PERLAKUAN ULTRASONIKASI UNTUK MENINGKATKAN KESIAPAN KERUPUK DIMASAK MENGGUNAKAN MICROWAVE
CHEVIA NADIA LAKSMISARI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perlakuan Ultrasonikasi untuk Meningkatkan Kesiapan Kerupuk Dimasak Menggunakan Microwave adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor Bogor, Mei 2016 Chevia Nadia Laksmisari NIM F24110090
ABSTRAK CHEVIA NADIA LAKSMISARI. Perlakuan Ultrasonikasi untuk Meningkatkan Kesiapan Kerupuk Dimasak Menggunakan Microwave. Dibimbing oleh DAHRUL SYAH. Kerupuk merupakan salah satu makanan yang dikonsumsi dan digemari oleh masyarakat Indonesia baik di segala tingkat usia dan sosial masyarakat. Kerupuk biasanya dimasak dengan menggunakan metode penggorengan rendam, namun saat ini metode pemasakan dengan oven microwave menjadi alternatif karena mampu menghasilkan kerupuk rendah lemak. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efek perlakuan ultrasonikasi pada rekayasa pembuatan kerupuk terutama untuk meningkatkan kesiapan kerupuk yang selanjutnya akan dimasak dengan metode oven microwave yaitu menghasilkan karakteristik volume pengembangan dan tingkat kerenyahan yang sama dengan metode deep fat frying. Rekayasa proses dengan perlakuan pendahuluan ultrasonikasi merupakan upaya salah satu metode fisik pada rekayasa pati yang dapat menghasilkan pati mikroporus sehingga mempengaruhi tingkat kerenyahan dan volume pengembangan pada kerupuk. Pada penelitian ini, sampel kerupuk kontrol tanpa perlakuan ultrasonikasi dibandingkan dengan tiga perlakuan ultrasonikasi pada tahap yang berbeda yaitu sebelum tahap pemanasan awal/ pre-heating (P1), setelah tahap pengukusan (P2) dan setelah tahap pengirisan adonan (P3) dengan frekuensi sebesar 42 kHz pada suhu 50oC selama 6 menit. Perlakuan ultrasonikasi pada tiga perlakuan tahap proses yang berbeda yaitu ultrasonikasi saat P1, P2 dan P3 tidak memberikan efek yang berbeda nyata (p>0.05) pada volume pengembangan kerupuk, kadar air kerupuk mentah dan goreng serta kadar lemak kerupuk jika dibandingkan dengan kerupuk kontrol tanpa perlakuan ultrasonikasi. Pada karakteristik tekstur kerenyahan menunjukkan P1, P2 dan P3 memberikan efek pada peningkatan kerenyahan kerupuk dibandingkan dengan kerupuk kontrol namun tidak memberikan efek yang berbeda nyata (p>0.05). Perlakuan ultrasonikasi pada tahap pre-heating (P1) memiliki gaya sebesar 25.00016 kgF yang menunjukkan peningkatan kerenyahan tertinggi dibandingkan dengan kerupuk kontrol tanpa perlakuan ultrasonikasi sebesar 83.07225 kgF sehingga sampel kerupuk P1 menjadi hasil rekayasa proses ultrasonikasi terpilih. Selain itu, sampel P1 berhasil menghasilkan produk yang siap dimasak dengan menggunakan oven microwave karena berhasil memberikan nilai volume pengembangan dan tingkat kerenyahan yang sama (p>0.05) ketika dibandingkan dengan metode pemasakan deep fat frying pada sampel yang sama. Kata kunci: deep fat frying, kerenyahan, kerupuk, microwave, ultrasonikasi, volume pengembangan
ABSTRACT CHEVIA NADIA LAKSMISARI. Ultrasonic Pre-Treatment on Crackers Processing to Improve The Readiness of Cracker to be Cooked in Microwave. Supervised by DAHRUL SYAH. Cracker is one of the popular snacks that consumed by various type of ages and social classes in Indonesia. Cracker is normally processed using deep fat frying method, but nowdays microwave oven methods become an alternative because it can produce low-fat crackers. This research aimed to identify the effect of ultrasonic pre-treatment on cracker processing especially to improve the readiness of cracker to be cooked in microwave so that can produce volume expansion and crispiness levels that equal to fried crackers. Ultrasonic pretreatment is one of the physical methods of starch modification that can produce a microporous starch that affect the crispness level and volume expansion of crackers. In this study, the control crackers (without ultrasonic pre-treatment) were compared with the crackers with ultrasonic pre-treatment in three different process steps, namely before pre-heating step (P1), before steaming step (P2) and after cutting step (P3) by using 42 kHz of ultrasound frequencies at 50oC for six minutes. Ultrasonic pre-treatment in three different process step (P1, P2, P3) does not give significantly effect (p>0.05) on volume expansion, moisture content of half finished & fried crackers and oil content of fried crackers when compared to control without ultrasonic pre-treatment. The crispness characteristic show that P1, P2 and P3 give an effect on improving the crispness level of crackers compare to the control but not significant (p>0.05) based on statistical analysis. Ultrasonic pre-treatment before pre-heating (P1) give the highest crispness level of crackers at 25.00016 kgF compared to control at 83.07225 kgF, so it can conclude that P1 sample is the chosen treatment of ultrasonic pre-treatment in crackers. In addition, P1 managed to improve the readiness of cracker to be cooked in microwave due to create volume expansion and crispiness levels that equal (p>0.05) to fried crackers using deep fat frying method. Keywords: crackers, crispness, deep fat frying, microwave, ultrasonic, volume expansion
PERLAKUAN ULTRASONIKASI UNTUK MENINGKATKAN KESIAPAN KERUPUK DIMASAK MENGGUNAKAN MICROWAVE
CHEVIA NADIA LAKSMISARI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu dan Teknologi Pangan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2015 ini ialah rekayasa proses, dengan judul Perlakuan Ultrasonikasi untuk Meningkatkan Kesiapan Kerupuk Dimasak Menggunakan Microwave. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr selaku pembimbing yang telah memberikan arahan, saran dan bimbingan dalam pengerjaan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Budi Nurtama, M.Agr dan Dr. Ir. Dede Robiatul Adawiyah, M.Si atas kesediaannya menjadi dosen penguji dalam ujian skripsi serta memberikan saran dalam perbaikan penyusunan skripsi penulis. Selain itu, penulis menyampaikan penghargaan kepada SEAFAST (Southeast Asian Food & Agricultural Science & Technology) yang telah memberikan dukungan finansial atas terlaksananya penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, M. Adib Yuniarto dan Lukita Yuniati, serta kakak Reza Ahda S. dan seluruh keluarga atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya. Terimakasih juga kepada Amalia, Yustika, Meska, Elsa dan Dhika yang selalu mendukung dan mewarnai kehidupan kampus saya, terimakasih terhadap Wilona teman satu bimbingan yang selalu membantu dalam penelitian ini serta teman-teman Kost Queen Castle, BEM Keluarga Filantropi dan ITP 48 atas doa dan dukungannya selama ini. Dan tidak lupa terimakasih kepada laboran dan teknisi di Laboratorium ITP dan SEAFAST atas bantuan selama pengerjaan penelitian. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kemajuan dunia pangan serta penelitian-penelitian terkait selanjutnya. Bogor, Mei 2016 Chevia Nadia Laksmisari
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR LAMPIRAN
iv
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
METODE
3
Bahan
3
Alat
3
Prosedur Analisis Data
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
7
Penelitian Pendahuluan
7
Penelitian Lanjutan
8
Analisis volume pengembangan
8
Penentuan kerenyahan tekstur
10
Analisis tekstur kerenyahan
11
Analisis hilangnya air dan penyerapan minyak saat penggorengan
13
Perbandingan hasil metode pemasakan deep fat frying dan oven microwave 14 SIMPULAN DAN SARAN
16
Simpulan
16
Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
16
LAMPIRAN
20
RIWAYAT HIDUP
27
DAFTAR TABEL 1. Formula kerupuk 2. Hasil analisis texture analyzer 3. Hasil analisis kadar air kerupuk mentah dan goreng serta kadar lemak
4 12 14
DAFTAR GAMBAR 1. Diagram alir penelitian 2. Diagram alir produksi dengan perlakuan ultrasonikasi pada rekayasa proses pembuatan kerupuk 3. Pembentukan gelembung kavitasi stabil dan pembentukan serta pecahnya gelembung kavitasi transien 4. Hasil analisis volume pengembangan kerupuk 5. Diagram profil kerenyahan 6. Pergerakan gelembung ke arah permukaan padat yang bertindak sebagai antinode tekanan 7. Perbandingan Hasil Metode Pemasakan Deep Fat Frying dan Oven
3 4 9 10 11 11 15
DAFTAR LAMPIRAN 1. Gambar volume pengembangan sampel uji kerupuk perlakuan ultrasonikasi 2. Hasil analisis ANOVA volume pengembangan sampel uji kerupuk 3. Grafik deformasi gaya uji fisik dengan texture analyzer 4. Hasil analisis ANOVA tekstur kerenyahan sampel uji kerupuk 5. Hasil analisis ANOVA kadar air sampel uji kerupuk mentah 6. Hasil analisis ANOVA kadar air sampel uji kerupuk goreng 7. Hasil analisis ANOVA kadar lemak sampel uji kerupuk goreng 8. Hasil analisis statistik independent sample t-test perbandingan nilai volum pengembangan metode pemasakan deep fat frying dan oven microwave 9. Hasil analisis statistik independent sample t-test perbandingan tingkat kerenyahan metode pemasakan deep fat frying dan oven microwave
20 21 22 24 24 24 24
25
26
PENDAHULUAN Latar Belakang Kerupuk menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01-2714-2009 adalah suatu produk makanan kering, yang dibuat dari tepung pati, dengan penambahan bahan-bahan lainnya dan bahan tambahan pangan yang diizinkan dengan proses dicetak, dikukus, diiris dan dikeringkan. Kerupuk merupakan salah satu makanan yang dikonsumsi dan digemari oleh masyarakat Indonesia baik di segala tingkat usia dan sosial masyarakat. Melihat konsumsi kerupuk masyarakat Indonesia yang besar, menjadikan suatu gagasan awal untuk menciptakan penelitian tentang kerupuk. Kerupuk biasanya dimasak dengan menggunakan metode penggorengan rendam atau deep fat frying dimana kerupuk menerima kontak panas dari segala arah yang menyebabkan mengembang secara cepat, seragam dan memiliki ukuran yang lebih besar (Farkas et al. 1996). Suhu tinggi penggorengan menyebabkan penguapan dan transpor air dari dalam bahan ke permukaan sehingga terbentuk ruang-ruang (pori) yang kemudian ditempati oleh minyak goreng (Fellows 2000). Disamping itu, penggunaan oven microwave saat ini banyak diaplikasikan untuk memasak atau memanaskan makanan pada skala rumah tangga. Pemasakan dengan microwave oven merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas kerupuk yaitu menghindarkan pemakaian minyak sehingga diperoleh produk yang tidak berminyak dan berkalori rendah. Namun pemasakan kerupuk menggunakan oven gelombang mikro belum mampu memberikan nilai volume pengembangan yang sama jika dibandingkan dengan metode pemasakan konvensional yaitu deep fat frying. Hal tersebut mendorong dibutuhkannya rekayasa proses untuk meningkatkan kesiapan kerupuk yang dimasak menggunakan microwave. Tingkat penerimaan kualitas kerupuk oleh konsumen terkait dengan tingkat kerenyahannya. Menurut Vincent (2004), kerenyahan merupakan serangkaian retakan yang dirasakan di dalam mulut akibat dikenai gaya yang rendah. Pengembangan produk dilakukan dengan cara memodifikasi proses pembuatan kerupuk yang dapat meningkatkan kualitas produk yang dalam hal ini terkait dengan tingkat kerenyahannya. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa teknologi populer yang baru muncul masih dalam tahap pengujian laboratorium, salah satu contohnya adalah teknologi ultrasonikasi. Rekayasa proses dengan perlakuan pendahuluan ultrasonikasi terhadap adonan berpati yaitu kerupuk merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu kerenyahan produk serta meningkatkan kesiapan kerupuk yang dimasak menggunakan microwave. Ultrasonikasi berpengaruh terhadap keadaan fisik dan kimia pada suatu produk pangan. Ultrasonikasi bekerja dengan adanya gelombang suara ultrasound berfrekuensi diatas pendengaran manusia (>20kHz) yang mampu menghasilkan energi dengan aliran stabil (steady streaming) dan merambat melalui media viscous, baik melalui air maupun udara (Riley 2001). Energi ini memicu terbentuknya gelembung-gelembung yang disebut kavitasi sebagai salah satu peristiwa pelebaran porositas pada bahan sehingga kerenyahan produk yang akan digoreng dapat meningkat (Kentish dan Ashokkumar 2011). Perlakuan
2
ultrasonikasi adalah salah satu metode fisik pada rekayasa pati yang mempengaruhi daerah amporphous granula pati dan menghasilkan pati mikroporus (Luo et al 2008). Selain itu, efek fisik yang biasa terjadi salah satunya adalah emulsifikasi. Sedangkan efek kimia pada ultrasonikasi menyebabkan molekul–molekul berinterikasi sehingga mengakibatkan perubahan kimia seperti degradasi suatu polimer. Gelombang ultrasound ini tergolong aman, tidak beracun dan ramah lingkungan. Peran ultrasonikasi dalam meningkatkan kerenyahan telah dicoba sebelum penggorengan dalam pembuatan french fries. Perlakuan ultrasonikasi dengan frekuensi 40 kHz sebelum penggorengan menghasilkan tekstur kerak yang renyah dan bagian dalam yang lembut (Bilet 2011). Selain itu, Rosanna (2015) menyebutkan bahwa irisan ubi jalar yang diberi perlakuan ultrasonikasi sebelum penggorengan dapat meningkatkan kerenyahan, menurunkan densitas keripik ubi jalar dan menurunkan penyerapan minyak. Penelitian ini dilakukan untuk meningkatkan kesiapan kerupuk yang dimasak menggunakan oven microwave sehingga menyerupai pemasakan dengan sistem deep fat frying baik segi volume pengembangan maupun tingkat kerenyahannya melalui rekayasa proses pembuatan kerupuk yaitu perlakuan ultrasonikasi. Perumusan Masalah a. Adakah pengaruh perlakuan ultrasonikasi dalam rekayasa proses pembuatan kerupuk terhadap karakter produk kerupuk yang dihasilkan? b. Bagaimana pengaruh perlakuan ultrasonikasi terhadap profil volume pengembangan dan tekstur kerenyahan produk kerupuk? c. Adakah perbedaan hasil kerupuk dengan metode pemasakan yang berbeda yaitu deep fat frying dan oven microwave? Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah melihat pengaruh proses ultrasonikasi dalam rekayasa proses pembuatan kerupuk terhadap karakter produk yang dihasilkan. Tujuan khusus penelitian ini adalah mengetahui pengaruh perlakuan ultrasonikasi terutama terhadap volume pengembangan dan kerenyahan kerupuk serta perbandingan hasil pemasakan dengan metode pemasakan yang berbeda yaitu deep fat frying dan oven microwave. Manfaat Penelitian Penelitian ini memberikan informasi keilmuan yang berkaitan dengan pengaruh ultrasonikasi dalam rekayasa proses pembuatan kerupuk terutama terhadap profil volume pengembangan dan tekstur kerenyahan produk serta perbandingan hasil pemasakan dengan metode pemasakan yang berbeda yaitu deep fat frying dan oven microwave. Diharapkan hasil penelitian ini bermanfaat bagi produsen kerupuk, khususnya di tingkat industri, sebagai alternatif upaya peningkatan mutu tekstur produk.
3
METODE Bahan Bahan yang digunakan untuk membuat kerupuk adalah tapioka bermerk Alini, air, garam dan soda kue. Bahan utama yang digunakan untuk analisis fisik dan kimia adalah kerupuk mentah dan goreng hasil rekayasa proses dengan perlakuan pendahuluan ultrasonikasi serta minyak goreng. Sedangkan, bahan pendukung yang digunakan untuk analisis kimia adalah heksana, kapas, air akuades dan kertas saring. Alat Alat-alat yang digunakan terdiri dari alat-alat untuk proses pembuatan kerupuk dan alat-alat untuk analisis. Alat yang digunakan untuk memproduksi kerupuk adalah ultrasonic bath (Bransonic 350E-DTH), wadah baskom, neraca analitik, gelas ukur, pisau, kompor, nampan dan deep fat fryer. Alat yang digunakan untuk analisis fisik adalah texture analyzer (TA-XT2) dan jangka sorong. Sedangkan untuk analisis kimia, alat yang digunakan adalah oven, cawan alumunium, oven, mortar, alat soxhlet dan alat-alat gelas. Prosedur Analisis Data Rangkaian kegiatan penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan yang disajikan pada Gambar 1. Pendalaman dan uji coba metode pembuatan kerupuk berdasarkan studi literatur
Kunjungan lapang ke perusahaan UMKM pembuatan kerupuk tapioka
Formulasi adonan kerupuk Rekayasa proses dengan pemasakan ultrasonikasi Pengeringan produk Produk Tahap analisis produk akhir kerupuk Gambar Gambar 11 Diagram Diagram alir alir penelitian penelitian
4
Formulasi Adonan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk memantapkan prosedur pembuatan kerupuk yang dilakukan dengan cara pendalaman dan uji coba metode pembuatan kerupuk dengan konsep trial and error berdasarkan studi literatur serta kunjungan lapang ke perusahaan UMKM pembuatan kerupuk tapioka. Formulasi dasar pembuatan kerupuk dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Formula kerupuk Bahan Tapioka Air Garam Soda Kue
Jumlah (gram) 100 75 3 0.2
Produksi kerupuk Kerupuk yang diproduksi adalah kerupuk berbahan baku tapioka. Tahapan proses pembuatan kerupuk tersaji pada Gambar 2. 1/4 bag. tapioka, 3/5 bag. air P1 Pemanasan Awal
Pencampuran 3/4 bag. tapioka, soda kue
Biang Adonan Pencampuran Adonan
½ campuran tapioka, garam, soda kue
Pembuatan Adonan
Sisa campuran tapioka, 2/5 bag. air
Pembentukan Adonan Silinder, D: 3 - 4 cm P2 Pengukusan (t: 60’, T: 100oC) Aging, suhu ruang, 12 jam Pemotongan, 2-3 mm P3 Pengeringan Gambar 2 Diagram produksi dengan ultrasonikasi pada rekayasa Kerupuk yang alir diproduksi terdiri atas perlakuan kontrol dan perlakuan ultrasonikasi. proses pembuatan kerupuk Kontrol adalah kerupuk tanpa perlakuan ultrasonikasi dalam pro
5
Kerupuk yang diproduksi terdiri atas kontrol dan perlakuan ultrasonikasi. Kontrol adalah kerupuk tanpa perlakuan ultrasonikasi dalam proses pembuatannya. Pada penelitian ini terdapat tiga perlakuan ultrasonikasi yang berbeda yaitu sebelum tahap pemanasan awal/ pre-heating (P1), setelah tahap pengukusan (P2) dan setelah tahap pengirisan adonan (P3). Tahapan pembuatan kerupuk terdiri dari tahap pemanasan awal sebagian adonan dan mencampurkan semua adonan sehingga terbentuk adonan yang kalis kemudian dibentuk menjadi adonan berbentuk silinder dengan diameter 3 – 4 cm. Adonan berbentuk silinder tersebut selanjutnya dikukus selama 60 menit sampai seluruh adonan tergelatinisasi sempurna yang ditandai oleh adonan yang bening, bertekstur kenyal serta tidak ada adonan yang mentah. Selanjutnya dodolan dikering anginkan (aging) untuk memudahkan proses pemotongan dengan ketebalan 0.2 – 0.3 cm dan kemudian dikeringkan dengan sinar matahari sampai diperoleh kerupuk mentah yang kering dan getas (mudah dipatahkan). Produksi kerupuk dilakukan sebanyak dua kali ulangan. Perlakuan ultrasonikasi Parameter perlakuan ultrasonikasi pada rekayasa proses pembuatan kerupuk dipilih berdasarkan pada prosedur dengan hasil terbaik yang telah dilakukan oleh Rosanna (2015). Alat yang digunakan adalah Bransonic 3510EDTH. Sampel direndam pada air akuades dan diberi perlakuan ultrasonikasi dengan frekuensi sebesar 42 kHz pada suhu 50oC selama 6 menit. Pemasakan dengan penggorengan rendam (deep fat frying) Penggorengan dilakukan pada suhu 174oC selama 35 detik sehingga didapatkan kerupuk yang berstruktur berongga serta mengalami pengembangan volume optimal. Penentuan suhu dan waktu penggorengan menggunakan konsep trial and error. Pemasakan dengan oven gelombang mikro (microwave) Pemasakan dilakukan dengan oven microwave bermerk dagang Elextrolux pada power 400 watt selama 1 menit sehingga didapatkan kerupuk yang mengembang, matang sempurna dan tidak gosong. Penentuan suhu dan waktu penggorengan menggunakan konsep trial and error berdasarkan studi yang telah dilakukan sebelumnya. Analisis volume pengembangan Setiap sampel kerupuk mentah dan matang diukur dimensi panjang, lebar, dan tebalnya menggunakan jangka sorong yang memiliki skala terkecil 0.1 mm sehingga didapatkan nilai volume kerupuk mentah (V mentah) dan nilai volume kerupuk matang (V matang). Perhitungan volume pengembangan kerupuk seperti yang disajikan pada Persamaan 1 merupakan presentase dari perbandingan antara selisih volume jenis kerupuk goreng dengan kerupuk mentah.
(1) (2)
6
Volume ditentukan menggunakan pendekatan perhitungan volume silinder seperti yang tersaji pada Persamaan 2. Setiap sampel kerupuk dilakukan pengukuran diameter (D) dan tinggi (t) baik pada kerupuk mentah maupun kerupuk matang yang sudah digoreng. Analisis tekstur kerenyahan Analisis profil tekstur kerupuk dilakukan dengan metode kompresi menggunakan Texture Analyzer TA-XT2. Setiap keping kerupuk ditekan pada bagian tengah menggunakan probe tipe spherical ball berdiameter 0.25 inch. Hasil pengukuran berupa kurva deformasi gaya yang menunjukkan hubungan antara gaya dengan jarak. Proses kompresi dilakukan dengan jarak deformasi sebesar 10.0 mm dan laju kompresi sebesar 1.0 mm/s. Nilai kerenyahan sampel ditentukan berdasarkan rata-rata dari perkalian antara masing-masing gaya dan luas area dari setiap puncak yang teridentifikasi pada kurva deformasi gaya. Pengukuran dilakukan dua kali pengulangan dan pada setiap ulangan menggunakan lima sampel untuk setiap perlakuan. Analisis kadar air (AOAC 2005) Pengukuran kadar air dilakukan dengan metode oven. Cawan alumunium dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama ± 15 menit. Kemudian cawan didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Setelah didinginkan, penimbangan cawan dilakukan dengan timbangan analitik, dicatat beratnya (a gram). Sampel ditimbang 1-2 gram bersama cawan (x gram), lalu dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama lima jam, kemudian cawan didinginkan pada desikator dan ditimbang sampai beratnya tetap (y gram). Kadar air ditentukan berdasarkan Persamaan 3. x – (y – a) Kadar Air (% b/b) = x 100 (3) x Analisis kadar lemak (AOAC 2005) Sampel kerupuk jadi sebanyak 1-2 gram ditimbang (A) kemudian dimasukkan ke dalam kertas saring yang dibentuk menjadi selongsong, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang bobot tetapnya setelah dikeringkan dalam oven 105oC (B). Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang reaktor tabung soxhlet dan direndam dengan 50 ml pelarut heksana. Ekstraksi dilakukan selama 6 jam. Kemudian, labu lemak dikeringkan didalam oven pada suhu 105oC sampai semua pelarut menguap, setelah itu labu lemak didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (C). Kadar lemak ditentukan berdasarkan Persamaan 4. C–B Kadar Lemak (% b/b)= x 100 (4) A Keterangan: A = bobot sampel (gram) B = bobot labu lemak tanpa lemak (gram) C = bobot labu lemak dengan lemak (gram)
7
Analisis statistik Data analisis fisik dan kimia yang diolah dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel, kemudian disajikan dalam bentuk rata-rata dan dianalisis statistika menggunakan SPSS 20.0. Data hasil pengukuran volume pengembangan kerupuk, tekstur kerenyahan, kadar air dan kadar lemak diolah dengan analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Dunnet. Sedangkan volume pengembangan dan tekstur kerenyahan pada metode pemasakan yang berbeda yaitu deep fat frying dan oven microwave diolah dengan Independent Sample ttest. Taraf kepercayaan yang digunakan adalah 95% dengan galat atau eror 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Tahap pembuatan kerupuk diawali dengan penetapan kombinasi suhu dan waktu pengukusan adonan yang optimal. Pengukusan merupakan tahap penting karena pada tahap ini terjadi proses gelatinisasi pati yang berkaitan erat dengan pengembangan kerupuk saat digoreng. Pati mengalami gelatinisasi bila terekspos air dan suhu tinggi. Proses pemanasan misalnya pengukusan dan perebusan, dapat menciptakan kondisi gelatinisasi pada pati (Hillocks et al. 2002). Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, pengukusan adonan kerupuk dilakukan pada suhu air mendidih yaitu 100oC selama 60 menit. Suhu yang dipilih merupakan suhu maksimum dari air mendidih karena pengukusan dilakukan secara konvensional yang disesuaikan dengan kapasitas alat di laboratorium. Pemilihan waktu pengukusan dilakukan dengan metode trial and error berdasarkan waktu adonan kerupuk mulai tergelatinisasi sempurna dimana ditandai dengan seluruh bagian berwarna bening, teksturnya kenyal serta tidak ada bagian dalam adonan yang belum matang. Adonan yang setengah matang mengindikasikan pati dalam adonan tidak tergelatinisasi dengan sempurna yang kemudian akan menghambat pengembangan kerupuk ketika digoreng. Menurut USFDA (2009), ultrasonikasi adalah metode yang menggunakan getaran mekanis yang dihasilkan dari perubahan energi listrik menjadi energi mekanis oleh transduser. Komponen–komponen yang terdapat dalam alat ultrasonik yaitu generator listrik, transduser dan emitter. Generator listrik merupakan sumber energi sistem ultrasonik yang akan memproduksi aliran listrik dengan tingkatan tertentu. Transduser berfungsi mengubah energi listrik menjadi energi suara dengan bergetar secara mekanik sesuai frekuensi ultrasonik. Sedangkan emiter berfungsi memancarkan gelombang ultrasonik dari transduser ke medium viscous, baik melalui air maupun udara (Povey dan Mason 1998). Pada penelitian ini, perlakuan ultrasonikasi menggunakan alat sonikator dengan tipe bak/ bath dimana air akuades digunakan sebagai medium penghantar energi gelombang. Perlakuan ultrasonikasi pada rekayasa pembuatan kerupuk dilakukan pada frekuensi sebesar 42 kHz pada suhu 50oC selama 6 menit. Parameter perlakuan ultrasonikasi disesuaikan dengan kapasitas alat di labratorium serta dipilih berdasarkan pada prosedur yang telah dilakukan oleh Rosanna (2015). Alat ultrasonikasi dengan merk dagang Bransonic 3510E-DTH memiliki frekuensi
8
tunggal yaitu 42 kHz. Suhu yang dipilih merupakan suhu maksimum dari alat yang terkoreksi oleh termometer yaitu sebesar 50oC. Peningkatan suhu akan meningkatkan tekanan uap sehingga kavitasi lebih mudah terjadi (Cravotto dan Cintas 2012). Perlakuan ultrasonikasi pada suhu 50oC selama 6 menit menunjukkan hasil yang paling optimum dalam peningkatan kerenyahan serta penurunan kandungan minyak pada keripik singkong (Rosanna 2015). Pada penelitian ini terdapat tiga perlakuan ultrasonikasi pada tahap yang berbeda yaitu sebelum tahap pemanasan awal/ pre-heating (P1), setelah tahap pengukusan (P2) dan setelah tahap pengirisan adonan (P3). Penetapan kombinasi suhu dan waktu penggorengan rendam atau deep fat frying menggunakan metode trial and error berdasarkan penampakan fisik kerupuk yang telah digoreng yaitu mengembang dengan sempurna, renyah serta tidak gosong (warna kuning keemasan). Menurut Gertz et al (2012), suhu yang baik digunakan dalam metode penggorengan rendam umumnya berkisar antara 140-180oC. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, penggorengan kerupuk dilakukan pada suhu 174oC selama 35 detik dengan waktu tiris selama 2 menit. Penelitian Lanjutan Produk akhir dalam penelitian ini berupa kerupuk yang telah digoreng menggunakan metode rendam atau deep fat frying yang kemudian digunakan sebagai sampel uji analisis lanjutan. Analisis volume pengembangan Pengembangan merupakan salah satu parameter penentu mutu kerupuk karena semakin besar volume pengembangan kerupuk maka kerupuk akan semakin renyah. Pengembangan akan mengurangi densitas dari kerupuk yang dihasilkan (Ding et al. 2005). Volume pengembangan adalah besarnya perubahan ukuran yang terjadi pada kerupuk sebelum dan setelah penggorengan. Pada proses penggorengan akan terjadi penguapan air yang terikat dalam gel pati akibat peningkatan suhu dan dihasilkan tekanan uap yang mendesak gel pati sehingga terjadi pengembangan dan sekaligus terbentuk rongga-rongga udara pada kerupuk yang telah digoreng (Saeleaw and Schleining 2011). Namun demikian pengembangan kerupuk yang makin besar mempunyai kelemahan karena akan menyebabkan kerupuk bersifat mudah menyerap air (higroskopis) atau makin mudah melempem. Bahan baku utama pembuatan kerupuk pada penelitian ini adalah tapioka. Penggunaan tapioka diaplikasikan pada industri pembuatan kerupuk karena memiliki kandungan pati dan amilopektin yang tinggi. Kandungan amilopektin yang lebih tinggi pada bahan akan memberikan kecenderungan pengembangan kerupuk yang lebih besar. Dalam produk makanan, amilopektin bersifat merangsang terjadinya proses mekar (puffing) dimana produk akan bersifat ringan, porous, garing dan renyah (An 2005). Tapioka juga memiliki kelebihan sebagai bahan baku, seperti harga yang relatif murah, memiliki larutan yang jernih, daya gel yang baik, rasa yang netral, warna yang terang dan memiliki daya lekatnya yang baik (Eliasson 2004). Prinsip kerja ultrasonikasi adalah dengan memicu tumbuhnya kavitasi. Kavitasi merupakan gelembung yang muncul sebagai akibat adanya perubahan
9
tekanan dimana tekanan udara berada diatas tekanan normal (kompresi) sehingga gelembung tersebut akan mengkerut dan lama kelamaan peningkatan frekuensi yang semakin tinggi dapat menyebabkan gelembung tersebut meledak. Terdapat dua jenis kavitasi, yaitu non-inersial (stabil) dan inersial (transien). Gambar 3 menunjukkan bahwa gelembung pada kavitasi non-inesial (stabil) yang terbentuk pada ultrasonik rendah (1-3 W/cm2) yang tidak pernah pecah atau hancur menjadi gelembung-gelembung berukuran lebih kecil. Sedangkan pada kavitasi inersial (transien), gelembung mengembang melalui siklus akustik menjadi minimal dua kali dari ukuran awal sebelum pecah. Setelah gelembung pecah, akan dihasilkan gelembung-gelembung kecil yang dapat tumbuh kembali (Mason dan Lorimer 1989).
Gambar 3 Pembentukan gelembung kavitasi stabil dan pembentukan serta pecahnya gelembung kavitasi transien: a. Grafik perpindahan molekul; b. Kavitasi transien; c. Kavitasi stabil; d. Grafik perubahan tekanan (Mason dan Lorimer 1989) Pecahnya gelembung inersial (transien) menghasilkan kejutan gelombang dan menjadi sumber pengaruh utama ultrasonikasi secara fisik dan kimia. Terjadi tumbukan parah pada daerah sekitar perambatan yang dapat menyebabkan pemecahan rantai polimer (Price 1990). Jumlah energi yang dilepaskan oleh kavitasi bergantung pada kinetika pertumbuhan dan pecahnya gelembung. Gelembung yang berosilasi mengakibatkan terjadinya fluktuasi kecepatan dan tekanan fluida sekitarnya sehingga menghasilkan aliran-mikro kavitasi (cavitation microstreaming) dan tumbukan skala mikro dalam fluida. Proses kavitasi ini yang akan terjadi didalam bahan dan menyebabkan partikel–partikel atau molekul dalam bahan saling berinteraksi dan dapat menyebabkan pelonggaran jaringan di bahan (Mason 2001 dalam Rosanna 2015). Pengaruh perlakuan ultrasonikasi terhadap volume pengembangan kerupuk tersaji pada Gambar 4. Perlakuan ultrasonikasi setelah tahap pengirisan dodolan kerupuk (P3) memiliki nilai volume pengembangan tertinggi mencapai 551.7%. Sedangkan nilai volume pengembangan perlakuan ultrasonikasi sebelum tahap pemanasan awal/ pre-heating (P1) sebesar 494.29% dan setelah tahap pengukusan (P2) sebesar 467.29%. Hal tersebut menunjukkan bahwa P1 dan P2 memiliki nilai volume pengembangan yang lebih kecil dibandingkan dengan kontrol tanpa perlakuan ultrasonikasi yaitu sebesar 520.7%. Analisis ragam ANOVA
10
menunjukkan volume pengembangan kerupuk dengan perlakuan ultrasonikasi baik pada P1, P2 dan P3 memiliki nilai yang tidak berbeda nyata dibandingkan kontrol (p>0.05). 551.70
Volume Pengembangan (%
560.00 540.00
520.70
520.00 494.29
500.00 480.00
467.29
460.00 440.00 420.00 Kontrol
P1
P2
P3
Perlakuan
Gambar 4 Hasil analisis volume pengembangan kerupuk Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan ultrasonikasi tidak memberikan efek yang berbeda nyata pada nilai volume pengembangan dibandingkan dengan sampel kontrol tanpa perlakuan ultrasonikasi. Penentuan tekstur kerenyahan Kerenyahan merupakan parameter yang sangat penting pada makanan kering yang salah satunya adalah kerupuk. Kerenyahan dihubungkan dengan gaya mekanik yang dibutuhkan untuk menekan sampel pangan sampai patah menjadi ukuran yang lebih kecil, namun hal ini juga dihubungkan oleh kemudahan patah atau kerapuhan struktur pangan tersebut (Tunick et al 2013). Pengujian kerenyahan kerupuk pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan texture analayzer TA-XT2 yang menggambarkan kemampuan sampel untuk menahan kompresi dari probe serta menghasilkan kurva deformasi gaya yang menggambarkan hubungan gaya yang dibutuhkan untuk deformasi atau sampel patah terhadap waktu atau jarak. Pengukuran kerenyahan dari kurva deformasi gaya dapat didekati dengan berbagai cara, seperti menghitung jumlah puncak, menghitung rata-rata gaya yang digunakan untuk menghancurkan sampel atau melihat kemiringan awal kurva. Menurut Katz dan Labuza (1981) kemiringan awal atau patahan pertama pada kurva deformasi gaya merupakan indikator dari kerenyahan. Sedangkan pada penelitian sebelumnya, penentuan kerenyahan pada produk pangan ekstrudat dan keripik kentang dengan menggunakan instrumen texture analyzer ditentukan berdasarkan parameter puncak patahan jumlah dan gaya serta luasan dibawah kurva (Bourne 2011). Gaya puncak, luasan dibawah kurva dan patahan pertama dari kurva deformasi gaya juga digunakan sebagai indikator kerenyahan pada keripik apel (Sampson et al 2014). Gambar 5 menyajikan diagram profil kerenyahan dimana bagian yang dilingkari menunjukkan adanya retakan-retakan
11
kecil pada produk makanan akibat gaya rendah yang menimbulkan suara (Vincent 1998).
Gambar 5 Diagram profil kerenyahan (Vincent 1998) Berdasarkan Cheng (2007), parameter yang dievaluasi dalam menentukan analisis tekstur adalah puncak maksimum sebagai penunjuk kekerasan, rata-rata gaya yang dibutuhkan untuk menghancurkan sampel uji dan jumlah total puncak gaya yang ditunjukkan oleh kurva yang bergerigi. Pola bergerigi pada kurva deformasi gaya disebabkan oleh terdapat banyaknya puncak patahan dan hal tersebut mencerminkan kerenyahan pada sampel uji yaitu kerupuk. Setiap puncak pada kurva deformasi gaya secara teoritis mewakili satu sel yang patah. Berdasarkan Salvador et al (2009), keripik kentang dengan skor kerenyahan sensori rendah dan kekerasan sensori tinggi memiliki jumlah puncak yang lebih rendah pada kurva deformasi gaya. Berdasarkan kajian pustaka tersebut, pada penelitian ini kerenyahan dievaluasi dengan mengkombinasikan gaya setiap puncak, jumlah puncak serta luas area dibawah kurva deformasi gaya yang dihasilkan oleh instrumen texture analyzer. Rata-rata dari perkalian antara masing-masing gaya yang digunakan untuk menghancurkan sampel dengan luas area dibawah kurva tiap gaya tersebut digunakan untuk mengevaluasi kerenyahan. Analisis tekstur kerenyahan Ultrasonikasi menyebabkan permukaan granula pati menjadi porus dan membentuk pati yang bersifat mikroporus. Pada permukaan padatan, gelembung pecah secara asimetris. Aliran seperti microjet cairan atau udara dapat dihasillkan oleh gelembung (Lee et al. 2007) yang dapat menyebabkan erosi pada permukaan yang dikikisnya.
Gambar 6 Pergerakan gelembung ke arah permukaan padat yang bertindak sebagai antinode tekanan (Kentish dan Ashokkumar 2011)
12
Mekanisme erosi permukaan seperti itu dapat juga mengusir partikel yang melekat pada permukaan dan memecah agregat besar menjadi partikel yang lebih kecil. Gambar 6 menunjukkan translasi gelembung ini mengusir partikel pada padatan saat permukaan padatan tersebut mengalami sisi tekanan antinode (puncak/lembah gelombang) dimana tekanan berfluktuasi antara amplitudo maksimum dan minimum seiring waktu dan gelembung yang terakumulasi cenderung berukururan lebih kecil (Lamminen et al. 2004). Hasil uji kerenyahan kerupuk secara fisik dengan menggunakan texture analyzer disajikan pada tabel 2 yang menunjukkan efek perlakuan ultrasonikasi terutama pada karekteristik kerenyahan tekstur kerupuk dibandingkan dengan sampel kerupuk tanpa perlakuan ultrasonikasi. Hasil ini didapatkan dari kurva deformasi gaya sampel kerupuk uji yang disajikan pada Lampiran 3. Tabel 2 Hasil analisis texture analyzer
1 2 3 U1 4 5 x± SD 1 2 3 U2 4 5 x± SD x ± SD
Kontrol (kgF) 63.84968 39.50829 49.50035 18.51767 22.26080 38.72736 ± 18.89032 55.53407 43.21596 116.2261 214.2171 207.8924 127.4171 ± 81.22924 83.07225a ± 72.63671
(Force * Area) / n P1 (kgF) P2 (kgF) 11.96265 25.12447 13.42128 30.70279 30.54959 16.41723 17.41631 23.80108 18.59894 14.88988 18.38975 ± 22.18709 ± 7.32882 6.52478 60.03544 95.46384 30.66966 83.87591 27.40135 39.31006 15.471101 25.20238 24.47531 23.07727 31.61057 ± 53.38589 ± 16.86691 33.95309 a 25.00016 ± 37.78649a ± 14.10198 28.31362
P3 (kgF) 84.14701 18.45274 24.03395 7.052407 35.31634 33.80049 ± 29.93104 191.1721 43.6846 38.07501 40.6656 22.44627 67.20871 ± 69.78053 50.50460a ± 53.59419
n adalah total jumlah puncak di dalam grafik deformasi gaya a Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Dunnet).
Nilai rata-rata yang lebih rendah menunjukkan bahwa produk membutuhkan gaya atau usaha yang lebih sedikit dari konsumen untuk mematahkannya sehingga menunjukkan tingkat kerenyahan yang lebih tinggi. Produk yang renyah akan hancur pada gaya yang rendah dengan banyak kejadian penghancuran produk (Luyten et al 2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan ultrasonikasi baik pada P1, P2 dan P3 memberikan efek pada peningkatan kerenyahan kerupuk dibandingkan dengan kerupuk kontrol yang tanpa perlakuan ultrasonikasi. Hal ini ditunjukkan pada kerupuk dengan perlakuan ultrasonikasi yaitu P1, P2 dan P3 secara berturut-turut memiliki nilai rata-rata sebesar 25.00016 kgF ± 14.10198, 37.78649 kgF ± 28.31362 dan 50.50460 kgF ± 53.59419 dimana memiliki nilai yang lebih rendah sehingga memiliki tingkat kerenyahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kerupuk kontrol tanpa perlakuan ultrasonikasi sebesar
13
83.07225 kgF ± 72.63671. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan ultrasonikasi memberikan pengaruh peningkatan tekstur kerenyahan tertinggi pada tahap sebelum pemanasan awal/ pre-heating (P1). Namun setelah dilakukan analisis ragam dengan ANOVA diketahui bahwa kerupuk dengan perlakuan ultrasonikasi sebelum tahap pemanasan awal/ pre-heating (P1), setelah proses pengukusan (P2) dan setelah proses pengirisan (P3) memiliki nilai kerenyahan yang tidak berbeda secara nyata dengan kerupuk kontrol tanpa ultrasonikasi (p>0.05). Berdasarkan uji statistik didapatkan nilai signifikansi sebesar 0.59 dimana hal tersebut berada di bidang batas 0.05 yang digunakan menjadi tingkat galat dalam penelitian ini. Kerupuk dengan perlakuan ultrasonikasi menghasilkan tekstur yang lebih renyah karena adanya kavitasi yang menyebabkan pelonggaran jaringan dan berpengaruh terhadap terbentuknya matriks solid yang rapuh dan porus. Hal tersebut sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Chanvrier et al (2014) terhadap sereal ekstruksi menunjukkan semakin tinggi porositas menyebabkan peningkatan aerasi produk dan penurunan tingkat kekerasan. Pada pati, ultrasonikasi terutama akan menyerang bagian amorf granula pati (Luo et al 2008). Kavitasi mengganggu daerah kristalin pati akibat hidrasi reversibel daerah amorf (Jambrak et al. 2010; Chung et al. 2002). Hasil pengamatan dengan SEM dan TEM pada granula pati yang telah diultrasonikasi menunjukkan adanya kerusakan di permukaan granula pada sampel pati jagung, beras, gandum, kentang (Sujka dan Jamroz 2013) serta tapioka (Manchun et al 2012). Struktur porus pada kerupuk inilah yang menjadi kunci penting dalam membentuk kerenyahan kerupuk dengan perlakuan ultrasonikasi sebelum tahap pemanasan awal/ pre-heating (P1). Nilai standar deviasi yang tinggi menunjukkan variasi data yang cukup tinggi pada hasil pengukuran tekstur maka dari itu setiap perlakuan uji dilakukan dua kali pengulangan dan setiap ulangan terdiri dari lima sampel uji. Tingginya variasi data ini kemungkinan dapat disebabkan oleh bentuk sampel yang tidak seragam dan sampel yang cenderung memiliki tepian melengkung setelah digoreng sehingga tidak berbidang rata. Pada kenyataan, patahan yang menjadi indikator kerenyahan tidak pernah terjadi secara persis/identik untuk kedua kalinya yang menyebabkan variasi nilai kerenyahan dan tingginya standar deviasi (Kayacier dan Singh 2003). Analisis hilangnya air dan penyerapan minyak saat penggorengan Kerupuk yang diproduksi dengan metode penggorengan rendam atau deep fat frying menerima kontak panas dari segala arah yang menyebabkan mengembang secara cepat, seragam dan memiliki ukuran yang lebih besar (Farkas et al. 1996). Pada metode penggorengan rendam atau deep fat frying, transfer panas terjadi dari minyak ke permukaan produk secara konveksi dan secara konduksi ke dalam pusat produk (Vitrac et al. 2002). Air bergerak dari dalam kerupuk menuju zona evaporasi dan meninggalkan permukaan produk dalam bentuk uap. Sedangkan keluarnya air meninggalkan ruang-ruang (pori) kerupuk ke minyak saat proses penggorengan menyebabkan penyerapan minyak ke dalam kerupuk karena minyak menggantikan posisi air yang mengalami evaporasi (Mellema 2003). Tabel 3 menunjukkan kadar air dari kerupuk menurun setelah penggorengan karena air mengalami evaporasi dari sampel dan kadar lemak menunjukkan adanya minyak yang terserap pada kerupuk.
14
Tabel 3 Hasil analisis kadar air kerupuk mentah dan goreng serta kadar lemak % BK Air (mentah) Air (goreng) Kehilangan Air (%) Lemak
Kontrol 14.08a ± 0.39 5.90 a ± 0.07 58.07 45.17 a ± 12.42
P1 12.61 a ±1.14 6.74 a ± 3.46
P2 11.61 a ± 0.68 3.90 a ± 2.55
P3 12.68 a ±2.48 5.64 a ± 0.01
46.54
66.37
55.55
40.08 a ± 8.86 37.06 a ± 19.83
30 a ± 6.54
a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%
Kadar air merupakan titik kritis yang mempengaruhi karakteristik mutu kerupuk terutama volume pengembangan, tekstur dan kadar lemak kerupuk setelah digoreng. Hasil analisis ragam ANOVA menunjukkan keempat sampel uji yaitu perlakuan kontrol, ultrasonikasi sebelum tahap pemanasan awal (P1), ultrasonikasi sebelum tahap pengukusan (P2) serta ultrasonikasi setelah tahap pengirisan dodolan (P3) memiliki kadar air yang tidak berbeda nyata (p>0.05) baik pada kadar air kerupuk mentah maupun kerupuk matang yang sudah digoreng. Sedangkan pada kerupuk dengan perlakuan ultrasonikasi memberikan kecenderungan penurunan kadar lemak dibanding dengan kerupuk kontrol. Namun uji ANOVA menunjukkan bahwa kadar lemak pada keempat sampel uji juga memberikan nilai yang tidak berbeda sigifikan (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan ultrasonikasi tidak memberikan efek yang signifikan pada kadar air kerupuk mentah serta kadar air dan kadar lemak kerupuk matang yang telah digoreng. Perbandingan hasil metode pemasakan deep fat frying dan oven microwave Pemasakan kerupuk mentah menjadi kerupuk matang umumnya dilakukan dengan metode deep fat frying dimana merendam seluruh permukaan bahan yang akan digoreng kedalam minyak panas yang diikuti dengan penyerapan minyak ke dalam bahan tersebut sehingga dapat menimbulkan beberapa masalah yang dikaitkan dengan masalah kesehatan serta penurunan mutu kerupuk yang diindikasikan dengan adanya ketengikan. Pemasakan dengan microwave oven dapat menghindarkan pemakaian minyak sehingga diperoleh produk yang tidak berminyak dan berkalori rendah. Oven gelombang mikro bekerja dengan cara radiasi gelombang mikro yang berada pada rentang frekuensi 300 MHz sampai 30 GHz memanaskan molekul– molekul dalam makanan. Frekuensi oven microwave yang biasanya digunakan dalam skala rumah tangga adalah sebesar 2450 Mhz. Menurut Sahin dan Sumnu (2006), penyerapan energi microwave pada bahan pangan melibatkan dua mekanisme yaitu interaksi ionik dan dipolar. Bahan pangan pada umumnya mengandung air yang terlarut didalamnya garam-garam yang akan terbentuk dua kelompok yaitu potasium menjadi partikel bermuatan positif (kation) sedangkan klorida menjadi partikel bermuatan negatif (ion). Medan energi gelombang mikro mempunyai kutub positif dan kutub negatif, keduanya akan saling tarik menarik dengan kutub–kutub yang berlawanan arah di dalam bahan pangan ataupun tolak menolak dengan kutub yang sama sehingga terjadi interaksi ionik yang akan membentuk energi kinetik serta terjadi agitasi yang dapat menaikkan suhu bahan pangan. Sedangkan pada interaksi dipolar, panas tejadi karena ada tabrakan secara
15
acak dari molekul polar akibat dari usaha molekul-molekul polar tersebut sesuai dengan arah perputaran medan listrik yang ada pada oven gelombang mikro. Gesekan atau benturan yang terus menerus inilah yang menimbulkan kenaikan suhu disekitar ruang yang akan memanaskan makanan dan mampu membuat kerupuk menjadi mengembang. Pada metode pemasakan deep fat frying dan oven microwave menggunakan sampel kerupuk yang sama yaitu kerupuk berbahan dasar tapioka dengan perlakuan ultrasonikasi saat pre-heating (P1). Berdasarkan analisis yang telah dilakukan diketahui bahwa kerupuk dengan perlakuan ultasonikasi sebelum tahap pre-heating (P1) memberikan efek peningkatan kerenyahan tertinggi degan gaya yang dibutuhkan untuk menghancurkan sampel sebesar 25 kgF dibandingkan dengan sampel kerupuk kontrol yang tanpa perlakuan ultrasonikasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam penelitian ini sampel kerupuk P1 merupakan hasil rekayasa proses terpilih yang kemudian lebih siap untuk diujikan dengan metode pemasakan oven gelombang mikro/ microwave. Gambar 7 menyajikan perbandingan hasil dari metode pemasakan kerupuk yang berbeda yaitu deep fat frying dan oven microwave dengan parameter volume pengembangan dan kerenyahan.
Gambar 7 Perbandingan hasil metode pemasakan deep fat frying dan oven microwave Berdasarkan uji statistik, sampel kerupuk yang dengan perlakuan ultrasonikasi sebelum tahap pre-heating (P1) dengan metode pemasakan deep fat frying memiliki nilai volum pengembangan dan tingkat kerenyahan yang tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan metode pemasakan oven microwave. Perlakuan ultrasonikasi mempengaruhi sifat fisik yaitu volume pengembangan dan tingkat kerenyahan produk karena adanya kavitasi sebagai salah satu peristiwa pelebaran porositas pada bahan (Kentish dan Ashokkumar 2011). Kavitasi menyerang bagian amporphous granula pati sehingga menghasilkan pati mikroporus (Luo et al 2008). Selain itu kemungkinan perlakuan ultrasonikasi mampu menghasilkan kerupuk dengan penyebaran kadar air yang lebih merata pada kerupuk mentah
16
sehingga mampu menghasilkan kerupuk yang memiliki karakteristik volume pengembangan dan tingkat kerenyahan yang sama baik dimasak menggunakan metode deep fat frying maupun oven microwave. Hal tersebut menyebabkan perlakuan ultrasonikasi sebelum tahap pre-heating (P1) mampu meningkatkan kesiapan kerupuk yang dimasak dengan menggunakan oven microwave karena berhasil memberikan nilai volum pengembangan dan tingkat kerenyahan yang sama ketika dibandingkan dengan metode pemasakan deep fat frying.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Perlakuan ultrasonikasi pada tiga perlakuan tahap proses yang berbeda pada pembuatan kerupuk yaitu ultrasonikasi sebelum tahap pemanasan awal (P1), ultrasonikasi sebelum tahap pengukusan (P2) serta ultrasonikasi setelah tahap pengirisan dodolan (P3) tidak memberikan efek yang berbeda nyata (p>0.05) pada volume pengembangan kerupuk, kadar air kerupuk mentah dan goreng serta kadar lemak kerupuk goreng jika dibandingkan dengan kerupuk kontrol tanpa perlakuan ultrasonikasi. Pada karakteristik tekstur kerenyahan menunjukkan P1, P2 dan P3 memberikan efek pada peningkatan kerenyahan kerupuk dibandingkan dengan kerupuk kontrol namun tidak memberikan efek yang berbeda nyata (p>0.05). Perlakuan ultrasonikasi pada tahap pre-heating (P1) memberikan efek peningkatan kerenyahan tertinggi sebesar 30% dibandingkan dengan kerupuk kontrol tanpa perlakuan ultrasonikasi sehingga sampel kerupuk P1 menjadi hasil rekayasa proses ultrasonikasi terpilih. Selain itu, sampel P1 menghasilkan produk yang siap dimasak dengan menggunakan oven microwave karena berhasil memberikan nilai volum pengembangan dan tingkat kerenyahan yang sama (p>0.05) ketika dibandingkan dengan metode pemasakan deep fat frying. Saran Penggunaan alat yang mampu menyeragamkan bentuk dodolan kerupuk serta tebal pengirisan kerupuk sangat diperlukan untuk mempermudah proses pembuatan kerupuk serta untuk mendapatkan hasil analisis yang tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar perlakuan. Pengujian lebih dalam terhadap efek perlakuan ultasonikasi pada tapioka sebagai bahan baku yaitu dengan melihat secara molekuler (skala mikroskopik) sehingga dapat menegaskan bahwa terjadi pembentukan pati mikroporus yang menyebabkan kenaikan nilai kerenyahan pada kerupuk dengan perlakuan ultrasonikasi sebelum tahap pemanasan awal/ preheating (P1). Selain itu diperlukan pengujian lebih lanjut terhadap perbaikan distribusi air pada sampel kerupuk yang diketahui dapat mempengaruhi volume pengembangan kerupuk terutama pada metode pemasakan menggunakan oven microwave. Pengujian sensori juga diperlukan untuk mempertimbangkan parameter lain yang mempengaruhi tingkat kesukaan konsumen pada kerupuk selain parameter kerenyahan dan volume pengembangan serta melihat korelasi parameter hasil uji sensori dengan hasil pengukuran objektif menggunakan texture analyzer.
17
DAFTAR PUSTAKA An HY. 2005. Effects of ozonation and addition of amino acids on properties of rice starches. Disertasi. Louisiana (US): Louisiana State University. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Methods of Analysis of AOAC International. Washington D.C.: AOAC International Bilet M. 2011.Starch-infused fries [internet]. Diunduh 2015 Desember 25. Tersedia dari: http://modernistcuisine.com/recipes/starch-infused-fries-2. Bourne Malcolm. 2011. Food Texture and Viscosity: Concept and Measurement 2nd Ed. Conditions for Texting Foods Using the TA-XT2 Texture Analyzer. New York: Cornell University. Chanvrier HA, Jakubczyk E, Gondek E, Gumy J. 2014. Insight into the texture of extruded cereals: structure and acoustic properties. Innov Food Sci Emerg 24: 61-68. DOI: 10.1016/j.fest.2013.11.013. Cheng, E.M., Alavi, S., Pearson, T., Agbisit, R.. 2007. Mechanical-acoustic and sensory evaluations of cornstarch-whey protein isolate extrudates. J. Texture Stud. 38 (4), 473–498. Chung KM, Moon TW, Kim H, Chun JK. 2002. Physicochemical properties of sonicated mung bean, potato and rice starches. Cereal Chem. 79(5):631-633. doi:10.1094/CCHEM.2002.79.5.631. Cravotto G, Cintas P. 2012. A Historical and Conceptual Overview. Di dalam: Chen D, Sharma SK, Ackmez M, editor. Handbook on Applications of Ultrasound: Sonochemistry for Sustainability. Florida (US): CRC Press. hlm 33. Ding QB, Ainsworth P, Tucker G, Marson H. 2005. The effect of extrusion conditions on the physicochemical properties and sensory characteristics of rice-based expanded snacks. J Food Eng. 2005: 283289.doi:10.1016/j.jfoodeng.2004.03.019. Eliasson AC. 2004. Starch in Food, Cambridge (UK): Woodhead Publishing, Ltd. Farkas, B. E., R.P. Singh and T.R. Rumsey. 1996. Modeling heat and mass transfer in immersion frying. I. Model development. J. Food Eng. 29(2):211–226. Fellows, P. J. 2000. Food Processing Technology: Principles and Practices. 2nd ed. Woodhead Publishing. UK. 575 pp. Gertz Christian. 2012. Optimum deep-frying. Germany: Deutsche Gesellschaft für Fettwissenschaft e.V. (DGF). [internet]. [diunduh 2015 Januari 20]. Tersedia dari: http://www.dgfett.de/material/optimum_ frying.pdf Hillocks RJ, Thresh JM., Bellotti AC. 2002. Cassava: Biology, Production and Utilization. New York (US): Cabi Publishing. Jambrak AR, Herceg Z, Šubaric´ D, Babic´ J, Brncˇic´ M, Rimac Brncˇic´ S, Bosiljkov T, Cˇ vek D, Tripalo B, Gelo J. 2010. Ultrasound effect on physical properties of corn starch. Carb Pol. 79:91-100. doi:10.1016/ j.carbpol.2009.07.051. Katz, E.E., Labuza, T.P. 1981. Effect of water activity on the sensory crispness and mechanical deformation of snack food products. J. Food Science 46, 403–409.
18
Kayacier Ahmed, Rakesh K. Singh. 2003. Textural Properties of Baked Tortilla Chips. Lebensm.-Wiss. u.-Technol. 36, 463–466. USA: Department of Food Science and Technology, University of Georgia Kentish S, Ashokkumar M. 2011. The physical and chemical effects of ultrasound. Di dalam: Feng H, Barbosa-Canovas GV, Weiss J, editor. Ultrasound Technologies for Food and Bioprocessing. New York (US): Springer. hlm 1-12. Lamminen MO, Walker HW, Weavers LK. 2004. Mechanisms and factors influencing the ultrasonic cleaning of particle-fouled ceramic membranes. J Membr Sci. 237(1–2):213–223. doi: 10.1016/j.memsci.2004.02.031. Lee J, Tuziuti T, Yasui, K, Kentish S, Grieser F, Ashokkumar M, Iida Y. 2007. Influence of surface-active solutes on the coalescence, clustering, and fragmentation of acoustic bubbles confined in a microspace. J Phys Chem. 111(51):19015–19023. doi: 10.1021/jp075431j. Luo Z, Fu X, He X, Luo F, Gao Q, Yu S. 2008. Effect of ultrasonic treatment on the physicochemical properties of maize starches differing in amylose content. Starch/Stärke. 60:646-653. doi:10.1002/star.200800014. Luyten H, Plijter JJ, van Vliet T. 2004. Crispy/crunchy crusts of cellular solid foods: a literature review with discussion. J. Texture Stud 35: 45-492: DOI: 10.1111/ j.1745-4603.2004.35501.x. Manchun S., J. Nunthanid, S. Limmatvapirat, P. Sriiamornsak. 2012. Effect of Ultrasonic Treatment on Physical Properties of Tapioca Starch. doi:10.4028/www.scientific.net/ AMR.506.294 Mason TJ, Lorimer JP. 1989. Sonochemistry: Theory, Applications and uses of Ultrasound in Chemistry. New York (US): Wiley-Interscience. Mason TJ. 2001. Sonochemistry. Oxford(UK): Oxford Chemistry Primers Mellema M. 2003. Mechanism and reduction of fat uptake in deep-fat fried foods. Trends Food Sci Tech. 14(9):364–373. doi: 10.1016/S0924-2244(03)000505. Povey JW, Mason T. 1998. Ultrasound in food processing. London (UK): Blackie Academic & Professional. Price GJ. 1990. The use of ultrasound for the controlled degradation of polymer solutions. Di dalam: Mason TJ, editor. Advances in Sonochemistry. London (UK): JAI Press. hlm 231–287. Riley N. 2001. Steady streaming. Ann Rev Fluid Mech. 33:43–65. doi:10.1146/annurev.fluid.33.1.43. Rosanna. 2015. Peran Kavitasi Ultrasonik Terhadap Peningkatan Mutu Keripik Ubi. Tesis. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Saeleaw M, Schleining G. 2011. Effect of frying parameters on crispiness and sound emission of cassava crackers. J Food Eng. 103: 229-239.doi: 10.1016/j.jfoodeng.2010.10.010. Sahin S. dan SG. Sumnu. Physical Properties of Foods. New York: Springer, 2006, pp. 173-174. Salvador A, Varela P, Sanz T, Fiszman SM. 2009. Understanding potato chips crispy texture by simultaneous fracture and acoustic measurements, and sensory analysis. LWT-Food Sci Technol 42: 763-767. DOI: 10.1016/j.lwt.2008.09.016.
19
Sampson David Joseph, Young Ki Chang, H.P. Vasantha Rupasinghe, Qamar UZ Zaman. 2014. A dual-view computer-vision system for volume and image texture analysis in multiple apple slice drying. J. of Food Eng. 127 (2014) 49–57. DOI: 10.1016/j.jfoodeng.2013.11.016 Sujka M, Jamroz J. 2013. Ultrasound-treated starch: SEM and TEM imaging, and functional behaviour. Food Hydrocoll. 31(2):413-419. doi: 10.1016/j.foodhyd.2012.11.02. Texture Technologies. 2005. Quantify Brittleness and Crispness [internet]. [diakses 2016 Desember 14]. Tersedia dari: http://128.121.92.221/brittle.htm. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2009. 2714.1:2009 tentang syarat mutu dan keamanan kerupuk udang Tunick Michael H., Charles I. Onwulata, Audrey E. Thomas, John G. Philips, Sudarsan Mukhopadhyay, Shiowshuh Sheen, Cheng-Kung Liu, Nicholas Latona, Mariana R. Pimentel, and Peter H. Cooke. 2013. Critical Evaluation of Crispy and Crunchy Texture: a Review. International Journal of Food Properties, 16:949–963, 2013ISSN: 1094-2912 print / 1532-2386 online. DOI: 10.1080/10942912.2011.573116 [USFDA] United States Food and Drugs Administration. 2009. Ultrasound in the Food, Drug and Device Industries. [internet]. Diunduh 2015 Februari 9. Tersedia dari:http://www.fda.gov/ICECI/Inspections/InspectionGuides/ucm072531.htm Vincent JFV. 1998. The quantification of crispness. J Sci Food Agric 78:162-168. Vincent JFV. 2004. Application of fracture mechanics to the texture of food. J.Eng Failure Analysis. 11:695-704.doi:10.1016/j.engfailanal.2003.11.003. Vitrac O, Dufour D, Trystram G, Raoult-Wack A. 2002. Characterization of heat and mass transfer during deep-fat frying and its effect on cassava chip quality. J Food Eng. 53:161–176. doi:10.1016/S0260-8774(01)00153-4.
20
LAMPIRAN Lampiran 1 Gambar volume pengembangan sampel uji kerupuk perlakuan ultrasonikasi Perlakuan Kontrol
Perlakuan 1 (P1)
Perlakuan 2 (P2)
Perlakuan 3 (P3)
Kerupuk Mentah
Kerupuk Matang
21
Lampiran 2 Hasil analisis ANOVA volume pengembangan sampel uji kerupuk ANOVA Value Sum of Squares Between Groups
df
Mean Square
39140,726
3
13046,909
Within Groups
727335,842
36
20203,773
Total
766476,568
39
F
Sig. ,646
,591
22
Lampiran 3 Grafik deformasi gaya uji fisik dengan texture analyzer
Kontrol
Perlakuan 1 (P1)
23
Perlakuan 2 (P2)
Perlakuan 3 (P3)
24
Lampiran 4 Hasil analisis ANOVA tekstur kerenyahan sampel uji kerupuk ANOVA Value Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
18648834097,243
3
6216278032,414
Within Groups
82340594894,781
36
2287238747,077
100989428992,024
39
Total
F
Sig. 2,718
,059
Lampiran 5 Hasil analisis ANOVA kadar air sampel uji kerupuk mentah ANOVA Value Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
12,463
3
4,154
Within Groups
29,312
12
2,443
Total
41,775
15
F
Sig.
1,701
,220
Lampiran 6 Hasil analisis ANOVA kadar air sampel uji kerupuk goreng ANOVA Value Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
17,056
3
5,685
Within Groups
60,020
12
5,002
Total
77,076
15
F 1,137
Sig. ,374
Lampiran 7 Hasil analisis ANOVA kadar lemak sampel uji kerupuk goreng ANOVA Value Sum of Squares Between Groups
df
Mean Square
473,209
3
157,736
Within Groups
1358,056
12
113,171
Total
1831,265
15
F 1,394
Sig. ,292
25
Lampiran 8 Hasil analisis statistik independent sample t-test perbandingan nilai volum pengembangan metode pemasakan deep fat frying dan oven microwave
Group Statistics Pemasakan
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Deep Fat Frying
20
585,80000000
199,414625816
44,590465903
Oven Microwave
20
529,74950000
141,185276610
31,569987592
Value
Independent Samples Test Levene's
t-test for Equality of Means
Test for Equality of Variances F
Equal variances assumed Value
Sig.
3,75 8
,060
t
1,026
Equal variances not assumed
df
38
Sig.
Mea
Std.
95% Confidence
(2-
n
Error
Interval of the
taile
Diffe
Diffe
Difference
d)
renc
renc
e
e
56,0
54,6
505
349
56,0
54,6
505
349
,311
34, 1,026
22 3
,312
Lower
Upper
-54,5521
166,6531
-54,9543
167,0553
26
Lampiran 9 Hasil analisis statistik independent sample t-test perbandingan tingkat kerenyahan metode pemasakan deep fat frying dan oven microwave
Group Statistics Pemasakan
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Deep Fat Frying
10
25000,16300000
14101,977564397
4459,436861609
Oven Microwave
10
33559,36700000
14143,309591965
4472,507196352
Value
Independent Samples Test Levene's
t-test for Equality of Means
Test for Equality of Variances F
Sig.
t
df
Sig.
Mean
Std.
95% Confidence
(2-
Difference
Error
Interval of the
taile
Differen
Difference
d)
ce
Equal variances
,018
,895
-1,355
18
,192 -8559,204
assumed Value
6315,84 4974672
Equal variances not assumed
-1,355
18
,192 -8559,204
6315,84 4974672
Lower
Upper -
21828,3 019 21828,3 10
4709,8 939
4709,9 02
27
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 28 Maret 1993 sebagai anak kedua dari dua besaudara pasangan M. Adib Yuniarto dan Lukita Yuniati. Tahun 2011, penulis menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 3 Semarang dan diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB), Fakultas Teknologi Pertanian, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Tulis. Selama kuliah di IPB, penulis mengikuti Pekan Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian (PKM-P) 2013 dan berhasil lolos sebagai salah satu proposal yang didanai oleh DIKTI. Penulis mendapat beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA). Pada tahun 2014 penulis mendapatkan beasiswa DIKTI untuk mengikuti program ASEAN International Mobility for Student (AIMS) selama satu semester di Universitas Putra Malaysia (UPM). Penulis juga terpilih sebagai salah satu delegasi IPB dan menjadi juara 2 workshop competition pada 22nd Tri-U International Joint Seminar and Symposium 2015 di Universitas Jiangsu, China. Selain itu, penulis pernah berpartisipasi aktif sebagai asistem praktikum mata kuliah Kimia Dasar pada tahun 2012. Selama menjadi mahasiswa, penulis juga aktif dalam organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yaitu menjadi anggota BEM TPB IPB (2011/2012), bendahara departemen akademi profesi di BEM Fakultas Teknologi Pertanian (2012/2013) serta badan pengurus harian sebagai bendahara umum BEM Fakultas Teknologi Pertanian (2013/2014). Penulis juga aktif terlibat pada beberapa kepanitiaan yaitu sebagai seksi acara MPKMB IPB 2012, kepanitiaan kegiatan BEM serta kepanitiaan kegiatan HIMITEPA seperti sebagai seksi acara LCTIP XXII, sebagai seksi humas acara MPD BAUR, sebagai seksi acara HACCP-Halal Sertifikasi dan kepanitiaan yang lainnya. Dalam rangka penyelesaian studi di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, penulis melaksanakan penelitian dengan judul “Perlakuan Ultrasonikasi untuk Meningkatkan Kesiapan Kerupuk Dimasak Menggunakan Microwave” di bawah bimbingan Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.