POLEMIK ASY-SYAFI’I DENGAN MAZHAB FIQIH KLASIK: POTRET DINAMIKA BERPIKIR METODOLOGIS Oleh: Akmal Bashori Dosen Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Fakultas Syari’ah dan Hukum UNSIQ Email:
[email protected] ABSTRAK Diskursushukum Islam pada faktanya memang sangat menarik untuk dikaji dan diperdebatkan karena ia bukan dogmatismtaken for granted, melainkan produk hukum yang lahir dari nalar manusia. Corak nalar yang selalu berkelindan dalam setiap akal manusiaselalu mengalami dinamika yang mengesankan bagi peradaban (fiqih) Islamsejak generasi sahabat hingga era formatif mazhabfiqihmencapaikesempurnaan. Hal tersebutmemberikan arti kepada kita bahwa nalar perubahan hukum sangat berpotensi melahirkan polemik.Asy-Syafi’i sebagai tokohpendiri mazhabmoderat, ternyata juga tak mampu meredam polemic, bahkan asy-Syafi’i terseret dalam pusaran konflik pemikiran antarulama mazhab sezaman.Meskipun demikian,berkat gagasan pemikiran metodologisnya,iadianggap sebagai pahlawan yang di kukuhkan oleh generasi setelahnya sebagai pendiri uṣûl al-fiqh, walaupun ada yang berpandanganskeptisjika tidak dikatakan banyak yang menjustifikasikannya. Kata Kunci:Polemik, Asy-Syafi’i, MazhabFiqih, Metodologi
Munculnya ragam pemikiran di
A. Pendahuluan Asy-Syafi’i (150-204 H) hidup pada
atas,dalam titik tertentu berpotensi
masa awal Bani ‘Abbasiyah, di mana
menimbulkan
ketika itu merupakan masa keemasan bagi
dengan yang lain. Pada gilirannya
diskusi hukum Islam secara sistematis.
kemudian
Kebebasan
ciri
macam aliran pemikiran hukum Islam
hal
yang berkembang. Pada masa Asy-
kemajuan
Syafi’i, terdapat beragam arus utama
Islam menuju kejayaan, di mana saat itu
pemikiran fiqih. Ada fiqih AbuḢanifah
tidak
pemerintah
(w. 150H), fiqih Malik bin Anas (w.
mengikuti satu mazhab tertentu atau
179H), fiqih al-Auza’i (w 157 H),
membenarkan
tertentu.
Sufyan ats-Tsaury (w 161 H), al-Laits
mengemukakan
bin Sa’ad (w 175 H), Sufyan bin
pendapat dan pandangannya terhadap
Uyainah (w 198 H), Ahmad bin Hanbal
persoalan hukum, sehingga dalam satu
(w. 241H) dan sebagainya.
pendapat
merupakan
utama
pada
pada
itulah
yang
mempengaruhi
Setiap
ada
ulama
periode
intervensi
fatwa bebas
ulama
ini,
kasus atau persoalan hukum beragam pendapat dan pandangan.
polemik
antara
melahirkan
satu
bermacam-
Dalam lembaran sejarah, pemikiran yang
paling
banyak
diperdebatkan
Vol. II No. 01, Mei 2016
dikalangan
cendikiawan
muslimklasik
dalam tulisan bahwa asy-Syafi’i menolak
berpikir
maslaḣah. Ini dapat memberi arti pada
tekstual (ahl al-ḣadîṡ) dan kontekstual
waktu itu bahwa istilah maslaḣah belum
(ahl ar-ra`yi). Dalam hal ini, Ahmad
popular seperti istiḣsân (Asy-Syafi’i, jilid
Hasan (2001: 185) menyebutkan Asy-
VI : 207).
adalah
persoalan
paradigma
Syafi’i menolak ra`yu yang dilakukan
Dari uraian di atas, tulisan ini akan
yang
mengkaji polemik pada masa formatif
dilakukan mazhab Hanafi- untuk merintis
ulamamazhab fiqih dengan titik fokus
jalan bagi qiyâs. Ketidaksetujuan tersebut
bahasan
terbukti, bahwa Asy-Syafi’i memiliki
terjadinya polemik antara Asy-Syafi’i
qiyâs yang khas yang tidak dapat dilacak
dengan mazhab klasik lainya? (2) Dalam
pada mazhab-mazhab awal, bahkan dalam
ranah apa sajakah polemik itu terjadi?
teori klasik qiyâs. (Ahmad Hasan, 2001 :
(3) Apakah polemik tersebut berimplikasi
189). Selain itu Asy-Syafi’i juga menolak
pada pemikiran metodologisyang bercorak
ḣadîṡ yang dinilainya terlalu ketat. Seperti
filosofis? Dalam kajian seperti ini, maka
yang digunakan oleh imamMalik bin Anas
pengelompokan dan penelusuran sumber
dan mazhabnya -itulah yang kemudian
primer (primary sources) dan sumber
melatar
Asy-Syafi’i
sekunder (secondary sources) menjadi hal
memformulasikan kajian uṣûl-nya terkait
yang penting ditambah dengan pendekatan
dengan keahliannya dalam bidang teori
sosiologis.
hukum Islam (Islamic legal theory).
akademiknya bisa terlihat nyata.
dengan
semau-maunya
belakangi
-seperti
Dalam ranah metodologi asy-Syafi’i juga terang-terangan menolak istiḣsân yang
pada:
(1)
Sehingga
Bagaimana
hasil
latar
kajian
B. Hasil Temuan dan Pembahasan
dikembangkan oleh imamAbu Hanifah
1. Sketsa Biografik Imam AsySyafi’i
dan tidak pernah menyinggung maslaḣah
Nama lengkap imam asy-Syafi’i
(Shobi Mahmasani, 1976: 66), yang
adalah Abû Abdillâh bin Idrîs bin ‘Utsmân
dikembangkan
yakni
bin ‘Abbas bin Syâfi’ bin Musayyab bin
ImamMalik. Penolakan asy-Syafi’i tersebut
‘Ubaid bin Abduyazid bin Hâsyim bin
didasarkan pada delapan argumentasi yang
‘Abdul Muṭallib bin Manâf bin Quṣai bin
tergambarkan dalam ar-Risâlah dan kitab
Kilâb (atau biasa dikenal dengan sebutan
al-Ûmm (babon) terutama secara khusus
imamSyafi’i). Lahir di Gaza, bagian dari
asy-Syafi’i menguraikannya pada bagian
negeri Syam pada tahun 150 H dan wafat
Ibṭâl al-Istiḣsân, vol. IV. Namun, terkait
di Mesir tahun 204 H (Muhammad Yusuf
dengan maslaḣah tidak ditemukan bukti
Musa, tth : 150). Sedangkan, ibunya
118
oleh
gurunya
Polemik asy-Syafi’i
Vol. II No. 01, Mei 2016
bernama Fâṭimah binti ‘Abdullâh bin
Fudaik,
Ḣasan bin Ḣusain bin ‘Ali bin Abî Ṭalib.
keseluruhan guru-gurunya dalam bidang
Ibunda
cicit
fiqih tercatat sekitar 19 orang, lima
menantu
diantaranya dari kota Makkah 6 orang
sekaligus sahabat Nabi Muhammad Saw.
berasal dari Madinah, 4 orang dari
(Sirojuddin Abbas, 2010 : 20). Jadi, jika
Yaman
dilihat
(Muhammad Abu Zahrahh, 1943 : 14).
imam
sayyidinâ
Syafi’i
Ali
dari
asy-Syafi’i
Abi
segi termasuk
adalah
Thalib,
nasabnya
imam Nabi
żurriyah
Di
Abdullah
dan
4
Bagdad
bin
Nafi’.Secara
orang
dari
asy-Syafi’i
Irak
bertemu
dengan Muhammad bin al-Hasan al-
Muhammad Saw. Ia banyak belajar dengan ulama-
Syaibanidan
menjadikannya
ulama Makkah dalam bidang fiqih
partnerdiskusi.
maupun hadits. Ia belajar kepada Sufyan
memadukan antara “fiqih Ḣijaz” yang
bin Uyainah, Muslim bin Khalid az-
lebih banyak mengutamakan dalil-dalil
Zanji, Sai’id bin Salim al-Kaddlah, Daud
naql” dan fiqih “Irak” yang lebih
bin
Abdul
banyak menggunakan dalil-dalil “‘aql”.
Hamid ibn Azizi ibn Abi Zuwad
Dari Muhammad bin al-Hasan asy-
(Musthafa
2014:
Syaibani, asy-Syafi’i dapat berdiskusi
190).Setelah belajar di Makkah dirasa
banyak tentang haditsdan ra`yu. Dengan
cukup kemudian ia belajar di Madinah
tekun ia menulis hasil diskusi antara dia
kepada imamMalik, namun sebelum
dan asy-Syaibani, sehingga dari Baghdad
berangkat
isi
dia membawa kitab yang banyak. Dari
dengan
sinilah, maka muncul tulisan-tulisan asy-
sistematikanya. Ia menghadap imam
Syafi’i yang mendalamatau kritik-kritik
Malik dengan membawa surat dari
tajam kepada Muhammad bin al-Hasan
Gubernur Makkah. Mulai ketika itu
(Ahmad al-Shurbasi, tth : 128). Dari
memusatkan perhatian mendalami fiqih
situlah kemudian, muncul polemikdalam
di samping al-Muwaṭṭâ` hingga imam
ranah metodologis.
Abdurrahman
kitab
Said
ia
al-Atthar,
al-khin,
menghafal
al-Muwaṭṭâ`
semua
sesuai
Malik wafat (Hasby Ash-Shiddieqie,
Ia
untuk
Asy-Syafi’i seringkali terlibat dalam perdebatan-perdebatan
1997:480-481).
berusaha
sebagai
dengan
asy-
Guru-gurunya di Madinah antara
Syaibani dalam banyak hal, sehingga ia
lain; Ibrahim bin Sa’ad al-Anshari,
menulis karya “Ar-Radd ‘alâ Muḣammad
Abdul
ad-
bin al-Hasan asy-Syaibâni”. Perbedaan
Dahrawardi, Ibrahim bin Abi Yahya al-
pendapat tersebut, misalnya dapat dilihat
Asami, Muhammad bin Sa’id ibn Abi
dalam hal saksidan sumpah (Muhammad
Aziz
Polemik asy-Syafi’i
bin
Muhammad
119
Vol. II No. 01, Mei 2016
Abu Zahrah, 1943 : 26-27). Sikap asy-
Ia sangat mahir dalam melagukan ayat-
Syafi’i yang demikian ini karena ia ingin
ayat Al-Qur`an (Tim Ensiklopedi Islam,
menunjukkan
1993: 328).
bahwa
dirinya
adalah
Asy-Syafi’i kemudian pindah ke
seorang ahli fiqih dari Madinah dan salah
Yaman atas undangan Abdullah bin
satu murid imamMalik. Di Irak, asy-Syafi’i berguru kepada
Hasan,wali negeri Yaman. Di sana ia
Waki’ bin al-Jarah al-Kufi, Abu Usamah
diangkat
Himad bin Usamah al-Kufi, Ismail bin
dalam urusan hukum, di samping tetap
‘Atiyah al-Bashri dan Abdul Wahab bin
melanjutkan
Abdul
Asy-Syafi’i
Sama seperti di Madinah, di sini pun
menyaksikan sendiri bahwa tingginya
asy-Syafi’i mempunyai banyak murid.Di
tingkat kebudayaan di Irak sebagai daerah
sana,Asy-Syafi’i
perkotaan
seorang puteri bangsawan yang bernama
Majid
al-Bashri.
menyebabkan
bermacam-
sebagai
penasehat
karirnya
sebagai
dinikahkan
khusus
guru.
dengan
dan
Hamidah binti Nafi’cicit Ustman bin
segala keruwetannya. Para ahli fiqih
‘Affan. Perkawinannya ini dianugerahi
seringkali tidak menemukan ketegasan
tiga
jawaban dari Al-Qur`an dan as-Sunnah.
Fatimah dan Zainab.
macam
problematika
kehidupan
Keadaan ini mendorong mereka untuk melakukan
ijtihâddanmenggunakan
orang
anak,
yaitu
‘Abdullah,
Pada tahun 181 H/797 M, asySyafi’i kembali mengajar ke Mekkah. Selama 17 tahundi Mekkah, asy-Syafi’i
nalar(Farouq Abu Zaid, 1986: 30). Kecintaan terhadap ilmu sangat
mengajarkan
berbagai
macam
ilmu
terlihat pada aktifitasnya tidak jauh dari
agama, terutama kepada para jamaah
akademik. Asy-Syafi’i memulai dengan
haji yang datang dari berbagai penjuru
mengajar di Madinah menjadi asisten
dunia Islam. Pada saat inilah Ahmad bin
imamMalik.
fiqih,
Hanbal (w. 24 1/855) bertemu dengan
bemula dari situ nama Asy-Syafi’i mulai
Asy-Syafi’i bersama-sama ulama besar
dikenal. Murid-muridnya berdatangan
lainnya. Disamping mengajar, ia juga
dari
banyak menulis, terutama berkenaan
Sebagai
berbagai
ulama
penjuru
wilayah
Islam.Selain sebagai ulama fiqih, Ia juga
dengan masalah fiqih.
dikenal sebagai ulama hadits, tafsir,
Untuk kali kedua pada tahun 195
bahasa dan kesusteraan Arab, ilmu falak,
H/810 M, asy-Syafi’i datang ke Baghdad.
ilmu uṣûl al-fiqh dan tarikh al-Islâmî. Di
Ia membawa metode barudalam masalah
samping
memiliki
fiqih. Ia tidak lagi mengajarkan masalah-
kemampuan khusus dalam ilmu qirâ`ah.
masalah cabang (furû’) dan memberi
120
itu,
asy-Syafi’i
Polemik asy-Syafi’i
Vol. II No. 01, Mei 2016
fatwa tentang
masalah-masalah
yang
mendetail, tetapi ia mulai mengajarkan kaidah-kaidah
umum,
prinsip-prinsip
asy-Syafi’i di antara fiqih Maliki dan fiqih Hanafi. Fiqih
asy-Syafi’i
telah
menjadi
dasar, di mana masalah-masalah cabang
“mazhab baru” yang merupakan sintesa
dapat ditetapkan melalui prinsip ini
antara fiqih ahl al-ḣadîts dan fiqih ahl
(Muhammad Abu Zahrah, 1943 : 29).
al-ra`y,
Kedatangannya
disambut
oleh
yang
Namun
benar-benar
demikian,
orisinil.
yang
paling
ulama dan pemuka Baghdad yang telah
menentukan dalam orisinalitas mazhab
lama merindukan kedatangannya. Asy-
asy-Syafi’i ini adalah kehidupan empat
Syafi’i diberi tempat mengajar di Masjid
tahunnya
Baghdad (Tim Ensiklopedi Islam, 1993:
meninggal di Mesir pada suatu malam di
328).Belum cukup setahun mengajar di
bulan Rajab tahun 204 H/819 M, dalam
Baghdad, asy-Syafi’i diminta oleh wali
usia 54tahun (Muhammad Abu Zahrah,
negeri Mesir, ‘Abbas bin ‘Abdullah bin
1943 : 31).
‘Abbas binMusa,untuk pindah ke Mesir. Di
Mesir
asy-Syafi’i
mengajarkan
ilmunya di Masjid ‘Amr bin ‘As, dengan jumlah
murid
yang
tidak
di
Mesir.
Asy-Syafi’i
2. Kebebasan Berpendapat : Akar Rumput Polemik Tumbangnya
Imperium
kalah
Ummawiyah sekitar abad II H diganti
banyaknya dari tempat lain. Ia biasa
dengan Imperium ‘Abbasiyah (Mun’im
mengajar mulai pagi hari sampai Zuhur.
A. Sirry, 1995 : 61-62), ternyata mampu
Sedangkan pada waktu sore dan malam
memberikan iklim baru yang kondusif
hari, Ia memberi pelajaran di rumah
bagi perkembangan hukum Islam saat
(Farouq Abu Zaid, 1986 : 31).
itu. di mana ketika itu merupakan masa
Sampai meninggalnya, asy-Syafi’i mempergunakan
sebagian
besar
keemasan bagi diskusi hukum Islam secara
sistematis
dan
kebebasan
waktunya untuk menulis buku-buku,
pendapat sebagaiciri utama pada pada
terutama yang berkaitan dengan masalah
periode
fiqih. Bahkan ia juga merevisi buku-
mempengaruhi kemajuan Islam menuju
buku yang pernah ditulisnya. Di negara
kejayaan, di mana saat itu tidak ada
ini pula, ia meletakkan dasar-dasar
intervensi pemerintah mengikuti satu
mazhab
mazhab
barunya
(qaul
al-jadîd).
ini,
tertentu
hal
atau
itulah
yang
membenarkan
Masyarakat Mesir telah memberikan
fatwa ulama tertentu. Di situlah asy-
anugerah pertama dan pengaruh yang
Syafi’i hidup dan terlibat aktif di
besar ke arah “posisi tengah” fiqih
dalamnya.
Polemik asy-Syafi’i
121
Vol. II No. 01, Mei 2016
Setiap ulama bebas mengemukakan
b. Di
Madinah
terdapat
Sa’id
bin
pendapat dan pandangannya terhadap
Musayyab (w. ± 94 H), ‘Urwah bin
persoalan
samping
Zubayr (w. 94 H), Abu Bakar bin
terbentuknya forum diskusi secara luas.
Abdurrahman (w. 95 H), ‘Ubaidillah
Iklim sosial-politik yang sangat kondusif
bin Abdullah (w. 98 H), Kharijah bin
serta persoalan sosio kultural yang terus
Zayd (w. 99), Sulaiman bin Yasar (w.
berkembang
kompleks
107), Al-Qasim bin Muhammad (w.
sehingga dalam satu kasus atau persoalan
107). Mereka umumnya di kenal
hukum
dan
sebagai tujuh serangkai pakar hukum
kemudian
dari Madinah, di samping itu masih ada
ragam
nama-nama lain yang terkenal yakni;
pemikiran di masing-masih daerah yang
Salim bin Abdullah bin Umar (w. 107),
menyebabkan terjadinya polemik.
Ibnu Sihab al-Zuhry (w. 124), Rabiah
hukum,
ada
pandangan. menyebabkan
dan
di
semakin
banyak Inilah
pendapat yang
munculkan
Dinamika pemikiran fiqih terbagi atas
bin Abi Abdurrahman (w. 136 H)
tiga pembagian geografis yang besar
Yahya bin Said (w. 143 H), Maik bin
dalam dunia Islam, di mana kegiatan-
Annas (w. 179 H) dan pakar-pakar
kegiatan hukum yang bebas terjadi, yaitu
hukum sezaman merupakan eksponen-
lrak, Hijaz dan Syria (Ahmad Hasan,
eksponen
2001: 18). Irak memiliki dua mazhab,
Madinah;
terakhir
dari
mazhab
yaitu mazhab Basrah dan Kufah, di mana
c. Di Basrah ada Muslim bin Yasar (w.
perkembangan hukum di Kufah lebih baik
108 H), al-Hasan bin Yasar (w. 110 H),
daripada di Basrah. Begitu juga di Hijaz
Muhammad bin Sirrin (w. 110 H);
juga memiliki dua pusat kegiatan hukum,
d. Di Kufah ada al-Qamah bin Qays (w. 62 H), Masruq bin al-Ajda (w. 63 H),
yaitu Madinah dan Makkah. Setiap kota penting tersebut memiliki
al-Aswad bin Yazid (w. 75 H), Surayh
menjadi
bin al-Harist (w. 78 H). mereka ini
panutan masyarakat dan memberikan
adalah sahabat yang terkenal dari
sumbangan pemikiran hukum di Propinsi
Abdullah bin Mas’ud. Kemudian masih
yang bersangkutan. Di antara nama-nama
ada lagi Ibrahim an-Nakha’i (w. 97 H),
ahli hukum yang terbagi di berbagai
Asy-Sya’bi (w. 103 H), Hammad bin
wilayah antara lain :
Abi Sulaiman al-Asy’ari (w. 120 H),
a. Di Makah terdapat ‘Atha’ bin Abi
Abu Hanifah beserta pengikutnya;
pemimpinnya
sendiri
yang
Rabbah (w. 114 H), ‘Amr bin Dinar (w. 126 H);
122
e. Di Syria ada Qabysah bin Dzuwayb (w. 86 H), Umar bin Abdul Aziz (w. 101
Polemik asy-Syafi’i
Vol. II No. 01, Mei 2016
H), Makhul (w. 101 H), Auza’i (w. 157
mazhab Kufah dalam beberapa hal, secara
H), pimpinan terakhir mazhab Syria
resmi disponsori oleh pemerintah pusat
(Ahmad Hasan, 2003: 19-20).
‘Abbasiyah.
Dari
beberapa
kota
tersebut,
Madinah lebih menonjol dan menjadi pemimpin dalam perkembangan hukum
Meskipun
demikian,
keduanya mempunyai metode dan garis perkembangan yang sama. Pada awal pemerintahan Abbasiyah,
di Hijaz. Sedangkan mazhab Syria,
terdapat
jarang
dua
kecenderungan
metode
dalam
buku-buku
yurisprudensi. Pertama, dalam rangka
Meskipun
demikian,
memantapkan dan memadukan doktrin
kecenderungan hukum dan mazhab ini
hukum, pemikiran menjadi sistemalis, dan
dapat diketahui dari tulisan-tulisan Abu
keberadaan
ra`y
Yusuf (w. 799 M).
melahirkan
metode
(analogical
deduction),
teks
tercatat awal.
Mazhab Mesir juga tidak begitu
(pendapat
murni)
deduksi-analogis yang
disebut
terkenal dalam peta-peta mazhab hukum
qiyâsadalah sebuah matarantai dalam
awal, karena ia tidak mengembangkan
proses mengamankan keseragaman dan
pemikirannya
ahli
solidifikasi yang logis (Fazlur Rahman,
hukum Mesir mengikuti doktrin Irak dan
2000 : 96). Namun demikian, pertimbangan
sebagian lagi mengikuti doktrin Madinah.
praktis seringkali mengharuskan orang
Nama al-Laits bin Sa‘d (w.175 H)
meninggalkan cara berpikir analogis yang
nampaknya merupakan figur menonjol di
kaku. Kemudian, ditemukanlah metode
kalangan ahli hukum Mesir, ia memiliki
berpikir baru yang lebih longgar, yang
penbedaan-perbedaan
dengan
sebenannya merupakan pengembangan
Malik. Karena pada saat itu banyak
dari metode qiyâs. Metode ini disebut
bermunculan mazhab-mazhab hukum di
istiḣsân
propinsi-propinsi Islam, maka di sini
merupakan penyimpangan dari analogi
penulis akan menguraikan lebih lanjut
dengan pertimbangan kepentingan publik,
tentang mazhab Madinah dan Kufah,
menguntungkan
sebab kedua mazhab ini merupakan
lauinya yang sejenis. Dalam metode ini,
mazhab yang terpenting dan sanggup
orang menerapkan suatu kriteria lain
bertahan
terhadap suatu kasus dan meninggalkan
sendiri.
lama
di
Sebagian
tertentu
antana
mazhab-
mazhabyang lain. Ditinjau dan runtut waktu, pemikiran
(menganggap
atau
Istiḣsân
pertimbangan
qiyâs. Pengusung dari metode ini adalah Abu Hanifah yang mempunyai basis
hukum di Kufah umumnya lebih dini
terbesar
daripada di Madinah. Hal ini disebabkan
Madjid, 2000 : 240).
Polemik asy-Syafi’i
baik).
di
Kufah,
Irak
(Nurcholis
123
Vol. II No. 01, Mei 2016
kedua
dalam
seorang hamba, tidak berhak memiliki
ialah
makin
hartanya. Oleh karena itu, diri dan
diperkokohnya konsep tentang sunnah
hartanya merupakan dua barang yang
(Fazlur Rahman, 1965 : 1-2). Kini orang
terpisah
cenderung untuk mengklaim generasi
majikannya.
pendahulu sebagai sumber dalam rangka
perpindahan dua barang itu sekaligus
mengokohkan suatu tradisi. Digambarkan
dengan satu harga, tanpa ditentukan
bahwa doktrin yang dikedepankannya
nilainya
mempunyai akar yang merentangkan balik
mempunyai
ke masa silam. Pada mulanya sumber ini
Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, asy-
tanpa
Kecenderungan yurisprudensi
awal
keduanya
dimiliki
Maka
oleh
tidaklah
masing-masing. seorang
sah
Malik
murid
yakni,
tetapi
kemudian
Syafi’i meneruskan tema aliran pemikiran
formalisme
semakin
gurunya dan mengembangkannya dengan
meningkat, sehingga tidak cukup hanya
membangun teori yang ketat untuk
menyebut
menguji
nama,
akan
kecenderungan
bahwa
ajaran
tersebut
kebenaran
sebuah
laporan
mempunyai sumber, tanpa menyebut
tentang sunnah terutama hadits yang
nama.Yang terbentuk oleh suasana Hijaz,
diriwayatkan langsung dari Nabi dalam
khususnya
masalah sistem hukum yang dilakukan
Madinah,
yang
sangat
memperhatikan tradisi (sunnah) Nabi dan
oleh
para sahabatnya (Nurcholis Madjid,
Madjid, 2000 : 241).
pendahulunya
(Nurcholis
Asy-Syafi’i menemukan sejumlah
2000 : 241). ImamMalik
para
misalnya,
ketika
hal yang menurutnya berimplikasi pada
membahas suatu masalah hukum, ia
“inkonsistensi”
memulai diskusinya dengan mengutip
penalarannya. Dengan kata lain, ia
hadits Nabi atau ajaran sahabat yang
melihat bahwa walaupun tradisi dari
relevan, seperti masalah jual-beli hamba
Rasulullah,
sahaya. Dokrin Madinah,yang berasal dari
kadang-kadang
imam Malik menetapkan bahwa hak milik
pendapat para sahabat atau mengabaikan
atas harta hamba tetap berada di tangan
tradisi jika ternyata berlawanan dengan
budak, bukan di tangan majikannya. Atas
praktek-praktek setempat.
dasar ini, apabila si hamba dijual, maka hartanya
ikut
berpindah
ke
tangan
Kontra produktif dengan doktrin
124
yang
mengajarkan
para
ahli
hukum
lebih
dalam
awal
mengutamakan
Dalam masalah ini dapat dilihat pendapat imam Malik tentang sebuah hadits mengenai “khiyâr majlis”. Hadits
pembeli bersama dirinya.
Kufah,
mereka
bahwa
ini memberikan pada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kontrak dagang, hak
Polemik asy-Syafi’i
Vol. II No. 01, Mei 2016
untuk memilih sebelum berpisah. Setelah
yang lebih rendah daripada riwayat dari
menceriterakan hal ini, imam Malik
sumber yang lebih rendah (yakni para
berkata: “Kita tidak mempunyai batas
tabi’in). Maka, ia berpendapat bahwa
[waktu] tertentu atau pun praktek yang
kemenangan final (hujjah) adalah pada
mapan dalam masalah ini. Akan tetapi,
tradisi Rasulullah, dan bukan pada yang
dalam banyak kasus lain, imam Malik
lain (asy-Syafi’i, VII : 179).
mengutip hadits dari Rasulullah dan
Ia
berpendapat
bahwa
tradisi
Rasulullah adalah mencukupi sendiri dan
mengikutinya. Asy-Syafi’i
tanpa
mengenal
tidak
membutuhkan penguatan
oleh
kompromi menyanggah pandangan bahwa
praktek, sebagaimana pendapat mazhab-
pendapat seorang sahabat atau seorang
mazhab awal. Ia menuduh mereka
tabi’in dapat lebih diutamakan daripada
(mazhab-mazhab awal) telah mempelajari
sebuah
jika
pengetahuan dan sumber yang lebih
dapat
rendah, sedangkan ia memilih untuk
kepada asy-
mengambil dari sumber yang lebih tinggi
tradisi
keotentikan
dari
Rasulullah,
tradisi
dibuktikan.
tersebut
Ditunjukkan
kesalahan
(yakni tradisi dari Nabi) (Asy-Syafi’i,
mungkin sekali dapat terjadi dalam
VII : 246). Untuk hal ini menurut
perjalanan
dan
Ahmad Hasan (2001 : 179), asy-Syafi’i
dapat
mempunyai beberapa argumen. Pertama,
Syafi’i
karena
bahwa
beberapa
penyampaian
itu
dipastikan
tak
akan
hadits, pernah
keotentikannya
secara
mereka
tidak
bersikap
hati-hati
sempurna. Perhatiannya dalam hal inilah
mengenai orang-orang dari mana mereka
membuat Nurcholis Madjid (2000 : 244)
meriwayatkan tradisi. Kedua, ditemukan
menempatkan asy-Syafi’i sebagai sarjana
indikasi-indikasi
adanya
muslim paling besar jasanya dalam
pada
di
meletakkan
memperoleh tradisi, dan ini memberikan
teori
tentang kritik
dan
sebuah
diriwayatkan sedangkan
berargumen
hadits
dari
oleh pendapat
mana
mereka
salah paham dan kurangnya reliabilitas.
otentifikasi masalah hadits. Asy-Syafi’i
sumber
kekurangan
bahwa
Rasulullah
para para
Oleh
karena
merumuskan
itu,
Asy-Syafi’i
aturan-aturan
yang
sahabat,
terperinci untuk menimbang keabsahan
sahabat
tradisi-tradisi
yang
terisolasi
dan
diriwayatkan oleh para tabi’in. Oleh
terputus (munqati’), karena hal itu
karena itu, ia bertanya mengapa riwayat
merupakan usaha yang pertama-tama
dari sumber yang lebih tinggi (para
untuk
sahabat) harus dianggap memiliki bobot
yang telah berjalan lama, yang tidak
Polemik asy-Syafi’i
meninggalkan
praktek-praktek
125
Vol. II No. 01, Mei 2016
menerima tradisi-tradisi tersebut (asy-
tetapi tidak pada semua jenis dan
Syafi’i, 1940 : 63-64). Dengan demikian,
ragamnya,
asy-Syafi’i berusaha untuk merombak
contoh-contoh persoalan tertentu.
standar
penilaian
yang
terdahulu
melainkan
terbatas
pada
Dari penjelasan di atas nampak bahwa istiḣsân pada umumnya dipakai
mengenai keotentikan hadits. Dengan diterimanya secara bebas
sebagai dalil hukum, kecuali asy-Syafi’i
tradisi-tradisi yang terisolasi (khabar al-
(150-204 H/767-820 M). Penolakan
khaṣṣah) dalam hukum oleh asy-Syafi’i,
tersebut karena ia memandang istiḣsân
maka
menyerang
lebih didasarkan kepada keinginan dan
penggunaan ra`yu yang tidak dibatasi, di
mencari enak (talażżuż), tanpa rujukan
mana
ra‘yu
pada naṣ atau keluar naṣ. Secara tegas ia
merupakan alat sederhana dan alamiah
menyatakan, siapa yang menerapkan
untuk menyelesaikan persoalan. Sikap
istiḣsân sama dengan membuat syara’,
asy-Syafi’i yang demikian ini juga
“man
berlaku pada penerapan istiḣsân oleh
Penolakan
mazhab-mazhab awal. Dengan istiḣsân,
didasarkan pada delapan argumentasi
asy-Syafi’i terlihat phobia, karena ia
yang tergambarkan dalam ar-Risâlah
menganggap istiḣsân tanpa acuan pada
dan kitab al-Umm (babon) bagian Ibṭâl
preseden yang sudah ada akan terjatuh
al-Istiḣsân, vol. IV.
dengan
gigih
sebelum
dia
ia
muncul
istaḣsana
faqad
syarra’a”.
asy-Syafi’i
tersebut
Asy-Syafi’imenolak
pada mengada-adakan (iḣdâṡ). 3. Pergulatan Pemikiranasy-Syafi’i denganUlamaFiqih Klasik
ra`yu
yang
penggunaan
dilakukan
dengan
serampangan, untuk merintis jalan bagi
istiḣsân
qiyâs. Ia membagi pengetahuan hukum
adalah sebuah penyimpangan dari qiyâs
ke dalam dua jenis yakni, ittibâ’
yang dibolehkan. Prinsip hukum ini
(kepatuhan) dan istinbâṭ (pengambilan
membolehkan penafsiran dipergunakan
kesimpulan). Dalam ittibâ’ pertama-
secara lebih bebas dengan tujuan untuk
tama seseorang harus mengikuti Al-
mencapai kemaslahatan umum. Imam
Qur`an, kemudian sunnah dan akhirnya
Malik
sebagai
pendapat yang telah disepakati secara
maṣlaḣah mursalah (Syah Waliyullah
bulat oleh generasi-generasi awal. Jika di
ad-Dihlawi, 2005 : 502-503). Sementara
dalam suatu kasus ittibâ’ tidak mungkin
itu dikalangan mazhab Hanbali, Abu
di jalankan, maka ia baru membolehkan
Yasid
menyatakan
digunakannya qiyâs dengan dasar Al-
mazhabnya mengapresiasi dalil istiḣsân
Qur`an kemudian sunnah dan akhirnya
Ad-Dihlawî
126
mengatakan
menyebut
(2010
:
istiḣsân
44)
Polemik asy-Syafi’i
Vol. II No. 01, Mei 2016
awal
bila mengatakan, sebagaimana dikatakan
(Ahmad Hasan, 2001 : 185). Meskipun
oleh asy-Syafi’i, bahwa istiḣsân adalah
demikian, hendaknya memahami hirarki
pendapat
sumber hukum asy-Syafi’i harus dengan
didasarkan pada keinginan, kemauan dan
cermat, karena dengan hirarki (Al-
selera seorang yang dipengaruhi oleh
Qur`an,
dengan
dasar
ijmâ’
generasi
semau-maunya
yang
dan
qiyâs)
hawa nafsu. Namun asy-Syafi’i sendiri
secara
tidak
mengakui bahwa para sahabat tersebut
langsung asy-Syafi’i tidak menghendaki
telah memakan bangkai ikan itu karena
penggunaan ra`yu.
kebutuhan mendesak. Penting untuk
sunnah,
semacam
itu,
ijmâ’ maka
Oleh karena itu, untuk menjustifikasi penggunaan
istiḣsân
para
pengguna
dicatat bahwa kebutuhan yang mendesak adalah faktor utama dari istiḣsân. Tak
istiḣsân mengemukakan argumentasinya
ada
bahwa pada masa hidup Rasulullah, suatu
istiḣsân pada mazhab awal didasarkan
ketika ada seekor ikan mati terlempar dari
pada nalar murni dan kesukaan hati,
laut, dan beberapa kaum muslimin yang
serta tak memiliki landasan dalam Al-
sedang melakukan perjalanan menemukan
Qur`an dan sunnah (Ahmad Hasan, 2001 :
dan memakannya. Mereka membawa
198).
sisanya
lalu
dikemukakan Ahmad Hasan ternyata
mengambilnya sedikit. Dari kasus tersebut
terdapat kesalahpahaman di pihak asy-
dapat disimpulkan bahwa kaum muslimin
Syafi’i
memakan ikan mati tersebut atas dasar
dilakukan oleh mazhab-mazhab awal.
kepada
Rasulullah,
pendapat pribadi mereka yang tidak
bukti-bukti
Melihat
untuk
mempercayai
argumentasi
mengenai
istiḣsân
yang
yang
Pada prakteknya, asy-Syafi’i sendiri
memiliki dasar dalam Al-Qur`an maupun
menggunakan
sunnah (Ahmad Hasan, 2001 : 197). Asy-
tetapi
Syafi’i menolak argumentas tersebut, lebih
dipergunakannya dalam pengertian non-
lanjut ia mengatakan “para sahabat yang
teknis. Misalnya, dalam kasus penjualan
memakan bangkai ikan itu karena dalam
‘arâya (jamak dari ‘ariyyah), asy-Syafi’i
keadaan terdesak, meskipun mereka tidak
memberikan sebatang
yakin apakah tindakan mereka itu halal.
kepada orang miskin untuk dimakan
Itulah
kemudian
buahnya, kemudian menukarkan kurma
mereka menanyakan hal itu kepada nabi
kering bagi buah yang masih ada di
saw” (Ahmad Hasan, 2001: 198).
pohon untuk menghindari kesulitan yang
sebabnya
mengapa
istiḣsân
kedua
dan
istilah
pohon
istiṣḣâb, tersebut
kurma
yang
disebabkan oleh kunjungannya yang
dikemukakan asy-Syafi’i, tidaklah tepat
sering. Ia sendiri meninggalkan qiyâs
Argumen
Polemik asy-Syafi’i
penolakan
127
Vol. II No. 01, Mei 2016
dikarenakan suatu tradisi dari Rasulullah
Namun, pada kenyataannya kita sulit
yang
barter
mengelak menggunakan dalil istiḣsân,
pengecualian;
khususnya dalam konteks dinamisasi
membolehkan
semacam selain
ini
jenis
sebagai
daripada
itu
muzâbanah
hukum
Islam.
Persoalan
sosial
(penukaran buah yang masih ada di
kemasyarakatan signifikan mengalami
pohon
perubahan
dengan
buah
yang
sudah
dan
perkembangan
dikeringkan) dilarang oleh Rasulullah
belakangan ini. Sementara teks wahyu
sebagai aturan umum.
tidak mungkin turun lagi sepeninggal
Memang benar bahwa asy-Syafi’i
Rasulullah
saw.
Karenanya
ruang
istiḣsân
ekspresi seorang ahli hukum (mujtahid)
dalam kasus ini, tetapi metode yang
layak diperluas untuk merespon aneka
digunakan sama dengan yang dikenal
persoalan
sebagai istiḣsân dikalangan orang-orang
perspektif hukum Islam. Penggunaan
Irak.
dalil istiḣsân tidak lain merupakan
tidak
menggunakan
Istiḣsân
orang-orang
istilah
seringkali Irak
digunakan
sebagai
suatu
dengan
menggunakan
bagian dari upaya memperluas ruang
kekecualian sebagai aturan umum yang
ekspresi
dikarenakan oleh sebuah tradisi. Karena
penyelesaian
itu, dari pandangan tersebut kecaman
kemaslahatan sesuai idealisme ajaran
asy-Syafi’i
suci. Dalam ilmu uṣûl al-fiqh, idealisme
istiḣsân
yang
menyapu
tidaklah
dapat
bersih
dibenarkan,
ajaran
tadi,
guna
menemukan
hukum
tersebut
berbasis
dibingkai
meskipun harus diakui bahwa dalam
epistemologi
kasus ini ia menerima istiḣsân hanya
yakni teori-teori ilmu jurisprudensi Islam
atas dasar tradisi (Muhammad Yusuf
yang muaranya adalah demi tegaknya
Musa, 2007: 202-203).
kemaslahatan
Dari
uraian
disimpulkan menganggap meninggalkan
tersebut,
bahwa
asy-Syafi’i
istiḣsân dalil
dapat
karena
berarti tradisi,
maqâṣid
dalam
asy-syarî’ah,
dan
terhindarnya
kerusakan (jalb al maṣâliḣ wa dar`ul mafâsid). Kebebasan mengundang
berpendapat terjadinya
memang pergulatan
maslahat, keadaan darurat atau karena
pemikiran, bahkan polemik. Kecaman
prinsip untuk menghilangkan kesukaran.
antar satu dengan yang lainpun terjadi,
Muḣammad Yusuf Musa mengatakan
misalnya
bahwa
mau
kepada Abu Ḣanifah ketika beliau
menggunakan istilah istiḣsân meskipun
menggunakan metode kasuistik (al-ḣiyâl
substansinya
asy-syar’iyyah), ḣiyâl atau sering disebut
128
asy-Syafi’i
sama
tidak
dengan
istiḣsân.
kecaman
pedas
ditujukan
Polemik asy-Syafi’i
Vol. II No. 01, Mei 2016
ḣilah, ini digunakan untuk maksud
‘sumpah’ (al-yamîn) wajib bagi orang
meminimalisasi
kurang
yang mengingkari. Maka tidak berlaku
baik dari aturan-aturan dan kebiasaan
sumpah (al-yamîn) bagi orang yang
tertentu (Madjid Khadduri, 2005 : 36).
menuntut (Muhammad Abu Zahrahh,
akibat-akibat
Karena watak al-ḣiyâl yang lebih menampakkan
watak
manipulasi
1943 : 26-27). Sedangkan
Syafi’iyyah
(rekayasa) hukum, maka dalam hal ini
Malikiyyah
asy-Syafi’i dengan tegas menolaknya.
penuntut
Sebagai contoh praktik al-ḣiyâl yang
seorang saksi dan ia berani bersumpah,
dilakukan oleh Abu Yusuf -salah satu
maka keputusan tentang hal ini harus
murid kinasih AbuHanifah- ketika itu
ditetapkan, sebab sumpah orang tersebut
memberikan seluruh harta kekayaannya
sudah menggantikan saksi yang kedua.
kepada istrinya sendiri ketika menjelang
Hal ini hanya berlaku pada masalah harta
ḣaul dari kekayaan tersebut dengan
saja dan tidak berlaku pada yang lain. Hal
maksud untuk menggugurkan kewajiban
ini atas berdasar ketentuan sunnah.
zakat atas dirinya. Ketika kabar tersebut
Diriwayatkan dari nabi Saw. bahwa
sampai di telinga Abu Hanifah, beliau
beliau telah mengadili dengan persaksian
berkomentar; “itu adalah pemahaman
seorang saksi Ma’zazah dengan sumpah
fiqihnya (Abu Yusuf), dari perspektif
si penggugat atas kebenaran gugatannya
fiqih memang dianggap tidak menyalahi
(Shobi Mahmasani, 1976 : 340).
hukum yang ada” (Abu Ḣamid al-
berpendapat
dan
hanya dapat
Asy-Syafi’i
bahwa
menghadirkan
mengakui
polemik
tersebut
asy-Syafi’i,
khususnya bagian terakhir. Asy-Syafi’i
dengan mengatakan penggunaan nalar
menjelaskan lebih lanjut secara umum
yang kelewat batas, karena tidak ada
polemic
tempat bagi ra`yu kecuali berdasarkan
Pertama, jika polemik tersebut sudah di
qiyâs.
jelaskan
oleh
Polemik dalam masalah saksi (bukti person)
dan
“sumpah”
merupakan
tersebut
dalam
terjadinya
Ghazali, I : 30). Pantaslah jika, hal dikecam
tersebut,
jika
ada
argumentasinya
ar-Risâlah
dua
oleh
macam.
Allah
dalam atau melalui sunnah nabi dalam bentuk naṣ yang qaṭ’î (kuat). Kedua,
antara
polemik dalam sesuatu yang mengandung
Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Malikiyah.
ta`wîl dan yang diketahui melalui qiyâs
Ḣanafiyah memandang bahwa bukti (al-
lalu pelaku ta`wîl dan qiyâs berpegang
bayyinah) harus ada bagi orang yang
dalam salah satu makna yang terkandung
menuntut
dalam khabar dan qiyâs.
perbedaan
yang masyhur di
(al-mudda’i),
Polemik asy-Syafi’i
sedangkan
129
Vol. II No. 01, Mei 2016
Dialektika lahirnya suatu polemik
tentang dua hal, yaitu; pertama, Sunnah
dan mazhab tersebut memperlihatkan
khususnya yang dalam bentuk hadits,
munculnya suatu legal theory dan legal
sebagai sumber memahami hukum Islam
methodology yang otoritatif dibangun
setelah Al-Qur`an; dan kedua, analogi
oleh seorang tokoh. Inilah yang disebut
atau qiyâs sebagai metode rasional
oleh Akh. Minhaji (2004 : x) dengan
memahami dan mengembangkan hukum
proses
teori
itu. Sementara itu konsensus atau ijmâ’
berikutnya
yang ada di dalam masyarakat, yang
diistilahkan dengan proses kontinuitas.
kebanyakan bersumber atau menjelma
Adapun
dan
menjadi sejenis kebiasaan yang berlaku
dan
umum (al-‘urf) juga diterima oleh asy-
otoritas.
tersebut
Pemanfaatan
oleh
mufti
perobahan,
pengembangan
modifikasi,
terhadap
teori
metodologi sebelumnya akibat proses
Syafi’i,
dialektika yang muncul, ia menyebutnya
membangun
dengan perubahan.
(Nurcholis Madjid, 2000 : 241). Dengan
4. Membangun Metodologis
Pola
Berpikir
meskipun
ia
teorinya
tidak
pernah
secara
tuntas
kata lain asy-Syafi’i, dalam ar-Risâlah merupakan upaya metodologis pertama
Begitu mengemuka sangat jelas
yang berupaya mensintesakan antara
polemikyang terjadi antara asy-Syafi’i
pengalaman
dan mazhab fiqih klasik lainnya, yang
dengan teks wahyu sebagai dasar hukum
berimplikasi pada pergulatan pemikiran
pola berpikir metodologis yang bertitik
yang panjang. Sehingga mengkonstruksi
tolak pada uṣûl al-fiqh yakni, Al-Qur`an,
nalar asy-Syafi’i menjadi nalar moderat,
sunnah Nabi, ijmâ dan qiyâs, selain itu
yang
tidak diperbolehkan.
merefleksikan
beragam
corak
nalar
manusia
(ra`yu)
pemikiran para pendahulunya. Disinilah
Buku ar-Risâlah yang sampai pada
ada gagasan penuh harapan (the idea of
kita sekarang, merupakan funding father
hope) dari asy-Syafi’i, yang berupaya
dalam
membangun
berpikir
sistematis yang ditulis oleh asy-Syafi’î
dapat
sekitar 1200 tahun yang lalu, yang diberi
diterima secara ilmiah dan mendapat
anotasi oleh Syaikh Ahmad Muhammad
apresiasi yang menggembirakan.
Syakir. Berkenaan dengan itu Sirodjuddin
manhajî
sebuah
acuan
(metodologis),
yang
bidang
metodologi
berpikir
Pendekatan konflik para pendahulunya
Abbas (2010 : 271) mengatakan bahwa
antara ahl al-ḣadîṡ dan ahl al-ra`yi, yang
asy-Syafi’i telah membuka mata umat
dilakukan
Islam di seluruh dunia yang memberikan
asy-Syafi’i
melahirkan
sekaligus meletakkan pondasi teoritis
130
pedoman
yang
ampuh
bagaimana
Polemik asy-Syafi’i
Vol. II No. 01, Mei 2016
cara-cara
Dari uraian di atas, Hairus Salim
mengartikan hadits. Kemudian ijthâd
dan Nuruddin Amin (2004 : viii-ix)
yang beliau formulasikan dalam bentuk
mengatakan
qiyâs serta uraian-uraian lain dalam bentuk
menempatkan kemutlakan wahyu (Al-
berkaitan dengan bagaimana melakukan
Qur`an), sehingga rasionalitas sosial
istinbâṭ al-aḣkâm di dalamnya (Abu
harus
Yasid, 2010 : 128). Karena langkah inilah
menyeluruh. Sedangkan sunnah dalam
maka kemudian asy-Syafi’i dianugrahi
hal ini berposisi sebagai pelaksana teks
sebagai pembaharu abad kedua Hijriyah
Al-Qur`an oleh Rasulullah, seperti yang
(D.B. McDonald, 1903 : 104).
diinginkan Allah. Tidak ada jalan jalan
mengartikan
Al-Qur`an,
bahwa
tunduk
uṣûl
asy-Syafi’i
padanya
secara
Asy-Syafi’i menawarkan beberapa
lain untuk mengetahui salah dan benar
pembaharuan tentang prinsip dasar antara
tanpa teks Al-Qur`an dan sunnah. Oleh
lain, pertama, bahwa hukum harus secara
kerena itu menyatakan sesuatu karena
eksklusif
sesuatu
berasal
dari
teks
yang
itu
dianggap
secara
Jika
ada
diwahyukan. Kedua, bahwa Sunnah Nabi
subjektif
merupakan sumber hukum yang mengikat.
kemungkinan itu maka harus ditempuh
Ketiga, pertentangan tidak mungkin terjadi
qiyâs
antara Sunnah dan Al-Qur`an, tidak juga
yurisprudensi yang ada. Jika setiap orang
antara ayat-ayat al-Qur'an atau hadits-
boleh
hadits dalam kedua sumber tersebut.
preseden (qiyâs) maka yang terjadi
Keempat,
adalah anarki. Rasionalitas manusia
sumber
secara tersebut
hermeneutis, saling
kedua
melengkapi.
(ra`yu)
(istiḣsân).
baik
(analogi)
menyatakan
diterima
dengan
sesuatu
dan
mencari
tanpa
mendapatkan
Kelima, validitas sebuah aturan hukum
tempat dalam uṣûl asy-Syafi’i asal
yang berasal dari teks-teks yang tidak
mengalir dari sumber keagamaan yakni
diragukan dan ditransmisikan secara luas
Al-Qur`an,sunnah, dan ijma’.
adalah pasti dan tidak akan terjadi
Nampaknya asy-Syafi’i sebenarnya
pertentangan. Adapun validitas aturan
adalah tokoh yang berfikir tekstualis,
hukum yang disimpulkan melalu iijtihâd
seperti gurunya imam Malik. Terbukti
atau qiyâs, maka memungkinkan untuk
asy-Syafi’i tidak menerima qiyâs apabila
terjadinya pertentangan. Keenam, prosedur
belum menggunakan Al-Qur`an, sunnah,
ijtihâd dan qiyâs, sebagaimana dukungan
dan ijma’. Meskipun sebenarnya asy-
terhadap pemakaian instrumen konsensus
Syafi’i berupaya mensintesakan antara
(ijmâ’),
pemikiran tekstual (kelompok ahl al-
ditentukan
teks wahyu.
Polemik asy-Syafi’i
berdasarkan
teks-
ḣadîṡ) dan kontekstual (ahl ar-ra`yi).
131
Vol. II No. 01, Mei 2016
Sayangnya
sintesa
Asy-Syafi’i
ini
Dalam ar-Risâlah kita dapat melihat
muncul pada masa ketika sedikit sekali
juga,
yang mencoba mengkaji pemikirannya
lainnya. Diantaranya adalah cara berpikir
karena
tersebut
logis dan pertama-tama membuat had
menuntut kubu tradisionalis dan kubu
(batasan) dan ta’rîf kemudian baru
rasionalis
melakukan
perwujudan
untuk
sintesa
meninggalkan
arus
fenomena
berpikir
filosofis
pembagian
disertai
utama pemikiran mereka dan mengikuti
pemberian contoh dan bukti pada tiap-
fomulasi yang ditawarkan asy-Syafi’i.
tiap
Namun, hal tersebut tidak pernah terjadi,
mempresentasikan
bahkan dalam jangka waktu yang cukup
beragam
lama, pemikiran sintesa al-Asy-Syafi’i
diakhiri dengan memilih definisi yang
tersebut tetap menjadi pendapat yang
paling râjiḣ (kuat).
minoritas. Kelompok tradisionalis tetap menolak
qiyâs-nya
dan
kelompok
bagian.
Terkadang
untuk
asy-Syafi’i
definisi
yang
dibandingkan,
dan
Secara formal dikatakan itu juga menandai lahirnya ilmu fiqih ketika asy-
modernis enggan menerima tesisnya
Syafi’i
bahwa wahyu adalah sumber hukum
sumber di atas. Perkembangan itu sendiri
pertama dan terakhir bagi persoalan
sesungguhnya juga merupakan refleksi
manusia. Al-Muzani (w.264/878), murid
dari interaksi antara nilai-nilai yang
utama asy-Syafi’i sendiri lebih cendrung
dibawa oleh ajaran diktat Islam dengan
kepada
daripada
nilai-nilai yang sudah hidup lama yang
berbagai
menjadi perdebatan para ulama mazhab
rasionalisme
tradisionalisme
dan
dalam
berhasil
merumuskan
kasus sering dianggap berbeda dengan
lainnya.
metodologi hukum yang dibuat oleh
kecerdikan asy-Syafi’i dalam menerima
Asy-Syafi’i.
diktat dari para pendahulunya maupun
Jadi, dari ar-Risâlah kita dapat
sezaman,
Karena
keterbukaan
empat
menjadikan
fiqih
dan
dapat
melihat munculnya pemikiran filosofis-
berkembang menjadi sebuah sistem yang
metodologis dalam ajaran Islam di tinjau
lengkap
dari
modern.
aspek
perhatiannya
terhadap
verifikasi cabang dan parsial dengan
dengan
metodologi
yang
Ada lima ciri yang menonjol dari
kaidah general (Musthafa Said al-Khin,
paradigm
2014 : 97). Kita tidak mengesampingkan
Salim dan Nuruddin Amin (2004 : vii-
fiqih, yaitu penggalian hukum syara’
viii) menyebutkan yang pertama, selalu
cabang dan dalilnya yang terperinci
diupayakan interpretasi ulang dalam
(Abdul Wahab Khallaf, 2010: 12).
mengkaji teks-teks fiqih untuk mencari
132
ber-fiqih
modern,
Hairus
Polemik asy-Syafi’i
Vol. II No. 01, Mei 2016
konteksnya yang baru; Kedua, makna
perjalanan uṣûl al-fiqh Hallaq sampai
bermazhab
bermazhab
pada kesimpulan bahwa tesis asy-
tekstual (qauli) ke bermazhab secara
Syafi’i sebagai pendiri ilmu uṣûl al-
metodologis
Ketiga,
fiqh tidak didukung oleh kenyataan
verifikasi mendasar mana ajaran yang
sejarah. Antara lain Hallaq beralasan
pokok (uṣûl) dan mana yang cabang
bahwa; pertama, karya asy-Syafi’i, ar-
(furû’);
dihadirkan
Risâlah yang dipandang sebagai karya
sebagai etika sosial, bukan sebagai
monumental asy-Syafi’i dalam bidang
hukum
uṣûl
berubah
(manhaji);
Keempat,
fiqih
positif
pengenalan filosofis,
dari
negara;
Kelima,
metodologi terutama
pemikiran
dalam
masalah
al-fiqh
metodologi
tidak
secara
komprehensif
menawarkan sistematis
mengenai
dan proses
penetapan hukum, padahal metodologi
budaya dan sosial. dinamika
yang sistematis ini dipandang sebagai
penelitian akhir-akhir ini membuktikan
topik dasar untuk satu karya uṣûl al-
bahwa kontinuitas seperti di atas patut
fiqh.
Tetapi
kemudian
dipertanyakan dan gambaran asy-Syafi’i
Lebih dari itu kedua, karya Asy-
sebagai pencetus uṣûl fiqh adalah sebuah
Syafi’i,
kreasi
perhatian para sarjana semasanya, baik
yang
datang
dari
generasi
ar-Risâlah
untuk
pada
maupun
pikiran yang ada di dalam kitab
pertengahan menunjukkan pertentangan
tersebut. Baru satu abad kemudianlah,
dengan asumsi diatas sehingga Hallaq
ar-Risâlah mendapatkan perhatian para
mencoba memperlihatkan bahwa klaim
fuqahâ` seperti Abu Bakar al-Sairafi,
asy-Syafi’i sebagai peletak dasar teori
al-Qaffal al-Syahsyi, Abu al-Walid al-
uṣûl fiqh adalah sesuatu yang tidak tepat.
Naisaburi, al-Jauzaqi, Abu Muhammad
awal
atau
menarik
kemudian. Bukti-bukti sejarah yang ada sumber-sumber
mendukung
tidak
mengkritik
122)
al-Juwaini dan Abu Sahl al-Nawbhakti,
mengatakan bahwa Gurunya ketika di
dan sebagainya. Tampaknya Hallaq
McGill Dr. Wael B Hallaq (pernah)
“berhasil” membuktikan bahwa asy-
mempertanyakan meskipun peran asy-
Syafi’i bukan bapak uṣûl al-fiqh suatu
Syafi’i besar dalam kajian hukum
pandangan yang hingga kini belum ada
Islam, namun Hallaq secara panjang
penulis lain yang membantah. Jika
lebar dalam karyanya “Was ash-Shafi’i
benar demikian, lantas siapa pendiri
The
ilmu uṣûl al-fiqh?
Akh.
Minhaji
Master
Architect
Jurisprudence?”
Polemik asy-Syafi’i
(1997
setelah
:
of
Islamic
menelusuri
133
Vol. II No. 01, Mei 2016
dalam mengantisipasi setiap perubahan
C. Simpulan Uraian di atas menunjukkan bahwa
dan persoalan-persoalan baru. Karya
polemik yang terjadi antara asy-Syafi’i
agung yang sampai sekarang masih
dengan para ulama klasik -termasuk para
memperlihatkan
guru
relevansinya
asy-Syafi’i
sendiri-
disinyalir
akurasi adalah
dan kerangka
secara sosiologis-antropologis masing-
metodologi penggalian hukum yang
masing wilayah berbeda, juga adanya
mereka ciptakan. Dengan perangkat
kebebasan mutlak untuk mengkreasikan
metodologi tersebut, segala permaslahan
hasil pemikirannya secara individual
bisa
tanpa terikat dengan peraturan yang
hukumnya
berlaku. Nalar diberikan porsi yang
maṣlaḣah al-mursalah, istiḣsân, istiṣhâb
lebar, sehingga para ahli hukum dengan
dan ‘urf.
tanpa
rasa
ragu
didekati
dan
dengan
dicari
legalitas
metode
qiyâs,
mengemukakan
pendapat-pendapatnya.
***
Hal itu sesungguhnya memperlihatkan kekuatan yang dinamis dan kreatif
Daftar Pustaka Abbas, Sirojuddin. 2010. Sejarah dan Keagungan Mazhab Shafi’i. Jakarta: Pustaka Tarbiyah. Cet. XVII. Ad-Dihlawi, Syah Waliyullah. 2005. Hujjah al-Balighah. Jakarta : Serambi., Akh Minhaji. 1997. Kontribusi Dr. Weal B. Hallaq dalam Kajian Hukum Islam dalam Yudian Wahyudi. Pengalaman Belajar Islam di Kanada. Yogyakarta : Titian Illahi Press. ________. 2004.Otoritas, Kontinyuitas dan Perubahan dalam Sejarah Pemikiran Ushul Fiqih dalam Amir Mu’alim dan Yusdani. Ijtihad dan legislasi Muslim Kontemporer. Yogyakarta : UII Press. D.B. McDonald. 1903. Development of Muslim Theology, Jurisprudence and
134
Constitutional ttp.,
Theory.New
York,
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. Tt. Iḣyâ ‘Ulûm al-Dîn. Beirût : Dâr alFikr, Vol. I. Hasan, Ahmad. 2001. The Early Development of Islamic Jurisprudence. Pakistan : Islamic Research Institut. Salim, Hairus dan Nuruddin Amin. 2004. Ijtihad Dalam Tindakan dalam KH. Sahal Mahfudz. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta : Lkis. Cet. VI., Khallaf, Abd. Wahhab. 2010. Ilmu Ushul al-Fiqh. Jakarta: Dâr al Kutub al-Ilmiyah., al-Khin, Musthafa Said. 2014. Sejarah Ushul Fiqih. Jakarta : Pustaka alKautsar.
Polemik asy-Syafi’i
Vol. II No. 01, Mei 2016
Madjid, Nurcholis. 2000. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina. Mahmasani, Sobhi. 1976. Filsafat Hukum Dalam Islam. Bandung : alMa’arif. Rahman, Fazlur. 1965. Islamic Methodologi in History. Karachi : Central Institut of Islamic Research., ________. 2000. Islam. Bandung : Pustaka asy-Shiddiqie, M. Hasbi. 1997. Pokokpokok Pegangan Imam Mazhab. Semarang : Rizki Putra. ed. Ke II. Al-Shirbasi, Ahmad. Tth. Al-A`immah al-Arba’ah. Kairo : Dâr al-Jail., Sirry, Mun’im A. 1995. Sejarah Fiqih Islam. Surabaya : Risalah Gusti.,
Matba’ah Halabi.,
Musthafa
al-Babi
al-
________. t.th. al-Ûmm. Beirut : Dâr alFikr. Tim Ensiklopedi Islam. 1993. Ensiklopedi Islam. Jakarta : Ichtiar Baru Van Haeve. Yasid, Abu. 2010. Penelitian Hukum. Pustaka Pelajar.
Aspek-aspek Yogyakarta:
Zaid, Farouq Abu. 1986. Syafi’i: Imam Kaum Moderat dalam Hukum Islam: Antara Tradisionalis dan Modernis. Jakarta : P3M. Zahrah, Muḣammad Abu. 1943. AsySyafi’i: Hayâtuhu wa ‘Aṣruhu wa Arâ`uhu wa Fiqhuhu, Beirût : Dâr alFikr al-’Arâbi.
asy-Syafi’i. Abu Abdullah Muhammad bin Idris. 1940. al-Risalah. Mesir :
Polemik asy-Syafi’i
135
Vol. II No. 01, Mei 2016
136
Polemik asy-Syafi’i