PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN TERHADAP PELAKU ANAK (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg)
SKRIPSI
Oleh: IRMA RAHMAHWATI E1A009132
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013
PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN TERHADAP PELAKU ANAK (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg)
SKRIPSI Disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh: IRMA RAHMAHWATI E1A009132
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013
i
ii
iii
MOTTO Ketahuilah Oleh mu.. Jika kau merasa lelah dan tak berdaya dari usaha yang sepertinya sia-sia... Allah SWT tahu betapa keras engkau sudah berusaha. Ketika kau sudah menangis sekian lama dan hatimu masih terasa pedih.. Allah SWT sudah menghitung air matamu. Ketika kau fikir bahwa hidupmu sedang menunggu sesuatu dan waktu serasa berjalan begitu saja.. Allah SWT sedang menunggu bersamamu. Ketika kau berfikir bahwa kau sudah mencoba segalanya dan tidak tahu hendak berbuat apa lagi... Allah SWT sudah punya jawabannya. Ketika segala sesuatu menjadi tidak masuk akal dan kau merasa tertekan.. Allah SWT dapat menenangkanmu. Ketika kau merasa sendirian dan teman-temanmu terlalu sibuk untuk menelpon.. Allah SWT selalu berada disampingmu. Ketika kau mendambakan sebuah cinta sejati yang tak kunjung datang... Allah SWT mempunyai Cinta dan Kasih yang lebih besar dari segalanya dan Dia telah menciptakan seseorang yang akan menjadi pasangan hidupmu kelak. Ketika kau merasa bahwa kau mencintai seseorang, namun kau tahu cintamu tak terbalas.. Allah SWT tahu apa yang ada di depanmu dan Dia sedang mempersiapkan segala yang terbaik untukmu. Ketika kau merasa telah dikhianati dan dikecewakan.. Allah SWT dapat menyembuhkan lukamu dan membuatmu tersenyum. Jika tiba-tiba kau dapat melihat jejak -jejak harapan. Allah SWT sedang berbisik kepadamu. Ketika segala sesuatu berjalan lancar dan kau merasa ingin mengucap syukur.. Allah SWT telah memberkatimu. Ketika sesuatu yang indah terjadi dan kau dipenuhi ketakjuban.. Allah SWT telah tersenyum padamu. Ketika kau memiliki tujuan untuk dipenuhi dan mimpi untuk digenapi.. Allah SWT sudah membuka matamu dan memanggilmu dengan namamu. Ingat dimanapun kau atau kemanapun kau menghadap.. Allah SWT tahu.. Jika kau merasa diberkati dengan kata-kata ini, sampaikanlah kepada orang yang kamu sayangi! Dari Abdullah bin ‘Amr r.a, Rasulullah s.a.w bersabda, “Sampaikanlah pesanku biarpun satu ayat..”
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ALLOH SWT yang telah memberikan saia banyak kenikmatan yang tiada hentihentinya,,,
yang
telah
memberikan
rasa
sabar
kepada
saia,,
yang
selalu
mempermudah jalan saia ,,, yang selalu memberikan keajaiban dan keberuntungan kepada saia... yang selalu memberik an apa yang terbaik untuk saia.. Nabi Muhammad SAW ,,, yang selalu mengingat umatnya, yang selalu memperdulikan umatnya,,, yang selalu memikirkan umatnya,,, yang selalu menginginkan yang terbaik untuk umatnya............. Mamah saia yang selalu mendoakan anak terakhirnya ini menjadi orang yang sukses,,, yang selalu memberikan saia semangat,, yang selalu mendengar semua keluh kesah saia,, yang selalu sabar sama anak bungsunya yang keras kepala ini,,,, Babeh saia yang telah memberikan dukungan ,, yang selalu berusaha memberikan kebutuhan kuliah saia,, dan yang pastinya selalu menginginkan anaknya sukses... kakak saia mba Rahayu,, yang selalu mendukung saia ,,, memberikan dorongan agar saia menjadi orang yang sukses ,,, menjadi orang yang pintar melebihinya,,,, selalu memberikan kebutuhan kuliah saia juga,, tapi maaf mba,, otak saia masih dibawah mba... kakak saia satu lagi mba Ida,, yang juga selalu mendukung saia, abah Naufal, kedua keponakan saia Naufal dan Havid... dan om Heri yang selalu memberikan dukungan sera Almarhum Mbah saia yang selalu menginginkan cucu-cucunya menjadi orang yang sukses,,, dan seluruh keluarga besar Ahmad Suhemi terima kasih semuanya.... Ebink,,,, yang menjadi penyemangat saia,,, dan karenamu saia percaya diri untuk jalani hidup yang penuh rintangan ini,, terimakasih telah hadir dalam hidup saia,,, I Miss you J Bongkrekan :
Ian ,, yang selalu memberikan semangat pada saia agar saia bisa
wisuda September (tapi ngga tercapai), yang selalu saia curhati,, yang selalu saia repotkan ... yang udah nemenin saia ketempat dosen, dan bikin malu.. ha ha ha... . Haniii,,, yang selalu menemani saia refreshing biar ngga jadi orang stresss,, . Luluk,, yang selalu memberikan nasehat-nasehat kepada saia,,, nasehatmu selalu berguna bu v
guru,,. Fifit,, yang selalu menyemangati saia ,, yang memberikan solusi agar saia tidak stres dalam mengerjakan skripsi,,. Tanti,, Ruy,, Andes,, Annas,, Candra yang telah memberikan semangat dan mendorong saia agar cepat lulus.... kangen gilagilaan bareng kalian,, kangen lutisan,, kangen karokean,,, kangen kalian semua.. saia tidak menganggap kalian sebagai teman, tapi lebih dari itu karena kalian adalah SAHABAT saia J ..dan untuk seluruh keluarga besar SEGANDOG..... SEGANDOG maregiiiii,,, oouugghhhhh............................................................................... Kosan Nikotin : Ipat,, Anti,, Asry,, Erna,,, yang selalu memberikan semangat kepada saia,,, yang selalu mendengarkan curhatan saia,, yang selalu saia repotkan,,, yang selalu kamarnya saia berantakin,, yang kamarnya saia pakai buat nginep,, yang selalu nolongin saia kalau saia sakit... makasih buat semuanya... J Teman-teman kampus merah,,,, adik saia Gilang, yang selalu memberikan semangat,, udah bantuin translitin abstrak ke bahasa inggris.. Brian dan Syaikhu , yang telah memberikan masukan-masukan untuk skripsi saia,,, geng selalu senang Acca, Indah, Melda terimakasih buat semangatnya, yang selalu mendengar keluh kesah saia, yang selalu saia repoti, Yolanda teman seperjuangan saia, kanan kiri bareng, yang suka beliin jajan, he he he, ,, Nanda,, yang sering saia repoti juga,, he he he,,Azi, yang memberikan nasehat tentang hidup,, Capung, Mukti, Gendut, Deda, Yanuar, Denni, Putri, Agatha, Rety, Rizka, Danang, Subkhan... seluruh teman-teman saia di kampus merah yang tak bisa saia sebutkan samuanya... J TIM KKN Posdaya Unsoed Periode Januari-Februari 2013 Desa Pekiringan 1 Kec Karangmoncol Kab Purbalingga,,, Annis, Anjar, Sam, Rara, Niken, Reza, David... terimakasih untuk suka dan duka selama 35 hari bersama .. terimakasih atas kerjasamanya,,, maaf kalau saia selalu merepotkan kalian...... J Terimakasih untuk semuanya,,, maafkan saia yang selama ini memiliki banyak salah ,, saia yang keras kepala,,, saia yang egois,,, saia yang merepotkan,, saia yang cerewet,,, maafkan atas semua kekurangan saia... “saia bukanlah siapapun, dan saia tak ingin menjadi siapapun, karena diri saia adalah saia ....”
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala yang senantiasa melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya serta atas izin-Nya skripsi ini dapat penulis selesaikan. Sholawat dan Salam tak lupa penulis curahkan kepada Junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul: “Pembuktian Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Terhadap Pelaku Anak (Tinjauan Yuridis terhadap Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg)”. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga atas motivasi, dukungan, dan pengalaman yang diperoleh, yaitu kepada yang terhormat dan tercinta: 1. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto beserta para Pembantu Dekan dan seluruh jajarannya; 2. Pranoto, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I atas segala bantuan, arahan, bimbingan, kesabaran, dan masukan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini; 3. Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II atas segala bantuan, arahan, bimbingan, dan masukan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini; 4. Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.H., selaku Dosen Penguji Skripsi atas segala bantuan, arahan, dan masukan dalam skripsi ini;
vii
5. Hj. Setiadjeng Kadarsih, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Akademik atas segala arahan dan masukan yang telah diberikan selama menempuh studi di fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto; 6. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto; 7. Kedua orang tuaku dan seluruh keluargaku, terima kasih atas segala yang telah diberikan baik dukungan moril maupun materiil; 8. Semua sahabat bongkrek, segandog, kosan nikotin, kampus merah, kkn, terima kasih atas dukungan dan motivasinya, terima kasih atas suka dan duka dalam kebersamaan kita. Dan untuk Ebink, terima kasih sudah jadi motivasi saya agar dapat sukses sepertimu. Penulis selalu terbuka untuk menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dan bermanfaat. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi setiap pembacanya. Terima kasih. Purwokerto, 23 Oktober 2013
Penulis
viii
ABSTRAK
Pembuktian dalam hukum acara pidana merupakan bagian yang sangat penting dan memegang peranan yang strategis dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Membuktikan mengandung maksud dan tujuan untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa. Banyak perkara termasuk perkara anak nakal di pengadilan dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan sehingga terkesan setiap perbuatan anak nakal dapat dipastikan selalu diproses melalui jalur hukum. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik menuyusun skripsi dengan mengambil judul penelitian “PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN TERHADAP PELAKU ANAK (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg)” Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang pertama, mengapa anak nakal diproses dalam persidangan pada Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg ? Kedua, bagaimana pembuktian dalam tindak pidana penganiayaan terhadap pelaku anak pada Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg ? Berdasarkan hasil penelitian diperoleh simpulan bahwa alasan anak nakal diproses dalam persidangan karena usianya sudah 16 tahun, tidak adanya upaya perdamaian, diduga melakukan tinda k pidana penganiayaan, dan adanya pelimpahan berkas perkara, surat dakwaan serta barang bukti oleh penuntut umum ke Pengadilan Negeri. Pembuktian dalam tindak pidana penganiayaan terhadap pelaku anak yaitu adanya keterangan saksi ya ng saling bersesuaian dengan keterangan terdakwa dan dihubungkan dengan alat bukti surat serta barang bukti yang diajukan dipersidangan maka syarat pembuktian telah terpenuhi, serta unsurunsur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP telah terpenuhi sehingga hasil putusan menyatakan bahwa terdakwa HA Bin Sm terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan.
Kata Kunc i : Pembuktian, Tindak Pidana Penganiayaan, Anak.
ix
ABSTRACT Verification in the Code of Criminal Procedure is a very important part and hold strategic role on court investigation process. Verifying has meaning and purpose to assert the truth from certain incident. Many cases included mischievous children can be certainly processed by law mechanism. Based on that description, writer was interested to arrange a thesis entitled “VERIFICATION ON VIOLENCE CRIME BY CONVICTED CHILDREN (Juridical Observation Towards Court Verdict No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg). Based on the description above, so the first problem can be formulated, why
mischievous
child
was
processed
by
court
on
verdict
no.
05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg? Second, how was the verification on violence crime by convicted children on verdict no. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg? Based on the research result, is gotten conlusiom that the reason mischievous child was processed in the court is because his age was 16 already, no reconciliation effort, accused did violence crime, and there was transfering file, accusation letter also evidence by attorney to the State Court. Verification on violence crime by convicted children was there were witnesses explanation that was correlated with convicted’s explanation and it was related with evidences that proposed in court process thus the verification requirements were fulfilled, also the elements on article 351 section (1) KUHP have fulfilled so the verdict result stated that the accused HA Bin Sm was legally proven and convinced guilty did the violence crime.
Keywords : Verification, Violence crime, Children.
x
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL..........................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ ii HALAMAN PERNYATAAN........................................................................... iii HALAMAN MOTTO........................................................................................ iv HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................
v
KATA PENGANTAR........................................................................................ vii ABSTRAK.......................................................................................................... ix ABSTRACT........................................................................................................ x DAFTAR ISI...................................................................................................... xi BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah..........................................................................
1
B. Perumusan Masalah.................................................................................
5
C. Tujuan Penelitian.....................................................................................
6
D. Kegunaan Penelitian................................................................................
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................
7
A. Pengertian, Fungsi dan Tujuan Hukum Acara Pidana.............................
7
1. Pengertian Hukum Acara Pidana.......................................................
7
xi
2. Fungsi dan Tujuan Hukum Acara Pidana..........................................
8
B. Asas-Asas Hukum Acara Pidana............................................................. 11 C. Pembuktian.............................................................................................. 21 1. Pengertian Pembuktian. ..................................................................... 21 2. Sistem Pembuktian............................................................................ 23 3. Alat Bukti Menurut KUHAP............................................................. 28 D. Anak......................................................................................................... 39 1. Pengertian Anak................................................................................. 39 2. Kenakalan Anak................................................................................. 41 3. Proses Peradilan Pidana Anak........................................................... 43 E. Tindak Pidana Penganiayaan................................................................... 54 1. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan........................................... 54 2. Jenis-Jenis Penganiayaan................................................................... 55 BAB III METODE PENELITIAN................................................................... 61 A. Metode Pendekatan.................................................................................. 61 B. Spesifikasi Penelitian............................................................................... 61 C. Jenis da n Sumber Data............................................................................. 62 D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum...................................................... 62 E. Metode Penyajian Bahan Hukum............................................................ 63 F. Metode Analisis Bahan Hukum............................................................... 63 G. Perbedaan Penelitian Penulis Dengan Penelitian Terdahulu................... 63 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN................................. 66 A. Hasil Penelitian........................................................................................ 66 xii
B. Pembahasan.............................................................................................. 88 BAB V PENUTUP............................................................................................. 136 A. Simpulan.................................................................................................. 136 B. Saran........................................................................................................ 137 DAFTAR PUSTAKA
xiii
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Republik Indonesia dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut
melaksanakan
ketertiban
dunia
yang
berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Indonesia merupakan negara hukum, seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang merumuskan bahwa “Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum”. Indonesia sebagai negara hukum memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Setiap warga negara berhak dan wajib diberlakukan sebagai manusia yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain, begitu pula mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum dan pemerintah. Anak merupakan suatu anugerah dan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki hak untuk dilindungi harkat dan martabatnya oleh undangundang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Secara umum perlindungan dan hak-hak anak dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 28 D ayat (2) yang merumuskan: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
2
Situasi dan kondisi sosial sangat berpengaruh terhadap kejiwaan dan perilaku seorang anak. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak disebabkan oleh berbagai faktor antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagai orang tua, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Selain itu anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan dan bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap perilaku penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua, wali atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya. Dalam situasi dan kondisi yang abnormal serta pengaruh dari keadaan sekitarnya maka tidak jarang anak yang melakukan tindak pidana. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak memberikan perlindungan hukum kepada anak yang melakukan perbuatan pidana, sehingga anak yang melakukan perbuatan pidana mendapat penanganan secara khusus, sedangkan peradilan yang dijalani anak tersebut pun diatur dengan mengingat kekhususan pada anak. Tujuan pidana tidak semata -mata menghukum anak yang sedang bersalah, akan tetapi membina dan menyadarkan kembali anak yang telah melakukan kekeliruan atau telah melakukan perbuatan menyimpang. Hal ini penting mengingat bahwa apa
3
yang telah dilakukannya perbuatan salah yang melanggar hukum. Untuk itu penjatuhan pidana bukanlah satu-satunya upaya untuk memproses anak yang telah melakukan tindak pidana. Proses peradilan pidana yang bertumpu pada hukum pidana dan hukum acara pidana, negara melalui organ-organnya mempunyai hak atau kewenangan untuk menjatuhkan pidana. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil atau kebenaran yang sebenarbenarnya. Hakim harus mencari dan mendapatkan kebenaran materiil yang diperoleh dari alat bukti sebelum mengambil suatu putusan. Dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan bahwa : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Menurut Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), alat bukti yang sah ialah : 1. 2. 3. 4. 5.
Keterangan saksi; Keterangan ahli; Surat; Petunjuk; Keterangan terdakwa.
Pembuktian dalam hukum acara pidana merupakan bagian yang sangat penting dan memegang peranan yang sangat strategis dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Membuktikan mengandung maksud dan tujuan untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa. Menurut Pasal 183
4
KUHAP sistem pembuktian yang digunakan di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Pembuktian sangat penting dalam membuktikan kesalahan seseorang, apalagi saat ini kejahatan semakin berkembang dengan pesat. Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip Moh. Hatta 1 mengungkapkan pendapatnya tentang kejahatan bahwa kejahatan merupakan masalah sosial yang tidak hanya dihadapi oleh Indonesia atau masyarakat dan negara tertentu, tetapi merupakan suatu universal phenomena, tidak hanya jumlahnya saja yang meningkat tetapi juga kwalitasnya dipandang serius di banding masa-masa lalu. Kejahatan timbul bukan sekedar karena niat, juga bukan pula tumbuh karena kesempatan, tetapi kejahatan hadir karena memang semua orang lebih ‘aman dan tentram’ dengan berbuat jahat. 2 Di masyarakat sering terjadi kejahatan terhadap tubuh atau yang biasa kita kenal dengan penganiayaan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga menggunakan istilah penganiayaan untuk tindak pidana terhadap tubuh, tetapi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri tidak memuat arti penganiaya an tersebut. Pengertian penganiayaan menurut Soenarto Soerodibroto 3 bahwa menganiaya adalah dengan sengaja menimbulkan sakit atau luka, kesengajaan ini harus dituduhkan dalam surat tuduhan. Tindak pidana penganiayaan telah
1
Moh. Hatta, 2009, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum Dan Pidana Khusus, Yogyakarta : Liberty, hlm 33. 2 Eko Prasetyo, 2010, Keadilan Tidak Untuk Yang Miskin, Yogyakarta : Resist Book, hlm 85. 3 Soenarto Soerodibroto, 2007, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm 214.
5
menyebabkan keresahan dalam masyarakat, sehingga untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat perlu adanya perlindungan hukum. Tindak pidana penganiayaan ini diatur dalam KUHP buku II bab XX. Peradilan pidana anak bertujuan mewujudkan kesejahteraan anak yang pada dasarnya merupakan bagian integral dari kesejahteraan sosial. Peradilan pidana anak juga bertujuan untuk dapat mengungkap suatu perkara seperti dalam Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg mengenai tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh anak nakal. Anak nakal melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap seorang tukang ojek, hal itu dilakukannya karena anak nakal tersebut tidak memiliki uang untuk membayar ongkos ojek. Anak nakal dilaporkan tukang ojek tersebut sehingga ditetapkan sebagai tersangka dan dilimpahkan perkaranya ke Pengadilan. Setelah melalui proses persidangan, anak nakal dijatuhi pidana penjara selama tujuh bulan. Berdasarkan lata r belakang yang diuraikan di atas , penulis menyusun skripsi dengan mengambil judul penelitian “PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN TERHADAP PELAKU ANAK (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg)”.
B. Perumusan Masalah 1. Mengapa anak nakal diproses dalam persidangan pada Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg ? 2. Bagaimana pembuktian dalam tindak pidana penganiayaan terhadap pelaku anak pada Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg ?
6
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui alasan anak nakal diproses dalam persidangan pada Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg. 2. Untuk mengetahui pembuktian dalam tindak pidana penganiayaan terhadap pelaku anak pada Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis a. Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan pengajaran menambah materi perkuliahan khususnya dalam mata kuliah hukum acara pidana. b. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat pada pengembangan teori dalam hukum acara pidana khususnya mengenai pembuktian dalam tindak pidana penganiayaan terhadap pelaku anak. 2. Kegunaan Praktis a. Dapat memberikan jawaban dan masukan bagi penulis mengenai permasalahan yang ada dalam penelitian ini dengan menerapkan hukum acara pidana. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan bagi mereka yang berminat dibidang hukum.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian, Fungsi dan Tujuan Hukum Acara Pidana 1. Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum pidana merupakan hukum pidana materiil sedangkan hukum acara pidana merupakan hukum pidana formil. Hukum formil menurut A. Chainur Arrasjid 4 adalah hukum yang mengatur cara mempertahankan atau menjalankan peraturan-peraturan hukum materiil. Fungsinya menyelesaikan masalah yang memenuhi norma-norma larangan hukum materiil melalui suatu proses dengan berpedomankan kepada peraturan yang dicantumkan dalam hukum acara. 5 Apabila ada pelanggaran terhadap hukum pidana materiil, maka aparat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan / kehakiman tanpa diminta oleh korban kejahatan, harus sanggup melaksanakan tugas kewajibannya untuk melakukan penyelidikan dan/atau penyidikan, penuntutan, mengadili dan mengeksekusi pelaku kejahatan. Dengan demikian, berarti hukum acara pidana adalah bersifat memaksa (dwangenrecht).6 Tidak mungkin sanksisanksi yang diancamkan oleh hukum pidana materiil dapat langsung dikenakan kepada orang yang diduga melakukan tindak pidana dan telah
4
A. Chainur Arrasjid, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, hlm 110. R. Abdoel Djamali, 2010, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta : Rajawali Pers, hlm 193. 6 Umar Said Sugiarto, 2013, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, hlm 333. 5
8
memenuhi unsur-unsurnya tanpa mekanisme peradilan yang benar, yaitu hukum acara pidana. 7 Hukum Acara Pidana adalah hukum pidana yang mengatur tata cara menegakkan hukum pidana materiil. Artinya, apabila terjadi pelanggaran hukum pidana materiil, maka penegakannya menggunakan hukum pidana formal. Istilah yang lazim hukum digunakan untuk hukum ini adalah ‘Hukum Acara Pidana’, yakni hukum yang mengatur tentang bagaimana para penegak hukum serta masyarakat (yang terpaksa berurusan pidana) beracara di muka pengadilan pidana. 8 Menurut Wirjono Prodjodikoro yang dikutip oleh Yulies Tiena Masriani9, Hukum Acara Pidana adalah peraturan yang mengatur tentang bagaimana cara alat- alat perlengkapan pemerintah melaksanakan tuntutan, memperoleh Keputusan Pengadilan, oleh siapa Keputusan Pengadilan itu harus dilaksanakan, jika ada seseorang atau kelompok orang yang melakukan perbuatan pidana. Dari beberapa pengertian hukum acara pidana menurut para ahli hukum di atas, dapat dikatakan bahwa hukum acara pidana adalah hukum pidana yang mengatur tata cara negara untuk mempertahankan hukum pidana materiil melalui melalui alat pelengkapnya. 2. Fungsi dan Tujuan Hukum Acara Pidana Hukum Acara Pidana itu berfungsi untuk melaksanakan hukum pidana ma teriil, yakni memberikan peraturan cara bagaimana negara 7
Zulkarnain, 2008, Praktik Peradilan Pidana (Panduan Praktis Kemahiran Hukum Acara Pidana), Malang : In-Trans Publishing, hlm 12. 8 Ilham Bisri, 2004, Sistem Hukum Indonesia (Prinsip -Prinsip Dan Implementasi Hukum Di Indonesia), Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm 46. 9 Yulies Tiena Masriani, 2004, Pengantar Hukum Indonesia , Jakarta: Sinar Grafika, hlm 82.
9
dengan mempergunakan alat-alatnya dapat mewujudkan wewenangnya untuk memidana atau membebaskan pidana. 10 Menurut Yulies Tiena Masriani11, fungsi hukum acara pidana adalah mendapatkan kebenaran materiil, putusan hakim dan pelaksanaan keputusan hakim. Fungsi hukum acara pidana dikemukakan secara umum dengan membagi fungsi hukum acara pidana yaitu fungsi preventif dan fungsi represif. Fungsi preventif yaitu fungsi mencegah dan mengurangi tingkat kejahatan. Fungsi ini dapat dilihat ketika sistem peradilan pidana dapat berjalan dengan baik dan ada kepastian hukumnya, maka orang akan berhitung atau berfikir kalau akan melakukan tindak pidana. Fungsi represif yaitu, fungsi hukum acara pidana adalah melaksanakan dan menegakkan hukum pidana. Artinya jika ada perbuatan yang tergolong sebagai perbuatan pidana maka perbuatan tersebut harus diproses agar ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam hukum pidana dapat diterapkan. 12 Hukum acara pidana tidak hanya memiliki fungsi, namun hukum acara pidana juga memiliki tujuan. Tujuan Hukum Acara Pidana sangat erat hubungannya dengan tujuan Hukum Pidana yaitu menciptakan ketertiban,
ketentraman,
kedamaian,
keadilan,
dan
kesejahteraan
masyarakat. Hukum Acara Pidana mengatur bagaimana proses yang harus
10
Ishaq, 2009, Dasar -Dasar Ilmu Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, hlm 157. Yulies Tiena Masriani, Op.Cit., hlm 83. 12 http://korandemokrasiindonesia.wordpress.com/2009/11/28/hukum-di-indonesia-hukumacara-pidana/, diakses pada tanggal 10 Mei 2013. 11
10
dilalui oleh aparat penegak hukum dalam rangka mempertahankan hukum pidana materiil terhadap pelanggarnya.13 Adapun tujuan hukum acara pidana antara lain telah dijelaskan dalam Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukan Acara Pidana sebagaimana dikutip oleh Ishaq, yaitu: “Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.” 14 Tujuan hukum acara pidana mencari kebenaran itu hanyalah merupakan tujuan antara. Tujuan akhir sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban, ketenteraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat.15 Fungsi dan tujuan hukum acara pidana dari beberapa penjelasan di atas secara singkat dapat dikatakan bahwa fungsi dan tujuan hukum acara pidana yaitu: 1. Mencari dan mendapatkan kebenaran materiil. 2. Mencapai suatu ketertiban, ketenteraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat. 3. Putusan hakim dan pelaksanaan keputusan hakim. 13
Yulias Tiena Masriani, Loc.Cit. Ishaq, Op.Cit., hlm 157-158. 15 Andi Hamzah, 2011, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, hlm 9. 14
11
4. Mencegah dan mengurangi tingkat kejahatan. 5. Melaksanakan dan menegakkan hukum pidana. B. Asas -Asas Hukum Acara Pidana Asas merupakan sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. Asas -asas hukum harus ada dalam setiap aturan hukum. Jika asas-asas hukum tidak ada dalam sebuah aturan hukum maka aturan tersebut tidak dapat dimengerti. Hukum acara pidana juga memiliki asasasas hukum acara pidana agar hukum acara pidana dapat dimengerti. Asasasas hukum acara pidana yaitu: 1. Asas Legalitas Legalitas berasal dari kata legal (latin), aslinya legalis, artinya sah menurut undang-undang. Asas legalitas ini dikenal sebagai asas dalam hukum acara pidana, bahwa setiap perkara pidana harus diajukan ke depan hakim. Dalam KUHAP, konsideran huruf a mengatakan, “Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.16 Asas ini te rcantum dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) yang merumuskan bahwa : 16
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, 2010, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Bogor : Ghalia Indonesia, hlm 2.
12
“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.” Sebagaimana dikatakan oleh Hibnu Nogroho 17 bahwa Dalam KUHAP Indonesia dikenal suatu asas yang sangat fundamental yaitu Asas Legalitas. Dalam bahasa latin asas ini berbunyi nullum dellictum, nulla poena, sine praevie lege poenali. Asas ini diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP ya ng pada intinya menyatakan, tiada akan dijatuhkan pidana kecuali telah ada aturan pidana yang telah mengatur perbuatan tersebut sebelum perbuatan dilakukan. Asas ini oleh ahli hukum dipandang sebagai asas yang vital. Prof. Oemar Senoaji pada waktu menjadi Menteri Kehakiman bahkan menyatakan, asas legalitas walaupun bukan asas yang tercantum dalam UUD namun pembentuk undang-undang tidak boleh dengan gegabah menyimpanginya, sebab asas ini merupakan asas fundamental bagi suatu negara hukum. 2. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of innocence) Asas ini disebut dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman dan juga dalam Penjelasan Umum butir 3c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang K itab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dirumuskan : ”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang 17
Hibnu Nugroho, 2012, Bunga Rampai Penegakan Hukum Di Indonesia, Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, hlm 8-9.
13
menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.” Meskipun seorang terdakwa telah diperiksa di muka sidang pengadilan bukan berarti ia telah salah melakukan tindak pidana, di dalam sidang pengadilan tindak pidana yang didakwakan tersebut masih harus dibuktikan, apakah betul ia melakukan tindak pidana dan dapat dinyatakan salah sampai keputusannya mempunyai kekuatan yang tetap. Apabila terdakwa belum dapat dibuktikan bahwa ia salah masih banyak kemungkinan terdakwa tidak salah. Untuk itu tidak boleh orang cepat-cepat mengatakan bahwa orang yang diperiksa di muka sidang pengadilan itu sudah salah. Dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan : “Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terda kwa”. 3. Asas Perlakuan yang Sama atas Diri Setiap Orang di Muka Hukum (Equality Before the Law) Asas yang umum dianut di negara -negara yang berdasarkan hukum ini tegas tercantum pula dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merumuskan: “Pengadilan mengadili menurut membeda -bedakan orang.”
hukum
dengan
tidak
14
Asas ini juga terdapat dalam penjelasan umum butir 3a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merumuskan: “Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak menga dakan pembedaan perlakuan.” Asas perlakuan yang sama di muka hukum dimaksudkan agar setiap orang di muka peradilan mendapatkan perlakuan yang sama, bahwa hukum tidak membeda-bedakan status sosial dari setiap orang baik orang itu warga negara asing ataupun warga negara Republik Indonesia mereka mendapatkan perlakuan yang sama di muka hukum. 18 4. Asas Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Asas ini terdapat dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman yang merumuskan: “(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. (2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi, dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam undang-undang.”
18
Suharto RM, 2006, Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Jakarta : Sinar Grafika, hlm
129.
15
Asas ini juga terdapat dalam Penjelasan Umum butir 3d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dirumuskan: “Kepada seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana, dan atau dikenakan hukum administrasi.” 5. Asas Oportunitas Asas Oportunitas merupakan suatu asas yang bertentangan dengan asas legalitas. Asas oportunitas yaitu asas yang tidak mewajibkan penuntut umum untuk menuntut seseorang jika karena penuntutannya dapat merugikan kepentingan umum. Sebagaimana dikemukakan oleh A.Z. Abidin Farid dalam Andi Hamzah19 bahwa asas oportunitas yaitu asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum. Asas oportunitas ini lebih mengedepankan kepentingan
umum
sedangkan
asas
legalitas
mengedepankan
kepentingan hukum. Hibnu Nugroho20 mengatakan bahwa asas ini hanya dimilik oleh Jaksa Agung. Berdasarkan asas opportunitas maka jaksa agung
19
Andi Hamzah, Op.Cit., hlm 17. Hibnu Nugroho, Op.Cit., hlm 79-80.
20
16
dapat
mengesampingkan
perkara
(populer
dengan
sebutan
deponering). Deponering perkara dapat dilakukan oleh jaksa agung dengan syarat bahwa sekalipun perkara tersebut merupakan perkara pidana dan dapat dilakukan penuntutan di muka persidangan karena bukti yang ada telah cukup namun apabila penuntutan dilakukan maka kepentingan umum menjadi terganggu. Konsekuensi dari deponering adalah bahwa kasus tersebut tidak dapat lagi untuk diajukan ke muka sidang pengadilan. Mengeluarkan deponering memang tidak menutup kemungkinan untuk timbulnya polemik, dan sampai sekarangpun tampaknya Kejagung belum pernah menerapkan asas tersebut. Karena keberadaan asas opportunitas ini ada yang menganggapnya sebagai pengingkaran terhadap asas equality before the law, diskriminatif dengan bertameng demi kepentingan umum. 6. Asas Peradilan cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Asas ini tercantum dalam dalam Penjelasan Umum butir 3e Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dirumuskan : “Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.” Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman merumuskan : “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.”
17
Asas ini adalah untuk menjamin kehendak dan cita -cita masyarakat dalam mencari keadilan maka pengadilan harus memenuhi harapan dari para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan. Pengadilan tidak perlu memeriksa dengan acara yang berbelit-belit yang dapat menyebabkan proses sampai bertahun-tahun, bahkan kadang-kadang harus dilanjutkan oleh para ahli warisnya. Biaya ringan artinya biaya yang serendah mungkin sehingga dapat dipikul oleh masyarakat tanpa mengorbankan ketelitian untuk mencari kebenaran dan keadilan. 7. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum Asas terbuka untuk umum diatur dalam Pasal 64 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dirumuskan sebagai berikut: “Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.” Asas ini juga terdapat dalam Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dirumuskan: “Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakw anya anak-anak”. Kekecualian terhadap kesusilaan dan anak-anak alasannya karena kesusilaan dianggap masalahnya sangat pribadi sekali. Tidak patut untuk mengungkapkan dan memaparkan secara terbuka dimuka
18
umum. Begitu juga dengan anak-anak, melakukan kejahatan karena kenakalan. Maksud asas terbuka untuk umum dalam pemeriksaan di sidang pengadilan ialah bahwa setiap orang yang mempunyai kehendak mengikuti jalannya sidang pengadilan dapat hadir di ruang sidang untuk mendengarkan jalannya pemeriksaan. Pada saat hakim ketua membuka sidang peradilan harus sidang dinyatakan terbuka untuk umum, kecuali pemeriksaan perkara khusus yang oleh undangundang ditentukan bahwa sidang peradilan dilaksanakan dengan pintu tertutup, yang berarti umum tidak boleh menghadirinya jalannya sidang peradilan. 21 P elanggaran atas asas tersebut mengakibatkan batalnya putusan hakim. Menurut Pasal 153 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan: “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum”. 8. Tersangka / Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum Asas ini dimaksudkan bahwa untuk mendapatkan penasihat hukum, tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya yang dianggap menguntungkan dirinya. Untuk menghindari penyalahgunaan wewenang dari para pejabat khususnya bagi mereka yang tidak tahu hukum, Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 21
Suharto RM, Op.Cit., hlm 125.
19
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan sebagai berikut : “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seseorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undangundang ini”. Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur tentang bantuan hukum tersebut dimana tersangka atau terdakwa mendapat kebebasan yang sangat luas. Kebebasan itu antara lain sebagi berikut: 1. Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan. 2. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan. 3. Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu. 4. Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik dan penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan negara. 5. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum guna kepentingan pembelaan. 6. Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka/terdakwa.22 9. Pengadilan Memeriksa Perkara Pidana dengan Hadirnya Terdakwa Asas ini tercantum dalam dalam Penjelasan Umum butir 3h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dirumuskan : 22
Andi Hamzah, Op.Cit., hlm 23.
20
“Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa” Dilihat dari segi hak-hak asasi manusia, pemeriksaan di persidangan tanpa kehadiran terdakwa seolah-olah tidak memberi kesempatan pada terdakwa untuk membela diri sehingga terasa kurang adil. Yang dipandang pengecualian dari asas ini ialah kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa, yaitu putusan verstek atau in absentia . Tetapi ini hanya merupakan pengecualian, yaitu dalam acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. 23 10. Peradilan Dilakukan Oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap Asas ini
berarti
bahwa pengambilan
keputusan
untuk
menyatakan salah atau tidaknya perbuatan terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Istilah tetap yang dimaksud adalah bahwa hakim yang bertugas untuk memeriksa dan memutuskan perkara adalah hakim-hakim yang diangkat oleh Kepala Negara sebagai hakim. Sistem ini berbeda dengan sistem juri, Andi Hamzah24 mengatakan bahwa sistem juri yang menentukan salah tidaknya terdakwa ialah suatu dewan yang mewakili golongangolongan dalam masyarakat. Pada umumnya mereka awam terhadap ilmu hukum. 23
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Op.Cit., hlm 9. Andi Hamzah, Op.Cit., hlm 22.
24
21
C. Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian Pembuktian memiliki peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah
yang
bersalah
melakukannya,
sehingga
harus
mempertanggungjawabkannya. Melalui pembuktian akan ditentukan nasib terdakwa. Tahap pembuktian dalam persidangan merupakan “jantungnya” sebuah proses peradilan guna menemukan kebenaran materiil, sebagai tujuan adanya hukum acara pidana. Kebenaran materiil diartikan sebagai suatu kebenaran yang diupayakan mendekati kebenaran sesungguhnya atas tindak pidana yang telah terjadi. 25 Adanya asas praduga tak bersalah dalam hukum acara pidana untuk mengetahui apakah seseorang bersalah atau tidak bersalah dapat diketahui dengan proses pembuktian. Sebagaimana dikemukakan oleh Leden Marpaung yang menyatakan bahwa: “Sebelumnya seseorang diadili oleh Pengadilan, orang tersebut berhak dianggap tidak bersalah, hal ini dikenal dengan asas “praduga tak bersalah” (presumption of innocence). Untuk menyatakan seseorang “melanggar hukum”, Pengadilan harus dapat menentukan “kebenaran” diperlukan bukti-bukti, yaitu sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Dari uraian tersebut, “bukti”dimaksud untuk menentukan “kebenaran”. 26 25
Hibnu Nugroho, Op.Cit., hlm 27. Leden Marpaung, 2009, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan Dan Penyidikan), Jakarta : Sinar Grafika, hlm 22-23. 26
22
Menurut Suharto RM 27, Pembuktian di muka sidang pengadilan adalah suatu usaha penuntut umum dalam mengajukan alat-alat bukti yang sah
menurut
undang-undang
di
muka
sidang
pengadilan
untuk
membuktikan kesalahan terdakwa. Pengertian pembuktian juga dikemukakan oleh M. Yahya Harahap, yang mengatakan bahwa: “Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.” 28 Terbukti atau tidaknya seseorang dalam melakukan tindak pidana tergantung dari pembuktian dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Untuk menilai seseorang bersalah atau tidak diperlukan suatu alat bukti, dari alat bukti ini menunjukan bahwa salah atau tidaknya seseorang di sidang pengadilan. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesala han terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukumannya. Sebaliknya, apabila kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti, terdakwa dinyatakan bersalah dan dikenakan hukuman kepadanya. Sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Taufik Makarao dan Suhasril yang menyatakan bahwa :
27
Suharto RM, Op.Cit., hlm 135. M. Yahya Harahap, 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Jakarta : Sinar Grafika, hlm 273. 28
23
“Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan yang didakwakan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terdakwa harus dinyatakan bersalah.” 29 2. Sistem Pembuktian Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan. Sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat. Sehingga di setiap negara memiliki sistem pembuktian yang berbeda -beda. Sistem pembuktian dalam hukum acara pidana terbagi ke dalam beberapa sistem, yaitu: 1. Sistem Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim Semata (Conviction-in time). Sistem pembuktian ini didasarkan kepada keyakinan hakim semata -mata, tidak peduli dari mana keyakinan hakim tersebut yang penting
yang
dipakai
adalah
keyakinan
hakim.
Sebagaimana
diungkapkan oleh M. Yahya harahap yang menyatakan bahwa: “Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata -mata ditentukan dengan penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa, dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya tidak menjadi 29
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Op.Cit., hlm 102-103.
24
masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya di dalam sidang pengadilan. Sistem ini mengandung kelemahan yaitu hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata -mata atas dasar “keyakinan” belaka tanpa didukung alat bukti yang cukup.” 30 Sistem pembuktian menurut keyakinan hakim semata atau dapat juga disebut sistem pembuktian keyakinan hakim melulu memiliki kelemahan yaitu dalam menjalankan tugasnya hakim tidak dibatasi oleh apapun, sehingga hakim memiliki kebebasan yang terlalu besar dan hal ini dapat mengakibatkan ketidakadilan maupun kesewenang-wenangan. Menurut A. Minkenhof dalam Andi Hamzah, mengatakan bahwa: “Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawas i. Di samping itu, terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan. Praktik peradilan juri di Prancis membuat pertimbangan berdasarkan metode ini dan mengakibatkan banyaknya putusan-putusan bebas yang sangat aneh.” 31 2. Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Dasar Keyakinan L ogis (Conviction Raisonce). Sistem pembuktian ini merupakan sistem pembuktian yang didasarkan pada keyakinan hakim menggunakan alasan yang dapat diterima atau secara logis. Menurut M. Yahya Harahap32 bahwa dalam sistem ini pun dapat dikatakan, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, 30
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm 277. Andi Hamzah, Op.Cit., hlm 252-253. 32 M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm 277. 31
25
akan tetapi di dalam sistem pembuktian ini faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika di dalam convictio -in time peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas maka pada sistem conviction raisonce keyakinan hakim harus didukung alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima oleh akal. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas dasar keyakinan logis juga dijelaskan oleh Andi Hamzah33 yang menyatakan bahwa menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi. Sistem pembuktian ini menurut keyakinan hakim secara logis yang tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuanketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan. 3. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif Sistem pembuktian ini dikatakan secara positif karena hanya mendasarkan pada undang-undang saja tidak berdasarkan atas
33
Andi Hamzah, Op.Cit., hlm 253.
26
keyakinan hakim, yang artinya dalam sistem ini keyakinan hakim tidak memiliki peranan. Hal tersebut juga dikemukan oleh Andi Hamzah34 yang mengatakan bahwa pembuktian yang didasarkan melulu ke pada alat-alat pembuktian yang disebut undang-undang, disebut sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie ). Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya, jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem
ini
disebut
juga
teori
pembuktian
formal
(formele
bewijstheorie). Ajaran ini didasarkan kepada kemurnian undang-undang seperti diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP ) yang merumuskan sebagai berikut : “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam undang yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”. Artinya hakim dalam memutuskan perkara harus berdasarkan undang-undang, yang berarti tugas hakim hanya sebagai pelaksana undang-undang belaka. 35 Sehingga dalam ajaran tersebut memberi kesempatan bagi orang melakukan perbuatan yang pada hakikatnya ia melakukan kejahatan tetapi karena tidak diatur dalam undang-undang sebagai tindak pidana ia le pas dari tuntutan pidana. 34
Ibid, hlm 251. Suharto RM, Op.Cit., hlm 132.
35
27
4. Pembuktian
Menurut
Undang-Undang
Secara
Negatif
(Negatief Wettelijk Stelsel) Sistem pembuktian ini mendasarkan
pada dua unsur yaitu
adanya unsur alat bukti yang ada dalam undang-undang dan unsur keyakinan hakim. Sehingga dapat dikatakan bahw a sistem pembuktian ini merupakan gabungan dari sistem pembuktian berdasar undangundang secara positif dan sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim semata. M. Yahya Harahap36 mengatakan bahwa pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur mengenai sistem pembuktian hukum acara pidana Indonesia yaitu sebagai berikut : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Menurut Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut hukum acara pidana Indonesia menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif yaitu menggunakan alat bukti yang telah ditentukan undangundang dan dengan keyakinan hakim demi tegaknya keadilan, kebenaran dan kepastian hukum. Membuktikan mengandung maksud dan tujuan 36
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm 278.
28
untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Salah satu keuntungan dari dianutnya sistem pembuktian menurut undang-undang yang bersifat negatif, seperti yang dianut oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana kita dewasa ini adalah, bahwa menurut sistem pembuktian ini hakim dipaksa menjelaskan alasan atau atas dasar apa ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Menurut sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP, penilaian atas kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti yang diajukan ke depan sidang pengadilan oleh penuntut umum, sepenuhnya diserahkan kepada majelis hakim. 37 3. Alat Bukti Menurut KUHAP Alat bukti sah yang diajukan bertujuan untuk memberikan kepastian pada hakim tentang perbuatan-perbuatan terdakwa. Karena tujuan pemeriksaan pengadilan di persidangan adalah untuk mencari kebenaran materiil. Alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang terdiri dari : 1. Keterangan Saksi
37
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, 2010, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 409.
29
Pasal 1 angka (27) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merumuskan sebagai berikut : “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya ini.” Keterangan saksi agar dapat menjadi alat bukti yang sah harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji. Saksi
harus mengucapkan sumpah atau janji agar
keterangannya dapat menjadi alat bukti yang sah. Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan: “Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.” Jika saksi tidak mau mengucapkan sumpah maka akibat hukumnya keterangan saksi tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim. Hal ini diatur dalam Pasal 185 ayat (7) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang merumuskan:
Hukum
Acara
Pidana
(KUHAP)
yang
30
“Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.” b. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti ialah keterangan saksi yang diatur dalam Pasal 1 angka 27 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu keterangan yang saksi lihat sendiri, saksi dengar sendiri dan saksi alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Keterangan saksi yang diberikan atas dasar hasil pemikiran sendiri bukan merupakan keterangan saksi. Saksi juga tidak boleh memberikan keterangan mengenai terjadinya suatu tindak pidana yang ia dengar dari orang lain. Keterangan seperti di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana disebut sebagai suatu kesaksian de auditu atau suatu testimonium de auditu, yang tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti. c. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan. Saksi-saksi yang diajukan penuntut umum memberikan keterangannya secara langsung di persidangan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 185 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merumuskan:
31
“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.” d. Keterangan se orang saksi saja dianggap tidak cukup. Ketentuan ini sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yaitu untuk menyatakan bahwa terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti. Pasal 185 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan: “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.” Hal ini mengandung suatu asas yang sangat penting untuk diperhatikan, baik oleh penyidik, penuntut umum, hakim maupun penasihat hukum, yakni asas unus testis nullus testis, atau yang di dalam praktik juga sering disebut secara singkat dengan perkataan satu saksi bukan saksi. e. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu saling berhubungan satu dengan yang lain sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Jika keterangan beberapa saksi tidak saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain maka tidak akan dapat mewujudkan suatu kebenaran akan suatu kejadian
32
tertentu. Keterangan beberapa saksi yang seperti itu tidak dapat membuktikan kesalahan terdakwa. Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi: a. Mempunyai kekuatan pembuktian bebas. Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah mempunyai kekuatan pembuktian bebas, tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Sebagaimana
dikemukakan
oleh
Mohammad
Taufik
Makarao dan Suhasril 38 yang mengatakan bahwa alat bukti keterangan saksi mempunyai kekuatan bebas, tidak melekat nilai pembuktian yang sempurna. b. Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim. Keterangan saksi sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim tidak
diharuskan
untuk menerima kebenaran setiap
keterangan saksi. Hakim bisa saja mengesampingkan keterangan saksi. Seperti yang dikatakan M. Yahya Harahap39 bahwa tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran setiap keterangan saksi. Hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran yang melekat pada keterangan
itu,
dan
dapat
“menyingkirkannya”. 38
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Op.Cit., hlm 123. M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm 295.
39
“menerima”
atau
33
2. Keterangan Ahli Pasal 1 angka (28) Unda ng-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan sebagai berikut : “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. ” Menurut Pasal 186 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan. a. Sebelum memberikan keterangan ahli terlebih dahulu harus disumpah. b. Keterangan ahli harus merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang mempunyai keahlian khusus tentang sesuatu yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang sedang diperiksa. c. Keterangan ahli diberikan oleh ahli menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya. Sedang keterangan yang diberikan seorang ahli, tapi tidak mempunyai keahlian khusus tentang suatu keadaan yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang bersangkutan, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang.
34
Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli: a. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas. Keterangan ahli sebagai alat bukti yang mempunyai nilai kekuatan
pembuktia n
bebas,
tidak
memiliki
kekuatan
pembuktian yang sempurna dan menentukan, sehingga terserah pada penilaian hakim. b. Harus memenuhi batas minimum pembuktian. Sesuai dengan prinsip minimum pembuktian, keterangan ahli saja tanpa didukung oleh alat bukti yang la in, tidak cukup dan tidak dapat membuktikan kesalahan terdakwa. 3. Surat Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan bahwa: “Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah : a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
35
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.” Surat dari rumusan pasal tersebut agar dapat dijadikan alat bukti yang sah yaitu dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Surat dapat digunakan sebagai alat bukti dan mempunyai nilai pembuktian apabila surat tersebut dibuat sesuai dengan apa yang diharuskan oleh undang-undang. Apabila surat sudah dibuat sesuai dengan ketentuan undang-undang maka bukti surat mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat bagi hakim dengan syarat : 1. Bentuk formil maupun materiil sudah sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh undang-undang. 2. Bahwa surat tersebut tidak ada cacat hukum. 3. Tidak ada orang lain yang mengajukan bukti bahwa yang dapat melemahkan bukti surat tersebut. Dalam menilai alat bukti surat, penyidik, penuntut umum maupun hakim dalam meneliti alat bukti surat harus cermat, dan hanya alat bukti surat tersebut di atas yang merupakan alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian dalam perkara pidana. 40 Bagaimanapun sempurnanya nilai pembuktian alat bukti surat, kesempurnaan itu tidak merubah sifatnya menjadi alat bukti yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat. Nilai kekuatan 40
Suharto RM, Op.Cit., hlm 154-155.
36
yang melekat pada kesempurnaannya tetap bersifat kekuatan pembuktian “yang bebas”. Hakim bebas untuk menilai kekuatannya dan kebenarannya. Kebenaran penilaian itu dapat ditinjau dari beberapa alasan. Boleh dari segi asas kebenaran sejati, atas keyakinan hakim maupun dari sudut batas minimum pembuktia n. Dan memang pada prinsipnya, ajaran pembuktian yang dianut hukum acara pidana pada dasarnya tidak mengenal alat bukti yang sempurna dan mengikat, kecuali bagi negara yang menganut sistem pembuktian menurut undang-undang “secara positif”. 41 4. Petunjuk Pasal 188 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan bahwa : “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaian, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.” Pengertian petunjuk sebagaimana dikemukakan oleh M. Yahya Harahapyaitu: “Petunjuk ialah suatu “isyarat” yang dapat ditarik dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan di mana isyarat itu mempunyai “persesuaian” antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat itu mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut “melahirkan” atau “mewujudkan” suatu petunjuk yang “membentuk kenyataan” terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya.” 42 41
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm 312. Ibid, hlm 313.
42
37
Petunjuk dapat digunakan oleh hakim, apabila hakim sudah memeriksa alat bukti keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Hal ini diatur dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merumuskan bahwa : “Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari : a. Keterangan saksi; b. Surat; c. Keterangan terdakwa. Hakim dalam menggunakan alat bukti petunjuk harus dengan hati-hati dan cermat. Alat bukti petunjuk digunakan apabila alat bukti yang lain belum mencukupi membuktikan kesalahan terdakwa. Jika pembuktian dengan alat bukti yang lain sudah mencukupi, maka pada dasarnya tidak lagi diperlukan alat bukti petunjuk. Adapun mengenai kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk serupa sifat dan kekuatannya dengan alat bukti yang lain yaitu: a. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas. Hakim
tidak
terikat
atas
kebenaran
persesuaian
yang
diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu, hakim bebas menilainya
dan
mempergunakannya
sebagai
upaya
pembuktian. b. Harus memenuhi batas minimum pembuktian. Sesuai dengan prinsip minimum pembuktian, alat bukti petunjuk saja tanpa didukung oleh alat bukti yang lain, tida k
38
cukup dan tidak dapat membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena
itu,
agar
petunjuk
mempunyai
nilai
kekuatan
pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurangkurangnya satu alat bukti yang lain. 5. Keterangan Terdakwa Pasal 189 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan bahwa : “Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. ” Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP ). Sebagaimana dikemukakan oleh Leden Marpaung yang mengatakan bahwa: “Jika diperhatikan Pasal 184 KUHAP yang memuat urutan alat bukti sah, urutan pertama adalah keterangan saksi. Dengan demikian maka pemeriksaan terdakwa tidak dilakukan lebih dahulu, melainkan pada pemeriksaan terakhir. Pemeriksaan terdakwa sebenarnya sejak pemeriksaan saksi, telah dimulai karena setiap kali seorang saksi selesai memberikan keterangan, hakim Ketua Sidang menanyakan kepada terdakwa bagaimana pendapat terdakwa tentang keterangan saksi tersebut (Pasal 184 ayat (1) KUHAP).” 43 Istilah keterangan terdakwa adalah istilah baru sebagai alat bukti yang terdapat dalam KUHAP. Sebelumnya dalam HIR istilah 43
Leden Marpaung, 2010, Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Upaya Hukum dan Eksekusi), Jakarta : Sinar Grafika, hlm 116-117.
39
yang digunakan adalah pengakuan tertuduh. Dari segi bahasa, maka antara keduanya kelihatan bahwa keterangan terdakwa lebih luas, sebab keterangan terdakwa meliputi pengakuan dan pengingkaran. Sedangkan pengakuan tertuduh hanya terbatas pada pernyataan pengakuan itu sendiri tanpa menca kup pengertian pengingkaran. 44 Menurut M. Yahya Harahapnilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan terdakwa adalah sebagai berikut : a. Sifat nilai kekuatan pembuktiannya adalah bebas. Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat pada alat bukti keterangan terdakwa. Dia bebas untuk menilai kebenaran yang terkandung di dalamnya. Hakim dapat menerima atau menyingkirkannya sebagai alat bukti dengan jalan mengemukakan alasan-alasannya. b. Harus memenuhi batas minimum pembuktian. Asas batas minimum pembuktian telah menegaskan, tidak seorang terdakwa pun dapat dijatuhi pidana kecuali jika kesalahan yang didakwakan kepadanya telah dapat dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. c. Harus memenuhi asas keyakinan hakim. Sekalipun kesalahan terdakwa telah terbukti sesuai dengan asas batas minimum pembuktian, masih harus lagi dibarengi dengan “keyakinan hakim”, bahwa memang terdakwa yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. 45 D. Anak 1. Pengertian Anak Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus memerlukan
44
pembinaan
perlindungan
dalam
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Op.Cit., hlm 130-131. M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm 332-333.
45
rangka
menjamin
40
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang. Anak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keturunan yang kedua. 46 Pengertian Anak menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang merumuskan: “Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. ” Pengertian anak yang terdapat dalam Pasal 1 angka (2) UndangUndang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yaitu: “Anak adalah seseorang orang yang belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah nikah. ” Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak memberikan pengertian anak yaitu: “A nak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. ” Adapun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pengertian anak tidak dicantumkan, tetapi batasan anak (orang belum dewasa) dalam Pasal 45 KUHP adalah orang yang umurnya belum 16 (enam belas) tahun. Setiap peraturan perundang-undangan yang berkaitan tentang anak memberikan pengertia n dan batasan yang berbeda tentang anak. Hal ini dikarenakan mengingat dari setiap peraturan perundang-undangan tersebut memiliki sudut pandang yang berbeda tentang anak. Berdasarkan beberapa 46
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, hlm 41.
41
pengertian tentang anak di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kalau ditinjau dari segi usia menurut hukum, maka seseorang yang disebut sebagai anak adalah berbeda -beda tergantung tempat, waktu dan kepentingannya. 2. Kenakalan Anak Keluarga mempunyai kedudukan yang sangat fundamental dalam pembentukan pribadi anak. Lingkungan keluarga potensial membentuk pribadi anak untuk hidup secara lebih bertanggungjawab. Bila usaha pendidikan dalam keluarga gagal, maka anak cenderung melakukan kenakalan, yang dapat terjadi di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat tempat anak bergaul. Kenakalan anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. 47 Disamping itu, terdapat pula anak, yang karena satu dan lain hal tidak mempunyai kesempatan memperoleh perhatian baik secara fisik, mental, maupun sosial. Karena keadaan diri yang tidak memadai tersebut, maka baik sengaja maupun tidak sengaja sering juga anak melakukan tindakan atau perilaku yang dapat merugikan dirinya dan masyarakat. Menurut Bismar Siregar yang dikutip oleh Maidin Gultom48, kenakalan anak disebabkan oleh modernisasi, masyarakat belum siap menerimanya. Rumah tangga terbengkalai, karena kedua orang tua saling menunjang mencari nafkah rumah tangga, berakibat anak tersia -sia.
47
Maidin Gultom, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Bandung : Refika Aditama, hlm 63. 48 Ibid, hlm 58.
42
Kenakalan anak disebut juga dengan
Juvenile Delinquency.
Juvenile (dalam bahasa Inggris) atau yang dalam bahasa Indonesia berarti anak-anak;
anak
muda,
sedangkan
Delinquency
artinya
terabaikan/mengabaikan yang kemudian diperluas menjadi jahat, kriminal, pelanggar peraturan dan lain-lain. 49 Juvenile Delinquency adalah perilaku anak yang merupakan perbuatan yang melanggar norma, yang apabila dilakukan oleh orang dewasa disebut sebagai kejahatan. 50 Juvenile Delinquency juga merupakan suatu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dila kukan oleh anak-anak usia muda, pengertian tersebut cenderung sebagai kenakalan anak daripada kejaha tan anak, karena rasanya terlalu ekstrim bila seorang anak yang melakukan tindak pidana dikatakan sebagai penjahat. 51 Sedangkan menurut Romli Atmasasmita yang dikutip oleh M. Nasir Djamil52, Juvenile Delinquency adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan. Anak yang melakukan tindak pidana atau biasa disebut anak nakal adalah suatu hal yang dapat dimungkinkan dalam keadaan yang di bawah
49
M. Nasir Djamil, 2013, Anak Bukan Untuk Dihukum : Catatan Pembahasan UndangUndang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA), Jakarta : Sinar Grafika, hlm 35. 50 Nashriana, 2011, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia , Jakarta : Rajawali Pers, hlm 29. 51 Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Yogyakarta : Genta Publishing, hlm 30. 52 M. Nasir Djamil, Loc.Cit.
43
sadar. Hal ini dikarenakan sifat mental anak sangat rentan dengan pengaruh lingkungannya. 53 Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, tidak ada satu pasal pun yang memberikan batasan tentang kenakalan anak, hanya saja batasan Anak Nakal dapat dilihat dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang menyatakan bahwa Anak Nakal adalah : a. Anak yang melakukan tindak pidana; atau b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundangan-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Pembedaan perlakuan dan ancaman yang diatur dalam UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 dimaksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak agar dapat menyongsong masa depannya yang panjang. Memberikan kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri, masyarakat, bangsa, dan negara.54 3. Proses Peradilan Pidana Anak Sistem peradilan pidana anak adalah suatu sistem penegakan hukum pidana anak yang dilaksanakan secara terpadu oleh 4 (empat) subsistem kekuasaan, yaitu kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan,
53
Muhammad Azil Maskur, 2012, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Nakal (Juvenile Delinquency) Dalam Proses Acara Pidana Indonesia, Pandecta Volume 7 Nomor 2 Juli 2012, hlm 172. 54 Mugiman, 2010, Implementasi Undang-Undang No. 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak ( Studi Terhadap Anak Yang Berhadapan dengan Hukum Dalam Tingkat Penyidikan Di Polres Purbalingga), Jurnal Dinamika Hukum Vol.10 Mei 2010, hlm 115.
44
kekuasaan mengadili atau menjatuhkan pidana, dan kekuasaan eksekusi atau pelaksanaan pidana, berdasar hukum pidana materii l anak, hukum pidana formal anak, dan hukum pelaksanaan pidana anak, dan aktivitas dalam penegakan hukum pidana anak ini lebih menekankan pada kepentingan perlindungan anak dan tujuan kesejahteraan anak. 55 Berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, mengatur bahwa “hukum acara yang berlaku diterapkan pula dalam pengadilan anak, kecuali lain dalam undang-undang ini”. Hal ini berarti ketentuan-ketentuan dalam KUHAP berlaku pula dalam acara pemeriksaan pengadilan anak. Salah satu instrumen yang harus ada dalam setiap proses pemeriksaan perkara pidana anak adalah adanya hasil penelitian kemasyarakatan
(litmas)
yang
dibuat
oleh
Petugas
Pembimbing
Kemasyarakatan. Fungsi dari hasil litmas adalah memberikan masukan bagi hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan hukuman dengan tidak hanya mempertimbangkan dari segi yuridis tapi juga dari sudut nonyuridis terkait dengan kondisi fisik maupun kejiwaan terdakwa anak beserta halhal lainnya yang menjadi faktor penyebab terjadinya tindak pidana tersebut seperti kondisi lingkungan keluarga dan masyarakat sekitarnya.56 Ada beberapa tahap proses peradilan pidana anak, yaitu terdiri dari: 1. Penyidikan
55
Setya Wahyudi, Op.Cit., hlm 37. Hari Widya Pramono, 2013, Upaya Perlindungan Terdakwa Anak Dalam Proses Persidangan Di Pengadilan, Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXVI No. 319 Juni 2013, hlm 85. 56
45
Tahap penyidikan ini diatur dalam Pasal 41 dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pengertian penyidikan dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu: “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan tata cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi da n guna menemukan tersangkanya.” Penyidikan merupakan salah
satu
dari
tindakan
pemeriksaan
pendahuluan menurut KUHAP. Penyidikan dalam perkara pidana anak adalah kegiatan penyidik anak untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana yang dilakukan anak. Penyidik membuat laporan mengenai kasus anak, sebab-sebab melakukan kenakalan, latar belakangnya, dengan cara wawancara secara sabar dan halus. Harus dijauhkan tindakan kekerasan atau penyiksaan, tindakan yang sifatnya sugestif dengan tekanan-tekanan. Diciptakan suasana sedemikian rupa agar anak merasa aman, tidak takut sehingga anak dengan lancar memberikan jawaban-jawaban, mengerti dan menghayati yang telah dilakukan. Dalam proses penyidikan anak, harus dihindarkan hal-hal yang dapat merugikan anak. Dalam penyidikan, dihindarkan gertakan-gertakan, kekerasan fisik dan sebagainya. Orang tuanya mendampingi dan ikut menginsyafi
46
kekurangan-kekurangan dalam melaksanakan kewajibannya kepada anaknya dan dapat berjanji untuk memperbaikinya. 57 Pemberkasan
perkara
oleh
penyidik
anak
berdasarkan
ketentuan KUHAP, karena dalam Pasal 41 dan Pasal 42 UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak mengatur
sedikitpun
tentang
pemberkasan
perkara.
Setelah
pemberkasan selesai, selanjutnya penyidik anak menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. 2. Penangkapan dan Penahanan Pasal 1 angka (20) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan bahwa: “Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam unda ng-undang ini.” Berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat diketahui bahwa tujuan penangkapan tersangka ialah untuk kepentingan penyelidikan dan untuk kepentingan penyidikan. Adapun syarat-syarat untuk melakukan pena ngkapan adalah sebagai berikut: a. Syarat formil
57
Maidin Gultom, Op.Cit., hlm 105.
47
1) Dilakukan oleh penyidik POLRI atau oleh penyelidik atas perintah penyidik. 2) Dilengkapi dengan Surat Perintah Penangkapan dari penyidik . 3) Menyerahkan surat perintah penangkapan kepada tersangka dan tembusannya kepada keluarganya. b. Syarat materiil 1) Ada bukti permulaan yang cukup (Pasal 17 KUHAP) 2) Penangkapan paling lama satu hari (Pasal 19 ayat (1) KUHAP) Penangkapan yang tidak memenuhi syarat formil dan syarat materiil adalah tidak sah, dan karenanya dapat diajukan ke praperadilan untuk menyatakan
ketidaksahannya
dan
sekaligus
memintakan
ganti
kerugian atas penangkapan itu. 58 Dalam melakukan tindakan penangkapan, asas praduga tak bersalah harus dihormati dan dijunjung tinggi sesuai dengan harkat dan martabat anak. Anak juga harus dipahami sebagai orang yang belum mampu memahami masalah hukum yang terjadi atas dirinya. Melakukan tindakan penangkapan terhadap anak yang diduga melakukan kenakalan, didasarkan pada bukti yang cukup dan jangka waktunya terbatas dalam satu hari. Dalam melakukan penangkapan, diperhatikan hak-hak anak sebagai tersangka, seperti hak mendapat
58
Nashriana, Op.Cit., hlm 125-126.
48
bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan oleh undang-undang.59 Pasal 1 angka (21) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan bahwa: “Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal ser ta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.” Berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat diketahui bahwa tujuan penahanan adalah untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan. Setiap tersangka pelaku tindak pidana, ketika akan dilakukan penahanan harus dilakukan dengan surat perintah penahanan, tidak terkecuali
bagi
anak.
Untuk
menahan
seorang
anak,
alasan
penahanannya harus mempertimbangkan kepentingan si anak dan kepentingan masyarakat yang harus dinyatakan tegas dalam surat perintah penahanan. 60 Penahanan dilakukan apabila anak melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara lima tahun ke atas, atau tindak pidanatindak pidana tertentu yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam hal ini, muncul persoalan dalam menentukan “diduga keras” dan “bukti
59
Maidin Gultom, Op.Cit., hlm 97. Nashriana, Op.Cit., hlm 128.
60
49
permulaan”, sebab bisa saja penyidik salah duga atau menduga-duga saja, hal ini tidak mencerminkan perlindungan anak. Anak dapat menjadi korban ketidakcermatan atau ketidaktelitian penyidik. 61 Berdasarkan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan pena hanan terhadap anak yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Penyidik anak dapat melakukan penahanan paling lama 20 hari. Apabila penyidik menganggap bahwa pemeriksaan yang dilakukan terhadap anak tersebut belum selesai, penyidik dapat meminta perpanjangan kepada Penuntut Umum untuk paling lama 10 hari. Artinya terhadap anak dapat dilakukan penahana n oleh penyidik anak selama 30 hari, dan apabila pemeriksaan belum selesai dila kukan, maka anak harus dikeluar kan demi hukum.
Penahanan anak yang
lebih sedikit waktunya dibandingkan dengan penahanan bagi orang dewasa, semata-mata agar anak tidak terlalu lama dalam tahanan, sehingga akan mengganggu perkembangan fis ik, mental, dan sosial anak. Terhadap anak nakal, Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merumuskan bahwa penahanan terhadap anak dapat dilakukan setelah dengan sungguhsungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan/atau kepentingan
61
Maidin Gultom, Op.Cit., hlm 98.
50
masyarakat.
Penyidik
yang
melakukan
penahanan
harus
memperhatikan kepentingan yang menyangkut pertumbuhan dan pekembangan anak secara fisik, mental, ataupun sosial anak. 3. Penuntutan Pengertian penuntutan menurut Pasal 1 angka (7) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu: “Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.” Berdasarkan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, penuntutan terhadap anak nakal dilakukan oleh penuntut umum yang memenuhi syarat telah berpengalaman sebagai penuntut umum tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa, mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak. Setelah menerima berkas perkara yang dilimpahkan oleh penyidik dan penuntut umum beranggapan bahwa hasil penyidika n telah cukup dan dapat dilakukan penuntutan, maka berdasarkan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka wajib dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara P idana. Surat
51
dakwaan merupakan dasar adanya suatu perkara pidana yang juga merupakan dasar hakim melakukan pemeriksaan. Penuntut umum anak yang diberi tugas untuk melakukan penuntutan terhadap tersangka anak nakal, selanjutnya melimpahkan berkas perkara ke pengadilan negeri disertai dengan surat dakwaan. Pelimpahan berkas perkara pidana dilakukan penuntut umum dengan surat pelimpahan perkara dengan permintaan agar Pengadilan Negeri segera mengadili perkara tersebut. Dalam pelimpahan itu penutut umum juga menyerahkan barang bukti ke pengadilan. Setelah perkara dilimpahkan, penuntut umum menunggu penetapan hakim tentang hari sidang perkara tersebut yang segera akan dikirim ke pengadilan. 62 4. Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan Pemeriksaan sidang anak pada dasarnya dilakukan de ngan hakim tunggal ( Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak) dengan sidang tertutup. Dengan hakim tunggal, bertujuan agar sidang anak dapat diselesaikan dengan cepat. Memang pada prinsipnya penyelesaian perkara anak da pat dilakukan dengan waktu singkat atau cepat agar anak tidak berlama-lama mendapat perlakuan terkait pemberian sanksi terhadap kenakalan yang telah dilakukannya. Perkara anak yang disidangkan dengan hakim tunggal adalah perkara -perkara pidana yang ancaman hukumannya lima tahun atau ke bawah dan pembuktiannya mudah atau tidak sulit.
62
Nashriana, Op.Cit., hlm 138.
52
Apabila tindak pidananya diancam dengan hukuman penjara diatas lima tahun dan pembuktiannya sulit, maka berdasarkan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, perkara tersebut diperiksa dengan Hakim Majelis. 63 Sesuai Pasal 56 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, sebelum sidang dibuka, hakim memerintahkan agar Pembimbing Kemasyarakatan menyampaikan laporan hasil penelitia n kemas yarakatan mengenai anak yang bersangkutan. Setelah laporan penelitian
kemasyarakatan
disampaikan
oleh
pembimbing
kemasyarakatan, hakim membuka sidang dan dinyatakan tertutup untuk umum. Persidangan perkara anak bersifat tertutup agar tercipta suasana tenang dan penuh dengan kekeluargaan, sehingga anak dapat mengutarakan segala peristiwa dan perasaannya secara terbuka dan jujur selama sidang berjalan. Setelah sidang dibuka, terdakwa dipanggil masuk ke ruang sidang bersama orang tua, wali, atau orang tua asuh, penasihat hukum, dan pembimbing kemasyarakatan. Penasihat hukum mempunyai fungsi membela kepentingan hukum terdakwa di persidangan, ia berperan aktif dalam rangka mengungkap kebenaran materiil terhadap perkara yang sedang dihadapi oleh terdakwa. Sedangkan orang tua, wali atau
63
Ibid , hlm 141.
53
orang tua asuh dan pembimbing kemasyarakatan lebih banyak bersikap pasif, hanya pemerhati jalannya persidangan. 64 Dalam mengambil putusan, hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari pembimbing kemasyarakatan, hal ini didasarkan pada Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Putusan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum, dimaksudkan untuk mengedepankan sikap objektif dari suatu peradilan. Putusan yang tidak diuca pkan dalam sidang yang terbuka untuk umum adalah batal demi hukum. Bila tidak ada pilihan lain kecuali menjatuhkan pidana terhadap anak, patut diperhatikan pidana yang tepat. Untuk memperhatikan hal tersebut,
patut
dikemukakan
sifat
kejahatan
yang
dilakuka n,
perkembangan jiwa anak, tempat menjalankan hukuman. 65 Banyaknya kasus anak yang diputus pidana penjara saat ini, menandakan hakim belum dapat mengefektifkan sanksi tindakan terhadap anak. Penegak hukum peradilan pidana anak saat ini masih dominan pada penekanan aspek yuridis (aspek melihat pertimbangan peraturan saja), sehingga aspek kepentingan perlindungan anak cenderung diabaikan. Oleh karena itu putusan pidana penjara atau kurungan bagi anak nakal selalu saja muncul. 66
64
Ibid , hlm 146. Maidin Gultom, Op.Cit., hlm 120. 66 Setya Wahyudi, 2009, Penegakan Peradilan Pidana Anak Dengan Pendekatan Hukum Progresif Dalam Rangka Perlindungan Anak , Jurnal Dinamika Hukum Vol.9 Januari 2009, hlm 30. 65
54
E. Tindak Pidana Penganiayaan 1. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan Penganiayaan adalah istilah yang digunakan Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) untuk kejahatan terhadap tubuh, namun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri tidak memuat
pengertian
dari
penganiayaan
tersebut.
Tindak
pidana
penganiayaan ini diatur dalam KUHP buku II bab XX. Pengertian penganiayaan menurut Soenarto Soerodibroto67 bahwa menganiaya adalah dengan sengaja menimbulkan sakit atau luka, kesengajaan ini harus dituduhkan dalam surat tuduhan. Penganiayaan tidak menunjuk kepada perbuatan tertentu, misalnya kata mengambil dari pencurian, penganiayaan berarti berbuat sesuatu dengan tujuan untuk mengakibatkan rasa sakit. 68 Penganiayaan bisa berupa pemukulan, penjebakan, pengirisan, membiarkan anak kelaparan, memberikan zat, luka,dan cacat. Adapun penganiayaan berarti menyebabkan cidera atau luka pada badan orang. 69 Penganiayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perlakuan yang sewenang-wenang. 70 Pengertian ini adalah pengertian dalam arti luas yang menyangkut perasaan atau batiniah. Penganiayaan yang dimaksud dalam ilmu hukum pidana adalah yang menyangkut tubuh manusia.
67
Soenarto Soerodibroto, Loc.Cit. Wirjono Prodjodikoro, 2003, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung : Refika Aditama, hlm 68. 69 Andi Hamzah, 2009, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) Di Dalam KUHP, Jakarta : Sinar Grafika, hlm 70. 70 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit., hlm 53. 68
55
Menurut penjelasan Menteri Kehakiman pada waktu pembentukan Pasal 351 KUHP dirumuskan, antara lain : 1. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada orang lain; atau 2. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan badan orang lain. 71 Dengan demikian, untuk menyebut seseorang telah melakukan penganiayaan terhadap orang lain, maka orang tersebut harus mempunyai suatu kesenga jaan untuk: a. Menimbulkan rasa sakit pada orang lain. b. Menimbulkan luka pada tubuh orang lain atau c. Merugikan kesehatan orang lain . 2. Jenis-Jenis Penganiayaan Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) disebut “penganiayaan”. Tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum pidana (KUHP) buku II bab XX terdiri dari: 1. Penganiayaan Biasa Berdasarkan Pasal 351 Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merumuskan bahwa: “(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
71
Leden Marpaung, 2005, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 6.
56
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. (3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.” Berdasarkan rumusan Pasal 351 KUHP tersebut tidak memberikan kejelasan tentang jenis penganiayaan hanya merumuskan kualifikasinya dan pidana yang diancamkan sehingga dalam Pasal 351 KUHP hanya disebut penganiayaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah72 bahwa rumusan delik ini tidak berdiri atas bagian inti hanya disebut “penganiayaan” (mishandeling) karena sangat sulit membuat rumusan atau definisi mengenai penganiayaan karena ribuan cara untuk menganiaya orang. Menurut Leden Marpaung, mengamati Pasal 351 KUHP maka ada 3 (tiga) penganiayaan biasa yakni: a. Penganiayaan yang tidak mengakibatkan luka berat atau matinya orang; b. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat; c. Penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang. 73 Di ayat (4) diberi pengertian tentang apa yang dimaksud dengan penganiayaan, yaitu “dengan sengaja merusak kesehatan orang”. Kalau demikian, maka penganiayaan itu tidak mesti berarti
72
Andi Hamzah, Op.Cit., hlm 69. Leden Marpaung, Op.Cit., hlm 52.
73
57
melukai orang. Membuat orang tidak bisa bicara, membuat orang lumpuh termasuk dalam pengertian ini. 74 2. Penganiayaan Ringan yang Diatur oleh Pasal 352 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 352 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merumuskan bahwa: “(1) Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan panyakit atu halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. P idana dapat ditambah sepertiga bagi orang ya ng melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya. (2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.” Rumusan Pasal 352 KUHP di atas dapat diketahui bahwa penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian disebut sebagai penganiayaan ringan. Apabila akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan itu hanya berupa rasa sakit atau luka pada tubuh, luka tersebut merupakan luka yang menghalangi untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian meski hanya sementara. 3. Penganiayaan Berencana yang Diatur oleh Pasal 353 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 353 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merumuskan bahwa: 74
Andi Hamzah, Loc.Cit.
58
“(1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.” Diperlukan saat pemikiran dengan tenang dan berfikir dengan tenang. Untuk itu sudah cukup jika si pelaku berfikir sebentar saja sebelum atau pada waktu ia akan melakukan kejahatan , sehingga ia menya dari apa yang dilakukannya. Tidak diperlukan suatu jangka waktu yang lama, antara saat perencanaaan itu timbul dengan saat perbuatan dilakukan. Hal ini dapat disimpulkan dari sifat dan cara perbuatan itu dilakukan serta alat yang digunakan untuk melaksanakan perbuatan itu. 75 4. Penganiayaan Berat yang Diatur oleh Pasal 354 Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 354 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merumuskan bahwa: “(1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.”
75
http://pendidikan-hukum.blogspot.com/2011/10/delik-penganiayaan-danpembunuhan_24.html, diakses pada tanggal 6 Juni 2013.
59
Dari rumusan Pasal 354 KUHP akibat luka berat merupakan maksud dan tujuan dari si pelaku yaitu bahwa pelaku memang menghendaki terjadinya luka berat pada korban. Sehingga pelaku hanya menghendaki timbulnya luka berat. Kesengajaan di sini ditujukan kepada melukai berat orang. Jadi, di sini ada bentuk khusus penganiayaan dengan kesengajaan ditujukan untuk melukai berat orang dan tidak termasuk mencederai. Bukan berarti terjadinya nyeri, tetapi luka berat.76 Pasal 90 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memperluas pengertian luka berat sebagai berikut : a. Jatuh sakit atau me ndapat luka yang tidak akan memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut. b. Tidak mampu untuk terus -menerus menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian. c. Kehilangan salah satu panca indera. d. Mendapat cacat berat. e. Menderita lumpuh. f. Terganggu daya pikirnya selama empat minggu atau lebih. g. Gugur atau matinya kandungan seseorang perempuan. 5. Penganiayaan Berat dan Berencana yang Diatur Pasal 355 Kitab Und ang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 355 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merumuskan bahwa: “(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
76
Andi Hamzah, Op.Cit., hlm 74
60
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling la ma lima belas tahun.” Penganiayaan berat dan berencana ini merupakan bentuk gabungan antara penganiayaan berat dengan penganiayaan berencana, kedua bentuk penganiayaan ini haruslah terjadi secara bersama -sama. Oleh karena harus terjadi secara bersama, maka harus terpenuhi baik unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana. Selain daripada itu, diatur pula pada Bab XX (Penganiayaan) oleh Pasal
358
KUHP,
orang-orang
yang
turut
pada
perkelahian/
penyerbuan/penyerangan yang dilakukan oleh beberapa orang. Hal ini sangat mirip dengan Pasal 170 KUHP sebab perkelahian pada umumnya penggunaan kekerasan di muka umum. 77
77
Leden Marpaung, Op.Cit., hlm 50.
61
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode
pendekatan
yuridis
normatif,
yaitu
suatu
pendekatan
yang
menggunakan konsepsi legis positivis, yang menyatakan bahwa hukum lebih identik dengan norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang, selain itu konsepsi ini memandang hukum sebagai sistem normatif yang bersifat otonom tertulis dan terlepas dari kehidupan masyarakat. 78
B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian ini adalah penelitian Preskriptif yaitu menurut Peter Mahmud Marzuki79 menyatakan bahwa ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, valid itas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma -norma hukum. Sebagai ilmu terapan , ilmu hukum menciptakan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.
78 Ronny Hanitio Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Ju rimetri, Jakarta : Ghalia Indonesia, hlm 13. 79 Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum , Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, hlm 22.
62
C. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan sumber data sekunder. Data sekunder terdiri dari tiga bahan hukum : a. Bahan hukum primer Bahan hukum primer dari penelitian ini diperoleh dari Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor : 05/Pid.B/A/2011/PN. Pbg. b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan seterusnya. 80 c. Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.
D. Metode Peng umpulan Bahan Hukum Data sekunder diperoleh dengan cara melakukan studi pustaka terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur dan dokumendokumen yang berhubungan dengan obyek atau masalah yang akan diteliti dan membuat catatan.
80
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Rajawali Pers, hlm 13.
63
E. Metode Penyajian Bahan Hukum Metode penyajian data dalam penyusunan penelitian ini akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan bahan hukum yang diperoleh akan dihubungkan satu sama lain disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh didasarkan pada norma hukum atau kaidah-kaidah hukum serta doktrin hukum yang relevan dengan pokok permasalaha n.
F. Metode Analisis Bahan Hukum Seluruh data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode normatif kualitatif yaitu dengan cara menjabarkan dan menafsirkan data yang diperoleh berdasarkan norma-norma hukum atau kaidah-kaidah, teori-teori, pengertian-pengertian hukum dan doktrin-doktrin yang terdapat dalam ilmu hukum, khususnya dalam Hukum Acara Pidana.
G. Perbedaan Penelitian Penulis Dengan Penelitian Terdahulu Penelitian Penulis : No. 1
Nama Irma Rahmahwati
Judul Penelitian
Tujuan Penelitian
Pembuktian Dalam a. Untuk mengetahui alasan anak nakal Tindak Pidana diproses dalam persidangan pada Penganiayaan putusan No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg. Terhadap Pelaku b. Untuk mengetahui pembuktian anak (Tinjauan dalam tindak pidana penganiayaan Yuridis Terhadap terhadap pelaku anak dalam putusan Putusan No. No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg. 05/Pid.B/A/2011/PN. Pbg)
64
Penelitian Terdahulu : No.
Nama
Judul Penelitian
Tujuan Penelitian
1
Indra Gunawan
2
Arya Pradana
a. Untuk mengetahui upaya pembuktian tindak pidana pencurian yang disertai pembunuhan yang dilakukan anak dalam putusan No.1256/Pid.B/2008/PN.Bks. b. Untuk mengetahui yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana pada perkara No.1256/Pid.B/2008/PN.Bks.
3
Satrio Nugroho
a. Untuk mengetahui hakim dalam membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang lain dengan putusa n No. 23/Pid.B/2006/PN.Pwt. b. Untuk mengetahui pidana yang dijatuhkan majelis hakim selama 5 tahun kepada terdakwa sudah memenuhi rasa keadilan.
4
Sylvie Sulastri
Pembuktian Dalam a. Untuk mengetahui penerapan sistem Tindak Pidana pembuktian tindak pidana Penganiayaan penganiayaan yang menyebabkan (Tinjauan Yuridis luka dan sakit pada orang lain dalam Putusan Pengadilan putusa n No.234/Pid.B/2006/PN.Kbm. Negeri Kebumen No. b. Untuk mengetahui kekuatan 234/Pid.B/2006/PN. pembuktian keterangan ahli dalam Kbm) putusan No.234/Pid.B/2006/PN.Kbm.
Pembuktian Dalam Tindak Pidana Pencurian Disertai Pembunuhan Yang Dilakukan Oleh Anak (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No. 1256/Pid.B/2008/PN. Bks) Aji Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan Yang Mengakibatkan Matinya Orang (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pidana No. 23/Pid.B/2006/PN. Pwt)
Pembuktian Tindak a. Untuk mengetahui pembuktian dalam Pidana Pencabulan tindak pidana pencabulan yang Yang Dilakukan dilakukan anak dalam putusan no. Anak (Tinjauan 16/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. Yuridis Putusan b. Untuk mengetahui hukuman yang Nomor : dapat dijatuhkan terhadap anak dalam 16/Pid.Sus/2011/PN. putusan No.16/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. Pwt)
65
Penelitian penulis berbeda dengan penelitian terdahulu karena setiap perkara pidana dalam proses pembuktiannya, alat-alat bukti yang diajukan maupun alat bukti yang memenuhi syarat untuk dijadikan alat bukti yang sah untuk dijadikan dasar pertimbangan hakim menjatuhkan putusan tidak selalu sama. Selain itu tindak pidana yang menjadi fokus penelitian penulis merupakan tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh anak. Penelitian penulis juga bertujuan untuk mengetahui alasan anak nakal diproses dalam persidangan pada Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg , dan untuk mengetahui pembuktian dalam tindak pidana penganiayaan terhadap pelaku anak pada Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg.
66
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap Putusan Nomor: 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg, maka diperoleh data-data identitas terdakwa sebagai berikut: Nama Lengkap
: HA Bin Sm
Tempat lahir
: Purbalingga
Umur/Tanggal lahir
: 16 tahun/ 16 April 1994
Jenis kelamin
: Laki-laki
Kebangsaan
: Indonesia
Tempat tinggal
: Kabupaten Purbalingga
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Swasta.
1. Duduk Perkara Pada awalnya terdakwa hendak pulang dari rumah saudaranya di Kab. Banyumas menuju ke rumah terdakwa di Purbalingga, ketika terdakwa sedang jalan kaki menuju pertigaan pasar Sumpiyuh pada saat itu terdakwa ditawari oleh tukang ojek yaitu saksi korban lalu pada waktu itu terjadi tawar menawar ongkosnya dan akhirnya disepakati ongkosnya sebesar Rp. 100.000,- (seratus
67
ribu rupiah) selanjutnya terdakwa dibonceng oleh saksi korban menuju Desa Selakambang. Ketika diperjalanan pada waktu itu terdakwa merasa kebingungan karena tidak punya uang untuk membayar ongkos ojek tersebut lalu timbul niat dari terdakwa untuk melakukan penganiayaan, kemudian pada saat melewati jalan yang sepi tepatnya di Desa Selakambang terdakwa mengatakan kepada saksi korban supaya terdakwa minta turun dulu karena jalannya berlumpur mendengar permintaan terdakwa tersebut kemudian saksi korban berhenti dan terdakwa turun dari sepeda motor. Setelah turun dari sepeda motor kemudian pada saat itu juga terdakwa mengambil satu buah batu yang berada dipinggir jalan denga n tangan kanan lalu memukulkannya ke badan saksi korban mengenai punggung sebelah atas sebanyak dua kali, setelah memukul saksi korban kemudian terdakwa melarikan diri menuju ke rumahnya. Namun tidak lama setelah berada di rumah terdakwa dapat ditangkap oleh petugas polisi Polsek Kaligondang untuk diproses hukum yang berlaku. Akibat perbuatan terdakwa tersebut saksi korban SM Als. Sl Bin Sr mengalami luka memar dipunggung sebelah kiri dengan ukuran 3 milimeter kali 6 cm dan punggung sebelah kanan luka memar 3 milimeter kali 6,5 cm sesuai dengan Visum et Repertum dari Rumah Sakit Ibu dan Anak tanggal 13 Desember 2010 yang ditanda tangani oleh dr. Mulyadi Yanto dengan kesimpulan terdapat 2 luka memar di punggung kiri dan kanan, disebabkan
68
persentuhan dengan benda keras, tumpul, tidak bisa dikesampingkan sebagai penyebabnya. 2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka terdakwa diduga melakukan tindak pidana penganiayaan sebagaimana didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan tunggal yaitu : Bahwa terdakwa HA Bin Sm pada hari Kamis tanggal 9 Desember 2010 sekitar jam 19.00 WIB atau setidaktidaknya pada waktu lain dalam bulan Desember 2010 bertempat di Desa Selakambang Kec. Kaligondang Kab. Purbalingga atau setidak tidaknya pada tempat lain yang masih termasuk dalam daerah Hukum Pengadilan Negeri Purbalingga, dengan sengaja telah menganiaya saksi korban SM Als. Sl Bin Sr yang mengakibatkan sakit atau luka. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 351 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 3. Pembuktian Hakim dalam perkara ini memeriksa beberapa alat bukti dan barang bukti dalam persidangan, yaitu : a. Alat Bukti Keterangan Saksi 1) Saksi HK Bin SS di bawah sumpah menerangkan sebagai berikut : Saksi pernah diperiksa oleh penyidik dan keterangan saksi tersebut didepan penyidik adalah benar. Saksi kenal dengan terdakwa dan tidak ada hubungan keluarga sedarah ataupun semenda serta tidak ada hubungan kerja dengan terdakwa. Pada
69
hari Kamis tanggal 09 Desember 2010 19.00 wib di Jalan masuk Desa Selakambang, Kec. Kaligondang Kab. Purbalingga, telah terjadi penganiayaan. Yang telah melakukan penganiayaan tersebut adalah terdakwa dan korbannya SM A ls. Sl Bin Sr tukang ojek asal Sumpyuh, Banyumas. Saksi mengetahui kejadian tersebut karena mendengar teriakan orang minta tolong sehingga kemudian dirinya mencari asal teriakan dimaksud dari jarak sekira 100 meter dari rumahnya saksi bertemu dengan seorang laki laki sedang mengendarai sepeda motor pelan-pelan sambil berteriak minta pertolongan karena dirinya baru saja dianiaya seseorang dan orang tersebut melarikan diri. Selanjutnya saksi berusaha mencari pelaku penganiayaan dan mengajak laki-laki korban penganiayaan tersebut untuk istirahat dan kemudian saksi panggil Ketua Rt. Pada waktu itu korban sendirian, saksi melihat dipunggung Sdr. SM Als. Sl Bin Sr terdapat luka memar (tidak ada darah) sebanyak dua buah yakni dibagian kanan dan kirinya. Menurut keterangan dari korban karena terdakwa minta diantar ke Purbalingga Desa Selakambang dan sepakat ongkosnya Rp. 100.000,- namun sampai di jalan licin terdakwa minta turun, setelah turun tahu-tahu terdakwa langsung mengambil batu dan dipukulkan kepada korban. Saksi tidak mengantar ke rumah sakit, terdakwa tidak mempunyai pe kerjaan yang jelas sehingga kemampuan untuk membayar ongkos ojek sampai seratus ribu rupiah tidak mungkin, ya dua hari sebelumnya
70
juga terjadi kejadian yang sama sampai akhirnya diketahui kalau pelakunya adalah terdakwa. Pada waktu saksi mendatangi ke lokasi korban, korban dalam keadaan memegangi sepeda motornya dan sepeda motor masih dalam keadaan hidup, pada waktu itu korban tidak
tergeletak.
Terhadap
barang
bukti
yang
diajukan
dipersidangan berupa 1(satu) buah batu sungai seberat 2(dua) kilogram, saksi tidak tahu. Atas keterangan saksi tersebut terdakwa menyatakan benar dan tidak keberatan. 2) Saksi Mm Bin Sd di bawah sumpah menerangkan sebagai berikut: Saksi pernah diperiksa oleh penyidik dan keterangan saksi tersebut didepan penyidik adalah benar. Saksi kenal dengan terdakwa dan tidak ada hubungan keluarga sedarah ataupun semenda serta tidak ada hubungan kerja dengan terdakwa. Pada hari Kamis tanggal 9 Desember 2010 sekira jam 19.10 Wib di jalan raya
masuk
Desa
Selakambang
Kecamatan
Kaligondang
Kabupaten Purbalingga, telah terjadi penganiayaan. Yang menjadi korban penganiayaan tersebut adalah seorang laki-laki yang mengaku bernama SM Als. Sl Bin Sr, (Tukang ojek) warga Sumpyuh Banyumas. Saksi mengetahui saat korban sudah berada di rumah Pak HK Bin SS, saksi datang kesitu. Saat kejadian saksi sedang sholat isya mendengar ada orang ramai-ramai, dan setelah selesai sholat saksi datang ke lokasi. Yang saksi lihat di lokasi
71
kejadian adalah korban (tukang ojek) yang telah dipukul oleh terdakwa pakai batu sebanyak 2 kali, kemudian korban dibawa kerumah Sdr. HK Bin SS. Korban katanya dipukul dibagian punggung kanan dan kiri sebanyak 2 kali. Penyebab penganiayaan tersebut,
katanya
terdakwa
naik
ojek
dari
sumpyuh
ke
Selakambang Purbalingga, korban minta ongkos Rp. 100.000,-. Terdakwa tidak menawar ongkos Rp.50.000,-, saksi tidak mengantar ke rumah sakit, dan sepeda motor milik korban yang dipakai untuk ngojek Honda Supra. Terhadap barang bukti yang diajukan dipersidangan berupa 1(satu) buah batu sungai seberat 2(dua) kilogram, saksi tidak tahu. Atas keterangan saksi terdakwa menyatakan ada yang salah, yang benar adalah tidak ada tawar menawar Rp.50.000,- . Dan atas sanggahan terdakwa tersebut saksi menyatakan tetap pada keterangan semula. 3) Saksi Mr Bin Sm di bawah sumpah menerangkan sebagai berikut: Saksi pernah diperiksa oleh penyidik dan keterangan saksi tersebut didepan penyidik adalah benar. Saksi kenal dengan terdakwa dan tidak ada hubungan keluarga sedarah ataupun semenda serta tidak ada hubungan kerja dengan terdakwa. Pada hari Kamis tanggal 9 Desember 2010 sekira jam 19.10 Wib di jalan raya
masuk
Kabupaten
Desa
Selakambang
Purbalingga,
telah
Kecamatan
terjadi
Kaligondang
penganiayaan.
Saksi
72
mengetahui kejadian penganiayaan tersebut, waktu itu saksi habis setor dari arah gunung terdengar ada teriakan minta tolong. Waktu itu saksi datang kerumah Pak HK Bin SS karena korban sudah dibawa kerumah Pak HK Bin SS. Korban penganiayaan tersebut adalah seorang laki-laki yang mengaku bernama SM Als. Sl Bin Sr, (Tukang ojek) warga Sumpyuh Banyumas. Yang menyebabkan penganiayaan tersebut adalah katanya HA Bin Sm (Terdakwa) sedang ngojek minta turun di jalan licin tapi tiba-tiba memukul korban pakai batu sampai 2 kali. Tidak ada tawar menawar untuk ongkos naik ojek, korban minta ongkos Rp.100.000,-. Waktu itu terdakwa habis dari rumah Liliknya di Banyumas, dan HA Bin Sm (terdakwa) tersebut adalah anaknya Sm Bin Jm. Pak Sm Bin Jm datang ke rumah Pak HK Bin SS, dan bertanya apakah terdakwa sudah pulang, dijawabnya belum. Pak Sm Bin Jm waktu itu menyuruh korban supaya istirahat, saksi tidak tahu apakah Pak Sm Bin Jm membawa korban ke rumah sakit ataukah tidak. Saksi tidak tahu apakah sudah ada perdamaian antara terdakwa dengan korban, dan saksi tidak mengetahui perkembangan saksi korban. Waktu itu saksi lihat baju korban tidak robek dan waktu itu korban memakai jaket. Atas keterangan saksi tersebut terdakwa membenarkan.
73
4) Saksi Sm Bin Jm Saksi adalah Bapak kandung terdakwa, berdasar dan berpedoman pada Pasal 168 KUHAP telah mengundurkan diri sebagai saksi. Atas pengunduran saksi tersebut terdakwa tidak keberatan. 5) Saksi SM Als. Sl Bin Sr di bawah sumpah menerangkan sebagai berikut: Saksi pernah diperiksa oleh penyidik dan keterangan saksi tersebut didepan penyidik adalah benar. Saksi tidak kenal dengan terdakwa dan tidak ada hubungan keluarga sedarah ataupun semenda serta tidak ada hubungan kerja dengan terdakwa. Pada hari Kamis tanggal 9 Desember 2010 sekira jam 19.00 Wib di sebuah
jalan
Desa
masuk
Desa
Selakambang Kecamatan
Kaligondang Kabupaten Purbalingga, saksi telah menjadi korban pemukulan yang dilakukan oleh terdakwa. Waktu itu terdakwa naik ojek dengan saksi dari Sumpyuh dengan tujuan Purbalingga Desa Selakambang, setelah perjalanan sampai di Desa Selakambang terdakwa minta turun ditempat jalan licin, lalu tiba -tiba terdakwa memukul punggung saksi sebanyak 2 kali dengan menggunakan batu. Terdakwa melakukan pemukulan terhadap saksi mengenai bagian punggung saksi sebelah kanan dan kiri masing-masing 1 kali. Akibat pemukulan yang dilakukan terdakwa saksi mengalami sakit (pegel) dibagian punggung selama seminggu, dan berobat ke
74
rumah sakit dengan biaya sendiri sebesar Rp.50.000,-. Saksi waktu itu minta ongkos ojek Rp. 100.000,- untuk ongkos mengantar terdakwa dari Sumpyuh sampai ke Desa Selakambang, dan terdakwa sempat menawar sehingga terjadi harga kesepatakan Rp.100.000,-. Untuk tarif ke Purbalingga minimal Rp. 100.000,dan melihat-lihat orangnya, pernah juga saksi dikasih Rp. 150.000,- untuk mengantar ke Purbalingga, dan saksi sudah 3 kali mengantar ke Purbalingga dan keempatnya untuk kejadian ini. Pada saat saksi dipukul terdakwa sempat mengadakan pengejaran namun tidak berhasil. Saksi mengantar terdakwa baru sekali ini, waktu itu terdakwa bilang ” Pak aku jujugna meng Purbalingga ” (Pak saya antar ke Purbalingga) lalu saksi jawab ” Ya nek Rp. 100.000,- tak antar ” ( Ya kalau Rp. 100.000,- saya antar). Yang melaporkan kejadian pemukulan tersebut kepada Polisi adalah saksi sendiri, dari keluarga terdakwa be lum pernah menemui saksi dan belum memberikan santunan untuk pengobatan saksi. Atas kejadian tersebut saksi merasa dirugikan sebesar Rp.100.000,- dan tidak akan memaafkan kelakuan terdakwa. Barang bukti yang diajukan dipersidangan berupa 1 (satu) buah batu sungai seberat 2(dua) kilogram, adalah yang dipergunakan terdakwa untuk memukul saksi. Atas keterangan saksi tersebut terdakwa membenarkan.
75
b. Alat Bukti Surat Dalam perkara ini terdapat bukti surat berupa Visum et Repertum atas nama SM Als. Sl Bin Sr tanggal 13 Desember 2010, yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Mulyadi Yanto dokter pemeriksa pada Rumah Sakit Ibu dan Anak Purbalingga yang menerangkan bahwa terdapat 2 luka memar yaitu dipunggung sebelah kiri dengan ukuran 3 milimeter kali 6 cm, dan punggung sebelah kanan dengan ukuran 3 milimeter kali 6,5 cm.. c. Alat Bukti Keterangan Terdakwa Di persidangan telah pula didengar keterangan terdakwa yang pada pokoknya sebagai berikut : Terdakwa pernah diperiksa oleh penyidik dan keterangan terdakwa tersebut didepan penyidik adalah benar. P ada hari Kamis, tanggal 9 Desember 2010 sekira pukul 19.00 Wib di jalan Desa masuk Desa Selakambang Kecamatan Kaligondang Kabupaten Purbalingga, terdakwa telah melakukan pemukulan terhadap seorang tukang ojek. Terdakwa melakukan penganiayaan dengan cara saksi korban dipukul dengan batu kepunggung korban bagia n kanan dan kiri masing-masing sebanyak 1 kali. Sebab terdakwa melakukan pemukulan, awalnya terdakwa mau pulang ke Purbalingga dari Sumpyuh naik ojek, dan terdakwa diminta bayar Rp. 100.000,- akan tetapi terdakwa tidak punya uang Rp. 100.000,- yang untuk membayar ongkos tersebut. Tempat terdakwa melakukan pemukulan sepi, dan mengambil batu yang untuk memukul korban, terdakwa ambil disitu dan saat itu juga.
76
Alasan terdakwa memukul korban karena tidak bisa membayar ongkos dan mau dibayar dirumah terdakwa juga berpikiran dirumah bapak juga tidak punya uang sebanyak itu. Waktu itu terdakwa membawa uang Rp.10.000,-, terdakwa minta turun karena jalan sedang diperbaiki. Setelah terdakwa memukul korban terus lari kearah kebun singkong meninggalkan korban. Waktu itu terdakwa setelah turun langsung ambil batu dan langsung memukul korban dan waktu itu posisi korban masih diatas sepeda motornya. Waktu terdakwa pulang dan sampai dirumah, waktu itu orang tua (bapak) terdakwa baru pulang dari Polsek, terdakwa sudah tidak sekolah dan sudah bekerja di Batam. Pada waktu terdakwa memukul korban terdakwa tidak kepikiran mau memukul sebelah mana, dan terdakwa memukul korban agar supaya korban tidak meminta bayaran. Terdakwa baru sekali melakukan kejahatan, ke Banyumas seminggu dalam rangka main, terdakwa merasa kasihan dengan orang tua terdakwa. Terdakwa kerja di Batam sebulan dibayar Rp. 600.000,-, dan orang tua terdakwa bekerja cabutan tiap hari dapat penghasilan sekitar Rp. 20.000,-. Terdakwa pulang dari Batam karena kehendak orang tua karena terdakwa kerja di Batam terlalu jauh dengan orang tua sedangkan terdakwa masih anak-anak. Barang bukti yang diajukan dipersidangan berupa 1(satu) buah batu sungai seberat 2(dua) kilogram, adalah batu yang dipergunakan terdakwa untuk memukul saksi.
77
d. Barang Bukti Penuntut Umum mengajukan barang bukti berupa : 1 (satu) buah batu sungai seberat 2 (dua) kilogram, di mana terhadap barang bukti tersebut te lah disita sesuai dengan peraturan yang berlaku sehingga dapat dipergunakan untuk memperkuat pembuktian dalam perkara ini. 4. Tuntutan Penuntut Umum Setelah mendengar keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa, dan memperhatikan bukti surat berupa Visum et Repertum serta barang bukti yang diajukan di persidangan, maka Jaksa Penuntut Umum mengajukan tuntutan sebagai berikut: 1) Menyatakan bahwa terdakwa HA Bin Sm terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Penganiayaan yang mengakibatkan luka sebagaimana diatur dalam pasal 351 ayat (1) KUHP dalam Dakwaan Tunggal; 2) Menjatuhka n pidana terhadap terdakwa HA Bin Sm dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan dikurangan selama terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan; 3) Menyatakan barang bukti berupa: a) 1 (satu) buah batu sungai seberat sekitar 2 kg, dirampas untuk dimusnahkan; 4) Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 1.000,(seribu rupiah).
78
5. Putusan Pengadilan Negeri a. Pertimbangan Hukum Hakim Menimbang, bahwa dari keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa, bukti surat berupa Visum et Repertum dan barang bukti yang diajukan dipersidangan, dapatlah disusun fakta yuridis sebagai berikut; 1) Bahwa pada hari Kamis, tanggal 9 Desember 2010 sekira pukul 19.00 Wib di jalan Desa masuk Desa Selakambang Kecamatan Kaligondang Kabupaten Purbalingga, terdakwa telah melakukan pemukulan terhadap SM Als. Sl Bin Sr yang pekerjaannya sebagai tukang ojek; 2) Bahwa terdakwa melakukan pemukulan terhadap saksi korban SM Als. Sl Bin S r karena tidak mempunyai ongkos ojek yang disepakati sebesar Rp.100.000,- dari Sumpyuh ke Purbalingga dengan naik ojek saksi korban; 3) Bahwa terdakwa melakukan pemukulan terhadap saksi korban dengan cara korban dipukul dengan batu kepunggung korban bagiam kanan dan kiri masing-masing sebanyak 1 kali; 4) Bahwa akibat pemukulan yang dilakukan terdakwa, saksi korban mengalami sakit selama seminggu, sebagaimana yang diterangkan dalam Visum et Repertum tanggal 13 Desember 2010, yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Mulyadi Yanto dokter pemeriksa pada Rumah Sakit Ibu dan Anak Purbalingga.
79
Menimbang, bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini,maka dengan menunjuk segala sesuatu yang tercantum di dalam berita acara sidang haruslah dianggap telah termuat seluruhnya dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini; Menimbang, bahwa sampailah kini hakim pada pembahasan secara yuridis, apakah berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dapat
menjadikan
terdakwa
bersalah
melakukan
tindak
pidana
sebagaimana didakwakan kepadanya, dan apakah terdakwa dapat dipidana atas perbuatan dimaksud; Menimbang, bahwa para terdakwa diajukan oleh Penuntut Umum dengan dakwaan tunggal yaitu pasal 351 ayat (1) KUHP, yang unsurunsurnya sebagai berikut; Unsur “Barangsiapa” ; Unsur “Dengan Sengaja”; Unsur “Melakukan Penganiayaan” ; ad. Unsur “Barangsiapa” ; Menimbang
bahwa,
yang
dimaksud
dengan
Unsur
“Barangsiapa”, yaitu siapa saja sebagai pendukung hak dan kewajiban (subyek hukum) yang dapat di pertanggungjawabkan atas perbuatan pidana yang telah dilakukannya, yang dalam perkara ini telah diperhadapkan di persidangan terdakwa HA Bin Sm, yang identitasnya sesuai dengan identitas terdakwa dalam dakwaan Penuntut Umum dan telah dibenarkan dalam persidangan;
80
Menimbang bahwa, berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka unsur “Barangsiapa” telah terpenuhi; ad. Unsur “Dengan Sengaja” ; Menimbang, bahwa menurut ilmu hukum yang dimaksud dengan “sengaja”, adalah dikehendaki dan diketahui atau diinsyafi akibat dari perbuatan tersebut; Menimbang, bahwa “Dengan Sengaja” dalam kaitannya dengan perkara ini, terdakwa mengetahui kalau sebuah batu yang merupakan benda keras bila dipukulkan terhadap manusia akan berakibat kesakitan terhadap yang dipukul, dalam perkara ini terdakwa telah memukulkan batu kepunggung korban bagian kanan dan kiri masingmasing sebanyak 1 kali kepada SM Als. Sl Bin Sr, sehingga kesakitan; Menimbang bahwa, berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka unsur “Dengan Sengaja” telah terpenuhi; ad. Unsur “Melakukan Penganiayaan” ; Menimbang, bahwa menurut yurispr udensi, yang dimaksud dengan penganiayaan adalah perbuatan dengan sengaja yang menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit atau luka; Menimbang
bahwa,
berdasarkan
keterangan
saksi- saksi
keterangan terdakwa, dikaitkan dengan bukti surat berupa Visum et Repertum dan barang bukti yang diajukan dipersidangan telah ternyata, pada hari Kamis, tanggal 9 Desember 2010 sekira pukul 19.00 Wib di jalan Desa masuk Desa Selakambang Kecamatan Kaligondang
81
Kabupaten Purbalingga, terdakwa telah melakukan pemukulan terhadap SM Als. Sl Bin Sr yang pekerjaannya sebagai tukang ojek dengan cara korban dipukul dengan batu kepunggung korban bagiam kanan dan kiri masing-masing sebanyak 1 kali yang mengakibatkan saksi korban mengalami sakit sebagaimana diterangkan dalam Visum et
Repertum tanggal
13
Desember
2010,
yang
dibuat
dan
ditandatangani oleh dr. Mulyadi Yanto dokter pemeriksa pada Rumah Sakit Ibu dan Anak Purbalingga; Menimbang bahwa, berdasarkan pertimbangan tersebutdiatas, maka unsur “Melakukan Penganiayaan” telah terpenuhi ; Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur pasal 351 ayat (1) KUHP telah terpenuhi, maka Pengadilan Negeri berpendapat bahwa terdakwa telah terbukti sacara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut; Menimbang, bahwa Hakim sependapat dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum, namun tidak sependapat dengan besarnya hukuman pidana yang dimaksud oleh Jaksa Penuntut Umum; Menimbang, bahwa karena hal-hal diatas maka berdasar pasal 193 KUHAP kepadanya haruslah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana sesuai dengan perbuatannya, serta berdasar pasal 222 KUHAP kepadanya dibebani membayar biaya pe rkara;
82
Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa ditahan maka masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa akan dikurangi sepenuhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan, dan terhadap pidana yang akan dijatuhkan dianggap telah sesuai dengan rasa keadilan pada diri terdakwa serta yang ada dan berkembang dalam masyarakat; Menimbang, bahwa pengamatan Hakim selama persidangan berlangsung, terdakwa sehat jiwa dan akalnya, serta tidak dijumpai alasan pemaaf dan penghapus pidana pada diri terdakwa, maka kepadanya dapat dipertanggungjawabka n atas perbuatannya; Menimbang, bahwa, perilaku menyimpang yang dilakukan anak ini disebabkan oleh beberapa faktor internal maupun eksternal dari si anak, di antaranya adalah perkembangan fisik dan jiwanya (emosinya) yang belum stabil, mudah tersinggung dan peka terhadap kritikan, serta karena disebabkan pengaruh lingkungan sosial di mana anak itu berada. (Gatot Supramono, 2000:4), Perilaku menyimpang anak-anak tersebut (atau yang disebut juga dengan deliquency) tidak dapat dipandang mutlak sama dengan perbuatan menyimpang yang dilakukan orang dewasa. Meskipun pada prinsipnya jenis perbuatannya sama, namun tingkat kematangan fisik dan emosi anak masih rendah, dan masa depan anak seharusnya dapat menjadi pertimbangan dalam hal menentukan perlakuan yang tepat terhadap mereka. Terhadap anak yang melakukan perbuatan yang menyimpang, sikap yang ditunjukkan masyarakat dan pemerintah seringkali kurang arif. Anggapan atau stigma sebagai anak nakal atau
83
penjahat seringkali diberikan kepada mereka, bahkan dalam proses peradilan, mereka kerapkali diperlakukan tidak adil. Sehingga yang terjadi adalah anak-anak pelaku kejahatan tersebut menjadi korban struktural dari para penegak hukum; Menimbang, bahwa terhadap barang bukti yang diajukan dipersidangan berupa: 1 (satu) buah batu sungai seberat 2 (dua) kilogram, dikarenakan terhadap barang bukti tersebut digunakan terdakwa untuk melakukan kejahatan, maka berdasar serta berpedoman pada pasal 194 ayat (1) KUHAP terhadap barang bukti tersebut dirampas untuk dimusnahkan; Menimbang, bahwa karena menurut hukum terdakwa masih tergolong anak-anak, maka berdasarkan pasal 1 ayat 2 huruf a UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 termasuk anak nakal, maka berdasarkan pasal 22 jo pasal 25 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, Hakim mempunyai alternatif yaitu dapat memilih menjatuhkan pidana atau tindakan terhadap terdakwa, namun berdasarkan fakta-fakta
yang
terungkap dipersidangan dan hasil penelitian kemasyarakatan terhadap terdakwa, Hakim berpendapat lebih tepat dan adil apabila terhadap terdakwa dijatuhi pidana penjara; Menimbang, bahwa pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa tidak dimaksudkan untuk balas dendam ataupun merendahkan harkat martabatnya ataupun untuk memisahkan terdakwa dengan orang tuanya, melainkan untuk menyadarkan terdakwa dalam kesalahannya dan untuk
84
pembinaan baginya agar sebagai generasi muda penerus bangsa yang mempunyai peranan strategis bagi kehidupan bangsa dikemudian hari akan diperoleh
jati
dirinya
untuk
menjadi
manusia
yang
mandiri,
bertanggungjawab, mental dan jiwanya akan tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar, berguna bagi dirinya, keluarga dan masyarakat, bangsa dan Negara sekaligus diharapkan mampu menjadi daya tangkal baginya untuk tidak mengulangi lagi perbuatan yang melanggar hukum namun harus seimbang dengan rasa keadilan yang hidup ditengah masyarakat; Menimbang, bahwa sebelum Hakim menjatuhkan putusan maka berdasarkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP akan dipertimbangkan hal-hal yang dapat dijadikan untuk menentukan berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan atas diri terdakwa : Hal-hal yang memberatkan : 1) Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat ; 2) Perbuatan terdakwa mengakiba tkan saksi korban SM Als. Sl Bin Sr mengalami luka-luka; Hal-hal yang meringanka n : 1) Terdakwa berlaku sopan dipersidangan, mengaku terus terang ; 2) Terdakwa berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya ; 3) Terdakwa masih anak-anak sehingga masih memerlukan bimbingan orang tuanya, dengan demikian diharapkan dapat memperbaiki mental dan prilakunya ;
85
4) Terdakwa belum pernah dihukum; Menimbang, bahwa disamping hal-hal tersebut diatas Hakim juga mendasar pada laporan Penelitian Kemasyarakatan (LITMAS) atas nama terdakwa HA Bin Sm, Nomor : 16/Pid.A/XiI/2010, tanggal 21 Desember 2010, yang dibuat dan ditandatangani ole h SUSWANTO, NIP.19590524 19803 1 002, pembimbing kemasyarakatan pada BAPAS Purwokerto; b. Amar Putusan Pengadilan Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hakim di atas dalam perkara Nomor: 05/Pid.B/A/2011/Pn.Pbg, maka hakim memutuskan: 1) Menyatakan terdakwa HA Bin Sm, terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah
melakukan
tindak
pidana
“PENGANIAYAAN”; 2) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan; 3) Menetapkan lamanya terdakwa berada dalam tahanan dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa tersebut; 4) Menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan; 5) Menetapkan agar barang bukti, berupa : a) 1 (satu) buah batu sungai seberat 2 (dua) kilogram ; Dirampas untuk dimusnahkan; b) Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.1.000,- (seribu rupiah);
86
B. Pembahasan Berdasarkan
hasil
penelitian
terhadap
Putusan
No:
05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg, maka dapat dilakukan suatu pembahasan sebagai berikut: 1. Alasan Anak Nakal diproses dalam persidangan pada Putusan No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg. Anak merupakan bagian dari generasi muda sebagai penerus cita -cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Anak juga memiliki hak untuk dilindungi harkat dan martabatnya oleh undang-undang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas diperlukan pembinaan dan perlindungan untuk menjamin kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial anak. Pasal 1 (angka 1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak memberikan pengertian anak yaitu : “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.” Berdasarkan pengertian tersebut maka terdakwa HA Bin Sm termasuk dalam kategori anak nakal karena HA Bin Sm baru berumur 16 tahun saat melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap seorang tukang ojek. Situasi dan kondisi sosial sangat berpengaruh terhadap kejiwaan dan perilaku seorang anak. Dalam berbagai hal upaya pembinaan dalam
87
masyarakat, kadang-kadang dijumpai penyimpangan perilaku di kalangan anak, bahkan lebih dari itu terdapat anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum tanpa mengenal status sosial dan ekonomi. Disamping itu, terdapat pula anak, yang karena satu dan lain hal tidak mempunyai kesempatan memperoleh perhatian baik secara fisik, mental, maupun sosial. Karena keadaan diri yang tidak memadai tersebut, maka baik sengaja maupun tidak sengaja sering juga anak melakukan tindakan atau perilaku yang dapat merugikan dirinya dan atau masyarakat. Keluarga memiliki peran yang strategis dalam membentuk pribadi anak untuk hidup secara lebih bertanggungjawab. Anak harus dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan pribadi dalam masyarakat. Jika dalam sebuah keluarga usaha untuk membentuk pribadi anak menjadi baik itu gagal, maka anak cenderung melakukan kenakalan. Kenakalan tersebut dapat terjadi di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat tempat anak bergaul. Kenakalan anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia serta salah satu bentuk perilaku menyimpang yang tidak terlepas dari masyarakat. Anak sebagai pelaku atau anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum, dan memerlukan perlindungan. Dapat juga disebut anak yang harus mengikuti prosedur hukum akibat kenakalan yang telah dilakukannya. Jadi dapat dikatakan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang melakukan kenakalan, yang kemudian akan disebut sebagai kenakalan anak
88
(Juvenile Delinquency). Juvenile (dalam bahasa Inggris) atau yang dalam bahasa Indonesia berarti anak-anak; anak muda, sedangkan Delinquency artinya terabaikan/mengabaikan yang kemudian diperluas menjadi jahat, kriminal, pelanggar peraturan dan lain-lain. Sedangkan menurut Romli Atmasasmita yang dikutip oleh M. Nasir Djamil 81, Juvenile Delinquency adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma -norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan. Kenakalan anak merupakan suatu ancaman terhadap norma -norma sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial yang dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial dan merupakan ancaman bagi berlangsungnya ketertiban sosial. Kenakalan anak disamping merupakan masalah kemanusian juga merupakan masalah sosial, sehingga penanganan kenakalan anak merupakan tanggung jawab bersama anggota masyarakat. 82 Tindakan kenakalan yang dilakukan oleh anak-anak merupakan manifestasi dari kepuberan remaja tanpa ada maksud merugikan orang lain seperti yang diisyaratkan dalam suatu perbuatan kejahatan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di mana pelaku harus menyadari akibat dari perbuatannya itu serta pelaku mampu bertanggung jawab terhadap perbuatannya tersebut. Dengan
81 82
M. Nasir Djamil, Op.Cit., hlm 35. Maidin Gultom, Op.Cit., hlm 61.
89
demikian, maka kurang pas apabila kenakalan anak dianggap sebuah kejahatan murni. 83 Latar belakang anak melakukan kenakalan, tentu tidak sama dengan latar belakang orang dewasa dalam melakukan kejahatan. Mencari latar belakang atau sebab anak melakukan kenakalan sebagai
lingkup dari
kriminologi akan sangat membantu dalam memberi masukan tentang apa yang sebaiknya diberikan terhadap anak yang telah melakukan kenakalan. Artinya, berbicara tentang kenakalan anak, tidak terlepas dari faktor-faktor pendorong atau motivasi sehingga seorang anak melakukan kenakalan. 84 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak memberikan perlindungan hukum kepada anak yang melakukan kenakalan, sehingga anak yang melakukan kenakalan mendapat penanganan secara khusus, sedangkan peradilan yang dijalani anak tersebut pun diatur dengan mengingat kekhususan pada anak. Demi pertumbuhan dan perkembangan mental anak, perlu ditentukan pembedaan perlakuan di dalam hukum acara dan ancaman pidananya. Undang-undang ini juga mengatur tentang pemeriksaan terhadap anak nakal harus dilaksanakan dalam suasana kekeluargaan. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, tidak ada satu pasal pun yang memberikan batasan tentang kenakalan anak, hanya saja batasan Anak Nakal dapat dilihat dalam Pasal 1 angka (2)
83
M. Nasir Djamil, Op.Cit., hlm 34. Nashriana, Op.Cit., hlm 35.
84
90
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang menyatakan bahwa Anak Nakal adalah : a. Anak yang melakukan tindak pidana; atau b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundangan-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merumuskan bahwa: “Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.” Di sini tampak bahwa pembentuk undang-undang mempunyai ketegasan tentang usia berapa seseorang diartikan sebagai anak di bawah umur sehingga berhak mendapat keringanan hukuman demi menerapkan perlakuan yang khusus bagi kepentingan psikologi anak. 85 Adapun latar belakang pembentuk undang-undang menentukan batas umur minimum dan maksimum (minimum ages and maximum ages floor), oleh karena pada umur tersebut secara psikologis dan pedagogis anak dapat dianggap sudah mempunyai rasa tanggung jawab. 86 Pada
Putusan
Pengadilan
Negeri
Purbalingga
No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg, HA Bin Sm termasuk dalam kategori anak nakal yang melakukan tindak pidana, sehingga dalam hal ini HA Bin Sm dapat diajukan ke sidang anak karena usianya yang sudah 16 tahun.
85
Wagiati Soetodjo, 2006, Hukum Pidana Anak, Bandung : Refika Aditama, hlm 26. Nashriana, Op.Cit., hlm 67.
86
91
Pengelompokan anak berdasarkan pertimbangan umur sangatlah penting, mengingat pada tiap tingkatan usia anak berbeda pula tingkat kematangan anak dalam berpikir sehingga akan berbeda cara memperlakukan anak tersebut. Batasan dari segi usia akan sangat berpengaruh pada kepentingan hukum anak yang bersangkutan. Perta nggungjawaban pidana anak diukur dari tingkat kesesuaian antara kematangan moral dan kejiwaan anak dengan kenakalan yang dilakukan anak, keadaan kondisi fisik, mental dan sosial anak menjadi perhatian. 87 Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). Sehingga sebelum adanya suatu proses peradilan pidana anak perlu adanya upaya penyelesaian melalui pendekatan keadilan restoratif (restorative justic e). Sebagaimana dikemukakan oleh M. Nasir Djamil 88 bahwa pemidanaan atau penjaraan sebagai upaya yang paling akhir terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, sehingga untuk anak yang berhadapan dengan hukum diperlakukan prinsip-prinsip Restorative Justice System di mana membangun perdamaian dan kedamaian dalam masyarakat merupakan suatu hal yang utama. Restorative Justice atau keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan
87
Maidin Gultom, Op.Cit., hlm 33. M. Nasir Djamil, Op.Cit., hlm 119.
88
92
pembalasan. Pengetian keadilan restoratif ini terdapat dalam Pasal 1 angka (6) Undang-Undang Nomor 11 ahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Keadilan restoratif juga mendorong pada perbaikan kesejahteraan masyarakat
melalui
cara-cara
menghadapkan
pelaku
anak
pada
pertanggungjawaban atas perilakunya, korban yang biasanya dihalangi ikut berperan serta dalam proses peradilan kini diberi kesempatan untuk berperan serta di dalam proses penyelesaian. Tujuan akhir dari keadilan restoratif diharapkan berkurangnya jumlah anak-anak yang ditangkap, ditahan, dan dipenjara, mengembalikan anak menjadi manusia yang diharapkan dapat berguna kelak di kemudian hari. Anak nakal dapat menyadari kesalahannya, sehingga tidak mengulangi perbuatannya dan tidak menimbulkan rasa dendam karena pela ku telah dimaafkan oleh korban. Apabila pihak-pihak tidak menghendaki penyelesaian melalui keadilan restoratif , maka proses peradilan baru dilaksanakan oleh para penegak hukum. Polisi menyatakan dalam mena ngani perkara anak dimungkinkan terjadi perdamaian, dengan tujuan menghindari stigmatisasi pada anak dan mempertimbangkan berat ringannya tindak pidana. Tetapi di sisi lain, harus dilihat dari sudut pandang korban. Bisa saja kasus itu ringan tetapi bila menurut korban berat, maka polisi tidak bisa memaksakan upaya perdamaian. Akibatnya perkaranya akan diproses lebih lanjut ke persidangan. 89
89
Noeke Sri Wardhani, 2009, Penerapan Pidana Alternatif Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Di Pengadilan Negeri Bengkulu, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol V No. II Agustus 2009, hlm 50.
93
Pada
Putusan
Pengadilan
Negeri
Purbalingga
No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg, antara pelaku, korban, keluarga korban atau keluarga pelaku tidak pernah melakukan upaya perdamaian. Hal ini berdasarkan keterangan saksi korban SM Als. Sl Bin Sr yang menyatakan bahwa keluarga HA Bin Sm belum pernah menemui saksi dan belum memberikan santunan untuk pengobatan saksi, sehingga saksi melaporkan kejadian pemukulan tersebut kepada polisi. Kelemahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak mengatur adanya pendekatan keadilan restoratif. Sehingga beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat Indonesia saat ini. Karena itu, Undang-Undang tersebut diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang akan berlaku dua tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Tujuan utama Undang-undang ini adalah menciptakan keadilan restoratif bagi anak yang berhadapan atau berkonflik dengan hukum. Hal yang baru dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak batas bawah usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum adalah 12 (dua belas) tahun. Sebelumnya, anak yang berusia 8 (delapan) sampai 18 (delapan belas) tahun diberikan tanggungjawab pidana sesuai dengan Pasal 1 angka (1), Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Anak umur 12 tahun secara relatif sudah memiliki kecerdasan
94
emosional, mental dan intelektual yang stabil. Batas umur 12 tahun lebih menjamin
hak
anak
untuk
tumbuh
be rkembang
dan
mendapatkan
perlindungan hukum sebagaimana dijamin Pasal 28 D ayat (2) UndangUndang Dasar 1945. Aparat penegak hukum lebih mengutamakan sistem peradilan pidana yang ada sebagai jalan dalam penyelesaian kasus anak. Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Sistem peradilan pidana anak pada dasarnya tidak berbeda dengan prosedur yang dijalankan pada sistem peradilan orang dewasa. Perbedaan hanya terletak pada masa penahanan dan lama hukuman yang lebih singkat dari orang dewasa dan seharusnya petugas yang menangani kasus anak adalah yang memiliki pengetahuan tentang anak. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam pasal-pasalnya menganut beberapa asas yang membedakannya dengan sidang perkara pidana untuk orang dewasa. Adapun asas-asas itu adalah sebagai berikut: 1. Pembatasan Umur (Pasal 1 angka (1) jo Pasal 4 ayat (1) UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997); Orang yang dapat disidangkan dalam acara pengadilan anak ditentukan secara limitatif, yaitu minimum berumur 8 (delapan) tahun dan maksimum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. 2. Ruang Lingkup Masalah Dibatasi;
95
Masalah yang diperiksa di sidang Pengadilan Anak hanyalah menyangkut perkara anak nakal saja. Sidang anak hanya berwenang memeriksa perkara pidana, jadi masalah-masalah lain di luar pidana bukan wewenang Pengadilan Anak. Sidang Pengadilan Anak hanya berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesa ikan perkara Anak Nakal (Pasal 21 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997). 3. Ditangani Pejabat Khusus; Perkara anak nakal ditangani pejabat khusus yaitu penyidik anak, penuntut umum anak, dan hakim anak. 4. Peran Pembimbing Kemasyarakatan; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 mengakui Peran Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial, dan Pekerja Sosial Relawan. 5. Suasana Pemeriksaan dan Kekeluargaan; Pemeriksaan perkara di pengadilan dilakukan dalam suasana kekeluargaan, karena itu hakim, penuntut umum, penyidik, dan penasihat hukum tidak memakai toga. 6. Keharusan Splitsing; Anak tidak boleh disidangkan atau diadili bersama orang dewasa baik yang berstatus sipil maupun militer. 7. Acara Pemeriksaan Tertutup; Acara pemeriksaan di Pengadilan Anak dilakukan secara tertutup dan putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 153 ayat
96
(3) KUHAP dan Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997). 8. Diperiksa Oleh Hakim Tunggal; Hakim yang memeriksa perkara di Pengadilan Anak, baik di tingkat pertama, banding atau kasasi dilakukan dengan hakim tunggal. Apabila tindak pidananya diancam dengan pidana penjara di atas 5 (lima) tahun dan pembuktiannya sulit, maka berdasarkan Pasal 11 ayat (2) UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 perkara diperiksa dengan hakim majelis. 9. Masa Penahanan Lebih Singkat; Masa penahanan terhadap anak lebih singkat yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 dibandingkan dengan masa penahanan yang diatur dalam KUHAP. Hal ini memberika n perlindungan terhadap anak, sebab dengan penahanan yang tidak begitu lama tidak akan berpengaruh besar terhadap perkembangan fisik, mental dan sosial anak. 10. Hukuman Lebih Ringan; Hukuman yang dijatuhkan terhadap anak nakal (Pasal 22 jo Pasal 23 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997), lebih ringan dari ketentuan yang diatur dalam KUHP. Hukuman maksimal terhadap anak nakal adalah 10 (sepuluh) tahun. Hakim pengadilan anak harus dengan jeli mempertimbangkan dan memahami bahwa penjatuhan pidana terhadap anak merupakan upaya terakhir (ultimum remedium).90
90
Maidin Gultom, Op.Cit., hlm 87-88.
97
Berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, mengatur bahwa “hukum acara yang berlaku diterapkan pula dalam pengadilan anak, kecuali lain dalam undang-undang ini”. Hal ini berarti ketentuan-ketentuan dalam KUHAP berlaku pula dalam acara pemeriksaan pengadilan anak. Banyak perkara termasuk perkara anak nakal di pengadilan dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan sehingga terkesan setiap perbuatan anak nakal dapat dipastika n selalu diproses melalui jalur hukum. Proses persidangan merupakan proses yang menghasilkan sebuah putusan yang menyatakan terdakwa bersalah atau tidak bersalah. Dalam proses persidangan tersebut akan dilakukan pembuktian untuk membuktikan apakah terdakwa bersalah atau tidak bersalah yang dilakukan dengan memeriksa alat-alat bukti dan barang bukti yang ada. Proses peradilan pidana anak terdiri dari beberapa tahap. Tahap penyidikan diatur dalam Pasal 41 dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Penyidik membuat laporan mengenai kasus anak, sebab-sebab melakukan kenakalan, latar belakangnya, dengan cara wawancara secara sabar dan halus. Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merumuskan bahwa “Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan”. Dalam penjelasan pasal dirumuskan bahwa suasana kekeluargaan antara lain pada waktu memeriksa tersangka, penyidik tidak memakai pakaian dinas dan melakukan pendekatan secara efektif dan
98
simpatik. Efektif dapat diartikan bahwa pemeriksaannya tidak memakan waktu lama, dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak dan dapat mengajak tersangka untuk memberikan keterangan yang sejelasjelasnya, sedangkan simpatik dapat diartikan bahwa pada waktu pemeriksaan penyidik bersikap sopan dan ramah serta tidak membuat takut si tersangka anak. 91 Pasal 1 angka (29) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mendefinisikan keterangan anak yaitu: “Keterangan anak adalah keterangan yang diberikan oleh seorang anak tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.” Menurut Pasal 16 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dapat diketahui bahwa tujuan penangkapan tersangka ialah untuk kepentingan penyelidikan dan untuk kepentingan penyidikan. Dalam melakukan tindakan penangkapan, asas praduga tak bersalah harus dihormati dan dijunjung tinggi sesuai dengan harkat dan martabat anak. Anak juga harus dipahami sebagai orang yang belum mampu memahami masalah hukum yang terjadi atas dirinya. Melakukan tindakan penangkapan terhadap anak yang diduga melakukan kenakalan, didasarkan pada bukti yang cukup dan jangka waktunya terbatas dalam satu hari. Dalam melakukan penangkapan, diperhatikan hak-hak anak sebagai tersangka, seperti 91
Nashriana, Op.Cit., hlm 119.
99
hak mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan oleh undang-undang. 92 Pasal 43 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merumuskan bahwa : “(1) Penangkapan anak nakal dilakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. (2) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan guna kepentingan pemeriksaan untuk paling lama 1 (satu) hari.” Berdasarkan
duduk
perkara
pada
Putusan
Pengadilan
Negeri
Purbalingga No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg bahwa HA Bin Sm pada hari Kamis tanggal 9 Desember 2010 sekitar jam 19.00 WIB bertempat di jalan desa masuk Desa Selakambang Kecamatan Kaligondang Kabupaten Purbalingga telah melakukan pemukulan
terhadap korban SM Als. Sl Bin Sr seorang
tukang ojek. HA Bin Sm melakukan pemukulan terhada p korban SM Als. Sl Bin Sr karena tidak mempunyai ongkos ojek yang disepakati sebesar Rp 100.000,-. HA Bin Sm melakukan pemukulan tersebut dengan cara korban dipukul menggunakan batu pada bagian punggung korban bagian kanan dan kiri masing-masing sebanyak 1 kali sehingga mengakibatkan sakit atau luka. Berdasarkan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak,
untuk
kepentingan
pemeriksaan
maka
dilakukan
penangkapan terhadap HA Bin Sm. Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merumuskan bahwa:
92
Maidin Gultom, Op.Cit., hlm 97.
100
“Untuk kepentingan penyidikan, penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, berwenang melakukan penahanan terhadap anak yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.” Penyidik anak dapat melakukan penahanan paling lama 20 hari. Apabila penyidik menganggap bahwa pemeriksaan yang dilakukan terhadap anak tersebut belum selesai, penyidik dapat meminta perpanjangan kepada Penuntut Umum untuk paling lama 10 hari. Artinya terhadap anak dapat dilakukan penahanan oleh penyidik anak selama 30 hari, dan apabila pemeriksaan belum selesai dilakukan, maka anak harus dikeluar kan demi hukum.
Penahanan anak yang lebih sedikit waktunya dibandingkan dengan
penahanan bagi orang dewasa, semata-mata agar anak tidak terlalu lama dalam tahanan, sehingga akan mengganggu perkembangan fisik, mental, dan sosial anak. Berdasarkan
Putusan
Pengadilan
Negeri
Purbalingga
No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg, dengan bukti permulaan yang cukup HA Bin Sm diduga telah melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap SM Als. Sl Bin Sr, maka penyidik berwenang melakukan penahanan terhadap HA Bin Sm untuk kepentingan penyidikan. Pemberkasan perkara oleh penyidik anak berdasarkan ketentuan KUHAP, karena dalam Pasal 41 dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak mengatur sedikitpun tentang pemberkasan perkara. Setelah pemberkasan selesai, selanjutnya penyidik anak menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
101
Penuntutan dalam acara pidana anak mengandung pengertian tindakan penuntut umum anak untuk melimpahkan perkara anak ke pengadilan anak dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim anak dalam persidangan anak. 93 Tugas penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik anak, harus segera mempelajari dan menelitinya, dan dalam tempo 7 (tujuh) hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan yang dilakukan telah cukup ataukah tidak. Jika ternyata hasil penyidikan belum lengkap, maka penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik anak dengan disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi. 94 Setelah menerima berkas perkara yang dilimpahkan oleh penyidik dan penuntut umum beranggapan bahwa hasil penyidikan telah cukup dan dapat dilakukan penuntutan, maka wajib dalam waktu secepatnya penuntut umum membuat surat dakwaan.95 Hal ini sesuai dengan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang merumuskan: “Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, maka ia wajib dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. ” Surat dakwaan merupakan dasar adanya suatu perkara pidana yang juga merupakan dasar hakim melakukan pemeriksaan.
93
M. Nasir Djamil, Op.Cit ., hlm 159. Nashriana, Op.Cit., hlm 132. 95 Ibid , hlm 134. 94
102
Berdasarkan
Putusan
Pengadilan
Negeri
Purbalingga
No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg, penuntut umum membuat surat dakwaan atas tindak pidana yang disangkakan kepada HA Bin Sm. Kemudia n penuntut umum melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri Purbalingga disertai dengan surat dakwaan untuk diproses dalam persidangan anak. Dalam pelimpahan tersebut penuntut umum juga menyerahkan barang bukti berupa 1 (satu) buah batu sungai seberat 2 (dua) kilogram ke pengadilan negeri. Berkaitan dengan penelitian terhadap ketentuan-ketentuan di atas maka alasan
anak
nakal
diproses
dalam
persidangan
pada
Putusan
No.
05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg dapat diketahui, yaitu: a. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bahwa batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Nashriana 96 mengatakan pasal tersebut menunjukkan bahwa yang disebut sebagai anak yang dapat diperkarakan ke sidang anak hanyalah anak yang berumur antara 8 tahun sampai 18 tahun dan belum pernah kawin. Terhadap anak yang walaupun belum mencapai 18 tahun tetapi telah menikah, tidak dapat diajukan ke sidang anak, tetapi ke sidang orang dewasa berdasarkan KUHP dan KUHAP. HA Bin Sm termasuk dalam kategori anak nakal yang melakukan tindak
96
Ibid , hlm 77.
103
pidana, sehingga dalam hal ini HA Bin Sm dapat diajukan ke sidang anak karena usianya yang sudah 16 tahun. b. Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). Menurut Wagiati Soetodjo 97, penahanan hanya merupakan upaya terakhir dalam menyelesaikan suatu perkara setelah sebelumnya diselesaikan dengan cara lain tidak mendapat jalan keluarnya. Sehingga sebelum adanya suatu proses peradilan pidana anak perlu adanya upaya perdamaian. Namun antara pelaku, korban, keluarga korban atau keluarga pelaku tidak pernah melakukan upaya perdamaian. Hal ini berdasarkan keterangan saksi korban SM Als. Sl Bin Sr yang menyatakan bahwa keluarga HA Bin Sm belum pernah menemui saksi dan belum memberikan santunan untuk pengobatan saksi, sehingga saksi melaporkan kejadian pemukulan tersebut kepada polisi. c. Berdasarkan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, untuk kepentingan pemeriksaan maka dilakukan penangkapan terhadap HA Bin Sm. Dengan bukti permulaan yang cukup HA Bin Sm diduga telah melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap SM Als. Sl Bin Sr, maka penyidik berwenang melakukan penahanan terhadap HA Bin Sm untuk kepentingan penyidikan, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 44 ayat (1) UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Menurut
97
Wagiati Soetodjo, Op.Cit., hlm 42.
104
Maidin Gultom 98, dasar diperkenankan suatu penahanan anak, adalah adanya dugaan keras berdasarkan bukti yang cukup, bahwa anak melakukan tindak pidana (kenakalan). d. Penuntut umum beranggapan bahwa hasil penyidikan telah cukup dan dapat dilakukan penuntutan, maka penuntut umum membuat surat dakwaan atas tindak pidana yang disangkakan kepada HA Bin Sm, hal ini berdasarkan Pasal 54
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak. Kemudian penuntut umum melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri Purbalingga disertai dengan surat dakwaan untuk diproses dalam persidangan anak. Sebagaimana dikemukakan oleh Nashriana 99 bahwa Penuntut umum anak yang diberi tugas untuk melakukan penuntutan terhadap tersangka anak nakal, selanjutnya melimpahkan berkas perkara ke pengadilan negeri disertai dengan surat dakwaan. Pelimpahan berkas perkara pidana dilakukan penuntut umum dengan surat pelimpahan perkara dengan permintaan agar Pengadila n Negeri segera mengadili perkara tersebut. Dalam pelimpahan itu penuntut umum juga menyerahkan barang bukti ke pengadilan. 2. Pembuktian dalam tindak pidana penganiayaan terhadap pelaku anak pada Putusan No: 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil atau kebenaran yang sebenar -benarnya. Hakim harus mencari dan 98
Maidin Gultom, Op.Cit., hlm 98. Nashriana, Op.Cit., hlm 138.
99
105
mendapatkan kebenaran materiil yang diperoleh dari alat bukti sebelum mengambil suatu putusan. Upaya mencari kebenaran mate riil ini menjadi salah satu perbedaan antara hukum acara pidana dengan hukum acara perdata. Tujuan hukum acara perdata adalah mencari kebenaran formil, sehingga hakim tidak diwajibkan untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya. Hukum acara pidana mengenal asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) untuk mengetahui apakah seseorang bersalah atau tidak bersalah dapat diketahui dengan proses pembuktian. Pembuktian dalam hukum acara pidana merupakan bagian yang sangat penting dan memegang peranan yang sangat strategis dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Membuktikan mengandung maksud dan tujuan untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pembuktian berarti merupakan suatu perbuatan membuktikan. Sedangkan membuktikan dapat diartikan memperlihatkan bukti, menyatakan kebenaran sesuatu dengan bukti, ataupun meyakinkan dengan bukti. 100
Jika dikaitkan dengan hukum acara
pidana yang bertujuan untuk memperoleh kebenaran materiil, maka membuktikan berarti memperlihatkan, menyatakan kebenaran ataupun meyakinkan dengan menggunakan alat bukti serta barang bukti. Pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus
100
Pusat Bahasa Depart emen Pendidikan Nasional, Op.Cit., hlm 172.
106
mempertanggungjawabkannya. Melalui pembuktian akan ditentukan nasib terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang. Apabila hasil pembuktian dengan alatalat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukumannya. Sebaliknya, apabila kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti, terdakwa dinyatakan bersalah dan dikenakan hukuman kepadanya. Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan. 101 Sedangkan pengertian pembuktian menurut M. Yahya Harahap, yang mengatakan bahwa: “Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan kete ntuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.” 102 Tujuan pembuktian adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil, bukan untuk mencari kesalahan seseorang. Oleh karena itu para hakim
harus
hati-hati,
cermat
dan
matang
dalam
menilai
dan
mempertimbangkan masalah pembuktian. Tujuan pembuktian dalam hukum acara pidana berbeda dengan hukum acara perdata. Tujuan pembuktian dalam hukum acara pidana yaitu untuk mencari kebenaran materiil, yaitu kebenaran 101
http://lawfile.blogspot.com/2011/06/pengertian-pembuktian.html, diakses pada tanggal 4 Juni 2013. 102 M. Yahya Harahap, Op.Cit ., hlm 273.
107
yang hakiki mengenai suatu tindak pidana dan pelaku yang sesungguhnya dari tindak pidana tersebut. Tujuan pembuktian pada hukum acara perdata adalah mencari kebenaran formil, sehingga hakim tidak diwajibkan untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya dari perkara yang diperiksanya. Ditinjau dari segi hukum acara pidana, pembuktian merupakan ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran, hakim, penuntut umum, terdakwa, maupun penasihat hukum masing-masing terikat pada ketentuan tata cara penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang artinya bahwa dalam mempergunakan dan menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti hakim, jaksa, terdakwa, maupun penasihat hukum harus melaksanakannya dalam batas-batas yang dibenarkan undang-undang. Sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai oleh KUHAP yaitu untuk menentukan kebenaran materiil, maka di dalam acara pembuktian jaksa penuntut umum harus dapat menunjukkan bukti-bukti yang sah menurut KUHAP yang pada akhirnya dapat memberikan keyakikan pada hakim bahwa terdakwalah yang bersalah telah melakukan suatu tindak pidana. Dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana merumuskan bahwa : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Menurut Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-U ndang Hukum Acara Pidana tersebut hukum acara pidana
108
Indonesia menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif yaitu menggunakan alat bukti yang telah ditentukan undang-undang dan dengan keyakinan hakim. Berdasarkan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, hakim dalam menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Hakim membuktikan kesalahan terdakwa dengan memeriksa sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; 2. Hakim memperoleh keyakinan atas pembuktian dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah tersebut bahwa telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dalam proses pembuktian perkara di pengadilan diperlukan alat bukti dan barang bukti yang benar -benar dapat membuat terang suatu tindak pidana yang disangkakannya yang akhirnya akan digunakan sebagai bahan pembuktian. Alat bukti sah yang diajukan bertujuan untuk memberikan kepastian pada hakim tentang perbuata n-perbuatan terdakwa sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum di dalam surat dakwaan. Karena tujuan pemeriksaan pengadilan di persida ngan adalah untuk mencari kebenaran materiil. Alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang terdiri dari : 1. 2. 3. 4.
Keterangan saksi; Keterangan ahli; Surat; Petunjuk;
109
5. Keterangan terdakwa. Mengenai alat bukti dalam pembuktian pada praktek pemeriksaan perkara pidana dipersidangan alat bukti yang paling sering dan paling banyak dipergunakan untuk pembuktian adalah keterangan saksi dan keterangan terdakwa. Keterangan saksi dan keterangan terdakwa mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam pemeriksaan perkara pidana di persidangan. Berdasarkan
putusan
Pengadilan
Negeri
Purbalingga
No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg, alat bukti yang digunakan oleh Hakim Pengadilan Negeri Purbalingga adalah: 1. Alat Bukti Keterangan Saksi Salah satu alat bukti yang digunakan dalam pembuktian yaitu keterangan saksi yang merupakan alat bukti paling utama dalam perkara pidana. Sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang memuat urutan alat bukti sah, urutan pertama adalah keterangan saksi. Pada dasarnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Dapat dikatakan tidak ada perkara pidana yang luput dari alat bukti keterangan saksi. Jika suatu tindak pidana sudah dibuktikan dengan alat bukti yang lain, sekurang-kurangnya masih tetap diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. Karena tanpa kehadiran saksi dipersidangan penuntut umum tidak akan dapat membuktikan kesalahan terdakwa.
110
Pasal 1 angka (27) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana , merumuskan sebagai berikut : “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya ini.” Alat bukti keterangan saksi adalah alat bukti yang paling utama. Hal ini disebabkan karena alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang pertama kali diperiksa dalam sidang pengadilan dan memegang peranan yang penting dalam menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa. Dengan kata lain alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling berperan dalam pembuktian selain alat-alat bukti yang lain, meskipun terkadang dalam memberikan keterangannya saksi memberikan keterangan yang tidak sebenarnya untuk meringankan atau memberatkan dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti ialah keterangan saksi yang diatur dalam Pasal 1 angka 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-U ndang Hukum Acara Pidana yaitu keterangan yang saksi lihat sendiri, saksi dengar sendiri dan saksi alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Keterangan saksi yang diberikan atas dasar hasil pemikiran sendiri bukan merupakan keterangan saksi. Saksi tidak boleh
111
memberikan keterangan mengenai terjadinya suatu tindak yang ia dengar dari orang lain. Keterangan seperti di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana disebut sebagai suatu kesaksian de auditu atau suatu testimonium de auditu , yang tidak mempunyai kekuatan hukum sebagai suatu kesaksian. 103 Keterangan saksi HK Bin SS, saksi Mm Bin Sd, saksi Mr Bin Sm, serta saksi korban SM Als. Sl Bin Sr pada Putusan No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg yang diberikan di bawah sumpah di dalam persidangan, isi keterangannya sesuai dengan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka (27) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Keterangan tersebut yaitu apa yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri, sehingga keterangan tersebut dapat bernilai sebagai alat bukti. Saksi
harus
mengucapkan
sumpah
atau
janji
agar
keterangannya dapat menjadi alat bukti yang sah. Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana merumuskan: “Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.” Ada beberapa saksi yang dapat memberikan keterangannya tanpa harus mengucapkan sumpah terlebih dahulu yakni sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 8 103
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit., hlm 419.
112
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merumuskan bahwa: “Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah: a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin; b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadangkadang ingatannya baik kembali.” Dari ketentuan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di atas maka dapat diketahui bahwa anak yang belum berumur 15 (lima belas) tahun dan belum pernah kawin serta orang yang sakit jiwa dapat memberikan keterangan di muka persidangan mengenai peristiwa tindak pidana yang ia dengar, ia lihat, serta ia alami sendiri tanpa harus disumpah terlebih dahulu. Oleh karena itu maka dapat diketahui bahwa alat bukti keterangan saksi tanpa mengangkat sumpah ini memiliki kekuatan pembuktian yang berbeda dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dibawah sumpah, dimana nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dibawah umur atau tanpa diangkat sumpah hanya dijadikan petunjuk bagi hakim untuk menilai benar tidaknya kesalahan terdakwa dan fungsinya untuk menambah keyakinan hakim dalam memutuskan suatu tindak pidana. Sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa: “Mengingat bahwa anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun hanya kadang-kadang saja, yang dlaam ilmu
113
penyakit jiwa disebut Psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpahatau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja.” Pada Putusan No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg, saksi HK Bin SS, saksi Mm Bin Sd, saksi Mr Bin Sm, serta saksi korban SM Als. Sl Bin Sr telah disumpah terlebih dahulu sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing sebelum memberikan keterangannya. Keterangan saksi-saksi tersebut merupakan alat bukti yang sah karena sebelum memberikan keterangan para saksi disumpah terlebih dahulu. Jika saksi tidak mau mengucapkan sumpah maka akibat hukumnya keterangan saksi tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim. Sumpah yang diucapkan sebelum memberi keterangan di muka sidang pengadilan dengan alasan : 1. Saksi akan terpengaruh oleh sumpah atau janji yang diucapkan. 2. Saksi akan mengurangi niat untuk mengingkari janji. 3. Bahwa keterangan yang diucapkan akan mempunyai kekuatan pembuktian. 104 Saksi-saksi yang diajukan penuntut umum memberikan keterangannya secara langsung di persidanga n. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 185 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 104
Suharto RM, Op.Cit., hlm 142.
114
tentang
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Acara
Pidana
yang
merumuskan: “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.” Berdasarkan Putusan No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg, saksi HK Bin SS, saksi Mm Bin Sd, saksi Mr Bin Sm, serta saksi korban SM Als. Sl Bin Sr memberikan keterangannya secara langsung di persidangan. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup, hal ini berdasarkan Pasal 185 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Acara
Pidana
yang
merumuskan: “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.” Hal ini mengandung suatu asas yang sangat penting untuk diperhatikan, baik oleh penyidik, penuntut umum, hakim maupun penasihat hukum, yakni asas unus testis nullus testis, atau yang di dalam praktik juga sering disebut dengan perkataan satu saksi bukan saksi. Berdasarkan Putusan No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg, saksi yang yang dihadirkan sebanyak 5 orang. Namun 1 orang saksi yaitu saksi Sm Bin Jm yang merupakan Bapak kandung terdakwa, berdasar dan berpedoman pada Pasal 168 KUHAP telah mengundurkan diri sebagai
115
saksi. Pasal 168 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merumuskan bahwa: “Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi: a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama -sama sebagai terdakwa; b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama -sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anakanak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama -sama sebagai terdakwa.” Sehingga saksi yang memberikan keterangannya hanyalah 4 orang yaitu saksi HK Bin SS, saksi Mm Bin Sd, saksi Mr Bin Sm, serta saksi korban SM Als. Sl Bin Sr. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu saling berhubungan satu dengan yang lain sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Jika keterangan beberapa saksi tidak saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain maka tidak akan dapat mewujudkan suatu kebenaran akan suatu kejadian tertentu. Keterangan beberapa saksi yang seperti itu tidak dapat membuktikan kesalahan terdakwa. Pasal 185 ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana merumuskan: “Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan: a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
116
b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu; d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.” Berdasarkan Putusan No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg saksi HK Bin SS, saksi Mm Bin Sd, saksi Mr Bin Sm, serta saksi korban SM Als. Sl Bin Sr memberikan keterangan yang saling berhubungan dan saling bersesuaian satu dengan yang lain yang menerangkan bahwa HA Bin Sm pada hari Kamis tanggal 9 Desember 2010 sekitar jam 19.00 WIB bertempat di jalan desa masuk Desa Selakambang Kecamatan Kaligondang Kabupaten Purbalingga telah melakukan pemukulan terhadap korban SM Als. Sl Bin Sr seorang tukang ojek. HA Bin Sm melakukan pemukulan terhadap korban SM Als. Sl Bin Sr karena tidak mempunyai ongkos ojek yang disepakati sebesar Rp 100.000,-. HA Bin Sm melakukan pemukulan tersebut dengan cara korban dip ukul menggunakan batu pada bagian punggung korban bagian kanan dan kiri masing-masing sebanyak 1 kali sehingga mengakibatkan sakit atau luka. 2. Alat Bukti Surat Pengertian surat tidak terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tetapi bisa didapatkan dari para ahli. Pengertian surat menurut Asser-
117
Anema dalam Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril 105, surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran. Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana merumuskan bahwa: “Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah : a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, diliha t atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.” Surat yang dimaksud pada Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah surat-surat yang dibuat oleh pejabat resmi yang berbentuk berita acara, akte, surat keterangan atau surat lain yang mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang diadili. Surat dari rumusan pasal tersebut agar dapat dijadikan alat bukti yang sah yaitu dibuat atas sumpah jabatan
105
atau
dikuatkan
dengan
sumpah.
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Op.Cit., hlm 127.
Permintaan
untuk
118
mendapatkan suatu surat keterangan ahli dapat dipandang sebagai suatu permintaan yang resmi, apabila permintaan tersebut diminta oleh pejabat-pejabat tertentu yang disebutkan dalam KUHAP dalam kualitas mereka sebagai penyidik, penuntut umum dan hakim, dan dimaksud untuk membuat terang suatu perkara pidana dalam pemeriksaan, baik oleh penyidik, oleh penuntut umum maupun oleh majelis hakim. Sepucuk surat itu walaupun di dalamnya tertulis hal-hal yang sangat penting, tidak dengan sendirinya ia merupakan suatu alat bukti yang sah menurut undang-undang. Akan tetapi, isi surat tersebut dapat digunakan sebagai dasar pembuktian, apabila ada saksi yang dapat memberikan keterangan di bawah sumpah mengenai asal-usul dari surat itu dan mengenai apa yang dituliskan dalam surat itu sendiri. 106 Ahli yang menyatakan keterangannya pada waktu diperiksa oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu menerima jabatan atau pekerjaan, maka dapat berupa Visum et Repertum. Visum et Repertum memiliki arti penting untuk menjamin kepastian hukum dan memudahkan penegak hukum atau pihak lain dalam proses peradilan perkara pidana dalam mengetahui, mempelajari, dan menilai hal-hal nya ta sebagai hasil pemeriksaan yang tertuang di dalamnya. Visum et Repertum termasuk alat bukti yang sah bagi hakim untuk 106
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit., hlm 426.
119
memeriksa
kasus -kasus
tindak
pidana.
Visum
et
Repertum
diklasifikasikan sebagai “surat keterangan” yang dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan seorang ahli pada tubuh korban, yang diduga akibat tindak pidana. Seorang ahli dapat memberikan keterangannya dalam bentuk tertulis sehingga dapat dijadikan alat bukti yaitu alat bukti surat. Polisi sebagai penyidik dalam tindak pidana, sudah lazim untuk pertama sekali mengetahui suatu tindak pidana , maka untuk keperluan penyidikan, polisi berdasarkan wewenangnya yaitu Pasal 133 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengirim
korban
penganiayaan
kepada
dokter
kehakiman untuk meminta Visum et Repertum sebagai pengganti alat bukti, kemudian dokter kehakiman memeriksa korban penganiayaan, dan dari hasil pemeriksaannya dibuat dalam bentuk Visum et Repertum dan dengan secepatnya diserahkan kepada penyidik untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan. Visum et Repertum sendiri berasal dari bahasa latin yaitu visum – something seem, appearance (sesuatu yang dilihat), et – and (dan), repertum – invention, find out (ditemukan). Jadi pengertian Visum et Repertum adalah apa yang dilihat dan ditemukan pada korban.
120
Menurut R. Soeparmono107 pengertian mengenai Visum et Repertum adalah sebagai berikut: “Visum et Repertum merupakan suatu laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan atas bukti hidup, mayat, atau fisik ataupun barang bukti lain, kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan pengetahuan yang sebaik -baiknya. Atas dasar itu selanjutnya diambil kesimpulan, yang juga merupakan pendapat dari seorang ahli maupun kesaksian (ahli) secara tertulis sebagaimana yang tertuang dalam bagan pemberitaan (hasil pemeriksaan). Oleh karena itu Visum et Repertum semata-mata hanya dibuat agar perkara pidana menjadi jelas dan hanya berguna bagi kepentingan pemeriksaan dan untuk keadilan serta diperuntukan bagi kepentingan peradilan.” Dapat dikatakan Visum et Repertum adalah keterangan tertulis dari seorang dokter atas sumpah jabatan dengan permintaan tertulis dari pihak berwenang mengenai apa yang dilihat dan / atau yang ditemukan pada barang bukti baik orang hidup atau mati untuk kepentingan peradilan. Visum et Repertum juga berperan dalam menentukan tindak pidana yang terjadi. Selain itu hakim juga dapat membuktikan tindak pidana yang terjadi, yaitu dengan melihat niat dan tujuan yang ingin dituju oleh pelaku. Dalam tindak pidana penganiayaan pada Putusan No.05/Pid.B /A/2011/PN.Pbg, tujuan pelaku adalah dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka tubuh pada korban. Sehingga tindak pidana yang dilakukan oleh HA Bin Sm merupakan tindak pidana
107
R. Soeparmono, 2002, Ahli dan Visum et Repertum Dalam Praktek Hukum Acara Pidana, Semarang: Setia Wacana, hlm 98.
121
penganiayaan sesuai dengan niat dan tujuannya yaitu menimbulkan rasa sakit atau luka tubuh pada korban. Berdasarkan Putusan No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg terdapat alat bukti surat berupa Visum et Repertum atas nama saksi korban SM Als. Sl Bin Sr tanggal 13 Desember 2010, yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Mulyadi Yanto dokter pemeriksa pada Rumah Sakit Ibu dan Anak Purbalingga yang menerangkan bahwa terdapat 2 luka memar yaitu dipunggung sebelah kiri dengan ukuran 3 milimeter kali 6 cm, dan punggung sebelah kanan dengan ukuran 3 milimeter kali 6,5 cm. 3. Alat Bukti Keterangan Terdakwa Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang dapat dijadikan sebagai alat bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Penempatannya pada urutan terakhir inilah salah satu alasan yang dipergunakan untuk menempatkan proses pemeriksaan keterangan terdakwa dilakukan belakangan sesudah pemeriksaan keterangan saksi. Makna keterangan terdakwa ditempatkan pada urutan terakhir dimaksudkan agar terdakwa dapat mendengarkan dan memperhatikan keterangan alat bukti yang lain, sehingga ia akan dapat merenungkan dengan tenang apabila nanti mendapat pertanyaan yang diajukan oleh hakim, penuntut umum maupun dari penasihat hukumnya.
122
Pasal 189 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana merumuskan bahwa : “Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. ” Istilah keterangan terdakwa adalah istilah baru sebagai alat bukti yang terdapat dalam KUHAP. Sebelumnya dalam HIR istilah yang digunakan adalah pengakuan tertuduh. Dari segi bahasa, maka antara keduanya kelihatan bahwa keterangan terdakwa lebih luas, sebab keterangan terdakwa meliputi pengakuan dan pengingkaran. Sedangkan pengakuan tertuduh hanya terbatas pada pernyataan pengakuan itu sendiri tanpa menca kup pengertian pengingkaran. 108 Istilah keterangan terdakwa adalah lebih cocok karena sesuai dengan asas yang dianut KUHAP ialah asas praduga tidak bersalah, sebab apabila menggunakan istilah pengakuan tertuduh berarti sudah melanggar hak asasi terdakwa dan tidak sesuai dengan asas praduga tidak bersalah, karena dengan istilah tertuduh sudah dianggap bersalah dan dalam pemeriksaan hanya tinggal mengusahakan pengakuan saja. Memeriksa terdakwa adalah tidak semudah yang diperkirakan, karena terdakwa mempunyai hak ingkar, dan dapat mengaku yang bukan
108
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Op.Cit., hlm 130-131.
123
sebenarnya lebih-lebih apabila sudah ada rencana antara terdakwa dan para saksi, tanpa kearipan hakim keputusan akan menjadi fatal. 109 Dengan digunakannya perkataan keterangan terdakwa di dalam KUHAP mempunyai arti, bahwa untuk menyatakan terbuktinya tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, hakim tidak perlu mendasarkan hal tersebut semata -mata pada adanya pengakuan dari terdakwa, melainkan ia juga dapat mendasarkan pernyataan tentang terbuktinya terdakwa melakukan tindak pidana seperti yang telah didakwakan oleh penuntut umum kepadanya, pada lain-la in alat bukti yang telah dibicarakan di atas, misalnya pada keterangan saksi, keterangan ahli, surat atau pada petunjuk-petunjuk. Terdakwa memiliki hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada hakim dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, agar pemer iksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya maka terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut sehingga perlu dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap terdakwa. Keterangan terdakwa diberikan tanpa harus mengucapkan sumpah terlebih dahulu, hal itu yang sering membuat keterangan terdakwa seringkali diabaikan oleh hakim. Selain itu keterangan terdakwa seringkali diabaikan karena ada kecenderungan seseorang untuk mengelak melakukan kejahatan yang dilakukannya yang
109
Suharto RM, Op.Cit., hlm 158 -159.
124
disebabkan faktor psikologis. Andi Hamzah110 mengatakan bahwa psikologi memegang peranan penting. Pada umumnya manusia takut menerima pidana. Dan walaupun dalam hatinya terbenih keinginan menerangkan yang sebenarnya, kadang-kadang takut menerima pidana itu akhirnya yang mena ng, sehingga pada umumnya terdakwa mengkhianati hati nuraninya sendiri. Keterangan terdakwa meskipun demikian, seharusnya hakim jangan selalu mengabaikan keterangan terdakwa karena keterangan terdakwa merupakan alat bukti yang sah di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Keterangan terdakwa memang ditempatkan di posisi terakhir di dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Hal ini salah satu
alasa n
agar
dalam
pemeriksaan
terdakwa
memberikan
keterangannya paling akhir agar terdakwa dapat secara jelas mengerti tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Keterangan terdakwa sebenarnya memiliki sifat yang sama dengan keterangan saksi. Menurut Andi Hamzah111 yang mengatakan bahwa perubahan alat pembuktian dari pengakuan terdakwa menjadi keterangan terdakwa sangat penting dan membawa akibat jauh, bahwa keterangan terdakwa itu mempunyai sifat yang sama dengan keterangan saksi. 110 111
Andi Hamzah, Op.Cit., hlm 281. Ibid, hlm 280.
125
Pembuktian harus tetap dilaksanakan meskipun terdakwa telah memberikan pengakuan bahwa ia yang bersalah. Pengakuan tersebut tidak boleh dianggap dan dinilai sebagai alat bukti yang sempurna dan mengikat. Hal itu juga ditegaskan M. Yahya Harahap112 yang mengatakan bahwa seperti yang telah diungkapkan, seribu kalipun terdakwa memberikan pernyataan pengakuan sebagai pelaku dan yang bersalah tindak pidana yang didakwakan kepadanya, pengakuan itu tidak boleh dianggap dan dinilai sebagai alat bukti yang sempurna, menentukan dan mengikat. Sudah tentu tidak semua keterangan terdakwa dinilai sebagai alat bukti yang sah. Untuk menentukan sejauh mana keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undangundang, diperlukan beberapa asas sebagai landasan berpijak, antara lain : 1. Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan. 2. Tentang perbuatan yang terdakwa lakukan, ketahui, atau alami sendiri. Pernyataan terdakwa meliputi : a. Tentang perbuatan yang terdakwa lakukan sendiri. b. Tentang apa yang diketahui sendiri oleh terdakwa. c. Tentang apa yang dialami sendiri oleh terdakwa.
112
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm 331.
126
d. Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti terhadap dirinya sendiri. 113 Berdasarkan
Putusan
No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg,
di
persidangan terdakwa HA Bin Sm telah memberikan keterangan yang menerangkan bahwa terdakwa HA Bin Sm pada hari Kamis tanggal 9 Desember 2010 sekitar jam 19.00 WIB bertempat di jalan desa masuk Desa Selakambang Kecamatan Kaligondang Kabupaten Purbalingga telah melakukan pemukulan
terhadap korban SM Als. Sl Bin Sr
seorang tukang ojek. HA Bin Sm melakukan pemukulan terhadap korban SM Als. Sl Bin Sr karena tidak mempunyai ongkos ojek yang disepakati sebesar Rp 100.000,-. HA Bin Sm melakukan pemukulan tersebut dengan cara korban dipukul menggunakan batu pada bagian punggung korban bagian kanan dan kiri masing-masing sebanyak 1 kali sehingga mengakibatkan sakit atau luka . Berdasarkan Putusan No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg selain alat bukti keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa, penuntut umum juga mengajukan barang bukti. Barang bukti sendiri tidak diatur secara khusus seperti halnya alat bukti yang secara limitatif ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana . Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memang tidak menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun, dalam Pasal 39
113
Ibid, hlm 320.
127
ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merumuskan : “Yang dapat dikenakan penyitaan adalah: a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.” Dapat dikatakan benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dapat disebut sebagai barang bukti. Pengertian
barang
bukti
menurut
Nikolas
Simanjuntak
yang
mengatakan bahwa: “Barang bukti adalah benda-benda, kertas, surat, uang, alat yang dipakai, materi, zat, warna, dan sebagainya, baik sebagai data maupun sebagai benda itu sendiri apa adanya untuk menjadi bahan terhadap data dan keterangan yang telah dibuat ke dalam berita acara. Barang atau benda itu sendiri bukan alat bukti, tetapi segala surat dan keterangan yang menjelaskan tentang apa dan bagaimana barang itulah yang menjadi alat-alat bukti hukum.” 114 Pengertian barang bukti yang tidak dijelaskan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana merumuskan :
114
Nikolas Simanjuntak, 2009, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm 266-267.
128
“Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti.” Pasal 40 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana memberikan penjelasan bahwa penyidik mempunyai keluasan dalam hal tertangkap tangan dapat menyita selain benda yang diduga atau patut diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana tetapi juga benda-benda lain untuk dipakai sebagai barang bukti. Dari pasal tersebut dapat dikatakan bahwa barang bukti adalah benda yang diduga atau patut diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana, dan juga benda -benda lain dapat dipakai sebagai barang bukti dalam hal tertangkap tangan. Pada
putusan
Pengadilan
Negeri
Purbalingga
No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg, Penuntut Umum mengajukan barang bukti berupa 1 (satu) buah batu sungai seberat 2 (dua) kilogram, di mana terhadap barang bukti tersebut telah disita sesuai dengan peraturan yang berlaku sehingga dapat dipergunakan untuk memperkuat pembuktian dalam perkara ini. Setelah syarat-syarat dalam Pasal 183 jo Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah terpenuhi, maka untuk dapat melihat apakah tindak pidana penganiayaan tersebut benar -benar terjadi harus melihat unsur-unsur dalam tindak pidana tersebut. Penganiayaan adalah istilah yang digunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk kejahatan terhadap tubuh, namun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri tidak memuat pengertian dari
129
penganiayaan
tersebut.
Pengertian
penganiayaan
menurut
Soenarto
Soerodibroto115 bahwa menganiaya adalah dengan sengaja menimbulkan sakit atau luka, kesengajaan ini harus dituduhkan dalam surat tuduhan. Menurut penjelasan Menteri Kehakiman pada waktu pembentukan Pasal 351 KUHP dirumuskan, antara lain : 1. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada orang lain; atau 2. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan badan orang lain. 116
Dengan de mikian, untuk menyebut seseorang telah melakukan penganiayaan terhadap orang lain, maka orang tersebut harus mempunyai suatu kesengajaan untuk: a. Menimbulkan rasa sakit pada orang lain. b. Menimbulkan luka pada tubuh orang lain atau c. Merugikan kesehatan orang lain. Oleh karena dakwaan penuntut umum merupakan dakwaan tunggal, maka hakim akan mempertimbangkan dakwaan dengan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, yaitu perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP yang unsur -unsurnya seba gai berikut: 1. Unsur “Barangsiapa” ; 2. Unsur “Dengan Sengaja”; 3. Unsur “Melakukan Penganiayaan” ; 115 116
Soenarto Soerodibroto, Loc.Cit. Leden Marpaung, 2005, Op.Cit., hlm 6.
130
ad. 1. Unsur “Barangsiapa” ; Yang dimaksud dengan Unsur “Barangsiapa”, yaitu siapa saja sebagai pendukung hak dan kewajiban (subyek hukum) yang dapat di pertanggungjawabkan atas perbuatan pidana yang telah dilakukannya, yang dalam perkara ini telah diperhadapkan di persidangan terdakwa HA Bin Sm, yang identitasnya sesuai dengan identitas terdakwa dalam dakwaan Penuntut Umum dan telahdibenarkan dalam persidangan. Berdasarkan
pertimbangan
tersebut
diatas,
maka
unsur
“Barangsiapa” telah terpenuhi; ad. 2. Unsur “Dengan Sengaja” ; Menurut ilmu hukum yang dimaksud dengan “sengaja”, adalah dikehendaki dan diketahui atau diinsyafi akibat dari perbuatan tersebut. Bahwa “Dengan Sengaja” dalam kaitannya dengan perkara ini, terdakwa mengetahui kalau sebuah batu yang merupakan benda keras bila dipukulkan terhadap manusia akan berakibat kesakitan terhadap yang dipukul, dalam perkara ini terdakwa telah memukulkan batu kepunggung korban bagian kanan dan kiri masing-masing sebanyak 1 kali kepada saksi korban SM Als. Sl Bin Sr, sehingga kesakitan. Berdasarkan
pertimbangan
“Dengan Sengaja” telah terpenuhi; ad. Unsur “Melakukan Penganiayaan” ;
tersebut
diatas,
maka
unsur
131
Menurut yurispr udensi, yang dimaksud dengan penganiayaan adalah perbuatan dengan sengaja yang menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit atau luka . Berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa, dikaitkan dengan bukti surat berupa Visum et Repertum dan barang bukti yang diajukan dipersidangan telah ternyata, pada hari Kamis, tanggal 9 Desember 2010 sekira pukul 19.00 Wib di jalan Desa masuk Desa Selakambang Kecamatan Kaligondang Kabupaten Purbalingga, terdakwa telah melakukan pemukulan terhadap korban SM Als. Sl Bin Sr yang pekerjaannya sebagai tukang ojek dengan cara korban dipukul dengan batu kepunggung korban bagiam kanan dan kiri masingmasing sebanyak 1 kali yang mengakibatkan saksi korban mengalami sakit sebagaimana diterangkan dalam Visum et Repertum tanggal 13 Desember 2010, yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Mulyadi Yanto dokter pemeriksa pada Rumah Sakit Ibu dan Anak Purbalingga. Berdasarkan
pertimbangan
tersebut
diatas,
maka
unsur
“Melakukan Penganiayaan” telah terpenuhi. Melihat unsur-unsur di atas bahwa semua unsur Pasal 351 ayat (1) KUHP telah terpenuhi, maka Pengadilan Negeri berpendapat bahwa terdakwa telah terbukti sacara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut.
132
Berkaitan dengan penelitian terhadap ketentuan-ketentuan di atas, maka pembuktian dalam tindak pidana penganiayaan terhadap pelaku anak pada Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg dapat diketahui yaitu : a. Berdasarkan keterangan saksi-saksi yang diberikan di bawah sumpah di persidangan yang saling bersesuaian dengan keterangan terdakwa yang diberikan di persidangan yang menyatakan bahwa HA Bin Sm pada hari Kamis tanggal 9 Desember 2010 sekitar jam 19.00 WIB bertempat di jalan desa masuk Desa Selakambang Kecamatan Kaligondang Kabupaten Purbalingga telah melakukan pemukulan terhadap korban SM Als. Sl Bin Sr seorang tukang ojek. HA Bin Sm melakukan pemukulan terhadap korban SM Als. Sl Bin Sr karena tidak mempunyai ongkos ojek yang disepakati sebesar Rp 100.000,-. HA Bin Sm melakukan pemukulan tersebut dengan cara korban dipukul menggunakan batu pada bagian punggung korban bagian kanan dan kiri masing-masing sebanyak 1 kali sehingga mengakibatkan sakit atau luka. Kemudian dihubungkan dengan alat bukti surat berupa Visum et Repertum atas nama saksi korban SM Als. Sl Bin Sr tanggal 13 Desember 2010, yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Mulyadi Yanto dokter pemeriksa pada Rumah Sakit Ibu dan Anak Purbalingga yang menerangkan bahwa terdapat 2 luka memar yaitu dipunggung sebelah kiri dengan ukuran 3 milimeter kali 6 cm, dan punggung sebelah kanan dengan ukuran 3 milimeter kali 6,5 cm, serta barang bukti berupa 1 (satu) buah batu sungai seberat 2 (dua) kilogram yang
133
diajukan di persidangan. Sehingga syarat pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 jo Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah terpenuhi. b. Berdasarkan unsur -unsur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP yaitu unsur barang siapa ,
unsur dengan sengaja , dan unsur melakukan
penganiayaan, bahwa semua unsur telah terpenuhi, sehingga hasil putusan menyatakan bahwa terdakwa HA Bin Sm terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana telah didakwakan oleh penuntut umum.
134
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Alasan anak nakal diproses dalam persidangan pada Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg karena : a. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bahwa HA Bin Sm dapat diajukan ke sidang anak karena usianya yang sudah 16 tahun. b. Sebelum adanya suatu proses peradilan pidana anak perlu adanya upaya perdamaian. Namun antara pelaku, korban, keluarga korban atau keluarga pelaku tidak pernah melakukan upaya perdamaian. c. Adanya bukti permulaan yang cukup HA Bin Sm diduga telah melakukan kepentingan
tindak
pidana
pemeriksaan
penganiayaan, penyidik
sehingga
berwenang
untuk
melakukan
penangkapan dan penahanan. d. Penuntut umum melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri disertai dengan surat dakwaan dan barang bukti untuk diproses dalam persidangan anak.
135
2. Pembuktian dalam tindak pidana penganiayaan terhadap pelaku anak pada Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg yaitu : a. Adanya keterangan saksi-saksi yang saling bersesuaian dengan keterangan terdakwa dan dihubungkan dengan alat bukti surat serta barang bukti yang diajukan di persidangan, maka syarat pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 jo Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana telah terpenuhi. b. Adanya unsur-uns ur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP yang telah terpenuhi, sehingga hasil putusan menyatakan bahwa terdakwa HA Bin Sm terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana telah didakwakan oleh penuntut umum. B. Saran Berdasarkan simpulan dari hasil penelitian dapat diberikan saran, bahwa sebelum adanya suatu proses peradilan pidana anak perlu adanya upaya perdamaian antara pelaku, korban, keluarga pelaku atau keluarga korban sehingga tidak mempengaruhi perkembangan fisik, mental dan sosial anak, serta agar tidak semua anak nakal diproses dalam peradilan pidana anak.
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur Arrasjid, A. Chainur. 2008. Dasar-Dasar Grafika.
Ilmu Hukum. Jakarta : Sinar
Bisri, Ilham. 2004. Sistem Hukum Indonesia (Prinsip -Prinsip Dan Implementasi Hukum Di Indonesia ). Jakarta : Raja Grafindo Persada. Djamali, R. Abdoel. 2010. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers. Djamil, M. Nasir. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum : Catatan Pembahasan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA). Jakarta : Sinar Grafika. Gultom, Maidin. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia . Bandung : Refika Aditama. Hamzah, Andi. 2011. Hukum Acara Pidana Indonesia . Jakarta : Sinar Grafika. -------------------. 2009. Delik -Delik Tertentu (Speciale Delicten) Di Dalam KUHP. Jakarta : Sinar Grafika. Harahap, M. Yahya. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali). Jakarta : Sinar Grafika. Hatta, Moh. 2009. Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum Dan Pidana Khusus. Yogyakarta : Liberty. Ishaq. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta : Sinar Grafika. Lamintang, P.A.F. dan Theo Lamintang. 2010. Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana Dan Yurisprudensi. Jakarta : Sinar Grafika. Makarao, Moha mmad Taufik dan Suhasril. 2010. Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek . Bogor : Ghalia Indonesia. Marpaung, Leden. 2005. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh . Jakarta: Sinar Grafika.
-----------------------. 2009. Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan Dan Penyidikan). Jakarta : Sinar Grafika. -----------------------. 2010. Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Upaya Hukum dan Eksekusi). Jakarta : Sinar Grafika. Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. Masriani, Yulias Tiena. 2004. Pengantar Hukum Indonesia . Jakarta: Sinar Grafika. Nashriana. 2011. Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia . Jakarta : Rajawali Pers. Nugroho, Hibnu. 2012. Bunga Rampai Penegakan Hukum Di Indonesia. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Prasetyo, Eko. 2010. Keadilan Tidak Untuk Yang Miskin . Yogyakarta : Resist Book. Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia . Bandung : Refika Aditama. RM, Suharto. 2006. Penuntutan Dalam Praktek Peradilan . Jakarta : Sinar Grafika. Simanjuntak, Nikolas. 2009. Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2011. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : Rajawali Pers. Soemitro, Ronny Hanitio. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta : Ghalia Indonesia. Soeparmono, R. 2002. Ahli dan Visum et Repertum Dalam Praktek Hukum Acara Pidana. Semarang: Setia Wacana. Soerodibroto, Soenarto. 2007. KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad . Jakarta : Raja Grafindo Persada. Soetodjo, Wagiati. 2006. Hukum Pidana Anak . Bandung : Refika Aditama.
Sugiarto, Umar Said. 2013. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika. Wahyudi, Setya. 2011. Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia . Yogyakarta : Genta Publishing. Zulkarnain. 2008. Praktik Peradilan Pidana (Panduan P raktis Kemahiran Hukum Acara Pidana). Malang : In-Trans Publishing. B. Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 -------------, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). --------------, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP). --------------, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. --------------, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. --------------, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. --------------, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. --------------, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. C. Internet http://korandemokrasiindonesia.wordpress.com/2009/11/28/hukum-diindonesia -hukum-acara-pidana/, diakses pada tanggal 10 Mei 2013. http://lawfile.blogspot.com/2011/06/pengertian-pembuktian.html, pada tanggal 4 Juni 2013.
diakses
http://pendidikan-hukum.blogspot.com/2011/10/delik-penganiayaan-danpembunuhan_24.html, diakses pada tanggal 6 Juni 2013.
D. Sumber Lain Maskur, Muhammad Azil. 2012. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Nakal (Juvenile Delinquency) Dalam Proses Acara Pidana Indonesia. Pandecta Volume 7 Nom or 2 Juli 2012. Mugiman. 2010. Implementasi Undang-Undang No. 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak ( Studi Terhadap Anak Yang Berhadapan dengan Hukum Dalam Tingkat Penyidikan Di Polres Purbalingga). Jurnal Dinamika Hukum Vol.10 Mei 2010. Wahyudi, Setya. 2009. Penegakan Peradilan Pidana Anak Dengan Pendekatan Hukum Progresif Dalam Rangka Perlindungan Anak. Jurnal Dinamika Hukum Vol. 9 Januari 2009. Wardhani, Noeke Sri. 2009. Penerapan Pidana Alternatif Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Di Pengadilan Negeri Bengkulu. Jurnal Kriminologi Indonesia Vol V No. II Agustus 2009. Pramono, Hari Widya. 2013. Upaya Perlindungan Terdakwa Anak Dalam Proses Persidangan Di Pengadilan. Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXVI No. 319 Juni 2013. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia . Jakarta : Balai Pustaka. Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor : 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg