Politisasi Agama Menodai Demokrasi Jumat, 17 Maret 2017 | 13:58 http://www.beritasatu.com/blog/tajuk/5235-politisasi-agama-menodai-demokrasi.html Pilgub DKI Jakarta 2017 ternoda oleh maraknya kampanye yang mengangkat isu agama. Secara kasat mata spanduk-spanduk yang secara implisit mengajak warga tidak memilih kandidat tertentu lantaran berlainan agama, bertebaran di seantero Ibu Kota. Tak hanya itu, kampanye semacam itu juga menjadi viral di media sosial. Hal yang merisaukan, kampanye hitam berbalut isu agama intensitasnya meningkat menjelang pemungutan suara putaran kedua 19 April mendatang, meskipun durasi masa kampanye lebih singkat ketimbang saat putaran pertama. Kondisi ini menegaskan telah terjadi politisasi agama secara masif di Pilgub DKI Jakarta. Kita sangat prihatin dan cemas, di usia yang lebih dari tujuh dasawarsa, bangsa Indonesia masih belum mampu menyelesaikan persoalan yang seharusnya menjadi ranah pribadi masing-masing warga negara. Pada kenyataannya masih banyak kalangan yang mempersoalkan latar belakang suku dan agama. Mereka masih belum bisa menerima kalangan yang berbeda suku, agama, dan golongan sebagai saudara satu bangsa, yang memiliki hak dan tanggung jawab yang sama dalam politik dan pemerintahan. Sebaliknya, mereka mengemas perbedaan itu sebagai senjata untuk menyerang lawan politiknya, dalam rangka menancapkan hegemoni mereka di pentas kekuasaan. Dalam kampanye Pilgub DKI Jakarta, dan juga saat Pilpres 2014, isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sengaja ditonjolkan untuk menenggelamkan visi, misi, dan program sang kandidat. Secara vulgar, isu SARA sengaja diangkat agar publik menjadikannya sebagai pertimbangan utama dalam memilih calon pemimpin. Masih digunakannya kampanye hitam berbalut SARA sebagai salah satu strategi pemenangan tentu merisaukan. Praktik itu mencerminkan etika berpolitik para politisi dan pendukungnya masih rendah. Sesuai tujuannya untuk menjatuhkan lawan politik, isu yang dijual dalam kampanye hitam sangat vulgar dan tidak mempertimbangkan aspek moral. Apa pun bisa menjadi komoditas kampanye hitam, asalkan lawan jatuh citranya di hadapan masyarakat pemilihnya. Masih maraknya kampanye hitam tentu saja cukup memprihatinkan dan berbahaya bagi pembangunan demokrasi ke depan. Sebab, masyarakat disuguhi informasi yang menyesatkan sebagai bahan pertimbangan mereka dalam memilih.
1
Bangsa Indonesia seharusnya sudah meninggalkan persoalan identitas suku dan agama, dan tidak menjadikannya sebagai alat pemecah, melainkan sebagai kekuatan pemersatu. Bangsa Indonesia seharusnya sudah mengidentifikasi berbagai persoalan dan tantangan dalam perjalanan bangsa ini menuju usia seabad, agar kita menjadi bangsa yang maju dan besar, serta diperhitungkan dalam pergaulan global. Dalam konteks pilkada, masyarakat seharusnya diajak dan dididik untuk mencermati visi, misi, dan program masing-masing kandidat. Apakah yang dijanjikannya itu seturut dengan amanat konstitusi, dan sejauh mana kemaslahatannya bagi warga. Selanjutnya mengukur apakah yang dijanjikannya itu akan mampu diwujudkan. Sebab, hal-hal inilah yang sangat relevan dalam rangka memilih siapa calon gubernur terbaik yang layak memegang tongkat estafet kepemimpinan lima tahun ke depan. Upaya mengedepankan kampanye SARA adalah bentuk penyesatan dan pembodohan masyarakat. Tindakan itu pun justru akan merugikan kita semua sebagai bangsa. Sebab, calon yang akan dipilih ternyata hanya atas dasar pertimbangan latar belakang identitas suku dan agama, bukan apa yang akan dilakukan serta kapasitas dan integritasnya sebagai calon pemimpin. Menghadapi situasi ini, penyelenggara kampanye, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), juga aparat keamanan dan pemerintah daerah harus bersikap tegas, menurunkan spanduk-spanduk yang bersifat provokatif. Tindakan tegas harus dilakukan mengingat praktik kotor ini tidak semata terkait urusan kontestasi kepala daerah, tetapi harus disadari menjurus pada perpecahan bangsa. Selain itu, tokoh-tokoh masyarakat, khususnya tokoh agama hendaknya juga mampu berperan meredam pemikiran, sikap, dan tindakan yang masih mengarah pada penguatan politik identitas secara kontraproduktif. Para tokoh masyarakat dan tokoh agama diharapkan mampu menahan munculnya kampanye hitam yang mengusung isu SARA, dan intensif memberi pemahaman yang tidak menyesatkan publik. Kita tidak ingin kepala daerah yang menang kelak karena sokongan kampanye SARA. Masyarakat menghendaki calon pemimpin yang mampu mengartikulasikan visi dan misinya secara cerdas, yang mampu meyakinkan masyarakat bahwa mereka layak dipercaya karena kapasitas dan integritasnya.
So Wee Ming 18 Maret pukul 1:20
2
Agama Dalam Pusaran Politik Indonesia Syahdan, cara mudah untuk masuk menjadi pemain dalam politik praktis di Indonesia, dibutuhkan dua hal. Yakni : Uang dan Massa. Mengenai gelar akademik, pengalaman berorganisasi, kemampuan komunikasi, idealisme yg dianut, dll hingga komitmen dan integritas, itu cuma formalitas. Kenapa uang dan massa? Sederhana, karena politik banyak menyoal perolehan suara/dukungan untuk berkuasa, maka uang bisa membeli suara dan massa bisa menjadi kantung suara. Malah akan sempurna, jika memiliki keduanya. Punya uang dan juga punya massa. Hingga harap maklum, jika artis dan pengusaha, yg tajir melintir dan populer dg follower dan fans clubnya, berbondong-bondong masuk ke dalam politik. Sampai di sini, jika teman-teman berminat masuk dalam politik praktis, mungkin bisa mengukur diri. Mau masuk dg uang atau dg massa..? atau jangan-jangan pilih dg yg sempurna, punya uang dan punya massa? � Dalam sejarah peradaban manusia di muka bumi, ternyata sejak dahulu kala dan pada perkembangan seterusnya, agama sudah selalu ditarik ke dalam pusaran politik. Bahkan agama menjadi bidang atau obyek yg sangat-sangat potensial ditarik. Karena rata-rata agama memiliki massa, dan cukup besar. Massa yg kita sebut sbg pengikut atau umat. Lalu ajaran agama bisa diolah untuk menjadikan umatnya fanatik dan mau berkorban seolah untuk Tuhan. Ayat-ayat kutipan agama, bisa arahkan pada tujuan yg diinginkan. Bisa dikondisikan. Tak heran, maka tokoh agama sejak dulu juga kerap ditarik ke dalam politik karena faktor umat di belakangnya. Malah seperti diberi karpet merah. Bukan karena karomahnya dalam hal agama, tapi semata karena ada suara yg bisa diberikannya. Kalau sudah bisa kita pahami hal ini, mungkin kita bisa sejenak merenung-renung, apakah dalam keberagamaan kita sbg umat, kita juga tengah di giring masuk ke dalam pusaran politik? Bukan tidak boleh, hanya perlu kita kritisi, apakah kita tetap memiliki
3
kemerdekaan sbg umat dg diri dan kehendak kita pribadi? Atau kita hanya seperti kerbau yg dicokok hidungnya dan digiring ke pusaran yg kita tidak paham benar? Diolahnya massa sbg penyumbang suara untuk kepentingan politik, membuat partai politik, baik secara personal maupun kepartaian, mengembang biakkan ormas-ormas dan menempatkannya sbg sayap-sayap politik. Yg bisa digerakkan sewaktu diperlukan. Bahkan hal ini telah menjadi "bisnis" tersendiri. Ada uang yg digelontorkan dan ada banyak massa yg dilibatkan. Musim pilkada langsung telah menjadi musim panen uang buat kelompok ormas politik. Massa yg oportunis, ke partai sana ikut, ke partai sini turut, yg penting uang banyak bisa dijemput. Menarik, ketika simbol2 agama tertentu ditarik ke dalam pusaran politik, lalu membenturkannya dg segala kepentingan sbg alat politik di ruang publik, ditambah intrik plus sedikit bumbu anggapan-anggapan mistik, tidakkah hal tersebut justru membuat agama menjadi tak mampu mengakomodir simbol2 dan segala hal yg berbeda? Bahkan agama tersebut menjadi terpecah-pecah? Umat dihadapkan pada pilihan mengutamakan simbol atau nilai-nilai dari agamanya. Lalu ada yg terbalik-balik. Bagi yg mengutamakan nilai, hingga mampu fleksibel dalam pilihan karena tak menyoal simbol, malah dibilang sekuler. Seolah memisahkan agama dari kehidupan riil. Padahal, yg mengutamakan simbollah yg memisahkan agama dg kehidupan riil secara saklek. Menjadi eksklusif hanya pada simbolnya sendiri, pikiran sendiri, paham sendiri. Semua kehidupan diluarnya tak terakomodir. Menutup diri dari nilai2 kebaikan dan kebenaran universal. Berhenti pada kebaikan dan kebenaran menurut tafsir personal dan komunal. Padahal agama yg mampu tegak sebagai ajaran dan pengusung nilai-nilai kebaikan yg universal akan membuat umatnya setara dg umat agama dan keyakinan apapun di muka bumi. Setara adalah awal dari harmonisasi. Mengabaikan nilai2 universal, tak akan membuat agama menjadi besar. Ia justru kecil pada komunitasnya sendiri.
4
Apalagi melihat ayat-ayat atau ajaran-ajaran yg memiliki asbabunuzul atau konteks kejadian, dipaksakan pada era dan konteks yg berbeda. Analogi-analogi juga dipaksakan seolah mengulang zaman nabinya. Lalu jihad-jihad didefisinisikan sesuai kepentingan. Hingga kita menyaksikan pemaksaan, pemisahan dan penolakan kepada yg berbeda menjadi pembenaran. Membunuh nurani. Merusak akal sehat. Membuat spt sakit jiwa. Karena logika-logika politik bukan logika-logika yg linier. Logika-logika politik adalah logika-logika kepentingan sesaat. Hari ini agama dipakai untuk berkuasa, tak mustahil besok agama ditinggalkan setelah tahta didapat. Hari ini agama dipakai di DKI Jakarta, tapi bersamaan pula hari ini, diabaikan di wilayah lainnya. Yg utama, kepentingan akan kekuasaan tercapai. Segala cara adalah sah, agama menjadi jaminan pembenarannya. Jika dikritisi, mereka akan berdalih, ini kata agama. Ini firman Tuhan. Mereka tak bertanggungjawab, selain ingin suara dan dukungan. Karenanya, sebelum hal agama ditarik ke dalam pusaran politik ini semakin menjadi-jadi, bahkan menghancurkan agama itu sendiri. Kita sbg umat beragama, terlebih jika agama kita yg tengah ditarik kuat ke dalam pusaran politik itu, maka kita boleh dan harus menghentikan. Kembalilah kepada nilai2 agama secara universal. Kembalilah pada hakikat agama yg besar, bukan agama yg dipermainkan untuk kepentingan sepihak dan sesaat. Bukan agama yg kerdil hanya untuk segelintir. Agama Dalam Pusaran Politik Indonesia. 2019 sebentar lagi. Tahun-tahun terakhir ini, sudah cukup agama dipermainkan. Buktikan sudah bukan lagi waktu mempolitisasi agama untuk kepentingan politik. Umat sudah pintar. Umat sudah kembali ke jalan agama yg benar. Yang universal, bisa berdiri setara dg banyak kelompok dan golongan. Umat ini umat agama yg besar, yg mengutamakan kebaikan dan progresif dalam keberagaman kehidupan. Itulah agama. Itulah insan beragama. Berhentilah mengorbankan agama untuk ambisi 5 tahunan. Gitu ga sih?
5