ANALISA KASUS TINDAK PIDANA MEMBERIKAN IJAZAH TANPA HAK (STUDI PUTUSAN PN MEDAN REG. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN)
SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan dan Melengkapi Tugas dalam Rangka Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh: KHAIRU RIZKI NIM. 040200013 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008 ANALISA KASUS
2
TINDAK PIDANA MEMBERIKAN IJAZAH TANPA HAK (STUDI PUTUSAN PN MEDAN REG. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN)
SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan dan Melengkapi Tugas dalam Rangka Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh: KHAIRU RIZKI NIM. 040200013 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui oleh: Ketua Departemen Hukum Pidana
ABUL KHAIR,S.H,M.Hum. NIP. 131 842 854
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
MADIASA ABLISAR,S.H,M.S NIP. 131 570 461
M. EKA PUTRA,S.H,M.Hum NIP. 132 208 327
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
3
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh... Alhamdulilllah. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam atas limpahan nikmat, rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada Penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam atas Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam teladan utama, kepada para keluarga dan para sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in serta seluruh pengikutnya yang setia di jalan Islam hingga akhir zaman. Skripsi ini diberi judul “Analisa Kasus Tindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. No. 1932/Pid.B/2005/PN.Mdn). Penulisan skripsi ini adalah merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum. Penulis mengakui bahwa skripsi ini jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan yang harus dievaluasi. Hal ini karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan dari penulis serta bahan-bahan referensi yang berkaitan dengan analisa tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak ini. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini. Penulisan skripsi ini disadari oleh Penulis tidak lepas dari bantuan, arahan, petunjuk, dorongan dan perhatian dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
4
1. Bapak Prof.Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; 2. Bapak Prof.Dr. Suhaidi, S.H, M.Hum selaku Pembantu Dekan I, Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H, M.Hum selaku Pembantu Dekan II, dan Bapak Muhammad Husni, S.H, M.H selaku Pembantu Dekan III; 3. Bapak Abul Khair, S.H, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana yang telah memberikan izin penulisan skripsi ini; 4. Bapak Madiasa Ablisar, S.H, M.S selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Muhammad Eka Putra, S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah mau peduli dan perhatian serta banyak memberikan pedoman bagi Penulis dalam penulisan skripsi ini; 5. Ibu Zulfi Chairi, SH selaku Dosen/Penasihat Akademik Penulis; 6. Bapak/Ibu Dosen Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik Penulis selama Penulis mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; 7. Seluruh saudara/i seiman di KAMMI Komisariat USU, KAM Rabbani, dan BTM Aladdinsyah, SH Fakultas Hukum USU; 8. Rahmat Fauzi Salim Lubis, Rahmat Suhargon Harahap, Surya Dharma, Diki Altrika (Presma USU yang original); Firdaus Armanda, Ahmad Rizki Sadly, Lidya Octaviani, Eko Susilo dan seluruh teman-teman mahasiswa Fakultas Hukum USU khususnya stambuk 2004; 9. Ustadz Khairur Rasyid, ST dan teman-teman halaqoh Ibnu Tawakkal, Rizka, Pak Yadi , Bang Ari dan Bang Akhiruddin; Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
5
10. Keluarga besar Penulis, kakak-kakakku: Kak Yuyu, Kak Era Kak Mimi, Kak Zamra dan Lila; abang-abangku: Bang Budi dan Kiki; Abang/kakak iparku: Bang Ucok, Bang Ami dan Kak Ida; keponakanku: Andri, Putri, Mayang, Kiki, Dinda, Fadli, Fadil, Laina, Azmi dan Fathrina. 11. Seluruh pihak yang telah membantu dan memberikan sumbangan moril maupun materiil demi selesainya penulisan skripsi ini. Wa bil khusus, Penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada dua manusia hebat sepanjang masa, yakni kedua orangtua Penulis, Ayahanda H. Faidhullah S. dan Ibunda Hj. Nurbah Pane yang telah mendidikkan arti hidup, mengajarkan menjadi manusia, meneladankan ketegaran sikap, melimpahkan perhatian dan kasih sayang untuk besarkan Penulis meniti jalan Ilahi. Tanpa ridho mereka, Penulis akan menjadi manusia yang paling merugi. Akhirnya Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya, khususnya bagi penegak hukum dalam menegakkan hukum dan keadilan di negeri kita yang tercinta ini. Amiin.
Wassalam Penulis,
Khairu Rizki
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
6
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………..….
i
DAFTAR ISI …………………………………………………....…..
iv
ABSTRAK ………………………………………………………….
vi
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………….….
1
A. Latar Belakang ……………………………….………….
1
B. Perumusan Masalah ………………………………………
6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan …………………………..
7
D. Keaslian Penulisan ……………………………………….
8
E. Tinjauan Kepustakaan ……………………………….…..
9
1. Gambaran Umum Tindak Pidana …………………….
9
2. Tentang Pemalsuan Surat ………………………….…
14
3. Tentang Pemberian Ijazah ………………………..…..
19
F. Metode Penelitian …………………………………….….
23
G. Sistematika Penulisan …………………………………...
25
BAB
II
KRITISI
FORMULASI
TINDAK
PIDANA
MEMBERIKAN IJAZAH TANPA HAK DALAM UU SISDIKNAS ………………………………………
27
A. Masalah Kualifikasi Tindak Pidana ……………………..
29
B. Masalah Subjek Tindak Pidana ………………………….
34
C. Masalah Jenis Sanksi ……………………………………
36
BAB III UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA MEMBERIKAN IJAZAH TANPA HAK ………………..
38
A. Sarana Penal …………………………………………….
39
B. Sarana Non-Penal ……………………………….……....
46
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
7
BAB IV ANALISA KASUS TINDAK PIDANA MEMBERIKAN IJAZAH TANPA HAK DALAM PUTUSAN PN MEDAN REG. NO. 1932/PID.B/2005/PN.MDN ….…….
55
A. Kasus Posisi ……………………………………………..
55
B. Analisa Kasus ……………………………………..…….
58
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………
82
A. Kesimpulan ……………………………………………..
82
B. Saran ……………………………………………………
83
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………….
vii
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
8
ABSTRAK Praktek pemberian ijazah tanpa hak merupakan suatu bentuk penyerangan terhadap suatu kepercayaan masyarakat terhadap kebenaran suatu ijazah, terlebih lagi hal itu merupakan suatu bentuk tindakan penyerangan martabat atau penghinaan terhadap dunia pendidikan oleh pihak-pihak atau lembaga-lembaga yang mengaku sebagai suatu satuan pendidikan yang sah. Dalam hukum pidana positif Indonesia, tindak pidana ini telah diatur baik secara umum dalam KUHPidana yaitu pada Pasal 263 sebagai kejahatan pemalsuan surat, maupun secara khusus dalam Ketentuan Pidana UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas. Namun dalam ketentuan khusus tersebut malah mengandung berbagai kekurangan-kekurangan dalam formulasinya. Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini yaitu pertama, apa saja kekurangan-kekurangan dalam formulasi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dalam Ketentuan Pidana UU Sisdiknas tersebut. Kedua, apa saja upaya yang dapat diterapkan dalam menanggulangi tindak pidana tersebut. Terakhir, bagaimana analisa kasus tindak pidana tersebut (Putusan PN Medan Reg. No. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN) dalam perspektif hukum pidana. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa sajakah kekurangankekurangan dalam formulasi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dalam Undang Undang Sisdiknas. Selain itu juga penulisan diarahkan untuk menemukan upaya-upaya apa saja yang dapat ditempuh untuk menanggulangi tindak pidana yang dibahas serta menganalisa kasus yang berkaitan dengan tindak pidana ini. Metode penelitian yang digunakan Penulis adalah metode penelitian hukum normatif, dengan menganalisa ketentuan pidana Undang-undang No. 20 tahun 2003 sebagai peraturan positif yang mengatur tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak. Selain itu juga penelitian terhadap asas-asas hukum yang berkaitan dengan kebijakan penanggulangan tindak pidana tersebut serta analisa terhadap kasus yang berkaitan. Hasil penelitian ini mencoba menjawab permasalahan-permasalahan yang dimunculkan. Antara lain, kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam formulasi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak yaitu adanya masalah kualifikasi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak yang tidak secara tegas dirumuskan dalam UU Sisdiknas sebagai “kejahatan” atau “pelanggaran”. Selain itu pula masalah perumusan korporasi sebagai subjek tindak pidana namun tidak disertai dengan pengaturan pertanggungjawaban pidananya. Dan juga masalah jenis sanksi pidana, yang berkaitan dengan korporasi bila dipidana. Hal lain yang turut dibahas yaitu upaya-upaya dalam menanggulangi tindak pidana tersebut. Dimana upaya-upaya tersebut melalui pendekatan integral antara sarana penal dan non penal. Terakhir, penelitian ini turut menganalisa suatu kasus tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dalam putusan PN Medan melalui perspektif hukum pidana. Ada beberapa saran dalam penelitian ini yang dirumuskan untuk menjadi bahan pertimbangan bagi penegak hukum dalam upaya menanggulangi tindak pidana tersebut baik dari segi formulasi, aplikasi maupun eksekusi oleh para penegak hukum. Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
9
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pada dasarnya kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum. Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran sentral hukum dalam upaya menciptakan suasana yang memungkinkan manusia merasa terlindungi, hidup berdampingan secara damai, dan menjaga eksistensinya di dunia telah diakui. 1 Secara umum kita dapat melihat bahwa hukum merupakan seluruh aturan tingkah laku berupa norma/kaidah baik tertulis maupun tidak tertulis yang dapat mengatur dan menciptakan tata tertib dalam masyarakat yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakatnya berdasarkan keyakinan dan kekuasaan hukum itu. Pengertian tersebut didasarkan pada penglihatan hukum dalam arti kata materiil, sedangkan dalam arti kata formil, hukum adalah kehendak manusia ciptaan manusia berupa norma-norma yang berisikan petunjuk tingkah laku tentang apa yang boleh dilakukan dan tentang apa yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dan dianjurkan untuk dilakukan. 2 Unsur utama yang dibutuhkan manusia dari hukum adalah ketertiban. Dengan terwujudnya ketertiban, maka berbagai keperluan sosial manusia dalam bermasyarakat akan terpenuhi. Untuk mewujudkan ketertiban itu manusia memunculkan keharusan-keharusan berperilaku dengan cara tertentu yang dirumuskan dalam bentuk kaidah. Ketertiban dan kaidah yang diperlukan manusia 1
Jhonny Ibrahim, Teori & Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2005, h. 1 2 Chainur Arrasjid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2000, h. 21 Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
10
adalah ketertiban dan kaidah yang secara otentik menciptakan kondisi yang memungkinkan manusia secara wajar mewujudkan kepribadiannya secara utuh, yang dengan itu ia dapat mengembangkan semua potensi kemanusiaan seperti apa yang secara bebas dikehendakinya. 3 Unsur kedua yang tidak kalah pentingnya, yakni keadilan. Keadilan senantiasa mengandung unsur penghargaan, penilaian dan pertimbangan. Karena itu mekanisme bekerjanya hukum digambarkan sebagai suatu neraca keadilan. Keadilan menuntut bahwa dalam keadaan yang sama setiap orang harus menerima bagian yang sama pula. Sehubungan dengan keadilan tersebut hukum bersifat kompromistis, karena keadilan manusia tidaklah mutlak. Mengingat, manusia adalah makhluk tidak sempurna, kekhilafan merupakan sifat insani manusia (errare humanum est). Aliran hukum alam meyakini bahwa keadilan itu hanya bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa, tetapi manusia juga diberi kecakapan dan kemampuan untuk meraba atau merasakan apa yang dinamakan adil. Aliran hukum alam mempercayai bahwa apa yang diamati dalam segala kejadian alam sekitar manusia sudah menumbuhkan dasar-dasar keadilan. 4 Unsur ketiga yang diharapkan dari hukum adalah kepastian (legal certainty). Lembaga-lembaga hukum seperti hak milik, status perkawinan, dan kontrak, semuanya harus ditepati oleh para pihak yang mengadakannya. Tanpa kepastian hukum akan muncul kekacauan dalam masyarakat. Oleh karena itu jelas
3 4
Jhonny Ibrahim, Op.Cit, h. 2 Ibid, h. 5
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
11
bahwa berfungsinya hukum untuk menciptakan ketertiban, keadilan dan kepastian dalam masyarakat. 5 Banyak kepentingan hukum dalam masyarakat yang dilindungi oleh hukum, yang pada pokoknya dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan besar, yakni: 1. Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen); 2. Kepentingan hukum masyarakat (sociale of maatschappelijke belangen); 3. Kepentingan hukum negara (staatsbelangen). Walaupun dapat dibedakan dalam 3 kelompok kepentingan hukum, namun adakalanya suatu kepentingan hukum dapat dimasukkan ke dalam lebih dari satu golongan kepentingan hukum tersebut. Seperti pada kejahatan pemalsuan. Perkosaan atau pelanggaran terhadap kepentingan hukum atas kepercayaan pada kebenaran obyek yang dipalsukan, tidak saja berupa pelanggaran/penyerangan terhadap kepentingan hukum masyarakat tetapi juga sekaligus terhadap kepentingan hukum negara. Kejahatan mengenai pemalsuan atau disingkat kejahatan pemalsuan adalah berupa kejahatan yang di dalamnya mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu (objek) yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya. 6 Hal itu pula yang terjadi pada pemalsuan ijazah yang semakin marak dewasa ini. Ijazah yang seharusnya diberikan kepada peserta didik sebagai
5
Ibid, h. 7 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, h. 2 6
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
12
pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang ddiselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi7, bisa didapatkan dan digunakan oleh yang bukan peserta didik. Penggunaan mana biasanya untuk memenuhi syarat rekruitmen dari suatu jabatan. Penggunaan ijazah palsu sebenarnya bukan fenomena baru dalam masyarakat kita. Paling sedikit 2 universitas swasta di Jakarta pada tahun 80-an dihantam oleh kasus ijazah sarjana aspal, asli tapi palsu. Fenomena ijazah palsu semakin menggila pada era reformasi. Hal ini terkait dengan kehidupan demokrasi di Indonesia yang semakin baik. Pemilihan umum yang langsung dan bebas membuka sekian banyak posisi politik, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. Dan para calon seakan merasa malu jika hanya bermodalkan ijazah SLTA, apalagi SLTP. Maka ijazah palsu SLTA dan Strata-1 pun laku keras. Komisi Pemilihan Umum (KPU), baik di pusat maupun daerah-daerah, menemukan cukup banyak kasus ijazah palsu pada Pemilu 2004 maupun pilkada bulan Juni-Juli 2005. Sayang, hanya ada satu dua kasus ijazah palsu yang sampai ke meja hijau. 8 Hal ini tentu sangat ironis, dimana pemerintah sedang gencar-gencarnya berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia, melalui berbagai program pembangunan, salah satunya melalui jalur pendidikan. Namun segala upaya pemerintah tersebut terganjal akibat adanya pihak-pihak yang bersedia ‘memudahkan’ bagi orang yang ingin mendapatkan ijazah tanpa perlu mengikuti jalur pendidikan. Bila hal ini dibiarkan terus menerus maka nantinya 7
Pasal 61 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 8 Tjipta Lesmana, Dugaan Ijazah Palsu Paskah Suzetta,
, (25-03-2008, 11.20 WIB) Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
13
jabatan-jabatan penting pemerintahan dapat diisi oleh orang-orang yang tidak berkompeten karena ijazahnya palsu. Demi mewujudkan ketertiban, keadilan dan kepastian hukum sebagaimana dikemukakan di atas, maka pengaturan pemidanaan terhadap tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak ini mutlak perlu diformulasikan dalam peraturan hukum pidana positif. Di Indonesia, hal ini telah diatur baik di dalam KUHP maupun dalam UU di luar KUHP. Dalam KUHP tindak pidana ini digolongkan kedalam Kejahatan Pemalsuan Surat (Buku II, Bab XII KUHP. Di luar KUHP, ketentuan mengenai tindak pidana ini diatur dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Sebagai peraturan yang lebih khusus, Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas mengatur tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak ini pada Bab XX Ketentuan Pidana. Bila dilihat dari Ketentuan Pidana tersebut masih terdapat kekurangan-kekurangan dalam formulasi pengaturan tindak pidana ini. Hal ini tentu berdampak pada proses penyelesaian tindak pidana ini dalam prakteknya. Misalnya
saja,
seperti
dalam
kasus
PN
Medan
Register
No.
1932/Pid.B/2005/PN.Mdn. Dalam perkara ini, tindak pidana dilakukan oleh penyelenggara pendidikan tinggi yang dalam hal ini adalah Rektor Universitas Generasi Muda Medan. Bila ditinjau dari Ketentuan Pidana UU Sisdiknas di atas, subjek tindak pidana yang diatur dalam ketentuan tersebut adalah tidak hanya perseorangan, namun juga organisasi ataupun penyelenggara pendidikan yang berbentuk badan hukum. Dengan kata lain, korporasi dapat dibebani Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
14
pertanggungjawaban pidana. Namun, bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi tersebut dan sanksi apa yang dijatuhkan padanya sama sekali tidak diatur secara tegas dalam Ketentuan Pidana tersebut. Hal inilah yang terlihat pada putusan PN Medan dalam kasus di atas. Walaupun telah terbukti bersalah, yang dapat dipidana berdasarkan putusan tersebut hanya Rektor Universitas tersebut sebagai perseorangan. Sedangkan korporasinya, yakni Universitas Generasi Muda Medan tetap beroperasi. Hal inilah salah satu kekurangan dari formulasi tindak pidana dalam Ketentuan Pidana UU tersebut, disamping kekurangan-kekurangan lainnya. Kekurangan mana yang seandainya dieliminasi, dapat lebih mengefektifkan upaya penanggulangan tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak ini.
B. Perumusan Masalah Dari uraian pada bagian latar belakang di atas, Penulis merumuskan permasalahan yang menjadi pokok pembahasan pada Bab selanjutnya yaitu: 1. Apa saja kekurangan-kekurangan dalam formulasi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional? 2. Upaya apa saja yang dapat dilakukan dalam menanggulangi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak? 3. Bagaimana analisa kasus tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dalam putusan PN Medan Register No. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN dalam perspektif hukum pidana?
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
15
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah: 1. untuk mengetahui kekurangan-kekurangan apa sajakah yang terdapat dalam formulasi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dalam UU Sisdinas. 2. Untuk mengetahui upaya apa sajakah yang dapat ditempuh untuk menanggulangi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak. 3. Untuk mengetahui bagaimana analisa kasus tindak pidana memberikan ijazah
tanpa
hak
dalam
Putusan
PN
Medan
Register
No.
1932/Pid.B/2005/PN.MDN. Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Manfaat Teoritis Untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran seputar kasus tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak khususnya kasus yang terdaftar di Pengadilan Negeri Medan dengan register perkara Nomor 1932/Pid.B/2005/PN.MDN. 2. Manfaat Praktis a) Bagi kalangan mahasiswa, agar dapat lebih kritis terhadap produk legislatif dan peradilan, baik yang menyimpang maupun yang berkualitas. Dengan belajar mengkritisi setiap produk legislatif dan peradilan, nantinya apabila telah menjadi bagian dari badan legislatif ataupun peradilan
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
16
sebagai penegak hukum dapat menghasilkan produk legislatif dan peradilan yang benar-benar sesuai dengan ilmu yang diperolehnya. b) Bagi
lingkungan
eksekutif,
agar
dapat
merumuskan
kebijakan
penanggulangan tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dengan lebih efektif dan efisien. Selain itu juga agar memberi penilaian terhadap putusan-putusan yang dihasilkan oleh peradilan khususnya dalam kasus tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak, demi tegaknya keadilan dan kepastian hukum. c) Bagi lembaga legislatif, agar dalam menyusun suatu produk perundangundangan yang memuat ketentuan pidana suatu tindak pidana khususnya tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak, dibuat dengan cermat dan jelas sehingga tepat guna dan dapat mempersempit kesempatan bagi pihak-pihak yang hendak mencari celah dalam melakukan suatu tindak pidana tanpa tersentuh hukum. Selain itu untuk menghindarkan penerapan ketentuan pidana yang tidak efektif dalam rangka menanggulangi suatu tindak pidana khususnya tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak. d) Bagi lembaga peradilan, agar meningkatkan integritas, moral kredibilitas dan profesionalismenya di dalam memeriksa dan memutus suatu perkara tindak pidana sehingga tidak melukai rasa keadilan dalam masyarakat.
D. Keaslian Penulisan Topik permasalahan ini sengaja dipilih dan ditulis, oleh karena sepengetahuan penulis topik permasalahan yang begitu pentingnya ini kurang Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
17
mendapatkan perhatian. Banyak karya ilmiah yang membahas tentang penggunaan ijazah palsu, namun belum ada yang membahas tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak. Padahal tanpa adanya orang/lembaga yang memberikan ijazah tanpa hak, maka kemungkinan terjadinya penggunaan ijazah palsu pun semakin kecil. Penulisan skripsi ini adalah berdasarkan hasil pemikiran penulis sendiri. Skripsi ini setahu penulis belum pernah ada yang membuat. Kalaupun sudah ada, penulis yakin bahwa substansi pembahasannya berbeda. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Gambaran Umum Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu Strafbaar feit. Istilah tindak pidana dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita. Hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam Undangundang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Undang-undang No. 19 tahun 2002), Undang-undang No. 11/PNPS/1963 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (diganti dengan Undang-undang No. 31 Tahun 1999), dan perundang-undangan lainnya. Mengenai apa yang dimaksud dengan tindak pidana, ada dua pandangan berbeda yang berkembang, yaitu pandangan monisme dan dualisme. Pandangan Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
18
monisme tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsur-unsur mengenai diri orangnya. Hal ini dapat dilihat dari rumusan pengertian tindak pidana penganut pandangan tersebut. J.E. Jonkers sebagaimana yang dikutip Adami Chazawi, yang merumuskan peristiwa pidana ialah “perbuatan yang melawan hukum (wederrechtelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan”. 9 Begitu pula Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana. 10 Sedangkan pada pandangan dualisme, memisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan. Hal ini terlihat dari rumusan tindak pidana penganut paham tersebut. Pompe sebagaimana yang dikutip Adami Chazawi, merumuskan bahwa suatu strafbaar feit itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu “tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”. 11 Begitu pula Moeljatno yang dikutip Adami Chazawi, beliau menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikannya sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut”. 12
9
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana: Bagian 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, h. 75. 10 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana, Refika Aditama, Bandung, 2003, h. 59 11 Op.Cit, h. 67. 12 Ibid. Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
19
Dari pandangan demikian, pertanggungjawaban pidana bukanlah menjadi unsur tindak pidana. Kemampuan bertanggungjawab merupakan hal yang lain dari tindak pidana dalam artian abstrak, yakni mengenai syarat untuk dapat dipidananya terhadap pelaku yang terbukti telah melakukan tindak pidana atau melanggar larangan berbuat dalam hukum pidana, dan sekali-kali bukan syarat ataupun unsur dari pengertian tindak pidana. Sebagaimana diketahui bahwa orang yang perbuatannya telah melanggar larangan berbuat (tindak pidana) tidak selalu dengan demikian dijatuhi pidana. Jadi, dapat disimpulkan suatu tindak pidana memiliki unsur-unsur yaitu: a) perbuatan; b) melawan hukum (bertentangan dengan peraturan perundang-undangan); c) ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan). Dari rumusan unsur tersebut dapat dilihat bahwa perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, oleh aturan hukum. Suatu perbuatan yang tidak dikehendaki (dilarang) oleh masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk peraturan. Perbuatan yang tidak dikehendaki adalah berupa perbuatan negatif. Artinya, perbuatan yang tidak dikehendaki secara tegas dinyatakan dilarang dalam peraturan perundangundangan tertulis. Isi dari peraturan perundang-undangan tersebut berupa perbuatan yang dilarang atau tidak boleh dilakukan. Jadi prinsipnya, semua perbuatan itu boleh dilakukan kecuali yang dilarang. Sedangkan perbuatan yang
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
20
dilarang tersebut diatur dalam bahagian bentuk peraturan atau norma yang tertulis atau tidak tertulis. 13 Unsur melawan hukum merupakan suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan, dimana sifat tercela tersebut dapat bersumber pada undangundang (melawan hukum formil/formelle wederrechtelijk) dan dapat bersumber pada masyarakat (melawan hukum materiil/materiel wederrechtelijk). Karena bersumber pada masyarakat, yang sering juga disebut dengan bertentangan dengan asas-asas hukum masyarakat, sifat tercela tersebut tidak tertulis. 14 Hazewinkel Suringa dan Moeljatno mengatakan sebagaimana yang dikutip Teguh Prasetyo, sebenarnya unsur melawan hukum itu telah inheren di dalam setiap delik, dengan kata lain, unsur itu diam-diam selalu dianggap ada di dalamnya. Barangkali akan lebih baik jika unsur itu tidak usah dicantumkan dengan tegas di dalam pasal-pasal KUHP. Misalnya, Pasal 167 ayat (1) KUHP yang berisi larangan untuk memaksa masuk rumah atau pekarangan (dinyatakan dengan melawan hukum). Seandainya kata-kata dengan melawan hukum itu dihilangkan, bukankah secara diam-diam sudah jelas bahwa memasuki rumah/pekarangan orag lain tanpa izin itu adalah perbuatan melawan hukum karena memang sudah dilarang. Seandainya ada seorang polisi yang hendak menggeledah, dan pemilik rumah menolak atas dasar Pasal 167 ayat (1) tersebut, polisi itu dapat menunjukkan surat tugas penggeledahan, dengan demikian sifat
13
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, h. 39 14 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Op. Cit, h. 86 Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
21
melawan hukum dihapuskan atas dasar perintah jabatan atau menjalankan undang-undang (Pasal 50 dan 51 KUHP). 15 Mencantumkan secara tegas unsur sifat melawan hukum dalam suatu rumusan tindak pidana didasarkan pada suatu alasan tertentu, sebagaimana tercermin dalam keterangan risalah penjelasan WvS Belanda, yaitu adanya kekhawatiran bagi pembentuk undang-undang, bahwa jika tidak dimuatnya unsur melawan hukum disitu, akan dapat dipidananya pula perbuatan lain yang sama, namun tidak bersifat melawan hukum, ia berhak melakukan itu. Contoh konkret Pasal 362, jika tidak dicantumkan unsur melawan hukum dalam rumusan (maksu memiliki dengan melawan hukum) orang yang mengambil benda-benda di toko swalayan sebelum membayar di tempat kasir dapat dipidana pula, walaupun mengambil benda-benda itu tidak bersifat melawan hukum (materiil). Artinya jelas bahwa setiap unsur melawan hukum itu dicantumkan dalam rumusan tindak pidana, sudah pasti ada perbuatan yang sama yang tidak bersifat melawan hukum, yang jika unsur melawan hukum itu tidak dicantumkan dalam rumusan, orang yang berhak melakukan perbuatan tadi akan dipidana pula. Hal ini tidak dikehendaki oleh pembuat undang-undang. 16 Sifat tercela ini dinyatakan dalam rumusan tindak pidana dengan pelbagai istilah 17, yaitu sebagai berikut:
15
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit, h. 38. Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Op.Cit, h. 87. 17 Ibid, h. 89. 16
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
22
a) dengan tegas menyebut melawan hukum (wederrechtelijk). Cara inilah yang paling sering digunakan oleh pembentuk undang-undang, misalnya 362, 368, 369, 372, 378; b) dengan menyebut “tanpa hak atau tidak berhak” atau tanpa wenang (zonder daartoe gerichtigd te zijn), misalnya Pasal: 548, 549c; c) dengan menyebut “tanpa izin” (zonder verlof), misalnya pada Pasal 496, 510; d) dengan menyebut “melampaui kekuasaannya” (met overschrijding van zijne bevoegdheid), misalnya pada Pasal 430; e) dengan menyebut “tanpa memperhatikan cara yang ditentukan dalam peraturan umum” (zonder inachtneming van de bij algemeene verordening bepaalde vormen) pada Pasal 429. Unsur terakhir yaitu ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana merupakan pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Apakah inkonkrito orang yang melakukan perbuatan itu dijatuhi pidana ataukah tidak merupakan hal yang lain dari pengertian perbuatan tindak pidana. 18
2. Tentang Pemalsuan Surat Kejahatan pemalsuan surat pada umumnya adalah berupa pemalsuan surat dalam bentuk (bentuk standar) yang dimuat dalam Pasal 263, yang rumusannya adalah sebagai berikut:
18
Ibid, h. 79.
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
23
barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, dipidana jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun. Dipidana dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah asli, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. Dalam Pasal 263 tersebut ada 2 kejahatan, masing-masing dirumuskan pada ayat 1 dan 2. Rumusan pada ayat (1) terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: unsur-unsur obyektif: 1) perbuatan: a) membuat palsu; b) memalsu; 2) obyeknya: yakni surat: yang dapat menimbulkan suatu hak; yang menimbulkan suatu perikatan; yang menimbulkansuatu pembebasan hutang; yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal; 3) dapat menimbulkan akibat kerugian dari pemakaian surat tersebut. unsur subyektif: dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu. Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
24
Sedangkan ayat (2) mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: a. unsur-unsur obyektif: 1) Perbuatan: memakai; 2) Obyeknya: a) surat palsu; b) surat yang dipalsukan; 3) Pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian b. unsur subyektif: dengan sengaja surat (geschrift) adalah suatu lembaran kertas yang diatasnya terdapat tulisan
yang
terdiri
dari
kalimat
dan
huruf
termasuk
angka
yang
mengandung/berisi buah pikiran atau makna tertentu, yang dapat berupa tulisan dengan tangan, dengan mesin ketik, printer komputer, dengan mesin cetakan dan dengan alat dan cara apapun. 19 Membuat surat palsu (membuat palsu/valselijkopmaaken suatu surat) adalah membuat sebuah surat yang seluruh atau sebagian isinya palsu. Palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang sebenarnya. Membuat surat palsu ini dapat berupa: a) membuat sebuah surat yang sebagian atau seluruh isi surat tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran. Membuat surat palsu yang demikian disebut dengan pemalsuan intelektual (intelectuele valschheid); b) membuat sebuah surat yang seolah-olah surat itu berasal dari orang lain selain si pembuat surat. Membuat surat palsu yang demikian ini disebut
19
Adami Chazawi, Op.Cit, h. 99.
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
25
dengan pemalsuan materiil (materiele valschheid). Palsunya surat atau tidak benarnya surat terletak pada asalnya atau si pembuat surat. 20 Sedangkan perbuatan memalsu (vervalsen) surat adalah berupa perbuatan mengubah dengan cara bagaimanapun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat sebagian atau seluruh isinya menjadi lain/berbeda dengan isi surat semula. Tidak penting apakah dengan perubahan itu lalu isinya menjadi benar ataukah tidak atau bertentangan dengan kebenaran ataukah tidak, bila perbuatan mengubah itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, memalsu surat telah terjadi. Orang yang tidak berhak itu adalah orang selain si pembuat surat. 21 Perbedaan prinsip antara perbuatan membuat surat palsu dan memalsu surat, adalah bahwa membuat surat palsu/membuat palsu surat, sebelum perbuatan dilakukan, belum ada surat, kemudian dibuat suatu surat yang isinya sebagian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Seluruh tulisan dalam surat itu dihasilkan oleh perbuatan membuat surat palsu. Surat yang demikian disebut dengan surat palsu atau surat tidak asli. Tidak demikian dengan perbuatan memalsu surat, sebelum perbuatan ini dilakukan, sudah ada sebuah surat-disebut surat asli. Kemudian pada surat yang asli ini, terhadap isinya (termasuk tanda tangan dan nama si pembuat asli) dilakukan perbuatan memalsu yang akibatnya surat yang semula benar menjadi surat yang sebagian atau seluruh isinya tidak benar dan bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Surat yang demikian disebut dengan surat yang dipalsu. 22
20
Ibid. Ibid, h. 100. 22 Ibid, h. 101. 21
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
26
Unsur kesalahan dalam pemalsuan surat pada ayat (1) yakni dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat palsu atau surat dipalsu itu seolah-olah isinya benar dan tidak palsu. Maksud yang demikian sudah harus ada sebelum atau setidak-tidaknya pada saat akan memulai perbuatan itu. Pada unsur/kalimat “seolah-olah isinya benar dan tidak palsu” mengandung makna: (1) adanya orang-orang yang terpedaya dengan digunakannya surat-surat yang demikian, dan (2) surat itu berupa alat yang digunakan untuk memperdaya orang, orang mana adalah orang yang menganggap surat itu asli dan tidak dipalsu, yakni orang terhadap siapa maksud surat itu digunakan, bias orang-orang pada umumnya dan bisa juga orang tertentu.23 Unsur lain daripada pemalsuan surat dalam ayat (1), ialah jika pemakaian surat palsu atau surat dipalsu tersebut dapat menimbulkan kerugian. Kerugian yang timbul tidak perlu diinginkan/dimaksudkan petindak. Dalam unsur ini terkandung pengertian bahwa: (1) pemakaian surat belum dilakukan. Hal ini ternyata dari adanya perkataan “jika” dalam kalimat/unsur itu, dan (2) karena penggunaan pemakaian surat belum dilakukan, maka dengan sendirinya kerugian itu belum ada. Hal ini ternyata juga dari adanya perkataan “dapat”. 24 Oleh karena dipisahnya antara kejahatan membuat surat palsu dan memalsu surat dengan kejahatan memakai surat palsu atau surat dipalsu, maka terhadap hal yang demikian dapat terjadi pelanggaran ayat (1) dan pelanggaran ayat (2) dapat dilakukan oleh orang yang sama. Dalam hal yang demikian telah terjadi perbarengan perbuatan. 23 24
Ibid, h. 105. Ibid.
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
27
3. Tentang Pemberian Ijazah Berdasarkan Pasal 61 Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, dapat disimpulkan bahwa ijazah adalah salah satu bentuk sertifikat selain sertifikat kompetensi yang diberikan kepada peserta didik 25 sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan 26 setelah ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan 27 yang terakreditasi28. Dari pengertian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa untuk dapat
diberikannya suatu ijazah yang sah menurut hukum harus dipenuhi unsur-unsur antara lain: c) Diberikan kepada peserta didik Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa ijazah hanya dapat diberikan kepada peserta didik yang telah terdaftar pada suatu satuan pendidikan sehingga tidak boleh pemberian ijazah kepada yang bukan peserta didik.
25
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu (Pasal 1 angka 4 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas). 26 Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdsarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang dikembangkan (Pasal 1 angka 8 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas). 27 Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan (Pasal 1 angka 10 UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas) 28 Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan (Pasal 1 angka 22 UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas). Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
28
Dalam Bab V Pasal 12 Undang-undang No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, diatur mengenai hak dan kewajiban peserta didik yaitu antara lain: 1) Hak peserta didik: 29 a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama; b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannnya; c. mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya; d. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya; e. pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara; f. menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan. 2) Kewajiban Peserta didik: 30 a. menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan;
29 30
Pasal 12 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas. Pasal 12 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas.
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
29
b. ikut menanggung biaya penyelengggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut berlaku pula bagi warganegara asing yang menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. d) Sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian Dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada Pasal 14 disebutkan bahwa jenjang pendidikan formal terdiri atas: 1) pendidikan dasar; 2) pendidikan menengah; 3) pendidikan tinggi.
e) Diselengggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi Dalam Pasal 53 Undang-undang Sisdiknas tersebut, disebutkan bahwa penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Jadi, satuan pendidikan yang dimaksudkan haruslah berbentuk badan hukum. Kemudian dalam Bab XVII Pasal 62 UU Sisdiknas disebutkan mengenai syarat-syarat
bagi setiap satuan pendidikan formal dan nonformal untuk
memperoleh izin pendirian satuan pendidikan sehingga berhak menyelenggarakan program pendidikan dan memberikan ijazah, gelar akademik, profesi atau vokasi Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
30
yaitu antara lain meliputi: isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi serta manajemen dan proses pendidikan. Dalam hal pendirian satuan pendidikan berbentuk universitas, Dra. Hafni Oemry, Kepala bagian Administrasi Akreditasi dan Kelembagaan Kopertis Wilayah I Sumut-NAD 31, menjelaskan bahwa syarat pendirian universitas adalah sebagai berikut: 1) mempunyai organisasi perguruan tinggi yang mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1999; 2) jumlah minimal untuk program studi pada universitas: mewakili 3 kelompok disiplin ilmu, 6 IPA dan 4 IPS; 3) mempunyai dosen tetap minimal: untuk jenjang S-1 minimal 2 orang (S-2) dan 4 orang (S-1) untuk setiap program studi; 4) dosen tetap yang mempunyai kualifikasi jenjang jabatan akademik 5) mempunyai laboratorium dasar; 6) mempunyai nisbah dosen 1:30 untuk bidang IPS dan 1:20 untuk bidang IPA; 7) mempunyai tenaga administrasi tetap untuk jenjang S-1 6 orang dengan kualifikasi pendidik minimal 1 orang S-1 dan 2 orang diploma; 8) Mempunyai tenaga penunjang akademik tetap minimal 3 orang dengan kualifikasi pendidikan minimal diploma; 9) Mempunyai mahasiswa untuk universitas minimal 1000 orang; 10) Mempunyai ruang kuliah 0,5 m2 per mahasiswa;
31
Berita Acara Pemeriksaan Saksi Kasus PN Medan Reg. No. 1932/Pid.B/2005/PN.Mdn
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
31
11) Mempunyai ruang dosen tetap 4 m2 per orang; 12) Mempunyai ruang administrasi/kantor 4 m2 per orang; 13) Mempunyai ruang perpustakaan 1 judul buku per mata kuliah dan berjumlah 10 % dari jumlah mahasiswa; 14) Kurikulum mengacu pada SK Mendiknas No. 232/U/2000 dan SK 045/U/2002.
F. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian Tipe penelitian hukum yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur dan berkaitan dengan tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak.
2. Pendekatan Masalah Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yakni penelitian hukum normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundangundangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach) dan pendekatan analitis (analytical approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti apakah kumpulan norma hukum dalam peraturan perundang-undangan yang ada sudah cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada berkaitan dengan tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak. Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep-konsep tentang tindak Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
32
pidana memberikan ijazah tanpa hak, hingga diharapkan penormaan dalam aturan hukum, tidak lagi memungkinkan ada pemahaman yang ambigu dan kabur sehingga menjadi celah bagi pelaku tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak untuk menghindar dari jeratan hukum. Sedangkan pendekatan analitis dilakukan untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik dan putusan hukum suatu kasus tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak.
3. Bahan Hukum a) Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang diurut berdasarkan hierarki mulai dari UUD 1945, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan aturan lain di bawah undang-undang yang masih berkaitan dengan pengaturan tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak. b) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku teks, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus hukum, serta simposium yang dilakukan para pakar terkait dengan pembahasan tentang tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak. c) Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
33
4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan, dan artikel dimaksud, penulis uraikan dan hubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.
G. Sistematika Penulisan Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa subbab guna lebih memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapaun urutan dan tata letak masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut. Bab I (Pendahuluan) berisi uraian latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II menguraikan kritikan terhadap formulasi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak yang ada dalam hukum positif di Indonesia yaitu dalam Undangundang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
34
mengandung berbagai masalah, antara lain: masalah kualifikasi tindak pidana, subjek tindak pidana dan jenis sanksi. Selanjutnya dalam Bab III, dibahas tentang upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka menanggulangi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak ini dengan menggunakan kebijakan criminal melalui pendekatan integral antara sarana penal dengan non penal. Dalam Bab IV dibahas tentang analisa kasus tindak pidana memberikan ijazah
tanpa
hak
dalam
putusan
Pengadilan
Negeri
Medan
No.
1932/Pid.B/2005/PN.Mdn untuk melihat dan menganalisa bagaimana keseriusan para penegak hukum khususnya di bidang peradilan dalam menangani kasus tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak tersebut. Akhirnya dalam Bab V dikemukakan rangkuman hasil penelitian dan analisis bab-bab terdahulu, sehingga dapat ditarik kesimpulan mengenai hal tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dan dapat merumuskan saran tindak yang diperlukan.
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
35
BAB II KRITISI FORMULASI TINDAK PIDANA MEMBERIKAN IJAZAH TANPA HAK DALAM UNDANG-UNDANG SISDIKNAS
Ketentuan hukum yang mengatur tentang tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak secara khusus adalah di dalam Ketentuan Pidana Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Ketentuan pidana dalam Undang-undang ini diatur dalam Bab XX mulai Pasal 67 sampai dengan Pasal 71. Adapun ketentuan yang berkaitan dengan tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak selengkapnya dikutip sebagai berikut: Pasal 67: (1) perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 68: (1) setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
36
dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 69: (1) setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3) yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Dari perumusan di atas, dapat dilihat beberapa permasalahan-permasalahan dalam memformulasikan ketentuan hukum terhadap tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak tersebut yang patut dikritisi karena berpotensi memberi celah hukum kepada pelaku tindak pidana yang ingin lepas dari jerat hukum.
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
37
A. Masalah Kualifikasi Tindak Pidana Sangat disayangkan, penegasan kualifikasi tindak pidana sebagai kejahatan atau pelanggaran tidak dirumuskan dalam Ketentuan Pidana Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini bisa menimbulkan masalah, karena perundang-undangan pidana diluar KUHP tetap terikat pada aturan umum KUHP mengenai akibat-akibat yuridis dari pembedaan antara “kejahatan” dan “pelanggaran”. Menurut Wirjono Prodjodikoro, kata-kata “kejahatan” dan “pelanggaran” kini merupakan istilah-istilah sebagai terjemahan dari istilah-istilah misdrijf dan overtreding dalam Bahasa Belanda. Misdrijf atau kejahatan berarti suatu perbuatan yang tercela dan berhubungan dengan hukum, berarti tidak lain daripada “perbuatan melanggar hukum”. Overtredingen atau pelanggaran berarti suatu perbuatan yang melanggar sesuatu, dan berhubungan dengan hukum, berarti tidak lain daripada “perbuatan melanggar hukum”. Jadi, sebenarnya arti kata dari kedua istilah itu sama, maka dari arti kata tidak dapat dilihat perbedaan antara kedua golongan tindak pidana ini. 32 Membedakan “kejahatan” dan “pelanggaran” penting artinya karena di dalam Buku I KUHP terdapat peraturan yang hanya berlaku terhadap kejahatan dan tidak pada pelanggaran. Kegunaan pembedaan kejahatan terhadap pelanggaran, kita temukan dalam sistematika KUHP yang merupakan “buku
32
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, h. 33
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
38
induk” bagi semua perundang-undangan hukum pidana, karena dikaitkan dengan akibat hukum yang penting dan tertentu sebagai berikut: 1) Dalam Bab I Buku I KUHP Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 tentang berlakunya aturan pidana dalam undang-undang menurut tempat, tidak selalu mengenai tindak pidana saja tetapi adakalanya hanya mengenai kejahatan tertentu saja (Pasal 5); 2) Dalam Bab II Buku I KUHP yang mengatur tentang pidana diperbedakan antara lain: a) Masa percobaan pemidanaan , bagi kejahatan lebih lama daripada bagi pelanggaran pada umumnya (Pasal 14 b); b) Pelepasan bersyarat hanya berlaku untuk kejahatan (pidana penjara) (Pasal 15); c) Pencabutan hak-hak tertentu hanya boleh dijatuhkan pada kejahatan tertentu (Pasal 36, 37); d) Pada umumnya ancaman bagi kejahatan lebih berat dibandingkan bagi pelanggaran. 3) Dalam Bab III Buku I KUHP, ditentukan bahwa: a) Putusan hakim untuk menyerahkan seorang anak yang belum cukup umur kepada pemerintah, hanya jika anak itu telah melakukan ulang suatu kejahatan atau pelanggaran tertentu (Pasal 45); b) Adanya pemberatan pidana karena melakukan suatu kejahatan dengan menggunakan bendera kebangsaan R.I (Pasal 52 a). 4) Dalam Bab IV, Buku I KUHP, ditentukan bahwa: Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
39
a) Percobaan melakukan kejahatan dipidana (Pasal 53); b) Percobaan melakukan pelanggaran tidak dipidana (Pasal 54). 5) Dalam Bab V Buku I, antara lain: a) membantu untuk melakukan suatu kejahatan dipidana, tetapi untuk pelanggaran tidak (Pasal 56, 60); b) “Omkering van Bewijslast” bagi pengurus-pengurus dan sebagainya, hanya berlaku untuk pelanggar(an) (Pasal 59). 6) Dalam Bab VI Buku I, antara lain: a) Untuk pemidanaan beberapa kejahatan sekaligus, umumnya digunakan absortie-stelsel (stelsel penyeraban). b) Untuk pemidanaan beberapa pelanggaran sekaligus, umumnya digunakan comulatie-stelsel (stelsel penjumlahan). 7) Dalam Bab VII Buku I, antara lain: “pengaduan” hanya diatur untuk beberapa kejahatan tertentu saja, sedangkan seseorang yang melakukan suatu pelanggaran, selalu dapat dituntut tanpa adanya pengaduan. 8) Dalam Bab VIII Buku I antara lain: a) Daluwarsa (penuntutan pidana atau penjalanan pidana) pada kejahatan umumnya lebih lama waktunya dibandingkan dengan pelanggaran; b) Hanya pada pelanggaran saja ada kemungkinan penyelesaian di luar acara pidana dengan pembayaran maksimum denda dengan sukarela. 9) Dalam Bab IX Buku I, antara lain:
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
40
a) Pembantuan dan percobaan untuk melakukan kejahatan termasuk dalam arti kejahatan. Pembantuan/percobaan untuk melakukan pelanggaran, tidak diatur seperti itu; b) Permufakatan (samenspanning) hanya untuk melakukan kejahatan. 10) Recidive: a) Recidive untuk kejahatan tertentu diatur dalam pasal-pasal: 486,487, dan 488. b) Recidive untuk pelanggaran diatur dalam pasal-pasal yang bersangkutan (489, 492, 495, 501, 517, 530, 536, 540, 541, 542, 544, 545, dan 549). 11) Kesalahan (schuld) Pada kejahatan selalu ditentukan, atau dapat disimpulkan adanya salah satu bentuk kesalahan, sedangkan pada pelanggaran tidak. 12) Kualifikasi Hanya dalam kejahatan dikenal adanya kejahatan ringan (pasal-pasal: 302 (1), 352 (1), 364, 379, 384, 407 (1), 482 dan 315 KUHP), sedangkan dalam pelanggaran tidak dikenal. Berdasarkan riwayat pembentukan KUHP di Nederland dapat diketahui bahwa yang dipakai sebagai dasar untuk membedakan kejahatan dan pelanggaran adalah dari perbedaan antara “rechtsdelicten” dan “wetsdelicten”. Rechtsdelicten merupakan perbuatan yang dianggap sebagai bertentangan dengan perikeadilan atau nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Kalau seandainya perbuatan ini tidak diatur dalam undang-undang dan tidak dikenakan sanksi pidana, maka perbuatan tersebut dalam pandangan masyarakat tetap dianggap sebagai perbuatan yang Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
41
bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan patut dilarang. Misalnya: membunuh, menipu, mencuri dan sebagainya. Sedangkan wetsdelicten diartikan sebagai perbuatan yang dilarang dengan hukuman berdasarkan perumusannya dalam undang-undang. Perbuatan ini jika tidak dilarang dengan tegas dalam undang-undang, maka tidak dipandang oleh masyarakat sebagai perbuatan yang salah dan patut dihukum. Misalnya: pelanggaran lalu lintas. Penetapan kualifikasi tindak pidana sebagai “kejahatan” merupakan “penetapan kualifikasi yuridis” yang mempunyai akibat/konsekuensi yuridis, baik dalam arti konsekuensi yuridis materiel (yaitu terikat pada aturan umum dalam KUHP) maupun konsekuensi yuridis formal (dalam KUHAP), sepanjang tidak ditentukan lain oleh Undang-undang. Penetapan kualifikasi yuridis ini diperlukan untuk “menjembatani” berlakunya aturan umum KUHP terhadap hal-hal yang tidak diatur dalam UU di luar KUHP. Jadi, identik dengan penetapan kualifkasi yuridis terhadap suatu perbuatan sebagai “Tindak Pidana Ekonomi” atau sebagai “Tindak Pidana Korupsi” yang juga mempunyai akibat yuridis, yaitu: 13) apabila UU di luar UU Tindak Pidana Ekonomi (UU Nomor 7 Drt. 1955) menyebut/menyatakan, bahwa suatu delik adalah “Tindak Pidana Ekonomi”, maka berlakulah ketentuan-ketentuan dalam UU Tindak Pidana Ekonomi itu (lihat Pasal 1 sub 3c UU No. 7 Drt. 1955); 14) apabila
UU
diluar
UU
Korupsi
(UU
No.
31
Tahun
1999)
menyebut/menyatakan, bahwa suatu delik adalah “Tindak Pidana Korupsi”,
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
42
maka berlakulah ketentuan dalam UU Korupsi itu (lihat Pasal 14 UU No. 31 Tahun 1999). 33 Demikian pulalah dengan ketentuan KUHP. Karena aturan umum KUHP membedakan antara “aturan umum untuk kejahatan” dan “aturan umum untuk pelanggaran”, maka apabila aturan umum KUHP itu akan juga diberlakukan terhadap UU di luar KUHP (berdasarkan Pasal 103), maka UU di luar KUHP itu juga harus menyebut kualifikasi yang jelas dari tindak pidana yang diaturnya, apakah merupakan “kejahatan” atau “pelanggaran”.
B. Masalah Subjek Tindak Pidana Memperhatikan perumusan tindak pidana dalam Pasal 67, 68 dan 69 yang diuraikan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa yang dapat menjadi subjek tindak pidana tidak hanya “orang” secara pribadi, namun juga organisasi dan penyelenggara pendidikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa subjek tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dapat juga berupa korporasi, walaupun tidak secara eksplisit disebutkan dalam perumusan tindak pidana. Apabila diperhatikan perumusan tindak pidana dalam Pasal 67 sampai dengan Pasal 71, maka subjek tindak pidana berupa korporasi hanya ditujukan untuk tindak pidana yang secara tegas menyebutkan bahwa pelakunya adalah “organisasi atau penyelenggara pendidikan. Jadi, korporasi yang dapat menjadi subjek tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak bukanlah semua korporasi, 33
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum & dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, h. 151. Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
43
melainkan hanya “korporasi yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi tanpa hak. Sekiranya organisasi atau penyelenggara pendidikan itu adalah korporasi, menjadi masalah siapakah yang dapat dituntut dan dijatuhi pidana/sanksi, karena di
dalam
UU
Sisdiknas
ini
tidak
ada
ketentuan
umum
mengenai
pertanggungjawaban korporasi/badan hukum” seperti misalnya diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UU NO. 7/Drt. Tahun 1955 (Tindak Pidana Ekonomi), Pasal 25 ayat (1) UU No. 32 Tahun 1964 (Lalu Lintas Devisa), Pasal 39 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1989 (Telekomunikasi), Pasal 35 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1982 (Wajib Daftar Perusahaan), Pasal 46 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No.10 Tahun 1998 (Perbankan), Pasal 46 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 (Lingkungan Hidup) dan Pasal 20 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 (Tindak Pidana Korupsi). 34 Seharusnya dimuat suatu ketentuan dalam Ketentuan Pidana UU Sisdiknas ini bahwa tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dapat dilakukan oleh orang perorangan atau oleh korporasi. Dimana pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dijatuhkan kepada: 1) Badan hukum, perseroan, perkumpulan, atau yayasan; 2) Mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana; atau 3) Kedua-duanya. 35
34
Ibid, h. 240. Sebagaimana dimuat dalam Lampiran Undang-Undang No. 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada Bab I, Bagian C.3 tentang Ketentuan Pidana 35
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
44
C. Jenis Sanksi Dalam Ketentuan Pidana UU Sisdiknas hanya digunakan 1 (satu) jenis sanksi, yaitu sanksi pidana pokok berupa pidana penjara dan denda, tidak ada tindak pidana yang diancam dengan pidana kurungan. Tidak adanya pidana kurungan ini mungkin disebabkan semua tindak pidana menurut UU Sisdiknas dikualifikasikan sebagai “kejahatan”. Namun patut dicatat, bahwa menurut pola yang dianut selama ini (di dalam/di luar KUHP) bisa saja suatu kejahatan diancam dengan pidana kurungan. Perumusan ancaman pidana dalam UU tersebut menganut sistem perumusan kumulatif-alternatif. Hal ini tentu saja bermanfaat demi memberi keleluasan kepada hakim untuk memilih pidana apa yang cocok. Selain itu akan bersifat “applicable” apabila hakim akan menjatuhkan pidana kepada pelaku sebagai korporasi/badan hukum. Sekiranya korporasi juga dapat dipertanggungjawabkan, seyogianya juga ada jenis sanksi spesifik berupa “tindakan” antara lain pencabutan izin usaha, pemberian ganti rugi dan sebagainya. Adanya sanksi berupa “tindakan” (“maatregel/treatment”) ini, dimungkinkan menurut Pasal 21 ayat (5) UU Sisdiknas ini yang menyebutnya dengan istilah “sanksi administratif” berupa penutupan penyelengaraan pendidikan. Namun, sanksi administratif diatas menurut
UU Sisdiknas tidak
diintegrasikan ke dalam sistem pertanggungjawaban pidana. Artinya sanksi itu tidak dijadikan sebagai salah satu bentuk sanksi/pertanggungjawaban pidana Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
45
(misal disebut sebagai “tindakan” atau “pidana administratif”), sehingga tidak dapat diterapkan oleh hakim, sekiranya pelanggaran terhadap ketentuan UU Sisdiknas itu dijadikan sebagai perkara pidana. Melainkan menurut UU tersebut pada Pasal 62 ayat (3) mengenai sanksi adminstratif berupa penutupan/pencabutan izin usaha hanya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. Kekurangan lainnya adalah tidak adanya ketentuan khusus mengenai aturan pidana pengganti denda apabila denda tidak dibayar oleh korporasi. Hal ini dapat menimbulkan masalah karena ketentuan pelaksanaan pidana denda dalam Pasal 30 KUHP (yaitu apabila denda tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan pengganti selama enam bulan) tidak dapat diterapkan untuk korporasi.
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
46
BAB III UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA MEMBERIKAN IJAZAH TANPA HAK
Upaya dalam rangka menanggulangi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak termasuk bidang “kebijakan kriminal” (criminal policy). Kebijakan kriminal merupakan usaha yang rasional dari masyarakat sebagai reaksi mereka terhadap kejahatan. Kebijakan kriminal sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) harus mampu menempatkan setiap komponen sistem hukum dalam arah yang kondusif dan aplikatif untuk menanggulangi kejahatan, termasuk peningkatan budaya hukum masyarakat sehingga mau partisipasi yang aktif dalam penanggulangan kejahatan. Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu “kebijakan sosial” (social policy) yang terdiri dari “kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial” (social-welfare policy) dan “kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat” (social-defence policy). 36 Oleh karena itu kebijakan penanggulangan kejahatan harus dilakukan melalui perencanaan yang rasional dan menyeluruh sebagai respon terhadap kejahatan (a rational total of the responses to crime). Kebijakan ini termasuk
36
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, h. 73.
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
47
bagaimana mendesain tingkah laku manusia yang dapat dianggap sebagai kejahatan (criminal policy of designating human behaviour as crime). Dengan demikian sekiranya kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy/politik kriminal) dilakukan dengan menggunakan sarana “penal” (hukum pidana) maka “kebijakan hukum pidana” (penal policy) khususnya pada tahap kebijakan yudikatif/aplikatif (penegakan hukum pidana in concreto) harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa “social welfare” dan “social defence”. Aspek “social welfare” dan “social defence” masyarakat
yang
sangat
yang
penting
bersifat
adalah
immateriel,
aspek
kesejahteraan/perlindungan
terutama
nilai
kepercayaan,
kebenaran/kejujuran/keadilan. 37 Kebijakan penanggulangan kejahatan menurut Hoefnagels dapat dilakukan dengan memadukan upaya penerapan hukum pidana (criminal law application), pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana (prevention without punishment) dan upaya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa (influencing views of society on crime and punishment by mass media). Dengan demikian kebijakan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan pendekatan integral, ada keseimbangan sarana “penal” dan “non penal”.
A. Sarana Penal
37
Ibid, h. 74.
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
48
Istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “policy” atau bahasa Belanda “politiek”. Istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kata “politik”, oleh karena itu kebijakan melalui sarana penal biasa disebut juga politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai politik hukum secara keseluruhan karena hukum pidana adalah salah satu bagian dari ilmu hukum. Oleh karena itu sangat penting untuk dibicarakan tentang politik hukum. Hubungan antara politik dan hukum, Mahfud M.D. menjelaskan bahwa hukum merupakan produk politik. Hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh) dan politik sebagai independent variable (variabel berpengaruh). Dengan asumsi yang demikian itu, Mahfud merumuskan politik huku sebagai kebijakan hukm yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencaakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang adal dibelakang perbuatan dan penegakan hukum itu. Di sini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperaatif atau keharusan-keharusan, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi-materi dan pasal-pasal maupun dalam implementasi dan penegakannnya. 38
38
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit, h.12
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
49
Menurut M. Solly Lubis, politik hukum adalah kebijakan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 39 Dengan dasar itu, Sudarto mengatakan politik hukum merupakan kebijakan negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menerapkan peraturanperaturan yang dikehendaki yang diperkirakan dapat
digunakan untuk
mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. 40 Jika demikian halnya, maka menurut Sudarto, melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pasa suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. 41 Pandangan Sudarto di atas, sejalan dengan Marc Ancel, menurutnya in modern science has primery three essencial componens: criminology, criminal law, and penal policy. Criminology, mempelajari kejahatan dalam semua aspek. Selanjutnya, Criminal law menjelaskan dan menerapkan peraturan-peraturan positif atas reaksi masyarakat terhadap fenomena kejahatan. Penal policy baik sebagai ilmu maupun seni mempunyai tujuan praktis, utamanya untuk memungkinkan peraturan-peraturan positif dirumuskan lebih baik dan menjadi petunjuk tidak hanya kepada legislator yang merancang peraturan perundangperundangan pidana, tetapi juga pengadilan di mana peraturan-peratuan itu
39
Ibid. Ibid. 41 Ibid, h. 14 40
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
50
diterapkan dan penyelenggarakan pemasyarakatan (prison administration) yang memberi pengaruh praktis terhadap putusan pengadilan. 42 Dengan demikian, penal policy atau politik/kebijakan hukum pidana pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif) dan pelaksana hukum pidana (kebijakan eksekutif). Upaya penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan “penal policy”
atau
“penal
law
enforcement
policy”
yang
fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui beberapa tahap: 1) formulasi (kebijakan legislatif); 2) aplikasi (kebijakan yudikatif/yudicial); 3) eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif). 43 Tahap formulasi atau kebijakan legislatif merupakan tahap awal yang paling strategis dari keseluruhan perencanaan proses fungsionalisasi atau operasionalisasi hukum pidana. Tahap formulasi atau kebijakan legislatif tersebut menjadi dasar, landasan dan pedoman bagi tahap-tahap fungsionalisasi atau operasioanalisasi hukum pidana berikutnya. 44 Dengan adanya tahap
“formulasi”
maka upaya pencegahan dan
penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif); bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari upaya pencegahan dan
42
Ibid, h. 16 Barda Nawawi Arief, Op.Cit, h. 75. 44 Teguh Prasetyo, Op.Cit, h. 22 43
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
51
penanggulangan melalui “penal policy”. Oleh karena itu, kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi. 45 Pada dasarnya, terdapat 2 (dua) masalah sentral yang perlu diperhatikan dalam kebijakan hukum pidana (penal policy), khususnya dalam tahap formulasi, yaitu masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan masalah penentuan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. 46 Penentuan perbuatan yang dijadikan tindak pidana mempunyai hubungan yang erat dengan masalah “kriminalisasi” yaitu “proses untuk menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana. 47 Bertolak dari pendekatan kebijakan itu pula, Sudarto berpendapat, dalam menghadapi masalah sentral yang pertama di atas, yang sering disebut maslah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang intinya sebagai berikut: 48 1) Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan
spritual
berdasarkan
Pancasila;
sehubungan
dengan
ini
maka
(penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan peneguhan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat; 45
Barda Nawawi Arief, Loc.Cit Teguh Prasetyo, Op. Cit, h. 22 47 Ibid, h. 23 48 Ibid. 46
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
52
2) Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki,: yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spritual) atas warga masyarakat; 3) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle); 4) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari bahan-bahan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting). 49 Pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial terlihat pula dalam Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada Agustus 1980 di Semarang. Dalam salah satu laporannya dinyatakan bahwa masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminil yang dianut oleh bangsa Indonesa, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat. 50 Masalah penentuan sanksi apa yang dikenakan kepada pelanggar, harus memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu dalam kenyataannya. Ted Honderich sebagaimana yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief, berpendapat bahwa suatu pidana dapat
49 50
Ibid, h. 24 Ibid.
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
53
disebut sebagai alat pencegah yang ekonomis (economical deterrents) apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1) pidana itu sungguh-sungguh mencegah; 2) pidana
itu
tidak
menyebabkan
timbulnya
keadaan
yang
lebih
berbahaya/merugikan daripada yang akan terjadi apabila pidana itu tidak dikenakan; 3) tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan bahaya/kerugian yang lebih kecil. 51 Menurut Bassiouni sebagaimana yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief, tujuan-tujuan yang ingi dicapai oleh pidana pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi, yaitu antara lain: 1) Pemeliharaan tertib masyarakat; 2) Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain; 3) Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para penegak hukum; 4) Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu. 52 Pendekatan
humanistik diatas menuntut
pula diperhatikannya
ide
individualisasi pidana dalam kebijakan hukum pidana yang antara lain mengandung beberapa karakteristik sebagai berikut:
51
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1996, h. 38. 52 Ibid, h. 39. Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
54
1) pertanggungjawaban (pidana) bersifat pribadi/perorangan (asas personal); 2) pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas); 3) pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku; ini berarti harus ada kelonggaran/fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat ringannya sanksi)dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaannya. 53 B. Sarana Non Penal Dilihat dari sudut politik kriminal, kebijakan paling strategis melalui sarana “non penal” karena bersifat preventif dan karena kebijakan “penal” mempunyai keterbatasan/kelemahan. Menurut Barda Nawawi Arief, sarana penal mempunyai keterbatasan dan mengandung beberapa kelemahan (sisi-sisi negatif), antara lain: 1) secara dogmatis/idealis sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam/keras (karena itu juga sering disebut sebagai ultimum remidium); 2) secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi (antara lain: berbagai undang-undang organik, lembaga/aparat pelaksana dan lebih menuntut “biaya tinggi”); 3) sanksi hukum pidana merupakan “remedium” yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur atau efek samping yang negatif; 4) penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan “kurieren am sympton” (menanggulangi/menyembuhkan gejala). Jadi, hukum/sanksi pidana hanya merupakan “pengobatan simptomatik” dan bukan
53
Ibid, h. 43.
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
55
pengobatan kausatif” karena sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks di luar jangkauan hukum pidana; 5) hukum/sanksi hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (subsistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai masalah sosio-psikologis, sosio-politik, sosio-ekonomi, sosio-kultural dan sebagainya); 6) sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal, tidak bersifat struktural atau fungsional; 7) keefektifan pidana masih bergantung pada banyak faktor dan oleh karena itu masih sering dipermasalahkan. 54 Kebijakan penanggulangan kejahatan melalui jalur “non penal” lebih bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. 55 Dengan demikian dilihat dari kebijakan penanggulangan kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang strategis dan memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan.
54
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, h. 139 55 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op.Cit, h. 49. Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
56
Kongres PBB ke-6 tahun 1980 yang berlangsung di Caracas, Venezuela menyatakan dalam pertimbangan resolusinya mengenai Crime Trends and Crime Prevention Strategies, sebagaimana yang dikutip Barda Nawawi Arief 56, yaitu antara lain: a. Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas kehidupan yang layak bagi semua orang (the crime impedes progress towards the attainment of an acceptable quality of life for all people); b. Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan (crime prevention strategies should be based upon the elimination of causes and condition giving rise to crime); c. Bahwa penyebab utama banyaknya terjadi kejahatan diberbagai negara adalah disebabkan oleh ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebodohan diantara sebagian besar penduduk (the main causes of crime in many countries are social inequality, ratial and national discrimination, low standar of living, unemployment and illiteracy among broad section of the population). Di dalam Dokumen A/CONF. 121/L/9 mengenai Crime Prevention in the Context of Development, Kongres PBB ke-7 tahun 1985 di Milan, Italia ditegaskan
bahwa
upaya
penghapusan
sebab-sebab
dan
kondisi
yang
menimbulkan kejahatan harus merupakan strategi pencegahan kejahatan yang mendasar. Strategi pencegahan kejahatan yang mendasar ini harus dicarikan untuk
56
Ibid, h. 50.
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
57
menghilangkan penyebab dan kondisi-kondisi yang
menimbulkan suatu
kejahatan.Akhirnya, di dalam Guiding Principles yang dihasilkan oleh Kongres PBB ke-7 ini, ditegaskan bahwa berbagai kebijakan mengenai pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus mempertimbangkan sebab-sebab struktural, termasuk sebab-sebab ketidakadilan yang bersifat sosioekonomi, dimana kejahatan sering merupakan suatu gejala semata (symptom). 57 Kongres PBB ke-8 tahun 1990 tentang The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, yang berlangsung di Havana, Cuba, menekankan: pentingnya aspek sosial dari kebijakan pembangunan yang merupakan suatu faktor penting dalam pencapaian strategi pencegahan kejahatan dan peradilan pidana. Oleh karena aspek-aspek sosial dalam praktek pembangunan ini harus mendapat prioritas yang utama, Kongres ke-8 ini juga berhasil mengidentifikasi berbagai aspek sosial yang ditengarai sebagai faktor-faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan. Hal ini disebutkan dalam Dokumen A/CONF. 144/L.17, yaitu sebagai berikut 58: a. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan, ketiadaan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta pelatihan yang tidak cocok; b. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena proses integrasi sosial dan karena memburuknya ketimpanganketimpangan sosial; c. Mengendornya ikatan sosial dan keluarga; 57 58
Ibid, h. 51 Ibid, h.52.
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
58
d. Keadaan-keadaan atau kondisi yang menyulitkan bagi orang yang berimigrasi ke kota-kota atau ke negara lain; e. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan; f. Menurunnya atau mundurnya kualitas lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan tidak cukupnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan kehidupan bertetangga; g. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, dilingkungan
keluarganya,
tempat
pekerjaannya
atau
dilingkungan
sekolahnya; h. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperluas karena faktor-faktor yang disebut di atas; i.
Meluasnya aktivitas kejahatan yang terorganisir, khususnya pedagang obat bius dan penadahan barang-barang curian;
j.
Dorongan-dorongan (khususnya oleh media massa) mengenai ide-ide dan sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau sikap-sikap tidak toleran. Pendekatan non penal menurut Hoefnagels sebagaimana yang dikutip
Barda Nawawi Arief 59 adalah pendekatan pencegahan kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan (prevention without punishment), yaitu antara
59
Ibid, h. 54.
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
59
lain perencanaan kesehatan mental masyarakat (community plannning mental health), kesehatan mental masyarakat secara nasional (national mental health), kesejahteraan anak dan pekerja sosial (social worker and child welfare), serta penggunaan hukum sipil dan hukum administrasi (administrative and civil law). Dalam konteks ini, informasi yang diperoleh melalui disiplin lain, misalnya sosiologi, antropologi, dan psikologi, sangat membantu untuk merumuskan kebijakan sosial, perencanaan kesehatan mental masyarakat sehingga memberikan pengaruh preventif terhadap terjadinya kejahatan. Selain itu juga, program-program untuk mengatasi tekanan (stress) dalam kehidupan bermasyarakat perlu mendapat perhatian dalam penanggulangan kejahatan antara lain, kesejahteraan anak-anak serta rehabilitasi dan kesehatan pekerja sosial. Berdasarkan berbagai keterangan di atas, maka telah diungkap bahwa kejahatan berakar dari faktor-faktor yang berkaitan dengan lingkungan sosial masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu perlu langkah-langkah penanggulangan yang didasarkan pada penguatan sumber daya yang ada di dalam masyarakat (community crime prevention). Program-program yang dapat dilakukan oleh Community Crime Prevention antara lain: 1) pembinaan terhadap penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang; 2) pembinaan tenaga kerja; 3) pendidikan; 4) rekreasi; 5) pembinaan mental melalui agama; Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
60
6) desain tata ruang fisik kota 60. Berkaitan dengan tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak ini misalnya, pendidikan keagamaan terhadap seseorang merupakan upaya yang massif untuk mereduksi terjadinya
kejahatan.
Dalam konteks
ini adalah
bagaimana
menciptakan komunitas masyarakat yang relijius sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing sehingga dapat mendorong anggota masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana. Selain itu juga lembaga-lembaga keagamaam mempunyai landasan yang kuat untuk melibatkan para anggotanya dalam upaya penanggulangan kejahatan. Sedangkan komunitas-komunitas keagamaan ini mendorong para anggota perkumpulannya yang tersebar diseluruh belahan dunia untuk melakukan kegiatan penanggulangan kejahatan bekerjasama dengan pihak-pihak terkait. Secara khusus, komunitas relijius ini dapat melakukan: 1) Pendataan dan pendaftaran bagi komunitas-komunitas keagamaan untuk berpatisipasi dalam penanggulangan kejahatan; 2) Mendorong lembaga-lembaga keagamaan untuk menginformasikan di daerah masing-masing tentang permasalahan kejahatan; 3) Mendata
lembaga-lembaga
keagamaan
yang
mendukung
upaya
penanggulangan kejahatan; 4) Membuka
fasilitas-fasilitas
rumah
ibadah
untuk
keperluan
program
penanggulangan kejahatan;
60
Mahmud Mulyadi, Politik Hukum Pidana: Bahan Kuliah, 2007, h. 116
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
61
5) Mempromosikan partisipasi kelompok-kelompok keagamaan dalam sistem peradilan pidana. Menurut Tim Hope sebagaimana yang dikutip Mahmud Mulyadi 61, pencegahan kejahatan oleh masyarakat (community crime prevention) mengarah kepada tindakan-tindakan yang diharapkan dapat merubah kondisi sosial yang mendukung terjadinya kejahatan di kediaman masyarakat. Fokus perhatiannnya dikonsentrasikan pada kemampuan institusi sosial lokal untuk mengurangi angka kejahatan. Institusi lokal ini mewadahi anggota masyarakat dalam suatu komunitas untuk bekerjasama secara sungguh-sungguh, memberikan bimbingan dan mengatur etika berperilaku, khususnya bagi anak-anak muda. Community crime prevention ini dapat didekati melalui dua dimensi. Pertama, melalui dimensi horizontal dari hubungan sosial antara orang-orang dan grup-grup dalam masyarakat.
Kedua,
melalui
dimensi
vertikal dari
relasi
sosial
yang
menghubungkan institusi lokal dengan komunitas yang lebih luas dari civil society. Program-program
dari
Community
Crime
Prevention
ini
dapat
diklasifikasikan sebagai berikut: 1) Community organization, tipe ini ditujukan membangun sebuah komunitas masyarakat
yang didasarkan pada kerjasama dalam penanggulangan
kejahatan. Kerjasama ini juga dibina melalui sekolah-sekolah lokal, dan tempat-tempat ibadah. Program ini juga menyediakan sarana yang efektif bagi anak-anak muda untuk bersosialisasi dalam suatu pergaulan yang positif.
61
Ibid, h. 119.
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
62
2) Community defence, program pada tipe ini ditujukan untuk mencegah terjadinya viktimisasi melalui pencegahan terhadap pelaku kejahatan. Strategi yang digunakan adalah pencegahan kejahatan melalui mndesain lingkungan (Crime Prevention Through Environmental Design/CPTED), defensible space measures, dan organisasi pengawasan masyarakat melalui neighbourhood watch; 3) Order maintenance, pendekatan ini dilakukan untuk mengontrol pengrusakan sarana fisik, ancaman terhadap kehidupan bertetangga dan perilaku kasar di jalanan; 4) Risk-based program, merupakan program yang menggunakan pendekatan untuk mencari faktor-faktor yang beresiko dalam komunitas kehidupan masyarakat, mengidentifikasi yang paling beresiko dan menyediakan upaya pencegahan khusus bagi mereka. Program ini meliputi pendekatan terhadap seseorang yang kemungkinan menjadi target korban kejahatan dan strategi ditujukan untuk melindungi korban dan pencegahan supaya tidak terjadi pengulangan menjadi korban (repeat victimization); 5) Community development, strategi yang digunakan adalah membangun kembali tatanan kehidupan sosial, fisik dan perekonomian lingkungan tempat tinggal; 6) Structural change, tujuan yang ingin dicapai hampir sama dengan community development, yaitu strategi yang dibangun adalah perubahan yang utama di dalam kehidupan masyarakat yang dapat mereduksi terjadinya kejahatan. Pendekatan yang dilakukan berupa penerapan kebijakan di level makro
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
63
pembangunan ekonomi dan ketenagakerjaan, perumahan yang layak, pendidikan, pelayanan kesehatan dan kesejahteraan serta pelayanan sosial. 62
BAB IV ANALISA KASUS TINDAK PIDANA MEMBERIKAN IJAZAH TANPA HAK (PUTUSAN PN MEDAN REG. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN)
A.
Kasus Posisi Pada tanggal 28 Mei 2005, Terdakwa, Prof. Drs. Djanter Siahaan, SH
selaku Rektor Universitas Generasi Muda Medan bersama-sama maupun bertindak sendiri-sendiri dengan Drs. Jasmen Maruli Tua Sinaga, Drs. Togu Jainal Tolopan Sihite, Drs. Jaendar Simamora dan Drs. Halomoan Simarmata (berkas perkara terpisah) sekitar pukul 17.30 WIB ditangkap oleh tim kepolisian dari Poltabes Medan di kamar Hotel Danau Toba Jl. Imam Bonjol Medan, karena diduga melakukan tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak atas nama Sonang Butarbutar. Sebelumnya Sonang Butarbutar yang merupakan anggota Kepolisian mendengar kabar dari Jon Napitupulu (belum tertangkap) bahwa Universitas Generasi Muda Medan yang dipimpin oleh Terdakwa dapat mengeluarkan ijazah (S-2) tanpa harus menjadi mahasiswa dan waktu pengeluaran ijazah (S-2) tersebut
62
Ibid, h. 121
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
64
hanya 2 minggu dengan persyaratan harus mempunyai ijazah S-1 dan uang tunai Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah). Atas informasi tersebut, kemudian Sonang Butarbutar ditunjuk oleh pimpinannya di kepolisian untuk menyelidiki kebenaran informasi tersebut dengan menyamar sebagai orang yang membutuhkan ijazah S-2. Dengan diwakili oleh Jon Napitupulu, pada tanggal 23 Mei 2005, Sonang Butarbutar melengkapi persyaratan yang dibutuhkan untuk mendapat ijazah S-2 dari Universitas Generasi Muda Medan tersebut dan diserahkan kepada Drs. Jaendar H. Simamora dan Drs. Togu Jainal Tolopan Sihite selaku Staf Tata Usaha pada Universitas Generasi Muda Medan yang kemudian menyatakan bahwa ujian meja hijau untuk mengeluarkan ijazah S-2 atas nama Sonang Butarbutar direncanakan pada hari Sabtu tanggal 28 Mei 2005 di kampus Universitas Generasi Muda Medan. Kemudian pada tanggal 25 Mei 2005, Drs. Togu Jainal Tolopan Sihite menjumpai Terdakwa selaku Rektor Universitas Generasi Muda Medan dan mengatakan bahwa ada calon untuk ujian S-2 jurusan pertanian dan telah menerima uang muka untuk ujian S-2 tersebut sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) serta memberikan uang sejumlah Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) kepada Terdakwa namun oleh Terdakwa uang tersebut disuruh disimpan dahulu dan sisa Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) yang belum dibayar, nantinya setelah selesai ujian adalah bagian untuk beliau. Terdakwa kemudian menyuruh Drs. Halomoan Simarmata untuk menulis ijazah Pasca Sarjana Magister Pertanian atas nama Sonang Butarbutar. Kemudian Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
65
Terdakwa menemui Dr. Jasmen Maruli Tua Sinaga selaku Direktur Pasca Sarjana Universitas Generasi Muda Medan dan mengatakan bahwa Dr. Jasmen Maruli Tua Sinaga ditunjuk sebagai salah satu dosen penguji dalam ujian meja hijau tersebut bersama-sama dengan Ir. Jack Resman Folder Siahaan. Selanjutnya pada tanggal 28 Mei 2005, Drs. Togu Jainal Tolopan Sihite mendapat telepon dari Drs. Jaendar H. Simamora agar ujian meja hijau tersebut tidak dilaksanakan di kampus Universitas Generasi Muda Medan tetapi dilaksanakan di Hotel Danau Toba Jl Imam Bonjol Medan Kamar 917. Perubahan tempat ini merupakan permintaan Sonang Butarbutar. Kemudian hal tersebut diberitahukan kepada Terdakwa dan Terdakwa menyetujuinya. Selanjutnya Terdakwa tiba di Lobby Hotel Danau Toba dan mengatakan kepada Dr. Jasmen Maruli Tua Sinaga untuk menandatangani ijazah S-2 atas nama Sonang Butarbutar yang juga ditandatangani oleh beliau sendiri yang telah ia siapkan sebelumnya dan telah ditulis oleh Drs. Halomoan Simarmata. Kemudian Terdakwa dan Dr. Jasmen Maruli Tua Sinaga bersama-sama menuju lantai 9 ke kamar 917 guna melaksanakan ujian meja hijau S-2 terhadap Sonang Butarbutar dan apabila dinyatakan lulus maka akan langsung di wisuda dan diberikan ijazah. Namun ketika akan menuju kamar 917, Terdakwa dan teman-temannya ditangkap oleh petugas Kepolisian dan dibawa ke Poltabes Medan guna pemeriksaan lebih lanjut. Dan kemudian dalam pemeriksaan diketahui bahwa Universitas Generasi Muda Medan yang didirikan Oleh Terdakwa pada tahun 1986 dan hingga Terdakwa ditangkap, belum mendapat izin
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
66
pendirian universitas dari Mendiknas dan juga belum terdaftar di Kopertis Wilayah Sumatera Utara karena tidak memenuhi persyaratan yang berlaku.
B. Analisa Kasus 1. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Di dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum tertanggal 11 Juli 2005 No. Reg. Perkara: PDM-675/MDN/Ep.2/7/2005, perbuatan Terdakwa didakwa dengan 2 dakwaan yang dirumuskan secara alternatif, yaitu: Pertama: Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam pidana sebagaimana dalam Pasal 67 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang berbunyi: Pasal 67 ayat (1): “Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi dan/atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP: “(1) dipidana sebagai pelaku tindak pidana: 1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;” Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
67
Atau Kedua: Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam pidana sebagaimana dalam Pasal 68 ayat (1) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi: Pasal 68 ayat (1): “Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
2. Fakta Hukum Di Persidangan Fakta hukum di persidangan diperoleh dari proses pembuktian antara lain dari keterangan saksi, keterangan terdakwa dan adanya barang-barang bukti yang dibawa di depan persidangan. b) Keterangan saksi 1) Saksi Sonang Butarbutar: (a) Bahwa benar saksi dihadirkan dalam persidangan sehubungan dengan tindak pidana yang telah dilakukan para Terdakwa yaitu menerbitkan atau membuat ijazah palsu atas nama saksi; (b) Bahwa benar kejadiannya adalah di Hotel Danau Toba Medan lantai 9 kamar 917 Jalan Imam Bonjol Medan yaitu bermula dari adanya informasi dari
masyarakat
bahwa
Terdakwa
beserta
rekan-rekannya
dapat
mengeluarkan/menerbitkan ijazah S-1 maupun S-2 tanpa dengan mengikuti perkuliahan; Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
68
(c) Bahwa benar selanjutnya saksi melaporkan hal itu kepada pimpinan saksi yaitu Kapoltabes Medan; (d) Bahwa benar saksi diperintahkan oleh atasan untuk menyelidiki kebenaran dari informasi tersebut, yang selanjutnya saksi menyaru/menyamar sebagai orang yang membutuhkan ijazah tersebut, dengan memerintahkan kepada saksi Narman Sinaga untuk menghubungi para Terdakwa, apakah benar para Terdakwa dapat mengeluarkan ijazah atas nama saksi tanpa melalui perkuliahan; (e) Bahwa benar kemudian Saksi Narman Sinaga menghubungi pihak Universitas Generasi Muda (UGM) Medan, dimana saksi Narman Sinaga berjumpa dengan Amiran Sihite, dan dari Amiran Sihite diperoleh informasi bahwa benar UGM Medan dapat mengeluarkan ijazah S-2 tanpa melalui perkuliahan, akan tetapi harus membayar unag sejumlah Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) beserta syarat-syarat yang lain seperti fotokopi ijazah, pas foto dan lain-lain, yang mana mengenai uang dapat dibayar sebagian yaitu sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); (f) Bahwa benar setelah semua persyaratan saksi lengkapi melalui saksi Narman Sinaga yaitu dengan memberi uang panjar sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), beserta syarat-syarat lainnya, kemudian diperoleh informasi bahwa pada tanggal 28 Mei 2005 akan dilakukan Meja Hijau dan Wisuda terhadap diri saksi, lalu pada tanggal tersebut sekira pukul 19.00 WIB, saksi beserta tim dari Poltabes Medan Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
69
menuju tempat tersebut serta setelah diperoleh bukti-bukti yang antara lain berupa ijazah S-2 atas nama Saksi, dan lalu Saksi beserta Tim dari Poltabes Medan melakukan penangkapan terhadap Terdakwa beserta teman-temannya; (g) Bahwa benar setelah saksi sampai di Hotel Danau Toba saksi melihat dekorasi telah dibuat yaitu adanya bendera merah putih, bendera pataka, baju toga, medali, palu dan hal itu telah dipersiapkan; (h) Bahwa benar setelah ijazah tersebut diperoleh, dimana ijazah telah siap, dan ditandatangani oleh Rektor dan Dekan, sementara saksi tidak ada melakukan perkuliahan, maka saksi berkesimpulan bahwa ijazah tersebut adalah palsu; 2) Saksi Narman Sinaga: (a) Bahwa benar pada hari Rabu tanggal 23 Mei 2005 sekira pukul 09.00 WIB, saksi ada diminta oleh saksi Sonang Butarbutar bersama Jon Napitupulu pergi ke Hotel Emerald Garden Jalan Putri Hijau Medan untuk menyerahkan uang pembuatan ijazah S-2 atas nama Saksi Sonang Butarbutar; (b) Bahwa benar setelah sampai di tempat tersebut saksi bertemu dengan Drs. Togu Jainal Tolopan Sihite sebagai Tata Usaha UGM Medan dan Jaendar H. Simamora selanjutnya Jon Napitupulu langsung berbicara dengan Drs. Togu Jainal Tolopan Sihite serta menyerahkan uang sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) kepada Drs. Togu Jainal Tolopan Sihite beserta syarat-syarat lainnya untuk pembuatan ijazah dimaksud; Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
70
(c) Bahwa benar saksi ada menyerahkan berupa fotokopi ijazah S-1 atas nama saksi Sonang Butarbutar dan juga pas foto saksi Sonang Butarbutar; (d) Bahwa benar uang sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) tersebut merupakan panjar dan sisanya akan dilunasi setelah pelaksanaan wisuda selesai, dan ijazah telah diterima; 3) Saksi Relivin Subur Bangun: (a) Bahwa benar pada tanggal 28 Mei 2005 pukul 17.30 WIB saksi berada di Kamar Hotel Danau Toba Medan untuk keperluan Sidang Meja Hijau dan pelaksanaan wisuda atas nama saksi Sonang Butarbutar; (b) Bahwa benar saksi diajak oleh Rektor UGM Medan yaitu Prof. Drs. Djanter Siahaan, SH dimana saksi juga mengajar di UGM Medan tersebut; (c) Bahwa benar UGM Medan belum berhak mengeluarkan ijazah S-2, akan tetapi telah pernah diajukan namun realisasinya belum ada karena belum memenuhi syarat untuk itu; (d) Bahwa benar pada saat dilakukan penangkapan tersebut ada 11 (sebelas) orang termasuk saksi, namun setelah dilakukan pemeriksaan kemudian beberapa orang dipulangkan termasuk saksi; 4) Saksi Husni Husin, MS: (a) Bahwa benar saksi dihadirkan di persidangan sehubungan dengan dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa beserta rekan-rekannya yaitu pemalsuan ijazah S-2 atas nama Saksi Sonang Butarbutar; (b) Bahwa benar bermula dari saksi diperintahkan oleh Terdakwa, Prof. Drs. Djanter Siahaan, SH untuk menyusun contoh Tesis Pasca Sarjana atas Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
71
nama saksi Sonang Butarbutar yang kemudian setelah selesai pada tanggal 27 Mei 2005 sekira pukul 21.00 WIB, kemudian saksi menyerahkan contoh Tesis tersebut kepada Prof. Drs. Djanter Siahaan, SH; (c) Bahwa benar oleh karena saksi saat itu atas undangan Prof. Drs. Djanter Siahaan, SH dan saksi salah satu yang akan menguji saksi Sonang Butarbutar yang selanjutnya polisi datang ketempat itu dan menahan para Terdakwa; (d) Bahwa benar UGM Medan belum berhak mengeluarkan ijazah S-2, akan tetapi telah pernah diajukan namun realisasinya belum ada karena belum memenuhi syarat untuk itu; (e) Bahwa benar saksi mengetahuinya karena pada saat itu saksi yang mempelajari syarat-syarat pendirian universitas tersebut dan setelah itu saksi menyerahkannya kepada Prof. Drs. Djanter Siahaan, SH; (f) Bahwa
benar
saksi
mengetahui
bahwa
apabila
seseorang
akan
mendapatkan S-2 harus mengikuti kuliah selama 4 (empat) semester, kemudian setelah dinyatakan lulus maka mahasiswa tersebut menyusun tesis dilanjutkan meja hijau, setelah dinyatakan lulus mahasiswa tersebut diwisuda, barulah berhak mendapat gelar S-2; (g) Bahwa benar pada saat dilakukan penangkapan ada 11 (sebelas) orang termasuk saksi, namun setelah dilakukan pemeriksaan kemudian beberapa orang dipulangkan termasuk saksi;
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
72
5) Saksi Dra. Manis Sembiring, MS: (a) Bahwa benar saksi dihadirkan dalam persidangan sehubungan dengan dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa beserta rekanrekannya yaitu pemalsuan ijazah S-2 atas nama saksi Sonang Butarbutar; (b) Bahwa benar bermula dari adanya undangan dari Rektor UGM Medan terhadap saksi yang ditunjuk sebagai salah seorang penguji atas tesis yaitu atas nama saksi Sonang Butarbutar yang kemudian ketika saksi datang ke Hotel Danau Toba tempat akan diadakannya ujian terhadap saksi Sonang Butarbutar, lalu polisi datang ketempat itu dan menahan Terdakwa beserta rekan-rekanya; (c) Bahwa benar saksi hadir atas undangan Rektor UGM Medan Prof.Drs. Djanter Siahaan, SH; (d) Bahwa benar UGM Medan belum berhak mengeluarkan ijazah S-2 akan tetapi telah pernah diajukan namun realisasinya belum ada karena belum memenuhi syarat untuk itu; 6) Saksi Ahli Hafni Oemry: (a) Bahwa benar sesuai dengan jabatan saksi di Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah I Sumut-NAD yaitu sebagai Kepala Bagian Administrasi Akreditasi dan Kelembagaan Kopertis Wilayah I, sehingga saksi mengetahui persyaratan untuk mendirikan universitas, disamping itu saksi juga mengetahui universitas yang telah mendapat izin dari Dikti atau belum; Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
73
(b) Bahwa benar UGM Medan belum terdaftar sebagai PTS pada Kopertis Wilayah I Sumut-NAD, akan tetapi UGM Medan telah pernah mengajukannya namun karena belum memenuhi syarat sehingga belum diberi izin oleh Dikti; (c) Bahwa benar saksi mengetahui hal tersebut, karena ketika mengajukan izin tersebut ke Dikti, tembusan dari UGM Medan ada ke Kopertis Wilayah I Sumut-NAD; (d) Bahwa benar syarat-syarat untuk mendirikan universitas antara lain ialah mempunyai organisasi perguruan tinggi yang mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 1999, mempunyai dosen tetap untuk S-1 minimal 2 (dua) orang, S-2 4 (empat) orang untuk setiap program studi S-1, mempunyai laboratorium dasar, mempunyai mahasiswa universitas minimal 1000 (seribu) orang, mempunyai ruang perpustakaan 1 (satu) judul per mata kuliah dan berjumlah 10 % dari jumlah mahasiswa, kurikulum mengacu pada SK Mendiknas 232/U/2000 dan SK Mendiknas No. 045/U/2002, serta persyaratan lainnya; (e) Bahwa benar pemberian ijazah S-2 terhadap saksi korban Sonang Butarbutar adalah ilegal dan menyalahi aturan yang berlaku; (f) Bahwa benar tidak ada lagi istilah ijazah lokal, serta pembelian ijazah S-2 terhadap saksi Sonang Butarbutar dengan alasan hanya ijazah lokal tidak sesuai dengan aturan yang berlaku;
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
74
b) Keterangan Terdakwa 1) Bahwa benar terdakwa diajukan di persidangan sehubungan dengan dugaan tindak pidana yang Terdakwa lakukan atas pemberian ijazah S-2 atas nama saksi Sonang Butarbutar; 2) Bahwa benar pada hari Sabtu tanggal 28 Mei 2005 sekira pukul 19.00 WIB dilantai 9 Hotel Danau Toba Medan dan pada saat dilakukan penangkapan ada sebanyak 11 (sebelas) orang yang saat ini dinyatakan sebagai Terdakwa adalah 5 (lima) orang termasuk Terdakwa; 3) Bahwa benar pada tahun 1986 Terdakwa mendirikan UGM Medan, dan saat ini UGM Medan tersebut belum terdaftar di Kopertis Wilayah I maupun dari Mendiknas, namun hal itu telah pernah Terdakwa ajukan akan tetapi izin dari Mendiknas belum keluar; 4) Bahwa benar menurut Terdakwa pemberian ijazah S-2 atas nama Sonang Butarbutar tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku, karena ijazah yang diberikan adalah ijazah lokal (bukan ijazah negara); 5) Bahwa benar Terdakwa menandatangani ijazah S-2 atas nama Sonang Butarbutar, dengan pertimbangan yang bersangkutan mengaku sebagai Administrasi (Adm.) yang telah berpengalaman selama 15 (lima belas) tahun di Pekanbaru sehingga diharapkan yang bersangkutan dapat sebagai tenaga pengajar di UGM Medan, tetapi ternyata yang bersangkutan adalah anggota Poltabes;
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
75
c) Barang bukti: Dalam persidangan ini, Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan barang bukti berupa: 1 (satu) helai bendera merah putih, 1 (satu) helai spanduk ujian meja hijau, 4 (empat) buah baju toga, 2 (dua) buah medali, 4 (empat) buah topi, 1 (satu) buah palu, 1 (satu) helai bendera pataka UGM Medan, 1 (satu) helai taplak meja hijau, 1 (satu) lembar ijazah S-2 atas nama Sonang Butarbutar, 1 (satu) buah buku register, 1 (satu) buah stempel rektor UGM Medan, 1 (satu) buah bantalan stempel;
3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Berdasarkan hasil pemeriksaan di persidangan, Jaksa Penuntut Umum menuntut Terdakwa sebagai berikut: a) Menyatakan Terdakwa Prof. Drs. Djanter Siahaan, SH telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama melakukan pemberian ijazah tanpa hak, melanggar Pasal 67 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dalam dakwaan pertama; b) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Prof. Drs. Djanter Siahaan, SH dengan pidana penjara masing-masing selama 6 (enam) bulan dikurangi selama Terdakwa dalam tahanan dan denda sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), subsidair 1 (satu) bulan kurungan; c) Menetapkan barang bukti berupa: 1 (satu) helai bendera merah putih, 1 (satu) helai spanduk ujian meja hijau, 4 (empat) buah baju toga, 2 (dua) buah medali, Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
76
4 (empat) buah topi, 1 (satu) buah palu, 1 (satu) helai bendera pataka UGM Medan, 1 (satu) helai taplak meja hijau, 1 (satu) lembar ijazah S-2 atas nama Sonang Butarbutar, 1 (satu) buah buku register, 1 (satu) buah stempel rektor UGM Medan, 1 (satu) buah bantalan stempel, dirampas untuk dimusnahkan; d) Menetapkan agar Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 500,00 (lima ratus rupiah).
4. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Untuk menyatakan seseorang telah melakukan suatu tindak pidana, majelis hakim mempertimbangkan bahwa perbuatan orang tersebut haruslah memenuhi seluruh unsur-unsur dari Pasal yang didakwakan kepadanya. Oleh karena Terdakwa oleh Penuntut Umum telah didakwa dengan surat dakwaan yang disusun secara alternatif. Maka majelis hakim mempertimbangkan terlebih dahulu sesuai dengan urutan dakwaan yang terberat yaitu dakwaan pertama, sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 67 ayat (1) UU NO. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1) perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan; 2) orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan; 3) memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi dan/atau vokasi; 4) tanpa hak. Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
77
Ad. 1) unsur perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan Dalam pertimbangannya majelis hakim menghubungkan dengan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “perseorangan” dalam hal ini menunjuk pada subjek hukum adalah orang yang diajukan oleh penuntut umum dalam perkara ini yaitu Prof. Drs. Djanter Siahaan,SH. Berdasarkan fakta dipersidangan bahwa unsur subyektif telah terpenuhi. Dengan demikian sesungguhnya majelis hakim menyatakan bahwa Prof. Drs. Djanter Siahaan, SH memenuhi unsur untuk diajukan sebagai “perseorangan” dalam sidang pengadilan.
Ad. 2) unsur sebagai orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan Unsur ini pun menurut majelis hakim telah terpenuhi pada diri Terdakwa, dimana berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan baik dari keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, maupun keterangan Terdakwa bahwa Terdakwa Prof. Drs. Djanter Siahaan,SH secara bersama-sama maupun bertindak sendiri-sendiri dengan Dr. Jasmen Maruli Tua Sinaga, Drs. Halomoan Simarmata, Drs. Togu Jainal Tolopan Sihite dan Drs. Jaendar Simamora (berkas perkara terpisah) pada hari Sabtu tanggal 28 Mei 2005 sekira pukul 17.30 WIB di kamar 917 Hotel Danau Toba Jl. Imam Bonjol Medan telah memberikan ijazah secara tanpa hak karena belum mendapat izin dari Menteri Pendidikan Nasional, dan juga belum terdaftar di Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah Sumut-NAD. Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
78
Unsur ini terpenuhi berdasarkan fakta di persidangan bahwa Terdakwa dalam hal ini telah menandatangani ijazah S-2 atas nama Sonang Butarbutar tersebut di atas selaku Rektor Universitas Generasi Muda Medan, sedangkan teman Terdakwa Dr. Jasmen Maruli Tua Sinaga juga menandatangani ijazah tersebut selaku Direktur Pasca Sarjana Universitas Generasi Muda Medan, Drs. Togu Jainal Tolopan Sihite dan Drs. Jaendar Simamora bertugas mencari orang yang ingin mempunyai ijazah S-2 tanpa melalui proses perkuliahan dan dengan cukup membayar sejumlah Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah), dan Halomoan Simarmata bertugas sebagai penulis ijazah.
Ad. 3) unsur memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi dan/atau vokasi Dalam hal ini, pertimbangan mejelis hakim berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan bahwa Terdakwa telah menandatangani ijazah tersebut, kemudian teman Terdakwa Dr. Jasmen Maruli Tua Sinaga juga menandatangani ijazah tersebut, kemudian teman Terdakwa Drs. Togu Jainal Tolopan Sihite dan Drs. Jaendar Simamora bertugas mencari orang yang ingin mempunyai ijazah S-2 tanpa melalui proses perkuliahan dengan cukup membayar sejumlah uang senilai Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) sedangkan teman Terdakwa Drs. Halomoan Simarmata bertugas sebagai penulis ijazah, dengan demikian menurut majelis hakim, unsur tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
79
Ad. 4) unsur tanpa hak Dalam pertimbangannya, majelis hakim berpendapat bahwa unsur ini telah terbukti secara sah dan meyakinkan berdasarkan fakta-fakta di persidangan bahwa Universitas Generasi Muda Medan yang dipimpim oleh Terdakwa tidak berhak memberikan ijazah karena belum mendapat izin pendirian universitas dari Menteri Pendidikan Nasional dan juga belum terdaftar di Kopertis Wilayah Sumut-NAD karena tidak memenuhi persyaratan yang berlaku. Sedangkan telah terbukti di persidangan, bahwa Terdakwa bersama temantemannya pada hari Sabtu tanggal 28 Mei 2005 sekira pukul 17.30 WIB di kamar 917 Hotel Danau Toba Jl. Imam Bonjol Medan telah memberikan/mengeluarkan ijazah atas nama Sonang Butarbutar yang bukan mahasiswa Universitas Generasi Muda Medan dan tidak pernah mengikuti perkuliahan di Universitas Generasi Muda Medan. Berdasarkan pertimbangan majelis hakim, oleh karena semua unsur-unsur tindak pidana dalam pasal 67 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP telah terpenuhi atas diri Terdakwa, maka kepada Terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Dakwaan Pertama oleh Penuntut Umum, sehingga oleh karena itu Terdakwa haruslah dihukum yang setimpal sesuai dengan perbuatannya;
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
80
Kemudian majelis hakim menimbang bahwa oleh karena dalam dakwaan pertama telah dinyatakan terbukti bersalah dan dihukum, maka untuk dakwaan selebihnya menurut majelis tidak perlu dibuktikan dan dipertimbangkan lagi. Selanjutnya, dari kenyataan yang diperoleh selama persidangan dalam perkara ini, menurut pertimbangan majelis hakim tidak ditemukan hal-hal yang dapat melepaskan terdakwa dari pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan “pembenar”
maupun
berkesimpulan
bahwa
alasan
“pemaaf”
perbuatan
oleh
yang
karenanya
dilakukan
majelis
hakim
terdakwa
harus
dipertanggungjawabkan kepadanya. Dan oleh karena Terdakwa mampu bertanggung jawab, maka para Terdakwa harus dinyatakan bersalah atas tindak pidana yang didakwakan dan berdasarkan Pasal 193 ayat (1) KUHAP terhadap diri Terdakwa haruslah dijatuhi pidana. Bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap diri Terdakwa, Majelis hakim menimbang perlu dipertimbangkan terlebih dahulu hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan yakni: a) Hal-hal yang
memberatkan:
bahwa perbuatan terdakwa meresahkan
masyarakat. b) Hal-hal yang meringankan: bahwa terdakwa belum pernah dihukum. Selanjutnya majelis hakim menimbang bahwa dengan terbuktinya Terdakwa tersebut dihukum, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 222 KUHAP, maka kepada Terdakwa haruslah dibebankan untuk membayar biaya perkara yang timbul dan besarnya akan ditentukan dalam amar putusan.
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
81
5. Amar Putusan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 1932/Pid.B/2005/PN.Mdn tertanggal 30 Nopember 2005 dengan Majelis Hakim yang terdiri dari I Wayan Padang Pudjawan, SH (Ketua), Ulibasa Hutagalung, SH (anggota), dan Abdul Bari A. Rahim, SH (anggota) dengan mengingat Pasal 67 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional jo. Pasal 55 ayat (1) ke1 KUHP, serta peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan perkara ini; MENGADILI Menyatakan Terdakwa Prof. Drs. Djanter Siahaan, SH telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak yang dilakukan secara bersama-sama; Menghukum Terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), bila denda tidak dibayar diganti dengan 1 (satu) bulan kurungan; Menetapkan pidana penjara tersebut di atas, tidak perlu dijalankan Terdakwa kecuali di kemudian hari ada perintah lain berdasarkan Putusan Hakim Terdakwa telah dipersalahkan melakukan tindak pidana sebelum berakhir masa percobaan selama 10 (sepuluh) bulan; Menetapkan barang bukti berupa: satu helai bendera merah putih dikembalikan kepada Terdakwa, satu helai spanduk ujian meja hijau, empat buah baju toga, dua buah medali, empat buah topi, satu buah palu, satu helai bendera pataka Universitas Generasi Muda Medan, satu helai taplak meja hijau, satu
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
82
lembar ijazah S-2 atas nama Sonang Butarbutar, satu buah bantalan stempel, semuanya dirampas untuk dimusnahkan; Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp. 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah).
6. Analisa Hukum Penulis Berdasarkan kasus posisi diatas, dapat diambil fakta hukum yang menjadi bahan hukum untuk menganalisa kasus tersebut lebih lanjut, yaitu antara lain: 4) Bahwa Universitas Generasi Muda Medan yang didirikan oleh Prof. Drs. Djanter Siahaan,SH sejak tahun 1986 hingga kasus ini sampai di pengadilan tidak memiliki izin pendirian universitas. 5) Sonang Butarbutar tidak pernah terdaftar sebagai mahasiswa Pascasarjana Universitas Generasi Muda Medan. Langkah pertama dalam menganalisa kasus tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak ini adalah dengan menilai apakah unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum terpenuhi pada diri Terdakwa, sehingga Terdakwa dapat dipersalahkan dan dapat dihukum. Dalam Surat Dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum, merumuskan 2 dakwaan alternatif, dimana apabila terpenuhi unsur-unsur pada dakwaan pertama (primer), maka tidak perlu lagi mempertimbangkan dakwaan kedua. Dakwaan pertama pada diri Terdakwa adalah bahwa perbuatan Terdakwa diatur dan diancam pidana sebagaimana dalam Pasal 67 ayat (1) Undang-undang No. 20 tahun 2003 Tentang Sisdiknas jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
83
Langkah pertama majelis hakim dengan melakukan penelusuran terhadap apakah unsur-unsur yang terkandung dalam dakwaan primer itu terpenuhi atau sebaliknya pada dasarnya dapat dipandang sebagai suatu langkah standar. Majelis hakim menyusun urut-urutan unsur-unsur yang terkandung dalam tindak pidana yang dituduhkan, dan dengan urut-urutan tersebut majelis melakukan suatu proses yang disebut dengan subsumptie, yaitu mencocokkan atau memasukkan fakta yang ditemukan ke dalam unsur-unsur yang ada. Apabila faktanya sesuai dengan unsur dalam norma hukum, hakim akan menyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan serta sebaliknya jikalau unsur itu tidak terbukti. 63 Kewajiban hakim dalam memberi putusan yang selalu diawali dengan kalimat keramat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” itu pada dasarnya dimulai dan sangat ditentukan kualitas terutama keberhasilannya pada dan serta oleh langkah subsumptie tersebut. Oleh karena itu sebsumptie tidaklah sekedar merupakan kegiatan mencocokkan atau memasukkan fakta begitu saja. Dalam melakukan subsumptie, hakim haruslah memiliki pemahaman yang memadai terhadap konsep hukum yang dituangkan ke dalam norma hukum yang unsur-unsurnya ditelusuri melalui subsumptie. 64 Pasal 197 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang antara lain menentukan:
63
Putu Winata Dwikora, Peradilan Dagelan, Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, 2003, h. 45 64 Ibid. Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
84
Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. Pasal tersebut mewajibkan hakim untuk memberikan pertimbangan atau argumentasi pertama mengenai urutan unsur-unsur tindak pidana yang ditelusuri dan dibuktikan (subsumptie), dan kedua tentang terbukti atau tidak terbuktinya unsur-unsur yang dituduhkan. Ayat (2) Pasal 197 KUHAP menentukan bahwa tidak adanya pertimbangan atau argumentasi termasuk pelanggaran terhadap Pasal 197 ayat (1) yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. Dalam putusan terhadap Prof. Drs. Djanter Siahaan, SH dalam kasus tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak, majelis hakim melakukan proses subsumptie terhadap unsur-unsur dakwaan primer jaksa penuntut umum. Hal yang menarik untuk dianalisa dalam kasus ini yaitu masalah penyitaan barang bukti untuk diajukan di persidangan. Dalam kasus posisi disebut bahwa Sonang Butarbutar mau membeli ijazah dari universitas yang didirikan oleh Terdakwa dengan
persyaratan
harus
menyerahkan uang
sejumlah
Rp.
20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Dimana dalam kasus ini, telah diakui oleh Sonang Butarbutar telah memberikan Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) sebagai panjar kepada Drs. Togu Jainal Tolopan Sihite selaku pegawai Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
85
Universitas Generasi Muda Medan, dan hal ini pun telah diakui pula oleh Drs. Togu Jainal Tolopan Sihite dalam pemeriksaan saksi di persidangan. Yang menjadi pertanyaan adalah: kenapa uang tersebut (uang panjar sejumlah Rp. 10.000.000,00) tidak disita oleh penyidik untuk dijadikan sebagai barang bukti dalam kasus ini. Hal ini tentu penting artinya, untuk membuktikan bahwa telah terjadi penjualan ijazah oleh Terdakwa. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 1 butir 6 disebutkan bahwa: “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.” Dalam hal benda-benda apa saja yang dapat disita, KUHAP menjelaskan yaitu antara lain: 1) Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebahagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana (Pasal 39 ayat (1) butir a ); 2) Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya (Pasal 39 ayat (1) butir b); 3) Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana (Pasal 39 ayat (1) butir c);
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
86
4) Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan delik Pasal 39 ayat (1) butir d); 5) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan (Pasal 39 ayat (1) butir e); Dengan demikian, seharusnya selain dari barang bukti yang telah diajukan di persidangan, yakni berupa: satu helai bendera merah putih, satu helai spanduk ujian meja hijau, empat buah baju toga, dua buah medali, empat buah topi, satu buah palu, satu helai bendera pataka Universitas Generasi Muda Medan, satu helai taplak meja hijau, satu lembar ijazah S-2 atas nama Sonang Butarbutar, satu buah buku register, satu buah stempel rektor Universitas Generasi Muda Medan, satu buah bantalan stempel, juga turut pula uang panjar sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) yang telah diterima Drs. Togu Jainal Tolopan Sihite untuk biaya pembuatan ijazah tanpa hak. Hal ini berkaitan dengan butir ke-5 Pasal di atas, bahwa uang tersebut mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Hal ini akan kelihatan ganjil jika melihat putusan terhadap Terdakwa sebagaimana yang telah dicantumkan di atas, dimana selain pidana penjara selama enam bulan (yang tidak perlu dijalani karena adanya masa percobaan), juga terhadap Terdakwa dikenakan pidana denda sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah). Jika uang panjar tersebut tidak disita dari Terdakwa, maka denda sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) tidak akan memiliki efek jera sebagaimana seharusnya sesuai dengan tujuan pemidanaan. Hal mana disebabkan karena ditangan Terdakwa ada uang sejumlah Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
87
atau sepuluh kali lipat dari denda yang diberikan, hasil dari tindak pidana yang dilakukan. Jika penyitaan dihubungkan dengan perampasan sebagai pidana tambahan, maka harus diperhatikan Pasal 39 KUHP yang menentukan bahwa yang dapat dirampas ialah: 6) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh karena kejahatan; 7) Barang-barang kepunyaan terpidana yang dengan sengaja telah dipakai untuk melakukan kejahatan. Dengan ditetapkannya uang panjar tersebut sebagai barang bukti, terlepas dari fakta bahwa uang tersebut sebagai usaha Sonang Butarbutar untuk meyakinkan penyamarannya, maka terhadap barang bukti tersebut dapat dirampas menurut ketentuan Pasal di atas. Dengan demikian pidana denda yang diberikan kepada Terdakwa dapat lebih efektif. Hal lain yang perlu pula menjadi perhatian adalah putusan pengadilan terhadap Terdakwa Prof. Drs. Djanter Siahaan, SH. Putusan ini menurut penulis dapat melukai perasaan hukum masyarakat karena ringannya pemidanaan. Selain itu pula dianggap tidak efektif dalam upaya menanggulangi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dengan hukum pidana. Menurut penulis, putusan pidana penjara selama enam bulan (bisa dikatakan pidana penjara singkat) dan denda sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan satu bulan kurungan bila denda tidak dibayar, tidak menimbulkan efek jera kepada terdakwa. Dimana bila dibandingkan sangat jauh dengan pidana yang ditetapkan dalam Pasal 67 ayat (1) yakni pidana penjara paling lama sepuluh Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
88
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Ditambah pula bahwa pidana penjara tersebut tidak perlu dijalankan terdakwa dengan adanya masa percobaan selama sepuluh bulan. Hal ini kembali memberi bobot tersendiri, bahwa perlu ada perbaikan formulasi ketentuan pidana dalam UU Sisdiknas dengan memberi batas pidana minimum yang relevan dan rasional sebagai pedoman bagi pertimbangan hakim. Dalam bukunya M. Yahya Harahap mengemukakan sebagai berikut: “Memang benar, hakim dalam menjatuhkan berat ringannya hukuman pidana yang akan dikenakan kepada terdakwa adalah bebas. Undangundang memberi kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana antara hukuman “minimum” dan “maksimum” yang diancamkan dalam pasal pidana yang bersangkutan, sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 12 KUHP. Namun demikian, titik tolak hakim menjatuhkan putusan pemidanaan, harus didasarkan pada ancaman yang disebutkan dalam pasal pidana yang didakwakan. Terserah pada penilaiannya seberapa beratkah hukum pidana yang pantas dijatuhkan kepada Terdakwa sesuai dengan berat ringannya kesalahan terdakwa dalam perbuatan tindak pidana yang dilakukannya. Sebagaimana yang dapat dilihat dalam berbagai putusan Mahkamah Agung, antara lain putusan tanggal 17 Januari 1983 No. 553K/Pid/1982, yang menegaskan bahwa “mengenai hukuman adalah wewenang judex factie yang tidak tunduk pada kasasi, kecuali apabila judex factie menjatuhkan hukuman yang tidak diatur oleh undang-undang, atau kurang memberikan pertimbangan tentang hal-hal yang memberatkan dan meringankan hukuman.” 65
Kalau melihat dari segi tujuan pemidanaan, seharusnya putusan pengadilan yang mengandung pemidanaan memberi efek jera bagi pelaku tindak pidana dan membuat orang lain enggan untuk melakukan tindak pidana tersebut. Namun kemudian putusan ini malah berpotensi menjadi pertimbangan bagi orang yang ingin melakukan tindak pidana yang sama, dalam hal ini yang seharusnya
65
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, h.333
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
89
mengurungkan niatnya, menjadi malah terpacu untuk melakukan tindak pidana yang sama, karena seandainya pun ketahuan dan diadili oleh majelis hakim dengan tipe yang sama, maka akan dipidana dengan pidana penjara singkat (enam bulan, itupun tidak perlu dijalani karena adanya masa percobaan sepuluh bulan). Juga pidana denda yang tidak lebih besar dari keuntungan yang didapat dari tindak pidana (dimana keuntungan tersebut berupa uang panjar yang tidak disita). Berkaitan dengan pidana denda ini, Utrecht sebagaimana yang dikutip M. Hamdan, mengemukakan bahwa: “ilmu hukum pidana modern telah berpendapat bahwa dalam hal-hal tertentu satu pidana denda yang berat adalah lebih baik dan lebih bermanfaat daripada satu hukuman penjara jangka pendek atau satu hukuman kurungan jangka pendek (Utrecht dengan mengutip pendapat Jonkers). 66 Dari pendapat ini, penulis berasumsi dalam kaitannya dengan kasus ini, walaupun pidana penjara dirasakan kurang efektif untuk memperbaiki dan memberi efek jera pada pelaku, sebaiknya dapat dialihkan dengan memberi pidana denda yang berat namun masih rasional. Dalam putusan ini pula, dapat dilihat dan dirasakan betapa perlunya ada sanksi administratif, berupa penutupan penyelenggaraan/operasional lembaga pendidikan seperti Universitas Generasi Muda Medan. Dimana dalam kasus ini berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan bahwa tindak pidana bukan hanya diakibatkan karena terdakwa memberikan ijazah kepada orang yang tidak berhak (karena tidak mengikuti perkuliahan, dsb). Tetapi juga karena lembaga pendidikan yang memberikan ijazah tersebut tidak mempunyai izin
66
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, h. 139.
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
90
penyelenggaraan pendidikan. Jadi sebagai suatu korporasi, lembaga pendidikan tersebut atau yang sejenis dapat dibebani pertanggungjawaban demikian. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
B. Kesimpulan Dari berbagai permasalahan yang telah dibahas dalam skripsi ini, maka Penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Formulasi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dalam peraturan hukum positif di Indonesia yaitu dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan
Nasional
(Sisdiknas)
mengandung
berbagai
ketidakcermatan perumusan antara lain dengan tidak dimuatnya kualifikasi tindak pidana dalam UU Sisdiknas tersebut sebagai “kejahatan” atau “pelanggaran” yang mana perumusan kualifikasi tersebut diperlukan sehubungan dengan akibat hukum yang ditimbulkannya. Selain itu pula terdapat permasalahan dalam penentuan subjek tindak pidana korporasi, dimana dalam UU tersebut disebut sebagai badan hukum penyelenggara pendidikan namun tidak dimuat tentang pertanggungjawaban pidananya. Selain itu berkaitan pula dengan jenis sanksi pidana yang dapat diterapkan kepada korporasi tersebut, yang juga tidak diatur. 2. Dalam upaya menanggulangi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak ini diperlukan suatu pendekatan integral kebijakan kriminal. Ada keseimbangan antara sarana penal dan non penal. Kebutuhan pendekatan integral antara Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
91
kedua sarana tersebut disadari urgensinya karena adanya fakta bahwa kebijakan melalui sarana penal semata tidak atau sedikit pengaruhnya terhadap tingkat kejahatan. 3. Kasus tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak sebagaimana yang terdapat pada Putusan PN Medan Reg. No. 1932/Pid.B/2005/PN.Mdn. merupakan suatu contoh bagaimana perlunya ada perbaikan formulasi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dalam peraturan hukum pidana positif di Indonesia. Hal mana dirasakan perlu mengingat dalam putusan ini, tidak dapat dijeratnya korporasi sebagai subjek tindak pidana, melainkan hanya pengurus yang dalam hal ini Rektor UGM Medan. Itupun sebagai perseorangan, bukan sebagai wakil dari korporasinya. Selain itu pula dengan meninjau putusan ini, dapat dirasakan semakin pentingnya ada pengaturan mengenai pidana minimal bagi pelaku tindak pidana ini. Hal mana sebagai pedoman bagi hakim untuk menjatuhkan putusan.
C. Saran 1. Perbaikan formulasi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dalam peraturan hukum positif di Indonesia amatlah diperlukan. Perbaikan oleh lembaga legislatif (DPR) ini dapat dilakukan baik dengan mengadakan perubahan terhadap ketentuan pidana Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ataupun dengan mengeluarkan undangundang khusus tentang tindak pidana pemalsuan ijazah atau sejenisnya.
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
92
2. Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama secara aktif mengupayakan koordinasi bersama dengan peran pemerintah membuat kebijakan yang sifatnya pencegahan sebelum terjadinya tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dan masyarakat mengawasi dan turut melaksanakan kebijakan tersebut. Upaya tersebut dapat ditempuh dengan mengadakan seminarseminar, sosialisasi dan penyuluhan hukum, perluasan lapangan kerja, dan pengawasan terhadap lembaga-lembaga pendidikan melalui pengaktifan secara optimal Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) secara berkelanjutan,
baik
mengenai
kualitas
pendidikan
maupun
izin
penyelenggaraan pendidikan. 3. perlu ada perbaikan dalam perekrutan penegak hukum, khususnya dalam dunia peradilan. Perekrutan jaksa dan hakim misalnya. Orang-orang yang direkrut pada posisi tersebut haruslah orang-orang yang berkualitas baik intelegensianya maupun akhlak dan moralnya. Sehingga dengan sendirinya pada pribadi penegak hukum tersebut ada keinginan dan kerinduan untuk menegakkan hukum setegak-tegaknya. Sehingga tujuan hukum yakni ketertiban, keadilan, dan kepastian hukum dapat tercapai.
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
93
DAFTAR PUSTAKA
Buku: Arief, Barda Nawawi. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti. ---------. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. ---------. 2001. Masalah Penegakan Hukum & dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Arrasjid, Chainur. 2000. Dasar-dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika. Chazawi, Adami. 2001. Kejahatan Terhadap Pemalsuan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. -----------. 2005. Pelajaran Hukum Pidana: Bagian 1. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Dwikora, Putu Winata. 2003. Peradilan Dagelan. Jakarta: Indonesia Corruption Watch (ICW). Hamdan, M. 1997. Politik Hukum Pidana. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Harahap, M. Yahya. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Ibrahim, Jhonny. 2005. Teori & Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing.
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009
94
Mulyadi, Mahmud. 2007. Politik Hukum Pidana: Bahan Kuliah. Tanpa Tempat dan Penerbit. Prasetyo, Teguh dan Barkatullah, Abdul Halim. 2005. Politik Hukum Pidana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Asas-asas Hukum Pidana. Bandung: Refika Aditama.
Perundang-undangan: Undang-undang No. 1 Tahun 1946 (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana). Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan.
Internet: Tjipta
Lesmana,
Dugaan
Ijazah
Palsu
Paskah
Suzetta,
, (25-03-2008, 11.20 WIB)
Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008. USU Repository © 2009