PERANAN RADIOTERAPI PADA KANKER PROSTRAT
Disusun oleh :
Dr. Rosmita Ginting, Sp. Rad (K) Onk. Rad NIP. 195602291983032003
UNIT RADIOTERAPI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RUMAH SAKIT ADAM MALIK MEDAN 2016
Makalah Tinjauan Pustaka
PERANAN RADIOTERAPI PADA KANKER PROSTRAT
Dr. Rosmita Ginting, Sp.Rad (K) Onk.Rad Unit Radioterapi RS Haji Adam Malik Medan
TINJAUAN PUSTAKA Anatomi Prostat pada laki-laki muda merupakan kelenjar yang konsistensinya serupa dengan konsistensi ujung hidung. Volumenya sekitar 20 ml. Volume prostat pada penderita kanker prostat usia 65 tahun sekitar 40 ml. 3, 7, 8 Ukuran panjang prostat normal adalah 2,5-3 em, diameter transversalnya pada basis prostat adalah 4-4,5 em, dan tebalnya adalah 2-2,5 ern." Prostat dilalui oleh uretra. Bagian distal (apeks) berdekatan dengan fasia profunda diafragma urogenital dan bagian proksimalnya (basis) berdekatan dengan vesica urinaria." 6-9 Prostat melekat ke simfisis pubis di sisi anterior oleh ligamentum puboprostatik. Pada sisi posterior, prostat dipisahkan dari rektum oleh septum rektovesika atau fasia Denovilliers, yang di sisi proksimal melekat ke peritoneum dan ke sisi distal melekat ke diafragma urogenital. Fasia ini membatasi perluasan kanker prostat ke rektum. 6, 7, 9 Pada sisi posterosuperior prostat terdapat vesikula seminalis dan vas deferens, yang kemudian menjadi verumontanum." 8 Sisi lateral prostat dibatasi oleh muskulus levator ani, yang membentuk sulsi lateral prostat. Sering juga dijumpai suatu garis tengah di antara kedua lobus prostat. 7 Di distal apeks prostat terdapat sfingter eksterna." Prostat dikelilingi kompleks serabut jaringan penghubung fibrosa yang dilalui kumparan saraf dan pembuluh darah. Kumparan saraf dan pembuluh darah yang disebut pedikel superior dan inferior ini berjalan ke superolateral dan ke inferolateral. Kumparan tersebut dilekatkan oleh ligamentum puboprostatik ke simfisis pubis.' Prostat terbagi menjadi 4 zona, yaitu stroma fibromuskular anterior (anterior fibromuscular stroma = AFS), zona sentral (central zone = CZ), zona perifer (peripheral zone = PZ), dan zona transisional (transitional zone = TZ). AFS merupakan sepertiga bagian dari prostat. Zona ini tidak mengandung kelenjar dan meluas ke otot polos bladder neck serta ke uretra, apeks, dan sfingter ekstema. CZ merupakan 25% dari pro stat dan berhubungan dengan sistem duktus yang orifisiumnya mengelilingi duktus ejakulatorius di konveksitas verumontanum. Zona ini terletak paling sentral dan proksimal dibandingkan zona lainnya. PZ merupakan 70% dari prostat. Zona ini dapat dipalpasi serta merupakan sumber terbanyak kanker prostat. TZ terletak periuretra dan merupakan 5% dari prostat.3, 6, 7, 11 Zona ini kurang prominen pada laki-Iaki usia mud a namun akhimya hipertrofi dan menjadi dominan pada usia tua.11
Etiologi dan Epidemiologi Kanker prostat merupakan penyakit yang terjadi pada laki-laki usia tua dengan rata-rata usia 72 tahun saat diagnosis ditegakkan" 6 Prevalensi dan angka kejadiannya meningkat sesuai dengan pertambahan usia.12, 13 Kanker prostat jarang diderita laki-laki yang berusia kurang dari 40 tahun." Pada tahun 1990, terdapat kurang dari 10% laki-Iaki berusia 60 tahun dan terdapat lebih dari sepertiga laki-Iaki berusia lebih dari 75 tahun yang menderita kanker prostat di Amerika Serikat. Cek rutin akan meningkatkan jumlah laki-laki berusia lebih dari 60 tahun yang menderita kanker prostat. 3,6 Adanya keluarga yang menderita kanker prostat akan meningkatkan risiko relatif untuk menderita kanker prostat, yaitu 1,3 kali bila terjadi pada ayah dan 2,5 bila terjadi pada saudara laki-laki. Hal ini terjadi pada 5% kanker prostat.i' 12, 13 Usia keluarga tersebut saat terdiagnosis menderita kanker prostat juga mempengaruhi risiko relatif 7, 12 Diet, obesitas, dan paparan lingkungan yang berhubungan dengan kehidupan urban dapat merupakan predisposisi terjadinya kanker prostat pada laki-laki Afrika Amerika.' Diet tinggi lemak dapat meningkatkan risiko risiko relatif kanker prostat sebanyak 1,6-1,9 kali. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa diet tinggi serat menurunkan insidens kanker prostat.' lumlah partner seks, penyakit kelamin, makanan yang mengandung lemak, alkohol, kadmium, dan olahraga tidak selalu menjadi faktor risiko.3 Beberapa penelitian menyokong peranan vitamin D dan kalsium sebagai faktor risiko kanker prostat sedangkan penelitian lainnya tidak. Asupan tinggi vitamin E berhubungan dengan angka kejadian kanker prostat yang rendah. Merokok merupakan faktor risiko terlemah yang menimbulkan kanker prostat." 13 Kanker prostat tidak berhubungan dengan BPH. Adanya BPH akan meningkatkan risiko peningkatan PSA, yang secara tidak sengaja meningkatkan diagnosis kanker prostat. Vasektomi bukan merupakan faktor risiko", namun penelitian lainnya menyebutkan bahwa vasektomi dapat memperberat risiko terjadinya kanker prostat. 12 Sebagian besar kanker prostat dipengaruhi hormon dan 70-80% penderita metastasis kanker prostat memberikan respons terhadap berbagai bentuk ablasi androgen. 12 Patofisiologi Perjalanan penyakit kanker prostat yang bervariasi serta faktor-faktor yang berkaitan dengan penderita, tumor, serta terapi berperan penting untuk menetapkan kecenderungan perluasan tumor ke jaringan di luar prostat (pathological end points) serta menetapkan hasil akhir sesudah pemberian suatu terapi (clinical end points). 14 McNeal menyatakan bahwa hampir semua kanker prostat berasal dari zona periferal prostat. Saat tumor bertambah besar, tumor dapat meluas sampai ke kapsul, menginvasi vesikula seminalis dan jaringan di sekitar prostat, dan selanjutnya menginvasi bladder neck atau rektum." Adanya kanker di dalam jaringan fibroadiposa yang berada di sekitar prostat disebut perluasan ekstrakapsular. Sekitar 96% penderita mengalami perluasan sebesar 2,5 mm dari tepi luar kapsul prostat.!" Perluasan ekstrakapsular paling sering terjadi di basis prostat di daerah rektolateral dan di
daerah pedikel superior. Perluasan ekstrakapsular ini cenderung terjadi bersamaan dengan daerah kapsu1 yang di1a1ui saraf Daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang paling rendah resistennya." 3 9 15 Perluasan ekstrakapsu1ar atau ke vesiku1a semina1is dan metastasis jauh meningkat dengan bertambahnya volume tumor dan makin memburuknya diferensiasi kanker. Kanker bervolume kecil dan berdiferensiasi baik (derajat 1 dan 2) terletak di dalam prostat, sedangkan kanker bervolume besar (> 4 em') atau berdiferensiasi buruk (derajat 4 dan 5) lebih sering ekstensif lokal atau bermetastasis ke ke1enjar limfe regional atau tulang.v' Perluasan ke vesikula seminalis dapat terjadi secara langsung, melalui duktus ejakulatorius, atau melalui penyebaran hematogen." Kanker prostat juga bermetastasis ke hati, paru, dan kadang-kadang ke otak atau lokasi lainnya.7 Penyebaran terjadi melalui pembuluh darah.v' Batson menyatakan bahwa metastasis ke tulang sering terjadi di pelvis dan vertebra melalui vena-vena vertebral. Hal ini dibantah oleh Dodds et. aI, yang menyatakan bahwa metastasis tersebut terjadi karena peranan aliran pembuluh darah arteri regional.i Penyebaran melalui limfe mula-mula terjadi di kelenjar periprostat (obturator), iliaka intema, iliaka ekstema, lalu ke presakral', dan ke preskiatik.v" Gejala Klinis Sebagian besar penderita kanker prostat tidak menunjukkan gejala. Diagnosis ditegakkan berdasarkan peningkatan PSA atau ditemukannya kelainan pada pemeriksaan colok dubur secara tidak disengaja." 7 Temuan khas pada pemeriksaan colok dubur adalah terabanya prostat yang kenyal, induratif, dan membesar. Dapat juga teraba adanya obliterasi sulkus median atau penyebaran sampai ke dinding lateral pelvis. Bila massa di zona periferal bertambah besar, maka timbul gejala prostatisme pada tahap lanjut atau akibat BPH yang sudah ada sebelumnya Penderita dapat mengalami hematuria namun hal ini tidak lazim. Hematuria tersebut terjadi karena infeksi atau erosi pada kelenjar. Nyeri perineum dapat terjadi pada penyakit yang sudah lanjut. 13 Adanya infiltrasi ke ureter distal dapat menimbulkan uremia. Hemoragis lokal dapat terjadi karena nekrosis neoplasma danlatau aktivitas fibrinolisin prostat. 9 Kadang-kadang diagnosis ditegakkan sesudah transurethral resection of the prostate (TURP), yang bertujuan mengurangi gejala obstruktif akibat BPH. Dapat pula terjadi gejala o.bstruktif karena ukuran tumor yang besar (bulky), seperti peningkatan frekuensi berkemih, sering berkemih di malam hari, tidak dapat menahan keinginan berkemih, serta aliran air kemih yang kecil. 3, 7 Penderita dapat pula mengalami perluasan lokal penyakit atau metastasis jauh tanpa mengalami gejala obstruktif.' Gejala-gejala yang berhubungan dengan metastasis adalah penurunan berat badan, cachexia, nyeri tulang, dan komplikasi neurologis. 9, 13 Histopatologi Prostat merupakan kelenjar tubuloalveolar, yang terdiri dari stroma otot polos dan asmus yang dibatasi oleh dua lapis epitel (sel-sel basal dan sel sektretorius jenis kolumnar). Sel yang terakhir berperan dalam komponen vesikula seminalis seperti prostatic acid phosphatase dan PSA17 '
Hampir sebanyak 95% kanker prostat adalah adenokarsinoma.' 3 7, 12, 13, 17 Sebanyak 90% dari 5% adalah karsinoma sel transisional 12, yang berasal dari uretra atau duktus':', dan sisanya adalah karsinoma neuroendokrin (sel kecil) atau sarkoma.12,13 Sistem Gleason merupakan sistem penderajatan yang paling banyak dipakai dan diterima di Amerika Serikat. Seorang patolog akan menetapkan dua pola sel kanker yang paling banyak dijumpai sebagai derajat primer dan sekunder. ' 7, 12, 13
Derajat ditetapkan antara 1-5. Jika suatu sesimen hanya memiliki satu pola, rnaka derajat primer dan sekundernya sama." 1 Skor total Gleason atau Gleason sum diperoleh dengan menambahkan kedua derajat tersebut. Karena derajat Gleason bervariasi antara 1-5, maka skor total tersebut bervariasi antara 2_10.3,7,12 Derajat primer berperan penting dalam menetapkan prognosis penderita. Penderita dengan skor total Gleason 7 yang derajat primernya 4 (4+3) rnerniliki prognosis lebih buruk dibandingkan penderita dengan skor total Gleason sarna namun dengan derajat primer 3 (3+4):12 Derajat Gleason 1 dan 2 menunjukkan kelenjar-kelenjar berukuran kecil yang bentuknya tidak seragam, tampak utuh, dengan sedikit stroma di antaranya.' Keduanya memiliki diferensiasi baik.13 Derajat Gleason 3 menunjukkan kelenjar- kelenjar dengan ukuran bervariasi di antara stroma yang normal. Varian derajat Gleason 3 adalah poIa cribriform (sejumlah kecil sel-sel yang dilalui beberapa lumen kelenjar tanpa stroma di antaranya). Derajat Gleason 3 memiliki diferensiasi sedang. 12, 13 Derajat Gleason 4 memiliki beberapa gambaran histologik, namun yang khas adalah gambaran pembentukan kelenjar yang tidak lengkap. Derajat Gleason 4 memiliki diferensiasi buruk. 13 Derajat Gleason 5 menunjukkan gambaran sel-sel yang terinfiltrasi tanpa pembentukan kelenjar atau lumen. Variannya adalah komedokarsinoma, yaitu gambaran kelenjar cribriform dengan area nekrosis di sentral. Derajat Gleason 5 memiliki diferensiasi sangat buruk.V: 13 Johnstone et. al menyatakan bahwa ketepatan sistem penderajatan berdasarkan biopsi jarum halus sebesar 71 % bila dibandingkan dengan sediaan prostatektomi radikal. Sebanyak 23% dan 6% sisanya masingmasing undergrading dan overgrading. 7 Staging Klinik Staging yang dipakai sebelumnya untuk karsinoma prostat adalah TNM berdasarkan American Joint Committee on Cancer, 1997. Selain mengevaluasi tumor, Staging ini juga maka hasil pemeriksaan colok dubur dan TRUS. Namun staging11 tidak memakai hasil pemeriksaan biopsi.12 Saat ini staging tersebut sudah diperbaharui, yaitu American Joint Committee on Cancer, 2002.18 Staging lainnya adalah staging Whitmore-Jewett. 12
mikroskopis adenokarsinoma berdiferensiasi baik, yang berasal dari spesimen transuretral atau enukleasi, namun tidak nyata secara klinis. A2: Tumor tidak berdiferensiasi baik atau lebih dari 3 fokus. B 1: Teraba nodul berukuran < 1,5 cm, tanpa gejala, struktur prostat di sekitamya normal, tidak ada perluasan ke kapsul, acid phosphatase normal. B2: Keterlibatan difus kelenjar, tidak ada perluasan ke kapsul, acid phosphatase normal. C: Perluasan ekstensif tumor dengan penetrasi melalui kapsul, penyebaran langsung, dapat melibatkan vesikula seminal is, bladder neck, dinding lateral pelvis, acid phosphatase dapat meningkat, skintigrafi tulang normal. D 1: Metastasis ke kelnjar limfe pelvis di distal bifurkasi aorta; acid phosphatase dapat meningkat. D2: Metastasis kelenjar limfe atau tulang di at as bifurkasi aorta atau metastasis ke jaringan lunak lainnya.
Klinis Tx: Tumor primer tidak dapat dinilai. TO: Tidak terdapat bukti adanya tumor primer. T 1: Tumor tidak teraba ataupun terlihat oleh pencitraan. a. Ditemukan tidak sengaja pada < 5% jaringan yang direseksi. b. Ditemukan tidak sengaja pada > 5% jaringan yang direseksi. c. Tumor teridentifikasi pada biopsi jarum halus karena peningkatan PSA. T2: Tumor terbatas di prostat. a. Hanya melibatkan 1 lobus. b. Melibatkan kedua lobus. T3: Tumor meluas melalui kapsul prostat. a. Perluasan ke ekstrakapsular. b. Tumor menginvasi vesikula seminalis. T4: Tumor terfiksasi atau menginvasi struktur selain vesikula seminalis.
Patologis (pT) pT2: Terbatas di prostat. a. Unilateral, melibatkan ≤ ½ bagian lobus. b. Unilateral, melibatkan > ½ bagian lobus. c. Bilateral. pT3: Perluasan ke luar prostat. a. Perluasan ke luar prostat (batas sayatan tidak bebas tumor). b. Invasi ke vesikula seminalis. pT4: Invasi ke kandung kemih dan rektum. Kelenjar limfe regional (N) Klinis Nx: Kelenjar limfe regional tidak dapat dinilai. Nx : Kelenjar limfe regional tidak dapat dinilai NO : Tidak terdapat
metastasis
kelenjar limfe regional.
Nl: Metastasis ke kelenjar limfe regional Patologis pNx : Kelenjar limfe regional tidak tercakup dalam sam pel. pN0 : Tidak terdapat kelenjar limfe regional yang positif. pNl : Metastasis ke kelenjar limfe regional. Metastasis jauh (M) Mx : Metastasis jauh tidak dapat dinilai (tidak dievaluasi oleh modalitas apapun). M0 : Tidak terdapat metastasis jauh. Ml : Metastasis jauh. a. Kelenjar limfe nonregional. b. Tulang. c. Lokasi lain. Stage grouping Stage I : Tla N0 M0 Gl Stage II : Tla N0 M0 G2, 3-4 Tlb N0 M0 G apapun TIc N0 M0 G apapun T 1 N0 M0 G apapun T2 N0 M0 G apapun Stage III : T3 N0 M0 G apapun Stage IV : T4 N0 M0 G apapun T apapun Nl M0 G apapun T apapun N apapun M1 G apapun Tipe histopatologis Klasifikasi tersebut di atas dimaksudkan untuk adenokarsinoma dan karsinoma skuamosa dan tidak untuk sarkoma atau karsinoma sel transisional prostat. Kata sifat yang dipakai untuk mendeskripsikan adenokarsinoma dapat berupa musinosa, sel kecil, papiler, duktal, dan neuroendokrin. Karsinoma sel transisional prostat diklasifikasikan
sebagai tumor uretra. Harus ada suatu konfirmasi histologis untuk itu.
Derajat histopatologis Gx : Derajat tidak dapat ditentukan. Gl : Diferensiasi baik (anaplasia ringan) (Gleason 2-4). G2 : Diferensiasi sedang (anaplasia sedang) (Gleason 5-6). G3 : Diferensiasi buruk atau undifferentiated (anaplasia bermakna) (Gleason 7-10).
Gambaran Radiologis Ultrasonografi TRUS memakai transduser endoplanar berfrekuensi 5-10 MHz. Dengan TRUS, bentuk dan karakteristik doppler kelenjar prostat, vesikula seminal is, dan tumor dapat diperlihatkan dengan baik. Peranan terpenting TRUS adalah untuk penuntun biopsi pada penderita yang tes awalnya tidak normal, teraba benjolan pada pemeriksaan colok dubur, atau hasil TRUS yang memperlihatkan kelainan. Hanya kanker prostat yang terdapat di zona periferal yang dapat terdeteksi oleh TRUS.13 Namun tumor yang ukurannya sudah terlalu besar juga sulit diidentifikasi karena seluruh zona periferal dapat saja sudah terlibat." Sekitar 60-75% tumor memiliki ekhogenisitas yang lebih rendah dibandingkan jaringan prostat normal di sekitarnya. Sekitar 12-30% isoekhoik dan tidak terlihat dengan grey-scale sonography, sedangkan sisanya terlihat hiperekhoik. Penemuan suatu lesi hipoekhoik pada TRUS tidak spesifik untuk kanker karena hal yang sarna dapat terjadi pada proses jinak, seperti prostatitis. Penetrasi ke kapsul dapat didiagnosis melalui deformitas lokal, penonjolan kapsul, iregularitas kapsul, dan terputusnya ekho lemak periprostatik. Perluasan ke vesikula seminal is terlihat dengan ukuran, bentuk, dan ekho yang asimetris. Pada penderita dengan risiko perluasan ke vesikula seminalis (PSA > 20 ng/rnl, dan skor Gleason> 7), tuntunan biopsi dengan TRUS berperan penting dalam menegakkan diagnosis tersebut. 16 Namun TRUS tidak dapat mengevaluasi pembesaran kelenjar limfe di dinding pelvis atau retroperitoneal atau mengidentifikasi metastasis jauh. 15 Tomografi Komputer Tomografi komputer tidak memperlihatkan visualisasi langsung kanker prostat dan karena itu tidak direkomendasikan untuk staging lokal. 16 Peranan tomografi komput-er adalah untuk menentukan staging nodul, perluasan penyakit, 13, 16 serta perencanaan radioterapi.!" Biopsi jarum halus yang dituntun dengan tomografi komputer dapat dilakukan pada kecurigaan nodul dengan diameter aksis pendeknya > 7 mm.16
pemberian kontras akan menimbulkan penyangatan pada massa tumor maupun jaringan 19
prostat yang normal sehingga tumor intrakapsular sulit diidentifikasi. disertai
protrusi
spesifik.":
nodul pada
19 Perluasan
ke
kontur
prostat bukan merupakan
ekstrakapsular
Pembesaran prostat suatu
temuan
baru dapat diidentifikasi
bila ada
jaringan lunak yang secara bermakna tampak meluas ke lemak periprostatik perirektal, 16, 19 berbentuk
ireguler,
dan meyerupai
garis.!" Pada tumor
ekstensif, dinding kandung kemih atau organ berongga
atau yang
lainnya akan menyangat
sehingga mempermudah visualisasi perluasan tumor. 19 Dilatasi asimetris vesikula seminalis cenderung menunjukkan invasi tumor, terutama bila terlihat obliterasi sudut yang dibentuk oleh kandung kemih terhadap vesikula seminalis.l" Magnetic Resonance Gambaran prostat paling baik didapatkan pada kekuatan 1,5 T.16 Suatu metaanalisis oleh Engelbrecht et al, pada tahun 2002 menyatakan bahwa tidak mungkin mendapatkan akurasi menyeluruh MRI pada staging kanker prostat. Kombinasi koil endorektal dan pelvis memberikan gambaran yang lebih baik bila dibandingkan dengan penggunaan koil endorektal saja. Pemeriksaan ini tidak boleh dilakukan 3-4 minggu sesudah biopsi prostat untuk menghindari gambaran peningkatan intensitas sinyal pada T2WI.16, 20 Peranan utama magnetic resonance dalam staging kanker prostat adalah menentukan apakah kanker masih terbatas di prostat.15,20 Suatu studi analisis decision menyarankan agar MRI dipakai sebagai alat untuk menetapkan staging pada kanker prostat risiko sedang dengan T3 dan penderita yang akan menjalani brakiterapi.20 Gambaran prostat yang normal pada magnetic resonance tidak menyingkirkan adanya kanker dan sebaliknya beberapa kondisi dapat meyerupai kanker. Adanya suatu lesi berintensitas sinyal rendah di zona peri feral tidak khas untuk kanker karena proses jinak, seperti prostatitis atau fibrosis dapat memberikan gambaran intenssitas sinyal yang sama.15,16,20 TlWI dapat memperlihatkan kelenjar prostat, vesikula seminalis, dan vena periprostatika normal dengan intensitas sinyal sedang, yang dikelilingi lemak periprostatika yang intensitas sinyalnya tinggi. Selain itu, TIWI juga dapat memperlihatkan keterlibatan kelenjar limfe dan sumsum tulang.20 Sekitar 70% kanker timbuI di zona peri feral, 20% di zona transisional, dan 10% di zona sentral. Gambaran yang sering tampak adalah fokus tunggal berintensitas sinyal rendah pada T2WI, namun dapat juga terlihat multipel atau difus. Pada T2WI, kanker prostat tampak sebagai lesi berintensitas sinyal rendah dibandingkan zona periferal yang memiliki intensitas sinyal sedang sampai tinggi disertai kapsul yang hipointens. Tanda-tanda perluasan ekstrakapsular pada magnetic resonance adalah penonjolan tumor, retraksi kapsul, penebalan kapsul, stranding jaringan lunak di dalam kapsul, tumor ekstrakapsular, dan adanya intensitas sinyal rendah yang membatasi lesi. 16,20 Penonjolan tumor dapat terlihat bila sudah melebihi 2 mm, yang tampak sebagai penebalan fokal dan/atau penonjolan kapsul. Infiltrasi periprostatik tampak pada T 1WI sebagai lesi berintensitas sinyal rendah di dalamnya atau lesi berintensitas sinyal sedang pada T2W fat suppressed 15 Bila tanda-tanda ini
tidak dinilai sebagai suatu kesatuan, sensitivitas dan spesifisitasnya menjadi rendah. 16
Invasi tumor ke vesikula seminalis ditandai dengan intensitas sinyal yang asimetris di dalam vesikula seminalis dan area fokal berintensitas sinyal rendah pada T2WI. Tanda lainnya adalah dilatasi vesikula di distal tumor karen a obstruksi duktus di proksimalnya. Hilangnya garis lemak di antara basis prostat dan bafiian inferior vesikula seminalis juga merupakan tanda keterlibatan vesikula seminalis.6 Invasi ke kandung kemih meliputi hilangnya garis lemak di antara basis prostat dan kandung kemih serta terputusnya hipointensitas otot dinding kandung kemih oleh massa tumor. 16
Skintigrafi Tulang Penderita kanker prostat dengan risiko rendah memiliki kemungkinan kecil untuk mengalami metastasis ke tulang. Penggunaan rutin skintigrafi tulang diperlukan sebagai bagian staging. Skintigrafi tulang perlu dipertajam akurasinya dengan penambahan SPECT untuk memastikan keterlibatan tulang" Nomogram Partin Untuk menghitung risiko dengan lebih akurat dapat dipakai suatu nomogram yang memperhitungkan efek faktor-faktor prognostik untuk mendapatkan prediksi yang lebih tepat. Nomogram yang paling banyak dipakai pada kanker prostat saat ini, yaitu nomogram Partin, menggabungkan staging klinis, derajat biopsi Gleason, dan kadar PSA sebelum operasi untuk memprediksi staging patologis, yaitu terbatas pada organ, perluasan ke luar kapsul, invasi vesikula serninalis, atau metastasis kelenjar limfe. Nomogram juga dapat dipakai untuk memprediksi kegagalan biokimia (biochemical failure) sesudah prostatektomi radikal, radiasi eksterna, dan brakiterapi. Nomo?:ram juga tepat digunakan untuk individu, bukan untuk suatu kelompok risiko. 8
Penatalaksanaan Donnovan meneliti jenis terapi yang dipilih urolog di Inggris berdasarkan usia penderita melalui pengisian kuesioner. Pada penderita usia 55 tahun, dipilih prostatektomi radikal 64%, radiasi kuratif 23%, dan penatalaksanaan konservatif 8%. Pada penderita usia 69 tahun, dipilih prostatektomi radikal 24%, radiasi kuratif 41%, dan penatalaksanaan konservatif 13%. Sedangkan pada penderita usia 75 tahun, dipilih radiasi kuratif 23%, penatalaksanaan konservatif 24%, dan tidak ada yang menganjurkan prostatektomi radikal. 5 Pemeriksaan awal yang harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis kanker prostat meliputi pemeriksaan colok dubur, pemeriksaan kadar PSA, dan skor Gleason. Sesudah itu ditentukan harapan hidup penderita dan adanya gejala, Bila harapan hidup < 5 tahun dan penderita tidak mengalami gejala, maka tidak perlu melakukan penatalaksanaan berikutnya atau pemberian terapi sampai muncuInya gejala, kecuali pada penderita yang berisiko tinggi. Sedangkan bila harapan hidup penderita> 5 tahun atau penderita mengalami gejala, maka: 1. Dilakukan skintigrafi tulang bila TI-T2 dan kadar PSA > 20 nglmL atau skor Gleason 2: 8 atau T3, T4, atau dengan gejala. 2. Dilakukan tomografi komputer pelvis atau magnetic resonance imaging bila TIT2 dengan nomogram memperlihatkan probabilitas keterlibatan kelenjar Iimfe > 20% atau bila T3, T4. Bila ada dugaan pembesaran kelanjar limfe maka dapat dilakukan biopsi jarum halus. 3. Selain hal-hal tersebut di atas, tidak perlu dilakukan pemeriksaan pencitraan tambahan.
Tahap selanjutnya adalah menentukan risiko kekambuhan, yaitu dengan membagi menjadi: 1. Terlokalisasi secara klinis (clinically localized): a. Risiko rendah, yaitu bila T1-T2a, skor Gleason 2-6, dan PSA < 10 ngimL. Selanjutnya perlu ditentukan angka ketahanan hidup yang diharapkan pada penderita. Bila angka ketahanan hidup yang diharapkan pada penderita < 10 tahun maka dapat dilakukan monitor aktif perjalanan penyakit agar dapat dilakukan intervensi (bila penyakit menjadi lanjut atau gejala memberat). Penderita dapat pula dianjurkan untuk mendapatkan radiasi, baik ekstema maupun dengan brakiterapi. Sedangkan bila angka ketahanan hidup yang diharapkan pada penderita ~ 10 tahun maka selain dilakukan monitor aktif, dapat pula dilakukan radiasi atau prostatektomi radikal yang disertai dengan atau tanpa pengangkatan kelenjar limfe pelvis (pelvic lymph node dissection). Bila penderita menjalani prostatektomi radikal dan batas sayatan operasi positif maka penderita dianjurkan untuk menjalani radiasi. Bila penderita menjalani prostatektomi radikal dan terdapat metastasis kelenjar limfe maka dapat dilakukan observasi atau ablasi androgen. b. Risiko sedang, yaitu bila T2b- T2c atau skor Gleason 7 atau PSA 10-20 nglmL. Bila angka ketahanan hidup yang diharapkan pada penderita < 10 tahun maka dapat dilakukan monitor aktif atau radiasi atau prostatektomi radikal yang disertai dengan pengangkatan kelenjar limfe pelvis (pelvic lymph node dissection), kecuali bila prediksi probabilitas metastasis kelenjar limfe < 3%. Sedangkan bila angka ketahanan hidup yang diharapkan pada penderita 2: 10 tahun maka dapat dilakukan prostatektomi radikal yang disertai dengan pengangkatan kelenjar limfe pelvis (pelvic lymph node dissection), kecuali bila prediksi probabilitas metastasis kelenjar limfe < 3% atau radiasi. Bila penderita menjalani prostatektorni radikal dan batas sayatan operasi positif maka penderita dianjurkan untuk menjalani radiasi. Bila penderita menjalani prostatektomi radikal dan terdapat metastasis kelenjar limfe maka dapat dilakukan observasi atau ablasi androgen. c. Risiko tinggi, yaitu bila T3a atau skor Gleason 8-10 atau PSA > 20 ngimL. Pada penderita risiko tinggi, alternatif yang ada adalah ablasi androgen 2-3 tahun disertai radiasi ekstema atau radiasi ekstema disertai dengan atau tanpa ablasi androgen konkuren jangka pendek atau prostatektomi radikal disertai dengan pengangkatan kelenjar limfe pelvis (pelvic lymph node dissection). Bila penderita menjalani prostatektomi radikal dan batas sayatan operasi positif maka dapat dilakukan observasi atau radiasi. Bila penderita menjalani prostatektomi radikal dan terdapat metastasis kelenjar limfe maka dapat dilakukan ablasi androgen atau monitor aktif 2. Lokal jauh (locally advanced): risiko sangat tinggi, yaitu bila T3b-T4. Pada penderita yang termasuk kategori ini dapat dilakukan ablasi androgen 2-3 tahun atau radiasi eksterna disertai dengan ablasi androgen. 3. Metastasis, yaitu dalam T apapun, N1. Penderita yang termasuk dalam kategori ini dapat menjalani ablasi androgen atau radiasi eksterna disertai dengan ablasi androgen.
4. Dalam T apapun, N apapun, Ml. Penderita yang termasuk dalam kategori ini dapat menjalani ablasi androgen. Efikasi radioterapi tergantung penentuan besar tumor melalui pemeriksaan fisik dan pencitraan radiologis. Selain itu perlu diperhitungkan juga risiko dan penyebaran tumor yang tidak jelas secara klinis. Hal ini disebabkan perluasan tumor secara mikroskopis melalui kapsul prostat, keterlibatan vesikula seminalis, ataupun kelenjar limfe regional sering sudah terjadi pada saat diagnosis ditegakkan. Semua itu berguna untuk memilih modalitas radioterapi dan menentukan lapangan radiasi ekstema. Faktor-faktor yang dipakai untuk menetapkan perluasan ekstrakapsular sebelum penatalaksanaan radioterapi adalah staging klinis tumor, kadar PSA serum, dan skor Gleason. 14 Radioterapi ajuvan dan salvage radiation therapy sesudah prostatektomi radikal Prostatektomi radikal merupakan terapi pilihan untuk penderita dengan kanker prostat yang terlokalisasi secara klinis (clinically localizedi." 13, 18 yang dapat diangkat seluruhnya melalui pembedahan, yang memiliki angka harapan hidup 2: 10 tahun, tidak memiliki kondisi-kondisi komorbid yang mempengaruhi operasi elektiC' 18 hasil skintigrafi, dan acid phosphatase normaf2, dan tanpa metastasis ke kelenjar limfe pada pencitraan sebelurnnya.':' Walsh memodifikasi teknik operasi dengan pendekatan retropubik, yang mempertahankan kumparan saraf dan pembuluh darah sehingga mempertahankan potensi pada penderita.?: 22 Pendekatan operasi ini didahului pengambilan kelenjar limfe pelvis dan dilanjutkan dengan pengangkatan prostat, vesikula seminalis, dan bagian bladder neck. 3, 22 Kornplikasi-komplikasi yang dapat terjadi adalah inkontinensia (2-10%), impotensi (7-44%, bervariasi menurut usia dan staging), kematian saat operasi (0,5_3,6%)22, nyeri pelvis, dan sedikit pemendekan panjang 1 penis. Prostatektomi radikal dan upaya mempertahankan kumparan saraf dan pembuluh darah mungkin lebih sulit dilakukan bila penderita sudah menjalani TURP ekstensif atau berkali-kali.f Radioterapi ajuvan diberikan untuk penderita yang setelah sebulan menjalani prostatektomi, kadar PSA tidak terdeteksi. Sedangkan salvage radiation therapy diberikan bila kadar PSA tetap terdeteksi sesudah prostatektomi radikal atau naik kembali setelah sebelumnya tidak terdeteksi, Meskipun pemberian radioterapi pada penderita yang mengalami peningkatan secara menetap kadar PSA merupakan terapi ajuvan, penderita-penderita tersebut memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami risiko metastasis regional dan jauh, bahkan residu tumor, apabila dibandingkan dengan penderita-penderita yang memiliki kadar PSA tidak terdeteksi sesudah prostatektomi radikal. Data yang ada menyebutkan bahwa salvage radiation therapy untuk kadar PSA yang meningkat menetap sesudah prostatektomi radikal sedikit kurang efektif bila dibandingkan dengan salvage radiation therapy untuk kegagalan biokimia yang tertunda." Radioterapi ajuvan sesudah prostatektomi radikal dengan risiko tinggi berdasarkan hasil histopatologi
pada
penderita
Peningkatan angka kegagalan klinis atau patologis pada penderita dengan keadaan tumor yang terlokalisasi secara klinis (clinically organ-confined) (Tic atau T2) berhubungan dengan gambaran histopatologis risiko tinggi, seperti perluasan ke ekstrakapsular, skor Gleason> 6, keterIibatan vesikula seminalis, tepi sayatan positif tumor, dan keterlibatan kelenjar limfe. Dari semua faktor ini, keterlibatan kelenjar limfe merupakan prediktor kuat metastasis jauh." Salvage external beam radiation therapy sesudah prostatektomi radikal Keberhasilan ditentukan oleh berbagai faktor yang berhubungan dengan penderita dan terapi. Kadar PSA sebelum radiasi dimulai lebih penting daripada kadar PSA, skor Gleason, stadium penyakit, dan batas sayatan tumor. Hubungan antara kadar PSA sebelum terapi dengan kegagalan biokimia tampaknya merupakan suatu fungsi yang berkesinambungan. Penundaan terapi akan memungkinkan perkembangan penyakit lebih lanjut. 6 Idealnya, salvage radiation therapy harus dipertimbangkan pada kasus-kasus dimana kega~alan biokimia mencerminkan adanya residu penyakit di tempat pembedahan. Radiasi eksterna Teknik Konvensional Kecepatan kegagalan lokal (local failure rate) sesudah radioterapi konvensional sebagian besar terjadi karena faktor-faktor yang berhubungan dengan tumor dan karena faktor teknis yang berkaitan dengan eara pemberian radiasi. Penelitian-penelitian terbaru menunjukkan bahwa teknik lama ini berhubungan dengan tidak tereakupnya volume target pada 20-41 % pasien yang diterapi. Teknik lama tersebut ditandai dengan kecilnya lapangan booster dan pemakaian tulang sebagai penanda tepi lapangan. Dosis total yang diberikan adalah 60-70 Gy karena dosis ini dipereaya eukup dan mendekati dosis maksimal untuk jaringan sehat di sekitarnya.' Pada tahun 1980an mulai dikenal suatu teknik four-field box atau teknik 4 lapangan. Teknik ini termasuk teknik konvensional, blok terhadap radiasi eksterna minimal atau tidak ada, dan berdasarkan pada penanda tulang atau potongan CT scan tunggal. 3 Yang dimaksud dengan teknik 4 lapangan adalah anteroposterior/posteroanterior atau APIPA dan lateral kanan-kiri. Lapangan radiasi ini meneakup prostat, vesikula seminalis, dan kelenjar limfe regional. Teknik ini diberikan sampai tereapai dosis 45-50 Gy dalam waktu 5-5,5 minggu. Dosis tambahan sebesar 20 Gy diberikan sebagai booster untuk prostat dan jaringan periprostatik. Tujuan pemberian booster adalah untuk membatasi terapi pada target volume, yaitu prostat, vesikula seminalis, dan tepi sebesar 1-2 em serta melindungi rektum, uretra, dan usus halus. 23 Penderita akan menjalani simulasi sebagai persiapan terapi. Penderita ditempatkan pada posisi terapi dan lapangan radiasi ditandai. Simulasi untuk EBRT konvensional memakai fluoroskopi dan foto polos sebagai aeuan. Penderita berada pada posisi supine. Lapangan radiasi ditandai oleh tulang dan dibatasi oleh comer block. 4,23 Jaringan normal ditandai dengan kontras radioopak di rektum dan kandung
kemilr", namun hal ini tidak wajib dilakukan." Alat imobilisasi tidak biasa dipakai." Untuk lapangan radiasi besar, tepi superior lapangan radiasi berada di mid-sacroiliac joints, tepi inferior berada di dasar tuberositas ischii, tepi lateral berada 1,5-2 em dari pelvic brim, tepi posterior berada di sela vertebra S2/S3, dan tepi anterior berada di sisi anterior simfisis pubis. Dosis diberikan di isocenter dengan 100% isodosis." Idealnya, foton energi tinggi (> 10MV) harus diberikan untuk penderitapenderita ini. Bila diberikan foton dengan energi < 18 MY, lapangan lateral selalu diperlukan untuk menghantarkan dosis radiasi, selain yang diberikan pada lapangan APIP A. B ila diberikan foton dengan energi > 18 MY, lapangan lateral tidak selalu diperlukan untuk menghantarkan dosis radiasi sampai 45 Gy, kecuali pada penderita dengan diameter tubuh AP > 20 em. Hal ini disebabkan pertambahan distribusi dosis di tepi. Penggunaan teknik 4 lapangan dapat mengurangi eritema kulit dan deskuamasi lipatan intergluteus, yang sering timbul pada lapangan APIP A. 6 Whole-pelvis radiotherapy (WPRT) jarang dikerjakan karena risiko peningkatan toksisitas terhadap usus dan perbaikan pascaterapi yang kurang. Hasil Radiation Therapy Oncology Group (R TOG) 9413 menyatakan bahwa toksisitas akut derajat 2 pada sistem gastrointestinal dan genitourinarius lebih sering dijumpai pada penderita yang mendapatkan WPRT dibandingkan penderita yang mendapatkan prostate only radiation therapy (PORT). Volume usus di dalam lapangan radiasi yang menerima dosis > 45 Gy berisiko lebih tinggi untuk mengalami morbiditas akut dan kronik. 21 WPR T biasanya dilakukan bila ada dugaan atau bukti keterlibatan kelenjar limfe yang ekstensif.f Meskipun demikian, angka ketahanan hidup dapat diperpanjang dengan menberikan radiasi profilaksis pada kelenjar limfe. Seaward et a1. dari University of California at San Fransisco (UCSF) melakukan penelitian retrospektif di era PSA dan menarik kesimpulan adanya perbaikan pada penderita yang mendapatkan WPRT dibandingkan penderita yang mendapatkan PORT. Kesimpulan lainnya yaitu bahwa penderita dengan perhitungan risiko keterlibatan kelenjar limfe sebesar 15-35% yang paling mendapatkan keuntungan dari radiasi profilaksis pelvis ini. Indikasi WPRT menurut UCSF adalah adanya keterlibatan kelenjar limfe pada pengambilan sam pel, keterlibatan vesikula seminalis, risiko keterlibatan kelenjar limfe 2: 15% menurut rumus +LN = 2/3 (PSA)+{(GS-6)xl0}, GS = 7 dan 2: 50% biopsi positif (atau terutama derajat Gleason 4), atau GS = 6 dan T3 secara klinis. Berdasarkan RTOG 9413, WPRT dianjurkan dikombinasikan dengan terapi hormon neoajuvan dan sebaliknya terapi hormon neoajuvan dianjurkan bila ada rencana pemberian WPRT. Meskipun dipakai lapangan radiasi tradisional dalam penghantaran dosis WPRT dan diyakini beberapa kelenjar limfe mungkin tidak mendapat dosis optimal, sebagian besar ahli berkeyakinan bahwa kelenjar limfe stasiun pertama lah yang terpenting untuk tercakup dalam lapangan radiasi' Teknik Konformal Teknik konformal memberikan distribusi dosis yang dihantarkan sesuai dengan bentuk target volume. Blok konformal biasanya didesain manual dan dapat disertai gambaran CT yang sesudah direkonstruksi. Saat gambaran ini ditampilkan pada film simulasi, seperti yang tampak pada titik di aksis pusat pancaran radiasi, maka hal ini disebut beam's eye view. Gambaran yang direkonstruksi manual
menghasilkan blok terbatas pada lapangan aksial, biasanya memakai anteroposterior/posteroanterior atau APIP A dan lateral kanan-kiri. Karena berdasarkan gambaran 2 dimensi, maka teknik konformal disebut juga two dimensional conformal radiation therapy (2D CRT).3 3D CRT (= Three Dimensional Conformal Radiation Therapy) Teknik 3D CRT memakai computer generated beam's eye view, yang dapat mendesain pen§aturan pancaran radiasi, termasuk pancaran yang berasal dari luar potongan aksial dan forward treatment planning/? Yang dimaksud dengan forward treatment planning adalah menetapkan lapangan radiasi, lalu mengatur dosis radiasi dan cara pernberiannya, untuk rnendapatkan perencanaan radiasi yang tepat." Selain itu, teknik ini rnampu rnenarnpilkan perhitungan dosis secara 3 dimensi dan dosevolume histogram. Teknik ini juga menghantarkan dosis radiasi yang lebih besar ke target volume, narnun meminimalkan efek samping terhadap jaringan normal di sekitamya, bila dibandingkan dengan teknik konformal. 3 IMRT (= Intensity Modulated Radiation Therapy) IMRT rnerupakan tipe 3D CRT yang lebih canggih. Namun berbeda dengan 3D CRT yang rnemakai forward treatment planning, IMRT rnemakai inverse treatment planning, yaitu merencanakan terlebih dahulu dosis pada tumor (volume target) dan mernbatasi jumlah dosis radiasi pada jaringan normal dan organ kritis. Perencanaan terapi dengan kornputer rnenghasilkan ribuan beam lets atau pencil beams, yang tirnbul dari berbagai arah. Ketebalan potongan yang dipakai adalah 1 rnm untuk menggambarkan struktur anatomi organ.' Kombinasi digitally reconstructed radiographs (= DRR), yang didapatkan dari rekonstruksi organ secara 3 dirnensi, dan dose volume histograms (= D VH), yang didapatkan dari komputer, mernudahkan untuk mengetahui volume jaringan yang rnenerirna dosis radiasi spesifik. 25 Ada 3 tipe IMR T yang paling sering dipakai, yaitu: 1. Dynamic multi-leaf collimation (DMLC) IMRT. Gantry dan leaves bergerak secara sirnultan dan inverse planning dikerjakan. Teknik ini pertarna kali dikerjakan di Memorial Sloan-Kettering Cancer Center. 2. Tomotherapy Tomotherapy rnernakai rotating multisegmented delivery system dan rnenghantarkan radiasi baik sekuensial rnaupun kontinu. Tomotherapy sekuensial pertama kali dipopulerkan oleh peneliti dari Universitas Baylor di Texas. 3. StaticfieldIMRT (SF-IMRT). IMRT dengan rnemakai lapangan statis adalah bentuk paling sederhana yang dipakai dalarn terapi kanker prostat. Teknik ini dikerjakan di University of California at San Fransisco (= UCSF). Pada rnulanya teknik ini berupa 3D CRT 6 lapangan. Dengan blok transmisi parsial rnemakai beam's eye view, intensitas pancaran posterior oblik dapat dipilih selektif untuk rnengurangi dosis radiasi yang mencapai dinding anterior rektum. Mula-mula dipakai hand-cut blok transrnisi parsial, yang akhimya digantikan dengan MLC. SF-IMRT sekarang
dikategorikan kedalam segmental :MLC (= S:MLC) IMR T. Istilah umumnya mengacu kepada metode inverse planning. 3
mi
pada
Brakiterapi Brakiterapi adalah salah satu modalitas radioterapi dengan cara memberikan radiasi langsung pada kelenjar prostat melalui sumber radiasi yang secara temporer diimplankan di dalam kelenjar prostat. Pada brakiterapi dosis tinggi (high dose rate brachytherapy = HDR), sumber radiasi diimplankan secara temporer dan lebih aktif dibandingkan brakiterapi dosis rendah (low dose rate brachytherapy = LDR), yang merupakan implan permanen.f Brakiterapi dosis rendah (LDR) atau implan permanen . Implan permanen sebagai terapi tunggal merupakan indikasi untuk penderita dengan risiko rendah.l" Kriteria pemilihan implan permanen meliputi:" 1. Proporsi spesimen biopsi yang positif tumor, jumlah tumor dalam spesimen, dan apakah tumor ditemukan bilateral. Namun kriteria ini bersifat agak subyektif. 2. Kriteria yang lebih rasional, yaitu bila ditemukan peningkatan perluasan ekstrakapsular, melalui jumlah spesimen biopsi yang positif dan perluasan tumor di dalam spesimen. Akurasi temuan biopsi juga tergantung kepada keckupan sam pel. Sextant biopsies mungkin tidak cukup untuk menentukan perluasan penyakit bila fokus yang ditemukan kecil. 3. Kriteria pemilihan lain meliputi fungsi berkemih penderita, tindakan TURP sebelumnya, dan volume prostat. a. Implan permanen dapat menimbulkan gangguan obstruksi berkemih yang lebih berat daripada yang ditimbulkan oleh radiasi ekstema. Kesulitan mengosongkan kandung kemih dapat dial ami untuk peri ode yang lama sesudah pemasangan implan. Efek samping dalam berkemih akan berkurang dalam 6-12 bulan sesudah pemasangan implan, namun perbaikan bahkan dapat terjadi lebih dari setahun sesudahnya. Asosiasi Urolog Amerika memberikan kuesioner yang berguna untuk mengidentifikasi penderita yang memiliki predisposisi untuk menderita obstruksi berkemih sesudah pemasangan implan permanen. Namun skor yang pasti masih dibicarakan. b. Tindakan TURP sebelumnya berhubungan dengan peningkatan risiko inkontinensia urine sesudah pemasangan implan permanen, yang berkaitan dengan teknik pendistribusian sumber radiasi yang seragam. Namun hal ini telah teratasi dengan pemasangan sumber radiasi di perifer. c. Posisi kelenjar prostat terletak di belakang simfisis pubis. Bila ukurannya besar, sisi lateralnya dapat memblokade penempatan needle. Posisi litotomi dapat akan meminimalkan kemungkinan interferensi terhadap arkus pubis. Meskipun frekuensi interferensi arkus pubis meningkat pada prostat yang volumenya > 50 cnr', TRUS dan CT scan pelvis dapat membantu menentukan risiko kondisi ini sebelum pemasangan implan. Namun demikian, penderita dengan prostat besar memiliki predisposisi untuk mengalami gej ala berkemih .sesudah implantasi.
Kontraindikasi meliputi metastasis (termasuk keterlibatan kelenjar limfe) dan invasi ke vesikula seminalis. 3 Penderita dengan prostat besar (> 60 gram), mengalami gejala bladder outlet obstruction (skor IPSS > 15), 3, 18 prostatitis, hipertrofi lobus medius," atau TURP sebelumnya bukan merupakan kandidat ideal karena peningkatan risiko morbiditas sistem urinarius. 11,18 Perencanaan terapi tergantung kepada tipe implan (seed), jumlah, dan lokasi. Implan diletakkan berdasarkan hasil TRUS, yaitu dari basis ke apeks dengan interval 5 mm. Penderita dalam posisi litotomi. Untuk memulai proses perencanaan terapi, gross target volume (GTV), yaitu prestat, diidentifikasi dari hasil TRUS, lalu ditransfer ke program perencanaan. Tujuan akhir adalah memberikan dosis yang mematikan tumor dengan batas yang memadai untuk perluasan penyakit ke luar kapsul. Karena perluasan ke luar kapsul terbatas 3 mm dari tepi prostat, diberikan treatment margin (TM) 3-5 mm sesudah implan. Namun untuk mendapatkan hal tersebut tidak mudah karena volume prostat bertambah sekitar 20% sesudah pemberian imp Ian. Pada saat prosedur dilakukan, 2/3 imp Ian diletakkan di tepi prostat dan sisanya di dalam prostat. 3 Dosis yang direkomendasikan adalah 145 Gy untuk 125-Iodine dan 125 Gy untuk 103-Palladium.18 Critz et aI. merekomendasikan pemberian 125-Iodine sebesar 1,5 Gy per hari sebelum pemberian radiasi eksterna. Sumber lain merekomendasikan pemberian radiasi eksterna 2 bulan sesudah pemberian 103-Palladium6 Meskipun tidak ada metode standard penggunaan radiasi eksterna yang dikombinasikan dengan implan permanen, radiasi eksterna dilakukan terlebih dahulu, lalu diikuti 2 minggu kemudian dengan implan permanen. Jenis imp Ian yang dipakai adalah 103-Palladium atau 125-Iodine. 103-Palladium memiliki waktu paruh yang lebih pendek sehingga diharapkan lebih efektifuntuk tumor prostat berdiferensiasi buruk.? Sebagian besar morbiditas yang terjadi pada pemberian brakiterapi dapat sembuh sendiri (sifatnya self-limited), namun beberapa komplikasi jangka panjang yang berat dapat terjadi, seperti ulkus rektum, retensi urin menetap, dan inkontinensi urin.' Isotop yang dipakai dapat mempengaruhi angka kejadian efek samping berkemih, misalnya morbiditas sesudah implantasi l03-Palladium tidak selama morbiditas sesudah implantasi 125-Iodine.6 Brakiterapi dosis tinggi (HDR) atau implan temporer Implan temporer memakai HDR 192-Iridium biasanya dikombinasikan dengan radiasi eksterna pada penderita risiko sedang sampai tinggi. Dosis yang diberikan bervariasi dari 3-4 Gy dalam 4 fraksi selama 40 jam sampai 9,5 Gy dalam 2 fraksi selama lebih dari 2 minggu. Implantasi dilakukan sebelum, bersamaan, dan sesudah pemberian radiasi eksterna." Meskipun implan temporer tidak sering dilakukan, pilihan terapi ini juga efektif untuk kanker prostat yang terlokalisasi secara klinis (clinically localized). Prosedur dilakukan dengan tuntunan TRUS. Kateter afterloading dimasukkan melalui perineal template. Posisi kateter ditampilkan oleh tomografi komputer lalu ditransfer ke treatment planning system (TPS). Masing-masing kateter dilalui sumber radioaktif (pada umumnya 192-Iridium). Perangkat lunak perencanaan terapi dipakai untuk menentukan lamanya sumber. radioaktif diletakkan pada posisi tersebut sebingga
distribusi dosis dapat diatur. Sesudah dosis yang diberikan tercapai, sumber radioaktif dipindahkan. Waktu pemberian bervariasi, yaitu dari jam sampai hari bila diberikan terapi dosis rendah (low dose rate therapy) dan dalam hitungan menit bila diberikan terapi dosis tinggi (high dose rate therapy). Setelah terapi selesai dilakukan, kateter dicabut. Pemberian imp Ian temporer biasanya memerlukan 1-3 kali kunjungan penderita.3 Hasil Radioterapi padafavorable disease Radiasi eksterna sebagai terapi tunggal Pemberian radioterapi sebagai terapi tunggal terutama untuk penderita dengan kadar PSA sebelum terapi ≤ 10 mg/ml, skor Gleason < 7, dan kategori penyakit Tl sampai T2a. Suatu studi oleh Pollack et al. pada 1213 penderita yang hanya mendapatkan radiasi eksterna selama tahun 1987-1998 di M. D. Anderson Cancer Center mendapatkan angka bebas dari kegagalan biokimia untuk 281 penderita sebesar 88% pada tahun kelima dan 84% pada tahun kesepuluh. Sebanyak 713 penderita mengalami angka bebas dari kegagalan biokimia yang bervariasi; 199 orang diantaranya termasuk kelompok risiko rendah dengan angka bebas dari kegagalan biokimia pada tahun kelima sebesar 92%. Hasil ini serupa dengan yang didapatkan pada center lainnya, prostatektomi radikal, atau brakiterapi.6 Kupelian et al. mengadakan penelitian di Cleveland Clinic Foundation antara tahun 1986-1999 terhadap 738 penderita kanker pro stat stadium awal dengan favorable dan unfavorable disease. Angka bebas dari kegagalan biokimia pada penderita yang mendapatkan dosis radiasi ?:.72Gy dan < 72 Gy masing-masing 85% dan 54%. Untukfavorable disease, penderita yang mendapatkan dosis radiasi extern a ?:.72 Gy dan < 72 Gy masing-masing memiliki angka bebas dari kegagalan biokimia pada tahun kelima sebesar 98% dan 81 %.27 Zelefsky et al. membandingkan penderita yang menjalani radiasi eksterna dan yang mendapatkan brakiterapi berupa implan permanen di Memorial Sloan-Kettering Cancer Center dan menemukan tidak ada perbedaan pada angka bebas kegagalan biokimia (masing-masing 88% dan 82%, P = 0,09). Brachman et al. meneliti 2222 penderita kanker prostat dan mendapatkan bahwa hasil radiasi eksterna serupa dengan hasil implan permanen. D'Amico et al. dan Stokes et al. menemukan tidak ada perbedaan bermakna angka bebas dari kegagalan pada penderita yang mendapatkan radiasi eksterna, implan permanen, atau prostatektomi radikal pada saat follow up bulan ke-38.6 Brakiterapi sebagai terapi tunggal Keefektifan terapi tunggal implan brakiterapi telah dipaparkan pada berbagai penelitian. Implan permanen tunggal lebih efektif untuk penderita dengan kadar PSA sebelum terapi < 10 ng/ml, skor Gleason < 6, dan T1-T2a. D'Amico et al. pada suatu penelitian retrospektif menemukan bahwa angka bebas dari kegagalan biokimia pada penderita risiko sedang atau tinggi ternyata lebih rendah dibandingkan apabila penderita tersebut menjalani radiasi eksterna atau prostatektomi radika1.6
Radioterapi pada kanker prostat risiko sedang sampai tinggi Kombinasi radiasi eksterna dan brakiterapi Pilihan kombinasi meliputi implan permanen (125-Iodine atau 103-Palladium) yang diberikan sebelum atau sesudah radiasi ekstema, implan perman en (198-Aurum) yang diberikan sebelum radiasi ekstema, atau impan temporer (192-Iridium) yang diberikan sebelum, selama, atau sesudah radiasi ekstema. Sampai saat ini belum ada penelitian yang membandingkan pilihan kombinasi di atas. Radge et aI. melakukan follow up lama dan menemukan hasil implan perman en dengan radiasi ekstema sedikit lebih baik (namun tidak signifikan) dibandingkan hasil implan permanen saja, meskipun penderita yang menjalani implantasi perman en memiliki faktor risiko favorable. 6 Dosis juga berpengaruh terhadap respons terapi, seperti yang dikemukakan oleh Martinez et aI. Semakin besar dosis ekuivalen biologi (= biological equivalent dose = BED) imp Ian HDR 192-Iridium selama radiasi ekstema, semakin baik basil yang didapat."
Radiasi eksterna sebagai terapi tunggal D' Amico et aI. dan Kupelian et al. menemukan bahwa angka bebas dari kegagalan biokimia pada tahun kelima sebesar 60% untuk penderita risiko sedang dan 30% untuk penderita risiko tinggi. Dosis radiasi ekstema yang diberikan sebesar 70 Gy. Penderita kanker pro stat dengan risiko sedang sampai tinggi yang mendapatkan radiasi ekstema atau prostatektomi radikal temyata memiliki basi \ sesudah terapi yang sarna. Karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberian dosis yang melebihi 70 Gy akan lebih memadai dibandingkan prostatektomi radikal. Selain itu, kurva bebas kegagalan biokimia pada penderita yang menjalani terapi pada era PSA menunjukkan gambaran mendatar, yang berarti menandakan adanya fraksi kesembuhan." Kupelian et al. pada 738 penderita kanker prostat stadium awal unfavorable disease di Cleveland Clinic Foundation antara tahun 1986-1999 mendapatkan angka bebas dari kegagalan biokimia pada penderita yang mendapatkan dosis radiasi ?72 Gy dan < 72 Gy masing-masing 75% dan 41%.27 Penelitian di M. D. Anderson Cancer Centre oleh Pollack et al. antara tahun 1987-1998 dengan memakai radiasi ekstema konvensional (dosis 70 Gy) dan teknik konformal (dosis 78 Gy), menunjukkan angka bebas dari kegagalan biokimia untuk penderita dengan risiko sedang dan tinggi pada tahun ke-S dan ke-8 masing-masing 70% dan 67% serta 39% dan 34%. Perbedaan pada tahun ke-5 termasuk kategori statistik borderline {79% untuk kelompok 78 Gy dan 69% untuk kelompok 70 Gy, P=0,06). Perbedaan terbesar didapatkan pada penderita risiko sedang sampai tinggi yang kadar PSA sebelum terapi > 10 ng/ml. Angka bebas dari kegagalan biokimia sebesar 75% untuk kelompok 78 Gy dan 48% untuk kelompok 70 Gy (P= 0,01). Tidak ada perbedaan angka bebas dari kegagalan biokimia untuk penderita dengan risiko relatif favorable dibandingkan dengan yang memiliki kadar PSA sebelum terapi ≤ 10 ng/ml. Hasil penting Iainnya yaitu bahwa penderita dengan faktor risiko relatif favorable namun memiliki gambaran histopatologi dan kadar PSA sebelum terapi < 10 ng/mI, menunjukkan perbedaan paling besar dalarn angka bebas dari
kegagalan biokimia (90% untuk kelompok 78 Gy dan 60% untuk kelompok 70 Gy). Hasil ini menunjukkan hubungan dosis-respons terapi pada kelompok penderita yang mendapatkan terapi di era PSA (1987-1997) dengan kategori penyakit TI-T2 dan kadar PSA sebelum terapi < 10 ng/ml. 6,25 Pada penelitian yang dilakukan Hanks et al. di Fox Chase Cancer Center yang diikutifollow lip 8-12 tahun, kurva respons dosis menunjukkan hasil maksimal untuk ketahanan jangka panjang bila dosis radiasi diberikan lebih dari 75,6 Gy yang diberikan dengan teknik 3D CRT. Selain itu juga tidak ditemukan kegagalan biokimia sesudah 8 tahun. Pada semua penderita tersebut, biochemical relapse free survival sebesar 48% baik pada tahun ke-l O dan tahun ke-12. Namun, penderita dengan PSA 10-20 ng/ml, angka tersebut mencapai 84% untuk dosis yang melebihi 75,6 Gy.6, 25 Komplikasi Reaksi akut Reaksi akut timbul selama dan segera sesudah terapi radiasi. Reaksi akut mencakup trauma spesifik pada epitel mukosa pada volume jaringan yang mendapatkan radiasi dan faktor nonspesifik, seperti perasaan lelah. Awal gejala tergantung waktu pemberian radiasi dan waktu pergantian sel-sel epitel. Untuk radiasi extema konvensional yang diberikan dalam 6-7 minggu, gejala timbul 2-3 minggu dari awal radiasi, mencapai puncaknya pada minggu ke-5 dan ke-6, kemudain berkurang sampai akhir radiasi, bersamaan dengan terjadinya pergantian epitel. Beratnya reaksi tergantung besar dosis dan lama pemberian radiasi, volume mucosa di daerah radiasi, dan sensitivitas penderita terhadap radiasi. Jaringan yang biasanya mendapatkan risiko adalah kelenjar prostat itu sendiri, dasar kandung kemih, dan dinding anterior rektum. Jika diberikan radiasi profilaktik terhadap kelenjar limfe, usus halus juga termasuk di dalamnya. Perez et al. dalam penelitian terhadap 914 penderita yang mendapatkan radiasi kuratif menemukan bahwa 24% mengalami gejala saluran kemih dan 43% mengalami efek samping saluran pencernaan.28 Reaksi kronik Reaksi kronik terjadi beberapa bulan atau bahkan 3-10 tahun sesudah terapi. Reaksi kronik timbul karena trauma jaringan penghubung. Trauma mikrovaskular progresif menimbulkan teleangiektasi subepitelial dan fibrosis di lapisan submukosa dan lapisan otot dinding organ, yang akhirnya menimbulkan mukosa yang lebih rentan dan cenderung mengalami perdarahan minor. Beratnya reaksi kronik tergantung jumlah dosis radiasi yang diberikan, fraksinasi dosis, dan jumlah jaringan normal sensitif yang tercakup di dalam rencana radiasi. Beratnya reaksi akut tidak dapat dipakai untuk memprediksi beratnya reaksi kronik yang akan terjadi. Reaksi kronik berat dapat membaik, namun tidak sepenuhnya membaik. Shipley et a1. dalam peneiitiannya pada 2.216 penderita yang mendapatkan radiasi ekstema, mendapatkan fisiko proktitis dengan perdarahan rektum sebesar 2,6-14,9% sesudah radiasi dan menetap lebih dari 6 bulan pada kurang dari 3% penderita. Diare menetap yang membutuhkan pengobatan terjadi pada 2,1% penderita. Sistitis dan hematuria terjadi pada 10,8% penderita dan menetap lebih dari 6 bulan pada kurang dari 3% penderita.
Striktur uretra atau kontraktur leher kandung kemih dilaporkan pada 1,1% kasus. Inkontinensia urin terjadi pada 0,9% kasus. Adanya riwayat reseksi transuretra sebelum atau sesudah radiasi merupakan faktor risiko besar untuk terjadinya kO?Ip~ikasi ini. Edema tungkai dan genital merupakan komplikasi yang jaraang dan terjadi pada pembedahan kelenjar limfe sebelumnya.28 Prognosis Faktor yang dipakai untuk menetapkan luasnya perjalanan kanker prostat yang terlokalisasi adalah PSA sebelum terapi, derajat histologis (derajat Gleason), dan staging klinis. Gambaran patologis tambahan seperti persentase atau jumlah biopsi yang positif dan adanya invasi perineural merupakan sesuatu yang berpotensi penting sebagai faktor prognosis. Dari berbagai faktor tersebut, PSA sebelum terapi merupakan prediktor terpenting untuk kegagalan PSA, sedangkan derajat Gleason dan staging T merupakan prediktor penting untuk ketahanan hidup.' Sampai awal tahun 1990-an, kontrol lokal sesudah radioterapi berdasarkan pada berkurangnya ukuran tumor yang teraba. Tumor dengan staging Tla-Tlc tidak terpalpasi saat diagnosis ditegakkan sedangkan perluasan tumor yang dapat terpalpasi antarpasien juga bisa tidak tepat. Biopsi yang dilakukan sesudah terapi lebih dapat menunjukkan adanya residu tumor yang lebih tinggi dibandingkan dengan palpasi. Adanya tumor yang terdeteksi secara histologis menunjukkan tidak efektifuya suatu terapi lokal yang diberikan.' Faktor komorbid dan usia penderita kanker prostat temyata juga berpengaruh terhadap risiko dan komplikasi yang berkaitan dengan jenis terapi, yaitu toksisitas terhadap saluran pencernaan, saluran kemih, dan fungsi seksual sesudahnya.5
4
nyeri panggul, spasme discharge berat atau mengandung membutuhkan narkotika, gross darah membutuhkan pads, atau hematuria tanpa clot passage. distensi abdomen pada foto abdomen. Komplikasi membutuhkan Komplikasi membutuhkan penanganan di rumah sakit dan penanganan di rumah sakit dan intervensi besar: hematuria intervensi besar: obstruksi akut atau rnembutuhkan transfusi, obstruksi subakut, fistula atau perforasi, kandung kemih akut yang tidak perdarahan saluran pencemaan disebabkan clot passage, ulserasi membutuhkan transfusi, atau nyeri atau nekrosis. abdomen atau tenesmus membutuhkan dekompresi usus.
Biologi kanker prostat pada penderita usia muda dan yang lebih tua sarna, me skip un beberapa penelitian menemukan biologi tumor yang lebih agresif pada penderita yang lebih tua. Analisis yang dilakukan Department of Defense pada penderita TI-T3 yang menerima EBRT menunjukkan tidak ada hubungan antara usia dengan bNED (no biochemical evidence of prostate cancer) berdasarkan usia «60 tahun dan 2: 60 tahun).5 Penelitian dengan 3D-CRT menunjukkan toksisitas kronik rektum terjadi lebih sedikit dibandingkan dosis konvensional, namun terjadi peningkatan signifikan risiko toksisitas rektum, yang tergantung persentase dosis radiasi yang diterima rektum. Namun risiko ini berkurang dengan pemakaian IMRT, yang memperbaiki konformitas radioterapi.26 Analisis dengan dose-volume histogram (DVH) yang dilakukan Boersma et al. dan Storey et al. terbukti merupakan modalitas yang bermanfaat untuk memprediksi toksisitas rektum. Penelitian multiinstitusional oleh Peeters et aI. pada 669 penderita yang mendapatkan dosis radiasi 78 Gy dan 68 Gy menunjukkan bahwa penderita yang mendapatkan dosis lebih tinggi memiliki kontrol lokal dan angka ketahanan hidup yang lebih baik dibandingkan penderita yang mendapatkan dosis radiasi 68 Gy. Namun, penderita yang mendapatkan dosis radiasi 78 Gy mengalami perdarahan rektum kronik yang lebih buruk. Hal ini dicegah dengan memberikan dosis 65 Gy < 30% untuk volume anorektum. Hal ini didukung oleh Cozzarini et al. yang menemukan hubungan antara perdarahan rektum kronik dengan DVH,-yaitu 50 Gy untuk volume dinding rektum > 63% sampai 60 Gy untuk volumedinding rektum > 50%. Pada dosis radiasi > 70 Gy, Huang et aI., Boersma et aI., dan Cozzarini et al. mendapatkan peningkatan risiko toksisitas derajat 2-3 bila > 25-30% volume dinding rektum menerima dosis radiasi > 70 Gy. Kesimpulannya, DVH dipakai untuk menetapkan probabilitas toksisitas radiasi untuk berbagai jaringan berdasarkan faktor-faktor yang berhubungan dengan radiasi dan penderita.29 Suatu DVH yang membandingkan teknik IMRT, 3D CRT, dan konvensional memperlihatkan pengurangan jaringan rektum yang terkena radiasi pada dosis tinggi bila dipakai teknik IMRT. Zelefsky et al. mendapatkan bahwa pada pemberian dosis radiasi 81-86,4 Gy dengan teknik IMR T, angka perdarahan rektum lebih rendah pada
24 bulan bila dibandingkan dengan penderita yang mendapatkan dosis radiasi ?::.7S,6 Gy dengan 3D CRT. Hasil-hasil ini penting bila mengingat bahwa baik kontrollokal maupun long-term PSA relapse free survival tergantung pada besar dosis.29 Fraksinasi merupakan variabel penting dalam mempertimbangkan kontrol tumor dan toksisitas rektum kronik. Kanker prostat merupakan jaringan yang responsnya lambat terhadap radiasi sehingga makin besar dosis fraksinasi harian yang diberikan akan makin menguntungkan dari segi kontrol tumor. Peningkatan dosis fraksinasi dapat mengakibatkan peningkatan toksisitas rektum, namun hal ini dapat diatasi dengan menurunkan dosis total. Pembatasan dosis fraksinasi harian (hipofraksinasi) dapat menjadi strategi yang lebih disukai dalam mengurangi toksisitas rektum. Pemakaian teknik IMRT dengan dosis total 76 Gy dan dosis fraksinasi 2,17 Gy, yang dilakukan Teh et aI., tidak menimbulkan toksisitas rektum pada 83% penderita dan menimbulkan toksisitas derajat 1 pada 11% penderita dan derajat 2 pada 6% penderita.29 Hal penting lain yang perlu dipertimbangkan dalam upaya memberikan dosis radiasi maksimal terhadap prostat, namun minimal pada jaringan sekitarnya, adalah dengan mengatur pergerakan prostat, misalnya terkait dengan prosedur dan posisi penderita saat terapi. Pemakaian balon rektum dapat menandai lokasi prostat selama terapi setiap hari sehingga tepi perencanaan terapi lebih kecil. Latanzi et al. memposisikan prostat penderita sebagai pusat volume target dengan memakai ultrasonografi (USG). Dari segi teknik yang dipilih, brakiterapi merupakan teknik yang tepat untuk memberikan dosis radiasi tinggi ke prostat namun tetap menjaga agar dosis yang diterima rektum dan kandung kemih rendah. Beberapa penelitian justru memperlihatkan hasil peningkatan risiko morbiditas rektum kronik sesudah brakiterapi 12S-Iodine dibandingkan degan teknik radiasi ekstema. Insidens toksisitas rektum 1% pada dosis < 200 Gy, 3% pada dosis 250 Gy, dan 5% pada dosis 300 G y. 29
RANGKUMAN Radioterapi sebagai terapi tunggal pada kanker prostat berperan penting, terutama pada stadium awal. Perkembangan teknologi di bidang radioterapi telah memungkinkan untuk memberikan dosis radiasi eksterna maksimal terhadap prostat, namun minimal pada jaringan sekitarnya, melalui teknik 3D CRT dan yang paling mutakhir dengan IMRT. Kurva respons dosis menunjukkan hasil maksimal untuk ketahanan jangka panjang bila dosis radiasi eksterna makin besar diberikan. Dengan memakai DVH, dapat diperkirakan probabilitas toksisitas radiasi untuk berbagai jaringan berdasarkan faktor-faktor yang berhubungan dengan radiasi dan penderita.
_"
sedang sampai buruk (pTle), derajat anaplasia inti II, WHO grading II + 5, dan skor Gleason = 4 + 3 = 7. Skintigrafi tulang dilakukan bila stadium klinis T 1-T2 dan kadar PSA > 20 ng/ml. atau skor Gleason 2: 8 atau T3, T4, atau dengan gejala. Penderita berada pada stadium klinis TIc dan kadar PSA 273,300 ng/ml, sehingga penderita menjalani skintigrafi tulang dengan hasil tidak tampak metastasis pada tulang-tulang. Hasil foto Thoraks adalah cor dan pulmo dalam batas normal, tidak tampak metastasis paru. Berdasarkan nomogram Partin untuk stadium klinis TIc, pada penderita terdapat kemungkinan 27% (21-34%) adanya tumor yang terbatas di prostat, 51% (44-5g>/o) perluasan ke luar kapsul, 11% (6-17%) keterlibatan vesikula seminalis, dan 10% (517%) keterlibatan kelenjar limfe. Penderita memiliki risiko kekambuhan tinggi. Pada penderita dengan risiko kekambuhan tinggi, alternatif yang ada adalah ablasi androgen 2-3 tahun disertai radiasi eksterna atau radiasi eksterna disertai dengan atau tanpa ablasi androgen konkuren jangka pendek atau prostatektomi radikal disertai dengan pengangkatan kelenjar limfe pelvis (pelvic lymph node dissection). Bila penderita menjalani prostatektomi radikal dan batas sayatan operasi positif maka dapat dilakukan observasi atau radiasi. Bila penderita menjalani prostatektomi radikal dan terdapat metastasis kelenjar limfe maka dapat dilakukan ablasi androgen atau monitor aktif Pada penderita ini, usianya melebihi 75 tahun sehingga tidak dipertimbangkan untuk menjalani prostatektomi radikal. Pada kasus ini, penderita dikonsulkan untuk mendapatkan radiasi di Departemen Radioterapi RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Tomografi komputer pelvis atau magnetic resonance imaging dilakukan bila stadium klinis T 1-T2 dengan nomogram memperlihatkan probabilitas keterlibatan kelenjar limfe > 20% atau bila T3, T4. Bila ada dugaan pembesaran kelenjar limfe maka dapat dilakukan biopsi jarum halus. Pada penderita ini, terdapat 10% kemungkinan keterlibatan kelenjar limfe. CT Scan Abdomen-Pelvis dilakukan sebagai persiapan pelaksanaan radiasi ekstema dan meneari metastasis ke kelenjar limfe dan metastasis jauh. Hasil pemeriksaan tersebut adalah pembesaran prostat ec. Ca?, organ lain normal, tidak tampak metastasis. Di Departemen Radioterapi saat ini terdapat 2 jenis pesawat radiasi, yaitu 60Co dan linear accelerator. Diameter AP tubuh penderita 21 em. Lapangan radiasi yang diberikan adalah APIPA dan bukan 4 lapangan, dengan foton 10 MY. Di Departemen Radioterapi tersedia 2 jenis foton, yaitu 6 MY dan 10 MY. Pertambahan distribusi dosis di tepi atau sinar hambur makin sedikit bila energi makin tinggi. Bila diberikan foton dengan energi < 18 MY, lapangan lateral selalu diperlukan untuk menghantarkan dosis radiasi, selain yang diberikan pada lapangan APIP A. Bila diberikan foton dengan energi > 18 MY, lapangan lateral tidak selalu diperlukan untuk menghantarkan dosis radiasi sampai 45 Gy, keeuali pada penderita dengan diameter tubuh AP > 20 em. Penggunaan teknik 4 lapangan dapat mengurangi eritema kulit dan deskuamasi lipatan intergluteus, yang sering timbul pada lapangan AP IPA. Luas lapangan radiasi 15,9 x 19,5 em dengan memakai multi-leaf collimator (MLC). Focus skin distance (FSD) 89,5 em.
DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3.
4. 5.
6.
7.
8. 9.
10. 11.
12.
13. 14. 15.
1'6. 17.
18.
Jemal A, Siegel R, Ward E, Murray T, Xu J, Smigal C, Thun MJ. Ca Cancer J Clin 2006; 56: 106-30. www.kankerindo.org. Roach M III, Wallner K. Cancer of the Prostate. In: Leibel SA, Phillips TL. Textbook of Radiation Oncology. 2nd ed. Philadelphia: Elsevier Inc. 2004, p. 961-2. Horwitz EM, Hanks GE. External Beam Radiation Therapy for Prostate Cancer. Ca Cancer J Clin 2000; 50(6): 349-75. Hall WH, Jani AB, Ryu JK, Narayan S, Vijayakumar S. Review: The Impact of Age and Comorbidity on Survival Outcomes and Treatment Patterns in Prostate Cancer. Prostatic Cancer and Prostatic Disease 2005; 8: 22-30. Pollack A. The Prostate. In: Cox JD, Ang KK. Radiation Oncology: Rationale, Technique, Results. 8th ed. Missouri: Mosby. 2003, p. 629-66. Perez CA. Prostate. In: Perez CA, Brady LW. Principles and Practice of Radiation Oncology. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott-Raven. 1998, p. 15831605. Miller GJ, Torkko KC. Natural History of Prostate Cancer-Epidemiologic Considerations. Epidemiol Rev 2001; 23( 1): 14-8. Hricak H, White S. Radiological Evaluation of the Urinary Bladder and Prostate. In: Grainger RG, Allison D. Grainger & Allison's Diagnostic Radiology: A Textbook of Medical Imaging. Vol. 2. 3rd ed. New York: Churchill Livingstone. 1997, p. 1438-41. Bott SRI, Birtle AJ, Taylor CJ, Kirby RS. Prostate Cancer Management: (1) An Update on Localised Disease. Postgrad. Med. J. 2003; 79: 575-80. McLaughlin PW, Troyer S, Berri S, Narayana V, Meirowitz A, et al. Functional Anatomy of the Prostate for Treatment Planning. Int J Radiation Oncology BioI Phys 2005; 63(2): 479-91. Presti, Jr. JC. Neoplasms of the Prostate. In: Tanagho EA, McAninch JW. Smith's General Urology. 15th ed. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. 2000, P 406-17. Mazhar D, Waxman J. Prostate Cancer. Postgrad. Med. J. 2002; 78: 590-5. Pisansky TM. External Beam Radiotherapy as Curative Treatment of Prostate -Cancer. Mayo Clin Proc 2005; 80(7): 883-98. Kabala JE Jenkins JRP Hulse P. Magnetic Resonance Imaging of the " th Bladder and Prostate. In: Sutton D. Textbook of Radiology and Imaging. 7 ed. Philadelphia: Churchill Livingstone. 2003, p 1011-5. Husband JE, Sohaib SAA. Prostate Cancer. In: Husband JE, Reznek RH. Imaging in Oncology. 2nd ed. London: Taylor and Francis. 2004, p 375-9S. Johansson J-E, Andren 0, Andersson S-O, Dickman PW, Holmberg L, Magnuson A, et al. Natural History of Early, Localized Prostate Cancer. JAMA 2004; 291(22): 2713-9. Scardini PT, Anscher M, Babaian RJ, Bahnson RR, Boston B, et al. Prostate Cancer. In: NCCN. Clinical Practice Guidelines in Oncology-v.2.200S.
19.
20. 21.
22.
23. 24.
25.
26.
27.
28. 29.
Wegener OH, Fassel R, Welger D. The Prostate and Seminal Vesicles. In: Wegener OH, Fassel R, Welger D. Whole Body Computed Tomography. 2nd ed. Boston: Blackwell Scientific Publications. 1992, p. 427-9. Heenan SD. Review: Magnetic Resonance Imaging in Prostate Cancer. Prostatic Cancer and Prostatic Disease 2004; 7: 282--8. Even-Sapir E, Metser U, Mishani E, Lieyshitz G, Lerman H-;-Leiboyitch I. The Detection of Bone Metastases in Patients with High-Risk -Prostate Cancer: 99mTc-MDP Planar Bone Scintigraphy, Single- and Multi-Field-ofView SPECT, 18F-Fluoride PET, and 18F-Fluoride PET/CT. The Journal of Nuclear Medicine. 2006; 47 (2): 287-97. Keller JW, Sahasrabudhe DM, McCune CS. Urologic and Male Genital Cancers. In: Rubin P, McDonald S, Qazi R. Clinical Oncology: A Multidisciplinary Approach for Physicians and Students. 7th ed. Philadelphia: WB Saunders Company. 1993, p. 432-41. Aral I. Prostate Cancer: External Beam Radiation Therapy. http://www.emedicine.com. Last updated: March 10, 2005. Ashman JB, Zelefsky MJ, Hunt MS, Leibel SA, Fuks Z. Whole Pelvic Radiotherapy for Prostate Cancer using 3D Conformal and IntensityModulated Radiotherapy. Int. 1. Radiation Oncology BioI. Phys. 2005; 63(3): 765-71. Chaiken LM, Steinberg ML, Safa A, Khan D, Kwon R, Zisblatt U. Targeting for Cure: Intensity Modulated Radiation Therapy. http://www.prostate£_ancer.org. Last updated: February 2, 2006. Interventional Procedures Programme: Interventional Procedure Overview of High Dose Rate Brachytherapy for Prostate Cancer. National Institute for Health and Clinical Excellence. Lyons JA, Kupelian PA, Mohan D, Reddy CA, Klein EA. Importance of high radiation doses (J2 Gy or greater) in the treatment of Stage TI-T3 adenocarcinoma of the prostate. Urology. 2000; 55 (1): 85-90. Warde P, ME; Catton C, Gospodarowicz MK. Prostate cancer: 7. Radiation Therapy for Localized Disease. CMAJ. 1998; 159 (11): 1381-8. Garg AK, Mai WY, McGary JE, Grant III WH, Butler EB, The BS. Radiation Proctopathy in the Treatment of Prostate Cancer. Int. 1. Radiation Oncology BioI. Phys. 2006; 66 (5): 1294-305.