Nama Penulis tiap Artikel
PESANTREN DAN TANTANGAN ARUS GLOBAL (Dakwah Pesantren Di Era Globalisasi). Samsurrohman MSI. Penulis adalah dosen UNSIQ Jawa Tengah di Wonosobo, penulis buku pengantar ilmu tafsir Abstrak Pesantren terbangun dari konstruksi kemasyarakatan dan epistimologi sosial yang menciptakan suatu transendensi atas perjalanan historis sosial. Sebagai center of knowledge, dalam pendakian sosial, pesantren mengalami metafosis yang berakar pada konstruksi epistimologi dari variasi pemahaman di kalangan umat Islam. Hal yang menjadi titik penting ialah kenyakinan eksistensi pesantren sebagai salah satu pemicu terwujudnya kohesi sosial. Keniscayaan ini karena pesantren hadir terbuka dengan semangat kesederhanaan, kekeluargaan dan kepedulian sosial. Kohesi perilaku (social behavior) yang ditampilkan ini mempunyai daya rekat sosial yang tinggi dan sulit ditemukan pada institusi pendidikan lainnya. Pesantren di era Global, sudah seharusnya mulai bergerak melakukan introspeksi terhadap ajaran dasarnya, sebagai upaya menghadapi tantangan radikalisme, sehingga pesantren tidak terlalu kaku dalam mentransfer serta mensikapi perubahanperubahan sosial. Pendidikan pesantren harus dikembalikan kepada format awalnya secara kritis, yakni sebagai pusat pendidikan yang mampu beradaptasi dengan budaya lokal, tanpa harus saling menafikan. KataKunci: Pesantren, Tantangan Global
A. Pendahuluan Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah "tempat belajar para santri", sedang pondok berarti "rumah atau tempat sederhana yang terbuat dari bambu". Di samping itu, pondok mungkin juga berasal dari bahasa Arab "funduk" berarti "hotel" atau "asrama".16 Ada beberapa istilah yang ditemukan dan sering digunakan untuk menunjuk jenis pendidikan Islam tradisional khas Indonesia atau yang lebih terkenal dengan sebutan pesantren. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura, umumnya dipergunakan istilah pesantren atau pondok, di Aceh dikenal dengan Istilah Dayah atau rangkung atau meunasah, sedangkan di Minangkabau disebut Surau.17 Secara terminologi pesantren, ada beberapa pendapat yang mengarah pada definisi pesantren. Abdurrahman Wahid, memaknai pesantren secara teknis, a place where santri (student) live, sedang Abdurrahman Mas'oed menulis, The word pesantren stems from "santri" which means one Who seeks Islamic knowledge. Usually the word pesantren refers to a place where the santri devotes most of his or her time to live in and acquire knowledge. Kata pesantren berasal dari kata santri, berarti orang yang mencari
16 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kiayi, (Jakarta: LP3ES, 2011), hal. 41. 17
Nawani, Ibda', Jurnal Stadi Islam Dan Budaya, (P3M STAIN Purwokwrto, Vol. 4, No. 1, 2006), hal. 1. Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 205
Samsurrohman, Pesantren Dan Tantangan Arus Global
Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
pengetahuan keislaman. Pada umumnya kata pesantren mengacu pada tempat di mana santri menghabiskan kebanyakan waktunya untuk tinggal dan memperoleh pengetahuan. 18 Diantara cita-cita pesantren adalah latihan untuk dapat berdiri sendiri dan membina diri agar tidak menggantungkan sesuatu kepada orang lain kecuali kepada Tuhan.19 Kemandirian yang dibangun dalam pesantren semacam ini sangat berguna bagi para generasi penerus bangsa, khususnya ketika mereka dihadapkan kepada kehidupan yang modern seperti sekarang ini, dimana kemandirian seseorang sangat membantu kelangsungan dakwah islamiah. Sehingga tidak heran peran pesantren, khususnya, di masa kolonial sangat nampak andilnya di bidang pendidikan untuk mencerdaskan bangsa di atas kemandiriannya lebaga pesantren yang telah lulus dari pesantren sebelumnya. B. Basik Kultur Pesantren Pesantren di Indonesia baru diketahui keberadaan dan perkembangannya setelah abad ke 16. Pesantren-pesantren besar yang mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fikih, teologi dan tasawuf. Pesantren ini kemudan menjadi pusat pusat penyiaran Islam seperti; Syamsu Huda di Jembrana (Bali) Tebu Ireng di Jombang, Al Kariyah di Banten, Tengku Haji Hasan di Aceh, Tanjung Singgayang di Medan, Nahdatul Watan di Lombok, Asadiyah di Wajo (Sulawesi) dan Syekh Muhamad Arsyad Al-Banjar di Matapawa (Kalimantan Selatan) dan banyak lainnya. Sejarah pondok pesantren merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah pertumbuhna masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan bahwa sejak kurun kerajaan Islam pertama di Aceh dalam abad-abad pertahamaHijriyah, kemudian pada kurun Wali Songo sampai permulaan abad 20 Banyak para wali dan ulama yang menjadi cikal bakal desa baru.20 Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia, lembaga pendidikan ini telah berkembang khususnya di Jawa selama berabad-abad. Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M, di Gresik Jawa Timur), spiritual Father Wali songo, dalam masyarakat santri Jaw di pandang sebagai gurunga guru tradisi pesantren di tanah Jawa.21 Yang berjuang mengusir Portugis (abad ke 15), diteruska masa Cik Ditiro, Imam Bonjol, Hasanuddin, Pangeran Antasari, Pangeran Diponegoro, dan lain lainnya sampai pada masa revolusi fisik tahun 1945.22 Horeisme kebangsaan dan intelektualisme keagamaan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan kaum santri. Keduanya membutuhkan tokoh ideal dalm bentuk kepemimpinan efektif dan fungsional. Hubungan kaum santri dan pemimpin dalam bentuk teacher-disciple relation dilandasi sebuah pertalian yang tidak pernah putus, yaitu ikatan denominasi keagamaan yang berdimensi teologis. Signifikasi kehidupan ini sangat patuh terhadap penguasa-penguasa yang shaleh, dan dalam waktu yang sama mereka 18 Tentang definisi pesantren, bandingkan, H.M. Arifin, M.Ed., Kapita Selekta Pendidikan Umun dan Islam, (jakarta. Bina Aksara, 1991), hal. 240. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Hal. 41. Sudjoko Prasodjo, dkk., Profil Pesantren, (Jakarta, LP3ES, 1982), hal. 61. 19
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, hal. 45.
20
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, (Jakarta, Gema Insani Press, 1997), hal. 82.
21
Marwan Saridjo, Sejarah Podok pesantren di Indonesia, (Jakarta, Dharma Bhakti, 1982), hal. 7.
22
K.H. Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, (Bandung, Al Ma'arif, 1979), hal. 263. 206 | ISSN: 2356-2447-XIII
Samsurrohman, Pesantren Dan Tantangan Arus Global
Nama Penulis tiap Artikel
memperoleh support dari the so caled pious ruler. Meskipun tidak ada dukungan dari pemerintah koloni atau sultan untuk memacu kualitas dan kuantitas pendidikan Islam di Jawa abad ke- 19, tetapi pertumbuhannya terjadi secara massif. 23 Pesantren yang merupakan "bapak" dari pendidikan Islam di Indonesia didirikan karena adanya tuntutan dan kebutuhan zaman. Hal ini bisa dilihat dari perjalaan sejarah, bila diruntt kembali sesungguhnya pesantren dilahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah Islamiyah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam sekaligus mencetak kader-kader Ulama atau da'i.24 Pendidikan pesantren adalah pendidikan tertua di Indonesia, hingga saat ini model pendidikan pesanren masih bertahan di tengah-tengah modernisasi pendidikan. Tetapi, juga harus diakui bahwa pesantren-pesantren yang dulu pernah mengalami kejayaan, sebagian mengalami kesurutan sejarah karena regenerasi para Kyainya tidak disiapkan dalam pengkaderan serius. Namun demikian, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki keunikan tersendiri, telah mengalami perkembangan yang sangat berarti. Bahkan pesantren merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah pertumbuhan masyarakat Indonesia. Hal itu telah terbukti sejak kurun kerajaan Islam pertama di Aceh dalam abad-abad pertama Hijriah, kemudian dikurun Wali Songo sampai permulaan abad 20 banyak para wali dan ulama yang mejadi cikal bakal desa baru.25 Dalam perkembangannya, pondok pesantren telah mengalami beberapa fase perkembangan. Hasil penelitian LP3S Jakarta, telah mencatat 5 macam pola fisik pondok pesantren, sebagai berikut: 1.
Pondok pesantren yang hanya terdiri dari masjid dan rumah Kyai. Pondok pesantren seperti ini masih bersifat sederhana sekali, di mana Kyai masih mempergunakannya untuk tempat mengajar, kemudian santri hanya datang dari daerah sekita pesantren itu sendiri.
2.
Pondok pesantren selain masjid dan rumah Kyai, juga memiliki pondok atau asrama tempat menginap para santri yang datang dari daerah-daerah yang jauh.
3.
Pondok pesantren selain memiliki vasilitas tersebut diatas, juga telah memiliki dan dilengkapi dengan diadakannya sistem weton dan sorogan, pondok pesantren ini telah melenggarakan sistem pendidikan formal seperti madrasah.
4.
Pondok pesantren pada pola keempat ini, selain vasilitas tersebut di atas, juga telah dilengkapi dengan tempat-tempat yang mendukung untuk pendidikan ketrampilan, seperti peternakan, perkebunan dan lain-lain. Pesantren Pada pola ini lebih komplit lagi, karena selain vasilitas serta sarana-sarana, pesantren juga telah memiliki bangunan-bangunan, seperti: perpustakaan, dapur umum, ruang makan, kantor administrasi, toko dan lain sebagainya. Pondok pesantren tersebut telah berkembang atau bisa juga disebut pondok pesantren pembangunan.
23
Abdurrahman Mas'ud, Sejarah Dan Budaya Pesantren, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002), hal. 16-
17. 24 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta, Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, LKIs, 1999), hal. 138. 25
Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta, Dharma Bhakti, 1982), hal. 7 Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 207
Samsurrohman, Pesantren Dan Tantangan Arus Global Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
Dengan demikian, pesantren sesungguhnya terbangun dari konstruksi kemasyarakatan dan epistimologi sosial yang menciptakan suatu transendensi atas perjalanan historis sosial. Sebagai center of knowledge, dalam pendakian sosial, pesantren mengalami metafosis yang berakar pada konstruksi epistimologi dari variasi pemahaman di kalangan umat Islam. Hal yang menjadi titik penting ialah kenyakinan eksistensi pesantren sebagai salah satu pemicu terwujudnya kohesi sosial. Keniscayaan ini karena pesantren hadir terbuka dengan semangat kesederhanaan, kekeluargaan dan kepedulian sosial. Kohesi perilaku (social behavior) yang ditampilkan ini mempunyai daya rekat sosial yang tinggi dan sulit ditemukan pada institusi pendidikan lainnya. Kemampuan pesantren dalam mengembangkan diri dan mengembangkan masyarakat sekitarnya ini dikarenakan adanya potensi yang dimiliki oleh pondok pesantren, antara lain sebagai berikut; Pertama, pondok pesantren hidup selama 24 jam; dengan pola 24 jam tersebut, baik pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan, sosial kemasyarakatan, atau sebagai lembaga pengembangan potensi umat dapat diterapkan secara tuntas, optimal dan terpadu. Kedua, mengakar pada masyarakat, pesantren banyak tumbuh dan berkembang umumnya di daerah pedesaan karena tuntutan masyarakat yang menghendaki berdirinya pondok pesantren. Kecenderungan masyarakat menyekolahkan anaknya ke pesantren memang didasari oleh kecenderungan mereka terhadap pembinaan yang dilakukan oleh pondok pesantren yang lebih mengutamakan pendidikan agama. 26 Karaktek yang sangat mengakar pada pesantren, sehingga menjadi basikultur bagi pesantren, paling tidaka ada tiga, yaitu; 1.
Tradisionalisme
Tradisionalisme dalam konteks pesantren harus dipahami sebagai upaya mencontoh yang dilakukan ulama salaf yang masih muni dalam menjalankan ajaran Islam agar terhindar dari bid'ah, khurafat, takhayul, serta klenik. Hal ini kemudian dikenal dengan gerakan salaf, yaitu gerakan dari orang–orang terdahulu yang ingin kembali kepada Al Qur'an dan Hadits.27 Gerakan salaf ini dalam perjalanan sejarah telah memberikan sumbangan besar terhadap modersisasi Islam. Gerakan salaf secara sadar menolak anggapan bahwa Islam tidak cocok. Mereka mencari tahu faktor apa yang menyebabkan ketidak cocokannya, ternyata faktor itu adalah taklid. 2.
Pertahanan Budaya
Mempertahankan dan tetap bersandar pada ajaran dasar Islam dan budaya pesantren yang sudah berkembang berabad-abad. Sikap ini tidak lain merupakan konsekuensi logis dari modelling. Ide cultural resistance juga mewarnai kehidupan intelektual dunia pesantren. Subjek yang diajarkan di lembaga ini melalui hidayah dan berkah seorang Kyai sebagai guru utama atau Irsyadu Ustadin adalah kitab klasik atau kitab kuning, diolah dan ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikut, yang sekaligus menunjukan kemapuhan kepemimpinan Kyai. Isi kitab kuning menawarkan kesinambungan tradisi yang benar. Karena konsep cultural resistance pula, dunia pesantren selalu tegar menghadapi hegemoni dunia luar. Sejarah menunjukkan bahwa saat penjajah semakin 26
http://ww.pesantrenonline/artikel/detailartikel?.php=124.
27
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta, LP3ES, 1986), hal. 29.
208 | ISSN: 2356-2447-XIII
Samsurrohman, Pesantren DanNama Tantangan PenulisArus tiap Global Artikel
menindas, saat itu pula perlawanan kaum santri semakin keras. Penolakan Sultan Agung dan Diponegoro terhadap kecongkakan Belanda, ketegaran Kyai-Kyai pada masa penjajahan, serta kehati-hatian pemimpin Islam berlatar-belakang pesantren dalam menyikapi kebijakan penguasa yang dirasakan tidak bijaksana atau sistem yang established sehingga menempatkan mereka sebagai kelompok oposan adalah bentukbentuk cultural resistance dari dulu hingga sekarang.28 3.
Pendidikan Keagamaan
Pendidikan pesantren didasari, digerakkan, dan diarahkan oleh nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada ajaran Islam. Ajaran dasar ini berkelindan dengan struktur sosial atau realitas sosial yang digumuli dalam hidup sehari-hari. Dengan demikian, pendidikan pesantren didasarkan atas dialog yang terus-menerus antara kepercayaan terhadap ajaran dasar agama yang diyakini memiliki nilai kebenaran mutlak dan realitas sosial yang memiliki nilai kebenaran relatif.29 C. Tantangan Pesantren Era global Pesantren sejak awal berdirinya tidak pernah diam dalam menghadapi problem sosial keagamaan. Peran pesantren bahkan tidak cukup bila dikatakan hanya sebatas skala regional. Aktifitas pesantren dalam merespon persoalan global telah dibuktikan semenjak masa-masa awal kejayaannya. Keterlibatan pesantren dalam dunia global telah dibuktikan oleh fakta sejarah yang tidak mungkin utuk dinafikan. Respon pesantren terhadap permasalahan global misalnya; Pertama, pesantren pernah merespon tantangan global dalam menghadapi kolonialisme bangsa barat yang ketika itu sedang melakukan ekspansi ke negeri-negeri jajahannya, termasuk Indonesia. Lembaga pendidikan pesantren dimasa kolonialisme tetap hidup dan berkembang di atas kekuatan sendiri. Bahkan lembaga ini bagi pemerintah Belanda, bukan saja dipandang tidak bermanfaat bagi tujuan-tujuan kolonial, akan tetapi dipandang sebagai lembaga yang sangat berbahaya dan mengancam upaya kolonialisme. Pandangan bangsa Belanda itu bukan tanpa sebab, karena ketika itu lembaga pesantren merupakan tempat persemaian yang amat subur bagi kader-kader pejuang melawan praktik penjajahan. Atas dasar pandangan tersebut, maka ketika itu pesantren mengalami tekanan yang sangat berat, bahkan dianggap oleh kolonial barat sebagai sarang pemberontak dan ancaman bagi kenyamanan kekuasaan kolonial di bumi Indonesia, khususnya. Hal itu terjadi karena para Kyai di pesantren selalu memberikan pengajaran kepada para santrinya untuk menintai tanah air (hub al wathan), serta menanamkan sikap patriotik, meski awalnya merupakan lembaga pendidikan dalam bidang keagamaan. 30 Kedua, kalangan pesantren yang tergabung dalam komite hijaz yang dipelopori elit ulama pernah memperjuangkan hukum bermadzhab kepada pemerintah Arab Saudi yang menganut faham Wahabi. Komite ini mengusulkan kepada pemerintah Saudi agar 28 Abdurrohman Mas'ud, Sejarah dan Budaya Pesantren, dalam Ismail S.M. (ed), Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002), hal. 26. 29
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta, INIS, 1994), hal 26.
30
Mahpuddin Noor, Potret Dunia Pesantren, Lintas Sejarah, perubahan, dan perkembangan Pondok Pesantren, (Bandung, Humanioria, 2006), hal. 12. Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 209
Samsurrohman, Pesantren Dan Tantangan Arus Global Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
memberikan kebebasan kepada praktik bermadzhab dalam menjalankan agama. Komite internasional ini dibentuk di Surabaya, yang dihasilkan melalui forum rapat yang dihadiri ulama pesantren, berbarengan dengan lahirnya keputusan mereka mendidikan Jam'iyyah Nahdlatul Ulama (NU).31 Dua peristiwa tentang peran Ulama pesantren ini mencerminkan bahwa dalam kondisi perubahan apapun, dalam skala local, regional maupun global, pesantren telah berusaha untuk mampu menjawab tantangan yang berkembang dan memberikan layanan terbaik bagi masyarakat. Peran dan fungsi pesantren tersebut seharusnyaa terus dipertahankan di saat umat Islam sekarang ini menghadapi dua tantangan besar, yaitu Globalisasi neo-liberalisme yang turut mengendalikan tatanan dunia baru dan munculnya model-model Islam berjenis lain yang dikenal fundamentalisme-ekstrim, dengan watak yang keras, kurang toleran dan tidak ramah dalam mensikapi persoalan yang muncul dan dihadapi bangsa. 32 Globalisasi neo loberalisme merupakan lanjutan dari kapitalisme yang saat ini telah diadopsi oeh sebagian besar Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Dampak dari neo liberalism ini adalah munculnya krisis moneter berkepanjangan, meningkatnya angka penganguran dan kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar umat Islam yang berprofesi sebagai petani dan buruh tani dipedesaan, nelayan kecil dan pedagang dengan modal pas-pasan. Sehingga mau tidak mau mereka harus mengamali akumulasi kemiskinan laten, yang subur oleh minimnya akses tanah dan kejijakan pembangunan yang berorientasi kepada teknologi tinggi padat modal. Dalam proses pembangunan, mereka mengalami marjinalisasi secara struktural karena terknologi tinggi dibangun dengan terburu-buru dan mengadalkan hutang luar negeri, sementara rakyat kecil cenderung diterlantarkan.33 Pesantren dalam menghadapi tantangan neo-liberalisme harus mampu mendesain secara aktif dan kreatif serta memberikan strategis dakwah dengan langkah-langkah yang lebih taktis, misalnya melakukan dakwah dengan melakukan program-program perberdayaan ekonomi dan pendampingan masyarakat agar diperoleh kondisi masyarakat yang bisa berubah di atas kemandiriannya, bertindak atas dasar perencanaannya, bukan atas dasar eksploitasi pasar yang digerakkan kepentingan-kepentingan pihak tertentu. Di sisi lain, pada tingkat internal agar tetap eksis, seluruh pesantren di era global juga seharusnya mempersiapkan diri secara memadahi. Pesantren hendaknya dapat terlibat dalam aktifitas-aktifitas sosial-kemanusiaan, menjadi agen perubahan sosial (agent of change).34 Oleh sebab itu sudah saatnya pesantren yang dulunya sebagai agent pendalaman ilmu-ilmu agama, sekarang dikembangkan sebagai pusat-pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi masyarakat pedesaan, pusat penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup, dan yang lebih penting dari semua itu adalah pusat pemberdayaan ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat secara luas. 31 Nur Kholik Ridwan, NU dan Neoliberalisme; tantangan dan harapan menjelang satu abad, (Yogyakarta, LKiS, 2008), hal. 1. 32
Nur Kholik Ridwan, NU dan Neoliberalisme, hal. 2.
33
Jeremy Seabrook, Kemiskinan Global; kegagalan Model Ekonomi Neo-Loberalisme, terj. Darmawan, (Yogyakarta; Resist Book, 2006). 34 Azyumadi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan modernisasi menuju Millenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), hal. 3.
210 | ISSN: 2356-2447-XIII
Samsurrohman, Pesantren Dan Tantangan Arus Global
Nama Penulis tiap Artikel
Berdasarkan indikator tersebut, dalam melakukan dakwahnya, pesantren seharusnya tidak hanya berkutat pada masalah internal (pengajaran dan pendidikan) kepada para santrinya, melainkan harus berdakwah secara aktif dalam menekankan pada upaya-upaya penyelesaian masalah yang berkembang di tengah-tengah kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam tugasnya melakukan pemberdayaan (empowerment) dan trasformasi sosial, pesantren yang menempati posisi yang sangat penting itu tidak bisa terlepas dari peran substansial dalam dakwah Islam, yang antara lain berperan sebagai: fasilitator, mobilisator, agent of change, dan center of excellence.35 Sedangkan Sahal Mahfidh, memberikan rambu-rambu bagi pengelola pesantren, yakni apabila pesantren ingin mempertahankan potensinya sebagai lembaga pendidikan keagamaan (tafaqquh Fi al din), maka pesantren harus melengkapi dirinya dengan tenaga-tenaga yang terampil mengelola sumber daya di lingkungannya.36 Berbagai pandangan tersebut merupakan salah satu jawaban bagi prediksi terhadap masa depan pesantren, termasuk pula adanta pandangan bahwa pesantre dewasa ini sedang mengalami krisi dan kemunduran. Di era global seperti sekarang ini sering muncul berbagai gerakan Islam yang mempunyai jenis lain dengan wataknya yang ekstrim, keras dan kurang toleran dalam menghadapi perbedaan, hal tersebut pada gilirannya menjadi tantangan dakwah yang harus dihadapi oleh pesantren. Tantangan itu kini muncul kembali dalam bentuk-bentuk Islam lain yang sama radikalnya dalam praktik sosio-relifius-kultural. Bahkan tidak hanya itu, di era reformasi, wajah radikalisme pesantren yang belum pernah muncul sejak dipelopori oleh Walisongo pada abad ke-15, kini mulai tertandingi oleh lehirnya pesantren-pesantren yang mempunyai ideology fundamentalism. Pesantren-pesantren yang memiliki watak demikian, bukan hanya memproduk wacana, tetapu sudah bergerak jauh dalam bentuk gerakan dan aksi massa yang mengintrodusir kekerasan, misalnya melakukan aksi pengeboman, main hakim sendiri, dan yang lebih penting lagi adalah aksi menghidupkan kembali gerakan Negara Islam Indonesia dengan memperlakukan syari'at islam dalam level Negara.37 Gudang-gudang tradisi masyarakat pesantren kini tidak luput dari hantaman gelombang ideology yang mengatasnamakan jihad. Selain melakukan pengeboman dan aksi-aksi kekerasan, kelompok Islam jihadi secara massif berani mempengaruhi masyarakat melalui penguasaan pendidikan di masjid-masjid umat awam, yang semula menjadi tempat berdakwah kalangan Islam pesantren, khususnya NU dan Muhammadiyah. Begitu pula mereka berani melakukan depat public yang disiarkan langsung oleh media massa. Perlawanan paling fenomenal dari kelompok Islam purifis ini adalah kebangkitan kembali Islam yang menjelma dalam bentuk pencarian khazanah Islam klasik yang digunakan sebagai modal dalam kehidupan sosial, politik dan keagamaan. Pencarian tersebut merupakan ciri pemikiran kebangkitan Islam, terutama sekali berlaku di 35
Sa'id Aqiel Siradj, Pesantren Masa Depan, Bandung, (Pustaka Hidayah, 1999).
36
Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta, LKiS, 2003. Lihat pula, Pesantren Mencari Makna, Jakarta, Pustaka Ciganjur, 1999. 37 Nur Khalik Ridwan, Regenerasi NII; Membedah Jaringan Islam Jihadi di Indonesia, (Jakarta, Erlangga, 2008).
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 211
Samsurrohman, Pesantren Dan Tantangan Arus Global Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
lingkungan kelompok yang memiliki ideology fundamentalisme-ekstrim. Sayangnya pencarian itu sering kali menghadirkan pemikiran Islam dalam perspektif tafsir monolitik, bahkan tidak jarang berubah menjadi gerakan Islam yang terjebak dalam manipulasi teks sebagai alat untuk membenarkan berbagai tindakan melawan hukum. 38 Pendidikan pesantren yang berkarakter dan berideologi radikalisme ini jelas bertentangan dengan tujuan utama dakwah bagi pesantren yang didirikan Walisongo, yakni berdiri tegak di atas sendi moralitas dan budaya asli bangsa Indonesia. Tujuan itu mampu mencetak kader ulama yang mempunyai wawasan luas dengan karakter ramah lingkungan. Sedangkan ciri yang dikedepankan oleh kalangan masyarakat Islam pesantren adalah moderatisme, dengan tidak pernah mengorbankan substansi Islam. Dengan mempertahankan dan memperlakukan tradisi diharapkan keberadaannya mampu menjawab tantangan modersisasi, dengan pemaknaan bahwa tradisi ada sesuatu yang selalu hadir dan menyertai kekinian kita yang berasal dari masa lalu kita atau masa lalu orang lain. Tradisi adalah titik temu antara masa lalu dengan masa kini. 39 Pesantren di era Global, sudah seharusnya mulai bergerak melakukan introspeksi terhadap ajaran dasarnya, sebagai upaya menghadapi tantangan radikalisme, sehingga pesantren tidak terlalu kaku dalam mentransfer serta mensikapi perubahan-perubahan sosial. Pendidikan pesantren harus dikembalikan kepada format awalnya secara kritis, yakni sebagai pusat pendidikan yang mampu beradaptasi dengan budaya lokal, tanpa harus saling menafikan.
D. Penutup Realitas kehidupan dewasa ini, terutama di kota kota besar telah menimbulkan keprihatinan kita bersama, ahlak dan moral bukan lagi merupakan hal utama, dekadensi telah merombak tata nilai pergaulan ditambah lagi dengan penggunaan obat terlarang yang saat ini konon sudah mulai merasuki anak-anak kita yang masih di Sekolah Dasar. Di sisi lain, era global selalu menghadirkan perubahan-perubahan, yang sering sulit untuk diikuti oleh masyarakat awam. Oleh sebab itu, pesantren harus mampu memfungsikan dirinya sebagai lembaga dakwah yang secara terus menerus mengedepankan terwujudnya substansi dakwah Islam, antara lain; pesantren harus mampu menjadi teladan, memberikan pengayoman kepada setiap manusia dan lingkungan sosialnya. Pesantren dalam upayanya menjaga harkat dan martabat manusia di hadapan Tuhan, harus mampu menciptakan keharmonisan bagi sesama. Di samping itu pesantren juga harus kembali kepada nilai-nilai Aswaja, yaitu; tawasut, I'tidal, tasamuh, tawazun dan amar ma'ruf nahi ungkar. Nilai-nilia tersebut harus menjadi basis bagi seluruh tindakan kalangan pesantren.
Daftar Pustaka Abdurrahman Kasdi, “Fundamentalisme Islam timur Tengah; akar teologi, kritik Wacana dan Pilotisasi Agama”, Tanwir Al Afkar, edisi No. 13, tahun 2002. 38
Abdurrahman Kasdi, Fundamentalisme Islam timur Tengah; akar teologi, kritik Wacana dan Pilotisasi Agama, dalam Tanwir Al Afkar, edisi No. 13, tahun 2002. 39
Muhammaad Abed Al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, ter. Ahmad Baso, (Yogyakarta; LKiS, 2000),
hal. 24. 212 | ISSN: 2356-2447-XIII
Samsurrohman, Pesantren Dan Tantangan Arus Global
Nama Penulis tiap Artikel
Abed Al-Jabiri, Muhammaad. Post Tradisionalisme Islam, Yogyakarta: LKiS, 2000. Arifin, M.Ed., Kapita Selekta Pendidikan Umun dan Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1991. Azra, Azyumadi. Pendidikan Islam, Tradisi dan modernisasi menuju Millenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000. Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 2011 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: LKIs, 1999 Ismail S.M. (ed), Dinamika Pesantren dan Madrasah, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002. Mahfudh, Sahal. Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta: LKiS, 2003 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994 Mas'ud, Abdurrahman. Sejarah Dan Budaya Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Noor, Mahpuddin. Potret Dunia Pesantren, Lintas Sejarah, perubahan, dan perkembangan Pondok Pesantren, Bandung: Humanioria, 2006 Prasodjo, Sudjoko. dkk., Profil Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1982. Ridwan, Nur Khalik. Regenerasi NII; Membedah Jaringan Islam Jihadi di Indonesia, Jakarta: Erlangga, 2008 Ridwan, Nur Kholik. NU dan Neoliberalisme; tantangan dan harapan menjelang satu abad, Yogyakarta: LKiS, 2008. Saridjo, Marwan. Sejarah Podok pesantren di Indonesia, Jakarta: Dharma Bhakti, 1982. Seabrook, Jeremy. Kemiskinan Global; kegagalan Model Ekonomi Neo-Loberalisme, ter. Darmawan, Yogyakarta: Resist Book, 2006. Siradj, Sa'id Aqiel. Pesantren Masa Depan, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999. Steenbrink, Karel A. Pesantren, Madrasah, Sekolah, Jakarta: LP3ES, 1986. Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Jakarta: Gema Insani Press, 1997 Zuhri, Saifuddin. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Bandung: Al Ma'arif, 1979.
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 213