RINGKASAN SKRIPSI
PENYELESAIAN NUMERIK PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES (KdV) DENGAN METODE CRANK-NICOLSON
Nama : Fandi Prianto NIM : 0110960024
Pembimbing: Dr. Agus Suryanto, M.Sc. Dra. Trisilowati, M.Sc.
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2006 1
Penyelesaian Numerik Persamaan Korteweg – de Vries (KdV) dengan Metode Crank-Nicolson Fandi Priantoro Pembimbing: Dr. Agus Suryanto, Dra. Trisilowati, M.Sc. Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas Brawijaya Abstrak Dalam skripsi ini dikembangkan metode numerik untuk menyelesaikan persamaan Korteweg de Vries (KdV) yang merupakan model perambatan gelombang air nonlinear satu arah. Skema numerik diturunkan menggunakan metode Crank-Nicholson dengan memperhatikan secara khusus bagian nonlinearnya. Skema numerik tersebut dapat digunakan untuk mensimulasikan perambatan gelombang soliton dan juga fenomena tumbukan dua soliton. Hasil simulasi numerik menunjukkan bahwa skema numerik yang dikembangkan merupakan skema yang stabil dan akurat. Kata kunci: Korteweg - de Vries (KdV), Crank-Nicholson, Soliton
Numerical Solution of Korteweg – de Vries (KdV) Equation Using Crank-Nicolson Scheme Abstract In this final project we devepod a numerical scheme for Korteweg – de Vries (KdV) equation which describes a one-way nonlinear water wave equation. The scheme is derived based on Crank-Nicholson method with a special treatment on the nonlinear term. The developed scheme is used to simulate the propagation of soliton wave as well as the soliton crest. Results of simulations show that the scheme is stable and accurate. Keywords: Korteweg - de Vries (KdV), Crank-Nicholson, Soliton
2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pada tahun 1834 seorang insinyur dari Skotlandia yaitu John Scott Russell melakukan penelitian bagaimana membuat suatu disain kapal boat yang baik tetapi pada saat itu dia menemukan suatu fenomena gelombang air dalam kanal yang dipakai untuk percobaan kapal tersebut. Dari penelitian tersebut ditemukan ”gelombang besar translasi” pada kanal Edinbrurgh Glasgow, yang pada akhirnya gelombang tersebut dikenal sebagai gelombang soliton. Setelah sekian lama menjadi perdebatan hampir 50 tahun lamanya akhirnya pada tahun 1896 D. J. Korteweg dan G. de Vries melakukan penelitian gelombang air di suatu kanal. Setelah mereka melakukan penelitian tersebut didapatkan suatu persamaan gelombang air di suatu kanal yang dinamakan persamaan Korteweg-de Vries. Pada tahun 1965 N. Zabusky dan M. Kruskal menyelesaikan persamaan Korteweg–de Vries dengan menggunakan pendekatan secara numerik. Persamaan Korteweg-de Vries memuat turunan pertama terhadap waktu, turunan pertama terhadap ruang dan juga turunan ketiga terhadap ruang atau dengan kata lain merupakan persamaan differensial parsial nonlinier order tiga. Bentuk persamaan Korteweg-de Vries sebagai berikut:
U t UU x U xxx 0 di mana:
U U x, t
U x, t U x, t Ut Ux t x
U xxx
3U x, t . x 3
Penyelesaian eksak persamaan diferensial parsial nonlinier seringkali sangat sulit ditentukan sehingga sebagai alternatif digunakan penyelesaian secara numerik, misalnya dengan metode beda hingga. Salah satu metode beda hingga untuk menyelesaikan persamaan diferensial parsial adalah metode Crank-Nicholson. 1.2 Rumusan Masalah Secara umum rumusan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana menyelesaikan persamaan Korteweg-de Vries dengan menggunakan metode CrankNicholson? 2. Bagaimana fenomena penjalaran satu soliton dan dua soliton pada persamaan Korteweg-de Vries? 3. Bagaimana perbandingan hasil penyelesaian metode numerik dengan solusi eksak? 1.3 Batasan Masalah Agar pembahasan yang dilakukan lebih terfokus, maka dibuat batasan-batasan masalah sebagai barikut : 1. Persamaan Korteweg-de Vries yang dibahas adalah persamaan Korteweg-deVries berdimensi satu. 2. Penyelesaian persamaan Korteweg-de Vries pada syarat batas U 0, t U 1, t U x 0, t U x 1, t 0 .
3
1.4 Tujuan Tujuan penelitiani ini adalah: 1. Menyelesaian persamaan Korteweg-de Vries secara numerik dengan menggunakan metode Crank-Nicholson. 2. Mengetahui fenomena penjalaran satu soliton dan dua soliton pada persamaan Korteweg-de Vries. 3. Mengetahui perbandingan hasil penyelesaian metode numerik dengan solusi eksak.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini diberikan dasar-dasar teori untuk menyelesaikan persamaan Korteweg-deVries. Dasar-dasar teori yang digunakan untuk menyelesaikan persamaan Korteweg-de Vries antara lain: persamaan diferensial, metode Crank-Nicholson, metode Von Neumman dan persamaan Korteweg-de Vries. 2.1 Persamaan Diferensial Persamaan diferensial adalah persamaan yang menghubungankan antara fungsi yang tidak diketahui (variabel tak bebas) dengan satu atau lebih turunan-turunannya. (Edward & Penney, 2001). Suatu persamaan diferensial disebut mempunyai orde (tingkat) n jika turunan yang tertinggi dalam persamaan diferensial itu adalah turunan ke-n. Dan suatu persamaan diferensial disebut mempunyai derajat (degree) k jika turunan yang tertinggi dalam persamaan diferensial itu berderajat k. (Kartono, 1994) 2.1.1 Persamaan Diferensial Biasa Persamaan diferensial biasa adalah persamaan yang merupakan hubungan antara turunan dari satu variabel tak bebas terhadap satu variabel bebas (Soehardjo, 2001). Persamaan diferensial biasa linier orde n, dalam variabel tak bebas y dan variabel bebas x adalah persamaan yang dapat dinyatakan dalam bentuk : a0 ( x)
d" y d n 1 y dy a1 ( x) n 1 . . . an 1 ( x) an ( x) y b( x) , n dx dx dx
a0 0
Pada persamaan diferensial biasa linier, variabel tak bebas y dan turunannya berderajat satu dan tidak ada perkalian antara y dan turunannya. Persamaan diferensial biasa non linier adalah persamaan diferensial dimana variabel tak bebas y dan turunannya berderajat lebih dari satu atau ada perkalian antara y dan turunannya. (Ross, 1984) 2.1.2 Persamaan Diferensial Parsial Persamaan diferensial parsial adalah persamaan yang memuat hubungan antara beberapa variabel bebas, satu variabel tak bebas dan turunan parsial dari variabel tak bebas tersebut. (Strauss, 1992). Menurut Farlow (1994), persamaan diferensial parsial dapat diklasifikasikan menjadi linier atau nonlinier. Persamaan diferensial parsial dikatakan linier jika variabel tak bebas y dan turunan parsialnya muncul dalam persamaan dengan cara linier (tidak dipangkatkan atau dikalikan). Sedangkan persamaan diferensial parsial dikatakan nonlinier jika variabel tak bebas y dan turunan parsialnya muncul dalam persamaan dengan cara tidak linier (dipangkatkan atau dikalikan). 2.2 Deret Taylor Menurut Triatmojo (2002) deret Taylor merupakan dasar untuk menyelesaikan masalah dalam metode numerik, terutama penyelesaian persamaan diferensial. Jika suatu fungsi U x diketahui di titik
x r dan semua turunan dari U terhadap x diketahui pada titik tersebut, maka nilai U pada titik x r 1 yang terletak pada jarak x dari titik x r dapat ditentukan, yaitu dengan menggunakan deret Taylor:
5
x x 2 U ' ' xi 1! 2! x n U n xi R n 1 n!
U xi 1 U xi U ' xi
dengan:
(2.3)
U xr : fungsi U x di titik x r . U x r 1 : fungsi U x di titik x r 1 .
U ' , U ' ' , , U n : turunan pertama, turunan kedua,……,turunan ke n dari fungsi U. : jarak antara x r dan x r 1 . x n 1 : kesalahan pemotongan. R Dari persamaan (2.3) kesalahan pemotongan R n 1 diberikan oleh bentuk berikut ini: x n 1 R n 1 U n 1 n 1 ! dimana x r x r 1 . (Triatmojo, 2002)
(2.4)
2.2.1 Teorema Taylor Misalkan U t C N 1 [a, b] , jika antara x0 dan x x x terletak di [a,b] maka (Mathew, 2004):
U k x0 k x O x n 1 . k! k 0 n
U x 0 x
(2.6)
2.3 Kesalahan Pemotongan Deret Taylor akan memberikan perkiraan suatu fungsi dengan benar jika semua suku dari deret tersebut diperhitungkan. Dalam praktek hanya beberapa suku pertama saja yang diperhitungkan sehingga hasil perkiraan tidak tepat seperti pada penyelesaian analitik. Ada kesalahan karena tidak diperhitungkannya suku-suku terakhir dari deret Taylor. Kesalahan ini disebut dengan kesalahan pemotongan, yang ditulis dalam bentuk :
Rn O x n 1 . Indeks bawah n menunjukkan bahwa deret yang diperhitungkan adalah sampai pada suku ke n , sedangkan indeks atas n 1 menunjukkan bahwa kesalahan pemotongan mempunyai order n 1 . Notasi O x n 1 berarti bahwa kesalahan pemotongan mempunyai order x n 1 , atau kesalahan adalah sebanding dengan langkah ruang pangkat n 1 . Kesalahan pemotongan tersebut kecil apabila (Triatmojo, 2002): 1. Interval x adalah kecil. 2. Memperhitungkan lebih banyak suku deret Taylor.
2.4 Metode Beda Hingga Menurut Wignyosukarto (1986), ” metode beda hingga adalah sebuah cara pendekatan diferensi; artinya suatu pendekatan operator diferensial
f dengan menggunakan prinsip deret Taylor”. t
6
2.4.1
Pendekatan Beda Maju Untuk Turunan Pertama
Pada turunan parsial terhadap ruang (x) yaitu U x . Penulisan deret Taylor dari U x menggunakan grid (r,s) adalah sebagai berikut:
U rs1 U rs xU x r s
3 x 2 U xx rs x U xxx rs ..... 2! 3!
(2.7)
Dengan menggunakan persamaan (2.6) dan (2.7), dapat ditunjukkan bahwa
U x rs
U rs1 U rs 1 2 xU xx ( ) x
(2.8)
U rs1 U rs , x
(2.9)
dengan x x x . jika sisa dari persamaan (2.8) dipotong, maka didapatkan pendekatan beda hingga untuk U x yaitu:
U x rs
di mana sisa pemotongan pada persamaan (2.9) disebut kesalahan pemotongan. Terlihat bahwa persamaan tersebut adalah bentuk pendekatan beda maju turunan pertama terhadap x dengan orde kesalahan pemotongannya adalah x (Hoffman, 2001). 2.4.2
Pendekatan Beda Mundur Untuk Turunan Pertama
Jika pada pendekatan turunan pertama yang digunakan adalah titik xi dan xi 1 maka disebut pendekatan beda hingga mundur, dan deret Taylor menjadi:
U rs1 U rs xU x r s
atau
3 x 2 U xx rs x U xxx rs ..... 2! 3!
U rs1 U rs xU x r O x 2 . s
(2.10) (2.11)
Jadi pendekatan beda hingga mundur didapatkan:
U rs U rs1 Ox . x Dari uraian di atas diperoleh kesalahan pemotongan dengan orde x (Triatmojo, 2002).
U x rs
2.4.3
(2.12)
Pendekatan Beda Pusat Untuk Turunan Pertama
Untuk mendapatkan U x digunakan persamaan (2.7) dan (2.10). Dengan mengurangkan persamaan (2.7) dan (2.10) diperoleh:
U x rs
U rs1 U rs1 1 2 3 x U xxx( ) 2x
(2.13)
di mana x r 1 x r 1 . Dengan memotong sisa dari persamaan (2.13) didapatkan pendekatan beda hingga untuk U x yaitu:
U x rs
U rs1 U rs1 2 x
(2.14)
maka persamaan di atas adalah bentuk pendekatan beda hingga pusat terhadap x dengan orde kesalahan pemotongannya adalah x 2 (Hoffman, 2001).
7
2.4.4
Pendekatan Beda Pusat Untuk Turunan Kedua
Sedangkan untuk mendapatkan U xx dapat digunakan persamaan (2.14) yang di turunkan lagi terhadap x yaitu sebagai berikut: 1 U r 1 / 2 U r 1 / 2 U xx x x x Dengan menggunakan sifat dari pendekatan beda pusat turunan pertama terhadap x maka: Us
2U s U rs1
r . (2.15) x 2 Dari uraian di atas diperoleh pendekatan beda hingga pusat untuk turunan kedua terhadap x dengan orde kesalahan pemotongannya adalah x 2 . Sedangkan untuk pendekatan beda hinggga maju turunan kedua terhadap t diperoleh dengan cara mengganti s dengan s 1 pada persaamaan (2.15) (Chung-Yau Lam, 1994).
U xx
2.4.5
r 1
Pendekatan Beda Pusat Untuk Turunan Ketiga Dengan cara yang sama seperti di atas dapat di ambil turunan ketiga sebagai berikut: U xxx
U rs 2 2U rs1 2U rs1 U rs2
. (2.16) 2x 3 Dari uraian di atas diperoleh pendekatan beda hingga pusat untuk turunan ketiga terhadap x dengan orde kesalahan pemotongannya adalah x 2 . Sedangkan untuk pendekatan beda hingga maju turunan ketiga terhadap t diperoleh dengan cara mengganti s dengan s 1 pada persaamaan (2.16) (Chung-Yau Lam, 1994). 2.5 Skema Beda Hingga Pada Persamaan Panas Misal diberikan sebuah persamaan panas satu dimensi sebagai berikut :
U xx U t U ( x ,0 ) g ( x ) U (0, t ) a (t ) U (1, t ) b(t )
(t 0 0 x 1) (0 x 1) (t 0) (t 0) .
(2.17)
Untuk menyelesaikan sistem persamaan di atas dengan skema beda hingga, akan dihitung nilai pendekatan U pada jaringan titik ( x r , t s ) dengan domain komputasi didiskritkan menggunakan grid yang uniform baik pada arah x maupun arah t sebagai berikut (Cheney, 1995): (2.18) t s s t t0
x r rx
0 r N 1
2.5.1 Skema Eksplisit Dengan menggunakan skema beda maju untuk turunan pertama terhadap t dan skema beda pusat untuk turunan kedua terhadap x, persamaan panas (2.17) didekati dengan
U rs1 2U rs U rs1 U rs 1 U rs . t x 2
(2.19)
Jika persamaan di atas disederhanakan akan diperoleh :
U rs1 (1 2 )U rs U rs1 U rs 1 ,
di mana t x . 2
8
(2.20)
U rs 1
U rs1
U rs
U rs1
Gambar 2.1. Skema eksplisit pada persamaan panas Dari
gambar 2.1, nilai U rs 1 dapat diperoleh secara eksplisit dari nilai sebelumnya yaitu
U rs1 , U rs , U rs1 . Oleh karena itu persamaan (2.20) disebut skema eksplisit, yaitu U rs1 , U rs , U rs1
(Morton, 1996).
2.5.2 Skema Implisit Dari persamaan (2.19), dapat dilihat bahwa ruas kiri ditulis pada waktu ke-s. Apabila ruas kiri ditulis pada waktu ke- ( s 1) , maka bentuk persamaannya menjadi:
U rs11 2U rs 1 U rs11 U rs 1 U rs . t x 2
(2.21)
U rs 11 (1 2 )U rs 1 U rs 11 U rs .
(2.22)
Jika persamaan di atas disederhanakan maka akan diperoleh :
U rs11
U rs 1
U rs11
U rs Gambar 2.2. Skema implisit pada persamaan panas Di asumsikan bahwa untuk r 1,2,...n , nilai U rs diketahui besarnya, sedangkan nilai U rs 1 tidak diketahui besarnya. Kemudian dari persamaan (2.22) akan dibentuk sistem persamaan sebagai berikut: (2.23) AU rs 1 U rs dimana A adalah matriks berukuran n n
9
0 1 2 1 2 A 0 1 2 0 0 0
0 0 0 1 2
dan vektor kolom U rs yang sudah diketahui nilainya sebagai berikut:
U r1 2 U r s Ur . U n r
Solusi dari persamaan (2.23) diberikan di bawah ini : U rs 1 A 1U rs .
(2.24)
Dari sini diperoleh nilai U rs 1 untuk r 1,2,...n . 2.5.3 Skema Crank-Nicholson Pada skema beda hingga untuk persamaan panas dengan skema eksplisit, pendekatan solusi U dihitung pada jaringan titik ( x r , t s ) . Sedangkan pada skema implisit, pendekatan solusi U dihitung pada jaringan titik ( x r , t s 1 ) . Pada skema Crank-Nicholson pendekatan solusi U akan dihitung pada jaringan titik ( x r , t s ) dan jaringan titik ( x r , t s 1 ) dengan mencari rata-rata skema ekspisit dan skema implisit. Untuk memperjelasnya dapat lihat Gambar 2.3 dan penjelasan metode yang menyertainya.
U rs11
U rs 1
U rs1
U rs11
U rs
U rs1
Gambar 2.3. Skema Crank-Nicholson pada persamaan panas Berdasarkan skema eksplisit pada persamaan panas dapat dituliskan sebagai berikut:
Urs1 Urs
t Urs1 2Urs Urs1 x2
dan untuk skema implisit pada persamaan panas adalah:
U rs 1 U rs
t U rs11 2U rs 1 U rs11 . 2 x
(2.26)
Karena skema Crank-Nicholson adalah rata-rata dari skema eksplisit dan skema implisit maka: Skema Crank-Nicholson =
1 ( skema eksplisit + skema implisit), yaitu 2
10
(2.25)
U rs 1 U rs 1 U rs1 2U rs U rs1 U rs11 2U rs 1 U rs11 2 . t x 2 x 2 Untuk lebih memudahkan perhitungan pada skema di atas nilai U rs11 , U rs 1 dan U rs11 dijadikan dalam satu sisi maka:
Urs11 2(1 )Urs1 Urs11 Urs1 2(1 )Urs Urs1
(2.27)
di mana t x . 2
Dengan menerapkan kondisi batas Dirichlet pada persamaan awal dan akhir yaitu U 1s U 1s 1 0 dan U ns U ns 1 0 , persamaan (2.27) akan membentuk sistem persamaan
0 2(1 ) 2(1 ) 0 2(1 ) 0 0 0
0 U 2s 1 0 U 3s 1 0 s 1 2(1 ) U n 1
0 2(1 ) 2(1 ) 0 2(1 ) 0 0 0 yang memiliki bentuk
0 U 2s 0 U 3s 0 2(1 ) U ns1
AU rs 1 BU rs dimana A dan B adalah matriks berukuran ( n 2) ( n 2) .
(2.28)
Solusi dari persamaan (2.28) diberikan di bawah ini :
U rs 1 A 1 BU rs .
2.6
(2.29)
Persamaan Korteweg-de Vries (KdV)
Pada tahun 1895, D. J. Korteweg dan G. De Vries, dua ilmuwan Belanda, menurunkan model atau persamaan untuk gerakan gelombang permukaan dari suatu lapisan fluida dengan dasar rata. Dengan membatasi untuk kasus gelombang agak rendah (amplitudonya) dan dengan panjang gelombang agak panjang, yang bergerak terutama pada satu arah, persamaan elevasi permukaan U, dalam variabel yang sudah ternomalisasi adalah
U x, t U x, t 3U x, t U x, t 0 t x x 3
(2.30)
Persamaan KdV menjadi sangat terkenal pada tahun enam puluhan karena jika ditinjau secara matematika, yang mengakibatkan perluasan yang sangat besar pada teori persamaan diferensial nonlinier. Juga menjadi jelas bahwa banyak masalah fisika dan teknik yang dimodelkan oleh persamaan KdV. Pada persaman KdV dapat menjelaskan masalah yang berkaitan dengan gelombang permukaan. Khususnya pada tahun 1834, J. Scott Russel mengamati ”gelombang besar translasi” pada kanal Edinbrurgh Glasgow, yang pada akhirnya gelombang tersebut dikenal sebagai gelombang soliton. Persamaan KdV, yang mengkombinasikan efek nonlinieritas (yang mengakibatkan efek pecahnya gelombang) dan dispersi (efek menyebarnya profil awal), ternyata mampu menjelaskan adanya solusi
11
gelombang berjalan, yaitu gelombang dengan profil tertentu dapat merambat tanpa mengalami perubahan bentuk dengan kecepatan tertentu (Suryanto, 2004). Persamaan KdV juga dapat menjelaskan fenomena perambatan pulsa optik pada medium nonlinear order kedua (van Groesen dkk., 2002). 2.6.1 Solusi Eksak Persamaan Korteweg-de Vries Untuk menentukan solusi gelombang translasi, diasumsikan bahwa persamaan KdV (2.30) mempunyai solusi berbentuk:
U x, t f x Vt f dengan x Vt
(2.31)
dimana f adalah profil gelombang dan V adalah kecepatan translasi. Di sini pembahasan akan dikonsentrasikan pada pencarian bentuk profil gelombang yang berupa gundukan tunggal yang menurun dengan cepat (termasuk turunannya) pada posisi tak hingga. Solusi inilah yang menjelaskan gelombang soliton yang diamati pada abad ke-19. Untuk mencari profil gelombang soliton f dan kecepatannya (yaitu V ), persamaan (2.31) disubtitusikan pada persamaan (2.30) diperoleh: 3
f f 3 f f 0, (2.32) t x x 3 karena x Vt maka V dan 1 dengan mensubtitusikan pada persamaan (2.32) t x didapatkan:
V
f f 3 f f 0. 3
(2.33)
Dengan melakukan integrasi terhadap , persamaan di atas menjadi:
Vf 12 f 2
2 f c 0. 2
(2.34)
f setelah itu diintegrasi lagi maka di dapatkan: f 3 2 cf d 0 f 12 Vf
Kalikan kedua sisinya dengan 1 6
(2.35)
Dengan menghilangkan c dan d yaitu c d 0 akan didapatkan bentuk persamaan baru yang dapat diselesaikan. Bentuk persamaan baru tersebut adalah persamaan diferensial biasa yang solusi eksplisitnya dapat ditentukan. Solusi tersebut berupa profil gelombang soliton, yaitu (dengan V 0 )
f
3V cosh
2 1 2
V
.
(2.36)
Dengan mensubtitusikan persamaan (2.31) pada persamaan (2.36) maka didapatkan solusi eksak dari persamaan Korteweg-de Vries sabagai berikut:
U x, t
cosh
2 1 2
3V
V x Vt
3V sec h 2
12
1 2
V x Vt
(2.37)
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN Persamaan KdV merupakan persamaan yang menjelaskan tentang gelombang air khususnya di air dangkal dan persamaan tersebut juga termasuk dalam persamaan diferensial parsial nonlinier. Untuk mencari solusi persamaan KdV dapat diselesaikan dengan solusi eksak ataupun dengan menggunakan metode numerik. Pada penelitian ini metode numerik yang digunakan adalah metode Crank-Nicholson. Dalam bab ini akan dibahas tentang bagaimana menggunakan metode Crank-Nicholson untuk menyelesaikan persamaan KdV, menentukan kestabilan persamaan KdV dari metode yang telah digunakan dan juga menentukan kesalahan pemotongannya. 3.1 Metode Crank-Nicholson Diberikan persamaan KdV sebagai berikut:
(3.1) U t UU x U xxx 0 dengan syarat batas U 0, t U 1, t U x 0, t U x 1, t 0 . Dengan metode Crank-Nicholson maka didapatkan:
U rs 1 U rs t s U U rs 1 U r 2 s 1 U U rs11 U rs1 U rs1 U x r 1 4x
Ut
U xxx
(3.2) (3.3) (3.4)
U rs21 2U rs11 2U rs11 U rs21 U rs 2 2U rs1 2U rs1 U rs 2 . 4 x 3
(3.5)
Dengan mensubtitusikan persamaan (3.2), (3.3), (3.4) dan (3.5) ke persamaan (3.1) maka:
U rs21 2U rs11 1 12 x 2 U rs11 U rs11 U rs1 U rs1 U rs 1
2U rs11 U rs21 U rs 2 2U rs1 1 12 x 2 U rs11 U rs11 U
s r 1
U
s r 1
U
s r
2U
s r 1
U
s r 2
(3.6)
.
Dari skema di atas maka untuk menentukan penyelesaian dari persamaan KdV dapat dilakukan beberapa iterasi. Untuk iterasi yang digunakan adalah dengan mengambil s sebarang dan 1 r n 1 dan dengan menerapkan kondisi batas maka: ~ ~ ~ U 1s U s 1 c1 d1 e1 0 0 c1 d1 e1 0 0 1 ~ ~ ~ ~ U 2s b U 2s 1 b2 c 2 d 2 e2 0 0 c d e 0 0 2 2 2 s ~ ~ 2 ~ ~ ~ U 3 a3 b3 c3 d 3 e3 0 0 U 3s 1 a3 b3 c3 d 3 e3 0 0 ~ ~ s s 1 0 ~ ~ ~ a b c d e 0 0 0 a b c d e 0 0 4 4 4 4 4 U 4 4 4 4 4 U 4 4 ~ ~ s ~ ~ ~ 0 0 a n 4 bn 4 c n 4 d n 4 en 4 0 U s 1 0 0 a n 4 bn 4 c n 4 d n 4 en 4 0 U n 4 n4 ~ ~ a n 3 bn 3 c n 3 d n 3 en 3 s 1 0 0 a~n 3 bn 3 c~n 3 d n 3 e~n 3 U ns 3 0 0 U n 3 0 0 s ~ ~ a n 2 bn 2 c n 2 d n 2 s 1 ~ ~ U n 2 0 0 a n 2 bn 2 c n 2 d n 2 U n 2 a n 1 bn 1 c n 1 ~ 0 0 ~ ~ s 1 a n 1 bn 1 c n 1 U ns 1 U n 1 0 0
Keterangan:
13
a j , j = 3, 4,...., n-1. b j 2 , j = 2, 3, ..., n-1.
1 x U U U U , j = 2, 3, ...., n-2. 1 x U U .
c1 1 12 x 2 U 2s 1 U 2s .
cj
c n 1
s 1 j 1
2
1 2
1 2
s 1 j 1
s 1 n2
2
s j 1
s j 1
s n2
d j 2 , j = 1, 2,...., n-2. e j , j = 1, 2,...., n-3. a~ j , j = 3, 4,..., n-1. ~ b j , j = 2, 3,..., n-1. c~1 1 12 x 2 U 2s 1 U 2s . c~ j 1 12 x 2 U sj11 U sj11 U sj1 U sj1 , j = 2, 3,...., n-2. c~n 1 1 12 x 2 U ns12 U ns 2 ~ d j 2 , j = 1, 2,..., n-2. e~ , j = 1, 2,..., n-3.
j
Dari uraian di atas dapat di bentuk sistem persamaan sebagai berikut:
AU rs 1 BU rs 1 dengan A adalah matrik koefisien n - 1 x n - 1 , B adalah matrik koefisien n - 1 x n - 1 , U rs adalah vektor konstanta n - 1 x 1 dan U rs 1 adalah vektor yang dicari. Adapun algoritma dari peyelesaian sistem persamaan tersebut adalah sebagai berikut: input: kecepatan translasi, x , t , banyaknya grid yang di pakai, waktu. output: nilai dari U rs 1 langkah-langkah: langkah 1: hitung nilai nu
t . 4 x 3
langkah 2: untuk i = 1, 2, 3,......,n-1
hitung U i,1 3V sec h 2 12 V xi . langkah 3 : untuk j = 2, 3, 4,....,M lakukan langkah (4-11). langkah 4 : bentuk matrik peralihan w dari U (:, j 1) .
w U (:, j 1) . langkah 5 : bentuk 1 . langkah 6 : while 10 6 lakukan langkah (7-10). langkah 7 : untuk i = 1, 2, 3, ..., n-1 bentuk matrik A dan B. langkah 8 : hitung nilai y y A 1 BU (:, j 1) . langkah 9 : max y w . langkah 10 : didapatkan nilai untuk:
14
w = y. langkah 11 : didapatkan nilai U rs 1 dari y langkah 12 : selesai.
U rs 1 = y.
3.2 Studi Kasus Dalam subbab ini skema numerik Crank-Nicholson akan diterapkan untuk mensimulasikan perambatan soliton yang merupakan solusi persamaan KdV. 3.2.1. Kasus 1 Satu Soliton Pada kasus pertama, disimulasikan satu soliton dalam interval 30 x 30 , 0 t 10 dan dengan mengambil nilai t 0,02 dan x 0,2 . Syarat awal yang digunakan adalah:
U x,0 3V sec h 2
1 2
Vx .
(3.27)
Pada Gambar 3.1 dapat dijelaskan bahwa solusi numerik yang didapatkan selalu stabil pada nilai pada x = 10. Untuk nilai V = 2 solusi numerik tetap stabil tetapi posisi terakhirnya terletak pada x =20 ditunjukkan pada Gambar 3.2 Pada Gambar 3.3 terlihat bahwa profil dari solusi eksak dan profil solusi numerik sama untuk V = 1 tetapi posisi terakhir untuk solusi eksak dan solusi numerik terjadi perbedaan. Untuk V = 2 profil solusi eksak dan profil solusi numerik tetap sama dan posisi terakhir untuk solusi eksak dan solusi numeriknya terjadi perbedaan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.4.
x = 0,2 dan posisi terakhir solusi numeriknya terletak
Gambar 3.1. Solusi satu soliton persamaan KdV dengan V =1, t 0,02 dan x 0,2 dalam interval
t 0,10 dan x 30,30
15
Gambar 3.2.Solusi satu soliton persamaan KdV dengan V =2, t 0,02 dan x 0,2 dalam interval
t 0,10 dan x 30,30
Grafik penyelesaian numerik persamaan Korteweg-de Vries
3.5
Solusi eksak Solusi numerik
3
2.5
2 U 1.5
1
0.5
0
4
6
8
10 X
12
14
16
Gambar 3.3. Solusi numerik persamaan KdV pada saat t = 10 dengan V =1, t 0,02 dan x 0,2 . Grafik penyelesaian numerik persamaan Korteweg-de Vries
7
Solusi eksak Solusi numerik
6
5
4 U 3
2
1
0 15
16
17
18
19
20 X
Gambar 3.4. Solusi numerik persamaan KdV pada saat
16
21
22
23
24
25
t = 10 dengan V =2, t 0,02 dan x 0,2 .
Dengan membandingkan solusi eksak dengan solusi numerik didapat kesalahan numerik maksimum pada interval t 0,10 untuk nilai x = 0,2 dan nilai V = 1 adalah 1,61 x 10 2 yang terlihat pada gambar 3.5, sedangkan untuk nilai V = 2 kesalahan numerik maksimum pada interval t 0,10 adalah 8,8 x 10 2 yang ditunjukkan gambar 3.6.
Gambar 3.5. Kesalahan numerik persamaan KdV untuk
V = 1, x 0,2 dan t 0,02 pada
Gambar 3.6. Kesalahan numerik persamaan KdV untuk
V = 2, x 0,2 dan t 0,02 pada
interval t 0,10
interval t 0,10
Dengan membandingkan solusi eksak dan solusi numerik didapat kesalahan numerik maksimum pada interval t 0,10 untuk nilai V 1 , x 0,2 dan t 0,01 adalah 1,6 x 10 2 yang ditunjukkan Gambar 3.7, sedangkan untuk nilai x 0,1 dan t 0,02 didapat kesalahan numerik
maksimum pada interval t 0,10 adalah 4,0165 x 10 3 yang terlihat pada Gambar 3.8. Karena dengan
memperkecil nilai x dan t didapat kesalahan numerik maksimum pada interval t 0,10 lebih kecil. Untuk nilai V = 1, x 0,1 dan t 0,01 didapat kesalahan numerik maksimum pada interval
t 0,10 adalah 3,9217 x 10 3 ditunjukkan Gambar 3.9.
17
Grafik kesalahan numerik penyelesaian persamaan Korteweg-de Vries
0.018
0.016
0.014
0.012
0.01 e 0.008
0.006
0.004
0.002
0
0
1
2
3
4
5 t
6
7
8
9
10
Gambar 3.7. Kesalahan numerik persamaan KdV untuk nilai V = 1, x 0,2 dan t 0,01 pada interval t 0,10
-3
4.5
Grafik kesalahan numerik penyelesaian persamaan Korteweg-de Vries
x 10
4
3.5
3
2.5 e 2
1.5
1
0.5
0
0
1
2
3
4
5 t
6
7
8
9
10
Gambar 3.8. Kesalahan numerik persamaan KdV untuk nilai V = 1, x 0,1 dan t 0,02 pada interval t 0,10
-3
4.5
Grafik kesalahan numerik penyelesaian persamaan Korteweg-de Vries
x 10
4
3.5
3
2.5 e 2
1.5
1
0.5
0
0
1
2
3
4
5 t
6
7
8
9
10
Gambar 3.9. Kesalahan numerik persamaan KdV untuk nilai V = 1, x 0,1 dan t 0,02 pada interval t 0,10
18
3.2.2. Kasus 2 Dua Soliton Pada kasus kedua, disimulasikan dua soliton dalam interval 30 x 40 , 0 t 10 dan dengan mengambil nilai t 0,02 dan x 0,2 . Syarat awal untuk dua soliton adalah:
U x,0 3V1 sec h 2 12 V1 x x1 3V2 sec h 2 12 V2 x x 2 (3.26) dengan V1 3 , V2 1 , x1 15 dan x 2 2,5 . Pada Gambar 3.10 terlihat bahwa untuk nilai V yang berbeda terjadi interaksi. Karena nilai V1 lebih besar dari V2 , soliton dengan V1 mendahului soliton dengan V2 seperti terlihat pada Gambar 3.11. Setelah berinteraksi bentuk dan kecepatan dua soliton tersebut kembali seperti semula.
Gambar 3.10. Solusi dua soliton persamaan KdV dengan V1 3 , V2 1 , t 0,02 dan x 0,2
Gambar 3.11. Solusi dua soliton persamaan KdV di sekitar daerah interaksi Untuk kasus dua soliton dengan kecepatan sama, V1 V2 dan dengan jarak awal cukup jauh, masing-masing soliton berjalan dengan kecepatan konstan tanpa mengalami perubahan bentuk. Karena kecepatannya sama maka kasus ini tidak terjadi interaksi soliton. Untuk V1 V2 2 , x1 15 ,
x 2 5 dan solusi numerik ditunjukkan pada Gambar 3.12.
19
Gambar 3.12. Solusi dua soliton persamaan KdV dengan V yang sama, t 0,02 dan x 0,2
20
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan Dari hasil pembahasan dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu: 1. Penyelesaian persamaan KdV dengan menggunakan metode Crank-Nicholson didapat sistem persamaan yang dapat diselesaikan dengan metode iterasi. 2. Dari studi kasus pada solusi satu soliton bentuk maupun kecepatannya selalu tetap, untuk solusi dua soliton dengan V yang berbeda akan terjadi interaksi dan setelah interaksi bentuk maupun kecepatannya kembali seperti semula, sedang untuk solusi dua soliton dengan V yang sama dan jarak yang cukup jauh tidak terjadi interaksi. 3. Dari studi kasus dengan membandingkan solusi numerik dan solusi eksak didapat dengan semakin besar nilai V, x dan t semakin besar kesalahan numerik. 4.2 Saran Untuk penulisan yang akan datang, sebaiknya diteliti lebih lanjut tentang kestabilan dan kesalahan pemotongan pada skema nonliniernya, untuk syarat batas dapat digunakan yang lain seperti kondisi batas transparan ataupun dengan syarat batas periodik sehingga didapat perambatan soliton lebih bagus dan juga dapat diteliti lebih lanjut tentang kesalahan dispersi.
21
DAFTAR PUSTAKA Ayyub, B.M. dan Mc.Cuen, R.H. 1996. Numerical Methods for Enggineers. Prentice-Hall Inc. New Jersey. Cheney, W and Kincaid, D. 1991. Numerical Analysis Mathematics of Scientific Computing. Wadsworth. Inc. California. Edward, C.H dan Penney, D.E. 2001. Differential Equations and Linear Algebra. Prentice-Hall Inc. New Jersey. Farlow, S.J. 1994. An Introduction to Differential Equation and their Application. Mc Graw-Hill, Inc. New Jersey. Hoffman, J.D. 2001. Numerical Method For Engineers and Scientists 2 rd edition revised and expanded. Marcel Dekker Inc. New York. Horman,P.J.2006.http://www.math.colostate.edu/horman/Research/ Solitons. Kartono. 1994. Penuntun Baelajar Persamaan Diferensial. Andi Offset. Yogyakarta. Lam.C.H. 1994. Applied Numerical Method for Partial Differential Equation. Prentice Hall Simon and Schster (Asia ) Pte Ltd. Singapore. Mathew,J.H and Fink, K.D. 2004. Numerical Method Using MATLAB 4 rd edition. Pearson Education Inc. New Jersey. Morton, K.W and Mayers, D.F. 1994. Numerical Solution of Partial Differential Equation. Cambridge University Press. New York. Noye, J. 1982. Numerical Solution of partial Differential Equation. North-Holland Publishing.1982 Ross, L.S 1984. Differential Equation 3rd edition. John Wiley and sons Inc. New York. Soehardjo. 2001. Kalkulus II untuk Teknik. ITATS ITS. Surabaya Strauss, W.W. 1992. Partial Differensial Equation. John Wiley and sons Inc. Canada. Triatmodjo, B.2002. Metode Numerik Dilengkapi Dengan Program Komputer.Beta Offset. Yogyakarta. Suryanto, A. 2004. Pemodelan Matematika. Universitas Brawijaya.Malang. van Groesen, E., E. Cahyono and A. Suryanto, 2002, Uni-directional models for narrow- and broadband pulse propagation in second order nonlinear media, Optical and Quantum Electronics Vol. 34 (5-6), pp 577-595. Wignyosukarto, B. 1986. Hidrolika Numerik. PAU – UGM. Yogyakarta.
22