240
PERLINDUNtrAN HUKUM BAGI PEMAKAI J ASA • ANGKUTAN DALAM HUKUM PERHUBUNGAN INDONESIA*) •
oleh E. Suhennan, S.H.
PENDAHULUAN Seorang sarjana hukum Inggris pernah mengatakan: "The law abhors a vacuum " sedangkan seorang sarjana hukum Belanda akan mengatakan: "De wet kent geen leemten". Akan tetapi apakah hal ini benar ? Kalau kita mengkaji peraturan-peraturan perundang-undangan tentang Perhubungan di Indonesia, kita akan IIi ulai sangsi apakah di dalamnya tidak ada keiowongan-kelowongan yang mengganggu atau bahkan membahayakan. Kita masih berbicara tentang Wegverkeer-ordonansi (S 1936-201 jo S 38 657 dan4-72) meskipun telah diubah dan ditarnbah dengan Undang-Undang lalu lintas jalan No. 7 tahun 1961. Kita masih memperlakukan Verrordening Toezicht Luchtvaart (S 1936-426) dan untuk tanggung jawab pengangkut udara masih berlaku Luchtvervoer-ordonnantie (S 1939-(00) untuk angkutan domestik dan Konvensi Warsawa lahun 1929 untuk angkutan udara internasional. Untuk angkutan dan perhubungan laut kita masih mempergunakan Wetboek van Koophandel, yang berasal dari abad yang lalu. Oleh karen a itu sudah sepantasnyalah apabila kita mulai menata kern bali seluruh pera turan perundang-undangan Indonesia mengenai bidang perhubungan, yang hasiinya hendaknya sela tas dan seirama dengan Sistem Perhubungan Nasional. Semakin maju teknologi perhubungan, semakin "sophisticated" sarana yang dipergunakan, semakin lengkap dan seirama tepal pula seharusnya peraturan-peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, mu!ai dari pengaturan mengenai personil seperli penerbangan dan awak kapal, peraiatan seperti pesawat udara serta kapal !aut dan kendaraan di darat , sarnpai kern asalah tanggung jawab dan asuransi; serta pengaturan aspek-aspek komersiai seperti pembinaan kompetisi yang sehat serta penetapan route-route yang tepat .. .) Disampaikan pad a Loka Karya Permasalahan Hukum dan Pengaturan Perhubungan Jakarta, 31 Maret - 2 April 1981.
PERMASALAHAN
I
•
Masalah perlindungan hukum mempunyal pengertian yang amat luas. Adalah suatu kekeliruan apabila masalah perlindungan ini hanya ditinjau dari salah satu aspeknya saja, yaitu aspek keselamatan atau perlindungan terhadap bahaya-bahaya dan risiko-risiko dalam pengangkutan, meskipun memang harus kita akui bal1wa aspek inilah yang manifestasinya paling nyata dan paling terasa. Pada hemat kam i unsur-unsur daripada pola perlindungan hukum bagi pemakai jasa angkutan adalah sebagai berikut : •
I. Perjanjian angkutan, termasuk aspek pertaripan , syarat-syarat angkutan dan dokumen angkutan, 2. Pelayanm, 3. Keselamatan, 4. Tanggung jawab pengangkut dan asuran-
-
SL
Keempat unsur ini merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisah-pisahkan dalam rangka periindungan hukum terhadap risiko-risiko idiil seperti pe!ayanan yang tidak mem uaskan, kelambatan-kelambatan, dan se bagainya. Keempat un sur ini tidak boleh dikurangi dan pola periindungan hukum bagi pemakai jasa angkutan harus terdiri dari keempat unsur ini yang dikombinasikan secara terpadu.
"
I
PERLlNDUNGAN HUK UM BAGI PEMAKAI JASA ANGK UTAN . (. PERJANJIAN ANGKUTAN. Kalau kita bandingkan tiket pesawat udara, misainya dengan tiket kereta api atau tiket bus, maka segera teriihat suatu perbedaan bentuk yang menyolok. Tiket pesawat udara yang standar scbenarnya merupakan gabungan antara tiket penumpang dan tiket bagasi dan isinya lebih iengkap , seperti nama penumpang, jenis kelamin, berat baLIan, route yang diterbangi, syarat-syarat perjanjian, jenis barang yang dapat dibawa ke dalam kabin , undang-undang . yang berlaku bag;i angkut.an, jenis barang yang dilaMei 1981 •
,
,
Perlindungan Hukum
241
,
I
•
.
J.
rang atau dibatasi angkutannya, harga tik et dan lain-lain. Apa yang tercantum dalam tiket pesawat udara bahkan lebih lengkap dari apa yang hams dicantumkan ketentuan Ordonansi Pengangkutan Udara (Luchtvervoer-ordonnantie S 1939-100), yang hanya mcnghamskan dicantumkmlllya : a. Tempat dan tanggal pemberian; b. Tempat pemberangkatan dan tempat tu• Juan ; c. Pendaratan yang direncan akm1 di tempat-tempat di antara temp at pemberangkatan dan tempat tujuan mengingat hak dari pengangkutan udara untuk mengajukan syarat bahwa ia bila perlu dapat mengadakan perubahan-perubahan dalam tempat-tempat pendaratan itu ; d. Nama dan alamat pengangkut atau pengangkut-pengangkut; e. Pemberitahuan bahwa pengangkutan udara tunduk pada ketentuan-ketentuan m engenai tangg ung jawab , yang diatur oleh Ordonansi ini atau Konvensi (Warsawa) . Ketentuan ini kita jumpai dalam Pasal 5 Ordonan si Pegmgkutan Udara, sedangkan dalam pasal 6 kita jumpai ketentuan-ketentuan mengenai Tiket Bagasi. Sebagaimana dikatakan di atas, dibandingkan de ngm tiket bus atau tiket kereta api, Tiket Garuda Ind onesia Airways misalnya, adalah jauh lebih lengkap, yang terdiri dari beberapa halaman. Pad a salah satu halam an. bahkan tercantum apa yang dinamakan "Syarat-syarat Perjanjian ". N am un dem ikian, apakah dapat dikatakm bahwa suatu tiket pesawat udara merupakan · suatu perjanjian angkutan ? Suatu perjanjian angkutan adalah suatu perjanjian antara se• orang pengangkut dan penumpmg atau pengirim barang akan diangkut oleh pengangkut, dengan imbalan bayaran atau suatu prestasi lain. Dalam o rdonansi pengangkutan udara, yang antara lain mengatur masalah dokumen angkutm seperti tiket penumpmg, tike t bagasi dan surat muatan udara tidak kita jumpai ketentuan bagaimana bentuk perjmjim angkutan udara. Yang jelas tercantum adalah bahwa meskipun tidak dikeluarkan dokumen angkutan, perjanjian angkutan jtu tetap ada. Hal ini dapat kita baca dalam Pasal 5 ayat 2 Ordonmsi yang mengatakan bahwa "Tidak adanya Tiket Penumpang, kesalahm di dalamnya atau hilangnya tiket tersebut tidak mempengaruhi adanya •
Mei 198 1
atau berlakunya perjanjian pengangkutan udara, yang tetap akan tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam Ordonansi ini". Dengan demikian maka dokumen angkutan seperti tiket penumpang bukan suatu perjanjian angkutan udara, tetapi hanya merupakan suatu bukti adanya suatu perjanjian angkutan, karena tanpa diberikannya tiket penumpangpun masih tetap ada perjanjian angkutan. Di at as telah disinggung bahwa dalam salah satu halaman tidak penumpang dijumpai" Syarat-syarat Perjanjian". Yang sebenarnya dimaksud adalah syarat-sya, rat pokok dari perjanjian angkutan, misalnya bahwa pengangkutan tunduk pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam dokumen angkutan, tarif-tarif yang berlaku, syarat-syarat um um pengllngkutan dari pe!usahaan yang bersangkutan dan peraturanperaturan lain dari pengangkut. Dengan demikian, tidak semua ketentuan-ketentuan perjanjian seorang penumpang ingin mengetahui semua ketentuan-ketentuan tentang perjanjian angkutan, ia pertama-tama haru s membaca apa yang dinamakan "Syarat-syarat Umulfl Pengangkutan ", yang menurut . apa yang tercantum dalam tiket bisa diminta untuk melihatnya di tiap kantor perusahaan penerbangan (tapi umumnya tidak ada) dan selanjutnya jadwal-jadwal penerbangan, tarip-tarip dan ketentuanketentuan lain yang tidak mungkin semuanya dicantumkan dalam dokumen angkutan. Untuk melindungi para pemakai jasa angkutan udara, hampir seluruhnya mungkin tidak pernah melihat syarat-syarat angkutan dari perusahaan angkutan apapun untuk mengajukannya kepada Departemen Perhubungan untuk diteliti dan kemudian disahkan , agar dapat ada jaminan bahwa syaratsyarat angkutan yang ditetapkan secara sepihak oleh perusahaan angkutan, tidak. merupakan pemakai jasa angkutan.
2. PELAYANAN Pada setiap jenis angkutm yang menjual jasa unsur pelayanan merupakm produk total daripada perlakuan terhadap pemakai jasa, mulai dari ia membeli tiket ditempat pemberangkatm sampai ia dengan selamat meninggalkan kendaraan atau alat angkutan di tempat tujuan. Setiap penumpang yang pernah mempergunakan bis kota di Kota Jakarta akan dapat berbicara ten tang mutu pelayanan yang
Hukum dan Pembangunan
242 diperolehnya, akan tetapi tidak kurang pula keluhan-keluhan yang terdengar dari penumpang alat angkutan yang paling mahal, yaitu pesawat udara. Secara lebih luas maka pelayanan bagi pemakai jasa angkutan meliputi pula tersedianya angkutan atau frekwensi pengangkutan yang tersedia, ketepatan waktu berangkat dan tiba, kenyamanan dalam alat angkutan, mudahnya memperoleh tiket dan lain-lain. Memang harus kita akui bahwa masalah pelayanan tidak mudah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan. Yang mungkin dapat dilakukan adalah penetapan standar minimal mengenai pelayanan bagi kendaraan-kendaraan umum dan alat angkutan umum, dengan pengontrolan oleh pihak yang berwajib, disertai dengan sanksi-sanksi bagi perusahaan yang bersangkutan. Khususnya bagi jasa angkutan yang disediakan bagi sebagian besar rakyat Indonesia seperti bis, kereta api dan kapallaut, harus diadakan pemikiran ke arah pengaturan mengenai pelayanan yang lebih manusiawi dan sesuai dengan martabat bangsa Indo• nesJa. Pelayanan harus meliputi pula cara-cara '~an prosedur yang mudah untuk men, dapatkan ganti rugi dalam hal terjadi kerugian karena misalnya suatu kecelakaan. Dalam hubungan ini ,khusus mengenai korban keoelakaan pesa wat udara penulis pernah mengemukakan dalarn sebuah art ikel bahwa "di Indonesia korban kecelakaan pesawat udara menderita dua kali, sekali karena mendapat kecelakaan dansekali karena kekosongan dalam Hukulll Udara kita (yang menyulitkan untuk mendapat suatu konpensasi yang Illemuaskan( .. Suatu epiloog yang menyedihkan dari suatu tragedi".
3. KESELAMAT AN Di bawah judul "Keselamatan" ini penulis akan mencoba menguraikan masalah keselamatan, khusus mengenai keselamatan pe, nerbangan, yang sistem dan prinsip-prinsipnya pada hem at penulis dapat berlaku pula bagi jenis angkutan lainnya, dengan sendirinya dengan penyesuaian dengan suatsuat khusus alat angku tan tertentu. Keselamatan penerbangan pada masa ini adalah hasil keseluruhan dari kombinasi berbagai faktor dan masalah,. Faktor-faktor yang menentukan ada tidaknya 'keselamatan pernerbangan adalah :
1. Pesawat udara, 2. Personil, 3. Sarana Penerbangan, 4. Operasi Penerbangan, 5. Badan-badan pengatur. 1. Personil
Penerbangan dilaksanakan dengan pesawat udara, sehingga faktor pertarna pad a keselan1atan penerbangan adalah pesawat terbang itu sendiri.. Keadaan pesawat udara yang baik akan lebih menjamin adanya keselamatan penerbangan yang maksimal. Dalam hubungan ini maka masalah-masalah mengenai pesawat udara yang paling relevan dengan kcsclamatan penerbangan adalah : 1.1. Perawatan. 1.2. Kelaikan udara. 1.3. "Crashworthiness". 1.4. Tersedianya suku cadang. Masalah-masalah tersebut dapat kit a uraikan sebagai berikut : 1.1. Perawatan
Perawatan pesawat udara yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku serta menurut· petunjuk-petunjuk dari pabrik pesawat udara yang bersangkLltan akan menjarnin kelaikan udara dari pcsawat udara. Ketentuan-kctentuan l11engenai perawatan pesawat udara UI11Ul11nya jauh lebih ketat dari ketentuan-ketcntuan untuk jenis alat angkutan lainnya, sedangkan pengawasannya dilakukan lebih ketat oleh pihak yang berwajib.
1.2. Kelaikan Udara Setiap pesawat udara hanya diizinkan terbang kalau dalalll keadaan baik udara, yang harus dibuktikan dengan suatu sertuikat kebaikan udara yang dikeluarkan oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu. Ketentuan ini berlaku secara internasional • dan tidak akan ada suatu negara yang akan Illengizinkan pesawat udara masuk ke wilayahnya kalau tidak mempunyai sertifikat kelaikan udara. Sertifikat ini harus selalu berada dalalll pesawat.
1
,
1.3. "Crashworthiness" "Crashworthiness" adalah suatu karakteristik dari suatu alat angkutan yang dapat Illelindungi penulllpang dari kematian pada suatu kecelakaan 'yang seharusnya tidak bersuat fatal ("survivable") dan melindungi penumpangnya dari luka atau luka-Iuka yang kUlllulatif. Karakteristik ini •terutarna tergantung pada konstruksi dari alat ang-
Mei 1981
243
Perlindungan Hukum '
,
...
kutan tersebut dan dapat dilakukan dengan rnisalnya : Menempatkan tempat duduk pen urn pang sejauh mungkin di belakang dan mernperkuat bagian depan kabin penurnpang tersebut, menempatkan mesin pesawat di belakang, sehingga pada suatu kecelakaan mesin tersebut tidak akan menghujam dalam kabin, menyediakan sabuk pengaman yang efektif, mendesain kabin penumpang sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perlindungan yang maksimal dalam hal pesawat terbalik; dan lain sebagainya.
1.4.
Tersedianya Sukucadang dengan mudah Kebaikan pesawat udara hanya dapa t di. pertahankan dengan perawatan yang berkala dan teratur, dengan mengganti komponenkornponennya yang sudah habis waktunya. Perawatan demikian, terutama pada alat angkutan yang rumit seperti pesawat udara, sangat tergantung pada tersedianya sukucadang dengan mudah dan dalam jumlah yang cukup, dan dapat dibeli dari pabrikan-pabrikan dan distributor-distributor yang bonafide. 2. Personil Suatu pesawat udara, bagain1anapun baik konstruksi dan kemampuannya, "performance"-nya tergantung pada penerbangan yang mengemudikannya. Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa penerbang yang duduk dalam kokpit, terutama pada pesawat-pesawat udara komersial yang mengangkut sejumlah besar penumpang, merupakan hasil seleksi, latihan dan pengawasan terus menerus. Penerbang merupakan salah satu faktor utama dalam rangka keselamatan penerbangan, di samping personil perawatan dan lain-lain. 2.1. Pendidikan dan Latihan Penerbang Kecuali syarat bahwa seorang penerbang harus beradab sehat dan mempunyai dasar pendidikan tertentu, ia harus mengikuti pendidikan dan latihan pada Lembaga pendidikan penerbangan yang diakui. Seorang penerbang yang ideal harus merupakan kombinasi dari inteligensi yang tinggi dengan ketrampilan yang tinggi dan mental yang baik. AhU Tehnik Pesawat Para ahli tehnik pesawat, baik "flightengineers" maupun "groundengineers" termasuk .
Mei 1981
.
golongan personil yang harus memiliki license, yang harus diperoleh setelah menempuh pendidikan tertentu. Dengan tehnik pembuatan pesawat yang semakin maju, maka pendidikan para ahli tehnik inipun merupakan pendidikay. yang sangat spesialistis. Ketrampilannya dan pengetahuannya harus senantiasa dipelihara, sejalan dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam tehnik pembuatan pesawat itu. 2.2. Licensing Tujuan dari ketentaun licensing adalah untuk dapat terus menerus mengawasi kecakapan dan kemampuan personil yang mempunyai peranan vital bagi keselamatan penerbangan. Dari ketat tidaknya ketentuan pemberian license ini banyak tergantung tercapai derajat keselamatan penerbangan yang tinggi 2.3. Pemeriksaan Kesehatan Bagi golongan personil tertentu pemeriksaan kesehatan secara berkala merupakan suatu syarat mutlak untuk memperoleh license atau perpanjangan license. Khususnya bagi penerbang disyaratkan keadaanjasmani yang sehat dan pancaindra yang baik, khususnya penglihatan dan pendengaran. 2.4. Pembatasan waktu terbang Suatu hal yang perlu diperhatikan dalam rangka keselamatan penerbangan ialah daya tahan seorang penerbang dalam lamanya mengemudikan pesawat udara Meskipun daya tahan ini berbeda untuk setiap individu, dan tergantung an tara pad a usia., harus ditentukan suatu batas yang obyektif yang berlaku untuk semua penerbang dengan tujuan utama untuk mencegal1 tim bulnya kelelahan atau "fatigue". Suatu masalah yang harus diperhatikan pula ialah apakah harus dibedakan an tara pesawat udara biasa dan pesawat helikopter, yang sifat operasinya jauh berbeda, karena pada umumnya seorang penerbang helikopter lebm sering beroperasi di daerah yang tidak menguntungkan dan medan yang berat.
2.S. Sifat dan Sikap Mental Dalam keadaan nOIl11al sifat-sifat mental seorang penerbang tidak mudah diketahui. Dalam keadaan krisis, reaksi seorang penerbang mungkin berbeda-beda, yang paling fatal ialah apabila ia menjadi panik, sehingga tindakan-tindakan yang dilakukannya keliru, sehingga terjadi suatu "mistake approach to a situation". Akibatnya ialah suatu kecelakaan yang benar-benar disebab -
HlIkllm dan I'em balZglll1an
244 kan olah suatu "human error" atau suatu "pilot's error". Namun llemikian, dalam banyak kejadian khususnya apabila pesawat uclara sama sckali hancur dan tidak ada penumpang dan awak pesawat yang hidup, "pilot's error" dinyatakan sebagai sebab dari kecelakaan, karena tidak bisa dicari sebab-sebab lain. Oleh karena itu, "pilot error" tidak merupakan suatu istilah yuridis dan tidak mempunyai im plikasi yuridis, khususnya dalam masalah tanggung jawab. Lain halnya. apabila dapat dibuktikan, bahwa pencrbang tclah bertindak scm brono dan tidak mcmpcrhatikan peraturan-peraturan kcsclamatan, misalnya mcngabaikan ketentuan-ketcntuan mengenai "weathermi. ". nuna 3. Sarana Penerbangan Sarana pencrb,mgan yang mcmadai merupakan l11atarantai pula dalam rangkaian fak-, tor-faktor yang l11cnentukan keselamatan penerbangan. Kondisi lapangan terbang, navigation aids yang tersedia, sarana komunikasi dan sarana penunjang penerbnagna lainnya harus tcrpelihara dan Il1cngikuti perkcm bangan kegiatan pcnerbangan dan angkutan udara, baik pada penerbangan nasional maupun internasional.
•
3.1. Lapangan terbang Sejalan dengan laju pertul11buhan kegiatan pencrbangan dan angkutan udara di Indonesia ll1aka bertambah pulalah jumLth lapangan tcrbang dan pelabuhan udm'a di Indonesia dan scm akin banyak pulalah lap angan tcrbang yang bisa didarati oleh pesawat udara yang besar. Makin mcningkatnya kemampuan lapangm1 terbang untuk mcnampung pcsawat udara yang lcbih besar Il1cnycbabkan bahwa sarana-sarana pcnunjang di lapangan tcrbang tcrscbut harus ditingkatkan pula. Dalall1 Undmlg-Undang dan Peraturan-peraturan di Indonesia dipergunakan istilah lapangan tcrbang maupun pelabuhan udara. Lapangan terbang merupakan istilah yang umum, sedangkan pelabuhan udara merupakan arti yang khusus, dan mengandung unsur terbuka bagi lalu Iintas umum dan komcrsial serta dilengkapi dcngan sarana tcrtcntu. sedangkan lengkap tidaknya tcrgantung pada klasifikasinya. Pelabuhan udara mempunyai fasilitas berupa landasan "Ianding aid" seperti misalnya I LS, Visual Approach Indicator, approach lights atau
Runway lights dan "Navigational Aids" berupa ND B atau VOR. Pelabuhan Udara dapat pula memberikan jasa-jasa tertentu untuk kcpentingan lalu lintas udara, seperti Aerodrome Information Service CAFlS) dan komunikasi radio berupa VHF-en route, Hi"-en route atau Aeronautical fixed Ser•
viCes.
Di smnping itu diperlukan pula sarana pengamanan di darat, seperti perala tan pemadam kebakaran yang efektif dan cara-cara pengisian bahan bakar pesawat yang aman. 3.2. "Air Traffic Control Sistem "Air Traffic Control" mem butuhkan baik air traffic controller maupun pe· ncrbang yang berkemampuan tinggi, untuk dapat menanggulangi masalah-masalah yang mungkin timbul pada saat·saat yang kritis pada waktu penerbangan, yaitu misalnya pada saat "approach" dan pendaratan. Tujuan dari "Air Traffic Control" adalah untuk menghindarkan tabrakan antara pesawat udara atau antara pesawat udara de· ngan benda-bend a lain, dan mengatur lalu lintas pesawat udara di sekitar pelabuh· an udara yang bersangkutan sedemikian rupa sehingga terdapat arus lalu lirrtas yang tcratur, eepat dan aman, suatu tugas yang tidak mudall dilaksanakan mengingat kecepatan yang berbeda-beda dari masing-ma· sing tipe pesawat. sclain dari itu dalam lalu Iintas pesawat udara pun seakan·akan ter· dapat waktu-waktu tertentu di mana lalu Iintas terscbut amat padat, scdmlg diwaktu· waktu lainnya lalu Iintas relatif jarang, • Pada saat-saat lalu Iintas pad at, personil ATe benar-benar harus berkonsentrasi, se· dangkan dalam \Vaktu yang agak lenggang dapat agak mengcndur perhatiannya. Namun besar kemungkinan bahwa justeru di saat dcmikian di mana konsentrasi air traffic controller sedang kendur terjadi insiden at au bahkan kecelakaan. Kecuali personil yang benn utu, sistem air traffic control mell1 butuhkan pula saran a dan peralatan modern yang dapat diandalkan. Suatu masalah khusus adalah apabila suatu pelabuhan udara mcrupakan pula suatu lapangan udara militer, yang mempunyai fasilitas pesawat udara sendiri. Dalam hal demikian jelaslah bahwa yang merupakan problem pokok adalah koordinasi yang tepat dan pembagian tugas wewenang yang tegas. Mei 1981
•,
Perlindungan Hukum
3.3. Telekomunikasi Alat hubungan utama antara air traffic controller dan penerbang adalah radio. Dengan radio penerbang dipandu pada waktu mendarat, diberi infollllasi tentang cuaca dan keadaan Iapangan terbang dan hal-hal lain yang penting bagi penerbang. Masalah yang sering menyulitkan air traffic controller di pelabuhan-pelabuhan udara yang padat lalu lintasnya adalah masalah kongesti dalam frekwensi-frekwensi yang dipergunakan. Rekaman-rekaman dari pembicaraan antara menara pengawas dan penerbangan beIlIlanfaat dalam memberikan petunjuk-petunjuk mengenai sebab-sebab terjadinya suatu kelakaan. Kecuali untuk hubungan dengan air traffic control stasion radio di pesawat dapat bermanfaat" untuk hubungiJn dengan pesawat-pesawat udara lain dan stasion-stasion lain, hal mana sangat berguna dalam hal timbul keadaan darurat. 3.4. Berita Cuaca Mungkin yang paling sulit diramalkan dan karena itu suatu faktor paling berbahaya yang mempengaruhi tindakan-tindakan penerbang dan air traffic controler pada waktu pendekatan Iapangan dan pendaratan, adalah cuaca. Salah satu handicap seorang penerbang ialah bahwa banyak hal mengenai cuaca tidak dapat Iangsung diperoleh datanya di kokpitnya sendiri, akan tetapi harus diberitahukan dari darat, misalnya kecepatan angin di Iandasan, keadaan Iandasan apakah licin karena hujan atau tidak, jarak pandang di darat dan lain-lain. Sering kali pula di Indonesia keadaan cuaca justru tak dapat ditanyakan dari stasion di pelabuhan udara tujuan, karen a tidak mempunyai peralatan komunikasi yang. memadai sehingga harus ditanyakan padastasion lain yang infollllasinya mungkin sudah usang. Dengan demikian maka dalam hal informasi cuaca ini seringkali dijumpai kesulitan dalam hal "Information transfer". 3.5. Bengkel-bengkel Mengingat pentingnya peranan bengkelbengkel perawatan pesawat udara, atau dengan istilah CASR : "air Craft Maintenance Organizations", dalam rangka keselamatan penerbangan, maka pengoperasiannya diawasi dengan ketat. Setelah mendapat izin yang diperlukan, · maka bengkel ini berhak untuk melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut : 1) Melakukanperawatan me sin, kerangka Mei 1981
245 pesawat, propeler, peralatan, instrumen atau perlengkapan sesuai rating yang ditetapkan dalam izin yang diberikan. 2) Memberikan sertifikat bahwa mesin, kerangka serta bagian-bagian pesawat lainnya yang telah dirawatnya adalah baik udara dan dapat dipergunakan. Untuk memperoleh izin, maka bengkelbengkel perawatan hams memenuhi persyaratan yang cukup berat. Pertama-tama disyara tkan harus ada fasilitas bangunan dan pergudangan, yang cukup dapat melindungi sukucadang yang disimpan, yang cukup dapat melindungi sukucadang yangdisimpan. Organisasi bengkel pesawat harus mempunyai license yang diperlukan. Selain itu diperlukan pula peralatan secukupnya untuk melaksanakan perawatan pesawat udara. Disyaratkan pula bahwa organisasi perawatan pesawat udara harus mempunyai informasi-informasi tehnis yang· diperlukan dan dapat dipergunakan dengan mudah oleh personil yang berkepentingan. Tentang pekerjaan perawatanharus diadakan suatu sistem pencatatan perawatan sehingga dapat dilakukan pengontrolan dengan mudah. Bagi tiap barang yang dirawat dilakukan pencatatan lengkap antara lain mengenai keadaan semula sebelum dikerjakan, bagianbagian yang dig anti dan modifikasi yang dilakukan, hasil-hasil testing, nama dari yang mengerjakan. 4. Operasi Penerbangan Penerbangan merupakan salah satu kegiatan manusia yang paling banyak diatur, baik nasional maupun internasional Kegiatan penerbangan dilaksanakan dengan pesawat udara, awak pesawat dan sarana yang diatur dengan ketat, dan dengan sendirinya kegiatan atau operasi penerbangan itupun tunduk pada ketentuan-ketentuan yang ketat, kesemuanya demi tercapainya keselamatan penerbangan yang maksimaL Salah satu tujuan dari konferensi Chicago tahun· 1944, sebagaimana tertera dalam mukadimahnya Konvensi penerbangan Sipil Internasional ialah "that international civil aviation may be developed in a safe and orderly manner" dan suatu kenyataan adalah konvensi-konvensi internasional dalam bidang penerbangan pada umumnya termllsuk konvensi-konvensi intemasional yang paling banyak pesertanya. Oleh karena itu suatu hal yang biasa bahwa
246 penerbangan merupakan kegiatan yang internasional, dengan pengaturan yang sarna harnpir di seluruh dunia, terutama· dalam bidang tehnis dan operasionaL Tanpa kerjasama internasional ini maka akan sulit tercapai utjuan untuk perkembangan penerbangan internasional dengan keselamatan penerbangan yang tinggi dan teratur. 4.1. Konsensi, Izin Operasi, Izin Terbang Berbagai izin diperlukar• .sebelilm dapat dilakukan operasi penerbangan, baik operasi yang komersial maupun yang non-komersial. Bagi perusahaan penerbangan yang menginginkan operasi penerbangan yang berjadwal, diperlukan suatu konsesi untuk beroperasi pada route-route tertentu, sedangkan bagi perusahaan atau badan yang melakukan operasi penerbangan yang non komersial diperlukan suatu izin operasi Selain dari itu untuk setiap penerbangan harus dimintakan suatu izin penerbangan. Semua izin ini tentu berguna untuk pengontrolan terhadap para operator pesawat udara. 4.2. "Rules of the Air" Ketentuan-ketentua;\ "rules of the Air" atall dengan istilah Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Indonesia (PKPS) "Air Traffic Rules" (Section 3 7), harus diketahui oleh setiap penerbang dan merupakan salah satu bahan ujian untuk memperoleh license penerbang. Dalam rangka keselamatan penerbangan, ketentuan-ketentuan ini bukan saja harus diketahu~ tetapi harus pula ditaati oleh setiap penerbang. 4.3. Route Penerbangan Pad a umumnya route penerbangan dipandang hanya dari segi komersialnya saja, apakah route itu menguntungkan bagi perusahaan penerbangan yang menerbanginya atau tidak. Akan teiapi di samping aspek komersial tersebut, secara langsung suatu route mempunyai relevansi pula dengan keselamatan penerbangan. Dengan sendirinya menerbangi route-route Nusantara, dengan pesawat udara yang besar dan bermesin jet, dengan pelabuhan-pelabuhan udara yang didarati telillasuk Kelas I dengan fasilitas dan jasa pelabuhan udara yang lengkap, akan relatif lebih aman dari• pada menerbangi route-route perin tis, dengan pesawat udara yang kecil ke IapanganIapangan terbang dengan fasilitas yang sa-
Hukum dan Pembangunan
ngat minim. Mungkin itu pula sebabnya mengapa reIatif lebih banyak terjadi kecelakaan dengan pesawat helikopter daripada dengan pesawat udara bersayap tetap. Mungkin disuatu saat dLmasa depan routeroute tertentu di Indonesia akan sedemikian padat Ialu Iintas udaranya, sehingga mengurangi keselamatan penerbangan pada routeroute tersebut 4.4. Penumpang dan Muatan Dalam Pasal 135 sarnpai 137 Verordening Toezicht Luchtvaart terhadap beberapa ketentuan yang menyangkut penumpang pesawat udara, antara lain bahwa seorang kapten pesawat udara dilarang untuk mengangkut penumpang yang nyata-nyata dalam keadaan mabuk atau dalam keadaan sedemikian rupa sehingga dapat membahayakan bagi keselamatan atau kesehatan penumpang lainnya atau awak pesawat. Kecuali itu kapten pesawat dilarang pula untuk mengizinkan seorang penumpang yang tidak termasuk awak pesawat at au pegawai dari perusahaan penerbangan yang bersangkutan masuk ke tempat atau tempat-tempat dimana penumpang tersebut dapat mempengaruhi pengemudian pesawat udara. Pasal 138 Peraturan tersebut di atas menentukan bahwa dalarn pesawat udara dilarang diangkut gas beracun at au bahan yang mudah meledak, sedangkan senjata api dan pelurunya harus diangkut sedemikiran rupa sehingga tidak membahayakan penumpang. Ketentuan yang paling lengkap mengenai barang muatan yang dilarang diangkut atau dibatasi pengangkutannya dikeluarkan oleh International Air Transport Association (lATA) yang demikian baik dan lengkapnya sehingga oleh beberapa negara dijadikan ketentuan peraturan yang resmi. Dalam peraturan lATA itu ditetapkan pula cara-cara pengemasan untuk jenis-jenis barang tertentu serta bentuk label yang harus ditempelkan pada kemasan-kemasan tersebut. Dengan gejala-gejala yang mengancarn keselamatan penerbangan berupa pembajakan, sabotase dan kejahatan kejahatan Iainnya, maka pengawasan terhadap penumpang dan muatan dihampir setiap negara makin diperketat. 4.5. "Groundhandling" Salah satu kegiatan yang penting dalam rangka operasi penerbangan dan yang mengandung unsur-unsur menentukan pula baMei 1981
,
247
Perlindungarz Hukum
gi keselamatan penerbangan adalah kegiatan yang disebut "groundhandJing" yang meliputi penerimaan penumpang dan bagasinya di-counter, pengecekan identitas dan tiket, penimbangan dan pemeriksaan bagasi, pemuatan bagasi di pesawat, penerimaan cargo untuk dikirim, pemuatannya daiam pesawat dan lain sebagainya. Hasil pengecekan penumpang, bagasi dan cargo serta cara-cara pem uatan bagasi dan cargo dalam pesawat langsung mempe· ngaruhi keselamatan penerbangan. Kekeliruan dalam menimbang cargo dan cara pem uatan yang salah sehingga terganggu keseimbangan pesawat atau berat muatan melebihi maksimum take-off weight • yang diizinkan hampir pasti akan menyebabkan kecelakaan pada waktu tak-off bila tidak cepat diketahui. 5. Badan-badan Pengatur 5.1. Dewan Penerbangan Dalam Undang-undang No. 83 tahun 1958 terdapat ketentuan-ketentuan mengenai Dewan Penerbangan yaitu dalam Bab VII Pasal 26. Tugas Dewan Penerbangan ialah untuk membantu Pemerintah dalam bidang penerbangan dan memberi pendapat kepada Pemerintah sebelum diambil keputusan mengenai hal-hal yang bersifat umum. Dalam susunan Pemerintah yang lama, ma)<:a Dewan Penerbangan diketuai oleh Perdana tersebut diketuai oleh Presiden. Dalam praktek selama ini tidak banyak peranan Dewan Penerbangan, khususnya dalam segi pengaturan.
5.2. ~merintah Dibll:adingkan dengan Surat-surat Keputusan Mr:nteri Perhubungan dan Direktur J enderal Perhubungan Udara, jumlah Petaturan Pemerintah dalam bidang penerbangan tidak banyak. Hal ini dapat dirnengerti karena dalam Undang-undang No. 83 tahun 1958 ten tang Penerbangan hanya ada dua ha:l yang wewenangnya diserahkan kepada Pemerintah, yaitu persetujuan untuk melakukan penerbangan dengan pesawat asing (Pasal 2) dan penetapan susunan dan tug as Dewan Penerbangan (Pasai 26). Namun demikian ada pula P.P. misalnya PP No. 12 tahun 1972 tentang "Pencabutan PP No. 54 tahun 1951 tentang Dinas Pencari dan Pemberi Pertolongan untuk kapal-kapal laut dan udara yang mendapat kecelakaan". •
5.3. Departemen Perhubungan Sebagian besar pengaturan bidang penerbaMei 1981
ngan, khususnya yangbersifat umum atau kebijaksanaan, dilakukan oleh Departemen Perhubungan c.q. Menteri Perhubungan. Dalam Undang-undang No. 83 tahun 1958 ten tang Penerbangan memang ada 11 hal yang persetujuannya atau pengaturannya diserahkan kepada Menteri. Di antara kesebelas hal tersebut hanya ada satu hal di mana wewenang Menteri dapat didelegasikan, yaitu mengenai syarat-syarat kelaikan pesawat udara dan syarat-syarat kecakapan awak pesawat udara, yang ditetapkan oleh Menteri at au atas nama Menteri. 5.4. Direktorat Jenderal Perhubungan Udadara . Banyak peraturan-peraturan pelaksanaan ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara c.q. Direktur Jenderai Perhubungan Udara atau eselon-eselon bawahannya. Menurut mengamatan, ada kemungkinan beberapa di antaranya seharusnya menjadi wewenang Menteri Perhubungan, yang mempunyai tug as menentukan kebijaksanaan pelaksanaan bidangnya, sedangkan Direktur Jenderal mempunyai fungsi perumusan kebijaksanaan tehnis.
5.5. Pembagian Tugas dan Wewenang Sebagaimana disinggung di atas menurut Undang-undang No. 83 tahun 1958 tentang Penerbangan ada dua hal yang wewenangnya diserahkan kepada Pemerintah, yaitu persetujuan untuk melakukan penerbangan dengan pesawat asing dan penetapan susunan dan tugas Dewan Penerbangan, sedangkan ada 11 hal yang persetujuan atau pengaturannya diserahkan kepada Menteri •
Kesebelas hal tersebut adalah antara lain konsesi untuk pengangkutan orang atau barang dengan memungut bayaran, pengadaan daftar Pesawat Udara, penunjukkan pegawai-pegawai untuk mengusut peianggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan undang-undang Penerbangan. M~ ngenai wewenang tersebut di at• as harus diperhatikan kenyataan bahwa sejak tahun 1958 telah terjadi perubahan-perubahan organisasi, yaitu bahwa ketika Undangundang Penerbangan tahun 1958 diundangkan, hanya dikenai Menteri Perhubungan dan J awatan Penerbangan Sipil, kemudian ada jabatan Menteri Perhubungan Udara, yang diganti lagi dengan Menteri Perhubungan yang membawahkan Direk-. tur J enderal Perhubungan Udara. PersoaJan yang pokok adalah di mana batas kompe-
248
Hukum dan Pembangunan
• .
. tensi antara Menteri dan Direktur Jenderal Perhubungan Udara dan antara Menteri dan Pemerintah atau Presiden. Seb~aimana terlihat dari uraian 'di at as, maka faktor faktor yang menentukill dalam masalah keselamatan angkutan c'4vP banyak. Meskipun yang dikemukakan adaWt faktorfaktor yang kita jumpai pad a ke~liIlnatan penerbangan, prinsip prinsip yang menjadi dasarnya dapat diterapkan pula pada setiap jenis angkutan. Khusus mengenai penerbangan dan pelayaran, yang terakhir mempunyai keuntungan bahwa telah ada suatu Mahkamah Pelayaran, sedangkan bagi penerbangan, !embaga yang amat penting ini, belum ada. Prinsip pengawasan terha~ ap per so nil, peralatan dan sarana harus dapat dilaksanaJean bagi setiap jenis angkutan, meskipqn tentunya dengan penyesuaian-penyesuailln menurut jenis dan sifat-sifat tiap alat angkutan. Dari pengalaman pada kecelakaap-kecelakaan pesawat udara dan kapa! laut dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagai konsekwensi dari pola keselamatan penerbangan dan pelilyaran harus ada suatu sistem SAR yang efektif dengan organisasi yang cukup efisien dan personil yang cakap dan tr;pnpil, yang dapat menggunakan peralatan yang tersedia. UaJam rangkaian faktor-faktor keselamatan penerbangan dan pelayaran, SAR Yang eftsien merupakan perlindungan terakhlr yang darat diberikan kepada pemakai jasa angkutan laut dan udara. 4. Tanggung Jawa Pengapgkutan dan Asu• ranSl Dalam praktek di Indonesia agaknya terdapat perbedaan pengertian, bahltan seringkali salah pengertian mengenai masalah t:mggungjawab pengangkut dan asurapsi. Sc ri.llgkall masalah tanggung jawab diidentifikasikan dengan inasa1ah asuransi, suatu hal Y.a,Jlg mungkin dapat merugikap bagi pem~ai jasa angkutan udara. Oleh karena itu'.;.$l'da hemat kami suatu kalimat yang ••• tercantum dalam misalnya tiket Garuda yang berbunyi "Penumpang yang namanya tercantum dalam tiket ini dipertanggungkan pada P. N. Asuransi Kerugian J asa Raharja berdasarkan undang-undang No. 33/ 1964 juncto Peraturan-peraturan pelaksanaannya" dapat menyesatkan pemakai jasa angkutan bila tidak 'disertai kalimat yang tega.tegas menyatakan bahwa penerimaan santunan dari Asuransi Jasa Raharja tidak ,
menghilangkan hak pemakai jasa angkutan atau hali warisnya untuk mendapat ganti rugi dari pihak pengangkut berdasarkan Ordonansi PengangkutlUl Udara. Mengenai tanggung jawab pengangkut terhadap pemakai jasa angkutan dapat kita bandingkan tiga ketentuan undang-undang, yaitu Pasa! 24 Ordonansi Pengangkutan Udara, Pasal 522 KUHDdan Pasal 28 UU No.7 tahun 195 I mengenai lalu lint as J alan yang merupakan suatu undang-undang tentang perubahan dan tambahan dari Wegverkeer-ordonnantie, S 1936-201 jo. S 38657 dan S 40-72. •
Teks Pasal-pasal tersebut adalah sebagai ber· ikut: l. (1) Pengangkut bertanggung-jawab untuk kerugian sebagai akibat dari luka at au jejas-jejas lain pada tubuh, yang diderita oleh seorang penumpang, bila kecelakaan yang menimbulkan kerugian itu ada hubungannya dengan pengangkutan udara dan terjadi di atas pesawat terbang atau seIama melakukan suatu tindakan daIam hubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat terbang. (2) ApabiIa luka tersebut mengakibatkan kematian, maka suami atau isteri dari penumpang yang meninggal, anak-anaknya atau orang tuanya yang menjadi tanggungannya, dapat menuntut ganti rugi, yang dinilai sesuai dengan kedudukan dan kekayaan mereka yang bersangkutan serta sesuai dengan keadaan" , (Pasal 24 Ordonan-
I
\ I
si). o
,
~sa!
ini harus dihubungkan dengan Pasa! 29 yang antara lain menentukan bah· wa pengangkut tidak bertanggung jawab untuk kerugian, kalau ia dapat membuktikan bahwa ia telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan kerugian tersebut at au tidak mungkin baginya untuk mengambil tindakan-tindakan tersebut.
2. "Perjanjian angkutan mewajibkan peng-
angkut untuk menjaga keseIamatan penumpang mulai dad embarkasi sampai saat debarkasi. Pengangkut wajib membayar ganti rugi untuk kerugian yang disebabkan karena penumpang luka yang disebabkan pengangkutan, kecuali apabila ia dapat membuktikan bahwa luka tersebut disebabkan oleh suatu kejadian, yang sewajarnya tak dapat dihindarkannya atau disebabkan karena kesalahan penumpang sendiri". (Pasal 522 KUHD).
Mel 1981 ,
r
Perlindungan Hukum
1. (I) Pemilik atau pemegang suatu kendaraan umum bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada penumpang atau barang yang diangkutnya, kecuali apabila ia dapat membuktikan bahwa kerugian itu tim bul karena kesalahan (kelalaian) pemilik, atau pemegang kendaraan atau pegawai-pegawainya. (2) Setiap syarat perjanjian yang berten-
tangan dengan ketentuan dalam ayat tersebut di atas adalah batal". (Pasal 28 UU No.7 /195 I).
Dengan prinsip tanggung-jawab itu maka pengangkut dianggap selalu bertanggung-jawab untuk kerugian yang diderita penumpang kalau ia luka-luka atau meninggal dunia, tanpa ada kewajiban bagi penumpang tersebut atau hali warinys untuk membuktikan haknya atas ganti rugi Praduga itu baru lenyap kalau pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian itu terjadi bukan karena kesalahannya atau tak dapat dihindarkannya at au terjadi karena kesalahan penumpang sendiri Dalam praktek rupanya hak atas ganti rugi ini tidak diketahui oleh sebagian besar pemakai jasa angkutan yang menderita kerugian, padahal ketentuan mengenai tanggung-jawab merupakan salah satu perlindungan hukum yang ampuh bagi pemakai jasa angkutan. Dalam hubungan ini dapat dikemukakan bahwa prinsip tanggung-jawab yang tersimpul dalam ketentuan-ketentuan tersebut di atas belum merupakan prinsip yang paling kuat sebagai dasar perlindungan hukum bagi pemakaijasa angkutan. Dalam bidang angkutan udara dan penerbangan sipil internasional dapat dijumpai suatu prinsip lain yang dikenal dengan sebutan prinsip "absolute liability" atau "strict liability". Prinsip ini kita jumpai dalam Konvensi Roma tahun 1952 yang mengatur tanggung-jawab operator pesawat udara terhadap pihak ketiga di peIlllukaan bum~ Montreal Interim Agreement tahun 1966 tentang tanggung-jawab pengangkut udara terhadap penumpang dan dalam Protokol Gualatemala tahun 1971 yang berisikan perubahan-perubahan pada Konvensi Warsawa tahun 1929. Berdasarkan prinsip tanggung-jawab mutlak ini, maka bagi pihak yang bertanggung-jawab tidak ada kemungkinan sama sekali untuk membebaskan diri dari tanggung-jawab (misalnya dalam Konvensi Romta tahun 1952) atau hanya dapat membebasMei 1981
249 kan diri dalam hal kerugian ditimbulkan oIeh penumpang sendiri (seperti dalam Prokol Guatemala tahun 1971). Dengan demikian maka prinsip tanggungjawab mutlak memberikan perindungan hukum yang lebih menguntungkan bagi pemakaijasa angkutan atau pihak yang menderita kerugian karena kecelakaan pesawat udara. Masalah tanggung-jawab pada angkutan udara tidak dapat dipisahkan dari masalah asuransi penerbangan, yang merupakan suatu bidang asuransi yang tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan penerbangan. Bahkan dapat kita katakan bahwa tanpa adanya asuransi penerbangan yang menampung berbagai resiko penerbangan, industri angkutan udara tidak mungkin akan dapat berkernbang sampai taraf dewa• • sa mL 01eh karena itu, maka asuransi penerbangan mempunyai sejarah yang relatif singkat bila dibandingkan dengan asuransi laut, yang mempunyai sejarah pertumbuhan selama berabad-abad Maka dapat dimengerti bahwa di samping perbedaanperbedaan, terdapat banyak persamaanpersamaan antara berbagai bidang asuran~ terutama mengenai prinsip-prinsipnya. Khususnya mengenai jenis asuransi yang disebut "liability insurance" atau asuransi tanggung-jawab, perlu disadari bahwa bagi jenis angkutan apapun juga yang diasuransikan bukanlah penumpang atau barang yang diangkut, akan tetapi tanggung-jawab sipengangkut, yaitu resiko · bahwa sipengangkut harus membayar ganti r1:1gi bagi penumpang atau barang yang diangkutnya. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa seorang pengangkut tidak mengasuransikan diri terhadap resiko tanggung-jawabnya. Dalam hubungan dengan ini pedu difikirkan kemungkinan adanya ketentuan wajib asuransi bagi setiap pengangkut, terutama yang mengangkut penumpang umum, untuk mencegah kemungkinan bahwa dalam hal ganti rugi yang harus dibayarkannya berjumlah besar, pengangkut tidak mampu untuk membayarnya, hal mana dengan sendirinya akan merugikan pemakai jasa angkutan udara. Semen tara ini ketentuan asuransi wajib telah ada bagi penumpang kendaraan umum, yaitu berdasarkan UU No. 33 tahun 1964, yang umum dikenal sebagai Asuransi J asa Raharja, karena dikelola oleh Perum
250
Hukum dan Pembangunan
Jasa Raharja, dan preminya telah dimasukkan di dalam ongkos angkutan. Dalam hal ini pengangkut hanya bertindak sebagai wajib pungut premi, karena yang diasuransikan adalah penumpang sendiri Khusus bagi pemakai jasa angkutan udara, sejak tahun 1979 diadakan pula suatu asuransi kwasi-wajib, berdasarkan Sur at Keputusan Menteri Perhubungan No. KM.256/ KP.063/Phb-79 tanggal 29 Agustus 1979 tentang Tambahan Asuransi Wajib Penumpang Penerbangan Komersial, sedangkan penyelenggaraannya diserahkan kepada P. T. Asuransi Indrapura, berdasarkan Sur at Keputusan Menteri Perhubungan No. KM. 257/KP.603/Phb-79 tanggal 29 Agustus 1979. Jumlah santunan cl,lkup tinggi, yaitu sebesar Rp. 10.000.000, - dengan premi sebesar Rp. 300,- per penumpang. KESIMPULAN-KESIMPULAN RAN-SARAN
DAN
SA-
KESIMPULAN-KESIMPULAN
1. Unsur-unsur yang merupakan materi daripada perlindungan hukum bagi pemakai jasa angkutan harus merupakan suatu rangkaian yang integral dalam suatu pola perlindungan hukum bagi pemakaijasa angkutan. 2. Un sur-un sur terpenting adalah keselamatan angkutan dan tanggung-jawab pengangkut. 3. Pengaturan mengenai keselamatan angkutan masih kurang lengkap dan perlu diperbaharui
4. Kesadaran pada pemakai jasa angkutan bahwa mereka berhak atas perlindungan hukum belum tinggi 5. Prinsip-prinsip mengenai tanggung-jawab pengangkut serta masalah asuransi perlu diteliti kern bali, untuk mencapai taraf perlindungan hukum yang lebih tinggi. SARAN-SARAN 1. Agar diadakan suatu pola perlindungan hukum yang sarna prinsip-prinsipnya bagi semuajenis angkutan. 2. Agar diadakan penelit;an mengenai masalah keselamatan angkutan dan pengaturannya. 3. Agar diadakan penataan kern bali peraturan-peraturan keselamatan angkutan bagi sem ua jenis angku tan sehingga lebih lengkap, sistematis, up-to date dan integral. 4. Prosed ur penyelesaian ganti rugi bagi pemakai jasa angkutan agar dibuat semudah dan semurah mungkin, mengingat sebagian besar dari pemakai jasa angkutan terdiri dari golongan rakyat yang tingkat pengetahuannya belum tinggi, terutama dalam bidang hukum. 5. Agar diusahakan untuk mengganti prinsip tanggung-jawab pengangkut dengan prinsip tanggung-jawab mutlak sehingga dapat dihindarkan keharusan berperkara bagi pemakai jasa angkutan yang menderita kerugian dan diadakan suatu kewajiban mengasuransikan diri bagi para pengangkut terhadap resiko tanggung-jawab . •
DAFT AR BACAAN I). Laporan Inventarisasi Peraturan Perun-
dang-undangan Bidang Perhubungan oleh: Team di bawah pimpinan Suwardi SH, Badah Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, 1978-1979. 2). Laporan PeneIitian Yuridis tentang Hukum Pengangkutan Darat, Laut dan Ud.ara, oleh: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1977. 3). Naskah Ilmiah Rancangan Undang-undang (Academic Draft) tentang Tanggung·J awab Pengangkut Udara, oleh : E. Suherlllan SH, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Deparemen Kehakiman,
1979. 4). E. Suheman SH: "Hukum Ud:-a Indonesia dan Internasional", Penerbit Alumni, 1978. 5). Mr. E. Suherman: "Tanggung-Jawab Pengangkut dalam Hukum Udara Indonesia", Penerbit Eresco, 1962. 6). E. Suherman SH: "Tanggung-J awab pada Charter Pesawat Udara", Penerbit Alumni,1979. 7. Himpunan Peraturan dalam Bidang Perhubungan Udara, Direktorat J enderal Perhubungan Udara, Edisi 1979. 8. Kitab Undang-undang Hukum' Dagang. Mei 1981
!