PEMBUKTIAN REKAMAN SUARA DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN (Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Nomor :445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel.)
SKRIPSI
Oleh : BEA PRADANA E1A009205
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2014
PEMBUKTIAN REKAMAN SUARA DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN (Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Nomor :445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel.)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh : BEA PRADANA E1A009205
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2014
ii
HALAMAN PENGESAHAN PEMBUKTIAN REKAMAN SUARA DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN (Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Nomor :445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel.)
Oleh : BEA PRADANA NIM. E1A009205
Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Isi dan Format telah diterima dan disetujui pada tanggal 24 Februari 2014 Para Penguji/Pembimbing
Penguji I Pembimbing I
Penguji II Pembimbing II
Penguji III
Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H.
Handri Wirastuti S, S.H.,M.H.
Pranoto, S.H., M.H.
NIP. 19640724 199002 1 001
NIP. 19581019 198702 2 001
NIP. 19540305 198601 1 001
Mengetahui Dekan Fakultas Hukum,
Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum. NIP. 19640923 198901 1 001
iii
SURAT PERNYATAAN
Saya, yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : BEA PRADANA NIM
: E1A009205
Menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul: PEMBUKTIAN REKAMAN SUARA DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN (Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Nomor :445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel.) Yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya sendiri, tidak menjiplak hasil karya orang lain, maupun dibuatkan orang lain. Apabila dikemudian hari ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari Fakultas, termasuk pencabutan gelar Sarjana Hukum (SH.) yang saya sandang.
Purwokerto, 24 Februari 2014
BEA PRADANA NIM. E1A009205
iv
ABSTRAK PEMBUKTIAN REKAMAN SUARA DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN (Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Nomor :445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel.) Oleh: BEA PRADANA E1A009205 Dalam hal proses pembuktian di Persidangan terdapat suatu alat bukti rekaman suara, walaupun kedudukan rekaman suara tidak jelas apabila menggunakan aturan alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP, maka dibutuhkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik unntuk mengatur secara spesifik mengenai kedudukan rekaman suara dapat sebagai alat bukti yang sah atau tidak. Berdasarkan hal tersebut maka timbul masalah yang akan di bahas yaitu bagaimana penerapan dan kedudukan rekaman suara dalam Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel. Tujuan dari penelitian ini apabila kita menerapkan rekaman suara berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, rekaman suara sebagai perluasan alat bukti sah yang diatur dalam KUHAP. Rekaman suara menjadi alat bukti sah yang berdiri sendiri dan merupakan alat bukti sah selain yang sudah diatur dalam perundang-undangan. Tetapi rekaman suara tidak begitu saja dapat diterapkan, karena banyak factor yang mempengaruhinya terutama factor yang mempengaruhi penetapan hakim mengenai rekaman suara dapat menjadi alat bukti atau tidak. Kesimpulan dari hasil penelitian terhadap Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel. menunjukan bahwa dalam utusan tersebut terdapat rekaman suara yang dapat menjadi alat bukti sah namun demikian dengan beberapa factor sebagai pertimbangan hakim tidak menggunakan rekaman suara sebagai alat bukti sah dalam kasus tersebut. Kata kunci: rekaman suara, alat bukti, perluasan alat bukti sah
v
ABSTRACT
There is a voice recording that exist in the verification process at a trial. Core of regulation that regulate about evidence is Pasal 184 KUHAP. But unfortunately, position of voice recording is not clearly explained by this regulation. So we need to see UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik to get a specific regulation about whether a voice recording is legitimate or not. Based on those things, appear a problem that will be researched in this research. The problem is how about the implementation and position of voice recording in decision of court number 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel. The purpose of this research is if we implement voice recording based on UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, voice recording is an extension of legitimate evidence that regulated in KUHAP. Voice recording can be an independent legitimate evidence. Voice recording is also a legitimate evidence beside what regulated in KUHAP. However, voice recording is can not simply be applied because many factors that influence it. Main factor is judge determination. Judge has an authorithy to decide wether a voice recording can be a legitimate evidence or not. The conclusion of this research looks inside Court Decision Number: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel. the result of this research shows us that voice recording can be a legitimate evidence. Somehow, based on many factors, judge can not use the voice recording as a legitimate evidence in this case. Keywords: voice recording, legitimate evidence, extension of legitimate evidence.
vi
PERSEMBAHAN
1. Seluruh keluarga saya, adik saya Greget Dwi Laras Sesanti dan aiman Bangkit Prabasworo dan seluruh keluarga besar saya yang selalu mendoakan saya; 2. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis selama mengikuti kuliah di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; 3. Seluruh staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah banyak membantu dalam proses menuju kelulusan; 4. Teman-teman penulis, yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang memberikan do’a dan semangat kepada penulis.Teman-teman PBMH, kelas C, teman-teman kelompok skripsi acara pidana dan yang lainnya yang memberikan do’a dan semangat kepada penulis; 5. Kekasih saya Alfantaura Dini Acca yang senantiasa memberikan doa dan dukungan bagi saya dan selalu mendampingi saya; 6. Teman-teman KKN POSDAYA; 7. Semua teman-teman angkatan 2009 dan pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu; 8. Teman-teman kosan Pranacitra yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
vii
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul PEMBUKTIAN REKAMAN SUARA DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN (Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel.) Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Dalam proses penulisan ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak secara langsung ataupun tidak langsung. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis akan menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; 2. Dr. Hibnu Nugroho,S.H.,M.H., selaku Pembimbing Skripsi I yang memberikan motivasi, arahan, dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini; 3. Handri Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan arahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini; 4. Pranoto, S.H., M.H., selaku Dosen Penguji Skripsi yang memberi masukan dan bimbingan bagi kesempurnaan skripsi penulis dan kuliahannya yang membuat saya termotivasi untuk menjadi lebih mngerti perkembangan hukum; 5. Kedua orang tua tercinta, Suseto Joko Lelono dan Sri Murdiyanti yang tidak pernah habis memberikan doa, kasih sayang, pengorbanan, dorongan
viii
dan semangat dari kecil hingga dewasa dan sepanjang penulisan skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan pengetahuan, waktu dan terbatasnya literatur. Namun dangan segala kerendahan hati penulis mohon maaf sekaligus sumbang saran maupun kritik konstruktif yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini ada manfaatnya bagi kita semua.
Purwokerto, 24 Februari 2014
Penulis
ix
HALAMAN MOTTO
“ Barangsiapa bersungguh-sungguh, sesungguhnya kesungguhannya itu adalah untuk dirinya sendiri. ” (QS Al-Ankabut [29]: 6)
“ Seorang takkan menjadi sukses tanpa cobaan yang berat, jadi percaya saya pada rencana Allah SWT dan lakukan yang terbaik untuk mencapai sukses. ”
x
DAFTAR ISI
HALAMAN HALAMAN JUDUL .......................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN .........................................................
iii
SURAT PERNYATAAN ...............................................................
iv
ABSTRAK ......................................................................................
v
ABSTRACT .....................................................................................
vi
PERSEMBAHAN ............................................................................
vii
PRAKATA .......................................................................................
viii
HALAMAN MOTTO .....................................................................
x
DAFTAR ISI ....................................................................................
xi
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang .............................................................
1
B. Perumusan Masalah .....................................................
9
C. Tujuan Penelitian .........................................................
10
D. Kegunaan Penelitian ....................................................
10
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembuktian 1.
Pengertian Pembuktian………..... .........................
12
2.
Macam-Macam Alat bukti KUHAP ......................
15
3.
Macam-Macam system pembuktian .....................
23
B. Rekaman Suara
xi
1.
Pengertian rekaman suara……….. ........................
2.
Kedudukan Rekaman Suara................... .............
3.
Kekuatan pembuktian rekaman suara…………. ...
27 29 35
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 1. Metode Pendekatan ......................................................
42
2. Spesifikasi Penelitian ....................................................
42
3. Lokasi Penelitian………...............................................
42
4. Jenis data………………………………………………
43
5. Metode Pengumpulan Data ..........................................
44
6. Metode Penyajian Data ................................................
44
7. Metode Analisa Data ....................................................
45
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ............................................................
49
B. Pembahasan ..................................................................
71
BAB V. PENUTUP A. Simpulan ......................................................................
92
B. Saran .............................................................................
92
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................
93
xii
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu hukum publik adalah hukum pidana yang pengaturannya di Indonesia diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan penegakannya menggunakan hukum acara pidana yang ada dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Tahapan penegakkan hukum acara pidana (formil) dalam KUHAP meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, pelaksanaan dan pengawasan putusan, serta jika diperlukan maka dilakukan upaya hukum. Tugas utama hukum acara pidana yang khas, particular, itu adalah untuk mencari kebenaran hukum dengan menetapkannya dalam satu putusan hakim, dan putusan itu sendiripun secara kumulatif harus sekaligus bermakna sebagai pelaksana perlindungan yang adil dan berkepastian bagi korban dan atau saksi/pelapor terjadinya perbuatan pidana. Oleh sebab itu, kebenaran yang hendak diputuskan
bukanlah
sekedar
benar,
tetapi
benar
yang
bisa
dipertanggungjawabkan sebagai kepastian perlindungan hukum dan hak-hak asasi manusia (HAM).1
1
. Nikolas simanjuntak, 2009, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Ghalia Indonesia, hal 234
2
Perkara pidana itu ada jika diketahui ada tindak pidana atau peristiwa pidana atau kejahatan yang dilakukan2, sehingga pemeriksaan suatu perkara pidana dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiilewaarheid) terhadap perkara tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkapkan suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut. Tujuan dari hukum acara pidana dapat dibaca pada Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang diterbitkan oleh Menteri Kehakiman adalah sebagai berikut: “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran amteriil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dedngan menerapkan hukum pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwaan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang ynag didakwakan itu dapat dipersalahkan pada tahap persidangan perkara tersebut3.” Berdasarkan kalimat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hukum acara pidana bertujuan untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil yaitu kebenaran yang sebenar-benarnya atau setidak-tidaknya mendakati kebenaran yang sesungguhnya.
2
Mohammad Taufik Makarao, 2004, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, hal 11 3 Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal 7-8
3
Menurut Mr. J. M. Van Bemmelen4 dalam bukunya leerboek van her Nederlandse Straf Frocesrecht, menyimpulkan bahwaq tiga fungsi pokok acara pidana adalah: a. Mencari dan menemukan kebenaran; b. Pengambilan putusan oleh hakim; c. Pelaksanaan daripada putusan. Dari ketiga fungsi tersebut yang paling penting adalah mencari kebenaran karena merupakan tumpuan dari kedua fungsi berikutnya, kemudian setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan barang bukti itulah, hakim akan sampai kepada putusan (yang seharusnya adil dan tepat) yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa. Bagaimanapun tujuan hukum acara pidana adalah mencari kebenaran merupakan tujuan antara, dan tujuan akhir sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat.5 Usaha yang dilakukan oleh para penegak hukum untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang. Hal ini sebagaimana ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa: “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena alat bukti yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan ytang didakwakan atas dirinya.” Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut diatas, maka dalam proses 4 5
Ibid, hal 8-9 Ibid.
4
penyelesaian
perkara
pidana
penegakan
hukum
wajib
mengusahakan
pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani dengan selengkap mungkin. Dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan terdapat proses pembuktian. Pembuktian yang dilakukan berdasarkan argumentasi atau dalil yang didasarkan atas alat-alat bukti yang diajukan dalam pemeriksaan perkara, merupakan bagian yang paling penting dalam hukum acara di pengadilan. Di dalamnya terkait erat persoalan hak-hak hukum dan bahkan hak asasi setiap orang atau pihak-pihak yang dipersangkakan telah melakukan pelanggaran hukum. Lebih-lebih dalam hukum pidana dimana seorang dapat didakwa telah melakukan perbuatan pidana tertentu, yang apabila berdasarkan alat bukti yang diajukan disertai dengan keyakinan hakim menyatakan bersalah, padahal sebenarnya ia tidak bersalah, sehingga putusan hakim berdasarkan pembuktian yang dilakukan itu dapat menyebabkan orang yang bersalah bebas tanpa ganjaran, sedangkan orang yang sama sekali tidak bersalah menjadi terpidana dengan cara yang tidak adil. Oleh sebab itu, metode pembuktian yang dikembangkan oleh hakim haruslah benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, sehingga dapat sungguh-sungguh menghasilkan keadilan. Pembuktian merupakan proses untuk menentukan hakikat adanya faktafakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta-fakta masa lalu yang tidak terang menjadi terang yang berhubungan dengan adanya tindak pidana. Pembuktian dalam acara pidana
5
sangat penting karena nantinya akan terungkap kejadian yang sebenarnya berdasarkan berbagai macam alat bukti yang ada dalam persidangan. Alat-alat bukti yang sah adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. Adapun alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud di atas dan yang telah ditentukan menurut ketentuan perundang-undangan adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Alat bukti yang sah ialah: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa. Di dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana seringkali para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya. Dalam hal demikian maka bantuan seorang ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut. Sistem pembuktian yang dianut oleh Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ialah teori system pembuktian menurut
6
Undang-Undang secara negative (negatief wetteljike bewijs theorie), yang dalam hal ini keyakinan hakim tetap ada, tetapi bukan atas keyakinan itu saja yang menjadi pembuktian final melainkan menjadi dasar pertimbangan untuk menilai apakah alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang (limitatif) sudah terpenuhi dan pembuktian merupakan proses untuk menentukan hakikat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran ynag logis terhadap fakta-fakta yang lalu yang tidak terang menjadi terang yang berhubungan dengan tindak pidana, pembuktian dalam acara pidana sangat penting karena nantinya akan terungkap kejadian yang sebenarnya berdasarkan berbagai macam alat bukti yang ada dalam persidangan. Dalam perkembangan era globalisasi sekarang ini, perkembangan teknologi yang semakin pesat menuntut aturan hukum untuk berperan secara fleksibel dengan perkembangan teknologi. Teknologi terkadang dapat membantu Terkait dengan pembuktian dalam persidangan, salah satunya mengenai perluasan alat bukti yang pada aturannya suatu alat bukti yang sah diatur dalam KUHAP, sehingga ini yang membuat pengertian alat bukti yang limitatif dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 dapat menjadi sempit. tetapi disini penulis akan membahas bagaimana suatu hasil perkembangan teknologi yaitu berupa sebuah bukti dalam pembuktian. Walaupun kedudukannya tidak jelas apabila hanya mengacu dengan aturan limitatif alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP maka dibutuhkan suatu undang undang untuk mengatur secara spesifik mengenai kedudukan Rekaman Suara dapat sebagai Alat Bukti yang Sah atau hanya sebagai barang bukti saja.
7
Untuk itu Pemerintah membuat suatu Undang-Undang untuk dapat mendukung perkembangan teknologi yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang ini akan memberikan perluasan arti alat bukti yang sah menurut Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, merupakan suatu bentuk aspirasi dari Pemerintah Indonesia bersama dengan DPR dari adanya suatu kemungkinan dampak buruk yang timbul.6 Agar dapat melakukan investigasi yang benar terhadap alat bukti informasi dan transaksi elektronik, sehingga sebuah kejahatan dapat terungkap, maka diperlukan sisi positif dan kemajuan bidang computer. Hal ini berarti aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi computer dibutuhkan untuk memeriksa menganalisis setiap barang bukti digital yang satu dengan yang lain, sehingga kejahatan tersebut dapat menjadi terang dan keberadaan pelaku dapat dilacak untuk kemudian dapat ditangkap demi mempertanggungjawabkan kejahatannya. Aplikasi tersebut dikenal dengan istilah digital forensic.7 Menurut Mohammad Nuh Al-Azhar8 adanya klasifikasi digital forensic atau spesialisasi digital forensic yang memiliki cakupan luas, sehingga 6
O.C. Kaligis, 2012, “penerapan Undang Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam prakteknya”, Yarsif Watampone, Jakarta, Hal 505-506 7 Muhammad Nuh Al-Azhar, 2012, “digital forensic Panduan Praktis Investigasi Komputer”, Jakarta, Salemba Infotek. Hal 17 8 Ibid. hal 25-26
8
pengelompokannya berdasarkan pada bentuk fisik maupun bentuk logis dari barang bukti yang diperiksa/dianalisis, sebagai berikut: 1. Computer Forensic, yaitu Forensic ini berkaitan dengan barang bukti computer pribadi; 2. Mobile Forensic, yaitu Forensik ini berkaitan dengan barang bukti elektronik berupa handphone atau smartphone. Pemeriksaan ini biasanya berkaitan dengan informasi; digital yang tersimpan di barang bukti tersebut; 3. Audio Forensic, yaitu Forensik ini berkaitan dengan rekaman suara pelaku kejahatan rekaman biasanya diperiksa untuk kepentingan voice recognition, yaitu memeriksa dan menganilisis suara yang ada dalam rekaman barang bukti (dikenal dengan unknown sample), yang kemudian dibandingkan dengan suara pembanding (known samples) dalam rangka untuk mengetahui apakah suara unkown adalah identik atau tidak identik dengan suara known. Jika identik maka suara barang bukti berasal dari subjek pembanding, dan sebaliknya. Jika tidak identik, maka suara barang bukti tidak berasal dari subjek pembanding; 4. Video Forensic; 5. Image Forensic; 6. Cyber Forensic. Menarik untuk dibahas dalam kasus dimana hakim memutuskan bahwa bukti rekaman suara itu dijadikan sebagai barang bukti. Di sisi lain, apabila mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bahwa kedudukan bukti rekaman suara adalah sebagai alat bukti yang sah. Berdasar asas lex specialis derogat legi generalis, ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE bisa sebagai Undang Undang yang bersifat lebih khusus. Alat bukti dengan barang bukti merupakan hal yang berbeda dan alat-alat bukti yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, maka alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim akan kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh
9
terdakwa. Alat-alat bukti yang ditentukan secara limitatif dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Dalam proses pembuktian kasus penganiayaan ini terdapat suatu bukti rekaman suara. Analisis terhadap barang bukti tersebut diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak pidana ini yang bertujuan untuk mengetahui atau menyelidiki apakah benar korban menderita karena penganiyaan tersebut atau tidak. Putusan
di
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Selatan
Nomor
:
445/Pid.B/2013/PN.JKT.sel., terdapat suatu kasus mengenai Tindak Pidana
Penganiayaan, dimana hakim memutus terdakwa dengan penjara selama 5 (lima) bulan karena terbukti melakukan penganiayaan. Berdasarkan uraian tersebut maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang berjudul “PEMBUKTIAN REKAMAN SUARA DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN (Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan
Nomor :
445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel.).”
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis mengambil pokok permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah Rekaman Suara dapat dijadikan alat bukti yang sah dalam Putusan No: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel.?
10
2.
Bagaimana kekuatan pembuktian rekaman suara dalam Tindak Pidana Penganiayaan dalam Putusan Nomor: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel.?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui Rekaman suara dapat sebagai alat bukti yang sah dalam Putusan No: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel. 2. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian rekaman suara dalam tindak
pidana
penganiayaan
terhadap
Putusan
Nomor:
445/Pid.B/2013/PN.JKT.sel.
D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan teoritis Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat menambah wacana dan pengetahuan hukum dalam bidang acara pidana terutama dalam penggunaan bukti rekaman suara untuk mengungkap Penganiayaan dan dapat mengetahui kedudukan rekaman suara.
2. Kegunaan Praktis a. Dapat memberikan data dan informasi mengenai bidang ilmu yang telah diperoleh dalam teori dengan kenyataan yang ada dalam praktek
11
b. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan serta pengetahuan bagi para pihak yang berkompeten dan berminat pada hal yang sama c. Untuk memperluas wawasan, pengetahuan dan kemampuan analistis penulis, khususnya dalam Hukum Acara Pidana d. Untuk memperoleh data yang akan dipergunakan oleh penulis dalam penyusunan skripsi sebagai syarat dalam mencapai gelar sarjana dalam Ilmu Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian Pembuktian merupakan proses penting dalam pemeriksaan sidang di pengadilan. Melalui pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa, apakah ia bersalah atau tidak. Sesungguhnya, tujuan dari pembuktian adalah melindungi orang yang tidak bersalah. Dalam hal pembuktian, hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti apabila seseorang telah melanggar ketentuan perundang-undangan, ia harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sementara yang dimaksud kepentingan terdakwa adalah terdakwa harus tetap diperlakukan adil sehingga tidak ada seorang pun yang tidak bersalah akan mendapat hukuman atau sekalipun ia bersalah ia tidak mendapat hukuman yang terlalu berat (dalam hal ini terkandung asas equality before the law).9 Asas equality before the law adalah adanya perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan. Pembuktian dalam acara pidana sangat penting karena nantinya akan terungkap kejadian yang sebenarnya berdasarkan berbagai macam alat bukti yang ada dalam persidangan.
9
Luhut MP Pangaribuan, 2005, Hukum Acara Pidana: Surat-Surat Resmi di Pengadilan oleh Advocat. Djambatan. Jakarta hal 3-4.
13
Menurut M. Yahya Harahap10, Pembuktian adalah ketentuan yang beisi penggarisan dan pedoman kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan. Sebelum masuk dalam persidangan, sebenarnya dalam hal pembuktian pengumpulan bukti tindak pidana sudah dilakukan dalam proses penyidikan, dalam penyidikan tersebut dilakukan pengumpulan bukti untuk meyakinkan bahwa tindakan tersebut tindak pidana atau bukan. Dalam melaksanakan penegakan hukum, penyidikan merupakan tahap yang sangat penting. Jika terjadi kegagalan pada proses penyidikan akan berakibat fatal pada proses pembuktian dalam persidangan. Seperti diketahui istilah penyidikan dalam bahasa Indonesia memiliki kata dasar “sidik”. Sidik berarti terang. Jadi menyidik berarti membuat terang atau jelas. Di sisi lain kata sidik berarti juga bekas yang kita jumpa dalam sidik jari, bekas jari atau telapak jari, sehingga menyidik juga berarti mencari bekas, dalam hal ini berarti bekas-bekas kejahatan.11 Tahap penyidikan merupakan bagian yang sangat penting dalam proses penegakan hukum pidana, karena kesalahan dalam penyidikan berakibat salahnya semua proses. Hasil penyidikan menjadi dasar pembuatan surat dakawaan, tuntutan hingga akhirnya akan diputuskan oleh hakim bahwa seseorang memang
10
M. Yahya harahap, 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaaan sidang Pengadilan Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, Hal.252. 11 Hibnu Nugroho, 2012, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Media Prima Aksara, Jakarta, hal 2
14
terbukti bersalah dan harus menerima sanksi pidana atau bahkan sebaliknya memperoleh kebebasannya. Seperti diketahui bahwa tugas polisi sebagai penyidik baik sebelum maupun sesudah berlakunnya KUHAP telah ada. Fungsi kepolisian yang langsung berhubungan dengan masalah penyidikan diatur dalam ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 tersebut mempunyai wewenang salah satunya adalah membeslah barang untuk dijadikan bukti.12 Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa pembuatan undang-undang sangat menyadari, kedudukan penyidik dalam melaksanakan tugas penyidikan sangatlah penting. Penyidikan merupakan ujung tombak pengungkapan suatu tindak pidana. Guna mencapai tujuan hukum acara pidana yaitu mencari dan menemukan kebenaran materiil, maka beban pencarian untuk menemukan alatalat bukti yang akan digunakan oleh penuntut umum di persidangan ada di pundak penyidik. Kegagalan penyidik dalam mencari dan menemukan alat bukti di lapangan akan menjadi rentetan kegagalan penemuan kebenaran materiil dalam proses persidangan nantinya.13 Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana: a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang: 1. Memerima laporan atau pengaduan diri seorang tentang adanya tindak pidana; 2. Mencari keterangan dan barang bukti;
12 13
Ibid, hal 38 Ibid, hal 42
15
3. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; 4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa: 1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan; 2. Pemeriksaan dan penyitaan surat; 3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; 4. Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik. 2. Macam-Macam Alat Bukti KUHAP Untuk menentukan suatu kebenaran yang obyektif, juga salah satunya harus menggunakan alat bakti. Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat –alat bukti tersebut, dapat digunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.14 Apabila berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, maka yang dinilai sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai “kekuatan pembuktian” hanya terbatas pada alat bukti yang tercantum dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dengan kata lain, sifat dari alat bukti menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah limitatif atau terbatas pada yang ditentukan saja. Urutan dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bukan merupakan urutan kekuatan pembuktian. Kekuatan pembuktian diatur dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomro 8 tahun 1981 tentang
14
Alfitra, 2011, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi Di Indonesia, Jakarta: Raih Asa Sukses, hlm 23.
16
Hukum Acara Pidana dengan asas unus testis nullus testis. Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim. Kekuatan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentnag Hukum Acara Pidana adalah sebagai berikut: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Proses pemeriksaan pada acara pidana diperlukan ketentuan – ketentuan dalam hukum acara pidana yang akan terlihat dalam acara pemeriksaan biasa yang terkesan sulit dalam pembuktiannya dan membutuhkan penerapan hukum yang benar dan pembuktian yang obyektif dan terhindar dari rekayasa para pelaksana persidangan. Untuk menemukan suatu kebenaran yang obyektif juga salah satunya dengan menggunakan alat bukti. Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai alat bukti yang sah untuk membantu hakim dalam mengambil keputusan, alat bukti itu ialah : a. b. c. d. e.
Keterangan Saksi Keterangan Ahli Surat Petunjuk Keterangan terdakwa.
a. Keterangan saksi Pada umumnya semua orang bisa menjadi saksi. Pengecualiannya terdapat dalam Pasal 168 KUHAP berikut : a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama – sama sebagai terdakwa;
17
b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama – sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak – anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama – sama sebagai terdakwa.
Di dalam Pasal 170 KUHAP dijelaskan juga mengenai mereka – mereka yang karena pekerjaannya, harkat, martabat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban memberi keterangan sebagai saksi.Menurut penjelasan Pasal tersebut, pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk kewajiban untuk menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang – undangan. Selanjutnya dijelaskan bahwa jika tidak ada ketentuan peraturan perundang – undangan yang mengatur tentang jabatan atau pekerjaan yang dimaksud, maka seperti ditentukan oleh ayat ini, hakim yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapatkan kebebasan tersebut.15 Keterangan saksi yang diberikan di depan penyidik sebagaimana terdapat dalam berita acara penyidikan (berkas perkara) merupakan pedoman dalam pemeriksaan sidang. Menurut Pasal 163 KUHAP, dikatakan bahwa jika keterangan saksi di dalam sidang ternyata berbeda dengan yang ada dalam berkas perkara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta meminta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara persidangan.
15
Andi Hamzah, 2008, Ibid, hal 262
18
Harus juga diingat bahwa perbedaan keterangan saksi tersebut harus disertai dengan alasan – alasan yang bisa diterima. Apabila bisa diterima baru bisa dicatat dalam berita acara persidangan. Apabila tidak bisa diterima akal, tentu saja pencabutan keterangan saksi tersebut harus ditolak.
b. Keterangan Ahli Pasal yang mengatur tentang keterangan ahli terdapat dalam : a. Pasal 120 KUHAP, adalah ahli yang mempunyai keahlian khusus. b. Pasal 132 KUHAP, adalah ahli yang mempunyai keahlian tentang surat dan tulisan palsu. c. Pasal 133 KUHAP menunjuk Pasal 179 KUHAP, untuk menentukan korban luka keracunan atau mati adalah ahli kedokteran kehakiman atau dokter ahli lainnya. Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti pada urutan kedua oleh Pasal 183 KUHAP. Ini berbeda dengan HIR dahulu tidak mencantumkan keterangan ahli sebagai alat bukti. Keterangan ahli sebagai alat bukti tersebut sama dengan Ned.Sv. dan hukum acara pidana modern di banyak negeri. Berdasarkan Pasal 186 KUHAP maka keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di bidang pengadilan. Jadi, Pasal tersebut tidak menjawab siapa yang disebut ahli dan apa itu keterangan ahli. Pada penjelasan Pasal tersebut juga tidak menjelaskan hal ini.Keterangan ahli menurut Pasal 343 Ned. Sv. Disana dikatakan bahwa keterangan ahli adalah pendapat seorang ahli yang berhubungan
19
dengan ilmu pengetahuan yang dipelajarinya,tentang sesuatu apa yang dimintai pertimbangannya.16 Keterangan ahli dan keterangan saksi itu berbeda. Jika dilihat dari segi isi keterangan yang diberikan, maka terlihat perbedaannya yaitu ketika seorang saksi memberikan keterangan maka ia hanya memberikan keterangan mengenai apa yag dialami saksi itu sendiri sedangkan keterangan seorang ahli ialah mengenai suatu penilaian mengenai hal – hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan mengenai hal itu sesuai bidang ilmu yang ahli kuasai.
c. Surat Alat bukti surat selanjutnya adalah surat yang pengertiannya dicantumkan dalam Pasal 187 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: “Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikaitkan dengan sumpah, adalah : a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dab tegas tentang keteranganya itu; b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang – undangan atas surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c. Surat keterangan dari seorang ahli yanh memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Kekuatan pembuktian alat bukti surat dapat ditinjau dari beberapa segi yaitu 17: 16
Ibid, hlm 272-273.
20
1) Dari segi formil Apabila dilihat dari segi formal alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187 huruf a, b, c KUHAP adalah alat bukti yang sempurna. Oleh karena itu mempunyai kekuatan pembuktian formal yang sempurna. 2)
Dari segi materiil Apabila dilihat dari segi materiil semua alat bukti surat yang disebut Pasal 187 KUHAP bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat sama dengan alat bukti yang lain mempunyai kekuatan pembuktian bebas.
Menurut M.Yahya Harahap18: “Berdasarkan ketentuan mengenai kekuatan pembuktian dilihat dari segi materiil dengan demikian dapat dikatakan bahwa alat bukti surat mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, hakim bebas menilai kekuatannya dan kebenarannya yang dapat ditinjau dari beberapa alasan yaitu dari segi azas kebenaran sejati, segi keyakinan hakim maupun dari azas batas minimum pembuktian”. Kekuatan dan penilaian alat bukti terdapat dalam Pasal 185 KUHAP sampai dengan Pasal 189 KUHAP.Kekuatan alat bukti atau juga dapat disebut sebagai efektivitas alat bukti terhadap suatu kasus sangat bergantung dari beberapa faktor. Suatu sikap tindak atau perilaku hukum dianggap efektif apabila sikap atau perilaku pihak lain menuju ke satu tujuan yang dikehendaki. Pembuktian walaupun ditinjau dari segi formal alat bukti surat resmi (otentik) yang berbentuk surat yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan undang-undang
17
M Yahya Harahap, 2002, Op.Cit, Hal 289. Ibid, Hal 291.
18
21
adalah alat bukti yang sah dan bernilai sempurna, nilai kesempurnaannya pada alat bukti surat yang bersangkutan tidak mendukung untuk berdiri sendiri. Bagaimanapun sikap kesempurnaan formal yang melekat pada dirinya, alat bukti surat tetap tidak cukup sebagai alat bukti yang berdiri sendiri. Ia harus tetap memerlukan dukungan alat bukti lain. Artinya, sifat kesempurnaan formalnya harus tunduk pada asas batas minimum pembuktian yang ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP. Ada dua hal yang perlu diingat tentang kekuatan alat bukti surat, sesuai pendapatnya Alfitra19yaitu : 1) Bagaimanapun kekuatan pembuktian yang diberikan terhadap buktibukti surat dalam perkara pidana dikuasai oleh aturan bahwa mereka harus menentukan keyakinan hakim. Dengan demikian, dalam perkara pidana, akta yang sama dapat saja dikesampingkan oleh hakim. 2) Pembuktian dalam perkara pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil. d. Petunjuk Pasal 188 ayat (1) KUHAP memberi definisi petunjuk sebagai berikut: “,Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.
Diperjelas lagi di ayat (2) Pasal diatas, yang berbunyi : “Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari : a. Keterangan saksi; b. Surat; c. Keterangan terdakwa.
Dalam ayat (3) dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut : 19
Alfitra, 2011, Op.Cit. Hal.93
22
“Mengenai kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya”. Jadi, berbeda dengan alat bukti yang lain, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan keterangan terdakwa. Pengertian diperoleh, artinya alat bukti petunjuk bukan merupakan alat bukti langsung (indirect bewijs). Oleh karena itu, banyak yang menganggap alat bukti petunjuk bukan merupakan alat bukti. Menurut Van Bemmelen20 mengatakan, “Akan tetapi keasalahan yang terutama adalah, bahwa orang telah menganggap petunjuk – petunjuk itu sebagai suatu alat bukti, sedang dalam kenyataannya adalah tidak demikian.”
e. Keterangan Terdakwa Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Penempatannya pada urutan terakhir inilah salah satu alasan yang dipergunakan untuk menempatkan proses pemeriksaan keterangan terdakwa dilakukan sesudah pemeriksaan keterangan saksi – saksi. Dapat dilihat dengan jelas bahwa “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti tidak perlusama atau
berbentuk pengakuan.Semua keterangan terdakwa
hendaknya di dengar.Apakah itu berupa penyangkalan,pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan. Tidak perlu hakim mempergunakan seluruh keterangan seorang terdakwa atau saksi, demikian menurut HR dengan arrest-nya tanggal 22 Juni 1944. 20
Alfitra, 2011, Ibid, hal 102
23
Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan, karena pengakuan sebgai alat bukti mempunyai syarat – syarat berikut : a. Mengaku melakukan delik yang didakwakan, b. Mengakui ia bersalah. Keterangan Terdakwa sebagai alat bukti dengan demikian lebih luas pengertiannya dari pengakuan terdakwa, bahkan menurut Memorie van Toelichting Ned.Sv.penyangkalan terdakwa boleh juga menjadi alat bukti sah.21 Alat - alat bukti di atas dapat diajukan dari pihak terdakwa maupun dari pihak Kejaksaan. Biasanya jika alat bukti tersebut diajukan dari pihak terdakwa maka terkesan untuk meringankan hukuman terdakwa, sedangkan jika alat bukti tersebut dihadirkan oleh pihak kejaksaan dalam hal ini oleh jaksa maka sifat alat bukti tersebut terkesan untuk memberatkan karena seorang jaksa kedudukannya sebagai wakil dari Negara dan demi kepentingan masyarakat umum maka ia harus bersikap obyektif. Selain dengan alat bukti tersebut hakim telah menemukan keyakinan bahwa perbuatan tersebut merupakan tindak pidana dan terdakwalah yang melakukan tindak pidana, jika dengan alat bukti tersebut hakim tidak menemukan keyakinannya maka alat bukti tersebut tidak bisa dijadikan acuan untuk membuktikan bahwa itu merupakan tindak pidana. 3.
Macam-Macam System Pembuktian
Dalam melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana tidak terlepas dari proses pembuktian. Alfitra22 menulis bahwa : 21
Andi Hamzah, 2008, hal 278
24
Hukum pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian, yakni segala proses, dengan menggunakan alat – alat bukti yang sah, dan dilakukan tindakan – tindakan dengan prosedur khusus guna mengetahui fakta – fakta yuridis dipersidangan, system yang dianut dalam pembuktian, syarat – syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian. Adanya proses pembuktian didalam pengadilan memberikan kesempatan baik kepada terdakwa maupun kepada hakim untuk membuat terang tentang dugaan adanya tindak pidana. Berbagai macam tindak pidana yang terdapat di masyarakat, termasuk didalamnya yakni tindak pidana persetubuhan. Dalam tindak pidana persetubuhan terdakwa maupun hakim akan membuat terang tentang dugaan adanya tindak pidana tersebut sehingga pada nantinya akan didapat putusan yang sesuai dengan kenyataan yang ada. Sebenarnya pembuktian merupakan hal yang terpenting di dalam acara pidana. Pembuktian perlu dilakukan untuk membuktikan bersalah atau tidaknya seseorang terdakwa melewati pemeriksaan yang dilakukan didepan sidang pengadilan. Untuk melaksanakan suatu pembuktian, haruslah terdapat alat – alat bukti yang sah. Alat – alat bukti pada akhirnya akan meyakinkan hakim dalam menemukan kebenaran materiil. 1. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang – Undang Secara Positif ( Positive Wettelijk Bewijstheorie )
22
Alfitra, 2011, Ibid, hal 21
25
Sistem pembuktian positif ( positief wetelijk ) adalah sistem pembuktian yang menyadarkan diri pada alat bukti saja, yakni alat bukti yang telah ditentukan oleh undang – undang.23 Menurut D. Simons seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah24, sebagai berikut: Sistem atau teori pembuktian berdasar undang – undang secara positif ( positief wetelijk ) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan – peraturan pembuktian yang keras. Sistem ini menjelaskan jika alat – alat bukti yang telah ditentukan oleh undang – undang dapat dipergunakan menurut ketentuan undang – undang maka hakim wajib menentukan bahwa hal tersebut telah terbukti walaupun itu bertentangan dengan keyakinan hakim itu sendiri maupun sebaliknya. 2. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu Aliran ini sangat sederhana. Hakim tidak terikat atas alat – alat bukti apa pun. Putusan diserahkan kepada kebijaksanaan hakim, walaupun hakim secara logika mempunyai alasan – alasan, tetapi hakim tersebut tidak diwajibkan menyebut alasan – alasan tersebut.25 Sistem ini memberikan teori bahwa keyakinan hakim melulu yang sekiranya berdasarkan keyakinan hatinya memberikan dampak penetapan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Sistem ini memberikan banyak kekurangan seperti adanya kebebasan yang besar kepada hakim, yang berakibat bahwa terdakwa atau penasihat hukumnya akan sulit melakukan pembelaan. 23
Alfitra, 2011, Ibid,hal.28 Andi Hamzah, 2008,hal 251 25 Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana ( Penyelidikan dan Penyidikan ),Sinar Grafika, 2009, hal.26 24
26
Menurut Wirjono Prodjodikoro26, sistem pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini katanya memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun. 3. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis ( Laconviction Raisonnee ) Teori ini menyatakan bahwa, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan ( conclusive ) yang berlandaskan kepada peraturan – peraturan pembuktian tertentu.27 Sistem ini memberikan penjelasan bahwa hakim dibebaskan dari keterikatan alat – alat bukti, pada dasarnya hakim menjatuhkan putusan berdasarkan atas keyakinan dengan berdasarkan keyakinan yang disertai dengan alasan – alasan yang logis. 4. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang – Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk) Berdasarkan Pasal 183 KUHAP menjelaskan bahwa : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar – benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Kalimat tersebut menyatakan pembuktian bahwa pembuktian harus berdasarkan kepada undang – undang ( KUHAP ). Dalam hal ini hakim hanya 26 27
Andi Hamzah , 2008, Op.cit, hal.252 Ibid, hal 253
27
boleh menjatuhkan pidana kepada seorang dengan minimal melalui dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim. Dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasar undang – undang secara negatif ( negatief wettelijk bewijstheorie ) ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda ( dubbel en grondslag , kata D. Simons ), yaitu pada peraturan undang – undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang – undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan undang – undang.28 Berdasarkan uraian tentang Pasal 183 KUHAP, menjelaskan bahwa KUHAP menganut sistem pembuktian negative wettelijk, bahwa hakim di dalam mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya seorang terdakwa terikat oleh alat bukti yang ditentukan oleh undang – undang dan keyakinan (nurani) hakim sendiri.29
A. Rekaman Suara 1.
Pengertian Rekaman Suara Salah satu barang bukti elektronik yang ditemukan di TKP atau yang
berkaitan dengan kasus (baik pidana maupun perdata) adalah barang bukti alat rekam suara (audio recorder) yang berisi rekaman suara percakapan seseorang dengan orang lain. Rekaman suara pembicaraan yang merupakan barang bukti digital ini, pada kasus tertentu memiliki peranan yang sangat penting untuk mengungkap kasus atau menunjukan keterlibatan seseorang dengan kasus yang
28
Andi Hamzah, 2008, Op.cit,hal.256 Alfitra,2011, Ibid, hal.29
29
28
sedang diinvestigasi. Dari rekaman suara, orang-orang yang melakukan percakapan dapat diketahui identitasnya melalui pemeriksaan audio forensic untuk voice recognition dengan metode komparasi, yaitu membandingkan suara di dalam rekaman barang bukti (unknown samples). Jika hasil voice recognition menunjukan bahwa suara unknown samples identik dengan suara known samples, maka suara percakapan dalam rekaman barang bukti dapat disimpulkan berasal dari pemilik suara pembanding. Dengan prosedur penanganan barang bukti rekaman suara yang benar yang kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan dan analisinya yang prosedural, diharapkan hasil pemeriksaan audio forensic untuk voice recognition dapat menunjukan secara ilmiah kepemilikan suara yang ada dalam rekaman tersebut untuk disajikan sebagai alat bukti kuat dipengadilan. Pada dasarnya teori suara dihasilkan melalui proses generation dan filtering. Pada proses Generation, suara pertama kali diproduksi melalui bergetarnya pita suara (vocal cord atau vocal fold) yang berada di laring (larynx) untuk menghasilkan bunyi periodic. Bunyi periodic yang bersifat konstan tersebut kemudian di filterisasi melalui vocal tract (disaebut juga dengan istilah resonator suara atau articulator) yang mencakup lidah (tongue), gigi (teeth), bibir (lips), langit-langit (palate), dan lain-lain sehingga bunyi tersebut dapat menjadi bunyi keluaran (output) berupa bunyi vocal (vowel) dan/atau bunyi konsonan (consonant) yang membentuk kata-kata yang memiliki arti sehingga nantinya dapat dianalisis untuk voice recognition). 30
30
Mohammad Nuh Al-Azhar, Op Chit, hal 145
29
2.
Kedudukan Rekaman Suara Dalam proses di Persidangan suatu perkara akan melalui tahap pembuktian,
dalam hal pembuktian sebuah bukti yang diajukan itu dapat menentukan bagaimana isi putusan perkara tersebut, kedudukan sebuah bukti yang diajukan sangat menentukan pertimbangan hakim dalam memberikan keputusannya. Apabila pihak korban mengajukan sebuah bukti rekaman suara dari sebuah telepon genggam milik korban yang menurut korban rekaman tersebut adalah rekaman suara saat korban sedang dianiaya oleh pelaku. Menurut Andi Hamzah31 mengatakan: Barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik . Ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti : a. Merupakan objek materiil; b. Berbicara untuk diri sendiri; c. Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian lainnya; d. Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa. Menurut Martiman Prodjohamidjojo32: Barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan. Dalam Pasal 181 KUHAP majelis hakim wajib memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenali barang bukti terebut. Jika dianggap perlu, hakim sidang memperlihatkan barang bukti tersebut. Ansori Hasibuan berpendapat barang bukti ialah barang yang digunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu delik atau sebagai hasil suatu delik, disita oleh penyidik untuk digunakan sebagai barang bukti pengadilan.
31 32
Andi Hamzah, 2008, Ibid, hal. 254 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e8ec99e4d2ae/apa-perbedaan-alat-buktidengan-barang-bukti? Diakses pada Hari kamis tanggal 26 September 2013
30
Kecenderungan terus berkembangnya teknologi tentunya membawa berbagai implikasi yang harus segera diantisipasi dan juga diwaspadai. Upaya itu sekarang telah melahirkan suatu produk hukum dalam bentuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Namun dengan lahirnya Undang-Undang ITE belum semua permasalahan menyangkut masalah ITE dapat ditangani. Persoalan tersebut antara lain dikarenakan: a. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomr 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektroniktidak semata-mata Undang-Undang ini bisa diketahui oleh masyarakat pengguna teknologi informasi dan praktisi hukum; b.
Berbagai bentuk perkembangan teknologi yang menimbulkan penyelenggaraan dan jasa baru harus dapat diidentifikasikan dalam rangka antisipasi terhadap pemecahan berbagai persoalaan teknis yang dianggap baru sehingga dapat dijadikan bahan untuk penyusunan berbagai peraturan pelaksana;
c. Pengayaan akan bidang-bidang hukum yang sifatnya sektoral (rejim hukum baru) akan makin menambah semarak dinamika hukum yang akan menjadi bagian system hukum nasional.33 Perkembangan membuat klasifikasi mengenai barang bukti semakin komplek, jika mengacu kepada Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
33
Ahmad M Ramli, 2008, dinamika konvergensi hukum telematika dalam system hukum nasional,jurnal legislasi Indonesia, vol 5, no 4
31
Informasi dan Transaksi Elektronik maka terdapat sebuah barang bukti elektronik dan barang bukti digital adalah sebagai berikut: Barang Bukti Elektronik Jenis-jenisnya meliputi: a. Computer PC, laptop/notebook, netbook, tablet; b. Handphone, smartphone; c. Flashdisk/thumb drive; d. Floppydisk; e. Harddisk; f. CD/DVD; g. Router, switch; hub; h. Kamera video, CCTV; i. Kaemra digital; j. Music/video player, dan lain-lain Barang Bukti Digital Barang bukti ini bersifat digital yang diekstrak atau di-recover dari barang bukti elektronik. Barang bukti dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dikenal dengan istilah informasi elektronik dan dokumen elektronik. Contoh barang bukti digital: a. Logical file, b. Deleted file, c. Lost file, d. File slack, e. Log file, f. Encrypted file, g. Steganography file, h. Office file, i. Audio file, Yaitu file yang berisikan suara, music, dan lain-lain, yang biasanya berformat wav, mp3, dan lain-lain. File audio yang berisikan rekaman suara percakapanorang ini biasanya menjadi penting dalam investigasi ketika suara di dalam file audio tersebut perlu diperiksa dan dianalisis secara audio forensic untuk memastikan suara tersebut apakah sama dengan suara pelaku kejahatan. j. Video file.34 Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa ada perbedaan antara barang bukti elektronik dengan barang bukti digital. Barang bukti elektronik berbentuk fisik, sementara barang bukti digital memiliki isi yang 34
Mohammad Nuh Al-Azhar, Op Chit, hal 27-29
32
bersifal digital.35 Rekaman suara dalam sebuah handphone yang berdasar penjelasan diatas termasuk kedalam jenis barang bukti elektronik dan data ekstrakannya yang berupa audio file merupakan barang bukti digital. Pembuktian terhadap suatu tindak pidana akan selalu berkaitan dengan alat bukti, dimana berdasarkan Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Fungsi dari alat bukti itu sendiri adalah untuk membuktikan adalah benar terdakwa yang melakukan tindak pidana dan untuk itu terdakwa harus mempertanggung jawabkan perbuataannya apabila berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana maka yang dinilai sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai ‘kekuatan pembuktian’ hanya terbatas kepada alat bukti yang tercantum dalam Pasal 184 ayat (1)Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dengan kata lain, sifat dari alat bukti menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah limitatif atau terbatas pada yang ditentukan saja, sehingga apabila ada barang bukti yang tidak termasuk dalam klasifikasi alat bukti menurut Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana maka barang bukti tersebut tidak sah menurut Undang-Undang tersebut. Seiring berkembangnya teknologi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengenai alat bukti sudah tidak dapat lagi mengikuti pesatnya perkembangan jaman. Oleh karena itu, diundangkannya Undang_Undang Nomer 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
35
Mohammad Nuh Al-Azhar, Op chit., hal 29
33
Dalam Undang-Undnag Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terdapat perluasan dari pengertian alat bukti (limitatif) yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.36 Rekaman suara dapat di golongkan sebagai informasi elektronik atau dokumen elektronik berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 1 ayat (1) dan ayat (4), yang berbunyi: ayat (1): “informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tandam angka, kode akses, symbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.” ayat (4): “dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui computer atau system elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas dalam tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, symbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”
36
http://selalucintaindonesia.wordpress.cm/2013/01/05/undang-undang-informasi-dantransaksi-elektronik/diakses pada 25 november 2013
34
Lebih lanjut Pasal 5 ayat (2) Undnag-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menegaskan bahwa: ”informasi elektrenik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya…. Merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.” Ketentuan ini menegaskan bahwa alat bukti elektronik telah diterima dalam system hukum pembuktian di Indonesia di berbagai peradilan, seperti peradilan agama, perdata, agama, militer, tata usaha Negara, mahkamah konstitusi, termasuk artibtrase.37 Pemahaman “perluasaan” tersebut dihubungkan dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Perluasan yang dimaksud adalah sebagai berikut: i.
Memperluas jumlah alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 maka alat bukti ditambah satu alat bukti yaitu alat bukti Informasi dan Transaksi Elektronik.
ii.
Memperluas cakupan alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, hasil cetakan Informasi elektronik dan dokumen elektronik secara hakiki ialah surat.
37
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/it502a53fad18dd/legalitas-hasil-cetaktweet-sebagai-alat-bukti-penghinaan. diakses pada tanggal 25 november 2013
35
iii.
Perluasan juga dimaksudkan bahwa Informasi Elektronik atrau Dokumen Elektronik sebagai sumber petunjuk sebagaimana dimungkinkan dalam beberapa Undang-Undang.38 Ketentuan ini telah menegaskan bahwa alat bukti elektronik merupakan
alat bukti yang berdiri sendiri atau lebih tepatnya lex specialis derogate legi generalie dari Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, hal ini juga diperkuat dengan Pasal 44 huruf (b) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa Informasi elektronik dan dokumen elektronik merupakan alat bukti lain, selain sebagaimana alat bukti yang dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan yang sudah ada, sedangkan barang bukti digital berupa audio file harus dilakukan proses voice recognition dari seorang ahli agar dapat mengetahui keaslian rekaman suara tersebut.
3.
Kekuatan Pembuktian Rekaman Suara Apabila mengacu pada KUHAP, mengenai Informasi yang disimpan
secara elektronik, termasuk rekaman, tidak dapat diajukan sebagai alat bukti berdasarkan KUHAP. KUHAP juga tidak mengatur bagaimana legalitas print out (hasil cetak) sebagai alat bukti atau tata cara perolehan dan pengajuan informasi elektronik sebagai alat bukti. Informasi atau dokumen elektronik baru diakui sebagai alat bukti setelah diundangkannya Undang Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang Undang No. 20 tahun 2001). Pasal 26 (A) 38
http://warungcyber.web.id/?p=84 diakses pada tanggal 25 november 2013
36
Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 menyebutkan bahwa alat bukti yang di simpan secara elektronik juga dapat dijadikan alat bukti yang sah dalam kasus tindak pidana korupsi. Selain dalam Undang Undang Nomor 20 tahun 2001, informasi elektronik sebagai alat bukti juga disebutkan di dalam Pasal 38 huruf (b) Undang Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Undang Undang No.15 Tahun 2002), serta Pasal 27 huruf (b) Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Undang Undang No. 15 Tahun 2003). Walaupun Undang Undang Nomor 20 Tahun
2001, Undang Undang
Nomor 15 Tahun 2002 dan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003 telah mengakui legalitas informasi elektronik sebagai alat bukti, akan tetapi keberlakuannya masih terbatas pada tindak pidana dalam lingkup korupsi, pencucian uang dan terorisme saja. Di dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001, Undang Undang Nomor 15 tahun 2002 dan Undang Undang Nomor 15 tahun 2003 juga belum ada kejelasan mengenai legalitas print out sebagai alat bukti. Juga belum diatur tata cara yang dapat menjadi acuan dalam hal perolehan dan pengajuan informasi/dokumen eleltronik sebagai alat bukti ke pengadilan. Menurut Brian A. Prasetyo39, Sebagai Direktur Lembaga Kajian Hukum Teknologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, bahwa Dasar hukum penggunaan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti di pengadilan menjadi semakin jelas setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Undang-Undang 39
http://staff.blog.ui.ac.id/brian.amy/2009/03/30/alat-bukti-dan-barang-bukti-segi-pidana/ diakses pada hari Kamis tanggal 26 September 2013
37
No. 11 Tahun 2008 Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 44). UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 dinilai lebih memberikan kepastian hukum dan lingkup keberlakuannya lebih luas, tidak terbatas pada tindak pidana korupsi, pencucian uang dan terorisme saja. Selain mengakui informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti, Undang Undang No. 11 Tahun 2008 juga mengakui print out (hasil cetak) sebagai alat bukti hukum yang sah. Demikian diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang menyebutkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut (Pasal 5 ayat (3) jo. Pasal 6 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008): a.
Dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan;
b.
Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
c.
Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak
yang
bersangkutan
dengan
Penyelenggaraan
Sistem
Elektronik tersebut; dan d.
Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
38
Menurut Pasal 188 KUHAP ayat (1), Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Penilaian atas kekuatan pembuktian suatu petunjuk dalam keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. Tegasnya, syarat-syarat petunjuk sebagai alat bukti harus mempunyai persesuaian satu sama lain atas perbuatan yang terjadi. Selain itu, keadaankeadaan tersebut berhubungan satu sama lain dengan kejahatan yang terjadi dan berdasarkan pengamatan hakim yang diperoleh dari keterangan saksi, surat, atau keterangan terdakwa. Menurut Adami Chazawi40, Persyaratan suatu petunjuk adalah sebagai berikut: a. Adanya perbuatan, kejadian, dan keadaan yang bersesuaian. Perbuatan, kejadian,, dan keadaan merupakan fakta-fakta yang menunjukan tentang telah terjadinya tindak pidana, menunjukkan terdakwa yang melakukan, dan menunjukkan terdakwa bersalah karena melakukan tindakan pidana tersbut; b. Ada dua persesuaian, yaitu bersesuaian antara masing-masing perbuatan, kejadian, dan keadaan satu sama lain ataupun bersesuaian antara perbuatan, kejadian, atau keadaan dengan tindak pidana yang didakwakan; c. Persesuaian yang demikian itu menandakan atau menunjukan adanya dua hal,yaitu menunjukan bahwa benar telah terjadi suatu tindak pidana dan menunjukan siapa pelakunya. Unsur ini merupakan kesimpulan bekerjanya proses pembentukan alat bukti petunjuk, yang sekaligus merupakan tujuan dari alat bukti petunjuk; d. Hanya dapat dibentuk melalui tiga alat bukti, yaitu keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Sesuai dengan asas minimum pembuktian yang
40
Eddy O.S.H., 2012, teori & hukum pembuktian, erlangga, Jakarta, hal 109
39
diabstraksi dari pasal 183 KUHAP, selayaknya petunjuk juga dihasilkan dari minimal dua alat bukti yang sah. Konteks teori pembuktian, petunjuk adalah circumstantial evidence atau bukti tidak langsung yang bersifat sebagai pelengkap atau accessories evidence. Artinya, petunjuk bukanlah alat bukti mandiri, namun merupakan alat bukti sekunder yang diperoleh dari alat bukti primer, dalam hal ini adalah keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Mengapa keterangan ahli, meskipun alat bukti primer atau mandiri, tidak dijadikan sebagai sumber diperolehnya suatu alat bukti petunjuk? Hal ini berkaitan dengan sifat keterangan ahli adalah berdasarkan sebjektivitas seorang ahli, kendatipun keterangan ahli haruslah disampaikan secara objektif.41 Hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang undang. Hakim harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan alat bukti dan barang bukti yang dihadirkan di persidangan pengadilan. Apabila majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, maka harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara limitatif, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Cara mempergunakan dan menilai kekuatan pembuktian suatu alat bukti haruslah berdasarkan cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang. Menurut Andi Hamzah42 ada empat teori sistem pembuktian dalam hukum acara pidana, salah satunya yakni: Pembuktian berdasarkan keyakinan yang rasional (berenderieerde bewijsleer) Ajaran pembuktian 41 42
Eddy O.S.H., Ibid, hal 110 Andi Hamzah,Terminologi Hukum Pidana. Jakarta, Sinar Grafika, 2009.
40
yang menyatakan bahwa hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa berdasarkan keyakinan, tetapi keyakinannya itu didasarkan segala alat bukti yang ada dengan mempergunakan alasan yang rasional. Sistem pembuktian berdasar keyakinan yang rasional harus didasarkan atas keyakinan hakim, di mana keyakinan itu didasarkan kepada suatu kesimpulan yang logis yang tidak didasarkan kepada undang-undang.43
Ketentuan mengenai prinsip minimum pembuktian diatur dalam Pasal 183 KUHAP yang merumuskan sebagi berikut: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Penyebutan kata-kata “sekurang-kurangnya dua alat bukti”, maka berarti bahwa hakim pidana tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang hanya didasarkan atas satu alat bukti saja. Makna dari keyakinan hakim bukan diartikan perasaan hakim pribadi sebagai manusia, bukan lagi conviction intime ataupun conviction-raisonee, akan tetapi keyakinan hakim
adalah
keyakinan
yang
didasarkan atas bukti-bukti yang sah menurut undang-undang. Pasal 183 KUHAP jelas sekali terlihat bahwa hukum acara pidana Indonesia menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negative atau negatief wettelijk bewijsleer. Artinya seseorang baru boleh dipidana apabila
43
Mohammad Taufik Makarao & Suharsil, Hukum Acara Pidana: Dalam Teori dan Praktek, Cetakan pertama, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2004, hlm. 105-106.
41
hakim yakin akan kesalahan terdakwa yang dibuktikan dengan alat bukti yang sah menurut undang-undang.44 Dalam sistem negatif ada dua hal yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, sesuai dengan pendapatnya Alfitra45, yakni: a. Wettelijk : adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh undang undang; b. Negatief : adanya keyakinan dari hakim, yakni berdasarkan bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa. Suatu alat bukti informasi dan transaksi elektronik untuk dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah harus konsisten antara sumber yang menghasilkan dengan print out atau digital fingerprint. Sumber dari alat bukti digital adalah penting untuk menjamin keabsahan dan keaslian suatu alat bukti digital, dikarenakan alat bukti digital sangat rentan untuk dilakukan perubahan oleh siapapun sehingga dapat menyesatkan pembuktian perkara.
44
Hibnu Nugroho, Buku Ajar Pengantar Hukum Acara Pidana, Purwokerto, Fakultas Hukum Unsoed, 2002, hal 44. 45 Alfitra, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata, dan Korupsi di Indonesia, Jakarta, Raih Asa Sukses, 2011, hal 29.
42
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A.
Metode Penelitian 1. Metode Pendekatan Penelitian ini menggunakan metode pendekatan perundangundangan (Statute Approach) dan pendekatan analitis (Analitical Approach).
Pendekatan
perundang-undangan
dilakukan
dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani, sedangkan pendekatan analitis maksud utama ini adalah mengetahui makna yang dikandung dalam peraturan
perundang-undangan
secara
konsepsional,
sekaligus
mengetahui penerapannya dalam praktik.46
2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian ini adalah preskriprif, yaitu suatu penelitian yang menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum, sehingga apa yang senyatanya berhadapan dengan apa yang seharusnya, agar dapat memberikan rumusan-rumusan tertentu47
3. Lokasi Penelitian 46
Johnny, Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Edisi Revisi), Malang, Bayu Media Publishing, 2007, hal 303 dan 310. 47 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2005, hal 22.
43
Lokasi penelitian bertempat di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
4. Jenis Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yakni data yang diperoleh melalui data yang telah diteliti dan dikumpulkan oleh pihak lain yang berkaitan dengan permasalahan penelitian, yang meliputi: a. Bahan Hukum Primer, ialah semua aturan hukum yang dibentuk dan/atau dibuat secara resmi oleh suatu lembaga negara, dan/atau badan-badan pemerintahan yang demi tegaknya akan diupayakan berdasarkan daya paksa yang dilakukan secara resmi pula oleh aparat negara. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Penulis menggunakan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.sel. b. Bahan Hukum Sekunder, ialah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum.
44
c.Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu kamus hukum.48
5. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data menggunakan metode kepustakaan dan metode dokumenter. Metode kepustakaan, yakni suatu cara pengumpulan data dengan melakukan penelusuran terhadap bahan pustaka, seperti literatur dan hasil penelitian, sedangkan metode dokumenter, yaitu suatu cara pengumpulan bahan dengan menelaah terhadap dokumen-dokumen pemerintah maupun non-pemerintah, seperti putusan pengadilan dan internet.49
6. Metode Penyajian Data Data yang berupa bahan-bahan hukum yang telah diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk teks naratif, uraian-uraian yang disusun secara sistematis, logis, dan rasional, dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.
48
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006, hal 32. 49 Tedi Sudrajat, “MPPH”, Materi Kuliah, FH Unsoed, 2008, hal 31.
45
7. Metode Analisis Data Metode analisis data menggunakan logika deduktif melalui metode analisis normatif kualitatif. Metode analisis normatif merupakan cara menginterpretasikan dan mendiskusikan bahan hasil penelitian berdasarkan pada pengertian hukum, norma hukum, teori-teori hukum serta doktrin yang berkaitan dengan pokok permasalahan50
50
Ibid., hal 34.
46
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil Penelitian 1. Identitas Terdakwa Nama Lengkap
: Muhammad Reza Fahlefi alias Eza Gionino
Tempat Lahir
: Jakarta
Umur / Tanggal Lahir
: 26 Tahun / 10 Mei 1987
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Kebangsaan
: Indonesia
Tempat Tinggal
: Jl. Buluh Rt. 007/001 kelu. Balekambang kec.Kramat
Jati
Jakarta
Timur
atau
Cibubur Cauntry No. 22 Cikeas Cibubur Bogor.
2. Duduk Perkara Saksi korban Ardina Rasti Widiani dengan Terdakwa Muhamad Reza Pahlefi alias Eza Gionino dulunya berpacaran yaitu sejak Agustus 2010 sampai tahun 2012, pada tanggal 10 juli 2011 saksi Ardina Rasti Widiani mulanya menjemput terdakwa disebuah travel di daerah Cilandak, selanjutnya menuju rumah Saksi di Jalan Pejaten Barat 2 No. 81A Kemang Timur Jakarta Selatan. Sewaktu berada di rumah saksi Ardina Rasti Widiani terjadi cek cok mulut antara
47
Terdakwa dengan saksi Ardina Rasti Widiani yang disebabkan oleh karena Terdakwa membaca BBM dalam BB saksi yang berisi percakapan antara saksi Ardina Rasti dengan sutradaranya. Sehingga Terdakwa menjadi marah lalu terdakwa mambanting BB Onix milik saksi Ardina Rasti hingga hancur. Selanjutnya terdakwa mengatakan ngentot loh, anjing, perek, loe ngomong apa aja, gue paling ga suka ada sutradara yang dekat sama loe, lalu saksi Ardina Rasti Widiani mengatakan jangan ngomong kasar kau, kita omongin baik baik, namun terdakwa tidak terima lalu menonjok dinding dengan dengan batu bata sambil berkata anjing, perek dan selanjutnya Terdakwa melempar kursi kearah saksi Ardina Rasti Widiani sehingga kursi tersebut mengenai kaca pintu sehingga kaca pintu tersebut pecah. Selanjutnya terdakwa menonjok muka saksi Ardina Rasti sebanyak 3 (tiga) kali dan selanjutnya saksi terjatuh, selanjutnya terdakwa menendang rusuk dan perut sebelah kiri saksi berkali-kali sehingga saksi Ardina Rasti Widiani menjadi tidak sadar diri atau pingsan. Setelah saksi pingsan terdakwa meminta tolong kepada saksi Djoko Effendi dan Adi Pramono yang sedang bertugas sebagai security di rumah depan rumah saksi Ardina Rasti Widiani untuk mengangkat saksi keatas mobil milik terdakwa. Saksi Djoko Effendi masuk kerumah saksi Ardina Rasti Widiani dan melihat Ardina Rasti Widiani sedang tergeletak di lantai dan saksi melihat rumah tersebut dalam keadaan berantakan, d\an saksi melihat ada pecahan kaca. Sebelumnya saksi Djoko Effendi dan Adi Pramono mendengar suara rebut –ribut di dalam rumah saksi Ardina Rasti Widiani dan terdengar suara minta
48
ampun dan saksi juga mendengar bunyi kaca pecah. Saksi Ardina Rasti Widiani dinaikan ke mobil terdakwa, yang mengangkat adalah terdakwa dan saksi Djoko Effendi dan Adi Pramono dalam keadaan pingsan dan selanjutnya terdakwa dan Adi Pramono mengantar saksi korban ke R.S.JMC, ditengah perjalanan menuju RS, terdakwa mengatakan kepada saksi Adi Pramono bahwa saksi Ardina Rasti Widiani pingsan karena jatuh bdari kamar mandi. Sampai di RS.JMC saksi Ardina Rasti Widiani dibawa ke IGD dan yang pertama memeriksa saksi Ardina Rasti Widiani adalah saksi Anisatul Asfarah dimana saksi Anisatul Asfarah melihat ada luka dikaki sebelah kiri korban. Setelah itu saksi Ardina Rasti diperiksa oleh Dr. Rosnalia, dimana terdakwa mengatakan bahwa korban jatuh dikamar mandi sehingga Dr. Rosnalia tidak melakukan pemeriksaan yang mengarah kepada penganiayaan. Setelah mendapatkan perawatan, saksi Ardina Rasti Widiani dibawa pulang oleh terdakwa ke rumah di Jl. Pejaten Barat 2 No. 81A Kemang Timur Jakarta Selatan. Akibat dari pemukulan dan tendangan terdakwa, saksi Ardina Rasti Widiani selama beberapa hari merasa lemas dan tidak bisa melakukan aktifitasnya dan telapak kaki kirinya luka. Dari tanggal 10 juli 2011 tersebut terdakwa selalu tidur di rumah Ardina Rasti Widiani, paginya terdakwa berangkat syuting kemudian malam kembali tidur di rumah saksi Ardina Rasti Widiani dan selalu bertemu Ardina Rasti Widiani di rumahnya. Pada hari Jumat tanggal 3 Januari 2012 bertempat do rumah saksi Ardina Rast di Jl. Puri Bintaro II No. 36 Perumahan Puri Bintaro, Bintaro sektor 9 Tangerang Sealatan, kembali terjadi pertengkaran antara terdakwa dan saksi
49
Ardina Rasti Widiani di dalam kamar dan tidak lama kemudian terdakwa mencengkram saksi Ardina Rasti Widiani dengan mencekik lehernya, dan setelah itu terdakwa menjambak rambut Ardina Rasti Widiani dan menyeret ke sudut tempat tidur lalu terdakwa membenturkan kepala Ardina Rasti Widiani ke sudut tempat tidur, sehingga Ardina Rasti Widiani berteriak kesakitan. Setelah itu duduk di teras dan kemudian kembali masuk kedalam kamar dan terjadi lagi pertengkaran mulut, selanjutnya terdakwa memukul kepala dan menarik rambut Ardina Rasti Widiani, hal ini didukung dengan barang bukti berupa Rekaman Audio/suara yang direkam oleh saksi Ardina Rasti Widiani pada saat kejadian dengan menggunakan I Phone warna putih milik saksi Ardina Rasti Widiani dengan durasi rekaman lebih kurang 44 menit yang diperdengarkan dipersidangan yang menunjukan pertengkaran antara terdakwa dengan saksi Ardina Rasti Widiani, dengan ada suara Ardina Rasti Widiani menangis dan menjerit kesakitan, serta pada menit ke 8 terdengar bunyi benturan beberapa kali, dan dalam rekaman tersebut terdengar bunyi gesekan-gesekan yang keras dan suara di dalam rekaman tersebut diakui oleh terdakwa bahwa suara tersebut adalah suara terdakwa dan Ardina Rasti Widiani. Akibat dari perbuatan terdakwa tersebut kepala saksi Ardina Rasti Widiani benjol, hal ini sesuai dengan Visum et Repertum dari RSPP Pertamina No. M 08551/ B211030 21012-58, tanggal 31 oktober 2012, yang dibuat dan ditanda tangani oleh Dr. Jarot Wahyu Ardhi yaitu dokter pada IGD Rumah Sakit Pertamina atas nama Ardina Rasti Widiani dengan hasil pemeriksaan ditemukan benjolan pada kepala dengan ukuran 1x1 cm, ditemukan jaringan parut pada bahu
50
kanan dengan panjang 3 cm, luka tersebut disebabkan oleh karena benturan dengan benda tumpul. Akibat dari perbuatan terdakwa tersebut saksi Ardina Rasti Widiani terganggu dalam melakukan aktifitasnya sekian hari, dimana sebagai artis pada waktu itu yang sedang melaksanakan syuting, sehingga akibatnya saksi korban tidak bisa optimal dalam melakukan kegiatannya. 3. Dakwaan Terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan yang disusun secara Alternatif, yaitu : KESATU
: Pasal 351 ayat (1) KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP,
atau KEDUA
: Pasal 406 ayat (1) KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP,
atau KETIGA
: Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1)
KUHP.
4. Pembuktian a. Keterangan Saksi Saksi Korban Ardina Rasti Widiani Saksi melapor ke kepolisian bulan Oktober 2012 di Polres Jakarta Selatan terkait kasus kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan Eza gionino terhadap dirinya. Kasus Pertama kejadiannya pada tanggal 10 Juli 2011 di tempat tinggal saksi pribadi di Jl. Pejaten Barat II No. 81A Jakarta Selatan, di rumah tinggal saksi. Di rumah saksi, terdakwa dan saksi mulai cek cok mulut, cek cok tersebut
51
karena terdakwa telah membaca salah satu BBM saksi dalam BlackBerry Onix milik saksi, dan itu yang membuat terdakwa marah. Disinyalir terdakwa cemburu percakapan saksi dengan sutradara yang membahas video clip dengan terdakwa. Terdakwa langsung membanting Blackberry tersebut lalu langsung berkata ngentot lu, anjing, perek, lo ngomong apa aja, gue paling ga suka lo BBMan sama sutradara,
pemain
atau
siapa saja
yang
cowok,
lalu
saksi
berusaha
menjelaskannya. Terdakwa menonjok dinding dengan menggunakan batu bata, sambil terus berkata kasar. Kemudian terdakwa mengacungkan kursi dan dilempar hingga menghantam pintu hingga membuat kaca pecah, itu membuat saksi shock. Saksi menangis karena takut, kemudian terdakwa memegang bahu saksi dan menonjok saksi 3 (tiga) kali di bagian kuping kiri saksi. Saksi terhuyung dan terjatuh pada pecahan kaca,saksi kemudian ditendang terdakwa, lebih terkena rusuk sebelah kiri perut, saksi ditendang hingga pingsan dan ketika saksi bangun sudah berada di JMC. Saksi hanya melihat suster yang sedang mengobati kaki saksi, badan saksi bengkak semua saat bangun, karena saksi mengalami alergi obat paracetamol dan aspirint. Saksi mengalami lebam kaki kanan dan tulang rusuk saksi terasa sakit selama satu minggu. Tidak ada visum di Rumah Sakit tetapi ada rekam medisnya didalam berkas. Sekitar satu minggu kaki saksi pincang dan saksi membatalkan kontrak kerja saksi karena saksi merasa badannya ngilu dan ada luka di telapak kakinya. Kejadian berikutnya di rumah saksi di Daerah Bintaro, dalam posisi saksi dan terdakwa sudah putus dan tidak ada hubungan apa-apa. Di rumah tersebut
52
saksi dan terdakwa makan bersama, terdakwa juga membawa beberapa kaleng bir, akan tetapi ketika saksi di kamar mandi terdakwa marah karena menganggap saksi terlalu lama di kamar mandi. Terdakwa menyeret saksi sambil menjambak dari kamar mandi dari depan wastafel ke tempat tidur, kemudian mendorong saksi ke kasur, sambil terdakwa berkata makian kasar. Kemudian terdakwa mengambil kursi dan dilempar ke pintu kamar mandi, kemudian menyerang saksi lagi dan lebih kearah kepala. Saksi tidak membela diri, hanya memohon ampun dan menutupi muka saksi saja. Pemukulan terjadi lagi ketika saksi akan mencari Blackberry sanksi yang ternyata sudah dalam keadaan hancur. Tapi saksi masih ada handphone satu lagi, yaitu Iphone. Kemudian saksi menyalahkan voice recorder, tujuannya ketika itu adalah apabila terjadi pingsan lagi dan saksi tidak ada yang menemani maka ada bukti. Pemukulan terjadi lagi dan mulai cek cok lagi, terdakwa mulai menyudutkan
saksi
sambil
mencengkram
pipi
saksi
smbil
memukul,
mencengkram, mencekik, kemudian menjedotkan saksi ke tempat tidur. Dan semua yang dilakukan terekam. Saksi melapor ke polisi sekitar oktober 2012 di Polres Jakarta Selatan, saksi melihat ada bekas goresan – goresan luka di kaki, jadi saksi berasumsi jika luka itu disebabkan oleh pecahan kaca. Pintu di kamar mandi saksi rusak, layar Blackberry saksi rusak, kursi saksi yang di kamar juga rusak. Saksi Djoko Effendi Saksi yang bekerja sebagai satpam keamanan di rumah ibu Joke yaitu di depan rumah saksi korban Ardina Rasti Widiani. Saksi hanya mendengar mereka
53
ribut begitu saja, saksi tidak mendengar suara pemukulan, hanya ada suara yang saksi tidak tahu suara apa itu. Saksi yang membantu terdakwa membawa Ardina Rasti Widiani ke mobil terdakwa pada saat Ardina Rasti Widiani sedang pingsan. Saksi Dr. Rosnalia Saksi sebagai dokter UGD yang memeriksa Ardina Rasti Widiani pada saat Ardina Rasti Widiani pingsan dan dibawa ke UGD. Secara fisik Ardina Rasti Widiani tidak ditemukan luka. Saksi Anisatul Asfarahsaksi Yang memeriksa Ardina Rasti Widiani di IGD Rumah Sakit JMC, saksi melihat luka goresan di telapak kaki kiri Ardina Rasti Widiani. Saksi Sharena Gunawan Saksi mendengarkan rekaman yang dibuat oleh Ardina Rasit Widiani pada saat pertengakarannya dengan terdakwa. Saksi Anneke Titi Hapsari Pada saat saksi memeluk Ardina Rasti Widiani, kemudian Ardina Rasti Widiani mengeluh kesakitan dan kemudian Ardina Rasti Widiani menunjukan rekaman Pertengkarannya dengan terdakwa. Saksi Stevani Emanuel Saksi tau kasus penganiayaan dari saudara Ardina Rasti Widiani, saksi adalah teman Ardina Rasti Widiani. Ketika saksi berada di rumah Ardina Rasti Widiani, saksi melihat bekas barang- barang rusak seperti pintu, kursi, handphone. Saksi Ike Risfendi als. Fendi
54
Saksi pernah bekerja di rumah Radina Rasti Widiani di Bintaro sejak Desember 2011 sampai November 2012. Saksi pernah mendengar cek cok mulut antara Ardina Rsti Widiani dengan terdakwa. Saksi tidak pernah melihat terdakwa melakukan kekerasan terhadap Ardina Rasti Widiani. Saksi Nikita Tirta Jaya (saksi di Luar Berkas) Saksi dating dalam persidangan ini atas panggilan Kejaksaan, kemudian saksi menceritakan Ketika saksi datang ke rumah Ardina Rasti Widiani, saksi melihat ada pecahan kaca di pintu. Saksi Herni Atika, SE Saksi pernah diperlihatkan oleh Ardina Rasti Widiani bekas penganiayaan oleh terdakwa kepada dirinya yaitu berupa barang – barang berupa pintu kamar mndi yang rusak. Saksi Eliza Mutia Rohmani Saksi tidak tahu adanya kejadian antara Ardina Rasti Widiani dengan terdakwa, setahu saksi luka lebam yang dialami Ardina Rasti Widiani adalah karena terjatuh di kamar mandi. Saksi Adi Pramono Saksi sebagai security di Pejaten Barat, saksi mendengar ada pertengkaran di rumah Ardina Rasti Widiani dan terdengar suara pecahan kaca. Saksi dan terdakwa yang membawa Ardina Rasti Widiani ke Rumah Sakit saat dia Pingsan. Saksi Faizal (Saksi Ade Chardge) Saksi sebagai unite calling, tugasnya memanggil pihak pihak satu hari sebelum shooting. Apabila ada artis yang sakit bisa meminta ijin kepada saksi
55
agar dapat istirahat, tetapi pada tanggal 8 tersebut Ardina Rasti Widiani tidak ada keluhan kepada saksi. b. Keterangan Ahli Saksi Ahli Dr. Jarot Wahyu Ardhi Saksi adalah dokter yang membuat visum untuk Ardina Rasti Widiani, saksi menemukan benjolan di kepala seukuran 1x1 cm dan sebuah jaringan parut dengan panjang 3 cm. Saksi ahli Abimanyu Wahyu Hidayat Saksi sebagai ahli telematika yang akan menjelaskan mengenai rekaman penganiayaan tersebut. Menurut saksi inti dari rekaman itu adalah hanya pertengkaran kecil antara pasangan yang biasa saja. Kemudian ada kesan seseorang teriak menganggap dirinya mengalami kekerasan. Kekerasan yang ahli dengar dalam rekaman tersebut dalam kontennya, ada suara teriakan, ada suara benda bergeser tapi tidak ada suara kekerasan atau tamparan. Tapi dalam konteksnya ada pertengkaran disana. c. Surat Bukti surat berupa visum et Repertum dari RSPP Pertamina No. M 08551/B 211030 21012-58, tanggal 31 oktober 2012, yang dibuat dan ditanda tangani oleh Dr. Jarot Wahyu Ardhi, dokter pada IGD Rumah Sakit Pertamina atas nama Ardina Rasti Widiani dengan hasil pemeriksaan ditemukan benjolan pada kepala dengan ukuran 1x1 cm, ditemukan jaritan parut pada bahu kanan dengan panjang 3 cm, luka tersebut desebabkan oleh karena benturan benda tumpul.
56
Juga diajukannya Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik dari pusat Laboratorium Forensik Badan Reserse Kriminal No. LAB: 426/FKF/2013 tanggal 18 Februari 2013 disimpulkan: 1. Ditemukan 23 (dua puluh tiga) kata yang memiliki kemiripan teknis Audio Forensik untuk Voice Recognition antara sample barang bukti dengan pembanding subjek Eza Gionino dapat disimpulkan bahwa barang bukti identik dengan suara pembanding; 2. Ditemukan 21 (dua puluh satu) kata yang memiliki kemiripan tehknis. Audio Forensik untuk Voice Recognition antara sample barang bukti dengan pembanding subjek Ardina Rasti Widiani dapat disimpulkan bahwa barang bukti identik dengan suara pembannding. Dan hal tersebut bersesuaian dengan keterangan terdakwa dan saksi Ardina Rasti Widiani yang membenarkan bahwa Rekaman Suara yang terdapat pada Handphone Iphone milik saksi Ardina Rasti Widiani tersebut adalah benar suara Terdakwa dan suara saksi Ardnia Rasti Widiani.
d. Keterangan Terdakwa Terdakwa tidak membaca BBM dari sutradara ke Ardina Rasti Widiani mengenai video clipnya tetapi terdakwa membaca BBM sebelumnya dan itu murni pertanyaan yang penuh perhatian. Terdakwa bertanya kepada Ardina Rasti Widiani tentang maksud BBM tersebut, tetapi malah Ardina Rasti Widiani menuduh terdakwa yang selingkuh yang membuat terdakwa kesal.
57
Terdakwa mengaku tidak melakukan pemukulan dan tendangan, luka kecil dikaki Ardina Rasti Widiani adalah karena menginjak pecahan kaca di ruang keluarga. Saat Ardina Rasti Widiani pingsan di Kamar mandi itu menurut terdakwa karena penyakit asma Ardina Rasti Widiani kambuh.
5. Tuntutan Penuntut Umum Dalam perkara ini, adapun Tuntutan Penuntut Umum yaitu: 1) Menyatakan terdakwa Mohamad Reza Fahlevi alias Eza Gionino bersalah melakukan tindakan pidana “penganiayaan” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP pada dakwaan kesatu. 2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Muhamad Reza Fahlevi alias Eza Gionino dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap ditahan. 3) Menyatakan barang bukti berupa: -
1 (satu) buah kursi yang sudah rusak.
-
1 (satu) buah handphone Blackberry yang sudah rusak.
-
1 (satu) buah pintu kamar mandi yang sudah rusak.
-
1 (satu) buah I Phone yang berisi rekaman suara Ardina Rasti Widiani dan Mhuamad Reza fahlevi alias Eza Gionino pada saat terjadi penganiayaan dan perbuatan tidak menyenangkan. Dikembalikan kepada saksi korban Ardina Rasti Widiani.
58
4) Menyatakan supaya terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,(dua ribu rupiah).
6. Putusan Pengadilan a. Pertimbangan Hakim Menimbang bahwa di Persidangan terdakwa mengajukan Saksi Ade charge Faisal dan Ahli telematika R. Abimanyu Wahyu H., diama saksi Faisal menerangkan bekerja disebuah Production House sebagai unit calling yang bertugas menghubungi pemain 1 hari sebelum shooting. Bahwa saksi Ardina Rasti Widiani dari tanggal 7 sampai 11 Juni 2012 selama 5 (lima) hari melakukan shooting FTV, dimana tanggal 8 Juni 2012 saksi bertemu dengan saksi Ardina Rasti Widiani di ruang make up, namun saksi tidak memperhatikan kondisi fisik Ardina Rasti widiani dan shooting berjalan lancer, dan saksi tidak selalu berdekatan dengan Ardina Rasti Widiani saat berlangsung shooting, selanjutnya Ahli R. Abimanyu Wahyu. H., yang memberikan keterangan di Persidangan sebagai Ahli Telematika bahwa telah melakukan pemeriksaan terhadap rekaman Ardina Rasti Widiani dan terdakwa dari internet dan Ahli menerima berupa CD dari Penasehat Hukum Terdakwa dan dari rekaman itu terpotong 6 file kata-kata dari 8 menit, bahwa dari rekaman itu Ahli hanya mendengar suara 2 orang sedang cek cok mulut dan saksi tidak mendengar adanya bunyi pemukulan dan tamparan. Menimbang, bahwa di Persidangan sewaktu Majelis minta kepada Ahli untuk mendengar rekaman asli sebagai barang bukti yang diajukan di Persidangan berupa IPhone milik Ardina Rasti Widiani ahli menyatakan tidak bisa menilai
59
rekaman tersebut oleh karena untuk mendengarnya saksi harus ada alatnya, sedangkan ahli tidak membawa alat tersebut di Persidangan, maka dalam hal ini menurut Majelis ahli hanya mendengar rekaman CD berupa rekaman ulang dari Penasehat Hukum Terdakwa dan tidak pernah mendengar rekaman asli yang ada di IPhone Ardina Rasti Widiani yang dijadikan barang bukti di Persidangan. Menimbang, bahwa demikian pula mengenai dalil Penasehat Hukum dalam Nota Pembelaannya dari keterangan Ahli Abimanyu Wahyu, Ahli Telematika yang menerangkan dalam rekaman yang Ahli dengar tidak terdapat kekerasan physic baik berupa pemukulan ataupun tamparan dan cakaran serta bantingan benda, haruslah ditolak oleh karena sebagaimana diuraikan diatas bahwa Ahli hanya mendengar dari internet dan rekaman ulang yang diterima dari Penasehat Hukum Terdakwa, dan ketika di persidangan diperlihatkan IPhone berupa rekaman asli, Ahli menyatakan belum pernah mendengar langsung dan ketika Majelis meminta Ahli untuk menganalisa suara yang ada di dalam rekaman tersebut di Persidangan, Ahli menyatakan bahwa tidak bisa untuk menganalisa rekaman kalau mendengarnya tanpa alat, sedangkat ahli saat ini tidak membawa alat
tersebut,
sehingga
bukti
T-7a
sampai
dengan
T-10
harus
pula
dikesampingkan. Menimbang, bahwa di persidanagan diputar secara utuh lebih kurang 44 menit, dimana di dalam rekaman tersebut terdengar suara pertengkaran antara terdakwa dengan Ardina Rasti Widiani dan terdengar adanya benturan dan teriakan-teriakan dari Ardina Rasti Widiani menjerit kesakitan, dimana suara yang ada dalam rekaman tersebut diakui oleh terdakwa dan Ardinba Rasti Widiani.
60
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan maka semua unsur yang di dakwakan dalam Pasal 351 ayat (1) jo Pasal 65 ayat (1) KUHP telah terpenuhi dalam perbuatan Terdakwa, maka Majelis berpendapat bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang di dakwakan dalam dakwaan altiernatif pertama. Menimbang, bahwa oleh karena semasa dalam proses perkara ini Terdakwa berada dalam tahanan, maka sesuai dengan Pasal 22 ayat (4) KUHAP masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Terdakwa akan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa dinyatakan bersalah dan dipidana, maka kepadanya dibebankan pula untuk mebayar biaya perkara; Mengingat ketentuan Pasal 351 ayat (1) KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP dan ketentuan perundang-undangan lain yang bersangkutan dengan perkara ini: b. Amar putusan Menyatakan terdakwa Mohamad Reza Fahlefi alias Eza Gionino dengan identitasnya tersebut diatas, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penganiayaan yang dilakukan secara berulang”, sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (1) jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa dengan pidana penjara 7 (tujuh) bulan; Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan;
61
Menetapkan barang bukti berupa: a. 1 (satu) kursi yang sudah rusak; b. 1 (satu) buah Handphone Blackberry yang sudah rusak; c. 1 (satu) buah pintu kamar mandi yang sudah rusak; d. 1 (satu) buah IPhone yang berisi rekaman Ardina Rasti Widiani dan terdakwa pada saat kejadian; Dikembalikan kepada saksi korban Ardina Rasti Widiani; Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah);
B. Pembahasan 1. Rekaman Suara dapat dijadikan alat bukti yang sah dalam Putusan No: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel.
Pembuktian
dalam
kasus
penganiayaan
dengan
Nomor
perkara:
445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., sangat penting karena nantinya akan terungkap kejadian yang sebenarnya berdasarkan berbagai macam alat bukti yang ada dalam persidangan. Menurut M. Yahya Harahap51, Pembuktian adalah ketentuan yang beisi penggarisan dan pedoman kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan.
51
M. Yahya harahap, 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaaan sidang Pengadilan Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, Hal.252.
62
Dalam proses di Persidangan perkara tersebut akan melalui tahap pembuktian, dalam hal pembuktian sebuah bukti yang diajukan itu dapat menentukan bagaimana isi putusan perkara tersebut, kedudukan sebuah bukti yang diajukan sangat menentukan pertimbangan hakim dalam memberikan keputusannya. Hal tersebut yang membuat para pihak dalam perkara penganiayaan dengan Nomor perkara: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., di persidangan pembuktian berupaya untuk mencari bukti – bukti yang dapat membuktikan kedudukan pihak tersebut, sebagai contoh yang lebih spesifik bahwa bagi terdakwa upaya mencari bukti-bukti yang dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Dalam kasus penganiayaan dengan No. Perkara: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., dimana dalam kasus tersebut korban mendapatkan kekerasan fisik berupa penganiayaan yang dilakukan oleh terdakwa dengan berulang-ulang, untuk membuktikan bahwa korban mendapatkan penganiayaan dari terdakwa maka kemudian korban dalam sidang pembuktian mengajukan bukti. Yang penulis bahas ini dari pihak korban mengajukan sebuah bukti rekaman suara dari sebuah telepon genggam milik korban yang menurut korban rekaman tersebut adalah rekaman suara saat korban sedang dianiaya oleh pelaku. Korban menginginkan bukti rekaman suara tersebut dapat menjadi sebuah alat bukti yang sah yang dapat menguatkan keyakinan hakim bahwa terdakwa bersalah dengan melakukan penganiayaan terhadap korban secara berulang-ulang. Apabila pembuktian rekaman suara dalam perkara penganiayaan Nomor: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., sebagai bukti maka dibutuhkan ilmu bantu audio
63
forensic sebagai cabang dari ilmu bantu digital forensic dalam proses pembuktiannya. Audio Forensik berkaitan dengan rekaman suara pelaku kejahatan. Rekaman suara ini biasanya diperiksa untuk kepentingan voice recognition, yaitu memeriksa dan menganalisis suara yang ada di rekaman suara tersebut ( yang dikenal sebagai unknow samples ), yang kemudian dibandingkan suara pembanding ( know samples ) yaitu suara korban dan suara terdakwa dalam rangka untuk mengetahui apakah suara unknow adalah identik atau tidak identik dengan suara known. Apabila identik maka rekaman suara sesuai dengan suara pembanding dan sebaliknya. Pemeriksaan dan analisis audio forensic untuk mengidentifikasi rekaman suara haruslah dilakukan secara komprehensif, khususnya dalam penanganan barang bukti rekaman suara yang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar digital forensic dengan mengikuti standard operating procedure (SOP). Sebagai contoh SOP 12 tentang Analisis Audio forensic daridigital forensic analyst team (DFAT) puslabfor yang salah satunya mengacu pada spectrographic voice identication: A Forensic Survey yang dikeluarkan oleh Federal Bureau of Investigation (FBI), Amerika Serikat. Tahapan-tahapan audio forensic dalam mengidentifikasi rekaman suara meliputi: 1.
Acquisition (akuisisi file rekaman suara) yaitu melakukan pemeriksaan terlebih dahulu terhadap fakta kasus dengan barang bukti rekaman suara. Tentang spesifikasi teknis audio recorder seperti merek, model, ukuran dan serial number dari handphone sebagai recorder.
64
Dalam perkara penganiayaan Nomor:445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., maka terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan terhadap handphone yang berisikan rekaman suara tersebut. Selain fakta kasus, pemeriksaan juga harus sudah mundapatkan suara pembanding (control atau unknow samples) terhadap suara dalam audio recorder yang takan dianalisis dan dilengkapi dengan administrasi penyidikan yang lengkap. Pengambilan contoh suara pembanding yang disetujui dan ditandatangani oleh subjek yang contoh suaranya akan dianalisis, dalam hal ini perkara penganiayaan Nomor:445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., suara saksi korban dan terdakwa. File yang berisikan rekaman suara barang bukti kemudian dianalisis lebih lanjut agar mendapatkan historis teknis dari file rekaman tersebut, termasuk keaslian file rekaman yang juga dapat diperiksa melalui spectrum analysis; 2.
Audio
enchancement
(peningkatan
kualitas
rekaman
dengan
melakukan noise filtering) yaitu rekman suara barang bukti diperdengarkan (playback) untuk melihat kualitas rekaman. Jika kualitasnya tidak bagus dikarenakan banyak noise, maka terhadap rekaman suara tersebut harus dilakukan proses enhacement untuk meningkatkan kualitas rekaman sehingga percakapan terdengar jelas. Proses enhacement ini dapat dilakukan di computer analisis berbasis Ms, Windows dan linux dengan didukung aplikasi-aplikasi audio yang dapat diandalkan untuk pemrosesan yang efisien dan efektif. Sebagian
65
aplikasi ini bahkan dapat menghilangkan noise yang kuat sehingga memunculkan kembali suara percakapan yang ada; 3.
Decoding (pembuatan transkrip dari suara percakapan yang jelas) yaitu setelah percakapan yang berasal dari rekaman barang bukti terdengar jelas dilanjutkan dengan pembuatan transkrip rekaman. Pembuatan transkrip rekaman harus dilakukan oleh minimal dua orang pemeriksa. Ini dimaksudkan untuk mendapatkan nilai akurasi yang lebih presisi terhadap hasil transkrip. Transkrip rekaman harus mencantumkan label subjek
(misalnya:
subjek
1,
subjek
2)
dan
waktu
(alam
jam:menit:detik) yang sesuai dalam berjalannya rekaman. Interval penandaan waktu dpat disusun setiap 30 detik atau 1 menit. Jika suara percakapan dalam rekaman tidak jelas, maka ditulis “tidak jelas”. Artinya hasil transkrip hanya memperlihatkan suara percakapan yang jelas dan dapat dipahami pengucapan kata-katanya; 4.
Voice recognition dan kesimpulannya yaitu proses ini memastikan apakah suara dalam rekaman barang bukti identik dengan contoh suara pembanding. Dengan demikian proses ini mengambil kata-kata yang pengucapannya sama antara suara barang bukti dengan suara pembanding. Terhadap kata-kata tersebut dilakukan analisis audio forensic berbasis analisis terhadap pitch, formant, forman bandwidth, dan spektogram. Disyaratkan minimal 20 kata yang memiliki kesamaan antar suara barang bukti dan suara pembanding dari hasil analisis terhadap pitch, formant, forman bandwidth, dan spektogram,
66
guna menentukan apakah suara barang bukti identik dengan suara pembanding. Ini merujuk pada “spectrographic voice identification: A Forensic Survey” yang disausun oleh Koenig, B.E. dari Federal Bureau of Investigation. Jika jumlah yang diucapkan dalam rekaman barang bukti tidak mencapai minimal 20 kata, maka status rekaman suara barang bukti adalah tidak memenuhi syarat baudio forensic. Selanjutnya tidak dapat dilakukan analisis voice recognition. Analisis pitch berdasarkan pada perhitungan statistic nilai pitch minimum, maksimum, dan rata-rata serta standar deviasi yang dilengkapi grafik antara suara barang bukti dan suara pembanding. Meskipun begitu, ananlisis pitch yang lebih lengkap dapat menggunakan metode perhitungan statistic one-way anova sehingga perbandingan dua kelompok data pitch antara suara barang bukti (unknown) dengan suara pembanding (known) lebih akurat. Analisis forman dan formant bandwidth berdasarkan perhitungan statistic One-Way Anova yang dilengkapi
bentuk
graphical
distribution
untuk
melihat
pola
penyebaran nilai antara suara barang bukti dengan suara pembanding. Analisis forman dan bandwidth ini meliputi formant 1, formant 2 dan formant 3. Analisis spektogram berdasarkan pada pola umum dan pola khusus yang bersifat khas antara suara barang bukti dengan suara pembanding. Pola-pola yang khas ini meliputi formant 1, formant 2, dan formant 3 yang disertai tingkat energy (bandwidth) pada masingmasing formant. Dikarenakan spektogram dapat memvisualisasikan
67
secara lengkap masing-masing forman dan bandwidth dari kata yang diucapkan secara konsisten, maka analisis spektogram sangat penting dalam penentuan terakhir analisis voice recognition.52 Pada dasarnya teori suara dihasilkan melalui proses generation dan filtering. Pada proses Generation, suara pertama kali diproduksi melalui bergetarnya pita suara (vocal cord atau vocal fold) yang berada di laring (larynx) untuk menghasilkan bunyi periodic. Bunyi periodic yang bersifat konstan tersebut kemudian di filterisasi melalui vocal tract (disebut juga dengan istilah resonator suara atau articulator) yang mencakup lidah (tongue), gigi (teeth), bibir (lips), langit-langit (palate), dan lain-lain sehingga bunyi tersebut dapat menjadi bunyi keluaran (output) berupa bunyi vocal (vowel) dan/atau bunyi konsonan (consonant) yang membentuk kata-kata yang memiliki arti sehingga nantinya dapat dianalisis untuk voice recognition). 53 Rekaman suara sebagai hasil dari perkembangan teknologi kedudukannya menjadi bukti suatu tindak pidana yang apabila dikaitkan dengan macam-macam alat bukti yang sah berdasarkan Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana maka rekaman suara tidak masuk dalam klasifikasi alat bukti yang sah sesuai dengan aturan yang bersifat limitative dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Apabila rekaman suara bukan sebagai alat bukti sah maka kedudukannya dapat juga hanya sebagai barang bukti, rekaman suara dapat juga menjadi barang bukti tindak pidana. 52
Muhammad Nuh Al-Azhar, 2012, “digital forensic Panduan Praktis Investigasi Komputer”, Jakarta, Salemba Infotek. Hal 25 53 Mohammad Nuh Al-Azhar, Op Chit, hal 145
68
Menurut Andi Hamzah54 mengatakan: Barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik . Ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti : a. Merupakan objek materiil b. Berbicara untuk diri sendiri c. Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian lainnya d. Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa Menurut Martiman Prodjohamidjojo55: barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan. Dalam Pasal 181 KUHAP majelis hakim wajib memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenali barang bukti terebut. Jika dianggap perlu, hakim sidang memperlihatkan barang bukti tersebut. Ansori Hasibuan berpendapat barang bukti ialah barang yang digunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu delik atau sebagai hasil suatu delik, disita oleh penyidik untuk digunakan sebagai barang bukti pengadilan. Berdasarkan pendapat tersebut rekaman suara dapat menjadi sebuah barang bukti apabila mendapatkan pengakuan dari terdakwa dan juga saksi korban. Rekaman suara sebagai hasil perkembangan teknologi manusia dapat dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik karena perkembangan membuat klasifikasi mengenai barang bukti semakin komplek, jika mengacu kepada Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik maka terdapat sebuah barang bukti elektronik dan barang bukti digital adalah sebagai berikut: Barang Bukti Elektronik Jenis-jenisnya meliputi: a. Computer PC, laptop/notebook, netbook, tablet; b. Handphone, smartphone; 54
Andi Hamzah,Hukum Acara Pidana Indonesia, hal. 254 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e8ec99e4d2ae/apa-perbedaan-alat-bukti dengan-barang-bukti? Diakses pada Hari kamis tanggal 26 September 2013 55
69
c. d. e. f. g. k. h. i.
Flashdisk/thumb drive; Floppydisk; Harddisk; CD/DVD; Router, switch; hub; Kamera video, CCTV; Kaemra digital; Music/video player, dan lain-lain
Barang Bukti Digital Barang bukti ini bersifat digital yang diekstrak atau di-recover dari barang bukti elektronik. Barang bukti dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dikenal dengan istilah informasi elektronik dan dokumen elektronik. Contoh barang bukti digital: a. Logical file, b. Deleted file, c. Lost file, d. File slack, e. Log file, f. Encrypted file, g. Steganography file, h. Office file, i. Audio file,Yaitu file yang berisikan suara, music, dan lain-lain, yang biasanya berformat wav, mp3, dan lain-lain. File audio yang berisikan rekaman suara percakapanorang ini biasanya menjadi penting dalam investigasi ketika suara di dalam file audio tersebut perlu diperiksa dan dianalisis secara audio forensic untuk memastikan suara tersebut apakah sama dengan suara pelaku kejahatan. j. Video file.56 Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa ada perbedaan antara barang bukti elektronik dengan barang bukti digital. Barang bukti elektronik berbentuk fisik, sementara barang bukti digital memiliki isi yang bersifal digital.57 Dalam perkara Nomor: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel terdapat barang bukti Rekaman suara dalam sebuah handphone milik korban yang berdasar
56 57
Ibid, 27-29 Ibid, hal 29
70
penjelasan diatas termasuk kedalam jenis barang bukti elektronik dan data ekstrakannya yang berupa audio file merupakan barang bukti digital. Pembuktian terhadap suatu tindak pidana akan selalu berkaitan dengan alat bukti, dimana berdasarkan Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana maka Alat bukti yang sah ialah: a. b. c. d. e.
Keterangan Saksi; Keterangan Ahli; Surat; Petunjuk; Keterangan Terdakwa.
Fungsi dari alat bukti itu sendiri adalah untuk membuktikan adalah benar terdakwa yang melakukan tindak pidana dan untuk itu terdakwa harus mempertanggung jawabkan perbuataannya apabila berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana maka yang dinilai sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai ‘kekuatan pembuktian’ hanya terbatas kepada alat bukti yang tercantum dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dengan kata lain, sifat dari alat bukti menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah limitatif atau terbatas pada yang ditentukan saja, sehingga apabila ada barang bukti sebuah rekaman suara yang tidak termasuk dalam klaisifikasi alat bukti menurut Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana maka barang bukti rekaman suara tersebut tidak sah untuk menjadi alat bukti sah menurut Undang-Undang tersebut. Seiring berkembangnya teknologi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengenai alat bukti sudah tidak dapat lagi mengikuti pesatnya
71
perkembangan jaman. Oleh karena itu, diundangkannya Undang_Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terdapat perluasan dari pengertian alat bukti (limitatif) yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.58 Rekaman suara dapat di golongkan sebagai informasi elektronik atau dokumen elektronik berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 1 ayat (1) dan ayat (4), yang berbunyi: ayat (1): “Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tandam angka, kode akses, symbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.” ayat (4): “Dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui computer atau system elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas dalam tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, symbol 58
http://selalucintaindonesia.wordpress.cm/2013/01/05/undang-undang-informasidan-transaksi-elektronik/diakses pada 25 november 2013
72
atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”
Dari pengertian Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elketronik diatas, syarat utama agar rekaman suara digolongkan menjadi informasi elektronik adalah harus merupakan satu atau sekumpulan data elektronik yang telah diolah dan memiliki arti. Data elektronik adalah data digital yang bersumber dari perangkat elektronik. Rekaman suara yang dibahas ini merupakan sekumpulan data dari sebuah handphone sebagai alat elektronik yang sudah diolah melalui proses voice recognition yang menghasilkan ekstraksi berupa audio file dimana rekaman tersebut mempunyai arti yang dapat dipahami isinya. Dari pengertian Pasal 1 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elketronik diatas, rekaman suara digolongkan menjadi dokumen elektronik karena: 1. Rekaman suara merupakan informasi elektronik; 2. Rekaman suara yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog digital, elektromagnetik di sebuah handphone; 3. Rekaman suara dapat didengar melalui computer, handphone atau system elektromagnetik; 4. Rekaman suara memiliki makna/arti.
73
Berdasarkan penjelasan diatas, rekaman suara dapat digolongkan menjadi informasi elektronik dan dokumen elektronik, maka rekaman suara dapat menjadi alat bukti yang sah di depan hukum/pengadilan.59 Yang menjadi permasalahan terkait rekaman suara tersebut adalah kedudukan rekaman suara tersebut dalam perkara penganiayaan Nomor 445/Pid.B/2013/PN.JKTSel., dapat menjadi alat bukti yang sah atau hanya berkedudukan sebagai barang bukti saja. Dalam prakteknya penerapan rekaman suara tidak dapat begitu saja menjadi alat bukti sah jika dikaitkan dengan kentuan Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dimana rekaman suara tidak tercantum sebagai alat bukti yang sah dalam pasal tersebut. Rekaman suara dapat digolongkan menjadi informasi elektronik dan dokumen elektronik ini juga dapat menjadi alat bukti yang sah di depan hukum/pengadilan, hal ini tertuang pada Pasal 5 Ayat (1)
Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi: “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah”. Pasal ini sangatlah fenomenal dalam arti aparat penegak hukum tidak lagi secara kaku menyandarkan alat bukti yang sah yang berjumlah lima jenis sesuai Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk temuan-temuan yang berupa data digital/elektronik.
59
Muhammad Nuh Al-Azhar, 2012,ibid, Hal 46
74
Pasal 5 tersebut sudah mengakomodasi rekaman suara tersebut sebagai alat bukti hukum yng sah, terlepas dari Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang membuat penggolongan alat bukti yang sah, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Lebih lanjut Pasal 5 ayat (2) Undnag-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menegaskan bahwa: ”Informasi elektrenik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya…. Merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.” Ketentuan pasal tersebut menejelaskan bahwa rekaman suara merupakan perluasan alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia yang hal ini juga diperkuat pada Pasal 44 huruf b bahwa Informasi elektronik dan dokumen elektronik merupakan alat bukti lain, selain alat bukti yang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan yang sudah ada. Lebih lanjut Pasal 44 Undnag-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menegaskan bahwa: “alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di siding pengadilan menurut ketentuan undang-undang ini adalah sebagai berikut: a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam perundang-undangan; dan b. Alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebgaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan 4 serta Pasal 5 ayat (1) , ayat (2) dan ayat (3).”
Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut menegaskan bahwa alat bukti
75
rekaman suara menjadi alat bukti yang sah dan telah diterima dalam system hukum pembuktian di Indonesia di berbagai peradilan, seperti peradilan agama, perdata, agama, militer, tata usaha Negara, mahkamah konstitusi, termasuk artibtrase.60 Pemahaman “perluasaan” tersebut dihubungkan dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Perluasan yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1.
Memperluas jumlah alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 maka alat bukti ditambah satu alat bukti yaitu alat bukti Informasi dan Transaksi Elektronik.
2.
Memperluas cakupan alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, hasil cetakan Informasi elektronik dan dokumen elektronik secara hakiki ialah surat.
3.
Perluasan juga dimaksudkan bahwa Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik sebagai sumber petunjuk sebagaimana dimungkinkan dalam beberapa Undang-Undang.61
Berdasarkan penjelasan diatas, rekaman suara cenderung sebagai perluasan jumlah alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 60
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/it502a53fad18dd/legalitas-hasil-cetaktweet-sebagai-alat-bukti-penghinaan. diakses pada tanggal 25 november 2013 61 http://warungcyber.web.id/?p=84 diakses pada tanggal 25 november 2013
76
11 Tahun 2008 ketentuan ini telah menegaskan bahwa alat bukti elektronik pada perkara Nomor: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel yaitu sebuah handphone yang berisi rekaman suara merupakan alat bukti yang berdiri sendiri atau lebih tepatnya lex specialis derogate legi generalie dari Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, hal ini juga diperkuat dengan Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa Informasi elektronik dan dokumen elektronik merupakan alat bukti lain, selain sebagaimana alat bukti yang dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan yang sudah ada, sedangkan barang bukti digital berupa audio file dilakukan proses voice recognition dari seorang ahli agar dapat mengetahui keaslian rekaman suara tersebut. voice recognition merupakan proses memastikan apakah suara di dalam barang bukti identik dengan contoh suara pembanding. Dengan demikian proses ini mengambil kata-kata yang pengucapannya sama antara suara barang bukti dengan suara pembanding. Terhadap bukti rekaman suara dalam perkara penganiayaan Nomor 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., sudah dilakukan proses voice recognition dan mendapatkan minimal 20 kata yang berbeda makna dan dapat diterima (accepted) dikarenakan memiliki kesamaan (very similar) pola dan analisis untuk menyimpulkan bahwa suara barang bukti adalah identik dengan suara pembanding. Jika tidak ditemukan sejumlah kata tersebut, maka kesimpulannya adalah tidak identik. Salah satu barang bukti elektronik yang ditemukan atau yang berkaitan dengan kasus penganiayaan ini adalah barang bukti alat rekam suara (audio
77
recorder) yang berisi rekaman suara percakapan seseorang dengan orang lain. Rekaman suara pembicaraan yang merupakan barang bukti digital ini, pada kasus tertentu memiliki peranan yang sangat penting untuk mengungkap kasus atau menunjukan keterlibatan seseorang dengan kasus yang sedang diinvestigasi. Dari rekaman suara, orang-orang yang melakukan percakapan dapat diketahui identitasnya melalui pemeriksaan audio forensic untuk voice recognition dengan metode komparasi, yaitu membandingkan suara di dalam rekaman barang bukti (unknown samples). Jika hasil voice recognition menunjukan bahwa suara unknown samples identik dengan suara known samples, maka suara percakapan dalam rekaman barang bukti dapat disimpulkan berasal dari pemilik suara pembanding. Dengan prosedur penanganan barang bukti rekaman suara yang benar yang kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan dan analisinya yang prosedural, diharapkan hasil pemeriksaan audio forensic untuk voice recognition dapat menunjukan secara ilmiah kepemilikan suara yang ada dalam rekaman tersebut untuk disajikan sebagai alat bukti kuat dipengadilan. Dalam perkara No. 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., bukti rekaman suara dalam
Berita
Acara
Pemeriksaan
Laboratoris
Kriminalistik
dari
pusat
Laboratorium Forensik Badan Reserse Kriminal No. LAB: 426/FKF/2013 tanggal 18 Februari 2013 disimpulkan: 1. Ditemukan 23 (dua puluh tiga) kata yang memiliki kemiripan teknis Audio Forensik untuk Voice Recognition antara sample barang bukti
78
dengan pembanding subjek Eza Gionino dapat disimpulkan bahwa barang bukti identik dengan suara pembanding; 2. Ditemukan 21 (dua puluh satu) kata yang memiliki kemiripan tehknis. Audio Forensik untuk Voice Recognition antara sample barang bukti dengan pembanding subjek Ardina Rasti Widiani dapat disimpulkan bahwa barang bukti identik dengan suara pembannding. Dan hal tersebut bersesuaian dengan keterangan terdakwa dan saksi Ardina Rasti Widiani yang membenarkan bahwa Rekaman Suara yang terdapat pada Handphone Iphone milik saksi Ardina Rasti Widiani tersebut adalah benar suara Terdakwa dan suara saksi Ardnia Rasti Widiani. Dalam proses pembuktian Rekaman suara tersebut antara Terdakwa dengan Ardina Rasti Widiani juga sudah mengakui kebenaran suaranya masingmasing, begitu juga terdakwa membenarkan dari suara Ardina Rasti Widiani dalam setiap percakapan kejadian dalam rekaman tersebut. Dalam perkara Nomor: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel terdapat barang bukti elektronik berupa rekaman suara dalam sebuah handphone milik korban yang hasil ekstraknya merupakan barang bukti digital audio file yang memuat rekaman suara pertengkaran antara korban dengan terdakwa, sedangkan suatu alat bukti informasi dan transaksi elektronik yaitu rekaman suara dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah karena sudah konsisten antara sumber yang menghasilkan dengan suara pembandingnya. Sumber dari alat bukti digital adalah penting untuk menjamin keabsahan dan keaslian suatu alat bukti digital, dikarenakan alat bukti
79
digital sangat rentan untuk dilakukan perubahan oleh siapapun sehingga dapat menyesatkan
pembuktian
perkara.
Dalam
perkara
Nomor:
445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., barang bukti digital audio file telah dilakukan proses voice recognition untuk menentukan keasliannya dan mempunyai kecocokan, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
2. Kekuatan pembuktian rekaman suara bersifat bebas dalam tindak pidana penganiayaan Putusan Nomor: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel.
Fungsi dari alat bukti itu sendiri adalah untuk membuktikan adalah benar terdakwa yang melakukan tindak pidana dan untuk itu terdakwa harus mempertanggung jawabkan perbuataannya apabila berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana maka yang dinilai sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai ‘kekuatan pembuktian’ hanya terbatas kepada alat bukti yang tercantum dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dengan kata lain, sifat dari alat bukti menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah limitatif atau terbatas pada yang ditentukan saja, sehingga apabila ada barang bukti yang tidak termasuk dalam klasifikasi alat bukti menurut Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana maka barang bukti tersebut tidak sah menurut Undang-Undang tersebut. Hal tersebut menjelaskan bahwa apabila hanya mengacu kepada pembuktian yang berdasarkan kepada pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
80
1981 tentang Hukum Acara pidana maka bukti rekaman suara dalam perkara penganiayaan dengan Nomor 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan tidak dapat menjadi alat bukti yang sah dan ini menjadi ketentuan yang inkonstitusional apabila dikaitkan dengan seiring berkembangnya teknologi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengenai alat bukti sudah tidak dapat lagi mengikuti pesatnya perkembangan jaman. Oleh karena itu, diundangkannya Undang_Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terdapat perluasan dari pengertian alat bukti (limitatif) yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Mengacu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik maka bukti rekaman suara dalam perkara penganiayaan nomor 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., dapat menjadi alat bukti yang sah dan mepunyai kekuatan pembuktian yang bebas dan berdiri sendiri yang dimana kedudukannya adalah sebagai alat bukti sah yang lain selain yang ada dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Ketentuan ini menegaskan bahwa alat bukti rekaman suara telah diterima dalam system hukum pembuktian di Indonesia di berbagai peradilan, seperti peradilan agama, perdata, agama, militer, tata usaha Negara, mahkamah konstitusi, termasuk artibtrase.62
62
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/it502a53fad18dd/legalitas-hasil-cetaktweet-sebagai-alat-bukti-penghinaan. diakses pada tanggal 25 november 2013
81
Walaupun
dalam
perkara
penganiayaan
dengan
nomor:
445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., bukti rekaman suara sebagai alat bukti yang sah yang mempunyai kekuatan pembuktian bebas dan berdiri sendiri yang berkedudukan selain alat bukti yang sah berdasarkan Pasl 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tetapi oleh majelis hakim bukti tersebut dikesampingkan dan hanya berkedudukan sebagi barang bukti yang harus dikembalikan kepada saksi korban. Apabila mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengenai Informasi yang disimpan secara elektronik termasuk rekaman tidak dapat diajukan sebagai alat bukti berdasarkan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, juga tidak mengatur bagaimana legalitas print out (hasil cetak) sebagai alat bukti atau tata cara perolehan dan pengajuan informasi elektronik sebagai alat bukti. Dalam fakta perkara penganiayaan Nomor 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., rekaman suara juga tidak bisa begitu saja hanya ditentukan oleh aturan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tetapi ada beberapa factor yang menjadi pertimbangan dalam menentukan kekuatan pembuktian rekaman suara tersebut. Yang pertama, kekuatan pembuktian rekaman suara ditentukan dari hasil Laboratorium Forensik Badan Reserse Kriminal No. LAB: 426/FKF/2013 tanggal 18 Februari 2013. Dalam perkara No. 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., bukti rekaman suara dalam
Berita
Acara
Pemeriksaan
Laboratoris
Kriminalistik
dari
pusat
82
Laboratorium Forensik Badan Reserse Kriminal No. LAB: 426/FKF/2013 tanggal 18 Februari 2013 disimpulkan: 1. Ditemukan 23 (dua puluh tiga) kata yang memiliki kemiripan teknis Audio Forensik untuk Voice Recognition antara sample barang bukti dengan pembanding subjek Eza Gionino dapat disimpulkan bahwa barang bukti identik dengan suara pembanding; 2.
Ditemukan 21 (dua puluh satu) kata yang memiliki kemiripan tehknis. Audio Forensik untuk Voice Recognition antara sample barang bukti dengan pembanding subjek Ardina Rasti Widiani dapat disimpulkan bahwa barang bukti identik dengan suara pembannding. Dan hal tersebut bersesuaian dengan keterangan terdakwa dan saksi Ardina Rasti Widiani yang membenarkan bahwa Rekaman Suara yang terdapat pada Handphone Iphone milik saksi Ardina Rasti Widiani tersebut adalah benar suara Terdakwa dan suara saksi Ardnia Rasti Widiani.
Dari hasil laboratorium terdapat kecocokan antara suara pada bukti rekaman suara dengan suara terdakwa dan saksi korban, bahkan saksi korban dan terdakwa mengakui bahwa suara dalam rekaman suara tersebut adalah benarbenar suara mereka. Yang kedua, dalam hal penemuan bukti elektronik maka harus bekerjasama dengan seorang atau tim ahli yang memiliki tingkat kompetensi dan professionalitas yang jelas dibidang digital forensic. Meskipun begitu ada syaratsyarat yang harus dipenuhi oleh seseorang agar ia dapat dikategorikan sebagai
83
ahli. Menurut penjelasan Pasal 43 ayat (5) huruf h Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ahli adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus dibidang teknologi
informasi
yang
dapat
dipertanggungjawabkan
mengenai
pengetahuannya tersebut. Dalam kasus penganiayaan dengan Nomor perkara 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel. Seseorang atau tim ahli berhubungan dengan barang bukti elektronik berupa rekaman suara dari sebuah handphone milik korban didalam hasil Laboratorium Forensik Badan Reserse Kriminal No. LAB: 426/FKF/2013 tanggal 18 Februari 2013. Hasil akhir seseorang ahli atau tim tersebut dapat menemukan bukti digital yang dapat digolongkan sebagai informasi dan/atau transaksi elektronik berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan bukti digital ini dapat diterima sebagai alat bukti hukum yang sah oleh pengadilan. Dalam fakta persidangan terdapat keterangan dari Abimayu Wahyu Hidayat sebagai saksi ahli telematika yang menjelaskan bahwa telematika adalah solusi digital sebagai sarana dan prasarana metode untuk memperoleh, mengolah, mengorganisir sampai menggunakan data yang bermakna atau masih bisa dipahami oleh system tersebut, multimedia adalah bagian dari telematika tapi dasarnya multi media itu adalah TAGAV (text, Animasi, Gambar, Audio, Video). Audio itu mendeteksi adanya gerakan tapi tidak dapat mendeteksi apakah itu gerakan dari amnesia, gerakan benda, efek lemparan manusia atau pantulan dari efek lemparan manusia, kecuali pada bagian sampling apakah itu hasil suatu gerakan, pergeseran atau benturan dan lain sebagainya. Audio adalah pendukung
84
dari rekaman visual, jika ada audio tanpa adanya pendukung visual biasanya pelaku atau yang terlibat disana memberikan suatu analogi dengan memberikan suatu kesan suatu cerita adanya pergerakan tersebut. Misalnya, dimana ada sandiwara radio yang tentu saja berbeda dengan sinetron di televisi yang menceritakan suatu kejadian. Kejadian itu harus disampaikan dulu atau divisualisasikan oleh penyiar radio dengan menceritakan bagaimana benda tersebut, sebesar apa dan menabrak apa, ada informasi yang harus diupayakan oleh pembuat rekaman apa yang sebetulnya terjadi pada rekaman audio tersebut. Menurut saksi ahli tersebut bahwa bukti rekaman suara tersebut yang terputus-putus bisa terjadi karena dua hal, bisa terjadi karena system atau bisa terjadi disengaja intervensi dari manusia. Rekaman terputus karena system misalkan durasinya panjang sampai 4 jam kemudian ada hal yang penting dan pengirimannya sulit, maka pembuat akan memutus-mutuskannya. Tapi di luar itu, bisa juga system membuat rekaman lanjutannya, tujuannya agar secara perekaman akan bekerja secara maksimal. Saksi ahli berpendapat bahwa dalam rekaman tersebut hanya terdapat pertengkaran mulut dan tidak bisa dipastikan terdapat kekerasan fisik karena bukti itu berupa rekaman audio. Inti dari rekaman tersebut hanya pertengkaran kecil antara pasangan yang biasa saja yang kemudian ada kesan seseorang teriak menganggap dirinya mengalami kekerasan. Yang ketiga, penggunaan rekaman suara dalam sebuah pembuktian sebagai alat bukti tidak terlepas dari pertimbangan sejarah Informasi atau dokumen elektronik baru diakui sebagai alat bukti setelah diundangkannya
85
Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang No.20 tahun 2001). Pasal 26 A Undang-Undang No.20 tahun 2001 menyebutkan bahwa alat bukti yang di simpan secara elektronik juga dapat dijadikan alat bukti yang sah dalam kasus tindak pidana korupsi. Selain dalam Undang-Undang No.20 tahun 2001, informasi elektronik sebagai alat bukti juga disebutkan di dalam Pasal 38 huruf b Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Undang-Undang No.15 tahun 2002), serta 27 huruf b Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Undang-Undang No. 15 tahun 2003). Walaupun Undang-Undang No. 20 tahun 2001, Undang-Undang No. 15 tahun 2002 dan Undang-Undang No.15 tahun 2003 telah mengakui legalitas informasi elektronik sebagai alat bukti, akan tetapi keberlakuannya masih terbatas pada tindak pidana dalam lingkup korupsi, pencucian uang dan terorisme saja. Di dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2001, Undang-Undang No. 15 tahun 2002 dan Undang-Undang No. 15 tahun 2003 juga belum ada kejelasan mengenai legalitas print out sebagai alat bukti. Juga belum diatur tata cara yang dapat menjadi acuan dalam hal perolehan dan pengajuan informasi dan dokumen eleltronik sebagai alat bukti ke pengadilan. Selain mengakui informasi dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti, Undang-Undang No. 11 tahun 2008 juga mengakui print out (hasil cetak) sebagai alat bukti hukum yang sah. Demikian diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 11 tahun 2008 yang menyebutkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum
86
yang sah. Berdasarkan sejarah tersebut menjelaskan bahwa penggunaan rekaman suara sebagai informasi dan dokumen elektronik tidak begitu saja dapat diterapkan tetapi jugs ada pertimbangan-pertimbangan tertentu. Yang ke empat, rekaman suara menjadi Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut (Pasal 5 ayat (3) jo. Pasal 6 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008): a. Dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan; b. Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; c. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; dan d. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk. Terhadap perkara penganiayaan yang diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara: 445/Pid.B/2013/JKT.Sel. tersebut dalam proses pembuktiannya dari pihak korban mengajuakan bukti sebuah rekaman suara dari sebuah handphone milik korban. Rekaman suara tersebut sangan rentan untuk dimanipulasi apabila tidak memenuhi syarat dan prosedur yang benar.
87
Yang kelima, berkaitan dengan system pembuktiannya, dimana hakim mempertimbangkan kedudukan dari rekaman suara. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, rekaman suara tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah, tetapi dalam perkara ini hakim memutuskan bahwa bukti rekaman suara yang diajukan korban untuk di kesampingkan dan hanya sebagai barang bukti yang harus dikembalikan kepada si korban. Tetapi hal demikian bisa saja terjadi, karena dalam konteks teori pembuktian, Hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang undang.
Hakim
harus
benar-benar
sadar
dan
cermat
menilai
dan
mempertimbangkan alat bukti dan barang bukti yang dihadirkan di persidangan pengadilan. Apabila majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, maka harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara limitatif, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Cara mempergunakan dan menilai kekuatan pembuktian suatu alat bukti haruslah berdasarkan cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang. Berdasarkan hal tersebut maka rekaman suara tidak masuk dalam kategori yang ada dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana karena rekaman suara sebagai alat bukti yang sah yang lain selain yang berada dalam Pasal tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
88
Yang ke enam, rekaman suara berkaitan dengan keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusannya. Menurut Andi Hamzah ada empat teori sistem pembuktian dalam hukum acara pidana, salah satunya yakni: Pembuktian berdasarkan keyakinan yang rasional (berenderieerde bewijsleer) Ajaran pembuktian yang menyatakan bahwa hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa berdasarkan keyakinan, tetapi keyakinannya itu didasarkan segala alat bukti yang ada dengan mempergunakan alasan yang rasional.63 Dalam sistem negatif ada dua hal yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, sesuai dengan pendapatnya Alfitra64, yakni: a. Wettelijk : adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh undangundang; b. Negatief : adanya keyakinan dari hakim, yakni berdasarkan bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa. Berdasarkan uraian penjelasan diatas maka Tindak pidana Penganiayaan yang
dilakukan
terdakwa
dalam
Perkara
Putusan
Nomor:
445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., apabila dihubungkan dengan Pasal 183 dan Pasal 184 ayat (1) KUHAP serta teori-teori yang dikemukakan di atas, maka dapat diketahui bahwa pembuktian dalam perkara ini sudah memenuhi prinsip batas minimum yang sekurang-kurangnya dua alat bukti yang saling bersesuaian dan saling menguatkan, dan juga keyakinan hakim bahwa terdakwa secara meyakinkan melakukan tindak pidana. Hal ini dinilai sudah cukup untuk menilai kesalahan terdakwa.
63
Andi Hamzah,Terminologi Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.2009. Alfitra, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata, dan Korupsi di Indonesia, Jakarta, Raih Asa Sukses, 2011, hlm. 29. 64
89
Fakta mengenai bukti rekaman suara yang diajukan dalam persidangan, Hakimdalam menjatuhkan putusannya sudah memenuhi unsur dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, berdasarkan keyakianan hakim menetapkan rekaman suara tersebut sebagai barang bukti dan dikesampingkan untuk menjadi alat bukti, karena dalam pertimbangannya bahwa mengenai dalil Prnasehat Hukum dalam Nota Pembelaannya dari keterangan Ahli Abimayu, Ahli Telematika yang menerangkan dalam rekaman yang ahli dengar tidak terdapat kekerasan physic baik berupa pemukulan ataupun tamparan dan cakaran serta bantingan benda. Dan bukti rekaman suara haruslah dikesampingkan sebagai alat bukti oleh karena sebagaimana bahwa Ahli hanya mendengar di internet dan rekaman ulang yang diterima dari Penasehat Hukum Terdakwa, dan ketika di Persidangan diperlihatkan IPHONE berupa rekaman asli, Ahli menyatakan belum pernah mendengar langsung dan ketika Majelis meminta Ahli untuk menganalisa suara yang ada dalam rekaman tersebut di Persidangan, Ahli menyatakan bahwa tidak bisa untuk menganalisa rekaman kalau mendengarnya tanpa alat, sedangkan saat ini tidak membawa alat tersebut, sehingga bukti T-7a sampai dengan T-10 harus pula dikesampingkan dan tidak mempunyai kekuatan pembuktian. Jadi dalam hal pembuktian, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan penganiayaan terhadap korban. Hal ini diyakinkan dengan adanya alat bukti dan keterangan saksi saksi lainya yang dihadirkan dalam persidangan. Sehingga dengan ini terdakwa diputus pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan.
90
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan
hasil
penelitian
dan
pembahasan
terhadap
Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Rekaman suara dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., dapat menjadi alat bukti sah karena: a.
Rekaman suara tersebut digolongkan menjadi Informasi dan Dokumen Elektronik berdasarkan Pasal 1 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
b.
Sebuah handphone yang berisi rekaman suara merupakan alat bukti yang berdiri sendiri atau lebih tepatnya lex specialis derogate legi generalie dari Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, hal ini juga diperkuat dengan Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa rekaman suara merupakan alat bukti lain, selain sebagaimana alat bukti yang dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan yang sudah ada.
91
c.
Ketentuan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjelaskan bahwa Rekaman suara merupakan perluasan alat bukti yang sah.
2. Bukti
Rekaman
suara
dari
sebuah
handphone
dalam
kasus
penganiayaan dengan Nomor perkara: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., mempunyai kekuatan pembuktian sebagai alat bukti yang sah yang berdiri sendiri, tetapi dalam putusan hakim mengesampingkan alat bukti rekaman suara dan hanya sebagai barang bukti yang harus dikembalikan kepada saksi korban karena ada beberapa faktor dalam pertimbangannya,yaitu: a.
Hasil Laboratorium Forensik yang menggunakan audio forensic;
b.
Keterangan Tim Ahli;
c.
Sejarah penerapan rekaman suara;
d.
Syarat rekaman suara menjadi alat bukti sah;
e.
System pembuktian;
f.
Keyakinan Hakim.
B. Saran Adanya aturan yang harus lebih jelas dan tegas mengatur lebih khusus mengenai bukti rekaman suara untuk dapat membantu mengungkapkan kebenaran materiil tindak pidana dan memberikan keyakinan kepada hakim, karena hakim dalam memutuskan suatu perkara walaupun terdapat Undang-Undang yang lebih bersifat khusus yang mengaturnya tetapi tetap tidak terlepas dari aturan pada Pasal
92
183 KUHAP dimana keyakinan hakim tetap menjadi unsur dalam memutuskan suatu perkara pidana.
93
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur : Alfitra. Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata, dan Korupsi di Indonesia. Jakarta. Raih Asa Sukses. 2011. Amiruddin dkk. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. 2006. Harahap, yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaaan sidang Pengadilan Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Sinar Grafika. Jakarta. 2002 Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika. 2008 ____________. Terminologi Hukum Pidana. Jakarta. Sinar Grafika.2009. Hiariej, Eddy OS. Teori & Hukum Pembuktian. Jakarta. Penerbit Erlangga. 2012. Ibrahim,Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Edisi Revisi). Malang. Bayu Media Publishing. 2007. Kaligis, O.C. Penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam prakteknya. Jakarta. Yasir Watampone. 2012 Marpuang, Leden. Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan). Sinar Grafika. 2009 Marzuki,Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta. Kencana Prenada Media Group. 2005. Nugroho,Hibnu. Buku Ajar Pengantar Hukum Acara Pidana. Purwokerto. Fakultas Hukum Unsoed, 2002. ____________. Integralisasi Penyidkian Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Jakarta. Media Prima Aksara. 2012 Nuh, Al-Azhar,Muhammad. Digital forensic Panduan Praktis Investigasi computer. Jakarta. Salemba Infotek. 2012 Pangribuan, Luhut MP. Hukum Acara Pidana: Surat-Surat Resmi di Pengadilan ole Advocat. Jakarta. Djambatan. 2005
94
Soemitro, Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983 Sudrajat,tedi. “MPPH”. Materi Kuliah. FH Unsoed. 2008. Simanjuntak,Nikolas. Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum. Ghalia Indonesia. 2009. Taufik Makarao, Mohammad & Suharsil. Hukum Acara Pidana: Dalam Teori dan Praktek, Cetakan pertama. Jakarta. Ghalia Indonesia. 2004.
B. Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman C. Sumber Lain Ramli, Ahmad M. dinamika konvergensi hukum telematika dalam system hukum nasional. jurnal legislasi Indonesia. vol 5. no 4. 2008. PUTUSAN PERKARA Nomor : 445/Pid.B/2013/PN.JKT.sel. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e8ec99e4d2ae/apaperbedaan-alat-bukti-dengan-barang-bukti? Diakses pada Hari kamis tanggal 26 September 2013 http://staff.blog.ui.ac.id/brian.amy/2009/03/30/alat-bukti-dan-barangbukti-segi-pidana/ diakss pada hari Kamis tanggal 26 September 2013 http://mujimanstai.blogspot.com/2012/07/delik-penganiayaanmenurut-hukum-pidana.html Diakses pada hari Kamis Tanggal 26 September 2013 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e8ec99e4d2ae/apaperbedaan-alat-bukti-dengan-barang-bukti? Diakses pada Hari kamis tanggal 26 September 2013
95
http://selalucintaindonesia.wordpress.com/2013/01/15/undangundang-informasi-dan-transaksi-elektronik/ diakses 25 november 2013 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt502a53fad18dd/legalitashasil-cetak-tweet-sebagai-alat-bukti-penghinaan diakses pada tanggal 25 november 2013 http://warungcyber.web.id/?p=84 diakses pada tanggal 25 november 2013