BAB V Kesimpulan
Perkembangan Gereja Protestan di Indonesia berjalan seiring dengan berbagai gejolak politik yang terjadi sejak pertama kali Gereja Protestan berdiri di Ambon pada abad ke-17 hingga lahirnya GPI/Indische Kerk pada abad ke-18 dan bahkan terus berlanjut hingga lahirnya GPIB pada tahun 1948. Perkembangan zaman selalu melahirkan perubahan dalam masyarakat dengan demikian Gereja yang merupakan bagian dari masyarakat harus selalu beradaptasi untuk mengantisipasi perubahan yang terjadi. Usaha untuk beradaptasi tidak ditunjukkan oleh GPI yang identik dengan pemerintah meskipun ada beberapa usaha kecil yang coba disuarakan oleh beberapa anggota Gereja namun ketergantungan terhadap pemerintah menghalangi proses tersebut. Proses Reorientasi dalam Gereja pada awalnya dicetuskan oleh pemerintah dan kemudian oleh Volksraad. Bersamaan dengan
itu
muncul
bibit-bibit
khususnya di kalangan pelajar
nasionalisme
di
Indonesia
yang diikuti terbukanya
kesempatan mendapatkan pendidikan. Para pelajar ini kemudian mendirikan
partai-partai
politik
sebagai
wadah
perjuangan.
Tumbuhnya bibit nasionalisme ini juga dibawa masuk ke dalam
Gereja oleh para pelajar. Sejak saat itu mulai muncul suara-suara yang menuntut reorientasi dalam GPI. Persidangan Sinode Am Gereja
tahun
1933
menjadi
perwujudan
tuntutan-tuntutan
perubahan. Peningkatan jumlah peserta sidang yang disertai perubahan fungsi dan peranan anggota sidang dari Gereja-Gereja di Indonesia yang sebelumnya hanya berperan sebagai pengawas kemudian menjadi pengambil keputusan mengenai masa depan Gereja, hal tersebut melahirkan otonomi administratif Gereja dari Negara. Hal itu melahirkan Gereja-Gereja baru yang bersifat kedaerahan sejak tahun 1934 hingga lahirnya sebuah Gereja yang “Indonesia” dalam wujud GPIB pada tahun 1948. GPIB lahir di tengah situasi sosial dan politik yang menginginkan persatuan. Peranan tokoh-tokoh nasionalis dalam Gereja seperti Ds. Wenas, Ds. Supit, Ds. Kainama, Ds. Rompas dan lainnya tidak dapat dikesampingkan begitu saja dalam pembentukan GPIB. Pengalaman yang diperoleh para pendeta Indonesia ketika memimpin Gereja pada zaman Penjajahan Jepang menjadi bekal dan semangat untuk membentuk sebuah Gereja nasionalis. Dalam bidang organisasi GPIB mewarisi tradisi GPI yang sangat hierarkis. Untuk menunjang keberhasilan reorientasi maka diperlukan restrukturisasi di dalam tubuh GPIB. Praktek-praktek
dalam tradisi GPI mulai dihapuskan dari dalam tubuh GPIB. Praktek-praktek seperti dualisme jemaat, pembagian jabatan pendeta yang berdasarkan pada status pendidikan dan sosial, pimpinan Gereja yang harus dari golongan pendeta Belanda serta penggunaan sistem Klasis, hal-hal tersebut dihapuskan secara bertahap sejak tahun 1950 hingga tahun 1960-an. Bahkan sejak tahun 1964 struktur organisasi GPIB adalah Sinode – Musyawarah Pelayanan – Jemaat yang lebih demokratis di mana Sinode hanya memiliki peran koordinasi. Kemudian
dalam
bidang
keuangan
pun
dilakukan
restrukturisasi yang dimulai sejak diterimanya bantuan sebesar sepuluh juta rupiah dari pemerintah Belanda melalui pemerintah Indonesia
dan
diikuti
dengan
penghentian
bantuan
dari
pemerintah Indonesia sejak 1 Februari 1950. Sejak saat itu GPIB secara bertahap mulai mengajak para anggota jemaatnya untuk berperan aktif mendukung keuangan Gereja melalui sistem kolekte. Selain itu GPIB menjadikan Majelis Sinode GPIB sebagai pengelola keuangan Gereja untuk membayar Gaji Pendeta serta pembiayaan
aktivitas
pelayanan
Gereja
yang
pendanaannya
berasal dari sebagian kolekte Jemaat Gereja yang disetorkan setiap bulan kepada Majelis Sinode GPIB.
Resturkturisasi organisasi GPIB mempengaruhi perubahan dalam organisasi pelayanan GPIB. Pada masa GPI organisasi pelayanan berada di luar dari struktur organisasi Gereja dan terpisah antara organisasi jemaat satu dengan yang lainnya. Hal tersebut mulai berubah sejak tahun 1950-an ditandai dengan lahirnya komisi-komisi Pusat organisasi pelayanan GPIB sebagai upaya konsolidasi pelayanan GPIB. Kemudian sejak tahun 1958 organisasi-organisasi pelayanan diintegrasikan ke dalam satu organisasi besar yang ada di tingkat Sinodal dan memiliki cabangcabang di Jemaat sesuai dengan bentuk organisasi GPIB. Perubahan-perubahan tersebut melahirkan sebuah Gereja yang nasionalis dan beridentitas Indonesia yang saat ini sebagai GPIB. Identitasnya secara geografis meliputi wilayah bagian Barat GPM, GMIM, GMIT mulai dari Nusa Tenggara Barat, Bali, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan sampai Pulau Sumatera menjadikan GPIB sebagai sebuah Gereja regional dan hanya menggunakan satu bahasa yaitu bahasa Indonesia. Khusus GPIB “Margomulyo” Yogyakarta, sebagai bagian dari GPIB selain memiliki identitas sebagaimana umumnya GPIB juga memiliki ciri khasnya sendiri yang diwarnai dengan nuansa lokal yang tidak dimiliki oleh GPIB lainnya. Ciri lokal itu misalnya
terlihat pada bentuk bangunan yang sederhana, penamaan Gereja yang menggunakan falsafah Jawa dan telah digunakan sejak tahun sebelum terbentuknya GPIB, ikatan emosional dan historis dengan masyarakat Yogyakarta dan juga Keraton Yogyakarta yang berlangsung hingga sekarang dalam bentuk perlindungan hak milik tanah dan bangunan yang menggunakan hukum Keraton Yogyakarta. Sebagai
bagian
dari
GPIB,
“Margomulyo”
pernah
menunjukkan kemajuan yang pesat di bidang kepemudaaan dan hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari fakta bahwa Yogyakarta pernah menyandang status ibukota Republik Indonesia dan sampai
hari
ini
menyandang
status
sebagai
kota
pelajar.
Organisasi Pemuda di “Margomulyo” pada tahun 1950 hingga tahun 1960-an menjadi sebuah terang di tengah keterpurukan Gerejanya, dan “keluar” bersama dengan organisasi Gereja lainnya menjadi sebuah panduan bagi generasi-generasi muda yang meneruskan tradisi kepemudaannya namun sangat disayangkan tradisi tersebut perlahan-lahan menghilang dan kembali menjadi tradisi “ke dalam” yang sebelumnya telah berhasil diubah oleh para pemuda gereja di tahun 1950 hingga 1960-an.