Ke Daftar Isi Prosiding Seminar Teknologi dan Keselamatan serta Fasilitas Nuklir
PLTN
Serpong, 9-10 Februari 1993 PRSG, PPTKR - EATAN
PERANANPLTNDALAMPEMBANGUNANEKONOMI Oleh: N.Haidy A. Pasay Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia 1. Pendahuluan Perkerpbangan akhir-akhir ini telah menunjukkan terdapatnya komitmen yang cukup kuat dari pemerintah untuk memberikan peluang yang lebih besar kepada kekeuatan pasar khususnya dalam rangka menjamin pengadaan energi listrikdimasa depan. Isu yang berkenaan dengan ini adalah privatisasi dalam penmgadaan sumber energi sekunder terse but. Komitmen ini tampak semakin mengokoh dengan kian pesatI?ya laju pertumbuhan permintaan jangka pendek akan energi listrik. Setelah memperhitungkan berbagai faktor lainya, seperti harga, laju pertumbuhan ekonomi regional serta perbedaan permintaan antarpropinsi (regional differentials), Pasay, Budhiarso dan Putra (1992) memperkirakan bahwa permintaan jangka pendek akan energi listrik melaju dengan kecepatan sampai sejauh 17,66% untuk setiap tahun, suatu angka pertumbuhan yang tergolong tinggi. bandingkan, misalnya dengan laju perekonomian Indonesia sebesar 6% pertahun belakangan ini, yang berada diatas apa yang direncakan menurut Repelita V. Yang menjadi persoalan adalah tekanan yang berat terhadap pengadaan energi listruk secara terjamin tidak hanya muncul dari adanya pem1intaan yang melaju dengan pesat itu saja, tetapi juga muncul dari berbagai penjuru. Salah satu diantaranya adaJah berasal dari kenyataaan bahwa banyak diantara pembangkit yang ada masih menggunakan energi primer berupa bahan bakar minyak. Padahal, menurut perkiraan resmi, Indonesia akan menjadi net importer minyak ditahun 2004 mendatang, setahun setelah PL TN beroperasi. Oleh karena itu akhir-akhir ini muncul dipennukaan berbagai pemyataan yang menyangkut isu konservasi energi dan investasi dalam pengadaan energi listrik. Konservasi energi sering kali dianggap sebagai suatu tujllan akhir sehingga kita acap kali dihadapkan dengan pemyataan: yang manakah yang menghasilkan manfaat netto yang positif dan yang lebih besar kalau kita dihadapkan dengan pilihan antara investasi dalam pengadaan dan konsevasi energi. Konservasi energi memang sudah dianggap sebagai salah satu sllmber pengadaan energi, selain dari sumber yang konvensional. Namlln, mempcrsoalkan dan sa ling menghadapkan kedlla permasalahan tersebut sesungf,'lihnya tidak menyelesaikan pennasalahan karena pilihannya bukanlah salah satu melainkan keduanya. Peningkatan efcsicnsi baik dalam proses produksi mauplln dalam konsllmsi memang akan meningkatkan prodllksi dan memperlamban laju kenaikan konsumsi.
8
Akan tetapi peningkatan effesiensi ini hanya merupakan sebahagian saja dari persoalan uang ada. Bagaimanapun, dengan pesatnya perkembangan permintaan energi listrik, pembangkit tenaga listrik yang akan berfungsi sebagai base-load masih tetap diperlukan untuk lebih menjamin pengadaan energi listrik dikemudian hari. makalah ini hanya akan melihat dampakdari investasi PL TN terhadap perekonomian Indonesia baik ditinj au dari sudut pandang analisis mikro ekonomi maupun analisis makroekonomi. 2. Perlipatgandaan Pendapatan Nasional Dampak ekonomi dari proyek PL TN lI11 sesungguhnya laksana reaksi berantai (chain reaction) yang terdapat dalam reaktor nuklir. Fisi atas nukleus U235 yang disebabkan oleh neutron yang berenergi rendah akan melepas lebih banyak neutron, yang kemudian mampu menciptakan fisi yang lebih banyak sehingga memungkikan dihasilkannya energi yang pesat yang sifatnya self-perpuating. Dalam ekonomi, dampak investasi PL TN tersebut akan menghasilkan perlipatgadaan yang lebih besar kalau investasi tersebut melibatkan lebih banyak kegiatan ekonomi domestik. keterlibatan lebih banyak investor dan produk domestik akan berdampak lebih besar lagi bagi perekonomian Indonesia, sebagaimana halnya dengan fisi yang menghasilkan fast neutron dan them1al (low) neutron, yang selanjutnya dapat menciptakan fisi pada tahap berikutnya. Ada dua faktor utama yang menyebabkan gagalnya suatu neutron untuk merangsang fisi berikutnya pertama, neutron itu lolos dari sistem reaktor; dan kedua, neutron tersebllt dikonsumir sebahagian atau seluruhnya oleh reaksi lain, begitu pula dengan dampak ekonomi dari investasi PL TN ini yang tergantllng pada seberapa jallh akan terjadi kebocoran (leakage), baik melalui peranan investor asing mallpun melailli hasrat menabung (marginal propensity to save) masyarakat Indonesia. Pada akhirnya, besar-kecilnya hasrat yang menentukan berapa besar dampak berganda yang dapat ditimbulkan oleh proyek PL TN terse but terhadap perekonom ian Indonesia. Dalam jangka panjang,apabila laju pertumbuhan perekonomian yang berkesinambllngan (steady state rate of economic growth) diasumsikan sebesar 5% setiap tahun, hasrat mengkonsllmir masyarakat Indonesia dipcrkirakan di sckitar 0,63-0,73 (Dowling clan
Prosiding Seminar Tekn%gi serta Fasi/itas Nuk/ir
dan Keselamatan
Serpong, 9-10 Februari 1993 PRSG, PPTKR - BATAN
PLTN
Lahiri,1990).(') Dengan demikian, besaran pengganda (multiplier coefficient) akan terletak di antara 2,7 dan 3,7, yang berarti bahwa untuksetiap 100 rupiah investasi yang melibatkan kegiatan ekonomi domestik akhimya akan mampu meningkatkan pendapatan nasional sebesar 270-370 rupiah. Yang menjadi persoalan sekarang adalah seberapa besar kandungan domestik (domestic content) dari investasi PL TN yang padat modal ini dapat dilaksanakan oleh kekuatan ekonomi kita sendiri sehingga secara langsung dapat memperluas kegiatan ekonomi domestik. Perkiraan sementara menunjukan bahwa 25-31 persen dari investasi tersebut dapat dilaksanakan oleh bangsa Indonesia sendiri (Adiwardojo, 1992). Dengan demikian satu unit BWR, yang mampu memproduksi net output sebanyak 952 MWe, diperkirakan pada akhimya akan dapat menghasilkan peningkatan pendapatan nasional sebesar 0,92-1,56 milyar US dollar. kalau kemampuan menghasilkan net output menjadi dua kali lipat, kenaikan pendapatan tersebut berkisar antara 1,84-3,12 milyar US dolJars. 3. Debt Service dan Neraca Pembayaran Bahwa PL TN merupakan proyek padat modal (capital intensive) tampaknya tak dapat disangkal lagi. Kenyataan ini dapat dilihat dari struktur biayanya, yang sebahagian terbesarditentukan oleh biaya modal (cost of capital), tetapi mempunyai biaya produksi yang rendah. Bandingkan PLTN ini, misalnya, dengan PLTG yang setara dayanya. PL TG combined cycle jelas merupakan proyek padat bahan bakar (fuel intensive), tapi berbiaya produksi yang lebih tinggi. Berdasarkan perkiraan sementara, untuk satu unit BWRyang akan menghasilkan output listrik netto sebesar 952 MWe, dana yang dibutuhkan untuk investasi PLTN semacam ini akan mencapai 1,36 milyar US dolJarP) Dengan berjalannya waktu, sebahagian terbesar dari modal yang besar tersebut akan menyusut sehingga semakin kurang berperan dalam strukturbiayanya selama masa hidupnya, yang diperkirakan sekitar20 tahun. Oleh karena itu, dapak dari padat modal semacam ini akan sangat teras a selama masa konstruksinya, yang menurut infom1asi dewasa ini diperkirakan akan memakan waktu sekitar 6 tahun sejak mula pertama pembangunan PL TN tersebut. (3)
Dampak pembangunan proyek PLTN terhadap rencana pembayaran dapat melalui beberapa jalur. Pertama, dampak tersebut dapat melalui imporperalatan dan perlengkapan PL TN yang dibutuhkan selama masa kontruksi, dan impor uranium selama masa produksi. Jalur yang kedua adalah melalui pembayaran beban hutang, yakni cicilan dan bunga pinjaman luar negeri, dan/atau pembayaran repatriasi keuntungan yang diperoleh kalau sebahagian atau seluruh investasi PL TN terdiri dari investasi asing. Dampak melalui ekspor secara langsung dapat dikatakan akan nihil karena produksi energi listrik akan ditujukan sepenuhnya untuk konsumsi dalam negeri khususnya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi listrik di pulau Jawa dan Bali. Demikian pula dampaknya melalui subtitusi impor tidak akan ada karena memang tidak dimaksudkan untuk menggantikan impor energi listrik dalam situasi perekonomian kita hingga dewasa in i.(4) Dalam keadaan seperti ini, yakni sebagai net debtor, para pemberi pinjaman luarnegeri, yang berkepentingan terhadap kemampuan proyek dalam meenciptakan valuta asing, mungkin akan menjadi enggan untuk mem injamkan dana., Keengganan ini dapat terjadi terutama dalam keadaan dimana sumber lain tidakmemungkinkan untuk memenuhi kewajibannya. Oleh karena itu proyek ini perlu mempertimbangkan dengan matang dampak tak langsungnya dalam menciptakan tambahan valuta asing yang berasal dari sektor lainnya yang bukan hanya mampumenghematvalutaasing melalui substitusi impor, tetapi juga mampu menciptakan valuta asing melalui ekspor. Yang menjadi persoalan utama bukan hanya itu saja, tetapi menyangkut persoalan likuiditas dan solvabilitas perekonomian kitadewasa ini. Perkembangan neraca transaksi berjalan hingga dewasa ini menampakkan kekhawatiran karena telah mengalami defisit sebsae US$1,3 milyarditahun 1989, US$3,2milyartahun 1990, menjadi US$ 4,4 milyar pada tahun 1991 yang lalu(Bank Indonesia, 1992). Ini berarti bahwa kemampuan kita mengimpor barang dan jasa akan kian berkurang karena cadangan devisa menipis. Selama masa kontruksi 6 tahun, katakan 19972002, impor peralatan dan perlengkapan, termasukjasa, diperkirakan akan mencapai sebesar $2.713.200.000
I) Dowling dan Lahiri (1990) menduga kedua angka tersebut berdasarkan asumsi agregatifyang menyatakan bahwa transformasi struktural dalam perekonomian Indonesia tidak akan mempengaruhi hasrat mengkonsumsir dalam masyarakat Indonesia. Dan jika pengaruh perubahan struktural dalam pengaruh perubahan struktural dalam perekonomian terse but diperhitungkan dalam hubungan tingkah laku konsumsi, maka hasrat mengkonsumsir jangka panjang akan menjadi sebesar 0,69. 2) Angka ini belum termasuk biaya untuk beban awal bahan bakar nuklir sebesar 0,11 milyar US dollar . 3) Dengan teknologi konstruksi yang ada sekarang ini, masa konstruksi dapat dipersingkat menjadi 4 atau 5 tahun 4) Selama ini memang Indonesia belum pemah mengalami kasus mengimpor energi listrik. Namun, dalamsituasi dimana konsumsi energi melaju dengan pesat seperti sekarang, bukanlah merupakan sesuatu yang mustahil bahwa Indonesia akan mengimporenergijenis ini di kemudian hari, terutama untukdaerah-daerah yangterletakbersebelahan dengan negara tetangga, seperti pulah Batam, kecuali apabila kapasitas pembangkit listrik ditingkatkan secepat laju perkembangan pem1intaannya
9
Prosiding Seminar Teknologi dan Keselamatall serta Fasilitas Nuklir
PLTN
Serpollg, 9-10 Februari 1993 PRSG, PPTKR - BATAN
untuk dua unit BWR yang akan menghasilkan net output scbcsar 1904 MWe. Atau impor tahunan akan membutuhkan valuta asing sebesar 562,6 juta US dollars ditahun 2001. dengan begitu, defisit neraca berjalan (current account) akan mengalami peningkatan dalam jumlah yang sarna. Namun demikian, dampak negatif tehadap pengadaan valuta asing (foreign exchange supply) akan dengan sendirinya dapat diatasi karena capital inflow baik langsung maupun tak langsung, yang berkenaan dengan pembiayaan proyek itu sendiri. Dengan kata lain peranan investasi asing atau pinjaman luar negeri akan meniadakan tekanan yang berupa kenaikan defisit neraca berjalan tersebut selama masa kontruksi PLTN. Perlu ditegaskan bahwa sebagai bahagian dari pengaturan pembiayaan PL TN, pembayaran hutang apalagi repatriasi keuntungasn biasanya baru akan dilaksanakan setelah proyek PLTN mulai beroperasi di tahun 2003. Dengan demikian proyek PLTN ini tidak akan menimbulkan tekanan terhadap debt service ratio selama masa kontruksinya. Dengan asumsi ini, maka yang perlu dip~rtanyakan adalah apakah dampakdari proyekPL TN terhadap neraca pembayaran (balance of payment) Indonesia setelah masa kontruksi terlampaui, yakni berupa repatriasi keuntungan atau pembayaran cicilan hutang dan bunga pinjaman. 4. Dlverslfikasl Konsumsl Energl Primer Seperti telah kita ketahui bersama, Indonesia akan menjadi net-importer minyak ditahun 2004 mendatang, kecuali jika diketemukan ladang minyak baru yang berpotensi besar. pengalaman selama ini menunjukan bahwa Indonesia mampumenangguhkannya setiap tahun sehigga kita secara terus menerus tetap memiliki cadangan untuk 20 tahun berikutnya. namun kemampuan menangguhkan ini bisa dicapai hanya dengan penemuan ladang minyak yang baru dalam skala yang kecil dan melalui peningkatan effIsiensi produksi minyak. Oleh karena itu, kitajuga tetap membutuhkan upaya konservasi energi dari sisi konsumsi, terutama yang berasal dari penggunaan minyak sebagai input dari berbagai pusat pembangkit energi listrik. Pembanguann PLTN akan membuka peluang yang lebih luas bagi upaya kita untuk ,melaksanakan konservasi energi primer tersebut. Peningkatan permintaaan akan listrik yang begitu pesat sehingga mencapai 17,66% setiap tahun (pasay, et.al., 1992) lambat laun pasti akan membawa implikasi bahwa sistem maximum demand akan meningkat pula. Jika laju perkembangan sebesar itu ten1S berlangsw1g dimasa yang akan datang, maka perkembangan ini akan
berarti bahwa perrmintaan energi listrik akan berlipat ganda hanya dalam waktu kurang dari 4 tahun atau untuk lebih tepatnya 3 tahun 11 bulan. Dengan kata lain, baseload plant yang baru dengan kapasitas yang setidaktidaknya sarna dengan yang sudah ada pasti dibutuhkan dalam setiap kurun waktu kurang dari 4 tahun. Setiap perencanaan pengembangan sistem pengadaan energi listrikjelas terlihat harus mempertimbangkan kenyataan ini. Base-load plant yang baru ini dibutuhkan setidaktidaknya untuk melengkapi atau bahkan menggantikan base-load plant yang sudah ada. Dengan demikian investasi PL TN dapat dilihat dari dua sisi yang agak berbeda. Pertama, PL TN dapat dianggap sebagai perluasan dari base-load plant yang sudah ada. Kedua, PL TN dapat pula diperuntukkan sebagai pengganti base-load plant yang telah ada. Keduanya memiliki dampak yang tidak kecil terhadap upaya kita untuk melakukan diversifikasi konsumsi energi primer. Dari sudut pandang pertama diatas, pembangunan PL TN tidak akan mengurangi jumlah absolut konsumsi energi primer di sektor listrik. Namun demikian pembangunan PL TN ini akan mampu mengurangi beban tekanan yang akan datang dari pesatnya laju perkembangan konsumsi tersebut semata-mata karena PLTN akan menggunakan sumber energi primer lain, berupa uranium. Pandangan yang kedua bukan hanya membawa implikasi berupa diversivikasi konsumsi energi, melainkan lebihjauhdari itupembangunan PL TN terse but akan mengurangijun1lah konsumsi energi primer berupa minyak itu, terutama karena adanya scrapping policy dalam investasinya. Namun pandangan kedua ini akan menimbulkan dampak yang sama seperti halnya dengan pandangan pertama jika base-load plant yang lama dialihkan wilayah produksinya ke wilayah yang lain di luar Jawa-Bali. Dalam situasi dim ana permintaan akan energi listrik melonjak pesat, pandangan pertama tampak lebih mungkin terjadi daripada pandangan yang kedua, kecuali apabila base-load plant yang lama dimanfaatkan untuk wilayah produksi lain. Pengecualian ini mengakibatkan kedua sisi pandangan tersebut menjadi sama, kalau ini yang terjadi, sejauh mana manfaat diversifikasi energi yang dapat ditimbulkan oleh pembangunan PL TN sangat tergantung pada komposisi pemakaian input energi primer untuk base-load plant yang ada. dengan kata lain, proyek PLTN akan dapat menghindari pemakaian input energi primer lainnya hanya sejauh base-load plant yang baru tersebut tidak lagi mengikuti komposisi input selama iniY)
Monetisasi penghematan pemakaian energi sebagai input semacam ini mendapat kesulitan karena modal dan teknologi yang digunakan sangat berbeda di antara kedua altematifbase-Ioad plants tersebut. Dalam hal ini, proyek , PLTN akan menghemat biaya operasi tetapi tidak menghemat biaya modal. Oleh karena itu, monetisasi dari penghematan energi primer ini mesti melibatkan perhitungan lainnya di luar biaya operasi yang diperlukan oleh pemakaiim bahan bakar saja. Dengan kata lain, nilai monetisasi penghematan tersebut mesit menyeluruh sehingga sangat tergantung pada dua faktor utama : biaya modal dan biaya operasi. Lihat bagian berikutnya yang membahas penghematan biaya. 5)
10
Prosiding Seminar Tdawlogi serta Fasilitas Nuklir
dan Kesdamatan
Serpong, 9·]0 Februari 1993 PRSG, PPTKR • BATAN
PLTN
Sebagai gambaran, menurut informasi yangtersedia selama 1976-1990, biaya bahan bakar yang digunakan PLN rata-rata mengambil porsi sebesar33,59% dari total biaya produksi listrik dengan standar deviasi 15,81 %. Ini berarti bahwa kandungan bahan bakar bergerak antara 17,78% dan 49 ,40%. Bandingkan, misalnya dengan PLTN di Kanada sebesar 11,02% dan di Perancis sebesar31 ,37% (Moynet, et.a!., 1991 ),\6) 5. Pcnclltian Rcaktor di Masa Dcpan Dengan akan dibangunnya PL TN oleh pemerintah, program penelitian reaktor (reactor research) tampak akan mendapatkan bukan hanya "angin segar" tetapi juga "breathing space" yang lebih luas. Sebab untuk mencapai dan menyebarluaskan penggunaan energi nuklir, yang menghasilkan panas (heat) dan listrik, baik untuk kebutuhan mmah tangga, komersial maupun industri manufaktur akan diperlukan pembangunan reaktor pembiakan cepat (fast breeder reactor): dan pengembangan serna earn ini akan berarti penelitian reaktor yang berskala lebih besar daripada apa yang akan kita miliki di tahun-tahun permulaan abad ke-21. Penelitian reaktor ini akan melibatkan sejumlah modal yang pada waktu ini sulit untuk diketahui, namun modal tersebut mungkin akan mencapai milyaran at au bahkan lebih besar, sebagai comitment jangka panjang untuk penelitian yang baru sarna sekali, agar konsumsi listrik tenaga nuklir tersebut dapat menyebar lebih luas lagi untuk ketiga macam penggunaan tersebut. Disinilah salah satu letak peranan yang dapat dimainkan bukan hanya oleh PPT A, tetapi juga oleh perusahaan swasta atau sekelompok perusahaan yang melakukan kegiatan penelitian yang dapat menghasilkan beroperasinya suatu reaktor jenis bam atau dengan teknologi yang bam atau mampou memberikan hasil yang berbeda dalam bentuk kinerja operasi reaktor prototipe. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut mesti diputuskanjenis reaktor yang bagaimana yang akan dibangun, berapa banyak, oleh siapa, dan dalam jangka waktu berapa lama. Dari segi ekonomi, cadangan uraniumjelasterbatas adanya sehingga dibutuhkan jenis reaktor yang semakin effisien. Dengan demikian, penelitian reaktor ini akan dapat mengurangi pem1intaan akan uranium karena reaktor semacam ini akan membiakkan lebih banyak fissi-
onable plutonium dari uranium yang kurang produktif. Dalam hal ini penelitian reaktor akan dapat meningkatkan effisiensi reaktorP) Karena semakin effisien; biaya satuan(8) akan semakin rendah bila dibandingkan dengan biaya altematifnya. Pasay, Budhiarso dan Putra (1992) menunjukkan bahwa sektor listrik negara hingga kini sarna sekali tidak mengalami kemajuan teknis (technical progress) di hampir semua wilayah produksi. Yang menjadi persoalan adalah bahwa hal ini akan berarti produktivitas faktor produksi total (total Factor productivity) tidak pula akan mengalami kemajuan. Akibatnya, kegiatan produksi dan pemasaran di sektor ini mengalami kehilangan keluwesannya (Pasay dan Putra, 1992; dan Pasay, Budhiarso dan Putra, 1992). Menumt Pasay, Budhiarso dan Putra (1992) ada dua faktorutama yang dapat mempengaruhi produktivitas faktor total, yakni skala ekonomis (economies of scale) dankemajuan teknis. Skala ekonomis akan menentukan besar-kecilnya laju perkembangan produktivitas faktor total, sedang laju kemajuan teknis, selain menentukan besaran,juga akan menetapkan ke arah mana seharusnya laju pertumbuhan produktivitas faktor produksi total tersebut akan menuju.(9) Karena proyek PL TN merupakan proyek padat modal, maka proyek PLTN ini pasti akan menaikkan besaran skala ekonomis di sektor listrik. Skala operasi yang membesarmemang takayallagi akan menimbulkan manfaat ekonomis bempa penurunan biaya per unit karena energi listrik akan dapat dihasilkan dalamjumlah yang besar. Namunpeningkatan skala ekonomis tersebut hanya akan menimbulkan manfaat yang menyeluruh bagi masyarakat yang lebih luas apabila dalam proses produksinya terdapat kemajuan teknologi. Berdasarkan penemuan Pasay, Budhiarso dan Putra (1992) memang terjadi peningkatan skala produksi disemua wilayah produksi PLN, akan tetapi peningkatan itu sayangnya tidak disertai dengan kemajuan teknologi sehingga produktivitas total tidak mengalami kemajuan. Dalam hal kemajuan teknis ini, PLTN sesungguhnya dapat berperan lebih banyak dalam bentuk peningkatan effisiensi di kemudian hari. Effisiensi dapat meningkat melalui lebih banyak fissionable nuclei (dengan mengurangi nuklei yang lolos dalam sistem reaktor serta mengurangi konsumsi nukleus oleh reaksi lain) atau
6) Kcdua ncgara tersebut dipi]ih karcna mampu mcnghasilkan listrik tcnaga nuklir dengan biaya rata-rata per kWh paling rendah di antara negara lainnya, tennasuk Jepang. 7) Effisiensi ini biasanya diukur dalam bentuk ratio antara fissionable material yang diproduksi dan yang dikonsumsi atau ratio antara kapasitas pembangkit listrik dan pemakaian input. 8)Biaya satuan (unit cost) berbeda dari biaya per satuan (per unit cost). Biaya satuan ini mengukur biaya minimum yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit output. 9) Rumusan ini bcrdasarkan asumsi bahwa fungsi biaya mcngikuti bentuk translogsehingga laju perkembangan produktivit.1s total dapat digambar sepcrti ini : o ]n Q/OT = (0 ]n CloT) I (0 ]n Clo Ln Q) yang mana Q adalah output, C adalah biaya, dan T indcks kcmajuan tcknis, sehingga : o In CloT = laju kcmajuan tcknis; dan o In Q/o ]n C = skala ekonomis
11
I
Prosiding Seminar Teknologi dan Keselamatan serta Fasilitas Nuklir
PLTN
Scrpong, 9-10 Fcbruari 1993 PRSG, PPTKR - BATAN
bahkan lebih banyak fissionable plutonium, perbaikan majerial dalam proses produksi, penggunaan teknologi mutakhir (lihat USCEA, 1992), perbaikan load factor, daan peningkatan mutu berbagai faktorproduksi lainnya, seperti modal dan tenaga kerja. Lagi, menurut Pasay, Budhiarso dan Putra (1992), load factor yang terbaik di Indonesia justru hanya didapaykan di pulauJawa dan Bali. Inipun barumencapai sekitar 46% sehingga sesungguhnya masih dapat ditingkatkan lebihjauh lagi.(10) Kalau proyek PLTN kelak mampu mencapai load factor sebesar 75-80%,(11) maka ini berarti dengan kehadiran proyek PL TN ini. Angka ini pun tidakjauh berbeda dari perkiraan resmi untuk pulau Jawa da Bali, yaitu di sekitar 69%-72% sampai tahun 2010. Hasilpenelitian Pasay, Budhiarso dan Putra (1992) memperlihatkan bahwa dampak perbaikan kapasitas tersebut terhadap biaya produksi energi listrik di antaranya tergantung pada seberapa besartingkat pcmanfaatan kapasitas itu sendiri di wilayah produksi masing-masing. Kian rendah tingkat pemanfaatan yang ada di suatu wilayah produksi, ccteris paribus, akan mengakibatkan semakin besamya dampak perbaikan pemanfaatan kapasitas terhadap penurunan total biaya produksi. Dengan kata lain, manfaat dari perbaikan tingkatutilisasi kapasitas tersebut akan kian membesar justru dalam keadaan di manasuatu wilayah produksi sedang mengalami kelesuan .dalam memanfaatkan kapasitas terpasangnya. Dan bahwa harga listrik tidak perlu dinaikkan paling tidak sebesar penghematan biaya produksi rata-rata atau marjinal yang diperoleh melalui perbaikan tingkat pemanfaatan kapasitas terpasang. Hasil studi mereka membandingkan, misalnya pcnghematan biaya antara wilayah produksi di pulau Jawa dan di luar Jawa,(12) Berkaitan dengan peranan berbagai faktor lainnya, seperti harga berbagai input, volume output dan kemajuan teknologi, yang relatif dominan ketimbang load factor itu sendiri, penurunan biaya di wilayah Jawa Timur terlihat serupa dengan penghematan di luar Jawa. Setiap 1% kenaikan Load Factor di wilayah ini akan berakibat penurunan biaya produksi sebesar 0,23 % di tahun 1990, yang lebih kurang serupa dengan apa yang diketemukan di Sumatera Utara. ,Berbcda dengan wilayah Jawa Timur, dengan struktur harga input,produksi, kemajuan teknologi yang berbeda, wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta tan'lpak hanya mampu memperkecil biaya produksi sebesar 0,16 persen
..
pada tahun yang sama. Wilayah Aceh dan Irian Jaya, dengan load factor terendah di tahun 1990, dapat memperkecil biaya berturut-turutsejauh 0,29% dan 0.33% hanya denganjalan memperbaiki load factor sebcsar 1% saJa. Dari sini jelas terlihat bahwa perbaikan tingkat pemanfaatan kapasitas terpasang hanya sebesar 1 pcrsen saja akan berarti penurunan biaya produksi berkisar antara 0,16% dan 0,33%. Meskipun dari segi pcrsentase penurunan biaya produksi ini cukup kecilnya, tetapi penghematan semacam ini akan mcmungkinkan lebih kecilnya kenaikan harga listrik yang dapat dilakukan dimasa depan. Salah satu hal yang terpenting bagi masyarakat banyak adalah bukan hanya sejauh manakah faktor-faktor terscbut dapat menurunkan biaya produksi energi listrik di tanah air ini, tctapi lebih lanjut apakah pcnurunan biaya produksi rata-rata ini pada akhimya akan menurunkan harga listrik bagi konsumen akhir, seperti rumah tangga, tranportasi, komersial dan industri
? 6. Dampak Pcncntuan Harga Biaya produksi energi listrik yang lebih rendah tersebut hanya akan membawa manfaat bagi bangsa apabila biaya itu betul-betul diterjemahkan kedalam harga yang lebih rendah atau sctidak-tidaknya kenaikan harga listrik dimasa depan akan sebesar apa yang dibayangkan dewasa ini berdasarkan besamya subsidi ekonomi yang ada. Sebab ini berarti bahwa akan lebih banyak masyarakat yang dapat menikmati listrik tanpa harus diberikan subsidi oleh pemerintah. Salah satu yang menarik tentang listrik bahwa sektor listrik mempunyai hubungan langsung dengan konsumen akhir sehingga memingkinkan sektor ini memanfaatkan hubungan langsung tersebut untuk kepentingan dirinya sendiri (sektor listrik) atau bahkan lebih jauh lagi demi kepentingan perekonomian secara pertimbangan polotik sering kali melatarbclakangi dan mewamai berbagai kebijakan di sektor listrik ini, tcnllasuk kebijakan subsidi. Sektor listrik sudah barang tentu mempunyai misi tersendiri dalam mengadakan energi listrik terscbut, di antaranya yang terpenting adalah mcningkatkan kcsejahteraan rakyat. Sebab listrik sudah dianggap merupakan salah satu komponen dari kebutuhan hidup yang minimun sekalipun. Akibatnya, segala keputusan baik tentang produksi, tansmisi maupun distribusi lebih
10) Wilayah produksi Jawa Barat dan DKI Jakarta, misalnya, telah memiliki tingkat pemanfaat.'1n kapasitas sebesar 37% di tahun 1976, sehingga tidaklah mengherankan apabila wilayah ini telah mampu meningkatkannya menjadi 50 % di tahun 1990 yang lalu, suatu tingkat yang dapat dikat.'1kan secara teroritis telah memanfaatkan kapasit.'1s sepenuhnya semata-mata karena adanya peak load period. Demikian pula dengan wilayah Jawa Timur yang telah mencapai tingkat pemanfaatan kapasitas sebcsar 48% di tahun 1984, dan menjadi 49% di tahun 1990 . 11) Angka load factor scbesar ini didasarkan atas perkiraan dalam analisis biaya manfaat (cost-benefit analysis) untuk PLTN di Eropa, Amerika Serikat, Kanada dan Jepang. Lihat studi yang dilakukan o1eh USCEA (1992); Moynet, G., et.aI.' (1991) 12) Pcrlu dicatan bahwa dampak berikut ini telah memperhitungkan peranan dan semua harga input yang sedang berlaku, selain dari volume produksi listrik, tingkat pemanfaatan kapasitas yang ada, dan kemajuan teknologi.
12
Prosiding Seminar Telaw/ogi dan Keselamatan serta Fasi/itas Nuk/ir
Serpong, 9-10 Februari 1993 PRSG, PPTKR - BAl'AN
PLTN
ban yak didasarkan pada cost effectiveness. Dalam kalkulasi ekonomi semacam ini diu:tamakan adalah total biaya memcapai sasarannya secara effektif. Sampai sejauh ini peranan sektor listrik masih terbatas lebih banyak scbagai pelaku ekonomi yang hanya mengadakan energi listrik saja, belum dalam bentuk mengadakan energi listrik yang effisien. Wilayah produksi listrik Sumatera Bagian Selatan merupakan wilayah yang paling effisien dibandingkan dengan wilayah produksi lainnya di Indonesia, bahkan telah berJangsung sejaktahun 1976 (Pasay, Budhiarso dan Putra, 1992). Dalam era deregulasi dan debirokratisasi yang sudah berjalan sejauh ini, tampaknya pendekatan ekonomi seperti itu perJu dilakukan reorientasi ke arah pendekatan ekonomi yang mengutamakan effisiensi. Di sini bagaimana mencapai sasaran tersebut menjadi titiktumpu perhatian. Mengapa pendekatan effisiensi ini menjadi amat penting? Dalam era semacam itu, kegiatan ekonomi yang paling effisien lah yang akan tetap dapat mempertahankan eksitensinya; sdementara yang kurang effisien akan semakin tersisihkan. Dalam keadaan seperti ini memang pertimbangan distribusi. Namun yang perlu dipertanyakan adalah persoalan apakah pertimbangan distribusi itu serdiri akan mampu menjamin kehandalan pengadaan (secured supply) energi listrik dalam masa yang lebih panjang. Menurut perkiraan saya, kalau kebijakan yang diambil sampai sa at ini diasumsikan terus berJangsung sebagaimana adanya, maka besarnya subsidi yang diberikan oleh pemerintah, dihitung berdasarkan berapa jauh dugaan biaya rata-rata (predicted average cost) dari harga rata-rata yang akan berlaku, pasti akan membengkak. Perkiraan ini akan memberikan gambaran sejauh mana sa saran meniadakan subsidi listrik yang hendak dicapai dalam jangka panjang. Artinya, sejauh mana harga mesti dinaikkan dibandingkan dengan harga yamg akan berJakudimasa depan supaya sektor listrik ini mampu mandiri tanpa harus menaggung beban ketcrgantungan pada pihak lain, termasuk pemerintah. Betul bahwa subsdi ini akan meringankan beban konsumen dan produsen dalam jangka pendek. Namun subsidi yang sama dapat menjadikan bumerang bagi mercka sendiri karena kehandalan pengadaan dan produksi energi listrik dalam kurun waktu yang lebih panjang menjadi tidak terjamin oleh kemampuan sektor listrik itusendiri. Pada akhirnya, para konsumen lah yang akan menanggung beban tersebut, termasuk social
marginal cost yang mesti mereka deritai, karena antrian banyak untuk berJangganan Jistrik, dan kalaupun mendapatkan sambungan, hanya akan memperoleh daya terpasang yang minimal, lagipula mesti mengalami pemadaman listrik bergantian, dan salah-salah dapat berakibat angka fertilitas yang membengkak pula. Dalam kurun waktu yang lebih pendek dari itu, pengurangan subsidi listrik dapat diarahkan pada penutupan sebahagian dari biaya rata-rata tersebut, misalnya dengan penentuan harga yang hanya sejauh menutupi biaya marjinal (marginal cost pricing), tidak langsung kepada average cost pricing. Sejauh mana marginal cost pricing ini mesti ditetapkan tergantung pada seberapa jauh perbedaan antara dugaan biaya marjinal (predicted marginal cost) dan harga rata-rata. Disinilah justru salah satu dampak positif (net benefit efffect) yang dpat dihasilakna oleh PL TN ini bagi masyarakat banyak, terutama dipulau Jawa dan Bali. Diatas telah disentuh bahwa PLTN, sebagai base-load plant yang padat modal, akan mempunyai biaya modal yang tinggi tetapi dengan biaya operasi yang rendah. Dengan demikian selama masa hidupnya, yang diperkirakan sekitar 30 tahun, modal yang besartersebut akan menyusut sehingga PL TN akan mampu menghasilkan energi listrik per kwh yang kompetitif dibandingkan, umpamanya, dengan PL TG combined cycle dengan daya yang setara. Seberapa jauh penghematan biaya yang bisa ditimbulkan oleh proyek PLTN ini, kalau seandainya base-load ini dipenuhi dengan menggunakan pembangkit yang sarna dengan yang sudah ada dewasa ini, sangat tergantung pada dua faktor utama. Kedua faktor tersebut adalah capital cost dan operating cost baik selama masa beban puncak (peak load period) dalam memenuhi system maximum demand. Sebab pembangunan PLTN, sebagai base-load plant, akan mengeser peranan yang dimainkan oleh peak-load plant dan intermediate-load plant hingga kini. Bandingkan, misalnya, harga listrik PLN per Kwh dengan biaya produksi listrik tenaga nuklir per KWh sebesar Rp. 82 di Amerika Serikat, Rp. 59 di Kanada dan Rp, 65 di Perancis. Perbedaan tersebut sesungguhnya menggambarkan berapa jauh harga Jistrik dapat diturunkan di kemudian hari, denganmempertimbangkan berapa porsi PLTN dalam kapasitas terpasang secara nasional dan dengan average pricing poJicy.
DAFfAR KEPUSTAKAAN 1. Adiwardojo. 1992.Prospek dan Potensi serta Persia pan Pembangunan PLTN di Indonesia, makalah ini disampaikan pada ceramah Pemasyarakatan teknologi Nuklir, IKIP, Yogyaklarta, 12 Desember 1992. 2. Anwar, Moh. Arsjad dan Iwan J.Azis (eds.), 1990: Prospek Perekonomian Indonesia 1990-1991 dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta, Lembaga Penerbit, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. 3. Bank Indonesia. 1992. Laporan Tahunan
13
Prosiding Seminar Teknologi dan Keselamalan serla Fasi/ilas Nuklir
PLTN
Serpollg, 9-10 Februari 1993 PRSG, PPTKR - BATAN
4. Berndt, E.R. dan L.R. Christensen, 1973a: "The Intrnal Structure of Fungtional Relaionship: Separability, Subtitution and Aggregation :,dalam The Review of Economic Studies, vol. 40, Juli, hal. 403-10 5.
, 1973b: "The Translog and the Subtitution of Equipment, Structures and Labor in U.S. Manufacturing 1929-68", dalam Journal of Econometrics, vol. I, Maret, hal. 81-113.
6. Berndt, E.R. dan D.O. Wood,1975: Technology, Prices, and the Derived Demand for Energy", dalam Review of Economics and Statistic, vol. 57, Agustus, hal. 259-68. 7. Christensen, L.R.; D.W. Jorgenson; dan L.J. Lau, 1971:" Conjugate Duality and the Trangcendental Production Function", dalam Econometrica, vol. 39, Juli, hal. 255-56 8.
" 1973: ''Transcendental ruary, pp. 28-45
Logarithmic
Logaritmic Production Frontiers", dalam Rev. Econ. alld StaL, vol. 55, Feb.
9. Christensen, L.R. dan William H. Greene, 1976: "Economies of Scale in U.S. Electric Power Generation", dalam Journal 0 Political Economy, vol. 84, no. 4, pt. I, august, pp. 655-76 10. Dowling, John M. dan AshokK.Lahiri,1990. "Growth, Structural Transfom1ation, and Consumption Behavior: Evidence from Asia", The Developing Economies, Vol. XXVIII-2, Juni. 11. Moroney, John R., (ed.), 1987 :advallces in Economics ofEnergi and Resources, vol.6, Greenwich, Conn.: JAI Press Ine. 12. Moynet. G., et.al. 1991. "General Report of the Group: Elettricity for Plant to be Commissioned in 2000," UNIPEDE
Generating Cost, Evaluation Made in 1990
13. Pasay, N. Haidy A., 1988: growth, Technical Progress, Migration alld unemployment: An Empirical Study of Wage Rigidity Model of Labor Market in Indonesia, Disertasi, University of Pittsburgh 14. Pasay, N. Haidy A. dan Gatot lah yang disampaikan pada Pekerja", yang diadakan oleh International Hotel, Jakarta,
Arya Putra, 1992:MetodePellgukuran dan Allalisis Produksivitas Pekerja, makaSeminar Sehari :Peningkatan Daya Saing Melalui Pengembangan Produktivitas Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Ball Room, Hilton 21 April 1992.
15. Pasay, N. Haidy A. dan Salman Taufik, 1990 : Produktivitas Moh. Arsjad and Iwan J. Azis (1990).
Pekerja di Industri Pengolahan ", dalam Anwar,
16. Pasay, N. Haidy A.; dan Udi H. Pungut, 1991 : Labor Market Situation in Indonesia 1961-1989, Report Series A No.2 (Technical Report), DEPNAKER/UNDP/ILO, Information System for Employment Development and Manpower Panning, INS/90/00 1 17. Pasay, N. Haidy A.; S.Y. TanokLdan E. Priyono, 1991 :Small Town and Rural Human Resources Development to Reduce Migration to Large Cities, makalah yang disampaikan untuk Lokakarya Internasional tentang "Small Town and Rural Human Resources Development to Reduce Migration to Large Cities", yang dilaksanakan oleh Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia bekerja sama dengan ESCAP (Bangkok), Jakarta, 24-27 Februari, 1992. 18. Pasay, N. Haidy.; udi H, Pungut; dan Gatot Arya Putra, 1992 :Productive Employment Expansion and Institutional Entities in Indonesian Garment Industry, 1978-1987, makalah yang disampaikan pada Lokakarya Intemasional tentang "Labour Institutions and Economic Development in Asia: Theoretical Approaches and Empirical Evidence", yang dilaksanakan oleh Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, dan International Institute for Labour Studies (Jenewa), Sanur Beach Hotel, Bali, 4-6 Februari, 1992. 19. Stev~nson, Rodney, 1980: "Measuring Technological Bias", dalam American Economic Review, Vol. 70, No. I, Maret.
14
Ke Daftar Isi