Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Perbandingan Indeks Sedimen Tersuspensi untuk Identifikasi Total Suspended Solids (TSS) di Muara Sungai Opak Yogyakarta Comparison of Suspended Sediment Indices for Identifying Total Suspended Solids in Opak Estuary Waters Yogyakarta Marindah Yulia Iswari1*) 1
Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia *)
Email:
[email protected]
ABSTRAK- Total suspended solids (TSS) merupakan salah satu parameter kualitas air yang dapat diidentifikasi dengan penginderaan jauh. Berbagai persamaan dan indeks telah dikembangkan oleh penelitian sebelumnya diikuti dengan berbagai macam jenis citra penginderaan jauh. Persamaan empiris untuk mengestimasi TSS bersifat sementara karena kondisi berbagai lokasi penelitian tidak selalu sama. Indeks sedimen tersuspensi lebih fleksibel dibandingkan persamaan karena indeks yang dihasilkan berupa nilai yang mempunyai rentang tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan indeks sedimen tersuspensi dengan band math equation dalam mengidentifikasi TSS di perairan muara Sungai Opak. Indeks sediment tersuspensi yang digunakan untuk penelitian ini meliputi NDSSI (Normalize Difference Suspended Sediment Index), NSMI (Normalized Suspended Material Index) dan band ratio. NDSSI dan NSMI mempunyai rentang -1 sampai 1 dengan nilai yang lebih tinggi mengindikasikan bahwa kondisi perairan semakin jernih. Rentang yang digunakan untuk band ratio berkebalikan dengan NDSSI dan NSMI yaitu 0 sampai tak terhingga. Nilai 0 pada band ratio mengindikasikan perairan jernih dengan nilai yang semakin tinggi menunjukkan kondisi perairan lebih keruh. Semua standar deviasi pada ketiga indeks menunjukkan standar deviasi yang tinggi. Hasil standar deviasi paling kecil ditunjukkan oleh model yang dibentuk dari NSMI. Kata kunci:TSS, indeks sedimen tersuspensi, muara Sungai Opak, Landsat 8 OLI ABSTRACT- Total suspended solids (TSS) is one of the water quality parameters that can be identified by remote sensing. Various equations and index has been developed by previous research, followed by various types of remote sensing imagery. Empirical equations to estimate the TSS is temporary because of the condition of various research locations are not always the same. Suspended sediment index is more flexible than the equation because index is a value which has a certain range. This study aimed to compare the suspended sediment index (band math equation) in identifying TSS in Opak Estuary waters. Suspended sediment index that is used for this study include NDSSI (Normalize Difference Suspended Sediment Index), NSMI (Normalized Suspended Material Index) and the band ratio. NDSSI and NSMI has a range of -1 to 1 with higher values indicating that more clear water. The range used for the band ratio contrasts with NDSSI and NSMI is 0 to infinity. A value of 0 in the band ratio indicates clear waters with higher value indicates a more turbid water. All the standard deviation on all three indices showed a high standard deviation. The results of this study showed that NSMI equation has smallest standard deviation. Keywords: TSS, Suspended Sediment Index, Opak Estuary, Landsat 8 OLI
1.
PENDAHULUAN
Salah satu parameter kualitas perairan yang dapat diperoleh dari penginderaan jauh adalah total suspended solids (TSS). TSS adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1μm) yang tertahan pada saringan milipore dengan diameter pori 0,45 μm (Effendi, 2003). TSS pada sungai dapat diperoleh dari materialmaterial yang tererosi dan terangkut oleh aliran sungai. Material yang terbawa dari hulu sungai sampai hilir beberapa di antaranya ada yang mengendap dan ada yang tetap terbawa sampai muara sungai. Muara sungai merupakan satuan geomorfologi tempat pertemuan antara kumpulan aliran massa air dari daratan dengan massa air laut atau lautan, atau kadang-kadang juga dengan massa tubuh perairan daratan yang luas, semisal danau atau laguna (Ongkosongo, 2010). Definisi ini menunjukkan bahwa muara sungai mempunyai kedinamisan tinggi dikarenakan merupakan jalan pertemuan antara dua lokasi yang berbeda. Muara sungai sebagai mulut akhir aliran sungai mempunyai konsentrasi TSS yang dinamis. Sebagai daerah kajian, muara Sungai Opak yang terletak di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai hulu di Gunung Merapi dan hilir di Laut Selatan Jawa. Sungai ini merupakan salah satu sungai dengan sifat perennial walaupun di musim kemarau. Kecepatan gelombang pada permukaan perairan di muara Sungai Opak mempunyai rata-rata 20 m/s (Widayanti, 2013). Kondisi di mulut sungai yang berbatasan dengan laut mempunyai kecepatan
-147-
Perbandingan Indeks Sedimen Tersuspensi untuk Identifikasi Total Suspended Solids (TSS) di Muara Sungai Opak Yogyakarta (Iswari, M.Y.)
gelombang yang lebih tinggi yaitu 22,31 m/s. Dinamika pesisir dan laut mempunyai pengaruh yang cukup besar pada kondisi di mulut sungai. Selama beberapa dekade, penginderaan jauh telah mengembangkan dan meningkatkan studinya dalam bidang kualitas air, termasuk di dalamnya proses upgrade sensor/ instrumen dan pengembangan algoritma dalam pemrosesan citra (Reif, 2011). Beberapa penelitian sebelumnya telah mengkaji algoritma-algoritma untuk mencari nilai TSS dari penginderaan jauh. Penelitian Parwati et al. (2008) membandingkan beberapa algoritma untuk mengestimasi TSS di pesisir Berau dengan hasil algoritma yang paling representatif adalah algoritma yang dibangun oleh Budhiman (2004). Beberapa penelitian menggunakan persamaan empiris dalam membuat estimasi TSS dari penginderaan jauh. Penelitian Iswari (2014) membandingkan tiga persamaan empiris yang dibangun oleh Alashloo et al. (2013), Bhatti et al. (2011) dan Hendrawan dan Asai (2008). Perbandingan ketiga persamaan empiris tersebut diaplikasikan di muara Sungai Opak dengan citra ALOS AVNIR-2. Hasil dari perbandingan tiga persamaan kurang sesuai untuk digunakan di perairan muara Sungai Opak. Persamaan empiris yang dihasilkan dari suatu daerah penelitian belum tentu dapat diaplikasikan pada daerah yang berbeda. Kondisi perairan yang mempunyai kedinamisan tinggi mempunyai efek terhadap hasil estimasi dari suatu persamaan empiris yang dibangun pada daerah lain. Pengembangan analisis spektral terhadap TSS dikembangkan pula seiring dengan penelitian empiris mengenai TSS. Beberapa peneliti membangun indeks sedimen tersuspensi berdasarkan karakteristik pantulan spektral TSS.
Gambar 1. Kurva pantulan spektral total solids (mg/l) Sumber (Farooq, S. 2011)
Penelitian mengenai indeks sedimen tersuspensi pernah dilakukan oleh Doxaran et al. (2002) dengan mengkaji penggunaan band ratio untuk mengekstraksi material tersuspensi di Gironde, Perancis. Hossain et al., (2006) membangun sebuah indeks sedimen tersuspensi yang hampir mirip dengan konsep NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) yaitu NDSSI (Normalize Difference Suspended Sediment Index). Indeks sedimen tersuspensi ini berupa band math equation dengan hasil merupakan nilai indeks yang tidak memiliki satuan. Indeks lain yang pernah digunakan untuk melihat sedimen pada perairan adalah NSMI (Normalized Suspended Material Index) dan band ratio. Band ratio pernah digunakan oleh Aber (2011) dengan membandingkan saluran hijau dan saluran biru. Montalvo (2010) membandingkan ketiga indeks ini dengan lokasi di daerah pesisir Cabo Rojo, barat daya dari Puerto Rico. Indeks yang paling akurat untuk mengindentifikasi suspensi perairan di Cabo Rojo adalah NSMI. Indeks NDSSI, NSMI dan band ratio akan diujikan di pesisir selatan Jawa yaitu muara Sungai Opak. Pengujian ini bertujuan untuk membaningkan indeks sedimen tersuspensi yang diterapkan di daerah kajian yang berupa area pertemuan darat dan laut. Indeks yang paling baik dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya mengingat penelitian mengenai indeks sedimen tersuspensi ini belum banyak digunakan di Indonesia.
2.
METODE
Pengambilan sampel dilakukan pada 9 Oktober 2013 di muara Sungai Opak. Muara Sungai Opak terletak di selatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Sampel diambil dengan alat pengambilan sampel air water sampler tipe HYDRO-BIOS Standard Water Sample.
-148-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Pengambilan sampel menggunakan metode probability sampling. Sampel hasil pengambilan air di lokasi penelitian ditempatkan di botol dan diujikan di laboratorium. Pengujian untuk mendapatkan konsentrasi TSS pada sampel menggunakan metode gravimetri sesuai dengan SNI 06-6989.3-2004 (Badan Standarisasi Nasional, 2004). Sampel yang diambil berjumlah 30 sampel dan digunakan untuk pembuatan model serta akurasi.
Gambar 2. Lokasi penelitian di muara Sungai Opak Yogyakarta Sumber (Google Earth)
Daerah kajian merupakan wilayah perairan di muara sehingga diperlukan batasan kajian untuk memfokuskan pengamatan. Masking daratan merupakan salah satu cara untuk menghilangkan daratan sehingga pengamatan hanya tertuju pada wilayah perairannya. Pengolahan citra dilakukan dengan software ENVI 5.0 dan ArcGIS 10.1. Citra yang digunakan adalah citra Landsat 8 OLI perekaman 14 Oktober 2013 dengan level 1T. Citra ini mempunyai resolusi spasial 30m yang menunjukkan dalam satu piksel citra mewakili 30mx30m di lapangan. Tahapan awal sebelum proses pengolahan citra adalah koreksi citra. Koreksi yang digunakan yaitu koreksi radiometrik untuk mendapatkan nilai pantulan obyek pada permukaan bumi. Koreksi radiometrik dilakukan dengan rumus yang telah dicantumkan pada Landsat 8 Handbook (rumus 1 dan 2). Lλ = M Q Lλ ML Qcal AL
(1)
: nilai spektral dari TOA radiance (watts/( m2*srad *μm) : Nilai radiance multiplicative saluran tertentu : Nilai digital number saluran tertentu : Nilai radiance additive saluran tertentu
ρλ′ = MρQ ρλ' Mρ Qcal Aρ
+A
+ Aρ
(2)
: Nilai spektral dari TOA reflectance tanpa koreksi sudut matahari : Nilai reflectance multiplicative saluran tertentu : Nilai digital number saluran tertentu : Nilai reflectance additive saluran tertentu
Indeks sedimen tersuspensi yang digunakan antara lain NDSSI (Normalize Difference Suspended Sediment Index) yang dikembangkan oleh Hossain et al. (2006) (rumus 3). Indeks ini menghasilkan rentang nilai -1 sampai 1 dimana nilai yang lebih tinggi menggambarkan air yang lebih jernih sedangkan nilai yang kecil menggambarkan kekeruhan air ataupun daratan. NDSSI ∶
(3)
Indeks lainnya dikembangkan oleh Fiuza Borges et al. (2011) yaitu NSMI (Normalized Suspended Material Index) . Indeks ini menggunakan saluran biru, saluran hijau dan saluran merah (rumus 4). Indeks ini mempunyai rentang yang sama dengan NDSSI yaitu -1 sampai +1 dengan air jernih mempunyai indeks yang lebih tinggi.
-149-
Perbandingan Indeks Sedimen Tersuspensi untuk Identifikasi Total Suspended Solids (TSS) di Muara Sungai Opak Yogyakarta (Iswari, M.Y.)
(4)
NSMI ∶
Indeks pembanding terakhir merupakan indeks yang dibangun oleh Aber (2011) dengan membuat perbandingan antara dua saluran yaitu saluran hijau dan saluran biru (rumus 5). Band ratio ini mempunyai nilai dari 0-tidak terhingga dengan nilai lebih tinggi mengindikasikan bahwa kondisi perairan lebih banyak mengandung sedimen tersuspensi. (5)
Band ratio ∶
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Indeks sedimentasi tersuspensi merupakan perbandingan saluran dari data penginderaan jauh. Konsep indeks sedimentasi tersuspensi adalah memainkan saluran yang peka terhadap sedimen tersuspensi dan saluran yang kurang peka terhadap sedimen tersuspensi. Air jernih mempunyai pantulan yang tinggi di saluran biru (0,45-0,495 µm) dan akan habis diserap di saluran inframerah dekat (0,75-2,5 µm). Perairan yang mempunyai kandungan sedimen tersuspensi akan mempunyai material yang memantulkan gelombang yang diberikan oleh sensor pada satelit penginderaan jauh. Pantulan ini akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya panjang gelombang. Pantulan sedimen tersuspensi akan mencapai puncaknya pada panjang gelombang 0,6-0,7 µm dan semakin menurun sampai 1,1 µm (gambar 1). Pengolahan citra Landsat 8 OLI untuk perolehan informasi indeks sedimen tersuspensi dilakukan dengan tiga model indeks sedimen tersuspensi (tabel 1). Jumlah sampel yang digunakan untuk mengetahui nilai indeks sedimen tersuspensi dan pembuatan model sejumlah 17 buah. Sejumlah 3 sampel berada pada area masking daratan sehingga nilainya 0 dan diabaikan. Tabel 1.Hasil indeks sedimen tersuspensi pada citra Landsat 8 OLI No.Sampel NDSSI NSMI Band analisis indeks ratio 1 0,27873 0,20023 0,80877 2 0,18978 0,23479 0,85041 3 0,47344 0,14655 0,77403 4 0,34389 0,17752 0,79466 5 0,12126 0,25543 0,86338 6 0,36684 0,17934 0,79544 7 0,31814 0,19511 0,81674 8 0,44421 0,15003 0,77856 9 0,1539 0,22104 0,80773 10 0,42777 0,17848 0,80986 11 0,07106 0,18208 0,84202 12 0,0928 0,18782 0,80846 13 0,17708 0,22975 0,87857 14 0,2048 0,23897 0,86261 Rata-rata 0,26169 0,19837 0,8208
Indeks NDSSI menunjukkan bahwa rata-rata indeks pada sampel yang telah diuji mempunyai kisaran 0,26169. Rentang NDSSI yang digunakan adalah -1 sampai 1 dengan nilai yang lebih besar menunjukkan bahwa perairan yang diamati lebih jernih. Indeks di NDSSI dipengaruhi oleh pantulan saluran biru dan saluran inframerah dekat. Saluran biru merupakan wilayah di mana air jernih mempunyai pantulan tinggi sedangkan pada saluran inframerah dekat pantulan sedimen tersuspensi semakin tinggi. Nilai 0,26169 menunjukkan bahwa nilai pantulan di saluran biru masih cukup tinggi dibandingkan dengan pantulan di inframerah dekat. Kondisi ini ditandai dengan nilai indeks NDSSI yang bernilai positif sehingga dalam kondisi ini perairan yang diamati tidak terlalu keruh. Indeks NSMI menunjukkan hal yang hampir serupa dengan nilai indeks rata-rata 0,19837. Nilai ini masih digolongkan pada kondisi normal dengan kekeruhan yang relatif kecil. Pengolahan dengan indeks band ratio menunjukkan rata-rata indeks sedimen tersuspensi
-150-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
mempunyai kisaran 0,8208. Indeks band ratio menunjukkan nilai 0 merupakan indikasi perairan jernih dan semakin besar nilai indeks mengindikasikan perairan semakin keruh. Band ratio membandingkan pantulan di saluran hijau dan saluran biru. Semakin besar nilai di saluran biru menghasilkan indeks band ratio yang rendah. Kondisi ini disebabkan oleh pantulan air di saluran biru lebih tinggi sehingga jika indeks band ratio rendah maka kemungkinan perairan tersebut masih dikategorikan jernih.
Gambar 3. Kondisi perairan pada saat pengambilan sampel Sumber : Iswari, 2014
50 40
Sampel
30 20 10
R² = 0,1613
0 0
0,2
0,4
TSS Lapangan (mg/l)
60
60 50 40
Sampel
30 20 10
R² = 0,3054
0 0
0,6
0,1
0,2 NSMI
NDSSI TSS Lapangan (mg/l)
TSS Lapangan (mg/l)
Hasil nilai indeks sedimen tersuspensi yang diujikan pada citra Landsat 8 OLI semuanya menunjukkan kondisi perairan di muara Sungai Opak memiliki partikel dalam perairannya. Kondisi ini sesuai dengan di lapangan karena pada saat pengambilan sampel perairan dalam kondisi jernih namun penetrasi cahaya matahari tidak bisa menembus dasar perairan (gambar 3). Partikel yang melayang dalam perairan berupa partikel halus sehingga perairan masih bisa ditembus cahaya.
60 50 40 Sampel
30 20 R² = 0,1164
10 0 0,75
0,8 0,85 Band ratio
0,9
Gambar 4. Grafik perbandingan R2 antara NDSSI, NSMI dan Band Ratio
-151-
0,3
Perbandingan Indeks Sedimen Tersuspensi untuk Identifikasi Total Suspended Solids (TSS) di Muara Sungai Opak Yogyakarta (Iswari, M.Y.)
Perbandingan ketiga indeks sedimen tersuspensi menunjukkan bahwa tidak ada hubungan linear antara data lapangan dan nilai indeks. Nilai R2 pada ketiga model yang dibuat dari indeks dan data lapangan menunjukkan angka dibawah 0,5 (gambar 4). Nilai R2 pada pemodelan dengan band ratio mempunyai nilai paling kecil dibandingkan dua indeks lainnya yaitu 0,116. Nilai R 2 tertinggi ditunjukkan oleh pemodelan NSMI dengan nilai 0,305. Band ratio menggunakan langsung perbandingan antara dua saluran sedangkan NSMI menggunakan perbandingan matematis antara saluran tampak. Jumlah saluran yang digunakan untuk NSMI lebih kompleks dengan disertai perhitungan matematis. Saluran hijau dan saluran merah pada NSMI mewakili pantulan tinggi untuk sedimen tersuspensi sedangkan saluran biru mewakili pantulan tinggi untuk air jernih. Konsep inilah yang membuat kecenderungan nilai R2 pada model yang dibuat paling tinggi. Tabel 2.Perbandingan hasil estimasi dengan citra Landsat 8 OLI dan hasil lapangan No Estimasi Estimasi Estimasi TSS Sampel dengan dengan dengan Lapangan estimasi NDSSI NSMI band ratio (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l) 1 23,463 20,851 21,123 5,40 2 21,104 22,491 23,968 72,80 3 21,676 22,356 24,825 25,30 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Std
21,113
22,720
24,110
5,90
21,375 22,342
22,085 21,807
21,989 22,652
24,20 37,40
20,746 20,906 20,835 28,984 20,563 22,083 27,343 16,797
22,954 22,758 22,678 19,353 22,749 22,239 20,852 16,722
25,295 23,462 21,562 6,526 23,329 20,298 11,040 17,191
71,10 18,10 5,70 7,80 5,90 26,40 0,70
Ketiga pemodelan diujikan untuk memperoleh estimasi konsentrasi TSS dari data penginderaan jauh. Hasil estimasi menunjukkan bahwa ketiga indeks yang digunakan menghasilkan konsentrasi nilai TSS yang lebih seragam dibandingkan dengan TSS yang dihasilkan dari data lapangan (tabel 2). Standar deviasi yang diperoleh untuk ketiga persamaan mempunyai nilai di atas 10. Standar deviasi menyatakan bagaimana sebaran data dalam sampel. Semakin besar standar deviasi maka perbedaan sampel terhadap rata-rata semakin besar. Hasil pemodelan dari tiga indeks menunjukkan bahwa estimasi dengan NSMI mempunyai nilai paling kecil meskipun selisihnya tidak terlalu besar dengan lainnya yaitu 16,722. Standar deviasi terbesar ditunjukkan oleh estimasi dengan band ratio. Hasil ini berbanding lurus dengan nilai R2 yang dihasilkan dari pemodelan yang dibuat. Pemodelan dengan band ratio menunjukkan bahwa nilai R2 paling kecil dan menghasilkan nilai standar deviasi yang paling besar. Hasil persebaran estimasi TSS dengan model NSMI menunjukkan konsentrasi yang cukup besar pada mulut sungai (gambar 5). Mulut sungai merupakan jalan akhir aliran Sungai Opak menuju ke Samudra Hindia. Kondisi di mulut sungai lebih dinamis dibandingkan di tempat lain karena mendapat pengaruh dari darat dan laut sekaligus.
-152-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 5. Sebaran estimasi TSS dengan indeks NSMI
Penelitian perairan dengan penginderaan jauh yang ideal adalah dengan melakukan pengambilan sampel dan pemilihan citra dengan kondisi waktu yang sama. Dalam penelitian ini pengambilan sampel dilakukan pada tanggal 9 Oktober 2013 sedangkan citra Landsat 8 OLI yang digunakan mempunyai perekaman 14 Oktober 2013. Citra yang dipilih merupakan citra dengan tanggal perekaman yang paling dekat dengan pengambilan sampel. Kondisi ini memungkinkan adanya perbedaan pantulan dari perekaman dengan kondisi sebenarnya sehingga menyebabkan nilai standar deviasi yang dihasilkan tinggi.
4.
KESIMPULAN
Ketiga indeks yang dibandingkan semuanya mempunyai nilai standar deviasi yang tinggi. Standar deviasi yang paling rendah ditunjukkan oleh NSMI dengan diimbangi nilai R2 pada pemodelan non linear yang paling tinggi. Indeks NSMI menggunakan 3 saluran tampak dengan membandingakn perhitungan matematis saluran-saluran tersebut. Saluran biru mewakili pantulan tinggi untuk perairan jernih. Saluran hijau dan saluran merah mewakili penyerapan air jernih yang sebaliknya menunjukkan pantulan tinggi untuk sedimen tersuspesi.
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini baik secara langsung ataupun tidak langsung dibantu oleh beberapa pihak. Terimakasih kepada keluarga Sutrisna yang sudah berkenan membantu selama pengambilan sampel berlangsung. Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada Prof.Dr.Ir.Gadis Sri Haryani DEA yang berkenan memberikan bimbingan terhadap penulisan ini dan Mouli DRD yang memberikan kritik dan masukan.
DAFTAR PUSTAKA Aber, J.S., (2013). Landsat Image Processing. Emporia State University [Online]. Available: http://academic.emporia.edu/aberjame/remote/landsat/landsat_proc.htm Alashloo, Moussavi, M., Hwee-San L.,Robabeh, A., dan Sahabeh S., (2013). Total Suspended Sediments Mapping by Using ALOS Imagery Over The Coastal Waters of Langkawi Island Malaysia. Journal of The Indian Society of Remote Sensing. Badan Standarisasi Nasional. Air dan air limbah- Bagian 3: Cara uji padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid, TSS) secara gravimetri). SNI 06-6989.3-2004. 2004 Bhatti, Asif, M., Seigo, N., dan Masataka, T., (2011). Multispectral Remotely Sensed Models for Monitoring Suspended Sediment: A Case Study of Indus River Pakistan. International Journal of Water Resources and Arid Environment, 1(6):417-427 Budhiman, S., (2004). Mapping TSM Concentrations from Multisensor Satellite Images in Turbid Tropical Coastal Waters of Mahakam Delta-Indonesia. Thesis. International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation, Netherlands. Department of the Interior, U.S. Geological Survey. (2015). Landsat 8 (L8) Data Users Handbook Version 1.0, United States Geological Survey [Online]. Available : https://landsat.usgs.gov/ documents/Landsat8DataUsersHandbook.pdf
-153-
Perbandingan Indeks Sedimen Tersuspensi untuk Identifikasi Total Suspended Solids (TSS) di Muara Sungai Opak Yogyakarta (Iswari, M.Y.)
Doxaran, Froidefond, J.M, dan Castaing, P. (2002). A Reflectance Band Ratio Used to Estimate Suspended Matter Concentrations in Sediment-Dominated Coastal Water. International Journal of Remote Sensing, 33(23):50795085. Effendi, H., (2003). Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta : Kanisius Farooq, S., (2011). Spectral Reflectance of Land Cover. Department of Geology, Aligahr Muslim University [Online]. Available : http://www.geol-amu.org/notes/m1r-1-8.htm Fiuza, B., Elane Souza, A.C., Pablo, S.S., (2011). Detection of Suspended Sediments in Grande River and Ondas River – Bahia/Brazil. Federal University of Bahia, Institute of Environmental Sciences and Sustainable Development. Brazil. Hendrawan, Gede, I., dan Koji, A., (2008). Study of Suspended Sediment Distribution Using Numerical Model and Satellite Data in Benoa Bay-Bali, Indonesia. International Journal of Remote Sensing and Earth Science, 5:84-91 Hossain, A.K.M, Azad, Xiaobo, C., dan Yafei, J., (2010). Development of Remote Sensing Based Index for Estimating/ Mapping Suspended Sediment Concentration in River and Lake Environments. in : International Symposium on Ecohydraulics, Seoul Korea Iswari, M.Y., (2014). Aplikasi Citra ALOS AVNIR-2 untuk Pemetaan Distribusi Muatan Padatan Tersuspensi (Total Suspended Solids) di Muara Sungai Opak Yogyakarta. Skripsi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Montalvo, L.G., (2010). Spectral Analysis of Suspended Material in Coastal Waters: A Comparison between Band Math Equations. Mayaguez, Puerto Rico. 2010 Parwati, E., Tatik, K., dan Joko, I., (2008). Ekstraksi Informasi Total Suspended Solid (TSS) Menggunakan Data Penginderaan Jauh Untuk Kawasan Pesisir Berau, Kalimantan Timur. in Proceeding Pertemuaan Ilmiah Tahunan Masyarakat Penginderaan Jauh XVII, Bandung. Ongkosongo, O.S.R., (2010). Kuala, Muara Sungai, dan Delta. Jakarta : Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Reif, M., (2011). Remote Sensing for Inland Water Quality Monitoring : A U.S Army Corps of Engineering Perspective. Mississippi : Environmental Laboratory U.S Army Widayanti, R.D., (2013). Dinamika Harian Penutupan Muara Sungai Opak pada Bulan Oktober-November”. Skripsi. Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskui presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016 Moderator Judul Makalah Pemakalah Diskusi
: Dr. Rahmat Arief, Dipl.Ing. : Perbandingan Indeks sedimen Tersuspensi untuk Identifikasi Total Suspended Solids (TSS) di Muara Sungai Opak Yogyaka : Marindah Yulia I (LIPI) :
Pertanyaan: Rahmat Arief (LAPAN) 1. Seandainya deviasi cukup tinggi, mengapa? Pertanyaan: Tatik Kartika (LAPAN) 2. Apakah penggunaan data resolusi tinggi perlu penyesuaian? Pertanyaan: Ita Carolita (LAPAN) 3. Bagaimana pemilihan motodenya apakah itu yang terbaik atau tidak? Jawaban : 1. Perbedaan tanggal pengambilan sample dan data citra (1 bulan). 2. Penggunaan hanya pada band visible sehingga bisa digunkan dimanapun. 3. Dengan menggunakan 3 penelitian dengan menggunakan metode alos, menggunakan persamaan dan hasilnya.
-154-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Identifikasi Debu Vulkanik menggunakan Metode Split Windows dan TVAP pada Citra Satelit Cuaca MTSAT dan Himawari-8 (Studi Kasus: Erupsi Gunung Kelud 13 Februari 2014 dan Gunung Rinjani 31 Oktober - 5 November 2015) Volcanic Ash Identification using Split Windows and TVAP Technique in MTSAT and Himawari-8 Weather Satellite Imagery (Case Study: Kelud Mountain Eruption on 13 February 2014 and Rinjani Mountain on 31 October - 5 November 2015) Ilham Rosihan Fachturoni1*) 1
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika *)
E-mail:
[email protected]
ABSTRAK -Indonesia merupakan negara dengan aktivitas vulkanik yang tinggi sehingga urgensi dari informasi adanya debu vulkanik terutama sebarannya harus segera didiseminasikan kepada masyarakat luas untuk menghindari dampak negatif yang ditimbulkan. Debu vukanik dapat diidentifikasi dengan menggunakan satelit Cuaca MTSAT-2 dan Himawari-8 dengan metode Split Windows (SP) dan Multispectral Image Enhancement Technique satau biasa disebut TVAP (Three-band Volcanic Ash Product). Kedua metode tersebut memanfaatkan kanal IR1, IR2, dan IR4 yang diolah dengan algoritma tertentu untuk memisahkan antara partikel debu vulkanik dengan awan air/es. Pada kasus erupsi Gunung Kelud tanggal 13 Februari 2014 dan Gunung Rinjani 31 Oktober-5 November 2015, identifikasi debu dengan gabungan antara metode TVAP dan SP berhasil menampilkan piksel-piksel debu yang hilang jika hanya menggunakan satu metode saja. Kedua Metode saling melengkapi dan gabungan keduanya menghasilkan identifikasi debu vulkanik yang lebih akurat. Pada penelitian ini, diharapkan identifikasi yang akurat dapat menjadi acuan dalam pembuatan informasi peringatan debu vulkanik dan data dapat digunakan sebagai asimilasi model dispersi debu vulkanik. Kata kunci:debu vulkanik, split windows, TVAP, MTSAT-2, Himawari-8 ABSTRACT -Indonesia is a country which has a lot of volcano activities. In case to avoid the negative impact, information about existence (dispertion) of volcanic ash should be disseminated to citizen quickly. Volcanic ash can be identified with the help of MTSAT-2 and Himawari-8 satellite data using Split Windows (SP) and Multispectral Image Enhancement Techniques or usually known as Thress-band Volcanic Ash Product (TVAP). Both of the techniques use IR1, IR2 and IR4 channel which processed with certain algorithm to separate ash particles with water or ice clouds. In case of Kelud Mountain Eruption on 13 Febuary 2014 and Rinjani Mountain on 31 October-5 November2015, combination between SP and TVAP technique were successfully display ash pixels which lost when only one of them were used. Both of the techniques complete each other and combination both of the technique provide more accurate ash identification. In this paper, Accurate identification is expected to be a reference in the manufacture of volcanic ash warning information and data can be used as an assimilation of volcanic ash dispersion model. Keywords: volcanic ash, split windows, TVAP, MTSAT-2, Himawari-8
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Atmosfer adalah lapisan udara yang menyelimuti bumi dan bertahan karena adanya pengaruh gaya gravitasi bumi. Atmosfer mengandung berbagai macam bentuk partikel, mulai dari partikel padat, cair dan gas. Partikel padat di atmosfer dapat berupa aerosol; partikel cair berupa tetes awan (droplets) dan tetes hujan (raindrops); sedang partikel gas adalah Nitrogen (N2), Oksigen (O2), Karbondioksida (CO2) serta gasgas lain yang terkandung di atmosfer. Sebagian besar partikel padat di atmosfer bersumber dari permukaan bumi, dan partikel-partikel tersebut akan kembali jatuh ke permukaan bumi. Satu di antara sumber partikel padat di atmosfer adalah erupsi gunung berapi yang menyumbang partikel padat berupa debu vulkanik sebagai aerosol.
-155-
Identifikasi Debu Vulkanik menggunakan Metode Split Windows dan TVAP pada Citra Satelit Cuaca MTSAT dan Himawari-8 (Studi Kasus: Erupsi Gunung Kelud 13 Februari 2014 dan Gunung Rinjani 31 Oktober-5 November 2015) (Fachturoni, I.R.)
Dalamperiode 2 tahun terakhir, telah terjadi beberapa Erupsi Gunung berapi di wilayah Indonesia, dua diantaranya yakni erupsi Gunung Kelud di Jawa Timur (Jatim) pada tanggal 13 Februari 2014 dan erupsi Gunung Rinjani di Lombok dengan periode waktu yang lama (penulishanya berfokus pada periode antara 31 Oktober – 5 November 2015). Erupsi Gunung berapi selalu mempunyai Dampak negatif yang berbandinglurus dengan kekuatan letusan itu sendiri. Semakin kuat letusannya, maka semakin besar Dampak negatif yang dihasilkan. Pada saat erupsi, Sebagian Debu yang dilontarkan akan jatuh kembali kepermukaan sebagai hujan debu yang dapat merusak lingkungan dan berbahaya bagi kesehatan. Sebagian debu yang lain akan melayang-layang di atmosfer terbawa angin dan kehadirannya akan sangat berbahaya bagi dunia penerbangan. Partikel debu vulkanik dapat merusak mesin pesawat terbang yang akan membahayakan aktifitas penerbangan itu sendiri. Oleh Karena itu, informasi mengenai eksistensi debu vulkanik yang akurat sangatlah dibutuhkan demi menghindari berbagai Dampak negatif yang ditimbullkan. Informasi mengenai debu vulkanik dapat disediakan dengan memanfaatkan alat remote sensing berupa satelit cuaca MTSAT dan Himawari-8 secara realtime dengan resolusi temporal hinggatiap 10 menitan. Berdasarkanpaparandiatas, penulis tertarik untuk melakukan Penelitian seputar Identifikasi debu vulkanik dengan menggunakan satelit MTSAT dan Himawari-8 pada kasus Erupsi Gunung Kelud dan Gunung Rinjani. Kedua Erupsi tersebut memiliki karakter yang berbeda, Gunung Kelud mengalami Erupsi dengan kekuatan yang dahsyat dan sesaat (eksplosif) sedangkan Gunung Rinjani mengalami Erupsi dengan kekuatan lemah dan bertahan lama (strombolin)
1.2 Landasan Teori Pengamatan cuaca menggunakan satelit cuaca lebih dikenal dengan istilah Remote Sensing. Prinsip kerja dari satelit cuaca adalah dengan memanfaatkan radiasi gelombang elektromagnetik dari matahari dan bumi. Satelit cuaca menggunakan radiasi gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang tertentu -yang selanjutnya akan disebut kanal- dengan sifatnya yang bisa mengalami absorbsi, emisi, refleksi serta hamburan (scattering). Satelit MTSATadalah satelit cuaca geostasioner yang memiliki 5 (lima) kanal dengan panjang gelombang yang berbeda. Kanal IR1 dengan panjang gelombang 10.3-11.3µm; kanal IR2 11.5-12.5 µm; kanal WV (Water Vapor/IR3) 6.5-7.0 µm; kanal IR4 (Near Infrared/NIR) 3.5-4.0 µm; kanal visible (VIS) 0.55-0.8 µm. Berkaitan dengan lifetime dari satelit cuaca MTSAT, JMA (Japan Meteorology Agency) telah meluncurkan satelit generasi terbaru yakni Himawari-8 yang dilengkapi dengan 16 kanal dan peningkatan resolusi spasial pada tiap-tiap kanal. Selain untuk mengamati fenomena cuaca, satelit cuaca juga dapat dimanfaatkan untuk mengamati debu vulkanik di atmosfer. Dalam penelitian ini, Penulis berfokus menggunakan 4 kanal (IR1, IR2, IR4, dan VIS) untuk melakukan identifikasi debu vulkanik di atmosfer. untuk dapat melakukan identifikasi debu vulkanik, penulis menerapkan beberapa metode untuk mengolah data citra satelit yakni:
1.2.1 Split Windows (SP)
Grafik 1.. Total (garis), absorbsi (titik dan garis putus putus) dan scattering (garis putusputus line). ( I.M. Watson dkk., 2004)
Metode ini memanfaatkan karakteristik yang berbeda antara debu dengan air/es dalam sifat penyerapannya pada panjang gelombang tertentu (Tupper,2011 dalam Susilawati, 2012). Metode ini sering disebut juga sebagai BTD (Brightness Temperature Different). Algoritmanbrro piuko
-156-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Prinsip dasar metode split windows adalah dengan memanfaatkan perbedaan nilai emisifitas dua kanal yakni kanal IR (10.8µm) dan IR2 (12.0µm) terhadap debu dan awan (tetes air/es). Dari grafik 1.1 di atas, terlihat bahwa nilai emisifitas debu lebih tinggi pada panjang gelombang IR2 (12.0µm) dibanding IR1 (10.8 µm), sedang sebaliknya pada partikel es/tetes air. Dengan menggunakan metode split window (BTD[IR1-IR2]) maka debu akan diindikasikan dengan nilai negatif (BTD[IR1-IR2] < 0). Namun dalam penentuan nilai batas untuk memisahkan antara awan es dan debu bergantung pada ketinggian dan perbandingan antara jumlah es dan debu (Pavolonis, 2006 dalam Susilawati, 2012).
1.2.2 Multispectral Image Enhancement Techniques Merupakan sebuah metode yang digunakan untuk mendeteksi debu vulkanik dengan menggunakan tiga kanal IR dari satelit geostationer. Tiga kanal tersebut berada pada daerah panjang gelombang 3,9 µm (IR4), 10,7 µm (IR1), dan 12.0 µm (IR2) (Ellrod dkk., 2003). Metode ini disebut juga dengan metode TVAP (Three-band Volcanic Ash Product). Dalam tulisan ini, metode TVAP digunakan dalam memperbaiki piksel-piksel debu vulkanik yang tidak terdeteksi oleh metode split windows. = 60 + 10( 2 −
1) + 3( 4 −
(1.1)
1)
Dimana B adalahnilai TVAP (dalam Kelvin).Nilai B positifmengindikasikanpikseldebuvulkanik.
2. METODE 2.1 Data Penulisan ini menggunakan beberapa data yakni: 1. Data SIGMET pada tanggal 13-14 februari 2015 dari DARWIN VAAC (Volcanic Ash Advisory Centre). 2. Data satelit MTSAT (Multi-functional Transport Satellite) berasal dari Japan Meteorologi Agency (JMA) yang diperoleh dari Pusat Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, subbidang Pengolahan Citra Satelit. 3. Data angin perlapisan dari GDAS (Global Data Asimilation System). Data dapat diunduh pada situs web http://ready.a rl.noaa.gov/ready2- bin/extract/extracta.pl. 2.2 Metode Analisis
-157-
Identifikasi Debu Vulkanik menggunakan Metode Split Windows dan TVAP pada Citra Satelit Cuaca MTSAT dan Himawari-8 (Studi Kasus: Erupsi Gunung Kelud 13 Februari 2014 dan Gunung Rinjani 31 Oktober-5 November 2015) (Fachturoni, I.R.)
Dalam penulisan ini, cara identifikasi debu vulkanik menggunakan dua metode utama, metode split windows (SP), metode TVAP (Three-band Volcanic Ash Product). Metode Lookup Table merupakan metode perpanjangan dari metode split window dan TVAP dengan cara membatasi nilai kontur sebagai threshold dari nilai kontur yang mengindikasikan debu vulkanik.
3. HASILDAN PEMBAHASAN 3.1 Identifikasi Debu Vulkanik pada Erupsi Gunung Kelud a1G
b1
a2
b2
a3
b3
(a)
(b)
Gambar 2.Tahap pendeteksian debu vulkanik Gunung Kelud 13-14 Februari 2014 (a) 13 Feb jam 22.00 UTC, (b) 14 Feb jam 00.00UTC. (a1) dan (b1) metode split windows (SP); (a2) dan (b2) metode TVAP; (a3) dan (b3) gabungan metode SP dan TVAP.
ErupsiGunung Kelud pada 13 Februari 2014 adalam jenis eksplosif yakni terjadi ledakan besar hanya sekali pada waktu tertentu. Letusan tipe eksplosif dapat memuntahkan material vulkanik sampai pada lapisan atas atmosfer beberapa kasus bahkan mencapai stratosfer. Berdasarkan laporan dari Badan Nasional
-158-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Penanggulangan Bencana (BNPB), erupsi terjadi pada jam 22.50 WIB (15.50 UTC) dan memuntahkan material vulkanik hingga ketinggian 17 km. Gambar 2. merupakan citra hasil indentifikasi debu vulkanik pada kasus erupsi Gunung Kelud tanggal 13 Feb 2014 jam 22.00UTC (a) dan 14 Feb 2014 jam 00.00UTC (b). Metode yang paling dasar digunakan dalam identifikasi debu vulkanik adalah metode split windows dengan memanfaatkan perbedaan sensitivitas gelombang IR1 dan IR2 pada debu dan partikel awan (air/es). Metode split windows mengidentifikasi debu vulkanik pada nilai negatif (-) (Prata, 1989). Terlihat pada gambar 2 (a1 dan b1) konsentrasi debu vulkanik menyebar dan bergerak ke arah baratdaya berdasarkan perpindahan konsentrasi antara jam 22.00 ke 00.00 UTC. Namun dalam metode SP terlihat bahwa banyak daerah “blank” yang menandaan bahwa ada partikelpartikel debu yang tidak teridentifikasi dengan metode ini. Identifikasi debu menggunakan metode TVAP tersaji dalam gambar a2 dan b2 (gambar 3). Berbeda dengan metode SP, TVAP mengidentifikasi debu vulkanik pada nilai positif. Threshold debu pada TVAP adalah relatif mulai dari 60 hingga 255 bergantung pada ketebalan lapisan debu dan waktu (siang/malam). Dalam penggunaannya, threshold harus disesuaikan dengan dengan keadaan lingkungan sehingga didapat pemisahan yang efektif antara debu dan partikel awan (Ellrod dkk., 2003). Meskipun berhasil mengidentifikasi debu dengan baik, metode TVAP masih memiliki wilayah “blank” yang menandakan adanya partikel debu yang hilang (miss identified). Gambar a3 dan b3 (gambar 2) adalah gabungan antara metode SP dan TVAP. Dalam proses identifikasi menggunakan masing-masing metode, keduanya memiliki wilayah dimana partikel debu vulkanik tidak teridentifikasi atau hilang. Dengan menggabungkan keduanya, diperoleh perbaikan identifikasi debu vulkaknik dimana masing-masing metode memperbaiki dan melengkapi partikel-partikel debu yang hilang dari citra. Hasil identifikasi debu menggunakan gabungan metode SP dan TVAP berhasil menampilkan wilayah persebaran debu yang lebih baik dan solid.
3.2 Identifikasi Debu Vulkanik pada Erupsi Gunung Rinjani Berbeda dengan kasus erupsi Gunung Kelud, Erupsi gunung rinjani terjadi low eksplosive (lemah) dan berkelanjutan/terus-menerus. Letusan tipe ini tidak banyak mengeluarkan material vulkanik. Posisi debu pun berada pada level rendah di atmosfer karena lemahnya kekuatan ledakan yang melontarkan debu ke atas. Akibatnya, awan debu vulkanik pada erupsi Gunung Rinjani memiliki karakter yang tipis dan rendah. Gambar 3. merupakan citra identifikasi debu vulkanik pada erupsi Gunung Rinjani tanggal 3 November 2015 (a) jam 09.00 UTC; (b) jam 12.00 UTC. Umumnya, metode SP akan mengidentifikasi partikel debu pada nilai negatif, namun pada kenyataannya tidaklah selalu demikian. Penelitian yang dilakukan oleh Yu dkk (2002) pada kasus erupsi Gunung Soufriere Hills 26 Desember 1997 mgenidentifikasi debu pada nilai positif (+1 sampai +3). Kelainan ini disebabkan oleh gangguan penyerapan gelombang inframerah oleh uap air di atmosfer.Pada daerah tropis, uap air dominan berada pada ketinggian ±3 km. Pada kasus erupsi Gunung Rinjani, gangguan tersebut lah yang mengakibatkan metode SP baru bisa mengidentifikasi debu pada nilai positif. Debu vulkanik teridentifikasi pada nilai +1 hingga +1.5.Penyebabnya adalah karena erupsi Rinjani termasuk letusan yang lemah (low eksplosive) serta ketinggian Gunung Rinjani pun berada pada ketinggian 3.726 m diatas permukaan laut dimana ketinggian ini adalah wilayah dominan uap air yang dapat mengakibatkan gangguan pada identifikasi debu vulkanik. Gambar a2 dan b2 (gambar 3.) adalah identifikasi debu dengan metode TVAP. TVAP mengidentifikasi debu vulkanik pada threshold 60 sampai 70. Berbeda dengan kasus pada Gunung Kelud, debu pada Gunung Rinjani memiliki nilai yang lebih kecil. Penyebabnya masih hal yang sama yakni karena sifatnya yang low eksplosive sehingga debu di atmosfer hanya berada pada level rendah dan konsentrasi debu yang sedikit (Ellrod dkk., 2003). Akibat banyaknya gangguan, baik metode SP maupun TVAP tidak sempurna dalam mengidentifikasi debu yang ada di atmosfer. Penggabungan dua metode ini disajikan pada gambar a3 dan b3 (gambar 3) dan menghasilkan identifikasi yang lebih baik dengan saling memperbaiki partikel-partikel debu yang hilang pada masing-masing metode. Meskipun tidak sebanyak pada kasus Gunung Kelud, namun metode gabungan pada kasus erupsi Gunung Rinjani tetap menghasilkan perbaikan dengan menampilkan partikel debu yang hilang pada masing-masing metode.
-159-
Identifikasi Debu Vulkanik menggunakan Metode Split Windows dan TVAP pada Citra Satelit Cuaca MTSAT dan Himawari-8 (Studi Kasus: Erupsi Gunung Kelud 13 Februari 2014 dan Gunung Rinjani 31 Oktober-5 November 2015) (Fachturoni, I.R.)
a1
b1
a2
b2
a3
b3
(a)
(b)
Gambar 3. Tahap pendeteksian debu vulkanik Gunung Rinjani 3 November 2015 (a) jam 09.00 UTC, (b) jam 00.00 UTC. (a1) dan (b1) metode split windows (SP); (a2) dan (b2) metode TVAP; (a3) dan (b3) gabungan metode SP dan TVAP. Terlihat pada Gambar adanya perbaikan Identifikasi debu vukanik dengan gabungan dua metode.
3.3 Pergerakandan Estimasi Ketinggian Debu Vulkanik Dengan identifikasi yang tepat pada tiap periode waktu, maka pola pergerakan debu vulkanik di atmosfer dapat terlihat dengan membandingkan perubahan posisinya di tiap-tiap waktu. Contohnya, jika kita lihat citra identifikasi debu vulkanik pada erupsi Gunung Kelud jam 22.00 UTC (13 Februari 2014) dan 00.00 UTC (14 Februari 2014) dan membandingkannya, maka terlihat pola pergerakan debu yang mengarah ke baratdaya berdasarkan perpindahan konsentrasi debu yang tampak pada citra.
-160-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Hal ini juga dapat diperkuat dengan membuat prakiraan arah pergerakan debu menggunakan model trajektori HYSPLIT (Hybrid Single Particle Lagrangian Integrated Trajectory Model). Model Trajektori HYSPLIT menggunakan data angin perlapisan sebagai data utama dalam pembuatan trajektori debu vulkanik di atmosfer.Dengan membuat model trajektorinya kita akan dapat melihat prakiraan lintasan debu yang berbeda pada tiap lapisan.
Gambar 4. Model trajektori HYSPLIT di overlay dengan kondisi real debu vulkanik pada tanggal 14 Februari 2014 jam 00.00 UTC.
Gambar 4. menunjukkan kondisi sebaran debu erupsi Gunung Kelud tanggal 14 Februari 2014 jam 00.00 UTC di overlay dengan trajektori dari model HYSPLIT. Terlihat jelas konsentrasi debu berada tepat pada trajektori pada ketinggian 16.500 m. Dengan begini, selain mendapatkan arah pergerakan debu kita juga dapat mengestimasi ketinggian debu di atmosfer dengan cara menganalisis kecocokan posisi debu terhadap model trajektorinya. Dari Gambar 3.3, dapat ditarik kesimpulan bahwa debu berada pada ketinggian 16.500 m diatas permukaan laut dan akan bergerak terus ke arah baratdaya.
4.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil deteksi debu vulkanik pada dua kasus diatas, maka diperoleh kesimpulan bahwa: a. Penggabungan dua metode split windows dan TVAP mampu meningkatkan keakuratan dalam pendeteksian debu vulkanik erupsi Gunung Kelud dan Gunung Rinjani. Baik metode split windows TVAP sama-sama melakukan perbaikan terhadap metode lainnya, dengan menampilkan pixel-pixel debu yang hilang jika hanya menggunakan satu metode. b. Dalam pendeteksian debu vulkanik ini, threshold untuk teknik split windows dan TVAP pada kasus Gunung Kelud adalah SP < 0 dan TVAP >120. Sedangkan thresholdkedua metode untuk kasus Erupsi Gunung Rinjani adalah SP < 1.5, SP < 0 dan TVAP > 70. Perbedaan thresholdterjadi akibat perbedaan jenis erupsi yang berdampak pada perbedaan ketinggian dan konsentrasi debu di atmosfer. Semakin lemah eksplosif semakin kecil threshold TVAP dan threshold metode SP bisa mencapai nilai positif. c. Dengan mengamati perubahan posisi debu pada tiap waktu, kita dapat memprakirakan pergerakan debu untuk waktu kedepan. Dibantu oleh model trajektori, kita dapat memprakirakan trajektori dengan lebih pasti serta dapat juga memprakirakan ketinggian debu berdasarkan kecocokan dengan trajektorinya.
-161-
Identifikasi Debu Vulkanik menggunakan Metode Split Windows dan TVAP pada Citra Satelit Cuaca MTSAT dan Himawari-8 (Studi Kasus: Erupsi Gunung Kelud 13 Februari 2014 dan Gunung Rinjani 31 Oktober-5 November 2015) (Fachturoni, I.R.)
d. Informasi yang akurat mengenai debu vulkanik dan pergerakannya sangatlah penting untuk segera didiseminasikan kepada masyarakat agar dampak negatif dari debu vulkanik pada kegiatan masyarakat di segala bidang dapat dihindari. e. Dalam dunia penerbangan, adanya debu vulkanik di atmosfer dapat meningkatkan resiko kecelakaan karena dapat menyebabkan kerusakan mesin pesawat. Oleh sebab itu warning tentang adanya debu vulkanik sangatlah krusial dan harus secepat mungkin didiseminasikan ke bandara-bandara sekitar.
5. UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih kepada Allah SWT, Ayah, Ibu, keluarga dan semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian ini dan untuk Ni Putu Andini Ganiswari akan semangatnya.
DAFTAR PUSTAKA Draxler, R.R., (1997). Hybrid Single Particel Lagrangian Integrated Trajectories (HY-SPLIT): Version 4.0 – User’s guide and model description. NOAA Tech. Memo. ERL ARL-225. Ellrod, G.P., Connel, B.H., dan Hillger, D.W. (2003). Improved Detection of Airbone Volcanic Ash using Multispectral Infrared Satellite data. Journal of Geophysical Research, 108. Prata, J.A., dan Ian J.B., (1989). Detection and discrimination of volcanic ash clouds by infrared rdiometryI: Theory. Kelkar, R.R., (2007). Satellite Meteorology.Hyderabad: BSP. Susilawati, A. (2012). Identifikasi Debu Vulkanik Menggunakan Citra Satelit MTSAT. Buletin Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 8(1) Tjasyono, dan Bayong. (2007a). Meteorologi Indonesia 1: Karakteristik & Sirkulasi Atmosfer. Jakarta: Badan Meteorologi dan Geofisika. Tjasyono, dan Bayong. (2007b). Mikrofisika Awan dan Geofisika. University Corporation for Atmospheric Research. 2011. Volcanic Ash: Observation Tools and Dispersion Models. [online]. http://www.meted.ucar.edu/volcanic_ash/tools/navmenu.php?tab=1&page=3.5.0. (diaksestanggal 23 Juni 2015). Weather and Climate Prediction labolatory. (2005). Deteksi Debu Vulkanik dengan Satelit MTSAT. http://weather.meteo.itb.ac.id/ artikel7.php. (diaksestanggal 23 Juni 2015). *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskui presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016 Moderator Judul Makalah Pemakalah Diskusi
: Dr. Rahmat Arief, Dipl.Ing. : Identifikasi Debu Vulkanik menggunakan Metode Split Windows dan TVAP pada Citra Satelit Cuaca MTSAT dan Himawari-8 (Studi Kasus: Erupsi Gunung Kelud 13 Februari 2014 dan Gunung Rinjani 31 Oktober-5 November 2015) : Ilham Rosihan Fachturoni (UGM) :
Pertanyaan: Kardasah (Puslitbang BMKG) Bagaimana menentukan tebal dan tipisnya debu vulkanik dengan parameter tersebut? Apakah tidak dipengaruhi tinggi? Jawaban: Penentuan threshold debu vulkanik dari emphiris. Paper yang ditulis oleh (Ellrod, 2003), Adanya perbedaan IR pada siang dan malam. Sebenarnya tingi debu juga mempengaruhi
-162-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Uji Skema Dust RGB dan Ash RGB Untuk Informasi Sebaran Debu Vulkanis Menggunakan Satelit Himawari 8 (Studi Kasus: Erupsi Gunung Barujari 04 November 2015) Assessment of Dust RGB and Ash RGB Scheme for Volcanic Ash Information Using Himawari 8 Satellite (Case Study: Mt. Barujari Eruption, November 4th 2015) Pande Putu Hadi Wiguna1*) dan Kadek Setiya Wati2 1
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Jakarta 2 Stasiun Meteorologi Kelas II Selaparang-BIL, BMKG *)
E-mail:
[email protected]
ABSTRAK – Satelit Himawari 8 diluncurkan pada pertengahan tahun 2015 sebagai pengganti satelit MTSAT-2 yang habis masa orbitnya. Himawari 8 memiliki beberapa kelebihan dibanding MTSAT-2, yaitu jumlah kanal 3 kali lipat dari kanal MTSAT-2 serta resolusi temporal yang lebih tinggi.Penambahkan kanal pada Himawari 8 memungkinkan melakukan pengamatan atmosfer yang lebih luas tidak terbatas pada awan meterologis tapi juga dapat digunakan untuk pengamatan debu vulkanis. WMO merekomendasikan 7 skema RGB untuk menampilkan informasi fisis setiap kanal satelit yang berguna dalam nephanalysis. Salah satunya adalah skema Dust RGB untuk pengamatan debu vulkanis. JMA (Japan Meteorological Agency) menerapkan ketujuh skema ini ke satelit Himawari 8 dan melakukan pengambangan skema lain yaitu Ash RGB. Skema Ash RGB diharapkan mampu mendeteksi debu vulkanis lebih baik dari skema Dust RGB. Kanal yang digunakan dalam skema Ash RBG identik dengan Dust RGB, perbedaannya hanya terdapat pada pengaturan gradasi warna pada masing-masing kanal untuk lebih fokus pada fenomena yang akan diamati. SkemaAsh RGB masih dalam tahap ujicoba karena belum ditetapkan definisi dari setiap warna dalam tampilannya. Dalam tulisan ini dilakukan uji dua skema tersebut. Dua skema tersebut diterapkan pada peristiwa erupsi gunung Barujari pada tanggal 4 November 2015. Hasilnya, konfigurasi skema Ash RGB kurang dapat menggambarkan sebaran debu vulkanis dibanding skema Dust RGB. Hasil skema Dust RGB memiliki warna yang lebih kontras terhadap awan meteorologis, sehingga memudahkan dalam pengamatan dan analisis. Kata kunci: Himawari 8, Debu Vulkanis, skema Dust RGB, skema Ash RGB ABSTRACT -Himawari 8 satellite was launched in mid2015 as a replacement of the MTSAT-2 satellite wich is already retired. Himawari 8 satellite has several advantages over MTSAT-2. It has three times of channel better than MTSAT-2 and its temporal resolution higher than MTSAT-2. Upgrading channel at Himawari 8 make an opportunity to observing atmosphere, not only the meteorological cloud but also for volcanic ash observation. WMO recommends 7 RGB scheme to display physical information in any channels that are useful in nephanalysis. One is a scheme for the observation of volcanic ash, Dust RGB Scheme. JMA(Japan Meteorological Agency) apply this seventh scheme to the Himawari 8 satellite and developing another scheme namely Ash RGB scheme. Ash RGB scheme is expected to detect volcanic ash better than Dust RGB scheme. Channels using in Dust RGB scheme are identic with Ash RGB, the different is gradation color setting in each channels. It is for focusing in what phenomena we observe. Ash RGB scheme are still being tested because it has not been established definitions of each color in appearance. In this paper, the authors conducted a test against this scheme. Two schemes are applied to the events Barujari volcanic eruption on November 4th, 2015. As a result, the configuration can describe Ash RGB scheme can’t show volcanic ash clearly than the Dust scheme. The Dust scheme have more colors contrasting against meteorological cloud, making it easier to observation and analysis. Keywords: Himawari 8, Volcanic Ash, Dust RGB Scheme, Ash RGB Scheme
1.
PENDAHULUAN
Satelit meteorologi mulai digunakan sebagai solusi untuk pengamatan di wilayah yang sulit dijangkau oleh pengamatan meteorologi di permukaan seperti wilayah laut, gurun, atau pegunungan. Satelit meteorologi memiliki keunggulan utama yaitu mampu mengamati fenomena meteorologi secara global dan berkelanjutan. Program World Weather Watch dari WMO (World Meteorology Organization) di dukung oleh jaringan satelit baik geostasionari maupun polar orbit. Dalam mendukung program tersebut, JMA (Japan Meteorology Agency) telah mengorbitkan satelit geostasionari meteorologi terbaru, Himawari 8.
-163-
Uji Skema Dust RGB dan Ash RGB Untuk Informasi Sebaran Debu Vulkanis Menggunakan Satelit Himawari 8 (Studi Kasus: Erupsi Gunung Barujari 04 November 2015) (Wiguna, P.P.H. dkk.)
Himawari 8 berhasil diluncurkan pada tanggal 7 Oktober 2014, dan dijadwalkan mulai beroperasi pada bulan Juli 2015. Fitur terbarunya yaitu The new Advanced Himawari Image mengalami peningkatan pada resoulis spasial dan frekwensi pengamatannya dibanding dengan versi terdahulu. Penambahan teknologi berupa kanal yang tersedia, kini berjumlah 16 (3 kanal visible, 3 kanal near-infrared, 10 kanal inframerah) dari sebelumnya hanya 5 kanal saja.Resolusi spasial mencapai 0.5 km untuk kanal visible dan 2 km untuk kanal inframerah.Resousi temporal yang pada versi terdahulu hanya 60 menit, saat ini mencapai 10 menit untuk pemindaian secara keseluruhan dan 2.5 menit untuk pemindaian area terbatas. Peningkatan kemampuan ini diharapkan mampu memberikan informasi yang lebih detail dalam mengamati pergerakan siklon tropis maupun awan-awan konvektif yang dapat menyebabkan hujan dengan intensitas lebat. Selain siklon tropis dan awan konvektif, diharapkan juga mampu mengamati dan mendeteksi pergerakan dari debu vulkanis maupun aerosol lainnya di atmosfer. Tabel 1. Perbandingan Spesifikasi Kanal Himawari 8 Versus Himawari 7 Himawari-8/9
Wave length [µm]
MTSAT-1R/2
Band
Spatial
Central wave length
Channel
Spatial
number
resolution
[µm]
name
resolution
at SSP
AHI-8
AHI-9
at SSP
[km]
(Himawari-8)
(Himawari-9)
[km]
0.47
1
1
0.47063
0.47059
-
-
0.51
2
1
0.51000
0.50993
-
-
0.64
3
0.5
0.63914
0.63972
VIS
1
0.86
4
1
0.85670
0.85668
-
-
1.6
5
2
1.6101
1.6065
-
-
2.3
6
2
2.2568
2.2570
-
-
3.9
7
2
3.8853
3.8289
IR4
4
6.2
8
2
6.2429
6.2479
IR3
4
6.9
9
2
6.9410
6.9555
-
-
7.3
10
2
7.3467
7.3437
-
-
8.6
11
2
8.5926
8.5936
-
-
9.6
12
2
9.6372
9.6274
-
-
10.4
13
2
10.4073
10.4074
IR1
4
11.2
14
2
11.2395
11.2080
-
-
12.4
15
2
12.3806
12.3648
IR2
4
13.3
16
2
13.2807
13.3107
-
-
Dalam sebuah citra satelit, terkandung banyak informasi fisis yang sangat berguna untuk melakukan nephanalysis. Namun setiap analisis dibutuhkan ketrampilan dan pengalaman untuk dapat menginterpretasi dan mengekstraksi informasi yang dibutuhkan dari citra satelit. Teknik RGB (red-blue-green) composite imagery merupakan teknik menampilkan citra satelit dengan melakukan overlay dari beberapa kanal sekaligus. Teknik RGB menggabungkan informasi dari beberapa kanal berbeda ke dalam satu produk, sehingga menghasilkan lebih banyak informasi daripada produk yang hanya dihasilkan dari satu kanal. Umumnya, teknik RGB lebih mudah digunakan dan lebih efektif dalam menggambarkan suatu fenomena meteorologi. Akan tetapi, biasanya memerlukan pelatihan dan pengalaman dalam menginterpretasi sehingga produk dapat digunakan dengan tepat. Beberapa produk ada yg intuitif, sementara yang lain tidak dan hal ini dapat mengakibatkan salah interpretasi.
-164-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
WMO merekomendasikan 7 skema RGB yang diterapkan dalam RGB composite imagery menggunakan satelit Himawari-8/9. Salah satunya adalah skema dust yang pengaplikasiannya bisa digunakan dalam mendeteksi debu vulkanis. Selain itu, pihak JMA sebagai pemilik Himawari 8 juga membuat skema tersendiri untuk mendeteksi debu vulkanis, yaitu skema ash. Baik dalam skema dust maupun ash digunakan kanal dengan panjang gelombang yang sama. Perbedaannya hanya terletak pada pengaturan gradasi untuk lebih focus pada fenomena yang berbeda. Kedua skema ini dapat ditampilkan dari penggabungan 3 citra berbeda yaitu BTD(brightness temperature difference) di kanal B15(12.4 µm) dengan B13(10.4 µm), BTD kanal B13(10.4 µm) dengan B11(8.6 µm), dan kanal B13(10.4 µm). Letusan gunung menghasilkan debu vulkanis dengan konsentrasi sulfur dioksida (SO2) yang tinggi. Kadar SO2 dapat terdeteksi oleh kanal IR 8.6 µm. Debu vulkanis yang mengandung SO2 lebih transparan di IR 10.4 µm dibanding kanal IR 8.6 µm sehingga apabila perbedaan brightness temperature positif, berarti itu adalah debu vulkanis. Awan meteorologis lebih transparan pada IR 8.6 µm dari pada 10.4 µm sehingga apabila BTD (brightness temperaturedifference) negatif, maka itu adalah awan meteorologis. Penelitian ini menggunakan contoh studi kasus saat kejadian letusan gunung Barujari pada tanggal 4 November 2015 di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Gunung Barujari merupakan anak dari gunung Rinjani. Pada saat letusan di tanggal 4 November 2015, arah sebaran debu vulkanisnya mengarah ke arah Barat hingga mencapai wilayah Bali dan Jawa Timur.
2. METODE 2.1 Data Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data raw dari citra satelit Himawari 8 yang didapat di sub bagian citra satelit BMKG Jakarta. Data yang digunakan adalah data pada kanal 8.6 µm, 10.4 µm, dan 12.4 µm.
2.2 Alat Penelitian Penelitian ini menggunakan peralatan sebagai berikut:
2.2.1 Perangkat Keras Perangkat keras yang digunakan dalam penelitian ini yaitu laptop dengan merek Asus seri N46vm dengan spesifikasi sebagai berikut : Operating System : Windows 7 Ultimate 64 bit Processor : Intel® Core ™ i5-3210M CPU @ 2.50 GHz 2.50 GHz Memory : 8 Gigabyte RAM
2.2.2 Perangkat Lunak Pengolahan data menggunakan perangkat lunak GMSLPD 64-bit yang dapat dijalankan pada platform Windows 64-bit.
2.3 Teknik Pengolahan Data Untuk mengamati sebaran debu vulkanis digunakan teknik RGB dengan 2 skema berbeda, yaitu skema dust dan skema ash. Kedua skema ini menggunakan kanal yang sama, perbedaannya hanya pada pengaturan gradasi untuk lebih menspesifikasikan pada fenomena tertentu. Teknik RGB berarti menggabungkan 3 citra yang berbeda untuk ditampilkan hanya dalam 1 citra yang lebih informatif. Sebelum digabungkan, setiap citra harus diproses terlebih dahulu. Adapun proses yang dilakukan adalah sebagai berikut:
2.3.1 Contrast Stretching Citra pertama, kanal 10.4 µm, dilakukan contrast stretching. Contrast stretching dilakukan dengan memperhatikan bagaimana kanal dapat mendeteksi adanya partikel debu pada suatu lapisan. Suhu radiasi yang dipancarkan oleh permukaan lebih besar daripada suhu radiasi yang dipancarkan oleh debu-debu disuatu lapisan. Akan tetapi dalam melakukan contrast stretching terdapat keterbatasan yaitu ketika malam hari, suhu radiasi dari debu akan sama dengan suhu radiasi dari permukaan.
-165-
Uji Skema Dust RGB dan Ash RGB Untuk Informasi Sebaran Debu Vulkanis Menggunakan Satelit Himawari 8 (Studi Kasus: Erupsi Gunung Barujari 04 November 2015) (Wiguna, P.P.H. dkk.)
(a)
(b)
Gambar 1. Perbandingan suhu radiasi yang dipancarkan permukaan dengan debu-debu pada suatu lapisan. (a) Kondisi di siang hari dan (b) Kondisi di malam hari
Untuk membatasi tingkat kontras pada citra dan untuk menguatkan tampilan dari debu, dilakukan pengaturan suhu radiasi dengan range suhu yang relatif sempit. Disini terlihat salah satu perbedaan antara skema dust dengan skema ash dimana pada skema dust range suhu radiasi adalah 261 Kelvin – 289 Kelvin, sedangkan skema ash menggunakan range suhu radiasi 208 Kelvin – 243 Kelvin. Perbedaan ini bertujuan untuk lebih fokus kepada karakteristik dari debu vulkanis. Baik pada skema dust maupun skema ash hasil dari contrast stretching akan meningkatkan ciri-ciri dari debu vulkanis. Hal ini akan memberikan informasi yang lebih bermanfaat ketika digabungkan dengan citra lainnya dalam citra RGB. 2.3.2 BTD (Brightness Temperature Difference) Selain menggunakan citra kanal tunggal, skema dust dan skema ash juga menggunakan perbedaan dari 2 kanal, dimana nilai kecerahan suhu pada satu citra dikurangi dengan nilai kecerahan suhu pada citra lainnya. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam mendeteksi keberadaan debu vulkanis dibanding dengan menggunakan citra kanal tunggal. Dalam skema dust dan skema ash digunakan nilai BTD (brightness temperature difference)antara kanal 12.4 µm dengan kanal 10.4 µm. Energi inframerah yang melewati lapisan debu vulkanis memiliki suhu kecerahan lebih dingin di kanal 10.4 µm daripada kanal 12.4 µm. Hal ini dikarenakan debu vulkanis lebih sensitif dan menyerap lebih banyak energi dari kanal 10.4 µm. Sifat debu vulkanis ini menyebabkan nilai BTD menjadi positif cerah. Sebaliknya energi inframerah yang melewati lapisan awan, dimana awan kurang peka terhadap gelombang pada kanal 10.4 µm. Hal ini menyebabkan nilai suhu kecerahan pada kanal 10.4 µm lebih besar daripada kanal 12.4 µm. Sehingga menghasilkan BTD dengan nilai negatif dan berwarna gelap.
Gambar 2. Perbedaan absorbs dari lapisan debu vulkanis dengan lapisan awan meteorologis. Nilai 12.0 µm dan 10.8 µm pada gambar dianggap mendekati kanal Himawari 8 yaitu kanal 12.4 µm dan kanal 10.4 µm.
-166-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Range suhu radiasi kanal 12.4 µm dan 10.4 µm dibatasi pada angka -4 Kelvin dan 2 Kelvin baik pada skema dust maupun skema Ash. Sehingga dapat dihasilkan citra yang menggambarkan dengan jelas keberadaap debu vulkanis yang mana sangat berguna ketika nanti dilakukan proses RGB. Selain menggunakan nilai BTD kanal 12.4 µm dan 10.4 µm, pada skema dust dan skema ash juga digunakan nilai BTD dari kanal 10.4 µm dengan kanal 8.6 µm. Akan tetapi baik pada lapisan debu vulkanis maupun awan meteorologis, nilai BTD dari keduanya selalu negatif. Hal ini tentunya dapat menyulitkan dalam membedakan keduanya. Akan tetapi ketika dilakukan pengaturan pada range suhu radiasi pada kanal ini, dimana suhu dibatasi pada 0 Kelvin sampai 15 Kelvin di skema dust, dan -4 Kelvin sampai 5 Kelvin di skema ash, didapatkan tampilan citra yang cukup baik dalam membedakan debu vulkanis dengan awan meteorologis.
2.3.3 Teknik RGB (Red-Green-Blue) Selanjutnya adalah menggabungkan ketiga citra yang telah dihasilkan dari proses contrast stretching dan BTD dengan menggunakan teknik RGB. Baik pada skema dust maupun skema ash, pembagian warna terbaik dari setiap citra adalah sebagai berikut: Merah untuk citra hasil BTD dari kanal 12.4 µm dikurangi kanal 10.4 µm Hijau untuk citra hasil BTD dari kanal 10.4 µm dikurangi kanal 8.6 µm Hijau untuk citra contrast stretching kanal 10.4 µm
Gambar 3. Hasil penggabungan 3 citra dengan teknik RGB. Nilai 12.0 µm, 10.8 µm dan 8.7 µm pada gambar dianggap mendekati kanal Himawari 8 yaitu kanal 12.4 µm, 10.4 µm dan 8.6 µm.
Warna-warna yang dihasilkan dalam citra RGB selanjut didefinisikan sebagai berikut:
-167-
Uji Skema Dust RGB dan Ash RGB Untuk Informasi Sebaran Debu Vulkanis Menggunakan Satelit Himawari 8 (Studi Kasus: Erupsi Gunung Barujari 04 November 2015) (Wiguna, P.P.H. dkk.)
Gambar 4. Interpretasi warna yang dihasilkan dari citra RGB baik dengan skema dust maupun skema ash
2.4 Diagram Alir Penelitian Debu Vulkanis Letusan Gn. Barujari
Himawari 8 Teknik RGB Skema Dust R : IR 12.0 – IR 10.8 ; range -4 – 2 (K) ; gamma = 1.0 G : IR 10.8 – IR 8.7 ; range 0-15 (K) ; gamma = 2.5 B : IR 10.8 ; range 261-289 (K); gamma = 1.0
Perbandingan skema dust dan skema ash
Skema Ash R : IR 12.0 – IR 10.8 ; range -4 – 2 (K) ; gamma = 1.0 G : IR 10.8 – IR 8.7 ; range(-4)-5 (K) ; gamma = 1.0 B : IR 10.8 ; range 208-243 (K); gamma = 1.0
Kesimpulan
2.5 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah gunung Barujari yang merupakan anak gunung Rinjani yang terletak di pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Gunung ini memiliki kawah berukuran 170x20 meter (m) dengan ketinggian 2.296-2.376 meter di atas permukaan laut (m dpl). Gunung Barujari berada di sisi timur kaldera Danau Segara Anak. Gunung Barujari terakhir meletus pada 25 Oktober 2015 dan 3 November 2015. Letusan terakhir bahkan berlangsung hingga bulan Desember 2015 (volcanodiscovery, 2015). Sebelumnya, Gunung Barujari tercatat meletus pada Mei 2009 dan 2004. Letusan pada 2004 tidak memakan korban, namun pada
-168-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
2009 menelankorban hingga 31 orang akibat banjir bandang pada kokok atau Sungai Tanggek akibat desakan lava ke Segara Anak. Gunung Barujari juga pernah erupsi pada 1944, 1966, dan 1994.
(a) (b) Gambar 5.Lokasi penelitian. (a) Peta menunjukan lokasi kaldera Samalas di dalam komplek Gunung Rinjani beserta ulasan arah aliran piroklastik sejak 1257 sebelum masehi (Lavigne dkk, 2013). (b) Peta satelit menunjukan lokasi Gunung Barujari dalam kaldera (NASA Space Shuttle image ISS005-E-15296, 2002).
3. PEMBAHASAN 3.1 Teknik RGB Skema Dust Hasil pengolahan citra satelit dengan menggunakan teknik RGB skema dust menampilkan sebaran debu vulkanis dengan warna merah muda terang dengan background warna biru muda yang mewakili lautan dan daratan. Pada pukul 00.00 UTC hingga 03.00 UTC, sebaran debu vulkanis Gunung Barujari mengarah ke arah barat hingga menutupi Jawa Timur bagian tengah hinggaselatan dan hampir seluruh Pulau Bali. Kondisi inilah yang mengakibatkan bandar udara Blimbing Sari yang terletak di daerah Banyuwangi, Bandara Ngurah Rai di Bali, Bandara Selaparang Mataram dan Bandara Internasional Lombok di Lombok ditutup sejak pagi hari sekitar pukul 08.45 WITA pada tanggal 4 November 2015.
(a) (b) Gambar 6. Citra yang ditampilkan dengan skema dust. (a) Skema dust pukul 00.00 UTC atau pukul 08.00 WITA. (b) Skema dust pukul 03.00 UTC atau pukul 11.00 WITA
Memasuki pukul 04.00 UTC, sebaran debu vulkanis Gunung Barujari bergeser ke arah Barat Daya sehingga hanya menutupi daerah Jawa Timur dan Pulau Bali bagian tengah hingga selatan. Semakin sore sebaran debu vulkanis semakin mengarah ke arah Barat Daya sehingga hanya tinggal menutupi wilayah Jawa Timur dan Bali bagian selatan.
-169-
Uji Skema Dust RGB dan Ash RGB Untuk Informasi Sebaran Debu Vulkanis Menggunakan Satelit Himawari 8 (Studi Kasus: Erupsi Gunung Barujari 04 November 2015) (Wiguna, P.P.H. dkk.)
(a) (b) Gambar 7. Citra yang ditampilkan dengan skema dust. (a) Skema dust pukul 04.00 UTC atau pukul 12.00 WITA. (b) Skema dust pukul 11.00 UTC atau pukul 19.00 WITA
Pada pukul 11.00 UTC, debu vulkanis terpantau sudah tidak menutupi wilayah Jawa Timur. hanya sebarannya masih terpantau di sekitar perairan selatan Jawa Timur. untuk wilayah Pulau Bali, liputan debu vulkanis yang cukup pekat masih nampak di perairan Pulau Bali bagian timur.
-170-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
(a) (b) Gambar 8. Citra yang ditampilkan dengan skema dust. (a) Skema dust pukul 12.00 UTC atau pukul 20.00 WITA. (b) Skema dust pukul 13.00 UTC atau pukul 21.00 WITA
Satu jam kemudian yaitu pukul 12.00 UTC, sebaran debu vulkanis ini kembali menutupi Pulau Bali bagian tengah hingga timur. Mulai pukul 13.00 UTC, sebaran debu vulkanis Gunung Barujari tampak menyebar. Sebarannya mencapai sebagian besar wilayah Pulau Bali mulai dari Pulau Bali bagian barat hingga timur serta menyebar ke perairan selatan Pulau Lombok. Arah sebarannya semakin mengarah ke barat daya hingga selatan Kondisi ini terus bertahan hingga pukul 17.00 UTC.
(a) (b) Gambar 9. Citra yang ditampilkan dengan skema dust. (a) Skema dust pukul 17.00 UTC atau pukul 01.00 WITA. (b) Skema dust pukul 18.00 UTC atau pukul 02.00 WITA
Selanjutnya pukul 18.00 UTC sebaran debu vulkanis di atas wilayah Bali menutupi Pulau Bali bagian tengah sampai selatan. Mulai pukul 23.00 UTC sebaran debu vulkanis mulai mengarah ke barat daya semakin menjauhi Pulau Bali dan hanya menutupi wilayah barat Pulau Lombok hingga ke perairan selatan Pulau Bali.
(a) (b) Gambar 10. Citra yang ditampilkan dengan skema dust. (a) Skema dust pukul 21.00 UTC atau pukul 05.00 WITA. (b) Skema dust pukul 24.00 UTC atau pukul 08.00 WITA
-171-
Uji Skema Dust RGB dan Ash RGB Untuk Informasi Sebaran Debu Vulkanis Menggunakan Satelit Himawari 8 (Studi Kasus: Erupsi Gunung Barujari 04 November 2015) (Wiguna, dkk.)
3.2 Teknik RGB Skema Ash Hasil pengolahan citra satelit dengan teknik RGB skema ash memiliki tampilan yang tidak jauh berbeda dengan hasil dari skema dust. Warna debu vulkanis adalah merah muda tetapi sedikit lebih transparan. Begitu juga warna background dari skema ash. Terlihat daratan dan perarairan diwakili dengan warna biru muda yang lebih muda daripada warna yang ditampilkan oleh skema dust. Arah sebaran debu vulkanis pda pukul 00.00 UTC dapat dilihat dari citra adalah menuju arah barat menutupi sebagian Pulau Bali hingga sebagian Jawa Timur.
(a) (b) Gambar 11. Citra yang ditampilkan dengan skema ash. (a) Skema ash pukul 00.00 UTC atau pukul 08.00 WITA. (b) Skema ashpukul 03.00 UTC atau pukul 11.00 WITA
Pukul 04.00 UTC, terlihat pergerakan debu vulkanis gunung Barujari bergerak ke arah barat daya. Sebaran debu masih menutupi Pulau Bali bagian selatan dan sebagian perairan tenggara Jawa Timur. Semakin sore, pergerakan debu vulkanis makin mengarah ke arah barat daya hingga selatan, sehingga hanya menutupi Pulau Bali bagian selatan dan sebian perairan Jawa Timur bagian Tenggara.
(a) (b) Gambar 12. Citra yang ditampilkan dengan skema ash. (a) Skema ash pukul 04.00 UTC atau pukul 12.00 WITA. (b) Skema ashpukul 11.00 UTC atau pukul 19.00 WITA
Pada pukul 11.00 UTC, debu vulkanis terlihat mulai menjauhi wilayah Jawa Timur. Sebarannya masih terpantau di sekitar perairan selatan Jawa Timur dan perairan timur Pulau Bali. Satu jam kemudian yaitu pukul 12.00 UTC, sebaran debu vulkanis hanya berada di sekitar perairan Pulau Bali bagian timur.
-172-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
(a) (b) Gambar 13. Citra yang ditampilkan dengan skema ash. (a) Skema ash pukul 12.00 UTC atau pukul 20.00 WITA. (b) Skema ashpukul 13.00 UTC atau pukul 21.00 WITA
Mulai pukul 13.00 UTC, sebaran debu vulkanis Gunung Barujari tampak menyebar. Sebarannya mencapai sebagian besar wilayah Pulau Bali mulai dari Pulau Bali bagian barat hingga timur serta menyebar ke perairan selatan Pulau Lombok. Kondisi ini terus bertahan hingga pukul 17.00 UTC.
(a) (b) Gambar 14. Citra yang ditampilkan dengan skema ash. (a) Skema ash pukul 17.00 UTC atau pukul 01.00 WITA. (b) Skema ashpukul 18.00 UTC atau pukul 02.00 WITA
Selanjutnya pukul 18.00 UTC sebaran debu vulkanis cukup pekat di atas wilayah Bali menutupi Pulau Bali bagian tengah sampai selatan. Sebaran debu vulkanis di atas Pulau Bali semakin terbuka. Sebagian besar menyebar di atas wilayah perairan selatan Pulau Bali dan menutupi wilayah barat Pulau Lombok.
(a) (b) Gambar 15. Citra yang ditampilkan dengan skema ash. (a) Skema ash pukul 21.00 UTC atau pukul 05.00 WITA. (b) Skema ashpukul 24.00 UTC atau pukul 08.00 WITA
-173-
Uji Skema Dust RGB dan Ash RGB Untuk Informasi Sebaran Debu Vulkanis Menggunakan Satelit Himawari 8 (Studi Kasus: Erupsi Gunung Barujari 04 November 2015) (Wiguna, dkk.)
4. KESIMPULAN Dari citra satelit Himawari-8 tanggal 4 November 2015 diketahui bahwa arah sebaran debu vulkanis pada pukul 00 UTC mengarah ke arah barat Pulau Lombok terdispersi hingga menutupi sebagian Pulau Bali dan sebagian Jawa Timur.Pukul 06 UTC, pola dispersi debu vulkanis mulai sporadis ke arah Barat dan Barat Daya dari sumber letusan. Pada pukul 12 UTC, sebaran debu vulkanis secara sporadis mencapai Bali, Lombok dan pulau Sumbawa. Setelah pukul 21 UTC, sebaran debu vulkanis semakin mengarah ke aras barat daya hingga selatan, sehingga Pulau Bali tidak tertutupi lagi dan hanya menyisakan bagian barat Pulau Lombok hingga perairan selatan Pulau Bali yang tertutupi oleh debu vulkanis. Pengolahan data citra satelit baik menggunakan teknik RGB skema dust maupun skema ash menggunakan kanal yang sama, yaitu kanal 8.6 µm, 10.4 µm dan 12.4 µm. Perbedaan antara kedua skema ini hanya terletak pada pengaturan gradasi warnanya, sehingga terdapat sedikit perbedaan warna pada hasil kedua skema ini. Penggunaan kedua skema ini, baik skema dust maupun skema ash, sama-sama dapat menggambarkan pergerakan debu vulkanis dengan baik, namun warna debu vulkanis yang ditampilkan oleh skema dust cenderung lebih kontras dan menyala jika dibandingkan dengan warna yang ditampilkan oleh skema ash. Warna background yang ditampilkan skema ash memang lebih menyala, akan tetapi tidak mampu menampilkan warna debu vulkanis yang kontras dan menyala seperti pada skema dust. Hal ini tentu sedikit menyulitkan apabila debu vulkanis sedikit bercampur dengan awan meteorologis, karena warna debu vulkanis yang lebih menyala merah muda akan lebih memudahkan dalam mendeteksi keberadaannya di sekitar awan meteorologis.
5. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi, atas berkat Beliau, penelitian ini dapat terselesaikan. Ucapan terimakasih kepada penulis kedua yang membantu dalam pengerjaan dan pengolahan data dari penelitian ini. Terimakasih kepada teman-teman di sub bidang pengolahan citra satelit BMKG Jakarta atas bantuannya dalam menyediakan data satelit Himawari-8, serta tak lupa para dosen STMKG yang telah membantu saya dalam memperkaya teori mengenai satelit dan inderaja.
DAFTAR PUSTAKA
Eumetrain, (2010). Volcanic Ash Training Module, [daring] (http://www.eumetrain.org/data/1/144/ navmenu.php?page=3.3.0, diakses 12 Juni 2016) Molthan, A.L., Fuell, K.K., Oswald, H.K., dan Knaff, J.A., (2012). Developing of RGB Composite Imagery for Operational Weather Forecasting Applications, [daring] (www.goes-r.gov/downloads/2012-AMS/poster01/301Molthan.pdf, diakses 18 Februari 2016). Granyia, Baru Jari, (2015). Son of Rinjani and Samalas – A Time Line [daring] (https://volcanohotspot.wordpress. com/2015/11/06/baru-jari-son-of-rinjani-and-samalas-a-time-line/, diakses 11 Juni 2016) Kurino, T., (2015). Introduction to Himawari- 8/9 Operation, Data Disemination and Products [daring] (www.goesr.gov/downloads/.../09-2015_JMA%20presentation_Kurino.pdf, diakses 10 Juni 2016) Meteorological Satellite Center, (2015). Dust RGB Detection of Yellow Sand (Asian Dust) [daring] (http://www.data.jma.go.jp/mscweb/en/VRL/VLab_RGB/RGBimage.html, diakses 10 Juni 2016). Shimizu, A., (2015), Outline of RGB Composite Imagery [daring] (www.data.jma.go.jp/mscweb/en /...RGB/.../Outline_RGB_composite.pdf, diakses 10 Juni 2016) The COMET® Program, (2015). Multispectral Satellite Application: RGB Products Explained [daring] (http://www.meted.ucar.edu/satmet/multispectral_topics/rgb/navmenu.php?tab=1&page=3-2-4&type=text#, diakses 12 Juni 2016) Volcano Discovery, (2015). Rinjani Volcani [daring] (https://www.volcanodiscovery.com/rinjani.html, diakses 10 Juni 2016)
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskui presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016 Moderator Judul Makalah Pemakalah Diskusi
: Dr. Rahmat Arief, Dipl.Ing. : Uji Skema Dust RGB dan Ash RGB Untuk Informasi Sebaran Debu Vulkanis Menggunakan Satelit Himawari 8 (Studi Kasus Erupsi Gunung Barujari 04 November 2015) : Pande Putu Hadi Wiguna (STMKG) :
-174-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Saran: Bani (BMKG) Untuk contoh kasus berbeda yaitu ketika ada awan vulkanis sekitar ash
-175-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Komparasi Klasifikasi Citra Digital untuk Pemetaan Spesies Mangrove di Teluk Benoa, Bali Menggunakan Citra Worldview-2 Digital Image Classification Comparison For Mangrove Species Mapping in Benoa Bay, Bali Using Worldview-2 Image Erika Dwi Candra1*) dan Widyanissa Rahmayani1 1)
Kartografi dan Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada *)
E-mail:
[email protected]
ABSTRAK- Mangrove merupakan vegetasi yang berperan sangat penting dalam keseimbangan ekosistem, terutama pada ekosistem pesisir. Memahami spesies mangrove sangat penting untuk studi ekosistem mangrove. Teknologi penginderaan jauh memiliki peranan penting dalam pemetaan mangrove melalui kemampuannya untuk melihat suatu fenomena secara spasial. Citra Worldview-2 memiliki aspek spektral dengan sensor multispektral dan aspek spasial yang termasuk dalam resolusi spasial tinggi. Aspek spektral dan spasial Worldview-2 ditambah dengan algoritma klasifikasi citra digital memiliki potensi untuk mengidentifikasi mangrove pada level spesies. Potensi ini didasarkan pada objek yang berbeda memberikan intensitas nilai pantulan spektral yang berbeda, dalam hal ini spesies mangrove yang berbeda. Julat pantulan difokuskan pada julat panjang gelombang inframerah dekat yang perbedaan intensitasnya merepresentasikan adanya perbedaan struktur internal daun vegetasi dan dimungkinkan adanya perbedaan spesies vegetasi. Klasifikasi digital yang digunakan dalam penelitian ini adalahMaximum Likelihood, Minimum distance to mean, Paralelpiped, dan Classification Tree Analysis (CTA). Hasil dari klasifikasi masing-masing algoritma tersebut kemudian divalidasi dengan data lapangan untuk menghasilkan nilai akurasi. Penelitian ini diharapkan mampu mengahasilkan peta spesies mangrove dengan algoritma klasifikasi yang paling baik. Hutan mangrove di sebagian Teluk Benoa, Bali dipilih sebagai lokasi penelitian. Kata kunci: Worldview-2, mangrove, spesies mangrove, supervised, Classification Tree Analysis ABSTRACT-Mangrove is a vegetation that has a crucial role in the ecosystem sustainability, especially in coastal ecosystems. Understanding mangrove species was important in mangrove ecosystem studies. Remote sensing technology has advantages on mapping mangrove ecosystem, through its ability in viewing phenomena spatially. Wordview-2 image has spectral aspect with multispectral sensor and spatial aspect which included in image with high spatial resolution. Worldview-2 advantages combine with digital image classification algorithm had a potential to identify mangrove up to species level. Those potential was based on the fact that different object has a different spectral reflectance value, in this case different object means different mangrove species. Reflectance range was focused in the range of near infrared waves because its intensity difference shows different leaf internal structure of vegetation and a possibility of different species of the vegetation. Digital image classification algorithm that used in this research is Maximum Likelihood, Minimum distance to mean, Paralelpiped, and Classification Tree Analysis (CTA). The classification result of each classification algorithm was validated with the field observation in order to produce an accurate value. This research has a purpose to create a map of mangrove species with the best classification algorithm. Mangrove forest in TelukBenoa, Bali was chosen as the location of the research. Keywords: Worldview-2, mangrove, mangrove species, supervised, Classification Tree Analysis
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mangrove merupakan hutan hijau yang tahan terhadap garam dan membentuk ekosistem antara daratan dan lautan, selain itu hutan mangrove berperan sebagai habitat tempat keberlanjutan hidup berbagai biodiversitas serta keberadaannya turut memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan manusia (Heenkenda, dkk., 2014). Hutan Mangrove memiliki fungsi ekologi dan sosial ekonomi yang penting karena peran ekologinya dalam berbagai hal seperti stabilitas garis pantai, pengurangan erosi pesisir, penyimpan sedimen dan nutrien, pelindung dari badai, pengontrol arus dan banjir serta pengontrol kualitas air (Bahuguna, dkk., 2008). Secara umum hutan mangrove dapat ditemukan pada zona intertidal laut, ekosistem pesisir dan estuaria dari wilayah dan negara tropis dan sub-tropis (FAO, 2007). Hutan Mangrove Teluk Benoa merupakan salah satu kekayaan mangrove Indonesia yang berada Pulau Bali.
-176-
Komparasi Klasifikasi Citra Digital untuk Pemetaan Spesies Mangrove di Teluk Benoa, Bali Menggunakan Citra Worldview-2 (Candra, E.D., dkk.)
Beberapa tahun belakang, penelitian terkait fungsi ekologis dan ekonomi mangrove telah banyak dilakukan untuk menciptakan manajemen yang efektif dalam menangani hutan mangrove menjadi ekosistem alam yang berkelanjutan (Suratman, 2008; Alongi, 2002; Metcalfe, 2007; Pham, 2016). Informasi terkait kerapatan serta distribusi spasial dari hutan mangrove yang akurat dan terkini masih sedikit didokumentasikan (Malik, 2016). Beberapa peneliti menyatakan dalam penelitiannya bahwa pemetaan mangrove dengan survey lapangan merupakan kegiatan yang sulit, mamakan waktu tenaga serta biaya karena akses yang sulit (Jia, 2014; Heenkenda, 2014; Yh, 2015). Teknologi penginderaan jauh merupakan cara yang ideal untuk memetakan mangrove karena kelebihannya dlam menggambarkan fenomena muka bumi sacara spasial dan menyeluruh. Pemanfaatan citra satelit pun telah mengalami perkembangan yang signifikan, keberadaan citra resolusi tinggi merupakan salah satu perkembangan dalam pemetaan mangrove. Salah satu citra resolusi tinggi Worldview 2 memiliki potensi pemetaan mangrove hingga level spesies yang perlu diteliti dan dikembangkan. Spesies mangrove yang berbeda memiliki kerapatan kanopi yang juga berbeda, hal tersebut mengakibatkan karakteristik pola spektral yang juga berbeda saat ditangkap oleh sensor gelombang elektromagnetik (Yh, 2015). Worldview-2 memiliki rentang spektral yang lebar serta ideal untuk identifikasi komposisi spesies (Heenkenda, 2014) dengan resolusi spasial 2 m yang meningkatkan potensi pemetaan spesies mangrove secara akurat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan Worlview-2 dalam memetakan jenis mangrove hingga level spesies di Hutan Mangrove Teluk Benoa, Bali. Tujuan lain dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan kelas spesies mangrove menggunakan metode klasifikasi digital terselia Maximum Likelihood, Minimum distance to mean dan Paralelpiped dan CTA (Classification Tree Analyst) serta mengetahui akurasi pemetaan dari kedua metode tersebut.
2. METODE 2.1 Studi Area Penelitian ini berfokus pada sebagian daerah dari hutan mangrove yang ada di Teluk Benoa. Luas total Hutan Mangrove yang berada di Pulau Bali bagian selatan ini sebesar 1300 ha. Hutan mangrove yang menjadi daerah kajian pada penelitian ini hanya sebagiannya yaitu dengan luas 400 ha yang merupakan Taman Hutan Raya Ngurah Rai. Fokus kajian penelitian digambarkan pada Gambar 1.
Gambar 1.Citra Worldview-2 Komposit 742 (inframerah dekat 1, kuning, biru) Lokasi Kajian
Menurut Wiyanto dan Fiqoh (2015), jenis mangrove yang terdapat di Teluk Benoa berjumlah 11 jenis/spesies. Sebelas jenis mangrove tersebut yaitu Rhizopora mucronata, Rhizopora stylosa, Rhizophora apiculata, Avicenia marina, Avicenia officinalis, Sonneratia alba, Sonneratia caseolaris, Bruguiera gymnorrhyza, Bruguiera cylindrical, Xylocarpus granatum, dan Ceriop tagal.Daerah kajian ini merupakan daerah konservasi yang terdiri dari vegetasi mangrove alami dan artificial.
-177-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
2.2 Citra Worldview-2 Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah citra Worldview-2 bagian daerah selatan Pulau Bali perekaman tanggal 20 Mei 2015 yang diperolehDigital Globe Foundation. Citra dengan resolusi spektral dan spasial tinggi menyebabkan citra Worldview 2 merupakan solusi yang tepat untuk studi vegetasi (DigitalGlobe, 2008). Citra Worldview-2 memiliki 8 saluran multispektral dengan resolusi spasial 2 m dan satu buah saluran pankromatik dengan resolusi spasial 0,5 m. Spesifikasi dari citra Worldview 2 dijabarkan pada Tabel 1. Tabel 1.Spesifikasi Citra Worldview-2 Band Panjang Gelombang (nm) Pankromatik/Panchromatic
450-800
1. Coastal
400-450
2. Biru/Blue
450-510
3. Hijau/Green
510-580
4. Kuning/Yellow
585-625
5. Merah/Red
630-690
6. Merah Tepi/Red Edge
705-745
7. Inframerah Dekat 1/Near Infrared 1
760-895
8. Inframerah Dekat 2/Near Infrared 2 Sumber: Digital Globe, 2010
860-1040
2.3 Pre-processing dan Pengolahan Citra Proses koreksi citra ini tidak dilakukan koreksi geometrik. Hal ini disebabkan oleh resolusi spasial citra Worldview-2 sebesar 2 meter sehingga dalam pengambilan GCP diperlukan GPS dengan akurasi yang tinggi yaitu GPS Geodetik. Disebabkan oleh keterbatasan kesediaan peralatan GPS Geodetik maka tidak dilakukan pengambilan GCP untuk koreksi geometrik. Selain itu, data yang diperoleh dari Digital Globe Fondation berupa data dengan level 2A. Pada level ini citra sudah terkoreksi geometrik secara global dengan akurasi sebesar 90%. Apabila citra ditampalkan dengan peta dasar Indonesia yaitu Peta Rupabumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000, citra sudah menampal dan tidak terjadi pergeseran secara signifikan pada kenampakan citra dan peta. Oleh karena itu, tanpa dilakukan koreksi geometrik citra Worldview-2 tetap dapat digunakan dalam penelitian dengan eror yang kecil. Pra-proccessing citra dilakukan pada aspek radiometrik untuk mendapatkan nilai pantulan sebenarnya dari objek yang dikaji. Citra Worldview-2 yang diperoleh dari Digital Globe Fondation merupakan citra yang belum diolah secara radiometrik dan nilai pikselnya berupa Digital Number (DN). Nilai piksel tersebut merupakan perentangan nilai objek pada nilai bit 11 yang dimiliki satelit Worldview-2. Nilai piksel tersebut masih berupa nilai digital hasil konversi banyaknya spektral cahaya yang memasuki satelit dan belum mengalami pengolahan sehingga masih memiliki banyak gangguan. Oleh karena itu dikonversi menjadi nilai top-of-atmosphere spectral radiance. Proses klasifikasi multispektral yang akan dilakukan bergantung pada nilai pantulan objek sehingga nilai radiance tersebut dikonversi menjadi nilai reflectance. Citra terkoreksi radiometrik kemudian dilakukan masking dengan wilayah non-mangrove untuk memfokuskan kajian pada hutan mangrove. Hal ini bertujuan agar nilai piksel dari objek selain mangrove tidak ikut terklasifikasi. Pada proses pra-lapangan juga dilakukan pembuatan peta sampel dengan mengklasifikasikan objek mangrove pada citra yang telah dikoreksi. Proses klasifikasi dilakukan secara digital dengan metode klasifikasi tak terselia Kmeans. Klasifikasi unsupervised dilakukan dengan dasar bahwa perbedaan jenis mangrove memberikan pola pantulan spektral yang berbeda, khususnya pada panjang gelombang inframerah. Gambar 2 menunjukkan kurva pantulan dari beberapa spesies mangrove. Berdasarkan hasil klasifikasi tersebut diberikan sejumlah titik sampel yaitu 80. Lokasi sampel ditentukan dengan metode stratifiedaline. Peta titik sampel hasil preprocessing terlihat pada Gambar 3.
-178-
Komparasi Klasifikasi Citra Digital untuk Pemetaan Spesies Mangrove di Teluk Benoa, Bali Menggunakan Citra Worldview-2 (Candra, E.D., dkk.)
(a)
(b)
Gambar 2. (a) Kurva Spektral Avicennia marina dan Rhizophora conjugate (Kuenzer, dkk., 2011) (b) Pantulan Spektral Jenis Mangrove, Saltmash, dan Tubuh Air (Kamal dan Phinn, 2011)
Gambar 3.Peta Lokasi Sampel
2.4 Survei Lapangan Kerja lapangan dilakukan selama tujuh hari, yaitu tanggal 18 Mei 2016 sampai 24 Mei 2016. Data lapangan dibagi menjadi dua yaitu data untuk membangun model dan data untuk uji akurasi. Tim peneliti terdiri dari tiga orang yaitu penulis yang dibantu oleh satu orang pendamping dan satu orang dari Balai Pengendali Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan yang membantu dalam mengidentifikasi jenis mangrove dan melakukan pengukuran. Akses untuk mencapai lokasi sampel dapat dicapai melalui dua cara yaitu jalan darat dan air. Jalan darat dicapai dengan berjalan kaki pada jalur tracking yang telah ada dan digunakan sebagai jalur wisata mangrove. Selain jalur tracking, pada beberapa lokasi masih terdapat pematang yang dapat dilalui. Jalur air dipilih untuk menjangkau lokasi sampel yang jauh dari darat dan tergenang air cukup tinggi. Jalur air dicapai dengan perahu yang disewa dari nelayan setempat. Kegiatan lapangan berupa pendataan jenis mangrove pada lokasi sampel yang telah ditentukan.
2.5 Resampling Citra Resampling citra dilakukan untuk mengubah ukuran piksel citra menjadi lebih besar atau downscaling. Resampling citra ini dilakukan karena adanya potensi pada beberapa spesies mangrove ukurannya melebihi 2 m sehingga tidak tergambarkan pada satu piksel citra Worldview-2 yaitu 2 m. Ukuran piksel 10 m menggabungkan atau mengagregasi beberapa piksel berukuran 2 m. Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan dua ukuran piksel yaitu 2 m dan 10 m.
-179-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
2.6 Klasifikasi Spesies Mangrove Klasifikasi spesies mangrove dilakukan menggunakan dua metode yaitu klasifikasi multispektral supervised dan Classification Tree Analysis.Klasifikasi supervised merupakan klasifikasi objek berbasis piksel menggunakan algoritma tertentu berdasarkan training area yang diberikan. Training area yang diberikan telah memiliki sistem klasifikasi tertentu dalam hal ini adalah spesies mangrove. Training area tersebut diberikan untuk melatih komputer untuk mengenali objek berdasarkan kecenderungan nilai spektralnya. Algoritma yang digunakan yaitu Maximum Likelihood, Minimum distance to mean dan Paralelpiped. Classification Tree Analyst merupakan salah satu algoritma machine learning untuk memperoleh keputusan seperti berupa kelas klasifikasi. CTA ini terdiri dari cabang yang mewakili atribut dan daun yang mewakili keputusan atau yang disebut dengan decision tree. Decision tree dibangun berdasarkan training areadengan atribut seperti nilai piksel.
2.7 Uji Akurasi Uji akurasi dilakukan untuk mengetahui tingkat akurasi hasil interpretasi dalam hal ini adalah interpretasi jenis mangrove. Metode yang digunakan adalah metode error matrix. Metode ini didasarkan pada hasil interpretasi dan pengamatan langsung di lapangan. Variabel yang digunakan dalam penghitungan akurasi adalah jenis-jenis mangrove yang diperoleh dari sampel klasifikasi dan sampel uji akurasi. Metode error matrix digunakan karena data penginderaan jauh yang digunakan bukan berupa data kontinyu melainkan diskrit. Contoh tabel error matrix ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4.Tabel Error Matrix Sumber: Congalton dan Green, 2009 dengan modifikasi
2.8 Diagram Alir Secara sederhana alur penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Diagram Alir Penelitian
-180-
Komparasi Klasifikasi Citra Digital untuk Pemetaan Spesies Mangrove di Teluk Benoa, Bali Menggunakan Citra Worldview-2 (Candra, E.D., dkk.)
3.
HASILDAN PEMBAHASAN
Pra proccessing citra dilakukan untuk memperbaiki kualitas citra. Koreksi radiometrik yang dilakukan untuk memperbaiki nilai piksel citra sehingga menggambarkan nilai pantulan dari setiap objek. Koreksi ini perlu dilakukan karena data citra akan digunakan dalam klasifikasi multispektral yang melibatkan nilai piksel citra. Tahap koreksi radiometrik dibatasi sampai pada tahap top-of-atmosphere spectral reflectance. Hal ini disebabkan oleh klasifikasi multispektral hanya memproses nilai spektral dalam satu scene tiap bandnya. Citra hasil koreksi radiometrik inilah yang digunakan dalam pemrosesan data. Objek mangrove dikenali dengan posisinya yang hanya terdapat di area tertentu seperti wilayah pesisir. Untuk membedakan vegetasi mangrove dan non mangrove yang ada di sekitarnya yaitu dengan rona pada warna merah yang terbentuk. Mangrove akan memiliki warna merah yang lebih gelap karena pengaruh objek air yang ada di bawahnya. Vegetasi non mangrove akan dikenali dengan warna merah yang lebih terang. Secara visual perbedaan vegetasi mangrove dan non mangrove ditampilkan pada Gambar 6. Setelah didapatkan objek mangrove saja, dilakukan masking untuk memisahkan objek mangrove tersebut dengan objek lainnya. Hal ini bertujuan agar pada pemrosesan data selanjutnya nilai piksel dari objek lain tidak terhitung.
Gambar 6.Perbedaan Warna Objek Vegetasi Mangrove dan Non Mangrove
Penentuan lokasi sampel didasarkan pada hasil klasifikasi multispektral unsupervised dengan asumsi setiap spesies mangrove memiliki pola yang berbeda-beda pada setiap panjang gelombang. Klasifikasi multispektral unsupervised dilakukan dengan dua metode yaitu ISODATA dan K-means pada berbagai tingkat iterasi. Berdasarkan berbagai percobaan yang dilakukan metode K-means dengan iterasi 5 memberikan hasil terbaik. Diperoleh empat kelas jenis mangrove dengan persebaran yang paling mengelompok. Tingkat iterasi dibawah dan di atas 5 sebaran kelasnya menjadi sangat acak seperti disebabkan piksel-piksel di antara kanopi bisa terkelaskan menjadi kelas jenis yang berbeda. Terdapat beberapa jenis mangrove yang dapat teridentifikasi saat kerja lapangan, yaitu: Rhizopora apiculata, Rhizopora mucronata, Sonneratia alba, Bruguiera gymnorhiza, Ceriops tagal, Rhizopora stylosa, Avicennia marina, dan Aegiceras corniculatum. Berdasarkan lokasi sampel yang telah ditentukan jenis mangrove Rhizopora apiculata, Rhizopora mucronata, Sonneratia alba, dan Bruguiera gymnorhiza merupakan jenis mangrove yang mendominasi daerah kajian. Jenis-jenis lain yang ditemukan saat identifikasi cenderung berjumlah sedikit sehingga diabaikan perbedaan jenisnya pada setiap titik sampelnya. Data lapangan tersebut digunakan untuk membangun model dengan jumlah sampel sebanyak 40 sampel. Model klasifikasi berbasis piksel dilakukan dengan klasifikasi multispektral supervised. Model dibangun dengan ketiga algoritma supervised yang digunakan yaitu Maximum Likelihood, Minimum distance to mean dan Paralelpiped. Hasilnya adalah algoritma Minimum distance to mean memberikan hasil klasifikasi yang terbaik. Hal ini terlihat pada klasifikasi dengan algoritma Maximum Likelihood dan Paralelpiped tidak menghasilkan kelas yang sesuai dengan training area yang diberikan yaitu hanya menghasilkan dua kelas dari empat kelas training area yang diberikan. Hal ini dapat disebabkan oleh jumlah sampel pada beberapa kelas tidak proporsional atau jumlahnya sangat sedikit. Kelas training area berjumlah empat dengan kelas spesies Rhizopora apiculata, Rhizopora mucronata, Sonneratia alba, dan Bruguiera gymnorhiza. Algoritma Minimum distance to mean menjadi salah satu algoritma yang menghasilkan empat kelas spesies tersebut. Pemodelan kelas spesies mangrove menggunakan metode Minimum distance to mean dan CTA pada skala 2 m dan 10 m citra Worldview-2 ditampilkan pada Gambar 7. Berdasarkan keempat klasifikasi tersebut secara
-181-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
keseluruhan memiliki pola yang hampir sama. Spesies Rhizopora apiculata dan Rhizopora mucronatamendominasi bagian hutan mangrove artificial atau buatan, sedangkan mangrove yang tumbuh secara alami didominasi oleh Sonneratia alba.Spesies Bruguiera gymnorhiza juga terdapat di daerah kajian. Pada keempat klasifikasi ditemukan Bruguiera gymnorhiza dengan sebaran yang berbeda. Klasifikasi dengan Minimum distance to mean menggambarkan spesies Bruguiera gymnorhiza tersebar pada sisi yang dekat dengan daratan. Hal ini sesuai dengan karakteristik spesies Bruguiera gymnorhiza yang cenderung ditemukan pada substrat lumpur yang masih keras yaitu area yang dekat dengan pantai. Hasil berbeda ditunjukkan oleh hasil CTA yaitu spesies Bruguiera gymnorhiza ditemukan pada sisi hutan alami yang cenderung dekat dengan laut dan terendam air dalam waktu cukup lama. Karakteristik area ini kurang sesuai untuk hidup Bruguiera gymnorhiza sehingga dimungkinkan adanya kesalahan dalam klasifikasi dengan CTA pada beberapa piksel.
Gambar 7.Kelas Spesies Mangrove Hasil klasifikasi
Perbedaan klasifikasi menghasilkan perbedaan luasan setiap kelas pula. Tiga dari empat klasifikasi memiliki pola luasan yang sama, yaitu spesies Bruguiera gymnorhiza memiliki luas terkecil, diikuti Rhizopora apiculata dan Rhizopora mucronata, serta Sonneratia alba memiliki luasan terbesar. Pola yang berbeda ditunjukkan oleh hasil CTA pada ukuran piksel 2 m. Apabila dibandingkan dengan kondisi lapangan luasan Bruguiera gymnorhiza memang paling kecil karena tidak banyak ditemukan pada titik sampel. Akan tetapi hanya klasifikasi CTA pada 2 m yang tidak menunjukkan hal yang sesuai kondisi lapangan justru menunjukkan bahwa Bruguiera gymnorhiza memiliki luas lebih besar dibanding Rhizopora apiculata.Selain itu, Rhizopora apiculata dan Rhizopora mucronata ditemukan mendominasi pada area artificial atau buatan. Hal ini juga sesuai dengan kondisi konservasi hutan mangrove tersebut menurut Balai Pengendali Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan yang saat ini menaungi hutan mangrove daerah kajian. Sebelum dilakukannya penanaman mangrove dilakukan kajian untuk mengetahui spesies yang paling cocok atau sesuai dengan kondisi lahan. Hasilnya adalah Rhizopora apiculata dan Rhizopora mucronata menjadi spesies yang dipilih untuk ditanam di lahan tersebut. Rhizopora mucronata ditanam dengan jumlah yang paling banyak karena dianggap paling sesuai dengan kondisi lahan dan juga tahan terhadap penyakit. Sonneratia alba mendominasi area hutan mangrove yang tumbuh secara alami. Spesies ini dianggap cocok tumbuh pada daerah yang dekat dengan laut karena sebagai pelindung dari gelombang laut. Ukuran satu individu spesies ini juga tergolong besar sehingga pada klasifikasi dihasilkan luasan yang besar pula. Walaupun
-182-
Komparasi Klasifikasi Citra Digital untuk Pemetaan Spesies Mangrove di Teluk Benoa, Bali Menggunakan Citra Worldview-2 (Candra, E.D., dkk.)
jumlah individu Sonneratia alba belum tentu lebih banyak dibandingkan Rhizopora mucronata. Gambar 8 menggambarkan grafik perbedaan luasan setiap kelas spesies mangrove.
Gambar 8. Perbandingan Luasan Spesies Mangrove
Hasil klasifikasi tersebut kemudian diuji akurasi menggunakan data yang diperoleh dari lapangan. Data ini berupa data sampel yang berjumlah 20 dan berbeda dari sample yang digunakan untuk membangun model atau trainingarea. Uji akurasi menggunakan error matrix dan nilai akurasinya dilihat dari akurasi keseluruhan atau overallaccuracy. Hasilnya adalah klasifikasi dengan CTA pada ukuran piksel 2 m memberikan akurasi tertinggi dibandingkan klasifikasi yang lain. Klasifikasi Minimum distance to mean juga memiliki akurasi tertinggi setelah CTA 2 m. Akurasi terendah ditunjukkan pada klasifikasi CTA pada ukuran piksel 10 m. Akan tetapi, hasil ini menunjukkan ketidakstabilan akurasi informasi yang dihasilkan. Pada perbandingan luasan, klasifikasi CTA pada 2 m menjadi satu-satunya klasifikasi yang tidak menunjukkan kesesuaian luasan setiap spesies. Klasifikasi dengan akurasi tinggi dan juga memberikan informasi luasan paling sesuai adalah klasifikasi Minimum distance to mean pada piksel 2 m. Oleh karena itu, klasifikasi Minimum distance to mean lebih baik digunakan dalam memetakan spesies mangrove pada daerah kajian penelitian ini. Di luar hasil penelitian ini, sampel yang digunakan untuk uji akurasi memiliki peranan penting dalam menentukan akurasi dari metode klasifikasi. Jumlah dan juga sebaran dari titik sampel sangat menentukan besar kecilnya nilai akurasi dari klasifikasi. Semakin banyak dan menyebar untuk mewakili setiap kelas maka akan semakin sesuai nilai akurasi yang dihasilkan dengan kondisi di lapangan. Nilai akurasi penelitian ini terbatas oleh jumlah sampel yang dimiliki untuk uji akurasi. Gambar 9 menggambarkan grafik perbandingan nilai akurasi dari keempat metode klasifikasi.
Gambar 9. Perbandingan Akurasi Klasifikasi
4.
KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1. Klasifikasi Minimum distance to mean dengan ukuran piksel original Worldview-2 yaitu 2 m memberikan hasil yang terbaik dibandingkan metode klasifikasi yang lain untuk memetakan spesies mangrove di daerah penelitian ini, dan
-183-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
2. Nilai akurasi yang dicapai penelitian ini sangat dipengaruhi oleh jumlah dan sebaran sampel yang digunakan untuk uji akurasi.
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih ditujukan kepada pihak-pihak yang telah membantu menyelesaikan penelitian ini, dari mulai tahap persiapan, pengambilan data, pengolahan data, hingga penulisan makalah ini. Terima kasih kami sampaikan kepada seluruh jajaran Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada yang telah memfasilitasi kami dalam menimba ilmu. Kami sampaikan terima kasih juga kepada dosen pembimbing Prof. Dr. Hartono, DEA., DESS. dan Dr. Pramaditya Wicaksono, M.Sc. yang telah mengarahkan dan membimbing penulis dalam penelitian. Tak lupa kami sampaikan terima kasih kepada Mbak Wulan dari Balai Pengendali Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan yang telah membatu dalam pelaksanaan survei lapangan. Terima kasih juga kami sampaikan kepada Pak Pujo dari Balai Pengendali Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan, Pak Dwi dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan Bali, Mas Hernan, Mas Dayat dan Pak Suletra.
DAFTAR PUSTAKA Alongi, D.M., (2002). Present state and future of the world’s mangrove forests. Environ. Conserv,29:331–349. Bahuguna, A., Nayak, S., dan Roy, D., (2008). Impact of the tsunami and earthquake of 26th December 2004 on the vital coastal ecosystems of the Andaman and Nicobar Islands assessed using RESOURCESAT AWiFS data. International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation,10(2):229–237. DigitalGlobe. (2009). The Benefits of the 8 Spectral Bands of WorldView-2; DigitalGlobe: Longmont, CO, USA. Food and Agriculture Organization. (2007) The World’s Mangroves 1980–2005; FAO Forestry Paper 153; Food and Agriculture Organization of the United Nations: Rome, Italy, Heenkenda, M., Joyce, K. E., Maier, S., dan Bartolo, R., (2014). Mangrove Species Identification: Comparing WorldView-2 with Aerial Photographs. Remote Sensing,6:6064-6087. Malik, A., Mertz,O., dan Fensholt,R., (2016). Mangrove Forest Decline : Conseqquences for Livelihoods and environment in South Sulawesi. Regional Environmental Change. Jia, M., Zhang, Y., Song, K.., dan Ren, C., (2014). Mapping the Distribution of mangrove Species in the Core one of mai Po Marshes Nature Reserve, Hongkong , using Hyperspectral Data and High Resolution Data. International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation33:226-231. Kamal, M., danPhinn, S. (2011). Hyperspectral Data for Mangrove Species Mapping: A Comparison of Pixel-Based and Object-Based Approach. Remote Sensing, 3:2222-2242. Kuenzer, C., Bluemel, A., Gebhardt, S., Quoc, T. V., dan Dech, S. (2011). Remote Sensing of Mangrove Ecosystems: A Review. Remote Sensing, 3:878-928. Metcalfe, K. (2007). The Biological Diversity, Recovery from Disturbance and Rehabilitation of Mangroves in Darwin Harbour, Northern Territory. In Faculty of Education, Health & Science; pp. 1–17. Charles Darwin University: Darwin, NT, Australia. Pham, dan Thien, D., (2016). Impacts of mangrove management systems on mangrove changes In the Northern Coast of Vietnam. Tropics. 24(4):141-151. Suratman, M.N. (2008). Carbon Sequestration Potential of Mangroves in Southeast Asia. In Managing Forest Ecosystems: The Challenge of Climate Change; Bravo, F., Jandl, R., LeMay, V.,Gadow, K., Eds.; Springer: New York, NY, USA; pp. 297– 315. Wiyanto, D. B., dan Faiqoh, E. (2015). Analisis vegetasi dan struktur komunitas Mangrove Di Teluk Benoa, Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences, 1-7. Yh, Z., Liu, K., dan Liu, L., (2015). Retrieval of Magrove Aboveground Biomass at Individual Species Level with WorldView-2 Images. Remote Sensing,7:12192-12214 Congalton, R. G., dan Green, K. (2009). Assessing the Accuracy of Remotely Sensed Data. New York: CRC Press. Digital Globe. (2010). Digital Globe Data Sheet. Diakses pada 9 Januari 2016, dari http://global.digitalglobe.com/sites/default/files/DG_WorldView2_DS_PROD.pdf
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskui presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016 Moderator Judul Makalah Pemakalah Diskusi
: D. Heri Yuli Sulyantara : Komparasi Klasifikasi Citra Digital untuk Pemetaan Spesies Mangrove di Teluk Benoa, Bali Menggunakan Citra Worldview-2 : Erika Dwi Candra (UGM) :
-184-
Komparasi Klasifikasi Citra Digital untuk Pemetaan Spesies Mangrove di Teluk Benoa, Bali Menggunakan Citra Worldview-2 (Candra, E.D., dkk.)
Peranyaan: Bambang Trisakti (LAPAN) 1. Mengapa pada klasifikasi Minimum Distance to Mean piksel 2m lebih bagus dibandingkan dengan yang 10m, sementara pada Classication Tree Analysis yang 10m lebih bagus dibandingkan dengan yang 2m? 2. Sampling sudah general, jadi akurasi lebih tinggi dibandingkan general. Tetapi disini kenapa terbalik? Jawaban : 1. Untuk ukuran resampling 10m memang lebih general, hasil klasifikasi untuk 2m sebenarnya lebih acak dan nilai akurasinya tidak konsisten karena sample dari hasil uji akurasinya sendiri. 2. Sampel hanya berupa titik, jadi hanya di koordinat tertentu saja dan bisa di ukuran 2m. Pada koordinat sample uji akurasi itu adalah ukuran yang berbeda dengan sekitarnya. Peranyaan: Dewi (Kementerian PUPR)
Apa manfaat dengan kita mengetahui klasifikasi dari spesies yang ada di suatu lokasi, dan apa tindak lanjutnya? Jawaban: Salah satu manfaatnya yaitu untuk pendugaan biomassa dan stok karbon, karena dari pendugaan biomassa dan stok karbon dipengaruhi oleh spesies masing-masing. Tiap spesies memiliki kemampuan yang berbeda dalam menyimpan stok karbon maupun biomassa.
-185-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Klasifikasi Vegetasi Berbasis Objek pada Citra Quickbird Menggunakan Metode Nearest Neighbors untuk Mengetahui Akurasi dengan TTA Mask Sekitar Kawasan Ruang Terbuka Hijau Denggung, Kecamatan Sleman Object-Based Classification of Vegetation on Quickbird Image Using Nearest NeighborstoKnow Accuracy with TTA Mask Around of the Green Open Space Region in Denggung, Sleman District Fathurrofi Braharsyah Habibi1*) 1
Mahasiswa Sarjana Kartografi dan Penginderaan Jauh, FGE, UGM *)
E-mail:
[email protected]
ABSTRAK – Ketersediaannya ruang terbuka hijau menjadi penting. Masalah perkotaan yang sering muncul disebabkan oleh penurunan kualitas udara sehat akibat berkurangnya pepohonan sebagai adanya alih fungsi lahan menjadi kawasan budidaya baik untuk kawasan permukiman maupun kawasan komersial. Object-based image analysis (OBIA) merupakan salah satu metode yang diharapkan dapat digunakan untuk memperoleh informasi tersebut dari citra Quickbird. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahuiakurasi dari kelas vegetasi berdasarkan OBIA menggunakanmetode Nearest Neighbors (NN). Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Normalized Difference Water Index (NDWI), danSecondModified Soil Adjusted Vegetation Index (MSAVI2) diperoleh dari nilai piksel citra untuk membantu proses klasifikasi. Hasil ditunjukkan dengan dua kelasdari penilaian indeks ini, yaitu objek vegetasi, dan non-vegetasi. Selanjutnya, kelas vegetasi dapat dibedakan lagi menjadikelas pohon, semak/perdu, dan penutup tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode yang diusulkan memiliki akurasimencapai 96,84% menggunakan Test and Training Area (TTA) Mask. Kata kunci: Citra Quickbird, OBIA, Nearest Neighbors, Vegetasi, TTA Mask ABSTRACT –Availability of green open space is important. Urban problems is often appear caused by decrease in air quality healthy due to reduced trees as the conversion of land into cultivation area is both for residential areas and commercial areas. Object-based image analysis (OBIA) is one method that expected to be used to obtain such information from Quickbird image. The aimed from this study is to know accuracy from vegetation classes based on OBIA using Nearest Neighbors (NN) method. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Normalized Difference Water Index (NDWI), and Second Modified Soil Adjusted Vegetation Index (MSAVI2) are obtained from the pixel values of the image to help the classification process. The results shown two classes from this index values, which vegetation, and non-vegetation. For the next, the vegetation classes can be distinguished into trees, bushes/shrubs, and ground cover class. The result shows that method which proposed has result 96,84%, using Test and Training Area (TTA) Mask. Keywords: Quickbird image, OBIA, Nearest Neighbors, Vegetation, TTA Mask
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tutupan vegetasi dalam daerah perkotaan memiliki peran penting di kehidupan manusia, ini dipengaruhi karena adanya iklim perkotaan termasuk suhu, kelembapan, kecepatan angin, dan mengurangi kebisingan (Hofmann, dkk., 2011). Salah satu hal yang dilakukan dalam perencanaan perkotaan adalah dengan pemetaan dan pemantauan tutupan vegetasi karena hal ini memiliki fungsi yang esensial, seperti pengelolaan udara, iklim dan kualitas air, pengurangan kebisingan, perlindungan spesies, dan pengembangan aktivitas rekreasi (Puissant, dkk., 2014). Namun, tutupan vegetasi ini merupakan fenomena yang cepat berkembang dan berubah, terutama terjadinya pertambahan penduduk, dan adanya kebutuhan sosial, ekonomi dan kesehatan di daerah perkotaan dengan akses yang memadai. Adanya informasi tutupan vegetasi ini, maka pemetaan dan pemantauan tutupan vegetasi harus dilakukan secara berkelanjutan, cepat, dan akurat. Penginderaan jauh dengan berbagai jenis sensor telah menunjukkan keefektifan dan keefisienannya dalam proses pemetaan dan pemantauan yang menggantikan metode survey terestrial. Ketersediaannya resolusi dalam citra penginderaan jauh, seperti resolusi spasial, spektral, radiometrik, dan temporal, mendorong para pengguna untuk lebih mudah memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan data dari segi kemampuan sensor terhadap pemisahan objek pada kisaran panjang gelombang tertentu dapat ditinjau dengan resolusi
-186-
Klasifikasi Vegetasi Berbasis Objek pada Citra Quickbird Menggunakan Metode Nearest Neighbors untuk Mengetahui Akurasi Menggunakan TTA Mask Sekitar Kawasan Ruang Terbuka Hijau Denggung, Kecamatan Sleman (Habibi, F.B.)
spektralnya, dari segi kepekaan sensor terhadap objek satu dengan yang lain dapat ditinjau dengan resolusi radiometriknya, dari segi seri waktu secara kontinu dapat ditinjau dengan resolusi temporalnya, dan dari segi ukuran terkecil objek yang ditinjau dengan resolusi spasialnya (Danoedoro, 2012).Hal ini menjadikan kebutuhan data bukan lagi masalah yang perlu dipertimbangkan, terutama setelah adanya citra beresolusi spasial tinggi hingga sangat tinggi. Teknologi pengolah citra digital menggunakan satelit penginderaan jauh berkembang semakin pesat. Perusahaan-perusahaan satelit penginderaan jauh pun telah bersaing dengan kualitas yang mendekati foto udara. Pada 1991, perusahaan Space Imaging muncul dengan satelit Ikonos resolusi spasial hingga mencapai 1 meter, diikuti oleh Quickbird dengan resolusi lebih tinggi hingga 0,6 meter, serta satelit-satelit yang lainnya (Danoedoro, 2012). Akan tetapi, bukan terpacu pada resolusinya saja, pengolahannya pun telah berkembang dengan pesat dari interpretasi visual hingga interpretasi digital (Zylshal, dkk., 2016), dan dari per-piksel hingga per-objek. Topik mengenai “Klasifikasi Vegetasi Berbasis Objek pada Citra Quickbird Menggunakan Metode Nearest Neighbors untuk Mengetahui Akurasi dengan TTA MaskSekitar Kawasan Ruang Terbuka Hijau Denggung,Kecamatan Sleman” menarik untuk dikaji. Penelitian ini berfokus pada tutupan vegetasi yang ada di Sebagian Ruang Terbuka Hijau Denggung, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman. Penggunaan analisis citra berbasis objek menjadi dasar dalam perolehan objek vegetasi yang tampak pada citra dengan berbagai bantuan klasifikasi berbasis objek, seperti informasi bentuk, tekstur, hubungan konten dengan objek yang lain dari beberapa kumpulan piksel yang sama yang disebut sebagai segmen atau objek (Hay dan Castilla, 2006).
1.2 Rumusan Masalah Peningkatan kebutuhan informasi tutupan vegetasi tentunya diimbangi dengan meningkatnya pemanfaatan citra penginderaan jauh sebagai sumber data yang berkelanjutan. Citra penginderaan jauh berbagai resolusi telah banyak dimanfaatkan diberbagai bidang penginderaan jauh baik menggunakan teknik interpretasi visual maupun dengan teknik interpretasi digital. Teknik interpretasi digital yang paling umum digunakan adalah klasifikasi multispektral berbasis piksel (pixel-based classification) yang dalam pengolahannya menggunakan unsur informasi spektral saja dengan mengabaikan adanya informasi spasial dalam citra. Padahal informasi spasial ini masih melekat dikarakteristik setiap citra penginderaan jauh sehingga dengan alasan tersebut kemudian muncul teknik klasifikasi baru yang mengombinasikan antara unsur spektral dan spasial yang disebut klasifikasi berbasis objek (object-based classification) (Hussein, 2013). Klasifikasi berbasis objek secara umum masih bagian dari OBIA (Object-Based Image Analysis), berdasarkan kesepakatan umum bahwa OBIA ini dibangun dengan melibatkan segmentasi terlebih dahulu, lalu dilakukan deteksi tepi, ektraksi fitur, dan kemudian klasifikasi (Blaschke, 2010).Segmentasi citra mendasarkan objek dibagi menjadi segmen-segmen atau objek-objek berdasarkan tingkat homogenitas piksel-piksel. Hasil segmen ini menjadikan deteksi tepi dari unsur warna dan bentuk (tingkat kehalusan dan tingkat kekompakan) dapat terdelineasi dengan baik. Akan tetapi, hasil delineasi ini belum dapat mengenali objek dengan baik sehingga diperlukan adanya ekstraksi fitur dan klasifikasi objek. Interpretasi citra secara visual/manual memakan waktu yang lama dan tenaga yang mumpuni, serta subjektif. Terlebih apabila cakupan areanya luas, yang menimbulkan pengolahan digitizing on screen kurang efisien dan memakan waktu lebih lama untuk interpretasi. Selain itu, klasifikasi citra berbasis piksel juga mengandung gangguan berupa “salt and papper” yang dirasa kurang efektif untuk visualisasi. Terlebih apabila hasil klasifikasi berbasis piksel ini terdapat satu piksel yang mengandung satu objek, yang seharusnya satu piksel ini mengklasifikasikannya ke objek dengan piksel yang lebih homogen. Teknologi penginderaan jauh dengan cara otomatis/semi-otomatis melalui klasifikasi berbasis objek dirasa mampu untuk menandingi klasifikasi citra secara visual/manual yang memakan waktu lama dan klasifikasi berbasis piksel yang mengandung banyak gangguan. Permasalahan yang sering muncul di kawasan perkotaan diakibatkan karena adanya aktivitas sosial dan ekonomi yang pesat sehingga membombardir peruntukan fungsi kawasan, seperti hilangnya ruang publik. Sebagaimana fungsi adanya ruang publik yang biasanya dalam bentuk ruang terbuka hijau memiliki posisi substansial untuk menampung perkembangan perkotaan. Oleh karena itu, adanya OBIA untuk mendeteksi ruang terbuka hijau dengan akurat dan efisien sangat dibutuhkan keberadaannya. Apalagi informasi yang selalu ter-update diperlukan adanya agar perubahan-perubahan ruang publik yang biasanya berbentuk ruang terbuka hijau tidak dijadikan sasaran sebagai konversi lahan. Selain itu, hal yang mengatur khususnya dalam perencanaan perkotaan perlu mempertimbangkan hukum yang disajikan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
-187-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
1.3 Posisi dan Tujuan Penelitian Kebutuhan dengan adanya metode baru menyebabkan fokusnya pada metodologi yang disebut analisis citra berbasis objek (Object Based Image Analysis/OBIA). Berbeda pada metode berbasis piksel yang seringkali memberikan hasil yang terbatas. Terutama jika objek strukturalnya kecil untuk dideteksi sehingga penggunaan berbasis objek yang lebih tepat (Blaschke, dkk., 2008). OBIA merupakan sub-disiplin ilmu GIS yang ditujujan untuk membagi citra penginderaan jauh menjadi objek citra yang bermakna dan menilai karakteristik mereka melalui skala spasial, spektral, dan temporal (Hay dan Castilla, 2006). Klasifikasi OBIA sudah mulai banyak dilakukan untuk pemetaan. Menurut hasil penelusuran Google Cendekia, semua teknik klasifikasi citra telah menunjukkan pertumbuhan yang stabil dalam jumlah publikasi. Baru-baru ini, klasifikasi berdasarkan objek telah menunjukkan banyak pertumbuhan (GISGeography, 2016). Penelitian sebelumnya, Gao, dkk. (2007) melakukan klasifikasi OBIA dengan metode Nearest Neighbors (NN) pada citra Landsat ETM+ dihasilkan akurasi 80.59% dan lebih tinggi dibandingkan dengan klasifikasi berbasis piksel. Sementara, metode yang digunakan Gao, dkk. (2007) dan penelitian ini menggunakan metode yang sama, yaitu metode Nearest Neighbors (NN). Namun, hal yang membedakan pada penelitian Gao, dkk. (2007), pada penelitian ini menggunakan citra Quickbird dengan resolusi spasial yang lebih tinggi dibandingkan dengan Landsat ETM+. Zylshal, dkk. (2016), menggunakan OBIA dengan menerapkan klasifikasi SVM (Support Vector Machine) pada citra Pleiades-1A menghasilkan akurasi 86% dari referensi data. Akan tetapi, kelas yang digunakan oleh Zylshal, dkk. (2016) menggunakan jumlah kelas yang cukup sedikit, yaitu kelas vegetasi, non-vegetasi, dan tubuh air sehingga menghasilkan akurasi yang cukup tinggi pula, sedangkan pada penelitian ini menggunakan lima kelas, yaitu non-vegetasi, tubuh air, pohon, perdu/semak, dan penutup tanah untuk diperoleh bagaimana akurasinya. Dalam pengenalan pola, beberapa penelitian yang menggunakan analisis tekstur, antara lain:klasifikasi kanker usus, klasifikasi gigi, pengenalan pola buah apel, klasifikasi jenis parket kayu jati, membedakan masa usia tanam sawit, mendeteksi potensi kanker payudara, sampai identifikasi macan tutul (Aprilianti, dkk., 2013; Simarmata, dkk., 2015;Qur’aina, dkk., 2012; Hakim, 2012; Gandharum dan Chen, 2011; Hartadi, 2011; Budiarso, 2010). Pada penelitian penggunaan informasi tekstur objek dengan co-occurrence matrix (Haralick, 1979) yang dapat dihitung dari tiap data band tunggal dan dipergunakan sebagai masukan pada klasifikasi citra satelit multiband, multitemporal atau radar dan telah memperoleh hasil dengan keakuratan yang cukup tinggi (Kushardono, dkk., 1995; Kushardono, 2012; Mirzapour, 2015). Namun, penelitian ini diterapkan untuk mengetahui akurasi dengan menggunakan nearest neighbors dan dapat membedakan objektidak hanya dengan analisis tekstur saja, tetapi membedakan objek berdasarkan nilai pantulan spektral juga diperlukan dengan bantuan saluran inframerah dekat pada Quickbird. Untuk itu, penelitian ini ingin membuktikan apakah kombinasi antara pengenalan terhadap tekstur dan warna dapat menghasilkan akurasi yang tinggi pula dengan penelitian sebelumnya yang hanya menggunakan analisis tekstur saja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akurasi dari kelas vegetasi berdasarkan OBIA menggunakan metode nearest neighbors (NN).
2. METODE 2.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di sekitar kawasan ruang terbuka hijau Denggung, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman yang ditunjukkan pada Gambar 1. Lokasi penelitian ini memiliki ukuran 1711 piksel x 1557piksel dengan resolusi spasial 0,5 meter. Berdasarkan aspek fisik, ruang terbuka hijau Denggung masih terpengaruh dataran aluvial yang didominasi oleh penggunaan lahan pertanian. Disisi lain, lahan terbangun pada lokasi penelitian menggambarkan pola yang cukup beragam dari pola yang teratur hingga tidak teratur.Lokasi penelitian ini dijadikan sebagai area of interest (AOI) karena daerah ini merepresentasikan kawasan perkotaan, yang secara umum menampakan vegetasi dengan kerapatan rendah, yaitu lapangan bola, taman-taman, jaringan jalan, perindustrian, dan lahan jasa dan pertokoan.Selain itu, berdasarkan informasi kontur yang diperoleh dari Badan Informasi Geospasial (2016), kenampakan yang dihasilkan merepresentasikan wilayah yang homogen datar dan landai.
-188-
Klasifikasi Vegetasi Berbasis Objek pada Citra Quickbird Menggunakan Metode Nearest Neighbors untuk Mengetahui Akurasi Menggunakan TTA Mask Sekitar Kawasan Ruang Terbuka Hijau Denggung, Kecamatan Sleman (Habibi, F.B.)
Gambar 1. Lokasi Penelitian: Denggung, Sleman (Quickbird © 2014)
2.2 Bahan Penelitian Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah citra Quickbird pan-sharpening yang telah terkoreksi, dengan empat saluran multispektral (16 bit) di akuisisi 19 Agustus 2014. Secara detail ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Citra Quickbird (Purwadhi dan Sanjoto, 2009) Kriteria Ketinggian Orbit Sudut Inklinasi Lebar Sapuan Satelit Resolusi Temporal Jenis Sensor Push Broom Liner Array
Penggunaan Citra Quickbird
Karakteristik 450 km 97,2 derajat 16,5 x 16,5 km 1-3,5 hari, tergantung pada lintang (300off-nadir) Pankromatik (450Resolusi spasial 900) nm 0,6 meter Biru (450-520) nm Resolusi spasial Hijau (520-600) nm 2,4 meter Merah (630-690) nm Inframerah dekat (760-900) nm Analisis perubahan penggunaan lahan, eksplorasi minyak dan gas, studi lingkungan, pemetaan skala besar
Citra Quickbird (resolusi 0,651 meter) mempunyai ketelitian hampir dua kali ketelitian citra Ikonos pankromatic. Quickbird tidak menawarkan stasiun bumi perekam di negara lain. Pertimbangan parameter teknis dianggap sulit bila pengguna (user) membangun stasiun bumi sendiri. Pengguna dapat membeli langsung (build in ground station) dari operator satelitnya. Distribusi data hanya menggunakan satu stasiun
-189-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
bumi dan yang didistribusikan bukan “row data” (data mentah), tetapi data produk standar dan citra yang sudah diolahnya dengan hasil pengembangan perangkat lunak. Namun demikian data Quickbird sudah dipasarkan lewat internet dengan mengakses data (terbatas) secara gratis pada website “Google Earth” dan dapat juga berlangganan (terbatas atau tidak terbatas). Aplikasi citra Quickbird untuk analisis perubahan penggunaan lahan, eksplorasi minyak dan gas, studi lingkungan, pemetaan skala besar (hingga skala 1:1000) (Purwadhi dan Sanjoto, 2009)
2.3 Pra-pemrosesan Sebelum proses OBIA diterapkan, masukan indeks objek sangat penting dalam menjalankan tingkatan piksel, seperti digunakannya Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Normalized Difference Water Index (NDWI), dan Second Modified Soil Adjusted Vegetation Index (MSAVI2).Nilai indeks ini dimasukkan ke dalam fungsi OBIA dengan berbasiskanoperasi matematika (+,−,×,÷) yang melibatkan piksel-piksel, misalnya layer 2 dikurangi dari layer 1. Ini berarti bahwa setiap piksel yang memiliki nilai sama di kedua lapisan akan menghasilkan nilai 0 (nol) (Trimble, 2014a). NDVI ini telah banyak digunakan untuk penginderaan jauh terutama pada vegetasi selama bertahun-tahun. Indeks ini menggunakan pancaran atau pantulan dari saluran merah di kisaran 630-690 nm dan dari saluran inframerah dekat di kisaran 760-900 nm. Saluran merah terletak di serapan klorofil yang kuat, sementara saluran inframerah dekat terletak di pantulan tinggi pada kanopi vegetasi. Dua saluran memberikan perbedaan yang sangat dalam melalui kanopi vegetasi hingga mampu menonjolkan aspek kerapatan vegetasi (Danoedoro, 2012).Sementara,NDWI yang kini dilakukan untuk mengekstraksi dan klasifikasi fitur tubuh air telah banyak digunakan (Gao, 1996; Xu, 2006; Zylshal, dkk., 2016). NDVI dan NDWI diformulakan sebagai persamaan (1) dan (2). =
.........................................................................................................................(1)
=
.......................................................................................................................(2)
Kelas vegetasi yang nantinya akan dijadikan sebagai training sample akan menghasilkan gangguan dari latar belakang tanah. Hal ini dapat berupa variasi respons spektral tanah yang berbeda-beda, yang menyebabkan kurang akuratnya indeks vegetasi yang dihasilkan (Danoedoro, 2012). Indeks yang digunakan untuk mereduksi gangguan tanah tersebut dengan menggunakan MSAVI2, yang diformulakan sebagai persamaan (3).
=
(
(
)
(
))
.............................................................(3)
2.4 Segmentasi Pengimplementasian metode OBIA, langkah pertama dengan melakukan proses segmentasi citra. Penelitian ini menggunakan algoritma multiresolution segmentation di dalam Trimble® eCognition Developer 9.0. Segmentasi diperoleh dari piksel-piksel citra untuk memperoleh objek yang secara homogen dan mudah dikenali pada tahap klasifikasi dengan mengombinasikan hasil secara visual dan perhitungan matematis, seperti extraction feature. Pada tahap segmentasi, objek akan terpisah berdasarkan parameter skala, warna, dan bentuk (kekompakan dan kehalusan). Karakter warna berseberangan langsung dengan karakter bentuk. Sementara, karakter kekompakan berseberangan dengan karakter kehalusan. Keempat karakter tersebut diukur dengan tingkat heterogenitasnya (h), sedangkan karakter skala ditentukan dengan jumlah piksel minimal dalam satu objek. Karakter-karakter ini dalam multiresolution segmentation digunakan untuk meminimalkan nilai heterogenitas objek citra untuk resolusi tertentu (Trimble, 2014a). Namun, segmentasi langkah pertama ini dilakukan dengan penilaian dari grafik rate of change of local variance (ROC-LV) yang mengindikasikan tingkatan skala yang mana citra dapat tersegmen dengan cara yang paling tepat. Algoritma segmentasi kedua diterapkan setelah langkah segmentasi pertama dilakukan berdasarkan penilaian menggunakan ESP Tool. Algoritma kedua ini dikenal dengan spectral difference segmentation yang biasa digunakan pada studi vegetasi (Zylshal, dkk., 2016; Puissant, dkk., 2014). Algoritma ini mendasarkan penggabungan tetangga objek citra sesuai dengan nilai intensitas layer citra rata-rata. Tetangga objek citra digabung apabila perbedaan antara intensitas layer rata-rata objek di bawah nilai yang diberikan oleh nilai maksimal dari spectral difference (Trimble, 2014). Dengan demikian, evaluasi hasil segmentasi ini
-190-
Klasifikasi Vegetasi Berbasis Objek pada Citra Quickbird Menggunakan Metode Nearest Neighbors untuk Mengetahui Akurasi Menggunakan TTA Mask Sekitar Kawasan Ruang Terbuka Hijau Denggung, Kecamatan Sleman (Habibi, F.B.)
dilakukan secara visual agar nilai maksimal dari spectral difference yang diberikan objek tergabung dengan baik.
2.5 Klasifikasi Menurut Hudelot dan Thonnat (2003), analisis citra dan interpretasi ini membutuhkan penerapan pengetahuan domain, dan pengetahuan analisis citra. Pengetahuan domain mengacu pada terminologi suatu objek semantik dimodelkan dalam ontologi. Pengetahuan yang digunakan untuk interpretasi citra memerlukan adanya pengetahuan kualitatif dan informasi kuantitatif. Pengetahuan kuantitatif mengacu pada perilaku spektral dan spasial obyek yang menarik di citra resolusi tinggi dijelaskan secara ilmiah, misalnya vegetasi memiliki indeks yang tinggi di NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), jalan memiliki bentuk memanjang sehingga diimplementasikan ke indeks bentuk pada perangkat lunak eCognition. Sementara, pengetahuan kualitatif mengacu pada informasi citra dan tergantung interpreter, seperti pemilihan training sample dengan mempertimbangkan unsur interpretasi. Proses OBIA yang optimal memacu pembuatan ontologi yang matang dari objek yang akan diidentifikasi. Pendefinisian objek merupakan bagian yang vital dalam interpretasi citra. Pendefinisian terhadap objek ini berhubungan dengan unsur-unsur interpretasi dan salah satu pertimbangan dalam penentuan training sample. Pertimbangan yang paling sering digunakan menurut Sutanto (1986) ada 9 (sembilan) unsur-unsur interpretasi, yaitu: rona/warna, bentuk, ukuran, tekstur, pola, bayangan, situs, asosiasi, dan konvergensi bukti. Secara umum, tahap klasifikasi mendasarkan pada proses klasifikasi terselia (supervised classification).Setelah penutup lahan/penggunaan lahan ditetapkan sebelumnya, maka selanjutnya dipilih training sample untuk tiap kelas. Model klasifikasi dibagi sesuai dengan classifier apa yang digunakan: maximum likelihood atau nearest neighbors. Klasifikasi maximum likelihood menghitung probabilitas bahwa piksel atau objek untuk masing-masing kelas dan kemudian menetapkan piksel atau objek untuk kelas dengan probabilitas yang tertinggi (Richards, 1999). Pengolahan citra pada ENVI memungkinkan digunakannya klasifikasi maximum likelihood, sedangkan klasifikasi nearest neighbors adalah bagian dari paradigma berbasis objek dengan menggunakan perangkat lunak eCognition dan memberikan setiap objek ke kelas yang paling dekat (Platt dan Rapoza, 2008). Training sample pada penelitian ini dilakukan tiga kali tahap, yaitu pertama dilakukan pembedaan terhadap kelas vegetasi, non-vegetasi dan tubuh air yang sesuai berdasarkan penelitian sebelumnya (Zylshal, dkk., 2016), kedua dengan membedakan kelas pohon dengan non-pohon, dan terakhir dilakukan pembedaan terhadap kelas perdu/semak dan penutup tanah. Pembedaan kelas vegetasi menjadi pohon dan non-pohon, dan non-pohon dibedakan menjadi semak/perdu dan penutup tanah diklasifikasi berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5 (2008) dan sesuai berdasarkan klasifikasi yang dilakukan pada penelitian sebelumnya (Hapsari, 2015). Pertama, kelas vegetasi dan kelas non-vegetasi dipilih untuk dijadikan training sample dengan memanfaatkan unsur interpretasi warna dan tekstur, yang mana vegetasi memiliki tekstur lebih kasar dibanding kelas non-vegetasi dan vegetasi dominan memiliki warna hijau sedangkan non-vegetasi memiliki beragam kenampakan warna. Sementara, pemilihan training sample pada kelas tubuh air memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, yang mana selain memiliki pengetahuan interpretasi harus didukung pengetahuan kognitif tentang objeknya. Selain itu, pemanfaatan indeks seperti NDVI, NDWI, dan MSAVI2, sangat membantu dalam mengklasifikasikan kelas vegetasi, non-vegetasi, dan tubuh air. Kedua, kelas vegetasi dibedakan menjadi kelas pohon dan non-pohon. Training sample dipilih dengan sampel yang memiliki kekhasan dari tiap-tiap kelas. Kelas pohon dan non-pohon dapat dikenali berdasarkan warna dan teksturnya, yang mana pohon memiliki warna hijau lebih tua dan tekstur lebih kasar dibandingkan dengan non-pohon yang lebih muda dan tekstur lebih halus. Disisi lain, penilaian berdasarkan nearest neighborsmenggunakan hanya dengan warna, yang mana dari nilai rata-rata saluran 1 (biru), saluran 2 (hijau), saluran 3 (merah), dan saluran 4 (inframerah dekat). Hal ini dikarenakan pantulan yang diberikan khususnya pada saluran 4 memberikan pengaruh kuat terhadap kelas vegetasi.
-191-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 2.Training Sample untuk Mengklasifikasi Kelas Vegetasi, Non-vegetasi, dan Tubuh Air
Gambar 3. Training Sample untuk Mengklasifikasi Kelas Pohon dan Non-pohon
Ketiga, training sample untuk semak/perdu dan penutup tanah dikenali berdasarkan pengalaman kognitif interpreter, yang mana semak/perdu memiliki vegetasi yang lebih pekat dibanding penutup tanah. Sementara, penutup tanah dikenali dengan adanya sedikit vegetasi dan masih terkontaminasi dengan tanah. Kelas semak dan perdu dikategorikan menjadi satu kelas karena kedua objek ini tidak dapat dibedakan berdasar interpretasi citra (Hapsari, 2015). Sementara, penilaian berdasarkan nearest neighbors menggunakan unsur warna dan tekstur, yang diimplementasikan dengan nilai rata-rata nilai saluran 1, 2, 3, dan 4, dan tekstur Haralick (GLCM Entropy, GLCM Standard Deviation, GLCM Homogeneity, dan GLCM Correlation).
-192-
Klasifikasi Vegetasi Berbasis Objek pada Citra Quickbird Menggunakan Metode Nearest Neighbors untuk Mengetahui Akurasi Menggunakan TTA Mask Sekitar Kawasan Ruang Terbuka Hijau Denggung, Kecamatan Sleman (Habibi, F.B.)
Gambar 4. Trainingsample untuk Mengklasifikasi Kelas Perdu/Semak dan Penutup Tanah
Perbaikan klasifikasi dilakukan untuk memperbaiki hasil klasifikasi yang gagal, seperti terklasifikasinya bayangan pada non-vegetasi dan vegetasi menjadi tubuh air. Adanya hal tersebut, algoritma perbaikan yang diterapkan untuk menghilangkan klasifikasi yang gagal dengan menggunakan nilai brightness dan informasi kontekstual, seperti “relative border to neighbor” (Zylshal, dkk., 2016), tetapi algoritma perbaikan pada penelitian ini tidak menggunakan parameter tekstur. Asumsi yang dilakukan dengan menilai objek tubuh air dengan nilai brightness yang rendah dan memiliki hubungan terdekat dengan objek lain yaitu sesama objek tubuh air memiliki indeks 1 (satu) dan apabila tubuh air tidak memiliki kedekatan dengan objek yang sama maka nilai indeks 0 (nol). Citra Quickbird PanSharpening Terkoreksi
NDVI
Level Umum
Vegetasi, Nonvegetasi, dan Tubuh Air
Proses Segmentasi
Citra Segmen
Level Vegetasi
Pohon dan NonPohon Level Non-Pohon
Semak/Perdu dan Penutup Tanah
Training Sample Algoritma Nearest Neighbors
Penilaian Akurasi dengan TTA Mask
Vegetasi (Data Vector)
Gambar 5. Diagram Alir Proses
-193-
NDWI
MSAVI2
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Langkah penting dalam proses rekayasa ontologi adalah pengembangan dasar pengetahuan yang mencerminkan semantik objek ke perincian yang lebih kompleks (Belgiu, 2013). Oleh karena itu, hal ini menimbulkan banyak masalah apabila objek yang diidentifikasi memiliki fungsi yang berbeda, tetapi citra menetapkan objek dengan hasil yang sama dan mirip sehingga hal ini dibutuhkan koreksi lapangan atau data pendukung. Namun, koreksi pada penelitian ini menggunakan referensi berdasarkan visual dan klasifikasi berdasarkan metode nearest neighbors. Klasifikasi penentuan semantik objek vegetasi menjadi kriteria yang sangat penting dalam mengidentifikasi objek di dunia nyata. Untuk itu, dilakukan penilaian akurasi agar hasil klasifikasi yang dihasilkan memiliki kevalidan. Penilaian akurasi ini dilakukan dengan Test and Training Area (TTA) Mask. Pemilihan training area dipilih tiap-tiap kelas agar kelas terwakili dengan baik. TTA Mask ini dinilai berdasarkan luasan dengan satuan jumlah piksel dari kelas hasil klasifikasi dengan kelas referensi (Trimble, 2014b). Overall accuracy dihitung berdasarkan kelas hasil klasifikasi yang benar dengan hasil referensi dibagi dengan jumlah seluruh luas poligon sampel (dalam satuan piksel).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Segmentasi Metode untuk memperoleh hasil segmentasi efektif pertama dengan menjalankan ESP Tool untuk memperoleh estimasi nilai skala optimum. ESP Tool secara otomatis melakukan segmen yang ditetapkan pengguna dengan memperbaiki peningkatan parameter skala, dan perhitungan local variance (LV)sebagai nilai standar deviasi rata-rata dari objek untuk setiap tingkat objek yang diperoleh melalui segmentasi. Grafik dari LV digunakan untuk mengevaluasi parameter skala yang tepat dan tergantung sifat data citra (Drǎguƫ dkk., 2010). Hasil segmentasi yang diperoleh secara simultan dilakukan dengan ESP Tool, dan trial dan error. Trial dan errordigunakan untuk menentukan parameter yang cocok untuk menghasilkan nilai bentuk dan kekompakan yang sesuai dengan kenampakan di permukaan bumi. Berdasarkan parameter trial dan error yang diperoleh, nilai bentuk dan kekompakan yang cocok secara berturut-turut 0,5 dan 0,3 sesuai dengan Drǎguƫ dkk. (2010), dan sesuai dengan Zylshal (2016) yang dilakukan untuk membedakan objek vegetasi. Nilai bentuk dan kekompakansetelah didapatkan, kemudian perolehan dari penggunaan ESP Tool digunakan untuk memperoleh parameter skala optimum. ESP Tool ini akan memilih parameter skalaberdasarkangrafik ROC dan kurva LV.Grafik ROC ini menunjukkan tingkat osilasi antara puncak dan lembah yang bervariasi, tetapi pemilihan parameter skala ini ditentukandengan perubahan puncak dan lembah yang secara drastis, sedangkan pada kurva LV yang semakin datar maka jenis objek akan semakin representatif terhadap tingkatan skalayang ditunjuk (Drǎguƫ dkk., 2010). Dengan demikian, estimasi parameter skala 86 diputuskan untuk digunakan sebagai parameter skala (Gambar 6).
Gambar 6. Hasil ESP Tool: Nilai parameter skala 86 menunjukkan nilai optimum
Penilaian dengan ESP Tool memungkinkan citra dapat diimplementasikan dengan parameter segmentasi sehingga didapatkan segmen terbaik. Parameter skala 86 ini baik karena pertemuan puncak dan lembah pada grafik ROC memiliki rentang yang tinggi sehingga hal ini baik untuk membedakan objek yang satu dengan
-194-
Klasifikasi Vegetasi Berbasis Objek pada Citra Quickbird Menggunakan Metode Nearest Neighbors untuk Mengetahui Akurasi Menggunakan TTA Mask Sekitar Kawasan Ruang Terbuka Hijau Denggung, Kecamatan Sleman (Habibi, F.B.)
yang lain. Sementara, kurva LV yang digambarkan tanpa banyak lekukan garis menjadikan prioritas utama dalam pemilihan parameter skala. Maka dari itu, adanya penggunaan ESP Tool ini parameter skala yang dipilih menjadi objektif saat melakukan segmentasi citra sehingga tanpa mengurangi esensi dengan melakukan pemilihan parameter skala secara manual. Tabel 2. Parameter Segmentasi Level 1 Level 2
Algoritma segmentasi Multiresolution segmentation Algoritma segmentasi Spectral difference segmentation
Masukan Layer
Skala
Bentuk
Kekompakan
B, G, R, NIR
86
0,5
0,3
Masukan Layer
Maximum spectral difference
B, G, R, NIR
30
(a)
(b)
Gambar 7. Hasil Segmentasi. (a) Algoritma Multiresolution Segmentation, parameter skala = 86, (b)Spectral Difference Segmentation (Quickbird © 2014)
Segmentasi kedua dilakukan dengan algoritma spectral difference segmentation. Segmentasi ini dilakukan karena objek hasil segmen yang dihasilkan dari level 1 masih memiliki banyak over-
-195-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
segment(Gambar 7a). Adanya permasalahan tersebut dibutuhkan parameter yang mendasarkan objek hasil segmen dapat tergabung dengan objek yang lain dengan catatan bahwa objek yang lain memiliki pengaruh dekat terhadap hasil maksimum intensitas rata-rata yang diharapkan. Berdasarkan hasil visual, nilai spectral difference 30 tergabung dengan cukup baik sehingga nilai ini digunakan (Gambar 7b). Hal yang perlu dipahami bahwa kekurangan dengan menggunakan parameter segmentasi ini digunakan pada citra yang sama sehingga dengan citra yang berbeda atau daerah kajian yang berbeda akan menghasilkan parameter segmentasi yang berbeda pula.
3.2 Hasil Klasifikasi dan Akurasi Hasil klasifikasi dengan metode nearest neighbors(NN) dihasilkan pada Gambar 8. dan Gambar 10. Hasil klasifikasi akhir ini menghasilkan lima kelas: tubuh air, non-vegetasi, penutup tanah, pohon, dan semak/perdu. Pada klasifikasi awal dibedakan tiga kelas (vegetasi, non-vegetasi, dan tubuh air). Hal ini bertujuan agar klasifikasi secara umum dapat terpisah dengan baik. Tiga kelas ini dilakukan dengan menggunakan metode NN dengan pendekatan nilai NDVI, NDWI, dan MSAVI2. Sebelumnya sampel telah dipilih untuk dihitung dengan metode NN. Hasil yang diperoleh masih memiliki beberapa kesalahan, seperti adanya bayangan pada vegetasi dan non-vegetasi dikategorikan sebagai tubuh air. Hal ini akan mengurangi akurasi yang dihasilkan oleh pendekatan dengan metode NN. Penciptaan aturan set untuk menghilangkan bayangan tersebut secara akurat dapat dilakukan dengan menambahkan unsur nilai brightness dan relative border to neighbors. Nilai brightness ini mudah dilakukan dengan menggunakan asumsi dasar bahwa objek bayangan dari vegetasi dan non-vegetasi menghasilkan nilai brightness yang berbeda pada objek tubuh air sehingga objek dapat dipisahkan. Namun, ada objek yang memiliki nilai brightness dekat dengan yang lain sehingga masih dikategorikan tubuh air. Hal ini dapat dihindari dengan menerapkan informasi kontekstual, yang mana tubuh air akan berasosiasi dengan tubuh air yang lain sehingga hasil dari over-segment mampu dalam mengatasi hal ini.
Gambar 8. Hasil Klasifikasi Nearest Neighbors pada Tiga Kelas: Vegetasi (Hijau), Non-vegetasi (Merah), dan Tubuh Air (Biru)
-196-
Klasifikasi Vegetasi Berbasis Objek pada Citra Quickbird Menggunakan Metode Nearest Neighbors untuk Mengetahui Akurasi Menggunakan TTA Mask Sekitar Kawasan Ruang Terbuka Hijau Denggung, Kecamatan Sleman (Habibi, F.B.)
Gambar 9. HasilPerbaikan Klasifikasi dari Pengaruh Bayangan
Gambar 10. Hasil Klasifikasi pada Lima Kelas: Tubuh Air (Biru), Non-vegetasi (Merah), Penutup Tanah (Putih), Pohon (Hijau Tua), dan Semak/Perdu (Hijau Muda)
-197-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Klasifikasi yang dihasilkan dari tiga kelas, kemudian vegetasi dapat dibedakan lagi menjadi objek pohon, semak/perdu, dan penutup tanah. Namun, semak/perdu dan penutup tanah merupakan bagian dari kelas nonpohon. Ontologi dalam menerapkan kelas objek sangat penting karena dasar pembedaan objek dengan menggunakan nearest neighbors (NN) memiliki relasi yang khusus sehingga kelas objek akan dikategorikan dengan kelas objek lain yang mendekati berdasarkan perhitungan matematis. Klasifikasi NN ini diperlukan kecermatan untuk menentukan sampel kelas yang dijadikan kelas vegetasi. Sebagaimana kelas pohon dan non-pohon dapat terpisah dengan baik menggunakan rata-rata nilai saluran 1, 2, 3, dan 4, sedangkan kelas semak/perdu dan penutup tanah menggunakan rata-rata nilai saluran 1, 2, 3, dan 4, dan tekstur Haralick (GLCM Entropy, GLCM Standard Deviation, GLCM Homogeneity, dan GLCM Correlation). Dalam menilai klasifikasi NN dilakukan dengan meninjau optimalisasi feature space sehingga kelas terpisah dengan baik. Pembuktian hasil klasifikasi yang dilakukan mendasarkan pada hasil akurasi yang diperoleh. Data referensi untuk menilai hasil akurasi digunakan dengan TTA Mask. TTA Mask ini merupakan metode yang diusulkan pada perangkat lunak eCognition untuk memperoleh evaluasi terhadap kelas-kelas yang dihasilkan. Training area yang dijadikan referensi dari tiap-tiap kelas dipilih dengan acak dengan variabilitas dan ukuran yang memprioritaskan kelas vegetasi sehingga kelas vegetasi diambil sampel yang lebih banyak dibandingkan dengan non-vegetasi dan tubuh air. Hasil akurasi yang dihasilkan dari TTA Mask ini menghasilkan akurasi total 96,84%. Namun, hal ini berbeda apabila yang ditinjau per kelas. Pada hasil klasifikasi kelas penutup tanah banyak terjadi ketidaksesuaian terhadap data referensi, ada yang dinilai sebagai non-vegetasi, pohon, dan semak/perdu. Kelas non-vegetasi adalah salah satu kelas yang banyak diklasifikasikan sebagai kelas penutup tanah. Hal ini disebabkan karena kelas penutup tanah masih terkontaminasi dengan objek tanah sehingga analisis dengan menggunakan saluran dan tekstur tidak stabil untuk diterapkan. Sementara, pada referensi objek yang lain yang diklasifikasikan menjadi penutup tanah tidak berpengaruh secara signifikan karena masih dalam lingkup ranah vegetasi. Kesalahan yang lain yang dilakukan proses klasifikasi selain kelas penutup lahan, seperti kelas pohon dan semak/perdu yang dikategorikan sebagai kelas non-vegetasi berdasarkan referensi. Hal ini berbeda dengan penutup tanah yang terjadi akibat terkontaminasi dengan objek tanah, tetapi hal ini diakibatkan oleh kesalahan segmentasi sebagaimana terjadi under-segment dan hasil segmen objek yang dihasilkan tersebut lebih didominasi oleh kelas non-vegetasi dibandingkan dengan kelas pohon ataupun kelas semak/perdu.
Gambar 11.Training Area untuk dilakukan Penilaian Akurasi
-198-
Klasifikasi Vegetasi Berbasis Objek pada Citra Quickbird Menggunakan Metode Nearest Neighbors untuk Mengetahui Akurasi Menggunakan TTA Mask Sekitar Kawasan Ruang Terbuka Hijau Denggung, Kecamatan Sleman (Habibi, F.B.)
Tabel 3. HasilPenilaian Akurasi dengan TTA Mask (satuan piksel) Referensi
Klasifikasi
Tubuh Air Tubuh Air Non-vegetasi Penutup Tanah Pohon Semak/perdu Total Akurasi Pembuat Total Akurasi
Nonvegetasi
Penutup Tanah
Pohon
Semak/Perdu
Total
Akurasi Pengguna
37702 442
0 104175
0 0
0 0
0 0
37702 104617
100% 99,58%
0
2746
55842
360
963
59911
93,2%
0 0 38144
3915 1903 112739
0 0 55842
150254 0 150614
1928 28010 30901
156097 29913 388240
96,26% 93,64%
98,84%
92,4%
100%
99,76%
90,64%
96,84%
Usulan metode yang digunakan pada penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan, diantaranya set aturan yang dibangun masih bergantung pada informasi spektral dan temporal. Adanya kelemahan tersebut menimbulkan daerah yang berbeda dengan sensor yang berbeda dan perkembangan objek tidak dapat dilakukan pada prinsip dan prosedur yang sama sehingga masih dapat diterapkan dengan modifikasi tambahan untuk mengakomodasi kelemahan tersebut. Modifikasi tambahan tersebut dapat berupa dengan data tambahan digital surface model (DSM) dan digital terrrain model (DTM), seperti digunakannya data LiDAR (Light Detection and Ranging) untuk mendukung proses klasifikasi vegetasi menghasilkan akurasi yang tinggi.
4.
KESIMPULAN
Penelitian ini mencoba untuk menggabungkan beberapa tahapan algoritma nearest nighbors antar kelas dan perbaikan klasifikasi dalam OBIA untuk mengekstrak informasi tentang ruang terbuka hijau. Dengan memanfaatkan citra Quickbird resolusi tinggi, diperoleh bahwa metode yang diusulkan mampu memberikan derajat kesamaan yang tinggi dalam hal segmentasi dan hasil klasifikasi dengan interpretasi pada sampel hasil segmentasi dengan menggunakan TTA Mask. Akurasi keseluruhan pada metode yang diusulkan pada penelitian ini adalah 96,84%. Hasil akurasi ini menunjukkan metode evaluasi dari proses segmentasi hingga diperolehnya klasifikasi vegetasi yang mudah dilaksanakan dan diterapkan. Metode evaluasi ini menampung informasi akurasi dari tiap kelas dengan menggunakan OBIA yang terus berkembang dalam hal menilai hasil klasifikasi dan batas-batas objek yang dihasilkan dari proses segmentasi. Penggunaan OBIA dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai alternatif pemecahan masalah dalam pemantauan ruang terbuka hijau secara berkala. Alternatif ini mampu diterapkan untuk melakukan klasifikasi secara digital dan dapat dilakukan dalam jangka waktu lebih cepat dengan standar akurasi yang telah ditentukan dibandingkan dengan klasifikasi konvensional menggunakan berbasis piksel.
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini banyak dibantu oleh dosen yang dahulu membimbing saya hingga menyediakan citra Quickbird yang ada di Sebagian Kecamatan Sleman, 2014. Saya ingin berterima kasih sekali kepada Iswari Nur Hidayati, S.Si., M.Sc., dan teman-teman dari www.researchgate.net yang mau berbagi ilmu dan forum pengguna perangkat lunak eCognition Developer (community.ecognition.com) atas diskusi yang menarik terkait topik yang berhubungan dengan penelitian ini, serta teman-teman KPJ 2011 yang selalu mendukung berjalannya penelitian ini hingga selesai.
DAFTAR PUSTAKA Aprilianti, Z., Rizal, A., dan Dayawati, R.N., (2013). Klasifikasi Kanker Usus Berdasarkan Citra Mikrosjopik Patologi Menggunakan Contourlet Tranform dan Support Vector Machine. Jurnal Elektro, 6(2):123-134. Budiarso, Z., (2010). Identifikasi Macan Tutul dengan Metode Grey Level Coocurent Matrix (GLCM). Fakultas Teknologi Informasi Universitas Stikubank Semarang.Jurnal Dinamika Informatika, 2(2). Drǎguƫ, L., Tiede, D., dan Levick, S.R., (2010). ESP: a Tool to Estimate Scale Parameter for Multiresolution Image Segmentation of Remotely Sensed Data. International Journal of Geographical Information Science,24(6):859-871.
-199-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gao, B.C., (1996). NDWI – A Normalized Difference Water Index for Remote Sensing of Vegetation Liquid Water From Space. Remote Sens. Environ, 58(3):257–266. Gandharum, L., dan Chen, C.F.,(2010). Pemanfaatan Informasi Tekstur untuk Klasifikasi Tanaman Sawit Menggunakan Citra FORMOSAT-2. Jurnal Sains dan Teknologi Kebumian Indonesia,1(2). Kushardono, D., (2012). Klasifikasi Spasial Penutup Lahan dari Data SAR Multi-Polarisasi Dengan Normalized Difference Polarization Index dan Informasi Fitur Keruangan Matrik Kookurensi. Jurnal Inderaja dan Lahta Citra Digital, 9(1):12-24. Mirzapour, F., dan Ghassemian, H., (2015). Fast GLCM and Gabor Filters for Texture Classification of Very High Resolution Remote Sensing Images. International Journal of Information & Communication Technology Research, 7(3):21-30. Platt, R.V., dan Rapoza, L., (2008). An Evaluation of an Object-Oriented Paradigm for Land Use/Land Cover Classification. The Professional Geographer, 60(1):87-100. Puissant, A., Rougier, S., dan Stumpf, A., (2014). Object-Oriented Mapping of Urban Trees Using Random Forest Classifier. International Journal of Applied Earth Obsveration Geoinformation, 26:235–245. Xu, H., (2006). Modification of Normalized Difference Water Index (NDWI) to Enhance Open Water Features in Remotely Sensed Imagery. International Journal of Remote Sensing, 27(14):3025–3033. Zylshal, Sulma, S., Yulianto, F., Nugroho, J.T., dan Sofan, P., (2016). A Support Vector Machine Object Based Image Analysis Approach on Urban Green Space Extraction Using Pleiades-1A Imagery. Modeling Earth Systems and Environment, 2(54):1-12. Danoedoro, P., (2012). Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.8 Tahun 2008 tentang Pedoman dan Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum. Purwadhi, S.H., dan Sanjoto, T.B. (2009). Pengantar Interpretasi Citra Penginderaan Jauh. Semarang: LAPAN dan UNNES. Richards, J.A., (1999). Remote Sensing Digital Image Analysis. New York: Springer Verlag. Sutanto., (1986). Penginderaan Jauh (Jilid 1). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Trimble., (2014a). eCognition® Developer Reference Book. München, Germany. Trimble., (2014b). eCognition® Developer User Guide. München, Germany. Hapsari, E., (2015). Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau Berbasis Objek (Object Based Image Analysis) Menggunakan Citra Pleiades untuk Pemetaan Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (Kasus di Perkotaan Purwokerto Tahun 2013). (Sarjana Sains Undergraduate Thesis), UGM (Gadjah Mada University), Yogyakarta. Hussein, S., (2013). Kajian Akurasi Klasifikasi Berbasis Objek untuk Ekstraksi Penutup Lahan dengan Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2. (Sarjana Sains Undergraduate Thesis), UGM (Gadjah Mada University), Yogyakarta. Gao, Y., Mas, J.F., Niemeyer, I., Marpu, P.R., dan Palacio, J.L., (2007). Object Based Image Analysis for Mapping Land Cover In A Forest Area. Proceedings of 5th International Symposium on Spatial Data Quality 2007, ITC, Enschede, The Netherlands. Haralick, M.R., (1979). Statistical and Structural Approaches to Texture. Proceedings of the IEEE, Vol. 67, No. 5, May, pp. 786-804. Hudelot, C., dan Thonnat, M., (2003). A Cognitive Vision Platform for Automatic Recognition of Natural Complex Objects. Proceedings of the 15th IEEE International Conference on Tools with Artificial Intelligence, Washington DC, USA. Kushardono, D., Fukue, K., Shimoda, H., dan Sakata, T., (1995). Comparison of Multitemporal Image Classification Methods. IEEE Proc. of IGARSS, 2:1282-1284. Qur’ania, A., Karlitasar, L., dan Sufiatul, M. (2012). Analisis Tekstur dan Ekstraksi Fitur Warna untuk Klasifikasi Apel Berbasis Citra. Prosiding Lokakarya Komputasi dalam Sains dan Teknologi Nuklir. Universitas Pakuan, Bogor. Belgiu, M., dan J., Thomas., (2013). Ontology Based Interpretation of Very High Resolution Imageries-Grounding Ontologies on Visual Interpretation Keys. 16th AGILE Conference on Geographic Information Science. Hay, G.J., dan Castilla, G., (2006). Object-Based Image Analysis: Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats (SWOT). 1st International Conference on Object-Based Image Analysis (OBIA 2006), Salzburg University, Austria. ISPRS Archives, vol XXXVI-4/C42. BIG. (2016). Geospasial untuk Negeri. diunduh 2 Juni 2016 www.tanahair.indonesia.go.id/home/ Blashcke, T., Lang, S., dan Hay, G.J. (2008). Object-Based Image Analysis – Spatial Concepts for Knowledge-Driven Remote Sensing Applications, diunduh 14 Juni 2016 dari www.researchgate.net/publication/ GISGeography., (2016). Image Classification Techniques in Remote Sensing, diakses 14 Juni 2016 dari www.gisgeography.com/ Hakim, M.A.R., (2012). Klasifikasi Parket Kayu Jati Berdasarkan Analisa Tekstur GLDM Menggunakan Metode Backpropagation Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Gunadarma, diunduh 15 Juni 2016 dari www.publication.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/1041/1/50405485.pdf Hartadi, R., Santoso, I., dan Hidayatno, A., (2011). Deteksi Potensi Kanker Payudara pada Mammogram Menggunakan Metode Gray Level Co-Occurrence Matrices. Diunduh 15 Juni 2016 dari www.eprints.undip.ac.id/25566/ Hofmann P., Strobl J., dan Nazarkulova A., (2011). Mapping green spaces in Bishkek—how reliable can spatial analysis be? MDPI J Remote Sens, 3:1088–1103, diunduh 31 Mei 2016 dari www.mdpi.com/journal/remotesensing
-200-
Klasifikasi Vegetasi Berbasis Objek pada Citra Quickbird Menggunakan Metode Nearest Neighbors untuk Mengetahui Akurasi Menggunakan TTA Mask Sekitar Kawasan Ruang Terbuka Hijau Denggung, Kecamatan Sleman (Habibi, F.B.)
Simarmata, L.R., Arifin, A.Z., dan Yuniarty, A., (2015). Klasifikasi Citra Gigi Berbasis Tekstur dengan Filter Gabor, diakses 14 Juni 2016 dari https://www.researchgate.net/publication/
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Moderator : Dedi Irawadi Judul Makalah : Klasifikasi Vegetasi Berbasis Objek pada Citra Quickbird Menggunakan NDVI untuk Mendukung Penyediaan Informasi Penginderaan Jauh (Studi Kasus: Sekitar Kawasan Ruang Terbuka Hijau Denggung, Sleman) Pemakalah : Fathurrofi B. Habibi (UGM) Diskusi : Pertanyaan: Danang (BIG): Salah satu kriteria pemetaan adalah penutup lahan yang biasa dilakukan secara visual, dapatkah pembuatan base map mengacu pada pengolahan digital? Jawaban: Pengolahan menggunakan Quickbird untuk lebih mudah melakukan klasifikasi digital, dengan mengetahui objek apa yang akan diidentifikasi. Pertanyaan: Dr. Dede Dirgahayu (LAPAN): Scale berapa yang optimal sebagai parameter yang optimal dan berapa nilai threshold-nya? Jawaban: Parameter yang digunakan adalah multiresolusi untuk mengukur kekompakan dan kehalusan. Kekompakan sebesar 0.3, kehalusan sebesar 0.7 dan scalenya 0.5.
-201-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016
Pemetaan Terumbu Karang di Indonesia: Komparasi 7 Metode Klasifikasi Terawasi dan Pengaruh Lokasi yang Berbeda Coral Reef Mapping in Indonesia: Comparison of Seven Supervised Classification Method and the Effect of Site Dependency Gathot Winarso1*), Masita Dwi Mandini Manessa2, Syarif Budhiman1, dan Ariyo Kanno2 1
2
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN Graduate School of Science and Engineering, Yamaguchi University, JAPAN *)
E-mail:
[email protected]
ABSTRAK- Pengembangan metode pemetaan terumbu karang telah lama dilakukan di Indonesia. Ada 3 tahapan krusial dalam pengolahan data untuk ekstraksi informasi terumbu karang yaitu koreksi atmosfer, koreksi kolom air dan klasifikasi. Pada penelitian terdahulu, koreksi atmosfer menggunakan Lyzenga et al (2006) telah terbukti meningkatkan akurasi pemetaan pada penggunaan data dengan 3 kanal visible. Akan tetapi hasil ini didapatkan dari satu lokasi penelitiandan ada kemungkinan tidak sesuai pada lokasi yang berbeda. Untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat pada studi ini dilakukan analisa hasil koreksi atmosferik tersebut pada beberapa lokasi yang berbeda. Lebih lanjut, tujuh metode klasifikasi terawasi yang berbeda dibandingkan akurasinya yaitu Maximum Likelihood, Neural Network, Support Vector Machine, Random Forest, Decision Tree, Naive Bayes dan Logit. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan gambaran metode klasifikasi yang bekerja dengan ada baik pada lokasi yang berbeda di Indonesia dan mendapatkan gambaran performa koreksi atmosfernya. Data yang digunakan adalah SPOT-6 dengan 3 kanal sinar tampak dan 1 kanal NIR. Lokasi penelitian dan data lapangan diambil di Pulau Menjangan, Bali, Gili Terawangan, NTB dan Pulau Kapoposan Sulawesi Selatan. Performa akurasi koreksi atmosfer dan klasifikasi bervariasi pada lokasi yang berbeda dengan nilai akurasi antara 40-77 %. Koreksi atmosfer Lyzenga et al (2006) meningkatkan akurasi tetapi tidak lebih dari 3 %. Perbedaan akurasi diantara metode klasifikasi yang berbeda bervariasi dengan selisih antara 0.3-2.7 %. Dari hasil analisa dapat disimpulkan bahwa akurasi terbaik diperoleh dari koreksi atmosfer Lyzenga et al (2006) dan dengan metode klasifikasi Maximum Likelihood yang berbeda sedikit dengan Random Forest dan pengaruh lokasi menjadi faktor yang dominan yang mempengaruhi total akurasi dari faktor lain. Kata kunci: Terumbu karang, koreksi atmosfer, klasifikasi ABSTRACT-In Indonesia, the development of coral reef mapping has been done for a long time. There are three crucial stages in data processing for extracting the coral reef information, namely, atmospheric correction, watercolumn correction, and classification technique. The past study had shown that atmospheric correction using Lyzenga's et al (2006) improved the mapping accuracy for 3 visible band sensor. However, the results obtained was based on one site evaluation, then the site dependency might occur. Then, to get a more precise result this study multiple the number of evaluated sites then assess the performance of atmospheric correction.Moreover, seven supervised classification method were also compared: Maximum Likelihood, Neural Network, Support Vector Machine, Random Forest, Decision Tree, Naive Bayes and logit. The purpose of this study is to get an overview of the classification technique that works within Indonesia and the performance of atmospheric correction. The study used SPOT-6 imagery with three visible and one NIR bands. The research location and field data were taken at Menjangan Island in Bali, Gili Trawangan in West Nusa Tenggara and Kapoposan Island in South Sulawesi.. As a result, the performance of atmospheric correction and classification was varied at each site with an overall accuracy of 40-77%. Lyzenga’s et al (2006) atmospheric correction increases the accuracy, but not more than 3%. The difference in accuracy for each classification method varied by a margin of between 0.3-2.7 %. From this study, it can be concluded that the best accuracy is obtained from Lyzenga’s et al (2006) atmospheric correction and the Maximum Likelihood which is not much different with Random Forest classification and the site dependency was
dominant factor that affected to the overall accuracy rather than other factor. Keywords: Coral reef, atmospheric correction, classification
1. INTRODUCTION In Indonesia, development of coral reef mapping has been done for along time since Siregar (1996) using SPOT-2 Data which only have red and green channel at the visible spectrum which able to penetrate water column. Then Winarso (1997) applied the sama method using Landsat TM which has blue and green channel that blue spectrum penetrate more into water column then green and red.Coral
-202-
Pemetaan Terumbu Karang di Indonesia: Komparasi 7 Metode Klasifikasi Terawasi dan Pengaruh Lokasi yang Berbeda (Winarso, G., dkk.)
reef mapping for whole Indonesia has been done 1999-2001 for COREMAP Project using available method (Winarso, et al., 2004). This activity was presented on International Coral Reef Symposium 2000 at Denpasar Bali. They used Lyzenga (1978) for water column correction then applied different classification method that are unsupervised classificasion (Winarso, et al. 2004) and density slicing (Siregar, 1996). Atmospheric and sea-surface noise both affect the accuracy of bottom-type identification. Lyzenga (1981) describes the method for correcting the atmospheric and sea-surface noise. It is assumed that the radiance value of deep water for each wavelength comprises sea-surface scattering and atmospheric effects without bottom-object reflectance information. However, this assumption does not always hold true. As an improvement, Lyzenga et al. (2006)corrected for the sea-surface and atmospheric scattering by using the near infrared (NIR) band. Classification method is also affected to the accuracy. A number of studies that have identified coral reefs using satellite imagery data have focused on supervised classification methods including: maximum likelihood, spectral angle mapper, texture analysis, and decision tree (Benfield, et al, 2007; Wongprayoon, et al, 2007). In mapping bottom-type distribution in shallow coral reef habitats, the supervised classification method shows better accuracy compared with the unsupervised classification method (Green, et al, 2000). Manessa, et. al. (2014) compared dark pixel Lyzenga (1981) noise reduction with Lyzenga et al (2006) for generate bottom type classification at Gili's Island. Lyzenga et al. (2006) noise reduction improve the accuracy and reduce missed classification of bottom type when applied on data with 3 visible band, dark pixel Lyzenga (1981) better when applied on more than 3 visible data. However, that result was done at a single location that perhaps site dependecy occurs. In this paper, site dependency affect was investigated using SPOT-6 data which available enough for Indonesia seawaters. Not only site depedency, the affect of classification method also was investigated.
2. MATERIAL AND METHOD 2.1. Study Area This research located on 3 different location that is Gili Matra Islands Lombok, Kapoposang Island South Sulawesi and Menjangan Island Bali as shown in Figure 1. Geographically, Gili Matra Islands spans 116°00′–116°08′E and 8°20′–8°23′S, encompassing an area to the northwest of Lombok Island. The Gili Matra Marine Natural Park includes three islands: Gili Trawangan, Gili Meno, and Gili Air. The Gili Matra Islands consist of a variety of shallow-water bottom types: hard coral, soft coral, dead coral, dead coral with algae, rubble, sand, and seagrass. Several research projects have investigated the biodiversity of the Gili Matra Islands (Djohar, 1999; Muhlis, 2009; Climate Change Reserach Team, 2011). The reefs of the Gili Matra Islands contain several species of both hard and soft corals at depths in the range 1–30 m. Boulder brain coral, massive coral, branch coral, and foliose coral are species commonly found. The shallow-water area of Gili Meno contains highly productive areas of seagrass beds with Thallassia sp. the most abundant species. Seagrass beds provide a nursery habitat for several fish species, crab, and shrimp, in addition to providing feeding grounds for turtles. Gili Matra is famous for turtle migration routes as a feeding ground for turtle species. Menjangan Island located on northern part of western Bali Island. Menjangan Island area is one of marine eco-tourism destinaton which is part of West Bali National Park area. Menjangan Island geographically located between 114º12'02'' - 114º14'30'' East dan 8º05'20''- 8º17'20'' South that the beauty of under water scenary is fomous amoung overseas and local tourist (Yudasmara, 2013). Explained more that diversity index is 1.29-1.59 with mortality index 0.73-0.88 and categorized low community structure, low biodiversity and high mortality rate.
-203-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016
Figure 1. Study Site on 3 Different Location that Are Bali, Lombok and Sulawesi
Kapoposan Island is located at Makassar Strait South Sulawesi. Kapoposan Island is marine protected area which is located Spermonde Archipelago. This island is surrounded by almost coral, sand and seagrass. Transect line method for sampling showed that average percentage of coral covering was 48,53% and it was classified as moderate coral reef covering (Papu, 2011). Nadiarti, et al., (2012) resulted that continues seagrass beds were only found in five different sites of Kapoposang coastal waters were in variable and the highest seagrass cover was found in two sites, in the north-west part of the island dominated by Thalassia hemprichii and 2) in the north part of the island dominated by Enhalus acoroides.
2.2. Satellite Imagery SPOT (Systeme Probatoire de l’Observation de la Terre) is collaboration project between France, Sweden and Belgium under Centre National d’Etudes Spatiales (CNES) coordination, the space agency of France. SPOT program is developing into international commercial scale after launched seventh generation satellite that launched on 30 June 2014 from Satish Dhawan Space Center India and is controlled by SPOT Image located Tolouse City, France. Instrument board on SPOT-6 is the highest spatial resolution of remote sensing sensor among SPOT Series satellite. SPOT-6 has two kind of sensor that is multispectral at 6 m spatial resolution and pancromatic at 1.5 m spatial resolution. Multispectal spectrum is lying at blue, green, red and NIR as a common high resolution satellite (SPOT-6 & SPOT-7 Imagery User Guide, 2013).
2.3. In Situ Data The classification object of mapping focuses on dominant habitat types; thus, the survey methods should be simple, quick, and able to cover large areas. The manta tow technique is used to estimate general variations in the benthic communities of coral reefs, for which the unit of interest is either the entire reef or a large. portion of it. Manta boards are large boards assembled from wood or glassreinforced plastic that act as hydrofoils (Green, et al. 2000). A modification of this technique is applied in this research by incorporating an underwater camera and the Global Positioning System (GPS) to record the bottom type along a transect, widely known as a belt transect. Technically, this requires two observers to swim along the belt transect and count the target benthic objects within the coral reef habitat. The length of each transect line is 20–100 m, and the underwater video technique records information within a belt 5 m wide. The data collection for the coral reef ecosystem of the Gili Islands and Menjangan Islandare a collaborative effort between CReSOS (Center for Remote Sensing and Ocean Science, Udayana University—JAXA program) and the Research Institute for Marine Research and Observation (Ministry of Marine Affairs and Fisheries Republic of Indonesia). The observation data for the coral reef and seagrass were measured and analyzed by the Climate Change Research Team (2011). There are two types of data used in the analysis: transect belt video data analyzed at 10-m intervals, and rapid surveys. There are five different classes of bottom type identified from the video and visual observation, which is recognized as a coarse complexity class. The five bottom types identified are coral, sand, mixed bottom (i.e., sand, rock, coral, rubble, and seagrass), rubble, and seagrass. These bottom types are used as the habitat classes in the classification process.
-204-
Pemetaan Terumbu Karang di Indonesia: Komparasi 7 Metode Klasifikasi Terawasi dan Pengaruh Lokasi yang Berbeda (Winarso, G., dkk.)
Meanwhile, Kapososang Island site in situ data was collected by Remote Sensing Application Center, National Institute of Aeronautics and Space collaboration with Marine and Coastal Resource Resource Body Maros. Field survey was done on 9-11 June 2015 and collected some data but little bit different with Gili Matra and Menjangan Islands survey. In this area we applied photo-transect (Roelfsema and Pinn, 2009) that combined the use of photo and GPS then each photo will be inserted location. The habitat type was described from foto and it was possible more one photo at each pixel then we choosed the dominant one. The habitat type classification was same with Gili Matra and Menjangan Island field data.
2.4. Lyzenga 81 Correction Method In Lyzenga’s (1981) correction method, sea-surface scattering or atmospheric scattering are implicitly assumed homogeneous over the target area. For deep water, the observed spectral radiance (L) at infinite h ( ∞ ≡ limh→∞L) is assumed not to include bottom reflectance, such that the water depth only consists of information related to external reflection from the water surface and atmospheric scattering. Then, the effects of sea-surface scattering or atmospheric scattering can be removed by subtracting the average radiance of the deep water ( ∞ ). The new equation for the transformed radiance is written as: − ∞ )………………………………………………………………………………………………………………………(1) i = log (
2.5. Lyzenga 06 Correction Method In Lyzenga’s 2006 correction method (Lyzenga, et al.2006), sea-surface scattering or atmospheric scattering are not assumed homogeneous over the target area; they are expected to vary from pixel to pixel. Their variations are related linearly to the radiance of the NIR band, for which the exponential term of reflectance equation is negligible. The correction method removes the pixel-wise variations of seasurface scattering or atmospheric scattering using the NIR band. Thus, we can expect a correlation between ∞ and LNIRfor an arbitrary visible wavelength. The new equation for the transformed radiance is written as: i
= log ( −
−
∙
)……………………………………………………………………………(2)
2.6. Classification Method The classification method was compared in this paper is seven supervised classification method that is Maximum Likelihood, Neural Network, Support Vector Machine, Random Forest, Decision Tree, Naive Bayes and Logit. Maximum Likelihood, this method is one of the most popular methods of classification in remote sensing, in which a pixel with the maximum likelihood is classified into belonging to class k (Murai, 1999).It touches a probability density function, meaning, the classifier guesses the probability with which a specific pixel belongs to a specific class. Larger deviations from the center point will be allowed where a pixel is not in the area of a contesting category - less where such a competition exists. Neural Network, Neural Networks are relatively crude electronic networks of neurons based on the neural stucture of the brain. Neural Networks have been use on wide variatey of application, one of the application was in satellite image classification. A neural network consists of units, arranged in layers, which convert an input vector into some output. Neural networks type that most commontly used in remote sensing is the feed-forward back-propagation multi-layer perceptron (MLP) type (Atkinson and Tatnall, 1997. This type of Neural Network is also used in R Programming that applicated for image processing in this paper. Support Vector Machine, is a machine learning method which use a certain distance between sample as the criterion of classification, based on the principle of structural risk minimization. This method has been used for satellite image classification and patern recognation (Yang, et al, 2015). The application of Support Vector Machine on remote sensing was increasing recently, because their ablity to generalize well with limited training sample than commontly dealed with remote sensing (Mountrakis, et al, 2011). Random Forest, Random Forest is a classification algorithm with a simple structure a forest trees. According to Breimen (2001) in Stephen and Diesing (2014) the trees differ from those produced by rpart because they are not subsequently pruned.Two components of randomness are introduced into the construction of the individual trees. Firstly, each tree is constructed using a random bootstrapped
-205-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016
sample of the training data. Secondly, rather than testing all features for the best split, a random subset of variables is tested at each split in each tree. The idea behind introducing the randomness into the construction of the trees and averaging the result over many trees is that the final outcome will be less subject to any random fluctuations in the training dataset and will have an increased capacity for generalising patterns. The prediction is made for unobserved data by taking a majority vote of the individual trees. The samples not part of the bootstrapped sample for each tree, referred to as ‘out-of-bag’ (OOB) samples, are used to create a cross-validated prediction error for the forest. Also, as part of the construction of the random forest, the OOB samples are used to formulate a measure of feature importance. This is done by randomly shuffling the values of each input feature in turn and observing how much the prediction error of the OOB samplesincreases. Random Forest is an accurate algorithm having the unusual ability to handle thousands of variables without deletion or deterioration of accuracy(Breiman, 2004). Decision Tree, Decision Tree classifier is a simple, practical and widely used classification technique in remote sensing. The decision tree classifers organized a series of test question and condition in tree structure. The root and internal nodes contain attribute test condition to separate recordes that have different characteristic. Decision tree classifer has advantages for remote sensing classification problem caused by their non-parametric nature, simplicity, robustness with respect to non-linier and noisy relation among input features and class labels, and computation efficiency (Pal and Mather, 2001). Naive-Bayes, Naive-Bayes classification represent a supervised learning method as a statistical method for calssification. Naive-bayes classifier computes the conditional a-posterior probabilities of a categorical class variable given independent predictor variables using tha Bayes rule. Naive-Bayes calssifier is one of Bayesian Networks type applicated into remote sensing insteed a General Bayesian Network, a Bayesian Network Augmented naive Bayes and the Tree Augmented Naive bayes. Logit, The logit model is a simple statistical technique designed to analyse categorical data.Logit classifer based on Logit Model and also called Logistic Regression. In the logit model the log odds of the outcome is modeled as a linier combination of the predictor variables. Diagnostic statictics indicate that the logit model able to classify remotely sensed data (Seto and Kaufmann, 2005).
2.7. Accuracy Test The accuracy test was referenced to thematic accuracy, which has the non-positional characteristics of spatial data. If the data were to be subjected to hyperspectral or multispectral classification, then thematic accuracy would correlate to classification accuracy (Stehman, 1997). This accuracy refers to the correspondence between the class label and the trueǁ class, which is generally defined as that observed on the ground during field surveys (Green, et al., 2000). In other words, it refers to how much of the class, which is labeled as coral reef on a classified image, is a coral reef in situ. In this assessment, an error matrix (user accuracy) was used to identify object accuracy, and kappa analysis used to identify statistical difference accuracy. The accuracy of the predicted coral reef ecosystem map is represented as user accuracy. A user of this map will find that each time an area labeled as coral reef on the map is visited, there is only an n% probability that it is actually coral reef (Green, et al., 2000). Moreover, the kappa statistic is an estimator of n parameters for a population of subjects and observers (Abraira, et al., 1999). The kappa coefficient was first proposed by Cohen (1960). It measures whether two (or more) observers are independent by classifying items or observations into the same set of n mutually exclusive and exhaustive categories. It may be of interest to use a measure that summarizes the extent to which the observers agree in their classifications (Kvalseth, 2011). Based on kappa statistics, one can test whether two datasets have statistically different accuracies (Smith, 2012). This statistical evaluation is used to assess the two Lyzenga correction methods in two cases.
3. RESULT AND DISCUSSION Seven (7) classification images for each noise correction and each location were resulted from image processing step. Totally 42 imaged were resulted and analyzed. Visually the different between each image could be investigated but the accuracy assesment could not be done. Some sample classification images shown in Fig. 2, sample for Maximum Likehood and Random forest using Lyzenga 1981 and Lyzenga 2006 for each location.
-206-
Pemetaan Terumbu Karang di Indonesia: Komparasi 7 Metode Klasifikasi Terawasi dan Pengaruh Lokasi yang Berbeda (Winarso, G., dkk.)
Figure 2. Sample of Classification Result Images.
Based on these images the accurassy and kappa assement was done. Overall accuracy for all method and all location was lied on 55 % with Kappa 0.55. This result categorised low accuracy compared with Manessa el al (2014) that reachead 66-69 % accuracy using World View 2, Prayuda (2008) resulted 69.6 % accuracy and Siregar (2010) reached until 79%. It seems due to site different because location sparated accuracy resulted the accuract between 40% - 77%. the accuracy each location was 40%, 68%, 77% at Menjangan Island, Gili Matra Islands and Kapoposan Island respectivelly. The lowest accuracy was resulted from Menjangan Islands that expexted due to the total area of coral reef was smalest that two other. Highest accuracy was resulted from Kapoposan Island and this island was the bigest coral reef area than other. The wide area of coral reef ecosystem resulted more dominated bottom type. The other expected reason was due to the age of coral reef growth, during the survey at Kapoposan Island reef crest was not found and the reef crest was indication of old reef formation.
-207-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016
Figure 3. Accuracy and Kappa Test Result for Each Classificaton Method, Noise Correction Method and Diferent Location.
The performance of different atmospheric correction was not varied much, the accuracy different was lied at 0.07 % - 2.7 %, bigest different was found at Gili Matra Island and the lowest different was resulted from Kapoposan Island. Lyzenga et al (2006) atmospheric correction increases the accuracy but not more than 3%. It look bit different with Manessa (2014) result that for tree band better by using Lyzenga (1978) atmosferic correction that Lyzenga et al (2006). This problem was resulted different sensor which used by Manessa (2014), SPOT-6 and World View have different spectrum in NIR band.NIR II's World View 2 spectrum lied on 860-1040 nm, longer spectrum on NIR to SWIR lower water depth penetration that applied on MODIS data when atmosferic correction using SWIR band better than NIR band (Wang and Shi, 2007). As a result, the performance of atmospheric correction and classification was varied at each site with an overall accuracy of 41-63%. The difference in accuracy for each classification methods varied by a margin of between 0.3-3.9%. It seems that classification method not too affect to accuracy result, and site depedency seems be dominant factor for accuracy result.
4. CONCLUSION As a result, the performance of atmospheric correction and classification was varied at each site with an overall accuracy of 40-77%. Lyzenga’s (2006) atmospheric correction increases the accuracy but not more than 2.7%. The difference in accuracy for each classification methods varied by a margin of between 0.3-3.9%. From this study, it can be concluded that the best accuracy is obtained from Lyzenga’s (2006) atmospheric correction and the Random Forest classification and the site dependency was dominant factor that affacted to the overal accuracy rather than other factor.
5. ACKNOWLEDGEMENT We would like to say tanks to Yamaguchi University and Remote Sensing Application Center that establish the colloration and support the attending Ass Prof Ario Kanno and Masita DM Mannesa, M.Engto visit to Indonesia. Because of that we could work together to finish this paper.
REFERENCES Abraira, V., Vargas, A.P.D., dan Cajal, H.R.,(1999). Generalization of the kappa coefficient for ordinal categorical data, multiple observers and incomplete designs. Questiio, 23:561–571. Atkinson, P.M., dan Tatnall, A.R.L., (2010). Introduction Neural Networks in Remote Sensing. IJRS. Benfield, S.L., Guzman, H.M., Mair, J.M., Young, J.A.T., (2007). Mapping the distribution of coral reefs and associated sublittoral habitats in Pacific Panama: A comparison of optical satellite sensors and classification methodologies. Int. J. Remote Sens,28:5047–5070. Breiman, L.,(2004). Consistency for a Simple Model of Random Forests. Technical Report 670, Statistics Departement University of California at Berkeley. Cohen, J.A., (1960). Coefficient of agreement for nominal scales. Educ. Psychol. Meas. 20:37–46. Climate Change Research Team,2011. Observation and Study on Marine Protected Area, Research Report; Research Institute for Marine Observation, Ministry of Marine Affairs and Fisheries: Negara, Bali, Indonesia.
-208-
Pemetaan Terumbu Karang di Indonesia: Komparasi 7 Metode Klasifikasi Terawasi dan Pengaruh Lokasi yang Berbeda (Winarso, G., dkk.)
Djohar, I.,(2001). Kondisi Karang Scleractinia Pada Daerah Rataan Dan Lereng Terumbu Karang di Taman Wisata Alam Laut GIli Indah, Lombok, NTB. Thesis, Bogor Agricultural University, Bogor, Indonesia. Green, E.P., Mumby, P.J., Clark, C.D.,dan Edwards, T.M.,(2000). Remote Sensing Handbook for Tropical Coastal Management; Coastal Management Sourcebooks, 3; UNESCO Publishing: Paris, France. Hastie, T., Tibshirani, R., Friedman, J., (2009).The Elements of Statistical Learning: Data Mining, Inference, and Prediction. New York: Springer. 745 p. Kvalseth, T.O.,(2011). Kappa Coefficient of Agreement. International Encyclopedia of Statistical Science; Lovric, M., Ed.; Springer: Berlin, Germany, pp. 710–713. Lyzenga, D.R., (1978). Passive remote sensing techniques for mapping water depth and bottom features. Appl. Opt. 17:379–383 Lyzenga, D.R.,(1981). Remote sensing of bottom reflectance and water attenuation parameters in shallow water using Aircraft and Landsat data. Int. J. Remote Sens,2:72–82. Lyzenga, D.R., Malinas, N.P.,dan Tanis, F.J., (2006). Multispectral bathymetry using a simple physically based algorithm. IEEE Trans. Geosci. Remote Sens,44:2251–2259. Manessa, M.D.M., Kanno, A., Sekine, M., Ampou, E.E., Widagti, N., dan As-Syakur, A., (2014). Shallow-water Benthic Identification using Multispectral Satellite Imagery : Investigation on the Effect of Improving Noice Correction and Spectral Cover. Remote Sens, 6:4454-4472. doi:10.3390/rs6054454 Muhlis, M.,(2009). Ekosistem terumbu karang dan kondisi oseanografi perairan kawasan wisata bahari Lombok. Berk. Penel. Hayati. 26:111–118. Murai, S.,(1999). Remote Sensing Note. Japan Association of Remote Sensing. Mountrakis, G., Im, J., dan Ogole, C., (2011). Support Vector Machine in Remote Sensing : A Review. ASPRS., Journal of Photogrametry and Remote Sensing, 66(3). Nadiarti, Riani, E., Djuwita, I., Budiharsono, S., dan Purbayanto, A., (2012). Seagrass Beds Distribution and Their Structure in the Surrounding Coastal Waters of Kapoposan Island, Shout Sulawesi. JPSL, 2(1):11-16. Pal, M., dan Mather, P.M., (2001). Decision Tree Based Calssification of rmeotely Senssed Data. Procedding of 22nd ACRS, Singapore. Papu, A., (2011). Percent coral cover condition ar Kapoposan Islands, Pangkajene Kepulauan, South Sulawesi Province. FMIPA, Sam Ratulangi University. Prayuda, B., (2008). Multispectral Classification using ALOS Satellite Imagery and Bathymetryc Data for Benthic Shalow Water Object Identification. Proceeding of PIT MAPIN XVII (Indonesian Society of Remote Sensing) Bandung. Roelfsema, C.,dan Pinn, S., (2009). A Manual for Conducting Georeferenced Photo Transects Survey to Assess the Benthos of Coral Reef and Seagrass Habitats. School of Geography, Planning and Environmental Management, University of Queensland. Seto, K.C., dan Kaufmann, R.K., (2005). Using Logit Models to Classify Land Cover and Land-cover change from landsat Thematic Mapper. International Journal of Remote Sensing,26(3). Siregar, V.P., (1996). Algorthm development of Coral reef Mapping in Menjangan Island Bali using Satellite Imagery. Proceeding of Seminar Maritim Makassar 1996. Siregar, V.P., (2010). Shallow Water Benthic Substrat Mapping Congkak and Lebar Reefs Seribu Archipelago using Quick Bird Imagery . Jurnal ofTropical Marine Science and Technology, 2(1). Smith, R.B.,(2012). Remote Sensing of Environment; MicroImages Inc.: Lincoln, NE, USA. SPOT 6 and SPOT 7 Imagery User Guide, 2013. SI/DC/13034-v1.0. Astrium Toulouse France. Stehman, S.V.,(1997). Selecting and interpreting measures of thematic classification accuracy. Remote Sens. Environ. 62:77–89. Stephens, D.,dan Diesing, M., (2014). A Comparison of Supervised Classification Methods for the Prediction of Substrate Type Using Multibeam Acoustic and Legacy Grain-Size Data. Plos One, 9(4). Wang, M., dan Shi,W., (2007). The NIR–SWIR combined atmospheric correction approach for MODIS ocean color data processing. Optics Express, 15:15722−15733. Yang, B., Cao, C., Xing, Y., dan Li, X., (2015). Automatic Classification of Remote Sensing Images Using Multiple Classifier System. Mathematical Problem in Engineering, Article ID 954086. Yudasmara, G.A., (2013). Analysis of Coral Reef Ecosystem Potency and Condition of Menjangan Island for Marine Eco-tourism based on Intergrated Education. Proceeding of Seminar Nasional FMIPA UNDHIKSA III. Winarso, G., 2007. Study of Coral Reef Distribution and Condition using Landsat Data Multitemporal at Panggang Pramuka Islands and Sorrounding Seribu Archipelago. Thesis, Marine Science and Technology Diponegoro University, Semarang. Winarso, G., Budhiman, S. Dewanti, R., Hasyim, B., dan Tedjasukmana, B., (2005). Coral Reef Spatial Information Extraction using Remote Sensing Data. Remote Sensing Application Center LAPAN Indonesia. Wongprayoon, S., Vieira, C.A.O.,dan Leach, J.H.J., (2007).Spatial Accuracy Assessment for Coral Reef Classification. In proceeding of the XIII Brazilian Remote Sensing Symposium, Florianopolis, Brazil. pp. 6273–6281.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah
-209-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016
BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Moderator Judul Makalah Pemakalah Diskusi
: Dedi Irawadi : Pemetaan Terumbu Karang di Indonesia : Komparasi 7 Metode Klasifikasi Terawasi dan Pengaruh Lokasi yang Berbeda : Gathot Winarso :
Taufik (Pusfatja LAPAN): Akurasi tidak bisa digeneralisasi karena lokasi akan berpengaruh. Apakah yang dilakukan koreksi TOA atau surface? Karena reflektan surface dan koreksi surface akan mempemgaruhi serta suhu perlu dicek. Jawaban: Site dependency selalu ada tetapi perlu diketahui metode mana yang dapat digunakan di semua tempat. Pada penelitian ini belum menggunakan surface reflektan
-210-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Metode Classification and Tree Method (CART) dan Geostatistik untuk Analisis Perubahan Tutupan Lahan di Sub DAS Rawan Banjir CiHeuleut– CiLuar Classification and Tree Method (CART) and Geostatistics for Land Use Land Cover Change Pattern Analysis in Flood Prone CiHeuleut–CiLuar Watershed Revi Hernina1*), dan Arif Wicaksono2 1
2
Departemen Geografi Universitas Indonesia School of Remote Sensing, Suranaree University of Technology, Nakhon Ratchasima 30000 Thailand *)
Email:
[email protected]
ABSTRAK–Akhir-akhir ini Sub DAS Ci Heuleut – Ci Luar sering mengalami banjir, dan yang terakhir terjadi pada tanggal 16 November 2015. Penelitian ini memfokuskan kepada analisis pola perubahan tutupan lahan di daerah tangkapan hujan dengan membandingkan data dari peta topografi 1:25.000 tahun 1998 dan Citra Landsat 8 tahun 2015. Pewilayahan daerah tangkapan hujan menggunakan Digital Elevation Mode (DEM) dari SRTM NASA yang diunduh dari laman CGIAR (Consortium of International Agriculture Research). Wilayah daerah tangkapan hujan menunjukkan bahwa 86,82 % luas wilayah berada di Kota Bogor, sedangkan 13,18 % di Kabupaten Bogor. Untuk meningkatkan resolusi spasial data Landsat 8, digunakan metode High Pass Filtering. Metode CART (Classification and Regression Tree) digunakan untuk menghasilkan citra tutupan lahan tahun 2015 dengan menggunakan kombinasi layer biru, hijau, dekat infra-merah, SWIR I, SWIR II, NDVI, dan NDBI. Citra tutupan lahan tahun 2015 terdiri dari pertanian (17,72%), tanah kosong (16,51%), padang rumput (2,97%), perkotaan (47,96%) dan badan air (3,12%) dengan tingkat akurasi 74,88%. Dengan menggunakan Indeks Moran I, perubahan tutupan lahan menunjukkan spatial autocorrelation denganpola kluster. Kata kunci:Perubahan Tutupan Lahan, DAS, CART, Geostatistik ABSTRACT-Flood frequently happens in Ciluar-Ciheulet Watershed, which is a part of Ciliwung Basin located in Bogor Municipality, and the latest flood occurred on 16 November 2015. In relation to flood analysis, this article focuses on the spatial pattern analysis of land use land cover changes (LULCC) in the watershed by comparing 1998 topographic map 1:25000 and Landsat 8 data of 2015. To delineate the watershed area, Digital Elevation Mode (DEM) originated from NASA SRTM was downloaded from CGIAR (Consortium of International Agriculture Research) website. The watershed delineation showed that 86,82 % of the area was located in Bogor Municipality, while 13,18 % was located in Bogor Regency. To enhance the spatial resolution of Landsat 8, High Pass Filtering. CART (Classification and Regression Tree) was performed to produce LULC image of 2015 by utilizing blue, green, nearinfrared, SWIR 1, SWIR 2, NDVI, and NDBI. LULC in 2015 includes agriculture (17.72%), bare land (16.51%), grassland (2.97%), urban (47.96%) and water bodies (3.12%) with 74.88% overall accuracy. LULC in the watershed had changed 69.46% during 1998- 2015 period, which was dominated by changes from agriculture to urban. Spatial autocorrelation using Moran I indicated that LULCC was clustered spatially distributed. Keywords:LULC Change, CART, Geostatistics
1.
PENDAHULUAN
Akhir – akhir ini Sub DAS Ci Helueut – Ci Luar sering mengalami banjir, dan yang terakhir terjadi pada tanggal 16 November 2015. Berkaitan dengan hal tersebut sangat menarik untuk menganalisis pola perubahan lahan di daerah tangkapan hujan baik secara spasial maupun temporal. Klasifikasi tutupan lahan penggunaan lahan (LULC) dalam penelitian ini menggunakan metode Classification and Tree Method (CART) dan Geostatistik Dalam penelitiannya di DAS Xiangxi, China, Cao, Li menggunakan metode Classification and Tree Method (CART) dan Geostatistik. Hasil penelitian menunjukkantingkatsignifikan overall accuracy sebesar 75,5%.Berdasarkan hal tersebut tujuan dari penelitian ini adalah untuk : 1. Mengidentifikasi penggunaan lahan di Sub DAS Ci Heleut- Ci-Luar tahun 2015 menggunakan metode CART (Clasification and Regression Tree) menggunakan citra Landsat 8; 2. Menganalisis perubahan lahan yang terjadi lahan di Sub DASCi Heleut- Ci-Luar tahun 1998- 2015 dengan analisis statistik spatial Moran I.
-211-
Metode Classification and Tree Method (CART) dan Geostatistik untuk Analisis Perubahan Tutupan Lahan di Sub DAS Rawan Banjir CiHeuleut– CiLuar (Hernina, R.., dkk.)
2.
METODE
2.1 Wilayah Penelitian Wilayah penelitian yaitu Sub DAS CiHeuleut – CiLuar yang berada di Kota Bogor Provinsi Jawa Barat. Kota Bogor terletak 60 kilometer di selatan Jakarta, ibukota Republik Indonesia. Kota Bogor terletak di ketinggian antara 190 m dan 330 m dari permukaan laut. Temperatur udara rata-rata 33,9o C tiap bulan, terendah 18,8o C dan tertinggi 36,1o C. Kelembaban udara mencapai 90,8 % dengan curah hujan rata-rata per bulan sekitar 352,5 – 576,1 mm. Luas Kota Bogor sebesar 11.850 Ha, yang terdiri dari 6 kecamatan dan 68 kelurahan. Jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2014 mencapai 1.030.720 jiwa dengan kepadatan penduduk 8.698 jiwa per km2. Setelah didelineasi dengan data DEM NASA SRTM, lokasi daerah tangkapan hujan ini merupakan bagian dari DAS Ciliwung (lihat Gambar 1.). Di sebelah barat, berbatasan dengan Kebun Raya Bogor, sedangkan beberapa lokasi yang cukup familiar di dalamnya adalah Kampus IPB Baranangsiang dan Kampus Universitas Pakuan. Nomenklatur Ci-Luar di Kota Bogor terdapat pada peta topografi Bakosurtanal edisi 1998 skala 1 : 50.000. Wilayah penelitian juga dilitasi oleh Jalan Tol Jagorawi dan Jalan Tol BORR (Bogor Outer Ring Road). 2.2 Metode 2.2.1 Delineasi daerah tangkapan hujan Untuk mendelineasi Sub DAS CiHeuleut- CiLuar digunakan data NASA SRTM yang diunduh dari laman CGIAR-CSI (Consortium Global Agricultural Research Centers-Consortium for Spatial Information) dengan resolusi spasial 30 meter dan kesalahan vertikal tidak melebihi 16 meter. Pihak CGIAR-CSI telah melakukan proses tampalan untuk menutup daerah yang tidak memiliki data (void) yaitu dengan menampal dengan data DEM tambahan yang lebih tinggi resolusinya atau apabila tidak tersedia maka digunakan DEM SRTM 30. Sebagai bahan perbandingan, DEM yang berasal dari citra stereo satelit ZY-3 dengan resolusi spasial 4 meter pernah digunakan untuk mendelineasi daerah tangkapan hujan Huashan, China. Selain itu, delineasi DEM bisa dilakukan melalui peta kontur skala 1 : 50.000 seperti yang dilakukan pada delineasi daerah tangkapan hujan Xiangxi, Cina.
Kali Ciluar
Sungai Cisadane Kali Ciheleut
B
Kali Ciluar
Legenda Kota Bogor Kebun Raya Sub-DAS Sungai
Sungai Ciliwung
C A Gambar 1. (A) Wilayah penelitian (B) Foto CiLuar, (C) Foto CiHeleut.
-212-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
2.2.2 CART Algorithm Metode CART (Classfication and Regression Tree) merupakan bagian dari decision tree image analysis dimana dalam metode ini terdiri dari tiga komponen utama yaitu hipotesis, rule, dan variable. Hipotesis dalam penelitian ini mengasumsikan bahwa klasifikasi penggunaan lahan di daerah tangkapan hujan Kali Ciheuleut- Ciluar berdasarkan rule dari variabel- variabel band Landsat 8 (biru, hijau, merah, nearinframerah, SWIR I, dan SWIR 2) dan indeks vegetasi (NDVI) dan index bangunan (NDBI). Sebagai bahan perbandingan, (Cao dkk., 2010) menggunakan metode CART untuk mengklasifikasikan perubahan penggunaan lahan di Sungai Xiangxi dengan memanfaatkan 16 variabel yang berasal dari band Landsat TM 1987 dan Landsat TM 2000 diantaranya band 1 – 5, NDVI, dan DEM. Langkah awal dalam artikel ini adalah memilih training area pada citra Landsat berdasarkan kelas penggunaan lahan yang akan dibandingkan dengan peta topografi 1998 yaitu: (a) pertanian, (b)tanah kosong, (c) kebun, (d) perkotaan, (e) badan air. Training area dipilih berdasarkan foto- foto di lapangan dan pengamatan menggunakan Google Earth tertanggal 21 Juni 2015. Setelah diamati terdapat kelas penggunaan lahan yang signifikan di sebelah timur wilayah penelitian yaitu padang rumput berupa lapangan golf sehingga dalam penelitian iniditambahkankelas padang rumput. Setelah mendijitasi training area, langkah selanjutnya adalah mengkonversi data training area berupa pixel menjadi ASCII. Fail ASCII dari masing- masing training area di komputasi menggunakan metode CART dengan mengelompokkan 50% data sebagai training sample dan 50% sebagai sample test. Hasil dari metode CART kemudian dimanfaatkan untuk membuat peta penggunaan lahan. 2.2.3 Accuracy Assessment Penelitian ini mengasumsikan bahwa ketepatan peta mencapai 85% dan kesalahan yang dapat ditoleransi mencapai 15%.Penelitian ini menggunakan 203 titik acuan sebagai referensi yang memuat informasi tentang klasifikasi penggunaan lahan tahun 2015.Penarikan sample menggunakan metode stratified random sampling. Kemudian mengupload ke dalam Google Earth tertanggal 21 Juni 2015 dan dilakukan klarifikasi apakah sesuai antara peta penggunaan lahan dengan citra Google Earth. 2.2.4 Diagram Alir
Gambar 2. Diagram Alir
-213-
Metode Classification and Tree Method (CART) dan Geostatistik untuk Analisis Perubahan Tutupan Lahan di Sub DAS Rawan Banjir CiHeuleut– CiLuar (Hernina, R.., dkk.)
3.
HASILDAN PEMBAHASAN
3.1
Delineasi Daerah Tangkapan Hujan (Sub-DAS)CiHeuleut- CiLuar Hasil deliniasi data DEM dari NASA SRTMmenunjukkan bahwa 85,14% wilayah Sub DAS CiHeuluetCiLuar secara administratif berada di Kota Bogor sedangkan 14,86% terletak di Kabupaten Bogor (Tabel 1). Selanjutnya hasil delineasi DAS Ci Heuleut– CiLuar digunakan sebagai mask data Landsat 8 tahun 2015 dan dijitasi peta topografi tahun 1998. Sebelum melakukan pengolahan citra, dilakukan proses pan-sharpening untuk meningkatkan resolusi spasial dari 30 meter menjadi 15 meter dengan metode High Pass Filtering (HPF). Keunggulan HPF ini dikarenakan HPF mampu menajamkan citra terutama edge dan texture tanpa menurunkan bagian yang lain dalam satu citra.
A
B
Gambar 3. Hasil Pengolahan Data DEM NASA SRTM. (A) Data DEM SRTM yang telah dilakukan proses fill, (B)Sub DAS CiHeuleut-CiLuar
Tabel 1.Wilayah Administratif Lokasi Penelitian Nama Kecamatan
Wilayah Administratif
Percentase
Penggunaan Lahan 1998 (hectares) Non-Urban Urban
Bogor Utara 55.92 % 651.35 Bogor Timur Kota Bogor 22.07 % 248.43 Bogor Tengah 8.83 % 20.10 Sukaraja Kabupaten Bogor 13.18 % 211.81 Sumber: Pengolahan Data dari dijitasi Peta Bakosurtanal tahun 1998
3.2
510.85 210.34 163.48 62.13
Hasil klasifikasi Land Use Land Cover menggunakan Metode CART Hasil pengolahan training area masing- masing klas menggunakan metode CARTmenunjukkan pemisahan yang jelas menurut layer (lihat Gambar 5.), namun demikian metode CART menunjukkan bahwa band hijau, merah, SWIR 1, SWIR 2, NDBI tidak digunakan dalam menentukan kelas land use land cover di daerah tangkapan hujan CiHeuleut- Ci Luar. Pada metode ini, CART berhasil memisahkan kelas yang
-214-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
berhubungan vegetasi dengan menggunakan NDVI dan band NIR dimana hal ini dikarenakan band NIR dan band merah merupakan band yang memiliki reflektan vegetasi yang paling tinggi diantara band lainnya. Selain itu, band biru mampu dimanfaatkan oleh metode CART untuk mengklasifikasi kelas badan air, hal ini memang menjadi karakteristik band biru Landsat 8 yang didesain untuk mendeteksi pantulan dari badan air. Penelitian ini menambahkan satu kelas yaitu padang rumput kedalam peta penggunaan lahan tahun 2015, dikarenakan luas padang rumput cukup signifikan sebesar 61,88 hektar (2,97%) dan tampak sangat jelas dalam citra pembanding Google Earth terlihat mengelompok di sebelah timur wilayah sub-DAS CiHeuleut– CiLuar.
Gambar 4. Sebaran titik sampel
-215-
Metode Classification and Tree Method (CART) dan Geostatistik untuk Analisis Perubahan Tutupan Lahan di Sub DAS Rawan Banjir CiHeuleut– CiLuar (Hernina, R.., dkk.)
Citra Landsat 8Path 122 Row 65 Tanggal 15 Agustus 2015 (Biru, Hijau, Merah, Near Infra Red, SWIR 1, SWIR 2, NDVI, NDBI) NIR > 19438 Padang Rumput
NIR ≤ 19438 Biru> 10078
Biru ≤ 10078
Perkotaan NDVI > 0.345
NDVI ≤ 0.345
Kebun Biru ≤ 9489 Badan Air
Biru> 9489 Biru ≤ 9822
Biru> 9822 Tanah Kosong
Pertanian
Gambar 5. Diagram Alir Pemisahan Kelas Penggunaan Lahan Hasil Metode CART
Secara visual perubahan penggunaan lahan di Sub-DAS CiHeuleut- CiLuar tampak mengelompok di bagian tengah, timur, utara dan selatan dari Sub- DAS (Lihat Gambar 5). Hal ini disebabkan masih adanya lahan pertanian yang berpotensi berubah menjadi perkotaan, sedangkan di sebelah barat Sub-DAS cenderung tidak terjadi perubahan penggunaan lahan dikarenakan merupakan permukiman teratur. Pesatnya pertumbuhan perkotaan di daerah Sub-DAS tidak terlepas dari peranan Jalan Tol Jagorawi yang melintasi wilayah ini dan juga adanya pembangunan jalan BORR (Bogor Outer Ring Road) yang semakin melancarkan arus orang, barang, dan jasa sehingga diduga memerlukan permintaan yang besar akan infrastruktur perkotaaan seperti perumahan.
B
A
C
Hilir
Tengah Badan Air Pertanian Tanah kosong Kebun Perkotaan Sungai Batas Sub-DAS
Hulu
Hilir
Hilir
Tengah Badan Air Pertanian Tanah kosong Kebun Perkotaan Padang Rumput Sungai Batas Sub-DAS
Hulu
Tetap Berubahke: Badan Air Pertanian Tanah kosong Kebun Perkotaan Padang Rumput Sungai Batas Sub-DAS
Tengah
Hulu
Gambar 6. (A) Peta Penggunaan Lahan Sub DAS CiHeuleut- CiLuar tahun 1998 , (B) Peta Pengunaan Lahan SubDAS CiHeuleut- CiLuar tahun 2015, (C) Peta Perubahan Penggunaan Lahan 1998 -2015 Sumber : Pengolahan Data Peta Topografi 1998 dan Landsat 8 2015
-216-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Dari hasil accuracy assessment yang dilakukan (lihat Tabel 2), tampak bahwa kelas perkotaaan memiliki user’s accuracy yang paling tinggi.Kelas badan air memiliki producer’s dan user’s accuracy yang paling rendah dibandingkan dengan kelas lainnya hal ini disebabkan oleh sedikitnya jumlah titik sample referensi badan air dikarenakan dalam artikel ini digunakan metode stratified random sampling dimana luas kelas yang paling besar memiliki jumlah titik referensi yang besar pula. Berdasarkanoverall accuracy dan Kappa Hatditemukan nilai sebesar 74,88 % dan 0.6288, hal ini diduga bahwa dalam melakukan sample training area masih terdapat beberapa ketidaksempurnaan diantaranya terdapat pencampuran pixel antara tanah kosong dan pertanian. Berdasarkan citra Google Earth biasanya tanah kosong terdapat bersebelahan dengan lahan pertanian dan biasanya lahan kosong tersebut dalam persiapan menunggu musim tanam. Dalam meneliti perubahan dinamis perubahan lahan di DAS Sungai Xiangxi, China menggunakan metode CART, Cao, Li [5] menemui overall accuracy sebesar 75,5%. Tabel 2. Confusion Matrix antara klas tutupan lahan dengan titik acuan referensi Google Earth Titik Referensi di Google Earth Tanggal Citra 21 Juni 2015 Tanah Kebun Perkotaan Badan Padang Kosong Air Rumput
Klas Tutupan Lahan 2015 Pertanian
Pertanian
20
-
7
7
2
Tanah Kosong Kebun
2
14
7
10
2
-
21
Perkotaan
-
1
Badan Air
1
Padang Rumput Total Producer's Accuracy
Total
User's Accuracy
-
36
55.56%
-
1
34
41.18%
-
-
1
24
87.50%
3
93
-
-
97
95.88%
1
3
-
1
-
6
16.67%
2
-
-
1
-
3
6
50.00%
27
16
41
111
3
5
203
74.07%
87.50%
51.22%
83.78%
33.33%
60.00%
Overall Accuracy
74.88%
Kappa Hat
0.6288 Sumber: Pengolahan Data
Selama tahun 1998 – 2015, kelas pertanian mengalami penurunan yang signifikan yaitu sebesar 57,02 % dari sebesar 858,46 hektar di tahun 1998 menjadi 368,96 hektar pada tahun 2015 (lihatGambar 6). Kelas tanah kosong dan badan air mengalami kenaikan, hal ini dapat dijelaskan berdasarkan citra Google Earth bahwa kelas tanah kosong biasanya dalam tahap persiapan menjadi perumahan dimana sedang terjadi tahap pekerjaan cut and fill. Sedangkan kelas badan air, berdasarkanGoogle Earth bahwa di perumahan yang baru biasanya terdapat fasilitas kolam renang dan diduga ini bisa menyebabkan perubahan yang pada awalnya kelas perkotaan kemudian setelah beberapa tahun menjadi badan air. Luas Tutupan Lahan di Sub-DAS Ciheuleut- Ciluar 1998- 2015 (dalam hektar) 1000
926,25
858,46
998,73
800 600 400
368,97
343,85 144,52
200
244,14 150,64
64,99 0,16
61,89 0,00
0 Pertanian
Tanah Kosong Kebun Perkotaan Tahun 1998 Tahun 2015
Badan Air
Gambar 7. Grafik Luas Tutupan Lahan 1998 -2015 Sumber : Pengolahan Data Peta Topografi 1998 dan Landsat 8 2015
-217-
Padang Rumput
Metode Classification and Tree Method (CART) dan Geostatistik untuk Analisis Perubahan Tutupan Lahan di Sub DAS Rawan Banjir CiHeuleut– CiLuar (Hernina, R.., dkk.)
Dengan menggunakan metode spatial auto-correlation Morans I, diketahui bahwa pada tingkat kepercayaan 95% pola distribusi perubahan penggunaan lahan di daerah tangapan hujan DAS CiHeuleutCiLuar mempunyai pola terklusterisasi.
4.
KESIMPULAN
Selama tahun 1998 – 2015, kelas pertanian mengalami penurunan yang signifikan yaitu sebesar 57,02 % atau 858,46 hektar pada tahun 1998 menjadi 368,96 hektar pada tahun 2015Sedangkan kelas perkotaan mengalami peningkatan luas dari 926.25 Ha menjadi 998.73 Ha. Metode CART dapat mengklasifikasikan enam kelas tutupan lahan untuk citra satelit beresolusi spasial medium dengan tingkat akurasi yang cukup signifikan yaitu sebesar 74.8%. Hasil analisis pola perubahan tutupan lahan di daerah tangkapan hujan Kali Ciheuleut- Ciluar mengindikasikan pola kluster.
DAFTAR PUSTAKA
Hotimah, O., Wirutomo, P., dan Alikodra, H.S., (2015). Conservation of world heritage botanical garden in an environmentally friendly city. in The 5th Sustainable Future for Human Security.Science Direct. B.P.S.K. Bogor(2015). Badan Pusat Statistik Kota Bogor: Bogor. p. 209. Digital Elevation Mode (DEM) NASA SRTM 90m, NASA, Editor. 2001. Kun, G., Wang, J., dan Wang, Y., (2015). Application of ZY-3 remote sensing image in the research of Huashan experimental watershed, in RSHS14 and ICGRHWE14. IAHS Press: Guangzhou, China. p. 56. Cao, X., et al., (2010). Dynamic Remote Sensing Monitoring of Land Use Change in Xiangxi River Watershed by Decision Tree Method in 2010 18th International Conference on Geoinformatics. ieee.org: Beijing. p. 4. Gao, J., (2009). Digital Analysis of Remotely Sensed Imagery. McGraw-Hill. Fitzpatrick-Lins, K., (1981). Comparison of sampling procedures and data analysis for a land-use and land-cover map. Photogramm Eng Remote Sensing, 47(3): p.7.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskui presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016 Moderator Judul Makalah Pemakalah Diskusi :
: Kustiyo : Metode Classification danTree Method (CART) dan Geostatistik untuk Analisis Perubahan Tutupan Lahan di Sub DAS Rawan Banjir Ci Heuleut - Ci Luar : Revi Hernina (UI)
Pertanyaan: Dr. Bambang Trisakti (LAPAN) Apa yang dimaksud building indeks? band apa saja yang digunakan, kenapa dipakai untuk building indeks? Jawaban: Building Indeks adalah Indeks bangunan, menggunakan band biru dan band merah. Menggunakan band tersebut karena baik digunakan untuk pemukiman/ indeks bangunan. Pertanyaan: Kustiyo (LAPAN): Kenapa menggunakan data dari BIG dan data Landsat untuk membandingkannya? Jawaban: Untuk tahun 1998 tidak ada spesifik khusus untuk menggunakan data tersebut, sehingga menggunakan data dari google earth (landsat).
-218-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Pola Spektral Berbagai Tipe Mudvolcano Menggunakan Analytical Spectral Devices Spectral Pattern of Several Types Mudvolcano Using Analytical Spectral Devices Tri Muji Susantoro1,2*), Alia Saskia P1, dan Ketut Wikantika1 1
2
Center of Remote Sensing, Institut Teknologi Bandung Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” *)
E-mail:
[email protected]
ABSTRAK - Pada kajian ini dilakukan percobaan di laboratorium untuk menganalisis spektral dari mudvolcano menggunakan Analytical Spectral Devices (ASD). Beberapa tipe mudvolcano diukur pantulannya spektralnya. Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi panjang gelombang yang paling peka terhadap berbagai tipe mudvolcano. Kondisi mudvolcano yang dikaji meliputi; mudvolcano kering, sangat cair, cair, sangat pekat, mengandung minyak ringan dan mengandung minyak berat. Analisis dilakukan dengan mengkaji pola spektralnya. Hasil analisis menunjukkan secara umum pola spektral mudvolcano adalah rendah, kecuali untuk mudvolcano kering. Perbedaan pola pantulan secara signifikan pada panjang gelombang 1318 nm dan 1389 nm. Pada panjang gelombang 1318 nm minyak ringan mempunyai pantulan yang lebih tinggi tinggi dibandingkan dengan yang lainnya, sedangkan minyak berat mempunyai pantulan yang sangat rendah. Adapun hasil pola pantulan tertinggi ke rendah pada panjang gelombang 1318 nm meliputi minyak ringan, mudvolcano cair, mudvolcano sangat pekat, mudvolcano dengan minyak ringan, mudvolcano dengan minyak berat, mudvolcano sangat cair dan minyak berat. Pola pantulan tersebut dapat digunakan untuk membedakan tipe mudvolcano. Adapun untuk meningkatkan perbedaan tipe mudvolcano dengan membandingkan panjang gelombang 1318 nm dengan 1389 nm. Kata kunci: mudvolcano, pola spektral, panjang gelombang, minyak berat, minyak ringan, ASD ABSTRACT-The study has been conducted by experimental research to analyze spectral patterns of mud volcanoes using Analytical Spectral Devices (ASD). The spectral patterns of several types of mudvolcanoes were measured. The objective of this research is identifying the sensitive wavelength from different types of mud volcanoes. Types of mud volcanoes in this research include: dry mud volcanoes, very liquid mud volcanoes, liquid mud volcanoes, highly concentrated mud volcanoes, mud volcanoes with light oil and heavy oil. Analysis was conducted by reviewing the spectral patterns. The analysis showed all types of mud volcanoes has low spectral pattern, except dry mud volcanoes. The differences of spectral patterns are clear at wavelength 1318 nm and 1389 nm. At wavelength 1318 nm, light oil has a higher spectral pattern than others, while heavy oil has a very low spectral pattern. The results of spectral patterns from highest to lowest spectral at wavelength 1318 include: light oil, liquid mud volcanoes, highly concentrated mud volcanoes, mud volcanoes with light oil, mud volcanoes with heavy oil, very liquid mud volcanoes and mud volcanoes with heavy oil. The spectral pattern at wavelength 1318 nm and 1389 nm can be used to distinguish the type of mud volcanoes. For improving the different types of mudvolcanoes is by comparing the wavelength of 1318 nm to 1389 nm. Keywords: mud volcano, spectral pattern, wavelength, heavy oil, light oil, ASD
1.
PENDAHULUAN
Kondisi produksi migas terus menurun dari tahun ke tahun, dimana pada tahun 1995 mencapai 1,6 juta barrels/day menjadi 0,8 juta barrels/day pada tahun 2014. Padahal konsumsi terus meningkat (Muin, 2014). Disisi lain harga minyak dewasa ini turun menjadi sekitar U$D 40/Barrel (Bowler, 2015; http://www.eia.gov/). Penurunan harga minyak sampai U$D 49 menjadi tekanan berat bagi penghasil minyak di dunia (Baumeister dan Kilian, 2015). Hal ini mengakibatkan kegiatan eksplorasi tidak berjalan dengan baik. Berdasarkan hal tersebut diperlukan alternatif teknologi yang murah untuk tetap mengoptimalkan kegiatan eksplorasi. Eksplorasi minyak dan gas bumi yang dimulai dengan pencarian fenomena pada permukaan bumi yang menggambarkan lokasi sumberdaya migas. Pemetaan kondisi permukaan bumi diawali dengan pemetaan umum (reconnaissance), dan apabila ada indikasi tersimpannya migas, dilakukan pemetaan detil. Teknologi pengindraan jauh efektif untuk eksplorasi awal tersebut. Akuisisi dan pengolahan data pengindraan jauh
-219-
Pola Spektral Berbagai Tipe Mudvolcano Menggunakan Analytical Spectral Devices (Susantoro, T.M., dkk.)
untuk eksplorasi migas akan mengurangi resiko eksplorasi dan mengurangi biaya (Satellite Imaging Corporation, 2016). Salah satu fenomena permukaan yang menjadi indikasi adanya migas di bawah permukaan bumi adalah rembesan. Data global adanya rembesan diperkirakan lebih dari 1150 rembesan dari 84 negara (Status Agustus 2009). Ada tiga tipe rembesan berdasarkan jenisnya, yaitu rembesan gas, rembesan minyak dan mudvolcano (Etiope, 2009). Namun demikian terkadang tipe-tipe rembesan tersebut berasosiasi satu dengan yang lainnya, dimana pada mudvolcano terkadang terdapat minyak dan atau gas. Adapun detil data tipe-tipe rembesan dapat dilihat pada Tabel 1. Benua Eropa Asia Afrika N. Amerika C.S. Amerika Aceania Total
Tabel 1. Data Rembesan yang TerkaitdenganMigas di Dunia (Etiope, 2009) Negara Rembesan Rembesan Mudvolcano Total Rembesan Gas Minyak Gas Rembesan danmudvolcano yang dianalisis 16 39 40 211 250 180 29 85 48 54 187 53 14 35 5 0 40 2 2 114 323 0 437 307 19 82 6 30 118 16 4
45
15
28
88
38
84
400
437
323
1160
596
Sedangkan berdasarkan kenampakannya di lapangan, rembesan dibedakan menjadi, yaitu macroseep, microseep. Macroseep merupakan rembesan migas yang dapat dilihat langsung secara kasat mata keberadaannya dipermukaan (Tedesco, 1995 dalam van der Meer dkk., 2002). Adanya macroseep dipermukaan bisa dilihat dalam bentuk latung atau aspal seperti di Buton, kolam minyak ataupun gelembung gas apabila berasosiasi dengan air atau mudvolcano. Microseep merupakan rembesan hidrokarbon yang terjadi secara vertikal atau mendekati vertikal dari reservoar ke permukaan, tetapi tidak dapat dilihat langsung secara kasat mata (van der Meer dkk., 2002). Mudvolcano merupakan fenomena seperti rembesan migas yang terjadi dimana cairan yang kaya sedimen halus sebagai bagian dari unit batuan naik ke permukaan oleh daya apung karena perbedaan tekanan dengan densitas yang besar antara massa berlumpur dan tekanan dari beban sedimen diatasnya dengan kepadatan tinggi. Tekanan yang tinggi biasanya memberikan efek dari produksi gas di dalamnya (terutama metana) (Albarello, dkk., 2012). Informasi mudvolcano dapat digunakan untuk kajian kondisi bawah permukaan dan sebagai panduan tentang indikasi adanya akumulasi migas di daerah yang belum dieksplorasi. Geokimia gas data dari mudvolcano dapat dianalisis untuk kemungkinan adanya batuan induk dan tingkat kematangannya (Istadi dkk., 2012). Hal ini juga dikuatkan oleh Tredgett (2009) adanya mudvolcano biasanya sering digunakan untuk mendeteksi adanya rembesan minyak dan gas. Susantoro dan Herru (2013) menerangkan rembesan migas merupakan faktor penting dalam eksplorasi. Adanya rembesan menunjukkan bahwa daerah tersebut sudah terbukti terdapat migas. Rembesan tersebut digunakan sebagai faktor skreening dan perankingan rencana eksplorasi migas. Link (1952) dalam Parry (2015) menjelaskan pada awalnya sejarah eksplorasi migas di dunia berdasarkan adanya rembesan migas dan banyak lapangan migas besar merupakan hasil pengeboran dari adanya rembesan. Fenomena yang merupakan bukti adanya migas di bawah permukaan bumi dapat dideteksi dengan pendekatan rembesan dan mudvolcano. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan kajian pola spektral berbagai tipe mudvolcano. Hal ini diharapkan dalam kegiatan eksplorasi migas terutama di daerah yang frontier dapat diawali dengan pemetaan mudvolcano. Dimana mudvolcan sebagai fenomena permukaan terbukti merupakan bagian penting dari adanya migas di bawahnya. Kajian ini dilakukan dengan menggunakan spektrometer jenis Analytical Spectral Devices (ASD). Adapun sampel mudvolcano berasal dari Attambua, Nusa Tenggara Timur
2.
METODE
Kajian pola spektral berbagai tipe mudvolcano dilakukan dengan tiga tahap, yaitu pengambilan sampel mudvolcano di daerah Attambua, Nusa Tenggara Timur, analisis pola spektral dengan Analytical Spectral Devices (ASD) dan analisis model pola spektral berbagai tipe mud volcano. Adapun lokasi rembesan di daerah Attambua dan Sekitarnya, Nusa Tenggara Timur (Gambar 1), sedangkan ASD yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 2.
-220-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 1.Lokasi Pengambilan Sampel Rembesan di Attambua dan Sekitarnya (PPPTMGB LEMIGAS, 2015).
Gambar 2. Analytical Spectral Devices (ASD) yang Digunakan untuk Pembuatan Pola Spektral
ASD yang digunakan dalam perekaman spektral berbagai tipe mudvolcano merupakan FieldSpec Pro FR spectroradiometer dengan karakteristik (http://www.laboratorynetwork.com/doc/fieldspec-pro-frportable-spectroradiometer-0001) : - Kisaranspektral 350 – 2500 nm - Interval sampling 1,4 nm pada 350 – 1000 nm dan 2 nm pada 1000-2500 nm - Resolusispektral 3 nm @700 nm, 10 nm @ 1500 nm dan 10 nm @ 2100nm. - Jumlahsaluran 1512 saluransebelumdilakukaninterpolasi. - Resolusispektral: 3 nm @ 700 nm, 10 nm @ 1.500 nm, dan 10 nm @ 2.100 nm. - Akurasipanjanggelombang ± 1 nm - Waktu scan tiap 0,1detikuntukseluruhrentangspectral. Mud volcano dari pengambilan sampel di Attambua dan sekitarnya yang dikaji meliputi mudvolcano kering, sangat cair, cair, sangat pekat, mengandung minyak ringan dan mengandung minyak berat. Pemisahan tipe mudvolcano ini dilakukan secara manual, dimana untuk mudvolcano kering diambil yang
-221-
Pola Spektral Berbagai Tipe Mudvolcano Menggunakan Analytical Spectral Devices (Susantoro, T.M., dkk.)
kandungan airnya sangat sedikit sehingga secara visual sudah berupa mudvolcano retakan. Pada mudvolcano sangat cair diambil dititik semburan dengan konsentrasi air yang dominan, sedangkan mudvolcano cair diambil pada daerah yang diperkirakan kandungan air dan mud diperkirakan relatif sama. Hal ini dapat dilihat secara visual ketika didiamkan mengendap dengan ukuran air dan mud yang seimbang. Mudvolcano diambil pada daerah dengan didominasi oleh mud sehingga ketika diendapkan jumlah mud lebih banyak ¾ bagian. Pada percobaan ini khususnya untuk mudvolcano yang mengandung minyak dilakukan dengan penambahan crude oil dengan dua jenis yang berbeda, yaitu minyak ringan (sweat oil) dan minyak berat (heavy oil). Minyak ringan merupakan minyak yang dalam kondisi suhu lingkungan normal masih dalam wujud cair. Minyak berat merupakan minyak yang dalam lingkungan normal menjadi latung (seperti aspal padat), sehingga memerlukan pemanasan untuk menjadi cair kembali. Perekaman pola spektral pada berbagai tipe Mudvolcano tersebut dilakukan dengan perulangan 3 kali. Sebelum digunakan, ASD selalu dikalibrasi dengan obyek yang berwarna putih sehingga menghasilkan pola spektral maksimal dan lurus, kemudian baru dilakukan perekaman pola spektral setiap tipe Mudvolcano. Analisis dilakukan untuk mengkaji pola spektral yang dihasilkan pada masing-masing Mudvolcano sehingga diharapkan dapat dimanfaatkan untuk memetakan tipe Mudvolcano. Adapun diagram alir kajian dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Diagram Alir Kajian
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil perekaman pola pantulan spektral berbagai tipe mudvolcano diperoleh bahwa secara umum mempunyai pola pantulan spektral yang rendah untuk semua jenis mudvolcano, kecuali untuk mudvolcano kering mempunyai pola pantulan spektral yang tinggi. Mudvolcano cair, mudvolcano sangat pekat dan mudvolcano dengan dengan minyak ringan mempunyai pola spektral yang relatif sama bentuknya. Demikian juga untuk mudvolcano yang sudah kering. Perbedaan dari masing-masing mudvolcano tersebut pada tingkat pantulan spektralnya. Mudvolcano kering mempunya pantulan spektral yang paling tinggi, kemudian mudvolcano cair, mudvolcano sangat pekat dan mudvolcano yang mengandung minyak ringan (Gambar 4). Pada panjang gelombang 1318 nm keempat tipe mudvolcano tersebut meningkat dan pada panjang gelombang 1389 nm cenderung menurun. Scholte (2005) menerangkan informasi pola spektral merupakan pemahaman tentang interaksi antara energi elektromagnetik dan permukaan yang diamati. Mineral lempung dan tanah lempung mempunyai sifat fisik dan kimia yang unik dan secara spektral dapat didiagnosa dari panjang gelombang pendek inframerah (SWIR). Penyerapan SWIR tergantung dari komposisi dan karakteristik ikatan atom yang terjadi pada
-222-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
mineral lempung atau tanah lempung. Dimana secara umum komposisinya terdiri dari alumunium, magnesium dan atau oksida besi.
Gambar 4. Pola Pantulan Spektral Mudvolcano Kering, Mudvolcano Cair, Mudvolcano Sangat Pekat dan Mudvolcano dengan Minyak Ringan.
Pola spektral pada mudvolcano kering berdasarkan data perpustakaan spektral (Clark, dkk., 2003) merupakan mineral lempung jenis montmorillonite. Kusumadinata (1980) menjelaskan mudvolcano yang keluar ke permukaan bumi dibentuk dari lempung atau lumpur. Istadi dkk. (2012) menjelaskan secara umum mudvolcano berukuran fragmen lempung, cair dan terdapat gas. Hal ini ditegaskan penelitian Scholte (2005) dimana mudvolcano secara umum kaya akan mineral lempung. Adapun pada minyak ringan dan minyak berat pola pantulan kedua obyek tersebut sangat berbeda. Minyak ringan mempunyai pola pantulan spektral cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan minyak berat. Pada panjang gelombang 1318 nm minyak ringan mempunyai kecenderungan tinggi dan kemudian turun pada panjang gelombang 1389 nm. Demikian juga untuk minyak berat, walaupun tidak sesignifikan pada minyak ringan tetapi masih mempunyai pola pantulan yang sama (Gambar 5).
-223-
Pola Spektral Berbagai Tipe Mudvolcano Menggunakan Analytical Spectral Devices (Susantoro, T.M., dkk.)
Gambar 5. Pola pantulan spektral minyak berat dan minyak ringan
Secara umum pola spektral pada berbagai tipe mudvolcano mulai menunjukkan perbedaan pola pada panjang gelombang 1100 nm. Dimana pada panjang gelombang tersebut spektral meningkat dan kemudian turun pada panjang gelombang 1200 nm. Pada panjang gelombang 1318 nm berbagai tipe mudvolcano cenderung naik, tetapi untuk minyak ringan turun seperti pola air jernih. Untuk minyak berat terdapat pola relatif datar dan ada anomali pada panjang gelombang 1318 nm. Pada panjang gelombang 1389 nm spektral berkurang, mana pada panjang gelombang tersebut cenderung diserap oleh berbagai tipe mudvolcano. Kemudian pola spektral mengalami peningkatan kembali dengan tertinggi pada panjang gelombang 1576 nm untuk minyak ringan, 1677 nm untuk mudvolcano cair dan sangat pekat, 1616 nm pada mudvolcano dengan minyak ringan, 1597 nm pada minyak berat dan 1644 nm pada mudvolcano dengan minyak berat (Gambar 6).
Gambar 6. Anomali Perubahan Pola Spektral Berbagai Tipe Mudvolcano
Hasil kajian ini diharapkan dapat digunakan untuk mendukung eksplorasi migas terutama di daerah frontier. Sebaran mudvolcano di Indonesia dijelaskan oleh Etiope (2009) meliputi kepulauan Sumatera, Jawa, Timor dan Kepulauan Tanimbar dan Irian Jaya. Menurut Dimitrov (2002) ketinggian mudvolcano
-224-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
bervariasi antara 300-400 meter, bahkan ada yang lebih dari 500 meter. Bahkan di Utara Irian Jaya tutupan mudvolcano mencapai lebih dari 100 m2
4.
KESIMPULAN
Pola pantulan spektral Mudvolcano kering pada hasil analisis mempunyai spektral paling tinggi. Dimana pola pantulan tersebut berdasarkan spectral libraries USGS mempunyai jenis mineral lempung montmorillonite. adapun pola pantulan spektral untuk seluruh mudvolcano cair baik yang mengandung minyak maupun murni mudvolcano mempunyai spektral yang rendah. Mudvolcano cair, mudvolcano sangat pekat dan mudvolcano dengan dengan minyak ringan mempunyai pola spektral yang relatif sama bentuknya. Perbedaan dari masing-masing mudvolcano tersebut pada tingkat pantulan spektralnya. Adapun pada minyak ringan dan minyak berat pola pantulan kedua obyek tersebut sangat berbeda. Minyak ringan mempunyai pola pantulan spektral cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan minyak berat. Secara umum pola spektral pada berbagai tipe mudvolcano mulai menunjukkan perbedaan pola pada panjang gelombang 1100 nm. Dimana pada panjang gelombang tersebut spektral meningkat dan kemudian turun pada panjang gelombang 1200 nm. Pada panjang gelombang 1318 nm berbagai tipe mudvolcano cenderung naik, tetapi untuk minyak ringan turun seperti pola air jernih. Minyak berat terdapat pola relatif datar dan ada anomali pada panjang gelombang 1318 nm. Pada panjang gelombang 1389 nm spektral berkurang, mana pada panjang gelombang tersebut cenderung diserap oleh berbagai tipe mudvolcano. Kemudian pola spektral mengalami peningkatan kembali dengan tertinggi pada panjang gelombang 1576 nm untuk minyak ringan, 1677 nm untuk mudvolcano cair dan sangat pekat, 1616 nm pada mudvolcano dengan minyak ringan, 1597 nm pada minyak berat dan 1644 nm pada mudvolcano dengan minyak berat. Berdasarkan hal tersebut potensi kajian detil mudvolcano dapat dikaji dengan membandingkan panjang gelombang 1318 nm dengan 1389 nm.
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih kami ucapkan kepada TIM Eksplorasi Kawasan Timur Indonesia dan TIM Pemetaan Rembesan Pulau Timur, Koordinator Program Penelitian dan Pengembangan Teknologi Eksplorasi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bum “LEMIGAS” untuk kesempatannya bergabung dan ikut survei di wilayah Attambua dan Sekitarnya. Terima kasih juga kami ucapkan kepada Lab XRD, Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, yaitu Bapak Isnu, Bapak Purwo dan Ibu Fitriani Agustin yang telah memfasilitasi untuk mempergunakan spektrometer.
DAFTAR PUSTAKA Albarello, D., Palo, M., dan Martinell, G., (2012). Monitoring methane emission of mud volcanoes by seismic tremor measurements: a pilot study. Natural Hazards and Earth System Sciences Baumeister, C., dan Kilian, L., (2015). Understanding the Decline in the Price of Oil Since June 2014. Diunduh tanggal 2 April 2016 dari http://ssrn.com.abstract=2557316. Bowler, T., (2015). Falling Oil Prices: Who are the Winners and Losers?. World Geography 3202/00. http://www.bbc.com/news/business-29643612. Diunduh tanggal 2 April 2016. Clark, R.N., Swayze, G.A., Wise, R., Livo, K.E., Hoefen, T.M., Kokaly, R.F., dan Sutley, S.J., (2003). USGS Digital Spectral Library. splib05a. Dimitrov, L., (2002). Mud Volcanoes- The Most Important Pathway for Degassing Deeply Buried Sediment. EarthScience Review. 59: 49-76. Etiope, G., (2009). A Global Dataset of Onshore and Oil Seeps: A New Tool for hydrocarbon Exploration. Oil and Gas Business. http://www.Ogbus.ru/eng/. Diunduh Tanggal 17 Juni 2016. Istadi, B.P., Handoko, T., Wibowo, Sunardi, E., Hadi, S., dan Sawolo, N., (2012). Mudvolcano and Its Evolution. Earth Sciences. ISBN 978-953-307.861-8. Publisher In Tech Europe and China. Diunduh Tanggal 17 Juni 2016 dari http://www.intechopen.com/books/earth-sciences/mud-volcano-and-its-evolution. Muin, A., (2014). Ketahanan Energi Nasional. Tantangan bagi Pemerintahan Joko Widodo. Dialog Kebangsaan Arah Kebijakan Ekonomi, Politik Pemerintahan, Jokowi. Jakarta. Parry, C., (2015). Oil Seeps- The only Real Direct Hydrocabon Indicator.FORCE”Underexplored Plays. Stavanger. PPPTMGB LEMIGAS. (2015). Studi Pemetaan Rembesan Minyak dan gas Bumi di Daerah Timor, Indonesia Timur. Kelompok Sistem Hidrokrabon. KP3 Teknologi Eksplorasi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi. BadanLitbang ESDM. Kementerian ESDM. Jakarta. Satellite Imaging Corporation, (2016). Satellite Images for Oil and Gas exploration. Manor Spring Court. Tomball. USA. Diunduh tanggal 2 April 2016 dari http://www.satimagingcorp.com/applications/energy/exploration/oilexploration/. Scholte, K., (2005). Hyperspectral Remote Sensing and Mud Volcanism in Azerbaijan. Dissertation. Departmen of Geotechnology. Deflt University of Technology. Nederland.
-225-
Pola Spektral Berbagai Tipe Mudvolcano Menggunakan Analytical Spectral Devices (Susantoro, T.M., dkk.)
Susantoro, T.M., dan Herru, L.S. (2013). Metode Screening dan Ranking dalam Penentuan Lokasi Eksplorasi Migas Kawasan Timur Indonesia. Majalah Mineral dan Energi. ISSN: 1693-4121. Badan Litbang Energi dan Sumberdaya Mineral. Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral. Tredgett, P. (2012). New Approach to Deepwater Frontier Exploration. Geo Expro. TGS-NOPEC. Geophyisical Company (TGS). Van der Meer., van Dijk, P., Werff, H.V.D., dan Yang Hong., (2002). Remote Sensing and Petroleum Seepage: a Review and Case Study. Terra Nova, 14. Blackwell cience Ltd. Data keteranganalat ASD jenisFieldSpec Pro FR spectroradiometer. Diunduh pada tanggal 17 Juni 2016 dari http://www.laboratorynetwork.com/doc/fieldspec-pro-fr-portable-spectroradiometer-0001 Data Perkembangan harga minyak dunia Tahun 1999-2015. Diunduh tanggal 2 April 2016 dari http://www.eia.gov/ finance/markets/). *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Moderator Judul Makalah Pemakalah Diskusi
: D. Heri Yuli Sulyantara : Pola Spektral Berbagai Tipe Mudvolcano Menggunakan Analytical Spectral Devices : Tri Muji Susantoro (ITB) :
Pertanyaan: Dr. Bambang Trisakti (LAPAN) Apakah memungkinkan Spektral di korelasi untuk melihat kondisi tersebut? Bagaiman jika dibuat pola dan nilainya mungkin akan lebih rendah? Jawaban : Khusus untuk mudvolcano belum dicoba. Tetapi dari konsep yang ada dilakukan klasifikasi khususnya spektral analisis, dimasukan sebagai library di ENVI dan akan menghasilkan langsung klasifikasinya. Spektra langsung bisa ke objek tanpa gangguan. Disini mencoba menggunakan metode flash di ENVI, baru sampai radiometrik dan hasilnya sangat bagus.
-226-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Hasil Awal Analisis Citra Berbasis Objek pada Data TerraSAR-X Polarisasi Ganda dengan Menggunakan Algoritma Fuzzy untuk Deteksi Fase Pertumbuhan Padi Initial Results of Geographic Object Based Image Analysis (GEOBIA) on Dual Polarization TerraSAR-X Data with Fuzzy Algorithm for Rice Crop Stages Detection Zylshal1*), Nurwita Mustika Sari1, Galdita Aruba Chulafak1, Randy Prima Brahmantara2, dan Wolfgang Koppe3 1
2
Remote Sensing Application Center, Indonesian National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN) Remote Sensing Data and Technology Center, Indonesian National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN) 3 Infoterra GmbH, Astrium Geo-Information Services, 88039 Friedrichshafen, Germany *)
E-mail:
[email protected]
ABSTRAK – Penelitian ini memberikan informasi awal hasil penggunaan metode GEOBIA dengan algoritma fuzzy pada data polarisasi ganda (HH dan VV) TerraSAR-X untuk mengidentifikasi tahap-tahap pertumbuhan padi di sebagian daerah Karawang, Jawa Barat. Dua jenis algoritma segmentasi yakni algoritma Multiresolution Segmentation dan Spectral Difference Segmentation kemudian digunakan secara berurutan dalam melakukan segmentasi citra ke dalam objek-objek primitif yang relatif homogen. Pengolahan data kemudian dilanjutkan ke dalam tahap klasifikasi dengan menggunakan skema fuzzy classification. Penelitian ini terdiri dari dua level segmentasi dan klasifikasi. Level 1 berfungsi untuk memisahkan semua objek selain lahan sawah seperti tubuh air, semak belukar, permukiman, dan pepohonan. Baru kemudian pada level 2, kelas lahan sawah diidentifikasi dan diklasifikasi menjadi 4 kelas yang lebih detil, terkait dengan fase pertumbuhan padi (pengairan, pertumbuhan awal, vegetatif, dan generatif). Sebagai informasi awal, performa algoritma klasifikasi fuzzy kemudian diuji dengan menggunakan informasi classification stability dan best classification results. Hasil awal menunjukkan bahwa penggunaan data polarisasi ganda data TerraSAR-X memberikan hasil yang cukup baik dalam mengidentifikasi fase pertumbuhan padi khususnya pada awal masa tanam. Masih belum tersedianya data lapangan membuat informasi akurasi hasil klasifikasi masih belum bisa disajikan. Untuk itu, analisis yang lebih lanjut dengan menyertakan informasi pengukuran lapangan dan data tambahan seperti peta lahan baku sawah masih diperlukan untuk memberikan informasi yang lebih lengkap lagi. Kata kunci: GEOBIA, TerraSAR-X, Fuzzy, Padi, Polarisasi Ganda ABSTRACT -This study describes the initial results of GEOBIA method using fuzzy classification on single-date Dual Polarization (HH and VV) TerraSAR-X data to detect different rice crop development stage from flooding to late vegetative stage, in some part of Karawang, West Java, Indonesia. Multiresolution segmentation and spectral difference segmentation were then performed respectively to segment the relatively homogenous feature into primitive objects. It was then followed by a fuzzy classification scheme. At this stage, we created 2 levels of segmentation and classification schemes. The first level was to separate all non-rice crop objects (i.e. waterbody, trees, and settlements). The second level targeted specifically the rice-crop object of level 1. Afterwards the rice-crop of level 1 was classified into four different classes which represented four different rice crop development stages (flooding, transplanting, generative, and vegetative). As initial results, we then calculated the classification stability and its best classification results as the indicator how well the classification method performed within the classification scheme we built. The results indicated that the dual-pol information from TerraSAR-X information have a good performance on identifying different stages of rice crop especially for the early stages. The lack of field data measurement makes the assessment of mapping accuracy difficult. Thus, for more comprehensive results, further data analysis including field measurement data as well as another ancillary data are still needed. Keywords: GEOBIA, TerraSAR-X, Fuzzy, Rice Crop, Dual Polarization
-227-
Hasil Awal Analisis Citra Berbasis Objek pada Data TerraSAR-X Polarisasi Ganda dengan Menggunakan Algoritma Fuzzy untuk Deteksi Fase Pertumbuhan Padi (Zylshal, dkk.)
1.
INTRODUCTION
This paper described the initial results of GEOBIA method using fuzzy classification on single-date Dual Polarization (HH and VV) TerraSAR-X data to detect different rice crop development stage, in some part of Karawang, West Java, Indonesia. As the staple on some Asian countries, the study of the availability of rice becomes a matter of urgency related in terms of food security.SAR data, in general have been proven to be able to detect lowland rice system with its unique temporal signature of the backscatter coefficient (sigma naught or σ0) (Nelson et al., 2014). A method using X-band HH SAR for monitoring rice crops area where monitoring is based on the analysis of temporal SAR data is proven suitable for multiple environments(Pazhanivelan et al., 2015). X-band SAR sensor has been proven to have high correlation with stem fresh weight, biomass panicles, and the amount of biomass. It also has high sensitivity for transplantation and will helps to create an accurate growth and harvest prediction (Inoue, Sakaiya, and Wang, 2014). The use of dual-pol TerraSAR-X image for rice crop monitoring has been done and proven to be successful by (Koppe et al., 2013; Lopez-Sanchez, Ballester-Berman, and Hajnsek, 2011).The problem was, these researches are all conducted outside Indonesia. Although the rain or heavy clouds would affect high frequency band SAR image data(Ka, Ku, or X), the certainty of data acquisition at the desired timing and the stability of data quality are superior than the optical sensors (Inoue et al., 2014). The typical Indonesian rice-field with its small fragmented parcels considered well suited for the GEOBIA with the ability to focus on objects or parcel using segmentation process, and incorporate hierarchical features. On the parcel level, traditional pixel-based analysis of remotely sensed data results in inaccurate identification of some crops due to pixel heterogeneity, mixed pixels, spectral similarity, and crop pattern variability, since it is concentrate only on the properties of single pixels (Peña-Barragán, Ngugi, Plant, and Six, 2011; Singha, Wu, and Zhang, 2016). The transplanting time for each of these parcels, especially with the conventional type of rice-crop, usually have differences throughout the region. Therefore, we proposed to use multilevel fuzzy classification algorithm as it provide a more flexible results as opposed to the crisp classification algorithm, that hopefully able to give a better results. As of the time of this written, a specific use of GEOBIA with fuzzy classification on TerraSAR-X Dual-polarization data has not been done, especially in Karawang Region. Therefore, the aim of this paper is to attempt the use of GEOBIA on Dual-polarization TerraSAR-X data with fuzzy algorithm for Rice Crop Stages Detection in Karawang Region, West Java, Indonesia, and evaluate the result and its potential.
2. METHOD 2.1 Data This study used two TerraSAR-X (TSX) data on StripMap mode with 6m spatial resolution, acquired on 27 March 2016.
-228-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
(a)
(b)
Figure 1.TSX data, StripMap Mode, Descending, 27˚. Red colored rectangle indicated the Area of Interest (AOI), (a) TerraSAR-X StripMap HH, (b) TerraSAR-X StripMap VV
2.2 Data Processing These two data were HH and VV co-polarization with incident angle at 27˚. These data were processed as follow.
Preprocessing TerraSAR-X Level 1b complex data were converted to intensity (squared amplitude) since polarimetric backscatter analysis was based on intensity values. In order to extract plot-level specific crop information, the images should be registered to each other and to the existing GIS data with high accuracy. Because SAR side-looking geometry causes geometric distortions when projecting slant range geometry on Earth a Digital Elevation Model (DEM) together with satellite orbit information was used in the orthorectification process. Due to high inherent slant range location accuracy up to 0.5 m (Eineder, Minet, Steigenberger, Cong, and Fritz, 2011) no ground control points are needed for orthorectification. With orthorectification, a radiometric calibration to sigma nought was also carried out using the following equation (Fritz and Eineder, 2010):
0 ij dB 10 * Log 10 K * DN 2 ij sin ij ……………………….
(1)
where, DN is the pixel amplitude of the i, j pixel, K the calibration factor, and α the local incidence angle of the i, j pixel. The equation was used to transform the amplitude of the backscattered signal (DN) into the backscattering coefficient (σ0ij) in decibel. The calibration factor for TerraSAR-X images varies between 10-6 and 10-4 depending on the incidence angle and polarization. The radiometric calibration is a requirement for multi-temporal analysis of different images. These data were then clipped with the AOI boundary shown in Figure 1, and then imported into Trimble® eCognition 9.2. An additional arithmetic layer of “HH-VV” were then created and exported as independent image layer, to be used as additional data to make an RGB composite.
-229-
Hasil Awal Analisis Citra Berbasis Objek pada Data TerraSAR-X Polarisasi Ganda dengan Menggunakan Algoritma Fuzzy untuk Deteksi Fase Pertumbuhan Padi (Zylshal, dkk.)
(a)
(b)
Figure 2. Cropped TSX data based on AOI, (a) Additional TSX Arithmetic layers (HH-VV), (b) TerraSAR-X RGB composite R: HH, G:VV, B:HH-VV
Segmentation Multiresolution segmentation algorithm based on the Fractal Net Evolution Approach (Baatz and Schäpe, 2000) followed by Spectral difference Segmentation algorithm (Trimble, 2014) were conducted to the data, in the form of multilevel hierarchy approach with two different levels (Figure 3). The level 2 consist of bigger object size that level 1, and act as level 1’s super object.Level 1, as the sub-objects of level 2, inherit the object parameters from level 2.
Figure 3.Multi-level hierarchical network of image objects used in this study
Classification In this study, we conducted the classification stage using fuzzy logic. In fuzzy logic, the set membership values can range between 0 and 1 (inclusively), as opposed to crisp classification. The degree of truth of a statement can range between 0 and 1 and is not constrained to the two logical values ‘true’ (=1) and ‘false’ (=0) as in classical predicate logic(Hofmann, Blaschke, and Strobl, 2011). This procedure requests to define the membership functions. These functions calculate many parameters based both backscatter values and on the semantic relationships between the different objects and assign to each object a probabilistic value variable between 0 and 1. The classification process requests to define a class hierarchy(Emmolo, Orlando, and Villa, 2008). The hierarchy class contains the classification outline as shown in Figure 3. Table 1 and Table 2 show the fuzzy membership function used on level 2 and level 1, respectively.
-230-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Class Name
Tabel 1. Fuzzy membership function used for describing rice and non-rice field landcover GLCM Homogeneity GLCM Homogeneity HH VV (HH) (VV)
Rice
Non-Rice
Water
Tabel 2. Fuzzy membership function used for detecting rice growth stage Class Name
HH
VV
HH-VV
Stage1
Stage2
Stage3 -
-
-231-
Hasil Awal Analisis Citra Berbasis Objek pada Data TerraSAR-X Polarisasi Ganda dengan Menggunakan Algoritma Fuzzy untuk Deteksi Fase Pertumbuhan Padi (Zylshal, dkk.)
TS-X SM 27-3-2016 HH
TS-X SM 27-3-2016 VV
Sigma Naught Calibration
Radar Speckle Suppression Gamma map filter
AOI Subset
Dual-pol Variables calculation
Multiresolution Segmentation
Spectral Difference Segmentation
Fuzzy logic classification
Evaluation
Map (0327) Figure 4. Data Processing Flowchart
-232-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
2.3 Evaluation In this preliminary result, we deployed two evaluation techniques for the classified fuzzy classes. These evaluation techniques were ‘classification stability’ and ‘best classification result’. ‘Classification stability’ evaluates the differences in degrees of membership between the best classification result and the second best classification result for each object. The difference were then calculated as a percentage (Trimble, 2014). The small value indicated an ambiguous the classification. ‘Best classification result’ on the other hand assesses how high is the memberships of belonging to a class. This information indicates how good the objects of a class satisfy the class description(Gercek, 2010).
3.
RESULTS AND DISCUSSION
In total, there are 52536 primitive object generated by the first segmentation process using multiresolution segmentation algorithm (Figure 5a). The result was deemed over-segmented in most of the areas. Further visual evaluation then showed that the over-segmented objects are able to represent its boundary quite well. The second segmentation process were then deployed and generated as the upper object level (super-object). With this step, the primitive object number was reduced to 7625. By merging the similar adjacent object to each other, we managed to get a more representative object boundary as shown in figure 5b. The complete segmentation parameters used is shown in Table 3. Level 1 Level 2
Tabel 3. Segmentation parameters Layer Input (weight) Scale Shape Compactness HH (3), VV (4), HH-VV(4), 20 0.2 0.4 HH/VV(2) Segmentation Algorithm Layer Input Maximum Spectral Difference Spectral Difference Segmentation HH (3), VV (4), HH-VV(4), 1 HH/VV(2) Segmentation Algorithm Multiresolution Segmentation
(a)
(b)
Figure 5. The segmentation results, (a) Multiresolution segmentation algorithm, (b) Spectral Difference Segmentation Using the membership function in Table 1 and Table 2, we managed to create 6 different classes. These classes were put in a hierarchical manner as shown in Figure 6. Figure 7 shows the classification results.
-233-
Hasil Awal Analisis Citra Berbasis Objek pada Data TerraSAR-X Polarisasi Ganda dengan Menggunakan Algoritma Fuzzy untuk Deteksi Fase Pertumbuhan Padi (Zylshal, dkk.)
Figure 6.Class hierarchy
Figure 7. Classification Result
There are 6 classes in total what we were able to detect and extract. These classes were generally categorized into two type of classes. The first category was “water”, “rice”, and “Non-rice”, and acted as the first step in differentiating rice-crop field in the area. The second category was, “stage1”, “stage2”, and “stage3”. These classes fell specifically within the previous “rice” type, and therefore inherit all the object parameters from “rice” classes. We then evaluate these results by calculating the classification stability as well as the best classification result, as shown in Table 4.
-234-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
(a)
(b)
Figure 8. Fuzzy Classification evaluation, (a) classification stability, (b) best classification result Tabel 4. Classification Stability and best classification results for 6 classes Class Non-Rice Water Rice Stage1 Stage2 Stage3
Classification Stability
Best Classification Result
Mean
Mean
0.965529 0.840469 0.607211 0.817832 0.714482 0.799886
StdDev 0.134379 0.243987 0.343288 0.281182 0.29157 0.329082
-235-
0.977146 0.840582 0.838063 0.858219 0.714482 0.921799
StdDev 0.089525 0.243818 0.215461 0.234899 0.29157 0.192117
Hasil Awal Analisis Citra Berbasis Objek pada Data TerraSAR-X Polarisasi Ganda dengan Menggunakan Algoritma Fuzzy untuk Deteksi Fase Pertumbuhan Padi (Zylshal, dkk.)
Classification Stability
Best Classification Result
1 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0
1 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 Non-Rice Water
Rice
Mean
Stage1
Stage2
Stage3
Non-Rice Water
StdDev
Rice
Mean
(a)
Stage1
Stage2
Stage3
StdDev (b)
Figure 9.Classification Stability and best classification results for 6 classes
The evaluation of stability and efficiency showed that, the “non-rice” class pose a better results compared to the other classes, which means that this class was better separable from the similar classes given their class definition. With almost all classes were on above 0.7 on classification stability, it’s safely to say that for this particular purpose, the proposed method worked well in detect and separating different stages of rice crop growth. The lowest score on “rice” class, was an exception. Further investigation on this classes, were revealed that the proposed method seems unable to differentiate the “non-rice” feature that has similar leafstructure as the paddy-rice, such as grass and shrubs. As an initial results, this was our first guess. As for detecting different rice growth stages, the proposed method were able to perform well, since the X-band and different growth stages of rice generate a distinctive backscattering signature that can be easily separated from other land use classes. This finding was also reported by (Koppe et al., 2013). As for the exact stages these detected features further analysis as well as comprehensive field measurement are still needed, especially for the specific region of Karawang. Following the σ0value on other region explained by (Koppe et al., 2013; Kucuk, Taskin, and Erten, 2016; Nelson et al., 2014; Pazhanivelan et al., 2015), we can roughly estimates the actual stages of our initial results. “Stage1” correspond to the transplanting, “stage2” correspond to vegetative, and “stage3” correspond to the generative stage.The use of multitemporal X-band SAR data, might also increase the change of better differentiating the rice-crop and non-rice-crop landuse, since the rice phenology has its own specific characteristic throughout the year, as well as identifying specifically which stages it was on the classified objects that we analyzed. The use of multitemporal SAR data, has been proved useful to get more detailed on rice phenology information, as reported by (Koppe et al., 2013; Kucuk et al., 2016; Nelson et al., 2014; Pazhanivelan et al., 2015).The further aim is to use a more complete multitemporal data for a year timeframe, to see the effect of seasonal dynamic of the crop.
4.
CONCLUSION
This initial result showed that, the use of single date dual-polarization TerraSAR-X data combined with fuzzy classification using GEOBIA can be used as an indicator on detecting different stages of rice crop. However, forcing to only use a single date data, has its own limitation, such as identifying the exact growth stage of the rice crop. The use of TerraSAR-X StripMap data with it 2.5 meter spatial resolution, can give a better understanding on the rice phenology especially on the parcel level. Therefore, the dual-polarization TerraSAR-X data can be used as an alternative option on rice crop monitoring, given that we use several multitemporal dual-polarization data. The next step would be to conduct the analysis using multitemporal data, as well as, conducting a through field measurement that spanned for a year, to specifically identified theσ0 characteristic in Karawang region, and to test the proposed method on different area in Indonesia.
-236-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
5.
ACKNOWLEDMENT
TerraSAR-X data were provided by AIRBUS Defence and Space. Trimble® eCognition 9.2 was provided by Trimble. The authors also would like to thank LAPAN Remote Sensing Technology and Data Center as well as LAPAN Remote Sensing Application Center for the technical support.
REFERENCES
Baatz,M., andSchäpe,A., (2000). Multiresolution Segmentation : an optimization approach for high quality multi-scale image segmentation. Journal of Photogrammetry and Remote Sensing, 58(3–4):12–23. Eineder,M., Minet,C., Steigenberger,P., Cong,X., and Fritz,T., (2011). Imaging Geodesy-Toward Centimeter-Level Ranging Accuracy With TerraSAR-X. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, 49(2):661–671. article. http://doi.org/10.1109/TGRS.2010.2060264 Emmolo, D., Orlando,P., and Villa,B., (2008). Evaluation of Capabilities of Fuzzy Logic Classification of Different Kind of Data. The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, XXXVII(B7):685–690. Fritz,T., and Eineder,M., (2010). TerraSAR-X Basic Product Specification Document. TerraSAR-X Ground Segment. Gercek, D. (2010). Object-Based Classification of Landforms Based on Their Local Geometry and Geomorphometric Context. Middle East Technical Univeristy. Hofmann,P., Blaschke,T., andStrobl,J., (2011). Quantify the robustness of fuzzy rule sets in object based image analysis. International Journal of Remote Sensing, 32(22):7359– 7381.http://doi.org/10.1080/01431161.2010.523727. Inoue,Y., Sakaiya,E., andWang,C.,(2014). Potential of X-band images from high-resolution satellite SAR sensors to assess growth and yield in paddy rice. Remote Sensing, 6(7):5995–6019. http://doi.org/10.3390/rs6075995 Koppe,W., Gnyp,M.L., Hütt,C., Yao,Y., Miao,Y., Chen,X., andBareth,G., (2013). Rice monitoring with multi-temporal and dual-polarimetric TerraSAR-X data. International Journal of Applied Earth Observations and Geoinformation, 21, 568–576. http://doi.org/10.1016/j.jag.2012.07.016 Kucuk,C., Taskin,G., andErten,E., (2016). Paddy-Rice Phenology Classification Based on Machine-Learning Methods Using Multitemporal Co-Polar X-Band SAR Images. IEEE Journal of Selected Topics in Applied Earth Observations and Remote Sensing, (January), 1–11. http://doi.org/10.1109/JSTARS.2016.2547843 Lopez-Sanchez,J.M., Ballester-Berman,J.D., andHajnsek,I., (2011). First results of rice monitoring practices in Spain by means of time series of TerraSAR-X dual-pol images. IEEE Journal of Selected Topics in Applied Earth Observations and Remote Sensing, 4(2):412–422. http://doi.org/10.1109/JSTARS.2010.2047634 Nelson,A., Setiyono,T., Rala,A.B., Quicho,E.D., Raviz,J.V., Abonete,P.J., …, andNinh,N.H., (2014). Towards an operational SAR-based rice monitoring system in Asia: Examples from 13 demonstration sites across Asia in the RIICE project. Remote Sensing, 6(11):10773–10812. http://doi.org/10.3390/rs61110773 Pazhanivelan,S., Kannan,P., Christy, N.M.P., Subramanian,E., Jeyaraman,S., Nelson,A., … andYadav,M., (2015). Rice crop monitoring and yield estimation through COSMO Skymed and TerraSAR-X: A SAR-based experience in India. International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences - ISPRS Archives, 40(7W3):85–92. http://doi.org/10.5194/isprsarchives-XL-7-W3-85-2015 Peña-Barragán,J.M., Ngugi,M.K., Plant,R.E., andSix,J., (2011). Object-based crop identification using multiple vegetation indices, textural features and crop phenology. Remote Sensing of Environment, 115(6):1301–1316. http://doi.org/10.1016/j.rse.2011.01.009 Singha,M., Wu,B., andZhang,M., (2016). An Object-Based Paddy Rice Classification Using Multi-Spectral Data and Crop Phenology in Assam, Northeast India. Remote Sensing, 8(6):479. http://doi.org/10.3390/rs8060479 Trimble. (2014). eCognition ® Developer Reference Book. Trimble. Germany.
________________________________________________________________________________ *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016 Moderator : Dedi Irawadi Judul Makalah : Hasil Awal Analisis Citra Berbasis Objek pada Data TerraSAR-X Polarisasi Ganda (Dual Polarization) dengan Menggunakan Algoritma Fuzzy untuk Identifikasi Fase Pertumbuhan Padi Pemakalah : Zylshal (LAPAN) Diskusi :
-237-
Hasil Awal Analisis Citra Berbasis Objek pada Data TerraSAR-X Polarisasi Ganda dengan Menggunakan Algoritma Fuzzy untuk Deteksi Fase Pertumbuhan Padi (Zylshal, dkk.)
Pertanyaan: Kadarsah (BMKG) 1. Apa manfaat langsung yang dirasakan petani dari teknologi ini. Jawaban: TerraSARX dapat menghasilkan resolusi yang detail sehingga dapat menjadi masukan dalam pengambilan keputusan. Pertanyaan: Laode (Univ. Haluoleo) 2. Kenapa tidak menggunakan citra ALOS dan bagaimana validasinya? Jawaban: Penggunaan X-band pada TerraSAR-X untuk identifikasi padi adalah hal baru, dan sudah terbukti bisa digunakan untuk identifikasi padi, khususnya di awal-awal pertumbuhan.Data ini dianggap paling sesuai dengan pendekatan yang dibangun pada makalah ini, dibandingkan dengan data ALOS-2 PALSAR yang menggunakan gelombang L. Validasi yang dilakukan untuk membedakan padi dan non padi. Saran: Dr. Dede Dirgahayu (LAPAN) Kenapa menggunakan data TerraSAR-X harus diberi alasannya. Penggunaan single date sangat susah untuk melihat perubahan fase sehingga perlu adanya penggantian judul menjadi identifikasi padi dan non padi saja, tidak sampai pada fase pertumbuhan. Jawaban: Penggunaan data single date TerraSAR-X memang memiliki kekurangan dalam hal keterbatasan informasi temporal ketika harus melakukan studi terkait rice phenology. Untuk itu, penulis telah menyesuaikan judul redaksi makalah dari “identifikasi” ke “deteksi” fase pertumbuhan padi.
-238-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh – 2016
Analisis Pengaruh Deformasi Muka Tanah terhadap Pembangunan di Daerah Pesisir dengan Teknik Differential Interferometric Synthetic Aperture Radar (DInSAR) (Studi Kasus: Pesisir Bangkalan, Madura) Analysis Influence of Deformation toward Development in Coastal Areas with Differential Interferometric Synthetic Aperture Radar (DInSAR) Technique (Case Study: Coastal Area Bangkalan, Madura) Muhammad Irsyadi Firdaus1*), Joko Purnomo1, Awalina Lukmana C. R.1, dan Mokhamad Nur Cahyadi1 1
Jurusan Teknik Geomatika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) *)
E-mail:
[email protected]
ABSTRAK - Deformasi muka tanah merupakan perubahan posisi pada muka tanah baik perubahan ke atas maupun perubahan ke bawah dari posisi awalnya. Perubahan muka tanah merupakan hal yang serius terutama apabila terjadi di daerah pesisir pantai. Kondisi tersebut terjadi karena daerah pesisir sangat rentan terhadap pengaruh lingkungan, baik yang berasal dari daratan maupun dari lautan. Akibat dari peristiwa tersebut tentunya akan mengancam terhadap keberadaan pembangunan di sekitar pesisir. Oleh karena itu, perlu pemantauan deformasi tanah di daerah pesisir laut. Pemantauan besar deformasi tanah dengan menggunakan data ALOS PALSAR metode Differential InSAR (DInSAR) (Studi Kasus: Pesisir Bangkalan, Madura). Akuisisi data ALOS PALSAR (Level 1.0) tersebut pada tahun 2009, 2010 dan 2011. Hasil processing menunjukkan terjadi deformasi sebesar 0.1 cm sampai dengan 0.9 cm. Meskipun demikian hasil pengolahan masih menunjukkan error displacement dikarenakan noise, distorsi geometrik dari sinyal radar dan panjang baseline pada pasangan citra. Penurunan yang terjadi dengan rate 0.1 cm sampai dengan 0.9 cm dikategorikan relatif aman untuk pengembangan pembangunan di wilayah tersebut. Penelitian ini akan berguna dalam keberlanjutan perencanaan pembangunan infrastruktur di daerah pesisir Bangkalan. Kata kunci: Satelit ALOS PALSAR, Deformasi, Differential Interferometric Synthetic Aperture Radar (DInSAR). ABSTRACT - Ground surface deformation is a change in position of earth’s surface, change up or down from the first position. Changes in ground level are a serious matter, especially when occurs in coastal areas because coastal areas are particularly vulnerable to get pressure from the environment, both from land and from sea. As a result, deformation in coastal area will certainly threaten existence of development in the coastal area. In this case, research on deformation is expensive and takes a long time when used conventional methods. Main purpose of this research is to give alternative solution for this problem. This research discusses the use of radar technology as an alternative solution in mapping and determining deformation with effective, inexpensive because it can be done with ALOS PALSAR imagery analyzes using Differential InSAR (DInSAR) Technique. Output of this research is map of deformation rate in coastal areas, Bangkalan and will be compared with the rate of deformation in the past three years between the period 2009, 2010, 2011. Processing result indicated deformation occurs in coastal areas, Bangkalan in rate 0.1 cm/year until 0.9 cm/year. Additionally, Long baseline, geometric distortion and noise of imagery pair make the result contain error displacement also. This study will be useful in sustainability planning infrastructure development in coastal areas, Bangkalan. Keywords: ALOS PALSAR Satellite, Deformation, Differential Interferometric Synthetic Aperture Radar (DInSAR).
1.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki ribuan daerah pesisir. Daerah pesisir merupakan daerah pembatas antara daratan dengan lautan. Wilayah pesisir memiliki kondisi strategis dari sebuah tempat. Namun demikian, daerah tersebut juga memiliki kelemahan. Salah satu kekurangannya adalah deformasi muka tanah.Deformasi muka tanah (DMT) merupakan permasalahan yang umumterjadi di kota – kotabesar. Permukaan tanah pada daerah yang mengalami deformasi akan terjadi penurunan atau kenaikan muka tanah yang dapat berlangsung dalam kurun waktu yang relatif lama. Adanya deformasi muka tanah akan mengancam terhadap pembangunan di daerah pesisir. DInSAR adalah teknologi pencitraan radar kesamping dengan memanfaatkan informasi fase, amplitudo danpanjang gelombang dalam pengolahannya untuk mendapatkan topografi dan deformasi. Metode yang -239-
Analisis Pengaruh Deformasi Muka Tanah terhadap Pembangunan di Daerah Pesisir dengan Teknik Differential Interferometric Synthetic Aperture Radar (DInSAR) (Studi Kasus: Pesisir Bangkalan, Madura) (Firdaus, M.I., dkk.)
digunakan adalah twopass interferometric dengan menggunakan 3-arsec (90 m) Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) sebagai Digital Elevation Model (DEM) referensi untuk menghapus unsur fase topografi. (Saputro dkk, 2012). Untuk mendeteksi deformasi, interferogram harus dibentuk dari dua citra SAR yang meliput area pada suatu wilayah yang sama dengan waktu yang berbeda. InSAR memberikan informasi dalam arah Line of Sight (LOS). Setelah data phase di unwrap dengan metode DInSAR nilai deformasi dapat diketahui. Untuk mengetahui pergerakan tanah dari waktu ke waktu dengan menggunakan Phase Displacement. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan citra ALOS PALSAR (Level 1.0) dengan akuisisi tahun 2009, 2010, 2011 untuk mengetahui besar deformasi di daerah pesisir bangkalan akibat tekanan lingkungan, baik yang berasal dari daratan maupun lautan. Pengolahan DInSAR ini menggunakan software pengolahan citra radar.
2. METODE 2.1 Data dan Lokasi Penelitian Data utama yang digunakan adalah citra ALOS PALSAR Level 1.0 dengan polarisasi Fine-Beam Single Polarization (FBD). Data DEM SRTM3 digunakan sebagai model elevasi dan bersama dengan citra hasil interferogram untuk melakukan proses DInSAR. No. 1 2 3
Nama Citra ALPSRP264397040 ALPSRP210717040 ALPSRP163747040
Tabel 1 Data yang Digunakan Perekaman Frame 10 Januari 2011 7040 7 Januari 2010 7040 19 Februari 2009 7040
Arah Ascending Ascending Ascending
Bangkala
Surabaya
Gambar 1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini di daerah Pesisir Kabupaten Bangkalan – Provinsi Jawa Timur. Lokasi ini dipilih karena Pesisir Bangkalan terbentuk dari endapan alluvial yang terdiri dari materialberukuran lempung dan pasirsehingga masihmemungkinkan tahapan pemadatan dan berpengaruh dengan deformasi muka tanah.
2.2 Tahap Pemrosesan Data Tahapan pengolahan data dapat dibedakan menjadi dua jenis pengolahan, antara lain :
2.2.1 Pra Pengolahan (Pre-Processing). 2.2.1.1 Data SAR Pada tahapan ini dilakukan proses pemilihan data SAR dari Satelit yaitu ALOS PALSAR. Pemilihan data dilakukan untuk mendapatkan topografi dan deformasi area tersebut. 2.2.1.2 SAR Processing SAR Processing dilakukan untuk membuat raw data citra dari signal data atau data sinyal yang biasa disebut dengan level 1.
2.2.2 Pengolahan (Processing). Pada tahap ini dilakukan beberapa proses antara lain : a. Data Format SLC. -240-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh – 2016
Setelah dilakukan SAR Processing, maka tahap selanjutnya yaitu pemberian karakteristik respon pantulan yang diterima dari target di permukaan bumi. Output dari proses ini berupa citra kompleks yang disebut dengan Single Look Complex image (SLC) dimana proses ini menggunakan data raw hasil dari tahapan sebelumnya. b. Interferometry SAR Processing. Tahapan ini pada intinya adalah membentuk citra interferogram dari sepasang data SLC. Sepasang data SLC ini adalah dua buah data yang diambil pada daerah yang sama, namun posisi satelit yang berbeda. Sebuah citra interferogram yang baik dapat dibentuk dari dua buah citra SLC yang memiliki karakteristik yang sama dan memiliki panjang baseline yang tidak terlalu jauh. Citra SLC dilakukan beberapa proses pengolahan citra antara lain registrasi citra dan formasi interferogram untuk menggambarkan topografi yang memiliki unsur deformasi, noise dan atmosfer. c. Multilook Prosesor sinyal SAR dapat menggunakan sintetis aperture secara penuh dan penyimpanan lengkap data sinyal untuk menghasilkan resolusi tinggi meskipun sangat berbintikbintik pada produk Single Look Complex (SLC) citra SAR. Multiple looks mungkin dihasilkan pada proses multilook oleh rentang rata-rata dan / atau resolusi sel azimut. d. Corregistration Gambar co-registration merupakan dasar untuk Interferometri SAR (InSAR) pencitraan dan aplikasi, seperti generasi DEM peta dan analisis. Untuk mendapatkan kualitas gambar InSAR tinggi, gambar yang kompleks individual harus menjadi co-terdaftar untuk akurasisub-pixel. e. Interferometry SAR Processing. Tahapan ini pada intinya adalah membentuk citra interferogram dari sepasang data SLC. Sepasang data SLC ini adalah dua buah data yang diambil pada daerah yang sama, namun posisi satelit yang berbeda. Sebuah citra interferogram yang baik dapat dibentuk dari dua buah citra SLC yang memiliki karakteristik yang sama dan memiliki panjang baseline yang tidak terlalu jauh. f. Interferogram. Setelah dilakukan Interferometry SAR Processing, maka didapat citra interferogram yang masih dipengaruhi oleh efek kelengkungan bumi, efek orbit satelit, efek topografi, efek noise dan efek deformasi.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk merubah data PALSAR Level 1.0 (RAW) ke dalam data Level 1.0 (SLC) digunakan program pengolahan citra radar. Proses ini yaitu merekonstruksi citra SAR sehingga menjadi tipe data Single Look Complex (SLC) yang kemudian nantinya akan digunakan untuk proses interferometri. 3.1 Pembuatan Citra Format Single Look Complex (SLC) Data yang digunakan adalah data ALOS PALSAR dengan format raw data. Data ini kemudian dilakukan pengolahan yang telah dijelaskan pada metodologi sehingga didapatkan citra dengan format SLC. Dari masing-masing data mentah, dibentuk Single Look Complex yang merupakan matrix complex hamburan, data fase dan amplitudonya masih dalam satu file. Gambar dan Gambar memperlihatkan hasil pengolahan dari masing-masing citra. 3.2 Pengolahan InSAR Pada tahap selanjutnya yaitu pengolahan data citra ALOS PALSAR level 1.0 yang diambil pada tanggal 19 Februari 2009, 7 Januari 2010 dan 10 Januari 2011. Pengolahan ini menggunakan perangkat lunak pengolahan citra radar. 3.3 DEM Kabupaten Bangkalan DEM yang digunakan dalam penelitian ini adalah DEM dari SRTM3. DEM SRTM3 memiliki ketelitian horizontal 0,00083° sebanding dengan ~90 m dan ketelitian vertikal tidak melebihi 16 m. DEM ini diunduh dari software ENVI langsung dengan memasukkan citra yang akan menjadi referensi. Kegunaan DEM SRTM3 adalah untuk mengurangi phase topografi yang terdapat pada phase interferogram untuk mendapatkan phase deformasi (Hanssen, 2001). -241-
Analisis Pengaruh Deformasi Muka Tanah terhadap Pembangunan di Daerah Pesisir dengan Teknik Differential Interferometric Synthetic Aperture Radar (DInSAR) (Studi Kasus: Pesisir Bangkalan, Madura) (Firdaus, M.I., dkk.)
Gambar 2. DEM Kabupaten Bangkalan
3.4 Proses Interferogram Phase Citra SLC terbentuk menjadi interferogram phase dan amplitude dengan tahapan mencari area tampalan (offset), registrasi, dan komputasi. Hasil Interferogram phase dapat dilihat pada Gambar 4 adalah interferogram yang telah dikurangkan dengan efek topografi yang berupa citra phase dan amplitude dalam sistem koordinat radar.
Gambar 3 Hasil Interferogram Phase (dari Kiri Tahun 2009-2010, 2010-2011, dan Tahun 2009-2011)
3.5 Proses Koherensi Citra SAR Objek water bodies di sekeliling pesisir Bangkalan akan menunjukkan warna putih keabu abuan dengan nilai koherensi lebih kecil dari 0,1 sampai mendekati 0. Hal ini disebabkan karena water bodies bergerak terus menerus secara konstan. Pada daratan memiliki koherensi antara 0,2 – 0,4. Rendahnya koherensi ini karena sebagian besar area studi kasus memiliki kerapatan vegetasi yang tinggi. Kerapatan vegetasi ini akan mempengaruhi nilai koherensi citra karena pergerakan dan perubahan vegetasi akan berpengaruh pada pantulan backscatter-nya. Hasil citra koherensi pesisir bangkalan rendah juga disebabkan oleh panjang baseline antar dua pengamatan yang besar. Apabila citra koherensi memiliki tingkat koherensi yang tinggi, maka scalebar pada Gambar 5, 6, 7 di atas akan menuju warna gelap.
Gambar 4 Hasil Koherensi Citra SAR (dari kiri tahun 2009-2010, 2010-2011, dan tahun 2009-2011)
3.6 Proses Interferogram Setelah Filtering Hasil interferogram yang sudah difiltering menunjukkan adanya noise yang relatif berkurang pada area yang -242-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh – 2016
sebelumnya masih memiliki tingkat koherensi tinggi. Dapat dilihat pada Gambar 8, 9, 10 grafik phase hasil interferogram sesudah filtering. Interferogram setelah filtering menunjukkan peningkatan ketajaman area yang masih memiliki koherensi yang tinggi.
Gambar 5 Hasil Interferogram Setelah Filtering (dari Kiri Tahun 2009-2010, 2010-2011, dan Tahun 2009-2011
3.7 Proses Unwraping Setelah interferogram di unwrap pola deformasi area sudah dapat diketahui meski masih dalam satuan phase.
Gambar 6. Hasil Proses Unwraping (dari kiri tahun 2009-2010, 2010-2011, dan tahun 2009-2011)
3.8 Proses Interferogram Geocode Tahapan akhir ini adalah meng-georeference-kan citra amplitude, phase setelah filtering dan masking, koherensi, dan citra hasil unwrap.
Gambar 7. Hasil Interferogram Setelah Geocode (dari Kiri Tahun 2009-2010, 2010-2011, dan Tahun 2009- 2011)
3.9 Analisis Pengolahan DInSAR Pada Gambar 8, 9 dan 10 menunjukkan hasil proses DInSAR besar deformasi daerah pesisir bangkalan. Dapat disimpulkan terjadi deformasi Antara 0.1 cm sampai 0.9 cm. Banyaknya piksel yang kosong pada citra menyebabkan sukarnya menganalisis besar deformasi. Untuk melihat sebaran deformasi di Kepulauan -243-
Analisis Pengaruh Deformasi Muka Tanah terhadap Pembangunan di Daerah Pesisir dengan Teknik Differential Interferometric Synthetic Aperture Radar (DInSAR) (Studi Kasus: Pesisir Bangkalan, Madura) (Firdaus, M.I., dkk.)
Mentawai berdasarkan hasil unwrap dilakukan cross section atau irisan melintang pada area-area yang mengalami subsidence atau uplift. Pada Gambar 2 menunjukkan kecendurungan area studi kasus mengalami uplift. Untuk memudahkan menafsirkan besar displacement tahun 2009-2010, dapat dilihat pada Gambar 8 bahwa besar displacement berada pada rentang 0.1 cm sampai 0.9 cm. Displacement sering terjadi uplift sebesar 0.2 cm sampai 0.4 cm.
Gambar 8. Besar Displacement Tahun 2009-2010
Gambar 9. Besar Displacement Tahun 2010-2011
Gambar 10. Besar Displacement Tahun 2009-2011
Besar displacement tahun 2010-2011, dapat dilihat pada Gambar 9 bahwa besar displacement berada pada rentang 0.1 cm sampai 0.8 cm. Displacement sering terjadi uplift sebesar 0.1 cm sampai 0.6 cm. Untuk besar displacement tahun 2009-2011, dapat dilihat pada Gambar 10 bahwa besar displacement berada pada rentang 0.1 cm sampai 0.8 cm. Displacement sering terjadi uplift sebesar 0.1 cm sampai 0.5 cm. Hal ini dapat dilihat dari tingkat ketebalan diagram. Diagram yang tebal menunjukkan intensitas uplift. Ratarata deformasi muka tanah di daerah pesisir bangkalan adalah sebesar 4.468 mm per tahun. Adapun hasil peta deformasi muka tanah di daerah pesisir bangkalan tersebut adalah
Gambar 11. Peta Deformasi Pesisir Bangkalan Tahun 2009 -2010
-244-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh – 2016
Gambar 12. Peta Deformasi Pesisir Bangkalan Tahun 2010-2011
Gambar 13. Peta Deformasi Pesisir Bangkalan Tahun 2009-2011
Meskipun hasil deformasi dapat diketahui tetapi hasil pengolahan menunjukkan low displacement value. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 1. Panjang Baseline Dari tahap pre-process didapatkan panjang baseline perpendicular dengan beda waktu pengamatan (baseline temporal). Dampak dari baseline perpendicular ini berpengaruh pada korelasi yang didapat dari interferometry processing. Hal tersebut akan mengakibatkan karakteristik objek dari kedua posisi semakin berbeda, yang dapat menimbulkan low coherence value. Berikut panjang baseline masing-masing pasangan citra. 2. Geometri Pencitraan Radar Area studi kasus memiliki topografi beragam sehingga dapat menyebabkan distorsi berupa layover, shadow, dan foreshortening. Distorsi tersebut sangat dipengaruhi oleh dua hal yaitu incidence angle dari SAR dan juga local slope dari daerah yang dicitrakan. Pengaruh dari layover, shadow, dan foreshortening akan memberikan efek kepada proses unwrapping dan kembalinya sinyal pantul ke sensor radar. 3. Kondisi Atmosfer Perbedaan keterlambatan perambatan sinyal saat diterima transmitter radar dipengaruhi oleh efek atmosfer. Efek troposfer pada perambatan gelombang elektromagnetik akan menyebabkan keterlambatan phase yang akan berpengaruh terhadap penentuan jarak. Pada lapisan troposfer tersebar uap air (water vapour). Selama akuisisi data SAR memasuki musim penghujan, sehingga besar kelembaman pada lapisan troposfer relatif tinggi.
4.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai analisa deformasi akibat gempa bumi menggunakan citra ALOS PALSAR, maka didapatkan beberapa kesimpulan, yaitu: 1. Hasil pengolahan DInSAR didapatkan besar deformasi terhadap Line of Sight(LOS) dengan nilai 0.1 cm sampai dengan 0.9 cm. -245-
Analisis Pengaruh Deformasi Muka Tanah terhadap Pembangunan di Daerah Pesisir dengan Teknik Differential Interferometric Synthetic Aperture Radar (DInSAR) (Studi Kasus: Pesisir Bangkalan, Madura) (Firdaus, M.I., dkk.)
2. Berdasarkan hasil unwrap menunjukkan bahwa di daerah pesisir bangkalan bagian selatan terjadi uplift dengan besaran rata-rata 4.468 mm per tahun. 3. Akuisisi data SAR, 19 Februari 2009, 7 Januari 2010 dan 10 Januari 2011 terjadi uplift di daerah pesisir bangkalan bagian selatan.
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Orang tua, Saudara dan Keluarga yang selalu memberikan dukungan doa, moral dan materiil yang diberikan kepada penulis selama ini. Bapak Mokhamad Nur Cahyadi, ST., M.Sc., Ph. D selaku Pembimbing yang telah meluangkan waktu, bantuan, dukungan serta kesabarannya membimbing penulis dalam penyusunan penelitian ini dari awal sampai akhir. Serta semua teman dan pihak yang turut memberi dukungan, motivasi dan doa.
DAFTAR PUSTAKA
European Space Agency, InSAR Principles., (2007). Guideline for SAR Interferometry Processing and Interpretation: The Netherlands. Hilmi, M dkk., (2013). Analisa Geospasial Penyebab Penurunan Muka Tanah Di Kota Semarang. Prosiding SNST ke-4 Tahun 2013 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang. Semarang, Indonesia. Ng, A.H., dkk., (2008). Radar Interferometry for Ground Subsidence Monitoring Using ALOS PALSAR Data. Beijing : The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences. Vol. XXXVII. Part B7. Sari, A.R., dkk., (2014). Penerapan Metode Dinsar Untuk Analisa Deformasi Akibat Gempa Bumi Dengan Validasi Data Gps Sugar (Studi Kasus: Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat). ITS dan BPPT: Surabaya. Sharav, A., (2003). Differential SAR Interferometry for Crustal Deformation Study. The Netherlands : International Institute For Geo-Information Science And Earth Observation Enschede. Sophian, R.I., (2010). Penurunan Muka di Kota-Kota Besar Pesisir Pantai Udara Jawa (Studi Kasus: Kota Semarang). Bulletin of Scientific Contribution. 8 (1):41-60. Umar. (2011). Kajian Pengaruh Gelombang Terhadap Kerusakan pantai Matang Danau Kabupaten Sambas. Jurnal Teknik Sipil Untan. 11(1):92-102. Yuwono, B.D., (2013). Korelasi Penurunan Muka Tanah Dengan Penurunan Muka Air Tanah Di Kota Semarang. Jurnal Teknik. 34(3):188-195.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskui presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Judul Makalah Pemakalah Diskusi
: Analisis Pengaruh Deformasi Muka Tanah terhadap Pembangunan di Daerah Pesisir dengan Teknik Differential Interferometric Synthetic Aperture Radar (DInSAR) (Studi Kasus: Pesisir Bangkalan, Madura) : Muhammad Irsyadi Firdaus :
(Tidak ada diskusi)
-246-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Stereokompilasi Unsur Rupabumi Skala 1:25.000 Menggunakan Data TerraSAR-X dan Citra SPOT-6 Stereocompilation of Topographic Features Scale 1:25,000 Using TerraSAR-X and SPOT-6 Image Data Danang Budi Susetyo1*), M. Fifik Syafiudin1, dan Aji Putra Perdana1 1
Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim – Badan Informasi Geospasial Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46, Cibinong, Jawa Barat 16911 *)
E-mail:
[email protected]
ABSTRAK – Informasi geospasial dasar yang disajikan dalam Peta Rupabumi Indonesia (RBI) di antaranya diperoleh melalui metode kompilasi unsur secara tiga dimensi dari data radar dan citra optis. Data radar utamanya digunakan untuk ekstraksi unsur hipsografi, seperti masspoint, breakline, atau sungai, sedangkan citra optis digunakan untuk membantu ekstraksi unsur planimetris seperti jalan atau bangunan serta interpretasi penutup lahan. Metode digitasi secara tiga dimensi atau stereoplotting (stereokompilasi) dilakukan pada skala menengah (1:50.000 dan 1:25.000). Metode ini membentuk model tiga dimensi menggunakan data Orthorectified Radar Image (ORRI) atau citra optis dengan stereomate yang dibentuk dari data ORRI dan Digital Surface Model (DSM). Model tiga dimensi yang terbentuk selanjutnya digunakan untuk melakukan plotting secara tiga dimensi, sehingga dihasilkan unsur rupabumi yang memiliki nilai ketinggian berdasarkan datum tertentu. Tulisan ini membahas metode stereokompilasi dan ekstraksi informasi rupabumi pada skala 1:25.000 menggunakan data TerraSAR-X dan citra SPOT-6. Data hasil ekstraksi dikelola dengan skema basis data rupabumi di Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim, Badan Informasi Geospasial. Kata kunci: stereokompilasi, stereoplotting, unsur rupabumi, skala 1:25.000, TerraSAR-X, citra SPOT-6 ABSTRACT – Basic geospatial information that is presented in Indonesia Topographic Map can be threedimensionally extracted from either radar or optical images using stereo-compilation technique. Radar image is mainly used for extracting 3D features (hypsography), such as masspoints, breaklines, or streams, whereas the optical image is used for delineating 2D features (planimetric) such as road or building, and land use / land cover. Three-dimensional digitization method or stereoplotting (stereocompilation) are used to medium scale (e.g., 1:50,000 and 1:25,000). This method generates three dimension model using Orthorectified Radar Image (ORRI) or optical image data with stereomate formed from ORRI and Digital Surface Model (DSM) data. That three dimensional model then used for plotting in three dimensions, so it produces topographic features that have elevation values from specific datum. This paper discusses about stereocompilation and topographic information extraction at scale 1:25,000 using TerraSAR-X and SPOT-6. Data extraction will then be managed with database scheme in Central for Topographic Mapping and Toponym, Geospatial Information Agency. Keywords: stereocompilation, stereoplotting, topographic features, scale 1:25,000, TerraSAR-X, SPOT-6 image
1.
PENDAHULUAN
Peta dasar sebagaimana tertuang dalam Pasal 12 Undang-undang No. 4 Tahun 2011 terdiri atas garis pantai, hipsografi, perairan, nama rupabumi, batas wilayah, transportasi dan utilitas, bangunan dan fasilitas umum, dan penutup lahan. Selain nama rupabumi dan batas wilayah yang didapatkan saat survei lapangan, untuk pemetaan tiga dimensi fitur-fitur tersebut dihasilkan melalui tahapan stereoplotting. Sumber datanya adalah dapat berupa citra radar maupun optis. Data radar utamanya digunakan untuk ekstraksi unsur hipsografi, seperti masspoint, garis punggung bukit, atau sungai, sedangkan citra optis digunakan untuk membantu ekstraksi unsur planimetris seperti jalan dan bangunan serta interpretasi penutup lahan. Keuntungan menggunakan stereoplotting interaktif adalah diperoleh data 3D dengan akurasi tinggi serta objek-objek yang diinginkan (Pranadita dan Harintaka, 2013). Proses stereokompilasi diawali dari pembentukan model 3D yang digunakan untuk proses stereoplotting. Data dasar yang digunakan berbeda untuk masing-masing level skala, di mana peta RBI skala besar menggunakan foto udara, sedangkan peta RBI skala menengah menggunakan data radar (Synthetic Aperture Radar/SAR). Salah satu data radar yang dapat digunakan untuk pemetaan RBI adalah TerraSAR-X, yang terdiri dari Orthorectified Radar Image (ORRI) dan Digital Surface Model (DSM). Data radar digunakan
-247-
Stereokompilasi Unsur Rupabumi Skala 1:25.000 Menggunakan Data TerraSAR-X dan Citra SPOT-6 (Susetyo, D.B., dkk.)
karena tidak terpengaruh dengan kondisi awan saat akuisisi. Meski demikian, secara visual data radar tidak dapat digunakan untuk interpretasi penutup lahan atau ekstraksi unsur planimetris (seperti jalan dan bangunan) secara mendetail, sehingga perlu digunakan citra optis untuk membantu keperluan tersebut. Peta RBI skala 1:25.000 dapat menggunakan citra SPOT-6 untuk ekstraksi unsur planimetris dan interpretasi penutup lahan. Tulisan ini membahas metode stereokompilasi unsur rupabumi skala 1:25.000 menggunakan data TerraSAR-X dan citra SPOT-6. Pembahasan lebih spesifik kepada konsep data radar untuk ekstraksi unsur rupabumi, mulai dari akuisisi data, pembentukan model 3D, hingga teknis penarikan unsur pada tahap stereoplotting berdasarkan Petunjuk Pelaksanaan Pemetaan Rupabumi Skala 1:25.000 Tahapan Stereokompilasi Tahun 2016.
2.
METODE
1. Akuisisi data radar Tahap ini menjelaskan bagaimana data radar diakuisisi sehingga siap digunakan untuk pemetaan. Akuisisi tidak dilakukan langsung oleh BIG, sehingga penjelasan mengenai tahap ini sifatnya hanya sebatas konsep. 2. Pembentukan model 3D Tahap ini menjelaskan konsep pembentukan model 3D menggunakan data radar untuk pada akhirnya digunakan dalam proses stereokompilasi. 3. Stereokompilasi Stereokompilasi dijelaskan dengan mengacu pada skema basisdata rupabumi tahun 2016. Pedoman yang digunakan adalah Petunjuk Pelaksanaan Pemetaan Rupabumi Skala 1:25.000 Tahapan Stereokompilasi Tahun 2016.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Akuisisi data radar Prinsip dasar akuisisi data radar adalah transmisi gelombang elektromagnetik secara side-looking dari wahana (satelit/pesawat) untuk kemudian dipantulkan oleh objek dan diterima oleh receiver sehingga didapatkan informasi mengenai posisi, daya pantulan objek, atau informasi lainnya (Hupton, 2009). Data tersebut kemudian diproses hingga didapatkan citra 2D dengan resolusi dan akurasi tinggi.
Gambar 1. Geometri SAR (Hupton, 2009)
Satelit TerraSAR-X pertama kali diluncurkan pada tanggal 15 Juni 2007 di Baikonur, Kazakhstan menggunakan wahana peluncur Dnepr-1 milik Rusia/Ukraina sebagai misi lanjutan dari radar X-SAR dan Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) yang dilakukan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA) dan Italian Space Agency (ASI) pada tahun 1994 dan 2000. Tujuan utamanya adalah untuk menyediakan data X-band SAR untuk kepentingan ilmiah (seperti hidrologi, klimatologi, oseanografi, monitoring lingkungan, monitoring bencana, hingga kartografi) dan mendirikan pasar Earth Observation (EO) komersial di Eropa (Werninghaus & Buckreuss, 2012). TerraSAR-X dapat dioperasikan dalam mode spotlight, stripmap, dan scanSAR. Ketiga mode tersebut berpengaruh terhadap cakupan area dan resolusi spasial dari data yang dihasilkan. Airbus Defence and Space(2014) menjelaskan ketiga mode tersebut sebagai berikut: - Spotlight
-248-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
-
-
Mode spotlight dapat dibagi menjadi tiga tipe: SpotLight (SL), High Resolution SpotLight (HS), dan Staring SpotLight (ST). SpotLight memiliki cakupan area 10 km x 10 km (lebar x panjang), High Resolution SpotLight 5-10 km x 5 km (lebar x panjang), sedangkan Staring SpotLight tergantung pada incident angle, di mana makin besar incident angle makin proporsional geometri cakupan area yang didapatkan (misalnya dengan incident angle 20° cakupan areanya/lebar x panjang adalah 7,5 km x 2,5 km, sedangkan jika incident angle-nya 60° maka cakupan areanya menjadi 4 km x 3,7 km). Secara resolusi spasial ketiga tipe tersebut juga memberikan hasil yang berbeda, dimana Staring SpotLight menghasilkan resolusi 0,25 m, High Resolution SpotLight 1 m, dan SpotLight 2 m. Stripmap Resolusi spasial yang didapatkan menggunakan model stripmap adalah 3 m, dengan cakupan area mencapai 30 km x 50 km (lebar x panjang). Mode ini digunakan oleh ERS-1 dan beberapa satelit radar lainnya. ScanSAR Sama seperti spotlight, mode scanSAR juga dapat dibagi menjadi beberapa tipe: ScanSAR (SC) dan Wide ScanSAR (WS). ScanSAR memiliki cakupan area 100 km, dengan resolusi spasial mencapai 18,5 m. Wide ScanSAR memiliki cakupan area 270 km dengan resolusi spasial 40 m.
Gambar 2. Mode akuisisi TerraSAR-X (Airbus Defence and Space, 2014)
Konsep pembentukan DEM menggunakan data SAR adalah menggunakan dua image pada cakupan area yang sama namun diakuisisi dengan sudut perekaman yang berbeda. Secara umum, pembentukan DEM menggunakan data SAR harus melalui beberapa proses, yaitu registrasi image, filtering dan kalkulasi interferogram, phase unwrapping, dan transformasi phase-to-height (Crosetto, 2002).
Gambar 3. Pembentukan DEM menggunakan data SAR (INTERMAP, 2009)
Pembentukan DSM TerraSAR-X dapat dilakukan menggunakan dua metode, yaitu interferometry dan radargrammetry. Interferometry menggunakan perbedaan fase dari dua image dengan geometri yang sama, dengan repeat pass selama 11 hari atau single pass secara simultan, sedangkan radargrammetry
-249-
Stereokompilasi Unsur Rupabumi Skala 1:25.000 Menggunakan Data TerraSAR-X dan Citra SPOT-6 (Susetyo, D.B., dkk.)
menggunakan dua image dengan perbedaan geometri akuisisi atau merupakan rekonstruksi 3D (Meyer, 2011). SAR interferometry lebih akurat dibandingkan radargrammetry, namun radargrammetry mengatasi kelemahan dari interferometry terkait diskoneksi temporal akibat dari repeat pass selama 11 hari (Kiefl, Koppe, & Hennig, 2010). Terkait data untuk pemetaan RBI, DSM yang digunakan terdiri dari dua metode tersebut.
Gambar 4. Metode pembentukan DSM pada TerraSAR-X: (a) Radargrammetry, (b) Interferometry (Meyer, 2011).
3.2 Pembentukan model 3D Data ORRI dan DSM tersebut kemudian dibentuk stereomate yang akan digunakan sebagai pasangan image dari ORRI untuk membentuk model 3D. Prinsipnya berkebalikan dengan metode fotogrammetri. Jika dalam fotogrammetri diukur paralaks antara dua foto yang kemudian dikonversi menjadi informasi ketinggian, maka pembentukan model 3D dari data radar adalah dengan mendapatkan paralaks dari ketinggian pada DSM untuk ditambahkan ke ORRI untuk menghasilkan stereomate. Stereomate tersebut akan menjadi pasangan dari citra ORRI yang diolah pada workstation stereo fotogrammetri untuk membentuk model 3D (Mulyana, 2007).
Gambar 5. (a) Data ORRI, (b) Data DSM
Selain membentuk model 3D antara ORRI dan stereomate, dibentuk pula model 3D antara citra SPOT-6 dengan stereomate. Model 3D tersebut digunakan untuk melakukan plotting unsur-unsur planimetris serta penutup lahan, sehingga secara teknis model dari radar dan citra digunakan secara bergantian untuk saling melengkapi. Ketelitian geometrik di sini harus diperhatikan, karena dapat berpengaruh terhadap ketelitian topografi yang dihasilkan dari model 3D yang bersumber dari citra optis, sehingga citra SPOT-6 harus terlebih dahulu diregistrasikan ke ORRI. Metodenya dapat berupa image to image dengan mengacu pada titik-titik ikat yang terlihat jelas di kedua citra (misal persimpangan jalan atau pojok bangunan) dan terdistribusi merata dalam 1 Nomor Lembar Peta (NLP) citra.
-250-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
3.3 Streokompilasi Setelah model 3D terbentuk, stereoplotting dilakukan pada unsur alam terlebih dahulu seperti perairan, garis punggung bukit (breakline), dan masspoint, kemudian dilanjutkan pada unsur buatan seperti jaringan transportasi dan bangunan. Terakhir, unsur penutup lahan juga dilakukan stereoplotting dengan referensi citra optis (Aprilana, 2010). Proses stereokompilasi mengacu pada fitur-fitur yang perlu diekstrak berdasarkan skema basisdata rupabumi. Fitur-fitur tersebut tertuang dalam Daftar Kode Unsur Rupabumi yang dikeluarkan oleh Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim BIG. Tahap stereokompilasi dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Perairan Plotting unsur perairan diawali dari segmen terluar dari pulau yang dipetakan, yaitu garis pantai. Seperti halnya sungai, garis pantai juga mengacu pada data ORRI, yang berarti garis pantai yang di-plotting tersebut adalah muka laut berdasarkan kenampakan di citra. Garis pantai tersebut merupakan muka laut sesaat karena bersumber dari citra, bukan muka laut rata-rata yang bersumber dari pengukuran pasang surut air laut. Setelah garis pantai selesai di-plotting, selanjutnya dapat dilakukan plotting unsur sungai. Plotting sungai diawali dari segmen sungai yang bermuara ke pantai. Plotting sungai dilakukan dari hulu ke muara, agar tidak terjadi kesalahan posisi saat membentuk titik gasetir hulu dan muara sungai. Hasil akhir basisdata perairan (setelah ditambahkan dengan hasil survei lapangan) adalah sungai yang dapat diidentifikasi orde sungainya, sehingga sejak stereoplotting sudah dapat dilakukan pemilihan level sungai untuk mengidentifikasi hirarki dari segmen sungai pada sebuah jaringan (Sen dan Gokgoz, 2012). Hal tersebut juga untuk mengantisipasi sungai yang menggantung jika data tersebut dilakukan generalisasi (Susetyo, Nuraeni, dan Perdana, 2016). Terkait geometri, yang perlu diperhatikan adalah lebar dari sebuah segmen sungai. Lebar sungai minimal yang ditetapkan untuk di-plotting menjadi sungai dua garis adalah 0,5 mm atau 12,5 m pada skala 1:25.000. Angka 0,5 mm merujuk pada ketelitian horizontal terendah yang dapat ditoleransi berdasarkan Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial No. 15 Tahun 2014 tentang Ketelitian Peta Dasar. Sungai dengan lebar lebih dari 12,5 m di-plotting sebagai sungai dua garis, dengan garis tepi sungai dan garis tengah sungai disimpan dalam kode unsur yang berbeda. Sungai dua garis lebih diprioritaskan untuk diplotting setelah garis pantai. Setelah sungai dua garis selesai di-plotting, selanjutnya adalah sungai satu garis (sungai dengan lebar kurang dari 12,5 m), alur sungai, kanal, dan terakhir saluran irigasi/drainase. Ketinggian unsur perairan yang di-plotting mengacu pada nilai muka air unsur tersebut. Misalkan, ketika melakukan plotting pada sungai dua garis, maka ketinggian garis tepi sungai adalah ketinggian muka air pada perbatasan sungai dan daratan. Hal itu menyebabkan nilai elevasi vertex di kanan dan kiri sungai seharusnya relatif sama. Begitu pula pada danau atau rawa, karena nilai elevasi muka air sama, maka nilai elevasi vertex di garis pembentuk danau atau rawa juga harus sama. b. Hipsografi Plotting unsur hipsografi dimulai dari breakline. Breakline digunakan sebagai batas saat terjadi perubahan ketinggian yang ekstrem, seperti garis tepi galian/timbunan, garis lembah, garis patahan tebing, dan garis punggung bukit. Plotting unsur breakline utamanya dilakukan pada daerah bergunung atau berbukit untuk menampilkan relief topografi pada daerah tersebut, meskipun tidak menutup kemungkinan breakline diperlukan pada daerah yang datar. Setelah breakline selesai di-plotting, selanjutnya dilakukan plotting terhadap unsur masspoint. Masspoint adalah titik-titik DEM yang menggambarkan topografi secara umum, sehingga plotting masspoint akan sangat menentukan kualitas DTM yang dihasilkan. Plotting masspoint dilakukan secara random,dengan kerapatan bergantung pada detail objeknya. Jika topografi objek yang di-plotting bergunung atau berbukit, maka masspoint di-plotting secara rapat (hingga kerapatan 10 m), sedangkan jika topografinya datar, maka masspoint di-plotting dapat secara jarang (hingga kerapatan 100 m). Plotting masspoint harus memperhatikan garis-garis yang membatasinya, yaitu sungai dan breakline. Masspoint tidak boleh terlalu dekat dengan sungai dan breakline agar DTM yang dihasilkan menjadi logis. Masspoint juga tidak boleh berada di dalam perairan. Selain itu, nilai elevasi juga harus diperhatikan, dimana masspoint tidak boleh lebih rendah daripada sungai dan tidak boleh lebih tinggi daripada breakline. Unsur hipsografi, baik masspoint maupun breakline di-plotting di atas tanah (bare earth). Jika plotting dilakukan di atas wilayah yang tertutup vegetasi atau bangunan, maka ketinggian tanah mengacu pada area terbuka di sekitarnya, untuk kemudian diturunkan terhadap permukaan vegetasi atau bangunan di wilayah tersebut.
-251-
Stereokompilasi Unsur Rupabumi Skala 1:25.000 Menggunakan Data TerraSAR-X dan Citra SPOT-6 (Susetyo, D.B., dkk.)
c. Transportasi dan utilitas Prinsip plotting unsur jalan hampir sama dengan plotting unsur sungai. Plotting unsur jalan dimulai dari kelas jalan yang diidentifikasi sebagai kelas jalan yang tertinggi, sehingga jalan yang di-plotting terlebih dahulu adalah jalan arteri, kemudian jalan kolektor, jalan lokal, jalan lain, dan terakhir jalan setapak. Aturan secara geometri juga sama antara jalan dengan sungai, yaitu jalan dengan lebar lebih dari 12,5 m di-plotting sebagai jalan dua garis, dengan garis tepi jalan di-plotting terlebih dahulu, baru kemudian centerline jalan. Selain jalan, unsur-unsur transportasi lain seperti landas pacu, air strip, dermaga, atau jembatan juga diplotting berdasarkan kenampakan pada model. Aturan geometrinya sama seperti jalan, dengan mengacu pada angka 0,5 mm. Jika geometri unsur-unsur tersebut segmennya lebih dari 12,5 m x 12,5 m maka diplotting sebagai garis, sedangkan jika kurang dari 12,5 m x 12,5 m maka di-plotting sebagai titik. Unsur utilitas yang terlihat di model juga harus dilakukan plotting. Unsur utilitas tersebut adalah unsur yang membentuk jaringan instalasi, seperti jaringan kabel transmisi listrik, tiang listrik, jaringan kabel telepon, menara telepon, atau saluran air hujan. Unsur utilitas yang berupa bangunan tempat jaringan utilitas tersebut dikelola, seperti kantor PLN, kantor PAM, atau kantor POS dan objek-objek yang tidak terlihat di atas tanah seperti jaringan kabel transmisi listrik bawah tanahdan jaringan kabel telepon bawah tanah ditambahkan dari hasil survei lapangan. d. Bangunan dan fasilitas umum Unsur bangunan dan fasilitas umum juga menggunakan acuan 12,5 m x 12,5 m untuk menentukan geometri unsur tersebut menjadi garis atau titik. Bangunan dengan geometri lebih dari 12,5 m x 12,5 m di-plotting menggunakan garis tepi bangunan, sedangkan bangunan yang geometrinya kurang dari luasan tersebut kode unsurnya menyesuaikan fungsi bangunan tersebut yang didapatkan dari hasil survei lapangan. Selain di-plotting secara individual, bangunan dan fasilitas umum pada peta RBI skala 1:25.000 juga dapat di-plotting sebagai blok permukiman.Sesuai dengan SNI 7645:2010 tentang Klasifikasi Penutup Lahan, permukiman didefinisikan sebagai areal atau lahan yang digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan. Sekumpulan objek bangunan yang terkumpul menjadi satu dan memiliki pola tertentu dapat di-plotting sebagai permukiman. e. Vegetasi dan lahan terbuka Poligon penutup lahan dalam basisdata RBI dihasilkan dari garis penutup lahan, perairan, dan transportasi. Garis penutup lahan di-plotting menggunakan garis batas area vegetasi dan lahan terbuka, yaitu garis untuk membatasi kenampakan penutup lahan berbeda yang tidak dibatasi oleh fitur sungai maupun jalan.
Gambar 6. Contoh hasil stereokompilasi berdasarkan kenampakan di citra
Hasil stereoplotting berbentuk titik dan garis. Unsur garis dari masing-masing unsur selanjutnya dibentuk poligon. Poligon perairan dibentuk dari garis perairan, poligon transportasi dibentuk dari garis transportasi, poligon bangunan dibentuk dari garis bangunan, dan poligon penutup lahan dibentuk dari garis penutup lahan, sungai, dan jalan. Sebelum dibentuk poligon, terlebih dahulu harus dibuat titik label yang merepresentasikan masing-masing penutup lahan. Titik label tersebut nantinya digunakan untuk mengisi
-252-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
atribut pada poligon yang terbentuk, sekaligus dapat digunakan sebagai petunjuk dalam peta manuskrip yang dibawa saat survei lapangan.
4.
KESIMPULAN
Pemetaan rupabumi skala 1:25.000 diawali dari akuisisi data radar, pembentukan model 3D, dan stereokompilasi. Prinsip dasar akuisisi data radar adalah transmisi gelombang elektromagnetik secara sidelooking dari wahana (satelit/pesawat) untuk kemudian dipantulkan oleh objek dan diterima oleh receiver sehingga didapatkan informasi mengenai posisi, daya pantulan objek, atau informasi lainnya (Hupton, 2009). Data tersebut kemudian diproses hingga didapatkan citra 2D dengan resolusi dan akurasi tinggi. Data radar dalam bentuk ORRI dan DSM tersebut kemudian dibentuk model 3D. Prinsipnya adalah membentuk stereomate yang akan digunakan sebagai pasangan image dari ORRI. Model 3D tersebut kemudian digunakan untuk melakukan stereoplotting, dengan dilakukan pada unsur alam terlebih dahulu seperti perairan, garis punggung bukit (breakline), dan masspoint, kemudian dilanjutkan pada unsur buatan seperti jaringan transportasi dan bangunan. Terakhir, unsur penutup lahan juga dilakukan stereoplotting dengan referensi citra optis (Aprilana, 2010).
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim, Badan Informasi Geospasial, khususnya kepada Kepala Bidang dan Tim RBI Skala Kecil dan Menengah (SKM) yang telah membantu penulis dalam mendapatkan hal-hal yang dibutuhkan dalam penyusunan makalah ini, baik ide, data, dokumen, dan pembelajaran yang membuat penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Tulisan ini diharapkan dapat menjadi referensi dan dokumentasi ilmiah dari kegiatan yang sudah dilaksanakan di PPRT untuk digunakan dalam melakukan pengembangan metode ke depan.
DAFTAR PUSTAKA
Airbus Defence and Space. (2014). TerraSAR-X Image Product Guide: Basic and Enhanced Radar Satellite Imagery. Aprilana. (2010). Proses Stereoplotting Data IFSAR untuk Memutakhirkan Peta RBI Skala 1 : 25.000 Daerah Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Rekayasa, XIV(4):202–215. Badan Informasi Geospasial. (2014). Peraturan Kepala BIG No. 15 Tahun 2014 Tentang Ketelitian Peta Dasar. Cibinong. Badan Informasi Geospasial. (2016). Petunjuk Pelaksanaan Pemetaan Rupabumi Skala 1:25.000 Tahapan Stereokompilasi. Cibinong. Diunduh dari http://tx.technion.ac.il/~dalyot/docs/Intro-DTM.pdf Badan Standardisasi Nasional. (2010). SNI 7645:2010 tentang Klasifikasi Penutup Lahan. Jakarta. Crosetto, M. (2002). Calibration and Validation of SAR Interferometry for DEM Generation. ISPRS Journal of Photogrammetry and Remote Sensing, (DECEMBER 2002). http://doi.org/10.1016/S0924-2716(02)00107-7 Hupton, J.R. (2009). Three-Dimensional Target Modeling with Synthetic Aperture Radar. California Polytechnic State University. INTERMAP. (2009). Interferometric Synthetic Aperture Radar. Venezia. Kiefl, N., Koppe, W., dan Hennig, S.D. (2010). Terrasar-X Stereo Digital Elevation Models for Complex Terrain Conditions in Alpine Regions and Its Suitability for Orthorectification Purposes of Optical and Sar Imagery. In ISPRS TC VII Symposium (Vol. XXXVIII, pp. 333–336). Vienna, Austria. Meyer, N. (2011). DEM products from TerraSAR-X & TanDEM-X. Mulyana, A.K. (2007). Analisis Tekstur Citra IFSAR untuk Ekstraksi Fitur Rupabumi. In Ekstraksi Unsur Rupabumi dan Studi Deformasi dari Citra Radar dan ASTER (pp. 1–12). Cibinong: Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). Pranadita, S., dan Harintaka. (2013). Pembuatan Model Elevasi Digital dari Stereoplotting Interaktif Foto Udara Format Sedang dengan Kamera Digicam. Jurnal Ilmiah Geomatika, 19(2):101–105. Republik Indonesia. (2011). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial. Jakarta. Sen, A., dan Gokgoz, T. (2012). Clustering Approaches for Hydrographic Generalization. In GIS Ostrava. Ostrava. Susetyo, D.B., Nuraeni, D., dan Perdana, A.P. (2016). Aturan Topologi untuk Unsur Perairan dalam Skema Basis data Spasial Rupabumi Indonesia. In SEMINAR NASIONAL II Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Werninghaus, R., dan Buckreuss, S. (2012). The TerraSAR-X Mission and System Design. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, 60(5):1–4.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
-253-
Stereokompilasi Unsur Rupabumi Skala 1:25.000 Menggunakan Data TerraSAR-X dan Citra SPOT-6 (Susetyo, D.B., dkk.)
BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Judul Makalah Nama Pemakalah Diskusi :
: Stereokompilasi Unsur Rupabumi Skala 1:25.000 Menggunakan Data Terrasar-X dan Citra SPOT-6 : Danang Budi Susetyo (BIG)
Pertanyaan: Dr. Ety Parwati (LAPAN) 1. Apa argumentasi yang menguatkan pernyataan tersebut? Sungai dan breakline masspoint tidak boleh terlalu dekat dengan sungai dan breakline agar DTM yang dihasilkan menjadi logis 2. Seperti disebutkan pada jawaban a, bahwa sungai dan breakline adalah pembatas. Sungai menghasilkan cekungan pada DTM, sedangkan breakline menghasilkan punggung bukit. Selain membentuk model 3D antara ORRI dan stereomate, dibentuk pula model 3D antara citra SPOT-6 dengan stereomate. Bagaimana perbedaan akurasi antara 3D yang dibentuk dari ORRI dan 3D yang dibentuk dari sitra SPOT? Jawaban: 1. Sungai dan breakline adalah garis pembatas pada DTM, sehingga jika ada masspoint yang terlalu dekat dengan sungai atau breakline, maka ada kemungkinan terrain yang dihasilkan menjadi tidak smooth atau menjadi terlalu curam, sehingga masspoint tidak boleh terlalu dekat dengan sungai atau breakline. Masspoint juga tidak boleh berada dalam perairan Masspoint tidak boleh masuk ke dalam area perairan, karena perairan tidak boleh bergelombang. Perairan dalam DTM hanya dibentuk oleh garis tepi perairan, dan untuk perairan tergenang seperti danau, rawa, kolam, empang, dll harus datar, sedangkan untuk perairan yang mengalir seperti sungai, ketinggian di kedua sisinya harus sama 2. Selama ini dalam pemetaan RBI, data ORRI adalah yang digunakan sebagai acuan geometri.
-254-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Penerapan Teknik Polarimetric Interferometry Synthetic Aperture Radar (PolInSAR) untuk Estimasi Cadangan Karbon Hutan Tropis Indonesia Menggunakan Citra ALOS PALSAR Full-Polarimetric Implementation of Polarimetric Interferometry Synthetic Aperture Radar (PolInSAR) Technique for Carbon Stocks Estimation of Indonesia Tropical Forest using ALOS PALSAR Full-Polarimetric Image Laode Muh. Golok Jaya1*), Ketut Wikantika2, Katmoko Ari Sambodo3 dan Armi Susandi4 1
Fakultas Teknik Universitas Halu Oleo Kendari Program Doktor Radar Remote Sensing-Institut Teknologi Bandung 2 Pusat Penginderaan Jauh Institut Teknologi Bandung 3 Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh-Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) 4 Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung 1
*)
E-mail:
[email protected]
ABSTRAK-Makalah ini bertujuan untuk menganalisis penerapan teknik Polarimetric Interferometry Synthetic Aperture Radar (Polinsar) untuk estimasi tinggi vegetasi dalam rangka pemetaan cadangan karbon hutan tropis di wilayah Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit ALOS PALSARFull-Polarimetric. Penerapan teknik Polinsar ini merupakan upaya untuk memperoleh informasi geospasial cadangan karbon yang memiliki ketidakpastian yang paling minimum sesuai yang dikehendaki dalam MRV (Monitoring, Reporting and Verification) cadangan karbon. Indonesia sebagai pemilik hutan tropis kedua terbesar di dunia sangat berkepentingan terhadap informasi cadangan karbon tersebut dalam rangka mitigasi perubahan iklim.Metode penelitian yang dilakukan adalah menganalis koherensi interferometric phase dari dua buah citra ALOS PALSARFull-Polarimetric singlebaseline dengan empat polarisasi (HH, HV, VH dan VV) dan dengan temporal baseline tertentu. Koherensi interferometric phase sangat berkaitan dengan model Random Volume Over Ground (RVOG) yang terbentuk untuk menghasilkan estimasi tinggi vegetasi dan nilai cadangan karbon yang memiliki tingkat keandalan yang baik.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai koherensi interferometric phase adalah maksimum 0,218 yang disebabkan adanya dekorelasi temporal dari kedua citra koheren yang digunakan. Dekorelasi temporal sendiri disebabkan oleh temporal baseline kedua buah citra ALOS PALSARyang digunakan. Hasil estimasi RVOG menunjukkan bahwa tinggi vegetasi di daerah penelitian adalah 20,5-28,9 meter (R2=0,53). Kata kunci: PolInSAR, Alos Palsar, Full-Polarimetric, Estimasi Tinggi, Koherensi, Dekorelasi Temporal, RVOG ABSTRACT - This paper aims to analyze the application of Polarimetric Synthetic Aperture Radar Interferometry (Polinsar) techniques to estimate vegetation heights for carbon stocks mapping ofIndonesia tropical forests. The data used in this study is ALOS PALSARFull-Polarimetric image. Application of Polinsar technique is an attempt to acquire geospatial information of carbon stocks that have the most minimum uncertainty as desired in carbon stocks MRV (Monitoring, Reporting and Verification). Indonesia that has the second largest tropical forest in the world is very concerned about information of carbon stocks due to climate change mitigation. The research method is analyzing the interferometric phase coherence of two Full-Polarimetric ALOS PALSARimages baseline with four singlepolarization (HH, HV, VH and VV) and with a certain temporal baseline. Coherence interferometric phase is associated with the model Random Volume over Ground (RVOG) formed to estimate vegetation heights and carbon stock volume that has a good reliability. The results of this study indicate that the value of coherence interferometric phase is a maximum of 0.218 caused by temporal decorrelation. Temporal decorrelation itself caused by temporal baseline of ALOS PALSARimage pair. RVOG estimation results indicate that the height of the vegetation in the study area is 20.5-28.9 meters (R2=0.53). Keywords: Polinsar, ALOS PALSAR, Full-Polarimetric, Height Estimation, Coherence, Temporal Decorrelation, RVOG
1.
PENDAHULUAN
Teknik Polarimetric Interferometry Synthetic Aperture Radar (PolInSAR) merupakan gabungan dari dua buah teknik analisis citra radar yakni Teknik Polarimetric SAR (PolSAR) dan Interferometry SAR (InSAR). Teknik PolInSAR dikembangkan untuk memadukan keunggulan kedua buah teknik tersebut. Salah satu keunggulan teknik PolInSAR adalah diketahuinya secara jelas posisi pusat phase interferometrik dan
-255-
Penerapan Teknik Polarimetric Interferometry Synthetic Aperture Radar (PolInSAR) untuk Estimasi Cadangan Karbon Hutan Tropis Indonesia menggunakan Citra ALOS PALSAR Full-Polarimetric (Jaya, L.M.G., dkk.)
topografi permukaan (ground topography) yang menghasilkan tinggi obyek (Cloude dan Papathannasiou, 1998). Salah satu penerapan penting dari keunggulan tersebut adalah dalam menentukan tinggi vegetasi dan menghitung volume biomassa atau cadangan karbon pada kawasan hutan. Keunggulan lainnya adalah teknik PolInSAR dapat membedakan struktur hamburan balik (scattering) gelombang radar dari suatu obyek apakah merupakan surface scattering, surface-volume scattering atau volume-only scattering. Dengan mengkombinasikan hasil volume-only scattering dengan kejelasan posisi pusat fase interferometrik-ground topography, dapat mengatasi terjadinya saturasi pada pengukuran volume seperti pada vegetasi hutan. Sejalan dengan upaya mitigasi perubahan iklim, upaya estimasi cadangan karbon sangat penting untuk lebih memahami perilaku siklus karbon di atmosfer. Indonesia perlu mengembangkan mekanisme estimasi cadangan karbon pada kawasan hutan di Indonesia untuk memperoleh kepastian mengenai besarnya jumlah cadangan karbon, kondisi, sebaran dan nilai emisi yang dapat diserap atau dilepaskan ke atmosfer oleh hutan tersebut. Mekanisme tersebut dikenal dengan istilah MRV (Measurement, Reporting and Verification) atau Pengukuran, Pelaporan dan Penilaian. Kegiatan MRV meliputi pengukuran dan pelaporan efektivitas pengurangan atau penyerapan Gas-gas Rumah Kaca (GRK) secara kuantitatif menggunakan metode dan prosedur yang andal, transparan dan akuntabel. MRV merupakan bagian dari sistem pemantauan karbon global dimana metode pengukuran dan hasil yang disampaikan harus menggunakan kaidah-kaidah ilmiah yang baku dan konsisten. Hasil dari MRV akan dijadikan sebagai dasar pembayaran atas kinerja penurunan emisi. Setiap kegiatan MRV harus sejalan dengan prinsip-prinsip pelaporan IPCC (Inter-Governmental Panel on Climate Change/Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim), yaitu harus transparan, akurat, konsisten, lengkap dan dapat dibandingkan dan memiliki ketidakpastian yang minimum (Bernard dan Minang, 2011; Jaya dan Saleh, 2012; FAO, 2013). Penelitian ini akan menganalisis penerapan teknik PolInSAR untuk estimasi tinggi vegetasi dalam rangka pemetaan cadangan karbon pada kawasan hutan tropis Indonesia. Sesuai dengan persyaratan MRV cadangan karbon sebagaimana disebutkan di atas, maka penerapan teknik PolInSAR memberikan harapan untuk memperoleh estimasi tinggi vegetasi dengan kepastian yang optimum.
2. METODE 2.1 Lokasi penelitian Lokasi penelitian berada di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara spesifik, lokasi penelitian adalah hutan tropis Wolasi yang sebagian besar berada dalam kawasan hutan lindung Wolasi, berjarak kurang lebih 30 kilometer di sebelah selatan Kota Kendari, ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara. Peta lokasi penelitian digambar dalam Gambar 1.
Gambar 1. Peta lokasi studi
2.2 Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra ALOS PALSARFull Polarimetrik dan DEM. Karakteristik data dapat dilihat dalam Tabel 1 berikut. Tabel 1 Karakteristik data
-256-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
No 1
2
Jenis Data Alos Palsar
DEM
Karakteristik
Sumber Data
Kegunaan
Frekuensi : L-Band Panjang gelombang : 23 cm Polarisasi : Full Polarimetric HH, HV, VH dan VV Resolusi piksel : 20 meter Tahun Akuisisi : 2009 dan 2010 Mode : Single Look Complex (SLC) Berasal dari SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) dengan ketelitian 1 arc sec (30 meter)
JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency)
Membentuk citra yang koheren Membentuk Volume Scattering untuk model Random Volume over Ground (RVoG)
NASA
Membentuk model permukaan dijital Untuk koreksi slope (radiometric terrain flattening)
2.3 Perangkat keras dan perangkat lunak Perangkat keras dan lunak yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam Tabel 2 berikut. Tabel 2 Perangkat keras dan lunak yang digunakan dalam penelitian A. Perangkat Keras No Nama Alat Spesifikasi Kegunaan 1 Laptop Processor : Intel Atom Pemrosesan data dan penulisan HDD : 500 GB laporan penelitian RAM : 4 GB 2 Hagameter Merek : HAGA Untuk mengukur tinggi pohon 3 GPS Handheld Merek : Garmin Untuk pengukuran koordinat pohon 4 Pita ukur Untuk pengukuran DBH B. Perangkat Lunak No Nama Software Provider Lisensi 1 PolSARPRO European Space Agency (ESA) Open Source 2 Sentinel-1 ToolBox European Space Agency (ESA) Open Source
2.4 Diagram Alir Penelitian Dua buah citra ALOS PALSARFull Polarimetric digunakan dalam penelitian ini adalah hasil akuisisi tanggal 2 Mei 2010 (sebagai master) dan 29 April 2009 (sebagai slave). Kedua buah citra tersebut diproses menggunakan perangkat lunak Sentinel-1 Toolbox untuk melihat koefisien backscatter keduanya. Sedangkan untuk pembentukan matriks Sinlcair [S2] digunakan perangkat lunak PolSARPRO. Oleh karena terdapat dua buah citra SAR, maka yang terbentuk adalah matriks Sinlcair 2 x [S2] Master-Slave. Kemudian dilakukan tranformasi menjadi matriks koherensi kovariansi [T6]. Dengan matriks [T6] tersebut, selanjutnya dapat dianalisis koherensi kedua citra, optimisasi koherensi, pembentukan interferogram dan perhitungan tinggi fase interferometrik. Langkah-langkah penelitian yang dilakukan selengkapnya dapat dilihat dalam Gambar 2 berikut.
-257-
Penerapan Teknik Polarimetric Interferometry Synthetic Aperture Radar (PolInSAR) untuk Estimasi Cadangan Karbon Hutan Tropis Indonesia menggunakan Citra ALOS PALSAR Full-Polarimetric (Jaya, L.M.G., dkk.)
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian
3.
HASILDAN PEMBAHASAN Teknik Polarimetric Synthetic Aperture Radar (SAR) Interferometry (PolInSAR) diusulkan pertama kali oleh Cloude dan Papathanassiou (1998). PolInSAR adalah teknik penginderaan jauh radar berdasarkan pada kombinasi koherensi (coherence combination) radar polarimetrik (Pol-SAR) dan SAR Interferometry (InSAR) dimana secara substansi lebih sensitif terhadap parameter struktur dari hamburan volume (misalnya hutan) dibandingkan menggunakan Pol-SAR atau In-SAR (Lee dkk., 2010). Tabel 3 berikut memperlihatkan kelebihan dan kelemahan teknik Polarimetrik SAR (Polsar), Interferometry SAR (Insar) dan Polarimetrik SAR Interferometry (Polinsar). No. 1
Teknik Polsar
2
Insar
3
Polinsar
Tabel 3. Kelebihan dan Kelemahan Polsar, Insar dan Polinsar Tujuan Kelebihan Kelemahan Mengkarakterisasi obyek melalui Peka terhadap orientasi Rentan terhadap masalah pengukuran hamburan balik obyek, bentuk dan entropy, khususnya daerah (backscatter) komposisi obyek bervegetasi Mengkarakterisasi obyek melalui 1. Tidak terpengaruh oleh Hanya berlaku untuk kokombinasi sinyal secara koheren dari entropy obyek. polarisasi (pasangan citra dua buah posisi pengukuran yang 2. Dapat membentuk yang sama polarisasi, misal berbeda (baik along track model interferogram HH atau VV) interferometry maupun across track untuk berbagai aplikasi interferometry) Pemodelan struktur vertikal (misal Interferogram dapat Rentan terhadap pengaruh vegetasi) dengan memanfaatkan fase, dibentuk baik dari citra kotemporal decorrelation. amplitude koheren interferometry polarisasi maupun crossKeberhasilan teknik melalui pemisahan pusat fase pada polarisasi (Richards, 2009) Polinsar sangat tergantung polarisasi yang berbeda (Wenxue, pada koherensi pasangan 2015) citra (Lee dan Pottier, 2009)
Citra ALOS PALSARhasil perekaman tanggal 29 April 2009 dan 2 Mei 2010 masing-masing dalam mode SLC dan memiliki empat polarisasi yaitu HH, HV, VH dan VV. Keempat polarisasi tersebut memiliki karakteristik masing-masing dalam pemetaan cadangan karbon. Dari keempat polarisasi tersebut, polarisasi HV telah diketahui paling memiliki korelasi dengan cadangan karbon (Luckman dkk, 1997; Le Toan dkk, 2011, Richards, 2009). Bila ditinjau dari nilai koefisien backscatter, kedua citra hasil akuisisi yang berbeda tanggal perekamannya tersebut memiliki nilai yang relatif sama sebagaimana ditampilkan pada Gambar 3 dan 4.Nilai koefisien backscatter untuk polarisasi HH berkisar antara -8,2 sampai dengan -26,54, polarisasi HV antara 14,54 sampai dengan -33,66, polarisasi HV mirip dengan polarisasi HV dengan koefisien backscatter antara -
-258-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
14,65 sampai dengan -33,43. Adapun polarisasi VV, memiliki koefisien backscatter antara -8,71 sampai dengan -27,42.
Gambar 3. Citra ALOS PALSARfull polarimetrik yang telah terkoreksi geometrik hasil perekaman 29 April 2009 berturut-turut dari kiri ke kanan polarisasi HH, HV, VH dan VV
Gambar 4. Citra ALOS PALSARfull polarimetrik yang telah terkoreksi geometrik hasil perekaman 2 Mei 2010 berturut-turut dari kiri ke kanan polarisasi HH, HV, VH dan VV
Adapun rentang nilai koefisien backscatter (σ° dalam dB) dari kedua citra ALOS PALSARtersebut dapat dilihat dalam tabel 4 berikut: Tabel 4. Rentang nilai koefisien backscatter (σ° dalam dB) Tanggal Perekaman σ° HH σ° HV σ° VH (maks/Min) (maks/Min) (maks/Min) 29 April 2009 -8,27/-26,54 -14,54/-33,66 -14,65/-33,29 2 Mei 2010 -8,2/-26,19 -14,6/-33,42 -14,73/-33,43
σ° VV (maks/Min) -8,96/-27,42 -8,71/-27,21
Dalam analisis koherensi citra ALOS PALSARFull-polarimetrik perlu diperhatikan adanya azas resiprokal yaitu bahwa polarisasi HV akan sama dengan polarisasi VH. Hal ini berarti bahwa kedua polarisasi tersebut memiliki karakteristik yang mirip dalam pola hamburan baliknya (scatter). Sejak diusulkan oleh Cloude dan Papathanassiou (1998), teknik Polinsar telah mengalami banyak perbaikan dan penyempurnaan melalui penyempurnaan analisis temporal decorrelation, coherence optimisation, penyempurnaan model Random Volume over Ground, inversi tinggi vegetasi, hingga penyempurnaan pada estimasi ground topography dan penerapan Polinsar pada dual polarisasi (Papathanassiou dan Cloude, 2001, Mette dkk, 2003; Florian dkk, 2006) Integrasi teknik polarimetrik dan interferometrik ke dalam Polinsar ini dilakukan untuk menerapkan kelebihan-kelebihan dari kedua teknik tersebut. Namun demikian, tidak berarti teknik Polinsar tidak memiliki kelemahan. Kelemahan utama dari teknik Polinsar adalah rentan terhadap temporal decorrelation(Mette, 2006; Richards, 2009; Lee dan Pottier, 2009).
-259-
Penerapan Teknik Polarimetric Interferometry Synthetic Aperture Radar (PolInSAR) untuk Estimasi Cadangan Karbon Hutan Tropis Indonesia menggunakan Citra ALOS PALSAR Full-Polarimetric (Jaya, L.M.G., dkk.)
Dalam perspektif pengukuran cadangan karbon, teknik Interferometry SAR (Insar) dapat mengukur atau menentukan pusat fase keseluruhan dari sebuah signal pada sebuah piksel yang ditinjau akan tetapi tidak dapat membedakan letak titik hamburan (scattering point) apakah berada pada kanopi vegetasi atau berada pada permukaan tanah. Masalah ini dapat diselesaikan melalui penerapan polarisasi pada lingkup interferometry (Polinsar) (Cloude dan Papathanassiou, 1998). Polarimetri peka terhadap bentuk dan orientasi obyek, sementara interferometri peka terhadap distribusi spasial dan tinggi obyek. Dengan demikian Polinsar memiliki kemampuan mengindentifikasi mekanisme hamburan pada suatu medium dengan menerapkan perbedaan fase pada polarisasi yang berbeda. Oleh karena itu Polinsar tidak hanya menggunakan beda fase, tetapi juga amplitude dari koherensi kompleks interferometri untuk menentukan struktur vertikal dari volume vegetasi dengan memisahkan lokasi antara pusat fase pada berbagai polarisasi yang berbeda (Richards, 2009; Lee dan Pottier, 2009; Wenxue dkk, 2015). Sebuah system Polinsar bekerja berdasarkan dua buah data citra polarimetrik yang berasal dari dua buah posisi pengamatan yang berbeda yang menghasilkan complex polarimetric interferometric coherency, yakni (Richard, 2009) : ∗〉 〈 (1) = | | ∆∅ = ∗ ∗ 〈
〉〈
〉
dan adalah vektor target pada citra yang akan di-interferensi-kan, karena kedua vektor tersebut mengandung informasi yang dibutuhkan dalam membentuk citra interferometrik dari semua kombinasi polarisasi. Untuk dua buah citra SAR yang koheren, perbedaan fase interferometrik diformulasikan sebagai berikut (Richards, 2009): ∆ =∆ +∆ + ∆ + ∆ (2) ∗ 〉 ∗〉 )∗ 〉 = ∗ 〈 ( ∗ Dari bentuk persamaan (1) kita dapat menuliskan bahwa 〈 =〈 ∗ dan sebaliknya untuk denominator-nya. merupakan vector filter Unitarian (Cloude dan Papathanossiou, 1998). Selanjutnya, oleh karena vector bobot konstan maka dapat dikeluarkan dari operator ekspektasi <>. Sehingga complex coherence dapat dituliskan sebagai :
= Dimana
dan
∗
〈
∗
〈
∗
〉
∗
〉 ∗
〈
∗
atau 〉
=
∗ ∗
∗
(3)
adalah matriks koherensi masing-masing citra SAR serta : ∗ 〉 ∗ )≡〈 (4) Ω = Ε(
Merupakan matriks gabungan dari complex coherence atau joint image complex coherency matix yang berisi informasi baik polarimetrik maupun interferometrik. Untuk koregistrasi dua buah citra SAR full-polarimetrik yang koheren, dapat dibentuk matriks Hermitian 6x6 (T6 matrix) sebagai berikut : [ ] [Ω ] ∗ ]〉 = (5) [ ]=〈 [ ∗ [Ω ]∗ [ ] Dimana <> merepresentasikan operator multi-looking dan * merupakan transformasi Hermitian. [ ] dan [ ] merepresentasikan matriks koherensi Hermitian baku (standard Hermitian coherency matrix) yang berisikan informasi full-polarisasi masing-masing citra SAR full-polarimetrik. Adapun [Ω ] merupakan matriks kompleks baru dengan dimensi 3x3 yang mengandung informasi tidak saja terkait informasi polarimetrik, tetapi juga hubungan fase interferometrik (interferometric phase) antar kanal polarimetrik dalam kedua citra yang koheren tersebut. Nilai koherensi polarisasi HV-HV kedua buah citra SAR adalah maksimum 0,218. Nilai koherensi tersebut kecil karena adanya temporal baseline yang menyebabkan temporal dekorelasi yang besar. Gambar 5 memperlihatkan interferogram polarisasi HV-HV dan nilai koherensinya.
-260-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 5. Koherensi polarisasi HV-HV citra ALOS PALSARpada wilayah studi
Dengan nilai koherensi yang kecil, pusat fase interferometric menjadi kurang optimum ditentukan. Hal tersebut akan berpengaruh pada pembentukan Random Volume Over Ground (RVOG) untuk estimasi tinggi vegetasi. Gambar 6memperlihatkan secara berturut-turut : (A) Citra ALOSFull-Polarimetrik wilayah studi dalam mode RGB-Pauli, (B) Wilayah yang ditinjau, (C) Tinggi RVOG dalam bentuk dua dimensi, (D dan E) memperlihatkan tinggi RVOG dalam bentuk tiga dimensi.Hasil tersebut memperlihatkan bahwa tinggi RVOG dari lokasi yang dipilih (Gambar 6.(A)) memiliki tinggi vegetasi maksimum 20,5 meter (Gambar 6 (D)). Pada bagian lain wilayah studi tinggi vegetasi dapat mencapai 28,9 meter (Gambar 6 (E))
A
B
C
D
E
Gambar 6. (A) Citra Alos Full-Polarimetrik wilayah studi dalam mode RGB-Pauli, (B) Wilayah yang ditinjau, (C) Tinggi RVOG dalam bentuk dua dimensi, (D dan E) tinggi RVOG dalam bentuk tiga dimensi
Untuk menilai tingkat ketelitian hasil estimasi tinggi RVOG maka perlu divalidasi dengan tinggi aktual di lapangan. Hasil validasi tinggi RVoG dibandingkan dengan tinggi vegetasi hasil survai lapangan pada sampling plot disajikan dalam Gambar 7.
-261-
Penerapan Teknik Polarimetric Interferometry Synthetic Aperture Radar (PolInSAR) untuk Estimasi Cadangan Karbon Hutan Tropis Indonesia menggunakan Citra ALOS PALSAR Full-Polarimetric (Jaya, L.M.G., dkk.)
Gambar 7. Hasil validasi tinggi RVOG terhadap tinggi hasil survai lapangan
Hasil validasi memperlihatkan bahwa nilai korelasi antara model tinggi hasil estimasi terhadap ukuran tinggi aktual relatif kurang baik dimana nilai R2 hanya mencapai 0,5257. Kemungkinan hal tersebut disebabkan disamping adanyatemporal dekorelasi yang besar juga kondisi topografi yang curam dan bergelombang yang menyebabkan terjadinya distorsi citra ALOS PALSARserta kemungkinan pengukuran aktual di lapangan yang kurang teliti.
4.
KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut,
a. Keunggulan teknik PolINSAR dibandingkan beberapa teknik lainnya dalam estimasi cadangan karbon yaknikemampuannya dalam memodelkan struktur fisik vegetasi khususnya tinggi vegetasi. b. Sumber utama ketidakpastian estimasi tinggi vegetasi menggunakan teknik PolInSAR adalah dekorelasi temporal akibat adanya temporal baseline dua buah citra SAR yang digunakan. Semakin panjang temporal baseline (dalam penelitian ini 1 tahun) maka dekorelasi temporal juga semakin besar. Semakin besar dekorelasi temporal maka nilai koherensi interferometrik menjadi lebih kecil, artinya makin tidak koheren dan ketelitian hasil estimasi tinggi vegetasi juga berkurang. c. Penerapan teknik Polinsar menggunakan citra ALOS PALSARfull-polarimetrik dapat dipertimbangkan untuk digunakan dalam pemetaan cadangan karbon pada hutan tropis Indonesia karena kemampuan sinyal backscatter (hamburan balik) yang berkorelasi dengan volume vegetasi dan kemampuannya dalam memodelan struktur vertikal vegetasi berdasarkan fase, amplitudo koheren interferometri dan pemisahan pusat fase pada polarisasi yang berbeda menghasilkan estimasi tinggi yang cukup reliabel. d. Meskipun dikatakan cukup reliable, namun hasil penelitian ini memperlihatkan masihrendahnya nilai akurasi hasil estimasi tinggi vegetasi dengan nilaiR2=0,5257.Penyebab utamanya kemungkinan karena temporal dekorelasi yang besar. Disamping itu, kondisi daerah studi yang bergelombang yang menyebabkan distorsi citra SAR kemungkinan ikut mempengaruhi estimasi posisi pusat fase interferometrik.
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Profesor Masanobu Shimada dan rekan dari Japan Aerospace and Exploration Agency (JAXA) atas kesediannya menyediakan citra satelit ALOS PALSARFull-Polarimetric yang digunakan dalam penelitian ini.Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Kemenristekdikti atas biaya yang diberikan untuk penelitian ini melalui Hibah Penelitian Produk Terapan Tahun 2016.
-262-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
DAFTAR PUSTAKA Bernard, Florence, M., dan Peter, A., (2011).Strengthening Measurement, Reporting and Verification (MRV) for REDD+. International Institute for Sustainable Development Cloude, S.R., dan Papathanassiou, K.., (1998). Polarimetric SAR Interferometry. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, 36(5):1551-1565. FAO, (2013). National Forest Monitoring Systems: Monitoring and Measurement, Reporting and Verification (M & MRV) in the context of REDD+ Activities. Florian, K., Papathanassiou K., Hajnsek, I.,dan Coscia, A., (2006). Potential of forest height estimation using X band by means of two different inversion scenarios, ESA 3-11536/06/I-EC Jaya, Surati, I.N., dan Buce, S.M., (2012). Peta Jalan (Road Map) MRV Kehutanan. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan RI dan UN-REDD Programme Indonesia. Le, T., Quegan, S., Davidson, M.W.J., Baltzer, H., Paillou, P., Papathanassiou, K., Plummer, S., Rocca, F., Saatchi, S., Shugart, H., dan Ulander, L. (2011). The BIOMASS Mission : Mapping global forest biomass to better understand the terrestrial carbon cycle. Remote Sensing of Environment, 115:2850-2860 Lee, S., Kugler, F., Papathanassiou, K., dan Hajnsek, I., (2010). Polarimetric SAR Interferometry for Forest Application at P-Band: Potentials and Chalenges. German Aerospace Center (DLR), Institute of Radio Frequency Technology and Radar System (DLR-HR) Lee, Jong, S., dan Pottier, E., (2009). Polarimetric Radar Imaging from Basics to Applications. CRC Press, ISBN 9781-4200-5497-2 Luckman, A.J., (1997). Texture in airborne SAR imagery of tropical forest and its relationship to forest regeneration stage.International Journal of Remote Sensing, 18:1333-1349 Mette, T., Papathanassiou, K.P., Hajnsek, I., dan Zimmermann, R. (2003).Forest Biomass Estimation using Polarimetric SAR Interferometry. Mette, dan Tobias (2006). Forest Biomass Estimation from Polarimetric SAR Interferometry.Dissertation, Technischen Universität München Papathanassiou, K.,dan Cloude, S.R. (2001). Single base-line Polarimetric SAR Interferometry.IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, 39(11):2352-2363 Richards, J.A., (2009). Remote Sensing with Imaging Radar, Signals and Communication Technology, ISBN: 978-3642-02019-3, Springer Wenxue, F., Huadong, G., Xinwu, L., Bangsen, T.,dan Zhongchang, S., (2015). Extended Three-Stage Polarimetric SAR Interferometry Algorithm by Dual-Polarization Data.IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing. DOI: 10.1109/TGRS.2015.2505707
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskui presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Moderator Judul Makalah Pemakalah Diskusi
: Kustiyo : Penerapan Teknik Polarimetric Interferometry Synthetic Aperture Radar (PolInSAR) untuk Estimasi Cadangan Karbon Hutan Tropis Indonesia Menggunakan Citra Alos Palsar Full-Polarimetric : Laode Muh. Golok Jaya (Univ. Halu Oleo) :
Pertanyaan: Ita Carolita (LAPAN) Bagaimana kita melihat hasil mana yang lebih baik, apakah ada perbedaan tiap polarisasinya? Jawaban: Data Interferometry digunakan untuk fasenya, apabila vegetasinya sangat dinamik menggunakan polarimetrik. Gabungan dari kedua tersebut bisa untuk membedakan fasenya dan diharapkan kita memiliki data single baseline. Untuk koherensi dipengaruhi oleh pertumbuhan vegetasi. Polarimetrik bisa full digunakan untuk vegetasi yang tidak lebat dan kompleks.
-263-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Rancang Bangun Sistem Pengolahan Data Light Detection and Ranging (LiDAR) Airbone Laser Scanning untuk Ekstraksi Digital Terain Model (DTM) Studi Kasus Kalimantan Tengah Design of Data Processing Systems Light Detection and Ranging (LiDAR) Airborne Laser Scanning for the Extraction of Digital Terrain Models (DTM) A Case Study in Central Kalimantan Kuncoro Adi Pradono1*), dan Katmoko Ari Sambodo1 1
Pusat Teknologi dan Data Penginderaan - Jauh *)
Email:
[email protected]
ABSTRAK - LiDAR (Light Detection and Ranging) adalah sebuah teknologi penginderaan jauh optis yang dapat mengukur jarak dari sebuah objek melalui pancaran cahaya menggunakan pulsa laser. Dengan tingkat akurasi posisi dan orientasi tinggi yang dihasilkan oleh GPS dan IMU, maka pantulan sinar laser dari objek permukaan bumi dapat dihitung. Melalui penurunan dari perhitungan pantulan pulsa laser dapat dibuat model elevasi yang menampilkan ketinggian permukaan yaitu data Digital Surface Model (DSM). Untuk keperluan aplikasi penginderaan jauh dari data point cloud di atas dapat pula diturunkan menjadi koordinat (x,y,z) dari titik-titik secara digital, yang mewakili bentuk topografi suatu terrain yaitu data Digital Terrain Model (DTM). Penelitian ini membahas mengenai rancang bangun sistem pengolahan data DSM LiDAR menjadi DTM menggunakan software open source ”lidar2dems”. Software ini akan mengolah point cloud hasil pulsa laser dari perangkat Airbone Laser Scanning (ALS) dalam sebuah polygon shapefile yang sudah berada pada Sistem Referensi Spasial (SRS), kemudian setiap polygon akan memiliki kelas yang akan mempengaruhi pilihan klasifikasi yang akan diproses dengan model piecewise. Kemudian dilakukan filterisasi, grinding dan gap fill untuk menghasilan raster dari point cloud. Dari hasil eksperimen didapatkan adalah data DSM dan DTM dengan resolusi 1 meter yang unsur vegetasi tidak ikut dihilangkan. Kata kunci: LiDAR, Digital Surface Model, Digital Terrain Model, Point cloud. ABSTRACT - LiDAR (Light Detection and Ranging)is a optical remote sensing technology which can measure a distance from object through pulse a laser beam. The accuracy of position and orientation from GPS and IMU, so reflectance of laser beam could be measured. By using calculation of pulse laser beam reflectance, model of elevation which show the height of surface which called as Digital Surface Model. For remote sensing needs with point cloud data, coordinate (x,y,z) could be determined which show topographical of terrain usually know as Digital Terrain Model (DTM). This research will tell about the design data processing LIDAR DSM to convert DTM data using open source software “lidar2dems”. This software will process point cloud from Airbone Laser Scanning (ALS) laser beam to polygon shapefile in Spatial Reference System (SRS) then every polygon shapefile will have class which influence of classification and processed with piecewise model. After that raster will be produced by Filtration, grinding and gap filling process from point clouds. The result from this research are1 meter resolution DSM and DTM data without vegetation aspect. Keywords: LiDAR, Digital Surface Model, Digital Terrain Model, Point cloud.
1.
PENDAHULUAN
Airbone Lidar Scanning (ALS) adalah sistem LiDAR yang paling umum untuk menghasilkan model elevasi digital. Gabungan dari airbone dan sensor pemindai merupakan cara yang paling efektif dan efisien untuk mengumpulkan data elevasi hingga ribuan mil persegi. Untuk area yang lebih kecil dimana memerlukan densitas yang lebih tinggi dapat digunakan helikopter atau Terreserial Laser Scan (TLS). Lidar merupakan akronim dari light detection and ranging. Cara kerja LiDAR dapat dianalogikan seperti RADAR hanya saja, lidar menggunakan pulsa laser diskrit sedangkan RADAR menggunakan gelombang elektromagnet. Lidar merupakan teknologi yang menembakkan sinar laser dengan memanfaatkan emisi gelombang cahaya untuk memperoleh posisi geometri tiap titik laser. Titik-titik yang diperoleh dari scanning lidar merupakan titik-titik yang sudah memiliki koordinat tiga dimensi yang berasal dari multy return sinyal lidar pada suatu obyek yang kemudian dapat dimodelkan secara tiga dimensi dan titik-titik tersebut disebut points cloud. Rentang atau jarak antara scanner ke target dan informasi posisi dan orientasi yang diperoleh -264-
Rancang Bangun Sistem Pengolahan Data Light Detection and Ranging (LiDAR) Airbone Laser Scanning untuk Ekstraksi Digital Terain Model (DTM) Studi Kasus Kalimantan Tengah (Pradono, K.A., dkk.)
dari Global Positioning Sistem (GPS) dan Inertial Measurment Unit (IMU) dapat menentukan lokasi target dengan akurasi tinggi dalam ruang tiga dimensi (Habib, 2008). Pengambilan data pada survei ALS dapat dilakukan pada siang maupun malam hari dengan syarat kondisi cuaca yang memungkinkan pesawat untuk terbang. Survei dapat dilakukan pada malam hari, karena sensor ALS memancarkan energi sendiri berupa sinar laser. Lidar memiliki kelebihan yaitu dapat memancarkan laser untuk akuisisi data mencapai 200 kHz yang dapat mengukur 200000 pulsa per detik, dengan memutar scanner yang bergerak memutar pada interval 0.004 derajad. Data lidar terdiri dari point clouds yang menampilkan titik-titik hasil penyiaman, Digital Terrain Model (DTM), dan Digital Surface Model (DSM). Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas data lidar, diantaranya adalah kuat lemahnya signal pancaran, daerah topografi yang diamati, kecepatan terbang pesawat, dan jarak antara sensor dengan obyek (Harding, 2009). Semua faktor tersebut dapat diminimalisir dengan cara menentukan terlebih dahulu hal-hal yang harus dilakukan sebelum pengambilan data. Dengan kebutuhan tersebut maka dilakukan rancang bangun sistem pengolahan data lidar sehingga data LAS point cloud dapat diproses menjadi DSM, DTM dan CHM.
Gambar 1. Proses Akusisi Data Lidar dengan ALS (Habib, 2008)
2. METODE 2.1. Progresive Morphological Filter Morphological Filter yaitu sebuah metode filter pada data LIDAR yang digunakan untuk memisahkan objek ground dan non-ground. Proses matemetis Mophologi terdiri atas operasi kernel erosi dan dilasi dengan ukuran window tertentu. Konsep dilasi dan erosi dikembangkan untuk mencari nilai max dan min dari nilai pixel dengan fungsi kernel melalui nilai ketetanggaan (neighborhood). Untuk pengamatan dari titik p(x,y,z), maka dilasi dari elevasi z pada titik x dan y didefinisikan sebagai : = max(
)(
,
)∈
…………………………………………………………..……………………..(1)
Erosi merupakan kebalikan dari dilasi yang didefinisikan sebagai berikut : = min(
)(
,
)∈
……………………………………………………………….………………..(2)
Dimana titik (x p,yp,zp) merupakan titik ketetanggan dari dari titik p dengan window sebesar w. Kombinasi operasi matematis yaitu erosi kemudian dilasi dilakukan untuk memfilter non-ground point pada data lidar. Operasi tersebut dikenal dengan nama opening. Berikut adalah ilustrasi bagaimana pemfilteran non-ground point pada sebuah dataset.
-265-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 2. Proses Filter Window 1D (Zhang, 2003)
Ukuran window tersebut akan berubah-ubah sesuai dengan objek non-ground, sehingga user harus mendefinisikan dan mengubah-ubah window sesuai dengan objek (Kilian dkk, 1996). Namun ukuran window yang ideal tidak akan pernah dapat dijumpai untuk berbagai macam topografi. Progresive Morphological Filter merupakan metode filter yang dikembangkan dari morphological filter diaplikasikan pada software ini sebagai penyempurnaan yang memperbaiki proses penentuan window dan berbagai macam topografi.
Gambar 3. Algorithma Progresive Morphological Filter
Data pengukuran LIDAR dengan elevasi min diletakan dalam sebuah grid dimana koordinat point (x,y,z) pada cell. Apabila tidak ada data pada cell maka diambil dari nilai ketetanggan terdekat. Operasi opening yang menjadi komponen utama progressive morphological filter diaplikasikan pada grid. Iterasi pertama, elevasi min bersama dengan inisial filter window menyediakan input untuk proses pemfilteran. Pada iterasi berikutnya, permukaan yang telah difilter dari iterasi sebelumnya dan ukuran window yang telah diperbesar dari langkah 3, digunakan sebagai input untuk filter. Output dari langkah ini yaitu a) permukaan yang lebih halus dari morphological filter dan b) non ground point yang terdeteksi dari perbedaan threshold dari elevasi. Ukuran window diperbesar dan threshold dari elevasi dikalkulasi. Langkah 2 hingga 3 diulang sampai ukuran filter window lebih besar dari nilai max yang didefinisi. Nilai ini biasanya diatur sedikit lebih besar dari nilai max. Langkah terahir adalah mengenerate DTM dari dataset setela seluruh non ground point telah dihilangkan. Seluruh tahapan tersebut telah dikemas dalam software lidar2dems yang bersifat open source. -266-
Rancang Bangun Sistem Pengolahan Data Light Detection and Ranging (LiDAR) Airbone Laser Scanning untuk Ekstraksi Digital Terain Model (DTM) Studi Kasus Kalimantan Tengah (Pradono, K.A., dkk.)
Pemilihan parameter pada progresive morphological filter sangat mempengaruhi hasil. Untuk filter window dapat dipilih filter yang linear dan simetris sehingga pemrograman operasi opening menjadi lebih sederahana. Dengan keuntungan fitur topografi yang berubah secara bertahap dapat dipertahankan namun membutuhkan waktu komputasi yang lebih lama. Untuk pemilihan window yang linier didefinisikan sebagai berikut: +1…………………………………………………………….…………………………………(3)
=2
Dimana k = 1,2 ,…..M merupakan iterasi dan b inisial window. Alternatif lain untuk meningkatkan waktu komputasi, window dapat dibuat secara exponensial. Dengan keuntungan akan mengurangi waktu iterasi dalam proses pemfilteran. Untuk pemilian window secara exponensial didefinisikan sebagai berikut: =2
+ 1…………………………………………………..................……………………………….(4)
Threshold perbedaan elevasi ditentukan sesuai dengan slope dari topografi. Hubungan perbedaan max elevasi dhmax(t)(k) untuk suatu terrain dengan ukuran window wk dan slope s dapat didefinisikan sebagai berikut: =
( )( ) )
(
……………………………………………………………………………………………..(5)
Dimana threshold elevasi dhT,kdiperoleh dari : ℎ ℎ
,
(
− ℎ
≤3 ) + ℎ ℎ , > ℎ
>3
Dimana dhT,k (threshold elevasi), s (slope), c (ukuran cell, dh0 (threshold awal).
Gambar 4. Proses Progresive Morphological Filter (Zhang,2003)
2.2. Pengolahan Data LIDAR Data yang diperoleh dari sensor ORION m/c 300 Optech hasil akuisisi dari pesawat oleh Surtech berupa dataLAS dan shapefile. Sehingga perlu dilakukan ekstraksi agar dapat dilakukan pengolahan lebih lanjut dengan software lidar2dems. Lokasi yang diakusisi direpresentasikan dalam shapefile terdiri dari satu atau lebih polygon yang bersebelahan. Setiap polygon akan memiliki kelas yang sebagai atribut untuk mewakili pilihan klasifikasi, dimana akan diproses secara terpisah dengan model piecewise untuk membuat DEM di setiap polygon. Shapefile harus ada pada Sistem Referensi Spasial (SRS) supaya ketika diolah menjadi raster -267-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
ada koordinatnya. Semua polygon yang berada pada lokasi pengamatan harus mencakup dimana ada data LiDAR karena daerah diluarnya akan menerima efek interpolasi realistis dalam proses gap-filling. Ada 4 jenis klasifikasi sebagai atribut polygon dalam perancangan sistem pengolahan data LiDAR ini untuk mengoptimalkan ground classification. Setiap polygon pada shapefile dapat secara spesifik sesuai dengan bentuk terrain-nya, yang mana nilai yang bersesuaian pada kemiringan (slope) dan nilai sel (cell value) akan digunakan sebagai masukan pada Progressive Morphological Filter (model ground filter di PCL). Berikut ini merupakan tipe terrain yang digunakan : 1. Flat non-forest, area yang relatif datar dengan sedikit hingga hampir tanpa vegetasi (slope 1, cell size 3). 2. Flat forest, area yang relatif datar yang yang berhutan (slope 1, cell size 2). 3. Complex non-forest, area dengan berbagai kemiringan tipe terrain dengan sedikit hingga tanpa vegetasi (slope 2, cell size 2). 4. Complex forest, area dengan berbagai kemiringan tipe terrain yang berhutan (slope 10, cell size 2). Perlu diketahui bahwa keuntungan untuk pengolahan daerah datar ada pada lama proses bukan dari keakuratan hasil. Untuk tipe terrain yang meragukan pilhan terbaik adalah jenis complex. Sedangkan apabila jenis medan tidak ditentukan berhutan atau tidak nilai default akan digunakan (slope 1, cell size 3). Utilitas lidar2dems memiliki berbagai macam filter untuk memangkas point cloud yang akan diolah antara lain decimation, maxsd, maxangel, maxz dan returnnum. Selama proses grinding, dataset raster akan dihasilkan dari pengolahan point cloud dalam radius di setiap tengah pixel untuk mengidentifikasi point mana yang akan digunakan sebagai perhitungan data ketinggian. Semakin kecil jari-jari, semakin sedikit poin yang digunakan sementara untuk memberikan resolusi yang lebih tinggi yang efektif juga meningkatkan potensi gaps. Untuk DSM hal ini jarang bermasalah, sehingga nilai gaps 0,56 dirasa cukup baik. Namun, untuk DTM (ground) di kawasan hutan gaps data menjadi signifikan dikarenakan densitas point pada tanah yang rendah. Untuk membantu mengisi gaps data yang lebih baik, dapat dibuat iterasi melalui DTM dengan memperbesar jari-jari grinding.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perancangan sistem pengolahan data LIDAR saat ini telah beroperasi berkat kerjasama LAPAN dan AGS (Applied Geo Solution) di Jakarta. Dataset raw diperoleh dari AGS melalui akusisi yang dilakukan Surtech kemudian melalui kerjasama dibagunlah software lidar2dem untuk mengolah data lidar menjadi DTM. Visualisasi ketersediaan data lidar di wilayah kalimantan dapat dilihat melalui gambar berikut.
Gambar 5. Terdapat 30 Strip dengan Ferry Lines Antar Lokasi. (Sumber. Data akusisi)
Rancang bangun perangkat keras pengolahan data lidar menggunakan perangkat seperti dalam Tabel 1. Untuk melakukan pemrosesan data dalam melakukan ekstraksi DTM perangkat lunak open source yang digunakan dalam sistem antara lain: Ubuntu 14.04 LTS Operating system yang disusun dan disesuaikan librarynya untuk proses pengolahan. Python sebagai bahasa pemrograman untuk menerjemahkan algorithma atau psudo code. LASzip sebagai library kompresi untuk membaca dan menulis data LAS dengan lisensi LGPL -268-
Rancang Bangun Sistem Pengolahan Data Light Detection and Ranging (LiDAR) Airbone Laser Scanning untuk Ekstraksi Digital Terain Model (DTM) Studi Kasus Kalimantan Tengah (Pradono, K.A., dkk.)
PDAL sebagai manipolator dan translator data point cloud dengan library BDS C++ untuk mengolah data menjadi vektor maupun raster. PCL sebagai aplikasi standalone untuk mengolah gambar 2D/3D dan point cloud dengan lisensi BSD Lidar2dem merupakan kumpulan library untuk memudahkan pengolahan data lidar menggunakan library PDAL sehingga point dan grinding point cloud proses menjadi raster.
No 1
Komponen Komputer Server
2 3 4
Komputer Client Envi 5.0 QGIS Lyon
Tabel 1.Perangkat Pengolahan. Spesifikasi Precision Tower 7810 (Precision Tower 7810) Intel(R) Xeon(R) CPU E5-2620 v3 @ 2.40GHz ,64GB DDR 3, Ubuntu Os Pavilion 23 Inter Core i5 16GB DDR 3, Windows 10 License GIS software Open source GIS software
Pada percobaan pengolahan dataset lidar telah berhasil dilakukan. Data citra diolah satu persatu pada tiap tahapan untuk mengetahui perbedaan waktu yang digunakan. Berikut waktu proses sampai data dapat ditampilkan menjadi raster. Tabel 2. Waktu Proses Data
No 1 2 3 4
Tahapan Classifiying Create DEM Create DTM Create CHM
Lama Proses Keterangan 4:10:21.951186 s Membuat region shp dari DEM 0:29:35.990870 s Proses DEM 1:06:10.728278 s Proses DTM 0:00:22.959643 s Proses Canopy (Sumber: Hasil Pengolahan)
Dari hasil pengolahan tersebut didapatkan tiga hasil berupa DSM, DTM dan CHM dengan resolusi 1 meter. Berikut contoh potongan dari hasil pengolahan.
Gambar 6. Data Hasil Pengolahan dalam 1 Jalur Terbang (Sumber: Hasil Pengolahan)
-269-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
(b)
(a)
(c)
Gambar 7. Tampilan 3D Potongan Pengolahan Data dengan lidar2dem (a) DSM, (b) DTM dan (c) CHM (Sumber: Hasil Pengolahan)
(a)
(b)
(c) Gambar 8. Tampilan 2D Potongan Pengolahan Data dengan lidar2dem (a) DSM, (b) DTM dan (c) CHM (Sumber: Hasil Pengolahan)
-270-
Rancang Bangun Sistem Pengolahan Data Light Detection and Ranging (LiDAR) Airbone Laser Scanning untuk Ekstraksi Digital Terain Model (DTM) Studi Kasus Kalimantan Tengah (Pradono, K.A., dkk.)
4. KESIMPULAN Rancang bangun sistem pengolahan data lidar telah diimplementasikan pada tahun 2015. Sistem ini dibangun dengan software open source lidar2dems dengan kerja sama LAPAN dan AGS. Kendala yang dihadapi sistem pengolahan ini adalah resource memory dan storage untuk pengolahan data yang cukup besar karena data LAS yang diolah tiap jalur terbang sangat besar. Beberapa data juga mengalami gagal proses saat classify. Untuk pengembangan kedepan terdapat peluang multiprocessing untuk efisiensi resource dan percepatan pengolahan.
5. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Drs. Kustiyo, M.Si, yang telah menyediakan fasilitas pengolahan datanya dan Steven Hagen berbagai training, diskusinya selama melakukan eksperimen.
DAFTAR PUSTAKA
Habib, A.F., Al-Durgham, M., Kersting, A. P., dan Quackenbush, (2008).Error Budget LiDAR Systems and Quality Control of The Derived Point Cloud,Departement of Geomatics Engineering, University of Calgary. TheInternational Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Vol. XXXVII, Part B1, Beijing. Harding, (2009).Topographic Laser Ranging and Scanning Principles and Processing: Pulsed Laser Altimetric Ranging Techniques and Implication for Terrain Mapping. CRC Press, New York. Kilian, J., Haala, N., dan Englich, M., (1996). Capture and evaluation of airborne laser scanner data,Int. Arch. Photogramm. Remote Sens., 31:383-388. Keqi, Z., Shu-Ching, C., Member, Dean, W., Mei-Ling, S., Jianhua, Y., dan Chengcui, Z., (2003). A Progressive Morphological Filter for Removing Nonground Measurements From Airborne LIDAR Data. Transactions On Geoscience And Remote Sensing. 41(4).
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Moderator Judul Makalah
: :
Pemakalah Diskusi:
:
Dr. Rahmat Arief, Dipl.Ing. Rancang Bangun Sistem Pengolahan Data Light Detection and Ranging (LiDAR) Airbone Laser Scanning untuk Ekstraksi Digital Terain Model (DTM) Studi kasus Perkebunan Kelapa Sawit Kalimantan Tengah Kuncoro Adi Pradono (LAPAN)
Pertanyaan: Dr. Tatik Kartika (LAPAN): Line harus lurus kemudian terputus itu kenapa? Jawaban: Terkadang di file shp nya ada yang bolong-bolong jadi gagal classify-nya. Pertanyaan: Haris Suka Dyatmika (LAPAN): Kenapa gagal proses classify? Jawaban: Karena tidak ada data yang pada density image tidak terbentuk dan pada segi hardware-nya Pertanyaan: Ita Carolita (LAPAN): Apakah LAPAN masih kerjasama dengan AGS? Dan Data masih bisa diambil? Jawaban: Kerjasamanya hanya berupa pengolahan data saja. Pada tahun 2015 LAPAN dan AGS kerjasama untuk membangun Software-nya dan datanya bisa di-request.
-271-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Pemanfaatan Data Resolusi Sangat Tinggi Pleiades untuk Identifikasi Saluran Irigasi Application of Pleiades Very High Resolution Data for Irrigation Channel Identification Udhi C. Nugroho1*) dan Bambang Trisakti1 1
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN *)
E-mail:
[email protected]
ABSTRAK -Berdasarkan statistik lahan pertanian tahun 2014 yang di keluarkan oleh Kementerian Pertanian, pada tahun 2013 Indonesia mempunyai 8.132.345,91 hektar lahan sawah. Dari total lahan sawah tersebut ada 4.417.581,92 hektar yang merupakan sawah irigasi. Sehingga inventarisasi dan pengelolaan saluran irigasi perlu dilakukan untuk mendukung program nasional ketahanan pangan dan mencapai swasembada pangan. Saluran irigasi terdiri dari beberapa jenis saluran, yaitu saluran irigasi primer, sekunder, dan tersier. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan kajian kemampuan citra satelit resolusi sangat tinggi Pleiades untuk identifikasi saluran irigasi di Kabupaten Sukoharjo.Identifikasi saluran irigasi dilakukan dengan membuat komposit RGB dengan kombinasi manual dan membuat komposit dengan metode Spectral Processing Exploitation and Analysisi Resources - Line of Comunication for Water (SPEAR LOC-Water) untuk menajamkan penampakan saluran air dan tubuh air. Komposit manual dibuat untuk komposittrue color dan beberapa komposit false color, selanjutnya semua komposit yang dibuat dibandingkan untuk mendapatkan komposit yang paling dapat mengidentifikasi saluran air dan membedakan dengan objek disekitarnya. Hasil memperlihatkan bahwa komposit false color menggunakan menggunakan kombinasi (Blue, Red dan NIR) dan komposit dengan metode SPEAR LOC-Waterdapat membuat perbedaan spektral antara objek air dengan objek lainnya semakin tinggi, sehingga saluran air dapat diindentifikasi dengan cukup akurat, walaupun sedikit permasalahan dengan kemiripan kenampakan saluran air dan jalan aspal. Penggunaan kunci interpretasi asosiasi untuk posisi, lokasi dan bentuk saluran air dapat mempermudah identifikasi dan meningkatkan akurasi Kata kunci:penginderaan jauh, pleaides, saluran irigasi, komposit kanalfalse color ABSTRACT - Based on 2014 statistics of agricultural land that is issued by the Ministry of Agriculture, in 2013 Indonesia has 8,132,345.91 hectares of paddy fields. Of the total rice area of 4,417,581.92 hectares are irrigated rice. Sothe inventory and management of irrigation canal need to be done to support the national program for food security and food self-supporting. Irrigation channel consists of several types of canals, there are primary canal, secondary canal, and tertiary canal. Therefore, in this research study of the ability of very high resolution Pleiades satellite imagery for irrigation canals identification in the Sukoharjo area. Identification of irrigation canals is done to make an RGB composite combined manual and create a composite with the method Spectral Exploitation and Analysisi Processing Resources - Line of Communications for Water (SPEAR LOC-Water) to sharpen the appearance drains and water bodies. Composite manual created for true color composites and some false color composite, then all composites are made compared to obtain a composite that most can identify irrigation and distinguish surrounding objects. The results showed that the false color composite using a combination (Blue, Red and NIR) and composite with methods SPEAR LOC-Water can make the difference spectral between objects of water with other objects getting higher, so that the irrigation can be identified accurately enough, although a little problem with similarity of appearance irrigation and road asphalt. Use of the key interpretation of the association for position, location and shape of the irrigation can make easy for identification and improve the accuracy of identification results Keywords: remote sensing, Pleiades, irrigation canal, false color band composite
1.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara agraris dimana sektor pertanian dalam tatanan pembangunan nasional memegang peranan penting dalam menyediakan bahan pangan bagi seluruh penduduk. Pembangunan pada sisi pertanian menjadi bagian penting dalam pembangunan nasional secara umum. Berdasarkan data statistik pertanian luas lahan sawah di Indonesia pada tahun 2013 adalah 8.132.345,91 Ha dan 4.417.581,92 Ha (54.32%) nya merupakan sawah irigasi, sisanya 3714763.99 Ha (45.68%) merupakan sawah non irigasi (Pusdatin, 2014). Dengan sebagian besar lahan sawah di Indonesia adalah sawah irigasi maka perlu adanya pengelolaan jaringan irigasi agar air bisa terdistribusi dengan baik dan merata. Salah satu bagian dari pengelolaan tersebut adalah pemetaan jaringan irigasi yang sudah ada.Hal ini diperlukan agar irigasi yang sudah ada dapat digunakan secara efisien, karena irigasi memanfaatkan sebesar 87 persen dari total
-272-
Pemanfaatan Data Resolusi Sangat Tinggi Pleiades untuk Identifikasi Saluran Irigasi (Nugroho, U.C., dkk)
penggunaan air untuk berbagaikeperluan di Indonesia dengan kecenderungan yang semakin menurun karenameningkatnya pertumbuhan permintaan terhadap air di luar irigasi (Pasandaran, 2005). Keberadaan lahan beririgasi seharusnya dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil pertanian pada lahan tersebut sehingga berdampak pada kesejahteraan masyarakat setempat (Purwanto, 2013). Pembagian jaringan irigasi terdiri jaringan utama yang merupakan jaringan irigasi yang berada dalam satusistem irigasi mulai dari bangunan utama, saluran induk/primer, saluran sekunder, dan bangunan sadap serta bangunan pelengkap lainnya. Saluran primer adalah saluran yangmembawa air dari bangunan utama ke saluran sekunder dan ke petak–petak tersieryang diairi. Saluran sekunder adalah saluran yang membawa air dari saluran primer kesaluran tersier dan petak–petak tersier yang diairi. Sedangkan jaringan tersiermerupakan jaringan irigasi yang berfungsi sebagai prasarana pelayanan air di dalampetak tersier yang terdiri dari saluran pembawa disebut saluran tersier, saluran pembagiyang disebut saluran kuarter dan saluran pembuang (Robert danSjarief, 2005). Pada saat ini pemetaan jaringan irigasi di Indonesia masih mengandalkan pengamatan langsung di lapangan yang datanya kemudian diolah kembali menggunakan perangkat GIS (Oktavianti dkk., 2014; Kono dkk., 2014; Apriana dkk., 2014). Hal tersebut akan memberikan kendala lamanya waktu apabila dibutuhkan pemetaan secara rapid mapping, serta membutuhkan kebutuhan pendanaan yang cukup mahal untuk kebutuhan survei lapangan. Oleh karena itu teknologi penginderaan jauh dapat berperan serta dalam mengidentifikasi jaringan irigasi dengan kelebihan cakupan wilayah yang lebih luas, dapat dilakukan pemantauan berkelanjutan, serta kebutuhan pendanaan yang lebih murah dibandingkan dengan survei lapangan. Salah satu citra satelit penginderaan jauh yang dapat digunakan untuk melakukan pemetaan jaringan irigasi adalah citra satelit Pleiades. Saat ini terdapat dua satelit Pleiades yang mempunyai spesifikasi yang sama, yaitu satelit Pleiades 1A yang diorbitkan pada tahun 2011 dan satelit Pleiades 1B yang diorbitkan pada tahun 2012. Tabel 1.Spesifikasi Satelit Pleiades Kanal Band 1 – Blue Band 2 – Green Band 3 – Red Band 4 – NIR Panchromatic
Panjang Gelombang 430-550 nm 490-610 nm 600-720 nm 750-950 nm 480-830 nm
Resolusi 2m 2m 2m 2m 0.5 m
Citra Satelit Pleiades mempunyai 4 kanal multispektal dengan resolusi spasial 2 m dan kanal Panchromaticdengan resolusi spasial 0.5 m (Tabel 1). Dengan spesifikasi tersebut, citra satelit Pleides diharapkan mampu untuk mengidentifikasi jaringan irigasi. Serta dengan variasi kanal, mampu mendeteksi keberadaan jaringan irigasi baik secara pengamatan visual, digital atau gabungan keduanya. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi jaringan irigasi menggunakan data citra Pleiades.
2.
METODE
Penelitian ini menggunakan data citra satelit Pleiades Pansharpened dengan resolusi 0.5m yang diakuisisi tanggal 18 Maret 2015 dengan wilayah kajian adalah Kabupaten Sukoharjo. Untuk mendapatkan informasi jaringan irigasi dilakukan identifikasi secara manual yang didasarkan pada citra satelit Pleiades yang sudah diolah menjadi komposit RGB tertentu, sehingga saluran irigasi dapat dibedakan secara jelas dengan obyek lainnya. Pada penelitian ini, komposit RGB false color yang digunakan terdiri dari dua metode yaitu, metode kombinasi Kanal Blue, Red, NIR dan metode berdasarkan Spectral Exploitation and Analysisi Processing Resources - Line of Communications for Water (SPEAR LOC-Water). Untuk mendapatkan kombinasi RGB yang tepat, pertama kali yang dilakukan adalah mengambil nilai spektral pada obyek saluran irigasi, dan obyek–obyek lainnya yang secara visual mirip dengan saluran irigasi. Dalam hal ini, obyek yang mirip dengan saluran irigasi adalahjalan tanah, jalan beraspal, vegetasi, dan bayangan.
-273-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 1. Grafik Nilai Spektral Obyek pada Data Citra Pleiades
Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa semua obyek kecuali bayangan mempunyai kemiripan pola spektral pada kanal red dan kanal green. Sedangkan pada kanal blue dan kanal NIR, pola spektral semua obyek mulai berbeda. Khusus untuk pola spektral irigasi dengan jalan aspal, sangat berhimpit pada kanal red dan green, dan pada kanal blue nilai spektral jalan aspal sedikit lebih tinggi daripada irigasi, kemudian pada kanal NIR nilai spektral nya hampir sama. Berdasarkan pola spektral masing-masing obyek tersebut, maka dibuat suatu algorithma komposit RGB agar obyek irigasi tampak lebih jelas pada citra dengan cara meninggikan nilai spektral pada kanal Red karena pada kanal tersebut nilai spektral obyek irigasi paling tinggi. Algoritma komposit RGB yang digunakan adalah, R = 2 x (Red + NIR) G = Red B = Red – Blue. Sedangkan metode SPEAR LOC – Water, adalah metode yang bertujuan untuk menonjolkan obyek air menggunakan data multispektral. Metode ini dapat diproses dengan software Envi, menggunakan toolboxSPEAR LOC – Water Wizard (ENVI, 2014). Hasil dari proses SPEAR LOC – Water Wizard adalah 3 single band PCA yang kemudian akan disusun menjadi komposit RGB.
3.
HASILDAN PEMBAHASAN
Identifikasi saluran irigasi menggunakan data citra Pleiades memerlukan komposit RGB yang menonjolkan saluran irigasi, karena pada komposit RGB true color penampakan saluran irigasi masih mirip dengan beberapa obyek lainnya. Pada saluran irigasi yang kondisi air nya keruh penampakannya mirip dengan jalan tanah, sedangkan pada saluran irigasi yang kondisi airnya jernih penampakannya mirip dengan jalan aspal dan bayangan. Hal ini terjadi karena nilai spektral obyek–obyek tersebut hampir sama pada kanal red, green, blue. Untuk memudahkan analisis, penyajian gambar komposit RGB false color akan di fokuskan pada 3 wilayah.
1
2
3
Gambar 2. Citra Pleiades RGB 321 True Color
-274-
Pemanfaatan Data Resolusi Sangat Tinggi Pleiades untuk Identifikasi Saluran Irigasi (Nugroho, U.C., dkk)
Sehingga diperlukan komposit RGB false color yang dapat menampilkan saluran irigasi dengan lebih menonjol. Berdasarkan komposit RGB R = 2 x (Red + NIR) G = Red B = Red – Blue, saluran irigasi dapat terlihat lebih jelas dengan warna biru gelap, sedangkan jalan aspal tampak lebih cerah.Vegetasi berwarna merah, dan untuk tanah terbuka berwarna biru cerah. Sedangkan untuk jalan tanah berwarna putih kebiruan.
Gambar 3. Perbandingan Antara Citra Pleiades Komposit RGB 321 (atas) dengan Komposit RGB R = 2 x (Red +
NIR) G = Red B = Red – Blue (bawah) Sedangkan untuk komposit RGB menggunakan hasil SPEAR LOC – Water Wizard, saluran irigasi tampak berwarna hijau, hampir sama dengan jalan aspal. Selain itu juga penampakan citra yang dihasilkan cenderung lebih kabur.
Gambar 3. Perbandingan Antara Citra Pleiades Komposit RGB 321 (atas) dengan Komposit RGB 123 Band PCA Hasil SPEAR LOC - Water (bawah)
-275-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Berdasarkan kedua komposit RGB false color tadi, saluran irigasi dapat dilihat lebih menonjol dengan menggunakan komposit RGB R = 2 x (Red + NIR) G = Red B = Red – Blue. Walaupun pada beberapa lokasi ada kemiripan dengan jalan aspal. Sehingga untuk melakukan identifikasi perlu menggunakan kuncikunci interpretasi yang menjadi ciri bahwa obyek tersebut adalah saluran irigasi. Tabel 1. Ciri–Ciri Saluran Irigasi pada Citra Pleiades Ciri - Ciri Berbentuk lurus sedikit berkelok
Penampakan pada citra Pleiades
Melewati bawah jalan
Terdapat jembatan
Saluran irigasi berbentuk garis-garis lurus dengan sedikit berkelok atau lengkungan berbeda dengan sungai yang berbentuk berkelok-kelok, hal ini karena saluran irigasi dibangun oleh manusia, sedangkan sungai dibentuk oleh proses alam. Kemudian saluran irigasi apabila bertemu dengan jalan, maka saluran irigasi melintas di bawah jalan atau jalannya dalam bentuk jembatan. Pada saluran irigasi juga terdapat jembatan-jembatan kecil yang biasa untuk jalur transportasi petani. Ciri-ciri saluran irigasi tersebut dapat lebih jelas dilihat pada tabel 1. Informasi jaringan irigasi yang didapatkan dari citra satelit penginderaan jauh resolusi tinggi dapat bermanfaat sebagai salah satu masukan dalam pengelolaan aset irigasi sebagai salah satu komponen aset irigasi (Arif, 2007). Informasi jaringan irigasi ini selain untuk mengetahui persebaran jaringan irigasi yang ada pada saat ini juga bisa digunakan untuk perencaraan pembangunan irigasi secara efektif dan efisien.
4.
KESIMPULAN
Kesimpulan pada penelitian ini adalah : a. Saluran irigasi dapat diidentifikasi lebih jelas menggunakan komposit RGB R = 2 x (Red + NIR) G = Red B = Red – Blue dibandingkan dengan menggunakan komposit RGB 321(true color) maupun komposit RGB 123 band PCA hasil proses SPEAR LOC – Water b. Saluran irigasi mempunyai kemiripan dengan jalan beraspal, untuk membedakannya perlu menggunakan kunci-kunci interpretasi
-276-
Pemanfaatan Data Resolusi Sangat Tinggi Pleiades untuk Identifikasi Saluran Irigasi (Nugroho, U.C., dkk)
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh atas dukungannya dalam penelitian ini dan Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh atas data citra Pleiades yang dapat kami gunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Apriana, I.W., Piarsa,A.K.,Nyoman, I., dan Bayupati, I.,P.,A., (2014). Aplikasi Geografis Pemetaan Bangunan dan Jaringan Irigasi Berbasis Mobile Android. Jurnal Merpati, 2(1):12 – 17 Arif, S.S., Prabowo, A., Suprato, A., dan Kuniawan, J., (2007). Perencanaan Manajemen Aset Irigasi (PMA): Pengembangan dan Konsepsinya di Indonesia. Jurnal Keteknikan Pertanian, 21(1):45 - 56 Gleyzes, M.A., Perret, L., dan Kubik, P. (2012). Pleiades system architecture and main performances. Proceedings of International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, XXII ISPRS Congres, Meuolbore, Australia Kodoatie, Robert J., dan Sjarief, R., (2005). Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Yogyakarta : Penerbit Andi Kono, A.S., Rumambi, D.P., Pakasi, S. dan Wulur, H., (2014). Analisis Jaringan Irigasi Bendungan Sangkub Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Berbasis Spasial. Jurnal COCOS, 4(5) Lillesand, Thomas M., Kiefer, Ralph W., dan Chipman, J.W., (2015). Remote Sensing and Image Interpretation : Seventh Edition. USA: Willey Oktavianti, Subari, dan Yulius, E., (2014).Pemetaan Jaringan Irigasi Daerah Jawa Barat Berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG). Jurnal Bentang, 2(1):53 – 65 Pasandaran, E., (2005). Pengelolaan Infrastruktur Irigasi Dalam Kerangka Ketahanan Pangan Nasional. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, 5(2):126 – 149 Purwanto, M.Y.J., Subari, dan Nur, F.F., (2013). Pengembangan Prasarana Irigasi Untuk Peningkatan Produktivitas Lahan di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Jurnal Irigasi, 8(1):35 - 45 Pusdatin Kementerian dan Pertanian, (2014). Statistik Lahan Pertanian Tahun 2009 – 2013. Jakarta:Pusdatin Kemenpan
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat presentasi diskusi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Moderator Judul Makalah Pemakalah Diskusi
: D. Heri Yuli Sulyantara : Pemanfaatan Data Resolusi Sangat Tinggi Pleiades untuk Identifikasi Saluran Irigasi : Udhi C. Nugroho (LAPAN) :
Pertanyaan: La Ode (Universitas Halu Oleo): Apakah dengan metode ini bisa mengidentifikasi saluran irigasi yang rusak? Jawaban : Tidak bisa mengidentifikasi dengan kemampuan resolusi spasial 0.5m, tapi bisa mengidentifikasi efek kerusakannya, seperti evaporasi yang menurun di lahan sawah sekitarnya. Ada algoritma yang digunakan untuk menghitung evaporasi, misalnya menggunakan Citra Landsat untuk melihat penurunan evaporasi. Pertanyaan: Masagus (Kementerian PUPR): Sulit untuk identifikasi saluran irigasi yang rusak, sehingga harus melakukan survey lapangan. Apa ada metode yang digunakan? Jawaban : Identifikasi sedang dilakukan dan sedang kerjasama dengan Balai Irigasi Kementerian PU dan Perumahan Rakyat dengan lokasi di Merauke. Baru dilakukan tahap interpretasi awal, belum disesuaikan survey lapangan dan baru selesai. Jadi belum ditampilkan pada presentasi ini.
-277-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Uji Akurasi Foto Udara dengan Menggunakan Data UAV pada Kawasan Padat Pemukiman Penduduk (Studi Kasus: Kawasan Padat Sayidan, Daerah Istimewa Yogyakarta) Accuration Test of UAV’s Aerial Photo in Densely Populated Areas (Case Study: Sayidan, Special Province of Yogyakarta) Anggara Setyabawana Putra1*), Edwin Maulana4,6, Aries Dwi Wahyu Rahmadana5, Theresia Retno Wulan2,6,7, I Wayan Wisnu Yoga Mahendra3, dan Mega Dharma Putra6 1
Ilmu Statistika Konsentrasi Manajemen Kebencanaan, Universitas Islam Indonesia 2 Badan Informasi Geospasial 3 Geografi dan Ilmu Lingkungan, Universitas Gadjah Mada 4 Magister Manajemen Bencana, Universitas Gadjah Mada 5 Magister Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai, Universitas Gadjah Mada 6 Parangtritis Geomaritime Science Park 7 Program Doktor Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada *)
E-mail:
[email protected]
ABSTRAK - Data foto udara dapat digunakan sebagai data pendukung untuk melakukan pemetaan dengan skala detil, karena memiliki resolusi spasial yang tinggi. Namun pada prakteknya, tingkat akurasi dari foto udara kurang diperhatikan, sehingga analisis yang dilakukan kurang maksimal dan tidak sesuai dengan kaidah kartografis. Penelitian ini dilakukan untuk menguji presentase akurasi data foto udara dengan menggunakan UAV tipe quadcopter. Wilayah kajian penelitian adalah di kawasan padat Sayidan, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemotretan dilakukan pada tinggi jelajah 52,4m. Hasil akurasi foto udara dengan menggunakan wahana quadcopter menunjukkan bahwa akurasi foto udara yang dihasilkan lebih dari 85%. Kata kunci: akurasi, foto udara, UAV ABSTRACT - Aerial photographs data could be used as supporting data for mapping with detailed scale, because it has a high spatial resolution. However, in practice, the accuracy of aerial photographs is less noticeable, so the result analysis is not good enough and not in accordance with cartographic rules. This study was conducted to test the percentage of aerial photograph data accuracy using UAV (quadcopter). This research was held in densely populated area namely Sayidan, Yogyakarta. The quadcopter flies in height of 52,4 m to take the photo. The results shows that the accuracy of aerial photographs produced is more than 85%. Keywords: accuracy, aerial photo, UAV
1.
PENDAHULUAN
Metode penginderaan jauh dewasa kini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Perkembangan itu meliputi alat atau instrumen pengambilan data dan juga proses pengolahan data dengan menggunakan perangkat lunak komputer. Teknologi pengambilan data berupa foto (fotogrametri) untuk kepentingan pemetaan yang kini sedang berkembang pesat adalah teknologi Unmanned Aerial Vehicle (UAV) (Haala dkk.,2011). Unmanned Aerial Vehicle (UAV) dan fotogrametri digital merupakan sebuah teknologi pemetaan wilayah yang terbaru. UAV memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan teknologi pemetaan lainnya, yaitu murah, sederhana dan mudah dibawa berpindah-pindah (mobile) (Berteska dan Ruzgiene, 2013). Selain itu, juga dapat digunakan dalam situasi yang memiliki resiko tinggi seperti lokasi-lokasi yang sulit terjangkau serta masih berpotensi untuk dikembangkan. Sensor UAV tidak seperti sensor satelit. Berbeda dengan satelit yang memiliki beragam jenis sensor dan resolusi spektral dari menengah (multi spektral) hingga sangat tinggi (hiperspektral), sensor pada UAV masih sangat terbatas dan masih terus berkembang (Ramadhani dkk., 2015). UAV secara konfigurasi airframe dibagi menjadi dua, yakni fixed-wing dan rotary-wing(rotor).Multicopter adalah salah satu hasil pengembangan dari UAV jenis rotary-wing. UAV multicopter menggunakan dua atau lebih rotor. Jenis-jenis multicopterdiantaranya adalah Bicopter (2 rotor), Tricopter (3 rotor) dan Quadcopter (4 rotor). UAV jenis multicopter mempunyai banyak keunggulan. Wahana jenis rotary-wings atau multirotorcopter memiliki
-278-
Uji Akurasi Foto Udara dengan Menggunakan Data UAV pada Kawasan Padat Pemukiman Penduduk (Studi Kasus: Kawasan Padat Sayidan, Daerah Istimewa Yogyakarta) (Putra, A.S., dkk.)
keunggulan pada kemampuan manuver yang tinggi, mengacu padakemampuannya untuk mempertahankan posisi (hover) dan mengubah arah terbang di sekeliling pusat rotasi (Ramadhani dkk., 2015). UAV bertipe Quadcopter memiliki keunggulan tersendiri yakni dapat bergeraklebih stabil dan dapat terbang secara vertikal, sehingga untuk pemotretan dikawasan-kawasan tertentu, seperti kawasan padat pemukiman dapat dilakukan dengan lebih mudah. Efek sidelap-overlap (area pertampalan) juga dapat terpenuhi dengan baik, karena kecepatan UAV tidak terlalu tinggi sehingga foto udara yang dihasilkan juga lebih bagus.
Gambar 1. Flight Path Sumber: Hickin, 2014
Overlap merupakan tumpang tindih foto, meliputi areal yang sama dalam satu jalur terbang, sedangkan sidelap adalah tumpang tindih antara foto-foto yang berdekatan dalam jalur penerbangan pararel (Philipson dan Philpot, 2012). Efek overlap dalam jalur penerbangan foto udara sebesar 60%, sedangkan untuk sidelap sebesar 25-30% (Hickin, 2014). Pada Gambar 1 dapat diamati bahwa foto nomor 1 dan 2 menunjukan efek overlap, sedangkan foto nomer 6 dan 7 menunjukan efek sidelap. Permasalahan yang sering dihadapi pada saat dilakukan proses pemotretan foto udara adalah relief displacement. Relief displacement biasa disebut juga distorsi geometri adalah jarak dua foto udara akibat perbedaan elevasi (Schenk, 2005; Devi dan Veena, 2014).
Gambar 2. Relief Displacement Sumber : Devi dan Veena, 2014
Foto udara kualitas tinggi merupakan salah satu faktor signifikan untuk efisiensi dan standar kualitas produk pemetaan, seperti Digital Elevation Model (DEM) dan Ortho-images. Kualitas data DEM dan Ortofoto dipengaruhi oleh resolusi kamera, ketinggian terbang, dan akurasi Ground Control Points (GCP)(Berteska dan Ruzgiene, 2013). Kamera yang digunakan sebagai instrument pemotretan pada UAV memiliki resolusi dan tingkat akurasi yang berbeda-beda. Penelitian ini dilakukan untuk menguji tingkat
-279-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
akurasi foto udara dari hasil pemotretan dikawasan padat pemukiman penduduk Sayidan, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan menggunakan UAV bertipe Quadcopter
2. METODE 2.1 Instrumen UAV UAV yang digunakan dalam penelitian ini adalah DJI Phantom 3 profesional, yang merupakan wahana jenis multirotor (Quadcopter). Jumlah baling-balingwahana ini berjumlah empat, dengan berat 1280 gr (include battery and propelers). Proses pengoprasian wahana ini membutuhkan dua orang operator. DJI Phantom 3 Profesional belum dilengkapi dengan aplikasi untuk penentuan jalur terbang, maka proses pemotretan dilakukan secara manual dengan memperhatikan aspek sidelap dan overlap.
Gambar 3. DJI Phantom 3 Professional Sumber: Putra, 2016
DJI Phantom 3 profesional dilengkapi spesifikasi teknis yang lebih canggih dibandingkan dengan tipe DJI Phantom sebelumnya (tipe 1 dan 2). Penggunaan DJI Phantom 3 profesional lebih mudah dengan menggunakan remote kontol dan informasi terkait performa dapat dikontrol dari aplikasi softwareyang dapat diakses menggunakan smartphone. Penggunaan ruang yang sempitpun dapat digunakan untuk menerbangkan UAV tersebut. UAV tipe quadcopter ini memiliki kemampuan manuver yang tinggi dan dapat terbang dalam posisi tetap atau biasa dikenal dengan istilah hovering. Tabel 1 menunjukkan spesifiasi UAV dan kamera yang digunakan pada DJI Phantom 3 profesional. Tabel 1.Spesifikasi UAV dan kamera Spesifikasi UAV Jenis
Quadcopter
Sensor
Spesifikasi Kamera Sony EXMOR 1/2.3”
Kecepatan
1280 (include battery and propellers) 16m/s
Durasi Terbang
23 menit
Resolusi foto
4000x3000 pixel
Energi /Voltage
Intelligent Flight Battery 68 Wh / 15.2 V
Format foto
JPEG, DNG
Jarak Transmisi remot kontrol
3 KM
Iso
100 - 1600
Berat
Sumber: http://www.dji.com/product/phantom-3-pro/info
2.2 Wilayah Kajian
-280-
Lens
FOV 940 20mm
Resolusi
12.4 MP
Uji Akurasi Foto Udara dengan Menggunakan Data UAV pada Kawasan Padat Pemukiman Penduduk (Studi Kasus: Kawasan Padat Sayidan, Daerah Istimewa Yogyakarta) (Putra, A.S., dkk.)
Kampung Sayidan, berada di Desa Prawirodirjan, Kecamatan Gondomanan, KotaYogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara geografis terletak 7°48'09.8"S 110°22'12.1"E. Masyarakat kampong Sayidan menurut sejarah adalah pendatang dari etnis arab. Orang Jawa menyebut etnis Arab tersebut sebagai sayid, maka terbiasalah sebutan Sayidan (sayid-an), namun berdasarkan studi lapangan yang telah dilakukan, mayoritas penduduk Sayidan merupakan orang Jawa. Kampung Sayidan sebelah utara berbatasan dengan Desa Ngupasan, Sebelah timur berbatasan dengan Desa Wirogunan, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Keparakan dan sebelah barat berbatasan Kecamatan Kraton. Kampung Sayidan terletak di bantaran Sungai Code yang berhulu di Gunung Merapi. Karena posisi tersebut, Kampung Sayidan rawan akan bencana banjir. Permukiman padat Sayidan dipisahkan oleh Sungai Code yang secara landscape analysis permukiman berada pada gosong sungai, lembah sungai dan tanggul alam. Banjir yang melanda wilayah Sayidan terjadi pada permukiman yang dibangun pada gosong sungai dan sebagian lembah sungai. Kondisi Kampung Sayidan yang rawan banjir mendapatkan perhatian dari Pemerintah Kota Yogyakarta khususnya dalam penataan wilayah di bantaran sungai. Kampung Sayidan memiliki keunikan dari penataan wilayah pasca kejadian banjir tahun 2015 yaitu muka bangunan permukiman yang ada disarankan untuk menghadap ke sungai. Pengaturan muka permukiman diharapkan akan kewaspadaan dan kepedulian masyarakat Sayidan dalam menjaga Sungai Code. Pemotretan dilakukan di kawasan padat pemukiman Sayidan, Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 15 Juni 2016, dengan tinggi jelajah 172 FT (52, 4 Meter) pukul 10.53 WIB. Didapatkan 150 frame foto tegak. Setiap frame foto disusun menggunakan aplikasi pemetaan untuk memperoleh satu kawasan Sayidan. Foto tegak Kampung Sayidan memberikan gambaran detail wilayah kajian yang dapat diimplementasikan dalam perencanaan hingga antisipasi terhadap kejadian bencana. Deskripsi wilayah kajian dapat diamati pada Gambar 4.
Gambar 4. Deskripsi Wilayah Kajian Sumber: Maulana, 2016
2.3 Uji Akurasi Pengujian akurasi perlu dilakukan agar data yang didapatkan dari foto udara bisa dikatakan sesuai dengan kondisi di lapangan. Secara teknis perhitungan akurasi dilakukan dengan memperbandingkan data hasil klasifikasi dengan kondisi lapangan (Ibrahim, 2014). Dengan demikian, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam uji akurasi data foto udara ini. Secara sederhana, tahapan uji akurasi dapat diamati pada Gambar 5.
-281-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Persiapan
Penentuan AOI (Area of Interest)
Koordinasi Tim
Pemotretan
Pengumpulan Data Foto
Koreksi Data Foto
Mozaik
Ortopotho
Koreksi Akurasi
Tidak Layak
Layak
Layout
Gambar 5. Diagram Alir Sumber: Putra, 2016
Pada tahapan koreksi akurasi, dilakukan perhitungan dengan menggunakan persamaan Omisi dan Komisi. Komisi adalah kondisi dimana hasi intepretasi lebih panjang/luas dari lapangan sedangkan Omisi adalah kondisi dimana hasil intepretasi lebih pendek/sempit dari lapangan (Ibrahim, 2014). Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :
Akurasi = 1 −
∆
100%
Dimana∆ = Interpretasi - Lapangan
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Deskripsi Kampung Sayidan Kampung Sayidan merupakan kawasan padat pemukiman penduduk yang berada di pusat Kota Yogyakarta. Kampung Sayidan terbagi menjadi tiga Rukun Warga, yakni RW 04, RW 05 dan RW 06. Potensi ekonomi yang ada di Kampung Sayidan adalah kerajinan dari tempurung kelapa berupa tas, kap lampu, aksesoris/perhiasan. Selain potensi ekonomi, Kampung Sayidan juga memiliki potensi bencana, berupa bencana banjir, karena letaknya di bantaran Sungai Code.
-282-
Uji Akurasi Foto Udara dengan Menggunakan Data UAV pada Kawasan Padat Pemukiman Penduduk (Studi Kasus: Kawasan Padat Sayidan, Daerah Istimewa Yogyakarta) (Putra, A.S., dkk.)
Gambar 5. Kawasan Sayidan Sumber: Putra, 2016
Secara visual (Gambar 5.), dapat diamati bahwa bangunan pemukiman kawasan Sayidan saling berhimpitan dikarenakan padatnya penggunaan lahan di kawasan tersebut. Sebagian besar penggunaan lahan di kawasan Sayidan adalah bangunan tempat tinggal permanen. Akses jalan untuk transportasi hanya bisa digunakan untuk kendaraan beroda dua. Keterbatasan lahan tersebut menyebabkan warga harus bisa memanfaatkan ruang semaksimal mungkin, sehingga banyak dijumpai warung-warung atau rumah makan yang bangunanya jadi satu dengan tempat tinggal.
3.2Proses Akuisisi Data Foto Udara Pemotretan dilakukan dengan menggunakan UAV tipe Quadcopter,pada pukul 10.53 WIB dengan ketinggian jelajah 172 FT didapatkan sebanyak 150 foto tegak kawasan Sayidan. Foto tegak hasil pemotretan yang nantinya digunakan untuk analisis dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Foto tegak kawasan Sayidan Sumber: Putra, 2016
Foto tegak hasil pemotretan sudah memuat titik koordinat, karena kamera yang terpasang di UAV sudah dilengkapi dengan fitur geotaging. Selanjutnya foto tegak diolah dengan menggunakan softwareAgisoft Photoscan untuk dilakukan proses mosaic sehingga didapatkan orthophoto kawasan Sayidan. Salah satu tahapan pengolahan foto udara dan hasil orthophoto dapat diamati pada Gambar 7.
-283-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 7. Poses orthophoto Sumber: Putra, 2016
Pemotretan dilakukan di sebagian kawasan Sayidan. Resolusi spasial yang didapatkan dari foto udara adalah 2,1 cm, menunjukkan bahwa resolusi spasial yang dihasilkan sangat tinggi. Selain orthophoto, juga didapatkan data Digital Elevation Model (DEM). Orthophoto dan DEM kawasan Sayidan dapat diamati pada Gambar 8.
Gambar 8. Orthophotodan DEM Sumber: Analisis, 2016
3.3Uji Akurasi Data Foto Udara Setelah didapatkan orthophoto kawasan Sayidan, selanjudnya dilakukan uji akurasi foto udara. Pemilihan sampel untuk objek amatan dilakukan dengan metode purposive sampling. Metode purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2005). Pertimbangan yang digunakan adalah efektifitas waktu, keterjangkauan pengukuran objek dan daya jelajah perangkat. Lokasi pengukuran dapat diamati pada Gambar 8.
-284-
Uji Akurasi Foto Udara dengan Menggunakan Data UAV pada Kawasan Padat Pemukiman Penduduk (Studi Kasus: Kawasan Padat Sayidan, Daerah Istimewa Yogyakarta) (Putra, A.S., dkk.)
Gambar 9. Lokasi Pengukuran Objek Sumber: Analisis, 2016
Pengukuran dilakukan secara interpretasi dan lapangan. Terdapat lima lokasi pengukuran untuk melakukan uji akurasi. Dari lima akurasi tersebut masing-masing diambil satu objek. Pada Tabel 2. dapat diamati ukuran objek hasil pengukuran baik itu secara interpretasi maupun pengukuran langsung di lapangan. Tabel 2. Pengukuran Objek Ukuran
No 1 2 3 4 5
Objek
Intepretasi (m)
PengukuranLap angan (m)
LebarJembatan
1,59 m
1,75 m
PanjangJembatan
18,9 m
18,10 m
PanjangAtap Seng 1
4m
4,12 m
PanjangAtap Seng 2
2m
2,07 m
2,7 m
2,42 m
PanjangTembok
Sumber : Analisis, 2016
Data hasil pengukuran pada Tabel 2. Kemudian dilakukan perhitungan dengan persamaan Komisi dan Omisi. Berikut adalah salah satu perhitungan objek berupa lebar jembatan dikawasan Sayidan. ∆
Akurasi = 1 − Akurasi = 1 − Akurasi = 1 −
,
100% ,
, , ,
100% 100%
Akurasi = 1— 0,0914286 100% Akurasi = [0,90857143] 100% Akurasi91 % ( ) Perhitungan dengan metode yang sama, dilakukan pada objek lainya. Yakni panjang jembatan, panjang atap seng (1 dan 2) dan panjang tembok. Hasil perhitungan kemudian dirangkum pada Tabel 3.
-285-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Tabel 3. Hasil Perhitungan Akurasi
No 1 2 3 4 5
Objek LebarJembatan PanjangJembatan PanjangAtap Seng 1 PanjangAtap Seng 2 PanjangTembok
Intepretasi (m) 1,59 m
Ukuran PengukuranLapangan (m) 1,75 m
-0,16 m
91%
18,9 m
18,10 m
0,8 m
96%
4m
4,12 m
-0,12 m
97%
2m
2,07 m
-0,07 m
97%
2,7 m
2,42 m
0,28 m
88%
∆
Akurasi
Sumber : Analisis, 2016
Nilai delta ∆ (delta) adalah selisih dari interpretasi dan pengukuran lapangan. Nilai minus pada delta tidak mempengaruhi perhitungan, dikarenakan persamaan Komisi dan Omisi memuat tanda mutlak. Dengan demikian perhitungan akurasi akan lebih akurat.
4.
KESIMPULAN
Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan dengan metode Omisi dan Komisi, didapatkan bahwa objek memiliki akurasi yang sangat tinggi. Pemotretan pada kawasan padat penduduk lebih cocok dengan menggunakan UAV tipe quadcopter. Hal ini disebabkan UAV dengan tipe quadcopter lebih stabil dalam menghadapi kondisi angin yang ekstrim. Hasil uji akuisisi menunjukkan bahwa pengambilan data UAV di Kawasan Padat Penduduk Sayidan menghasilkan data dengan resolusi 2,1 cm. Data ini lebih dari cukup untuk melakukan pemetaan detil. Hasil perhitungan akurasi dengan menggunakan metode omisi dan komisi menunjukkan bahwa ketelitian data yang dihasilkan lebih dari 83%.
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih diberikan kepada panitia penyelenggara seminar. Lebih lanjut, ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Badan Informasi Geospasial dan Parangtritis Geomaritime Science Park. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr.rer.nat. Junun Sartohadi dan Syamsul Bachri P.Hd yang selalu membimbing penulis hingga sekarang.
DAFTAR PUSTAKA Berteska, T., dan Ruzgiene, B.,(2013). Photogrammetric mapping based on UAV imagery. Geodesy and Cartography, 39(4):158-163. Devi, S., dan Veena., (2014). Measurement of Relief Displacement from Vertical Photograph. International Journal of Science, Engineering and Technology Research (IJSETR), 3(10). Haala, N., Cramer, M., Weimer, F., dan Trittler, M. (2011). Performance Test on UAV-Based Photogrammetric Data Collection. International Archives of The Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Science, XXXVIII-1/C22, 7-12. Hickin, E.J.,(2014). Maps and Mapping A cartographic manual: Third Edition. Department of Geography, Simon Fraser University with R.S.Graphics and Printings Ibrahim, F., (2014). Teknik Klasifikasi Berbasis Objek Citra Penginderaan Jauh untuk Pemetaan Tutupan Lahan Sebagian Kecamatan Mlati Kabupaten Sleman. Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Philipson, P., (2012).Remote Sensing FundamentalsPhotogrammetry. Cornell University . Ramadhani dkk., (2015). Pemetaan Pulau Kecil Dengan Pendekatan Berbasis Objek Menggunakan Data Unmaned Aerial Vehicle (UAV) Studi Kasus di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Majalah Ilmiah Globe Volume, 17(2):125-134. Schenk, T., (2005). Introduction to Photogrametry. The Ohio State University: Department of Civil and Environmental Engineering and Geodetic Science. Sugiyono(2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
-286-
Uji Akurasi Foto Udara dengan Menggunakan Data UAV pada Kawasan Padat Pemukiman Penduduk (Studi Kasus: Kawasan Padat Sayidan, Daerah Istimewa Yogyakarta) (Putra, A.S., dkk.)
Moderator Judul Makalah Pemakalah Diskusi
: Dedi Irawadi : Uji Akurasi Foto Udara Dengan Menggunakan Data UAV Pada Kawasan Padat Pemukiman Penduduk (Studi Kasus Kawasan Padat Sayidan, Daerah Istimewa Yogyakarta) : Anggara S. Putra (UII) :
Pertanyaa : Agus (PUPR) 1. Melihat dari jumlah sampling untuk uji akurasi terlalu sedikit sehingga adakah kemungkinan penambahan GCP? Pertanyaan: Danang (BIG) 2. Kenapa titik samplenya tidak menyebar secara merata? Jawaban : 1. Pemelihan sample berdasarkan purposing sample sehingga sesuai dengan keterbatasan yang dimiliki. 2. Karena dilokasi penelitian sedang terjadi konflik pemukiman sehingga sulit memperoleh informasi. Saran: F.B Habibi (UGM) Perlu memperbanyak titik GCM untuk DSMnya jika kurang bisa menggunakan Google Map
-287-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Teknik Rekonstruksi Informasi yang Hilang untuk Reflektan Aqua MODIS Band 6 The Technique of Missing Information Reconstruction for Band 6 Aqua MODIS Reflectance Andy Indradjad 1*), Noriandini Dewi Salyasari1, dan Rahmat Arief1 1
Pusat Teknologi dan Data Penginderaan jauh LAPAN *)
E-mail:
[email protected]
ABSTRAK - Data penginderaan jauh dapat mengalami kerusakan yang disebabkan oleh kerusakan sensor, ataupun kondisi atmosfir.Salah satu contoh kerusakan yang terjadi pada data citra penginderaan jauh adalah pada data Aqua Modis band 6 yang mengalami kegagalan sensor sehingga terdapat banyak informasi yang hilang. Teknik rekonstruksi informasi yang hilang pada data penginderaan jauh telah banyak dikembangkan dalam beberapa dekade terakhir. Penulisan ini bertujuan memberikan gambaran mengenai metode rekonstruksi informasi yang hilang. Metode yang digunakan dalam merekonstruksi informasi adalah dengan menggunakan metode berbasis spasial. Terdapat berbagai macam metode berbasis spasial, salah satunya adalah dengan menggunakan metode interpolasi NaN. Pada bagian hasil akan menunjukkan kemampuan metode interpolasi NaN dalam merekonstruksi data Aqua MODIS band 6 yang rusak. Kata kunci: data rekonstruksi, modis band 6, aqua ABSTRACT - The data of remote sensing might be broken caused by sensor or atmosphere condition. One of the damage occurs in Band 6 Aqua Modis was a sensor failure so there was a lot of missing information. The technique of reconstruction of the missing information has been developed within a last decade. This paper aims to provide the description about the technique of reconstruction of the missing information. The method used to reconstruct information was spatial method. One of the method used for fixing spatial base was NaN interpolation method. The result of this method will be observed in reconstruction of the broken of data Aqua Modis Band 6. Keywords: reconstruction data,modis band 6, aqua
1.
PENDAHULUAN
Pada tahun 2013, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)telah meningkatkan kapasitas stasiun bumi dan menerima (akuisisi) data satelit resolusi rendah, menengah dan tinggi untuk seluruh Indonesia seperti: Terra/Aqua, NPP, Landsat-7, LDCM, SPOT-5, SPOT-6, SPOT-7 melalui stasiun bumi satelit penginderaan jauh Parepare (Pusfatja,2015). Data satelit penginderaan jauh resolusi rendah yang dapat diperoleh secara gratis dari satelit Terra/ Aqua, sudah lama dimanfaatkan di Indonesia untuk pemantauan cuaca, kebakaran hutan, kekeringan lahan melalui kehijauan tanaman, hingga prediksi zona potensi penangkapan ikan (Kushardono,dkk, 2014). Melihat pemanfaatan data citra resolusi rendah begitu penting, maka diharapkan dengan data resolusi rendah yang dihasilkan oleh LAPAN dapat memberikan informasi yang jelas dan akurat juga. Salah satu data citra resolusi rendah adalah data citra MODIS yang terdiri dari 36 band spektral yaitu visible to infrared dengan panjang gelombang 0.415µm hingga 14.235 µm. Sedangkan nadir resolusi spasial terdiri dari 1000 m, 500m sampai dengan 250m. Data citra penginderaan jauh MODIS tidak hanya dapat dimanfaatkan untuk lahan, laut dan udara tetapi juga pada aplikasi, interdisiplin dan pengetahuan lingkungan (V.V.Salomonson dkk, 2006). Band-band yang terdapat pada titik nadir resolusi spasial 250 m terdiri dari band 1-2 dengan 40 detektor/band, sedangkan pada resolusi spasial 500 m terdiri dari band-band 3-7 (20 detektor / band), dan 1000m untuk band-band 8-36 (10 detektor / band). Band 1-19, dan 26 adalah Reflective Solar Bands (RSB)) dan yang lainnya adalah band yang memancarkan thermal (TEB). 36 band spektral didistribusikan, menurut panjang gelombang mereka pada empat focal plane assemblies (FPAs): terdiri data visible (VIS), near infrared (NIR), short- and mid-wave infrared (SMIR), dan long-wave infrared (LWIR ) (Xiong dkk, 2004).
-288-
Teknik Rekonstruksi Informasi yang Hilang untuk Reflektan Aqua MODIS Band 6 (Indradjad, A., dkk.)
Sedangkan untuk data citra resolusi rendah MODIS, pada citra satelit Aqua terdapat kerusakan pada salah satu nilai spektralnya yaitu pada band 6. Spesifikasi data citra MODIS dan Signal Noise Ratio dapat dilihat pada Gambar 1.Kerusakan band 6 Aqua MODIS diakibatkan 15 dari 20 detectors di panjang gelombang (1.628–1.652 µm) tidak dapat difungsikan atau terdapat noise. Noise diakibatkan adanya kerusakan sensor yang tidak efektif pada gelombang tersebut dan adanya pengaruh keadaan atmosfer. Kerusakan pada nilai spektral band 6 Aqua MODIS mengakibatkan adanya stripping. Hal tersebut merupakan masalah yang serius, dikarenakan stripping menyebabkan beberapa bagian atau informasi citra menjadi hilang, dan mengakibatkan hasil pemanfaatan tidak optimal (Wang, dkk, 2006). Tabel 1. Spesifikasi Citra MODIS dan Signal Ratio Band
Central Wavelength (µm)
Bandwith (µm)
1 2 3 4 5 6 7
0.645 0.858 0.469 0.555 1.240 1.640 2.130
06.20-0.670 0.841-0.876 0.459-0.479 0.545-0.565 1.230-1.250 1.628-1.652 2.105-2.155
Spectral Radiance (W/m2 - µm – sr) 21.8 24.7 35.3 29.0 5.4 7.3 1.0
SNR (Signal-to-Noise Ratio) 128 201 243 228 74 275 110
Gambar 1. Kegagalan Sensor pada Aqua MODIS Band 6
Pada Gambar 1 dapat dilihat pahwa kerusakan pada band 6 Aqua MODIS tampak menyeluruh pada data citra. Dari 20 detector yang terdapat pada citra hanya terdapat 5 detector yang valid sehingga diperlukan adanya rekonstruksi citra. Rekonstruksi citra band 6 Aqua MODIS adalah pembangunan ulang atau penyusunan ulang untuk mendapatkan output citra resolusi rendah Aqua MODIS yang lebih baik dengan melakukan proyeksi setalah diketahui nilai pergerakan piksel dari proses registrasi. Proyeksi ini dilakukan dengan proses perhitungan untuk memperoleh nilai piksel yang belum diketahui atau menyempurnakan nilai yang sudah diketahui (Frederick, 2005). Untuk merekonstruksi informasi yang hilang dari data citra penginderaan jauh merupakan salah satu isu hingga saat ini. Karena setiap piksel yang ada pada data penginderaan jauh sangat bernilai. Untuk itu dibutuhkan metode yang dapat memperkirakan nilai-nilai yang telah hilang dari piksel yang tersisa. Berbagai macam metode ditawarkan. Yang pertama menggunakan metode berbasis spasial yaitu metode tanpa menggunakan tambahan informasi dari citra lainnya. Metode yang kedua adalah berbasis nilai spektral yang mengekstrak informasi dari nilai spektral lainnya, jadi menggunakan informasi band lain dalam satu citra untuk merekonstruksi data. Metode yang ketiga adalah berbasis temporal yang menggunakan bantuan data lain yang diterima pada posisi yang sama dengan waktu yang berbeda/time series. Dan yang terakhir adalah menggunakan metode hybrid yaitu dengan menggabungkan dari tiga pendekatan metode yang sebelumnya. Dalam makalah ini, akan dibuat penulisan dari hasil penelitian merekonstrusi informasi yang hilang pada band 6 Aqua MODIS dengan menggunakan metode berbasil spasial. Metode berbasis spasial yang akan dicoba adalah metode interpolasi dengan menggunakan pengaruh nilai NaN.Nantinya hasil dari penelitian dari metode interpolasi itu akan dibandingkan dengan data asli yang
-289-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
telah diberi simulasi error dan diharapkan metode tersebut dapat dengan tepat mengembalikan informasi yang hilang dan dapat berfungsi secara operasional dan sesuai dengan kebutuhan.
2.
METODE
Metode yang digunakan dalam merekonstruksi informasi yang hilang dalam makalah ini adalah metode yang berbasis spasial.Salah satu metode spasial yang digunakan adalah metode interpolasi. Dalam bagian ini akan dijelaskan secara rinci mengenai metode spasial –interpolasi.
2.1 METODE SPASIAL Metode berbasis spasial merupakan salah satu metode yang sangat tradisional. Pada intinya metode ini adalah sebuah metode yang tidak menggunakan alat bantu atau sumber informasi lainnya dalam merekonstruksi informasi yang hilang. Metode berbasis spasial akan menggunakan bagian dari dirinya untuk melakukan perbaikan. Perbaikan data tersebut dengan melakukan pendekatan bahwa informasi yang hilang dan data yang tersisa berada pada struktur statistik dan geomatik yang sama (Shen dkk, 2015). Metode berbasis spasial akan memanfaatkan korelasi dari informasi lokal dan non lokal yang ada di dalamnya. Metode ini dapat juga dimanfaatkan dalam pengolahan data citra penginderaan jauh. Karena kurangnya referensi dalam menggunakan metode spasial, maka tujuan dari metode spasial ini pada intinya adalah kehalusan transisi antar bagian dalam citra seperti wilayah tepi yang berhubungan, tidak kabur dan tekstur yang konsisten.
2.2 METODE INTERPOLASI Salah satu metode spasial yang paling banyak digunakan dalam proses pengolahan adalah metode interpolasi. Metode interpolasi memegang peranan penting dalam manipulasi data citra digital. Interpolasi berarti melakukan proses pendekatan dalam pemetaan piksel-piksel data citra hingga memungkinkan terjadi perubahan. Pemetaan dalam hal ini berusaha untuk mendapatkan hasil yang terbaik dari piksel-piksel yang ada di sekitarnya. Hasil dari metode interpolasi akan sangat bervariasi bergantung dengan data input dan metode yang digunakan. Dalam konteks penginderaan jauh, interpolasi merupakan proses estimasi nilai piksel pada area yang tidak diukur untuk keperluan rekonstruksi data citra. Interpolasi spasial mempunyai dua asumsi yaitu atribut yang bersifat kontinu dan atribut yang saling berhubungan. Kedua asumsi tersebut dapat berimplikasi pada logika bahwa pendugaan atribut data dapat dilakukan berdasarkan data dari lokasilokasi di sekitarnya dan nilai pada piksel-piksel yang berdekatan akan lebih mirip daripada nilai piksel-piksel yang berjauhan (Syaeful, 2013). Algoritma yang biasa digunakan dalam metode interpolasi kali ini adalah dengan menggunakan metode interpolasi linier. Interpolasi linier adalah jenis interpolasi yang paling sederhana. Pada intinya interpolasi linier akan menghitung titik tengah antara dua titik. Interpolasi linier memiliki keuntungan yaitu proses pengolahan yang cepat dan mudah (Hadi, 2016). Interpolasi linier menerapkanurutan dari titik-titik hasil garis polygonal dimana setiap garis lurus menghubungkan dua titik berturut-turut. Oleh Karena itu setiap titik (P;Q) diinterpolasi secara independent dengan menggunakan rumus sebagai berikut: P(t) = (1-t). P + t.Q…………………………………………………………………………………….. (1) Dimana t adalah variasi dari 0 sampai 1 (Gomes A, 2010). Metode interpolasi linier yang digunakan adalah dengan menggunakan cara menghubungkan antar titik-titik data dengan NaN sehingga lebih banyak disebut dengan metode interpolasi NaN. Interpolasi NaN menawarkan beberapa pendekatan yang berbeda yang dapat memberikan timbal balik dalam akurasi, kecepatan dan memori yang dibutuhkan untuk menjalankan metode ini. Semua metode yang ada pada interpolasi NaN didasarkan pada aljabar linier dan PDE diskrit. Pendekatan yang digunakan dapat membangun sistem untuk melakukan perubahan pada setiap nilai array yang tidak diketahui dan merubahnya kepada nilai yang diketahui. Pada kasus array yang memiliki ukuran yang kecil, metode ini cukup cepat dan efisien. Adapun rincian metode interpolasi-NaN yang digunakan adalah sebagai berikut dan proses metode ini digambarkan pada Gambar 2: 1. Input Data Error: Data yang menjadi input dalam metode ini adalah data hasil akuisisi yaitu data reflektan band 6 Aqua MODIS.
-290-
Teknik Rekonstruksi Informasi yang Hilang untuk Reflektan Aqua MODIS Band 6 (Indradjad, A., dkk.)
2. Penentuan NaN Data: Menetukan terlebih dahulu nilai data yang error dan menggantinya dengan nilai NaN. 3. Pendekatan Matematis: Dilakukan penyelesaian dengan menghitung beda turunan parsial pada baris dan kolom data citra yang akan dikoreksi 4. Interpolasi: Melakukan penyelesaian dengan mengganti data NaN dari hasil perhitungan matematis dari nilai-nilai piksel di sekitarnya. 5. Data Hasil Koreksi: Data hasil rekonstruksi menggunakan metode interpolasi NaN
Input Data Error
Penentuan NaN Data
Pendekatan Matematis
Interpolasi
Data Hasil Koreksi
Gambar 2. Alur Metode Interpolasi NaN
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data yang digunakan dalam makalah ini adalah data band 6 Aqua MODIS pada tanggal 31 Mei 2016. Data tersebut nantinya akan diolah dengan menggunakan metode interpolasi NaN. Namun untuk mendapatkan nilai Peak Signal to Noise Ratio (PSNR) maka diperlukan data benar yang disimulasikan error. Untuk itu digunakan data band 6 Terra MODIS pada lokasi yang sama dan tanggal yang sama dengan band 6 Aqua MODIS yaitu pada tanggal 31 Mei 2016. Dari hasil uji coba rekonstruksi data menggunakan interpolasi NaN pada simulasi error band 6 Terra MODIS, didapatkan hasil seperti pada Gambar 3. Sedangkan hasil interpolasi NaN pada band 6 Aqua MODIS didapatkan hasil seperti pada Gambar 4. PSNR untuk simulasi error digambarkan pada Tabel 2. Dari hasil yang didapatkan, metode interpolasi-NaN mampu secara efektif melakukan rekonstruksi informasi yang hilang pada data citra penginderaan jauh yang terdapat error di dalamnya. Untuk data band 6 Aqua MODIS yang memiliki tingkat kesalahan yang tinggi dalam area yang luas juga dapat diperbaiki dan menghasilkan data yang benar menggunakan metode interpolasi NaN. Namun mengingat nilai PSNR yang didapat masih terbilang kecil, maka diperlukan kajian yang lebih dalam lagi dengan membandingkan dengan metode spasial atau spektral lainnya.
(a)
(b)
(c)
Gambar 3. Band 6 Terra MODIS. (a) Reflektan Band 6 Terra, (b) Simulasi Error Band 6 Terra dan (c) Hasil Interpolasi NaN
-291-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 4. Band 6 Aqua MODIS. (a) Reflektan Band 6 Aqua, (b) Hasil Interpolasi NaN Tabel 2. Nilai PSNR Data Band 6 Terra MODIS terhadap Data Asli File Data Simusi Error Data Hasil Koreksi
4.
PSNR (Peak Signal-toNoise Ratio) 29.18 44.29
KESIMPULAN
Tidak semua data resolusi rendah memiliki kualitas yang bagus. Salah satunya adalah data AQUA MODIS yang memiliki kegagalan sensor di salah satu nilai spektralnya di band 6, sehingga mengakibatkan adanya stripping dalam jumlah yang besar pada citra. Hal itu tentu mempengaruhi informasi yang akan dihasilkan. Dengan menggunakan metode interpolasi NaN pada data citra tersebut, didapatkan hasil yang efektif untuk merekonstruksi informasi yang hilang pada band 6 Aqua MODIS. Namun dengan masih kecilnya nilai PSNR pada data simulasi error sebesar 44.29, maka perlu dilakukan kajian yang lebih dalam lagi akan metode-metode rekonstruksi informasi yang hilang lainnya,sehingga didapatkan kualitas data yang bagus dan dapat menghasilkan informasi yang akurat kepada pengguna.
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih ditujukan kepada Tim Stasiun Bumi Pusat Teknologi dan Data LAPAN akan partisipasinya dalam kegiatan operasional penerimaan data resolusi rendah. Data resolusi rendah Aqua dan Terra MODIS digunakan dalam kajian metode yang terdapat dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA Frederick, W.,Ralph, T.H., Eamon, B.B., (2005).Super-Resolution Image Synthesis usingprojections onto Convex Sets in the Frequency Domain. IS&T/SPIE Symposium on Electronic Imaging, Conference on Computational Imaging. Vol. 5674. San Jose. hal. 479-490. Gomes, A., (2010). Geometric Computing. Interpolation Method, diunduh 7 Juni 2016 dari http://www.di.ubi.pt/~agomes/tcg/lectures/04-lecture.pdf Hadi, S., (2016). Metode Interpolasi dan Implementasinya Dalam Citra Digital, diunduh 6 Juni 2016 dari https://www.researchgate.net/publication/264846311 Hadi, S.B., (2013). Metode Interpolasi Spasial Dalam Studi Geografi. Geomedia, 11(2). Jurusan Pendidikan Geografi FIS UNY. Kushardono, D., Syarif, B., Trisakti, B., Suwarsono, Maryanto,A., Widipaminto, A., Khomarudin, R.M., Winanto. (2014). Menentukan Spesifikasi Sensor Satelit Penginderaan Jauh Nasional Berdasarkan Informasi Kebutuhan Pengguna. Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh.Bogor, Indonesia Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh,Tim. (2015). Sistem Pemantuan Bumi Nasional: Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh.LAPAN
-292-
Teknik Rekonstruksi Informasi yang Hilang untuk Reflektan Aqua MODIS Band 6 (Indradjad, A., dkk.)
Shen,H., Li, X., Cheng, Q., Zeng, C., Yang, G., dan Huifang, L., Zhang, L., (2015). Missing Information Reconstruction of Remote Sensing Data: A Technical Review.IEEE Geoscience and Remote Sensing Magazine. Salomonson,V.V., Barnes,W.L., Xiong,X., Kempler,S., dan Masuoka,E. (2002). An overview of the Earth Observing System MODIS instrument and associated data systems performance, in Proc. ARSS, pp. 1174–1176. Wang,L., Qu,J., Xiong, X., Hao, Xianjun., Xie, Yong, C., dan Nianzeng. (2006). A New Method For Retrieving Band 6 of Aqua MODIS. IEEE Geoscience and Remote Sensing Letters, 3(2). XiongX., ChiangK., Erives, H., Che, N., Sun, J., Isaacman, T. A., dan Salomonson,V.V., (2004).Status of Aqua MODIS on-orbit calibration and characterization.SPIE 5570, Sensors, Systems, and Next- Generation Satellites VIII, 317 doi:10.1117/12.564940
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskui presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016 Moderator Judul Makalah Pemakalah Diskusi
: Dr. Rahmat Arief, Dipl.Ing. : Teknik Rekonstruksi Informasi yang Hilang untuk Reflektan Aqua MODIS Band 6 : Andy Indradjad (LAPAN) :
Pertanyaan: Budhi Gustiandi (LAPAN) 1. Apakah bisa menggabungkan data yang rusak dengan data yang tidak rusak dari tanggal yang berbeda? Pertanyaan: Dr. Rahmat Arif, Dipl.Ing. (LAPAN) 2. Apakah bisa dijelaskan metode lain selain interpolasi untuk memperbaiki citra? Jawaban: 1. Bisa, Karena dengan menggunakan metode penggabungan data secara time series. Bahkan dengan band yang lain juga bisa. 2. Karena ini kegiatan awal, maka dimulai dari yang simple.
-293-