BUPATI BONE BOLANGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE BOLANGO NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONE BOLANGO TAHUN 2011 - 2031 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BONE BOLANGO Menimbang :
Mengingat
a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan di Kabupaten Bone Bolango dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan, perlu disusun rencana tata ruang wilayah; b. bahwa dalam rangka mewujudkan keterpaduan pembangunan antar sektor, daerah dan masyarakat, rencana tata ruang wilayah merupakan arahan lokasi investasi pembangunan yang dilaksanakan pemerintah, masyarakat, dan/atau dunia usaha; c. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 78 ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang perlu dilakukan penyesuaian terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Bone Bolango Nomor 4 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bone Bolango Tahun 2004-2024; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c perlu membentuk Peraturan Daerah Kabupaten Bone Bolango tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bone Bolango Tahun 2011-2031. : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perubahan kedua; 2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
Halaman 1 dari 78
3. Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3469); 4. Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3470); 5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478); 6. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 7. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Gorontalo (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 258, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4060); 8. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4169); 9. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bone Bolango dan Kabupaten Pohuwato (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4269); 10. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377); 11. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411); 12. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);
Halaman 2 dari 78
13. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433); 14. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 15. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); 16. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444); 17. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700); 18. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722); 19. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723); 20. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724); 21. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); 22. Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pula-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4726);
Halaman 3 dari 78
23. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746); Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849); Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4851); Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959); Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966); Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723); Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025); Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052); Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068); Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik
Halaman 4 dari 78
Indonesia Nomor 3445); 35. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3776); Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 199, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3816); Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838); Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta Untuk Penataan Ruang Wilayah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3934); Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4242); Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4453); Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4624); Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655); Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4779); Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan
Halaman 5 dari 78
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833); 46. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang
47.
48.
49.
50.
51.
52.
53.
54.
55.
56. 57.
Kawasan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4987); Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5070); Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103); Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5110); Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5111); Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5112); Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Kawasan Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5142); Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5154); Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5160); Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Gorontalo Tahun 2010-2030 (Lembaran Daerah Provinsi Gorontalo Tahun 2011 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 02); Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung; Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 33 Tahun
Halaman 6 dari 78
1990 tentang Penggunaan Tanah Bagi Pembangunan Kawasan Industri; 58. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 1996 tentang Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BONE BOLANGO Dan BUPATI BONE BOLANGO MEMUTUSKAN : Menetapkan :
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE BOLANGO TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONE BOLANGO TAHUN 2011 – 2031.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Kabupaten adalah Kabupaten Bone Bolango. 2. Kepala Daerah adalah Bupati Bone Bolango. 3. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Bone Bolango. 4. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 5. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang laut dan ruang udara termasuk ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan kehidupannya. 6. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. 7. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. 8. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hirarkis memiliki hubungan fungsional. 9. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. 10. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. 11. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang.
Halaman 7 dari 78
12. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. 13. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. 14. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. 15. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. 16. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya. 17. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. 18. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan. 19. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. 20. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. 21. Kawasan strategis kabupaten adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan. 22. Pusat Kegiatan Wilayah Promosi yang selanjutnya disebut PKWp adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan. 23. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten atau beberapa kecamatan. 24. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa desa. 25. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disebut PPL adalah pusat permukiman yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala antar desa. 26. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, diatas permukaan tanah, dibawah permukaan tanah dan/atau air, serta diatas pemukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.
Halaman 8 dari 78
27. Sistem jaringan jalan merupakan satu kesatuan jaringan jalan yang terdiri dari sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder yang terjalin dalam hubungan hierarki. 28. Sistem jaringan jalan disusun dengan mengacu pada rencana tata ruang wilayah dan dengan memperhatikan keterhubungan antarkawasan dan/atau dalam kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan. 29. Berdasarkan sifat dan pergerakan pada lalu lintas dan angkutan jalan, fungsi jalan dibedakan atas arteri, kolektor, lokal dan lingkungan. 30. Masyarakat adalah orang, perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau pemangku kepentingan non pemerintah lain dalam penyelenggaraan penataan ruang. 31. Peran masyarakat adalah Partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. 32. Bentuk peran masyarakat adalah kegiatan/aktivitas yang dilakukan masyarakat dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. 33. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah, yang selanjutnya disebut BKPRD adalah badan bersifat ad-hoc yang dibentuk untuk mendukung Unang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Kabupaten Bone Bolango dan mempunyai fungsi membantu pelaksanaan tugas Bupati dalam koordinasi penataan ruang di daerah. 34. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bone Bolango. 35. Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bone Bolango dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. 36. Kawasan strategis Provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan. 37. Kawasan pertahanan Negara adalah wilayah yang ditetapkan secara nasional yang digunakan untuk kepentingan pertahanan. 38. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG Bagian Kesatu Tujuan Penataan Ruang Pasal 2 Penataan ruang Kabupaten Bone Bolango bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan yang mengakomodasikan keterkaitan antar kawasan dengan mengintegrasikan dimensi sosial, ekonomi dan ekologis”.
Halaman 9 dari 78
Bagian Kedua Ruang Lingkup Pasal 3 (1) Wilayah perencanaan Rencana Tata Ruang Wilayah meliputi seluruh wilayah administrasi Kabupaten Bone Bolango dengan luas wilayah kurang lebih 1.984,58 km2. (2) Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas kecamatankecamatan meliputi: a. Kecamatan Tapa; b. Kecamatan Bulango Utara; c. Kecamatan Bulango Selatan; d. Kecamatan Bulango Timur; e. Kecamatan Bulango Ulu; f. Kecamatan Kabila; g. Kecamatan Botupingge; h. Kecamatan Tilongkabila; i. Kecamatan Suwawa; j. Kecamatan Suwawa Selatan; k. Kecamatan Suwawa Timur; l. Kecamatan Suwawa Tengah; m. Kecamatan Kabila Bone; n. Kecamatan Bone Pantai; o. Kecamatan Bulawa; p. Kecamatan Bone Raya; q. Kecamatan Bone; dan r. Kecamatan Pinogu (3) Batas wilayah perencanaan Rencana Tata Ruang Wilayah, meliputi: a. sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Gorontalo Utara & Kabupaten Bolaang Mongondow Utara ; b. sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Tomini; c. sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan; dan d. sebelah Barat berbatasan dengan Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo. Bagian Ketiga Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Pasal 4 Kebijakan dan Strategi penataan ruang wilayah kabupaten dilakukan dalam pengembangan struktur ruang, pola ruang dan pengembangan kawasan strategis wilayah agar tujuan penataan ruang wilayah kabupaten tercapai.
Halaman 10 dari 78
Pasal 5 Kebijakan pengembangan struktur ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi : a. Peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi wilayah, termasuk pusat-pusat kegiatan wilayah secara merata dan hirarkis; dan b. Peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana transportasi, telekomunikasi, informasi, energi, dan sumber daya air yang terpadu dan menjangkau seluruh pusat-pusat kegiatan di wilayah Kabupaten Bone Bolango. Pasal 6 (1) Strategi untuk peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah, termasuk pusat-pusat kegiatan wisata dan pertanian secara merata dan berhierarkis, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, ayat (1), terdiri atas: a. Mempromosikan Pusat Kegiatan Lokal (PKLp) berupa kota-kota satelit penyangga ibukota Kabupaten; b. Meningkatkan interkoneksi antar kawasan perkotaan yang meliputi PKL eksisting, PKLp, PPK dan PPL, antar kawasan perkotaan dengan kawasan perdesaan, serta antar kawasan perkotaan dengan kawasan perdesaan, serta antar kawasan perkotaan dengan wilayah sekitarnya; c. Mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan baru di kawasan yang potensil dan belum terlayani oleh pusat pertumbuhan eksisting; d. Mengendalikan pemanfaatan ruang wilayah rawan longsor di perbukitan dan rawan banjir di tepi sungai; dan e. Mendorong kawasan perkotaan dan pusat pertumbuhan agar lebih kompetitif dan lebih efektif dalam mendorong pengembangan wilayah sekitarnya. (2) Strategi untuk peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana transportasi, telekomunikasi, informasi, energi, dan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, ayat (2) terdiri atas: a. Meningkatnya kualitas jaringan prasarana dan mewujudkan keterpaduan pelayanan transportasi darat secara terpadu; b. Mendorong pengembangan prasarana informasi dan telekomunikasi terutama di kawasan yang masih terisolir; c. Meningkatkan jaringan energi dengan lebih menumbuh-kembangkan pemanfaatan sumber daya terbarukan yang ramah lingkungan dalam sistem kemandirian energi area mikro, dibanding pemanfaatan sumber
Halaman 11 dari 78
daya yang tak terbarukan, serta mewujudkan keterpaduan sistem penyediaan tenaga listrik; d. Meningkatkan kualitas jaringan prasarana serta mewujudkan keterpaduan sistem jaringan sumber daya air; dan e. Meningkatkan jaringan distribusi bahan bakar minyak dan gas kabupaten yang terpadu dengan jaringan dalam tataran provinsi dan nasional secara optimal. Pasal 7 Kebijakan dan strategi pengembangan pola ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi : a. Pengembangan kawasan lindung; dan b. Pengembangan kawasan budidaya
Pasal 8 (1) Kebijakan pengembangan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf a, meliputi : a. Pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi sistem ekologi wilayah; dan b. Pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup. (2) Strategi pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi sistem ekologi wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi : a. Menetapkan kawasan lindung di ruang darat, laut maupun udara, termasuk di dalam bumi; b. Mewujudkan kawasan berfungsi lindung dalam satu wilayah dengan luas paling sedikit 30% dari luas wilayah tersebut sesuai dengan kondisi ekosistemnya; dan c. Mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun akibat pengembangan kegiatan budidaya, dalam rangka mewujudkan dan memelihara keseimbangan ekosistem wilayah. (3) Strategi Pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi : a. Menyelenggarakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi sistem ekologi wilayah; b. Melindungi kemampuan lingkungan hidup dari tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;
Halaman 12 dari 78
c. Melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang dibuang ke dalamnya; d. Mencegah terjadinya tindakan yang dapat secara langsung atau tidak langsung menimbulkan perubahan sifat fisik lingkungan yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan; e. Mengendalikan pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana untuk menjamin kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan; f. Mengelola sumberdaya alam tak terbarukan untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana, termasuk revitalisasi fungsi sistem ekologi lokal serta pembangunan sumberdaya baru untuk penghasilan dan pelestarian lingkungan; g. Mengelola sumberdaya alam yang terbarukan untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya; dan h. Mengembangkan kegiatan budidaya yang mempunyai daya adaptasi bencana di kawasan rawan bencana. (4) Kebijakan pengembangan kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf b, meliputi : a. Perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antar kegiatan budidaya; dan b. Pengendalian perkembangan kegiatan budidaya agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan. (5) Strategi Perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antar kegiatan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, meliputi : a. Menetapkan kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis kabupaten untuk memanfaatkan sumberdaya alam di ruang darat, laut, dan udara, termasuk ruang di dalam bumi secara sinergis untuk mewujudkan keseimbangan pemanfaatan ruang wilayah; b. Mengembangkan kegiatan budidaya unggulan di dalam kawasan beserta prasarana secara sinergis dan berkelanjutan untuk mendorong pengembangan perekonomian kawasan; c. Mengembangkan kegiatan budidaya untuk menunjang aspek politik, pertahanan keamanan, sosial budaya, serta ilmu pengetahuan dan teknologi; d. Mengembangkan dan melestarikan kawasan budidaya pertanian pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan provinsi; dan e. Mendukung kegiatan pengelolaan sumberdaya kelautan yang bernilai ekonomi tinggi di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia atau landasan kontinental untuk meningkatkan perekonomian nasional.
Halaman 13 dari 78
(6) Strategi Pengendalian perkembangan kegiatan budidaya agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan, sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, meliputi : a. Membatasi perkembangan budidaya terbangun di kawasan rawan bencana untuk meminimalkan potensi kejadian bencana dan potensi kerugian akibat bencana; b. Menumbuhkembangkan fisik pusat kota dengan mengoptimalkan pemanfaatan ruang secara vertikal dan kompak, asri dan lestari seperti kota taman; c. Menumbuhkembangkan agropolitan yang memadukan agroindustri, agrobisnis, agroedukasi serta model rumah kebun di klaster sentrasentra produksi komoditas pertanian unggulan; d. Mengembangkan ruang terbuka hijau dengan luas paling sedikit 30% dari luas kawasan perkotaan; e. Membatasi perkembangan kawasan terbangun di kawasan perkotaan besar dan metropolitan untuk mempertahankan tingkat pelayanan prasarana dan sarana kawasan perkotaan serta mempertahankan fungsi kawasan perdesaan di sekitarnya; dan f. Mengembangkan kegiatan budidaya kelautan yang dapat mempertahankan keberadaan pulau-pulau kecil.
Pasal 9 Kebijakan dan strategi pengembangan kawasan strategis Kabupaten Bone Bolango meliputi beberapa sudut kepentingan sebagai berikut : a. Kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan ekonomi; b. Kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan; dan c. Kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan sosial budaya. Pasal 10 (1) Kebijakan pengembangan kawasan strategis Kabupaten Bone Bolango dari sudut kepentingan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf a, meliputi : a. Pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan dalam pengembangan perekonomian kabupaten yang produktif, efisien, dan mampu bersaing dalam perekonomian nasional atau internasional; dan b. Pemanfaatan sumberdaya alam dan atau perkembangan iptek secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Halaman 14 dari 78
(2) Kebijakan pengembangan kawasan strategis Kabupaten Bone Bolango dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf b, meliputi : a. Pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan untuk mempertahankan dan meningkatkan keseimbangan ekosistem; b. Melestarikan keanekaragaman hayati; c. Mempertahankan dan meningkatkan fungsi perlindungan kawasan; d. Melestarikan keunikan rona alam; dan e. Pelestarian dan peningkatan nilai kawasan lindung yang ditetapkan sebagai warisan dunia. (3) Kebijakan pengembangan kawasan strategis Kabupaten Bone Bolango dari sudut sudut kepentingan sosial budaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf c, meliputi : a. Pelestarian dan peningkatan kualitas sosial dan budaya lokal yang beragam; dan b. Pelestarian kawasan desa adat.
Pasal 11 (1) Strategi pengembangan kawasan strategis kepentingan pertumbuhan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1), meliputi : a. Mengembangkan pusat pertumbuhan berbasis potensi sumberdaya alam dan kegiatan budidaya unggulan sebagai penggerak utama pengembangan wilayah; b. Menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal dan pelestarian lingkungan; c. Mengelola pemanfaatan sumberdaya alam agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung kawasan d. Mengelola dampak negatif kegiatan budidaya agar tidak menurunkan kualitas sosial, ekonomi, budaya masyarakat dan lingkungan hidup kawasan; e. Mengintensifkan promosi peluang investasi bagi kegiatan ramah lingkungan dan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal; dan f. Meningkatkan pelayanan prasarana dan sarana penunjang kegiatan ekonomi. (2) Strategi kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (2), meliputi : a. Menetapkan kawasan strategis kabupaten berfungsi lindung; b. Mencegah pemanfaatan ruang di kawasan strategis nasional maupun kabupaten yang berpotensi mengurangi daya lindung kawasan;
Halaman 15 dari 78
c. Membatasi pemanfatan ruang di sekitar kawasan strategis nasional maupun Kabupaten yang berpotensi mengurangi daya lindung kawasan; d. Membatasi pengembangan prasarana dan sarana di dalam dan di sekitar kawasan strategis nasional maupun kabupaten yang dapat memicu perkembangan kegiatan budidaya; e. Mengembangkan kegiatan budidaya tidak terbangun di sekitar kawasan strategis nasional maupun Kabupaten yang berfungsi sebagai zona penyangga yang memisahkan kawasan lindung dengan kawasan budidaya terbangun; dan f. Merehabilitasi fungsi lindung kawasan yang menurun akibat dampak pemanfaatan ruang yang berkembang di dalam dan di sekitar kawasan strategis nasional maupun provinsi. (3) Strategi kepentingan sosial budaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (3), meliputi : a. Meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap nilai budaya lokal yang mencerminkan jati diri komunitas lokal yang berbudi luhur; b. Mengembangkan penerapan ragam nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat; dan c. Melestarikan situs warisan budaya komunitas lokal yang beragam.
BAB III RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH Bagian Kesatu Umum Pasal 12 (1)
(2)
Rencana struktur ruang wilayah Kabupaten Bone Bolango meliputi : a. pusat-pusat kegiatan; b. sistem jaringan prasarana utama; dan c. sistem jaringan prasarana lainnya. Rencana struktur ruang wilayah digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran I, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Bagian Kedua Pusat-pusat Kegiatan Pasal 13
(1)
Pusat-pusat kegiatan yang ada di Kabupaten Bone Bolango sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a, terdiri atas : a. PKWp; b. PKL;
Halaman 16 dari 78
(2) (3) (4)
(5)
c. PPK; dan d. PPL PKWp sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yaitu Kecamatan Suwawa. PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu Tilongkabila dan Bone Raya . PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas : a. Kawasan Perkotaan Talumopatu di Kecamatan Tapa; b. Kawasan Perkotaan Oluhuta di Kecamatan Kabila; c. Kawasan Perkotaan Botu Barani di Kecamatan Kabila Bone; dan d. Kawasan Perkotaan Bilungala di Kecamatan Bone Pantai. PPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, terdiri atas : a. Desa Kaidundu di Kecamatan Bulawa; b. Desa Ayula Selatan di Kecamatan Bulango Selatan; c. Desa Bulotalangi di Kecamatan Bulango Timur; d. Desa Duano di Kecamatan Suwawa Tengah; e. Desa Dumbayabulan di Kecamatan Suwawa Timur; f. Desa Mongiilo di Kecamatan Bulango Ulu; g. Desa Molitongupo di Kecamatan Suwawa Selatan; h. Desa Timbuolo di Kecamatan Botupingge. i. Desa Boidu di Kecamatan Bulango Utara; dan j. Desa Taludaa di Kecamatan Bone. Bagian Ketiga Sistem Jaringan Prasarana Utama Pasal 14
Sistem jaringan prasarana utama yang ada di Kabupaten Bone Bolango sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b, terdiri atas : a. sistem jaringan transportasi darat; b. sistem jaringan transportasi perkeretaapian; dan c. sistem jaringan transportasi laut. Paragraf 1 Sistem Jaringan Transportasi Darat Pasal 15 (1) Sistem jaringan transportasi darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a, terdiri atas : a. Sistem jaringan LLAJ; dan b. Sistem jaringan LLASDP. (2) Sistem jaringan LLAJ sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a, terdiri atas : a. Sistem jaringan jalan; b. Jaringan prasarana LLAJ; dan
Halaman 17 dari 78
c. Jaringan layanan LLAJ. (3) Sistem jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, terdiri atas : a. Sistem jaringan primer, merupakan sistem jaringan jalan dengan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan; dan b. Sistem jaringan jalan sekunder, merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan. (4) Jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, terdiri atas : a. Arteri primer, terdiri atas : 1) Ruas jalan Taludaa – Pelabuhan Gorontalo; dan 2) Ruas jalan Taludaa – Botutonuo - Bulontala – Botupingge – Gorontalo. b. Kolektor primer, terdiri atas : 1) Ruas jalan Gorontalo- Suwawa – Tulabolo; 2) Ruas jalan Gorontalo – Tapa – Atinggola; 3) Ruas jalan Kabila – Tapa; dan 4) Ruas jalan Tulabolo – Aladi. c. Kolektor sekunder, terdiri atas : 1) Ruas jalan Buata – Tulabolo dengan panjang 16,7 km dan lebar 4,5m; 2) Ruas jalan SP.Tinaloga - SP.Bongoime; dan 3) Ruas jalan Sp. Bongoime – Kantor Bupati. d. Lokal primer, terdiri atas: 1) Ruas jalan Kantor Bupati - Danau Perintis dengan panjang 1,34 km dan lebar 12m; 2) Ruas jalan Danau Perintis - SP. Boludawa; 3) Ruas jalan SP. Boludawa - S. Bone; 4) Ruas jalan S. Bone - Jembatan Kabila; 5) Ruas jalan SP. Kantor Bupati - SP. Kejari dengan panjang 0,55 km dan lebar 4m; 6) Ruas jalan SP. Lonuo – SP. Bulotalangi dengan panjang 6 km dan lebar 4 m; 7) Ruas jalan SP. Bube – Bulotalangi dengan panjang 9,40 km dan lebar 4 m; 8) Ruas jalan SP. Bonedaa - SP. Botutonuo; 9) Ruas jalan SP. Langge - SP. Owata; 10) Ruas jalan Buata – Tulabolo dengan panjang 16,70 km dan lebar 4,5m; 11) Ruas jalan SP. Bunuo - SP. Owata; 12) Ruas jalan Boludawa- Bulontala dengan panjang 1,4 km dan lebar 4m;
Halaman 18 dari 78
13) Ruas jalan Bube-Bulotalangi dengan panjang 9,4 km dan lebar 4 m; 14) Ruas jalan SP.5 Bube – Moutong dengan panjang 1,1 km dan lebar 3m; 15) Ruas jalan Huluduotamo – SP.2 Lombongo dengan panjang 8 km dan lebar 4 m; 16) Ruas jalan Buata – Tulobolo dengan panjang 16,7 km dan lebar 4,5m; 17) Ruas jalan Dutohe – Dutohe Barat; 18) Ruas jalan SP.1 Tunggulo – SP. Huluduotamu dengan panjang 8 km dan lebar 3 m; 19) Ruas jalan SP Dutohe – Bube dengan panjang 3 km dan lebar 4 m; 20) Ruas jalan SP. Bongoime – Kantor Bupati dengan panjang 5,85 km dan lebar 10 m; 21) Ruas jalan SP. 1 Tunggulo – SP. Huluduotamu dengan panjang 8 km dan lebar 3 m; 22) Ruas jalan Boludawa – Bulontala dengan panjang 1,4 km dan lebar 4 m; 23) Ruas jalan Bube – Bulotalangi dengan panjang 9,4 km dan lebar 4 m; 24) Ruas jalan Huluduotamu – SP.2 Lombongo dengan panjang 8 km dan lebar 4 m; 25) Ruas jalan SP.5 Bube – Moutong dengan panjang 1,1 km dan lebar 3 m; 26) Ruas jalan Duano – Jembatan Gantung – Molintogupo dengan panjang 1,2 km dan lebar 3,5 m; 27) Ruas jalan Bulotalangi – SP. Talumopatu dengan panjang 2,4 km dan lebar 4 m; 28) Ruas jalan Ayula Utara – Toto Utara dengan panjang 4 km dan lebar 4 m; 29) Ruas jalan Bulotalangi – Huntu Selatan dengan panjang 2,8 km dan lebar 4 m; 30) Ruas jalan Bulotalangi - Tapa dengan panjang 2 km dan lebar 4 m; 31) Ruas jalan Huntu Utara – SP.2 Bulotalangi dengan panjang 2,8 km dan lebar 4 m; 32) Ruas jalan Tapa – Boidu dengan panjang 3,1 km dan lebar 4 m; 33) Ruas jalan Dunggala – Monggiilo dengan panjang 16,7 km dan lebar 4 m; 34) Ruas jalan Monggiilo – Buata dengan panjang 40 km; 35) Ruas jalan Tupa – Mongiilo dengan panjang 15 km; 36) Ruas jalan SP.3 Bulotalangi – Langge dengan panjang 5 km dan lebar 3 m; 37) Ruas jalan SP.1 Bulotalangi – Lonuo dengan panjang 6 km dan lebar 4 m;
Halaman 19 dari 78
38) Ruas jalan SP.1 Bulotalangi – SP.Lonuo dengan panjang 6 km dan lebar 3,5 m; 39) Ruas jalan SP.1 Longalo – Dehuwa dengan panjang 1,6 km dan lebar 3 m: 40) Ruas jalan Dutohe – SP.1 Bongoime dengan panjang 3 km dan lebar 3,5 m; 41) Ruas jalan SP. Oluhuta – SP. Poowo dengan panjang 2,8 km dan lebar 4 m; 42) Ruas jalan SP.1 Tumbihe – Buata dengan panjang 1,6 km dan lebar 4,5 m; 43) Ruas jalan Olohuta – Bulotalangi dengan panjang 6,8 km dan lebar 4,5 m; 44) Ruas jalan Dutohe – Dutohe Barat dengan panjang 0,8 km dan lebar 4 m; 45) Ruas jalan SP. Huangobotu – SP. Bulontala dengan panjang 35 km; 46) Ruas jalan SP.1 Tunggulo – SP. Huluduotamu dengan panjang 8 km dan lebar 3 m; 47) Ruas jalan SP. Lonuo – SP. Langge dengan panjang 8 km; 48) Ruas jalan SP. Dutohe – Bube dengan panjang 3 km dan lebar 4 m; dan 49) Ruas jalan SP. Buata – Luwohu dengan panjang 0,5 km dan lebar 3m. e. lokal sekunder, terdiri atas : 1) Ruas jalan Boludawa – SP. 1 Bube dengan panjang 1,1 km dan lebar 4 m; 2) Ruas jalan Boludawa – Bulontala dengan panjang 1,4 km dan lebar 4 m; 3) Ruas jalan Boludawa – Sungai dengan panjang 1 km dan lebar 4 m; 4) Ruas jalan SP.4 Bube – SP.3 Boludawa dengan panjang 1,1 km dan lebar 3 m; 5) Ruas jalan SP. Boludawa – Huluduotamu dengan panjang 3,3 km dan lebar 4 m; 6) Ruas jalan Boludawa - Polsek dengan panjang 0,7 km dan lebar 3 m; 7) Ruas jalan SP.3 Bube – SP.1 Boludawa dengan panjang 0,6 km dan lebar 4,5 m; 8) Ruas jalan SP.Boludawa – Polsek dengan panjang 0,6 km dan lebar 4 m; 9) Ruas jalan SP. Boludawa – SP.2 Tingkohubu dengan panjang 0,8 km dan lebar 3,5 m; 10) Ruas jalan Bts Ds Huluduotamu/BLW – Bts Dsn I Huluduotamu dengan panjang 1,1km dan lebar 3m;
Halaman 20 dari 78
11) Ruas jalan Duano – Lombongo dengan panjang 1,3 km dan lebar 4 m; 12) Ruas jalan SP.1 Duano – Sungai dengan panjang 0,7 km dan lebar 3 m; 13) Ruas jalan Duano – Jembatan Gantung – Molintogupo dengan panjang 1,2 km dan lebar 3,5 m; 14) Ruas jalan Duano – Lapangan – Perkebunan dengan panjang 1 km dan lebar 3 m; 15) Ruas jalan Bulotalangi – SP. Talumopatu dengan panjang 2,4 km dan lebar 4 m; 16) Ruas jalan Bulotalangi – Huntu Selatan dengan panjang 2,8 km dan lebar 4 m; 17) Ruas jalan Bulotalangi – Tapa dengan panjang 2 km dan lebar 4 m; 18) Ruas jalan Huntu Utara – SP.2 Bulotalangi dengan panjang 2,8 km dan lebar 4 m; 19) Ruas jalan Tapa – Boidu dengan panjang 3,1 km dan lebar 4 m; 20) Ruas jalan Dunggala – Monggiilo dengan panjang 16,7 km dan lebar 4 m; 21) Ruas jalan Talulobutu – SP. Bandungan dengan panjang 2 km dan lebar 3 m; 22) Ruas jalan Monggiilo – Buata dengan panjang 40 km; 23) Ruas jalan Tupa – Monggiilo dengan panjang 14 km; 24) Ruas jalan SP.3 Bulotalangi – Langge dengan panjang 5 km dan lebar 4 m; 25) Ruas jalan SP.1 Bulotalangi – Lonuo dengan panjang 6 km dan lebar 4 m; 26) Ruas jalan SP.1 Bulotalangi – SP.Lonuo dengan panjang 6 km dan lebar 4 m; 27) Ruas jalan Dutohe – SP.1 Bongoime dengan panjang 3 km dan lebar 4 m; 28) Ruas jalan SP. Oluhuta – SP. Poowo dengan panjang 2,8 km dan lebar 4 m; 29) Ruas jalan SP. Bongoime – Moutong dengan panjang 7,2 km dan lebar 4 m; 30) Ruas jalan Olohuta – Bulotalangi dengan panjang 6,8 km dan lebar 4,5 m; 31) Ruas jalan SP. Huangobotu – SP. Boluntala dengan panjang 35 km; 32) Ruas jalan SP. Bongoime – RSK Toto dengan panjang 0,7 km dan lebar 4 m; 33) Ruas jalan SP. Timbuolo – SP.1 Timbuolo dengan panjang 2 km dan lebar 4 m; 34) Ruas jalan SP.2 Timbuolo – Sungai dengan panjang 0,7 km dan lebar 4 m;
Halaman 21 dari 78
35) Ruas jalan Bilungala – Tulabolo dengan panjang 30 km; 36) Ruas jalan SP. Bilungala – Pel. Bilungala dengan panjang 1,2 km dan lebar 4,5 m; 37) Ruas jalan SP. Bilungala PDAM – Aladi dengan panjang 2 km dan lebar 4,5 m; 38) Ruas jalan Taludaa Timur – Pinobu’a dengan panjang 2,5 km dan lebar 4 m; 39) Ruas jalan Taludaa Barat – Langgea dengan panjang 3,4 km dan lebar 4,5 m; 40) Ruas jalan Huangobotu – Lopuo dengan panjang 3,5 km dan lebar 4 m; 41) Ruas jalan Huangobotu – Dutulakiki dengan panjang 1,8 km dan lebar 4 m; 42) Ruas jalan SP.2 Bilungala – SP. Pengadilan Bilungala dengan panjang 0,2 km dan lebar 4,5 m; 43) Ruas jalan SP.1 Bilungala – SP. Mesjd Jami Bilungala dengan panjang 0,2 km dan lebar 4,5 m; 44) Ruas jalan SP.3 Bilungala – SP.6 Bilungala Luwoo dengan panjang 0,5 km dan lebar 4,5 m; 45) Ruas jalan Pel. Bilungala – Tihu dengan panjang 0,7 km dan lebar 4 m; 46) Ruas jalan SP. PLN Bilungala – SP. Pel. Bilungala dengan panjang 1,2 km dan lebar 4,5 m; 47) Ruas jalan SP. Ktr. Camat Bone Pantai – SP. Ktr. PDK Bone Pantai dengan panjang 0,1 km dan lebar 4 m; 48) Ruas jalan Taludaa Pusat – Pasar Teluk Siaga dengan panjang 1 km dan lebar 4 m; 49) Ruas jalan Taludaa Timur – Dusun Hungayokiki dengan panjang 0,5 km dan lebar 4 m; 50) Ruas jalan SP. Oluhuta (lepin) – Uluhuta-Dotuhe; 51) Ruas jalan SP.Oluhuta – Oluhuta – Oluhuta Utara; 52) Ruas jalan Tulabolo Timur – Pinogu dengan panjang 38 km dan lebar 1,5 m; dan 53) Ruas jalan Botupingge – Kabila dengan panjang 3 km. (5) Jaringan prasarana LLAJ sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, terdiri atas : a. terminal penumpang tipe B terdapat di Kecamatan Suwawa dan Kecamatan Bone. b. terminal penumpang tipe C terdapat di Kecamatan Kabila, Kecamatan Tapa dan Kecamatan Bone Raya. (6) Jaringan layanan LLAJ sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c yaitu trayek angkutan umum, meliputi : a. TML Kota – Kabila, TML Kota – Suwawa, TML Kota – Timbuwolo;
Halaman 22 dari 78
b. TML Leato – Molotabu, TML Leato – Bilungala, TML Leyato – Monano, TML Leato– Tombulilato, TML Leato – Taludaa; c. TML 42 – Tapa – Bongopini; d. Rencana trayek Suwawa (Pasar Minggu) – Kabila – Kota Gorontalo (RS. Lama) – Jalan Dua Susun/Pengeran Hidayat – Tapa – Bulango Timur – Kabila - Suwawa (Kantor Bupati); dan e. Rencana trayek Tapa (Pasar Kamis) – Kota Gorontalo (RS. Lama) – Kabila – Suwawa (Kantor Bupati) – Pasar Minggu – Kabila – Bulango Timur – Tapa. (7) Sistem jaringan LLASDP sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 huruf b, meliputi lintasan penyeberangan dalam Kabupaten yaitu Kabila Bone – Bone. Paragraf 2 Sistem Jaringan Transportasi Perkeretaapian Pasal 16 Jaringan perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b, melalui stasiun kereta api Popayato dan Marisa di Kabupaten Pohuwato, Tilamuta di Kabupaten Boalemo, Isimu di Kabupaten Gorontalo, stasiun utama kereta api di Kota Gorontalo, Kwandang di Kabupaten Gorontalo Utara, merupakan jaringan perkeretaapian Provinsi Gorontalo yang melintasi wilayah Kabupaten Bone Bolango yang menuju stasiun kereta api di Taludaa. Paragraf 3 Sistem Jaringan Transportasi Laut Pasal 17 (1) Sistem jaringan transportasi laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c, meliputi; a. Tatanan kepelabuhanan; dan b. Alur pelayaran. (2) Tatanan kepelabuhanan di Kabupaten Bone Bolango sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas : a. Pelabuhan Umum, yaitu Pelabuhan Kabila Bone di Kecamatan Kabila Bone (Tahap perencanaan). b. Pelabuhan khusus/Terminal Khusus, terdiri atas : 1. Pelabuhan Perikanan Tongo di Kecamatan Bone Pantai; 2. Pelabuhan Perikanan Inengo di Kecamatan Kabila Bone; 3. Pelabuhan Perikanan Sogitia di Kecamatan Bone; dan 4. Terminal khusus penunjang sarana prasarana energi dan industri di Kecamatan Kabila Bone.
Halaman 23 dari 78
(3) Alur pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yaitu Botutonuo – Pulau Una-Una (Kabupaten Tojo Una-Una) - Parigi (Kabupaten Parugi Moutong) – Pagimana (Kabupaten Teluk Banggai). Bagian Keempat Sistem Jaringan Prasarana Lainnya Pasal 18 Sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf c, terdiri atas : a. sistem jaringan energi; b. sistem jaringan telekomunikasi; c. sistem jaringan sumber daya air; dan d. sistem prasarana pengelolaan lingkungan. Paragraf 1 Sistem Jaringan Energi Pasal 19 (1)
(2)
Sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, meliputi; a. Pembangkit tenaga listrik; dan b. Jaringan prasarana energi. Pembangkit tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas : a. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) pada wilayah-wilayah terpencil, terisolasi dan belum memiliki jaringan energi listrik yang tersebar di Kecamatan pinogu, Kecamatan Suwawa Timur ; Kecamatan Suwawa Tengah ; Kecamatan Suwawa Selatan ; Kecamatan Tilongkabila ; Kecamatan Kabila Bone ; Kecamatan Bone Pantai ; Kecamatan Bulango Ulu ; dan Kecamatan Botupingge. b. Pembangkit Listrik Tenaga Piko Hidro Kecamatan Suwawa Timur (Desa Tulabolo), Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro dan Tenaga Hidro di Kecamatan Suwawa Timur (Desa Poduwoma), Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro di Kecamatan Bone (Desa Ilohuuwa), Pembangkit Listrik Tenaga Piko Hidro di Kecamatan Bulango Utara (Desa Kopi), Pembangkit Listrik Tenaga Hidro di Kecamatan Bulango Ulu, Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH) di Desa Ilohuuwa, PLTM Bulango Utara di Desa Tuloa dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Kecamatan Pinogu. c. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kecamatan Kabila Bone; d. Pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (Goethermal) di Kecamatan Suwawa Selatan Desa Libungo dan Kecamatan Suwawa Tengah Desa Duano; dan e. Pemanfaatan energy baru terbarukan hidro power di Kecamatan Suwawa Timur.
Halaman 24 dari 78
(3)
Jaringan prasarana energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi jaringan transmisi tenaga listrik 275 Kv dan 150 Kv yang terdiri dari jaringan batas Sulawesi tengah – Molosipat – Popayato – Lemito – Motolohu – Marisa – Bumbulan – Tilamuta – Pentadu – Tangkobu - Isimu – Limboto - Gorontalo – Suwawa – Tulabolo. Paragraf 2 Sistem Jaringan Telekomunikasi Pasal 20
(1)
(2) (3)
(4)
Sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b, terdiri atas : a. Sistem jaringan kabel; dan b. Sistem jaringan nirkabel. Sistem jaringan kabel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yaitu di seluruh Kecamatan di Kabupaten Bone. Sistem jaringan nirkabel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu base transceiver station di perkotaan Tilongkabila, Suwawa, Kabila, Tapa, Botu Barani, Tombulilato, Taludaa, Tulabolo, Pinogu dan pada setiap Ibukota kecamatan yang tidak termasuk dalam pusat - pusat kegiatan. Pengelolaan sarana telekomunikasi sebagimana dimaksud pada ayat (1), mencakup sampai wilayah pelosok yang belum terjangkau jaringan telekomunikasi. Paragraf 3 Sistem Jaringan Sumber Daya Air Pasal 21
(1) Sistem jaringan sumberdaya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c, terdiri atas : a. Wilayah sungai lintas provinsi; b. Wilayah sungai lintas kabupaten/kota; c. Daerah aliran sungai; d. Daerah irigasi; dan e. Waduk Serba Guna. (2) Wilayah sungai lintas provinsi yang ada di Kabupaten Bone Bolango sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yaitu Wilayah Sungai Bolango – Bone. (3) Wilayah sungai lintas kabupaten yang ada di Kabupaten Bone Bolango sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yaitu Wilayah Sungai Bone, dan Bolango. (4) Daerah aliran sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, yaitu DAS Bolango, DAS Bone, DAS Bilungala, DAS Mamungaa Daa, DAS Monano 1, DAS Segitia Daa, DAS Tengkorak, DAS Tolotio, DAS Bangahu, DAS Iya, DAS Limboto, DAS Waluhu.
Halaman 25 dari 78
(5) Daerah irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, adalah Daerah Irigasi Lomaya, Alale dan Pilohayanga yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi. (6) Waduk serba guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf 3, yaitu di Kecamatan Suwawa Timur, Bulango Utara dan Kecamatan Bulango Ulu. Paragraf 4 Sistem Prasarana Pengelolaan Lingkungan Pasal 22 (1)
(2) (3)
(4) (5)
Sistem prasarana lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf d, meliputi : a. tempat pembuangan akhir (TPA); b. instalasi pengolahan air limbah (IPAL); c. instalasi tinja; dan d. sistem pengelolaan air minum (SPAM). TPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikembangkan dengan pola sanitary landfill pada Kecamatan Bulango Utara dengan luas lahan kurang lebih 5 ha. IPAL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dikembangkan pada instalasi rumah tangga terpadu, instalasi rumah sakit, instalasi farmasi, laboratorium, perumahan, rumah makan/restoran, tempat wisata dan instalasi sejenis lainnya. Instalasi tinja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dikembangkan pada wilayah dekat dengan TPA dengan luas lahan kurang lebih 2 ha. SPAM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dikembangkan pada pusat-pusat permukiman dengan memanfaatkan air permukaan terutama pada kawasan pusat kegiatan wilayah, kegiatan lokal dan pusat pelayanan kawasan yang terdiri dari : a. PKWp di Suwawa; b. PKL di Tilongkabila dan Bone Raya; dan c. PPK di Talulobutu, dan Tombulilato BAB IV RENCANA POLA RUANG WILAYAH Bagian Kesatu Umum Pasal 23
(1) (2)
Rencana pola ruang wilayah meliputi rencana kawasan lindung dan kawasan budidaya. Rencana pola ruang wilayah digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Halaman 26 dari 78
Bagian Kedua Kawasan Lindung Pasal 24 Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), terdiri atas : a. kawasan hutan lindung; b. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya; c. kawasan perlindungan setempat; d. kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya; e. kawasan rawan bencana alam; dan f. kawasan lindung geologi. Paragraf 1 Kawasan Hutan Lindung Pasal 25 1)
2)
Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 24 huruf a terdapat pada Kecamatan Bone (148,13 ha), Bone Pantai (2.623,84 ha), Botupingge (611,93 ha), Bulango Ulu (1.219, 66 ha), Bulango Utara (6.180,29 ha), Kabila Bone (1.884, 09 ha), Suwawa Selatan (2.853,65 ha), dan Kecamatan Suwawa Timur (407,96 ha) dengan total luasan kurang lebih 15.929,55 ha. Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) memiliki pengaturan sebagai berikut : a. Hutan lindung yang telah ada berdasarkan peraturan atau perundangan yang berlaku tetap dipertahankan. b. Penggunaan lahan yang telah ada (pemukiman, sawah, tegalan, tanaman tahunan, dan lain-lain) dalam kawasan ini perlu adanya pembatasan pendirian bangunan baru untuk pemukiman, sehingga fungsi lindung yang diemban dapat dilaksanakan. c. Penggunaan lahan yang akan mengurangi fungsi konservasi secara bertahap dialihkan fungsinya sebagai kawasan lindung sesuai kemampuan dana yang ada. d. Penggunaan lahan baru tidak diperkenankan bila tidak menjamin fungsi lindung terhadap hidrologis, kecuali jenis penggunaan yang sifatnya tidak bisa dialihkan (menara televisi, jaringan listrik, telepon, air minum) hal tersebut tetap memperhatikan azas konservasi.
Halaman 27 dari 78
Paragraf 2 Kawasan Yang Memberikan Perlindungan Terhadap Kawasan Bawahannya Pasal 26 1)
2)
Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b, yaitu kawasan resapan air. Kawasan resapan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdapat di Kecamatan Bone, Bone Pantai, Botupingge, Bulango Ulu, Bulango Utara, Kabila Bone, Suwawa Selatan dan Kecamatan Suwawa Timur. Paragraf 3 Kawasan Perlindungan Setempat Pasal 27
(1)
(2)
(3)
(4)
Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c, terdiri atas : a. kawasan sempadan pantai; b. kawasan sempadan sungai; c. kawasan sekitar danau/waduk; d. kawasan sekitar mata air; dan e. Kawasan ruang terbuka hijau. Kawasan sempadan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dengan panjang kurang lebih 60 km yang terdapat di sepanjang Pantai Kecamatan Kabila Bone, Kecamatan Bone Pantai, Kecamatan Bulawa, Kecamatan Bone Raya, dan Kecamatan Bone dengan ketentuan : a. daratan sepanjang tepian laut dengan jarak minimal 100 meter dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat; atau b. daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik pantainya curam atau terjal dengan jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik pantai. Kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdapat di sebagian wilayah Kabupaten Bone Bolango, meliputi : a. Kawasan sekitar Sungai Bone dan anak sungainya; b. Kawasan sekitar Sungai Bolango dan anak sungainya; c. Kawasan sekitar Sungai Polanggua dan anak sungainya; d. Kawasan sekitar Sungai Bilungala dan anak sungainya; e. Kawasan sekitar Sungai Taludaa dan anak sungainya; dan f. Kawasan sekitar Sungai Tapadaa dan anak sungainya. Kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan ketentuan sebagai berikut : a. daratan sepanjang tepian sungai bertanggul dengan lebar paling sedikit 5 (lima) meter dari kaki tanggul sebelah luar;
Halaman 28 dari 78
b. daratan sepanjang tepian sungai besar tidak bertanggul di luar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 100 (seratus) meter dari tepian sungai; dan c. daratan sepanjang tepian anak sungai tidak bertanggul diluar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari tepian sungai. (5) Kawasan sekitar danau/waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berada di sebagian Kecamatan Suwawa di Desa Ulantha dan Kecamatan Suwawa Timur di Desa Dumbaya Bulan, serta Kecamatan Suwawa Selatan di Desa Bondawuna. (6) Kawasan sekitar mata air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, terletak di : a. mata air di sekitar SPAM Lombongo di desa Lombongo; b. mata air di sekitar SPAM Ulantha di desa Ulantha; c. mata air di sekitar SPAM Tunggulo di desa Tunggulo; d. mata air di sekitar SPAM Meranti di desa Langge; e. mata air di sekitar SPAM Uabanga di desa Uabanga; f. mata air di sekitar SPAM Taludaa di desa Taludaa; g. mata air di sekitar SPAM Bulango Ulu di desa Mongiilo; h. mata air di sekitar SPAM Tinemba di desa Tinemba; i. mata air di sekitar SPAM Pangi di desa Pangi; j. mata air di sekitar SPAM Tulabolo di desa Tulabolo; dan k. mata air di sekitar SPAM Buata di desa Buata. (7) Kawasan sekitar mata air sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan ketentuan lebar garis sempadan ditetapkan radius 200 m dari mata air. (8) kawasan ruang terbuka hijau di Kabupaten Bone Bolango sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, terdiri atas : a. ruang terbuka hijau publik; dan b. ruang terbuka hijau privat. (9) ruang terbuka hijau publik di Kabupaten Bone Bolango sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf a diwujudkan melalui: a. mempertahankan ruang terbuka hijau alami, meliputi : 1) kawasan alun-alun kecamatan; dan 2) kawasan perkebunan b. mengembangkan ruang terbuka hijau buatan yang terdiri atas lapangan olahraga, taman kota, taman desa, taman kecamatan, median jalan dan jalur pejalan kaki yang lokasinya di setiap ibukota kecamatan yang tersebar diseluruh Kabupaten Bone Bolango dan di Kawasan Siap Bangun Kecamatan Tilongkabila. (10) ruang terbuka hijau privat sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf b meliputi pekarangan rumah tinggal dan halaman perkantoran terutama kompleks perkantoran Bone Bolango.
Halaman 29 dari 78
Paragraf 4 Kawasan Suaka Alam, Pelestarian Alam dan Cagar Budaya Pasal 28 (1)
Kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 24 huruf d, terdiri dari : a. kawasan taman nasional; b. kawasan konservasi laut; dan c. kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.
(2)
Kawasan taman nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdapat di: a. Kawasan Taman Nasional Bogani Wartabone di Kecamatan Bone dengan luas kurang lebih 8.940,91 ha; b. Kawasan Taman Nasional Bogani Wartabone di Kecamatan Bone Raya dengan luas kurang lebih 69,14 ha; c. Kawasan Taman Nasional Bogani Wartabone di Kecamatan Bulango Ulu dengan luas kurang lebih 20.226,04 ha; d. Kawasan Taman Nasional Bogani Wartabone di Kecamatan Bulango Utara dengan luas kurang lebih 143,22 ha; e. Kawasan Taman Nasional Bogani Wartabone di Kecamatan Suwawa dengan luas kurang lebih 4.511,64 ha; f.
Kawasan Taman Nasional Bogani Wartabone di Kecamatan Suwawa Tengah dengan luas kurang lebih 835,71 ha; g. Kawasan Taman Nasional Bogani Wartabone di Kecamatan Suwawa Timur dengan luas kurang lebih 69.691,32 ha; dan h. Kawasan Taman Nasional Bogani Wartabone di Kecamatan Tilongkabila dengan luas kurang lebih 1.346,07 ha. (3) Kawasan konservasi laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdapat di pantai Olele Desa Olele Kecamatan Kabila Bone seluas kurang lebih 2.460 ha. (4) Kawasan konservasi laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diusulkan untuk ditingkatkan menjadi 5000 ha secara bertahap hingga tahun 2031. (5) Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yaitu berupa Makam Nani Wartabone, Makam Hubulo dan makam lainnya yang memiliki nilai historis dan budaya.
Halaman 30 dari 78
Paragraf 5 Kawasan Rawan Bencana Alam Pasal 29 1) Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 24 huruf e, meliputi : a. rawan longsor; dan b. rawan banjir. 2) Kawasan rawan longsor sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) huruf a, meliputi : a. Kecamatan Bulango Timur (kerawanan rendah 619,75 ha ; kerawanan sedang 539,37 ha ; kerawanan tinggi 23,85); b. Kecamatan Bulango Utara (kerawanan rendah 1.294,6 ha ; kerawanan sedang 6.705,34 ha ; kerawanan tinggi 2.774,54 ha); c. Kecamatan Bulango Ulu (kerawanan rendah 1.977,14 ha ; kerawanan sedang 13.426,06 ha ; kerawanan tinggi 10.322,34); d. Kecamatan Bulango Selatan (kerawanan rendah 568,76 ha) e. Kecamatan Suwawa Timur (kerawanan rendah 11.368,19 ha ; kerawanan sedang 42.848 ha ; kerawanan tinggi 28.300,18); f. Kecamatan Suwawa Tengah (kerawanan rendah 931,88 ha ; kerawanan sedang 1.352,2 ha ; kerawanan tinggi 58,79); g. Kecamatan Suwawa Selatan (kerawanan rendah 1.163,31 ha ; kerawanan sedang 4.190,93 ha ; kerawanan tinggi 238,07); h. Kecamatan Suwawa (kerawanan rendah 1.154,4 ha ; kerawanan sedang 3.505,54 ha ; kerawanan tinggi 1.047,31); i. Kecamatan Tapa (kerawanan rendah 493,25 ha ; kerawanan sedang 743,32 ha ; kerawanan tinggi 29,3); j. Kecamatan Tilongkabila (kerawanan rendah 2.336,75 ha ; kerawanan sedang 2.377,75 ha ; kerawanan tinggi 33,89); k. Kecamatan Kabila (kerawanan rendah 1.273,84 ha); l. Kecamatan Kabila Bone (kerawanan rendah 1.154,4 ha ; kerawanan sedang 3.505,54 ha ; kerawanan tinggi 1.047,31); m. Kecamatan Bulawa (kerawanan rendah 339,18 ha ; kerawanan sedang 6.522,98 ha ; kerawanan tinggi 2.264,42); n. Kecamatan Bone Pantai (kerawanan rendah 889,05 ha ; kerawanan sedang 8.494,45 ha ; kerawanan tinggi 1.165,42); o. Kecamatan Bone Raya (kerawanan rendah 457,25 ha ; kerawanan sedang 1.797, 7 ha ; kerawanan tinggi 3.938,38); p. Kecamatan Bone (kerawanan rendah 835,96 ha ; kerawanan sedang 8.779,52 ha ; kerawanan tinggi 5.721,7); dan q. Kecamatan Botupingge (kerawanan rendah 455,19 ha ; kerawanan sedang 980,31 ha ; kerawanan tinggi 162,41). 3) Kawasan rawan longsor sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (2) dapat ditangani dan dikelola melalui; a. pengawasan dan pengendalian pembangunan perumahan baru di kawasan rawan longsor; b. kepadatan bangunan diarahkan dengan kepadatan rendah; c. harus ada pembatasan kepadatan dan pertumbuhan fisik dan/atau
Halaman 31 dari 78
aktivitas kawasan, diarahkan kurang dari 30 unit per hektar dengan luas lantai bangunan kurang dari 100 m2. 4) Kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) huruf b, meliputi : a. sebagian Kecamatan Bulango Timur (desa Bulotalangi, Bulotalangi Barat, Bulotalangi Timur, Popodu dan desa Toluwaya); b. sebagian Kecamatan Bulango Utara (desa Bandungan, Boidu, Kopi, Lomaya, Sukadamai dan desa Tupa); c. sebagian Kecamatan Tapa (desa Dunggala, Kramat, Langge, Talulobutu, Talulobutu Selatan dan desa Talumopatu); d. sebagian Kecamatan Bulango Selatan (desa Ayula Selatan, Ayula Tilango, Ayula Timur, Ayula Utara, Huntu Selatan, Huntu Utara, Lamahu, Mekar Jaya, Sejahtera dan desa Tinelo Ayula); e. sebagian Kecamatan suwawa (desa Boludawa, Bube, Bube Baru, Bubeya, Tinelo, Tingkohobu, Tingkohobu Timur dan desa Ulanta); f. sebagian Kecamatan Suwawa Selatan (desa Bondawuna, Bonde Raya, Bonedaa, Bulontala, Bulontala Timur, Libungo, Molintogupo dan desa Pancuran); g. sebagian Kecamatan Suwawa Timur (desa Dumbaya Bulan, Panggulo, Poduoma, Tilangobula, Tulabolo dan desa Tulabolo Timur); h. sebagian Kecamatan Suwawa Tengah (desa Alale, Duano, Lombongo, Lompotoo, Tapadaa dan desa Tolomato); i. sebagian Kecamatan Kabila Bone (desa Oluhuta); j. sebagian Kecamatan Bulawa (desa Kaidundu Barat, Mamungaa Timur dan desa Nyiur Hijau); k. sebagian Kecamatan Bone Pantai (desa Lembah Hijau, Tamboo dan desa Tolotio); l. sebagian Kecamatan Bone Raya (desa Mootayu); m. sebagian Kecamatan Bone (desa Bilolantunga, Cendana Putih, Inogaluma, Masiaga, Molamahu, Monano, Muara Bone, Sogitia, Taludaa, Tumbuh Mekar dan desa Waluhu); n. sebagian Kecamatan Botupingge (desa Buata, Luwohu, Panggulo, Panggulo Barat, Tanah Putih, Timbuolo, Timbuolo Tengah dan desa Timbuolo Timur); o. sebagian Kecamatan Kabila (desa Dutohe, Dutohe Barat, Oluhuta, Oluhuta Utara, Padengo, Pauwo, Poowo, Poowo Barat, Talango, Tanggilingo, Toto Selatan dan desa Tumbihe); dan p. sebagian Kecamatan Tilongkabila (Bongopini, Mootilango, Permata, Tamboo dan desa Tunggulo Selatan). 5) Kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (4) ditangani dan dikelola melalui; a. pengupayaan tidak peruntukkan sebagai kawasan permukiman; b. pembatasan kegiatan yang dapat merusak dan/atau mempengaruhi kelancaran sistem drainase; c. pemantapan kawasan lindung; d. reboisasi dengan tanaman khusus; e. pembuatan rumah panggung beserta jalur drainasenya; dan
Halaman 32 dari 78
f. penanganan dan pengelolaan kawasan rawan banjir dapat dilakukan melalui penambahan daerah resapan air. Paragraf 6 Kawasan Lindung Geologi Pasal 30 Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf f, yaitu kawasan rawan gempa bumi yang terdiri atas : a. stabil, meliputi Kecamatan Bone (4.018,91 ha) ; Bone Pantai (1.256,52 ha) ; Bone Raya (487,24 ha) ; Botupingge (26,5 ha) ; Bulango Selatan (0,74 ha) ; Bulango Timur (378,8 ha) ; Bulango Ulu (1.517,88 ha) ; Bulango Utara (817,78 ha) ; Bulawa (651,24 ha) ; Kabila Bone (224,53 ha) ; Suwawa (287,5 ha) ; Suwawa Selatan (1.839,7 ha) ; Suwawa Tengah (790,53 ha) ; Suwawa Timur (18.326,72 ha) ; Tapa (326,74 ha) dan Kecamatan Tilongkabila (943,27 ha). b. kurang stabil, meliputi Kecamatan Bone (11.317,91 ha) ; Bone Pantai (9.265,96 ha) ; Bone Raya (5.705,79 ha) ; Botupingge (1.571,2 ha) ; Bulango Selatan (567,94 ha) ; Bulango Timur (804,17 ha) ; Bulango Ulu (24.228,77 ha) ; Bulango Utara (9.956,37 ha) ; Bulawa (8.474,89 ha) ; Kabila (1.273,82 ha) ; Kabila Bone (5.574,72 ha) ; Suwawa (5.462,67 ha) ; Suwawa Selatan (3.752,24 ha) ; Suwawa Tengah (1.552,3 ha) ; Suwawa Timur (64.196,25 ha) ; Tapa (939,08 ha) dan Tilongkabila (3.805,09 ha). c. tidak stabil, meliputi Kecamatan Bone Pantai (25,82 ha) dan Kabila Bone (45,64 ha). Bagian Ketiga Kawasan Budidaya Pasal 31 Kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), terdiri atas : a. kawasan peruntukan hutan produksi; b. kawasan peruntukan pertanian; c. kawasan peruntukan perikanan; d. kawasan peruntukan pertambangan; e. kawasan peruntukan industri; f. kawasan peruntukan pariwisata; g. kawasan peruntukan permukiman; dan h. kawasan peruntukan lainnya.
Halaman 33 dari 78
Paragraf 1 Kawasan Peruntukan Hutan Produksi Pasal 32 (1) Kawasan peruntukan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 huruf a, terdiri dari : a. hutan produksi terbatas; dan b. hutan produksi tetap. (2) Kawasan hutan produksi terbatas sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf a, dengan luas kurang lebih 18.841,67 ha terdapat pada : a. Kecamatan Bone dengan luas kurang lebih 341,19 ha; b. Kecamatan Bone Pantai dengan luas kurang lebih 1.349,51 ha; c. Kecamatan Bone Raya dengan luas kurang lebih 3.923,18 ha; d. Kecamatan Bulango Ulu dengan luas kurang lebih 123,44 ha; e. Kecamatan Bulango Utara dengan luas kurang lebih 26,06 ha; f. Kecamatan Bulawa dengan luas kurang lebih 5.038,27 ha; g. Kecamatan Suwawa Selatan dengan luas kurang lebih 138,50 ha; dan h. Kecamatan Suwawa Timur dengan luas kurang lebih 7.901,52 ha; (3) Kawasan hutan produksi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dengan luas kurang lebih 824,04 ha terdapat pada : a. Kecamatan Bone dengan luas kurang lebih 621,84 ha; b. Kecamatan Bone Raya dengan luas kurang lebih 54,11 ha; dan c. Kecamatan Suwawa Selatan dengan luas kurang lebih 148,09 ha. Paragraf 2 Kawasan Peruntukan Pertanian Pasal 33 (1)
(2)
(3)
(4)
Kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf b, terdiri atas : a. kawasan peruntukan pertanian; b. kawasan peruntukan perkebunan; dan c. kawasan peruntukan peternakan. Kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dengan kurang lebih 11.456,54 ha terdapat di Kecamatan Bone, Bone Pantai, Bone Raya, Botupingge, Bulango Selatan, Bulango timur, Bulango Ulu, Bulango Utara, Bulawa, Kabila, Suwawa, Suwawa Selatan, Suwawa Tengah, Suwawa Timur, Tapa, Tilongkabila dan Kecamatan Pinogu. Kawasan peruntukan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdapat hampir di seluruh wilayah Kabupaten dengan luas kurang lebih 32.319,46 ha dan diarahkan untuk dapat mengembangkan kopi, kakao, mete, kelapa, cengkeh, panili, kemiri, enau, nilam serta buahan-buahan. Kawasan peruntukan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi :
Halaman 34 dari 78
a. Sentra ayam kampung di Kecamatan Suwawa Desa Tingkohobu dan Kecamatan Bone Pantai Desa Tongo; b. Sentra ayam ras petelur di Kecamatan Bulango Timur, Desa Bulotalangi Barat, Kecamatan Suwawa, Desa Huluduotamo dan kecamatan Tilongkabila, Desa Tamboo; c. Sentra ayam ras pedaging di Kecamatan Bulango Selatan Desa Ayula, Kecamatan Tilongkabila Desa Tamboo dan Kecamatan Tapa; d. Sentra kambing di Kecamatan Bulango Utara Desa Langge, Kecamatan Kabila Desa Dutohe dan Desa Talango, Kecamatan Bone Pantai Desa Bilungala; e. Sentra itik di Kecamatan Tilongkabila Desa Iloheluma dan Kecamatan Kabila Desa Talango; dan f. Sentra sapi potong di Kecamatan Bulango Ulu Desa Owata, Kecamatan Bulango Utara Desa Boidu, Kecamatan Suwawa Desa Huluduotamo, Kecamatan Suwawa Timur Desa Tilangobula, Kecamatan Kabila Desa Poowo Barat. Paragraf 3 Kawasan Peruntukan Perikanan Pasal 34 1)
Kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf c, terdiri atas : a. kawasan peruntukan perikanan tangkap, budidaya laut dan konservasi terumbu karang; b. kawasan peruntukan budidaya perikanan air tawar; dan c. kawasan pengolahan ikan. 2) Kawasan peruntukan perikanan tangkap, budidaya laut dan konservasi terumbu karang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berada di wilayah perairan Kab. Bone Bolango di WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan) 715 di Teluk Tomini yaitu di kecamatan Kabila Bone, Bone Pantai, Bulawa, Bone Raya dan Bone. 3) Kawasan peruntukan budidaya perikanan air tawar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikembangkan di Kecamatan Tapa, Bulango Timur, Kabila, Tilongkabila, Bulango Utara, Suwawa, Suwawa Tengah, Suwawa Timur, Pinogu, Bulango Selatan dan Kecamatan Botupingge. 4) Kawasan pengolahan/procesing ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dikembangkan di Kecamatan Kabila Bone. Paragraf 4 Kawasan Peruntukan Pertambangan Pasal 35 1)
Kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf d, merupakan kawasan yang telah ada kegiatan penambangan untuk memproduksi mineral dan/atau mineral ikutannya, terdiri atas :
Halaman 35 dari 78
2)
(3)
a. kawasan peruntukan pertambangan mineral bukan logam dan batuan; dan b. kawasan peruntukan pertambangan mineral logam. Kawasan potensi pertambangan mineral bukan logam dan batuan meliputi : a. pasir dan batu terdapat di sungai-sungai, baik sungai besar maupun sungai kecil di wilayah Kabupaten Bone Bolango. b. batu gamping, sebarannya meliputi Kecamatan : 1) Kecamatan Kabila Bone Desa Olele,Oluhuta,Molotabu dan desa Botutonuo; 2) Kecamatan Bone, Desa Ilohuuwa, Taludaa, Sogitia dan desa Monano; 3) Kecamatan Botupingge, Desa Tanah Putih, Luwohu, Buata, Timbuwolo dan desa Panggulo; c. batu granit, sebarannya terdapat di Kecamatan Suwawa Timur, Desa Dumbaya Bulan; d. batuan basal, sebarannya meliputi kecamatan : 1) Kecamatan Suwawa Timur, Desa Tilemba, Dumbaya Bulan, Tilangobula, Pangi, Poduwoma, Tulabolo dan desa Tulabolo Timur; 2) Kecamatan Bone, Desa Ilohuuwa, Taludaa, Sogitia dan desa Monano; 3) Kecamatan Bone Raya, Desa Alo,Tombulilato dan desa Pelita Jaya; 4) Kecamatan Bone Pantai, Desa Bilungala, Bilungala Utara dan desa Tamboo; 5) Kecamatan Kabila Bone, Desa Huangobotu dan desa Molotabu; 6) Kecamatan Suwawa Selatan, Desa Bulonthala Timur, Pancuran dan desa Libungo; 7) Kecamatan Botupingge, Desa Tanah Putih, Luwohu, Buata, Timbuwolo dan desa Panggulo; 8) Kecamatan Suwawa Tengah, Desa Duano, Alale, Lombongo, Tapadaa dan desa Lompotoo; 9) Kecamatan Suwawa, Desa Boludawa, Tingkohubu dan desa Ulatha; 10) Kecamatan Kabila, Desa Dutohe, Tanggilingo, Kelurahan Padengo, Keluarahan Oluhuta, Kelurahan Tumbihe dan Kelurahan Pauwo; 11) Kecamatan Bulango Utara, Desa Kopi, Tupa, Tuloa, Bunuo, Longalo, Sukadamai, Lomaya dan desa Bandungan; 12) Kecamatan Bulango Ulu, Desa Owata, Pilolaheya, Mongiilo dan desa Mongiilo Utara; 13) Kecamatan Tapa, Desa Langge, Meranti dan desa Dunggala; dan 14) Bulango Selatan, Desa Ayula Selatan, Ayula Utara dan Desa Ayula Tilango. Kawasan potensi pertambangan mineral logam meliputi : 1) Kecamatan Bone, Desa Bilolantunga, Cendana Putih, Ilohuuwa, Inogaluma, Moodulio, Molamahu, Monano, Muara Bone, Sogitia, Taludaa, Tumbuh Mekar dan Desa Waluhu;
Halaman 36 dari 78
(4)
(5)
2) Kecamatan Bone Raya, Desa Tombulilato, Moopiya, Mootinelo, Ilomata, Alo, Pelita Jaya dan Desa Mootayu; 3) Kecamatan Bulawa, Desa Bukit Hijau, Bunga Hijau, Kaidundu Barat, kaidundu, Mamongaa Timur, Mamongaa, Mopuya, Nyiur Hijau dan Desa Patoa; 4) Kecamatan Bone Pantai, Desa Tamboo, Tihu, Bilungala Utara, Kemiri, Pelita Hijau, Ombulo Hijau, Uabanga, Lembah Hijau dan Desa Tolotio; 5) Kecamatan Kabila Bone, Desa Oluhuta, Molotabu, Modelomo, Huangobotu, Botutonuo, Botu Barani, Bintalahe dan Desa Biluango; 6) Kecamatan Botupingge, Desa Timbuolo Timur, Timbuolo Tengah, Timbuolo, Tanah Putih, Panggulo Barat, Panggulo, Luwohu dan Desa Buata; 7) Kecamatan Suwawa, Desa Tingkohubu, Helumo, Huluduatamo dan Desa Ulantha; 8) Kecamatan Suwawa Selatan, Desa Pancuran, Molintogupo, Libungo, Bulontala Timur, Bulontala, Bonedaa, Bonda Raya dan Desa Bondauna; 9) Kecamatan Suwawa Tengah, Desa Tapadaa, Lompotoo, Tolomato, Lombongo, Duano dan Desa Alale; 10) Kecamatan Suwawa Timur, Desa Tilangobula, Tulabolo Timur, Tulabolo, Poduoma, Panggulo dan Desa Tulabolo Barat; 11) Kecamatan Tapa, Desa Dunggala, Meranti dan Desa Langge; 12) Kecamatan Bulango Ulu, Desa Ilomata, Mongiilo, Mongiilo Utara, Owata, Pilolaheya, Suka Makmur dan Desa UPT Owata; 13) Kecamatan Bulango Utara, Desa Longalo, Tuloa, Kopi, Tupa dan Desa Bunuo; 14) Kecamatan Tilongkabila, Desa Lonuo, Tamboo dan Desa Tunggulo; dan 15) Kecamatan Pinogu, Desa Bangio. Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2) dan (3) yang telah dikelola oleh masyarakat, wajib diprioritaskan pengelolaannya kepada masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kawasan peruntukan Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimasukkan dalam wilayah pertambangan yang dituangkan dalam lembar peta bentuk cetak maupun digital. Paragraf 5 Kawasan Peruntukan Industri Pasal 36
(1)
Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf e, terdiri atas : a. kawasan peruntukan industri besar; b. kawasan peruntukan industri sedang; dan c. kawasan peruntukan industri rumah tangga.
Halaman 37 dari 78
(2) (3) (4)
kawasan peruntukan industri besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yaitu kawasan industri perikanan di wilayah Kecamatan Kabila Bone. kawasan peruntukan industri sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yaitu Kawasan agroindustri di wilayah Kecamatan Suwawa dan Suwawa Tengah. Kawasan industri rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, yaitu Kawasan industri budaya dan kerajinan berupa karawang, kue-kue khas daerah dan aneka kerajinan lokal lainnya di wilayah Tapa dan Bulango. Paragraf 6 Kawasan Peruntukan Pariwisata Pasal 37
(1) Kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf f, terdiri atas : a. kawasan peruntukan pariwisata budaya; b. kawasan peruntukan pariwisata alam; dan c. kawasan peruntukan pariwisata buatan. (2) Kawasan peruntukan pariwisata budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi wisata : a. Makam Nani Wartabone di Desa Bube Baru Kecamatan Suwawa; b. Makam Hubulo di Desa Kramat Kecamatan Tapa; c. Makam Raja Bulonggodu di Desa Dunggala Kecamatan Tapa; d. Makam Manuli Sastrawan Lisan (Tanggomo) Desa Popodu, Kecamatan Tapa; dan e. Makam Kramat di Desa Pinogu Kecamatan Pinogu. (3) Kawasan peruntukan pariwisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi : a. Air Panas Lombongo, di Desa Lombongo, Kecamatan Suwawa Tengah; b. Air Panas Libungo di Desa Libungo, Kecamatan Suwawa Selatan; c. Air Panas Pangi di Desa Pangi, Kecamatan Suwawa Timur; d. Air Terjun Ilohuuwa di Desa Ilohuuwa, Kecamatan Bone; e. Air Terjun Meranti di Desa Meranti, Kecamatan Tapa; f. Danau Perintis di wilayah Kecamatan Suwawa; g. Taman Laut Olele, Kecamatan Kabila Bone; h. Pantai Botutonuo, Kecamatan Kabila bone; i. Pantai Molotabu, Kecamatan Kabila bone; j. Pantai Huangobotu, Kecamatan Kabila Bone; k. Pantai Botubarani, Kecamatan Kabila Bone. l. Pantai Bulawa di Kecamatan Bulawa; m. Taman Nasional Bogani Nani Wartabone; n. Air Terjun Molotabu di Desa Molotabu, Kecamatan Kabila Bone; o. Pantai Pasir Putih di Desa Nyiur Hijau, Kecamatan Bulawa; p. Pantai Pasir Putih di Desa Kaidundu Barat, Kecamatan Bulawa;
Halaman 38 dari 78
(4) Kawasan peruntukan pariwisata buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi : a. riverside jasa dan pariwisata meliputi sepanjang sungai bone di Kecamatan Kabila dan Kecamatan Suwawa; dan b. kawasan wisata kuliner di Kelurahan Oluhuta, Kecamatan Kabila. Paragraf 7 Kawasan Peruntukan Permukiman Pasal 38 (1) Kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf g, terdiri atas : a. kawasan peruntukan permukiman perkotaan; dan b. kawasan peruntukan permukiman perdesaan. (2) Kawasan peruntukan permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdapat di kawasan perkotaan Suwawa, Kabila, Tilongkabila, Tapa dan Bulango Selatan. (3) Kawasan peruntukan permukiman perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b terdapat di seluruh wilayah Kabupaten selain kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Paragraf 8 Kawasan Peruntukan Lainnya Pasal 39 (1)
(2) (3) (4) (5)
Kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 huruf h, meliputi : a. kawasan pergudangan; b. kawasan olahraga; c. taman pemakanan umum (TPU); d. kawasan pengolahan pemurnian mineral logam, bukan logam dan batuan; e. Air Minum Dalam Kemasan (AMDK); dan f. Kawasan sarana prasarana perkantoran provinsi dan instansi vertical lainnya; dan g. Kawasan areal transmigrasi kawasan pergudangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikembangkan di Kecamatan Botupingge; kawasan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikembangkan di Kecamatan Tilongkabila; taman pemakaman umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dikembangkan di Kecamatan Tilongkabila; kawasan Pengolahan Pemurnian Mineral Logam, Bukan Logam dan Batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dikembangkan di wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP).
Halaman 39 dari 78
(6) (7) (8)
Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dikembangkan di Kecamatan Tilongkabila. Kawasan Sarana Prasarana Perkantoran Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dikembangkan di Kecamatan Kabila, Tilongkabila dan Kecamatan Bulango Selatan. Kawasan Areal Transmigrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dikembangkan di Kecamatan Bone Pantai. BAB V PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS Pasal 40
(1) Kawasan strategis yang ada di Kabupaten Bone Bolango, terdiri atas : a. kawasan strategis nasional; b. kawasan strategis provinsi; dan c. kawasan strategis kabupaten. (2) Rencana kawasan strategis digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran III, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Pasal 41 Kawasan strategis nasional yang terdapat di Kabupaten Bone Bolango, sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 ayat (1) huruf a yaitu berupa kawasan strategis dari sudut pandang kepentingan pertahanan dan keamanan negara meliputi lahan-lahan yang digunakan dan dikuasai oleh institusi pertahanan keamanan Negara, terdiri atas : a. pengembangan Lantamal Angkatan Laut; dan b. Kepolisian Air di Kecamatan Kabila Bone. Pasal 42 Kawasan Strategis Provinsi yang terdapat di Kabupaten Bone Bolango sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf b, terdiri atas : a. kawasan wisata terpadu tirta, sejarah dan kerajinan tangan serta seni dan budaya di Kecamatan Tapa; b. kawasan blok tambang emas Bone Bolango yang merupakan kawasan strategis dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi; c. Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Kabupaten Bone Bolango yang merupakan kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup; dan d. Kawasan Pendidikan Kabila dan Suwawa.
Halaman 40 dari 78
Pasal 43 (1)
(2)
(3)
(4)
Kawasan strategis kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf c yaitu : a. kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan ekonomi ; b. kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan; dan c. kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan sosial budaya; Kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan ekonomi yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas : 1. Kawasan pusat pemerintahan Kabupaten di Kecamatan Suwawa; 2. Kawasan perdagangan dan jasa di Kecamatan Kabila dan Kecamatan Tilongkabila; 3. Kawasan industri rumah tangga, di Kecamatan Tapa dan kawasan agroindustri di Kecamatan Suwawa; 4. Kawasan Strategis Sungai Bone sebagai kawasan jasa dan pariwisata; dan 5. Kawasan Strategis Bone Pesisir sebagai kawasan minapolitan, pariwisata dan industri pengolahan perikanan. Kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas : a. Kawasan Air Panas Lombongo, Desa Lombongo, Kecamatan Suwawa Tengah; b. Kawasan Air Panas Libungo, Desa Libungo, Kecamatan Suwawa Selatan; c. Air Terjun Ilohuuwa Desa Ilohuuwa, Kecamatan Bone; d. Kawasan Danau Perintis, Kecamatan Suwawa; e. Kawasan Taman Laut Olele, Desa Olele, Kecamatan Kabila Bone; f. Kawasan Pantai Botutonuo – Molotabu – Huangobotu, Kecamatan Kabila Bone; dan g. Kawasan Pantai Bulawa, Kecamatan Bulawa. Kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut pandang kepentingan sosial budaya, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas : a. Kawasan Cagar Budaya/Sejarah dan Makam Nani Wartabone, Kecamatan Suwawa; b. Kawasan Pendidikan di Kecamatan Tilongkabila - Suwawa; c. Kawasan Siap Bangun (KASIBA), di Kecamatan Tilongkabila Desa Moutong, Desa Iloheluma, Desa Butu dan Kecamatan Suwawa Desa Huluduotamo; d. Kawasan Desa Adat, di Kecamatan Pinogu; dan e. Kawasan Strategis “Integrated Eduecotourism” di Kecamatan Tapa.
Halaman 41 dari 78
Pasal 44 (1) Untuk operasionalisasi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bone Bolango disusun Rencana Rinci Tata Ruang berupa Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten. (2) Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. BAB VI ARAHAN PEMANFAATAN RUANG Pasal 45 (1) (2)
Pemanfaatan ruang wilayah dilaksanakan melalui penyusunan dan pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta perkiraan pendanaannya. Perkiraan pendanaan program pemanfaatan ruang disusun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 46
(1)
(2)
(3)
Pendanaan program pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) disusun berdasarkan indikasi program utama lima tahunan sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Pendanaan program pemanfaatan ruang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, investasi swasta, investasi masyarakat dan kerja sama pendanaan. Kerja sama pendanaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VII KETENTUAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG Bagian Kesatu Umum Pasal 47
(1) (2)
Arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten menjadi acuan pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten; Arahan pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. ketentuan umum peraturan zonasi; b. perizinan; c. ketentuan intensif dan disinsentif; dan d. arahan sanksi.
Halaman 42 dari 78
Bagian Kedua Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Pasal 48 (1) (2)
Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a, menjadi pedoman bagi penyusunan peraturan zonasi oleh pemerintah kabupaten. Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi : a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung; b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budidaya; Paragraf 1 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Kawasan Lindung Pasal 49
(1)
(2)
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) huruf a, terdiri atas : a. kawasan hutan lindung; b. kawasan resapan air; c. kawasan sempadan pantai; d. kawasan sempadan sungai; e. kawasan sempadan mata air; f. kawasan ruang terbuka hijau; g. kawasan suaka alam; h. kawasan suaka marga satwa; i. kawasan zonasi terumbu karang; j. kawasan taman nasional; k. kawasan rawan bencana; dan l. kawasan lindung geologi. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b, terdiri atas : a. kawasan hutan produksi terbatas; b. kawasan hutan rakyat; c. kawasan perkebunan; d. kawasan pertanian; e. kawasan perikanan; f. kawasan peternakan; g. kawasan pertambangan; h. kawasan industri; i. kawasan pariwisata; j. kawasan permukiman; k. kawasan koridor transportasi; dan l. kawasan peruntukan lainnya.
Halaman 43 dari 78
Pasal 50 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf a, yaitu : a. Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung dilakukan dengan ketentuan : 1) tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya; 2) pengolahan tanah terbatas; 3) tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi; 4) tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat;dan/atau 5) tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam. b. Kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung masih diperkenankan sepanjang tidak dilakukan secara terbuka, dengan syarat harus dilakukan reklamasi areal bekas penambangan sehingga kembali berfungsi sebagai kawasan lindung; c. Kawasan hutan lindung dapat dikelola atau dipinjampakaikan sepanjang mengikuti prosedur dan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. Pembangunan prasarana wilayah yang harus melintasi hutan lindung dapat diperkenankan dengan ketentuan : 1) tidak menyebabkan terjadinya perkembangan pemanfaatan ruang budidaya di sepanjang jaringan prasarana tersebut. 2) mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 51 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan resapan air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf b, ditetapkan sebagai berikut : a. Dalam kawasan resapan air tidak diperkenankan adanya kegiatan budidaya; b. Permukiman yang sudah terbangun di dalam kawasan resapan air sebelum ditetapkan sebagai kawasan lindung masih diperkenankan namun harus memenuhi syarat : 1) Tingkat kerapatan bangunan rendah (KDB maksimum 20%, dan KLB maksimum 40%). 2) Perkerasan permukaan menggunakan bahan yang memiliki daya serap air tinggi. 3) Dalam kawasan resapan air wajib dibangun sumur-sumur resapan sesuai ketentuan yang berlaku. Pasal 52 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf c, ditetapkan sebagai berikut : a. kawasan sempadan pantai ditetapkan 100 meter dari titik pasang tertinggi; b. dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk dalam zona inti wilayah
Halaman 44 dari 78
pesisir dan pulau-pulau kecil tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya kecuali kegiatan penelitian, bangunan pengendali air, dan sistem peringatan dini (early warning system); c. dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk zona pemanfaatan terbatas dalam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya pesisir, ekowisata, dan perikanan tradisional; dan d. dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk zona lain dalam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya sesuai peruntukan kawasan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 53 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf d, ditetapkan sebagai berikut : a. kawasan sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kiri-kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai dengan lebar sempadan sebagai berikut : 1) bertanggul dan berada dalam kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 5 (lima) meter dari kaki tanggul sebelah luar 2) tidak bertanggul dan berada diluar kawasan permukiman dengan lebar minimal paling sedikit 100 (seratus) meter dari tepi sungai 3) tidak bertanggul pada sungai kecil diluar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari tepi sungai. b. dalam kawasan sempadan sungai tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya yang mengakibatkan terganggunya fungsi sungai; c. dalam kawasan sempadan sungai masih diperkenankan dibangun prasarana wilayah dan utilitas lainnya dengan ketentuan : 1) tidak menyebabkan terjadinya perkembangan pemanfaatan ruang budidaya di sepanjang jaringan prasarana tersebut. 2) dilakukan sesuai ketentuan peraturan yang berlaku. Pasal 54 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan mata air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf e, ditetapkan sebagai berikut : a. dalam kawasan sempadan mata air tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya yang dapat merusak mata air; dan b. dalam kawasan sempadan mata air masih diperkenankan dilakukan kegiatan penunjang pariwisata alam sesuai ketentuan yang berlaku. Pasal 55 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf f, ditetapkan sebagai berikut :
Halaman 45 dari 78
a. kawasan ruang terbuka hijau untuk wilayah kabupaten berupa hutan seluas paling sedikit 30% dari luas Kabupaten Bone Bolango. b. kawasan ruang terbuka hijau tidak diperkenankan dialihfungsikan. c. dalam kawasan ruang terbuka hijau masih diperkenankan dibangun fasilitas pelayanan sosial secara terbatas dan memenuhi ketentuan yang berlaku. d. pendirian bangunan yang dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan rekreasi; dan e. pelarangan semua jenis kegiatan yang dapat menurunkan luas, nilai ekologis, dan estetika kawasan. Pasal 56 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf g, ditetapkan sebagai berikut : a. tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya yang mengakibatkan rusak dan menurunnya fungsi kawasan; b. tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya skala besar atau skala usaha dan eksploitasi sumber daya alam yang mengakibatkan menurunnya potensi biota alam; c. dalam kawasan suaka alam dilarang melakukan pemanfaatan biota yang dilindungi; dan d. masih diperkenankan dilakukan kegiatan pariwisata alam secara terbatas dan kegiatan penelitian. Pasal 57 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan suaka marga satwa sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 ayat (1) huruf h, ditetapkan sebagai berikut : a. tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya yang mengakibatkan rusak dan menurunnya fungsi kawasan; b. ketentuan pelarangan terhadap penanaman flora dan pelepasan satwa yang bukan merupakan flora dan satwa endemik kawasan; dan c. dalam kawasan suaka marga satwa masih diperbolehkan dilakukan kegiatan penelitian dan wisata alam sepanjang tidak merusak lingkungan. Pasal 58 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan terumbu karang sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 ayat (1) huruf i, ditetapkan sebagai berikut : a. dalam zonasi kawasan terumbu karang dilarang dilakukan kegiatan budidaya yang menyebabkan menurunnya fungsi kawasan b. tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya skala besar atau skala usaha dan eksploitasi sumber daya alam yang mengakibatkan menurunnya potensi biota alam; dan c. masih diperkenankan dilakukan kegiatan pariwisata alam secara terbatas dan kegiatan penelitian.
Halaman 46 dari 78
Pasal 59 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan taman nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf j, ditetapkan sebagai berikut : a. dalam kawasan taman nasional dilarang dilakukan kegiatan budidaya yang menyebabkan menurunnya fungsi kawasan; b. dalam kawasan taman nasional dilarang dilakukan penebangan pohon dan perburuan satwa yang dilndungi undang-undang; c. dalam kawasan taman nasional dan taman nasional laut masih diperbolehkan dilakukan kegiatan penelitian dan wisata alam sepanjang tidak merusak lingkungan; dan d. dalam kawasan taman nasional dan taman nasional laut masih diperbolehkan dilakukan pembangunan prasarana wilayah dan prasarana bawah laut sepanjang tidak merusak atau mengurangi fungsi kawasan. Pasal 60 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf k, ditetapkan sebagai berikut : a. perkembangan kawasan permukiman yang sudah terbangun di dalam kawasan rawan bencana alam harus dibatasi dan diterapkan peraturan bangunan (building code) sesuai dengan potensi bahaya/bencana alam, serta dilengkapi jalur evakuasi; b. kegiatan-kegiatan vital/strategis diarahkan untuk tidak dibangun pada kawasan rawan bencana; c. dalam kawasan rawan bencana masih dapat dilakukan pembangunan prasarana penunjang untuk mengurangi resiko bencana alam dan pemasangan sistem peringatan dini (early warning system); d. dalam kawasan rawan bencana alam masih diperkenankan adanya kegiatan budidaya seperti pertanian, perkebunan dan kehutanan serta bangunan yang berfungsi untuk mengurangi resiko yang timbul akibat bencana alam; dan e. dalam kawasan rawan bencana alam pada tingkat kerawanan rendah dan kerawanan sedang, masih diperkenankan untuk melakukan kegiatan pertambangan dengan memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 61 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 ayat (1) huruf l, ditetapkan sebagai berikut : a. pada kawasan cagar alam geologi tidak diperkenankan adanya kegiatan permukiman; b. kegiatan permukiman yang sudah terlanjur terbangun pada kawasan rawan bencana geologi harus mengikuti peraturan bangunan (building code) yang sesuai dengan potensi bencana geologi yang mungkin timbul dan dibangun jalur evakuasi;
Halaman 47 dari 78
c. pada kawasan bencana alam geologi budidaya permukiman dibatasi dan bangunan yang ada hatus mengikuti ketentuan bangunan pada kawasan rawan bencana alam geologi; d. pada kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah tidak diperkenankan adanya bangunan terkecuali bangunan yang terkait dengan sistem jaringan prasarana wilayah dan pengendali air; e. dalam kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah masih diperkenankan budidaya pertanian, perkebunan dan kehutanan sepanjang tidak mengganggu fungsi lindung terhadap air tanah; f. pada kawasan lindung geologi masih diperkenankan dilakukan budidaya pertanian, perkebunan dan kehutanan. Paragraf 2 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Kawasan Budidaya Pasal 62 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan produksi terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf a, ditetapkan sebagai berikut : a. dalam kawasan hutan produksi tidak diperkenankan adanya kegiatan budidaya kecuali kegiatan kehutanan dan pembangunan sistem jaringan prasarana wilayah dan bangunan terkait dengan pengelolaan budidaya hutan produksi; b. kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dapat dalihfungsikan untuk kegiatan lain di luar kehutanan setelah potensi hutan tersebut dimanfaatkan dan sesuai peraturan perundangan yang berlaku; c. kegiatan kehutanan dalam kawasan hutan produksi tidak diperkenankan menimbulkan gangguan lingkungan seperti bencana alam; d. kawasan hutan produksi tidak dapat dialihfungsikan untuk kegiatan lain di luar kehutanan; e. sebelum kegiatan pengelolaan hutan produksi dilakukan wajib dilakukan studi kelayakan dan studi AMDAL yang hasilnya disetujui oleh tim evaluasi dari lembaga yang berwenang. Pasal 63 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b, ditetapkan sebagai berikut : a. kegiatan pengusahaan hutan rakyat diperkenankan dilakukan terhadap lahan - lahan yang potensial dikembangkan di seluruh wilayah kabupaten; b. kegiatan pengusahaan hutan rakyat tidak diperkenankan mengurangi fungsi lindung, seperti mengurangi keseimbangan tata air, dan lingkungan sekitarnya; c. kegiatan dalam kawasan hutan rakyat tidak diperkenankan menimbulkan gangguan lingkungan seperti bencana alam, seperti longsor dan banjir; d. pengelolaan hutan rakyat harus mengikuti peraturan perundangundangan;
Halaman 48 dari 78
e. pengusahaan hutan rakyat oleh badan hukum dilakukan harus dengan melibatkan masyarakat setempat. Pasal 64 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf c, ditetapkan sebagai berikut : a. dalam kawasan perkebunan dan perkebunan rakyat tidak diperkenankan penanaman jenis tanaman perkebunan yang bersifat menyerap air dalam jumlah banyak, terutama kawasan perkebunan yang berlokasi di daerah hulu/kawasan resapan air; b. bagi kawasan perkebunan besar tidak diperkenankan merubah jenis tanaman perkebunan yang tidak sesuai dengan perizinan yang diberikan; c. dalam kawasan perkebunan besar dan perkebunan rakyat diperkenankan adanya bangunan yang bersifat mendukung kegiatan perkebunan dan jaringan prasarana wilayah; d. alih fungsi kawasan perkebunan menjadi fungsi lainnya dapat dilakukan sepanjang sesuai dan mengikuti ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; e. sebelum kegiatan perkebunan besar dilakukan diwajibkan untuk dilakukan studi kelayakan dan studi AMDAL yang hasilnya disetujui oleh tim evaluasi dari lembaga yang berwenang. Pasal 65 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf d, ditetapkan sebagai berikut : a. kegiatan budidaya pertanian tanaman pangan lahan basah dan lahan kering tidak diperkenankan menggunakan lahan yang dikelola dengan mengabaikan kelestarian lingkungan, misalnya penggunaan pupuk yang menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, dan pengolahan tanah yang tidak memperhatikan aspek konservasi; b. dalam pengelolaan pertanian tanaman pangan lahan basah tidak diperkenankan pemborosan penggunaan sumber air; c. peruntukan budidaya pertanian pangan lahan basah dan lahan kering diperkenankan untuk dialih fungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kecuali lahan pertanian tanaman pangan yang telah mempunyai ketetapan hukum. Pasal 66 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf e, ditetapkan sebagai berikut : a. kawasan budidaya perikanan tidak diperkenankan berdekatan dengan kawasan yang bersifat polutif; b. dalam kawasan perikanan masih diperkenankan adanya kegiatan lain yang bersifat mendukung kegiatan perikanan dan pembangunan sistem
Halaman 49 dari 78
jaringan prasarana sesuai ketentuan yang berlaku; c. kawasan perikanan diperkenankan untuk dialih fungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 67 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peternakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 ayat (2) huruf f, ditetapkan sebagai berikut : a. kawasan budidaya peternakan tidak diperkenankan berdekatan dengan kawasan permukiman; b. dalam kawasan peternakan masih diperkenankan adanya kegiatan lain yang bersifat mendukung kegiatan peternakan dan pembangunan sistem jaringan prasarana sesuai ketentuan yang berlaku; c. kawasan peternakan diperkenankan untuk dialih fungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 68 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 ayat (2) huruf g, ditetapkan sebagai berikut : a. Setiap kegiatan pertambangan harus mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Kawasan peruntukan pertambangan hanya terbatas untuk kepentingan kegiatan produksi; c. Kegiatan operasi produksi pertambangan mineral logam dilarang dilakukan dengan cara penambangan terbuka. d. Kegiatan operasi pertambangan terbuka dimungkinkan untuk dilaksanakan setelah diatur secara khusus pada ketentuan lebih lanjut. e. Untuk pemberian izin pertambangan harus menjamin, menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat setempat. f. Kegiatan operasi produksi pertambangan batuan dilarang mengganggu struktur pondasi bangunan strategis seperti bendungan, irigasi, jembatan, dan jalan raya. g. kawasan pasca tambang wajib dilakukan rehabilitasi, reklamasi dan revitalisasi untuk perbaikan kualitas lingkungan; h. Pada kawasan peruntukan pertambangan diperkenankan adanya kegiatan lain yang bersifat mendukung kegiatan pertambangan; i. Kegiatan permukiman diperkenankan secara terbatas untuk menunjang kegiatan pertambangan dengan tetap memperhatikan aspek-aspek keselamatan; j. Setiap kegiatan usaha pertambangan wajib memiliki izin lingkungan (UKL/UPL dan AMDAL) sebagai prasyarat memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan pertambangan. Pasal 69 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf h, ditetapkan sebagai berikut :
Halaman 50 dari 78
a. untuk meningkatkan produktifitas dan kelestarian lingkungan pengembangan kawasan industri harus memperhatikan aspek ekologis; b. lokasi kawasan industri tidak diperkenankan berbatasan langsung dengan kawasan permukiman; c. pada kawasan industri diperkenankan adanya permukiman penunjang kegiatan industri yang dibangun sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku; d. pada kawasan industri masih diperkenankan adanya sarana dan prasarana wilayah sesuai dengan ketentuan yang berlaku; e. pengembangan kawasan industri harus dilengkapi dengan jalur hijau (greenbelt) sebagai penyangga antar fungsi kawasan, dan sarana pengolahan limbah. f. pengembangan zona industri yang terletak pada sepanjang jalan arteri atau kolektor harus dilengkapi dengan frontage road untuk kelancaran aksesibilitas; g. setiap kegiatan industri harus dilengkapi dengan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan serta dilakukan studi AMDAL; Pasal 70 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf i, ditetapkan sebagai berikut : a. pada kawasan pariwisata alam tidak diperkenankan dilakukan kegiatan yang dapat menyebabkan rusaknya kondisi alam terutama yang menjadi obyek wisata alam; b. dalam kawasan pariwisata dilarang dibangun permukiman dan industri yang tidak terkait dengan kegiatan pariwisata; c. dalam kawasan pariwisata diperkenankan adanya sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan pariwisata dan sistem prasarana wilayah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; d. pada kawasan pariwisata diperkenankan dilakukan penelitian dan pendidikan. e. pada kawasan pariwisata alam tidak diperkenankan adanya bangunan lain kecuali bangunan pendukung kegiatan wisata alam; f. pengembangan pariwisata harus dilengkapi dengan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan serta studi AMDAL. Pasal 71 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf j, ditetapkan sebagai berikut : a. peruntukan kawasan permukiman diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. pada kawasan permukiman diperkenankan adanya sarana dan prasarana pendukung fasilitas permukiman sesuai dengan petunjuk teknis dan peraturan yang berlaku; c. dalam kawasan permukiman masih diperkenankan dibangun prasarana
Halaman 51 dari 78
wilayah sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku; d. kawasan permukiman harus dilengkapi dengan fasilitas sosial termasuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan dengan luas paling sedikit 30% dari luas kawsan perkotaan; e. dalam kawasan permukiman masih diperkenankan adanya kegiatan industri skala rumah tangga dan fasilitas sosial ekonomi lainnya dengan skala pelayanan lingkungan; f. kawasan permukiman tidak diperkenankan dibangun di dalam kawasan lindung/konservasi dan lahan pertanian dengan irigasi teknis; g. dalam kawasan permukiman tidak diperkenankan dikembangkan kegiatan yang mengganggu fungsi permukiman dan kelangsungan kehidupan sosial masyarakat. h. pengembangan kawasan permukiman harus dilakukan sesuai ketentuan peraturan yang berlaku di bidang perumahan dan permukiman; i. pembangunan hunian dan kegiatan lainnya di kawasan permukiman harus sesuai dengan peraturan teknis dan peraturan lainnya yang berlaku (KDB, KLB, sempadan bangunan, dan lain sebagainya); j. pada kawasan permukiman perkotaan harus disediakan prasarana dan sarana dasar pendukung permukiman yang tersambung dengan sistem prasarana perkotaan yang sudah ada. Pasal 72 Ketentuan umum peraturan zonasi koridor transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf k, ditetapkan sebagai berikut : a. ruang milik jalan paling sedikit memiliki lebar sebagai berikut; 1. jalan bebas hambatan 30 (tiga puluh) meter; 2. jalan raya 25 (dua puluh lima) meter; 3. jalan sedang 15 (lima belas) meter; dan 4. jalan kecil 11 (sebelas) meter. b. dalam hal ruang milik jalan tidak cukup luas, lebar ruang pengawasan jalan ditentukan dari tepi badan jalan paling sedikit dengan ukuran sebagai berikut; 1. jalan arteri primer 15 (lima belas) meter; 2. jalan kolektor primer 10 (sepuluh) meter; 3. jalan lokal primer 7 (tujuh) meter; 4. jalan lingkungan primer 5 (lima) meter; 5. jalan arteri sekunder 15 (lima belas) meter; 6. jalan kolektor sekunder 5 (lima) meter; 7. jalan lokal sekunder 3 (tiga) meter; 8. jalan lingkungan sekunder 2 (dua) meter; dan 9. jembatan 100 (seratus) meter ke arah hilir dan hulu. Pasal 73 Ketentuan umum peraturan zonasi koridor kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf l, ditetapkan sebagai berikut :
Halaman 52 dari 78
a. peruntukan kawasan diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. diperkenankan adanya sarana dan prasarana pendukung fasilitas peruntukan tersebut sesuai dengan petunjuk teknis dan peraturan yang berlaku; c. alokasi peruntukan yang diperkenankan adalah lahan terbuka (darat dan perairan laut) yang belum secara khusus ditetapkan fungsi pemanfaatannya dan belum banyak dimanfaatkan oleh manusia serta memiliki akses yang memadai untuk pembangunan infrastruktur; d. dilarang melakukan kegiatan yang merusak fungsi ekosistem daerah peruntukan; e. untuk meningkatkan pelayanan di wilayah terpencil, pemerintah daerah memberikan dukungan dalam pengembangan kemudahan jaringan telekomunikasi; f. pengembangan sistem jaringan telekomunikasi berdasarkan kriteria sebagai berikut : 1) meminimalkan dampak negatif terhadap kesehatan dan keselamatan masyarakat; 2) mendukung perwujudan struktur ruang kawasan; 3) kriteria teknis lainnya diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. g. arahan pemanfaatan jasa lingkungan merupakan acuan dalam pengenaan kompensasi bagi pengguna jasa lingkungan terhadap kawasan lindung dan kawasan budidaya yang dikelola secara berkelanjutan; h. jasa lingkungan yang dimaksud berupa jasa lingkungan air, udara, penyerapan karbon serta wisata alam; i. kawasan yang menghasilkan jasa lingkungan harus dilindungi dari kegiatan yang dapat merusak fungsinya sebagai penyedia jasa lingkungan; dan j. pengguna jasa lingkungan memberikan sejumlah kompensasi sebagai bentuk apresiasi dan tanggungjawab bersama untuk melindungi dan melestarikan kawasan penyedia jasa lingkungn. Bentuk kompensasi jasa lingkungan diatur dalam peraturan bupati dan dikoordinasikan dengan wilayah kab/kota pengguna jasa lingkungan lainnya. Bagian Ketiga Ketentuan Perizinan Pasal 74 (1) Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) huruf b, merupakan acuan bagi pejabat yang berwenang dalam pemberian izin pemanfaatan ruang sesuai rencana struktur ruang dan pola ruang yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah ini; (2) Izin pemanfaatan ruang diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan kewenangannya dan ketentuan peraturan perundang-undangan; (3) Pemberian izin pemanfaatan ruang dilakukan menurut prosedur atau mekanisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (4) Izin pemanfaatan ruang yang memiliki dampak skala kabupaten diberikan
Halaman 53 dari 78
atau mendapat rekomendasi dari Bupati; (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai ketentuan perizinan wilayah kabupaten diatur dengan peraturan Bupati. Bagian Keempat Ketentuan Insentif dan Disinsentif Pasal 75 (1) Pemberian insentif dan disinsentif sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) huruf c, merupakan acuan bagi pejabat yang berwenang dalam pemberian insentif dan pengenaan disinsentif; (2) Ketentuan pemberian insentif dan disinsentif untuk wilayah Kabupaten Bone Bolango meliputi: a) ketentuan umum insentif-disinsentif; dan b) ketentuan khusus insentif-disinsentif Pasal 76 (1) Ketentuan umum pemberian insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) huruf c, berisikan arahan pemberlakuan insentif dan disinsentif untuk berbagai pemanfaatan ruang secara umum. (2) Ketentuan khusus pemberian insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) huruf b ditujukan untuk pemberlakuan insentif dan disinsentif secara langsung pada jenis-jenis pemanfaatan ruang atau kawasan tertentu di wilayah Kabupaten Bone Bolango. Pasal 77 (1) Insentif diberikan apabila pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana struktur ruang, rencana pola ruang, dan ketentuan umum peraturan zonasi yang diatur dalam Peraturan Daerah ini; (2) Disinsentif dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang perlu dicegah, dibatasi, atau dikurangi keberadaannya berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini. Pasal 78 (1) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dalam pemanfaatan ruang wilayah dilakukan oleh pemerintah kabupaten kepada tingkat pemerintah yang lebih rendah (kecamatan/desa) dan kepada masyarakat (perorangan/kelompok). (2) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilakukan oleh instansi berwenang sesuai dengan kewenangannya. (3) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilakukan menurut prosedur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Insentif dan pengenaan disinsentif diberikan oleh Bupati. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai ketentuan pemberian insentif dan disinsentif diatur dengan keputusan bupati.
Halaman 54 dari 78
Paragraf 1 Ketentuan Umum Pemberian Insentif-Disinsentif Pasal 79 (1) Pemberian insentif diberlakukan pada pemanfaatan ruang yang didorong perkembangannya dan sesuai dengan rencana tata ruang. (2) Pemberian disinsentif diberlakukan bagi kawasan yang dibatasi atau dikendalikan perkembangannya, atau dilarang dikembangkan untuk kegiatan budidaya. (3) Ketentuan pemberian insentif sebagaimana yang dimaksud ayat (1) meliputi : a. pemberian keringanan atau penundaan pajak (tax holiday) dan kemudahan proses perizinan; b. penyediaan sarana dan prasarana kawasan oleh pemerintah untuk memperingan biaya investasi oleh pemohon izin; c. pemberian kompensasi terhadap kawasan terbangun lama sebelum rencana tata ruang ditetapkan dan tidak sesuai tata ruang serta dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan; dan d. pemberian kemudahan dalam perizinan untuk kegiatan yang menimbulkan dampak positif. (4) Ketentuan pemberian disinsentif sebagaimana yang dimaksud ayat (2) meliputi : a. pengenaan pajak yang tinggi terhadap kegiatan yang berlokasi di daerah yang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti pusat kota, kawasan komersial, daerah yang memiliki tingkat kepadatan tinggi; b. penolakan pemberian izin perpanjangan hak guna usaha, hak guna bangunan terhadap kegiatan yang terlanjur tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi; c. peniadaan sarana dan prasarana bagi daerah yang tidak dipacu pengembangannya, atau pengembangannya dibatasi; d. penolakan pemberian izin pemanfaatan ruang budidaya yang akan dilakukan di dalam kawasan lindung. Paragraf 2 Ketentuan Khusus Insentif-Disinsentif Pasal 80 (1) Pemberian insentif khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 ayat (1), ditujukan pada pola ruang tertentu yang dinilai harus didorong pemanfaatannya, meliputi : a. Kawasan perkotaan Suwawa, Tilongkabila , dan Kabila dalam kerangka pemantapan Suwawa sebagai PKWp, Tilongkabila, dan Kabila sebagai PKL; b. Kawasan pertanian lahan basah yaitu persawahaan dalam kerangka pewujudan swasembada pangan untuk Kabupaten Bone Bolango; c. Kawasan Siap Bangun (KASIBA) yaitu di Desa Moutong, Iloheluma,
Halaman 55 dari 78
Butu dan Huluduatamo yang merupakan Kawasan unggulan permukiman kabupaten; d. Kawasan pesisir dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan; e. Kawasan wisata guna peningkatan pendapatan masyarakat dan pendapatan asli daerah (PAD); f. Kawasan pusat agropolitan sebagai pusat pengelolaan, pengolahan dan pemasaran hasil perkebunan. (2) Pemberian disinsentif khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 ayat (2), ditujukan pada pola ruang tertentu yang dinilai harus dibatasi dan/atau dikendalikan pemanfaatannya, meliputi : a. Kawasan rawan bencana, meliputi rawan bencana longsor, gempa, tsunami atau gelombang pasang dan banjir; b. Kawasan sebagai kawasan suaka alam yang menjadi paru-paru provinsi Gorontalo, pelestarian alam, cagar alam dan wisata alam; c. Kawasan pertanian dan perkebunan yang berada pada kawasan hutan lindung; d. Kawasan pertambangan yang dalam pemanfaatannya mempunyai dampak penting. Pasal 81 (1) Ketentuan umum insentif sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 ayat (1), meliputi : a. insentif fiskal; dan b. insentif non-fiskal (2) Insentif fiskal sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi : a. penghapusan retribusi; b. pengurangan atau penghapusan PBB melalui mekanisme restitusi pajak oleh dana APBD; c. bantuan subsidi, modal bergulir atau penyertaan modal. (3) Insentif non-fiskal sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi : a. kemudahan dalam perizinan bagi pengusaha; b. penyediaan dan atau kemudahan memperoleh sarana dan prasarana permukiman; c. bantuan peningkatan keberdayaan pelaku usaha terkait; d. penyediaan prasarana pendukung produksi dan pemasaran produk. Pasal 82 (1) Ketentuan umum disinsentif sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 ayat (2) huruf b, yaitu disinsentif non-fiskal, berupa tidak diberikannya sarana dan prasarana permukiman yang memungkinkan pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi perumahan atau kegiatan komersial. (2) Ketentuan pemberian insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 ayat (2) huruf b hanya diberlakukan disinsentif non fiskal,
Halaman 56 dari 78
meliputi : a. pembatasan penyediaan prasarana dan sarana permukiman untuk mencegah perkembangan permukiman lebih lanjut; b. penolakan pemberian prasarana dan sarana permukiman untuk kawasan lindung. c. penyediaan prasarana dan sarana permukiman hanya diperbolehkan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang sudah ada saja. Bagian Kelima Sanksi Pasal 83 (1) Pengenaan sanksi merupakan arahan ketentuan pengenaan sanksi administratif kepada pelanggar pemanfaatan ruang yang akan menjadi acuan bagi pemerintah daerah kabupaten; (2) Pengenaan sanksi administratif berfungsi sebagai: a. perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang; dan b. penertiban pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang (3) Pengenaan sanksi administratif ditetapkan berdasarkan: a. hasil pengawasan penataan ruang; b. tingkat simpangan implementasi rencana tata ruang; c. kesepakatan antar instansi yang berwenang; dan d. peraturan perundang-undangan sektor terkait lainnya. (4) Pengenaan sanksi administratif dilakukan secara berjenjang dalam bentuk: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara kegiatan; c. penghentian sementara pelayanan umum; d. penutupan lokasi; e. pencabutan izin; f. pembatalan izin; g. pembongkaran bangunan; dan h. pemulihan fungsi ruang. Pasal 84 (1) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (4) huruf a, diberikan oleh pejabat yang berwenang dalam penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang melalui penerbitan surat peringatan tertulis sebanyakbanyaknya 3 (tiga) kali. (2) Penghentian kegiatan sementara sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (4) huruf b, dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. Penerbitan surat perintah penghentian kegiatan sementara dari pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan
Halaman 57 dari 78
ruang; b. Apabila pelanggar mengabaikan perintah penghentian kegiatan sementara, pejabat yang berwenang melakukan penertiban dengan menerbitkan surat keputusan pengenaan sanksi penghentian sementara secara paksa terhadap kegiatan pemanfaatan ruang; c. Pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban dengan memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi penghentian kegiatan pemanfaatan ruang dan akan segera dilakukan tindakan penertiban oleh aparat penertiban; d. Berdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, pejabat yang berwenang melakukan penertiban dengan bantuan aparat penertiban melakukan penghentian kegiatan pemanfaatan ruang secara paksa; dan e. Setelah kegiatan pemanfaatan ruang dihentikan, pejabat yang berwenang melakukan pengawasan agar kegiatan pemanfaatan ruang yang dihentikan tidak beroperasi kembali sampai dengan terpenuhinya kewajiban pelanggar untuk menyesuaikan pemanfaatan ruangnya dengan rencana tata ruang dan/atau ketentuan teknis pemanfaatan ruang yang berlaku. (3) Penghentian sementara pelayanan umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (4) huruf c, dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. Penerbitan surat pemberitahuan penghentian sementara pelayanan umum dari pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang (membuat surat pemberitahuan penghentian sementara pelayanan umum); b. Apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan, pejabat yang berwenang melakukan penertiban menerbitkan surat keputusan pengenaan sanksi penghentian sementara pelayanan umum kepada pelanggar dengan memuat rincian jenis-jenis pelayanan umum yang akan diputus; c. Pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi penghentian sementara pelayanan umum yang akan segera dilaksanakan, disertai rincian jenis-jenis pelayanan umum yang akan diputus; d. Pejabat yang berwenang menyampaikan perintah kepada penyedia jasa pelayanan umum untuk menghentikan pelayanan kepada pelanggar, disertai penjelasan secukupnya; e. Penyedia jasa pelayanan umum menghentikan pelayanan kepada pelanggar; dan f. Pengawasan terhadap penerapan sanksi penghentian sementara pelayanan umum dilakukan untuk memastikan tidak terdapat pelayanan umum kepada pelanggar sampai dengan pelanggar memenuhi kewajibannya untuk menyesuaikan pemanfaatan ruangnya dengan rencana tata ruang dan ketentuan teknis pemanfaatan ruang yang berlaku. (4) Penutupan lokasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (4) huruf d, dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
Halaman 58 dari 78
a.
Penerbitan surat perintah penutupan lokasi dari pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang; b. Apabila pelanggar mengabaikan surat perintah yang disampaikan, pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan pengenaan sanksi penutupan lokasi kepada pelanggar; c. Pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban dengan memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi penutupan lokasi yang akan segera dilaksanakan; d. Berdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, pejabat yang berwenang dengan bantuan aparat penertiban melakukan penutupan lokasi secara paksa; dan e. Pengawasan terhadap penerapan sanksi penutupan lokasi, untuk memastikan lokasi yang ditutup tidak dibuka kembali sampai dengan pelanggar memenuhi kewajibannya untuk menyesuaikan pemanfaatan ruangnya dengan rencana tata ruang dan ketentuan teknis pemanfaatan ruang yang berlaku. (5) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (4) huruf e, dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. Menerbitkan surat pemberitahuan sekaligus pencabutan izin oleh pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang; b. Apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan, pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan pengenaan sanksi pencabutan izin pemanfaatan ruang; c. Pejabat yang berwenang memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi pencabutan izin; d. Pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban mengajukan permohonan pencabutan izin kepada pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan izin; e. Pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan izin menerbitkan keputusan pencabutan izin; (6) memberitahukan kepada pemanfaat ruang mengenai status izin yang telah dicabut, sekaligus perintah untuk menghentikan kegiatan pemanfaatan ruang secara permanen yang telah dicabut izinnya; dan f. Apabila pelanggar mengabaikan perintah untuk menghentikan kegiatan pemanfaatan yang telah dicabut izinnya, pejabat yang berwenang melakukan penertiban kegiatan tanpa izin sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. (6) Pembatalan izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (4) huruf f, dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. Membuat lembar evaluasi yang berisikan perbedaan antara pemanfaatan ruang menurut dokumen perizinan dengan arahan pola pemanfaatan ruang dalam rencana tata ruang yang berlaku; b. Memberitahukan kepada pihak yang memanfaatkan ruang perihal rencana pembatalan izin, agar yang bersangkutan dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengantisipasi hal-hal akibat pembatalan izin; c. Menerbitkan surat keputusan pembatalan izin oleh pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang;
Halaman 59 dari 78
d.
Memberitahukan kepada pemegang izin tentang keputusan pembatalan izin; e. Menerbitkan surat keputusan pembatalan izin dari pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukan pembatalan izin; dan f. Memberitahukan kepada pemanfaat ruang mengenai status izin yang telah dibatalkan. (7) Pembongkaran bangunan sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (4) huruf g, dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. Menerbitkan surat pemberitahuan perintah pembongkaran bangunan dari pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang; b. Apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan, pejabat yang berwenang melakukan penertiban mengeluarkan surat keputusan pengenaan sanksi pembongkaran bangunan; c. Pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi pembongkaran bangunan yang akan segera dilaksanakan; dan d. Berdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban dengan bantuan aparat penertiban melakukan pembongkaran bangunan secara paksa. (8) Pemulihan fungsi ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (4) huruf h, dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. Menetapkan ketentuan pemulihan fungsi ruang yang berisi bagianbagian yang harus dipulihkan fungsinya dan cara pemulihannya; b. Pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang menerbitkan surat pemberitahuan perintah pemulihan fungsi ruang; c. Apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan, pejabat yang berwenang melakukan penertiban mengeluarkan surat keputusan pengenaan sanksi pemulihan fungsi ruang; d. Pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban, memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi pemulihan fungsi ruang yang harus dilaksanakan pelanggar dalam jangka waktu tertentu; e. Pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban dan melakukan pengawasan pelaksanaan kegiatan pemulihan fungsi ruang; f. Apabila sampai jangka waktu yang ditentukan pelanggar belum melaksanakan pemulihan fungsi ruang, pejabat yang bertanggung jawab melakukan tindakan penertiban dapat melakukan tindakan paksa untuk melakukan pemulihan fungsi ruang; dan g. Apabila pelanggar pada saat itu dinilai tidak mampu membiayai kegiatan pemulihan fungsi ruang, pemerintah dapat mengajukan penetapan pengadilan agar pemulihan dilakukan oleh pemerintah atas beban pelanggar di kemudian hari.
Halaman 60 dari 78
BAB VIII PIDANA Pasal 85 Setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap rencana tata ruang yang telah ditetapkan dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB IX KELEMBAGAAN Pasal 86 (1) Dalam rangka koordinasi penataan ruang wilayah Kabupaten dan kerjasama antar wilayah, dibentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah. (2) Tugas, susunan organisasi, dan tata kerja badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelembagaan penataan ruang mengacu pada peraturan perundang-undangan. Pasal 87 (1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai fungsinya akan melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemanfaatan tata ruang. (2) Fungsi pengawasan yang dimaksud pada ayat (1) meliputi pengawasan, pemantauan, evaluasi dan memberikan pendapat dalam bentuk rekomendasi atas permintaan Pemerintah Daerah untuk menyelesaikan sengketa penataan ruang, serta arahan perizinan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengacu pada peraturan perundang-undangan. BAB X HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG Bagian Kesatu Hak Masyarakat Pasal 88 Dalam kegiatan mewujudkan pemanfaatan ruang wilayah, masyarakat berhak: a. berperan dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang; b. mengetahui secara terbuka rencana tata ruang wilayah,
Halaman 61 dari 78
c. menikmati manfaat ruang dan/atau pertambahan nilai ruang sebagai akibat dari penataan ruang; d. memperoleh pergantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang; e. mendapat perlindungan dari kegiatan-kegiatan yang merugikan; dan f. mengawasi pihak-pihak yang melakukan penyelenggaraan tata ruang. Bagian Kedua Kewajiban Masyarakat Pasal 89 Kewajiban masyarakat dalam penataan ruang wilayah terdiri atas : a. mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan; b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang diberikan; dan c. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum. Pasal 90 (1)
(2)
Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dilaksanakan dengan mematuhi dan menerapkan kriteria, kaidah, baku mutu, dan aturan-aturan penataan ruang yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kaidah dan aturan pemanfaatan ruang yang dilakukan masyarakat secara turun temurun dapat diterapkan sepanjang memperhatikan faktor-faktor daya dukung lingkungan, estetika lingkungan, lokasi, dan struktur pemanfaatan ruang serta dapat menjamin pemanfaatan ruang yang serasi, selaras, dan seimbang. Bagian Ketiga Peran Masyarakat Pasal 91
Peran serta masyarakat dalam penataan ruang di Daerah dilakukan antara lain melalui: a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang; b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
Halaman 62 dari 78
Pasal 92 Bentuk peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf a, pada tahap perencanaan tata ruang dapat berupa : a. memberikan masukan mengenai : 1. penentuan arah pengembangan wilayah; 2. potensi dan masalah pembangunan; 3. perumusan rencana tata ruang; dan 4. penyusunan rencana struktur dan pola ruang. b. menyampaikan keberatan terhadap rancangan rencana tata ruang; dan c. melakukan kerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sesama unsur masyarakat. Pasal 93 Bentuk peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf b, dalam pemanfaatan ruang dapat berupa: a. melakukan kegiatan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; b. menyampaikan masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang; c. memberikan dukungan bantuan teknik, keahlian, dan/atau dana dalam pengelolaan pemanfaatan ruang; d. meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam pemanfaatan ruang darat, ruang laut, ruang udara, dan ruang di dalam bumi dengan memperhatikan kearifan lokal serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; e. melakukan kerjasama pengelolaan ruang dengan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau dan pihak lainnya secara bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan penataan ruang; f. menjaga, memelihara, dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan dan SDA; g. melakukan usaha investasi dan/atau jasa keahlian; dan h. mengajukan gugatan ganti rugi kepada pemerintah atau pihak lain apabila kegiatan pembangunan yang dilaksanakan merugikan. Pasal 94 Bentuk peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf c, dalam pengendalian pemanfaatan ruang dapat berupa: a. memberikan masukan mengenai arahan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi;
Halaman 63 dari 78
b. turut serta memantau dan mengawasi pelaksanaan kegiatan pemanfaatan ruang, rencana tata ruang yang telah ditetapkan, dan pemenuhan standar pelayanan minimal di bidang penataan ruang; c. melaporkan kepada instansi/pejabat yang berwenang dalam hal menemukan kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang yang telah ditetapkan dan adanya indikasi kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan, tidak memenuhi standar pelayanan minimal dan/atau masalah yang terjadi di masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang; d. mengajukan keberatan terhadap keputusan pejabat publik yang dipandang tidak sesuai dengan rencana tata ruang; dan e. mengajukan gugatan pembatalan izin dan/atau penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada instansi/pejabat yang berwenang. Pasal 95 (1) Peran masyarakat di bidang penataan ruang dapat disampaikan secara langsung dan/atau tertulis. (2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat disampaikan kepada bupati. (3) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat disampaikan melalui unit kerja terkait yang ditunjuk oleh Bupati. Pasal 96 Dalam rangka meningkatkan peran masyarakat, pemerintah daerah membangun sistem informasi dan dokumentasi penataan ruang yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Pasal 97 Pelaksanaan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. BAB XI PENINJAUAN KEMBALI DAN PENYEMPURNAAN Pasal 98 (1) Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bone Bolango berlaku untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali 5 (lima) tahun sekali. (2) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar dan/atau perubahan batas teritorial wilayah kota yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan, Rencana
Halaman 64 dari 78
(3)
(4)
(5)
(6)
Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bone Bolango dapat ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. Dalam kondisi terdapat pihak-pihak yang secara sah menurut aturan dirugikan akibat penetapan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bone Bolango maka peraturan daerah ini akan ditinjau kembali sesuai dengan ketentuan peraturan perundanganundangan yang berlaku. Peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) dilakukan apabila terjadi perubahan kebijakan nasional dan strategi yang mempengaruhi pemanfaatan ruang kabupaten dan/atau dinamika internal kabupaten serta adanya gugatan dari pihak yang secara sah dirugikan. Peninjauan kembali perda ini sebagaimana dimaksud pada ayat (4) akan dilakukan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah gugatan dari pihak yang dirugikan dinyatakan sah menurut ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bone Bolango Tahun 2011-2031 dilengkapi dengan dokumen teknis dan album peta dengan skala 1 : 50.000 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 99
(1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan penataan ruang daerah yang telah ada dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Daerah ini. (2) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini : a. Izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya; b. Izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini berlaku ketentuan : 1) Untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin tersebut disesuaikan dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini; 2) Untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya, pemanfaatan ruang dilakukan sampai izin terkait habis masa berlakunya dan dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini; dan 3) Untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak memungkinkan untuk dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini, izin yang telah diterbitkan dapat dibatalkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. c. Izin pemanfaatan ruang yang sudaah habis masa berlakunya dan tidak sesuai dengan Peraturan Daerah ini dilakukan penyesuaian berdasarkan berdasarkan Peraturan Daerah ini; dan
Halaman 65 dari 78
d. Pemanfaatan ruang di daerah yang diselenggarakan tanpa izin ditentukan sebagai berikut : 1) Yang bertentangan dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, pemanfaatan ruang yang bersangkutan ditertibkan dan disesuaikan dengan Peraturan Daerah ini; dan 2) Yang sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, dipercepat untuk mendapat izin yang diperlukan. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 100 Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai teknis pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. Pasal 101 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Bone Bolango. Ditetapkan Pada tanggal Paraf Koordinasi SEKDA Asisten I Asisten II
Plt. BUPATI BONE BOLANGO WAKIL BUPATI
Ka. Bappeda Ka. Kehutanan & Pertambangan Bag. Hukum
Diundangkan Pada tanggal
: di Suwawa : 27 September 2012
HAMIM POU
: di Suwawa : 27 September 2012
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN BONE BOLANGO
Drs. H. SYUKRI BOTUTIHE, M.Si Pembina Utama Madya NIP. 19641212 199103 1 011 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE BOLANGO TAHUN 2012 NOMOR 8.
Halaman 66 dari 78
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE BOLANGO NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONE BOLANGO TAHUN 2011-2031
I. UMUM Perubahan Undang-Undang tentang Penataan Ruang dari UndangUndang Nomor 24 Tahun 1992 menjadi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dimana setiap kabupaten dan kota perlu menyusun rencana tata ruangnya sebagai arahan pembangunannya dan hal ini berimplikasi pada perubahan paradigma dan kebijakan penataan ruang. Pesan
substansif
dari
pembangunan top down
perundangan
tersebut
ialah
menggeser
pola
menjadi bottom up dan memperbesar ruang
partisipasi publik dalam setiap proses pembangunan. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bone Bolango memuat berbagai arahan dan strategi dalam memaksimalkan keunggulan wilayah serta meminimalisir masalah yang ada. Untuk itu, model dan perencanaan
yang dituangkan nantinya, merupakan
hasil
usulan
pemikiran
perencanaan yang telah mempertimbangkan dan memperhitungkan semua aspek yang berkaitan dengan nilai-nilai sinergisitas wilayah dari rencana pembangunan dan pengembangan ruang-ruang sekitarnya. di samping juga tetap mempertimbangkan semua hal yang berkaitan dengan bentuk-bentuk keterbatasan alam dan kondisi fisik lingkungan yang mengemuka dari wilayah perencanaan. pertimbangan ini sangat mendasar selain nantinya diharapkan produk tata ruang ini bisa lebih sustainable dengan wilayah sekitarnya, juga diharapkan bisa berfungsi sebagai pusat pembangunan dan pengembangan
kawasan
dalam
suatu
sistem
hubungan
yang
lebih
terintegrasi dengan struktur perencanaan ruang-ruang sekitarnya. Selain itu Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bone Bolango akan menjadi pedoman untuk penyusunan berbagai kebijakan selanjutnya.
Halaman 67 dari 78
Kabupaten Bone Bolango
mempunyai karakter ruang
beragam dimulai dari ruang pegunungan, dataran dengan
segala
kekhasan
dan
hingga
yang cukup
ruang
pesisir
keunggulannya yang berbeda-beda dan
terhadap segala resistensi yang dimiliki daerah ini sebagai kawasan yang rawan banjir dan bencana. Hal ini ikut menegaskan bahwa daerah ini memang perlu direncanakan lebih baik dan lebih bermanfaat. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11
Halaman 68 dari 78
Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Pusat Kegiatan Wilayah promosi (PKWp) di Kecamatan Suwawa yang merupakan Ibukota Kabupaten. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas.
Halaman 69 dari 78
Huruf b Kegiatan tertentu meliputi energi, kehutanan, pertanian, perikanan, industri, pariwisata, dok dan galangan kapal, penelitian, pendidikan dan pelatihan, serta social. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) huruf e. Waduk serbaguna ini dimanfaatkan meliputi penanggulangan bencana banjir, pembangkit listrik tenaga air, irigasi, olahraga air, perikanan darat, pariwisata, sumber air minum, pendidikan, penelitian, pelatihan. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Sampah yang telah dibawa ke TPA di kelola dengan system 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas.
Halaman 70 dari 78
Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Kawasan potensial yang telah ada kegiatan penambangan untuk memproduksi mineral bukan logam dan batuan adalah kawasan peruntukan pertambangan. Ayat (3) Kawasan potensial yang telah ada kegiatan penambangan untuk memproduksi
mineral
logam
adalah
pertambangan.
Halaman 71 dari 78
kawasan
peruntukan
Ayat (4)
Keseluruhan kawasan yang telah ada kegiatan penambangan untuk
memproduksi
mineral
logam
merupakan
lokasi
pertambangan yang telah dikelola masyarakat, meliputi sebagian Desa Bangio (Kecamatan Pinogu), sebagian Desa Tulabolo Timur, sebagian Desa Poduwoma, sebagian Desa Tilangobula (Kecamatan Suwawa Timur), sebagian Desa Alo, sebagian Desa Mootayu (Kecamatan Bone Raya), sebagian Desa Kaidundu, sebagian Desa Dunggilata, sebagian Desa Mamungaa Timur (Kecamatan Bulawa), sebagian Desa Molotabu, sebagian Desa Oluhuta (Kecamatan Kabila Bone), sebagian Desa Mongiilo Utara (Kecamatan Bulango Ulu), sebagian Desa Botutonuo (Kecamatan Kabila Bone), sebagian Desa Longalo (Kecamatan Bulango Utara), sebagian Desa Tanah Putih, sebagian Desa Buata, sebagian Desa Luwohu, sebagian Desa Timbuolo, sebagian Desa Timbuolo Tengah, sebagian Desa Timbuolo Timur, sebagian Desa Panggulo Barat, sebagian Desa Panggulo
(Kecamatan
Botupingge),
sebagian
Desa
Modulio,
sebagai
wilayah
sebagian Desa Monano (Kecamatan Bone)
Wajib
diprioritaskan
untuk
ditetapkan
pertambangan rakyat dan perizinan pertambangan rakyat. Ayat (5) Kawasan
peruntukan
pertambangan
dimasukkan
Rencana Pola Ruang dengan tingkat ketelitian 1 : 50.000. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas.
Halaman 72 dari 78
dalam
peta
Pasal 39 Ayat (1) huruf f Yang dimaksud kawasan sarana prasarana perkantoran Provinsi merupakan kawasan pengembangan pusat pemerintah Provinsi termasuk instansi vertikal lainnya. Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Yang termasuk kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi antara
lain,
adalah
kawasan
pusat
pemerintahan
kabupaten,
kawasan perdagangan dan jasa, kawasan industri, kawasan strategis river side dan kawasan bone pesisir. Ayat (2) Yang termasuk kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan antara lain, adalah kawasan pariwisata alam dan pariwisata buatan. Ayat (3) Yang termasuk kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya antara lain, adalah cagar budaya, kawasan pendidikan, KASIBA, kawasan desa adat dan Integrated Eduecotourism. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas.
Halaman 73 dari 78
Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas.
Halaman 74 dari 78
Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 (huruf c) Hanya diperkenankan penambangan bawah tanah yaitu penambangan yang kegiatannya dilakukan di bawah tanah (tidak langsung berhubungan dengan udara luar) dengan cara terlebih dahulu membuat jalan masuk berupa sumuran atau terowongan buntu. (huruf d) Kegiatan operasi pertambangan dilaksanakan setelah zonasi diatur.
terbuka
dimungkinkan
untuk
(huruf f) Lokasi yang dilarang adalah lokasi yang jaraknya 250 meter atau lebih dari struktur pondasi bangunan yang dilindungi ke arah hulu dan/atau hilir sungai atau lokasi yang dilarang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 69 Cukup jelas.
Halaman 75 dari 78
Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas.
Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas.
Halaman 76 dari 78
Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Cukup jelas. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Cukup jelas. Pasal 97 Cukup jelas.
Halaman 77 dari 78
Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE BOLANGO NOMOR 8 TAHUN 2012.
Halaman 78 dari 78