TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG UANG ELEKTRONIK DALAM MELAKUKAN TRANSAKSI E-MONEY
NI NYOMAN ANITA CANDRAWATI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG UANG ELEKTRONIK DALAM MELAKUKAN TRANSAKSI E-MONEY
NI NYOMAN ANITA CANDRAWATI NIM : 0990561057
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG UANG ELEKTRONIK DALAM MELAKUKAN TRANSAKSI E-MONEY
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI NYOMAN ANITA CANDRAWATI NIM : 0990561057
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 6 November 2013
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. I Putu Sudarma Sumadi, SH. SU.
Dr. I Wayan Wiryawan, SH. MH
NIP. 19560419198331003
NIP. 195503061984031003
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Universitas Udayana
Dr. NK. Supasti D, SH., M.Hum., LLM
Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP. 196111011986012001
NIP. 195902151985102001
Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal 6 November 2013
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor 1902/UN14.4/HK/2003 Tanggal 1 Oktober 2013
Ketua
: Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi. SH., SU.
Sekretaris
: Dr. I Wayan Wiryawan, SH., MH.
Anggota
: 1. Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., MHum., LLM. 2. Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., MHum., 3. Dr. I Made Sarjana, SH., MH.
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama
: Ni Nyoman Anita Candrawati
NIM
: 0990561057
Program Studi
: Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis Program Pascasarjana Universitas Udayana
Judul Tesis
: Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Uang Elektronik Dalam Melakukan Transaksi E-Money
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas dari plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah tesis ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Mendiknas Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 8 November 2013 Hormat saya,
Ni Nyoman Anita Candrawati
UCAPAN TERIMAKASIH
Om Swastiastu, Puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas asung kertha wara nugraha-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Uang Elektronik Dalam Melakukan Transaksi E-Money”, disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar Magister pada Program Magister (S2) Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana. Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan berkat dukungan, motivasi dan bantuan dari berbagai pihak. Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada mereka yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada : 1.
Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD - KEMD, Rektor Universitas Udayana, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Ilmu Hukum di Universitas Udayana.
2.
Ibu Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K)., Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Magister Ilmu Hukum di Universitas Udayana.
3.
Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana atas fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.
4.
Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., MHum., LLM., Ketua Program Studi
dan
Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa L, SH., MHum., Sekretaris
Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, atas fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana. 5.
Bapak Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH., S.U., Dosen Pembimbing I atas kesabarannya telah membimbing dan mengarahkan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
6.
Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, SH., MH., Dosen Pembimbing II atas kesabarannya telah membimbing dan mengarahkan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
7.
Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., MHum., LLM., Ibu Desak Putu Dewi Kasih SH., MHum., dan Bapak Dr. I Made Sarjana, SH., MH., dosen penguji yang telah membimbing dan mengarahkan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
8.
Seluruh dosen pengajar serta staf akademik atas dukungan yang diberikan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.
9.
Kedua orangtua, Drs. I Nyoman Suartha, SH, dan Kiswati, yang telah memberikan kasih sayang dan dukungan penuh bagi penulis, kakak-kakak tercinta Luh Putu Anggraeni, SE, Made Arya Kusuma, ST, dan Luh Musi Utami, keponakan tersayang Ni Putu Rinjani Sawitri, dan sahabat kecil Julietta Maharani, serta seluruh keluarga besar, yang telah banyak memberikan doa dan dukungan moral kepada penulis.
10. Vika Treshna Fatria, SH., beserta keluarga atas dukungan dan motivasi bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini. 11. Seluruh rekan-rekan mahasiswa Magister Ilmu Hukum Angkatan 2009 khususnya konsentrasi Hukum Bisnis yang berjuang bersama dan saling mendukung dalam menyelesaikan tesis ini. 12. Sahabat-sahabat terbaik IGA Ista Pradnyani, SH.; AAA Arie Anggreani, ST; Sang Ayu Made Indira Arthakana; Made Putri Arysanthi, SH; Ni Made Lestiaponi, SH; Putu Novarisna Wiyatna SH.,MH.; AA Ari Widhyasari, SH.,MKn.; Ni Wayan Desi Aryanti, SH.,MH.; Dewi Bunga, SH.,MH.; AA Putri Aprilina, SH.,MKn.; Putu Ria Dewi Marheni, SH.,MH.; I Gede Abdhi Prabawa, SH.,MKn.; Ni Made Diana Dewi Rinjani, SH., dan rekan-rekan kerja PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk., beserta seluruh rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang membantu penulis menyelesaikan studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.
Akhir kata penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, Walaupun demikian, penulis berharap semoga tulisan ini tetap dapat bermanfaat bagi pembaca. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa senantiasa melimpahkan berkah dan rahmatnya kepada kita semua. Ashtungkara. Om Santi Santi Santi Om. Denpasar, 8 November 2013 Hormat Penulis,
Ni Nyoman Anita Candrawati
ABSTRAK
Tesis ini berjudul Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Kartu Dalam Transaksi Uang Elektronik. Perkembangan teknologi dan perdagangan membawa perubahan dalam kebutuhan masyarakat. Alat pembayaran berupa uang tunai dalam bentuk uang logam maupun uang kertas konvensional, kini berkembang dalam bentuk pembayaran yang dilakukan melalui sistem elektronik (e-payment system). Salah satu alat pembayaran elektronik atau non tunai yaitu dengan menggunakan kartu uang elektronik (e-money). Nilai uang disimpan secara elektronik yang diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor pemegang kepada penerbit. Nilai uang tersebut digunakan sebagai alat pembayaran namun bukan merupakan simpanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perbankan, jadi tidak dijamin oleh Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). Terdapat dua permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini yaitu bentuk pengaturan bagi pemegang kartu uang elektronik dalam melakukan transaksi e-money dan perlindungan hukum bagi pemegang kartu dalam melakukan transaksi e-money. Penelitian dalam tesis ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang dan analisis konsep hukum. Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder berupa literatur yang berkaitan dengan permasalahan, dan bahan hukum tersier berupa kamus hukum dan artikel dalam format elektronik. Seluruh bahan hukum tersebut dikumpulkan menggunakan sistem kartu dan dianalisa secara deskriptif dan evaluasi. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan terhadap permasalahan tersebut, bentuk pengaturan hukum terhadap uang elektronik diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik dan melalui perjanjian baku yang diatur oleh penerbit berupa syarat dan ketentuan pemegang kartu. Perlindungan hukum bagi pemegang kartu diperlukan untuk menjamin persamaan kedudukan penerbit dan pemegang kartu, termasuk perlindungan hukum terhadap penyalahgunaan kartu e-money yang dapat merugikan pemegang melalui perlindungan hukum preventif dan represif. Bank Indonesia juga akan memberikan sanksi terkait pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara kegiatan uang elektronik yang tidak dijalankan sesuai ketentuan yang berlaku. Perjanjian antara penerbit dan pemegang kartu juga merupakan bentuk upaya perlindungan bagi pemegang kartu melalui asas-asas perjanjian yang melekat pada perjanjian tersebut meskipun tidak tercantum secara tertulus dalam perjanjian.
Kata kunci : uang elektronik, pemegang kartu, bentuk pengaturan, perlindungan hukum
ABSTRACT
This thesis entitled Legal Protection for Electronic Money Card Holder in EMoney Transactions. Technology and trade development led to changes in the needs of the community. Instruments of payment, in the form of cash both coins and conventional banknotes are now developing in the form of payments made through electronic system (e-payment system). One means of electronic or noncash payments are by using electronic money card (e-money). Value of money is stored electronically and issued on the basis of the value of money paid to the holders of the provider. The money is used as a means of payment, but not the deposit as stipulated in the Banking Law, so it is not guaranteed by Indonesia Deposit Insurance Corporation (Lembaga Penjamin Simpanan / LPS). There are two issues that were examined in this study, namely: the arrangements for electronic money card holders in e-money transactions and legal protection for the cardholder to perform e-money transactions. The research in this thesis is a normative legal research using the statute approach and analytical & conceptual approach. Legal material used consists of primary legal materials in the form of legislation, secondary legal materials in the form of literature relating to the problem, and tertiary legal materials, such as legal dictionaries and articles in electronic format. The entire legal materials were collected using a card system and analyzed descriptively and evaluatively. Based on the results of studies conducted on the issue, the legal regulation of the form of electronic money stipulated in Bank Indonesia Regulation Number 11/12/PBI/2009 on Electronic Money, and through standard agreements governed by the provider, such as terms and conditions of the card holder. Legal protection for the cardholder is required to ensure the equality of the provider and the card holder, including legal protection against the misuse of e-money card that can be detrimental to the holder, through preventive and repressive legal protection. Bank Indonesia sanctions related to violations committed organizers electronic money activities are not carried out in accordance with the applicable provisions. Agreement between the issuer and the card holder is also a form legal protection for card holder through the principles of agreement attached to the agreement although not included in writing on the agreement.
Keywords: electronic money, card holder, forms of regulation, legal protection
RINGKASAN
Tesis ini terdiri dari lima bab, masing-masing terdiri dari beberapa sub bab yang memaparkan serta mengkaji permasalahan dalam penelitian ini yaitu perlindungan hukum bagi pemegang uang elektronik dalam melakukan transaksi e-money. Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang memaparkan latar belakang permasalahan, rumusan masalah, ruang lingkup masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, orisinalitas penulisan, landasan teoritis dan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Uang Elektronik Dalam Melakukan Transaksi E-Money. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh perkembangan sistem pembayaran non tunai yang dipengaruhi oleh kemajuan perkembangan teknologi dan pola hidup masyarakat. Perkembangan teknologi ini member dampak terhadap munculnya inovasi-inovasi baru dalam pembayaran elektronis (electronic payment), salah satunya yaitu alat pembayaran menggunakan uang elektronik (electronic money / e-money). pembayaran menggunakan kartu e-money tidak memerlukan proses otorisasi dan tidak terkait dengan rekening di bank penerbit. Kartu mudah dipindahtangankan dan nilai uang yang tersimpan bukan merupakan simpanan sebagaimana dalam Undang-Undang Perbankan. Hal ini menyulitkan pemegang kartu jika kartu hilang atau dicuri, penerbit tidak akan dapat memblokir atau mengganti saldo yang hilang atas penggunaan dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Adapun
permasalahan yang diangkat yaitu bentuk pengaturan dan perlindungan hukum bagi pemegang kartu uang elektronik dalam melakukan transaksi e-money. permasalahan tersebut dikaji menggunakan teori yang relevan dan menggunakan metode penelitian hukum normatif untuk menyimpulkan bahan hukum yang terkait dengan permasalahan dalam tesis ini. Bab kedua menguraikan tinjauan umum alat pembayaran dan uang elektronik yang meliputi sejarah dan pengertian alat pembayaran yang membahas uang tunai hingga perkembangan jenis-jenis pembayaran non tunai menggunakan kartu, dasar hukum sistem pembayaran menggunakan kartu, pengertian dan dasar hukum uang
elektronik,
perbedaan
uang
elektronik
dengan
alat
pembayaran
menggunakan kartu lainnya dan perkembangan uang elektronik di Indonesia. Bab ketiga menguraikan mengenai transaksi e-money dalam perspektif sistem hukum Indonesia yang merupakan hasil penelitian dari permasalahan pertama. Pada bab ini dibahas mengenai sistem hukum transaksi eletronik di Indonesia yang menguraikan undang-undang yang terkait dalam sistem pembayaran uang elektronik dan membahas mengenai bentuk pengaturan transaksi uang elektronik di Indonesia berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronik Money) termasuk syarat dan ketentuan bagi pemegang kartu yang dikeluarkan oleh penerbit. Bab keempat menguraikan mengenai penyalahgunaan e-money dan perlindungan hukum bagi pemegang kartu yang merupakan hasil penelitian permasalah kedua, yaitu membahas mengenai bentuk penyalahgunaan kartu
pembayaran uang elektronik, tanggung jawab penyelenggara sistem pembayaran uang elektronik, dan perlindungan hukum bagi pemegang kartu uang elektronik dalam transaksi e-money. Bab kelima merupakan bagian penutup yang simpulan dari permasalahan dalam penelitian tesis ini serta diajukan saran terhadap permasalahan yang dikaji. Simpulan dari permasalahan yang diangkat adalah pengaturan alat pembayaran menggunakan uang elektronik (e-money) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/11/DASP Tahun 2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) yang mengatur mengenai syarat dan tata cara pengajuan menjadi pihak-pihak penyelenggara uang elektronik yaitu Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. Penerbit juga mengeluarkan klausula yang ditetapkan dalam syarat dan ketentuan bagi pemegang kartu e-money. Pengaturan ini tidak menjelaskan perlindungan bagi pemegang kartu dalam hal kerugian yang diderita pemegang jika kartu hilang atau dicuri maupun terhadap penyalahgunaan kartu oleh pihak yang tidak berwenang.
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN ….……………………………………………..
i
HALAMAN SAMPUL DALAM …..……………………………………………
ii
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER……………………….
iii
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING…………..…………………...
iv
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS……………………..
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT………………………………….
vi
UCAPAN TERIMAKASIH…………………………………………………….
vii
ABSTRAK……………………………………………………………………….
xi
ABSCTRACT…………………………………………………………………….
xii
RINGKASAN……………………………………………………………………
xiii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………...
xvi
DAFTAR TABEL………………………………………………………………
xix
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………
xx
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………..
1
1. Permasalahan…………………………………………….....................
1
1. Latar belakang masalah……………………………………………
1
2. Rumusan Masalah…………………………………………………
9
3. Ruang Lingkup Masalah…………………………………………..
9
4. Tujuan Penelitian ……………………………………....................
10
5. Manfaat Penelitian……………………………………………….
10
2. Orisinalitas Penulisan …………………………………………………
11
3. Landasan Teoritis……………………………………………………...
15
4. Metode Penelitian………………………..............................................
30
1. Jenis Penelitian………………….............................................
31
2. Jenis Pendekatan……..…...………….............................................
32
3. Sumber Bahan Hukum……………............................................
32
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ………..……………………
34
5. Teknik Analisis Bahan Hukum …………………………………...
34
BAB II TINJAUAN UMUM ALAT PEMBAYARAN DAN UANG
1.
2.
3.
ELEKTRONIK……………………………………………………..
35
Alat Pembayaran…………………………………………………….
35
1.1. Sejarah dan Pengertian Alat Pembayaran…………………..
35
1.2. Jenis-Jenis Alat Pembayaran Menggunakan Kartu…………
41
Dasar Hukum Sistem Pembayaran Menggunakan Kartu dan Uang Elektronik………………………………………………….…………
52
Uang Elektronik (E-Money)…………………………………………..
56
3.1. Pengertian dan Dasar Hukum Uang Elektronik…………….
56
3.2. Para Pihak Dalam Transaksi Uang Elektronik………………..
62
3.3. Perbedaan
Uang
Elektronik
Dengan
Alat
Pembayaran
Menggunakan Kartu…………………………………………. 4.
Uang Elektronik dan Perkembangannya di Indonesia………………..
67 69
BAB III TRANSAKSI MELALUI UANG ELEKTRONIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM INDONESIA …………………………...
73
1.
Sistem Hukum Transaksi Elektronik di Indonesia…………………
73
2.
Bentuk
Pengaturan
Transaksi
Melalui
Uang
Elektronik
di
Indonesia……………………………………………………………...
BAB
IV
PENYALAHGUNAAN
UANG
ELEKTRONIK
102
DAN
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG KARTU……
137
1.
Bentuk Penyalahgunaan Kartu Pembayaran Uang Elektronik……..
137
2.
Tanggung
3.
Jawab
Penyelenggara
Sistem
Pembayaran
Uang
Elektronik…………………………………………………………….
140
Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Kartu Uang Elektronik…….
155
BAB V PENUTUP………………………………………………………………
168 168
1.
Simpulan……………………………………………………………..
2.
Saran………………………………………………………………….. 169
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………. LAMPIRAN………………………………………………………………………
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Persamaan dan Perbedaan Uang Elektronik Jenis Terdaftar (Registered) dan Tidak Terdaftar (Unregistered)…………………
Tabel 2.
Mekanisme Hubungan Penerbit, Pemegang dan Merchant Dalam Transaksi Uang Elektronik ………………………………………...
Tabel 3.
65
Perbedaan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu dan Uang Elektronik………………………………………………………….
Tabel 4.
58
68
Perbandingan Syarat dan Ketentuan Kartu E-Money yang diterbitkan oleh Bank Penerbit yang berbeda-beda………………
131
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Kartu Kredit (Credit Card)……………………..…………………
Gambar 2.
Kartu ATM (Automated Teller Machine) dan/atau Kartu Debit
46
(Debit Card)……………………………………………………….
51
Gambar 3.
Kartu BRIZZI tampak depan dan tampak belakang………………
70
Gambar 4.
Kartu Flazz BCA tampak depan dan tampak belakang…………..
71
BAB I PENDAHULUAN
1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional merupakan upaya pembangunan berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem keuangan yang semakin maju, diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi, termasuk keuangan. Satu lagi perkembangan teknologi dan perdagangan yang telah membawa suatu perubahan, adalah kebutuhan masyarakat atas suatu alat pembayaran yang dapat memenuhi kecepatan, ketepatan, dan keamanan dalam setiap transaksi elektronik. Sejarah membuktikan perkembangan alat pembayaran terus berubahubah bentuknya, mulai dari bentuk logam, uang kertas konvensional, hingga kini alat pembayaran telah mengalami evolusi berupa data yang dapat ditempatkan pada suatu wadah atau disebut dengan alat pembayaran elektronik. Dalam penggunaan sistem elektronik ada dua hal mendasar yang perlu diperhatikan. Pertama, teknologi merupakan hasil temuan manusia yang akan
mempunyai kelemahan-kelemahan dalam sistem teknisnya. Kedua, teknologi selain
memiliki
kelemahan
dalam
sistem
teknisnya
juga
mempunyai
ketidakpastian dalam segi jaminan kepastian hukum.1 Memperhatikan dua hal ini, pembahasan tentang perlindungan bagi pemanfaatan teknologi didekati tidak saja dari segi hukum, tetapi juga harus memperhatikan pada aspek keberadaan teknologinya sendiri. Teknologi menjadi sangat penting mengingat pendekatan teknologi pada hakekatnya merupakan langkah preventif terhadap upaya-upaya penyalahgunaan teknologi yang bersangkutan, dimana hal itu belum tentu dapat diselesaikan melalui pendekatan hukum.2 Kemudian pendekatan hukum dapat dijadikan sebagai langkah preventif dan represif apabila ada pelanggaranpelanggaran dalam penggunaan teknologi informasi. Dari sisi sistem pembayaran non tunai, Bank Indonesia berkepentingan untuk memastikan bahwa sistem pembayaran non tunai yang digunakan oleh masyarakat dapat berjalan secara aman, efisien, dan handal. 3 Oleh karena itu, perkembangan penggunaan alat pembayaran non tunai mendapat perhatian yang serius dari Bank Indonesia mengingat perkembangan pembayaran non tunai diharapkan dapat mengurangi beban penggunaan uang tunai dan semakin meningkatkan efisiensi perekonomian dalam masyarakat. Meskipun dari sisi teknologi alternatif penggunaan instrumen pembayaran non tunai sangat feasible untuk menggantikan
1
Editorial Jurnal Hukum Bisnis, 2002, E-commerce Meningkatkan Efisiensi, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 18, Hal 4. 2 Ibid. 3 Working Paper, 2006, Upaya Meningkatkan Penggunaan Alat Pembayaran Non Tunai Melalui Pengembangan E-Money, Tim Inisiatif Bank Indonesia, available from : URL : http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/70AD6420-DA75-4D45-8F3CC6F3465312FB/7858/WorkingPaper_MicroPayment.pdf., diakses pada tanggal 10 November 2012, Hal 2.
uang tunai. Namun demikian aspek psikologis, keamanan, kenyamanan, dan kepercayaan masyarakat terhadap uang kas kemungkinan besar tetap merupakan hambatan yang masih harus dihadapai dalam perkembangan instrumen pembayaran non tunai. Dalam perkembangannya, sistem pembayaran non tunai sangat dipengaruhi oleh kemajuan perkembangan teknologi dan perubahan pola hidup masyarakat. Saat ini perkembangan instrumen pembayaran non tunai berjalan sangat pesat seiring dengan perkembangan teknologi sistem pembayaran yang pada akhir-akhir ini telah membawa dampak yang besar terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam sistem pembayaran tersebut. Dengan dukungan teknologi yang semakin maju, masyarakat pengguna maupun penyedia jasa sistem pembayaran non tunai secara terus menerus mencari alternatif instrumen pembayaran non tunai yang lebih efisien dan aman. Selain itu, perubahan pola hidup masyarakat yang disertai peningkatan efisiensi pola hidup menuntut tersedianya sarana telekomunikasi dan trasportasi yang demikian cepat sehingga hambatan jarak dan waktu dapat dikurangi. Perkembangan telekomunikasi dan transportasi ini juga memberikan pengaruh yang besar terhadap transaksi keuangan terutama terkait dengan cara antar pihak melakukan pembayaran. Alat
pembayaran
non
tunai
ini
khususnya
jenis-jenis
pembayaran
menggunakan kartu atau alat pembayaran elektronik pada awalnya dikenal dalam bentuk kartu kredit (credit card) yang kemudian berkembang jenis-jenis alat pembayaran menggunakan kartu lainnya yaitu kartu debet (Debit Card) dan kartu penyimpan dana (stored value card). Kemunculan kartu-kartu ini dengan berbagai
jenis telah memberikan pilihan kepada pengguna untuk memilih cara pembayaran yang sesuai dengan keperluannya masing-masing. Dewasa ini di berbagai negara terlihat bahwa alat atau instrumen pembayaran mikro juga telah berkembang cukup pesat seiring dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat untuk menggunakan alat pembayaran yang mudah, aman dan efisien. Instrumen pembayaran mikro adalah instrumen pembayaran yang di desain untuk menangani kebutuhan transaksi dengan nilai yang sangat kecil namun volume yang tinggi serta membutuhkan waktu untuk memproses transaksi yang relatif sangat cepat. Kebutuhan instrumen pembayaran mikro timbul
karena
apabila
pembayaran
dilakukan
menggunakan
instrumen
pembayaran lain yang ada saat ini (misalnya uang tunai, kartu debit, kartu kredit, dan sebagainya) menjadi relatif tidak praktis, tidak efisien, tidak nyaman atau bahkan lebih mahal biayanya. Tidak seperti alat pembayaran lain misalnya kartu kredit atau kartu debit yang menetapkan minimum jumlah transaksi serta adanya tambahan biaya yang cukup mahal, alat pembayaran mikro harus dapat digunakan untuk melakukan pembayaran dalam jumlah yang sangat kecil dengan biaya transaksi yang relatif kecil pula. Adanya peluang bagi lembaga non bank untuk dapat menjadi penerbit alat pembayaran mikro akan membuka kesempatan kepada masyarakat luas, meskipun bukan nasabah bank, untuk dapat menggunakan fasilitas pembayaran mikro. Hal ini tentunya akan semakin meningkatkan akses masyarakat terhadap alat pembayaran non tunai. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, salah satu wewenang Bank Indonesia dalam rangka mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran adalah menetapkan penggunaan alat pembayaran. Penetapan penggunaan alat pembayaran ini dimaksudkan agar alat pembayaran yang digunakan dalam masyarakat memenuhi persyaratan keamanan dan efisiensi bagi penggunanya. Perkembangan teknologi di bidang informasi dan komunikasi memberi dampak terhadap munculnya inovasi-inovasi baru dalam pembayaran elektronis (Electronic Payment). Dalam hal ini yang dimaksud dengan pembayaran elektronis adalah pembayaran yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi seperti Integrated Circuit (IC), cryptography dan jaringan komunikasi. Pembayaran elektronis yang kita kenal dan sudah ada di Indonesia saat ini antara lain phone banking, internet banking, kartu kredit dan kartu debit/ATM.4 Meskipun teknologi yang digunakan berbeda-beda, seluruh pembayaran elektronis tersebut selalu terkait langsung dengan rekening nasabah bank yang menggunakannya. Dalam hal ini setiap instruksi pembayaran yang dilakukan nasabah, baik melalui phone banking, internet banking, kartu kredit maupun kartu debit/ATM, selalu melalui proses otorisasi dan akan dibebankan langsung ke dalam rekening nasabah tersebut. Saat ini, di beberapa negara telah mulai dikembangkan produk pembayaran elektronik yang dikenal sebagai Electronic Money (selanjutnya disebut e-money
4
from
Paper Kajian E-Money, 2001, Paper Kajian Mengenai E-Money, Bank Indonesia, available :
URL
:
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/2AE7458F-D2DD-80DD-
D890DE7F7C97/PaperKajianemoney3.pdf., diakses tanggal 10 November 2012, Hal 2.
atau uang elektronik), yang karakteristiknya berbeda dengan pembayaran elektronis yang telah disebutkan sebelumnya, karena setiap pembayaran yang dilakukan dengan menggunakan e-money tidak selalu memerlukan proses otorisasi dan tidak terkait secara langsung dengan rekening nasabah di bank (pada saat melakukan pembayaran tidak dibebankan ke rekening nasabah di bank), sebab e-money tersebut merupakan produk ‘stored value’ dimana sejumlah nilai (monetary value) telah terekam dalam alat pembayaran yang digunakan (prepaid). Dalam ketentuan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) dalam ketentuan Pasal 1 Ayat 3, “Uang Elektronik (Electronic Money) adalah alat pembayaran yang diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu oleh pemegang kepada penerbit. Nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip yang digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagang yang bukan merupakan penerbit uang elektronik tersebut. Nilai uang elektronik yang disetor oleh pemegang dan dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan. Tujuan awal penggunaan e-money untuk kepraktisan, hanya sekali tekan transaksi berhasil dilakukan, selain itu tidak perlu membawa uang tunai jika ingin membeli sesuatu. Namun pada dasarnya e-money tidak bertujuan untuk mengganti fungsi uang tunai secara total. Pemegang kartu e-money sebaiknya memilih kartu e-money sesuai kebutuhan. Hal ini karena ada banyak kartu emoney yang beredar di pasaran dan menawarkan fasilitas pembayaran yang tidak sama. Selain itu tidak semua pedagang yang dapat menerima transaksi
pembayaran melalui e-money. Dengan kata lain, belum ada kartu e-money yang bisa memenuhi semua kebutuhan. Berbeda dengan kartu kredit atau kartu debit, kartu e-money tidak memerlukan konfirmasi data atau otorisasi Personal Identification Number (PIN) ketika akan digunakan sebagai alat pembayaran dan tidak terkait langsung dengan rekening nasabah di bank. Hal ini karena e-money merupakan produk stored value dimana sejumlah nilai monetary value telah terekam dalam alat pembayaran yang digunakan.5 Hal tersebut memungkinkan kartu dapat dipindahtangankan dan bisa dipakai siapapun selama saldo masih mencukupi. Hal ini dapat membahayakan karena jika kartu e-money hilang, maka saldo yang tersisa dapat digunakan oleh orang lain. Pada kenyataannya, e-money dengan nilai yang dapat di top up atau diisi ulang ini tidak termasuk dalam inventori bank sebagai salah satu lembaga yang mengeluarkan produk ini.6 Artinya jika pencurian atau penggunaan kartu emoney yang bukan pemegang kartu tidak dapat dilacak keberadaannya dan kartu tersebut tidak dapat diblokir. Meskipun relatif masih dalam tahap perkembangan awal, e-money mempunyai potensi dalam menggeser peran uang tunai untuk pembayaranpembayaran yang bersifat retail sebab transaksi retail tersebut dapat dilakukan dengan lebih mudah dan murah baik bagi konsumen maupun pedagang (merchant). Pengembangan e-money di berbagai negara telah melahirkan berbagai 5
Yasser Arafat, E-Money Dalam Kacamata Plus-Minus, 2011, available from : URL : http://resaay.wordpress.com/2011/11/28/e-money-dalam-kacamata-plus-minus/, diakses pada tanggal 3 Februari 2013. 6 Anastasia Lilin Y, Mengontrol Pengeluaran Dengan Uang Elektronik (Selesai), 2012, Kontan.co.id, available from : URL : http://personalfinance.co.id/news/mengontrol-pengeluarandengan-uang-elektronik-selesai, diakses pada tanggal 3 Februari 2013.
implikasi pengembangan e-money terhadap kebijakan Bank Sentral khususnya yang berkaitan dengan fungsi pengawasan sistem pembayaran dan efektifitas kebijakan moneter. Perlindungan terhadap pengguna e-money harus diberikan didasari oleh semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktivitas dan efisiensi atas barang atau jasa yang dihasilkan dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai sasaran usaha tersebut, akhirnya baik langsung maupun tidak langsung konsumen yang pada umumnya akan merasakan dampaknya. Mengingat hal itu semua tentu sudah menjadi keperluan yang mendesak akan adanya suatu perlindungan terhadap pengguna e-money sebagai konsumen, untuk segera dicarikan solusinya, mengingat demikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen, lebih-lebih menyongsong era perdagangan bebas yang akan datang.7 Maka dari itu seorang pengguna alat pembayaran menggunakan kartu sudah selayaknya dilindungi secara hukum dengan regulasi terhadap teknologi informasi yang memadai. Selain itu juga diperlukan kemampuan darin aparat penegak hukum, kesadaran hukum masyarakat dan prasarana-prasarana yang mendukung penegakan hukum di bidang teknologi informasi.8
7
Sri Rejeki Hartono, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, Hal
33. 8
Johanes Ibrahim, 2004, Kartu Kredit Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan, Refika Aditama, Bandung, Hal 1.
1.2. Rumusan Masalah Dari uraian diatas, permasalahan yang timbul sehubungan dengan pengaturan terhadap perlindungan hukum bagi nasabah dalam melakukan transaksi e-money, terdapat beberapa permasalahan yang dapat diajukan dalam penelitian ini, antara lain : 1. Bagimanakah bentuk pengaturan bagi pemegang kartu uang elektronik dalam melakukan transaksi e-money? 2. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi pemegang kartu uang elektronik dalam melakukan transaksi e-money? 1.3. Ruang Lingkup Masalah Pembayaran yang dilakukan menggunakan kartu e-money tidak memerlukan proses otorisasi dan tidak terkait langsung dengan rekening nasabah di bank, karena untuk memperoleh kartu e-money tidak memerlukan konfirmasi data atau personal identification number (PIN). Kehilangan kartu bukan merupakan tanggung jawab penerbit. Penerbit tidak dapat memblokir kartu yang hilang atau dicuri dan penerbit tidak akan mengganti sisa saldo kartu yang hilang atau dicuri tersebut, karena nilai uang yang tersimpan bukan merupakan simpanan sebagaimana dalam Undang-Undang Perbankan. Oleh karena itu diperlukan bentuk pengaturan bagi pemegang kartu dan perlindungan hukum untuk menjamin aspek keadilan bagi pemegang kartu uang elektronik dalam melakukan transaksi sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia sebagai lembaga pengawas kegiatan keuangan.
1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum Secara umum, penelitian atas beberapa permasalahan yang dipaparkan diatas bertujuan untuk mengetahui dan memahami bentuk pengaturan dan perlindungan bagi pemegang kartu uang elektronik dalam melakukan transaksi emoney. 1.4.2. Tujuan Khusus Secara khusus, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut : 1. Untuk dapat mengetahui bentuk pengaturan yang ideal bagi pemegang kartu dalam melakukan transaksi e-money. 2. Untuk dapat mengetahui perlindungan hukum yang dapat diberikan bagi pemegang kartu uang elektronik dalam melakukan transaksi e-money.
1.5. Manfaat Penelitian Dalam penelitian terhadap permasalahan yang dibahas pada penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis, yaitu sebagai berikut :
1.5.1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan sumbangan pikiran dan wawasan terhadap pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan khususnya dalam kaitannya dalam bidang hukum perbankan maupun hukum perlindungan konsumen. 1.5.2. Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi penulis sendiri dalam menambah pengetahuan dan pemahaman akan pengaturan mengenai e-money pada peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia maupun Hukum Perbankan termasuk Hukum Perlindungan Konsumen dalam kaitannya terhadap perlindungan bagi pemegang kartu uang elektronik dalam melakukan transaksi e-money. 2. Orisinalitas Penelitian Permasalahan mengenai perlindungan hukum terhadap pemegang kartu uang elektronik dalam transaksi e-money sangat menarik untuk dijadikan objek penelitian karena sarat akan permasalahan hukum. Pertama, penulis menemukan penelitian untuk tesis pada Universitas Diponegoro atas nama Trias Palupi Kurnianingrum, SH, dengan judul “Perlindungan Nasabah Kartu Kredit Ditinjau Dari Undang-Undnag Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”, dengan rumusan masalah yaitu :
1. Bagaimanakah perlindungan nasabah kartu kredit ditinjau dari UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen? 2. Bagaimanakah hubungan hukum antara bank sebagai pemberi jasa EFT khususnya kartu kredit terhadap nasabahnya? 3. Faktor-faktor apakah yang menjadi kendala dalam perlindungan nasabah kartu kredit? Penelitian ini membahas mengenai bagaimana upaya perlindungan hukum terhadap nasabah kartu kredit dalam kaitannya dengan bank sebagai pemberi jasa. Perlindungan hukum terhadap nasabah ini ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen, bukan berdasarkan pada Undang-Undang Perbankan. Kedua, penulis juga menemukan penelitian untuk tesis pada Universitas Sumatera Utara atas nama Deasy Risma Rotua Siahaan dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Bank Pengguna ATM (Automated Teller Machines) Dalam Sistem Perbankan Indonesia”, dengan permasalahan yang diangkat yaitu : 1. Bagaimana pembuktian dalam penggunaan ATM menurut ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia? 2. Bagaimana tanggung jawab bank terhadap kerugian yang di derita nasabah bank pengguna ATM dalam melakukan transaksi. 3. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi nasabah bank pengguna ATM dalam sistem hukum perbankan di Indonesia?
Penelitian ini menekankan pada bank sebagai penyedia jasa fasilitas ATM untuk mempermudah dalam melakukan transaksi keuangan. Bank hanya akan bertanggung jawab terhadap kerugian yang di derita oleh nasabah pengguna ATM apabila diakibatkan oleh kesalahan bank atau kesalahan mesin ATM, tetapi bank tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang diakibatkan kesalahan nasabah pengguna ATM itu sendiri. Ketiga, penulis menemukan penelitian tesis pada Universitas Udayana atas nama Ida Ayu Indah Sukma Angandari dengan judul “Kebijakan Pembaruan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Kartu Kredit (Credit Card)” dengan rumusan masalah yaitu : 1. Apakah pentingnya pembaruan hukum pidana (KUHP) terhadap tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit (Credit Card)? 2. Bagaimanakah
kebijakan
hukum
pidana
dalam
tindak
pidana
penyalahgunaan kartu kredit dalam RKUHP? Penelitian ini membahas mengenai resiko bagi pemegang kartu apabila terjadi penyalahgunaan kartu kredit yang ditinjau dalam kebijakan reorientasi dan reformasi hukum pidana. Terakhir, penulis menemukan penelitian untuk tesis dengan judul “Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Minat Penggunaan Produk Baru (Studi Kasus Uang Elektronik Kartu Flazz BCA)” atas nama Deni Rahmatsyah pada Magister Manajemen Universitas Indonesia, dengan rumusan masalah yaitu :
1. Faktor-faktor apa saja yang memiliki pengaruh terhadap minat penggunaan kartu Flazz BCA? 2. Bagaimana pengaruh temuan faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi satu sama lain terhadap minat penggunaan kartu Flazz BCA? 3. Seberapa besar pengaruh persepsi kemudahan penggunaan (Perceived Ease Of Use) dan norma subjektif (Subjective Norm) terhadap persepsi manfaat (Perceived Usefulness)? 4. Seberapa besar pengaruh persepsi manfaat (Perceived Usefulness) dan persepsi kemudahan penggunaan (Perceived Ease Of Use) terhadap sikap (Attitude)? 5. Seberapa besar pengaruh persepsi perilaku control (Perceived Behavior Contro) terhadap persepsi kemudahaan penggunaan (Perceived Ease Of Use)? Penelitian ini memang mengarah pada penggunaan uang elektronik namun ditinjau dari sudut ekonomi, yakni menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi minat penggunaan uang elektronik sebagai produk baru untuk alat pembayaran di Indonesia. Dari hasil pencarian, penulis tidak menemukan penelitian yang mengkhusus mengenai e-money dalam tinjauannya berdasarkan ilmu hukum. Jika dilihat dari beberapa penelitian yang dikemukakan diatas, dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh penulis tampaklah perbedaan-perbedaan yang spesifik. Walaupun
kartu kredit maupun kartu ATM merupakan sama-sama salah satu bentuk produk bank dengan kartu sebagai alat bayar dalam transaksi elektronik seperti halnya dengan e-money, namun penulis menitikberatkan pada e-money sebagai alat bayar pengganti uang tunai dalam transaksi elektronik dalam kaitannya dengan perlindungan hukum terhadap pemegang kartu uang elektronik dalam melakukan transaksi e-money. 3. Landasan Teoritis Sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian maka diperlukan landasan teori sebagai upaya untuk mengidentifikasi teori–teori hukum, konsepkonsep hukum, asas-asas hukum, serta norma-norma hukum.9 Pada prinsipnya suatu teori adalah hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu fakta tersebut merupakan suatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris, oleh sebab itu dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variable atau lebih yang telah diuji kebenarannya.10 Teori merupakan serangkaian pemahaman-pemahaman pendapat-pendapat dari suatu kenyataan (realitas) yang tersusun secara sistematis, logik dan konkrit yang melalui serangkaian pengujian yang telah diakui kebenarannya (walaupun sementara) dan masih membutuhkan serangkaian pengujian lagi agar diperoleh suatu kebulatan pemahaman tentang
9
Universitas Udayana, 2008, Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Program Magister Ilmu Hukum, Hal 10. 10
Hal 30.
Soerjono Soekamto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Gravindo Persada, Jakarta,
suatu hal.11 Dalam dunia hukum terhadap pemahaman bahwa istilah teori bukanlah sesuatu yang harus dijelaskan tetapi sebagai sesuatu yang seolah-olah sudah dipahami maknanya.12 Adapun landasan teoritis yang dimaksudkan berhubungan dengan permasalahan mengenai perlindungan hukum bagi pemegang kartu e-money dan upaya hukum yang dapat dilakukan pemegang kartu dalam melakukan transaksi e-money dan penanggulangannya adalah teori keadilan, stakeholder theory, asas perlindungan hukum, asas kebebasan berkontrak dan asas keseimbangan. 3.1. Teori Keadilan Teori keadilan oleh Arisoteles menyatakan bahwa keadilan ditandai oleh hubungan yang baik antara satu dengan yang lain, tidak mengutamakan diri sendiri, tapi juga pihak lain serta adanya kesamaan. Apabila prinsip keadilan dijalankan maka akan lahir bisnis yang lebih baik dan etis. 13 Teori keadilan dari Ulpianus menggambarkan keadilan adalah kehendak yang terus menerus dan tetap memberikan kepada masing-masing apa yang menjadi haknya. John Rawls membangun teori keadilan berbasis kontrak, dengan menyebut justice as fairness yang ditandai adanya prinsip rasionalitas, kebebasan
11
B. Hestu Cipto Handoyo, 2008, Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, Hal 28. 12
Otje Salman, 2008, Teori Hukum – Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Jakarta, Hal 19. 13 Satjipto Rahardjo, 2010, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, Hal 44.
dan kesamaan. Dengan adanya jaminan kebebasan serta kesetaraan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan terwujud 14 Dilihat dari segi hukum, hubungan antara pemegang kartu dan bank atau lembaga lain selain bank sebagai penerbit maupun dalam kaitannya dengan pedagang (merchant), yakni hubungan kontraktual. Hukum kontrak yang menjadi dasar terhadap hubungan ini bersumber dari ketentuan-ketentuan Kitab UndangUndang Hukum Perdata pada Buku Ketiga tentang perikatan. Menurut Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berkekuatan sama dengan undang-undang bagi kedua belah pihak. Pada prinsipnya hubungan antara penerbit dan pemegang kartu adalah hubungan kontraktual, dimana diberlakukan kontrak dalam bentuk kontrak standar (kontrak baku), yang biasanya terdapat ketentuan-ketentuan yang berat sebelah, dimana
pihak
penerbit
seringkali
lebih
diuntungkan,
sehingga
prinsip
perlindungan dalam hubungan ini tidak dapat diberlakukan secara mutlak.
3.2. Stakeholder Theory Perusahaan merupakan salah satu bagian dalam masyarakat dalam sistem sosial yang berlaku. Keadaan ini menciptakan suatu hubungan timbal balik antara perusahaan dan para stakeholder (pemangku kepentingan) yang berarti bahwa perusahaan harus melaksanakan perannya secara dua arah untuk memenuhi
14
Agus Yudha Hernoko, 2008, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, Hal 45.
kebutuhan perusahaan itu sendiri maupun para stakeholder lainnya dalam sebuah sistem sosial. Pendekatan stakeholder ini muncul untuk membangun suatu kerangka kerja yang responsif terhadap masalah yang dihadapi berbagai kelompok dan hubungan yang dihasilkan dengan cara yang strategis. Teori ini dikemukakan oleh R. Edward Freeman. Menurut Freeman, stakeholder merupakan individu, kelompok manusia, komunitas atau masyarakat baik secara keseluruhan maupun parsial, internal maupun eksternal, yang memiliki hubungan serta kepentingan terhadap perusahaan, yang dapat mempengaruhi maupun dipengaruhi oleh perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung.15 “… the key idea about capitalism is that the entrepreneur or manager creates value by capturing the jointness of the interests (of the stakeholders). Yes, sometimes the interests are in conflict, but over time they must be shaped in the same direction.”16 Definisi ini menyatakan bahwa perusahaan hendaknya memperhatikan para stakeholder karena mereka merupakan pihak yang mempengaruhi dan dipengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung atas aktifitas dan
15
Elvinard Ardianto dan Dindin M. Machfudz, 2011, Efek Kedermawanan Pebisnis dan CSR Berlipat-Lipat, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, Hal. 75 16 Antonio Argandona, Working Paper, May 2011, Stakeholder Theory and Value Creation, IESE Business School University of Navarra, available from : URL : http://www.iese.edu/research/pdfs/di-0922-e.pdf., diakses tanggal 4 Juni 2012.
kebijakan yang diambil oleh perusahaan. Selanjutnya asumsi Stakeholder Theory menurut Thomas dan Andrew adalah :17 1. Perusahaan memiliki hubungan dengan banyak kelompok-kelompok konstituen (Stakeholder) yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan perusahaan. 2. Teori ini ditekankan pada sifat alami hubungan dalam proses dan keluarah bagi perusahaan dan stakeholder. 3. Kepentingan semua legitimasi stakeholder memiliki nilai secara hakiki, dan tidak membentuk kepentingan yang di dominasi satu sama lain. 4. Teori ini memfokuskan pada pengambilan keputusan manajerial. Berdasarkan asumsi stakeholder theory ini, perusahaan tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan sosial. Perusahaan perlu menjaga legitimasi stakeholder serta mendudukannya dalam kerangka kebijakan dan pengambilan keputusan, sehingga dapat mendukung pencapaian tujuan perusahaan.18 Perkembangan Stakeholder Theory diawali dengan berubahnya bentuk pendekatan perusahaan dalam melakukan aktifitas usaha. Ada dua bentuk pendekatan stakeholder :19
17
Nor Hadi, 2011, Corporate Social Responsibility, Graha Ilmu, Yogyakarta, Hal. 94. Ibid. 19 Irwan Irawan, 2009, Teori Stakeholder, available from : URL : http://irwanirawan.com/2009/06/08/teori-stakeholder/, diakses tanggal 23 Mei 2013. 18
1. Old-Corporate Relation Menekankan pada bentuk pelaksanaan aktifitas perusahaan secara terpisah dimana setiap fungsi dalam sebuah perusahaan melakukan pekerjaannya tanpa adanya kesatuan diantara fungsi-fungsi tersebut. Hubungan dengan pihak di luar perusahaan bersifat jangka pendek dan hanya sebatas hubungan transaksional saja tanpa ada kerjasama untuk menciptakan kebermanfaatan bersama. 2. New-Corporate Relation Menekankan kolaborasi antara perusahaan dengan seluruh stakeholder sehingga perusahaan bukan hanya menempatkan dirinya sebagai bagian yang bekerja secara sendiri dalam sistem sosial masyarakat karena profesionalitas telah menjadi hal utama dalam pola hubungan ini. Hubungan perusahaan dengan internal stakeholder dibangun berdasarkan konsep kebermanfaatan yang membangun kerjasama untuk bisa menciptakan kesinambungan usaha perusahaan, sedangkan hubungan dengan stakeholder diluar perusahaan bukan hanya bersifat transaksional dan jangka pendek namun lebih kepada hubungan yang bersifat fungsional yang bertumpu pada kemitraan. Menurut James E. Post, dengan menggunakan sudut pandang yang berbeda membagi stakeholder atau para pemangku kepentingan ini ke dalam dua kategori yaitu :20
20
Dwi Kartini, 2009, Corporate Social Responsibility Transformasi Konsep Sustainability Management dan Implementasi di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, Hal. 8-9/
1. Primary Stakeholders Merupakan berbagai pihak yang berinteraksi langsung dalam aktifitas bisnis perusahaan serta mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk melaksanakan tujuan utamanya, yakni menyediakan barang dan jasa bagi masyarakat. Kategori primary stakeholder adalah : a. Pemegang saham (stockholder) b. Karyawan (employees) c. Pemasok (suppliers) d. Kreditur (creditors) e. Pelanggan (customer) f. Pedagang besar dan eceran (wholesalers and retailers) 2. Secondary stakeholders Merupakan orang-orang atau kelompok di dalam masyarakat yang dipengaruhi secara langsung maupun tidak langsung oleh berbagai aktifitas atau keputusan utama perusahaan. Kategori dari secondary stakeholder yaitu : a. Masyarakat secara umum (the general public) b. Komunitas local (local community) c. Pemerintah pusat dan daerah (federal state and local governments) d. Pemerintahan asing (foreign governments)
e. Kelompok aktivis sosial (social activist groups) f. Media g. Berbagai kelompok pendukung bisnis (business support groups)
3.3. Asas Perlindungan Hukum Pengertian perlindungan hukum seperti yang tertulis di dalam kamus bahasa Indonesia Kontemporer yaitu “suatu upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memperoleh perlindungan berdasarkan peraturan-peraturan atau undang-undang”.21 Perlindungan hukum merupakan suatu kepentingan untuk membuat suatu Negara yang memiliki kesejahteraan untuk masyarakat Negara tersebut. Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hakhak yang diberikan oleh hukum.22 Asas perlindungan atau pengayoman dikemukakan oleh Suhardjo (Mantan Menteri Kehakiman), yang pada intinya : Tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia baik secara aktif maupun pasif. Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu 21
Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, 1991, Balai Pustaka, Jakarta, Hal 897. I Gusti Ngurah Agung Udra Sanjaya, 2010, Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Dalam Kontrak Kerjasama Pemberian Kredit Terhadap Karyawan Tetap (Kretap) di PT. BRI (Persero) Tbk, Cabang Denpasar, Tesis Magister Kenotariatan, Universitas Brawijaya, Hal 27 22
kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar. Sedangkan yang dimaksud secara pasif adalah mengupayakan penegakan atas upaya yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak secara tidak adil.23 Terkait dengan fungsi hukum Suharjo mengemukakan bahwa fungsi hukum adalah untuk mengayomi atau melindungi manusia dalam bermasyarakat, berbangsa serta bernegara, baik jiwa dan badannya maupun hak-hak pribadinya, yaitu hak asasinya, hak kebendaannya maupun hak perorangannya.24 Menurut Philipus M. Hadjon bahwa ada dua bentuk perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum yang represif.25 Perlindungan tidak hanya berdasarkan pada hukum tertulis tetapi termasuk juga hukum tidak tertulis dengan harapan ada jaminan terhadap benda yang dimiliki dalam menjalankan hak dan kewajiban. Hadjon menjelaskan 2 macam perlindungan hukum bagi rakyat tersebut, yaitu :26 1.
Perlindungan Hukum Preventif Perlindungan yang diberikan dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan kepada pelaku usaha dalam melakukan kewajibannya. 23
Abdul Manan, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, Hal 23.
24
Ibid.
25
Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Percetakan M2 Print, Edisi Khusus, Surabaya, Hal 2 26
Jimly Asshiddiqie, 2000, Pergeseran-pergeseran Kekuasaan Legislatif & Eksekutif, Universitas Indonesia, Jakarta, Hal 97.
2.
Perlindungan Hukum Represif Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir yang diberikan kepada pelaku usaha apabila terjadi sengketa atau pelanggaran, melalui prosedur peradilan, baik peradilan umum maupun diluar peradilan (penyelesaian sengketa alternatif). Perlindungan hukum ini diberikan apabila telah terjadi sengketa atau pelaku usaha melakukan pelanggaran. Dalam kaitannya dengan hubungan antara penerbit dan pemegang kartu pada
transaksi e-money, ada beberapa mekanisme yang dipergunakan dalam perlindungan terhadap pemegang kartu uang elektronik yaitu : 1.
Pembuatan peraturan baru Lewat pembuatan peraturan baru di bidang perbankan khususnya regulasi pada peraturan bank Indonesia atau merevisi peraturan yang sudah ada merupakan salah satu cara yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada pemegang kartu uang elektronik.
2.
Pelaksanaan peraturan yang ada Salah satu cara lain untuk memberikan perlindungan kepada pemegang kartu uang elektronik adalah dengan melaksanakan peraturan yang ada secara lebih ketat oleh pihak otoritas moneter, khususnya peraturan yang bertujuan melindungi pemegang kartu sehingga dapat dijamin pelaksanaannya dengan baik.
3.
Memperketat perizinan penerbit maupun pedagang (merchant) Memperketat pemberian izin untuk bank atau lembaga selain bank sebagai penerbit termasuk pula pedagang (merchant) adalah salah satu cara agar penerbit tersebut kuat dan qualified sehingga dapat memberikan keamanan bagi nasabahnya.
4.
Memperketat pengawasan penerbit Dalam rangka meminimalkan risiko yang ada dalam bisnis uang elektronik sebagai suatu bentuk produk baru pembayaran menggunakan kartu, maka pihak otoritas, khususnya Bank Indonesia (juga dalam hal tertentu Menteri Keuangan) harus melakukan tindakan pengawasan dan pembinaan terhadap penerbit-penerbit yang telah ada. Hanya saja perlu diperhatikan bahwa sebagai pengawas, Bank Indonesia tidak dapat mencampuri secara langsung urusan intern dari penerbit yang diawasinya itu. Sebab, pengendalian penerbit tersebut tetap menjadi kewenangan pengurus penerbit tersebut. Karena itu harus jelas batas-batass dari ikut campur tangan Bank Indonesia sehingga tidak mengambil porsi kewenangan dari pengurus penerbit tersebut. Selain itu perlindungan dalam hukum diperlukan pada setiap perbuatan yang
merugikan pihak lainnya harus bertanggung jawab dengan cara membayar ganti rugi atau kompensasi27. Dikalangan para ahli hukum, tanggung jawab sering diistilahkan dengan “responsibility” (verantwoordelijkeheid) atau terkadang
27
Huala Adolf, 2002, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional cetakan III, Rajawali Pers, Jakarta, Hal 87.
disebut dengan “liability”28. Tanggung-jawab dalam arti responsibility adalah sikap moral untuk melaksanakan kewajibannya, sedang tanggung-jawab dalam arti liability adalah sikap hukum untuk mempertanggungjawabkan pelanggaran atas kewajibannya atau pelanggaran atas hak pihak lain. Tanggung jawab menurut pengertian hukum adalah kewajiban memikul pertanggungan jawab dan kerugian yang diderita bila dituntut baik dalam hukum maupun dalam administrasi. Pada umumnya setiap orang harus bertanggung jawab (aanspraklijk) atas perbuatannya, oleh karena itu bertanggung jawab dalam pengertian hukum berarti suatu keterikatan. Dengan demikian tanggung jawab hukum (legal responsibility) sebagai keterikatan terhadap ketentuan-ketentuan hukum.Bila tanggung jawab hukum hanya dibatasi pada hukum perdata saja maka orang hanya terikat pada ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan hukum diantara mereka.29
3.4. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak yang dalam bahasa asing disebut contracts vrijheid, contracteen vrijheid atau partij autonomie, atau dalam pustaka bahasa Inggris disebut dengan istilah freedom of contract adalah suatu asas yang
28
Agus. M Tohar, 1990, Tanggung Jawab Produk, Sejarah dan Perkembanganya, Kerjasama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia Proyek Hukum Perdata, Denpasar-Bali, 3-14 Januari, Hal.1 29
Bernadette M.Waluyo, 1997, Hukum Perlindungan Konsumen, Bahan Kuliah Universitas Parahyangan, Hal 15.
menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak atau perjanjian yang berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum.30 Kebebasan berkontrak memberikan kebebasan untuk mengadakan kontrak atau perjanjian dengan siapapun, dan bebas menentukan cakupan isi serta persyaratan dari suatu perjanjian dengan ketentuan bahwa perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban maupun kesusilaan.31 Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Kebebasan berkontrak dalam arti kata materiil berarti bahwa para pihak bebas mengadakan kontrak atau perjanjian mengenai hal yang diinginkan asalkan dilaksanakan atas kausa yang halal. Kebebasan berkontrak dalam arti formil adalah perjanjian yang terjadi atas setiap kehendak dari para pihak. Setiap kata sepakat yang tercapai di antara para pihak dapat menimbulkan perjanjian atau konsensualitas.32 Asas kebebasan bekontrak ini tercermin dalam Pasal 1338 Kitab UndangUndang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa : Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 30
Ridwan Syahrani, 1985, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, Hal.212. 31 Herlien Budiono, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 31-32 32 Herlien Budiono, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 12-13.
Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan terhadap seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian tersebut antara lain :33 a. Bebas menentukan akan melakukan perjanjian atau tidak b. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian c. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian d. Bebas menentukan bentuk perjanjian e. Kebebasan lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan Pengaturan kebebasan berkontrak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini memberikan kebebasan untuk setiap subjek hukum membuat perjanjian yang baru yang belum diatur oleh Undang-Undang, sehingga perjanjian yang dibuat oleh para pihak mengikat layaknya undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.34 Dengan kata lain, para pihak diperbolehkan untuk membuat peraturan bagi dirinya sendiri untuk melengkapi peraturan perundang-undangan yang telah ada.
33
Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 4 34
J. Satrio, 1993, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, Hal. 36.
3.5. Asas Keseimbangan Asas
Keseimbangan
adalah
suatu
asas
yang
dimaksudkan
untuk
menyelaraskan pranata-pranata hukum dan asas-asas pokok hukum perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mendasarkan pemikiran dan latar belakang individualisme pada satu pihak dan cara pikir bangsa Indonesia pada lain pihak.35 Keseimbangan dalam membuat perjanjian sangat penting agar adanya keseimbangan hak dan kewajiban diantara para pihak yang membuat perjanjian tersebut, sehingga ada keselarasan di dalam pelaksanaan perjanjian yang dibuat tersebut. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pem,erintah dalam arti materiil dan spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen.36 Kepentingan antara konsumen, pelaku usaha dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing, sehingga tidak ada salah satu pihak yang mendapat perlindungan atas kepentingannya yang lebih besar dari pihak lain. Apabila terdapat posisi yang tidak seimbang diantara para pihak, maka hal ini harus ditolak karena akan berpengaruh terhadap substansi maupun maksud dan
35
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, op.cit, Hal. 33 36 Janus Sidabalok, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 32.
tujuan
dibuatnya kontrak
itu.
Interpretasi
terhadap
penggunaan
istilah
keseimbangan terhadap kandungan substansi aturan tersebut ialah : 37 a. Lebih mengarah pada keseimbangan posisi para pihak, artinya dalam hubungan kontraktual tersebut posisi para pihak diberi muatan keseimbangan. b. Kesamaan pembagian hak dan kewajiban dalam hubungan kontraktual seolah-olah tanpa memerhatikan proses yang berlangsung dalam penentuan hasil akhir pembagian tersebut. c. Keseimbangan seolah sekedar merupakan hasil akhir sebuah proses. d. Intervensi Negara merupakan intrumen pemaksa dan mengikat agar terwujud keseimbangan posisi para pihak. e. Pada dasarnya keseimbangan posisi para pihak hanya dapat dicapai pada syarat dan kondisi yang sama (ceteris paribus).
4. Metode Penelitian Concise Oxford Dictionary mendefinisikan penelitian (research) sebagai the systematic investigation into and study of materials and sources in order to establish facts and reach new conclusions.38 Artinya suatu penelitian merupakan
37
Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Hal.84. 38 Judy Pearsall, Op. Cit., hal 1217.
proses sistematis untuk menemukan fakta dan mencapai sejumlah kesimpulan baru. Untuk mendapatkan hasil yang baik maka suatu penelitian memerlukan metode penelitian. Istilah metode berasal dari bahasa Yunani metodhos yang berarti pursuit of knowledge. Methodos sendiri berasal dari dua kata yaitu meta (menunjukkan perkembangan) dan hodos (jalan). Menurut Soerjono Soekanto seperti yang dikutip oleh Soejono dan H. Abdurrahman, peranan metodologi dalam penelitian adalah: 39 a) Menambah kemampuan pada ilmuwan untuk mengadakan atau melaksanakan penelitian secara lebih baik atau lebih lengkap. b) Memberi kemungkinan yang lebih besar untuk meneliti hal-hal yang belum diketahui. c) Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan penelitian interdisipliner. d) Memberikan
pedoman
untuk
mengorganisasikan
serta
mengintegrasikan pengetahuan mengenai masyarakat. 4.1.
Jenis Penelitian Ronny Hanitijo Soemitro membedakan penelitian hukum berdasarkan sumber
datanya sebagai berikut :40 1. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal, yaitu penelitian hukum yang mempergunakan sumber data sekunder.
39
Soejono dan H. Abdurrahman, 2003, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Kedua, Jakarta, Rineka Cipta, hal. 45 40 Ronny Hanitijo Soemitro, 1995, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal 9.
2. Penelitian hukum empiris atau penelitian hukum sosiologis, yaitu penelitian hukum yang memperoleh data dari sumber hukum primer. Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah Penelitian Hukum Normatif. Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan pada peraturan hukum yang ada. Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah peraturanperaturan yang berkaitan dengan pengaturan e-money. 4.2.
Jenis Pendekatan Adapun metode pendekatan yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini
adalah Metode Pendekatan Perundang-Undangan (The Statute Approach), dimana yang dikaji dalam penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, terhadap masalah yang timbul akan ditinjau dan dikaji berdasarkan teori-teori dan ketentuan-ketentuan hukum yang mengaturnya dan kemudian dikaitkan dengan kenyataan di masyarakat, serta dengan pendekatan kenseptual yaitu mengutip pandangan-pandangan atau pendapat para ahli yang terdapat pada buku-buku atau literatur yang relevan dengan permasalahan yang diteliti melalui Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach), yakni melihat berdasarkan pengertianpengertian dan asas-asas yang relevan dengan permasalahan yang diangkat. 4.3.
Sumber Bahan Hukum Bahan hukum
yang digunakan dalam penelitian
hukum yang terdiri dari :
ini adalah bahan-bahan
1. Bahan hukum primer (primary sources or authorithies), adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat secara umum.41 Adapun bahan hukum primer yang dipergunakan untuk mengkaji permasalahan dalam penelitian ini adalah : a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan c. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undnag Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia d. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otorisasi Jasa Keuangan e. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen f. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan pustaka yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.42 Adapun bahan hukum sekunder yang digunakan adalah berupa buku-buku atau literatur-literatur yang memuat teori dan pandangan dari para ahli yang relevan dengan permasalahan yang diteliti,serta bahan hukum tertier berupa kamus hukum, dan artikel internet yang terkait dengan masalah yang diteliti.
41
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 13. 42 Ibid.
3. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang meliputi kamus, ensiklopedia dan sebagainya.43 4.4.
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Bahan
Hukum
yang
diperlukan
untuk
penelitian
ini
dikumpulkan
menggunakan system dengan metoda bola salju artinya menggelinding ketempat yang lebih jauh, dimana dalam penulisan tesis ini mengutip dari buku-buku yang mana buku-buku tersebut juga memuat kutipan dari buku–buku lainnya. Dan juga dengan menggunakan metoda sistematis kartu (card system), dimana kartu ini disusun berdasarkan permasalahan hukum yang dibahas dalam penelitian ini. 4.5.
Teknik Analisis Bahan Hukum Setelah semua bahan terkumpul, maka dilakukan analisis bahan hukum
menggunakan teknik deskripsi yaitu teknik dasar analisis yang menguraikan kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum, dan teknik evaluasi berupa penilaian dengan teori dan peraturan perundang-undangan mengenai pengaturan e-money.
43
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UII Press, Jakarta, hal. 251.
BAB II TINJAUAN UMUM ALAT PEMBAYARAN DAN UANG ELEKTRONIK
1. Alat Pembayaran 1.1. Sejarah dan Pengertian Alat Pembayaran Uang telah digunakan sejak berabad-abad yang lalu yang memiliki sejarah panjang dan telah mengalami perubahan yang sangat besar sejak dikenal manusia. Tidak mudah untuk menjelaskan atau mendefinisikan uang secara singkat, jelas dan tepat, namun dalam masyarakat modern di seluruh dunia tidak ada yang tidak mengenal uang dan kehidupan manusia tidak bisa lepas dari kegiatan yang berhubungan dengan uang. Sebelum adanya uang, pertukaran atau transaksi antar individu atau antar kelompok masyarakat pada awalnya dilakukan dengan cara menukar barang yang satu dengan yang lain, sistem pertukaran barang dengan barang ini dikenal dengan istilah sistem barter. Dalam sistem barter ini harus ada kebetulan ganda (double coincidence), yakni kedua pihak yang akan saling bertukar harus mempunyai barang yang saling dibutuhkan. Penggunaan benda-benda sebagai alat penukar inilah yang dalam perkembangannya dikenal sebagai uang. Hal ini didasarkan pada kesepakatan di antara masyarakat yang menggunakan. Kesepakatan tersebut harus diterima secara umum oleh masyarakat, jadi setiap orang harus menerima benda tersebut sebagai alat pembayaran dari barang-barang yang diperdagangkan.
Proses perkembangan penerimaan uang sebagai alat pembayaran berlangsung bertahap dan sangat lama. Berbagai benda dikembangkan sebagai alat pembayaran yang dapat digunakan dalam perdagangan, seperti kulit kerang, batu permata, gading, telur, beras, atau benda lainnya. Benda yang dipergunakan dan diterima sebagai alat pembayaran dalam sistem perekonomian umumnya adalah benda yang dianggap berharga dan juga mempunyai kegunaan untuk dikonsumsi atau keperluan produksi. Benda yang dipergunakan sebagai uang tersebut pada umumnya juga mudah dibawa dan tidak mudah rusak atau tahan lama. Dalam perkembangannya, masyarakat menggunakan benda-benda seperti logam berharga dan kertas sebagai uang. Sebelum digunakannya kertas sebagai uang, logam berharga dikenal sebagai bentuk uang yang paling popular karena memiliki ciri-ciri yang pantas yakni dapat dipecah-pecah dan dinyatakan dalam unit-unit kecil sehingga dapat dipergunakan untuk melakukan transaksi dengan mudah. Selain itu uang logam mudah dibawa, tahan lama dan tidak mudah rusak. Uang merupakan suatu benda yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran, yaitu dengan cara menukarkannya dengan benda lain, selain itu dapat digunakan untuk menilai benda lain, dan dapat disimpan. Uang juga dapat digunakan untuk membayar hutang di waktu yang akan datang.
Pada dasarnya, uang merupakan suatu benda yang dapat berfungsi seperti berikut :44 1.
Alat Tukar (Medium of Exchange) Sebelum adanya uang, kondisi pertukaran yang dilakukan dengan barter atau pertukaran barang dengan barang pada perkembangan perekonomian modern dinilai terlalu kaku dan sulit dipenuhi. Dengan adanya uang, seseorang dapat secara
langsung
menukarkan
uang
tersebut
dengan
barang
yang
dibutuhkannya kepada orang lain yang menghasilkan barang tersebut. 2.
Alat Penyimpan Nilai (Store of Value) Sesuai dengan sifatnya, manusia adalah makhluk yang gemar mengumpulkan dan menyimpan kekayaan dalam bentuk barang-barang berharga untuk digunakan di masa yang akan datang. Barang-barang berharga tersebut pada umumnya berupa tanah, rumah, dan benda berharga lain. walaupun kekayaan yang dapat disimpan beragam bentuknya, tidak dapat dipungkiri bahwa uang merupakan salah satu pilihan untuk menyimpan nilai dari kekayaan.
3.
Satuan Hitung (Unit of Account) Uang digunakan sebagai satuan hitung dalam melakukan penilaian terhadap suatu barang. Dengan adanya uang, tukar menukar dan penilaian terhadap suatu barang akan lebih mudah dilakukan.
44
Solikin dan Suseno, 2002, Uang Pengertian, Penciptaan & Peranannya Dalam Perekonomian, Seri Kebanksentralan Vol. 1, Pusat Pendidikan & Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia, Jakarta, Hal. 2-3.
4.
Ukuran Pembayaran yang Tertunda (Standard for Deffered Payment) Fungsi uang ini terkait dengan transaksi pinjam meminjam. Uang merupakan salah satu cara untuk menghitung jumlah pembayaran pinjaman tersebut. Glyn Davies dalam bukunya A History Of Money From Ancient Times To The
Present Day, mendefinisikan fungsi uang yaitu :45 1.
Fungsi Khusus a. Alat tukar (medium of exchange) b. Alat penyimpan nilai (store of value) c. Satuan hitung (unit of account) d. Ukuran pembayaran yang tertunda (standard of deffered payment) e. Alat pembayaran (means of exchange) f. Alat ukuran umum dalam menilai sesuatu (common measure of value)
2.
Fungsi Umum a. Aset likuid (liquid asset) b. Faktor dalam rangka pembentukan harga pasar (framework of the market allocative system) c. Faktor penyebab dalam perekonomian (a causative factor in the economy)
45
Ibid.
d. Faktor pengendali kegiatan ekonomi (controller of the economy) Dalam perkembangannya, uang tunai berupa kertas dan logam menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan sistem pembayaran, khususnya untuk transaksi dalam jumlah besar, karena selain adanya kesulitan membawa uang dalam jumlah banyak juga ada risiko yang mungkin akan timbul misalnya perampokan. Hal tersebut memunculkan sistem pembayaran dengan non tunai. Perkembangan
teknologi
sejalan
dengan
pola
hidup
masyarakat
mempengaruhi perkembangan dalam sistem pembayaran. Kemajuan teknologi dalam sistem perekonomian mampu menggeser pembayaran melalui uang tunai ke dalam bentuk pembayaran non tunai yang lebih ekonomis dan efisien. Pembayaran non tunai dilakukan tidak dengan menggunakan fisik uang (uang kartal) sebagai alat pembayaran melainkan dengan inovasi-inovasi baru dalam pembayaran
elektronis
(electronic payment).
Pembayaran
elektronis
ini
merupakan pembayaran yang memanfaatkan teknologi informasi dan dan jaringan komunikasi.46 Pembayaran elektronis tersebut antara lain yaitu phone banking, internet banking, pembayaran menggunakan kartu kredit serta kartu debit/ATM. Meskipun teknologi yang digunakan berbeda-beda, namun seluruh bentuk pembayaran elektronis tersebut terkait dengan rekening nasabah pada bank melalui proses otorisasi. Perkembangan pembayaran non tunai mulai mengembangkan produk pembayaran elektronis berupa uang elektronik (electronic money/e-money). 46
_____, 2000, Monetary and Economic Studies, Institute for Monetary and Economic Studies, Bank of Japan, Vol 18 No. 1.
Karakteristiknya berbeda dengan bentuk pembayaran elektronis lainnya, karena produk uang elektronik ini dalam proses pembayarannya tidak memerlukan proses otorisasi dan tidak terkait langsung dengan rekening nasabah di bank. Uang elektronik merupakan pengganti uang tunai, merupakan produk stored value dimana sejumlah nilai uang (monetary value) terekam dalam alat pembayaran (berupa kartu) yang digunakan oleh pemegang kartu. Perkembangan alat pembayaran tunai maupun non tunai memberikan dampak bagi formulasi kebijakan moneter dari sisi permintaan (demand) dan penawaran (supply). Sistem pembayaran merupakan suatu sistem yang mencakup pengaturan, kesepakatan, kontrak / perjanjian, fasilitas operasional, mekanisme teknis, standar dan prosedur yang membentuk suatu kerangka yang digunakan untuk penyampaian,
pengesahan
dan
penerimaan
instruksi
pembayaran
sertaa
pemenuhan kewajiban pembayaran melalui pertukaran suatu nilai ekonomis (uang) antar pihak-pihak (perorangan, bank, lembaga lainnya) baik domestic maupun crossborder dengan menggunakan instrument pembayaran.47
1.2. Jenis-Jenis Alat Pembayaran Menggunakan Kartu
47
Ahmad Hidayat, Dkk, Tim Inisiatif 2006 Grand Desain Upaya Peningkatan Penggunaan Pembayaran Non Tunai, 2006, Upaya Meningkatkan Penggunaan Alat Pembayaran Non Tunai Melalui Pengembangan E-Money, Working Paper, Bank Indonesia, Hal. 1.
Alat pembayaran menggunakan kartu merupakan suatu alat yang berfungsi sebagai alat pembayaran dan mempunyai fisik berbentuk sebuah kartu. Dalam pengaturan Bank Indonesia mengenai pengaturan alat pembayaran menggunakan kartu yaitu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 meliputi kartu kartu kredit (Credit Card), ATM (Automated Teller Machines) dan/atau kartu debit (Debit Card). Dalam pengaturan Bank Indonesia sebelumnya yaitu pada Peraturan Bank Indonesia
Nomor
7/52/PBI/2005
10/8/PBI/2008
tentang
tentang
Penyelenggaraan
Perubahan
atas
Kegiatan
Alat
PBI
Nomor
Pembayaran
Menggunakan Kartu, kartu prabayar atau yang dipersamakan dengan itu merupakan bagian dari alat pembayaran menggunakan kartu. Uang Elektronik (EMoney) merupakan alat prabayar yang bentuknya juga berupa kartu, namun saat ini tidak digolongkan lagi sebagai alat pembayaran menggunakan kartu, karena uang elektronik ini ada yang berbentuk kartu (card based) maupun nonkartu (server based). Keseluruhan alat pembayaran menggunakan kartu ini dan uang elektronik merupakan bentuk pembayaran non tunai. 1.2.1. Kartu Kredit (Credit Card) Belum ada penjelasan secara universal mengenai apa itu kartu kredit, namun beberapa literature memberikan definisi mengenai apa itu kartu kredit, antara lain menurut Black’s Law Dictionary menjelaskan bahwa kartu kredit adalah :
“any card, plate or any other like credit device existing for the purpose of obtaining money, property, labour or service on credit. The term does not include a note, cheque, draft, money order or other like negotiable instrument.”48 Tony Drury dan Charles W. Ferrier menjelaskan : ”¢redit card is an instrument of payment which enables the cardholder to obtain either goods or service from merchants where arrangements have been made (directly or indirectly) by the card issuer, who also makes arrangements to reimburse the merchant. The cardholder settles with the card issuer in accordance with the terms of particular scheme. In certain instances credit card may be used to obtain cash.”49 Menurut pendapat Abdul Kadir Muhammad dan Rilda Murniati berpendapat bahwa kartu kredit adalah : “alat pembayaran melalui jasa bank atau perusahaan pembiayaan dalam transaksi jual beli barang/jasa, atau alat untuk menarik uang tunai dari bank atau perusahaan pembiayaan dimana kartu kredit tersebut diterbitkan berdasarkan perjanjian tersebut, peminjam memperoleh pinjaman dana dari bank atau perusahaan pembiayaan. Peminjam dana adalah pihak yang menerima kartu kredit yang disebut Pemegang Kartu (card holder), sedangkan bank atau perusahaan pembiayaan adalah pihak yang menyediakan kartu kredit yang disebut Penerbit (issuer).”50 Pengertian kartu kredit menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 adalah alat pembayaran yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan/atau untuk melakukan penarikan tunai, dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit,
48
Henry Campbell Black’s Dictionary, 1990, Black Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul Minn, West Publishing Co, Page 369. 49 Tony Drury and Charles W. Ferrier, 1984, Credit Card, London Butterworths, Page XII. 50 Abdulkadir Muhammad dan Rilda Muniarti, 2000, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, Hal. 510.
dan pemegang kartu berkewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu yang disepakati baik dengan pelunasan secara sekaligus (charge card) maupun dengan pembayaran secara angsuran. Berdasarkan beberapa pengertian mengenai kartu kredit tersebut, maka kartu kredit merupakan alat pembayaran elektronik berbentuk kartu sebagai alat pemenuhan kebutuhan masyarakat yang praktis, efisien dan efektif. Dalam perkembangannya kartu kredit tidak lagi menjadi barang mewah, penggunaan kartu kredit sudah sangat lazim dan banyak sekali penggunanya. Kartu kredit (credit card) selain dapat berfungsi sebagai alat pembayaran, juga dapat digunakan sebagai alat pembiayaan. Namun karena kartu kredit bersifat hutang, sehingga setiap transaksi pembayaran akan dikenakan bunga, maka kartu kredit tidak disarankan digunakan sebagai alat pembiayaan usaha yang bersifat jangka menengah hingga jangka panjang. Kartu kredit hanya dapat digunakan sebagai dana utang cadangan (stand by loan) yang bersifat pembayaran jangka pendek. Diterbitkannya aturan Bank Indonesia yang terbaru yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 pada Pasal 18 ayat 1 dan 2, penggunaan kartu kredit dibatasi oleh Bank Indonesia hanya boleh diperuntukkan sebagai alat pembayaran. Penerbit dan acquirer wajib menjaga agar kartu kredit tidak digunakan di luar peruntukan sebagai alat pembayaran, pelanggaran terhadap aturan tersebut dapat dikenakan sanksi administrasi berupa teguran, denda, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan alat pembayaran
menggunakan kartu, hingga pencabutan izin penyelenggaraan alat pembayaran menggunakan kartu. Sebagai alat pembayaran kartu kredit mempunyai sifat-sifat tertentu yang menjadi pembeda dengan alat pembayaran yang lain dalam hal fungsi. Beberapa karakter dasar yang melekat pada kartu kredit menurut Flory Santosa adalah :51 a. Kartu kredit merupakan produk massal (mass product); b. Tanpa sekat antar negara (borderless) dapat digunakan di semua negara sepanjang terdapat penyelenggaraan sistem kartu kredit (yang paling luas saat ini adalah Visa dan Mastercard); c. Dalam produk kartu kredit terdapat perjanjian tanpa batas akhir dan bersifat revolving (open end and revolve) yaitu tidak seperti perjanjian kredit pada umumnya klausul mengenai berakhirnya perjanjian kredit yaitu sesuai dengan tenor kredit yang diajukan, dalam produk kartu kredit tidak dicantumkan masa berakhirnya kartu kredit. Dengan kata lain bahwa pada prinsipnya utang kartu kredit tanpa batas akhir yang definitif; d. Didukung dengan teknologi; e. Dari sudut pandang bank penerbit, bisnis kartu kredit sering dikatakan sebagai salah satu bisnis berisiko tinggi dengan keuntungan tinggi (high gain high risk).
51
Flory Santosa, 2009, Pedoman Praktis Menghindari Perangkap Utang Kartu Kredit, Forum Sahabat, Jakarta, Hal. 1.
Penyelenggaraan kartu kredit melibatkan pihak pemegang kartu, principal, penerbit, acquirer, pedagang (merchant), perusahaan switching, penyelenggara kliring, dan penyelenggara penyelesaian akhir. Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, menetapkan beberapa penambahan aturan baru yaitu :52 1. Batasan gaji minimum untuk memiliki kartu kredit sebesar Rp. 3.000.000,(tiga juta rupiah) per bulan; 2. Nasabah dengan gaji sebesar Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah) sampai dengan Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) per bulannya hanya boleh memiliki kartu kredit paling banyak dari dua penerbit; 3. Batasan kredit maksimum sebesar 3 (tiga) kali gaji per bulan; 4. Suku bunga pembelanjaan maksimum 3% (tiga persen) per bulan atau 36% (tigapuluh enam persen) per tahun; 5. Tagihan pembelanjaan tidak boleh dikenai bunga berkali-kali; 6. Bank Indonesia akan lebih detail mengatur kerjasama antara bank dan pihak ketiga;
52
R. Serfianto D.P, Dkk, 2012, Untung Dengan Kartu Kredit, Kartu ATM-Debit, dan Uang Elektronik, Visi Media Pustaka, Jakarta, Hal. 129.
7. Kartu harus menggunakan teknologi chip, tanda tangan nasabah, dan penggunaan PIN enam digit; 8. Bank Indonesia meminta pembayaran cicilan minimal 10% (sepuluh persen) dari total tagihan; 9. Batas tarik tunai maksimal Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) per hari; 10. Bank Indonesia mewajibkan bank mengirim ringkasan transaksi kartu kredit nasabah secara tahunan.
Gambar 1. Contoh Kartu Kredit (Credit Card)
1.2.2. Kartu ATM (Automated Teller Machines) dan/atau Kartu Debit (Debit Card) Kartu ATM dan kartu debit adalah kartu pembayaran yang merupakan gabungan antara kartu ATM dan kartu debit, sehingga memiliki lebih banyak fungsi dari kartu ATM biasa. Kartu ATM dan kartu debit merupakan kartu khusus yang diberikan oleh bank kepada pemilik rekening yang dapat digunakan untuk bertransaksi secara elektronis pada rekening tersebut, yang pada saat kartu
tersebut digunakan untuk bertransaksi akan mengurangi dana yang tersedia pada rekening tersebut. Kartu ATM dan kartu debit adalah sebuah kesatuan dalam satu kartu, perbedaan penyebutannya dikarenakan dari penggunaannya yang multifungsi. Sebuah kartu dapat dikatakan sebagai kartu ATM jika kartu tersebut digunakan untuk melakukan transaksi pada mesin ATM, khususnya ditujukan untuk mengambil dana. Jika kartu tersebut digunakan untuk melakukan transaksi pembayaran dan pembelanjaan non tunai dengan menggunakan mesin Electronic Data Capture (EDC) yang tersedia pada layanan pedagang (merchant) maka kartu tersebut dikenal sebagai kartu debet.53 Pengaturan mengenai kartu ATM dan kartu debit ini sama dengan kartu kredit yaitu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu, yaitu untuk Kartu ATM dalam Pasal 1 angka 5 adalah alat pembayaran menggunakan kartu yang dapat digunakan untuk melakukan penarikan tunai dan/atau pemindahan dana dimana kewajiban pemegang kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung simpanan pemegang kartu pada Bank atau Lembaga Selain Bank yang berwenang untuk menghimpun dana sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Kartu debit pada Pasal 1 angka 6 adalah alat pembayaran menggunakan kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul 53
Bank Indonesia, Mengenal Kartu Debit dan ATM, available from : URL http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/BBE21279-B059-4C04-BBE8E2D58360DB06/1465/MengenalKartuDebitdanATM.pdf, diakses pada tanggal 12 Juli 2013.
:
dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan, dimana kewajiban pemegang kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung simpanan pemegang kartu pada Bank atau Lembaga Selain Bank yang berwenang untuk menghimpun dana sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pemegang kartu ATM akan diberikan PIN (Personal Identification Number) yang bersifat sangat rahasia untuk menjaga keamanan dan otorisasi transaksi. Jika akan dipergunakan sebagai kartu debit, maka selain otorisasi PIN diperlukan juga otorisasi tandatangan seperti kartu kredit. Kartu ATM dan kartu debit ini berfungsi sebagai alat bantu untuk melakukan transaksi dan memperoleh informasi perbankan secara elektronis. Jenis transaksi yang dapat dilakukan adalah penarikan tunai, setoran tunai, transfer dana, pembiayaan, pembelanjaan, termasuk juga informasi saldo dan informasi kurs. Penyelenggaraan pembayaran menggunakan kartu ATM dan kartu debit sama dengan kartu kredit yang melibatkan pihak pemegang kartu, principal, acquirer, pedagang (merchant), perusahaan switching, penyelenggara kliring, dan penyelenggara penyelesaian akhir. Penerbit wajib menerapkan perlindungan nasabah dalam menyelenggarakan kegiatan alat pembayaran menggunakan kartuyang antara lain dilakukan dengan menyampaikan informasi tertulis kepada pemegang kartu atas alat pembayaran menggunakan kartu yang diterbitkan. Penerbit kartu ATM dan/atau kartu debit wajib memberikan informasi tertulis kepada pemegang kartu, dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
11/10/DASP/2009 tentang penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu meliputi hal-hal berikut : 1. Prosedur dan tata cara penggunaan kartu, fasilitas yang melekat pada kartu, dan risiko yang mungkin timbul dari penggunaan kartu tersebut. 2. Hak dan kewajiban pemegang kartu, paling kurang meliputi hal-hal sebagai berikut : a) Hal-hal penting yang harus diperhatikan oleh pemegang kartu dalam penggunaan kartunya, termasuk segala konsekuensi atau risiko yang mungkin timbul dari penggunaan kartu. Misalnya, tidak memberikan PIN kepada orang lain dan berhati-hati saat melakukan transaksi melaluii mesin ATM; b) Hak dan tanggung jawab pemegang kartu apabila terjadi berbagai hal yang mengakibatkan kerugian bagi pemegang kartu dan/atau penerbit, baik yang disebabkan karena adanya pemalsuan kartu, kegagalan sistem penerbit, atau sebab lainnya; c) Jenis dan besarnya biaya yang dikenakan; d) Tata cara dan konsekuensi jika pemegang kartu tidak lagi berkeinginan menjadi pemegang kartu. 3. Tata cara pengajuan pengaduan yang berkaitan dengan penggunaan kartu dan perkiraan waktu penanganan pengaduan tersebut.
Penerbit wajib meningkatkan keamanan alat pembayaran menggunakan kartu guna mencegah dan mengurangi tingkat kejahatan di bidang penggunaan alat pembayaran menggunakan kartu. Hal ini juga bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan dalam penggunaan alat pembayaran non tunai. Peningkatan keamanan dilakukan terhadap seluruh infrasruktur teknologi yang terkait dengan penyelenggaraan alat pembayaran menggunakan kartu, yang dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu meliputi pengamanan pada kartu dan pengamanan pada seluruh sistem yang digunakan untuk memproses transaksi alat pembayaran menggunakan kartu tersebut, yaitu : a. Peningkatan keamanan kartu dilakukan dengan menggunakan teknologi chip (integrated circuit) yang mempunyai kemampuan untuk menyimpan dan/atau memproses data, sehingga pada kartu dapat ditambahkan aplikasi untuk kepentingan pengamanan pemprosesan data transaksi. b. Peningkatan keamanan mesin electronic data capture (EDC) pada pedagang (merchant), keamanan mesin ATM, dan keamanan pada sistem pendukung dan memproses transaksi (back end system) yang berada pada penerbit, acquirer, dan/atau third party processor lainnya, dilakukan dengan cara menyediakan mesin dan sistem yang dapat memproses kartu dengan teknologi chip sebagaimana dimaksud huruf a.
c. Khusus untuk kartu ATM dan karti debit yang diterbitkan di Indonesia, jumlah digit PIN paling sedikit 4 (empat) digit. Berbeda dengan kartu kredit, penggunaan kartu debit secara otomatis langsung memotong saldo tabungan. Mekanismenya sama dengan penarikan uang tunai dari mesin ATM dengan menggunakan kartu ATM, kartu ATM-Debit juga akan memotong saldo ketika digunakan untuk melakukan pembayaran transaksi belanja di berbagai took (merchant). Apabila saldo sudah habis, kartu ATM-Debit tersebut secara otomatis tidak dapat digunakan lagi hingga penggunanya mengisi saldonya kembali. Hal inilah yang membuat penggunaan kartu debit lebih aman dan terkendali dibandingkan penggunaan kartu kredit yang bersifat hutang.
Gambar 2. Contoh Kartu ATM (Automated Teller Machine) dan/atau Kartu Debit (Debit Card)
2. Dasar Hukum Sistem Pembayaran Menggunakan Kartu dan Uang Elektronik
Tidak semua kartu dapat digolongkan sebagai alat pembayaran menggunakan kartu dan juga uang elektronik. Kartu member pelanggan, kartu diskon atau kartu voucher yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan retail tidak dapat digolongkan sebagai alat pembayaran menggunakan kartu maupun uang elektronik. Sebab kartu jenis ini tidak mensyaratkan adanya pengisian uang melalui pulsa atau rekening di bank. Alat pembayaran menggunakan kartu (kartu kredit, ATM/Debit) serta uang elektronik diatur dalam sejumlah regulasi Peraturan Bank Indonesia (PBI), sebagai berikut : 1. PBI
Nomor
6/30/PBI/2004
tentang
Penyelenggaraan
Kegiatan
Alat
tentang
Penyelenggaraan
Kegiatan
Alat
Pembayaran Menggunakan Kartu 2. PBI
Nomor
7/52/PBI/2005
Pembayaran Menggunakan Kartu 3. PBI Nomor 10/8/PBI/2008 tentang Perubahan atas PBI Nomor 7/52/PBI/2005 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu 4. PBI Nomor 10/4/PBI/2008 tentang Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu oleh Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Lembaga Selain Bank (LSB) 5. PBI Nomor 11/11/PBI/2009
tentang Penyelenggaraan
Kegiatan
Pembayaran Menggunakan Kartu 6. PBI Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money)
Alat
7. PBI Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan atas PBI Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu Alat pembayaran menggunakan kartu (kartu kredit, ATM/kartu debit) dan uang elektronik (e-money) juga diatur dalam sejumlah Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI), yaitu : 1. SE BI Nomor 7/59/DASP/2005 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu 2. SE BI Nomor 7/60/DASP/2005 tentang Prinsip Perlindungan Nasabah dan Kehati-hatian serta Peningkatan Keamanan dalam Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu 3. SE BI Nomor 7/61/DASP/2005 tentang Pengawasan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu 4. SE BI Nomor 8/18/DASP/2006 tentang Perubahan atas SE BI Nomor 7/60/DASP/2005 tentang Prinsip Perlindungan Nasabah dan Kehati-hatian serta
Peningkatan
Keamanan
dalam
Penyelenggaraan
Kegiatan
Alat
Pembayaran Menggunakan Kartu 5. SE BI Nomor 10/04/UKMI/2008 tentang Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartuoleh Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Lembaga Selain Bank (LSB) 6. SE BI Nomor 10/07/DASP/2008 tentang Pengawasan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu
7. SE BI Nomor 10/20/DASP/2008 tentang Perubahan Kedua atas SE BI Nomor 7/60/DASP/2005 tentang Prinsip Perlindungan Nasabah dan Kehati-hatian serta
Peningkatan
Keamanan
dalam
Penyelenggaraan
Kegiatan
Alat
Pembayaran Menggunakan Kartu 8. SE BI Nomor 11/10/DASP/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu 9. SE BI Nomor 11/11/DASP/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) 10. SE BI Nomor 13/22/DASP/2011 tentang Implementasi Teknologi Chip dan Penggunaan Personal Identification Number (PIN) pada Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang Diterbitkan di Indonesia Pada awalnya, Bank Indonesia menggolongkan kartu Kredit, Kartu ATM, Kartu Debit, dan Kartu Prabayar (Uang Elektronik) dalam satu kategori yaitu alat pembayaran menggunakan kartu. Namun sejak pemberlakuan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009, terjadi perubahan dimana kartu kredit, kartu debit dan kartu ATM digolongkan sebagai alat pembayaran menggunakan kartu, sedangkan kartu prabayar digolongkan sebagai uang elektronik. Perubahan penggolongan tersebut dilatarbelakangi bahwa uang elektronik (electronic money / e-money) tidak hanya diterbitkan oleh bank tetapi juga diterbitkan oleh lembaga selain bank. Selain itu, uang elektronik memiliki perbedaan dengan alat pembayaran menggunakan kartu, karena pemegang kartu uang elektronik tidak harus menjadi nasabah atau membuka rekening di bank
seperti pemegang alat pembayaran menggunakan kartu lainnya. Alat pembayaran menggunakan uang elektronik telah berkembang pesat sehingga memerlukan perhatian khusus dari sisi pengaturan dan pengawasan. Sehubungan dengan hal tersebut, pengaturan uang elektronik (e-money) diatur lebih lengkap dalam peraturan tersendiri yang terpisah dari pengaturan alat pembayaran menggunakan kartu. Penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran menggunakan kartu yang sebelumnya diatur dalam PBI Nomor 11/11/PBI/2009 telah mengalami perubahan berdasarkan PBI Nomor 14/2/PBI/2012. Pembaharuan tersebut dikarenakan banyaknya kasus pelanggaran dan tindak pidana terhadap kartu kredit. Perubahan tersebut ditujukan untuk menyempurnakan regulasi kartu kredit yang dalam pelaksanaannya telah menimbulkan sejumlah dampak negatif di masyarakat. Penyempurnaan ini diperlukan dalam rangka mendorong pertumbuhan yang lebih sehat dalam transaksi pembayaran menggunakan kartu dan menekan keluhan dari pengguna alat pembayaran menggunakan kartu khususnya pemegang kartu kredit. Penyelenggaraan alat pembayaran menggunakan kartu yang diselenggarakan oleh bank wajib menerapkan manajemen risiko sesuai dengan peratusan Bank Indonesia yang mengatur tentang manajemen risiko. Selain itu penyelenggara berupa lembaga selain bank (LSB) yaitu perusahaan telekomunikasi, juga diwajibkan menerapkan manajemen risiko sesuai ketentuan manajemen risiko bagi LSB. Apabila belum mencantumkan ketentuan yang mengatur mengenai manajemen risiko untuk LSB, penerapan manajemen risiko bagi LSB tunduk pada ketentuan peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai manajemen risiko.
3. Uang Elektronik (E-Money) 3.1. Pengertian dan Dasar Hukum Uang Elektronik Uang Elektronik (E-Money) pada awalnya lebih dikenal dengan sebutan kartu penyimpan dana (Stored Value Card) yaitu sebuah kartu yang berfungsi untuk menyimpan sebuah dana dengan jumlah yang telah didepositkan. Fungsinya hamper sama dengan kartu debit, namun stored value card ini tidak menyimpan identitas dari pengguna atau pemegang kartu (anonymous). Nilai yang tersimpan dalam stored value card ini yang dinamakan uang elektronik atau e-money. Uang elektronik diatur tersendiri dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money). Uang elektronik (e-money) merupakan alat pembayaran yang memenuhi unsurunsur yaitu : a.
Diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu oleh pemegang kepada penerbit;
b.
Nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media seperti server atau chip;
c.
Digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagang (merchant) yang bukan merupakan penerbit uang elektronik tersebut;
d.
Nilai uang elektronik yang disetor oleh pemegang dan dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan. Dilihat dari media yang digunakan, ada dua tipe produk uang elektronik (e-
money) yaitu :54 1.
Prepaid card/kartu prabayar/electronic purses, dengan karakteristik : a. Nilai uang dikonversi menjadi nilai elektronis dan disimpan dalam suatu chip (integrated circuit) yang tertanam pada kartu; b. Mekanisme pemindahan dana dilakukan dengan cara memasukkan kartu ke suatu alat card reader.
2.
Prepaid software (disebut juga digital cash), dengan karakteristik : a. Nilai uang dikonversi menjadi nilai elektronis dan disimpan dalam suatu hard disk komputer yang terdapat dalam Personal computer (PC); b. Mekanisme pemindahan dana dilakukan secara online melalui suatu jaringan komunikasi seperti internet, pada saat melakukan pembayaran.
54
R. Serfianto, dkk, 2012, Untung Dengan Kartu Kredit, Kartu ATM-Debit, & Uang Elektronik, Visi Media, Jakarta, Hal. 98.
Penerbit dapat menerbitkan jenis uang elektronik yang mewajibkan pendaftaran data identitas pemegang (registered), dan jenis yang tidak memerlukan pendaftaran data identitas pemegang (unregistered). Pencatatan data identitas pemegang paling sedikit memuat nama, alamat, tanggal lahir, dan data lain sebagaimana tercantum pada buku identitas pemegang. Perolehan data identitas pemegang dilakukan dengan menyediakan sarana atau formulir aplikasi yang harus diisi calon pemegang disertai fotokopi identitas calon pemegang. Keharusan pengisian data pemegang diperuntukkan bagi pemegang yang baru pertama kali mengajukan sebagai pemegang dan penerbit sama sekali belum mempunyai data lengkap, benar dan akurat mengenai identitas pemegang. Melalui Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/11/DASP tanggal 13 April 2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) dapat dilihat jenis-jenis dari uang elektronik, yaitu : Persamaan & Perbedaan
Pencatatan pemegang
Terdaftar
Tidak Terdaftar
(registered)
(unregistered)
identitas Data identitas pemegang kartu uang elektronik tercatat dan terdaftar pada penerbit.
Data identitas pemegang kartu uang elektronik tidak tercatat pada penerbit / tidak harus menjadi nasabah penerbit.
Nilai uang elektronik Batas nilai uang elektronik yang yang tersimpan tersimpan dalam media chip/server paling banyak sebesar Rp. 5.000.000,(lima juta rupiah).
Batas nilai uang elektronik yang tersimpan dalam media chip/server paling banyak sebesar Rp. 1.000.000,(satu juta rupiah).
Batas nilai transaksi
Dalam 1 (satu) bulan Dalam 1 (satu) bulan
untuk setiap uang elektronik secara keseluruhan ditetapkan paling banyak transaksi sebesar Rp. 20.000.000,(dua puluh juta rupiah).
untuk setiap uang elektronik secara keseluruhan ditetapkan paling banyak transaksi sebesar Rp. 20.000.000,(dua puluh juta rupiah).
Jenis transaksi yang dapat Meliputi transaksi pembayaran, transfer digunakan dana, dan fasilitas transaksi lainnya yang disediakan oleh Penerbit.
Meliputi transaksi pembayaran, transfer dana, dan fasilitas transaksi lainnya yang disediakan oleh Penerbit.
Tabel 1. Persamaan dan Perbedaan Uang Elektronik (Electronic Money) jenis Terdaftar (Registered) dan Tidak Terdaftar (Unregistered)
Mengenai profil dari uang elektronik, antara lain memuat informasi : 1.
Merek (brand name) yang digunakan;
2.
Spesifikasi teknis yang paling kurang memuat informasi mengenai media penyimpan data elektronis dan fitur keamanan (security features);
3.
Mekanisme pengelolaan uang elektronik yang memuat informasi mengenai penerbitan, pengisian ulang, redeem, dan penagihan oleh pedagang (merchant). Uang Elektronik (e-money) harus memuat transparansi produk. Penerbit harus
memberikan informasi secara tertulis kepada Pemegang atas uang elektronik yang diterbitkan. Informasi tersebut wajib disampaikan dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang jelas dan mudah dimengerti, ditulis dalam huruf dan angka yang mudah dibaca oleh pemegang kartu. Informasi tersebut sesuai dengan Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 11/11/DASP tentang Uang Elektronik (Electronic Money) memuat hal-hal sebagai berikut : a.
Informasi bahwa uang Elektronik bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan sehingga Nilai Uang Elektronik tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
b.
Prosedur dan tata cara penggunaan Uang Elektronik, fasilitas yang melekat pada Uang Elektronik seperti pengisian ulang, transfer dana, tarik tunai dan redeem serta risiko yang mungkin timbul dari penggunaan Uang Elektronik.
c.
Hak dan kewajiban Pemegang, meliputi : 1) Hal-hal yang penting yang harus diperhatikan Pemegang dalam penggunaan Uang Elektronik seperti masa berlaku media Uang Elektronik, jika ada, dan hak serta kewajiban Pemegang atas berakhirnya masa berlaku media Uang Elektronik; 2) Hak dan kewajiban Pemegang jika terjadi hal-hal yang mengakibatkan kerugian bagi Pemegang dan/atau Penerbit, baik yang disebabkan oleh kegagalan sistem atau sebab lainnya; dan 3) Jenis dan besarnya biaya yang digunakan.
d.
Tata cara pengajuan pengaduan yang berkaitan dengan penggunaan Uang Elektronik dan perkiraan lamanya waktu penanganan pengaduan tersebut.
e.
Tata cara dan konsekuensi penggunaan produk termasuk tata cara pengembalian seluruh Nilai Uang Elektronik yang tersisa pada Uang Elektronik pada saat Pemegang mengakhiri penggunaan Uang Elektronik (redeem). Penerbit dapat menetapkan masa berlaku media Uang Elektronik antara lain
dengan pertimbangan adanya batas usia teknis dari media Uang Elektronik yang digunakan. Dengan berakhirnya masa berlaku media Uang Elektronik, nilai uang elektronik yang masih tersisa dalam media tersebut tidak serta merta menjadi hapus. Pemegang memiliki hak tagih atas sisa nilai uang elektronik yang terdapat dalam media tersebut sampai dengan jangka waktu sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sepanjang masih terdapat sisa nilai uang elektronik pada media tersebut.pemenuhan hak tagih atas sisa nilai uang elektronik tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan memindahkan sisa nilai uang elektronik tersebut ke dalam media yang baru. Pemenuhan hak taggih tersebut dapat dikurangi dengan biaya administrasi yang dikenakan oleh Penerbit kepada Pemegang Kartu Uang Elektronik.
3.2. Para Pihak Dalam Transaksi E-Money Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang uang elektronik
(electronic money) maka dapat dilihat pihak-pihak dalam
transaksi uang elektronik ini yaitu :
1. Prinsipal Bank atau Lembaga Selain Bank yang bertanggung jawab atas pengelolaan sistem dan/atau jaringan antar anggotanya, baik yang berperan sebagai penerbit dan/atau acquirer, dalam transaksi uang elektronik yang kerjasama dengan anggotanya didasarkan atas suatu perjanjian tertulis. 2. Penerbit Bank atau Lembaga Selain bank yang menerbitkan uang elektronik. 3. Acquirer Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan kerjasama dengan pedagang, yang dapat memproses data uang elektronik yang diterbitkan oleh pihak lain. 4. Pemegang Pihak yang menggunakan uang elektronik. 5. Pedagang (Merchant) Penjual barang dan/atau jasa yang menerima transaksi pembayaran dari pemegang. 6. Penyelenggara Kliring Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan perhitungan hak dan kewajiban keuangan masing-masing penerbit dan/atau acquirer dalam rangka transaksi uang elektronik.
7. Penyelenggara Penyelesaian kliring Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan dan bertanggung jawab terhadap penyelesaian akhir atas hak dan kewajiban keuangan masing-masing penerbit dan/atau acquirer dalam rangka transaksi uang elektronik berdasarkan hasil perhitungan dan penyelenggara kliring. Bank yang dimaksud adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia dan Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dalam undangUndang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Lembaga Selain Bank merupakan badan usaha bukan bank yang berbadan hukum dan didirikan berdasarkan Hukum Indonesia. Bank atau Lembaga Selain Bank yang mengajukan permohonan ijin untuk menjadi Prinsipal, Penerbit maupun Acquirer wajib memperoleh ijin dari Bank Indonesia. Permohonan tersebut diajukan secara tertulis sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/11/DASP tentang Uang Elektronik (Electronic Money), untuk Prinsipal harus memuat informasi berupa jenis kegiatan Uang Elektronik yang akan disleenggarakan; rencana waktu dimulainya kegiatan; dan nama jaringan yang akan digunakan. Untuk menjadi penerbit, harus memuat informasi berupa jenis kegiatan uang Elektronik yang akan diselenggarakan; rencana wakru dimulainya kegiatan; dan nama produk yang akan digunakan. Permohonan ijin sebagai acquirer memuat informasi rencana waktu dimulainya
kegiatan; nama dan jumlah Prinsipal, Penerbit, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain yang bekerjasama; dan nama dan jumlah Pedagang yang akan bekerjasama. Permohonan ijin sebagai Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir memuat informasi rencana waktu dimulainya kegiatan sebagai Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir; nama dan jumlah Prinsipal, Penerbit, Acquirer dan/atau pihak lain yang akan bekerjasama; serta nama atau merek dagang yang akan digunakan. Hubungan antara Penerbit, Pemegang dan Pedagang (Merchant) merupakan hubungan terpenting dalam transaksi uang elektronik. Nilai elektronik dapat diperoleh dengan menukarkan sejumlah uang tunai atau melalui pendebetan rekening pada bank penerbit untuk kemudian disimpan dalam bentuk kartu emoney. Pemindahan nilai elektronik terjadi apabila ada transaksi pembayaran yang dilakukan pada pedagang (merchant) melalui suatu mesin khusus untuk kartu (card reader). Mekanisme hubungan para pihak dalam penggunaan kartu uang elektronik (e-money) dapat ditunjukkan dalam bagan yaitu :
Bank Penerbit E-Money
(2) Transfer antar rekening
(5) Transfer antar rekening
Rekening Merchant
Rekening Penampungan Bank Penerbit
(4) Penyetoran nilai elektronik
(2) Bank menerbitkan E-Money
Rekening Nasabah atau Pemegang
(1) Instruksi pembelian nilai elektronik
(3) Nilai Elektronik
Pemegang Kartu E-Money
Merchant (3) Barang/jasa
Tabel 2. Mekanisme Hubungan Penerbit, Pemegang dan Merchant dalam transaksi uang elektronik Penjelasan : (1) Pemegang akan melakukan pembelian kartu e-money dengan sejumlah nilai yang diinginkan dengan menginstruksikan bank penerbit untuk mendebit rekeningnya atas pembelian nilai elektronik pada e-money tersebut. (2) Atas dasar instruksi tersebut, bank penerbit kemudian mendebit rekening pemegang dan mengkredit atau memindahkan ke rekening penampungan
dan bersamaan dengan itu memasukkannya menjadi nilai elektronik ke dalam kartu e-money untuk diserahkan dan digunakan oleh pemegang. (3) Pemegang kemudian melakukan transaksi pembayaran dengan pedagang (merchant) dengan menggunakan kartu e-money miliknya. Atas transaksi tersebut, nilai elektronik pada kartu akan berpindah ke pedagang melalui peralatan card reader bersamaan dengan bertukarnya barang atau jasa dari pedagang ke pemegang. (4) Nilai uang elektronik yang ada pada pedagang akan berpindah ke rekening pedagang yang ada pada bank penerbit. (5) Nilai uang elektronik pemegang yang tersimpan pada rekening penampungan bank penerbit akan berpindah melalui proses transfer ke rekening pedagang (merchant). Pengembangan uang elektronik (e-money) tergantung pada insentif yang akan diperoleh berbagai pihak yang terkait seperti Penerbit, Pemegang kartu, maupun Pedagang (Merchant). Bagi Penerbit potensi keuntungan yang dapat diperoleh dalam menerbitkan e-money antara lain pendapatan atas fee yang dikenakan kepada pemegang kartu dan pedagang; pendapatan atas investasi yang diperoleh dari outstanding dana yang terhimpun; dan efisiensi atas berkurangnya biaya pengelolaan kas dalam hal penerbit e-money adalah Bank. Bagi Pemegang Kartu E-Money, keinginan untuk menggukanak e-money dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu besarnya fee yang harus dibayar disbanding dengan instrument pembayaran lainnya; privasi dan tingkat keamanan e-money; kemudahan
pemakaiannya; dan luas tidaknya penerimaan oleh pedagang (merchant). Bagi Pedagang (Merchant) sendiri, keinginan untuk menerima pembayaran dalam bentuk e-money dipengaruhi oleh besarnya fee yang dikenakan oleh penerbit; biaya pengadaan peralatan; dan efisiensi atas berkurangnya biaya pengelolaan kas.55
3.3. Perbedaan Uang Elektronik dengan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu Uang elektronik dalam pengaplikasiannya pada sebuah alat pembayaran lebih dikenal dengan sebutan sebagai stored value/prepaid cash card (kartu prabayar) dibedakan dengan alat pembayaran menggunakan kartu (krartu kredit, kartu ATM dan/atau kartu debit) karena metode penggunaannya yang berbeda dengan kartu kredit dan kartu ATM/Debit. Uang elektronik merupakan suatu kegiatan prabayar antara pemegang kartu dan penerbit, dimana pemegang kartu mendepositkan terlebih dahulu sejumlah dana kepada server penerbit sebelum menggunakan kartu e-money tersebut. Karena sifatnya yang demikian maka pengaturan mengenai uang elektronik dipisahkan dari pengaturan alat pembayaran menggunakan kartu. Perbedaan alat pembayaran menggunakan kartu yaitu kartu kredit, kartu ATM dan/atau Kartu Debit, dengan Uang Elektronik dapat diterangkan dalam tabel perbedaan yaitu : 55
Bank Indonesia, 2001, Paper Kajian E-Money, Bank Indonesia, Jakarta, Hal. 9-10.
KARTU ATM / UANG KARTU DEBIT ELEKTRONIK
PERBEDAAN
KARTU KREDIT
Letak Dana
Pembiayaan oleh Deposit atau Prabayar dan tabungan pada tersimpan pada bank penerbit bank penerbit media pembayaran
Keterlibatan Bank Pembayaran dengan Penerbit mneggunakan rekening kartu kredit
Pembayaran dilakukan dengan rekening yang terdapat pada bank penerbit
Pembayaran dengan menggunakan rekening yang ada pada media kartu
Informasi Pemegang Kartu
Otorisasi merchant penerbit
Menggunakan Tanpa identitas dan identitas pemilik (anonymous) rekening di bank penerbit
Otorisasi Transaksi
Menggunakan Menggunakan PIN tanda tangan (Personal Identification pemegang kartu Number) dan tanda tangan pemegang kartu
Risiko Penyalahgunaan
Sebagian besar Pemegang kartu Pemegang kartu ditanggung oleh atau pemilik menanggung rekening bank penerbit seluruh risiko menanggung sebagian risiko
Limit Pembayaran
Tergantung perjanjian antara pemegang kartu dan bank penerbit
Tingkat Popularitas
Paling popular Hanya lokal dan Cara pembayaran karena dapat nasional elektronik paling digunakan secara baru dan belum internasional banyak digunakan
Tergantung dari jumlah saldo pada rekening pemegang kartu
Tanpa otorisasi PIN (Personal Identification Number) maupun tanda tangan
Tergantung dari deposit yang ada pada kartu tersebut
Tabel 3. Perbedaan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu dan Uang Elektronik
4. Uang Elektronik dan Perkembangannya di Indonesia Uang elektronik (e-money) yang diterbitkan saat ini ada yang berbasis chip (chip base) seperti kartu prabayar dan ada pula yang berbasis server (server base) seperti uang elektronik yang dapat diakses melalui telepon seluler (handphone). Saat ini uang elektronik (e-money) baru diterbitkan oleh 11 penerbit yang terdiri dari satu Bank Pembangunan Daerah (BPD), lima Bank Umum dan lima Lembaga Selain Bank (perusahaan telekomunikasi). Penerbit-penerbit uang elektronik tersebut yaitu : 1. Bank DKI Jakarta (Jak Card) 2. Bank Central Asia Tbk (Flazz) 3. Bank Mandiri (Persero) Tbk (Indomaret Card; Gaz Card; dan E-Toll Card) 4. Bank Mega Tbk (Studio Pass Card dan Smart Card) 5. Bank BNI (Persero) Tbk (Java Jazz Card dan Kartuku) 6. Bank BRI (Persero) Tbk (BRIZZI) 7. PT. Indosat (Dompetku) 8. PT. Skye Sab Indonesia (Skye Card) 9. PT. Telkom (Persero) (Flexy Cash dan i-Vas Card) 10. PT. Telkomsel (T-Cash) 11. PT. XL Axiata Tbk (XL Tunai)
Bank BRI (Persero) Tbk menerbitkan uang elektronik bermerek (brand name) BRIZZI. Uang elektronik ini termasuk ke dalam unregistered jadi untuk menjadi pemegang kartu bisa diperoleh siapa saja tanpa perlu menjadi nasabah dari Bank BRI. Uang elektronik tersebut bisa diisi ulang dimanapun, proses isi ulang BRIZZI
dapat
dilakukan
melalui
ATM
BRI,
ATM
Bank
lain
(Prima/Link/Bersama), internet banking BRI, mobile banking BRI, dan seluruh penjual (merchant) BRIZZI. Kartu BRIZZI ini dapat digunakan untuk berbagai macam transaksi seperti belanja barang/jasa, makan di restoran, pembayaran rekening listrik atau telepon, pembelian tiket pesawat terbang atau kereta api, dan pembayaran parkir.
Gambar 3. Kartu BRIZZI BRI tampak depan dan tampak belakang
Bank BCA menerbitkan uang elektronik dengan brand name Flazz yang dapat digunakan untuk berbagai transaksi kecil. Flazz BCA memberikan kecepatan, kemudahan, kepraktisan bertransaksi. Cepat karena transaksi pembayaran dilakukan dengan cara contactless (tidak perlu digesek seperti kartu kredit, cukup diletakkan atau ditempelkan pada mesin reader). Memberikan kemudahan dan praktis karena tidak perlu membawa uang tunai untuk transaksi
dengan nilai kecil, serta tanpa dikenakan biaya transaksi. Berbeda dengan kartu BRIZZI BRI, Flazz BCA hanya bisa melakukan pengisian ulang pada ATM BCA saja, jadi pemegang kartu Flazz BCA harus mempunyai rekening pada bank penerbit yaitu BCA agar dapat melakukan pengisian nilai uang elektronik pada kartu Flazz.
Gambar 4. Kartu Flazz BCA tampak depan dan tampak belakang
Uang elektronik yang dikeluarkan perusahaan telekomunikasi metode layanannya relatiff sama. Pelanggan terlebih dahulu mengisi rekening pulsa mulai dari puluhan ribu, ratusan ribu, hingga jutaan rupiah. Rekening ini akan tersimpan dalam server milik operator seluler. Pelanggan atau pemilik telepon seluler dapat menggunakan pulsa untuk bertransaksi di gerai-gerai tertentu yang sudah bekerjasama dengan operator. Pulsa yang selama ini hanya bisa digunakan untuk telepon maupun mengirim pesan kini bisa digunakan untuk berbelanja tanpa perlu repot membawa dompet. Kini dengan uang elektronik via pulsa berbagai transaksi bisa dilakukan menggunakan ponsel. T-Cash merupakan salah satu produk uang elektronik yang diterbitkan oleh perusahaan telekomunikasi yaitu Telkomsel. Semua informasi dan transaksi
dilakukan melalui ponsel pribadi. Registrasi awal juga dilakukan melalui pengiriman pesan di ponsel. Ada dua jenis pelayanan pelanggan dalam T-Cash, untuk pelanggan basic service batas transaksi sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), sedangkan untuk pelanggan full service batas transaksi sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). Selain untuk berbelanja barang dan/atau jasa, produk Telkomsel T-Cash ini juga bisa digunakan untuk melakukan pembayaran kartu prabayar telepon seluler HALO, tagihan telkomvision, listrik, air, Telkom, tagihan layanan internet speedy, penarikan tunai di beberapa gerai hingga mengirimkan uang. Pengisian saldo dilakukan melalui ATM Bank BNI dengan memasukkan nomor ponsel dan nominal pengisian saldo.
BAB III TRANSAKSI MELALUI UANG ELEKTRONIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM INDONESIA
1. Sistem Hukum Transaksi Elektronik di Indonesia Penegakan dan penerapan hukum khususnya di Indonesia seringkali menghadapi kendala berkenaan dengan perkembangan masyarakat yang lebih cepat dari perkembangan aturan perundang-undangan, sehingga perkembangan dalam masyarakat menjadi titik tolak dari keberadaan suatu peraturan. Bila dikaitkan
dengan
peraturan
perundang-undangan
khususnya
mengenai
perlindungan terhadap pemegang kartu uang elektronik dalam transaksi e-money, bahwa hukum harus dapat merespon perubahan yang terjadi, artinya peraturan tersebut harus dapat mengakomodir permasalahan yang timbul dari adanya perkembangan zaman melalui penyempurnaan peraturan perundang-undangan khususnya dalam hal perlindungan hukum terhadap pemegang kartu uang elektronik. Pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan norma hukum yang merupakan dasar terkuat dalam pembentukan peraturan perundangundangan, termasuk asas hukum sebagai patokan dari norma. Peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan lain yang lebih tinggi tingkatannya. Materi muatan peraturan perundang-undnagan adalah materi yang dimuat dalam pertauran perundang-
undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki peraturan perundangundangan. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, pada Pasal 7 ayat (1) dijelaskan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yaitu : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat c. Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan meliputi : 1.
Kejelasan tujuan Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
2.
Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat
Setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga Negara atau pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang. 3.
Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.
4.
Dapat dilaksanakan Setiap pembentukan peraturan perundnag-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
5.
Kedayagunaan dan kehasilgunaan Setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
6.
Kejelasan rumusan Setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundnag-undangan, sistematika, pilihan kata atau
istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidka menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. 7.
Keterbukaan Pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, lebih lanjut dalam Pasal 8 disebutkan mencakup juga peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Peraturan perundang-undangan tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Produk hukum yang dibuat harus dapat diterima oleh masyarakat. Tolok ukur yang dapat digunakan untuk mengetahui penerimaan masyarakat adalah :56 1.
Peraturan perundang-undangan harus disosialisasikan mulai saat perancangan hingga proses pelaksanaannya.
2.
Kesadaran hukum dan kesadaran sosial di dalam masyarakat harus dijadikan jiwa dalam peraturan yang dibuat.
3.
Rancangan peraturan perundang-undangan yang dibuat harus mengatur keinginan masyarakat dan mampu mengakomodir keinginan semua golongan masyarakat yang bersangkutan. Agar hukum atau peraturan dapat bertindak dengan baik, maka peraturan
tersebut harus mematuhi atau mengikatkan diri secara ketat kepada syarat-syarat yang merupakan asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan menurut Lon L. Fuller yaitu : 57 “The criteria which Fuller argues must be in order for something which can truly be called a legal system to exist are generality, promulgation, nonretroactivity, clarity, non-contradiction, not requiring the impossible, constancy throught time and finally, congruence between official action and the declared rule”. (Kriteria menurut Fuller kemukakan harus dipenuhi agar dapat disebut sistem hukum yang ada adalah umum, perundangan, non-retroaktif, kejelasan, nonkontradisi, tidak memerlukan yang tidak mungkin, keteguhan melalui waktu dan akhirnya, kesesuaian resmi tindakan dan aturan diumumkan).
56
Supardan Modeong, 2003, Teknik Perundang-Undangan di Indonesia, PT. Perca, Jakarta, Hal. 74-75. 57 Ian Mcleod, 2003, Legal Theory, Queen Mary Centre for Commercial Law Studies, University of London, Hal. 105.
Adapun penjelasan mengenai kriteria yang dikemukanan oleh Fuller adalah : 58
1.
… a failure to achieve rule at all, so that every issue must be decided on an ad hoc base : peraturan harus berlaku juga bagi pengusaha, harus ada kecocokan atau konsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya, dituangkan dalam aturan-aturan yang berlaku umum, artinya suatu sistem harus mengandung peraturan-peraturan dan tidak boleh sekedar mengandung keputusan yang bersifat sementara atau ad hoc.
2.
A failure to publicize legislation, or at least, to make available to the affected party, the rules he is expected to observe : aturan-aturan yang telah dibuat harus diumumkan kepada mereka yang menjadi objek pengaturan aturanaturan tersebut.
3.
The abuse of retroactive legislation, which not only cannot it self guide action, but under it’s the integrity of rules prospective in effect, since it puts them under the threat of retrospective change : tidak boleh ada peraturan yang memiliki daya laku surut atau harus non retroaktif, karena dapat merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang.
4.
A failure to make rules understandable : dirumuskan secara jelas, artinya disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti.
58
39.
Lon L. Fuller, 1963, The Morality of Law, Haven and London Yale University Press, Hal.
5.
The enactment of contradictiory rules : tidak boleh mengandung aturanaturan yang bertentangan satu sama lain.
6.
Rules that require conduct beyond the powers of the affected party : tidak boleh mengandung beban atau persyaratan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.
7.
Introducing such frequent changes in the rules : memperkenalkan perubahan sering seperti dalam aturan, artinya ketentuan bahwa hukum harus konstan atau konsisten di setiap waktu tidak mutlak, karena hukum harus merespon perubahan yang terjadi di setiap waktu.
8.
Administered in a way sufficiently congruent with their wording so that individuals can abide by them : diberikan dalam cara yang cukup kongruen dengan kata-kata mereka sehingga individu dapat mematuhi mereka. Dalam kaitannya dengan uang elektronik (e-money), pembentukan peraturan
perundang-undangan harus berlaku juga bagi pelaku usaha atau penerbit, harus ada kecocokan atau konsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya. Aturan-aturan tersebut harus diumumkan dan dirumuskan secara jelas dan dapat dimengerti oleh pemegang kartu sebagai objek dari pengaturan tersebut. Dilihat dari hierarki pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dilihat dari objek pengaturannya maka pembentukan pengaturan uang elektronik sebagai alat pembayaran harus sesuai dengan tata
urutan peraturan dan pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Peraturanperaturan yang berkaitan dengan pembentukan pengaturan uang elektronik adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Bank Indonesia selaku Bank Sentral kemudian mengeluarkan aturan sesuai dengan kewenangannya dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia mengenai Uang Elektronik yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 Tahun 2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money). Sistem transaksi elektronik merupakan sistem komputer yang mencakup perangkat keras dan lunak dari komputer, termasuk mencakup jaringan telekomunikasi atau sistem komunikasi elektronik. Keberadaan sistem informasi ini
merupakan
penerapan
teknologi
informasi
yang
berbasis
jaringan
telekomunikasi dan media elektronik yang berfungsi merancang, memproses, menganalisis, menampilkan, dan mengirimkan atau menyebarluaskan informasi elektronik. Kegiatan transaksi melalui media sistem elektronik merupakan kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik.59
59
Niniek Suparni, 2009, CyberspacePeoblematika dan Antisipasi Pengaturannya, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 110-111.
Permasalahan hukum dalam sistem elektronik akan terjadi apabila sistem pembayaran elektronik yang digunakan untuk melaksanakan transaksi elektronik (pembayaran) mengalami kegagalan dan mengakibatkan kerugian. Jika terjadi hal demikan maka siapa yang harus bertanggung jawab terhadap kegagalan pada transaksi tersebut. Pemahaman terhadap bentuk tanggung jawab penyelenggaraan pembayaran elektronik menggunakan uang elektronik dimulai dari adanya hubungan hukum yang terjadi antara penerbit dan pemegang kartu dalam suatu kontrak atau perjanjian antara penerbit dan pemegang kartu e-money. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) selain mengatur masalah mengenai informasi dan penggunaannya, juga peraturan yang mengatur mengenai transaksi elektronik. Pada pasal 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik diatur mengenai asas dan tujuan sebagai alat untuk menciptakan pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik yang baik yaitu : 1. Asas Kepastian Hukum, yang merupakan landasan hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik termasuk segala sesuatu
yang mendukung penyelenggaraannya
yang mendapatkan
pengakuan hukum. 2. Asas Manfaat, merupakan pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik diupayakan untuk mendukung proses berinformasi.
3. Asas Kehati-hatian, merupakan landasan untuk memperhatikan segenap potensi yang dapat mendatangkan kerugian dalam pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik. 4. Asas Itikad Baik, bahwa para pihak dalam melakukan transaksi elektronik tidak dilakukan dengan tujuan merugikan pihak lain baik secara sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum. 5. Asas Kebebasan Memilih Teknologi atau Netral Teknologi, berarti pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik tidak terfokus pada pemanfaatan teknologi tertentu sehingga diharapkan mampu mengikuti perkembangan teknologi di masa yang akan datang. Penyelenggaraan sistem pembayaran elektronik pada pasal 15 dan 16 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik harus memiliki kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan penggunanya, sistem aman terlindungi secara fisik (hardware / software) dan non fisik (communication), memiliki kemampuan sesuai dengan spesifikasinya, serta ada subjek hukum yang bertanggung jawab secara hukum terhadap penyelenggaraan sistem elektronik tersebut. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan sistem elektronik, antara lain : a. Dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;
b. Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; c. Dapat
beroperasi
sesuai
dengan
prosedur
atau
petunjuk
dalam
penyelenggaraan sistem elektronik; d. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau symbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; e. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan bertanggungjawab atas prosedur atau petunjuk. Penyelenggaraan kegiatan pembayaran melalui sistem elektronik juga berkaitan erat dengan bank selaku penyelenggara kegiatan pembayaran menggunakan e-money. Secara sederhana bank dapat diartikan sebagai lembaga keuangan yang kegiatan usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa-jasa bank lainnya. Sedangkan pengertian lembaga kuangan adalah setiap perusahaan yang bergerak di bidang keuangan dimana kegiatannya menghimpun dana atau menyalurkan dana atau keduanya.60 Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan), pada pasal 1 angka 2 menjelaskan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masayrakat 60
Kasmir, 2003, Dasar-Dasar Perbankan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hal. 2-3.
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya ke masayarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Uang elektronik menurut pengertiannya merupakan nilai uang yang disimpan secara elektronik yang diterbitkan oleh penerbit yaitu bank maupun lembaga selain bank yang bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Perbankan. Simpanan dalam Undang-Undang Perbankan pada pasal 1 angka 5 adalah dana yang dipercayakan oleh masayrakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Meskipun bank merupakan penyelenggara dari kegiatan uang elektronik (emoney), namun nilai uang pada uang elektronik tidak ada kaitannya dengan bank karena nilai uang elektronik tersebut tidak ada kaitannya dengan dana nasabah di bank penerbit. Hal ini menyebabkan nilai uang elektronik tersebut tidak dijamin oleh lembaga penjamin simpanan, yaitu badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas simpanan nasabah di bank. Namun hal ini tidak mengurangi tanggung jawab bank selaku penyelenggara kegiatan uang elektronik. Perlindungan
terhadap
penggunaan
sistem
pembayaran
elektronik
menggunakan uang elektronik (e-money) sangat erat kaitannya dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen). Pengaturan yang ada pada Peraturan Bank Indonesia maupun mengenai Perbankan lebih mengatur dari sudut
kegiatan sistem pembayaran menggunakan uang elektronik dan dari sisi para penyelenggara (pelaku usaha) kegiatan pembayaran uang elektronik. Dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat mengisi kekosongan hukum positif yang dapat lebih mengakomodir kepentingan pemegang kartu emoney selaku konsumen. Pengertian
konsumen
yang
dikemukakan
oleh
Kotler,
konsumen
didefinisikan sebagai berikut :61 “Consumers are individuals and households for personal use, producers are individual and organization buying for the purpose of producing” (Konsumen adalah individu dan kaum rumah tangga yasng melakukan pembelian untuk tujuan penggunaan personal, produsen adalah individu atau organisasi yang melakukan pembelian untuk tujuan produksi). Definisi konsumen menurut pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Lebih lanjut dalam penjelasan pasal 1 angka 2 tersebut, dijelaskan ada dua jenis konsumen yang dikenal dalam kepustakaan ekonomi, yaitu konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Berdasarkan pengertian kedua jenis konsumen tersebut, maka pemegang kartu e-money dapat dikatakan sebagai konsumen akhir. 61
Ade Maman Suherman, 2002, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal. 63.
Hukum
konsumen
menurut
Az
Nasution
didefinisikan
merupakan
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup. Sedangkan hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang mengatur asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan melindungi kepentingan konsumen.62 Perlindungan konsumen menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen pada pasal 1 angka 1 adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Pembayaran menggunakan uang elektronik juga tidak lepas kaitannya dengan pengawasan Bank Indonesia (BI), sebagai bagian integral dari sistem pembayaran nasional. Sistem Pembayaran Nasional (SPN) merupakan sistem pembayaran yang dikembangkan oleh BI, berisi seperangkat aturan, lembaga, dan mekanisme yang dipakai untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi. Komponen SPN ini meliputi alat pembayaran, mekanisme kliring hingga penyelesaian akhir transaksi (settlement), termasuk juga lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan sistem pembayaran yaitu Bank, Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB), lembaga bukan bank penyelenggara transfer dana, Lembaga Selain Bank (LSB) penerbit uang elektronik, perusahaan switching, hingga BI selaku bank sentral.63
62 63
Ade Maman Suherman, op.cit, Hal. 68. R. Serfianto DF,op.cit, Hal. 5.
Pengawasan dan penyelenggaraan uang elektronik berhubungan dengan kekuasaan Bank Indonesia tertuang dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yaitu dalam peranannya untuk menciptakan sistem perbankan yang sehat dan efisien, berperan penting dalam mencegah timbulnya risiko-risiko yang diderita oleh bank, masyarakat penyimpan dana, dan merugikan serta membahayakan kehidupan perekonomian.64 Selain itu kewenangan Bank Indonesia selaku bank sentral untuk memastikan dilaksanakannya segala peraturan perundang-undangan yang terkait dalam penyelenggaraan usaha bank oleh bank yang bersangkutan. Peran dan fungsi Bank Indonesia sebagai bank sentral tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, yaitu :65 1.
Bank Indonesia sebagai badan pembuat kebijakan moneter dengan menetapkan sasaran-sasaran moneter dan melakukan pengendalian moneter baik berdasarkan sistem perbankan konvensional maupun berdasarkan sistem syariah. Pelaksanaan fungsi tersebut dilakukan dengan cara operasi pasar terbuka, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan.
64
Munir Fuady, 2003, Hukum Perbankan Modern, Buku Kesatu, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 116. 65 Muhammad Djumhana, op.cit, Hal. 118-119.
2.
Bank Indonesia sebagai pengontrol kredit kepada bank-bank (credit control) termasuk bank yang berdasarkan prinsip syariah.
3.
Bank Indonesia bertindak sebagai menerbitkan dan mengedarkan mata uang Rupiah dalam bentuk uang kertas dan logam, termasuk juga menarik dan memusnahkan uang Rupiah yang telah dikeluarkannya.
4.
Bank Indonesia pengatur dan pengawas bank dengan menetapkan ketentuanketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian, yaitu dengan menetapkan peraturan-peraturan di bidang perbankan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan peraturan yang berlaku.
5.
Bank Indonesia bertindak sebagai lender of the last resort, yaitu Bank Indonesia berfungsi sebagai pemberi pinjaman kepada bank dalam keadaan yang memaksa untuk menjaga likuiditas dari bank tersebut dengan melakukan penilaian terhadap suatu bank. Keadaan memaksa tersebut dapat berupa : a) Hal-hal
yang
membahayakan
kelangsungan
usaha
bank
yang
bersangkutan; b) Hal-hal yang membahayakan sistem perbankan; dan c) Terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional.
6.
Bank Indonesia bertindak sebagai bank negara (the banker of the state) yaitu bank dari dan untuk pemerintah Indonesia. Berdasarkan fungsinya tersebut, Bank Indonesia berwenang : a) Sebagai pemegang kas pemerintah; b) Menerima pinjaman luar negeri, menatausahakan, serta menyelesaikan tagihan dan kewajiban keuangan pemerintah terhadap pihak luar negeri; dan c) Membantu pemerintah dalam menerbitkan surat-surat hutang negara. Berkaitan dengan pengaturan dan pengawasan bank, otoritas kewenangan
pengawasan Bank Indonesia meliputi 4 (empat) kewenangan yaitu :66 1.
Kewenangan memberikan izin (power to license) Kewenangan untuk menetapkan ketentuan dan persyaratan pendirian sebuah bank dengan menetapkan tata cara perizinan dan pendirian suatu bank untuk menghindari terjadinya pendirian bank yang tidak didukung dengan modal yang cukup dan kurang dipersiapkan dengan baik sehingga dapat merigikan kepentingan masyarakat.
2.
Kewenangan untuk mengatur (power to regulate) Kewenangan untuk menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek kegiatan usaha perbankan dalam rangka menciptakan perbankan yang sehat.
66
Chatamarrasjid Ais, 2011, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Edisi Revisi, Prenada Media Group Jakarta, Hal. 177-179.
3.
Kewenangan untuk mengendalikan atau mengawasi (power of control) Pengawasan bank dilaksanakan dalam dua cara yaitu melalui pengawasan tidak langsung (off site supervision), yaitu pengawasan yang dilakukan melalui alat pantau seperti laporan berkala yang disampaikan bank, laporan hasil pemeriksaan, dan informasi lainnya, dan pengawasan secara langsung (on site examination) yang dapat berupa pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus dengan tujuan memperoleh gambaran ketaatan peraturan yang berlaku terhadap kelangsungan usaha bank.
4.
Kewenangan untuk mengenakan sanksi (power to impose sanction) Kewenangan untuk menjatuhkan sanksi apabila sebuah bank tidak memenuhi hal-hal yang diatur atau dipersyaratkan sesuai ketentuan, dengan maksud agar bank dapat melakukan perbaikan atas kelemahan atau penyimpangan yang dilakukannya. Pengawasan yang dilaksanakan Bank Indonesia terhadap bank dapat berupa
pengawasan langsung, yaitu berbentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan, juga dapat berupa pengawasan tidak langsung yaitu suatu bentuk pengawasan dini melalui penelitian analitis dan evaluasi laporan bank. Dalam rangka pengawasan yang dilakukannya, Bank Indonesia dapat menjalankan pemeriksaan secara berkala sekurang-kurangnya satu tahun sekali untuk setiap bank, maupun pemeriksaan secara isidentil setiap waktu apabila
diperlukan untuk meyakinkan hasil pengawasan tidak langsung dan apabila terjadi indikasi menyimpang.67 Mewujudkan
perekonomian
nasional
yang
mampu
tumbuh
secara
berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sector jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu. Oleh karena itu, dalam perkembangannya, menyangkut tugas pengawasan bank ini selanjutnya oleh Bank Indonesia akan diserahkan kepada lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen yaitu Otoritas Jasa Keuangan, tetapi tetap ada keterkaitan dengan Bank Indonesia sebagai bank sentral. Lembaga (supervisory board) ini dalam menjalankan tugas dan kedudukannya berada diluar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Pembentukan lembaga baru yaitu Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut OJK) dalam bidang pengawasan tentu akan memberikan dampak bagi Bank Indonesia maupun OJK itu sendiri.68
67
Muhammad Djumhana, op.cit, Hal. 129-130. Syahrul Bahroen dan Suarpika Bimantoro, 2004, Bank Indonesia Bank Sentral Republik Indonesia, Sebuah Pengantar : Organisasi Bank Indonesia, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia, Jakarta, Hal. 277. 68
Lembaga pengawasan jasa keuangan (supervisory board) atau OJK yang dibentuk tersebut kewenangannya tidak terbatas mengawasi bidang perbankan saja, tetapi juga mengawasi perusahaan-perusahaan sektor lainnya yang meliputi asuransi, dana pension, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam Undang-Undang nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyelidikan. Adapun lembaga jasa keuangan yang menjadi otoritas jasa keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya. OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan dalam sektor jasa keuangan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat maupun pihak-pihak yang menempatkan dana dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan. Untuk melaksanakan tugas pengawasan, OJK mempunyai wewenang sesuai Pasal 9 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yaitu meliputi : a.
Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
b.
Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;
c.
Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
d.
Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;
e.
Melakukan penunjukan pengelola statute;
f.
Menetapkan penggunaan pengelolaan statute;
g.
Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
h.
Memberikan dan/atau mencabut : 1) Izin usaha; 2) Izin orang perseorangan; 3) Efektifnya pernyataan pendaftaran; 4) Surat tanda terdaftar; 5) Persetujuan melakukan kegiatan usaha; 6) Pengesahan;
7) Persetujuan atau penetapan pembubaran; dan 8) Penetapan lain. sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Untuk perlindungan konsumen dan masyarakat, OJK berwenang melakukan tindakan pencegahan kerugian konsumen dan masyarakat berdasarkan Ketentuan Bab VI tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat dalam Pasal 28 – Pasal 31 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang meliputi : a.
Memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya;
b.
Meminta Lembaga Jasa Keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat; dan
c.
Tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. OJK juga melakukan pelayanan pengaduan konsumen dalam Pasal 29
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang meliputi : a.
Menyiapkan perangkat yang memadai untuk pelayanan pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan;
b.
Membuat mekanisme pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan; dan
c.
Memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Untuk perlindungan konsumen dan masyarakat, OJK berwenang melakukan
pembelaan hukum, dengan memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada Lembaga Jasa Keuangan untuk menyelesaikan pengaduan konsumen yang dirugikan Lembaga Jasa Keuangan tersebut dan mengajukan gugatan untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan dari pihak yang menyebabkan kerugian baik yang berada di bawah penguasaan yang menyebabkan kerugian tersebut maupun dibawah penguasaan pihak lain dengan itikad tidak baik, termasuk juga gugatan untuk memperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian pada konsumen dan/atau Lembaga Jasa Keuangan sebagai akibat dari pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan dan pengawasan di bidang Perbankan sesuai dengan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yaitu : a.
Kewajiban pemenuhan modal minimum bank;
b.
Sistem informasi perbankan yang terpadu;
c.
Kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri;
d.
Produk perbankan, transaksi derivative, kegiatan usaha bank lainnya;
e.
Penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank; dan
f.
Data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi.
Lebih lanjut dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, OJK, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) wajib membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi secara terintegrasi perihal Lembaga Jasa Keuangan. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan pada Bab XIII Ketentuan Peralihan pada Pasal 55 menjelaskan bahwa : 1) Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan
kegiatan jasa keuangan
di sektor Pasar Modal,
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK. 2) Sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK.
Jadi berdasarkan uraian diatas, paling lambat per tanggal 31 Desember 2013, pengawasan Perbankan tidak lagi berada di Bank Indonesia, pengawasan Perbankan akan menjadi kewenangan OJK. Sejak Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan sampai dengan beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud, Bank Indonesia tetap melaksanakan fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan sesuai dengan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Meskipun telah terbentuk lembaga pengawasan independen OJK, peran bank Indonesia tidak dapat dikesampingkan dalam pengawasan bank karena OJK tetap harus mempunyai hubungan koordinasi yang baik dengan Bank Indonesia, diantaranya menyangkut keterangan dan data makro perbankan yang ada. Setelah peralihan kewenangan kepada OJK, Bank Indonesia akan fokus kepada kewenangan dalam hal kebijakan moneter yaitu kebijakan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang dilakukan antara lain melalui pengendalian jumlah uang beredar dan/atau suku bunga. Tugas dan wewenang OJK dalam hal pengawasan Perbankan hanya berkaitan dengan aspek micro prudential seperti kelembagaan, kegiatan usaha, dan penilaian tingkat kesehatan. Sedangkan aspek macro prudential berkaitan dengan kebijakan moneter dan sistem pembayaran seperti ketentuan tentang Giro Wajib Minimum (GWM), ketentuan devisa, Operasi Pasar Terbuka (OPT) dan laporanlaporan serta pemeriksaan yang terkait dengan pelaksanaan tugas di bidang
moneter dan sistem pembayaran merupakan kewenangan dari otoritas moneter Bank Indonesia. Tugas micro prudential banking regulation yang menjadi kewenangan OJK meliputi :69 1.
Pengaturan kelembagaan, antara lain mengenai perizinan untuk pendirian bank,
pembukaan
kantor
cabang
dalam
negeri,
kepemilikan
dan
kepengurusan, merger, konsolidasi, dan akuisisi bank; 2.
Pengaturan kegiatan usaha dan pengelolaan bank, antara lain mengenai sumber dana, penyediaan dana, aktivitas di bidang jasa;
3.
Pengaturan pembinaan dan pengawasan bank, antara lain mengenai penilaian tingkat kesehatan bank; dan pengaturan likuidasi bank antara lain mengenai pencabutan izin usaha, pembubaran dan likuidasi bank. Selama masa transisi peralihan kewenangan Bank Indonesia ke OJK, maka
OJK mempersiapkan organisasi, struktur dan infrastruktur internalnya. Tugas, fungsi dan wewenang pembinaan serta pengawasan bank didelegasikan kepada otoritas Pembina dan pengawas yang lama yaitu Bank Indonesia. Pendelegasian pelaksanaan tugas dan wewenang dimaksud dilakukan paling lama dua tahun sejak persetujuan dan pengesahan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan (UU
69
Sila Saktiana, 2004, Analisis Yuridis Mengenai Dampak Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Pengawasan Perbankan Syariah, Skripsi Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, Hal. 78.
OJK).70 Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 34 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menyebutkan bahwa pengalihan fungsi pengawasan bank dari Bank Indonesia kepada lembaga pengawasan sektor jasa keuangan dilakukan secara bertahap setelah dipenuhinya syarat-syarat yang meliputi infrastruktur, anggaran, personalia, struktur organisasi, sistem informasi, sistem dokumentasi, dan berbagai peraturan pelaksanaan berupa perangkat hukum serta dilaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Atas dasar kewenangan Bank Indonesia yang belum beralih kepada OJK, dalam penjelasan Pasal 15 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, dinyatakan
territorial
Bank
Indonesia
sebagai
pengawas
dan
pengatur
penyelenggaraan kegiatan uang elektronik dijelaskan dalam pokok-pokok ketentuan yang akan ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia yang memuat antara lain : a. Jenis penyelenggaraan jasa sistem pembayaran yang memerlukan persetujuan Bank Indonesia dan prosedur pemberian persetujuan oleh Bank Indonesia; b. Cakupan wewenang dan tanggung jawab penyelenggara jasa sistem pembayaran, termasuk tanggung jawab yang berkaitan dengan manajemen risiko; 70
Zulkarnaen Sitompul, 2004, Menyambut Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pilars, No.02/Th.VII, Hal. 12.
c. Persyaratan keamanan dan efisiensi dalam penyelenggaraan jasa sistem pembayaran; d. Penyelenggaraan jasa sistem pembayaran yang wajib menyampaikan laporan kegiatan; e. Jenis laporan kegiatan yang perlu disampaikan kepada Bank Indonesia dan tata cara pelaporannya; f. Jenis alat pembayaran yang dapat digunakan oleh masyarakat termasuk alat pembayaran yang bersifat elektronis seperti kartu ATM, kartu debit, kartu kredit, kartu prabayar dan uang elektronik; g. Persyaratan keamanan alat pembayaran; dan h. Sanksi administratif berupa denda bagi pelanggaran ketentuan pada huruf a, huruf d, dan huruf f tersebut diatas. Atas dasar kewenangan Bank Indonesia sebagai pengawas dan pengatur penyelenggaraan kegiatan pembayaran menggunakan uang elektronik (e-money) maka diaturlah dalam Peraturan Bank Indonesia secara tersendiri yaitu dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) termasuk Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/11/DASP Tahun 2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money)
2. Bentuk Pengaturan Transaksi Melalui Uang Elektronik di Indonesia Dalam pembelian kartu e-money pada penerbit, kartu akan dilengkapi dengan syarat dan ketentuan penggunaan kartu e-money tersebut. Syarat dan ketentuan tersebut menjadi suatu bentuk perjanjian antara penerbit dan pemegang kartu dalam penggunaannya pada transaksi e-money. Salah satu acuan penting pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu dengan adanya peraturan mengenai pencantuman klausula baku pada perjanjian. Dimana dasar peraturan dalam penggunaan alat pembayaran elektronik menggunakan uang elektronik adalah dengan menggunakan perjanjian baku, maka pencantuman klausula baku yang seimbang haruslah diatur. Perjanjian baku merupakan terjemahan dari standard contract, baku berarti patokan dan acuan. Mariam Darus mendefinisikan perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.71 Perjanjian baku merupakan konsep janji-janji tertulis yang disusun tanpa membicarakan isi dan lazimnya dituangkan dalam perjanjian yang sifatnya tertentu.72 Klausula baku biasanya dibuat oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat, yang dalam kenyataannya biasa dipegang oleh pelaku usaha atau dalam kaitannya dengan perjanjian baku uang elektronik kedudukan yang lebih kuat dipegang oleh
71 72
Mariam Darus Badrulzaman, 1978, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, Hal. 48. Ibid.
penerbit kartu e-money. Isi klausula baku sering kali merugikan pihak yang menerima klausula baku tersebut, yaitu pihak konsumen atau pemegang kartu emoney karena dibuat secara sepihak oleh penerbit. Bila konsumen menolak klausula baku tersebut ia tidak akan mendapatkan barang atau jasa yang dibutuhkan, karena klausula baku serupa akan ditemui di tempat lain. Artinya, dimanapun calon pemegang kartu e-money akan melakukan pembelian barang atau jasa uang elektronik maka penerbit akan memberikan klausula baku sebagai bentuk persetujuan pembelian dan penggunaan kartu uang elektronik. Hal tersebut menyebabkan konsumen atau pemegang kartu e-money menjadi lebih sering menyetujui isi dari klausula baku tersebut walaupun memojokkan. Bagi para pelaku usaha atau penerbit kartu e-money mungkin ini merupakan cara mencapai tujuan ekonomi yang efisien, praktis, dan cepat tidak bertele-tele, tetapi bagi konsumen atau pemegang kartu justru merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena hanya dihadapkan pada suatu pilihan, yaitu menerima walaupun dengan berat hati.73 Sudaryatmo mengungkapkan karakteristik klausula baku sebagai berikut :74 1.
Perjanjian dibuat secara sepihak oleh mereka yang posisinya relatif lebih kuat dari konsumen.
2.
Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian.
3.
Dibuat dalam bentuk tertulis dan massal. 73
Abdulkadir Muhammad, 1992, Perjanjian Baku dalam Praktik Perusahaan Perdagangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 6. 74 Sudaryatmo, 1999, Hukum dan Advokasi Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 93.
4.
Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh faktor kebutuhan. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen pasal 1 angka 10
mendefinisikan klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syaratsyarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian, dimana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.75 Perjanjian baku dengan klausula eksonerasinya pada prinsipnya hanya menguntungkan pelaku usaha dan merugikan konsumen, karena klausulanya tidak seimbang dan tidak mencerminkan keadilan. Dominasi pelaku usaha lebih besat dibandingkan dengan dominasi konsumen, dan konsumen hanya menerima perjanjian dengan klausula baku tersebut begitu saja karena dorongan kepentingan dan kebutuhan. Beban yang seharusnya dipikul oleh pelaku usaha, menjadi beban konsumen karena adanya klausula eksonerasi tersebut.76 Akibat kedudukan para pihak yang tidak seimbang, maka pihak yang lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang bebas untuk menentukan apa yang
75 76
Hal.67.
Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, Hal. 47. Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
diinginkannya dalam perjanjian. Dalam hal demikian, pihak yang memiliki posisi yang lebih kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausula-klausula tertentu dalam perjanjian baku. Sehingga perjanjian yang seharusnya dibuat oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian tidak ditemukan lagi dalam perjanjian baku, karena formatnya dan isi perjanjian telah dirancang oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat. Perjanjian dikatakan bersifat baku, karena baik perjanjian maupun klausula tersebut tidak dapat dinegosiasikan atau ditawar oleh pihak lainnya (take it or leave it). Tidak adanya pilihan bagi salah satu pihak dalam perjanjian ini, cenderung merugikan pihak yang kedudukannya kurang dominan. Hal ini membuat pihak yang cenderung dirugikan sulit untuk membuktikan tidak adanya kesepakatan pada saat perjanjian tersebut dibuat, atau atas isi klausula baku yang termuat dalam perjanjian tersebut.77 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) pada pasal 1313 menjelaskan suat perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.78 Lebih lanjut pada pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.79 Hal ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat berupa syarat-syarat dan ketentuan dari penggunaan kartu e-money secara sah mengikat para pihak 77
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia, Jakarta, Hal. 53. 78 R. Subekti dan R. Tjitrisudibio, 1992, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek, Cetakan Keduapuluhtujuh (Edisi Revisi), PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 338 79 Ibid, Hal. 342.
sebagaimana undang-undang dan perikatan ini berlaku bagi para pihak yang sepakat dalam perjanjian tersebut. Undang-undang memberikan hak kepada setiap orang secara bebas untuk membuat dan melaksanakan perjanjian selama unsur-unsur perjanjian terpenuhi. Para pihak dalam perjanjian juga bebas menentukan aturan yang mereka kehendaki dalam perjanjian tersebut dan melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan yang telah tercapai, selama para pihak tidak melanggar ketentuan mengenai ketertiban umum, kesusilaan, kepatutan, dan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, serta tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.80 Tentang syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya suatu perjanjian pada pasal 1320 KUH Perdata diperlukan empat syarat yang harus dipenuhi yaitu :81 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. Syarat pertama dan kedua adalah mengenai subjeknya atau pihak-pihak dalam perjanjian sehingga disebut sebagai syarat subjektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif karena mengenai objek perjanjian. Jika syarat
80 81
Zulham, op.cit, Hal. 72-73. R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op.cit, Hal. 339.
objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum, dengan pengertian bahwa perjanjian tidak pernah terjadi serta tidak memiliki dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Sedangkan jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya bukan batal demi hukum, melainkan salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta perjanjian itu dibatalkan.
Aspek hukum perjanjian dalam sistem pembayaran elektronik menggunakan e-money dilihat dari asas-asas yang mendasari suatu perjanjian antara para pihak dalam penggunaan e-money adalah meliputi :82 1.
Asas Konsesualisme Suatu perjanjian lahir setelah terjadi kesepakatan antara para pihak. Asas ini erat hubungannya dengan prinsip kebebasan dalam mengadakan perjanjian.
2.
Asas Kekuatan Mengikat Terikatnya para pihak atas apa yang mereka sepakati dalam perjanjian termasuk unsur-unsur lain yang dikehendaki para pihak merupakan kekuatan mengikat setara undang-undang.
3.
Asas Kepercayaan
82
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2010, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hal. 14.
Perjanjian harus dilaksanakan atas dasar kepercayaan antara kedua belah pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya. Dengan kepercayaan ini para pihak akan mengikatkan dirinya kepada perjanjian yang dibuatnya.
4.
Asas Persamaan Hak Menempatkan para pihak dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain.
5.
Asas Keseimbangan Asas ini menghendaki para pihak untuk memenui dan melaksanakan perjanjian sesuai dengan persamaan hak dan kewajibannya.
6.
Asas Kepatutan Asas ini berhubungan dengan isi perjanjian mengenai aspek keadilan dalam masyarakat.
7.
Asas Kebiasaan Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang diatur secara tegas akan tetapi juga hal-hal dalam kebiasaan yang lazim diikuti.
8.
Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai suatu figure hukum harus mengandung kepastian hukum yang tercermin dari kekuatan mengikatnya perjanjian tersebut, yaitu undangundang bagi para pihak yang membuatnya.
9.
Asas Kebebasan Berkontrak Setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian apa saja asal tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Dilihat dari asas-asas perjanjian maka suatu perjanjian lahir atas dasar
kesepakatan antara para pihak. Terikatnya para pihak pada apa yang disepakati dalam perjanjian adalah sama halnya dengan kekuatan mengikat undang-undang. Jadi setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian apa saja asal tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Salah satu acuan yang penting pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu dengan adanya peraturan mengenai pencantuman klausula baku pada perjanjian. Dimana dasar peraturan dalam penggunaan alat pembayaran elektronik menggunakan uang elektronik (e-money) adalah dengan menggunakan seebuah perjanjian baku, maka pencantuman klausula baku yang seimbang haruslah diatur. Menurut penjelasan pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, adanya peraturan pencantuman klausula baku bertujuan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Pengaturan tentang klausula baku terdapat dalam
pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang melarang pelaku usaha mencantumkan klausula baku pada setiap perjanjian dan dokumen apabila :83 a.
Pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila : 1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; 2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; 3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; 4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; 5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; 6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa; 83
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi KetentuanKetentuan Hukum Perjanjian ke dalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, Hal. 38-40.
7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; 8. Menyatakan bahwa konsumen member kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. b.
Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
c.
Setiap klausula baku yang telah diterapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
d.
Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang. Terkait dengan perlindungan pemegang kartu e-money sebagai konsumen
uang elektronik, hal ini diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang secara garis besar telah memberikan perlindungan terhadap konsumen untuk menikmati produk mereka secara jelas dan tidak menyesatkan. Undang-Undang
Perlindungan Konsumen mengatur pelaku usaha perbankan untuk memberikan tanggung jawabnya kepada konsumen berupa :84 1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan jasa yang diberikannya; 3. Memperlakukan atau melayani konsumen secraa benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 4. Menjamin kegiatan usaha perbankan berdasarkan ketentuan standar perbankan yang berlaku. Walaupun keberadaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah memberikan posisi tawar menawar yang lebih kuat terhadap pelaku usaha, namun berhubungan dengan pemegang kartu e-money dalam sistem pembayaran elektronik (e-payment) Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak mengatur secara jelas bagaimana menyelenggarakan sebuah sistem elektronik yang handal dan aman dalam melindungi konsumen. Pengaturan terhadap penyelenggaraan sistem elektronik ini diatur lebih lanjut pada Undang-Undnag Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun peraturannya yang terdapat pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen seperti ketentuan pencantuman masalah klausula baku dapat diterapkan pada perjanjian antara pemegang kartu dengan bank penerbit.
84
Muhammad Djumhana, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal 338.
Asser Rutten mengatakan bahwa setiap orang yang menandatangani perjanjian, bertanggung jawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian baku, tanda tangan itu akan membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertandatangan itu mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatangani, karena tidak mungkin seseorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya.85 Lebih lanjut Ahmadi Miru berpendapat bahwa perjanjian baku merupakan perjanjian yang mengikat para pihak yang menandatanganinya, walaupun harus diakui bahwa klausula yang terdapat dalam perjanjian baku banyak mengalihkan beban tanggung jawab dari pihak perancang klausula baku kepada pihak lawannya. Namun setiap kerugian yang timbul dikemudian hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang harus bertanggung jawabberdasarkan klausula perjanjian tersebut, kecuali jika klausula tersebut merupakan klausula yang dilarang berdasarkan pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.86 Dalam kartu e-money Flazz BCA yang diterbitkan oleh BCA, pada panduan penggunaannya dijelaskan bahwa isi staterpack dari Kartu Flazz berisi Kartu Flazz, panduan penggunaan kartu serta syarat dan ketentuan kartu Flazz. Dalam memulai transaksi, pemegang kartu harus melakukan transaksi isi ulang (top up) yang hanya dapat dilakukan jika pemegang kartu telah memiliki tabungan pada bank penerbit yaitu Bank BCA. Proses transaksi isi ulang (top up) dapat dilakukan melalui mesin Electronic Data Capture (EDC) yang berada di merchant Flazz
85
Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hal. 117. 86 Ibid, Hal. 118.
atau melalui ATM non tunai. Limit dari kartu Flazz dengan minimum top up sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) dan saldo maksimum sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). Adapun syarat dan ketentuan pemegang kartu Flazz adalah : 1.
Definisi Menjelaskan mengenai pengertian pemegang kartu; kartu Flazz; transaksi pembayaran; transaksi isi ulang (top up); dan transaksi.
2.
Ketentuan Umum a. Kartu Flazz dapat dipindahtangankan ke pihak manapun; b. Kartu Flazz hanya dapat digunakan untuk melakukan proses transaksi; c. Penggunaan kartu tanpa memerlukan nomor sandi pribadi atau PIN (Personal Identification Number) maupun tandatangan pemegang kartu. Oleh karena itu kartu dapat digunakan oleh orang lain tanpa perlu dibuktikan kewenangannya; d. Jika kartu hilang atau dicuri, penerbit tidak dapat melakukan pemblokiran pada kartu. Segala akibat yang timbul akan menjadi tanggung jawab pemegang kartu; e. Keterangan dan perhitungan transaksi pembayaran, transaksi-transaksi lainnya atau mengenai saldo pada kartu merupakan bukti yang mengikat kecuali dapat dibuktikan sebaliknya;
f. Penggunaan kartu tunduk pada ketentuan dan peraturan yang berlaku pada penerbit, syarat dan ketentuan yang mengatur mengenai kartu, termasuk setiap perubahan yang akan diberitahukan oleh penerbit dalam bentuk dan sarana apapun; g. Apabila terjadi peristiwa darurat (force majeur) yang dibenarkan oleh pejabat yang berwenang atau diluar kekuasaan para pihak, maka tidka ada pihak manapun yang dapat dituntut untuk memberikan ganti rugi. 3.
Ketentuan Khusus Dalam penggunaan kartu Flazz, pemeggang kartu wajib menggunakan atau menjaga kartu sesuai dengan ketentuan penggunaannya. Kartu Flazz dapat dipergunakan untuk melakukan transaksi maupun cek saldo pada kartu Flazz.
Dijelaskan juga mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan kartu Flazz bahwa kartu Flazz dapat dipindahtangankan kepada pihak manapun, oleh karena itu dapat digunakan oleh orang lain selain pemegang kartu. Apabila kartu Flazz hilang atau dicuri, Bank BCA selaku penerbit tidak dapat melakukan penggantian atau pemblokiran. Penanganan keluhan (pengaduan) sehubungan dengan penggunaan kartu, dilakukan secara tertulis dengan melampirkan fotokopi identitas diri pemegang kartu dan dokumen pendukung. Penerbit akan menanggapi keluhan sesuai dengan kebijakan dari prosedur yang berlaku pada penerbit, selambat-lambatnya 14 (empatbelas) hari sejak pengaduan diterima secara lengkap.
Panduan penggunaan Kartu BRIZZI yang diterbitkan oleh Bank BRI menjelaskan cara awal transaksi, cara mengetahui info saldo, dan bagaimana proses isi ulang (top up) yang dapat dilakukan melalui online BRIZZI; Deposit BRIZZI pada ATM BRI; Deposit BRIZZI pada ATM bank lain; melalui internet; maupun melalui SMS Banking BRI. Tertulis sebagai perhatian bahwa kartu merupakan uang elektronik pengganti uang tunai yang berfungsi sebagai alat pembayaran. Pemegang kartu menyatakan tunduk dan mengikatkan diri pada syarat dan ketentuan kartu BRIZZI. Adapun syarat dan ketentuan penggunaan kartu yaitu : 1.
Pengertian Menjelaskan pengertian dari BRIZZI; pemegang kartu; transaksi pembayaran menggunakan BRIZZI; transaksi top up online; dan transaksi top up deposit.
2.
Ketentuan a. Kartu BRIZZI menggunakan satuan hitung rupiah dan hanya digunakan di Indonesia; b. Kartu bukan merupakan simpanan dan dana yang terdapat di dalamnya tidak diberikan bunga dan tidak dijamin oleh Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS);
c. Kepemilikan kartu dapat dialihkan dengan cara memberikan fisik kartu kepada orang lain; d. Kartu yang hilang atau dicuri tidak dapat diblokir maupun diganti, segala akibat menjadi tanggung jawab pemegang kartu sepenuhnya; e. Pemegang kartu hanya dapat menggunakan kartu untuk transaksi pembayaran selama dana yang ada pada kartu mencukupi; f. Pemegang kartu wajib memelihara fisik kartu sehingga tidak rusak, patah atau nomor kartu masih dapat diidentifikasi; g. Keterangan dan perhitungan terkait transaksi yang dilakukan pemegang kartu merupakan bukti yang mengikat kecuali dapat dibuktikan sebaliknya; h. Penggunaan kartu tunduk pada ketentuan yang berlaku di bank penerbit serta syarat dan ketentuan yang mengatur segala transaksi yang terkait penggunaan kartu, termasuk setiap perubahan yang akan diinformasikan terlebih dahulu oleh bank penerbit; i. Batas minimal saldo pada kartu adalah sebesar Rp. 20.000,- (duapuluh ribu rupiah); j. Batas maksimal saldo pada kartu adalah sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau sesuai ketentuan Bank Indonesia yang berlaku; k. Minimal Top Up sebesar Rp. 1,- (satu rupiah).
3.
Masa Berlaku Masa berlaku kartu tidak terbatas (unlimited). Namun apabila kartu tidak pernah digunakan bertransaksi selama 12 (duabelas) bulan maka bulan berikutnya kartu akan menjadi pasif, dengan ketentuan : − Kartu yang memiliki saldo di bawah Rp. 25.000,- (duapuluh lima ribu rupiah) dan tidak pernah digunakan bertransaksi selama 12 bulan maka pemegang kartu dianggap menyetujui penutupan kartu dan saldo akan menjadi milik bank penerbit; − Kartu yang memiliki saldo diatas Rp. 25.000,- (duapuluh lima ribu rupiah) dan tidak pernah digunakan bertransaksi selama 12 bulan maka pada bulan ke-13 saldo yang masih ada akan di debet biaya administrasi setiap bulannya sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) sampai sisa saldo nihil. Apabila pemegang kartu ingin menggunakan kembali maka pemegang kartu harus melakukan reaktivasi melalui EDC BRIZZI.
4.
Penutupan BRIZZI Pemegang kartu dapat melakukan penutupan kartu melalui Kantor Cabang atau Kantor Cabang Pembantu Bank BRI dengan menggunakan menu penutupan kartu (redeem). Penutupan kartu akan dikenakan biaya administrasi sebesar Rp. 20.000,- (duapuluh ribu rupiah) yang langsung dipotong dari sisa saldo pada kartu.
5.
Penanganan Keluhan
Pemegang kartu dapat menyampaikan keluhan atau pengaduan sehubungan dengan penggunaan kartu melalui Kantor Bank BRI dengan melampirkan fotokopi identitas diri pemegang kartu dan data pendukung lainnya, yang akan ditanggapi sesuai kebijakan dan prosedur yang berlaku pada Bank selambat-lambatnya 14 (empatbelas) hari sejak pengaduan diterima lengkap oleh bank. 6.
Penggantian BRIZZI Penggantian kartu dapat dilakukan di Kantor Bank BRI dengan saldo di dalam kartu yang rusak akan dilimpahkan ke kartu baru. Pemegang kartu akan mendapatkan kartu baru dan kartu yang lama akan ditarik oleh penerbit. Bank Mandiri selaku penerbit bekerjasama dengan merchant Indomaret
mengeluarkan kartu e-money dengan brand name Mandiri Prabayar - Indomaret Card (selanjutnya disebut Indomaret Card). Kartu ini digunakan untuk bertransaksi pembelanjaan di Indomaret atau pembayaran lainnya di mechant yang bekerjasama dengan Bank Mandiri selaku penerbit dengan fitur saldo yang tersimpan pada chip kartu dapat digunakan bertransaksi tanpa perlu menggunakan PIN atau tanda tangan, dapat diisi ulang, dengan maksimal saldo kartu sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) sesuai ketentuan Bank Indonesia dan saldo mengendap pada kartu tidak diberikan bunga. Cara bertransaksi menggunakan Indomaret Card yaitu melalui outlet atau merchant yang mempunyai reader untuk menerima kartu e-money. Saldo harus mencukupi untuk bertransaksi yaitu dengan sado minimum sebesar Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah) ditambah dengan jumlah
pembelanjaan yang akan dibayarkan. Isi ulang (top up) dengan menggunakan Mandiri Debit yang dapat dilakukan melalui Mandiri EDC, Mandiri ATM Tunai maupun Non Tunai, Mandiri Internet, dan Mandiri SMS. Adapun syarat dan ketentuan penggunaan Kartu Mandiri Prabayar dari penerbit yaitu : 1.
Penggunaan Kartu Mandiri Prabayar a. Bank tidak berkewajiban untuk mengganti kerugian akibat kartu yang rusak karena kelalaian pemegang kartu, hilang, dicuri atau digunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dan tidak akan mengganti kartu yang hilang dengan kartu yang baru; b. Saldo yang terdapat dalam kartu tidak termasuk dalam program penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS); c. Penggunaan kartu hanya dapat dilakukan sebatas saldo yang tersimpan pada kartu; d. Pemegang kartu tidak diperkenankan merusak, memanipulasi, mengcopy dan/atau mengubah fisik maupun isi data kartu; e. Pemegang kartu bertanggung jawab dan wajib melaporkan kepada penerbit apabila terjadi penggandaan (cloning) dan penggunaan oleh pihak yang tidak berwenang untuk melakukan transaksi; f. Dalam hal kartu hilang, penerbit tidak akan melakukan pemblokiran, tidak mengganti fisik dan tidak akan mengembalikan saldo;
g. Dalam hal kartu rusak, penerbit tidak akan melakukan pemblokiran, tidak akan mengganti fisik kartu namun akan mengembalikan saldo; h. Pencantuman nama, tandatangan atau tanda-tanda apapun pada kartu bukan merupakan petunjuk atau bukti kepemilikan kartu; i. Bank penerbit berhak secara sepihak menghentikan atau menangguhkan pelayanan tan pa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pemegang kartu atas dasar permasalahan teknis maupun non teknis.
2.
Masa Berlaku Mandiri Prabayar Kartu tidak memiliki masa berlaku, namun apabila dalam jangka waktu 12 (duabelas) bulan tidak digunakan untuk melakukan transaksi maka pada saat pengaktifan kembali akan dikenakan biaya administrasi sebesar Rp. 10.000,(sepuluh ribu rupiah).
3.
Penutupan Mandiri Prabayar Penutupan kartu dapat terjadi apabila ditutup oleh bank penerbit akibat tidak terpenuhinya hal-hal yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemegang kartu, maupun atas permintaan pemegang kartu yang bersangkutan yang diajukan secara tertulis. Saldo yang masih tersisa pada kartu akan dikembalikan setelah dikurangi biaya administrasi. Proses penutupan kartu dan pengembalian saldo dilakukan selambat-lambatnya 14 (empatbelas) hari kerja sejak dokumen diterima lengkap oleh bank penerbit.
4.
Redemption Pemegang kartu dapat mengajukan redemption atau pengembalian saldo kartu ke cabang Bank Mandiri terdekat dengan dikenakan biaya administrasi.
5.
Penyelesaian Sengketa (Dispute) Transaksi Mandiri Prabayar Pemegang kartu dapat mengajukan keluhan atas dispute transaksi maksimal 30 (tigapuluh) hari kerja sejak tanggal transaksi. Pengajuan keluhan dilakukan secara tertulis dengan melampirkan fotokopi bukti bukti transaksi dan bukti lainnya yang mendukung pengaduan. Bank penerbit akan melakukan pemeriksaan atau investigasi atas pengaduan Pemegang Kartu.
6.
Batas Pertanggungjawaban (Liability) a. Bank dan seluruh pejabat, pegawai dan Mitra terkait tidak dapat dimintai pertanggung jawaban oleh pemegang kartu atau pihak manapun yang mengajukan tuntutan atas : − kehilangan kartu oleh pemegang kartu; − kerusakan kartu akibat kecerobohan pemegang kartu, termasuk tidak menggunakan atau menempatkan kartu sesuai petunjuk penggunaan; − kerugian sejumlah nilai uang dalam kartu akibat penggunaan transaksi pembayaran yang tidak benar; − kartu digunakan oleh pihak lain yang tidak berwenang dan/atau hasil penggandaan (cloning).
b. Dengan tidak membatasi hal-hal tersebut, bank penerbit termasuk mitra tidak bertanggung jawab atas tuntutan atau klaim mengenai : − Segala kerugian atas kerusakan karena tidak beroperasinya sistem akibat bencana alam, perang, pemberontakan, kerusuhan umum, dan/atau adanya peraturan atau larangan pemerintah atau hal-hal yang diluar kuasa lainnya; − Segala kerugian atau kehilangan data karena penggunaan kartu oleh pihak yang tidak berwenang. 7.
Kerahasiaan Informasi Pemegang Kartu Keamanan informasi pribadi pemegang kartu akan dilindungi oleh bank penerbit, termasuk mewajibkan perusahaan lain yang akan melakukan kerjasama merchant akan diwajibkan untuk melindungi kerahasiaan pemegang kartu.
8.
Hukum yang Berlaku dan Domisili Syarat dan ketentuan mengenai penggunaan kartu tunduk pada hukum yuang berlaku di Indonesia. Dalam hal terjadi perselisihan maka para pihak sepakat untuk menyelesaikan secara musyawarah dan bila tidak tercapai kesepakatan
maka para pihak sepakat untuk menyelesaikannya melalui Pengadilan Negeri sesuai domisili tergugat.
9.
Lain-lain Syarat dan ketentuan kartu termasuk jenis atau bentuk layanan dapat diubah setiap waktu oleh penerbit tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pemegang kartu. Atas perubahan, penggantian dan/atau penambahan akan dilakukan melalui pemberitahuan yang ditempel pada Cabang Bank penerbit, diumumkan melalui website Bank Mandiri atau media lain yang ditentukan oleh penerbit, yang segala perubahan tersebut tetap mengikat Pemegang Kartu. Dilihat dari penerbitan kartu e-money pada bank penerbit BRI, BCA, dan
Bank Mandiri, syarat dan ketentuan tersebut mengikat bagi pemegang kartu selaku pengguna. Dengan melakukan pembelian kartu e-money tersebut, maka pemegang kartu dianggap telah menyetujui seluruh isi syarat dan ketentuan penggunaan kartu tanpa perlu menandatanganinya. Secara umum tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa suatu perjanjian baru dikatakan sah jika telah ditandatangani oleh kedua belah pihak, kecuali untuk perjanjian-perjanjian tertentu yang oleh hukum disyaratkan untuk dilakukan dengan tertulis sehingga harus ditandatangani oleh para pihak. Artinya, secara
yuridis dapat dibenarkan jika suatu perjanjian ditandatangani oleh satu pihak atau bahkan tanpa tandatangan oleh pihak manapun. Pengaturan kegiatan pembayaran menggunakan uang elektronik (e-money) sesuai kewenangan dari Bank Indonesia selaku Bank Sentral mengatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) dan dalam rangka mendukung kelancaran dan efektivitas penyelenggaraan uang elektronik sehubungan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia tersebut maka lebih lanjut ketentuan mengenai penyelenggaraan uang elektronik diatur dalam Surat Edaran dangan Nomor 11/11/DASP Tahun 2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money). Dalam Peraturan Bank Indonesia (selanjutnya disebut PBI) mengenai Uang Elektronik dibentuk mengingat uang elektronik memiliki fungsi seperti uang tunai, maka untuk memberikan perlindungan kepada pemegang kartu, meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap instumen pembayaran uang elektronik, dan mendukung kelancaran tugas Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas moneter, Bank Indonesia menetapkan persyaratan yang wajib dipenuhi oleh Bank dan Lembaga Selain Bank (LSB) dalam menyelenggarakan uang elektronik. Dalam PBI mengenai uang elektronik ini, nilai uang elektronik yang disetorkan oleh pemegang kepada penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Perbankan. Konsekuensi ini harus diketahui oleh pemegang sehingga membawa kewajiban penerbit untuk
memberitahukan kepada pemegang. Karena nilai uang elektronik tersebut bukan merupakan simpanan maka uang elektronik tersebut tidak termasuk yang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagaimana diatur dalam UndangUndang Lembaga Penjamin Simpanan. Untuk mendukung keamanan dan kelancaran penyelenggaraan uang elektronik, Bank Indonesia juga mengatur kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh seluruh penyelenggara uang elektronik seperti kewajiban penerapan manajemen risiko, pelaporan, dan keamanan sistem dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia mengenai uang elektronik ini mengatur mengenai bagaimana syarat dan tata cara untuk memperoleh izin sebagai principal, penerbit, acquirer, termasuk penyelenggara kliring dan/atau penyelenggara penyelesaian akhir demi kelancaran kegiatan uang elektronik dan perlindungan terhadap pemegang kartu. Pasal 13 PBI mengenai uang elektronik mengatur bahwa penerbit dilarang menerbitkan uang elektronik dengan nilai uang elektronik yang lebih besar atau lebih kecil daripada nilai uang yang disetorkan oleh pemegang kepada penerbit. Larangan bagi penerbit untuk menerbitkan uang elektronik dengan nilai uang elektronik yang lebih besar dari nilai uang yang disetorkan oleh pemegang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penerbitan uang elektronik yang berpotensi terhadap penciptaan uang yang tidak terkendali. Selain itu larangan penerbitan uang elektronik dengan nilai yang lebih kecil daripada nilai uang yang
disetorkan
oleh
pemegang
dimaksudkan
untuk
melindungi
kepentingan
pemegang. Bank Indonesia dalam PBI uang elektronik pada pasal 14 ayat 1 menetapkan batas paling banyak nilai uang elektronik yang disimpan pada media uang elektronik dan batas paling bayak total nilai transaksi uang elektronik dalam periode tertentu. Dalam penjelasan diterangkan bahwa pembatasan nilai uang elektronik dan total nilai transaksi dimaksudkan karena uang elektronik pada prinsipnya digunakan untuk pembayaran yang bersifat ritel atau pembayaran dengan jumlah kecil, dan hal ini juga dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan uang elektronik seperti untuk tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Pasal 17 PBI uang elektronik mewajibkan penerbit mencatat identitas pedagang
(merchant)
yang
bekerjasama
dengan
penerbit
dan
mengadministrasikan seluruh dokumen yang terkait dengan merchant. Kewajiban mencatat identitas pedagang dimaksudkan agar penerbit mempunyai data untuk kepentingan pembayaran maupun pemenuhan klaim kepada pedagang setelah dilakukannya transaksi antara pedagang dan pemegang. Kepentingan pencatatan identitas pedagang tersebut terkait pula dengan kegiatan penerbit dan penggunaan sistem penerbit dan penggunaan sistem penerbit jika penerbit melakukan kerjasama dengan pedagang seperti untuk kegiatan pengisian ulang uang elektronik, kegiatan tarik tunai dalam rangka mengakhiri penggunaan uang elektronik (redeem), dan kegiatan tarik tunai dalam rangka transfer dana.
Bank Indonesia memiliki rencana untuk mengembangkan uang elektronik. Bank dan Lembaga Selain Bank (LSB) selaku penerbit akan menyediakan fasilitas transfer dana melalui uang elektronik.87
Dalam pasal 16 ayat 4 PBI Uang
Elektronik, penerbit yang akan menyediakan fasilitas transfer dana melalui uang elektronik wajib mencatat data identitas pemegang. Pencatatan data identitas pemegang dimaksudkan untuk memenuhi prinsip mengenal nasabah (know your customer principles) dan memudahkan dalam pelaksanaan kegiatan pengiriman uang. Data identitas yang wajib dicatat sekurang-kurangnya nama, alamat, tanggal lahir dan data lainnya sebagaimana yang tercantum pada bukti identitas pemegang (fully registered). Salah satu bentuk tanggung jawab penerbit dan upaya perlindungan terhadap pemegang kartu, PBI Uang Elektronik dalam Pasal 18 ayat 1 mewajibkan penerbit untuk memberikan informasi secara tertulis kepada pemegang mengenai produk Uang Elektronik yang diterbitkannya. Kewajiban memberikan informasi secara tertulis dimaksudkan agar penerbit menerapkan prinsip transparansi produk dan melakukan edukasi kepada pemegang. Uang elektronik yang diterbitkan oleh Bank BCA (Flazz), BRI (BRIZZI), dan Bank Mandiri (Indomaret Card) menjelaskan syarat dan ketentuan bagi pemegang kartu. Jika dilihat dari kesesuaian terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Bank 87
R. Serfianto DP, op.cit, Hal. 105.
Indonesia dalam PBI Uang Elektronik, maka dapat dilihat perbandingan dari ketiga kartu e-money tersebut yaitu : FLAZZ
BRIZZI
INDOMARET CARD
Penjelasan Pengertian Uang Elektronik
Tercantum definisi pemegang kartu; kartu e-money; transaksi pembayaran, dan lain-lain.
Tercantum definisi pemegang kartu; kartu e-money; transaksi pembayaran, dan lain-lain.
Tercantum definisi pemegang kartu; kartu e-money; transaksi pembayaran, dan lain-lain secara lebih terperinci.
Penjelasan Nilai Uang Elektronik Tidak Dijamin LPS
Tidak dicantumkan dalam syarat & ketentuan pemegang kartu
Dijelaskan bahwa nilai uang dalam kartu tidak diberikan bunga dan tidak dijamin oleh LPS
Dijelaskan bahwa saldo pada kartu tidak dijamin oleh LPS
Identitas Pada Kartu Tanpa identitas E-Money
Tercetak nomor kartu dan nama identitas pemegang kartu
Dapat dituliskan nama atau tandatangan di belakang kartu, namun hal itu bukan merupakan bukti kepemilikan
Pencatatan Data Identitas Pemegang oleh Penerbit
Dicatatkan pada buku register bank penerbit
Dicatatkan pada buku register bank penerbit
tidak dicatatkan pada bank penerbit karena pembelian kartu melalui pedagang (merchant)
Cara Pengisian & Isi Ulang (Top Up)
Hanya dapat dilakukan melalui bank penerbit
Dapat dilakukan melalui bank penerbit maupun bank lain melalui ATM Bersama
Hanya dapat dilakukan melalui bank penerbit
Batas Nilai Uang Pada Kartu EMoney
Saldo maksimum sebesar Rp. 1.000.000,-
Batas maksimal saldo sebesar Rp. 1.000.000,-
Batas maksimal saldo sebesar Rp. 1.000.000,-
PERBANDINGAN
Cara Penggunaan Kartu E-Money
Pembayaran dilakukan dengan menempelkan kartu pada reader tanpa memasukkan PIN dan tanda tangan
Memilih menu pembayaran pada EDC kemudian menempelkan kartu pada reader tanpa memasukkan PIN dan tanda tangan
Memilih menu pembayaran pada EDC kemudian menempelkan kartu pada reader tanpa memasukkan PIN dan tanda tangan
Kartu E-Money Hilang / Dicuri
Dapat dipindahtangankan ke pihak siapapun, jika hilang / dicuri penerbit tidak dapat melakukan pemblokiran dana dan tanggung jawab sepenuhnya pada pemegang kartu
Dapat dipindahtangankan ke pihak siapapun, jika hilang / dicuri penerbit tidak dapat melakukan pemblokiran dana dan tanggung jawab sepenuhnya pada pemegang kartu
Dapat dipindahtangankan ke pihak siapapun, jika hilang / dicuri penerbit tidak dapat melakukan pemblokiran dana dan tanggung jawab sepenuhnya pada pemegang kartu
Saldo Minimum Kartu (Saldo Mengendap)
Tidak ada saldo minimum atau saldo mengendap, hanya ada batas minimum top up sebesar Rp. 100.000,-
Batas minimum saldo sebesar Rp. 20.000,- atau sesuai dengan ketentuan bank penerbit
Batas minimum saldo sebesar Rp. 10.000,- atau sesuai dengan ketentuan bank penerbit dan tidak diberikan bunga
Fasilitas Transfer Dana
Tidak menyediakan fasilitas transfer dana
Tidak menyediakan fasilitas transfer dana
Tidak menyediakan fasilitas transfer dana
Masa Berlaku Kartu Masa berlaku tidak Masa berlaku kartu E-Money terbatas (unlimited) tidak terbatas (unlimited), namun jika kartu tidak digunakan dalam jangka waktu 12 bulan kartu akan menjadi pasif dan harus direaktivasi untuk dapat
Masa berlaku kartu tidak terbatas (unlimited), namun jika kartu tidak digunakan dalam jangka waktu 12 bulan kartu akan menjadi pasif dan harus direaktivasi dengan dikenakan biaya administrasi
digunakan kembali
sebesar Rp. 10.000,- untuk dapat digunakan kembali
Penutupan Kartu EMoney
Tidak dijelaskan dalam syarat & ketentuan pemegang kartu
Penutupan kartu dilakukan di kantor bank penerbit dan dikenakan biaya administrasi sebesar Rp. 20.000,-
Penutupan kartu dapat dilakukan oleh bank penerbit maupun permintaan pemegang kartu dengan menyampaikan secara tertulis kepada bank penerbit. Sisa saldo akan dikembalikan setelah dipotong biaya administrasi (redemption)
Pengaduan atau Keluhan
Disampaikan ke kantor cabang Bank penerbit dengan melampirkan fotokopi identitas diri pemegang kartu dan dokumen pendukung, akan ditanggapi selambatlambatnya 14 hari sejak keluhan diterima lengkap
Disampaikan ke kantor cabang Bank penerbit dengan melampirkan fotokopi identitas diri pemegang kartu dan dokumen pendukung, akan ditanggapi selambatlambatnya 14 hari sejak keluhan diterima lengkap
Disampaikan ke kantor cabang Bank penerbit dengan melampirkan fotokopi identitas diri pemegang kartu dan dokumen pendukung, akan ditanggapi selambatlambatnya 14 hari sejak keluhan diterima lengkap. Penyelesaian sengketa (dispute) ditanggapi dengan melakukan pemeriksaan dan tuntutan akan diselesaikan melalui Pengadilan Negeri sesuai
domisili tergugat Tabel 4. Perbandingan Syarat dan Ketentuan Kartu E-Money yang diterbitkan oleh Bank Penerbit yang berbeda-beda
Adanya persamaan maupun perbedaan syarat dan ketentuan penggunaan kartu e-money bagi pemegang dikarenakan dalam beberapa hal dimungkinkan pengaturan-pengaturan yang bersifat teknis dan mikro dapat diatur dan disepakati sendiri guna melengkapi aturan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia (Self Regulation Organization atau SRO). Namun pengaturan yang dikeluarkan oleh SRO tersebut tidak boleh bertentangan dengan aturan yang bersifat makro dan kebijakan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pengaturan ini diatur dalam Pasal 30 ayat 1 dan 2 PBI Uang Elektronik yaitu : 1.
Principal,
Penerbit,
Acquirer,
Penyelenggara
Kliring,
Penyelenggara
Penyelesaian Akhir dan pihak lain yang terkait dengan penyelenggaraan uang elektronik dapat menyepakati pembentukan suatu forum atau institusi yang bertujuan untuk mengatur sendiri hal-hal yang bersifat teknis dan mikro, dengan melaporkan secara tertulis keberadaan forum atau institusi tersebut kepada Bank Indonesia. 2.
Aturan-aturan yang dikeluarkan oleh forum atau institusi sebagaimana dimaksud wajib terlebih dahulu dikonsultasikan kepada Bank Indonesia dan tidak boleh bertentangan dengan aturan dan kebijakan Bank Indonesia.
Pengaturan sendiri oleh forum atau institusi tersebut dimaksudkan untuk melengkapi atas aturan yang bersifat makro dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Untuk mencegah agar aturan yang dikeluarkan tidak bertentangan dengan aturan dan kebijakan Bank Indonesia, maka materi aturan yang dikeluarkan oleh forum atau institusi tersebut dikonsultasikan kepada Bank Indonesia. Pemegang kartu e-money wajib diberikan keadilan dan persamaan hak untuk memberikan hubungan yang baik antara pemegang kartu, penerbit maupun pedagang (merchant) dalam hubungan perjanjian penggunaan alat bayar uang elektronik. Dalam peraturan yang dibuat oleh Bank Indonesia lebih menekankan mengenai kewenangan dalam mengatur kegiatan uang elektronik pihak penyelenggara bukan perlindungan terhadap pemegang kartu, mengingat nilai tunai uang elektronik tersebut tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Dalam kaitannya dengan akan dikembangkannya fasilitas kegunaan uang elektronik sebagai transfer dana, hal ini perlu diperhatikan mengingat penerbit merupakan Bank dan Lembaga Selain Bank (LBS). produk e-money merupakan produk terpisah dari perbankan karena masalah regulasi yang digunakan karena Lembaga Selain Bank (LBS) yang dalam hal ini uang elektronik telah dikeluarkan oleh perusahaan telekomunikasi tidak dapat dimasukan dalam aturan perbankan. Regulasi ini perlu bagi pihak non bank seperti operator telekomunikasi, karena barang yang dibeli melalui operator tidak terlihat uangnya dan transaksinya jika tidak tercatat maka akan berpengaruh pada sistem ekonomi karena transaksi
tersebut tidak dapat terdeteksi. Selain itu jika uang elektronik tidak dimaksukkan ke dalam perbankan, akan terjadi ketidakseimbangan. Dalam kaitannya dengan transfer dana, Lembaga Selain Bank (LBS) wajib mendapat izin dari Bank Indonesia, sedangkan Bank tidak memerlukan izin dari Bank Indonesia dalam hal pengiriman uang karena merupakan kegiatan usaha Bank sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Perbankan. Dengan demikian, jika pemegang kartu dari operator seluler akan melakukan transfer dana, perlu diperhatikan pengaturan teknisnya karena operator seluler tentu tidak mempunyai rekening bank sehingga sulit untuk mencatatkan riwayat transaksinya.88
88
R. Serfianto DP, op.cit, Hal 106-107.
BAB IV PENYALAHGUNAAN UANG ELEKTRONIK DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG KARTU
1. Bentuk Penyalahgunaan Kartu Pembayaran Uang Elektronik (E-Money) Penggunaan e-money akan memberikan
keuntungan atau kelebihan
dibandingkan dengan menggunakan uang tunai maupun alat pembayaran non tunai lainnya, penggunaan e-money lebih nyaman dibandingkan uang tunai khususnya untuk transaksi-transaksi yang bernilai kecil, karena dalam melakukan transaksi tidak perlu mempunyai sejumlah uang pas dan harus menyimpan uang kembalian, selain itu dapat mengurangi kesalahan dalam menghitung uang kembalian. Transaksi menggunakan kartu e-money lebih mudah dibandingkan alat pembayaran menggunakan kartu lainnya karena tidak memerlukan proses otorisasi tanda tangan maupun PIN (Personal Identification Number). Kelemahan dari e-money yaitu : a.
Bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Perbankan, jadi nilai uang elektronik tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS);
b.
Tidak memerlukan konfirmasi data atau proses otorisasi;
c.
Tidak terkait langsung dengan rekening nasabah di bank, karena pemegang kartu tidak harus menjadi nasabah di bank penerbit;
d.
Dapat dipindahtangankan dan saldo dapat dipakai oleh siapapun jika kartu hilang;
e.
Tidak termasuk inventori bank, jadi tidak bisa dilacak penggunaannya jika kartu hilang;
f.
Jika kartu hilang tidak dapat diblokir dan nilai uang elektronik yang hilang tidak akan diganti;
g.
Dapat digunakan sebagai sarana money laundrying;
h.
Tidak bisa menghilangkan fungsi uang tunai sepenuhnya. Dalam hal hilangnya kartu (Lost/Stolen Card), kartu tetap dapat digunakan
sampai pemilik sah memberitahukan kepada bank penerbit, namun kartu tersebut tetap dapat disalahgunakan oleh pihak lain. penyalahgunaan kartu oleh pihak lain ini dapat terjadi dengan pencurian oleh pihak lain maupun kelalaian dari pemilik kartu itu sendiri. Setelah kartu berada di pihak lain, penyalahgunaan tentu saja dapat digunakan dengan berbagai cara, salah satunya sepertli berbelanja langsung kepada merchant, karena ketika kartu hilang maka kartu dapat digunakan tanpa perlu dilakukan otorisasi oleh merchant dan tidak dapat dilacak keberadaan kartu tersebut. Kartu pembayaran (payment card / stored value card) seperti uang elektronik ini menjadi target utama dalam penyalahgunaan melalui pencurian, karena
sifatnya yang tiddak harus mencantumkan identitas pemiliknya (anonymous digital cash) dan juga fungsinya yang dapat dilakukan tanpa bantuan jasa penjualnya (selve serve). Tingkat sekuritas pada e-money merupakan salah satu aspek penting mengingat kerugian yang dapat ditimbulkan baik bagi penerbit maupun pemegang kartu tersebut. Usaha kejahatan untuk menembus sistem security e-money bisa terjadi pada level pengguna, pedagang (merchant) ataupun penerbit, termasuk pencurian terhadap peralatan milik merchant atau pemegang kartu, pemalsuan kartu atau pesan (message), merubah data yang tersimpan dalam kartu atau isi pesan yang dikirimkan, dan juga dapat dilakukan dengan merubah fungsi software. Beberapa bentuk pengamanan yang dapat dilakukan untuk melindungi produk e-money antara lain adalah :89 a. Penggunaan microchip yang bersifat tamper-resistant atau tahan banting untuk produk card based; b. Penggunaan teknologi encryption, baik untuk produk card-based maupun software-based yang digunakan untuk otentifikasi peralatan maupun pesan–pesan yang dikirimkan serta untuk melindungi data yang tersimpan dari usaha-usaha pihak yang ingin melakukan perubahan;
89
Bank Indonesia, Paper Kajian E-Money, Op. Cit, Hal 12-13.
c. Pembatasan nilai maksimum yang dapat disimpan atau yang dapat dibayarkan juga merupakan salah satu usaha untuk meminimalkan kerugian bila terjadi penyalahgunaan. Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam upaya pengamanan adalah adanya sistem pengawasan, sistem pemeliharaan data baik pada peralatan individu maupun pada pusat database penerbit serta kemampuan untuk menelusuri transaksi-transaksi yang dilakukan. Dalam hal e-money dapat digunakan untuk melakukan transaksi secara langsung antar pemegang e-money, tingkat security yang digunakan perlu lebih diperhatikan mengingat adanya timelag sejak transaksi tersebut dilakukan sampai dengan pencatatan di pusat database, sehingga akan lebuh sulit untuk mendeteksi adanya penyalahgunaan.
2. Tanggung Jawab Penyelenggara Sistem Pembayaran Uang Elektronik Hubungan hukum yang terjadi dalam penyelenggaraan uang elektronik terjadi antara penyelenggara sistem pembayaran elektronik dan pemegang kartu. Penyelenggaran dalam sistem pembayaran uang elektronik adalah prinsipal, bank penerbit dan acquirer. Pedagang atau merchant tidak termasuk dalam penyelenggara sistem pembayaran uang elektronik karena merchant juga termasuk dikategorikan sebagai pengguna dari sistem elektronik itu sendiri dan tidak terlibat pada penyelenggaraan sistem elektronik secara teknis. Dilihat dari transaksi elektronik yang dilakukan menggunakan kartu uang elektronik (electronic money/e-money) sebagai suatu produk, maka pedagang
(merchant) bukan termasuk sebagai penyelenggara dari sistem elektronik itu sendiri. Sayangnya, masyarakat umumnya hanya melihat pedagang yang menjual produknya secara elektronik termasuk ke dalam penyelenggara sistem elektronik tersebut, padahal pedagang juga merupakan konsumen dari sistem elektronik yang digunakan untuk menawarkan barang kepada konsumen. Maka dapat dikatakan pedagang
(merchant)
dan
pemegang
kartu
merupakan
konsumen
dari
penyelenggaraan sistem transaksi elektronik yang telah dikembangkan oelh suatu pihak tertentu (developer) atau diselenggarakan oleh suatu pihak tertentu (provider).90 Dalam prakteknya kedudukan merchant dan pemegang kartu e-money tidaklah sama atau seimbang. Pemegang kartu e-money selaku konsumen pada transaksi elektronik mempunyai kedudukan yang lebih rentan karena pertukaran informasi yang terjadi pada transaksi elektronik melibatkan data dari pemegang kartu yang sifatnya personal atau vital. Maka dari itu perlindungan yang diberikan kepada pemegang kartu e-money selaku konsumen selain dari sistem elektronik itu sendiri juga harus dijamin dari perlindungan secara hukum.
90
Edmon Makarim, 2004, Kompilasi Hukum Telematika, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hal. 342.
Beberapa prinsip-prinsip tanggung jawab yang berkaitan dengan kegiatan pelaku usaha selaku penyelenggara transaksi elektronik adalah :91 1.
Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan (fault liability / liability based on fault) Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang atau pelaku usaha baru dapat dimintai pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Prinsip ini diterapkan dalam beberapa ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yaitu pada pasal 1365, 1366, 1367 KUH Perdata. Perbuatan yang dapat dimintai pertanggungjawaban menurut pasal 1365 KUH Perdata harus memenuhi empat unsur pokok yaitu adanya perbuatan melawan hukum; adanya unsur kesalahan; adanya kerugian yang diderita; dan adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barangbarang yang berada dibawah pengawasannya. Hal ini dalam doktrin hukum dikenal sebagai vicorius liability yaitu tanggung jawab yang ada karena kesalahan orang yang dibawah pengawasan dan corporate liability yang lebih menekankan pada tanggung jawab suatu lembaga atau korporasi terhadap tenaga-tenaga yang dipekerjakannya. 91
Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen : Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Jakarta, Hal. 71-80.
2.
Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab (presumption of liability principle) Dalam prinsip ini seseorang (tergugat) dianggap bersalah sampai dirinya dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Prinsip ini merupakan asas pembuktian terbalik yang sangat membantu dalam kasus konsumen dimana pembuktian ada pada pelaku usaha. Lebih lanjut dalam ketentuan pasal 22 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa beban pembuktian (ada tidaknya kesalahan) merupakan tanggung jawab pelaku usaha.
3.
Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab (presumption of nonliability) Prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab. Prinsip ini diterapkan dalam Pasal 24 ayat 2 UndangUndang Perlindungan Konsumen dimana jika ada pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada konsumen dari pelaku usaha lain, namun telah melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut maka pelaku usaha darimana dia mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut bebas dari tanggung jawab.
4.
Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (strict liability) Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha harus secara mutlak bertanggung jawab atas produknya. Suatu tindakan dapat dihukum atas dasar perilaku
berbahaya yang merugikan (harmful conduct) tanpa mempersoalkan ada tidaknya kesengajaan (intention) atau kelalaian (negligence). Prinsip ini menegaskan hubungan kausalitas antara subyek yang bertanggung jawab dan kesalahan yang dibuatnya, dengan memperhatikan adanya force majeur sebagai faktor yang dapat melepaskan diri dari tanggung jawab. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen belum mengatur prinsip strict liability. Pada pasal 28, pembuktian ada atau tidaknya unsur kesalahan merupakan tanggung jawab dari pelaku usaha. Jadi dapat dikatakan bahwa pembuktian
terbalik
pertanggungjawaban
terbatas hukum
pada
unsur
kesalahan,
(pertanggungjawaban
perdata)
sedangkan mencakup
termasuk unsur hubungan sebab akibat (causal link), sehingga perlu dibuktikan kerugian yang ditanggung konsumen karena diakibatkan oleh barang atau jasa yang dihasilkan pelaku usaha disamping unsur kesalahan tersebut. 5.
Prinsip Tanggung Jawab dengan Batasan (limitation of liability) Prinsip ini sangat menguntungkan pelaku usaha dimana para pelaku usaha dapat dengan bebas untuk membatasi beban tanggung jawab yang seharusnya ditanggung. Dalam perjanjian baku, klausula ini disebut klausula eksonerasi. Namun dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen prinsip ini dilarang pada pasal 18 ayat 1 yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang untuk mencantumkan klausula baku dalam perjanjian yang mengatur pernyataan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha maupun agar konsumen tunduk
pada peraturan baru, tambahan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha. 6.
Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Wanprestasi (breach of warranty) Prinsip ini menerapkan bahwa tanggung jawab dari pelaku usaha adalah
mutlak (strict obligation), kewajiban didasarkan pada upaya yang telah dilakukan pelaku usaha untuk memenuhi tanggung jawabnya berdasarkan kontrak (contractual liability). Pengaturan
mengenai
asas-asas
atau
prinsip-prinsip
dalam
hukum
perlindungan konsumen dirumuskan dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu perlindungan konsumen berasaskan : 1.
Asas Manfaat Segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2.
Asas Keadilan Adanya partisipasi seluruh masyarakat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3.
Asas Keseimbangan Memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiik maupun spiritual.
4.
Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen Memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang atau jasa yang digunakan.
5.
Asas Kepastian Hukum Pelaku usaha maupun konsumen agar mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen disebutkan mengenai hak
dan kewajiban dari pelaku usaha. Pelaku usaha juga mempunyai hak-hak yang harus dihargai dan dihormati oleh konsumen, pemerintah, serta masyarakat pada umumnya, karena pengusaha tanpa dilindungi hak-haknya akan mengakibatkan macetnya aktivitas perusahaan. Hak-hak pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen pasal 6 adalah meliputi : a. Hak untuk menerima pembayaran uang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan;
b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang diperdagangkan; e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Untuk memenuhi hak dari konsumen maka para pelaku usaha dalam hal ini sebagai penyelenggara kegiatan sistem pembayaran elektronik dibebankan juga kewajiban sebagaimana diatur dalam pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang meliputi : a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa serta member penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan barang dan jasa; c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau yang diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang atau jasa yang berlaku; e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang atau jasa tertentu serta member jaminan dan/atau garansi atas barang atau jasa yang dibuat dan diperdagangkan; f. Member kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang atau jasa yang diperdagangkan; g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Dalam menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara sistem elektronik, pengelola sistem yaitu prinsipal dianggap sebagai lembaga kepercayaan dan usahanya didasari dengan kepercayaan konsumen. Atas dasar tersebut bank harus diselenggarakan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko terkait penyelenggaraan sistem elektronik ini. Manajemen risiko yang dimaksud adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau , dan mengendalikan risiko yang timbuk dari kegiatan usaha bank. Sedangkan yang dimaksud dengan risiko adalah potensi terjadinya suatu peristiwa (events) yang
dapat menimbulkan kerugian bank.92 Penerapan manajemen risiko wajib disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran, kompleksitas usaha, serta kemampuan bank. Risiko dalam kegiatan usaha bank mencakup hal-hal sebagai berikut :93 1.
Risiko Kredit Risiko akibat kegagalan pemegang kartu dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada bank penerbit.
2.
Risiko Pasar Risiko pada posisi neraca dan rekening administrative termasuk transaksi derivatif, akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi pasar.
3.
Risiko Likuiditas Risiko akibat ketidakmampuan bank penerbit untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari asset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank.
92 93
R. Serfianto DP, op.cit, Hal. 188. Ibid, Hal. 189-190.
4.
Risiko Operasional Risiko akibat ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional bank penerbit.
5.
Risiko Hukum Risiko akibat tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek yuridis.
6.
Risiko Reputasi Risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan stakeholder yang bersumber dari perspektif negatif terhadap bank penerbit.
7.
Risiko Strategis Risiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan dan atau pelaksanaan suatu keputusan strategis serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis.
8.
Risiko Kepatuhan Risiko akibat bank tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku. Dalam melaksanakan kegiatannya, sesuai Pasal 3 PBI Uang Elektronik,
Prinsipal memiliki kewajiban : a.
Menetapkan prosedur dan persyaratan yang obyektif dan transparan;
b.
Melakukan pengawasan terhadap keamanan dan keandalan sistem dan/atau jaringan.
Prosedur dan persyaratan yang obyektif adalah sesuai dengan persyaratanpersyaratan yang ditetapkan oleh prinsipal dan menerapkan perlakuan yang setara (equal treatment) kepada seluruh penerbit dan acquirer. Sedangkan yang dimaksud transparan adalah harus tersedia informasi yang memadai kepada penerbt dan acquirer terhadap proses penyusunan, pelaksanaan prosedur dan persyaratan yang ditetapkan oleh prinsipal. Pengawasan yang dilakukan prinsipal terhadap keamanan dan keandalan jaringan yang digunakan oleh penerbit dan acquirer dilakukan secara efektif baik melalui pemantauai secara on-line atau pemeriksaan di lokasi penerbit dan acquirer. Kewajiban Acquirer diatur dalam Pasal 7 PBI Uang Elektronik yaitu : 1.
Melakukan edukasi dan pembinaan terhadap pedagang (merchant) yang bekerjasama dengan acquirer
2.
Menghentikan kerjasama dengan pedagang (merchant) yang melakukan tindakan yang merugikan
3.
Melakukan tukar-menukar informasi atau data dengan acquirer lainnya tentang pedagang (merchant) yang melakukan tindakan yang merugikan dan dapat mengusulkan pencantuman nama pedagang tersebut ke dalam daftar hitam pedagang (merchant black list)
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir dalam melakukan kegiatannya harus memperoleh izin sesuai syarat dan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/11/DASP Tahun 2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money). Setelah memperoleh izin sesuai ketentuan Bank Indonesia wajib melakukan kegiatannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, yakni paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari kalender telah memulai kegiatannya terhitung sejak tanggal pemberian izin. Jika dalam jangka waktu
tersebut
belum
dapat
melaksanakan
kegiatannya
maka
wajib
menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Bank Indonesia. Dalam penyelenggaraan kegiatannya, penerbit memiliki kewajiban sesuai dengan ketentuan PBI Uang Elektronik yaitu : 1.
Menerbitkan uang elektronik sesuai dengan nilai uang yang disetorkan pemegang kepada penerbit.
2.
Mematuhi batas maksimum nilai uang elektronik yang disimpan pada media elektronik dan batas maksimum nilai transaksi uang elektronik sesuai ketentuan yang ditetapkan.
3.
Dalam hal media uang elektronik mempunyai keterbatasan usia teknis yang harus diperbahatui dengan penggantian media penyimpanan, uang elektronik yang masih tersisa menjadi kewajiban penerbit untuk tidak menghapus atau menghilangkan nilai uang elektronik karena masih merupakan milik pemegang kartu.
4.
Wajib mencatat identitas pedagang (merchant) yang bekerjasama dengan penerbit.
5.
Penerbit wajib menerapkan manajemen risiko operasional dan risiko keuangan.
6.
Memberikan informasi secara tertulis kepada pemegang mengenai produk uang elektronik yang diterbitkan.
7.
Uang elektronik yang diterbitkan wajib menggunakan mata uang rupiah. Dalam pelaksanaan kegiatan uang elektronik, harus juga memperhatikan para
pemangku kepentingan (stakeholder) yaitu individu, kelompok, komunitas, maupun masyarakat baik secara keseluruhan maupun secara parsial yang memiliki hubungan kepentingan terhadap pelaksanaan kegiatan uang elektronik. Hal ini diperlukan agar kegiatan penyelenggaraan uang elektronik dapat dibangun berdasarkan konsep kebermanfaatan yang membangun kerjasama untuk mencipyakan kesinambungan penyelenggaraan kegiatan uang elektronik. Masyarakat secara keseluruhan maupun pemegang kartu secara perseorangan merupakan pemangku kepentingan (stakeholder) terpenting bagi penyelenggaraan kegiatan uang elektronik, termasuk juga media yang memegang peranan penting dalam mengkomunikasikan kegiatan penyelenggaraan uang elektronik kepada para stakeholder. Hal ini bertujuan agar pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan uang elektronik berjalan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Peranan stakeholder ini penting karena dapat mempengaruhi kegiatan penyelenggaraan
kegiatan uang elektronik ataupun sebaliknya dapat dipengaruhi oleh kegiatan penyelenggaraan uang elektronik. Bentuk pengawasan Bank Indonesia selaku bank sentral tertuang dalam Pasal 22 PBI Uang Elektronik, yaitu melakukan pengawasan terhadap prinsipal, penerbit, acquirer, penyelenggara kliring dan/atau penyelenggara penyelesaian akhir selaku penyelenggara kegiatan uang elektronik. Dalam rangka pengawasan tersebut, Bank Indonesia mengadakan pertemuan konsultasi (consultative meeting) dengan penyelenggara kegiatan uang elektronik yang dalam pertemuan wajib untuk : a. Menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia secara tertulis dan/atau online mengenai kegiatan uang elektronik; b. Memberikan
keterangan
dan/atau
data
yang
terkait
dengan
penyelenggaraan uang elektronik sesuai dengan permintaan Bank Indonesia; c. Memberikan kesempatan kepada Bank Indonesia untuk melakukan pemeriksaan (on site visit) guna memperoleh informasi yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan uang elektronik. Lebih lanjut dalam Pasal 23, Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain yaitu Akuntan Publik maupun Konsultan Teknologi Informasi untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaan (on site visit).
Dalam rangka peningkatan keamanan teknologi, penyelenggara kegiatan uang elektronik dalam Pasal 24 memiliki kewajiban yaitu : a. Menggunakan sistem yang aman dan andal; b. Memelihara dan meningkatkan keamanan teknologi uang elektronik; c. Memiliki kebijakan dan prosedur tertulis (standard operating procedure) penyelenggaraan kegiatan uang elektronik; d. Menjaga keamanan dan kerahasiaan data.
3. Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Kartu Uang Elektronik Peranan e-money sebagai salah satu bentuk pembayaran non tunai disamping memberikan manfaat dan kemudahan bagi pemegang kartu juga memiliki berbagai potensi risiko keamanan. Potensi risiko yang dapat terjadi dalam pembayaran mikro antara lain adalah risiko pemalsuan dan duplikasi kartu, modifikasi data atau aplikasi e-money, pengubahan message, pencurian, penyangkalan
(repudiation)
dan
risiko
malfunction.
Dalam
rangka
meminimalisasi risiko yang dapat terjadi tersebut, penyelenggaraan e-money harus diatur dalam mewujudkan kerangka hukum yang kuat dan transparan serta mampu memberikan jaminan perlindungan terhadap pemegang kartu e-money.
Penerbit uang elektronik (electronic money / e-money) wajib menerapkan prinsip perlindungan nasabah dalam menyelenggarakan kegiatannya dengan menyampaikan informasi secara tertulis kepada pemegang kartu. Kewajiban penyelenggara sistem pembayaran elektronik terhadap pemegang kartu uang elektronik (e-money) didasarkan bahwa penyelenggara dan pemegang kartu kedudukannya tidak sejajar dan bahwa kepentingan pemegang kartu e-money sangat rentan terhadap tujuan penyelenggara yang memiliki pengetahuan dan keahlian yang tidak dimiliki oleh pemegang kartu.94 Konsumen memiliki hak-hak yang harus dilindungi oleh pelaku usaha, yang dalam UU Perlindungan Konsumen dijelaskan mengenai hak-hak konsumen pada pasal 4 yaitu meliputi : a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa; b. Hak untuk memilih barang atau jasa serta mendapatkan barang atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang diperjanjikan; c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau jasa;
94
John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, 2007, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Pangan Kedaluwarsa, Pelangi Cendikia, Jakarta, Hal 54.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan hukum secara patut; f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur serta tidak diskriminatif; h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. Hak untuk diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Di pihak lain konsumen juga dibebani dengan kewajiban atau tanggung jawab terhadap pelaku usaha, kewajiban dari konsumen pada pasal 5 UU Perlindungan Konsumen meliputi : a. Membaca dan mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang atau jasa demi keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Transparansi produk yang dilakukan oleh penerbit sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang dilakukan dengan cara memberikan informasi secara tertulis kepada pemegang atas uang elektronik yang diterbitkannya, merupakan salah satu aspek dalam pengendalian risiko yang akan dihadapi bank penerbit. Peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko akan mendukung efektivitas kerangka pengawasan bank berbasis risiko.95 Sesuai dengan ketentuan dalam PBI Uang Elektronik, penerbit wajib menerapkan manajemen risiko operasional dan risiko keuangan dengan cara : a. Menempatkan dana float dalam bentuk asset yang aman dan likuid; b. Menggunakan dana float tersebut hanya untuk memenuhi kewajiban kepada pemegang dan pedagang; dan c. Memenuhi kewajiban kepada pemegang dan pedagang secara tepat waktu. Dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/11/DASP Tahun 2009 tentang Uang Elektronik, lebih lanjut diatur penyelenggaraan penerapan menajemen risiko operasional para penyelenggara kegiatan uang elektronik wajib meningkatkan keamanan teknologi uang elektronik untuk mengurangi tingkat kejahatan dan penyalahgunaan uang elektronik segaligus untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap uang elektronik sebagai alat pembayaran.
95
R. Serfianto DP, op.cit, hal. 187.
Peningkatan keamanan tersebut dilakukan dengan penggunaan proven technology yang memenuhi aspek-aspek yaitu : a.
Adanya sistem keamanan teknologi yang memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut : 1) Kerahasiaan data (confidentiality); 2) Integritas sistem dan data (integrity); 3) Otentikasi sistem dan data (authentication); 4) Pencegahan terjadinya pengangkalan transaksi yang telah dilakukan (nonrepudiation); dan 5) Ketersediaan sistem (availability) Seluruh
prinsip
ini
dilakukan
secara
efektif
dan
efisien
dengan
memperhatikan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku; b.
Adanya sistem dan prosedur untuk melakukan audit trail;
c.
Adanya kebijakan dan prosedur internal untuk sistem dan Sumber Daya Manusia (SDM); dan
d.
Adanya Business Contiuity Plan (BCP) yang dapat menjamin kelangsungan penyelenggaraan uang elektronik. BCP ini meliputi tindakan preventif maupun contingency plan (termasuk penyedian sarana back-up) jika terjadi kondisi darurat atau
gangguan
yang mengakibatkan sistem utama
penyelenggaraan uang elektronik tidak dapat digunakan.
Perlindungan hukum bagi pemegang kartu uang elektronik dapat dilakukan melalui dua cara yaitu : 1.
Perlindungan Hukum Preventif Perlindungan yang diberikan oleh Bank Indonesia melalui pengawasan terhadap kegiatan transaksi uang elektronik dengan tujuan untuk mencegah terjadinya pelanggaran.
2.
Perlindungan Hukum Represif Perlindungan hukum yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi akibat perbedaan kepentingan. Wujud perlindungan hukum pada dasarnya merupakan upaya penegakan
hukum. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penegakan hukum adalah faktor hukumnya sendiri, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat yakni dimana hukum tersebut berlaku dan diterapkan.96 Bentuk perlindungan hukum preventif bagi pemegang kartu uang elektronik dapat diwujudkan dengan pengaturan ketentuan tentang penggunaan perjanjian standar atau perjanjian baku yang lebih rinci mengenai hakekat, karakter, pembagian hak dan kewajiban yang dituangkan dalam bentuk undang-undang, yang memberi wadah atau tempat berlindung bagi pemegang kartu melalui
96
Johanes Ibrahim, 2005, Dilematis Penerapan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Antara Perlindungan Hukum dan Kejahatan Perbankan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 24 No. 1 Tahun 2005, Hal. 43.
pengaturan klausul-klausul dalam perjanjian baku syarat dan ketentuan pemegang kartu. Bentuk perlindungan represif dapat ditempuh oleh para pihak, baik penerbit maupun pemegang kartu melalui pola penyelesaian sengketa yang dapat dibagi menjadi dua macam yaitu : 1. Melalui pengadilan (upaya litigasi); 2. Alternatif penyelesaian sengketa ( upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau upaya non litigasi) yang meliputi : −
Konsultasi;
−
Negosiasi;
−
Mediasi;
−
Konsiliasi; dan
−
Penilaian Ahli
Lebih lanjut disebutkan ada dua pola penyelesaian sengketa yaitu :97 1.
The Binding Adjudicative Procedure Merupakan prosedur penyelesaian sengketa yang di dalam memutuskan perkara hakim mengikat para pihak. Bentuk penyelesaian sengketa ini dapat
97
Salim HS, 2006, Hukum Kontrak Teori dan Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, Hal 140.
dibagi menjadi empat macam yaitu litigasi; arbitrase; mediasi arbitrase; dan hakim partikelir. 2.
The Non Binding Adjudicative Procedure Suatu proses penyelesaian sengketa yang di dalam memutuskan perkara hakim atau orang yang ditunjuk tidak mengikat para pihak. Penyelesaian sengketa dengan cara ini dibagi menjadi enam macam yaitu konsiliasi; mediasi; mini trial; summary jury trial; neutral expert fact-finding; early expert neutral evaluation. Bank
Indonesia
mengeluarkan
Peraturan
Bank
Indonesia
Nomor
11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) sebagai bentuk perlindungan hukum dalam mengatur dan mengawasi perkembangan alat pembayaran menggunakan uang elektronik yang diterbitkan dalam bentuk kartu oleh bank penerbit maupun bentuk lain yang diterbitkan oleh lembaga selain bank. Peraturan Bank Indonesia ini lebih lanjut diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/11/DASP Tahun 2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) yang mengatur mengenai persyaratan dan tata cara perolehan izin penyelenggara kegiatan e-money. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang mempengaruhi perkembangan alat pembayaran berupa uang elektronik, pengaturan ini bertujuan untuk meningkatkan kelancaran dan efektivitas penyelenggaraan uang elektronik dan mencegah terjadinya pelanggaran terhadap penggunaan kartu e-money serta memberikan perlindungan bagi para pelaku dalam kegiatan uang elektronik khususnya pemegang kartu.
Upaya pencegahan pelanggaran atas penyelenggaraan kegiatan uang elektronik dilakukan untuk memastikan penyelenggaraan kegiatan uang elektronik dengan objek pengawasan Bank Indonesia adalah kepada Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dapat dilakukan secara efisien, cepat, aman dan andal dengan memperhatikan prinsip
perlindungan
nasabah
pemegang
kartu
e-money.
Pengawasan
penyelenggaraan kegiatan uang elektronik difokuskan pada penerapan aspek manajemen risiko; kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku, termasuk kebenaran dan ketepatan penyampaian informasi dan laporan; dan penerapan aspek perlindungan nasabah. Selain peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, penerbit juga menetapkan perjanjian baku berupa syarat dan ketentuan bagi pemegang kartu yang bertujuan memberikan pemahaman kepada pemegang kartu terhadap karakteristik uang elektronik untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kartu emoney sehingga kerugian pemegang kartu akibat kelalaian penggunaan kartu dapat dihindari. Peraturan Bank Indonesia juga memuat sanksi yang diberlakukan kepada para penyelenggara kegiatan uang elektronik yaitu prinsipal, penerbit, acquirer, penyelenggara kliring dan/atau penyelenggara penyelesaian akhir pada Bab VIII Pasal 32 – Pasal 46 PBI Uang Elektronik. Secara keseluruhan, sanksi yang diberikan yaitu :
1.
Sanksi Administratif a. Teguran tertulis b. Penghentian sementara kegiatan uang elektronik
2.
Sanksi Pencabutan Izin a. Penghentian kegiatan uang elektronik oleh instansi berwenang berdasarkan permintaan Bank Indonesia Penghentian sementara, pembatalan dan pencabutan izin penyelenggara
kegiatan uang elektronik diatur dalam Bab IX Pasal 47 PBI Uang Elektronik yaitu Bank Indonesia atas dasar sanksi yang diberikan dapat menghentikan sementara, membatalkan atau mencabut izin yang telah diberikan kepada Bank atau Lembaga Selain Bank (LSB) sebagai Prinsipal, Penerbit Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir, antara lain dalam hal : a.
Terdapat putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang memerintahkan Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit Acquirer, Penyelengggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir untuk menghentikan kegiatannya;
b.
Terdapat rekomendasi dari otoritas pengawas yang berwenang antara lain mengenai memburuknya kondisi keuangan dan/atau lemahnya manajemen risiko Bank atau Lembaga Selain Bank.
Rekomendasi dari otoritas pengawas yang berwenang dapat berasal dari pengawas bank, pengawas sistem pembayaran, atau pengawas dari lembaga selain bank yang bersangkutan; c.
Terdapat permintaan tertulis atau rekomendasi dari otoritas pengawas yang berwenang kepada Bank Indonesia untuk menghentikan sementara kegiatan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir;
d.
Otoritas pengawas yang berwenang telah mencabuit izin usaha dan/atau menghentikan kegiatan usaha Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir; atau
e.
Adanya permohonan pembatalan yang diajukan sendiri oleh Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia. Syarat dan ketentuan penggunaan kartu e-money bagi pemegang kartu,
disebutkan bahwa penyelesaian sengketa (dispute) dapat diajukan kepada penerbit baik secara lisan maupun tulisan dengan melengkapi fotokopi identitas diri pemegang kartu dan dokumen-dokumen pelengkap sebagai bukti pengaduan. Penerbit akan menanggapi pengaduan tersebut dan akan melakukan pemeriksaan atas pengaduan pemegang kartu tersebut selambat-lambatnya dalam jangka waktu 14 (empatbelas) hari sejak tanggal diterimanya dokumen pengaduan secara lengkap.
Penyelesaian sengketa (dispute) antara penerbit dan pemegang kartu tunduk pada hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Perselisihan yang terjadi atas kesepakatan para pihak diselesaikan melalui : 1. Penyelesaian secara musyawarah; 2. Jika atas musyawarah tersebut tidak menemukan kesepakatan, maka para pihak dapat menyelesaikannya melalui Pengadilan Negeri sesuai dengan domisili tergugat; atau 3. Bentuk atau cara-cara penyelesaian lain sesuai dengan kesepakatan para pihak. Hukum memberikan jaminan dan keamanan dalam kehidupan sosial termasuk jaminan dan keamanan terhadap pemegang kartu e-money dalam kegiatan transaksi pembayaran melalui uang elektronik berhak memperoleh jaminan terhadap nilai uang tunai sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku. Hal ini juga dikemukakan oleh Roger Catterrell dalam bukunya The Sociology of Law yang menjelaskan bahwa “Law secures social cohesion and orderly social change by balancing conflicting interest-individual (the private interest of individual citizens), social (arising from the common conditions of social life) and public (specifically the interest of the state)”.98
98
Hal.76.
Roger Catterrell, 1984, The Sociology of Law : An Introduction, Butterworths, London
Perlindungan hukum merupakan upaya mempertahankan dan memelihara kepercayaan masyarakat atau konsumen sebagai pemegang kartu, maka sudah seharusnya diberikan perlindungan hukum. Dengan demikian guna menjaga kepercayaan masyarakat terhadap kegiatan pembayaran menggunakan uang elektronik, maka pemerintah harus berusaha memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat.
BAB V PENUTUP
1. Simpulan Berdasarkan pembahasan seperti yang telah diuraikan, maka dapat diambil suatu simpulan yaitu sebagai berikut : 1. Pembayaran menggunakan uang elektronik (e-money) dalam melakukan transaksi e-money diatur oleh Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/11/DASP Tahun 2009 tentang Uang Elektonik (Electronic Money) termasuk diatur melalui perjanjian antara penerbit dan pemegang kartu, bentuk pengaturan uang elektronik (e-money) ini belum tepat dan belum memadai karena hanya mengatur mengenai tata cara dan syarat penyelenggaraan kegiatan uang elektronik dari sisi penyelenggara namun belum mengatur perlindungan terhadap pemegang kartu. 2. Perlindungan hukum bagi pemegang kartu dalam kegiatan pembayaran menggunakan uang elektronik (e-money) dilakukan melalui upaya perlindungan hukum secara preventif yaitu melalui aturan-aturan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan dalam bentuk perjanjian antara penerbit dan pemegang kartu dan melalui upaya represif yaitu penyelesaian sengketa melalui pengadilan maupun alternatif penyelesaian
sengketa. Bank Indonesia melakukan pengawasan dan memberikan sanksi terkait pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara kegiatan uang elektronik yang tidak dijalankan sesuai ketentuan yang berlaku. Perjanjian antara penerbit dan pemegang kartu juga merupakan bentuk upaya perlindungan bagi pemegang kartu melalui asas-asas perjanjian yang melekat pada perjanjian tersebut sekalipun tidak dicantumkan secara tertulis dalam perjanjian.
2. Saran Berdasarkan simpulan yang telah diuraikan maka dapat disampaikan saran terkait dengan perlindungan hukum bagi pemegang kartu uang elektronik dalam transaksi e-money adalah sebagai berikut : 1. Adanya bentuk pengaturan yang jelas mengenai perlindungan terhadap pemegang kartu dalam transaksi e-money yang dapat berupa UndangUndang, Peraturan ataupun Perjanjian lainnya yang lebih jelas, lengkap dan memberikan persamaan kedudukan antara penerbit dan pemegang kartu. 2. Perlindungan hukum terhadap pemegang kartu e-money diharapkan dapat dilaksanakan pengawasannya oleh Bank Indonesia termasuk para penyelenggara kegiatan uang elektronik demi meningkatkan kelancaran dan keamanan bertransaksi bagi seluruh pihak terutama pemegang kartu.
DAFTAR PUSTAKA
I. Buku Abdul Manan, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta. Abdulkadir Muhammad dan Rilda Muniarti, 2000, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta. Abdulkadir Muhammad, 1992, Perjanjian Baku dalam Praktik Perusahaan Perdagangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Abdurrachman, A, 1993, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, Jakarta, Pradnya Paramita. Ade Maman Suherman, 2002, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, Jakarta. Agus Yudha Hernoko, 2008, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta. Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Agus. M Tohar, 1990, Tanggung Jawab Produk, Sejarah dan Perkembanganya, Kerjasama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia Proyek Hukum Perdata, Denpasar-Bali. Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Astim Riyanto, 2006, Teori Konstitusi, Penerbit Yapemdo, Bandung. Az Nasution, 1995, Hukum dan Konsumen : Tinjauan Sosial, Ekonomi, dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. B. Hestu Cipto Handoyo, 2008, Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik, Universitas Atmajaya, Yogyakarta.
Chatamarrasjid, Ais, 2010, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Prenada Media Group, Jakarta. Dwi Kartini, 2009, Corporate Social Responsibility Transformasi Konsep Sustainability Management dan Implementasi di Indonesia, Refika Aditama, Bandung. E. Utrecht, 1960, Hukum Administrasi Negara Indonesia, FHMP Universitas Negeri Padjajaran, Bandung. Edmon Makarim, 2004, Kompilasi Hukum Telematika, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Elvinard Ardianto dan Dindin M. Machfudz, 2011, Efek Kedermawanan Pebisnis dan CSR Berlipat-Lipat, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta. Flory Santosa, 2009, Pedoman Praktis Menghindari Perangkap Utang Kartu Kredit, Forum Sahabat, Jakarta. Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia, Jakarta. Herlien Budiono, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Herlien Budiono, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Huala Adolf, 2002, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional cetakan III, Rajawali Pers. I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian ke dalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar. Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen : Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Jakarta. J. Satrio, 1993, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung. Janus Sidabalok, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Jimly Asshiddiqie, 2000, Pergeseran-pergeseran Kekuasaan Legislatif & Eksekutif, Universitas Indonesia, Jakarta.
Johanes Ibrahim, 2004, Kartu Kredit Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan, Refika Aditama, Bandung. John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, 2007, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Pangan Kedaluwarsa, Pelangi Cendikia, Jakarta. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2010, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Kasmir, 2003, Dasar-Dasar Perbankan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Mariam Darus Badrulzaman, 1978, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung. Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung. Muhammad Djumhana, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Munir Fuady, 2003, Hukum Perbankan Modern, Buku Kesatu, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. N.H.T. Siahaan, 2005, Hukum Konsumen : Perlindungan Konsumen dan Tanggungjawab Produk, Panta Rei, Jakarta. Niniek Suparni, 2009, CyberspacePeoblematika dan Antisipasi Pengaturannya, Sinar Grafika, Jakarta. Nor Hadi, 2011, Corporate Social Responsibility, Graha Ilmu, Yogyakarta. Otje Salman, 2008, Teori Hukum – Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Jakarta. Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Percetakan M2 Print, Edisi Khusus, Surabaya. R. Serfianto D.P, Dkk, 2012, Untung Dengan Kartu Kredit, Kartu ATM-Debit, dan Uang Elektronik, Visi Media Pustaka, Jakarta. R. Subekti dan R. Tjitrisudibio, 1992, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek, Cetakan Keduapuluhtujuh (Edisi Revisi), PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Ridwan Syahrani, 1985, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung. Ronny Hanitijo Soemitro, 1995, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta. Salim HS, 2006, Hukum Kontrak Teori dan Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta. Satjipto Rahardjo, 2010, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta. Soejono dan H. Abdurrahman, 2003, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Kedua, Jakarta, Rineka Cipta. Soerjono Soekamto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Gravindo Persada, Jakarta. Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UII Press, Jakarta. Solikin dan Suseno, 2002, Uang Pengertian, Penciptaan & Peranannya Dalam Perekonomian, Seri Kebanksentralan Vol. 1, Pusat Pendidikan & Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia, Jakarta. Sri Rejeki Hartono, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung. Sudaryatmo, 1999, Hukum dan Advokasi Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Syahrul Bahroen dan Suarpika Bimantoro, 2004, Bank Indonesia Bank Sentral Republik Indonesia, Sebuah Pengantar : Organisasi Bank Indonesia, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia, Jakarta Titik Triwulan Tutik, 2010, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta. Wirjono Projodikoro, 1974, Asas-Asas hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta. Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
II. Literatur Asing Bryan A. Garner, 1999, Black’s Law Dictionary, West Group, St. Paul minn. Henry Campbell Black’s Dictionary, 1990, Black Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul Minn, West Publishing Co. Ian Mcleod, 2003, Legal Theory, Queen Mary Centre for Commercial Law Studies, University of London. Lon L. Fuller, 1963, The Morality of Law, Haven and London Yale University Press. Roger Catterrell, 1984, The Sociology of Law : An Introduction, Butterworths, London. Tony Drury and Charles W. Ferrier, 1984, Credit Card, London Butterworths.
III. Kamus, Jurnal dan Tesis _____, 2000, Monetary and Economic Studies, Institute for Monetary and Economic Studies, Bank of Japan, Vol 18 No. 1. Ahmad Hidayat, Dkk, Tim Inisiatif 2006 Grand Desain Upaya Peningkatan Penggunaan Pembayaran Non Tunai, 2006, Upaya Meningkatkan Penggunaan Alat Pembayaran Non Tunai Melalui Pengembangan EMoney, Working Paper, Bank Indonesia. Bank Indonesia, 2001, Paper Kajian E-Money, Bank Indonesia, Jakarta. Bernadette M.Waluyo, 1997, Hukum Perlindungan Konsumen, Bahan Kuliah Universitas Parahyangan. Editorial Jurnal Hukum Bisnis, 2002, E-commerce Meningkatkan Efisiensi, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 18. I Gusti Ngurah Agung Udra Sanjaya, 2010, Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Dalam Kontrak Kerjasama Pemberian Kredit Terhadap Karyawan Tetap (Kretap) di PT. BRI (Persero) Tbk, Cabang Denpasar, Tesis Magister Kenotariatan, Universitas Brawijaya.
Johanes Ibrahim, 2005, Dilematis Penerapan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Antara Perlindungan Hukum dan Kejahatan Perbankan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 24 No. 1 Tahun 2005. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, 1991, Balai Pustaka, Jakarta. Made Diah Sekar Mayang Sari, 2010, Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal Dalam Sistem Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Tesis Magister Ilmu Hukum, Universitas Udayana. Sila Saktiana, 2004, Analisis Yuridis Mengenai Dampak Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Pengawasan Perbankan Syariah, Skripsi Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta. Universitas Udayana, 2008, Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Program Magister Ilmu Hukum. Zulkarnaen Sitompul, 2004, Menyambut Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pilars, No.02/Th.VII.
III. Artikel Elektronik (Internet) Bank Indonesia, Mengenal Kartu Debit dan ATM, available from : URL : http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/BBE21279-B059-4C04-BBE8E2D58360DB06/1465/MengenalKartuDebitdanATM.pdf Anastasia Lilin Y, Mengontrol Pengeluaran Dengan Uang Elektronik (Selesai), 2012, Kontan.co.id, available from : URL : http://personalfinance.co.id/news/mengontrol-pengeluaran-dengan-uangelektronik-selesai. Antonio Argandona, Working Paper, May 2011, Stakeholder Theory and Value Creation, IESE Business School University of Navarra, available from : URL : http://www.iese.edu/research/pdfs/di-0922-e.pdf. Irwan
Irawan, 2009, Teori Stakeholder, available http://irwanirawan.com/2009/06/08/teori-stakeholder/.
from
:
URL
:
Paper Kajian E-Money, 2001, Paper Kajian Mengenai E-Money, Bank Indonesia, available from : URL : http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/2AE7458FD2DD-80DD-D890DE7F7C97/PaperKajianemoney3.pdf.,
Working Paper, Upaya Meningkatkan Penggunaan Alat Pembayaran Non Tunai Melalui Pengembangan E-Money, Tim Inisiatif Bank Indonesia, 2006, available from : URL: http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/70AD6420-DA754D45-8F3C-C6F3465312FB/7858/WorkingPaper_MicroPayment.pdf. Yasser Arafat, E-Money Dalam Kacamata Plus-Minus, 2011, available from : URL : http://resaay.wordpress.com/2011/11/28/e-money-dalam-kacamataplus-minus/.
IV. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Undang-Undang Nomor 12 Tahun Perundang-Undangan
2011 tentang Pembentukan Peraturan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otorisasi Jasa Keuangan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/8/PBI/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/52/PBI/2008 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/11/DASP Tahun 2009 tentang uang Elektronik (Electronic Money)
LAMPIRAN
Syarat & Ketentuan Pemegang Kartu Flazz BCA
Syarat & Ketentuan Pemegang Kartu BRIZZI BRI
Syarat & Ketentuan Pemegang Kartu Indomaret Card