Falsafah Pendidikan
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
Peta Pemahaman Mahasiswa Kependidikan Tentang Konsep Hakikat Manusia dan Pendidikan Dalam Persiapan Pemantapan Menjadi Guru H.Y. Suyitno
Pendahuluan Proses pendidikan adalah suatu aktivitas yang secara komprehensif dan sistematis dari implementasi tujuan pendidikan, yang merupakan proses perpaduan aktivitas mendidik, mengajar, membimbing, melatih, menejerial, komunikasi sosial-kultural dan moral. Kegiatan tersebut tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak pernah mengalami proses pendidikan profesi sebagaimana tuntutan profesionalisme pendidikan. Hal ini senada dengan apa yang disarankan oleh Direktorat Profesi Pendidik (2007; 5) yang menyatakan sebagai berikut; “Berkaitan dengan faktor proses, guru menjadi faktor utama dalam penciptaan suasana pembelajaran. Kompetensi guru dituntut dalam menjalankan tugasnya secara profesional. Sebagai implikasi posisi ini, maka secara eksternal terjadi harapan dan tuntutan kualitas profesi keguruan, yang tidak hanya diukur berdasarkan kriteria lembaga penghasil (LPTK/Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan), tetapi juga menurut kriteria pengguna (user) antara lain asosiasi profesi, masyarakat dan lembaga yang mengangkat dan memberikan penghasilan. Berkaitan dengan permasalahan di atas, muncul pula permasalahan menurunnya mutu pendidikan, yang berkaitan erat dengan mutu kemampuan guru, khususnya gejala rendahnya mutu interaksi belajar-mengajar. Rendahnya mutu interaksi pembelajaran berkaitan erat dengan keempat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, akademik, kepribadian dan sosial, mungkin tekanannya ada pada kompetensi pedagogik, atau akademik, atau kepribadian ataupun kompetensi sosialnya. Salah satu evidensi empiris dinyatakan oleh Depdikbud (1993) “rendahnya mutu kemampuan guru berkaitan pula dengan faktor mutu calon guru yang relatif rendah, baik dari segi kemampuan intelektual maupun motivasi/dedikasi mereka menjadi guru”. (Depdikbud, 1993). Artinya masih banyak calon guru yang kurang memiliki kompetensi akademik, dan pedagogiknya. Masalah ini memunculkan persoalan bagaimana kesiapan mahasiswa calon guru memiliki pemahaman yang kompetensis tentang konsep hakikat manusia dan pendidikan. Dengan demikian, faktor mutu/kualitas hasil pendidikan, menjadi perhatian utama dalam bidang pendidikan. Sebagaimana tuntutan dari UndangUndang Republik Indonesia No.20/2003, menyatakan bahwa; Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Demikian pula sebagai evidensi teoritis yang dikemukakan oleh Konsorsium Ilmu Pendidikan, (Ditjen Dikti; 1992), menyatakan: ...program pendidikan prajabatan guru yang merupakan jajaran pelaksana program pendidikan melalui sistem persekolahan, perlu dikembangkan dengan acuan sistemik. Artinya, gambaran mengenai manusia dan masyarakat masa depan yang dikehendaki itu, dijadikan acuan penting dalam menjabarkan karakteristik pendidikan yang dikehendaki. Pada gilirannya, karakteristik pendidikan yang dikehendaki itu, selanjutnya dipergunakan pula untuk menjabarkan pendidikan prajabatan guru serta tenaga kependidikan lainnya yang diperlukan untuk mengoperasikan maupun mengembangkan sistem pendidikan itu sendiri. 66
Falsafah Pendidikan
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
Berdasarkan acuan pendapat tersebut di atas, baik secara praktis maupun teoritis, jelas bahwa konsep tentang Manusia dan Pendidikan harus difahami oleh calon guru, sebab pada hakekatnya apa yang akan dihadapi oleh guru adalah berkenaan dengan manusia dan prosesnya adalah urusan pendidikan. Dengan demikian, konsep hakekat manusia dan pendidikan merupakan seperangkat pengetahuan yang menjadi landasan filosofis bagi calon guru dalam menjalankan praktek pendidikan. Dengan beberapa landasan tersebut di atas, baik yang bersifat filosofis, teoritik maupun empirik, menunjukkan betapa pentingnya permasalahan pendidikan guru untuk dapat dikaji ulang melalui berbagai penelitian dan kajian.
Pembahasan 1. Masalah dan Asumsi Berdasarkan kajian latar belakang masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut: Bagaimana rumusan tujuan pendidikan, isi pendidikan yang mendasari pendidikan profesi keguruan, dan peta pemahaman mahasiswa kependidikan (khususnya UPI) pada tingkat akhir terhadap konsep hakikat manusia dan pendidikan dapat membekali pemantapan diri menjadi guru. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, diasumsikan bahwa setiap lembaga pendidikan keguruan memiliki visi, misi, dan tujuan pendidikan, yang mengakomodasi tujuan pendidikan nasional. Dalam implementasi program, setiap lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) memiliki Program pendidikan yang bersifat umum yang memberikan pemahaman tentang hakikat manusia, pemahaman tentang hakikat pendidikan sebagai dasar profesi keguruan, dan pada tingkat program studi memberikan pengetahuan dan keterampilan yang akan membekali mahasiswa bekerja pada bidang keguruan. Pada tingkat akhir diasumsikan mahasiswa telah memiliki pemahaman tentang konsep hakikat manusia dan pendidikan. Asumsi ini didasarkan pada fakta program pendidikan yang telah ditempuh oleh semua mahasiswa program Kependidikan pada tingkat akhir di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) (termasuk di UPI), telah menempuh PPL/PLP (Praktek Latihan Profesi) dan KKL (Kuliah Kerja Lapangan) sebagai program pelatihan pendidikan di lapangan.
Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah memperoleh seperangkat rumusan yang menggambarkan tentang peta pemahaman mahasiswa kependidikan terhadap konsep hakekat manusia dan pendidikan sebagai upaya pemantapkan diri mahasiswa sebagai calon guru. Dua konsepsi ini merupakan prasyarat seseorang menjadi guru, bila salah satu kurang dikuasai akan berdampak pada praktik pendi- dikan di lapangan menjadi lemah. 67
Falsafah Pendidikan
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
Oleh karena itu, bagaimana mahasiswa memiliki pemahaman teoritis tentang hakikat manusia dan pendidikan menjelang menjadi guru? b. Manfaat Hasil Penelitian Ada beberapa manfaat yang dapat dipertimbangkan untuk digunakan sebagai bahan masukan dalam peningkatan kualitas program pendidikan dasar umum dan dasar profesi keguruan pada LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) pada umumnya, dan secara khusus pada UPI. Manfaat yang lebih khusus adalah sebagai berikut:
1) Sebagai bahan informasi yang perlu dipertimbangkan dalam rangka perbaikan dan peningkatan program pendidikan dasar umum dan dasar profesi kependidikan (MKU dan MKDP) di LPTK;
2) Sebagai landasan perumusan dasar filosofis dan pedagogis yang perlu dipertimbangkan dalam mereviu program dasar umum (MKU) dan dasar kependidikan/keguruan (MKDP) untuk peningkatan kualitas pembinaan mahasiswa program kependidikan,
3) Sebagai bahan diskusi dan kajian bersama tentang tingkat kualitas dan kesiapan calon lulusan untuk menjadi guru, serta memotivasi para dosen pembimbing untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan bimbingan studi secara efektif di LPTK.
Paradigma Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutika untuk dapat memahami secara mendalam tentang bagaimana isi program yang dijabarkan dari visi, misi, dan tujuan pendidikan dari LPTK, serta dampaknya terhadap peta pemahaman mahasiswa tentang konsep hakikat manusia dan pendidikan dalam rangka kesiapan menjadi guru. Secara konkrit dapat digambarkan dalam bagan di bawah ini.
68
Falsafah Pendidikan
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
Gambar 1. Paradigma Penelitian Visi, Misi, dan Tujuan Pendidikan LPTK (UPI)
PROGRAM MKU DAN MKDP
Pemahaman tentang hakikat Manusia
Akademik Pemahaman ttg Hakikat Pendidikan
Peta pemahaman Mahasiswa
Praktek Profesi KESIAPAN DIRI MAHASISWA UTK MENJADI GURU PROFESIONAL
-Kompetensi Wawasan Kebangsaan -Kompetensi Pedagogik (teoritis & praktis) -Kompetensi Akademik -Kompetensi Praktek Profesi -Kompetensi Teknologis Pendidikan -Kompetensi Etik Profesional & Sosial
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam mempelajari tentang rumusan tujuan pendidikan, isi program, dan peta pemahaman mahasiswa tentang konsep hakikat manusia dan pendidikan, dilakukan kajian secara filosofis, fenomenologis, dan dengan pendekatan hermeneutika. Kajian filosofis digunakan untuk menganalisis rumusan yang kajiannya berkaitan dengan konsep hakikat manusia, rumusan tujuan pendidikan, dan kajian yang sifatnya deduktif. Metode filosofis berupaya merumuskan sesuatu yang bersifat das solen ( apa yang seharusnya). Kajian fenomenologis, berupaya merumuskan sesuatu yang sifatnya esensial yang didasarkan pada kajian fenomena. Kajian ini dapat menghasilkan rumusan tentang temuan hasil penelitian. Metode hermeneutika digunakan untuk menafsirkan pemahaman mahasiswa tentang konsep hakikat manusia dan pendidikan yang diungkapkan dalam porto-folio sebagai hasil narasi tentang pendapatnya.
Sumber Data Berkenaan dengan permasalahan penelitian, ada tiga sumber data, yaitu: (a). Mahasiswa Program S1 Kependidikan ( kasus di UPI) pada tingkat akhir yang mempunyai karakteristik 69
Falsafah Pendidikan
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
bervariasi antara masing masing Fakultas, sehingga dilakukan pengkajian secara kasual, (b) data dokumen tentang visi, misi dan tujuan pendidikan UPI sebagai LPTK, dan (c). data dokumen tentang program studi dan jurusan di lingkungan UPI pada Jurusan/Program Kependidikan. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan hermeneutik. Keseluruhan data yang diperoleh, merupakan data realitas yang dapat dijadikan dasar untuk merumuskan temuan penelitian yang secara ‘emic’ dapat menunjukkan setting alamiah.
Kajian Pustaka: Bagaimana Keutamaan Hakikat Manusia dalam Ilmu Pendidikan? Pada kajian tentang rujukan/referensi ini, bertujuan menjelaskan tentang nilai-nilai hakikat manusia dari berbagai pandangan dan implikasinya dalam ilmu dan praktek pendidikan. Menjelaskan hakikat manusia, tidak bisa lepas dari filsafat dan keyakinan, baik filsafat bangsa maupun agama yang menjadi dasar keyakinan dalam kehidupannya.
Kajian Islam tentang Hakikat Manusia dan Pendidikan Pada Al-Qura’n, Bachtiar Surin (1978; 1437) surat 95 ayat 4, telah dinyatakan oleh Alloh SWT, bahwa manusia diciptakan dengan sebaik-baiknya ciptaan (makhluk). Demikian juga dalam surat Al-Mu’minun (1978;742) surat 23, ayat 12 – 14, dijelaskan sebagai berikut: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan insan dari suatu saripati tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami ciptakan jadi segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami ciptakan (menjadi) segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami ciptakan menjadi tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami jadikan dia makhluk (berbentuk) lain. Maha Memberkahi Allah, Sebaik-baiknya Maha Pencipta. (Al-Mu’minun, 12-14). Begitu Maha Besar Allah yang telah menciptakan manusia secara spesifik dan luar biasa, yang tidak hanya dari aspek fisik yang sempurna, namun lebih disempurnakan dengan dilengkapi Ruh. Dan secara khusus kekuasaan Allah tentang ”Ruh” merupakan prerogatif Allah. Dalam surat Al-Isra (17) ayat 85, dinyatakan: ”Dan mereka bertanya kepadamu tentang Ar- Ruh. Katakanlah : Ar-Ruh itu berasal dari Amr Rabbku, dan tidaklah engkau diberi pengetahuan tentang itu melainkan sedikit”. (Bachtiar Surin, 1978). Imam Al-Ghazali, menggambarkan bahwa manusia itu adalah hewan yang mampu berfikir (hayyawan nathiq), maksudnya berjasmani seperti hewan, tetapi juga mampu menyerap pengetahuan tentang Allah SWT sebagaimana malaikat. Perbedaan antara manusia dengan hewan adalah adanya tambahan unsur jiwa (an-nafs) yang membuat manusia mampu berfikir dan mewujudkan apa yang dipikirkannya (nathiq), baik dalam bentuk perkataan hingga perbuatan, sehingga bila saja binatang diberi jiwa (an-nafs) sebagaimana diberikan kepada manusia, tentu ia akan sanggup berpikir dan akhirnya mukallafah. (Muhammad Sigit Pramudya dan Kuswandani Yahdin: 2005; 3) 70
Falsafah Pendidikan
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
Keutamaan manusia menurut Al-Ghazali adalah bahwa manusia dileng- kapi dengan fisik/ jasmani yang memiliki kesempurnaan struktur maupun organis- menya, memiliki Ruh Amr dan Nafakh Ruh (ruh hewani/nyawa), dan Nafs (jiwa). Menurut Imam Al-Ghazali (2005; 16): ”Untuk memahami keberadaan Ruh Amr, kita harus mengerti bahwa dia berasal dari alam Amr, yaitu alam di mana Amr-Amr (kehendak-kehendak) Allah SWT lahir dan berkembang. Ruh Amr ini bersifat lathifah a’limah, yaitu sesuatu yang lembut (tidak berjasad), memiliki ilmu dan memberikan kepahaman pada diri (an-nafs), kehadiran Ruh Amr ini adalah dalam posisi guru, pemberi pemahaman dan yang mentransfer pengetahuan dari sisi Allah SWT, sebab jiwa (an-nafs), hanya mampu mengetahui kekuatan yang ada dalam dirinya saja. Berdasarkan uraian tersebut, menggambarkan betapa proses yang terjadi pada diri manusia tidak dengan sendirinya memperoleh apa yang disebut Ruh Amr, sebab kemampuan jiwa (an-nafs) sampai menjadi nafs nathiqah melalui proses panjang, yaitu adanya proses pendidikan. Proses pendidikan inilah yang mengembangkan potensi-potensi atau kekuatankekuatan yang disebut aradh menjadi aktual dalam bentuk perilaku insani yang ihsani. Dengan demikian, pendidikan mempunyai fungsi utama dalam kehidupan manusia, yaitu menggali dan mengembangkan potensi-potensi manusiawi menjadi kekuatan insaniah yang mampu mendekati kekuatan ilahiyah, sehingga mencapai tahap insan ilahiah. Dengan uraian-uraian tersebut, kiranya dapat difahami betapa pendidikan sebagai suatu upaya dan kegiatan manusia yang utama dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan di dunia.
Kajian Filosofis tentang Hakikat Manusia dan Pendidikan Sikun Pribadi (1984; 107-108), menyatakan ada dua pendekatan filosofis dalam membicarakan hakikat manusia, yaitu pendekatan antropo-sentris dan alam-sentris. Pendekatan antropo-sentris memandang bahwa manusia itu makhluk yang paling menentukan di dunia ini. Manusia mempunyai kedudukan menghadapi alam, dan oleh karena itu harus mampu menundukkan dan mengelola alam. Pendekatan alam-sentris, memandang bahwa alamlah yang menentukan segalanya dalam alam ini. Manusia itu hendaknya menyesuaikan diri dengan alam, harmonis dengan alam, karena manusia adalah bagian dari alam dan secara hakiki sama dengan alam. Aliran-aliran filsafat modern pada umumnya lebih berorientasi pada pandangan yang antropo-sentris, karena pendekatan ini secara umum memberikan idealisme kepada praktek dan teori pendidikan ke arah kemajuan dan kehidupan pada tingkat yang lebih tinggi. Pandangan ini lebih menempatkan manusia sebagai makhluk yang mulia. Anjurannya untuk menguasai alam memberikan dorongan untuk memperbaiki dan memajukan dunia ini, termasuk mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan industri.
71
Falsafah Pendidikan
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
Hakikat Manusia dan Pendidikan dari Sudut Pandang Metafisik
a. Pandangan Idealisme.
Harold H. Titus dkk.,(1984; 316) menjelaskan bahwa “realitas terdiri atas ide-ide, fikiranfikiran, akal (mind) atau jiwa (selves) dan bukan benda material dan kekuatan”. Idealisme menekankan “mind” (Titus, 1984; Kneller, 1980; dan Power, 1982) sebagai hal yang lebih dahulu dari pada materi. Realitas, bukanlah kesatuan antara dua unsur setara jasmani dan ruhani atau materi dan ide. Segala sesuatu termasuk manusia pada hakikatnya terarah kepada kebaikan dan nilai yang baik dan suci. Manusia menurut idealisme merupakan bagian dari proses alam, dan oleh karena itu bersifat natural, ia bersifat spiritual, dalam arti bahwa di dalamnya terdapat sesuatu yang tidak dapat hanya dianggap sebagai materi. Hakikat manusia tidak cukup hanya dipahami melalui interpretasi fisiologis dan mekanistis, tetapi harus dipahami melalui kemampuan akal fikirannya yang memberi kemampuan untuk memilih. Manusia mempunyai kemampuan memilih untuk menjadi pelaku moral yang dapat mengungkapkan nilai (Soelaeman, 1985; dan Soelaeman, 1988) Berkenaan dengan pernyataan tersebut, Titus, dkk (1984; 316) menyatakan: Oleh karena alam mempunyai arti dan maksud, yang antara aspek-aspeknya adalah perkembangan manusia, maka seorang idealis berpendapat bahwa terdapat suatu harmoni yang dalam antara manusia dan alam. Apa yang “tertinggi dalam jiwa” juga merupakan “yang terdalam dalam alam”. Manusia merasa berada di rumahnya dalam alam; ia bukan orang asing atau makhluk ciptaan nasib, oleh karena alam ini adalah suatu sistem yang logis dan spiritual, dan hal ini tercermin dalam usaha manusia untuk mencari kehidupan yang baik. Pendidikan menurut idealisme, Kneller (1984) adalah pembentukan karakter dan pengembangan bakat insani dan kebajikan sosial. Aliran yang pandangannya hampir sama adalah humanisme rasional, yang menyatakan bahwa faktor yang paling penting dalam alam semesta ini adalah manusia dan kemanusiaan, dan oleh karena itu, rasionalitas merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan manusia dan kemanusiaan. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya bertujuan mengembangkan kecerdasan, (Power, 1982; dan Titus, 1984) dengan melalui latihan berfikir dan mengenali tata hukum ilmu melalui ensiklopedia atau buku-buku besar tentang ilmu yang telah dicapai dalam kebudayaan.
Pandangan Pragmatisme William James yang dikutip oleh Titus dkk. (1984; 340) mendefinisikan pragmatisme sebagai “sikap memandang jauh terhadap benda-benda pertama, prinsip-prinsip dan kategori-kategori yang diangap sangat penting, serta melihat ke depan kepada bendabenda yang terakhir, buah, akibat dan fakta-fakta.” Pragmatisme adalah aliran filsafat yang menekankan pada nilai kegunaan dari suatu hal. Pragmatisme juga sebagai metoda penyelidikan ekperimental (Titus, 1984; Power, 1982) yang dipakai dalam segala bidang pengalaman manusia, yaitu metode ilmiah sebagai dasar suatu filsafat. Aliran ini lebih mengutamakan pendekatan dan pengetahuann ilmiah untuk memecahkan masalah72
Falsafah Pendidikan
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
masalah sosial termasuk masalah etika dan agama. Hakekat manusia menurut pragmatisme, adalah hasil evolusi biologis, sosial dan psikologis (Power, 1982). Tingkat kesempurnaan derajat manusia dilalui dengan pengalaman panjang yang membentuk wujud biologis manusia menjadi sempurna. Kesempurnaan wujud biologis ini menjadikan fisik manusia lebih siap dalam menghadapi berbagai tantangan alam maupun kehidupan yang semakin kompleks baik dalam kuantitas maupun kualitasnya. Evolusi sosial dari manusia, telah mampu membentuk pola-pola kehidupan manusia baik secara individu, kelompok, masyarakat, bangsa maupun umat manusia menjadi memiliki aturan-aturan yang lebih kompleks dan mengarah ke padangan universalisme. Demikian pula proses evolusi psikologis umat manusia membentuk pribadipribadi manusia menjadi lebih kuat secara mental, moral maupun keyakinannnya. Dengan demikian, seluruh proses evolusi tersebut dilalui dengan proses belajar/ pendidikan yang cukup panjang dari generasi yang satu ke generasi berikutnya, dengan menyampaikan berbagai pengalaman yang berhasil atau yang gagal yang tidak boleh terulang lagi (Power, 1982; Titus 1984; Kneller, 1982, dan 1984) Berdasarkan kedua pandangan yang berbeda, menunjukkan bahwa hakikat manusia dan pendidikan merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, dan menempatkan manusia sebagai subyek yang juga ikut menentukan kehidupannya di muka bumi ini. Hal tersebut memperkuat asumsi penelitian ini, bahwa pemahaman terhadap konsep hakikat manusia dan pendidikan merupakan prasyarat bagi calon pendidik atau guru/pendidik.
Pandangan Eksistensialisme GF. Kneller dalam bukunya Existentialism and Education (1982 dan 1984) menguraikan bahwa eksistensialisme telah menjadi aliran filsafat yang berpengaruh. Eksistensialisme adalah suatu pandangan kritis atau suatu gerakan yang harus meninggalkan subtansi batiniahnya, untuk menyelidiki “raison d’etre” dan implikasinya terhadap tingkah laku manusia. Menurut Van Cleve Morris yang dikutip Kneller (1982), bahwa eksistensialisme bukanlah suatu “pengobatan spiritual” atau suatu “pelepasan yang menyenangkan”, Aliran ini menyelidiki secara mendalam ketidaksadaran, unsur-unsur irasional manusia, dan oleh karena itu pendidikan harus berhubungan dan mengatasi masalah tersebut. Pendidikan dianggap sebagai segalanya dan sebagai dasar umum untuk kemajuan manusia. Menurut Power ( 1981; 140 – 141) menyatakan, bahwa mencari prinsip-prinsip dan implikasi edukatif yang terdapat dalam filsafat eksistensialisme adalah suatu tugas yang sulit, karena ia bersifat puitis dengan ungkapan yang visioner dan impresif. Untuk memahami eksistensialisme kita harus memiliki pengetahuan dan kesadaran yang jelas, yaitu kita mulai dengan pengalaman langsung di lapangan. Pandangan eksistensialisme terhadap hakikat manusia, bahwa manusia adalah makhluk terbatas. Manusia terletak pada puncak realitas, tetapi dunia real dengan segala kekuatan dan subtansi yang ada, siap melenyapkan dirinya. Apa yang dilakukan manusia untuk melindungi dirinya dari kehidupan yang kejam itu? Ia memiliki intelegensi; dan ia memiliki kebebasan yang menyertai nasib yang dimilikinya. 73
Falsafah Pendidikan
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
Selanjutnya, Power (1982; 141-144) menjelaskan, bahwa pendidikan menurut eksistensialisme mempunyai dua tugas utama, yaitu pemenuhan tujuan-tujuan personal, dan mengembangkan rasa kebebasan dan rasa tanggung jawab.. Pendidikan yang baik ialah mempersiapkan seseorang agar memiliki kebebasan, dan pada saat yang sama menghargai kebebasan semua orang lainnya,“ I am responsible for my self and for all”. Berkenaan dengan hal tersebut, guru berfungsi sebagai penyampai misi kebebasan dan tanggung jawab lebih dari sekedar pengajar mata pelajaran-mata pelajaran yang terdapat dalam kurikulum. Dengan demikian kurikulum dirancang untuk menghasilkan manusia bebas bukan manusia budak.
Pandangan Posmodernisme Gagasan J.F. Lyotard menurut Bambang S (2002; 1), pandangan postmodernism tentang hakikat manusia, dilandasi oleh pemikiran era pramodern yang dapat diamati melalui pemikiran Sokrates, Plato dan Aristoteles, secara umum diperlihatkan adanya gagasan dasar bahwa manusia itu terbagi atas tiga entitas, yaitu corpus, animus, dan spiritus. Pengetahuan tentang kedirian manusia menempati kedudukan sentral sehingga dengan metodanya yang amat terkenal, Socrates dapat membongkar ketidaktahuan warga Athena atas keputusan-keputusan yang mereka ambil selama tak dilandasi oleh pengetahuan tentang diri yang benar. Selanjutnya Alfathri dan Iwan S., (2005) menguraikan bahwa dewasa ini, ada perubahan konotasi kebudayaan (culture) yang menjadi sinonim dengan humanitas atau kemanusiawian yang membedakan manusia dari hewan yang banyak dianut oleh para antropolog. Konsepsi kebudayaan yang berasal dari kata budha adalah pencapaian tingkat tertinggi kedirian manusia yang sepadan dengan “eudaimonia” dalam konsepsi Plato dan Aristoteles, sehingga budaya bermakna daya usaha yang dilakukan seseorang yang telah mencapai tingkat pengetahuan diri tertinggi atau daya upaya yang membimbing manusia untuk mencapai tingkat pengetahuan diri yang tertinggi. Pengetahuan ini secara implisit mengandung makna bahwa pencapaian pengetahuan diri yang tertinggi, manusia hanya mungkin melalui pendidikan. Hal ini didukung oleh pemikiran Philip H. Phenix (1964: 17) yang menyatakan : ”Since education is means of helping human beings to become what they can and should become, the educator needs to understand human nature. He needs to understand people in their actualities, in their possibilities, and in their idealities. He must also know how to foster desirable changes in them”. Pemahaman hakikat manusia bagi pendidik atau calon pendidik merupakan landasan atau titik awal untuk berbuat apa yang secara empirik dan faktual diperlukan sekarang dan dapat menjadi rambu-rambu ke arah mana tujuan yang akan dicapai sesuai dengan keperluan pengembangan di masa yang akan datang. Dengan demikian, pemahaman hakikat manusia dan pendidikan diperlukan dalam rangka studi pendidikan dan diimplementasikan dalam praktek pendidikan yang terbaik. Herbert Spencer dalam S.E. Frost Jr (1957; 83) menyatakan bahwa beradanya manusia di alam semesta adalah sebagai makhluk (ciptaan) Tuhan. Tokoh yang berpandangan 74
Falsafah Pendidikan
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
demikian adalah Thomas Aquinas (S.E. Frost, 1957; 64) dan Algazali (Ali Issa Othman, 1987; 185-190). Kaum kreasionisme, menyatakan bahwa manusia adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Muhammad Baqir Ash-Shadr yang dikutip oleh Ali Issa Othman (1991: 226-228) dengan argumen kosmologinya menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada mesti mempunyai suatu sebab. Adanya alam semesta – termasuk di dalamnya manusia – adalah sebagai akibat. Rangkaian sebab-akibat, memunculkan pemikiran adanya “Sebab Pertama” yang tidak disebabkan oleh sebab yang lain. Sebab Pertama adalah sumber bagi sebab-sebab yang lain, bukan berkedudukan sebagai materi, melainkan sebagai “Pribadi” atau “Khalik”. Demikian pula, Thomas Aquinas mempunyai pandangan seperti tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Harold H. Titus dkk. (1959; 418). Implikasi dari pemikiran tersebut terhadap pendidikan adalah, bahwa dalam pendidikan mempunyai esensi yang perennial (abadi) dalam upaya mengembangkan kemampuan berfikir manusia ke arah pengembangan kesempurnaan harkat martabat manusia sebagai mahluk di atas bumi. Pendidikan inilah pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai ketuhanan, dan pendidikan model ini telah ada dan terbungkus rapi dalam pendidikan yang berbasis filsafat pendidikan Pancasila.
Hakikat Manusia dan Pendidikan Menurut Pancasila Ki Hajar Dewantara (1983; 35-40) menggagas pendidikan yang berbasis pada lima dasar (Panca Darma) yaitu: Kemerdekaan, kodarat alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan. Prinsip tersebut menggambarkan betapa keunggulan manusia dihargai dan dikembangkan sesuai dengan hak azasi yang ada pada manusia, bukan hanya sebagai slogan yang disebarkan negara adikuasa agar menjunjung tinggi hak azasi manusia, sementara mereka mengintervensi negara lain dengan dalih menegakkan demokrasi. Manusia, menurut pandangan Pancasila (BP7, 1996; 95), adalah sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, makhluk individual dan sekaligus sosial, dan dari ketiga potensi tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh sebagai subtansi manusia Indonesia dari wujud jasmani dan rohaninya. Pancasila menempatkan manusia dalam keluhuran martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Manusialah yang menjadi titik tolak usaha kita untuk memahami manusia itu sendiri, manusia dan masyarakat, serta manusia dengan lingkungan hidupnya (BP7; 1996, hal. 46). Manusia Indonesia dalam pandangan Pancasila tidak diartikan sebagai makhluk individual yang menyendiri, terasing dan terlepas dari yang lainnya, tetapi sebagai makhluk yang hidup “sesama manusia” dan bersama manusia lainnya. Pemikiran ini juga pernah dikemukan oleh M. Heidegger yang dikutip oleh MI.Soelaeman (1984, hal. 101) yaitu bahwa “menjadi manusia adalah menjadi sesama manusia”. Maksudnya ialah bahwa setiap kita memikirkan dan menentukan manusia, kita selalu menjumpainya bersama manusia lain, bersama sesama manusia, sehingga menurut pandangan ini bahwa manusia tidak terbayangkan jika tanpa lingkungan manusia dan pendidikan. Hal ini mengandung makna, bahwa manusia yang hidup dengan manusia lain tidak selalu meningkatkan harkat dan martabat kemanusiawiannya, apabila tanpa dibarengi dengan pendidikan. Pernyataan ini menunjukkan bahwa keutamaan manusia hanya bisa dikembangkan melalui pendidikan, 75
Falsafah Pendidikan
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
baik pendidikan umum maupun pendidikan profesional. Konsep hakikat pendidikan, sebagaimana Soeprapto, dkk. (1996), menyatakan bahawa: Pancasila menampilkan pandangan bahwa manusia pada hakikatnya adalah kesatuan pribadi yang memiliki dimensi individual dan sekaligus sosial. Oleh karena itu, pembentukan kepribadiannya harus terjadi dengan merealisasikan kedua dimensi itu secara integral dan seimbang. Pengembangan pribadi hanya terjadi dengan baik sejauh dilakukan dalam konteks kemasyarakatannya, sedangkan masyarakat hanya akan bermakna dan meningkat kualitasnya sejauh mampu mendukung proses pendewasaan pribadi-pribadi warganya. Konsep tersebut, secara tegas memandang manusia sebagai kesatuan yang utuh antara berbagai aspek yang ada pada diri manusia, baik antara dimensi individual dan sosial, maupun antara dimensi keragawian dan kejiwaan serta keruhanian. Dengan demikian, pandangan Pancasila terhadap hakikat manusia yang didasarkan pada keyakinan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan sesuai dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, membuka perspektif yang jauh terhadap pandangan tentang hakikat manusia (antropologis) serta memiliki dampaknya terhadap pengertian serta pelaksanaan pendidikan. Permasalahannya adalah belum semua guru memahami bagaimana bertindak pedagogis yang sesuai dengan pandangan bahwa hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan. Pendidikan, dikonsepsikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (UURI, No. 20/2003, Pasal 1 ayat 1, hal, 2). Selanjutnya, pada Pasal 1 ayat 2 (UURI, No. 20/2003), dinyatakan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Dengan demikian, konsep pendidikan nasional menghendaki agar masyarakat dan dunia modern lebih menekankan pada fungsi pendidikan yang bersifat inovatif dari pada adaptif. Demikian pula pendidikan bukan merupakan hak prerogratif dari sekelompok orang tertentu. Kesamaan kesempatan pendidikan untuk semua orang dalam setiap tahap hidupnya hendaknya diberikan, sehingga mengarah pada proses demokratisasi dalam pendidikan, di mana setiap orang dapat mewujudkan hak asasinya, yaitu mengembangkan seluruh potensinya secara optimal.
Hasil-Hasil Penelitian Hasil-hasil penelitian ini akan lebih terkonsentrasi pada hasil analisis terhadap portofolio dari mahasiswa yang akan menggambarkan realitas pengalaman yang berkaitan erat dengan peta pemahaman mahasiswa terhadap hakikat manusia dan pendidikan, yakni; 1. Hasil Data Portofolio Secara umum, hasil penelitian menggambarkan bahwa mahasiswa LPTK (khususnya UPI) 76
Falsafah Pendidikan
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
pada tingkat akhir telah memiliki pemahaman tentang hakikat manusia dan pendidikan yang memadai dalam kesiapannya menjadi guru. Peta pemahaman mahasiswa tentang konsep hakikat manusia lebih terkonsentrasi pada pendekatan agama/religi, sedangkan konep tentang hakikat pendidikan lebih terkonsentrasi pada pendektan ilmiah. Peta pemahaman mahasiswa tentang konsep hakikat manusia Indonesia adalah sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dilandasi oleh pemahaman dari kaidah-kaidah agama/religi, yaitu sebesar 46,80 %, yang berbasis pada kajian filsafiah sebesar 17,02 %, dan yang berbasis pada kajian ilmiah sebesar 36, 17 %. Peta pemahaman mahasiswa tentang hakikat pendidikan, yang berorientasi pada kajian ilmiah mencapai 82,5 %, yang berbasis pada kajian filsafiah sebesar 10 %, dan kajian secara religi hanya 7,5 %, dari 40 pernyataan jawaban, dari 30 reponden. Peta pemahaman mahasiswa tentang hakikat guru, yang menggambarkan pada kompetensi pedagogik sebanyak 36,92% , pada kompetensi kepribadian sebesar 10,77 %, pada kompetensi sosial 16,92 dan 35,38 % pada kompetensi metodologis. Tingkat wawasan mahasiswa tentang hakikat manusia dan pendidikan, yang luas mencapai 50 %, tingkat wawasan yang cukup mencapai 35 %, sedangkan jawaban yang memiliki wawasan yang kurang mencapai 15 %. 2. Dapatan Hasil Penelitian Berdasarkan kajian hasil-hasil penelitian di atas, dapat dirumuskan beberapa temuan hasil penelitian, yaitu sebagai berikut: a. Landasan keilmuan yang membentuk calon sarjana sebagai ilmuwan dan sebagai pendidik, belum terakomodasi dalam kurikulum baik pada kelompok bidang studi MKU maupun MKDP. b. Peta konsep pemahaman mahasiswa tentang konsep hakikat manusia dan hakikat anak sebagai subyek pendidikan, menunjukkan keragaman dalam cara menjawab dan berargumentasi, namun hampir semua jawaban mahasiswa menggambarkan adanya pengaruh yang lebih terorientasi pada peta pemahaman agama (Islam) dan pandangan ilmiah (psikologis) ketimbang pada kajian filosofis. c. Peta pemahaman mahasiswa kependidikan tentang hakikat pendidikan lebih dimaknai secara kajian ilmiah ketimbang filsafiah, yang berdampak pada pandangan yang sempit atau kurang komprehensif. d. Dasar keilmuan fakultas secara akademik, dapat memberikan warna cara pandang mahasiswa terhadap hakikat manusia dan pendidikan, sehingga peta pemahaman mahasiswa diwarnai oleh dasar-dasar pendidikan keilmuan di fakultasnya yang lebih terorientasi pada pandangan ilmiah.
77
Falsafah Pendidikan
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
Rekomendasi Berdasarkan kajian hasil-hasil penelitian di atas, dapat dikemukakan beberapa saran sebagai sumbangan fikiran, baik untuk pengembangan kurikulum pendidikan tenaga kependidikan, maupun kepada lembaga penyelenggara pendidikan calon guru, yaitu sebagai berikut: 1. Terjadinya peta pemahaman mahasiswa yang kurang proporsional terhadap hakikat manusia dan pendidikan, salah satunya bisa disebabkan oleh beban silabi yang kurang memberikan wacana kajian yang komprehensif terhadap masalah subyek yang menjadi obyek telaahan. Oleh karena itu, tim pengembang kurikulum, kiranya dapat mereviu dan melakukan sinkronisasi terhadap silabi-silabi berbagai mata kuliah di antara program pendidikan umum (MKU), berbagai mata kuliah dasar profesi kependidikan/keguruan (MKDP), dan berbagai mata kuliah bidang studi yang ada di fakultas, baik tingkat fakultas (MKK fakultas) dan program studi yang khusus membina profesi kependidikan. 2. Perlu ditindaklanjuti dengan mereviu dan menyusun program pendidikan yang berwawasan global dalam MKU dan MKDP, untuk mengembangkan landasan keilmuan yang mantap, yang mencakup wawasan kefilsafatan kebangsaan (Pancasila), filsafat pendidikan, filsafat ilmu, Pedagogik teoritis, serta ilmu-ilmu pendidikan lainnya yang membekali pemahaman mahasiswa dalam mempersiapkan mereka menjadi guru/ pendidik profesional dari tingkat usia dini, pendidikan dasar, sampai tingkat pendidikan menengah. 3. Diperlukan reviu terhadap kurikulum LPTK sebagai penyelenggara pendidikan tenaga kependidikan terhadap pentingnya ilmu yang melandasi wawasan dan pemahaman mahasiswa calon guru untuk menguasai landasan filosofis ilmu pendidikan yang mendasari pemahaman yang kritis dan komprehensif dalam praktek kependidikan di sekolah maupun masyarakat, dan pedagogik/pedagogy yang memberikan landasan keilmuan praktik mendidik yang seharusnya/sesungguhnya. 4. Landasan keilmuan pendidikan khususnya filsafat pendidikan dan pedagogik, akan memberikan pemahaman yang kuat terhadap mahasiswa keguruan dari tingkat anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Porsi kajian pedagogik pada mahasiswa keguruan untuk tingkat usia dini dan pendidikan dasar, selayaknya lebih intensif, sebab subyek didik yang dihadapi lebih banyak membutuhkan kajian pedagogis, bukan hanya psikologis dan teknologis. Oleh karena itu, konsentrasi peningkatan kompetensi calon guru SD dan TK perlu mendapat perhatian khusus. 5. Berdasarkan temuan-temuan di atas, maka secara jelas fungsi FIP sebagai fakultas yang memberi dasar-dasar pemahaman tentang konsep hakikat manusia dan pendidikan (dalam kerangka MKDP), masih kurang intensif dan efektif.
Kesimpulan Program Pendidikan Umum (MKU) dan program Profesi Pendidik (MKDP), perlu dijabarkan secara tegas untuk mengembangkan landasan keilmuan yang mendasari kompetensi profesional tenaga pendidik dan tenaga kependidikan lainnya. Peta 78
Falsafah Pendidikan
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
pemahaman mahasiswa tentang konsep hakikat manusia dan pendidikan lebih terorientasi pada pendekatan religi dan ilmiah ketimbang filsafiah. Peta pemahaman mahasiswa sangat erat kaitannya dengan warna dan basis keilmuan fakultas di mana mahasiswa belajar sebagai calon tenaga pendidik/guru. Sehingga mahasiswa yang berasal dari FPMIPA lebih terorientasi pada pendekatan ilmiah (natural science), FPIPS lebih terorientasi pada social science, FIP lebih terorientasi pada pendekatan psikologis, FPBS lebih terorientasi pada pendekatan kultural/humaniora, dan FPOK lebih terorientasi pada pendekatan physical science.
Rujukan Adlin, Alfathri dan Suryolaksono, Iwan., (2005), Reduksi Konsepsi Manusia: Tinjauan Umum pada Era Pramodernisme, Modernisme, dan Posmodernisme, Tersedia: http://suluk.blogspot.com/2005/06/reduksi-konsepsi-manusia-tinjauan-umum. html (20 Agustus 2007) Al- Syaibani, Al-Toumy Mohammad Omar,. (1979), Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang Beck, Clive (1993) Postmodernism, Pedagogy, and Philosophy of Education, Ontario Institute for Studies in Education, http:/www.ed.uiuc.edu/eps/ PES-Yearbook/93_ docs/BECK.HTM Blacker, David (1993) Education as The Normative Dimension of Philosophical Hermeneutics, University of Illinois, Urbana-Chapaign, http://www. ed.uiuc. edu/EPS/PES-Yearbook/93_docs/BLACKER.HTM BP-7 Pusat, (1996) Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasilsa, Jakarta, Proyek Pendidikan Pengembangan dan Pembinaan Penataran P-4 (BP-7), Perum Percetakan Negara RI. Brubacher, John S., (1950) Modern Philosophies if Education, New York, Mc. Graw Hill, Broh Company. Inc Dunkin, Michael J., and Biddle, Bruce J., (1974), The Study of Teaching, New York, Holt, Rinehart and Winston Departemen Pendidikan Nasional, (2003), Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta Penjelasannya, Jakarta, Balai Pustaka ___________, (2005), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta, Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Profesi Pendidik, (2007), Peningkatan Kualifikasi Guru, Jakarta, Direktorat Jenderal PMPTK, Departemen Pendidikan Nasional
79
Falsafah Pendidikan
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
Howard, Roy J., (2000), Pengantar Teori-Teori Pemahaman Kontemporer; Hermeneutika, Editor Ahli: Ninuk Kleden – Probonegoro, Jakarta, Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation Kneller, George F., (1984), Movements of Thought in Medern Education, New York, Chichester, Brisbane, Toronto, Singapore. John Wiley & Sons Kneller, George F., (1980), Introduction to Phylosophy of Education, New York, Chichester, Brisbane, Toronto, Singapore. John Wiley & Sons Konsorsium Ilmu Pendidikan, (1992), Ketentuan-Ketentuan Pokok Kurikulum Pendidikan Prajabatan Tenaga Kependidikan dan Strategi Pengembangannya, Jakarta, PPTKPT – Ditjen Dikti, Depdikbud Langeveld, M.J., (1970), Pedagogik Teoritis Sistematis, Penerjemah Simanjuntak, Bandung, CV. Jemmars Madison, G.B. (1990), The Hermeneutics of Postmodernity, Library of congress Cataloging in- Publication Data, United States of America. Miles, B Matthew, Huberman, Michael., (1992), Analisis Data Kualitatif, Penterjemah: Tjetjep Rohendi Rohidi, Universitas Pendidikan Press, Jakarta. Novak, Joseph D., (1979) A Theory of Education, Jthaca, Carnell Universuity Press Othman, Isa Ali., Smith, J., Anas Mahyudin, Yusuf, (1981), Manusia Menurut Al Ghazali, Bandung, Perpustakaan Salman, ITB. Phenix, H Philip, ( 1964), Realm of Meaning, A Philosophy of The Curriculum for General Education, New York, McGraw Hill, Boock Coy. Pribadi, Sikun (1984), Landasan Kependidikan, Kelompok Dosen Filsafat dan Sosiologi Pendidikan, Bandung, FIP – IKIP Power, Edward J., (1982) Philosophy of Education, Studies in Philosopies, Schooling and Education Policies, New Jersey, Prentice-Hall, Inc. Pramudya, M. Sigit, dan Kuswandi Yahdin, (2001) ‘Jism’, ‘Aradh’, ‘Jauhar’ dan ‘Ruh Amr’: Struktur Insan dalam Perspektif Imam Al-Ghazali, Jurnal Suluk Ruh Al-Quds, Vol. I No. 1, Paramartha – PICTS. http:/suluk. Blogsome. com/2005/06/30/jism-aradh-jauhar-dan-ruh-amr-struktur-insan- dala…(Maret, 10- 2008) Soelaeman M.I, (1985),Suatu Telaah Pendekatan Fenomenologis Terhadap Situasi Kehidupan dan Pendidikan dalam Keluarga dan Sekolah, Disertasi, Bandung, Fakultas Pasca Sarjana, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan ______, (1988) Suatu Telaah Tentang Manusia Religi – Pendidikan, Jakarta, Proyek Pengembangan LPTK Sugiharto, Bambang I., (2002), Foucault dan Posmodernisme, Bandung, Universitas Parahiyangan Suprapto, Saafroedin Bahar, Ismail Arianto, (1996), Cita Negara Persatuan Indonesia, Jakarta, BP7 Pusat. Suriasumantri, Jujun S., (1982), Ilmu Dalam Perspektif, Jakarta, PT. Gramedia 80
Falsafah Pendidikan
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
Surin, Bachtiar,.(1978) Terjemah & Tafsir Alqura’n, Bandung, Fa. Sumatra Titus H. Harold., Smith S. Marilyn., Nolan T. Richard., (1979), Living Issues in Philosophy, An Introductory Texbook, Belmon, Califormnia, U.S.A., Wardswoth Publishing Company Universitas Pendidikan Indonesia, (2005), Rencana Strategis (Renstra) Universitas Pendidikan Indonesia 2006 - 2010, (Ketetapan Majelis Wali Amanat Nomor: 12/MWA UPI/2005 Tanggal 30 Desember 2005, Bandung, UPI Yelon. L Stephen, Weinstein.W Grace.,(1977), A Teachers World, Psychology in The Cassroom, Auckland Bogota, Guatemala, Hamburg, Johannesburg, etc., McGraw-Hill International Book Company.
81