POSITION PAPER KPPU TERHADAP FUEL SURCHARGE MASKAPAI PENERBANGAN
1. Latar Belakang Fuel surcharge merupakan sebuah komponen tarif baru dalam maskapai penerbangan yang ditujukan untuk menutup biaya yang diakibatkan oleh kenaikan harga avtur yang signifikan sebagai imbas dari kenaikan harga minyak dunia. Fenomena
pemberlakuan
fuel
surcharge
dalam
industri
penerbangan
sesungguhnya merupakan sebuah fenomena yang juga berlaku di beberapa belahan dunia. Hal ini bisa dipahami mengingat biaya yang diakibatkan oleh kenaikan avtur sangat signifikan bagi maskapai penerbangan. Semua stakeholder penerbangan telah bersepakat bahwa implementasi fuel surcharge sebagai komponen tarif penerbangan merupakan sebuah hal yang bisa “dipahami”, selama fuel surcharge tersebut memang ditujukan untuk menutup kenaikan biaya yang diakibatkan oleh kenaikan harga avtur semata. Dalam perkembangan di Indonesia, fuel surcharge memperlihatkan perkembangan yang cukup mencengangkan. Dimulai dengan harga Rp 20.000/ liter pada Mei 2006 pada saat harga avtur Rp 5.920/liter kemudian merangkak naik dan menjadi Rp 160.000-480.000 pada saat harga avtur Rp 8.206/liter pada bulan Desember 2008. Kenaikan 8-24 kali, adalah sebuah kenaikan yang luarbiasa besar, sementara pada saat yang sama kenaikan avtur tidak mencapai 2 kali lipatnya. Memperhatikan hal tersebut, maka KPPU kemudian memutuskan untuk melakukan kajian dan analisa terhadap pemberlakuan fuel surcharge tersebut, dengan hipotesis sangat dimungkinkan bahwa kenaikan yang sangat signifikan tersebut dan menyebabkan tarif yang eksesif tersebut, akibatkan oleh perilaku pelaku usaha yang bertentangan dengan UU No 5 Tahun 1999 atau karena kebijakan yang tidak tepat.
1
2. Definisi Fuel Surcharge Fuel surcharge merupakan sebuah komponen baru dalam tarif jasa penerbangan Indonesia baik domestik maupun internasional, yang terpisah dari komponen biaya yang telah ada selama ini. Pemberlakuan fuel surcharge sebagai komponen tarif merupakan upaya maskapai penerbangan Indonesia seizin Pemerintah (Departemen Perhubungan) selaku regulator, dalam menghadapi kenaikan biaya akibat harga avtur yang meningkat drastis, seiring dengan peningkatan harga minyak dunia. Jadi fuel surcharge merupakan sebuah komponen tarif yang ditujukan untuk menutup biaya maskapai yang diakibatkan oleh kenaikan harga avtur semata, sehingga besaran fuel surcharge keseluruhan harus sama persis dengan selisih harga avtur yang harus dibayar maskapai akibat kenaikan harga avtur. Pemberlakuan kebijakan fuel surcharge merupakan fenomena yang terjadi secara universal di berbagai belahan dunia, dalam menghadapi kenaikan harga avtur yang sangat drastis. Tidaklah mengherankan kemudian apabila Pemerintah Indonesia juga kemudian menyetujui pemberlakuan fuel surcharge tersebut, yang usulnya datang dari maskapai penerbangan. Dalam implementasinya fuel surcharge merupakan sebuah komponen biaya yang semata-mata diberlakukan untuk menutup biaya yang diakibatkan oleh kenaikan harga avtur. Hal ini memiliki pengertian bahwa biaya fuel surcharge ini, tidak boleh menjadi unsur untuk meraih keuntungan.
3
Struktur Pasar Industri Penerbangan Sebelum beranjak lebih jauh, ada baiknya kita melihat struktur industri dalam industri penerbangan Indonesia, yang dapat menjadi gambaran bagaimana dinamika persaingan dalam industri tersebut. Berdasarkan data-data tahun 2008 dalam industri jasa penerbangan domestik, struktur industri penerbangan dapat digambarkan sebagai berikut :
2
Tabel 1 Struktur Industri Maskapai Penerbangan Domestik Arus penumpang penerbangan domestik 2008 Maskapai Penumpang Pangsa Pasar Batavia Air 4.771.272 12.77% Mandala Airlines 3.449.218 9.23% Garuda Indonesia 7.665.390 20.52% Merpati Nusantara Airlines 2.477.173 6.63% Indonesia AirAsia 1.503.672 4.03% Kartika Air 239.636 0.64% Lion Air 9.147.942 24.49% Riau Airlines 232.248 0.62% Sriwijaya Air 4.272.876 11.44% Travel Express 267.371 0.72% Wing Abadi 2.328.508 6.23% Trigana Air Service 702.718 1.88% Linus Airways 268.203 0.72% Indonesia Air Transport 7.548 0.02% Kalstar Aviation 16.913 0.05% Sumber : Dirjen Perhubungan udara
4. Perkembangan Fuel Surcharge dalam Jasa Penerbangan Indonesia. 4.1 Kontroversi di awal Pemberlakuan fuel surcharge awalnya menimbulkan polemik yang berkepanjangan, terutama berkaitan dengan pihak yang berwenangan mengatur fuel surcharge tersebut. Awalnya fuel surcharge dilakukan sebagai kesepakatan Indonesian National Air Carrier Association (INACA), dengan menentukan besaran sebesar Rp 20.000/penumpang1 pada bulan Mei 2006. Besaran ini dibuat dengan berpatokan pada harga avtur rata-rata yang naik ke posisi Rp 5.600/liter sejak 1 Mei 2006, sehingga komposisi bahan bakar dalam biaya meningkat menjadi sekitar 40%. Dasar perhitungan lainnya yang digunakan adalah tipe pesawat Boeing 737-400 dengan tingkat isian (load factor) 70%. Salah satu asumsi juga disampaikan oleh Menteri Perhubungan saat itu, Bapak Hatta Rajasa yang menyatakan bahwa fuel surcharge diterapkan dengan 1
Bisnis Indonesia 5 Mei 2006 : INACA tetapkan fuel surcharge penerbangan
3
memperhitungkan kenaikan harga avtur sebsar 14 % dari posisi awal Rp 4.912. Melalui asumsi ini, maka disampaikan bahwa fuel surcharge akan hilang dengan sendirinya apabila harga avtur kembali ke posisi tersebut2. Menteri perhubungan memperbolehkan pemberlakuan fuel surcharge asal diterapkan secara transparan dan dipisahkan dari harga tiket. Penetapan fuel surcharge oleh
INACA kemudian mendapatkan
penentangan, termasuk dari KPPU karena dianggap merupakan bentuk nyata dari kartel3. Menyikapi hal ini maka kemudian INACA menyatakan keputusan menetapkan besaran fuel surcharge dibatalkan dan besaran fuel surcharge diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar oleh setiap maskapai penerbangan4.
4.2 Fuel Surcharge terus berlaku sekalipun harga avtur turun Selepas INACA membatalkan penetapan harga fuel surcharge dan menyerahkannya kepada mekanisme pasar, maka kemudian setiap maskapai melakukan penetapan masing-masing. Setiap maskapai memiliki kebebasan untuk menetapkan tarif tanpa terpengaruh pihak maskapai lain. Tanggal 1 Mei 2006 sebagaimana disebutkan sebelumnya, INACA menetapkan fuel surcharge sebesar Rp 20.000/kursi.
Setelah INACA
menyatakan fuel surcharge diserahkan kepada setiap maskapai penerbangan, maka kemudian setiap maskapai mengimplementasikannya masing-masing sesuai dengan kebijakan perusahaannya. Beberapa catatan harga fuel surcharge yang bisa dideteksi dalam perkembangan berikutnya yang dimonitor oleh KPPU berdasarkan berbagai pemberitaan di surat kabar dapat disampaikan sebagai berikut : 1. Tanggal 1 Agustus 2006 Air Asia menaikkan fuel surcharge dari Rp 20.000/kursi menjadi Rp 30.000/kursi5. 2. Tanggal 1 Januari 2007 Maskapai penerbangan menaikkan harga fuel surcharge dari Rp 20.000/kursi menjadi Rp 40.000/kursi6. 2
Kompas 5 Mei 2006 : Penumpang Dikenai "Fuel Surcharge" Bisnis Indonesia 24 Mei 2006 : INACA dituduh lakukan praktik kartel 4 Jawa Pos 5 Juni 2006 : Fuel Surcharge Dibatalkan 5 Bisnis Indonesia 27 Juli 2006 : IAA naikkan biaya tambahan bahan bakar 3
4
3. Tanggal 15 Agustus 2007 beberapa maskapai antara lain Mandala Air, Adam Air dan Garuda Indonesia menaikkan tarif fuel surcharge dari Rp 40.000/kursi menjadi Rp 50.000-60.000/kursi. Secara khusus Mandala Air menaikkan dari Rp 40.000/kursi menjadi Rp 60.000/kursi7. 4. Tanggal 28 September 2007 fuel surcharge Mandala Air naik dari Rp 60.000/kursi menjadi Rp 80.000/kursi. 5. Tanggal 4 November 2007 Merpati Airlines memberlakukan kenaikan fuel surcharge menjadi Rp 104.000 dari harga sebelumnya Rp 80.0008. 6. Tanggal 1 April 2008 Garuda Indonesia menaikkan fuel surcharge dari Rp 160.000/kursi menjadi Rp 175.000/kursi untuk penerbangan dalam waktu <1 jam, dari Rp 175.000/kursi menjadi 200.000/kursi untuk waktu penerbangan 1
2 jam9. 7. Tanggal 26 Mei 2008 Garuda Indonesia menaikkan fuel surcharge dari Rp 175.000/kursi menjadi Rp 190.000/kursi untuk penerbangan dalam T<1 jam, dari Rp 200.000/kursi menjadi 230.000/kursi untuk penerbangan 1
Garuda Indonesia T<1 jam Rp 190.000/kursi 13 Jam Rp 310.000/kursi
•
Lion Air Naik dari Rp 170.000/kursi menjadi Rp 190.000/kursi
•
Air Asia
6
Bisnis Indonesia 20 Oktober 2007 : Maskapai boleh naikkan fuel surcharge Bisnis Indonesia 16 Agustus 2007 : Sejumlah maskapai naikkan fuel surcharge 8 Bisnis Indonesia 26 Oktober 2007 : Fuel surcharge pesawat dievaluasi 9 Bisnis Indonesia 7 Mei 2008 : Fuel surcharge Penerbangan Naik Lagi 10 Bisnis Indonesia 28 Mei 2008 : Garuda naikkan fuel surcharge 11 Kompas 3 Juni 2008 : "Fuel Surcharge" Naik Lagi 7
5
Rute selain Balikpapan dan Medan naik dari Rp 90.000/kursi menjadi Rp 110.000/kursi. Rute Balikpapan dan Medan naik dari Rp 110.000/kursi menjadi Rp140.000/kursi 9. Pada bulan Agustus diidentifikasi fuel surcharge Lion Air untuk penerbangan 1 jam sebesar Rp 190.000/kursi. Untuk penerbangan 2 jam sebesar Rp 230.000/kursi, sementara untuk penerbangan 3 jam besarannya mencapai Rp 270.000/kursi12. 10. Tanggal 4 September 2008 Maskapai Sriwijaya Airlines dilaporkan telah menurunkan fuel surcharge untuk rute Medan-Jakarta dari Rp 310.000 menjadi Rp 270.000 per orang. 11. Tanggal 15 September 2008 Garuda Indonesia menurunkan harga fuel surcharge Medan Jakarta (>2 Jam) turun dari Rp 410.000/kursi menjadi Rp 380.000/kursi, kemudian untuk Banda Aceh-Medan (>1 jam) turun dari Rp 270.000/kursi menjadi hanya Rp 240.000/kursi13. 12. Tanggal 12 November 2008 Air Asia menghapuskan sama sekali fuel surcharge14. 13. Tanggal 19 Januari 2009 fuel surcharge Mandala Air telah turun untuk 1 jam terbang menjadi Rp 170.000, 1 - 2 jam terbang Rp 210.000, dan di atas 2 jam menjadi Rp 245.00015.
4.3 Fuel Surcharge Kompensasi Atas Kenaikan Biaya Bahan Bakar Sejak diberlakukan fuel surcharge penerbangan mengalami kenaikan yang signifikan, dan tetap diberlakukan meskipun harga minyak dunia/avtur mengalami penurunan yang signifikan. Seperti dalam fenomena kebanyakan komoditas/jasa di Indonesia, kenaikan yang signifikan ternyata tidak diikuti oleh penurunan yang signifikan ketika komponen pembentuknya ikut turun. Terkait dengan seberapa besar komponen avtur komposisinya terhadap biaya perusahaan secara keseluruhan, sampai saat ini tidak diperoleh penjelasan yang pasti, mengingat setiap pesawat memiliki tingkat konsumsi 12
Kompas 3 Juni 2008 : "Fuel Surcharge" Naik Lagi Bisnis Indonesia 15 September 2008 : Maskapai turunkan fuel surcharge 14 Bisnis Indonesia 12 November 2008 : Air Asia Hapus Biaya Tambahan Bahan Bakar 15 Bisnis Indonesia 21 Januari 2009 : Fuel Surcharge Mandala Turun 13
6
yang berbeda-beda satu sama lain. Tetapi sebagai pegangan, dalam beberapa pemberitaan, terdapat hal-hal yang bisa dijadikan pendekatan tentang besaran komponen avtur dalam biaya maskapai penerbangan. Beberapa hal yang bisa dicatat adalah sebagai berikut : 1. Pada tanggal 5 Maret Direktur Jenderal Perhubungan Udara menyatakan bahwa saat itu biaya avtur sudah mencapai 23% dari biaya operasi langsung. Sebagai catatan harga minyak dunia pada 4 Maret 2008 tercatat sekitar US $10416 per barel. 2. Sementara itu pada tanggal 7 Mei 2008 Direktur Operasi Garuda Indonesia Ari Sapari mengatakan kontribusi bahan bakar minyak terhadap merupakan komponen pengeluaran operasional terbesar bagi sebuah maskapai penerbangan yaitu mencapai 50%-60%17. Komposisi ini dihitung berdasarkan asumsi harga minyak dunia US$120 per barel. Gambaran angka ini memperlihatkan korelasi yang tinggi antara harga avtur dengan biaya operasional pesawat. Hanya saja nampaknya perlu diteliti lebih lanjut terkait dengan kenaikan fuel surcharge yang tidak berkorelasi dengan harga minyak dunia di mana data di atas memperlihatkan sebuah proporsi yang berbeda di mana kenaikan minyak sekitar US $16 per barel atau 15 % tetapi kenaikan harga avtur bisa mencapai 2 (dua) kali lipat (200%).
5. Keterangan dari Stakeholder yang menjadi sumber data dan informasi Dalam kajian ini, KPPU melakukan beberapa proses pengumpulan data yang antara lain dilakukan dengan mengundang stakeholder untuk berdiskusi tentang implementasi fuel surcharge di lapangan. Berikut adalah beberapa data dan informasi yang disampaikan ke KPPU:
5.1 Keterangan ASITA (Association of The Indonesia Tour & Travel Agencies) Salah satu pihak yang merasa sangat dirugikan akibat pemberlakuan fuel surcharge ini adalah ASITA. Hal ini terutama diakibatkan oleh tidak adanya prosentase komisi dari fuel surcharge yang diperuntukkan bagi anggota ASITA. ASITA menyatakan kekecewaannya karena ternyata dalam 16 17
Bisnis Indonesia 6 Maret 2008 : Penyesuaian fuel surcharge diizinkan Bisnis Indonesia 7 Mei 2008 : Fuel surcharge Penerbangan Naik Lagi
7
perkembangannya, harga avtur yang turun tidak diimbangi oleh harga fuel surcharge yang turun. Akibatnya komposisi komisi yang mereka dapatkan menjadi semakin kecil saja dari waktu ke waktu. ASITA menyatakan bisa memahami kenaikan biaya tambahan itu untuk membantu tingginya beban operasional penerbangan akibat kenaikan harga bahan bakar pesawat. Tetapi ketika maskapai tidak menurunkannya ketika harga minyak turun, maka ASITA menyatakan kekecewaannya. Dia menjelaskan kenaikan fuel surcharge bagi penumpang relatif tak dikeluhkan karena nilainya idak begitu besar, tapi bagi agen perjalanan sangat berpengaruh. Maskapai penerbangan nasional, di mata ASITA cenderung menurunkan harga tiket selama low season, tapi tak pernah menurunkan fuel surcharge. (Bisnis Indonesia tanggal 16 Agustus 2007). Efek ini berakibat pada komisi yang diterima ASITA yang menjadi sangat kecil, sehingga tidak memadai/ekonomis lagi dilihat dari pendapatan mereka keseluruhan. ASITA memberikan penjelasan bahwa komposisi tiket menjadi terasa “aneh” saat low season, karena pada saat itu komposisi tiket tetap sama dengan saat peak season tetapi besaran harga tiket turun. Dalam tarif ini komposisi fare basic, mengalami penurunan. Sementara fuel surcharge besarannya tetap. Komposisi yang ekstrim bisa dilihat dari model salah satu tarif rute penerbangan di saat low season di bawah ini. Rute : Jakarta - Surabaya •
Fare Basic
= Rp 84.500
•
IWJR
= Rp
6.000
•
PPN
= Rp
8.450
•
Fuel Surcharge
= Rp 210.000
•
Total
= Rp 308.950
8
Dari
komposisi
ini,
terasa
aneh
karena
fare
basic
yang
mengkompensasi harga avtur Rp 2.700/liter dan biaya-biaya yang lainnya justru lebih kecil dibandingkan dengan fuel surcharge yang mengkompensasi biaya tambahan avtur saja di saat harga avtur tinggi. Kondisi ini dikeluhkan ASITA, karena ternyata ASITA mendapatkan komisi yang besarannya merupakan prosentase terhadap fare basic. Ketika fare basic tersebut mengecil sebagaimana terlihat dalam komposisi di atas, maka kemudian komisi bagi agen perjalananpun menjadi kecil. Dalam hal inilah maka maskapai penerbangan kemudian memperoleh lebih banyak pendapatan karena komisi bagi agen menjadi kecil. Inilah yang kemudian menyebabkan agen perjalanan menjadi tidak memiliki insentif untuk menjual tiket. Tetapi bagi agen perjalanan yang mengandalkan pendapatan dari komisi harga tiket sepenuhnya, maka hal tersebut berarti kematian. Mereka baru mendapatkan komisi yang memadai pada saat peak season.
5.2 Keterangan Maskapai Penerbangan 5.2.1 Garuda Indonesia Secara definisi, fuel surcharge adalah kompensasi dari kenaikan harga avtur yang dipergunakan oleh Garuda Indonesia dalam setiap penerbangannya. Fuel surcharge pertama kali dikenakan ketika harga minyak dunia sebesar US$33 per barrel dengan currency convertion Rp7000,- (pada tahun 2006). Perhitungan fuel surcharge Garuda mengacu pada formulasi dari Departemen Perhubungan dimana pergerakannya dinamis mengikuti perkembangan harga minyak dunia. Namun meskipun harga minyak dunia telah turun, seringkali besaran fuel surcharge belum turun. Hal ini dikarenakan harga beli avtur dari Pertamina belum turun. Formula perhitungan fuel surcharge dari Dephub digunakan oleh Garuda sebagai acuan dalam menentukan formulasi besaran fuel surcharge dan zoning yang diberlakukan maskapai tersebut.
9
Formulasi perhitungan fuel surcharge Garuda mempergunakan besaran load factor 60%. Hal itu berdasar pada adanya peak season dan low season dalam setiap tahunnya. Terdapat perbedaan sub classes yang dibuka ketika low season dan peak season. Adapun salah satu faktor yang mempengaruhi besaran fuel surcharge adalah jenis pesawat. Komponen lain adalah adanya biaya pengisian (into plane) diluar harga avtur sebesar US$4/liter. Sebagai market leader, Garuda biasanya menaikkan besaran fuel surcharge terlebih dahulu dibanding maskapai lain. Besaran fuel surcharge sendiri adalah fixed cost, tapi seiring perkembangannya fuel surcharge mulai menjadi bagian dari strategi marketing terutama untuk penerbangan rute domestik. Garuda membuat kebijakan berupa perbedaan harga yang berjenjang dengan berdasar pada perbedaan karakteristik masing-masing pelanggan. Dasar pembedaan besaran tarif adalah batas atas, batas bawah, dan kualitas pelayanan perkelas. Adapun karakteristik konsumen Garuda adalah konsumen yang loyal sehingga Garuda tidak perlu merasa khawatir tiketnya tidak terjual. Besaran fuel surcharge yang diterapkan oleh Garuda Indonesia saat ini untuk penerbangan selama: (diterapkan sejak akhir Februari 2009) •
<1 jam :
Rp180.000,-
•
1-2 jam :
Rp250.000,-
•
2-3 jam :
Rp320.000,-
•
3-4 jam :
Rp390.000,-
•
>4 jam :
Rp440.000,-
Garuda telah menerapkan kebijakan fuel conservation program, yaitu program untuk efisiensi fuel dengan melalui permasalahan perawatan teknis. Pada dasarnya, Garuda Indonedia menyetujui jika besaran fuel surcharge diatur pemerintah asalkan pengaturan tersebut dapat
10
mengakomodir komponen-komponen biaya yang harus ditanggung oleh maskapai terkait dengan kenaikan harga avtur.
5.2.2 Mentari Lion Air Fuel Surcharge telah diterapkan di seluruh dunia. Menurut Lion penentuan fuel surcharge membutuhkan waktu untuk penyesuaian. Sedangkan tarif penerbangan sangat dipengaruhi oleh valuta asing apalagi jika pesawat yang digunakan adalah pesawat sewaan. Tarif ini memiliki batas atas yang ditetapkan oleh Departemen Perhubungan. Lion Air telah menurunkan besaran fuel surcharge karena Pertamina telah menurunkan harga avtur pada bulan Maret 2009. Menurut Lion, penurunan ini tidak bisa dilakukan serta merta karena penurunan dari pihak Pertamina sendiri juga dilakukan secara bertahap. Sedangkan tarif, menurut Lion Air merupakan batas atas dan yang digunakan adalah harga jual. Harga tiket pernah melebihi tarif yang ditetapkan oleh regulator. Menurut Lion Air, fare basic ditambah fuel surcharge yang dikenakan kepada penumpang masih berada dibawah batas atas tarif. Menurut Lion Air, pihak airlines banyak yang melakukan wait and see sebagai akibat dari perubahan harga avtur dari Pertamina yang perubahan harganya yang tidak menentu. Selain itu para konsumen juga banyak yang melakukan pemesanan tiket yang memiliki rentang waktu.
Lion Air mengakui adanya fuel surcharge menguntungkan pihak airlines. Harga avtur dari Pertamina yang tidak bisa diprediksi mengakibatkan perubahan nilai fuel surcharge tidak banyak. Lion Air setiap minggunya memantau perkembangan harga minyak dunia dan harga avtur yang ditetapkan oleh Pertamina dan hubungan ini tidak linier. Menurut Lion Air sangat dibutuhkan kesepakatan baru dalam penentuan tarif antara pelaku usaha, pemerintah, dan asosiasi. Pada dasarnya semakin lama sebuah pesawat terbang di udara maka semakin irit fuel yang digunakan jika dibandingkan dengan penerbangan 11
dengan jarak terbang yang pendek. Demikian juga halnya dengan biaya perawatan pesawat. Untuk beberapa tujuan penerbangan pihak Lion Air tidak mengenakan fuel surcharge. Besaran fuel surcharge ditentukan oleh total konsumsi avtur, jumlah seat, lama penerbangan, maupun persektor atau “subsidi silang” perwilayah, dan daya beli konsumen. Pihak Lion Air mengakui pernah menetapkan besaran fare basic yang kadang lebih rendah dari besaran fuel surcharge. Kasus ini terjadi pada saat tertentu atau low season dimana jumlah penumpang sedang anjlok. Ini diberlakukan sebagai strategi perusahaan untuk menarik minat konsumen.
5.2.3 Merpati Air Fuel surcharge pertama kali diterapkan pada bulan Mei 2006 dimana harga avtur berada di atas kisaran 5800/liter. Merpati termasuk salah satu maskapai di Indonesia yang mengenakan fuel surcharge. Terkait dengan besaran fuel surcharge pada bulan Mei 2006 sebesar Rp.20.000,00, Merpati Nusantara menyatakan bahwa besaran tyersebut diperoleh tanpa melalui formula perhitungan. Begitu pula dengan besaran-besaran fuel surcharge selanjutnya sebelum Departemen Perhubungan mengeluarkan formula perhitungan fuel surcharge pada awal tahun 2008. Atas perubahan fuel surcharge yang dikenakan, secara berkala Merpati memberikan laporan kepada Departemen Perhubungan. Fuel surcharge dikenakan PPn 10% sebagai pembelian avtur dari Pertamina dimana pajak tersebut kemudian termasuk dalam komponen fuel surcharge. Jika berdasar pada formulasi perhitungan fuel surcharge yang dikeluarkan oleh Departemen Perhubungan, besaran fuel surcharge yang diperoleh dari perhitungan tersebut ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan besaran fuel surcharge yang dikenakan oleh maskapai termasuk Merpati
Nusantara.
Bagi
Merpati
Nusantara,
meskipun
jika
menggunakan formula Departemen Perhubungan maka besaran fuel surcharge lebih tinggi, namun adanya kompetitor akan menjadi semacam
12
alat kontrol bagi mereka agar tidak mengenakan fuel surcharge yang terlalu tinggi. Merpati Nusantara menyatakan bahwa perhitungan besaran fuel surcharge yang mereka kenakan tidak 100% menggunakan formulasi dari Departemen Perhubungan, melainkan sudah terdapat penyesuaian atas formulasi yang dipergunakan..
5.2.4 Indonesia Air Asia Fuel surcharge memiliki pengertian sebagai biaya yang terjadi saat terdapat kenaikan harga avtur dimana bagi maskapai fuel surcharge digunakan untuk menutupi selisih harga avtur karena adanya kebijakan tarif batas atas oleh pemerintah. Seperti halnya maskapai lain, pada tahun 2006 Air Asia juga menerapkan fuel surcharge. Adapun perhitungan fuel surcharge menurut Air Asia adalah dengan memperhitungkan beberapa komponen seperti faktor hedging dan nilai tukar rupiah terhadap dollar. Pada dasarnya besara fuel surcharge diperoleh dari selisih harga fuel dibagi dengan jumlah utilisasi seat. Pada saat harga avtur turun, Air Asia tidak serta merta menurunkan fuel surcharge karena harga avtur yang mudah berubah. Ketika menetapkan besaran fuel surcharge, Air Asia tidak terpengaruh oleh besaran fuel surchage yang diberlakukan oleh maskapai lain. Terdapat panduan perhitungan besaran fuel surcharge dari pemerintah yang berupa formula dalam bentuk pembagian fuel surcharge berdasarkan lama jam terbang suatu pesawat. Saat ini, Air Asia sudah tidak lagi memberlakukan fuel surcharge dengan melakukan
efisiensi
pengeluaran.
Adapun
tujuan
Air
Asia
menghilangkan fuel surcharge dari komponen tarifnya adalah untuk meringankan beban konsumen.
13
Kebijakan strategi bisnis yang diberlakukan oleh Air Asia sering mengakibatkan terjadinya perbedaan tarif yang sangat signifikan antara tarif saat peak season dan tarif saat low season. Dalam pemasaran tiketnya, Air Asia tidak melakukan kerjasama dengan agen travel karena sistem pemasarannya bersifat on-line sehingga penumpang dapat langsung mengakses. Terkait dengan kenaikan harga avtur terakhir, tetap dimungkinkan jika suatu ketika Air Asia kembali menetapkan fuel surcharge karena menurut mereka tarif batas atas yang ada saat ini sudah harus diperbaiki.
5.2.5 Sriwijaya Air Pengenaan fuel surcharge dilakukan sejak bulan Mei 2006 saat harga avtur berada pada tingkat harga Rp.5.885,00/lt. Besaran fuel surcharge tersebut ditentukan secara bersama-sama oleh maskapai penerbangan melalui INACA dengan mematok besaran fue surcharge sebesar Rp.20.000,00. Sriwijaya Air mengakui bahwa besaran tersebut diperoleh tanpa melalui perhitungan dengan formula apapun. Baru pada bulan November 2007 formula perhitungan mulai digunakan. Pada bulan Agustus 2008, Sriwijaya Air dan maskapai-maskapai lain diundang oleh Departemen Perhubungan untuk membahas mengenai perhitungan dan besaran fuel surcharge yag ditetapkan oleh maskapai selama ini. Fuel surcharge tidak dikenai PPn. Tarif batas bawah dan tarif batas atas digunakan untuk menentukan besaran fare basic.
5.3 Keterangan dari Pemerintah Pemerintah dalam hal ini Departemen Perhubungan cq Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, menyatakan bahwa tidak ada regulasi yang secara khusus mengatur tentang Fuel Surcharge. Departemen Perhubungan, sesuai dengan anjuran KPPU di awal pemberlakukan fuel surcharge, menyerahkan besaran fuel surcharge kepada setiap maskapai penerbangan. Pemerintah sendiri membolehkan diberlakukannya fuel surcharge dengan alasan bahwa batas atas tarif yang selama ini berlaku dihitung dengan 14
basis perhitungan harga avtur masih sebesar Rp 2.700/liter. Kenaikan yang bahkan pernah mencapai hampir 4 kali lipat dari posisi tersebut, menyebabkan maskapai terbebani dengan avtur sebagai salah satu komponen biayanya. Saat ini, tidak ada intervensi Pemerintah terhadap penetapan besaran fuel surcharge. Pemerintah hanya menghimbau agar proses penetapan fuel surcharge dilakukan dengan benar-benar mengacu kepada selisih harga avtur semata, dengan harapan fuel surcharge tidak disalahgunakan untuk menutup biaya selain kenaikan fuel surcharge tersebut. Pemerintah pada tahun 2008, melakukan upaya penataan fuel surcharge dengan membuat formulasi besaran fuel surcharge yang diberikan kepada maskapai penerbangan dengan harapan proses perhitungan fuel surcharge sesuai dengan kaidah yang baku bukan didasarkan pada rumusan yang hanya mengandalkan instuisi. Departemen Perhubungan menyatakan bahwa dari penelusuran mereka, besaran dari fuel surcharge tampak dilakukan maskapai dengan tidak memiliki landasan yang jelas. Hal inilah yang tampaknya memicu kenaikan fuel surcharge yang sangat signifikan di awal 2008. Di mana Pemerintah justru menetapkan fuel surcharge yang sangat tinggi dibandingkan dengan fuel surcharge yang selama ini dikenakan oleh maskapai. Dalam tahap awal di tahun 2008 Pemerintah justru menetapkan fuel surcharge yang cukup tinggi yakni Rp. 100.000, padahal selama periode sebelumnya maskapai menetapkan besaran fuel surcharge di bawah Rp 100.000.
5.4 Keterangan dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) YLKI menyatakan bahwa dalam pandangan konsumen fuel surcharge belum menjadi hal yang pokok untuk dipermasalahkan. Saat ini yang dipandang penting oleh YLKI untuk dipermasalahkan adalah masalah keselamatan penerbangan. Terkait dengan tarif YLKI belum memberikan perhatian khusus. Dan bagi YLKI, selama pelayanan sesuai dengan tarif yang harus dibayar oleh konsumen, maka tidak menjadi permasalahan.
15
6. Analisis 6.1 Definisi Fuel Surcharge Sebagaimana dijelaskan dalam bagian terdahulu, fuel surcharge merupakan sebuah komponen biaya baru dalam industri penerbangan Indonesia yang ditujukan untuk menutup biaya tambahan yang muncul, sebagai akibat dari kenaikan harga avtur. Komponen biaya ini diperbolehkan muncul oleh Pemerintah, karena dasar perhitungan ketentuan batas atas tarif dilakukan saat harga avtur Rp 2.700/liter. Dalam beberapa bulan terakhir, harga avtur mengalami kenaikan yang sangat signifikan seiring dengan naiknya harga minyak dunia. Perkembangan harga avtur digambarkan dalam grafik 1 di bawah ini. Grafik 1 Perkembangan Harga Avtur Indonesia 14000 12000
Rupiah
10000 8000 6000 4000 2000
M ay
-0 Ju 6 lS e 06 p0 N 6 ov -0 Ja 6 n0 M 7 ar -0 M 7 ay -0 Ju 7 lS e 07 p0 N 7 ov -0 Ja 7 n0 M 8 ar M 08 ay -0 Ju 8 l- 0 Se 8 p0 N 8 ov Ja - 08 n1 F e 09 bM 09 ar 2A p 09 r2 M -09 ay 2 Ju -09 n2 -0 9
0
Sumber : Departemen Perhubungan
Perkembangan harga ini sudah jauh di atas harga avtur yang menjadi dasar penetapan tarif yang saat ini berlaku, (Keputusan menteri perhubungan No 9 tahun 2002 tentang Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi). Harga avtur dari ketetapan tersebut adalah Rp. 2.700/liter. Memperhatikan harga dasar penetapan tarif yang sangat murah tersebut, maka mengakibatkan selisih antara harga avtur faktual dengan harga
16
avtur dasar ketetapan tarif cenderung menjadi sangat tinggi karena kecenderungan kenaikan avtur, sebagai akibat kenaikan harga minyak dunia. Gambaran hal ini bisa dilihat dalam grafik 2 di bawah ini. Grafik memperlihatkan bahwa harga avtur memiliki kecenderungan untuk bergerak naik. Bahkan dalam kurun waktu tahun 2006-2009 kenaikan harga avtur pernah mencapai hampir 200%, dari Rp 5.920 pada bulan Mei 2006 menjadi Rp 12.253/liter pada bulan Agustus 2008. Itulah harga avtur tertinggi dalam perkembangannya selama ini. Setelah angka tersebut avtur cenderung turun dan kini berada di kisaran Rp 8.000-9.000. Grafik 2 Perbandingan Harga Avtur Faktual dan Harga Avtur Dasar Ketetapan Tarif 14000 12000
Fuel Fuel batas Atas
Rupiah
10000 8000 6000 4000 2000
M
ay -0 6 Au g06 N ov -0 6 Fe b07 M ay -0 7 Au g07 N ov -0 7 Fe b08 M ay -0 8 Au g08 N ov -0 Ja 8 n2 -0 9 M ar 209 M ay 10 Ju 9 n2 -0 9
0
Sumber : Departemen perhubungan Memperhatikan definisi fuel surcharge yang merupakan komponen biaya yang ditujukan untuk menutup biaya yang diakibatkan oleh kenaikan harga avtur yang melambung melampaui harga avtur yang menjadi patokan dasar perhitungan ketetapan tarif oleh Pemerintah (Rp 2.700), maka secara sederhana rumus dari perhitungan fuel surcharge adalah :
17
V * ∆ Harga FS = -------------------------------Q FS
= Fuel Surcharge
V
= Volume avtur maskapai dalam satuan waktu tertentu
∆ Harga
= Harga avtur aktual – Rp 2.700 (harga avtur basis perhitungan tarif Pemerintah)
Q
= Jumlah Kapasitas Maskapai Dalam perkembangannya, kemudian Pemerintah menambahkan load
factor yang menjadi faktor koreksi terhadap formula ideal tersebut, mengingat dalam prakteknya tidak semua kursi penumpang terpenuhi. Dalam hal ini, load factor yang digunakan adalah 70 % yang dianggap sebagai rata-rata load factor maskapai selama ini. Rumuspun berubah menjadi : V * ∆ Harga FS
= ---------------------Q * 70 % Berdasarkan rumus tersebut di atas terlihat bahwa fuel surcharge
berbanding lurus dengan perubahan selisih harga avtur aktual dengan harga yang menjadi basis perhitungan tarif Pemerintah, sementara
di sisi lain
volume avtur (V) dan kuantitas penumpang maskapai (Q) cenderung menjadi konstanta. Akibat dari kondisi ini, maka seharusnya prosentase kenaikan fuel surcharge, sama persis dengan perubahan prosentase selisih harga avtur. Jadi kalau selisih harga avtur naik 10 %, maka fuel surcharge juga naik 10 %. Begitu pula kalau turun. Memperhatikan rumus tersebut, sudah seharusnya fuel surcharge merupakan angka yang tetap, yakni sebuah besaran biaya yang dipastikan akan bisa menutup biaya kenaikan harga avtur. Dalam hal ini maka seharusnya fuel surcharge untuk setiap pesawat yang jenisnya sama pada rute yang sama maka besaran fuel surchargenya menjadi sama. Dalam terminologi konsep
18
biaya, seharusnya fuel surcharge merupakan sebuah fixed cost (biaya tetap), yang besarannya bisa dihitung secara pasti. Terkait dengan hal ini, maka kemudian menjadi pertanyaan besar ketika fuel surcharge antar maskapai memperlihatkan variasi yang luar biasa ekstrimnya dari Rp 0 sampai Rp 480.000/penumpang. Variasi yang sangat timpang ini mendorong munculnya dugaan bahwa fuel surcharge tidak lagi sekedar diperuntukan untuk menutup biaya akibat kenaikan harga avtur, tetapi juga memiliki fungsi untuk menutup biaya lainnya bahkan untuk menarik keuntungan melalui eksploitasi konsumen dengan tarif yang eksesif.
6.2 Analisis Terhadap Implementasi Fuel Surcharge Sejak
Mei
2009,
Maskapai
Indonesia
secara
resmi
mengimplementasikan fuel surcharge sebagai salah satu komponen tarifnya. Awalnya maskapai memberlakukan fuel surcharge yang sama yakni Rp 20.000, yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan dalam INACA. Tetapi kemudian KPPU menyatakan bahwa kesepakatan seperti itu merupakan sebuah praktek kartel, karena itu harus dibatalkan. Maka INACApun membatalkan kesepakatan tarif tersebut dan kemudian menyerahkan penentuan besaran fuel surcharge kepada setiap maskapai penerbangan. Dalam implementasinya perkembangan besaran setiap maskapai penerbangan memperlihatkan kondisi yang berbeda-beda. Inilah yang kemudian harus dianggap aneh dan mencurigakan karena seharusnya variasi itu tidak terlalu ekstrim, karena variasi pesawat yang digunakan oleh maskapai di Indonesia relatif sama. Dapat dipahami apabila variasi memperlihatkan sebuah kondisi keberhasilan maskapai melakukan penghematan penggunaan avtur dalam setiap penerbangannya, tetapi dipastikan penghematan tersebut tidak akan menghasilkan variasi yang esktrim seperti saat ini antara Rp 0 sampai dengan Rp 480.000/penumpang. Lalu apa yang sebenarnya terjadi dengan perkembangan fuel surcharge di lapangan? Untuk memahaminya, maka kita lihat perkembangan di lapangan
19
sehubungan dengan munculnya hubungan yang mencurigakan antara fuel surcharge dan selisih harga avtur yang terjadi. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan melakukan analisis secara komprehensif terhadap perkembangan harga avtur dan efek yang seharusnya terhadap fuel surcharge. Selain itu kita juga harus melihat perkembangan fuel surcharge yang diimplementasikan oleh setiap maskapai, hal untuk mencocokkan kesesuaian dengan hubungan yang direpresentasikan oleh formulasi terdahulu. Apabila kita ingin melihat perkembangan selisih harga avtur, maka kita akan melihat sebuah perkembangan sebagaimana diperlihatkan oleh grafik 3 dan grafik 4 di bawah ini. Grafik 3 Selisih Harga Avtur Aktual dengan Harga Avtur Basis Perhitungan Tarif Berlaku Selisih Harga Avtur Aktual dengan Harga Basis Perhitungan Tarif Berlaku 12000
10000
6000
4000
2000
20
-0 9
-0 8
Ja n
-0 8
N ov
l-0 8
Se p
Ju
-0 8
8
ay M
ar -0
-0 8
M
-0 7
Ja n
-0 7
No v
Se p
l-0 7
-0 7
Ju
7 ar -0
ay M
-0 7
M
Ja n
-0 6
-0 6
N ov
l-0 6
Se p
Ju
ay
-0 6
0
M
Harga (Rp)
8000
Grafik 4 Perkembangan Prosentase Kenaikan Selisih Harga Avtur 250.00%
200.00%
Rupiah
150.00%
100.00%
50.00%
M ay -0 Ju 6 l-0 Se 6 p0 N 6 ov -0 Ja 6 nM 07 ar M 07 ay -0 Ju 7 l-0 Se 7 pN 07 ov Ja 07 nM 08 ar M 08 ay -0 Ju 8 lS e 08 p0 N 8 ov Ja - 08 n1 F e 09 b M -09 ar 2 A p - 09 r2 M -09 ay 2 Ju -09 n2 -0 9
0.00%
-50.00%
Dari kedua grafik tersebut di atas, maka terlihat bahwa kenaikan selisih harga avtur yang terjadi tidak pernah mencapai 200%, atau dua kali lipat dari harga sebelumnya. Kenaikan tertinggi terjadi ketika harga minyak dunia menyentuh harga tertinggi dengan kisaran US $147/barrel. Harga tertinggi avtur di Indonesia tercapai pada bulan Agustus 2008 dengan harga Rp 12.253/liter, sehingga pada titik itu selisihnya dengan harga yang menjadi dasar ketentuan tarif mencapai Rp 9.553/liter. Apabila kita mengembangkannya ke dalam satuan harga dengan basis perhitungan fuel surcharge Rp 20.000/penumpang pada Mei 2006 dengan harga avtur Rp 5.920/liter, maka kita akan mendapati grafik berikut ini.
21
Grafik 5 Perkembangan Fuel Surcharge mengikuti fluktuasi harga avtur
70000 60000
40000 30000 20000 10000 0 M ei -0 Ju 6 lS e 06 pN 06 op -0 Ja 6 n0 M 7 ar M 07 ei -0 Ju 7 l-0 Se 7 pN 07 op -0 Ja 7 nM 08 ar M 08 ei -0 Ju 8 lS e 08 pN 08 op Ja - 0 8 n1 F e 09 b M -09 ar 2 A p - 09 r2 M -09 ay 2 Ju -09 n2 -0 9
Rupiah
50000
Dalam grafik terlihat bahwa apabila kita menjadikan harga avtur bulan Mei 2006, dan fuel surcharge saat itu maka saat ini (Juli 2009) harga avtur hanya berada di kisaran Rp 26.590/penumpang. Dalam grafik 3 terlihat bahwa selisih harga avtur berfluktuasi dengan terdapat beberapa slop penurunan di dalamnya. Apabila melihat rumusan sebelumnya, maka seharusnya fluktuasi ini, juga diikuti oleh fuel surcharge maskapai. Tetapi fakta tersebut ternyata tidak terjadi. Sebagai gambaran hal ini bisa dilihat dari perkembangan fuel surcharge oleh beberapa maskapai dalam beberapa grafik di bawah ini.
22
Grafik 5 Perkembangan Fuel Surcharge Penerbangan T< 1 Jam 300000 Garuda Sriwijaya Batavia
250000
Lion Mandala Merpati
Rupiah
200000
150000
100000
50000
-0 9
-0 9
M ei
M ar
08 n09 Ja
N
op -
8
8
p0
l- 0
Se
-0 8
Ju
-0 8
M ei
n08
M ar
07
op -
N
Ja
7
7
p0
l- 0
Se
-0 7
Ju
-0 7
M ei
n07
M ar
06
Ja
N
op -
6
6
p0
l- 0
Se
Ju
M ei
-0 6
0
Grafik 6 Perkembangan Fuel Surcharge Penerbangan 1
Garuda
Lion
Sriwijaya
Mandala
Batavia
Merpati
200000 150000 100000 50000
23
Mei-09
Mar-09
Jan-09
Nop-08
Sep-08
Jul-08
Mei-08
Mar-08
Jan-08
Nop-07
Sep-07
Jul-07
Mei-07
Mar-07
Jan-07
Nop-06
Sep-06
Jul-06
0 Mei-06
Rupiah
250000
Grafik 7 Perkembangan Fuel Surcharge Penerbangan 1
350000
Lion Batavia
Sriwijaya Merpati
250000 200000 150000 100000 50000 Mei-09
Mar-09
Jan-09
Nop-08
Sep-08
Jul-08
Mei-08
Mar-08
Jan-08
Nop-07
Sep-07
Jul-07
Mei-07
Mar-07
Jan-07
Nop-06
Sep-06
Jul-06
0 Mei-06
Rupiah
300000
Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa besaran fuel surcharge, dari mulai Mei 2006 sampai dengan September 2007. Tampak bahwa besaran fuel surcharge untuk seluruh maskapai yang disurvey sama. Padahal pada Mei 2006, INACA bersepakat untuk membubarkan kartel termasuk penetapan harganya. Hal ini menunjukkan bahwa secara faktual tidak ada perjanjian atau kesepakatan, akan tetapi pada saat yang sama harga yang ditetapkan sama besarannya. Begitu pula trend yang tercipta ke depannya berdasarkan grafik yang telah disampaikan di atas, yang menunjukkan bahwa fuels urcharge naik terus dalam setiap waktu. Dalam grafik-grafik tersebut tidak terdapat penurunan, kecuali di akhir 2008 dan awal 2009, itupun dengan penurunan yang tidak signifikan. Berdasarkan data-data tersebut, maka sesungguhnya dapat disimpulkan bahwa fuel surcharge yang diberlakukan keduanya tidak memiliki korelasi lagi dengan kenaikan harga avtur yang selama ini dikemukakan menjadi acuan penentuan fuel surcharge, yang berarti besaran fuel surcharge sudah tidak lagi mengikuti formula yang telah ditetapkan sebelumnya. Sementara itu di sisi lain, grafik 5, 6 dan 7 memperlihatkan kepada kita bahwa potensi terjadinya kartel harga (price fixing) sangat besar terjadi. Hal 24
ini terlihat dari trend harga yang memperlihatkan sebuah harga yang sama selama beberapa periode, dan harga yang juga “berkelompok” pada tingkat harga yang sama setelahnya baik untuk waktu penerbangan yang kurang dari 1 jam, waktu penerbangan antara 1 dan 2 jam, serta waktu penerbangan antara 2 dan 3 jam. Pemerintah sendiri, terkait dengan implementasi fuel surcharge ini berusaha untuk melakukan pengawasan dengan mengeluarkan besaran fuel surcharge hasil perhitungan Pemerintah yang besarannya bisa dilihat dalam grafik 7. Sayangnya besaran ini tidak memiliki arti apa-apa, terkait dengan upaya pengendalian besaran fuel surcharge. Pemerintah sendiri tidak dapat melakukan intervensi apapun terkait dengan implementasi fuel surcharge, sekalipun besaran fuel surcharge tersebut sudah melebihi fuel surcharge hasil perhitungan Pemerintah. Berdasarkan
kebijakan
yang
dikeluarkan
Pemerintah,
terdapat
beberapa besaran yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana terlihat dalam grafik 8. Grafik 8 Besaran Fuel Surcharge Menurut Pemerintah 350000 300000
< 1 Jam 1
250000
2
200000 150000 100000 50000
M ay
-0 Ju 6 lS e 06 p0 N 6 ov -0 Ja 6 n0 M 7 ar M 07 ay -0 7 Ju lS e 07 p0 N 7 ov -0 Ja 7 n0 M 8 ar M 08 ay -0 Ju 8 lS e 08 p0 N 8 ov -0 Ja 8 n0 M 9 ar -0 9
0
25
Apabila dibandingkan dengan fuel surcharge yang diberlakukan oleh maskapai penerbangan, maka akan terlihat komprasinya dalam beberapa garfik 9 dan 10 di bawah ini. Dari grafik 9 dan 10 terlihat bahwa dalam perkembangannya, awalnya besaran fuel surcharge maskapai penerbangan, jauh dari besaran yang ditetapkan oleh Pemerintah, tetapi sejak bulan Juli 2007 fuel surcharge maskapai mengalami kenaikan yang signifikan, untuk menyentuh fuel surcharge yang ditetapkan Pemerintah bahkan kemudian melewatinya sekalipun fuel surcharge Pemerintah juga mengalami kenaikan yang signifikan, terutama di bulan September 2008 seiring dengan kenaikan harga avtur yang mengikuti harga minyak dunia. Grafik 9 Perbandingan Fuel Surcharge Lion & Garuda dengan Pemerintah Untuk Penerbangan ≤ 1 Jam 250000
Lion Pemerintah
200000
Garuda
150000
100000
50000
M ay -0 6 Ju l-0 Se 6 p0 N 6 ov -0 Ja 6 n0 M 7 ar -0 M 7 ay -0 7 Ju l-0 Se 7 p0 N 7 ov -0 Ja 7 n0 M 8 ar -0 M 8 ay -0 8 Ju l-0 Se 8 p0 N 8 ov -0 Ja 8 n0 M 9 ar -0 9
0
26
Grafik 10 Perbandingan Fuel Surcharge Garuda dan Lion dengan Pemerintah Untuk Penerbangan 1< T< 2 Jam 250000
Lion Pemerintah
200000
Garuda
150000
100000
50000
M ay -0 6 Ju l- 0 Se 6 p0 N 6 ov -0 Ja 6 n0 M 7 ar -0 M 7 ay -0 7 Ju l- 0 Se 7 p0 N 7 ov -0 Ja 7 n0 M 8 ar -0 M 8 ay -0 8 Ju l- 0 Se 8 p0 N 8 ov -0 Ja 8 n0 M 9 ar -0 9
0
Dari keterangan Pemerintah, kemudian diketahui bahwa pada awalnya maskapai tidak memiliki referensi sama sekali tentang formula perhitungan fuel surcharge. Angka-angka yang ditetapkan di awal masa berlakunya fuel surcharge didasarkan pada instuisi mereka atas perhitungan komersial dengan tidak menggunakan rumus yang baku. Sebagaimana diberitakan di berbagai media massa, pada Mei 2006 mereka memberlakukan fuel surcharge dengan besaran Rp 20.000, dengan dasar pertimbangan harga avtur saat itu dan pesawat yang digunakan basis perhitungan adalah Boeing 737-400 dengan load factor 70%. Tetapi ternyata besaran itu hanya sebuah angka yang tidak jelas asal-usulnya. Bahkan kalau dibandingkan dengan harga fuel surcharge yang dipatok Pemerintah sangat jauh. Dalam hal inilah maka kemudian dapat disimpulkan bahwa pada awalnya tidak ada perhitungan baku untuk menghitung besaran fuel surcharge tersebut. Hal inilah yang patut dicurigai kemudian mendorong fuel surcharge bergerak liar seolah menggunakan mekanisme pasar tanpa ada yang bisa mengendalikannya. Berdasarkan keterangan Pemerintah dan pelaku usaha diketahui bahwa menjelang tahun 2008 maskapai penerbangan dipanggil oleh Pemerintah untuk 27
kemudian diberikan pengarahan terkait dengan besaran fuel surcharge dan formulasinya. Dalam kaitan dengan inilah, maka kemudian kita bisa melihat kenaikan yang signifikan dari fuel surcharge yang ditetapkan Pemerintah pada akhir 2008 merupakan upaya maskapai untuk “menyesuaikan” besaran dengan yang menjadi acuan yang ditetapkan Pemerintah. Pada saat itu maskapai mengetahui bahwa besaran avtur yang mereka tetapkan jauh di bawah acuan yang dihitung Pemerintah. Terkait dengan besaran fuel surcharge yang ditetapkan oleh Pemerintah, maka KPPU juga dapat melihat korelasinya dengan selisih harga avtur yang terjadi untuk melihat apakah besaran yang ditetapkan Pemerintah konsisten dengan rumus/formula yang diakuinya. Hasil uji korelasi antara selisih avtur dengan besaran fuel surcharge yang ditetapkan oleh Pemerintah dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 3 Hasil Uji Korelasi Selisih Avtur VS Fuel surcharge Lion Air No Penerbangan 1 ≤ 1 jam 2 1 < T ≤ 2 Jam 3 2 < T ≤ 3 jam
Hasil Uji Korelasi -0.27703 -0.35964 -0.34326
Hasil uji korelasi ini memperlihatkan bahwa korelasi antara fuel surcharge sangat kecil, sehingga bisa disimpulkan tidak ada korelasi antara keduanya. Hal ini tentu saja merupakan sebuah inkonsistensi, karena Pemerintah sendiri yang menetapkan rumus perhitungan fuel surcharge. Hal ini tentu saja menjadi sebuah pertanyaan besar. Secara grafis perkembangan antara fuel surcharge yang ditetapkan Pemerintah dengan perkembangan selisih harga avtur dapat dilihat dari grafik 11.
28
Grafik 11 Perbandingan Antara Fuel Surcharge Pemerintah dengan Selisih Avtur 350000
12000 < 1 Jam
300000
1
10000
2
Selisih Avtur
Rupiah
8000 200000 6000 150000 4000 100000 2000
50000
0
0 Jan-08 Feb-08 Mar-08 Apr-08 Mei-08 Jun-08 Jul-08 Agust- Sep-08 Okt-08 Nop-08 Des-08 Jan-09 08
Secara grafis, grafik 11 memberikan gambaran bahwa fluktuasi selisih avtur ternyata tidak diikuti oleh fluktuasi fuel surcharge yang ditetapkan oleh Pemerintah, hanya pada akhir periode 2008 dan awal 2009 terdapat kecenderungan penurunan yang sama santara fuel surcharge Pemerintah dan selisih harga avtur. Hal ini sekali lagi memperkuat kecilnya korelasi antara fuel surcharge dengan selisih harga avtur sebagaimana diperlihatkan oleh rumusan fuel surcharge oleh Pemerintah. Pada akhirnya dari hasil analisis terhadap implementasi fuel surcharge di lapangan, dapat disimpulkan bahwa besaran fuel surcharge yang berlaku sudah tidak lagi mengacu kepada definisi awal yang sudah ditetapkan. Tidak ada hubungan yang baku antara kenaikan avtur dan selisih harga yang harus ditutupnya dengan besaran fuel surcharge baik yang ditetapkan maskapai maupun Pemerintah yang ditujukan untuk mengontrolnya. Dalam implementasinya, besaran fuel surcharge sudah tidak lagi hanya menjadi alat untuk menutup selisih harga avtur yang semakin tinggi, tetapi juga sudah memiliki fungsi untuk menutup biaya lainnya atau bahkan menjadi
29
sarana untuk melakukan eksploitasi konsumen karena tidak ada batasan terhadap fuel surcharge yang diberlakukan oleh maskapai penerbangan. Fakta yang terkait dengan kondisi ini, diperkuat oleh pengakuan beberapa maskapai penerbangan yang tidak konsisten menjawab peruntukan dari fuel surcharge, di mana beberapa jawaban mereka secara tidak langsung menyatakan bahwa fuel surcharge tidak hanya diperuntukan untuk menutup kenaikan avtur, tetapi juga untuk menutup biaya lainnya yang melonjak seiring dengan perkembangan waktu. Pemerintah juga mengakui bahwa peruntukan fuel surcharge dalam implementasinya, juga tidak hanya untuk menutup biaya yang diakibatkan oleh kenaikan harga avtur saja, tetapi juga untuk menutupi kenaikan biaya lainnya. Pada akhirnya, melalui analisis ini dapat disimpulkan bahwa fuel surcharge telah diselewengkan dan tidak lagi sesuai dengan definisinya. Fuel surcharge telah menjadi alat untuk mendapatkan tambahan pendapatan baik untuk menutup kenaikan biaya lainnya atau juga untuk melakukan eksploitasi konsumen. Hasil temuan tersebut semakin diperkuat oleh fakta di lapangan, saat Indonesia Air Asia sejak bulan November 2008 menghapus sama sekali besaran fuel surcharge sebagai bagian dari komponen tarif. Hal ini mengindikasikan bahwa besaran tarif sekarang sudah bisa memenuhi kebutuhan maskapai untuk beroperasi dan meraih untung di dalamnya. Variasi yang sangat ekstrem dalam besaran fuel surcharge (Rp 0 untuk Air Asia dan Rp 480.000 untuk Garuda dengan lama penerbangan di atas 4 jam), mencerminkan bahwa dugaan fungsi fuel surcharge tidak hanya untuk menutup selisih harga avtur menjadi sangat kuat. Secara
khusus,
melalui
simulasi
dengan
menggunakan
basis
perhitungan harga avtur dan besaran fuel surcharge Pemerintah pada awal Januari 2008 (saat Pemerintah pertama kali memantau besaran fuel surcharge melalui hasil perhitungan), bisa dianalisis besaran fuel surcharge tersebut terutama untuk kemudian membandingkannya dengan besaran fuel surcharge 30
milik Pemerintah. Beberapa grafik di bawah ini memberikan gambaran tersebut. Grafik 12 Pendekatan Perhitungan Fuel Surcharge untuk T<1 Jam 300000
250000
150000
100000
50000 Pemerintah
Seharusnya
Garuda
Lion
Sriwijaya
Mandala
Batavia
Merpati
0 Ja n0 Fe 8 b0 M 8 ar -0 8 Ap r0 M 8 ei -0 8 Ju n08 Ju l Ag -08 us t-0 Se 8 p0 O 8 kt -0 N 8 op -0 D 8 es -0 8 Ja n0 Fe 9 b0 M 9 ar -0 9 Ap r0 M 9 ei -0 9 Ju n09
Rupiah
200000
Untuk waktu terbang 1 jam< T, fuel surcharge maskapai penerbangan selalu berada di atas fuel surcharge Pemerintah dan hasil perhitungan. Harga fuel surcharge maskapai berkelompok di kisaran Rp 160.000-180000, sebuah harga yang mencurigakan karena setiap maskapai memiliki volume dan kapasitas yang berbeda-beda. Harga fuel surcharge Garuda senantiasa berada di atas maskapai lainnya. Tetapi harga Batavia, Sriwijaya, Lion dan Mandala senantiasa berkelompok di kisaran yang hampir sama. Bahkan Mandala, Sriwijaya dan Batavia pada bulan Mei 2009 memberlakukan fuel surcharge yang sama yakni Rp 170.000. Dalam waktu penerbangan T < 1 jam ini, persaingan tampak bisa berperan menjadi alat untuk menekan agar fuel surcharge tidak jauh berbeda satu sama lainnya. Garuda menetapkan harga yang hanya berselisih Rp 10.000-20.000 dari maskapai lainnya.
31
Grafik 13 Pendekatan Perhitungan Fuel Surcharge untuk 1
300000
250000
Rupiah
200000
150000
100000
50000
Pemerintah
Seharusnya
Garuda
Lion
Sriwijaya
Mandala
Batavia
Merpati Ju n09
M ei -0 9
A pr -0 9
M ar -0 9
F eb -0 9
Ja n09
D es -0 8
N op -0 8
O kt -0 8
S ep -0 8
Ju l-0 8 A gu st -0 8
Ju n08
M ei -0 8
A pr -0 8
M ar -0 8
F eb -0 8
Ja n08
0
Untuk waktu terbang 1
32
Grafik 14 Pendekatan Perhitungan Fuel Surcharge untuk 2
200000 150000 100000 50000
Pemerintah
Seharusnya
Garuda
Lion
Sriwijaya
Mandala
Batavia
Merpati
0 Ja n0 Fe 8 b0 M 8 ar -0 A 8 pr -0 M 8 ei -0 Ju 8 n08 Ju A l-08 gu st -0 8 S ep -0 O 8 kt -0 N 8 op -0 8 D es -0 Ja 8 n0 Fe 9 b0 M 9 ar -0 A 9 pr -0 M 9 ei -0 Ju 9 n09
Rupiah
250000
Untuk
waktu
terbang
2
jam
fuel
surcharge
maskapai
penerbangan selalu berada di atas fuel surcharge Pemerintah dan hasil perhitungan. Dalam kelompok ini, besaran fuel surcharge Garuda senantiasa berada di atas maskapai lainnya. Persaingan tampak masih ketat terjadi tetapi fuel surchargenya mulai bervariasi, Garuda berada di depan dengan selisih sampai Rp 75.000/penumpang. Tetapi besaran fuel surcharge maskapai lainnya bervariasi, tidak ada yang sama. Analisis trend ini semakin memperkuat bahwa potensi price fixing dalam industri penerbangan muncul.
6.3 Implementasi Fuel Surcharge Dalam Strategi Bersaing Maskapai Maskapai penerbangan secara konsisten menerapkan fuel surcharge sebagai salah satu komponen tarif. Berdasarkan keterangan Pemerintah komponen tarif penerbangan terdiri dari : •
Basic fare (Tarif dasar)
•
IWJR
•
PPN
•
Fuel Surcharge
33
Besaran
tarif
sepenuhnya
diserahkan
kepada
setiap
maskapai
penerbangan dengan batasan batas atas (di luar fuel surcharge). Pemerintah hanya akan bertindak apabila tarif secara keseluruhan dikurangi dengan fuel surcharge melebihi batas atas tarif yang ditetapkan. Dalam upaya bersaing, maskapai saat ini menggunakan pricing strategy yang umum dikenal sebagai sub classes strategy. Di mana setiap kursi penumpang memiliki nilai tersendiri yang merupakan representasi dari berbagai variabel yang diperhitungkan oleh maskapai penerbangan sebagai hal yang mempengaruhi konsumen dalam melakukan pembelian. Dalam prakteknya konsumen pada akhirnya mendapati banyaknya variasi tarif untuk kelas yang sama (ekonomi). Maskapai menggunakan prkatek diskriminasi harga yang ditujukan untuk mengoptimalkan upaya meraih keuntungan dengan memaksimalkan daya beli setiap segmen konsumen. Berdasarkan data yang disampaikan oleh Asosiasi Travel Indonesia (ASITA), diketahui maskapai penerbangan menyampaikan sejumlah model tarif yang terbagi ke dalam beberapa kelas. Sebagai contoh hal ini bisa dilihat dalam grafik di bawah ini. Grafik 14 Harga Tiket (Termasuk Fuel Surcharge ) Lion Air Rute Medan-Jakarta 1.800.000 Tarif
1.600.000
Batas Atas
1.400.000 Rupiah
1.200.000 1.000.000 800.000 600.000 400.000 200.000 Y
A
G
W
34
S
B
H
K
L
M
N
Q
T
V
Grafik 15 Harga Tiket Mandala (Termasuk Fuel Surcharge ) Rute Medan - Jakarta per Maret 07 1800000 Tarif Maskapai
1600000
Tarif Batas Atas
1400000 1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 0
W S Y B G H K L M N O P Q T U V R Z J
I
Gambar di atas memperlihatkan bahwa tarif maskapai penerbangan pada umumnya selalu memenuhi kriteria dibawah batas atas tarif. Tarif baru akan berada di atas batas atas jika ditambahkan dengan fuel surcharge. Dilihat dari definisi ini, terlihat bahwa konsumen hanya dibebani ketika mereka membeli kelas-kelas tertentu kelas B, Y, S dan W untuk Mandala atau kelas G, A dan Y untuk Lion Air. Tetapi dalam faktanya kemudian maskapai penerbangan juga memberlakukan perlakuan tarif yang berbeda antara saat peak season dan low season. Saat low season, maskapai penerbangan bisa memberlakukan seluruh kelas karena saat itu penumpang cenderung turun. ASITA menyatakan bahwa dalam peak season. Tetapi pada saat peak season, kelas yang dibuka bisa jadi akan sangat sedikit dengan kecenderungan membuka kelas-kelas atasnya dengan tujuan untuk mengeksploitasi konsumen di saat konsumen yang akan menggunakan jasa penerbangan meningkat dengan sangat pesat. Dalam hal inilah ternyata kemudian fuel surcharge juga memiliki peran yang berbeda bagi maskapai penerbangan di saat peak dan low season. Di saat peak season, maskapai akan dengan leluasa menggunakan fuel
35
surcharge sebagai alat untuk mengkesploitasi konsumen, karena mereka memberlakukan tarif yang tertinggi dalam sub classes yang tersedia. Sebaliknya saat low season, terjadi anomali karena ternyata besaran tarif sebelum dan sesudah fuel surcharge diberlakukan, besaran tarif cenderung sama. Hakl ini terasa aneh, tetapi kalau kita menyadari bahwa fungsi fuel surcharge sudah tidak sesuai lagi dengan definisi awal, maka hal tersebut dapat kita pahami. Dalam hal ini fuel surcharge memiliki fungsi yang lain sebagaimana diungkap di atas. Hal yang unik sebagaimana disebutkan di atas, besaran tarif relatif sama dengan sebelum fuel surcharge diberlakukan. Tetapi komposisinya mengalami perubahan yang signifikan. Komposisi tersebut bisa dilihat dari contoh tiket rute Jakarta-Surabaya berikut : •
Fare basic
: Rp 84.500
•
IWJR
: Rp
6.000
•
PPN
: Rp
8.450
•
Fuel Surcharge
: Rp 210.000
•
Total
: Rp 308.950
Sebelum kebijakan fuel surcharge diberlakukan harga tersebut sama yakni Rp 308.950. Akan tetapi harga tersebut hanya terdiri dari fare basic, PPN dan IWJR. Komposisi yang baru sebagaimana tercantum di atas mengundang pertanyaan karena biaya fuel surchargenya (68%) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan fare basic (27%). Padahal fare basic mengcover merupakan tarif yang diupayakan untuk menutup biaya yang ditimbulkan avtur sampai dengan harga Rp 2.700/liter, biaya administrasi, operasional dan sebagainya. Komposisi yang aneh ini bisa dilihat dari gambar 1 di bawah ini.
36
Gambar 1 Komposisi aneh tarif saat low season
Rp 210.000
Fuel surcharge Rp 308.950
Rp 98.950
Biaya Avtur sd 2700 Biaya operasional Biaya administrasi dst IWJR PPN
Komposisi di atas, memperlihatkan bahwa bahwa maskapai tampaknya mencoba memainkan peran lain dalam kaitan dengan harga tiket. Secara keseluruhan harga tiket yang diterima konsumen tidak jauh berbeda dengan kondisi saat fuel surcharge belum diberlakukan, sehingga konsumen mungkin tidak terpengaruh dengan harga tiket yang berlaku. Akan tetapi bagi travel hal ini menjadi bermasalah, karena komisi yang diterima anggota ASITA menjadi jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang seharusnya. Dilihat dari definisi awal tentang fuel surcharge, tidak berubahnya besaran fuel surcharge baik saat low dan perak season mungkin bisa dipahami justru kalau fuel surcharge menurun atau naik pada saat tidak ada perubahan harga avtur maka hal tersebut akan dipandang aneh. Akan tetapi besaran yang sangat kontras antara fuel surcharge dengan fare basic menjadikan justifikasi bahwa fuel surcharge memiliki peran lain, kembali terbukti. Peran yang signifikan kali ini adalah dengan mereduksi komisi bagi agen perjalanan yang menjual tiket. Hal ini terjadi karena fuel surcharge tidak boleh dipotong besarannya untuk komisi karena sesuai dengan definisi tidak ada unsur komersial di sana, dan sepenuhnya hanya diperuntukan untuk mengganti biaya yang muncul diakibatkan oleh kenaikan harga avtur semata.
37
Bila kita menggunakan komposisi harga tiket di atas, maka terlihat bahwa besaran komisi sebelum ada fuel surcharge adalah sekitar 29.450 ( sekitar 10% dari fare basic ditambah dengan fuel surcharge yang dulunya menyatu seutuhnya sebagai fare basic (210.000 + 84.500)). Tetapi setelah ada fuel surcharge, maka komisi yang diperoleh agen perjalanan hanya sebesar Rp 8.450 yang emrupakan besaran 10 % x Rp 84.500. Terlihat di sini ada saving komisi bagi agen perjalanan sebesar Rp 21.000 (72%). Sementara agen perjalanan hanya menerima sekitar 28% dari komisi semula. Hal ini terutama berlaku saat low season. Akibat kondisi ini, maka posisi agen perjalanan menjadi pihak yang paling dirugikan, sehingga berjualan tiket saat low season menjadi sangat tidak menarik bagi mereka. Mengingat hal ini semata-mata terjadi karena penggunaan fuel surcharge yang melenceng dari definisi awal, maka kerugian yang diderita oleh agen perjalan sesungguhnya merupakan kerugian yang diakibatkan oleh perilaku curang maskapai penerbangan. Efek berikutnya omset agen perjalanan dipastikan tereduksi drastis, bisa berada di atas 50 % dari omset di awal. Berdasarkan paparan di atas, maka terlihat bahwa dalam strategi maskapai penerbangan saat ini, fuel surcharge memiliki dua peran yang cukup signifikan. Pertama di saat peak season, fuel surcharge menjadi komponen yang sangat penting untuk mengeksploitasi konsumen. Sementara pada saat low season, fuel surcharge berfungsi menjadi alat untuk mereduksi komisi bagi agen perjalanan sehingga pengeluaran maskapai untuk komisi agen perjalanan bisa dihemat. Variasi besaran fuel surcharge juga ternyata bisa dibaca lain, sebagai bagian dari strategi yang tidak terpisahkan ketika persaingan terjadi. Variasi yang ekstrim antara Rp 0 – Rp 480.000 menunjukkan bahwa di setiap maskapai peran dan fungsi fuel surcharge sangat beragam, dengan dugaan yang sama semuanya menyeleweng dari definisi dan peruntukan awalnya. Untuk Garuda misalnya, mereka dengan percaya diri menyatakan bahwa pentarifan mereka relatif tidak mengalami perubahan yang signifikan baik saat peak maupun low season. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa 38
mereka adalah penguasa pasar, dengan segmen konsumen yang cenderung tidak sensitif terhadap harga. Oleh karena itulah maka peran fuel surchargenya, juga tidak berbeda baik saat low maupun peak season. Mereka juga seolah tidak terlalu memperhatikan tarif maskapai lain, sekalipun di saat low season. Dalam hal inilah maka peran untuk menjadi alat baru dalam mengeksploitasi konsumen menjadi lebih terasa. Tetapi bagi Lion Air, sekalipun merupakan maskapai dengan jumlah penumpang terbesar di tahun 2008, akan tetapi karena segmen konsumennya adalah segmen konsumen yang sensitif terhadap harga maka ketika low season tiba, maka strateginya menjadi berbeda. Pada saat peak season, fuel surcharge berperan secara maksimal untuk mengeksploitasi konsumen, akan tetapi di saat low season maka peran yang muncul adalah sebagai alat untuk mereduksi komisi bagi agen perjalanan. Model yang dilakukan oleh Lion Air memang umumnya dilakukan oleh maskapai lainnya kecuali Garuda dan Air Asia. Umumnya mereka masih membidik konsumen yang sensitif terhadap harga. Hal ini umumnya dilakukan oleh maskapai dengan brand image yang tidak cukup kuat, dan selalu mengandalkan tarif murah sebagai cara untuk menarik konsumen. Beberapa maskapai tersebut antara lain Batavia Air, Sriwijaya Air, Mandala Air, Indonesia Air Asia, Merpati Airlines dan sebagainya. Secara keseluruhan, dalam kaitan dengan menganalisis tarif secara keseluruhan, memang terasa mengherankan mengapa maskapai justru menggunakan fuel surcharge sebagai komponen tarif dengan komposisi yang terasa aneh, padahal ruang untuk menaikkan tarif masih terbuka pada fare basic. Hal ini bisa dilihat dari tarif aktual yang disampaikan oleh maskapai penerbangan kepada Pemerintah yang hampir semuanya masih berada di bawah batas atas tarif. Dugaan terbesar terhadap kondisi ini, terletak pada keinginan maskapai untuk menetapkan harga jual yang tidak jauh berbeda, tetapi dengan
39
mereduksi komisi/fee dari agen perjalanan. Sebagai gambaran bagaimana tarif harga bisa dilihat dalam tabel 2 di bawah ini. Tabel 2 Perbandingan besaran tarif aktual dengan batas atas tarif JKT-BPN Rp 1.193.000
JKT-DPS
JKT-MDN
JKT-SBY
Rp 971.000 Rp 1.271.000 Rp 778.000
JKT-MANADO Rp 2.150.000
Garuda Mandala Lion Batavia
737.000 626.364 799.400 673.636
971.000 450.000 620.600 300.909
1.271.000 1.363.636 699.300 373.636
778.000 450.000 679.100 410.000
2.150.000 999.600 600.909
Air Asia Sriwijaya
760.000 727.000
820.000 530.000
699.300 675.000
539.400 569.100
-
Sumber : Departemen Perhubungan
Dari tabel ini, tampak terlihat bahwa Garuda benar-benar menjadi maskapai yang senantiasa memanfaatkan dengan sempurna kelebihan brand imagenya dengan memasang tarif pada harga batas atas. Tetapi maskapai yang lainnya tampak memasang harga yang masih jauh di bawah batas atas tarif. Sulit untuk memahami hal ini, kecuali sebuah dugaan bahwa mereka menggunakan model seperti ini untuk mengurangi fee/komisi kepada ASITA. Awalnya, kecilnya komisi ASITA (sekitar 7 %) cukup meragukan untuk menjadi alasan yang digunakan maskapai untuk mereduksi komisi ASITA melalui penggunaan fuel surcharge. Tetapi memperhatikan kecilnya margin keuntungan yang diperoleh maskapai penerbangan, yakni sekitar 10 % saja kemudian membuat kita bisa memahami bagaimana maskapai berusaha merebut porsi ASITA ke dalam pendapatan mereka melalui fuel surcharge yang digunakan. Strategi pemanfaatan fuel surcharge untuk mereduksi komisi/fee bagi ASITA ini, digunakan secara optimal oleh maskapai penerbangan pada saat low season.
40
6.4 Fuel Surcharge Dalam Perspektif Kebijakan Dilihat dari perspektif kebijakan, pemberlakuan fuel surcharge yang dalam implementasinya menggunakan mekanisme pasar yang seolah tanpa batas adalah sebuah kesalahan, karena pada dasarnya fuel surcharge adalah sebuah fixed cost, yang besarannya bisa dihitung berdasarkan formula yang ada. Keterkaitan dengan kenaikan harga avtur juga bisa dihitung melalui formula tersebut, sehingga kontrolpun bisa dengan mudah dilakukan. Ketika KPPU menyatakan kesepakatan fuel surcharge merupakan kartel, dan kemudian Pemerintah menyerahkannya kepada setiap maskapai penerbangan ternyata tidak disertai regulation framework yang memadai, sehingga fuel surcharge bergerak liar sampai dengan saat ini. Mekanisme pasar tanpa batas bagi fuel surcharge adalah sebuah kesalahan besar. Berkaca pada adanya formula khusus terkait fuel surcharge, maka Pemerintah seharusnya dapat mengontrol fuel surcharge melalui formula tersebut. Melalui formula ini, maka kenaikan fuel surcharge yang melebihi peruntukan untuk menutupi kenaikan avtur bisa diidentifikasi sebagai pelanggaran, untuk kemudian memberikan peringatan dan sanksi kepada maskapai tersebut. Dalam kaitan dengan kebijakan fuel surcharge ini, maka peran utama Pemerintah adalah untuk memastikan bahwa fuel surcharge harus sesuai peruntukannya, sehingga ketika terjadi kenaikan atau penurunan avtur maka fuel surcharge harus segera disesuaikan. Proses pengendalian sesungguhnya sangat mudah dilakukan, dengan menggunakan formula yang berlaku. Kenaikan/penurunan yang ditoleransi oleh Pemerintah harus dilakukan hanya sebesar prosentase kenaikan perubahan harga avtur, sebagaimana terlihat dalam formula. Dalam perspektif yang lebih luas, memang terdapat keinginan berbagai pihak untuk segera mengubah kebijakan batas atas tarif yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi aktual. Faktor sudah lamanya peraturan tersebut berlaku (Keputusan Menteri Perhubungan No 9 Tahun 2002 tentang Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi), dan harga avtur yang sudah tidak sesuai lagi (Rp 2.700/liter) 41
menjadi dasar yang kuat. Tetapi kalau melihat fakta yang ada, juga hanya Garuda yang selalu menyentuh batas atas. Sementara maskapai lainnya masih jauh dari batas atas tarif. Apabila melihat kondisi ini, maka kenaikan batas atas tarif menjadi sebuah hal yang harus diperhitungkan. Tetapi apabila dilihat dari pespektif ekonomi, yakni dasar perhitungan tarif maka memang sudah selayaknya peninjauan besaran tarif dilakukan. Perhitungan ulang batas atas tarif dengan sendirinya akan menghilangkan fuel surcharge sebagai komponen tarif sehingga kontroversi terkait fuel surchargepun akan berakhir. Meskipun demikian, untuk mengantisipasi kenaikan avtur yang tidak bisa diprediksi, maka Pemerintah harus tetap mengantisipasi terjadinya kenaikan harga avtur melalui kebijakan tentang fuel surcharge. Kebijakan fuel surcharge tersebut harus mampu mengatur implementasinya dengan secara konsisten menerapkan formula baku, yang secara otomatis dapat digunakan maskapai untuk memberlakukan kembali fuel surcharge dan selanjutnya menaikkan/menurunkan fuel surcharge sesuai perkembangan harga avtur.
7. Kesimpulan Berdasarkan paparan di atas, maka terkait dengan kebijakan fuel surcharge dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Implementasi besaran fuel surcharge di lapangan, sudah menyimpang dari definisi universal fuel surcharge, yakni untuk menutup biaya yang diakibatkan oleh kenaikan harga avtur. Fuel surcharge telah digunakan maskapai penerbangan juga untuk menutup kenaikan biaya lainnya, dan juga berpotensi digunakan untuk meningkatkan pendapatan melalui eksploitasi terhadap konsumen. 2. Terdapat kelemahan kebijakan yang tidak mengantisipasi diberlakukannya fuel surcharge sesuai mekanisme pasar. Tidak ada regulation framework yang mengantisipasi bahwa fuel surcharge adalah sebuah fixed cost, yang mudah untuk dikontrol, sehingga penetapan besarannya harus senantiasa sesuai dengan prosentase kenaikan/penurunan harga avtur di pasar.
42
3. Diperlukan intervensi Pemerintah untuk mengembalikan fuel surcharge sesuai dengan peruntukannya. Intervensi dapat dilakukan dengan mengeluarkan kebijakan yang mengatur secara ketat tentang fuel surcharge dilengkapi dengan prosedur kontrol/pengawasan dan sanksi yang berat dan tegas bagi pelanggarnya.
8. Rekomendasi Memperhatikan paparan dan kesimpulan sebagaimana disebutkan di atas, maka maka agar pemberlakuan fuel surcharge sesuai dengan tujuannya dan tidak menjadi alat eksploitasi konsumen, KPPU menyarankan agar Pemerintah melakukan intervensi melalui beberapa solusi kebijakan antara lain : 1. Mengatur
pemberlakuan
fuel
surcharge
secara
konsisten
dengan
menggunakan formula baku, sehingga bisa mengidentifikasi besaran fuel surcharge yang seharusnya bagi setiap maskapai. Melalui formula tersebut Pemerintah bisa mendapatkan besaran fuel surcharge setiap maskapai yang menjadi landasan untuk secara tegas menindak pelaku usaha yang memberlakukan fuel surcharge tidak sesuai dengan tujuannya. Terkait hal ini, maka Pemerintah perlu menghitung ulang besaran fuel surcharge setiap maskapai yang berlaku saat ini, yang didasarkan pada fakta-fakta aktual maskapai, untuk kemudian memberlakukan besaran tersebut dengan sanksi tegas bagi pelanggarnya.. 2. Meninjau ulang kebijakan tarif (Batas Atas Tarif) yang berlaku saat ini, yang ditetapkan dengan basis perhitungan pada harga avtur Rp 2.700/liter. Kebijakan tarif diubah dengan menggunakan basis perhitungan harga avtur aktual. Melalui tarif baru maka fuel surcharge sebagai komponen tarif dapat dihapuskan. Meskipun demikian, untuk mengantisipasi kenaikan harga avtur kembali maka Pemerintah juga harus tetap mengatur fuel surcharge sebagaimana disebutkan dalam butir 1.
43