SMS (SHORT MESSAGE SERVICE) SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt.)
SKRIPSI
Disusun Oleh : SINGGIH DWI KUNCORO E1A109065
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2014 i
SMS (SHORT MESSAGE SERVICE) SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt.)
SKRIPSI
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Disusun Oleh : SINGGIH DWI KUNCORO E1A109065
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2014 i
ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Singgih Dwi Kuncoro
NIM
: E1A109065
Tahun Angkatan
: 2009
Program Studi
: Ilmu Hukum
Bagian
: Hukum Acara Pidana
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Purwokerto, Agustus 2014 Yang Membuat Pernyataan,
Singgih Dwi Kuncoro NIM. E1A109065
iii
MOTO PENULIS
"Hidup adalah perjuangan"
"Mimpi adalah kunci kesuksesan"
"Awali hari dengan senyum, salam dan sapa"
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan anugerah-Nya serta kepada Nabi Besar kita Muhammad SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : SMS (SHORT MESSAGE SERVICE) SEBAGAI
ALAT
NARKOTIKA(Tinjauan
BUKTI Yuridis
DALAM Terhadap
PENYALAHGUNAAN Putusan
No
:
56
/
Pid.Sus/2011/PN.Pwt.) Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.Berbagai kesulitan dan hambatan penulis hadapi dalam penyusunan skripsi ini.Namun berkat bimbingan, bantuan dan moril serta pengarahan dari berbagai pihak, maka skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terimakasih yang tulus kepada: 1. Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 2. Handri Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing I atas segala arahan dan masukan untuk skripsi ini. 3. Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing II atas segala arahan dan masukan untuk skripsi ini. 4. Weda Kupita S.H.,M.H. selaku Dosen Penguji atas segala arahan dan masukan untuk skripsi ini.
v
5. Kepada kedua orang tua saya yang telah memberi motivasi saya untuk lulus dan Keluarga Besar saya yang selalu memberikan dukungannya. 6. Semua teman-teman FH 2009. 7. Dan semua pihak selalu mendukung saya, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Penelitian ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan.Meskipun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.
Purwokerto, Agustus 2014
Singgih Dwi Kuncoro NIM. E1A109065
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ..............................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................
ii
SURAT PERNYATAAN ..........................................................................
iii
MOTO ........................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR ...............................................................................
v
DAFTAR ISI ..............................................................................................
vi
ABSTRAK .................................................................................................
viii
ABSTRACT ...............................................................................................
ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..................................................................
1
B. Perumusan Masalah .........................................................................
8
C. Tujuan Penelitian.............................................................................
8
D. Kegunaan Penelitian ........................................................................
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana .................................
10
B. Asas–Asas Hukum Acara Pidana ....................................................
12
C. Sistem Pembuktian Dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981
25
D. Alat Bukti Menurut KUHAP..........................................................
33
E. Alat Bukti Elektronik ......................................................................
56
F. Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika .....................................
60
vii
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan .........................................................................
63
B. Spesifikasi Penelitian ......................................................................
63
C. Bahan Hukum Primer dan Sekunder ...............................................
63
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum .............................................
65
E. Metode Penyajian Bahan Hukum ....................................................
65
F. Metode Analisis Bahan Hukum ......................................................
65
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ...............................................................................
66
B. Pembahasan .....................................................................................
86
BAB V PENUTUP A. Simpulan..........................................................................................
101
B. Saran ................................................................................................
102
DAFTAR PUSTAKA
viii
ABSTRAK
Penelitian ini mengambil judul SMS (Short Message Service) sebagai alat bukti dalam Penyalahgunaan Narkotika (tinjauan yuridis terhadap putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.PWT.) Permasalahan pada penelitian ini adalah Apakah bukti SMS (Short Message Service) dalam penyalahgunaan narkotika dalam Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt dapat diklasifikasikan sebagai alat bukti yang sah dan bagaimana kekuatan pembuktian SMS (Short Message Service) sebagai alat bukti dalam penyalahgunaan narkotika dalam Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt. Untuk membahas permasalahan tersebut, maka metode yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan sumber bahan hukum berupa bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum disajikan dalam bentuk uraian yang di susun secara sistematis dengan analisis kualitatif. Hasil Penelitian ini adalah SMS (Short Message Service) diklasifikasikan sebagai alat bukti ”Surat” apabila sudah dalam bentuk hasil cetak atau Print Out dari SMS (Short Message Service), untuk menentukan hal tersebut tergantung dari hakim dalam memberikan penafsiran (interpretasi) ekstensif (perluasan) namun dalam Pasal 187 poin d KUHAP dapat digunakan sebagai acuan pemberlakuan SMS (Short Message Service) sebagai alat bukti “Surat”, hal tersebut berdasarkan suatu yang sepenuhnya hal tersebut diserahkan kepada hakim yang memeriksa perkara tersebut, dengan penafsiran tersebut SMS dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat, serta SMS (Short Message Service) dalam Penyalahgunaan Narkotika dalam Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt, mempunyai kekuatan pembuktian yang sah, akan tetapi kekuatannya hanya sebagai pelengkap saja karena dianggap sebagai alat bukti petunjuk yang mana alat bukti petunjuk tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus didukung oleh alat bukti lain untuk menguatkannya, serta harus ada penggabungan dengan alat bukti lain sebagai konsekuensi dari asas minimum pembuktian dan penilaian kekuatan pembuktian sepenuhnya diserahkan kepada hakim, dan hakim haruslah arif, bijaksana, penuh kecermatan dan keseksamaan dalam mengadakan pemeriksaan dengan menggunakan hati nuraninya. Kata kunci: SMS (Short Message Service), alat bukti ,Penyalahgunaan Narkotika
ix
ABSTRACT
This study takes the title of SMS (Short Message Service) as a tool for evidence in Narcotics Abuse (juridical opinions of decision No: 56 / Pid.Sus / 2011 / PN.PWT.). Problem in this study was What is SMS (Short Message Service) in narcotics abuse in Decision No: 56 / Pid.Sus / 2011 / PN.Pwt can be classified as a valid means of evidence and how the strength of the proof of SMS (Short Message Service) as a tool evidence of abuse of narcotics in Decision No: 56 / Pid.Sus / 2011 / PN.Pwt. To discuss the problem, then the method used is the juridical normative, with the source material in the form of the law on primary and secondary legal materials. Material is presented in the form of legal descriptions arranged systematically with qualitative analysis. The results of this study are SMS (Short Message Service) is classified as a tool of evidence "Letter" when it is in the form of print or Print Out of the SMS (Short Message Service), to determine the subject matter of the judge in giving the interpretation (interpretation) extensively (expansion ) but in the Criminal Procedure Code Article 187 point d can be used as a mold enforcement of SMS (Short Message Service) as a means of evidence "Letter", it is based on a full case is submitted to the judge examining the case, the interpretation of the SMS can be categorized as a tool proof of mailing, and SMS (Short Message Service) in the abuse of narcotics in Decision No: 56 / Pid.Sus / 2011 / PN.Pwt. have valid proof strength, but strength only as a complementary tool just because it is perceived as an indication of where the evidence leads proof tool can not stand alone, but must be supported by other evidence tool to strengthen it, and have no affiliation with other means of evidence as a consequence of minimum basis of proof and proof strength assessment fully submitted to the judge, and the judge must be discerning, wise, full of care and thoroughness in a screening with his conscience. Keywords: SMS (Short Message Service), the evidence, Narcotics Abuse
x
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pengaturan alat bukti elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia yang masih sangat terbatas, meskipun telah diatur dalam beberapa Undang-Undang, namun demikian bukti elektronik sifatnya masih parsial, sebab bukti elektronik hanya dapat digunakan dalam hukum tertentu. Akan tetapi, dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau sering disingkat UU ITE telah mengakomodir mengenai alat bukti elektronik yang dapat dipakai dalam hukum acara di Indonesia. Pasal 5 ayat (1) UU ITE menyebutkan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah.Lebih lanjut Pasal 5 ayat (2) UU ITE mengatakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Penemuan dan penciptaan telepon tidak berhenti sampai pada telepon yang menggunakan kabel, dimana pada jaman yang mutakhir ini dengan pekembangan IPTEK yang sangatlah pesat, alat komunikasipun menjadi semakin canggih yakni dengan ditemukannya telepon tanpa kabel yang lazim diesebut dengan telepon genggam atau hand phone (HP). Hand phone merupakan suatu terobosan baru yang merupakan suatu menjadi bukti dari para ahli di bidang teknologi informasi sebagai
1
2
sebuah penemuan dan penciptaan terbesar pada abad ini. Dengan teknologi ini, telah tercipta sebuah alat komunikasi yang murah namun berkemampuan tinggi dengan berbagai sistem yang semula dianggap mustahil dapat diwujudkan seperti bentuk telepon yang tidak menggunakan kabel dan dalam penggunaanya dapat dipindahkan dan digunakan dari satu tempat ke tempat lain selama ada sinyal yang mendukung di tempat tersebut. Keberadaan dari hand phone sendiri sebagai salah satu alat komunikasi yang dewasa ini banyak digunakan oleh masyarakat awam di seluruh dunia merupakan terobosan besar dalam dunia teknologi informasi seperti yang diketahui bahwa pada awalnya penggunaan telepon sebagai salah satu sarana komunikasi dalam dunia infomasi tidak dapat dipindahkan atau statis, namun dengan adanya hand phone maka ada suatu nilai tambah dengan dapat dibawanya hand phone kemana-mana sebagai pemegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat saat ini yang berkembang sesuai dengan perkembangan globalisasi dunia yaitu adanya efisiensi dan efektifitas. Keadaan tersebut juga berlangsung di Indonesia tepatnya pada semua lapisan sosial masyarakat yang penggunanya dapat disaksikan dengan nyata dalam kehidupan mereka sehari-hari. Saat ini seluruh lapisan sosial masyarakat mulai dari lapisan sosial paling tinggi hingga masyarakat dari lapisan sosial yang terendah bisa memiliki hand phone karena murahnya alat komunikasi ini. Semakin
mudahnya
seseorang
memperoleh
hand
phone
dansemakin murahnya tarif dari berbagai kartu telepon, berakibat pula
3
semakin “merakyatnya” penggunaan hand phone yang jika dipandang dari sisi lain berdampak pula untuk memunculkan suatu modus-modus dari tindak pidana atau delik. SMS merupakan salah satu fitur yang pasti ada dalam setiap kartu telepon, rentan menimbulkan penyalahgunaan yang bisa dimungkinkan akan menjerat baik si pengirim maupun si penerimanya, Walaupun banyaknya penyalahgunaan yang dilakukan dengan menggunakan fasilitas SMS, akan tetapi keberadaannya sebagai alat bukti dalam persidangan kasus pidana masih
dipertanyakan
keabsahannya.
Hal
tersebut
sangat
dimaklumi
dikarenakan saat pembuatan KUHAP, belum ditemukan hand phone. Kasuskasus yang terjadi didunia maya tentunya bukan merupakan hambatan bagi perkembangan dibidang teknologi informasi di Indonesia, akan tetapi yang perlu diperhatikan dan ditindaklanjuti ialah bagaimanakah aturan hukum itu harus
bisa
diterapkan
dalam
mengantisipasi
maupun
memberikan
perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat pengguna dan sekaligus ancaman
hukuman
yang
seberat-beratnya
bagi
siapapun
yang
menyalahgunakan perkembangan dan kemajuan dibidang teknologi informasi dan Telekomunikasi ini. Masalah penyalahgunaan narkotika di Indonesia, sekarang ini sudah sangat memprihatinkan. Hal ini disebabkan beberapa hal antara lain karena Indonesia yang terletak pada posisi di antara tiga benua dan mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pengaruh globalisasi, arus transportasi yang sangat maju dan penggeseran nilai matrialistis dengan
4
dinamika sasaran opini peredaran gelap. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk pengobatan sehingga untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan dan studi ilmiah diperlukan suatu produksi narkotika yang terus menerus untuk para penderita tersebut. Dasar menimbang Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan bahwa : “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.” Pengaruh narkotika selain terhadap individu itu sendiri, juga berpengaruh pula bagi masyarakat luas, diantaranya akibat adanya pemakaian narkotika antara lain meningkatkan kriminalitas, timbulnya usaha-usaha yang bersifat ilegal dalam masyarakat, misalnya pasar gelap narkotika dan menyebarkan penyakit tertentu seperti HIV/AIDS.1
1
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2003, halaman 25.
5
Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, penggolongan narkotika adalah sebagai berikut : a. Narkotika Golongan I; b. Narkotika Golongan II; dan c. Narkotika Golongan III. Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika untuk pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam lampiran I dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang ini. Pengertian dari masingmasing golongan narkotika sebagaimana tersebut, terdapat pada penjelasan Pasal 6 ayat (1) sebagai berikut: 1. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. 2. Narkotika Golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. 3. Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Penggunaan narkotika telah diatur secara rigid dalam Pasal 7 UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika karena “narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau
pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, bahkan Pasal 8 ayat (1) mengatur bahwa Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan
6
pelayanan kesehatan. Contoh Narkotika Golongan I ini adalah Heroin, Kokain, dan Ganja.2 Masyarakat Indonesia bahkan masyarakat dunia pada umumnya saat ini sedang dihadapkan pada keadaan yang sangat mengkhawatirkan akibat maraknya pemakaian secara illegal bermacam-macam jenis narkotika. Penyalahgunaan Narkotika merupakan suatu bentuk penyimpangan perilaku. Menurut pendapat Mardani3; “Penyalahgunaan narkotika adalah pemakaian narkotika di luar indikasi medik, tanpa petunjuk atau resep dokter, dan pemakainnya bersifat patologik (menimbulkan kelainan) dan menimbulkan hambatan dalam aktivitas di rumah, sekolah atau kampus, tempat kerja, dan lingkungan sosial.” Aparat penegak hukum mengalami kesulitan dalam mengatasi masalah penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika ini, disisi lain masalah peredaran dan penyalahgunaan ini merupakan perbuatan terlarang dan sangat membahayakan bagi yang mengkonsumsinya. Menurut Dadang Hawari 4 dampak yang sering terjadi di tengah masyarakat dari penyalahgunaan/ketergantungan narkoba antara lain : “Merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan kemampuan belajar dan produktifitas kerja secara drastis, sulit membedakan mana perbuatan baik maupun perbuatan buruk, perubahan perilaku menjadi perilaku anti sosial (perilaku maladaptif), gangguan kesehatan (fisik dan mental), mempertinggi jumlah kecelakaan lalulintas, tindak kekerasan, dan kriminalitas lainnya”.
2
Ar. Sujono, Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, halaman 72. 3 Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2008, halaman 2. 4 Dadang Hawari, Konsep Islam Memerangi AIDS dan NAZA, Yogyakarta : Dhana Bakti Priayasa,1997,halaman 153.
7
Melalui hukum acara pidana ini, maka bagi setiap individu yang melakukan penyimpangan atau pelanggaran hukum, khususnya hukum pidana, selanjutnya dapat diproses dalam suatu acara pemeriksaan di pengadilan, karena menurut hukum acara pidana untuk membuktikan bersalah tidaknya seorang terdakwa haruslah melalui pemeriksaan di depan sidang pengadilan, dan untuk membuktikan benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan diperlukan adanya suatu pembuktian. Kasus
narkotika
dalam
Putusan
Nomor
:
56/Pid.Sus/2011/PN.Purwokerto, bahwa yang menjadi salah satu alat buktinya berupa surat yaitu dalam bentuk SMS yang terdapat dalam Ponsel terdakwa dengan merek Nokia Tipe 112 dengan Nomor hand phone 089665766776 yang kemudian alat bukti tersebut diajukan kedalam persidangan sebagai salah satu alat bukti yang diajukan oleh jaksa penuntut umum dalam memperkuat dakwaannya. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian sebagai bahan penulisan judul :“ SMS (SHORT MESSAGE SERVICE) SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No :
56 /
Pid.Sus/2011/PN.Pwt.).”
B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan hal-hal yang telah di uraikan dalam Latar belakang di atas, maka penulis merumuskan suatu permasalahan sebagai berikut:
8
1.
Apakah bukti SMS (Short Message Service) dalam penyalahgunaan narkotika dalam Putusan No :
56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt dapat
diklasifikasikan sebagai alat bukti yang sah ? 2.
Bagaimana kekuatan pembuktian SMS (Short Message Service)sebagai alat bukti
dalam penyalahgunaan narkotika dalam Putusan No :
56 /
Pid.Sus/2011/PN.Pwt.?
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk
mengetahui
bukti
SMS
(Short
Message
Service)dalam
penyalahgunaan narkotika dalam Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt dapat diklasifikasikan sebagai alat bukti yang sah. 2. Untuk
mengetahui
kekuatan
pembuktian
SMS
(Short
Message
Service)sebagai alat bukti dalam penyalahgunaan narkotika dalam Putusan
No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt?
D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberiakan sumbangan pemikiran sekaligus sebagai bahan infomasi, dokumentasi kepada kalangan akademisi dan juga masyarakat luas tentang SMS (Short Message Service)sebagai alat bukti dalam penyalahgunaan narkotika dalam
Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt dapat diklasifikasikan sebagai
9
alat bukti surat yang sah dan kekuatan pembuktian SMS (Short Message Service)sebagai alat bukti dalam penyalahgunaan narkotika dalam Putusan
No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi aparat penegak hukum, praktisi maupun akademisi dalam rangka memberi pengetahuan tentang SMS (Short Message Service)sebagai alat bukti dalam penyalahgunaan narkotika dalam Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt dapat
diklasifikasikan
sebagai alat bukti yang sah dan kekuatan
pembuktian SMS (Short Message Service)sebagai alat bukti dalam penyalahgunaan narkotika dalam Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana tidak dapat dilepaskan dari hukum pidana, karena keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling terkait. Untuk mengetahui arti hukum acara pidana maka harus mengetahui dahulu tentang hukum pidana. Hukum pidana dibedakan menjadi dua, yaitu : a. Hukum pidana materiil yang berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat dapat dipidananya sesuatu perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana dan aturan tentang pemidanaan, dan mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan. b. Hukum pidana formil yang mengatur bagaimana Negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.5 Pengertian hukum acara pidana tidak secara jelas didefinisikan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), hanya memberikan pengertian-pengertian mengenai bagian-bagian dari hukum acara pidana, seperti penyelidikan, penyidikan, penangkapan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, dan lain-lain. Untuk memahami apa hukum acara pidana itu, maka di bawah ini ada beberapa definisi hukum acara pidana menurut para sarjana, diantaranya adalah sebagai berikut :
5
Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: Sinar Grafika.2001.Hal. 4.
10
11
J. Dc Bosch Kemper6 Hukum Acara Pidana adalah sejumlah asas-asas dan peraturanperaturan, Undang-Undang yang mengatur hak Negara untuk menghukum bilamana Undang-Undang pidana itu dilanggar. R. Soesilo7 Hukum Acara Pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materiil, sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi putusan itu harus dilakukan. “Menurut Van Bemmelen8 Seperti yang dikutip oleh R. Atang Ranoemihardjo menyatakan bahwa kedua definisi di atas agak sempit dan kurang tepat, sebab keduanya menitikberatkan kepada cara bagaimana hukum pidana materiil harus dilaksanakan dan karenanya diabaikan tugas utama dari hukum acara pidana yaitu mencari dan mendapatkan kebenaran selengkap-lengkapnya, tentang apakah perbuatan itu terjadi dan siapakah yang dapat dipersalahkan. Jadi dapat dikatakan tidak tepat karena hukum acara pidana tidak selalu dapat melaksanakan hukum pidana materiil”. Sedangkan menurut Van Bemmelen seperti yang dikutip Andi Hamzah, mengatakan bahwa pengertian Hukum Acara Pidana adalah : “Ilmu yang mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan Negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran Undang-Undang pidana, yaitu sebagai berikut: 1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran; 2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu; 3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan kalau perlu menahannya; 4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut; 5. Hakim memberikan keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib; 6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut; 6
Andi Hamzah, Bungan Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia,1986,Hal 16. 7 R Soesilo,Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAP bagi penegak Hukum), Bogor: Politeria, 1982. Hal 3 8 R. Atang Ranoemihardjo. Ilmu Kedokteran Kehakiman (forensic Science). Bandung: Tarsito.1983.Hal. 11.
12
7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib”. Definisi yang diberikan oleh Van Bemmelen 9 dikatakan lebih lengkap dan tepat karena dalam definisi tersebut merinci pula substansi hukum acara pidana seperti disebutkannya tahap penyelidikan, tahap penyidikan, tahap penuntutan, sampai pada proses di pengadilan. Jadi bukan permulaan dan akhirnya saja. Pengertian hukurn acara pidana sebagaimana dikemukakan oleh para sarjana, pada hakekatnya tujuan yang hendak dicapai oleh ketentuan hukum acara pidana adalah mencari dan mendapatkan kebenaran dari suatu perkara pidana. Menurut R. Soesilo10, tujuan dari hukum acara pidana adalah sebagai berikut: “Tujuan hukum acara pidana pada hakekatnya memang mencari kebenaran. Para penegak hukum mulai dari polisi, jaksa sampai pada hakim dalam menyelidiki, menuntut dan mengadili perkara senantiasa harus berdasarkan kebenaran, harus mendasarkan hal-hal yang sungguh-sungguh terjadi. Untuk itu dibutuhkan petugas-petugas yang selain berpengalaman luas, berpendidikan yang bermutu dan berotak yang cerdas, juga berkepribadian yang tangguh, yang kuat mengelakkan dan menolak segala godaan.”
B. Azas-azas Hukum Acara Pidana Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia yang telah diletakkan di dalam undang-undang, baik pada waktu pemeriksaan permulaan maupun pada waktu persidangan pengadilan. Terdapat asas-asas dalam hukum acara pidana yang menjadi patokan hukum 9
Andi Hamzah.Opcit.Hal. 6. Ibid. Hal. 19.
10
13
sekaligus merupakan tonggak pedoman bagi instansi jajaran aparat penegak hukum dalam menerapkan pasal-pasal KUHAP. Makna asas-asas hukum itu sendiri merupakan ungkapan hukum yang bersifat umum. Sebagian berasal dari kesadaran hukum serta keyakinan kesusilaan atau etis kelompok manusia dan sebagian yang lain berasal dari pemikiran dibalik peraturan undang-undang serta yurisprudensi. Rumusan pengertian asas-asas hukum yang demikian itu konsekuensinya adalah kedudukan asas itu menjadi unsur pokok dan dasar yang penting dari peraturan hukum. Asas-asas penting yang terdapat dalam Hukum Acara Pidana a. Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan adalah suatu asas dimana suatu proses peradilan diharapkan dapat dilaksanakan secara cepat dan sederhana sehingga biayanyapun ringan, sehingga tidak menghabiskan anggaran Negara terlalu besar dan tidak memberatkan pada pihak yang berperkara. Tekanan pada peradilan cepat atau lazim disebut contante justitie semakin ditekankan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dalam penjelasan umum butir 3 e dikatakan: “Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.” Ini dikutip dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
14
Penjelasan umum tersebut dijabarkan dalam banyak pasal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), misalnya Pasal-pasal 24 ayat (4), 25 ayat (4), 26 ayat (4), 27 ayat (4), 28 ayat (4). Umumnya dalam pasal-pasal tersebut dimuat ketentuan bahwa jika telah lewat waktu penahanan seperti tercantum dalam ayat sebelumnya, maka penyidik, penuntut umum dan hakim harus sudah mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan demi hukum. Hal ini mendorong penyidik, penuntut umum dan hakim untuk mempercepat penyelesaian perkara tersebut. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 50 juga mengatur tentang hak tersangka dan terdakwa untuk “segera” diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu di mulai pemeriksaan, ayat (1), segera perkaranya diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum, ayat (2), segera diadili oleh pengadilan, ayat (3). Pasal 102 ayat (1) KUHAP juga mengatakan penyelidik yang menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib “segera” melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan. Selain bagi penyelidik berlaku juga bagi penyidik dalam hal yang sama, penyidik juga harus segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum. Penuntut umumpun menurut Pasal 140 ayat (1) diperintahkan untuk secepatnya membuat surat dakwaan.
15
Dari pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa KUHAP menghendaki peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan. MenurutYahya Harahap11 menjabarkan mengenai asas sederhana dan biaya ringan adalah sebagai berikut : 1) Penggabungan pemeriksaan perkara dengan tuntutan ganti rugi yang bersifat perdata oleh seorang korban yang mengalami kerugian sebagai akibat langsung dari tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. 2) Pembatasan penahanan dengan memberi sanksi dapat dituntut ganti rugi pada sidang praperadilan, tidak kurang artinya sebagai pelaksana dari prinsip menyederhanakan proses penahanan. 3) Demikian juga peletakan asas diferensiasi fungsional, nyatanyata member makna menyederhanakan penanganan fungsi dan wewenang penyidikan, agar tidak terjadi penyidikan bolakbalik, tumpang tindih atau overlapping dan saling bertentangan.
b. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of innocence). Asas Praduga Tak Bersalah (presumption of innocence) adalah asas yang wajib menganggap bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan tidak bersalah
sampai
adanya
putusan
pengadilan
yang
menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Asas ini disebutkan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam Penjelasan Umum butir 3 huruf c yang merumuskan : “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapankan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
11
M. Yahya Harahap,Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Jilid I).,Jakarta : Pustaka Kartini,2001, Hal 54.
16
Menurut M. Yahya Harahap12 menyatakan pendapatnya yaitu : “Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun dari segi teknis penyidikan dinamakan “prinsip akusatur”. Prinsip akusatur menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan adalah sebagai subjek, bukan objek pemeriksaan, karena itu tersangka/terdakwa harus didudukan atau diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri. Sedangkan yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusatur adalah kesalahan (tindakan pidana), yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa. Karena itulah pemeriksaan ditujukan”.
c. Asas Oportunitas Hukum acara pidana mengenal suatu badan yang khusus diberi wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut penuntut umum. Hakim tidak dapat meminta supaya suatu delik diajukan kepadanya, jadi hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut umum karena penuntut umum memiliki hak penuntutan, dalam hubungan dengan hak penuntutan dikenal dua asas yaitu asas legalitas dan asas oportunitas. Asas Oportunitas adalah adanya hak yang dimiliki oleh penuntut umum untuk tidak menuntut ke Pengadilan atas seseorang. Di Indonesia wewenang ini hanya diberikan pada kejaksaan (Pasal 6 butir a dan b serta Pasal 137 sampai dengan Pasal 144 KUHAP). Pasal 6 butir a dan b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan :
12
Ibid. Hal. 38.
17
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh UndangUndang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Pasal 137 sampai dengan Pasal 144 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan : Pasal 137 Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yangdidakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan'melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. Pasal 138 (1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. (2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum. Pasal 139 Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera, menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan. Pasal 140 (1) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. (2) a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.
18
b. Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan. c. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim. d. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka. Pasal 141 Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal: a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya; b. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain; c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya,yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan. Pasal 142 Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalm ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah. Pasal 143 (1) Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar. segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. (2) Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi : a. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka; b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. (3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum. (4) Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan
19
penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri. Pasal 144 (1) Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya. (2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kaliselambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai. (3) Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan turunannya kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik. Sebagai kebalikan dari asas ini adalah asas legalitas, asas ini mengandung arti bahwa jaksa penuntut umum tidak diwajibkan untuk melakukan penuntutan terhadap seseorang jika kepentingan umum akan dirugikan. A.Z. Abidin Farid 13 memberi perumusan tentang asas oportunitas sebagai berikut : “Asas hukum yang memberikan wewenang kepada Penuntut Umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan hukum.”
d. Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum ialah asas yang memerintahkan bahwa dalam tahap pemeriksaan, pengadilan terbuka untuk umum maksudnya yaitu boleh disaksikan dan diikuti oleh siapapun, kecuali dalam perkara yang menyangkut kesusilaan dan perkara yang terdakwanya anak-anak.
13
A.Z. Abidin Farid,Sejarah dan Perkembangan Asas Opportunitas di Indonesia, Ujung Pandang: UNHAS, 1981. Hal. 12.
20
Asas ini terdapat dalam Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merumuskan sebagai berikut : “Untuk keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua Sidang membuka sidang dan menyataka terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”. Uraian di atas mengemukakan bahwa saat membuka sidang hakim ketua harus menyatakan “sidang terbuka untuk umum”. Pelanggaran atas ketentuan ini atau tidak dipenuhinya ketentuan ini mengakibatkan putusan pengadilan “batal demi hukum” (Pasal 153 ayat (4) KUHAP) ada pengecualian dalam ketentuan ini yaitu sepanjang mengenai perkara yang menyangkut kesusilaan atau terdakwanya adalah anak-anak, yang dalam hal ini persidangan dapat dilakukan dengan pintu tertutup. Andi Hamzah14 berpendapat mengenai hal ini bahwa : “Seharusnya kepada hakim diberikan kebebasan untuk menentukan sesuai situasi dan kondisi apakah sidang terbuka atau tertutup untuk umum. Sebenarnya hakim dapat menetapkan apakah suatu sidang dinyatakan seluruhnya atau sebagiannya tertutup untuk umum yang artinya persidangan dilakukan di belakang pintu tertutup. Pertimbangan tersebut sepenuhnya diserahkan kepada hakim. Hakim melakukan itu berdasarkan jabatannya atau atas permintaan penuntut umum dan terdakwa. Saksi pun dapat mengajukan permohonan agar sidang tertutup untuk umum dengan alasan demi nama baik keluarganya. Misalnya dalam kasus perkosaan, saksi korban memohon agar sidang tertutup untuk umum agar ia bebas memberikan kesaksiannya”. e. Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum Asas semua orang diperlakukan sama di depan hukum maksudnya ialah hukum tidak membeda-bedakan siapapun tersangkanya atau apapun jabatannya dalam melakukan pemeriksaan. 14
Andi Hamzah.Opcit.Hal. 18.
21
Romli Atmasasmita15 dalam bukunya mengatakan bahwa : “Asas persamaan di muka hakim tidak secara eksplisit tertuang dalam KUHAP, akan tetapi asas ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari KUHAP. Ditempatkannya asas ini sebagai satu kesatuan menunjukan bahwa betapa pentingnya asas ini dalam tata kehidupan Hukum Acara Pidana di Indonesia.” Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum ini tegas tercantum pula dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam penjelasan umum butir 3a. Pasal 5 ayat (1) tersebut merumuskan : “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan orang.”16 f. Asas Peradilan Dilakukan Oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap Asas ini berarti bahwa pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Hakim-hakim tersebut diangkat oleh kepala negara secara tetap. Ini disebut dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merumuskan : “Sistem hakim yang tetap di Indonesia mengikuti sistem di negeri Belanda yang dahulu menganut sistem juri, tetapi sejak tahun 1813 dihapuskan. Sebaliknya Perancis sejak revolusi meniru sistem itu dari Inggris. Karena banyaknya kelemahan-kelemahan sistem itu maka Jerman juga tidak menganutnya.” Menurut D. Simons 17 sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah, menyatakan sebagai berikut:
15 16
Romli Atmasasmita,Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Jakarta : Bina Cipta, 1983.hal.30. Ibid. Hal. 20.
22
“Sistem hakim yang tetap di Indonesia mengikuti sistem di Negara Belanda yang dahulu juga menganut sistem juri pula, tetapi sejak tahun 1813 dihapuskan. Sebaliknya Perancis sejak revolusi meniru sistem itu dari Inggris. Karena banyaknya kelemahan-kelemahan sistem tersebut maka Jerman juga tidak menganutnya.”
g. Asas Tersangka / Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum Asas berhak mendapat bantuan hukum bagi tersangka atau terdakwa adalah suatu upaya yang secara filosifi melindungi hak asasi manusia dari diri tersangka maupun terdakwa dalam suatu perkara untuk memperoleh bantuan hukum dari seorang penasehat hukum. Ketentuan Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur tentang bantuan hukum dimana tersangka / terdakwa mendapat kebebasankebebasan yang sangat luas. Kebebasan-kebebasan itu antara lain sebagai berikut : a.) Bantuan Hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan. b.) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan. c.) Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka / terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu. d.) Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik dan penuntut umum, kecuali pada delik yang menyangkut keamanan negara. e.) Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum guna kepentingan pembelaan. f.) Penasihat hukum berhak mengirimkan dan menerima surat dari tersangka / terdakwa.18 Pembatasan-pembatasan hanya dikenakan apabila penasihat hukum menyalahgunakan hak-hak tersebut. Kebebasan-kebebasan ini hanya dari 17
M Yahya Harahap.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyelidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. 2001.hal. 22. 18 Andi Hamzah. Opcit.Hal. 21.
23
segi yuridis semata-mata, bukan dari segi politis, social, dan ekonomi. Segisegi yang disebut terakhir ini juga menjadi penghambat pelaksanaan bantuan hukum yang merata. Menurut Adnan Buyung Nasution19 “setiap periode sejarah dengan sistem politiknya tersendiri, telah banyak memberikan pengaruh atas masalah ini. Persoalannya bertambah rumit apabila kita melihat dari sudut ekonomi, disebabkan oleh kemiskinan yang merembes luas, tingkat tuna huruf tinggi dan keadaan kesehatan yang memburuk.” h. Asas Akusator dan Inkisitor (Accusatoir dan Inquisitor) Asas akusator mempunyai arti bahwa menempatkan kedudukan Terdakwa sebagai subyek pemeriksaan, terdakwa tidak lagi dipandang sebagai obyek. Sedangkan pemahaman dalam asas inkisitor, terdakwa dipandang sebagai obyek pemeriksaan. Asas inkisitor ini sesuai dengan pandangan bahwa pengakuan tersangka merupakan alat bukti terpenting, sehingga untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka sering digunakan tindakan kekerasan ataupun penganiayaan. Asas akusatoir ini telah ditunjukkan dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berisi ketentuan untuk memberikan kebebasan kepada tersangka maupun terdakwa untuk mendapatkan penasehat hukumnya. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa : “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum
19
Andi Hamzah. Loc.Cit. Hal. 21.
24
selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.” Sesuai dengan hak-hak asasi manusia yang sudah menjadi ketentuan universal, maka asas inkisitor ini telah ditinggalkan oleh banyak negeri beradab. Hal ini terbukti dengan adanya hak memperoleh bantuan hukum sejak awal pemeriksaan ditingkat penyidikan. Selain itu juga dibuktikan dengan berubahnya pola sistem pembuktian di mana alat-alat bukti berupa pengakuan diganti dengan “keterangan terdakwa”. Dalam bukunya, Andi Hamzah20 mengatakan bahwa: “Kebebasan memberi dan mendapatkan nasihat hukum menunjukan bahwa dengan KUHAP telah dianut asas akusator itu. Ini berarti perbedaaan antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada asasnya telah dihilangkan.”
i. Asas Pemeriksaan Hakim Yang Langsung dan Lisan Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan artinya yaitu, dalam acara pemeriksaan pengadilan, pemeriksaan dilakukan oleh hakim secara langsung kepada terdakwa dan saksi. Ini berbeda dengan acara perdata di mana tergugat dapat mewakili oleh kuasanya. Sedangkan arti dari lisan sendiri yaitu pemeriksaan hakim bukan dilakukan secara tertulis tetapi secara lisan antara hakim dan terdakwa. Asas ini diatur dalam Pasal 153 ayat (2) dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa :
20
Andi Hamzah. Loc.Cit. Hal. 21.
25
a. Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi. b. Ia wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas.
Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Sedangkan pemeriksaan hakim dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa. Pengecualian dari asas langsung adalah kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa, yaitu putusan verstek atau in absentia. Bambang Poernomo21 berpendapat bahwa : “Pemeriksaan perkara pidana antara para pihak yang terlibat dalam persidangan harus dilakukan tidak secara tertulis tetapi harus dengan lisan atau satu sama lain agar dapat diperoleh keterangan yang benar dari yang bersangkutan tanpa tekanan dari pihak manapun. Tata cara pemeriksaan perkara pidana dengan mendengarkan keterangan langsung adalah memberikan kesempatan terutama kepada terdakwa untuk mengeluarkan pendapatnya atau jika perlu memberikan keterangan ingkar karena pada waktu pemeriksaan permulaan tidak bebas keterangannya yang diperiksa secara tertutup.”
C. Sistem Pembuktian dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pembuktian menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah proses, perbuatan, cara membuktian, suatu usaha menentukan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan. 21
Bambang Poernomo,Pola Teori dan Asas Umum Hukum Acara Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1985.Hal. 79.
26
Membuktikan menurut Martiman Prodjohamidjojo22 yaitu: “Mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran adalah suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Dalam hukum acara pidana, acara pembuktian adalah dalam rangka mencari kebenaran materiil dan KUHAP menetapkan tahapan dalam mencari kebenaran sejati yaitu melalui: 1. Penyidikan; 2. Penuntutan; 3. Pemeriksaan di persidangan; 4. Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan. Sehingga acara pembuktian hanyalah merupakan salah satu fase dalam hukum acara pidana secara keseluruhan.” 1. Penyidikan Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan : “Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.” 2. Penuntutan Pasal
137
Undang-Undang
Hukum
Acara
Pidana
(KUHAP)
menyebutkan : “Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yangdidakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.” 3. Pemeriksaan di Persidangan Pasal 145 ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan :
22
Martiman Prodjohamidjojo.Sistem Indonesia.1983.Hal. 12.
Pembuktian
dan
Alat-Alat
Bukti.Jakarta:Ghalia
27
“Pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan dilakukan secara sah, apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir.” 4. Pelaksanaan, Pengawasan, dan Pengamatan Putusan Pengadilan Pelaksanaan putusan pengadailan diatur dalam Pasal
270 Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan bahwa : “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.” Pengawasan, dan pengamatan putusan pengadilan diatur dalam Pasal 277 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan bahwa : (1) Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan. (2) Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disebut hakim pengawas dan pengamat, ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk palinglama dua tahun. Sistem atau teori pembuktian dalam mengungkap tindak pidana di dalam hukum acara pidana terdapat beberapa macam, antara negara yang satu dengan yang lain berbeda-beda terutama di negara-negara Eropa Kontinental yang dianut Belanda, Perancis, dan di Indonesia sendiri yang menekankan pada penilaian pembuktian ada ditangan hakim berbeda dengan negara-negara Anglo Saxon yang dianut oleh Amerika Serikat yang menggunakan sistem juri yang menentukan salah tidaknya terdakwa sedangkan hakim hanya memimpin sidang dan menjatuhkan pidana.
28
Beberapa ajaran mengenai teori atau sistem pembuktian dalam hukum acara pidana, yaitu : a. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif (Positive Wettelijk Bewijs Theorie) Sistem atau teori pembuktian ini juga sering disebut dengan teori pembuktian formal (formele bewijstheorie), teori pembuktian ini dikatakan secara positif karena didasarkan kepada alat-alat pembuktian yang berupa undang-undang atau peraturan tertulis yang artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti tersebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim sudah tidak diperlukan lagi. Walau hakim tidak yakin dengan kesalahan terdakwa tetapi perbuatannya sudah memenuhi syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang maka sudah cukup untuk menentukan kesalahan terdakwa. 23 Menurut D. Simons24seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah: “Sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positief wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subyektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana.” Teori ini menekankan pada ketentuan perundangan sehingga hakim hanya sebagai corong undang-undang yang hanya mengucapkan sesuai dengan bunyi undang-undang yang terkait. Keuntungan dari sistem ini adalah pembuktian bersifat obyektif yang artinya hakim wajib benar-benar menerapkan 23 24
mencari dan menemukan kebenaran mengenai salah atau
Yahya Harahap.Op.cit. Hal.257. Andi Hamzah.Op.cit.Hal.251.
29
tidaknya terdakwa sesuai dengan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang.
b. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu (Conviction-in Time) M. Yahya Harahap25 berpendapat: “Dalam sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu atau yang disebut juga sistem pembuktian conviction-in time, untuk menentukan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan hakim”. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Keyakinan diambil oleh hakim secara langsung dengan mengabaikan alat-alat bukti yang ada.” Sistem pembuktian ini mendasarkan bahwa dalam memutus suatu perkara pidana hakim mendasarkan pada hati nuraninya sendiri. Dalam hal ini maka nilai pembuktian berada penuh ditangan hakim dan bersifat subyektif karena segala sesuatunya itu hakim yang menentukan. Seorang hakim dapat saja menjatuhkan putusan hanya dengan keyakinannya tanpa melihat pembuktian melalui alat-alat bukti yang cukup dipersidangan sehingga dapat timbul kemungkinan bahwa hakim dapat saja melepaskan terdakwa dari tindak pidana yang dituduhkan kepadanya walaupun dipersidangan telah cukup bukti kalau terdakwa benar-benar bersalah dan hakim bisa saja memutus terdakwa bersalah atas dakwaan yang didakwakan
kepadanya
walaupun
dalam
persidangan
pembuktian
terdakwa tidak terbukti bersalah berdasarkan alat-alat bukti yang sah.
25
Yahya Harahap.Op.cit.Hal. 256.
30
c. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas Alasan yang Logis (Conviction Raisonee) Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis hampir sama dengan teori pembuktian keyakinan melulu, akan tetapi teori ini faktor kebebasan hakim lebih dibatasi dimana setiap keyakinan hakim dalam memutus suatu perkara pidana harus berdasarkan alasanalasan yang jelas, hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasanalasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa sehingga bisa mengambil putusan tersebut. Keyakinan hakim harus mendasar dengan alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima secara logika. “Sistem atau teori pembuktian atas alasan yang logis merupakan jalan tengah atau yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah kedua jurusan. Pertama, sistem atau teori pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasanalasan keyakinannya (vreije bewijsheorie) yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction raisonee) dan yang kedua teori pembuktian berdasarkan undangundang secara negatif (negatief wettelijk bewijsteorie). Persamaan keduanya ialah keduanya sama berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah.sedangkan perbedaan keduanya adalah jika keyakinan hakim atas alasan yang logis pangkal tolaknya ada keyakian hakim sedangkan yang pembuktian berdasarkan undangundang secara negatif pada ketentuan undang-undang. Kemudian pada yang pertama dasarnya ialah suatu konklusi yang tidak didasarkan undang-undang sedangkan pada yang kedua didasarkan kepada ketentuan undang-undang yang disebut secara limitatif.”26
26
Yahya Harahap.Ibid.Hal. 257.
31
d. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang secara Negatif (Negatief wettelijk) Sistem pembuktian negatif ini merupakan gabungan dari sistem pembuktian menurut undang-undang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time yang kemudian menimbulkan rumusan salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif terdapat dua komponen yaitu : 1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang; 2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur “obyektif dan subyektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan di antara kedua unsur tersebut. Jika salah satu diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa.27 Dapat disimpulkan bahwa hakim dalam membuat keputusan harus didasarkan dengan alat-alat bukti dipersidangan dan dengan alat bukti tersebut menimbulkan keyakinan hakim tentang tindak pidana tersebut. Sistem Pembuktian Menurut KUHAP Sistem pembuktian yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sistem atau teori 27
pembuktian
Yahya Harahap.Op.cit.Hal.279.
berdasarkan
Undang-Undang
Negatif
(negatief
32
wettelijke). Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang isinya: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada orang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya. Dengan demikian Pasal 183 KUHAP mengatur untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus : a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah b. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.28 M. Yahya Harahap29 berpendapat : “Alasan pembuat undang-undang merumuskan Pasal 183 KUHAP ditujukan untuk mewujudkan suatu ketentuan yang seminimal mungkin dapat menjamin “tegaknya kebenaran sejati” serta “tegaknya keadilan dan kepastian hukum”. Dari penjelasan Pasal 183 KUHAP pembuat undangundang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegak hukum di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif demi tegaknya keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum.” Wirjono Prodjodikoro seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah30 : “Bahwa sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, Pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua, ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.”
28
Ibid.Hal. 280. Ibid. Hal. 256-259. 30 Andi Hamzah. Opcit.Hal. 264. 29
33
R. Soesilo 31 , berpendapat bahwa sehubungan dengan masalah kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti yang diajukan di persidangan, maka hakim dalam memeriksa perkara pidana dalam sidang pengadilan senantiasa berusaha untuk membuktikan : a. Apakah betul suatu peristiwa itu terjadi; b. Apakah betul suatu peristiwa tersebut merupakan tindak pidana; c. Apa sebab-sebabnya peristiwa itu terjadi; d. Siapakah orang yang bersalah melakukan peristiwa itu.
D. Alat-Alat Bukti Dalam KUHAP Alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana, diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu: a. Keterangan Saksi; b. Keterangan Ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa.
Dari alat bukti di atas hakim memeriksa untuk memperoleh kebenaran materiil dari kejadian yang terjadi dan hakim tidak boleh memeriksa selain alat bukti tersebut. Sebagaimana yang diuraikan terlebih dahulu, Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah menurut undangundang. Diluar alat bukti itu,tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Ketua sidang, penuntut umum, terdakwa dan penasehat hukum terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja. Mereka tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang dikehendakinya diluar alat bukti yang ditentukan Pasal 184 31
R. Soesilo. Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAP bagi penegak Hukum). Bogor: Politeria. 1982. Hal. 109.
34
ayat (1). Yang dinilai sebagai alat bukti, dan yang dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas pada alat-alat itu saja. Pembuktian dengan alat bukti diluar jenis alat bukti tersebut pada Pasal 184 ayat (1), tidak mempunyai nilai serta mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat.32 Tidak setiap hal harus dibuktikan dalam persidangan, Pasal 184 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang rumusan ini disebut sebagai notoire feiten notorious (generally known) yang disebut sebagai hal yang sudah umum diketahui. Hal-hal yang bersifat umum yang diketahui oleh setiap orang secara patut maka tidak perlu dibuktikan. Biasanya dalam hal ini adalah berdasarkan pengalaman setiap manusia secara umum karena hal ini sudah diketahui dan sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Dari penjelasan Pasal 184 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diterapkan : 1. Majelis hakim dapat menarik dan mengambilnya sebagai suatu kenyataan yang dapat dijadikan sebagai fakta tanpa membuktikan lagi; 2. Akan tetapi kenyataan yang diambil hakim dari notoire feiten, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa. Tanpa dikuatkan oleh alat bukti yang lain, kenyataan yang ditarik dan diambil hakim adri notoire feiten tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Bukankah pada hakikatnya notoire feiten tidak tergolong alat-alat bukti yang diakui oleh undang-undang sebagaimana disebutkan secara limitatif dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal yang secara umum sudah diketahui hanyalah merupakan penilaian terhadap sesuatu pengalaman dan kenyataan tertentu saja. Bukan sesuatu yang dapat membuktikan kesalahan terdakwa secara menyeluruh.33 a. Keterangan Saksi Menurut Pasal 1 butir (26) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan bahwa:
32
M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.Jakarta : Sinar Grafika.2002. Hal.252. 33 Ibid. Hal.276.
35
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidik, penuntutan dan pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat, dan ia alami sendiri.” Aturan mengenai pembuktian saksi terdapat dalam Pasal 185 ayat (1) sampai 7 KUHAP. Keterangan saksi yang dimaksud dalam Pasal 184 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ini adalah saksi sebagai alat bukti yang dihadirkan dalam sidang pengadilan agar hakim dapat menilai keterangan-keterangan saksi itu, yang ditinjau dari sudut dapat atau tidak dipercaya, berdasarkan tinjauan terhadap pribadi, gerak geriknya dan yang lain-lain. Saksi yang dihadirkan dalam persidangan nantinya akan disumpah agar mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan nantinya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara pidana. Disebutkan dalam Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa saksi wajib untuk disumpah atau janji dalam setiap akan dimintai keterangannya di persidangan sesuai dengan agamanya masing-masing. Kemudian lafal sumpah atau yang diucapkan berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya yang dilakukan sebelum saksi memberikan keterangannya dalam persidangan dan jika dalam keadaan perlu oleh hakim pengadilan sumpah atau janji ini dapat diucapkan sesudah saksi memberikan keterangannya sesuai dengan Pasal 160 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jika saksi yang dihadirkan tidak disumpah karena permintaan sendiri atau pihak yang lain tidak bersedia saksi untuk disumpah karena saksi ditakutkan akan
36
berpihak pada salah satu pihak, maka keterangan dari saksi tersebut tetap digunakan, akan tetapi sifatnya hanya digunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. Selain itu saksi yang karena jabatannya tidak dapat menjadi saksi akan tetapi mereka tetap bersedia menjadi saksi maka dapat diperiksa oleh hakim akan tetapi tidak disumpah karena itu merupakan perkecualian relatif karena menyimpan rahasia jabatan. Saksi yang dihadirkan diharapkan sudah dewasa sehingga keterangannya bisa dipercaya dan dapat dipertanggung jawabkan. Saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji didepan pengadilan saat akan diambil keterangannya tanpa suatu alasan yang sah maka saksi tersebut dapat dikenakan sandera yang didasarkan penetapan hakim ketua sidang, paling lama penyanderaan adalah empat belas hari (Pasal 161 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana). Pengertian umum keterangan saksi ada dalam Pasal 1 butir 27 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang merumuskan sebagai berikut : "Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu". Dengan demikian kesaksian yang didengar dari orang lain atau biasa disebut dengan "testimonium de auditu" bukan merupakan keterangan saksi. Begitu pula pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi (Pasal 185 ayat (5)Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana).
37
Dari penegasan rumusan Pasal 1 butir 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dihubungkan dengan Pasal 135 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pidana dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : a. Setiap keterangan saksi di luar dari yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau di luar dari yang dilihat dan dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar pendengaran, penglihatan atau pengalaman sadar mengenai suatu peristiwa pidana terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Keterangan semacam ini tidak memiliki kekuatan nilai pembuktian. b. Testimonium de auditu keterangan saksi yang diperoleh sebagai hasil pendengarannya dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulang dari yang didengarnva dari orang lain, keterangan saksi seperti ini tidak dapat dianggap sebagai alat bukti. c. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari pemikiran bukan merupakan keterangan. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (5) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Oleh karena itu setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi harus dikesampingkan dari pernbuktian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan yang bersifat dan berwarna pendapat dan pemikiran pribadi saksi tidak dapat dinilai sebagai alat bukti.34 Mengenai keterangan saksi de auditu ini, Mr. S.M. Amin35 dalam bukunya "Hukum Acara Pengadilan Negeri" telah memberikan penjelasan sebagai berikut : "Kesaksian de auditu adalah keterangan tentang kenyataan-kenyataan, dan hal-hal yang didengar, dilihat atau dialami bukan oleh saksi sendiri akan tetapi keterangan-keterangan yang disampaikan oleh orang lain kepadanya mengenai kenyataan-kenyataan dan hal-hal yang didengar, dilihat atau dialami sendiri oleh orang lain tersebut". Dalam putusan Mahkamah Agung membenarkan Testimonium De Auditu dapat digunakan sebagai alat bukti yang memenuhi syarat materiil. Hal ini
34
M. Yahya Harahap.Op.cit.Hal. 266. Leden Marpaung.Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Ekonomi.Jakarta :Sinar Grafika. Jakarta. 1994. Hal. 33. 35
38
terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 239 K/Sip/1973 tanggal 25 November 1975, keterangan saksi pada umumnya adalah menurut pesan, namun harus dipertimbangkan dan hampir semua kejadian atau perbuatan hukum yang terjadi pada masa lalu tidak mempunyai surat, tetapi berdasarkan pesan turuntemurun, sedangkan saksi-saksi yang langsung menghadapi perbuatan hukum itu pada masa lalu sudah tidak ada lagi yang hidup sekarang, sehingga dengan demikian pesan turun-temurun itulah yang dapat diharapkan sebagai keterangan dan menurut keterangan dan pengetahuan majelis hakim sendiri pesan-pesan seperti itu oleh masyarakat tertentu pada umumnya secara adat dianggap berlaku dan benar. Walaupun demikian hal itu harus diperhatikan dari siapa pesan itu diterima berikut orang yang memberi keterangan harus orang yang menerima langsung pesan.Ternyata masalah tersebut telah sepenuhnya telah terpenuhi dimana orang yang menerangkan pesan didalam majelis persidangan pengadilan adalah orang yang langsung menerima pesan.
Tidak setiap orang dapat menjadi saksi dalam persidangan, selain karena ketidak cakapannya menjadi saksi, yang tidak dapat menjadi terutama karena mempunyai hubungan dekat dengan terdakwa karena cenderung tidak bernilai obyektif dan cenderung membela terdakwa, diantaranya : a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, (Pasal 168 butir a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana);
39
b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga, (Pasal 168 butir b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana); c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersamasama sebagai terdakwa, (Pasal 168 butir c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana); d. Orang yang mempunyai hubungan pekerjaan, harkat, martabat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia yang ditentukan undang-undang. Kemudian dalam Pasal 171 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ditentukan saksi yang tidak disumpah yaitu: a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin; b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali. Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja. Keterangan saksi agar mempunyai kekuatan pembuktian maka harus dihadirkan saksi lebih dari seorang dan minimal ada dua alat bukti karena keterangan dari seorang saksi saja tanpa ada alat bukti yang lain tidak cukup
40
membuktikan bahwa terdakwa benar-benar bersalah terhadap dakwaan yang didakwakan kepadanya (unus testis nullus testis). Dalam hal terdakwa memberikan keterangan yang mengakui kesalahan yang didakwakan kepadanya, keterangan seorang saksi sudah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, karena disamping keterangan saksi tunggal itu, telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian dan the degree of evidence yakni keterangan saksi ditambah dengan alat bukti keterangan terdakwa. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa persyaratan yang dikehendaki Pasal 185 ayat (2) adalah : 1) Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung oleh dua orang saksi; 2) Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian tunggal itu harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti yang lain.36 Keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam pemeriksaan perkara pidana. Dalam Pasal 185 ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk menilai kebenaran keterangan saksi hakim harus memperhatikan: a) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya; b) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain; c) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu; d) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. b. Keterangan Ahli Keterangan ahli merupakan keterangan dari pihak diluar kedua pihak yang sedang berperkara, dimana yang digunakan adalah keterangan berkaitan dengan ilmu pengetahuannya dalam perkara yang dipersidangkan sehingga membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli
36
Ibid. Hal.288.
41
sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 186 KUHAP menunjukkan keterangan ahli dari segi pembuktian. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menerangkan lebih lanjut mengenai pengertian keterangan ahli, yaitu: “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.” Pasal 184 (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pembentuk undang-undang meletakkan keterangan ahli dalam urutan kedua hal ini dinilai bahwa dalam pemeriksaan perkara pidana sangat dibutuhkan dikarenakan perkembangan ilmu dan teknologi telah berdampak terhadap kualitas metode kejahatan yang memaksa para penegak hukum harus bisa mengimbanginya dengan kualitas metode pembuktian yang memerlukan pengetahuan, dan keahlian. Pasal yang mengatur tentang keterangan ahli dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terdapat dalam Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, Pasal 179, Pasal 180 dan Pasal 186. Dikatakan, bahwa keterangan ahli amat diperlukan dalam setiap tahapan pemeriksaan, oleh karena ia diperlukan baik dalam tahap penyidikan, tahap penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Jaminan akurasi dari hasil-hasil pemeriksaan atas keterangan ahli atau para ahli didasarkan pengetahuan dan pengalamannya dalam bidang-bidang keilmuannya, akan dapat menambah data, fakta dan pendapatnya, yang dapat ditarik oleh Hakim dalam menimbang-nimbang berdasarkan pertimbangan hukumnya, atas keterangan ahli itu dalam memutus perkara yang bersangkutan. Sudah tentu, masih harus dilihat dari kasus perkasus dari perkara tindak pidana tersebut masing-masing, atas tindak pidana yang
42
didakwakan pada terdakwa dalam surat dakwaan dari penuntut umum di sidang pengadilan.37 Keterangan yang diberikan oleh ahli harus diberikan di suatu persidangan yang terbuka untuk umum. Salah satu syarat seorang ahli untuk memberikan keterangan adalah disumpah dalam persidangan agar keterangan yang diberikan sesuai dengan pengetahuannya dan syarat yang lainnya adalah ahli memberikan keterangan berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Jika dalam persidangan seorang ahli tidak dapat hadir, maka dapat memberikan keterangannya dalam surat yang nantinya dibacakan disidang pengadilan yang sebelumnya juga diangkat sumpah pada ahli. Keterangan ahli dapat juga diberikan untuk membantu pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum sesuai dalam Pasal 120 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang nantinya dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan ahli mengingat sumpah jabatan waktu pertama menerima jabatannya dan diucapkan dimuka penyidik bahwa ahli akan memberi keterangan menurut pengetahuannya sebaik-baiknya. Akan tetapi ada pengecualian bagi ahli untuk tidak memberikan keterangannya dalam pengadilan yaitu dalam suatu hal karena pekerjaan atau jabatan, harkat dan martabat yang mewajibkan ahli menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta. Ahli dalam Pasal 133 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menekankan kepada ahli dalam kedokteran
37
R. Soeparmono. Keterangan Ahli & Visum EtRepertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana. Bandung: Mandar Maju.2002. Hal. 3.
43
forensik yang menangani korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diakibatkan suatu tindak pidana. Untuk itu disetiap satuan kepolisian diperlukan tim ahli dalam kedokteran forensik, psikiatri, antropologi forensik, ilmu kimia forensik, fisika forensik dan lain sebagainya untuk membantu penyidikan dalam mengungkap kasus dan mempermudah proses identifikasi korban, tersangka ataupun barang bukti yang ada dalam tindak pidana. Tindakan yang dilakukan oleh tim ahli disini harus dijalankan dengan baik dan penuh tanggung jawab berdasarkan sumpah jabatan dan profesi yang diembannya. Seorang ahli yang dihadirkan dipersidangan tidak hanya ahli dalam kedokteran forensik saja akan tetapi juga ahli dalam bidang tertentu yang berkaitan dengan pemeriksaan di persidangan sesuai dalam Pasal 179 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bisa dihadirkan oleh hakim, penuntut umum, dan penasehat hukum. Ahli dipersidangan yang bertugas membantu hakim, penuntut umum, penasehat hukum dan terdakwa mengenai segala sesuatu yang tidak diketahuinya yang dapat diketahui mengenai keterangan ahli yang mempunyai keahlian khusus dalam masalah yang hendak dibuat menjadi jelas dan terang, dan tujuan pemeriksaan ahli ini untuk membuat terang perkara pidana yang sedang dihadapi. Sifat dari keterangan ahli ini menunjukkan suatu keadaan tertentu atau suatu hal dan belum menunjukkan mengenai siapa yang dapat dipersalahkan dalam suatu perkara tindak pidana yang bersangkutan.
44
Yahya Harahap38 berpendapat: Apa yang dapat diambil dari Pasal 1 angka 28, dikaitkan dengan ketentuan Pasal 184 ayat (1) huruf b dan Pasal 186 KUHAP, agar keterangan ahli dapat bernilai sebagai alat bukti yang sah : 1. Harus merupakan keterangan yang diberikan oleh seorang yang mempunyai keahlian khusus tentang sesuatu yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang sedang diperiksa. 2. Sedang keterangan yang diberikan seorang ahli, tapi tidak mempunyai keahlian khusus tentang suatu keadaan yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang bersangkutan, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang. Adanya tata cara pembuktian dari ahli sebagai alat bukti di tahap penyidikan dengan menggunakan laporan atau dalam bentuk surat sesuai dalam Pasal 133 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan meminta keterangan ahli secara lisan di sidang pengadilan berdasarkan Pasal 179 dan 186 menimbulkan dualisme, terutama yang berasal dari laporan atau visum et repertum yaitu : a) Pada suatu alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan atau visum et repertum, tetap dapat dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli; b) Pada sisi lain alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan, juga menyentuh alat bukti surat yang terdapat dalam Pasal 187 huruf c KUHAP.39 Untuk menjawab dualisme diatas maka yang dapat dijadikan pedoman adalah pendapat hakim akan mempergunakan nama alat bukti apa yang akan diberikan karena keduanya sama-sama bersifat kekuatan pembuktian yang bebas dan tidak mengikat, hakim bebas menentukan apakah akan membenarkan alat bukti tersebut atau malah akan menolaknya. Nilai kekuatan pembuktian dengan keterangan ahli tidak jauh berbeda dengan keterangan saksi yaitu :
38 39
Yahya Harahap. Op.cit. Hal.299. Ibid.Hal. 303.
45
1. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bebas atau vrij bewijskaracht yang ditentukan oleh penilaian hakim apakah akan menerima keterangan dari ahli tersebut atau akan menolaknya. 2. Keterangan ahli yang berdiri sendiri dan tidak didukung oleh alat bukti yang lain tidak memadai untuk membuktikan tentang tidak atau bersalahnya terdakwa. Oleh karena itu agar keterangan ahli dapat digunakan sebagai dasar memutus perkara pidana oleh hakim harus disertai dengan alat bukti yang lain.40 Suatu kasus akan sering terdapat dua keterangan ahli yang digunakan yaitu keterangn ahli yang berupa laporan dan juga berasal dari keterangan yang diberikan secara lisan di pengadilan. Jika keterangan ahli tersebut menjelaskan hal yang sama maka alat bukti keterangan ahli masih bernilai satu alat bukti, akan tetapi jika keterangan ahli ini yang berupa laporan dan juga dari keterangan lisan di sidang pengadilan menunjukkan suatu keadaan yang berbeda dan menunjukan hal yang berkesesuaian antara satu dengan yang lainnya maka dapat dinyatakan bahwa keterangan ahli tersebut ada dua alat bukti keterangan ahli yang sah yang masing-masing berdiri sendiri dan telah memenuhi batas minimum pembuktian berdasarkan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). c. Surat A Plito seperti yang dikutip oleh Martiman Prodjohamidjojo41: “Pengertian surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang menterjemahkan suatu isi pikiran. Tidak termasuk kata surat, adalah foto dan peta, sebab benda ini tidak memuat tanda bacaan, surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 KUHAP dimaksudkan adalah surat-surat yang dibuat oleh pejabat-pejabat resmi yang terbentuk berita acara, akta, surat keterangan ataupun surat yang lain yang mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang diadili.”
40 41
Ibid.Hal. 253. Martiman Prodjohamidjojo. Komentar Atas KUHAP. Jakarta :Pradya Paramitha. 1983.Hal. 24.
46
Surat sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menurut ketentuan ini: “Surat yang dinilai dengan alat bukti yang sah di persidangan menurut undang-undang yaitu surat yang dibuat atas sumpah jabatan dan atau surat yang dikuatkan dengan sumpah. Alat bukti surat menurut definisi AsserAnema yaitu segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.”42 Sebagai syarat dalam menentukan dapat atau tidaknya suatu surat itu dapat dikategorikan sebagai suatu alat bukti yang sah ialah bahwa surat-surat itu harus dibuat diatas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Surat resmi yang dimaksud dalam Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berbentuk berita acara, akte, surat keterangan ataupun surat lain yang mempunyai hubungan dengan perkara yang diadili. Berdasarkan bunyi Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP): “Surat sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu; b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dan alat pembuktian yang lain”. Bunyi dalam Pasal 187 huruf dUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), berbeda dengan ketentuan dalam huruf
42
Andi Hamzah.Op.cit. Hal. 276.
47
a,b dan c karena huruf d menunjukkan surat secara umum yang tidak berlandaskan sumpah jabatan dan sumpah di sidang pengadilan yang bersifat resmi dan cenderung bersifat
pribadi. Penjelasan selanjutnya menyebutkan
bahwa
berlakunya alat bukti surat lain harus mempunyai hubungan dengan alat bukti lain agar mempunyai kekuatan pembuktian artinya alat bukti surat lain tidak dapat berdiri sendiri secara utuh. Bentuk surat lain yang diatur dalam huruf d “hanya dapat berlaku” jika isinya mempunyai hubungan dengan alat pembuktian yang lain. Nilai berlakunya masih digantungkan dengan alat bukti yang lain. Kalau isi surat itu atau kalau alat pembuktian yang lain itu terdapat salng hubungan, barulah surat itu berlaku dan dinilai sebagai alat bukti surat.43 Berdasarkan psssasal diatas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengatur tentang kekuatan pembuktian dari surat lain karena tidak mempunyai bobot sebagai alat bukti hanya mengatur suratsurat resmi saja. Penerapan surat lain sebagai bentuk alat bukti surat terlihat ganjil karena jika suatu alat bukti surat digantungkan dengan alat bukti yang lain yaitu jika mempunyai hubungan isinya dengan alat bukti yang lain sehingga terkesan tidak mempunyai nilai pembuktian bahkan cenderung menjadi alat bukti petunjuk yang intinya saling menghubungkan antara alat bukti satu dengan yang lainnya sehingga tercipta suatu urutan suatu peristiwa yang terjadi dalam perkara pidana yang diperiksa di sidang pengadilan. Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat diartikan bahwa pejabat yang mempunyai wewenang untuk membuat surat-surat tersebut, dibebaskan untuk menghadap sendiri
43
Yahya Harahap.Op.cit.Hal.309.
48
dipersidangan dan pembacaan surat-surat tersebut telah dianggap mempunyai kekuatan bukti yang sama dengan apabila mereka menerangkan sendiri secara lisan dihadapan persidangan pengadilan. Surat yang dijadikan sebagai alat bukti dipengadilan biasanya berasal dari kedokteran forensik yang meneliti barang bukti yang ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) yang kemudian diteliti dimana barang bukti mati kemudian dituangkan dalam bentuk surat dan dapat dijadikan suatu pegangan bagi hakim untuk memutus suatu tindak pidana yang bersangkutan karena barang bukti mati tersebut tidak bisa berbohong dan terdakwa tidak bisa mengelak jika barang bukti tersebut telah nyata menunjukkan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana yang dituntutkan kepadanya. Nilai kekuatan pembuktian surat menurut Yahya Harahap 44 jika dinilai dari segi teoritis serta dihubungkan dengan prinsip pembuktian dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat dibedakan menjadi 2, yaitu : 1. Ditinjau dari segi formal Alat bukti yang disebut pada Pasal 187 huruf a,b dan c adalah alat bukti yang sempurna sebab bentuk surat-surat ini dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Alat bukti surat resmi mempunyai nilai pembuktian formal yang sempurna dengan sendirinya bentuk dan isi surat tersebut : a. Sudah benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain; b. Semua pihak tak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan pembuatannya; c. Juga tak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang dituangkan pejabat yang berwenang didalamnya sepanjang isi keterangan tersebut tidak dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain; d. Dengan demikian ditinjau dari segi formal, isi keterangan yang tertuang di dalamnya, hanya dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lain, baik 44
Ibid. Hal.309-312.
49
berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli atau keterangan terdakwa. 2. Ditinjau dari segi materiil Alat bukti surat tidak mempunyai kekuatan mengikat sama dengan alat bukti saksi, dan ahli yang sama-sama mempunyai nilai pembuktian yang bersifat bebas yang penilaiannya digantungkan dari pertimbangan hakim. Ketidakterikatannya hakim atas alat bukti surat tersebut didasarkan pada beberapa asas, antara lain : a. Asas proses pemeriksaan perkara pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil atau kebenaran sejati (materiel waarheid), bukan mencari kebenaran formal. Nilai kebenaran dan kesempurnaan formal dapat disingkirkan demi untuk mencapai dan mewujudkan kebenaran materiil atau kebenaran sejati yang digariskan oleh penjelasan Pasal 183 KUHAP yang memikul kewajiban bagi hakim untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, kepastian hukum bagi seseorang. b. Asas keyakinan hakim sesuai yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP yang menganut ajaran sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Dimana hakim dalam memutus harus berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan dengan alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa itu bersalah atau tidak. Hakim diberi kebebasan untuk menentukan putusan yang diambilnya dengan tetap memperhatikan tanggung jawab dengan moral yang tinggi atas landasan tanggung jawab demi mewujudkan kebenaran sejati. c. Asas batas minimum pembuktian yaitu sesuai dengan Pasal 183 KUHAP hakim dalam memberikan putusan harus berdasarkan minimal dua alat bukti dan dengan alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan untuk memberikan keputusan dipersidangan.
d. Petunjuk Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau karena keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Alat bukti petunjuk diatur dalam Pasal 188 ayat (1), (2), (3) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dari bunyi Pasal 188 ayat (1) KUHAP dijumpai kata-kata “menandakan” yang maksudnya adalah bahwa justru oleh karena tidak mungkin dapat diperoleh oleh karena tidak mungkin dapat diperoleh kepastian mutlak bahwa terdakwa benar-benar telah bersalah melakukan perbuatan yang
50
didakwakan kepadanya secara pasti, maka dari kata-kata demikian dipergunakan kepadanya secara pasti, maka dari kata-kata demikian dipergunakan, sehingga dari sekian banyak petunjuk yang ada telah dapat terbukti. Bahwa perbuatan, kejadian atau keadaan yang dianggap sebagai petunjuk haruslah ada kesesuaian antara satu dengan yang lain, karena justru pada persesuaian itulah letak kekuatan utama dari petunjuk-petunjuk sebagai sebagai alat bukti. Dan dari bunyi Pasal 188 (1), yang menyatakan bahwa diantara petunjuk-petunjuk itu harus ada “persesuaian”, maka hal itu berarti bahwa sekurang kurangnya harus ada dua petunjuk untuk memperoleh bukti yang sah, namun kalau bunyi pasal itu lebih diteliti lagi ternyata satu perbuatan saja yang ada persesuaiannya dengan tindak pidana itu, ditambah dengan satu alat bukti yang lain dan yang berkesesuaian keseluruhannya, maka sudah cukup alasan untuk menyatakan bahwa menurut hukum perbuatan yang didakwakan telah terbukti.45
Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menegaskan bahwa petunjuk itu diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan juga keterangan dari terdakwa dimana diantara ketiganya harus ada kesesuaian dan saling berhubungan. Persesuaian antara perbuatan, kejadian satu sama lain menunjukkan adanya suatu tindak pidana atau tidak, jika tidak ada persesuaian diantara ketiga alat bukti diatas maka belum bisa ditentukan itu merupakan petunjuk dan yang dapat melakukan penilaian itu merupakan petunjuk dalam setiap keadaan atau bukan adalah hakim, dimana harus melakukan pemeriksaan secara seksama dan cermat berdasarkan hati nuraninya. Pasal 188 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menerangkan bahwa: Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.
45
I Ketut Martika & Djoko Prakoso.Op.cit.Hal.44.
51
Bunyi Pasal 188 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sangat berpengaruh dalam setiap penggunaan alat bukti petunjuk sebagai syarat dan dasar penilaian pembuktian kesalahan terdakwa, karena nantinya akan berpengaruh terhadap tanggung jawab sebagai seorang hakim yang merangkai alat bukti yang ada sehingga menjadi dasar penjatuhan hukuman. Syarat-syarat untuk dapat dijadikan petunjuk sebagai alat bukti haruslah: a. Mempunyai persesuaian atau sama lain atas perbuatan yang terjadi. b. Keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu sama lain dengan sengaja kejahatan yang terjadi. c. Berdasarkan pengamatan hakim baik dari keterangan terdakwa maupun saksi di persidangan.46 Penggunaan alat bukti petunjuk dalam praktek persidangan sangat dihindari, bila perlu menggunakan alat bukti yang lainnya kecuali jika dalam keadaan yang penting dan mendesak sekali maka alat bukti petunjuk dapat digunakan jika alat bukti yang lain belum mencukupi untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Dinilai juga bahwa alat bukti petunjuk digunakan manakala alat bukti yang lain belum mencukupi batas minimum pembuktian yang sesuai dala Pasal 183 KUHAP. Alat bukti petunjuk dalam persidangan dilihat dari persesuaian antara alat bukti satu dengan yang lainnya sehingga hakim memperoleh gambaran mengenai proses terjadinya tindak pidana dan penyebab terjadinya tindak pidana. Sumber dari alat bukti petunjuk diperoleh hakim dengan memperhatikan alat bukti yang lain sehingga diperoleh persesuaian antara perbuatan, kejadian, atau keadaan yang
46
Andi Hamzah dan Indra Dahlan.Perbandingan KUHP, HIR dan Komentar.Jakarta.:Ghalia. Indonesia. 1984. Hal. 263.
52
sebenarnya. Pasal 188 ayat (2) KUHAP ditentukan secara limitatif untuk mencari bukti petunjuk yaitu diperoleh dari : a) Keterangan saksi b) Surat c) Keterangan terdakwa Alat bukti petunjuk tidak mencantumkan alat bukti ahli karena keterangan ahli diperoleh dari keterangan dari pakar dalam bidang keilmuan yang terkait yang bersifat subyektif dari pengetahuan masing-masing ahli dan dalam hal ini kemungkinan besar sudah telah bercampur dengan nilai-nilai budaya, keyakinan, latar belakang hidup, pendidikan dari ahli itu sendiri dan cenderung akan selalu membenarkan pendapatnya sehingga tidak bernilai obyektif. Alat bukti petunjuk baru ada jika sudah ada alat bukti yang lain sehingga sifatnya menggantungkan alat bukti yang lain atau “asessoir”. Dengan kata lain alat bukti petunjuk tidak akan pernah ada jika tidak ada alat bukti lain. Djisman Samosir47 berpendapat bahwa: “Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan hati nuraninya.”
e. Keterangan terdakwa Pengertian keterangan terdakwa diatur dalam Pasal 189 ayat (1) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merumuskan:
47
C. Djisman Samosir. Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana.Bandung.Binacipta. 1985. Hal. 90.
53
“Keterangan terdakwa ialah apa yang didakwakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.” Keterangan terdakwa disini bukan berarti pengakuan terdakwa yang ada dalam HIR, akan tetapi keterangan terdakwa bersifat lebih luas baik yang merupakan penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan. Suatu perbedaan yang jelas antara keterangan terdakwa dengan pengakuan terdakwa sebagai alat bukti ialah keterangan terdakwa yang menyangkal dakwaan, tetapi membenarkan beberapa keadaan atau perbuatan yang menjurus kepada terbuktinya perbuatan sesuai alat bukti lain merupakan alat bukti. Pengaturan tentang keterangan terdakwa terdapat dalam Pasal 189-193 KUHAP. Dengan dilihat dengan jelas bahwa keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar. Apakah itu berbentuk penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagai dari perbuatan atau keadan. Tidak perlu hakim mempergunakan seluruh keterangan seorang terdakwa atau saksi, demikian menurut HR dengan arrest-nya tanggal 22 Juni 1944, NJ.44/45 No.59. sedangkan pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat berikut. a. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan b. Mengaku ia bersalah.48 Menurut Memorie van Toelichting Ned Sv. Penyangkalan terdakwa atas dakwaan yang ditujukan pada dirinya boleh menjadi alat bukti yang sah, hal ini lah yang menjadi konsekuensi penggunaan kata keterangan terdakwa sehingga hakim harus mendengarkan penyangkalan dan pengakuan dari terdakwa. Keterangan terdakwa yang dapat diambil sebagai alat bukti yang sah harus mengandung beberapa asas, yaitu : 1. Keterangan terdakwa dinyatakan disidang pengadilan.
48
Andi Hamzah.Op.cit.Hal.278.
54
2. Keterangan terdakwa bisa menjadi alat bukti jika dikemukakan disidang pengadilan, baik itu yang berbentuk penjelasan yang diutarakan sendiri, penjelasan ataupun jawaban terdakwa yang diajukan kepadanya oleh hakim, penuntut umum atau penasehat hukum baik yang berbentuk penyangkalan ataupun pengakuan. Ada juga keterangan terdakwa yang dikemukakan diluar persidangan seperti pada waktu penyidikan dan penyelidikan di kepolisian dapat digunakan untuk membantu untuk menemukan bukti disidang asalkan keterangan didukung oleh suatu alat yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya (Pasal 189 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana) dan keterangan yang dinyatakan di luar sidang sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Selain itu keterangan yang diberikan haruslah dinyatakan di depan penyidik, dicatat dalam berita acara penyidik, kemudian ditanda tangani oleh penyidik dan terdakwa; 3. Keterangan terdakwa berisi tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri; 4. Keterangan terdakwa hanya mempunyai alat bukti terhadap diri sendiri. Mengenai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa, bahwa seperti alat bukti yang lainnya untuk menemukan kebenaran materiil maka harus memenuhi Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu paling tidak harus memenuhi batas minimum pembuktian dengan 2 alat bukti yang sah, oleh karena itu pada Pasal 189 (4) Undang-Undang
55
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
juga
menjelaskan: Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Paling tidak dalam suatu tindak pidana selain keterangan terdakwa harus ada satu alat bukti lain yang mendukung sehingga hakim dapat mengambil putusan, selain itu dengan alat bukti tersebut timbul keyakinan hakim atas tindak pidana tersebut bahwa terdakwa bersalah atau tidak atas dakwaan
yang
ditujukan
padanya.
Kemudian
sifat
nilai
kekuatan
pembuktiannya adalah bebas, maka dengan ini hakim tidak terikat pada nilai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa atau menyingkirkan kebenaran yang terkandung didalamnya, karena segala sesuatunya harus ada alasan yang logis yang bisa diterima oleh hakim. Alat bukti yang ada dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut dapat dihadirkan oleh terdakwa dan juga oleh pihak kejaksaan. Alat bukti yang dihadirkan oleh terdakwa biasanya terkait untuk meringankan hukuman terdakwa yang sering disebut saksi yang meringankan sedangkan alat bukti yang dihadirkan oleh jaksa terkesan memberatkan atau untuk membuktikan bahwa benar telah terjadi tindak pidana karena peran dari jaksa penuntut umum dalam persidangan adalah sebagai wakil negara yang harus menyandarkan sikapnya kepada kepentingan masyarakat dan negara sehingga sifatnya harus bersifat obyektif.
56
Selain itu dengan alat bukti tersebut hakim telah menemukan keyakinan bahwa perbuatan tersebut merupakan tindak pidana dan terdakwalah yang melakukan tindak pidana, jika dengan alat bukti tersebut hakim tidak menemukan keyakinannya maka alat bukti tersebut tidak bisa dijadikan acuan untuk membuktikan bahwa itu merupakan tindak pidana. Dalam pemeriksaan perkara pidana yang sifatnya ingin mengejar kebenaran materiil agar terdakwa diperiksa jangan membawa-bawa orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya dan untuk menghindari adanya fitnah terhadap diri orang lain yang tak bersalah.
E. Alat Bukti Elektronik Dalam pasal 1 angka 1 dan 2 Undang-undang No 8 tahun 2011 tentang informasi dan transaksi elektronik, dirumuskan. 3. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. 4. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yangdilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
Short Message Service (Selanjutnya disingkat SMS) adalah salah satu bagian dari Teknologi Informasi yang memiliki pengertian sebagai suatu teknik
untuk
mengumpulkan,
menyiapkan,
menyimpan,
memproses,
mengumumkan, menganalisa, dan menyebarkan informasi. Dalam hitungan menit bahkan detik melalui teknologi tersebut individu disuguhi dengan
57
berbagai informasi, tidak lepas dari sifatnya yang positif maupun negatif, sehingga dalam konteks sikap dan prilaku individu. Pemanfaatan teknologi informasi tidak lepas dari kemungkinan adanya penyalahgunaan untuk hal-hal yang bersifat kejahatan dan terhadap hal tersebut juga menyebabkan adanya kecenderungan yang lebih besar lagi ketika penggunaan teknologi informasi ini cenderung bersifat tertutup dan sangat mengedepankan aspek privacy, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa SMS sama dengan apa yang disebutkan dalam pasal 1 angka 1 dan 2 Undang-undang No 8 tahun 2011. Layanan SMS merupakan sebuah layanan yang bersifat nonreal-time dimana sebuah short messages dapat di-submit kesatu tujuan, tidak peduli apakah tujuan itu dalam keadaan aktif atau tidak. Bila dideteksi tujuan tidak aktif, maka sistem akan menunda pengiriman ke tujuan hingga tujuan aktif kembali. Pada dasarnya sitem SMS akan menjamin delivery atau pengiriman dari suatu short message hingga sampai ke tujuan, karena SMS memiliki masa tunggu. Kegagalan pengiriman bersifat sementara seperti tujuan tidak aktif akan selalu teridentifikasi sehingga pengiriman ulang short messages akan selalu dilakukan aturan bahwa short messages yang melampaui batas tertentu harus dihapus dan dinyatakan gagal terkirim, sehingga pada dasarnya penerima SMS tidak dapat menolak SMS yang masuk kedalam ponselnya, berbeda dengan panggilan langsung yang dapat ditolak bila penerima panggilan tidak ingin menerima panggilan tersebut. Dalam Pasal 3 Undang-undang No 8 tahun 2011 tentang informasi dan transaksi elektronik, dirumuskan.
58
Pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan berdasarkan kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, itikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi”. Pasal 28 ayat (1) UU ITE mengatakan bahwa “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik”.
Dalam Pasal 42 Undang-Undang No 8 tahun 2011 tentang informasi dan transaksi elektronik, dirumuskan.
Penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Dalam pasal 42 Undang-undang No 8 tahun 2011 tentang informasi dan transaksi elektronik, dirumuskan. alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut : a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan; dan b. Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). Dengan adanya perkembangan kejahatan dengan menggunakan komputer, Penyidik dan Penuntut Umum serta Hakim dihadapkan pada eksistensi bukti-bukti elektronik seperti data komputer, dokumen elektronik, email, maupun catatan transaksi rekening49, sehingga alat bukti tidak hanya terbatas pada keterangan saksi, surat, ahli, petunjuk dan keterangan terdakwa,
49
Arie Eko Yuliearti, Bukti Elektronik Dalam Kejahatan Komputer: Kajian Atas Tindak Pidana Korupsi dan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Tesis Pascasarjana Reguler, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006), hlm. 10.
59
akan tetapi mencakup informasi dan dokumen yang tersimpan secara elektronik50. Yahya Harahap mengungkapkan bahwa: Hakim tidak terkait atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan atas petunjuk sebagai alat bukti, karena alat bukti elektronik tidak bisa berdiri sendiri-sendiri untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu, perlu didukung oleh alat bukti lain.51 Edmon Makarim mengemukakan bahwa : Alat bukti elektronik sebagai suatu alat bukti yang sah dan yang berdiri sendiri, tentunya harus dapat diberikan jaminan bahwa suatu rekaman/salinan data (data recording) berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku (telah dikalibrasi dan diprogram) sedemikian rupa sehingga hasil print out sutau data diterima dalam pembuktian suatu kasus.52 T. Nasrullah yang menegaskan bahwa: alat bukti elektronik seperti SMS (Short Message Service) hanya berlaku dalam hukum pidana khusus dan tidak berlaku pada hukum pidana umum. Sementara pakar teknologi komunikasi, Roy Suryo menyatakan SMS tidak dapat dijadikan alat bukti tunggal. Penggunaan SMS sebagai alat bukti harus didukung dengan keterangan ahli (expertise).53 Selain itu, proses mengajukan dan proses pembuktian alat bukti yang berupa data digital perlu pembahasan tersendiri mengingat alat bukti dalam bentuk informasi elektronik ini serta berkas acara pemeriksaan telah melalui proses digitalisasi dengan proses pengetikan (typing), pemeriksaan (editing), dan penyimpanan (storing) dengan menggunakan komputer. Namun, hasilnya tetap saja dicetak di atas kertas (printing process). Oleh karena itu, diperlukan
50 51
Ibid, hlm. 138
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 1985), hlm. 312. 52 Edmom Makarim, Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) hlm. 451 53 Ahsan Dawi Mansur, SMS Sebagai Alat Bukti, 2006.
60
kejelasan bagaimana mengajukan dan melakukan proses pembuktian terhadap alat bukti yang berupa data digital. Pembuktian terhadap suatu alat bukti berupa data digital juga menyangkut aspek validasi yang dijadikan alat bukti, karena bukti elektronik mempunyai
karakteristik
khusus
dibandingkan
bukti
non-elektronik,
karakteristik khusus tersebut karena bentuknya yang disimpan dalam media elektronik, disamping itu bukti elektronik dapat dengan mudah direkayasa sehingga sering diragukan validitasnya.54
F. Tindak Pidana Narkoba Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Selain "narkoba", istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Semua istilah ini, baik "narkoba" ataupun "napza", mengacu pada kelompok senyawa yang umumnya memiliki risiko kecanduan bagi penggunanya. Narkoba sebenarnya adalah senyawa-senyawa psikotropika yang biasa dipakai untuk membius pasien saat hendak dioperasi atau obat-obatan untuk penyakit tertentu. Secara etimologis narkoba atau narkotika berasal dari bahasa Inggris narcose atau narcosis yang berarti menidurkan dan pembiusan. Narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu narke atau narkom yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Narkotika berasal dari perkataan narcotic
54
L. Volodino, Electronic Evidence and Computer Forensic, (Communication of AIS, Vol. 12, Oktober 2003), hlm. 7.
61
yang artinya sesuatu yang dapat menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan efek stupor (bengong), bahan-bahan pembius dan obat bius.55 Secara terminologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, narkoba atau narkotika adalah obat yang dapat menenangkan syaraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa mengantuk atau merangsang.56 Pengertian yuridis tentang narkotika diatur dalam ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merumuskan: “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini”. Menurut istilah kedokteran, narkotika adalah obat yang dapat menghilangkan terutama rasa sakit dan nyeri yang berasal dari daerah viresal atau alat-alat rongga dada dan rongga perut, juga dapat menimbulkan efek stupor atau bengong yang lama dalam keadaan masih sadar serta menimbulkan adiksi atau kecanduan.57 Menurut M. Ridha Ma’roef58, narkotika adalah: a.
55
Bahwa narkotika ada dua macam, yaitu narkotika alam dan narkotika sintetis. Narkotika alam ialah berbagai jenis candu, morphine, heroin, ganja, hashish, codein, dan cocaine. Narkotika alam ini termasuk dalam pengertian narkotika sempit. Narkotika sintetis adalah termasuk dalam pengertian narkotika secara luas. Narkotika sintetis yang termasuk didalamnya zat-zat (obat) yang tergolong dalam tiga jenis obat yaitu: Hallucinogen, Depressant, dan Stimulant.
Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2008,hal. 78. 56 Ibid. 57 Ibid, hal.79. 58 Ibid, hal. 34.
62
b.
c.
Bahwa narkotika itu mempengaruhi susunan syaraf sentral yang akibatnya dapat menimbulkan ketidaksadaran atau pembiusan. Berbahaya apabila disalahgunakan. Bahwa narkotika dalam pengertian dalam pengertian ini adalah mencakup obat-obat bius dan obat-obat berbahaya atau narcotic and dangerous drugs.
63
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif,
59
yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan
kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Dalam kajian ini, hukum dilihat sebagai sebuah sistem tersendiri yang terpisah dengan berbagai sistem lain yang ada di dalam masyarakat sehingga memberi batas antara sistem hukum dengan sistem lainnya.
B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah preskriptif60 yaitu suatu penelitian ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu yang dikaitkan denganbagaimanakah
kekuatan
pembuktian
SMS
(Short
Message
Service)sebagai alat bukti dalam tindak pidana penyalahgunaan narkotika
dalam Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt dan bagaimanakahSMS (Short Message Service)diklasifikasikan sebagai alat bukti surat yang sah.
C. Bahan Hukum Primer dan Sekunder Dalam penelitian ini Penulis menggunakan sumber data sebagai berikut: 59
Jhonny, Ibrahim, 2007, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, Cetakan Ketiga, Bayumedia Publishing, Hal. 296. 60 Soerjono soekanto,1981, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Cetakan Pertama, UII Press, Hal .10
63
64
Data Sekunder Sumber data sekunder adalah sejumlah keterangan atau fakta-fakta yang secara tidak langsung diperoleh melalui bahan dokumen, Peraturan perundang-undangan, laporan, arsip, literatur, dan hasil penelitian lainnya. 61 Sumber data sekunder yang digunakan Penulis antara lain : 1) Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer, yaitu: norma atau kaidah dasar, peraturan Perundang -undangan. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan adalah : a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). c) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Tindak Pinda Penyalahgunaan Narkotika.
d) Undang-Undang No 11 tahun 2008 Tentang ITE. e) Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor: 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt. 2) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder, yaitu: bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil karya dari kalangan hukum dalam bentuk buku-buku literatur atau artikel. Bahan hukum sekunder digunakan dengan pertimbangan bahwa data primer tidak dapat menjelaskan realitas secara lengkap sehingga diperlukan bahan hukum primer dan sekunder sebagai data sekunder untuk melengkapi deskripsi suatu realitas. 61
Ibid.,Hal. 12
65
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum Data yang dikumpulkan dilakukan melalui studi kepustakaan. Studi kepustakaan yaitu dengan melihat buku literatur, kumpulan bahan hokum kuliah, dan peraturan perundang-undangan, sehingga menjadi pedoman dalam pembuatan karya tulis ini.
E. Metode PengajianBahan Hukum Hasil penelitian disajikan dalam bentuk uraian-uraian yang disusun secara sistematis, maksudnya adalah keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan
yang lainnya
disesuaikan dengan pokok
permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.
F. Metode Analisis Bahan Hukum Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan metode normatif kualitatif, yaitu dengan cara menjabarkan dan menafsirkan data yang diperoleh
berdasarkan
norma-norma
atau
kaidah-kaidah,
teori-teori,
pengertian-pengertian hukum dan doktrin-doktrin yang terdapat dalam ilmu hukum, khususnya dalam Hukum Acara Pidana.
66
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil penelitian Hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti terhadap Putusan Nomor :56/Pid.Sus/2011/PN.Purwokerto, tentang Tindak Pidana Narkotika, diperoleh sebagai berikut: 1.
Duduk Perkara Pada awalnya tanggal 1 September 2011 pukul 21.00 WIB saksi Aris Budi Setyono dan saksi Pramuaji bersama tim sedang melaksanakan tugas di Taman Andang Pangrenan Kelurahan Karangklesem Kecamatan Purwokerto, melihat tingkah laku terdakwa yang mencurigakan di depan pintu Taman Andang Pangrenan, bahwa pada saat di tanya identitasnya terdakwa sedang menerima SMS dari Niko dengan nomor 08190332269 yang isinya “Barange wis ana durung sich” kemudian saksi Aris menanyakannya apa maksud SMS tersebut dan terdakwa menjawab bahwa itu pesanan ganja, dari keterangan terdakwa diketahui bahwa ganja tersebut sekarang tidak ada ditangannya dan disimpan di kamar kosong yang merupakan kamar Ari (DPO) di rumah saksi Dirin di Jalan Raya Kampus Kelurahan Grendeng Purwokerto Utara, selanjutnya saksi Aris Budi Setyono dan saksi Pramuaji mengajak terdakwa menuju rumah saksi Dirin untuk menunjukkan tempat ganja disimpan dan mengambil ganja tersebut, setelah sampai di rumah saksi Dirin, terdakwa mengambil headset serta satu kertas minyak warna coklat yang berisi ganja dan
66
67
terdakwa mengakui ganja tersebut adalah miliknya yang dipesan kepada Ari seharga Rp 100.000,- yang patungan dengan Niko masing-masing membayar Rp 50.000,- . Pemesanan ganja dilakukan kepada Ari pada hari Selasa tanggal 30 Agustus 2011, pada waktu itu Niko datang ke rumah terdakwa untuk memesan ganja seharga Rp 50.000,- dan terdakwa sepakat untuk memakai ganja tersebut secara bersama-sama sehingga terdakwa ikut patungan juga sebesar Rp 50.000,-. Kemudian terdakwa pergi ke rumah Ari untuk memesan ganja seharga Rp 100.000,- tetapi Ari belum mau memberikan pesanan tersebut karena terdakwa belum membayar. Hari Kamis tanggal 1 September 2011 sekitar jam 14.00 WIB terdakwa datang ke rumah Ari untuk memastikan ganja yang di pesan sudah ada di kamar Ari yang di bungkus kertas minyak warna cokelat di sembunyikan di lemari bawah baju, setelah itu terdakwa memberi tahu Niko bahwa ganja sudah ada lalu terdakwa bersama Udin pergi ke Andang
Pangrenan,
namun
belum
sempat
bertemu
Niko
dan
menggunakan ganja bersama Niko terdakwa sudah di datangi oleh sejumlah petugas. Terdakwa tidak mempunyai ijin dari pihak yang berwenang untuk menggunakan atau mengisap ganja dan terdakwa mengakui dirinya menggunakan ganja karena di tawari Ari sehingga di dalam diri terdakwa timbul keinginan kembali untuk menggunakan ganja atau memakai ganja yang sebelumnya terdakwa sudah dua kali memesan ganja kepada Ari
68
seharga Rp 100.000,- dan itu pun selalu digunakan sendiri bukan untuk di jual. Barang bukti berupa :Satu bungkus kertas cokelat berisi batang, daun dan biji sesuai dengan hasil laboratoris kriminalistik tertanggal 7 September 2011 No.Lab : 1000/NNF/IX/2011 yang di tandatangani oleh Yayuk Murti Rahayu, B.Sc. dan Ibnu Sutarto, ST adalah positif Derivat Cannabinoid / ganja dan terdata dalam golongan 1 (satu) nomor urut 8 (delapan) Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika. 2.
Dakwaan Jaksa Berdasarkan uraian di atas, terdakwa melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika menyimpan, memiliki ganja tanpa ada ijin dari pihak yang berwenang dengan tujuan untuk dimiliki atau dikuasai secara pribadi. Terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan berbentuk alternatif yaitu : a. Melanggar ketentuan Pasal 111 ayat (1) Undang-undang RI No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika atau ; b. Melanggar ketentuan Pasal 127 huruf a Undang-Undang RI No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
3.
Barang Bukti a. 1 (satu) paket kecil ganja dalam bungkus kertas minyak seberat 4,025 gram; b. 1 (satu) buah botol plastik berisi urine milik terdakwa ;
69
c. 1(satu) buah HP merk Nokia warna silver tipe 112 ; 4.
Pembuktian a. Keterangan Saksi 1) Saksi Aris Budi Setyono Saksi dalam persidangan menerangkan tidak kenal dan tidak ada hubungan keluarga dengan Terdakwa,kemudian saksi menjelaskan awal mula kasus ini,yaitu awalnya pada hari Kamis tanggal 1 September 2011 sekitar pukul 21.00 WIB saksi dan saksi Pramuji bersama team yang sedang melaksanakan tugas di depan pintu Taman Andang Pangrenan Kelurahan Karangklesem Kecamatan Purwokerto, melihat seseorang yang mencurigakan di depan pintu Taman Andang Pangrenan Purwokerto tersebut, kemudian saksi dan saksi Pramuaji mendekati lalu saksi Pramuaji menanyakan identitas dan mengaku bernama Saeful (terdakwa) dan pada saat terdakwa ditanya identitasnya terdakwa menerima SMS dari Niko dengan nomor 08190332269 yang isinya “barange wis ana durung sich” dan atas SMS tersebut saksi Aris Budi kemudian menanyakan barang apa yang dimaksud dan kemudian dijawab terdakwa pesanan ganja, setelah itu saksi juga menanyakan lagi dimana ganja tersebut sekarang yang dijawab terdakwa ganja disimpan di kamar kosong di rumah Dirin di jalan Raya Kampus Kel. Grendeng RT 6/7 Kec.Purwokerto Utara Kabupaten Banyumas, selanjutnya saksi dan saksi Pramuaji serta
70
terdakwa berangkat menuju rumah Dirin di Jalan Raya Kampus Kelurahan Grendeng RT 6/7 Kecamatan Purwokerto Utara Kabupaten Banyumas untuk menunjukkan serta mengambil ganja; dan setelah berada di rumah Dirin lalu terdakwa masuk kedalam kamar kosong dan mengambil 1 (satu) bungkus kertas minyak warna cokelat yang berisi ganja yang disembunyikan di dalam lemari dan saksi sempat menanyakan terdakwa ganja tersebut darimana dan terdakwa mengakui bahwa 1 (satu) bungkus kertas minyak warna coklat yang berisi ganja itu adalah milik terdakwa yang dibeli dari Ari (DPO) seharga Rp 100.000,dan terdakwa tidak memiliki ijin dari pihak yang berwenang untuk membeli ganja tersebut sehingga kemudian dilakukan penangkapan terhadap terdakwa, menurut pengakuan terdakwa ganja sebanyak 1 (satu) bungkus kertas minyak warna coklat itu akan digunakan sendiri, sebelumnya sebagai seorang anggota saksi telah mendapat informasi bahwa di taman Andhang Pangrenan Purwokerto antara sekitar jam 19.00 WIB hingga jam 21.00 WIB dijadikan transaksi narkoba.
2) Saksi Pramuaji Saksi dalam persidangan menerangkan tidak kenal dan tidak ada hubungan keluarga dengan Terdakwa, kemudian saksi menjelaskan awal mula kasus ini, yaitu awalnya pada hari Kamis
71
tanggal 1 September 2011 sekitar pukul 21.00 WIB saksi dan saksi Pramuji bersama team yang sedang melaksanakan tugas di depan pintu Taman Andang Pangrenan Kelurahan Karangklesem Kecamatan Purwokerto, melihat seseorang yang mencurigakan di depan pintu Taman Andang Pangrenan Purwokerto tersebut, kemudian saksi dan saksi Pramuaji mendekati lalu saksi Pramuaji menanyakan identitas dan mengaku bernama Saeful (terdakwa) dan pada saat terdakwa ditanya identitasnya terdakwa menerima SMS dari Niko dengan nomor 08190332269 yang isinya “barange wis ana durung sich” dan atas SMS tersebut saksi Aris Budi kemudian menanyakan barang apa yang dimaksud dan kemudian dijawab terdakwa pesanan ganja, setelah itu saksi juga menanyakan lagi dimana ganja tersebut sekarang yang dijawab terdakwa ganja disimpan di kamar kosong di rumah Dirin di jalan Raya Kampus Kel. Grendeng RT 6/7 Kec.Purwokerto Utara Kabupaten Banyumas, selanjutnya saksi dan saksi Pramuaji serta terdakwa berangkat menuju rumah Dirin di Jalan Raya Kampus Kelurahan Grendeng RT 6/7 Kecamatan Purwokerto Utara Kabupaten Banyumas untuk menunjukkan serta mengambil ganja; dan setelah berada di rumah Dirin lalu terdakwa masuk kedalam kamar kosong dan mengambil 1 (satu) bungkus kertas minyak warna cokelat yang berisi ganja yang disembunyikan di dalam lemari dan saksi sempat menanyakan terdakwa ganja
72
tersebut darimana dan terdakwa mengakui bahwa 1 (satu) bungkus kertas minyak warna coklat yang berisi ganja itu adalah milik terdakwa yang dibeli dari Ari (DPO) seharga Rp 100.000,dan terdakwa tidak memiliki ijin dari pihak yang berwenang untuk membeli ganja tersebut sehingga kemudian dilakukan penangkapan terhadap terdakwa, menurut pengakuan terdakwa ganja sebanyak 1 (satu) bungkus kertas minyak warna coklat itu akan digunakan sendiri, sebelumnya sebagai seorang anggota saksi telah mendapat informasi bahwa di taman Andhang Pangrenan Purwokerto antara sekitar jam 19.00 WIB hingga jam 21.00 WIB dijadikan transaksi narkoba. 3) Saksi Ahmad Sodirin Saksi
dalam
persidangan
menerangkankenal
dengan
terdakwa dan ada hubungan keluarga yaitu saudara sepupu dan saksi mengatakan diperiksa oleh penyidik dan keterangan yang ada di BAP adalah benar dan saksi masih tetap dengan keterangannya dulu, saksi mengetahui pada hari Kamis tanggal 1 September 2011 sekitar jam 21.30 WIB saat saksi sedang berada di rumahnya di ruang tengah melihat TV di Kelurahan Grendeng RT 6/7 Kecamatan Purwokerto Utara Kabupaten Banyumas, saksi kedatangan terdakwa Saeful yang mengatakan kepada saksi akan mengambil headset yang ketinggalan, karena tidak tahu maka saksi tetap melihat TV di ruang tengah saat terdakwa masuk ke kamar
73
yang biasanya dipakai Ari anaknya kalau pulang ke rumah untuk mengambil headset; dan tidak lama kemudian terdakwa keluar dari kamar tersebut dan pergi; namun saksi tidak tahu terdakwa membawa apa karena saksi tetap menonton TV dan yang mengantar serta menutup pintu adalah anak saksi, tempat dimana terdakwa masuk akan mengambil headset adalah kamar yang biasa digunakan oleh Ari kalau pulang ke rumah dan di kamar tersebut juga biasa teman-teman Ari yang laki-laki termasuk terdakwa sendiri sering masuk; namun saat kejadian kamar tersebut memang kosong karena Ari tidak ada ditempat, serta saksi menerangkan jika terdakwa dan teman-temannya yang laki-laki memang sudah sering dan biasa main di kamar Ari tersebut, akan tetapi tidak tahu apa yang diambil terdakwa dari dalam lemari anaknya tersebut adalah benar headset atau bukan karena saksi tidak memperhatikan; namun kemudian dari Polisi saksi mengetahui kalau yang diambil terdakwa dari dalam kamar ruamhanya adalah ganja dan saksi juga tidak mengetahui sewaktu datang kerumahnya sama petugas Polisi atau tidak karena saksi sedang menonton TV; namun baru besoknya saksi tahu dari adinya Nino kalau terdakwa datang bersama polisi, serta saksi membenarkan jika saksi mempunyai anak yang bernama Ari dan sering main bersama terdakwa; namun saksi tidak mengetahui kalau anaknya Ari terlibat kasus ganja dengan terdakwa, akan tetapi sejak terdakwa saeful ditangkap oleh
74
petugas anak saksi yaitu Ari memang pergi dari rumah alasannya mencari pekerjaan, namun sampai sekarang tidak pernah pulang ke rumah dan saksi tidak mengetahui keberadaan Ari dimana dan status Ari saat ini adalah DPO; b. Surat 1) Hasil laboratoris kriminalistik tertanggal 7 September 2011 No.Lab : 1000/NNF/IX/2011 yang di tandatangani oleh Yayuk Murti Rahayu, B.Sc. dan Ibnu Sutarto, ST adalah positif Derivat Cannabinoid / ganja dan terdata dalam golongan 1 (satu) nomor urut 8 (delapan) Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 2) Kutipan akta kelahiran No.12160/TP/1998 tertanggal 3 Desember 1998 atas nama Saeful Ngibad, lahir pada tanggal 2 September 1993. 3) Kartu keluarga No. 3302272602054207 tertanggal 27 Desember 2006 atas nama Kepala Desa Keluarga Kusworo. c. Keterangan Terdakwa Terdakwa juga memberikan keterangan di muka persidangan yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: Terdakwa menerangkan pernah di periksa oleh penyidik dan keterangan yang terdakwa sampaikan adalah benar, terdakwa menerangkan awal kasus ini yaitu pada tanggal 1 September 2011 pukul 21.00 WIB saksi Aris Budi Setyono dan saksi Pramuaji
75
bersama tim sedang melaksanakan tugas di Taman Andang Pangrenan Kelurahan Karangklesem Kecamatan Purwokerto, melihat tingkah laku terdakwa yang mencurigakan di depan pintu Taman Andang Pangrenan, bahwa pada saat di tanya identitasnya terdakwa sedang menerima SMS dari Niko dengan nomor 08190332269 yang isinya “Barange wis ana durung sich” kemudian saksi Aris menanyakannya apa maksud SMS tersebut dan terdakwa menjawab bahwa itu pesanan ganja akan tetapi ganja tersebut sekarang tidak ada ditangannya dan disimpan di kamar kosong yang merupakan kamar Ari (DPO) di rumah saksi Dirin di Jalan Raya Kampus Kelurahan Grendeng Purwokerto Utara, selanjutnya saksi Aris Budi Setyono dan saksi Pramuaji mengajak terdakwa menuju rumah saksi Dirin untuk menunjukkan tempat ganja disimpan dan mengambil ganja tersebut, setelah sampai di rumah saksi Dirin, terdakwa mengambil headset serta satu kertas minyak warna coklat yang berisi ganja dan terdakwa mengakui ganja tersebut adalah miliknya yang dipesan kepada Ari seharga Rp 100.000,- yang patungan dengan Niko masing-masing membayar Rp 50.000,-,Pemesanan ganja dilakukan kepada Ari pada hari Selasa tanggal 30 Agustus 2011, pada waktu itu Niko datang ke rumah terdakwa untuk memesan ganja seharga Rp 50.000,- dan terdakwa sepakat untuk memakai ganja tersebut secara bersama-sama sehingga terdakwa ikut patungan juga sebesar
76
Rp 50.000,-. Kemudian terdakwa pergi ke rumah Ari untuk memesan ganja seharga Rp 100.000,- tetapi Ari belum mau memberikan pesanan tersebut karena terdakwa belum membayar dan pada hari Kamis tanggal 1 September 2011 sekitar jam 14.00 terdakwa datang ke rumah Ari untuk memastikan ganja yang di pesan sudah ada di kamar Ari yang di bungkus kertas minyak warna cokelat di sembunyikan di lemari bawah baju, setelah itu terdakwa memberi tahu Niko bahwa ganja sudah ada lalu trdakwa bersama Udin pergi ke Andang Pangrenan, namun belum sempat bertemu Niko dan menggunakan ganja bersama Niko terdakwa sudah di datangi oleh sejumlah petugas, sebelumnya terdakwa sudah dua kali memesan ganja kepada Ari seharga Rp 100.000,dan itu pun selalu digunakan sendiri bukan untuk di jual akan tetapi terdakwa belum pernah di hukum, terdakwa menyesali perbuatannya serta terdakwa membenarkan terhadap barang bukti yang diperlihatkan di persidangan.
5.
Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Penuntut Umum menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutus sebagai berikut: a. Menyatakan bahwa terdakwa Saeful Ngibad Bin Kusworo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika golongan 1 bagi diri sendiri, sebagaimana
77
diatur dan di ancam dalam Pasal 127 ayat 1 huruf a Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang narkotika; b. Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa oleh karena itu selama 2 (dua) tahun, di kurangi selama waktu terdakwa menjalani tahanan sementara dan memeritahkan terdakwa tetap dalam tahanan.; c. Menyatakan barang bukti berupa: 1) 1 (satu) bungkus kertas minyak warna coklat berisi ganja seberat 4,025 gram. 2) 1 (satu) botol plastik berisi urine milik Saeful Ngibad Bin Kusworo. Seluruhnya dirampas untuk di musnahkan. 3) 1 (satu) buah handphone merk Nokia warna silver tipe 112. Dirampas untuk negara. d. Menetapakan kepada terdakwa biaya perkara sebesar Rp 2.500,- (Dua Ribu Lima Ratus Rupiah). 6.
Putusan Hakim Pengadilan Negeri a. Pertimbangan Hukum Hakim Menimbang, bahwa dalam perkara ini terdakwa diajukan oleh Penuntut Umum ke persidangan dengan dakwaan Alternatif, yaitu Kesatu Pasal 111 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Kedua Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
78
Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan Penuntut Umum berbentuk alternatif, maka Majelis akan mempertimbangkan dakwaan yang mendekati dengan pembuktian/fakta di persidangan, dan apabila salah satu dakwaan telah terbukti, maka dakwaan selebihnya tidak perlu dipertimbangkan. Menimbang, bahwa dalam perkara ini Majelis akan mempertimbangkandakwaan kedua, yaitu pasal 127 huruf a UndangUndang Republik
IndonesiaNomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, yang unsur-unsurnya adalah sebagaiberikut : 1. Setiap Orang ; 2. Penyalah Guna Narkotika golongan I bagi diri sendiri ; Ad.1.Unsur Setiap Orang Menimbang, bahwa Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika tidak mendefinisikan secara jelas yang dimaksud dengan
“Setiap
Orang”.
Namun
beberapa
mendefinisikan “Setiap Orang” adalah orang
Undang-undang perseorangan atau
termasuk korporasi. Menimbang, bahwa unsur “Setiap Orang” dalam perkara ini ditujukan kepada orang perseorangan, hal ini sebagaimana dari faktafakta hukum yang terungkap di persidangan, bahwa Penuntut Umum telah mengajukan seorang terdakwa dalam perkara ini adalah bernama Saiful Ngibad Bin Kusworo dan terdakwa tersebut mampu
79
mempertanggungjawabkan terhadap perbuatan yang dilakukannya sendiri. Menimbang,
bahwa
dipersidangan
terdakwa
tersebut
membenarkan identitas dirinya sebagaimana termuat dalam dakwaan Penuntut Umum, sehingga orang yang dimaksud dalam perkara ini benar ditujukan kepada terdakwa tersebut diatas, sehingga tidak salah orang atau error in persona. Menimbang, bahwa sesuai alat bukti surat berupa Kutipan Akta
Kelahiran
No.12160/TP/1998
tertanggal
Purwokerto
3
Desember 1998, Kartu keluarga No.3302272602054207 tertanggal 27 Desember
2006,
serta
hasil
Laporan
Petugas
Pembimbing
Kemasyarakatan, dan keterangan terdakwa serta orang tua terdakwa, terbukti bahwa terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo dilahirkan pada tanggal 2 September 1993. Menimbang bahwa apabila kelahiran terdakwa tersebut di atas dikaitkan dengan tindak pidana yang terjadi pada tanggal 1 September 2011, maka terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo saat kejadian tindak pidana berusia 17 (tujuh belas) tahun, 11 (sebelas) bulan, 29 (duapuluh sembilan) hari artinya masih dibawah 18 (delapan belas) tahun. Menimbang, bahwa karena usia terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo masih dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah, sehingga secara yuridis terdakwa Saiful Ngibid Bin
80
Kusworo masih tergolong anak (vide Pasal 1 angka 1 UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997), dengan demikian maka yang berwenang memeriksa perkara terdakwa a quo adalah pengadilan anak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, menurut pendapat Hakim unsur “Setiap Orang” ini telah terpenuhi. Ad.2. Unsur Narkotika golongan I bagi diri sendiri. Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “penyalah guna Narkotika” adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum (vide Ketentuan Umum Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika); sedangkan pecandu narkotika yaitu orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis (vide Ketentuan Umum Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika). Menimbang, bahwa pengertian “tanpa hak” disini adalah tiadanya kewenangan yang melekat pada diri seseorang untuk melakukan suatu perbuatan menurut Undang-Undang atau tidak termasuk lingkup tugas dan wewenang seseorang atau karena tidak mendapat ijin dari pejabat yang berwenang sebagaimana ditentukan Undang-Undang, sedangkan yang dimaksud dengan “melawan hukum” adalah melakukan suatu perbuatan yang bertentangan
81
hukum, baik dalam arti formil yaitu bertentangan dengan UndangUndang atau hukum tertulis lainnya, maupun dalam arti materiil yakni bertentangan nilai-nilai kepatuhan, nilai-nilai keadilan yang hidup dan dijunjung tinggi oleh masyarakat. Menimbang, bahwa yang dimaksud narkotika golongan I sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a Penjelasan Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 yaitu Narkotika yang hanya dapat digunakan utnuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Menimbang, bahwa narkotika golongan I sesuai dengan Pasal 8 ayat (1 dan 2) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika disebutkan bahwa narkotika golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan, dan dalam jumlah terbatas narkotika
golongan
I
dapat
digunakan
untuk
kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi setelah mendapat persetujuan dari Menteri. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan adalah: 1) Bahwa tanggal 1 September 2011 pukul 21.00 WIB saksi Aris Budi Setyono dan saksi Pramuaji bersama tim sedang melaksanakan tugas di Taman Andang Pangrenan Kelurahan Karangklesem Kecamatan Purwokerto, melihat tingkah laku
82
terdakwa yang mencurigakan di depan pintu Taman Andang Pangrenan, bahwa pada saat di tanya identitasnya terdakwa sedang menerima SMS dari Niko dengan nomor 08190332269 yang isinya “Barange wis ana durung sich” kemudian saksi Aris menanyakannya apa maksud SMS tersebut dan terdakwa menjawab bahwa itu pesanan ganja. 2) Bahwa ganja tersebut sekarang tidak ada ditangannya dan disimpan di kamar kosong yang merupakan kamar Ari (DPO) di rumah saksi Dirin di Jalan Raya Kampus Kelurahan Grendeng Purwokerto Utara, selanjutnya saksi Aris Budi Setyono dan saksi Pramuaji mengajak terdakwa menuju rumah saksi Dirin untuk menunjukkan tempat ganja disimpan dan mengambil ganja tersebut, setelah sampai di rumah saksi Dirin, terdakwa mengambil headset serta satu kertas minyak warna coklat yang berisi ganja dan terdakwa mengakui ganja tersebut adalah miliknya yang dipesan kepada Ari seharga Rp 100.000,yang patungan dengan Niko masing-masing membayar Rp 50.000,- . 3) Bahwa Pemesanan ganja dilakukan kepada Ari pada hari Selasa tanggal 30 Agustus 2011, pada waktu itu Niko datang ke rumah terdakwa untuk memesan ganja seharga Rp 50.000,- dan terdakwa sepakat untuk memakai ganja tersebut secara bersama-sama sehingga terdakwa ikut patungan juga sebesar
83
Rp 50.000,-. Kemudian terdakwa pergi ke rumah Ari untuk memesan ganja seharga Rp 100.000,- tetapi Ari belum mau memberikan
pesanan
tersebut
karena
terdakwa
belum
membayar. 4) Bahwa Pada hari Kamis tanggal 1 September 2011 sekitar jam 14.00 WIB terdakwa datang ke rumah Ari untuk memastikan ganja yang di pesan sudah ada di kamar Ari yang di bungkus kertas minyak warna cokelat di sembunyikan di lemari bawah baju, setelah itu terdakwa memberi tahu Niko bahwa ganja sudah ada lalu trdakwa bersama Udin pergi ke Andang Pangrenan,
namun
belum
sempat
bertemu
Niko
dan
menggunakan ganja bersama Niko terdakwa sudah di datangi oleh sejumlah petugas. 5) Bahwa terdakwa tidak mempunyai ijin dari pihak yang berwenang untuk menggunakan atau mengisap ganja dan terdakwa mengakui dirinya menggunakan ganja karena di tawari Ari sehingga di dalam diri terdakwa timbul keinginan kembali untuk menggunakan ganja atau memakai ganja yang sebelumnya terdakwa sudah dua kali memesan ganja kepada Ari seharga Rp 100.000,- dan itu pun selalu digunakan sendiri bukan untuk di jual. 6) Bahwa barang bukti berupa : Satu bungkus kertas cokelat berisi batang, daun dan biji sesuai dengan hasil laboratoris
84
kriminalistik
tertanggal
7
September
2011
No.Lab
:
1000/NNF/IX/2011 yang di tandatangani oleh Yayuk Murti Rahayu, B.Sc. dan Ibnu Sutarto, ST adalah positif Derivat Cannabinoid / ganja dan terdata dalam golongan 1 (satu) nomor urut 8 (delapan) Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 35 Tahun 2009 tentang narkotika. Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum diatas, maka unsur ke-2 “Penyalah Guna Narkotika Golongan I Bagi Diri Sendiri” menurut pendapat hakim telah terpenuhi. Hal-hal yang memberatkan : 1) Terdakwa tidak mendukung Program Pemerintah dalam memberantas peredaran Narkotika. 2) Perbuatan terdakwa dapat merusak mental generasi muda yang merupakan modal penerus bangsa. Hal-hal yang meringankan : 1) Terdakwa mengakui dan berterus terang dipersidangan. 2) Terdakwa menyesesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. 3) Terdakwa belum pernah dihukum. 4) Terdakwa masih
sangat
muda masih
bisa diharapkan
memperbaiki diri dikemudian hari. 5) Terdakwa masih ingin melanjutkan sekolah lagi.
85
b. Amar Putusan Pengadilan Negeri Mejelis Hakim dalam perkara ini menjatuhkan putusan terhadap terdakwa yaitu: a. Menyatakan terdakwa Saeful Ngibad Bin Kusworo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika golongan 1 bagi diri sendiri. b. Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa oleh karena itu selama 1 (satu) tahun dan 1 (satu) bulan, c.
Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa tersebut dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan:
d. memeritahkan terdakwa tetap dalam tahanan; e. Menyatakan barang bukti berupa: 1) 1 (satu) bungkus kertas minyak warna coklat berisi ganja seberat 4,025 gram. 2) 1 (satu) botol plastik berisi urine milik Saeful Ngibad Bin Kusworo. Seluruhnya dirampas untuk di musnahkan. 3) 1 (satu) buah handphone merk Nokia warna silver tipe 112. Dirampas untuk negara. f. Menetapakan kepada terdakwa biaya perkara sebesar Rp 2.500,(Dua Ribu Lima Ratus Rupiah).
86
B. Pembahasan 1. SMS (Short Message Service) sebagai alat bukti dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika. Ketentuan mengenai alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP, berdasarkan Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), SMS dikategorikan sebagai alat bukti surat. “Surat sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) huruf cUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu; b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c. Surat keterangan dari seorang ahli yamng memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dan alat pembuktian yang lain”.
Dari rumusan Pasal 187 KUHAP tersebut tidak memberikan pengertian secara jelas penggunaan SMS (Short Message Service) sebagai alat bukti. Akan tetapi dalam pengertian mengenai surat tersebut, poin d dapat digunakan sebagai acuan pemberlakuan SMS (Short Message Service) sebagai sebuah “Surat Lain”. Jadi berdasarkan analisa tersebut, SMS dapat dikategorikan sebagai alat bukti “surat”. Untuk menentukan termasuk alat bukti surat, tergantung
87
dari peranan hakim dalam memberikan keyakinannya (ConvictionRaisonee) tentang suatu perkara dalam persidangan. Untuk menjadikan SMS (Short Message Service)termasuk ke dalam alat bukti surat maka disini dituntut peranan Hakim untuk dapat menggunakan suatu metode penafsiran (interpretasi) terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu dengan menggunakan Interpretasi ekstensif (perluasan). 62 Penafsiran ekstensif, memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dan peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukkan seperti halnya perluasan mengenai makna “aliran listrik” yang digolongkan sebagai sebuah “benda”. Sehingga pencurian listrik sama halnya dengan pencurian sebuah benda.63 Dengan menggunakan penafsiran ekstensif dapat diketahui bahwa pengertian dari surat jika hanya sebatas berbentuk fisik saja, maka pengertian tersebut adalah sangat sempit dan tidak akan bisa menjangkau keadaan dan perkembangan jaman saat ini, dimana surat sudah tidak lagi harus berbentuk fisik saja. Dengan demikian, Hakim akan benar-benar berfungsi melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis atau membuat hukum baru (creation of new law) dengan cara melakukan pembentukan hukum (rechtsvorming) baru dan penemuan hukum (rechtsvinding), guna mengisi kekosongan dalam hukum dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara dengan 62 63
C.S.T. Kansil, 2002. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Balai Pustaka, Hal 36-41. Ibid
88
alasan karena hukum tertulisnya sudah ada tetapi belum jelas, atau sama sekali hukum tertulisnya tidak ada. Dalam penegakan hukum, Hakim senantiasa dalam putusannya memperhatikan dan menerapkan serta mencerminkan
tiga
(Rechtssicherheit),
unsur
atau
kemanfaatan
asas
yaitu
Kepastian
(Zweckmassigkeiit)
dan
hukum Keadilan
(Gerechtigkeit) dengan mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang
diantara
ketiga
unsur
tersebut.
Sehingga hakim yang bersangkutan itu tidak dapat hanya mengutamakan atau menonjolkan salah satu unsur saja sedangkan dua unsur lainnya dari ketiga unsur penegakan hukum tersebut dikorbankan atau dikesampingkan begitu saja. Untuk memberikan nilai valid pada bukti SMS (Short Message Service)haruslah ada saksi lebih dari seorang yang menyatakan bahwa
benar telah terjadi suatu tindak pidana dimana saksi juga mengetahui sendiri adanya keterkaitan antara tindak pidana yang terjadi dengan isi dari SMS(Short Message Service)tersebut, keterangan tentang apa yang diketahui saksi tersebut haruslah dinyatakan di depan pengadilan di bawah sumpah. Dalam
Putusan
Pengadilan
Negeri
Purwokerto
Nomor:
56/Pid.Sus/2011/PN. Pwt, Saksi Aris Budi Setyono dan Saksi Saksi Pramuaji dalam persidangan menerangkan : “Pada saat terdakwa ditanya identitasnya terdakwa menerima SMS dari Niko dengan nomor 08190332269 yang isinya “barange wis ana durung sich”“
89
Berdasarkan analisa penulis, penggunaan SMS (Short Message Service) sebagai alat bukti akan lebih valid jika hanya diberlakukan untuk
tindak pidana khusus. Hal tersebut dikarenakan tindak-tindak pidana khusus ini lebih memberikan pengaturan dan pengertian yang jelas mengenai pengaturan adanya bukti elektronik. Jadi penerapannya adalah dengan menggabungkan atau mengaitkan pasal (juncto) yang ada di dalam KUHAP dengan pasal yang ada dalam undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus tersebut. Penggabungan pasal tersebut sama sekali tidak melanggar asas hukum. Hal itu bisa dilihat dari poin “mengingat” dari undang-undang tersebut dimana dicantumkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP sebagai undang-undang yang dijadikan acuan. Di samping itu, menurut Jaksa pada Kejaksaan Agung RI Arief Indra Kusuma Adhi yang kami kutip dari artikel Faksimili Sebagai Alat Bukti, ada dua pilihan yang sering dipakai untuk menyikapi alat bukti elektronik yaitu, sebagai alat bukti surat, dengan ketentuan: “Informasi
elektronik menjadi alat bukti surat jika informasi elektronik itu diubah dalam bentuk cetak”64 Dalam pasal 42Undang-undang No 11 Tahun 2008
Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, dirumuskan Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut :
64
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f1243b9c9a95/jerat-hukum-buat-pengirim-pesantidak-senonoh-lewat-blackberry diakes pada tanggal 15 Oktober 2013.
90
a. b.
Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundangundangan; dan Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
Semua uraian diatas menjelaskan bahwa adanya
alat bukti
elektronik sebagai upaya untuk mengantisipasi meningkatnya tindak kejahatan dengan menggunakan sarana dan media informasi dan elektronik antara lainSMS (Short Message Service). SMS (Short Message Service) diklasifikasikan sebagai alat bukti”Surat” jika sudah dalam bentuk hasil cetak atau Print Out dan SMS (Short Message Service), untuk menentukan hal tersebut tergantung dari hakim dalam memberikan penafsiran (interpretasi), sebagaimana dimaksud dalam Pasal
187 poin d KUHAP dapat digunakan sebagai acuan pemberlakuan SMS (Short Message Service) sebagai alat bukti “Surat”, hal tersebut berdasarkan suatu penafsiran (interpretasi) ekstensif (perluasan) yang sepenuhnya hal tersebut diserahkan kepada hakim yang memeriksa perkara tersebut, dengan penafsiran tersebut SMS dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat.
2. Bagaimanakah Kekuatan Pembuktian SMS (Short Message Service) sebagai alat bukti dalam Penyalahgunaan Narkotika dalam Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt. Pembuktian
tentang
benar
tidaknya
terdakwa
melakukan
perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan, sehingga
91
bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan akan tetapi hal tersebut tidak benar. Untuk inilah hukum acara pidana berusaha mencari kebenaran materiil.Pembuktian juga merupakan titik sentral hukum acara pidana. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan Undang-Undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa.65 Sistem pembuktian yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sistem atau teori
pembuktian
berdasarkan
Undang-Undang
Negatif
(negatief
wettelijke). Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang isinya: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada orang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya. Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif terdapat dua komponen yaitu : 65
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 273.
92
1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang; 2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur “obyektif dan subyektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan di antara kedua unsur tersebu. Jika salah satu diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa.66 Pasal 183 KUHAP mengatur untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus : a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah b. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.67 Kekuatan pembuktian SMS (Short Message Service) sebagai alat bukti maka harus diketahui terlebih dahulu apakah yang dimaksud dengan alat bukti surat, alat bukti surat ini diatur dalam pasal 187 KUHAP, Berdasarkan bunyi Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP): “Surat sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) huruf cUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu; 66
Yahya Harahap.2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyelidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.Hal.279. 67 Ibid.Hal. 280.
93
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c. Surat keterangan dari seorang ahli yamng memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dan alat pembuktian yang lain”. Rumusan dalam Pasal 187 huruf dUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), berbeda dengan ketentuan dalam huruf a,b dan c karena huruf d menunjukkan surat secara umum yang tidak berlandaskan sumpah jabatan dan sumpah di sidang pengadilan yang bersifat resmi dan cenderung bersifat pribadi. Penjelasan selanjutnya menyebutkan bahwa berlakunya alat bukti surat lain harus mempunyai hubungan dengan alat bukti lain agar mempunyai kekuatan pembuktian artinya alat bukti surat lain tidak dapat berdiri sendiri secara utuh. Bentuk surat lain yang diatur dalam huruf d “hanya dapat berlaku” jika isinya mempunyai hubungan dengan alat pembuktian yang lain. Nilai berlakunya masih digantungkan dengan alat bukti yang lain. Kalau isi surat itu atau kalau alat pembuktian yang lain itu terdapat salng hubungan, barulah surat itu berlaku dan dinilai sebagai alat bukti surat.68 Pada perkembangandan kemajuan teknologi yang sedemikian pesat telah menyebabkan perubahan kehidupan dalam berbagai bidang yang secara langsung telah mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru.Dalam perkembangan kemajuan teknologi tersebut apabila masyarakat tidak mengimbangi dengan sikap ataupun tingkah laku yang 68
Yahya Harahap.Op.cit.Hal.309.
94
mengarah pada pola kehidupan yang membangun dan berkesinambungan. Tren kejahatan denganmemanfaatkan teknologi telepon seluller semakin marak dilakukan.Sementarapara pakar pidana ataupun masyarakat belum juga mencapai titik temu dalam halpenyebutan ataupun pendefisiannya sehingga terjadi ambiguitas di masyarakat. Eksistensi teknologi informasi disamping menjanjikan sejumlah harapan,pada saat yang sama juga melahirkan kecemasan-kecemasan baru antara lainmunculnya kejahatan baru yang lebih canggih dalam bentuk cyber crime. Yang menarik dan perlu untuk dicermati adalah kaitannya dengan pembuktian oleh perundang-undangan kita, dalam hal ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ). Perihal alat bukti dalam KUHAP bersifat limitatif, hanya terbatas pada apa yang disebut dalam pasal 184 KUHAP, dimana alat bukti elektronik tidak dikenal didalamnya. Namun demikian tidak berarti bila terjadi suatu perkara tindak kejahatan dengan menggunakan media teknologi telekomunikasi pelakunya lolos dari jeratan hukum. Pengakuan data elektronik sebagai alat bukti di pengadilan nampaknya masih dipertanyakan validitasnya. Dalam praktek pengadilan di Indonesia, penggunaan data elektronik sebagai alat bukti yang sah memang belum biasa digunakan. Padahal di beberapa negara, data elektronik dalam bentuk e-mail sudah menjadi pertimbangan bagi hakim dalam memutus suatu perkara (perdata maupun pidana).
95
Disahkannya Undang-undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik agaknya dapat digunakan sebagai sarana untuk menjerat pelaku yang menggunakan sarana kecanggihan teknologi,sehingga lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru dapat tercover, dengan demikian para praktisi hukum dapat denganpasti mempunyai senjata andalan untuk menyeret pelaku untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Adanya perkembangan kejahatan dengan menggunakan komputer, membuat Penyidik dan Penuntut Umum serta Hakim dihadapkan pada eksistensi bukti-bukti elektronik seperti data komputer, dokumen elektronik, email, maupun catatan transaksi rekening69, sehingga alat bukti tidak hanya terbatas pada keterangan saksi, surat, ahli, petunjuk dan keterangan terdakwa, akan tetapi mencakup informasi dan dokumen yang tersimpan secara elektronik70. Mengenai SMS (Short Message Service) sebagai alat bukti, beberapa ahli berpendapat sebagai berikut:
Andi Hamzah71 menjelaskan bahwa yang termasuk alat bukti surat, diantaranya yaitu pesan pendek melalui SMS (Short Message Services), surat elektronik (e-mail) dan data dalam VCD serta CD, seperti halnya keterangan saksi, alat bukti surat tidak dapat berdiri sendiri kecuali diperkuat dengan alat bukti lain. Yahya Harahap mengungkapkan bahwa: Hakim tidak terkait atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan atas petunjuk sebagai alat bukti, karena alat bukti elektronik tidak bisa
69
Arie Eko Yuliearti, Bukti Elektronik Dalam Kejahatan Komputer: Kajian Atas Tindak Pidana Korupsi dan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Tesis Pascasarjana Reguler, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006), hlm. 10. 70 Ibid, hlm. 138 71 http:hukumonline, RUU KUHAP, diakses tanggal 24 oktober 2013, 09:51 WIB
96
berdiri sendiri-sendiri untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu, perlu didukung oleh alat bukti lain.72 Edmon Makarim mengemukakan bahwa : Alat bukti elektronik sebagai suatu alat bukti yang sah dan yang berdiri sendiri, tentunya harus dapat diberikan jaminan bahwa suatu rekaman/salinan data (data recording) berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku (telah dikalibrasi dan diprogram) sedemikian rupa sehingga hasil print out sutau data diterima dalam pembuktian suatu kasus.73 T. Nasrullah yang menegaskan bahwa: alat bukti elektronik seperti SMS (Short Message Service) hanya berlaku dalam hukum pidana khusus dan tidak berlaku pada hukum pidana umum. Sementara pakar teknologi komunikasi, Roy Suryo menyatakan SMS tidak dapat dijadikan alat bukti tunggal.Penggunaan SMS sebagai alat bukti harus didukung dengan keterangan ahli (expertise).74 Dalam pasal 1 angka 1 dan 2 Undang-undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dirumuskan. 1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yangmampu memahaminya. 2. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yangdilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringanKomputer, dan/atau media elektronik lainnya. Meskipun demikian dengan diundangkannya Undang-undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, terdapat suatu kemajuan, karena memberikan pengakuan bukti transaksi elektronik
72
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 1985), hlm. 312. 73 Edmom Makarim, Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) hlm. 451 74 Ahsan Dawi Mansur, SMS Sebagai Alat Bukti, 2006.
97
diakui sebagai alat bukti jika terjadi sengketa. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 5 Undang-undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dirumuskan sebagai berikut: (1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. (2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. (3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang ini. (4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang- Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Putusan
Pengadilan
Negeri
Purwokerto
Nomor:
56/Pid.Sus/2011/PN. Pwt menyebutkan bahwa pada awal tanggal 1 September 2011 pukul 21.00 Wib saksi Aris Budi Setyono dan saksi Pramuaji bersama tim sedang melaksanakan tugas di Taman Andang Pangrenan Kelurahan Karangklesem Kecamatan Purwokerto, melihat tingkah laku terdakwa yang mencurigakan di depan pintu Taman Andang Pangrenan, bahwa pada saat di tanya identitasnya terdakwa sedang menerima SMS dari Niko dengan nomor 08190332269 yang isinya “Barange wis ana durung sich” kemudian saksi Aris menanyakannya apa maksud SMS tersebut dan terdakwa menjawab bahwa itu pesanan ganja.
98
Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor: 56/Pid.Sus/2011/PN. Pwt telah diajukan barang bukti berupa 1 (satu) bungkus kertas minyak warna coklat berisi ganja seberat 4,025 gram, 1 (satu) botol plastik berisi urine milik Saeful Ngibad Bin Kusworo serta 1 (satu) buah handphone merk Nokia warna silver tipe 112 yang berisikan SMS (Short Message Service) pemesanan Ganja dari terdakwa ke Niko, majelis hakim hanya berpegang pada surat dakwaan dan barang bukti dari penuntut umum, serta dari keterangan para saksi, dan SMS (Short Message Service) tersebut dikategorikan sebagai surat lain atau surat elektronik, akan tetapi SMS (Short Message Service) hanya dijadikan sebagai alat bukti petunjuk. Dalam pasal 188 ayat 1 di sebutkan bahwa : Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindakan pidana dan siapa pelakunya.
Syarat-syarat untuk dapat dijadikan petunjuk sebagai alat bukti haruslah mempunyai persesuaian satu sama lain atas perbuatan yang terjadi. Keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu sama lain dengan kejahatan yang terjadi dan berdasarkan dari pengamatan hakim, baik dari keterangan terdakwa maupun saksi di persidangan. Pembuktian di dalam petunjuk ini tidak dapat di kesampingkan begitu saja, karena alat bukti petunjuk ini sangat berperan dalam
99
meberikan gambaran pada hakim untuk memutuskan suatu perkara di saat alat bukti yang ada tidak mampu membuat suatu perbuatan menjadi terang. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Dari bunyi pasal di atas, maka dapat dikatakan bahwa petunjuk adalah merupakan alat bukti tidak langsung (Circumtantial evidence) yang bersifat sebagai pelengkap saja yang artinya petunjuk bukanlah alat bukti yang mandiri, tetapi alat bukti sekunder yang di peroleh dari alat bukti primer, dimana alat bukti petunjuk tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus di dukung oleh alat bukti lainnya maka disini hakim dalam mengambil kesimpulan tentang pembuktian, haruslah menghubungkan suatu alat bukti dengan alat bukti lainnya dan memilih yang ada persesuaiannya satu sama lain. Keterangan para saksisaksi
telah
membenarkan
bahwa
terdakwa
telah
melakukan
pemesananganja dengan media elektronik berupa SMS (Short Message Service) tanpa mendapatkan izin dari pihak yang berwenang dan dari keterangan terdakwa di dalam persidangan tersebut juga telah mengaku atau membenarkan isi dariSMS (Short Message Service) dalam pemesanan ganja tersebut tersebut. Dari semua penjelasan diatas, maka dapat ditari suatu kesimpulan, yaitu SMS (Short Message Service) dalam penyalahgunaan narkotika dalam Putusan No :
56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt. mempunyai kekuatan
100
pembuktian yang sah, akan tetapi kekuatanya hanya sebagai pelengkap saja karena dianggap sebagai alat bukti petunjuk yang mana alat bukti petunjuk tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus didukung oleh alat bukti lain untuk menguatkanya, serta harus ada penggabungan dengan alat bukti lain sebagai konsekuensi dari asas minimum pembuktian, adapun mengenai penilaian kekuatan pembuktian sepenuhnya diserahkan kepada hakim, dan hakim haruslah arif, bijaksana, penuh kecermatan dan keseksamaan dalam mengadakan pemeriksaan dengan menggunakan hati nuraninya.
101
BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor: 56/Pid.Sus/2011/PN. Pwt, maka dapat disimpulkan bahwa: 1) Alat bukti SMS (Short Message Service) diklasifikasikan sebagai alat bukti surat yang sah karena : a. SMS (Short Message Service) diklasifikasikan sebagai alat bukti ”Surat” atau alat bukti informasi elektronik apabila sudah dalam bentuk hasil cetak atau Print Out dari SMS (Short Message Service). b. Untuk menentukan SMS (Short Message Service) sebagai alat bukti”Surat” atau alat bukti informasi elektronik, hal ini tergantung dari hakim dalam memberikan penafsiran (interpretasi), sebagaimana dimaksud dalam
pasal 187 poin d dapat digunakan sebagai acuan pemberlakuan SMS (Short Message Service)
sebagai alat bukti “Surat”, hal tersebut
berdasarkan suatu penafsiran (interpretasi) ekstensif (perluasan) yang sepenuhnya hal tersebut diserahkan kepada hakim yang memeriksa perkara tersebut, dengan penafsiran tersebut SMS dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat, akan tetapi SMS (Short Message Service) tetap harus memenuhi syarat yaitu isi dari SMS (Short Message Service) tidak meragukan dari keasliannya, dapat diperlihatkan dipersidangan, sudah teregistrasinya nomor dengan registrasi identitas yang lengkap serta harus didukung dengan alat bukti lain yang sah sebagai konsekuensi dari asas minimum pembuktian.
101
102
2) Kekuatan pembuktian SMS (Short Message Service) sebagai alat bukti dalam penyalahgunaan narkotika dalam Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt. a. SMS (Short Message Service) dalam penyalahgunaan narkotika dalam Putusan No :
56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt. mempunyai kekuatan
pembuktian yang sah, akan tetapi kekuatanya hanya sebagai pelengkap saja karena dianggap sebagai alat bukti petunjuk yang mana alat bukti petunjuk tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus didukung oleh alat bukti lain untuk menguatkanya, serta harus ada penggabungan dengan alat bukti lain sebagai konsekuensi dari asas minimum pembuktian. b. Penilaian kekuatan pembuktian sepenuhnya diserahkan kepada hakim, dan hakim haruslah arif, bijaksana, penuh kecermatan dan keseksamaan dalam mengadakan pemeriksaan dengan menggunakan hati nuraninya.
B. Saran Penulis menyarankan untuk perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu hukum acara pidana, yaitu KUHAP sebagai acuan dalam beracara pidana dilakukan revisi khususnya yang mengatur mengenai pembuktian
khususnya
tentang
alat
bukti.
Revisi
tersebut
harus
mengakomodir perkembangan jaman saat ini dimana khsusnya yang alat bukti elektronik.
103
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Literatur : Atmasasmita, Romli. 1983. Bunga Rampai Hukum Acara Pidana. Jakarta :BinaCipta. C.S.T. Kansil, 2002. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Balai Pustaka. Farid, A.Z. Abidin. 1981. Sejarah dan Perkembangan Asas Opportunitas di Indonesia, Ujung Pandang: UNHAS. Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika. . 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: Sinar Grafika. Hamzah, Andi dan Indra Dahlan. 1984. Komentar. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Perbandingan KUHP, HIR dan
Harahap, M. Yahya. 2001. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Jilid I), Jakarta: Pustaka Kartini. . 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyelidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. . 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.Jakarta : Sinar Grafika. . 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali). Jakarta: Sinar Grafika.
Makarao, Moh Taufik dkk. 2003. Tindak Pidana Narkotika. Jakarta: Ghalia Indonesia. Mardani. 2008. Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Moelyatno.1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana. Jakarta:Bina Aksara. Poernomo, Bambang. 1985. Pola Teori dan Asas Umum Hukum Acara Pidana. Yogyakarta: Liberty.
104
Prodjohamidjojo, Martiman. 1983. Bukti.Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sistem
Pembuktian
dan
Alat-Alat
Samosir, C. Djisman. 1985. Hukum Acara Pidana Dalam Perbandingan Bandung: Bina Cipta. Sasangka, Hari. 2003. Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana. Bandung: Mandar Maju. Simanjuntak, Nikolas. 2009. Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia. Soesilo, R. 1982. Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAP bagi penegak Hukum). Bogor: Politeria. Sujono, A.R, dan Bony Daniel. 2011. Komentar & Pembahasan UndanngUndang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Jakarta: Sinar Grafika.
B. Peraturan Perundang-Undangan : Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). ________, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
_____, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE.
C. Sumber Lain : Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor: 56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.