PERBEDAAN KEJADIAN ANEMIA PADA SISWI SMP PEDESAAN DANPERKOTAAN DI WILAYAH KABUPATEN MINAHASA TENGGARA Melisa Carolina Gahung, Sri Wahyuni, Heni Hirawati Pranoto* Email : Email :
[email protected] *Program Studi D IV Kebidanan STIKES Ngudi Waluyo ABSTRAK Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan yang paling serius di global. Remaja putri beresiko menderita anemia karena mengalami menstruasi setiap bulannya dan sedang dalam masa pertumbuhan. Kondisi lingkungan menjadi salah satu faktor yang akan mempengaruhi asupan zat gizi dan status gizi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kejadian anemia pada siswi SMP pedesaan dan perkotaan di Wilayah Kabupaten Minahasa Tenggara. Metode penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswi SMP di Kabupaten Minahasa Tenggara berjumlah 2922 siswi. Teknik pengambilan sampel dengan two stage cluster sampling dengan jumlah responden 108. Pengambilan data anemia dilakukan dengan pemeriksaan kadar Hemoglobin dengan Hb test digital. Analisis data menggunakan uji Chi Square dengan tingkat signifikan (α = 0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswi SMP Pedesaan lebih banyak mengalami anemia yaitu sebanyak 25 siswi (46,3%) dan siswi SMP perkotaan lebih sedikit yang mengalami anemia yaitu sebanyak 9 siswi (16,7%). Terdapat perbedaan kejadian anemia pada siswi SMP Pedesaan dan Perkotaan di Wilayah Kabupaten Minahasa Tenggara (p-value 0,002). Bagi responden, sebaiknya mengkonsumsi zat tablet tambah darah minimal 1 kali dalam seminggu untuk mengganti kadar Fe tubuh yang hilang saat menstruasi dan mengimbangi dengan konsumsi makanan bergizi (konsumsi energi, protein, vitamin C dan Fe tercukupi) dengan mengkonsumsi makanan yang beragam dalam menu sehari. Kata kunci
:
Anemia, Pedesaan, Perkotaan
1
ABSTRACT Anemia is one of the most serious health problems globally. Young women are at risk of suffering from anemia because of menstruation each month and growing period. Environmental conditions become one of the factors that will affect nutrient intake and nutritional status. This study aims to determine differences in the incidence of anemia in Junior High School female students of rural and urban districts of Southest Minahasa. Method of research used observational analytic with cross sectional approach. The population in this study was all female students of junior high school in the districts of Southeast Minahasa amounted to 2922 female students. Sampling technique used Two Stage Cluster Sampling with 108 respondents. Data collecting was done by checking hemoglobin levels using digital Hb test. Data were analysis by using Chi Square test with the significant level (α = 0,05). The results of this study indicated that female students of junior high schools in rural areas had more anemia experience as many as 25 female students (46,3%) than the junior high school female students in urban area who were anemic as many as 9 female students (16,7%). There were differences in the incidence of anemia in Junior High School female students of rural and urban districts of Southest Minahasa (p-value 0,002). The respondent should consume iron tablet at least 1 time a week to replace the body level of iron lost during menstruation and balance with nutritious food consumption (comsumption of fullfiled energy, protein, Vitamin C and Fe ) by consuming various foods in their daily menu. Keywords
: Anemia, Rural, Urban
PENDAHULUAN Anemia adalah penyebab kedua terkemuka didunia dari kecacatan dan dengan demikian salah satu masalah kesehatan masyarakat paling serius di global. Anemia merupakan masalah gizi yang umum terjadi di dunia, terutama di negara berkembang. Jumlah penderitanya sangat mencengangkan, sebanyak dua milyar penduduk dunia atau lebih dari 30% populasi penduduk dunia mengalami anemia terutama karena defisiensi zat besi. Menurut WHO pada tahun 2011 prevalensi anemia sebesar 29% (496 juta) dari wanita yang tidak hamil dan 38% (32.400.000) dari ibu hamil yang berusia 15-49 tahun yang anaemia (WHO, 2014). Menurut data hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi anemia di Indonesia yaitu 21,7%, dengan penderita anemia berumur 5-14 tahun sebesar 26,4% dan 18,4% penderita berumur 15-24 tahun (Kemenkes RI, 2013). Untuk prevalensi kejadian anemia pada remaja di Indonesia yaitu untuk prevalensi anemia sedang terdapat di pulau Maluku dan Papua (36,7%). Untuk prevalensi anemia ringan terdapat di pulau Bali dan NusaTenggara (8,9%), Kalimantan (11,9%), Jawa (8,8%), Sulawesi (11,8%), Sumatera 14,5%. Prevalensi anemia di Provinsi Sulawesi Utara adalah 8,7% pada perempuan dan 2,5 % pada anak (DepKes,
2
2008). Dan hasil penelitian Yayuk dkk ( 2013) di Minahasa Tenggara Kejadian Anemia pada Anak sebesar 44 %. Remaja putri merupakan salah satu kelompok yang beresiko menderita anemia, karena masa remaja adalah masa pertumbuhan dan kebutuhan pada remaja putri adalah 3 kali lebih besar dari pada laki - laki, sehingga harus mengkonsumsi dan megatur pola makan sehari - hari. Sehingga makanan yang dikonsumsi harus bisa mencukupi kebutuhan zat besi. Kadang makanan yang dikonsumsi cukup tetapi tidak terdapat zat besi atau zat besi kurang (Noorkasiani, 2009). Menurut Departemen Kesehatan (2008), dilaporkan bahwa masyarakat Indonesia terutama wanita sebagian besar mengalami anemia dikarenakan kurang mengkonsumsi sumber makanan hewani yang merupakan zat besi yang mudah diserap. Kekurangan zat besi ini dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan, baik sel tubuh maupun sel otak. Kekurangan kadar Hb dalam darah dapat menimbulkan gejala lesu, lemah, letih, lelah dan cepat capek. Akibatnya dapat menurunkan prestasi belajar, olahraga dan produktivitas kerja, disamping itu penderita kekurangan zat besi akan menurunkan daya tahan tubuh, yang berdampak pada tubuh mudah terkena infeksi. Pada remaja yang sedang bekerja, anemia akan menurunkan produktivitas kerja, sedangkan remaja yang masih sekolah akan menurunkan kemampuan akademis, karena tidak adanya gairah belajar dan konsentrasi. Anemia juga dapat mengganggu pertumbuhan dimana tinggi dan berat badan menjadi tidak sempurna. Selain itu, daya tahan tubuh akan menurun sehingga mudah terserang penyakit. Komplikasi dari anemia pun beraneka ragam. Mencegah anemia pada remaja putri menjadi sangat penting, karena nantinya wanita yang menderita anemia dan hamil akan menghadapi banyak resiko, yaitu abortus, melahirkan bayi dengan berat lahir rendah, mengalami penyulit lahirnya bayi karena rahim tidak mampu berkontraksi dengan baik ataupun karena tidak mampu meneran, perdarahan setelah persalinan yang sering berakibat kematian. Kondisi lingkungan tempat tinggal menjadi salah satu faktor yang akan mempengaruhi asupan zat gizi dan status gizi siswa siswi. Remaja yang kekurangan besi menimbulkan apatis, mudah tersinggung, menurunnya kemampuan untuk berkonsentrasi dan belajar. Wilayah perkotaan atau pedesaan berpengaruh melalui mekanisme yang berhubungan dengan ketersediaan sarana fasilitas kesehatan maupun ketersediaan makanan yang pada gilirannya berpengaruh pada pelayanan kesehatan dan asupan zat besi Khususnya Bagi Remaja (Almatseir, 2001). Di Minahasa Tenggara merupakan daerah yang endemis untuk penyakit Malaria seperti yang di katakan oleh Kadis Kesehatan Mitra dr.Rinny Tamuntuan (Republika, 2016). Dimana malaria menyebabkan anemia berat dan sering ditemukan pada daerah dengan penyebaran malaria yang tinggi dan sebagian besar ditemukan pada anak-anaK. Berdasarkan data di atas peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang “Perbedaan Kejadian Anemia pada siswi SMP di Pedesaan dan Perkotaan di wilayah Kabupaten Minahasa Tenggara.
3
METODE PENELITIAN Desain dalam penelitian ini bersifat observasional analitik, dengan menggunakan pendekatan cross sectional, dimana seluruh data yang menyangkut variable penelitian diukur satu kali dalam waktu yang bersamaan. Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswi SMP di Kabupaten Minahasa Tenggara yang berjumlah 2922 siswi. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah two stage cluster sampling sebanyak 108 responden. Penelitian ini dilaksanakan di dua sekolah, yaitu SMP Negeri 2 Tombatu mewakili wilayah pedesaan dan SMP Negeri 1 Ratahan mewakili wilayah perkotaanpada Bulan Agustus 2016. Instrumen penelitian menggunakan lembar kuesioner sedangkan kejadian anemia pada remaja putri diukur dengan pengukuran kadar Hb darah dengan menggunakan Hb digital. Pengambilan data dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada responden dilanjutkan dengan melakukan pengukuran kadar Hb pada responden. Setelah data diolah, kemudian peneliti melakukan analisa data dengan menggunakan statistik sederhana, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk persentase dengan menggunakan rumus distribusi frekuensi. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN Analisis Univariat Umur Tabel 1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur Pada Siswi SMP Pedesaan dan Perkotaan di Wilayah Kabupaten Minahasa Tenggara Umur 12 13 14 15 16 Total
Pedesaan n % 6 11,1 21 38,9 24 44,4 2 3,7 1 1,9 54 100,0
Perkotaan n % 9 16,7 25 46,3 13 24,1 7 13,0 0 0,0 54 100,0
Jumlah n % 15 13,9 46 42,6 37 34,3 9 8,3 1 0,9 108 100,0
Dari tabel 4.1 diketahui bahwa umur responden di wilayah pedesaan paling banyak berumur 14 tahun sejumlah 24 siswi (44,4 %) dan umur responden di wilayah perkotaan yang paling banyak berumur 13 tahun sejumlah 24 siswi ( 46,3 %).
4
Pekerjaan Orang Tua Tabel 2 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Orangtua Pada Siswi SMP Pedesaan dan Perkotaan di Wilayah Kabupaten Minahasa Tenggara Pekerjaan Orang Tua PNS Petani Sopir Wiraswata Tukang Total
Pedesaan n % 6 11,1 39 72,2 2 3,7 4 7,4 3 5,6 54 100,0
Perkotaan n % 18 33,3 11 20,4 9 16,7 12 22,2 4 7,4 54 100,0
Jumlah n % 24 22,2 50 46,3 11 10,2 16 14,8 7 6,5 108 100,0
Dari tabel 2 diketahui bahwa pekerjaan orang tua responden di wilayah pedesaan paling banyak bekerja sebagai Petani yakni sebanyak 39 (72,2 %) dan pekerjaan orang tua responden di wilayah pedesaan paling banyak bekerja sebagai PNS yakni sebanyak 18 (33,3 %). Pendidikan Terakhir Orang Tua (Ayah) Tabel 3 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir Orang Tua (Ayah) Pada Siswi SMP Pedesaan dan Perkotaan di Wilayah Kabupaten Minahasa Tenggara Pendidikan Terakhir Ayah SD SMP SMA Perguruan Tinggi Total
Pedesaan n % 6 11,1 13 24,1 33 61,1 2 3,7 54 100,0
Perkotaan n % 1 1,9 8 14,8 33 61,1 12 22,2 54 100,0
Jumlah n % 7 6,5 21 19,4 66 61,1 14 13,0 108 100,0
Dari tabel 3 diketahui bahwa pendidikan terakhir orang tua (ayah) responden di wilayah pedesaan dan perkotaan paling banyak SMA yakni sebanyak 33 (61,1%) di wilayah pedesaan dan 33 (61,1%) diwilayah perkotaan.
5
Pendidikan Orang Tua (Ibu) Tabel 4 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir Orang Tua (Ibu) Pada Siswi SMP Pedesaan dan Perkotaan di Wilayah Kabupaten Minahasa Tenggara Pendidikan Terakhir Ibu SD SMP SMA Perguruan Tinggi Jumlah
Pedesaan n % 5 9,3 12 22,2 29 53,7 8 14,8 54 100,0
Perkotaan n % 0 0 7 13 38 70,4 9 16,6 54 100,0
Total n
%
5 16 67 20 108
4,6 14,8 62,1 18,5 100,0
Dari tabel di atas diketahui bahwa pendidikan terakhir orang tua (Ibu) responden di wilayah pedesaan dan perkotaan paling banyak SMA yakni sebanyak 29 (53,7 %) di wilayah pedesaan dan 38 (70,4 %) di wilayah perkotaan. Pendapatan Orang Tua Tabel 5 Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan orangtua Pada Siswi SMP Pedesaan dan Perkotaan di Wilayah Kabupaten Minahasa Tenggara Pendapatan <1.500.000 1.500.000-3.000.000 >3.000.000 Jumlah
Pedesaan n
% 22 29 3 54
40,7 53,7 5,6 100,0
Perkotaan n 15 31 8 54
Total
%
n
%
27,8 57,4 14,8 100,0
37 60 11 108
34,3 55,6 10,2 100,0
Dari tabel 5 di atas diketahui bahwa pendapatan orang tua responden di wilayah pedesaan dan perkotaan paling banyak sekitar Rp. 1.500.000 - Rp. 3. 000.000 yakni sebanyak 29 (53,7 %) di wilayah pedesaan dan 31 (57,4 %) di wilayah perkotaan.
6
Kejadian Anemia Pedesaan dan perkotaan Tabel 6 Distribusi Berdasarkan Kejadian Anemia Pada Siswi SMP Pedesaan dab Perkotaan di Wilayah Kabupaten Minahasa Tenggara
Kejadian Anemia anemia tidak anemia Total
Pedesaan n
% 25 29 54
46,3 53,7 100,0
Perkotaan n
% 9 45 54
16,7 83,3 100,0
Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui bahwa siswi SMP Pedesaan yang mengalami anemia yaitu sejumlah 25 siswi (46,3 %) dan yang tidak anemia yaitu sejumlah 29 siswi (53,7 %) sedangkan siswi SMP Perkotaan yang mengalami anemia yaitu sejumlah 9 siswi (16,7 %) dan yang tidak anemia yaitu sejumlah 45 siswi (83,7 %). Analisis Bivariat Perbedaan Kejadian Anemia di Pedesaan dan Perkotaan. Tabel 7 Perbedaan Kejadian Anemia Pada Siswi SMP Pedesaan dan Perkotaan di Wilayah Kabupaten Minahasa Tenggara kejadian anemia Total tidak Letak Geografis Anemia Anemia f % f % f % Pedesaan 25 46,3 29 53,7 54 100,0 Perkotaan 9 16,7 49 83,3 54 100,0 Jumlah 34 31,5 74 68,5 108 100,0
P value
0,002
Berdasarkan tabel 7 dapat diketahui bahwa siswi di pedesaan yang mengalami anemia yaitu sejumlah 25 siswi (46,3 %), lebih tinggi dari pada siswi di perkotaan yaitu sejumlah 9 siswi (16,7 %) yang mengalami anemia. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji Chi Square, memperoleh nilai p (0,002) ≤ α (0,05), maka disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan kejadian anemia pada siswi SMP pedesaan dan perkotaan PEMBAHASAN Kejadian Anemia pada siswi SMP Pedesaan di Wilayah Kabupaten Minahasa Tenggara Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.6 dari 54 responden yang dilakukan penelitian, dengan melakukan pemeriksaan kadar Hemoglobin menunjukkan bahwa siswi pedesaan yang mengalami anemia sebesar 46,3 % lebih rendah
7
dibanding dengan siswi yang tidak anemia yaitu sebesar 53,7 %, walaupun presentasenya hampir sama namun kejadian anemia dipedesaan cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari karakteristik responden, dimana siswi yang mengalami anemia banyak terjadi pada umur 12 tahun sebesar 66,7 %. Berdasarkan penelitian ini lebih muda usia lebih besar presentasi kejadian anemia, karena pada umur 10 - 12 tahun remaja putri mengalami percepatan pertumbuhan untuk persiapan menstruasi sehingga zat besi yang dibutuhkan oleh tubuh masih kurang dikonsumsi. Hal ini juga berkaitan dengan pekerjaan orang tua siswi dimana siswi yang mengalami anemia banyak terjadi pada siswi yang pekerjaan orang tuanya bekerja sebagai petani yaitu sebesar 59,0%. Dimana pendapatan keluarga berkaitan dengan pekerjaan Ayah dan Ibu dikeluarga. Pendapatan orang tua siswi yang mengalami kejadian anemia banyak terjadi pada pendapatan orang tua dibawah Rp. 1.500.000. Pendapatan orangtua dalam penelitian ini yaitu jumlah uang yang didapatkan dari hasil bekerja Ibu dan Bapak. Kurangnya pendapatan keluarga menyebabkan berkurangnya pembelian makanan sehari hari sehingga mengurangi jumlah dan kualitas makanan yang berdampak pada penurunan status gizi seperti anemia yang umumnya terjadi pada perempuan. Sumber makanan yang diperlukan untuk mencegah anemia umumnya berasal dari sumber protein hewani yang lebih mahal dan sulit terjangkau oleh mereka yang berpenghasilan rendah. Pendidikan orang tua (ayah) siswi yang mengalami anemia dalam penelitian ini yang paling tinggi yaitu sebesar 61,5% pada pendidikan SMP. Dan pendidikan orang tua (Ibu) siswi yang mengalami anemia yang paling tinggi yaitu pendidikan SMP sebesar 58,3 % . Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan rendah akan lebih sulit menerima informasi kesehatan khususnya tentang gizi, sehingga tidak dapat menambah pengetahuan dan tidak mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut pendapat Notoadmodjo (2003) yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan formal diharapkan semakin tinggi pula tingkat kesehatannya, karena tingkat pendidikan kesehatan merupakan bentuk intervensi terutama terhadap faktor perilaku. Pendidikan kesehatan berupaya agar masyarakat menyadari atau mengetahui bagaimana cara memelihara kesehatan mereka, bagaimana cara menghindari atau mencegah hal - hal yang merugikan kesehatan mereka dan kesehatan orang lain, kemana seharusnya mencari pengobatan bila sakit dan sebagainya. Tingkat pendidikan keluarga terutama pendidikan Ibu mempengaruhi status kesehatan keluarga sehat secara optimal. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Djaeni Achmad (2004) yang menyatakan bahwa pendidikan ibu merupakan modal utama dalam menunjang ekonomi keluarga juga menyusun makanan dalam keluarga serta pengasuhan dan perawatan anak. Dimana hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jika penyusunan makanan tidak baik maka akan mempengaruhi terjadinya anemia. Kejadian anemia pada siswi di pedesaan masih termasuk cukup tinggi yaitu sebesar 46,3%. Hal ini dapat dikarenakan siswi SMP pedesaan masih kurang mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi dan kurang mengkonsumsi suplemen zat besi yang dibutuhkan oleh tubuh dalam proses pertumbuhan dan
8
perkembangan. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mendasar di dalam keluarga seperti pendidikan orangtua, pekerjaan orang tua, pendapatan orangtua dalam keluarga, dimana hal - hal tersebut berhubungan dalam daya beli, ketersediaan dan pemilihan makanan yang akan dikonsumsi dan juga akan mempengaruhi asupan gizi sehingga mempengaruhi kesehatan individu dalam keluarga dan masyarakat. Kejadian Anemia pada siswi SMP Perkotaan di Wilayah Kabupaten Minahasa Tenggara Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.7 dari 54 responden yang dilakukan penelitian dengan melakukan pemeriksaan kadar Hemoglobin menunjukkan bahwa siswi perkotaan yang mengalami anemia sebesar 16,7 % lebih sedikit dibanding dengan siswi yang tidak anemia sebesar 83,3 %. Hal ini dapat dikarenakan siswi SMP perkotaan sudah sebagian besar mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi maupun suplemen zat besi yang dibutuhkan oleh tubuh. Sehingga kejadian anemia lebih sedikit yang terjadi. Hasil penelitian ini dapat dilihat dari karakteristik responden, dimana siswi yang anemia lebih banyak terjadi pada umur 13 tahun yaitu sebesar 44,4% walaupun persentasenya kurang dari siswi yang tidak mengalami anemia. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada beberapa siswi yang kebutuhan zat besi yang dibutuhkan oleh tubuh belum terpenuhi dan ada beberapa faktor dari keluarga siswi yang mempengaruhi yaitu pekerjaan orang tua siswi yang anemia bekerja sebagai sopir dengan presentase sebesar 33,3 %. Pekerjaan orangtua dalam keluarga mempengaruhi pendapatan keluarga dimana Pendapatan orang tua mempengaruhi daya beli makanan dalam suatu keluarga yang akan mempengaruhi kejadian anemia. Pendapatan orangtua siswi yang mengalami anemia persentasenya terdapat pada pendapatan sebesar Rp. 1.500.000 - 3.000.000 yaitu sebesar 22,6 %. Pendidikan orang tua (Ayah) siswi yang mengalami anemia dengan persentase tertinggi pada pendidikan SMA yaitu sebesar 24,2%. Sedangkan pendidikan orang tua (Ibu) yang mengalami anemia pada pendidikan SMP sebesar 28,6%. Kejadian anemia pada siswi di perkotaan sangat sedikit ini di karenakan pekerjaan dan tingkat pendapatan orang tua siswi di wilayah perkotaan sudah sebagian besar pekerjaan orang tua Siswi bekerja sebagai PNS dan tingkat pendapatan di keluarga lebih banyak sebesar Rp. 1.500.000 - 3.000.000 berdasarkan pada tabel 4.2 dan 4.5, sehingga ketersediaan makanan dalam keluarga bisa terpenuhi dengan baik dimana dapat mempengaruhi status gizi siswi di perkotaan. Dan juga berdasarkan tabel kebanyakan pendidikan orang tua siswi diperkotaan sebagian besar sudah capai pendidikan formal sehingga akan mempengaruhi penyediaan makanan dalam keluarga untuk di konsumsi dan juga kesadaran akan kunjungan pada pelayanan kesehatan terdekat. Sehingga status gizi dan kesehatan individu dalam keluarga sangat baik. Hal ini sejalan dengan pendapat Notoadmodjo (2003) yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan formal diharapkan semakin tinggi pula
9
tingkat kesehatannya, karena tingkat pendidikan kesehatan merupakan bentuk intervensi terutama terhadap faktor perilaku. Perbedaan Kejadian Anemia Pada Siswi SMP Pedesaan dan Perkotaan di wilayah Kabupaten Minahasa Tenggara Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.8 dari 108 responden yang terdiri dari 54 siswi dari wilayah pedesaan dan 54 siswi dari wilayah perkotaan yang dilakukan penelitian pemeriksaan kadar Hemoglobin, menunjukan bahwa siswi yang mengalami anemia di pedesaan lebih tinggi (46,3 %) dari siswi yang mengalami anemia di perkotaan (16,7%). Berdasarkan hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kejadian anemia pada siswi SMP pedesaan dan perkotaan di Wilayah Kabupaten Minahasa Tenggara karena dipengaruhi oleh faktor yang mendasar seperti pendidikan orang tua, pendapatan orang tua, pekerjaan orang tua. Hal ini dikarenakan siswi yang dengan pendapatan orang tua yang mengalami anemia di pedesaan dan di perkotaan berbeda, dimana siswi pedesaan yang mengalami anemia banyak terjadi pada pendapatan orang tua dibawah Rp 1.500.000 sejumlah 15 siswi (60%) sedangkan siswi perkotaan yang mengalami anemia terjadi pada pendapatan orang tua sekitar Rp 1.500.000 - 3.000.000 sejumlah 7 siswi (77,7%), karena pendapatan merupakan hasil dari pekerjaan, dimana pada tabel 4.2 menujukan bahwa pekerjaan orang tua siswi pedesaan paling banyak bekerja sebagai petani sebesar 39 siswi (72,2%) sedangkan pekerjaan orang tua siswi di perkotaan paling banyak bekerja sebagai PNS sebesar 18 siswi (33,3%). Sehingga, tingkat pendapatan orang tua mempengaruhi kejadian anemia pada siswi SMP pedesaan dan perkotaan di wilayah kabupaten minahasa tenggara Pekerjaan orangtua siswi di pedesaan dan perkotaan yang mengalami anemia banyak terjadi pada orang tua yang bekerja sebagai petani sejumlah 23 siswi (59,0%) di wilayah pedesaan dan di wilayah perkotaan siswi yang mengalami anemia banyak terjadi pada pekerjaan orang tua sebagai sopir sejumlah 3 siswi (33,3 %). Status pekerjaan orang tua mempunyai andil yang cukup besar dalam masalah gizi. Pekerjaan orang tua erat kaitannya dengan penghasilan keluarga yang mempengaruhi daya beli keluarga. Keluarga dengan pendapatan terbatas, besar kemungkinan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya baik kualitas maupun kuantitas. Orang tua dengan mata pencaharian yang relatif tetap jumlahnya setidaknya dapat memberikan jaminan sosial yang relatif lebih aman kepada keluarga dibandingkan dengan ayah dengan pekerjaan yang tidak tetap. Hal ini berpengruh terhadap status kesehatan setiap individu dalam keluarga termasuk kebutuhan akan makanan yang mengandung zat besi agar terhindar dari anemia. Pada umumnya penduduk Indonesia sebagian besar bekerja sebagai petani, masih mengandalkan sebagian besar konsumsi makanannya pada makanan pokok seperti beras, jagung, umbi - umbian dan sagu ( Almatseir, 2001). Oleh karena itu makanan yang beraneka ragam itu mempunyai peran yang penting karena tidak ada satu jenis makanan yang dapat menyediakan gizi bagi seseorang secara
10
lengkap. Konsumsi makanan yang beraneka ragam akan menghindari terjadinya kekurangan gizi, karena susunan zat gizi pada makanan saling melengkapi antara satu jenis makanan dengan jenis makanan lainnya sehingga diperoleh gizi seimbang. Pendidikan orang tua dalam penelitian ini yaitu pendidikan yang di tempuh ibu dan bapak di keluarga responden. Siswi yang mengalami anemia banyak terjadi pada pendidikan terakhir orang tua (Bapak) di wilayah pedesaan yaitu SMA, sejumlah 13 siswi (52 %) dan semua siswi perkotaan yang mengalami anemia terjadi pada pendidikan terakhir orang tua (Bapak) yaitu SMP sejumlah 9 siswi (100 %). Sedangkan siswi pedesaan yang mengalami anemia banyak terjadi pada pendidikan terakhir orang tua (Ibu) yaitu SMA, sejumlah 12 siswi (48%) sedangkan di wilayah perkotaan sejumlah 5 siswi (55,5%) . Tingkat pendidikan turut menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi dan kesehatan. Selain itu pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor penting dalam tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik maka orang tua dapat menerima segala informasi tentang cara pengasuhan anak yang baik, cara menjaga kesehatan anak dan pendidikannya (Lutfiana dan Budiono , 2010). Remaja putri merupakan salah satu kelompok yang beresiko menderita anemia, karena masa remaja adalah masa pertumbuhan dan kebutuhan zat besi pada remaja putri adalah 3x lebih besar dari pada laki - laki ( Noorkasiani, 2009). Dampak buruk apabila terjadi anemia dapat menyebabkan konsentrasi belajar menurun sehingga prestasi akademis menjadi turun. Apabila perempuan yang berencana untuk hamil harus lebih berhati - hati karena anemia sering terjadi saat kehamilan. Tubuh sering lemas dan kelelahan sehingga aktifitas sehari - hari akan terganggu. Oleh sebab itu agar tidak terjadi anemia dan terhindar dari anemia harus mencegah dengan makan teratur yaitu dengan mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi tinggi, sayuran hijau dan buah - buahan serta menambah dengan suplemen zat besi (Ronald, 2004). Perbedaan kejadian anemia pada penelitian ini juga dipengaruhi oleh kebiasaan penduduk di pedesaan, dimana makanan yang mengandung zat besi yang tinggi jarang dikonsumsi. Makanan hewani yang kaya akan zat besi seperti daging biasanya dikonsumsi pada saat diadakan suatu kegiatan yang mewah seperti acara pernikahan dan acara - acara lainnya. Makanan yang sering dikonsumsi atau yang sering tersedia sehari-hari dalam keluarga kebanyakan seperti tahu, tempe, ikan, sayur - sayuran. Jenis makanan tersebut harus harus berbarengan dengan vitamin C untuk proses penyerapan zat besi. Sedangkan masyarakat di perkotaan kebanyakan mengkonsusmi menu sehari - hari seperti daging, buah - buahan yang beraneka ragam dimana makanan tersebut merupakan makanan yang mengandung zat besi paling banyak yg dibutuhkan oleh tubuh. Dan makanan seperti ini mudah didapatkan atau banyak tempat - tempat yang menjualnya. Hal ini juga disebabkan oleh pekerjaan orang tua siswi pedesaan sebagian besar bekerja sebagai petani. Dimana penghasilan tiap bulan tidak tetap sehingga mempengaruhi daya beli dalam keluarga. Sedangkan di perkotaan berdasarkan hasil penelitian sebagian besar siswi SMP perkotaan di SMP Negeri 1 Ratahan
11
pekerjaan orang tua sebagai PNS yaitu sebagai guru dimana tingkat pendidikan yang tinggi memperoleh pengetahuan tentang gizi dan mempengaruhi pendapatan dalam keluarga yang lebih baik dan berhubungan dengan daya beli, ketersediaan, jumlah dan kualitas makanan dalam keluarga. Dimana sumber makanan hewani bisa dikonsumsi sehari - hari dan juga siswi sesui dengan pendapatan keluarga. Dan hal ini juga disebabkan oleh bahan makanan yang dikonsumsi, di mana masyarakat di sana kebanyakan daging yang sering dikonsumsi yaitu daging babi. Mengkonsumsi daging babi bisa menyebabkan terjadinya anemia karena terinfeksi oleh cacing pita yang terkandung dalam daging babi tersebut. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Permaesih dan Herman (2005) Yang berjudul faktor - faktor yang mempengaruhi anemia pada remaja berdasarkan data SKRT Tahun 2001, bahwa terdapat perbedaan kejadian anemia pada remaja di pedesaan dan perkotaan dimana wilayah akan mempengaruhi ketersediaan dalam pemilihan bahan makanan yang akan dikonsumsi. KESIMPULAN 1. Kejadian Anemia pada siswi pedesaan di SMP Negeri 2 Tombatu sebesar 25 siswi (46,3%) dan yang tidak mengalami anemia sebesar 29 siswi (53,7%). 2. Kejadian anemia pada siswi perkotaan di SMP Negeri 1 Ratahan sebesar 9 siswi (16,7%) dan yang tidak mengalami anemia sebesar 45 siswi (83,3%). 3. Ada perbedaan kejadian anemia pada siswi SMP pedesaan dan perkotaan di wilayah Kabupaten Minahasa Tenggara, (p= 0,002).
DAFTAR PUSTAKA Afrianti, 2012. Perbandingan Status Gizi Pada Remaja Perempuan Obesitas dengan Gizi Normal. Bandung Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Badan Pusat Statistik. 2014. Minahasa Tenggara dalam Angka / In Figure. Bakta I M. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta : EGC Badan Pusat Statistik. 2010. Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 37 Tahun 2010 Tentang Klasifikasi perkotaan dan pedesaan di Indonesia. Depkes RI, 2008, Remaja Dan Anemia. Jakarta : UNICEF Departeman Gizi dan kesehatan Masyarakat. 2007.Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : PT Raja Grafindo Parkasa Djaeni Achmad, S. 2004. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi. Edisi kelima. Jakarta : Dian Rakyat. Efendi, Ferry & Makhfud. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika Hidayat, Aziz A A .2014. Metode Penelitian Kebidanan danTeknik Analisis data : Contoh Aplikasi Studi Kasus. Jakarta : Salemba Medika. Kemenkes RI. 2014. Situasi Kesehatan Reproduksi Remaja. Jakarta : Pusat Data dan Informasi. Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Kemenkes RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 41
12
tahun 2014 tentang : Pedoman Gizi Seimbang. Kusmiran, E. 2011, Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Jakarta : Salemba Medika. Lutfiana, Evi dan Budiono, Irwan. 2010. Prevalensi Dan Determinan Kejadian Gizi Kurang Pada Balita,Universitas Negeri Semarang, Jurnal Kesehatan Masyarakat 5 (2) (2010) 138 – 144. Noorkasiani dkk. 2009. Sosiologi Keperawatan. Jakarta : EGC Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Permaesih, Dewi dan Herman, Susilowati. 2005. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Anemia pada Remaja ( Studi Morbiditas SKRT 2001). Jurnal Gizi dan Makanan, Badan Litbangkes. Vol. 33 No. 4 162 - 171. Poltekes Depkes Jakarta I. 2010. Kesehatan Remaja Problem dan Solusinya. Jakarta: Salemba Medika. Republika, 2016. Minahasa Tenggara Operasikan Pusat Pelayanan Penyakit Malaria. Mitra Riyadi, Hadi dan Dadang, Sukandar. 2009. Asupan Gizi Anak Balita Peserta Posyandu ,IPB, Jurnal Gizi dan Pangan. Ronald A, Saacher. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta: EGC. Supariasa. 2012. Pendidikan Dan Konsultasi Gizi. Jakarta : EGC Setyawati dan Setyowati. 2015. Jurnal Kesehatan Masyarakat : Karakter Gizi Remaja Putri Urban dan Rural di Provinsi Jawa Tengah. Semarang Supranto J. 2007. Teknik Sampling : untuk Survey dab Eksperimen. Jakarta : Rineka Cipta. Wawan, K dan Dewi, M. 2010. Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia. Yogyakarta : Nuha Medika Yayuk .2013. Hubungan Kejadian Malaria Dengan Kejadian Anemia Pada Anak SD Di kabupaten Bolaang Mongondow Utara. Manado
13