Jurnal Politik Muda, Vol. 4 No. 1, Januari - Maret 2015, 61 – 70
Politik Pengakuan : Memperjuangan Kepentingan Kelompok Difabel (Tunanetra) Kota Surabaya Actavia Novitasarie email :
[email protected] Abstrak Surabaya adalah kota kedua terbesar di Indonesia, berbagai macam suku, ciri, budaya, kelas, kelompok di dalam perkotaan. Kelompok yang menjadi subjek penelitian kali ini yakni kelompok difabel yang mengalami peningkatan tiap tahunnya. Dicatat oleh Dinas Sosial empat (4) diantaranya yakni Tunarungu/wicara, Tunadaksa, Tunagrahita dan Tunanetra. Fokus penelitian pada kelompok difabel Tunanetra. Fenomena yang terjadi terkait dengan tunanetra diantaranya masih banyak diskriminasi dalam aspek penggunaan fasilitas umum, pendidikan, hingga diskriminasi dalam hal stigma negatif masyarakat. Untuk itu pertanyaan yang patut diajukan terkait fenomena diatas yakni bagaimana kelompok difabel membangun kelompoknya, menjaga solidaritas, memperkuat jaringan hingga upaya memperjuangkan kepentingannya. Terkahir tentu respon awarness pemerintah. Terkait hal tersebut kelompok yang diteliti ini membangun kelompoknya atas dasar kesamaan nasib yakni sama-sama kekurangan secara fisik serta perasaan yang sama, yakni sama-sama terdiskriminasi. Menjaga solidaritas kelompok dengan melakukan kegiatan rutin bersama agar tidak terpecah dan tetap fokus pada tujuan utama, menguatkan jaringan untuk memperkuat eksistensinya dengan jalan melalui pemerintah maupun jaringan non pemerintah, hingga upaya perjuangan yang dilakukan kelompok difabel melalui jalan legal formal dan non legal formal menjadi hal yang penting dan sudah dilakukan. Harapan dan tujuan utama dari setiap kelompok difabel yang berdiri, untuk mewujudkan keadilan dari sudut pandang mereka. Respon awarness pemerintah berupa kebijakan pro-difabilitas secara menyeluruh sangat diharapkan realisasinya secara maksimal dan tanpa terkecuali, sebab sejauh ini belum menyeluruh. Jenis penelitian ini adalah berupa deskriptif-kualitatif, dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara dan observasi, serta menggunakan unit analisis individu. Kata-kata kunci: kelompok difabel, pengakuan, kepentingan, solidaritas, jaringan, perjuangan, respon awarness Abstract Surabaya is the second largest city in Indonesia, various tribes, characteristics, culture, class, groups in urban areas. The group that is the subject of the present study the group with disabilities who have increased each year. Recorded by the Social Service of four (4) which the mute/dead, other phycal defect, mental disorder and the last Blind. Focus group research on Blind disabilities. Phenomena that occur related to the visually impaired which are still a lot of discrimination in aspects of the use of public facilities, education, up to discrimination in terms of the negative stigma society. To the question that should be
61
Jurnal Politik Muda, Vol. 4 No. 1, Januari - Maret 2015, 61 – 70
asked related to the above phenomenon that is how a group of disabled people to build the group, maintain solidarity, strengthen the network to the defense of its interests. Lastly of awarness government response. Related to this study group is to build the group on an equal basis the fate of both physical deficiencies and the same feeling, which are equally discriminated. Maintain solidarity with routine activities together so as not to split and stay focused on the main goal, strengthen the network to strengthen its presence with a network of roads through government and non-government, to the struggle of a group effort with disabilities through the formal legal and non formal legal become important and has been done. Hope and the main goal of any group that stands disabilities, to achieve justice from their point of view. Response awarness government in the form of prodisability policy as a whole is expected realization optimally and without exception, because so far not exhaustive. This research is descriptive-qualitative form, with data collection techniques such as interviews and observations, as well as the use of individual analysis unit. Keywords: group disability, recognition, interest, solidarity, the network, the struggle, the response awarness Pendahuluan Dewasa ini penyandang cacat atau kelompok difabel hampir ada dalam setiap wilayah di Kota Surabaya. Secara visual memang bisa dikatakan berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Namun yang perlu digaris bawahi bahwa perbedaan itu tidak serta membedakan mereka dalam hal perolehan keadilan dan kesejahteraan. Banyak hal yang telah terjadi terkait dengan apa yang dialami oleh kelompok difabel ini, hal yang terjadi ini menjadikan sebuah cerminan bahwa kepentingan dan hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia yang sah belum terpenuhi secara maksimal hanya karena perbedaan yang bahkan mereka sendiri tidak meminta kondisi yang demikian. Hak-hak dan kepentingan yang belum terpenuhi secara maksimal ini terlihat jelas dari beberapa fenomena-fenomena yang terjadi terkait kelompok difabilitas dewasa ini diantaranya adalah mengenai perlakuan diskriminatif terhadap orang dengan kecacatan masih terus terjadi dalam kehidupan sehari-hari, difabel di Indonesia saat ini masih dekat dengan kemiskinan, diskriminasi politik pemilih difabilitas, diskriminasi pendidikan bagi difabilitas meningkat, penyandang difabilitas tuntut kesamaan hak, hingga pemerintah yang dianggap kurang berpihak pada kelompok difabel. Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat menyaksikan keberadaan orang dengan kecacatan masih menemui berbagai hambatan dalam banyak hal, antara lain disebabkan belum dipahami dan dimengerti oleh sebagian warga masyarakat tentang bagaimana kita berperilaku dan bergaul bersama orang dengan keterbatasan. Contohnya pada beberapa fasilitas publik seperti masjid masih ada jalan yang berundak-undak sehingga menyulitkan untuk difabel yang ingin mengaksesnya. Penyandang cacat memainkan peran penuh dalam pengambilan keputusan yang menentukan nasib mereka sendiri menjadi hal yang sangat penting saat ini. Perjuangan menuju pembebasan juga merupakan hal yang vital perlu dilakukan untuk benar-benar membuat keberadaan mereka diakui di masyarakat. Tanggapan negatif yang dipikirkan sebagian masyarakat pada dasarnya berawal dari ketidakpedulian mereka akan perbedaan yang terjadi. Sehingga persoalannya disini adalah bukan pada bagaimana caranya mengahapus perbedaan namun pada bagaimana supaya
62
Jurnal Politik Muda, Vol. 4 No. 1, Januari - Maret 2015, 61 – 70
persatuan terbentuk tanpa menghilangkan keanekaragaman. Berbagai upaya dilakukan kelompok difabel untuk memperjuangkan kepentingan mereka, yakni memperjuangan persamaan dan keadilan dari sudut pandang mereka, bahwa mereka itu sama dan tidak patut untuk dibedakan secara berlebih (diskriminasi), berbagai upaya yang dilakukan diantaranya melalui jalur legal formal dan juga non legal formal. Kelompok yang dikatakan legal adalah kelompok yang berdiri dibawah sepengetahuan Dinas Sosial, sedangkan kelompok yang non legal formal adalah pada yang berdiri tanpa sepengetahuan Dinas Sosial. Namun meskipun demikian semangat perjuangan yang ditunjukkan oleh kedua kelompok tersebut sama-sama kuat. Sebagai relasi dari upaya-upaya yang dilakukan difabilitas itu kemudian muncul lembaga-lembaga atau kelompok-kelompok yang memberikan payung perlindungan bagi penyandang cacat ini, baik lembaga resmi yang tercatat pada Pemerintah (Dinas Sosial) ataupun tidak. Diluar pemerintahan atau di luar kepanjangantangan Dinas Sosial bagi kelompok-kelompok kecil yang bergerak secara independen ini yang kemudian menjadi menarik untuk diketahui apakah kebutuhan mereka terpenuhi meskipun berada diluar kepanjangan tangan Dinas Sosial. Kalaupun mereka mengumpulkan kekuatan sendiri kemudian apa yang mereka lakukan untuk berjuang, apa yang mereka lakukan untuk menunjukkan keberadaan mereka, apa yang mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhannya. Keterbataan fisik maupun mental ada dan hadir disekitar kita, mereka dengan segala kepentingan dan hak-haknya, mereka tentu juga sama dengan orang-orang pada umumnya menginginkan hak dan kepentingannya terpenuhi oleh pemerintah, sebab pemerintah adalah salah satu jalan mereka menuju kehidupan yang lebih baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika ditarik garis lurus dari fenomena-fenomena yang terjadi terkait difabilitas, yang paling penting dari semuanya adalah bagaimana difabilitas ini mampu memperjuangkan kepentingannya untuk kemudian di dengar dan direalisasikan oleh pemerintah sesuai dengan apa yang kelompok difabilitas ini butuhkan. Perjuangan kepentingan untuk pengakuan keberadaan mereka ini bukanlah sesuatu hal yang mudah, namun sulit. Buktinya hingga saat ini masih banyak diantaranya ketidakadilan dan diskriminasi yang terjadi kepada difabilitas, hal itu menunjukkan bahwa memang pengakuan atas keberadaan mereka masih belum maksimal mereka dapatkan. Untuk itu pembahasan mengenai bagaimana kelompok difabilitas memperjuangkan kepentingan mereka untuk diakui keberadaannya baik oleh pemerintah maupun masyarakat secara umum. Dimulai dengan apa dan bagaimana latar belakang mereka terbentuk menjadi sebuah kelompok yang kemudian menjadi semakin kuat dan solid tentunya dengan tujuan yang sama untuk memperjuangkan hak dan kepentingan mereka. Sebagai relasi dari kelompok yang memperjuangkan tentu juga akan dibahas mengenai respon awarness pemerintah, sebab pemerintah merupakan salah satu bagian yang menentukan lancar tidaknya kehidupan mereka dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kerangka Teori Dua kerangka teori yang digunakan untuk menjelaskan fenomena-fenomena diatas diantaranya adalah Teori Politik Pengakuan menurut Axel Honneth dan Teori Hirarki Kebutuhan Abraham Maslow. Pertama adalah mengenai Politik Pengakuan Axel Honneth, dalam pembahasannya Honneth berpendapat bahwa kelompok yang terbentuk untuk memperjuangkan pengakuan adalah berdasarkan kesamaan nasib dan perasaan yang sama.
63
Jurnal Politik Muda, Vol. 4 No. 1, Januari - Maret 2015, 61 – 70
Seiring dengan hal itu Honneth juga menegaskan pada 3 Tipe penghinaan (disrespect) yang menjadi argumennya beserta relasi yang juga dia angkat. Berdasarkan hal tersebut 3 Tipe penghinaan yang diangkat oleh Honneth diantaranya, pertama penghinaan fisik (penganiayaan, pemerkosaan, dll). Tipe peghinaan ini paling fundamental sebab merendahkan status otonomi sebagai manusia. Hubungan yang terjalin adalah antar individu dengan individu lainnya. Relasi yang diangkat untuk tipe penghinaan ini adalah Cinta. Yakni ketika individu mendapatkan kenyamanan secara ekstensial dan emosional melalui hubungan positif dengan orang lain. Tipe penghinaan kedua yakni penyangkalan hak-hak dan eksklusi sosial, dimana manusia merasa terlanggar martabatnya dengan tidak diberikan hak moral dan tanggung jawab legal penuh dalam komunitasnya. Individu dianggap sebagai subjek yang memiliki hak dihadapan individu lain. Pengakuan ini pada level legal politis, bersifat universal dalam bentuk pemenuhan hak dasar bagi semua dalam komunitas tertentu. Relasi dari tipe penghinaan kedua ini adalah legality/legal order/tatanan hukum. Pengakuan hukum yang berkaitan dengan subjek yang saling menghormati dengan badan hukum, artinya dengan adanya tatanan hukum yang jelas. Setiap tatanan hukum memungkinkan tidak ada pengecualian dan keistimewaan. Tipe penghinaan ketiga adalah penghinaan yang mencakup semua tindakan yang tidak mengakui nilai-nilai pertikular kelompok sosial tertentu. Akibatnya subjek tidak bisa menentukan jalan hidupnya sendiri melainkan harus menyesuaikan diri sepenuhnya dengan mayoritas. Politik pengakuan harus mengambil bentuk penciptaan rrelasi-relasi positif, sehingga diterima dalam lingkaran solidaritas sosial, dan dihargai sepenuhnya dalam konteks keunikan cara hidup maupun kemampuannya. Dengan begitu tiap individu akan dikenali sebagai individu yang unik, hal ini dapat terjadi jika ada saling pengakuan antar individu, ini yang mewujudkan solidaritas sosial. Relasi yang diungkapkan dari tipe penghinaan ketiga ini taitu solidarity/ solidaritas. Menghargai satu sama lain secara simetris, sebagai sikap positif yang ditonjolkan sehingga memungkinkan untuk memunculkan setiap potensi dan kemampuan masing-masing individu secara optimal. Teori kedua selanjutnya adalah mengenai Hirarki Kebutuhan menurut Abraham H. Maslow yang menyebutkan teori motivasi manusia, dimana variasi kebutuhan manusia dipandang tersusun dalam bentuk hirarki atau berjenjang. Empat jenjang basic need atau deviciency need, dan satu jenjang metaneeds atau growth needs. Jenjang motivasi bersifat mengikat, maksudnya kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah harus relatif terpuaskan sebelum orang menyadari atau dimotivasi oleh kebutuhan yang jenjangnya lebih tinggi. Jadi kebutuhan fisiologis harus terpuaskan lebih dahulu sebelum muncul kebutuhan rasa aman. Sesudah kebutuhan fisiologis harus terpuaskan lebih dahulu sebelum muncul kebutuhan rasa aman. Sesudah kebutuhan fisiologis dan rasa aman terpuaskan, baru muncul kebutuhan kasih sayang, begitu seterusnya sampai kebutuhan dasar terpuaskan baru akan muncul metaneeds. Basic Needs berupa pertama Psychological needs seperti makan, minum, kebutuhan istirahat, seks, dll. Kedua safety needs berupa kebutuhan keamanan, stabilitas, keteraturan, dll. Ketiga love needs yakni kebutuhan kasih sayang, perhatian, keluarga, pasangan, sejawat. Terakhir esteem needs pada level ini Kebutuhan kekuatan, penguasaan, kompetensi, kepercayaan diri, kemandirian. Selain itu juga berupa Kebutuhan prestise, penghargaan dari orang lain, status, ketenaran, dominasi, menjadi penting, kehormatan dan apresiasi. Sedangkan pada tingkatan metaneeds, berupa kebutuhan orang untuk menjadi yang seharusnya sesuai dengan potensinya. Secara garis besar Hirarki Kebutuhan Abraham H. Maslow yakni :
64
Jurnal Politik Muda, Vol. 4 No. 1, Januari - Maret 2015, 61 – 70
Kebutuhan dasar 1) kebutuhan fisiologis Umumnya kebutuhan fisiologis bersifat neostatik (usaha menjaga keseimbangan unsur-unsur fisik) seperti makan, minum, gula, garam, protein, serta kebutuhan istirahat dan seks. Kebutuhan dasar 2)kebutuhan keamanan (safety) Sesudah kebutuhan keamanan terpuaskan secukupnya, muncul kebutuhan keamanan, stabilitas, proteksi, struktur hukum, keteraturan, batas, kebebasan dari rasa takut dan cemas. Kebutuhan fisiologis dan keamanan pada dasarnya adalah kebutuhan mempertahankan kehidupan. Kebutuhan fisiologis adalah pertahanan hidup jangka pendek, sedang keamanan adalah pertahanan hidup jangka panjang. Kebutuhan dasar 3) kebutuhan dimiliki dan cinta (belonging and love) Sesudah kebutuhan fisiologis dari keamanan relatif terpuaskan, kebutuhan dimiliki atau menjadi bagian dari kelompok sosial dan cinta menjadi tujuan yang dominan. Orang sangat peka dengan kesendirian, pengasingan, ditolak lingkungan, dan kehilangan sahabat atau kehilangan cinta. Kebutuhan dimiliki ini terus penting sepanjang hidup. Kebutuhan dasar 4) kebutuhan harga diri (self esteem) Ketika kebutuhan dimiliki dan mencintai sudah relatif terpuaskan, kekuatan motivasinya melemah, diganti motivasi harga diri. Ada dua jenis harga diri yaitu: (1) Menghargai diri sendiri (self respect) kebutuhan kekuatan, penguasaan, kompetensi, prestasi, kepercayaan diri, kemandirian, dan kebebasan. (2) Mendapat penghargaan dari orang lain (respect from other) : kebutuhan prestise, penghargaan dari orang lain, status. ketenaran, dominasi, menjadi orang penting, kehormatan, diterima dan apresiasi. Orang membutuhkan pengetahuan bahwa dirinya dikenal dengan baik dan dinilai dengan baik oleh orang lain. Membangun Kelompok Difabel Kota Surabaya Kelompok difabel tunanetra yang memiliki cara berbeda untuk memperjuangkan kepentingannya ini yakni PERTUNI (Persatuan Tunanetra Indonesia) wilayah Surabaya, dan KMH (Komunitas Mata Hati). Kedua kelompok ini bermetamorfosis menjadi sebuah Organisasi untuk PERTUNI sejak tahun 1971 dan menjadi sebuah Komunitas untuk KMH pada tahun 2008, yang keduanya masih eksis hingga saat ini dengan prestasi-prestasi yang diperoleh. Yang menjadi menarik adalah menulis mengenai bagaimana kedua kelompok ini membangun kelompoknya dengan keterbatasan yang dimiliki adalah dikarenakan alasan yang sama, yakni sama-sama memiliki perasaan yang sama, nasib yang sama, dan perlakuan yang dirasakan sama dialami oleh pendiri masing-masing kelompok. Secara kebetulan bahwa kedua kelompok ini didirikan oleh orang-orang yang memang mengalami keterbatasan fisik, yakni sama-sama tunanetra. Atas dasar kesamaan itu kemudian mereka (pendiri kelompok) memutuskan untuk mengangkat level dari tunanetra bukan pada level yang kemudian dianggap lemah, namun justru sebagai pembuktian pada level yang mampu melakukan hal-hal positif khususnya untuk mensejahterakan orang-orang yang memang mengalami tunanetra. Alasan-alasan demikian yang kemudian menguatkan kelompok-kelompok ini seiring berjalannya waktu menjadi semakin besar dan semakin mampu menunjukkan eksistensi keberadaan mereka pada masyarakat umumnya bahwa mereka (tunanetra) mampu melakukan apa yang sebelumnya dipandang sebelah mata oleh kebanyakan masyarakat umum. Solidaritas, Jaringan dan Upaya Perjuangan Kepentingan Kelompok Difabel Kota Surabaya
65
Jurnal Politik Muda, Vol. 4 No. 1, Januari - Maret 2015, 61 – 70
Menulis mengenai solidaritas antar anggota sebagai cara untuk mempererat hubungan yang terjalin antar anggota beberapa diantaranya adalah dengan cara melakukan kegiatan secara rutin bersama-sama. Kegiatan yang dilakukan tidak harus kegiatan yang sifatnya menghabiskan biaya yang mahal atau menguras tenaga, cukup kegiatan yang secara esensi adalah untuk mendekatkan hubungan persaudaraan satu sama lain antar anggota, seperti sharing atau diskusi tentang hal-hal yang sedang hangat diperbincangkan, makan bersama, melakukan kemah (camping) di alam untuk lebih menyegarkan pikiran, melakukan pengajian bersama bagi yang muslim menggunakan al-quran braille, menjenguk anggota yang sakit atau mengalami musibah dan lain sebagainya. Hal-hal yang sesederhana itu sudah cukup mampu memperkuat tali persaudaraan antar anggota, sebab kelompok yang terbentuk ini bukan hanya kelompok sebatas itu namun lebih dari itu adalah sebagai rumah kedua atau keluarga kedua, sehingga menjaga kesolidan antar anggota tentu menjadi konsentrasi yang penting, agar organisai atau komuitas/kelompok tetap utuh kebersamaanya. Selain menjaga solidaritas poin berikutnya yang tidak kalah penting untuk memperjuangan kepentingan difabel tunanetra adalah jaringan. Dalam hal ini jaringan diperlukan sebagai usaha untuk memperkuat eksistensi kelompok difabel. Jaringan yang diperkuat melalui jalur yang berbeda-beda pula, ada yang merapatkan diri dengan pemerintah sebagai jalan untuk memperkuat jaringan, namun diluar itu juga ada kelompok difabel yang memperkuat jaringannya diluar pemerintah. Sebut saja organisasi PERTUNI (Persatuan Tunanetra Indonesia) khususnya wilayah Surabaya yang menguatkan jaringan pada pemerintah sehingga keberadaan mereka yang juga diketahui oleh pemerintah (legal). Dari sini kelompok difabel tersebut mampu melakukan kegiatan-kegiatan yang sifatnya pemberdayaan bagi kebanyakan tunanetra lain bekerja sama dengan pemerintah, salah satu pemberdayaan yang pernah dilakukan adalah pelatihan pijat, pelatihan memasak, membuat handicraft, broadcasting dan lain sebagainya. Pemerintah bukan hanya memberikan bantuan secara materiil namun juga non materiil berupa bantuan tenaga bagi kelompok-kelompok yang memperkuat jaringannya pada pemerintah. Selain dengan pemerintah penguatan jaringan melalui organisasi sosial sejenis diluar negeri juga dilakukan sebagai jalan untuk memperkuat eksistensi mereka ditengah masyarakat dan juga pemerintah. Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa setiap kelompok yang berdiri bukan hanya menguatkan jaringan pada pemerintah saja melainkan lebih dari itu juga pada perusahaan atau pihak-pihak swasta diluar pemerintah, media elektronik maupun cetak, serta universitas-universitas, dan lain sebagainya. Kelompok yang telah membuktikan penguatan jaringan diluar pemerintah adalah pada kelompok KMH (Komunitas Mata Hati). Hal itu bebas dilakukan sesuai dengan tujuan dan jalan yang ditempuh oleh kelompok yang berdiri. Sebab pada dasarnya mereka memiliki pertimbangan tersendiri untuk mengambil keputusan menguatkan jaringan pada pihak mana. Umumnya untuk penguatan jaringan diluar pemerintah mereka (kelompok difabel) melakukan hubungan imbal balik atas kesepakatan awal, misalnya perusahaan memberikan dana untuk kegiatan kelompok maka imbal baliknya dapat berupa pemasangan spanduk atau banner saat kegiatan berlangsung atau pencantuman nama perusahaan dalam website pribadi kelompok pada label donatur. Hal-hal yang masih dirasa wajar dan tidak merugikan pihak-pihak tertentu maka bukan menjadi suatu alasan untuk memutuskan perkuatan jaringan yang dilakukan pada pihak-pihak diluar pemerintah. Selanjutnya setelah kelompok terbentuk, solidaritas terbangun dan jaringan diperkuat tujuannya tentu untuk memperjuangkan kepentingan difabel tunanetra. Kepentingan yang
66
Jurnal Politik Muda, Vol. 4 No. 1, Januari - Maret 2015, 61 – 70
dimaksud adalah sesuai dengan sudut pandang tunanetra bahwa mereka ingin adil diperlakukan dalam arti tidak dipandang rendah dan sebelah mata, adil dalam arti fasilitas publik juga harus bisa dinikmati oleh semua orang termasuk tunanetra, serta kepentingan untuk menunjukkan pada masyarakat secara umum bahwa tunanetra memang memiliki keterbatasan dalam hal penglihatan, namun hal tersebut tidak lantas membubarkan semangat hidup mereka untuk maju dan berkarya guna memenuhi kebutuhan mereka sendiri (tunanetra). Untuk itu pengakuan atas keberadaan mereka tanpa ada yang memberikan stigma negatif atas keterbatasan mereka dengan cara mereka berkegiatan positif menjadi tujuan utama perjuangan kelompok difabel tunanetra. Berbagai upaya dilakukan kelompok difabel tunanetra ini untuk memperjuangan kepentingan mereka, beberapa upaya yang dilakukan yakni dengan menggunakan jalur legal formal dan non legal formal. Jalur legal formal yakni bagi kelompok-kelompok yang tercatat secara prosedural di Dinas Sosial. Kelompok ini sudah berdiri secara legal tercatat di berbagai instansi terkait. Sedangkan non legal formal adalah bagi kelompok yang secara prosedural tidak tercatat di Dinas Sosial. Namun yang perlu digaris bawahi hal tersebut tidak serta merta menjadi pembeda tujuan kelompok-kelompok tersebut berdiri, sebab setiap kelompok yang berdiri tentu sudah dengan satu visi dan misi. Dengan syarat kelompok tersebut tidak berindikasi merusak, merugikan pihak-pihak tertentu atau berdampak buruk bagi umum maka itu bukan menjadi masalah. Justru yang membedakan antara legal dan non legal tersebut adalah cara mereka berupaya untuk memperjuangan kepentingan difabel tunanetra. Untuk kelompok yang tercatat secara legal dalam hal ini PERTUNI misalnya mereka berupaya cenderung dengan langkah-langkah formalitas seperti melakukan kerja sama dengan pemerintah dalam berbagai kegiatan dan pemberdayaan tunanetra khususnya, kemudian upaya lain adalah dengan demonstrasi bersama anggota PERTUNI lain hampir diseluruh wilayah Indonesia karena PERTUNI tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Demonstrasi ini dilakukan hanya ketika difabel tunanetra terancam keberadaannya dalam arti berada pada satu titik keadaan yang tidak lagi berpihak dan memperhatikan tunanetra tapi justru membedakan tunanetra dengan orang normal lainnya, maka langkah demontrasi atau aksi dijalan itu dilakukan. Selain hal tersebut seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa kerjasama yang dilakukan dengan pemerintah sebagai upaya memperjuangkan kepentingan difabel tunanetra adalah dengan jalan salah satunya memberikan pelatihan pijat yang bisa diikuti oleh tunanetra yang ingin memperdalam kemampuan dalam hal memijat sebagai jalan untuk lebih mandiri mencari penghasilan guna memenuhi kebutuhan mereka. Sebaliknya yang menarik bagi kelompok yang non legal formal mereka dalam hal ini KMH melakukan upaya perjuangan dengan cara memberikan pelatihan atau workshop pendidikan mindset bagi difabel tunanetra. Yang menjadi konsentrasi kelompok ini adalah dengan memberikan pembelajaran, memberikan penjelasan, memberikan pelatihan skill, pengalaman, dan pengetahuan kepada difabel secara umum bahwa pemikiran mereka yang bisa dikatakan “jadul” dalam arti stigma yang melekat bahwa tunanetra hanya mampu melakukan hal ini, atau hal itu tidak benar. Yang benar adalah mereka dapat dan mampu melakukan apapun yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya oleh masyarakat normal pada umumnya. Mereka mampu melakukan sesuatu yang bermanfaat dan secara profesional. Pendidikan Mindset demikian yang sengaja digencarkan untuk ditularkan kepada generasi muda lain yang mengalami keterbatasan fisik. Pendidikan kemandirian itu yang sengaja difokuskan oleh KMH untuk memmberikan virus mandiri pada tiap difabel khususnya tunanetra agar tidak lagi hanya meminta hak melainkan mampu bertindak untuk
67
Jurnal Politik Muda, Vol. 4 No. 1, Januari - Maret 2015, 61 – 70
kesejahteraan mereka sendiri. Pada kelompok-kelompok tertentu menggunakan sarana yang memang mereka minati dans esuai bakat agar lebih meyakinkan atas kemampuan yang dimiliki tunanetra dengan keterbatasan yang dimilikinya, salah satu sarana yang bisa dimanfaatkan sesuai dengan kemampuan seperti yang dilakukan KMH yakni melalui jalur musik yang dipilih sebagai jalan penebaran virus mandiri tersebut. Pada prinsipnya tiap-tiap kelompok yang berdiri memiliki upaya perjuangan untuk memunculkan pengakuan atas keberadaan mereka agar tidak dipandang sebelah mata, serta mewujudkan keadilan bagi difabel tunanetra dengan jalan yang berbeda-beda. Upayaupaya lain yang bisa dilakukan oleh kelompok-kelompok lain diluar sana mungkin sangat beragam sesuai dengan kemampuan masing-masing kelompok. Respon Awarness Dinas Sosial Yang tidak kalah penting adalah pada respon awarness Dinas Sosial, sebab di Surabaya Dinas Sosial merupakan kepanjang tanganan pemerintah yang berhubungan langsung dengan penyandang cacat termasuk tentunya difabel tunanetra. Yang dari sini Dinas Sosial melakukan tugasnya secara fungsional untuk memenuhi Tugas pokok dari Dinas Sosial yakni salah satunya rehabilitasi sosial daerah kumuh dan penyandang cacat. Selain mengenai Tugas Pokok dari Dinas Sosial sebelumnya juga sudah dijelaskan dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Perlindungan Dan Pelayanan Bagi Penyandang Difabilitas Peraturan Daerah Provinsi Jawa timur Nomor 3 tahun 3013 telah mengatur secara jelas dan rinci terkait pelayanan dan perlindungan Difabilitas. Peraturan daerah ini meliputi XVII Bab, yang didalamnya terdapat ketentuan umum, asas dan tujuan, kewajiban pemerintah daerah provinsi, hak dan kewajiban, kesamaan kesempatan merupakan bagian-bagian yang didalamnya terdapat sembilan (9) bagian diantaranya umum, pendidikan, ketanaga kerjaan dan usaha, kesehatan, olahraga, seni budaya, pelayanan publik, bantuan hukum, informasi. Tidak ketinggalan bagian aksesibilitas, rehabilitasi, bantuan sosial, peningkatan dan pemeliharaan kesejahteraan sosial, peran serta msyarakat, penghargaan, pembinaan dan pengawasan, sanksi administrasi, ketentuan penyidikan, ketentuan pidana, ketentuan lain-lain, terakhir ketentuan penutup. Dalam ketentuan umum disebutkan bahwa tidak diperbolehkan mendiskriminasi penyandang difabilitas sebab setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat dan berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil dan mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama didepan hukum serta berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tanpa diskriminasi. Kemudian hubungan yang ditonjolkan terkait respon awarness ini adalah bahwasanya sudah secara jelas dan gamblang dijelaskan dalam berbagai peraturan tertulis bahwa pemerintah dalam hal ini Dinas Sosial tentunya bertugas untuk melayani salah satunya difabel tunanetra guna memberikan kesamaan hak layaknya masyarakat pada umumnya, tidak mengecualikan kelompok-kelompok atau individu-individu yang ada dan mengalami keterbatasan (difabel). Dinas Sosial dalam hal kebijakan yang dibuat prodifabel tunanetra ini sudah terlaksana yang dijalankan pada tahun 2014 diantaranya Pelatihan Broadcasting, Pelatihan Tata Boga, Pelatihan Handricraft (membuat souvenir), Pelatihan Pijat Refleksi dan lain sebagainya. Pada kegiatan tersebut Dinas Sosial mengundang difabel tunanetra yang miskin dan selain itu juga bekerja sama dengan lima
68
Jurnal Politik Muda, Vol. 4 No. 1, Januari - Maret 2015, 61 – 70
organisasi Difabel yang berdiri secara legal salah satu diantaranya adalah PERTUNI. Yang menjadi menarik adalah organisasi yang bekerja sama dan menerima bantuan tersebut hanyalah kelompok atau organisasi difabel tunanetra yang memiliki legal formal, tidak dengan kelompok yang non legal formal. Dinas Sosial beranggapan bahwa kelompok tanpa legal formal maka secara hukum mereka tidak sah dan menyalahi prosedural sebab berdiri tanpa memiliki kelengkapan surat-surat yang sah, meskipun banyak kelompok yang berdiri tanpa legal formal dan tidak semua kelompok-kelompok tersebut berdanpak negatif bagi difabel tunanetra khususnya atau bahkan bagi pemerintah sendiri, justru membantu dalam hal memandirikan difabel tunanetra lainnya yang masih banyak diluar sana agar mampu lebih mandiri dalam hidup bermasyarakat dan bekerja. Berhubungan mengenai respon awarness keberadaan difabel tunanetra di Surabaya bahwa respon yang didapatkan berbeda, Dinas Sosial memberikan respon positif atas keberadaan kelompok yang legal karena mereka sah dan lebih tidak berisiko dalam prosesnya. Sebaliknya respon awarness Dinas kepada kelompok yang tidak memiliki legal formal terkesan lebih mengabaikan. Namun sebenarnya terlepas dari itu semua setiap orang bahkan difabel memiliki hak untuk berkumpul dan bersama membentuk kelompok/komunitas atau organisasi sebagai wadah bagi mereka mengapresiasikan diri terlepas dari legal atau tidaknya kelompok tersebut asalkan kelompok tersebut tidak menyalahi aturan dalam arti tidak mengganggu pihak-pihak tertentu dalam proses mereka berkegiatan, karena legal atau tidaknya kelompok difabel yang berdiri adalah merupakan keputusan kelompok untuk kemudian melegalkan atau tidak melegalkan kelompoknya. Kesimpulan Membangun kelompok difabilitas di Kota Surabaya dihubungkan dengan Teori Hirarki Kebutuhan Abraham Maslow diantaranya kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan dimiliki dan cinta, dan kebutuhan harga diri. Pada realitanya tiap kebutuhan dari yang paling dasar (fisiologis) hingga kebutuhan tertinggi (harga diri) belum terpenuhi secara maksimal. Puncak dari itu semua berawal dari perasaan terdiskriminasi yang mereka rasakan akibat stigma negatif masyarakat atas keberadaan mereka serta nasib yang sama yaitu sama-sama mengalami kekurangan fisik. Dari itu kemudian jenjang kebutuhan tertinggi (harga diri) menjadi salah satu alasan banyaknya terbentuk kelompokkelompok difabilitas yang kemudian menginginkan pengakuan atas keberadaan mereka agar tidak lagi muncul diskriminasi yang masih dirasakan oleh sebagian difabel. Menjalin solidaritas antar anggota dalam kelompok difabel dengan cara melakukan kegiatan rutin yang dimaksudkan untuk lebih mempererat hubungan persaudaraan dalam kelompok sehingga antar individu memiliki perasaan saling menyanyangi dan menghormati. Perkuatan jaringan yang dilakukan adalah dengan bekerja sama dengan pihak-pihak yang saling menguntungkan kelompok difabilitas, baik itu jaringan dengan pemerintah ataupun diluar pemerintah (swasta, perusahaan, Universitas, media elektronik, dll). Upaya perjuangan yang dilakukan adalah dengan dua pilihan, yakni melalui legal formal dan non legal formal. Jalur legal formal adalah pada jalur yang secara prosedural diakui oleh Dinas Sosial Kota Surabaya, sebaliknya untuk non legal formal adalah yang secara prosedural tidak diakui. Secara realitas upaya perjuangan yang dilakukan dengan melakukan pelatihan dan pembinaan bagi difabilitas dalam berbagai bidang yang bisa dilakukan, juga termasuk memberikan workshop untuk merubah mindset difabilitas secara umum bahwa mereka tidak lemah dan mampu melakukan apa yang bisa dilakukan orang lain pada umumnya dengan usaha yang dilakukan.
69
Jurnal Politik Muda, Vol. 4 No. 1, Januari - Maret 2015, 61 – 70
Respon awarness pemerintah (Dinas Sosial) yang terjadi adalah berjalan pada safety. Dalam hal ini Dinas Sosial lebih condong kepada kelompok dengan legal formal. Sehingga kelompok difabilitas lain yang tidak memiliki legal formal cenderung tidak diperhatikan. Hal itu terbukti dengan Dinas Sosial yang memberikan peluang dan support baik materi maupun non materi, pada kelompok yang ingin melakukan kegiatan dengan syarat kelompok tersebut berdiri secara legal. Sedangkan kelompok yang tidak legal sangat jarang tersentuh perhatian pemerintah, buktinya kegiatan yang dilakukan kelompok non legal ini dilakukan secara independen dan mandiri dengan kekuatan atau jaringan dari luar pemerintah.
Daftar Pustaka Abraham H. Maslow. 1970. “Motivation and Personality” Harper & Row, Publishe.Inc Coleridge, Peter (ed). 1997. Pembebasan dan Pembangunan : Perjuangan Penyandang Cacat di Negara- Negara Berkembang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Hobson, Barbara. 2003. Recognition struggles and social movement : Contested, Identities, Agency and Power. UK: Cambridge University Honneth, Axel. 1995. “The Struggle for Recognition The Moral Grammar of social Conflict” Cambridge, Massachusetts: The MIT Press Horrison, Lisa. 2007 (ed). “Metodologi Penelitian Politik”. Jakarta: Kencana Prenada Media Group J. Miles, Mathew, dan A. Michael Huberman.1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode Baru. Jakarta: UI Press. Thompson, simon. 2006. The Political theory of Recognition : A Critical Introduction. UK dan USA: Polity Press
70