TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH SECARA BERSAMA-SAMA (Suatu Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 01/Pid.S/2010/PN.Gs)
SKRIPSI
Disusun Oleh: HERDIANA MARIA E1A008227
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013
ii
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus, karena dengan berkat kasih dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul Tindak Pidana Pemilihan Umum Kepala Daerah Secara Bersama-sama (Suatu Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 01/Pid.S/2010/PN.Gs)” tersebut dengan baik. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, maka penulisan skripsi ini tidak akan mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 2. Dr. Kuat Puji P, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis sekaligus Dosen Pembimbing Skripsi I , atas kesabaran dan kearifan beliau dalam membimbing serta memberikan dorongan atau motivasi kepada penulis. 3. Sunaryo, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan saran, bimbingan serta arahan kepada penulis selama proses penyelesaian penyusunan skripsi tersebut. 4. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dosen Penilai Skripsi, yang telah memberikan evaluasi dan saran-saran yang luar biasa bagi penulis terkait dengan penyusunan skripsi demi kemajuan penulis. 5. Haryanto Dwi Atmodjo, S.H., M.Hum., selaku Kepala Bagian Hukum Pidana. Terima kasih atas semua bantuannya.
iv
6. Mukhsinun, S.H., M.Hum, selaku Pembimbing Akademik penulis terima kasih atas bantuannya. 7. Bakesbangpolinmas, Bappeda Kabupaten Banyumas atas bantuan dan kerjasamanya. 8. Seluruh Pihak Panwaslu Purwokerto, atas bantuan dalam mencari data-data terkait. 9. Orang tua serta adik-adik penulis (Bapak Sintong Silaban dan Mama Ani Mutiara Manalu), Gemilang Dametama Silaban. Hasaran Silaban. Febrianto Silaban dan Friska Indryani Silaban yang telah memberikan cinta, kasih sayangnya sebagai orang tua dan adik-adik terkasih, yang memberikan doa luar biasa dan suntikan-suntikan semangat, nilai-nilai hidup yang sangat berarti bagi penulis dalam mengarungi hidup ke depan. 10. Keluarga besar Silaban dan Manalu dimanapun berada, Opung Medan dan Opung Parmonangan, Uda dan Namboru, Tulang dan Tante, serta sepupu penulis yang selalu memberikan doa. semangat, dan perhatian yang luar biasa. 11. Segenap Keluarga Besar Persekutuan Mahasiswa Kristen Fakultas Hukum UNSOED yang sudah menjadi keluarga kedua penulis selama di Purwokerto dan selalu memberi bantuan dalam bentuk apapun. 12. Segenap Keluarga Besar Asian Law Student Association Local Chapter UNSOED yang tidak dapat disebutkan satu persatu dan telah memberi pengalaman dalam berorganisasi. 13. Segenap civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
v
14. Keluarga besar GKI Martadireja, GKI Gatot Subroto, dan HKBP Purwokerto beserta para Pendeta, dimana tempat ibadah penulis selama di Purowokerto terima kasih atas tempat ibadah yang indah serta khotbah dan doa yang selalu menyemangati penulis. 15. Ibu kosan beserta keluarga yang menjadi orang tua kedua selama di Purwokerto beserta anak-anak kosan yang lama dan yang baru khususnya Risa, Nia, dan Nana. 16. Teman sekaligus sahabat, Epoy. Cima, Prisma, Lola, Kusuma, Dian selaku sahabat SMPN 252, Lidya, Winston, Daniel, Mario, Sando, Irna, dan semua sahabat di Gereja HKBP Jatiwaringin, Niki, Valent, Wilda, Widya, Pingkan, Kania, Dini, dan semua sahabat di SMA 54. 17. Nathania
Frisca
Tampubolon,
Rio
Willander
Sianipar,
Hasudungan
Manihuruk, Chandra Simanjuntak, Angelina Butar-butar, Chaterina Yohana Tambunan, Daniel Vincent Silitonga, Rifki Sembiring yang selalu ada memberikan amunisi semangat yang luar biasa selama penulis mengerjakan skrispi di Purwokerto. 18. Hendra Ricardo Saragih yang selalu memberikan semangat dan perhatian yang luar biasa kepada penulis selama mnegerjakan skripsi serta doa yang selalu ada untuk penulis. 19. Semua pihak yang turut memberikan kontribusi bagi penulis selama ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu di sini. Tiada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, datangnya saran yang membangun bagi penulis adalah hal yang
vi
senantiasa dinantikan guna penyempurnaan dalam penulisan skripsi tersebut untuk menjadi lebih baik lagi. Namun demikian, harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terima kasih.
Purwokerto, 26 Agustus 2013 Herdiana Maria
vii
Motto : what ever happen in my life, my Jesus knows the best for me !!
Mazmur
126:6
..”Orang
yang
berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan
sorak-sorak
sambil
membawa berkas-berkasnya”..
viii
ABSTRAK
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) pada awalnya dilakukan secara tidak langsung melalui perwakilan DPRD Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Sebagai akibat dari perubahan konstelasi politik dan sosial, maka Pemilukada tidak lagi dilakukan oleh DPRD, akan tetapi dipilih secara langsung oleh masyarakat. Pemilukada langsung ini dilakukan sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus dan pendekatan perundang-undangan yang bersifat kualitatif dengan metode yuridis normatif. Pengumpulan data melalui seluruh bahan-bahan kepustakaan, inventarisasi peraturan perundang-undangan, dan putusan badan peradilan. Teknik menyajian data disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis, rasional, dan logis. Bahwa terdapat 27 jenis Tindak Pidana Pemilukada dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 yakni Pasal 115 sampai dengan Pasal 119 dan terjadi penambahan 3 ayat dalam Pasal 115 dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yakni ayat 7, 8, dan 9, sementara di dalam KUHP terdapat 5 pasal Tindak Pidana Pemilu yaitu Pasal 148, 149, 150, 151, 152, 153, dan bila dibandingkan sanksi pidana Pemilukada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah lebih berat daripada KUHP. Pelanggaran Pemilukada di bagi menjadi 3 bagian, yaitu Pelanggaran Administrasi, Pelanggaran Pidana, dan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum dalam hal ini Pemilukada. Pelanggaran Administrasi dilaporkan kepada Panwaslu dan diteruskan kepada KPUD, Pelanggaran Pidana diproses dengan sistem peradilan pidana (Kepolisian, Penuntut Umum, Peradilan) sesuai dengan KUHAP dengan diawali laporan masyarakat ataupun pasangan calon kepada panitia pengawas pemilihan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak laporan diterima, sedangkan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah yang semula di tangani Mahkamah Agung di serahkan kepada Mahkamah Konstitusi. Kata Kunci : Pemilihan Umum Kepala Daerah, Tindak Pidana Pemilukada, Penerapan Ketentuan Pidana Pemilukada.
ix
ABSTRACT The regional election and vice ( Elections of Regional Head ) at first conducted indirectly via representative regional parliaments provincial or district. As a result of changes in the political and social constellations, the Elections of Regional Head is no longer be done by the regional parliaments, but elected directly by the people. This direct Elections of Regional Head is done since the implementation of the act of Number 32 Year 2004 Jo The Law Number 12 Year 2004 about local governments. The research using case and statute approach which are qualitative with the normative juridicial methods. Collecting data by literature study, an inventory of legislation, and judiciary decisiens. Data presentation techniques is presented in the form of descriptions are arranged in a systematic, rational, and logical. That there are 27 kind of the criminal act of Elections of Regional Head in the act of Number 32 Year 2004 namely article 115 up to article 119 and occurring the addition of 3 verse in article 115 in The Law Number 12 Year 2004 about local governments, namely paragraph 7, 8, and 9, while in the act criminal law there are 5 article a criminal offense elections, namely article 148 149, 150, 151, 152, 153, and if compared to criminal sanctions Elections of Regional Head in the act of Number 32 Year 2004 Jo The Law Number 12 Year 2008 on local governments heavier than the act criminal law. The application of a breach of Elections of Regional Head in for into three parts, that is a breach administration, a criminal offense, and disputes the result of general elections in this case Elections of Regional Head. The offense of administration reported to the committee and passed on to regional election commissions. A criminal offense processed with criminal justice systems (police, prosecutors, judicial) according to the book of the law of criminal procedure with initial public reports or candidate couple to supervision committee elections approximately 7 (seven) day after a report accepted, while dispute the results of the Elections of Regional Head who was initially handled by the supreme court now submitted to the constitutional court. Keywords : Elections of Regional Head, Criminal act of Elections of Regional Head, implementation of criminal provisions on Elections of Regional Head
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. ii SURAT PERNYATAAN .................................................................................... iii KATA PENGANTAR ........................................................................................ iv MOTTO .............................................................................................................. viii ABSTRAK ........................................................................................................... ix ABSTRACT ......................................................................................................... x DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi BAB I PENDAHULIAN A. Latar Belakang Masalah .......................................................................1 B. Perumusan Masalah ........................................................................... 10 C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 10 D. Kegunaan Penelitian ........................................................................... 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Demokrasi 1. Pengertian Demokrasi .................................................................... 12 2. Sejarah dan Perkembangan Demokrasi di Indonesia ..................... 16 B. Pemilu 1. Pemilu Pada Umumnya ................................................................. 25 2. Pengertian Pemilu ......................................................................... 25 3. Asas Pemilihan Umum ................................................................. 28
xi
4. Sistem Pemilihan Umum .............................................................. 31 5. Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ....... 40 C. Tindak Pidana 1. Pengertian Umum Tindak Pidana ................................................. 50 2. Unsur-unsur Tindak Pidana .......................................................... 53 3. Jenis-jenis Tindak Pidana ............................................................. 56 D. Tindak Pidana Pemilukada 1. Pengertian Tindak Pidana Pemilukada ......................................... 60 2. Unsur-unsur Tindak Pidana Pemilukada dalam KUHP ............... 61 3. Unsur-unsur Tindak Pidana Pemilukada dalam UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah . 66 4. Penyertaan ..................................................................................... 74 5. Bentuk-bentuk Penyertaan ............................................................ 76 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan ....................................................................... 77 B. Spesifikasi Penelitian .................................................................... 78 C. Lokasi Penelitian ........................................................................... 79 D. Sumber dan Jenis Bahan Hukum .................................................. 79 E. Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 81 F. Teknik Penyajian Data .................................................................. 82 G. Metode Analisis Data .................................................................... 82 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ............................................................................. 83
xii
B. Pembahasaan ............................................................................... 110 BAB V PENUTUP A. Simpulan ...................................................................................... 139 B. Saran ............................................................................................ 140 DAFTAR PUSTAKA
xiii
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) Amandemen IV yang menyebutkan bahwa "Negara Indonesia adalah negara hukum”, dengan kata lain konstitusi UUD NRI 1945 telah menempatkan hukum dalam posisi yang supreme dan menentukan dalam sistem ketatanegaraan dan pemerintahan Indonesia. Prinsip negara hukum dilihat dari aspek pelaksanaan hukum yang mengandung arti, segala tindakan pemerintah dan tindakan masyarakat harus selalu sesuai dengan hukum yang berlaku, maka setiap tindak pidana yang terjadi seharusnya diproses melalui jalur hukum, jadi hukum dipandang sebagai satu-satunya cara penyelesaian terhadap suatu tindak pidana. Menurut Moeljatno1 yang merupakan ahli hukum pidanan yang memiliki pandangan berbeda dengan penulis-penulis lain tentang definisi tindak pidana, Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana hanya mencangkup perbuatan saja, sebagaimana dikatakannya bahwa, “perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifatnya perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan
1
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), Cetakan II, hal 56, dalam Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Cetakan I, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2012, hal 58-59.
2
ancaman dengan pidana kalau dilanggar”. Dalam hal ini terkait adanya asas legalitas yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan terjadi”. Dari rumusan tersebut, dapat diartikan bahwa suatu perbuatan baru dapat dipidana jika : 1. Ada ketentuan pidana tentang perbuatan tersebut yang dirumuskan dalam undang-undang atau tertulis sebagaimana disebutkan dalam kalimat “atas ketentuan-ketentuan pidana dalam perundang-undangan”. 2. Dilakukan setelah ada perumusannya dalam peraturan perundangundangan sebagaimana tercantum dalam kalimat ketentuan perundangundangan sudah ada sebelum perbuatan dilakukan. Dengan perkataan lain ketentuan pidana tidak berlaku surut. Eksistensi suatu negara disebut negara hukum tercermin dari beberapa hal. Konsep negara hukum di Indonesia lebih mendekati konsep hukum kontinental (rechtsstaat) dibandingkan konsep rule of law di negara-negara Anglo-Saxon. Ciri-ciri negara hukum (rechstaat) yang terdapat juga di UUD NRI 1945, yaitu : a. Adanya jaminan Hak Asasi Manusia; b. Adanya pemisahan kekuasaan dalam negara; c. Pemerintah dalam menjalankan tugas dan kewajibannya harus mendasar atas hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis; d. Adanya kekuasaan Kehakiman yang merdeka.
3
Konsep negara hukum yang berkedaulatan rakyat pada intinya mengandung dua dimensi, yakni2 : 1. Dimensi kedaulatan hukum yang mengkehendaki seluruh aktivitas kehidupan ketatanegaraan harus tunduk pada hukum. Hukum harus menjadi landasan bagi sikap tindak negara (asas legalitas). Hukum membawahkan negara. 2. Dimensi kedaulatan rakyat
yang mengkehendaki rakyatlah
yang
memegang kekuasaan tertinggi di dalam negara dan menentukan aturan main melalui perangkat-perangkat hukum yang ada. Berdasarkan dua dimensi tersebut di atas kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia selanjutnya disebut NKRI adalah berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, hal ini terdapat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 : “Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar.”
Negara Indonesia sebagai negara hukum, sebagaimana juga tercermin dalam UUD NRI 1945, maka dalam penyelenggaraan pemilu yang tercermin di dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 : “Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”
2
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi Manusia, Cetakan I, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2003, hal 200.
4
Sebagai perwujudan kedaulatan rakyat, maka rakyat melalui Pemilihan Umum yang disingkat Pemilu karena Pemilu merupakan salah satu bentuk dan cara yang paling nyata untuk melaksanakan demokrasi. Jika demokrasi diartikan sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat, maka cara rakyat untuk menentukan pemerintahan itu dilakukan dengan Pemilu3. Sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 untuk memilih wakilwakilnya yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), juga memilih Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah Tingkat I (Gubernur dan Wakil Gubernur), Kepala Daerah Tingkat II (Bupati dan Wakil Bupati), dan Walikotamadya. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah diterapkan prinsip demokrasi. Sesuai dengan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945, termasuk Pemilihan Kepala Daerah dipilih secara demokratis. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang selanjutnya disebut UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang selanjutnya disebut PP No. 6 Tahun 2005 telah mengalami perubahan sebanyak 3 kali, yaitu PP No. 25 Tahun 2007 Tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 6 Tahun 2005, dan PP No. 49 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas PP No. 6 Tahun 2005.
3
Janedjri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu, Kata Penghantar Prof. Dr. Moh. Mafud. MD, S.H., Cetakan I, Konstitusi Press (Konpress), Jakarta, 2012.
5
Peraturan mengenai Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota), Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 hanya mengamanatkan bahwa harus dipilih secara demokratis, sehingga menimbulkan perdebatan apakah termasuk rezim hukum Pemilu atau bukan. Akan tetapi, berdasarkan UndangUndang Nomor 22 Tahun 2007 selanjutnya disebut UU No. 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
kemudian
dikategorikan
sebagai
Pemilu
yang
juga
harus
diselenggarakan oleh KPU beserta jajarannya (KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota), sehingga disebut Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (untuk selanjutnya disingkat Pemilukada). Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, diatur mengenai Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat, yang diajukan oleh partai politik atau gabungan parpol. Sedangkan didalam perubahan kedua UU No. 32 Tahun 2004, yakni UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 59 ayat (1)b, calon Kepala Daerah dapat juga diajukan dari calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Secara ideal tujuan dari dilakukannya Pemilukada adalah untuk mempercepat konsolidasi demokrasi di Republik ini. Pada era reformasi muncul gumpalan aspirasi dan gugatan kuat agar Pemilu sebagai sarana paling nyata bagi pelaksanaan demokrasi harus diselenggarakan secara benar-benar langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pada Pemilu tahun 1999 kita boleh bergembira karena berhasil
6
menyelenggarakannya secara relatif fair dan bersih, terutama jika dibandingkan dengan pemilu-pemilu era Orde Baru. Meskipun harus diakui pada tingkat panitia pemilihan Indonesia yang diisi dengan orang-orang parpol itu terjadi kekisruhan dalam penetapan hasil Pemilu, tetapi akal sehat publik (public common sense) menyatakan bahwa Pemilu tahun 1999 adalah Pemilu yang terbaik setelah Pemilu yang pertama tahun 1955. Tetapi problem atau ancaman bagi penyelenggara Pemilu yang membaik itu muncul lagi sejak Pemilu Legislatif tahun 2004, lalu menguat pada Pemilu tahun 2009, terutama terkait dengan isi politik uang (money politic) dan gejala menguatnya oligarki di kalangan partai politik. Problem yang tidak kondusif, bahkan mengancam demokrasi ini, bisa dilihat dari berbagai kasus yang dimuat secara telanjang di berbagai media massa dan menjadi kasus sengketa hasil Pemilu dan Pemilu Kepala Daerah di Mahkamah Konstitusi (MK)4. Sebanyak 273 perkara masuk ke lembaga pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman baru ini, dan MK telah menuntaskan tugas konstitusionalnya dengan memutus seluruh perkara dengan putusan yang bersifat final 5. UUD NRI 1945 telah mengalami perubahan mendasar sebanyak empat kali. Dalam rangka perubahan pertama sampai perubahan keempat UUD NRI 1945, bangsa kita telah mengadopsikan prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan, mulai dari pemisahan kekuasaan dan checks and balances sampai dengan penyelesaian “konflik politik” melalui jalur hukum. Dalam
4 5
Loc.Cit. Berita Mahkamah Konstitusi”, edisi khusus, 2004, hal.4.
7
pelaksanaan Pemilukada menurut ketentuan Undang-Undang Pemerintahan Daerah harus diikuti paling sedikit 2 (dua) pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pada proses pelaksanaan Pemilukada selalu saja terjadi adanya pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan-aturan hukum yang berlaku. Hal ini dapat kita ketahui melalui media massa cetak (surat kabar) dan melalui media massa elektronik (televisi). Sejak Juni 2005, Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada), baik Gubernur, Bupati dan Walikota dilakukan secara langsung. Pemilukada sebanyak 500-an telah berlangsung secara demokratis di berbagai daerah. Tetapi tidak sedikit juga diwarnai berbagai kecurangan, misalkan terjadi praktik politik uang (money politics), intimidasi, konflik dan kekerasan, Daftar Pemilih Tetap (DPT) bermasalah, mobilisasi Pegawai Negeri Sipil (PNS), penyalahgunaan jabatan, fasilitas dan anggaran negara (abuse of power), penggelembungan dan pengurangan suara dan praktik curang lain. Bahkan, tersangka kasus korupsi dan narapidana pun banyak terpilih di beberapa daerah. Penegakan hukum atas pelanggaran Pemilukada masih diwarnai kelemahan dan ketidaktegasan dan belum menyentuh indikasi korupsi Pemilu yang bermakna lebih luas. Sampai sekarang ini ada kesulitankesulitan untuk mendapatkan bukti-bukti tertulis guna memprosesnya secara hukum. Padahal hukum di Indonesia senantiasa menuntut adanya bukti-bukti tertulis itu untuk dapat mengajukan seseorang ke pengadilan dengan tuduhan telah melakukan tindak pidana dalam Pemilihan Kepala Daerah.
8
KUHP sebagai hukum umum (lex generalis) maupun dalam undangundang yang mengatur secara khusus (lex specialis) tentang Pemilu telah diatur berbagai tindakan yang dianggap sebagai kejahatan atau Tindak Pidana Pemilu, yang merupakan perbuatan-perbuatan yang dianggap mengganggu jalannya Pemilu dan mempengaruhi kemurnian hasil Pemilu sebagai dasar hukum untuk menindak pelanggaran yang berkaitan dengan Pemilu. Dasar hukum tersebut dimuat dalam Pasal 148 sampai dengan Pasal 152. Namun demikian, pembuat undang-undang mempunyai paradigma dan pola pikir (frame of mind) yang intinya KUHP tidak cukup potensial sebagai jerat untuk menindak pelaku pelanggaran atau kejahatan dalam rangka Pemilu termasuk Pemilukada. Tindak pidana dalam Pemilukada juga diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah; BAB IV : Penyelenggaraan Pemerintahan; Bagian Kedelapan : Ketentuan Pidana Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah; Paragraf Ketujuh : Ketentuan Pidana Pemilihan Kepala Derah dan Wakil Kepala Daerah; Pasal 115 sampai dengan Pasal 119. Kemurniaan hasil Pemilu adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan di dalam negara demokrasi, oleh karena itu untuk menjamin pemilihan umum yang jujur dan adil yang sangat penting diperlukan perlindungan bagi para pemilih, bagi setiap pihak yang mengikuti Pemilu maupun bagi rakyat umumnya dari segala ketakutan, intimidasi, penyuapan, penipuan, dan berbagai praktik curang lainnya, yang akan mempengaruhi kemurniaan hasil Pemilu. Jika Pemilu dimenangkan dengan cara-cara curang, sulit dikatakan
9
bahwa yang terpilih merupakan wakil-wakil rakyat. Pemilu sering dijadikan proyek bisnis yang banyak peminatnya, jika tidak hati-hati akan menimbulkan konflik yang merugikan jalannya Pemilu itu sendiri dan mengakibatkan ketidakmurniaan hasil Pemilu. Untuk melindungi kemurniaan hasil Pemilu yang sangat penting bagi negara demokrasi, para pembuat undang-undang telah menjadikan sejumlah perbuatan curang dalam Pemilu sebagai tindak pidana. Dengan demikian, undang-undang tentang Pemilu di samping mengatur tentang bagaimana Pemilu
itu
diselenggarakan
juga
melarang
perbuatan
yang
dapat
menghancurkan hakikat kebebasan dan keadilan Pemilu itu serta mengancam pelakunya dengan sanksi pidana. Tindak pidana dapat dilakukan lebih dari seorang pelaku secara bersama-sama sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP merumuskan : “Di pidana sebagai pelaku tindak pidana, mereka yang melakukan yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.”
Pelaku tindak pidana paling sedikit 2 (dua) orang, yakni yang melakukan. Dalam tindakannya keduanya melakukan anasir tindak pidana itu6. Namun dalam konsepsi penerapan sanksi pidana Pemilukada tersebut perlu dikritisi dan dikaji lebih mendalam dan komprehensif tentang 6
R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1980, hal 70.
10
penerapan sanksi Tindak Pidana Pemilukada. Hal ini terkait dengan banyaknya jenis pelanggaran serta kendala di lapangan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dan masyarakat. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis ingin melakukan penelitian hukum dengan judul sebagai berikut : “TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH SECARA BERSAMASAMA (Suatu Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 01/Pid.S/2010/PN.Gs)”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apa batasan tindak pidana dalam Pemilukada ? 2. Bagaimana penerapan ketentuan Tindak Pidana Pemilukada berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Jo UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Putusan Nomor 01/Pid.S./2010/PN.Gs ? C. Tujuan Penelitian Berkaitan dengan permasalahan yang telah dirumuskan, maka penulisan ini mempunyai tujuan yaitu : 1. Untuk mengetahui batasan tindak pidana dalam Pemilukada. 2. Untuk
mengetahui
kejelasan
penerapan
ketentuan
pidana
Pemilukada berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan
11
Daerah dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Putusan Nomor 01/Pid.S./2010/PN.Gs. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya yang berkaitan dengan batasan tindak pidana dalam Pemilukada dan ketentuan pidana dalam Pemilukada berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah dan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini yang diharapkan penulis dari hasil penelitian tentang batasan tindak pidana dalam Pemilukada dan penerapan ketentuan pidana dalam Pemilukada berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah dan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat memberikan kontribusi pemikiran kepada penegak hukum sebagai refensi bagi pihak-pihak berkepentingan.
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Demokrasi 1. Pengertian Demokrasi Secara etimologis, istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani, “demos” berarti rakyat dan “kratos”atau “kratein” berarti kekuasaan. Konsep dasar demokrasi berarti “rakyat berkuasa” (government of rule by the people). Demokrasi ialah pemerintahan dimana kekuasaan negara terletak di tangan sejumlah besar dari rakyat dan menjalankan kekuasan itu untuk kepentingan “semua orang”. Tapi di sini muncul pula perebutan kursi kedudukan, muncul pemimpin-pemimpin gadungan, pemimpin-pemimpin palsu yang mengelabui mata rakyat dengan janji-janji palsunya sehingga negara akan kacau dan timbulnya anarkis7. Demokrasi menggunakannya,
mempunyai sebab
arti
dengan
penting
bagi
masyarakat
yang
demokrasi,
hak
masyarakat
untuk
menentukan sendiri jalannya organisasi negara dijamin. Oleh karena itu, istilah demokrasi selalu memberikan posisi penting bagi rakyat walaupun secara operasional implikasinnya di berbagai negara tidak selalu sama. Demokrasi juga sebagai dasar hidup bernegara memberi pengertian bahwa pada tingkat akhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok yang mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijaksanaan 7
Cakra Arbas, Jalan Terjal Calon Independen Pada Pemilukada di Provinsi Aceh, Cetakan I, PT. Sofmedia, Medan, 2012, hal 1.
13
negara, oleh karena kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat. Jadi negara demokrasi adalah negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada di tangan rakyat8. Demokrasi yang di idealkan harusnya diletakkan dalam koridor hukum. Tanpa hukum, demokrasi justru dapat berkembang kearah yang keliru karena hukum dapat ditafsirkan secara sepihak oleh penguasa atas nama demokrasi. Oleh karena itu, berkembang konsepsi mengenai demokrasi yang berdasar atas hukum yang bahasa inggrisnya biasa disebut isitlah constitusional democracy9. Perkembangan pengertiannya sendiri dari istilah demokrasi pada asasnya tidak terjadi perubahan, yaitu sistem pemerintahan di mana dipegang oleh rakyat atau setidak-tidaknya rakyat diikutsertakan di dalam pembicaraan masalah-masalah pemerintahan10. Hendry B. Mayo memberikan definisi mengenai demokrasi sebagai sistem politik sebagai berikut : “A democratie political system is one in which public policies are made on a majority basis, by representative subject to effective popular control at periode elections which are conducted on the principle of political equality and under conditions of political freedom”. (Sistem politik demokrasi adalah sistem yang menunjukan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasaan bolitik)11. 8
Moh. Mahfud MD, Demokrasi Dan Konstitusi Indonesia, Cetakan II, Rineke Cipta, Jakarta, 2003, hal 19. 9 Jimly Asshiddieqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal297; 10 Joeniarto, Demokrasi Dan Sistem Pemerintahan Negara, Cetakan III, Bina Aksara, Jakarta, 1984, hal 32. 11 Hendry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, Oxford University Press, New York 1960, hal 70 dalam Moh. Mahfud, MD, Op. Cit., hal 19
14
Lebih lanjut, Hendry B. Mayo menyatakan bahwa demokrasi dinyatakan oleh beberapa nilai, yakni12 : 1) Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga (institusionalized peaceful settlement of cinflict); 2) Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah (peaceful change in changing society); 3) Menyelenggarakan
pergantian
pemimpin
secara
teratur
(orderly
successtion of rullers); 4) Membatasi pemakaian-pemakaian kekerasaan sampai minimum (minimum of coercion); 5) Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragamaan (diversity) dalam masyarakat yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan, serta tingkah laku; 6)
Menjamin tegaknya keadilan. Untuk melaksanakan nilai-nilai demokrasi perlu diselenggarakan beberapa lembaga negara, yakni13 : a. Pemerintahan yang bertanggung jawab; b. Suatu dewan perwakilan rakyat yang mewakili golongan-golongan dan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat dan yang dipilih
12
Hendry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, Oxford University Press, New York 1960, hal 70 dalam Ni’matul, Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal 244. 13 Ibid, hal 245.
15
dengan pemilihan umum yang bebas dan rahasia dan atas sekurangkurangnya dua calon untuk setiap kursi; c. Suatu organisasi politik yang mencakup satu atau lebih partai politik; d. Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat; e. Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi dan mempertahankan keadilan. Demokrasi modern, timbul oleh dan setelah revolusi Perancis pada ide kedaulatan rakyat dari J.J. Rousseau, struktur ketatanegaraan digariskan dalam bentuk konstitui, dengan maksud supaya dapat terjamin hak-hak rakyat dan tidak dilanggar oleh penguasa negara. Demokrasi mempunyai 2 (dua) pengertian, yaitu14 : 1. Demokrasi dalam arti materil, bahwa inti dari demokrasi itu justru terletak dalam jaminan yang diberikan terhadap hak-hak yang berdasar pada pengakuan kemerdekaan tiap-tiap orang yang menjadi warga negara. 2. Demokrasi dalam arti formil, bahwa hanya sekedar mengandung pengakuan, faktor yang menentukan dalam negara ialah kehendak rakyat, yang kemudian menjadi sebagian besar dari rakyat, akan tetapi dengan tidak ada sesuatu pembatasaan untuk menjamin kemerdekaan seseorang. Pada zaman modern ini, kedua pengertian itu dikombinasikan, yaitu unsur formil yang ditandai denga adanya sistem pemilihan umum “setengah
14
M. Solly Lubis, dalam Cakra Arbas, Jalan Terjal Calon Independen Pada Pemilukada di Provinsi Aceh, Op.Cit. hal 15.
16
ditambah satu” dan unsur materilnya yang ditandai dengan keharusan adanya “fair play” dalam pembentukan kekuasaan dan pimpinan negara. 2. Sejarah dan Perkembangan Demokrasi di Indonesia Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintahan negara tersebut. Perkembangan demorkasi di Indonesia telah mengalami pasang surut. Selama 25 tahun berdirinya Republik Indoensia ternyata masalah pokok yang kita hadapi ialah bagaimana dalam masyarakat yang beraneka ragam pola budayanya, mempertimbangkan tingkat kehidupan ekonomi di samping membina suatu kehidupan sosial dan politik yang demokratis. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances. Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembagalembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan yudikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan
17
legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan. Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya Pemilihan Presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum, serta Kepala Daerah Tingkat I (Gubernur dan Wakil Gunbernur), Kepala Daerah Tingkat II (Bupati dan Wakil Bupati), dan Walikotamadya. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warga negara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih). Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih Presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu Pemilihan Presiden atau anggotaanggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung Presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walaupun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu Pemilu sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa
18
pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Didalam praktek kehidupan kenegaraan sejak awal kemerdekaan hingga saat ini, ternyata paham demokrasi perwakilan yang dijalankan di Indonesia terdiri dari beberapa model demokrasi perwakilan yang saling berbeda satu dengan yang lainnya. Perkembangan demokrasi di Indonesia dapat dilihat dari pelaksanaan demokrasi yang pernah ada di Indonesia ini. Dipandang dari sudut perkembangan demorasi sejarah di Indonesia dapat di bagi dalam empat masa, yaitu15 : 1) Masa
Republik
Indonesia
I
(1945-1959):
Masa
Demokrasi
Konstitusional Masa
demokrasi
(konstitusional)
yang
menonjolkan
peranan
parlementer serta partai-partai yang dikenal dengan sebutan Demokrasi Parlementer. Sistem parlementer yang mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan di proklamirkan dan diperkuat dalam UUD 1945 dan 1950, karena kurang cocok untuk Indonesia. Saat itu pelaksanaan demokrasi belum berjalan dengan baik. Hal itu disebabkan masih adanya revolusi fisik awal kemerdekaan masih terdapat sentralisasi kekuasaan hal itu terlihat Pasal 4 Aturan Peralihan UUD NRI
15
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan II, PT. Ikrar Mandiri Abadi, Jakarta, 2010, hal 128-135.
19
1945 yang berbunyi, sebelum MPR, DPR, dan DPA dibentuk menurut UUD ini segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden dan dibantu oleh KNIP. Faktor-faktor semacam ini, ditambah dengan tidak adanya anggotaanggota partai-partai yang tergabung dalam konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara untuk Undang-Undang Dasar baru, mendiring Ir. Soekarno sebagai presiden untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli yang menentukan berlakunya kembali UUD 1945. Dengan demikian masa demokrasi berdasarkan sistem parlementer berlaku. 2) Masa Republik Indonesia II (1959-1965): Masa Demokrasi Terpimpin Ciri-ciri periode ini ialah dominasi dari Presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh komunis, dan meluasnya peranaan ABRI sebagai unsur sosial-politik. Dekrit Presiden 5 Juli dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar kemacetan politik melalui kepemimpinan yang kuat. UUD NRI 1945 membuka kesempatan bagi seorang Presiden untuk bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini (Undang-Undang Dasar memungkinkan seorang Presiden untuk dipilih kembali) yang ditentukan oleh Undang-Undang Dasar. Selain itu, banyak lagi tindakan yang menyimpang dari atau menyeleweng terhadap ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar. Terjadi juga penyelewengan di bidang perundang-undangan dimana pelbagi tindakan Pemerintah dilaksanakan melalui Penetapan Presiden (PenPres)
20
yang memakai Dekrit 5 Juli sebagai sumber hukum. Ada pula politik mercusuar di bidang hubungan luar negeri dan ekonomi dalam negeri telah menyebabkan keadaan ekonomi menjadi bertambah suram. G 30S/PKI telah mengakhiri periode ini dan membuka peluang untuk dimulainya masa Demokrasi Pancasila. 3) Masa Republik Indonesia III (1965-1998): Masa Demokrasi Pancasila Landasan formal dari periode ini adalah pancasila, UUD 1945, serta Ketetapan-Ketetapan
MPRS.
Dalam
usaha
meluruskan
kembali
penyelewengan terhadap UUD yang telah terjadi dalam masa Demokrasi Terpimpin, telah diadakan sejumlah tindakan korektif. Ketetapan MPRS No. III/1963 yang menentapkan masa jabatan seumur hidup untuk Ir. Soekarno telah dibatalkan dan jabatan presiden kembali menjadi jabatan elektif setiap lima tahun. Perkembangan lebih lanjut pada masa Republik Indonesia II (yang disebut sebagai Orde Baru yang menggantikan Orde Lama) menunjukan peranan Presiden yang semakin besar. Secara lambat laun terciptanya pemusataan kekuasaan di tangan presiden karena Presiden Soeharto telah menjelma sebagai seorang tokoh yang paling dominan dalam sistem politik Indonesia, tidak saja karena jabatannya sebagai Presiden dalam sistem presidensial, tetapi karena pengaruhnya yang dominan dalam elit politik Indonesia. Masa Republik Indonesia III menunjukan keberhasilan dalam penyelenggaran
Pemilu.
Pemilu
diadakan
secara
teratur
dan
21
berkesinambungan sehingga selama periode tersebut berhasil diadakan enam kali Pemilu, masing-masing pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dari awal, Orde Baru memang menginginkan adanya Pemilu. Ini terlihat dari dikeluarkannya undang-undang Pemilu pada tahun 1969, hanya setahun setelah Presiden Soeharto dilantik sebagai Pejabat Presiden pada tahun 1967. Hal ini sesuai dengan slogan Orde Baru pada masa awalnya, yakni melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Keberhasilan Pemerintah Presiden Soeharto untuk menjadikan Indonesia swasembada berada pada pertengahan dasawarsa 1980-an dan pembangunan ekonomi pada masa-masa setelah itu ternyata tidak diikuti dengan kemampuan untuk memberantas korupsi. Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) berkembang dengan pesat seiring dengan keberhasilan pembangunan ekonomi. Keberhasilan pembangunan ekonomi malah dianggap sebagai peluang untuk melakukan KKN yang dilakukan para anggota keluarga dan kroni penguasa, baik di pusat maupun di daerah. Akibat dari semua ini adalah semakin menguatnnya kelompokkelompok yang menentang Presiden Soeharto dan Orde Baru. Yang menjadi pelopor para penentang ini adalah para mahasiswa dan pemuda. Gerakan mahasiswa yang berhasil menduduki Gedung MPR/DPR di Senayan pada bulan Mei 1998 merupakan langkah awal kejatuhan Presiden Soeharto dan tumbangnya Orde Baru. Mundurnya Soeharto pada tanggal 20 Mei 1998 dari kursi Presiden menjadi pertanda dari berakhirnya Masa Republik Indonesia III yang disusul oleh munculnya Republik Indonesia IV.
22
4) Masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang): Masa Reformasi Tumbangnya Orde Baru membuka peluang terjadinya reformasi politik dan demokratisasi di Indonesia. Pengalaman Orde Baru mengajarkan kepada bangsa Indonesia bahwa pelanggaran terhadap demokrasi membawa kehancuran bagi negara dan penderitaan rakyat. Oleh karena itu bangsa Indonesia bersepakat untuk sekali lagi melakukan demokratisasi, yakni proses pendemokrasian sistem politik Indonesia sehingga kebebasan rakyat terbentuk, kedaulatan rakyat dapat ditegakkan, dan pengawasan terhadap lembaga eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga wakil rakyat (DPR). Langkah terobosan yang dilakukan dalam proses demokratisasi adalah amandemen UUD 1945 yang dilakukan MPR hasil Pemilu 1999 dalam empat tahap selama empat tahun (1999-2002). Beberapa perubahan penting dilakukan terhadap UUD 1945 agar UUD 1945 mampu menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Peranan DPR sebagai lembaga legislatif diperkuat, semua anggota DPR dipilih dalam Pemilu, pengawasaan terhadap Presiden lebih diperketat, dan hak asasi manuisa memperoleh jaminan yang semakin kuat. Amandemen 1945 juga memperkenalkan Pemilihan Umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung (Pilpres). Pilpres pertama dilakukan pada tahun 2004 setelah Pemilihan Umum untuk lembaga legislatif. Langkah demokratisasi berikutnya adalah pemilihan umum untuk memilih Kepala Daerah secara langsung (Pilkada) yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini
23
mengharuskan semua Kepala Daerah di seluruh Indonesia dipilih melalui Pilkada mulai pertengahan 2005. Dapat dikatakan bahwa demokratisasi telah berhasil membentuk Pemerintah Indonesia yang demokratis karena nilai-nilai demokrasi yang penting telah diterapkan melalui pelaksanaan peraturan perundangan mulai dari UUD 1945. Namun dengan adanya perubahan-perubahan tadi, demokrasi di Indonesia telah mempunyai dasar yang kuat untuk berkemban Menurut Soehino, dalam representativ democracy terdapar tiga tipe demokrasi modern, yakni16 : 1. Demokrasi, atau pemerintahan perwakilan rakyat yang presentatif, dengan sistem pemisahan kekuasaan secara tegas, atau sistem presidensil. 2. Demokrasi, atau pemerintahan perwakilan rakyat yang resepentatif, dengan sistem pemisahaan kekuasaan, tetapi di antara badan-badan yang diserahi kekuasaan itu, terutama antara badan legislatif dengan badan eksekutif, ada hubungan yang bersifat timbal balik, dapat saling mempengaruhi, atau sistem parlementer. 3. Demokrasi, atau pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif, dengan sistem pemisahaan kekuasaan, dan dengan kontrol secara langsung dari rakyat, yang disebut sistem referendum, atau sistem badan rakyat. Berdasarkan model tidak langsung inilah, maka hubungan demokrasi dengan sistem pemerintahan negara berkisar kepada hubungan antara badanbadan perwakilan rakyat dengan badan pemegang kekuasaan eksekutif.
16
Soehino, Ilmu Negara, Cetakan VII, Liberty, Yogyakarta, 2005, hal 243.
24
Menurut R. G. Gettel suatu bentuk pemerintahan disebut demokrasi apabila memenuhi syarat-syarat demokrasi, antara lain17 : a. Harus didukung oleh persetujuan umum (general concensus). b. Hukum yang berlaku dibuat oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih melalui referendum yang luas atau melalui Pemilu. c. Kepala Negara dipilih langsung atau tidak langsung melalui Pemilu, dan bertanggung jawab kepada dewan legislatif. d. Hak pilih aktif diberikan kepada sejumlah besar rakyat atas dasar kesederajatan. e. Jabatan-jabatan pemerintahan harus dapat dipangku oleh segenap lapisan rakyat. Ketika syarat-syarat dari demokrasi dihubungkan dengan sistem pemerintahan di Indonesia, maka ada dua hal yang harus diperhatikan untuk mengaktualisasikan sistem yang demokratis itu, diantaranya18 : a. Sistem demokrasi yang telah dikukuhkan melalui amandemen konstitusi haruslah diikuti dengan moralitas atau semangat untuk mewujudkannya oleh penyelenggaraan negara b. Sebagai suatu produk kesepakataan (resultante) yang lahir dari keadaan dan waktu tertentu, UUD itu tidak boleh ditutup dengan resultante yang baru.
17
18
2011, hal 380.
R.G.Gettel, dalam Cakra Arbas, Op.Cit. hal 21. Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
25
Bersamaan
dengan
perkembangan
pemikiran
tentang
negara
demokrasi, sejarah pemikiran kenegaraan juga mengembangkan gagasan mengenai negara hukum yang terkait dengan gagasan kedaulatan hukum. Dengan demikian Negara Indonesia adalah negara hukum yang demokratis, keduanya harus melangkah maju kedepan secara seimbang, karena hukum dan demokrasi merupakan dwi tunggal, demokrasi harus diayomi oleh hukum agar tidak mengarah ke anarkisme, sedangkan disisi lainnya, hukum harus didasari oleh demokrasi, agar tidak mengarah ke otoritarisme, atau absolutisme, atau totalitarisme19. B. Pemilu 1. Pemilu Pada Umumnya Pemilu mempunyai hubungan erat dengan prinsip demokrasi dan prinsip hukum sebagai prinsip-prinsip sebagai prinsip-prinsip fundamental yang banyak dipergunakan di negara-negara modern. Pemilu berhubungan erat dengan demokrasi karena sebenarnya Pemilu merupakan salah satu cara pelaksanaan demokrasi. Dalam prinsip negara hukum, melalui pemilihan rakyat dapat memilih wakil-wakilnya yang berhak membuat produk hukum dan melakukan pengawasan atau pelaksanaan kehendak-kehendak rakyat yang digariskan oleh wakil-wakil rakyat tersebut. 2. Pengertian Pemilu
19
Soehino, Hukum Ttata Negara Perkembangan Sistem Demokrasi di Indonesia, BPFE, Yogyakarta, 2010, hal 27
26
Bagi
negara demokrasi
modern, Pemilihan Umum
(Pemilu)
merupakan mekanisme utama yang harus ada dalam tahapan penyelenggaraan negara dan pembentukan pemerintahan. Pemilu dipandang sebagai bentuk paling nyata dari kedaulatan yang berada di tangan rakyat dalam penyelenggaran negara. Oleh karen itu, sistem penyelenggaraan Pemilu selalu menjadi perhatian utama. Hasil Pemilu menjadi dasar pembentukan kelembagaan negara yang menentukan jalannya pemerintahan lima tahun berikutnya. Pengertian Pemilu pun diartikan sebagai sarana utama mewujudkan demokrasi dalam suatu negara. Substansi Pemilu adalah penyampaian suara rakyat untuk membentuk lembaga perwakilan dan pemerintahan sebagai penyelenggaran negara. Suara rakyat diwujudkan dalam bentuk hak pilih, yaitu hak untuk memilih wakil dari berbagai calon yang ada. Sebagai suatu hak, hak memilih harus dipenuhi dan sesuai dengan amanat konstitusi. Hal itu merupakan tanggung jawab negara yang dalam pelaksanaanya dilakukan oleh KPU sebagai lembaga penyelenggaran Pemilu. Oleh karena itu, dalam undang-undang Pemilu dinyatakan bahwa pemilih didaftar oleh KPU (Pasal 27 ayat (2) UU 42/2008)20. Di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar21. Sebagai perwujudan kedaulatan rakyat, maka rakyat melalui Pemilihan Umum (Pemilu) memilih wakil-wakilnya yang duduk di Dewan Perakilan Rakyat 20 21
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit, hal 5. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sesuai Amandemen IV.
27
(DPR)
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), juga memilih
Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah Tingkat I (Gubernur dan Wakil Gunbernur), Kepala Daerah Tingkat II (Bupati dan Wakil Bupati), dan Walikotamadya. Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Pemilihan Umum diartikan sebagai22 : “Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah saran pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Pemilihan umum bertujuan mengimplementasikan kedaulatan rakyat dan kepentingan rakyat dalam lembaga politik negara. Melalui pemilihan umum, rakyat mempunyai kesempatan untuk memilih wakil-wakilnya yang akan duduk dalam lembaga perwakilan. Secara ideal wakil yang duduk di lembaga perwakilan adalah mereka yang dipilih sendiri oleh rakyat melalui pemilihan menurut hukum yang adil. Dengan demikian, pemilihan umum merupakan komponen penting dalam negara demokrasi karena berfungsi sebagai alat penyaring bagi mereka yang akan mewakili dan membawa suara rakyat dalam lembaga perwakilan23. Perwujudan kedaulatan rakyat yang dimaksud dilaksanakan melalui Pemilu secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-
22
Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Moh. Mahfud, MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hal 221-222. 23
28
wakilnya
yang
akan
menjalankan
fungsi
melakukan
pengawasan,
menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-masing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja dalam membiayai pelaksanaan fungsi tersebut. Menurut Aurell Croissant, dalam prespektif politik sekurangkurangnya ada tiga fungsi pemilihan umum, yakni24 : 1) Fungsi Keterwakilan. Fungsi Keterwakilan merupakan urgensi di negara demokasi baru dalam beberapa Pemilu. 2) Fungsi Integrasi. Fungsi ini menjadi kebutuhan negara yang mengkonsolidasikan demokrasi. 3) Fungsi Mayoritas. Fungsi Mayoritas merupakan kewajiban bagi negara
yang
hendak
mempertahankan
stabilitas
dan
kepemerintahan (governability). 3. Asas Pemilihan Umum Pemilu diperlukan sebagai salah satu mekanisme mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat. Melalui Pemilu, rakyat tidak hanya memilih orang yang akan menjadi wakilnya dalam menyelenggarakan negara, tetapi juga memilih program yang akan menjadi kebijakan negara pada pemerintahan selanjutnya. Oleh karena itu tujuan Pemilu adalah terpilihnya wakil rakyat dan terselenggaranya pemerintahan yang sesuai dengan pilihan rakyat. Pemilu yang tidak mampu mencapai tujuan itu hanya akan menjadi mekanisme 24
Joko J, Prihatmoko, Mendemokratiskan Pemilu Dari Sistem Sampai Elemen Teknis, Cetakan I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, hal 18.
29
pemberian legitimasi bagi pemegang kekuasaan negara. Pemilu demikian adalah pemilu yang kehilangan roh demokrasi. Untuk mencapai tujuan itu, Pemilu harus dilaksanakan menurut asasasas tertentu. Asas-asas mengikat keseluruhan proses Pemilu dan semua pihak yang terlibat, baik penyelenggara, peserta, pemilih, bahkan pemerintah. Berdasarkan Pasal 2 UU No. 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adanya pedoman dalam penyelenggaran Pemilu, yaitu : mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib
penyelenggara
pemilu,
kepentingan
umum,
keterbukaan,
proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas. Penyelenggaran Pemilu, tentunya memiliki tujuan bagi rakyat, diantaranya25 : a. Untuk
memungkinkan
terjadinya
peralihan
kepemimpinan
pemerintahan secara tertib dan damai. b. Untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan. c. Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat. d. Untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara. Menurut Sukarna pelaksanaan Pemilu harus dilaksanakan secara bebas. Syarat Pemilu agar berlangsung secara bebas ada sepuluh, yakni26 :
25
Jimly Asshiddiqie, Penghantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2012, hal 417. 26 Sukarna, Sistem Politik, Alumi, Bandung, 1981, hal 83.
30
a. Aman. Dalam suatu negara yang tidak aman tidak akan dapat dilakukan pemilihan umum. b. Tertib. Suatu pemilihan umum yang tidak berjalan tertib tidak akan menjamin suatu hasil yang baik. c. Adil. Suatu pemilihan umum dalam suatu negara demokrasi harus tetap menjunjung tinggi keadilan yaitu tidak adanya penindasan dan paksaan. d. Kemerdekaan Perorangan. Pemilihan umum yang bebas hanya akan dapat dilakukan apabila setiap orang sebagai warga negara dilindungi atau dijamin kemerdekaannya oleh undang-undang. e. Kesejahteraan Masyarakat. Suatu masyarakat yang sejahtera yaitu bebas dari kemiskinan dan ketakutan akan dapat melakukannya pilihannya secara bebas tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dapat menggangu kemerdekannya untuk memilih. f. Pendidikan. Dalam masyarakat yang warga negaranya sebagian besar buta huruf akan sukar untuk dijalankan pemilihan umum secara bebas karena komunikasi dua arah tidak bisa dijalnkan secara sempurna. g. Terdapat partai politik dari satu. Pemilihan umum yang bebas hanya dapat terselenggara apabila dalam negara itu terdapat lebih dari satu partai politik, sehingga rakyat dapat memilih mana yang lebih cocok dengan pendiriannya masing-masing.
31
h. Terdapat media pers yang bebas. Pers yang bebas merupakan syarat alat komunikasi antara pemimpin politik dengan rakyat sehingga pemimpin politik dapat mengemukakan tujuan dari partainya tadi, maka rakyat dapat menilai mana yang paling baik untuk pilihannya. i. Terdapat open management. Suatu pemilihan umum yang bebas hanya dapat terselenggara apabila negara itu menjalankan open management yaitu adanya free social support atau dukungan yang bebas dari masyarakat terhadap pemerintah dan adanya free social control atau pengawasan yang bebas dari masyarakat terhadap aparatur pemerintah dan adanya free social responsibility atau pertanggungjawaban yang bebas dari kebohongan oleh pihak pemerintah. j. Terdapat rule of law suatu pemilihan umum yang bebas hanya dapat dilakukan dalam negara yang menjalankan rule of law yaitu baik pemerintah maupun rakyat sama-sama tak menjalnkan undang-undang. Pengertian dan makna asas-asas Pemilu Indonesia yang sedemikian kompleks, kalau diterjemahkan lebih singkat, pada hakikatnya dipergunakan untuk memberikan landasan filosofis bagi seluruh rangkaian proses penyelenggaran Pemilu. 4. Sistem Pemilihan Umum Di kebanyakan negara demokrasi, Pemilu dianggap lambang, sekaligus tolak ukur, dari demokrasi itu. Hasil Pemilu yang diselenggarakan
32
dalam suasana keterbukaan dengan kebebasaan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta aspirasi masyarakat. Sekalipun demikian, disadari bahwa Pemilu tidak merupakan satu-satunya tolak ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan partai, lobbying, dan sebagainya. Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem Pemilu dengan berbagai variasinya, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu27 : 1) Single-member Constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil; biasanya disebut Sistem Distrik). 2) Multi-member Constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakilnya; biasanya dinamakan Sistem Perwakilan Berimbang atau Sistem Proporsional). Dalam sistem distrik, satu wilayah kecil (yaitu distrik pemilihan) memilih satu wakil tunggal (single-member constituency) atas dasar pluralitas (suara terbanyak). Dalam sistem proprosionl, satu wilayah besar (yaitu daerah pemilihan) memilih beberapa wakil (multi-member constituency). Perbedaan pokok antara dua sistem ini ialah bahwa cara menghitung perolehan suara dapat menghasilkan perbedaan dalam komposisi perwakilan dalam parlemen bagi masing-masing partai politik.
27
Miriam Budiardjo, Op.Cit. hal 461.
33
Sistem distrik merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut “distrik” karena kecilnya daerah yang tercakup) memperoleh satu kursi dalam parlemen. Untuk keperluan itu negara dibagi dalam sejumlah besar distrik pemilihan (kecil) yang kira-kira sama jumlah penduduknya. (Jumlah penduduk distrik berbeda dari satu negara ke negara lain, misalnya di Inggris jumlah penduduk kira-kira 50.000 di Amerika kira-kira 500.000, dan di India lebih dari satu juta). Dalam sistem distrik, satu disitrik menjadi bagian dari suatu wilayah, satu disitrik hanya berhak atas satu kursi, dan kontestan yang memperoleh suara terbanyak menjadi pemenang tunggal. Hal ini dinamakan, the first past the post (FPTP). Pemenang tunggal meraih satu kursi itu. Hal ini terjadi sekalipun selisih suara dengan partai lain hanya kecil saja. Suara yang tadinya mendukung kontestan lain dianggap hilang (wasted) dan tidak dapat membantu partainya untuk menambah jumlah suara partainya di distrik lain. Dalam sistem proporsional, satu wilayah dianggap sebagai satu kesatuan, dan dalam wilayah itu jumlah kursi dibagi sesuai jumlah suara yang diperoleh oleh para kontetstan, secara nasional, tanpa menghiraukan distribusi suara itu. Sistem distrik sering dipakai di negara yang mempunyai sistem dwipartai seperti Inggris serta bekas jajahannya seperti India, Malaysia, dan Amerika. Sistem proporsional sering diselenggarakan dalam negara dengan banyak partai seperti Belgia, Swedia, Italia, Belanda, dan Indonesia. Disamping itu, ada ciri khas yang melekat pada sistem distrik, yaitu bahwa
34
pelaksanaan sistem distrik mengakibatkan “distorsi” atau kesengajaan antara jumlah suara yang diperoleh suatu partai secara nasional dan jumlah kursi yang diperoleh partai tersebut. Akibat dari distorsi (distortion effect) menguntungkan partai besar melalui over-representation, dan merugikan partai kecil karena under-representation. Hal ini disebabkan karena banyak suara dari partai kecil bisa dinyatakan hilang atau wasted, yaitu lantaran tidak berhasil menjadi juara pertama di suatu distrik. banyaknya kelompok minoritas, baik agama maupun etnis28. Adapun keuntungan dan kelemahan dalam kedua sistem ini, yaitu29 : 1) Sistem Distrik -
Keuntungan Sistem Distrik a. Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partaipartai politk karena kursi yang diperebutkan dalam sistem distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan mendorong partai-partai untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerja sama, sekurang-kurangnya menjelang Pemilu, antara lain melalui stembus accord. b. Fragmentasi partai dan kecenderungan membentuk partai baru dapat dibendung; malahan sistem ini bisa mendorong ke arah penyederhanaan partai secara alami dan tanpa paksaan. c. Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh komunitasnya, sehingga hubungan dengan konstituen lebih 28 29
Ibid, hal 465. Ibid, hal 466-469.
35
erat. Dengan demikian si wakil akan lebih cenderung untuk memperjuangkan kepentingan distriknya. Lagi pula kedudukannya terhadap pimpinan partainya akan lebih independen, karena faktor kepribadian
seseorang
merupakan
faktor
penting
dalam
kemenangannya dan kemenangan partai. Sekalipun demikian, ia tidak lepas sama sekali dari disiplin partai, sebab dukungan serta fasilitas partai diperlukannya lebih baik untuk nominasi maupun kampanye. d. Bagi partai besar sistem ini menguntungkan karena melaui distortion effect dapat meraih suara dari pemilih-pemilih lain, sehingga meperoleh kedudukan mayoritas. Dengan demikian partai pemenang sedikit banyak dapat mengendalikan parlemen. e. Lebih mudah bagi suatu partai untuk mencapai kedudukan mayoritas dalam parlemen, sehingga tidak perlu diadakan koalisi dengan partai lain. Hal ini mendukung stabilitas nsioanl. f. Sistem ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan. -
Kelemahan Sistem Distrik a. Sistem ini kurang memperhatikan kepentingan partai-partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golongan-golongan ini terpencar dalam berbagai distrik. b. Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa partai yang calonnya kalah dalam suatu distrik kehilangan suara yang telah mendukungnya. Hal ini berati bahwa ada sejumlah suara yang tidak
36
diperhitungkan sama sekali, atau terbuang sia-sia. Dan jika banyak partai mengadu kekuatan, maka jumlah suara yang hilang dapat mencapai jumlah yang besar. Hal ini akan dianggap tidak adil terhadap partai dan golongan yang dirugikan. c. Sistem distrik ini dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang yang hilang atau sehingga menimbulkan anggapan bahwa suatu kebudayaan nasional yang terpadu secara ideologis dan etnis mungkin merupakan prasyarat bagi kesuksesan sistem ini. d. Ada kemungkinan si wakil cenderung untuk lebih memerhatikan kepentingan distrik serta warga distriknya, daripada kepentingan nasional. 2) Sistem Proporsioanal -
Keuntungan Sistem Proporsional a. Sistem proporionl dianggap representatif, karena jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai dengan jumlah uara masyarakat yang diperoleh dalam pemilihan umum. b. Sistem proporsional dianggap lebih demokratis dalam arti lebih egalitarian karena praktis tanpa ada distorasi, yaitu kesenjangan antara suara nasional dan jumlah kursi dalam parlemen, tanpa suara atau wasted. Akibatnya, semua golongan dalam masyarakat, termasuk yang kecil pun, memperoleh peluang untuk menampilkan wakilnya dalam parlemen. Rasa, keadilan (sense of justice) masyarakat sedikit banyak terpenuhi.
37
-
Kelemahan Sistem Proporsional a. Sistem ini kurang mendorong partai-partai untuk berintegrasi atau bekerja sama satu sama lain dari memanfaatkan persamaanpersamaan yang ada, tetapi sebaliknya, cenderung mempertajam perbedaan-perbedaan. Sistem ini umunya dianggap berakibat menambah jumlah partai. b. Sistem ini mempermudah fragmentasi partai. Jika timbul konflik dalam suatu partai, anggotanya cenderung memisahkan diri dan mendirikan partai baru, dengan perhitungan bahwa ada peluang . jadi, kurang menggalang kekompakkan dalam tubuh partai. c. Yang kuat pada pimpinan partai melalui Sistem Daftar karena pimpinan partai menentukan daftar calon. d. Wakilnya terpilih kemungkinan renggang ikatannya dengan konstituennya. Pertama, karena wilayahnya lebih besar (bisa sebesar provinsi), sehingga sukar untuk dikenal orang banyak. Kedua, karena peran partai dalam meraih kemenangan lebih besar ketimbang kepribadian seseorang. Dengan demikian si wakil akan lebih terdorong untuk memperhatikan kepentingan partai serta distrik serta warganya. e. Karena banyaknya partai yang bersaing, sulit bagi suatu partai untuk meraih mayoritas (50%+satu) dalam parlemen, yang diperlukan untuk membentuk pemerintahan. Partai yang terbesar terpaksa berkoalisi dengan beberapa partai lain untuk meperoleh
38
mayoritas. Koalisi semacam ini jika diselenggarakan dalam sistem parlementer sering tidak lama umurnya, dan hal ini tidak membina stabilitas politik. Dalam sistem presidensil perubahan dalam komposisi di parlemen tidak terlalu mempengaruhi masa jabatan eksekutif. Di Amerika bisa saja Congress mengalami perubahan dalam komposisinya, sehingga misalnya badan itu dikuasai oleh Partai Demokrat, tetapi Presiden serta kabinetnya dari Partai Republik tetap bertahan selama empat tahun. Menurut pendapat Muh. Nur Sidik mengenai sistem Pemilu yang berkaitan erat dengan pembangunan politik di Indonesia mengacu pada dua pokok hal, yaitu30 : 1) Bagaimana mengimplementasikan Demokrasi, 2) Menemukan sistem yang unggul dan handal dalam melaksanakan Pemilu di Indonesia yang cocok dengan masyarakat majemuk atau pluralitas di Indonesia. Penerapan sistem Pemilu dalam setiap Pemilu di mana saja menurut Sukarna, sangat dipengahruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut31 : a. Social culture (education of the people); b. The position of political party; c. Press an public opinion; d. The law of general of election;
30
Muh.Nur Sidik, Jurnal Ilmiah Hukum Legality, Vol 13 Nomor 2, Fakultas Hukum
UMM, hal 249.
31
Sukarna, Op.Cit. hal 88.
39
e. The rule of armed forces in politics; f. The man of position; g. Order; h. Security; i. Social economy. Sistem Pemilu berbeda-beda tergantung dari sudut mana pandangan ditujukan kepada rakyat. Salah satu fungsi utama Pemilu dalam negara demokratis tidak lain adalah dalam menetukan kepemimpinan nasional secara konstitusional maka diperlukannya penyempurnaan sistem Pemilu yang terkait dengan sistem kepartaian serta sistem penyelenggaraan Pemilu. Konsilidasi dan penyempurnaan lain yang diperlukan dalam Pemilu mendatang adalah masalah pelanggaran Pemilu. Hal ini amat menentukan terwujud tidaknya asas luber dan jurdil dalam Pemilu. Selama ini yang dianggap sebagai pelanggaran Pemilu masih cenderung bersifat formal sehingga tidak dapat menjangkau tindakan-tindakan yang melanggar etika dan fatsoen politik. Selain itu mekanisme dan kelembagaan yang menangani pelanggaran Pemilu juga belum mencukupi sehingga hanya sedikit pelanggaran yang dapat ditindak baik karena alasan pembuktian maupun rentang waktu yang diberikan. Jika melihat perkara-perkara perselisihan hasil Pemilu berujung di MK, penanganan-penanganan ini menjadi sangat penting sebagai bagian dari konsolidasi sistem Pemilu. Banyak pelanggaran Pemilu sebelum masuk ke MK, terlihat tidak diproses secara hukum dan tidak mendapatkan sanksi.
40
Akibatnya pelanggaran tersebut dianggap sebagai kewajaran dan pada akhirnya mempengaruhi hasil Pemilu. Padahal, hasil yang lahir dari proses yang penuh pelanggaran tentu telah mencedera kedaulatan rakyat dan asas Pemilu yang jujur dan adil32. 5. Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Salah satu wujud dan mekanisme demokrasi di daerah adalah pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah. Pilkada masuk dalam rezim Pemilu
setelah
disahkannya
UU
No.
22
Tahun
2007
Tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum sehingga sampai saat ini Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lebih dikenal dengan istilah Pemilukada33 yang secara langsung. Penerapan
sistem
pemilihan
langsung
merupakan
hasil
dari
amandemen dalam UUD NRI 1945, yang menghasilkan perubahan pada Pasal 1 ayat (2), yaitu perubahan tentang “teori kedaulatan rakyat”. Makna Pasal 1 ayat (2) menjelaskan tentang “kedaulatan rakyat”, yang semula dipegang oleh MPR, berubah menjadi kedaulatan menurut UUD NRI 1945. Perubahan asas kedaulatan rakyat berdasarkan UUD NRI 1945, yang merupakan konsekuensi logis dari amandemen UUD NRI 1945. Hal ini tentunya berpengaruh pula pada sistem pemilihan umum, khususnya Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah dan
32
Janedjri M.Gaffar, Op.Cit. hal 43. Hal ini sejak berlakunya UU No. 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemillihan Umum. Pada Pasal 1 ayat (4) yang berbunyi :Pemilu Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945”. 33
41
Wakil Kepala Daerah dengan sistem pemilihan langsung. Diadopsinya sistem pemilihan langsung tersebut, maka secara tidak langsung, akan berimplikasi pada perubahan-perubahan konsepsi atau sistem hukum ketatanegaraan di republik ini, pasca amandemen tersebut. Pemilukada diperkenalkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia melalui UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Sistem Pemilukada dalam undang-undang tersebut di tengah perjalanannya dirasakan masih belum benar-benar demokratis karena yang boleh mengajukan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah hanyalah partai politik
atau
gabungan
partai
politik,
sementara
calon
perseorangan/independent tidak dimungkinkan mengikuti Pemilihan Kepala Daerah. Oleh karena itu maka berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PPU-V/2007 kemudian diberikan ruang atau peluang kepada calon pasangan perseorangan untuk maju di dalam Pemilihan Kepala Daerah. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut kemudian dilakukan perubahan terhadap Pasal 56 UU No. 32 Tahun 2004 melalui UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Terhadap UU No. 32 Tahun 2004 yang telah disahkan oleh DPR pada rapat paripurna tanggal 2 April 2008. UU No. 12 Tahun 2008 mengatur mekanisme dan tata cara pengajuan pasangan calon perseorangan dalam Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia. Dalam UUD NRI 1945 BAB VIIB tentang Pemilu, memang tidak pernah menyebut mengenai pemilukada. Pada Pasal 22E ayat (2) yang berbunyi “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
42
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Namun demikian, pengaturan Pemilukada seharusnya didasarkan atas pemahaman adanya kaitan antara pasal-pasal dalam UUD NRI 1945. Selain itu secara materil, Pemilu langsung memang tidak berbeda dengan Pemilukada baik dari segi substansi maupun peyelenggaraannya. Menurut Ramlan Surbakti34 bahwa secara substansial maupun tahapan pelaksanaannya, Pemilukada merupakan Pemilu, dengan argumentasi : a. Pengaturan tentang Pemilukada dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah tersebut disusun berdasarkan ketentuan Pasal 22E ayat (1) mengenai asas Pemilu, dan hampir seluruhnya sama dengan pengaturan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. b. Ketika pembuat undang-undang menjabarkan ketentuan Pasal 18 ayat (4), pada dasarnya melakukan interprestasi dengan merujuk pada ketentuan yang terkandung pada pasal-pasal lain dalam UUD NRI 1945, khususnya Pasal 6A, yaitu Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Dilihat dari ciri-ciri dapat disimpulkan bahwa Pemilukada merupakan kegiatan Pemilu, hal ini berdasarkan35 : 34
Ramlan Surbakti, Dalam Titik Triwulan Tutik Pemilihan Kepala Daera Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2994 Dalam Sistem Pemilu UUD 1945, Prestasi Pustaka Pelajar, Jakarta, 2005, hal 10.
43
1. Berdasarkan Pasal 56 ayat (1) bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dari sudut asas yang digunakan dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tersebut, adalah asas Pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 2. Dilihat dari sisi penyelenggaraannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 bahwa Pemilihan Umum Kepala Daerah dan
Wakil
Kepala
Daerah
diselenggarakan
oleh
KPUD
yang
bertanggungjawab kepada DPRD, adalah penyelenggara Pemilu di Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 4 UU No. 12 Tahun 2003. 3. Dilihat dari sisi yang berhak mengikuti Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 68 UU No. 32 Tahun 2004 bahwa warga negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sudah berumur 17 tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih, juga merupakan pemilih dari Pemilu baik Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 8 UU No. 12
35
Petikan Putusan MK. No. 072-073/PUU-II/2004, hal 71.
44
Tahun 2003. Berbeda dengan Pemilihan Kepala Daerah dipilih oleh anggota DPRD. 4. Pembuat
undang-undang
menggunakan
standar
ganda
dalam
menerjemahkan Pasal 18 ayat (4), yang termasuk domain Pemerintah Daerah (Pasal 18) bukan hanya Kepala Daerah dan Wakil Daerah tetapi juga DPRD pembuat undang-undang melakukan penafsiran untuk Pasal 18 ayat (4). 5. Tetapi dengan sengaja tidak melakukan penafsiran terhadap ketentuan Pasal 22E ayat (2) UUD NRI 1945. Menelaah esensi dari Pemilukada merupakan Pemilu, sehingga secara prosedural dan substansial merupakan manifestasi dari prinsip demokrasi dan penegakan kedaulatan, maka Pemilukada sebagaimana Pemilu lainnya berhak untuk mendapatkan pengaturan khusus, sebagaimana dapat mencapai derajat akuntabilitas, serta kualitas demokratisnya dapar terpenuhi dengan baik. Pemilukada merupakan suatu instrumen penting bagi demokratisasi dilevel lokal atau daerah yang menjadi pilar bagi demokrasi di tingkat nasional. Makna pemilihan langsung itu sekurang-kurangnya merupakan jawaban yang efektif untuk sejumlah perkara yang melekat pada pemilihan dengan sistem perwaklian (indirect democracy), yaitu menekan kultur, mengurangi money politic, mengubah orientasi dari elitis menjadi populis, serta memperkaya basis rekruitmen para pemimpin. Hal ini terpokok juga adalah bahwa dengan memilih secara langsung Bupati dan Walikota, maka kedaulatan rakyat tidak lagi simbolik. Pilihan Kepala Daerah sebelumnya
45
yang terjadi adalah DPRD mengatasnamakan rakyat, pemegang kedaulatan rakyat di wilayahnya, tetapi semuanya itu hanyalah simbolik. Simbolik, dalam kenyataan hampir tidak ada hubungan antara DPRD dan rakyat yang mewakili itu semakin menjadi-jadi pada era sistem perwakilan. Padahal inilah era yang mestinya semakin memerlukan kebesaran elit partai untuk kian dekat di hati dan pikiran konstituennya. Menurut Taufiqurrahman Syahuri36 rumusan “dipilih secara demokratis”
dalam
ketentuan
Pemilukada
juga
mempertimbangkan
pelaksanaan Pemilukada di daerah-daerah yang bersifat khusus dan istimewa sebagaimana yang dimaksud Pasal 18B ayat (1) UUD NRI 1945, yang berbunyi “negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”. Menurut Suharizal37 maksud dan tujuan pembentukan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 yang mengatur bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih secara demokratis adalah tidak harus sama dan dapat juga dilaksanakan dengan pemilihan yang dilakukan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Maka pengertian dipilih secara demokratis dapat ditafsirkan sama dengan tata cara pemilihan yang dilakukan terhadap yang dilakukan terhadap Presiden dan Wakil Presiden seperti tercantum dalam BAB VII B tentang Pemilihan Umum pada Pasal 22E UUD NRI 1945.
36
Taufiqurahman Syahuri, “Anatomi Putusan MK RI tentang Pemilukada”. Seminar Putusan MK Pengujian UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, hal 6. 37 Suharizal, Pemilukada: Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal 28.
46
Menurut I.B.G Suryatmaja M38, beberapa pertimbangan yang melandasi Pemilukada secara langsung adalah : a. Sistem pemerintahan menurut UUD NRI 1945 memberikan keleluasaan Kepala Daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. b. Dalam rangka menyelenggarakan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi. c. Dalam rangka pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat, hubungan yang serasi antara Pemerintah pusat dan daerah serta antar daerah untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka kedudukan Kepala Daerah mempunyai peran yang sangat strategis. Penyelenggaraan Pemilukada secara langsung juga dipandang dapat memberikan dampak positif terhadap penguatan demokrasi di Indonesia, alasan mengenai hal ini, yaitu39 : a) Partisipasi politik. Dalam Pemilukada langsung rakyat akan terlibat secara langsung dalam menentukan siapa yang layak menjadi pelayan (pejabat publik) mereka. b) Kompetisi politik lokal. Pemilukada langsung membuka ruang untuk berkompetisi (seharusnya) secara fair dan adil diantara para kontestan yang ada.
38
I.B.G Suryatmaja M, “Pemilihan Kepala Daerah Langsung”. Artikel dalam Rountable Discussion, Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah, Jakarta, 2003, hal 25. 39 Suharizal, Op.Cit, hal 180.
47
c) Legitimasi politik. Berbeda dengan cara Pemilukada yang tidak langsung (melalui DPRD), Pemilukada langsung akan memberikan legitimsi yang kuat bagi kepemimpinan Kepala Daerah yang terpilih. d) Minimalisi manipulasi dan kecurangan. Salah satu unsur yang mendorong penyelenggaraan Pemilukada secara langsung adalah maraknya berbagai kasus money politics dan berbagai bentuk kecurangan lainnya. e) Akuntabilitas. Dalam Pemilukada langsung, akuntabilitas Kepala Daerah menjadi sangat penting karena apabila rakyat sebagai pemilih menilai bahwa Kepala Daerah yang terpilih ternyata tidak dapat melaksanakan tugas-tugasnya secara baik dan bertanggung jawab, maka rakyat akan memberikan sanksi pada pemilukada berikutnya (berupa tidak memilih kembali). Pemilukada langsung pada awalnya memang disambut pro dan kontra. Selain adanya harapan akan penguatan demokrasi di tingkat lokal, muncul pula resistensi dari berbagai pihak dengan argumen, sebagai berikut40 : (a) Adanya anggapan bahwa sistem Pemilukada langsung akan melemahkan kedudukan DPRD. (b) Sistem Pemilukada langsung akan menelan biaya yang sangat besar, karena tidak sedikit anggaran daerah (APBD) akan dikonsentrasikan pada KPUD di tiap tingkatan. 40
J. Kaloh Su, Demokrasi dan Kearifan Lokal pada Pemilukada Langsung, Kata Hasta Pustaka, Jakarta, 2008, hal 78.
48
(c) Akan munculnya “persaingan khusus” antara calon independen dan calon dari partai politik (kader partai). (d) Adanya pandangan bahwa masyarakat belum siap untuk melaksanakan Pemilukada langsung. Pemilu membawa pengaruh besar terhadap sistem politik suatu negara. Melalui Pemilu masyarakat berkesempatan berpartisipasi dengan memunculkan
para
calon-calon
tersebut.
Pada
hakikatnya
Pemilu,
mempunyai esensi yang sama. Pemilihan umum, berarti rakyat melakukan kegiatan memilih orang tahu sekelompok orang menjadi pemimpin rakyat, sehingga pemimpin yang dipilih tersebut akan menjalankan kehendak rakyat. Konsep Pemilihan Kepala Daerah yang telah diterapkan, tentunya dalam proses regulasi masih memiliki beberapa kelemahan, diantaranya41 : a) Pencalonan. Dengan melalui 3 (tiga) jalur, yaitu partai atau gabungan
partai,
partai
non-kursi,
dan
calon
independen
(perseorangan), menimbulkan persoalan disamping calon sangat banyak pembengkakan anggaran. b) Pemungutan dan perhitungan suara. Belum adanya singkronisasi berbagai peraturan terkait dengan Pemilukada. Misalkan mengenai Pemilukada masih menggunakan pencoblosan, sementara Pemilu legislatif dan Presiden menggunakan mencontreng. c) Penetapan calon terpilih. Model putaran kedua, bahwa calon harus meraih suara minimal 30% maka dilaksanakan putaran kedua 41
Notulensi, “Pemilukada: Kini dan Masa Mendatang”, Kesimpulan pada Seminar Evaluasi Pemilihan Umum Kepala Daerah, Kepaniteraan Sekretariat Mahkamah Konstitusi, Jakrta, 2012, hal 311.
49
dengan suara terbanyak, tidak hanya memboroskan uang negara, tetapi menambahkan agenda politik dan menimbulkan ketegangan politik baru, serta adanya kejenuhan Pemilih dalam memberikan hak suaranya. d) Pelaporan dana kampanye. Pelaporan dana kampanye belum diatur dengan jelas, sehingga pelaporan hanya
prosedur belaka,
ketidakjelasan ini akan menimbulkan pasangan calon mencari dana dari sumber-sumber yang kurang dapat dipertanggungjawabkan. Masyarakat awam sering memahami Pemilu sebagai hari H pemungutan suara. Padahal, pemungutan suara hanyalah salah satu rangkaian dari tahapan pemilu yang cukup banyak. Mengacu kepada UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 65 ayat (1) mekanisme tahapan pelaksanaan Pemilukada terdiri dari masa persiapan dan tahap pelaksanaan, yaitu42 : a) Masa persiapan sebagaimana tercantum pada Pasal 65 ayat (2) meliputi : - pemberitahuan DPRD kepada Kepala Daerah mengenal berakhirnya masa jabatan; - pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah; - perencanaan penyelenggaraan; - pembentukan PANWA, PPK, PPS, dan KPPS; - pemberitahuan dan pemdaftaraan pemantau;
42
UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
50
b) Tahap pelaksanaan Pemilukada sebagaimana tercantum pada Pasal 65 ayat (3) meliputi : - penetapan daftar pemilih; - pendaftaran dan penerapan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah; - kampanye; - pemungutan suara; - perhitungan suara; - penetapan pasangan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah terpilih, pengesahan dan pelantikan. Pasal 65 ayat (1) dan (2) di atas yang mengatur mekanisme tahapan Pemilukada merupakan aturan dasar secara umum yang menggambarkan langkah-langkah pelaksanaan Pemilukada langsung. C. Tindak Pidana 1. Pengertian Umum Tindak Pidana Berbicara tentang hukum pidana tidak terlepas dari masalah pokok yang menjadi titik perhatiannya. Masalah pokok dalah hukum pidan tersebut meliputi masalah tindak pidana (perbuatan jahat), kesalahan, dan pidana, serta korban43. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak diberikan definisi terhadap istilah tindak pidana atau starfbaar feit. Karenanya, para
43
2004, hal 32.
Usfah Moch Najih dan Togat, Penghantar Hukum Pidana, UMM Press, Malang,
51
penulis hukum pidana telah memberikan pendapat mereka masing-masing untuk menjelaskan tentang arti dari istilah tersebut. Perkataan feit itu sendiri dalam bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan atau een geldelte van de werkelijhid sedang starfbaar feit dapat diterjemahkan sebagai bagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak kita akan mengetahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan perbuatan atau tindakan44. Secara doktrinal, di antara para hukum tidak terjadi kesatuan pendapat tentang pengertian dan unsur-unsur pidana, sebagian ahli hukum menganut pandangan monistis yang tidak memisahkan antara criminal act dan criminal responsibility. Dan sebagian yang lain menganut pandangan dualistis yang memisahkan criminal act dan criminal responsibility45. Pendapat sarjana yang berpandangan monistis antara lain : a. Menurut Simon, starfbaarfeit itu sebagi suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atau tindakan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum46. b. Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.
hal 172.
44
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1990,
45
Usfah Moch Najih dan Togat, Op.cit, hal 34-35. Lamintang, Op.cit, hal 176.
46
52
c. Profesor van Hattum berpendapat bahwa sesuatu tindakan itu tidak dapat dipisahkan dari orang yang telah melakukan tindak tersebut. Menurut beliau, perkataan “starfbaar” itu berarti mempunyai arti sebagai “pantas untuk dihukum”, sehingga perkataan starfbaarfeit seperti yang telah digunakan oleh pembentuk undang-undang di dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana itu secara “eliptis” haruslah diartikan sebagai suatu “tindakan”, yang karena telah melakukan tindakan semacam itu membuat seseorang menjadi dapat dihukum47. Pendapat sarjana yang menganut pandangan dualistis adalah “ a. Menurut Moeljatno, perbuatan pidana sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut48. b. Menurut W.P.J. Pompe, starfbaarfeit adalah tindak lain daripada feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang. Menurut teori starfbaarfeit itu adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana49. c. Sedangkan menurut Soedarto, tindak pidana yang memenuhi syarat-syarat tertentu, dilakukan oleh orang yang memungkinkan adanya pemberian pidana50. Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa tindak pidana merupakan suatu ketentuan hukum pidana (strafbepaling) di situ dirumuskan sebagai
47
hal 1.
48
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cetakan II, Sinar Grafika, Jakarta, 2007,
Usfah Moch Najih dan Togat, Op.cit, hal 35. Soedarto, Penghantar Kuliah Hukum Pidana Jilid IA-IB, Fakultas Hukum UNSOED, Purwokerto, 2001, hal 40-41. 50 Loc.Cit. 49
53
perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu tanpa merumuskan wujud dari perbuatan itu, maka tindak pidana itu merupakan pengertian tindak pidana materil. Apabila tindak pidana yang dimaksudkan, dirumuskan sebagai wujud perbuatan tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu, maka merupakan tindak pidana formal. 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Dalam mengemukakan apa yang merupakan unsur-unsur tindak pidana. Umumnya dikemukakan terlebih dahulu pembedaan dasar antara unsur (bagian) perbuatan dan unsur (bagian) kesalahan (pertanggungjawaban pidana). Unsur (bagian) perbuatan ini sering disebut unsur (bagian) Objektif sedangkan unsur (bagian) kesalahan sering juga disebut unsur (bagian) Subjektif. Menurut Lamintang yang dimaksud unsur-unsur Subyektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud unsur-unsur Obyektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaankeadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan51. Masih menurut Lamintang, unsur-unsur Subyektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah52 :
51
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal 193. 52 Ibid, hal 194.
54
a) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa); b) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP; c) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya
didalam
kejahatan-kejahatan
pencurian,
penipuan,
pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain; d) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte read seperti yang misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; e) Perasan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. Unsur-unsur Obyektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah53 : a) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid; b) Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seseorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai penggurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP; c) Kasualitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. Di antara para pakar hukum tidak terjadi kesamaan pendapat mengenai unsur-unsur tindak pidana. Sebagai pakar hukum yang menganut pandangan monistis dan sebagian lain menganut pandangan dualistis.
53
Loc.Cit.
55
a. Simons Unsur-unsur starfbaarfeit54 : 1.
Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);
2.
Diancam dengan pidana (starfbaarfeit);
3.
Melawan hukum (onrechmatig);
4.
Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verbaanstand)
5.
Oleh orang yang mampu bertanggungjawab (toerekeningsuatbaar person). Simons menyebutkan adanya unsur Obyektif dan unsur Subyektif dari
Starfbaarfeit. Unsur Subyektif dari Starfbaarfeit adalah : 1.
Perbuatan orang;
2.
Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;
3.
Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam Pasal 28 KUHP sifat “openbaar” atau di muka umum. Unsur Obyektif dari Starfbaarfeit adalah :
1.
Orang yang mampu bertanggungjawab.
2.
Adanya kesalahan (dolus dan culpa) perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan.
b. Van Hamel Unsur-unsur Starfbaarfeit adalah55 :
54
Soedarto, Op.Cit. hal 37.
56
1.
Perbuatan manusia dirumuskan dalam undang-undang;
2.
Bersifat melawan hukum;
3.
Dilakukan dengan kesalahan;
4.
Patut dipidana. Pendapat sarjana hukum yang menganut pandangan dualistis antara
lain : a. Moeljatno Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur56 : 1.
Perbuatan (manusia);
2.
Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil), dan;
3.
Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil).
b. Soedarto Unsur-unsur tindak pidana adalah57 : 1.
Perbuatan a. Memenuhi urusan undang-undang; b. Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar).
2.
Orang a. Mampu bertanggungjawab; b. Dolus atau Culpa (tidak ada alasan pemaaf).
3. Jenis-Jenis Tindak Pidana
55
Loc.Cit. Ibid, hal 39. 57 Ibid, hal 45. 56
57
Pembagian dewasa ini yang kita kenal sebagai pembagian di dalam tindakan-tindakan yang oleh para pembentuk dari KUHP kita telah disebut sebagai kejahatan-kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran-pelanggaran (overtredingen). Menurut van Hamel, pembagian tindak pidana menjadi tindak pidana “kejahatan” dan tindak pidana “pelanggaran” itu telah mendapat
pengaruh
“rechtsdelicten”
dan
dari
pembagian
“wetsdelicten”.
tindak Yang
pidana
yang
dimaksud
disebut dengan
“rechtsdelicten” adalah delik-delik yang terdapat sejumlah tindakan-tindakan yang mengandung suatu “onrecht” hingga orang pada umumnya memandang bahwa pelaku-pelakunya itu memang pantas untuk dihukum, walaupun tindakan-tindakan tersebut oleh pembentuk undang-undang telah tidak dinyatakan sebagai yang terlarang didalam undang-undang, karena delikdelik semacam itu adalah bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis. Sedangkan yang dimaksud dengan “wetsdelicten” itu adalah delik-delik yang memperoleh sifatnya sebagai tindakan-tindakan yang dipantas untuk dihukum, oleh karena dinyatakan demikian di dalam peraturan-peraturan perundang-undangan58. Pembagian delik atas kejahatan dan pelanggaran ini disebut dalam KUHP buku kedua memuat delik-delik yang disebut kejahatan, dan dalam buku ketiga delik-delik yang disebut pelanggaran59. Pembagian delik pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran bukan hanya merupakan dasar bagi
58 59
Ibid, hal 210. Soedarto, Op.Cit, hal 50.
58
pembagian KUHP menjadi buku kedua dan buku ketiga melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana sebagai keseluruhan60. Percobaan melakukan kejahatan merupakan tindak pidana, untuk pelanggaran pada umumnya bukan merupakan tindak pidana. Membantu kejahatan merupakan tindak pidana sedangan membantu melakukan pelanggaran bukan merupakan tindak pidana. Dan tindak pidana yang mungkin dimuat dalam peraturan legislatif di daerah otonom semuanya masuk pelanggaran61. Di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana selanjutnya masih terdapat sejumlah pembagian-pembagian lainnya dari tindak pidana sebagai berikut : 1) Delik Formal dan Delik Materiil (Delik dengan perumusan secara formil dan dengan perumusan secara materiil)62 a. Delik formal atau delik dengan perumusan formal adalah delik yang dianggap telah selesai (voltooid) dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang. b. Delik materiil atau delik dengan perumusan materiil adalah delik baru dianggap selesai (vooltoid) dengan timbulnya akibat yang dliarang. 2) Delik commissionis, delik ommnissionis dan delik commissionis per ommissionis commisa63
60
Lamintang, Op.Cit, hal 211. Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam : Penegakan syariat Dalam Wacana dan Agenda, Asy Syamil, Gema Insani, Jakarta, 2000, hal 42. 62 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis Di Indonesia, Cetakan I, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2012, hal 75-76. 63 Soedarto, Op.Cit, hal 51. 61
59
a.
Delik commissionis: delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan, penipuan.
b.
Delik ommissionis: delik yang berupa pelanggaran terhadap pemerintah, misal yang terdapat dalam Pasal 522 KUHP.
c.
Delik commissions per ommnissionis commisa: delik yang berupa pelanggaran larangan (dua delik commissionis ), akan tetapi dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misal yang terdapat dalam Pasal 338 dan 340 KUHP.
3) Delik dolus dan delik culpa64 a.
Delik dolus: delik yang memuat semua unsur kesengajaan, misal Pasal 187, 197 KUHP.
b.
Delik culpa: delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur, misal Pasal 195, 201 KUHP.
4) Delik Tunggal dan delik berganda65 a.
Delik tunggal: delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali.
b.
Delik berganda: delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali perbuatan, misal Pasal 481 KUHP.
5) Delik aduan dan bukan delik aduan66 Delik aduan: delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena, misal Pasal 284 KUHP.
64
Ibid, hal 52. Loc.Cit. 66 Frans Maramis, Op.Cit, hal 76. 65
60
Delik aduan dibedakan menurut sifatnya : - Delik aduan absolut adalah delik yang dalam semua keadaan merupakan delik aduan. - Delik aduan yang relatif adalah delik yang dalam keadaan tertentu merupakan delik aduan, sedangakan biasanya bukan merupakan delik aduan. 6) Delik sederhana dan delik yang ada pembenarannya67 a. Delik sederhana: misal penganiayaan (Pasal 351 KUHP) b. Delik
yang
ada
pembenarannya:
misal
penganiayaan
yang
menyebabkan luka berat atau matinya orang (Pasal 351 ayat 2,3 KUHP) 7) Delik ekonomi (biasanya disebut tindak pidana ekonomi)68 Tindak pidana ekonomi terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1995 tentang tindak pidana ekonomi. 8) Kejahatan ringan69 Dalam KUHP ada kejahatan-kejahatan ringan: Pasal 302 (1), 315, 352, 364, 373, 375, 482. D. Tindak Pidana Pemilukada 1. Pengertian Tindak Pidana Pemilu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia yang merupakan peninggalan Belanda telah dimuat lima pasal yang substansinya
67
Soedarto, Op.Cit, hal 53. Loc.Cit. 69 Ibid. 68
61
adalah Tindak Pidana Pemilu tanpa menyebutkan sama sekali apa yang dimaksud Tindak Pidana Pemilu70. Pembentuk KUHP kita tidak memberikan suatu penjelasaan tentang apa yang dimaksud Tindak Pidana Pemilu, sehingga di dalam doktrin menimbulkan berbagai pendapat tentang apa yang dimaksud Tindak Pidana Pemilu. Sintong Silaban71 misalnya ketika memberi pengertian Tindak Pidana Pemilu, ia menguraikan apa yang dimaksud dengan tindak pidana secara umum kemudian menerapkannya dalam kaitannya dengan Pemilu. Menurut Djoko Prakoso72 menguraikan bahwa pengertian Tindak Pidana Pemilu dengan : “Setiap orang, badan hukum, mengacaukan, menghalang-halangi atau menggangu jalannya pemilihan umum yang diselenggarakan menurut undang-undang.” Sedangkan menurut Topo Santoso73 memberikan pengertian Tindak Pidana Pemilu, yakni : “Semua tindak pidana yang berkaitan dengan peyelenggaraan Pemilu yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu maupun di dalam UndangUndang Tindak Pidana Pemilu.” UU No. 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum terdapat juga istilah Tindak Pidana Pemilu dalam Pasal 29, 31, 74, 76, 78, 80,
70
1.
71
Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, Cetakan I, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal
Sintong Silaban, Tindak Pidana Pemilu Suatu Tinjauan Dalam Rangka Mewujudkan Pelaksanaan Pemilu Yang Jujur Dan Adil, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1992, hal 48-53. 72 Djoko Prakoso, Tindak Pidana Pemilu, Cetakan I, CV. Rajawali, Jakarta, 1987, hal 148. 73 Topo Santoso, Op.Cit, hal 5.
62
82, 84, 99, dan Pasal 102. Namun tidak ada satupun pasal yang memberikan definisi apa itu Tindak Pidana Pemilu. Berbeda dengan KUHP pelanggaran dalam KUHP menggunakan hukum acara singkat dan kejahatan dalam KUHP dengan hukum acara biasa. 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pemilu dalam KUHP KUHP tidak memberikan definisi atas berbagai tindak pidana itu, sedangkan pengertiannya akan diketahui dari rumusan unsur-unsur tindak pidana. Dengan demikian, pengertian Tindak Pidana Pemilu di dalam KUHP dapat dilihat dari rumusan unsur-unsur dari pasal-pasal yang mengaturnya. Menurut Wirjono Prodjodikoro tidak kurang dari lima pasal dari titel IV ini mengenai tindak-tindak pidana yang ada hubungan dengan suatu Pemilu yang diadakan berdasar atas undang-undang74. Lima pasal yang terdapat dalam Bab IV Buku Kedua KUHP mengenai tindak pidana “Kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegaraan”, adalah Pasal 148, 149, 150, 151, dan 152 KUHP75. Perbuatan-perbuatan yang dilarang menurut pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut : 1) Merintangi Orang Menjalankan Haknya dalam memilih Pasal 148 KUHP menyatakan: “Barangsiapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan kekerasan atau ancaman kekerasaan dengan sengaja merintangi seseorang memakai hak pilihnya dengan bebas dan tidak
74
Wirjono Prodjodikoro, Tindak –Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Cetakan I, Refika Aditama, Bandung, 2003, hal 215. 75 Topo Santoso, Op.Cit, hal 11.
63
terganggu, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.” Tindak pidana menghalangi orang lain mempergunakan hak pilihnya dalam suatu pemilihan dengan bebas dan secara tidak terganggu yang diatur dalam Pasal 148 KUHP itu terdiri dari unur-unsur sebagai berikut76 : a. Unsur subjektif : opzettelijk, artinya dengan sengaja. b. Unsur objektif : 1. Pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan sesuatu peraturan umum; 2. Dengan kekerasaan atau dengan ancaman kekerasaan; 3. Menghalangi atau merintangi seseorang; 4. Mempergunakan hak pilihnya dengan bebas dan secara tidak terganggu. 2) Penyuapan Pasal 149 KUHP menyatakan: (1) Barangsiapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturanaturan umum, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya, atau supaya memakai hak itu menuruti cara yang tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah; (2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih, yang dengan menerima pemberian atau janji, mau disuap supaya memakai atau tidak memakai haknya seperti di atas. Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 149 KUHP itu hanya terdiri dari unsur-unsur objektif, masing-masing yakni77 : 76
Lamintang, Delik-Delik Khusus: Kejahatan-Kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara,Cetakan I, Sinar Baru, Bandung, 1987, hal 344.
64
1. Pada waktu diselenggarakan pemilihan berdasarkan sesuatu peraturan umum; 2. Menyuap orang lain dengan pemberian atau janji; 3. Agar orang lain tersebut tidak mempergunakan hak pilihnya atau agar ia mempergunakan hak pilihnya dengan cara tertentu. 3) Perbuatan Tipu Muslihat Pasal 150 KUHP menyatakan: “Barangsiapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, melakukan tipu muslihat sehingga suara seorang pemilih menjadi tidak berharga atau menyebabkan orang lain daripada yang dimaksud oleh pemilih itu menjadi terpilih, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.” Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 150 KUHP tersebut di atas hanya terdiri dari unsur-unsur objektif, masing-masing yakni78 : 1. Pada waktu diselenggarakan pemilihan berdasarkan suatu peraturan umum; 2. Melakukan sesuatu tindakan yang sifatnya menipu; 3. Hingga suara seorang pemilih menjadi tidak sah atau; 4. Hingga orang lain daripada yang dimaksudkan oleh pemilih menjadi terpilih. 4) Mengaku Sebagai Orang Lain Pasal 151 KUHP menyatakan: “Barangsiapa dengan sengaja memakai nama orang lain untuk ikut dalam pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.” 77 78
Ibid, hal 357. Ibid, hal 373.
65
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 151 KUHP tersebut di atas terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut79 : a.
Unsur subjektif : opzettelijk atau dengan sengaja
b.
Unsur objektif : 1. Mengakui dirinya sebagai orang lain 2. Turut serta dalam suatu pemilihan yang diadakan berdasarkan suatu peraturan umum.
5) Menggagalkan Pemungutan Suara yang Telah Dilakukan atau Melakukan Tipu Muslihat Pasal 152 KUHP menyatakan: “Barangsiapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara yang telah diadakan atau melakukan tipu muslihat yang menyebabkan putusan pemungutan suara itu lain dari yang seharusnya diperoleh berdasarkan kartu-kartu pemungutan suara yang masuk secara sah atau berdasarkan suara-suara yang dikeluarkan secara sah, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun.” Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 152 KUHP tersebut terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut80 : a.
Unsur subjektif : opzettelijk atau dengan sengaja
b.
Unsur-unsur objektif : 1. Pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum; 2. Menggagalkan pemungutan suara yang telah diadakan;
79 80
Ibid, hal 377. Ibid, hal 382.
66
3. Melakukan sesuatu tindakan yang bersifat menipu; 4. Yang menyebabkan putusan pemungutan suara itu lain; 5. Lain dari yang seharusnya diperoleh berdasarkan kartu-kartu pemungutan suara yang masuk secara sah atau berdasarkan suara-suara yang dikeluarkan secara sah. 3. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pemilukada dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah Permasalahan yang muncul adalah adanya berbagai macam tindak pidana yang dilakukan yang merebak diberbagai daerah dalam memilih seorang Kepala Daerah. Sampai sekarang pun kesulitan untuk mendapatkan bukti-bukti tertulis guna memprosesnya secara hukum. Yang
dimaksud
dengan
Tindak
Pidana
Pemilukada
adalah
serangkaian tindak pidana yang diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Pemilukada. Tindak pidana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tidak selalu berupa tindak pidana baru yang belum pernah diatur dalam peraturan perundang-undangan lain. Beberapa Tindak Pidana Pemilukada merupakan tindak pidana yang sebelumnya telah diatur dalam KUHP, seperti memalsukan surat (Pasal 263), money politic (Pasal 149), dan sebagainnya. Di luar tindak pidana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Pemilukada masih terdapat berbagai tindak pidana yang dapat terjadi di dalam atau yang berhubungan dengan penyelenggaraan
67
Pemilukada. Tindak pidana tersebut bisa dilakukan oleh masyarakat pada umumnya atau oleh peserta Pemilu atau oleh penyelenggara Pemilu. Bila mengacu pada ketentuan yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, maka masalah-masalah hukum yang ada dan diatur ini hampir sama dengan yang diatur dalam Pemilu yaitu terdiri atas pertama Tindak Pidana Pemilukada. Tindak Pidana Pemilukada ini adalah pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur dalam undang-undang yang diancam dengan sanksi pidana. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 diatur dalam Pasal 115 sampai dengan Pasal 119 dimana pasal-pasal tersebut ancaman pidananya paling singkat 15 (lima belas) hari dan paling lama 3 (tiga) tahun serta penjatuhan denda paling sedikit Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) tergantung dari tindakan pelanggaran yang dilakukan. Kedua pelanggaran administrasi
Pemilukada. Pelanggaran ini
merupakan perbuatan melanggar ketentuan peraturan perundangan yang tidak diancam dengan sanksi pidana, khususnya pelanggaran terhadap ketentuan, persyaratan,
kewajiban,
perintah
dan
larangan.
Ketiga
perselisihan
administrasi Pemilukada. Dimana perselisihan ini terjadi karena adanya keputusan atau tindakan penyelenggara Pemilu yang dianggap merugikan pihak tertentu, dalam hal ini adalah warga negara (yang mempunyai hak memilih dan dipilih), partai politik pengusul, bakal calon Kepala Daerah, dan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, yang terjadi dalam tahapantahapan Pemilukada. Dan keempat perselisihan hasil Pemilu. Suatu
68
perselisihan yang ditimbulkan oleh keputusan penyelenggara Pemilu tentang hasil Pemilu yang dianggap merugikan pihak tertentu, dalam hal ini calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang terjadi pada tahapan penetapan hasil Pemilukada, sebagaimana diatur dalam Pasal 106 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah hanya terdapat 27 bentuk perbuatan yang digolongkan tindak pidana, setelah lahirnya UU No. 12 Tahun 2008, bentuk perbuatan yang digolongkan kedalam tindak pidana pada Pemilukada pun telah bertambah 3 bentuk. Sehingga perbuatan yang di golongkan kedalam Tindak Pidana Pemilukada inipun bertambah menjadi 30. Dalam UU No. 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 1 angka 14 yang mengubah Pasal 115, terjadi perubahan tentang pemidanaan. Ancaman pidana penjara dan denda pada Pasal 115 yang telah diubah, juga terjadi penambahan. Sehingga pasal ini mengandung ancaman pidana yang sangat berat bagi seseorang, anggota PPS, anggota PPK, anggota KPU kabupaten/kota, dan anggota KPU Provinsi yang melakukan perbuatan pada Pasal 115 ini. Adapun rumusan Tindak Pidana Pemilukada yang terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah, antara lain : 1) Sebelum Pemilukada - Tahap Pemutakhiran Data dalam Penyusuan Daftar Pemilih Tetap Pasal 115 menyatakan:
69
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah) (2) Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dan orang yang kehilangan hak pilihnya tersebut mengadukan diancam pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp 12.000.000.- (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp 24.000.000,- (dua puluh empat juta rupiah) (3) Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan surat menurut suatu aturan dalam undang-undang ini diperlukan untuk menjalanakan suatu perbuatan dengan maksud untuk digunakan sendiri atau orang lain sebagai seolah-olah surat sah atau tidak dipalsukan, diancam dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 36.000.000.- (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 72.000.000.- (tujuh puluh dua juta rupiah) (4) Setiap orang yang dengan sengaja dan mengetahui bahwa surat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tidak sah atau dipalsukan, menggunakan, atau menyuruh orang lain menggunakan sebagai surat yang sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah) (5) Setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekuasaan yang ada padanya saat pendaftaran pemilih menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah menurut undang-undang ini, diancam dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah) (6) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai surat yang sah tentang suatu hal yang diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi pasangan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga pulu enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp
70
36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah) (7) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar atau menggunakan identitas diri palsu untuk mendukung bakal pasangan calon perseorangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, diancam dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda minimal Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah) (8) Anggota PPS, anggota PPK, anggota KPU kabupaten/kota, dan anggota KPU provinsi yang dengan sengaja memalsukan daftar dukungan terhadap calon perseorangan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, diancan denga pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah) (9) Anggota PPS, anggota PPK, anggota KPU kabupaten/kota, dan anggota KPU provinsi yang dengan sengaja tidak melakukan verifikasi dan rekapitulasi terhadap calon perseorangan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, diancam denga pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah) dan pling banyak Rp 72.000.000,- (tujuh puluh dua juta).” - Tahap Masa Kampanye Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Pasal 116 menyatakan: (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kampanye di luar jadwal waktu yang telah ditetapkan oleh KPUD untuk masing-masing pasangan calon, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling lama 30 (tiga puluh) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 1.000.000,(satu juta rupiah) (2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 600.000,-
71
(enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp 6.000.000,- (enam juta rupiah) (3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan kampanye Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j dan Pasal 78 huruf g, huruf l, huruf j, dan Pasal 79 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4), diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda minimal Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 1.000.000,(satu juta rupiah) (4) Setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan kepala desa yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1(satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda minimal Rp 600.000,- (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp 6.000.000,- (enam juta rupiah) (5) Setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya kampanye, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda minimal Rp 600.000,- (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp 6.000.000,- (enam juta rupiah) (6) Setiap orang yang memberi atau menerima dana kampanye melebihi batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3), diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah) atau paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliyar rupiah) (7) Setiap orang yang dengan sengaja menerima atau memberi dana kampanye dari atau kepada pihak-pihak yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1), dan/atau tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) (8) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar dalam laporan dana kampanye sebagaimana diwajibkan oleh undang-undang ini, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
72
paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) 2) Saat Pemilukada : Tahap Pemungutan dan Perhitungan Suara Pasal 117 menyatakan: (1) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan menghalang-halangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) (2) Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp 10.000.000,(sepuluh juta rupiah) (3) Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja mengaku dirinya sebagai orang lain untuk menggunakan hak pilih, diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari dan paling lama 60 (enam puluh) hari dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) (4) Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja memberikan suaranya lebih dari satu kali atau lebih TPS, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah) (5) Setiap orang yang dengan sengaja menggagalkan pemungutaan suara, diancam dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling singkat Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) (6) Seorang majikan atau atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang pekerja untuk memberikan suaranya, kecuali dengan alasan bahwa pekerjaan tersebut tidak bisa ditinggalkan, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama
73
12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,(satu juta rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) (7) Setiap orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara mendampingi seorang pemilih selain yang diatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling banyak 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) (8) Setiap orang yang bertugas membantu pemilih sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) dengan sengaja memberitahukan pilihan si pemilih kepada orang lain, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) Pasal 118 menyatakan: (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak berharga atau meyebabkan pasangan calon tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suara suaranya berkurang, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) (2) Setiap orang yang dengan sengaja merusak atau atau menghilangkan hasil pemungutan suara yang sudah disegel, diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah) dan paling banyak Rp 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) (3) Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan rusak atau hilangnya hasil pemungutan suara yang sudah disegel, diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari dan paling lama 2 (dua) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000,(seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) (4) Setiap orang yang dengan sengaja mengubah hasil perhitungan suara dan/atau berita acara dan sertifikat hasil perhitungan suara, diancam dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah)
74
Pasal 119 menyatakan : “Jika tindak pidana dilakukan dengan sengaja oleh penyelenggara atau pasangan calon, ancaman pidananya 1/3 (sepertiga) dari pidana yang diatur dalam Pasal 115, 116, 117, dan 119. 3) Sesudah Pemilukada Penetapan pasangan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah terpilih, pengesahan, dan pelantikan. Setelah selesai tahap tersebut diharapkan Kepala Daerah dan atau/Wakil Kepala Daerah dapat melakukan tugas dan wewenang serta kewajibannya sebagai Kepala Daerah dan atau/Wakil Kepala Daerah. Dalam masa jabatannya tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang, yaitu : Pasal 30 menyatakan: (1) Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila dinyatakan melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan. (2) Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pasal 31 menyatakan: (1) Kepala Daerah dan/atau wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara. (2) Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena terbukti melakukan makar dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dinyatakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
75
4. Penyertaan Penyertaan dalam suatu delik atau tindak pidana mengacu pada peserta yang melakukan tindak pidana yang jumlahnya lebih dari satu orang. Penyertaaan memaparkan lebih lanjut siapa-siapa saja yang termasuk pembuat dan pembantu dan tindak pidana tersebut, yaitu unsur dari penyertaan sebagai berikut81 : a. Unsur – unsur penyertaan - Unsur pelaku (pleger) Orang yang melakukan (plegen) atau pelaku (pleger) adalah orang yang perbuatannya mencocoki semua unsur dari suatu rumusan tindak pidana. Mengenai pelaku (pleger) sukar menentukannya karena undang-undang tidak menentukan secara pasti siapa yang menjadi pembuat; - Unsur orang yang menyuruh melakukan (doen plegen) Peserta yang pertama-tama disebutkan oleh Pasal 55 KUHP setelah pelaku ialah orang yang menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen). Bentuk menyuruh melakukan ini terjadi, apabila orang yang disuruh tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu. Dengan demikian pada doen plegen (menyuruh melakukan) ada dua pihak; - Unsur orang yang turut melakukan perbuatan (medeplegen)
81
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Cetakan VII, PT. Refika Aditama, Bandung, 2002, hal 109-120.
76
Turut serta melakukan, yaitu seorang pembuat turut serta mengambil prakarsa dengan berunding dengan orang lain dan sesuai dengan perundingan itu mereka bersama-sama melakukan delik; - Unsur orang menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan (uitlokken) Ada perbuatan “uitlokken”(menganjurkan, membujuk) apabila si “uitlokker” (penganjur, pembujuk) mengguakan upaya-upaya yang telah disebutkan dalam Pasal 56 ayat (1) butir 2 KUHP. Hal ini merupakan salah satu pembela antara bentuk menyuruh melakukan (doen plegen) dan menganjurkan melakukan (uitlikken). 5. Bentuk-bentuk penyertaan Dilihat dari uraian diatas tentang unsur-unsur penyertaan maka dapat disebutkan bentuk-bentuk penyertaan menurut KUHP Indonesia ialah82 : a.
b.
Pembuat/dader (Pasal 55 KUHP) yang terdiri dari : 1.
Pembuat (pleger);
2.
Yang menyuruh melakukan (doen plegen);
3.
Yang turut serta melakukan (medeplegen);
4.
Penganjur (uitlokker).
Pembantu kejahatan/medeplichtige (Pasal 56 KUHP) yang terdiri dari : 1. Pembantu pada saat kejahatan dilakukan; 2. Pembantu sebelum kejahatan dilakukan.
82
Frans Maramis, Op.Cit. hal 214-215.
77
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
pendekatan
yuridis
normatif,
yaitu
pendekatan
yang
menggunakan konsepsi legis positivistis. yang memandang hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat negara yang berwenang. Selain konsepsi ini juga meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif mandiri, bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang nyata83. Nama lain penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum doktrinal juga disebut penelitian perpustakaan atau studi dokumen84. Penelitian normatif lebih banyak dilakukan pada bahan hukum yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Menurut Peter Mahmud Marzuki penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi85.
83
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal 97. 84 Bambang Wahyu, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafik, Jakarat, 1991, hal 31. 85 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2009, hal 35.
78
Penelitian ini menggunakan metode pendekataan kasus (case approach) yaitu penelitian yang menggunakan contoh kasus untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang dibahas, dan pendekataan perundang-undangan (statute approach) yaitu dengan mengkaji peraturan perundang-undangan yang relevan dengan masalah yang dibahas86. Kasus yang diangkat dalam penelitian ini adalah Tindak Pidana Pemilukada di Gresik pada tahun 2010. Sedangkan peraturan perundangundangan yang digunakan adalah KUHP, UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah, dan peraturan perundangundangan yang terkait dengan Tindak Pidana Pemilukada. Penggunaan metode yuridis normatif dengan pendekataan tersebut diajukan untuk mengkaji, menilai, dan menganalisis kasus yang terjadi dalam hal ini mengetahui batasan tindak pidana dalam Pemilukada, dan mengetahui penerapan ketentuan Tindak Pidana Pemilukada. Permasalahan tersebut kemudian dikomparasikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur hal terkait. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah proses tersebut telah sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang dipakai adalah deskriptif analisis, yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang 86
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Malang, hal 308.
79
menyangkut permasalahan di atas87. Analisis dilakukan dalam rangka untuk memecahkan permasalahan yang ada dengan menggambarkan apa yang menjadi masalah (deskripsi), menjelaskan masalah (eksplanasi), mengkaji permasalahan dari bahan-bahan hukum yang terkait (evaluasi) dan memberikan argumentasi dari hasil evaluasi tersebut, sehingga didapat kesimpulan mengenai persoalan Tindak Pidana Pemilukada di Gresik pada Tahun 2010. Melalui penelitian ini penulis mencoba mencari gambaran mengenai batasan tindak pidana dalam Pemilukada dan penerapan ketentuan Tindak Pidana Pemilukada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. C. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto, Unit Pelaksana Teknis Perpustakaan UNSOED, Panwaslu Purwokerto. D. Sumber dan Jenis Bahan Hukum Penelitian ini menggunakan data sekunder sebagai bahan penelitian, karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Data sekunder yang digunakan berupa bahan primer yaitu : a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas atau mengikat88. Bahan hukum primer terdiri dari Peraturan Perundang-
87 88
Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit..hal 97-98. Ibid, hal 11.
80
undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim89. Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer berupa : 1. Amandemen ke IV Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konsitusi; 4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah 5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004; 6. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaran Pemilihan Umum (PEMILU); 7. UU No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; 8. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang
Pemilihan,
Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder merupakan bahan-bahan yang dimiliki hubungan erat dengan bahan hukum primer yang digunakan untuk
89
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit. hal 141.
81
menganalisis dan memahami bahan hukum primer90. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku teks maupun dokumen-dokumen resmi yang berhubungan dengan objek penelitian. c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang menunjang penelitan bahan hukum tersier terdiri dari91 : a) Bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang biasanya disebut dengan bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum, misalnya abstrak perundang-undangan, biliografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, kamus hukum, atau indeks majalah hukum. b) Bahan-bahan primer, sekunder, dan penunjang di luar bidang hukum. E. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk penelitian ini adalah dengan cara mengumpulkan seluruh bahan-bahan kepustakaan baik bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier yang diperoleh dari lokasi penelitian untuk selanjutnya dilakukan pengklasifikasian dan pencatatan mengenai halhal yang dianggap penting dan berguna bagi penelitian yang dilakukan untuk kemudian dilakukan pengkajian secara menyeluruh. Pengklasifikasian dan
90
Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit. hal 12. Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Peneltian Hukum Normatif (suatu Kajian Singkat), Rajawali, Jakarta, 1990, hal 41. 91
82
pencatatan dalam penelitian ini disusun berdasarkan topik yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas agar memudahkan peneliti dalam melakukan peneltian kemudian dikaji sebagai satu kesatuan yang utuh serta Putusan Nomor: 01/Pid.S/2010/PN.Gs. F. Teknik Penyajian Data Teknik penyajian data dalam penelitian ini dilakukan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis, rasional, dan logis. Keseluruhan bahan yang diperoleh akan dihubungkan antara satu dengan yang lainnya yang akan disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga menjadi satu kesatuan yang didasarkan pada norma-norma atau kaidah-kaidah hukum serta doktrin-doktrin yang relevan dengan pokok permasalahan yang diteliti. G. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitin ini adalah mengumpulkan
bahan
hukum
yang
diperoleh,
kemudian
dianalisis
menggunakan metode analisis normatif kualitatif, yakni dengan membahas dan menjabarkan bahan hukum yang digunakan dengan berlandaskan pada norma hukum yang digunakan, teori-teori serta doktrin yang berkaitan dengan materi yang diteliti, dengan menggunakan logika deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi92
92
Ronny Hanitiji Soemitro, Op.Cit. hal 9.
83
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAAN
A. Hasil Penelitian Pemilihan Umum dalam hal ini Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) merupakan wujud kedaulatan rakyat, karena hakikat Pemilu jauh lebih dalam dibandingkan sekedar memberikan suara, setiap suara, yang diberikan sangat bermakna bagi terbentuknya pemerintahan legitimate yaitu suatu pemerintahan yang di percaya dan didukung oleh rakyat. Sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa ‘kedaulatan rakyat di tangan rakyat”, dalam hal ini adalah bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak, dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintah guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil-wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap perkara pidana Nomor 01/Pid.S/2010/PN.Gs. 1. Duduk Perkara Putusan Perkara Nomor 01/Pid.S/2010/PN.Gs, Terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim. Terdakwa 2 Raharjo pada hari Sabtu tanggal 22 Mei 2010 sekitar pukul 16.00 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu masih di bulan Mei 2010 di rumah terdakwa KH. Abdul Qohar Hasyim Ds. Mojotengah Rt 16 Rw 07, Kec. Menganti, Kab. Gresik atau setidaknya
84
disuatu tempat yang masih dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Gresik telah melakukan atau menyuruh melakukan atas ikut melakukan perbuatan yaitu dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak memilih pasangan calon tertentu dalam Pemilukada Kab. Gresik periode 2010-2015 perbuatan mana dilakukan para terdakwa dengan cara sebagai berikut : - Pada waktu dan tempat tersebut diatas terdapat tahapan-tahapan Pemilukada antara lain kampanye yang berakhir pada tanggal 22 Mei 2010, dimana dalam Pemilukada terdapat salah satu pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati yaitu Pasangan Nomor 5 sdr. Dr. H. Khusnul Khuluq, Dr., MM dan H.M Musyaffa Noer S.Ag., SH., MM (HUMAS). - Pada hari Sabtu tanggal 22 Mei 2010 terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim dan terdakwa 2 Raharjo telah mengundang masyarakat miskin di Ds. Mojotengah Rt 16 Rw 07, Kec. Menganti, Kab. Gresik untuk datang kerumah terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim untuk mengikuti istigosah, namun sebelumnya terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim telah menyiapkan sekitar 100 buah amplop yang bergambar pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Nomor 5 sdr. Dr. H Khusnul Khuluq, Dr., MM dan Musyaffa Noer S.Ag., SH. MM (Humas) dan berisi uang yang berasal dari terdakwa 2 Raharjo dan masing-masing amplop berisikan uang Rp. 50.000,- kemudian amplop tersebut oleh terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim diserahkan kepada terdakwa 2 Raharjo, selanjutnya sekitar pukul 16.00 WIB banyak masyarakat miskin yang datang untuk istigosah.
85
- Setelah istigosah selesai terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim menyampaikan kepada peserta istigosah antara lain saksi Sriamah dan saksi Sekah sambil mengatakan “saudara-saudara kalau tidak keberatan tolong bantu saya untuk memilih Pak Khuluk, nanti akan mendapat amplop dari Pak Raharjo yang berisi uang Rp. 50.000,-“ sambil terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim menunjukan amplop yang bergambar pasangan Calon Nomor 5 sdr. Dr. H. Khusnul Khuluq Drs. MM dan H.M Musyaffa Noer S.Ag., SH., MM. - Ketika para warga hendak pulang, terdakwa 2 Raharjo membagikan kepada warga masing-masing sebuah amplop yang bergambar pasangan Nomor 5 sdr. Dr. H. Khusnul Khuluk Drs. MM dan H.M Musyaffa Noer S.Ag., SH., MM (Humas) dan berisi uang yang berasal dari terdakwa 2 Raharjo dan masing-masing amplop berisikan uang Rp. 50.000,-. Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Gresik telah membacakan Surat Tuntutan Pidana, sebagaimana tersebut dalam suratnya tertanggal
18
Juni
Maret
2010,
No.
REG.PERK
:
PDM-
135/Gresik/Ep.1/6/2010. Terdakwa atas Tuntutan Tersebut, melalui Penasihat Hukumnya mengajukan Nota Pembelaan dalam persidangan tanggal 25 Juni 2010, atas Nota Pembelaan tersebut, Penuntut Umum telah menyatakan secara lisan didalam persidangan, bahwa ia tetap pada tuntutan semula, demikian pula Terdakwa melalui Penasihat Hukumnya menyatakan pula tetap pada Nota Pembelaannya. Sebelum Majelis hakim mempertimbangkan substansi materi catatan dakwaan Penuntut Umum, terlebih dahulu majelis
86
akan mempertimbangkan formalitas yang berkaitan dengan pelaporan adanya pelanggaran pemilu kepada Panwas, sebagai berikut : a. Bahwa menurut ketentuan Pasal 110 ayat (3) PP No. 6 Tahun 2005, bahwa laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disampaikan kepada panitia pengawas pemilihan sesuai wilayah kerjannya selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak terjadinya pelanggaran; b. Bahwa dalam Pasal 111 ayat (1, 2, 3) menyebutkan panitia pengawasn pemilihan mengkaji setiap laporan pelanggaran yang diterima untuk menindaklanjuti atau tidak setiap laporan diterima dalam hal Panwas pemilihan memerlukan
keterangan tambahan dari pelapor untuk
melengkapi laporan putusan sebagaimana yang dimaksud ayat (2), dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari setelah laporan diterima. Hakim telah memperoleh keyakinannya setelah memeriksa alat-alat bukti yang diajukan dipersidangan, menyatakan bahwa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim dan terdakwa 2 Raharjo, terbukti secara sah melakukan Tindak Pidana Pemilukada Secara Bersama-Sama. Hakim dalam perkara ini atas pertimbangan-pertimbangannya menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 5 (lima) bulan, hal tersebut lebih ringan dari tuntutan pidana yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) yaitu pidana penjara selama 6 (enam) bulan. 2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim dan terdakwa 2 Raharjo (masing-masing dalam berkas perkara sendiri) dihadapkan ke depan sidang
87
Pengadilan Negeri Gresik yang memeriksa perkara pidana dengan acara pemeriksaan singkat pada pengadilan tingkat pertama, oleh Jaksa Penuntut Umum telah didakwa dengan dakwaan tunggal melakukan tindak sebagai berikut : “Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihanya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,(sepuluh juta rupiah) sebagaimana maksud dalam Pasal 117 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.” 3. Pembuktian Di Persidangan A. Keterangan Saksi Bahwa untuk membuktikan dakwannya Penuntut Umum telah mengajukan saksi-saksi yang didengar keterangannya dibawah sumpah dipersidangan pada pokoknya masing-masing sebagai berikut : 1.
Saksi H. Hariyadi, S.H, M.H - Bahwa saksi kenal dengan para terdakwa, namun tidak ada hubungan keluarga - Bahwa saksi adalah tim advokasi kampanye dari calon nomor 3 (Sambari Halim dan M. Qusim/S-Q) yang bertugas memantau tahapan-tahapan pemilukada Kab. Gresik ; - Bahwa pada tanggal 24 Mei 200, sore sekitar jam 15.00 WIB selesai kampanye saksi datang kerumah sdr Temin di menganti untuk memesan spanduk, dan dirumah sdr. Temin tersebut banyak orang
88
yang membicarakan undangan dari terdakwa KH. Abdul Qohar Hasyim Ds. Mojotengah Kec. Menganti Kab. Gresik dan diantara orang-orang tersebut adalah bu Sriamah dan bu Sekah; - Bahwa selanjutnya saksi menanyakan hal tersebut kepada bu Sriamah dan bu Sekah dan benar kedua orang tersebut diundang oleh terdakwa KH. Abdul Qohar Hasyim kerumahnya untuk istigosah lalu pulangnya diberi amplop berisikan uang tunai sebesar Rp. 50.000,(lima puluh ribu rupiah) dan gambar pasangan calon nomor 5 (Dr. Khusnul Khuluq Drs. MM dan H.M Musaffa S.Ag., SH., MM/Humas); - Bahwa menurut bu Sriamah dan bu Sekah tanggal 22 Mei 2010 diundang kerumah terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim untuk istigosah, lalu pulangnya diberi amplop oleh terdakwa 2 Raharjo; - Bahwa selanjutnya saksi meminta amplop yang berisi uang dan gambar pasangan calon nomor 5 tersebut kepada bu Sriamah dan bu Sekah namun belum dikasih, lalu keesok harinya saksi datang lagi ke tempat Temin dan menerima kedua amplop tersebut melalui sdr. Temin; - Bahwa selanjutnya saksi melaporkan kejadian dirumah terdakwa KH. Abdul Qohar Hasyim tersebut ke Panwas Kab. Gresik lalu pada tanggal 28 Mei 2010 saksi diminta keterangannya; - Bahwa
setelah
memberikan
keterangan
dipersidangan
saksi
menyerahkan bukti copy yang diberi stempel Ulama Gresik Nomor:
89
424/PC/A.II/VII/2009 tanggal 8 Rajab 1430 H/1 Juli 2009 M tentang Tim Pemenang Dr. H Khusnul Khuluq Drs. MM dalam Pilbup 2010 PCNU Gresik; - Bahwa saksi membenarkan ketika ditunjukan bukti berupa : 2 (dua) amplop bergambar Dr. Khusnul Khuluq Drs. MM dan H.M Musaffa Noer S.Ag., SH., MM., 2 (dua) lembar uang kertas pecahan Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah). Atas keterangan saksi tersebut di atas, terdakwa KH. Abdul Qohar Hasyim : tidak menyuruh mencoblos pasangan nomor 5, hanya bilang nanti pulangnya terima amplop isi Rp. 50.000,2. Saksi Abdullah Khaidar, S.H - Bahwa saksi tidak kenal terdakawa; - Bahwa saksi sebagai anggota Panwas Kab. Gresik bagian divisi pengamanan masyarakat yang bertugas membuat kajian laporan yang ditanda tangani Ketua Panwas; - Bahwa pada tanggal 25 Mei 2010 Panwas Kab. Gresik menerima laporan dugaan Money Politic dan laporan tersebut diterima oleh sekretaris Panwas yakni sdr. H. Hariyadi, S.H, M.H dari tim advokasi pasangan nomor 3 (Sambari Halim dan M. Qosim/S-Q) - Bahwa benar laporan yang diterima dilampiri dengan copy bukti amplop yang bergambar pasangan Nomor 5 (Dr. Khusnul Khuluq Drs. MM dan H.M Musaffa Noer, S.Ag, SH., MM/Humas);
90
- Bahwa atas laporan tersebut selanjutnya Panwas melakukan pemanggilan lalu sdr. H. Hariyadi, S.H, MH. Hadir dengan membawa bukti asli berupa amplop yang bergambar pasangan calon nomor 5 (Dr. Khusnul Khuluq Drs. MM dan H.M Musaffa Noer, S.Ag., SH., MM/Humas) dengan uang kertas pecahan Rp. 50.000,selanjutnya saksi H. Hariyadi, S.H, MH diminta keterangan oleh Ketua Panwas dan saksi mendampingi; - Bahwa pada waktu itu juga diperiksa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim dan terdakwa 2 Raharjo yang menyatakan mengumpulkan sekitar 100 orang untuk istigosah yang memang rutin dilakukan dirumah terdakwa serta memberi uang sebesar Rp. 50.000,- dan menyatakan “kalau tidak keberatan tolong memilih Humas”; - Bahwa terdakwa 2 Raharjo menyatakan setiap bulan menerima uang dari anaknya yang bekerja di Kuwait dan selalu diamalkan kepada fakir miskin dalam acara istigosah; - Bahwa waktu itu belum diperiksa saksi penerima, karena yang bersangkutan tidak berkenan, lalu keesokan harinya sdr. H. Hariyadi, S.H, MH datang dengan membawa saksi penerima yakni bu Sriamah dan bu Sekah, lalu kedua orang diperiksa oleh Ketua Panwas; - Bahwa saksi membenarkan ketika diajukan bukti berupa : 2 (dua) amplop bergambar Dr. Khusnul Khuluq Drs. MM dan H.M Musaffa Noer S.Ag., SH., MM., 2 (dua) lembar uang kertas pecahan Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah).
91
Atas keterangan saksi tanggapan para terdakwa membenarkan. 3.
Saksi Sriamah - Bahwa saksi kenal dengan terdakwa, karena tetangga dan satu desa; - Bahwa benar saksi adalah warga Ds. Mojotengah Kec. Menganti Kab. Gresik; - Bahwa pada tanggal 22 Mei 2010 sore hari setelah sholat azhar saksi diundang tedakwa KH. Abdul Qohar Hasyim melalui bu Sulami secara lisan agar saksi datang kerumah terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim untuk menerima santunan; - Bahwa terdakwa yang hadir sekitar 100 orang sebagian besar adalah ibu-ibu; - Bahwa saksi datang dengan ibu Sekah; - Bahwa benar dirumah terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim sering ada istigosah tetapi saksi tidak pernah ikut dan baru kali ini datang; - Bahwa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim di masyarakat adalah selaku tokoh agama sedangkan terdakwa 2 Raharjo adalah masyarakat biasa; - Bahwa suasana waktu itu lesehan, lalu terdakwa 2 Raharjo membuka acara selanjutnya memimpin istigosah setelah selesai istigosah selanjutnya terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim pidato sambil menunjukan gambar pasangan calon dan mengatakan “Sumerep gambar niki nomor : 5 tiange sing ganteng” bahasa Indonesia “diketahui gambar nomor : 5 orangnya yang ganteng/tampan” dan
92
juga mengatakan “nanti kalau pulang akan diberi Pa Raharjo sebuah amplop yang berisi uang; - Bahwa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim berpesan “kalau diminta orang lain jangan boleh”; - Bahwa saat pulang saksi diberi amplop bergambar pasangan nomor 5 (DR. Khusnul Khuluq Drs., MM dan H.M Musaffa S.Ag., SH., MM yang berisi uang sebesar Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) oleh terdakwa 2 Raharjo; - Bahwa saksi membenarkan ketika ditunjukan bukti berupa : 2 (dua) amplop bergambar Dr. Khusnul Khuluq Drs. MM dan H.M Musaffa S.Ag., SH., MM. 2 (dua) lembar uang kertas pecahan Rp. 50.000,(lima puluh ribu rupiah). Atas keterangan saksi di atas, tanggapan terdakwa : o Terdakwa I KH. Abdul Qohar Hasyim menyatakan : tidak pernah berpesan agar mencoblos calon nomor 5; o Terdakwa II Raharjo menyatakan : cukup/tidak ada tanggapan. 4.
Saksi Sekah - Bahwa saski kenal denga para terdakwa karena tetangga satu desa; - Bahwa sekitar jam 16.00 WIB saksi disuruh datang kerumah terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim, dan undangan tersebut disampaikan secara lisan oleh ibu Sulami yang pesannya “mbok wo jam papat diundang Pak Qohar oleh santutan” (bahasa Indonesia : bu de/tante pukul 16.00 wib diundang Pak Qohar dan dapat santunan);
93
- Bahwa atas undangan tersebut selanjutnya saksi berangkat dengan saksi Sriamah ke rumah terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim sudah banyak orang yang kumpul dan sebagian besar adalah ibu-ibu; - Bahwa acara dibuka oleh terdakwa 2 Raharjo, lalu Pak Raharjo memimpin istigosah, dan setelah selesai terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim memberikan sambutan semoga dalam pemilu aman dan lancar dan kalau tidak keberatan tolong pilih Pak Khuluq sambil memberikan amplop bergambar pasangan nomor 5 dan mengatakan “tidak dapat beri banyak-banyak ini hanya untuk membeli sabun”; - Bahwa saksi menerima amplop bergambar pasangan calon nomor: 5 (Dr. Khusnul Khuluq Drs. MM dan H.M Musaffa S.Ag., SH., MM dari terdakwa 1. KH. Abdul Qohar Hasyim); - Bahwa saksi membenarkan ketika ditunjukan bukti berupa : 2 (dua) amplop bergambar Dr. Khusnul Khuluq Drs., MM dan H.M Musaffa S.Ag., SH., MM., 2 (dua) lembar uang kertas pecahan Rp. 50.000,(lima puluh ribu rupiah). Atas keterangan saksi tanggapan para terdakwa : o Terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim menyatakan : yang menyerahkan amplop bergambar calon nomor 5 adalah terdakwa 2 Raharjo, namun wakti itu karena jaraknya agak jauh maka penyampaian tersebut melalui terdakwa; o Terdakwa 2 Raharjo menyatakan : cukup. 5.
Saksi Kayat (saksi a de charge)
94
- Bahwa saksi kenal dengan para terdakwa; - Bahwa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim sering mengadakan pengajian dirumahnya; - Bahwa saksi diminta keterangan dipersidangan berkaitan dengan masalah uang yang diberikan oleh terdakwa 2 Raharjo pada tanggal 22 Mei 2010 jam 16.00 WIB dirumah terdakwa 1 KH Abdul Qohar Hasyim yang waktu itu ada istigosah; - Bahwa yang hadir sekitar 100 orang laki-laki dan perempuan; - Bahwa sebelum acara dibuka oleh terdakwa 2 Raharjo kita berdoa bersama agar Pilkada berjalan aman, lalu terdakwa 2 Raharjo memimpin istigosah; - Bahwa acara tersebut mengunakan pengeras suara berupa salon kecil jadi saksi dan yang lainnya yang berada diluar rumah terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim bisa mendengarkan; - Bahwa setelah selesai istigosah terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim memimpin pembacaan doa, namun sebelum membaca doa sdr. Suhartono salah seorang warga yang ikut istigosah yang kebetulan duduk ditengah luar rumah bertanya “Pak Kiyai besok enaknya pilih siapa” dan dijawab oleh terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim “kalau tidak keberatan pilih Pak Khuluq”; - Bahwa menurut terdakwa 2 Raharjo karena hari selasa masuk hari tenang maka istigosah dimajukan menjadi hari Sabtu tanggal 22 Mei 2010;
95
- Bahwa di setiap minggu di rumah terdakwa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim selalu ada istigosah dan sering diberi uang antara Rp. 10.000 - Rp. 15.000,- yang diutamakan adalah fakir miskin dan anak yatim; - Bahwa pada waktu itu tanggal 22 Mei 2010 setelah istigosah diberi uang sebesar Rp. 50.000,- oleh terdakw 2 Raharjo, dalam amplop bergambar calon; - Bahwa uang sebesar Rp. 50.000,- adalah uang terdakwa 2 Raharjo karena saksi mengetahui terdakwa 2 Raharjo dikirimi oleh anaknya yang menjadi dokter di Kuwait; - Bahwa di rumah terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim tidak ada gambar calon; - Bahwa saksi memilih calon nomor 5 (Humas) bukan karena uang; - Bahwa saksi membenarkan ketika ditunjukan bukti berupa : 2 (dua) amplop bergambar Dr. Khusnul Khuluq Drs., MM dan H.M Musaffa S.Ag., SH., MM. 2 (dua) lembar uang kertas pecahan Rp. 50.000,(lima puluh ribu rupiah). Atas keterangan saksi, tanggapan para terdakwa : membenarkan. 6. Saksi Samikan (saksi a de charge) - Bahwa saksi kenal dengan para terdakwa; - Bahwa saksi ikut acara istigosah dirumah terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim;
96
- Bahwa yang memimpin istigosah adalah terdakwa adalah terdakwa 2 Raharjo lalu terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim berpidato, nanti akan ada Pilkada mudah-mudahan aman lalu terdakwa akan memimpin doa. Namun saat itu sdr. Suhartono yang kebetulan duduk ditengah luar rumah menanyakan pada terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim “Pak Kiyai besok enaknya pilih siapa” dan dijawab oleh terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim “Kalau tidak keberatan pilih Pak Khuluq”; - Bahwa setelah selesai acara istigosah saksi diberi amplop bergambar calon DR. Khusnul Khuluq Drs., MM dan H.M Musaffa S.Ag., SH MM. yang berisi uang sebesar Rp. 50.000,- oleh terdakwa 2 Raharjo; - Bahwa istri saksi juga ikut istigosah namun hanya mendapatkan satu amplop; - Bahwa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim adalah tokoh agama sedangkan terdakwa 2 Raharjo orang biasa saja; - Bahwa saksi memilih pasangan nomor 5 (Humas) karena pingin pemimpin yang jujur bukan karena uang; - Bahwa saksi membenarkan ketika ditunjukan bukti berupa : 2 (dua) amplop bergambar Dr. Khusnul Khuluq Drs., MM dan H.M Musaffa S.Ag., SH., MM. 2 (dua) lembar uang kertas pecahan Rp. 50.000,(lima puluh ribu rupiah). Tanggapan para terdakwa membenarkan atas keterangan saksi. 7. Saksi Saiful Kirom (saksi a de charge)
97
- Bahwa saksi kenal dengan terdakwa; - Bahwa saksi adalah Dewan Pengurus Kepala Cabang Partai Kebangkitan Nasional Ulama Kab. Gresik; - Bahwa susunan tim kampanye Khusnul Khuluq – Musaffa adalah mereka yang tercantum dalam Surat Keputusan Bersama antara lain Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Nasional Ulama tanggal 22 Febuari 2010; - Bahwa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim tidak termasuk dalam tim kampanye Humas. Tanggapan para terdakwa atas keterangan saksi : menyatakan tidak tahu. 8.
Saksi Nur Golib (saksi a de charge) - Bahwa saksi kenal dengan para terdakwa; - Bahwa saksi adalah Sekretaris Tim Kampanye Khusnul Khuluq – Musaffa (Humas) sebagaimana Surat Keputusan Bersama antara Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Nasional Ulama tanggal 22 Febuari 2010; - Bahwa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim tidak termasuk tim Kampanye. Tanggapan para terdakwa atas keterangan para saksi : menyatakan tidak tahu.
9.
Saksi Suhartono (saksi a de charge) - Bahwa saksi kenal dengan para terdakwa karena tetangga;
98
- Bahwa saksi ikut acara istigosah dirumah terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim, yang khususnya dilaksanakan hari Selasa namun karena hari tenang maka dimajukan menjadi hari Sabtu tanggal 22 Mei 2010; - Bahwa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim menyatakan kepada undangan yang hadir “kalau tidak keberatan tolong milih Pak Khuluq” dan terdakwa juga menyatakan mudah-mudahan pilkada aman; - Bahwa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim juga mengatakan nanti ada amplop dari terdakwa 2 Raharjo; - Bahwa saksi mengetahui sebelum acara pada pagi hari terdakwa 2 Raharjo menyerahkan uang kepada terdakwa 1. KH. Abdul Qohar Hasyim sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah); - Bahwa saksi melihat sendiri uang yang diserahkan adalah pecahan Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah); - Bahwa sebelum ditutup doa saksi menyanyakan kepada terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim “enaknya kita nanti milih siapa” dan di jawab “kalau tidak keberatan tolong pilih Pak Khuluq”; - Bahwa sebelumnya saksi tidak pernah melihat amplop yang bergambar calon nomor 5 (Dr. Khusnul Khuluq Drs., MM dan H.M Musaffa S.Ag., SH., MM.). Atas keterangan saksi para terdakwa membenarkannya. 10. Saksi Kamah (saksi a de charge)
99
- Bahwa saksi kenal dengan para terdakwa, karena tetangga; - Bahwa saksi ikut acara istigosah dirumah terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim, yang awalnya dipesan oleh bu Sulami; - Bahwa istigosah diadakan sabtu tanggal 22 Mei 2010; - Bahwa biasanya terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim sering memberi uang; - Bahwa namun waktu itu yang memberi uang adalah terdakwa 2 Raharjo; - Bahwa waktu ini sdr. Tono yang duduk dibelakang pintu menuju arah ruangan tengah menanyakan nanti enaknya pilih siapa dan dijawab terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim “tolong bantu Pak Khuluq”; - Bahwa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim tidak pernah menunjukan foto-foto calon; - Bahwa setelah selesai saksi terima amplop bergambar calon Dr. Khusnul Khuluq Drs., MM dan H.M Musaffa S.Ag., SH., MM. yang berisi uang sebesar Rp. 50.000,-; Atas keterangan saksi para terdakwa membenarkannya. B. Keterangan Terdakwa 1. KH. Abdul Qohar Hasyim - Bahwa saya mengerti diajukan ke persidangan ini berkaitan dengan adanya pembagian uang pada acara istigosah di rumah saya di Ds. Mojotengah Kecamatan Menganti Kab. Gresik;
100
- Bahwa istigosah tersebut dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 22 Mei tahun 2010 sekitar jam 16.00 wib yang dihadiri oleh sekitar 102 orang yang kebanyakan peserta istigosah ibu-ibu; - Bahwa di rumah saya memang rutin diadakan istigosah pada setiap hari senin malam selasa, namun ketika itu bertepatan dengan hari tenang masa kampanye menjelang Pemilukada Kab. Gresik, maka acara tersebut dimajukan hari sabtu; - Bahwa oleh karenanya saya menyuruh ibu Sulami mengundang warga fakir miskin untuk datang istigosah dirumah saya pada hari Sabtu tanggal 22 Mei 2010 jam 16.00; - Bahwa dalam acara istigosah tersebut yang memimpin istigosah adalah Raharjo sedangkan saya mimpin doa; - Bahwa sebelum doa saya bacakan saya sempat berpidato memberikan ceramah, semoga Pemilukada yang diselenggarakan di Kab. Gresik berjalan aman dan lancar, namun ditengah-tengah saya berpidato ada salah seorang peserta istigosah Suhartono menanyakan dalam Pemilukada besok sebaiknya memilih siapa, kemudian saya jawab “Kalau tidak keberatan tolong pilih pasangan nomor 5 Dr. Khusnul Khuluq, Drs., MM dan H.M Musaffa Noer S.Ag., SH., MM sambil menunjukan amplop warna putih yang bergambar foto pasangan calon nomor 5 tersebut kepada peserta istigosah nanti ketika akan pulang akan di kasih amplop Pak Raharjo;
101
- Bahwa setiap acara istigosah saya memang sering memberikan uang dari para dermawan untuk para peserta isitgosah, namun jumlahnya tidak pasti tergantung besarnya sumbangan dermawan tersebut, dan pada hari Sabtu tanggal 22 Mei 2010 tiap peserta istigosah mendapatkan uang Rp. 50.000,- dan uang tesebut berasal sumbangan dari Raharjo sebesr Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) yang berasal kiriman dari anaknya yang bekerja di luar negeri; - Bahwa awalanya tanggal 15 April 2010 terdakwa 2 Raharjo datang kerumah terdakwa yang menitipkan uang sebesr Rp. 5.000.000,(lima juta rupiah) dan bilang tolong uang dibagikan kepada fakir miskin; - Bahwa kemudian pada tanggal 18 April 2010 saya membutuhkan uang lalu uang tersebut saya pinjam dan pada tanggal 21 Mei 2010 saya sudah memperoleh uang tersebut lalu saya serahkan kepada Raharjo pada tanggal 22 Mei 2010 pagi dirumah saya, dan Raharjo menyerahkan kembali uang tersebut untuk dibagikan kepada fakir miskin; - Bahwa amplop warna putih bergambar foto pasangan nomr 5 saya peroleh pada pagi hari Jumat 21 Mei 2010 ketika saya datang ke kantor NU di Kec. Menganti saya menemukan amplop bergambar pasangan nomor 5 tersebut diatas meja kantor NU lalu saya bawa pulang dengan pikiran barangkali nanti saya butuhkan, daripada tidak terpakai di kantor NU dan saya juga minta ijin dari kantor;
102
- Bahwa pada pagi hari tanggal 22 Mei 2010 ketika Raharjo datang ke rumah saya, kemudian uang tersebut saya serahkan kepada terdakwa 2 Raharjo sambil berkata “ini kamu serahkan sendiri uangmu”, kemudian agar terlihat sopan Raharjo minta uang tersebut dimasukan amplop; - Bahwa selanjutnya kebetulan dirumah ada amplop, maka saya memasukkan uang pecahan lima puluh ribuan tersebut kedalam amplop yang bergambat calon nomor 5 (Dr. Khusnul Khuluq Drs., MM dan H.M Musaffa Noer S.Ag., SH., MM); - Bahwa benar sebelum istigosah dilaksanakan saya menyuruh terdakwa 2 Raharjo agar memimpin acara, setelah selesai terdakwa yang memimpin doa; - Bahwa sebelum acara pembacaan doa sdr. Suhartono yang duduk dibelakang pintu menanyakan “nanti pilih siapa” lalu dijawab terdakwa menjawab “pilih Pak Khuluq”; - Bahwa terdakwa memperoleh amplop calon pasangan nomor 5 (Dr. Khusnul Khuluq Drs., MM dan H.M Musaffa Noer S.Ag., SH., MM/Humas) dari kantor cabang NU Menganti pada tanggal 21 Mei 2010 pagi hari; - Bahwa amplop tersebut memang sudah tercetak ada gambar calon; - Bahwa terdakwa meminta amplop tersebut awalnya hanya disimpan, lalu saat acara istigosah terdakwa punya inisiatif untuk memasukkan
103
uang milik terdakwa 2 Raharjo yang akan dibagikan kedalam amplop tersebut; - Bahwa tidak ada ajaran dari NU untuk memasukkan uang kedalam amplop; - Bahwa terdakwa memasukkan uang kedalam amplop bergambar pasangan nomor 5 adalah dengan maksud agar jama’ah memilih Khuluq
karena
terdakwa
menyukai
Khuluq
yang
banyak
kebaikkannya antara lain tiap lebaran memberikan santunan; - Bahwa terdakwa 2 Raharjo setiap bulannya juga memberi santunan kepada fakir miskin, dan anak yatim piatu melalui terdakwa yang disalurkan melalui kegiatan keagamaan; - Bahwa yang mempunyai inisiatif mengundang warga adalah terdakwa sendiri; - Bahwa sdri. Salami adalah anggota istigosah yang secara keseluruhan berjumlah 95 orang, namun waktu itu yang datang 102 orang; - Bahwa terdakwa adalah sepupu NU; - Bahwa terdakwa membenarkan ketika ditunjukkan bukti berupa : 2 (dua) amplop bergambar Dr. Khusnul Khuluq Drs., MM. Dan H.M Musaffa Noer S.Ag., SH., MM, 2 (dua) lembar uang kertas pecahan Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah). 2. Raharjo
104
- Bahwa terdakwa yang memimpim acara istigosah dan doa dipimpin oleh terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim; - Bahwa istigosah tersebut dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 22 Mei 2010 sekitar jam 16.00 wib; - Bahwa sebenarnya acara istigosah tersebut diadakan secara rutin pada hari senin malam selasa, namun oleh karena pada hari tersebut bertepatan hari tenang maka saya usulkan pada KH. Abdul Qohar Hasyim untuk dimajukan; - Bahwa uang yang dibagikan kepada peserta istigosah adalah uang saya, berniat infak kepada fakir miskin dan uang tersebut berasal dari kiriman anak saya yang bekerja di luar negeri; - Bahwa awalnya tanggal 15 April 2010 saya datang kerumah terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim untuk menitipkan uang sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) agar bagikan kepada fakir miskin; - Bahwa pada Sabtu pagi tanggal 22 Mei 2010 saya datang kerumah KH. Abdul Qohar Hasyim selanjutnya oleh terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim uang yang dulu saya serahkan untuk dibagikan kepada fakir miskin diserahkan kembali kepada saya sambil mengatakan ini uangmu nanti serahkan/bagikan sendiri pada fakir miskin, agar terlihat sopan saya minta supaya dimasukkan dalam amplop, kemudian KH. Abdul Qohar Hasyim yang memasukkan
105
uang kedalam amplop bergambar pasangan calon nomor 5 (Dr. Khusnul Khuluq Drs., MM dan H.M Musaffa Noer S.Ag., SH., MM) - Bahwa terdakwa yang membagikan amplop bergambar calon nomor 5 berisi uang Rp. 50.000,- adalah terdakwa sendiri; - Bahwa terdakwa membenarkan ketika ditunjukkan bukti berupa : 2 (dua) amplop bergambar Dr. Khusnul Khuluq Drs., MM. Dan H.M Musaffa Noer S.Ag., SH., MM, 2 (dua) lembar uang kertas pecahan Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah). 4. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Menimbang,
bahwa
berdasarkan
keterangan
para
terdakwa,
keterangan saksi-saksi, barang bukti yang diajukan ke persidangan yang saling terkait dan bersesuaian sesuai fakta-fakta hukum yang ada, maka dipersidangan telah terungkap Menimbang, bahwa terdakwa didakwa dengan dakwaan dalam catatan dakwaan tunggal yaitu : “Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihanya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,(sepuluh juta rupiah) sebagaimana maksud dalam Pasal 117 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Menimbang, bahwa dalam dakwaan tunggal, terdakwa didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
106
Pasal 117 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dengan unsur-unsur sebagai berikut : a. Unsur setiap orang : bahwa yang dimaksud dengan unsur setiap orang disini adalah siapa saja, orang persorangan atau koperasi atau kumpulan orang baik maupun badan hukum maupun bukan badan hukum, sebagai subyek hukum selaku pendukung hak dan kewajiban yang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya didepan hukum. Sehingga terdakwa yang dihadapkan JPU yang mengaku atas nama terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim dan terdakwa 2 Raharjo mampu untuk mempertanggungjawabkan atas perbuatannya; b. Unsur dengan sengaja : bahwa yang dimaksud dengan unsur sengaja adalah pelaku ada niat, atau mengetahui, atau menyadari perbuatannya dan mengkehendaki atau mengetahui akibat yang timbul dari perbuatannya.
Menimbang,
bahwa
majelis
sependapat
dengan
pemahaman dari penasihat hukum terdakwa, bahwa kesengajaan itu menyangkut aspek batiniah/rohaniyah dari jiwa seseorang, namun demikian majelis berpendapat kesengajaan itu dapat terlihat dan terwujud atau dibuktikan dengan adanya perbuatan yang secara sadar dilakukan oleh pelaku serta mengetahui akibat yang terjadi. Jadi disini majelis tidak sependapat dengan penasihat hukum terdakwa, yang memahami bahwa kesengajaan yang tidak diperbolehkan adanya kesengajaan yang melanggar undang-undang. Kesengajaan yang dimaksud sesuai dengan fakta-fakta hukum, sebagai berikut :
107
- Keterangan terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim, bahwa istigosah yang sedianya rutin diadakan setiap hari senin malam selasa, karena pada hari senin malam selasa tersebut bertepatan dengan hari tenang masa kampanye pemilukada, maka acara tersebut dimajukan pada hari Sabtu tanggal 22 Mei 2010 jam 16.00 WIB. - Bahwa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim selanjutnya menyuruh Sulami untuk mengundang istigosah fakir miskin di rumahnya yang semula biasanya diadakan setiiap hari senin malam selasa dimajukan hari Sabtu 22 Mei 2010 pada jam 16.00 WIB. - Bahwa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim pada hari jumat 21 Mei 2010 mengambil amplop bergambar foto pasangan cabup cawabup nomor 5 di kantor MWC NU di Menganti. - Bahwa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim memasukan uang pecahan Rp. 50.000,- kedalam amplop bergambar pasangan cabup cawabup nomor 5. - Bahwa pada saat sebelum membacakan doa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim menunjukan amplop bergambar pasangan cabup cawabup nomor 5 kepada undangan istigosah. c.
Unsur Memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu. Menimbang, bahwa rumusan unsur frase “memberi atau menjanjikan” sifatnya alternative, artinya majelis boleh memilih salah
108
satu yang dianggap sesuai dengan fakta yang dipersidangan, maka oleh karenanya majelis akan langsung mempertimbangkan yang secara terungkap di persidangan yaitu unsur memberi. Menimbang, bahwa dari fakta yang terungkap berdasarkan keterangan saksi Sriamah, saksi Sekah, saksi Suhartono, Kayat, Samikan, Kamah (a de charge) mengatakan bahwa selesai acara istigosah semua undangan diberi amplop yang bergambar foto psangan cabup cawabup nomor 5 berisi uang Rp. 50.000,-. Dari uraian tersebut telah nyata perbuatan terdakwa memberi uang pecahan Rp. 50.000,- yang dimaksukkan dalam amplop bergambar foto pasangan cabup cawabup nomor 5 kepada para undangan pada Pemilukada tanggal 26 Mei 2010 memilih pasangan cabup cawabup seperti tersebut dalam ampop bergambar nomor 5 yang te;ah diambil terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim di Kantor MWC NU kecamatan Menganti pada hari Jumat tanggal 21 Mei 2010. d.
Unsur yang melakukan, menyuruh melakukan atau ikut melakukan : yang di maksud dengan unsur ini adalah berkaitan dengan peran pelaku yang dikenal dengan delik penyertaan yaitu dikualifikasikan sebagai
pelaku,
terhadap
orang
yang melakukan,
menyuruh
melakukan maupun terhadap orang yang ikut melakukan. Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi yang terungkap di persidangan dihubungkan dengan barang bukti yang diajukan ke persidangan, bahwa uang Rp. 50.000,- yang dimasukkan dalam amplop bergambar
109
pasangan cabup cawabup nomor 5 adalah terdakwa 2 Raharjo yang membagikan kepada para undangan istigosah dengan demikian terdakwa 2 Raharjo terbukti turut serta melakukan. Menimbang, bahwa untuk itu sebelum Hakim Majelis, menjatuhkan pidana terhadap para terdakwa, maka terlebih dahulu akan dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut : Hal-hal yang memberatkan : - Sebagai seorang tokoh agama/panutan umat tidak sepatutnya melakukan perbuatan tersebut. Hal-hal yang meringankan : - Para terdakwa bersikap sopan; - Para terdakwa mempunyai tanggungan keluarga; - Para terdakwa belum pernah dihukum. 5. Amar Putusan Pengadilan Negeri Mengadili : 1.
Menyatakan terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim dan terdakwa 2. Raharjo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana “dengan sengaja secara bersama-sama memberi uang kepada seseorang supaya memilih pasangan calon tertentu”;
2.
Menjatuhkan pidana terhadap para terdakwa tersebut diatas oleh karena itu dengan pidana penjara masing-masing selama 5 (lima) bulan dan denda masing-masing sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta
110
rupiah), bilamana denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan; 3.
Memerintahkan agar para terdakwa ditahan;
4.
Menetapkan barang bukti berupa : a. uang tunai berjumlah Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) terdiri dari 2 (dua) lembar uang kertas pecahan Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah). Dirampas untuk negara; b. 2 (dua) lembar amplop putih bergambar foto pasangan calon cabup cawabup nomor 5. Tetap telampir dalam berkas.
5.
Membebankan para terdakwa untuk membayar biaya perkara masing-masing sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah).
B. Pembahasaan 1. Batasan Tindak Pidana dalam Pemilukada Secara garis besar pelanggaran-pelanggaran dalam setiap tahapan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) pelanggaran, yaitu Pelanggaran administratif dan Pelanggaran pidana, dan Perselisihan hasil pemilihan umum. Meskipun dalam ketentuan UU No. 32 Tahun 2004, maupun dalam UU No. 12 Tahun 2008, Tentang Pemerintahan Daerah yang dijadikan dasar pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung, adakalanya pelanggaran yang terjadi merupakan pelanggaran administratif saja, tetapi ada juga pelanggaran
111
tersebut selain merupakan pelanggaran administratif, juga merupakan pelanggaran pidana. Yang dimaksud dengan pelanggaran pidana Pemilu dalam UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah sessungguhnya tidak berbeda dengan pengertian Tindak Pidana Pemilukada atau pelanggaran pidana Pemilu seperti diatur dalam beberapa undangundang Pemilu sebelumnya. Terkait pelanggaran pidana, UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah secara jelas mencantumkan sejumlah ketentuan pidana Pemilu dan menyertakan ancaman pidana saksi pidana yang pasti bagi pelakunya. Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam undang-undang itulah yang disebut dengan pelanggaran pidana Pemilu93. Untuk menyesuaikan dengan nomenklatur hukum pidana, istilah ‘Pelanggaran Pidana Pemilu’ sebaiknya diganti dengan istilah ‘Tindak Pidana Pemilu’. Penggantian istilah ini penting karena tindak pidana pemilu juga merupakan kejahatan yang harus dihukum berat karena menyangkut penggunaan hak pilih dan hak memilih warga negara, bukan sekadar pelanggaran yang berarti hanya menyimpang atau
menyalahi
ketentuan-ketentuan
peraturan
perundangan.
Dengan
demikian, tindak pidana berarti tindakan hukum yang melanggar ketentuanketentuan. Pelanggaran Pidana diproses dengan sistem Peradilan Pidana (Kepolisian, Penuntut Umum, Peradilan) sesuai dengan KUHAP, dengan
93
Topo Santoso, Penegakkan Hukum Pemilu Praktik pemilu 2004 Kajian pemilu 2004-2009, Jakarta, 2006, hal 83-84
112
diawali laporan masyarakat ataupun pasangan calon kepada panitia pengawas pemilihan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak laporan diterima. Terhadap pelanggaran administrasi Pemilu, UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah sama sekali tidak memberikan batasan yang jelas. Memang dikatakan bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran administrasi adalah pelanggaran terhadap ketentuan dan persyaratan menurut undang-undang. Namun pengertian itu masih sangat luas, sehingga Panwas Pemilu mendefinisikan pelanggaran administrasi adalah pelanggaran terhadap ketentuan persyaratan yang diatur undangundang dan ketentuan lain yang dibuat penyelenggara Pemilu 94. Pengertian sebetulnya hanya menegaskan bahwa pelanggaran diluar pelanggaran pidana adalah pelanggaran administrasi, sebab hanya pelanggaran dalam undangundang Pemilu dalam hal ini UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tindak pidana dalam Pemilukada yang dapat dikatakan Tindak Pidana Pemilukada, sementara pelanggaran atas keputusan KPU bukan tindak pidana. Begitu pula pelanggaran atas ketentuan dalam KUHP meskipun merupakan tindak pidana, tetapi tidak tergolong tindak pidana pemilu, karena pasal-pasal mengenai tindak pidana pada pemilihan umum yang ada dalam KUHP yang terdiri atas lima pasal sudah tercakup dalam UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahn Daerah yang merupakam ketentuan yang lebih khusus. Adapun tindak pidana seperti penganiayaan, perusakan,
94
Loc Cit
113
pembakaran, dan sebagainya meskipun tindak pidana, tetapi diatur dalam KUHP dan tidak bisa dikatakan sebagai Tindak Pidana Pemilu dalam hal ini Tindak Pidana Pemilukada. Perselisihan hasil pemilihan umum, adalah perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan jumlah perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Semula ditanggani oleh Mahkamah Agung diserahkan kepada MK. MK tidak hanya terpaku secara harifiah dalam memaknai Pasal 106 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 4 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 15 Tahun 2008, yang pada pokoknya menyatakan Mahkamah mengadili perkara Pemilukada terbatas hanya persoalan hasil perolehan suara. Secara definisi pengertian Tindak Pidana Pemilu sulit ditentukan. Sebagaimana yang berlaku bagi terminologi hukum, untuk Tindak Pidana Pemilu juga tidak ada satu rumusan pun yang dapat memberikan secara utuh definisi atau pengertian Tindak Pidana Pemilu, yang sekaligus dapat dijadikan pegangan baku atau standar bagi semua orang. Namun, demikian salah satu rumusan menjelaskem bahwa “setiap orang, badan hukum, ataupun organisasi
yang
dengan
sengaja
melanggar
hukum,
mengacaukan,
menghalang-halangi, atau mengganggu jalannya pemilihan umum yang diselenggarakan menurut undang-undang" merupakan perbuatan pidana pemilu95.
95
17.
Djoko Prakoso, Tindak Pidana Pemilihan Umum, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal
114
Yang
dimaksud
dengan
Tindak
Pidana
Pemilukada
adalah
serangkaian tindak pidana yang diatur secara khusus dalam perundangundangan yang mengatur tentang Pemilukada. Tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan Pemilukada tidak selalu berupa tindak pidana baru yang belum pernah diatur dalam perundang-undangan lain. Beberapa Tindak Pidana Pemilu merupakan tindak pidana yang sebelumnya sudah diatur dalam KUHP. Di luar tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan yang mengatur tentang Pemilukada masih terdapat berbagai tindak pidana yang dapat terjadi di dalam atau yang berhubungan dengan penyelenggaraan Pemilukada. Tindak pidana tersebut bisa dilakukan oleh masyarakat pada umumnya atau oleh peserta Pemilu atau oleh penyelenggara Pemilu. Secara umum, tindak pidana yang ada di dalam UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah untuk memberikan batasan mengenai Tindak Pidana Pemilukada. Pembahasan ini mengacu pada ketentuan sebagaimana disebut dalam UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah yang dapat dikelompokkan kedalam 3 kategori96 : 1. Tindak Pidana yang berkenaan dengan penetapan pemilih dan pemenuhan persyaratan peserta Pemilukada; 2. Tindak Pidana yang berkenaan dengan kampanye;
96
http://kpu.jabarprov.go.id.index.php/subMenu/informasi/berita/detailberita/64. diakses tanggal 3 April 2013
115
3. Tindak Pidana yang berkenaan dengan pemungutan suara dan hasil pemungutan suara. Adapun kategori Tindak Pidana Pemilukada yang terdapat dalam undang-undang tersebut, antara lain :
116
Sanksi/Pidana No. 1
Kategori
Pasal
Tindak Pidana yang berkenaan 115 ayat (1) dengan penetapan UU 12/2008 pemilih dan pemenuhan persyaratan peserta Pemilukada; 115 ayat (2) UU 12/2008
115 ayat (3) UU 12/2008
115 ayat (4) UU 12/2008
115 ayat (5) UU 12/2008
Perbuatan Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dan orang yang kehilangan hak pilihnya tersebut mengadukan Setiap orang dengan sengaja memalsukan surat yang menurut suatu aturan dalam undang-undang ini diperlukan untuk menjalankan suatu perbuatan dengan maksud untuk digunakan sendiri atau orang lain sebagai seolah-oleh surat sah atau dipalsukan Setiap orang yang dengan sengaja dan mengetahui bahwa suatu surat adalah tidak sah atau dipalsukan, menggunakannya, atau menyuruh orang lain menggunakannya sebagai surat sah Setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekuasaan yang ada padanya saat pendaftaran pemilih menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah menurut undang-undang ini
Penjara Min/Max
Denda Min/Max (Rp)
3bln-12bln
3.000.000-12.000.000
12bln-24bln
12.000.000-24.000.000
36bln-72bln
36.000.000-72.000.000
36bln-72bln
36.000.000-72.000.000
12bln-36bln
12.000.000-36.000.000
117
115 ayat (6) UU 12/2008
115 ayat (7) UU 12/2008
115 ayat (8) UU 12/2008
115 ayat (9) UU 12/2008
Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan palsu atau menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai surat yang sah tentang suatu hal yang diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi pasangan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau menggunakan identitas diri palsu untuk mendukung bakal pasangan calon perseorangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 Anggota PPS, anggota PPK, anggota KPU kabupaten/kota, dan anggota KPU provinsi yang dengan sengaja memalsukan daftar dukungan terhadap calon perseorangan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini Anggota PPS, anggota PPK, anggota KPU kabupaten/kota, dan anggota KPU provinsi yang dengan sengaja tidak melakukan verifikasi dan rekapitulasi terhadap calon perseorangan sebagaimana diatur dalam UU ini
36bln-72bln
36.000.000-72.000.000
12bln-36bln
12.000.000-36.000.000
36bln-72bln
36.000.000-72.000.000
36bln-72bln
36.000.000-72.000.000
118
2
Tindak Pidana yang berkenaan dengan kampanye
116 ayat (1) UU 32.2004
116 ayat (2) UU 32/2004
116 ayat (3) UU 32/2004
116 ayat (4) UU 32/2004
116 ayat (5) UU 32/2004
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kampanye di luar jadwal waktu yang telah ditetapkan oleh KPUD untuk masing-masing pasangan calon, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j dan Pasal 79 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) Setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan kepala desa yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 Setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya kampanye
Setiap orang yang memberi atau menerima 116 ayat (6) dana kampanye melebihi batas yang UU 32/2004 ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3)
15hr-3bln
100.000-1.000.000
3bln-18bln
600.000-6.000.000
1bln-6bln
100.000-1.000.000
1bln-6bln
600.000-6.000.000
1bln-6bln
4bln-24bln
600.000-6.000.000
200.000.000-1.000.000.000
119
116 ayat (7) UU 32/2004
116 ayat (8) UU 32/2004 3
Tindak Pidana yang berkenaan dengan pemungutan suara dan hasil pemungutan suara
117 ayat (1) UU 32/2004
117 ayat (2) UU 32/3004
117 ayat (3) UU 32/2004
Setiap orang yang dengan sengaja menerima atau memberi dana kampanye dari atau kepada pihak-pihak yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1), dan/atau tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan palsu dalam laporan dana kampanye sebagaimana diwajibkan oleh undang-undang ini Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan menghalang-halangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja mengaku dirinya sebagai orang lain untuk menggunakan hak pilih
4bln-24bln
200.000.000-1.000.000.000
2bln-12bln
1.000.000-10.000.000
2bln-12bln
1.000.000-10.000.000
2bln-12bln
1.000.000-10.000.000
15hr-60hr
100.000-1.000.000
120
Setiap orang yang pada waktu pemungutan 117 ayat (4) suara dengan sengaja memberikan suaranya UU 32/2004 lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS Setiap orang yang dengan 117 ayat (5) menggagalkan pemungutaan suara UU 32/2004
117 ayat (6) UU 32/2004
117 ayat (7) UU 32/2004
117 ayat (8) UU 32/2004
118 ayat (1) UU 32/2004
1bln-4bln
200.000-2.000.000
6bln-3thn
1.000.000-10.000.000
2bln-12bln
1.000.000-10.000.000
2bln-12bln
1.000.000-10.000.000
2bln-12bln
1.000.000-10.000.000
2bln-1thn
1.000.000-10.000.000
sengaja
Seorang majikan atau atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang pekerja untuk memberikan suaranya, kecuali dengan alasan bahwa pekerjaan tersebut tidak bisa ditinggalkan Setiap orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara mendampingi seorang pemilih selain yang diatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) Setiap orang yang bertugas membantu pemilih sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) dengan sengaja memberitahukan pilihan si pemilih kepada orang lain Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan pasangan calon tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suara suaranya berkurang
121
Setiap orang yang dengan sengaja merusak 118 ayat (2) atau atau menghilangkan hasil pemungutan UU 32/2004 suara yang sudah disegel Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan rusak atau hilangnya hasil 118 ayat (3) pemungutan suara yang sudah disegel UU 32/2004 Setiap orang yang dengan sengaja mengubah 118 ayat (4) hasil perhitungan suara dan/atau berita acara UU 32/2004 dan sertifikat hasil perhitungan suara
4bln-2thn
2.000.000-20.000.000
15hr-2bln
100.000-1.000.000
6bln-3thn
100.000.0001.000.000.000.000
122
Berkaitan dengan pembahasan di atas, dapat dijadikan sebagai pertimbangan hakim dalam menerapkan unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum mengenai Tindak Pidana Pemilukada. Dalam hal ini hakim sebelum menjatuhkan sanksi pidana maka hakim harus terlebih dahulu membuktikan unsur-unsur yang terpenuhi dalam Tindak Pidana Pemilukada maka dapat ditentukan yang menjadi batasan Tindak Pidana Pemilukada yang dilakukan oleh terdakwa dengan memeriksa alat bukti yang diajukan dalam persidangan. Hasil penelitian Tindak Pidana Pemilukada Secara Bersama-Sama dalam putusan perkara Nomor: 01/Pid.S/2010/PN.Gs, alat bukti yang diajukan dalam persidangan antara lain: Keterangan Saksi dan Keterangan Terdakwa. Hasil penelitian dalam putusan tersebut Terdakwa didakwa oleh JPU dan diputus oleh Hakim sesuai dengan dakwaan oleh JPU melakukan Tindak Pidana Pemilukada sesuai dengan tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 117 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang termasuk dalam kategori ke 3 (tiga) yaitu tindak pidana yang berkenaan dengan pemungutan suara dan hasil pemungutan yang memberikan uang kepada peserta istigosah untuk memilih pasangan nomor 5 (Humas) 2. Penerapan ketentuan Tindak Pidana Pemilukada berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Jo Undang-undang Nomor 12
123
Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah dan Kitab UndangUndang Hukum Pidana dalam Putusan Nomor 01/Pid.S/2010/PN.Gs Pemilihan umum merupakan wujud partisipasi politik rakyat dalam sebuah negara demokrasi, maka tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa kebersihan, kejujuran, dan keadilan pelaksanaan pemilihan umum akan mencerminkan kualitas demokrasi di negara yang bersangkutan. Indonesia yang merupakan negara demokrasi sudah seharusnya memiliki aturan hukum yang tegas berhubungan dengan perlindungan para pemilih, bagi setiap pihak yang mengadakan Pemilu maupun bagi rakyat umumnya dari segala ketakutan. Intimidasi, penyuapan, penipuan, dan praktik curang lainnya yang dapat mempengaruhi kemurnian hasil pemilihan umum. Guna melindungi kemurnian hasil pemilihan umum yang sangat penting bagi demokrasi maka para pembuat undang-undang telah menjadikan sejumlah perbuatan curang dalam pemilihan umum sebagai tindak pidana. Tindak Pidana Pemilu merupakan tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaran Pemilu yang di atur dalam Undang-undang Pemilu97. Sebenarnya ketentuan mengenai Tindak Pidana Pemilu sudah ada sejak awal kemerdekaan, yaitu di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UndangUndang Nomor 1 Tahun 1946) yang selanjutnya diatur pula dalam UndangUndang Pemilihan Umum. Tindak Pidana Pemilukada merupakan tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilukada yang di atur dalam UU No. 32 Tahun
97
Topo Santoso, Op.Cit. hal 5.
124
2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah. Terdapat 27 sanksi pidana dalam UU No. 32 Tahun 2004 pasal 115 sampai dengan pasal 119 dan terjadi penambahan 3 ayat dalam pasal 115 dalam UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yakni ayat 7, 8 dan 9, sementara di dalam KUHP terdapat 5 pasal sanksi pidana Pemilukada yaitu Pasal 148, 149, 150, dan 152. Beberapa jenis tindak pidana yang disinyalemen banyak terjadi antara lain adalah money politics (politik uang). Dalam Pasal 117 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 disebut sebagai tindakan memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih pasangan calon tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah. Pidananya adalah penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- dan paling banyak Rp. 10.000.000,-. Mestinya pidana yang diberikan bukan penjara, melainkan kurungan. Hal ini terkait sebutan dalam UU No. 32 Tahun 2004 bahwa Tindak Pidana Pemilu adalah pelanggaran. Sedangkan pembagian dalam KUHP sebagai induk dari peraturan pidana yang lain menyatakan bahwa tindak pidana yang termasuk kategori pelanggaran pidananya adalah kurungan. Sedangkan pidana penjara adalah untuk tindak pidana yang masuk dalam kategori kejahatan98.
98
Penanganan Pelanggaran Tindak Pidana Pemilu, diakses dari situs http://nurhidayatsardini.dagdigdug.com/2009/05/23/penanganan-pelanggaran-tindak-pidanapemilu/, tanggal 10 Juni 2013.
:
125
Dikhawatirkan hal inilah yang membuat UU No. 32 Tahun 2004 sebagai aturan normatif dari penyelenggaran Pemilukada menjadi fungsinya terhambat karena tidak bersinergi dengan KUHP sebagai induk dari peraturan pidana yang lainnya. Keadaan ini menimbulkan kesan bahwa pembuat undang-undang
Pemilukada
hendak
memberikan
aturan
yang
sulit
dioperasionalkan dalam pelaksanaan Pemilu ini. Mestinya ketentuan pidana dalam undang-undang Pemilu ini tetap mengacu pada KUHP sebagai ketentuan induk. Yakni membedakan antara kejahatan dan pelanggaran, serta memberikan jenis sanksi pidana yang berbeda pula dengan pidana penjara untuk kejahatan dan pidana kurungan untuk pelanggaran. Kondisi undangundang yang seperti ini akan menjadi persoalan saat terjadi hal-hal lain dalam proses Pemilu ini, misalnya percobaan, atau perbarengan, Dan lain-lain, karena tidak bisa serta merta mengacu pada KUHP. Inilah masalah yuridis dalam bentuk tindak pidana yang ada dalam UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 115 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah diatur tentang setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp. 12.000.000,- dan paling banyak Rp. 24.000.000,-. Ini adalah masalah yang paling banyak terjadi dalam pelaksanaan pemilu kali ini. Namun ada permasalahan dalam rumusan ketentuan tersebut, yakni tidak diaturnya bila yang menyebabkan kehilangan
126
hak pilih masyarakat adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri. Tentu ini menjadi masalah yuridis di mana tidak ada pertanggungjawaban terhadap KPU bila ternyata terbukti KPU yang menyebabkan masyarakat kehilangan hak pilihnya. Kedua pasal tersebut saja banyak menunjukan bahwa UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 ini banyak mengandung kelemahan. Jadi, dalam kebijakan hukum pidana yang akan ditegakkan nantinya jelas akan menimbulkan kesimpangsiuran, atau bahkan tidak efisien dalam aturan yang sudah ada. Sebab itulah penting untuk mereformulasi undang-undang Pemilukada ini agar lebih baik dan kebijakan hukum pidana dapat efektif sehingga pelaksanaan Pemilu ke depan akan lebih baik. Berdasarkan hasil penelitian terhadap putusan Hakim Pengadilan Negeri Gresik yang memeriksa, mengadili, dan memutuskan terhadap perkara Nomor: 01/Pid.S/2010/PN.Gs, dalam putusannya menyatakan bahwa tindak pidana yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum telah terbukti sebagai suatu perbuatan
yang
merupakan
Tindak
Pidana
Pemilukada
2010-2015
sebagaimana catatan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 117 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintaha Daerah Jo UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang perumusannya sebagai berikut : Pasal 117 yang merumuskan : “Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihanya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).”
127
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang merumuskan : “Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.” Berdasarkan rumusan pasal tersebut di atas, dapat ditarik unsurunsur yang ada dalam pasal tersebut antara lain: 1) Unsur Setiap orang Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan unsur setiap orang disini adalah siapa saja, orang perorangan atau koorporasi atau kumpulan orang baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum, sebagai subyek hukum selaku pendukung hak dan kewajiban yang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya didepan hukum. Dalam perkara ini Jaksa Penuntut Umum telah menghadapkan para terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim dan terdakwa 2 Raharjo yang termasuk sebagai orang perorangan, selaku subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban dan selama proses persidangan majelis tidak menemukan adanya alasan pemaaf maupun alasan pembenar yang dapat menghapus kesalahan terdakwa sehingga terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim dan terdakwa 2 Raharjo mampu untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. 2) Unsur Dengan sengaja Bahwa dari hasil penelitian yang dimaksud unsur dengan sengaja adalah bahwa pelaku ada niat, atau mengetahui, atau menyadari perbuatannya dan menghendaki atau mengetahui akibat yang akan timbul dari perbuatannya.
128
Dalam doktrin ilmu hukum pidana dikenal ada 3 gradasi berkaitan dengan teori kesengajaan, yaitu99 : a. Kesengajaan sebagai maksud (oogmerek) artinya terjadinya suatu tindakan atau akibat tertentu adalah betul-betul sebagai perwujudan dari maksud atau tujuan dan pengetahuan dari pelaku; b. Kesengajaan sebagai kesadaraan (oopzet bij zekerheids) artinya seberapa jauh pengetahuan atau kesadaran pelaku tentang tindakan dan akibat terlarang yang mungkin akan terjadi; c. Kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus evebtualis) artinya sejauh mana pengetahuan atau kesadaraan pelaku tentang tindakan dan akibat terlarang yang mungkin akan terjadi. Maka dalam perkara a quo dikaitkan dengan teori kesengajaan tersebut diatas, maka tepat bila dikatakan kesengajaan yang telah dilakukan oleh para terdakwa berada pada gradasi yang pertama, yaitu kategori kesengajaan sebagai maksud, karena dari awal para terdakwa telah menyadari/mengetahui atau perbuatannya yaitu dengan sengaja memajukan pertemuan istigosah yang semula dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 22 Mei 2010, karena pada hari senin malam sudah memasuki hari tenang Pemilukada yang melarang untuk melakukan kampanye, maka benar majelis menilai sesungguhnya yang terjadi pada hari Sabtu tanggal 22 mei 2010 adalah kegiatan kampanye yang dibungkus/dibingkai dengan kegiatan istigosah. Karena tidak ada larangan menurut ketentuan peraturan perundang-
99
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit. hal 61-65.
129
undangan untuk membatasi kegiatan keagamaan seperti istigosah. Namun esensi disini pertemuan pada tanggal 22 Mei 2010 bukan pertemuan dilarang tapi pembagian/pemberian uang kepada para undangan untuk mempengaruhi seseorang agar memilih pasangan tertentu dilarang. Maka benar dalam perkara a quo ini dikaitkan dengan Pasal 117 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 3) Unsur “Memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak mnggunakan hak pilihnya atau memilih pasangan calon tertentu, atau menngunakan hak pilihnya dengan cara tertentu Berdasarkan hasil penelitian dalam perkara ini rumusan frase “memberi atau menjanjikan” sifatnya adalah alternative, artinya majelis boleh memilih salah satu yang dianggap sesuai dengan fakta di persidangan, maka oleh karenanya majelis akan langsung mempertimbangkan yang secara fakta terungkap di persidangan yaitu unsur “memberi”. Dalam perkara bahwa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim menyuruh ibu Sulami untuk mengundang fakir miskin untuk datang ke istigosah di rumahnya pada hari Sabtu 22 Mei 2010 jam 16.00 WIB. Disamping acara istigosah yang dipimpin terdakwa 2 Raharjo, sebelum doa dibacakan dan ada ceramah oleh terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim intinya mengharap para undangan yang hadir dalam Pemilukada memilih cabup dan cawabup nomor 5 sambil menunjukan amplop bergambar foto pasangan cabup cawabup nomor 5 yang telah diambil terdakwa 1 KH. Abdul
130
Qohar Hasyim di kantor MWC NU kecamatan Menganti pada hari Jumat tanggal 22 Mei 2010 yang telah berisi uang Rp. 50.000,- yang akan diberi terdakwa 2 Raharjo. 4) Unsur “Yang melakukan, menyuruh melakukan, atau ikut melakukan”. Unsur ini pada dasarnya merupakan delik penyertaan sehingga mensyaratkan adanya 2 pelaku atau lebih, setiap pelaku mempunyai peranan dapat sebagai pelaku, yang menyuruh melakukan atau turut serta melakukan perbuatan pidana itu, dimana terdapat kerjasama secara langsung untuk mewujudkan perbuatan pidana tertentu . Berdasarkan
hasil
penelitian
pada
perkara
Nomor
01/Pid.S/2010/PN.Gs maka diperoleh bahwa adanya pernyataan keterangan para saksi maupun keterangan para terdakwa dipersidangan dihubungkan dengan barang bukti, bahwa uang Rp. 50.000,- yang dimasukkan dalam amplop bergambar pasangan cabup cawabup nomor 5 adalah terdakwa 2 Raharjo yang membagikan kepada para undangan istigosah. Dengan demikian terdakwa 2 Raharjo terbukti turut serta melakukan. Menurut Pompe “turut mengerjakan terjadinya sesuatu tindak pidana” itu ada tiga kemungkinan100 : a. Mereka masing-masing memenuhi semua unsur dalam rumusan delik;
100
Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Hukum Pidana. Fakultas Hukum UNSOED, Purwokerto, 1993, hal 33.
131
b. Salah seorang memenuhi semua unsur delik, sedang yang lain tidak; c. Tidak seorang pun memenuhi unsur-unsur delik seluruhnya, tetapi mereka bersama-sama mewujudkan delik itu. Hasil penelitian Putusan Perkara Nomor: 01/Pid.S/2010/PN.Gs, diperoleh identitas dari terdakwa 1 adalah : KH. Abdul Qohar Hasyim; tempat lahir : Gresik; umur : 68 tahun; tempat tinggal : Gresik dan terdakwa 2 adalah : Raharjo; tempat lahir : Gresik; umur : 62 tahun; tempat tinggal : Gresik. Bahwa berdasarkan hasil penelitian terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim bukan merupakan tim kampanye Khusnul Khuluq–Musaffa (Humas) sebagaimana Surat Keputusan Bersama antara Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Nasinal Ulama tanggal 22 Febuari 2010. Jadi dalam hal ini terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim tidak dapat dikenakan Pasal 82 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 64 PP No. 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tapi termasuk dalam Pasal 117 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah karena ada unsur “setiap orang” bukan pasangan calon dan/atau tim kampanye Khusnul Khuluq-Musaffa (Humas) yang menunjukan bahwa secara esensial telah terjadi pelanggaran tindak
pidana
yang
berarti
mengurangi
elemen
sistem
hukum
Kepemilukadaan oleh majelis telah dinyatakan terbukti dan dihubungan dengan barang bukti yang cukup diajukan ke persidangan, majelis telah
132
memperoleh keyakinan bahwa para terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana money politic atau politik uang. Secara hukum berarti mengurangi keabsahan dan terdapat cacat hukum dalam Pemilukada di Gresik. Dengan terbuktinya ada unsur delik pidana yang mencerminkan sikap tidak terpuji dalam Pemilukada, berarti telah juga mencederai atau menodai demokrasi. Tindak pidana money politic itu sendiri juga merupakan tindak pidana jenis pelanggaran terhadap undang-undang yang telah disusun oleh KPU. Dan tindak pidananya merupakan delik aduan. Karena money politic adalah delik aduan maka pelanggaran tersebut hanya bisa ditindak lanjuti apabila ada pihak yang dirugikan. Maka berdasarkan asas hukum Lex Specialis De rogat Lex Generalis, artinya bahwa peraturan khusus dapat mengenyampingkan peraturan umum dan juga atas pertimbangan tujuan lahirnya undang-undang yang baru (undang-undang Pemilu) dalam hal ini UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tindak pidana money politic, jadi yang akan diterapkan adalah UU Pemilukada, bukan KUHP.101 Baik secara konseptual-teoritis maupun secara yuridis formal peraturan perundang-undangan Indonesia tidak pernah memberikan definisi atau pengertian tentang apa yang dikatakan dengan istilah politik uang atau money politc.
Namun
demikian, berdasarkan unsur-unsurnya dapat
ditunjukkan ketentuan pasal-pasal yang dianggap memuat rumusan tindak pidana politik uang. Secara singkat, dapat disimpulkan bahwa politik uang adalah suatu tindakan untuk mempengaruhi pemilih dengan janji pemberian
101
Sintong Silaban, Op.Cit. hal 57.
133
uang dan materi lainnya agar orang memilih kandidat tertentu. Disini perlu juga dibedakan antara uang politik atau ongkos politik dengan politik uang. Uang politik adalah sejumlah uang yang disepakti secara bersama dan terbuka antara aktor-aktor yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilukada yang diperlukan secara wajar untuk mendukung operasionalisasi aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh peserta Pemilukada. Besarnya ditetapkan oleh undangundang dan Peraturan Pemerintah. Contohnya, biaya administrasi pendaftaran pasangan kandidat, pembelian spanduk dan stiker, dan lain sebagainnya. Sementara itu, politik uang adalah uang yang ditunjukkan dengan maksudmaksud tertentu seperti contohnya untuk melindungi kepentingan bisnis dan kepentingan politik tertentu. Politik uang juga bisa terjadi ketika pihak penyandang
dana
berkepentingan
terhadap
kandidat
tertentu
untuk
memuluskan baik kepentingan bisnis maupun politik tertentu dilakukan dengan berbagai bentuk, yaitu pembagian uang, kaos, sarung, beras, baju koko, dan jilbab. Dalam pidana umum tindak pidana politik uang dapat dikelompokkan ke dalam tindakan penyuapan. Bagi masyarakat umum, Pemilukada langsung sering juga ditafsirkan sebagai kesempatan bagi-bagi uang. Mereka tahu bahwa tiap-tiap kandidat menyediakan anggaran yang cukup besar untuk memenangkan kompetisi102. Itulah fenomena money politics dalam pemilukada yang di tengah 102
Amirudin dan Zaini Bisri, Pilkada Langsung Problem dan Prospek, Penerbit Pustaka Pelajar, 1 Januari 2006 , hal 1. Bahwa tiap-tiap kandidat menyediakan anggaran yang cukup besar, anggaran itu biasanya untuk pos-pos pengeluaran utama berupa pemeliharaan jaringan pendukung dari tim sukses samapi ketingkat kordinator lapangan di desa-desa, biaya untuk kampanye, biaya lobi dan promosi, biaya untuk konsumsi. Dengan rata-rata anggaran kandidat yang cukup besar, wajar apabila rakyat berharap dapat ikut merasakan kecipratan uang itu.
134
kegamangan ”lompatan demokrasi” tersebut lahirnya cendrung ditoleransi keberadaannya. Dengan alasan, kedua belah pihak baik kandidat maupun rakyat sama-sama membutuhkannya. Sepanjang tidak ada unsur pemaksaan dan intimidasi atau bentuk-bentuk kekerasan politik lainnya, praktek politik uang semacam itu biasanya sulit untuk ditindak atau dikenai hukuman, kecuali yang tertangkap basah. Dalam praktek politik uang dikenal beberapa tahapan dana yang dibutuhkan dimulai dari uang perkenalan, uang pangkal, uang untuk fraksi hingga uang yang ditujukan untuk membeli suara orang per orang103. Dalam proses pelaporan adanya pelanggaran Pemilu ke Panwas, majelis juga mempertimbangan formalitas yang berkaitan dengan pelaporan adanya pelanggaran Pemilu kepada Panwas. Sesuai ketentuan Pasal 110 ayat (3) PP No. 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, bahwa pelaporan tersebut sesuai dengan ayat (2), disampaikan kepada Panwas pemlihan sesuai wilayah kerja selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak terjadinya pelanggaran. Selanjutnya dalam Pasal 111 ayat (1, 2, 3) menyebutkan Panwas mengkaji setiap laporan pelanggaran yang diterima untuk menindak lanjuti atau tindak menindak lanjuti laporan, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah laporan diterima dalam hal Panwas memerlukan keterangan tambahan dari pelapor untuk mlengkapi laporan putusan sebagaimana dimaksud ayat (2) Pasal 111 PP No. 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan 103
Amzulian Rifai, Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Daerah, Cetakan I, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hal 62.
135
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari setelah laporan diterima. Bahwa berdasrkan Kajian Laporan (Model A-3 KWK) Nomor: 82/Panwaslukada-Grs/V/2010, bahwa laporan tersebut diterima oleh Panwas Pemilukada Kabupaten Gresik pada tanggal 25 Mei 2010 dan berdasarkan surat Panwas Pemilukada Kabupaten Gresik kepada Kapolres Gresik Nomor 83/Panwaslukada-Grs/VI/2010 perihal penerusan laporan pelanggaran pidana Pemilu tertanggal 3 Juni 2010, maka dalam hal ini penyidik kepolisian (Gakkumdu-Polres) masih dalam batas waktu yang diberikan oleh undangundang. Sehingga secara formal catatan dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum dapat diterima. Dengan batasan waktu yang terbatas untuk menindaklanjuti adanya dugaan pelanggaran dalam Pemilukada mengakibatkan setiap Tindak Pidana Pemilu yang baru diketahui setelah lewat dari jangka waktu yang telah ditentukan sehingga pelakunya dapat terbebas dari pertanggungjawaban pidana. Hal tersebut tentu saja menimbulkan perasaan tidak adil bagi korban khususnya dan masyarakat umumnya karena sangat mungkin suatu temuan tentang adanya Tindak Pidana Pemilu baru ditemukan setelah batas waktu pelaporan yang ditentukan peraturan Pemilu. Maka dari itu perlu adanya kerjasama antara Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan untuk membuat Kesepahaman Bersama dan membentuk Sentra Penegakkan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu). Maksud dibuatnya Kesepahaman Bersama ini adalah menyamakan pemahaman dan pola
136
penanganan perkara Tindak Pidana Pemilu oleh Sentra Gakkumdu. Adanya Sentra Gakkumdu memungkinkan pemeriksaan perkara pendahuluan melalui gelar perkara bertujuan untuk saling berkoordinasi melakukan penangganan Tindak Pidana Pemilu mulai adanya tahap laporan hingga adanya putusan pengadilan yang mepunyai kekuatan hukum tetap. Dalam konteks pengaturan tindak pidana, sesungguhnya UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah merupakan undang-undang khusus (lex specialis) karena mengatur Tindak Pidana Pemilukada. Artinya dengan menggunakan ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah sudah bisa menjerat banyak tindak pidana yang terjadi dengan upaya pidana (penal). Meskipun dalam UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah tidak mencantumkan tentang tujuan dan pedoman pemidanaan untuk Tindak Pidana Pemilukada ini, tapi undangundang ini tetap diharapkan bisa berfungsi sebegaimana mestinya, yakni memberikan keadilan pada masyarakat. Pentingnya tujuan dan pedoman pemidanaan ini, menurut Prof. Barda Nawawi Arief yakni sebagai pemberi arah agar digunakannya sarana penal ini dapat bermanfaat dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, serta memberikan landasan filosofis mengapa dan bagaimana pidana itu diberikan. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, delik-delik KUHP diadopsi ke dalam batang
137
tubuh, dengan cara menuliskan dengan cara menyebutkan unsur-unsur Tindak Pidana Pemilunya. Dalam Pasal 115, 116, 117, dan Pasal 118 UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah rumusannya diubah, sehingga tidak lagi mengacu pada Pasal 148, 149. 150, 151, dan 152 KUHP, akan tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masingmasing pasal KUHP seperti “Merintangi seseorang memakai hak pilihnya dengan kekerasaan atau ancaman kekerasan” yang dinyatakan dalam Pasl 148 KUHP, juga diadopsi dalam Pasal 117 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan tersebut selain memudahkan pemahaman terhadap materi muatan yang dikandungnya juga memberikan penjelasan terhadap obyek atau lingkup yang diaturnya. Mencermati kembali penerapan ketentuan unsr-unsur tindak pidana pemilu dalam UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah dan KUHP yang sudah di jelaskan di atas bahwa dalam UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 tidak sama dengan kebijakan perumusan dalam KUHP karena ternyata rumusan tindak pidana mengalami perluasan bukan saja pada setiap orang, tetapi juga ada beberapa kategori subyek, seperti peserta Pemilu, Penyelenggara Pemilu, Pejabat negara, Pemerintah, dan Peradilan, serta lain sebagainya. Demikian juga dengan ancaman sanksi pidana, rumusannya cenderung menggunakan sistem kumulatif, yakni antara pidana penjara dan pidana denda yang rentat perbedaan sanksi minimal dan sanksi maksimal cukup tinggi. Hal ini dapat
138
dilihat dengan ciri-ciri menggunakan kata-kata “dan” dalam sanksi pemidanannya. Sementara kebijakan pola perumusan sanksi pidana dalam KUHP sebagai induk dari peraturan pidana lain yang termasuk kategori pelanggaran pidananya adalah kurungan sedangkan pidana penjara adalah untuk tindak pidana yang masuk dalam kategori kejahatan. Dalam Pasal 148, 150, 151, dan 152 menganut sistem pidana tunggal, sedangkan Pasal 149 menganut sistem pidana alternatif. Dalam hal ini, berdasarkan asas Lex Spesialis derograt Legi Generalis maka dalam dakwaan Pemilu ketentuan ketentuan yang digunakan adalah hanya ketentuan di dalam UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah dan yang dilakukan Majelis Hakim dengan konsisten menggunakan UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintah Daerah sebagai dakwaan Pemilukada sudah tepat. Majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara Tindak Pidana Pemilukada,
unsur-unsur
Tindak
Pidana
Pemilukada
yang
menjadi
pertimbangan Majelis Hakim berdasarkan Pasal 117 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP terpenuhi pembuktiannya secara keseluruhan berdasarkan saksi-saksi dan alat bukti yang sah. Sehingga sanksi Tindak Pidana Pemilukada yang di tuntut Jaksa Penuntut Umum pada perkara tersebut dapat diterapkan yang membuktikan secara sah dan meyakinkan para terdakwa terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana “dengan sengaja secara bersama-sama memberi uang kepada seseorang supaya memilih pasangan calon tertentu”.
139
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bab sebelumnya, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Tindak Pidana Pemilukada dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah sudah dibatasi menjadi 3 kategori, yaitu : 1) Tindak Pidana yang berkenaan dengan penetapan pemilih dan pemenuhan persyaratan peserta Pemilukada, yang diatur dalam Pasal 115; 2) Tindak Pidana yang berkenaan dengan kampanye, yang diatur dalam Pasal 116; 3) Tindak Pidana yang berkenaan dengan pemungutan suara dan hasil pemungutan suara, yang diatur dalam Pasal 117 dan Pasal 118. 2. Penerapan ketentuan Tindak Pidana Pemilukada berdasarkan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 Jo Undang-undang Nmor. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana para terdakwa, yaitu terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim dan terdakwa 2 Raharjo terbukti bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja secara bersama-sama memberi uang kepada seseorang supaya memilih pasangan calon tertentu”. Bahwa berdasarkan hasil penelitian perkara
140
Nomor 01/Pid.S/2010/PN.Gs, para terdakwa dalam putusan dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana telah terbukti dan termasuk ke dalam kategori Tindak Pidana Pemilukada yang berkenaan dengan pemungutan suara dan hasil pemungutan suara sesuai yang didakwa Jaksa Penuntut Umum telah terpenuhi dan terbukti secara sah dan meyakinkan dalam pemeriksaan di persidangan. Dalam konteks pengaturan tindak pidana, sesungguhnya UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah merupakan undangundang khusus (lex specialis) karena mengatur tindak pidana. Artinya dengan menggunakan ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah sudah bisa menjerat banyak tindak pidana yang terjadi dengan upaya pidana (penal) dengan mengedepankan dengan membuat Kesepahaman Bersama antara Sentra Gakkumdu karena terbatasnya waktu untuk menanggani pelanggaran pemilukada. B. Saran Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis dapat diberikan saran sebagai berikut : 1. DPR sebagai lembaga legislatif pembuat undang-undang perlu membentuk undang-undang yang baru tentang Pemerintah Daerah khususnya masalah ketentuan pelanggaran Tindak Pidana Pemilukada berdasarkan kasuskasus dan pelanggaran yang ada di masyarakat yang semakin meluas karena UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang
141
Pemerintahan Daerah sudah tidak relevan. Hal yang perlu dikaji untuk memberikan batasan tindak pidana dalam Pemilukada adalah sistematika dan kategorisasi yang cukup jelas dan lengkap baik masalah tujuan filosofis dari tindak pidana, unsur-unsur perbuatan pidana Pemilukada, pembagian subyek hukum, jenis tindak pidana, jenis sanksi ancaman pidana, dan lain sebagainya. Sehingga pembuat undang-undang dapat membatasi tindak pidana dalam Pemilukada yang jelas dan lengkap yang dapat mengikuti dan menjangkau pelanggaran pidana Pemilukada yang berkembang di masyarakat dan kepada Pemerintah pusat juga segera melaksanakan pemilihan serentak, baik ditingkat provinsin maupun kabupaten/kota.
Ini
dilakukan
untuk
menghemat
anggaran
yang
dibutuhkan agar terhindar dari perbuatan money politic daripada mengembalikan sistem Pemilukada kepada DPRD yang hanya menciderai demokrasi Indonesian bukan mengurangi money politic. 2. Perlunya DPR sebagai lembaga legislatif mengkaji ulang PP No. 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terkait Pasal 111 ayat (1, 2, 3) dan dilanjutkan dengan pembentukan PP yang baru mengenai batas waktu untuk menindaklanjuti laporan adanya pelanggaran. Perlunya penambahan waktu dalam hal menanggani pelanggaran-pelanggaran Tindak Pidana Pemilukada bagi Panwaslu tidak lagi menjadi 7 hari, agar setiap laporan adanya dugaan pelanggaran pidana Pemilukada yang dapat dikaji lebih mendalam dan dapat diteruskan pada sistem peradilan (Kepolisian,
142
Kejaksaan, Peradilan) sehingga setiap pelanggaran yang mengandung unsur pidana pemilukada dapat dijerat sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku serta perlu meningkatkan kinerja Sentra Gakkumdu agar lebih meningkatkan koordinasi dan kerjasama melakukan penangganan Tindak Pidana Pemilukada mulai adanya tahap laporan hingga adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
143
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Arbas, Cakra. 2012. Cetakan I. Jalan Terjal Calon Independen Pada Pemilukada di Provinsi Aceh. Medan: PT Gramedia;
Arief, Barda Nawawi. 1993. Sari Kuliah Hukum Pidana. Purwokerto: Fakultas Hukum UNSOED;
Asshiddieqie, Jimly. 2011. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Sinar Grafika; ________________. 2012. Penghantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajagrafindo Persada; Bisri, Zaini dan Amiriudin. 2006. Pilkada Langsung Problem dan Prospek, Penerbit Pustaka Pelajar. Budiardjo, Miriam. 2010. Cetakan II. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Ikrar Mandiri Abadi; Farid, Zainal Abidin. 2007. Cetakan II. Hukum Pidana I. Jakarta: Sinar Grafika. Gaffar, Janedjri M. 2012. Cetakan I. Politik Hukum Pemilu. Jakarta: Konstitusi Press (Konpress); Handoyo, B. Hestu Cipto. 2003. Cetakan I. Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Universitas Atmajaya; Huda, Ni’matul. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada; Ibrahim, Johny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayu Media; Joeniarto. 1984. Cetakan III. Demokrasi Dan Sistem Pemerintahan Negara. Jakarta: Bina; Lamintang, PAF. 1987. Cetakan I. Delik-Delik Khusus: Kejahatan-Kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara. Bandung: Sinar Baru;
144
______________. 1990. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru; _____________. 1997. Cetakan III Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti; Maramis, Frans. 2012. Cetakan I. Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada; Marzuki, Peter Mahmud. 2009. Cetakan V. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana; MD, Moh. Mafud. 1999. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gama Media; ______________. 2003. Cetakan II. Demokrasi Dan Konstitusi Indonesia. Jakarta: Rineke Cipta; Moch Najih, Usaf dan Togat, 2004. Penghantar Hukum Pidana. Malang: UMM Press, Malang; Moeljatno. 1984. Cetakan II. Azas-Azas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara; Prakoso, Djoko. 1987. Cetakan I. Tindak Pidana Pemilu. Jakarta: CV. Rajawali; Prihatmoko, Joko J. 2008. Cetakan I. Mendemokratiskan Pemilu Dari Sistem Sampai Elemen Teknis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; Prodjodikoro, Wirjono. 2002. Cetakan VII. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama; ___________________. 2003. Cetakan I. Tindak –Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama; Rifai, Amzulian. 2003. Cetakan I. Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Daerah. Jakarta: Ghalia Indonesia; Santoso, Topo. 2000. Membumikan Hukum Pidana Islam : Penegakan syariat Dalam Wacana dan Agenda, Asy Syamil. Jakarta: Gema Insani;
_____________. 2006. Cetakan I. Tindak Pidana Pemilu. Jakarta: Sinar Grafika; Sidik, Muh. Nur. Jurnal Ilmiah Hukum Legality, Vol 13 Nomor 2, Fakultas Hukum UMM;
145
Silaban, Sintong. 1992. Tindak Pidana Pemilu Suatu Tinjauan Dalam Rangka Mewujudkan Pelaksanaan Pemilu Yang Jujur Dan Adil. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan; Soehino. 2005. Cetakan VII. Ilmu Negara. Yogyakarta. Liberty; ______. 2010. Hukum Ttata Negara Perkembangan Sistem Demokrasi di Indonesia. Yogyakarta: BPFE; Soedarto. 2001. Penghantar Kuliah Hukum Pidana Jilid IA-IB. Purwokerto: Fakultas Hukum UNSOED; Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji. 1990. Peneltian Hukum Normatif (suatu Kajian Singkat). Jakrta: Rajawali; Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia; Sugandhi, R. 1980. KUHP dan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional; Suharizal. 2011. Pemilukada: Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada; Sukarna. 1981. Sistem Politik. Bandung: Alumi; Surbakti, Ramlan. 2005. Dalam Titik Triwulan Tutik Pemilihan Kepala Daera Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2994 Dalam Sistem Pemilu UUD 1945. Jakarta: Prestasi Pustaka Pelajar. B. Peraturan Perundang-Undangan -
Undang-Undang
Amandemen IV Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konsitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) sebagaimana telah berubah berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 066/PUU-II/2004 tanggal 12 April 2005;
146
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437); Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaran Pemilihan Umum (PEMILU) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 59, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4721); Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Rpublik Indonesia 4227). - Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4480); Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas PP Nomor 6 Tahun 2005. C. Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi No.5/PUU-V/2007 tanggal 23 Juli 2007; Putusan Pengadilan Negeri Gresik Nomor Perkara 01/Pid.S./2010/PN.Gs. Putusan Nomor 072-073/PUU-II/2004 Tentang Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan DPR, KPU, Saksi Ahli dari Pemohon Perkara 072/PUU-II/2004 Perkara 073/PUU-II/2004 Pengujian UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Terhadap UUD NKRI Tahun 1945 D. Bahan Lain http://kpu.jabarprov.go.id.index.php/subMenu/informasi/berita/detailberita/64. diakses tanggal 3 April 2013 Wahyu, Bambang. 1991. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafik;
147
Penanganan Pelanggaran Tindak Pidana Pemilu, diakses dari situs http://nurhidayatsardini.dagdigdug.com/2009/05/23/penangananpelanggaran-tindak-pidana-pemilu/, tanggal 10 Juni 2013;
:
Syahuri, Taufiqurahman. “Anatomi Putusan MK RI tentang Pemilukada”. Seminar Putusan MK Pengujian UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Berita Mahkamah Konstitusi, edisi khusus, 2004; M, I.B.G Suryatmaja. “Pemilihan Kepala Daerah Langsung”. Artikel dalam Rountable D J Notulensi, “Pemilukada: Kini dan Masa Mendatang”, Kesimpulan pada Seminar Evaluasi Pemilihan Umum Kepala Daerah, Kepaniteraan Sekretariat Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2012.