PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU PADA KAWASAN BUDIDAYA NON KEHUTANAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI PENAJAM PASER UTARA,
Menimbang
:
bahwa untuk menertibkan pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu dari Kawasan Budidaya Non Kehutanan, dipandang perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Izin Pemanfaatan Kayu pada Kawasan Budidaya Non Kehutanan;
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502); 3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 3687); 4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699); 5. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888); 6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Penajam Paser Utara di Provinsi Kalimantan Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4182); 7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4448);
-2-
8. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4438); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan Kepada Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3769); 10. Peraturan Pemerntah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4206); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4207); 13. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 146; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4452); 14. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4453); 15. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, da Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4513); 16. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung; 17. Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 124/KptII/2003 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Pengenaan, Pemungutan, Pembayaran dan Penyetoran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH); 18. Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 126/Kpt-II/2003 tentang Penatausahaan Hasil Hutan; 19. Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 128.Kpt-II/2003 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Pengenaan. Pemungutan., Pembayaran dan Penyetoran Dana Reboisasi (DR); 20. Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK.382/Menhut-II/2004 tentang Izin Pemanfaatan Kayu.
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA dan BUPATI PENAJAM PASER UTARA, MEMUTUSKAN :
Menetapkan
:
PERATURAN DAERAH TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU PADA KAWASAN BUDIDAYA NON KEHUTANAN.
-3-
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang diserahi tugas dan tanggungjawab di bidang Bina Produksi Kehutanan. 2. Gubernur adalah Gubernur Kalimantan Timur. 3. Dinas Kehutanan Provinsi, selanjutnya disebut Dishut Propinsi adalah Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur. 4. Daerah adalah Kabupaten Penajam Paser Utara. 5. Bupati adalah Bupati Penajam Paser Utara. 6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD adalah Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 7. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kabupaten, selanjutnya disebut Dishutbun adalah Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Penajam Paser Utara. 8. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten adalah Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Penajam Paser Utara. 9. Izin Pemanfaatan Kayu, selanjutnya disebut IPK adalah Izin untuk memanfaatkan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu dari Kawasan Budidaya Non Kehutanan. 10. Bagan Kerja adalah rencana kerja yang diberlakukan terhadap pemegang IPK. 11. Areal Penggunaan Lain (APL) atau Kawasan Budidaya Non Kehutanan, selanjutnya disebut KBNK adalah areal hutan Negara yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan menjadi Bukan Kawasan Hutan. 12. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. 13. Pencadangan areal KBNK adalah areal di luar kawasan hutan yang telah mendapat keputusan perzinan pembangunan non kehutanan dari instansi yang berwenang. 14. Pembangunan Non Kehutanan adalah pembangunan pada areal KBNK di luar kawasan hutan berupa pembangunan pertanian, perkebunan, permukiman, transmigrasi, pertambangan, hutan kemasyarakatan dan sarana prasarana pekerjaan umum. 15. Timber Cruising adalah kegiatan pengukuran, pengamatan dan pencatatan terhadap pohon yang direncanakan akan ditebang yang dilaksanakan dengan intensitas sebesar 5 % (lima perseratus). 16. Perorangan adalah orang seorang anggota masyarakat setempat yang cakap bertindak menurut hukum dan Warga Negara Republik Indonesia. 17. Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas azas kekeluargaan. 18. Provisi Sumber Daya Hutan, selanjutnya disebut PSDH adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara. 19. Dana Reboisasi, selanjutnya disebut DR adalah dana yang dipungut dari pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan dari hutan alam yang berupa kayu, digunakan dalam rangka reboisasi, rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya.
-4-
BAB II AREAL IPK Pasal 2 (1) Areal yang dapat dimohon untuk IPK adalah : a. Hutan negara yang ditetapkan sebagai APL atau KBNK yang tidak dibebani hak/izin di bidang kehutanan; b. Lahan usaha transmigrasi, pertanian, perkebunan, pertambangan dan energi, perikanan, pembangunan hutan hak/hutan rakyat pada areal KBNK berdasarkan Keputusan Instansi yang berwenang. (2) Pemohon yang dapat mengajukan IPK pada areal sebagaimana dimaksud pada ayatzse4 (1) adalah : a. Perorangan b. Koperasi c. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) d. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) e. Badan Usaha Milik Swasta Indonesia (BUMSI) BAB III TATA CARA PERMOHONAN Pasal 3 (1) Permohonan IPK diajukan oleh pemohon kepada Bupati dengan tembusan disampaikan kepada : a. Direktur Jenderal; b. Gubernur; c. Badan Planologi; d. Kadishut Provinsi; e. Kadishutbun Kabupaten. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi persyaratan: a. Foto Copy Kartu Tanda Penduduk untuk pemohon perorangan atau Akta Pendirian beserta perubahannya untuk Koperasi, BUMD, BUMSI dan BUMN. b. Izin Peruntukan Penggunaan Lahan, seperti : Izin Bidang Pertanian, Pertambangan dan Energi, Perkebunan, Perikanan, Pembangunan Hutan Hak/Hutan Rakyat dan/atau permukiman yang diterbitkan oleh Bupati. c. Peta Lokasi yang dimohon dengan skala 1 : 50.000. d. Surat Keterangan dari Kadishutbun Kabupaten yang menerangkan bahwa lokasi IPK tersebut benar-benar statusnya APL atau KBNK berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi atau berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK); e. Proposal penggunaan lahan sesuai izin tersebut pada huruf b; f. Rekomendasi Lurah dan Camat Setempat. (3) Surat Keterangan Kadishutbun Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, diberikan paling lambat 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal diterimanya tembusan permohonan. (4) Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditujukan kepada Bupati dan merupakan dasar pertimbangan Bupati dalam memberikan rekomendasi IPK. Pasal 4 (1) Dalam hal permohonan IPK tidak memenuhi atau tidak dilengkapi salah satu persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Bupati langsung menolak permohonan tersebut dalam jangka waktu14 (empat belas ) hari sejak diterimanya permohonan.
-5-
(2) Dalam hal permohonan IPK telah memenuhi/dilengkapi semua persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Bupati meneruskan permohonan tersebut disertai rekomendasi kepada Gubernur untuk mendapat persetujuan prinsip, dengan tembusan disampaikan kepada Kadishut Provinsi dan Direktur Jenderal. Pasal 5 (1) Berdasarkan Persetujuan Prinsip dari Gubernur, Bupati melalui Kadishutbun Kabupaten memerintahkan kepada pemohon untuk : a. Melakukan timber cruising dan diselesaikan dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) bulan sejak diterimanya surat perintah; b. Membuat Bagan Kerja Tahunan (BKT) pemanfaatan hasil hutan kayu dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak diterimanya surat perintah. c. Melaksanakan penataan batas blok tebangan IPK, dan diselesaikan paling lambat 2 (dua) bulan sejak diterimanya surat perintah; d. Menyetorkan jaminan Bank (Bank garansi) DR dan PSDH kayu sebesar 100 % (seratus persen) dari target produksi yang ditetapkan dan jaminan bank tersebut berlaku 1 (satu) tahun. (2) Jaminan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diterbitkan oleh Bank Pemerintah yang berada di Daerah dan ditunjuk oleh Bupati paling lambat 1 (satu) bulan sejak diterimanya Surat Perintah. (3) Apabila pemegang IPK tidak melunasi DR dn PSDH pada saat yang telah ditentukan, Jaminan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicairkan secara sepihak oleh Bupati. (4) Hasil timber cruising sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan penataan batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diperiksa oleh petugas Dishutbun Kabupaten yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara, sebagai bahan pertimbangan teknis kepada Bupati. (5) Petunjuk teknis pelaksanaan timber cruising dan tata batas blok lokasi IPK dibuat oleh Kadishutbun Kabupaten. Pasal 6 Apabila pemohon telah melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Bupati menerbitkan Keputusan tentang Pemberian IPK yang salinannya disampaikan kepada : a. Direktur Jenderal; b. Gubernur; c. Dishut Provinsi; d. Dishutbun Kabupaten; e. Pemohon yang bersangkutan. Pasal 7 Dalam Keputusan Pemberian IPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 memuat : a. Nama serta alamat pemegang izin; b. Luas dan letak lokasi IPK; c. Jumlah, volume dan jenis kayu bulat yang akan diperoduksi; d. Hak, kewajiban dan larangan pemegang IPK; e. Jangka waktu berlakunya IPK; f. Tempat dan tanggal terbitnya IPK; g. Nama dan tanda tangan pejabat penerbit IPK; dan h. Stempel/Cap Instansi/Pejabat penerbit IPK.
-6-
BAB. IV PEMERIKSAAN LAPANGAN AREAL IPK Pasal 8 (1) Apabila pemohon telah selesai melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Bupati memerintahkan kepada Kadishutbun Kabupaten untuk melakukan pemeriksaan di lapangan atas kebenaran laporan tersebut. (2) Pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, b dan c untuk mengetahui keadaan fisik dan potensi tegakan pohon di lapangan sebagai bahan penentuan luas dan target produksi yang akan diberikan. (3) Pemeriksaan teknis dan administrasi permohonan untuk mengetahui kemampuan teknis dan manajemen pemohon serta rencana target realisasi pembangunan non kehutanan pada lokasi/areal yang dimohon IPK. (4) Pemeriksaan lapangan, teknis dan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) dilakukan oleh petugas Dishutbun Kabupaten. (5) Segala biaya administrasi dan pemeriksaan lapangan terhadap pembuatan batas blok lokasi dan potensi timber cruising dibebankan kepada pemohon. BAB V HASIL PEMERIKSAAN LAPANGAN AREAL IPK Pasal 9 (1) Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan (3) dituangkan dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP). (2) Jika hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi persyaratan untuk diberikan IPK, maka Kadishutbun Kabupaten memberikan Surat Penolakan atas permohonan tersebut kepada pemohon paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak diterimanya BAP dengan tembusan kepada Bupati. (3) Jika hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah memenuhi persyaratan untuk diberikan IPK, maka Kadishutbun Kabupaten paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak diterimanya BAP memberikan Surat Advis Teknis Persetujuan Pemberian/Penerbitan IPK yang disampaikan kepada Bupati.
BAB VI PROSES PENERBITAN IPK Pasal 10 (1) Berdasarkan advis teknis Kadishutbun Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) dan bukti penyetoran Jaminan Bank, Bupati menerbitkan Keputusan tentang Pemberian IPK kepada pemohon paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak diterimanya Advis Teknis. (2) Asli bukti penyetoran Jaminan Bank dari Bank Pemerintah yang ditunjuk diserahkan kepada Kadishutbun Kabupaten. (3) Bukti penyetoran jaminan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebagai bahan evaluasi pembayaran dan atau pelunasan pungutan DR dan PSDH terhadap realisasi produksi kayu sampai berakhirnya masa berlakunya izin. (4) Dalam hal Bupati berhalangan dalam penerbitan IPK, wewenang penerbitan IPK dapat didelegasikan kepada Kadishutbun Kabupaten.
-7-
BAB VII MASA BERLAKU IPK Pasal 11 (1) IPK diberikan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak IPK diterbitkan dan dapat diperpanjang kembali dengan mengikuti mekanisme sesuai ketentuan dalam Peraturan Daerah ini. (2) Perpanjangan IPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hasil penilaian dan pemeriksaan oleh Tim Dishutbun Kabupaten yang dilengkapi dengan : a. Laporan kemajuan pelaksanaan penggunaan lahan; b. Laporan realisasi pemanenan/penebangan hasil hutan kayu dari IPK. BAB VIII HAK, KEWAJIBAN DAN LARANGAN Pasal 12 Pemegang IPK mempunyai hak sebagai berikut : a. Melaksanakan kegiatan penebangan kayu sesuai dengan izin yang diberikan; b. Melaksanakan kegiatan pengangkutan, pengolahan dan atau pemasaran atas hasil hutan kayu sebagaimana dimaksud pada huruf a sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 13 Pemegang IPK wajib melaksanakan ketentuan sebagai berikut : a. Membayar PSDH dan DR atas hasil hutan kayu yang diproduksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Memperhatiakan asas-asas konservasi sesuai ketentuan yang berlaku; c. Membuat dan menyampaikan laporan bulanan atas pelaksanaan kegiatan IPK kepada Kadishutbun Kabupaten dengan tembusan Bupati dan Kadishut Provinsi, yang meliputi: 1. Luas tebangan yang telah dilaksanakan; 2. Laporan realisasi hasil produksi kayu; 3. Perkembangan kegiatan peruntukan/penggunaan lahan; 4. Laporan penatausahaan kayu; 5. Laporan penatausahaan DR dan PSDH; 6. Laporan Mutasi Kayu bulat (LMKB); 7. Penggunaan peralatan kegiatan IPK; dan 8. Laporan jumlah tenaga kerja (teknis dan non teknis). d. Melaksanakan kegiatan nyata di lapangan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah diterbitkannya IPK; e. Melaksanakan kegiatan IPK berdasarkan Bagan Kerja; f. Melaksanakan penatausahaan hasil hutan dari areal IPK sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; g. Mengamankan areal hutan dari berbagai macam gangguan keamanan dan kebakaran hutan; h. Melakukan tata batas areal kerja IPK; i. Mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan; j. Mentaati segala ketentuan di bidang kehutanan. Pasal 14 Pemegang IPK dilarang : a. Melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan; b. Melakukan penebangan pohon dalam areal IPK nya dengan kriteria yaitu : 1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan atau kiri kanan sungai daerah rawa;
-8-
3. 4. 5. 6.
c. d. e. f. g. h. i.
100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi sungai dan dari tepi jurang; 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai. Melakukan pembakaran hutan; Melakukan penebangan pada lokasi yang dikeramatkan atau bernilai sejarah atau cagar budaya; Memasukkan dan menggunakan peralatan ke areal kerjanya tanpa izin dari Dishut Provinsi dan rekomendasi dari Dishutbun Kabupaten; Merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan; Melakukan penebangan di luar areal/blok kerja yang telah ditetapkan; Melakukan penebangan pada vegetasi atau wilayah-wilayah tertentu yang ditetapkan sebagai kawasan lindung; Melakukan penebangan sebelum IPK terbit maupun setelah IPK berakhir masa berlakunya. BAB IX HAPUSNYA IPK Pasal 15
(1) IPK hapus, karena : a. Jangka waktu yang diberikan telah berakhir. b. Dicabut oleh Bupati sebagai sanksi hukum yang diberikan kepada pemegang IPK; c. Diserahkan kembali oleh pemegang IPK kepada Bupati sebelum jangka waktu yang diberikan berakhir. (2) Dengan berakhirnya IPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetap mewajibkan pemegang IPK untuk: a. Melunasi DR dan PSDH serta lain-lain kewajiban keuangan terhadap pemerintah; b. melaksanakan semua ketentuan yang ditetapkan dalam rangka berakhirnya IPK sesuai ketentuan yang berlaku. BAB X PEMBINAAN, PENGENDALIAN DAN PELAPORAN Pasal 16 (1) Gubernur melakukan pembinaan dan pengendalian teknis atas pelaksanaan IPK. (2) Kadishutbun Kabupaten melakukan pengendalian atas pelaksanaan IPK. (3) Pemegang IPK wajib menyampaikan laporan bulanan atas realisasi IPK kepada Kadishutbun Kabupaten dan Kadishut Provinsi. (4) Kadishutbun Kabupaten wajib membuat dan menyampaikan rekapitulasi laporan bulanan IPK kepada Direktur Jenderal atas realisasi IPK di wilayahnya dengan tembusan disampaikan kepada : a. Gubernur; b. Bupati; dan c. Kadishut Provinsi BAB XI KETENTUAN PENYIDIKAN Pasal 17 (1) Selain Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Pemerintah Daerah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
-9-
(2) Wewenang PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut Izin Pemanfaatan Kayu; b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut Izin Pemanfaatan Kayu; c. Memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya. d. Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut Izin Pemanfaatan Kayu sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; e. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut Izin Pemanfaatan Kayu; f. Menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. g. Membuat dan menandatangani berita acara. h. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut Izin Pemanfaatan Kayu. (3) PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana. BAB XII SANKSI Pasal 18 (1) Pemegang IPK yang melakukan penebangan sebelum IPK terbit, dikenakan sanksi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. (2) Pemegang IPK dikenakan sanksi berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, apabila melakukan : a. Penebangan di kawasan hutan lindung, hutan konservasi, kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam dan taman buru tanpa izin dari Menteri yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan; b. Penebangan di luar areal IPK; c. Mengangkut kayu tanpa disertai dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). (3) IPK dicabut, apabila pemegang IPK : a. Tidak membayar DR dan PSDH terhadap hasil hutan kayu yang telah dikeluarkan dari areal kerjanya selama 3 (tiga) bulan berturut-turut; b. Tidak melakukan usahanya secara nyata dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterbitkannya IPK; c. Meninggalkan areal IPK selama 45 (empat puluh lima) hari berturut-turut sebelum IPK berakhir; d. Menggunakan peralatan pengusahaan hutan dan pengangkutan kayu kegiatan IPK tanpa Izin. e. Melakukan tidak pidana kehutanan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 19 (1) Pencabutan IPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf a berdasarkan pemeriksaan administratif penyetoran DR dan PSDH .
- 10 -
(2) Pencabutan IPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf b, c dan d berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Tim yang dibentuk Kadishutbun Kabupaten. (3) Sebelum melakukan pencabutan IPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), terlebih dahulu diberikan peringatan 3 (tiga) kali berturut-turut dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari.
BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 20 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan Pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara.
Ditetapkan di Penajam pada tanggal 14 Desember 2007 Plt. BUPATI PENAJAM PASER UTARA, Ttd H. IHWAN DATU ADAM
Diundangkan di Penajam pada tanggal 14 Desember 2007 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA Ttd H. SUTIMAN
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA TAHUN 2007 SERI D NOMOR 4