PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 109 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT TUMPAHAN MINYAK DI LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
: a. bahwa kegiatan di laut yang meliputi kegiatan pelayaran, kegiatan pengusahaan minyak dan gas bumi, serta kegiatan lainnya mengandung risiko terjadinya kecelakaan yang dapat mengakibatkan terjadinya tumpahan minyak yang dapat merugikan lingkungan laut sehingga memerlukan tindakan penanggulangan secara cepat, tepat, dan terkoordinasi; b. bahwa dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut), Pemerintah Indonesia berkewajiban mengembangkan suatu kebijakan dan mekanisme yang memungkinkan tindakan secara cepat, tepat, dan terkoordinasi dalam penanggulangan tumpahan minyak di laut dan penanggulangan dampak lingkungan akibat tumpahan minyak di laut dengan mengerahkan potensi lokal, wilayah, dan nasional secara efektif; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Peraturan Presiden tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak Di Laut;
Mengingat
: 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1973 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2994);
1
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3260); 4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3319); 5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3493); 6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699); 7. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152); 8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3816);
2
10.Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4145); 11.Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4227); 12.Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1978 tentang Mengesahkan International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1978 Nomor 28); 13.Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 1986 tentang Pengesahan International Convention for the Prevention of Pollution from Ships, 1973 beserta Protokol (the Protocol of 1978 relating to the International Convention for the Prevention of Pollution from Ships, 1973) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 59); 14.Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1999 tentang Pengesahan Protocol of 1992 to amend the International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage, 1969 (Protokol 1992 tentang Perubahan terhadap Konvensi Internasional tentang Tanggung Jawab Perdata untuk Kerusakan Akibat Pencemaran Minyak, 1969) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 99); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT TUMPAHAN MINYAK DI LAUT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan: 1. Penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut adalah tindakan secara cepat, tepat, dan terkoordinasi untuk mencegah dan mengatasi penyebaran tumpahan minyak di laut serta menanggulangi dampak lingkungan akibat tumpahan minyak di laut untuk meminimalisasi kerugian masyarakat dan lingkungan laut. 3
2. Tumpahan minyak di laut adalah lepasnya minyak baik langsung atau tidak langsung ke lingkungan laut yang berasal dari kegiatan pelayaran, kegiatan pengusahaan minyak dan gas bumi, atau kegiatan lain. 3. Minyak adalah minyak bumi dan berbagai hasil olahannya, dalam bentuk cair atau padat, mudah berubah bentuk atau tidak mudah berubah bentuk. 4. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi. 5. Laut adalah laut teritorial, perairan kepulauan, perairan pedalaman, dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. 6. Dampak lingkungan laut adalah pengaruh perubahan pada kualitas lingkungan laut akibat tumpahan minyak. 7. Pelayaran adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan angkutan diperairan, kepelabuhanan, serta keamanan dan keselamatannya. 8. Pengusahaan minyak dan gas bumi adalah kegiatan usaha hulu dan/atau kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi. 9. Kegiatan lain adalah kegiatan di luar kegiatan pelayaran dan kegiatan pengusahaan minyak dan gas bumi. 10. Koordinator Misi adalah pejabat yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan operasi penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut. 11. Administrator Pelabuhan, yang selanjutnya disebut ADPEL adalah kepala unit pelaksana teknis di bidang perhubungan laut pada Departemen yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang Perhubungan yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Pelabuhan. 12. Kepala Kantor Pelabuhan, yang selanjutnya disebut KAKANPEL adalah kepala unit pelaksana teknis di bidang perhubungan laut pada Departemen yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang perhubungan yang tidak diselenggarakan oleh Badan Usaha Pelabuhan.
4
13. ADPEL Koordinator adalah ADPEL tertentu yang bertugas selaku koordinator dalam rangka pengawasan dan pembinaan serta mempertanggungjawabkan kinerja pelaksanaan tugas dari segi keselamatan pelayaran. 14. Pusat Komando dan Pengendali Nasional Operasi Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak Di Laut, yang selanjutnya disebut PUSKODALNAS adalah pusat komando dan pengendalian operasi dalam penanggulangan tumpahan minyak di laut dan penanggulangan dampak lingkungan akibat tumpahan minyak di laut. 15. Prosedur Tetap Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut, yang selanjutnya disebut PROTAP adalah pengaturan mengenai struktur, tanggung jawab, tugas, fungsi dan tata kerja organisasi operasional, sistem pelaporan dan komunikasi, serta prosedur dan pedoman teknis operasi penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut. 16. Daerah Lingkungan Kerja pelabuhan, yang selanjutnya disebut DLKR pelabuhan adalah wilayah perairan dan daratan pada pelabuhan umum yang dipergunakan secara langsung untuk kegiatan kepelabuhanan. 17. Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan, yang selanjutnya disebut DLKP Pelabuhan, adalah wilayah perairan di sekeliling daerah lingkungan kerja perairan pelabuhan umum yang dipergunakan untuk menjamin keselamatan pelayaran. 18. Tier 1 adalah kategorisasi penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak yang terjadi di dalam atau di luar DLKP dan DLKR Pelabuhan, atau unit pengusahaan minyak dan gas bumi atau unit kegiatan lain yang mampu ditangani oleh sarana, prasarana, dan personil yang tersedia pada pelabuhan atau unit pengusahaan minyak dan gas bumi atau unit kegiatan lain. 19. Tier 2 adalah kategorisasi penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak yang terjadi di dalam atau di luar DLKP dan DLKR Pelabuhan, atau unit pengusahaan minyak dan gas bumi atau unit kegiatan lain, yang tidak mampu ditangani oleh sarana, prasarana dan personil yang tersedia pada pelabuhan atau unit pengusahaan minyak dan gas bumi atau unit kegiatan lain berdasarkan tingkatan tier 1. 20. Tier 3 adalah kategorisasi penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak yang terjadi di dalam atau di luar DLKP dan DLKR Pelabuhan atau unit pengusahaan minyak dan gas bumi atau unit kegiatan lain, yang tidak mampu ditangani oleh sarana, prasarana dan personil yang tersedia di suatu wilayah berdasarkan tingkatan tier 2, atau menyebar melintasi batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 5
21. Orang adalah hukum.
orang
perseorangan, kelompok orang, dan/atau badan
BAB II KEWAJIBAN NAHKODA, PIMPINAN KAPAL, KEPALA KANTOR PELABUHAN, PIMPINAN UNIT PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI, DAN PIMPINAN ATAU PENANGGUNGJAWAB KEGIATAN LAIN Pasal 2 (1) Setiap nahkoda atau pimpinan kapal, dan/atau pemilik atau operator kapal wajib menanggulangi terjadinya keadaan darurat tumpahan minyak di laut yang bersumber dari kapalnya serta melaporkan kejadian tersebut kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. (2) Setiap ADPEL atau KAKANPEL wajib menanggulangi terjadinya keadaan darurat tumpahan minyak di laut di dalam DLKR dan DLKP pelabuhan yang menjadi tanggungjawabnya. (3) Setiap pimpinan unit pengusahaan minyak dan gas bumi atau penanggungjawab unit kegiatan pengusahaan minyak lepas pantai wajib menanggulangi terjadinya keadaan darurat tumpahan minyak di laut yang bersumber dari usaha dan/atau kegiatannya serta melaporkan kejadian tersebut kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. (4) Setiap pimpinan atau penanggungjawab kegiatan lain wajib menanggulangi terjadinya keadaan darurat tumpahan minyak di laut yang bersumber dari usaha dan/atau kegiatannya serta melaporkan kejadian tersebut kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. BAB III KELEMBAGAAN Pasal 3 (1) Dalam rangka keterpaduan penyelenggaraan penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut tingkatan tier 3, dibentuk Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak Di Laut, yang selanjutnya disebut Tim Nasional. (2) Tim Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. (3) Ketua Tim Nasional wajib melaporkan secara berkala pelaksanaan hasil tugasnya kepada Presiden. 6
(4) Tim Nasional Ketua Wakil Ketua Anggota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: : Menteri Perhubungan; : Menteri Negara Lingkungan Hidup; : 1. Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral; 2. Menteri Dalam Negeri; 3. Menteri Luar Negeri; 4. Menteri Kelautan dan Perikanan; 5. Menteri Kesehatan; 6. Menteri Kehutanan; 7. Menteri Keuangan; 8. Menteri Hukum & Hak Asasi Manusia; 9. Panglima Tentara Nasional Indonesia; 10. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; 11. Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi; 12. Kepala Badan Pengatur Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi melalui Pipa; 13. Gubernur, Bupati/Walikota yang sebagian wilayahnya mencakup laut.
(5) Tim Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertanggungjawab atas penyelenggaraan penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut tingkatan tier 3. (6) Tim Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertugas : a. melaksanakan koordinasi penyelenggaraan penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut tingkatan tier 3; b. memberikan dukungan advokasi kepada setiap orang yang mengalami kerugian akibat tumpahan minyak di laut. (7) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Tim Nasional berfungsi menetapkan pedoman pengembangan sistem kesiagaan dan penyelenggaraan penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut, meliputi: a. menetapkan PROTAP Tier 3; b. menjamin ketersediaan sarana, prasarana, dan personil terlatih untuk mendukung pelaksanaan operasi penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut; c. menetapkan persyaratan minimal kesiagaan sarana, prasarana, dan personil di pelabuhan, terminal atau platform untuk penanggulangan tumpahan minyak di laut; d. menetapkan persyaratan minimal kesiagaan sarana, prasarana, dan personil di daerah untuk penanggulangan dampak lingkungan akibat tumpahan minyak di laut.
7
(8) Untuk membantu terlaksananya penyelenggaraan penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut tingkatan tier 3 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Tim Nasional membentuk dan membina PUSKODALNAS. Pasal 4 (1) Keanggotaan PUSKODALNAS terdiri dari wakil instansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai PUSKODALNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Ketua Tim Nasional. Pasal 5 (1) Dalam rangka keterpaduan penyelenggaraan penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut tingkatan tier 2, Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) wajib membentuk Tim Daerah Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak Di Laut, yang selanjutnya disebut Tim Daerah. (2) Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Tim dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh Gubernur.
Daerah
sebagaimana
(3) Bupati/Walikota dalam membentuk Tim Daerah dan melaksanakan penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib berkoordinasi dengan Gubernur. (4) Susunan keanggotaan Tim Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya terdiri atas wakil dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi perhubungan, lingkungan hidup, energi dan sumberdaya mineral, kelautan dan perikanan, kesehatan, kehutanan, kepolisian dan ADPEL Koordinator yang bertindak sebagai koordinator misi tier 2. Pasal 6 (1) Dalam rangka kesiagaan penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut tingkatan tier 1, ADPEL atau KAKANPEL atau pimpinan unit pengusahaan minyak dan gas bumi atau penanggungjawab kegiatan lain wajib membentuk Tim Lokal Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak Di Laut, yang selanjutnya disebut Tim Lokal. (2) Dalam pelaksanaan penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut tingkatan tier 1, Tim Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib berkoordinasi dengan ADPEL terdekat. 8
Pasal 7 (1) Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) menetapkan PROTAP tier 2 untuk daerahnya masing-masing kecuali DKI Jakarta ditetapkan oleh Gubernur. (2) ADPEL atau KAKANPEL atau pimpinan unit pengusahaan minyak dan gas bumi atau penanggungjawab kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) menetapkan PROTAP tier 1. (3) Dalam menyusun PROTAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Gubernur atau Bupati/Walikota dan ADPEL atau KAKANPEL atau pimpinan unit pengusahaan minyak dan gas bumi atau penanggungjawab kegiatan lain merujuk pada PROTAP tier 3. BAB IV TATA CARA PELAPORAN DAN PENANGGULANGAN Pasal 8 (1)
Setiap orang yang mengetahui terjadinya tumpahan minyak di laut wajib segera menginformasikan kepada: a. PUSKODALNAS; b. Kantor pelabuhan; c. Direktorat yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang teknik dan lingkungan minyak dan gas bumi, pada departemen yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang kegiatan usaha minyak dan gas bumi; d. Pemerintah Daerah; atau e . Unsur pemerintah lain yang terdekat.
(2)
Setelah menerima informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejabat dari instansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e wajib segera menginformasikan kepada : a. ADPEL; b. KAKANPEL; atau c. Kepala PUSKODALNAS.
(3)
Setelah menerima informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), maka ADPEL atau KAKANPEL wajib segera menginformasikan kepada Kepala PUSKODALNAS.
(4)
ADPEL, KAKANPEL, atau PUSKODALNAS setelah menerima informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) wajib segera melakukan pengecekan atas kebenaran laporan yang diterima.
9
(5)
Dalam hal tumpahan minyak yang terjadi masuk dalam kategori tier 1, Tim Lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) wajib segera melakukan operasi penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut, dan ADPEL bertindak selaku koordinator misi tier 1.
(6)
Dalam hal tumpahan minyak yang terjadi masuk dalam kategori tier 2, Tim Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1). wajib segera melakukan operasi penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut, dan ADPEL koordinator bertindak selaku koordinator misi tier 2.
(7)
Dalam hal tumpahan minyak yang terjadi masuk dalam kategori tier 3, PUSKODALNAS wajib segera melakukan koordinasi pelaksanaan operasi penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut dan Kepala PUSKODALNAS bertindak selaku koordinator misi tier 3.
Pasal 9 Dalam hal sumber daya nasional tidak memadai dalam penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut tingkatan tier 3, maka Ketua Tim Nasional dapat meminta bantuan internasional.
Pasal 10 (1)
Kepala PUSKODALNAS, dalam kapasitas selaku koordinator misi penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut tingkatan tier 3 wajib memberikan laporan pelaksanaan penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut kepada Ketua Tim Nasional.
(2)
Ketua Tim Daerah wajib memberikan laporan pelaksanaan penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut tingkatan tier 2 kepada Kepala PUSKODALNAS dan Ketua Tim Nasional.
(3)
Ketua Tim Lokal wajib memberikan laporan pelaksanaan penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut tingkatan tier 1 kepada Ketua Tim Daerah dengan tembusan kepada Kepala PUSKODALNAS dan Ketua Tim Nasional.
BAB V 10
BIAYA PENANGGULANGAN Pasal 11 Setiap pemilik atau operator kapal, pimpinan tertinggi pengusahaan minyak dan gas bumi atau penanggungjawab tertinggi kegiatan pengusahaan minyak lepas pantai atau pimpinan atau penanggungjawab kegiatan lain, yang karena kegiatannya mengakibatkan terjadinya tumpahan minyak di laut, bertanggungjawab mutlak atas biaya: a. penanggulangan tumpahan minyak di laut; b. penanggulangan dampak lingkungan akibat tumpahan minyak di laut; c. kerugian masyarakat akibat tumpahan minyak di laut; dan d. kerugian lingkungan akibat tumpahan minyak di laut.
Pasal 12 (1) Biaya pelaksanaan operasional untuk Tim Nasional dan PUSKODALNAS dibebankan kepada APBN. (2) Biaya pelaksanaan operasional untuk Tim Daerah dibebankan kepada APBD.
BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 13 Selama belum ada pengaturan tersendiri, mekanisme sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden ini dapat diberlakukan terhadap penanggulangan keadaan darurat tumpahan bahan bukan minyak di laut. Pasal 14 Segala peraturan pelaksanaan di bidang penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Peraturan Presiden ini.
Pasal 15 11
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO.
12