TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITOR PERBANKAN TERKAIT ADANYA AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN YANG TIDAK DIDAFTARKAN
PUTU DEVIYANTI SUGITHA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITOR PERBANKAN TERKAIT ADANYA AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN YANG TIDAK DIDAFTARKAN
PUTU DEVIYANTI SUGITHA NIM : 1092461018
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITOR PERBANKAN TERKAIT ADANYA AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN YANG TIDAK DIDAFTARKAN
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana
PUTU DEVIYANTI SUGITHA NIM. 1092461018
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
ii
Lembar Persetujuan Pembimbing
PERSETUJUAN TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL :
Komisi Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
(Prof.Dr. I Made Arya Utama, SH.,M.H) ( I Nyoman Sumardika, SH, MKN) NIP. 19650221 199003 1 005
Mengetahui : Ketua Program Magister Kenotariatan
Direktur
Program Pascasarjana
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Universitas Udayana
Prof.Dr. I Made Arya Utama, SH.,M.H NIP. 19650221 199003 1 005
Prof. Dr. dr. A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 19590215 198510 2 001
iii
Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal: 02 Juli 2014
Panitia Penguji TesisBerdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana, Nomor: 1864 / UN14.4 / HK / 2014 Tanggal 20 Juni 2014
Ketua
: Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,M.Hum.
Anggota
: 1. I Nyoman Sumardika, SH.,M.Kn. 2. Prof. R.A. Retno Murni, SH.,MH,Ph.D 3. Dr. I Wayan Wiryawan, SH.,MH 4. Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH.,M.Hum.
iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Dengan ini saya menyatakan yang sebenarnya bahwa: Nama
: PUTU DEVIYANTI SUGITHA
NIM
: 1092461018
Program Studi
: Magister Kenotariatan
JudulTesis
: Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Perbankan Terkait Adanya Akta Pemberian Hak Tanggungan Yang Tidak Didaftarkan
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 10 Mei 2014 Yang membuat pernyataan
(Putu Deviyanti Sugitha)
v
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur saya panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Adapun judul tesis ini adalah “Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Perbankan Terkait Adanya Akta Pemberian Hak Tanggungan Yang Tidak Didaftarkan”. Dalam penulisan tesis ini, penulis menyadari masih terdapat kekurangan, untuk itu besar harapan penulis semoga tesis ini memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat untuk meraih Gelar Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulisan tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan serta dukungan dari pembimbing dan berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH, MH., selaku Pembimbing Pertama sekaligus selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana dan terimakasih penulis ucapkan kepada I Nyoman Sumardika, SH, M.Kn, selaku Pembimbing Kedua yang telah memberikan semangat, bimbingan dan saran selama penulis menyelesaikan tesis ini. Kepada panitia penguji tesis Prof. R.A. Retno Murni, S.H., MH, Ph.D, sebagai Penguji I, Dr. I Wayan Wiryawan, SH, MH, sebagai Penguji II, dan Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH, M.Hum., sebagai penguji III yang telah memberikan ide, bimbingan, dan saran kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD-KEMD selaku Rektor Universitas Udayana beserta staf atas
vi
kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Terimakasih juga ditujukan kepada Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K) selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH selaku dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister. Terimakasih juga penulis tujukan kepada Bapak dan Ibu Dosen pengajar di Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu kepada penulis, serta Bapak dan Ibu seluruh staff dan karyawan di Sekretariat Magister Kenotariatan Universitas Udayanayang telah membantu penulis dalam proses administrasi.Terimakasih juga penulis tujukan kepada Ayah tercinta I Wayan Sugitha, SH., dan Ibu Ni Nengah Sudewi, SH serta adik-adik tersayang Made Yoga Pramana Sugitha, Komang Siska Lestari Sugitha, Ketut Nindy Rahayu Sugitha beserta seluruh keluarga besa rtercinta atas doa dan dukungannya selama ini Terimakasih kepada Ida Bagus Pryankha Rai, ST., yang selalu sabar dan tetap memberikan semangat selama proses penyusunan tesisini. Terimakasih kepada sahabat Ni Kadek Femy Yulistiawati, SH, Ni Made Irpiana Prahandari, SH, Desak Putu Thiarina Mahaswari Agastia, SH., Putu Sugandika Putra, SH, M.Kn, Ni Made Sri Utami Dewi, SE, Dr. Putu Dian Ariyanti Putri, S.Ked, Lisa
vii
Indah Setyawati, SE, serta seluruh teman-teman Angkatan I Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah membantu memberikan semangat dan dorongan dalam penulisan tesis ini serta semua pihak yang telah mendukung proses pembuatan tesis ini. Sebagai akhir kata penulis berharap semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan kepada kita semua. Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah kepustakaan di bidang Kenotariatan serta berguna bagi masyarakat. Denpasar, 10 Mei 2014
Penulis
viii
ABSTRAK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITOR PERBANKAN TERKAIT ADANYA AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN YANG TIDAK DIDAFTARKAN Tujuan dari pembebanan Hak Tanggungan adalah dalam rangka memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada semua pihak (khususnya Kreditor) dan juga untuk memenuhi asas publisitas. Pasal 1 ayat (1) UUHT mengatur ketentuan mengenai pemberian Hak Tanggungan dari Debitor kepada Kreditor sehubungan dengan hutang yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan. Pemberian hak ini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor yang bersangkutan (Kreditor preferent) daripada KreditorKreditor lain. Dengan demikian pemberian Hak Tanggungan adalah sebagai jaminan pelunasan hutang Debitor kepada Kreditor sehubungan dengan perjanjian pinjaman/kredit yang bersangkutan. Hak Tanggungan tidak akan lahir tanpa adanya pendaftaran APHT. Namun pada prakteknya masih dijumpai beberapa oknum PPAT yang terlambat mendaftarkan APHT ke Kantor Pertanahan dengan berbagai alasan, tentu saja hal ini akan merugikan pihak Kreditor sebagai pemberi kredit. Berdasarkan latar belakang di atas, maka pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah akibat hukum dari tidak didaftarkannya APHT terhadap perjanjian kredit perbankan yang dibuat para pihak di hadapan Notaris/PPAT dan bagaimanakah hak Kreditor perbankan terhadap benda jaminan dalam hal APHT tidak didaftarkan. Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah penelitian yuridis empiris, yaitu dengan terlebih dahulu mengkaji norma hukum terkait perlindungan hukum bagi Kreditor Perbankan Terkait Adanya Akta Pemberian Hak Tanggungan yang tidak didaftarkan, kemudian dilanjutkan penelitian lapangan. Pendekatan dalam penelitian ini jenis pendekatan kualitatif. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data primer adalah dengan metode wawancara dengan mengambil sampel secara Non Random Sampling. Teknik pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini menggunakan teknik studi dokumen dan bahan hukum tertier yang berupa kamus dan ensiklopedi. Hasil penelitian menunjukan bahwa akibat hukum dari tidak didaftarkannya APHT terhadap perjanjian kredit perbankan yang dibuat para pihak dihadapan Notaris/PPAT adalah kreditor tidak memiliki kedudukan yang diutamakan. Dimana bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada Kreditor sebagai bentuk antisipasi tidak didaftarkannya APHT adalah dengan penandatanganan akta kuasa menjual pada saat akad kredit. Hak Kreditor perbankan terhadap benda jaminan dalam hal APHT tidak didaftarkan yaitu tidak memberikan hak saling mendahului dibandingkan dengan Kreditor lainnya. Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Akta, Kreditor.
ix
ABSTRACT LEGAL PROTECTION TO BANKING CREDITORS IN RELATION TO APHT (DEED OF MORTGAGE GRANTING) THAT ARE NOT REGISTERED The purposes of mortgage granting are to provide legal protection and certainty to all parties (especially creditors) and to meet the publicity principles. Article 1 paragraph (1) of Mortgage Law of the Republic of Indonesia regulates mortgage granting provisions from debtors to creditors in relation to debts secured with collateral in form of mortgage. The mortgage is aimed at providing prioritized position to the relevant creditors (preferred creditors) compared to other creditors. Therefore, a mortgage granting is to guarantee debt repayment of debtor to creditor in relation to the relevant loan agreement. The mortgage will not exist without APHT registration. However, in practice, there are still Land Conveyancers who are late in registering APHT to the Land Office due to various reasons. This situation will certainly have adverse effects to creditors as the party providing the loans. Based on the aforementioned backgrounds, the main questions of this study are: what are the legal consequences of APHT passed before Notaries/Land Conveyancers that are not registered and how are the creditors’ rights towards collateral stated in APHT that are not registered. This thesis be qualified into the empirical legal study, namely by firstly studying the legal norms related to legal protections towards banking creditors in relation to APHT that are not registered, and then followed up with field studies. The adopted approaches in this study are qualitative studies having primary and secondary data. The primary data were collected through interviews and nonrandom sampling. Meanwhile, the secondary data were acquired from studying documents and secondary legal resources in forms of dictionaries and encyclopedias. The study results show that a consequence of non-registered APHT of banking loan agreements concluded by the parties before Notaries/Land Conveyancers is that creditors do not have prioritized rights. Where a form of legal protection that can be given to creditors as an anticipation to APHT are note registered is by signing of deed power attorney to sell. The creditors’ rights to the collateral in non-registered APHT are that there are not any prioritized rights compared to other creditors. Keywords: Legal Protection, Deed, Creditor.
x
RINGKASAN
Tesis ini membahas mengenai akibat hukum dari tidak didaftarkannya APHT terhadap perjanjian kredit perbankan yang dibuat para pihak di hadapan Notaris/PPAT dan hak Kreditor Perbankan terhadap benda jaminan dalam hal APHT tidak didaftarkan. Bab I menguraikan kesenjangan antara das solen (teori) dan das sein (praktek), yaitu antara ketentuan Pasal 13 ayat (2) UUHT dan kenyataan yang berlaku. Pasal 13 ayat (2) UUHT menentukan bahwa PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatangan Akta pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud Pasal 10 ayat (2) UUHT. Apabila batas waktu 7 (tujuh) hari tidak diindahkan oleh PPAT, maka sesuai ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUHT, PPAT yang melanggar atau lalai dalam memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dapat dikenai sanksi administratif, berupa: a. tegoran lisan; b. tegoran tertulis; c. pemberhentian sementara dari jabatan; d. pemberhentian dari jabatan. Hanya saja pada prakteknya, masih dijumpai beberapa oknum PPAT di Kota Denpasar yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (2) tersebut, artinya melampaui batas waktu selambat-lambatnya tujuh hari yang ditentukan untuk
xi
mengirimkan APHT dan warkah-warkah lainnya, namun tidak terkena sanksi administratif. Selain adanya kesenjangan antara das solen dan das sein sebagaimana dikemukakan di atas, penelitian ini juga akan membahas persoalan lain, yaitu terkait hak kreditur perbankan terhadap benda jaminan apabila Akta Pemberian Hak Tanggungan tidak didaftarkan karena berbagai alasan, salah satunya adalah adanya pemblokiran terhadap sertipikat yang menjadi benda jaminan yang bersangkutan oleh Kantor Pertanahan setempat. Bab II menguraikan tentang kredit dan jaminan kredit dalam lembaga perbankan, fungsi jaminan kredit dalam kredit perbankan, pengikatan jaminan kredit perbankan, pemberian Hak Tanggungan, subyek dan obyek Hak Tanggungan, Pemberian Hak Tanggungan dan lahirnya Hak Tanggungan. Bab III menguraikan hasil penelitian perlindungan hukum bagi kreditur perbankan terkait adanya Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang tidak didaftarkan, yang menyajikan pembahasan dari rumusan permasalahan pertama yang terdiri dari perjanjian kredit perbankan yang dibuat di hadapan notaris, fungsi pembuatan APHT oleh PPAT terhadap perjanjian kredit perbankan, fungsi pendaftaran APHT bagi perlindungan hukum bagi kreditor perbankan dalam perjanjian kredit perbankan. Bab IV menguraikan hasil penelitian perlindungan hukum bagi kreditur perbankan terkait adanya Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang tidak didaftarkan yang menyajikan pembahasan permasalahan kedua yang terdiri dari faktor-faktor yang menyebabkan PPAT tidak mendaftarkan APHT, kedudukan
xii
kreditor perbankan atas benda jaminan dalam hal APHT tidak didaftarkan, upaya hukum kreditor untuk memperoleh kembali hak-haknya atas jaminan kredit. Bab V merupakan bab penutup yang menguraikan kesimpulan dan saran. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah Akibat hukum dari tidak didaftarkannya APHT terhadap perjanjian kredit perbankan adalah tetap sah sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata. Sedangkan APHT yang tidak didaftarkan, konsekuensinya tidak memenuhi asas publisitas dan asas preferensi, sesuai dengan ketentuan Pasal 13 UUHT. Hak Kreditor perbankan terhadap benda jaminan dalam hal APHT tidak didaftarkan adalah tetap memiliki haknya
untuk
mendapatkan
benda
jaminan,
hanya
saja
didudukkan
seimbang/sama dengan kreditor lainnya. Adapun saran yang dapat diberikan adalah Kreditor diharapkan mencairkan dana setelah pendaftaran APHT dilakukan dan juga melakukan pengawasan terhadap kinerja Notaris/PPAT. Dan kepada Pemerintah agar segera membuat produk hukum yang memuat sanksi yang lebih tegas dari pada sekedar sanksi administratif, sehingga tidak ada lagi pihak-pihak yang merasa dirugikan.
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
PERSYARATAN GELAR ..............................................................................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN.............................................................................
iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ...............................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................
vi
ABSTRAK .......................................................................................................
ix
ABSTRACT .......................................................................................................
xi
RINGKASAN ..................................................................................................
x
DAFTAR ISI .................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................
1
1.1. Latar Belakang .................................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................
15
1.3. Tujuan Penelitian .............................................................................
15
a. Tujuan Umum ..............................................................................
16
b. Tujuan Khusus .............................................................................
16
1.4. Manfaat Penelitian ...........................................................................
16
a. Manfaat Teoritis ...........................................................................
16
b. Manfaat Praktis ............................................................................
17
1.5. Landasan Teoritis Dan Batasan Operasional ....................................
17
xiv
a. Landasan Teoritis …………………………………………… ....
17
1. Konsep Negara Hukum ...........................................................
19
2. Teori Penegakan Hukum .........................................................
21
3. Teori kepastian Hukum ...........................................................
26
4. Teori Perlindungan Hukum .....................................................
27
5. Teori Perjanjian .......................................................................
29
b. Batasan Operasional ....................................................................
30
1.6. Metode Penelitian.............................................................................
31
a. Jenis Penelitian ............................................................................
31
b. Jenis Pendekatan ..........................................................................
32
c. Data dan Sumber Data .................................................................
33
d. Teknik Pengumpulan Data ..........................................................
35
e. Teknik Penentuan Sampel Penelitian ..........................................
36
f. Teknik Pengolahan Data ..............................................................
37
g. Teknik Analisis Data ...................................................................
38
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDIT PERBANKAN DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN ..............................
39
2.1. Pengertian Kredit Dan Jaminan Dalam Lembaga Perbankan ..........
39
2.1.1.Pengertian Kredit Dan Jaminan Kredit ...................................
39
2.1.2.Fungsi Jaminan Dalam Kredit Perbankan ..............................
48
2.1.3.Pengikatan Jaminan Kredit Perbankan ...................................
52
2.2. Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan ..................................
60
2.2.1. Pengertian Hak Tanggungan .................................................
60
2.2.2. Subyek Dan Obyek Hak Tanggungan ...................................
61
xv
2.2.3. Pemberian Hak Tanggungan .................................................
63
2.2.4. Lahirnya Hak Tanggungan Bagi Kreditor .............................
65
BAB III AKIBAT HUKUM TIDAK DIDAFTARKANNYA APHT TERHADAP PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN YANG DIBUAT DIHADAPAN NOTARIS .............................................
67
3.1.Perjanjian Kredit Perbankan Yang Dibuat Dihadapan Notaris .
67
3.2.Fungsi Pembuatan APHT Oleh PPAT Terhadap Perjanjian Kredit Perbankan .......................................................................
88
3.3.Fungsi Pendaftaran APHT Bagi Perlindungan Hukum Kreditor Perbankan Dalam Perjanjian Kredit perbankan ..........
97
BAB IV HAK KREDITOR PERBANKAN TERHADAP BENDA JAMINAN DALAM HAL APHT TIDAK DIDAFTARKAN .. 111 4.1.Faktor-Faktor Yang Menyebabkan PPAT Tidak Mendaftarkan APHT ......................................................................................... 111 4.2.Kedudukan Kreditor Perbankan Atas Benda Jaminan Dalam Hal APHT Tidak Didaftarkan.................................................... 125 4.3.Upaya Hukum Kreditor Perbankan Untuk Memperoleh kembali Hak Atas Benda Jaminan ............................................. 134 BAB V PENUTUP .........................................................................................
144
5.1. Kesimpulan ........................................................................................
144
5.2. Saran-saran .........................................................................................
145
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
145
DAFTAR INFORMAN DAFTAR RESPONDEN LAMPIRAN-LAMPIRAN
xvi
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dewasa ini mayoritas pengusaha, baik pengusaha kecil, menengah, maupun besar, memanfaatkan kredit perbankan dalam melakukan investasi. Sebagaimana ketentuan Pasal 6 Huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790, selanjutnya disebut UU Perbankan) salah satu kegiatan oleh Bank Umum adalah memberikan kredit. Bukan hanya Bank Umum yang bergerak dalam bidang penyaluran kredit, melainkan juga Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Hal ini sejalan dengan pendapat Hermansyah, yang menyatakan sebagai berikut : Usaha BPR hanya meliputi : a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk kegiatan yang dipersamakan dengan itu. b. Memberikan kredit c. Menyediakan pembiayaan dan kesempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. d. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertipikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertipikat deposito dan/atau tabungan pada bank lain1 Setiap proses pemberian kredit oleh bank harus didahului
dengan
penelitian dan analisis yang mendalam dari berbagai aspek, baik aspek ekonomi
1
Hermansyah, 1996, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Group, Jakarta, h.24. 1
2 maupun aspek hukum. Pasal 8 ayat (1) UU Perbankan mengatur mengenai hal ini dengan menentukan : Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah Debitor untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan diperjanjikan. Pemberian kredit oleh bank selaku Kreditor kepada Debitor diawali dengan perjanjian kredit yang pada intinya merupakan proses pemberian “jaminan” atau agunan dari pihak Debitor sebagai peminjam dana. Jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada Kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa Debitor akan memenuhi kewajiban yang timbul dari suatu perikatan. Kewajiban tersebut dapat dinilai dengan uang. Kata “jaminan” terdapat dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab UndangUndang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut KUH Perdata), dan dalam penjelasan Pasal 8 UU Perbankan. Pengertian jaminan juga terdapat dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit, yaitu "Suatu keyakinan Kreditor Bank atas kesanggupan Debitor untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan". Dalam Penjelasan Pasal 8 UU Perbankan terdapat 2 (dua) jenis jaminan, yaitu: jaminan pokok dan jaminan tambahan. Jaminan pokok adalah barang, surat berharga atau garansi yang berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan, seperti barang-barang atau proyek-proyek yang dibeli dengan kredit yang dijaminkan. Sedangkan jaminan tambahan adalah
3 barang, surat berharga atau garansi yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan, yang ditambah dengan agunan. Menurut Rudi Tri Santoso jaminan memiliki beberapa fungsi yang saling terkait satu sama lain, yaitu : a. Untuk menjaga harta bank dalam bentuk kredit, karena dengan diserahkannya jaminan kepada bank, maka bank berhak memperoleh pelunasan atas hasil penjualan barang jaminan apabila nasabah cidera janji; b. Menjamin agar pembiayaan usaha tersebut berjalan lancar dengan diserahkannya harta Debitor sebagai jaminan bank yang secara moril Debitor akan bertanggung jawab terhadap proyek usaha tersebut ; c. Mendorong Debitor untuk membayar kembali utangnya agar tidak kehilangan harta yang telah dijaminkan tersebut.2 Umumnya yang digunakan sebagai jaminan dalam perjanjian kredit adalah tanah, baik dengan status Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha maupun Hak Pakai. Hal ini karena tanah mempunyai nilai ekonomis tinggi dan harganya senantiasa meningkat dari tahun ke tahun. Dalam ketentuan Pasal 51 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2044, selanjutnya disebut UUPA), sudah disediakan lembaga hak jaminan yang kuat dan dapat dibebankan pada hak atas tanah, yaitu Hak Tanggungan sebagai pengganti lembaga Hypothek dan Creditverband. Selama 30 tahun lebih sejak berlakunya UUPA tersebut, lembaga hak tanggungan belum dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan karena belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya secara lengkap, sampai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 2
Rudi Tri Santoso, 1996, Kredit Usaha Perbankan, Edisi I, Cet I, Andi Yogyakarta, h.188.
4 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632, selanjutnya disebut UUHT) pada tanggal 9 April 1996. Sebelum UUHT tersebut berlaku, lembaga jaminan atas tanah yang ada menggunakan ketentuan-ketentuan tentang Hypotheek sebagaimana dimaksud dalam Buku II KUH Perdata dan Credietverband yang diatur dalam staatsblad 1937-1960 yang berdasarkan Pasal 57 UUPA. Dengan berlakunya UUHT, maka ketentuan-ketentuan mengenai Hyphoteek dan Credietverband selanjutnya tidak dapat digunakan lagi oleh masyarakat untuk mengikat hak atas tanah sebagai jaminan suatu utang. Mengenai pengertian hak tanggungan terdapat dalam dalam Pasal 1 angka 1 UUHT, yaitu : Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut bendabenda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor tertentu, terhadap Kreditor-Kreditor lain. Dari pengertian pasal tersebut diatas, maka dapat diuraikan elemen atau unsurunsur pokok dari hak tanggungan, yaitu : 1.
Hak tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang ;
2.
Utang yang dijamin tertentu jumlahnya ;
3.
Obyek hak tanggungan adalah hak-hak atas tanah sesuai UUPA, yaitu Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai ;
5 4. Hak tanggungan dapat dibebankan terhadap tanah berikut benda yang berkaitan dengan tanah atau hanya terhadap tanahnya saja ; 5. Hak tanggungan memberikan hak preferent atau hak diutamakan kepada Kreditor tertentu terhadap Kreditor-Kreditor lainnya. Menurut pendapat dari Adrian Sutedi ”Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor tertentu terhadap Kreditor-Kreditor lain”3. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 UUHT, nampak bahwa hak tanggungan memberikan kedudukan diutamakan (droit de preferent) kepada pemegang hak tanggungan. Dalam arti, jika Debitor cidera janji, Kreditor pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahului dari pada Kreditor yang lain. Berdasarkan ketentuan Pasal 1133 KUH Perdata, ada 3 (tiga) hak kebendaan
yang
memberikan
kedudukan
untuk
didahulukan
kepada
pemegangnya, yaitu Kreditor istimewa (privilege), pemegang gadai dan hypotheek. Namun di luar KUH Perdata juga terdapat 2 hak kebendaan lainnya, yaitu hak tanggungan atas tanah dan jaminan fidusia yang juga memberikan kedudukan untuk didahulukan kepada pemegangnya, atau disebut juga hak preferent. Mengenai hak preferent diatur didalam ketentuan Pasal 1134 KUH Perdata yang berbunyi ”Hak istimewa ialah suatu hak yang oleh Undang-Undang
3
Adrian Sutedi, 2010, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta (selanjutnya disebut Adrian Sutedi I), h. 4.
6 diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi orang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutang”. Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bahwa yang menjadi obyek, hak tanggungan adalah hak atas tanah. Hak atas tanah yang dimaksudkan dalam hal ini adalah hak-hak atas tanah yang dimungkinkan oleh undang-undang dapat dibebani dengan hak tanggungan. Adapun beberapa hak atas tanah yang ditetapkan sebagai obyek hak tanggungan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4 UUHT, adalah : 1.
Hak Milik ;
2.
Hak Guna Usaha ;
3.
Hak Guna Bangunan ;
4.
Hak Pakai Atas Tanah Negara. Tanah-tanah yang dapat dibebani dengan hak tanggungan ada yang telah
bersertipikat namun ada pula yang belum bersertipikat. Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak, yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 203) untuk selanjutnya ditulis PP 24/1997. Sedangkan hak atas tanah yang belum bersertipikat merupakan tanah yang belum terdaftar pada Kantor Pertanahan setempat. Tujuan dari pembebanan hak tanggungan adalah dalam rangka memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada semua pihak (khususnya Kreditor) dan juga untuk memenuhi asas publisitas. Pasal 1 ayat (1) UUHT
7 mengatur ketentuan mengenai pemberian hak tanggungan dari Debitor kepada Kreditor sehubungan dengan hutang yang dijaminkan dengan hak tanggungan. Pemberian hak ini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor yang bersangkutan (Kreditor preferent) daripada KreditorKreditor lain. Dengan demikian pemberian hak tanggungan adalah sebagai jaminan pelunasan hutang Debitor kepada Kreditor sehubungan dengan perjanjian pinjaman/kredit yang bersangkutan. UUHT tidak menentukan bahwa Kreditor harus pihak perbankan. Dengan demikian, pihak-pihak lain yang berupa badan hukum atau orang-perorangan sepanjang terlibat dalam perjanjian kredit dapat menggunakan lembaga hak tanggungan, sepanjang pembebanan hak tanggungan memenuhi syarat yang ditetapkan dalam UUHT. Hal ini sejalan dengan Pasal 8 ayat (1) UUHT yang menetapkan pemberi hak tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan. Pasal 9 UUHT menentukan bahwa pemegang hak tanggungan adalah badan hukum atau orang perorangan yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Syarat-syarat mengenai pembebanan hak tanggungan, yaitu : 1. Pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kredit yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.
8 2. Pemberian hak tanggungan wajib memenuhi syarat spesialitas yang meliputi: nama dan identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan, domisili para pihak pemegang dan pemberi hak tanggungan, penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijaminkan pelunasannya dengan hak tanggungan, nilai tanggungan, dan uraian yang jelas mengenai obyek hak tanggungan. 3. Pemberian hak tanggungan wajib memenuhi persyaratan publisitas melalui pendaftaran hak tanggungan pada Kantor Pertanahan setempat (Kota/ Kabupaten). 4. Sertipikat hak tanggungan sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan memuat titel eksekutorial dengan kata-kata "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". 5. Batal demi hukum, jika diperjanjikan bahwa pemegang hak tanggungan akan memiliki obyek hak tanggungan apabila Debitor cidera janji (wanprestasi). Pendaftaran hak tanggungan diatur dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 14 UUHT. Pasal 13 ayat (1) UUHT berbunyi “Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.” Kemudian Pasal 13 UUHT ayat (2) menetapkan “Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan”. Terkait dengan konstruksi norma yang diatur di dalam Pasal 13 ayat (2) UUHT maka kata “mengirimkan” yang dimaksud berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan 2 (dua) orang Notaris/PPAT di Kota Denpasar, ditafsirkan
9 oleh Notaris/PPAT adalah dalam kerangka kewajiban pendaftaran untuk memenuhi ketentuan asas publisitas. Dengan demikian, makna mengirimkan diartikan dalam tesis ini adalah menyampaikan, mengantarkan secara langsung oleh penerima hak tanggungan atau melalui kuasa pengurusan yang dilakukan oleh staf kantor PPAT yang bersangkutan dengan menyerahkan APHT yang telah ditandatangani oleh pemberi dan penerima hak tanggungan, PPAT, dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi, serta dilengkapi dengan warkahwarkah lainnya yang diperlukan untuk kepentingan dan syarat-syarat pendaftaran ke Kantor Pertanahan setempat. Terkait dengan ketentuan ”PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan” dapat dijelaskan bahwa dengan mengirimkan APHT dan warkah lain pada Kantor Pertanahan setempat maka pendaftaran pemberian hak tanggungan belum dilakukan. Pendaftaran hanya dapat dikatakan telah dilakukan apabila Kantor Pertanahan menyatakan berkas-berkas yang dikirimkan tersebut telah lengkap dan Kantor Pertanahan memberikan Kartu Hijau sebagai tanda terima berkas sekaligus sebagai tanda pendaftaran pemberian Hak Tanggungan telah dilakukan. Sebagaimana diuraikan dalam ketentuan Pasal 13 ayat (3) UUHT , bahwa pendaftaran hak tanggungan tersebut dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku-tanah hak atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan serta menyalin catatan
10 tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan, dimana tanggal bukutanah hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku-tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya. Terkait lahirnya hak tanggungan, Pasal 13 ayat (5) UUHT menentukan “Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku-tanah Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)”. Hak Tanggungan tersebut lahir, dibuktikan dengan penerbitan Sertipikat Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan. Dalam Pasal 14 ayat (2) UUHT ditentukan “Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irahirah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA". Pasal 14 ayat (4) UUHT menyebutkan “Kecuali apabila diperjanjikan lain, sertipikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. ”Kemudian Pasal 14 ayat (5) berbunyi : ”Sertipikat Hak Tanggungan diserahkan kepada pemegang Hak Tanggungan.” Tetapi umumnya sertipikat yang telah dibubuhi catatan hak tanggungan disimpan oleh Kreditor bukan oleh pemilik hak atas tanah yang merupakan Debitor. Hak tanggungan yang bersangkutan belum lahir pada tahap pemberian hak tanggungan dengan Akta PPAT, yang dalam hal ini adalah APHT, oleh pemberi hak tanggungan kepada Kreditor. Hak tanggungan tersebut baru lahir pada saat
11 dibuatnya buku tanah hak tanggungan oleh Kantor Pertanahan. Hal ini berarti pada saat didaftarnya hak tanggungan merupakan hal yang sangat penting bagi Kreditor. Lahirnya hak tanggungan merupakan hal yang sangat penting sehubungan dengan munculnya hak tagih preferent dari Kreditor, menentukan tingkat atau kedudukan Kreditor terhadap sesama Kreditor dalam hal ada sita jaminan (Consevatoir beslag) atas benda jaminan.4 Dengan perkataan lain bahwa Kreditor yang lebih dahulu APHT-nya didaftar dalam Buku Tanah hak tanggungan oleh Kantor Pertanahan lebih diutamakan dari Kreditor lainnya. Tanggal Buku Tanah hak tanggungan mempunyai peranan yang sangat penting, karena mempunyai pengaruh yang menentukan atas kedudukan Kreditor pemegang hak tanggungan terhadap sesama Kreditor yang lain terhadap Debitor yang sama sebagaimana diatur oleh ketentuan Pasal 1132 dan Pasal 1133 KUH Perdata. Terkait dengan penentuan tanggal buku tanah yang menandai lahirnya hak tanggungan terjadi kesenjangan antara das solen (teori) dan das sein (praktek), yaitu antara ketentuan Pasal 13 ayat (2) UUHT dan kenyataan yang berlaku. Pasal 13 ayat (2) UUHT menentukan bahwa PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatangan Akta pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud Pasal 10 ayat (2) UUHT. Apabila batas waktu 7 (tujuh) hari tidak diindahkan oleh PPAT, maka sesuai ketentuan Pasal 23
4
J. Satrio, 1998, Hukum Jaminan, Hak Jaminan, Hak Tanggungan, Buku 2, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 38.
12 ayat (1) UUHT, PPAT yang melanggar atau lalai dalam memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dapat dikenai sanksi administratif, berupa: a. tegoran lisan; b. tegoran tertulis; c. pemberhentian sementara dari jabatan; d. pemberhentian dari jabatan. Hanya saja pada prakteknya, masih dijumpai beberapa oknum PPAT di Kota Denpasar yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (2) tersebut, artinya melampaui batas waktu selambat-lambatnya tujuh hari yang ditentukan untuk mendaftarkan APHT, namun tidak terkena sanksi administratif. Inkonsistensi penerapan ketentuan UUHT akan berdampak negatif terhadap kinerja dan tanggung jawab PPAT dan akan mempengaruhi kinerja PPAT yang lainnya. Dengan demikian maka sesungguhnya sanksi administrasi sebagaimana ditentukan oleh Pasal 23 ayat (1) UUHT tersebut adalah dalam kerangka untuk menumbuhkembangkan rasa tanggung jawab PPAT dalam kedudukannya sebagai seorang pejabat umum yang terikat dengan etika dan tanggung jawab jabatan yang diatur di dalam kode etik dan peraturan perundang-undangan. Kantor Pertanahan yang tetap penerima proses pendaftaran APHT yang melanggar ketentuan batas waktu pendaftaran karena keterlambatan waktu pendaftaran hanya terkait dengan prosedur administratif pendaftaran, dan tidak terkait dengan APHT yang akan didaftarkan serta dalam kerangka memberikan perlindungan hukum terhadap penerima hak tanggungan. Namun bagi PPAT yang
13 telah melakukan pelanggaran administratif atas batas waktu pendaftaran telah menimbulkan persoalan hukum tersendiri atas inkonsistensi penerapan ketentuan UUHT tersebut. Selain adanya kesenjangan antara das solen dan das sein sebagaimana dikemukakan di atas, penelitian ini juga akan membahas persoalan lain, yaitu terkait hak Kreditor perbankan terhadap obyek hak tanggungan apabila APHT tidak dapat didaftarkan karena berbagai alasan, salah satunya adalah adanya pemblokiran terhadap sertipikat yang menjadi obyek hak tangungan yang bersangkutan oleh Kantor Pertanahan setempat. Permasalahan tersebut di atas akan dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini dengan mengangkat judul : “Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Perbankan Terkait Adanya Akta Pemberian Hak Tanggungan Yang Tidak Didaftarkan. Dari penelusuran kepustakaan yang dilakukan, ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi Kreditor Perbankan terkait adanya APHT tidak didaftarkan yaitu : a. Tesis dari Tri Akhsanul Iman, NIM B4B.004.187, alumni Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang Tahun 2006 dengan judul tesis “Pelaksanaan Pendaftaran Hak Tanggungan Yang Didahului Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Di Kantor Pertanahan Kabupaten Bekasi”. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian tesis tersebut yakni :
14 1. Bagaimana Pelaksanaan Pendaftaran Hak Tanggungan Yang Didahului Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan Kabupaten Bekasi ? 2. Apa Akibat Hukumnya Bila Pendaftaran dan Penerbitan Tanggal Buku Tanah serta sertipikat hak tanggungan melewati ketentuan yang ada dalam UUHT? b. Tesis Rima Anggriyani, NIM B4B008225, alumni Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan Tahun 2010 dengan judul tesis “Pendaftaran Hak Tanggungan Yang Melebihi Jangka Waktu 7 (Tujuh) Hari di Kantor Pertanahan Kabupaten Tegal”. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan tesis tersebut yaitu: 1. Bagaimanakah Proses Pendaftaran Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan di Kabupaten Tegal ? 2. Apa akibat Hukumnya apabila APHT yang didaftarkan oleh PPAT ke kantor Pertanahan kabupaten Tegal melebihi jangka waktu 7 (tujuh) hari dan bagaimana cara penyelesaiannya? c. Tesis Ni Luh Gede Purnamawati NIM 1092461015, alumni Program Megister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar tahun 2012 yang berjudul “Kendala-Kendala Pembebanan Hak Tanggungan Bagi Tanah Yang Belum Bersertipikat”. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam tesis tersebut adalah :
15 1. Kapankah terjadinya peristiwa hukum pembebanan Hak Tanggungan dari Debitor ke Kreditor terhadap tanah yang masih dalam proses pensertipikatan? 2. Apakah kendala-kendala pembebanan Hak Tanggungan atas tanah yang dalam proses pensertipikatan? Berdasarkan penelusuran dari tesis dengan judul dan pokok permasalahan seperti yang dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Perbankan Terkait Adanya Akta Pemberian Hak Tanggungan Yang Tidak Didaftarkan belum ada yang membahasnya, sehingga tesis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik orisinalitas ataupun keasliannya. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah akibat hukum dari tidak didaftarkannya APHT terhadap perjanjian kredit perbankan yang dibuat para pihak di hadapan Notaris/PPAT? 2. Bagaimanakah hak Kreditor perbankan terhadap benda jaminan dalam hal APHT tidak didaftarkan? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mencapai tujuan yang bersifat umum dan khusus sebagai berikut:
16 a. Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitan ini yaitu untuk pengembangan ilmu hukum terkait paradigma Science as a process (ilmu sebagai proses). Ilmu Hukum yang dimaksud adalah kajian dalam hal perlindungan hukum bagi Kreditor perbankan terkait adanya akta pemberian hak tanggungan yang tidak didaftarkan. b. Tujuan Khusus Adapun yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini sesuai permasalahan yang dibahas adalah : 1). Untuk mendeskripsikan dan menganalisa secara mendalam tentang akibat hukum tidak didaftarkannya APHT terhadap perjanjian kredit perbankan yang dibuat para pihak di hadapan Notaris/PPAT. 2). Untuk mendeskripsikan dan menganalisa secara mendalam mengenai hak Kreditor perbankan terhadap benda jaminan dalam hal APHT tidak dapat didaftarkan. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan maupun kepentingan praktis, sebagai berikut: a. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis yang diharapkan dapat dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk pengembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya terhadap hukum jaminan terkait materi perlindungan hukum bagi Kreditor perbankan terkait adanya akta pemberian hak tanggungan yang tidak didaftarkan.
17 b. Manfaat Praktis Adapun manfaat praktis yang diharapkan dapat dicapai dalam penelitian tesis ini yaitu sebagai berikut: 1). Manfaat bagi Pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai informasi dan/atau pedoman bagi kalangan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang agar dapat membentuk undang-undang yang melindungi masyarakat, dalam hal ini pihak bank sebagai Kreditor pemegang hak tanggungan. 2). Manfaat bagi masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan referensi bagi masyarakat mengenai perlindungan hukum dalam perjanjian kredit perbankan. Perlindungan hukum yang dimaksud adalah terhadap Kreditor perbankan terkait adanya akta pemberian hak tanggungan yang tidak didaftarkan. 3). Manfaat bagi Penulis Bagi penulis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memberikan tambahan pengetahuan dalam memahami hukum jaminan. Hukum jaminan tersebut terutama yang berkaitan dengan akta pemberian hak tanggungan yang tidak didaftarkan, sehingga mempengaruhi kedudukan Kreditornya untuk memiliki hak didahulukan atas pelunasan piutangnya.
1.5 Landasan Teoritis dan Batasan Operasional a. Landasan Teoritis Teori diperlukan untuk menerangkan dan menjelaskan secara spesifik suatu proses tertentu yang terjadi, dan suatu teori harus diuji dengan
18 menghadapkannya
pada
fakta-fakta
yang
dapat
menunjukkan
ketidak
benarannya.5Teori juga merupakan alur penalaran atau logika (flow of reasonic/logic), yang terdiri dari seperangkat konsep atau variabel, definisi dan proposisi yang disusun secara sistematis.6 Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa latin yang berarti perenungan, dan kata theoria sendiri berasal dari kata thea yang dalam bahasa yunani berarti cara atau hasil pandang7. W. Friedmann mengungkapkan dasar-dasar esensial dari teori hukum menurut pemikiran Hans Kelsen sebagai berikut : 1.
Tujuan teori hukum, seperti setiap ilmu pengetahuan adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan ; Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang sebenarnya ; Hukum adalah imu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam ; Teori hukum sebagai teori norma-norma tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum ; Teori hukum adalah formal, suatu teori cara menata, mengubah isi dengan cara khusus. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.8
2. 3. 4. 5.
Berbeda halnya dengan teori, landasan teoritis atau kerangka memiliki pengertian sebagai berikut : Upaya untuk mengidentifikasi teori hukum umum/teori khusus, konsepkonsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum, norma-norma dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian. Sebagai landasan dimaksud untuk mewujudkan kebenaran ilmu 5
J.J.JM. Wuisman, 1996, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, h.203. 6 J. Supranto, 2003, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, h. 194. 7 Soetandyo Wignyosoebroto, 2002, Hukum-Paradigma, Metoda dan Dinamika Masalahnya, Elsam dan Huma, Jakarta, h. 184. 8 W. Friedmann, 1993, Teori dan Filsafat Hukum : Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (susunan I), Judul Asli : Legal Theory, Penerjemah : Mohamad Arifin, Cet. Kedua, PT Rajagrafindo Persada, h. 170.
19 hukum yang bersifat konsensus yang diperoleh dari rangkaian upaya penelusuran (controleur baar). Berhubungan dengan itu maka harus dihindari teori-teori (ajaran atau doktrin), konsep, asas yang bertentangan satu sama lain. Semakin banyak teori, konsep, asas yang berhasil diidentifikasi semakin tinggi derajat kebenaran (konsensus) yang bisa dicapai. Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, oleh karena ada hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan dan pengolahan data, analisa, serta konstruksi data.9 Adapun teori-teori dan konsep yang digunakan membahas permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Konsep Negara Hukum Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum. Seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD RI 45) menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Berdasarkan pernyataan pasal ini, penyelenggaraan pemerintahan didasarkan atas prinsip-prinsip hukum untuk membatasi kekuasaan pemerintah yang berarti kekuasaan Negara c.q. aparat pemerintahan dibatasi oleh hukum (rechtsstaat), bukan didasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Menurut K.C. Wheare, penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan sistem pemerintahan berdasarkan hukum yang olehnya dinyatakan sebagai berikut : ……first of all it is used to describe the whole system of government of a country, the collection of rule are partly legal, in the sense that courts of law
9
Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana, 2011, Buku Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar, h. 48.
20 will recognized as law but which are not less effective in regulating the government than the rules of law strictly so called.10 (artinya dalam arti luas bahwa sistem pemerintahan dari suatu Negara merupakan himpunan peraturan yang mendasari serta mengatur pemerintahan dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya. Sementara itu dalam arti sempit merupakan sekumpulan peraturan yang legal dalam lapangan ketataNegaraan suatu Negara yang dimuat dalam suatu dokumen atau beberapa dokumen terkait satu sama lain). Suatu Negara dapat dikatakan Negara hukum bilamana memenuhi unsur unsur Negara hukum. Friedrich Julius Stahl mengemukakan bahwa ciri-ciri dari suatu Negara hukum yaitu: 1. Adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusia; 2. Adanya pembagian kekuasaan; 3. Pemerintahan berdasarkan Peraturan; dan 4. Adanya Peradilan Tata Usaha Negara.11 Pancasila sebagai Dasar Negara juga memberikan pengaruh besar bagi hukum yang berlaku di Indonesia. Philipus M. Hadjon memberikan pendapat mengenai ciri-ciri dari suatu Negara Hukum Pancasila yaitu : a. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan; b. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan Negara; c. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir; d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.12 10
K.C Wheare, 1975, Modern Constitutions, Oxford University Press, London, p. 1. 11 Oemar Seno Adji, 1966, Prasara Dalam Indonesia Negara Hukum, Simposium UI Jakarta, h. 24. 12 Philipus M. Hadjon, 1992, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia: Sebuah Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya, (selanjutnya ditulis Philipus M. Hadjon I), h. 90.
21 Dalam setiap Negara yang menganut paham Negara hukum, selalu berlaku tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan hukum (equality before law) dan penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Prinsip penting dalam Negara hukum adalah perlindungan yang sama (equal protection) atau persamaan dalam hukum (equality before the law). “Perbedaan perlakuan hukum hanya boleh jika ada alasan yang khusus, namun perbedaan perlakuan tanpa alasan yang logis seperti ini sampai saat ini masih banyak terjadi di berbagai Negara, termasuk di Negara yang hukumnya sudah maju sekalipun.”13 Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa untuk mewujudkan keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam Negara hukum, diperlukan keserasian hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah sebagai pembentuk undang-undang dalam suatu Negara hukum hendaknya merumuskan kebijakan-kebijakan yang dapat melindungi kepentingan warga Negaranya. Dalam kaitannya dengan tesis ini maka dalam konsep Negara hukum pemerintah bertugas membentuk peraturan perundang-undangan yang dapat memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi masyarakat, khususnya terhadap perlindungan hukum bagi Kreditor perbankan terkait adanya akta pemberian hak tanggungan yang tidak didaftarkan. 2. Teori Penegakan Hukum Teori Penegakan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah menurut Muladi. Beliau mengemukakan bahwa : 13
Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung, (selanjutnya disebut Munir Fuady II), h. 207.
22 Penegakan hukum merupakan sub-sistem sosial, sehingga penegakannya dipengaruhi lingkungan yang sangat kompleks seperti perkembangan politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam, iptek, pendidikan dan sebagainya. Penegakan hukum harus berlandaskan kepada prinsip-prinsip Negara hukum sebagaimana tersirat dalam UUD 1945 dan asas-asas hukum yang berlaku dilingkungan bangsa-bangsa yang beradab seperti the basic principles of independence of judiciary, agar penegak hukum dapat menghindarkan diri dari praktik-praktik negatif akibat pengaruh lingkungan yang sangat kompleks tersebut.14 Pada hakikatnya penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau kaedahkaedah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan hanya menjadi tugas dari para penegak hukum yang sudah dikenal secara konvensional, tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Meskipun demikian dalam kaitan dengan hukum publik, pemerintahlah yang bertanggungjawab. Hukum merupakan suatu sarana dimana didalamnya terkandung nilai-nilai atau konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan sosial, dan sebagainya. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep serta usaha untuk mewujudkan ide-ide dari harapan masyarakat untuk menjadi kenyataan. Penegakan hukum di Indonesia harus didasari oleh Hukum Administrasi Negara, penegakan hukum yang dilakukan oleh Hukum Administrasi Negara merupakan hukum yang melahirkan penegakan hukum dan pemerintahan yang sehat dan teratur, dalam arti memadai atau setidaktidaknya dapat dikatakan menjalankan hukum Negara dalam menuju Negara yang supremasi hukum. Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep hukum yang diharapkan rakyat menjadi kenyataan. Penegakan
14
Ibid, h. 70.
23 hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal. Menurut Black’s Law Dictionary, penegakan hukum (law enforcement) diartikan sebagai “the act of putting something such as a law into effect; the execution of a law; the carrying out of a mandate or command.”15 Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa penegakan hukum merupakan usaha untuk menegakkan norma-norma dan kaidah-kaidah hukum sekaligus nilai-nilai yang ada dibelakangnya. Dalam hal itu aparat penegak hukum diharapkan memahami benar-benar jiwa hukum (legal spirit) yang mendasari peraturan hukum yang harus ditegakkan, terkait dengan berbagai dinamika yang terjadi dalam proses pembuatan perndang-undangan (law making process).16 Salah satu sifat sekaligus tujuan dari kepastian hukum adalah untuk memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Pada dasarnya manusia selalu memerlukan keadilan, kebenaran dan perlindungan hukum, karena hal tersebut adalah merupakan nilai dan kebutuhan asasi bagi masyakarat beradab. Philipus M. Hadjon mengemukakan ”perlindungan hukum bagi rakyat dalam kepustakaan hukum berbahasa Belanda dikenal dengan sebutan rechtsbescherming van de burgers”17. Hal itu menunjukkan kata perlindungan hukum merupakan terjemahan dari rechtsbescherming (bahasa Belanda). Dari pengertiannya, dalam kata perlindungan hukum terdapat suatu usaha untuk
15
Black Henry Campbell, 1999, Black’s Law Dictionary, West Publishing, St. Paul Minesota, p. 578. 16 Muladi, 2002, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, BP Undip, Semarang, h. 69. 17 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Peradaban, Surabaya, (selanjutnya disebut Philipus M.Hadjon II), h. 1.
24 memberikan hak-hak kepada pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang telah dilakukan. Menurut Philipus M. Hadjon, ada dua macam perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia yaitu, perlindungan hukum yang preventif dan perlindungan hukum yang represif. Pada perlindungan hukum yang preventif, kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk defenitif18. Dengan demikian, perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. Sedangkan sebaliknya perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum terhadap Kreditor secara umum telah diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata yang menentukan bahwa ”Segala kebendaan si berutang, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”. Ketentuan tersebut mengandung arti bila Debitor berhutang kepada Kreditor, seluruh harta kekayaan Debitor tersebut secara otomatis menjadi jaminan atas hutangnya, meskipun Kreditor tidak meminta kepada Debitor untuk menyediakan jaminan harta Debitor. Seluruh harta kekayaan Debitor merupakan jaminan umum dan berlaku bagi seluruh Kreditornya, artinya setiap Kreditor yang memberikan pinjaman kepada Debitor, maka secara otomatis seluruh harta kekayaan Debitor menjadi jaminannya.
18
Ibid., h. 2.
25 Pasal 1132 KUH Perdata juga mengandung perlindungan hukum pada Kreditor, karena menentukan bahwa apabila Debitor ingkar janji dan tidak melunasi hutangnya, maka hasil penjualan atas harta kekayaan Debitor tersebut dibagikan secara proporsional menurut besarnya piutang masing-masing Kreditor. Para Kreditor disini mempunyai hak dan kedudukan yang sama terhadap seluruh harta kekayaan Debitor, tidak ada yang didahulukan dalam pemenuhan piutangnya. Kecuali apabila Kreditor tersebut mempunyai hak istimewa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1133 ayat (1) KUH Perdata, yang menentukan hak untuk didahulukan diantara orang-orang berpiutang terbit dari hak istimewa, dari gadai dan dari hipotik. Dalam perkembangan hukum di Indonesia, hak istimewa ini diatur dalam UUHT dan Undang-Undang nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3889, selanjutnya disebut UU Fidusia). Dengan adanya UUHT ini Kreditor, khususnya lembaga perbankan, akan mendapat perlindungan dan kepastian hukum dalam menyalurkan kredit kepada masyarakat. Apabila dalam pemberian kredit telah dilakukan pengikatan kredit dan pengikatan jaminan secara sempurna, misalnya pengikatan jaminan berupa pembebanan hak tanggungan telah dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku, dengan melakukan pendaftaran APHT dengan tidak melewati batas waktu yang ditentukan oleh undang-undang yaitu selama 7 (tujuh) hari maka bank selaku Kreditor akan mendapatkan hak istimewa atas jaminan yang diserahkan oleh Debitor. Teori
26 Penegakan Hukum menurut Muladi ini akan digunakan untuk menganalisa pokok permasalahan pertama dan kedua dalam penelitian ini 3.
Teori Kepastian Hukum Teori Kepastian Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menurut Rene Descrates, seorang filsuf dari Prancis. Descartes berpendapat suatu kepastian hukum dapat diperoleh dari metode sanksi yang diberlakukan kepada subjek hukum baik perorangan maupun badan hukum yang lebih menekankan pada proses orientasi proses pelaksanaan bukan pada hasil pelaksanaan. Kepastian memberikan kejelasan dalam melakukan perbuatan hukum saat pelaksanaan kontrak dalam bentuk prestasi bahkan saat kontrak tersebut wanprestasi.19 Salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum yaitu kepastian hukum.20 Asas kepastian hukum mengandung arti, sikap atau keputusan pejabat
administrasi
Negara
yang manapun
tidak
boleh
menimbulkan
kegoncangan hukum. 21 Teori Kepastian Hukum akan digunakan membahas permasalahan pertama dan kedua dalam penelitian ini yaitu mengenai akibat hukum tidak didaftarkan APHT terhadap perjanjian kredit perbankan dan hak Kreditor Perbankan terhadap benda jaminan dalam hal APHT tidak didaftarkan. Dalam hal ini tentunya akan mempengaruhi kedudukan kreditor sebagai Kreditor preferent pemegang hak jaminan kebendaan. 19
Mariotedja, 2013, “Teori Kepastian Dalam Perspektif Hukum”, Marotedja.blogspot.com diakses pada 15 Mei 2013. 20 E. Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Buku Kompas, Jakarta, h. 92. 21 Prajudi Atmosudirdjo, 1983, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 88.
27 4. Teori Perlindungan Hukum Teori Perlindungan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234, selanjutnya disebut UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) yang menentukan bahwa : Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas: a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Pengertian perlindungan hukum dikaitkan dengan asas-asas materi muatan perundang-undangan melekat dalam asas pengayoman. Hal ini disebabkan karena kata perlindungan berarti mengayomi sesuatu dari hal-hal yang berbahaya, sesuatu itu bisa saja berupa kepentingan maupun benda atau barang. Selain itu perlindungan juga mengandung makna pengayoman yang diberikan oleh seseorang terhadap orang yang lebih lemah. Dengan demikian, perlindungan hukum dapat diartikan dengan segala upaya pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada warganya agar hak-haknya sebagai seorang warga Negara tidak dilanggar, dan bagi yang melanggarnya akan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
28 Dalam kaitannya dengan hak kreditor dalam UUHT, maka perlindungan hukum dapat diartikan dengan perlindungan terhadap penerima hak tanggungan (Kreditor) atas hak tagihnya terhadap pemberi Hak Tanggungan (Debitor) terhadap jaminan untuk memenuhi seluruh kewajibannya jika debitur wanprestasi. Selain Teori Perlindungan Hukum Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam tesis ini digunakan juga Teori Perlindungan hukum menurut Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra yang berpendapat bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.22 Dengan demikian menurut Teori Perlindungan hukum ini bahwa perlindungan hukum harus bersifat adaptif dan fleksibel serta adaptif dan antisipatif. Adaptif dan fleksibibel berarti harus selalu sesuai dengan perkembangan kondisi dan situasi. Adaptif serta fleksibel mengandung arti bahwa hukum harus dapat membuka kemungkinan akan dapat memberikan perlindungan apabila timbul tindakan yang merugikan pihak-pihak tertentu. Sejalan dengan itu teori Perlindungan Hukum yang terkandung dalam asas pengayoman sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Teori Perlindungan Hukum menurut Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra akan digunakan untuk membahas pokok permasalahan kedua. Permasalahan yang dimaksud yakni terkait dengan hak Kreditor perbankan terhadap benda jaminan dalam hal APHT tidak didaftarkan. 22
Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rusdakarya, h. 118.
29 5. Teori Perjanjian. Teori Perjanjian yang digunakan dalam tulisan ini adalah menurut Purwahid Patrik yang menyatakan bahwa perjanjian adalah perbuatan yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada tergantung dari persesuaian kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum dari kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan masing-masing pihak secara timbal balik.23 Dari pendapatpendapat di atas, maka perjanjian mengandung beberapa unsur, yaitu : 1. Adanya pihak-pihak. Pihak di sini adalah subyek perjanjian sedikitnya dua orang atau badan hukum dan harus mempunyai wewenang melakukan perbuatan hukum sesuai yang ditetapkan oleh undang-undang. 2. Ada persetujuan antara pihak-pihak, yang bersifat tetap dan bukan suatu perundingan. 3. Ada tujuan yang akan dicapai. Hal ini dimaksudkan bahwa tujuan para pihak hendaknya tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang. 4. Ada prestasi yang akan dilaksanakan. Hal ini dimaksudkan bahwa prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi, oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian. 5. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan. Hal ini berarti bahwa perjanjian bisa dituangkan secara lisan atau tertulis. Hal ini sesuai ketentuan undang-undang
23
Purwahid Patrik, 1988, Hukum Perdata II, Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, h. 1-3
30 yang menyebutkan bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan bukti yang kuat. Teori Perjanjian menurut Purwahid Patrik ini akan digunakan untuk membahas permasalahan pertama dalam tesisi ini yaitu bagaimanakah akibat hukum dari tidak didaftarkannya APHT terhadap perjanjian kredit perbankan yang dibuat para pihak di hadapan Notaris/PPAT? b. Batasan Operasional Berkenaan dengan judul rencana tesis ini adapun beberapa konsep yang dipergunakan sehingga membutuhkan penjelasan lebih lanjut adalah : 1. Perlindungan Hukum Perlindungan hukum adalah suatu suatu usaha preventif atau represif untuk memberikan hak-hak kepada pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang telah dilakukan. Dalam penelitian ini perlindungan hukum digunakan menganalisis perlindungan hukum terhadap Kreditor Perbankan dalam hal APHT tidak didaftarkan. 2. Akta Pemberian Hak Tanggungan Akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang mengatur persyaratan dan ketentuan mengenai pemberian hak tanggungan dari Debitor kepada Kreditor sehubungan dengan hutang yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan. Dalam penelitian ini APHT terkait dengan pemberian kredit oleh bank kepada Debitor dengan jaminan hak atas tanah.
31 1.6 Metode Penelitian a. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah penelitian hukum empiris, yaitu penelitian hukum yang obyek kajiannya meliputi ketentuan dan pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum in action pada setiap peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat (in concreto).24 Menurut Morris L. Cohen and Kent C. Olson dalam bukunya yang berjudul Legal Research penelitian hukum yaitu“legal research is an essential component of legal practice. It is the process of finding the law that governs an activity and materials that explain or analyze that law”25 yang artinya bahwa penelitian hukum yang berdasarkan kaidah perundang-undangan sebagai suatu hal yang penting dalam penerapan hukum secara praktek. Penelitian hukum empiris ini dilakukan untuk memastikan apakah hasil penerapan pada peristiwa hukum in concreto itu telah sesuai atau tidak dengan ketentuan undang-undang atau perjanjian telah dilaksanakan sebagaimana mestinya atau tidak, sehingga para pihak yang berkepentingan mencapai tujuannnya. Penelitian hukum empiris dilakukan di lapangan dengan metode dan teknik penelitian lapangan yaitu mengadakan kunjungan dan berkomunikasi dengan para pihak yang berkaitan langsung. Ciri utama penelitian hukum empiris adalah adanya kesenjangan antara das solen dan das sein, yaitu kesenjangan antara teori dan fakta hukum dan atau 24
Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 134. 25 Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group, ST. Paul Minn, Printed in the United States of America, page 1.
32 situasi ketidaktahuan yang dikaji untuk pemenuhan kepuasan akademik. Dalam tulisan ini, penelitian dilakukan dengan terlebih dahulu mengkaji norma hukum terkait perlindungan hukum bagi Kreditor perbankan terkait adanya akta pemberian hak tanggungan yang tidak didaftarkan. b. Jenis Pendekatan Pendekatan dalam penelitian hukum dimaksudkan adalah bahan untuk mengawali sebagai dasar sudut pandang dan kerangka berpikir seorang peneliti untuk melakukan analisis. Dalam penelitian hukum empiris terdapat beberapa pendekatan yaitu : 1. Pendekatan Kualitatif Pendekatan kualitatif adalah suatu cara analisis hasil penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu data yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan serta juga tingkah laku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. Oleh karena itu peneliti harus dapat menentukan data mana atau bahan hukum mana yang memiliki kualitas sebagai data yang diharapkan atau diperlukan dan data atau bahan hukum mana yang tidak relevan dan tidak ada hubungannya dengan penelitian. Analisis dengan pendekatan kualitatif ini yang dipentingkan adalah kualitas data, artinya peneliti melakukan analisis terhadap data-data atau bahan-bahan hukum yang berkualitas saja. Peneliti yang menggunakan metode analisis kualitatif tidak semata-mata bertujuan mengungkapkan kebenaran saja, tetapi juga memahami kebenaran tersebut.
33 2. Pendekatan kuantitatif Pendekatan
kuantitatif
adalah
melakukan
analisis
terhadap
data
berdasarkan jumlah data yang terkumpul. Analisis dengan pendekatan kuantitatif tersebut dilakukan dengan menggunakan rumus-rumus statistik. Hal itu karena dalam proses pengumpulan data menggunakan kuesioner yang masing-masing item jawabannya telah diberi skala. Analisis dengan pendekatan kuantitatif ini akan sangat diperlukan apabila peneliti akan mencari korelasi dari dua variabel atau lebih.26 Dalam penulisan karya ilmiah ini, agar mendapatkan hasil yang ilmiah, serta dapat dipertahankan secara ilmiah, maka permasalahan dalam tesis ini menggunakan jenis pendekatan kualitatif. c.
Data dan Sumber Data Dalam penelitian hukum empiris terdapat 2 (dua) jenis data yang
digunakan, yaitu : 1. Data primer, yaitu data yang diperoleh terutama dari penelitian yang dilakukan langsung didalam masyarakat.27 Sumber data primer dari penelitian ini dengan melakukan penelitian yang berlokasi di Kota Denpasar Provinsi Bali, yaitu dengan melakukan penelitian pada Bank, Kantor Notaris/PPAT di wilayah kerja Kota Denpasar tempat pembuatan dan penandatanganan APHT dan Kantor Pertanahan Kota Denpasar. Penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan wawancara dengan informan dan responden yang ada pada lokasi penelitian tersebut. Informan, adalah orang atau individu yang memberikan
26
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, h. 192. 27 Ibid, h. 156.
34 informasi data yang dibutuhkan oleh peneliti sebatas yang diketahuinya. Informan diperlukan didalam penelitian empiris untuk mendapatkan data secara kualitatif. Dalam penelitian ini informan adalah Kepala Seksi Pendaftaran Hak Tanggungan Kantor Pertanahan Kota Denpasar sedangkan responden adalah Kepala Bagian Kredit di Bank Mayapada Internasional, Tbk., dan Bank Perkreditan Rakyat Sri Artha Lestari (BPR Lestari) selaku Kreditor, dan Notaris/PPAT I Putu Chandra, SH dan I Made Gelgel, SH. Responden ini merupakan orang atau individu yang terkait secara langsung dengan data yang dibutuhkan.28 2. Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan (Library Research) dengan menggunakan bahan-bahan hukum sebagai berikut:29 i. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari : (a)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
(b)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria;
(c)
Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah;
(d)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ;
(e)
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
28
Ibid, h. 174. Ronny Hanitijo Soemitro, 1983, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan I, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 24. 29
35 (f)
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
ii. Bahan hukum sekunder, yang terdiri dari literatur-literatur, buku-buku, makalah, dan jurnal yang ditulis oleh para ahli dan dokumen-dokumen yang berkenaan dengan masalah yang dibahas. Menurut Robert Watt bahan hukum sekunder adalah “all of the other materials in the library are used basically to assist researcher in understanding the law and this group we call secondary materials”.30 Terjemahannya adalah semua bahan-bahan lain di perpustakan pada dasarnya digunakan untuk membantu peneliti memahami hukum dan kelompok ini kita sebut bahanbahan sekunder. iii. Bahan hukum tertier, yang terdiri dari kamus dan ensiklopedi, yang memperjelas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.31 d.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data primer yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah dengan metode wawancara dengan mengambil sampel secara Non Random Sampling, yaitu suatu cara menentukan sampel dimana peneliti telah menentukan atau menunjuk sendiri sampel dalam penelitiannya. Sesuai dengan judul dalam penulisan tesis ini maka dalam penelitian ini sampel yang digunakan yaitu pihakpihak yang terkait dengan pembebanan hak tanggungan yaitu Bank, Notaris/PPAT di wilayah kerja Kota Denpasar tempat pembuatan dan penandatanganan APHT, 30
Robert Watt, 2001, Concise Legal Research, The Federation Press, Leinchrdt, NSW, h.1. 31 Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, 2004, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 120.
36 sebagai responden dan Kepala seksi pendaftaran Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan Kota Denpasar sebagai informan, yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi Kreditor perbankan terkait adanya Akta Pemberian Hak Tanggungan yang tidak didaftarkan. Penulis memilih melakukan penelitian di Kota Denpasar karena cukup banyak terjadi permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yakni adanya kesenjangan antara das solen (teori) dan das sein (praktek), yaitu antara ketentuan Pasal 13 ayat (2) UUHT dan kenyataan yang berlaku di Kota Denpasar. Teknik pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini menggunakan teknik studi dokumen melalui kepustakaan dipergunakan dengan cara mencatat data-data yang bersumber pada bahan hukum primer maupun dari bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku tulisan dari para sarjana dan bahan hukum tertier yang berupa kamus dan ensiklopedi. e. Teknik Penentuan Sampel Penelitian Sebelum dilakukan penentuan sampel penelitian, terlebih dulu ditentukan lokasi penelitian dengan menggunakan teknik non probabilitas. Menurut Bahder Johan Nasution, dengan teknik sampling non probabilitas tidak semua subyek atau individu mendapat kemungkinan yang sama untuk dijadikan sampel.32 Dari beberapa teknik non probabilitas yang ada, yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Teknik ini digunakan dengan pertimbangan tertentu, sesuai dengan tujuan penelitian bahwa sampel memenuhi kriteria yang merupakan ciri utama populasinya. Kota Denpasar dipilih sebagai lokasi penelitian karena merupakan pusat aktifitas ekonomi dan perdagangan di 32
Bahder Johan Naution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal. 156.
37 Provinsi Bali, dimana aktifitas tingkat pendaftaran APHT cukup banyak dibandingkan dengan di Kabupaten lainnya. Setelah dilakukan penentuan lokasi penelitian, langkah selanjutnya adalah penentuan sampel penelitian dengan menggunakan teknik non probabilitas dalam bentuk purposive sampling. Penentuan sampel penelitian dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut: Responden adalah Notaris/PPAT dan Bank
pemberi kredit, yang dalam hal ini adalah PT. BPR. Lestari dan PT. Bank Mayapada Internasional, Tbk. Sedangkan Informan adalah Kepala Seksi Pendaftaran Hak Tanggungan Kantor Pertanahan Kota Denpasar. Penulis memilih PT. BPR Lestari dan PT. Bank Mayapada Internasional, Tbk sebagai responden karena kedua bank tersebut terbuka dalam memberikan informasi untuk kepentingan penelitian ini. Perlu diketahui bahwa pada prinsipnya semua bank, dalam menjalankan aktifitasnya tunduk pada ketentuan dari Bank Indonesia. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 UU Perbankan. Karena adanya ketentuan Pasal 6 UU perbankan inilah penulis hanya mengambil 2 (dua) Kreditor sebagai responden dalam penelitian ini. f. Teknik Pengolahan Data Pengolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil pengumpulan data di lapangan sehingga siap pakai untuk dianalisa.33 Setelah data dikumpulkan kemudian diolah secara kualitatif dengan melakukan studi perbandingan antara data lapangan dengan data kepustakaan sehingga akan diperoleh data yang bersifat saling menunjang antara teori dan praktek. 33
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h. 72.
38 g. Teknik Analisis Data Dalam menganalisa data yang telah dikumpulkan tersebut, digunakan metode analisis deskriptif, yaitu menggambarkan dengan kata-kata atau kalimat yang dipisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan.34Dalam metode analisis deskriptif, setelah data dianalisis kemudian disusun kembali secara sistematis sehingga mendapatkan kesimpulan tentang permasalahan hukum dalam penelitian ini.
34
h. 194.
Suharsini Arikunto, 1986, Prosedur Penelitian, Bina Aksara, Jakarta,
39 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDIT PERBANKAN DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN
2.1 Pengertian Kredit dan Jaminan dalam Lembaga Perbankan 2.1.1. Pengertian Kredit dan Jaminan Kredit Pengertian kredit secara jelas dapat dilihat pada Pasal 1 angka 11 UU Perbankan, yaitu ”Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.” Selain itu, pengertian kredit juga tercantum dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, yaitu : Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga termasuk: (a) cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari; (b) pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan utang-piutang ; dan (c) pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain. Dalam melaksanakan kegiatan usahanya berupa pemberian kredit, Bank diwajibkan memperhatikan beberapa hal sebagaimana ketentuan Pasal 8 UU Perbankan, yaitu wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan Debitor untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Selain itu Bank wajib memiliki dan menerapkan pedoman 39
40 perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ketentuan Pasal 8 UU Perbankan tersebut diatas menunjukkan bahwa unsur yang paling essensial dari pemberian kredit bank adalah adanya kepercayaan dari bank, sebagai Kreditor, terhadap nasabah peminjam sebagai Debitor. Kepercayaan itu timbul karena dipenuhinya segala ketentuan dan persyaratan untuk memperoleh kredit bank oleh Debitor. Persyaratan tersebut, antara lain : jelasnya peruntukan pemberian kredit, adanya benda jaminan atau agunan, dan lain-lain. Makna dari kepercayaan itu adalah keyakinan dari bank sebagai Debitor bahwa kredit yang diberikan sungguh-sungguh akan kembali dalam jangka waktu sesuai kesepakatan.35 Kepercayaan memang merupakan unsur kredit yang paling esensial tetapi bukan merupakan satu-satunya unsur kredit. Hermansyah memaparkan secara lengkap unsur-unsur kredit, yaitu : a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya, baik dalam bentuk uang, barang dan jasa akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang. b. Tenggang waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang. Dengan unsur waktu ini, terkandung pengertian agio dari uang, yaitu uang yang ada sekarang lebih tinggi nilainya dari uang yang akan diterima pada masa yang akan datang. c. Degree of risk, yaitu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan pemberian prestasi dan kontraprestasi yang akan diterima di kemudian hari. Semakin lama kredit diberikan semakin tinggi pula tingkat resikonya. d. Prestasi atau obyek kredit tidak hanya diberikan dalam bentuk uang tetapi juga dapat berupa barang dan jasa. Tetapi karena kehidupan ekonomi 35
Hermansyah, 2008, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 43.
41 modern di dasarkan pada uang maka yang umum terjadi adalah tranksaksi kredit dalam bentuk uang.36 Kemudian dalam hal pemberian kredit, Bank wajib menerapkan pokok ketentuan perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana yang dijelaskan dalam penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU Perbankan, yaitu : a. Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis; b. Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah Debitor yang antara lain diperoleh dari penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitor; c. Kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah; d. Kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan persyaratan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah; e. Larangan bank untuk memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada Nasabah Debitor dan atau pihak pihak terafiliasi; f. Penyelesaian sengketa. Ketentuan pemberian kredit oleh Bank Indonesia pada penjelasan Pasal 8 ayat (2) huruf b UU Perbankan tersebut di atas kemudian dirumuskan para sarjana perbankan menjadi formula 5 C, seperti yang dipaparkan oleh Hermansyah, yaitu: 1. Character Bahwa calon nasabah memiliki watak, moral dan sifat-sifat pribadi yang baik. 2. Capacity Kemampuan calon Debitor mengelola usahanya dan mampu melihat prospektif masa depan sehingga usahanya dapat berjalan dengan baik dan memberikan keuntungan. Hal ini pada gilirannya akan membantu menjamin ia mampu melunasi utangnya. 3. Capital Bank harus melakukan penelitian akan modal yang dimiliki pemohon kredit. 36
Ibid., h. 58.
42 4. Collateral Jaminan untuk persetujuan pemberian kredit yang bmerupakan saran pengaman atas resiko yang mungkin terjadi atas wanprestasi nasabah di kemudian hari. 5. Condition of economy Dalam pemberian kredit oleh bank, kondisi ekonomi secara umum dan kondisi sektor usaha pemohon kredit perlu memperoleh perhatian dari bank untuk memperkecil resiko yang mungkin terjadi yang diakibatkan oleh kondisi ekonomi tersebut.37 Sementara itu ketentuan pemberian kredit oleh Bank Indonesia sebagaimana penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU Perbankan pada huruf a mewajibkaan pemberian kredit atau pembiayaan syariah dilakukan dalam bentuk perjanjian tertulis, yang dalam praktek perbankan dikenal dengan perjanjian kredit. Secara lebih jelas SK Direksi BI No. 27/182/KEP/DIR dan Surat Edaran BI No. 27/7/UPPB tanggal 31 Maret 1995 pada lampiran Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan Pemberian Kredit (PPKB) angka 450 tentang perjanjian kredit, menjelaskan ”Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati pemohon kredit wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis.” Dalam menafsirkan ketentuan SK Direksi BI No. 27/182/KEP/DIR dan Surat Edaran BI No. 27/7/UPPB tanggal 31 Maret 1995 tersebut di atas Widjarnako mengatakan hal ini berarti bank tidak diperkenankan memberikan kredit dalam bentuk apapun tanpa surat perjanjian secara tertulis yang jelas dan lengkap. 38 Terkait dengan perjanjian kredit, Johanes Ibrahim menyebut pengertian secara khusus, yaitu : Perjanjian antara bank, sebagai Kreditor dengan nasabah sebagai Debitor mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah-nasabah Debitor untuk melunasi utangnya setelah
37
Ibid., h. 64. Widjarnako, 2007, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, h. 81. 38
43 jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian keuntungan.39 Perjanjian kredit termasuk perjanjian pinjam-meminjam uang antar bank dan nasabahnya didasari perjanjian yang telah disepakati bersama yang diikuti dengan pemberian bunga.40 Pendapat senada diungkapkan Adrian Sutedi yang mengatakan bahwa dari rumusan kredit menurut Pasal 8 UU Perbankan dapat disimpulkan bahwa kredit itu merupakan perjanjian pinjam-meminjam uang uang antara bank sebagai pemberi Kreditor dan nasabah selaku Debitor. Dalam perjanjian kredit tersebut bank percaya kepada nasabah akan membayar lunas dalam jangka waktu yang telah disepakati.41 Menurut Buku III KUH Perdata, perjanjian kredit merupakan perjanjian pinjam meminjam yang mempunyai sifat riil, yaitu terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada nasabah. Ketentuan dalam Pasal 1754 KUH Perdata tentang perjanjian pinjam mengganti mempunyai pengertian yang identik dengan perjanjian kredit bank, yaitu : Perjanjian pinjam mengganti adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama. Ketentuan dalam Pasal 1754 KUH Perdata adalah sebagai persetujuan yang bersifat riil. Karena ketentuan dalam Pasal 1754 KUH Perdata tidak disebutkan bahwa pihak pertama mengikatkan diri untuk memberikan suatu
39
Ibid. Gatot Supramono, 2009, Perbankan dan Masalah Kredit : Suatu tinjauan Yuridis, Rineka Cipta, Jakarta , h. 173. 41 Adrian Sutedi, 2010, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, h.21. 40
44 jumlah tertentu barang-barang yang menghabis, melainkan pihak pertama memberikan suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian. Sementara itu terkait dengan jaminan dalam lembaga perbankan, Mariam Darus Badrulzaman memberi definisi jaminan “adalah suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang Debitor dan atau pihak ketiga kepada Kreditor untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan”.42 Sedangkan Thomas Suyatno, menyatakan jaminan adalah penyerahan kekayaan atau pernyataan kesanggupan seseorang untuk
menanggung pembayaran kembali suatu utang. 43 J. Satrio
berpendapat bahwa hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang Kreditor terhadap seorang Debitor.44 Dari beberapa pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa
jaminan kredit adalah pernyataan kesanggupan seseorang untuk menanggung utang Debitor sebagaimana tercantum dalam perutangan pokok. Dalam praktek perbankan, jaminan kredit atau kredit garansi disebut dengan istilah jaminan perseorangan/orang, yaitu perjanjian antara Kreditor dan penanggung, dimana seorang mengikatkan diri sebagai penanggung untuk memenuhi utang Debitor, baik karena ditunjuk oleh Kreditor (tanpa sepengetahuan atau persetujuan
42
Mariam Darus Badrulzaman, 2005, Aneka Hukum Bisnis, Cet. II, Alumni Bandung (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman II), h. 12. 43 Thomas Suyatno, 1989, Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia, Jakarta, h. 70. 44 J. Satrio, 1991, Hukum Jaminan. Hak-hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 3.
45 Debitor) maupun yang diajukan oleh Debitor atas perintah dari Kreditor. Adapun unsur-unsur dari jaminan kredit adalah : 1. Adanya kaidah hukum. Kaidah hukum dalam bidang jaminan dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu kaidah hukum tertulis dan kaidah hukum tidak tertulis. Kaidah hukum jaminan tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum jaminan hukum tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum jaminan yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat. Hal ini terlihat pada gadai tanah dalam masyarakat yang dilakukan secara lisan. 2. Adanya pemberi dan penerima jaminan. Pemberi jaminan adalah orang-orang atau badan hukum yang
menyerahkan barang jaminan kepada penerima
jaminan. Adapun yang bertindak sebagai pemberi jaminan adalah orang atau badan hukum yang memberikan fasilitas kredit. Penerima jaminan adalah orang atau badan hukum yang menerima barang jaminan dari pemberi jaminan. Adapun yang bertindak sebagai penerima jaminaan ini adalah orang atau badan hukum. 3. Adanya jaminan. Pada dasarnya, jaminan yang diserahkan kepada Kreditor adalah jaminan material dan immaterial. Jaminan material merupakan jaminan yang berupa hak kebendaan, seperti jaminan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Jaminan immaterial merupakan jaminan non kebendaan.
46 4. Adanya fasilitas pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan bertujuan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau lembaga keuangan lainnya. 45 Adrian Sutedi secara umum membedakan jaminan menjadi dua, yaitu jaminan yang lahir dari undang-undang (jaminan umum) dan jaminan yang lahir karena perjanjian.46Jaminan umum adalah jaminan yang adanya telah ditentukan undang-undang, misalnya undang-undang yang diatur dalam Pasal 1311 KUH Perdata dan 1232 KUH Perdata. Pasal 1311 KUH Perdata pada intinya menyatakan bahwa segala kekayaan Debitor, baik berupa benda bergerak dan tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun akan ada di kemudian hari walaupun tidak diserahkan sebagai jaminan, secara hukum menjadi jaminan seluruh utang Debitor. Sementara itu jaminan khusus adalah jaminan yang timbul karena adanya perjanjian. Secara yuridis perjanjian khusus timbul karena adanya suatu perjanjian antara Bank dan pemilik jaminan atau antara Bank dan pihak ketiga yang menanggung utang Debitor.47 Jaminan khusus terdiri dari jaminan yang bersifat perorangan dan jaminan yang bersifat kebendaan. Jaminan perorangan tidak memberikan hak mendahului di atas benda-benda tertentu tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan seorang lewat orang yang menjamin pemenuhan yang bersangkutan. Sedangkan jaminan
45
Salim, H.S, 2007, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta (selanjutnya disebut Salim H.S II), h. 7. 46 Adrian Sutedi, op.cit., h.28. 47 Adrian Sutedi, op.cit., h.27.
47 kebendaan memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat serta mengikuti benda yang bersangkutan.48 Proses pembuatan perjanjian menurut Ros Mcdonald dan Denise Mcgill ”Just as Drafting is the process of converting the underlying intention of the party or parties in to a written document, construction is the process of deriving the true intention of the parties or parties from that document.
49
(Pembuatan
kontrak adalah proses konversi dari niat yang mendasari para pihak ke dalam suatu dokumen tertulis, konstruksi (perjanjian ) adalah proses penuangan maksud yang sesungguhnya dari para pihak sebagaimana yang tercantum dalam dokumen tersebut). Terkait dengan suatu perjanjian kebendaan, maka hal itu terdiri perjanjian pokok dan perjanjian accesoir. Perjanjian pokok merupakan perjanjian untuk mendapatkan fasilitas kredit dari lembaga perbankan atau lembaga keuangan non bank. Perjanjian pokok adalah perjanjian yang harus memiliki dasar yang mendasari untuk keberadaannya. Contoh perjanjian pokok adalah perjanjian kredit bank. Sedangkan perjanjian accesoir adalah perjanjian yang bersifat tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok. Contoh perjanjian accesoir adalah perjanjian pembebanan jaminan, seperti perjanjian gadai, hak tanggungan dan fidusia.50 Perjanjian pembebanan jaminan dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis. Perjanjian pembebanan jaminan lisan biasanya dilakukan di pedesaan, dimana masyarakat yang satu membutuhkan pinjaman uang dari masyarakat yang 48
Salim, H.S, op.cit., h. 23. Ros Macdonald & Denise McGill, 2008, Drafting, Second Edition, LexisNexis, Butterworths, Australia, p. 3. 50 Salim, H.S, op.cit, h.30. 49
48 ekonominya lebih tinggi. Biasanya pinjaman tersebut dilakukan secara lisan. Sedangkan perjanjian dalam bentuk tertulis, biasanya dilakukan dalam dunia perbankan, lembaga keuangan non bank maupun lembaga pegadaian. Perjanjian pembebanan ini dapat dilakukan dalam bentuk akta di bawah tangan dan atau akta otentik. Perjanjian pembebanan jaminan dengan akta di bawah tangan biasanya dilakukan di pegadaian. Sedangkan perjanjian pembebanan jaminan dengan akta otentik dilakukan di muka dan di hadapan pejabat yang berwenang, seperti Notaris/PPAT. Biasanya perjanjian pembebanan dengan menggunakan akta otentik tersebut dapat dilakukan pembebanan jaminan atas hak tanggungan.51 2.1.2
Fungsi jaminan Dalam Kredit Perbankan Dalam UU Perbankan, tidak dinyatakan secara tegas keharusan adanya
jaminan untuk memperoleh kredit. Karena itu bank mungkin saja memberikan kredit tanpa mensyaratkan penyerahan jaminan. Namun pada umumnya bank tetap mensyaratkan calon Debitor menyerahkan jaminan kredit terkait dengan fungsi jaminan kredit. Menurut Hermansyah ”fungsi utama dari jaminan adalah untuk meyakinkan bank atau Kreditor bahwa Debitor mempunyai kemampuan untuk melunasi kredit yang diberikan kepadanya sesuai dengan perjanjian kredit yang telah disepakati bersama.”52 Sekalipun memiliki fungsi pokok tertentu, namun uraian yang lebih luas mengenai fungsi jaminan kredit dikemukakan oleh M. Bahsan yang menyebutkan beberapa fungsi kredit perbankan, yaitu:
51 52
Salim H.S, op.cit, h. 31. Hermansyah, op.cit., h. 74.
49 1. Jaminan Kredit sebagai Pengaman Pelunasan Kredit. 2. Jaminan Kredit sebagai Pendorong Motivasi Debitor 3. Fungsi yang Terkait Pelaksanaan Ketentuan Perbankan.53 Jaminan kredit sebagai pengaman pelunasan kredit diperlukan karena bank sebagai badan usaha yang memberikan kredit kepada Debitor wajib melakukan pengamanan agar Debitor tersebut dapat melunasi kredit yang telah diberikan. Apabila Debitor tidak dapat mengembalikan kredit yang telah diberikan oleh bank akan menjadi kerugian yang yang harus ditanggung oleh bank yang bersangkutan. Semakin besar jumlah kredit yang tidak dapat dikembalikan oleh Debitor semakin besar pula pengaruhnya terhadap kesehatan bank tersebut. Dalam hal ini maka jaminan kredit berperan sebagai pengaman bagi kredit yang disalurkan perbankan untuk memenuhi ketentuan mengenai prinsip kehati-hatian. Lebih lanjut M. Bahsan mengatakan bahwa : Secara umum pengamanan kredit bank dapat dilakukan melalui tahap analisis kredit dan melalui penerapan ketentuan hukum yang berlaku. Khusus mengenai jaminan kredit untuk pengamanannya dapat ditemukan, baik pada tahap analisis kredit maupun penerapan ketentuan hukum.54 Penggunaan jaminan sebagai pengaman kredit yang diberikan oleh bank juga dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata berbunyi “ Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”. Fungsi jaminan sebagai pengaman pelunasan kredit baru akan muncul pada saat kredit tersebut macet. Dengan 53
M. Bahsan, 2007, Hukum Jaminan Dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, h. 103. 54 Ibid.
50 adanya jaminan kredit yang dikuasai dan diikat bank sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku pelaksanaan fungsi tersebut akan terlaksana pada saat Debitor ingkar janji.55 Sehubungan dengan fungsi jaminan sebagai sarana pengaman kredit yang diberikan oleh bank, maka menurut R. Subekti jaminan yang baik adalah : a.
Yang dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang memerlukannya. b. Yang tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan (meneruskan) usahanya. c. Yang memberikan kepastian kepada si pemberi kredit, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu bila perlu dapat dengan mudah diuangkan untuk melunasi utangnya si penerima (pengambil) kredit.56 Sementara itu terkait dengan jaminan kredit sebagai pendorong motivasi Debitor adalah ketakutan Debitor akan kehilangan benda yang dijaminkan dalam memperoleh kredit. Rasa takut ini akan mendorong Debitor melunasi kreditnya kepada bank agar benda yang dijadikan jaminan harus dicairkan oleh bank tersebut. Rasa takut Debitor akan kehilangan benda yang dijaminkan pada pihak bank dapat dimengerti apabila disimak pendapat M. Bahsan bahwa nilai jaminan yang diserahkan Debitor kepada pihak bank lebih besar dibandingkan dengan nilai kredit yang diberikan pihak bank. Hal ini memberi motivasi kepada Debitor untuk
55
M. Bahsan, op.cit., h. 104. R. Subekti, 1996, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit (Termasuk Hak Tanggungan) Menurut Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 21. 56
51 menggunakan kredit sebaik-baiknya, melakukan kegiatan usaha dengan baik, mengelola kondisi keuangan secara hati-hati sehingga dapat melunasi utangnya.57 Kemudian terkait fungsi jaminan terkait pelaksanaan ketentuan perbankan yang dimaksud adalah Peraturan Bank Indonesia No.7/2/PBI/2005 serta perubahannya dengan PBI No. 8/2/PBI/2006 dan PBI No. 9/6/PBI/2007 yang mengatur tentang nilai agunan sebagai faktor pengurang dalam perhitungan PPA (penyisihan penghapusan aktiva) sebagaimana tercantum dalam keterkaitan dengan berbagai Peraturan Bank Indonesia tersebut merupakan pendukung keharusan penilaian jaminan kredit secara lengkap sehingga merupakan jaminan layak dan berharga. Selain tiga fungsi jaminan kredit perbankan yang dikemukakan oleh M.Bahsan di atas, ada pula tiga fungsi jaminan kredit menurut Thomas Syatno, yaitu : 1. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan barang-barang jaminan tersebut, apabila nasabah Debitor melakukan cidera janji, yaitu tidak membayar kembali utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. 2. Menjamin agar nasabah Debitor berperan serta di dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya, dapat dicegah atau sekurang-kurangnya kemungkinan untuk dapat berbuat demikian diperkecil terjadinya. 3. Memberi dorongan kepada nasabah Debitor untuk memenuhi perjanjian kredit. Khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syaratsyarat yang telah disetujui agar ia tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank.58 Tiga fungsi jaminan kredit yang masing-masing dikemukakan oleh M. Bahsan dan Thomas Suyatno pada hakekatnya mengandung dua makna yang sama, yaitu
57
M. Bahsan, op.cit., h. 105. Thomas Suyatno et.al., 1991, Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 84. 58
52 fungsi kredit sebagai pengaman pelunasan kredit dan pemberi motivasi kepada Debitor untuk melunasi kredit yang telah dikucurkan pihak Bank. 2.1.3
Pengikatan Jaminan Kredit Perbankan Dalam hukum jaminan perbankan Indonesia ada beberapa pengikatan
jaminan kredit yang berlaku dalam sistem hukum perbankan di Indonesia, yaitu : 1. Jaminan Fidusia Dasar hukum Fidusia adalah UU Fidusia. Pengertian Fidusia terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UU Fidusia, yaitu “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan benda yang hak kepemilikanya tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda”. 2. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) Dasar hukum SKMHT adalah UUHT. Dalam Pasal 24 ayat (3) UUHT disebutkan : Surat Kuasa membebankan hipotek yang ada pada saat diundangkannya Undang-undang ini dapat digunakan sebagai Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak saat berlakunya Undang-Undang ini, dengan mengingat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5). Menurut penjelasan umum UUHT, dalam memberikan hak tanggungan, pemberi hak tanggungan wajib hadir dihadapan PPAT. Jika karena sesuatu sebab tidak dapat hadir sendiri, ia wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya melalui SKMHT yang berbentuk akta otentik. Pembuatan SKMHT ditugaskan kepada Notaris, dan PPAT. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (5) UUHT dinyatakan bahwa sebagai konsekuensi dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pembebanan Hak tanggungan atas agunan, tanaman dan hasil karya yang
53 merupakan satu kesatuan dengan tanah yang pemiliknya lain daripada pemegang hak atas tanah, wajib dilakukan bersamaan dengan pemberian hak tanggungan atas tanah yang bersangkutan dan dinyatakan di dalam satu APHT yang ditanda tangani bersama oleh pemiliknya dan pemegang hak atas tanahnya atau kuasa mereka, keduanya sebagai pemberi tanggungan. Dalam penjelasan Pasal 24 ayat (3) UUHT dijelaskan bahwa termasuk dalam pengertian surat kuasa membebankan hipotik yang dimaksud pada ayat ini adalah surat kuasa untuk menjaminkan tanah. Pada saat pembuatan APHT dan SKMHT harus sudah ada keyakinan pada Notaris/PPAT yang bersangkutan bahwa pemberi hak tanggungan mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang dibebankan, walaupun kepastian mengenai dimilikinya kewenangan tersebut baru dipersyaratkan pada waktu pemberian hak tanggungan itu didaftarkan. Pasal 15 ayat (1) UUHT juga menentukan persyaratan SKMHT, yaitu: 1. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dari pada membebankan hak tanggungan. 2. Tidak memuat kuasa substitusi. 3. Mencantumkan secara jelas obyek hak tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas Kreditornya, nama dan identitas Debitor apabila Debitor bukan pemberi hak tanggungan. Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) UUHT yang dimaksud dengan tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dalam ketentuan ini, misalnya tidak memuat kuasa untuk menjual, menyewakan obyek hak
54 tanggungan, atau memperpanjang hak atas tanah. Dalam penjelasan huruf b atas Pasal 15 ayat (1) UUHT dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengertian substitusi menurut undang-undang ini adalah penggantian penerima kuasa melalui pengalihan bukan merupakan substitusi jika penerima kuasa memberikan kuasa kepada pihak lain dalam rangka penugasan untuk bertindak mewakilinya, misalnya Direksi Bank menugaskan pelaksanaan kuasa yang diterimanya kepada Kepala Cabangnya atau pihak lain. Kemudian dalam penjelasan huruf c atas Pasal 15 ayat (1) menyebutkan bahwa kejelasan mengenai unsur-unsur pokok dalam pembebanan hak tanggungan sangat diperlukan untuk kepentingan perlindungan pemberi hak tanggungan. Jumlah utang yang dimaksud pada huruf b adalah jumlah utang sesuai dengan yang diperjanjikan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1). Subyek SKMHT adalah Debitor selaku pemberi kuasa dan Kreditor selaku penerima Kuasa SKMHT. Obyek SKMHT adalah sama dengan Obyek hak tanggungan yang dapat diikat sebagai jaminan hutang meliputi hak atas tanah dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai atas tanah Negara yang diberikan kepada perorangan dan Badan Hukum Perdata yang tanahnya dapat dijual termasuk tanah Hak Pakai di atas Tanah Hak Milik yang bukti kepemilikannya berupa petuk pajak atau girik dan bukti lainnya yang sejenis dapat digunakan sebagai jaminan kredit. Obyek SKMHT dapat juga berupa hak atas tanah yang sudah terdaftar (mempunyai sertipikat) atau hak atas tanah yang belum didaftar (belum bersertipikat).
55 SKMHT untuk tanah dengan bukti girik ini berlaku sejak SKMHT ditandatangani dan pembuatan APHT dilakukan bersamaan dengan proses permohonan Sertipikat Hak Atas tanah tersebut. Terkait dengan pendaftaran APHT, penjelasan umum UUHT angka 7 menguraikan bahwa dalam rangka memperoleh kepastian hukum mengenai kedudukan yang diutamakan bagi Kreditor pemegang hak tanggungan beserta surat-surat lain yang diperlukan pendaftarannya, wajib dikirimkan oleh PPAT kepada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganannya”. Demikian pula pelaksanaan kuasa membebankan Hak Tanggungan yang dimaksudkan di atas ditetapkan batas waktunya, yaitu 1 (satu) bulan untuk hak atas tanah yang sudah terdaftar dan 3 (tiga) bulan untuk hak atas tanah yang belum terdaftar. Berakhirnya SKMHT tersebut dalam keadaan tertentu dapat dikecualikan dengan tidak perlu mentaati jangka waktu berlakunya surat kuasa (Pasal 15 ayat (5) UUHT), yaitu dalam hal untuk menjamin kredit-kredit tertentu, misalnya KUT, KPR (PMA/KBPN Nomor 4 Tahun 1996 tentang penjelasan Batas Waktu Penggunaan SKMHT untuk menjamin Pelunasan Kredit-Kredit tertentu), yaitu sampai dengan berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok. SKMHT merupakan kuasa yang tidak dapat ditarik kembali karena sebab apapun kecuali telah dilaksanakan pembuatan APHT sebagimana ketentuan Pasal 15 ayat (2) UUHT, sesuai dengan tanggal yang ditentukan dalam SKMHT tersebut. SKMHT mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan sebagaimana ketentuan Pasal 15 ayat (3) UUHT. SKMHT mengenai hak atas
56 tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambatlambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan sebagaimana ketentuan Pasal 15 ayat (4) UUHT). Namun ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) tidak berlaku dalam hal SKMHT diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana ketentuan Pasal 15 ayat (5) UUHT. SKMHT yang tidak diikuti dengan pembuatan APHT dalam waktu yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 15 ayat (3) atau ayat (4) UUHT atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (5) UUHT batal demi hukum. Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (4) diuraikan bahwa tanah yang belum terdaftar adalah tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) batas waktu penggunaan SKMHT mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar ditentukan lebih lama daripada tanah yang sudah didaftar pada ayat (3), mengingat pembuatan APHT pada hak atas tanah yang belum terdaftar harus dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 ayat (3), yang terlebih dahulu perlu dilengkapi persyaratannya. Pasal 15 ayat (5) UUHT menyatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan mengingat kepentingan golongan ekonomi lemah, untuk pemberian kredit tertentu yang ditetapkan Pemerintah seperti kredit program, kredit kecil, kredit pemilikan rumah, dan kredit lain yang sejenis, batas waktu berlakunya SKMHT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku. Penentuan batas waktu berlakunya SKMHT untuk jenis kredit tertentu tersebut dilakukan oleh Menteri yang berwenang di bidang pertanahan
57 setelah mengadakan koordinasi dan konsultasi dengan Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan pejabat lain yang terkait. Selanjutnya Pasal 15 ayat (6) UUHT menyatakan “Ketentuan mengenai batas waktu berlakunya Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dimaksudkan untuk mencegah berlarut-larutnya waktu pelaksanaan kuasa itu”. Sehubungan dengan berakhirnya kuasa membebankan hak tangungan yang akan dikaitkan dengan obyek hak tanggungan yang ada, yaitu dilihat apakah yang dijadikan obyek hak tanggungan hak atas tanah yang sudah terdaftar (mempunyai sertipikat) atau hak atas tanah yang belum didaftar (belum bersertipikat), hal ini sesuai dengan Pasal 15 ayat (3) dan (4) UUHT. Pasal 15 ayat (3) UUHT menentukan “Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan.” Selanjutnya ayat (4) menentukan “Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang belum didaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan.” Berakhirnya SKMHT tersebut dalam keadaan tertentu dapat dikecualikan dengan tidak perlu mentaati jangka waktu berlakunya surat kuasa sebagaimana ditentukan oleh Pasal 15 ayat (5) UUHT. Keadaan tertentu tersebut adalah dalam hal untuk menjamin kredit-kredit tertentu, misalnya Kredit Prognas, Kredit kecil (KPR) dan kredit lainnya yang sejenis sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Menteri Agraria /Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 tentang penjelasan Batas Waktu Penggunaan SKMHT untuk menjamin Pelunasan Kredit-Kredit tertentu. Dengan demikian untuk hal-hal
58 tertentu jangka waktu SKMHT yaitu sampai dengan berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok. 3. Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). APHT mengatur persyaratan dan ketentuan mengenai pemberian hak tanggungan dari Debitor kepada Kreditor sehubungan dengan hutang yang dijaminkan dengan hak tanggungan. Pemberian hak ini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor yang bersangkutan (Kreditor preferent) daripada Kreditor-Kreditor lain sebagaimana diatur pada ketentuan Pasal 1 angka 1 UUHT. Pemberian hak tanggungan dalam hal ini merupakan jaminan pelunasan hutang Debitor kepada Kreditor sehubungan dengan perjanjian pinjaman/kredit yang bersangkutan. Tanah sebagai obyek hak tanggungan dapat meliputi benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Hal itu dimungkinkan karena sifatnya secara fisik menjadi satu kesatuan dengan tanahnya, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, yang berupa bangunan permanen, tanaman keras dan hasil karya, dengan ketentuan bahwa benda-benda tersebut milik pemegang hak maupun milik pihak lain. Apabila benda-benda itu milik pihak lain, yang bersangkutan/pemilik harus ikut menandatangani APHT. Pemberian hak tanggungan wajib memenuhi syarat yang ditetapkan dalam UUHT, yaitu: 1. Pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kredit yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.
59 2. Pemberian hak tanggungan wajib memenuhi syarat spesialitas yang meliputi: nama dan identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan, domisili para pihak, pemegang dan pemberi hak tanggungan, penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijaminkan pelunasannya dengan hak tanggungan, nilai tanggungan, dan uraian yang jelas mengenai obyek hak tanggungan. 3. Pemberian hak tanggungan wajib memenuhi persyaratan publisitas melalui pendaftaran hak tanggungan pada Kantor Pertanahan setempat (Kota/ Kabupaten). 4. Sertipikat hak tanggungan sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan memuat titel eksekutorial dengan kata-kata "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". 5. Batal demi hukum, jika diperjanjikan bahwa pemegang hak tanggungan akan memiliki obyek hak tanggungan apabila Debitor cidera janji (wanprestasi). Tata cara pembebanan hak tanggungan dimulai dengan tahap pemberian hak tanggungan di hadapan PPAT yang berwenang dan dibuktikan dengan APHT dan diakhiri dengan tahap pendaftaran hak tanggungan di Kantor Pertanahan setempat. Pemberi hak tanggungan (Debitor atau pihak lain) wajib hadir sendiri di kantor PPAT yang berwenang membuat APHT berdasarkan daerah kerjanya. Dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT disebutkan hal-hal yang wajib dicantumkan dalam APHT. Selanjutnya ayat (2) memuat mengenai jumlah pinjaman, penunjukan obyek hak tanggungan, dan hal-hal yang diperjanjikan oleh Kreditor dan Debitor termasuk janji Roya Partial dan janji penjualan obyek hak tanggungan di bawah tangan sebagaimana ketentuan Pasal 20 UUHT. Untuk kepentingan Kreditor,
60 dikeluarkan kepadanya tanda bukti adanya hak tanggungan, yaitu Sertipikat hak tanggungan yang terdiri dari salinan Buku Tanah Hak Tanggungan dan salinan APHT. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa APHT adalah akta yang memuat tentang nomor sertipikat, tanggal penerbitan sertipikat, luas tanah, lokasi tanah dan benda-benda yang ada di atas tanah tersebut serta besarnya beban hutang yang diletakkan/dipertanggungjawabkan di atas tanah tersebut dan APHT harus didaftarkan di Kantor Pertanahan Setempat. 2.2
Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan
2.2.1 Pengertian Hak Tanggungan Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, pengertian hak tanggungan secara jelas terdapat dalam dalam Pasal 1 angka 1 UUHT, yaitu : Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut bendabenda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor tertentu, terhadap Kreditor-Kreditor lain. Menurut J. Satrio, rumusan pengertian hak tanggungan menurut UUHT di atas bukan merupakan rumusan umum, tetapi hanya tentang Hak Tanggungan atas tanah dan benda-benda terkait dengan tanah saja. Dalam pandangan J. Satrio, terdapat beberapa unsur penting dari hak tanggungan, yaitu hak jaminan yang dibebankan atas tanah, berikut atau tidak berikut dengan benda-benda lain yang merupakan satu-kesatuan dengan tanah, untuk pelunasan hutang tertentu dan
61 memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor tertentu terhadap Kreditor yang lain.59 Pengertian hak tanggungan tidak hanya bisa diperoleh dalam UUHT. Ada beberapa sarjana lain juga mempunyai pemikiran mengenai hak tanggunga. Seperti C.S.T Kansil dan Christine. S.T Kansil yang berpendapat : Hak Tanggungan adalah jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor tertentu terhadap Kreditor-Kreditor lain. Dalam arti jika Debitor cidera janji, Kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut perturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahului dari pada Kreditor-Kreditor yang lain.60 2.2.2 Subyek dan Obyek Hak Tanggungan Subyek hak tanggungan dapat dilihat pada ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT. Menurut Pasal 8 ayat (1) ”Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan.” Selanjutnya ayat (2) berbunyi : “Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.” Dalam Pasal 9 UUHT menyebutkan “Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.” Dengan demikian menurut UUHT, subyek hak tanggungan adalah pemberi dan pemegang hak tanggungan. Dengan kata lain subyek hak
59
J. Satrio, op.cit, hal. 65. C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, 1997, Pokok-Pokok Hak Tanggungan dan Tanah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 7. 60
62 tanggungan adalah pihak-pihak yang berkepentingan dengan adanya suatu perjanjian utang-piutang yang dijamin pelunasannya, yaitu pemberi dan pemegang hak tanggungan. Sementara itu obyek hak tanggungan sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUHT adalah hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Hak-hak atas tanah berikut, bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut akan merupakan milik pemegang hak atas tanah. Dalam hal ini pembebanannya harus dengan tegas dinyatakan di dalam APHT yang bersangkutan.61 Terkait dengan Hak Pakai, tidak semua Tanah Hak Pakai Atas Tanah Negara dapat dijadikan obyek hak tanggungan karena ada Hak Pakai Atas Tanah Negara yang walapun didaftarkan tidak bisa dipindahtangankan seperti Hak Pakai atas nama pemerintah, Hak Pakai atas nama badan keagamaan dan sosial serta Hak Pakai atas Nama Perwakilan Negara Asing. Pada prinsipnya obyek hak tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang memenuhi dua persyaratan, yaitu wajib
didaftarkan
(untuk
memenuhi
syarat
publisitas)
dan
dapat
dipindahtangankan untuk memudahkan pelaksanaan pembayaran utang yang dijamin pelunasannya.62
61 62
Adrian Sutedi, op.cit, h. 50. Adrian Sutedi, op.cit, h. 52.
63 Terkait dengan Hak Pakai, hak tersebut tidak ditunjuk sebagai obyek hak tanggungan dalam UUPA karena pada saat itu tidak termasuk hak-hak atas tanah yang wajib didaftar dan karenanya tidak memenuhi asas publisitas untuk dapat dijadikan jaminan utang. Dalam perkembangannya Hak Pakai pun harus didaftarkan, yaitu Hak Pakai yang diberikan atas tanah Negara sebebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum angka 5 UUHT. Hak Pakai yang terjadi di atas Tanah Hak Milik saat ini belum diatur, tetapi terbuka kesempatannya untuk dijadikan obyek hak tanggungan apabila telah memenuhi dua syarat, yaitu wajib didaftarkan dan dapat dipindahtangankan untuk mempermudah pelaksanaan pembayaran utang yang dijamin pelunasannya syarat. Pasal 4 ayat (3) UUHT menegaskan terhadap hal tersebut akan diatur dalam peraturan pemerintah. 2.2.3 Pemberian Hak Tanggungan Pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT oleh PPAT sebagaimana rumusan
Pasal 10 dan Pasal 15 UUHT. Pemberi hak
tanggungan sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (1) UUHT adalah orang perorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum atas obyek hak tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum harus ada pada pemberi hak tanggungan sebagaimana ketentuan Pasal 8 ayat (2) UUHT. Sebagai suatu bentuk perjanjian, pemberian hak tanggungan harus memenuhi persyaratan subjektif dan obyektif sebagaimana syarat sahnya suatu perjanjian sesuai ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata.
64 Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja syarat subjektif pemberian hak tanggungan adalah : 1. Adanya Kesepakatan untuk memberikan hak tanggungan. 2. Kecakapan untuk memberikan hak tanggungan63 Hak tanggungan baru akan lahir manakala telah dibuat APHT di hadapan PPAT.64 Dengan demikian hak tanggungan tidak akan lahir dengan disepakatinya pemberian hak tanggungan secara lisan oleh pemilik kebendaaan yang akan dijaminkan dengan hak tanggungan tersebut. Pemberian hak tanggungan baru akan mengikat pihak ketiga, manakala pemberian hak tanggungan tersebut didaftarkan dan diumumkan. Perjanjian pemberian hak tanggungan sebagai suatu perjanjian formal mensyaratkan dibuatnya APHT di hadapan PPAT. Terkait dengan kecakapan membuat perjanjian, dapat dilihat dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT. Rumusan Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT tersebut menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja membicarakan mengenai dua hal, yaitu: 1. Mengenai kapasitas dari subyek hukum yang membuat perjanjian pemberian Hak Tanggungan. 2. Mengenai keterkaitan hubungan obyektif antara subyek hukum yang membuat perjanjian pemberian Hak Tanggungan dengan hak atas tanah yang merupakan obyek perjanjian Hak Tangungan. Sementara itu, syarat obyektif perjanjian Hak Tanggungan adalah menyangkut : 1. Tentang hal tertentu 2. Tentang sebab yang halal dalam pemberian Hak Tanggungan.65 Dalam perjanjian pemberian hak tanggungan eksistensi dari kebendaan yang telah ditentukan terlebih dulu juga merupakan hal yang sangat penting. Pasal 63
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2008, Hak Tanggungan, Cet III, Prenada Media Group, Jakarta, h. 20 dan 52. 64 Ibid, h. 26. 65 Ibid., h. 120 dan h. 133.
65 11 ayat (1) huruf e menentukan dalam APHT wajib dicantumkan mengenai uraian yang jelas mengenai obyek hak tanggungan. Selain itu rumusan Pasal 11 ayat (1) UUHT huruf c dan d merupakan penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin dan nilai tanggungan. Adanya hal kebendaan tersebut di atas merupakan suatu hal tertentu yang harus dipenuhi agar perjanjian pemberian hak tanggungan mempunyai obyek tertentu. Dalam penjelasan umum angka 8 UUHT dapat dilihat bahwa hak tanggungan tidak akan pernah ada tanpa keberadaan utang pokok. Dengan kata lain, perjanjian pokok merupakan sebab yang halal bagi adanya hak tanggungan. 2.2.4 Lahirnya Hak Tanggungan bagi Kreditor Mengenai lahirnya hak tanggungan dapat dipahami dari ketentuan Pasal 13 UUHT. Menurut ketentuan Pasal 13 ayat (1) UUHT “Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan”. Selanjutnya Pasal 13 ayat (2) menetapkan “Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan”. Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku-tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku-tanah hak atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. Mengenai penanggalan buku tanah adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku-tanah yang
66 bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya, dimana dari tanggal buku tanah tersebutlah dinyatakan sebagai lahirnya hak tanggungan.
67 BAB III AKIBAT HUKUM TIDAK DIDAFTARKANNYA APHT TERHADAP PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN YANG DIBUAT DI HADAPAN NOTARIS
3.1. Perjanjian Kredit Perbankan Yang Dibuat Dihadapan Notaris Sebagaimana telah disebutkan dalam bab sebelumnya, bahwa Pengertian Kredit dan Jaminan Kredit terdapat dalam Pasal 1 angka 11 UU Perbankan, yaitu sebagai ”Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.” Dalam mengucurkan kreditnya kepada Debitor, Kreditor menerapkan suatu prosedur pemberian kredit tertentu yang umumnya tidak jauh berbeda dari satu bank dengan bank lainnya. Menurut Kepala Bagian Legal Bank Mayapada cabang Denpasar, Ni Komang Purnama Dewi, prosedur pemberian kredit kepada Debitor di Bank Mayapada dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Tahap pengisian permohonan Pada tahap ini pemohon mengajukan permohonan untuk mendapatkan kredit dengan mengisi formulir yang disediakan serta melengkapi seluruh persyaratan yang telah ditentukan. Petugas bank kemudian akan melaksanakan wawancara terhadap calon debitor perihal permohonan kredit yang diajukan.
67
68 2. Tahap peninjauan ke lokasi proyek atau jaminan Pada tahap ini petugas Kreditor melakukan peninjauan ke lokasi jaminan yang dijaminkan oleh calon Debitor untuk mendapatkan fasilitas kredit serta petugas bank membuat bentuk hasil peninjauan ke lokasi jaminan. 3. Tahap analisa Pada tahap ini panitia kredit mengadakan analisa terhadap permohonan kredit yanhg diajukan oleh calon Debitor menyangkut Character, Capacity, Capital, Collecteral dan Condition of Economic. 4. Tahap loan Commite Setelah menganalisa permohonan kredit calon Debitor, maka dilanjutkan dengan pengambilan keputusan apakah layak/tidak layak calon Debitor tersebut mendapat fasilitas kredit, kemudian menentukan besarnya kredit yang bisa didapat dan jangka waktu kredit serta syarat-syarat lainnya yang berkaitan dengan fasilitas kredit yang diberikan. 5. Perhomonan pemberian kredit (SP2K) Pihak Kreditor menyampaikan kepada pihak Debitor bahwa permohonan pemberian kreditnya dapat terealisasi. 6. Tahap realisasi kredit Pada tahap ini dilakukan akad/penandatanganan perjanjian kredit dan pengikatan jaminan antara Debitor dengan Kreditor terhadap fasilitas kredit yang diberikan. Ni Komang Purnama Dewi menambahkan bahwa pemberian kredit untuk jumlah dibawah Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), maka perjanjian kredit dilakukan
69 dengan perjanjian kredit dibawah tangan. Namun apabila jumlah kredit yang dikucurkan untuk nasabah tertentu diatas Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), maka perjanjian kredit dilakukan dengan akta otentik. Menyimak penjelasan tersebut, penggunaan akta dibawah tangan atau akta otentik dalam perjanjian kredit ditentukan oleh nilai pinjaman yang diajukan oleh Debitor. Pilihan ini dilakukan tidak hanya mendasarkan pada kekuatan hukum akta tersebut tetapi didasarkan pada pertimbangan biaya yang akan dikenakan kepada Debitor dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perbankan memungkinkan bagi kreditur untuk menggunakan akta dibawah tangan atau dengan akta otentik. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa kedudukan Kreditor dalam perjanjian kredit tidak ditentukan oleh penggunaan akta otentik atau akta dibawah tangan melainkan ditentukan oleh pendaftaran jaminan tersebut dengan APHT. Perjanjian kredit yang dibuat di hadapan Notaris dinamakan akta otentik atau akta notariil. Secara spesifik, akta yang dibuat dihadapan (ten overstaan) notaris, dalam praktek Notaris disebut Partij Akta atau Akta Para Pihak yang berisi uraian atau keterangan pernyataan para pihak yang diberikan atau diceritakan di hadapan Notaris. Para jihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan dalam bentuk akta notaris. Sedangkan akta yang dibuat oleh (door) notaris dalam praktek notaris disebut disebut akta relaas atau Akta Berita Acara yang berisi uraian notaris yang dilihat dan disaksikan notaris sendiri
70 atas permintaan para pihak agar perbuatan atau tindakan para pihak yang akan dilakukan dituangkan dalam bentuk akta notaris.66 Akta notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-undang, hal ini merupakan salah satu karakter akta notaris, meskipun ada ketidaktepatan dalam Pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014, Nomor 3, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491, selanjutnya disebut UUJN) yang telah menempatkan syarat-syarat subjektif dan syarat obyektif sebagai bagian dari badan akta, maka kerangka notaris harus menempatkan kembali syarat-syarat subjektif dan syarat-syarat obyektif akta notaris yang sesuai dengan makna suatu perjanjian yang dapat dibatalkan, oleh karena itu kerangka akta notaris harus terdiri dari: 1. Kepala atau awal akta yang memuat : a. Judul akta. b. Nomor akta. c. Pukul, hari, tanggal, bulan dan tahun. d. Nama lengkap, dan tempat kedudukan notaris dan wilayah jabatan notaris e. Nama lengkap, tempat tanggal lahir, kewargaNegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili.
66
Habib Adjie, 2008, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris; Sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung (selanjutnya disebut Habib Adjie I), h. 55.
71 f. Keterangan
mengenai
kedudukan
bertindak
menghadap
(tindakan
penghadap dapat berupa; untuk diri sendiri selaku kuasa, selaku orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua untuk anaknya yang masih belum dewasa, selaku wali, selaku pengampu, curator (kepailitan), dalam jabatan. g. Nama lengkap, tempat tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal. 2. Badan akta yang memuat kehendak dan keinginan dari para pihak yang berkepentingan yang diterangkan atau dinyatakan di hadapan notaris atau keterangan-keterangan dari notaris mengenai yang disaksikannya atas permintaan yang bersangkutan. Isi badan akta ini harus sesuai dengan adagium bahwa satu akta otentik hanya berisi satu perbuatan hukum saja. Akta notaris yang di dalamnya memuat lebih dari satu perbuatan hukum, seperti pengakuan utang, dan surat kuasa untuk menjual tanah, maka akta notaris yang demikan tidak memiliki executorial title dan tidak sah, sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1440 K/Pdt1996, tanggal 30 Juni 1998.67 3.
Penutup atau akhir akta, yang memuat: a. Uraian tentang pembacaan akta b. Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta bila ada. c. Nama lengkap, tempat kedudukan dan tanggal lahir, jabatan, kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta 67
Ali Boediarto, 2005, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung: Hukum Acara Perdata Setengah Abad, Swa Justisia, Jakarta, hal. 157.
72 d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan dan penggantian. Akta notaris sebagai alat bukti akan mempunyai pembuktian yang sempurna apabila seluruh ketentuan, prosedur dan tata cara pembuatan akta dipenuhi. Jika ada prosedur yang tidak dipenuhi dan dapat dibuktikan maka akta tersebut melalui proses pengadilan dapat dinyatakan sebagai akta di bawah tangan yang pembuktiannya diserahkan kepada Hakim. Dalam hal perjanjian kredit bank dibuat dengan akta notaris, maka bank akan meminta notaris berpedoman kepada model perjanjian kredit bank yang isinya telah ditentukan sendiri oleh Kreditor. Ketentuan dalam formulir tersebut kebanyakan menguntungkan pihak bank/Kreditor dan cenderung merugikan pihak nasabah/Debitor. Untuk dapat lebih dapat memahami menganai perjanjian kredit dengan akta notaris, berikut ini akan dicontohkan simulasi akta perjanjian kredit dengan fasilitas kredit yang diberikan berupa Pinjaman Rekening Koran (PRK) , yaitu : PERJANJIAN KREDIT Nomor : 01 - Pada hari ini, Senin, tanggal 02-09-2013 (dua September duaribu tigabelas), pukul 10.00 WIB (sepuluh Waktu Indonesia Barat); - Berhadapan dengan saya, I PUTU SANJAYA, Sarjana Hukum, Magister Kenotariatan, Notaris berkedudukan di Denpasar, dengan wilayah jabatan seluruh Propinsi Bali, dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang akan disebut dan telah dikenal oleh saya, Notaris : 1. TUAN A, lahir di Surabaya, pada tanggal 09-10-1980 (sembilan Oktober seribu sembilanratus delapan puluh), Warga Negara Indonesia, Wiraswasta, bertempat tinggal di Jakarta, Jalan Denpasar Nomor 43, Banjar Bum I Sari, Kelurahan Dauh Puri Klod, Kecamatan Denpasar Barat, pemegang Kartu Tanda Penduduk
73 tertanggal 001-01-2014 (satu Januari duaribu empatbelas), dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) : 354502940910800003, yang berlaku hingga tanggal 01-01-2017 (satu Januari duaribu tujuh belas); - Menurut keterangannya dalam hal ini bertindak dalam jabatannya selaku Direktur Utama dari dan oleh karenanya sah mewakili Direksi dari dan sebagai demikian untuk dan atas nama perseroan terbatas PT MORAT MARIT, berkedudukan di Kotamadya Denpasar, Sudirman Agung Lantai 2, Jalan Sudirman Blok C.17, yang anggaran dasarnya telah dimuat dalam akta tertanggal 01-03-2008 (satu Maret duaribu delapan) Nomor : 02, yang dibuat di hadapan I Nyoma Sarjana Sarjana Hukum, Magister Kenotariatan, Notaris di Denpasar, yang telah mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum, sebagaimana ternyata dari Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia tertanggal 04-05-2008 (empat Mei duaribu delapan) Nomor : W8-003 HT.03-03-2008, yang untuk melakukan tindakan hukum dalam akta ini telah mendapat persetujuan dari seluruh pemegang saham, sebagaimana ternyata dalam Akta Berita Acara Rapat tertanggal 31-10-2013 (tigapuluh satu Agustus duaribu tigabelas) Nomor : 30 yang dibuat oleh saya, Notaris, yang salinan resminya bermeterai cukup dilekatkan pada minuta akta ini, demikian guna memenuhi ketentuan Pasal 12 anggaran dasar. - selanjutnya disebut juga PIHAK PERTAMA - PEMINJAM. 2.Tuan Oreo, lahir di Denpasar, pada tanggal 28-07-1991 (duapuluh delapan Juli seribu sembilan ratus sembilanpuluh satu), Warga Negara Indonesia, Swasta, bertempat tinggal di Denpasar, Jalan Dipnegoro Nomor 43, Banjar Pekandelan, Kelurahan Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, pemegang Kartu Tanda Penduduk tertanggal 28-07-2012 (duapuluh delapan Juli duaribu duabelas) dengan Nomor Induk Kependudukan : 357925482807910003, yang berlaku hingga tanggal 28-07-2017 (duapuluh delapan Juli duaribu tujuhbelas) - Menurut keterangannya dalam hal ini bertindak dalam jabatannya selaku Direktur Utama sah mewakili Direksi dari dan sebagai demikian untuk dan atas nama perseroan terbatas PT BANK MAYAPADA INTERNASIOANAL, Tbk, berkedudukan di Denpasar, Graha Dewi Sartika Lantai 4, Jalan Dewi sartika Nomor 30, yang anggaran dasarnya telah dimuat dalam : - Berita Negara Republik Indonesia tanggal 08-08-1995 (delapan Agustus seribu sembilanratus sembilanpuluh lima) Nomor : 212, Tambahan Nomor : 250, kemudian anggaran dasar mana diubah dengan akta-akta : - tertanggal 07-07-2008 (tujuh Juli duaribu delapan) Nomor : 07, dibuat dihadapan I Made Ramping, Sarjana Hukum, Notaris di Jakarta, yang laporannya telah diterima dan dicatat dalam Database Sisminbakum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia tertanggal 10-08-2008 (sepuluh Agustus duaribu delapan) Nomor : AHU-AH.01.08.250781; dan untuk melakukan tindakan hukum dalam akta ini, Direksi telah mendapatkan persetujuan dari Dewan Komisaris Perseroan, sebagaimana ternyata dari akta tertanggal 03-11-2013 (tiga November duaribu tigabelas) Nomor : 03, yang dibuat di hadapan SANY VERDINAN, Sarjana Hukum,
74 Notaris di Denpasar, demikian guna memenuhi ketentuan anggaran dasar perseroan tersebut. - selanjutnya disebut juga PIHAK KEDUA - BANK. - Para Penghadap telah dikenal oleh saya, Notaris. - Para Penghadap masing-masing bertindak dalam kedudukan mereka tersebut di atas, menerangkan bahwa Bank dan Peminjam telah saling setuju untuk dan dengan ini membuat Perjanjian Kredit dengan memakai syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan sebagai berikut : Pasal 1 - Bank membuka/menyediakan pada kantornya di Denpasar, dalam jangka waktu 12 (duabelas) bulan, terhitung mulai tanggal 25-11-2013 (duapuluh lima November duaribu tigabelas) sampai dengan tanggal 25-11-2014 (duapuluh lima November duaribu empatbelas), untuk selanjutnya disebut "Jangka Waktu Kredit", fasilitas Pinjaman Rekening Koran (PRK) yang digunakan untuk modal usaha dengan nomor rekening 651290239483479 untuk Peminjam sebagai berikut : 1. - Maksimum kredit ditetapkan sebesar Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar Rupiah) 2. - Bunga sebesar 12 % (duabelas persen) per tahun efektif dan provisi sebesar 1% (satu persen) serta biaya administrasi sebesar Rp 3.000.000,00 (tigajuta Rupiah) dibayar di muka, selanjutnya besar bunga tersebut dapat ditinjau setiap saat oleh Bank untuk disesuaikan dengan kondisi pasar uang. Pasal 2 - Selama Perjanjian Kredit ini berlaku, maka Peminjam dapat mempergunakan kesempatan berhutang yang diberikan kepadanya, dengan mengingat batas banyaknya hutang seperti tersebut di dalam Pasal 1 di atas, dengan menandatangani dan memberikan cek, giro bilyet dan/atau tanda penerimaan uang pinjaman kepada Bank. Pasal 3 - Cek, giro bilyet, atau tanda penerimaan uang Pinjaman yang diberikan oleh Peminjam menurut Pasal 2 selama Perjanjian Kredit ini berlaku akan dibayar oleh Bank. Pasal 4 1. - Pembayaran dan penerimaan seperti tersebut di atas akan dibukukan oleh Bank di alam suatu rekening koran yang Peminjam berhak untuk meminta kutipan atau salinannya. 2. - Jikalau Peminjam di dalam 15 (limabelas) hari setelah menerima rekening koran tidak mengajukan keberatan-keberatannya tentang rekening koran itu dengan surat, maka rekening koran itu dianggap telah disetujui oleh Peminjam. Pasal 5 1. - Sehubungan dengan apa yang diuraikan di atas, maka Peminjam mengakui benar-benar dan secara sah telah berhutang pada Bank/disebabkan karena pinjaman uang yang diterima oleh Peminjam dari Bank berdasarkan Perjanjian Kredit ini, uang dengan jumlah pokok sebesar Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar Rupiah), demikian berikut bunga-bunga, biaya-biaya, serta lain-lain jumlah uang
75 yang wajib dibayar oleh Peminjam kepada Bank berdasarkan Perjanjian Kredit ini. 2. - Bank dengan ini menerima baik Pengakuan Hutang yang diberikan oleh Peminjam sebagaimana diuraikan di atas. Pasal 6 - Tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan dalam Pasal 8 di bawah ini, Peminjam wajib membayar kembali kepada Bank setiap jumlah yang terhutang dalam waktu 24 (duapuluh empat) bulan, pada tanggal jatuh tempo atau tanggal 25-11-2014 (duapuluh lima November duaribu empatbelas) Pasal 7 - Perjanjian Kredit ini berlaku mulai tanggal akta ini ditandatangani dan sewaktuwaktu dapat diperpanjang atas persetujuan dari pihak-pihak dalam akta ini. Pasal 8 - Menyimpang dari apa yang ditentukan dalam Pasal 6 dan Pasal 7 di atas, Bank berhak untuk menuntut/menagih pembayaran atas segala sesuatu yang terhutang oleh Peminjam kepada Bank berdasarkan Perjanjian Kredit ini dengan seketika dan sekaligus tanpa somasi lagi, bilamana terjadi atau timbul salah satu hal atau peristiwa tersebut di bawah ini : a. - Bilamana antara Bank dan Peminjam tidak tercapai persetujuan tentang besarnya bunga yang harus dibayar oleh Peminjam; b. - Bilamana hutang pokok atau bunga atau lain-lain jumlah yang terhutang berdasarkan Perjanjian Kredit ini tidak dibayar lunas pada waktunya; c. - Bilamana menurut Bank, Peminjam lalai memenuhi syarat-syarat lain dalam Perjanjian Kredit ini; d. - Jika sesuatu pernyataan, surat keterangan, atau dokumen yang diberikan dalam Perjanjian ini ternyata tidak benar; e. - Bilamana Peminjam atau orang/pihak lain yang menanggung atau menjamin hutang Peminjam mengajukan permohonan untuk dinyatakan dalam keadaan pailit; f. - Bilamana Peminjam dan/atau Penanggung bubar atau dipailitkan; catatan : bila Peminjam adalah perorangan, poin ini diganti "Bilamana Peminjam meninggal dunia atau dinyatakan berada di bawah pengampuan". g. - Jika kekayaan Peminjam atau Penanggung seluruhnya atau sebagian disita oleh yang berwajib; Pasal 9 - Peminjam dengan ini memberi kuasa kepada Bank untuk mendebet/memotong Rekening Peminjam pada setiap cabang dari Bank untuk : a. - Ongkos-ongkos Perjanjian Kredit ini dan perjanjian-perjanjian jaminannya, serta ongkos-ongkos yang timbul secara langsung maupun tidak langsung dari Perjanjian Kredit ini dan pelaksanaannya, termasuk ongkos-ongkos penasehat hukum Bank, Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah, materai, dan segala ongkos untuk menagih Hutang ini dan pelaksanaan perjanjian-perjanjian jaminan. b. - Bunga dan ongkos-ongkos lain. Pasal 10 Untuk menjamin lebih jauh pembayaran kembali hutang Debitor kepada Debitor, baik hutang pokok, bunga, denda, provisi dan biaya lainnya atau pembayan apapun juga,
76 yang harus dibayar oleh Debitor kepada Kreditor secara tertib dan sebagaimana mestinya berdasarkan perjanjian ini, termasuk semua perubahan, penambahan dan/atau pembaharuannya, yang telah/akan dibuat antara Kreditor dan Debitor, maka Debitor dan/atau Penjamin menyerahkan: -Sebidang tanah sertipikat Hak Milik Nomor 1908/Desa Kesiman, seluas 265 (dua ratus enam puluh lima meter persegi (gambar situasi tanggal delapan September seribu Sembilan ratus delapan puluh delapan (08-09-1988), Nomor 5961/1988, terletak di Propinsi Bali . Kota Denpasar, Kecamatan Denpasar Timur, Kelurahan Kesiman tertulis atas I Nyoman Marga demikian berikut segala yang telah ada dan/atau di kemudian hari aka nada, didirikan atau tertanam di atas tanah tersebutyang menurut sifat dan peruntukannya serta menurut Undang-Undang dianggap sebagai benda tetap. (Selanjutnya disebut barang jaminan)
- Jaminan mana akan dibebani Hak Tanggungan Peringkat I (pertama) oleh Pemberi Jaminan atau Peminjam kepada Bank, dengan menandatangani Akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan/Akta Pemberian Hak Tanggungan tersendiri yang akan ditandatangani di hadapan saya, Notaris, dan/atau di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang, akta mana merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan akta Perjanjian Kredit ini dan/atau perpanjangan, tambahan serta perubahan-perubahannya kemudian. Pasal 11 - Mengenai Perjanjian Kredit ini dan segala akibatnya serta pelaksanaannya Peminjam memilih tempat tinggal yang tetap dan seumumnya di Kantor Panitera Pengadilan Negeri ... atau Pengadilan Negeri lain yang ditunjuk oleh Bank. - Para pihak menyatakan dengan ini menjamin akan kebenaran identitas para pihak sesuai tanda pengenal yang disampaikan kepada saya, Notaris, dan bertanggung jawab sepenuhnya atas hal tersebut, dan selanjutnya para pihak juga menyatakan telah mengerti dan memahami isi akta ini. -----------------------------DEMIKIANLAH AKTA INI-------------------------------- Dibuat sebagai minuta dan dilangsungkan di Denpasar, pada hari dan tanggal tersebut pada Kepala Akta ini, dengan dihadiri oleh : 1. Nona WAYAN SUGENDRI, lahir di Denpasar, pada tanggal 26-01-1988 (duapuluh enam Januari seribu sembilanratus delapan puluh delapan), Warga Negara Indonesia, Karyawan Notaris, bertempat tinggal di Denpasar, Jalan Hidup Nomor 48, Banhar Bumi Shanti, Denpasar Selatan, pemegang Kartu Tanda Penduduk tertanggal 26-01-2012 (duapuluh enam Januari duaribu duabelas) dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) : 357925482601880003, yang berlaku hingga tanggal 26-01-2017 (duapuluh enam Januari duaribu tujuhbelas); dan 2. Nona JULIANI, lahir di Denpasar, pada tanggal 04-07-1986 (empat Juli seribu sembilanratus delapanpuluh enam), Warga Negara Indonesia, Karyawan Notaris, bertempat tinggal di Denpasar Permata Hijau Blok C5 Nomor 10, Banjar Bumi Sari, Kelurahan Pejuang, Kecamatan Denpasar Utara, , pemegang Kartu Tanda Penduduk tertanggal 04-07-2012 (empat Juli duaribu duabelas) dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) : 357925480407860001, yang berlaku hingga tanggal 04-07-2017 (empat Juli duaribu tujuhbelas), keduanya sebagai saksi-saksi.
77 - Segera setelah akta ini saya, Notaris bacakan kepada para Penghadap dan saksisaksi, maka seketika itu juga akta ini ditandatangani oleh para Penghadap, saksisaksi, dan saya, Notaris. - Dilangsungkan dengan tanpa perubahan. Syarat subjektif mengenai keabsahan perjanjian kredit dicantumkan dalam awal akta, dan syarat obyektif dicantumkan dalam badan akta sebagai isi akta. Isi akta merupakan perwujudan dari Pasal 1338 KUH Perdata mengenai kebebasan berkontrak dan memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para pihak mengenai perjanjian yang dibuatnya. Dengan demikian jika dalam awal akta, terutama syarat-syarat para pihak yang menghadap Notaris tidak memenuhi syarat subjektif, maka atas permintaan orang tertentu akta tersebut dapat dibatalkan. Jika dalam isi akta tidak memenuhi syarat obyektif, maka akta tersebut batal demi hukum. Oleh karena Pasal 38 ayat (3) huruf a UUJN telah menentukan bahwa syarat subjektif dan syarat obyektif bagian dari badan akta, maka timbul kerancuan, antara akta yang dapat dibatalkan dengan akta yang batal demi hukum. Sehingga jika diajukan untuk membatalkan akta Notaris karena tidak memenuhi syarat subjektif, maka dianggap membatalkan seluruh badan akta, termasuk membatalkan syarat obyektif. Syarat subjektif ditempatkan sebagai bagian dari awal akta, dengan alasan meskipun syarat subjektif tidak dipenuhi sepanjang tidak ada pengajuan pembatalan dengan cara gugatan dari orang-orang tertentu, maka isi akta notaris yang berisi syarat
78 obyektif tetap mengikat para pihak, hal ini berbeda jika syarat obyektif tidak dipenuhi, maka akta dianggap tidak pernah ada.68 Contoh simulasi akta perjanjian kredit yang diuraikan di atas memiliki empat bagian, yaitu: 1. Judul Perjanjian Dalam praktek judul yang dipergunakan bank untuk akta perjanjian kredit berbeda-beda, ada yang menyebut Perjanjian Kredit dengan Jaminan, atau Perjanjian Membuka Kredit. Judul simulasi akta perjanjian kredit diatas adalah Perjanjian Kredit. 2. Komparisi Bagian ini yang memuat keterangan tentang orang/pihak yang bertindak mengadakan perbuatan hukum. Penuangannya berupa: a. Uraian terperinci tentang identitas, yang meliputi nama, pekerjaan dan domisili para pihak. Dalam perjanjian di atas maka terlihat pihak I adalah TUAN A, lahir di Surabaya, pada tanggal 09-10-1980 (sembilan Oktober seribu sembilanratus delapan puluh), Warga Negara Indonesia, Wiraswasta, bertempat tinggal di Jakarta, Jalan Denpasar Nomor 43, Banjar Bumi Sari, Kelurahan Dauh Puri Klod, Kecamatan Denpasar Barat, pemegang Kartu Tanda Penduduk tertanggal 01-01-2014 (satu Januari duaribu empatbelas), dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) : 354502940910800003, yang berlaku hingga tanggal 01-01-2017. 68
Habib Adjie, 2009, Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia : Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung ( sealnjutnya disebut Habib Adjie II), h. 125.
79 - Menurut keterangannya dalam hal ini bertindak dalam jabatannya selaku Direktur Utama dari dan oleh karenanya sah mewakili Direksi dari dan sebagai demikian untuk dan atas nama perseroan terbatas PT MORAT MARIT, berkedudukan di Kotamadya Denpasar, Sudirman Agung Lantai 2, Jalan Sudirman Blok C.17, yang anggaran dasarnya telah dimuat dalam akta tertanggal 01-03-2008 (satu Maret duaribu delapan) Nomor : 02, yang dibuat di hadapan I Nyoma Sarjana Sarjana Hukum, Magister Kenotariatan, Notaris di Denpar, yang telah mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum, sebagaimana ternyata dari Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia tertanggal 04-05-2008 (empat Mei duaribu delapan) Nomor : W8-003 HT.03-03-2008, Pihak II adalah TUAN OREO, lahir di Denpasar, pada tanggal 28-07-1991 (duapuluh delapan Juli seribu sembilan ratus sembilanpuluh satu), Warga Negara Indonesia, Swasta, bertempat tinggal di Denpasar, Jalan Dipnegoro Nomor 43, Banjar Pekandelan, Kelurahan Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan,
pemegang
Kartu
Tanda
Penduduk
tertanggal 28-07-2012
(duapuluh delapan Juli duaribu duabelas) dengan Nomor Induk Kependudukan : 357925482807910003, yang berlaku hingga tanggal 2807-2017 (duapuluh delapan Juli duaribu tujuhbelas). b. Dasar hukum yang memberi kewenangan yuridis untuk bertindak dari para pihak untuk melakukan tindakan hukum dalam akta ini, yaitu: Pihak I menurut keterangannya dalam hal ini bertindak dalam jabatannya selaku Direktur Utama dari dan oleh karenanya sah mewakili Direksi dari dan
80 sebagai demikian untuk dan atas nama perseroan terbatas PT MORAT MARIT, berkedudukan di Kotamadya Denpasar, Sudirman Agung Lantai 2, Jalan Sudirman Blok C.17, yang anggaran dasarnya telah dimuat dalam akta tertanggal 01-03-2008 (satu Maret duaribu delapan) Nomor : 02, yang dibuat di hadapan I Nyoma Sarjana Sarjana Hukum, Magister Kenotariatan, Notaris di Denpasar, yang telah mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum, sebagaimana ternyata dari Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia tertanggal 04-05-2008 (empat Mei duaribu delapan) Nomor : W8-003 HT.03-03-2008. Pihak II Tuan Oreo telah mendapat persetujuan dari seluruh pemegang saham, sebagaimana ternyata dalam Akta Berita Acara Rapat tertanggal 31-10-2013 (tigapuluh satu Agustus duaribu tigabelas) Nomor : 30 yang dibuat oleh saya, Notaris, yang salinan resminya bermeterai cukup dilekatkan pada minuta akta ini, demikian guna memenuhi ketentuan Pasal 12 anggaran dasar. c. Kedudukan para pihak dalam hal ini pihak I dan pihak II adalah Badan Hukum. 3. Penutup Bagian akhir akta/penutup memuat hal-hal sebagai berikut : a. Pilihan domisili hukum para pihak b. Tempat dan tanggal perjanjian di tandatangani c. Tanggal mulainya berlaku perjanjian kredit Terkait dengan klausul kredit, dalam praktek, bentuk dan materi Perjanjian kredit tidak selalu sama. Simulasi perjanjian kredit dengan pemberian
81 fasilitas PRK (pinjaman rekening Koran) yang dipaparkan di atas berisi klausulaklausula sebagai berikut: I. Klausul Fasilitas Kredit Ketentuan–ketentuan yang berkaitan dengan fasilitas kredit umumnya terdiri dari: a. Jenis, jumlah, dan jangka waktu fasilitas. b. Penarikan fasilitas kredit, jangka waktu penarikan, Cara penarikan, bukti penarikan. c. Pembuktian hutang antara lain berupa Promes/CAR/atau PK tersebut. d. Cara Pembayaran kembali (installment atau langsung) Pembayaran kembali lebih cepat/awal (Voluntary or Mandatory) e. Bunga. f. Komisi dan Fee. g. Bunga denda (apabila terjadi keterlambatan pembayaran). h. Pembukuan (lokasi dimana bank akan membukukan pinjaman tersebut). II. Klausul Kuasa Mendebet Rekening Klausula ini dicantumkan sebagai dasar dari hak bank untuk melakukan pendebetan dari rekening-rekening Debitor yang ada di Bank. III. Klausul Penggunaan Fasilitas Kredit Tujuan penggunaan fasilitas kredit yang diberikan oleh bank kepada Debitor. IV. Klausul Syarat Penarikan Pinjaman (Drawdown Condition) a. Sebelum penandatanganan perjanjian kredit dan sebelum suatu kredit dapat dicairkan Debitor, disyaratkan untuk menyerahkan beberapa
82 dokumen-dokumen atau data yang dianggap penting oleh bank. antara lain: 1. Dokumen-dokumen perusahaan/Identitas Debitor. 2. Asli surat kuasa. 3. Salinan surat izin usaha perdagangan dan/atau surat-surat izin lainnya. 4. Asli bukti-bukti hak kepemilikan atas Jaminan 5. Invoice/Daftar tagihan-tagihan/dokumen lain yang sejenis yang mencantumkan ketentuan bahwa pembayaran melalui rekening Debitor yang ada di Bank. 6. Semua Perjanjian Jaminan telah ditanda tangani dan dalam bentuk dan isi yang disetujui bank. b. Debitor tidak sedang dalam keadaan lalai berdasarkan ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Perjanjian ini atau berdasarkan sebab lain sesuai pertimbangan baik bank. V. Klausul Pernyataan Debitor (Representations and Warranties) Klausula ini berisikan pernyataan-pernyataan dari Debitor mengenai: Kewenangan bertindak, Kekuatan perjanjian, Tidak ada tuntutan/sengketa dari pihak ketiga terutama yang dapat berakibat secara materiil, kebenaran datadata yang diberikan oleh Debitor termasuk diantaranya Laporan Keuangan, keabsahan Debitor untuk menjalankan usaha yang dibuktikan dengan perijinan dari lembaga-lembaga yang berwenang, Tidak adanya tunggakan Pajak yang harus dibayar, serta Debitor tidak dalam keadaan pailit atau digugat pailit oleh Pihak ketiga.
83 VI. Klausul Affirmative Covenant Dalam pelaksanaan pemberian kredit bank harus memberikan batasan-batasan yang harus dipenuhi oleh Debitor (Affirmative Covenant) selama dalam masa pemberian kredit. Ada beberapa covenant standard yang biasanya wajib dicantumkan dalam perjanjian kredit antara lain adalah: a. Menggunakan Fasilitas Kredit seperti yang dipersyaratkan; b. Mengasuransikan seluruh barang-barang yang dijadikan jaminan/agunan Fasilitas Kredit; c. Memberikan ijin kepada bank atau petugas-petugas yang diberi kuasa oleh bank untuk melakukan pemeriksaan (audit) terhadap buku-buku, catatancatatan dan administrasi Debitor serta memeriksa keadaan barang-barang jaminan, dan melakukan peninjauan ke dalam proyek, bangunan bangunan lain dan kantor-kantor yang digunakan Debitor; d. Memberikan segala informasi/keterangan/data-data (seperti, namun tidak terbatas pada laporan keuangan Debitor), segala sesuatu sehubungan dengan keuangan dan usaha Debitor, bilamana terjadi keadaan yang dapat mempengaruhi keadaan usaha atau keuangan Debitor, setiap waktu, baik diminta maupun tidak diminta oleh bank; VII. Menyerahkan data yang diminta oleh Bank dalam rangka pengawasan pemberian kredit yaitu, antara lain namun tidak terbatas pada Laporan keuangan, laporan inventory, daftar tagihan dan lain-lain. Selain covenant di atas, dapat pula ditambahkan affirmative covenant lain yang disesuaikan dengan struktur dari fasilitas kredit yang diberikan.
84 VII. Klausul Negative Covenant Pelaksanaan pemberian kredit bank harus memberikan batasan-batasan yang tidak boleh dilakukan oleh Debitor (Negative Covenant) selama dalam masa pemberian kredit. Pelarangan/pembatasan tersebut dilakukan dalam rangka memperkuat posisi bank selaku pemberi pinjaman. Adapun covenant baku yang wajib dimasukkan dalam perjanjian kredit antara lain adalah: a. Pelarangan untuk menjual /menyewakan asset; b. Tidak menjaminkan asset pada pihak lain; c. Pelarangan untuk menerima pinjaman lain; d. Pelarangan untuk menjadi Penjamin/Penanggung, kecuali melakukan endorsemen atas surat-surat yang dapat diperdagangkan untuk keperluan pembayaran atau penagihan transaksi-transaksi lain yang lazim dilakukan dalam menjalankan usaha; e. Pelarangan untuk memberikan pinjaman; f. Pelarangan untuk mengumumkan dan membagikan deviden saham Debitor; g. Pelarangan untuk melakukan merger atau akuisisi; h. Pelarangan untuk membayar atau membayar kembali pinjaman pemegang saham; i. Pelarangan untuk merubah sifat dan kegiatan usaha Debitor seperti yang sedang dijalankan dewasa ini; j. Pelarangan untuk mengubah susunan pengurus (Direksi dan Komisaris), susunan para pemegang saham, dan nilai saham.
85 Selain covenant di atas, dapat pula ditambahkan negative covenant lain yang disesuaikan dengan struktur dari fasilitas kredit yang diberikan. VIII. Klausul Perlindungan Terhadap Penghasilan Bank Selama masa pemberian kredit, bank selaku Kreditor wajib memperhatikan kemungkinan-kemungkinan timbulnya biaya-biaya yang harus dibayar berkaitan dengan pemberian kredit tersebut. Debitor akan dibebankan biaya–biaya tersebut dan dengan adanya klausula ini maka Debitor menyadari bawah setiap biaya yang timbul harus dibayar atau ditanggung apabila ternyata Bank terpaksa melakukan pembayaran terlebih dahulu maka Debitor akan menggantinya dalam waktu secepatnya. Adapun biayabiaya yang biasanya timbul adalah: a. Biaya pihak ketiga b. Biaya yang diwajibkan oleh undang-undang. IX. Klausul Jaminan Untuk menjamin pembayaran dari pinjaman yang diberikan, Debitor diminta untuk menyerahkan jaminan kepada bank dimana jaminan tersebut akan diikat sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Untuk nasabah yang mendapatkan beberapa fasilitas (pinjaman tidak dalam satu perjanjian) dimana masing masing fasilitas dijamin oleh jaminan yang berbeda sebaiknya dicantumkan pula ketentuan mengenai Cross Collateral. X.
Klausul Kompensasi Pasal mengenai Kompensasi ini diatur berkaitan dengan adanya pasal 1425 sampai dengan 1429 KUH Perdata mengenai kompensasi hutang. Klausul
86 Kompensasi ini berisikan persetujuan dari Debitor untuk melepaskan hakhaknya yang diatur dalam pasal tersebut, sehingga Debitor tidak dapat mengkompensasikan piutang piutang dagang yang ia miliki kepada bank (bila ada) dengan hutangnya kepada bank. XI. Pengalihan Hak Maksud dari pencantuman klausula pengalihan hak ini, Debitor telah memberikan persetujuan kepada bank untuk mengalihkan pinjaman kepada Pihak ketiga dengan tanpa merubah kondisi yang telah disetujui sebelumnya. Sedangkan Debitor tidak dapat mengalihkan pinjamannya kepada pihak lain tanpa adanya persetujuan dari bank. XII. Klausul Kelalaian Klausula ini mencantumkan beberapa kondisi yang dapat menyebabkan Debitor dalam keadaan lalai atau dalam keadaan default sehingga seluruh kewajiban Debitor menjadi jatuh tempo dan harus dibayarkan kembali dengan seketika dan sekaligus seluruhnya, tanpa perlu adanya surat teguran juru sita atau surat lainnya yang serupa dengan itu apabila terjadi salah satu kejadian di bawah ini: a.
Payment Default / lalai membayar kembali kewajibannya;
b.
Pelanggaran atas ketentuan Perjanjian;
c.
Memberikan informasi yang tidak benar;
d.
Keadaan keuangan, bonafiditas dan solvabilitas Debitor mundur sedemikian rupa yang dapat mengakibatkan Debitor tidak dapat membayar hutangnya lagi;
87 e.
Debitor dinyatakan dalam keadaan pailit atau meminta penundaan pembayaran hutang (surseance van betaling);
f.
Debitor dibubarkan atau mengambil keputusan untuk bubar;
g.
Asset Debitor seluruhnya atau sebagian disita oleh instansi yang berwajib
dan
dianggap
menjadi
berkurang
sehingga
dapat
membahayakan pengembalian kredit; h.
Jaminan disita oleh instansi yang berwenang, atau rusak atau musnah karena sebab apapun juga;
i.
Debitor atau Penjamin lalai terhadap perjanjian lain terutama perjanjian yang dapat meyebabkan Debitor wajib membayar jumlah tertentu;
j.
Bilamana tidak dapat diperoleh salah satu atau beberapa atau seluruh ijin, persetujuan atau wewenang, baru maupun perpanjangannya, yang dikeluarkan oleh instansi yang berwajib dan yang disyaratkan;
k.
XIII.
Nilai asset/kekayaan milik Debitor menurut penilaian bank menurun. Klausula Ketentuan Tambahan dan Penutup Pada bagian terakhir dari perjanjian kredit diatur mengenai ketentuanketentuan yang belum tertampung secara khusus di dalam klausulaklausula baku dalam perjanjian kredit. Klausula ini dimaksudkan untuk mengatur syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang menyimpang dari syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan lain yang telah tercetak di dalam perjanjian kredit. Sebagaimana disebutkan bahwa simulasi akta perjanjian kredit di atas
merupakan perjanjian kredit dengan fasilitas Pinjaman Rekening Koran (PRK).
88 Fasilitas kredit secara umum diartikan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya dalam jangka waktu tertentu dengan bunga, imbalan atau pembagian hasil.69 Adapun jenis-jenis fasilitas kredit yang umum dikenal dalam perbankan terdiri dari beberapa kategori, yaitu: 1. Menurut tujuan pemberian 2. Menurut penggunaan 3. Menurut jangka waktu kredit 4. Menurut bentuk jaminan 5. Menurut Status Hukum Debitor 6. Menurut segmen usaha 7. Menurut sifat pemakaian dana 8. Menurut sumber pembiayaan 9. Menurut golongan Debitor 10. Menurut dasar kebijaksanaan 11. Kredit Non Cash (Non Cash Loan). 3.2 Fungsi Pembuatan APHT Oleh PPAT Terhadap Perjanjian Kredit Perbankan Istilah perjanjian kredit secara definitif tidak dikenal di dalam UU Perbankan, namun bila ditelaah lebih lanjut mengenai pengertian kredit dalam 69
Thomas Suyatno et.al, 1995, Dasar-Dasar Kredit: Bagian Keempat Gramedia Pusataka Utama, Jakarta, h. 214.
89 Pasal 1 angka 11 UU Perbankan, tercantum kata-kata persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam. Kata-kata tersebut menegaskan bahwa hubungan kredit adalah hubungan kontraktual yaitu hubungan yang berdasarkan pada perjanjian yang berbentuk pinjam-meminjam. Perjanjian kredit itu sendiri mengacu pada perjanjian pinjam-meminjam. Definisi perjanjian pinjam meminjam terdapat dalam ketentuan
Pasal
1754 KUH Perdata, yaitu : Perjanjian pinjam-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. Walaupun perjanjian kredit berakar dari perjanjian pinjam-meminjam, tetapi perjanjian kredit berbeda dengan perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana ketentuan KUH Perdata. Dalam prakteknya ada 2 bentuk perjanjian kredit, yaitu: (1) Perjanjian kredit yang dibuat dibawah tangan, atau dinamakan akta di bawah tangan. Akta di bawah tangan pada dasarnya adalah suatu akta yang dibuat oleh para pihak untuk suatu kepentingan atau tujuan tertentu tanpa mengikutsertakan pejabat yang berwenang. Jadi dalam suatu akta di bawah tangan, akta tersebut cukup dibuat oleh para pihak itu sendiri dan kemudian ditandatangani oleh para pihak tersebut, misalnya kwitansi dan surat perjanjian utang-piutang.70 Dalam kaitan dengan perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya, akta di bawah tangan hanya dibuat diantara 70
Subekti, 1996, Pembuktian dan Daluwarsa, Intermasa, Jakarta (selanjutnya disebut Subekti II), h. 75.
90 mereka selaku Kreditor dan Debitor tanpa notaris. Pada prakteknya perjanjian kredit bank adalah perjanjian baku yang telah dibuat sendiri oleh bank kemudian ditawarkan kepada Debitor untuk disepakati. Untuk mempermudah dan mempercepat kerja bank, biasanya bank sudah menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standar yang isi, syarat-syarat dan ketentuannya disiapkan terlebih dahulu secara lengkap yang kemudian disodorkan kepada setiap calon-calon Debitor untuk diketahui dan dipahami dalam rangka penandatanganan perjanjian kredit tersebut. Jadi calon Debitor mau atau tidak mau, dengan terpaksa atau sukarela, harus menerima semua persyaratan yang tercantum dalam formulir kredit walaupun tidak setuju terhadap pasal-pasal tertentu. Hal tesebut dikarenakan calon Debitor sangat membutuhkan kredit atau berada pada posisi lemah. Akta di bawah tangan ini diatur dalam Pasal 1874 - 1984 KUH Perdata. Menurut Pasal 1874 KUH Perdata “Akta di bawah tangan adalah surat atau tulisan yang dibuat oleh para pihak tidak melalui perantaraan pejabat yang berwenang (pejabat umum) untuk dijadikan alat bukti”. Kemudian dari ketentuan Pasal 1875 KUH Perdata dapat dipahami bahwa akta di bawah tangan mempunyai kekuatan hukum pembuktian seperti juga akta otentik, jika tanda tangan yang ada dalam akta tersebut diakui oleh yang menandatangani.
Untuk pembuktian di depan
Hakim, jika salah satu pihak mengajukan bukti akta di bawah tangan, dan akta tersebut dibantah oleh pihak lawannya, maka pihak yang mengajukan akta di bawah tangan itu yang harus mencari bukti tambahan (misalnya saksisaksi). Ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa akta di bawah tangan
91 yang diajukan sebagai alat bukti tersebut benar-benar ditandatangani oleh pihak yang membantah. Untuk itu agar akta di bawah tangan tidak mudah dibantah atau disangkal kebenaran tandatangan yang ada dalam akta tersebut dan untuk memperkuat pembuktian di depan Hakim, maka akta yang dibuat dibawah tangan sebaiknya dilakukan legalisasi oleh Notaris. Apabila akta di bawah tangan dilegalisasi, maka Hakim telah memperoleh kepastian mengenai tanggal dan identitas dari pihak yang mengadakan perjanjian tersebut serta tanda tangan yang dibubuhkan di bawah surat itu benar berasal dan dibubuhkan oleh orang yang namanya tercantum dalam surat itu dan orang yang membubuhkan tanda tangannya di bawah surat itu tidak lagi dapat mengatakan bahwa para pihak atau salah satu pihak tidak mengetahui apa isi surat itu, karena isinya telah dibacakan dan dijelaskan terlebih dahulu sebelum para pihak membubuhkan tandatangannya.. (2). Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris disebut akta otentik atau akta notariil. Pihak yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah seorang notaris, namun dalam praktek semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh Kreditor kemudian diberikan kepada notaris untuk dirumuskan dalam akta notariil. Memang notaris dalam membuat perjanjian hanyalah merumuskan apa yang diinginkan para pihak dalam bentuk akta notariil atau akta otentik. Menurut Pasal 1868 KUH Perdata “Akta otentik adalah akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
92 Artinya akta otentik dianggap sah dan benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki keabsahan tanda tangan pihak-pihak tersebut. Apabila akta otentik diajukan sebagai alat bukti di depan Hakim kemudian pihak lawan membantah akta tersebut maka pihak pembantah yang harus melakukan pembuktian kebenaran bantahannya. Guna menjamin terpenuhinya hak-hak pihak bank selaku Kreditor atas jaminan Debitor maka perjanjian kredit dengan jaminan hak atas tanah harus dibuat dalam suatu akta otentik berupa APHT yang dibuat dihadapan PPAT. Pengertian mengenai APHT sangat terkait erat dengan pengertian mengenai hak tanggungan. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UUHT pada dasarnya menunjukan bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan atas hak atas tanah untuk pelunasan utang dari Debitor kepada Kreditor yang mengandung hak mendahului (hak preferent) sehubungan dengan perjanjian kredit yang dibuat antara Debitor dan Kreditor sehubungan dengan adanya utang piutang. Hak Tanggungan menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UUHT adalah : Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu-kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor tertentu terhadap Kreditor-Kreditor lain. Dari pengertian tersebut terkandung beberapa unsur pokok, terkait dengan hak tanggungan, yaitu : 1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang; 2. Obyek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA;
93 3. Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu-kesatuan dengan tanah itu; 4. Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu; 5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor tertentu terhadap Kreditor-Kreditor lain.71 Dalam penjelasan umum dari UUHT dikemukakan bahwa sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat, hak tanggungan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a. Memberikan
kedudukan
yang
diutamakan
atau
mendahului
kepada
pemegangnya. b. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu berada. c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan. d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Kemudian Pasal 10 ayat (2) UUHT menentukan bahwa “Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sebagaimana ketentuan yang berlaku”. Ketentuan ini mengandung arti bahwa Hak Tanggungan harus dan hanya dapat diberikan melalui APHT yang dibuat PPAT. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa APHT adalah akta otentik yang dibuat PPAT sebagai hak jaminan pelunasan utang dari Debitor kepada Kreditor dalam suatu pinjaman atau kredit. Apabila dilihat dari segi perjanjian 71
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan (Asas-Asas, KetentuanKetentuan Pokok Dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan), Alumni, Bandung, 1999, h. 11.
94 kredit perbankan maka fungsi pembuatan APHT oleh PPAT adalah sebagai perjanjian tambahan, dimana APHT itu keberadaannya/eksistensinya ditentukan oleh perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok. Berdasarkan uraian Pasal 11 ayat (2) UUHT dijelaskan bahwa dalam APHT dapat dicantumkan janji-janji yang merupakan kewajiban pemberi hak tanggungan atau Debitor kepada pemegang hak tanggungan atau Kreditor. Hal ini berarti, dilihat dari segi isi atau materi, APHT adalah akta otentik yang mengatur syarat-syarat bagaimana Debitor memenuhi kewajibannya kepada Kreditor. Janji-janji yang diberikan oleh kedua belah pihak sebagaimana
yang
disebut dalam Pasal 11 ayat (2) yang bersifat fakultatif artinya boleh dikurangi ataupun ditambah asal tidak bertentangan dengan UUHT sehingga tidak mempunyai pengaruh terhadap sahnya APHT. Walaupun bersifat fakultatif tetapi ada janji yang wajib dicantumkan dalam APHT adalah apa yang disebut dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e UUHT yaitu “Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila Debitor cidera janji”. Jadi dalam UUHT kewenangan tersebut bukan didasarkan pada janji pemberi hak tanggungan melainkan merupakan hak yang diberikan oleh undang-undang kepada pemegang hak tanggungan yang pertama, sebagai salah satu wujud kemudahan dalam melaksanakan eksekusi yang telah disediakan oleh hukum.72 Sedangkan janji yang dilarang untuk diadakan seperti yang disebut dalam Pasal 12 UUHT yaitu dilarang diperjanjikan adalah pemberian kewenangan 72
h. 439.
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta,
95 kepada Kreditor untuk memiliki obyek hak tanggungan apabila Debitor cidera janji. Kalaupun diadakan, janji tersebut batal demi hukum.
Sebelum
melaksanakan pembuatan APHT, menurut ketentuan Pasal 39 PP 24/ 1997, PPAT wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan setempat mengenai kesesuaian sertipikat hak tanah yang akan dijadikan jaminan dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan tersebut. PPAT wajib menolak pembuatan APHT yang bersangkutan jika ternyata sertipikat yang diserahkan kepadanya bukan dokumen yang diterbitkan oleh Kantor pertanahan atau data yang dimuat di dalamnya tidak sesuai lagi dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan. PPAT juga wajib menolak permintaan untuk membuat APHT, apabila tanah yang akan dijadikan jaminan sedang dalam sengketa atau perselisihan. Karena umumnya PPAT tidak mengetahui ada atau tidak adanya sengketa mengenai tanah yang bersangkutan, maka hal tersebut wajib ditanyakan kepada pihak pemberi hak tanggungan. Jika jawabannya tidak tersangkut dalam suatu sengketa, di dalam APHT perlu dicantumkan pernyataan tersebut sebagai jaminan bagi Kreditor penerima hak tanggungan. Pemberian hak tanggungan di hadapan PPAT wajib dihadiri oleh pemberi dan penerima hak tanggungan dan dua orang saksi. Jika tanah yang dijadikan jaminan belum bersertipikat, maka wajib bertindak sebagai saksi adalah Kepala Desa/Lurah dan seorang anggota pemerintahan Desa/Kelurahan. Jika tanah yang akan dibebani tersebut belum bersertipikat maka pembebanannya dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 ayat (3) UUHT. Jadi pemberian hak
96 tanggungan dan pembuatan APHT dapat dilakukan dalam keadaaan tanah belum bersertipikat. Hal ini juga berlaku untuk tanah yang akan dibebani sudah bersertipikat tetapi belum atas nama pemberi hak tanggungan. Ketentuan ini diadakan untuk memberi kesempatan lebih dini kepada pemegang hak atas tanah dalam memperoleh kredit. APHT dibuat rangkap dua yang semuanya ditandatangani oleh pemberi dan penerima hak tanggungan, para saksi dan PPAT. Satu lembar akta tersebut disimpan di kantor PPAT. Lembar yang lain berikut warkah-warkah lain yang diperlukan disampaikan oleh PPAT kepada Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran hak tanggungan selambatlambatnya tujuh hari kerja setelah ditandatanganinya APHT yang bersangkutan sebagaimana ketentuan Pasal 13 ayat (2) UUHT. Oleh karena APHT mengatur persyaratan dan ketentuan mengenai pemberian hak tanggungan dari Debitor kepada Kreditor sehubungan dengan hutang yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan maka dapat diuraikan bahwa fungsi APHT adalah sebagai perjanjian tambahan (accecoir). Accessoir adalah perjanjian yang keberadaannya dimaksudkan untuk mendukung perjanjian pokoknya, dalam hal ini adalah perjanjian kredit bank. Jika perjanjian pokok hapus, perjanjian accessoir juga turut hapus. Dengan kata lain perjanjian accessoir dibuat berdasarkan perjanjian pokok (perjanjian kredit) sehingga harus menunjuk perjanjian pokoknya. Jika perjanjian pokoknya batal atau selesai maka otomatis perjanjian acessoir juga batal. Sebagimana telah diuraikan sebelumnya dalam Pasal 1 angka 5 UUHT disebutkan bahwa “Akta Pemberian Hak Tanggungan adalah akta PPAT yang
97 berisi pemberian Hak Tanggungan kepada Kreditor tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya”. APHT mengatur persyaratan ketentuan mengenai pemberian hak tanggungan dari Debitor kepada Kreditor terkait dengan utang yang dijaminkan dengan hak tanggungan. Pemberian hak ini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan diutamakan kepada Kreditor yang bersangkutan daripada Kreditor-Kreditor yang lain. Dengan kata lain dengan pemberian hak tanggungan itu maka Kreditor yang bersangkutan merupakan Kreditor preferent dengan hak diutamakan bukan sekadar Kreditor konkuren tanpa hak mendahului. APHT yang didaftarkan Kantor Pertanahan setempat mempunyai kekuatan hukum yang pasti dan semua isi dalam akta tersebut berlaku bagi pihak ketiga. 3.3. Fungsi Pendaftaran APHT Bagi Perlindungan Hukum Kreditor Dalam Perjanjian Kredit Perbankan Kiranya perlu ditegaskan bahwa tanpa adanya pendaftaran APHT maka perjanjian kredit perbankan yang dibuat para pihak di hadapan Notaris/PPAT tetap sah dan mengikat kedua belah pihak sepanjang memenuhi syarat subjektif dan obyektif suatu perjanjian sebagaimana ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan kata lain perjanjian kredit tersebut tetap berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya. Secara empiris keabsahan perjanjian kredit yang dibuat oleh Kreditor dan Debitor dapat dilihat dari aspek persetujuan yang diberikan oleh Debitor atas seluruh ketentuan yang diatur di dalam perjanjian kredit. Disebut persetujuan karena lazimnya perjanjian kredit merupakan perjanjian standar yang ditentukan dan telah disiapkan terlebih dahulu oleh pihak Kreditor.
98 Implementasi persetujuan Debitor atas perjanjian kredit tersebut dibuat dalam bentuk pengakuan atas seluruh ketentuan yang diatur dalam perjanjian itu. Bentuk pengakuan Debitor dapat diketahui dengan cara bahwa setiap halaman dari perjanjian kredit mesti dibacakan/dijelaskan terlebih dahulu oleh Kreditor, dan selanjutnya jika Debitor telah mengerti dan menyetujui, maka bentuk pengakuan dan persetujuannya tersebut dibuktikan dengan membubuhkan paraf atau tandatangan atau cap jempol khusus bagi Debitor yang tidak bisa membubuhkan paraf atau tanda tangannya pada setiap halaman perjanjian kredit. Setelah penandatanganan perjanjian kredit, maka akan dilanjutkan dengan penandatanganan APHT atau dengan alasan tertentu difasilitasi dengan SKMHT sebagai perjanjian tambahan atas perjanjian kredit yang ditandatangani sebelumnya. Notaris/PPAT rekanan bank kembali menegaskan dan menanyakan terlebih dahulu kepada Debitor terkait dengan perjanjian kredit yang telah disetujuinya. Jika Debitor telah menyampaikan dengan tegas dan jelas bahwa seluruh perjanjian kredit telah disetujui, maka Notaris/PPAT akan melanjutkan dengan membacakan akta yang dibuatnya. Secara substantif APHT atau SKMHT mengatur tentang janji-janji Debitor kepada Kreditor jika karena sesuatu hal Debitor tidak dapat melaksanakan kewajibannya (cidera janji) sebagaimana telah disepakati dalam perjanjian kredit. Dengan telah dinyatakan secara langsung dihadapan Notaris/PPAT yang disaksikan oleh saksi-saksi staf Notaris/PPAT yang turut serta hadir pada saat penandatanganan APHT atau SKMHT menunjukkan keabsahan dari perjanjian
99 kredit tersebut secara empiris, karena dengan penandatanganan itu menunjukkan pada saat itu telah terjadi perbuatan hukum dihadapan Notaris/PPAT. Dalam kedudukannya sebagai Pejabat Umum, maka Notaris/PPAT berkewajiban untuk menjamin kebenaran hari, dan tanggal perbuatan hukum sebagaimana tercantum di dalam kepala APHT jika Debitur hadir secara langsung sebagai pemberi hak tanggungan atau dengan SKMHT jika pada saat penandatanganan APHT, Debitor tidak bisa hadir secara langsung sebagai pemberi hak tanggungan. APHT yang telah ditandatangani wajib untuk didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat untuk memenuhi asas publisitas, namun demikian secara empiris pendaftaran tersebut terkadang tidak dilakukan oleh PPAT yang bersangkutan. Kondisi ini dapat mengganggu kedudukan pihak bank selaku Kreditor jika Debitor dalam perjalanannya tidak dapat memenuhi kewajibannya dengan baik. Konsekuensi hukum tidak didaftarkannya APHT akan terkait dengan perlindungan hukum bagi para pihak yang terlibat, terutama pihak bank selaku Kreditor, tidak mendapat perlindungan hukum sesuai ketentuan yang diatur di dalam UUHT. Menurut Kepala Sub Seksi Peralihan, Pembebanan Hak dan PPAT Kantor Pertanahan Kota Denpasar Bapak I Ketut Suarjana dalam wawancara tanggal 3 Februari 2014, fungsi pendaftaran APHT adalah untuk kepastian dan perlindungan hukum, untuk menyediakan informasi bagi pihak ketiga atau pihak yang berkepentingan dan untuk tertib administrasi pertanahan. Sebenarnya penjelasan Bapak I Ketut Suarjana di atas merupakan tujuan pendaftaran tanah sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 PP 24/1997. Namun karena pendaftaran
100 APHT merupakan bagian dari pendaftaran tanah maka penjelasan tersebut memiliki kelogisan secara teori. Pendaftaran hak tanggungan adalah hal sangat penting karena menandai lahirnya hak tanggungannya yang dalam tesis ini dipahami sebagai lahirnya suatu peristiwa hukum dari suatu proses pemberian hak tanggungan berdasarkan APHT yang memberikan wewenang dan kedudukan berupa hak tanggungan kepada Kreditor atas jaminan berupa tanah dan bangunan yang dijaminkan Debitor dalam suatu perjanjian kredit. Dengan kata lain, pendaftaran hak tanggungan merupakan syarat mutlak lahirnya hak tanggungan. Perlindungan hukum bagi Kreditor atau penerima hak tanggungan dalam perjanjian kredit perbankan dengan lahirnya hak tanggungan adalah sebagai berikut : 1. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor pemegang Hak Tanggungan / Droit de Preference ( Pasal 1 Angka 1 UUHT ); Menurut penjelasan umum UUHT Angka 4, yang dimaksud dengan “memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor pemegang hak tanggungan” yaitu jika Debitor cidera janji, maka Kreditor pemegang hak tanggungan berhak menjual tanah yang dijadikan jaminan (obyek hak tanggungan) melalui pelelangan umum, dengan hak mendahului daripada Kreditor-Kreditor lainnya. Pasal 1 Angka (1) UUHT yuncto Penjelasan Umum UUHT tersebut merupakan perlindungan khusus bagi Kreditor atau penerima hak tanggungan disamping perlindungan umum yang diberikan oleh Pasal 1131 KUH Perdata. Pasal 1131 KUH Perdata menetapkan bahwa “Segala
101 kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan“. Ini berarti bahwa semua kekayaan seseorang dijadikan Jaminan untuk semua kewajibannya, yaitu semua utangnya. Inilah yang oleh hukum Jerman dinamakan haftung. Kalau seseorang mempunyai suatu utang, maka jaminannya adalah semua kekayaannya. Kekayaan ini dapat disita dan dilelang dan dari hasil pelelangan ini dapat diambil suatu jumlah untuk membayar utangnya kepada Kreditor.73 Hak jaminan disini tidak memberikan kewenangan bagi yang berhak untuk mempergunakan nikmat yang dihasilkan kebendaan, tetapi hanya memberikan kepada yang berhak kewenangan untuk menguasai benda sebagai pendukung nilai yang berupa uang, hanya memberikan jaminan (zekerheid) bagi pemenuhan suatu prestasi yang berupa sejumlah uang. Selanjutnya Pasal 1132 KUH Perdata menegaskan bahwa “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”. Dengan demikian apabila seorang Debitor mempunyai beberapa Kreditor maka kedudukan para Kreditor adalah sama (asas paritas creditorium). Jika kekayaan Debitor itu tidak cukup untuk melunasi hutang-hutangnya, maka para Kreditor itu dibayar berdasarkan asas keseimbangan, yaitu masing-masing memperoleh piutangnya seimbang 73
R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, h. 11.
102 dengan piutang Kreditor lain. Jadi dalam pasal tersebut terkandung adanya kesamaan hak para Kreditor atas harta kekayaan Debitornya.74 Menurut Boedi Harsono, jaminan umum yang diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata mempunyai dua kelemahan, yaitu : a. Kalau hasil penjualan harta kekayaan Debitor tidak cukup untuk melunasi piutang semua Kreditornya, maka tiap Kreditor hanya memperoleh pembayaran sebagian seimbang dengan jumlah piutangnya masingmasing. Jadi dalam hal ini tidak ada kedudukan Kreditor yang didahulukan (droit de preference). b. Kalau seluruh atau sebagian harta kekayaan tersebut telah dipindahkan kepada pihak lain, karena bukan lagi kepunyaan Debitor, bukan lagi merupakan jaminan bagi pelunasan piutang Kreditor.75 Dalam hal-hal tertentu, adakalanya seorang Kreditor menginginkan untuk tidak berkedudukan sama dengan Kreditor-Kreditor lain. Karena kedudukan sama dengan Kreditor-Kreditor lain itu berarti mendapatkan hak yang berimbang dengan Kreditor-Kreditor lain dari hasil penjualan harta kekayaan Debitor. Apabila Debitor cidera janji, sebagaimana menurut ketentuan Pasal 1132 dan Pasal 1136 KUH Perdata. Kedudukan yang berimbang itu tidak memberikan kepastian akan terjaminnya pengembalian piutangnya. Kreditor yang bersangkutan tidak akan pernah tahu akan adanya Kreditor-Kreditor lain yang mungkin muncul dikemudian hari. Makin banyak Kreditor dari Debitor yang bersangkutan, makin kecil pula kemungkinan terjaminnya pengembalian piutang yang bersangkutan apabila karena sesuatu hal Debitor menjadi berada dalam keadaan insolvensi (tidak mampu membayar utang-utangnya). Sebagai akibatnya, kemungkinan dinyatakan oleh pengadilan, Debitor itu jatuh pailit
74 75
Ibid., h. 5-6. Boedi Harsono, op.cit, h. 402-403.
103 dan harta kekayaannya dilikuidasi. Pengadaan hak-hak jaminan oleh undangundang, seperti Hipotik dan Gadai, adalah untuk memberikan kedudukan bagi seseorang Kreditor tertentu untuk didahulukan terhadap kredior-Kreditor lain.76 Hak jaminan atas tanah adalah hak penguasaan yang secara khusus dapat diberikan kepada Kreditor, yang memberi wewenang kepadanya untuk, jika Debitor cedera janji, menjual lelang
tanah yang secara khusus pula
ditunjuk sebagai agunan piutangnya dan mengambil seluruh atau sebagian hasilnya untuk pelunasan piutangnya tersebut, dengan hak mendahulu daripada Kreditor-kreditor yang lain (droit de preference).77 2. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi ( Pasal 2 ayat (1) UUHT ) Sifat tidak dapat dibagi-bagi dari Hak Tanggungan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UUHT, adalah bahwa hak tanggungan membebani secara utuh obyek hak tanggungan dan setiap bagian dari padanya. Sekaligus ini berarti jika dilunasinya sebagian dari utang yang dijamin, tidaklah berarti terbebasnya sebagian obyek hak tanggungan dari beban hak tanggungan tetapi tetap membebani seluruh obyek hak tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi. 3. Kemudahan dan kepastian pelaksanaan eksekusinya (Pasal 6 dan Pasal 20 UUHT); Adapun yang dimaksud dengan mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya adalah apabila Debitor cidera janji tidak perlu ditempuh acara gugatan perdata 76
Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Hak Tanggungan (Asas-Asas, Ketentuanketentuan Pokok Dan Masalah Yang dihadapi Oleh Perbankan), Alumni, Bandung, h. 9-10. 77 Boedi Harsono, op. Cit., h. 56-57.
104 biasa, yang memakan waktu dan biaya.78 Di dalam UUHT terdapat tiga cara untuk mengeksekusi hak tanggungan apabila Debitor cidera janji, yaitu : a.
Menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri atau parate executie sesuai ketentuan Pasal 6 UUHT. Artinya pemegang hak tanggungan tidak perlu memperoleh persetujuan dari pemberi hak tanggungan dan tidak perlu meminta penetapan dari pengadilan setempat apabila akan melakukan eksekusi atas hak tanggungan yang menjadi jaminan utang Debitor dalam hal Debitor cidera janji. Pemegang hak tanggungan dapat langsung datang dan meminta kepada Kepala Kantor Lelang untuk melakukan pelelangan atas obyek hak tanggungan yang bersangkutan. Hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang hak tanggungan, atau oleh pemegang hak tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan.79 Sisa dari hasil penjualan obyek hak tanggungan tersebut tetap menjadi hak dari pemberi hak tanggungan dan Kreditor yang lain (jika terdapat lebih dari satu Kreditor). Menurut Pasal 11 ayat (2) huruf e UUHT, agar dimilikinya kewenangan parate executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT, didalam APHT harus didahului atau dicantumkan janji ini mengenai hal tersebut.
b.
Eksekusi berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam Sertipikat hak tanggungan sebagaiman dimaksud oleh Pasal 14 ayat (2) yuncto Pasal 20 ayat (1) UUHT. Pengertian titel eksekutorial adalah kekuatan untuk 78 79
Boedi Harsono, op. Cit., h. 403. Sutan Remy Sjahdeini,op. Cit., h. 46-47.
105 dilaksanakan secara paksa dengan bantuan dan oleh alat-alat Negara, sedangkan yang dapat mempunyai kekuatan eksekutorial adalah Grosse Keputusan Hakim, Grosse Akta Hipotik (sekarang Sertipikat hak tanggungan) dan Grosse Akta Pengakuan Hutang yang dibuat oleh seorang Notaris (Pasal 224 HIR, Pasal 440 Rv, Pasal 41 PJN). Jadi pada asasnya yang dapat dieksekusi adalah keputusan Pengadilan dan akta otentik tertentu.80 Grosse adalah salinan dari suatu minut yang diatasnya diberi irahirah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA“. Pelaksanaan isi surat atau akta tersebut dilakukan dengan meminta bantuan dan karenanya dengan seijin Ketua Pengadilan.81 Sebagaimana diketahui bahwa peraturan pelaksana mengenai Eksekusi hak tanggungan belum ada, sehingga dalam pelaksanaannya masih mengacu pada ketentuan pelaksanaan eksekusi Hypoteek (Pasal 26 UUHT). c.
Penjualan dibawah tangan sebagaimana ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUHT. Penjualan obyek hak tanggungan di bawah tangan artinya penjualan yang tidak melalui pelelangan umum. Pada prinsipnya setiap eksekusi harus dilaksanakan melalui pelelangan umum, karena dengan cara demikian diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk obyek hak tanggungan yang dijual. Dalam keadaan tertentu apabila melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, atas kesepakatan pemberi dan penerima hak tanggungan serta dengan dipenuhinya
80
J. Satrio, 1993, Parate Eksekusi Sebagai Sarana Mengatasi Kredit Macet, Citra Aditya Bakti, Bandung (selanjutnya disebut J. Satrio II), h. 43-44. 81 Ibid, h. 44.
106 syarat-syarat tertentu yang disebut dalam Pasal 20 ayat (3) UUHT, dimungkinkan eksekusi dilakukan dengan cara penjualan obyek hak tanggungan secara dibawah tangan, jika dengan cara demikian akan diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.82 Ketentuan mengenai mudah dan pasti pelaksanaan eksekusi ini demi menjamin pelunasan piutang oleh Debitor atau pemberi hak tanggungan kepada Kreditor atau penerima hak tanggungan. 4. Hak Tanggungan mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek hak tanggungan itu berada / Droit de Suite ( Pasal 7 UUHT ) Hak tanggungan tetap membebani obyek hak tanggungan (tanah yang dijadikan jaminan utang) di tangan siapapun obyek tersebut berada. Ketentuan ini berarti bahwa Kreditor pemegang hak tanggungan tetap berhak menjual lelang obyek hak tanggungan (jika Debitor cidera janji), walaupun sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain.83 Dengan demikian, hak tanggungan tidak akan berakhir sekalipun obyek hak tanggungan itu beralih kepada pihak lain oleh karena sebab apaun juga. Berdasarkan ketentuan ini, pemegang hak tanggungan akan selalu dapat melaksanakan haknya dalam tangan siapapun benda (obyek Hak Tanggungan) berpindah.84
82
Boedi Harsono, op. cit., h. 444-445. Boedi Harsono, op.cit, h. 402. 84 Sutan Remy Sjahdeini, op. cit., h. 38-39. 83
107 5. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan Akta Otentik ( Pasal 10 ayat (2) yuncto Pasal 1 angka 4 UUHT ) Menurut Pasal 10 ayat (2) UUHT, pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT oleh PPAT. Pembuatan APHT oleh PPAT ini menyebabkan APHT tersebut menjadi akta otentik sebagaimana Penjelasan Umum UUHT Angka 7. Akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk menurut ketentuan undang-undang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat di mana akta itu dibuat sebagaimana digariskan oleh Pasal 1868 KUH Perdata. Akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari para pihak itu suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dibuat didalamnya, yang berarti mempunyai kekuatan bukti demikian rupa karena dianggap melekatnya pada akta itu sendiri, sehingga tidak perlu dibuktikan lagi. Dengan dilakukannya pemberian hak tanggungan menggunakan akta otentik, maka kepastian pelunasan piutang Kreditor atau penerima hak tanggungan akan lebih terjamin daripada pemberian hak tanggungan dilakukan hanya menggunakan surat dibawah tangan, karena kekuatan pembuktian surat dibawah tangan tidak sesempurna akta otentik sehingga para pihak harus membuktikan (mengakui) tulisan yang ada didalam surat dibawah tangan tersebut. 6. Tidak masuk dalam boedel pailit ( Pasal 21 UUHT ) Menurut Pasal 21 UUHT, sekalipun pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit, tetapi Kreditor pemegang hak tanggungan tetap berwenang melakukan segala hal yang diperolehnya menurut UUHT. Ini berarti, bahwa obyek hak
108 tanggungan tidak termasuk dalam boedel kepailitan, sebelum Kreditor pemegang hak tanggungan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan benda yang bersangkutan.85 Dengan demikian, obyek hak tanggungan tidak akan disatukan dengan harta kepailitan untuk dibagi kepada Kreditor-Kreditor lain dari pemberi hak tanggungan. Ketentuan Pasal 21 UUHT ini memberikan penegasan mengenai kedudukan yang preferent dari Kreditor pemegang hak tanggungan terhadap obyek hak tanggungan terhadap Kreditor-Kreditor lain, sehingga hak dari Kreditor pemegang hak tanggungan terjamin.86 7. Sanksi Administratif (Pasal 23 UUHT). Menurut Ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUHT, pejabat yang melanggar atau lalai dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan UUHT dapat dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis dan pemberhentian sementara dari jabatan. Pelanggaran atau kelalaian yang dimaksud dalam ketentuan tersebut, yaitu : a. Pertama, mengenai pencantuman nama dan identitas para pihak, domisili para pihak, penunjukan secara jelas utang-utang yang dijamin, nilai tanggungan dan uraian yang jelas mengenai obyek hak tanggungan dalam APHT (Pasal 11 ayat (1) UUHT). b. Mengenai pengiriman APHT dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan
dalam
waktu
paling
lambat
tujuh
hari
kerja
setelah
penandatanganan APHT (Pasal 13 ayat (2) UUHT); c. Ketiga, mengenai persyaratan pembuatan SKMHT (Pasal 15 ayat (1) UUHT). 85 86
Boedi Harsono, op. Cit., h. 403. Sutan Remy Sjahdeni, op. Cit., h. 162.
109 Ketentuan Pasal 23 ayat (2) UUHT mengatur bahwa bagi pegawai Kantor Pertanahan yang melanggar atau lalai dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan Pasal 13 ayat (4) mengenai pendaftaran hak tanggungan, pencatatan pada Buku Tanah bagi pendaftaran beralihnya hak tanggungan dan mengenai pencoretan hak tanggungan, dapat dikenai sanksi administratif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain sanksi administratif, bagi pejabat (PPAT dan pegawai Kantor Pertanahan) yang melanggar atau lalai dapat pula dikenakan sanksi perdata dan sanksi pidana. Pemberian sanksi-sanksi tersebut kepada para pelaksana yang bersangkutan (PPAT dan pegawai Kantor Pertanahan), atas pelanggaran atau kelalaian dalam memenuhi berbagai ketentuan pelaksanaan tugasnya masing-masing adalah untuk menjamin kepastian hukum serta memberikan perlindungan kepada para pihak yang berkepentingan.87 Sementara itu di dalam prakteknya, berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak I Putu Chandra, SH, Notaris/PPAT di Kota Denpasar menjelaskan bahwa terkait dengan APHT yang tidak didaftarkan, maka upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum pada pihak bank selaku Kreditor dilakukan penandatanganan Akta Penyerahan Jaminan Secara Sukarela disertai dengan Akta Kuasa Menjual. Akta Kuasa Untuk Menjual ditandatangani oleh Debitor selaku pemberi kuasa dan Kreditor selaku penerima kuasa yang dalam hal ini diwakili oleh salah satu Pejabat Bank sebagai kuasa Direksi. Penandatanganan Akta kuasa untuk menjual ini dilakukan bersamaan pada saat dilangsungkannya proses akad kredit, yaitu penandatanganan akta perjanjian kredit berikut dengan APHT dan/atau SKMHT
87
Boedi Harsono, op. cit, h. 446.
110 dihadapan Notaris/PPAT. Hal ini adalah upaya untuk melindungi pihak kreditor dalam hal APHT tidak didaftarkan apabila Debitor wanprestasi. Fungsi Akta kuasa menjual pada dasarnya adalah untuk menjamin pelunasan utang Debitor, dalam arti Kreditor sangat berkepentingan untuk mengambil pelunasan hutang tersebut demi untuk memperkecil atau mengurangi kerugian bahkan mencegah kerugian dalam menyalurkan kredit. Dengan adanya akta kuasa menjual ini, apabila Debitor wanpretasi, maka Kreditor memiliki hak untuk menjual sendiri benda jaminan milik Debitor atas nama Debitor. Sejalan dengan itu Ni Komang Purnama Dewi, SH, Kepala bagian legal PT. Bank Mayapada menyebutkan bahwa Kreditor bank mesti bersifat antisipatif untuk menjaga kemungkinan yang tidak diharapkan dan kemungkinan tersebut berakibat merugikan Kreditor bank itu sendiri. Salah satu kemungkinan yang dapat merugikan Kreditor bank adalah tidak didaftarkannya APHT oleh Notaris/PPAT yang bersangkutan dengan berbagai sebab-sebab tertentu. Lebih jauh dikatakan bahwa untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kerugian dari Kreditor bank maka Debitor mesti bersedia untuk menandatangani Akta Kuasa Menjual sebagai instrument antisipatif jika karena sesuatu hal APHT tidak dapat didaftarkan.
111 BAB IV HAK KREDITOR PERBANKAN TERHADAP BENDA JAMINAN DALAM HAL APHT TIDAK DIDAFTARKAN
4.1
Faktor-Faktor Yang Menyebabkan PPAT Tidak Mendaftarkan APHT Ada beberapa hal yang menyebabkan APHT tidak didaftarkan, antara lain
karena tidak dapat didaftarkan dalam arti terjadi penolakan dari Kantor Pertanahan setempat terhadap pendaftaran APHT tersebut. Penolakan tersebut dapat terjadi akibat pemblokiran sertipikat dan keberatan dari pihak-pihak lain terhadap pendaftaran tersebut. Hal tersebut ditegaskan Kepala Sub Seksi Peralihan, Pembebanan Hak dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Kantor Pertanahan Kota Denpasar Bapak I Ketut Suarjana, PPAT tidak mendaftarkan APHT disebabkan karena beberapa alasan, diantaranya adanya pemblokiran terhadap obyek hak tanggungan dengan alasan obyek HT tersebut sedang berada dalam sengketa di pengadilan. Sementara itu menurut Notaris/PPAT I Putu Chandra, SH, dalam wawancara tanggal 6 Januari 2014, faktor-faktor penyebab pemblokiran sertipikat hak atas tanah, adalah : A. Hak atas tanah dalam Sengketa di pengadilan. Kepala Kantor Pertanahan setempat wajib menolak melakukan pendaftaran peralihan atau pembebanan hak atas tanah apabila hak atas tanah yang bersangkutan menjadi obyek sengketa. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) huruf c PP 24/ 1997, yang menyatakan “Kepala Kantor Pertanahan menolak untuk melakukan pendaftaran peralihan atau pembebanan hak, jika dokumen yang
111
112 diperlukan untuk pendaftaran peralihan atau pembebanan hak yang bersangkutan tidak lengkap”. Dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang dan pemilik hak atas tanah maka pendaftaran tanah di Indonesia menggunakan asas publisitas negatif yang
dimaksudkan
agar
pihak
yang
berkepentingan
berkesempatan
mengajukan gugatan ke Pengadilan. Pendaftaran tanah di Indonesia juga mengganut asas publisitas positif pendaftaran tanah, dimana ketika sertipikat hak atas tanah yang telah diterbitkan Kantor Pertanahan berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, sepanjang tidak terbukti sebaliknya (Penjelasan Umum Pasal 32 PP 24/1997). Asas publisitas negatif dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada setiap orang atau badan hukum, yang merasa berhak mempunyai sesuatu hak atas tanah agar menyampaikan gugatan ke pengadilan setempat dan meneruskan salinannya kepada Kantor Pertanahan, untuk dibubuhi catatan sita di buku tanah dan di daftar umum lainnya sebagai obyek sedang diperkarakan. Catatan sita juga dapat dibuat di sertipikat bersangkutan atas permohonan penyidik atau penyelidik. Kantor Pertanahan dapat melakukan catatan sita, sesuai ketentuan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah sebagai berikut: a. Pasal 126 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997: (1) Pihak yang berkepentingan dapat minta dicatat dalam buku tanah bahwa suatu hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun akan dijadikan obyek gugatan di Pengadilan dengan menyampaikan salinan surat gugatan yang bersangkutan.
113 (2) Catatan tersebut hapus dengan sendiri nya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung dari tanggal pencatatan atau apabila pihak yang minta pencatatan telah mencabut permintaannya sebelum waktu tersebut berakhir. (3) Apabila Hakim yang memeriksa perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerintahkan status quo atas hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan, maka perintah tersebut dicatat dalam buku tanah. (4) Catatan mengenai perintah status quo tersebut pada ayat (3) hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kecuali apabila diikuti dengan putusan sita jaminan yang salinan resmi dan berita acara eksekusinya disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan. b. Pasal 127 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.3 Tahun 1997: (1) Penyitaan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dalam rangka penyidikan atau penuntutan perbuatan pidana dicatat dalam buku tanah dan daftar umum lainnya serta, kalau mungkin, pada sertipikatnya, berdasarkan salinan resmi surat penyitaan yang dikeluarkan oleh penyidik yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Catatan mengenai penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihapus setelah sita tersebut dibatalkan/diangkat ataupenyidikan perbuatan pidana yang bersangkutan dihentikan sesuai ketentuan yang berlaku atau sesudah ada putusan mengenai perkara pidana yang bersangkutan. Berdasarkan ketentuan di atas maka atas dasar perintah Hakim pengadilan maka Kepala Kantor Pertanahan dapat membuat catatan di dalam buku tanah dan daftar umum bersangkutan status quo, namun dalam jangka waktu 30 hari sejak tanggal pencatatan tersebut tidak diikuti dengan putusan sita jaminan dari Hakim pengadilan, catatan sita tersebut hapus dengan sendirinya. Sesuai ketentuan Pasal 24 PP 24/ 1997, maka selama sita jaminan masih melekat atas hak atas tanah sebagaimana catatan sita di dalam buku tanah dan daftar umum lainnya maka Kepala Kantor Pertanahan menolak setiap permohonan perubahan pemeliharaan data fisik maupun data yuridis bersangkutan. Catatan
114 sita di buku tanah dan daftar umum lainnya dalam perkara perdata maupun pidana hanya dapat dibatalkan atau diangkat sita setelah perkaranya dihentikan atau perkaranya sudah diputuskan Hakim dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal itu dibuktikan dengan surat perintah angkat sita sesuai dengan salinan resmi berita acara eksekusi panitera pengadilan bersangkutan. Terhadap sita blokir yang tidak dilanjutkan ke pengadilan maka dalam jangka waktu 30 hari pihak bersangkutan dapat melakukan pengangkatan sita atas permohonan sendiri kepada Kepala Kantor Pertanahan dengan melampirkan bukti dalam bentuk akta perdamaian para pihak bersengketa. Dengan demikian, karena terjadinya sengketa hak atas tanah di pengadilan maka atas dasar permohonan, Hakim pengadilan dapat dilakukan pemblokiran sertipikat hak atas tanah oleh Kantor Pertanahan. B. Hak Atas Tanah disita jurusita Panitia Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) dalam kaitan pelunasan Piutang Negara Pemblokiran sertipikat hak atas tanah dapat dilakukan karena tanah tersebut menjadi sengketa yang dilanjutkan dengan sita jaminan yang dimohonkan oleh Hakim Pengadilan kepada Kantor Pertanahan untuk memblokir hak atas tanah tersebut sampai adanya putusan pengadilan. Selain itu, hak atas tanah Debitor/penjamin hutang dalam kaitan pelunasan piutang Negara dapat disita oleh jurusita Panitia Badan Urusan Piutang Dan Lelang Negara (BUPLN) pada Kantor Lelang Negara, dalam hal ini Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).
115 Menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara republik Indonesia Nomor 2104, selanjutnya disebut UU PUPN) yuncto Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK/01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara menyebutkan, yang dimaksud dengan Piutang Negara atau hutang kepada Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Negara atau Badan-badan Negara yang sumber pendapatnya berasal dari Negara, baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun. Dalam rangka pengamanan piutang Negara, maka Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) dapat melakukan pemblokiran barang jaminan dan atau harta kekayaan lain milik Debitor/penjamin hutang. Pemblokiran terhadap barang jaminan dan atau harta kekayaan lain milik Debitor/penanggung hutang dilaksanakan dengan menerbitkan Surat Pemblokiran yang ditandatangani oleh Kepala Kantor Pelayanan (KPKNL) dan ditujukan kepada instansi yang berwenang atau Kantor Pertanahan untuk barang jaminan atau kekayaan lain dari Debitor adalah hak atas tanah sebagaimana ketentuan Pasal 87 dan Pasal 91 Keputusan Menteri Nomor 300/KMK/01/2002. Pemblokiran akan dicabut oleh Kantor Lelang Negara yang disampaikan kepada Kantor Pertanahan setempat, apabila: a. Piutang Negara dinyatakan lunas; b. Pengurusan Piutang Negara dinyatakan selesai;
116 c. Hak atas tanah tersebut tidak atau tidak lagi merupakan jaminan penyelesaian hutang; d. Hak atas tanah telah disita lebih dahulu oleh instansi lain yang berwenang, atau ; e. Hak atas tanah diketahui mengandung cacat hukum berdasarkan keputusan Kantor Pertanahan sesuai Pasal 9 Keputusan Menteri Nomor Nomor 300/KMK/ 01/2002. Dengan demikian atas dasar pelunasan piutang Negara, maka dapat dilakukan pemblokiran hak atas tanah milik Debitor/penanggung hutang yang dimohonkan Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) melalui KPKNL kepada Kepala Kantor Pertanahan. C. Sertipikat Hak Atas Tanah Hilang, Pemblokiran juga dapat dilakukan Kantor Pertanahan atas dasar permohonan pemilik hak atas tanah yang sertipikatnya hilang. Dalam hal surat tanah telah ditemukan maka pihak pemohon pemblokiran tersebut harus melakukan pencabutan blokir tersebut secara tertulis kepada Kepala Kantor Pertanahan. Dengan adanya pencabutan pemblokiran maka telah dapat dilakukan peralihan ataupun pendaftaran balik nama atas tanah tersebut. Kemudian juga mengingat peralihan hak yang dilakukan adalah dengan Akta Perikatan Jual Beli Notaris, maka untuk dapat dilakukan pendaftaran balik nama terlebih dahulu harus dilaksanakan jual beli yang definitif dengan pembuatan Akta Jual Beli di hadapan PPAT, dan atas dasar Akta Jual Beli PPAT tersebut pendaftaran balik nama atas tanah tersebut dilakukan di Kantor Pertanahan.
117 Selain akibat pemblokiran sebagaimana yang telah diuraikan tersebut diatas, APHT tidak dapat didaftarkan juga dapat dikarenakan adanya keberatan pihak-pihak tertentu. Keberatan ini pada akhirnya menyebabkan terjadinya pemblokiran terhadap sertipikat yang akan dibebani hak tanggungan tersebut. Terkait hal ini, Kepala Bagian Legal BPR Lestari Bapak I Nyoman Suardana mengaku bahwa hal tersebut pernah dialami nasabah kredit BPR Lestari, yaitu pada saat akan dilakukan pembebanan hak tanggungan untuk yang kedua kali karena nasabah kredit tersebut ingin menambah jumlah kredit yang telah diberikan. Dalam wawancara tanggal 10 Februari 2014, Bapak I Nyoman Suardana menjelaskan, pada pendaftaran hak tanggungan yang pertama sebelumnya tidak terjadi pemblokiran sertipikat tersebut oleh Kantor Pertanahan Kota Denpasar. Namun ketika pembebanan hak tanggungan yang kedua akan dilakukan ternyata ada permintaan pemblokiran sertipikat oleh seorang pengacara yang mewakili pihak yang merasa keberatan terhadap pendaftaran hak tanggungan tersebut dengan alasan telah terjadi sengketa atas tanah tersebut pada saat jual beli dilakukan dulu. Ketika
permasalah
tersebut
dapat
diselesaikan
dan
permohonan
pencabutan blokir dikirim ke Kantor Pertanahan Kota Denpasar oleh pemohon blokir. Pemblokiran baru dicabut lima hari kemudian. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 126 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 bahwa pemblokiran hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung dari tanggal permohonan
118 blokir atau apabila pihak yang minta pemblokiran telah mencabut permintaan pemblokiran sebelum waktu tersebut berakhir. Menurut Bapak I Nyoman Suardana, pihaknya tidak sempat mengambil langkah hukum terkait pemblokiran tersebut karena masalah tersebut telah dapat diselesaikan antara pemilik tanah dan pemohon blokir. Untuk itu Kantor Pertanahan Kota Denpasar lalu mencabut pemblokiran dan hak tanggungan kedua dapat dibebankan pada obyek tanah yang telah dijaminkan nasabah Debitor BPR Lestari yang bersangkutan. Sementara itu menurut Kepala Legal Bank Mayapada Cabang Denpasar Ibu Ni Komang Purnama Dewi, SH, dalam wawancara tanggal 17 Februari 2014, pemblokiran sertipikat pada saat dilakukan pendaftaran hak tanggungan tidak pernah dialami Bank Mayapada. Menurut Ibu Purnama Dewi kejadian seperti jarang menimpa Bank Umum karena proses pemberian kredit yang dilakukan sangat ketat. Umumnya hal seperti itu dialami oleh BPR karena proses pemberian kredit tergolong cepat sehingga cenderung kurang berhati-hati. Kemungkinan BPR kurang hati-hati melakukan dalam melakukan pengecekan sertipikat sehingga pada akhirnya sertipikat tersebut bermasalah. Selain akibat tidak dapat didaftarkankan karena penolakan dari Kantor Pertanahan setempat terhadap pendaftaran APHT tersebut akibat pemblokiran sertipikat dan keberatan dari pihak-pihak lain, pendaftaran APHT tidak dilakukan juga akibat Perbuatan PPAT, yaitu akibat kelalaian dan kesengajaan. Terkait dengan kelalain PPAT ini, Notaris/PPAT I Made Gelgel, SH, dalam wawancara tanggal 9 April 2014 menilai bahwa hal tersebut sangat kecil kemungkinan terjadi
119 mengingat pendaftaran APHT adalah rangkaian kegiatan yang merupakan lanjutan dari suatu perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan. Setelah perjanjian kredit ditandatangani, sebagai perjanjian pokok, maka APHT pun ditandatangani para pihak sebagai perjanjian accesoir dan Notaris/PPAT segera melengkapi syarat-syarat yang diperlukan agar bisa didaftarkan ke Kantor Pertanahan setempat sebagai bagian dari tugas yang harus diselesaikan PPAT dalam rangka membuat akta perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan. Hanya saja apabila terjadi kelalaian Notaris/PPAT dalam mendaftarkan APHT maka perbuatan tersebut tergolong sebagai perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum tidak hanya perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang saja, tetapi berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban orang yang berbuat atau tidak berbuat, bertentangan dengan kesusilaan maupun sifat berhati-hati sebagaimana patutnya di dalam lalu lintas masyarakat.88 Menurut Notaris/PPAT I Made Gelgel, SH, dalam wawancara 9 April 2014, apabila kelalaian itu tejadi maka Notaris sebaiknya bersiap diri untuk berhadapan dengan gugatan pihak yang dirugikan, yaitu gugatan karena perbuatan melawan hukum. Jika diteliti lebih lanjut, kelalaian memenuhi unsur melawan hukum seperti yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang menentukan “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”. Dengan
88
Mariam Daruz Badrulzaman. 1993, K.U.H.Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan., cetakan kedua, Bandung: Penerbit Alumni,. (selanjutnya disebut Mariam Badrulzaman II), h. 147.
120 demikian maka tidak berlebihan jika kelalaian yang disebabkan oleh Notaris/PPAT diajukan gugatan perdata berupa tuntutan ganti rugi dan bunga. Karena kewajiban Notaris/PPAT sudah sangat terang dan jelas, pelanggaran terhadap kewajiban tersebut adalah perbuatan melawan hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata di atas maka dapat disimpulkan bahwa gugatan perdata berdasarkan perbuatan melawan hukum harus memenuhi syaratsyarat atau unsur-unsur : (1). Adanya perbuatan melawan hukum, (2). Harus ada kesalahan, (3). Harus ada Kerugian yang ditimbulkan, dan (4). Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian. Pandangan yang menyebutkan bahwa kelalaian Notaris/PPAT dalam mendaftarkan APHT sebagai perbuatan melanggar hukum tergolong pandangan dengan penafsiran yang luas. Akan lebih tepat jika dikatakan bahwa kelalaian tersebut dapat dikualifikasi sebagai perbuatan PPAT yang melanggar undangundang khususnya UUHT. Untuk membuktikan telah terjadi pelanggaran oleh PPAT terlebih dahulu mesti dilakukan kualifikasi atas tindakannya dengan cara sebagai berikut : (1) Tindakan PPAT yang terlambat melakukan pendaftaran APHT karena telah terjadi perbuatan hukum oleh pihak ketiga atas barang jaminan dengan cara melakukan blokir sertipikat atau dengan cara mengajukan gugatan yang disertai dengan sita jaminan maka keterlambatan tersebut bukan karena kelalaian PPAT tetapi karena alasan hukum yang belum memungkinkan dilakukannya pendaftaran, (2) Tindakan PPAT yang terlambat melakukan pendaftaran karena sebab-sebab yang bersumber dari PPAT itu sendiri, misalnya PPAT secara sengaja/lalai melakukan penundaan pendaftaran APHT, ada indikasi
121 PPAT melakukan kerjasama dengan pihak lain khususnya pemberi hak tanggungan untuk melakukan penundaan pendaftaran. Terhadap tindakan PPAT yang terlambat melakukan pendaftaran karena sebab-sebab yang bersumber dari PPAT sendiri merupakan suatu pelanggaran undang-undang dan mesti dikenakan sanksi atas pelanggaran yang dilakukannya tersebut. Kelalaian PPAT dalam mendaftarkan PPAT erat kaitannya dengan ketentuan Pasal 13 ayat (2) UUHT yang mewajibkan PPAT mengirimkan APHT dan warkah lain yang diperlukan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan APHT yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan setempat. Menurut Pasal 13 ayat (4) tanggal buku tanah adalah pada hari ketujuh setelah berkas yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) UUHT dikirimkan oleh PPAT ke Kantor Pertanahan. Pada tanggal buku tanah tersebut adalah kelahiran Hak Tanggungan sebagaimana ketentuan Pasal 13 ayat (5) UUHT.
Secara teori,
apabila PPAT tidak mengindahkan ketentuan batas waktu 7 (tujuh) hari dalam hal pengiriman APHT dan warkah lainnya kepada Kantor maka sesuai ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUHT, dapat dikenai sanksi administratif, berupa: (a). tegoran lisan, (b). tegoran tertulis, (c). pemberhentian sementara dari jabatan dan (d). pemberhentian dari jabatan. Hanya saja pada prakteknya, beberapa oknum PPAT di Kota Denpasar yang melanggar ketentuan Pasal 13 ayat (2) tersebut dengan melampaui batas waktu selambat-lambatnya tujuh hari yang ditentukan tidak terkena sanksi administratif sebagaimana disebutkan Pasal 23 ayat (1). Menurut Kepala Seksi Peralihan, Pembebanan Hak dan PPAT Kantor Pertanahan Kota Denpasar Bapak I
122 Ketut Arjana dalam wawancara tanggal 3 Februari 2014, untuk wilayah kerja di Kota Denpasar, tingkat keterlambatan pendaftaran APHT oleh PPAT cukup tinggi, namun sanksi
administrasi akibat kelalaian PPAT
yang tidak
mengindahkan batas hari 7 (tujuh) pengiriman APHT dan warkah lainnya ke Kantor Pertanahan Kota Denpasar tidak pernah terjadi. Hal tersebut karena keterlambatan tersebut merupakan hal yang masih dapat ditoleransi oleh Kantor Pertanahan. Dengan kata lain, bukan kelalaian tersebut bukan hal yang bersifat fatal. Hal senada diutarakan oleh Notaris/PPAT I Made Gelgel dalam wawancara tanggal 9 April 2014, dimana menurutnya keterlambatan pengiriman APHT dan warkah lain ke Kantor Pertanahan oleh PPAT di Denpasar, bisa dalam hitungan
hari
bahkan
sampai
berbulan-bulan.
Namun
hal
tersebut,
sepengetahuannya tidak menyebabkan timbulnya sanksi administraasi kepada PPAT yang bersangkutan. Hal yang sama diuraikan oleh Kepala Bagian Legal BPR Lestari Bapak Nyoman Suardana dalam wawancara tanggal 10 Februari 2024, dimana keterlambatan pengiriman APHT dan warkah lainnya oleh PPAT ke Kantor Pertanahan Kota Denpasar sering terjadi tanpa mengakibatkan sanksi apapun. Tidak diterapkannya ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUHT mengenai sanksi administrasi bagi PPAT merupakan bukti masih lemahnya penegakan hukum dalam proses pendaftaran APHT. Namun pada sisi lain proses pendaftaran APHT yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kota Denpasar adalah untuk memberikan perlindungan hukum
kepada penerima hak tanggungan. Jika
dianalisa
123 menggunakan teori perlindungan hukum sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maka pendaftaran APHT yang memenuhi ketentuan UUHT telah memenuhi asas pengayoman yang memberikan perlindungan hukum untuk menciptakan ketentraman penerima hak tanggungan. Sementara itu Bapak I Nyoman Suardana mengakui terkadang keterlambatan pengiriman APHT atau warkah lain oleh PPAT mengakibatkan penolakan oleh Kantor Pertanahan Kota Denpasar, tetapi tidak ada sanksi yang dijatuhkan. Dalam hal pendaftaran APHT ini, pihak Kantor Pertanahan Kota Denpasar sering melanggar ketentuan yang berlaku secara mencolok, yaitu terkait ketentuan Pasal 13 ayat (4) UUHT yang menyatakan bahwa tanggal buku tanah adalah pada hari ketujuh setelah berkas yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) UUHT dikirimkan oleh PPAT ke Kantor Pertanahan. Namun pada kenyataannya, tanggal buku tanah tersebut seringkali melampaui hari ketujuh setelah pengiriman APHT oleh PPAT ke Kantor Pertanahan Kota Denpasar, bahkan sampai berbulanbulan. Pelanggaran atas penerapan ketentuan tersebut menunjukkan tidak ada kepastian hukum bagi pemohon, serta ketentuan tersebut mengabaikan prinsipprinsip pelayanan publik. Selain karena akibat kelalaian PPAT, APHT tidak didaftarkan juga dapat terjadi karena faktor kesengajaan PPAT tersebut. Menurut Notaris/PPAT I Putu Chandra, SH, dalam wawancara tanggal 6 Januari 2014, secara teori hal ini dapat terjadi apabila PPAT tersebut memiliki niat buruk atau karena kerjasama dengan pihak tertentu yang menginginkan tanah tersebut tidak menjadi obyek hak tanggungan atau hak tanggungan atas tanah tersebut tidak akan lahir. Dalam
124 kondisi yang demikian maka PPAT yang bersangkutan telah melakukan perbuatan turut serta dengan pihak lain untuk melakukan suatu perbuatan yang secara bersama-sama telah merugikan pihak penerima hak tanggungan. Dengan uraian tersebut di atas maka dapat dipahami perbedaan antara pengertian APHT yang terlambat didaftarkan dan APHT yang tidak dapat didaftarkan. APHT yang terlambat didaftarkan adalah apabila melanggar ketentuan batas waktu 7 (tujuh ) hari sesuai ketetapan Pasal 13 ayat (2) UUHT. Keterlambatan ini salah satunya dapat disebabkan oleh
kelalaian
PPAT.
Sementara itu pengertian APHT tidak dapat didaftarkan adalah apabila terjadi hal-hal tertentu yang membuat APHT tersebut tidak dapat didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat, diantaranya akibat adanya pengajuan pemblokiran terhadap sertipikat yang akan dibebani hak tanggungan tersebut. Selain itu dapat pula terjadi pengajuan keberatan oleh pihak-pihak tertentu kepada Kantor Pertanahan dalam membebankan hak tanggungan kepada sertipikat tertentu sebagaimana pernah dialami oleh BPR Lestari yang telah diuraikan di atas. APHT yang tidak didaftarkan, tidak akan menimbulkan suatu persoalan apabila tidakdiikuti dengan Debitor yang wanpretasi. Persoalan terhadap pendaftaran APHT ini baru muncul apabila Debitor wanpretasi, dan apabila terjadi hal tersebut, keterlambatan memenuhi batas waktu 7 (tujuh) hari yang boleh PPAT untuk mendaftarkan APHT, dapat dikategorikan bahwa APHT tersebut tidak dapat didaftarkan.
125 4.2 Kedudukan Kreditor Perbankan Atas Benda Jaminan Dalam Hal APHT Tidak Didaftarkan Pemberian jaminan dari Debitor kepada Kreditor menimbulkan 2 (dua) sifat hak jaminan yang dikenal secara umum, yaitu: 1. Hak jaminan yang bersifat umum, yaitu jaminan yang diberikan tidak memberikan hak saling mendahului antara Kreditor yang satu dengan Kreditor lainnya. 2. Hak jaminan yang bersifat khusus, yaitu jaminan yang diberikan oleh Debitor kepada Kreditor, dengan memberikan hak mendahului dari Kreditor lainnya, sehingga ia berkedudukan sebagai Kreditor privillege. Pemberian jaminan dengan hak tanggungan menimbulkan hak jaminan yang bersifat khusus kepada Debitor. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, lahirnya hak tanggungan terhadap Hak Atas Tanah dari obyek yang menjadi jaminan kredit perbankan sangat ditentukan oleh pendaftaran APHT oleh PPAT yang bersangkutan ke Kantor Pertanahan. Tanpa pendaftaran APHT maka hak tanggungan tidak akan pernah lahir. Dengan kata lain, Pendaftaran Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya hak tanggungan . Terkait dengan hal ini, Kepala Bagian Legal BPR Lestari, I Nyoman Suardana dalam wawancara tanggal 10 Februari 2014, menyebutkan bahwa apabila hak tanggungan tidak lahir maka kedudukan kreditor hanya sebagai kreditor konkuren bukan sebagai Kreditor preferent yang memiliki hak diutamakan
sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1 angka 1 UUHT.
Dengan
kedudukannya yang demikian maka kreditur menjadi pihak yang tidak dapat
126 mengeksekusi barang jaminan jika debitur cidera janji. Yang dapat dilakukan oleh Kreditor jika Debitor cidera janji adalah menempuh proses hukum yang panjang dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan, meletakkan sita jaminan terhadap barang jaminan, dan pada akhirnya harus mendapatkan putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap yang amarnya menyatakan Debitor cidera janji dan barang jaminan dapat di eksekusi melalui proses pelelangan. Lazimnya Kreditor mesti menempuh proses peradilan perdata seperti perkara perdata lainnya. Kondisi ini dalam lalu lintas bisnis perbankan akan terasa sangat merugikan Kreditor. Lahirnya UUHT yang memberikan kedudukan kreditur yang preferent dapat melakukan eksekusi (parate eksekusi) terhadap Debitor cidera janji sesungguhnya merupakan upaya untuk memangkas proses hukum yang panjang dan dirasakan lebih efisien. Terkait lahirnya Hak Tanggungan, ketentuan Pasal 13 ayat (5) yuncto ayat (4) UUHT secara jelas menegaskan bahwa hak tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan. Tanggal buku tanah hak tanggungan yang dimaksud adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peristiwa hukum lahirnya hak tanggungan bagi kreditor adalah peristiwa hukum yang lahir akibat pendaftaran hak tanggungan oleh kreditor terhadap agunan yang diserahkan oleh debitor karena suatu perjanjian kredit.
127 Dengan lahirnya hak tanggungan maka kreditor mendapatkan kedudukan yang diutamakan (preferent) kepada kreditor yang bersangkutan. Sedangkan apabila APHT tidak didaftarkan maka hak tanggungan tidak akan pernah lahir. Akibatnya Kreditor tersebut hanya memiliki kedudukan sebagai Kreditor konkuren, yaitu Kreditor yang tidak mempunyai hak pengambilan pelunasan terlebih dahulu daripada Kreditor lain dan Kreditor konkuren itu piutangnya tidak dijamin dengan suatu hak kebendaan tertentu. Pendaftaran APHT dalam rangka lahirnya hak tanggungan bertujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum terhadap Kreditor dan Debitor yang terlibat dalam kredit perbankan. Sebagaimana diuraikan Kepala Seksi Peralihan, Pembebanan Hak dan PPAT Kantor Pertanahan Kota Denpasar Bapak I Ketut Arjana, tanpa pendaftaran APHT maka hak tanggungan tidak akan lahir yang pada gilirannya APHT tersebut tidak mengikat pihak ketiga. Dengan demikian Kreditor yang seharusnya menjadi pemegang hak tanggungan tidak mendapat perlindungan hukum mengingat hak tanggungan merupakan jaminan pelunasan utang dari Debitor kepada Kreditor. Perlindungan hukum pada bank selaku Kreditor terkait dengan hak preferent yang muncul akibat pendaftaran APHT adalah Kreditor dapat langsung melakukan eksekusi melalui lelang terhadap obyek jaminan yang telah dibebani hak tanggungan tersebut tanpa melalui proses pengadilan (parate executie) jika Debitor cidera janji. Namun apabila benda/obyek jaminan tidak dibebani dengan hak tanggungan atau APHT tidak didaftarkan maka obyek jaminan tidak dapat dieksekusi, dan Kreditor harus mengajukan gugatan kepada Debitor melalui
128 Pengadilan jika Debitor cidera janji. Parate Executie adalah istilah yang secara implisit tercantum dalam Penjelasan Umum angka 9 UUHT yang menentukan : Salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitor cidera janji. Walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tentang eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang-Undang ini, yaitu yang mengatur lembaga parate executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene Indonesisch Reglement) dan Pasal 258 Reglemen Hukum Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura). Sehubungan dengan itu pada sertipikat Hak Tanggungan, yang berfungsi sebagai surat-tanda-bukti adanya Hak Tanggungan, dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANANYANG MAHA ESA", untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Penjelasan umum tersebut di atas dimaksud menunjukkan bahwa Pembentuk UUHT menyatakan bahwa meskipun pada`dasarnya eksekusi diatur oleh Hukum Acara Perdata namun untuk membuktikan salah satu ciri hak tanggungan terletak pada pelaksanaan eksekusinya adalah mudah dan pasti.89 Senada dengan itu menurut Notaris/PPAT I Putu Chandra, APHT yang tidak
didaftar
menyebabkannya
tidak
memiliki
kekuatan
eksekutorial.
Sebagaimana ditentukan oleh Pasal 14 ayat (3) UUHT, Sertipikat hak tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.
89
Herowati Poesoko, 2007, Parate Executie Objek Hak Tanggungan: Inkonsiitensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran Dalam UUHT, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hal 245.
129 Hak tanggungan diberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila Debitor melakukan wanprestasi maka Kreditor dapat memanfaatkan kekuatan eksekutorial tersebut untuk mengeksekusi hak tanggungan. Jadi kekuatan eksekutorial yang dimiliki oleh hak tanggungan adalah sama dan setara dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sebagaimana diatur dalam UUHT terdapat dua cara untuk pelaksanaan kekuatan eksekutorial yang dimiliki oleh hak tanggungan yaitu : 1. Eksekusi langsung yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a yuncto Pasal 6 UUHT. Pasal 6 UUHT berbunyi : “Apabila Debitor cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”. Dari keterangan pasal di atas terlihat bahwa UUHT memberikan kewenangan kepada Kreditor untuk melakukan eksekusi secara langsung, tanpa perlu meminta penetapan dari pengadilan terlebih dahulu. Adanya kata-kata “untuk menjual atas kekuasaan sendiri” menunjukkan adanya kedudukan yang diutamakan kepada pemegang hak tanggungan karena pemegang hak tanggungan dapat melakukan eksekusi langsung atas hak tanggungan tanpa memerlukan persetujuan dari pihak Debitor. Eksekusi langsung ini disebut juga dengan istilah parate executie, dimana eksekusi dapat dilakukan secara langsung oleh Kreditor tanpa meminta
130 penetapan atau bantuan dari pengadilan.90 Hal senada diungkapkan Herowati Poesoko, yang menyatakan bahwa “Parate eksekusi dilaksanakan tanpa meminta fiat dari Pengadilan Negeri”.91 2. Eksekusi melalui titel eksekutorial. Titel eksekutorial diatur dalam Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) UUHT. Sementara itu eksekusi melalui titel eksekutorial diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT yang berbunyi: Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelelangan umum menurut tata cara yang yang ditentukan dalam peraturan perUndang-Undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan. Dalam penjelasan UUHT angka 9 disebutkan walaupun secara umum ketentuan mengenai dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukan secara khusus ketentuan tentang eksekusi hak tanggungan dalam UUHT yaitu yang mengatur lembaga parate executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 Reglement Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indoneseich Reglement) dan Pasal 258 Reglemen Acara Hukum Untuk Luar Jawa dan Madura. Selain itu sertipikat hak tanggungan dinyatakan sebagai pengganti grosse acte Hypotheek, dimana untuk eksekusi Hypotheek atas tanah ditetapkan sebagai syarat dalam melaksanakan ketentuan pasal-pasal reglemen di atas. Dari penjelasan di atas terlihat bahwa untuk melaksanakan eksekusi dengan titel eksekutorial pada hak
90
Rachmadi Usman, 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Cetakan Pertama, PT Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut Rachmadi Usman I) , h. 491. 91 Herowati Poesoko, op.cit, h. 262.
131 tanggungan dilakukan dengan merujuk kepada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 224 Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)/254 Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura (RBg). Isi dari Pasal 224HIR/258RBg menjelaskan bahwa terhadap surat yang dicantumkan irah-irah yang berbunyi “Atas nama Keadilan” sekarang “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” maka surat tersebut mempunyai kekuatan sama dengan putusan Hakim yang sudah mempunyai kekuatan pasti/tetap. Untuk melaksanakan eksekusinya jika tidak ditepati dengan jalan damai, maka dilakukan dengan perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri, yang dalam pegangannya orang berhutang itu diam atau tinggal
atau
memilih
kedudukannya.
Sesuai
dengan
isi
dari
pasal
224HIR/258RBg, terhadap hak tanggungan juga berlaku hal yang sama terutama yang berkaitan dengan eksekusi berdasarkan titel eksekutorial sebagaimana diatur dalam pasal 20 ayat (1) yuncto Pasal 14 ayat (2) UUHT. Karena berlaku sama maka dalam pelaksanaan eksekusinya juga
berlaku
ketentuan yang sama pula yaitu apabila tidak dapat dieksekusi dengan damai, maka Kreditor sebagai pemegang hak tanggungan dapat mengajukan eksekusi dengan titel eksekutorial yaitu memohonkan penetapan dari pengadilan untuk melakukan eksekusi terhadap obyek hak tanggungan. Dalam eksekusi terhadap obyek hak tanggungan ini Kreditor tidak perlu melakukan gugatan terhadap pihak Debitor, akan tetapi cukup dengan mengajukan permohonan eksekusi kepada ketua pengadilan dengan melampirkan bukti wanprestasinya Debitor yang disertai dengan sertipikat hak tangungan. Atas dasar itu maka Ketua
132 Pengadilan akan mengeluarkan penetapan eksekusi dan melakukan eksekusi terhadap obyek hak tanggungan yang dimohonkan untuk dieksekusi. Untuk melakukan eksekusi dengan titel eksekutorial cukup dilakukan dengan menunjukkan
bukti,
bahwa
Debitor
ingkar
janji
dalam
memenuhi
kewajibannya, diajukan permohonan eksekusi oleh Kreditor (pemegang hak tanggungan) kepada Ketua Pengadilan Negeri, dengan menyerahkan sertipikat hak tanggungan yang bersangkutan sebagai dasarnya. Eksekusi akan dilaksanakan atas perintah dan dengan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri tersebut, melalui pelelangan umum yang dilakukan oleh Kantor Lelang Negara.92 Eksekusi hak tanggungan yang dilaksanakan melalui fiat pengadilan atau dengan titel eksekutorial dilakukan dalam 3 tahap yaitu: a.Tahap permohonan 1) Kreditor mengajukan eksekusi pada Pengadilan Negeri dimana barang jaminan tersebut terletak atau Pengadilan Negeri yang dalam perjanjian ditetapkan sebagai domisili hukum 2) Pengadilan akan memanggil/menegur Debitor (aanmaning) sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu 8 (delapan) hari untuk tiap-tiap aanmaning yang diterima. b. Tahap Penyitaan 1). Kreditor mengajukan permohonan sita atas jaminan yang dilelang.
92
Boedi Harsono, op.cit, h. 412.
133 2). Pengadilan akan mengeluarkan penetapan sita yang kemudian dilanjutkan dengan proses penyitaan oleh petugas Pengadilan yang dibuktikan dengan Berita Acara Penyitaan. c. Tahap Pelelangan 1). Kreditor mengajukan permohonan lelang kepada Pengadilan Negeri. 2). Pengadilan akan memuat ketetapan lelang dan menetapkan waktu lelang setelah berkonsultasi dengan Kantor Lelang. 3). Pengumuman lelang di surat kabar (iklan) akan dilaksanakan 2 (dua) kali dengan tenggang waktu 1 (satu) bulan antaranya. 4). Sebelum lelang dilaksanakan ada 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi Kreditor: a). Kreditor memberitahukan pengadilan mengenai plafond harga (harga minimal) dari barang jaminan . b). Kreditor meminta Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) dari barang jaminan kepada Kantor Agraria setempat. 5). Acara lelang dilaksanakan di Pengadilan Negeri setempat. Pembeli harus sekurang-kurangnya 2 (dua) orang/pihak. Apabila tidak ada peminat, maka lelang ditunda kurang lebih 1 (satu) bulan dan harus didahului dengan pemasangan iklan sebanyak 1 (satu) kali. 6). Berita acara rapat penyerahan hasil lelang. Setelah Berita acara rapat penyerahan hasil lelang diserahkan kepada Kreditor
dan
Debitor
maka
selesailah
semua
rangkain
untuk
melaksanakan eksekusi dengan titel eksekutorial dalam Eksekusi hak
134 tanggungan. Hasil yang didapat dari lelang tersebut kemudian akan digunakan untuk memenuhi semua kewajiban Debitor kepada Kreditor, apabila terjadi kelebihan maka kelebihan tersebut dikembalikan kepada Debitor. Aspek yang paling penting dari sifat hak tanggungan bagi Kreditor kredit perbankan adalah memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor pemegang hak tanggungan sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 1 UUHT. Kemudian Pasal 20 ayat (1) UUHT menentukan bahwa apabila Debitor cidera janji maka Kreditor pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual obyek yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut peraturan yang berlaku dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, dengan hak mendahului dari pada Kreditor lain yang bukan pemegang hak tanggungan atau Kreditor pemegang hak tanggungan dengan peringkat yang lebih rendah. Hak istimewa ini tentu saja tidak dipunyai oleh Kreditor bukan pemegang hak tanggungan. 4.3 Upaya Hukum Kreditor Perbankan Untuk Memperoleh Kembali Hak Atas Benda Jaminan Menurut Notaris/PPAT I Putu Chandra dalam wawancara tanggal 3 Februari 2014, pendaftaran APHT yang tidak dilakukan akibat terjadinya pemblokiran sertipikat hak atas tanah dari obyek yang menjadi jaminan dalam kredit perbankan oleh Kantor Pertanahan di atas secara teori mungkin dapat terjadi, tetapi dalam praktek merupakan kejadian yang sangat langka.
135 Menurut Notaris/PPAT bapak I Putu Chandra, pendaftaran APHT umumnya bukan merupakan kejadian yang istimewa karena kesepakatan tersebut sudah dibicarakan dan sertipikat hak atas tanah yang akan dijadikan jaminan sudah dicek ke Kantor Pertanahan sebelum perjanjian kredit ditandatangani. Ada kemungkinan pemblokiran sertipikat tersebut pada saat akan dilakukan pendaftaran hak tanggungan merupakan niat tidak baik dari Debitor yang bersangkutan. Sementara itu menurut Kepala Seksi Peralihan, Pembebanan Hak dan PPAT Kantor Pertahan Kota Denpasar Bapak I Ketut Arjana dalam wawancara tanggal 3 Februari 2014, seharusnya perbankan mengucurkan kredit setelah APHT didaftarkan di Kantor Pertanahan yang bersangkutan. Namun apabila APHT tidak didaftarkan sedangkan kredit sudah dikucurkan oleh Kreditor maka, pihak bank tersebut dapat menempuh langkah hukum sebagai usaha setiap pribadi atau badan hukum yang merasa dirugikan haknya atau atas kepentingannya untuk memperoleh keadilan dan perlindungan atau kepastian hukum, menurut cara-cara yang ditetapkan dalam undang-undang. Namun yang lebih menguntungkan bagi Kreditor adalah atau langkah win-win solution
di luar pengadilan
untuk
mendapatkan haknya atas jaminan kredit yang bersangkutan. Menurut Bapak I Putu Chandra, APHT yang tidak didaftarkan tidak akan menimbulkan persoalan apabila Debitor tidak wanprestasi. Baru akan menjadi masalah apabila Debitor wanprestasi karena APHT yang tidak didaftarkan tidak memiliki kekuatan eksekutorial. Wanprestasi memiliki berupa beberapa kondisi, yaitu :
136 1.
Debitor sama sekali tidak berprestasi;
2.
Debitor keliru berprestasi;
3.
Debitor terlambat berprestasi.
Namun menurutnya apabila Debitor memiliki niat baik maka akan lebih menguntungkan bagi Kreditor apabila ditempuh cara win-win solution dengan pihak Debitor, misalnya dengan mengganti jaminan yang diajukan. Apabila hal tersebut tidak dapat dilakukan maka Kreditor terpaksa menempuh cara-cara peradilan dimana APHT yang tidak didaftarkan tersebut dapat menjadi barang bukti. Sebagaimana telah diuraikan di atas APHT adalah akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna karena akta otentik memiliki tiga kekuatan pembuktian, yaitu : 1. Kekuatan pembuktian lahiriah, suatu akta otentik yang dapat membuktikan dirinya tanpa adanya penjelasan dari orang lain. 2. Kekuatan Pembuktian Formal, keterangan-keterangan yang ada dalam akta ini secara formal benar adanya. Sebenar-benarnya di sini bisa saja tidak benar karena penghadap berbohong. Kebenaran formal ini mengikat para pihak, para ahli waris dan para pihak yang menerima haknya. 3. Kekuatan Pembuktian Materiil. Isi materi dari apa yang ada dalam akta itu adalah dijamin benar adanya. Karena yang membuat dan menyusun adalah pejabat umum. Kebenaran materiil ini mengikat para pihak, para ahli waris dan para pihak yang menerima haknya. Apabila akta otentik diajukan sebagai alat bukti dalam suatu persidangan, maka tidak diperlukan bukti pendukung lain yang menyatakan bahwa akta otentik
137 tersebut benar. Hal ini dikarenakan suatu akta otentik telah dapat dipastikan kebenarannya. Secara lebih sistematis Notaris/PPAT Bapak I Putu Chandra menguraikan pandangannya bahwa dalam menyelesaikan kasus Perdata, seperti perjanjian kredit perbankan, biasanya terdapat dua jalur yang menjadi penawaran bagi pihak yang bersengketa, yaitu jalur litigasi dan non-litigasi. Adapun yang dimaksud dengan Litigasi adalah bentuk penanganan kasus melalui jalur proses di peradilan baik kasus perdata maupun pidana, sedangkan Non-Litigasi adalah penyelesaian masalah hukum diluar proses peradilan. Non litigasi ini pada umunya dilakukan pada kasus perdata saja karena lebih bersifat privat. Hal senada diungkapkan Rachmadi Usman, bahwa selain melalui pengadilan (litigasi), penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan di luar pengadilan (non litigasi), yang lazim dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa.93 Definisi litigasi secara eksplisit tidak ditemukan dalam di peraturan perundang-undangan. Namun secara umum ligitasi dapat diartikan sebagai proses dimana seorang individu atau badan hukum membawa sengketa ke pengadilan Sementara itu pengertian alternatif penyelesaian sengketa dapat dilihat peda Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872,
93
Rachmadi Usman, 2012, Mediasi di Pengadilan : dalam Teori dan Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut Usman Rahmadi Usman II), h. 8.
138 selanjutnya disebut UU Arbitrase dan APS). Menurut Pasal 1 angka 10 UU Arbitrase dan APS “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”. Notaris/PPAT Bapak I Putu Chandra menguraikan bentuk-bentuk penyelesaian melalui jalur non litigasi tersebut di atas, yaitu: 1. Negosiasi. Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana antara dua orang atau lebih/para pihak yang mempunyai hal atau bersengketa saling melakukan kompromi atau tawar menawar terhadap kepentingan penyelesaian suatu hal atau sengketa untuk mencapai kesepakatan. Dengan cara kompromi tersebut diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut secara baik. Pihak yang melakukan negosiasi disebut negosiator, sebagai seorang yang dianggap bisa melakukan negosiasi. Seorang negosiator harus mempunyai keahlian dalam menegosiasi hal yang disengketakan antara kedua pihak. 2. Mediasi. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa diluar peradilan yang kurang lebih hampir sama dengan negosiasi. Bedanya adalah terdapat pihak ketiga yang netral dan berfungsi sebagai penengah atau memfasilitasi mediasi tersebut yang biasa disebut mediator. Pihak ketiga tersebut hanya boleh memberikan saran-saran yang bersifat sugestif, karena pada dasarnya yang memutuskan
139 untuk mengakhiri sengketa adalah para pihak. Pihak ketiga tersebut juga harus netral sehingga dapat memberikan saran-saran yang obyektif dan tidak terkesan memihak salah satu pihak. Mediasi merupakan prosedur wajib dalam proses pemeriksaan perkara perdata, bahkan dalam arbitrase sekalipun dimana Hakim atau arbiter wajib memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi dan jika mediasi tersebut gagal barulah pemeriksaan perkara dilanjutkan. 3. Arbitrase Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai "litigasi swasta". Dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah Hakim tetapi seorang arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah "klausula arbitrase" di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat perjanjian tersebut, atau "Perjanjian Arbitrase" dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut tetap diajukan ke Pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara tersebut sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase. Sementara itu penyelesaian melalui proses Litigasi menurut Notaris/PPAT Bapak I Putu Chandra, terdiri dari :
140 1.
Pengadilan umum Pengadilan Negeri berwenang memeriksa sengketa bisnis, mempunyai karakteristik : a. Prosesnya sangat formal b. Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yaitu Hakim c. Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan d. Sifat keputusan memaksa dan mengikat e. Orientasi ke pada fakta hukum atau mencari pihak yang bersalah f. Persidangan bersifat terbuka
2.
Pengadilan niaga Pengadilan Niaga adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan pengadilan umum yang mempunyai kompetensi untuk memeriksa dan memutuskan Permohonan Pernyataan Pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan sengketa HAKI. Pengadilan Niaga mempunyai karakteristik sebagai berikut : a. Prosesnya sangat formal b. Keputusan dibuat oleh pihak yaitu Hakim c. Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan d. Sifat keputusan memaksa dan mengikat e. Orientasi pada fakta hukum yaitu mencari pihak yang salah) f. Proses persidangan bersifat terbuka g. Waktu singkat.
141 Menurut Notaris/PPAT Bapak I Putu Chandra, penyelesaian sengketa sebaiknya dilakukan di luar di luar peradilan karena lebih menguntungkan daripada penyelesaian sengketa melalui jalur peradilan, dengan beberapa pertimbangan, yaitu: a. Proses lebih cepat artinya penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dalam hitungan hari, minggu atau bulan, tidak seperti halnya penyelesaian lewat jalur pengadilan yang memerlukan waktu berbulan-bulan bahkan tahunan. b. Biaya lebih murah dibandingkan penyelesaian sengketa/konflik melalui jalur litigasi. c. Sifatnya informal karena segala sesuatunya dapat ditentukan oleh para pihak yang bersengketa seperti menentukan jadwal pertemuan, tempat pertemuan, ketentuan-ketentuan yang mengatur pertemuan mereka, dan sebagainya. d. Kerahasiaan terjamin, artinya materi yang dibicarakan hanya diketahui oleh kalangan terbatas, sehingga kerahasiaan dapat terjamin dan tidak tersebar luas atau terpublikasikan e. Adanya kebebasan memilih pihak ketiga, artinya para pihak dapat memilih pihak ketiga yang netral yang mereka hormati dan percayai serta mempunyai keahlian dibidangnya. f. Dapat menjaga hubungan baik persahabatan, sebab dalam proses yang informal para pihak berusaha keras dan berjuang untuk mencapai penyelesaian sengketa secara kooperatif sehingga mereka tetap dapat menjaga hubungan baik. g. Lebih mudah mengadakan perbaikan-perbaikan terhadap kesepakatan yang telah dicapai seperti menegosiasikan kembali suatu kontrak baik mengenai
142 substansi maupun pertimbangan yang menjadi landasannya termasuk konsideran yang sifatnya non hukum. h. Bersifat final, artinya putusan yang diambil oleh para pihak adalah final sesuai kesepakatan yang telah dituangkan di dalam kontrak. i. Pelaksanaan tatap muka yang pasti, artinya para pihaklah yang menentukan secara pasti baik mengenai waktu, tempat dan agenda untuk mendiskusikan dan mencari jalan keluar sengketa yang dihadapi. j. Tata cara penyelesaiannya sengketa diatur sendiri oleh para pihak, sebab tidak terikat oleh peraturan perundangan yang berlaku. Sementara itu menurut Kepala Bagian Legal Bank Mayapada Cabang Denpasar, Ibu Ni Komang Purnama Dewi dalam wawancara tanggal 17 Februari 2014 mengaku pihaknya tidak pernah mengalami sengketa dengan nasabah terkait APHT yang tidak didaftarkan. Namun apabila hal itu terjadi maka pihak bank akan memilih menempuh jalan di luar pengadilan (non ligitasi), seperti negosiasi, untuk memperoleh kembali hak atas jaminan kredit. Hal ini karena penyelesaian melalui jalur di luar pengadilan lebih bersifat informal, penyelesaian cepat, biaya murah dan kemungkinan besar para pihak bisa sama-sama merasa menang. Sedangkan apabila menempuh jalan lewat pengadilan, selain akan memakan waktu lama dimana para pihak sama-sama saling gugat, juga akan memakan biaya yang besar. Selain itu salah satu pihak akan mendendam karena merasa kalah. Hal senada diungkapkan Kepala Bagian Legal BPR Lestari Bapak I Nyoman Suardana. Menurutnya dalam klausul perjanjian kredit BPR Lestari selalu dicantumkan klausul perselisihan. Biasanya pilihannya adalah pihak bank
143 dan debitor akan menyelesaian secara musyawarah dan mufakat apabila ada perselisihan. Apabila tidak dapat diperoleh penyelesaian maka akan ditempuh jalur pengadilan. Menurut bapak I Nyoman Suardana, selama ini BPR Lestari melakukan upaya musyawarah untuk mufakat apabila mengalami perselisihan dengan debitor, dan semua dapat diselesaikan tanpa harus menempuh jalur pengadilan.
144 BAB V PENUTUP 5. 1 Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dari bab-bab sebelumnya dalam tesis ini penelitian terkait terkait pokok permasalahan pertama dan kedua maka dapat disimpulkan , yaitu : 1.
Akibat hukum dari tidak didaftarkannya APHT terhadap perjanjian kredit perbankan yang dibuat oleh Kreditor PT. Bank Mayapada Internasional, Tbk dan PT. BPR Lestari dihadapan Notaris/PPAT di Wilayah Kota Denpasar adalah perjanjian kredit tersebut tetap sah sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata. Perjanjian kredit perbankan yang dibuat tersebut berkedudukan sebagai perjanjian pokok yang mengikat para pihak yang membuatnya. Sedangkan APHT yang tidak didaftarkan, konsekuensinya tidak memenuhi asas publisitas dan asas preferensi, sesuai dengan ketentuan Pasal 13 UUHT. Perlindungan hukum bagi Kreditor dalam hal APHT tidak didaftarkan dapat dilakukan dengan menandatangani akta kuasa untuk menjual atas benda jaminan dari Debitor kepada Kreditor dihadapan Notaris/PPAT.
2. Hak Kreditor perbankan PT. Bank Mayapada Internasional, Tbk dan PT. BPR Lestari terhadap benda jaminan dalam hal APHT tidak didaftarkan adalah tetap memiliki haknya untuk mendapatkan benda jaminan, hanya saja didudukkan seimbang/sama dengan kreditor lainnya. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata yang menentukan hahwa harta kekayaan
144
145 Debitor menjadi jaminan secara bersama-sama bagi semua Kreditor yang memberikan hutang kepadanya.
5.2 Saran-saran Terkait dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diberikan saran-saran sebagai berikut : 1. Kepada Bank selaku Kreditor diharapkan dalam proses pemberian kredit, mencairkan dana setelah pendaftaran APHT dilakukan dan juga diharapkan melakukan pengawasan terhadap kinerja Notaris/PPAT rekanan Bank, sehingga mencegah terjadinya keterlambatan/tidak didaftarkannya APHT, dan Kreditor dapat mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana ditentukan oleh asas-asas hak tanggungan. 2. Kepada Pemerintah agar segera membuat produk hukum yang memuat sanksi yang lebih tegas dari pada sekedar sanksi administratif terhadap PPAT rekanan bank yang lalai melaksanakan kewajiban untuk mendaftarkan APHT 7 (tujuh) hari setelah penandatanganan, agar kerugian pihak yang berkepentingan, seperti pihak perbankan selaku Kreditor dalam perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan dapat dihindarkan.
146 DAFTAR PUSTAKA Adjie, Habib, 2008, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris; Sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung _______, 2009, Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia : Tafsir TematikTerhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung ( selanjutnya disebut Habib Adjie II) Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, 2004, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta Arikunto, Suharsini, 1986, Prosedur Penelitian, Bina Aksara, Jakarta Atmosudiro, Prajudi, 1983,Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta Badrulzaman, Mariam Darus, 1993, K.U.H.Perdata Buku III Hukum Perikatan Denan Penjelasan., cetakan kedua, Bandung: Penerbit Alumni, 1993 _______2005, Aneka Hukum Bisnis, Cet. II, Alumni, Bandung Bahsan, M, 2007, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Rajawali press, Jakarta Boediarto, Ali, 2005, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung: Hukum Acara Perdata Setengah Abad, Swa Justisia, Jakarta -------, 2008, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Cet I, CV Mandar Maju, Bandung Campbell, Black Henry, 1999, Black’s Law Dictionary, West Publishing, St. Paul Minesota Djatmiati, Tatiek Sri, 2002, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, Disertasi, PPS Unair, Surabaya Fajar, Mukti dan Achmad Yulianto, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogjakarta Fuady, Munir, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung Friedmann, W, 1993, Teori dan Filsafat Hukum : Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (susunan I), Judul Asli : Legal Theory, Penerjemah : Mohamad Arifin, Cet. Kedua, PT Rajagrafindo Persada
146
147 Harsono, Boedi, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, h. 439. Hermansyah, 2008, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta Kansil, C.S.T, dan Christine S.T Kansil, 1997, Pokok-Pokok Hak Tanggungan dan Tanah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta M. Hadjon, Philipus, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Peradaban, Surabaya -------, 1992, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia: Sebuah Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya Manullang, Fernando M, F, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Buku Kompas, Jakarta Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group, ST. Paul Minn, Printed in the United States of America Muhamad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung Muladi, 2002, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, BP Undip, Semarang Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, 2008, Hak Tanggungan, Cet III, Prenada Media Group, Jakarta. Patrik,Purwahid, 1988, Hukum Perdata II, Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Poesoko, Herowati, 2007, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan: Inkonsiitensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran Dalam UUHT, Laksbang Pressindo, Yogyakarta Prajitno, Andi, 2009, Hukum Fidusia (Problematika Yuridis Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999), Bayumedia Publishing, Malang Parlindungan, A.P, 1994, Bunga Rampai Hukum Agraria Serta Landreform Bagian II, Cet II, CV. Mandar Maju, Bandung
148 Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana, 2011, Buku Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana, 2013, Buku Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar Rahardjo, Satjipto, 2006, Sisi-Sisi Dari Hukum Di Indonesia, Buku Kompas, Jakarta Rasjidi, Lili dan I.B Wyasa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rusdakarya, Jakarta. Ros Macdonald & Denise McGill, 2008, Drafting, Second Edition, LexisNexis, Butterworths, Australia Salim, H.S, 2007, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta Santoso, Urip, 2010, Pendaftaran Dan Peralihan Hak Atas Tanah,Edisi pertama, Cet ke-2, Kencana, Jakarta Satrio, J, 1993, Parate Eksekusi Sebagai Sarana Mengatasi Kredit Macet, Citra Aditya Bakti, Bandung _______, 1998, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 2, Citra Aditya Bakti, Bandung Seno Adji, Oemar, 1966, Prasara Dalam Indonesia Negara Hukum, Simposium UI Jakarta Sjahdeni, Sutan Remy, 1999, Hak Tanggungan (Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan), Alumni, Bandung, h. 11. Soemitro, Ronny Hanitijo, 1983, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan I, Ghalia Indonesia, Jakarta Subekti, R, 1996, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit (Termasuk Hak Tanggungan) Menurut Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. _______, 1996, Pembuktian dan Daluwarsa, Intermasa, Jakarta Supramono, Gatot, 2009, Perbankan dan Masalah Kredit : Suatu tinjauan Yuridis, Rineka Cipta, Jakarta
149 Supranto, J, 2003, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta Sutedi, Adrian, 2010, Hukum Hak Tanggungan, Sunar Grafika Suyatno, Thomas, 1989, Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia, Jakarta Suyatno, Thomas, et.al, 1995, Dasar-Dasar Kredit: Bagian Keempat Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Suyatno, Thomas, et.al., 1991, Dasar-Dasar Perkreditan, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Tri Santoso, Rudi, 1996, Kredit Usaha Perbankan, Edisi I, Cet I, Andi Yogyakarta Usman, Rachmadi, 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta Waluyo, Bambang, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta _______ 2012, Mediasi di Pengadilan : dalam Teori dan Praktek, Sinar Grafika, Jakarta Watt, Robert, 2001, Concise Legal Research, The Federation Press, Leinchrdt, NSW, h.1 Widjarnako, 2007, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta Wignyoseobroto, Soetandyo, 2002, Hukum-Paradigma, Metoda dan Dinamika Masalahnya, Elsam dan Huma, Jakarta Wuisaman, J.J.J.M, 1996, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta Wheare, K.C, 1975, Modern Constitutions, Oxford University Press, London
Internet: Mariotedja, 2013, “Teori Kepastian Mariotedja.blogspot.com
Dalam
Perspektif
Hukum”,
150 Majalah Sumardjono, Maria, S.W, Prinsip Dasar Dan Isyu Di Seputar UUHT, Jurnal Hukum Bisnis Volume I Tahun 1997
Peraturan Perndang-Undangan: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011, Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014, Nomor 3, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960, Tambahan lembaran Negara Repubik Indonesia Nomor 2043) Peraturan pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3746)
DAFTAR RESONDEN
1. Nama : I PUTU CHANDRA, SH. Jabatan: Notaris/PPAT Wilayah Jabatan Kota Denpasar Alamat : Jalan Kepundung, Denpasar-Bali 2. Nama : I MADE GELGEL, SH. Jabatan: Notaris/PPAT Wilayah Jabatan Kota Denpasar Alamat : Jalan WR. Supratman, Denpasar Bali 3. Nama : I KOMANG SUARDANA, SH Jabatan: Head Legal PT. BPR SRI ARTHA LESTARI (BPR LESTARI) Kantor Pusat Denpasar Alamat : Jalan Teuku Umar Denpasar Bali 4. Nama : NI KOMANG PURNAMA DEWI, SH Jabatan: Head Legal PT. BANK MAYAPADA INTERNASIONAL, Tbk Cabang Denpasar. Alamat : Jalan Thamrin, Denpasar-Bali
DAFTAR INFORMAN
1. Nama Jabatan Alamat
: I KETUT SUARJANA : Kepala Seksi Peralihan dan Pembebanah Hak Tanggungan Kantor Pertanahan Kota Denpasar. : Jalan Pudak Nomor 7, Denpasar Bali.