MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 50/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 51/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 53/PUU-XII/2014
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN PRESIDEN DAN DPR SERTA AHLI/SAKSI PEMOHON (III)
JAKARTA SENIN, 23 JUNI 2014
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 50/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 51/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 53/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden [Pasal 159 ayat 1] terhadap Undang-Undang Dasar 1945 PEMOHON PERKARA NOMOR 50/PUU-XII/2014 1. 2. 3.
Andi Muhammad Asrun Heru Widodo Zainal Arifin Hoesein, dkk
PEMOHON PERKARA NOMOR 51/PUU-XII/2014 1. 2. 3.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Rahmi Sosiawaty Khoirunnisa Nur Agustyati
PEMOHON PERKARA NOMOR 53/PUU-XII/2014 1. 2.
Sunggul Hamonangan Sirait Haposan Situmorang
ACARA Mendengarkan Keterangan Presiden dan DPR serta Ahli/Saksi Pemohon (III) Senin, 23 Juni 2014, Pukul 11.11 – 13.15 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Hamdan Zoelva Ahmad Fadlil Sumadi Anwar Usman Aswanto Arief Hidayat Muhammad Alim Maria Farida Indrati Wahiduddin Adams Patrialis Akbar
Yunita Rhamadani
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon Perkara Nomor 50/PUU-XII/2014: 1. Arsi Divinubun 2. Daniel Tonapa Masiku 3. Andi Muhammad Asrun 4. Heru Widodo 5. Zainal Arifin Hoesein 6. Dhimas Pradana 7. Unoto Dwi Yulianto B. Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 50/PUU-XII/2014: 1. Natabaya 2. Harjono C. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 51/PUU-XII/2014: 1. Veri Junaidi 2. Fadli Ramadani D. Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 51/PUU-XII/2014: 1. Saldi Isra E. Pemohon Perkara Nomor 53/PUU-XII/2014: 1. Sunggul Homonangan Sirait 2. Haposan Situmorang F. Pemerintah: 1. Mualimun Abdi 2. Reydonnyzar Moenek 3. Budijono 4. Chandra
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.11 WIB
1.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Sidang Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 50, Nomor 51, dan Nomor 53/PUU-XII/2014 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Absen dulu, Pemohon Nomor 50 hadir?
2.
PEMOHON PERKARA NOMOR 50/PUU-XII/2014: HERU WIDODO Terima kasih, Yang Mulia. Pemohon Nomor 50 hadir Prinsipal. Urut dari sebelah kiri, Arsi Divinubun, kemudian Daniel Tonapa Masiku, kemudian Andi Asrun, saya sendiri Heru Widodo, kemudian sebelah kanan saya Zainal Arifin Hoesein. Di belakang ada dua, Yang Mulia, Dhimas Pradana dan Unoto Dwi Yulianto.
3.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Kalau Zainal itu Pengacara atau Prinsipal?
4.
PEMOHON PERKARA NOMOR 50/PUU-XII/2014: HERU WIDODO Semua Prinsipal, Yang Mulia.
5.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Semua Prinsipal.
6.
PEMOHON PERKARA NOMOR 50/PUU-XII/2014: HERU WIDODO Kemudian sebagaimana penetapan sidang sebelumnya, kami sudah siap menghadirkan dua ahli. Sudah kami … ada di dalam persidangan Prof. Natabaya dan Dr. Harjono. Terima kasih, Yang Mulia.
7.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya. Terima kasih. Selamat datang Pak Harjono, Pak Natabaya. Pemohon Nomor 51?
1
8.
PEMOHON PERKARA NOMOR 51/PUU-XII/2014: VERI JUNAIDI Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Saya Veri Junaidi dan Fadli Ramadani sebagai Kuasa Hukum dan kami menghadirkan Ahli, Prof. Saldi Isra, melalui video conference, dan satu orang lagi Didi Supriyanto sebagai ahli politik namun tidak bisa hadir hari ini, Yang Mulia, mungkin sidang berikutnya atau keterangan tertulis. Terima kasih, Yang Mulia.
9.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, terima kasih. Nomor 53.
10.
PEMOHON PERKARA NOMOR HOMONANGAN
53/PUU-XII/2014: SUNGGUL
Terima kasih, Yang Mulia. Kami Pemohon 53 lengkap, saya sendiri Sunggul Homonangan Sirait dan di sebelah kanan saya Saudara Haposan Situmorang. Terima kasih. 11.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, Pemerintah?
12.
PEMERINTAH: BUDIJONO Terima kasih, Yang Mulia. Dari Pemerintah yang hadir sebelah kiri saya, Bapak Mualimun Abdi, Kepala Badan Litbang HAM sekaligus sebagai pejabat Plt. Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM dan sebelah kirinya Bapak Reydonnyzar Moenek, staf ahli Menteri Dalam Negeri bidang hukum, politik, dan hubungan antarlembaga Kementerian Dalam Negeri. Saya sendiri Budijono Kasubdid Persidangan, dan sebelah kanan saya, Saudara Chandra dari Kementerian Dalam Negeri, dan di belakang kawan-kawan dari Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Dalam Negeri, Yang Mulia. Terima kasih.
13.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik. Terima kasih. DPR tidak hadir dan menyampaikan surat tidak bisa hadir karena bertepatan dengan kegiatan rapat-rapat yang tidak dapat ditinggalkan. Baik, Para Pemohon dan Pemerintah, hari ini kita akan melakukan sidang untuk mendengarkan keterangan dari Pemerintah dan DPR, tapi DPR tidak hadir dan sekaligus untuk
2
mendengarkan keterangan ahli yang diajukan oleh Pemohon dan satu ahli nanti yang akan didengar keterangannya melalui video conference. Sidang ini hanya dilangsungkan satu kali. Jadi, kalau ahli dari Pemohon Nomor 51 tidak bisa hadir di sini … tidak bisa hadir di sini, cukup sampaikan keterangan Ahli secara tertulis. Jadi, tidak akan dibuka sidang lagi. Selanjutnya, saya persilakan kepada yang mewakili presiden untuk menyampaikan keterangan presiden. Ya, silakan. 14.
PEMERINTAH: REYDONNYZAR MOENEK Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi dan salam sejahtera. Izinkan kami, Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dan para hadirin sekalian yang berbahagia. Saya Reydonnyzar Moenek atau akrab dipanggil dengan Donny Moenek sebagai staf ahli Menteri Dalam Negeri bidang politik, hukum, dan hubungan antarlembaga menyampaikan keterangan presiden atas permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Izinkan kami membacakan keterangan presiden. Kepada yang terhormat Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia di Jakarta. Dengan hormat. Yang bertanda tangan di bawah ini: 1. Nama: Amir Syamsuddin, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia 2. Nama: Gamawan Fauzi, Menteri Dalam Negeri Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Presiden Republik Indonesia baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri yang dalam hal ini disebut sebagai Pemerintah. Perkenankan Pemerintah menyampaikan keterangan, baik lisan maupun tertulis yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan atas permohonan pengujian atau Constitutional Review Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Pilpres yang dimohonkan oleh: 1. Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H. dan kawan-kawan yang tergabung dalam forum pengacara konstitusi untuk selanjutnya disebut Para Pemohon. Sesuai perbaikan permohonan registrasi di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-XII/2014 tanggal 12 Juni 2014. 2. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau biasa dikenal oleh Perludem, Rahmi Sosiawaty, Khoirunnisa Nur Agustyati untuk selanjutnya disebut Para Pemohon. Sesuai perbaikan permohonan registrasi di kementerian … di Kepaniteraan, maaf … Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-XII/2014 tanggal 13 Juni 2014 3. Sunggul Hamonangan Sirait, S.H. dan Haposan Situmorang untuk selanjutnya disebut Para Pemohon sesuai perbaikan permohonan
3
registrasi di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUUXII/2014 tanggal 13 Juni 2014. Selanjutnya izinkanlah kami, pemerintah, menyampaikan keterangan atas pengujian Undang-Undang Pilpres tersebut secara bersamaan, sebagai berikut. I. Pokok Permohonan Para Pemohon Bahwa Para Pemohon, register 50/PUU-XII/2014, 51/PUU-XII/2014, dan Pemohon Nomor 53/PUU-XII/2014 pada pokoknya sama, mengajukan uji materi terhadap ketentuan Pasal 159 Ayat (1) Undang-Undang Pilpres. Ketentuan a quo oleh Pemohon dianggap menimbulkan ketidakpastian tafsir akibat ketidakjelasan target penerapannya, terutama saat ini di mana pemilihan umum presiden dan wakil presiden 2014 hanya diikuti dua pasangan capres dan cawapres, dan dalam petitumnya Para Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir atas ketentuan Pasal 159 Ayat (1) Undang-Undang Pilpres menjadi sebagai berikut. 1) Para Pemohon register 50/PUU-XII/2014: Pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Dan tidak
2)
II.
diberlakukan untuk pemilu presiden dan wakil presiden dengan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kira-kira begitu pendapat dari Pemohon Nomor 50.
Para Pemohon register 51/PUU-XII/2014: Menyatakan bahwa ketentuan Pasal 6A Ayat (3) UndangUndang Dasar 1945 hanya berlaku jika pasangan calon presiden dan wakil presiden berjumlah lebih dari dua pasang (tiga atau lebih), sedangkan jika hanya terdapat dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, maka yang berlaku adalah ketentuan Pasal 6A ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 dan menyatakakan ketentuan Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa pasangan calon dimaksud lebih dari dua pasangan calon (tiga atau lebih). 3) Para Pemohon register 53/PUU-XII/2014: Pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilu presiden wa … dan wakil presiden; dan dapat digunakan untuk melakukan Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 9 Juli 2014 Periode 2014 sampai dengan 2019. Kedudukan Hukum atau Legal Standing Para Pemohon
4
III.
Uraian tentang kedudukan hukum atau legal standing Para Pemohon akan dijelaskan secara lebih rinci dalam keterangan Pemerintah secara lengkap yang akan disampaikan pada persidangan berikutnya atau melalui Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Namun demikian Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum atau legal standing ataukah tidak. Sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 Penjelasan Pemerintah Terhadap Materi yang Dimohonkan oleh Para Pemohon Sebelum Pemerintah memberikan penjelasan terhadap materi yang dimohonkan oleh Para Pemohon, Pemerintah akan menyampaikan hal-hal sebagai berikut. 1. Bahwa pemilihan umum merupakan salah satu pilar demokrasi sebagai wahana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis karena memang dilakukan pemilihan melalui mekanisme pemilu, sehingga nantinya diharapkan menjadi diharapkan pemerintahan mendapat legitimasi yang kuat, dan amanah, serta efektif dalam menjalankan kedaulatan rakyat. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut diperlukan upaya dan seluruh komponen bangsa untuk menjaga kualitas pemilu, kualitas pemilu yang kita harapkan adalah kualitas pemilu yang benar-benar berkualitas dan pemilu yang dapat berlangsung secara damai. Pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden harus dilaksanakan secara efektif dan efisien bahwa Indonesia telah menyatakan sebagai negara hukum yang demokrasi konstitusional atau demokrasi yang berdasarkan atas hukum sebagaimana ketentuan pada Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Salah satu syarat setiap negara yang menganat … yang menganut paham Real of Law dan Constitutional Democracy adalah prinsip konstitusionalisme atau constitutionalism, antara lain yaitu prinsip yang menempatkan Undang-Undang Dasar atau konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam suatu negara. Untuk menjamin tegak dan dilaksanakannya konstitusi itu maka harus terdapat mekanisme yang menjamin bahwa 5
3.
ketentuan-ketentuan konstitusi dimaksud benar-benar dilaksanakan dalam praktek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kita ketahui bahwa Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah memberi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang berfungsi mengawal konstitusi atau Undang-Undang Dasar, biasa dikenal dengan the guardian of the constitution, dan karena itu fungsinya Mahkamah Konstitusi merupakan penafsir tertinggi di Undang-Undang Dasar atau dikenal juga dengan the ultimate interpreter of the constitution. Dalam kerangka pemikiran demikianlah maka seluruh kewenangan yang diberikan oleh konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana tetulis dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bersumber dan mendapatkan landasan konstitusionalnya pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yang kami hormati dan kami banggakan. Bahwa Undang-Undang Pilpres merupakan pengaturan lebih lanjut dari ketentuan Pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur mekanisme … mengenai mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden. Bahwa secara gramatikal, ketentuan Pasal 159 ayat (1) UndangUndang Pilpres menyerupai ketentuan pada Pasal 6A ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal tersebut dapat kita lihat sebagai berikut kami membaginya menjadi dua model matriks. Matriks sebelah kiri adalah Pasal 6A ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Matriks sebelah kanan, Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Pilpres. Apa yang kita temukan? Pada Pasal 6A ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada matriks sebelah kiri. Di sana tertulis bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden. Sedangkan matriks sebelah kanan, sebagai perbandingan pada Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Pilpres, tertulis pasangan calon terpilih, kalau di sebelah kiri adalah calon presiden dan wakil presiden, tetapi kalau di sebelah kanan, 6
4.
pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilu presiden dan wakil presiden dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Berbeda dengan yang di sebelah kiri tertulis ada dilantik menjadi presiden dan wakil presiden, tetapi pada matriks sebelah kanan 159, tidak ada kata-kata dilantik menjadi presiden dan wakil presiden. Secara gramatikal, ketentuan Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Pilpres menyerupai ketentuan Pasal 6A ayat (3) UndangUndang Dasar 1945 yang mengatur persyaratan pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam mendapatkan besaran suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia untuk dilantik menjadi presiden dan wakil presiden. Dilihat dari perbandingan tersebut, maka hanya frasa “… dilantik menjadi presiden dan wakil presiden” pada Pasal 6A ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tidak menjadi materi pada Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Pilpres. Secara sistematis, ketentuan Pasal 159 Undang-Undang Pilpres dan Pasal 6A Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan jalan keluar atau wayout yang sama apabila persyaratan “Suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia” tidak terpenuhi yaitu melalui putaran kedua di mana pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden vide Pasal 159 ayat (2) juncto Pasal 6A ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945 yang selengkapnya berbunyi lagi, kami membaginya menjadi dua matriks. Matriks sebelah kiri pada Pasal 6A ayat (4) UndangUndang Dasar 1945 dan Pasal 159 ayat (2) Undang-Undang Pilpres, kami bagi menjadi matriks. Tertulis Pasal 6A ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, “Dalam hal tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak … rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.” Matriks sebelah kanan, “Dalam hal tidak ada pasangan calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam pemilu presiden dan wakil presiden.” 7
5.
6.
7.
Secara maksud atau dikenal dengan original intent pembentuk Undang-Undang Dasar 1945 dalam hal ini panitia ad hoc TAP I MPR sebagai pembahas konstitusi, ketika membahas materi sistem pemilu presiden dan wakil presiden dalam proses perubahan Undang-Undang Dasar 1945 tidak hanya berhenti berdebat pada angka minimal 50%+1 dalam penentuan pasangan yang menjadi pemenang namun setelah kita telusuri dalam risalah perubahan dapat dilihat bahwa pengubah Undang-Undang Dasar 1945 juga memikirkan masalah persebaran penduduk yang tidak merata di Pulau Jawa dengan di luar Pulau Jawa karenanya tim ahli bidang politik waktu itu mengusulkan syarat perolehan suara lebih dari 50% diikuti dengan sebaran suara lebih dari setengah jumlah provinsi. Persyaratan persebaran tersebut ditujukan agar proses pemilu dan partisipasi tidak saja hanya terkonsentari di Pulau Jawa saja, akan tetapi juga mengharuskan setiap calon berkampanye dan juga mencari dukungan di luar Pulau Jawa. Menurut Pemerintah, pemilu presiden dan wakil presiden dalam Pasal 6A Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 159 Undang-Undang Pilpres didesain sebagai berikut. Terdiri dari beberapa item. 1. Terdapat tiga atau lebih pasangan calon presiden dan atau calon wakil presiden pemilu pelaksanaan pemilihan presiden. 2. Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari, setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi presiden dan wakil presiden. 3. Desainnya seperti ini. Dalam hal tidak tercapai hal tersebut, maka dua pasangan calon yang memperoleh suara … maaf ulangi, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden. Dari uraian di atas, kemudian munculah pertanyaan yuridis kemudian, yaitu bagaimanakan bila desain di atas tidak dipenuhi karena pasangan calon hanya ada dua? Dan bagaimanakah penggunaan norma dimaksud, apakah dapat langsung menggunakan norma Pasal 159 ayat (2)? Dan apakah dapat ditafsirkan cukup dengan mendapatkan suara terbanyak? Pertanyaan.
8
8.
Bahwa apabila tetap diberlakukan persyaratan persentase perolehan suara setiap provinsi pada pemilihan presiden yang hanya diikuti dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, mungkin saja akan terjadi pemilihan umum putaran selanjutnya. Namun angka besaran persentase perolehan suara tidak akan berubah secara signifikan, di mana hal ini akan memperpanjang proses pilpres dan berpotensi mengakibatkan kekosongan kekuasaan atau vacum of power. Kita harus meyakini bahwa pada tanggal 20 Oktober harus dapat dilahirkan presiden dan wakil presiden terpilih yang telah dilantik untuk dapat melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan negara. Tidak dibayangkan kalau di tanggal 20 itu tidak tersedia, belum ada landasan dan dasar hukumnya. Akankah berlaku (suara tidak terdengar jelas)? Kita belum tahu. 9. Bahwa dalam menyikapi kondisi tersebut di atas, oleh karenanya diperlukan bahwa kita semua sebagai seluruh elemen bangsa dalam mewujudkan partisipasi aktif dan peran serta, baik itu elemen masyarakat termasuk juga Para Pemohon dan juga seluruh komponen negara, untuk samasama kita dapat memahami dan menyepakati suatu kebijakan yang betul-betul hakiki yang dapat menentukan arah negara dan kenegaraan yang lebih baik, agar jangan sampai terjadinya atau terganggunya stabilitas negara dan stagnansi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Kita bersama mempunyai pemahaman yang sama bahwa tujuan utama dalam mengatur sebuah negara dan juga tentunya menyelesaikan masalahnya dan menjawab kebutuhannya, serta berupaya memberikan prediktabilitas melalui kepastian hukum, melakui Mahkamah Konstitusi dengan membentuk norma-norma yang bersifat responsif. Yang terhormat dan yang kami banggakan, kami muliakan, Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Para Pemohon, Para Ahli, dan Pemerintah. IV. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan tersebut, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa permohonan pengujian Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dapat memberikan putusan yang bijaksana dan seadiladilnya (ex aequo et bono). Atas perhatian Yang Mulia, Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, diucapkan terima kasih. Jakarta, 23 Juni 2014, hormat kami, Kuasa Hukum Presiden Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik 9
Indonesia, tertanda, Amir Syamsuddin. Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, tertanda, Gamawan Fauzi. Demikianlah, Yang Mulia, Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami muliakan dan banggakan, pembacaan penyampaian keterangan presiden atas permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Akhirul kata, sekiranya ada tutur kata perbuatan yang kurang berkenan, kami mohonkan maaf. Wabillahitaufik wal hidayah, wassalamualaikum wr. wb. 15.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Terima kasih dari Pemerintah yang mewakili presiden. Selanjutnya, kita akan mendengarakan keterangan Ahli. Saya undang ke depan, Pak Prof. Natabaya dan Pak Harjono untuk diambil sumpah terlebih dahulu. Ada Alquran? Ya.
16.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Saya persilahkan mengikuti lafal sumpah yang akan saya tuntunkan. “Bismillahirahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.”
17.
AHLI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH: Bismillahirahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
18.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Terima kasih.
19.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Terima kasih, silakan kembali ke tempat. Ya kita ambil sumpah juga lebih dulu Pak Saldi Isra yang ada di Universitas Andalas. Andalas bisa didengar?
10
20.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 51/PUU-XII/2014: SALDI ISRA Siap, Yang Mulia.
21.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, terima kasih. Ada juru sumpah di situ?
22.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 51/PUU-XII/2014: SALDI ISRA Ada, Yang Mulia.
23.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ada, baik. Kita ambil sumpah dulu, setelah itu, pindah-pindah ke sebelah kanan, ya sebelah kanan. Ya, silakan.
24.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Ikuti lafal sumpah yang akan saya tuntunkan. “Bismillahirahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.”
25.
AHLI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH: Bismillahirahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
26.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Terima kasih.
27.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, terima kasih, Pak Saldi. Kita akan dengarkan dulu keterangan ahli yang dari Jakarta, setelah itu baru kita akan dengarkan keterangan ahli dari Universitas Andalas. Saya silakan lebih dulu pada yang lebih tua dulu, yang lebih senior. Pak Natabaya, silakan.
11
28.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 50/PUU-XII/2014: NATABAYA Assalamualaikum wr. wb. Bapak Ketua yang kami hormati dan Para Anggota Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami hormati. Saya hanya dituntun pertanyaannya dari.
29.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Dituntun dengan pertanyaan?
30.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 50/PUU-XII/2014: NATABAYA Ya.
31.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Silakan.
32.
PEMOHON PERKARA MUHAMMAD ASRUN
NOMOR
50/PUU-XII/2014:
ANDI
Terima kasih, Yang Mulia. Pertanyaan pertama, Pak Prof. Nata, dari kualifikasi muatan Pasal 6A Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tampaknya diduplikasi dengan muatan Pasal 129 ayat (1) UndangUndang 42 tahun 2008. Bagaimana pendapat Ahli tentang duplikasi ini karena kita tahu bahwa kalau undang-undang dasar ke bawah itu adalah implementasi dari undang-undang dasar, tapi kalau duplikasi ini bagaimana kira-kira ini? Terima kasih, satu pertanyaan dulu. 33.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 50/PUU-XII/2014: NATABAYA Saya akan lebih luas menjawabnya ini bukan hanya itu. Jadi pertama-tama dalam hal menyikapi daripada permohonan dari Pemohon ini bukan masalah hanya duplikasi, tapi kita harus melihat kenapa hal ini terjadi. Jadi kita dalam hal ini harus melihat suasana daripada pembentukan undang-undang dasar. Apa yang dikatakan oleh Carlman Haim [sick!] yang mempengaruhi sesuatu peraturan itu adalah situation (suara tidak terdengar jelas). Jadi, situasi daripada keadaan pada waktu itu mempengaruhi pembentukan undang-undang dasar. Apa yang merupakan situation (suara tidak terdengar jelas) daripada waktu itu adalah adanya revormasi, dan revormasi itu yang tadinya kita hanya mengenal tiga partai politik menjadi berlomba-lomba 12
untuk membikin partai politik sehingga terjadilah multipartai politik, suasana itu harus diperhatikan. Maka oleh karena itu, akibat daripada suasana yang demikian, maka lahirlah Pasal 6A ayat (2). Ini yang harus diperhatikan. Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik dan gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Jadi, situasi itu sudah digambarkan bahwa yang akan menjadi calon presiden itu akan banyak ... karena partainya banyak atau golongan ... nah, maka berurutlah dalam ayat 3, “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam Pemilihan Umum dengan sedikitdikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden,” sehingga di sini pemikirannya ini, Indonesia ini terdiri banyak suku, banyak penduduk yang tidak satu tempat tersebar. Nah, supaya menunjukkan orang Indo ... Presidennya itu mewakili Indonesia, maka haruslah diadakan perimbangan bahwa dia harus mendapatkan minimal 20% dari setengah provinsi yang sekarang ini ada 34, jadi 18 provinsi dia harus mendapatkan 20%. Jadi pemikirannya begitu. Baru lahirlah Ayat (4), dalam hal tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh rakyat terbanyak dilantik dengan presiden dan wakil presiden. Nah, dari Ayat (4) ini kelihatan betul bahwasanya peserta pemilihan presiden itu lebih daripada dua. Dalam hal tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih tidak memenuhi yang ayat (2) … ayat (3), maka diambillah yang menang pertama, yang kedua (suara tidak terdengar jelas). Nah, dan Pasal ini sebagaimana yang diinikan oleh Pemohon, ini diambilalih oleh Undang-Undang Pilpres, yaitu Pasal 59 Ayat (1) dan Ayat (2). Ini tidak ada persoalan, duplikasi itu tidak ada persoalan bahwa dia itu … tapi ini menunjukkan … apa namanya itu … di sinilah menunjukkan kemampuan dan kesungguhan daripada anggota DPR kita. Jadi, kadangkadang untuk DPR itu, ya … lah, itu disalin saja. Nah, apa yang terjadi? Begitu juga di dalam sekelumit … ini terjadi yang namanya … sekarang kita dihadapkan hanya ada dua, sekarang hanya ada dua. Fakta ada dua peserta, maka ini yang namanya terdapat nama itu (suara tidak terdengar jelas). Ada kekosongan hukum, baik kekosongan hukum di dalam Konstitusi, maupun kekosongan hukum di dalam Undang-Undang, dan seterusnya. Apabila ada kekosongan hukum menurut azasnya, Hakim tidak dapat menolak suatu perkara dengan alasan bahwa Undang-Undang
13
tidak mengatur, Undang-Undang tidak jelas, dan seterusnya. Oleh karena itu, di sinilah peranan Hakim harus. Nah, sekarang bagaimana Konstitusi? Konsitusi itu dikatakan bahwa sebagaimana juga tadi pada Pemerintah mengatakan bahwa Hakim Konstitusi itu adalah the soely interpreter object constitution adalah satu-satunya penafsir daripada Undang-Undang Dasar. Karena ada kekosongan hukum ini, maka harus ditafsirkan oleh Mahkamah. Nah, bagaimana? Kami berpendapat bahwa ini hanya terja … terdapat fakta hanya ada dua, sehingga ketentuan ayat (4) daripada Undang-Undang Dasar ini seolah-olah kalau hanya ada dua, pilihlah orang dua itu, dan siapa yang mendapatkan suara terbanyak, dia menjadi elected presiden dan dia … dan dia akan di … dilantik oleh MPR, sudah. Jadi, KPU cukup dengan adanya dua nanti, kalau itu ada yang menang, maka dia … karena ini adalah tugas daripada Mahkamah Konstitusi untuk menafsirkan karena dia adalah penafsir tunggal daripada Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain karena apabila ini di-nod pada ayat (3) daripada Undang-Undang Dasar, atau di-nod dengan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 159, akan terjadi sesuatu hal yang akan terus. Hari ini si A yang menang, nanti si B yang menang, tidak memenuhi lagi dan ini akan menjadi keadaan sesuatu yang paling berbahaya. Indonesia dihadapkan kepada vacuum of power, karena pada tanggal 20 Oktober, Presiden harus dilantik. Kalau tidak, ada kekosongan. Maka, siapa yang akan mengambil alih, nah dan ini kita tidak dapat bayangkan. Kita tidak bisa bermain-main di dalam keadaan ... kalau tidak akan timbul yang namanya itu keadaan darurat, akan berlakulah staatnoodrecht. Dan berlakulah hukum tata negara darurat. Siapa yang akan berkuasa? Sejarah menunjukkan pasti yang akan mengambil alih adalah angkatan perang Republik Indonesia, dimana-mana. Nah, jadi jangan sampai terjadi adanya keadaan staatnoodrecht, keadaan negara dalam keadaan darurat maka ini kami mengharapkan dari Ahli supaya Mahkamah Konstitusi dengan bijak dapat memutuskan perkara ini dengan melihat keadaan … apa namanya itu … hal-hal ini. Sebab kalau tidak akan terjadi chaos. Kita sudah dapat melihat apabila terdapat chaos, maka yang berlaku adalah keadaan yang tidak dapat kita harapkan. Begitulah kira-kira … apa namanya itu ... para ketua dan anggota sebagai keterangan kami sebagai Ahli yang diajukan oleh ... Para Pemohon. 34.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, keliatannya yang tidak ditanyakan pun sudah terjawab, apalagi yang harus ditanyakan, ya. Apa masih ada?
14
35.
PEMOHON PERKARA MUHAMMAD ASRUN
NOMOR
50/PUU-XII/2014:
ANDI
Ada lagi, Pak. Ada lagi Yang Mulia. Memang pengujian undangundang ini agak aneh, Pak karena harusnya dalam situasi yang tidak bisa diterapkan satu pasal ... undang-undang, harusnya dalam pengujian undang-undang ini harus ada professional handling, (suara tidak terdengar jelas), tetapi kan di Mahkamah Konstitusi tidak dikenal persoalan ini. Nah, apakah bisa dikatakan bahwa Mahkamah bisa mengambil suatau putusan sela sama seperti ketika Mahkamah memutuskan pilpres kali ini ... maaf, maksud saya, pemilihan secara serentak antara pilpres dengan pileg bisa dilaksanakan pada pemili presiden Tahun 2019? Itu kan sebetulnya professional handling itu. Jadi satu digantungkan putusan itu. Nah, apakah dalam hal ini bisa diberikan tafsir ketika Mahkamah mengatakan pada kondisi saat ini karena ada dua ... hanya dua capres, maka penerapan Pasal 159 ayat (1)? Bahkan saya kira Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 6A Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu bisa ditunda pemberlakuannya sementara dengan syarat tiga pasangan atau lebih dari dua pasangan capres ke depan. Mohon pendapat Ahli. Terima kasih, Pak. 36.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 50/PUU-XII/2014: NATABAYA Saya sudah jelaskan bahwa keputusan Mahkamah nanti bersifat bersyarat, itu kita tidak usah ajari. Biarlah Mahkamah yang … apa namanya ... kita tidak perlu mengajari ... kita hanya menunjukan way out-nya bagaimana. Kalau soal apakah Mahkamah nanti akan memberikan putusan bersyarat bahwa putusan ini kalau hanya begini ini, artinya dia tetap melaksanakan Pasal 2, kalau terjadi ada nanti pada suatu waktu ada lebih dari ... apa namanya … dua. Nah, ya. Itu biarlah nanti Mahkamah akan memberikan … apa namanya itu … putusan. Dan kita … apalagi orang ini adalah orangorang yang bijak, ya, dan satu-satunya di Republik Indonesia ini syarat untuk menjadi Mahkamah Konstitusi, negarawan, tidak ada. Presiden pun tidak mempunyai syarat untuk jadi negarawan. Jadi mereka ini adalah negarawan tulen, ya. Biarkanlah mereka yang akan memutuskan, ya.
37.
PEMOHON PERKARA MUHAMMAD ASRUN
NOMOR
50/PUU-XII/2014:
ANDI
Terima kasih, Pak.
15
38.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Bukan berarti mantan negarawan. Silakan, Pak. Silakan, gantian, Pak Harjono. Terima kasih, Pak Nata.
39.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 50/PUU-XII/2014: NATABAYA Wabillahi taufiq wal hidayah wassalamualaikum wr. wb.
40.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 50/PUU-XII/2014: HARJONO Asslamualaikum wr. wb. Selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semua. Pak Ketua Mahkamah Konstitusi, Wakil Ketua, dan Para Hakim yang kami muliakan. Ini pertama kali saya berdiri di sini. Karena ... dan baru kesempatan pertama juga masuk ruang ini lagi setelah saya meninggalkan ruangan ini untuk beberapa ... beberapa waktu yang lalu. Di podium ini, banyak pihak yang pernah memberikan kesaksian dan keahlian. Memberikan keahlian, kesaksian, datang dari berbagai kalangan. Kalangan masyarakat, kalangan buruh, karyawan, guru, pejabat negara, dan kali ini juga saya tercatat yang kesekian kalinya bagi yang berdiri di podium ini untuk memberikan keterangan. Layaknya sebuah sistem peradilan untuk mendapatkan suatu proses, untuk mendapatkan satu keadilan dan kebenaran, maka bagi siapa pun yang berdiri di sini berlaku satu adagium, dengarkan apa yang dikatakan tapi jangan memilih siapa yang mengatakan. Kalau memilih siapa yang mengatakan, maka hal tersebut tidak akan menemukan kebenaran karena kebenaran bisa datang dari siapa pun juga. Saya kira itulah yang berlaku di dalam suatu proses untuk mencapai kebenaran. Majelis Hakim Yang Terhormat, kalau pada kali ... pada pagi hari ini saya harus menyampaikan pendapat saya, maka sebetulnya apa yang saya pikirkan, lalu yang akan saya sampaikan dalam persidangan ini bukanlah sebuah pendapat yang dadakan, instan, tiba-tiba karena sebagai orang yang pernah bergelut dengan persoalan undang-undang dasar maka pikiran-pikiran dan pendapat itu sudah saya bangun, sudah saya temukan jauh sebelum saya harus menjadi Saksi di dalam persidangan ini. Namun saja pikiran itu muncul pada saat saya harus masih duduk di kursi yang Bapak-bapak dan Ibu Hakim duduki sekarang. Oleh karena itu, pikiran saya tidak saya sampaikan secara publik, cukup saya simpan sendiri karena saya memahami bahwa kalau pikiran itu akan saya sampaikan di publik akan menimbulkan suatu permasalahan karena ini adalah perkara yang potensi untuk disidangkan di Mahkamah Konstitusi. Demi independensi itu, maka saya tahan, saya usahakan untuk tidak muncul. Kalau muncul, nanti akan menggambarkan sebuah 16
proses peradilan yang tidak independen apalagi masih dalam posisi Hakim. Oleh karena itu, pikiran saya ini adalah bukan sesuatu yang instan, atau sesuatu yang kemudian muncul setelah Pihak Pemohon memohon kepada saya untuk menyampaikan pendapat. (Suara tidak terdengar jelas) sekalian dan Para Hakim, melengkapi persoalan apa yang disampaikan Pemohon maka saya akan sampaikan sebuah simulasi andaikan pasal-pasal yang ada ... pasal yang ada pada ... pasal 6A Undang-undang Dasar Tahun 1945 itu akan diterapkan. Kalau ada calon yang lebih dari dua, maka setelah Pileg mungkin saja terpenuhi secara langsung oleh satu pasangan calon presiden dan wakil presiden karena dia telah mendapatkan perolehan suara 50% lebih satu, 50% lebih satu itu beda dengan 51%, jadi 50% lebih satu. Maka … atau dan juga telah dipenuhi penyebaran separuh jumlah provinsi dengan pendapatan suara paling minimal 20% tidak ada masalah karena pasangan tersebut menjadi elected presiden dan berhak untuk dilantik menjadi presiden, itu kemungkinan pertama. Dan juga bisa kemungkinan tidak seperti itu. Satu pasangan presiden dan wakil presiden mendapatkan suara lebih dari 50% ditambah satu, umpama saja pasangan A mendapatkan suara 52% tetapi tidak memenuhi penyebaran perolehan suara sebagaimana disyaratkan, hitungan persentasenya 52% tapi penyebaran suaranya dalam setiap provinsi tidak dipenuhi. Lalu perolehan suara pasangan yang lain B=45%, sedangakan pasangan C=3%. Meskipun pasangan A memenangkan pilpres, bukan memenangkan … meskipun pasangan A mendapatkan suara yang terbanyak dan melebihi 50%, namun pemungutan suara putaran kedua harus dilakukan sebagaimana disyaratkan oleh ayat (4). Pada putaran kedua, diikuti oleh pasangan A dan B, dan dalam putaran kedua dapat saja terjadi sebagai misal: kasus A, A tetap pada perolehan suara 52% dan syarat penyebaran tidak terpenuhi, sedangakan B mendapat sisa yaitu 48%. Kalau itu yang terjadi, berdasarkan ketentuan Pasal 6A ayat (4), pasangan A berhak dilantik untuk menjadi presiden dan wakil presiden, tidak jadi masalah. Tapi bisa terjadi keadaan atau kasus B ini, A memperoleh suara turun menjadi 50% kurang satu, sedangkan B mendapatkan suara 50% ditambah satu, namun B pun penyebaran suaranya tidak memenuhi syarat, berdasarkan ketentuan Pasal 6A ayat (4) yang terpilih menjadi Presiden adalah B. Jadi dia hanya mendapatkan suara 50% plus satu suara dan penyebarannya tidak terpenuhi pada putaran kedua. Kalau kita bandingkan dengan perumpamaan bahwa A mendapatkan 52%, maka hitungan riilnya A lebih banyak. Hasil yang demikian ini akan banyak menimbulkan persoalan hukum. Pembuat hukum seharusnya mempertimbangkan segala kemungkinan yang ditimbulkan dari ketentuan yang dibuatnya, Pasal 60 ... Pasal 6A seluruhnya. Permasalahan yang timbul ialah apakah 17
pembuat Pasal 6A Undang-Undang Dasar Tahun 1945 telah mempertimbangkan kemungkinan yang terjadi dalam menerapkan ayat (4), sebagaimana kalau itu terjadi kasus B di atas. Ahli, maksudnya saya, secara pribadi terlibat dalam perumusan Pasal 6A, termasuk ketentuan ayat (4). Dalam merumuskan Pasal 6A yang di dalamnya memberikan syarat penyebaran 20%, paling kurang setengah dari jumlah provinsi, anggota (suara tidak terdengar jelas) MPR menerima secara bulat dan tidak ada keberatan dan dengan pertimbangan supaya presiden terpilih nantinya mendapat dukungan tidak hanya dari pemilih di Pulau Jawa tetapi juga pemilih di luar Pulau Jawa. Itu dasar pertimbangannya muncul ketentuan Pasal 6 sebagaimana tersebut. Namun demikian pada saat itu tidak pernah simulasi, kemungkinan apa saja yang terjadi apabila rumusan ayat (4) tersebut diterapkan, termasuk kemungkinan terjadinya keadaan sebagaimana digambarkan pada B tadi. Tidak pernah ada simulasi. Dari sudut original inten dapatlah disimpulkan bahwa pembuat Pasal 60A ayat (4) tidak pernah mempertimbangkan kemungkinan yang terjadi penerapan Pasal 4, sebagaimana kasus dalam contoh B. Untuk itu dapat dilihat dalam risalah persidangan perubahan Undang-Undang Dasar 45 yang telah diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi. Oleh karenanya Mahkamah tidak akan, maksudnya Mahkamah sekarang ini, tidak akan menemukan original intan … intent … pengubah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 apabila penerapan ayat tersebut menimbulkan akibat sebagaimana alternatif B tersebut di atas. Artinya, tidaklah jelas original intent pengubah Undang-Undang Dasar apakah juga berlaku pada kasus sebagaimana digambarkan pada alternatif huruf b tersebut. Oleh Karena itu, kalau Mahkamah sekarang akan menafsirkan dengan landasan original intent, maka tidak akan mendapatkan apa original intent pas ayat (4) tersebut. Kemungkinan timbulnya kasus sebagaimana yang terjadi pada huruf b, sebetulnya tidak hanya dapat terjadi pada pilpres dengan calon lebih dari dua, tetapi justru yang paling besar kemungkinannya, chance, atau probabilitasnya, kalau itu bahasanya statistik, adalah terjadi pada pilpres dengan dua calon. Sebagai contoh, lain misalnya, pada putaran pertama Capres dan Cawapres A mendapat perolehan suara 52%, namun demikian persyaratan penyebaran perolehan suara tidak terpenuhi. Sedangkan Capres dan Cawapres B mendapatkan 48%. Apabila ketentuan ayat (4) harus diterapkan, maka harus dilakukan pilpres putaran kedua. Dalam putaran kedua, sebagai contoh, Capres dan Cawapres B memperoleh suara 50% tambah 100 suara, tentunya Capres dan Cawapres A turun perolehannya menjadi kurang dari 50%. Meskipun perhitungan perolehan suara dalam persentase calon Capres dan Cawapres B lebih besar dari Calon A, tetapi perolehan suara real-nya dapat saja lebih sedikit dari perolehan Calon A pada putaran pertama. 18
Hal tersebut dapat disebabkan partisipasi pemilih pada putaran kedua menurun. Jadi karena partisipasi pemilih menurun, persentasenya juga menurun dibandingkan persentasenya 50% lebih banyak, tapi 50% dari berapa? Yang sebelumnya, yang kemudian kalah Si A. Keadaan yang digambarkan dalam kasus b tersebut di atas yang tetap menjadikan pemenang putaran kedua yaitu B, menjadi Presiden berdasarkan ketentuan ayat (4) kalau itu yang dipilih. Pasal A menimbulkan banyak persoalan. Pertama, original intent pengubah Undang-Undang Dasar tidak mempertimbangkan hal tersebut sehingga seharusnyalah tidak dengan serta merta dapat diterapkan. Apabila secara serta merta diterapkan, akan menimbulkan ketidakadilan karena Capres dan Cawapres A yang memperoleh suara lebih banyak, tidak terpilih menjadi presiden dan wakil presiden, justru yang memperoloeh suara lebih sedikit terpilih menjadi presiden dan wakil presiden. Hal demikian tentunya akan bertentangan dengan prinsip atau asas pemilu sebagaimana dinyatakan Pasal 22E yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, yaitu bertentangan dengan aspek keadilannya. Pemilu agar supaya didasarkan atas asas persamaan nilai suara yang sering dikatakan sebagai one man one vote akan timbul pertanyaan, bagaimana capres dan cawapres yang secara real suara lebih sedikit menjadi presiden, sedangkan suaranya yang lebih banyak tidak menjadi presiden? Akan adil andai kata saja dalam putaran kedua disyaratkan bahwa yang memenangkan putaran kedua tidak secara serta merta menjadi pemenangnya, tetapi disyaratkan bahwa kemenangan itu harus lebih banyak dibandingkan dengan kekalahannya pada putaran pertama. Jadi kalau dia menang, kemenangannya dibandingkan dengan kekalahannya pada putaran pertama. Kalau dia bisa melampaui itu, memang realitas adalah suara terbanyak. Tapi kalau kemenangannya pada putaran kedua itu masih lebih sedikit dibandingkan kekalahannya, ini menjadi persoalan. Adanya kemungkinan ketidakadilan tersebut yang disebabkan penerapan Pasal 6A ayat (4) baik apabila calon lebih dari dua atau pun calon hanya dua dapat dikurangi apabila Mahkamah menyatakan bahwa ketentuan Pasal 6A ayat (4) hanya diterapkan apabila calon lebih dari dua. Apabila calon hanya dua, maka pilpres cukup dilaksanakan dalam satu putaran, apalagi pengubah Undang-Undang Dasar 1945 tidak mempertimbangkan kemungkinan hasil pilpres putaran kedua sebagaimana saya sebutkan dalam gambaran di atas, yang dapat menimbulkan ketidakadilan dan tidak sesuai dengan asas pemilu sebagaimana dimaksud Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mengatasi kelemahan Pasal 6A Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah dapat menafsirkan bahwa ayat (4) Pasal 6A tidak berlaku apabila capres-cawapres hanya berjumlah dua calon saja. Pasal 6A ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang tidak diterapkan pada
19
kasus capres-cawapres, apabila calon hanya dua pasangan, tidak bertentangan dengan asas pemilu dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pada intinya, penerapan one man one vote menjadi … terjadi pada pemilu DPD dan PDR dan bahkan Mahkamah melalui putusannya yang telah memperkuat pelaksanaan prinsip atau asas ini, putusan yang berkaitan dengan penentuan calon anggota terpilih dari yang diajukan oleh partai politik dalam pemilihan anggota DPR yang tidak berdasarkan nomor urut yang diajukan partai politik, tetapi berdasarkan suara terbanyak yang didapatkan oleh calon yang diajukan partai politik pada hakikatnya adalah menguatkan prinsip one man one vote. Dengan demikian, untuk pemilu dengan dua calon agar tidak menimbulkan permasalahan hukum dengan keadilan, adilkah orang yang pernah mendapatkan suara terbanyak harus dikalahkan oleh realitas bahwa yang kedua … putaran kedua suaranya lebih sedikit? Dan kepastian hukum serta kemanfaatan, yang sudah disebutkan dari Pihak Pemerintah, dan kemudian diulang oleh Prof. Natabaya, menurut Ahli, tepatlah apabila Mahkamah memutuskan bahwa cukup dilakukan satu putaran saja. Permasalah hukum untuk putaran kedua dengan calon lebih dua masih juga menimbulkan permasalahan karena dapat terjadi kasus yang Ahli gambarkan sebagai tersebut di atas. Dan hal tersebut sebetulnya perlu juga dipertimbangkan oleh Mahkamah. Demikianlah keterangan keahlian saya sampaikan, dan terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb. 41.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik. Terima kasih, Pak Harjono, bisa kembali duduk. Kita dengarkan dulu dari Prof. Saldi Isra, biar kita dengarkan secara utuh dulu. Dengan Andalas, bisa dengar? Ya, silakan Prof, langsung saja memberikan keterangan sebagai Ahli. Silakan.
42.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 51/PUU-XII/2014: SALDI ISRA Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang dan salam sejahtera bagi kita semua. Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan, Kuasa Pemerintah yang saya hormati, Kuasa dan Para Pemohon yang saya hormati, hadirin sekalian yang berbahagia. Sebelum menjelaskan ikhwal permohonan sebab a quo, perkenankanlah saya mengemukakan dua hal mendasar. Pertama, perbedaan di sekitar keterpenuhan persyaratan dukungan minimal 20% yang paling kurang setengah dari jumlah provinsi, yang muncul dalam beberapa waktu terakhir, harus dipandang sebagai kekhawatiran belaka bahwa pasangan calon yang nantinya berhasil meraih dukungan suara di atas 50% tidak akan mampu 20
memenuhi syarat tersebut. Berkaca dari pemilu presiden dan wakil presiden 2009 misalnya, dengan hanya diikuti … dengan diikuti oleh 3 pasang calon, pasangan calon yang meraih dukungan suara pemilih di atas 50% tetap mampu memenuhi persyaratan sebaran suara sebagaimana termaktub dalam Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008. Selain itu, merujuk hasil survei menuju pemilu 9 Juli mendatang, siapa pun pasangan calon yang meraih suara di atas 50% akan mampu memenuhi syarat sebaran minimal 20% suara yang paling kurang di setengan jumlah provinsi. Bahkan jangankan syarat tersebut, kalaupun batasan minimalh lebih besar dari itu, misalnya minimal 30% suara pada sekurang-kurangnya 2/3 jumlah provinsi. Melacak perkembangan yang ada saat ini, syarat demikian akan mampu dipenuhi oleh calon pemenang. Karena itu secara praktis, kekhawatiran itu tidak akan terpenuhi persyaratan sangat sulit terjadi. Kedua, kalau dibaca konstruksi Pasal 159 ayat (1) UndangUndang Nomor 42 Tahun 2008 yang menyatakan, “Pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilu presiden dan wakil presiden, dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia,” hampir sama dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6A ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Bedanya, Pasal 6A ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa yang memenuhinya dilantik menjadi presiden dan wakil presiden. Dengan konstruksi normatif seperti itu, tidak mungkin dihindarkan permohonan atas Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Dasar … Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 mengharuskan Mahkamah Konstitusi memberi tafsir atas Pasal 6A ayat (3) dan 6A ayat (4) UndangUndang Dasar 1945. Dalam batas penalaran yang wajar, keharusan tersebut disebabkan karena Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UndangUndang Dasar 1945, serta Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tidak secara eksplisit menjawab hal ikhwal sekiranya pemilu hanya diikuti dua pasang calon yang tidak mampu memenuhi sebaran suara sebagaimana dimaksud pada syarat tersebut. Karena tidak ada pilihan lain, diperlukan ada tafsir terhadap Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 dalam hal hanya ada dua pasang calon presiden dan wakil presiden. Disebabkan keniscayaan itu pula, sekalipun secara praktik tidak mungkin bagi pasangan calon terpilih pemilu hanya … yang diikuti oleh dua pasang calon tidak mampu memenuhi persyaratan tersebut, saya tetap mendukung … mohon maaf … saya tetap mendukung langkah mengajukan soal ini ke Mahkamah Konstitusi. Selain mendapatkan kepastian, secara hukum putusan Mahkamah Konstitusi akan mengakhiri perdebatan di sekitar kekhawatiran tidak terpenuhinya syarat sebaran sebagaimana termaktub dalam Pasal 6A ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. Tidak hanya itu, agar tidak menimbulkan perdebatan lebih lanjut, 21
saya setuju dengan pendapat banyak pihak bahwa putusan atas permohonan ini sudah harus dibacakan sebelum datangnya jadwal Pemilu Presiden 9 Juli mendatang. Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan. Sekali pun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 hanya diikuti oleh dua pasang calon, jumlah tersebut tidak serta merta mengakhiri perdebatan ikhwal kemungkinan adanya putaran kedua. Padahal dalam batas penalaran yang wajar, jikalau pemilu presiden dan wakil presiden hanya diikuti oleh dua pasang calon, maka perdebatan sekitar kemungkinan adanya putaran kedua tidak relevan lagi. Logikanya amat sederhana karena hanya dua pasang calon yang bertarung, salah satu diantaranya pasti mampu meraih suara sah lebih dari 50%. Namun dalam konteks hukum positif Indonesia, batas penalaran tersebut menjadi wilayah perdebatan dan kekhawatiran baru karena penentuan pasangan calon yang memenangkan pemilu tidak hanya berhasil dengan keterpenuhan batasan meraih suara sah lebih dari 50%. Dalam hal ini terdapat syarat lain yaitu persyaratan persebaran suara 20% minimal lebih dari setengah jumlah provinsi. Keberhasilan pasangan meraih lebih dari 50% harus pula diikuti dengan minimal 20% suara di minimal 18 provinsi di Indonesia. Penalaran demikian muncul karena adanya pemahaman bahwa Pasal 6A ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang mana ketentuan tersebut diikuti oleh Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 menyatakan bahwa pasangan calon presiden terpilih adalah pasangan calon yang mampu memperoleh suara lebih dari 50% dengan sebaran suara sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Pertanyaanya, benarkah syarat sebaran minimal 20% tersebut harus tetap dipenuhi meski pemilu hanya diikuti dua pasang calon? Artinya sekira batasan sebaran minimal 20% tersebut tidak terpenuhi, harus dilakukan lagi pemilu putaran kedua. Keterangan ini mencoba memaparkan makna batasan sebaran 20% tersebut dalam konteks Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 juga pengaturan lebih lanjut dalam Pasal 159 ayat (1). Selain itu izinkan juga saya menggunakan kesempatan ini untuk menjelaskan dasar teoritik yang memungkinkan bagi Mahkamah Konstitusi melahir … menafsirkan pasal di dalam konstitusi dalam hal ini Undang-Undang Dasar 1945 terutama pasal-pasal yang masih memerlukan tafsir Hakim dalam hal ini Hakim Mahkamah Konstitusi. Majelis yang saya muliakan, secara konstitusional apabila dibaca dan dipahami secara seksama Pasal 6A Undang-Undang Dasar 1945 ketentuan tersebut menyediakan empat rambu pokok. Saya sudah pernah tulis empat rambu pokok ini di Media Indonesia tanggal 9 Juni yang lalu. Saya hanya akan menjelaskan rambu keempat. Rambu keempat disebabkan terbukanya kemungkinan hadirnya sistem kepartaian majemuk seperti yang disebutkan oleh dua Ahli 22
sebelumnya. Para pengubah Undang-Undang Dasar 1945 pun telah menduga bahwa banyak partai politik potensial pula menghadirkan banyak pasangan calon presiden dan wakil presiden. Umpamanya, dengan menggunakan jumlah partai politik peserta pemilu legislatif tahun 2014 sekiranya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tidak membuat angka ambang batas sangat mungkin pasangan calon persiden dan wakil presiden akan lebih banyak. Dengan jumlah calon yang lebih banyak, mungkin sulit memenuhi batasan 50% karena itu muncul rambu baru bahwa pasangan calon yang meraih suara ba... pertama dan kedua mengikuti putaran kedua. Saya perlu jelaskan, Hakim Yang Mulia. Kalau kita baca struktur Pasal 6A ayat (4) Undang Undang Dasar 1945, maka di situ disebutkan, “Calon yang meraih suara terbanyak pertama dan kedua,” kalau konstitusi menyebutkan terbanyak pertama dan ke ... terbanyak kedua, artinya perumus konstitusi mengamsumsikan ada yang terbanyak ketiga, terbanyak keempat, terbanyak kelima, dan seterusnya. Karena apa? Karena dimungkinkan hadirnya pasangan calon di … berdasarkan Pasal 6A ayat (1) Undang Undang Dasar 1945. Dalam alur sejarah konstitusi kita, ketika membahas materi sistem pemilu presiden dan wakil presiden dalam proses perubahan Undang Undang Dasar 1945, pengubah konstitusi tidak hanya berhenti berdebat pada angka minimal 50% tambah satu dalam menentukan pasang calon yang menjadi pemenang. Dalam risalah perubahan dapat dilacak bahwa pengubah Undang Undang Dasar 1945 juga memikirkan soal kerumitan dan efisiensi pemilu presiden jika harus dilaksanakan putaran kedua. Oleh karena itu, berbanjar ... berkembang berbagai pemikiran terutama mengantisipasi putaran kedua. Misalnya di antara pengubah Undang Undang Dasar 1945 menawarkan pemikiran bahwa hanya partai politik yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua saja yang dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Selain itu, dikemukakan juga gagasan bahwa jika putaran pertama tidak ada yang meraih angka diatas 50%, maka dua calon yang mampu meraih suara terbanyak akan dipilih lebih lanjut oleh MPR. Ini beberapa gagasan yang muncul atau kalau kita baca dengan teliti risalah perdebatan perubahan Undang Undang Dasar 1945 terutama perubahan ketiga yang terjadi pada tahun 2001. Namun di tengah perdebatan itu, pemikiran mengarah pada salah satu titik bahwa penentuan pemenang tetap didasarkan pada mandat yang diberikan pemilih. Karena itu semua harus dikembalikan kepada pemilih. Dengan kesepakatan itu tidak otomatis selesai perdebatan, misalnya muncul perdebatan terkait dengan sebaran penduduk yang tidak merata antara Jawa dan luar pulau Jawa, tadi juga sudah dikutip oleh Bapak Prof. Harjono. Karenanya dengan merujuk pada model pemilu presiden yang ditetapkan di Nigeria, tim ahli di bidang politik mengusulkan agar penerapan sistem pluralitas diiringi dengan raihan 23
suara lebih dari 50% yang diikuti dengan sebaran suara lebih dari setengah jumlah provinsi. Awalnya, perolehan lebih dari 50% suara diikuti dengan komposisi sebaran minimal 20% dengan sebaran minimal di 2/3 jumlah provinsi. Tim ahli politik beralasan persyaratan ini ditujukan agar proses pemilu dan partisipasi tidak hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa melainkan juga mengharuskan setiap calon berkampanye dan mencari dukungan di luar Pulau Jawa. Dalam perkembangannya, gagasan tersebut diterima oleh fraksi-fraksi dengan melakukan perubahan terhadap syarat sebaran suara di mana tambahan syarat 2/3 provinsi dikurangi menjadi hanya lebih dari setengah jumlah provinsi. Hal itulah kemudian yang diadopsi menjadi ketentuan Pasal 6A ayat (3) Undang Undang Dasar 1945. Untuk melacak perdebatan sekitar kemungkinan adanya putaran kedua ini misalnya dapat dibacakan naskah komphrensif perubahan Undang Undang Dasar 1945, buku kelima tentang pemilihan umum, halaman 318-506. Dalam batas-batas tertentu, jika pada saat para pengubah membahas bagaimana langkah menyederhanakan proses pemilu presiden dan wakil presiden disebabkan adanya kekhawatiran proses berbelit, tidak efisien, dan kekhawatiran munculnya ketidakstabilan politik sehingga memikirkan membuat desain yang sederhana. Saat itu proses politik dengan berbagai catatan … saat ini proses politik dengan berbagai catatan di tengah proses tersebut telah mampu menghadirkan jumlah pasang calon yang jauh lebih sederhana, yaitu dua pasang calon. Pertanyaannya, haruskah ini diperumit kembali dengan penerimaannya bahwa sebaran minimal 20% pada sedikitnya setengah jumlah provinsi dapat menjadi penentu sekalipun sudah ada pasangan calon yang meraih dukungan lebih dari 50%. Saya baca di risalah, misalnya Hamdal Zoelva ketika itu dari Partai PBB, itu secara eksplisit mengatakan bahwa waktu yang berbelit dan sepanjang itu bisa menimbulkan ... bisa menimbulkan instabilitas politik dan segala macamnya. Jadi kekhawatiran para pengubah konstitusi itu bisa digambarkan, bisa dbaca dengan jelas di dalam risalah perubahan Undang Undang Dasar 1945. Majelis Hakim konstitusi yang saya muliakan, apabila perkembangan pemikiran saat perubahan Undang Undang Dasar 1945 tersebut digunakan untuk membaca pemilu presiden dan wakil presiden 2014 yang hanya diikuti dua pasangan calon, titik berangkat pembahasan tidak lagi pada ranah sebaran perolehan suara. Sebab, jika dipahami secara sistematis, ketentuan yang termasuk dalam Pasal 6A ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang Undang Dasar 1945 maupun Pasal 159 ayat (1) Undang Undang Nomor 42 Tahun 2004, persyaratan sebaran perolehan suara diletakkan pada asumsi bahwa pemilu presiden dan wakil presiden diikuti oleh banyak pasangan calon. Makanya tadi saya mengatakan bahwa dalam Pasal 6A ayat (4) itu ad ... disebutkan
24
peraih suara pertama dan peraih suara kedua, artinya ada peraih suara ke tiga dan suara-suara berikutnya. Namun karena pemilu presiden dan wakil presiden 2014 hanya diikuti oleh dua pasang calon, syarat sebaran tidak relevan lagi dengan menggunakan tafsir sistematis. Syarat 50% lebih dan sebaran 20% di minimal setengah jumlah provinsi muncul karena kemungkinan adanya calon lebih dari dua pasang. Selain itu, bila dibaca risalah perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, ruang yang begitu luas untuk setiap partai politik peserta pemilu mengajukan pasang calon juga berujung pada soal legitimitasi. Bagaimanapun bila menganut model pemilihan satu putaran, pasangan calon yang ... banyak yang ada ... ba ... pasangan calon yang banyak amat mungkin menghadirkan pasangan presiden dan wakil presiden dengan su ... dukungan suara di bawah 50%. Dengan menimbang legistimasi politik suara pemilih dan sebaran suara di luar pulau Jawa, Pasal 6A ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menentukan bahwa pasangan calon terpilih harus memenuhi persebaran tersebut. Oleh karena itu, ketika pemilu presiden dan wakil presiden hanya diikuti oleh dua pasang calon, penentuan pemenang tidak tunduk pada frasa pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden. Saya ulangi, penentuan pemenang tunduk pada frasa pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden sebagaimana termaktub dalam Pasal 6A ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dalam pengertian ini, persyaratan memperoleh 50% lebih dan minimal meraih suara 20% lebih dari setengah jumlah provinsi harus dimaknai sebagai jembatan menuju putaran kedua, bila sebelumnya pemilu diikuti oleh banyak pasangan calon. Oleh karena itu, ketika pemilu hanya diikuti oleh dua pasang calon, jembatan tersebut tidak tepat untuk digunakan. Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan, pertanyaan berikutnya, bolehkan Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir terhadap pasal-pasal dalam konstitusi dalam hal ini Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang pada ujungnya mengubah makna atau pemahaman atas pasal-pasal dimaksud? John Jolinet [Sick!], misalnya, mengatakan perubahan konstitusi pada dasarnya dibagi menjadi dua, yaitu melalui prosedur formal Verfassung Anderung. Kedua, melalui prosedur informal, Verfassung wandlung. Perubahan formal adalah perubahan yang mekanismenya diatur dalam konstitusi suatu negara. Sedangkan perubahan di luar ketentuan konstitusi disebut sebagai perubahan informal atau melalui kondisi yang disebut Joko Sutono sebagai ondus atau perubahan lambat-lambat atau lambat laun. Menurut Suharjo Sastroharjo, Verfassung Anderung dimaknai sebagai bentuk perubahan yang sesungguhnya, dimana terjadi 25
perubahan terhadap pokok-pokok pikiran, asas-asas, bentuk negara sistem pemerintahan, dan lainnya. Sedangkan Verfassung wandlung menurut Suharjo adalah perubahan makna atau penafsiran ketentuan dalam konstitusi yang tidak menyimpang dari ketentuan pokok-pokok serta asas-asas yang termaktub di dalamnya. Dalam literatur ketatanegaraan modern, pembahasan mengenai perubahan formal dari konstitusi begitu banyak ditemukan. Secara teori hukum ketatanegara, posisi perubahan konstitusi melalui perubahan formal pun tidak menimbulkan banyak perbedaan pendapat, selama inflementasi proses perubahan bersesuaian dengan aturan di dalam konstitusi, maka pasal-pasal perubahan itu berlaku tanpa banyak perdebatan. Walaupun bisa saja terjadi isi dari perubahan konstitusi tersebut menjadi perdebatan. Namun keabsahan perubahan konstitusi nilainya tetap legal. Suasana berbeda akan ditemui dalam perubahanperubahan konstitusi secara informal karena dikatakan sifatnya yang eksidental. Kaselor, misalnya, menetukan bahwa perubahan konstitusi melalui empat metode. Pertama, san primary forces. Yang kedua, formal amandement. Yang ketiga, judicial interpretation. Yang keempat melalui usage atau confention. Dalam membahas perubahan konstitusi secara informal, Wheilt [Sick!], menjelaskan mengenai terdapatnya kekuatankekuatan yang mampu menimbulkan perubahan konstitusi itu sendiri karena kekuatan itu sendiri oleh wheilt dibagi menjadi dua. Pertama, kekuatan yang menciptakan berubahnya kondisi di suatu negara. Kekuatan itu memang tidak mengubah kalimat-kalimat dalam konstitusi secara eksplisit, namun kekuatan tersebut mampu menciptakan kondisi yang dapat mengubah makna konstitusi. Kedua kekuatan yang mampu menciptakan kondisi (suara tidak terdengar jelas) perubahan konstitusi secara formal melalui interpretasi Hakim atau pun melalui konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan. Penafsiran melalui sebuah proses penafsiran (judicial interpretation) dimaknai sebagai sebuah teori atau metode cara berpikir yang menjelaskan bagaimana peradilan harusnya memberikan tafsir terhadap hukum sebuah Undang-Undang termasuk juga Undang-Undang Dasar. Metode menafsirkan tersebut bukanlah sesuatu ketentuan yang berdasarkan metode baku sebagaimana dipahami dalam keilmuan eksakta. Penafsiran hukum bukan disebut sebagai penafsiran hukum bahkan disebut sebagai sebuah seni interpretation is an art. Secara umum, perubahan konstitusi yang dilakukan melalui cara atau proses penfsiran hakim adalah perubahan tanpa mengubah teks dan pasal-pasal secara langsung, tetapi hanya memberikan pemaknaan baru atau tafsir baru terhadap pasal-pasal atau teks konstitusi tersebut. Dengan menggunakan teori tersebut, sama sekali tidak terjadi kesalahan atau kekeliruan teoritik bila Mahkamah Konstitusi menyelesaikan persoalan yang terkait dengan persyaratan yang ada dalam Pasal 6A 26
ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Tentu saja dengan harapan putusan Mahkamah Konstitusi akan menjadi pegangan dalam menuntaskan perdebatan di sekitar Pasal 159 dan sekaligus memberikan penjelasan yang pasti terhadap maksud Pasal 6A ayat (3) UndangUndang Dasar 1945. Di atas itu semua, semoga keterangan ini memberikan sumbangan pemikiran bagi Mahkamah dalam memutus permohonan ini. Terima kasih atas perhatiannya. Billahitaufiq Wal hidayah. Assalamualaikum wr. wb. 43.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Terima kasih, Pak Saldi. Para Pemohon, ada pertanyaan kepada ahli atau cukup?
44.
PEMOHON PERKARA NOMOR 53/PUU-XII/2014: SUNGGUL HOMONANGAN Ada satu, Pak. Saya ingin tujukan kepada Pak Harjono.
45.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya.
46.
PEMOHON PERKARA NOMOR 53/PUU-XII/2014: SUNGGUL HOMONANGAN Dan satu untuk Pak Saldi. Pertama-tama kepada Prof. Saldi, ya. Saya ingin pendapat Anda, apakah di dalam penerapan satu aturan, baik konstitusi maupun Undang-Undang, bisakah dipertimbangkan faktor efisiensi? Misalnya penyelamatan anggaran negara atau misalnya katakanlah penghematan anggaran negara. Karena kita tahu bahwa apabila pilpres ini berlangsung dua putaran akan bertambah anggaran negara triliunan rupiah. Dan juga untuk memilih dua pasangan yang sama. Jadi mohon pendapat Anda, apakah bisa di dalam penerapan satu aturan bisa dipertimbangkan faktor efisiensi. Itu untuk Prof. Saldi. Dan kemudian untuk Pak Harjono satu pertanyaan untuk Bapak. Apakah selama ini kita sudah mengikuti berbagai macam pemilihan presiden, sudah berulang kali, dan pilihan rakyat itu begitu beragam (suara tidak terdengar jelas) juga. Apakah ketika seorang presiden kemudian dilantik menjadi presiden dan rakyat yang tidak memilih presiden itu, apakah menurut Bapak secara faktual, apakah orang yang tidak memilih presiden ini tidak mengakui bahwa itu adalah presiden dia? Padahal kita tahu ketika presiden itu dilantik, dia adalah Presiden Republik Indonesia. Terima kasih, Pak. 27
47.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya. Dari Pemohon yang lain masih ada? Ya, silakan.
48.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 51/PUU-XII/2014: VERI JUNAIDI Terima kasih, Yang Mulia. Di dalam permohonan kami ada tiga hal yang kita minta, tafsir yang kita ajukan terkait dengan yang pertama terkait dengan tafsir sistematik. Yang kedua, original intent. Dan yang ketiga terkait dengan kondisi kekinian (...)
49.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Tanya saja kepada (...)
50.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 51/PUU-XII/2014: VERI JUNAIDI Baik. Pertanyaan kepada Prof. Saldi, di dalam permohonan kami ada beberapa kondisi yang kami kemukakan pada hari ini meskipun tadi Prof. Saldi memberikan alas sejak awal untuk tidak khawatir terhadap (suara tidak terdengar jelas) hari ini. Misalnya terkait dengan kondisi gesekan politik yang akan terjadi soal legitimasi politik jika kemudian dengan dua capres akan muncul perbedaan hasil pada putaran satu dan kedua. Apakah kemudian kondisi-kondisi ini bisa dijadikan dasar dalam menafsirkan Pasal-Pasal 6A ayat (3) dan juga ayat (4)? Terima kasih, Yang Mulia.
51.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya. Masih ada atau (...)
52.
PEMOHON PERKARA NOMOR 53/PUU-XII/2014: SUNGGUL HOMONANGAN Terima kasih, Yang Mulia. Kami dari Pemohon 53 sendiri menganggap bahwa semua hal yang kami mohonkan dalam permohonan termasuk isu-isu konstitusionalnya sudah terjawab dengan keterangan Ahli. Jadi menurut kami cukup.
53.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya.
28
54.
55.
PEMOHON PERKARA NOMOR 53/PUU-XII/2014: SUNGGUL HOMONANGAN Terima kasih. KETUA: HAMDAN ZOELVA Pemerintah ada?
56.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Pemerintah cukup, Yang Mulia.
57.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya. Silakan, Pak Harjono, kemudian Pak Saldi.
58.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 50/PUU-XII/2014: HARJONO Terima kasih, Pak Ketua. Melengkapi pernyataan pertanyaan dari Pemohon. Jadi begini, sebetulnya kalau kita bicara demokrasi karena pemilihan presiden dengan dipilih langsung ini juga kaitannya dengan demokrasi, saya berpendapat bahwa ada dua persoalan demokrasi itu, demokrasi prosedur dan demokrasi substansi. Apa yang terjadi di sini masih demkrasi prosedur semua, pileg, pilpres, demokrasi prosedur. Tapi apa pun juga demokrasi prosedur itu juga akan mengarah pada tuntutan agar supaya demokrasi substansinya dikembangkan. Demokrasi substansinya itu dicerminkan setelah apa yang dipilih dengan prosedural itu menghasilkan satu hasil. Jadi tidak pada pemilihannya tapi pada apa yang dihasilkan. Katakan saja kalau kemudian kita memilih anggota DPR, memilih presiden, oke itu demokrasi prosedurnya tercapai. Tapi demokrasi substansinya ada enggak? Itu demokrasi substansinya baru terlihat kalau kedua lembaga ini membuat Undang-Undang. Apa yang dicantumkan dalam Undang-Undang? Oleh karena itu, tidak hanya berhenti pada persoalan demokrasi prosedur. Nanti juga pencerminannya, apakah itu bisa mengarah pada demokrasi substansinya. Apakah orang harus mengakui bahwa yang dia tidak memilih presiden, ternyata yang menjadi adalah calon presiden yang dia tidak pilih? Di dalam pemilihan presiden, berbeda dengan pemilihan pileg, Indonesia ini adalah satu dapil, jadi Indonesia itu satu dapil, dan di dalam satu dapil itu prinsip one man one vote itu dipegang. Satu dapil, prinsip one man one vote dipegang, meskipun itu satu dapil dan one man one vote itu kemudian harus menjadi dasarnya, maka hal yang harus kita ingat adalah calon presiden itu terbatas, berapa pun juga 29
tidak sebanyak kalau itu dibandingkan dengan calon anggota DPR. Taruhlah apa kita sampai punya sepuluh calon presiden, kalau itu mungkin kelihatan saja. Oleh karena itu, pemilih itu punya pilihan yang terbatas juga, dia tidak akan memilih wakil, tapi dia adalah memilih halhal yang kemudian di antara sepuluh itu yang dia cocok, yang dia cocok, oleh karena itu pilihannya terbatas. Di dalam menanggapi pilihan terbatas ini, maka hal-hal yang berkaitan dengan persoalan penyebaran itu sebenarnya tidak bisa dibayangkan, pasti itu menyebarkan itu, kemudian merepresentasi … merepresentasikan apa yang diinginkan. Katakan saja, apakah relevan banget kalau kemudian penyebaran itu menjadi satu hambatan karena one man one vote, dan itu presidennya orang Indonesia, seluruh rakyat Indonesia. Apa sih yang diharapkan dari penyebaran itu? Apalagi kriterianya Jawa, luar Jawa. Jawa, luar Jawa itu harus dipisahkan karena penduduknya atau karena yang lain? Kalau penduduk yang ada di dalamnya saja, relevankah itu, apakah artinya kemudian Jawa-luar Jawa itu menjadi terepresentasi dengan pilihan itu? Kalau ya, contoh gampangnya saja, di hadapan kita ada sembilan Hakim Mahkamah Konstitusi, orang Jawanya berapa? Orang luar Jawanya berapa? Tiga orang jawa, di semuanya orang luar jawa, enggak terepresentasi itu dalam persoalan itu karena dan yang kedua kalinya, apakah tempat memilih itu kemudian menjadi faktor dia memilih? Kalau Pak Asrun ada di Jakarta, memilih wakilnya, presidennya lain kalau pas kebetulan milihnya di Makasar, tentu tidak. Jadi, ini persoalan-persoalan yang berhubungan dengan asumsiasumsi itu sebetulnya dasarnya apa? Karena penduduk juga sudah seperti itu, apalagi kalau kita lihat sekarang, media itu sudah begitu luas, apa yang terjadi di sini bisa dikutip di manapun juga, maka menurut saya dengan dasar one man one vote itu asumsi bahwa itu terjadi perbedaan yang sangat luas, yang sangat tajam antara Jawa dan luar Jawa, menjadi tidak relevan lagi. Apalagi kalau dilihat bahwa di Jawa itu juga banyak orang luar Jawanya, kalau di luar Jawa itu di Lampung, ya sama saja dengan di Solo karena banyak Jawanya, tapi apakah itu yang dimaksud? Apa yang membuat kriteria Jawa-luar Jawa? Karena one man one vote dan satu dapil, maka tidak relevan. Persoalan itu dulu, kenapa diterima, terus terang kita, terutama saya, itu adalah persoalan yang baik untuk mempersatukan tanpa harus dikaji dulu, bagaimana dengan sistemnya, itu adalah one man one vote, itu adalah satu dapil, kriteria apa sebenarnya jawa, luar Jawa itu? karena penyebaran penduduk, ataukah karena hal-hal lain. Ini sebenarnya yang menurut saya menjadi satu bahan pertimbangan bahwa kriteria itu sebenarnya tidak begitu dalam dipahami.
30
Oleh karena itu, menurut saya ada baiknya bahwa penggunaan kriteria itu gunakan minimalis saja, minimalisnya adalah kalau calonnya lebih dari dua. Saya kira begitu, Terima kasih. 59.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Silakan, Prof. Saldi.
60.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 51/PUU-XII/2014: SALDI ISRA Yang Mulia, pertanyaan dari Dr. Muhammad Asrun, kalau dibaca di risalah misalnya, apa yang ditanyakan oleh Andi Muhammad Asrun tadi, menjadi salah satu konsen juga para pengubah Undang-Undang Dasar. Di risalah dibaca juga, soal efisiensi itu kemudian menjadi salah satu topik penting ketika mereka membahas soal kemungkinan ada putaran kedua, makanya lalu timbul pemikiran untuk mencegah sebetulnya jangan ada putaran kedua, misalnya bagaimana kalau hanya partai yang meraih suara terbanyak pertama dan kedua saja yang mengusulkan pasangan calon, sehingga pasanggan calonnya Nomor … hanya dua, atau kalau ada banyak pasangan calon ikut pemilu presiden, lalu kemudian tidak ada yang dapat suara terbanyak, yang dua terbesarnya lalu dipilih oleh MPR. Dalam pemahaman saya, setelah membaca risalah, itu terkait dengan soal efisiensi salah satunya, makanya menurut saya, kalau hanya dua putaran, lalu kemudian kalau hanya dua pasangan calon, lalu kemudian dipikirkan lagi ada putaran kedua karena soal sebaran, itu pasti ada problem dengan efisiensi, dan bagaimana misalnya kalau sudah diadakan putaran kedua, tapi komposisi suara tidak berubah, apakah diadakan putaran ketiga, putaran keempat, dan sebagai macamnya? Makanya menurut saya, kita sekarang ini harus menghargai proses politik yang terjadi, bagaimanapun catatannya, yang sudah menghasilkan dua pasangan calon. Paling tidak dengan dua itu, kita sudah bisa menuju kepada tahapan atau proses yang lebih sederhana. Hampir bisa dipastikan Pak Asrun, kalau ada putaran kedua lagi nanti dengan dua pasang calon yang sama itu akan menjadi penghamburan uang Negara atau APBN. Pertanyaan dari Kuasa dari Pemohon Nomor 51, sebetulnya kalau kita baca dari segi tafsir sistematis, dari original intent dan menurut saya ditambah dengan kondisi yang ada hari ini makanya sangat kuat alasan memaknai Pasal 6A ayat (3) dan 6A ayat (4) itu adalah bahwa untuk dua pasang calon itu adalah satu putaran saja. Makanya saya mengatakan tadi ketentuan soal syarat minimal 20% di minimal setengah jumlah provinsi itu jembatan yang menghubungkan putaran pertama ke putaran 31
kedua. Kalau misalnya calonnya lebih dari dua, itu yang jadi jembatan. Tapi karena faktanya calonnya hanya dua maka jembatan itu tidak digunakan lagi karena sudah menjadi dua pasangan calon di situ. Nah, oleh karena itu menurut saya, kondisi hari ini, tadi Bapak Prof. Harjono sudah menjelaskan kemungkinan-kemungkinan. Kita bisa bayangkan misalnya kalau ada putaran kedua karena dua pasang calon lalu nanti terjadi perubahan komposisi suara, itu justru berpotensi menyulut kemarahan di akar rumput menurut saya. Itu juga harus menjadi pertimbangan oleh Mahkamah Konstitusi. Kita sebetulnya diberi berkah juga dengan proses politik hari ini bisa menghadirkan jumlah pasang calon yang lebih sederhana. Jadi, kondisi kekinian, kemudian original intent, serta tafsir sistematis itu memang memperkuat posisi saya bahwa sebetulnya dengan dua pasang calon itu tidak diperlukan adanya putaran kedua. Terima kasih. 61.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya. Terima kasih, Prof. Saldi. Silakan ada pertanyaan dari Pak Alim.
62.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Pertanyaan saya, pertama saya tujukan ke Pak Dr. Harjono. Begini Pak Ahli, itu Pak Harjono adalah salah seorang pelaku sejarah yang mengubah Undang-Undang Dasar. Yang sebagai orang yang tidak tahu saya tanyakan ini bagaimana di Pasal 6A ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) itu terjadi di perubahan ketiga, tapi khusus ayat (4) kalau cetakan ini benar itu terjadi di perubahan keempat? Mohon maaf, Pak, barangkali Bapak bisa lihat. Ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) itu perubahan ketiga, tapi khusus ayat (4) itu perubahan keempat. Saya kok … saya kok, heran saya, mengapa bisa terjadi begitu? Tapi itu enggak jadi soal andaikata ini benar. Yang saya mau tanyakan kepada Pak Dr. Harjono, tadi dikatakan dengan kenyataan bahwa dua pasang saja calon. Jadi, kita pakailah ayat (4) yang terakhir itu bahwa yang terbanyak dipilih itu apa yang dipilih oleh rakyat dengan suara terbanyak itulah yang dilantik menjadi presiden dan wakil presiden. Apakah menurut Dr. Harjono ini ada kaitannya dengan Pasal 1 ayat (2) bahwa yang memilih itu yang berdaulat itu sudah memilih ini sudah itulah kan cuma hanya dua pasang bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Ini kan kebetulan hanya dua yang berdaulat itu adalah rakyat, dia sudah memilih, ya sudah dialah yang … itu untuk Pak Harjono. Kemudian mohon maaf saya kepada Prof. Natabaya. Tadi Prof mengatakan bahwa Hakim itu dilarang untuk tidak mengadili undang32
undang hanya dengan mengadili suatu Perkara, hanya dengan alasan bahwa undang-undang tidak lengkap atau tidak cukup melainkan dia harus menafsirkan, kan begitu. Artinya jangan dengan dalil bahwa undang-undang ini tidak cukup lantas kita menolak mengadili Perkara, kan begitu barangkali Prof. katakan tadi. Yang saya mau tanyakan kepada Prof kebetulan ahlinya tahu juga sedikitlah karena ini di dalam … saya mohon maaf, ini kan di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 diantaranya itu yang menentukan begitu Undang-Undang Kehakiman bahwa Hakim itu dilarang untuk tidak mengadili suatu perkara dengan dalih bahwa hukumnya … melainkan dia harus menafsirkan bagaimana. Di dalam sejarah yang saya ketahui ketika Rasulullah Muhammad SAW masih hidup dan akan mengutus Muad bin Jabal menjadi Gubernur di Yaman dia tanya begini, “Eh Muad, bagaimana engkau menyelesaikan suatu Perkara?” Muad mengatakan, “Saya akan cari di dalam Alquran.” Berarti katakanlah seakan-akan Undang-Undang Dasar. Kalau kamu tidak menemukan di sana, Muad menjawab … Nabi mengatakan, “Kalau andaikata kamu tidak temukan Alquran?” “Saya cari dalam sunah Rasulnya.” Berarti lebih rendah lagi. “Kalau juga di dalam … di Alquran kamu tidak dapat dan di sunah Rasul juga tidak ada, lantas bagaimana kamu menyelesaikan?” “Saya akan menggunakan akal saya.” Itu apakah itu tidak dapat dianggap sebagai suatu menafsirkan aturan yang ada dengan menggunakan dia punya logika atau (suara tidak terdengar jelas). Sehingga yang dikatakan oleh Pasal 48 …. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kehakiman bahwa hakim dilarang menolak suatu mengadili suatu perkara dengan alasan tidak cukup melainkan dia harus menafsirkan. Apa itu tidak meniru ketentuan itu? Terima kasih, Pak Ketua. 63.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Silakan, Pak Wahid.
64.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Terima kasih. Saya ingin mengajukan penjelasan dari Pak Dr. Harjono. Tadi disampaikan bahwa memang sekarang realitas di mana peserta pilpres 2014 ini hanya diikuti oleh dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Pak Harjono tadi menyampaikan bahwa kalau kita ingin menemukan original intent mengenai hal itu terkait realitas sekarang itu tidak ada di dalam Pasal 6A, baik terutama pada ayat (4) ini. Nampaknya juga di dalam pembahasan yang kita baca di risalah yang ada, di mana Pak Dr. Harjono juga pelaku di sana bahwa fokus 33
pembahasan pada waktu itu ingin selain lebih 50% juga penyebarannya. Bahkan di dalam risalah itu beberapa anggota itu menginginkan tidak separuh lebih provinsi, 2/3. Beberapa anggota menyebut itu, ingin begitu banyaknya penyebaran itu dan mungkin juga suasana pada waktu itu. Nah, ini apakah memang pada waktu itu tidak terlalu dipikirkan atau bahkan diabaikan meskipun calonnya berapa pun itu tetap harus pasangan itu mendapatkan lebih 50% dan sedikitnya 20% yang kemudian lalu disepakati itu. Tadinya 20 ti … 2 perti … 20% itu pada sebaran 2 … 2/3 lebih provinsi, saya lihat ada 6 atau 7 pembicara menyebutkan hal itu. Nah, apakah ini memang semangat untuk adanya penyebaran itu besar, sehingga semangat bahwa berapa pun calonnya bahkan dua calon pun diabaikan dalam pembahasan-pembahasan itu. Saya kira itu saja, Pak. 65.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya. Pak Patrialis, silakan.
66.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Ya. Terima kasih, ya, Ketua. Kepada Pak Harjono dan Pak Natabaya. Kita mengetahui sejarah bahwa MPR di dalam melakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945, salah satu yang disepakati itu adalah memperkuat sistem presidensial. Ada beberapa kesepakatan, yang di … saya kemukakan hanya sat … salah satu. Dalam sistem presidensial, ada beberapa ciri yang mendukung sistem presidensial itu dan salah satu di antara ciri itu adalah presiden dipilih langsung oleh rakyat. Dalam sistem presidensial itu, dikaitkan dengan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia di mana ke depan presiden itu tidak hanya sebagai kepala pemerintahan saja, dan juga tidak hanya sebagai kepala pemerintahan … tidak hanya sebagai kepala pemerintahan, tetapi juga presiden itu adalah merupakan lambang pemersatu bangsa. Lambang Negara kesatuan. Karena dia dipilih oleh rakyat secara langsung dengan jumlah pemilih lebih dari 50% dan ada penyebaran yang terjadi di provinsi minimal atas kira-kira 20% di setengah lebih jumlah provinsi, maka ada penyebaran itu adalah merupakan sesuatu yang diperlukan dalam kerangka menunjukkan bahwa presiden ini adalah Presiden Republik Indonesia. Dan pada dasarnya, kalau kita mengacu pada Pasal 6A Ayat (2) itu memang presiden … pemilihan presiden itu prinsipnya hanya 1 kali putaran. Apabila memenuhi kualifikasi, lebih dari 50% dan ada penyebaran seperti yang disampaikan tadi. Prinsipnya kalau ternyata tidak memenuhi persyaratan itu, maka baru ada jalan keluar diberikan dalam Pasal 4 … Pasal 6 ayat (4) maksud saya, ya adalah untuk putaran kedua. Itu adalah sebagai escape close supaya jangan mentok, ya. Jadi harapan yang pertama tercapai tapi kalau tidak tercapai kualifikasinya 34
baru masuk pada gate kedua, putaran kedua. Jadi pada prinsipnya memang hanya satu kali putaran. Saya mohon pendalaman dari Pak Harjono maupun dari Pak Natabaya. Terima kasih. 67.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Silakan, Pak Natabaya dulu. Gantian.
68.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 50/PUU-XII/2014: NATABAYA Ini saya dari Pak Alim, ya. Soal penafsiran, apakah yang ada di dalam ketentuan Undang-Undang (suara tidak terdengar jelas) dan Kehakiman yang menyatakan bahwa Hakim tidak dapat menolak suatu perkara yang dihadapkan kepadanya, dengan alasan bahwa UndangUndang tidak mengatur, Undang-Undang tidak jelas, Undang-Undang kabur, apakah ini meniru atau sesuai dengan bahwa kalau menyelesaikan perkara di dalam agama Islam itu pertama adalah Alquran, kedua, dan seterusnya, dan kalau tidak dapat, dia akan menggunakan akalnya kan begitu. Ini tidak ada persoalan meniru soal meniru. Ini pasal ini ada yang saya sebut itu ada sejarahnya. Jadi sejarahnya ini adalah kalau di dalam ilmu hukum, pengantar ilmu hukum, ini ada di dalam sejarah mengenai di dalam aliran kodifikasi di (suara tidak terdengar jelas). Bahwa pada waktu itu kan UndangUndang itu tidak tertulis, hukum itu tidak tertulis. Nah, karena UndangUndang tidak tertulis, maka tidak ada kepastian. Seiring dengan adanya … apa namanya itu … aliran falsafah mengenai falsafah logika, maka timbulah pemikiran bahwa Undang-Undang itu harus dituliskan, sehingga timbul aliran kodifikasi. Nah, orang menganggap apa yang ada sudah di dalam kodifikasi itu, itu lengkap, itu anggapan ya. Oleh karena itu, timbulah pasal ini yang dulu itu di dalam ... di dalam Kitab UndangUndang Hukum Sipil dari Prancis diambil alih oleh Belanda masuklah di dalam abi, abi Belanda. Di dalam abi Belanda kita ambil abi kita itu ada di dalam Pasal 22 yang mengatakan, “Hakim tidak dapat menolak suatu perkara yang dihadapkan kepadanya dengan alasan kalau UndangUndang tidak mengatur, Undang-Undang tidak jelas, dan UndangUndang kabur.” Artinya, ia tidak ada pilihan lain, ia harus putuskan. Anggapan dulu, anggapan aliran kodifikasi, semua UndangUndang itu ada di dalam kodeks, ada di dalam Undang-Undang, tapi ternyata di dalam perkembangan bahwa Undang-Undang ini selalu tertinggal. Nah, selalu tertinggal, maka pasal ini berbalik menjadi pasal yang digunakan, menjadi pasal yang berguna bagi … apa namanya itu … perkembangan hukum. Nah, di situlah perlunya ada jalan interpretasi
35
dengan Hakim, bagaimana Hakim menemukan hukum, dalam hal ini perkara kita ini, dia menggunakan interpretasi. Apa pertama yang harus digunakannya oleh Hakim adalah apa yang dibacanya, itulah bacalah, iqra, pasal 6A ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). Jalan lupa ayat (2) itu menentukan bahwa presiden di ... apa namanya itu … calon presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, dan saya katakan tadi suasana situational (suara tidak terdengar jelas) mewarnai pada waktu itu penyusunan itu ke depannya partai politik dari tiga hanya ada Golkar, ada PDI, dan ada PPP, akhirnya banyak masuklah partai … apa namanya itu … segala macam partai, berubah-berubah. Nah, sehingga pemikiran pembentuk Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melihat demikian. Nah, jadi penafsiran (suara tidak terdengar jelas) apa yang dibaca lantas ditafsirkan lagi terakhir sampai ada apa interpretasi yang terakhir dengan fungsional. Menurut Sarjana Jerman, penafsiran yang apa nama itu intent itu tadi itu dipakai terakhir sekarang, sebab intent waktu yang dibikin itu berubah dengan sekarang ini. Keadaan sekarang ini kan lain, pada waktu dengan intent waktu itu, satu contoh dulu menganggap bahwa (suara tidak terdengar jelas), sekarang kok cuma ada dua pesertanya, kan tidak terpikir, Hakim harus secara (suara tidak terdengar jelas) fungsional dia tafsirkan, di sinilah the ability to interpret daripada Hakim diuji, dia harus mengadakan perbandingan dengan (suara tidak terdengar jelas). Bahwasanya intent itu diperhatikan betul tapi itu paling akhir. Baca buku (suara tidak terdengar jelas). Jadi di Mahkamah Agung Amerika dan Mahkamah Konstitusi Jerman itu intent itu terakhir apa nama itu terakhir digunakan bukan sekarang. Tapi perkembangan sekarang … sebab kita harus menyelesaikan perkara sekarang. Sekarang bagaimana ini hanya dua, jadi dari pasal 4 itu kelihatan bahwa kalau tidak terdapat katanya itu, maka pemenang pertama dan kedua telah dipilih, dijadikan, artinya ada pengandaian kalau tidak terjadi. Nah, di situlah ayat (3) itu merupakan pesertanya itu lebih dari satu. Nah, di situ hakim akan dapat menafsirkan. Nah, kira-kira itu apa namanya itu, Pak Alim, lebih dan kurang apa namanya itu. Nah ini, Pak Patrialis, masalah memperkuat sistem presidential itu tidak ada kaitannya sebetulnya bahwasanya memang presiden itu me ... apa namanya itu … mewakili seluruh menunjukkan bahwa dia harus didukung oleh menang 50%, di dukung … apa namanya … minimal 20% dari 50% … apa namanya itu … lebih, itu dikatakan lebih, lebih dari provinsi. Jadi kalau kita ambil di Indonesia ini ada 34, berarti dia harus mendapatkan suara 20% di 18 provinsi dan 50%. Apakah itu mungkin terjadi kalau hanya itu, berapa kita akan berkali-kali melakukan pemilihan umum kalau itu sulit terjadi. Nah oleh karena itu, nah sekarang kita dihadapkan kepada hanya dua, apakah itu akan ada berulang kali terus? Hari ini si A menang ini 36
tidak dipenuhi. Ini lagi menang, tidak terpenuhi dan akan menimbulkan bahaya akan menimbulkan chaos dan menimbulkan persoalan-persoalan baik apakah efisiensi tadi dikatakan, apakah persoalan politik, dan inilah kita mengharapkan kepada Mahkamah Konstitusi akan memberikan suatu putusan yang betul-betul dapat menentramkan hati masyarakat kita sebab tidak bisa dibantah hanya ada dua calon yang harus kita pilih kalau tidak dipenuhi, nah barangkali inilah … apa namanya itu … kepada Pak Patrialis, kepada Para Hakim Anggota Patrialis Akbar mengenai masalah itu tadi. Sekian, terima kasih. 69.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Terima kasih. Pak Harjono, silakan.
70.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 50/PUU-XII/2014: HARJONO Terima kasih, Pak Ketua. Ini ada banyak persoalan yang disampaikan kepada saya, menjawab persoalan Yang Mulia Hakim, Pak Alim ya. Jadi kalau ditanya secara terus terang, saya tidak ingat lagi, kenapa itu kemudian perubahan ayat (4) itu baru pada perubahan keempat, tapi memang waktu itu ada satu, saya ingat betul itu Pak Jakob Tobing ini harus kita tambah satu pasal lagi, satu ayat lagi karena kalau ayat (3) itu kemudian tidak ada, apa itu, jalan keluarnya itu sulit untuk dipenuhi, jadi inilah kemudian muncul pada ayat (4) apa yang ada pada ayat (4). Kalau dihubungkan dengan Pasal 1 memang kita ini negara yang berkedaulatan rakyat. Oleh karena itu pencerminan rakyat itu juga harus tercerminkan di dalam demokrasi, yaitu suara terbanyak, ini praktis ini masih persoalan yang prosedural berkaitan dengan demokrasi prosedural. Namun persoalannya adalah kalau yang sudah dipilih meskipun dia tidak terpilih dengan pencerminan yang suara yang sangat banyak, memang di dalam sistem presidensial itu presiden tidak hanya kepala pemerintahan tetapi kepala negara. Di dalam hal tertentu, kewenangan-kewenangan itu sudah diberikan. Sebetulnya presiden kepala pemerintahan dan kepala negara ini kan analisis-analisis kita, kalau kita kemudian memperbandingkan dengan sistem parlementer, di mana sistem parlementer itu memang tumbuh dari secara historis dan itu tumbuh di eropa karena itu adalah proses dari pemerintahan oleh kaisar oleh raja yang absolute, kemudian lama kelamaan menjadi terbagi, didistribusikan kewenangankewenangan itu. Oleh karena itu rajanya tetap ada, tapi saya kan diposisikan sebagai posisi, (suara tidak terdengar jelas) perdana menterilah yang kemudian melaksanakan itu. Itu baru nyata benar, mana kepala Negara, mana eksekutif. Dalam melaksanakan itu sistem 37
presidensial tidak ada itu. Oleh karena itu, dia presiden sekaligus kepala negara. In realitiy just one man, realitasnya adalah hanya satu ini. Kemudian itu muncul satu pikiran, yaitu presiden itu kepala negara meskipun ada ketentuan-ketentuan yang dilihat sebagai satu ketentuan ini kekuasaan presiden dan sebagai kepala Negara, tapi saya melihat bahwa pemikiran-pemikiran itu lebih merupakan pesan, lebih merupakan satu … bukan pesan saja satu garisan please, the president, you have to be as the head of the state also. Jadi kalau kamu presiden, di tangan Andalah, Anda kewajiban juga untuk berlaku sebagai kepala Negara. Itu sebagainya yang lebih penting ketimbang hanya statusstatus itu. Karena dengan pesan itu, dia maka presiden bisa memposisikan perbuatannya, pola tingkah lakunya, apa yang dilakukan, just not an executive but the head of the state. Itu ada pesan di situ itu persoalan presiden kepala negara bukan atau tidak itu. Memang presidensil ini kan satu penemuan baru pada abad 18 yang sebelumnya itu dulu seluruh bentuknya adalah parlementer kalau kita ikuti perkembangannya. Sebagai suatu penemuan baru Amerikalah yang menemukan itu. Tujuannya apa? Tujuannya dia perlu satu orang yang kuat, tetap, tapi satu orang yang kuat itu tidak kuatnya seperti raja di Eropa, tapi kuatnya mempersatukan bangsa. Oleh karena itu, sistemnya adalah sistem presidensil, dan kemudian tidak atau kemudian dihindari dari yang di Eropa, bukan karena herediter, bukan karena kewenangan, bukan karena kelahiran, tapi presiden juga dibatasi kekuasaannya oleh konstitusi. Kalau itu tidak dipegang teguh, apa sistem presidensil itu kalau kita lihat, bahwa praktik-praktik di Amerika Latin, presidensil bisa menghasilkan diktator. Sangat dekat dengan diktator. Oleh karena itu, presidensil sangat harus dijaga. Dijaganya dengan apa? Dengan kewenangan-kewenangan yang kemudian kita kenal dengan check and balances itu. Artinya, jangan sampai presiden itu kemudian karena power limited by power, dia (suara tidak terdengar jelas), dia kemudian melanggar dari kewenangannya dia untuk melanggar pada kewenangan lain. Saya kira itu esensi dari presidensil. Itulah yang … kalau kemudian pertanyaannya adalah di NKRI, memang bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang luas dan bervariasi ini, terlepas dari itu pilihan atau tidak, kemudian dipertimbangkan, saya pribadi memang lebih cocok kalau memang presidensil dengan pusatnya presiden. Karena terus terang ada satu pendapat, apalagi pada saat menilai presidensil itu ada pernyataanpernyataan yang menyatakan, “Kita itu seolah-olah presiden separuh hati.” Kenapa separuh hati? Presidensil kok partainya banyak. Saya katakan bahwa presidensil dan banyak partai tidak ada relasinya. Malah saya katakan bahwa sebuah pemerintahan bentuk apa pun juga perlu stabilitas. Perlu stabilitas. Apakah parlementer, apakah presidensil. Obat atau resep dari sebuah pemerintahan di mana 38
partainya banyak, resepnya adalah harus presidensil. Karena dengan presidensil, maka stabilitas bisa dijamin. Presiden tidak akan jatuh dengan banyak partai, apa pun yang dilakukan oleh partai itu di DPR. Tapi kalau partai banyak kemudian partainya kemudian sistemnya parlementer, maka eksekutif sangat rentan apa yang terjadi di parlemen, dan stabilitas akan terganggu. Mohon maaf, saya di sini berbeda dengan beberapa pemikir, bahwa presidensil itu menjadi presidensil separuh hati, gara-gara banyak partai. Malah pikiran saya, justru banyak partai yang realitas, resepnya harus presidensil supaya stabil. Jadi, ini yang berkaitan dengan persoalan sistem. Memang di dalam lihat sejarah itu, sejarah perubahan UndangUndang Dasar, banyak aspirasi-aspirasi yang kemudian terlontar. Aspirasi yang terlontar itu sebenarnya tujuannya satu saja, bagaimana mendekatkan presiden kepada rakyatnya, persyaratan-persyaratan dan sebagainya itu disyarati. Tapi masalahnya adalah kalau syarat itu berat, dan lagi kita juga hidup dalam situasi banyak partai, maka kemungkinan kapan bisa dipenuhi persyaratan itu? Oleh karena itu, dari 2/3 turun, turun sampai kemudian setengah itu pun juga dalam kerangka itu. Tapi apa pun juga yang dipikirkan di situ, lontaran-lontaran pikiran, tapi hasilnya adalah seperti ini. Pada saat hasil seperti ini. Mungkin bisa dilihat original intent. Tapi original intent tidak memusatkan pada satu kesepakatan, di situlah kemudian fungsi penafsiran. Kita masih punya, artinya apa … satu masih punya forum yang namanya konstitusi. Tapi itu forum saja, kita tidak bisa mengatakan, “Maksud kita dulu adalah seperti ini, harus kita anut,” tidak. Kalau itu seperti itu, maka Mahkamah Konstitusi tidak perlu. Yang perlu kita tanya pada forum konstitusi terus. Jadi, Mahkamah Konstitusi diperlukan untuk mengisi hal-hal seperti itu dalam satu sistemnya. Saya kira itu. Bahwa beda dengan apa yang di dalam sejarahnya dan kemudian produknya berupa ketentuan perundang-undangan itu wajar. Dan kewajaran itulah kemudian memerlukan suatu institusi yang namanya Mahkamah Konstitusi menafsirkan. Corwin, seorang Ahli Tata Negara Amerika mengatakan, “The American constitution life.” Hidup. Karena dihidupi oleh supreme court. Kalau tidak dihidupi oleh supreme court, itu tahun 1700 intent-nya sudah pasti berbeda dengan apa yang ada sekarang. Oleh karena itu, untuk kekinian, tantangannya adalah pada penafsir konstitusi. Kalau kita sistem kita Indonesia, itu adalah di tangan Bapak Ibu sekalian Hakim yang di mana perkara ini diadakan. Saya kira itu, Pak, jawaban saya secara umum. Terima kasih.
39
71.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik. Terima kasih kepada Bapak Profesor Natabaya dan Pak Harjono, dan juga Prof. Saldi yang ada di Andalas, atas keterangannya sebagai Ahli. Selanjutnya, tidak ada lagi sidang untuk permohonan ini, tiga permohonan ini. Dan Saudara-saudara, Para Pemohon, dan Pemerintah dapat mengajukan kesimpulan paling lambat pada hari Kamis 26 Juni 2014, langsung diserahkan kepada Kepaniteraan Mahkamah. Selanjutnya, Saudara-saudara tinggal menunggu pengucapan keputusan dari Mahkamah Konstitusi. Demikian, sidang ini selesai dan dinyatakan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 13.15 WIB
Jakarta, 23 Juni 2014 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
40