Peta Pemikiran Fiqh di Kalangan Pesantren
PETA PEMIKIRAN FIQH DI KALANGAN PESANTREN Oleh: Rijal Mumazziq Z Dosen Luar Biasa Fakultas Syari’ah IAIN Jember Email:
[email protected] Abstrak Memetakan suatu pemikiran dapat dilihat dari sudut pandang apa yang digunakan, atau didasarkan pada pola pemahaman masyarakat (ulama, khususnya) terhadap sumber ajaran (agama) dalam kaitannya dengan realitas sosial yang melingkupinya. Dengan demikian, memotret dinamika pemikiran fiqh di pesantren, salah satunya, bisa meminjam tiga kategorisasi, yaitu restriction of traditionalist, modernist scripturalism, dan socio-historical approach. Berda-sarkan alat baca itu, maka terdapat tiga nalar fiqh pesantren; formalistik-tekstual (kelompok ini juga terbagi menjadi dua: tekstualis radikal (ortodoks) dan tekstualis moderat), nalar Fiqh Sosial-Kontekstual, dan Nalar Fiqh Kritis (Fiqh Transformatif-Emansipatoris). Kata Kunci: Nalar Fiqh, Pesantren, Ulama’ Pendahuluan Dalam tradisi Islam, fiqh memiliki peran sentral sebagai instrumen hukum untuk mengatur kehidupan masyarakat Muslim. Mereka memerlukan perangkat hukum yang karakternya sudah tidak lagi murni tekstual normatif (al-Qur’an dan hadits), tetapi sudah terstruktur menjadi sebuah pranata hukum aplikatif (fiqh). Dengan demikian maka fiqh dikodifikasikan untuk mengelola secara operasional keseluruhan aktifitas manusia,
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
63
Rijal Mumazziq Z mulai dari persoalan ritual keagamaan sampai masalah-masalah profan, baik politik, sosial, ekonomi maupun budaya.1 Di Indonesia sendiri, peranan fiqh dalam membantu menyelesaikan persoalan keummatan, terkadang menyebabkan terjadinya problematika yang dilematis. Keputusan-keputusan yang dihasilkan juga belum memiliki pengaruh signifikan dalam beberapa aspek. Hal ini dapat dipahami, misalnya, melalui tradisi penggunaan kutub al-mu’tabarah sebagai alat bantu dalam menyelesaikan problem kontemporer. Tradisi ini dipegang kukuh oleh kalangan pesantren dan NU di Indonesia, sungguhpun kedua entitas Islam Indonesia ini sudah mulai mengadopsi sistem manhajiy, tidak lagi qawly, sebagaimana beberapa periode silam. Penggunaan kitab-kitab fiqh abad pertengahan sebagai acuan dalam penyelesaian problem kemasyarakatan inilah yang dianggap memiliki kelemahan substantif, terutama dalam hal perbedaan zaman, sosiologis, psikologis, maupun kultural. Perbedaan inilah yang menyebabkan adanya kendala “dialog” antara fiqh (yang ada dalam kitab) dengan realitas. Di pesantren sendiri, fiqh merupakan cabang keilmuan yang paling penting karena perannya yang sangat intensif sebagai acuan dalam praktif keagamaan sehari-hari.2 Cabang inilah yang kemudian menentukan salah satu tipikal pesantren, yaitu sebagai penganut fiqh madzhabi. Dengan paham fiqh madzhabi ini, pesantren telah berhasil membangun fanatisme dalam bermadzhab, khususnya madzhab Syafi’i. Di pesantren, paham ini sudah mentradisi dan mengideologi sampai dengan kitabkitabnya pun dibakukan yang kemudian dikenal dengan al-kutub al-mu’tabarah, yaitu kitab-kitab yang paling otoritatif, terseleksi, dan diakui dalam penggunaan kegiatan istinbath al-ahkam di kalangan pesantren, termasuk juga NU.3 Thoha Hamim, Islam & NU di Bawah Tekanan Problematika Kontemporer (Surabaya: Diantama, 2004), 167. 2 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), h. 112. 3 Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren (Jakarta: Kencana, 2008), h. 4. 1
64 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Peta Pemikiran Fiqh di Kalangan Pesantren Berkaitan dengan banyak hal, era modern saat ini telah mengantarkan fiqh (hukum Islam) pada posisi problematis dan dilematis. Fiqh bukan hanya kesulitan menuntaskan berbagai masalah dan isu sosial yang dihadapi, tapi juga masih gagap mendefinisikan kediriannya, terutama dalam konteks merumuskan metode hukum yang tepat untuk dipergunakan menuntaskan berbagai masalah tersebut. Dalam pandangan Coulson, problem inilah yang merupakan salah satu sebab terjadinya “konflik dan ketegangan” antara teori dan praktek dalam sejarah penelitian dan penerapan hukum Islam.4 Di sisi lain, problem akut ini pula yang sekarang ini telah menstimulasi berbagai upaya pembaruan dalam bidang ini. Akan tetapi, karena sifatnya yang reflektif, dibutuhkan kemampuan kognitif guna menjabarkan teks-teks agama yang idealis ke dalam realitas yang empiris. Inilah urgensi pengembangan atau pembaruan fiqh. Karena fiqh merupakan hasil ijtihad, maka diperlukan perangkat tertentu yang mengatur pencapaian produk-produk fiqh ang dikenal dengan ushul fiqh (legal theory) dan qawa’id fiqhiyyah (legal maxim). Yang pertama dipahami oleh para yuris muslim sebagai bangunan prinsip dan metodologi investigatif yang dengannya aturan-aturan hukum praktis memperoleh sumber-sumber partikulernya. Sedang yang terakhir lebih bercorak sebagai pedoman pengambilan hukumhukum agama secara praktis, yang menentukan bentuk akhir keputusan hukum yang akan diambil jika kondisi dan persyaratan yang melatarbelakangi suatu masalah yang tadinya sudah diputuskan telah mengalami perubahan.5 Tipologi Pemikiran Fiqh di Pesantren Dalam salah satu artikelnya, KH. MA. Sahal Mahfudh memberikan ilustrasi metaforis tentang hubungan timbal-balik Noel James Coulson, Conflict and Tension in Islamic Jurisprudence (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1969), 58-76. 5 Ahmad Baso, “Melawan Tekanan Agama: Wacana Pemikiran Fiqh NU”, dalam Jamal D. Rahman, Wacana Baru Fiqh Sosial: 70 tahun Prof. KH. Ali Yafie (Bandung: Mizan, 1997), h. 135. 4
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
65
Rijal Mumazziq Z antara NU dan pesantren. Dalam ilustrasi tersebut dikatakan bahwa NU dapat dipandang sebagai pesantren besar. Sedangkan pesantren adalah miniaturnya NU. Selanjutnya Rais Am NU ini memberikan sebutan bagi kalangan pesantren NU dengan istilah masyarakat fiqh.6 Pernyataan tadi merupakan gambaran tentang kuatnya relasi timbal-balik antara NU dan pesantren. Di satu sisi, keberagaman kalangan NU didasarkan “sepenuhnya” pada ketentuan dalam fiqh. Di sisi lain, fiqh sendiri adalah bidang kajian pokok dalam kurikulum pesantren NU.7 Adapun untuk memetakan suatu pemikiran dapat dilihat dari sudut pandang apa yang digunakan, atau didasarkan pada pola pemahaman masyarakat (ulama, khususnya) terhadap sumber ajaran (agama) dalam kaitannya dengan realitas sosial yang melingkupinya. John L. Esposito, misalnya, memotret dinamika pemikiran keagamaan dengan tiga kategori, yaitu restriction of traditionalist, modernist scripturalism, dan socio-historical approach. Pertama, restriction of traditionalist adalah pola pemikiran keagamaan tradisional yang sempit. Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh tradisi pemikiran ulama masa lampau, di mana hasil pemikiran ulama terdahulu dijadikan acuan dan sekaligus referensi final bagi setiap persoalan kemasyarakatan yang muncul pada saat sekarang. Dengan kata lain, mereka hanya memfotokopi apa yang sudah ada dari warisan ulama masa lampau.8 Pola pemikiran yang demikian ini biasanya diikuti oleh komunitas masyarakat tradisional yang membanggakan tradisi, seperti
KH. MA. Sahal Mahfudh, “Tradisi Pendidikan Politik di Pesantren,” dalam Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani, (ed) Ismail SM dan Abdul Mukti (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 20. 7 Untuk memastikan kebenaran pernyataan bahwa kajian fiqh memang mendominasi kurikulum pesantren NU, lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1994). 8 Lihat uraian John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, (New York: Oxford University Press, 1995), h. 14. 6
66 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Peta Pemikiran Fiqh di Kalangan Pesantren kelompok pengikut pola bermadzhab dalam keagamaan. NU, dalam hal ini termasuk di dalamnya. Kedua, modernist scripturalism, adalah tipologi gerakan yang menamakan dirinya kelompok modern. Pola ini menggunakan pemahaman keagamaan secara kontekstual dari ajaran-ajaran suci. Dengan demikian, kelompok ini terpaku pada pemahaman doktrin secara tekstual dengan merujuk nash secara redaksional, tidak pada inti ajaran yang menjadi maqashid al-syari’ah.9 Justifikasi terhadap tindakan (amalan) agama dilihat pada ada atau tidaknya referensi tekstual nash. Amalan agama dianggap benar ketika ada dalil dari nash secara tekstual. Dapat dimasukkan dalam kategori ini adalah Muhammadiyah dan Persis. Di Indonesia yang dipengaruhi oleh gerakan tajdid kaum Wahabi di Saudi Arabia. Ketiga, socio-historical aprroach, adalah tipe pola pemahaman keagamaan yang dalam melihat ketentuan-ketentuan ajaran agama (nash) lebih didasarkan kepada aspek-aspek historis dan konteks sosial yang berkembang.10 Kelompok ini merupakan kelompok yang diidolakan untuk mempersiapkan masyarakat muslim modern dan neo-modern.11 Dari ketiga ketegori di atas, kalangan pesantren masuk dalam ranah pertama sebagai restriction of traditionalist, sebab selain lebih merujuk pada tradisi dan khazanah peradaban Islam klasik, pesantren lebih suka menggunakan fiqh sebagai rujukan hukum mereka, dibandingkan melakukan pengambilan referensi langsung ke al-Qur’an dan hadits.12 Mereka menilai bahwa fiqh merupakan produk hukum yang dapat membentuk sikap reseptif terhadap berbagai perubahan. Kapasitas seperti itu terbentuk Ibid Ibid., h. 15 11 Imam Yahya, “Fiqh Sosial NU: Dari Tradisionalis Menuju Kontekstualis”, M. Imdadun Rahmat (ed.), Kritik Nalar Fiqh NU: Transformasi Paradigma Bahtsul Masail (Jakarta: Lakpesdam, 2002), h. 57. 12 Relasi antara NU dan pesantren yang berujung pada penempatan fiqh sebagai referensi keberagamaan NU bisa dilihat dari ilustrasi yang diberikan KH. MA. Sahal Mahfudh. Lihat KH> MA. Sahal Mahfudh, “Tradisi Pendidikan Politik di Pesantren,” h. 20. 9
10
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
67
Rijal Mumazziq Z karena ketentuan dalam fiqh ditetapkan melalui proses dialog antara teks al-Qur’an dan hadits dengan realitas yang mengelilingi kehidupan para fuqaha’. Dengan realitas waktu dan tempat yang menjadi pijakannya, maka berbagai ketentuan fiqh menjadi mudah dikontekstualisasikan kembali untuk menyesuaikan dengan tuntutan perubahan yang juga hadir dalam perspektif waktu dan tempat. Dengan kata lain bahwa fiqh masih dapat diungkapkan kapasitasnya untuk berinteraksi dengan realitas kontemporer. Fiqh berjalan mengikuti alur logika yang penerapannya tidak bergerak dalam dimensi waktu dan tempat tertentu. Materi hukum yang terkandung di dalam fiqh mungkin sudah tidak bisa dijadikan rujukan pada masa sekarang. Namun paradigma sosiologis yang melandasi terbitnya materi hukum tersebut selalu menyimpan komponen rasionalitas yang dapat dipergunakan untuk memecahkan bermacam problematika di era modern ini. Sebelum membahasa tipologi nalar fiqh pesantren, perlu dijelaskan latar belakang atau alasan mengapa kultur fiqh pesantren cenderung beraliran restriction of traditionalist. Pertama, paradigma dan ideologi keagamaan pesantren, secara umum, adalah adalah Islam Sunni (ahlussunnah wal jamaah), baik dalam bidang aqidah, syari’ah, maupun tasawwuf. Dalam fiqh, khususnya, dibentuk oleh empat paradigma fiqh Sunni, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Meskipun Madhab Syafi’i merupakan madzhab paling dominan di kalangan pesantren. Kedua, tradisi bermadzhab merupakan tumpuan untuk mengatasi problem hukum yang dihadapi oleh masyarakat. Di antara alasan pesantren memilih bermadzhab adalah: (a) pemikiran madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) telah terkodifikasikam secara sistematis sehingga mudah mempelajarinya; (b) Kredibiltas imam madzhab dan keandalan pemikirannya telah teruji oleh dinamika zaman. Hal ini terbukti dengan diikutinya para imam madzhab oleh sebagian besar umat Islam di dunia; (c) mengikuti pemikiran ulama madzhab
68 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Peta Pemikiran Fiqh di Kalangan Pesantren mempunyai nilai praktis dan pragmatis. Dengan mengacu dan mengikuti pemikiran madzhab tidak perlu bersusah-susah untuk memulai dari awal dalam mencari solusi dan menjawab permasalahan hukum yang dihadapi, apalagi ketika masalah tersebut menghendaki untuk segera dijawab.13 Ketiga, pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan dikelola untuk mengembangkan dan mewariskan ajarah ahlussunnah wal jamaah, yang kemudian menjadi sistem nilai yang dianut dan didukung dalam kehidupan pesantren tradisional.14 Sistem nilai yang “tradisional” inilah yang oleh Martin van Bruinessen disebut sebagai great tradition (tradisi besar) yang bertujuan mentransmisikan Islam tradisional sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitak klasik yang ditulis berabad-abad yang lalu.15 Dan, lanjut Bruinessen, di antara sekian banyak produk pemikiran yang dihasilkan oleh pesantren, yang paling menonjol adalah adalah bidang fiqh. Ia menilai bahwa bagi kalangan tradisionalis, fiqh adalah ratu ilmu pengetahuan, petunjuk bagi seluruh perilaku, dan penjelas terhadap apa yang boleh dan yang tidak boleh. Dalam perkembangannya, terdapat tiga kategori kelompok dalam pemikiran fiqh pesantren: Nalar Fiqh Formalistik-Tekstual Tipe pemikiran di atas inilah yang masih mendominasi kalangan pesantren. Fiqh madzhab yang tertuang dalam kitabkitab fiqh dipandang sebagai sesuatu yang bersifat normatif. Konsekwensinya, mengikuti apa yang tertulis dalam kitab madzhab adalah suatu keharusan. Paradigma yang dipegangi fiqh Ahmad Arifi, Fiqh Tradisi Pola Madzhab (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), h. 170. 14 Istilah ini menunjukkan pada paham yang paling menguasai keseluruhan rasa pengenalan diri (sense of identity) orang-orang pondok pesantren tradisional dan selalu menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mengenai golongan atau “sistem nilai” apa yang dianut. Lihat Sudjoko Prasodjo, dkk., Profil Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 30-31. 15 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, h. 17. 13
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
69
Rijal Mumazziq Z pesantren adalah sebagai wujud pola bermadzhab secara qawly, di mana nalar fiqh ini merupakan nalar fiqh warisan ulama periode taqlid yang sudah mengakar kuat di kalangan ulama Sunni dari satu generasi ke generasi berikutnya. Fiqh madzhab akhirnya dipandang sebagai hukum final yang harus diikuti dan menjadi solusi (jawaban) atas problematika agama yang bersifat aktual (almasail al-diniyyah al-waqi’iyyah). Ciri nalar formalistik-tekstual ini adalah bahwa dalam memberikan jawaban atas persoalan-persoalan keagamaan (almasail al-diniyyah) yang menjadi dasar dan sumber jawaban (marja’) adalah aspek tekstualitas (redaksional) dalam kitab-kitab madzhab yang disepakati sebagai referensi (al-kutub al-mu’tabarah). Dalam konteks ini, para ulama yang terlibat dalam penyelesaian masalah, hanya mengutip secara persis apa adanya (‘ibarat) yang telah dikemukakan oleh ulama dalam kitab referensi. Mereka berargumentasi bahwa hasil pemikiran fiqh (ijtihad) ulama madzhab masa lalu dipandang masih relevan dengan konteks masalah sekarang. Oleh karena itu, bagi para ulama yang menganut pemikiran ini, berpegang kepada fiqh madzhab adalah jalan yang paling baik dan selamat, karena kredibilitas ulama madzhab tersebut sudah tidak lagi diragukan lagi, dan validitas pemikiran madzhab dan argumentasinya telah teruji oleh zaman.16 Apalagi menurut kelompok ini, ulama sekarang pada umumnya tidak memiliki kapasitas keilmuan dan persyarakat yang memadai untuk melakukan ijtihad sendiri. Dari sini, menurut Ahmad Arifi, bisa disebut bahwa begitu kuatnya pemikiran para kiai dalam memegangi doktrin fiqh madzhab ini, maka pemikiran fiqh tekstualis ini bisa disebut sebagai “nalar fiqh ideologis”, di mana fiqh madzhab disikapi sebagai sebuah “ideologi” yang harus diikuti dan dipegangi oleh umat Islam. Adapun kerangka metodologis yang digunakan kelompok yang bisa disebut sebagai pengguna “nalar fiqh formalistiktekstual” ini dalam proses hukum (istinbath al-ahkam) nya adalah:
16
Ahmad Arifi, Pergulatan Pemikiran…..., h. 268.
70 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Peta Pemikiran Fiqh di Kalangan Pesantren a. Masalah hukum yang ingin dicari solusinya dibahas dan dirujuk kepada ‘ibarat / teks-teks kitab fiqh madzhab. b. Setelah didapati qawl yang dapat dijadikan jawaban atas masalah itu, maka ‘ibarat tersebut langsung dirujuk sebagai referensi. c. Jika ditemukan ada dua macam atau lebih pendapat yang berbeda, maka dilakukan pengambilan yang lebih tinggi menurut hirarkinya. Dengan demikian, terjadi proses duplikasi pemikiran fiqh madzhab, sungguhpun permasalahan yang ada terjadi pada masa dan budaya yang berbeda. Implikasi dari penggunaan nalar fiqh ini meyebabkan ketergantungan madzhab yang statis, rigid, terikat, dan kurang peka terhadap realitas empiris. Dikatakan statis karena pemikiran ini tidak mengalami dinamika. Semua masalah disandarkan pada yang sudah ada, yakni pada pemikiran fiqh madzhab hasil konstruksi pemikiran ulama masa lalu yang memiliki sifat dan karakteristik sosial yang berbeda. Demikian juga dikatakan rigid, karena pemikiran fiqh yang dihasilkan menjadi kaku dan tidak menyentuh permasalahan dan kepentingan masyarakat sekarang, dua hal ini (statis dan rigid) merupakan konsekwensi dari ketergantungan yang sangat tinggi kepada warisan pemikiran masa lalu (al-turats al-qadim), sehingga memberi kesan jauh dari sifat kepekaan sosialnya.17 Kelompok formalistik-tekstual ini, menurut Arifi, terbagi lagi menjadi dua: kelompok tekstualis radikal (ortodoks) dan tekstualis moderat. Kelompok tekstualis radikal selalu mengacu pada tekstualitas kitab-kitab rujukan secara kaku. Jawaban atas masalah fiqh cukup dirujuk pada ‘ibarat-‘ibarat kitab fiqh yang menjadi maraji’. Kelompok ortodoks ini juga tidak mau menggunakan kitab-kitab modern yang tak termasuk kategori mu’tabarah, karena dipandang tidak sesuai dengan ajaran Aswaja. Konsekwensinya, jika persoalan itu tidak ditemukan ketentuan hukumnya di dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i, maka mereka
17
Ibid., h. 271-272.
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
71
Rijal Mumazziq Z akan me-mawquf-kan masalah tersebut. Kelompok ini bisa dikatakan sebagai kalangan konservatif madzhab, dimana kelompok ini memegang doktrin madzhab sangat kuat dan berusaha mempertahankan status quo dengan berpegang erat pada pendapat madzhab. Bukti nyata kuatnya sikap konservatif tersebut adalah ditolaknya wacana “hermeneutik” dan Islam Liberal sebagai suatu pendekatan hukum atau metode penafsiran untuk bahts al-masail di Muktamar NU ke-31 di Solo.18 Arifi menyodorkan contoh para kiai yang mengunakan nalar fiqh ini seperti Kiai Masduqi Mahfudh Malang, Kiai Sadid Jauhari Jember, dan Kiai Zainal Abidin Krapyak. Adapun kelompok kedua adalah kelompok tekstualis moderat. Kelompok ini tetap mengacu kepada tekstualitas kitabkitab madzhab (umumnya Syafi’iyyah) sebagai referensi. Akan tetapi, dalam mengambil referensi kitab maraji’, kelompok moderat ini mengemukakan argumentasi yang dipakai dan kontekstualitas masalah, meskipun konstruksi pemikirannya masih dalam bingkai doktrin madzhab. Fiqh madzhab tetap dipakai sebagai rujukan utama, di samping itu mereka menerima pemikiran (pendapat) di luar madzhabnya. Dengan model pemahaman seperti ini, nalar fiqh formalistik-tekstualis bagi kelompok ini bisa dikembangkan pola madzhab dengan lebih memperhatikan kontekstualisasi situasi dan kondisi masyarakat sekarang. Kelompok kedua ini dapat dikategorikan dalam tipe nalar fiqh bermadzhab “plus”, yakni menerima adanya pengembangan atau pembaruan bermadzhab, tetapi tetap mengutamakan metode qawly. Arifi menyodorkan contoh para santri di Ma’had Aly Sidogiri yang menggunakan nalar fiqh seperti ini, yang tampak dalam produk pemikiran hasil bahts almasail mereka. 19
18 19
Ibid., h. 274. Ibid., h. 276.
72 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Peta Pemikiran Fiqh di Kalangan Pesantren Nalar Fiqh Sosial-Kontekstual Selain kelompok formalistik-tekstual yang terbagi menjadi tekstualis radikal dan tekstualis moderat, kelompok lain dalam “jagat nalar fiqh pesantren” adalah mereka yang menggunakan nalar Fiqh Sosial-Kontekstual. Kelompok ini bisa dibilang mulai mendominasi arah baru pemikiran fiqh di pesantren. Di antara mereka yang masuk dalam kategori ini adalah KH. MA. Sahal Mahfudh dan KH. Ali Yafie, yang sama-sama menggunakan istilah Fiqh Sosial dalam proses kontekstualisasi doktrin fiqh di Tanah Air. Kelompok ini muncul, diantaranya akibat “ketidakpuasan” melihat kondisi bahts al-masail dan fiqh, yang kaku, statis, dan kurang kontekstual. Dalam kondisi demikian, kelompok ini berusaha dalam konteks mencari solusi untuk membongkar kejumudan pemikiran fiqh, dan berupaya memahami dan memaknai fiqh secara kontekstual dan aktual. Mereka melakukan pendekatan “etis” (aspek moral) dengan berorientasi pada sisi esoterik (hakikat) fiqh yang mengacu pada ruh tasyri’ dan Maqashid al-Syari’ah dalam rangka mereformulasikan substansi dan tujuan hukum. Pola nalar fiqh sosial-kontekstual ini didasarkan pada dua sumber, yaitu dengan mengapresiasi kitab fiqh madzhab secara selektif (yang masih relevan) dengan mengkontekstualisasikannya dan menggunakan qawa’id fiqhiyyah. Sebagai pertimbangan dan acuan utama adalah Maqashid al-Syari’ah. Fiqh yang diproduksi ulama madzhab bukanlah satu-satunya referensi (maraji’) bagi penetapan hukum untuk merespon persoalan fiqh. 20 Menurut Kiai Sahal, fiqh selalu menjumpai konteks dengan kehidupan nyata sehingga bersifat dinamis. Namun konteks lingkungan seperti ini kurang diperhatikan kalangan ulama NU.21 Dengan ide fiqh sosialnya, Sahal ingin mengubah pola pikir para ulama dengan beberapa ciri khas pemikiran Fiqh Sosial:
20 21
Ibid., h. 310. KH. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: LKIS, 2004), h. 31.
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
73
Rijal Mumazziq Z a. Interpretasi teks fiqh secara kontekstual. b. Perubahan pola bermadzhab dari pola tekstual (qawly), ke pola metode (manhajiy) c. Verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu’). d. Fiqh dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif Negara. e. Pengenalan metodologi berpikir filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial. 22 Kelima hal di atas merupakan pengejawantahan dari upaya kontekstualisasi fiqh agar tidak ditinggalkan oleh masyarakat. Bagi Kiai Sahal, bermadzhab secara metodologis (manhaji) merupakan sebuah keharusan, karena teks-teks fiqh dalam kitab kuning dipandang sudah tidak aplicable seiring dengan berubahnya ruang dan waktu, sehingga pemahaman fiqh secara tekstual merupakan aktifitas ahistoris dan paradoks dengan problem kontemporer. Lebih lanjut, menurut Rais Aam Syuriah PBNU yang wafat di awal 2014 ini, keniscayaan itu disebabkan bukan hanya karena memahami secara tekstual terhadap teks-teks dalam kitab kuning merupakan aktifitas yang ahistoris, tetapi juga paradoks dengan makna dan karakter fiqih itu sendiri, sebagai sebuah hasil pemahaman yang tentunya bersifat relatif dan menerima perubahan.23 Sedangkan prosedur ber-ijtihad/beristinbath secara manhajiy (metodologis) menurutnya adalah dengan cara melakukan verifikasi persoalan-persoalan yang tergolong ushul (pokok/dasar) dan permasalahan yang termasuk furu’ (cabang) dengan terlebih dahulu melakukan klasifikasi apakah termasuk dlaruriyyat (kebutuhan mendesak), hajiyat (kebutuhan sekunder), atau tahsiniyyat (kebutuhan tambahan).24 Ibid., xxvi; juga pada KH. MA. Sahal Mahfudh, Wajah Baru Pesantren (Jakarta: Citra Pustaka, 2004), h. 25. 23 Sumanto al-Qurtubi, KH. M.A. Sahal Mahfudh, Era Baru Fiqih Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit CERMIN, 1999), h. 116. 24 Ibid., h. 117. 22
74 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Peta Pemikiran Fiqh di Kalangan Pesantren Pada tataran aplikasinya, Kiai Sahal tampaknya sepakat dengan pendapat Imam Maliki dan Imam Ahmad bin Hanbal dengan konsep al-Mashlahah al-Mursalah dan al-Syatibi dengann teori Maqashid al-Syari’ah yang selalu memandang aspek mashlahah sebagai acuan syari’ah dalam beristinbath dengan tetap memperhatikan pendapat para sahabat, dan fuqaha’ awal. Cara ini ditempuh agar dalam proses penggalian hukum (istinbath) tidak terjerat ke dalam arus modernitas–liberal semata, tetapi tetap dalam kerangka etik profetik dan frame kewahyuan. Atas dasar pemikiran ini, pemikiran “Fiqih Sosial” merupakan jawaban alternatif guna menjembatani antara otentisitas “doktrin dengan tradisi dan realitas sosial”.25 Dilihat dari substansi konsep dan semangatnya, tawaran Sahal tersebut nampaknya tidak jauh dengan apa yang disebut bermadzhab secara manhajiy yang diproklamirkan pemakaiannya pada Munas di Bandar Lampung tahun 1992. Bagi Kiai Sahal, bermadzhab secara metodologis (manhajiy) merupakan sebuah keharusan, karena teks-teks fiqh dalam kitab kuning dipandang sudah tidak aplicable seiring dengan berubahnya ruang dan waktu, sehingga pemahaman fiqh secara tekstual merupakan aktifitas ahistoris dan paradoks dengan problem kontemporer. Fiqh, sebagai hasil dari proses penalaran terhadap nash-nash al-Qur’an dan hadits yang telah terbukukan, tidak lain adalah sebuah karya monumental para ulama salaf beberapa abad lalu yang kini masih tetap dijadikan rujukan hukum oleh setiap kaum muslimin di segala penjuru dunia dengan kecenderungan madzhabnya masing-masing, dan bahkan muncul anggapan bahwa Fiqh adalah hukum Islam itu sendiri (syari’ah dalam pengertian hukum yang ada dalam nash alQur’an dan hadits). 26 Sehingga, muncul anggapan bahwa orang
25 26
Ibid, h. 119-120. Hukum Islam, Fiqh, dan shari’at Islam, adalah istilah yang identik dewasa ini, walaupun terminologinya dari sudut historis maupun literal berbeda antara satu dengan lainnya. Perihal perkembangan terminologi Fiqh dan
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
75
Rijal Mumazziq Z yang merubah ketentuan fiqh klasik berarti telah merubah ketentuan al-Qur’an dan hadits. Kecenderungan yang berlebihan terhadap fiqh klasik inilah yang mengakibatkan daya fleksibilitas fiqh itu sendiri menjadi hilang. Bila demikian, upaya kreatif para mujtahid yang berusaha menggali hukum-hukum baru untuk merespon persoalan-persoalan yang tidak disebutkan secara rinci bahkan tidak disinggung sedikit pun di dalam nash—karena muncul belakangan dan membutuhkan kepastian hukum—akan menjadi terpasung. Padahal, fiqh sebagai counter discourses dalam perspektif pemikiran Islam, berkembang tidak hanya terbatas pada masalah fiqh dalam konsep klasik (wudlu', mandi, zakat dan lainnnya) tetapi sudah mengalami pergeseran ke wacana fiqh korupsi, fiqh perbankan, fiqh politik, fiqh perempuan, fiqh HAM, fiqh lintas agama dan lain-lain yang mempunyai relevansi dengan wacana kontemporer. Karena sadar bahwa fiqh merupakan produk ijtihad maka para fuqaha terdahulu baik al-a'immah al-arba'ah maupun yang lain meskipun berbeda pandangan secara tajam, mereka tetap menghormati pendapat lain, tidak memutlakkan pendapatnya dan menganggap ijtihad fuqaha lain sebagai keliru. Mereka tetap berpegang pada kaidah al-ijtihad la yunqadlu bi al-ijtihad, yakni bahwa suatu ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lain. Masingmasing mempunyai kelebihan dan kelemahan. Hasil ijtihad seorang fuqaha mungkin tidak pas pada ruang dan waktu tertentu tetapi sesuai untuk ruang dan waktu yang berbeda. Di sinilah fiqh menunjukkan wataknya yang fleksibel, dinamis, realistis, dan temporal, tidak kaku dan tidak pula permanen. 27 Alhasil, keniscayaan itu disebabkan bukan hanya karena memahami secara tekstual terhadap teks-teks dalam kitab kuning merupakan aktifitas yang ahistoris, tetapi juga paradoks dengan shari’at dalam perjalanan historisnya, lihat Ahmad Hasan, Pintu Ijtiha>d Sebelum Tertutup, terj. A. Garnadi, (Bandung: Pustaka, 1984), h. 1-10. 27 KH. MA. Sahal Mahfudh, Bahsul Masail dan Istinbat}h Hukum NU, NU.Online, Sabtu, 3 Mei 2003.
76 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Peta Pemikiran Fiqh di Kalangan Pesantren makna dan karakter fiqh itu sendiri, sebagai sebuah hasil pemahaman yang tentunya bersifat relatif menerima perubahan.28 Sedangkan prosedur berijtihad/beristinbath secara manhajiy (metodologis) adalah dengan cara melakukan verifikasi persoalanpersoalan yang tergolong ushul (pokok/dasar) dan permasalahan yang termasuk furu’ (cabang) dengan terlebih dahulu melakukan klasifikasi apakah termasuk dlaruriyyat (kebutuhan mendesak), hajiyat (kebutuhan sekunder), atau tahsiniyyat (kebutuhan tambahan).29 Oleh karena itu menurut Qodri Azizy, perlu dilakukan tahapan untuk mengembalikan kodrat hukum Islam dengan menggunakan empat langkah: a. Hukum Islam yang merupakan hasil karya fuqaha’ atau mujtahidin masa lalu, yang selama ini ditempatkan di satu sisi sebagai doktrin atau di sisi yang lain sebagai hal yang tidak diperhitungkan sama sekali, hendaknya ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya, yakni sebagai hasil ijtihad ulama masa lalu. Untuk itu perlu kiranya digunakan istilah “humanisasi hukum Islam (fiqh)”, sehingga doktrin yang dianggap “sakral” tersebut menjadi “profan”, dapat disentuh akal dan diinterpretasi ulang. b. Melihat hasil ijtihad tersebut secara kontekstual, sehingga menjadi lebih hidup dan mempunyai nilai. c. Setelah mampu melakukan kontekstualisasi, barulah akan mampu mengadakan reaktualisasi. d. Perlunya kajian hukum Islam yang melibatkan disiplin ilmu lain. Atau meneliti hukum Islam yang sudah ada dengan menggunakan pendekatan interdisipliner atau 30 multidisipliner.
Sumanto al-Qurtubi, KH. M.A. Sahal Mahfudh, Era Baru Fiqh Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit CERMIN, 1999), h. 116. 29 Sumanto al-Qurtubi, KH. M.A. Sahal Mahfudh…., h. 117. 30 A. Qodri Azizy, Reformasi Bermadzhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai Saintifik-Modern, (Jakarta: Teraju, 2003), h. 73-76. 28
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
77
Rijal Mumazziq Z Nalar Fiqh Kritis (Fiqh Transformatif-Emansipatoris) Sedangkan nalar fiqh pesantren yang ketiga adalah Nalar Fiqh Kritis (Fiqh Transformatif-Emansipatoris) yang dipelopori oleh KH. Masdar Farid Mas’udi. Ia mengkritisi pemikiran fiqh di pesantren dan NU yang didominasi oleh madzhab Syafi’i dan berpola madzhab formalistik-tekstualis. Ia ingin mentransformasikan agar fiqh lebih bercorak substantif-filosofis dengan mengacu pada maqashid al-syari’ah dan merujuk pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Adapun kitab madzhab dalam pola ini tidak dijadikan rujukan (maraji’). Karena dianggap telah ketinggalan konteks masalahnya. Adapun terobosan yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan “ijtihad” manhajiy dan mengembangkannnya, atau bahkan membangun teori baru. Semua masalah fiqh harus mengacu pada maqashid al-syari’ah yang terangkum dalam lima hal pokok: memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan.31 Jika mengkaji pemikiran Masdar, khususnya mengenai konstruksi fiqh sosial dengan arus utama pemikirannya yang bermuara pada prinsip “kemaslahatan” dan “keadilan” sebagai etika syari’ah, hukum harus didasarkan kepada al-Qur’an dan hadits sebagai sumber hukum yang bermuatan “sistem nilai”, bukan kepada teks- teks ayat al-Qur’an dan hadits, apalagi teksteks kitab klasik. Lebih lanjut, menurut Masdar, dunia pemikiran fiqh Islam kita ditandai oleh ciri dan watak yang sangat patut dipertanyakan: pertama, watak pemikiran fiqh yang juz’iyyat, kasuistik, dan micro-oriented. Akibatnya tidak aneh pernyataan bahwa fiqh memang harus juz’iyyah, far’iyyah. Kedua, fiqh berwatak kasuistik, yakni hanya berguna untuk menangai persoalan pasca kejadian, ibarat tukang ketok yang porsinya adalah meluruskan kebengkokan-kebengkokan kecil sejauh dimungkinkan. Jika kebengkokan (persoalan itu) telah sedemikian parah (krusial), dan ia tidak bisa meluruskannya (memberi solusi), maka akan memunculkan dua kemungkinan, dengan sikap
31
Ahmad Arifi, Pergulatan Pemikiran…, h. 333
78 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Peta Pemikiran Fiqh di Kalangan Pesantren fundamentalistiknya ia menolak persoalan itu, meski ia sadar tidak bisa berbuat apa-apa (dalam istilah fiqh, bersikap mawquf), atau dengan sikap realistiknya ia menerima, menjustifikasi dan berdamai dengan kebengkokan yang ada. Ketiga, sebagai konsekwensi ciri kedua adalah fiqh mengabaikan penanganan masalahmasalah strategis yang justru memerlukan pendekatan sistematis. Keempat, formalistik, di mana menurut fiqh yang penting adalah bahwa suatu pemikiran hukum, dalam kasus apapun, bisa dipertanggungjawabkan secara formal pada bunyi (nash) tertentu. Tidak soal, apakah hukum itu dalam kenyataan historisnya telah menyentuh kemaslahatan orang banyak atau tidak.32 Akibatnya, wajah fiqh kita begitu dingin, kurang menunjukkan pemihakan (engagement) terhadap kepentingan masyarakat.33 Pada dasarnya, perspektif Fiqh Emansipatoris ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah teori kritis yang merujuk pada beberapa macam aliran yang sangat kiri, baik kiri dalam maupun kiri luar. Karenanya, Fiqh Emansipatoris disebut Masdar sebagai Islam Kritis. Kritis di sini merupakan sebuah mekanisme berpikir secara rasional. Sikap kritis ini mencakup dua elemen: pertama, adalah realitas material, yakni sebuah pemikiran yang mempertanyakan ideology hegemonic yang bertolak pada kehidupan riil dan materiil atau mempertanyakan hegemoni bertolak pada realitas empirik; kedua, adalah visi transformatif yang memiliki komitmen pada perubahan struktur (relasi-relasi), baik relasi kekuasaan dalam dunia produktif (majikan-buruh), maupun relasi hegemonik dalam hubungan pemberi dan penerima narasi (ulama-umat), maupun relasi politik (penguasa-rakyat).34 Melalui pemikirannya, Masdar berusaha menggunakan analisis kritis-filosofis dalam kajian fiqh. Hasil dari pemikiran ini
Masdar Farid Mas’udi, “Meletakkan Kembali Mashlahat Sebagai Acuan Syariat”, dalam Ulumul Qur’an, vol. IV No. 03, Tahun 1995, h. 95-96. 33 Ibid. 34 Masdar Farid Mas’udi, “Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris”, dalam Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama Untuk Praksis Pembebasan (Jakarta: P3M, 2004), h. xvi. 32
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
79
Rijal Mumazziq Z diharapkan akan melahirkan fiqh yang “baru” dan bersifat rekonstruktif, terbebas dari “hegemoni” fiqh madzhab. Sedangkan karakteristik fiqh ini adalah substantive, liberal dan independen (tak terikat dengan madzhab tertentu). “Standarisasi” Nalar Fiqh yang Berkembang di Pesantren Meskipun sudah terdapat kesepakatan terhadap madzhab yang diikuti, namun secara umum hanya madzhab Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah-lah yang paling banyak diikuti kalangan pesantren dan digunakan untuk menjawab problematika di kalangan masyarakat. Kalangan pesantren hampir tak pernah mengikuti pendapat-pendapat imam lainnya kecuali dalam situasi terpaksa. Adapun kitab-kitab yang diikuti oleh kebanyakan kiai pesantren adalah kitab-kitab standar (al-kutub al-mu’tabarah) yang dijadikan rujukan, antara lain: I’anat Thalibin, Rawdlat al-Thalibin, Anwar al-Tanzil, Bughyat al-Musytarsyidin, Hasyiyah al-Syarwani ‘ala Tuhfat, Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala Fath al-Wahhab, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, Hasyiyah al-‘Iwadl ‘ala al-Iqna’, Hasyiyah al-Kurdi ‘ala Bafadlal, Radd al-Mukhtar ‘ala al-Dar al-Mukhtar, fath al-Mu’in, Asna al-Mathalib, dan Tanwir al-Qulub.35 Terkait dengan banyaknya imam yang terkadang memiliki pendapat yang berbeda, Muktamar NU yang pertama di Surabaya tahun 1926 telah menetapkan tingkat kualitas pendapat yang dipedomani dalam memilih beberapa qawl. Dalam hal ini ada enam peringkat: 1. Pendapat yang disepakati oleh al-Syaikhani, yaitu Imam Nawawi dan Imam Rafi’i. 2. Pendapat Imam Nawawi 3. Pendapat Imam Rafi’i 4. Pendapat yang didukung oleh mayoritas (jumhur) ulama 5. Pendapat ulama terpandai, dan
35
Lihat A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan: Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama, (Surabaya: Dinamika Press, 1997), h. 301.
80 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Peta Pemikiran Fiqh di Kalangan Pesantren 6. Pendapat ulama yang paling wara’ (menjauhkan diri dari dosa, kemaksiatan, dan sesuatu yang masih meragukan hukumnya (syubhat). Adapun dalam proses bermadzhab secara qawli, yang saat ini mayoritas diikuti oleh kalangan pesantren, maka prosedur penjawaban disusun sebagaimana berikut: a. Dalam kasus ketika jawaban memang ditemui dalam redaksi kitab kuning dan tidak terdapat dua pendapat (qawl) atau lebih maka ditetapkan pendapat tersebut sebagaimana tertulis di kitab aslinya. b. Dalam kasus ketika jawaban memang ditemui dalam redaksi kitab kuning, namun disana terdapat lebih dari satu qawl maka dilakukan kesepakatan bersama (taqrir jama’i) dalam konteks kompromi. Jika upaya mengkompromikan tidak bisa dilaksanakan maka para kiai mengambil qawl yang dianggap paling kuat (arjah). Dan, jika tidak ada qawl yang dianggap paling kuat maka dinyatakan ada dua alternatif jawaban (fihi qawlani). c. Dalam kasus ketika jawaban memang tidak ditemui dalam kitab kuning maka persoalan tersebut dinyatakan mawquf, artinya dipending terlebih dulu dan pada waktu yang lain bisa dicarikan jawabannya. KH. A. Mustofa Bisri, misalnya, telah memberikan gugatan atas metodologi penetapan hukum Islam yang dilakukan oleh NU. Ia menggambarkan minusnya prosedur penetapan hukum dengan memberikan tahapan-tahapan sebagai berikut: pertama, tingkat jama’ yakni mengkompromikan pendapat yang secara sepintas berlawanan. Kedua, men-takhrij beberapa pendapat yang saling berbeda, dan ketiga bila tidak terjadi kesepakatan makan dibentuk tim khusus (mawquf).36 Dengan penetapan hukum sebagaimana di atas, menjadikan bahts masail, sebagai instrument pengembangan nalar fiqih
36
Martin Van Bruinessen, NU Tradisi, Relasi, Kuasa Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKIS, 1994), h. 214.
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
81
Rijal Mumazziq Z pesantren, jauh dari apa yang diharapkan oleh masyarakat. Di tengah masyarakat sekarang ini, mereka tidak hanya ingin jawaban ya atau tidak namun membutuhkan ketegasan reasoning serta duduk permasalahan yang sebenarnya. Di samping itu banyaknya masalah yang mengalami mawquf semakin membuat bingung masyarakat, karena mereka membutuhkan penyelesaian hukum realistis yang tidak menyimpang dari ajaran Tuhan. Gugatan-gugatan ini juga terus muncul dari kalangan pesantren, terutama saat diselenggarakannya halaqah yang digelar di pondok pesantren Watucongol Muntilan Magelang tanggal 15-17 Desember 1988, dengan tema “Telaah Kitab Kuning Secara Kontekstual” yang menghasilkan beberapa poin penting: 1. Memahami teks kitab klasik harus dengan konteks sosial historisnya. 2. Mengembangkan kemampuan observasi dan analisis terhadap teks kitab. 3. Memperbanyak muqabalah (perbandingan) dengan kitab-kitab lain, baik dalam lingkup madzhab Syafi’i maupun di luar madzhab. 4. Meningkatkan intesitas diskusi intelektual antara pakar disiplin ilmu terkait dengan materi yang tercantum di dalam kitab klasik. 5. Mampu menghadapkan kajian teks kitab kuning dengan wacana aktual dengan bahasa komunikatif.37 Dengan demikian, jika dicermati, dinamika pemikiran fiqh yang terjadi di kalangan pesantren berjalan secara evolutif, tidak terjadi secara radikal (evolusioner). Lebih lanjut lagi, tradisi kultural dan intelektual pesantren berkorelasi erat dengan tradisi intelektual di organisasi NU yang cenderung tradisional dan tekstual. Bahwa pada perkembangannya mengalami perkembangan dengan dilibatkannya metodologi kontemporer, itu karena banyak kader dari pesantren yang mulai bersinggungan dengan 37
Imam Yahya, “Akar Sejarah Bahtsul Masail: Penjelajahan Singkat”, dalam Imdadun Rahmat (ed.), Kritik Nalar…, h. 22.
82 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Peta Pemikiran Fiqh di Kalangan Pesantren ilmu dan metodologi penggalian hukum modern. Ketika keilmuan modern ini mempengaruhi pola pikir para kader muda NU, maka perkembangan pemikiran mengalami modifikasi, yakni tidak hanya tekstual an sich, tetapi juga sudah kontekstual.38 Kesimpulan Dari pemaparan singkat di atas, dapat ditarik beberap poin penting: 1. Pemikiran fiqh yang diapresiasikan oleh kalangan pesantren merupakan konstruksi pemikiran fiqh madzhab yang telah mentradisi dengan pola madzhabnya, sehingga tidak bisa terlepas dari ketergantungan kultural madzhab. Namun demikian, tuntutan perubahan dan pembaruan (al-tajdid) juga tidak bisa dihindari oleh kalangan pesantren karena tuntutan zaman, situasi, dan dinamika yang terjadi di masyarakat. Proses demikian ini merupakan sebuah keniscayaan dalam proses mempertahankan fiqh agar selalu adaptatif, relevan, aplikatif, dan kontekstual. 2. Para ulama pesantren secara umum terbagi dalam tiga pola pikir/nalar fiqh. Pertama, mereka yang berfiqh menggunakan nalar formalistik-tekstual. Kelompok ini juga terbagi menjadi dua: tekstualis radikal (ortodoks) dan tekstualis moderat. Kedua, kelompok pesantren yang dalam berfiqh menggunakan nalar Fiqh Sosial-Kontekstual. Sedangkan nalar fiqh pesantren yang ketiga adalah Nalar Fiqh Kritis (Fiqh TransformatifEmansipatoris).
38
Mahsun, Madzhab NU Madzhab Kritis: Bermadzhab Secara Manhajiy dan Implementasinya dalam Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (Yogyakarta: Nadi Pustaka, 2015), h. 79.
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
83
Rijal Mumazziq Z DAFTAR PUSTAKA Al-Qurtubi, Sumanto KH. M.A. Sahal Mahfudh, Era Baru Fiqih Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit CERMIN, 1999). Al-Syatibi, Abu Ishaq, al-Muwafaqat, (Beirut: Dar al-Makrifah, tt). Arifi, Ahmad, Pergulatan Pemikiran Fiqh Tradisi Pola Madzhab, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010). Asy’arie, Musa, Filsafat Islam tentang Kebudayaan, (Yogyakarta: LESFI, 1999). Azizy, A. Qodri, Reformasi Bermadzhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai Saintifik-Modern, (Jakarta: Teraju, 2003) Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999). ________, NU Tradisi, Relasi, Kuasa Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKIS, 1994). Coulson, Noel James, Conflict and Tension in Islamic Jurisprudence, (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1969). Echols, John M. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris – Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1976). Garner, Bryan A. (ed.), Black’s Law Dictionary (USA: West Group, 1999). Hamim, Thoha, Islam & NU di Bawah Tekanan Problematika Kontemporer, (Surabaya: Diantama, 2004) Hanafi, Hasan, Min al-Aqidah ila al-Tsaurah, (Kairo: Maktabah Matbuli, 1991) Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. A. Garnadi, (Bandung: Pustaka, 1984). Ismail dan Abdul Mukti (ed.), Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000). Mas’udi, Masdar Farid, “Meletakkan Kembali Mashlahat Sebagai Acuan Syariat”, dalam Ulumul Qur’an, vol. IV No. 03, Tahun 1995 Mahfudh, KH. MA. Sahal, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LKIS, 2004). ________, Wajah Baru Pesantren, (Jakarta: Citra Pustaka, 2004).
84 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Peta Pemikiran Fiqh di Kalangan Pesantren Mahsun, Madzhab NU Madzhab Kritis: Bermadzhab Secara Manhajiy dan Implementasinya dalam Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama. (Yogyakarta: Nadi Pustaka, 2015). Masyhuri, Aziz, Masalah Keagamaan NU, (Surabaya: PP. RMI dan Dinamika Press, 1997). Mudhofir, Ali, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, (Yogyakarta: Gadjah mada University Press, 1996). Mughits, Abdul, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, (Jakarta: Kencana, 2008). Rahmat, Imdadun (ed.), Kritik Nalar Fiqh NU, Transformasi Paradigma Bahtsul Masail, (Jakarta: Lakpesdam, 2002). Raliby, Osman, Kamus Internasional, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982). Rusli, Nasrun, Konsep Ijtihad Assyaukani, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999). Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada). Woodward, Mark R., Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, terj. Ihsan Ali Fauzi, (Bandung: Mizan, 1999). Verdiansyah, Very, Islam Emansipatoris Menafsir Agama Untuk Praksis Pembebasan, (Jakarta: P3M, 2004). Zahro, Ahmad, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa’il 19261999, (Yogyakarta: LKiS, 2004).
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
85