MEMBANGUN PARAMETER INTERSUBJEKTIF PORNOGRAFI DENGAN PERSPEKTIF POSTMODERNISME (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 39/PID.SUS/2014/PN.WSB) Josua Sitompul1
Abstract One of fundamental idea established in postmodern concept is advoacy of diversity and freedom without determined by mainstreams. Postmodernism, though started from art and literature, has developed into various disciplines, include law. Discussions of the idea within legal discourses, at one side, have tried to link the mainstreams and the minorities in harmony, but at the other side, law demands to be exercised uniformly. This article discuss postmodern perspective in understanding pornography within the context of Law 44/2008 on Pornography; this law remains retain problems regarding the concept of pornography that law enforcement officers, particularly judges, have to solve. The question that the article seek to answer is how the concept of postmodernism can help judges to establish parameter that is rational and intersubjective to determine pornography content. One case regarding pornography related to metal music is raised as an example. Keywords: postmodernism, pornography, music, judges Abstrak Salah satu ide fundamental yang diangkat dalam postmodernisme ialah advokasi keberagaman dan kebebasan tanpa perlu mengikuti adanya bentukbentuk tertentu yang dihegemonikan oleh arus pemikiran utama. Postmodernisme, meskipun diawali dari seni dan literatur, berkembang dalam bidang lain termasuk dalam hukum. Pembahasan postmodernisme dalam satu diskursus hukum berusaha, di satu sisi, mempertemukan arus utama dan minoritas secara bersamaan di dalam keserasian, tetapi di sisi lain, adanya tantangan bahwa hukum – khususnya undang-undang – ditetapkan untuk diberlakukan secara seragam. Tulisan ini membahas mengenai perspektif postmodernisme dalam memahami pornografi dalam konteks UU 44/2008 tentang Pornografi; undang-undang ini menyimpan permasalahan yang masih harus diselesaikan oleh aparat penegak hukum. Pertanyaan yang hendak dijawab ialah bagaimana konsep postmodernisme dapat membantu aparat penegak hukum, khususnya hakim dalam membangun parameter rasional intersubjektif untuk menentukan konten pornografi. Untuk itu, satu kasus
1
Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Indonesia, TA 2015, Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan dapat dihubungi melalui email
[email protected], 085697012778.
mengenai pornografi yang berkaitan dengan musik metal diangkat sebagai contoh. Kata kunci: postmodernisme, pornografi, musik, hakim I. Pendahuluan Postmodernisme merupakan teminologi yang memiliki makna yang beragam. Bertens menelusuri bahwa terminologi ini sudah muncul dalam literatur di tahun 1950-an dan berkembang pesat hingga tahun 1900-an pada bidang seni, moral, politik, dan termasuk hukum. Sejak awalnya, konsep postmodernisme selalu menghadapi banyak tantangan dan tidak satupun definisi postmodernisme yang dapat diterima secara luas. Meskipun ada begitu banyak konsep postmodernisme, tetapi menurut Bertens, satu kesamaan yang ada di dalam konsep terminologi melalui periode sejarah adalah bahwa esensi dari postmodernisme adalah adanya krisis dalam representasi, yaitu adanya kehilangan kepercayaan yang dalam mengenai kemampuan kita untuk merepresentasikan kenyataan, dalam arti yang seluas-luasnya.2 Dari perspektif Jameson, sebagaimana diangkat oleh Wicke, postmodernisme mengadvokasi adanya keberagaman dan kebebasan berkreasi tanpa perlu mengikuti adanya bentuk-bentuk tertentu yang dihegemonikan oleh pemikiran utama (mainstream). Dalam menilai satu isu, postmodernisme memungkinkan perspektif mainstream dan perspektif minoritas hadir bersamaan dan bahkan menjadi satu. Wicke menegaskan bahwa postmodernisme dapat hadir dalam diskursus hukum. Postmodernisme bersifat fluid, lokal, dan heterogen sedangkan hukum bersifat absolut dan menuntut adanya keseragaman penerapan. Bagaimana dengan konsep pornografi ketika terminologi ini dihadirkan dalam satu diskursus hukum dan diperhadapkan dengan perspektif postmodernisme? Hal ini sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut. Indonesia memiliki beberapa perundang-undangan yang melarang pada intinya adanya produksi, penyebaran, perdagangan Pornografi. Salah satu diantaranya dan yang hendak dibahas dalam tulisan ini adalah Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menilai bahwa pornografi dan pornoaksi adalah perbuatan yang berdampak negatif terhadap perilaku generasi muda. Untuk mencegah dampak negatif tersebut, pemerintah pada awalnya menyusun rancangan undang-undang tentang Anti Pornografi dan Pornoaksi. Rancangan ini telah dibahas selama 10 tahun sebelum akhirnya ditetapkan pada tahun 2008. Pornografi merupakan isu agama, kultural, sosial, dan hukum.3 Perkembangan teknologi dan media massa membuat diseminasi
2
Johannes Willem Bertens, “The Idea of the Postmodern: A History”, (London: Routledge, 1950), hal. 11-12.
Membangun Parameter Intersubjektif Pornografi, Sitompul
355
porngorafi dapat secara luas, dan cepat. Globalisasi dan industrialisasi mendorong pertemuan dan mempengaruhi nilai-nilai, termasuk nilai apa yang disebut pornografi dan yang bukan. Pembahasan rancangan undang-undang anti pornografi dan anti pornoaksi diresponi masyarakat dengan berbagai aksi unjuk rasa, demo hingga pawai budaya dan doa bersama. BPHN mencatat, beberapa perwakilan masyarakat daerah mulai dari Papua, Bali, dan Sulawesi Utara menyatakan kekuatirannya bahwa ketentuan-ketentuan dalam rancangan tersebut digunakan untuk mengkriminalisasi kebiasaan atau tradisi yang telah ada dalam budaya mereka secara turun menurun. Para senimanpun mengajukan keberatan mengenai rancangan tersebut karena dianggap mengekang kebebasan berekspresi dan kreativitas mereka. Tidak hanya itu saja, perwakilan rakyatpun terbelah; dua dari sembilan fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat walk out karena menolak rancangan tersebut. Sebagai langkah kompromis politis, beberapa ketentuan dari rancangan tersebut diubah, baik judul maupun jumlah pasal. Bahkan, setelah rancangan tersebut ditetapkan menjadi UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, beberapa kelompok masyarakat mengajukan uji materil terhadap undang-undang yang dimaksud melalui Perkara Nomor 10/PUU-VII/2009.4 Setelah satu undang-undang ditetapkan maka undang-undang tersebut akan menjadi bagian dari sistem hukum di Indonesia. Apabila undang-undang tersebut berisi ketentuan-ketentuan pidana, maka secara spesifik undangundang tersebut akan menjadi bagian dari sistem peradilan pidana di Indonesia. Aparat penegak hukum khususnya polisi, jaksa, dan hakim akan menerapkan undang-undang yang dimaksud, termasuk undang-undang tentang Pornografi. Salah satu kasus pornografi yang muncul adalah Putusan Nomor 39/Pid.Sus/2014/PN Wsb. Kasus ini menarik karena Terdakwa dinyatakan bersalah karena ia memajang kaos yang terdapat tulisan yang berkaitan dengan musik metal yang ditetapkan oleh pengadilan sebagai tulisan pornografi berdasarkan UU 44/2008. Tulisan tersebut, diargumentasikan oleh Terdakwa, merupakan bagian dari kebebasan berkespresi yang merupakan hak asasi manusia. Tulisan tersebut, menurutnya, merupakan refleksi dari jati diri pencinta musik metal. II. Permasalahan Dalam tulisan ini permasalahan yang hendak didiskusikan ialahbagaimana konsep postmodernisme dapat memberikan perspektif yang bermanfaat dalam mempertimbangkan fakta hukum dan juga alat bukti dalam kasus pornografi? Dengan perkataan lain, bagaimana konsep postmodernisme dapat membantu hakim dalam membangun parameter rasional intersubjektif untuk menentukan konten pornografi? 3
Firdaus Syam, “Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi”, (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2010). 4
Ibid., hal. 2-5.
Untuk membahas permasalahan tersebut, dalam tulisan ini, perlu diangkat, antara lain (1) perspektif postmodernisme; (2) pornografi dalam perspektif postmodernisme; (3) musik metal dalam perspektif postmodernisme; (4) konsep pornografi menurut UU 44/2008 tentang Pornografi. Dalam memahami definisi Pornografi,pembahasan akan difokuskan dengan menggunakan konseplegal coherence yang didalilkan oleh Balkin.5Pemahaman-pemahaman ini – postmodernisme dan UU Pornografi serta konsep legal coherence– digunakanuntuk menganalisa secara kritis satu kasus pidana pornografi yang dihadirkan. Studi kasus tersebut tidak bermaksud untuk menghasilkan satu generalisasi. Akan tetapi, berdasarkan penerapan perspektif posmodernisme dalam kasus pornografi tersebut, yang hendak diangkat ialah bahwa pamaham postmodernisme dapat memberikan perspektif yang bermanfaat dalam mempertimbangkan fakta hukum dan juga alat bukti dalam kasus pornografi yang serupa. III. Postmodernisme, Musik Metal & Seksualitas 1. Postmodernisme Bertens menilai bahwaantara tahun 1981 dan 1984, postmodernisme masuk ke dalam satu periode teoretisasi melalui publikasi Jurgen Habermas, Jean-Francois Lyotard, Fredric Jameson, Hean Baudrillard, dan Richard Rorty.6 Menurut Alysworth, terminologi "postmodernisme" masuk ke dalam leksikon filsafat pada tahun 1979 melalui publikasi La Condition Postmoderne pada tahun 1979 oleh Jean-Francois Lyotard yang diterjemahkan dalam Bahasa Inggris The Postmodern Condition: A Report on Knowledge tahun 1984. Ia dan beberapa filsuf Perancis lainnya mengembangkan konsep ini dalam periode revolusi strukturalis di Paris pada tahun 1950-an dan awal 1960-an.7 Menurut Lyotard, postmodernisme tidak berusaha untuk menyerang secara frontal realisme karena pada masa itu realisme menjadiavant-garde8 sehingga penolakan atau penyerangan secara
5
Balkin, J. M., Understanding Legal Understanding: The Legal Subject and the Problem of Legal Coherence, The Yale Law Journal, p. 105. 6
Bertens, Op.Cit., hal. 111.
7
Gary Aylesworth, "Postmodernism", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2015 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL =
, diakses tanggal 7 Oktober 2010. 8
Menurut Meriam webster : a group of people who develop new and often very surprising ideas in art, literature, etc,
– diakses tanggal 7 Oktober 2015; Sedangkan menurut Oxfordditionaries, terminologi ini berasal dari bahasa perancis vanguard yang berarti (1) new and experimental ideas and methods in art, music, or literature; (2) a group of artists, musicians, or writers working with new and experimental ideas and methods; , diakses tanggal 7 Oktober 2015.
Membangun Parameter Intersubjektif Pornografi, Sitompul
357
frontal dapat membuat kritikus dan artis terlihat bodoh.9 Oleh karena itu, para artis dan kritikus posmodernisme memilih untuk menempatkan avant-garde dalam mixing process sehingga mereka dapat lebih percaya diri untuk menekan konsep mainstream. Salah satu alasan penting posmodernisme berusaha untuk menekanrealisme ialah karena menurut mereka seni dan literatur yang dikuasai oleh kaum Burjuis sudah dipengaruhi oleh kapitalisme sehingga me-de-realisasi banyak aspek kehidupan seperti peranan sosial dan institusi. Oleh karena itu, apa yang dianggap representasinyata tidak lagi dapat menunjukkan atau membangitkan realita. Sebagaimana digambarkan oleh Lyotard:10 The Salons and the Academies, at the time when the burgeoisie was establishing itself in history, were able to function as purgation and to grant awards for good plastic and literary conduct under the cover of realism. But capitalism inheretly possesses the power to derealize familiar objects, social roles, and nstitutions to such a degree that the so-called realistic representations can no longer evoke reality except nostalgia or mockery, as on occasion for suffering rather than for satisfaction. Classicism seems to be ruled out in a world in which reality is so destabilized that it offers no occasion for experience but one for ratings and experimentation. Secara konkrit Lyotardmelihat teknologi dan industri yang berkembang – seperti teknologi fotografi dan juga industri sinema – merupakan pengganti tangan atau kerajinan dan bukanlah secara hakiki merupakan bencana terhadap kesenian lukisan atau literatur naratif, kecuali seseorang percaya bahwa esensi ini merupakan ekspresi dari kejeniusan individualitas yang didukung oleh keahlian kaum elit. Faktanya ialah bahwa fotografi dan sinematografi dapat memberikan hasil yang lebih baik, lebih cepat, dan lebih luas dibandingkan realisme naratif atau gambar. Bahkan keduanya memberikan memberikan efek realita yang lebih jelas.11 Bagi Lyotard, artis dan penulis yang tidak menekankan pada aturan dan metode memiliki peluang yang lebih besar untuk sukses, sedangkan mereka yang memperthankan aturan dan metode tersebut akan mendapatkan sedikit kredibilitas dan tidak mendapatkan jaminan adanya pemirsa. Sebagaimana ditegaskan oleh Thierry de Duve, pertanyaan estetika modern bukanlah “What is beautiful?” tetapi “What can be said to be art (and literatur)?”12 9
Jean Francis Lyotard, “The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Diterjemahkan Geoff Bennigton dan Brian Massumi, Theory and History Literatur”, Volume 10. (Manchaster University Press: United Kingdom, 1984), hal. 73-74. 10
Ibid.
11
Ibid.
Realisme berusaha untuk menghindari pertanyaan dari relatitas yang berada dalam seni dan bersaha berdiri di antara akademisme dan kedangkalan. Ketika realisme dipengaruhi oleh kekuasaan maka realisme akan menyediakan sesuatu “yang benar” (gambar “yang benar”, narasi “yang benar”, bentuk “yang benar”) yang sesuai dengan apa yang diminta, dipilih, dan diusulkan oleh pihak yang berkuasa; hal ini akan dijadikan persepsi keinginan publik. Lyotard menyatakan bahwasatu karya dapat menjadi modern hanya jika karya tersebut postmodern. Oleh karena itu, ia mendalilkan bahwa Postmodernisme dapat dipahami bukan sebagai akhir dari modernisme tetapi keadaan modern yang baru lahir, and keadaan ini konstan. Lebih lanjut, argumentasi Lyotard, postmodern harus dipahami dalam satu paradox antara masa depan dan masa lalu. A work can become modern only if it is first postmodern. Postmodernism thus understood is not modernism at its end but in the nascent state, and this state is constant ... Post modern would have to be understood according to the paradox of the future (post) anterior (modo). 13 Bagi Lyotard, artis atau penulis postmodernisme berada dalam posisi sebagai filsuf, yaitu teks yang ia tulis atau karya yang ia hasilkan tidak secara prinsip ditentukan olehaturan-aturan yang telah ada sebelumnya, dan mereka tidak dapat dinilai menurut penilaian yang telah ditentukan, dengen menerapkan kategori-kategori umum terhadap tulisan atau karyanya. Artis dan penulis menghasilkan karya-karya “without rules in order to formulate the rules of what will have been done”. Oleh karena itu, karya dan teks memiliki karakter-karakter dari satu peristiwa; karya dan teks selalu terlambat bagi penulis mereka; wujud karya merela hadir lebih dulu. Jennifer Wicke mengangkat penerapan postmodernisme dalam diskursus hukum.Menurutnya, konsep postmodernisme tidak dapat dihindari dalam diskursus legal, tetapi yang perlu ditekankan ialah bahwa postmodernisme “should not come in the guise of depoliticizing the discursive ammunition that the law provides the legal subject within the nets of postmodern hegemonic forms.”.14 Oleh karena itu, menurut Wicke, penerapan postmodernisme dalam diskursus legal perlu menekankan pada dua asumsi, yaitu:15
12
Ibid., hal. 75.
13
Ibid., hal. 79, 81.
14 Jennifer Wicke, “Postmodern Identities and the Politics of the (Legal) Subject”, Boundary 2, Vol. 19, No.2, Feminism and Postmodernism (Summer, 1992), pp. 10-33, Published by Duke University Press, hal. 10. 15
Ibid., hal. 13.
Membangun Parameter Intersubjektif Pornografi, Sitompul
359
(1) setiap pertimbangan serius mengenai postmodernisme akan berakar pada periodisasi sejarah dimana postmodern secara asal dideskripsikan sebagai konvergensi dari fenomena sejarah; (2) Postmodernisme mengacu pada timbunan suposisi-suposisi teoretis tentang sifat asali dari bahasa, teks, dan subjek manusia dalam lensa sosial. Terhadap yang pertama Wicke menekankan pentingnya publikasi Fredric Jameson tentang Postmodernism and Consumer Society. Jameson mendalilkan bahwa semua seni dan budaya akan berakar pada kondisi-kondisi material dari masyarakat di mana seni dan budaya tersebut dihasilkan. Jameson melihat bahwa postmodernisme adalah budaya logis dari akhir kapitalisme. Postmodernisme menghilangkan perbedaan antara tinggi dan rendah dan menempatkan keduanya pada kenyataan yang saling bertentangan dalam satu karya yang sama, tanpa memberikan keistimewaan terhadap salah satunya. Seni postmodernisme akan menjadi bricolage, satu kumpulan guntingan dan fragmentasi yang ditempelkan bersamaan, menghibridasi seni tinggi dan budaya masal, mendaur ulang gambar dan narasi. Contoh pengaruh postmodernisme dalam diskursus legal misalnya penerapan media elektronik dalam ruang sidang.16Sedangkan terhadap yang kedua, dengan menekankan publikasi Jameson tersebut, Wicke mengafirmasi kembali pendapat Jameson bahwa sejarah ditransformasikan menjadi gambar nostalgia karena kita telah kehilangan akses kepada sejarah dalam kekacauan gambar-gambar yang saling bertentangan dan dalam kekacauan fragmentasi kehidupan sosial, sehingga tidak ada komunitas atau narasi yang koheren mengenai sejarah bersama yang dapat hadir secara berdampingan dalam komodifikasinya17. Wicke mencatat bahwa bagi Jameson ada empat fitur dasar dari postmodernisme, yaitu: (1) kurangnya kedalaman atau jarak dalam karya; (2) pelemahan sense sejarah; (3) nada emosional baru yang disebut “intensitas” yangmentransformasi hubungan alami kita dengan objek; (4) sentralitas dari teknologi informasi baru dan reproduksi yang terhubung dengan keadaan-keadaan baru dalam kapitalisme korporasi global. 3.
Identitas dalam Perspektif Postmodernisme
Wicke menekankan bahwa Postmodernisme bagi Jameson bukanlah sesuatu yang transgressive tetapi sesuatu yang dirangkul oleh pasar, diserap oleh iklan, televisi, film, dan sebagai insider trader dalam postmodernisme itu sendiri. Jameson melihat bahwa ruang lingkup
16
17
Ibid., hal. 15-17.
Is the transformation of goods and services, as well as ideas or other entities that normally may not be considered goods, into a commodity (in the Marxist sense of the word). The Marxist understanding of commodity is distinct from the meaning of commodity in mainstream business theory.
budaya telah sangat diperluas sehingga mencakup segala sesuatu sehingga terdapat representasi-representasi (simuacrum) dalam masyarakat; peristiwa-peristiwa menjadi pseudo dan tidak lagi sesuatu yang “nyata”. Ia menggambarkan konsep identitas dalam postmodernisme sebagai sesuatu yang terfragmentasi dan secara alami terpecah-pecah serta terbagi-bagi karena begitu banyaknya diskursus sosial yang yang membangunnya. Identitas dalam konsep postmodern juga merupakan sesuatu yang sukar dipahami dalam hubungannya dengan kehadiran diri (self-presence). Oleh karena itu, usaha untuk mendefinisikan identitas sebagai sesuatu yang final atau stabil, dalam konsep postmodernisme, merupakan sesuatu hal yang tidak terbayangkan atau tidak diinginkan. Selengkapnya: Postmodern identity comes with such certification of its fragmented, fractured nature, of its fissuring by the myriad social discourses which construct it, its elusive relation to selfpresense, its forgone inconclusion, that to work one‟s ay back out onto the relatively stable plane of an identity per se is perhaps inconceivable and undesirable. Tantangan penerapan konsep posmodernisme mengenai identitas dalam konteks hukum ada pada hubungan antara “identitas” dan “subjek”. Berbicara “subjek”, menurut Wicke, akan terkait erat dengan locus of subjectivity, yaitu subjek dari manusia sebagai individu, dan objek dari subjek yang disematkan atau ditetapkan, yaitu subjected one. Identitas berhubungan dengan “subjek” bahwa identitas adalah satu pemilihan sendiri (self-chosen) dan biasanya merupakan ekspresi komunal terhadap posisi subjek sehingga berfungsi sebagai identitas secara sosial.18 Satu contoh pengaruh posmodernisme dalam diskursus hukum yang diangkat Wicke adalah kasus pada pengadilan Wisconsin tentang pemerkosaan yang dilakukan seorang pria terhadap wanita yang memiliki multiple-personality disorder. Beberapa kepribadian dari wanita tersebut memberikan persetujuan kepada pria untuk melakukan hubungan seks sedangkan satu kepribadian dari wanita itu tidak. Pada waktu hubungan seks tersebut dilakukan kepribadian wanita yang memberikan persetujuan tidak muncul, sehingga pria dianggap telah melakukan pemerkosaan.19 Wicke menegaskan bahwa teori postmodernisme dapat sangat membantu dalam mengangkatisu-isu ruang lingkup identitas yang dalam banyak hal merupakan batasan-batasan yang cair dalam konteks hukum dan bagaimana hal-hal tersebut tumpang tindih dengan norma-norma
18 Contohnya adalah idenitas “gay”. Identitas “gay” mendahului adanya identifikasi oleh masyarakat sebagai gay, dan konsep tersebut diadopsi sebagai penunjukkan terhadap satu situsi yang sama dengan kondisi tersebut. 19
Ibid., hal. 16.
Membangun Parameter Intersubjektif Pornografi, Sitompul
361
legal, akan tetapi postmodernisme tidak dapat menghapuskan konsepkonsep hukum tentang identitas yang telah ada.20 Butler menegaskan bahwa identitas yang diberikan tidak sematamata hanya merupakan pemberian informasi atau wujud ekspresi tetapi juga sekaligus merupakan pembentukan identitas kenyataan. Ia melihat bahwa bahasa adalah tubuh dari identitas. Akan tetapi, ia juga menyadari bahwa sebenarnya tidak ada koherensi antara bahasa dengan keyakinan seseorang.21 Oleh karena itu, baginya, seseorang akan memilih identitas yang ia yakini bukan apa yang pihak luar berikan padanya. Identitas yang ia yakini tersebut merupakan keseluruhan proses pengulangan akan identitas tersebut.22 4.
Musik Metal dalam Perspektif Postmodernisme
Musik metal adalah salah satu wujud posmodernisme dalam budaya. Reynolds dan Press (1995) mendalilkan bahwa dalam musik metal ada banyak lirik yang berkaitan dengan kematian dan mulitasi dalam kematian yang menunjukkan adanya kegembiraan terhadap jatuhnya struktur musik konvensional dan lahirnya musik tanpa bentuk.23 Lebih lanjut, Michele Phillipov, dari berbagai sumber, mendeskripsikan konsep musik metal dalam konteks Asia. Ia menyimpulkan bahwa musik metal terkadang dipahami sebagai wadah dalam mana hubungan-hubungan lokal atau global dinegosiasikan, tetapi dalam banyak kasus, musik metal difokuskan sebagai wadah untuk menyatakan resistensi terhadap penindasan. Metal ditampilkan sebagai sebuah outlet bagi orang-orang muda untuk melawan hierarki sosial dan konservatisme di Singapura, budaya mainstream dan perkembangan akselerasi tusime di Bali serta respons terhadap eksistensi pemuda Indonesia era pasca-Soeharto.24 Walser mendeskripsikan bahwa musik metal mendapat tantangan hebat dari berbagai pihak yang berusaha untuk membangun hubungan antara musik metal dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang serta kekerasan dan perliaku menyimpang termasuk sexual promiscuity, biseksualitas, homoseksualitas, dan satanisme. Akan tetapi ia mendalilkan bahwa obat-obatan terlarang tidak dapat menjelaskan satu bentuk musik karena musik, lirik, dan gambaran tersebut juga dapat ditemukan pada jenis musik lain. Selama tahun 1980-an musisi musik 20
Ibid., hal. 17.
21
Herdis Herdiansyah, Seksualitas Posmodernis: Refleksi Kritis dan Landasan Filosofis Keragaman Seksualitas Masyarakat Posmodernis. Thesis, Universitas Indonesia, 2006, hal. 47. 22
Ibid., hal. 48-52.
23 Dalam Keith Kahn-Harris, “Extreme Metal: Music and Culture on The Edge”, (Berg: United States, 2007), hal. 9-10. 24 Michelle Phillipov, “Death Metal and Music Criticism: Analysis at The Limits”, (Lexington Books: United Kingdom, 2012), hal. 67.
metal baik secara individu maupun kolektif telah meninggalkan obatobatan dan alkohol karena mereka melihat kerugian yang sangat besar yang mungkin mereka alami terhadap mungkin musik mereka.25 5.
Seksualitas dalam Perspektif Postmodernisme
Herdiansyah menjelaskan bahwa dalam satu fase dari sejarah peradaban manusia, yaitu pada abad pertengahan, hadir konsep bahwa tubuh merupakan sesuatu yang kotor termasuk seksualitas. Pengekangan terhadap diri termasuk keinginan seksual merupakan cara untuk dapat menyatukan diri dengan Tuhan. Agama berperan dalam membatasi keinginan tersebut. Seksualitas dianggap sebagai suatu yang kotor, dosa, cemar.26 Konsep bahwa seksualitas adalah sesuatu yang tabu dan dosa masih dapat dijumpai dalam banyak kasus sehari-hari di Indonesia.Akan tetapi, seksualitas dalam konsep postmodernis menyerukan adanya plularitas yaitu usaha untuk membebaskan diri dari konsep-konsep universal sebagaimana diatur dalam norma-norma agama yang menghasilkan anggapan tabu untuk membahas seksualitas. Lebih lanjut, ia mendeskripsikan bahwa postmodernisme juga menolak denaturalisasi yaitu konstruksi biologis yaitu secara natural manusia menyukai lawan jenis; jika manusia memiliki hasrat seksual terhadap sesama jenisnya maka hal tersebut dianggap penyimpangan. Tidak hanya itu saja, posmodernisme menerima polimorfisme hasrat, yaitu usaha untuk mencari kebebasan dengan berbagai cara dalam menghadapi pembatasanpembatasan yang ketat.27 Posmodernisme menuntut adanya penghormatan atas aktivitas seksual diluar esensialisme (heteroseksualmonogami). Kebebasan dalam postmodernisme memberikan ruang untuk melepaskan hasrat. Oleh karena itu, aturan-aturan dalam bentuk pembatasan atau pengawasan yang ketat akan dapat mendorong seksualitas masyarakat postmodernis semakin ekspresif dan subversif. Ia menyimpulkan: Pengakomodiran dan penghormatan aktivitas-aktivitas di luar essensialisme mutral untuk dilakukan. Seksualitas posmodernis ... tidak akan menimbulkan satu kondisi kacau berupa penjungkir balikan nilai-nilai yang selama ini diyakini, tetapi malah menimbulkan satu kohesi sosial yang positif karena ditopang oleh penghormatan dan pengafirmasian wacana seksualitas di luar apa yang satu individu lakukan.
25
Robert Walsel, “Running with the Devil: Power, Gender, and Madness in Heavy Metal Music”, (United States: Weslyan University Press, 1993), hal. 138-139. 26
Herdiansyah, Op.Cit., hal. 56.
27
Ibid., hal. 81-84.
Membangun Parameter Intersubjektif Pornografi, Sitompul
363
IV. Konsep Pornografi dalam UU Pornografi: Tinjauan Legal Coherence Balkin 1.
Legal Coherence: Deconstruction
Rational
Reconstruction
dan
Rational
Balkin mendalikan konsep Rekonstruksi Rasional (rational reconstruction – RR) sebagai usaha untuk melihat nalar atau pemahaman dalam materi hukum, yaitu untuk melihat material hukum sebagai salah satu skema regulasi manusia yang logis (plausible) dan dapat diterapkan (sensible). Koherensi hukum (legal coherence) merupakan hasil dari usaha untuk memahami hukum melalui proses RR. Rational reconstruction bukan hanya merupakan tes mengenai properti atau hubungan antara norma-norma hukum, tetapi merupakan satu cara untuk memandang hukum. Mengatakan bahwa hukum dapat diterima atau disetujui RRadalah membuat klaim mengenai tidak hanya objek tetapi juga subjek yang mengkonstruksikan objek dalam cara tertentu sehingga ia dapat memahaminya. Hukum disebut rationally reconstructiable ketika subjek hukum melihat hukumuntuk satu tujuan tertentu dengan satu hasil tertentu. Oleh karena itu, pertanyaan koherensi hukumpada akhirnya adalah pertanyaan kondisi-kondisi dari rational reconstructibility. RR adalah bagaimana subjek mengkonstruksikan hukum yang ia pahami.28 Untuk memahami koherensi hukum perlu ditanyakan beberapa pertanyaan berikut.29 (1) (2) (3)
(4)
Apa yang dilibatkan dalam form tertentu tentang pemahaman yang disebut RR? Bagaimana bentuk pemahaman ini berbeda dari bentuk-bentuk lain dari pemahaman hukum? Fitur-fitur apa dari pengalaman kita mempengaruhi proses RRsehingga juga mempengaruhi penilaian kita mengenai koherensi hukum? Dampak-dampak apa dalam proses RRyang ada pada kita?
Rational reconstruction merupakan usaha untuk melihat bagianbagian hukum sebagai skema yang dapat dipertahankan mengenai prinsip-prinsip dan kebijakan-kebijakan. Kita secara rasional merekonstruksikan satu bagian dari hukum ketika kita berusaha untuk mengaplikasikan bagian itu dalam satu kasus konkrit. Untuk dapat mengaplikasikan aturan-aturan hukum, kita harus berusaha untuk memahami poin dan maksud dari aturan-aturan tersebut dan hal ini membutuhkan usaha untuk mengimajinasikan prinsip-prinsip dan kebijakan-kebijakan yang reasonable yang mendasari doktrin hukum 28
Balkin, Op. Cit., hal. 114.
29
Ibid., hal. 122.
tersebut. Kita mungkin tidak menyetujui dengan prinsip-prinsip ini, tetapi apa yang penting ialah prinsip-prinsip ini konsisten dan reasonable bagi kita. Untuk dapat menentukan satu prinsip sebagai reasonable diperlukan penerapan konsep substantif mengenai nalar (reason). Merekonstruksikan hukum secara rasional artinya berusaha untuk memahami rasionalitas substantif yang memancar dari hukum itu sendiri.30 Rational reconstruction tidak hanya satu kriteria atau tes tetapi juga merupakan satu tujuan untuk menginterpretasi dan satu sikap yang diekspresikan terhadap objek yang diinterpretasi. Sikap interpretatif yang disebut RR adalah usaha untuk melihat poin dari doktrin-doktrin, dan usaha untuk membayangkan kita sendiri sebagai advokat yang memiliki simpati terhadap doktrin-doktrin tersebut sehingga kita dapat menerapkanya.31 Tujuan dari RR bukanlah menawarkan cara kita untuk bagaimana doktrin seharusnya dikonstruksikan tetapi untuk membawa sikap yang bermurah hati terhadap objek legal dan untuk membayangkan bagaimana sikap ini dapat menjadi prinsip-prinsip akomodasi yang rasional.32 Namun demikian, Balkin mendalilkan bahwa selain RR, Dekonstruksi Rasional (rationaldeconstruction- DR) juga dapat digunakan untuk memahami sistem hukum. Ketika kita secara kritikal menelaah doktrin hukum untuk menemukan kekurangan-kekurangannya maka kita melakukan DR. Tujuannya ialah bukanlah untuk melihat rasionalitas substantif hukum tetapi kelemahan-kelemahannya. Dengan perkataan lain rational deconstruction berusaha untuk mengenal bagaimana hukum telah gagal hidup sesuai standar dari rasionalitas substantif. Ia menyerang apa yang dipertahankan oleh RR.33 Apabila satu rekonstruksi doktrin dianggap gagal maka kegagalan tersebut menunjukkan bahwa perbedaan dan kesamaan hukum belum dijustifikasi secara layak. Apabila kita menyatakan satu penjelasan tidak reasonable maka kita sebenarnya mengangkat penjelasan tersebut untuk diperhadapkan kepada standard-standard dan kebijakan-kebijakan yang adil dan teguh; perbedaan-perbedaan yang adil serta kesamaan-kesamaan yang teguh.34 Meskipun koherensi dan justifikasi aktual tidak identik, cara satusatunya untuk dapat mendemonstrasikan incoherence adalah dengan mengangkatnya untuk diperhadapkan dengan standard-standar tentang justifikasi aktual. Dengan perkataan lain, DR yang mendalilkan 30
Ibid., hal. 123.
31
Ibid.
32
Ibid., hal. 124.
33
Ibid., hal. 124-125.
34
Ibid., hal. 125.
Membangun Parameter Intersubjektif Pornografi, Sitompul
365
kegagalan RR harus menerapkan konsepnya sendiri mengenai rasionalitas substantif.35 Dalam hal ini, sikap penafsiran rekonstruksidan dekonstruksi menggunakan dialektik antara pembenaran hipotesis dan aktual. Rekonstruksi Rasional mengkonstruksikan satu skema pembenaran hipotesis dengan prinsip dan kebijakan bona fide, yaitu lebih dari sekdedar konsistensi logis tetapi kurang dari pembenaran aktual; Dekonstruksi Rasional, dilain pihak menyangkal pembenaran hipotesis tetapi melanjutkan melalui serangan berdasarkan pembenaran aktual.36 Dengan demikian, pembenaran aktual dan hipotesis adalah kriteria untuk menilai apakah doktrin-doktrin hukum koheren atau tidak koheren. Mereka adalah tes yang harus dipenuhi oleh objek dari interpretasi dalam rangka menemukan apakah properti (koheren) adalah benar hasil dari interpretasi itu. Sedangkan, Rekonstruksi Rasional dan Dekonstruksi Rasional merupakan sikap-sikap penafsiran mengenai sistem hukum; keduanya adalah cara yang kita gunakan untuk melihat doktrin-doktrin hukum yang pada akhirnya menghasilkan penilaian akan koherensi atau ketidak-koherensi. Dialektika pmbenaran aktual dan hipotesis artinya mengganti kriteria dengan penilaian hukum. Dialektik RR dan DR artinya mengganti antara cara untuk melihat sistem hukum.37 Pada bagian di bawah ini akan dibahas mengenai konsep pornografi menurut UU Pornografi. Dalam pembahasan tersebut akan digunakan konsep Dekonstruksi Rasional untuk melihat beberapa keterbatasan atau kelemahan-kelemahan konsep dari definisi yang diatur dalam UU Pornografi. 6.
Konsep Pornografi
Dalam bagian ini akan dibahas secara singkat mengenai konsep pornografi dalam UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi). UU Pornografi hadir sebagai wadah penyaring hasil karya dan perbuatan agar selaras dengan nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa sesuai dengan Pancasila dan nilai-nilai beragama. Pada bagian menimbang, UU Pornografi menegaskan bahwa undang-undang ini menghormati ke-bhineka-an dalam kehidupan berbangsa dan beregara, dan juga undang-undang ini mengklaim melindungi harkat dan martaat setiap warga negara. Pembuatan, diseminasi, dan penggunaan Pornografi dinilai dapat mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat di Indonesia. Pornografi didefinisikan sebagai:
35
Ibid., hal. 126.
36
Ibid.
37
Ibid., hal. 137.
..gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Salah satu bagian yang cukup jelas dari definisi ini ialah bahwa pada dasarnya pornografi adalah konten – dalam berbagai bentuk – yangmemuat eksploitasi seksual. Akan tetapi definisi ini memuat unsurunsur yang sifatnyasubjektifatau sulit untuk dipahami misalnya: terminologi “memuat”, “norma kesusilaan”, dan “masyarakat”. Unsur “memuat” dapat banyak mengandung penafsiran. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “muat” didefinisikan sebagai: (1) ada ruang untuk diisi, ditempati, dimasuki, dipakai; (2) dapat berisi; (3) ada di dalamnya, berisi, mengandung. Terminologi “memuat” didefinisikan sebagai: (1) berisi; (2) mengandung.38 Secara praktis, apakah unsur ini dimaksudkan untuk keseluruhan konten atau mayoritas konten atau bahkan termasuk konten yang minoritas Pornografi? Kedua, unsur “kesusilaan” tidak didefinisikan atau dijelaskan dalam undangundang pornografi. Terminologi ini telah muncul dalam Kitab undangundang Hukum Pidana (KUHP), misalnya dalam Bab XIV KUHP tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan juga dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi Elektronik. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan “kesusilaan” sebagai (1) perihal susila; yg berkaitan dengan adab dan sopan santun; (2) norma yg baik; kelakuan yg baik; tata krama yg luhur.39 Definisi ini sangat luas karena tidak saja mencakup perbuatan-perbuatan yang terkait dengan seksualitas tetapi juga norma-norma masyarakat yang berkaitan dengan kesopan-santunan secara umum. Pemahaman umum yang ini sulit untuk digunakan dalam konteks hukum karena masih terlalu kabur. Akan tetapi, konsep “kesusilaan” yang diatur dalam BAB XIV KUHP juga tidak memberikan kejelasan makna yang spesifik.40 Permasalahan kedua dengan definisi Pornografi dalam UU Pornografi adalah siapa yang dimaksud dengan masyarakat? Teknologi Informasi dan Komunikasi selolah menyatukan belahan dunia dan
38
, diakses pada tanggal 8 Oktober 2015.
39
, diakses pada tanggal 8 Oktober 2015.
40
Terminologi kesusilaan dalam KUHP mencakup tindak pidana: menawarkan alat mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada yang belum dewasa (Pasal 283 KUHP); mengobati wanita hamil dengan diberitahukan bahwa obat tersebut dapat menggugurkan kehamilannya (Pasal 299 KUHP); menjual minuman yang memabukkan (Pasal 300 KUHP); menyerahkan akan untuk pengemisan (Pasal 301 KUHP); menyakiti hewan (Pasal 303 KUHP); perjudian, baik sebagai bandar maupun sebagai pemain (Pasal 303 dan 303 bis KUHP);
Membangun Parameter Intersubjektif Pornografi, Sitompul
367
membuat ruang dan waktu fisik seolah memudah dan tanpa batas. Internet dilihat sebagai ruang virtual yang tercipta akibat konvergensi teknologi telekomunikasi dan komputer. Internet menjadi wadah yang ubiquotous karena dapat diakses dari mana saja dan kapan saja oleh setiap orang yang memiliki akses. Berbicara masyarakat dalam ruang virtual maka akan ada pertanyaan yang besar yang harus dijawab: masyarakat yang mana? Apakah satu group whatsup yang memiliki kepentingan tertentu dapat disebut sebagai masyarakat? Tidak hanya di ruang virtual, dalam ruang fisik penentuan masyarakat juga tidaklah mudah. Secara konkrit siapakah yang disebut masyarakat? Dan apa batasannya? Apakah mencakup satu rukun tentangga, rukun warga, lingkup kelurahan, atau kecamatan? Bagaimana dengan masyarakat adat? Salah satu unsur lain yang ada di dalam UU Pornografi khususnya Pasal 4 dan Pasal 5 UU Pronografi yang perlu diangkat kesubjektivitasannya di sini ialah terminologi “mengesankan ketelanjangan”. Undang-undang ini memberikanpenjelasan tentang terminologi ini bahwa yang dimaksud dengan "mengesankan ketelanjangan” adalah suatu kondisi seseorang yang menggunakan penutup tubuh, tetapi masih menampakkan alat kelamin secara eksplisit. Dari beberapa unsur yang mengandung subjektivitas tersebut, pertanyaan penting yang diajukan ialah siapakah yang dapat menentukan bahwa satu konten merupakan Pornografi. Tentu pada akhirnya Pornografi diputuskan oleh hakim. Akan tetapi, apa parameter yang perlu (bukan harus atau seharusnya karena parameter ini merupakan alternatif) digunakan oleh hakim sehingga ia dapat sampai pada putusan bahwa satu konten adalah Pornografi. Parameter ini dapat memberikan kejernihan bagi hakim untuk mengolah fakta-fakta yang disimpulkan melalui alatalat bukti yang dihadirkan di persidangan. Dengan demikian, keyakinan hakim juga memiliki fondasi yang kuat. V. Analisa Kasus Putusan Nomor 39/Pid.Sus/2014/Pn.Wsb Krononologis Kasus Nomor 39/Pid.Sus/2014/PN.Wsb (Kasus 39/PN Wsb) ialah sebagai berikut. Terdakwa memiliki sebuah Distro pakaian yang terletak di depan sekolah SMU Muhammadiyah. Salah satu jenis pakaian yang ia jual dengan dipajang adalah kaos yang berisi kata-kata: Pada bagian depan kaos: Metal Sak Abroling Jemb#t Pada bagian belakang kaos: Metal Sak Entenging Pej*h Temp@k Sejuta Umat Baw*k Kimcilku Yang Unyu Semoga Ora Mambu
Atas perbuatan memajang kaos tersebut di distronya sehingga dapat dilihat oleh umum, Terdakwa dinyatakan melanggar Pasal 29 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yaitu memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, emperjualbelikan, menyewakan atau menyediakan Pornografi dan dijatuhi hukuman 7 (tujuh) bulan penjara dan denda sebesar Rp.250 juta rupiah subsider 1 (satu) bulan penjara. Alat bukti yang dipergunakan dalam Kasus 39/PN Wsb adalah sebagai berikut: 1. Keterangan Saksi, yaitu tiga orang saksi; dua diantaranya adalah polisi dan satu orang lagi adalah pengunjung distro; 2. Keterangan Ahli, yang berasal dari Kementerian Agama dengan latar belakang pendidikan agama Islam. Ahli menyatakan bahwa keterangannya telah didiskusikan dengan ahli bahasa Indonesia, ahli bahasa Jawa, dan ahli agama. Ia menjelaskan makna dari kalimat yang terdapat di dalam kaos tersebut. Kalimat pada Kaos
Arti Kalimat
Metal Sak Abroling Jemb#t
Berhubungan seks sampai sepuaspuasnya
Metal Sak Entenging Pej*h
Berhubungan seks sampai habis spermanya
Temp@k Sejuta Umat
Kelamin perempuan yang bebas digauli dan atau bebas berhubungan seks dengan siapapun
Baw*k Kimcilku Yang Unyu Semoga Ora Mambu
Alat kelamin perempuan kecil yang imut dan menggemaskan semoga tidak bebau
Ahli menerangkan bahwa: a) tulisan .. tersebut dimungkinkan... bahasa prokem yang diketahui oleh komunitas tertentu; b) kata kimcil kemungkinan adalah akronim dari kimplungan cilik atau anak-anak kecil yang tidak memiliki basis moralitas dan tunduk pada moralitas etika atau agama serta cenderung pada kebebasan hidup, kimcil juga kemungkinan semakna dengan kimpet atau kebalikan dan atau plesetan dari kata tempik, sedangkan unyu merupakan bahasa gaul yang berarti imut dan atau menggemaskan; c) namun demikian tanpa melihat makna leksikal dan gramatikalnya pun bisa diketahui maksud dari tulisan tersebutmengarah pada ucapan kotor, tidak senonoh dan tidak sopan adapun kata metal dalam
Membangun Parameter Intersubjektif Pornografi, Sitompul
369
pengertian yang umum memiliki konotasi dengan suatu aliran musik tertentu dengan sifat tertentu sehingga setiap orang yang mendegar dan atau membaca tulisan/kalimat tersebut utamanya di ruang publik akan mengarah pada hal-hal yang tidak sopan, tabu dan tidak senonoh menurut etika masyarakat khususnya masyarakat Jawa; d) jika dilihat dari sudut pandang agama maka ... ada perbuatan yang sangat dilarang yaitu zina, yang potensinya dimulai dengan ucapan dan atau perilaku yang mengarah pada perbuatan tersebut atau yang disebut Muqaddimat al zina, antara lain berupa memandang, membaca tulisan, ... maka setiap ucapan yang memungkinkan orang berbuat zina adalah kata-kata tidak senonoh atau rafats yaitu katakata dan cerita-cerita yang mengandung/membangkitkan birahi disebut rafats dan yang demikian ini nilainya setara dengan perbuatan dosa (fusuk) oleh karenanya kalimat-kalimat tersebut diatas tidak boleh dituliskan baik sementara maupun permanen, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Fatwa Komisi Fatwa Majelis Utalam Indonesia Nomor 287 Tahun 2001 tentang Pornografi dan Pornoaksi; e) jika dilihat dari sudut pandang pendidikan maka kalimat-kalimat sebagaimana tersebut diatas memberikan impresi atau kesan yang tidak senonoh, jorok dan kotor terhadap kognisi anak-anak walaupun demikian karena kecenderungan imitive pada diri anak, kalimatkalimat bahkan perilaku tersebut berpotensi ditiru oleh anak-anak lainnya sehingga secara psikis dan kognitif anak-anak lainnya tercemari oleh kalimat-kalimat tersebut dan kalimat-kalimat tersebut berpotensi mengarah/menuju gerakan free seks yang sangat berbahaya bagi integritas moral kehidupan bermasyarakat; 3. Keterangan Terdakwa a) menurut Terdakwa kata-kata pada kaos tersebut adalah plesetan kata atau gambaran dari slogan “metal sampai mampus/metal sak tekaning pati atau metal sampai mati” yang kemudian dijadikan slogan judul lagu metal untuk mengobarkan semangat terus tetap metal bagi kaum metalis, itulah bentuk sendi dan budaya yang merupakan hak mendasar manusia berkarya cipta; Berdasarkan fakta-fakta dan barang bukti yang dihadirkan di persidangan, Hakim menyatakan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: (1) bahwa hakim menilai untuk menentukan apakan tulisan dalam kaos tersebut adalah pornografi berdasarkan pendapat dari dua orang saksi yang adalah polisi dan seorang saksi lain yang juga merupakan anggota komunitas metal; (2) menolak Nota Pembelaan Terdakwa (Pledooi) yang mengadvokasi bahwa “tulisan itu ada kaitannya dengan dunia seksual siapapun akan beranggapan demikian karna dalam tulisan tersebut
disebutkan nama jenis kelamin tetapi akan berbeda maksud apabila yang menjadi saksi ahli adalah seorang semiman sejati atau diambil dari komunitas metal itu sendiri karena kata-kata itu adalah plesetan kata atau gambaran dari slogan “metal sampai mampus/ metal sak tekaning pati atau metal sampai mati”...disinilah letak perbedaan dalam mengartikan maksud dari tulisan dalam kaos itu...” (3) “...yang perlu menjadi pertimbangan terdakwa adalah memang benar seni dan budaya merupakan hak mendasar manusia, namun oleh karena sudah menyangkut ranah publik maka ekspresi seni dan budaya tersebut harus diimplementasikan sesuai dengan norma-norma dan hukum yang berlaku dalam masyarakat dalam hal ini adalah norma kesopanan, norma kesusilaan serta hukum yang berlaku incasu Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.” VI.
Analisa
Telah dijelaskan di atas dengan menggunakan Derekonstruksi Rasional Balkin bahwa konsep dan definisi Pornografi dalam UU Pornografi memiliki kelemahan-kelemahan yaitu adanya ketidakjelasan dan subjektivitas unsurunsur khususnya terminologi “melanggar kesusilaan”, dan “masyarakat”. Oleh karena itu, untuk dapat menggunakan konsep dan definisi Pornografi dalam UU Pornografi secara aplikatif dan rasional maka seorang hakim perlu merekonstruksikan kembali definisi tersebut dengan membangun parameterparameter, khususnya dengan diawali pertanyaan siapakah yang disebut dengan “masyarakat” dalam Pasal 1 butir 1 UU Pornografi? Hal ini penting karena pertama, postmodernisme menolak adanya universalisme dan mendorong adanya kontektualisasi dan pluralisme. Dengan demikian konsep masyarakat juga harus dilihat secara kontekstual. Selain itu, postmodernisme juga mengadvokasi adanya tempat dan penerimaan bagi “kelas” minoritas dalam keseluruhan masyarakat. Oleh karena itu, untuk merekonstruksikan kembali “masyarakat” dalam UU Pornografi maka harus ditentukan masyarakat dan dipertemukan nilai-nilai dari masyarakat: 1. 2.
yang diidentifikasikan oleh konten yang dimaksud (a quo: komunitas metal); yang membaca atau menerima (siapa?);
Membangun Parameter Intersubjektif Pornografi, Sitompul
371
Dengan menjawab pertanyaan ini melalui parameter-parameter rasional maka kebutuhan untuk menjelaskan cakupan norma kesusilaan yang dimaksud dalam pasal a quo juga dapat lebih mudah dipenuhi. Dengan perkataan lain, dengan menentukan siapa yang dimaksud dengan masyarakat tersebut maka dapat ditelusuri apakah benar ada nilai-nilai kesusilaan yang telah dilanggar? Jika ada nilai-nilai yang mana dari masyarakat yang dimaksud yang telah dilanggar dalam UU Pornografi. Berdasarkan kronologis, alat bukti dan barang bukti serta pertimbangan hakim di atas maka dapat dilihat sebagai berikut. Pertama, sebagaimana digambarkan oleh Phillipov (2012), musik metal merupakan salah satu bentuk dari budaya postmodernisme. Adanya unsur kemarahan dan pemberontakan dalam musik dan lirik lagu metal merupakan bentuk ekspresi ketidakpuasan terhadap kondisi yang ada. Postmodernisme menuntut adanya penerimaan terhadap ekspresi ini. Selain itu, sebagaimana disimpulkan oleh Hardiyansah (2006), seksualitas dalam konsep postmodernis menyerukan adanya plularitas, menolak denaturalisasi, dan menerima polimorfisme hasrat, yaitu usaha untuk mencari kebebasan dengan berbagai cara dalam menghadapi pembatasanpembatasan yang ketat.41 Posmodernisme menuntut adanya penghormatan atas aktivitas seksual diluar esensialisme (heteroseksual-monogami). Kebebasan dalam postmodernisme memberikan ruang untuk melepaskan hasrat. Oleh karena itu, aturan-aturan dalam bentuk pembatasan atau pengawasan yang ketat akan dapat mendorong seksualitas masyarakat postmodernis semakin ekspresif dan subversif. Oleh karena itu,keterangan saksi dua orang saksi polisi dan satu orang anggota komunitas metal tidak dapat dijadikan representasi valid untuk menentukan terpenuhi tidaknya unsur “masyarakat” sebagaimana dimaksud dalam definisi Pornografi. Polisi seharusnya tidak memberikan keterangan
41
Ibid., hal. 81-84.
apakah konten tersebut merupakan pornografi atau bukan karena mereka tidak representatif dan mereka berada pada posisi sebagai aparat penegak hukum. Kedua keterangan ahli dari Kementerian Agama tanpa didukung ahli musik metal yang memahami konsep dan perspektif aliran metal terhadap seksualitas menjadi tidak representatif. Dalam konteks ini, menurut perspektif postmodernisme unsur “kelas” metal harus dihadirkan karena unsur ini yang menjadi subjek yang dibahas. Akibatnya, ahli: 1)
2)
3)
tidak meyakini makna tulisan menurut perspektif yang membuat; hal ini terlihat melalui kata-kata yang digunakan “dimungkinkan”, “kemungkinan” menggunakan perspektif agama dalam menilai seksualitas dalam konteks musik metal dan melakukan generalisasi-generalisasi dengan menggunakan perspektif agama. - “..tanpa melihat makna leksikal dan gramatikalnya pun bisa diketahui maksud dari tulisan tersebut mengarah pada ucapan kotor, tidak senonoh dan tidak sopan”; - “...setiap orang yang mendengar dan atau membaca tulisan/kalimat tersebut utamanya di ruang publik akan mengarah...”; - “jika dilihat dari sudut pandang agama ....”; - “jika dilihat dari sudut pandang pendidikan...” Generalisasi yang dilakukan oleh ahli bukanlah suatu penerapan pendekatan empiris, tetapi suatu asumsi. Akan tetapi asumsi tersebut belumdapat ditentukan kebenarannya. (1) Pernyataan “jika dilihat dari sudut pandang pendidikan....” harus ditegaskan pendidikan apa yang dimaksud di sana? Apakah pendidikan musik? Apakah pendidikan agama? Menggunakan perspektif pendidikan agama per se tentunya tidak cukup dalam menilai konten a quo. (2) Pernyataan “...berpotensi ditiru oleh anak-anak lainnya sehingga secara psikis dan kognitif anak-anak lainnya tercemari...” merupakan pernyataan yang sulit untuk
Berdasarkan hal tersebut di atas maka postmodernisme dapat memberikan perspektif yang bermanfaat dalam mempertimbangkan fakta hukum dan alat bukti dalam kasus pornografi khususnya bagi kasus-kasus yang berada di grey area antara perbuatan seksual eksplisit dan perbuatan atau karya seni. 1)
2) 3)
mempertemukan dua pihak yang saling berseteru yaitu antara masyarakat atau kelas si pembuat atau pendiseminasi konten, dan masyarakat atau kelas si pembaca atau penerima konten; representasi dari masyarakat mungkin sulit, untuk itu, hakim dapat menghadirkan ahli-ahli yang diperlukan; menentukan apakah menurut kedua masyarakat atau kelas tersebut, konten a quo merupakan sesuatu yang melanggar norma kesusilaan mereka atau tidak;
Membangun Parameter Intersubjektif Pornografi, Sitompul
4)
VII.
373
jika hakim menilai bahwa menurut masyarakat pembaca merupakan hal yang melanggar kesusilaan tetapi menurut masyarakat pembuat konten hal tersebut tidak melanggar kesusilaan maka hakim perlu merefleksikan lebih dalam dan menentukan apakah pantas perbuatan tersebut dihukum? Jika pantas berapa hukumannya? Penutup
Sebagaimana ditegaskan di atas bahwa tulisan ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan bagaimana konsep postmodernisme dapat memberikan perspektif yang bermanfaat dalam mempertimbangkan fakta hukum dan juga alat bukti dalam kasus pornografi? Dengan perkataan lain, bagaimana konsep postmodernisme dapat membantu hakim dalam membangun parameter rasional intersubjektif untuk menentukan konten pornografi? Pemahaman-pemahaman mengenai postmodernisme dan UU Pornografi serta konsep legal coherence digunakan untuk menganalisa secara kritis satu kasus pidana pornografi yang dihadirkan. Studi kasus tersebut tidak bermaksud untuk menghasilkan satu generalisasi. Akan tetapi, berdasarkan penerapan perspektif posmodernisme dalam kasus pornografi tersebut, yang hendak diangkat ialah bahwa pamaham postmodernisme dapat memberikan perspektif yang bermanfaat dalam mempertimbangkan fakta hukum dan juga alat bukti dalam kasus pornografi yang serupa. Berdasarkan hasil penelitian di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut. 1.
2.
Perspektif postmodernisme Lyotard, Wicke, dan Balkin melemahkan pertimbangan-pertimbangan hakim atau dan putusan Nomor 39/Pid.Sus/2014/PN Wsb. Pertama, hakim perlu lebih representatif dalam mempertemukan masyarakat pembuat konten dan masyarakat pembaca. Kedua, perspektif agama seharusnya tidak dijadikan satu-satunya pertimbangan dalam menentukan satu konten termasuk pornografi atau tidak. Perlu ada juga pertimbangan dari perspektif komunitas metal. Postmodernisme mengadvokasi adanya penerimaan terhadap nilai pluralisme dan menerima kelas minoritas. Berdasarkan hal tersebut di atas maka postmodernisme dapat memberikan perspektif yang bermanfaat dalam mempertimbangkan fakta hukum dan alat bukti dalam kasus pornografi khususnya bagi kasuskasus yang berada di grey area antara perbuatan seksual eksplisit dan perbuatan atau karya seni. Kembali ditegaskan bahwa Postmodernisme mengadvokasi adanya penerimaan terhadap nilai pluralisme dan menerima kelas minoritas.. a. mempertemukan dua pihak yang saling berseteru yaitu antara masyarakat atau kelas si pembuat atau pendiseminasi konten, dan masyarakat atau kelas si pembaca atau penerima konten; b. representasi dari masyarakat mungkin sulit, untuk itu, hakim dapat menghadirkan ahli-ahli yang diperlukan;
c.
d.
menentukan apakah menurut kedua masyarakat atau kelas tersebut, konten a quo merupakan sesuatu yang melanggar norma kesusilaan mereka atau tidak; jika hakim menilai bahwa menurut masyarakat pembaca merupakan hal yang melanggar kesusilaan tetapi menurut masyarakat pembuat konten hal tersebut tidak melanggar kesusilaan maka hakim perlu merefleksikan lebih dalam dan menentukan apakah pantas perbuatan tersebut dihukum? Jika pantas berapa hukumannya?
Membangun Parameter Intersubjektif Pornografi, Sitompul
375
Daftar Pustaka Buku Bertens, Hans. The Idea of the Postmodern: A History, Routledge: London, 1995. Harahap, Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan Dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika. 2006. _____________. Ed.2. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Herdiansyah, Herdis. Seksualitas Posmodernis: Refleksi Kritis dan Landasan Filosofis Keragaman Seksualitas Masyarakat Posmodernis, Thesis: Universitas Indonesia. 2006. Lyotard, Jean Francis. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Diterjemahkan Geoff Bennigton dan Brian Massumi, Theory and History Literatur, Volume 10, Manchaster University Press: United Kingdom. 1984. Nehring, Neil. Popular Music. Gender, and Postmodernism: Anger is an Energy, United Kingdom: Sage Publication Inc, 1997. Phillipov, Michelle. Death Metal and Music Criticism: Analysis at the Limits, Lexington Books: United Kingdom, 2012. Syam, Firdaus. Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2010. Walsel, Robert. Running with the Devil: Power, Gender, and Madness in Heavy Metal Music, United States: Weslyan University Press, 1993. Zurbrugg, Nicholas. The Parameter of Postmodernism. United States: Southern Illinois University Press, 1993. Artikel Aylesworth, Gary. "Postmodernism", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2015 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL = , diakses tanggal 7 Oktober 2010. Balkin, J.M. ”Understanding Legal Understanding: The Legal Subject and the Problem of Legal Coherence”, The Yale Journal 103: 105-176. 1993.
Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kitan Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Kamus Meriam webster Dictionary, , diakses tanggal 7 Oktober 2015. Oxford Dictionary, , diakses tanggal 7 Oktober 2015. Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Jaringan, , diakses pada tanggal 8 Oktober 2015.