lepas pantai Kepulauan Seribu untuk memperhatikan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Perusahaan dimaksud adalah perusahaan kilang minyak lepas pantai PT. China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) yang tepat berada di pulau Pabelokan Kepulauan Seribu. Pada kesempatan tersebut Effendi Simbolon juga meminta penjelasan dari pihak CNOOC dan Bupati Kepulauan Seribu terkait upaya pe-
Pimpinan Tim Kunjungan Kerja Komisi VII DPR di DKI Jakarta, Effendi MS. Simbolon
nyelamatan lingkungan di sekitar wilayah operasi penambangan di Pulau Pabelokan, Kepulauan Seribu. Effendi Simbolon mengatakan tujuan kunjungan kerja ke pulau Pabelokan, dalam rangka melakukan fungsi pengawasan DPR, terkait besaran lifting minyak pada APBN 2011, dan adanya selisih data yang diterima Komisi VII DPR antara BP Migas dengan pihak PT. CNOOC. “Kami ingin mendapatkan penjelasan terkait data produksi minyak bumi perhari yang dihasilkan CNOOC, sebesar 75 ribu barrel, dan gas 66 MMSCFD. Sementara data yang kami terima dari BP Migas sebesar 40 ribu barrel per hari, apakah ini terjadi kesalahan administrasi ataukah masalah real operasi di lapangan” tanya Effendi Simbolon. Saat pertemuan dengan Bupati Kepulauan Seribu, Achmad Ludfi, memaparkan masalah keselamatan tenaga kerja dan pencemaran akibat aktivitas penambangan. Hadir pada pertemuan tersebut, Jajaran Direksi PT. CNOOC, perwakilan PT Pertamina Hulu Energi (PHE), Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), dan aparatur Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu. “Kita berharap kunjungan ang-
gota dewan yang terhormat ini, dapat mendorong PT CNOOC lebih peduli lagi terhadap kondisi sosial kemasyarakatan di Kepulauan Seribu, serta tanggap terhadap pencemaran yang mungkin terjadi,” kata Achmad Ludfi. Pada pertemuan tersebut juga dibahas mengenai upaya peningkatan produksi di dua kilang yang diopersikan oleh perusahaan asal China tersebut dan realisasi Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat di sekitar kilang. Anggota Tim Kunjungan Kerja Komisi VII DPR RI ke Provinsi DKI Jakarta antara lain Jhonny Allen Marbun, Tri Yulianto, Fardan Fauzan, Sutan Sukarnotomo, Sutan Bhatoegana, dan Sudewa dari Fraksi Demokrat. Makum Singodimedjo, Satya W Yudha, dan H. Arsyadjuliandi Rachman dari Fraksi Golkar. Daryatmo Mardiyanto, Dewi Aryani Hilman dan Rachmat Hidayat dari Fraksi PDI Perjuangan. M Idris Lutfhi, Achmad Rilyadi dan M. Sohibul Iman dari Fraksi PKS. Wa Ode Nurhayati dan H. Mumammad Syafruddin dari Fraksi PAN. H.M Romahurmuzyi dari Fraksi PPP, Dhohir Farisi dan Widjoyono Harjanto dari Fraksi Gerindra, serta Ali Kastela dari Fraksi Hanura. (sc/rr/wrj)
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLI, 2011 |
59
KUNJUNGAN KERJA
Kunker Komisi VIII Gelontorkan Dana Bansos Di Sulbar
D
alam menjalankan tugasnya, Komisi VIII DPR-RI terus melakukan kunjungan kerja (Kunker) ke daerah-daerah di nusantara untuk melihat secara langsung proses pembangunan. Kali ini kunjungan dilakukan ke Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) dan Provinsi Riau. Topik kunjungan terkait masalah bantuan sosial dan urusan haji. Saat Kunker ke Sulbar, Komisi VIII menggelontorkan dana bantuan sosial (Bansos) yang diserahkan langsung Ketua Tim Kunker Komisi VIII DPR RI, Abdul Kadir Karding kepada Gubernur Provinsi Sulbar, Anwar Adnan Saleh di Mamuju, Sulbar, belum lama ini. Dana sebesar Rp4.9 miliar yang bersumber dari dana Dekonsentrasi Kementerian Sosial tahun anggaran 2011 merupakan wujud kepedulian lembaga DPR-RI terhadap masyarakat Sulbar. Dana tersebut, selain digunakan untuk membantu pengusaha kecil dalam rangka meningkatkan perekonomiannya juga diberikan untuk para penyandang cacat berupa Jaminan Sosial Penyandang Cacat (JSPACA), para lanjut usia (lansia) dengan ben-
tuk (JSLU) dan anak melalui Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA). “Jangan sampai dalam pelaksanaa nya tidak tepat sasaran,” tegas Ketua Tim Kunker Komisi VIII DPR RI, Abdul Kadir Karding (F-PKB), di sela pertemuannya saat menyerahkan dana Bansos secara simbolik kepada Gubernur Provinsi Sulbar. Dana Bansos terdiri dari Jaminan Sosial Penyandang Cacat (JSPACA) sebesar Rp482.400.000 diberikan kepada 134 orang penyandang cacad yang tersebar di beberapa kabupaten, de gan besaran untuk perorang Rp300.000 per bulan, kemudian Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU) dengan total bantuan sebesar Rp360.000.000 akan diberikan kepada 100 orang Lansia yang tersebar di dua kabupaten provinsi Sulbar, yaitu Mamuju dan Polewali Mandar dengan besaran Rp300 ribu per orang yang diberikan selama satu tahun. Sedangkan Bansos untuk anak dialokasikan sebesar Rp598.965.000 disalurkan melalui Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak ( LKSA ) terdiri dari, 10 LKSA di Mamuju, 8 LKSA di Majene, 12 LKSA di Polewali Mandar
Suasana pertemuan anggota Komisi VIII dengan Dinas Sosial dan Badan Penanggulangan Bencana Sulbar
60
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLI, 2011 |
dan 6 LKSA di Mamasa. Sedangkan Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS) untuk Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dianggarkan sebesar Rp1.8 miliar untuk 60 KUBE yang ada di Mamasa dan Mamuju Utara. Masing-masing menerima Rp30 juta, dan bantuan untuk pertumbuhan Rp1,7 miliar dengan alokasi Rp20 juta untuk satu KUBE, diberikan kepada 85 KUBE yang tersebar di lima kabupaten. Sebanyak 14 KUBE di Majene, 18 KUBE di Mamasa, 22 KUBE di Mamuju, 26 KUBE di Polewali dan 5 KUBE di Mamuju Utara. Ikut serta dalam tim kunjungan kerja tersebut, beberapa orang anggota komisi VIII DPR RI, di antarannya : Anita Yacoba Gah (F-PD), MH. Said Abdullah dan Mauel Kaisiepo (F-PDI Perjuangan), Hj. Herlini Amran (FPKS) dan H.Amran (F-PAN) serta ikut mendamping jajaran dari Kementrian Agama RI dan Kementrian Sosial RI. (TVP/ton)
Akan kaji ulang aturan haji
Dalam kesempatan kunjungan ke Mamuju ini, Abdul Kadir Karding mengatakan akan meninjau kembali aturan haji di Indonesia. Menurutnya, aturan haji di Indonesia saat ini belum disesuaikan dengan peraturan baru yang telah dikeluarkan pemerintah Arab Saudi tentang pembagian kuota haji. “Kami akan meninjau kembali aturan haji, dan lebih berhati–hati dalam menentukan Biaya Perjalanan Ibadah Haji ( BPIH ),“ katanya. Salah satu yang menjadi perhatian serius tentang ibadah haji, lanjut Karding, adalah sistim pembagian kuota haji. “Pemerintah Arab Saudi bersama dengan negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) telah mengeluarkan aturan, dimana kuota yang berlaku untuk Indonesia adalah dengan sys-
Ketua Tiim Kunker Komisi VIII ke Sulbar, Abdul Kadir Karding (kedua dari kiri) saat berbicara pada pertemuan dengan jajaran Pemprov dan Pemkab setempat
tem regulasi satu perseribu penduduk, sehingga dalam pelaksanaannya selama ini membuat beberapa daerah harus sabar menunggu dalam antrean daftar tunggu nasional yang panjang,” ungkapnya. Sebelumnya, Kepala Bidang Haji Kementerian Agama Provinsi Sulbar, Muflih B. Hatta menjelaskan, calon haji di Sulawesi Barat saat ini berjumlah 7.004 orang, tersebar di lima kabupaten dan yang telah mendaftarkan diri harus antre menunggu gilirannya hingga 2015, sedangkan untuk kabupaten Majene selama 8 tahun. Menanggapi hal itu, Karding menjelaskan, penambahan kuota haji Indonesia tidak bisa dilakukan seenaknya saja karena ada ketentuan dari negaranegara Arab. “Memang kita tidak bisa melakukan penambahan kuota haji nasional karena ini menjadi ketentuan dari negara-negara Arab,’’ ucapnya. Ditegaskannya bahwa ibadah haji itu hukumnya wajib hanya dilakukan satu kali seumur hidup. “Kalau memang ada yang ingin naik haji lagi mesti ada regulasi, seperti harus menunggu 10 tahun dan diprioritaskan bagi yang belum pernah berangkat haji,’’ tegasnya. Karena itu, DPR akan mendorong membuat aturan agar mekanisme
pemberangkatan calon haji terutama pada dua hal yakni orang yang lanjut usia untuk mendapatkan prioritas pemberangkatan calon haji. Terkait dengan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH), dan gejolak dinegara-negara Timur Tengah yang menyebabkan bergejolaknya harga minyak dunia yang otomatis berpengaruh terhadap BPIH. Abdul Kadir Karding mengatakan, semula optimis bahwa ongkos Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) tidak akan mengalami kenaikan. Namun ternyata, gejolak minyak dunia berimbas terhadap BPIH di tanah air, karena dari total dana BPIH yang disetor calon haji, sekitar 80 persen anggarannya diarahkan untuk biaya penerbangan. Namun demikian belum diketahui secara pasti berapa tingkat kenaikan BPIH yang akan diberlakukan. Karena pembahasannya di DPR masih menunggu laporan pelaksanaan kegiatan ibadah haji tahun lalu yang terlambat disampaikan Kementerian Agama RI.
Riau layak menjadi embarkasi
Sementara Wakil ketua komisi VIII DPR RI Ahmad Zainudin menyatakan, Provinsi Riau sudah selayaknya memiliki embarkasi haji sendiri. Alasannya, dari tahun ke tahun jumlah jemaah
haji Riau terus meningkat. Dengan demikian sudah sepatutnya Riau memiliki embarkasi haji. “Jemaah haji Riau setiap tahunnya sudah mencapai angka 5.000 dan ditambah dengan jamaah dari daerah lainnya.Maka jumlahnya dapat melebihi 6.000 seperti yang disyaratkan untuk sebuah embarkasih,” ujar Ahmad Zainudin di sela kunjungannya ke Madrasah Aliyah Kampar Timur. Ahmad Zainudin mengungkapkan, DPR akan segera menyampaikan dukungan mereka kepada pemerintah dalam waktu dekat mengenai keinginan dibentuknya satu embarkasi di Riau. Harapan tersebut tetap menunggu kesiapan Riau dalam menyediakan sarana dan prasarana lainnya. Seperti, bandara internasional, asrama haji, dan kebutuhan lainnya. “Jika prasarana lainnya sudah terpenuhi, tahun ini saja sudah bisa direalisasikan,’’ ujarnya. Ia juga menjelaskan, dengan adanya embarkasi tersebut, maka jamaah haji Riau tidak perlu lagi menambah biaya penerbangan dan penginapan di asrama haji Batam. Dalam kunjungan kerja tersebut komisi VIII di dampingi Kakanwil Kemenag Riau Nur Asyari, Wakil Bupati Kampar Teguh Sahono. “Kunjungan kita merupakan kunju-
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLI, 2011 |
61
KUNJUNGAN KERJA
(Gb.kiri) Tiim Kunker Komisi VIII meninjau daerah abrasi Tapalangi Mamuju (Gb.kanan) Penyerahan bantuan yang secara simbolis diserahkan oleh Abdul Kadir Karding
ngan kerja dalam rangka reses. Tujuan kita untuk melihat dan menerima aspirasi masyarakat,” ungkap Ahmad Zainudin. Dalam kunjungan ke sebuah madrasah, itu Zainuddin juga meminta agar pemerintah segera menaikkan status sekolah dari sekolah swasta ke sekolah negeri, termasuk di Riau. Sebab, dengan peningkatan sekolah
swasta menjadi sekolah negeri, maka akan mempengaruhi kondisi keuangan sekolah. Karena sekolah negeri mendapatkan bantuan anggaran dari pemerintah. “Juga penting dalam hal status guru yang ada di sekolah swasta. Sebab sekolah swasta juga punya beban yang cukup berat buat gaji mereka,” ujar Ahmad Zainudin. Komisi VIII juga menyumbang-
kan bantuan sebesar Rp225 juta untuk merehabilitasi tiga kelas. Selain me-ngunjungi Madrasah Aliyah, rombongan juga mengunjungi kantor BP3AKB Riau, kantor Kemenag Riau, kantor Kemensos, Lapas anak dan perempuan, kampus UIN Sultan Syarif Kasim, serta ke kantor Gubernur Riau.(PR)
Menata Lingkungan Tugu Khatulistiwa Menjadi Kawasan Unggulan Kalbar
Komisi Pendidikan DPR RI sepakat membantu penataan lingkungan Tugu Khatulistiwa yang menjadi kebanggaan masyarakat Kalimantan Barat.
P
engembangan kawasan ini sangat diperlukan untuk mendongkrak kunjungan wisatawan, baik wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara. Demikian komitmen yang disampaikan Tim kunjungan kerja Komisi X DPR RI saat mengadakan pertemuan dengan Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Kalimantan Barat dan jajarannya, pada kunjungan kerja baru-baru ini. Pada reses kali ini, Komisi X DPR RI menurunkan Timnya ke tiga provinsi yaitu Provinsi Kalimantan Barat yang dipimpin Ketua Komisi X DPR Mahyuddin, Provinsi Bengkulu
62
yang dipimpin Wakil Ketua Komisi X DPR Rully Chairul Azwar dan Provinsi Sulawesi Tengah dipimpin Wakil Ketua Komisi X Heri Akhmadi. Tim kunjungan kerja ke Provinsi Kalimantan Barat diikuti 16 anggota Komisi X lainnya yaitu, Wakil Ketua Komisi X DPR H. Asman Abnur, dari FPD, Rinto Subekti, Juhaini Alie, Venna Melinda, Jefirstson R. Riwu Kore, F-PG, H. Zulfadhli, Kahar Muzakir, H,M. Nasruddin, Asdy Narang (F-PDIP), F-PKS, Rohmani, H. Raihan Iskandar, F-PAN, H. Nasrullah, F-PPP, Reni Marlinawati, H. Machmud Yunus, F-PKB, Dedi Wahidi dan Djamal Azis dari Fraksi Hanura.
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLI, 2011 |
Tugu Khatulistiwa yang tidak jauh dari Pusat Kota Pontianak, lokasinya sangat strategis dan memiliki keunikan tersendiri. Jika kilometer nol ada di Sabang Aceh, maka garis equator ini hanya ada di Kalimantan Barat. Karena keunikannya, Tugu Khatulistiwa yang menjadi ikon Kalimantan Barat ini seharusnya dapat dijadikan wisata unggulan. Namun sayangnya, minat wisatawan untuk berkunjung ke Kalbar dan melihat Tugu Khatulistiwa ini sangat rendah. Benda tanpa bayangan adalah sebuah fenomena langka di dunia, hanya bisa dilihat dua kali dalam satu tahun di sejumlah negara yang di-
lintasi garis khatulistiwa, yakni antara tanggal 21-23 Maret dan 21-23 September. Selain di Indonesia, fenomena Kulminasi Matahari itu ditemukan di Gabon, Zaire, Uganda, Kenya, Somalia, Ekuador, Peru, Kolumbia dan Brazil. Di kawasan nusantara, garis khatulistiwa yang membelah bumi menjadi dua bagian, utara dan selatan berada di tujuh provinsi, yakni Sumatera Barat, Riau, Maluku, Papua, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat yang melewati kota Tayan, Sekadau, Nanga Dedai dan Pontianak. Tugu Khatulistiwa atau “Equator Monument” berada di jalan Khatulistiwa, Kecamatan Pontianak Utara, merupakan ciri khas Kota Pontianak yang memiliki tinggi 15,25 meter dari permukaan tanah. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Barat dan Pemkot Pontianak berencana untuk merevitalisasi Tugu Khatulistiwa. Terhadap rencana tersebut, Komisi X DPR memberikan dukungan sepenuhnya. Anggota dari Daerah Pemilihan Kalimantan Barat Zulfadhli mengatakan, lingkungan Tugu Khatulistiwa itu memang kurang mempunyai daya tarik untuk dijual sebagai obyek wisata. Karena itu, kawasan tugu ini perlu ditata sebagai wisata unggulan di Pontianak, bahkan di Kalbar. Menurutnya, rencana Dinas Pariwisata dan Kebudayaan setempat untuk merevitalisasi kawasan ini merupakan langkah yang tepat. “Jika berhasil dilakukan, dan dapat mendongkrak jumlah wisatawan, ini merupakan gagasan besar yang patut diapresiasi,” katanya. Kepala Disbudpar Kalimantan Barat Yusri Zainuddin mengatakan, revitalisasi Tugu Khatulistiwa ini merupakan proyek gabungan antara instansinya dengan Kota Pontianak untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan secara signifikan ke Kalimantan Barat. Dana yang dibutuhkan untuk merevitalisasi sebesar Rp 90 miliar,
Ketua Komisi X DPR RI, Mahyuddin
anggaran tersebut digunakan untuk membangun Tugu Khatulistiwa secara keseluruhan, mulai dari bangunan fisik sampai dengan memperluas area tugu. Meskipun demikian Yusri sama sekali belum mengetahui sumber dana tersebut, apakah dari APBD Kota Pontianak, APBD Provinsi Kalbar ataupun gabungan dari keduanya. “Soal anggaran saya sudah bicarakan dengan Wakil Wali Kota Pontianak beberapa waktu lalu, na-
mun saya belum tahu darimana. Untuk budgeting yang jelas bukan wewenang kami,” kata Yusri. Yusri menambahkan, anggaran tersebut juga diperuntukkan untuk rencana sewa tanah dalam rangka perluasan daerah sekitar tugu titik nol yang dikuasai TNI. Disbudpar bermaksud untuk menyewa tanah sekitar tugu yang dimiliki oleh TNI, selama kurun waktu 30 tahun. “Solusi kami adalah menyewa lahan tersebut kepada TNI dengan
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLI, 2011 |
63
KUNJUNGAN KERJA
maksud menghindari konflik dengan warga yang mengklaim sebagai pemilik sah tanah sekitar tugu,” ungkapnya. Menurut Yusri, rasanya tidak bijaksana jika revitalisasi ini hanya dibebankan kepada Walikota saja. Tugu Khatulistiwa ini merupakan cagar budaya nasional, bahkan milik dunia yang seharusnya Pemerintah Pusat turun tangan dalam hal pembiayaan.
Pemerintah Kota Pontianak, menurut dia, siap membeli lahan itu atau pun sistem pinjam pakai. “Tetapi hingga kini pihak TNI AD belum juga merespon keinginan itu,” katanya. Malahan menurut Wali Kota Pontianak, anggaran untuk pengembangan kawasan Tugu Khatulistiwa sudah ada tetapi tidak bisa dikucurkan akibat belum jelasnya status tanah itu.
Wisata Sulteng Masih Tertinggal
Sama halnya dengan Industri Pariwisata di Provinsi Kalimantan Barat, Pariwisata di Provinsi Sulawesi Tengah dapat dikategorikan tertinggal jika dibandingkan dengan obyekobyek wisata lain di daerah Sulawesi. Hal ini terungkap saat Tim Komisi X DPR RI melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Sulawesi Tengah, yang
Rombongan Tim Kunker Komisi X DPR saat Kunjungan Kerja ke Propinsi Kalimantan Barat
Untuk itu, dukungan Komisi X DPR sangat diharapkan agar dapat membantu mengalokasikan anggaran dalam APBN 2012 guna pengembangan kawasan Tugu Khatulistiwa sebagai kawasan strategis pariwisata Kalbar. Sementara, Wali Kota Pontianak Sutarmidji menyatakan, pengembangan Tugu Khatulistiwa hingga kini masih terganjal masalah pembebasan lahan yang saat ini statusnya milik tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. “Berbagai upaya telah kami lakukan untuk pembebasan lahan Tugu Khatulistiwa, mulai dari pengajuan surat permohonan ke Menteri Pertahanan, Kodam XII Tanjungpura dan termasuk ke Komisi X DPR RI,” jelas Sutarmidji.
64
“Bagaimana kami mau membangun kalau status tanahnya masih tidak jelas. Menurut dia, berurusan dengan instansi pemerintah lebih sulit dibanding dengan masyarakat,” katanya. Anggota Komisi X lainnya Djamal Azis mengatakan, pihaknya siap mendukung penataan Tugu Khatulistiwa menjadi kawasan wisata unggulan yang layak jual di Kalimantan Barat. Ia menambahkan, persoalan tanah di kawasan Tugu Khatulistiwa saat ini terutama mengenai kepemilikannya, dapat diselesaikan bersamasama. “Saya siap membantu untuk mengatasi masalah tersebut,” kata anggota Fraksi Partai Hanura dari Daerah Pemilihan Jawa Timur ini.
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLI, 2011 |
dipimpin Wakil Ketua Komisi X DPR Heri Akhmadi dan diikuti sejumlah anggota DPR antara lain, Gede Pasek Suardika (Fraksi PD), Theresia E.E. Pardede (Fraksi PD), Diaz Gwjiangge (Fraksi PD), Hj. Oelfah A. Syahrullah Hermanto (F-PG), Salina Gita (F-PG), Utut Adianto (Fraksi PDI Perjuangan), Akbar Zulfakkar (Fraksi PKS), H. Endang Sukandar (Fraksi PPP). Ketua Tim Kunjungan Komisi X DPR RI Heri Akhmadi mengatakan, Komisi X yang salah satunya membidangi masalah Pariwisata sangat memprihatinkan dengan kondisi wisata daerah ini. Menurut Heri, untuk dapat menarik wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara, pariwisata di Sulteng memerlukan perhatian khusus. Heri mencontohkan, seperti
wisata pantai Tanjung Karang diakui pantainya cukup bagus, namun sangat disayangkan jalan yang akan menuju pantai tersebut dalam keadaan rusak. Begitu juga dengan masalah penginapan cukup memprihatinkan dan perlu ada perhatian dan keterlibatan langsung dari Pemerintah setempat. “Bagaimana orang akan datang ketempat wisata tersebut, kalau akses jalan yang akan menuju lokasi itu dalam kondisi rusak,” kata Heri. Dengan kondisi tersebut, pasti akan menghambat para wisatawan asing maupun domestik yang akan mengunjungi tempat wisata itu. Untuk meningkatkan indstri pariwisata daerah ini, Pemerintah Daerah khususnya Dinas Pariwisata setempat perlu didorong untuk menyiapkan tempat pe-nginapan atau hotel yang memadai bagi para wisatawan asing maupun domestik, serta jalur trayek angkutan umum yang bisa membawa para pengunjung ke lokasi tersebut. Diakuinya, wilayah ini cukup bagus dan indah untuk dijual se-bagai obyek wisata, namun karena tidak terawat dengan baik, maka kondisinya jadi kurang menarik. Heri menambahkan, untuk menjadikan pariwisata menjadi salah satu komoditas unggulan, semestinya harus melibatkan orang banyak, seperti pembuatan paket-paket dan promosi besar-besaran agar dapat dikenal serta dilihat dan dinikmati pengunjung. Promosi ini penting dilakukan untuk lebih mengenalkan daerah wisata Sulawesi Tengah kepada para wisatawan, agar mereka tertarik berkunjung ke daerah ini. “Bagaimana orang kenal dan tahu jika tidak diperkenalkan lebih jauh tentang daerah ini,” kata Heri. Sementara Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sulteng Luksianan mengatakan, dia tidak bisa hanya menjual promosi tanpa diikuti menjual paket. Karena menurutnya, para turis lokal maupun asing lebih suka langsung membeli sebuah paket bukan sebuah promosi. Namun diakuinya, sebuah pro-
Objek wisata Pantai Tanjung Karang di Sulawesi Tengah
mosi itu juga penting, mengingat promosi adalah merupakan sebuah daya tarik tersendiri, tanpa promosi biasanya masyarakat tidak mengenal dengan baik. Sebaiknya, sebuah promosi harusnya diikuti dengan sebuah paket yang sekaligus promosi untuk para wisatawan. Luksianan menambahkan, jika kita mau berbicara potensi pariwisata Sulawesi Tengah cukup mempunyai potensi yang luar biasa. Dari sepuluh Kabupaten dan kota yang ada di provinsi ini semua mempunyai potensi yang luar biasa. Mengingat pengembangan obyek Pariwisata itu tidak bisa dilihat dari pada obyek atau potensi yang ada. Dia mengakui bahwa jalan yang akan menuju obyek pariwisata Tanjung Karang memang sudah rusak dan sudah tidak layak untuk dilewati kendaraan, serta disana masih saja kekurangan tempat bermalam para turis wisatawan asing maupun lokal inilah yang perlu perhatian dari Dinas Pariwisata. Luksianan juga menegaskan bahwa, semua harus mendapat perhatian seperti infrastruktur yang sudah tidak layak seperti jalan yang rusak, yang mestinya para wisatawan bisa me-
nempuh perjalanan satu jam karena jalanan rusak maka ditempuh dengan waktu dua atau tiga jam, inilah yang perlu diperhatikan. Dikemukakan juga bahwa daerah Pariwisata Sulawesi Tengah sampai saat ini masih sangat tertinggal jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain, karena salah satu faktor adalah dana yang ada sangat minim. “Entah mengapa daerah-daerah lain yang pariwisatanya juga tidak begitu maju tapi anggarannya cukup memadai dan dapat mendukung daerah wisata tersebut,” Luksianan berkomentar. Dia meminta agar anggaran yang dari pusat itu dikhususkan untuk anggaran Pariwisata mengingat anggaran yang ada sampai saat ini masih sangat minim dan kurang memadai untuk pembiayaan pariwisata. Yang kita butuhkan adalah wisatawan datang ke Sulawesi Tengah bukan hanya mengunjungi Tanjung Karang, orang datang ke Tanjung Karang cukup hanya satu atau dua hari, tapi kalau wisatawan datang ke Sulawesi Tengah seharusnya bisa lima atau tujuh hari. Dalam hal ini perlu ditunjang dengan tempat penginapan atau hotel yang memadai untuk menjual obyek wisata. (tt,spy)
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLI, 2011 |
65
SOROTAN
DPR Tandatangani MOU Dengan Parlemen Irak Ketua DPR Ri Marzuki Alie menandatangani Mutual Of Understanding (Mou) Atau Nota Kesepahaman Antara Kedua Parlemen Negara Sahabat. Nota Kesepahaman Tersebut Ditandatangani Oleh Ketua DPR Ri Marzuki Alie dan ketua Parlemen Irak Usama Abdul Aziz Nujayfi yang disaksikan oleh anggota parlemen Irak.
N
ota tersebut berisi antara lain, pertama, kedua belah pihak menekankan atas keinginan bersama membangun hubungan bilateral dan menyesuaikan sikap terhadap masalah-masalah dunia melalui komunikasi tingkat pejabat tinggi, konsultasi, meningkatkan reaksi dan dukungan bersama pada Isu-Isu penting Internasional dan secara rutin menyelenggarakan pertemuan dan konsultasi diantara kedua belah pihak dalam ke-
giatan-kegiatan Internasional, Konperensi dan lain sebagainya. Kedua yaitu, kedua Belah pihak bersepakat untuk berpartisipasi dalam membangun upaya-upaya bersama diantara kedua parlemen dalam bidang-bidang sebagai berikut : Kerjasama Pertukaran Pengalaman Di Berbagai Sektor Dan Tingkatan Di Bidang Legislatif, Hukum Dan Administratif Serta Kerjasama Antara Komite Dalam Kedua Parlemen Di Seluruh Bidang.
Kemudian berusaha, meningkatkan Hubungan Antara Komite Persahabatan Parlemen Dan Membangun Kerjasama Yang Erat Antara Kedua Parlemen Termasuk Pertukaran Kunjungan. selain itu, adanya kerjasama pertukaran keahlian dalam hal mekanisme kerja mengenai peran pengawasan parlemen dan penyusunan Anggaran Belanja Umum Dan Khusus serta mekanisme pengawasan atas pelaksanaannya dan memperkuat kemampuan kedua Parlemen di Bidang
Penandatanganan MOU atau nota kesepahaman antara Parlemen Indonesia dan Parlemen Irak yang ditandatangani oleh Ketua DPR Marzuki Alie
66
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
tersebut melalui pelaksanaan pelatihan dan lokakarya.
KETUA DPR MARZUKI ALIE PIDATO DI GEDUNG PARLEMEN IRAK
Ketua DPR Marzuki Alie menyampaikan pidato resminya di Gedung Parlemen Irak, yang disaksikan ratusan anggota Parlemen Irak. Dalam Pidatonya, Mantan Sekjen Partai Demokrat tersebut menjelaskan proses demokrasi yang terjadi di Indonesia serta harapan dirinya terhadap demokrasi yang berlangsung di Kawasan Timur tengah. Dalam Pidatonya, dia mengatakan, perkembangan demokratisasi yang terjadi akhir-akhir ini di Kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, antara lain Sudan, Palestina, Tunisia, Mesir, Yaman, Bahrain, Libiya, dan Suriah memberikan gambaran tumbuhnya kesadaran berdemokrasi di Negara-negara Muslim dan akan berujung pada realisasi harapan dari rakyat yang sekaligus menguatkan negara masing-masing. Menurutnya, Kesadaran ini juga terjadi di Indonesia sejak tahun 1998 yang dikenal dengan masa Reformasi. Sejak tahun itulah Indonesia diakui sebagai Negara demokrasi terbesar ketiga di dunia sekaligus sebagai parlemen negara Muslim terbesar di dunia yang dilahirkan melalui proses yang sangat demokratis. “Indonesia berhasil membuktikan bahwa demokrasi dan Islam bukanlah dua kutub yang saling berlawanan. Indonesia memiliki space untuk membuktikan bahwa Islam, demokrasi dan modernitas dapat sejalan secara harmonis,”paparnya. Proses demokratisasi, lanjutnya, dapat terwujud dengan dilakukannya perubahan konstitusi, diselenggarakannya pemilihan umum secara langsung dan terbentuknya lembaga baru sebagai penyeimbang yaitu Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Yudisial. “Hal ini membuktikan bahwa Islam dan demokrasi bisa berjalan bersama sesuai dengan kehendak bangsa yang
Ketua DPR RI Marzuki Alie menyampaikan pidato resminya di Gedung Parlemen Irak
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
67
SOROTAN
Ketua DPR RI Marzuki Alie menyampaikan pidato resminya di Gedung Parlemen Irak
berlatar belakang budaya berbedabeda. Indonesia telah membuktikan bahwa perbedaan yang ada tidak menghalangi persatuan untuk menciptakan demokrasi,”tambahnya. Pada pemilihan umum tahun 1999, saat awal proses demokratisasi, Indonesia memiliki 48 partai yang menjadi peserta pemilu. Kemudian, pada pemilihan umum tahun 2004 ada 24 partai yang ikut dalam pemilu. Dan pada pemilihan umum tahun 2009 ada 34 partai. Selain banyaknya Partai yang ikut dalam pemilihan umum, Indonesia yang berpenduduk sekitar 237 juta orang juga terbagi berdasarkan 33 provinsi yang terdiri dari berbagai etnis, suku dan agama. “Sebagai Negara Muslim terbesar di dunia, Indonesia memandang bahwa keragaman tidak seharusnya menyebabkan perpecahan dan pertikaian. Sebaliknya, keragaman ini sejatinya memberikan pengayaan dalam proses demokratisasi. Cara pandang inilah yang dianut oleh bangsa Indonesia, karena perpecahan hanya akan
68
menghilangkan kekuatan,”jelasnya. Dengan pengalaman tersebut, paparnya, DPR mengharapkan proses demokratisasi di Irak dapat berlangsung secara damai dengan menghindari cara-cara kekerasan yang hanya akan menuju kepada kehancuran. “Dalam demokrasi, hal yang paling utama perlu diperhatikan adalah tujuan dasar demokrasi itu sendiri yaitu mewujudkan kesejahteraan rakyat dan kedaulatan Negara, sehingga rakyat tidak perlu melakukan aksi terorisme sebagai upaya penyampaian aspirasi. Karena agama Islam secara tegas menafikan cara-cara kekerasan tersebut. Islam sendiri sebagai pembawa kedamaian dan rahmat (kasih dan sayang) bagi seluruh ummat manusia,”terangnya.
IRAK DUKUNG KERJASAMA DIBIDANG MIGAS
Pemerintah Irak mendukung peningkatan kerjasama dengan pemerintah Indonesia di bidang minyak dan
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
gas (Migas). Hal tersebut mengemuka saat Ketua DPR Marzuki Alie mengadakan pertemuan dengan Menteri Perminyakan Republik Irak HE Abdul Kareen Luaibi, di Baghdad, Rabu, (4/5). “Berkaitan dengan minyak mentah, pemerintah Irak sangat mendukung dan siap membantu Indonesia apabila ingin kembali mengadakan kerjasama di bidang tersebut,”Jelas Luaibi saat pertemuan dengan delegasi Ketua DPR ke Irak. Dia mengusulkan, Pemerintah Indonesia segera berkunjung ke Irak dalam rangka mengembangkan sektor minyak antar kedua negara secepatnya. “Biasanya kontrak minyak di Irak berlangsung setiap tahun dan kami siap kapan saja membuat kerjasama dengan Indonesia,”lanjutnya. Pada kesempatan tersebut, Jelas Ketua DPR Marzuki Alie, saat ini Indonesia mengalami krisis di bidang minyak, dan kedepannya kebutuhan akan minyak di Indonesia akan semakin meningkat. Karena itu, DPR mengharapkan Pemerintah Irak dapat
mengalokasikan dan mencadangkan produksi minyaknya untuk Indonesia. “Cadangan minyak Indonesia semakin berkurang dan akan habis dalam puluhan tahun mendatang, karena itu diharapkan Irak dapat mencadangkan serta mengalokasikan minyaknya,”pa parnya. Selain itu, Ketua DPR Marzuki Alie mengharapkan, adanya peningkatan kerjasama ekspor dan impor produksi pupuk khususnya sulfur. “Indonesia mengharapkan produk pupuk khususnya Sulfur dapat diekspor ke Indonesia,”tambahnya. Dia menambahkan, selain pupuk, Indonesia juga membutuhkan produk gas flare, pasalnya Irak memiliki cadangan gas flare yang cukup besar. Dia mengatakan, kunjungan ke Irak selain mendorong peningkatan kerjasama di sektor minyak, juga bertujuan meningkatan hubungan parlemen antara Indonesia-Irak yang telah berlangsung selama 40 tahun silam lalu. “Pada kunjungan muhibah ini, Delegasi telah bertemu dengan Perdana Menteri Irak, Wakil Perdana Menteri, Wapres dan Delegasi juga sempat berbicara dengan Ketua DPR Irak. DPR juga bertemu dengan ketua majelis tinggi islam dan berbagai tokoh politik di Irak,”tandasnya. Di parlemen, papar Marzuki, dirinya sempat berpidato di Gedung DPR Republik Irak mengenai Konstitusi dan perkembangan demokrasi di Indonesia yang dihadiri oleh ratusan anggota parlemen Irak.”DPR menginginkan adanya peningkatan di sektor pendidikan, atau pertukaran pelajar dimana kedua negara saling memberikan kesempatan untuk belajar satu sama lain khususnya mengirim pelajar Indonesia ke Irak begitupun sebaliknya. Dia mengatakan, mayoritas penduduk Islam harus saling mendukung satu sama lain, caranya dengan meningkatkan kerjasama perdagangan Irak-Indonesia yang selama ini semakin menurun. “Kita mengharapkan peningkatan kerjasama perdagangan yang sempat menurun paska invasi AS ke Irak,”paparnya.
Ketua DPR Marzuki Alie mengadakan pertemuan dengan Menteri Perminyakan Republik Irak HE Abdul Kareen Luaibi, di Baghdad
Menjawab hal tersebut, jelas Luabi, Irak telah memproduksi Sulfur dan hibrida dalam jumlah yang besar. Karena itu, pihaknya menyatakan siap untuk bekerjasama dengan Indonesia untuk menandatangani kontrak jangka panjang terkait produksi sulfur dan hibrida tersebut. “Untuk gas kami belum bisa melakukan ekspor karena mengutamakan kebutuhan dalam negeri namun setelah 6-7 tahun kami siap mengekspor gas tersebut dalam jumlah besar,”jelasnya.
Terkait produk gas elpiji, tambahnya, Pemerintah Irak akan segera memproduksi gas elpiji pada tahun depan, dan apabila Indonesia berminat pemerintah Irak akan mendukung penuh peningkatan kerjasama tersebut. “kedepannya akan ada pembahasan yang penting terutama mengenai sektor minyak dan proyeknya, dan Indonesia dapat mengambil peluang besar untuk berkerjasama maupun berinvestasi pada sektor tersebut,”katanya. (si)
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
69
LIPUTAN KHUSUS
“ Demokrasi Tidak Bisa Didikte ” DPR RI menegaskan proses demokrasi tidak bisa didikte ataupun diintervensi oleh pihak luar karena demokrasi ideal adalah demokrasi yang tumbuh dari dalam (homegrown democracy).
Nurhayati Assegaf (tengah), delegasi Indonesia untuk Sidang Umum ke-124 Inter-Parliamentary Union (IPU)
”
Nilai-nilai dasar demokrasi harus tumbuh berdasarkan kehendak rakyat dan cita-cita mereka,” tegas Nurhayati saat menyampaikan pandangan DPR RI dalam sesi General Debate. Demikian salah satu pandangan yang disampaikan oleh DPR RI terkait gejolak politik di Libya dan di negara-negara Timur Tengah serta Afrika Utara lainnya pada Sidang Umum ke-124, Inter-Parliamentary Union (IPU) yang berlangsung Jumat (15/4) hingga Rabu (20/4). Gejolak-gejolak politik yang saat ini mencuat tersebut telah mengemuka dan menarik perhatian dunia internasional, termasuk
70
kalangan parlemen dunia yang menggelar sidang umum di Panama City, Panama, ini. Sikap politik DPR RI tersebut membuat usulan emergency item bertajuk Strengthening Democratic Reform in Emerging Democracies including North Africa and the Middle East yang diajukan Indonesia, direspon respon positif seluruh delegasi parlemen yang hadir di IPU. ”Indonesia dipercaya memimpin drafting committee yang beranggotakan Arab Saudi, Oman, Belanda, Belgia, Australia, India, Republik Korea, Mexico, Venezuela, Republik Togo, Selandia Baru, Iran dan Indonesia untuk membahas
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
emergency item,” tandas Nurhayati. Resolusi menegaskan pentingnya seluruh negara di dunia menghormati hak menentukan nasib politik sendiri tanpa campur tangan pihak luar sesuai kaidah-kaidah hukum internasional, menyelenggarakan pemilu yang bebas dan adil sesegera mungkin, serta menegaskan pentingnya peran perempuan dalam demokrasi. Selain Sidang Umum, delegasi terlibat dalam berbagai persidangan seperti sidang komisi I yang membahas tentang kekerasan dalam Pemilu, Komisi II yang membahas mengenai pembangunan berkelanjutan, Komisi III yang membahas mengenai transparansi dan akuntabilitas partai politik serta pemilu. Delegasi juga menyampaikan pandangan mereka dalam Diskusi Panel dengan tema Achieving MDGs with Equity for Children serta sidang Women Parliamentarians yang diikuti oleh Puan Maharani dan Evita Nursanty. DPR juga memimpin sidang Coordinating Committee of Women Parliamentarians serta Sidang Asia Pacific Group (APG). Dalam sidang Komisi I yang diwakili Evita Nursanty dan Max Sopacua, delegasi menegaskan pentingnya peran-peran pemantau untuk mening katkan kualitas pemilu. ”Namun, keberadaan pihak internasional sebagai pemantau harus sesuai peraturan nasional, dan harus memiliki batas waktu,” jelas Evita. Sementara di sidang Komisi II yang diwakili Dodi Reza Alex Noerdin, delegasi DPR mengungkapkan pentingnya komitmen sharing benefit terhadap eksploitasi sumber daya alam sebagaimana disepakati dalam Protokol Nagoya tentang Convention on Biodiversity 2010. ”Untuk Komisi III, kami menegaskan transparansi juga bersinggungan dengan aturan legal anti-korupsi termasuk United Nations
Convention Against Corruption (UNCAC), serta ukuran-ukuran akuntabilitas sosial lainnya seperti kode etik,” tambah Teguh Juwarno. Terkait transparansi dan partisipasi, Max Sopacua dalam kesempatan General Debate sesi keduajuga mempromosikan keberadaan TV Parlemen, yang menjadi salah satu bagian penopang transparansi serta partisipasi masyarakat dalam mengontrol kinerja anggota parlemen. Selain resolusi emergency item yang disepakati, Sidang Umum ke-124 tersebut juga menyepakati resolusi lainnya yang berasal dari persidangan komisi-komisi terkait. Delegasi juga berkesempatan mengadakan pertemuan bilateral dengan China, Bulgaria, Afghanistan, dan Inggris. Sidang Umum IPU ke-124 dihadiri oleh sedikitnya 200 anggota parlemen dari sekitar 120 negara. Sidang juga menyepakati Sidang Umum ke125 akan digelar di Bern, Swiss, pada Oktober 2011. DPR RI berkesempatan hadir dan berpartisipasi aktif mengikuti Sidang Umum IPU dengan wakil terdiri dari Anton Sukartono Suratto, Max Sopacua, Puan Maharani, Evita Nursanty, Teguh Juwarno, Dodi Reza Alex Noerdin dan dipimpin Nurhayati Ali Assegaf sebagai Ketua Delegasi yang juga menjadi President of Coordinating Committee on Women Parliamentarians of IPU.
Bahas Konflik Tunisia dan Libya
Sidang ke-124 IPU didahului dengan pertemuan Executive Committee pada tanggal 12-14 April 2011 untuk membahas hal-hal strategis termasuk perkembangan politik dunia saat ini yang berkaitan dengan keanggotaan IPU. Dr. Nurhayati Ali Assegaf, selaku Ketua Delri dan Presiden Coordinating Committee of Women Parliamentarians juga merupakan anggota Executive Committee secara aktif berpartisipasi dalam pembahasan dan penyampaian pemikiran terkait ma-
salah suspensi keanggotaan Parlemen Mesir, Tunisia dan Libya di IPU, penguatan peran perempuan di IPU dan program prioritas dalam IPU Strategic Plan 2012-2017 khususnya dikaitkan dengan pengelolaan anggaran IPU. Terkait dengan anggaran IPU, Indonesia bersama Negara-negara lainnya tergabung dalam IPU Working Group on Contribution. Sidang ke-124 Majelis IPU akan dibuka secara resmi oleh H.E. Mr. Jose Munoz Molina, Speaker of National Assembly of Panama pada tanggal 15 Arpil 2011. Tema utama persidangan kali ini adalah Parliamentary accountability: Living up to People’s expectations. Delri yang diketuai DR. Nurhayati Ali Assegaf, dan beranggotakan Max Sopacua, Anton Sukartono Suratto, Dodi Reza Alex Noerdin, Puan Maharani, Evita Nursanty, Luthfi Hasan Ishaaq dan Teguh Juwarno akan berbagi tugas dalam menjamin
partisipasi aktif Delri di berbagai pertemuan pleno dan komite, maupun pertemuan bilateral dengan delegasi Parlemen berbagai Negara. Selaku Ketua Asia Pacific Group, Delri akan memimpin pertemuan pada tanggal 15 April 2011 dan dilanjutkan dengan jamuan makan siang seusai pertemuan. Di samping itu, dalam pertemuan Parlemen Negaranegara OKI pada hari yang sama, Delri juga akan sekaligus menyampaikan undangan ke pertemuan the Seventh Parliamentary Union of the OIC Member Countries (PUIC) Conference pada bulan Januari 2012 di Indonesia. Dalam persidangan IPU ini, Delri telah menyampaikan proposal emergency item yang berjudul “The Role of the IPU in Assuring the Democratic Transitional Process towards the Empowerment of Women in the Middle East and North Africa region”. (timparle)
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
71
SELEBRITIS
blog.nadine/doc.pribadi
Banyak Tawaran dari Parpol M
72
antan Putri Indonesia 2005 ini merasa bekerja di belakang meja bukan bagiannya. Sejak kecil ia merasa lebih nyaman berada ditengah harmoni alam, hutan, gunung dan di laut. Itulah sebabnya ketika datang tawaran dari beberapa partai politik untuk menjadi anggota dan wakil rakyat ia merasa itu bukan dunianya. Walaupun sudah ada contoh sukses dari dua seniornya sesama mantan Puteri Indonesia, Angelina Sondakh dan Venna Melinda. “Sampai kapanpun kayaknya aku tidak bisa duduk dibelakang meja. Ada beberapa partai yang ajak, tapi saya tidak tertarik. Saya suka bekerja di pulau, kesana berjuang naik kapal dulu, saya seperti itu, kalo kantoran itu bukan saya dari kecilpun udah kelihatan,” kata Nadine Chandrawinata kepada Parle di Jakarta, Minggu 17/4. Ada nada keriangan ketika ia bercerita tentang alam, tentang pulau, senyum putri dari Andy Chandrawinata dan Elfriede yang lahir di Hannover, Jerman ini pun merekah. Pembicaraan pertama Parle dengan Nadine berlangsung tidak lama, karena ia harus segera terbang menuju Pekanbaru, Riau. Ia kesana bukan mau jumpa fans di Mal, tapi mau ke pelosok hutan Taman Nasional Tesso Nilo yang merupakan habitat gajah dan harimau Sumatera yang masih tersisa di wilayah ini. Adalah WWF Indonesia, LSM yang bergerak di bidang konservasi keanekaragaman hayati mengangkatnya menjadi suporter kehormatan yang bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam berupaya membangun harmoni antara manusia dan gajah. Ia menjelas-
Nadine Chandrawinata | PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
blog.nadine/doc.pribadi
Nadine Chandrawinata
blog.nadine/doc.pribadi
kan apabila tidak ditata habitat gajah dan binatang lainnya akan semakin terdesak sehingga tidak jarang mengakibatkan aksi amuk gajah di pemukiman penduduk. Nadine sempat bercerita pengalamannya menyusuri rimba Tesso Nilo yang masih dipenuhi pohon Sialang yang besar dan tinggi. Di beberapa pohon masih sering ditemukan bekas cakaran beruang madu. Salah satu harmoni yang berhasil dibangun adalah suksesnya petani yang tergabung dalam Asosiasi Petani Madu Tesso Nilo (APMTN) menerapkan panen madu lestari dengan proses yang higienis. Petani hanya memotong kepala madu ketika mereka memanen sehingga menyisakan sebagian sarang madu untuk kembali ditempati lebah. Parle melanjutkan wawancara tiga hari kemudian setelah Nadine pulang dari Pekanbaru sekaligus menagih oleh-oleh, yang ternyata cerita
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
73
blog.nadine/doc.pribadi
blog.nadine/doc.pribadi
SELEBRITIS
tentang gajah kecil bernama Imbo. Induknya adalah gajah yang merupakan bagian dari tim Flying Squad. Sebagai suporter kehormatan WWF Indonesia, ia cukup fasih bercerita tentang gajah di Taman Nasional Tesso Nelo. “Saya hadir dalam acara pemberian nama Imbo anak gajah yang diambil dari bahasa melayu Rimbo atau hutan lebat,” jelasnya. Flying Squad merupakan suatu teknik menangani konflik manusiagajah dengan memberdayakan gajah latih untuk mengusir dan menggiring gajah-gajah liar yang keluar untuk kembali ke habitatnya. Tim ini terdiri dari empat ekor gajah terlatih, dua jantan dan dua betina didukung
74
delapan orang perawat yang disebut mahout. Program kerjasama Kementerian Kehutanan dan WWF-Indonesia mulai dioperasikan di Taman Nasional Tesso Nilo pada April 2004. “Kedepannya diharapkan semakin banyak Flying Squad yang bisa mengantisipasi terjadinya konflik antara gajah dan manusia,” kata Nadine. Keberhasilan membangun harmoni adalah kata kunci untuk dapat berinteraksi dengan alam. Berlaku baik dengan alam maka balasannyapun kebaikan, keindahan, serta pemahaman tentang ragam ciptaan Yang Maha Kuasa. Bagi sarjana periklanan ini, pergaulannya dengan alam baik di hutan maupun di samudera telah
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
mengajarkannya banyak hal. “Berlaku baik pada alam bisa berarti jangan merusak alam, mengeksplorasi alam berlebihan, illegal logging, illegal fishing sampai pada jangan berbicara sembarangan saat berada di alam. Aku sudah melihat sendiri ada yang alfa menjaga pantangan ini kemudian merasakan akibatnya mulai dari diserang semut hutan sampai terseret arus,” jelasnya. Nadine-pun punya pengalaman tak terlupakan ketika diterjang gelombang besar, terseret arus saat berlayar dengan sebuah kapal kecil di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Kapal akhirnya kandas di terumbu karang tanpa diketahui persis posisinya dimana, karena perlengkapan GPS rusak dalam insiden itu. Setelah beberapa waktu Nadine bersama 6 orang tim WWF dan kru kapal baru menyadari berada di sebuah pulau kecil yang berada di dalam pulau. “Cukup menyeramkan karena persediaan di kapal menipis dan sama sekali tidak bisa digerakkan karena kapal nyangkut,” urai Nadine kali ini dengan nada suara sedikit tertekan. Pasrah, tawakal berupaya menyesuaikan diri dengan alam ternyata menjadi solusi menghadapi tantangan saat itu. Dalam kondisi sulit datang berkah tak terduga, ia berkesempatan belajar lebih banyak tentang alam, bagaimana membaca rasi bintang, membaca angin dan ombak dari nahkoda kapal penduduk setempat. Ketika akhirnya ditolong oleh kapal kayu nelayan yang lebih besar pagi harinya, ia baru menyadari sedang berada di jalur ikan paus – pilot whale. Baginya pertemuan dengan rombongan paus seperti bagian dari penyambutan dari alam setelah berhasil melewati malam yang penuh kepasrahan dan kesabaran. Jejeran paus dan keindahan alam kepulauan Wakatobi di pagi hari seakan menjadi berkah setelah semua ujian yang baru saja dilewatinya. Duta Terumbu Karang Indonesia ini menyayangkan masih rendahnya perhatian masyarakat pada laut, pa-
blog.nadine/doc.pribadi
dahal 2/3 wilayah negara kepulauan ini adalah laut. “Sebenarnya bukan laut yang harus kita takutkan tapi apa yang sudah kita lakukan pada alam kita. Aku sangat percaya pada hukum alam kok. Kalau seandainya untuk eksploitasi laut kita merusak laut, aku yakin akan ada balasan dari alam. Bagiku kalau kita berbuat baik pada laut maka laut juga akan baik pada kita,” imbuhnya. Nadine menyayangkan pola pendidikan orang tua pada anak yang menempatkan alam sebagai sesuatu yang menakutkan. “Orang tua terkadang tanpa sadar menjadikan alam sebagai ancaman bagi anaknya misalnya ketika meminta anak untuk segera tidur, cepat tidur ya kalau gak nanti badai akan semakin kencang,”
katanya memberi contoh. Kakak bagi kembar Marcel dan Mischa yang juga memiliki hobby menyelam ini menekankan membangun pemahaman tentang alam sejak dini dengan benar penting, agar anak tidak terjebak pada pemahaman yang salah. Pemerintah menurutnya secara bertahap perlu mengoreksi kebijakan di bidang kelautan. Ia memberi contoh tentang masih minimnya aparat keamanan di laut untuk menjaga kedaulatan dan kekayaan sumber daya disana. Pemegang lisence tertinggi diving ‘rescue diver’ yang sudah mengenal olah raga menyelam sejak 6 tahun lalu menyebut salah satu contoh kerusakan terumbu karang akibat bom ikan. Bersama WWF ia turut berupaya mengkampanyekan kehidupan
yang lebih bersahabat dengan laut. Termasuk menyampaikan penyuluhan kepada masayarakat yang berada di wilayah yang memiliki potensi wisata laut. “Masyarakat setempat harus diberi pemahaman dan pengetahuan bagaimana merawat kekayaan yang merupakan anugarah yang harus dijaga,” ujar penulis buku Nadine Labour of Love ini. Bersama WWF ia melakukan riset 3 tahun lebih sekaligus penyuluhan kepada masyarakat di kepulauan Wakatobi. Tidak heran kekerapannya datang ke wilayah ini membuat ia menjadi semakin dekat dengan penduduk asli setempat, suku Bajo. Ini membuatnya tergerak untuk merekam kehidupan masyarakat suku Bajo dan pesona bawah laut Wakatobi dalam format film layar lebar. Tidak tanggung-tanggung Nadine yang berpengalaman membintangi dua film sebelumnya, memutuskan mengambil peran sebagai produser. “Ini film keluarga judulnya The Mirror Never Lies. Melibatkan lima orang anak dari suku Bajo yang berakting bersama beberapa bintang dari Jakarta. Pokoknya seru, nonton ya,” katanya berpromosi. Tidak hanya laut, pergaulan Nadine dengan alam pegunungan juga akan ditampilkan di layar lebar. Ia bercerita saat ini sedang mempersiapkan film lain yang bercerita tentang pengalaman dua perempuan backpackers mewujudkan mimpinya menaklukkan dua gunung di dua negara berbeda. Gunung Merapi di Indonesia dan Gunung Himalaya di Tibet. Alam memang memiliki kearifan sendiri untuk menyampaikan pesan kepada manusia agar berperilaku lebih baik pada alam, sebagai bagian dari rasa syukur terhadap ciptaanNYA. Pesan keindahan itu ternyata disampaikan lewat Nadine. Semoga seruannya membuat bangsa ini tergerak untuk berbuat lebih baik pada alam. “Jadi ayo Go Green dan Go Blue,” begitu pesan Nadine mengakhiri wawancara. (iky)
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
75
PERNIK
Memberikan Dukungan Optimal Sesuai Dengan Tuntutan Dan Perkembangan Lingkungan Strategis Partai Demokrat dengan nomor urut 31 berhasil meraih kursi terbanyak di DPR yaitu 148 kursi atau 26,43 persen dari total jumlah kursi DPR 560 kursi. Partai berlambang Berlian memperoleh kursi DPR terbanyak dari sembilan partai politik peserta pemilu legislatif 2009 yang lolos ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold/PT) 2,5 persen dari suara sah nasional.
Kepala Sekretariat Fraksi Demokrat Iwan Hadi Waluyo saat memberikan penjelasan mekanisme kerja
K
esembilan partai pemenang Pemilu akan membentuk Fraksi-Fraksi di DPR, salah satunya Fraksi Partai Demokrat. Anggota dalam melaksanakan tugas dan fungsi kedewanannya, didukung oleh Sekretariat Jenderal. Setjen DPR RI merupakan unsur penunjang DPR, yang berkedududukan sebagai Kesekretariatan Lembaga Negara yang dipimpin oleh seorang
76
Sekretaris Jenderal dan dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Pimpinan DPR. Sesuai visinya Setjen DPR RI memberikan bantuan optimal kepada DPR RI sesuai dengan tuntutan dan perkembangan lingkungan strategis. Setjen bertugas memberikan Bantuan teknis kepada DPR RI, memberikan Bantuan Administratif kepada DPR RI, serta memberikan Bantuan Keahlian
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
kepada DPR RI. Setjen dalam mendukung kerja dewan, salah satunya dengan membentuk sekretariat fraksi-fraksi, salah satunya Sekretariat Fraksi Demokrat, yang biasa disebut Set.Fraksi Demokrat (Set F-PD) Sekretariat F-PD ini dipimpin oleh seorang Kepala Sekretariat Fraksi dengan jabatan non-struktural didampingi seorang Wakil Kepala
mengkoordinir 12 Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan 26 pegawai honorer fraksi. Sekretariat Fraksi dalam melaksanakan tugasnya selalu berkoordinasi dengan Bagian Administrasi Dewan Sekretariat Jenderal DPR RI. Bertugas melayani seluruh anggota Fraksi Partai Demokrat (F-PD) melaksanakan tugas dan fungsinya di wilayah Ibukota negara. Bertugas di bangunan berlantai 23 Gedung Nusantara I DPR RI, Jakarta, Partai kerja yang berada di Gedung Nusantara I. Set-FPD melayani 148 anggota FPD dengan ruangan kerja yang tersebar dilantai 8, 9,10,21,22, dan 23. Menurut Kepala Set-FPD Iwan Hadi Waluyo, saat diwawancara Parlementaria menggambarkan kegiatan Sekretariat fraksi F-PD dalam membantu kegiatan anggota dewan yang berasal dari partai demokrat. Antara lain kegiaan surat menyurat yaitu melakukan penerimaan dan pencatatan surat masuk, atau membalas dengan pencatatan surat keluar. Selain itu, melayani rapat internal fraksi, rapat pleno fraksi, rapat pimpinan fraksi, rapat poksi, dan penerimaan audiensi. Apabila ada anggota masyarakat yang datang kepada fraksi, melalui bagian humas yang selanjutnya akan dikoordinisikan kepada set-fraksi. Kemudian set-fraksi akan menyampaikannya kepada pimpinan fraksi atau perwakilan poksi yang akan diberikan petunjuk penerimaan, apakah akan diterima langsung oleh pimpinan fraksi atau perwakilan poksi. Pernah terjadi ada kelompok masyarakat yang ingin menemui anggota Dewan, namun seluruh anggota fraksi sedang mengikuti rapat di Alat Kelengkapan Dewan. Sedangkan mereka tidak mau tau dengan kondisi yang ada. Mereka menghendaki hanya menyampaikan aspirasinya kepada wakil rakyat. Tetapi setelah pihak SetFraksi dan Bagian Humas memberikan penjelasan kepada mereka bahwa seluruh anggota sedang mengikiti rapat pada Alat Kelengkapan Dewan, dan
Ruang Lobby Fraksi Partai Demokrat
Suasana kerja sekretariat Fraksi Demokrat
maksud kedatangan mereka dicatat untuk disampaikan kepada pimpinan fraksi dan perwakilan poksi, selanjutnya pertemuan mereka akan dijadwalkan ulang pada perlemuan dilain waktu. “Pada intinya audiensi akan tetap dilakukan,” jelasnya. Set-FPD juga sering melayani surat tanggapan atas apirasi dan masukan dari masyarat yang diujukan kepada Fraksi Partai Demokrat. Setelah surat diterima akan dicatat pada sekretariat fraksi, selanjutnya diteliti dan dikaji oleh tenaga ahli fraksi. Setelah itu disampaikan kepada pimpinan fraksi unuk mendapatkan petujuk penyelesaian, yang akhirnya akan dikirim kembali sebagai surat tanggapan fraksi kepada pengirim. Selain itu, Set-Fraksi juga bekerjasama dengan bagian lainnya di lingkungan Setjen DPR RI, misalnya saja set komisi. Sekretariat harus selalu memantau agenda kegiatan di alat kelengkapan dewan. Agenda pada Alat Kelengkapan Dewan disampaikan kepada anggota yang bersangkutan. Kegiatan lainnya, Set-FPD me-
ngadakan seminar yang telah diarahkan dalam internal fraksi. Tema yang disarankan pimpinan atau anggota fraksi yang selanjunya dilaksanakan persiapan hingga pelaksanaannya. Fraksi dapat melakukan 4 kali seminar dalam 1 masa sidang, yang dianggarkan Setjen. Mendukung kegiatan dewan bukan merupakan pekerjaan yang ringan, oleh karena itu Kepala Set-FPD selalu memberikan motivasi kepada seluruh Staf Set-FPD untuk bekerjasama satu sama lain, dalam melaksanakan pelayanan optimal mendukung tugas anggota dewan. Iwan Hadi Waluyo menceritakan sampai saat ini tidak ada kendala, periode 2004-2009 Set.Fraksi Partai Demokrat hanya melayani 57 anggota dan pada perode 2009-2014 meningkat menjadi 148 anggota. Fasilitas pendukung pelayanan dewan telah cukup memadai. Dia menghimbau kepada seluruh staf agar pencatatan harus selalu dilakukan agar termanagement dengan baik. (as)
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
77
POJOK PARLE
Tukar Posisi Belum lama ini Pimpinan DPR RI dan Sekretariat Jenderal DPR RI mengadakan acara silaturahmi dengan Wartawan Koordinatoriat DPR. Acara silaturahmi ini sudah rutin dilaksanakan setahun dua kali, yang diadakan di berbagai tempat.
A
cara kali ini berlangsung di kawasan sejuk Bandung, tepatnya di kawasan Lembang. Para wartawan yang sehari-harinya sibuk meliput kegiatan di gedung Parlemen, diajak santai sejenak meninggalkan kegiatan rutin mereka untuk mengikuti Press Gathering dan sekaligus Outbound. Acara yang berlangsung selama dua hari itu, dihadiri Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, Wakil Ketua BURT Pius Lustri Lanang, anggota BURT Theresia Pardede, dari Dewan Pers dan juga Sekjen DPR.
Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso saat menjadi pembicara pada acara Press Gathering
Lebih dari 100 wartawan dari berbagai media cetak menghadiri acara tersebut. Para Wartawan sangat antusias menghadiri kegiatan itu, karena kapan lagi mereka dapat refreshing sekaligus mencari berita di tempat itu. Ibarat pepatah mengatakan,
sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Mungkin itulah pepatah yang pas menggambarkan kehadiran wartawan saat itu. Bagaimana tidak, biar pun refreshing, para wartawan itu tak pernah lepas dari kertas dan ballpoint,
Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso didampingi Sekjen DPR RI Nining Indra Shaleh (kanan) dan Ketua Wartawan Koordinatoriat DPR Gusti Lesek (kiri)di acara diskusi
78
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso mengalungkan ID Pers DPR RI kepada Ketua Wartawan Koordinatoriat DPR RI Gusti Lesek
apalagi nara sumber penting sudah ada di depan mata. Press Gathering dan Outbound siang itu dibuka Priyo Budi Santoso, politisi dari Fraksi Partai Golkar. Nama Priyo memang tidak asing lagi di kalangan wartawan, apalagi politisi yang satu ini terkenal dekat dengan wartawan. Alhasil, diskusi dengan Priyo berlangsung santai diiringi gelak tawa dari para wartawan. Priyo yang berpenampilan santai saat itu bercerita bagaimana sulitnya Pimpinan DPR menghadapi bombardir pemberitaan seputar pembangunan gedung DPR. Dia minta insan Pers dapat menyampaikan berita kepada masyarakat secara berimbang. “Sebagai Pimpinan Dewan, sekarang ini saya harus hati-hati dalam menyampaikan sesuatu kepada teman-teman Pers, salah sedikit saja saya menyampaikan sesuatu bisa
menjadi headline berita di surat-surat kabar,” kata Priyo. Belum lagi kita hanya menyampaikan ini. eh…… yang berkembang sudah dipelintir sedemikian rupa menjadi berita yang menggemparkan masyarakat,” tambahnya. Sebetulnya, kalau dipikir-pikir, lebih enak teman-teman wartawan dari pada saya, bisa menulis apapun sebebas-bebasnya tanpa ada resikonya. Kalau kita yang berbicara salah, wah ujung-ujungnya bisa seminggu berita kita diulas terus menerus,” kata Priyo sedikit curhat di depan wartawan. Saat sedang serius Priyo mengeluarkan uneg-unegnya mendadak salah satu wartawan memotong pembicaraannya. “Kalau begitu Pak Priyo gimana kalau kita tukar posisi saja, bapak jadi wartawan, saya jadi Wakil Ketua DPR,”
kata wartawan itu. Pecahlah tawa wartawan yang memadati ruang pertemuan itu. Priyo pun mendadak menghentikan pembicaraannya dan berkatalah dia : “Wah …….. jangan sekarang kalau mau tukar posisi, belum waktunya kalau sekarang,” katanya sambil ikut tertawa. Dengan berbisik-bisik teman wartawan yang mengajak tukar posisi berkata : Biar susah jadi Pimpinan Dewan, tapi ternyata diajak tukeran nggak mau juga ya Pak Priyo,” kata temannya tadi. “Ya iyalah……… gimana sih kamu………… untuk memperebutkan kursi dewan itu perjuangannya sangat berat, apalagi jadi Pimpinan Dewan,” jawab temannya. Jadi kalau kamu mau menggantikan posisi Pak Priyo, jangan mimpi kali ya……….,” tambahnya sambil terus meledek teman disebelahnya. (tt)
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |
79
PERNIK
80
| PARLEMENTARIA | Edisi 83 TH. XLII, 2011 |