PUTUSAN PEMIDANAAN DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA TERHADAP TERDAKWA MAHASISWA (STUDI PUTUSAN NOMOR : 02/PID.SUS/2012/PN.PWT)
SKRIPSI
Diajukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum paada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Disusun Oleh : NOVIA ISABELLA PUSPITASARI NIM. E1A008231
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2014 i
ii
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: PUTUSAN PEMIDANAAN DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA TERHADAP TERDAKWA MAHASISWA (STUDI PUTUSAN NOMOR : 02/PID.SUS/2012/PN.PWT) Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain. Dan apabila terbukti saya melakukan Pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.
Purwokerto,
Februari 2014
NOVIA ISABELLA PUSPITASARI NIM. E1A008231
iii
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb. Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : PUTUSAN PEMIDANAAN DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA TERHADAP TERDAKWA MAHASISWA (STUDI PUTUSAN NOMOR : 02/PID.SUS/2012/PN.PWT). Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis banyak menghadapi tantangan dan hambatan. Akan tetapi dengan rahmat Allah SWT dan bantuan dari berbagai pihak, maka tantangan dan hambatan tersebut dapat teratasi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan puji syukur kepada Allah SWT kepada semua pihak khususnya kepada : 1. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, serta selaku Pembina Akademik dari penulis yang telah memberikan semangat dan doanya yang tulus untuk penulis agar selesainya skripsi ini dan lulus dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto; 2. Handri W.S, S.H.,M.H. , selaku dosen pembimbing I/ dosen penguji I, yang telah membimbing skripsi penulis dari awal sampai selesainya skripsi penulis;
iv
3. Dr. Hibnu Nugroho,S.H,. M.H, selaku dosen pembimbing II/ dosen penguji II, yang telah membimbing skripsi penulis dari awal sampai selesainya skripsi penulis; 4. Pranoto, S.H.,M.H., selaku dosen penguji III yang telah memberikan saran-saran yang membantu penulis dalam menyempurnakan skripsi penulis; 5. Hj. Roosmiyati, selaku nenek saya juga Liza Puspita dan Darmanto orang tua dari penulis yang telah memberikan semangat dan doanya yang tulus untuk penulis agar selesainya skripsi ini dan lulus dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto; Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi penyusunan, penulisan maupun materi di dalamnya, namun dengan segala kerendahan hati penulis mohon maaf sekaligus sumbang saran maupun kritik konstruktif yang sifatnya membangun dari pembaca sangat penulis harapkan untuk memacu semangat penulis dalam menulis. Akhir kata semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi semua pihak, khususnya bagi penulis sendiri sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Purwokerto, 24 Februari 2014
Novia Isabella Puspitasari NIM. E1A008231
v
ABSTRAK Hukum Pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan hukum pidana formil diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut KUHAP sebelum hakim menjatuhkan putusan, terlebih dahulu adanya proses pembuktian. Dalam Pembuktian harus didasarkan kepada UndangUndang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah yang terdapat pada pasal 184 KUHAP, pembuktian di persidangan hakim berpedoman pada Pasal 183 KUHAP. Seperti dalam perkara ini, yaitu putusan pemidanaan yang dijatuhkan oleh Hakim di Pengadilan Negeri Purwokerto yakni Putusan Nomor : 02/Pid.Sus/2012/PN.Pwt dimana terdakwa melakukan penyalahgunaan Narkotika seperti yang diatur dalam Pasal 111 – 114 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009. Terdakwa yang dinyatakan bersalah dan harus mempertanggung jawabkan perbuatannya tersebut maka Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 4 tahun dan denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak dibayar harus diganti dengan pidana penjara selama 1(satu) bulan. Kata kunci: Putusan Pemidanaan, Narkotika, Mahasiswa
vi
ABSTRACT Criminal law is part of public law . Criminal law is divided into two parts , material criminal law and formal criminal law . Material criminal law stipulated in the Criminal Justice Act ( Criminal Code ) , while the formal criminal law stipulated in the Code of Criminal Procedure ( Code of Criminal Procedure ) . According to the Criminal Procedure Code before the judge ruled , advance the process of verification . In Proof must be based on the Law (Criminal Code ) , which is valid evidence contained in article 184 of the Criminal Procedure Code , evidence in the trial judge based on the Article 183 of the Criminal Procedure Code . As in this case , the sentencing decision handed down by
District
Court
Judge
in
Navan
namely
Decision
Number
:
02/Pid.Sus/2012/PN.Pwt which the defendant committed the abuse of narcotics as set forth in Section 111-114 of Law No. 35 in 2009 . The accused were found guilty and accountable for his actions the defendant sentenced to prison for 4 years and a fine of Rp . 800.000.000 , - ( eight hundred million dollars ) with the provision that if the fine is not paid to be replaced by imprisonment for 1 ( one ) month .
Keywords : Decision Punishment, Narcotics, Student.
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN 1. Seluruh keluarga besar Fredianto, oma Dewi, ii Irma, om Dody, ii Septi, uu Dian, tante atri, uu Oktaf, tante Eva dan ii astri juga om Dade yang merupakan keluarga dari penulis yang juga memberikan semangat untuk penulis; 2. Fernando Satya Pratama (kakak), mba Yani (kakak ipar) juga Geraldine Delataya (adik) yang saya sayangi. 3. Semua sepupu saya yang saya sayangi Niko, Han-han, Ita, Sasa, Kevin, Fardan, Rizal, Audrey, Angel juga keponakan saya yang baru satu Alice. 4. Ralyby Akbar yang selama ini mendampingi saya, banyak membantu dan mengarahkan saya selama ini. 5. Sahabat tercinta Desniaty Rahayu, Afry Kartika, Nikke Ellisse, Nahani Widya Nastiti, Lana rachmalia, Bunga Rona yang selalu memberikan dukungan dan semangat bagi penulis; 6. Makasih Anggita,Ayu, dan semua teman-teman yang bersama-sama berjuang menyelesaikan skripsi kita ini. 7. Serta semua teman-teman angkatan 2008 khususnya yang selalu memberikan dorongan dan semangat bagi penulis selama kuliah dan pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN.....................................................................
ii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ...............................
iii
KATA PENGANTAR ................................................................................
iv
ABSTRAK ..................................................................................................
vi
ABSTRACT................................................................................................
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………………….
viii
DAFTAR ISI...............................................................................................
ix
BAB I. PENDAHULUAN ..........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................
1
B. Perumusan Masalah ....................................................................
6
C. Tujuan Penelitian ........................................................................
6
D. Kegunaan Penelitian...................................................................
6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................
8
A. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana ............................
8
B. Asas-asas Hukum Acara Pidana.................................................
13
C. Putusan .......................................................................................
25
1. Pengertian Putusan .................................................................
25
2. Putusan Perkara Pidana ..........................................................
28
3. Macam dan jenis Putusan Hakim ...........................................
31
ix
D. Sanksi Terdakwa ......................................................................
44
1. Pengertian Sanksi dan Jenis Sanksi ........................................
44
2. Jenis Sanksi ............................................................................
45
E. Tindak Pidana Narkotika ...........................................................
53
BAB III. METODE PENELITIAN.............................................................
63
A. Metode Pendekatan ..................................................................
63
B. Spesifikasi Penelitian ...............................................................
63
C. Sumber Data.............................................................................
64
D. Metode Pengumpulan Data......................................................
65
E. Metode Penyajian Data.............................................................
65
F. Metode Analisis Data ...............................................................
65
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...........................
66
A. Hasil Penelitian ........................................................................
66
B. Pembahasan ..............................................................................
89
BAB V. PENUTUP.....................................................................................
103
A. Simpulan ..................................................................................
103
B. Saran.........................................................................................
104
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
105
x
DAFTAR PUSTAKA Literatur Arief, Barda Nawawi. 2005. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan Ketiga Revisi. Citra Aditya Bhakti, Bandung. Bambang, Poernomo. 2008. Orientasi Hukum Acara Pidana, Amarta Buku, Jogjakarta. Bambang, Suggono, 2006. Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Grafika, Jakarta. Departemen Kehakiman RI. Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Djoko Prakoso, 2008. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Di Dalam Proses Pidana, Liberty, Yogyakarta. Gatot Supramono, S.H, 2004. Hukum Narkoba Indonesia Edisi Revisi, Penerbit Djambatan, Jakarta. Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Jan Remmelink, 2003. Hukum Pidana (Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Pidana Indonesia), Gramedia Pustaka, Jakarta. Makarao, Mohammad Taufik dan Suharil. 2010. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta. Mertokusumo, Sudikno, 2009. Penemuan Hukum,Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, 2004. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta. M. Yahya Harahap, 2006. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta. Peter Mahmud. M, 2009. Penelitian Hukum, Prenada Media, Indonesia.
xi
Prints Darwan. 2003. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Djambatan, Jakarta. Prodjohamidjojo, Martiman. 1983. Sistem pembuktian dan Alat-Alat bukti. Ghalia Indonesia, Jakarta. Ronny Hanitijo Soemitro, 2008. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia, Jakarta. Waluyadi. 2012. Pengetahuan Hukum Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatan Khusus). Mandar Maju, Bandung.
Perundang-Undangan Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1949 Tentang Kitab Undang - Undang Hukum pidana (KUHP) ________, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 1981; Tambahan Lembaran , Undang-undang No 35 tahun 2009 Tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143). Jurnal Sungsang, Rio,E1A005438. 2012. Penerapan Tindak Pidana Narkotika Terhadap Pengguna. Fakultas Jenderal Soedirman Purwokerto. Skripsi. Sayekti,A.M. E1A008233. 2012. Pembuktian Keterangan Saksi Dalam Berita Acara Penyidikan Disidang Pengadilan Terhadap Tindak Pidana Narkotika. Fakultas Jenderal Soedirman Purwokerto. Skripsi. Susanto,D.P. 2011. Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika (study putusan No 73/Pid.B/2010/PN.Tegal). Fakultas Jenderal Soedirman Purwokerto. Skripsi. Silaban,F.E.S. 2012. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pengaturan Tindak Pidana Narkotika Di Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Sumara Utara Medan. Jurnal.
xii
Sumber-sumber lain http://typinggugungunawan.blogspot.com/2012/03/pengertian-dan-sistem-hukumacara.html diakses pada tanggal 13 September 2013 pukul 20.00 WIB http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt505cf66e1932d/kekuatanpembuktian-tes-urine-dalam-perkara-narkotika. diakses tanggal 25 Mei 2013 pukul 19.00 WIB http://dr-syaifulbakhri.blogspot.com/2012/03/tindak-pidana-narkotika-dan.htm). diakses tanggal 25 Mei 2013 pukul 19.00 WIB http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/s1hukum08/203711035/bab2.pdf diakses pada tanggal 13 Sepember Tahun 2013 pukul 20.00 WIB http://bloghukumumum.blogspot.com/p/proses-penyitaan-barang-buktidalam.html. diakses tanggal 25 Mei 2013 pukul 19.00 WIB http://michibeby.wordpress.com/asas-asas-dalam-hukum-acara-pidana. tanggal 25 November 2013 pukul 15.00 WIB.
diakses
http://belajarpsikologi.com/pengertian-narkoba diakses tanggal 16 Januari 2014 pukul 21.00 WIB. Advokatku.blogspot.com/2010/01/mengenal-macam-dan-jenis-putusan.html. diakses tanggal 04 Desember 2013, pukul 14.00 WIB. www.hukumonline.com/klinik/detail/h50b2e5da8aa7c/kapan-putusan-pengadilandinyatakan-berkekuatan hukum tetap. diakses pada tanggal 04 Desember 2013 pukul 15.20 WIB. Lawfile.blogspot.com/2011/07/macam-macam-putusan-pengadilan.html pada tanggal 04 Desember 2013 pukul 16.00 WIB.
diakses
www.hukumonline.com/klinik/detail/it4beo12381c490/sanksi-hukum-pidana diakses 9 Desember 2013 pukul 13.00 WIB.
xiii
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Hal terpenting di dalam hukum acara pidana adalah pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan. Karena dalam hal ini hak asasi manusia dipertaruhkan. Hukum acara pidana yang merupakan hukum pidana formal mempunyai tujuan untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran meteriil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah
yang dapat didakwakan melakukan
pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. Mengenai suatu kebenaran materiil maka setiap kasus untuk dapat memenuhi pembuktian yang dipandang cukup untuk kepentingan penuntutan persidangan perkaranya yang dilakukan dengan proses pengumpulan barang bukti, pemeriksaan terhadap para saksi-saksi dan tersangka. Pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah yang terdapat pada Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. Adapun alat-alat bukti yang dimaksud adalah seperti yang diatur pada Pasal 184 KUHAP dan
2
pembuktian dipersidangan hakim berpedoman pada Pasal 183 KUHAP yang mengatur mengenai pembuktian yaitu : "Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya" Atas dasar rumusan Pasal 183 KUHAP tersebut, hakim untuk menentukan sah atau tidaknya seorang terakwa dan untuk dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa harus memiliki dua syarat yaitu : 1) Kesalahannya dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah 2) Atas terbuktinya dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim harus memperoleh keyakinan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.1 Untuk pelaku penyalahgunaan Narkotika dapat dikenakan UndangUndang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, hal ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1) Sebagai pengguna Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 116 UndangUndang Nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika, dengan ancaman
hukuman paling lama 15 tahun. 2) Sebagai pengedar Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 81 dan 82 UndangUndang No. 35 tahun 2009 tentang narkotika, dengan ancaman hukuman paling lama 15 + denda.
1
Jan Remmelink. 2003. Hukum Pidana (Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Pidana Indonesia), Gramedia Pustaka, Jakarta.
3
3) Sebagai produsen Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 113 UndangUndang No. 35 tahun 2009, dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun/ seumur hidup/ mati + denda. Ketentuan pidana bagi yang menyalahgunakan narkotika diatur dalam Pasal 111 - Pasal 114 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009. Alat-alat bukti ini sangat diperlukan, oleh karena itu hakim tidak boleh begitu saja menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya terdapat dua alat bukti yang sah sehingga memperoleh keyakinan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan. Adalah menjadi kewajiban pula bahwa kedua alat bukti itu adalah mampu membangkitkan keyakinan hakim. Guna memenuhi pembuktian yang dipandang cukup untuk kepentingan penuntutan dan persidangan perkaranya baik penyidik dan penuntut umum berusaha memenuhi alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang seperti diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Masyarakat yang mampu tetapi juga merambah ke kalangan masyarakat yang kurang mampu baik di kota maupun di pedesaan.2 Untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan pengobatan, narkotika adalah zat yang sangat dibutuhkan. Untuk itu penggunaannya secara legal dibawah pengawasan dokter dan apoteker. Di Indonesia sejak adanya UndangUndang Narkotika, penggunaan resmi narkotika adalah untuk kepentingan pengobatan dan penelitian ilmiah, penggunaan narkotika tersebut di atas diatur 2
Sungsang, Rio,E1A005438. 2012. Penerapan Tindak Pidana Narkotika Terhadap Pengguna. Fakultas Jenderal Soedirman Purwokerto. Skripsi.
4
dalam Pasal 4 Undang-Undang Narkotika yang bunyinya: “Narkotika hanya dapat
digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan
atau
pengembangan ilmu pengetahuan.3 Menyalahgunaan dan mengedarkan narkotika secara illegal (tanpa izin) merupakan perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Perbuatan menyalahgunakan dan mengedarkan Narkotika secara illegal telah memenuhi rumusan tindak pidana dalam Undang-Undang tersebut dan telah dikualifikasikan sebagai suatu bentuk kejahatan yaitu suatu perbuatan atau tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan, merugikan masyarakat, bersifat melanggar hukum serta Undang-Undang Pidana. Penjatuhan perkara pidana dapat diharapkan dapat menyelesaikan dan mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat yang terganggu akibat dilakukannya tindak pidana. Dengan kata lain hakekat dari penjatuhan pidana kiranya dapat menjadi upaya yang dilakukan oleh hakim untuk mengembalikan dan memulihkan konflik kepentingan dari berbagai pihak yang terlibat di dalam sistem peradilan pidana agar tercapai suatu keadilan yang hakiki. Saat ini peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dengan sasaran potensial
yaitu
generasi
muda
seperti
pada
Putusan
Nomor
:
02/Pid.Sus/2012/PN.Pwt merupakan mahasiswa sebagai pelaku. Pada dasarnya narkotika sebenarnya sangat diperlukan dan mempunyai peranan dan manfaat di bidang kesehatan juga ilmu pengetahuan, akan tetapi penggunaan
3
Gatot Supramono, 2004. Hukum Narkoba Indonesia Edisi Revisi, Djambatan, Jakarta.
5
narkotika menjadi berbahaya apabila disalahgunakan. Maka dari itu untuk menjamin ketersediaan narkotika yang di satu sisi berguna untuk kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan, tapi di sisi lain untuk mencegah peredaran gelap narkotika yang selalu menjurus pada terjadinya penyalahgunaan, maka diperlukan pengaturaan tentang narkotika. Peraturan perundang-undangan yang mendukung upaya pemberantasan tindak pidana narkotika sangat diperlukan, apalagi tindak pidana narkotika sangat diperlukan, karena tindak pidana narkotika merupakan salah satu bentuk kejahatan inkonvensional yang dilakukan secara sistematis. Terhadap surat dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntun Umum dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No. 02/Pid.Sus/2012/PN.Pwt menentukan terdakwa Andi Romadon bin Herman terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan "Tindak Pidana Narkotika" dengan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa selama 4 Tahun, sesuai dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Dari uraian diatas maka penulis tertarik untuk
meneliti
mengenai
penjatuhan
perkara
dalam
Putusan
No.
02/Pid.Sus/2012/PN.Pwt yang sudah merupakan putusan hakim yang tetap dari Pengadilan Negeri Purwokerto Berdasarkan uraian masalah tersebut maka penulis melakukan suatu penelitian dengan judul "PUTUSAN PEMIDANAAN DALAM TINDAK PIDANA
NARKOTIKA
TERHADAP
TERDAKWA
MAHASISWA
(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No. 02/Pid.Sus/2012/PN.Pwt)"
6
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka permasalahan adalah sebagai berikut: 1. Apakah Putusan pemidanaan yang dijatuhkan terhadap terdakwa dalam Putusan Nomor : 02/Pid.Sus/2012/PN.Pwt sesuai dengan alat bukti di persidangan? 2. Bagaimana akibat hukum terhadap Putusan pemidanaan Nomor : 02/Pid.Sus/2012/PN.Pwt tersebut dijatuhkan terhadap terdakwa?
C. Penelitian Dalam penelitian ini tujuan yang ingin dicapai diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui putusan pemidanaan yang dijatuhkan terhadap terdakwa dalam Putusan Nomor : 02/Pid.Sus/2012/PN.Pwt sudah sesuai dengan alat bukti di persidangan. 2. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap Putusan pemidanaan Nomor : 02/Pid.Sus/2012/PN.Pwt tersebut dijatuhkan terhadap terdakwa
D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan secara teoris Memberikan sumbangan pengetahuan bagi hukum pidana tentang tindak pidana Narkotika dalam Putusan Nomor: 02/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.
7
2. Kegunaan secara praktis Untuk memberikan gambaran bagi masyarakat tentang pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan tindak pidana narkotika dalam Putusan Nomor: 02/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana Hukum Acara Pidana maupun Hukum Pidana, keduanya tidak dapat dipisahkan dan sangat erat kaitannya satu dengan yang lainnya. Hukum Acara Pidana dapat dikatakan sebagai hukum formilnya Hukum Pidana, artinya bahwa hukum acara pidana ini merupakan hukum yang mengatur bagaimana negara melalui alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Hukum Acara Pidana biasa disebut juga hukum pidana formal yang mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.4 Pengaturan mengenai Hukum Acara Pidana diatur dalam UndangUndang No 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hukum Acara Pidana ruang lingkupnya lebih sempit, yaitu hanya mulai mencari kebenaran, penyelidikan, penyidikan dan berakhir pada pelaksanaan pidana (eksekusi) oleh jaksa, maka dengan terciptanya KUHAP untuk pertama kalinya di Indonesia diadakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam arti meliputi seluruh proses pidana dari awal (mencari kebenaran) sampai pada tahap kasasi di Mahkamah Agung, bahkan sampai meliputi peninjauan kembali. Hukum Acara Pidana berfungsi untuk
4
Makarao, Mohammad Taufik dan Suharil. 2010. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek. Ghalia Indonesia, Jakarta.
9
menjalankan hukum acara substansif (materiil), sehingga disebut hukum pidana formal atau Hukum Acara Pidana. Pengertian Hukum Acara Pidana lebih banyak didefinisikan oleh para ahli hukum seperti yang didefinisikan oleh de Bosch Kemper, bahwa Hukum Acara Pidana adalah keseluruhan asas-asas dan Peraturan Undang-Undang mengenai mana Negara menjalankan hak-haknya karena terjadi pelanggaran Undang-Undang pidana. Selanjutnya Andi Hamzah5 menyebutkan bahwa : “Hukum Acara Pidana berfungsi untuk menjalankan Hukum Acara Pidana substansif (materiil), sehingga disebut Hukum Pidana formal atau Hukum Acara Pidana. Hukum Pidana formal adalah (Hukum Acara Pidana) mengatur tentang bagaimana Negara melalui alatalatnya melaksanakan haknya untuk memidana daan menjatuhkan pidana. KUHAP tidak memberikan definisi tentang Hukum Acara Pidana, tetapi bagian-bagiannya seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan lain-lain. Seperti yang telah diuraikan dalam Pasal 1 KUHAP. Pendapat lain dari Simsons6 juga mengemukakan bahwa ia melukiskan Hukum Acara Pidana sebagai berikut : “Hukum Acara Pidana disebut juga hukum pidana formal untuk membedakan dengan hukum pidana material. Hukum Pidana material atau Hukum Pidana itu berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat dapatnya dipidana sesuatu perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana dan aturan tentang pemidanaan: mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan. Sedangkan Hukum Pidana formal mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana, jadi berisi acara pidana.”
5
Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Mohammad Taufik Makaro dan Suharsil, 2004. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta. 6
10
Disini dapat diartikan bahwa norma dalam Hukum Acara Pidana menjadi saluran tertentu dimana untuk menyelesaikan kepentingan tersebut apabila terjadi perbuatan melawan hukum yang diatur dalam Hukum Pidana. Karena pada dasarnya norma Hukum Acara Pidana ialah mengatur, memerintahkan
atau
melarang
orang
bertindak,
dalam
kaitannya
menyelenggarakan upaya manakala terdapat sangkaan atau telah terjadinya perbuatan pidana agar dapat dilakukan penyelidikan, penyidikan, tuntutan hukum, pemeriksaan perkara, putusan hakim dan juga pelaksanaan keputusan oleh petugas yang berwenang dengan keharusan untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia atau negara.7 1. Tujuan Hukum Acara Pidana Dalam suatu peraturan hukum pastinya terdapat suatu tujuan yang nantinya hendak ingin dicapai. Apabila peraturan hukum dibuat tanpa adanya suatu tujuan maka tidak akan memiliki nilai guna atau manfaat dan begitu pula sebaliknya. Jadi semakin baik tujuan yang hendak dicapai maka tujuan tersebut akan semakin bernilai dan peraturan tersebut akan ditaati oleh masyarakat dalam hal mencari kebenaran dan keadilan. Tujuan dari Hukum Acara Pidana itu sendiri adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan 7
suatu
pelanggaran
hukum,
dan
selanjutnya
meminta
Bambang, Poernomo. 2008. Orientasi Hukum Acara Pidana, Amarta Buku, Jogjakarta.
11
pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah benar dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. Selanjutnya Andi Hamzah8, yaitu: “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat di dakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yaang didakwa itu dapat dipersalahkan.” Menurut Van Bemmelen mengemukakan tiga fungsi Hukum Acara Pidana yaitu:9 1. Mencari dan mengemukakan kebenaran. 2. Pemberian keputusan oleh hakim. 3. Pelaksanaan keputusan. Dari ketiga fungsi tersebut, yang paling penting karena menjadi tumpuan kedua fungsi berikutnya, ialah mencari kebenaran. Setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti itulah hakim akan sampai kepada putusan (adil dan tepat) yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa. Menurut Andi Hamzah, tujuan Acara Pidana mencari kebenaran itu hanyalah merupakan tujuan antara. Tujuan akhir
8 9
Ibid. Waluyadi. 2012. Pengetahuan Hukum Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatan Khusus). Mandar Maju, Bandung.
12
sebenarnya ialah mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat.10 Karena fungsi yang pertama itu sangat penting, maka definisi Hukum Acara Pidana yang tidak menyebut itu sebagai suatu kekurangan, misalnya rumusan De Bosch Kemper11, yaitu : “Keseluruhan asas-asas dan peraturan perundang-undangan mengenai mana negara menjalankan hak-haknya karena terjadi pelanggaran Undang-undang pidana”. Hakim dalam mencari kebenaran materil, ia tidak harus melemparkan sesuatu pembuktian kepada hakim perdata. Putusan hakim perdata tidak mengikat pidana, meskipun KUHAP tidak mengatakan hal ini, namun dapat diketahui dari doktrin dan dalam Memorie van Toelichting Ned Sv, dijelaskan hal itu. Disamping bertujuan menegakkan ketertiban hukum dalam masyarakat, Hukum Acara Pidana juga bertujuan melindungi hak asasi manusia tiap individu baik yang menjadi korban, maupun si pelanggar hukum.12 Apabila kita simak definisi Hukum Acara Pidana sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka kita dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa tujuan atau fungsi dari Hukum Acara Pidana adalah untuk menegakkan atau mengkongkritkan hukum pidana materil.
10
Ibid. Ibid.. 12 Departemen Kehakiman RI. Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 11
13
Pendapat
yang
diberikan
oleh
Bambang
Poernomo13
ditambahkannya tugas yang keempat, yaitu mengadakan tindakan penuntutan secara benar, sehingga menjadi: 1) Mencari dan menemukan kebenaran hukum; 2) Memberikan suatu putusan hakim; 3) Melaksanakan (eksekusi) putusan hakim; 4) Mengadakan tindakan penuntutan secara benar Mengenai landasan atau garis-garis tujuan yang hendak dicapai KUHAP, pada dasarnya dapat ditelaah pada huruf c konsiderans, yang dirumuskan : “Bahwa pembangunan Hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat mengkhayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.”
B. Asas-Asas Hukum Acara Pidana a. Sistem Inquisitoir dan Accusatoir Dalam membuktikan adanya tindak pidana Negara dengan perantara alat-alat perlengkapannya melakukan pemeriksaan terhadap tersangka yang diduga terlibat/ikut dalam tindak pidana tersebut. Pemeriksaan dalam tindak pidana ada dua sistem yaitu:
13
Ibid.
14
1. Sistem Inquisitoir Mengenai system inquisitoir Mr. wirjono Prodjodikoro14 mengemukakan sebagai berikut: “Sistem inquisitoir (arti kata= pemeriksaan) menganggap si tersangka suatu barang, suatu objek, yang harus diperiksa berhubung dengan suatu pendakwaan.” Pemeriksaan seperti ini berupa pendengaran si tersangka tentang dirinya pribadi. Sedang S. Tarif, SH mengenai Inquisitoir mengemukakan sebagai berikut: “Tersangka dianggap sebagai objek yang harus diperiksa. Pemeriksaan ini berupa pendengaran, keterangan-keterangan tersangka tentang dirinya, dan biasanya pemeriksa sudah apriori berkeyakinan bahwa kesalahannya tersangka, sehingga sering terjadi paksaan terhadap tersangka untuk mengaku kesalahannya sehingga kadang-kadang dilakukannya penganiyaan.” Menurut Abdurrahman sistem inquisitoir adalah suatu sistem pemeriksaan yang memandang seseorang tertuduh sebagai objek dalam pemeriksaan yang berhadapan dengan para pemeriksa dengan kedudukan yang lebih tinggi dalam suatu pemeriksaan yang dilakukan secara tertutup. Dengan melihat beberapa pendapat, dapat disimpulkan sebagai berikut: Kedudukan tersangka sangat lemah dan tidak menguntungkan karena dalam sistem inquisitoir tersangka masih dianggap sebagai barang atau objek yang harus diperiksa. Para petugas pemeriksa atau pendakwa biasanya mendorong atau memaksa tersangka untuk 14
http://michibeby.wordpress.com/asas-asas-dalam-hukum-acara-pidana. diakses tanggal 25 November 2013 pukul 15.00 WIB.
15
mengakui kesalahanya dengan cara pemaksaan bahkan seringkali dengan penganiayaan. Bersifat rahasia atau tertutup, ini berarti bahwa pemeriksaan pidana dengan menggunakan sistem inquisitoir khusus pada pemeriksaan pendahuluan masih bersifat rahasia sehingga keluarga dan penasihat hukumnya belum berkenan mengetahui atau mendampingi si tersangka. Tersangka belum boleh menghubungi penasihat hukumnya. Penguasa bersifat aktif sedangkan tersangka pasif. 2. Sistem Accusatoir L.J Van Apeldoorn15 mengemukakan sebagai berikut: “Sifat accusatoir dari acara pidana yang dimaksud adalah prinsip dalam acara pidana, pendakwa (penuntut umum) dan terdakwa berhadapan sebagai pihak yang sama haknya, yang melakukan pertarungan hukum (rechtsstrijd) di muka hakim yang hendak memihak; kebalikannya ialah asas “inquisitoir” dalam mana hakim sendiri mengambil tindakan untuk mengusut, hakim sendiri bertindak sebagai orang yang mendakwa, jadi dalam mana tugas orang yang menuntut, orang yang mendakwa dan hakim disatukan dalam satu orang. Dalam Hukum Acara Pidana, akan dapat ditentukan azas tersurat (tertulis) dan azas tersirat (tidak tertulis) dari kedua system di atas, yaitu Inquisitoir dan Accusatoir.” b. Tersurat 1) Praduga Tak Bersalah Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) adalah suatu asas yang menghendaki agar setiap orang yang terlibat dalam perkara pidana harus dianggap belum bersalah sebelum ada putusan 15
Djoko Prakoso, 2008. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Di Dalam Proses Pidana, Liberty, Yogyakarta.
16
pengadilan yang menyatakan kesalahannya itu. Dalam pemeriksaan perkara pada semua tingkatan pemeriksaan semua pihak harus menganggap bagaimanapun juga tersangka/ terdakwa maupun dalam menggunakan istilah sewaktu berdialog terdakwa. Prinsip ini dipatuhi sebab merupakan prinsip selain mendapat pengakuan di dalam sidang pengadilan, juga mendapat pengakuan di dalam rumusan perundang-perundangan yaitu terdapat dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan : “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Prinsip ini berjalan dalam persidangan. Baik di dalam maupun di luar persidangan. Di dalam sidang tampak adanya nuansa yang masih menghargai terdakwa dengan tidak memborgol terdakwa, demikian juga terdakwa tidak boleh ditanya pertanyaan yang sifatnya menjeratkan. 2) Asas Ganti rugi dan Rehabilitasi Yaitu adanya ganti rugi dan rehabilitasi bagi pihak yang dirugikan karena kesalahan dalam proses hukum. Prinsip ini untuk melindungi kepentingan masyarakat jika ternyata terdapat kesalahan dalam proses Hukum Acara Pidana. Prinsip ini sudah dikenal dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 95, 96, dan 97.
17
3) Asas Persamaan Suatu asas dimana setiap orang atau individu itu memiliki kedudukan yang sejajar antara satu dengan yang lainnya didepan hukum, dan pengadilan didalam mengadili seseorang tidak boleh membeda-bedakan orang satu dengan yang lainnya. Dasar hukumnya terdapat pada Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1), dan KUHAP dalam penjelasan umum butir 3a. 4) Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Yaitu pelaksanaan peradilan secara tidak berbelit-belit dan dengan biaya yang seminim mungkin guna menjaga kestabilan terdakwa. Asas ini menghendaki agar peradilan dilakukan dengan cepat. Artinya, dalam melaksanakan peradilan diharapkan dapat diselesaikan dengan sesegera mungkin dan dalam waktu yang singkat. Sederhana mengandung arti bahwa dalam menyelenggarakan peradilan dilakukan dengan simpel, singkat dan tidak berbelit-belit. Biaya murah berarti
penyelenggaraan
peradilan
dilakukan
dengan
menekan
sedemikian rupa agar terjangkau oleh pencari keadilan, menghindari pemborosan, dan tindakan bermewah-mewahan yang hanya dapat dinikmati oleh yang berduit saja. Dalam Pasal 3e Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan masalah asas ini ‘peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak harus ditetapkan secara konsekuen dalam
18
seluruh tingkat peradilan. Yahya Harahap mengomentari asas ini dengan mengkaitkan dengan ketentuan yang relevan dengan KUHAP terlihat dengan term “dengan segera’ Seperti segera mendapatkan pemeriksaan dari penyidik (Pasal 50 ayat 1). Beberapa rumusan PasalPasal KUHAP diantaranya, Pasal 24 ayat 4, Pasal 25 ayat 4, Pasal 26 ayat 4, Pasal 27 ayat 4, Pasal 28 ayat 4, Pasal 50, Pasal 102 ayat 1, Pasal 107 ayat 3, Pasal 110 dan Pasal 140. Selain peraturan di atas, azas ini juga diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan”. 5) Asas legalitas Merupakan asas yang digunakan untuk menentukan suatu perbuatan termasuk dalam kategori perbuatan pidana yang merupakan terjemahan dari principle of legality. Oleh karena itu, asas legalitas merupakan asas yang esensiel di dalam
penerapan
hukum
pidana.
Pasal
1
ayat
(1)
KUHP
mencantumkan asas legalitas ini sebagai berikut : “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas ketentuanketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Dari rumusan tersebut, dapat diartikan bahwa suatu perbuatan baru dapat dipidana jika :
19
Ada ketentuan pidana tentang perbuatan tersebut yang dirumuskan dalam Undang-Undang atau tertulis sebagaimana disebutkan dalam kalimat
“atas
ketentuan-ketentuan
pidana
dalam
Perundang-
Undangan”. Dilakukan
setelah
Perundang-Undangan
ada
rumusannya
sebagaimana
didalam
tercantum
dalam
peraturan kalimat
“ketentuan Perundang-Undangan sudah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Dengan perkataan lain ketentuan pidana tidak berlaku surut (retro aktif). Perkecualian terhadap larangan retro aktif atau berlaku surut ini dimungkinkan oleh Pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi : “Apabila ada perubahan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, maka haruslah dipakai ketentuan teringan bagi terdakwa”. Dari ketentuan Pasal 1 ayat (2) tersebut, Ruba`i (2001) mengartikan bahwa larangan berlaku surut dapat disimpangkan bila : Sesudah terdakwa melakukan tindak pidana ada perubahan dalam Perundang-Undangan. Peraturan yang baru lebih meringankan terdakwa. 6) Peradilan Terbuka Untuk Umum Yaitu hak dari publik untuk menyaksikan jalannya peradilan (kecuali dalam hal-hal tertentu), artinya pemeriksaan pendahuluan, penyidikan, dan praperadilan tidak terbuka untuk umum. Hal ini dapat
20
diperhatikan pula Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: “Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kasusilaan dan terdakwanya anak-anak” ayat (3). Menurut Pasal 19 Undang-Undang kekuasaan Kehakiman, kalau hakim menyatakan sidang tertutup untuk umum demi menjaga rahasia hal itu tidak diperbolehkan. Karena Pasal 19 tidak menyebut secara limitatife pengecualian seperti KUHAP tersebut. Dengan KUHAP ini, sidang tertutup untuk umum demi menjaga rahasia menjadi putusan yang batal demi hukum. Berarti, azas peradilan terbuka untuk umum merupakan kategori azas yang tersurat. Karena ketentuannya terdapat di dalam KUHAP. 7) Kekuasaan Hakim yang Tetap Yaitu peradilan harus dipimpin oleh seorang/sekelompok hakim yang memiliki kewenangan yang sah dari pemerintah. Hal ini berarti pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk jabatan ini diangkat hakim-hakim yang tetap oleh kepala negara. Ini disebut dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Sehingga dengan adanya ketentuan yang jelas tentang kekuasaan kehakiman yang tetap dalam Undang-Undang Kekuasan Kehakiman, maka azas ini merupakan azas tersurat.
21
8) Asas Keseimbangan Yaitu proses hukum yang ada haruslah menegakan hak asasi manusia dan melindungi ketertiban umum. Sejalan dengan azas keseimbangan ini, KUHAP memperhatikan keseimbangan antara: Perlindungan
terhadap
harkat
dan
martabat
manusia
dengan
perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat. Dalam KUHAP, dijelaskan azas keseimbangan terhadap anak pada Pasal 153 ayat (5) yang berbunyi: “hakim ketua sidang dapat menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur 17 tahun tidak diperkenankan menghadiri sidang”. Dalam penjelasannya Pasal ini dimaksudkan untuk menjaga supaya jiwa anak yang masih di bawah umur tidak terpengaruh oleh perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa, lebih-lebih dalam perkara kejahatan berat, maka hakim dapat menentukan bahwa anak di bawah umur 17 tahun, kecuali yang telah atau pernah kawin, tidak boleh mengikuti sidang. 9) Bantuan hukum bagi terdakwa Yaitu adanya bantuan hukum yang diberikan bagi terdakwa. Dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP diatur tentang bantuan hukum tersebut dimana tersangka/terdakwa mendapat kebebasan yang sangat luas. Kebebasan itu antara lain sebagai berikut. Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan. Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka atau
22
terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu. Pembicaraan antara penasehat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik dan penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan negara. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum guna kepentingan pembelaan. Penasihat hukum berhak mengirim
dan
menerima
surat
dari
tersangka
atau
terdakwa. Pembatasan hanya dikenakan jika penasehat hukum menyalahgunakan hak-hak tersebut. Tidak hanya di dalam KUHAP, prinsip ini merupakan prinsip umum yang diatur dalam konvensi internasional tentang hak sipil dan politik. Prinsip umum tentang bantuan hukum adalah: 1. Dapat didampingi di semua tingkat pemeriksaan (Pasal 54); 2. Dapat memilih sendiri penasihat hukumnya (Pasal 55); Wajib diberikan bantuan hukum secara cuma-cuma untuk terdakwa dengan ancaman pidana mati/ pidana penjara 15 tahun/ bagi yang tidak mampu dengan ancaman pidana penjara 5 tahun lebih. Dengan adanya ketentuan Pasal 69 hingga Pasal 74 KUHAP ini, maka azas penentuan hukum bagi terdakwa jelas merupakan azas tersurat. 10) Asas Accusatoir
Yaitu penempatan tersangka sebagai subjek yang memiliki hak yang sama di depan hukum. Asas accusatoir menunjukan bahwa
23
seorang terdakwa yang diperiksa dalam sidang pengadilan bukan lagi sebagai objek pemeriksaan. Melainkan sebagai subjek. Asas accusatoir telah memperlihatkan suatu pemeriksaan terbuka, dimana setiap orang dapat menghadiri dan menyaksikan jalannya pemeriksaan. Terdakwa mempunyai hak yang sama nilainya dengan penuntut umum, sedangkan hakim berada di atas kedua belah pihak untuk menyelesaikan perkara pidana menurut hukum pidana yang berlaku. Sebagai realisasi prinsip accusatoir di pengadilan terlihat. Terdakwa bebas berkata-kata. Bersikap sepanjang untuk membela diri dan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, seringnya terdakwa diam tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Adanya penasihat hukum yang mendampingi terdakwa untuk membela hakhaknya. Selain itu, terdakwa bebas mencabut pengakuan-pengakuan yang pernah ia kemukakan di luar sidang dan ini dapat dikabulkan sepanjang hal itu logis dan beralasan. Asas ini tersurat dalam KUHAP yaitu pada Pasal 52, Pasal 55, Pasal 65 karena kebebasan memberi dan mendapatkan nasihat hukum menunjukkan bahwa dengan KUHAP telah dianut asas akusator (accusatoir). c. Tersirat 1) Asas Personal aktif Yaitu, asas dimana ketentuan pidana dalam PerundangUndangan Indonesia diterapkan bagi warga Negara yang di luar
24
Indonesia melakukan salah satu kejahatan yang terdapat didalam KUHP, serta salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam Perundang-Undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut Perundang-Undangan Negara dimana perbuatan itu dilakukan diancam dengan pidana. Asas ini diatur didalam Pasal 5 KUHP. 2) Asas Oportunitas Yaitu hak seorang Jaksa untuk menuntut atau tidak demi kepentingan umum. A.Z. Abidin Farid memberi perumusan tentang azas oportunitas sebagai berikut : “azas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum”. Pasal 35c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dengan tegas menyatakan azas oportunitas itu dianut di Indonesia. Dalam hal ini Lemearie mengatakan bahwa azas opportunitas biasanya dianggap sebagai suatu azas yang berlaku di Indonesia, sekalipun sebagai hukum tidak tertulis yang tidak berlaku. 3) Asas Diferensiasi Fungsional ( Jaksa sebagai Penuntut Umum dan Polisi sebagai Penyidik). Yaitu penegasan batas-batas kewenangan dari aparat penegak hukum secara instansional. Azas diferensiasi fungsional ini diatur
25
dalam Pasal 5, Pasal 7, Pasal 5 KUHAP tentang kewenangan penyelidik. Penyelidik sebagaimana yang dijelaskan Pasal 4 KUHAP adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia. Pasal 7 KUHAP tentang wewenang penyidik, dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 4) Pemeriksaan Hakim Yang langsung dan lisan Yaitu peradilan dilakukan oleh hakim secara langsung dan lisan tidak menggunakan tulisan seperti dalam hukum acara perdata artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa. Ketentuan mengenai hal di atas dapat diambil dari penjabaran Pasal-Pasal 154, 155 KUHAP, dan seterusnya. Hal ini menunjukkan bahwa azas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan tersirat dalam KUHAP.
C. Putusan 1. Pengertian Putusan Tujuan diadakannya suatu proses di muka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim. Putusan hakim atau lazim disebut dengan istilah putusan pengadilan merupakan sesuatu yang diinginkaan atau dinanti-nantikan oleh pihak-pihak yang berperkara guna menyelesaikan sengketa diantara mereka dengan sebaik-baiknya. Sebab dengan putusan
26
hakim tersebut pihak-pihak yang bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka hadapi. Untuk dapat menghasilkan putusan yang benar-benar menciptakan kepastian hukum dan mencerminkan keadilan, hakim sebagai aparatur negara yang melaksanakan peradilan harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, serta peraturan hukum yang mengaturnya yang akan diterapkan. Maka putusan adalah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh Hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan. Dalam literatur yang ada, para ahli hukum mencoba memberikan definisi terhadap apa yang dinamakan dengan putusan hakim atau lazim disebut sebagai dengan istilah putusan pengadilan. Terdapat beberapa definisi yang berbeda mengenai putusan hakim,yaitu : Sudikno Mertokusumo16 memberikan definisi putusan hakim sebagai berikut : “suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau suatu sengketa antara para pihak. Dalam definisi ini, Sudikno mencoba untuk menekankan bahwa yang dimaksud dengan putusan hakim itu adalah yang diucapkan di depan persidangan.” Martiman Prodjohamidjojo17 yang juga mendefinisikan putusan hakim sebagai berikut :
16
Mertokusumo, Sudikno, 2009. Penemuan Hukum,Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. 17
Prodjohamidjojo, Martiman. 1983. Sistem pembuktian dan Alat-Alat bukti. Ghalia Indonesia, Jakarta.
27
“suatu pernyataan yang dibuat oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu dan diucapkan di muka sidang dengan tujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara antara para pihak yang bersengketa.” Muhammad Taufik Makarao18
memberikaan arti putusan hakim
sebagai suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Dari uraian diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan putusan hakim adalah suatu pernyataan yang dibuat dalam bentuk tertulis oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu dan diucapkan di depan persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural Hukum Acara Pidana pada umumnya dengan tujuan untuk menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara pidana guna terciptanya kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak yang bersengketa. Untuk menjatuhkan putusan pidana hakim berpedoman pada Pasal 183 KUHAP yang bunyinya : "hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya" Adapun unsur-unsur dari pasal 183 KUHAP yakni : a. Sekurang-kurangnya 2 alat bukti b. Hakim memperoleh keyakinan 18
Ibid.
28
2. Putusan perkara Pidana Di dalam peraturan Perundang-Undangan terdapat ketentuan yang mengatur pengertian dari putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap19
(inkracht van gewijsde) berkaitan perkara pidana yaitu dalam
penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 22 tahun 2002 tentang grasi yang berbunyi ; Disini yang dimaksud dengan “ putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ” adalah : 1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; 2. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau 3. Putusan kasasi. Jadi,
berdasarkan
penjelasan
sebelumnya,
suatu
putusan
mempunyai kekuatan hukum tetap adalah: a. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding setelah waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir, sebagaimana diatur dalam Pasal 233 ayat (2) jo. Pasal 234 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), kecuali untuk
19
www.hukumonline.com/klinik/detail/h50b2e5da8aa7c/kapan-putusan-pengadilandinyatakan-berkekuatan hukum tetap. diakses pada tanggal 04 Desember 2013 pukul 15.20 WIB.
29
putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechts vervolging), dan putusan pemeriksaan acara cepat karena putusan-putusan tersebut tidak dapat diajukan banding (lihat Pasal 67 KUHAP). b. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa (Pasal 245 ayat [1] jo. Pasal 246 ayat [1] KUHAP). c. Putusan kasasi, bagaimana jika putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap kemudian diajukan peninjauan kembali (PK)? Apakah putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap? Mengenai hal ini kita dapat menyimak pendapat M. Yahya Harahap dalam buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali (hal. 615) sebagai berikut:20 “Selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, upaya peninjauan kembali tidak dapat dipergunakan. Terhadap putusan yang demikian hanya dapat ditempuh upaya hukum biasa berupa banding atau kasasi. Upaya hukum peninjauan kembali baru terbuka setelah upaya hukum biasa (berupa banding dan kasasi) telah tertutup. Upaya hukum peninjauan kembali tidak boleh melangkahi upaya hukum banding dan kasasi.” Berdasarkan pendapat Yahya Harahap tersebut, dapat diketahui bahwa putusan yang diajukan peninjauan kembali haruslah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Permintaan untuk 20
Ibid.
30
dilakukan peninjauan kembali justru karena putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan sudah tidak dapat lagi dilakukan banding atau kasasi. Bahkan, permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut (Pasal 268 ayat [1] KUHAP). Pengaturan secara umum upaya hukum peninjauan kembali diatur dalam Pasal 263 s.d. Pasal 269 KUHAP. Putusan perkara pidana yang dapat diajukan peninjauan kembali adalah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 263 ayat [1] KUHAP). Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar antara lain (Pasal 263 ayat [2] KUHAP): a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
31
c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. 3. Macam dan Jenis Putusan Hakim Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, putusan pengadilan yang berkenaan dengan terdakwa ada tiga macam :21 1) Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa (Vrijspraak). Dalam Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Dengan demikian jika menurut hakim, perbuatan yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum terhadap terdakwa sebagaimana tersebut dalam surat dakwaan, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka berdasarkan Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan dan segala tuntutan hukum. Dalam penjelasan Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “perbuatan yang
didakwakan
kepadanya
tidak
terbukti
secara
sah
dan
meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum secara pidana ini. 21
Lawfile.blogspot.com/2011/07/macam-macam-putusan-pengadilan.html diakses pada tanggal 04 Desember 2013 pukul 16.00 WIB.
32
2) Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum (Ontslag van Rechtsvervolging) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, didasarkan pada kriteria : a) Apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan. b) Tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana. Tetapi barangkali termasuk ruang lingkup Hukum Perdata atau Hukum Adat. Putusan yang mengandung pelepasan dari segala tuntutan hukuman dapat pula terjadi terhadap terdakwa, karena ia melakukan tindak pidana dalam keadaan tertentu, sehingga ia tidak dapat dipertanggung jawabkan atas putusannya itu. Tegasnya terdakwa dapat dijatuhi hukuman, meskipun perbuatan yang didakwakan itu terbukti sah, apabila : a) Kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalnya (Pasal 44 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
33
b) Keadaan memaksa (overmacht) (Pasal 48 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) c) Pembelaan darurat (Nood weer) (Pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) d) Melakukan perbuatan untuk menjalankan pertauran UndangUndang (Pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) e) Melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu (Pasal 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). 3) Putusan yang mengandung penghukuman terdakwa (veroordeling). Kemungkinan ketiga, dari putusan yang dijatuhkan pengadilan adalah putusan yang mengandung penghukuman terdakwa. Pasal 193 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Dengan demikian hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa yaitu apabila dari hasil pemeriksaan disidang pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya adalah terbukti secara sah dan meyakinkan, yang telah ditentukan oleh Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu : (1) Sekurang-kurang dua alat bukti yang sah.
34
(2) Dengan adanya minimum pembuktian tersebut hakim memperleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana yang terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dalam
praktek,
Hakim
menjatuhkan
putusan
dengan
mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan terdakwa. Hal yang memberatkan antara lain, yaitu terdakwa pernah dihukum, dalam persidangan terdakwa tidak mengakui bersalah, memberikan keterangan berbelit-belit, sehingga menyulitkan jalannya pemeriksaan. Sedangkan yang meringankan terdakwa antara lain, terdakwa masih muda mengakui terus terang, terdakwa mempunyai tanggungan keluarga, atau belum menikmati hasil kejahatannya tersebut. Dari segi fungsinya, putusan Pengadilan dalam mengakhiri perkara adalah sebagai berikut :22 1. Putusan Akhir a) adalah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan, baik telah
melalui
semua
tahapan
pemeriksaan
maupun
yang
tidak/belum menempuh semua tahapan pemeriksaan b) Putusan yang dijatuhkan sebelum tahap akhir dari tahap-tahap pemeriksaan, tetapi telah mengakhiri pemeriksaan yaitu : a. Putusan gugur b. Putusan verstek yang tidak diajukan verzet 22
advokatku.blogspot.com/2010/01/mengenal-macam-dan-jenis-putusan.html tanggal 04 Desember 2013, pukul 14.00 WIB.
diakses
35
c. Putusan tidak menerima d. Putusan yang menyatakan pengadilan agama tidak berwenang memeriksa c) Semua putusan akhir dapat dimintakan akhir, kecuali bila UndangUndang menentukan lain 2. Putusan Sela a) Adalah putusan yang dijatuhkan masih dalam proses pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperlancar jalannya pemeriksaan b) Putusan
sela
tidak
mengakhiri
pemeriksaan,
tetapi
akan
berpengaruh terhadap arah dan jalannya pemeriksaan c) Putusan sela dibuat seperti putusan biasa, tetapi tidak dibuat secara terpisah, melainkan ditulis dalam berita acara persidangan saja d) Putusan sela harus diucapkan di depan sidang terbuka untuk umum serta ditanda tangani oleh majelis hakim dan panitera yang turut bersidang e) Putusan sela selalu tunduk pada putusan akhir karena tidak berdiri sendiri dan akhirnya dipertimbangkan pula pada putusan akhir f) Hakim tidak terikat pada putusan sela, bahkan hakim dapat merubahnya sesuai dengan keyakinannya g) Putusan sela tidak dapat dimintakan banding kecuali bersama-sama dengan putusan akhir. h) Para pihak dapat meminta supaya kepadanya diberi salinan yang sah dari putusan itu dengan biaya sendiri
36
Dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat putusan dijatuhkan, maka putusan Pengadilan dibagi beberapa jenis : 23 1. Putusan Gugur a) Adalah putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur karena penggugat/pemohon tidak pernah hadir, meskipun telah dipanggil sedangkan tergugat hadir dan mohon putusan b) Putusan gugur dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya sebelum tahapan pembacaan gugatan/permohonan c) Putusan gugur dapat dijatuhkan apabila telah dipenuhi syarat : a. Penggugat/pemohon telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam sidang hari itu b. Penggugat/pemohon ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidak hadirannya itu karena suatu halangan yang sah c. Tergugat/termohon hadir dalam sidang d. Tergugat/termohon mohon keputusan d) Dalam hal penggugat/pemohon lebih dari seorang dan tidak hadir semua, maka dapat pula diputus gugur e) Dalam putusan gugur, penggugat/pemohon dihukum membayar biaya perkara f) Tahapan putusan ini dapat dimintakan banding atau diajukan perkara baru lagi 23
M. Yahya Harahap, 2006. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta.
37
2. Putusan Verstek
a) Adalah putusan yang dijatuhkan karena tergugat/termohon tidak pernah hadir meskipun telah dipanggil secara resmi, sedang penggugat hadir dan mohon putusan b) Verstek artinya tergugat tidak hadir c) Putusan verstek dapat dijatuhkan dalam sidang pertama atau sesudahnya, sesudah tahapan pembacaan gugatan sebelum tahapan jawaban tergugat, sepanjang tergugat/para tergugat semuanya belum hadir dalam sidang padahal telah dipanggil dengan resmi dan patut d) Putusan verstek dapat dijatuhkan apabila memenuhi syarat : 1. Tergugat telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam sidang hari itu 2. Tergugat ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidak hadirannya itu karena suatu halangan yang sah 3. Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai kewenangan 4. Penggugat hadir dalam sidang 5. Penggugat mohon keputusan e) Dalam hal tergugat lebih dari seorang dan tidak hadir semua, maka dapat pula diputus verstek.
38
f) Putusan verstek hanya bernilai secara formil surat gugatan dan belum menilai secara materiil kebenaran dalil-dalil tergugat g) Apabila gugatan itu beralasan dan tidak melawan hak maka putusan verstek berupa mengabulkan gugatan penggugat, sedang mengenai dalil-dalil gugat, oleh karena dibantah maka harus dianggap benar dan tidak perlu dibuktikan kecuali dalam perkara perceraian h) Apabila gugatan itu tidak beralasan dan atau melawan hak maka putusan verstek dapat berupa tidak menerima gugatan penggugat dengan verstek i) Terhadap putusan verstek ini maka tergugat dapat melakukan perlawanan (verzet) j) Tergugat
tidak
boleh
mengajukan
banding
sebelum
ia
menggunakan hak verzetnya lebih dahulu, kecuali jika penggugat yang banding k) Terhadap putusan verstek maka penggugat dapat mengajukan banding l) Apabila penggugat mengajukan banding, maka tergugat tidak boleh mengajukan verzet, melainkan ia berhak pula mengajukan banding m) Khusus dalam perkara perceraian, maka hakim wajib membuktikan dulu kebenaran dalil-dalil tergugat dengan alat bukti yang cukup sebelum menjatuhkan putusan verstek
39
n) Apabila tergugat mengajukan verzet, maka putusan verstek menjadi mentah dan pemeriksaan dilanjutkan pada tahap selanjutnya o) Perlawanan (verzet berkedudukan sebagai jawaban tergugat) p) Apabila perlawanan ini diterima dan dibenarkan oleh hakim berdasarkan hasil pemeriksaan/pembuktian dalam sidang, maka Hakim akan membatalkan putusan verstek dan menolak gugatan penggugat q) Tetapi bila perlawanan itu tidak diterima oleh Hakim, maka dalam putusan akhir akan menguatkan verstek r) Terhadap putusan akhir ini dapat dimintakan banding s) Putusan verstek yang tidak diajukan verzet dan tidak pula dimintakan banding, dengan sendirinya menjadi putusan akhir yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap 3. Putusan kontradiktoir a) Adalah putusan akhir yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri salah satu atau para pihak b) Dalam pemeriksaan/putusan kontradiktoir disyaratkan bahwa baik penggugat maupun tergugat pernah hadir dalam sidang c) Terhadap putusan kontradiktoir dapat dimintakan banding Dilihat dari isinya terhadap gugatan/perkara, putusan Hakim dibagi sebagai berikut:
40
1. Putusan tidak menerima : a) Putusan yang menyatakan bahwa Hakim tidak menerima gugatan penggugat/permohonan pemohon atau dengan kata lain gugatan penggugat/pemohonan
pemohon
tidak
diterima
karena
gugatan/permohonan tidak memenuhi syarat hukum baik secara formail maupun materiil b) Dalam hal terjadi eksepsi yang dibenarkan oleh Hakim, maka Hakim selalu menjatuhkan putusan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima atau tidak menerima gugatan penggugat c) Meskipun tidak ada eksepsi, maka Hakim karena jabatannya dapat memutuskan gugatan penggugat tidak diterima jika ternyata tidak memenuhi syarat hukum tersebut, atau terdapat hal-hal yang dijadikan alasan eksepsi d) Putusan tidak menerima dapat dijatuhkan setelah tahap jawaban, kecuali dalam hal verstekyang gugatannya ternyata tidak beralasan dan atau melawan hak sehingga dapat dijatuhkan sebelum tahap jawaban e) Putusan tidak menerima belum menilai pokok perkara (dalil gugat) melainkan baru menilai syarat-syarat gugatan saja. Apabila syarat gugat tidak terpenuhi maka gugatan pokok (dalil gugat) tidak dapat diperiksa. f) Putusan ini berlaku sebagai putusan akhir
41
g) Terhadap putusan ini, tergugat dapat mengajukan banding atau mengajukan perkara baru. Demikian pula pihak tergugat h) Putusan yang menyatakan pengadilan agama tidak berwenang mengadili suatu perkara merupakan suatu putusan akhir 2. Putusan menolak gugatan penggugat a) Yaitu putusan akhir yang dijatuhkan setelah menempuh semua tahap pemeriksaan dimana ternyata dalil-dalil gugat tidak terbukti b) Dalam memeriksa pokok gugatan (dalil gugat) maka Hakim harus terlebih dahulu memeriksa apakah syarat-syarat gugat telah terpenuhi, agar pokok gugatan dapat diperiksa dan diadili 3. Putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menolak/tidak menerima selebihnya a) Putusan ini merupakan putusan akhir b) Dalam kasus ini, dalil gugat ada yang terbukti dan ada pula yang tidak terbukti atau tidak memenuhi syarat sehingga : 1) Dalil gugat yang terbukti maka tuntutannya dikabulkan 2) Dalil gugat yang tidak terbukti maka tuntutannya ditolak 3) Dalil gugat yang tidak memenuhi syarat maka diputus dengan tidak diterima 4. Putusan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya a) Putusan ini dijatuhkan apabila syarat-syarat gugat telah terpenuhi dan seluruh dalil-dalil tergugat yang mendukung petitum ternyata terbukti
42
b) Untuk mengabulkan suatu petitum harus didukung dalil gugat. Satu petitum mungkin didukung oleh beberapa dalil gugat. Apabila diantara dalil-dalil gugat itu ada sudah ada satu dalil gugat yang dapat dibuktikan maka telah cukup untuk dibuktikan, meskipun mungkin dalil-dalil gugat yang lain tidak terbukti c) Prinsipnya, setiap petitum harus didukung oleh dalil gugat Dilihat dari segi sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan, maka putusan dibagi sebagai berikut : 1. Putusan Diklatoir a) Yaitu putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai keadaan yang resmi menurut hukum b) Semua perkara voluntair diselesaikan dengan putusan diklatoir dalam bentuk penetapan atau beshicking c) Putusan diklatoir biasanya berbunyi menyatakan d) Putusan diklatoir tidak memerlukan eksekusi e) Putusan diklatoir tidak merubah atau menciptakan suatu hukum baru, melainkan hanya memberikan kepastian hukum semata terhadap keadaan yang telah ada 2. Putusan Konstitutif a) Yaitu suatu putusan yang menciptakan/menimbulkan keadaan hukum baru, berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya. b) Putusan konstitutif selalu berkenaan dengan status hukum seseorang atau hubungan keperdataan satu sama lain
43
c) Putusan konstitutif tidak memerlukan eksekusi d) Putusan konstitutif diterangkan dalam bentuk putusan e) Putusan konstitutif biasanya berbunyi menetapkan atau memakai kalimat lain bersifat aktif dan bertalian langsung dengan pokok perkara, misalnya memutuskan perkawinan, dan sebagainya f) Keadaan hukum baru tersebut dimulai sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap 3. Putusan Kondemnatoir a) Yaitu putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk melakukan sesuatu, atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan, untuk memenuhi prestasi b) Putusan kondemnatoir terdapat pada perkara kontentius c) Putusan kondemnatoir sekaku berbunyi “menghukum” dan memerlukan eksekusi d) Apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan isi putusan dengan suka rela, maka atas permohonan tergugat, putusan dapat dilakukan dengan paksa oleh pengadilan yang memutusnya e) Putusan dapat dieksekusi setelah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal vitvoer baar bijvoorraad, yaitu putusan yang dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum (putusan serta merta) f) Putusan kondemnatoir dapat berupa penghukuman untuk 1. Menyerahkan suatu barang 2. Membayar sejumlah uang
44
3. Melakukan suatu perbuatan tertentu 4. Menghentikan suatu perbuatan/keadaan 5. Mengosongkan tanah/rumah
D. Sanksi Terdakwa 1. Pengertian Sanksi Pengertian sanksi menurut kamus besar Bahasa Indonesia bisa berarti tanggungan(tindakan, hukuman, dan sebagainya) untuk memaksa orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan Undang-Undang (anggaran dasar, perkumpulan, dan sebagainya). Atau bisa juga dikatakan imbalan negatif, berupa pembebanan atau penderitaan yang ditentukan oleh hukum. Dalam Hukum Acara Pidana, sanksi hukum disebut hukuman. Menurut R. Soesilo24, hukuman adalah: “Suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh Hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar Undang-Undang Hukum Pidana” Sanksi (sanctio, latin, sanctie, belanda) adalah ancaman hukuman, merupakan satu alat pemaksa guna ditaatinya suatu kaidah, UU, normanorma hukum. Penegakan Hukum Pidana menghendaki sanksi hukum, yaitu sanksi yang terdiri atas derita khusus yang dipaksakan kepada si bersalah. Derita kehilangan nyawa (hukuman mati), derita kehilangan kebebasan (hukuman penjara atau kurungan), derita kehilangan sebagian kekayaan (hukuman denda dan perampasan) dan derita kehilangan 24
www.hukumonline.com/klinik/detail/it4beo12381c490/sanksi-hukum-pidana diakses 9 Desember 2013 pukul 13.00 WIB.
45
kehormatan (pengumuman keputusan hakim). Sanksi sebagai alat penegak hukum bisa juga terdiri atas kebatalan perbuatan yaang merupakan pelanggaran hukum. Baik batal demi hukum (van rechtwege) maupun batal setelah ini dinyatakan oleh Hakim. 2. Jenis Sanksi Bentuk-bentuk hukuman pada dasarnya telah diatur dalam buku 1 KUHP bab ke-2 dimulai dari Pasal 10 sampai dengan Pasal 43. KUHP sebagai induk atau sumber utama Hukum Pidana telah merinci dan merumuskan tentang bentuk-bentuk pidana yang berlaku di Indonesia. Bentuk-bentuk pidana dalam KUHP disebutkan dalam Pasal 10 KUHP. Hukuman sendiri diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu: 1. Hukuman pokok, yang terbagi menjadi:25 a) Hukuman mati Pidana mati merupakan hukuman yang terberat dari jenisjenis ancaman hukuman yang tercantum dalam KUHP bab 2 Pasal 10 karena pidana mati merupakan pidana terberat yaitu yang pelaksanaannya berupa perampasan terhadap kehidupan manusia, maka tidaklah heran apabila dalam menentukan hukuman mati terdapat banyak pendapat yang pro dan kontra dikalangan ahli hukum ataupun masyarakat itu sendiri.
25
http://hukumpidana1.blogspot.com/2012/03/macam-macam-hukuman-atau-pidana.html diakses pada tanggal 28 November 2013 pukul 11.15 WIB
46
Sebagian orang berpendapat bahwa pidana mati dibenarkan dalam
hal-hal
tertentu
yaitu,
apabila
si
pelaku
telah
memperlihatkan dengan perbuatannya bahwa dia adalah orang yang sangat membahayakan kepentingan umum, dan oleh karena itu untuk menghentikan kejahatannya dibutuhkan suatu hukum yang tegas yaitu dengan hukuman mati. Dari pendapat ini tampak jelas bahwa secara tidak langsung tujuan pidana yang dikatakan oleh Van Hammel adalah benar yaitu untuk membinasakan. Pendapat yang lain mengatakan bahwa hukuman mati sebenarnya tidak perlu, karena mempunyai kelemahan. Apabila pidana mati telah dijalankan, maka tidak bisa memberikan harapan lagi untuk perbaikan, baik revisi atas pidananya maupun perbaikan atas dirinya sendiri. Karena salah satu tujuan adanya pidana adalah untuk mendidik ataupun memberikan rasa jera agar si pelaku tidak mengulangi pada tindakan yang sama. Sedangkan untuk tujuan pidana mati itu sendiri selalu ditujukan pada khalayak ramai agar mereka dengan ancaman hukuman akan merasa takut apabila melakukan perbuatanperbuatan kejam. Karena menyadari akan beratnya pidana mati di negeri Belanda sendiri pidana mati telah dihapuskan dari WvS-nya, kecuali masih dipertahankannya dalam pidana militer. Walaupun di Indonesia masih diberlakukannya pidana mati akan tetapi dalam
47
KUHP sendiri telah memberikan isyarat bahwa pidana mati tidak mudah untuk dijatuhkan, menjatuhkan pidana mati harus dengan sangat hati-hati, tidak boleh gegabah. b) Hukuman penjara Pidana ini membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang, yaitu dengan menempatkan terpidana dalam sutu tempat (lembaga pemasyarakatan) dimana terpidana tidak bisa bebas untuk keluar masuk dan di dalamnya diwajibkan untuk tunduk dan taat serta menjalankan semua peraturan dan tata tertib yang berlaku. Hukuman penjara minimum 1 hari dan maksimum 15 tahun (Pasal 12 ayat (2)), dan dapat melebihi batas maksimum yakni dalam hal yang ditentukan dalam KUHP Pasal 12 (3). Dalam hal menjalani pidana penjara dilembaga pemasyarakatan, narapidana
wajib
menjalankan
pekerjaan-pekerjaan
yang
diwajibkan kepadanya menurut ketentuan pelaksanaan yang diatur dalam Pasal 29 KUHP. Kewajiban bekerja bagi narapidana penjara dapat juga dilakukan diluar lembaga pemasyarakatan, kecuali bagi narapidana tertentu yang telah dijelaskan di dalam Pasal 25 KUHP. Menurut Pasal 13 KUHP nara pidana penjara terbagi dalam beberapa kelas, pembagian tersebut lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 49 peraturan kepenjaraan, yaitu: 1) Kelas I yaitu: bagi narapidana yang dipenjara seumur hidup dan narapidana sementara yang membahayakan orang lain;
48
2) Kelas II yaitu: a) Bagi narapidana yang dipenjara dengan hukuman lebih dari tiga bulan yang tidak termasuk kelas 1 tersebut di atas; b) Bagi narapidana yang dipidana penjara sementara yang telah dinaikkan dari kelas pertama, bagi narapidana kelas 1 jika kemudian ternyata berkelakuan baik maka ia dapat dinaikkan ke kelas 2; c) Bagi narapidana yang dipidana sementara yang karena alasan-alasan pelanggaran tertentu, ia dapat diturunkan menjadi kelas II dari kelas III; 3) Narapidana kelas III, yaitu : bagi narapidana yang dipidana sementara yang telah dinaikkan dari kelas I karena telah terbukti berkelakuan baik. Menurut Pasal 55 peraturan penjara, bagi narapidana yang demikian dapat diberikan pelepasan bersyarat (Pasal 15), apabila ia telah menjalani 1/3 atau paling sedikit sembilan bulan dari pidana yang dijatuhkan oleh Hakim. 4) Kelas IV yaitu: bagi narapidana yang dipidana penjara sementara paling tinggi lima bulan. c) Hukuman Kurungan Hukuman kurungan lebih ringan dari hukuman penjara. Lebih ringan antara lain dalam hal melakukan pekerjaan yang diwajibkan dan dalam hal membawa peralatan. Hukuman kurungan
49
dapat dilaksanakan dengan batasan paling sedikit 1 hari dan paling lama 1 tahun. Persamaan dan perbedaan antara pidana penjara dan pidana kurungan, yaitu: Persamaan 1) Sama
berupa
pidana
yaitu
sama-sama
menghilangkan
kemerdekaan bergerak. 2) Mangenal maksimum umum, maksimum khusus dan minimum umum dan tidak mengenal minimum khusus. 3) Sama-sama diwajibkan untuk bekerja 4) Sama-sama bertempat di penjara Perbedaan 1) Lebih ringan pidana kurungan daripada pidana penjara (Pasal 69 KUHP) 2) Ancaman maksimum umum dari pidana penjara 15 tahun sedangkan pidana kurungan hanya 1 tahun 3) Pelaksanaan pidana penjara dapat dilakukan di lembaga permasyarakatan di seluruh Indonesia, sedangkan pidana kurungan hanya bisa dilaksanakan di tempat dimana ia berdiam ketika diadakan keputusan hakim. d) Hukuman Denda Hukuman utama ke empat yang disebutkan dalam KUHP Pasal 10 adalah pidana denda. Pidana denda di ancamkan pada
50
banyak jenis pelanggaran (buku III) baik secara alternatif maupun berdiri sendiri. Begitu juga terhadap jenis kejahatan-kejahatan ringan maupun kejahatan culpa, pidana denda sering di ancamkan sebagai alternatif dari pidana kurungan. Dalam prakteknya pidana denda jarang sekali dilaksanakan. Hakim selalu menjatuhkan pidana kurungan atau penjara jika pidana itu hanya dijadikan sebagai alternatif saja, kecuali apabila tindak pidana itu memang hanya diancam dengan pidana kurungan. Dalam hal pidana denda tidak terdapat maksimum umumnya, yang ada hanyalah minimum umum yang menurut Pasal 30 ayat (1) adalah
tiga
puluh
juta
rupiah
tujuh
puluh
lima
sen.
Apabila terpidana tidak membayarkan uang denda yang telah diputuskan maka konsekuensinya adalah harus menjalani kurungan (kurungan pengganti denda, Pasal 30 ayat (2)) sebagai pengganti dari pidana denda. Terpidana yang dijatuhi pidana denda boleh segera menjalani kurungan pengganti denda dengan tidak perlu menunggu sampai habis waktu untuk membayar denda, akan tetapi bila kemudian ia membayar denda ketika itu demi hukum ia harus dilepaskan dari kurungan penggantinya. Sedangkan untuk batas pembayaran denda telah ditetapkan dalam KUHP Pasal 27 ayat (1). Sedangkan dalam ayat (2) menyatakan bahwa dalam hal terdapat alasan kuat jangka waktu
51
sebagaimana tersebut di atas dapat diperpanjang paling lama 1 bulan. Dan perlu diketahui dalam hal uang denda yang dibayar oleh terpidana menjadi hak milik Negara (Pasal 24). 2. Hukuman-hukuman tambahan, yang terbagi menjadi: a) Pencabutan beberapa hak yang tertentu b) Perampasan barang yang tertentu c) Pengumuman keputusan hakim Sanksi pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 2 yaitu: a) Sanksi Pidana b) Sanksi Tindakan Masing-masing memiliki prinsip dan tujuan masing-masing sesuai dengan teori serta filosofis yang dipahaminya. sehingga ditingkat ide dasar keduanya memiliki perbedaan yang fundamental. Keduanya bersumber pada ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bersumber pada ide dasar “mengapa diadakan pemidanaan?” sedangkan sanksi tindakan bertolak pada ide dasar: “ Untuk apa diadakan pemidanaan?” Sanksi pidana berorientasi pada pengenaan penderitaan pada pelaku sedangkan sanksi tindakan berorientasi pada perlindungan masyarakat. Kedudukan Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan dalam Sistem Pemidanaan Menurut Undang-Undang.Pada bagian ini secara khusus akan mengkaji dua hal yaitu:
52
1) Kecenderungan sanksi pidana dijadikan sebagai “Sanksi Primadona” 2) Sanksi tindakan sebagai kebijakan penal yang terabaikan. Sanksi pidana sebagai sanksi Primadona. Sanksi Tindakan sebagai kebijakan penal yang terabaikan. Kebijakan legislasi yang tercermin kedalam produk perundangundangan selama ini banyak memberikan kesan lebih mengutamakan sanksi pidana dalam sistem pemidanaan. Bentuk-bentuk sanksi pidana yang banyak diterapkan adalah pidana penjara, kurungan dan denda, sedangkan pidana mati hanya terdapat pada beberapa Perundang-Undangan saja seperti UndangUndang Narkotika, psikotropika Dll. Pencantuman jenis pidana dapat diidentifikasikan dalam setiap Perundang-Undangan pidana, baik yang berkualifikasi tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus. Demikian juga bentuk Perundang-Undangan yang subsatnsinya adalah Perundang-Undangan administrasi contohnya perlindungan konsumen, pabean, dsb. Dari kenyataan tersebut diatas ternyata bahwa sanksi pidana selama ini dalam produk kebijakan legislasi masih dijadikan “sanksi utama”. Karena banyaknya produk Perundang-Undangan pidana yang memuat sanksi pidana menunjukkan bahwa tingkat pemahaman para legislator terhadap masalah-masalah pidana dan pemidanaan masih terbatas.
53
Pemahaman legislator mengenai jenis sanksi pidana masih banyak dipengaruhi oleh pandangan lama yang menegaskan bahwa setiap orang yang telah melakukan kejahatan harus dibalas dengan pidana yang setimpal.
E. Tindak Pidana Narkotika Pengaturan narkotika berdasarkan Undang-Undang nomor 35 tahun 2009, bertujuan untuk menjamin ketersediaan guna kepentingan kesehatan dan
ilmu
pengetahuan,
mencegah
penyalahgunaan
narkotika,
serta
pemberantasan peredaran gelap narkotika. Penyalahgunaan narkotika di Indonesia sudah sampai ketingkat yang sangat mengkhawatirkan, fakta dilapangan menunjukan bahwa 50% penghuni LAPAS (lembaga pemasyarakatan) disebabkan oleh kasus narkoba atau narkotika. Berita kriminal di media masa, baik media cetak maupun elektronik dipenuhi oleh berita penyalahgunaan narkotika. Korbannya meluas kesemua lapisan masyarakat dari pelajar, mahasiswa, artis, ibu rumah tangga, pedagang, supir angkot, anak jalanan, pejabat dan lain sebagainya. Narkoba dengan mudahnya dapat diracik sendiri yang sulit didiktesi. Pabrik narkoba secara ilegalpun sudah didapati di Indonesia. Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika telah banyak dilakukan oleh aparat penegakan hukum dan telah banyak mendapatkan putusan hakim di sidang pengadilan. Penegakan hukum ini diharapkan mampu sebagai faktor penangkal terhadap merebaknya peredaran perdagangan
54
narkoba atau narkotika, tapi dalam kenyataan justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin meningkat pula peredaran perdagangan narkotika tersebut. Tindak pidana narkoba atau narkotika berdasarkan Undang-Undang nomor 35 tahun 2009, memberikan sangsi pidana cukup berat, di samping dapat dikenakan hukuman badan dan juga dikenakan pidana denda, tapi dalam kenyataanya para pelakunya justru semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh faktor penjatuhan sangsi pidana tidak memberikan dampak atau deterrent effect terhadap para pelakunya. Gejala atau fenomena terhadap penyalahgunan narkotika dan upaya penanggulangannya saat ini sedang mencuat dan menjadi perdebatan para ahli hukum. Penyalahgunaan narkoba atau narkotika sudah mendekati pada suatu tindakan yang sangat membahayakan, tidak hanya menggunakan obat-obatan saja, tetapi sudah meningkat kepada pemakaian jarum suntik yang pada akhirnya akan menularkan HIV. Perkembangan kejahatan narkotika pada saat ini telah menakutkan kehidupan masyarakat. Dibeberapa negara, termasuk indonesia, telah berupaya
untuk
meningkatkan
program
pencegahan
dari
tingkat
penyuluhan hukum sampai kepada program pengurangan pasokan narkoba atau narkotika. Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain sebagai berikut: a. Penyalahgunaan atau melebihi dosis penggunaan narkotika. b. Pengedaran Narkotika.
55
Berkaitan dengan suatu mata rantai peredaran narkotika, baik nasional maupun Internasional. c. Jual beli narkotika Hal ini pada umumnya dilatarbelakangi oleh motivasi mencari keuntungan materiil, namun ada juga karena kepuasan. Tindak pidana narkoba atau narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 memberikan sangsi pidana cukup berat, di samping dapat dikenakan hukuman badan dan juga dikenakan pidana denda, tapi dalam kenyataannya para pelakunya justru semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh faktor penjatuhan sangsi pidana tidak memberikan dampak atau deterrent effect terhadap para pelakunya. Ketentuan pidana dalam tindak pidana narkotika sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika adalah sebagai berikut: a. Tidak mementingkan unsur kesengajaan dalam Tindak Pidana Narkotika penggunaan kata “Setiap orang tanpa hak dan melawan hukum” dalam beberapa pasal Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika dengan tidak memperdulikan unsur kesengajaan, dapat menjerat orangorang yang memang sebenarnya tidak mempunyai niat untuk melakukan tindak pidana narkotika, baik karena adanya paksaan, desakan, ataupun ketidaktahuan.
56
b. Penggunaan sistem pidana minimal. Penggunaan sistem ini dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika memperkuat asumsi bahwa Undang-Undang tersebut memang diberlakukan untuk memidanakan masyarakat yang berhubungan dengan Narkotika. c. Kriminalisasi bagi orang tua dan masyarakat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memberikan ancaman hukuman pidana (6 bulan kurungan) bagi orang tua yang dengan sengaja tidak melaporkan anaknya yang menggunakan narkotika untuk mendapatkan rehabilitasi. Meskipun unsur ”kesengajaan tidak melapor” tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu, unsur tersebut tidak mengecualikan orang tua yang tidak mengetahui bahwa zat yang dikonsumsi anaknya adalah narkotika. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika juga menuntut agar setiap orang melaporkan tindak pidana Narkotika. Undang-Undang ini memberikan ancaman pidana maksimal 1 tahun bagi orang yang tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika. Penerapan pasal ini akan sangat sulit diterapkan karena biasanya pasal ini digunakan bagi pihakpihak yang ditangkap ketika berkumpul dengan pengguna narkotika. Orang tersebut juga dapat dipergunakan sebagai saksi mahkota untuk memberikan sesuatu tindak pidana narkotika. Pasal ini juga mengancam para pihak yang mendampingi komunitas pecandu narkotika. Namun, dalam Pasal 54 Undang-Undang Narkotika menyebutkan bahwa “Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahguna Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Di mana berdasarkan Pasal 54, hak
57
penyalahguna untuk mendapat rehabilitasi menjadi tidak diakui. Penyalahguna yang awalnya mendapatkan jaminan rehabilitasi pada Pasal 127 Undang-Undang Narkotika, kemudian juga menjadi subjek yang dapat dipidana dan kehilangan hak rehabilitasinya, kecuali dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban narkotika. Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika, dalam Undang-Undang ini diatur juga mengenai Prekursor Narkotika karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Dalam Undang-Undang ini dilampirkan mengenai Prekursor Narkotika dengan melakukan penggolongan terhadap jenis-jenis Prekursor Narkotika. Selain itu, diatur pula mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. Untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika. Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas negara, dalam
58
Undang-Undang ini diatur mengenai kerja sama, baik bilateral, regional, maupun internasional. Dalam Undang-Undang ini diatur juga peran serta masyarakat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi anggota masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika. Penghargaan tersebut diberikan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Namun demikian, dalam tataran implementasi, sanksi yang dikenakan tidak sampai pada kategori maksimal. Hal ini setidaknya disebabkan oleh dua hal. Pertama, kasus yang diproses memang ringan, sehingga hakim memutuskan dengan sanksi yang ringan pula. Kedua, tuntutan yang diajukan relatif ringan, atau bahkan pihak hakim sendiri yang tidak memiliki ketegasan sikap. Sehingga berpengaruh terhadap putusan yang dikeluarkan Penegakan hukum dengan mempunyai sasaran agar orang taat kepada hukum. Ketaatan masyarakat terhadap hukum disebabkan tiga hal yakni: a) Takut berbuat dosa; b) Takut karena kekuasaan dari pihak penguasa berkaitan dengan sifat hukum yang bersifat imperatif;
59
c) Takut karena malu berbuat jahat. Penegakan hukum dengan sarana non penal mempunyai sasaran dan tujuan untuk kepentingan internalisasi Keberadaan Undang-Undang Narkotika merupakan suatu upaya politik hukum pemerintah Indonesia terhadap penanggulangan tindak pidana narkotika dan psikotropika. Dengan demikian, diharapkan dengan dirumuskanya UndangUndang tersebut dapat menanggulangi peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, serta menjadi acuan dan pedoman kepada pengadilan dan para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan yang menerapkan Undang-Undang, khususnya hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap kejahatan yang terjadi. Dalam penelitian ini, penulis akan mencoba meneliti tentang kebijakan hukum pidana yang tertuang dalam Undang-Undang Psikotropika dan Undang-Undang Narkotika serta implementasinya dalam penangulangan tindak pidana narkotika dan psikotropika. Unsur-unsur tindak pidana narkotika untuk diri sendiri berdasarkan ketentuan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika adalah sebagai berikut : 1. Unsur Setiap Penyalahguna Berkaitan dengan hal ini, setiap penyalahguna dapat juga dikatakan setiap orang yang menggunakan narkotika tanpa hak dan atau melawan hukum. Ketentuan tersebut sesuai dengan Pasal 1 butir 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Berarti setiap orang tanpa terkecuali, yang menggunakan narkotika tanpa izin dari instansi atau pihak yang berwenang, telah memenuhi unsur “setiap penyalahguna”. Unsur
60
setiap penyalahguna atau setiap orang dalam pasal tersebut hanya ditujukan kepada orang atau manusia. Selain itu unsur tersebut hanya ditunjukkan kepada orang perorangan. Kata “menyalahgunakan” tidak didefinisikan secara jelas di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Akan tetapi di dalam pasal yang ada dalam Undang-Undang tersebut telah dijelaskan mengenai pengklasifikasian penggunaan narkotika. Seperti pada ketentuan Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang mengklasifikasikan peruntukan Narkotika Golongan I. Menyalahgunakan yang dimaksud dalam unsur ini adalah menggunakan narkotika tanpa hak dan atau melawan hukum. Narkotika yang dimaksud di dalam unsur tersebut yaitu narkotika golonganI,II,dan III. Melahgunakan narkotika juga dapat diartikan menggunakan narkotika yang tidak sesuai peruntukannya. Peruntukan narkotika sudah terdapat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Salah satunya yaitu Pasal 9 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang merumuskan sebagai berikut: 1. Menteri menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau untung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 2. Untuk keperluan ketersediaan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disusun rencana kebutuhan tahunan Narkotika. 3. Rencana kebutuhan tahunan narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun berdasarkan data pencatatan dan pelaporan rencana dan realisasi produksi tahunan yang diaudit secara komprehensif dan menjadi pedoman pengadaan, pengendalian dan pengawasan Narkotika secara nasional.
61
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kebutuhan tahunan Narkotika diatur dengan Peraturan Menteri. Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika membagi narkotika menjadi tiga golongan, sesuai dengan Pasal 6 ayat 1 : 1) Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. 2) Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. 3) Narkotika
Golongan
III
adalah
narkotika
yang
berkhasiat
pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/ atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Salah satunya yaitu narkotika golongan I yang dalam kasus ini digunakan oleh terdakwa,dalam bentuk tanaman ganja. Pengaturan narkotika berdasarkan Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 T.TJ Nomor 35 tahun 2009, bertujuan untuk menjamin ketersediaan
62
guna
kepentingan
kesehatan
dan
ilmu
pengetahuan,
mencegah
penyalahgunaan narkotika, serta pemberantasan peredaran gelap narkotika.26 Mengingat betapa besar bahaya penyalahgunaan Narkotika ini, maka perlu diingat akan akibat yang dapat timbul, sehingga perlu mawas diri,lebih menjaga diri kita pribadi agar jangan sampai terjerumus akan hal yang dapat merusak bangsa dan diri kita sendiri tentunya.27
26
Silaban,F.E.S. 2012. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pengaturan Tindak Pidana Narkotika Di Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Sumara b Utara Medan. Jurnal. 27 http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/s1hukum08/203711035/bab2.pdf diakses pada tanggal 13 Sepember Tahun 2013 pukul 20.00 WIB
63
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu suatu pendekatan yang menggunakan legistis positivis. Konsep ini memandang hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat atau diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Konsep ini melihat hukum sebagai sistem normatif yang otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang nyata dan menganggap norma lain itu bukan sebagai norma hukum.28 Penelitian ini juga menggunakan metode pendekatan PerundangUndangan (Statute Approach) yaitu pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.29 Berdasarkan pendekatan ini diperoleh peraturan hukum dan menguji penerapannya secara praktis dengan menganalisis putusan hakim.
28
Ronny Hanitijo Soemitro, 2008. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta. 29
Peter Mahmud. M, 2009. Penelitian Hukum, Prenada Media, Indonesia.
64
B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah legal research, yaitu penelitian yang bertujuan hendak menguji apakah suatu ketentuan nonnatif tertentu memang dapat atau tidak dapat dipakai untuk memecahkan suatu masalah hukum tertentu.30 Jadi, pada penelitian ini penulis akan memberikan gambaran mengenai pemidanaan terhadap tindak pidana narkotika (Studi Putusan Nomor : 02/Pid.Sus/2012/PN.Pwt)
C. Sumber Data Data Sekunder yang bersumber dari bahan hukum, meliputi : a. Bahan hukum primer Bahan-bahan yang didapat bersumber dari catatan-catatan resmi, peraturan Perundang-Undangan, dan putusan hakim yang berkaitan dengan pokok permasalahan. b. Bahan hukum sekunder Bahan-bahan
yang
bersumber
dari
putusan
nomor
:
02/pid.Sus/2012/PN.Pwt, buku-buku literatur, artikel, makalah seminar, jurnal dan hasil penelitian yang ada hubungannya dengan permasalahan yang diteliti guna mendukung penelitian.
30
Bambang, Suggono. 2006. Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Grafika, Jakarta.
65
D. Metode Pengumpulan Data Data sekunder diperoleh dengan cara melakukan studi pustaka terhadap peraturan Perundang-Undangan, buku-buku literatur dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan obyek atau masalah yang akan diteliti dan membuat catatan.
E. Metode Penyajian Data Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis.
F. Metode Analisis Data Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan metode normatif kualitatif, yaitu dengan cara menjabarkan dan menafsirkan data yang diperoleh
berdasarkan
norma-norma
atau
kaidah
kaidah,
teori-teori,
pengertian-pengertian hukum dan doktrin-doktrin yang terdapat dalam ilmu hukum, khususnya dalam Hukum Acara Pidana.
66
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Duduk Perkara Pada
Putusan
02/Pid.Sus/PN.Pwt
Pengadilan
telah
memiliki,
Negeri
Purwokerto
menyimpan,
Nomor
menguasai
:
dan
menyediakan Narkotika oleh terdakwa dengan identitas sebagai berikut : Nama lengkap : Andi Romadon Bin Herman, tempat lahir : Cirebon, tanggal lahir/umur: 16 maret 1993/18tahun, Jenis kelamin : Laki-laki, kebangsaan : Indonesia, tempat tinggal : Jl. Dr.Cipto mangunkusumo gang musnandar No.56 Kel.Kosambi Rt.03 Rw.03 Kecamatan Kosambi, Kodya Cirebon, Agama : Islam, pekerjaan : Mahasiswa Unsoed Purwokerto. Awalnya terdakwa Andi Romadon Bin Herman pada hari jumat, tanggal 21 oktober 2011, sekitar pukul 15.00 WIB, terdakwa bertemu dengan Marza di parkiran jalan raya Unsoed. Marza adalah anak yang berasal dari Jakarta dan disini Marza berkuliah di Unsoed sebagai Mahasiswa kuliah pagi, sedangkan terdakwa kuliah sore. Marza mengetahui bahwa terdakwa andi Romadon pengguna ganja, lalu Marza meminta bantuan terdakwa untuk membelikan ganja dan untuk itu Marza menyerahkan uang sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah). Setelah itu terdakwa Andi Romadon memesan ganja kepada Egi lewat sms sebanyak 4 kali dan pada hari Minggu, tanggal 23 oktober 2011, terdakwa
67
Andi Romadon membeli ganja sebanyak 1 bungkus kertas koran kepada Egi di parkiran Sunyaragi Cirebon, serta terdakwa menyerahkan uang dari Marza seluruhnya Rp.200.000,- kepada Egi. Setelah mendapatkan barang tersebut, terdakwa andi Romadon kemudian berangkat dari Cirebon mengendarai sepeda motor Honda vario berwarna putih dengan No. Pol. : E-6567-BF milik terdakwa, dari Cirebon pada hari minggu tanggal 23 Oktober 2011, sekitar pukul 20.00 WIB dan sampai Purwokerto sekitar pukul 23.30WIB. Selama perjalanan terdakwa menyimpan ganja tersebut pada saku celana, namun selama perjalanan Marza terus menelepon terdakwa Andi Romadon dan memerintahkan terdakwa untuk menaruh bungkusan ganja itu dalam helm si terdakwa. Sesampainya Terdakwa di Purwokerto, Marza mengatakan kepada terdakwa untuk bertemu dengan terdakwa di Jln. HR. Bunyamin, tetapi setibanya terdakwa disana marza tidak ada. Terdakwa malah didatangi oleh Polisi yang menunjukan surat tugas dan menyampaikan kepada terdakwa, polisi mendapat informasi dari tempat kost terdakwa di jln. Madrani. Polisi akhirnya meminta terdakwa menunjukan ganja yang terdakwa simpan di helm yang digunakan oleh Terdakwa. Sehingga Terdakwa Andi Romadon ditangkap oleh Polisi pada hari Selasa, tanggal 25 Oktober 2011, bertempat di Jl. HR. Bunyamin, depan SKB, selatan Hotel Cendrawasih, Kel. Bancarkembar, Kec. Purwokerto Utara, Kab. Banyumas, sekitar pukul 01.30 WIB.
68
2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan yang disusun secara alternatif, yaitu : Kesatu
: Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam Pidana dalam Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang RI No.35 tahun 2009 tentang Narkotika ; ATAU
Kedua
: Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur daan diancam pidana dalam pasal 127 ayat (1) huruf a UndangUndang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika ;
3. Pembuktian Hakim dalam perkara ini memeriksa beberapa alat bukti dan barang bukti dalam persidangan, yaitu : a. Alat Bukti Keterangan Saksi 1) Saksi Hadiyanto di bawah sumpah menerangkan sebagai berikut : Saksi bernama Ipda Erwin Chan siregar, saksi Briptu Pramu Aji Wibowo dan Briptu Aris Budi Setiyono manangkap terdakwa pada hari selasa, tanggal 25 Oktober 2011 yang bertempat di Jl. HR. Bunyaamin, depan SKB, selatan hotel Cendrawasih, Kel. Bancarkembar, Kec. Purwokerto Utara, Kab. Banyumas, sekitar pukul 01.30 WIB. Kemudian saksi mendapat informasi berupa ciri terdakwa yang waktu itu diduga memiliki ganja, setelah itu saksi mendatangi
69
kos terdakwa yang waktu itu diduga memiliki ganja tersebut, kemudian saksi mendatangi kos terdakwa yang terdapat di Jl. Madrani tetapi terdakwa tidak ada. Saksi juga melihat sepeda motor terdakwa di jln. HR.Bunyamin kel. Bancarkembar. Saksi lalu meminta terdakwa untuk membuka helm dan mengambil ganja yang dibungkus di dalam kertas koran, yang disimpan di dalam helm terdakwa. Sehingga terdakwa mengaku memperoleh ganja tersebut dari Egi, alamat egi di cirebon dan itu atas suruhan Marza. Akan tetapi saksi tidak mengecek alamat keberadaan Egi di Cirebon karena terdakwa tidak tahu nomor HP nya. 2) Pramu Aji Wibowo di bawah sumpah menerangkan sebagai berikut : Saksi datang bersama brigadir hadiyanto, Ipda Erwin Chan Siregar dan Briptu Aris budi Setiyono dan menangkap terdakwa pada hari selasa, tanggal 25 Oktober 2011, bertempat di Jl. HR. Bunyamin. Depan SKB, selatan Hotel Cendrawasih, Kel. Bancarkembar, Kec. Purwokerto Utara,Kab. Banyumas, sekitar pukul 01.30 WIB. Saksi mendapatkan informasi, terdapat ciri terdakwa yang pada waktu itu diduga memiliki ganja, kemudian saksi mendatangi kos terdakwa yang ada di Jln. Madrani tetapi terdakwa yang dituju tidak berada di kosnya. Tak berapa lama, kemudian saksi melihat
70
ada sepeda motor terdakwa di Jln. HR. Bunyamin Kel. Bancarkembar. Saksi kemudian langsung meminta terdakwa untuk membuka helm yang ia kenakan dan mengambil ganja yang dibungkus kertas koran, yang disimpan di helm terdakwa. Setelah ditanya, terdakwa kemudian mengaku bahwa ia memperoleh ganja dari Egi, yang tinggal di Cirebon, dan terdakwa mengetahui atas suruhan Marza. Saksi juga tidak mengecek keberadaan Egi di Cirebon karena si terdakwa pun juga tidak tahu nomor HP nya. b. Alat Bukti Keterangan Saksi A De Charge 1) Pondra Eka Saputra, di bawah sumpah pada pokoknya menerangkan sebagai berikut : Saksi adalah teman satu kos terdakwa di Purwokerto. Saksi mengetahui orang yang bernama Marza itu, karena saksi pernah tinggal satu kos selama kurang lebih 4 bulan, akan tetapi saksi tidak tahu perilaku Marza. Karena Marza selama tinggal 1 kos sering ngumpet-ngumpet dan tidak suka bergaul dengan temanteman satu kos nya itu. Menurut keterangan saksi,memang benar adanya bahwa Marza suka pakai ganja tetapi saksi belum pernah melihat sendiri perbuatan Marza tersebut. Menurut saksi, helm yang dipergunakan oleh terdakwa pada waktu malam terdakwa ditangkap tersebut
71
adalah benar milik terdakwa. Helm tersebut yang yang digunakan oleh terdakwa untuk menyimpan ganja pesanan Marza. Terdakwa mengakui bahwa yang menyuruh membeli ganja itu adalah Marza. Sampai saat ini saksi tidak mengetahui keberadaan Marza berada dimana. Sebelumnya terdakwa pernah bercerita kepada saksi mengenai Marza tetapi tidak cerita mengenai pesanan ganja tersebut. Setahu saksi, terdakwa tidak suka pulang malam dan ia baik-baik saja. 2) Herman, tidak disumpah yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut : Saksi adalah ayah dari terdakwa, saksi mempunyai 3 orang anak, dan terdakwa adalah anak saksi nomor 3. Diakui oleh saksi bahwa terdakwa mempunyaai sifat temperamen, sehingga saksi pernah membawanya ke psikiater. Dari hasil pemeriksaan menurut dokter, terdakwa mengalami depresi dan emosi yang tidak stabil. Dari keterangan tersebut, yang terdapat di surat keterangan dokter spesialis yang memeriksa terdakwa yaitu dr. H. Abdul Wahid, Sp.Kj, pada tanggal 5 Desember 2011. Menurut keterangan saksi, selama ini terdakwa tidak pernah berbuat yang tidak baik. Saksi tidak mengenal teman terdakwa yang bernama Egi dan Marza. Menurut pengakuan terdakwa, ia berteman dengan Egi sejak bulan juli 2011. Terdakwa juga rutin pulang ke Cirebon, setiap sebulan sekali. Apabila terdakwa sedang
72
berada di Cirebon, terdakwa lebih banyak berada di rumah daripada keluar rumah. c. Alat Bukti Keterangan Terdakwa Di persidangan telah pula didengar keterangan terdakwa yang pada pokoknya sebagai berikut : Terdakwa ditangkap pada hari selasa, tanggal 25 Oktober 2011, tepatnya terdakwa ditangkap di Jl. HR. Bunyamin, depan SKB, selatan Hotel Cendrawasih, Kel. Bancarkembar, Kec. Purwokerto Utara, Kab. Banyumas, sekitar pukul 01.30 WIB. Sebelumnya pada hari Jum’at, tanggal 21 Oktober 2011, sekitar pukul 15.00 WIB, terdakwa bertemu dengan Marza di parkiran jalan raya Unsoed. Terdakwa mengenal Marza dan mereka bertemu pada hari itu juga. Marza meminta bantuan kepada terdakwa untuk membelikan ganja dan menyerahkan uang sebanyak Rp. 200.000,- guna membeli ganja tersebut. Marza kemudian mengaku sebagai mahasiswa kuliah pagi, sedangkan terdakwa kuliah sore. Marza merupakan anak yang berasal dari jakarta, pada waktu itu ia mengetahui bahwa terdakwa adalah pengguna ganja. Lalu pada hari minggu, tanggal 23 Oktober 2011, terdakwa membeli ganja sebanyak 1 bungkus kertas koran kepada Egi, transaksi itu dilakukan di parkiran Sunyaragi Cirebon. Sampai akhirnya terdakwa menyerahkan uang yang diperoleh dari Marza seluruhnya sebanyak Rp. 200.000,- kepada Egi. Terdakwa telah memesan ke Egi
73
melalui sms sebanyak 4 kali dan akhirnya mereka bertemu di cirebon. Terdakwa mengenal Egi kurang lebih baru 3 bulan karena terdakwa pernah membeli ganja di Egi. Terdakwa menyimpan ganja tersebut di dalam saku celana selama ia berada di perjalanan, namun Marza terus menelepon terdakwa dan memerintahkan kepada terdakwa untuk menaruh bungkusan ganja itu dalam helm terdakwa. Setelah terdakwa mendapatkan barang tersebut, kemudian ia berangkat dengan mengendarai sepeda motor dari cirebon pada hari minggu, tanggal 23 Oktober 2011, sekitar pukul 20.00 WIB dan sampai Purwokerto sekitar pukul 23.30 WIB. Marza mengatakan kepada terdakwa untuk bertemu di Jln. HR. Bunyamin tetapi sampai di tempat yang dimaksud, terdakwa tiba-tiba didatangi oleh Polisi. Polisi yang datang lalu menunjukan surat tugas dan menyampaikan maksud kedatangannya kepada terdakwa, Polisi mendapat informasi dari tempat kost terdakwa yang berada di Jln. Madrani. Polisi akhirnya meminta terdakwa untuk menunjukan ganja yang terdakwa simpan di dalam helm yang terdakwa kenakan. Dari jasa membelikan ganja tersebut, terdakwa tidak mendapatkan apa-apa. Terdakwa memang pernah melihat ganja tersebut dengan cara memakainya yaitu dirokok.
74
d. Barang Bukti 1) 1 (satu) bungkus kertas koran berisi ganja. 2) 1 (satu) buah helm warna putih merk INK. 3) 1 (satu) unit sepeda motor Honda Vario warna putih No. Pol. : E6567-BF. 4) 1 (satu) buah handphone Blackberry tipe 8520 warna hitam nomor 087829834974. 5) 3 (tiga) buah kertas paper merk singo. 6) 1 (satu) buah kertas paper merk cap wayang. 7) 1 (satu) botol plastik kecil berisi urine milik Andi Romadon alias Andi Bin Herman. e. Tuntutan Penuntut Umum Setelah mendengar keterangan para saksi, keterangan saksi A De Charge, Keterangan terdakwa serta memperhatikan barang bukti yang diajukan dipersidangan, maka jaksa Penuntut Umum mengajukan tuntutan sebagai berikut : 1) Menyatakan terdakwa Andi Romadon Bin Herman terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “secara tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman berupa ganja” sebagaimana diatur dan diancam pidana pasal 111 (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
75
2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Andi Romadon Bin Herman dengan hukuman penjara selama 5 (lima) tahun dan denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delaapan ratus juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan penjara, hukuman mana dikurangi selama terdakwa ditahan serta memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan. 3) Menyatakan barang bukti berupa : a) M1 bungkus kertas koran berisi ganja seberat 4,089 gram, 3 buah paper merk singo dan 1 buah paper merk wayang, 1 botol plastik kecil urine dan 1 buah helm putih merk INK, dirampas untuk dimusnahkan. b) 1 buah handphone Blackberry type 8520 warna hitam No. 087829834974, dirampas untuk Negara. c) 1 unit sepeda motor Honda Vario warna putih No. Pol. E 6567 BF STNK atas nama herman, dikembalikan kepada saksi Herman. 4) Menyatakan terdakwa Andi Romadon Bin Herman dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah). f. Putusan Pengadilan Negeri 1) Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Menimbang bahwa berdasarkan keterangan para saksi, keterangan saksi A De Charge, keterangan terdakwa dihubungkan
76
dengan barang bukti yang diajukan dipersidangan maka ditemukan fakta-fakta hukum sebagai berikut : (1) Bahwa terdakwa ditangkap pada hari Selasa, tanggal 25 Oktober 2011, bertempat di Jl. HR. Bunyamin, depan SKB, selatan
Hotel
Cendrawasih,
Kel.
Bancarkembar,
Kec.
Purwokerto Utara, Kab. Banyumas, sekitar pukul 01.30 WIB. (2) Bahwa pada hari Jum’at, tanggal 21 Oktober 2011, sekitar pukul 15.00 WIB, terdakwa bertemu dengan Marza di parkiran jalan raya Unsoed. (3) Bahwa Marza meminta bantuan terdakwa untuk membelikan ganja dan untuk itu Marza menyerahkan uang sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah). (4) Bahwa terdakwa memesan ganja kepada Egi lewat sms sebanyak 4 kali dan pada hari minggu, tanggal 23 Oktober 2011, terdakwa membeli ganja sebanyak 1 bungkus kertas koran kepada Egi di parkiran Sunyaragi Cirebon, serta terdakwa menyerahkan uang dari Marza seluruhnya Rp. 200.000,- kepada Egi. (5) Bahwa terdakwa berangkat mengendarai sepeda motor Honda Vario putih No. Pol. : E-6567-BF milik terdakwa, dari Cirebon hari minggu, tanggal 23 Oktober 2011, sekitar pukul 20.00 WIB dan sampai Purwokerto sekitar pukul 23.30 WIB.
77
(6) Bahwa terdakwa menyimpan ganja tersebut di saku celana tetapi selama di perjalanan, Marza terus menelepon terdakwa dan memerintahkan terdakwa untuk menaruh bungkusan ganja itu di dalam helm terdakwa ; (7) Bahwa Marza janjian bertemu terdakwa di Jln. HR. Bunyamin tetapi sampai disana, Marza tidak ada. (8) Bahwa terdakwa didatangi oleh polisi yang menunjukan surat tugas dan menyampaikan kepada terdakwa, Polisi mendapat informasi dari tempat kost terdakwa di Jln. Madrani. (9) Bahwa Polisi meminta terdakwa menunjukkan ganja yang terdakwa simpan di helm yang terdakwa kenakan. (10) Bahwa kesimpulan pemeriksaan laboratoris kriminalistik : (11) Nomor BB-02270/2011 berupa batang, daun dan biji tersebut di atas adalah ganja dan terdaftar dalam golongan 1 (satu) nomor urut 8 (delapan) lampiran Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. (12) Nomor BB-02271/2011 berupa urine tersebut di atas adalah mengandung tetrahydrocannabinol terdaftar dalam golongan I (satu) nomor urut 9 (sembilan) lampiran Undang-Undang RI No.35 tahun 2009 tentang Narkotika. Menimbang, mempertimbangkan
bahwa apakah
selanjutnya berdasarkan
Majelis
akan
fakta-fakta
hukum
78
tersebut di atas, terdakwa dapat dinyatakan telah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya ; Menimbang, bahwa untuk menyatakan seseorang telah melakukan suatu tindak pidana, maka perbuatan orang tersebut haruslah memenuhi seluruh unsur-unsur dari tindak pidana yang didakwakan kepadanya ; Menimbang, bahwa terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan yang berbentuk tunggal, yaitu : Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : (1) Setiap orang ; (2) Tanpa hak atau melawan hukum ; (3) Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman ; Menimbang, bahwa terhadap unsur-unsur tersebut Majelis akan mempertimbangkannya sebagai berikut: Ad. 1 Setiap orang Menimbang, bahwa unsur setiap orang menunjuk pada subyek hukum, baik orang maupun badan hukum yang dapat dimintakan pertanggungjawabannya ; Menimbang, bahwa di persidangan, Penuntut Umum telah mengajukan terdakwa Andi Romadon Bin Herman, yang identitasnya termuat di awal surat dakwaan, dibenarkan
79
oleh terdakwa dan juga saksi-saksi yang dihadirkan di persidangan, bahwa terdakwa merupakan subyek hukum yaang dimaksud ; Menimbang, bahwa selain daripada itu, terdakwa dapat menjawab secara baik setiap pertanyaan yang diajukan oleh Majelis Hakim kepadanya, sehingga dengan demikian unsur setiap orang telah terpenuhi; Ad. 2 Tanpa hak atau melawan hukum Menimbang, bahwa unsur tanpa hak atau melawan hukum adalah merupakan pengertian yang sama dan sejenis, yakni yang dilarang atau tidak melakukan suatu perbuatan sesuai dengan ketentuan/peraturan yang berlaku; Menimbang, bahwa berdasarkan pertanyaan Majelis di awal persidangan
dan
juga
keterangan
para
saksi
yang
dibenarkan oleh terdakwa, bahwa terdakwa belum bekerja dan masih berstatus seorang mahasiswa di Unsoed Purwokerto ; Menimbang, bahwa sehubungan dengan pekerjaan terdakwa tersebut, ia bukanlah seorang ilmuwan yang mempunyai kewenangan untuk mempergunakan narkotika golongan I sebagai obyek pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan bukanlah seorang yang oleh karena itu
80
memperoleh persetujuan Menteri atau rekomendasi Kepala Balai pengawasan Obat dan Makanan ; Menimbang, bahwa sebagai orang yang bukan merupakan pihak yang berhak yaitu bukan seorang peneliti ilmu pengetahuan tertentu, maka terdakwa tidak berhak untuk memiliki
ataupun
mempergunakannya,
sebagaimana
ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 ; Menimbang, bahwa beradasarkan pertimbangan tersebut di atas , maka Majelis berpendapat unsur secara tanpa hak telah terpenuhi ; Ad. 3 Menanam,
memelihara,
memiliki,
menyimpan,
menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman. Menimbang, bahwa unsur ini pun bersifat pilihan, sehingga apabila salah satu unsur terbukti, yang selebihnya tidak perlu untuk dibuktikan lagi ; Menimbang, bahwa ketentuan Pasal 1 angka 1 UndangUndang
No.
35
Tahun
2009
tentang
Narkotika,
menyebutkan “Narkotika adalah Zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
81
menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat
menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang” ; Menimbang, bahwa terdakwa ditangkap pada hari Selasa, taanggal 25 Oktober 2011, bertempat di Jl. HR. Bunyamin, depan
SKB,
selatan
Hotel
Cendrawasih,
Kel.
Bancarkembar, Kec. Purwokerto Utara, Kab. Banyumas, sekitar pukul 01.30 WIB ; Menimbang, bahwa awalnya pada hari Jum’at, tanggal 21 Oktober 2011, sekitar pukul 15.00 WIB, terdakwa bertemu dengan Marza di parkiran jalan raya Unsoed ; Menimbang, bahwa Marza adalah Mahasiswa Fakultas Unsoed Angkatan 2011, yang baru dikenal terdakwa ; Menimbang, bahwa Marza meminta bantuan terdakwa untuk membelikan ganja dan untuk itu Marza menyerahkan uang kepada terdakwa sebesar Rp. 200.00,- (dua ratus ribu rupiah) ; Menimbang, bahwa terdakwa memesan ganja kepada Egi lewat sms sebanyak 4 kali dan pada hari Minggu, tanggal 23 Oktober 2011, terdakwa menemui Egi di parkiran Sunyaragi Cirebon, dengan cara Egi menyerahkan ganja sebanyak 1 bungkus kertas koran kepada terdakwa,
82
sedangkan terdakwa menyerahkan uang dari Marza seluruhnya Rp. 200.000,- kepada Egi ; Menimbang, bahwa setelah mendapatkan ganja dimaksud, terdakwa berangkat mengendarai sepeda motor Honda Vario warna putih No. Pol. : E-6567-BF milik terdakwa, dari Cirebon hari Minggu, tanggal 23 Oktober 2011, sekitar pukul 20.00 WIB dan sampai Purwokerto sekitar pukul 23.30 WIB ; Menimbang, bahwa terdakwa menyimpan ganja tersebut di saku celana, selama di perjalanan, Marza terus menelepon terdakwa dan memerintahkan terdakwa untuk menaruh bungkusan ganja itu di dalam helm terdakwa ; Menimbang, bahwa Marza janjian bertemu terdakwa di Jln. HR. Bunyamin tetapi sampai disana, Marza tidak ada; Menimbang, bahwa pada saat bersamaan, terdakwa didatangi oleh polisi yang menunjukan surat tugas dan meminta terdakwa menunjukan ganja yang terdakwa simpan di helm yang terdakwa kenakan waktu itu ; Menimbang, bahwa untuk selanjutnya terhadap barang bukti berupa ganja dan urine terdakwa diperiksa di laboratoris kriminalistik, yang kesimpulannya sebagai berikut :
83
1) Nomor BB-02270/2011 berupa batang, daun dan biji tersebut di atas adalah ganja dan terdaftar dalam golongan 1 (satu) nomor urut 8 (delapan) lampiran Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ; 2) Nomor BB-02271/2011 berupa urine tersebut di atas adalah mengandung tetrahydrocannabinol terdaftar dalam golongan I (satu) nomor urut 9 (sembilan) lampiran Undang-Undang RI No.35 tahun 2009 tentang Narkotika ; Menimbang, bahwa perbuatan terdakwa menyimpan ganja yang diakui didapat dengan cara membeli dari orang yang bernama Egi di cirebon merupakan perbuatan awal, sehingga ganja ada pada kekuasaannya penuh, tiada orang lain yang menyertai perjalanannya dari Cirebon hingga purwokerto,
terlepas
apakah
terdakwa
sebelum
itu
menggunakan ganja, sebagaimana urine terdakwa yang dinyatakan
positif
mengandung
tetrahydrocannabinol
(Narkotika) ; Menimbang, bahwa sesuai dengan pasal yang didakwakan Penuntut Umum, khusus mengenai perbuatan terdakwa menyimpan ganja, sebagaiman pula yang terungkap di persidangan, keterangan saksi-saksi dan juga pengakuan
84
terdakwa, menyatakan benar terdakwa menyimpan ganja di dalam helm yang dikenakannya, sehingga berdasarkan pertimbangan tersebut, Majelis tidak sependapat dengan pledoi Penasihat Hukum terdakwa, dimana bahwa dengan belum tertangkapnya Marza dan Egi yang DPO dalam BAP adalah
kewenangan
Penyidik
dalam
menjalankan
pekerjaannya ; Menimbang, bahwa dengan demikian unsur menyimpan Narkotika Golongan I dalam tanaman telah terpenuhi ; Menimbang,
bahwa
berdasarkan
pertimbangan-
pertimbangan tersebut, ternyata perbuatan terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur dari dakwaan tunggal, sehingga Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, yaitu melanggar Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 ; Menimbang, bahwa dari kenyataan yang diperoleh selama persidangan dalam perkara ini, Majelis Hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat melepaskan terdakwa dari pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan atau alasan pemaaf, oleh karenanya Majelis Hakim berkesimpulan bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa harus dipertanggungjawabkan kepadanya ;
85
Menimbang,
bahwa
oleh
karena
terdakwa
mampu
bertanggung jawab, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah atas tindak pidana yang didakwakan terhadap diri terdakwa oleh karena itu harus dijatuhi pidana ; Menimbang, bahwa pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa tersebut adalah merupakan pidana yang paling sesuai dengan perbuatan terdakwa, sehingga pledoi penasihat hukum terdakwa yang menyatakan mohon keringanan hukuman sudah dipertimbangkan lebih lanjut oleh Majelis Hakim ; Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan pidana terhadap diri terdakwa, maka perlu dipertimbangkan terlebih dahulu hal-hal yang memberatkan dan meringankan pada diri terdakwa sebagai berikut : Hal-hal yang memberatkan : (a) Perbuatan
terdakwa
tidak
mendukung
program
pemerintah memberantas penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) ; Hal-hal yang meringankan : (a) Terdakwa belum pernah dihukum. (b) Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulang lagi.
86
(c) Terdakwa bersikap sopan, berterus terang dan tidak berbelit-belit. (d) Terdakwa masih berstatus mahasiswa dan masih berkeinginan untuk melanjutkan kuliahnya. (e) Terdakwa merupakan anak laki-laki satu-satunya yang menjadi harapan orang tua dan keluarganya. Menimbang, bahwa pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa
sudah
setimpal
dengan
perbuatannya
dan
merupakan hukuman minimal menurut ketentuan Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, sehingga Majelis tidak sependapat dengan pledoi Penasihat Hukum terdakwa yang menyatakan hukuman yang seharusnya dikenakan kepada terdakwa yaitu Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 ; Menimbang, bahwa terhadap surat yang diajukan oleh terdakwa, Majelis berpendapat tidak mempunyai relevansi dengan perkara terdakwa, sehingga tidakdipertimbangkan lebih lanjut ; Menimbang, bahwa dalam perkara ini terhadap diri terdakwa telah dikenakan penahanan yang sah, maka masa penahanan tersebut harus dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;
87
Menimbang, bahwa selain pidana penjara, terdakwa juga dikenakan pidana denda yang besarnya akan disebutkan dalam amar putusan ; Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa ditahan dan penahanan terhadap diri terdakwa dilandasi alasan yang sah, tentu tidak ada alasan untuk mengeluarkan terdakwa dari tahanan, maka terdakwa tetap berada dalam tahanan ; Menimbang, bahwa barang bukti yang diajukan di persidangan telah diakui kepemilikannya dan selanjutnya akan ditetapkan dalam amar putusan berupa : (a) 1 (satu) bungkus kertas koran berisi ganja (b) 1 (satu) buah helm warna putih merk INK (c) 1 (satu) unit sepeda motor Honda Vario warna putih No. Pol. : E-6567-BF (d) 1 (satu) buah handphone Blackberry tipe 8520 warna hitam nomor 087829834974 (e) 3 (tiga) buah kertas paper merk singo (f) 1 (satu) buah kertas paper merk cap wayang (g) 1 (satu) botol plastik kecil berisi urine milik Andi Romadon alias Andi Bin Herman Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa dijatuhi pidana dan terdakwa
sebelumnya
tidak
mengajukan
permohonan
pembebasan dari pembayaran biaya perkara, maka terdakwa
88
harus dibebankan untuk membayar biaya perkara yang besarnya akan ditentukan dalam amar putusan ini ; Mengingat, ketentuan Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, Undang-Undang No. 48 tahun 2009, Undang-Undang No. 49 Tahun 2009, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 serta peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan perkara ini ; 2) Amar Putusan Pengadilan Negeri a) Menyatakan terdakwa Andi Romadon Bin Herman terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tanpa hak menyimpan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman. b) Menjatuhakan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 4(empat) tahun dan denda sebesar Rp. 800.000.000,(delapan ratus ribu rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak dibayar harus diganti dengan pidana penjara selama 1(satu) bulan. c) Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ; d) Menetapkan agar terdakwa tetap di tahanan ; e) Menetapkan agar barang bukti bukti berupa : (1) 1 (satu) bungkus kertas koran berisi ganja (2) 3 (tiga) buah kertas paper merk singo
89
(3) 1 (satu) buah kertas paper merk cap wayang (4) 1 (satu) botol plastik kecil berisi urine milik Andi Romadon alias Andi Bin Herman (dirampas untuk dimusnahkan) (5) 1 (satu) buah helm warna putih merk INK (6) 1 (satu) unit sepeda motor Honda Vario warna putih No. Pol. : E-6567-BF (7) 1 (satu) buah handphone Blackberry tipe 8520 warna hitam nomor 087829834974 (dikembalikan kepada terdakwa Andi Romadon Bin Herman) f) Membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam perkara ini sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah)
B. Pembahasan 1. Putusan pemidanaan yang dijatuhkan terhadap terdakwa dalam Putusan nomor : 02/Pid.Sus/2012/PN.Pwt sesuai dengan alat bukti di persidangan Pemidanaan merupakan salah satu bentuk putusan hakim dalam mengadili perkara pidana dan menjatuhkan pidana terhadap setiap pelaku tindak pidana, hal ini tidak hanya dilihat dari aspek pembuktian atas terpenuhinya unsur-unsur pidana dari tindak pidana yang didakwakan saja. Dalam proses pembuktian di persidangan juga meupakan hal yang sangat penting karena di sinilah ditentukannya nasib terdakwa. Hakim dalam melaksanakan tugasnya untuk mengadili segala perkara tindak
90
pidana yang dilakukan di daerah hukumnya mempertimbangkan hal-hal yang berhubungan dengan terjadinya tindak pidana tersebut, sehingga hakim secara arif dan bijaksana menentukan alat-alat bukti yang secara limitatif telah ditentukan oleh Undang-Undang yang dengan alat-alat bukti tersebut Hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Secara
keseluruhan
tidaklah
mudah
bagi
Hakim
dalam
menjatuhkan pidana terhadap terdakwa yang dinilai masyarakat sebagai suatu keadilan. Begitu pula dalam menentukan alat-alat bukti yang menunjukan terbuktinya suatu tindak pidana yang dalam hal ini adalah tindak pidana narkotika pada Putusan Nomor : 02/Pid.Sus/2012/PN.Pwt tidaklah mudah. Diperlukan kemampuan ketelitian dan analisis yang baik. Hal inilah yang akan dikupas oleh penulis dalam bagian sub bab pembahasan ini. Alat-alat bukti yang secara limitatif ditentukan oleh KUHAP dalam Pasal 184 ayat (1), yakni berupa: a. b. c. d. e.
Keterangan saksi; Keterangan ahli; Surat; Petunjuk; Keterangan Terdakwa
Mengenai alat-alat bukti yang tersebut di atas kemudian bersamaan dengan itu dihubungkan dengan alat-alat bukti yang terdapat dalam Putusan Nomor : 02/Pid.Sus/2012/PN.Pwt yaitu adanya keterangan saksi.
91
Dengan memperhatikan setiap keterangan dari masing-masing alat bukti untuk menentukan alat-alat bukti yang terdapat dalam putusan tersebut telah memenuhi syarat-syarat sebagai alat bukti atau tidak. Setelah ditemukan alat-alat bukti yang telah memenuhi syarat-syarat sebagai alat bukti yang dapat dipergunakan oleh hakim untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah telah melakukan perbuatan yang didakwakan oleh penuntut umum dalam Putusan Nomor : 02/Pid.Sus/2012/PN.Pwt, maka dihubungkan dengan unsur-unsur tindak pidana narkotika, alat-alat bukti yang menunjukkan terbuktinya tindak pidana narkotika dalam Putusan Nomor: 02/Pid.Sus/2012/PN.Pwt. Hal tersebut akan diuraikan sebagai berikut. Alat bukti yang tersebut pertama adalah adanya keterangan saksi. Berdasarkan Pasal 1 angka 27 KUHAP definisi keterangan saksi terumuskan sebagai berikut: “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya”. Keterangan saksi agar menjadi suatu alat bukti yang sah, maka terhadap saksi harus dilakukan sumpah atau janji terlebih dahulu menurut agamanya masing-masing untuk menerangkan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Hal ini merupakan syarat formil berdasarkan Pasal 160 ayat (3) KUHAP. Tidak hanya itu, keterangan saksi agar menjadi suatu alat bukti yang sah harus memenuhi syarat materiil, yakni
92
keterangan saksi dinyatakan di sidang pengadilan. Hal ini berdasarkan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, namun dalam penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP terumuskan bahwa dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu. Penegasan rumusan Pasal 1 angka 27 KUHAP dihubungkan dengan Pasal 185 ayat (1) KUHAP dapat diketahui sebagai berikut: 1. Setiap keterangan saksi di luar dari yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau di luar dari yang dilihat dan dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar pendengaran, penglihatan atau pengalaman sadar mengenai suatu peristiwa pidana yang terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Keterangan semacam ini tidak memiliki kekuatan nilai pembuktian; 2. Testimonium de auditu, keterangan saksi yang diperoleh sebagai hasil pendengarannya dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulang yang didengarnya dari orang lain, keterangan saksi seperti ini tidak dapat dianggap sebagai alat bukti; 3. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari pemikiran bukan merupakan keterangan. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (5) KUHAP. Oleh karena itu, setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi harus dikesampingkan dari pembuktian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan yang bersifat pendapat dan pemikiran pribadi saksi tidak dapat dinilai sebagai alat bukti.31 Berdasarkan hasil penelitian pada Putusan Nomor : 02/Pid.Sus/2012/PN.Pwt) terdapat beberapa saksi yang diajukan dalam persidangan, yakni saksi yang bernama Hadiyanto,seorang brigadir yang menangkap terdakwa pada malam kejadian itu bersama dengan saksi Briptu Pramu Aji Wibowo dan Briptu Aris Budi Setiyono.juga dihadirkannya saksi A De Charge yaitu Pondra Eka Saputra yang merupakan teman satu kos terdakwa di purwokerto yang telah memberikan keterangannya dibawah sumpah di depan sidang pengadilan 31
Prints Darwan. 2003. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Djambatan, Jakarta.
93
dan Herman yang merupakan ayah dari terdakwa yang memberikan keterangan dengan tidak disumpah. Pertama, anggota kejadian Menurut materiil.
saksi yang bernama Hadiyanto, seorang brigadir Kepolisian Purwokerto, yang pada saat malam bersama dengan temannya menangkap terdakwa. penulis saksi ini telah memenuhi syarat formil dan
Kedua, saksi yang bernama Pramu Aji Wibowo seorang brigadir anggota Kepolisian Purwokerto, merupakan saksi yang sekaligus menangkap terdakwa pada malam kejadian itu bersama dengan saksi hadiyanto dan satu orang temannya yang mendapat informasi, berupa ciri terdakwa dari teman kos terdakwa. Saksi melihat terdakwa dan meminta terdakwa untuk membuka helm dan mengambil gaanja yang dibungkus kertas koran, yang disimpan di helm terdakwa. Menurut penulis hal ini dapat dipersamakan dengan ia telah mendengar sendiri kejadian tersebut dan tidak merupakan keterangan saksi testimonium de auditu karena keterangan tersebut dialami langsung dari kejadian malam penangkapan terdakwa. Ketiga, saksi A de Charge yang merupakan teman terdakwa, yang memberikan keterangan bahwa saksi mengetahui orang yang bernama Marza yang telah menyuruh terdakwa untuk membeli ganja dan terdakwa pernaa bercerita soal Marza tetapi terdakwa tidak menceritakan mengenai pesanan ganja tersebut. Keempat, saksi yang bernama herman, yang merupakan ayah dari terdakwa, memberikan keterangan yang tidak berhubungan langsung dengan peristiwa pidana tersebut, melainkan keterangan yang diberikan merupakan kejadian-kejadian sebelum terjadinya tindak pidana tersebut, namun keterangan tersebut ia peroleh dari yang ia alami sendiri. Berkenaan dengan ketentuan Pasal 185 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP menjelaskan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, melainkan harus disertai pula dengan alat bukti sah lainnya, maka untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yakni disertai alat bukti sah lainnya misalnya berupa keterangan terdakwa.
94
Ketentuan Pasal 185 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP dalam masalah yang
diangkat
oleh
penulis
melalui
Putusan
Nomor:
02/Pid.Sus/2012/PN.Pwt sangat berkaitan sebab saksi yang diajukan oleh penuntut umum tidak hanya menghadirkan saksi tapi juga adanya keterangan dari terdakwa dan alat bukti yang lain. Maka menurut penulis, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto sudah menetapkan terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak tindak pidana dan akibat hukum bagi terdakwa atas tindakannya tersebut dijatuhi dengan hukuman penjara selama 5 (lima) tahun dan juga denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) subsidair 6 (enam bulan penjara). Dengan alat bukti yakni alat bukti keterangan saksi,keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Sesuai Pasal 183 KUHAP yang berkaitan dengan Putusan Nomor : 02/Pid.Sus/2012/PN.Pwt bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan berdasarkan alat-alat bukti yang ada terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika yang secara sah tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman berupa ganja sebaagaimana telah diatur dan diancam pidana Pasal 111 (1) Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.32
32
Arief, Barda Nawawi. 2005. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan Ketiga Revisi. Citra Aditya Bhakti. Bandung.
95
Pengaturan narkotika berdasarkan Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 T.TJ No.35 tahun 2009), bertujuan untuk menjamin ketersediaan guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah penyalahgunaan narkotika, serta pemberantasan peredaran gelap narkotika.33 Apabila jumlah saksi yang akan diajukan banyak maka dibutuhkan pembatasan jumlah saksi karena apabila jumlah saksi tidak dibatasi akan menjadi sumber pemborosan dan penyelesaian perkara menjadi tidak efisien. Asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan tidak dapat terlaksana. Sehingga saksi-saksi yang telah disetujui oleh Hakim Ketua Majelis, wajib untuk didengar keterangannya di hadapan siding pengadilan. Untuk dapat menilai bagaimana suatu keterangan saksi memiliki kekuatan hukum, maka hakim harus menilik kepada: (1) Persesuaian keterangan antara saksi-saksi; “Keterangan saksi satu saja, sedang terdakwa memungkiri kejahatan yang dituduhkan kepadanya dan keterangan saksi-saksi lainnya tidak member petunjuk terhadap kejahatan yang dituduhkan, belum dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa.” (2) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain, jika yang diajukan jaksa dalam persidangan terdiri dari saksi dan alat bukti lain berupa ahli, surat atau petunjuk, hakim harus meneliti sungguhsungguh persesuaian alat bukti tersebut (3) Alasan-alasan yang melatar-belakangi keterangan saksi; 33
Ibid.
96
(4) Hakim harus mencar alasan mengapa saksi memberikan keterangannya sebagaimana yang telah diuraikan olehnya; (5) Cara hidup dan kesusilaan saksi, dan; (6) Keterangan saksi sebelum dan pada waktu siding pengadilan. Pokok permasalahan perkara ini adalah terdakwa selaku pelaku yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Narkotika. Dalam perkara ini terdakwa diminta oleh temannya untuk membelikan ganja di Cirebon. Awalnya terdakwa mengetahui temannya yang bernama Marza teman kuliahnya sebagai pengguna ganja. Marza adalah anak yang berasal dari Jakarta. Berdasarkan keterangan saksi-saksi yang telah disebutkan diatas dan adanya alat bukti yang diajukan dipersidangan, pada dasarnya terdakwa membenarkan keterangan yang diberikan oleh saksi dan bukti-bukti yang ada. Adapun barang bukti tersebut yaitu:
a) Satu bungkus kertas koran yang berisi ganja, yang terdakwa simpan di dalam helm terdakwa pada malam kejadian perkara tersebut. b) Satu buah helm berwarna putih merk INK yang digunakan oleh terdakwa untuk menyimpan ganja tersebut supaaya tidak ketahuan. c) Satu unit sepeda motor Honda Vario berwarna putih dengan No.Pol : E-6567-BF yang digunakan oleh terdakwa pada saat membawa ganja. d) Satu buah handphone blackberry yang digunakan oleh terdakwa untuk berkomunikasi dengan Marza dan juga Egi. e) Tiga buah kertas paper merk singo yang digunakan untuk merokok oleh terdakwa dan juga Marza dengan diisi ganja.
97
f) Satu buah kertas paper merk wayang yang juga digunakan untuk merokok ganja oleh terdakwa. g) Satu botol plastik kecil berisi urine milik terdakwa yang digunakan sebagai bukti untuk mengetahui bahwa terdakwa memang telah menggunakan ganja. Setelah Terdakwa mengenal Marza, terdakwa pun pernah melihat ganja dengan cara dirokok. Lalu Marza meminta bantuan kepada terdakwa untuk membelikan ganja pada Egi yang berada di cirebon dengan menyerahkan uang sebesar Rp. 200.000,-. Sampai akhirnya Terdakwa ditangkap oleh polisi karena polisi mendapatkan informasi dari tempat kost terdakwa di Jln. Madrani dan saat itu juga Polisi meminta terdakwa menunjukkan ganja yang terdakwa simpan di helm yang terdakwa kenakan. Berdasarkan alat bukti yang ada berupa kertas koran yang berisi ganja, helm yang digunakan terdakwa untuk menyimpan ganja selama diperjalanan, sepeda motor Honda Vario yang dikendarai oleh terdakwa ke cirebon juga bukti urine milik terdakwa semua itu membuktikan bahwa terdakwa memang benar melakukan tindak pidana Narkotika tersebut. Dengan demikian telah terbukti menurut hukum bahwa ketika terdakwa dimintai bantuan oleh Marza yang memang seorang pengguna ganja tersebut untuk membelikan ganja pada temannya di cirebon yang bernama Egi, terdakwa bukannya menolak tapi malah mengiyakan permintaan Marza tersebut. Dari jasa membelikan ganja berdasarkan pengakuan terdakwa ian tidak mendapatkan apaapa. Hingga saat terdakwa ditangkap, Marza dan Egi belum tertangkap. Dari kenyataan yang diperoleh selama persidangan dalam perkara ini, Majelis Hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat melepaskan terdakwa dari
98
pertanggujawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan atau alasan pemaaf, oleh karenanya Majelis Hakim berkesimpulan bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa harus dipertanggungjawabkan kepadanya. Pembuktian dipersidangan hakim berpedoman pada Pasal yang
berpedoman pada Pasal 183 KUHAP yang mengatur mengenai pembuktian yaitu :
"hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya" Atas dasar rumusan Pasal 183 KUHAP tersebut, hakim untuk menentukan sah atau tidaknya seorang terakwa dan untuk dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa harus memiliki dua syarat yaitu :
(1) Kesalahannya dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah (2) Atas terbuktinya dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim harus memperoleh keyakinan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.34 Dalam perkara ini penulis berpendapat bahwa terdakwa memang pelaku penyalahgunaan Narkotika dan untuk itu terdakwa dapat dikenakan Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Ketentuan pidana bagi yang menyalahgunakan narkotika diatur dalam Pasal 111 - Pasal 114 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009. Alat-alat bukti ini sangat diperlukan, oleh karena itu hakim tidak boleh begitu saja menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
34
Ibid.
99
dengan sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti yang sah sehingga memperoleh keyakinan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan. Adalah menjadi kewajiban pula bahwa kedua alat bukti itu adalah mampu membangkitkan keyakinan hakim. Guna memenuhi pembuktian yang dipandang cukup untuk kepentingan penuntutan dan persidangan perkaranya baik penyidik dan penuntut umum berusaha memenuhi alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang seperti diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. 2. Akibat
hukum
terhadap
Putusan
pemidanaan
Nomor
:
02/Pid.Sus/2012/PN.Pwt tersebut dijatuhkan terhadap terdakwa Tindak pidana narkoba atau narkotika berdasarkan undang-undang nomor 35 tahun 2009 (UU No.35 tahun 2009), memberikan sangsi pidana cukup berat, di samping dapat dikenakan hukuman badan dan juga dikenakan pidana denda, tapi dalam kenyataanya para pelakunya justru semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh faktor penjatuhan sangsi pidana tidak memberikan dampak atau deterrent effect terhadap para pelakunya. Akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.
100
Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh hukum. Tindakan yang dilakukannya merupakan tindakan hukum yakni tindakan yang dilakukan guna memperoleh sesuatu akibat yang dikehendaki hukum. Lebih jelas lagi bahwa akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau akibat-akibat lain yang disebabkan
karena
kejadian-kejadian
tertentu
oleh
hukum
yang
bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum. Pada Pasal 1 angka 12 Undang-undang Narkotika, dijelaskan bahwa pecandu adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Sementara Pasal 1 angka 13 Undang-undang Narkotika, dijelaskan bahwa ketergantungan Narkotika adalah gejala dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus menerus, toleransi dan gejala putus Narkotika apabila penggunaan dihentikan. Sedangkan pasal 1 angka 14 Undang-undang Narkotika, dijelaskan bahwa penyalahguna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter. Sebagaimana yang diamanatkan dalam konsideran Undang-undang Narkotika, bahwa ketersediaan Narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat dimaksudkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, namun di sisi lain mengingat dampak yang dapat ditimbulkan dan tingkat bahaya yang ada
101
apabila digunakan tanpa pengawasan dokter secara tepat dan ketat maka harus dilakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika. Dalam perkara ini, menurut penulis terdakwa melakukan penyalahgunaan narkotika, dan terdakwa telah menerima keputusan yang diberikan oleh Majelis Hakim. Karena ia telah terbukti bersalah dalam perkara ini, untuk itu terdakwa bersedia menerima akibat hukum yang diberikan kepadanya. Hal itu berupa : a) Terdapatnya 7 alat bukti dalam perkara ini b) Adanya 4 saksi yang hadir dalam persidangan, 2 diantaranya merupakan saksi A De Charge c) Dengan terbuktinya terdakwa bersalah maka terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 4 tahun dan denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus ribu rupiah ) dengan ketentuan jika denda tidak dibayar harus diganti dengan pidana penjara selama 1(satu) bulan. Penetapan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa dan menetapkan agar terdakwa tetap ditahanan. Putusan Hakim yang menjatuhkan pidana kepada terdakwa sudah setimpal dengan perbuatannya dan merupakan hukuman minimal. Penegakan hukum salah satunya dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat menghambat berjalannya proses penegakan hukum itu sendiri. Adapun faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut:
102
1) Faktor hukumnya sendiri, yang dalam hal ini dibatasi pada undangundang saja; 2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membuat atau membentuk maupun yang menerapkan hukum; 3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4) Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; 5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang Menurut ketentuan Pasal 111 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009, sehingga dalam perkara ini Majelis tidak sependapat dengan pledoi Penasihat Hukum terdakwa yang menyatakan hukuman yang seharusnya dikenakan kepada terdaakwa yaitu Pasal 127 ayat (1) huruf a UU No. 35 Tahun 2009. Untuk itu terdakwa yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tanpa hak menyimpan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman dijatuhi pidana penjara selama 4 tahun dan denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus ribu rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak dibayar harus diganti dengan pidana penjara selama 1(satu) bulan.
103
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor : 02/Pid.Sus/2012/PN.Pwt, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1.
Perkara Pemidanaan yang dijatuhkan terhadap terdakwa dalam Putusan nomor : 02/Pid.Sus/2012/PN.Pwt sudah sesuai berdasarkan fakta-fakta dan alat bukti yang terungkap di persidangan, yaitu Terdakwa terbukti membawa dan menyimpan ganja pada malam kejadian itu, dengan membeli dari Egi yang berada di cirebon, atas permintaan Marza. Adapun alat bukti yang terkait adalah berupa adanya 2 orang saksi yang menangkap terdakwa pada saat kejadian perkara bernama Hadiyanto dan Pramu Aji Wibowo, yang merupakan eorang Briptu anggota Kepolisian Purwokerto. Selain itu terdapat 2 orang saksi A De Charge yang pada pokoknya menerangkan bahwa benar terdakwa sendiri, dan Hakim yakin bahwa terdakwa adalah seorang pengguna narkotika. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 111 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009.
2.
Akibat hukum terhadap Putusan pemidanaan Nomor : 02/Pid.Sus/2012/PN.Pwt yang dijatuhkan terhadap terdakwa adalah terdakwa menerima hasil putusan tersebut dan dijatuhi pidana penjara selama 4 tahun dan denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta
104
rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak dibayar harus diganti dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan. B. Saran Sebaiknya perlu dilakuan sosialisasi berupa penyuluhan tentang Narkotika dan penjelasan mengenai dampaknya, sehingga dapat dihindari halhal yang negatif seperti bahaya Narkotika.
105
DAFTAR PUSTAKA
Literatur Arief, Barda Nawawi. 2005. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan Ketiga Revisi. Citra Aditya Bhakti, Bandung. Bambang, Poernomo. 2008. Orientasi Hukum Acara Pidana, Amarta Buku, Jogjakarta. Bambang, Suggono, 2006. Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Grafika, Jakarta. Departemen Kehakiman RI. Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Djoko Prakoso, 2008. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Di Dalam Proses Pidana, Liberty, Yogyakarta. Gatot Supramono, S.H, 2004. Hukum Narkoba Indonesia Edisi Revisi, Penerbit Djambatan, Jakarta. Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Jan Remmelink, 2003. Hukum Pidana (Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Pidana Indonesia), Gramedia Pustaka, Jakarta. Makarao, Mohammad Taufik dan Suharil. 2010. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta. Mertokusumo, Sudikno, 2009. Penemuan Hukum,Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, 2004. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta. M. Yahya Harahap, 2006. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta. Peter Mahmud. M, 2009. Penelitian Hukum, Prenada Media, Indonesia. Prints Darwan. 2003. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Djambatan, Jakarta.
106
Prodjohamidjojo, Martiman. 1983. Sistem pembuktian dan Alat-Alat bukti. Ghalia Indonesia, Jakarta. Ronny Hanitijo Soemitro, 2008. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia, Jakarta. Waluyadi. 2012. Pengetahuan Hukum Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatan Khusus). Mandar Maju, Bandung.
Perundang-Undangan Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1949 Tentang Kitab Undang - Undang Hukum pidana (KUHP) Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 1981; Tambahan Lembaran , Undang-undang No 35 tahun 2009 Tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143). Jurnal Sungsang, Rio,E1A005438. 2012. Penerapan Tindak Pidana Narkotika Terhadap Pengguna. Fakultas Jenderal Soedirman Purwokerto. Skripsi. Sayekti,A.M. E1A008233. 2012. Pembuktian Keterangan Saksi Dalam Berita Acara Penyidikan Disidang Pengadilan Terhadap Tindak Pidana Narkotika. Fakultas Jenderal Soedirman Purwokerto. Skripsi. Susanto,D.P. 2011. Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika (study putusan No 73/Pid.B/2010/PN.Tegal). Fakultas Jenderal Soedirman Purwokerto. Skripsi. Silaban,F.E.S. 2012. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pengaturan Tindak Pidana Narkotika Di Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Sumara Utara Medan. Jurnal.
107
Sumber-sumber lain http://typinggugungunawan.blogspot.com/2012/03/pengertian-dan-sistem-hukumacara.html diakses pada tanggal 13 September 2013 pukul 20.00 WIB http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt505cf66e1932d/kekuatanpembuktian-tes-urine-dalam-perkara-narkotika. diakses tanggal 25 Mei 2013 pukul 19.00 WIB http://dr-syaifulbakhri.blogspot.com/2012/03/tindak-pidana-narkotika-dan.htm). diakses tanggal 25 Mei 2013 pukul 19.00 WIB http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/s1hukum08/203711035/bab2.pdf diakses pada tanggal 13 Sepember Tahun 2013 pukul 20.00 WIB http://bloghukumumum.blogspot.com/p/proses-penyitaan-barang-buktidalam.html. diakses tanggal 25 Mei 2013 pukul 19.00 WIB http://michibeby.wordpress.com/asas-asas-dalam-hukum-acara-pidana. tanggal 25 November 2013 pukul 15.00 WIB.
diakses
http://belajarpsikologi.com/pengertian-narkoba diakses tanggal 16 Januari 2014 pukul 21.00 WIB. Advokatku.blogspot.com/2010/01/mengenal-macam-dan-jenis-putusan.html. diakses tanggal 04 Desember 2013, pukul 14.00 WIB. www.hukumonline.com/klinik/detail/h50b2e5da8aa7c/kapan-putusan-pengadilandinyatakan-berkekuatan hukum tetap. diakses pada tanggal 04 Desember 2013 pukul 15.20 WIB. Lawfile.blogspot.com/2011/07/macam-macam-putusan-pengadilan.html pada tanggal 04 Desember 2013 pukul 16.00 WIB.
diakses
www.hukumonline.com/klinik/detail/it4beo12381c490/sanksi-hukum-pidana diakses 9 Desember 2013 pukul 13.00 WIB.
108
PUTUSAN PEMIDANAAN DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA TERHADAP TERDAKWA MAHASISWA (Studi Putusan Nomor : 02/Pid.Sus/2012/PN.Pwt)
SKRIPSI
Disusun oleh :
NOVIA ISABELLA PUSPITASARI E1A008231
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2014