URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM PENGUNGKAPAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst)
SKRIPSI
Oleh : GINIA TIA SAGITA E1A010222
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2014
i
SKRIPSI URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM PENGUNGKAPAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst)
SKRIPSI Disusun oleh: GINIA TIA SAGITA E1A010222
Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2014
i
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya,
Nama
: Ginia Tia Sagita
NIM
: E1A010222
Judul Skripsi
: URGENSI
JUSTICE
PENGUNGKAPAN KORUPSI
COLLABORATOR
KASUS
(Tinjauan
TINDAK
Yuridis
DALAM PIDANA
Putusan
No:
59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain.
Dan apabila terbukti saya melakukan Pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.
Purwokerto, 12 November 2014
Ginia Tia Sagita NIM. E1A010222
iii
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulilah penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, setelah melalui proses yang panjang, suka duka dan jatuh bangun, akhirnya skripsi dengan
judul:
“URGENSI
JUSTICE
COLLABORATOR
DALAM
PENGUNGKAPAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst)” telah terselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini dengan segenap rasa hormat dan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Dr. Angkasa, S. H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman dan juga Dosen Pembimbing Akademik atas motivasi dan nasihat-nasihat dalam berproses dari awal di Fakultas Hukum;
2.
Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I atas segala ilmu dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis selalu terpacu untuk bangkit dan berpikir lebih baik;
3.
Pranoto, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II atas segala ilmu, nasihat, dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis selama ini sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini;
4.
Handri Wirastuti Sawitri, S.H, M.H., selaku dosen penguji atas segala saran dan masukan yang diberikan kepada penulis;
iv
5.
Seluruh dosen, staf, dan karyawan Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman;
6.
Keluarga besar ALSA LC UNSOED atas kebersamaan, persaudaraan, dan pengalaman berharga;
7.
Ibu Lina Rahmawati dan Papa Sutiono, yang selalu memberi semangat pada anaknya hingga detik ini, adik-adik dan seluruh keluarga yang selalu mendoakan hingga skripsi ini selesai;
8.
Teman-teman perjuangan 2010 yang setia menemani dari awal di Fakultas Hukum hingga hari kelulusan saya: Debby, DPutri, Prilly, Niramaya, Sabilla, Tasyha, Arie, Ageng, dan Robby. Akhir kata, skripsi ini hanyalah hasil karya manusia yang memiliki banyak
kekurangan, adanya kritik dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca maupun pihak lain yang membutuhkan. Amin.
Purwokerto, 12 November 2014 Penulis,
GINIA TIA SAGITA
v
“URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM PENGUNGKAPAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst)” Oleh : Ginia Tia Sagita E1A010222 ABSTRAK Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara. Untuk dapat mengungkap pelaku tindak pidana korupsi yang mempunyai kedudukan ekonomi dan politik yang kuat tersebut tentunya membutuhkan keberanian dan saksi yang secara langsung mengetahui perbuatan tindak pidana korupsi tersebut, yang disebut justice collaborator. Peranan saksi sebagai justice collaborator sangat penting dan dibutuhkan dalam proses pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, yang mana jumlah kasusnya masih tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui urgensi justice collaborator dalam pengungkapan kasus tindak pidana korupsi di Indonesia, dan untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutus seorang terdakwa yang sekaligus merupakan justice collaborator. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Yuridis Normatif yaitu dengan cara menelaah bahan pustaka (data sekunder) yang ada. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif kualitatif yaitu mengolah dan menafsirkan berdasarkan pada putusan maupun perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian. Penelitian yang dilakukan dari Putusan Nomor: 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst diperoleh hasil sebagai berikut: Urgensi justice collaborator dalam pengungkapan kasus tindak pidana korupsi dalam Putusan No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst yaitu, a.) Membantu aparat penegak hukum dalam menemukan alat-alat bukti dan tersangka lain yang signifikan; b.) Posisi justice collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk mengatasi kemacetan prosedural dalam pengungkapan suatu kejahatan terorganisir dan sulit pembuktiannya; c.) Memudahkan pembuktian dan penuntutan. Majelis Hakim memberikan vonis putusan yang terlalu tinggi untuk terdakwa II, dan juga tidak mempertimbangkan Kosasih sebagai justice collaborator dalam hal-hal yang meringankan bagi terdakwa II dalam Putusan No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst. Kata kunci : peranan, tindak pidana korupsi, justice collaborator
vi
ABSTRACT
Corruption has been widespread in the society, both from the number of cases and the amount of loss to the state. To be able to uncover the perpetrators of corruption that have strong both of economy and political position, of course requires courage from witness that directly knows the act of corruption, which is called the justice collaborator. The role of the witness as a justice collaborator is very important and necessary in the process of combating corruption in Indonesia, where the number of cases is still high. This study aims to find the urgency of justice collaborator in the disclosure of corruption cases in Indonesia, and to find the consideration of the judge in deciding a defendant who was also a justice collaborator. This study used a normative juridical approach to examine available library materials (secondary data). The method used in this study is qualitative normative that the process and the interpretation is based on a decision or regulation relating to research. Research conducted on the verdict No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst obtained the following results: Urgency justice collaborator in the disclosure of corruption cases in verdict No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst are, a.) To assist law enforcement in finding evidence and other suspects were significant; b.) The position of justice collaborator is highly relevant for the Indonesian criminal justice system to address the procedural bottlenecks in the disclosure of an organized crime and difficult of proof; c.) Make it easier to verification of evidence and prosecution. The judges give a verdict is too high for the second defendant, and also did not consider Kosasih as a justice collaborator in terms of mitigating circumstances for the second defendant in verdict No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst. Keywords: role, corruption, justice collaborator
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ ii LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii PRAKATA .......................................................................................................... iv ABSTRAK ........................................................................................................... vi ABSTRACT ......................................................................................................... vii DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................. A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1 B. Perumusan Masalah......................................................................... 7 C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 7 D. Kegunaan Penelitian........................................................................ 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ A. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana................................... 9 B. Pembuktian ................................................................................... 14 1. Pengertian Pembuktian ............................................................. 14 2. Sistem Pembuktian dalam KUHAP........................................... 16 3. Macam – Macam Alat Bukti ..................................................... 22 C. Justice Collaborator...................................................................... 30 1. Pengertian Justice Collaborator................................................ 30 2. Justice Collaborator sebagai Alat Bukti.................................... 35 BAB III METODE PENELITIAN ....................................................................
viii
A. Metode Pendekatan ....................................................................... 39 B. Spesifikasi Penelitian .................................................................... 40 C. Lokasi Penelitian ........................................................................... 40 D. Jenis dan Sumber Data .................................................................. 40 E. Metode Pengumpulan Data............................................................ 41 F. Metode Penyajian Data.................................................................. 41 G. Metode Analisis Data .................................................................... 41 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................. A. Hasil Penelitian ............................................................................. 42 1. Identitas Terdakwa.................................................................... 42 2. Duduk Perkara .......................................................................... 43 3. Dakwaan Penuntut Umum ........................................................ 58 4. Tuntutan Penuntut Umum ......................................................... 59 5. Putusan Hakim.......................................................................... 64 B. Pembahasan .................................................................................. 96 BAB V PENUTUP ............................................................................................ A. Simpulan ..................................................................................... 127 B. Saran ........................................................................................... 128 DAFTAR PUSTAKA
ix
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Semakin hari pembicaraan mengenai korupsi tidak pernah berhenti, angka pertumbuhan korupsi di Indonesia semakin meningkat. Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Akibat dari korupsi ini mempengaruhi setiap sudut kehidupan. Menurut pendapat Evi Hartanti, dampak negatif dari korupsi dapat mengakibatkan berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintah, berkurangnya kewibawaan pemerintah dalam masyarakat, menyusutnya pendapatan Negara, rapuhnya keamanan dan ketahanan Negara, perusakan mental pribadi dan hukum tidak lagi dihormati.1 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian korupsi sebagaimana dikutip oleh Suhandi Cahaya dan Surachmin2 adalah penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Di luar negeri, terutama di negara-negara maju, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif
1
Suhandi Cahaya dan Surachmin, 2011, Strategi dan Teknik Korupsi Mengetahui untuk Mencegah, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 85-86 2 Ibid;hlm. 10
2
yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini. Dampak yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Tindak pidana korupsi merupakan masalah yang sangat serius, karena tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan negara dan masyarakatnya, membahayakan pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat, politik, bahkan dapat pula merusak nilai-nilai demokrasi serta moralitas bangsa karena dapat berdampak membudayanya tindak pidana korupsi tersebut3. Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam Preambul ke-4 United Nations Convention Against Corruption, 2003 – Konvensi Perserikatan BangsaBangsa Anti Korupsi, 2003, yang berbunyi sebagai berikut: Convinced that corruption is no longer a local matter but transnasional phenomenon that affects all socities and economies, making international cooperation to prevent and control it essential. 4 Meyakini, bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, melainkan suatu fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi yang mendorong kerjasama internasional untuk mencegah dan mengontrolnya secara esensial.
Pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan berbagai upaya, baik pencegahan maupun penindakan. Pengorganisasian masyarakat, advokasi isu, maupun sosialisasi kebijakan anti korupsi merupakan hal yang tidak dapat dilepaskan dari upaya tersebut, termasuk dalam penegakan hukum. Lembaga peradilan merupakan salah satu ujung tombak pemberantasan korupsi, terutama dalam upaya penjeraan koruptor. 3
Ermansjah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta, Sinar Grafika,
hlm.2 4
Alinea ke-4 Preamble The States Parties to this Convention of United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Antikorupsi, 2003).
3
Sulitnya penanggulangan tindak pidana korupsi terlihat dari banyak diputus bebasnya terdakwa kasus tindak pidana korupsi atau minimnya pidana yang ditanggung oleh terdakwa yang tidak sebanding dengan apa yang dilakukannya, bahkan Indonesia Corruption Watch5 menyatakan bahwa: “Hukuman Koruptor belum menjerakan, mayoritas Koruptor dihukum ringan di tahun 2013, hanya ada 7 terdakwa yang divonis berat”. Hal ini sangat merugikan negara dan menghambat pembangunan bangsa. Jika ini terjadi secara terus-menerus dalam waktu yang lama, dapat meniadakan rasa keadilan dan rasa kepercayaan atas hukum dan peraturan perundang-undangan oleh warga negara. Perasaaan tersebut memang telah terlihat semakin lama semakin menipis dan dapat dibuktikan dari banyaknya masyarakat yang ingin melakukan aksi main hakim sendiri kepada pelaku tindak pidana di dalam kehidupan masyarakat dengan mengatasnamakan keadilan yang tidak dapat dicapai dari hukum, peraturan perundang-undangan, dan juga para penegak hukum di Indonesia.6 Perlindungan terhadap segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dapat pula berarti upaya keras dan nyata bagi pembebasan seluruh rakyat Indonesia dari penderitaan dan upaya yang nyata bagi terciptanya kesejahteraan rakyat Indonesia tanpa kecuali. Namun demikian, dalam penegakan hukum pidana akhir-akhir ini menyisakan tanda tanya besar dari berbagai kalangan masyarakat termasuk pelaku, hal ini disebabkan karena
5
Indonesia Corruption Watch, 2013, Catatan Pemantauan Perkara Korupsi yang Divonis oleh Pengadilan Selama Tahun 2013 diakses melalui www.antikorupsi.org pada tanggal 11 Maret 2014. 6 Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 2
4
adanya disparitas yang sangat mencolok dalam penerapan hukum pidana melalui lembaga peradilan, baik dalam tahap penyidikan, penuntutan maupun dalam tahap eksekusi.7 Berbicara mengenai tindak pidana korupsi, dalam persidangan perkara pidana hukum pembuktian sangat penting dalam membuktikan kesalahan perkara di sidang pengadilan. Tanpa adanya saksi, suatu tindak pidana akan sulit diungkap kebenarannya. Maksud hakim bertanya kepada saksi adalah memberikan kesempatan untuk menyatakan kejadian apa yang sebenarnya terjadi. Keterangan saksi merupakan alat bukti persidangan dan berguna dalam mengungkap duduk perkara suatu peristiwa tindak pidana korupsi, kemudian akan dijadikan salah satu dasar pertimbangan hakim untuk menentukan terbukti atau tidaknya perbuatan terdakwa serta kesalahannya. Untuk dapat mengungkap pelaku tindak pidana korupsi yang mempunyai kedudukan ekonomi dan politik yang kuat tersebut tentunya membutuhkan keberanian dan saksi yang secara langsung mengetahui perbuatan tindak pidana korupsi tersebut. Saksi yang mengetahui secara langsung baik terlibat secara langsung di dalamnya atau tidak dan berani melaporkan kejadian tersebut disebut “whistleblower” dan “justice collaborator”.8 Peranan saksi
7
Ridwan, “Pembaharuan Hukum Pidana dalam Kerangka Hukum yang Berkeadilan Berdasarkan Kultur Hukum Indonesia”, Jurnal Ilmiah Media Hukum, Vol.. 18 No. I, Juni 2011, Yogyakarta: Fakultas Hukum UMY, hlm. 107. 8 Nixson, Syafruddin Kalo, Tan Kamello, dan Mahmud Mulyadi, “Perlindungan Hukum Terhadap Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, Universitas Sumatera Utara Law Journal Vol. II-No.2 (Nov 2013), Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara, hlm. 40.
5
sebagai whistle blower dan justice collaborator sangat penting dan dibutuhkan dalam proses pemberantasan tindak pidana korupsi. Whistle blower dan justice collaborator merupakan seseorang yang mengungkap suatu kebenaran/ melaporkan suatu tindak pidana yang bersifat terorganisir dan serius seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, terorisme, perdagangan orang, dan lain-lain. Dengan adanya whistle blower dan justice collaborator, pengungkapan kasus tindak pidana korupsi akan semakin mudah. Selain diperlukan untuk proses pemberantasan tindak pidana korupsi, juga sebenarnya bisa digunakan sebagai salah satu upaya untuk pencegahan tindak pidana korupsi. Namun, hingga saat ini negara belum memberikan penghargaan dan perlindungan maksimal kepada para justice collaborator di Indonesia. Bahkan, banyak justice collaborator juga menerima hukuman yang sama dengan
para
tersangka/terdakwa
lainnya.
Artinya,
perannya
untuk
mengungkap kejahatan secara lebih luas, lebih dalam, lebih cepat sama sekali tidak diperhitungkan sama sekali oleh para penegak hukum terutama peraturan yang mengaturnya. Seharusnya tidak semua justice collaborator harus dihukum sekalipun sanksi hukumnya tetap diterapkan. Jika itu adalah kasus kejahatan kemanusian seperti terorisme, pembunuhan, perdagangan manusia, bila dia bisa menjadi justice collaborator, dan perannya tidak secara signifikan berhubungan
6
langsung dengan subyek korban, maka mereka perlu diperlakukan secara berbeda, sekalipun tetap dihukum.9 Khususnya, pada kasus korupsi, dimana pidana kurungan bagi terpidana kasus korupsi yang juga adalah seorang justice collaborator sangatlah tidak tepat. Sebaiknya untuk konteks Indonesia, tersangka kasus korupsi yang juga adalah seorang justice collaborator harus diperlakukan secara istimewa dan hukumannya berbeda. Hukuman kurungan bagi seorang justice collaborator menyebabkan banyak orang yang tutup mulut dan tidak mau memberikan kesaksian yang sebenarnya karena ia mengetahui ia tetap akan dihukum dengan pidana kurungan nantinya apabila ia bersaksi. Nantinya,
seorang
justice
collaborator
perlu
dihukum
dengan
mengembalikan semua uang hasil korupsi kepada negara dan membayar sejumlah denda yang pantas sesuai UU serta dibebaskan dari hukuman kurungan. Bila hal ini bisa dilakukan, sangat mungkin akan banyak kasus korupsi yang terbongkar dengan cepat, mudah, murah. Dampak lainnya adalah tingkat korupsi di Indonesia akan semakin kecil. Melihat pentingnya justice collaborator dalam mengungkap pelaku utama dari kasus tindak pidana korupsi, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan justice collaborator, dengan judul: “URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM PENGUNGKAPAN
9
Narila Putri, 2012, Agus Condro: Pengungkapan Korupsi Melalui Justice Collaborator. Diakses melalui http://hukum.kompasiana.com/2012/06/11/agus-condro-pengungkapan-korupsimelalui-justice-collaborator-463901.html pada tanggal 10 Juni 2014
7
KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst)”
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apa urgensi Justice Collaborator dalam pengungkapan kasus tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan putusan hakim dalam Putusan No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst? 2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus seorang terdakwa
yang sekaligus merupakan justice collaborator dalam Putusan No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst?
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Untuk mengetahui urgensi justice collaborator dalam pengungkapan kasus tindak pidana korupsi di Indonesia.
2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutus seorang terdakwa yang sekaligus merupakan justice collaborator.
D. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini adalah : 1. Kegunaan Teoritis
8
a. Menambah pengetahuan dan wawasan di bidang Hukum Acara Pidana, serta memberikan masukan bagi pengembangan ilmu hukum terutama dari segi penerapan ilmu hukum acara pidana. b. Memperluas cakrawala berpikir penulis dan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan justice collaborator terhadap tindak pidana korupsi. 2. Kegunaan Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi kepustakaan hukum acara pidana di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. b. Hasil penelitian ini dapat menjadi pedoman atau acuan bagi mereka yang melakukan penelitian serupa dengan kajian yang berbeda, dan pula memberikan pengetahuan tentang urgensi justice collaborator dalam pengungkapan tindak pidana korupsi.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana merupakan salah satu lingkup dari hukum pidana. Ruang lingkup hukum pidana luas, baik hukum pidana materiil yang disebut hukum pidana, maupun hukum pidana formil yang disebut hukum acara pidana. Hukum pidana materiil atau hukum pidana berisikan petunjuk dan uraian tentang delik peraturan tentang syarat-syarat dapatnya dipidana suatu perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana dan aturan tentang pemidanaan mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana dapat dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana formil mengatur bagaimana negara melalui alatalatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana, berisikan acara pidana.10 Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang selanjutnya ditulis KUHAP, tidak menerangkan lebih lanjut mengenai pengertian Hukum Acara Pidana secara umum, akan tetapi lebih menekankan pada bagian-bagiannya seperti penyidikan, penuntutan, praperadilan, mengadili, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan yang lainnya. Hakekat hukum acara pidana sebaiknya kita melihat beberapa pendapat para sarjana diantaranya Andi Hamzah, yang mendefinisikan hukum 10
Andi Hamzah, 2001, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 4
10
acara pidana pada ruang lingkup yang sempit, yaitu hanya mulai pada mencari kebenaran, penyelidikan, dan berakhir pada pelaksanaan pidana (eksekusi) oleh jaksa.11 Menurut Wirjono Prodjodikoro12, pengertian hukum acara pidana ialah: Hukum acara pidana berhubungan erat dengan hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum acara pidana.
Dengan kata lain, hukum acara pidana adalah kumpulan peraturan yang memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur sebagai berikut: a. b.
c.
d.
e.
11
Tindakan apa yang diambil apabila ada dugaan, bahwa telah terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Apabila benar telah terjadi suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang, maka perlu diketahui siapa pelakunya, dan cara bagaimana melakukan penyelidikan terhadap pelaku. Apabila telah diketahui pelakunya, maka penyelidik perlu menangkap, menahan, dan kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan permulaan atau dilakukan penyidikan. Untuk membuktikan apakah tersangka benar-benar melakukan suatu tindak pidana, maka perlu mengumpulkan barang-barang bukti, menggeledah badan atau tempat-tempat yang diduga ada hubungannya dengan perbuatan tersebut. Setelah selesai dilakukan pemeriksaan permulaan atau penyidikan oleh polisi, maka berkas perkara diserahkan kepada kejaksaan negeri, yang selanjutnya pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap terdakwa oleh hakim sampai dijatuhkan pidana.13
Andi Hamzah, 2000, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm. 3 12 Andi Hamzah, 2004, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: Sinar Grafika, hlm.7 13 Mochamad Faisal Salami, 2001, Hukum Acara Pidana dan Praktik, Bandung, Mandar Maju, hlm. 3
11
Hukum acara pidana secara sederhana dapat dirumuskan sebagai suatu aturan-aturan tentang tata cara proses penyelenggaraan peradilan pidana. Di bawah ini beberapa pendapat para sarjana mengenai pengertian hukum acara pidana: a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Wiryono Prodjodikoro Hukum acara pidana adalah merupakan suatu rangkaian peraturanperaturan yang memuat cara bagaimana badan pemerintah yang berkuasa (Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan) harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana. R. Achmad Soemadipraja Hukum acara pidana adalah hukum yang mempelajari peraturan yang diadakan oleh negara dalam hal adanya persangkaan telah dilanggarnya Undang-Undang Pidana. Sudarto Hukum acara pidana adalah aturan-aturan yang memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan oleh para aparat penegak hukum. J. De Bosch Kemper Hukum acara pidana adalah sejumlah asas-asas dan peraturanperaturan undang-undang yang mengatur hak negara untuk menghukum bilamana undang-undang pidana dilanggar. Simon Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur cara-cara negara dengan alat-alat perlengkapannya mempergunakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan hukuman. Van Bemmelen Hukum acara pidana adalah kumpulan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur bagaimana cara negara bila dihadapkan pada suatu kejadian yang menimbulkan syak wasangka telah terjadi pelanggaran hukum pidana, dengan perantara alat-alatnya mencari kebenaran, menetapkan di muka hakim suatu keputusan mengenai perbuatan yang didakwakan, bagaimana hakim harus memutuskan suatu hal yang telah terbukti, dan bagaimana keputusan itu harus dilaksanakan. Bambang Poernomo Mengklasifikasikan hukum acara pidana menjadi tiga arti: 1) Dalam arti sempit, yang meliputi peraturan hukum tentang penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang, sampai dengan putusan pengadilan, dan peraturan tentang susunan pengadilan. 2) Dalam arti luas, yaitu selain mencakup dalam pengertian arti sempit, juga meliputi peraturan-peraturan kehakiman lainnya sekedar peraturan itu ada urusannya dengan perkara pidana.
12
3) Pengertian sangat luas, yaitu apabila materi peraturan sudah sampai pada tahap eksekusi putusan hakim (pidana) kemudian dikembangkan meliputi peraturan pelaksanaan hukuman (pidana) yang mengatur tentang alternatif jenis pidana, dan cara menyelenggarakan pidana sejak awal sampai selesai menjalani pidana sebagai pedoman pelaksanaan pemberian pidana.14
Tujuan dan tugas ilmu hukum acara pidana pada dasarnya sama dengan tugas dan tujuan ilmu hukum pada umumnya yaitu mempelajari hukum untuk mewujudkan perdamaian yang meliputi ketertiban dan ketenangan dengan memberikan kepastian hukum dan keadilan hukum kepada masyarakat. Tujuan hukum acara pidana antara lain dapat dibaca pada Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehakiman sebagai berikut: “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.”
Tujuan hukum acara pidana pada hakekatnya mencari kebenaran materiil (materiele waarheid, substantial truth) dan perlindungan hak asasi manusia (protection of human rights). Para penegak hukum mulai dari Polisi, Jaksa, sampai pada Hakim dalam menyelidik, menuntut, dan mengadili perkara senantiasa harus berdasarkan kebenaran, harus berdasarkan hal yang 14
Waluyadi, 1999, Pengetahuan Hukum Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatan Khusus), Mandar Maju, Bandung, hlm. 9-11
13
benar-benar terjadi. Maka diperlukan petugas-petugas yang handal, jujur, dan berdisiplin
tinggi
serta
tidak
cepat
tergoda
oleh
janji-janji
yang
menggiurkan.15 Menurut Mr. J. M. Van Bemmelen dalam bukunya Leerboek van her Nederlandse Straf Frocesrecht, menyimpulkan bahwa tiga fungsi pokok acara pidana ialah: a. Mencari dan menemukan kebenaran; b. Pengambilan putusan oleh hakim; c. Pelaksanaan daripada putusan. Dari ketiga fungsi tersebut, yang paling penting adalah mencari kebenaran karena merupakan tumpuan dari kedua fungsi berikutnya, kemudian setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti itulah, hakim akan sampai kepada putusan (yang seharusnya adil dan tepat) yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa. Bagaimanapun tujuan hukum acara pidana adalah mencari kebenaran merupakan tujuan antara, dan tujuan akhir sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat.16
15 16
Ibid, hlm 24 Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 8-9.
14
B. Pembuktian 1.
Pengertian Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana tak dapat dihindarkan dari suatu pembuktian. Pembuktian merupakan sesuatu yang sangat penting dalam pemeriksaan suatu perkara di persidangan. Pengertian pembuktian sangat beragam, setiap ahli hukum memiliki definisi masing-masing mengenai pembuktian. Banyak ahli hukum yang mendefinisikan pembuktian ini melalui makna kata membuktikan. Pembuktian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses, perbuatan, cara membuktikan, suatu usaha menentukan benar atau salahnya terdakwa dalam sidang pengadilan. Menurut Martiman Prodjohamidjojo 17, membuktikan yaitu: “Mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran adalah suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Dalam hukum acara pidana, acara pembuktian adalah dalam rangka mencari kebenaran materiil dan KUHAP menetapkan tahapan dalam mencari kebenaran sejati yaitu melalui: 1. Penyidikan; 2. Penuntutan; 3. Pemeriksaan di persidangan; 4. Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan. Yahya Harahap18 memberikan arti pembuktian ditinjau dari segi hukum acara pidana, antara lain: a.
17
Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasehat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang
Martiman Prodjohamidjojo, 1983, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 12 18 M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, hlm.36
15
b.
ditentukan undang-undang. Terutama bagi majelis hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang ditemukan selama pemeriksaan persidangan; Sehubungan dengan pengertian diatas, majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara limitatif yang disebut dalam pasal 184 KUHAP.
Dalam arti yuridis, Pembuktian yaitu memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.19 Sementara itu, Darwin Prinst menyatakan bahwa yang dimaksud pembuktian adalah pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terbukti dan terdakwa bersalah melakukan perbuatan itu, sehingga harus mempertanggungjawabkannya.20 Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana. Dalam hal inipun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, namun ternyata itu tidak benar. Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, berbeda dengan hukum perdata yang cukup puas dengan kebenaran formil.21 19 20
Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, hlm. 35 Darwin Prinst, 2002, Hukum Acara Pidana dalam Praktik, cet 3, Jakarta: Djambatan,
hlm. 137 21
Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 249
16
Dalam hal pembuktian, hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat
dan
kepentingan
terdakwa.
Kepentingan
masyarakat
maksudnya, apabila seseorang telah melanggar peraturan perundangundangan,
ia harus mendapat hukuman yang setimpal dengan
perbuatannya. Sementara yang dimaksud dengan kepentingan terdakwa ialah, terdakwa harus diperlakukan adil sehingga tidak ada seorangpun yang tidak bersalah akan mendapat hukuman atau sekalipun ia bersalah, ia tidak mendapat hukuman yang terlalu berat (dalam hal ini terkandung asas equality before the law, persamaan di depan hukum).22 2.
Sistem Pembuktian dalam KUHAP Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada, dalam doktrin dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian23, yakni: a. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie); Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie) merupakan pembuktian yang didasarkan semata-mata kepada alat-alat pembuktian yang disebut undang-undang. Dikatakan secara positif, karena semata-mata hanya didasarkan kepada undang-undang. Artinya, jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat bukti yang disebutkan oleh undangundang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali.
22
Luhut MP Pangaribuan, 2005, Hukum Acara Pidana: Surat-Surat Resmi di Pengadilan oleh Advokat, Jakarta, Djambatan, hlm. 3-4. 23 Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 251-254
17
Terdapat kebaikan dan kelemahan dalam sistem ini. Kebaikan sistem pembuktian ini yakni, hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benarbenar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Kelemahannya terletak dalam sistem ini tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan hakim yang bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana. Teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lagi. Selain itu, sistem pembuktian ini dianggap bertentangan dengan hakhak asasi manusia, sebagaimana dijelaskan oleh Adami Chazawi sebagai berikut: Sistem ini bertentangan dengan hak-hak asasi manusia, yang pada zaman sekarang sangat diperhatikan dalam hal pemeriksaan tersangka maupun terdakwa oleh negara. Juga sistem ini sama sekali mengabaikan perasaan nurani hakim. Hakim bekerja menyidangkan terdakwa seperti robot yang tingkah lakunya sudah diprogram melalui undang-undang.24 Menurut Wirjono Prodjodikoro25 : “teori ini ditolak untuk dianut di Indonesia, karena bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat” Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele bewijstheorie), sehingga yang dicari ialah kebenaran formal. Oleh
24
Adami Chazawi, 2008, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni: Bandung,
hlm. 28 25
Andi Hamzah, 2004, Op.Cit, hlm. 251.
18
karena itu, pembuktian ini digunakan dalam hukum acara perdata. Di benua Eropa sistem ini pun digunakan pada waktu berlakunya Hukum Acara Pidana yang bersifat Inquisitur. Peraturan itu menganggap terdakwa sebagai objek pemeriksaan belaka, dalam hal ini hakim hanya merupakan alat pelengkap saja. b. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu (conviction intime); Menurut sistem ini, hakim dalam menjatuhkan putusan tidak terikat dengan alat bukti yang ada. Darimana hakim menyimpulkan putusannya tidak menjadi masalah. Ia hanya boleh menyimpulkan dari alat bukti yang ada dalam persidangan atau mengabaikan alat bukti yang ada dalam persidangan. Sistem ini memberikan kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi, disamping itu, terdakwa atau penasehat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan, dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan. Hakim menyatakan telah terbukti kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dengan didasarkan keyakinannya saja, dan tidak perlu mempertimbangkan dari mana dia memperoleh dan alasan-alasan yang dipergunakan serta bagaimana caranya dalam membentuk keyakinan tersebut. Adam Chazawi berpendapat sebagai berikut: Sebagaimana manusia biasa, hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya, berhubung tidak ada kriteria, alat-alat bukti tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara hakim
19
dalam membentuk keyakinannya itu. Disamping itu, pada sistem ini terbuka peluang yang besar untuk terjadi penegakan hukum yang sewenang-wenang, dengan bertumpu pada alasan hakim telah yakin.26 c. Sistem atau teori pembuktian berdasara keyakinan hakim atas alasan yang logis (laconviction raisonnee); Sistem
pembuktian
conviction
in
raisone
masih
juga
mengutamakan penilaian hakim sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat. Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan. Walaupun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang, tetapi hakim bisa menggunakan alatalat bukti diluar ketentuan undang-undang. Yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis. Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian ini harus dilandasi oleh “reasoning” atau alasan-alasan dan alasan tersebut harus “reasonable”yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan hakim yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas.27 Adam Chazawi dalam hal ini berpendapat: Walaupun undang-undang menyebutkan dan menyediakan alat bukti, tetapi sistem ini dalam hal menggunakannya dan menaruh 26
Ibid, hlm. 28. Munir Fuady, 2006, Teori Hukum Pembuktian, Pidana dan Perdata, Bandung: Citra Aditya, hlm. 56. 27
20
kekuatan alat-alat bukti tersebut terserah dalam pertimbangan hakim dalam hal membentuk keyakinannya tersebut, asalkan alasan-alasan yang dipergunakan dalam pertimbangannya logis. Artinya, alasan yang dipergunakannya dalam hal membentuk keyakinan hakim masuk akal, dapat diterima oleh akal orang pada umumnya.28 d. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk). Di Indonesia sendiri menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk). Dalam sistem pembuktian ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda (dubbel en grondslag, menurut D. Simons), yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim. Hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 183 KUHAP yang isinya: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada orang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Menurut sistem pembuktian ini, untuk menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, terdapat dua komponen yaitu: 1.
Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang,
2.
Keyakinan hakim juga harus didasari atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.29
28
Adam Chazawi, Op.cit, hlm. 26 M. Yahya Harahap, 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Jakarta,Sinar Grafika, hlm. 273. 29
21
Sistem pembuktian ini menggabungkan antara faktor hukum positif sesuai ketentuan perundang-undangan dan faktor keyakinan hakim. Artinya, dalam memperoleh keyakinannya, hakim juga terikat terhadap penggunaan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Hal ini sejalan dengan pendapat Adami Chazawi30 yang mengatakan bahwa: Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara yang ditentukan oleh undang-undang. Itu tidak cukup, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Kegiatan pembuktian didasarkan pada dua hal, yaitu alat-alat bukti dan keyakinan yang merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan, yang tidak berdiri sendiri-sendiri. Wirdjono Prodjodikoro31 berpendapat bahwa sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan: 1.
2.
Memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.
Berdasarkan ketentuan KUHAP sebagaimana ketentuan umum hukum pembuktian tindak pidana, maka dari segi khusus hukum pembuktian untuk tindak pidana korupsi berlaku pula kekhususan di dalam hukum pembuktiannya. Di dalam bidang tertentu, Undang-Undang 30 31
Adami Chazawi, Op.cit, hlm. 28 Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 257.
22
Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, memberlakukan hukum pembuktian yang memiliki segi kekhususan terutama berkenaan dengan bahan-bahan yang dapat digunakan hakim dalam membentuk alat bukti petunjuk tentang sistem pembuktian, khususnya beban pembuktian.32 3.
Macam – Macam Alat Bukti Tidak ditemukan suatu definisi khusus mengenai apa itu alat bukti, namun secara umum yang dimaksud dengan alat bukti adalah alat bukti yang tercantum dalam pasal 184 KUHAP sebagai berikut: (1) Alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa. (2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. a. Keterangan Saksi Definisi “saksi” dapat berbeda-beda sesuai dengan sistem hukum yang berlaku. Saksi merupakan seseorang yang memiliki informasi penting untuk proses pengadilan atau penegakan hukum33. United Nation Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC) menjelaskan definisi saksi atau partisipan sebagai berikut:
32
Firman Wijaya, 2008, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, Jakarta, Maharani Press,
hlm. 78 33
Ilias Chatzis(et.al), Praktik Terbaik Perlindungan Saksi dalam Proses Pidana yang Melibatkan Kejahatan Terorganisir, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta, 2010, hlm. 27.
23
“...any person, irrespective, of his/her legal status(informant, witness, judicial official, undercover agent, etc), who according to the legislation or policy of the country involved is eligible to be considered for admission to a witness protection program.”
Sedangkan keterangan saksi dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya. Menurut ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, memberi batasan pengertian saksi dalam kapasitasnya sebagai alat bukti, adalah “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”. Pengertian saksi menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP adalah: Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Pasal 185 ayat (5) KUHAP merumuskan bahwa baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi. Di dalam penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP dirumuskan dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu. Keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain bukanlah alat bukti yang sah. Keterangan demikian berupa keterangan saksi yang mendengar orang lain atau menceritakan sesuatu, atau apa yang ada
24
di dalam hukum acara pidana disebut testimonium de auditu atau hearsay evidence.34 Keterangan saksi menjadi suatu hal yang penting bagi pembuktian untuk membuktikan apakah betul telah terjadi suatu peristiwa pidana dan menentukan siapa dan apa kesalahan terdakwa. Oleh karena itu dapat disimpulkan betapa pentingnya keterangan saksi, karena boleh dikatakan tidak ada suatu peristiwa pidana yang dapat dibuktikan tanpa menggunakan/ dengan kehadiran saksi, namun tentu tidak mengesampingkan dari alat bukti yang lain seperti keterangan ahli, surat, petunjuk, maupun keterangan terdakwa. Menurut United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) saksi dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori utama: a.
Kolaborator hukum (Justice Collaborator). Seseorang yang telah berpartisipasi dalam suatu tindak pidana yang berhubungan dengan suatu organisasi kejahatan memiliki pengetahuan yang penting tentang struktur organisasi, metode pelaksanaan, kegiatan, dan hubungan dengan kelompok lain, baik lokal maupun internasional;
b.
Saksi korban;
c.
Jenis saksi lainnya (saksi peristiwa, saksi ahli, dan lainnya)
Sedangkan dalam UUPSK pun dikenal mengenai beberapa pengertian dan istilah saksi lainnya. Hal tersebut dikenal dalam pasal 34
Andi Hamzah, Op. Cit, hlm. 264
25
10 UUPSK Saksi Pelapor dan Saksi yang juga tersangka, namun tidak adanya penjelasan batasan-batasan terkait definisi istilah tersebut.
b. Keterangan Ahli Menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP, definisi keterangan ahli yaitu: Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat suatu perkara pidana guna kepentingan bersama. Dalam pembuktian di persidangan keterangan ahli sangat diperlukan untuk mengungkap suatu tindak pidana. Dengan segala keahlian dari seorang ahli yang diberikan di persidangan, maka suatu perkara akan lebih terang terutama terhadap sesuatu yang diluar pengetahuan/ keahlian hakim/ sarjana hukum. Berdasarkan hal diatas, dapat diketahui bahwa seorang ahli dapat memberikan keterangan sebagai saksi yang tidak berdasarkan yang ia dengar, alami, dan lihat langsung suatu peristiwa pidana, melainkan melalui keahliannya dalam pembuktian di persidangan. Andi Hamzah dalam hal keterangan ahli ini, berpendapat sebagai berikut: Pendapat seorang ahli yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya, tentang sesuatu apa yang dimintai pertimbangannya. Jadi dari keterangan tersebut diketahui bahwa yang dimaksud dengan keahlian adalah ilmu pengetahuan yang telah dipelajari (dimiliki) seseorang.35 35
Andi Hamzah, Op. Cit, hlm. 268.
26
c. Surat Surat adalah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.36 Alat bukti surat menurut Pasal 187 KUHAP dirumuskan sebagai berikut: Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau suatu keadaan; c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Kekuatan pembuktian surat dalam hukum acara pidana berbeda dengan hukum acara perdata, sebagaimana yang dikatakan oleh C. Djisman Samosir sebagai berikut: Dalam hukum acara perdata, akta autentik mempunyai kekuatan mengikat dan harus diakui kebenarannya sampai terbukti sebaliknya (tegenbewijs) sedangkan dalam hukum acara pidana tidak ada alat bukti satu pun yang akan mengikat hakim tentang kekuatan pembuktian, kecuali kalau ia yakin akan kesalahan dari terdakwa.37 36
Andi Hamzah, 2001, Op.cit, hlm. 271. C. Djisman Samosir, 1985, Hukum Acara Pidana dalam Perbandingan, Bina Cipta, Bandung, hlm. 90. 37
27
d. Petunjuk Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk hanya diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Pasal 188 KUHAP dalam hal ini menegaskan sebagai berikut: (1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. (2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari: a. keterangan saksi; b. surat; c. keterangan terdakwa. (3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Berdasarkan ketentuan Pasal 188 ayat (2) tersebut dapat dijelaskan bahwa petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. M. Yahya Harahap dalam hal ini berpendapat: Ketentuan Pasal 188 ayat (2) tersebut mengandung pengertian bahwa undang-undang menentukan secara limitatid sumber dari alat bukti petunjuk. Dengan demikian meskipun keterangan ahli termasuk sebagai alat bukti, tidak dapat dijadikan sumber bagi hakim untuk menentukan alat bukti petunjuk.38 38
M. Yahya Harahap, 2006, Op.cit, hlm. 294.
28
Di lain pihak, Andi Hamzah berpendapat sebagai berikut: Pantaslah kalau alat bukti petunjuk diganti dengan pengamatan hakim, lebih-lebih kalau diperhatikan bunyi Pasal 188 ayat (3) KUHAP yaitu: Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nurani. Disini tercermin bahwa pada akhirnya persoalannya diserahkan pada hakim untuk menilai kekuatan pembuktiannya, maka dengan demikian menjadi sama dengan apa yang disebut pengamatan hakim (eigen warrneming van rechter).39
e. Keterangan Terdakwa Alat bukti terakhir dalam susunan alat bukti yang diatur dalam KUHAP merupakan
adalah
keterangan
keterangan
yang
terdakwa. hanya
Keterangan
mengandung
terdakwa pengakuan
kebenaran. Pengakuan terdakwa disini bukan hanya pengakuan yang diberikan di muka persidangan tetapi juga pengakuan diluar persidangan. Pengakuan di muka persidangan saja tidak cukup untuk menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa. Pasal 189 ayat (1) KUHAP merumuskan keterangan terdakwa sebagai berikut: Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Keterangan terdakwa yang ia berikan di luar sidang digunakan untuk membantu menemukan bukti di persidangan, sebagaimana ketentuan Pasal 189 ayat (2) KUHAP sebagai berikut:
39
Andi Hamzah, 2001, Op.cit, hlm. 272.
29
Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Antara keterangan terdakwa dengan pengakuan terdakwa mempunyai perbedaan, dalam hal ini Andi Hamzah mengatakan sebagai berikut: Keterangan terdakwa berbeda dengan pengakuan terdakwa sebagaimana yang terdapat dalam HIR karena pengakuan terdakwa mempunyai syarat yaitu mengakui ia yang melakukan delik yang didakwakan dan mengaku bersalah. Sedangkan keterangan terdakwa mempunyai pengertian yang lebih luas, yaitu dapat berupa pengakuan atau penyangkalan atau penyangkalan sebagian.40 Pasal 189 ayat (3) KUHAP selanjutnya merumuskan mengenai penggunaan keterangan terdakwa hanya bagi dirinya sendiri, yaitu sebagai berikut: Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa keterangan terdakwa tidak boleh dipergunakan sebagai alat bukti terhadap kawan terdakwa dalam perkara yang sama, dapat pula diartikan bahwa dalam pemeriksaan perkara pidana yang bersifat ingin mengejar kebenaran materiil agar terdakwa yang diperiksa jangan membawa-bawa orang lain yang tidak menyangkut dengan dirinya dan untuk menghindari adanya fitnah terhadap diri orang lain yang tidak bersalah. 40
Andi Hamzah, 2001, Op.cit, hlm. 273.
30
C. Justice Collaborator 1.
Pengertian Justice Collaborator Dari alat bukti yang telah disebutkan diatas, yang menjadi hal paling mendasar dalam pembuktian ialah keterangan saksi. Dalam pengungkapan tindak pidana korupsi, penyidik membutuhkan keterangan saksi. Relevan dengan hal tersebut, dalam khasanah istilah saksi dan pengungkapan suatu tindak pidana dikenal istilah whistle blower dan justice collaborator. Whistle blower menurut Quentin Dempster adalah orang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya malpraktik, atau korupsi.41 Dari sudut pandang Hadiastanto, whistle blower merupakan istilah bagi karyawan, mantan karyawan, atau pekerja anggota suatu institusi atau organisasi yang melaporkan suatu tindakan yang dianggap melawan ketentuan kepada pihak yang berwenang. Ketentuan yang dilanggar merupakan ancaman bagi kepentingan publik. Sebagai contoh misalnya orang yang melaporkan perbuatan yang diduga tindak pidana korupsi.42 Fakta yang diungkap ini tentu bukanlah informasi yang biasa melainkan berupa informasi-informasi penting yang dapat mengungkap
41
Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Perspektif Hukum, Penaku, Jakarta, 2012, hlm.7. 42 Ibid, hlm. 8.
31
suatu tindak pidana. Adapun menurut Mardjono Reksodiputro yang menyebutkan bahwa organisasi tempat informasi berada dapat berupa:43 1. Tempat atau organisasi yang sah, seperti organisasi pemerintah atau organisasi publik; 2. Tempat atau organisasi bisnis; 3. Tempat atau organisasi kriminal. Disamping whistle blower terdapat juga istilah participant whistleblower / supergrass (justice collaborator) yang mana memiliki arah kepada pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum dalam mengungkap kerumitan kasus suatu tindak pidana. Dalam pandangan Zucarelli44, Justice Collaborator ini memiliki definisi yaitu sebagai berikut: “Collaborators of Justice (supergrass): any person who faces criminal charges, or has been convicted of taking part in a criminal association or other criminal organization of any kind, or in offences of organised crime, but who agrees to ccooperate with criminal justice authorities, particularly by giving testimony about a criminal association or organisation, or about any offence connected with organized crime or other serious crimes (or in other words: the co-defendant who has decided to co-operate with the justice authorities and who is prepared to give testimony in court against his former associates).” Dalam rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Tahun 2011, justice collaborator telah diatur dalam Pasal 52 ayat (1): “Salah seorang tersangka atau terdakwa yang peranannya paling ringan dapat 43
Ibid. Fausto Zucarelli, Handling and Protection Witnesses and Collaborations of Justice, the Italian Experience, disampaikan pada International Seminar on the Protection of Whistle Blower as Justice Collaborator, di Jakarta, 09 Juli 2011. 44
32
dijadikan saksi dalam perkara yang sama dan dapat dibebaskan dari penuntutan pidana, jika ia dapat membantu mengungkap tindak pidana korupsi tersebut. Pasal 52 ayat (2):
“Jika tidak ada tersangka atau
terdakwa yang perannya ringan dalam tindak pidana korupsi.... maka yang membantu mengungkap tindak pidana korupsi dapat dikurangi pidananya.” Kedua istilah di atas yaitu whistle blower dan justice collaborator adalah merupakan istilah yang baru dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia. Hal tersebut kerap kali menimbulkan kesalahan istilah dalam menyebut diantara salah satu istilah tersebut yang sering tertukar. Seseorang dapat dikatakan justice collaborator jika dia turut terlibat dalam tindak pidana yang diungkapkannya namun bukan sebagai pelaku utama, tetapi jika hanya sebagai pengungkap fakta tanpa terlibat dikatakan sebagai whistle blower. Perbedaan mendasar antara whistle blower dan justice collaborator terletak pada subjeknya, dimana subjek whistle blower adalah seseorang yang mengadukan dan mengungkap tindak pidana terorganisir sebelum ia menjadi tersangka atau sering disebut saksi pelapor, sedangkan pengertian justice collaborator menurut poin 9 a SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu adalah yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam
33
SEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan. Dalam perkembangannya, praktik whistle blower tidak berjalan sendirian, ia diikuti dengan praktik justice collaborator. Peran justice collaborator sangat signifikan guna menangkap otak pelaku yang lebih besar sehingga tindak pidana dapat tuntas dan tidak berhenti pada di pelaku yang berperan minim dalam tindak pidana korupsi. Adapun syarat penetapan untuk menjadi seorang justice collaborator yang diatur dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu adalah tindak pidana yang diungkap merupakan tindak pidana serius atau terorganisir. Hal ini terkait dengan keberadaan justice collaborator yang memperkuat pengumpulan alat bukti dan barang bukti di persidangan. Whistle blower dan justice collaborator merupakan bentuk peran serta masyarakat yang tumbuh dari suatu kesadaran membantu aparat penegak hukum mengungkap tindak pidana yang tidak banyak diketahui orang dan melaporkannya kepada aparat penegak hukum.45 Maka ada privilage khusus untuk whistle blower dan justice collaborator dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan terbitnya SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana 45
Firman Wijaya, Op.cit, hlm. 16.
34
(Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Oleh karena itu saksi dan/ atau korban dengan kriteria tertentu, yaitu mempunyai keterangan yang sangat penting dalam pengungkapan peristiwa suatu tindak pidana serta mengalami ancaman yang sangat membahayakan jiwa saksi dan/atau korban tersebut, perlu dipenuhi hak dan jaminan perlindungan hukumnya.46 Pengaturan mengenai perlindungan whistle blower (pengungkap fakta/pelapor) secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban, yaitu pada Pasal 10 menyebutkan: (1) Saksi, Korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. (2) Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringakan pidana yang akan dijatuhkan. (3) Ketentuan dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap saksi, korban, dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik. Meski pasal ini tidak secara khusus menyebutkan pelapor dengan istilah whistle blower atau justice collaborator, tapi yang dimaksud dengan pelapor dalam penjelasan UU ini adalah orang yang memberikan
46
Lies Sulistiani, et. Al, Sudut Pandang Peran LPSK dalam Perlindungan Saksi dan Korban, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, hlm. 1-2.
35
informasi kepada penegak hukum mengenai suatu tindak pidana.47 Secara yuridis normatif berdasarkan pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, keberadaan justice collaborator tidak ada tempat untuk mendapatkan perlindungan secara hukum, artinya tidak adanya suatu kepastian hukum yang jelas bagi seorang justice collaborator. Bahkan seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Sementara itu, SEMA No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu angka 9 huruf a, justice collaborator dimaknai sebagai seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama yang mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan. 2.
Justice Collaborator sebagai Alat Bukti Dalam peraturan bersama antara Menteri Hukum dan HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung, Polisi Republik Indonesia (POLRI), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Mahkamah Agung (MA) justice collaborator dapat diartikan
47
Abdul Haris Semendawai, “Revisi Undang-Undang No.13 tahun 2006, Momentum Penguatan Perlindungan Saksi dan Korban”, Jurnal Perlindungan Saksi dan Korban, Volume 1 Tahun 2011, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), hlm. 30.
36
sebagai seorang saksi yang juga merupakan seorang pelaku, tetapi mau bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam rangka membongkar suatu perkara, bahkan mengembalikan asset kejahatan hasil korupsi jika asset itu ada pada dirinya. Sehingga dengan begitu, muncul pembuktian alat bukti yang berasal dari alat bukti saksi dan menguatkan keyakinan hakim karena memperoleh keterangan dalam pembuktian saksi berasal dari Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator). Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi, “tiada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurangkurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.”48 Suatu pengungkapan atau kesaksian kebenaran dalam suatu scandal crime ataupun serious crime oleh justice collaborator jelas merupakan ancaman nyata bagi pelaku kejahatan49. Pelaku kejahatan akan menggunakan berbagai cara untuk membungkam dan melakukan aksi pembalasan sehingga kebijakan perlindungan seharusnya bersifat prevensial (mencegah sebelum terjadi) kehadiran justice collaborator memang sulit dibantah dapat menjadi alat bantu, sekalipun seorang justice collaborator berani mengambil resiko yang sangat berbahaya bagi 48
M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 286.
49
Firman Wijaya, Op.Cit, hlm. 42
37
keselamatan fisik maupun psikis dirinya, dan keluarganya, resiko terhadap pekerjaan dan masa depannya.50 Maka perlu dirancang landasan hukum maupun bentuk-bentuk perlindungan hukum yang kuat dan skema perlindungan yang jelas dan terukur bagi justice collaborator dalam pengungkapan tindak pidana tertentu khususnya tindak pidana korupsi terutama di lingkungan aparat publik yang terkait dengan mal administrasi, penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan yang membahas kepentingan umum. Dalam realitasnya justice collaborator seringkali kurang mendapatkan perlindungan hukum dalam proses hukumnya. Berdasarkan penjabaran diatas sangatlah patut adanya perlindungan hukum bagi justice collaborator dalam mengungkap fakta tindak pidana korupsi di Indonesia. Terhadap orang-orang yang kritis dan berani mencegah dan mengungkap korupsi yang telah ia lakukan bersama rekan-rekannya, kebalikannya seringkali diberikan sanksi dengan merekayasa seolah-olah yang bersangkutan melakukan perbuatan indisipliner atau perbuatan melawan hukum. Justice collaborator perlu diberikan perlindungan hukum, sehingga ia tidak selalu menjadi korban dengan harapan justice collaborator yang lain mampu bekerjasama dan mempermudah aparat hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana korupsi guna menemukan alat bukti serta menangkap tersangka yang lain.
50
Ibid.
38
Hakim sebagai corong undang-undang pun harus paham terhadap hak-hak yang didapat dari seorang justice collaborator, karena pemberian hak terhadap justice collaborator tersebut tergantung dari bagaimana seorang hakim membuat keputusan.
39
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu metode pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positivis. Konsep ini memandang hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dan meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif yang mandiri, bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang nyata serta menganggap normanorma lain bukan sebagai hukum. 51 Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif karena penelitian ini dikonsepsikan dan dikembangkan atas dasar peraturan perundang-undangan yang ada dengan cara meneliti bahan kepustakaan yang bertujuan untuk mengetahui suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum yang berkaitan dengan urgensi justice ccollaborator dalam pengungkapan kasus tindak pidana korupsi pada Putusan No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst. Penggunaan pendekatan diatas didasarkan pada asumsi bahwa hukum dalam penelitian ini dikonsepsikan sebagai putusan-putusan lembaga-lembaga atau institusi yang berwenang yang tersistem dalam kegiatan upaya penyidikan yang berorientasi pada penemuan hukum konkreto yang bersumber pada putusan-putusan pengadilan. 51
Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 13-14.
40
B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif yaitu penelitian yang akan menggambarkan objek atau masalah tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum. Penelitian menggambarkan peristiwa in concreto yang dikonsultasikan pada seperangkat peraturan hukum positif yang berlaku dan ada kaitannya dengan masalah yang menjadi objek penelitian. C. Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pusat Informasi
Ilmiah
Fakultas
Hukum
Universitas
Jenderal
Soedirman,
Perpustakaan Pusat Universitas Jenderal Soedirman, Perpustakaan Mochtar Kusumaatmadja Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. D. Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan data sekunder untuk mendapatkan hasil yang objektif. Dari data sekunder tersebut akan dibagi dan diuraikan ke dalam tiga bagian yaitu : a.
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat berupa peraturan per-undang-undangan yang berlaku.
b.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, antara lain literatur-literatur, hasil penelitian, artikel-arikel ilmiah, baik dari koran maupun internet.
c.
Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain kamus hukum, ensiklopedia, kamus bahasa.
41
E. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data akan dilakukan dengan cara studi kepustakaan
dengan
menginventarisir
peraturan
per-undang-undangan,
dokumen-dokumen resmi, hasil penelitian, makalah, jurnal, buku-buku yang berkaitan dengan materi, Putusan No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN. Jkt. Pst yang menjadi objek penelitian untuk selanjutnya dipelajari dan dikaji sebagai satu kesatuan yang utuh. F. Metode Penyajian Data Data yang berupa bahan-bahan hukum yang diperoleh kemudian akan disajikan dalam bentuk teks naratif, uraian-uraian yang disusun secara sistematis, logis dan rasional. Keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan
satu
dengan
yang
lainnya
disesuaikan
dengan
pokok
permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh. G. Metode Analisis Data Sebagai cara untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul, akan dipergunakan metode analisis normatif kualitatif. Normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai norma hukum positif. Sedangkan kualitatif dimaksudkan analisis data yang bertitik tolak pada usaha-usaha penelitian asas-asas dan informasi-informasi yang bersifat ungkapan monografis dan responden.
42
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Penelitian tentang Urgensi Justice Collaborator dalam Pengungkapan Kasus Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, bahan yang diperoleh berdasarkan buku-buku literatur dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap perkara Nomor : 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst, maka diperoleh data-data sebagai berikut : 1. Identitas Terdakwa Terdakwa I: Nama
: Ir. Jacob Purwono
Tempat Lahir
: Jakarta
Umur / Tanggal lahir
: 56 tahun / 2 Agustus 1956
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Kewarganegaraan
: Indonesia
Alamat/Tempat tinggal
: Perumahan Taman Asri Blok A1/2 Cipadu, Ciledug Tangerang
Agama
: Katolik
Pekerjaan
: Pegawai Negeri Sipil/ Staf pada Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan (Mantan direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi dan Sumber Daya Mineral Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral)
43
Terdakwa II: Nama
: Kosasih Abbas
Tempat Lahir
: Kuningan, Jawa Barat
Umur
: 53 tahun/ 3 Juli 1959
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Kewarganegaraan
: Indonesia
Alamat/Tempat tinggal
: Jalan Pangeran Sogiri No. 131 RT 02/ RW 04, Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Bogor Utara, Bogor, Jawa Barat
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Pegawai Negeri Sipil/ Staf pada Bagian Umum Sekretariat Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Mantan Kepala Sub Direktorat Usaha Energi Baru dan Terbarukan dan Konversi Energi pada Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral)
2. Duduk Perkara Pengadaan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM TA 2007 Terdakwa I pada tahun 2007 diangkat sebagai KPA/KPB Lisdes dan Terdakwa II diangkat sebagai PKK Kegiatan Energi Baru Terbarukan untuk seluruh Satker Lisdes dengan surat Keputusan Menteri ESDM Nomor 0306.K/80/MEM/2007 tanggal 27 Januari 2007 tentang Pengangkatan Pengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Departemen Energi dan
44
Sumber Daya Mineral pada Satuan Kerja Induk Pembangkit dan Jaringan serta Listrik Pedesaan Tahun Anggaran 2007. Terdakwa I dan II setelah mengetahui adanya surat pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) TA sebesar Rp 277.986.086.000 (dua ratus tujuh puluh tujuh sembilan ratus delapan puluh enam juta delapan puluh enam ribu rupiah) yang dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan pada Satker Ditjen LPE, sekitar bulan Januari 2007 bertempat di ruang kerja Terdakwa I membahas rencana pengelolaan DIPA tersebut, pada saat itu Terdakwa I menyampaikan rencana pelaksanaan kegiatan pengadaan dan pemasangan SHS di seluruh Indonesia walaupun dalam DIPA tersebut tidak ada alokasi anggaran peruntukannya. Selain itu, Terdakwa I menegaskan bahwa Ditjen LPE membutuhkan banyak dana yang sifatnya mendadak tapi tidak tersedia dananya sehingga Terdakwa I meminta Terdakwa II agar dalam proses kegiatan pengadaan tersebut mengikuti arahan Terdakwa I antara lain mengatur rekanan yang akan menjadi pelaksanaan kegiatan pengadaan dan pemasangan SHS serta mempergunakan dana tersebut sesuai petunjuk Terdakwa I. Terdakwa II selanjutnya pada awal bulan Maret 2007 memberitahukan rencana kegiatan pengadaan dan pemasangan SHS kepada Dothor Pandjaitan dan meminta kesediaannya untuk ditunjuk sebagai Ketua Panitia Pengadaan, kemudian Terdakwa II memerintahkan Dothor Pandjaitan membuat surat permintaan informasi harga SHS kepada PT. Sundaya Indonesia, PT. LEN
45
Industri, dan PT. Wijaya Karya Intrade. Sehingga Terdakwa II pada bulan April 2007 sudah memperoleh harga SHS dari masing-masing PT tersebut. Selanjutnya, Dothor Pandjaitan pada pertengahan bulan Mei 2007 di ruang Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi pada Ditjen LPE Departemen ESDM menyampaikan kepada seluruh anggota panitia pengadaan yang telah dibentuknya agar harga satuan SHS yang akan digunakan dalam penyusunan HPS berdasarkan pada harga dari PT. Sundaya Indonesia, PT. LEN Industri dan PT. Wijaya Karya Intrade, sehingga Panitia Pengadaan hanya menghitung harga rata-rata dari harga ketiga perusahaan tersebut kemudian menyepakati harga satuan SHS sebesar Rp 5.960.000,00 (lima juta sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) belum termasuk PPN 10% serta biaya pengiriman dan asuransi barang. Terdakwa II atas persetujuan Terdakwa I menandatangani dokumen HPS dan mengarahkan panitia pengadaan untuk menyusun dokumen pengadaan dalam 17 paket pekerjaan, sehingga Panitia Pengadaan mempersiapkan proses dokumen pengadaannya dengan menggunakan HPS yang telah ditetapkan oleh Terdakwa II yang pelaksanaannya dibagi menjadi 3 tahap, dan pada tanggal 28 Juni 2007 Panitia Pengadaan mengumumkan 11 paket pekerjaan Tahap I dan Tahap II untuk pengadaan dan pemasangan 36.245 unit SHS dengan nilai perkiraan pekerjaan berjumlah Rp 254.709.728.000,00 (dua ratus lima puluh empat milyar tujuh ratus sembilan juta tujuh ratus dua puluh delapan rupiah) padahal saat pengumuman 11 paket
46
pekerjaan tersebut tidak ada Term of Reference (TOR), Rencana Anggaran Biaya (RAB) maupun Petunjuk Operasional Kegiatan (POK). Terdakwa I mengetahui bahwa dalam pengesahan Revisi I DIPA tertanggal 4 Juli 2007 tercantum adanya penambahan anggaran sebesar Rp 408.884.492.000,00 (empat ratus delapan milyar delapan ratus delapan empat juta empat ratus sembilan puluh dua rupiah) yang dialokasikan pada Satker Lisdes Ditjen LPE dalam Program Peningkatan Kualitas Jasa Pelayanan Sarana dan Prasarana Ketenagalistrikan yang diperuntukkan sebagai belanja modal perlaatan dan mesin dalam kegiatan pembangunan pembangkit listrik dengan volume 36.271 unit, kemudian Terdakwa I pada tanggal 2 Juli 2007 menerbitkan Petunjuk Operasional Kegiatan (POK) untuk mendukung kegiatan pengadaan dan pemasangan SHS sebanyak 36.245 unit dengan anggaran sebesar Rp 254.652.516.000,00 (dua ratus lima puluh empat milyar enam ratus lima puluh dua juta lima ratus enam belas ribu rupiah). Sehingga seolah-olah penyusunan dan pengumuman paket pekerjaan yang dilakukan oleh Panitia Pengadaan telah didasarkan pada alokasi anggaran dalam Revisi DIPA dan POK tersebut. Terdakwa I selanjutnya mengarahkan Terdakwa II agar mengatur pemenang lelang yang akan ditetapkan sebagai rekanan pelaksana dengan memberikan catatan nama-nama perusahaan tertentu antara lain PT. Eltran Indonesia, PT. LEN Industri, PT. Azet Surya Lestari, PT. Mitra Muda Berdikari Indonesia, PT. Altari Energi Surya, CV. Cipta Sarana, dan PT. Pancuranmas Jaya. Selanjutnya Terdakwa II menyerahkan catatan nama-
47
nama perusahaan tersebut kepada Panitia Pengadaan dengan memberi arahan agar nama-nama perusahaan tersebut dicantumkan dalam usulan penetapan pemenang pelelangan. Terdakwa II setelah menerima dokumen usulan penetapan pemenang pelelangan dari panitia pengadaan sebagaimana arahan Terdakwa I, pada bulan Agustus 2007 menandatangani surat keputusan tentang penunjukkan pemenang pelelangan pekerjaan pengadaan dan pemasangan SHS untuk masing-masing paketan pekerjaan yang kemudian dijadikan dasar oleh panitia pengadaan dalam mengumumkan pemenang lelang. Terdakwa II atas sepengetahuan dan persetujuan Terdakwa I, selanjutnya memerintahkan Panitia Pengadaan untuk memproses pelaksanaan pengadaan tahap III sebanyak 4.356 unit SHS dengan perkiraan nilai pekerjaan sebesar Rp 30.330.509.000,00 (tiga puluh milyar tiga ratus tiga puluh juta lima ratus sembilan ribu rupiah) padahal POK untuk pengadaan paket pekerjaan tersebut belum ada, kemudian Terdakwa II mengatur pemenang lelang yang akan ditetapkan sebagai rekanan pelaksana dengan menyerahkan catatan nama-nama perusahaan tertentu dari Terdakwa I antara lain PT. Polandow, PT. Malista Konstruksi, PT. Pentas Menara Komindo, dan PT. Citrakaton Dwidaya Lestari,
atas perintah tersebut sejak bulan
September 2007 Panitia Pengadaan kembali melakukan proses penyusunan dokumen pengadaan 6 (enal) paket tambahan tersebut dan mencantumkannya dalam dokumen pengumuman lelang.
48
Terdakwa II setelah menerima dokumen usulan penetapan pemenang pelelangan tahap III dari Panitia Pengadaan, pada tanggal 6 November 2007 menandatangani surat keputusan tentang penunjukkan pemenang pelelangan pekerjaan pengadaan dan pemasangan SHS untuk keenam paket pekerjaan tersebut dan kemudian dijadikan dasar oleh Panitia Pengadaan dalam mengumumkan pemenang lelang. Terdakwa I pada tanggal 8 November 2007 menerbitkan revisi II POK atas revisi I DIPA tertanggal 2 Juli 2007 yang di dalamnya mencantumkan tambahan alokasi anggaran sebesar Rp 30.349.707.000,00 (tiga puluh milyar tiga ratus empat puluh sembilan juta tujuh ratus tujuh ribu rupiah) untuk pengadaan tambahan sejumlah 4.356 unit SHS pada tahap III yang telah ditetapkan rekanan pelaksananya oleh Terdakwa II, sehingga seolah-olah penyusunan dan pengumuman paket pekerjaan yang dilakukan oleh Panitia Pengadaan telah didasarkan pada alokasi anggaran dalam Revisi II POK, kemudian berdasarkan Revisi II POK tersebut Terdakwa II kemudian menandatangani Surat Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan bersama-sama dengan masing-masing rekanan yang ditetapkan sebagai pemenang. Terdakwa I dan II mengetahui bahwa untuk pekerjaan pengujian atau pemeriksaan barang tidak ada dianggarkan dalam DIPA sehingga memerintahkan Panitia Penguji/Penerima Barang/Jasa yang telah diangkat oleh Terdakwa I untuk melakukan pemeriksaan dan pengujian barang dengan menggunakan biaya dari rekanan. Atas perintah tersebut, Panitia Penguji/ Penerima Barang/Jasa melakukan pengujian dan pemeriksaan barang dengan
49
metode sampling yang dibiayai oleh rekanan pelaksana dan membuat Berita Acara Pemeriksaan Kemajuan Pekerjaan Pengadaan dan Pemasangan SHS yang kemudian dijadikan dasar bagi Terdakwa II untuk mencairkan anggaran kegiatan pengadaan tersebut secara bertahap, selanjutnya pada bulan Desember 2007 Panitia Penguji/ Penerima Barang/Jasa membuat Berita Acara
Pengujian/Penerimaan
Barang
seolah-olah
pekerjaan
sudah
dilaksanakan 100%. Terdakwa II mengetahui bahwa pekerjaan pengadaan dan pemasangan SHS belum dilaksanakan seluruhnya namun pada akhir TA 2007 Terdakwa II atas persetujuan Terdakwa I telah mencairkan seluruh anggaran untuk 17 kontrak tersebut yang seluruhnya berjumlah Rp 246.141.512.977,00 (dua ratus empat puluh enam milyar seratus empat puluh satu juta lima ratus dua belas ribu sembilan ratus tujuh puluh tujuh rupiah) setelah dipotong pajak dengan
menggunakan
lampiran
dokumen
Berita
Acara
Pengujian/
Penerimaan Barang yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Perbuatan Terdakwa I dan II bersama-sama dengan masing-masing rekanan pelaksana kontrak terkait dengan proses pengadaan dan pemasangan SHS TA 2007 dalam penetapan pemenang lelang, penandatanganan kontrak, pengujian/ penerimaan barang serta pencairan anggaran telah memberi keuntungan secara tidak sah kepada msing-masing rekanan pelaksana yang diperoleh dari selisih antara nilai kontrak dengan biaya riil yang dikeluarkan setelah dipotong pajak.
50
Terdakwa II kemudian memerintahkan Pajian untuk menyimpan dan mengelola uang-uang yang diterima dari para rekanan tersebut dan kemudian dikeluarkan penggunaannya sesuai dengan argan dan persetujuan Terdakwa I yaitu untuk Terdakwa I sebesar Rp 4.350.000.000,00 (empat milyar tiga ratus lima puluh juta rupiah) dan Terdakwa II sebesar Rp 1.650.000.000,00 (satu milyar enam ratus lima puluh juta rupiah). Dari rangkaian perbuatan melawan hukum yang dilakukan Terdakwa I dan II bersama-sama dengan rekanan pelaksana sebagaimana disebutkan diatas telah memperkaya Terdakwa I, Terdakwa II, rekanan pelaksana, Panitia Pengadaan Barang sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 77.358.892.240,00 (tujuh puluh tujuh miliar tiga ratus lima puluh delapan juta delapan ratus sembilan puluh dua ribu dua ratus empat puluh rupiah). Pengadaan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM TA 2008 Terdakwa I pada tahun 2008 diangkat sebagai KPA/KPB Lisdes dan Terdakwa II diangkat sebagai PKK Kegiatan Energi Baru Terbarukan untuk seluruh Satker Lisdes dengan surat Keputusan Menteri ESDM Nomor 3000.K/80/MEM/2007 tanggal 28 Desember 2007 tentang Pengangkatan Pengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 di Lingkungan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Terdakwa I dan II setelah menerima surat pengesahan DIPA TA 2008 sebesar Rp 527.714.013.000,00 (lima ratus dua puluh tujuh miliar tujuh ratus
51
empat belas juta tiga belas ribu rupiah) yang dialokasikan untuk kegiatankegiatan pada Satker Ditjen LPE, sekitar awal bulan Februari 2008 bertempat di ruang kerja Terdakwa I membahas rencana pengelolaan DIPA, pada saat itu Terdakwa I mengarahkan Terdakwa II untuk merencanakan pelaksanaan kegiatan pengadaan dan pemasangan SHS di seluruh Indonesia seperti yang dilaksanakan pada tahun 2007. Terdakwa II pada akhir bulan Februari 2008 di ruang Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi pada Ditjen LPE Departemen ESDM menyampaikan kepada Dothor Pandjaitan dan seluruh anggota panitia pengadaan tahun 2007 bahwa pada tahun 2008 akan direncanakan kegiatan pengadaan dan pemasangan SHS seperti pada tahun 2007 dan meminta kesediaan Dothor Pandjaitan dan panitia pengadaan lainnya untuk ditunjuk sebagai Panitia Pengadaan TA 2008, selanjutnya Terdakwa II mengarahkan agar dalam proses pengadaan SHS TA 2008 menggunakan HPS pada kegiatan pengadaan dan pemasangan TA 2007 yaitu sebesar Rp 5.960.000,00 (lima juta sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) per unit SHS belum termasuk PPN 10% biaya pengiriman dan asuransi barang. Terdakwa II atas persetujuan Terdakwa I menandatangani dokumen HPS dan mengarahkan panitia pengadaan untuk menyusun dokumen pengadaan dalam 43 paket pekerjaan sehingga Panitia Pengadaan mempersiapkan proses dokumen pengadaannya dengan menggunakan HPS yang telah ditetapkan Terdakwa II yang pelaksanaannya dibagi menjadi 2 tahap dan pada tanggal 19 Maret 2008 Panitia Pengadaan mengumumkan 17
52
paket pekerjaan Tahap I untuk pengadaan dan pemasangan 19.555 unit SHS dengan nilai perkiraan pekerjaan berjumlah Rp 137.157.340.000,00 (seratus tiga puluh tujuh miliar seratus lima puluh tujuh juta tiga ratus empat puluh ribu rupiah) padahal saat pengumuman 17 paket pekerjaan tersebut tidak ada TOR, RAB maupun POK. Terdakwa I mengetahui bahwa dalam pengesahan DIPA tertanggal 31 Desember 2007 tercantum alokasi anggaran untuk pembangunan pembangkit listrik dengan kode 2137.0189 sebanyak 29.130 unit yang nilai anggarannya sebesar Rp 387.973.363.000,00 (tiga ratus delapan puluh tujuh miliar sembilan ratus tujuh puluh tiga juta tiga ratus enam puluh tiga ribu rupiah). Kemudian Terdakwa I pada tanggal 28 April 2008 menerbitkan POK untuk mendukung kegiatan pengadaan dan pemasangan SHS sebanyak 34.907 unit dengan anggaran sebesar Rp 244.914.318.000,00 (dua ratus empat puluh empat miliar sembilan ratus empat belas juta tiga ratus delapan belas ribu rupiah) sehingga seolah-olah penyusunan dan pengumuman paket pekerjaan yang dilakukan oleh Panitia Pengadaan telah didasarkan pada alokasi anggaran dalam DIPA dan POK tersebut. Terdakwa I pada sekitar bulan April 2008 mengarahkan Terdakwa II agar mengatur pemenang lelang yang akan ditetapkan sebagai rekanan pelaksana dengan memberikan catatan nama-nama perusahaan tertentu, selanjutnya Terdakwa II menyerahkan catatan nama-nama perusahaan tersebut kepada Panitia Pengadaan dengan memberi arahan agar nama-nama
53
perusahaan tersebut dicantumkan dalam usulan penetapan pemenang pelelangan. Terdakwa II setelah menerima dokumen usulan penetapan pemenang pelelangan dari Panitia Pengadaan pada pertengahan bulan Mei 2008 menandatangani surat keputusan tentang penetapan pemenang pelelangan pekerjaan pengadaan dan pemasangan SHS untuk masing-masing paket pekerjaan Tahap I, yang kemudian dijadikan dasar oleh Panitia Pengadaan dalam mengumumkan pemenang lelang. Terdakwa II selanjutnya menandatangani Surat Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan bersama-sama dengan masing-masing rekanan yang telah ditetapkan pemenangnya. Sehingga total nilai kontrak 17 paket untuk 19.555 unit SHS adalah sejumlah Rp 134.031.598.000,00 (seratus tiga puluh empat miliar tiga puluh satu juta lima ratus sembilan puluh delapan ribu rupiah). Selanjutnya,
Terdakwa
II
memerintahkan
Panitia
Pengadaan
memproses pelaksanaan pengadaan SHS tahap II sebanyak 26 paket pekerjaan untuk 17.684 unit SHS dengan nilai pekerjaan sebesar Rp 124.119.724.000,00 (seratus dua puluh empat miliar seratus sembilan belas juta tujuh ratus dua puluh empat ribu rupiah), walaupun di dalam pengesahan revisi I DIPA tanggal 15 Mei 2008 dalam kode 04.05.01.2137 untuk pembangunan pembangkit tenaga listrik ditetapkan sebanyak 29.130 unit dengan alokasi anggaran Rp 387.937.363.000,00 (tiga ratus delapan puluh tujuh miliar sembilan ratus tiga puluh tujuh juta tiga ratus enam puluh tiga
54
ribu rupiah) belum ditetapkan POK untuk kegiatan paket tersebut. Atas perintah tersebut, Panitia Pengadaan sejak tanggal 21 Juli 2008 kembali melakukan proses pengadaan tahap II tersebut. Sehinggal keseluruhan paket yang diproses pada tahap I dan tahap II adalah 43 paket pekerjaan untuk 37.239 unit dengan nilai perkiraan pekerjaan seluruhnya berjumlah Rp 261.277.064.000,00 (dua ratus enam puluh satu miliar dua ratus tujuh puluh tujuh juta enam puluh empat ribu rupiah). Bahwa pada tanggal 31 Juli 2008 Revisi II DIPA disahkan yang di dalamnya mencantumkan alokasi anggaran untuk pembangunan pembangkit listrik dengan kode 2137.0189 sebanyak 29.130 unit dengan pagu sebesar Rp 356.813.251.000,00 (tiga ratus lima puluh enam miliar delapan ratus tiga belas juta dua ratus lima puluh satu ribu rupiah), atas Revisi II DIPA tersebut, Terdakwa I menerbitkan revisi II POK tertanggal 14 Agustus 2008 yang menetapkan 17 paket pekerjaan pengadaan dan pemasangan SHS untuk 19.555 unit dengan alokasi anggaran sebesar Rp 137.157.340.000,00 (seratus tiga puluh tujuh miliar seratus lima puluh tujuh juta tiga ratus empat puluh ribu rupiah) dan menetapkan penambahan 29 paket pengadaan dan pemasangan SHS untuk 17.724 unit dengan alokasi anggaran sebesar Rp 124.119.724.000,00 (seratus dua puluh empat miliar seratus sembilan belas juta tujuh ratus dia puluh empat ribu rupiah), yang mana jumlah unit dan alokasi anggaran yang ditetapkan melalui penerbitan Revisi II POK tersebut menyesuaikan dengan paket dan nilai kontrak serta jumlah unit SHS yang sudah ditandatangani oleh Terdakwa II bersama-sama para rekanan pada
55
tahap I, selain itu Revisi II POK tersebut disesuaikan pula dengan penetapan paket tahap II yang telah diumumkan oleh Panitia Pengadaan sebelumnya, sehingga seolah-olah seluruh kontrak yang telah ditandatangani dan penambahan paket pekerjaan yang sedang diproses telah sesuai dengan Revisi II POK tersebut. Terdakwa II pada tanggal 16 September 2008 menandatangani surat keputusan tentang penunjukkan pemenang pelelangan pekerjaan pengadaan dan pemasangan SHS untuk 26 paket pekerjaan yang diusulkan oleh Panitia Pengadaan sesuai dengan arahan Terdakwa I dan II, kemudian penetapan tersebut dijadikan dasar oleh Panitia Pengadaan untuk mengumumkan pemenang lelang. Terdakwa II atas persetujuan Terdakwa I selanjutnya menandatangani Surat Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan bersama-sama dengan masing-masing rekanan yang telah ditetapkan sebagai pemenang. Sehingga total nilai kontrak 26 paket untuk 17.724 unit adalah sebesar Rp 121.244.962.568,00 (seratus dua puluh satu miliar ddua ratus empat puluh empat juta sembilan ratus enam puluh dua ribu lima ratus enam puluh delapan rupiah). Terdakwa I dan II selanjutnya menyetujui adanya pelaksanaan subkontrak kepada pihak lain yang dilakukan oleh rekanan pemenang lelang. Padahal Terdakwa I dan II mengetahui bahwa perbuatan rekanan pemenang lelang yang mensubkontrakkan pekerjaan pengadaan, atas kontrak yang telah ditandatangani adalah perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan
56
Keppres RI Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Terdakwa I dan II mengetahui bahwa untuk pekerjaan pengujian dan pemeriksaan barang tidak ada dianggarkan dalam DIPA sehingga memerintahkan Panitia Penguji/Penerima Barang/Jasa yang telah diangkat oleh Terdakwa I untuk melakukan pemeriksaan dan pengujian barang dengan menggunakan biaya dari rekanan. Atas perintah tersebut panitia melakukan pengujian dan pemeriksaan barang tahap I dan II dengan metode sampling yang dibiayai oleh rekanan pelaksana dan membuat berita acara progres pekerjaan yang kemudian dijadikan dasar bagi Terdakwa II untuk mencairkan anggaran kegiatan pengadaan tersebut secara bertahap sejak bulan Juni 2008, selanjutnya pada bulan Desember 2008 Panitia Penguji/Penerima Barang/Jasa membuat Berita Acara Pengujian/Penerimaan Barang seolah-olah pekerjaan pengadaan dan pemasangan SHS tahap I dan II tersebut sudah dilaksanakan 100%. Terdakwa II meskipun mengetahui bahwa pekerjaan pengadaan dan pemasangan SHS tahap I dan II belum dilaksanakan seluruhnya namun pada akhir TA 2008 atas persetujuan Terdakwa I telah mencairkan seluruh anggaran untuk 43 kontrak TA 2008 yang seluruhnya berjumlah Rp 228.231.458.354,00 (dua ratus dua puluh delapan miliar dua ratus tiga puluh satu juta empat ratus lima puluh delapan ribu tiga ratus lima puluh empat rupiah) setelah dipotong pajak dengan menggunakan lampiran dokumen
57
berita acara pengujian/penerimaan barang yang tidak sesuai dengan bukti yang sebenarnya. Perbuatan Terdakwa I dan II bersama-sama dengan masing-masing rekanan pelaksana kontrak terkait proses pengadaan dan pemasangan SHS TA 2008, penetapan pemenang lelang,
penandatanganan kontrak,
pengujian/penerimaan barang serta pencairan anggaran telah memberi keuntungan secara tidak sah kepada masing-masing rekanan pelaksana yang diperoleh dari selisih antara nilai kontrak dengan biaya riil yang dikeluarkan setelah dipotong pajak. Terdakwa II kemudian memerintahkan Paijan untuk menyimpan dan mengelola uang-uang yang diterima dari para rekanan tersebut dan kemudian dikeluarkan penggunaannya sesuai dengan arahan dan persetujuan Terdakwa I, yaitu untuk: 1.
Terdakwa I sebesar Rp 2.890.000.000,00 (dua miliar delapan ratus sembilan puluh juta rupiah);
2.
Terdakwa II sebesar Rp 1.163.000.000,00 (satu miliar seratus enam puluh tiga juta rupiah);
3.
Soekanar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
4.
Panitia Pengadaan Barang yaitu Dothor Pandjaitan sebesar Rp 22.000.0000,00 (dua puluh dua juta rupiah);
5.
Panitia Penguji/Penerima Barang/Jasa sebesar Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah). Dari rangkaian perbuatan melawan hukum yang dilakukan Terdakwa I
dan II bersama-sama dengan rekanan pelaksana sebagaimana disebutkan
58
diatas telah memperkaya Terdakwa I, Terdakwa II, Soekanar, rekanan pelaksana, Panitia Pengadaan Barang, Panitia Penguji/Penerima Barang/Jasa sehingga
mengakibatkan
kerugian
keuangan
negara
sebesar
Rp
144.821.161.382,00 (seratus empat puluh empat miliar delapan ratus dua puluh satu juta seratus enam puluh satu ribu tiga ratus delapan puluh dua rupiah). 3. Dakwaan Penuntut Umum Berdasarkan uraian diatas, maka Terdakwa I dan Terdakwa II didakwa dengan dakwaan subsidair, yaitu melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Dakwaan Nomor Register Perkara 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst sebagai berikut: Primair: Terdakwa I dan II melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
59
Subsidair: Terdakwa I dan II melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas
Undang-Undang
Nomor
31
Tahun
1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana. 4. Tuntutan Penuntut Umum Penuntut Umum memohon supaya Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan: 1. Menyatakan Terdakwa I Ir. Jacob Purwono, M.S.E.E dan Terdakwa II Ir. Kosasih Abbas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana sebagaimana dalam Dakwaan Primair;
60
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa I Ir. Jacob Purwono, M.S.E.E berupa pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun, dikurangi selama Terdakwa I berada dalam tahanan, dan pidana denda sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) subsidair 6 bulan kurungan, dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan; 3. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa II Ir. Kosasih Abbas berupa pidana penjara selama 4 (empat) tahun, dikurangi selama Terdakwa II berada dalam tahanan, dan pidana denda sebesar Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan, dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan; 4. Menghukum Terdakwa I, Jacob Purwono untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 8.368.000.000,00 (delapan miliar tiga ratus enam puluh delapan juta rupiah) dengan ketentuan apabila dalam tenggang 1 (satu) bulan setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap Terdakwa I tidak membayar uang pengganti tersebut maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk memenuhi pembayaran uang pengganti tersebut, dan dalam hal Terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut maka Terdakwa I dipidana penjara selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan; 5. Menghukum Terdakwa II, Kosasih Abbas
untuk membayar uang
pengganti sebesar Rp 2.388.975.500,00 (dua miliar tiga ratus delapan
61
puluh delapan juta sembilan ratus tujuh puluh lima ribu lima ratus rupiah) dengan ketentuan apabila dalam tenggang 1 (satu) bulan setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap Terdakwa II tidak membayar uang pengganti tersebut maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk memenuhi pembayaran uang pengganti tersebut, dan dalam hal Terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut maka Terdakwa II dipidana penjara selama 1 (satu) tahun; 6. Memerintahkan agar seluruh Panitia Pengadaan dan Panitia Penguji dan Penerima Barang yang telah memperoleh pemberian dari Terdakwa II dan rekanan dalam pelaksanaan pengadaan dan pemasangan SHS TA 2007 dan TA 2008 untuk mengembalikan uang kepada negara dengan perincian sebagai berikut: a. Dothor Pandjaitan sebesar Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta
rupiah), b. Hanat Hamidi sebesar Rp 18.500.000,00 (delapan belas juta lima ratus ribu rupiah), c. Helmi Priko Nainggolan sebesar Rp 18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah), d. Totoh Abdul Fatah sebesar Rp 16.000.000,00 (enam belas juta rupiah), e. Suharwijayanto sebesar Rp 14.000.000,00 (empat belas juta rupiah), f. Asep Racham sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
62
g. Hafiluddin sebesar Rp 7.700.000,00 (tujuh juta tujuh ratus ribu rupiah), h. Ezrom Max Donald Tapparan sebesar Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus rupiah), i. M. Darmawan Komar sebesar Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah), j. Sumardjono sebesar Rp 5.500.000,00 (lima juta lima ratus ribu rupiah), k. Paijan sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah), l. Suyanto sebesar Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah); 7. memerintahkan agar seluruh rekanan yang telah diperkaya sehingga mendapat keuntungan yang tidak sah dalam pelaksanaan pengadaan dan pemasangan SHS TA 2007 dan TA 2008 untuk mengembalikan kepada negara; 8. Menetapkan barang bukti berupa: a. BB 161 : 1 (satu) Hardisk External HDD Wester Digital 250 GB, penguasa barang Dothor Panjaitan memiliki MD5 hash : 07948707eb1620a36e944d30ee8fe3bf. b. BB 162 : 1 (satu) Hardisk External Paijan Merk SEAGATE Tipe ST340014 A, SN: 5JVQZMXA -40 GB, penguasa barang milik Pujiharso
(eks
pc
Paijan)
memiliki
444861b4395feeefb66e21396b3f7185.
MD5
hash
:
63
c. BB 171 : 1 (satu) ABAGT 74 Flashdisk merk Kingston Data traveler G2 Warna abu-abu 2GB. d. BB 172 : 1 (satu) ABAGT 76 Flashdisk imation Warna Hitam produk name : NANO 2 GB. e. BB 173 : 1 (satu) ABAGT 75 Flashdisk merk Kingston Data traveler Warna hijau putih 2 GB. f. BB 174 : 1 (satu) keping CDR merk Sony 700MB, SN: VC04B1324121348002 terdapat tulisan : PJB 2006-DITREN-PPJB II. g. BB 181 : 10 (sepuluh) keping CDR warna kuning dengan nomor 1,2,3,4,5,7,8,9,10,11. h. BB 182 : 1 (satu) buah CD warna putih dengan tulisan RUPTL. i. BB 190 : Keputusan Presiden RI Nomor 60/M Tahun 2006 tentang pengangkatan Sdr. Ir. J. Purwono sebagai Dirjen LPE. j. BB 194 : 1 (satu) buah Handphone merk Blackberry seri ONYX 9700 dengen lmei: 351937040217745. k. BB 195 : 1 (satu) buah Handphone merk Blackberry gemini 8250 dengan nomor lmei: 353906031439962. l. BB 196 : 1 (satu) buah Handphone merk Nokia E 71 dengan nomor lmei: 354208039166963. Dikembalikan kepada Terdakwa I Ir. Jacob Purwono, M.S.E.E m. BB 208 : Uang sejumlah Rp 201.770.000,00 (dua ratus satu juta tujuh ratus tujuh puluh ribu rupiah) terdiri dari:
64
1. Uang pecahan Rp 50.000 sebanyak 3.794 (tiga ribu tujuh ratus sembilan puluh empat) lembar. 2. Uang pecahan Rp 100.000 sebanyak 120 (seratus dua puluh) lembar. 3. Uang pecahan Rp 1000 sebanyak 68 (enam puluh delapan) lembar. 4. Uang pecahan Rp 2000 sebanyak 1 lembar. 5. 1 (satu) surat pernyataan tanggung jawab belanja nomor 66/DLE-EB/6/2010 tanggal 17 Juni 2010. n.
Barang Bukti 1 - 1599 terdapat dalam berkas perkara
9. Membayar biaya perkara sebesar Rp 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah). 5. Putusan Hakim a. Pertimbangan Hakim Menimbang, bahwa dalam dakwaan primer, Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Menimbang, bahwa unsur-unsur Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
65
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut, adalah: 1. Setiap orang ; 2. Secara melawan hukum ; 3. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi ; 4. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Menimbang, bahwa Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah mengenai pidana tambahan. Menimbang, bahwa Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP adalah mengenai penyertaan (deelneming), yang rumusannya berbunyi : “Dipidana sebagai pelaku tindak pidana, orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan.” Menimbang, bahwa Pasal 65 ayat (1) KUHP adalah mengenai perbarengan atau gabungan beberapa perbuatan pidana (meerdaadsche samenloop atau concursus realis) yang rumusannya berbunyi : “Dalam gabungan dari beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan tersendiri-sendiri dan yang masing-masing menjadi kejahatan yang terancam dengan hukuman utama yang sejenis, maka satu hukuman saja dijatuhkan.”
66
Menimbang, bahwa sekarang Majelis akan mempertimbangkan satupersatu unsut-unsur tersebut dihubungkan dengan fakta-fakta hukum yang terungkap di depan persidangan, yakni sebagai berikut : Ad. 1. Unsur ‘’Setiap Orang” Menimbang, bahwa pengertian “setiap orang” dalam hal ini dapat dijumpai dalam Pasal 1 butir 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi : “Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.” Menimbang, bahwa unsur “setiap orang” ini terdapat baik dalam Pasal 2 ayat (1) maupun Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, pengertian unsur “setiap orang” dalam Pasal 2 ayat (1) tidakklah sama dengan pengertian unsur “setiap orang” dalam Pasal 3 tersebut. Pada unsur “setiap orang” dalam Pasal 3 terdapat adanya predikat khusus yang mempersyaratkan adanya suatu jabatan atau kedudukan, sedangkan di dalam unsur “setiap orang” dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut tidak ada dipersyaratkan demikian. Menimbang, bahwa meskipun demikian, untuk membuktikan unsur “setiap orang” dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut, menurut Majelis tidak bisa semata-mata dilihat dari adanya jabatan atau kedudukan yang dimiliki oleh
67
Terdakwa, melainkan harus pula dilihat apakah dengan jabatan atau kedudukannya tersebut Terdakwa mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan yang didakwakan dalam surat dakwaan. Apabila dengan jabatan atau kedudukannya tersebut Terdakwa memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan yang didakwakan dalam surat dakwaan, maka barulah dapat dikatakan Terdakwa dengan jabatannya tersebut memenuhi kriteria unsur “setiap orang” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Sebaliknya, apabila dengan jabatan atau kedudukannya tersebut Terdakwa tidak memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan yang didakwakan dalam surat dakwaan, namun Terdakwa melakukan perbuatan dimaksud, maka Terdakwa adalah termasuk dalam pengertian unsur “setiap orang” sebagaimana dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menimbang, bahwa dalam surat dakwaan perkara ini, Terdakwa I dan II didakwa melakukan tindak pidana dalam pengadaan dan pemasangan Solar Home System (SHS) pada Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi LPE Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tahun Anggaran 2007 dan 2008. Menimbang, bahwa dari fakta-fakta yang terungkap di depan persidangan perkara ini diperoleh adanya fakta hukum bahwa pada tahun 2007 dan 2008 Terdakwa I adalah Direktur Jenderal LPE Departemen ESDM sekaligus selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam pengadaan dan
68
pemasangan SHS tersebut diatas, dan Terdakwa II adalah Kepala Sub Direktorat Usaha Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi pada Direktorat LPE Departemen ESDM sekaligus selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pengadaan dan pemasangan SHS tersebut. Menimbang, bahwa dari fakta hukum tersebut diatas, terlihat bahwa Terdakwa I memiliki jabatan sebagai Dirjen sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) pada Direktorat Jenderal LPE Departemen ESDM, yang berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) c Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 tersebut diatas, dengan jabatannya tersebut Terdakwa memiliki kewenangan untuk menggunakan anggaran dalam pengadaan barang/jasa pemerintah pada Direktorat Jenderal LPE Departemen ESDM, in casu pengadaan dan pemasangan solar home system (SHS) pada Direktorat Jenderal LPE Departemen ESDM sebagaimana dimaksud diatas. Menimbang, bahwa dalam Pasal 9 ayat (5) Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006, diatur bahwa Pejabat Pembuat Komitmen (PKK) bertanggung jawab dari segi administrasi fisik, keuangan, dan fungsional atas pengadaan barang/jasa yang dilaksanakannya. Menimbang, bahwa dari fakta hukum diatas, terlihat bahwa Terdakwa II mempunyai jabatan sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PKK), yang berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (3) dan (5) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 tersebut diatas, dengan jabatannya tersebut Terdakwa II mempunyai kewenangan dalam pengadaan barang/jasa
69
pemerintah, in casu pengadaan dan pemasangan solar home system pada Direktorat Jenderal LPE Departemen ESDM yang bertanggung jawab dari segi administrasi, fisik, keuangan, dan fungsional atas pengadaan dan pemasangan SHS dimaksud. Menimbang, bahwa dengan demikian, Terdakwa-Terdakwa addalah setiap orang yang memiliki suatu jabatan yang dengan jabatannya masingmasing tersebut Terdakwa I dan II mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan yang didakwakan dalam Surat Dakwaan perkara a quo. Oleh karena itu, Terdakwa-Terdakwa dalam jabatannya masing-masing tersebut dikaitkan
dengan
perbuatan
yang
didakwakan
dalam
pelaksanaan
kewenangan dari jabatan-jabatannya tersebut, adalah memenuhi kriteria pengertian “setiap orang” dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimaksud, bukan “setiap orang” dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini, tidak terpenuhi. Menimbang, bahwa dengan tidak terpenuhinya unsur “setiap orang” ini, maka dengan tidak perlu lagi mempertimbangkan unsur-unsur selain dan selebihnya dari Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang didakwakan dalam Dakwaan
70
Primer tersebut, Dakwaan Primer a quo haruslah dinyatakan tidak terbukti menurut hukum. Menimbang, bahwa oleh karena Dakwaan Primer dari Surat Dakwaan dalam perkara ini tidak terbukti menurut hukum, maka Terdakwa haruslah dibebaskan dari Dakwaan Primer dimaksud. Menimbang, bahwa oleh karena dalam Surat Dakwaan perkara a quo Terdakwa didakwa dengan dakwaan subsidaritas, maka dengan tidak terbuktinya Dakwaan Primer, sesuai dengan prosess orde yang berlaku, sekarang Majelis akan mempertimbangkan dan memberi penilaian hukum atas Dakwaan Subsidair dari Surat Dakwaan dalam perkara ini, yakni sebagaimana diuraikan dibawah ini. Menimbang, bahwa dalam Dakwaan Subsider, Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Menimbang, bahwa unsur-unsur Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut, adalah: 1.
Setiap orang ;
71
2.
Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi ;
3.
Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan ;
4.
Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Menimbang, bahwa Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah mengenai pidana tambahan. Menimbang, bahwa Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP adalah mengenai penyertaan (deelneming), yang rumusannya berbunyi : “Dipidana sebagai pelaku tindak pidana, orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan.” Menimbang, bahwa Pasal 65 ayat (1) KUHP adalah mengenai perbarengan atau gabungan beberapa perbuatan pidana (meerdaadsche samenloop atau concursus realis) yang rumusannya berbunyi : “Dalam gabungan dari beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan tersendiri-sendiri dan yang masing-masing menjadi kejahatan yang terancam dengan hukuman utama yang sejenis, maka satu hukuman saja dijatuhkan.”
Menimbang, bahwa sekarang Majelis akan mempertimbangkan satupersatu unsur-unsur tersebut dihubungkan dengan fakta-fakta hukum yang terungkap di depan persidangan, yakni sebagai berikut:
72
Ad. 1. Unsur ‘’Setiap Orang” Menimbang, bahwa pengertian “setiap orang” dalam hal ini dapat dijumpai dalam Pasal 1 butir 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi : “Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.” Menimbang, bahwa uraian pertimbangan-pertimbangan mengenai unsur “setiap orang” dalam Dakwaan Primer sebagaimana dimaksud diatas, dengan ini diambil alih dan dipergunakan pula dalam pertimbangan ini, sehingga secara mutatis mutandis berlaku pula sebagai pertimbangan hukum mengenai unsur “setiap orang” dalam Dakwaan Subsider ini. Dengan demikian Terdakwa adalah subyek hukum “setiap orang” sebagaimana dimaksud dalam rumusan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang didakwakan dalam Dakwaan Subsider ini. Sehingga unsur “setiap orang” ini telah terpenuhi, yaitu Terdakwa I, Ir. Jacob Purwono, M.S.E.E. dan Terdakwa II, Ir. Kosasih Abbas. Ad. 2. Unsur ‘’Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan”menguntungkan” adalah sama artinya dengan mendapatkan untung, yaitu pendapatan yang diperoleh lebih besar dari pengeluaran, terlepas dari penggunaan lebih lanjut dari pendapatan yang diperolehnya. Dengan demikian yang dimaksudkan dengan
73
unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” adalah sama artinya dengan mendapatkan untung untuk diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Di dalam ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 3 ini, unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” tersebut adalah tujuan dari pelaku tindak pidana korupsi. Menimbang, bahwa unsur subyektif yang melekat pada batin si pembuat menurut Pasal 3 ini merupakan tujuan si pembuat dalam melakukan perbuatan menyalahgunakan kewenangan dan lain-lain tadi yakni untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Unsur tujuan (doel) tidak berbeda artinya dengan maksud atau kesalahan sebagai maksud (opzet als oogmerk) atau kesengajaan dalam arti sempit seperti yang ada pada pemerasan, pangancaman, maupun penipuan (Pasal 368,369, dan 378 KUHP). Apa yang dimaksud dengan tujuan ialah suatu kehendak yang ada dalam pikiran atau alam bathin si pembuat yang ditujukan untuk memperoleh suatu keuntungan (menguntungkan) bagi dirinya sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Menimbang, bahwa unsur ini merupakan unsur batin yang menentukan arah dari perbuatan penyalahgunaan kewenangan dan sebagainya. Adanya unsur ini harus pula ditentukan secara obyektif dengan memperhatikan segala keadaan lahir yang menyertai perbuatan tersangka.
74
Menimbang, bahwa sejalan dengan hal tadi, Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan putusannya tertanggal 29 Juni 1989 Nomor : 813 K/Pid/1987 dalam pertimbangan hukumnya menyatakan antara lain bahwa unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan” cukup dinilai dari kenyataan yang terjadi atau dihubungkan dengan perilaku Terdakwa sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya karena jabatan atau kedudukan. Menimbang, bahwa dalam kegiatan pengadaan dan pemasangan SHS di Dintjen LPE Departemen ESDM Tahun 2007 dan 2008, dari pembayaran yang telah diterima lunas oleh perusahaan-perusahaan rekanan,
telah
memberi keuntungan pada perusahaan-perusahaan tersebut. Menimbang, bahwa di depan persidangan perkara ini, ahli dari BPKP, yaitu ahli Agustina Arumsari yang melakukan penghitungan kerugian keuangan negara dalam perkara ini menerangkan bahwa keuntungan yang diperoleh perusahaan-perusahaan pemenang pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun 2007 dan 2008 tersebut adalah sebesar selisih harga kontrak yang dibayarkan oleh Ditjen LPE Departemen ESDM (setelah dipotong pajak) dengan nilai riil pengeluaran oleh perusahaan-perusahaan atas pekerjaan pengadaan dan pemasangan SHS tersebut, tanpa memasukkan komponen margin/keuntungan wajar bagi perusahaan sebagai faktor pengurang dari harga kontrak dimaksud, dengan alasan bahwa dari pihak rekanan, pihak supplier sudah mendapat untung dari harga per unit SHS yang diberikan.
75
Menimbang, bahwa dari fakta-fakta hukum yang diperoleh di depan persidangan perkara ini, perusahaan-perusahaan yang menjadi pemenang dan mengikat kontrak dengan Ditjen LPE Departemen ESDM dalam pekerjaan pengadaan dan pemasangan SHS Tahun 2007 dan 2008 tersebut adalah bukan supplier, melainkan hanya membeli dari pihak supplier sebagai pihak yang memberi dukungan barang, dan harga riil yang dipergunakan sebagai faktor pengurang adalah harga unit SHS yang diberikan oleh ahli dari Universitas Indonesia, yaitu Ahli Gandjar Kiswanto, padahal di depan persidangan ahli Gandjar Kiswanto menerangkan bahwa harga pokok produksi yang dipergunakan oleh ahli Gandjar Kiswanto adalah rancu, karena harga pokok produksi yang ahli pergunakan dalam perkara in casu adalah harga di supplier, padahal seharusnya harga pokok produksi adalah harga dari pabrik, sementara ahli tidak melakukan penelitian harga ke pabrik SHS dimaksud. Menimbang, bahwa dengan demikian Majelis berpendapat bahwa yang dihitung sebagai keuntungan dalam perkara a quo adalah keuntungan yang tidak wajar, oleh karena itu komponen keuntungan yang wajar sebagai biaya overhead dalam suatu perusahaan adalah patut dimasukkan sebagai komponen pengurang dari harga kontrak dimaksud karena pekerjaan telah selesai dilakukan, sehingga dari perhitungan yang dilakukan oleh ahli Agustina Arumsari dalam perkara a quo, Majelis akan menambahkan komponen biaya overhead sebesar 15% (lima belas prosen) dari nilai kontrak sebagai faktor pengurang sebagaimana dimaksud diatas.
76
Menimbang, bahwa dari pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun 2007 dan 2008 tersebut telah pula menguntungkan Terdakwa I dan II, yaitu masing-masing : a. Terdakwa I : - menerima transfer dari saksi Witono sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); dan - menerima uang tunai yang diberikan oleh saksi Yatiek Astuti sebesar Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). b. Terdakwa II : - menerima transfer dari saksi Witono melalui rekening istri Terdakwa II sebesar Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) ; dan - menerima pemberian dari PT. LEN melalui saksi Nany Wardani dan saksi Vina Lola ssebesar Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Menimbang, bahwa dari pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun 2007 dan 2008 tersebut Terdakwa II juga menerima pemberian uang dari perusahaan-perusahaan yang memperoleh pekerjaan
tersebut,
untuk
Tahun
2007
sejumlah
keseluruhan
Rp
4.200.000.000,00 (empat miliar dua ratus juta rupiah) dan Tahun 2008 dengan jumlah keseluruhan Rp 2.528.500.000,00 (dua miliar lima ratus dua puluh delapan juta lima ratus ribu rupiah). Menimbang, bahwa dari uang-uang yang diterima oleh Terdakwa II tersebut diatas dipergunakan oleh Terdakwa II atas perintah Terdakwa I,
77
antara lain untuk diberikan kepada anggota DPR-RI yang sedang melakukan pembahasan RUU tentang Energi dan Ketenagalistikan pada akhir 2007 sebesar Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan Rp 160.000.000,00 (seratus enam puluh juta rupiah). Menimbang, bahwa dari pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, pekerjaan pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun 2007 dan 2008 tersebut telah menguntungkan Terdakwa I dan Terdakwa II sendiri, dan juga menguntungkan orang lain, yaitu saksi Viktor Matius Djoha, Abdul Cholik, Yatiek Astuti, saksi Rafdinal, saksi I Putu Geria Astawa, Soewarto, saksi Taty Supriaty, saksi Johannes Herman Soleman Katipana, serta menguntungkan korporasi yaitu perusahaan-perusahaan rekanan sebagaimana diuraikan diatas. Menimbang, bahwa keuntungan-keuntungan yang diperoleh Terdakwa I dan Terdakwa II adalah memang menjadi tujuan Terdakwa I sejak Terdakwa I memberi briefing/arahan kepada Terdakwa II terkait pengadaan dan pemasangan SHS tersebut diatas, dalam mana Terdakwa I mengatakan membutuhkan dana untuk memperlancar pembahasan RUU tentang Energi dan Ketenagalistrikan di DPR-RI, sehingga apabila dalam pengadaan dan pemasangan SHS itu ada pemberian dari rekanan agar diterima saja. Hal mana bersesuaian dengan catatan tulisan tangan Terdakwa I diatas selembar kertas kuning yang berisikan nama-nama orang/perusahaan dan angka yang menunjukkan jumlah paket pekerjaan yang akan dialokasikan. Pada akhirnya, memang nama-nama dalam kertas kuning itulah yang dimenangkan dalam
78
pengadaan dan pemasangan SHS Tahun 2007 dan 2008 tersebut. Dalam pengadaan dimana kemudian Terdakwa II menerima pemberian-pemberian uang dari rekanan pemenang yang kemudian sebagian dipergunakan oleh Terdakwa I dengan memerintahkan Sesditjen LPE, saksi Soekanar, untuk diberikan kepada anggota-anggota DPR-RI yang membahas RUU tentang Energi dan Ketenagalistrikan tersebut. Menimbang,
bahwa
dengan
demikian,
unsur
“dengan
tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” ini telah terpenuhi dalam perbuatan Terdakwa I dan Terdakwa II. Ad. 3. Unsur ‘’Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya” Menimbang, bahwa dalam unsur ini terdapat adanya 3 (tiga) elemen yang
bersifat
alternatif,
yaitu
menyalahgunakan
kewenangan,
atau
menyalahgunakan kesempatan, atau menyalahgunakan sarana, yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Dengan terbuktinya salah satu saja dari elemen tersebut, maka unsur ini sudah terbukti. Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” tersebut adalah menggunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk tujuan lain dari maksud yang diberikannya kewenangan, kesempatan atau sarana tersebut. Untuk mencapai
79
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi tersebut dalam Pasal 3 ini telah ditentukan cara yang harus ditempuh oleh pelaku tindak pidana korupsi, yaitu : dengan menyalahgunakan kewenangan, dengan menyalahgunakan kesempatan, atau dengan menyalahgunakan sarana, yang ada pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi. Yang dimaksud dengan “kewenangan” adalah serangkaian hak yang melekat pada jabatan atau kedudukan dari pelaku untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas pekerjaannya
dapat dilaksanakan dengan baik.
Sedangkan yang dimaksud dengan “kesempatan” adalah peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku,
peluang mana tercantum dalam ketentuan-
ketentuan tentang tata kerja yang berkaitan dengan jabatan, atau kedudukan yang dijabat atau diduduki pelaku. Dan yang dimaksud dengan “sarana” adalah syarat, cara, media, yaitu cara kerja atau metoda kerja yang berkaitan dengan jabatan arau kedudukan dari pelaku. Menimbang, bahwa dari fakta-fakta hukum sebagaimana yang diuraikan sebelumnya diatas setelah dihubungkan satu sama lain, terlihat bahwa dalam pekerjaan pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun 2007 dan 2008 tersebut, Terdakwa I menerima beberapa orang yang menitipkan nama-nama orang/perusahaan yang kemudian dicatat dengan tulisan tangan oleh Terdakwa I dalam selembar kertas berwarna kuning dengan menuliskan angka jumlah paket pekerjaan yang akan diberikan, kertas kuning berisi tulisan tangan Terdakwa I yang mana kemudian diberikan kepada Terdakwa II untuk dilaksanakan. Untuk
80
pelaksanaannya kemudian Terdakwa II memanggil Panitia Pengadaan dan menyampaikannya.
Untuk itu kemudian setiap proses pengadaan sudah
mencapai tahap evaluasi teknis, Terdakwa II memanggil Panitia Pengadaan dan meminta hasil evaluasi teknis tersebut diubah agar sesuai dengan catatan tulisan tangan Terdakwa I tersebut, sehingga kemudian yang ditetapkan sebagai pemenang dan mengikat kontrak dengan Ditjen LPE Departemen ESDM adalah perusahaan-perusahaan itu. Dari pengadaan pekerjaan yang sedemikian itu kemudian Terdakwa II menerima pemberian uang-uang dari pihak rekanan sejumlah tersebut diatas, yang disamping untuk dipergunakan untuk keperluan pembahasan RUU Energi dan Ketenagalistrikan di DPR-RI, juga ada yang diterima secara pribadi oleh Terdakwa I dan II, sebagaimana telah diuraikan diatas. Menimbang, bahwa dengan demikian, pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun 2007 dan 2008 tersebut telah diatur sedemikian rupa proses pengadaannya yang ditujukan untuk memenangkan kepada perusahaan-perusahaan tertentu,
dalam mana Terdakwa I selaku
Dirjen LPE Departemen ESDM sekaligus KPA dalam pekerjaan tersebut telah menggunakan kewenangannya tersebut secara salah, yaitu mengatur jalannya proses pengadaan sesuai dengan keinginan pihak-pihak tertentu, dari hal tersebut kemudian Terdakwa I menerima dana untuk melancarkan proses pembahasan RUU tentang Energi dan Ketenagalistrikan di DPR-RI, disamping pula untuk kepentingan pribadi Terdakwa I sendiri, hal mana adalah bertentangan dengan kewajiban Terdakwa I selaku KPA yang
81
seharusnya memerintahkan agar pelaksanaan pengadaan pekerjaan tersebut dilakukan secara adil/ tidak diskriminatif, terbuka dan bersaing, transparan, dan akuntabel, sehingga diperoleh hasil pengadaan yang efektif dan efisien. Menimbang, bahwa dari pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, Majelis berpendapat bahwa Terdakwa I dan II telah menyalahgunakan kewenangan yang ada padanya karena jabatannya masing-masing selaku KPA dan PKK dalam pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun Anggaran 2007 dan 2008, sehingga unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan arau kedudukannya” dalam perkara ini telah terpenuhi. Ad. 4. Unsur ‘’Dapat Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara” Menimbang, bahwa dari fakta-fakta hukum sebagaimana diuraikan diatas setelah dihubungkan satu sama lain, terlihat bahwa uang yang dikeluarkan dari DIPA Ditjen LPE Departemen ESDM untuk mengadaan dan pemasangan SHS Tahun 2007 tersebut diatas adalah sebesar yang dibayarkan kepada perusahaan-perusahaan pemenang pengadaan dan pemasangan SHS dimaksud, kontrak, yaitu untuk Tahun 2007 sebesar Rp 274.740.354.360 (dua ratus tujuh puluh empat miliar tujuh ratus empat puluh juta tiga ratus lima puluh empat ribu tiga ratus enam puluh rupiah). Sedangkan biaya riil pengadaan dan pemasangan SHS Tahun 2007 tersebut adalah sebesar harga riil menurut ahli dari BPKP, Agustina Arumsari ditambah margin 15%
82
sebagaimana yang telah dipertimbangkan diatas, seluruhnya adalah berjumlah sebesar Rp 233.450.762.481,00 (dua ratus tiga puluh tiga miliar empat ratus lima puluh juta tujuh ratus enam puluh dua ribu empat ratus delapan puluh satu rupiah). Menimbang, bahwa dengan demikian terdapat adanya selisih sebesar Rp 274.740.453.360,00 (dua ratus tujuh puluh empat miliar tujuh ratus empat puluh juta empat ratus lima puluh tiga ribu tiga ratus enam puluh rupiah) dikurangi Rp 233.450.762.481,00 (dua ratus tiga puluh tiga miliar empat ratus lima puluh juta tujuh ratus enam puluh dua ribu empat ratus delapan puluh satu rupiah), yaitu sebesar Rp 41.286.591.879,00 (empat puluh satu miliar dua ratus delapan puluh enam juta lima ratus sembilan puluh satu ribu delapan ratus tujuh puluh sembilan rupiah). Selisih nilai inilah yang merupakan kerugian negara dalam pengadaan dan pemasangan SHS yang dilaksanakan Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun Anggaran 2007. Menimbang, bahwa dari fakta-fakta hukum sebagaimana diuraikan diatas setelah dihubungkan satu sama lain, terlihat bahwa uang yang dikeluarkan dari DIPA Ditjen LPE Departemen ESDM untuk mengadaan dan pemasangan SHS Tahun 2008 tersebut diatas adalah sebesar yang dibayarkan kepada perusahaan-perusahaan pemenang pengadaan dan pemasangan SHS dimaksud, kontrak, yaitu untuk Tahun 2008 sebesar Rp 255.276.560.568,00 (dua ratus lima puluh lima miliar dua ratus tujuh puluh enam juta lima ratus enam puluh ribu lima ratus enam puluh delapan rupiah). Sedangkan biaya riil pengadaan dan pemasangan SHS Tahun 2008 tersebut adalah sebesar harga
83
riil menurut ahli dari BPKP, Agustina Arumsari ditambah margin 15% sebagaimana yang telah dipertimbangkan diatas, seluruhnya adalah berjumlah sebesar Rp 216.563.337.692,00 (dua ratus enam belas miliar lima ratus enam puluh tiga juta tiga ratus tiga puluh tujuh ribu enam ratus sembilan puluh dua rupiah). Menimbang, bahwa dengan demikian terdapat adanya selisih sebesar Rp 255.276.560.568,00 (dua ratus lima puluh lima miliar dua ratus tujuh puluh enam juta lima ratus enam puluh ribu lima ratus enam puluh delapan rupiah) dikurangi Rp 216.563.337.692,00 (dua ratus enam belas miliar lima ratus enam puluh tiga juta tiga ratus tiga puluh tujuh ribu enam ratus sembilan puluh dua rupiah), yaitu sebesar Rp 38.713.222.876,00 (tiga puluh delapan miliar tujuh ratus tiga belas juta dua ratus dua puluh dua ribu delapan ratus tujuh enam rupiah). Selisih nilai inilah yang merupakan kerugian negara dalam pengadaan dan pemasangan SHS yang dilaksanakan Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun Anggaran 2008. Menimbang, bahwa dari pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun 2007 dan 2008 telah merugikan negara sebesar total Rp 80.002.814.755,00 (delapan puluh miliar dua juta delapan ratus empat belas ribu tujuh ratus lima puluh lima rupiah). Sehingga unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” ini telah terpenuhi.
84
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menimbang, bahwa dari fakta-fakta yang terungkap di depan persidangan diperoleh adanya fakta hukum sebagaimana telah diuraikan dalam pertimbangan hukum mengenai unsur “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” diatas, bahwa dari pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun 2007 dan 2008 tersebut, Terdakwa I memperoleh keuntungan sebesar Rp 1.030.000.000,00 (satu miliar tiga puluh juta rupiah) dan Terdakwa II sebesar Rp 550.000.000,00 (lima ratus lima puluh juta rupiah). Oleh karena Terdakwa I dan II memperoleh keuntungan dari suatu perbuatan menyalahgunakan kewenangan yang ada padanya karena jabatannya sebagaimana diuraikan diatas, maka berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, keuntungan yang diperoleh Terdakwa-Terdakwa tersebut adalah merupakan uang pengganti yang harus dibebankan kepada Terdakwa I dan II untuk mengembalikannya dalam perkara ini. Menimbang, bahwa selain uang pengganti tersebut, Penuntut Umum dalam Surat Tuntutannya menuntut pula agar dilakukannnya perampasan terhadap keuntungan yang diperoleh perusahaan-perusahaan rekanan dalam
85
pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun 2007 dan 2008 tersebut diatas. Menimbang, bahwa dengan demikian, Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini, telah terpenuhi.
Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Menimbang, bahwa dari fakta-fakta hukum sebagaimana telah diuraikan sebelumnya diatas, setelah dihubungkan satu sama lain, terlihat bahwa setelah sejak sebelum dimulainya pelaksanaan pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun 2007, Terdakwa I telah memberi briefing/arahan kepada Terdakwa II agar pelaksanaan dan pemasangan SHS dilakukan sesuai ketentuan, dan kalau ada pemberian dari rekanan diterima saja karena LPE sedang membutuhkan dana dalam rangka pembahasan RUU tentang Ketenagalistrikan di DPR-RI. Di lain kesempatan, Terdakwa I banyak menerima tamu yang berkepentingan untuk ikut ambil bagian dalam proyek pengadaan SHS tersebut, untuk mana Terdakwa I memperkenalkan Terdakwa II selaku PPK kepada tamu-tamunya itu, dan selanjutnya Terdakwa I memberikan catatan tulisan tangan Terdakwa I sendiri yang berisi nama-nama orang/perusahaan yang diinginkan oleh Terdakwa I untuk menjadi pemenang dalam pengadaan dimaksud, lengkap
86
dengan penyebutan angka jumlah paket pekerjaan yang dialokasikan untuk masing-masing perusahaan dimaksud. Setelah itu, Terdakwa II memanggil Panitia Pengadaan menyampaikan hal tersebut, dan kemudian dalam pelakasanaannya Terdakwa II meminta Panitia Pengadaan mengubah hasul evaluasi teknis agar perusahaan-perusahaan yang nama-namanya berikut jumlah paket pekerjaannya sebagaimana catatan tulisan tangan Terdakwa I tersebut yang menjadi pemenanga dan melaksanakan pengadaan dan pemasangan SHS dimaksud. Dari pengadaan dan pemasangan SHS tersebut, baik Tahun 2007 maupun 2008, Terdakwa II menerima pemberian-pemberian uang ucapan terima kasih dari rekanan yang oleh Terdakwa II dilaporkan kepada Terdakwa I dan disimpan oleh bendahara PUM (Pembayar Uang Muka). Dari pemberian-pemberian uang tersebut kemudian Terdakwa I memerintahkan Terdakwa II mengeluarkan Rp 1.500.000.000 (satu miliar lima ratus juta rupiah) guna diberikan kepada anggota DPR-RI berkaitan dengan upaya melancarkan pembahasan RUU tentang Energi dan Ketenagalistrikan di DPR-RI, disamping juga ada yang diterima ke rekening pribadi Terdakwa I dan Terdakwa II. Menimbang, bahwa dengan demikian terlihat bahwa sejak perencanaan hingga pengadaan dan pemasangan SHS Tahun 2007 dan 2008 tersebut terdapat adanya kerjasama yang sedemikian erat dan sempurna antara Terdakwa I dan Terdakwa II sehingga terwujud pengadaan dan pemasangan SHS oleh perusahaan-perusahaan yang diinginkan oleh Terdakwa I. Terdakwa I tidak mewujudkan sendiri perbuatannya itu melainkan bekerja
87
sama dengan Terdakwa II, sehingga perbuatan secara bersama-sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP telah terpenuhi dalam perbuatan Terdakwa I dan Terdakwa II. Pasal 65 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Menimbang, bahwa dari fakta-fakta hukum sebagaimana telah diuraikan diatas, setelah dihubungkan satu sama lain terlihat bahwa Terdakwa I dan Terdakwa II melakukan pengaturan pemenang dalam pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun 2007 dan 2008. Sehingga terdapat adanya dua perbuatan yang masing-masing merupakan perbuatan selesai dan berdiri sendiri. Perbuatan-perbuatan tersebut tampak dengan nyata tidak tersangkut paut satu sama lain. Perbuatan mengatur pemenang dalam pengadaan dan pemasangan SHS Tahun 2007 oleh Terdakwa I dan Terdakwa II tersebut bukan merupakan syarat bagi timbulnya perbuatan mengatur pemenang dalam pengadaan dan pemasangan SHS Tahun 2008. Kenyataan tersebut dapat dipandang sebagai kenyataan yang berdiri sendiri. Dengan demikian, Terdakwa telah melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing berdiri sendiri, yang diancam dengan pidana utama sejenis, yaitu pidana penjara dan denda. Sehingga telah terjadi apa yang disebut dengan perbarengan (concursus realis) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) KUHP dengan demikian Pasal 65 ayat (1) KUHP ini terpenuhi.
88
Menimbang,
bahwa
sebelum penjatuhan
pidana
terhadap diri
Terdakwa-Terdakwa, maka perlu dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan Terdakwa-Terdakwa, sebagai berikut : Hal-hal yang memberatkan : -
Terdakwa I : -
Perbuatan Terdakwa I kontraproduktif
bagi upaya pemberantasan
korupsi di tanah air ;
-
-
Terdakwa I tidak memberi teladan bagi jajarannya dalam kedinasan ;
-
Terdakwa I tidak merasa bersalah atas perbuatannya ;
Terdakwa II : -
Perbuatan Terdakwa II kontraproduktif bagi upaya pemberantasan korupsi di tanah air ;
-
Terdakwa II tidak berani menolak arahan yang tidak benar dari atasannya, sehingga terjadi tindak pidana tersebut ;
Hal-hal yang meringankan : - Terdakwa I : -
Terdakwa I berlaku sopan di depan persidangan ;
-
Terdakwa I masih mempunyai tanggungan keluarga ;
-
Terdakwa I telah mengabdikan diri dan memperoleh penghargaan Satya Lencana dari Negara ;
- Terdakwa II :
89
-
Terdakwa II mengakui perbuatannya dan berterus terang di depan persidangan sehingga berperilaku kooperatif ;
-
Terdakwa II telah mengabdikan diri pada Negara sebagai Pegawai Negeri Sipil yang cukup lama ;
-
Terdakwa II berlaku sopan di persidangan ;
-
Terdakwa II masih mempunya tanggungan keluarga.
b. Amar Putusan Terpenuhinya seluruh unsur tindak pidana korupsi tersebut diatas, maka Majelis Hakim, dengan memperhatikan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) jo Pasal 25 Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, serta ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum yang berkenaan dengan perkara ini, menjatuhkan putusan yang amar putusannya berbunyi sebagai berikut: 1.
Menyatakan Terdakwa I Ir. JACOB PURWONO, M.S.E.E dan Terdakwa II Ir. KOSASIH ABBAS tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
90
bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Dakwaan Primer Surat Dakwaan perkara ini; 2.
Membebaskan oleh karenanya Terdakwa I Ir. JACOB PURWONO, M.S.E.E dan Terdakwa II Ir. KOSASIH ABBAS dari Dakwaan Primer Surat Dakwaan tersebut;
3.
Menyatakan Terdakwa I Ir. JACOB PURWONO, M.S.E.E dan Terdakwa II Ir. KOSASIH ABBAS terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan “Tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama sebagai perbuatan perbarengan” sebagaimana dimaksud dalam Dakwaan Subsider Surat Dakwaan Perkara ini;
4.
Menjatuhkan pidana oleh karenanya terhadap Terdakwa I Ir. JACOB PURWONO, M.S.E.E dengan pidana penjara selama 9 (sembilan) tahun dan pidana denda sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan, terhadap Terdakwa II Ir. KOSASIH ABBAS dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan pidana denda sebesar Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan;
5.
Menjatuhkan pidana tambahan uang pengganti terhadap Terdakwa I Ir. JACOB PURWONO, M.S.E.E sebesar Rp 1.030.000.000,00 (satu miliar tiga puluh juta rupiah) dan terhadap Terdakwa II Ir. KOSASIH ABBAS
91
sebesar Rp 550.000.000,00 (lima ratus lima puluh juta rupiah) selambatlambatnya satu bulan setelah putusan ini memperoleh kekuatan hukum tetap, dengan ketentuan apabila setelah lewatnya waktu tersebut Terdakwa-Terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut maka harta kekayaannya disita dan dilelang untuk memenuhi pembayaran uang pengganti dimaksud, dan apabila Terdakwa-Terdakwa tidak memenuhi pembayaran uang pengganti tersebut, maka Terdakwa I dipidana penjara selama 2 (dua) tahun dan untuk Terdakwa II selama 1 (satu) tahun; 6.
Memerintahkan Para Terdakwa tetap berada dalam tahanan;
7.
Memerintahkan masa penahanan yang telah dijalani Para Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
8.
Memerintahkan perampasan untuk negara atas barang bergerak berupa uang dari: a.
PT. Eltran Indonesia sebesar Rp 1.826.395.027,00 (satu miliar delapan ratus dua puluh enam juta tiga ratus sembilan puluh lima ribu dua puluh tujuh rupiah) ;
b.
PT. Azet Surya Lestari sebesar Rp 9.370.584.135,00 (sembilan miliar tiga ratus tujuh puluh juta lima ratus delapan puluh empat ribu seratus tiga puluh lima rupiah) ;
92
c.
PT. LEN Industri sebesar Rp 3.782.057.894,00 (tiga miliar tujuh ratus delapan puluh dua juta lima puluh tujuh ribu delapan ratus sembilan puluh empat rupiah) ;
d.
PT.
LEN
Industri
dan
PT.
Gomzu
Daguzi
sebesar
Rp
3.933.720.373,00 (tiga miliar sembilan ratus tiga puluh tiga juta tujuh ratus dua puluh ribu tiga ratus tujuh puluh tiga rupiah) ; e.
PT. Mitra Muda Berdikari Indonesia sebesar Rp 1.819.752.642,00 (satu miliar delapan ratus sembilan belas juta tujuh ratus lima puluh dua ribu enam ratus empat puluh dua rupiah) ;
f.
PT. Bangun Baskara Mandiri sebesar Rp 6.081.616.888,00 (enam miliar delapan puluh satu juta enam ratus enam belas ribu delapan ratus delapan puluh delapan rupiah) ;
g.
CV. Cipta Sarana sebesar Rp 3.275.505.209,00 (tiga miliar dua ratus tujuh puluh lima juta lima ratus lima ribu dua ratus sembilan rupiah) ;
h.
PT. Pancuranmas Jaya sebesar Rp 4.563.960.584,00 (empat miliar lima ratus enam puluh tiga juta sembilan ratus enam puluh ribu lima ratus delapan puluh empat rupiah) ;
i.
PT. Pentas Menara Komindo sebesar Rp 2. 476.126.941,00 (dua miliar empat ratus tujuh puluh enam juta seratus dua puluh enam ribu sembilan ratus empat puluh satu rupiah) ;
93
j.
PT. Citrakaton Dwidaya Lestari sebesar Rp 647.463.625,00 (enam ratus empat puluh tujuh juta empat ratus enam puluh tiga ribu enam ratus dua puluh lima rupiah) ;
k. 9.
Dan seterusnya hingga poin 47.
Memerintahkan barang-barang bukti berupa: a. BB 161 : 1 (satu) Hardisk External HDD Wester Digital 250 GB, penguasa barang Dothor Panjaitan memiliki MD5 hash : 07948707eb1620a36e944d30ee8fe3bf. b. BB 162 : 1 (satu) Hardisk External Paijan Merk SEAGATE Tipe ST340014 A, SN: 5JVQZMXA -40 GB, penguasa barang milik Pujiharso
(eks
pc
Paijan)
memiliki
MD5
hash
:
444861b4395feeefb66e21396b3f7185. c. BB 171 : 1 (satu) ABAGT 74 Flashdisk merk Kingston Data traveler G2 Warna abu-abu 2GB. d. BB 172 : 1 (satu) ABAGT 76 Flashdisk imation Warna Hitam produk name : NANO 2 GB. e. BB 173 : 1 (satu) ABAGT 75 Flashdisk merk Kingston Data traveler Warna hijau putih 2 GB. f. BB 174 : 1 (satu) keping CDR merk Sony 700MB, SN: VC04B1324121348002 terdapat tulisan : PJB 2006-DITREN-PPJB II.
94
g. BB 181 : 10 (sepuluh) keping CDR warna kuning dengan nomor 1,2,3,4,5,7,8,9,10,11. h. BB 182 : 1 (satu) buah CD warna putih dengan tulisan RUPTL. i. BB 190 : Keputusan Presiden RI Nomor 60/M Tahun 2006 tentang pengangkatan Sdr. Ir. J. Purwono sebagai Dirjen LPE. j. BB 194 : 1 (satu) buah Handphone merk Blackberry seri ONYX 9700 dengen lmei: 351937040217745. k. BB 195 : 1 (satu) buah Handphone merk Blackberry gemini 8250 dengan nomor lmei: 353906031439962. l. BB 196 : 1 (satu) buah Handphone merk Nokia E 71 dengan nomor lmei: 354208039166963. Dikembalikan kepada Terdakwa I Ir. Jacob Purwono, M.S.E.E m. BB 208 : Uang sejumlah Rp 201.770.000,00 (dua ratus satu juta tujuh ratus tujuh puluh ribu rupiah) terdiri dari: 1. Uang pecahan Rp 50.000 sebanyak 3.794 (tiga ribu tujuh ratus sembilan puluh empat) lembar. 2. Uang pecahan Rp 100.000 sebanyak 120 (seratus dua puluh) lembar. 3. Uang pecahan Rp 1000 sebanyak 68 (enam puluh delapan) lembar. 4. Uang pecahan Rp 2000 sebanyak 1 lembar. n.
1 (satu) surat pernyataan tanggung jawab belanja nomor 66/DLEEB/6/2010 tanggal 17 Juni 2010.
95
(Barang Bukti 1 - 1599 terdapat dalam berkas perkara) 10. Membebankan biaya perkara kepada para Terdakwa masing-masing sebesar Rp 10.000,- (sepuluh ribu rupiah). Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Hari : Kamis, tanggal 30 Januari 2013, oleh kami : SUJATMIKO, S.H., M.H. sebagai Ketua Majelis, AVIANTARA, S.H., M.H., ANNAS MUSTAQIM, S.H., M.Hum., I MADE HENDRA KUSUMA, S.H., Sp.N., dan JOKO SUBAGYO, S.H., M.T., masing-masing sebagai Hakim Anggota, putusan mana diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum pada Rabu : Tanggal 6 Februari 2013 oleh Ketua Majelis tersebut dan Hakim-Hakim Anggota, dibantu oleh SUAEB, S.H. sebagai Panitera Pengganti, dengan dihadiri oleh : RISMA ANSYARI, SH., ASRUL ALIMINA, SH.MH., NURUL WIDIASIH, SH, MH., ALI FIKRI, SH, M.Kn., dan AFNI CAROLINA, SH, MH., masing-masing sebagai Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta Terdakwa I dan Terdakwa II yang didampingi oleh Tim Penasihat Hukumnya masing-masing.
96
B. Pembahasan 1. Urgensi Justice Collaborator dalam pengungkapan kasus tindak pidana korupsi dalam Putusan No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan kejahatan extra ordinary crime (kejahatan yang berdaya rusak luar biasa)52. Tindak pidana inipun merupakan serious crime dan scandal crime sehingga memang memiliki tempat khusus dalam pemberantasannya. Semakin hari tindak pidana ini terus berkembang, kejahatan ini biasa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki jabatan dan kedudukan penting dalam institusi negara. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi biasa dilakukan oleh orang-orang yang cerdas, cermat, orang-orang yang mengerti seluk-beluk keuangan dan birokrasi dalam institusinya tersebut. Untuk menutupi perilakunya, para pelaku cenderung akan membuat sebuah skenario yang rapi dan sulit diidentifikasi oleh penyidik dan kejaksaan sehingga mempersulit proses pemeriksaan di persidangan. Kerugian negara akibat maraknya tindak pidana korupsi ini pun tidak dapat dibilang kecil, disini tentu negara lah yang paling dirugikan sehingga berimbas pada masyarakat yang mana segala pembangunan dan
52
Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana di Indonesia dalam Sirkus Hukum, Bogor: Ghlmia Indonesia, Cet I, 2009, hlm. 320.
97
infrastruktur dibiayai oleh negara. Masyakarat menjadi semakin menderita dengan banyaknya tindak pidana korupsi ini. Kejahatan yang terorganisir seperti tindak pidana korupsi harus lah diberantas dengan tindakan-tindakan yang tepat. Apabila penegak hukum kekurangan akal dan kurang cermat untuk memberantas semua ini, maka tidak heran korupsi akan semakin berkembang dan merajalela, para koruptor pun semakin mudah untuk menghilangkan uang negara tanpa jejak. Oleh karenanya, akan sangat efektif dan efisien jika para penegak hukum mengajak para pelaku kejahatan untuk bekerjasama menyelesaikan kasus korupsi yang sedang ditangani dengan menjadi seorang justice collaborator, yang artinya para aktor itu sendiri yang akan ‘bercerita’ tentang keseluruhan aksi korupsi yang dilakukan oleh komplotannya. Dari sudut Hukum Acara Pidana, ada tingkat kesulitan pembuktian karena prinsip bukti utama dalam tindak pidana adalah keterangan saksi, karakter kejahatan terorganisir yang berlaku di kalangan pelaku kejahatan adalah loyalitas yang dikenal dengan “kesaksian diam atau sumpah diam (omerta), yaitu komitmen dan aturan yang tidak tertulis diantara anggota mafia yang tidak mudah digoyahkan”. Pelanggaran atas omerta tersebut adalah nyawa tebusannya bagi siapapun yang melanggarnya. Oleh karena itu, peranan dari justice collaborator merupakan sarana pembuktian yang ampuh dalam mengungkapkan dan membongkar kejahatan terorganisir, baik yang termasuk scandal crime maupun serious crime dalam tindak pidana. Justice collaborator dapat dijadikan alat bantu pembuktian di
98
dalam pengungkapan kejahatan dimensi baru (new dimension crime), seperti perbuatan korupsi yang mana merugikan perekonomian negara serta modus-modus korupsi menggunakan high-technology, bantuan dana dari hasil kejahatan corporate crime, customer fraund, illegal fishing, illegal labour, dan cyber crime. Yang kita ketahui kasus tindak pidana korupsi diungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri dengan melakukan penyidikan, masih terbilang jarang pengungkapan tindak pidana korupsi dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi itu sendiri, dikarenakan perlindungan hukumnya sendiri masih kurang belum jelas. Pelaku yang mempunyai niat untuk mengakui dan mengungkap kejahatannya jarang sekali ada karena dengan mengakui kejahatannya akan mempersulit dirinya sendiri dalam proses peradilan. Padahal, pelaku yang mengungkap kejahatannya sendiri seharusnya diberi penghargaan atas keberaniannya dalam membantu KPK mengungkap suatu perkara korupsi. Sudah sepantasnya seorang justice collaborator menerima penghargaan dari negara, sebagaimana ketentuan dalam The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dan Konvensi international lainnya dalam melawan kejahatan serius selama ini. 1.1
Dasar Ide Justice Collaborator di Indonesia Pada dasarnya, ide justice collaborator ini diperoleh dari Pasal 37
ayat (2) United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun
99
2003 yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-undang No 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Antikorupsi). Pasal 37 ayat (2) UNCAC menegaskan: “Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus yang tertentu, mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerja sama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan berdasarkan Konvensi ini.” Kemudian dalam Pasal 37 ayat (3) UNCAC dikemukakan: “Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan “kekebalan dari penuntutan” bagi orang yang memberikan kerja sama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan (justice collaborator) suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini.”
Di Indonesia, pengaturan terkait justice collaborator ini memang beberapa sudah diatur walaupun masih bersifat umum dan masih dianggap rancu, yaitu: a.) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, secara lengkap rumusan Pasal 10 ayat (1) dan (2) berbunyi: (1)
Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
100
(2)
Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan terhadapnya.
Dari rumusan tersebut, Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah memberikan dasar hukum pertama mengenai pelaku yang bekerjasama dengan menggunakan istilah “saksi yang juga tersangka”. Rumusan inilah satu-satunya rumusan yang berhasil mencantumkan peran dari seorang pelaku yang bekerjasama dan rekomendasi reward bagi kontribusinya. Namun dalam penerapannya ketentuan tersebut masih problematik karena Pasal 10 ayat (2) tersebut memiliki banyak kelemahan dan dipahami secara berbeda, baik oleh masyarakat maupun oleh aparat penegak hukum di Indonesia. Beberapa kelemahan53 tersebut yakni : ruang lingkup “pelaku yang bekerjasama” yang masih terbatas, peran pelaku yang bekerjasama harus dalam pengadilan, persyaratan yang kurang jelas, pemberian reward yang terbatas, tidak ada kepastian dalam pemberian reward, pemberian perlindungan yang tidak pasti, tidak ada standar mengenai menghitung kontribusi sebagai pelaku yang bekerjasama. b. SEMA No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (whistle blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (justice collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu
53
Supriyadi Widodo Ediyono, “Melihat Prospek Perlindungan ‘Pelaku yang Bekerjasama’ di Indonesia”, Jurnal Perlindungan Saksi dan Korban, Volume 1 Tahun 2012, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), hlm. 23.
101
Ketentuan perlindungan bagi pelaku yang bekerjasama selanjutnya diatur di dalam Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan bagi pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Mengingat belum ada pedoman teknis yang bisa dijadikan pegangan oleh aparat penegak hukum, maka keberadaan SEMA ini patut diapresiasi. SEMA ini sebagai produk hukum yang sifatnya transisi, sangat berkontribusi untuk memperkuat ketetentuan pasal 10 ayat (2) Undangundang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. SEMA ini memberikan persyaratan yang lebih jelas mengenai syarat dari pelaku yang bekerjasama yakni: a. Merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, yang bersifat serius seperti tindak pidana korupsi, terorisme, tidak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir; b. Harus mengakui kejahatan yang dilakukannya; c. Bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut; d. Memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan; e. Pengungkapan tersebut mencakup: • mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif; • mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar; dan/atau • mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana
102
f. Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa pelaku yang bekerjasama telah memberikan keterangan dan buktibukti yang sangat signifikan SEMA memberikan panduan yang lebih pasti mengenai keringanan hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim kepada terdakwa. SEMA menyarankan agar putusan hakim mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 1.
menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus; dan/atau
2.
menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud;
3.
dalam memberikan perlakuan khusus dalam bentuk keringanan pidana, hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
c.
Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah saksi yang juga sebagai
pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan
103
dalam hal tindak pidana serius dan/atau terorganisir yakni tindak pidana korupsi, pelanggaran hak asasi manusia yang berat, narkotika/psikotropika, terorisme, pencucian uang, perdagangan orang, kehutanan dan/atau tindak pidana lain yang dapat menimbulkan bahaya dan mengancam keselamatan masyarakat luas. Syarat untuk mendapatkan perlindungan sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama dalam Peraturan ini adalah sebagai berikut: a. tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana serius dan/atau terorganisir; b. memberikan keterangan yang signifikan, relevan dan andal untuk mengungkap suatu tindak pidana serius dan/atau terorganisir; c. bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang akan diungkapnya; d. kesediaan mengembalikan sejumlah aset yang diperolehnya dari tindak pidana yang bersangkutan, hal mana dinyatakan dalam pernyataan tertulis; dan e. adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan adanya ancaman, tekanan, baik secara fisik maupun psikis terhadap saksi pelaku yang bekerjasama atau keluarganya apabila tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya. Saksi Pelaku yang Bekerjasama berhak mendapatkan perlindungan fisik dan psikis; perlindungan hukum; penanganan secara khusus; dan penghargaan. Perlindungan fisik, psikis dan/atau perlindungan hukum
104
diberikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Penanganan secara khusus dapat berupa: a. pemisahan tempat penahanan, kurungan atau penjara dari tersangka, terdakwa dan/atau narapidana lain dari kejahatan yang diungkap dalam hal Saksi Pelaku yang Bekerjasama ditahan atau menjalani pidana badan; b. pemberkasan perkara sedapat mungkin dilakukan terpisah dengan tersangka dan/atau terdakwa lain dalam perkara pidana yang dilaporkan atau diungkap; c. penundaan penuntutan atas dirinya; d. penundaan proses hukum (penyidikan dan penuntutan) yang mungkin timbul karena informasi, laporan dan/atau kesaksian yang diberikannya; dan/atau e. memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa menunjukkan wajahnya atau tanpa menunjukkan identitasnya; f. apabila Saksi Pelaku yang Bekerjasama berupa adalah seorang narapidana,
keringan tuntutan hukuman, termasuk menuntut
hukuman percobaan; g. pemberian remisi tambahan dan hak-hak narapidana lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya, perlindungan dalam bentuk penghargaan bagi Saksi Pelaku yang Bekerjasama berupa keringanan tuntutan hukuman, termasuk
105
menuntut hukuman percobaan, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. permohonan diajukan oleh pelaku sendiri kepada Jaksa Agung atau Pimpinan KPK; b. LPSK dapat mengajukan rekomendasi terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama untuk kemudian dipertimbangkan oleh Jaksa Agung atau Pimpinan KPK; c. permohonan memuat identitas Saksi Pelaku yang Bekerjasama, alasan dan bentuk penghargaan yang diharapkan; d. Jaksa Agung atau Pimpinan KPK memutuskan untuk memberikan atau menolak memberikan penghargaan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam hal Jaksa Agung atau Pimpinan KPK mengabulkan permohonan penghargaan sebagaimana dimaksud, maka Penuntut Umum wajib menyatakan dalam tuntutannya mengenai peran yang dilakukan oleh Saksi Pelaku yang Bekerjasama agar dapat menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Dalam hal penghargaan berupa pemberian remisi dan/atau pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud, maka permohonan diajukan oleh Saksi Pelaku yang Bekerjasama, Jaksa Agung, Pimpinan KPK dan/atau LPSK kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk kemudian diproses sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
106
Namun
sungguh
disayangkan,
pengaturan
mengenai
justice
collaborator yang disebut diatas masih banyak kelemahan dan belum menjelaskan secara detail bagaimana seseorang dapat menjadi seorang justice collaborator dan bagaimana perlindungan hukumnya. Masih banyak pertanyaan yang belum bisa dijawab dari peraturan-peraturan diatas, sehingga menimbulkan perbedaan pendapat dari berbagai komponen lembaga hukum dan para ahli hukum. 1.2
Urgensi Justice Collaborator Saat ini peranan dan perlindungan terhadap justice collaborator di
Indonesia belum sepenuhnya secara luas dan maksimal terlaksana. Negara ini sangat jauh tertinggal dari negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Australia dan beberapa negara di Eropa yang sudah lama menerapkan sistem
peranan
dan
perlindungan
justice
collaborator.
Peran
pengungkapan justice collaborator kepada tersangka yang tidak memiliki iktikad baik membuka tabir kejahatan korupsi sama saja dengan membuka ruang tawar-menawar tuntutan, negosiasi, serta peluang bagi politisi yang telah masuk bidikan KPK untuk lari dari jerat penegak hukum. Sebagian orang mengatakan bahwa keberadaan justice collaborator hanya digunakan sebagai sarana negoisasi para narapidana agar dapat lolos dari jeratan hukum dan opini yang tersebar mengatakan bahwa ini adalah wujud ketidakmampuan KPK dalam menangani kasus korupsi. Namun kiranya kita perlu melihat sisi kemanfaatan dari keberadaan justice collaborator sebagai salah satu langkah yang luar biasa. Mungkin KPK
107
akan mampu mengusut kasus korupsi tanpa bantuan justice collaborator sekalipun sangat mungkin bahwa hal itu memakan waktu yang cukup lama, sedangkan keuangan dan stabilitas negara tidak dapat ditempatkan dalam kondisi yang tidak pasti karena dapat mengganggu laju pertumbuhan dan perkembangan masyarakat di negara itu sendiri. Selain itu, besar kemungkinan bahwa aparat penegak hukum tidak akan menemukan ujung dari permasalahan ini, sehingga kasus ini nantinya terbengkalai dan menguap begitu saja tanpa penyelesaian. Adapun beberapa urgensi dari justice collaborator adalah : a.
Membantu aparat penegak hukum dalam menemukan alat-alat bukti dan tersangka lain yang signifikan. Justice collaborator dan whistle blower adalah langkah strategis untuk mempercepat pengungkapan tindak pidana terorganisir seperti tindak pidana korupsi ini dan memudahkan pelaku untuk menempuh jalan taubat. Keberadaan justice collaborator sangat potensial membantu aparat penegak hukum dalam menemukan alat-alat bukti dan tersangka lain yang signifikan sehingga penyidikan dan pemeriksaan dapat berjalan efektif karena dia adalah orang yang pernah terlibat dalam organisasi kejahatan dan telah melakukan suatu tindak pidana.
108
b.
Posisi justice collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia
untuk
mengatasi
kemacetan
prosedural
dalam
pengungkapan suatu kejahatan terorganisir dan sulit pembuktiannya. Menurut Firman Wijaya54, justice collaborator merupakan bentuk peran serta masyarakat yang tumbuh dari suatu kesadaran membantu aparat penegak hukum mengungkap tindak pidana yang tidak banyak diketahui orang dan melaporkannya kepada aparat penegak hukum. Justice collaborator memiliki peran dalam mengungkap suatu kasus. Posisi justice collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia
guna
mengatasi
kemacetan
prosedural
dalam
pengungkapan suatu kejahatan terorganisir dan sulit pembuktiannya. Para pelaku kejahatan terorganisir ini seringkali sulit dapat diproses secara hukum karena terlalu sedikit bukti-bukti yang dapat diajukan, belum lagi tidak adanya kesaksian yang mampu memberatkan posisi pelaku utama kejahatan terorganisir. Di dalam praktik peradilan aparat hukum seringkali menemukan berbagai kendala yuridis dan non-yuridis untuk mengungkap tuntas dan
menemukan
kejelasan
suatu
tindak
pidana,
terutama
menghadirkan saksi-saksi kunci dalam proses hukum sejak penyidikan sampai proses pengadilan.
54
Firman Wijaya, Op.cit, hlm. 16.
55
Firman Wijaya, Op.cit, hlm. 19.
55
Orang enggan menjadi justice
109
collaborator karena masalah ketakutan: menjadi justice collaborator beresiko amat berbahaya. Oleh karena itu dapat dipahami jika orang memilih diam dan tidak mau mengungkap atau melaporkan suatu tindak pidana.56 c.
Justice collaborator bertujuan untuk memudahkan pembuktian dan penuntutan serta dapat mengungkap tuntas suatu tindak pidana terutama yang berkaitan dengan organisasi kejahatan. Skandal kejahatan dalam kasus tindak pidana korupsi kita ketahui tidak mudah pembuktiannya. Maksudnya ialah tidak mudah penyidik atau jaksa menemukan bukti kesaksian atau bukti tertulis karena para pelaku melakukan kejahatannya dengan rapi dan terorganisir. Dalam konteks ini, kasus korupsi di Indonesia yang tidak pernah dilakukan sendirian melainkan bersifat kolektif, keberadaan justice collaborator merupakan celah hukum yang diharapkan memperkuat pengumpulan alat bukti dan barang bukti di persidangan. Tidak ada jalan lain untuk keluar dari cara-cara konvensional pengungkapan kasus semacam ini kecuali menggunakan instrumen baru sebagai alat bantu dalam proses hukum pidana.57 Bisa dibayangkan jika tak ada justice collaborator, para terdakwa atau saksi akan menjawab tidak tahu atau lupa mengingat hingga saat ini para pelaku tindak pidana korupsi yang
56
Ibid
57
Firman Wijaya, Op. Cit, hlm. 62.
110
sudah masuk dalam tahap pembuktian di pengadilan, sebagian besar tidak mengakui perbuatannya, memberikan keterangan yang berteletele dan tidak masuk akal, seperti kasus lain yang belakangan muncul di Indonesia. Walaupun justice collaborator memiliki peranan yang penting dalam pengungkapan tindak pidana korupsi, masih ada permasalahan dalam tingkat peraturan perundang-undangan di Indonesia karena terkait justice collaborator dari segi kriteria justice collaborator maupun perlindungan hukumnya belum ada pengaturannya secara khusus dalam undang-undang. Program perlindungan bagi whistle blower dan justice collaborator yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban belum memadai sebagai landasan/ pijakan hukum bagi aparat hukum untuk memberikan perlindungan hukum.58 Hal ini merupakan sesuatu yang penting, bagaimanapun kita berbicara tentang pentingnya justice collaborator namun belum diatur dalam undangundang, semuanya akan kurang berarti karena implementasi dalam peradilan akan cukup sulit karena tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Maka dari itulah diperlukan political will yang kuat dari semua pihak yang berkepentingan
untuk
mengimplementasikan
khususnya dalam tindak pidana korupsi. 1.3
58
Kosasih Abbas Sebagai Justice Collaborator
Firman Wijaya, Op.cit, hlm. 35.
justice
collaborator
111
Dalam kasus korupsi pengadaan dan pemasangan Solar Home System dalam Ditjen LPE Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral yang dilakukan oleh Terdakwa I Ir. Jacob Purwono dan Terdakwa II Ir. Kosasih Abbas, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan Terdakwa II yaitu Ir. Kosasih Abbas sebagai justice collaborator karena Terdakwa II bersikap kooperatif dalam membantu jalannya penyidikan. Dalam hal ini, Kosasih Abbas ditetapkan oleh KPK sebagai justice collaborator
karena
sudah
memenuhi
prasyarat
menjadi
justice
collaborator yang tertera dalam SEMA No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (whistle blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (justice collaborator). Kosasih Abbas berperan penting dalam terungkapnya Kasus Korupsi Pengadaan dan Pemasangan Solar Home System di Ditjen LPE Departemen ESDM. Terdakwa II ini membantu Jaksa Penuntut Umum (dalam hal ini ialah dari KPK) dalam mengungkap kasus tersebut. Seperti diketahui, Kosasih memang secara terus terang menyesali perbuatannya dan
mengaku
bersalah
karena
telah
menerima
sejumlah
uang,
mengembalikan uang hasil kejahatannya, tidak melarikan diri dan mengikuti semua proses hukum sangat memudahkan aparat penegak hukum dan hakim untuk menjangkau semua pelaku tindak pidana tersebut dan memperkecil kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. Bahkan, Kosasih
mengatakan
telah
mempertaruhkan
nyawanya
karena
mengungkapkan sederet nama-nama besar yang diduga terlibat dalam
112
permainan proyek SHS ini, ia mengungkapkan beberapa informasi penting seputar perkara korupsi pengadaan SHS tahun 2007-2008 tersebut. Kosasih memaparkan bahwa dia mendapatkan dua arahan dari Dirjen LPE, Jacob Purwono yang juga terdakwa dalam kasus yang sama. Arahan pertama, karena adanya persoalan internal yang berbarengan dengan pembahasan RUU Ketenagalistrikan. Persoalan internal yang dimaksud bahwa Ditjen LPE tidak memiliki dana untuk menganggarkan ke anggota dewan agar meloloskan RUU tersebut. Maka itu, diperintahkan agar menerima apabila ada rekanan proyek yang memberikan uang. Kemudian, dia diminta memenangkan perusahaan tertentu dalam proyek SHS. Dari perusahaan-perusahaan yang diminta dimenangkan, ada yang dimiliki anggota dewan ada pula yang dimiliki perusahaan lain. Setelah menerima dua arahan, Kosasih diberikan selembar kertas disposisi berwarna kuning oleh Jacob yang berisikan nama-nama anggota dewan dan perusahaan yang direkomendasikan terkait dua arahan tersebut.59 Dari fakta hukum yang ada, pengungkapan yang dilakukan Kosasih Abbas memang tepat dikatakan sebagai justice collaborator karena ia sosok yang mengungkapkan pertama kali bahwa ada tindak pidana terorganisir, dengan maksud dan tujuan tertentu yang karena jabatannya mampu mengubah sesuatu atau dapat merugikan kekayaan Negara atau perekonomian Negara. Dia turut terlibat dalam tindak pidana korupsi ini
59
http://www.suarapembaruan.com/home/ditetapkan-sebagai-justice-collaboratorkosasih-dituntut-lebih-ringan/29552 diakses pada tanggal 23 Maret 2013
113
yang memenuhi unsur-unsur pedoman bagi seorang justice collaborator, Kosasih Abbas tidak dapat dikatakan sebagai seorang whistle blower karena ia juga turut terlibat dalam tindak pidana korupsi yang ia ungkap. Apa yang dilakukan oleh Kosasih memang membantu jalannya penyidikan dan membantu KPK dalam mengusut tuntas Kasus Korupsi pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun 2007-2008. Kosasih sudah sepantasnya diberikan penghargaan atas apa yang telah dilakukannya yaitu berani mengungkap kebenaran Kasus Korupsi pengadaan dan pemasangan SHS tersebut. 2. Pertimbangan hakim dalam memutus seorang terdakwa yang sekaligus merupakan justice collaborator dalam Putusan No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst 2.1
Perlindungan Justice Collaborator di Indonesia Whistle blower dan justice collaborator merupakan seseorang yang
mengungkap suatu kebenaran/ melaporkan suatu tindak pidana yang bersifat terorganisir dan serius seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, terorisme, perdagangan orang, dan lain-lain. Dengan adanya whistle blower dan justice collaborator, pengungkapan kasus tindak pidana korupsi akan semakin mudah. Selain diperlukan untuk proses pemberantasan tindak pidana korupsi, juga sebenarnya bisa digunakan sebagai salah satu upaya untuk pencegahan tindak pidana korupsi.
114
Namun, hingga saat ini negara belum memberikan penghargaan dan perlindungan maksimal kepada para justice collaborator di Indonesia. Program perlindungan bagi whistle blower dan justice collaborator yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban belum memadai sebagai landasan/ pijakan hukum bagi aparat hukum untuk memberikan perlindungan hukum.60 Bahkan, banyak justice collaborator juga menerima hukuman yang sama dengan para tersangka/terdakwa lainnya. Artinya, perannya untuk mengungkap kejahatan secara lebih luas, lebih dalam, lebih cepat sama sekali tidak diperhitungkan sama sekali oleh para penegak hukum terutama peraturan yang mengaturnya. Saksi dan/ atau korban dengan kriteria tertentu, yaitu mempunyai keterangan yang sangat penting dalam pengungkapan peristiwa suatu tindak pidana serta mengalami ancaman yang sangat membahayakan jiwa saksi dan/atau korban tersebut, perlu dipenuhi hak dan jaminan perlindungan hukumnya.61 Seharusnya tidak semua justice collaborator harus dihukum sekalipun sanksi hukumnya tetap diterapkan. Jika itu adalah kasus kejahatan kemanusian seperti terorisme, pembunuhan, perdagangan manusia, bila dia bisa menjadi justice collaborator, dan perannya tidak
60
61
Firman Wijaya, Op.cit, hlm. 35.
Lies Sulistiani, et. Al, Sudut Pandang Peran LPSK dalam Perlindungan Saksi dan Korban, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, hlm. 1-2.
115
secara signifikan berhubungan langsung dengan subyek korban, maka mereka perlu diperlakukan secara berbeda, sekalipun tetap dihukum. Khususnya, pada kasus korupsi, dimana pidana kurungan bagi terpidana kasus korupsi yang juga adalah seorang justice collaborator sangatlah tidak tepat. Sebaiknya untuk konteks Indonesia, tersangka kasus korupsi yang juga adalah seorang justice collaborator harus diperlakukan secara istimewa dan hukumannya berbeda. Hukuman kurungan bagi seorang justice collaborator menyebabkan banyak orang yang tutup mulut dan tidak mau memberikan kesaksian yang sebenarnya karena ia mengetahui ia tetap akan dihukum dengan pidana kurungan nantinya apabila ia bersaksi. Pada dasarnya, para saksi, korban dan pelapor tidak berani memberikan keterangan apa yang dia lihat dan alami karena ancaman tekanan dan intimidasi bahkan terancam keselamatan jiwanya, sementara itu tindak pidana serius tersebut menimbulkan masalah dan ancaman serius terhadap stabilitas ekonomi, perdagangan ancaman dan ketertiban masyarakat, sehingga meruntuhkan lembaga serta nilai nilai demokrasi, dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum.62 Suatu pengungkapan atau kesaksian kebenaran dalam suatu scandal crime ataupun serious crime oleh justice collaborator jelas 62
Djoko Sarwoko, 2011, “Reward bagi “Whistle Blower“ (Pelapor Tindak Pidana) Dan “Justice Collaborator” (Saksi Pelaku yang Bekerja Sama) dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu”, Makalah Tuada Pidsus dalam Rakernas Mahkamah Agung dengan Pengadilan Seluruh Indonesia, hlm. 12.
116
merupakan ancaman nyata bagi pelaku kejahatan63. Pelaku kejahatan akan menggunakan berbagai cara untuk membungkam dan melakukan aksi pembalasan sehingga kebijakan perlindungan seharusnya bersifat prevensial (mencegah sebelum terjadi). Kehadiran justice collaborator memang sulit dibantah dapat menjadi alat bantu, sekalipun seorang justice collaborator berani mengambil resiko yang sangat berbahaya bagi keselamatan fisik maupun psikis dirinya, dan keluarganya, resiko terhadap pekerjaan dan masa depannya.64 Maka perlu dirancang landasan hukum maupun bentuk-bentuk perlindungan hukum yang kuat dan skema perlindungan yang jelas dan terukur bagi justice collaborator dalam pengungkapan tindak pidana tertentu khususnya tindak pidana korupsi terutama di lingkungan aparat publik yang terkait dengan mal administrasi, penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan yang membahas kepentingan umum. Dalam realitasnya justice collaborator seringkali kurang mendapatkan perlindungan hukum dalam proses hukumnya. Berdasarkan penjabaran diatas sangatlah patut adanya perlindungan hukum bagi justice collaborator dalam mengungkap fakta tindak pidana korupsi di Indonesia. Terhadap orang-orang yang kritis dan berani mencegah dan mengungkap korupsi yang telah ia lakukan bersama rekanrekannya, kebalikannya seringkali diberikan sanksi dengan merekayasa seolah-olah yang bersangkutan melakukan perbuatan indisipliner atau 63 64
Firman Wijaya, Op.Cit, hlm. 42 Ibid.
117
perbuatan melawan hukum. Justice collaborator perlu diberikan perlindungan hukum, sehingga ia tidak selalu menjadi korban dengan harapan justice collaborator yang lain mampu bekerjasama dan mempermudah aparat hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana korupsi guna menemukan alat bukti serta menangkap tersangka yang lain. 2.2
Penjatuhan Putusan Kosasih Abbas oleh Majelis Hakim Dalam kasus korupsi pengadaan dan pemasangan Solar Home
System dalam Ditjen LPE Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral yang dilakukan oleh Terdakwa I Ir. Jacob Purwono dan Terdakwa II Ir. Kosasih Abbas, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan Terdakwa II yaitu Ir. Kosasih Abbas sebagai justice collaborator melalui Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 756/0155/12/2012 tertanggal 20 Desember 2012 karena Terdakwa II bersikap kooperatif dalam membantu jalannya penyidikan. Majelis Hakim menjatuhkan putusan kepada Terdakwa II ini yaitu: 1. Menjatuhkan pidana penjara selama empat tahun, 2. Denda Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan. Sedangkan tuntutan Penuntut Umum ialah: 1. Menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) tahun,
118
2. Denda sebesar Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan. Putusan yang diberikan kepada Jacob Purwono (Terdakwa I) berkurang dari tuntutan Penuntut Umum yang semula dituntut berupa: 1.
Pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun,
2.
Pidana denda sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) subsidair 6 bulan kurungan.
Kemudian diputus oleh Majelis Hakim berupa: 1.
Pidana penjara selama 9 (sembilan) tahun,
2.
Pidana denda sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.
Tuntutan Penuntut Umum Jacob
1. Pidana Penjara 12 tahun
Putusan Hakim 1.
Pidana
Penjara
9
tahun
Purwono 2.
Denda
Denda
Rp
500.000.000,00 subsidair 6 300.000.000,00
dengan
bulan kurungan
Rp 2.
ketentuan apabila tidak dibayar diganti dengan 6 bulan kurungan
Kosasih Abbas
1. Pidana penjara 4 tahun 2.
Denda
1. Pidana penjara 4 tahun Rp 2.
Denda
Rp
250.000.000,00 subsidair 3 150.000.000,00
dengan
119
bulan kurungan
ketentuan apabila tidak dibayar diganti dengan 3 bulan kurungan
Hal ini dirasa tidak adil, terlebih apabila melihat pada pertimbangan hakim dalam Hal-hal yang Memberatkan dan Meringankan pada diri Terdakwa, yaitu: Hal-hal yang memberatkan : -
Terdakwa I : -
Perbuatan Terdakwa I kontraproduktif bagi upaya pemberantasan korupsi di tanah air ;
-
Terdakwa I tidak memberi teladan bagi jajarannya dalam kedinasan ;
-
Terdakwa I tidak merasa bersalah atas perbuatannya ;
Terdakwa II : -
Perbuatan Terdakwa II kontraproduktif bagi upaya pemberantasan korupsi di tanah air ;
-
Terdakwa II tidak berani menolak arahan yang tidak benar dari atasannya, sehingga terjadi tindak pidana tersebut ;
Hal-hal yang meringankan : -
Terdakwa I : -
Terdakwa I berlaku sopan di depan persidangan ;
-
Terdakwa I masih mempunyai tanggungan keluarga ;
120
-
Terdakwa I telah mengabdikan diri dan memperoleh penghargaan Satya Lencana dari Negara ;
-
Terdakwa II : -
Terdakwa II mengakui perbuatannya dan berterus terang di depan persidangan sehingga berperilaku kooperatif ;
-
Terdakwa II telah mengabdikan diri pada Negara sebagai Pegawai Negeri Sipil yang cukup lama ;
-
Terdakwa II berlaku sopan di persidangan ;
-
Terdakwa II masih mempunya tanggungan keluarga. Dapat dilihat bahwa putusan yang dijatuhkan Majelis Hakim kepada
Terdakwa II (Kosasih Abbas) tidak jauh berbeda dengan tuntutan Penuntut Umum, padahal disini Terdakwa II berperan sebagai justice collaborator. Majelis Hakim hanya menuliskan bahwa terdakwa II berperilaku kooperatif, padahal posisi justice collaborator mempunyai makna lebih dari sekedar berperilaku kooperatif, melainkan sebagai seseorang yang paling berperan dalam pengungkapan kasus tindak pidana korupsi. Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi telah memberi apresiasi kepada terdakwa Kosasih Abbas dengan memberi tuntutan lebih ringan karena dianggap telah bekerjasa sama dalam mengungkapkan kasus sejak penyidikan. Hendaknya, apresiasi ini berlanjut hingga menjadai pertimbangan Majelis Hakim dalam menetapkan keputusan hukuman ringan bagi mereka yang telah bersedia menjadi justice collaborator.
121
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, justice collaborator pantas diberikan penghargaan sebagai seseorang yang telah berani mengungkap kebenaran dalam suatu kasus tindak pidana tertentu (dalam hal ini tindak pidana korupsi). Namun, dalam kasus Kosasih Abbas, Majelis Hakim tidak terlihat memberikan penghargaan kepada Kosasih Abbas sebagai justice collaborator yang mana telah bersedia mengungkap perkara yang dinyatakan merugikan keuangan negara sebesar 80 miliar rupiah. Majelis Hakim sama sekali tak menyinggung dalam pertimbangan putusan akan status terdakwa II sebagai justice collaborator. Hal ini dapat memberikan dampak negatif bagi perkembangan justice collaborator di Indonesia. Tindakan majelis hakim ini dapat menurunkan keberanian orang untuk menjadi justice collaborator, para pelaku tindak pidana korupsi yang ingin mengungkap kejahatannya sendiri sebagai justice collaborator akan mengendurkan semangatnya karena tidak ada perbedaannya seseorang menjadi justice collaborator maupun tidak. 2.3
Majelis Hakim dalam Memperhatikan SEMA No. 4 Tahun 2011 Sebagai seorang justice collaborator, Kosasih Abbas dilindungi oleh
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK). Hakim pun terikat untuk memberikan putusan yang berpihak pada justice collaborator. Apalagi karena Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama
122
(Justice Collaborator) dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu (SEMA 4/2011), memandatkan hal tersebut. Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban secara jelas menyebutkan: (1)
(2)
Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
Ketentuan Pasal 10 tersebut secara essensial mengadopsi kedudukan whistle blower dan justice collaborator dan bentuk jaminan hukum bagi saksi yang mungkin sekaligus tersangka/ terdakwa dapat diberikan reward berupa pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang dijatuhkan kepadanya apabila kelak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Politik hukum pidana yang hendak dibangun adalah adanya kepastian hukum pemberian reward dan punishment bagi kesaksian yang sangat bernilai atau penting bagi pengungkapan kasus-kasus berbau skandal dan kasus-kasus serius, sementara kesaksian dimiliki oleh seseorang yang berkedudukan sebagai tersangka/ terdakwa.65 Artinya, Kosasih berhak memperoleh putusan yang meringankan dirinya sebagai seorang justice collaborator, karena telah membantu mengungkapkan pelaku utama perkara korupsi. 65
Firman Wijaya, Op.Cit, hlm. 29.
123
Surat Edaran Mahkaman Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (whistle blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (justice collaborator) seharusnya dijadikan dasar bagi hakim dalam menjatuhkan putusan, terlebih apabila terdakwa memiliki status sebagai whistle blower atau justice
collaborator. Hakim harus
memiliki pemahaman atas SEMA ini, dan memberikan apresiasi bagi terdakwa yang juga sekaligus sebagai justice collaborator. Dalam angka 7 SEMA ini, disebutkan : “Dengan merujuk pada nilai-nilai di dalam ketentuan tersebut diatas, dengan ini Mahkamah Agung meminta kepada Para Hakim agar jika menemukan tentang adanya orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama dapat memberikan perlakuan khusus dengan antara lain memberikan keringan pidana dan/atau bentuk perlindungan lainnya”. Begitu pula dalam angka 9 huruf (c) SEMA ini, disebutkan : “Atas bantuannya tersebut, maka terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama sebagaimana dimaksud diatas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut: i. menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus; dan/atau ii. menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud. Dalam pemberian perlakuan khusus dalam membentuk keringanan pidana hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.”
Penuntut Umum menuntut Terdakwa II karena terbukti melanggar Pasal 2 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun,
124
yang merupakan
pidana
minimum
khusus pada
pasal tersebut.
Menariknya, hakim menggunakan pasal 3 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (pidana minimum khususnya adalah 1 (satu) tahun penjara), namun menjatuhkan pidana penjara 4 tahun. Dapat kita lihat Pasal 3 tersebut berisikan : “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Kosasih memang divonis lebih ringan dari terdakwa lainnya yaitu Jacob Purwono yang turut serta melakukan tindak pidana korupsi, tapi tidak cukup melindungi dirinya dari vonis hakim. Hakim memang memiliki kewenangan dalam menjatuhkan putusan seorang terdakwa bersalah atau tidak, namun memang seharusnya Hakim harus memberikan apresiasi
kepada
justice
collaborator,
Hakim
seharusnya
berani
menjatuhkan vonis paling ringan. Dalam tuntutannya, Penuntut Umum menuntut Kosasih dengan pidana penjara selama 4 tahun karena terbukti melanggar Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menariknya, Majelis Hakim memutus Kosasih melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20
125
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mana Pasal 3 ini memberikan pidana penjara paling sedikit selama 1 tahun, namun Majelis tetap memutus pidana penjara selama 4 tahun. Setidaknya, Majelis Hakim bisa lebih cermat dalam memberikan putusannya berdasarkan Asas Keadilan, Asas kepastian, dan Asas Kemanfaatan. Majelis
hakim
disini
terlalu
formalis
dan
positivistik,
terlalu
mengutamakan asas kepastian. Seharusnya yang dilihat adalah asas manfaatnya, bahwa peran Kosasih telah mampu mengungkap kasus ini dengan terang dan jelas. Vonis terhadap Kosasih Abbas menunjukkan bahwa Hakim belum serius
mempertimbangkan
peran
para
justice
collaborator
dan
whistleblower. Ketiadaan kepastian tentang perlindungan bagi mereka justru memutus partisipasi publik dalam mengungkap perkara korupsi, karena dapat terjadi para saksi maupun saksi pelaku yang ingin bekerja sama enggan mengungkap perkara korupsi karena tidak disertai dengan perlindungan hukum atau reward yang pantas bagi mereka. Pada prinsipnya, tidak mudah seorang tersangka atau terdakwa untuk memiliki keinginan menjadi justice collaborator karena akan banyak risiko yang dihadapi. Nantinya, seorang justice collaborator perlu dihukum dengan mengembalikan semua uang hasil korupsi kepada negara dan membayar sejumlah denda yang pantas sesuai undang-undang serta dibebaskan dari hukuman kurungan. Bila hal ini bisa dilakukan, sangat mungkin akan
126
banyak kasus korupsi yang terbongkar dengan cepat, mudah, murah. Dampak lainnya adalah tingkat korupsi di Indonesia akan semakin kecil.
127
BAB V PENUTUP
A.
Simpulan Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Urgensi Justice Collaborator dalam pengungkapan kasus tindak pidana korupsi dalam Putusan No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst yaitu : a.
Membantu aparat penegak hukum dalam menemukan alat-alat bukti dan tersangka lain yang signifikan sehingga penyidikan dan pemeriksaan dapat berjalan efektif.
b.
Posisi justice collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk mengatasi kemacetan prosedural dalam pengungkapan
suatu
kejahatan
terorganisir
dan
sulit
pembuktiannya. c.
Memudahkan pembuktian dan penuntutan serta dapat mengungkap tuntas suatu tindak pidana terutama yang berkaitan dengan organisasi kejahatan.
2. Majelis Hakim memberikan vonis putusan yang terlalu tinggi untuk terdakwa II, dan juga tidak mempertimbangkan Kosasih sebagai justice collaborator dalam hal-hal yang meringankan bagi terdakwa II dalam
128
Putusan No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst. Majelis Hakim hanya menuliskan bahwa terdakwa II bersikap kooperatif, padahal posisi justice collaborator mempunyai makna lebih dari sekedar bersikap kooperatif, melainkan sebagai seseorang yang berperan dalam mengungkap kasus tindak pidana korupsi. B.
Saran 1. Sebaiknya aparat penegak hukum memberikan kepastian hukum (penghargaan negara) terhadap justice collaborator yang berani mengungkap jaringan kejahatan terorganisir. Dari segi kuantitas penerapannya masih minim dan masih ditingkat pusat. 2. Para
hakim
di
Indonesia
harus
memperhatikan
dan
mengimplementasikan SEMA No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (whistle blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (justice collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, walaupun Hakim memiliki kewenangan memutus, namun harus diperhatikan pula asas keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.
129
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur : Adami Chazawi. 2008. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung: Alumni. Djaja, Ermansjah. 2009. Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta: Sinar Grafika. Munir Fuady. 2006. Teori Hukum Pembuktian, Pidana dan Perdata. Bandung: Citra Aditya Hamzah, Andi. 1990. Indonesia.
Pengantar Hukum Acara Pidana. Jakarta: Ghalia
____________. 2000. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. ____________. 2001. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi. Jakarta: Ghalia Indonesia. ____________. 2004. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi. Jakarta: Sinar Grafika ____________. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Harahap, M. Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika ________________. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali). Jakarta: Sinar Grafika. Hartanti, Evi. 2005. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
130
Ilias, Chatzis. et, Al. Praktik Terbaik Perlindungan Saksi dalam Proses Pidana yang Melibatkan Kejahatan Terorganisir. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Jakarta. 2010 Mertokusumo, Soedikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty. Nugroho, Hibnu. 2012. Intergralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Jakarta: Media Prima Aksara. Pangaribuan, Luhut MP. 2005. Hukum Acara Pidana: Surat-Surat Resmi di Pengadilan oleh Advokat. Jakarta: Djambatan. Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika. 1992. Dasar-Dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman. Jakarta: Rineka Cipta. Prinst, Darwin. 2002. Hukum Acara Pidana dalam Praktik, cet 3. Jakarta: Djambatan. Prodjohamidjojo, Martiman. 1983. Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti. Jakarta: Ghalia Indonesia. Salami, Mochamad Faisal. 2001. Hukum Acara Pidana dan Praktik. Bandung: Mandar Maju. Sarwoko, Djoko. 2011. “Reward bagi “Whistle Blower“ (Pelapor Tindak Pidana) Dan “Justice Collaborator” (Saksi Pelaku yang Bekerja Sama) dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu”. Makalah Tuada Pidsus dalam Rakernas Mahkamah Agung dengan Pengadilan Seluruh Indonesia, Jakarta 2011. Simanjuntak, Nikolas. 2009. Acara Pidana di Indonesia dalam Sirkus Hukum Cet.I. Bogor: Ghlmia Indonesia. Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metodologi Penelitian dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia. Suhandi Cahaya dan Surachmin. 2011. Strategi dan Teknik Korupsi Mengetahui untuk Mencegah. Jakarta: Sinar Grafika. Sulistiani, Lies. et. Al, Sudut Pandang Peran LPSK dalam Perlindungan Saksi dan Korban. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
131
Waluyadi. 1999. Pengetahuan Hukum Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatan Khusus). Bandung: Mandar Maju. Wijaya, Firman. 2008. Peradilan Korupsi Teori dan Praktik. Jakarta: Maharani Press. ____________. 2012. Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Perspektif Hukum. Jakarta: Penaku
B. Jurnal Nixson, Syafruddin Kalo, Tan Kamello, dan Mahmud Mulyadi. “Perlindungan Hukum Terhadap Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, Universitas Sumatera Utara Law Journal, Vol. II-No.2 (Nov 2013), Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara.. Ridwan, “Pembaharuan Hukum Pidana dalam Kerangka Hukum yang Berkeadilan Berdasarkan Kultur Hukum Indonesia”, Jurnal Ilmiah Media Hukum, Vol.. 18 No. I, Juni 2011, Yogyakarta: Fakultas Hukum UMY. Abdul Haris Semendawai, “Revisi Undang-Undang No.13 tahun 2006, Momentum Penguatan Perlindungan Saksi dan Korban”, Jurnal Perlindungan Saksi dan Korban, Volume 1 Tahun 2011, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Supriyadi Widodo Ediyono, “Melihat Prospek Perlindungan “Pelaku yang Bekerjasama” di Indonesia”, Jurnal Perlindungan Saksi dan Korban, Volume 1 Tahun 2012, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
C. Peraturan Perundang-Undangan : Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. ________, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ________, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
132
D. Internet Indonesia Corruption Watch. 2013. Catatan Pemantauan Perkara Korupsi yang Divonis oleh Pengadilan Selama Tahun 2013. Diakses melalui www.antikorupsi.org pada tanggal 11 Maret 2014. Putri, Narila. 2012. Agus Condro: Pengungkapan Korupsi Melalui Justice Collaborator. Diakses melalui http://hukum.kompasiana.com/2012/06/11/agus-condro-pengungkapankorupsi-melalui-justice-collaborator-463901.html pada tanggal 10 Juni 2014. http://www.suarapembaruan.com/home/ditetapkan-sebagai-justice-collaboratorkosasih-dituntut-lebih-ringan/29552 diakses pada tanggal 23 Maret 2013
E. Sumber Lainnya : Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Preamble The States Parties to this Convention of United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Antikorupsi, 2003). Fausto Zucarelli, Handling and Protection Witnesses and Collaborations of Justice, the Italian Experience, disampaikan pada International Seminar on the Protection of Whistle Blower as Justice Collaborator, di Jakarta, 09 Juli 2011