PENILAIAN BIAYA-MANFAAT PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN BOGOR, PUNCAK DAN CIANJUR (Sebuah Studi Kasus)
Penulis :
Endang Tjitroresmi Hari Susanto Sukarna Wiranta
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL DAN LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 2009
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd i
6/22/2010 6:22:33 PM
©2009 Indonesian Institute of Sciences (LIPI) Pusat Penelitian Ekonomi (LIPI)
KATALOG DALAM TERBITAN PUSAT DOKUMENTASI DAN INFORMASI ILMIAH LIPI
Penilaian Biaya-Manfaat Perubahan Fungsi Kawasan Bogor, Puncak dan Cianjur : Sebuah Studi Kasus/editor Hari Susanto - [Jakarta] : Departemen Pendidikan Nasional; Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2009.
i-viii + 101 hlm: 15 cm x 21 cm
338 ISBN : 978-602-8659-08-6
Penerbit: LIPI Press, anggota Ikapi Pusat Penelitian Ekonomi (LIPI) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Widya Graha Lt. 4 - 5 Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta 12710 Telp: 021- 5207120 Fax: 021- 5262139 ii
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd ii
6/22/2010 6:23:32 PM
KATA PENGANTAR
Kegiatan Program Insentif bagi peneliti dan perekayasa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonsia dengan judul PENILAIAN BIAYA-MANFAAT PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN BOGOR, PUNCAK DAN CIANJUR : SEBUAH STUDI KASUS merupakan kajian yang menitik beratkan pada analisis ekonomi lingkungan. Sumber daya alam (SDA) yang mengalami perubahan dalam proses pembangunan terletak di atas tanah dan hutan menempati kedudukan penting sebagai sumber alam yang bisa diperbaharui. Hutan berfungsi sebagai sumber penyimpan, pengatur air sumberdaya alam dan keaneka-ragaman hayati dapat dikategorikan ke dalam dua bentuk yakni SDA yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan SDA yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable). Ditinjau dari kepemilikannya, terdapat tiga macam SDA yaitu SDA milik pribadi (privately owned resources), SDA milik bersama (common property resources), dan SDA tak bertuan. Perubahan fungsi SDA ke aktivitas pariwisata telah menyebabkan perubahan daya dukung biosfir di kawasan Bogor, Puncak dan Cianjur (BOPUNJUR) dan sekitarnya, terutama Jakarta dan sekitarnya mengalami dampak dari perubahan fungsi di kawasan BOPUNJUR, yakni banjir tahunan. Atas dasar itu, studi ini mengusulkan bahwa perubahan SDA di kawasan BOPUNJUR hendaknya masih mempertahankan SDA yang mampu menjadi wilayah resapan air dan mempertahankan keaneka-ragaman flora/fauna, biodiversity. Adapun pengelolaannya agar keseimbangan biosfir tetap terjaga, hendaknya, berbasis pada
i
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd Sec1:i
6/22/2010 6:23:32 PM
EKOWISATA dimana pengelolaannya diserahkan pada masyarakat setempat melalui langkah-langkah pemberdayaan masyarakat, community development.
Jakarta, Desember 2009 Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E-LIPI) Kepala
Drs. Darwin Syamsulbahri, M.Sc NIP : 19551121 198303 1003
ii
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd Sec1:ii
6/22/2010 6:23:32 PM
ABSTRAK
Perubahan fungsi kawasan Bogor, Puncak dan Cianjur telah pula mempengaruhi perubahan pada berbagai aktivitas sosial dan ekonomi. Kawasan yang dahulunya ditumbuhi oleh komoditas pertanian bahan makanan, perkebunan maupun kehutanan dan berfungsi sebagai daerah resapan dan/atau penyangga air serta koleksi keragaman hayati, kini telah mengalami perubahan menjadi kawasan pemukiman, baik dalam bentuk perhotelan maupun perumahan mewah. Perubahan fungsi tersebut tentunya juga mempengaruhi perubahan nilai dari kawasan tersebut. Dilihat secara sesaat, pemanfaatan lahan menjadi pemukiman telah menimbulkan nilai positif bagi kegiatan wisata dan kegiatan ekonomi non-pertanian, off-farm. Namun secara jangka panjang, hilangnya lahan pertanian bahan makanan, perkebunan dan kehutanan, pada gilirannya menyebabkan banjir di beberapa lokasi yang berada di bawah kawasan tersebut, seperti Jakarta (lihat Lampiran 3 : Peta Tematik 1 dan 2). Tentu perubahan fungsi itu tidak hanya merugikan kawasan tersebut saja, akan tetapi juga merugikan kawasan lainnya yang berada di bawah kawasan tersebut. Melihat kenyataan tersebut, perlu dilakukan suatu kajian terhadap seberapa besar manfaat maupun biaya yang diperoleh dengan terjadinya perubahan fungsi kawasan tersebut dari sebelumnya yang masih digunakan sebagai lahan pertanian dengan setelah dijadikan sebagai daerah pemukiman. Hasil kajian memperlihatkan perlunya kebijakan yang komprehensif agar fungsi ekologi kawasan tersebut tetap dipertahankan dengan tidak mengabaikan fungsi produksi dan fungsi sosial, tentunya. Kata Kunci: perubahan fungsi peruntukan, aktivitas ekonomi. iii
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd Sec1:iii
6/22/2010 6:23:32 PM
iv
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd Sec1:iv
6/22/2010 6:23:32 PM
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................. i DAFTAR ISI ..........................................................................................v ABSTRAK .......................................................................................... iii DAFTAR TABEL ................................................................................ vii DAFTAR GAMBAR .......................................................................... viii BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................1 1.1 Latar Belakang ..................................................................................1 1.2 Permasalahan ....................................................................................2 1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................3 1.4 Hipotesis .............................................................................................3 1.5 Metodologi Penelitian ...................................................................4 1.6 Tinjauan Pustaka ..............................................................................6 BAB 2 POTRET BOPUNJUR ............................................................................ 21 2.1 Gambaran Umum Kawasan BOPUNJUR ..............................21 2.2 Perubahan Tata Guna Lahan .................................................... 23 2.3 Gambaran Makro BOPUNJUR: Daya Dukung Ekologis ... 26 BAB 3 PILIHAN EKONOMI DAN KONSERVASI ALAM......................... 29 3.1 Pendahuluan ................................................................................. 29 3.2 Problem Alih Fungsi Lahan....................................................... 30 3.3 BOPUNJUR sebagai Kawasan Wisata ....................................34 3.4 Kawasan Konservasi Alam ........................................................39 3.5 Ekowisata sebagai Solusi......................................................... 44 3.6 Sebuah Catatan ............................................................................ 51
v
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd Sec1:v
6/22/2010 6:23:32 PM
BAB 4 ANALISIS BIAYA DAN MANFAAT .................................................. 53 4.1 Manfaat (benefit) Kawasan .....................................................53 4.2 Biaya (Cost) Kawasan BOPUNJUR .........................................68 4.3 Analisis Eksistensi Lanskap Agrowisata ..............................71 4.4 Sebuah Catatan ........................................................................... 77 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 81 5.1 KESIMPULAN ................................................................................ 81 5.2 SARAN............................................................................................. 82 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 85 LAMPIRAN .............................................................................................................. 89
vi
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd Sec1:vi
6/22/2010 6:23:32 PM
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Lokasi dan Responden Penelitian..................................................5 Tabel 2.1 Hasil perhitungan Tingkat Bahaya Erosi (Ha)..........................28 Tabel 2.2 Luas Lahan menurut Lokasi DAS dan Penutupan Lahan (Ha) ........................................................................................... 28 Tabel 3.1 Obyek Wisata dan Jumlah Wisatawan di Kawasan BOPUNJUR, Kabupaten Bogor, 2001 ......................................... 38 Tabel 3.2 Obyek wisata dan Jumlah Wisatawan di Kawasan BOPUNJUR, Kabupaten Cianjur, 2001 .......................................38 Tabel 4.1 Luas Lahan menurut Tingkat Kekritisan di BOPUNJUR (Ha) ............................................................................ 70
vii
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd Sec1:vii
6/22/2010 6:23:32 PM
DAFTAR GAMBAR
Peta Tematik 1 Kawasan Rawan Banjir di Wilayah DKI Jakarta, 2004 ............................................98 Peta Tematik 2 Kawasan Hutan dan Perkebunan di Wilayah JABODETABEK .................................................98 Peta Tematik 3 Geologi Wilayah JABODETABEK ..................................... 99 Peta Tematik 4 Batas Administrasi Wilayah JABODETABEK ................99 Peta Tematik 5 Daerah Aliran Sungai Wilayah JABODETABEK .........100 Peta Tematik 6 Debit Air Hujan Wilayah JABODETABEK ....................100 Peta Tematik 7 Prioritas Penghijauan untuk Peresapan dan Penguapan Air Larian di Cekungan Jakarta .............101
viii
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd Sec1:viii
6/22/2010 6:23:32 PM
Pendahuluan
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Maraknya proses pengalihan kawasan pertanian bahan makanan, perkebunan maupun kehutanan di Bogor, Puncak dan Cianjur menjadi pemukiman (perumahan mewah, villa dan perhotelan) tentunya mempunyai dampak yang signifikan terhadap keseimbangan lingkungan (Lihat Lampiran 3 : Peta Tematik 2). Dengan demikian, apabila terjadi perubahan satu sistem di dalam ekosistem, maka ekosistem itu sendiri akan terganggu sehingga daya dukung biosfir tidak lagi mampu mengimbangi kepadatan biosfir tersebut1. Perubahan fungsi kawasan itu pada dasarnya karena pesatnya pertumbuhan penduduk di wilayah Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang dan Bekasi (JABODETABEK) dan pengembangan pusat-pusat wisata yang mengarah ke Bogor, Puncak dan Cianjur. Dalam kurun waktu 1992-2001 saja, terjadi peningkatan pengalihan dan penggunaan lahan dari aktivitas pertanian bahan makanan, perikanan, perkebunan dan kehutanan menjadi pemukiman, perkantoran serta perhotelan yang mencapai 10 persen2. Sementara itu, masyarakat yang menghuni di sekitar Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGP) diperkirakan adalah masyarakat yang tengah mengalami proses evolusi sosial, budaya dan ekonomi. Dalam kaitan ini, Duradisastra3 mengidentifikasi 1 2
3
William A. Duerr, Introduction to Forest Resource Economics, Singapore, 1993, bagian I hal. 1-53. Dirjen Penataan Ruang Departemen KIMPRASWIL, “Kebijakan Penataan Ruang Kawasan JABODE-TABEK PUNCUR”, di dalam Lokakarya Nasional Pengelolaan Kawasan JABOPUNCUR untuk Pemberdayaan Sumber Daya Air, Jakarta, IPSK-LIPI, 30-31 Maret 2004, hal. 2. Kedi Suradisastra, et. al., ed. “Sosial Ekonomi Masyarakat di Sekitar Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango”,
1
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 1
6/22/2010 6:23:32 PM
Pendahuluan
bahwa kawasan mereka yang berdekatan dengan areal perkebunan, kehutanan dan taman nasional membentuk masyarakat yang terlibat dengan kegiatan ekonomi yang bersifat heterogen dan multi-sektoral yang disertai dengan kegiatan perdagangan dan jasa, industri kecil, perambahan hutan dan lain-lainnya. Aktivitas ini pula yang mengurangi peran kegiatan pertanian bahan makanan, perikanan, perkebunan dan kehutanan karena adanya perubahan fungsi. Singkatnya, terjadi perubahan fungsi di kawasan Bogor, Puncak dan Cianjur dari kawasan pertanian bahan makanan, perkebunan maupun kehutanan melalui tuntutan aktivitas wisata yang diperlihatkan dengan adanya pembangunan perhotelan, vila dan pemukiman mewah serta aktivitas tradisional yang merambah hutan maupun pemukiman penduduk. Implikasi yang jelas dari berbagai bentuk aktivitas tersebut adalah bahwa setiap terjadi hujan yang cukup lama di wilayah Bogor, Puncak dan Cianjur cenderung mengakibatkan terjadinya banjir di kota Jakarta dan sekitarnya4 karena lokasinya yang lebih rendah dari kawasan Bogor, Puncak dan Cianjur tersebut. Hal itu terjadi karena fungsi kawasan pertanian bahan makanan, perkebunan dan kehutanan sebagai resapan air hujan sudah tidak bekerja lagi.
1.2 Permasalahan Di dalam menyikapi latar belakang yang digambarkan pada bagian sebelumnya, maka di dalam konteks ini dapat diangkat beberapa permasalahan penting yang dapat dirumuskan, yakni antara lain sebagai berikut: 4
Yossa Istiadi, ed., Manajemen Bioregional Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, Taman Nasional Gunung Halimun dan Gunung Salak, Depok, LIPI-UI, 1997, hal. 65-80. http://www2.kompas.com serta seperti yang sering diinformasikan oleh media massa, baik media kaca, elektronik maupun media cetak, bahwa kota Jakarta semenjak awal 1990-an selalu dirundung banjir setiap tahunnya.
2
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 2
6/22/2010 6:23:32 PM
Pendahuluan
a) Apakah perubahan fungsi kawasan BOPUNJUR mempunyai pengaruh terhadap keseimbangan lingkungan?, dan b) Apakah perubahan itu memberikan konsekwensi terhadap manfaat biaya yang harus ditanggung oleh kehidupan manusia?
1.3 Tujuan Penelitian Dari perumusan yang dikembangkan tersebut, maka tujuan dari penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut: a) Melakukan penilaian perubahan fungsi kawasan BOPUNJUR, dan b) Melakukan perhitungan manfaat-biaya dari perubahan fungsi tersebut.
1.4 Hipotesis Hipotesis yang ingin dibangun disini adalah bahwa apabila tidak ada pengalihan peruntukan lahan di daerah Bogor, Puncak dan Cainjur (BOPUNJUR) diduga peran BOPUNJUR sebagai kawasan resapan air masih berfungsi dengan baik. Jadi, penelitian ini, pada gilirannya, akan bermanfaat untuk melakukan koreksi terhadap model-model pembangunan yang tidak atau kurang memperhatikan keseimbangan lingkungan, yakni antara kepadatan biosfir dengan daya dukung biosfir itu sendiri, tentunya.
3
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 3
6/22/2010 6:23:32 PM
Pendahuluan
1.5 Metodologi Penelitian 1.5.1 Pendekatan Sementara itu, pendekatan yang digunakan untuk mengukur persoalan tersebut di atas adalah dengan: a) Pendekatan ekonomi sumber daya alam, dan b) Pendekatan ekonomi regional 1.5.2 Pengumpulan Data dan Sampel Penelitian Secara umum, data yang dibutuhkan pada studi ini terdiri dari data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif berasal dari data sekunder, sementara data kualitatif lebih didasarkan pada data primer. Selain menjaring data sekunder tim peneliti juga melakukan wawancara mendalam, indepth interview, dengan responden yang dipandang memahami kondisi riil daerah. Data primer dijaring dengan cara mengunjungi responden yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk keperluan ini panduan wawancara dapat dilihat pada halaman lampiran 2. Sementara data sekunder didapat dengan mendatangi sumbernya, baik instansi pemerintah maupun swasta. Data sekunder tidak hanya terbatas pada lokasi studi tetapi dilakukan juga di tingkat provinsi maupun pusat. Substansi yang dikaji dalam studi ini adalah perubahan fungsi lahan di dalam suatu peruntukan yang dihadapkan dengan kondisi riil daerah serta didudukkan dalam kerangka nasional. Lokasi studi adalah provinsi Jawa Barat, khususnya kawasan Bogor, Puncak dan Cianjur (BOPUNJUR) yang dihadapkan oleh berbaga masalah peralihan fungsi lahan untuk berbagai peruntukan.
4
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 4
6/22/2010 6:23:32 PM
Pendahuluan
Tabel 1.1 Lokasi dan Responden Penelitian NO
LOKASI
RESPONDEN Instansi pemerintah dan swasta
PEMILIK/PENGELOLA
1
Jakarta
2
Cianjur-Cipanas Pejabat Pemda, masyarakat, pemilik/pengelola hotel dan pemilik/penggarap lahan pertanian/ perkebunan
Instansi pemerintah dan swasta
3
Bogor
Instansi pemerintah dan swasta
Pejabat Pemda, masyarakat, pemilik/pengelola hotel dan obyek wisata, pemilik/ penggarap lahan pertanian/ perkebunan
Instansi pemerintah dan swasta
1.5.3 Teknik Analisis Dalam menghitung manfaat dan biaya pembangunan terhadap aspek lingkungan, peralatan analisis yang sering digunakan antara lain adalah Analisa Biaya-Manfaat: formula ini digunakan untuk menilai unit moneter proyek-proyek sektor swasta maupun publik karena didalamnya mencakup manfaat biaya yang antara lain adalah: 1. PVB (present value of benefits, nilai manfaat masa kini); 2. PVC (present value of costs, nilai biaya masa kini); 3. NPV (PVB dikurangi PVC); 4. NPV/k (dimana k adalah tingkat ketersediaan unit moneter), dan 5. BCR (benefit cost ratio, PVB dibagi dengan by PVC).
5
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 5
6/22/2010 6:23:32 PM
Pendahuluan
1.6 Tinjauan Pustaka 1.6.1 Kawasan BOPUNJUR di Era Orde baru Basis pembangunan ekonomi Orde Baru bisa diilustrasikan sebagai berikut; bahwa meskipun pada awal Orde Baru belum terdapat persekutuan bisnis yang mapan, namun terdapat segelintir orang dekat pemerintah yang diberi konsesi untuk menjalankan roda perekonomian yang akhirnya dikendalikan oleh segelintir orang atau kroni-kroni pemerintahan Soeharto guna meningkatkan pertumbuhan eko-nomi yang tinggi. Logika ini didukung oleh keyakinan teori trickle down effect, yang menganggap kalau terjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi bisa menetes dengan sendirinya. Pandangan tersebut, sejak awal praktik dunia bisnis Indonesia memang telah dirancang sangat monopolistis dan tentunya hanya menguntungkan sedikit pihak. Pola pemikiran seperti itu dipandang merupakan jalan paling mudah untuk menggerakkan kegiatan ekonomi dari pada melibatkan sekian banyak pemain dengan kemampuan yang berlainan. Dalam literatur ekonomi politik, perilaku semacam itu disebut dengan istilah redistributive combines, yakni regulasi dibuat sebagai instrumen untuk bagi-bagi kue ekonomi di lingkaran elit kekuasaan. Selebihnya, negara juga memiliki keuntungan karena terdapatnya sifat “patron-klien” dari hubungannya dengan dunia usaha. Di sini negara mendonasikan perlindungan terhadap proses produksi serta menyediakan jaminan apabila perangkat hukum tidak melicinkan aktivitas ekonomi dunia usaha. Sebaliknya, dunia usaha memberikan timbal baliknya berupa pendapatan yang cukup tinggi kepada negara berupa pajak, maupun terhadap oknum-oknum birokrasi berupa “upeti”5. Oleh pengamat lain, 5
Kunio Yoshihara, The Rise of Ersatz Capitalism in Southeast Asia, Oxford, Oxford University Press, 1988.
6
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 6
6/22/2010 6:23:33 PM
Pendahuluan
praktik relasi antara kekuasaan dengan dunia usaha semacam itu disebut dengan istilah crony capitalism atau erzats capitalism6. Simbiose mutualisme itulah yang melanggengkan hubungan antara kekuasaan dengan dunia usaha dalam menjalankan roda perekonomian. Dinamika dua faktor itulah yang banyak mempengaruhi pembentukan struktur pasar di Indonesia, sehingga menciptakan daya saing ekonomi yang lemah. Selain itu, fakta lain menegaskan bahwa era konglomerasi di Indonesia dipicu oleh munculnya pengusaha-pengusaha muda, yang umumnya adalah anak-anak dari para pejabat birokrasi atau yang mempunyai koneksi tertentu dengan inner cyrcle bureaucracy. Pengusaha-pengusaha inilah yang kemudian disebut dengan istilah business client alias rekanan pengusaha. Pengusaha-pengusaha ini beroperasi dengan dukungan dan proteksi dari berbagai jaringan kekuasaan pemerintah. Pada umumnya mereka mempunyai patron dalam kelompok kekuasaan birokrasi. Pengusaha jenis ini banyak mendapatkan kegiatan ekonomi dari tendertender proyek pemerintah dan fasilitas khusus (monopoli, tata niaga dan konsesi) yang diperoleh dari aktivitas lobi. Akibat ketergantungannya yang amat tinggi dari sang patron, biasanya bila posisi kekuasaan sang patron sedang melorot maka bisnis mereka pun ikut surut. 1.6.2 Kawasan BOPUNJUR di Era Otonomi Daerah Desentralisasi ekonomi dan politik yang dijalankan hampir 3 (tiga) dasawarsa telah mengubah wajah Indonesia dalam banyak hal. Salah satu yang paling mencolok adalah partisipasi langsung rakyat dalam memilih pemimpin pemerintahan secara langsung (pusat dan daerah). Dalam perspektif politik, proses ini sangat bermakna karena setiap suara rakyat dipertimbangkan dalam penentuan pemimpin 6
Kunio Yoshihara. Opcit.
7
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 7
6/22/2010 6:23:33 PM
Pendahuluan
pemerintahan. Namun, dalam sudut pandang ekonomi masalahnya tidak sesederhana itu. Asumsinya, dalam pemilihan kepala daerah misalnya, nyaris tidak memungkinkan dihindari kolusi antara kepentingan kandidat dan pemilik modal. Para kontestan membutuhkan pemilik modal sebagai kasir kegiatan kampanye dan lobi. Sebaliknya, pemilik modal perlu menyetor uang kepada kandidat agar masa depan bisnisnya ada yang menjamin. Jika kandidat tersebut menang, maka dipastikan sumber daya ekonomi negara akan diberikan kepada si “cukong”, baik dalam wujud proyek pemerintah maupun kebijakan khusus7. Dengan deskripsi tersebut, oligarki ekonomi saat ini menjadi semakin meluas tidak sekadar pejabat pemerintah, anak-anak, dan kroninya melakukan praktik bisnis dengan memanfaatkan kekuasaannya. Lebih dari itu, oligarki ekonomi bisa keluar dari sayap lain: pengusaha pencari rente yang membiayai ongkos politik pejabat dengan imbalan kebijakan (proyek) ekonomi8. Jika oligarki yang pertama lebih mudah diidentifikasi, maka oligarki yang kedua sulit dilacak. Inilah yang menyebabkan tender jalan tol, misalnya, tetap dimenangkan kepada pengusaha (dan penguasa) yang jelas-jelas korporasinya terlibat malpraktek (kasus lumpur LAPINDO). Kasus dana Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sekurangnya memberi inspirasi bagi penyelenggara republik ini, bahwa soalnya bukan sekadar melakukan transparansi proses pengambilan kebijakan dan mendesain regulasi yang bisa menghambat praktik ‘perselingkuhan’ tersebut, tetapi yang lebih penting adalah melakukan detoksifikasi birokrasi dari para pemburu rente. 7
Syarif Hidayat dan Hari Susanto, eds., Bisnis dan Politik di Tingkat Lokal: Pengusaha, Penguasa dan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Pasca PILKADA, Jakarta, P2E-LIPI, 2007. 8 Dalam kasus di Bopunjuur, wawancara dengan tokoh formal seperti Staf Dinas Tarkim (Penataan Ruang dan Pemukiman) Kabupaten Cianjur yang menyatakan bahwa telah terjadi koluisi antara pajabat daerah dan pemilik modal dalam pembangunan vila, perumahan mewah, dan pemukiman lainnya di kabupaten Cianjur yang merupakan Kawasan BOPUNJUR.
8
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 8
6/22/2010 6:23:33 PM
Pendahuluan
Pemburu rente (rent-seekers) didefinisikan sebagai perilaku pengusaha yang memperoleh keuntungan dengan sama sekali tidak berkontribusi bagi pe-ningkatan produktivitas perekonomian, akan tetapi justru menimbulkan tambahan kerugian pada masyarakat. Di Indonesia, perilaku ini dikenal sebagai penyumbang terbaik bagi apa yang disebut high-cost economy. Perilaku ini cenderung terjadi pada mereka yang memegang kendali struktur monopoli.
1.6.3 Pembangunan BOPUNJUR dan Kapitalis Di sektor ekonomi, para pemilik modal (kapitalis) memonopoli sumber daya, distribusi dan pasar sementara di sektor publik menjadi pengontrol kebijakan pemerintahan maupun legislatif. Kunio9 menyebut perilaku ini tidak mungkin berkembang bila tidak terjadi kerjasama saling menguntungkan antara pemburu rente di sektor ekonomi dan kaum predator pembuat kebijakan di sektor publik. Fenomena ini disebutnya sebagai ersatz capitalism atau pseudocapitalism (kapitalisme semu) suatu terminologi ekonomi-politik yang terlihat maju dalam jangka pendek tetapi rentan dalam jangka panjang. Lebih jauh, Mcvey10 menjelaskan kapitalisme semu itu telah mewujud di banyak negara Asia Tenggara dalam bentuk kerjasama saling menguntungkan antara para pengusaha yang menyediakan modal domestik dan asing dengan pejabat yang menyediakan fasilitas, insentif dan proteksi. Pengusaha memperoleh keuntungan berupa murahnya sumber daya, mudahnya akses atas informasi dan opportunity yang diperoleh melalui kebijakan yang dikeluarkan untuk itu, sementara pejabat memperoleh keuntungan dalam imbalan berupa suap, kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). 9 10
Yoshihara, ibid. Ruth Mcvey, Wujud Wirausaha Asia Tenggara, dalam Ruth McVey, ed., Kaum Kapitalis Asia Tenggara, Yayasan Obor Indonesia, 1992.
9
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 9
6/22/2010 6:23:33 PM
Pendahuluan
Di kalangan teoritisi, korupsi dipandang secara ambivalen. Ada yang menyebut korupsi melancarkan roda pembangunan (grease to development wheels) tetapi ada pula yang menyebut sebagai penghambat pembangunan (sands to development). Sebagai pelancar pembangunan, korupsi mempercepat kerja kaum birokrat, yang di Indonesia dikenal dengan sinisme humor “kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah.” Nilai korupsi dianggap sebagai harga yang harus dibayar untuk mempercepat pelayanan birokrasi, yang umumnya di atas harga pasar. Prof. Soemitro Djohohadikusumo (alm) pernah menyebut 30% anggaran negara setiap tahun bocor karena korupsi. Bila indeks Soemitro ini benar, sekitar Rp 367 triliun akan hilang bila anggaran belanja negara tahun 2009 sebesar Rp 1.222 triliun karena tindak pidana korupsi. Sebaliknya, sebagai penghambat pembangunan, korupsi menyebabkan lemahnya perlindungan hak milik dan disalokasi sumber daya ekonomi. Dengan kekuasaannya, pejabat koruptor mampu mentransfer sumber daya ekonomi negara bagi kepentingan segelintir. Transaction cost bertambah, perekonomian menjadi berbiaya tinggi. Pejabat koruptor menjadi predator yang memakan apa saja melalui kekuasaannya. Kaufmann dan Wei11 mengungkapkan bahwa korupsi yang membesar erat hubungannya dengan kebijakan yang dibuat secara multi interpretasi dan inkonsisten, yang menguntungkan sekelompok usaha, melalui bentuk proteksi atau subsidi. Ditambah dengan perilaku pejabat tidak jujur dalam memberikan informasi publik, kebijakan seperti itu telah menyebabkan government failure, atau bad governance. Ditambah pula dengan ketidak-pastian politik, pola hubungan kronis pejabat-pengusaha dan tradisi soft character lembaga politik dan pemerintahan telah menyebabkan terhambatnya pembangunan dan perbaikan ekonomi. 11
D. Kaufmann, D dan S.J. Wei, Does ‘Grease Money’ Speed up the Wheels of Commerce?, National Bureau of Economic Research Working Paper 7093, Cambridge MA, 1999.
10
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 10
6/22/2010 6:23:33 PM
Pendahuluan
Korupsi ternyata juga penyebab bertambah buruknya situasi kemiskinan dan kesenjangan sosial. Dengan bertambahnya biaya usaha, karena korupsi, semakin kecil peluang bertambahnya usaha baru, memperlambat penurunan angka pengangguran dan kemiskinan. Disamping itu, kesenjangan sosial juga bertambah besar, karena pejabat korup atau pengusaha rent seekers, memperoleh kekayaan dengan “biaya” yang seharusnya dapat diperuntukkan bagi kaum miskin. Anggaran negara yang seharusnya sampai ke kelompok miskin menjadi makin kecil jumlahnya apabila korupsi menggejala dalam suatu Negara. Untuk mengatasi itu, selayaknya dilakukan beberapa langkah untuk memberantas perilaku pemburu rente dan korupsi di Indonesia. Langkah-langkah itu haruslah dibuat terukur sehingga dapat mengurangi peluang bagi siapa saja mengembangkan perilaku pemburu rente dan korupsi, seperti antara lain12: 1) Memperkuat keterbukaan dan demokrasi, terutama dengan memperluas partisipasi masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan publik. Harus dihindari semaksimal mungkin suatu kebijakan publik, terutama yang melibatkan anggaran publik atau kebijakan yang mengenai sumber daya publik/negara, dilakukan dengan pola di “bawah meja.” Setiap keputusan-keputusan publik seperti itu harus mampu dijelaskan cost dan benefitnya. Karena itu, transparansi dalam hal ini menjadi perhatian utama. Kebebasan pers dapat menjadi alat ampuh bagi mendorong keterbukaan dan demokrasi. Kebebasan pers harus didorong untuk makin meningkatnya kualitas lembaga-lembaga pemerintahan, parlemen, partai politik serta lembaga-lembaga kemasyarakatan, seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasiorganisasi sosial lainnya. Tujuannya adalah untuk meningkatkan public accountability yang makin baik terhadap lembaga-lembaga 12
Harry Azhar Azis, Perilaku Pemburu Rente dan Korupsi, Jakarta, Baduose, 2003.
11
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 11
6/22/2010 6:23:33 PM
Pendahuluan
tersebut. Public transparency dan public accountability untuk semua kebijakan publik seharusnyalah diatur dalam aturan-aturan yang jelas, misalnya, dengan membuat undang-undang tentang itu, 2) Meningkatkan kualitas pendidikan dan kesejahteraan para penyelenggara Negara melalui reformasi birokrasi dan perbaikan sistem renumerasinya. Dengan tingkat kesejahteraan yang makin baik diharapkan para penyelenggara Negara dapat menjalankan perannya sesuai dengan tujuan-tujuan pelayanan publik yang menjadi wilayah kewenangannya. Pelayanan publik akan semakin berkualitas dan efektif bila dikelola oleh para penyelenggara yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang pekerjaannya. Disamping itu harus diperhatikan posisi-posisi pemerintahan yang berhubungan dengan pengambilan keputusan, khususnya dalam soal kegiatan belanja barang pemerintahan maupun dalam soal promosi kepegawaian yang berdasarkan merit system dan bukan berdasarkan koneksi. Bahkan untuk jabatan-jabatan tertentu check system seperti melalui mekanisme fit and proper test dan atau track record diperlukan untuk seseorang sebelum mengemban jabatan itu. Disamping itu, perbaikan sistem renumerasi yang mampu memenuhi kebutuhan hidup layak dan yang juga memperhatikan job loads dan job risks suatu jabatan publik harus menjadi bagian integral bagi perbaikan kualitas pejabat publik, 3) Mempertegas law enforcement. Penegakan hukum yang tegas, pasti dan tidak diskriminasi akan menjadi alat yang efektif dalam memberantas korupsi di Indonesia. Karena dalam beberapa survei menunjukkan para penegak hukum merupakan wilayah yang rentan atas kegiatan korupsi, pemerintah harus memberikan perhatian serius terhadap peningkatan kualitas dan kesejahteraan para penegak hukum ini,
12
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 12
6/22/2010 6:23:33 PM
Pendahuluan
4) Memperkuat ajaran agama khususnya budaya kejujuran dan kedisiplinan sehingga menjadi tradisi yang melekat dalam kehidupan dan pendidikan. Perilaku-perilaku seperti nyontek, plagiat, nyerobot antrian, berdiam diri atas ketidakadilan dan sebagainya harus makin diminimalkan. Keteladanan, khususnya kaum pemimpin dapat menjadi faktor menentukan dalam memperkuat budaya ini. Budaya agama substansial, seperti kejujuran tadi, harus lebih dapat dikembangkan dalam sistem penyelenggaraan Negara dari pada budaya agama seremonial. Inilah modal sosial yang harus terus ditumbuhkembangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, 5) Konsistensi dan kejelasan peraturan-peraturan harus makin dijadikan sebagai pedoman bagi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Peraturan-peraturan yang jelas dan konsisten akan mengurangi kemungkinan siapapun mencari keuntungan dari kewenangan yang dimilikinya untuk kepentingan pribadi. Perburuan rente ekonomi memang selalu terjadi sepanjang individu atau kelompok mengharapkan perolehan pendapatannya tanpa harus berkorban yang penuh dengan resiko. Secara gambalang, Wilkipedia memberikan pengertian perburuan rente ekonomi, renk seeking economy, sebagai berikut :
“...In economics, rent seeking occurs when an individual, organization or firm seeks to earn income by capturing economic rent through manipulation or exploitation of the economic environment, rather than by earning profits through economic transactions and the production of added wealth...” Perburuan rente pada umumnya mengimplikasikan ekstraksi nilai yang tidak terkompensasi dari hal lain tanpa memberikan kontribusi terhadap produktivitas, seperti pengawasan keuntungan tanah dan sumber-sumber alam lainnya, atau dengan meperkenalkan 13
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 13
6/22/2010 6:23:33 PM
Pendahuluan
regulasi yang ruwet dan keputusan pemerintah yang berpengaruh terhaap konsumen maupun dunia usaha. Sementara itu, terdapat sejumlah kecil masyarakat di negara-negara maju yang tidak memperoleh keuntungan, secara langsung maupun tidak langsung, melalui bentuk-bentuk perburuan rente, dimana perburuan rente secara agregasi menjadikan kerugian substansial pada masyarakat. Berbagai studi tentang perburuan rente memfokuskan pada kepentingan-kepentingan monopoli, sebagai misal regulasi pemerintah tentang kompetisi usaha secara bebas, dianggapnya diderivasi dari peraturan terdahulu sebagai praktek dari porsi produksi melalui keuntungan si pemilik atau pengawasan terhadap lahan. Pengertian perburuan rente selalu digunakan sebagai label terhadap proteksi terhadap tarif atau bentuk lobi untuk memperluas ruang lingkup hak paten sesuatu. Sementara itu, bentuk perburuan rente lainnya dikaitkan dengan bentuk-bentuk redistribusi kesejahteraan, sebagai misal, penggeseran pajak pemerintah maupun alokasi pengeluaran pemerintah. Fenomena perburuan rente awalnya diidentifikasikan dalam kaitannya dengan monopoli oleh Gordon Tullock di tahun 196713. Sementara itu, pengkajian perburuan rente telah dilakukan oleh Anne Krueger pada tahun 197414. Kata “rente” tidaklah sama dengan pengertian pembayaran sewa, namun lebih pada definisi yang dikembangkan oleh Adam Smith sebagai divisi pendapatan terhadap laba, upah dan sewa15. Tingkah laku perburuan rente secara teori dapat dibedakan dengan tingkah laku perburuan laba, dimana seseorang mencari nilai tambah melalui transaksi-transaki yang 13
14
15
G. Tullock, The Welfare Costs of Tariffs, Monopolies, and Theft, Western Economic Journal, 5(3): 224–232, 1967. Anne Krueger, The Political Economy of the Rent-Seeking Society, American Economic Review, 64(3): 291– 303. (1974) L. R. Kelley, Rent-Seeking, Public Choice, and The Prisoner’s Dilemma, http://www.friesian. com/rent. htm
14
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 14
6/22/2010 6:23:33 PM
Pendahuluan
menguntungkan16. Kritik terhadap konsep adalah bahwa dalam kenyataannya terdapat kesulitan membedakan perburuan keuntungan dengan perburuan rente17. Pembangunan liar di Bogor, Puncak dan Cianjur (BOPUNJUR) sudah merebak sejak tahun 1980-an. Banyak orang, terutama pakar lingkungan mempersoalkannya, namun pimpinan daerah di BOPUNJUR dan Jawa Barat, baik pimpinan tingkat provinsi maupun kabupaten/kota selalu mengatakan, segala bentuk penyimpangan mengenai pembangunan kawasan BOPUNJUR akan ditindak tegas. Namun demikian, kerugian yang ditimbulkan dari aktivitas tersebut telah menghancurkan kawasan BOPUNJUR semakin besar dan menjadi "mimpi buruk" warga Ibu Kota. Bukan hanya jalan dan rumah yang tenggelam, tetapi juga semua kegiatan berhenti. Sampai Menteri Negara Lingkungan Hidup di awal milenium ketiga, Sarwono Kusumaatmadja waktu itu, mengatakan bahwa nilai kerugiannya jika dirupiahkan bisa mencapai trilyunan rupiah. Pasalnya, kerusakan gedung, jalan, kendaraan, alat-alat rumah tangga, peralatan elektronik, barang-barang berharga, tertunda atau batalnya keberangkatan penerbangan di Bandara Soekarno-Hatta dan batalnya transaksi-transaksi ekonomi penting yang nilainya sangat besar. Misalnya, kerugian PT Telkom yang mencapai milyaran rupiah akibat terendamnya sentral telepon di Jl. Gatot Subroto, serta hilangnya ribuan pulsa akibat putusnya hubungan telepon tersebut. PT Astra melaporkan, 4.000 unit mobil yang sudah siap dipasarkan, rusak berat akibat banjir karena terendam. Dengan demikian, sudah jelas bahwa peristiwa kerusakan dan kerugian miliaran hingga triliunan rupiah akibat banjir itu tidak 16 17
Robert Schenk. Rent Seeking, http://ingrimayne.saintjoe.edu/econ/government/RentSeeking.html. E.C. Pasour, “Rent Seeking: Some Conceptual Problems and Implications”, The Review of Austrian Economics. http://www.mises.org/journals/rae/pdf/rae1_1_8.pdf.
15
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 15
6/22/2010 6:23:33 PM
Pendahuluan
terlepas dari hubungan penguasa-pengusaha yang mengalihfungsikan kawasan BOPUNJUR. Pengalih-fungsian kawasan tersebut, akibat kolusi antar penguasa-pengusaha pemburu rente atau lazim disebut crony atau erzats capitalism oleh Kunio Yoshihara18. Khusus Dampak BOPUNJUR terhadap Jakarta, penelitian yang dilakukan Mustaruddin19, dalam disertasinya tentang Pengelolaan SDA dan Lingkungan di IPB yang berjudul Studi Kasus Kali Cakung Dalam di Rorortam-Marunda, Jakarta Utara terhadap 25 perusahaan industri yang membuang limbah ke Kali Cakung Dalam (anak sungai K Ciliwung) yang berjudul "Model Pengaruh Penyebaran Logam Berat Akibat Cemaran Industri pada Perairan Umum terhadap Nilai Ekonomi Air; menunjukkan bahwa penduduk memanfaatkan air Kali Cakung Dalam sebagai sumber irigasi sawah, kolam ikan, pengendali banjir, usaha peternakan itik, dan lainnya. Rembesan air atau air tanah dari Kali Cakung banyak dimanfaatkan untuk keperluan air minum dan air bersih. Selain itu, penelitian ini bertujuan pula untuk menentukan tingkat penyebaran logam berat (Hg, Cd dan Pb) akibat cemaran industri pada perairan umum dan turunannya, merancang model penyebaran logam berat pada perairan umum dan turunannya sebagai alat menduga perilaku penyebarannya dengan bertambahnya waktu, menghitung nilai ekonomis air dan perubahannya yang ada pada perairan umum. Penelitian yang memakan waktu 2 tahun (2003-2004) menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari data penyebaran logam berat dan data nilai ekonomis air yang diambil di lokasi penelitian. Data sekunder antara lain baku mutu logam berat air golongan C dan D, baku mutu logam berat air tawar, curah hujan dan sebagainya yang diperoleh dari dinas terkait yang 18 19
Kunio Yosfihara, opcit, Mustaruddin, Studi Kasus Kali Cakung Dalam di Rorortam-Marunda, Jakarta Utara, Bogor, 2007
16
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 16
6/22/2010 6:23:33 PM
Pendahuluan
hasilnya memperlihatkan bahwa tingkat penyebaran Hg, Cd, Pb pada air Kali Cakung Dalam berturut- turut 0,0131 ppm, 0,0094 ppm, dan 0,014 ppm masih sesuai dengan baku mutu air golongan C (perikanan dan peternakan) menurut PP RI No.82 Tahun 2001 (kecuali Hg) dan usaha pertanian di mana kadar Hg dalam air kali Cakung melampui baku mutu air golongan C. Selain itu, kadar logam berat dalam air tanah sekitar Kali Cakung Dalam juga masih sesuai baku mutu air minum menurut Kepmeni Kesehatan RI No. 907/MENKES/SK/VII/2002 dan air bersih. Begitu pula kadar logam berat pada tanaman padi yang diirigasi air Kali Cakung masih sesuai baku mutu untuk tanaman hijau dan baku mutu bahan pangan. Demikian pula, kadar logam berat pada ikan tawarnya masih sesuai baku mutu bahan pangan, sehingga masih layak dikonsumsi. Meskipun demikian, berdasarkan model penyebaran Hg, Pb, dan Cd menunjukkan kecenderungan peningkatan kadar ketiga logam itu secara signifikan setiap periode enam bulan kedua dan dalam waktu 50 tahun sudah tidak bisa digunakan lagi baik air maupun ikan untuk dikonsumsi. Namun demikian, model perubahan nilai ekonomi air hasil penelitiannya menunjukkan beberapa prediksi ke depan. Pada periode tahun 2003-2010 nilai ekonomis air menurun akibat keracunan krustasea oleh Hg air kali. Lalu, tahun 2010 nilai ekonomis air menurun drastis akibat kadar Cd air tanah melebihi baku mutu Hg air bersih. Tahun 2028 nilai ekonomi air kembali menurun drastis akibat kadar Hg air kali melebihi baku mutu Hg air pertanian. Puncaknya pada tahun 2032 akibat terjadinya pedangkalan kali sehingga sangat berpengaruh terhadap Hg, Cd dan Pb oleh padatan yang meningkat secara eksponensial sehingga pemerintah mewajibkan industri untuk melakukan pengolahan limbah secara teknik pengolahan
17
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 17
6/22/2010 6:23:33 PM
Pendahuluan
aerobik sebelum dibuang ke perairan, mengintensifkan program kali bersih, serta pembersihan kali yang semula 2 tahun menjadi 1 tahun sekali, khususnya pembersihan sampah, lumpur, dan kotoran padat tersuspensi lain. Selain itu, pengawasan secara efektif usaha perikanan budidaya dan peternakan itik di mana pemerintah perlu melakukan upaya konservasi biota, terutama jenis krustasea, dalam rangka menjaga keberadaan ekosistem perairan umum tersebut,. Sementara studi yang dilakukan Maryono20, dalam thesisnya ”Regional and City Planning, ITB menunjukkan bahwa kawasan perkotaan Rancaekek, salah satu kawasan kota di pinggiran Bandung Metropolitan Area (BMA) yang direncanakan sebagai pusat pertumbuhan. Untuk mempercepat pertumbuhan, pemerintah mengembangkan kegiatan industri. Pada akhir dekade 1980an dan awal 90an perkembangan industri di kawasan ini berlangsung secara pesat. Hal ini disebabkan adanya dukungan kebijakan makro ekonomi nasional pada waktu itu (Pakto 88), dan potensi keruangan kawasan. Sehingga banyak menarik minat investor. Namun tuntutan penawaran-permintaan pe-ngembangan kegiatan industri tersebut, belum diikuti oleh kebijakan pengelolaan lingkungan yang memadai. Kebijakan pemerintah Kabupaten Sumedang yang memperbolehkan S. Cikijing sebagai badan penerima limbah cair industri (golongan D), belum disertai dengan kebijakan pengelolaan sungai yang kooperatif, mengingat Pemerintah Kabupaten Bandung sebelumnya telah mengalokasikan pemanfaatan S. Cikijing sebagai sumber irigasi kegiatan perikanan-pertanian masyarakat di hilir sungai (golongan C). Penentuan tingkat baku mutu tersebut menyebabkan kasus pencemaran S. Cikijing sulit menemukan titik temu. Diawali oleh dugaan bahwa trade off biaya-manfaat implementasi baku mutu sungai yang terjadi tidak hanya antara masyarakat di hilir dan 20
Maryoto, Regional and City Planning, ITB, Bandung, 2006
18
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 18
6/22/2010 6:23:33 PM
Pendahuluan
pengusaha industri, tetapi juga antar pemerintah yang menunjukkan adanya pemikiran untuk melakukan valuasi distribusi biaya-manfaat atas kegiatan industri yang memanfaatkan S. Cikijing sebagai badan penerima limbah cair. Studi ini dapat menunjukkan trade off tersebut pada kelompok yang terlibat (masyarakat, pengusaha industri dan pemerintah) dalam suatu neraca biaya-manfaat. Studi ini mengusulkan penyelesaian kasus pencemaran S. Cikijing dari segi pembiayaan dengan menggunakan sistem arbitrase. Studi ini juga menemukan adanya ketimpangan manfaat fiskal kegiatan industri yang diterima pemerintah (Pusat, Propinsi dan Kabupaten). Penemuan tersebut diharapkan bermanfaat untuk masa mendatang khususnya dalam penentuan “baku mutu” lingkungan. Jika dalam prosesnya melalui “negosiasi” diantara para stakeholders diharapkan akan tercipta kualitas lingkungan yang mampu mendukun
19
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 19
6/22/2010 6:23:33 PM
Pendahuluan
20
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 20
6/22/2010 6:23:34 PM
Potret BOPUNJUR
BAB 2 POTRET BOPUNJUR
2.1 Gambaran Umum Kawasan BOPUNJUR Kawasan Bogor, Puncak dan Cianjur (BOPUNJUR) yang dahulu disebut Puncak, sudah ada pada zaman penjajahan Belanda dan ramai dikunjungi serta penataan ruangnya sudah dilakukan pemerintah Republik Indonesia pada akhir tahun 1960-an, melalui Peraturan Presiden Nomor 3 tahun 1963 tentang Penertiban Pembangunan Baru Sepanjang Jalan Jakarta-Bogor-Cianjur (Perpres 3/1963). Kenyataan ini menunjukkan perhatian pemerintah yang sangat besar terhadap peran dan fungsi kawasan Puncak. Perkembangan ini sekaligus menunjukkan keberadaan Puncak yang sangat strategis, baik dari segi keindahan alam, iklim yang sejuk maupun sebagai perlintasan regional yang menghubungkan wilayah Barat Jawa Barat dan Jakarta atau lintasan Bandung–Jakarta1. Namun kini, kerusakan BOPUNJUR sudah cukup memprihatinkan karena maraknya pembangunan pisik pemukiman maupun perhotelan di kawasan tersebut. Akibatnya biaya (cost) lingkungan yang harus ditanggung pemerintah bersama masyarakat sehubungan dengan pembangunan kawasan BOPUNJUR yang kurang memperhatikan lingkungan adalah sangat besar. Namun sayangnya biaya yang sangat besar ini sulit dihitung secara kuantitatif. Pesatnya laju pembangunan kawasan BOPUNJUR di satu sisi, menjadi motor penggerak ekonomi kawasan itu, namun di sisi lain, 1
Sejak dibukanya jalur tol CIPULARANG (Cipulir-Padalarang) pada tahun 2007, tingkat kepadatan lalulintas Jakarta-Bandung atau Bandung-Jakarta melalu puncak menjadi relatif berkurang.
21
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 21
6/22/2010 6:23:34 PM
Potret Bopunjur
tingkat kebutuhan lahan untuk budidaya juga meningkat2. Tuntutan terhadap lahan bagi kegiatan pembangunan sektor pemukiman, industri, jasa perdagangan, pertanian dan lainnya pada akhirnya mengarah pada lahan non-budidaya atau kawasan lindung/konservasi. Ketidak-sesuaian antara pemanfaatan lahan, baik pada kawasan budidaya maupun kawasan lindung terhadap kondisi fisik di lapangan menyebabkan terjadinya penyimpangan peruntukan lahan yang berujung pada turunnya fungsi lahan tersebut. Menurunnya fungsi lahan dari aspek geologis dan ekologis, pada gilirannya, sering berdampak negatif yaitu terjadinya kerusakan berbagai lahan seperti erosi, banjir, tanah longsor dan sebagainya (Lampiran 3 Peta Tematik 3). Kawasan BOPUNJUR (lihat Lampiran 3 : Peta Tematik 4), kini ditambah dengan Depok dan Tangerang (JABODETABEKPUNJUR) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 114 tahun 1999 (Keppres 114/1999), padahal kawasan BOPUNJUR sejatinya meliputi 22 kecamatan yaitu : A. 14 kecamatan di Kabupaten Bogor yaitu, Ciawi, Cibinong, Citeureup, Gunung Putri, Sukaraja, Parung, Kemang, Gunung Sindur, Cisarua, Megamendung, Bojonggede, Ciseeng, Babakan Madang dan Ranca Bungur, B. 3 kecamatan di Kabupaten Cianjur yaitu, Cigenang, Pacet, dan Sukaresmi, C. 3 kecamatan di Kota Depok yaitu Cimanggis, Sawangan dan Limo, serta D. 2 kecamatan di Kabupaten Tanggerang yaitu, Ciputat dan Pamulang Total luas kawasan BOPUNJUR mencapai 52.470 Ha, yang terbagi atas kabupaten Bogor seluas 24.549 Ha dan kabupaten Cianjur 27.921 2
Peningkatan kebutuhan lahan pertanian menyebabkan tuntutan peningkatan produksi akibat terjadinya kenaikan permintaan. Selain itu, kenaikan permintaan produksi pertanian tersebut disebabkan juga oleh kenaikan permintaan penduduk ataupun kenaikan diversifikasi konsumsi penduduk.
22
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 22
6/22/2010 6:23:34 PM
Potret BOPUNJUR
Ha. Kawasan BOPUNJUR selain dibatasi oleh batasan administratif pemerintahan daerah, juga dibatasi daerah aliran sungai (DAS) yang antara lain termasuk 4 DAS, yaitu sungai Ciliwung, sungai Cisadane, sungai Cidurian dan Kali Bekasi.
2.2 Perubahan Tata Guna Lahan Cakupan BOPUNJUR adalah kawasan yang meliputi tiga daerah aliran sungai (DAS) utama, yaitu DAS Ciliwung, Cisadane, dan Bekasi, yang memiliki luas area keseluruhan sekitar 2.027 km2 dengan curah hujan berkisar antara 1.500-4.000 milimeter (mm) per tahun (lihat Lampiran 3 : Peta Tematik 5 dan 6). Hulu Sungai Ciliwung berada di kawasan Puncak dan mengalir sepanjang 119 km dengan debit ratarata bulanan 882 m3 per detik (di Manggarai) ke arah Muara Jakarta3. Sejumlah sungai lain yang berhulu di kawasan BOPUNJUR, selain Sungai Ciliwung, Cisadane, dan Bekasi tetapi juga sungai Citarum, sungai Cakung, sungai Pesanggrahan dan anak-anaknya. Meskipun konsep keterpaduan sudah lama ada, menurut Pusat Penelitian Biologi LIPI4, DAS Ciliwung sendiri tercatat telah mengalami banyak perubahan sejak tahun 1990, 1996, dan 2004. Pada tahun 1990, dimana penggunaan lahan DAS Ciliwung terbesar untuk tegalan (ladang), yaitu 103,47 km2, disusul kebun 69,56 km2, hutan 53,93 km2, sawah 51,37 km2, dan permukiman 41,10 km2. Pada tahun 1996, luas masing-masing jenis penggunaan lahan tersebut berubah di mana luas permukiman mengalami peningkatan yang besar, yaitu dari 45,1 km2 menjadi 115.91 km2, dan terakhir pada tahun 2004 telah meningkat lagi menjadi 128,34 km2. Sementara jenis penggunaan lahan yang lain cenderung menurun5. 3
BPS dan Bappeda Kabupaten Bogor, Bogor Dalam Angka 2003, Bogor, 2004 M. Noerdjito, Ibnu Maryanto dan Rosichon Ubaidillah, Manajemen Bioregional : Atlas Tematik JABODETABEK yang Dilengkapi dengan Peta Rekomendasi, Peta Dasar dan Peta Akibat Dinamika Manusia, Bogor, Pusat Penelitian Biologi LIPI. 5 Opcit BPS Kabupaten Bogor 4
23
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 23
6/22/2010 6:23:34 PM
Potret Bopunjur
Di lain pihak, perkembangan luas sawah, tegalan dan kebun masing-masing cenderung menyempit dalam kurun waktu 1990, 1996 dan 2004 – yakni menjadi 10,5 km2, 73 km2, dan 66,9 km2 selama kurun waktu tersebut. Sementara itu, di hulu DAS Ciliwung saja daerah permukiman dalam kurun waktu enam tahun (1990-1996) meningkat dari 6,25 km2 (1990) menjadi 19,26 km2 (1996) dan pada tahun 2004 meningkat kembali menjadi 26,61 km2. Dengan demikian, dalam waktu 10 tahun, area penyerapan air di Jabodetabek telah menyusut sekitar 50 persen sehingga sebagian besar air hujan tidak terserap ke tanah, melainkan mengalir di permukaan yang menyebabkan banjir. Padahal sepuluh tahun lalu di seluruh Jabodetaabek, terdapat sekitar 21 situ6, namun saat ini jumlahnya tinggal 15 buah dengan ukuran yang lebih kecil. Padahal fungsi situ, pada dasarnya, untuk memperlambat waktu aliran permukaan dan mengurangi kemungkinan banjir. Di DAS Ciliwung, tercatat ada 8 situ yang total luas permukaan airnya 66,26 Ha dengan volume kapasitas tampung 1,49 juta m3, dan total tangkapan air sekitar 24,58 km2. Total daerah tangkapan air situ sekitar 7,5% dari total daerah tangkapan DAS Ciliwung yang luasnya 325,8 km2. Sementara itu, Situ Cikaret, situ terbesar di DAS Ciliwung telah turun debit puncak hidrograf, yaitu sebesar 60%, yakni dari 9 m3 menjadi 3,6 m3 per detik, dan memperpanjang waktu mencapai puncak hidrograf, dari 6 jam menjadi 7,5 jam. Berubahnya situ-situ di bagian hulu DAS di BOPUNJUR menjadi real estat, hotel/vila, atau tempat hiburan sangat merugikan Jakarta dan sekitarnya karena BOPUNJUR tdak bisa lagi menyerap tadah hujan, melainkan meluncur begitu saja masuk ke DAS yang hilirnya menggenangi kota Jakarta. Padahal, kondisi lahan resapan air di Jakarta juga sudah hilang dan berganti menjadi hutan beton (gedung perkantoran, pabrik, mal dan perumahan elite) tanpa disertai drainase yang memadai. 6
Danau buatan untuk menampung curahan hujan.
24
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 24
6/22/2010 6:23:34 PM
Potret BOPUNJUR
Sebagai contoh, akibat banjir tahun 2002, sekitar 25% atau 16 ribu Ha wilayah Jakarta tergenang hingga beberapa hari, ruas-ruas jalan utama Jabodetabek terputus, termasuk ruas jalan kereta api. Selain itu, sekitar 7.000 satuan sambungan telepon terganggu, sekitar 1.570 gardu listrik terganggu yang menyebabkan listrik padam, dan terhentinya pengoperasian PLTU Muara Karang. Pada tahun 2007, wilayah yang tergenang air bertambah menjadi 60-70%, dengan hari tergenang lebih lama lagi yang mengakibatkan pengungsi semakin banyak, jalan-jalan tidak bisa dilalui dan perekonomian lumpuh. Bukan saja listrik yang dipadamkan, tetapi pelayanan air bersih juga dihentikan7. Dengan demikian, peristiwa banjir yang terjadi di Jakarta tersebut sangat terkait dengan semakin pesatnya perubahan fungsi lahan di BOPUNJUR. Meskipun demikian, perkembangan peruntukan lahan yang terus berubah tak ada kaitannya dengan ketiadaan peraturan. Terdapat beberapa peraturan seperti PP 13/1963, Keppres 48/1983, Keppres 47/1997, dan Keppres 114/1999, ditambah dengan sejumlah peraturan daerah (Perda) dan peraturan-peraturan lainnya. Peraturan-peraturan itu sudah meliputi rencana tata ruang wilayah yang harus dipatuhi, ruang terbuka hijau, daerah resapan air, hingga pembebasan tanah bagi pembangunan banjir kanal timur (BKT) yang sudah direncanakan sejak tahun 1930, namun baru terealisasi tahun 2009, dan inipun baru selesai sekitar 80% saja. Selain banjir, penurunan luasan lahan pertanian bahan makanan, melainkan juga lahan perkebunan dan kehutanan terjadi di BOPUNJUR, terutama di kabupaten Bogor dan kabupaten Cianjur (lihat Lampiran 3 : Peta Tematik 7). Konversi lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah praktek pembangunan yang kerap sekali terjadi8. 7 8
http://www2.kompas.com Di Pulau Jawa saja misalnya, hutan lindungnya telah terkonversi dengan laju sebesar 19.000 Ha/tahun (BPS,2001).
25
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 25
6/22/2010 6:23:34 PM
Potret Bopunjur
Badan Planologi Kehutanan menyebutkan bahwa hingga tahun 2001, penjarahan hutan di Jawa telah mencapai 350.000 Ha sehingga luas hutan tersisa hanya 23 persen saja dari luas daratan Pulau Jawa. Selain itu, terjadi konversi lahan pertanian untuk penggunaan nonpertanian seperti untuk industri, permukiman dan jasa di pulau Jawa yang mencapai 1.002.005 Ha atau 50.100 Ha/tahun antara 1979– 19999. Contoh lainnya adalah penurunan luas kawasan resapan air pada pulau-pulau besar yang signifikan. Hutan tropis, misalnya, sebagai kawasan resapan air telah berkurang luasannya akibat kebakaran dan penjarahan/penggundulan. Data yang dihimpun dari The Georgetown–International Environmental Law Review (1999) menunjukkan bahwa antara tahun 1997–1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta Ha hutan terbakar di pulau Sumatera dan pulau Kalimantan. Bahkan World Wild Forest (WWF, 2000) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni antara 2 hingga 3,5 juta Ha pada periode yang sama. Dengan kerusakan hutan yang mempunyai fungsi ekologi, produksi dan sosial tersebut maka diharapkan akan menimbulkan run-off yang besar, mengganggu siklus hidrologis, memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang, serta meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada kawasan pesisir.
2.3 Gambaran Makro BOPUNJUR: Daya Dukung Ekologis Selain banjir, daya dukung BOPUNJUR secara makro, bisa menjelaskan tentang cost atau kerugian yang dialami BOPUNJUR Akibat pembangunan yang tak terkendali. Kawasan BOPUNJUR hanya 9
Wawancara langsung dengan Kepala Bappeda Kabupaten Bogor dan Staf Dinas Tarkim Kabupaten Cianjur menggambarkan bahwa skala peta land use umumnya 1:1000.000 sehingga sulit untuk diketahui secara rinci daerah-daerah yang diberi warna dalam land-use tersebut. Diinformasikan pula bahwa peta land-use tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan sebenarnya (existing condition) karena sudah banyak yang berubah peruntukan dan land use sendiri dibuat pada akhir Pemerintahan Orde Baru.
26
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 26
6/22/2010 6:23:34 PM
Potret BOPUNJUR
meliputi 2 (dua) kabupaten yaitu kabupaten Bogor dan kabupaten Cianjur. Menurut Kajian Makro Daya Dukung Ekologis Wilayah BOPUNJUR Kawasan Hutan Perum Perhutani (2002) menunjukkan bahwa penetapan kawasan BOPUNJUR melalui Keppres 114/1999 sebagai daerah konservasi tanah dan air dimaksudkan sebagai upaya pemerintah untuk meningkatkan daya dukung ekologis kawasan BOPUNJUR sebagai daerah penyangga ibukota dan daerah sekitarnya (Bodetabek)10. Sementara itu, kawasan hutan Perum Perhutani yang berada di kawasan BOPUNJUR seluas 12.370 Ha terletak di KPH Bogor 9.257 Ha dan KPH Cianjur 3.113 Ha. Guna mendukung upaya perbaikan dan peningkatan kualitas sumber daya hutan (SDH) kawasan tersebut, dilakukan kajian untuk mengetahui kondisi daya dukung ekologis (carrying capacity) dan lebih lanjut untuk dijadikan sebagai rekomendasi tindakan pengelolaan dalam upaya peningkatan daya dukung ekologisnya. Metode pendekatan kajian mengacu pada SK Dirjen RRL 041/Kpts/ V/98 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tidak Lanjut Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (PP RTL-RLKT) dimana daya dukung ekologis itu didasarkan pada tingkat kekritisan lahan yang dihitung dari indikator (1) tingkat bahaya erosi, (2) fungsi hidroorologis dan (3) interaksi masyarakat, lihat Tabel 2.2 berikut ini.
10
http://www.sphbogor.perumperhutani.com
27
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 27
6/22/2010 6:23:34 PM
Potret Bopunjur
Tabel 2.1 Hasil perhitungan Tingkat Bahaya Erosi (Ha) Kelas Tingkat Bahaya Erosi
Luas Hutan Perum Perhutani di BOPUNJUR (Ha) DAS Kali Bekasi
Sangat Ringan
DAS Ciliwung
58
DAS Citarum
165
Jumlah
490
713
Ringan
389
674
907
1.970
Sedang
487
437
857
1.781
Berat
1.006
483
1.106
2.595
Sangat Berat
2.873
219
2.219
5.311
Sumber: Diolah dari http://www.sphbogor.perumperhutani.com
Berdasarkan pendekatan penutupan lahan kawasan yang berfungsi hidro-orologis dan yang tidak berfungsi hidroorologis adalah indikator tingkat bahaya erosi, penutupan lahan dan interaksi tekanan penduduk, sebaran daerah tingkat kekritisan kawasan hutan Perum Perhutani adalah sebagai berikut, lihat Tabel 3. berikut, Tabel 2.2 Luas Lahan menurut Lokasi DAS dan Penutupan Lahan (Ha) No
DAS
1 2 3
Kali Ciliwung Kali Bekasi Sungai Citarum
KPH/ BKPH
Luas
Berfungsi Hidroorologis/ Konservasi
Kurang Berfungsi Hidroorologis/ Jumlah Konservasi
Bogor Bogor Bogor Cianjur Jumlah
1.958 4.828 2.461 3.113 5.574
1.725 2.701 1.837 2.625 4.462
243 2.127 624 488 1.112
1.948 4.828 2.461 3.113 5.574
Total
8.888
3.482
3.482
12.271
Sumber: http://www.sphbogor.perumperhutani.com
28
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 28
6/22/2010 6:23:34 PM
Pilihan Ekonomi dan Konservasi Alam
BAB 3 PILIHAN EKONOMI DAN KONSERVASI ALAM
3.1 Pendahuluan Keindahan alam kawasan Bopunujur yang berhawa sejuk telah menghantarkan kawasan ini menjadi primadona wisatawan domestik maupun mancanegara untuk berkunjung, bahkan kawasan ini telah menarik banyak investor untuk menginvestasikan modalnya membangun sarana penunjang seperti hotel, restoran dan lainnya. Namun, jika ditelusuri kawasan BOPUNJUR mulai dari kawasan Gadog hingga perbatasan wilayah kabupaten Bogor, akan terasa sekali bedanya dibandingkan sebelum tahun 1990-an dimana BOPUNJUR kini telah banyak berubah. Perubahan tata ruang BOPUNJUR adalah akibat munculnya sejumlah investor yang dengan cepat membeli dan mengambil alih lahan petani untuk dibangun villa mewah. Selain itu para pengembang (developer) juga semakin berlomba-lomba untuk membangun perumahan elit, sehingga makin mempersempit lahan yang digunakan untuk resapan air. Dengan demikian perkembangan pembangunan yang semakin cepat dan beranekaragam menyebabkan semakin tingginya intensitas pemanfaatan lahan. Namun sayangnya lahanlahan yang dimanfaatkan adalah lahan yang seharusnya berfungsi sebagai daerah resapan. Akibatnya jelas berdampak pada lahan-lahan yang berada di hilir yang mengalami kekeringan di musim kemarau dan kebanjiran di musim hujan. Selain itu perubahan tata guna lahan dan perdagangan flora dan fauna di kawasan BOPUNJUR juga telah mengancam keberadaan flora dan fauna diwilayah ini.
29
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 29
6/22/2010 6:23:34 PM
Pilihan Ekonomi dan Konservasi Alam
Padahal fungsi utama dari kawasan BOPUNJUR ini adalah sebagai daerah resapan/tangkapan air (catchment area), yang diperkuat oleh Keputusan Presiden yakni Keppres No.48 tahun 1983, Keppres No.79 tahun 1985, dan Keppres No.114 tahun 1999. Isi/tujuan dari semua Keppres tersebut secara umum adalah dibutuhkannya penanganan khusus untuk penataan ruang Kawasan BOPUNJUR, mengingat fungsinya sebagai daerah konservasi air yang semakin hari kurang berfungsi sebagaimana mestinya (Baiquni,2002:92-94). Dengan demikian BOPUNJUR yang dikenal luas sebagai kawasan pariwisata, namun di sisi lain ditetapkan juga sebagai daerah konservasi alam. Tentu, persoalan ini memunculkan dilema antara orientasi ekonomi dan kepentingan konservasi alam tersebut.
3.2 Problem Alih Fungsi Lahan Dengan kondisi alam yang menarik untuk menjadi kawasan wisata maka alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan pariwisata di wilayah BOPUNJUR adalah suatu konsekwensi logis. Di satu pihak, pemilik lahan tertarik melepas tanahnya karena harga jual yang cukup tinggi, di lain pihak para investor dan spekulan tanah sangat membutuhkan sebidang tanah yang posisinya strategis untuk penunjang kegiatan bisnis pariwisata. Pengalihan fungsi lahan pada suatu daerah sesungguhnya dapat menimbulkan perubahan sosial. Soekanto1 mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat dapat menyangkut nilai-nilai sosial, norma sosial, pola perilaku organisasi, struktur kelembagaan, kekuasaan dan wewenang, pola interaksi dan sebagainya. Sementara Redfield2 mengungkapkan bahwa terjadinya transformasi struk-tural pada masyarakat tani di pedesaan tidak terlepas dari beralihnya fungsi lahan, baik pengalihan yang bersifat vertikal maupun pengalihan yang bersifat 1 2
S. Soekanto, Sosiologi Pedesaan. Jakarta, Penerbit Rajawali, 1990. R. Redfield, Masyarakat Tani dan Kebudayaan, Jakarta, Penerbit Rajawali, 1986
30
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 30
6/22/2010 6:23:34 PM
Pilihan Ekonomi dan Konservasi Alam
horizontal. Alih fungsi lahan (konversi) diartikan sebagai beralihnya bentuk penggunaan atas sebidang tanah tertentu. Pengalihan tersebut dapat berbentuk horizontal, artinya sebidang tanah masih diusahakan dengan kegiatan usaha tani namun komoditi utamanya berubah. Sedangkan alih fungsi lahan secara vertikal dapat diartikan berubahnya fungsi suatu lahan pertanian menjadi peruntukan lain seperti menjadi bangunan dimana orang tidak bisa lagi melangsungkan kegiatan usaha taninya secara permanen3. Sementara itu, transformasi struktural dapat menyangkut pola penguasaan lahan, diferensiasi penguasaan lahan, sistem penguasaan lahan, tingkat penerapan teknologi, orientasi petani, pola pengambilan keputusan, gaya hidup dan sebagainya. Perubahan struktural dan kultural yang terjadi dapat berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini tergantung pada latar belakang sosial ekonomi masyarakat yang akan menentukan responnya terhadap perubahan yang berlangsung. Sebelum menjadi daerah wisata yang marak seperti sekarang ini, masyarakat BOPUNJUR bekerja di sektor pertanian dan perkebunan. Untuk pertanian tanaman pangan sebagian besar masih bersifat subsisten. Artinya orientasi sebagian besar petani adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Hal ini disebabkan pola penguasaan lahan yang sebagian besar merupakan petani penggarap. Di lain pihak, dengan terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan wisata memungkinkan terjadinya beberapa perubahan antara lain, 1.
3
Petani pemilik lahan yang menerima uang hasil penjualan lahan akan menggunakan uangnya untuk kebutuhan lain selain investasi di sektor pertanian,
Banoewidjojo. Pembangunan Pertanian, Surabaya,Penerbit Usaha Nasional, 1985
31
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 31
6/22/2010 6:23:34 PM
Pilihan Ekonomi dan Konservasi Alam
2.
Petani pemilik yang masih berinvestasi pada lahan pertanian akan mencari lahan di daerah lain sehingga corak usaha tani yang dikembangkan cenderung berubah,
3.
Petani penggarap yang kehilangan garapannya akan me-masuki lapangan kerja lain sesuai kemampuannya, Petani penggarap tetap dalam kegiatan usaha tani di daerah lain tetapi dengan jenis budidaya lain, dan Adanya budaya asing yang masuk akibat kegiatan pariwisata.
4. 5.
Dari hasil wawancara dengan narasumber di daerah penelitian terungkap bahwa berbagai pola kehidupan terjadi akibat alih fungsi lahan. Pertama, bagi pemilik tanah yang menjual tanahnya kepada pengembang atau spekulan tanah mereka akan dipercaya untuk ikut mengelola lahan-lahan yang telah dibebaskan tersebut untuk berbagai keperluan atau peruntukan. Kedua, pemilik tanah tetap menggeluti pekerjaan di sektor pertanian dengan membeli lahan di luar kawasan wisata BOPUNJUR. Akibatnya jenis usaha/tanaman yang dibudidayakan akan berbeda. Ketiga, bagi para penggarap, mereka ada yang masih berprofesi sebagai petani penggarap dengan konsekwensi mencari lahan pekerjaan di luar BOPUNJUR, atau beralih profesi menjadi buruh bangunan di lahan-lahan pengembang. Mereka yang termasuk kelompok ini apabila tidak ada pekerjaan di kawasan BOPUNJUR, berurbanisasi ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Ada pula mereka yang tetap tinggal di BOPUNJUR dengan mengandalkan sektor perdagangan sebagai andalan hidupnya, yaitu sebagai pedagang asongan. Hal itu senada dengan pendapat Spiellane4 yang menyatakan bahwa pengalihan fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi kawasan wisata mempunyai dampak sosial dan ekonomi. Perubahan sosial yang terjadi antara lain kesempatan kerja dan berusaha, pola dan 4
J. Spillane, Ekonomi Pariwisata : Sejarah dan Prospeknya, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1985
32
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 32
6/22/2010 6:23:34 PM
Pilihan Ekonomi dan Konservasi Alam
gaya hidup masyarakat, tata nilai dan tingkah laku. Di sisi lain, alih fungsi lahan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi yang meliputi penambahan devisa, peningkatan pendapatan dan taraf hidup masyarakat. Dari hasil wawancara dengan narasumber di daerah penelitian terungkap bawa kegiatan pariwisata telah merubah gaya hidup masyarakat mulai dari yang anak-anak sampai dengan orangorang tua. Anak-anak yang dahulunya setiap ada kumandang azan bergegas pergi ke suaru atau masjid, sementara yang dilakukan anakanak sekarang justru di pinggir-pinggir jalan mencari rejeki dengan berbagai cara, seperti mengamen, dan berjualan. Selain itu rasa hormat terhadap orang yang lebih tua juga berkurang. Gaya hidup masyarakat juga berubah dengan pola konsumsi dan tingkah laku layaknya masyarakat kota. Karyadi5 mengungkapkan bahwa telah terjadi transformasi sektor usaha secara luas di kawasan wisata pulau Lombok. Transformasi tersebut mengarah pada perubahan sosial secara cepat. Berkaitan dengan hal ini Garcia6 memandang terjadinya transformasi dalam masyarakat disebabkan oleh tingginya respon masyarakat terhadap perubahan yang sedang berlangsung. Mengingat perubahan tersebut terkait dengan aspek struktural dan kultural maka perubahan tersebut dinilai sebagai suatu aksi yang menimbulkan respon masyarakat atas perubahan yang terjadi. Sementara Dusseldorp7 menegaskan bahwa berbagai bentuk respon masyarakat terhadap suatu aksi akan mencerminkan partisipasinya dalam proses perubahan tersebut. Alih fungsi lahan sesungguhnya merupakan reaksi awal dari para petani dan sangat mempengaruhi perilaku usahanya pada tahap selanjutnya. Hal ini disebabkan karena lahan merupakan faktor produksi utama. 5
W. Karyadi, Sikap Klien Terhadap Patron dalam Penguasaan Tanah : Kasus Pada Kawasan Lahan Marginal dan lahan Irigasi di Lombok Tengah, Bogor, Tesis Program Pasca Sarjana IPB, 1994. 6 M. B. Garcia, Manuel, B,. Sociology of Development: Perspectives and Issues, Metro Manila Philippines, 1985 7 Van Dusseldorp, Participation in Planned Development Influenced by Government of Developing Countries at Local Level in Rural Areas, Wageningen, Netherlands, 1991
33
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 33
6/22/2010 6:23:35 PM
Pilihan Ekonomi dan Konservasi Alam
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun berbagai konsekwensi baik positip maupun negatip akibat adanya alih fungsi lahan sebagai akibat pengembangan kawasan wisata terus berlanjud, maka untuk memperkecil dampak negatip dari adanya alih fungsi lahan tersebut diperlukan kearifan masyarakat untuk dapat mencegah dan menanggulanginya dengan ikut aktif dalam pengembangan ekowisata yang berbasis masyarakat.
3.3 BOPUNJUR sebagai Kawasan Wisata Dalam upaya melindungi lingkungan dari berbagai gangguan maka dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Biaya tersebut baik berupa biaya riil maupun biaya kesempatan (Otto Soemarwoto, 2001). Sebagai contoh adalah apabila kita membiarkan hutan taman nasional tanpa penebangan, dan tidak mengembangkan daerah pegunungan untuk pemukiman, maka akan kehilangan kesempatan untuk menikmati hasil kayu hutan dan pariwisata daerah pegunungan itu. Demikian pula yang terjadi di kawasan BOPUNJUR di satu sisi pariwisata telah dikembangkan dengan membangun berbagai sarana prasarana wisata seperti hotel dan restoran, akan tetapi di sisi lain konservasi alam juga harus dilakukan. Untuk itu harus ada pilihan-pilihan dalam menentukan konsep pengembangan pariwisata yang tetap mengedepankan fungsi utama BOPUNJUR yaitu sebagai kawasan konservasi, dan resapan air. Pariwisata adalah industri yang menjual lingkungan hidup fisik dan sosial budaya yang sangat potensial menjadi daya tarik wisatawan mancanegara maupun domestik. Modal dasar pariwisata bersifat terbarukan karena obyek yang dijual tidak dikonsumsi secara fisik yang berupa keindahan alam, dan keanekaragaman seni dan budaya masyarakat. Selain itu makanan khas dan cinderamata produk masyarakat lokal juga merupakan modal yang terbaharukan. Oleh karena pariwisata menjual lingkungan hidup maka sangat peka terhadap kerusakan lingkungan hidup. Untuk dapat mempertahankan 34
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 34
6/22/2010 6:23:35 PM
Pilihan Ekonomi dan Konservasi Alam
daya tarik wisata, maka obyek yang dijual haruslah dijaga mutunya. Namun sayangnya pengembangan pariwisata hanya difokuskan pada pengembangan sarana dan prasarana wisata, seperti jalan, hotel, dan restoran. Sementara obyek wisatanya sendiri kurang mendapat perhatian. Hal ini seperti yang tejadi di sepanjang jalan menuju Puncak (BOPUNJUR), pembangunan hotel dan restoran di sepanjang jalan itu telah merusak pemandangan alam dan aset wisata, karena tidak nampak lagi gunung, bukit, dan persawahan yang berteras. Selain itu, seiring dengan berkembangnya pariwisata di wilayah BOPUNJUR, jalan menjadi macet, akibatnya jelas kenyamanan berkurang, pencemaran udara dan kebisingan meningkat. Padahal kawasan BOPUNJUR sebenarnya merupakan kawasan pariwisata pegunungan dengan udara yang sejuk. Pariwisata di BOPUNJUR sangat beragam dan menyebar, mulai dari obyek wisata alam, wisata budaya, maupun kegiatan wisata lainnya, dan yang paling terkenal adalah kawasan wisata Puncak. Pariwisata di kawasan puncak ini berkembang cukup pesat. Pesatnya pembangunan sektor pariwisata tersebut juga ditandai dengan pesatnya pengembangan sarana dan prasarana penunjang, seperti hotel, restoran, auto-shop, prasarana perhubungan dan pembangunan obyek wisata baru. Pengembangan kawasan wisata beserta prasarana penunjangnya memiliki konsekwensi berupa pengalihan lahan baik sawah, perkebunan, maupun hutan menjadi kawasan wisata. Banyaknya petani yang melepas tanah pertaniannya untuk dijadikan kawasan wisata, tampaknya didorong oleh nilai jual lahan yang cukup tinggi dan terus meningkat sepanjang tahun (Namun sayangnya data perubahan luas lahan sesuai dengan tata guna lahan tidak mencerminkan adanya perubahan peruntukan yang sebenarnya, karena data dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2009 tidak menunjukkan adanya perubahan yang signifikan, hanya terjadi perpecahan data akibat pemekaran suatu daerah).
35
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 35
6/22/2010 6:23:35 PM
Pilihan Ekonomi dan Konservasi Alam
Dalam kondisi tersebut, sebagian besar petani dikawasan wisata mengalami pergeseran orientasi, yaitu dari orientasi produksi menjadi orientasi pasar (uang). Dengan semakin banyaknya kebutuhan lahan baik oleh spekulan maupun investor, maka semakin banyak petani yang melepaskan lahan pertaniannya. Dengan demikian di desa-desa sekitar kawasan wisata terjadi transformasi struktural yang berawal dari pola penguasaan lahan. Hal ini sejalan dengan pendapat Dawam Raharjo8 bahwa terjadinya transformasi di bidang pertanian dapat diawali dengan bergesernya orientasi para petani. Namun karena alih fungsi lahan tersebut terkait dengan pengembangan pariwisata yang memberi peluang masuknya budaya lain ke suatu daerah, maka dapat diduga bahwa selain transformasi struktural, pada gilirannya juga akan terjadi juga transformasi kultural. Terjadinya transformasi struktural dan kultural mencerminkan terjadinya perubahan akibat suatu pembangunan, dan merupakan perwujudan respon masyarakat terhadap proses pembangunan yang sedang berlangsung. Pembangunan yang diharapkan adalah pembangunan berencana yang menyebabkan terjadinya transformasi masyarakat ke arah yang lebih maju. Untuk itu, perlu diketahui aspek positif dan negatif dari proses transformasi masyarakat tani akibat alih fungsi lahan pertanian untuk pengembangan pariwisata baik dari sisi kultural maupun struktural. Hal ini disebabkan salah satu indikator yang sangat potensial menyebabkan kerusakan lahan adalah sektor pariwisata. Dari hasil wawancara dengan nara sumber di daerah penelitian menunjukkkan bahwa dengan makin berkembangnya sektor pariwisata di kawasan BOPUNJUR jelas membawa perubahan tingkat dan gaya hidup masyarakat. Mereka yang dahulunya petani di lahan sendiri, ada yang masih sebagai petani namun hanya sebagai penggarap di lahan orang lain dimana pemiliknya adalah bukan penduduk setempat. Ada juga mereka yang bekerja di tempat obyek-obyek wisata sebagai 8
Dawam Raharjo, Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja, Jakarta, LP3ES, 1985.
36
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 36
6/22/2010 6:23:35 PM
Pilihan Ekonomi dan Konservasi Alam
juru parkir, atau jasa lainnya, dan berdagang kebutuhan wisatawan. Dengan adanya pariwisata di daerah ini lapangan pekerjaan di luar sektor pertanian tersedia, namun hanya sebagai pekerja /buruh bukan pemilik yang mempunyai kekuatan untuk menentukan usaha sendiri. Di sisi lain, suasana ketenangan, kenyamanan, dan kerukunan diantara masyarakat berkurang. Selain itu, pesatnya kegiatan pariwisata juga menyebabkan biaya hidup penduduk lokal menjadi meningkat karena berbagai harga jual barang menjadi mahal. Padahal, pendapatan mereka tetap, bahkan menjadi berkurang. Akibatnya, terjadi kesenjangan sosial ekonomi yang sangat mencolok antara penduduk lokal dan non lokal. Dampak negatif sosial budaya, antara lain, adalah terjadinya penetrasi aneka ragam budaya asing yang kurang sesuai dan mempengaruhi kehidupan penduduk lokal. Contohnya, gaya hidup konsumtif, pergaulan seks bebas, dan minum-minuman keras. Untuk meminimalkan dampak negatif kegiatan pariwisata, maka perlu perubahan dalam konsep pengembangan pariwisata di wilayah ini. Konsep tersebut antara lain adalah ekowisata, yaitu pengembangan pariwisata dimana secara ekologis berkelanjutan, dengan meminimalkan efek negatif terhadap ekosistem; secara ekonomis, dapat menguntungkan dan dapat mensejahterakan masyarakat lokal; secara sosial dan budaya, dapat diterima, antara lain tidak menimbulkan konflik sosial dan tidak menimbulkan kerusakan budaya lokal. Dari hasil wawancara dengan nara sumber di Cianjur9 yang kebetulan waktu kecil bertempat tinggal di daerah Puncak, mengatakan bahwa memang berbeda kondisi dan situasi sekarang dengan sebelum tahun 1990-an, kegiatan sosial dan gotong royong masih marak terjadi, anak-anak tidak ada yang berkeliaran di malam hari, etika sopan santun juga dijunjung tinggi. 9
Wawancara dengsan Mbah Ibin, Kepala P4S (Penyuluhan Pertanian Swadaya Masyarakat) Kabupsten Cianjur, bulan Oktober 2009
37
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 37
6/22/2010 6:23:35 PM
Pilihan Ekonomi dan Konservasi Alam
Berikut ini data mengenai obyek wisata yang masuk wilayah BOPUNJUR. Data jumlah wisatawan hanya diperoleh pada tahun 2002, untuk tahun-tahun selanjutnya data hanya berupa obyek wisata dan jarak dari ibukota kabupaten Cianjur maupun Bogor (tidak ditampilkan). Tabel 3.1 Obyek Wisata dan Jumlah Wisatawan di Kawasan BOPUNJUR , Kabupaten Bogor, 2001
No. 1
Obyek Wisata Taman Safari Indonesia
Jumlah Wisatawan (Jiwa) 1.164.901
2
Wisata Agro Gunung Mas
69.798
3
Telaga Warna
78.544
4
Panorama Alam Riung Gunung
5
Curug Cilember
63.430
6
Taman Bunga Melrimba
42.330
Jumlah
5.480
1.424.483
Sumber: Kab. Bogor dalam angka, 2002
Tabel 3.2 Obyek wisata dan Jumlah Wisatawan di Kawasan BOPUNJUR, Kabupaten Cianjur, 2001
No.
Obyek Wisata
Jumlah Wisatawan (Jiwa)
1
Kebun Raya Cibodas
2
Istana Kepresidean Cipanas
3
T.N. Gunung Gede Pangrango
4
Wanawisata Mandalawangi
5
Makam Dalem Cikundul
394.696
6
Taman Bunga Nusantara
212.793
7
Wisata Tirta Jangari/Calincing Jumlah
510.359 7.848 56.698 26.639
17.516 1.226.549
Sumber: Dinas Pariwisata Kab. Cianjur, 2002
38
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 38
6/22/2010 6:23:35 PM
Pilihan Ekonomi dan Konservasi Alam
Tabel 3.1 dan Tabel 3.2 di atas terlihat menunjukkan bahwa dengan banyaknya wisatawan yang berkunjung ke kawasan BOPUNJUR diharapkan mampu mendorong investor dan pengembang untuk menciptakan sarana dan prasarana penunjang wisata baik berupa hotel, villa, maupun pemukiman mewah yang menyita banyak lahan budidaya, perkebunan, maupun hutan lindung.
3.4 Kawasan Konservasi Alam Meskipun kawasan dataran tinggi Bogor-Puncak-Cianjur atau BOPUNJUR, Jawa Barat, telah lama ditetapkan sebagai kawasan lindung, kenyataannya berbagai pembangunan yang tidak ramah lingkungan terus saja berlangsung di kawasan tersebut. Akibatnya, lingkungan BOPUNJUR mengalami kerusakan berat. Padahal sejak dahulu kala, kawasan pegunungan BOPUNJUR telah dikenal mempunyai peranan penting bagi kawasan konservasi. Misalnya, sejak tahun 1889 di daerah Cibodas telah dibangun Kebun Raya Cibodas10. Kawasan tersebut telah dijadikan tempat koleksi aneka ragam flora pegunungan dan bagian atasnya merupakan hutan lindung. Selain itu, pada1980 beberapa kawasan Cagar Alam Cibodas, Cagar Alam Cimungkat, Cagar Alam Gunung Gede-Pangrango, Taman Wisata Situ Gunung, dan hutan di lereng Gunung Gede-Pangrango ditetapkan pula sebagai kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango11. Sementara itu, kawasan hutan Puncak, di atas perkebunan teh, juga telah ditetapkan sebagai Cagar Alam Talagawarna12. Kawasan BOPUNJUR mempunyai arti yang sangat penting bagi perlindungan sistem hidrologi di bagian hilir BOPUNJUR, termasuk DKI Jakarta. Kawasan BOPUNJUR pada dasarnya memiliki aneka ragam obyek wisata. Contohnya, Kebun Raya dan Taman Nasional Gunung 10 11 12
http://kangsukma.blogspot.com/2009/04/membangun-pariwisata-beradab-di-kawasan.html Opcit Opcit
39
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 39
6/22/2010 6:23:35 PM
Pilihan Ekonomi dan Konservasi Alam
Pangrango Cibodas, Cagar Alam Talagawarna tempat pengamatan burung (bird watching) elang Jawa (spizaetus bartelsi), hamparan kebun teh untuk olahraga jalan kaki (tea walk), Taman Bunga Cibodas, dan Taman Safari Cisarua. Kawasan Puncak yang semula hijau kini rusak karena banyaknya bangunan permanen didirikan di lereng gunung. Sampai sekarang, tampaknya dibiarkan terus berlangsung sehingga merusak lingkungan, seperti kerusakan hutan, penurunan resapan air, erosi, bahkan sampai terjadi bencana. Kawasan yang seharusnya dilestarikan untuk kepentingan konservasi, kini telah beralih fungsi menjadi kawasan pariwisata yang sama sekali mengabaikan daya dukung dan fungsi lingkungan. Sangat banyak sekali bangunan hotel, restauran, vila-vila mewah baik yang berijin dan tidak memiliki ijin, menjadi penyebab rusaknya kawasan ini. Alih fungsi lahan, mengakibatkan daya dukung lingkungan di Puncak semakin terus mengalami penurunan. Akibatnya, kerusakan lingkungan di kawasan Puncak, memang bukan masalah baru, paling tidak berlangsung beberapa dasawarsa sebelumnya. Lahan pertanian tanaman sayuran, tebing, bukit dan gunung berubah wujud menjadi hotel-hotel mewah. Sungai-sungai mengalami penyempitan dan dangkal, karena berbagai pelanggaran pembangunan yang mengabaikan sempadan sungai terus terjadi. Kalau ditelusuri tentang kepemilikan tanah dan bangunan mewah yang ada di daerah ini, pasti yang punya atau sang pemilik bukan orang daerah sekitar. Kalau bukan orang Jakarta, Bandung, Surabaya, ada pula yang kepemilikannya orang luar negeri yang meminjam tangan orang Indonesia13. Masyarakat sekitar sudah tersingkirkan. Tanah yang diwariskan oleh para leluhurnya sudah berpindah tangan, karena berbagai tekanan ekonomi. Hingga kini diperkirakan, sedikitnya terdapat 70 13
Opcit
40
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 40
6/22/2010 6:23:35 PM
Pilihan Ekonomi dan Konservasi Alam
pengembang pembangunan perumahan mewah real estate dengan jumlah puluhan ribu unit rumah mewah dari harga puluhan juta hingga Rp1,5 miliar per unitnya14. Untuk membentengi BOPUNJUR dari kerusakan lingkungan, Pemerintah sudah menerbitkan berbagai peraturan dan perundangundangan. Presiden sendiri berulangkali menerbitkan berbagai Keppres dan Gubernur Jawa Barat menerbitkan berbagai SK gubernur tentang penyelamatan lingkungan dan perijinan. Namun, hasilnya kurang optimal. Buktinya, berbagai pelanggaran terus berlangsung di mana salah satu diantaranya diakibatkan oleh lemahnya pengawasan dari instansi terkait. Departemen Kehutanan mengungkapkan15, puluhan ribu hektar lahan di kabupaten Bogor, Puncak, dan Cianjur (BOPUNJUR) dalam kondisi kritis. Kondisi memprihatinkan itu menjadikan ancaman bahaya longsor dan banjir di daerah hilir yang semakin besar. Rusaknya lahan tersebut kebanyakan disebabkan oleh penebangan secara serampangan serta penggunaan lahan untuk bangunan, tidak lagi untuk kepentingan pengembangan persawahan serta perkebunan. Dari data yang dicatat di Departemen Kehutanan menyebutkan16, sampai sejauh ini, terdapat 83.129,66 Ha lahan kritis di daerah BOPUNJUR. Lahan-lahan yang rusak ini, sebagian di antaranya terdapat di kawasan hutan, seperti hutan lindung, dan daerah aliran sungai (DAS). Sebagian besar lahan kritis lainnya terdapat di luar wilayah hutan dan DAS, nampaknya kerusakan lahan paling luas terdapat di luar wilayah hutan. Dari hasil wawancara dengan nara sumber di Kabupaten Cianjur terungkap bahwa, kegiatan reboisasi yang dipelopori pemerintah dengan menanam pohon kekayuan kurang mendapatkan respon positif dari masyarakat karena harga jualnya yang rendah. 14 15 16
Opcit www.suarakarya.com www.koransindo.com
41
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 41
6/22/2010 6:23:35 PM
Pilihan Ekonomi dan Konservasi Alam
Data Perum Perhutani memperlihatkan17 bahwa di seluruh wilayah Bogor, misalnya, jumlah lahan yang rusak hanya sekitar 3.000 Ha yang terdapat di areal hutan. Untuk wilayah DAS, jumlah lahan kritisnya tidak sampai separuh dari total lahan yang rusak. Lahan kritis di sekitar DAS yang melintasi kabupaten Bogor sampai pertengahan 2008, misalnya, seluas 27 Ha18. Berkaitan dengan tata guna lahan di kawasan BOPUNJUR yang luasnya sekitar 121.778 Ha, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 201019 menyatakan bahwa sekitar 15,74% (19.485 Ha) merupakan ekosistem alami. Sedangkan sisanya, 84,26% (102.293 Ha) untuk ekosistem pertanian dan urban. Hanya saja dalam prakteknya, peruntukan lahan banyak menyimpang. Penelitian yang dilakukan Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah IPB menggambarkan20bahwa dari sekitar 19.485 hektar lahan yang mestinya untuk ekosistem alami, sebanyak 8,94% telah berubah menjadi ekosistem urban, baik berupa perumahan maupun kawasan industri. Sementara, lahan padi dalam ekosistem pertanian yang luasnya sekitar 12.000 hektar, sebanyak 10,7 persen juga telah berubah menjadi ekosistem urban. Ternyata, sebagian besar penggunaan lahan padi di BOPUNJUR tersebut juga melenceng, yakni digunakan untuk cultivated land, seperti tanaman cabe, dan hortikultura lain, yang fungsinya dalam menahan air tak sebaik tanaman padi. Namun, penyimpangan penggunaan lahan padi sekarang sudah mencapai 63,79 persen21, padahal tanaman padi sangat potensial guna menahan air. Meskipun dalam waktu yang hampir bersamaan pemerintah telah dua kali menerbitkan dua peraturan tentang pengelolaan Tata Ruang Nasional yakni Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang 17
Opcit R. Hermawati, Pola Spasial Perkembangan Permukiman dan Kaitannya dengan Jumlah penduduk (Studi Kasus sub DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat), Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, 2006. 19 Opcit 20 http://www.perumperhutani.com/index.php?option=com_content&task=view&id=642&Itemid= 21 Opcit 18
42
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 42
6/22/2010 6:23:35 PM
Pilihan Ekonomi dan Konservasi Alam
Tata Ruang Nasional (UU 26/2007) dan Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2008 tentang pengelolaan kawasan Jabodetabekjur melalui Perpres 54 tahun 2008, namun hingga kini nasib Peraturan Daerah Tata Ruang Wilayah (RTWR) kabupaten Bogor pengganti Peraturan Daerah nomor 17 tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten Bogor (Perda 17/2000), masih belum ada kejelasan. Di lain pihak, Perda Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor22 itu telah ditetapkan DPRD setempat sejak akhir tahun 2007 lalu, namun hingga kini belum dapat dilaksanakan karena belum mendapat pengesahan dari Mendagri. Sekarang Perda tersebut masih dibahas oleh Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN). Namun, Perda 17/2000, sudah mengakomodir butir-butir aturan yang diatur oleh Peraturan Presiden (Perpres) Pengelolaan BOPUNJUR pengganti Keputusan Presiden Nomor 114 tahun 1999 tentang BOPUNJUR (Keppres 114/1999). Sementara itu, bagian Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Bappeda Kabupaten Bogor menyatakan23 bahwa meskipun Perda tata ruang yang baru tersebut belum disyahkan, namun selama ini proses pengalihan fungsi ruang masih terkendali. Dinas Tata ruang dan dinas-dinas lainnya yang terkait mempunyai kewenangan mengeluarkan perijinan soal peruntukan lahan. Selain itu, dengan Perda Tata Ruang, sistem penataan ruang kawasan akan menjadi lebih baik, karena terkoordinasi dengan undang-undang dan peraturan presiden khususnya di kawasan BOPUNJUR. Dalam perda yang baru, kawasan yang diperuntukan sebagai daerah pertanian akan tetap dapat dipertahankan. Meskipun menurut daerah pertanian seperti di kawasan Kecamatan Jonggol sebagian besar lahannya sudah dikuasai oleh pihak pengembang. Untuk menyikapi persoalan tersebut, sebaiknya lahan-lahan itu sebelum digunakan oleh pemiliknya, harus diberdayakan misalnya dikerjasamakan dengan masyarakat setempat. Hal ini disebabkan, RT RW yang baru ini lebih pro terhadap lingkungan 22 23
www.ipb.ac.id Hasil wawancara dengan Staf Bappeda Kabupaten Bogor, di bulan Sptember 2009
43
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 43
6/22/2010 6:23:35 PM
Pilihan Ekonomi dan Konservasi Alam
yang bisa dalam pengaturan peruntukan ruang selain kawasan lindung didalam kawasan hutan juga ada kawasan lindung yang berada diluar kawasan hutan.
3.5 Ekowisata sebagai Solusi Banyak yang mengatakan bahwa masyarakat lokal yang dekat dengan sumber daya alam merupakan faktor yang secara langsung mempengaruhi kemiskinan sumber daya alam dan kerusakan ekosistem. Hal ini didasarkan pada minimnya lapangan kerja di sekitar masyarakat yang mengakibatkan pengambilan sumber daya alam secara ilegal dan berkelanjutan. Selain itu, minimnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat di sekitarnya akan menyebabkan degradasi sumber daya alam tersebut. Untuk menjaga keseimbangan antara manusia dan alam sekitarnya, tentu manusia harus bersahabat dengan alam lingkungannya tersebut. Usaha di dalam menjaga keseimbangan itu dimana manusia tetap bisa hidup dan bersahabat dengan alam lingkungannya adalah dengan cara pengembangan ekowisata. Istilah “ekowisata” dapat diartikan sebagai perjalanan oleh seorang turis ke suatu daerah dengan tujuan menikmati dan mempelajari mengenai alam, sejarah dan budaya di suatu daerah, di mana pola wisatanya membantu ekonomi masyarakat lokal dan mendukung pelestarian alam24. Para pelaku dan pakar di bidang ekowisata sepakat untuk menekankan bahwa pola ekowisata adalah dengan meminimalkan dampak yang negatif terhadap lingkungan dan budaya setempat dan mampu meningkatkan pendapatan ekonomi bagi masyarakat setempat dan nilai konservasi. Untuk itu perlu dikembangkan pola ekowisata berbasis masyarakat. 24
http://id.wikipedia.org/wiki/Ekowisata. Menurut Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, ekowisata merupakan salah satu kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, aspek pemberdayaan sosial budaya ekonomi masyarakat lokal serta aspek pembelajaran dan pendidikan.
44
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 44
6/22/2010 6:23:35 PM
Pilihan Ekonomi dan Konservasi Alam
Pola ekowisata berbasis masyarakat adalah pola pengembangan ekowisata yang mendukung dan memungkinkan keterlibatan penuh oleh masyarakat setempat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan usaha ekowisata dan segala keuntungan yang diperoleh. Ekowisata berbasis masyarakat merupakan usaha ekowisata yang menitik-beratkan peran aktif komunitas. Hal ini didasarkan kepada kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang alam serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata, sehingga keterlibatan masyarakat menjadi mutlak. Pola ekowisata berbasis masyarakat mengakui hak masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan wisata di kawasan yang mereka miliki secara adat ataupun sebagai pengelola. Dengan pola Ekowisata berbasis masyarakat maka dapat menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat, dan mampu mengurangi kemiskinan, dimana penghasilan ekowisata adalah dari jasa-jasa wisata untuk turis, seperti fee pemandu, ongkos transportasi, penerimaan homestay, penjualan hasil kerajinan dan lainnya. Selain itu, Ekowisata membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga antar penduduk setempat yang tumbuh akibat peningkatan kegiatan ekowisata. Sejatinya, sejak tahun 1970-an, organisasi konservasi mulai melihat ekowisata sebagai alternatif ekonomi yang berbasis konservasi karena tidak merusak alam ataupun tidak “ekstraktif” dengan berdampak negatif terhadap lingkungan seperti penebangan kayu dan pertambangan. Ekowisata juga dianggap sejenis usaha yang berkelanjutan secara ekonomi dan lingkungan bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan konservasi. 45
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 45
6/22/2010 6:23:36 PM
Pilihan Ekonomi dan Konservasi Alam
Namun agar ekowisata tetap berkelanjutan, perlu diciptakan kondisi yang memungkinkan di mana masyarakat diberi wewenang untuk mengambil keputusan dalam pengelolaan usaha ekowisata, mengatur arus dan jumlah wisatawan, dan mengembangkan ekowisata sesuai visi dan harapan masyarakat untuk masa depan. Output langsung yang diperoleh wisatawan dari diselenggarakannya ekowisata adalah unsur hiburan dan penambahan pengetahuan, sedangkan bagi alam adalah diperolehnya dana yang sebagian dapat difungsikan untuk melakukan kegiatan konservasi alam secara swadaya. Di sisi lain, wisatawan juga dituntut untuk tidak hanya mempunyai kesadaran lingkungan dan kepekaan sosial budaya yang tinggi, tetapi juga mampu melakukannya dalam kegiatan wisata, misalnya memberikan pengeluaran ekstra untuk pelestarian alam, pengeluaran yang lebih besar untuk produk-produk lokal, pemanfaatan jasa lokal, dan lain sebagainya. Sejalan dengan hal itu, penyedia jasa juga dituntut untuk mampu menyediakan produk-produk yang ramah lingkungan. Dalam pengembangan atraksi wisata, misalnya, lokasinya harus dekat dengan alam, model pengembangannya serasi dengan lingkungan, layanannya ramah lingkungan, dan yang tidak kalah penting lagi adalah adanya suatu keharusan untuk memberdayakan masyarakat lokal secara sosial, ekonomi, dan budaya. Dengan melibatkan masyarakat setempat untuk terjun langsung dalam penyelenggaraan ekowisata, maka masyarakat akan belajar dan memahami makna hutan secara langsung maupun berkesinambungan, karena masyrakat Indonesia pada umumnya hanya memandang hal ekonomi secara praktis tanpa ada usaha berkesinambungan. 46
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 46
6/22/2010 6:23:36 PM
Pilihan Ekonomi dan Konservasi Alam
Oleh sebab itu, perlu diadakannya pendidikan dan pemberian lapangan kerja sebagai karyawan pada kawasan–kawasan hutan yang menerapkan prinsip ekowisata baik sebagai pemandu wisata, porter, tukang masak, atau house kipper. Membina kegiatan pengrajin rakyat yang hasilnya bisa dijual langsung kepada wisatawan tanpa melalui pihak lain, sehingga mereka akan bisa menikmati langsung pekerjaannya dengan harga yang pantas. Memakai sarana produksi milik masyarakat setempat ( perahu, sampan, kereta, becak, dll ) yang sudah dimodifikasi dari segi kenyaman dan keamanan bagi wisatawan. Melalui kegiatan ini, maka masyarakat dapat menerimá pendapatannya secara langsung. Selain itu, masyarakat juga akan merasakan bahwa ekowisata merupakan alternatif yang tepat untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik dibandingkan pekerjaan lain yang sifatnya merusak sumberdaya alam itu sendiri dan sekaligus menghindarkan mereka dari perbuatan yang melanggar hukum seperti illegal loging dan perambahan hutan. Dengan memperhatikan berbagai aspek termasuk potensi dan kondisi obyek wisata serta daya dukung yang dimiliki, maka konsep pembangunan pariwisata yang berlandaskan pada ekowisata merupakan pilihan yang paling cocok dan tepat bagi kawasan BOPUNJUR. Di kawasan BOPUNJUR terdapat Taman Nasional Gunung Halimun yang mempunyai konsep ekowisata. Taman seluas 113 ribu hektar ini menyimpan berbagai kekayaan hayati baik hutan yang asli maupun aneka satwa seperti elang jawa, macan tutul. Selain itu terdapat perkampungan penduduk dengan berbagai karakter seni dan budayanya. Konsep ini bermula pada tahun 1995 di mana untuk mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat guna meningkatkan
47
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 47
6/22/2010 6:23:36 PM
Pilihan Ekonomi dan Konservasi Alam
kesejahteraan sekaligus melestarikan lingkungan, maka be-berapa perkampungan dikembangkan menjadi home-stay, agar wisatawan dapat menikmati keindahan alam sekaligus menikmati tata cara dan adat istiadat masyarakat setempat dengan cara menginap. Selanjudnya masyarakat dilatih untuk bisa memasak dan memandu wisatawan untuk menikmati alam hutan yang indah. Dari beberapa kampung yang menjadi kunjungan wisatawan, saat ini ada dua kampung yang masih eksis, yaitu Citalahap dan Ciptagelar. Di kedua kampung itu hutannya masih sangat asli dengan pemandangan alam yang indah serta air yang sangat jernih. Namun sayangnya lokasinya cukup jauh dan akses jalannya masih relatif jelek. Akan tetapi bagi penggemar tantangan dan penicinta alam, hal itu bukanlah menjadi persoalan. Di Citalahap, konsep ekowisata yang digunakan adalah konsep wisata masyarakat non adat. Artinya pengunjung akan dibawa berwisata ke alam di sekitar perkampungan itu. Untuk dapat menikmati keindahan alam dengan puas wisatawan sebaiknya menginap sekitar 2-3 hari. Selama itu wisatawan akan diantar untuk menikmati suasana kampung yang berada di dalam hutan, juga berada pinggir kebun teh yang dibuka Belanda di tahun 1930. Dengan demikian selain tracking ke hutan, mandi di sungai, air terjun, wisatawan bisa juga tea walk. Kebun teh tersebut sangat indah sekali, wisatawan juga dapat menikmati racikan teh di pabrik yang berada di sekitar kebun. Selain itu wisatawan juga bisa melihat aktivitas masyarakat yang sedang membuat gula aren, bercocok tanam, atau membuat kerajinan. Sementara kampung lain yang menerapkan ekowisata seperti Citorek, Cisungsang, dan Cibeduk karena kurang professional penanganannya maka kurang mendapat kunjungan wisatawan. Namun bagi penggemar tantangan dan penicinta alam, hal itu bukanlah menjadi persoalan.
48
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 48
6/22/2010 6:23:36 PM
Pilihan Ekonomi dan Konservasi Alam
Sedangkan di kampung Ciptagelar, pengunjung akan lebih banyak disuguhi oleh wisata ritual atau adat. Banyak acara ritual adat yang dilakukan di kampung ini, seperti adat di setiap tanggal 14 bulan purnama, yang digelar saat ada pertemuan sesepuh kampung. Selain itu ada juga ritual bertani, yang diberi nama Ngaset, kemudian pergelaran adat budaya yang mensyukuri telah selesainya panen padi yang disebut serentahun. Pada pagelaran ini akan ada suatu pawai arak-arakan yang menampilkan kegiatan angkat padi, pertunjukan kesaktian atau debus, hingga musik tradisional. Selain Taman Nasional Halimun, di wilayah BOPUNJUR terdapat beberapa kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata yang mengedepankan aspek-aspek kelestarian lingkungan, pemanfaatan sumber daya lokal baik alam amupun manusia. Adapun daerah-daerah tersebut adalah, 1) Kawasan Wisata Gunung Salak Endah (GSE), 2) Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP), dan 3) Kawasan Wisata Cibodas. Kawasan Pariwisata Cibodas sebagai bagian dari kawasan BOPUNJUR yang menawarkan obyek wisata alami yang juga sekaligus memiliki fungsi lindung terhadap kawasan di bawahnya tentu membutuhkan penanganan khusus dalam pengembangannya. Menurut beberapa pengunjung yang diwawancarai mengatakan bahwa kawasan wisata cibodas telah menawarkan wisata alam yang menarik karena flora dan fauna yang masih terpelihara, namun demikian untuk selanjutnya diperlukan lebih banyak kontribusi hasil pariwisata untuk pengembangan dan pemeliharaan yang lebih intensif flora dan fauna yang ada. Selain itu bagi wisatawan yang berkunjung juga hendaknya turut memelihara kelestarian flora dan fauna yang ada dengan cara tidak merusak atau mengambilnya. Selain itu untuk memajukan dan meningkatkan pendapatan masyarakat lokal maka perlu adanya sinergi atau kerjasama yang baik diantara semua penunjang kegiatan wisata di wilayah cibodas ini. Diantaranya adalah pengembangan 49
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 49
6/22/2010 6:23:36 PM
Pilihan Ekonomi dan Konservasi Alam
kebudayaan lokal sebagai salah satu daya tarik wisata, serta peningkatan pendidikan dan ketrampilan masyarakat lokal untuk dapat menjaga kelestarian lingkungan sekaligus sebagai penyelenggara wisata alam yang berkelanjutan. Selain itu, berbagai pelayanan yang kurang agar lebih ditingkatkan, seperti kebersihan tempat-tempat umum karena banyaknya sampah yang diakibatkan oleh rendahnya kepedulian pengunjung. Gangguan kawasan oleh aktivitas masyarakat berupa pencurian kayu, perburuan satwa. Demikian juga lemahnya pemeliharaan sarana dan prasarana serta belum optimalnya program interpretasi kepada pengunjung yang diakibatkan oleh terbatasnya jumlah dan kualitas sumberdaya manusia. Pada umumnya para pengusaha jasa wisata di Cibodas yang sudah cukup maju, mereka mensuplai produk-produk mereka dari masyarakat sekitar. Kegiatan wisata yang banyak dilakukan di kawasan Cibodas adalah outbound, pendakian, wisata pendidikan untuk anak-anak, pertunjukan seni, pameran, berkemah dan foto hunting. Sedangkan jenis lapangan pekerjaan yang terbuka bagi masyarakat sekitar antara lain pedagang, mulai dari penjual makanan/minuman, penjual souvenir, penjual tanaman hias, boneka, hasil pertanian, dan lain-lain. Kemudian menjadi karyawan hotel/wisma/penginapan, supir angkot, tukang ojeg, tukang parkir, dan juga pemandu wisata. Berkaitan dengan perubahan mata pencaharian pada masya-rakat, berdasarkan hasil wawancara, mengatakan bahwa mata pencaharian masyarakat sekitar kawasan wisata Cibodas mengalami perubahan antara lain banyak yang menjadi pedagang, baik itu menjual hasil pertanian, atau souvenir, buruh, penjaga villa. Di Cibodas, perubahan lebih banyak terjadi karena pengunjung yang datang ke kawasan tersebut lebih besar sehingga masyarakat lebih memiliki kesempatan untuk melakukan kegiatan-kegiatan demi untuk melayani dan memenuhi kebutuhan para pengunjung tersebut 50
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 50
6/22/2010 6:23:36 PM
Pilihan Ekonomi dan Konservasi Alam
3.6 Sebuah Catatan Kawasan BOPUNJUR merupakan salah satu kawasan pariwisata alam pegunungan paling terkenal di Indonesia, yang memiliki pertumbuhan dan perkembangan kegiatan pariwisata yang pesat. Padahal kawasan ini telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi untuk melindungi seluruh habitat yang ada di wilayah ini baik flora maupun fauna. Dengan demikian masyarakat atau Pemda yang memberi peluang terhadap pengalih fungsian lahan di kawasan BOPUNJUR tampaknya telah mengesampingkan kepentingan bahwa daerah BOPUNJUR merupakan kawasan lindung yang tentu tidak boleh dialihfungsikan karena mempunyai banyak fungsi. Kerusakan lingkungan yang terjadi di daerah ini, yang disebabkan oleh pembangunan permukiman beserta fasilitasnya telah berdampak terhadap daerah hilir, yang merupakan daerah lebih rendah dari BOPUNJUR. Pertimbangan ekonomi merupakan hal yang selalu dikedepankan mengalahkan pertimbangan yang lain, termasuk ekologis dan sosial. Hal ini apabila dibiarkan terus akan menyebabkan lingkungan semakin terdegradasi dan kesenjangan sosial (jurang pemisah) antara kelompok kaya dan miskin semakin lebar. Konservasi sumber daya alam terutama yang berperan sebagai daerah resapan, penggunaan sesuai peruntukannya dan dapat dinikmati oleh setiap lapisan masyarakat harus lebih diperhatikan daripada kepentingan bagi kelompok masyarakat tertentu, terutama yang hanya berorientasi untuk alasan ekonomi. Untuk itu perencanaan tata ruang dalam pelaksanaannya harus benar-benar diterapkan dan dilaksanakan sesuai dengan aturan.
51
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 51
6/22/2010 6:23:36 PM
Pilihan Ekonomi dan Konservasi Alam
Sebagai kawasan lindung, BOPUNJUR mempunyai pengertian sebagai kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi ekosistem lingkungan, yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Kebijakan pemerintah terhadap kawasan BOPUNJUR yang telah diperkuat oleh Keppres, seharusnya benarbenar diterapkan. Oleh karena itu dibutuhkan adanya komitmen dari pihak pemerintah dan pihak lain yang terkait untuk turut mendukung kebijakan tersebut.
52
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 52
6/22/2010 6:23:36 PM
Analisis Biaya dan Manfaat
BAB 4 ANALISIS BIAYA DAN MANFAAT
4.1 Manfaat (benefit) Kawasan Manfaat (benefit) Kawasan BOPUNJUR berupa peningkatan pendapatan penduduk setempat dan pendatang sebagai akibat peningkatan lapangan kerja, lapangan usaha, dan pendapatan asli daerah (PAD) untuk kabupaten Bogor, kota Bogor dan kabupaten Cianjur sebagai daerah yang dikelompokkan ke dalam kawasan BOPUNJUR. Seperti dalam teori Cost Benefit Analysis (CBA1) di mana kesempatan berusaha merupakan biaya (cost) yang harus ditanggung pemerintah bersama masyarakat sehubungan dengan pembangunan kawasan BOPUNJUR secara besar-besaran. Biaya yang sangat besar sulit dihitung secara kuantitatif. Penataan kawasan BOPUNJUR yang dahulu disebut kawasan Puncak, sebenarnya memperoleh perhatian pemerintah yang sangat besar tentang peran dan fungsinya semenjak zaman Belanda dahulu. Namun, setelah terbitnya Perpres 3/1963, perkembangannya menunjukkan keberadaan Puncak sangat strategis, baik dari segi keindahan alam, iklim yang sejuk, maupun perlintasan regional yang menghubungkan wilayah Barat Jawa Barat dan Jakarta atau lintasan Bandung–Jakarta. Pesatnya laju pembangunan kawasan BOPUNJUR, di satu sisi, menjadi motor penggerak ekonomi kawasan itu, namun di sisi lain, 1
Lihat (a) Alan Grifith & Start Wall, International Micro Analisis Biaya Economics, Theory & Applications, London & New York, Long,1996 dan (b) Sukarna Wiranta, Manfaat Balai Latihan Kerja Depnaker RI, Masyarakat Indonesia, Jakarta, XVII(2), Desember 1990
53
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 53
6/22/2010 6:23:36 PM
Analisis Biaya dan Manfaat
tingkat kebutuhan lahan untuk budidaya juga meningkat. Tuntutan terhadap lahan bagi kegiatan pembangunan sektor pemukiman, industri, jasa perdagangan, pertanian, dan lainnya pada akhirnya mengarah pada lahan non-budidaya atau kawasan lindung. Ketidak sesuaian antara pemanfaatan lahan, baik pada kawasan budidaya maupun kawasan lindung terhadap kondisi fisik di lapangan menyebabkan terjadinya penyimpangan perun-tukan lahan yang berujung pada turunnya fungsi lahan tersebut. Menurunnya fungsi lahan dari aspek ekologis sering berdampak negatif yaitu terjadinya kerusakan lahan seperti erosi, banjir, tanah longsor, dan lainnya. Iklim atau curah hujan dalam kawasan BOPUNJUR berkisar antara 2.428 – 4.053 mm per tahun dan temperaturnya secara rata-rata harian minimum 14,8º C dan maksimum 26,6º C, sehingga berdasarkan iklim dan temperatur tersebut (klasifikasi iklim dari Schmidt dan Ferguson) termasuk pada iklim A (sangat basah) dan B (basah). Sementara itu, seperti sudah dijelaskan didepan, perhitungan biaya dan manffat Kawasan BOPUNJUR sulit dihitung akibat kesulitan mengklarifikasi perhitungan kualitatif menjadi kuantitatif. Fasalnya, pembangunan BOPUNJUR seperti biaya polusi, banjir, kemacetan, kebisingan, dan lainnya sangat sulit dihitung secara kuantitatif baik sekarang maupun sebelumnya. Oleh sebab itu, kriteria biaya dalam analisis biaya manfaat yang biasa digunakan dalam ekonomi mikro atau perusahaan tidak bisa dilaksanakan seperti rumus biaya-manfaat itu. Dengan demikian, kajian ini yang tadinya akan menggunakan Analisa Biaya-Manfaat dengan formula penilaian unit moneter proyek-proyek sektor swasta maupun publik. Namun pada tataran implementasi sulit dilakukan, dan sebaliknya jika digunakan pada perusahaan atau proyek swasta bisa digunakan rumus-rumus berikut secara berbeda yang hasilnya akan relatif sama. Kriteria-kriteria biaya dan manfaat tersebut dinilai dalam nilai sekarang (present value) adalah sebagai berikut, 54
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 54
6/22/2010 6:23:36 PM
Analisis Biaya dan Manfaat
y y y y y
PVB (present value of benefits, nilai manfaat masa kini); PVC (present value of costs, nilai biaya masa kini); NPV (PVB - PVC); NPV/k (di mana k adalah tingkat ketersediaan unit moneter), dan BCR (benefit cost ratio, yaitu PVB dibagi dengan PVC) dalam nilai sekarang.
Formula yang digunakan adalah formula terakhir yang bisa dijabarkan lebih lanjut seperti berikut, BCR=PVB/PVC PVC merupakan jumlah manfaat atau keuntungan yang diperoleh kawasan BOPUNJUR sehingga formulanya menjadi ∑PVB yang merupakan jumlah dari manfaat atau keuntungan yang diperoleh dari kawasan BOPUNJUR yang dinilai dengan nilai sekarang (PVB) sehingga benefit bisa dirumuskan sebagai ∑Bn, sementara biaya-biaya yang dikeluarkan untuk kawasan BOPUNJUR dirumuskan dengan ∑Cn yang juga dinilai dalam nilai sekarang (present value) sehingga rasio antara benefit dan cost merupakan perbandingan antara benefit dalam nilai sekarang (PVB) dan cost (PVC) yang juga dalam nilai sekarang (PV). ∑Cn= [ΣC1+ΣC2+ΣC3+ΣCi] ∑Bn = (ΣB1+ ΣB2+ΣB3+ΣBj) Dimana, ∑Cn = biaya atau berbagai kerugian dari pembangunan BOPUNJUR seperti polusi, banjir, erosi, kebisingan, hilangnya fauna dan flora, dan sebagainya, dan ∑Bn = manfaat dari pembangunan BOPUNJUR seperti kesempatan kerja, kesempatan berusaha, kepemilikan lahan/lahan/vila, dan lainnya, banyaknya wisatawan yang urung datang ke BOPUNJUR dan sebagainya.
55
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 55
6/22/2010 6:23:36 PM
Analisis Biaya dan Manfaat
Sementara itu, B/C Ratio = ∑Bn/ΣCn adalah perbandingan antara biaya dan manfaat di mana B/C Ratio atau perbandingan antara biaya dan manfaat yang hasil perhitungannya akan diperoleh 3 kemungkinan yaitu2; 1. Nilai B/C < 1 Artinya, pembangunan BOPUNJUR kurang/tidak berman-faat karena biaya yang dikeluarkan lebih besar dari manfaat yang diperoleh. 2. Ratio B/C = 1 Artinya, antara biaya dan manfaat mempunyai nilai yang sama besarnya atau dengan kata lain telah terjadi titik impas antara biaya dan manfaat pembangunan kawasan BOPUNJUR. 3. Nilai B/C > 1 Artinya, proyek Kawasan BOPUNJUR bermanfaat karena biaya yang dikeluarkan lebih kecil nilainya dibanding manfaat yang diperoleh. Untuk itu, kondisi Kawasan BOPUNJUR yang sudah sangat memprihatinkan itu bisa dikatakan sebagai biaya yang dikeluarkan pemerintah dan masyarakat dalam jumlah yang sangat besar. Artinya, sangat sulit untuk menghitung biaya kawasan BOPUNJUR akibat bersifat kualitatif sehingga tidak bisa dihitung secara ekonomi yang bersifat kuantitatif, seperti perhitungan untung rugi suatu perusahaan. Argumennya, Kawasan BOPUNJUR adalah suatu kawasan tertentu yang terjadi dengan sendirinya, yang dibentuk berdasarkan geografis sebagai tempat peristirahatan yang digunakan Belanda sejak negeri ini dijajahnya. Bangunan-bangunan peninggalan Belanda berupa vilavila, bangunan-bangunan mewah dan tempat-tempat peristirahatan lainnya disebabkan oleh lokasinya yang beriklim sejuk.
2
Alan Grifith & Star Wall (1996) dan Sukarna Wiranta, opcit
56
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 56
6/22/2010 6:23:37 PM
Analisis Biaya dan Manfaat
Oleh karena itu, menjamurnya pembangunan tempat-tempat peristirahatan tersebut, yang sekarang dimiliki oleh sebagian besar orang Jakarta menyebabkan terjadinya perubahan fungsi lahan yang signifikan di kawasan BOPUNJUR. Akibatnya, penyimpangan tata guna lahan dan kerusakan lingkungan di kawasan BOPUNJUR telah mencapai taraf yang mencemaskan. Ancaman tanah longsor dan banjir, tidak hanya membahayakan warga setempat, tetapi juga, terutama ibukota Jakarta. Terjadinya banjir menggambarkan bahwa hujan sebagai fenomena alam, yaitu air yang dilimpahkan dari hulu sungai yang berada di kawasan BOPUNJUR sudah tidak mampu diserapkan lagi ke dalam tanah secara alami sehingg aliran permukaan (run off ) mengalami peningkatan air yang dihasilkan dari hujan yang cepat mengalir ke sungai dan berdampak pada fluktuasi debit sungai3. Data Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) 20034 menyebutkan bahwa, ‘dalam kurun waktu 10 tahun terakhir telah terjadi perubahan fungsi lahan di kawasan lindung Kecamatan Cisarua secara signifikan, yakni dari 74% pada tahun 2000 yang luas kawasan lindung masih sekitar 4,918 Ha, namun tahun 2008, hanya tinggal 1.265 Ha. Sementara itu, area pemukiman bertambah sebesar 44%, yakni dari 24.833 Ha menjadi 35.750 Ha. Menteri Negara Lingkungan Hidup (Meneg LH) sendiri menyatakan5 bahwa moratorium pembangunan Kawasan BOPUNJUR sangat diperlukan, sebab kerusakan lingkungan sudah tidak bisa ditolerir lagi, karena telah mencapai tingkat yang membahayakan. Meneg KLH telah mendesak Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Bogor untuk segera menertibkan bangunan-bangunan liar. Namun, hingga kini, 3
Nan Arifjaya dan Lilik B Prasetio, Dampak Perubahan Lahan terhadap Perubahan Aliran Permukaan di setiap Kecamatan di DAS Ciliwung dalam Manajemn Bioregional Jabodetabek, Bogor, Puslit Biologi LIPI, 2004 4 ibid KNLH 2003 5 BPS dan Bappeda Kabupaten Bogor, Bogor dalam angka 2002, Bogor, 2003
57
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 57
6/22/2010 6:23:37 PM
Analisis Biaya dan Manfaat
bangunan-bangunan tersebut masih berdiri tegak, bahkan banyak berdiri bangunan-banguan baru yang mencapai ribuan yang dibangun di atas kawasan lindung maupun di luar itu. Begitu pula, puluhan vila bertengger di lereng-lereng bukit di sela-sela hutan pinus dengan lahan tingkat kemiringan sekitar 30º–40º di mana dahulunya tanah ini milik perkebunan teh PT Perkebunan Ciliwung. Tetapi sejak tahun 1980-an, lahan ini dimanfaatkan warga setempat yang sebagian besar mengalihkan kepemilikannya ke pihak lain. Dengan peralihan kepemilikan, maka sejak tahun 1990-an bermunculan bagunanbngunan villa di kawasan ini6. Menjamurnya bangunan vila di kawasan desa Citimiang, kecamatan Puncak bisa menimbulkan berbagai resiko lingkungan. Sebab, selain di daerah ini terdapat sejumlah mata air yang menjadi sumber air bagi sungai Ciliwung, juga karena tingkat kemiringan yang tajam menjadikan sangat mudah terjadi longsor. Untuk itu, setiap mata air harus dijaga dan dipelihara keberadaannya, agar tidak rusak atau tercemar karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, lingkungan sekitarnya mesti dipulihkan seperti semula sehingga dalam menertibkan bangunan liar, Pemkab Bogor tidak bisa sendirian, tetapi juga pemerintah pusat, khususnya Meneg LH harus memberikan dukungan penuh, terutama dalam aspek hukum. Oleh sebab itu, Meneg LH bertindak tegas guna menimbulkan efek jera, sebab Keppres 144/1999 Pasal 12 ayat [6] dengan tegas menegaskan bahwa pemanfaatan ruang tidak boleh dilakukan di kawasan BOPUNJUR, yaitu; : 1. pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang alam, mengganggu kesuburan dan keawetan tanah, fungsi hidrologi, 6
http://www.satunews.com di mana para pemilik vila ini adalah pejabat dan/atau mantan pejabat seperti mantan Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, mantan Menpangab Wiranto yang kepemilikannya telah berpindah ke orang lain. Terdapat pula vila milik mantan Kapolda Metro Jaya Mayjen (Pol) Djaja Suparman, Letjen (Purn) Leo Lopulisa, Letjen (Purn) Tjokropranolo, dan lainnya..
58
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 58
6/22/2010 6:23:37 PM
Analisis Biaya dan Manfaat
kelestarian flora dan fauna serta kelestarian fungsi lingkungan hidup, 2. pemanfaatan hasil kayu; dan 3. perusakan kualitas air, kondisi fisik kawasan sekitarnya dan daerah tangkapan air kawasan yang bersangkutan. Namun pada prakteknya, Meneg LH tidak bisa bertindak sampai tuntas karena penggusuran, pencabutan hak kepemilikan tanah/bangunan/vila berada di tangan kejaksaan dan/atau pemda kabupaten sebagai pelaksana, melalui Satpol PP. Sementara itu, yang dihadapi adalah para mantan pejabat pemerintah pusat, bahkan atasannya sendiri di kabupaten. Akibatnya, sulit diberantas meski atas dasar hukum sekalipun yang harus menggusur vilanya dan/ atau bangunan mewah yang liar itu. Padahal vilanya itu dibangun di lereng-lereng bukit di Puncak yang merupakan kawasan lindung. Sebagai konsekuensinya, kawasan Puncak yang semula hijau kini rusak akibat banyaknya bangunan permanen didirikan di lereng-lereng gunung. Jika dibiarkan akan merusak lingkungan seperti kerusakan hutan, penurunan resapan air, erosi, bahkan bencana sehingga untuk memperbaikinya diperlukan biaya yang sangat besar di mana justru masyarakat juga yang ikut merasakan dampaknya. Menurut sumber di Pemda Kabupaten Bogor7, kerusakan lingkungan terbesar terjadi di kawasan Puncak, yakni di Kecamatan Megamendung dan Kecamatan Cisarua. Untuk itu, sangat sulit untuk menghitung biaya pembangunan BOPUNJUR sebab semua faktor penyebabnya bersifat kualitatif yang sulit dihitung secara kuantitatif. Pembangunan vila/bangunan mewah di Kawasan BOPUNJUR sudah terjadi sejak tahun 1980-an. Banyak ahli, terutama pakar lingkungan mempermasalahkannya, namun pimpinan daerah di Kawasan BOPUNJUR dan Jawa Barat, baik pimpinan pusat, provinsi 7
ibid
59
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 59
6/22/2010 6:23:37 PM
Analisis Biaya dan Manfaat
maupun kabupaten/kota selalu mengatakan, segala bentuk penyimpangan mengenai pembangunan liar di Kawasan BOPUNJUR akan ditindak tegas. Dampak negatip dari pembangunan kawasan BOPUNJUR adalah kerugian yang tak ternilai harganya, yaitu tewasnya puluhan orang akibat banjir seperti pada tahun 2002 dan 2007. Di lain pihak, jawaban pimpinan daerah di Jawa Barat masih sama dengan belasan tahun lalu, yaitu segala bentuk penyimpangan itu akan ditindak tegas, bahkan masih dibumbui dengan kata-kata ’tidak ada yang kebal hukum. Namun pada kenyataanya, ribuan vila-vila mewah, kompleks perumahan, perdagangan, industri, dan lapangan golf terus bermunculan di kawasan BOPUNJUR. Wajar saja, jika timbul dugaan bahwa ada yang ’tidak beres’ pada aparat pemberi izin dan pengawas pembangunan kawasan itu, atau memang benar ada "kekuatan" besar yang berdiri di belakang pembangunan vila-vila dan bangunan mewah tersebut. Berdasarkan pengamatan lapangan, pada lahan milik negara pun terlihat banyak vila-vila dan bangunan mewah. Misalnya di kawasan resapan di Kecamatan Cisarua, lahan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan resapan air, sudah beberapa kali pindah tangan untuk diperjualbelikan. Di blok Barusireum berdiri sejumlah vila yang belum lama selesai dibangun. Satu di antaranya berada tidak jauh dari vila yang pernah dibongkar tim OWP (Operasi Wibawa Praja) Pemda Kabupaten Bogor pada tahun 1990-an. Di Desa Cibeureum pun sudah dibangun sebuah kawasan vila bernama Bukit Nirwana di mana dari lahan-lahan yang sudah dikavling dan dipasarkan itu, sudah selesai dibangun puluhan vila mewah. Penyimpangan penggunaan lahan juga terjadi di atas tanah 60
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 60
6/22/2010 6:23:37 PM
Analisis Biaya dan Manfaat
negara bekas Perkebunan Cisarua Selatan yang telah habis HGU-nya (hak guna usaha) pada tahun 1970-an. Seorang pejabat di Pemda kabupaten Bogor mengakui8 bahwa dari 150 vila di desa Cibeureum itu, yang berdiri di atas tanah negara maupun hak milik, hanya 40 vila yang memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Begitu pula di Desa Jogjogan, Blok Curug, sudah dibangun beberapa vila serta di desa itu hampir semua lahan pertanian sudah dibeli ’orang Jakarta’. Ternyata penyimpangan pembangunan di kawasan BOPUNJUR itu sesungguhnya berhubungan dengan "ketidak-beresan" pejabat pemerintah daerah. Contohnya, mantan Bupati Cianjur periode 1983-889, sebelum meletakkan jabatannya (bekerjasama dengan DPRD Kabupaten Cianjur) sudah mengeluarkan Perda tentang persyaratan pembangunan di Kawasan BOPUNJUR yang menyangkut Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kawasan Puncak, padahal RDTR sudah ditetapkan ke dalam kawasan lindung, kawasan penyangga, kawasan budidaya nonpertanian, dan kawasan jalur pengaman aliran sungai dan mata air10. Namun pada era Bupati berikutnya, muncul keputusan Pemda kabupaten Cianjur yang baru, yang membuat lahan-lahan pertanian produktif di desa-desa seperti Sukarngalih, Sindangjaya, Ciloto, Cibadak dan Ciwelan diubah menjadi "hutan beton" oleh para pengembang (developer). Dalam kaitan ini, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kelompok Masyarakat Cianjur Untuk Lingkungan Hidup (KMCULH) memprotes 8
http://www2.kompas.com Wawancara dengan tokoh LSM Kelompak Masyarakat Cianjur untuk Lingkungan Hidup menyatakan bahwa Bupati Cianjur sekarang H Tjetjep Muchtar Soleh (2006-2011), terutama istrinya yang menggantikan bupati sebelumnya Wasidi Swastono (2001-2006), Harkat Handiamihardja (1996-2001), H. Eddi Soekardi (1988-1996) dan Ir Arifin Yoesoef (1988-1993) di mana semua bupati ini pernah terlibat dalam hubungan patron clien antara penguasa-pengusaha dalam pembangunan vila dan perumahan mewah pada masa pemerintahannya. Wawancara dilakukan pada awal bulan Oktober 2009 di Cianjur. 10 http://www2.kompas.com 9
61
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 61
6/22/2010 6:23:37 PM
Analisis Biaya dan Manfaat
keras keputusan Bupati Eddi Soekardi tersebut. Waktu itu, KMCULH bahkan berani memberikan bukti bahwa tidak satu pun proyek pembangunan perumahan yang diizinkan Pemda Cianjur itu memiliki AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan). Namun, semua protes itu berlalu begitu saja. Tiap tahun jumlah vila di BOPUNJUR terus bertambah. Begitu pula dengan bupati Cianjur sekarang H Tjetjep Muchtar (periode 2006-20011), pembangunan perumahan di kawasan BOPUNJUR terus berjalan sehingga kawasan resapan air ini lama-lama menjadi sumber banjir Jakarta dan daerah lainnya11. Pengamatan tim di lapangan dihadapkan oleh kesulitan untuk memperoleh data atau informasi dari Pemda Kabupaten Cianjur yang, terutama Dinas Tarkim (Tata Ruang dan Pemukiman) di mana pimpinan dinas ini tidak menjawab dan melempar permasalahan tersebut ke berbagai dinas seperti Bappeda Kabupaten Cianjur, BPS Cianjur dan dinas-dinas kabupaten Cianjur lainnya. Bahkan Dinas Tarkim sampai berkali-kali didatangi untuk meminta data tata Ruang Kabupaten Cianjur, meskipun masih tetap tidak berhasil memperolehnya. Tampaknya benar bahwa Pemda Kabupaten Cianjur menyembunyikan informasi tata ruang kabupaten Cianjur dengan mempersulit orang-orang yang melakukan kajian oleh instansi seperti LIPI dan akademisi. Birokrasi kabupaten telah menciptakan ’raja kecil’ Cianjur. Selain itu, setiap Kepala Dinas yang didatangi cenderung mempunyai jawaban seragam bahwa mereka bukan ahlinya di bidang itu atau tidak tahu karena baru dimutasi (dipindah-tugaskan) dari 11
Hasil wawancara dengan tokoh informal masyarakat setempat menyebutkan bahwa bupati atau mantan bupati sebelum menjadi pejabat dikenal dengan sebutan RCTI (rombongan calo tanah Indonesia) atau sejenis pemburu rente (rent seeking) sebagai modal untuk menjadi pejabat sehingga saat menjadi pejabat (bupati), mereka mengetahui luas tanah, terutama luas kawasan lindung, lahan perkebunan yang bias dialih fungsikan oleh bupati atau pejabat kabupaten tersebut. Akibatnya, tidak aneh, saat tim peneliti mencari data ke dinas-dinas terkait seperti dinas Tarkim (Tata Ruang dan Pemunkiman) sampai beberapa kali mendatangi untuk bias bertemu dengan kepala dinas, tetapi tidak berhasil juga. Begitu pula, saat mendatangi kantor kabupaten, tidak dijumpai pimpinan Kantor dan hanya dijumpai stafnya di mana tidak seorangpun yang bersedia diwawancarai dengan alasan bupati sedang tidak ada ditempat karena sedang melakukan umroh.
62
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 62
6/22/2010 6:23:37 PM
Analisis Biaya dan Manfaat
dinas lain atau dinas di luar kabupaten Cianjur sehingga tidak mampu menjawab pertanyaan yang diajukan tim peneliti12. Kepala Desa Megamendung Kab Cianjur menyatakan dengan jelas bahwa selama hampir 10 tahun terakhir13, jumlah vila di desanya telah bertambah lebih dari 300% di mana saat dia mulai menjadi Kepala Desa Megamendung tahun 1978, jumlah vila/bangunan mewah baru sekitar 60 unit, namun 10 tahun kemudian jumlah vila yang tercatat di kantor desanya sudah mencapai sekitar 200 unit. Sekarang, jumlahnya sudah banyak sekali atau berkali lipat karena sebagian besar dari vila/ bangunan mewah yang ada di kawasan itu diduga tidak memiliki IMB, yang artinya tidak diberitahukan ke kecamatan setempat. Guna melindungi kawasan BOPUNJUR, khususnya Puncak, pemerintah pusat mengeluarkan 2 Keputusan Presiden (Keppres) nomor 48 tahun 1983 (Keppres 48/1983) dan nomor 79 tahun 1985 (Keppres 79/1985) yang mengatur penataan ruang kawasan BOPUNJUR. Bahkan masih ada satu lagi, yakni Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan tata air, yakni ketentuan mengenai permukaan tanah sebagai resapan air, seperti persawahan dan sungai (Keppres 32/1990). Namun semuanya itu tidak berjalan dimana seorang pemilik vila dan seorang tokoh informal menceritakan14, sebenarnya tidak perlu beking pejabat tinggi di pusat untuk memperoleh IMB mendirikan vila. Asal punya "pelor" (uang), jangankan membangun di lereng-lereng puncak gunung, di puncak gunung sekali pun pasti diizinkan.
12
Hasil wawancara dengan berbagai pimpinan dinas-dinas pemerintah kabupaten Cianjur (Dinas Tarkim, Dinas Tanbun) dan NGO Cianjur (Ketua Kelompok Tani, Mbah Ibin) umumnya menjawab tidak tahu karena untuk pejabat Dinas baru dimutasi dari dinas lain. Mutasi inipun terkesan KKN karena pejabat yang ditunjuk memimpin dinas-dinas Pemkab Cianjur tidak sesuai dengan latar belakang/kompetensinya. 13 Wawancara dengan Kepala Desa Megamendung, Kec Pacet Bapak H. A Djadjat yang secara terbuka menyatakan kerusakan BOPUNJUR akibat ulah bupati dan aparatnya. 14 http://westjava invest.com
63
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 63
6/22/2010 6:23:37 PM
Analisis Biaya dan Manfaat
Sejatinya, proses untuk mendapatkan izin lokasi terlebih dahulu harus ada rekomendasi dari TAT (Tim Asistensi Teknik), yang beranggotakan pegawai dari Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Asisten I Pemda, Dinas Pertanian, Dinas Parawisata, dan para Camat. Selain itu, pengeluaran uang bukan cuma untuk anggota TAT itu, tetapi juga untuk biaya rapat-rapat mereka di hotel-hotel berbintang di Puncak yang harus ditanggung developer. Pasaran pengeluaran "dana taktis" itu beberapa waktu lalu di Puncak adalah Rp 300 juta untuk pembangunan vila-vila yang memakai lahan seluas 15 hektar. Ucapan pemilik vila dan tokoh informal itu cukup mencengangkan. Bisa dihitung, besarnya uang mereka (developer) harus membayar sebuah tim yang anggotanya terdiri dari perwakilan berbagai instansi. Namun, meskipun sudah berkali-kali Panglima Daerah, Gubernur, hingga Menteri (bahkan Keppres) mengancam akan menindak tegas penyimpangan itu, nyatanya bangunan-bangunan vila terus bermunculan di kawasan BOPUNJUR sehingga Jakarta dan sekitarnya akan tetap banjir di masa mendatang sebab resapan air di kawasan BOPUNJUR sudah dipenuhi hutan beton yang berupa vila-vila dan bangunan mewah milik orang-orang kaya, khususnya dari kota Jakarta dan sekitarnya. Akibatnya, terjadi Banjir di Jakarta dan sekitarnya yang diperkirakan kerugiannya mencapai Rp 7,3 trilyun saat banjir tahun 1996, dan mencapai Rp 10 trilyun pada tahun 2010 jika banjir terjadi lagi atau jika berlangsung 7 hari terus menerus15. 15
http://regional.com 9 Febryari 2009 di mana menurut Dinas Tarkim (Penataan Ruang dan Pemukiman) Ditjen Penataan Ruang-Pemukiman dan Prasarana Wilayah (PU, 2003) terjadinya banjir dan longsor disebabkan 3 faktor yaitu 1) kondisi alam yang bersifat statis seperti kondisi geografi, topografi dan karaktersitik sungai; 2) peristiwa alam yang bersifat dinamis seperti perubahan iklim, sedimensi dan lainnya, serta 3) kegiatan sosial ekonomi manusia yang sangat dinamis seperti deforestasi (penggundulan hutan), konversi lahan pada kawasan lindung, pemanfaatan sempadan sungai/saluran untuk pemukiman, pemanfaatan wilayah retensi banjir, perilaku masyarakat, keterbatasaan prasarana dan saraana banjir dan sebagainya.
64
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 64
6/22/2010 6:23:37 PM
Analisis Biaya dan Manfaat
Dalam hubungan ini, terdapat sedikitnya 8 sektor ekonomi yang terpengaruh secara langsung dan tidak langsung. Kerugian dari 8 sektor itu bisa mencapai Rp 1,2 triliun perhari sehingga bisa diduga berapa hari terkena banjir dan dikalikan kerugian per hari tersebut. Banjir yang menghadang berbagai aktivitas perekonomian di Jakarta, telah menimbulkan kerugian dalam bentuk biaya kehilangan kesempatan, yang diperkirakan mencapai 25 persen dari nilai estimasi kerugian 8 sektor ekonomi, yakni mencapai sekitar Rp. 209 miliar per hari. Menurut Puslit Biologi-LIPI; Manajemen Bioregional Banjir (2004) yang mengacu pada Dinas Tarkim (Penataan Ruang dan Pemukiman) Ditjen Penataan Ruang Pemukiman dan Prasarana Wilayah (PU, 2003) terjadinya banjir dan longsor disebabkan 3 faktor, yang antara lain adalah : 1. Kondisi alam yang bersifat statis seperti kondisi geografi, topografi dan karaktersitik sungai; 2. Peristiwa alam yang bersifat dinamis seperti perubahan iklim, sedimensi dan lainnya, serta 3. Kegiatan sosial ekonomi manusia yang sangat dinamis seperti deforestasi (penggundulan hutan), konversi lahan pada kawasan lindung, pemanfaatan sempadan sungai/saluran untuk pemukiman, pemanfaatan wilayah retensi banjir, perilaku masyarakat, keterbatasaan prasarana dan saraana banjir dan sebagainya. Dalam hubungan ini, terdapat 3 pendekatan dalam mengkaji biaya-manfaat penataan ruang dalam pembangunan kawasan BOPUNJUR, yakni antara lain adalah : 1. Pendekatan teknis biofisik, merupakan pendekatan pada aspek biofisik, dengan penekanan pada pengembangan kultur teknis, pola tanam, pilihan komoditas yang akan dikembangkan dan terkait dengan sistem usahatani yang berkelanjutan;
65
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 65
6/22/2010 6:23:37 PM
Analisis Biaya dan Manfaat
2. Pendekatan Teknik Fisik, merupakan pendekatan teknis fisik yang berupa channel reservoir; pemanenan air; a) sumur resapan; b) transfer air antar DAS; c) konservasi mekanik lahan; d) pembuatan saluran pembuangan yang harus dijaga ketat keberlanjutannya, dan 3. Pendekatan sosial ekonomi, yang merupakan pendekatan cukup relevan dalam kajian ini sebab pendekatan sosial ekonomi merupakan pendekatan dari sisi pemberdayaan masyarakat di dalam DAS Ciliwung dalam menjaga dan memelihara DAS, sekaligus sebagai sarana dalam mengembangkan usaha ekonomi rakyat melalui pemberdayaan masyarakat. Argumentasinya bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan inti, sekaligus tujuan setiap proses pengembangan masyarakat (community development), sehingga kerangka berpikir pemberdayaan masyarakat akan sepenuhnya terkait dengan pengembangan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dalam konsep pembangunan ini, istilah pengembangan atau pembangunan masyarakat tetap menekankan pada pendekatan swadaya. Oleh karena itu, pengembagan masyarakat perlu dibangun di atas realitas masyarakat sebab pada dasarnya pengembangan masyarakat yang dibangun diatas realitas diyakini akan lebih mampu menjamin pemberdayaan masyarakat, yakni proses untuk membina kemampuan masyarakat untuk mewujudkan daya kerjanya dalam memperbaiki martabat dan kedudukan sendiri. Berdasarkan kenyataan di atas, maka pendekatan sosial ekonomi Bopunjur seperti penataan air DAS Ciliwung adalah bagian dari penataan ruang Jabodetabek-Punjur (Jakarta-Bogor-DepokTangerang-Bekasi-Puncak-Cianjur), yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (PP 26/2008), maka Kawasan
66
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 66
6/22/2010 6:23:37 PM
Analisis Biaya dan Manfaat
BOPUNJUR, termasuk Jakarta, Tangerang, Bekasi dan Depok yang terkena dampaknya dikategorikan sebagai kawasan tertentu yang memerlukan penanganan khusus. Selain itu, pemanfaatan ruangnya diatur dengan Kepres 114/1999 tentang Penataan Ruang BOPUNJUR hingga tahun 2014 yang di dalamnya mencakup pembangunan 2 (dua) buah waduk di hulu sungai. Keppres tersebut sekarang sudah diperbaharui dengan Kepres yang lebih menyeluruh, namun masih dibahas di mana pembahasannya melibatkan Pemerintah Pusat, Provinsi Jawa Barat, Kabupaten dan Kota Bogor serta kabupaten Cianjur. Dengan demikian, secara kasat mata saja terlihat bahwa peralihan fungsi lahan BOPUNJUR lebih besar cost atau kerugiannya dari pada benefit atau keuntungannya (C>B). Salah satu faktor utama kerugian itu adalah banjir yang menggenang Jakarta hampir setiap tahunnya, selain longsor dan erosi. Banjir yang datang setiap tahun tersebut menjadi ancaman nyata bagi masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah rawan banjir. Banjir menyebabkan kerugian di berbagai sektor wilayah-wilayah yang parah terkena banjir. Walaupun banjir ini datangnnya hanya sementara atau beberapa hari saja, namun dampak kerugiannya secara sosial dan ekonomi bisa berlangsung lama, sehingga banjir, seperti halnya bencana lain, sebetulnya ibarat pepatah: “hujan sehari menghapus panas setahun”. Kedatangannya yang hanya sebentar, namun membawa dampak kerusakan yang panjang. Yang menarik perhatian di sini adalah telah terjadi perubahan psikologis pada masyarakat kita dalam melihat bencana banjir, yakni ketika datang ditakuti, ketika pergi dilupakan. Ada semacam “amnesia sejarah” terhadap datangnya banjir. Ketika banjir datang, semua pihak ribut dan super sibuk dengan berbagai aksi kemanusiaan. 67
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 67
6/22/2010 6:23:37 PM
Analisis Biaya dan Manfaat
Namun, ketika banjir berlalu, orang menjadi lupa akan bencana itu. Kebijakan pemerintah dan kegiatan masyarakat yang merusak lingkungan dan mengundang banjir terus dilakukan sehingga ada kesan bahwa amnesia sejarah terhadap banjir ini terus terjadi sepanjang waktu.
4.2 Biaya (Cost) Kawasan BOPUNJUR Dari sisi biaya (cost), kerugian ekonomi kawasan BOPUNJUR adalah banjir merupakan kalkulasi nilai ekonomi terhadap kerusakan berbagai bidang kehidupan masyarakat. Komponen yang dinilai cukup banyak yang mencakup banjir pada sektor perumahan dan infrastruktur, kerugian sosial, kesehatan, ekonomi, dan kerugian lingkungan hidup, dari sisi pemerintah, dan keuangan perbankan (juga swasta). Secara lebih sederhana, kerusakan biasanya dipisahkan menjadi kerugian ekonomi langsung dan kerugian ekonomi yang tidak langsung. Kerusakan ekonomi langsung bisa diperlihatkan melalui asetaset fisik atau infrastruktur milik masyarakat dan pemerintah, seperti kerusakan jalan, jembatan, perumahan, jaringan listrik dan air bersih, dan sebagainya. Kerugian ekonomi tidak langsung akibat banjir, biasanya lebih sulit diukur karena ia sangat prediktif. Misalnya, anak-anak yang tidak bisa bersekolah selama berhari-hari karena banjir tentu sangat sulit mengukur kerugiannya dalam bentuk angka-angka ekonomi. Atau korban jiwa akibat banjir, apakah bisa dihitung nilai ekonominya, dan sebagainya. Namun demikian, kenyataan ini harus bisa diprediksi jumlah kerugiannya, sehingga dapat diperkirakan gambaran tentang dampak bencana banjir ini terhadap kehidupan masyarakat. Sementara itu, manfaat BOPUNJUR secara normatif bisa dilihat dari pendekatan teknis biofisik yang merupakan pendekatan pada (1)
68
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 68
6/22/2010 6:23:37 PM
Analisis Biaya dan Manfaat
aspek biofisik yang menekankan pada pengembangan kultur teknis, pola tanam, pilihan komoditas yang dikembangkan yang terkait dengan sistem usahatani berkelanjutan; dan (2) pendekatan teknik fisik, yang merupakan pendekatan berupa channel reservoir; dan terkumpulnya (pemanenan) air; sumur resapan; dan transfer air antar DAS; serta konservasi mekanik lahan; pembuatan saluran pembuangan yang harus dijaga keberlanjutannya, dan semakin meningkat fungsinya yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan masyarakat. Akibatnya, cukup sulit untuk menghitung manfaat dari pendekatan biofisik dan teknik fisik sehingga bisa disimpulkan bahwa cost atas kawasan BOPUNJUR ini lebih besar dari benefit atau manfaatnya. Namun bisa dikatakan pula bahwa kerugian BOPUNJUR ini seperti sudah dijelaskan di depan, akibat ulah manusia seperti moral aparat pemerintah dan/atau pengambil kebijakan, mulai dari kepala desa, camat, bupati/walikota, bahkan pejabat pemerintah pusat di Jakarta yang lebih berorientasi pada keuntungan pribadi berjangka pendek. Sementara itu, luas areal Sangat Kritis dan Kritis sebagian besar terletak pada areal eks. PT. BJA yang baru diserahkan kembali secara definitif kepada Perum Perhutani pada tahun 2006. Untuk itu, dalam rangka peningkatan daya dukung ekologis, upaya yang telah dilakukan antara lain dengan menetapkan kebijakan.
69
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 69
6/22/2010 6:23:37 PM
Analisis Biaya dan Manfaat
Tabel 4.1 Luas Lahan menurut Tingkat Kekritisan di BOPUNJUR (Ha) Status Lahan
Luas Lahan (Ha)
Proporsi (%)
2.280
18,43
956
7,73
Agak Kritis
1.541
12,46
Potensil Kritis
4.282
34,61
Tidak Kritis
3.390
26,76
Jumlah
12.371
100,00
Sangat Kritis Kritis
Sumber: http://www.sphbogor.perumperhutani.com
Setelah penetapan kawsan BOPUNJUR sesuai dengan Keppres 114/1999, Perum Perhutani tidak lagi melakukan kegiatan penebangan kayu. Sementara penataan hutan Kelas Perusahaan Pinus KPH Bogor dan KPH Cianjur tahun 2006 seperti berikut: 1. Reboisasi lahan dengan jenis tanaman yang sesuai dengan kelas perusahaan (Pinus) dan FGS (maesopsis) tahun 2002 sampai 2006 seluas 1.050 Ha dengan rincian Kawasan Pemangku Hutan (KPH) Bogor sebanyak 746 Ha. dan KPH Cianjur seluas 304 Ha, 2. Untuk kawasan yang kurang berfungsi Hidro-orologis yaitu seluas 3.482 Ha direboisasi tahun 2007 dan 2008. Untuk itu, dalam upaya mengoptimalkan fungsi hutan, baik secara ekologis, ekonomis dan sosial, telah dilaksanakan kegiatan pemasukan hasil bumi dan minyak (PHBM) di 31 desa pangkuan hutan memiliki nilai kontribusi sebesar Rp. 81.205.475/tahun untuk minyak di daerah hutan (MDH) Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Bogor dan Rp. 40.779.045/tahun untuk MDH KPH Cianjur. Pelaksanaan pemasukan hasil bumi dan minyak (PHBM) ini ke depan akan lebih intensif dan dilaksanakan lebih luas pada seluruh kawasan hutan secara bertahap supaya tekanan penduduk terhadap hutan diharapkan terus menurun dan terjadi peningkatan kontribusi
70
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 70
6/22/2010 6:23:38 PM
Analisis Biaya dan Manfaat
manfaat hutan bagi masyarakat serta dukungan masyarakat terhadap fungsi ekologis hutan16. Dalam hubungannya dengan persoalan tersebut, hasil kajian ini merekomendasikan hal-hal sebagai berikut: •
•
• • •
•
Meningkatkan daya dukung ekologis secara vegetatif (penutupan lahan) maupun secara sipil teknis dengan pembuatan bangunan konservasi tanah. Menerapkan kebijakan tidak melakukan kegiatan penebangan kayu pada kawasan HP (Hak Penguasaan) maupun HPT (Hak Penguasaan Terpadu). Pelaksanaan reboisasi pada lokasi yang kurang berfungsi hidroorologis. Pemilihan jenis tanaman harus disesuaikan dengan karakteristik biofisik kawasan. Pola dan jarak tanam mengakomodir kepentingan MDH mengingat tingkat interaksi yang tinggi terhadap kawasan hutan serta permasalahan sosial yang tinggi. Teknik silvikultur dan teknik sipil harus terpadu untuk diterapkan didalam kawasan hutan.
4.3 Analisis Eksistensi Lanskap Agrowisata Kesesuaian tata guna lahan (land use) untuk kawasan wisata sejalan dengan peranannya untuk menata keberlanjutan sumber daya alam (SDA) yang ada didalamnya. Dalam artian bahwa untuk mengelola suatu kawasan wisata maka harus menyesuaikannya dengan kondisi alam yang sebenarnya. Tidak memanipulasi hingga merusak alam itu sendiri.
16
http:www.sphbogor.perumperhutani.com tanggal 9 Februari 2009
71
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 71
6/22/2010 6:23:38 PM
Analisis Biaya dan Manfaat
Secara teoritis, tingkat kesesuaian suatu lahan mengacu pada faktor-faktor pembatas (limiting factor) yang ada pada kondisi existing kawasan tersebut. Tujuan utamanya sudah tentu untuk mendapatkan kondisi yang terideal sebagai kawasan wisata dengan segala aktifitas di dalamnya. Salah satunya adalah aktivitas wisata, yang biasa disebut agrowisata (agrotourism) yang tidak terlepas dari keberadaaan SDA yang ada. Agrowisata atau wisata pertanian mulai bermunculan di daerah pinggiran kota (urban fringe) atau juga di daerah perdesaan yang didominasi dengan lanskap pertaniannya. Lonjakan yang saat ini terasa drastis adalah agrowisata di kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (BOPUNJUR). Kawasan BOPUNJUR yang masih dalam satu gradien garis lurus dalam DAS Ciliwung, secara signifikan menjejakkan kiprahnya dalam wisatanya orang kota itu17. Berdasarkan Surat Keputusan bersama Menteri Pariwisata, Pos dan telekomunikasi dengan Menteri Pertanian yang dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) No KM 47/PW.DVM/ MPPT.88 dan No 204/KPTS/MK.050/4/1989, agrowisata diartikan sebagai suatu bentuk aktifitas yang memanfaatkan usaha agro sebagai obyek wisata dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman, rekreasi, dan hubungan usaha di bidang pertanian. Di sini jelas bahwa agrowisata bukan sekedar piknik dan tamasya saja, tetapi dibutuhkan suatu komoditas pertanian untuk merealisasikan apa yang disebut agrowisata. Tidak juga hanya sekedar hiburan, melainkan juga pengetahuan, pengalaman dan proses produksi komoditas tersebut. Proses produksi komoditas pertanian inilah yang sebenarnya merupakan nilai jual aktivitas agrowisata. Tanpa komoditas pertanian, agrowisata hanya menjadi wisata biasa saja. Produk yang disajikan dalam agrowisata tidak hanya pemandangan kawasan pertanian yang estetis dan nyaman saja, tetapi juga aktifitas para petani beserta 17
http://reganleanordkaswanto.blog.frindsite, Oktober 07
72
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 72
6/22/2010 6:23:38 PM
Analisis Biaya dan Manfaat
teknologi khas yang digunakan sedemikian rupa sehingga wisatawan juga dapat mengikuti aktitfitas tersebut. Disajikan juga nilai histori lokasi, budaya pertanian yang khas, arsitektur, atau pun aktifitasaktifitas yang menjadi keunikan kawasan tersebut. Aktifitas ini mencakup persiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemanenan, pengolahan pasca panen dan juga pemasarannya. Dalam aktifitas agrowisata, para petani didalamnya dapat menjadi objek bagian dari produk yang ditawarkan dan juga menjadi pemilik atau pengelola kawasan tersebut. Eksistensi lanskap agrowisata pada kawasan BOPUNJUR memberikan manfaat yang tidak sedikit, yakni (1) membantu mengonservasi lingkungan, (2) memberikan nilai estetika lingkungan, (3) merangsang kegiatan ilmiah dan ilmu pengetahuan, (4) sebagai tempat pemulihan (re-creation), (5) memberikan nilai ekonomi bagi rakyat di sekitarnya. Butir kelima telah menjadi statement yang sangat krusial karena aktifitas agrowisata tanpa keterlibatan masyarakat di sekitarnya, ibarat membangun kerajaan tanpa prajurit. Namun, perlu diperhatikan pula bahwa pengembangan lanskap agrowisata tidak lagi sekedar pembangunan ekonomi saja, tetapi juga merupakan proses pembangunan kebudayaan yang mengandung arti pengembangan dan pelestarian. Secara konkret harus diimplementasi bahwa agrowisata seyogyanyalah senantiasa melestarikan dan melindungi kekayaan yang ada didalamnya, apapun itu. Tidak hanya kekayaan alam tetapi juga kekayaan budaya, masyarakat, etnis, arsitektur dan sebagainya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (PP 47/1997), Kawasan BOPUNJUR dikategorikan sebagai kawasan tertentu yang memerlukan penanganan khusus dan merupakan kawasan yang mempunyai nilai
73
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 73
6/22/2010 6:23:38 PM
Analisis Biaya dan Manfaat
strategis yang penataan ruangnya harus diprioritaskan. Selain itu, sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan BOPUNJUR (Keppres 114/1999) ditetapkan fungsi utama kawasan sebagai kawasan lindung dan kawasan budidaya. Namun kenyataannya, penelitian Pusat Penelitian Biologi (P2BLIPI) menunjukkan bahwa 65% yang seharusnya menjadi kawasan lindung telah digunakan sebagai kawasan budidaya. Bisa dibayangkan bagaimana hebatnya perkembangan pembukaan lahan selama satu dasawarsa belakangan ini. Pembukaan lahan tidak hanya dilakukan oleh individu perorangan tetapi juga secara massal dan kolosal. 18
Beberapa investor terbukti telah membangun berbagai struktur dan fasilitas di kawasan BOPUNJUR. Sebagian bahkan mengembangkan kawasan rekreasi yang mereka kleim sebagai lanskap agrowisata. Perlu bercermin bahwa definisi agrowisata telah tercantum dalam SK Bersama seperti yang telah disebutkan di atas. Introduksi dan penetrasi para investor yang hanya berbasis ekonomi, economic based dan berorientasi pada uang, money oriented, sangat merugikan masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Pemerintah perlu melakukan monitoring dan actuating demi menjaga keberlangsungan kawasan BOPUNJUR. Karena banjir yang menjadi tradisi, benar-benar akan jadi heritage bagi generasi di masa mendatang. Kerusakan lingkungan bisa terjadi karena daya dukung lingkungan yang semakin merentan. Daya dukung yang sudah mulai rentan secara sekilas juga bisa dilihat dari kondisi lalu lintas di kawasan BOPUNJUR. Pertambahan jumlah kendaraan bermotor tidak diimbangi dengan pertambahan 18
Ibnu Maryanto & Rosichon Ubaidillah (2004); Manajemen Bioregional Jabodetabek: Profil & Strategi Pengelolaan Sungai dan Aliran Air, (P2B-LIPI), Jakarta.
74
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 74
6/22/2010 6:23:38 PM
Analisis Biaya dan Manfaat
ruas jalan, akibatnya sudah tentu adalah kemacetan. Saat weekend adalah puncak kemacetan di seluruh kawasan BOPUNJUR. Hampir di setiap persimpangan akan ditemui kemacetan. Ilustrasi ini menunjukkan bahwa demand kebutuhan masyarakat terhadap rekreasi sangat tinggi, namun disisi lain supply yang tersedia tidak mencukupi. Titik temu yang bisa diberikan untuk melindungi lingkungan tanpa melupakan sisi supply and demand itu adalah dengan lanskap agrowisata. Karena pengembangan agrowisata tidak boleh tidak harus memperhatikan, (1) daya dukung lingkungan, (2) diversitas, (3) estetika alam, (4) vandalisme, (5) polusi, (6) dampak sosial budaya, dan (7) pengelolaannya. Pengelolaan lanskap agrowisata yang baik selalu merupakan pengelolaan yang berbasiskan masyarakat (community based)19. Pengelolaan lanskap agrowisata selalu menunjukkan suatu usaha perbaikan kehidupan masyarakat di sekitarnya (terutama para petani) dengan memanfaatkan potensi sumberdaya yang ada secara fungsional berdaya guna dan secara estetika bernilai indah. Berhasilnya pengelolaan lanskap agrowisata diawali dengan pemilihan lokasi pengembangan lanskap agrowisata. Lokasi yang ideal adalah daerah yang masyarakatnya memperlihatkan tata hidup tradisional dan memiliki pola kehidupan sistem pertanian secara luas termasuk berdagang dan sebagainya serta berada tidak jauh dari lalu lintas wisata yang cukup padat. Pemilihan lokasi ini memenangkan aspek supply-demand yang telah disebutkan di atas. Langkah berikutnya adalah penzonasian (zoning). Penzonasian lanskap agrowisata terdiri dari (1) zona penyangga (buffer zone), (2) zona pemanfaatan (activities zone), (3) zona rimba (wilderness zone) dan (4) zona inti (sanctuary zone). 19
Pusat Penelitian Biologi LIPI, Manajemen Bioregional Jabodetabek: Profil & Strategi Pengelolaan Sungai & Aliran Air, Bogor, P2B-LIPI, 2004
75
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 75
6/22/2010 6:23:38 PM
Analisis Biaya dan Manfaat
Semakin ke inti maka pengelolaan semakin ekstensif, sebaliknya semakin ke luar maka pemanfaatannya semakin intensif. Pola pengolaan yang seperti ini sangat sesuai untuk kawasan BOPUNJUR. Sementara itu, prospek pengembangan lanskap agrowisata di kawasan BOPUNJUR dapat dilihat melalui tiga aspek, yaitu (1) potensi objek agrowisata, di mana kawasan BOPUNJUR telah mempunyai supply SDA pertanian yang melimpah, (2) potensi pasar, actual-demand dan potential-demand masyarakat terhadap agrowisata saat ini yang semakin meningkat, dan (3) kondisi dan perkembangan infrastruktur, yakni transportasi, telekomunikasi, akomodasi, dan jaminan keamanan. Bila ketiganya sudah terbenahi dengan baik dan benar, maka pengembangan lanskap agrowisata bukanlah masalah. Secara praktis, pengembangan lanskap agrowisata di kawasan BOPUNJUR bisa langsung diterapkan, karena didominasi oleh lanskap perdesaan. Artinya lanskap agrowisata akan berangkat dari lanskap perdesaan yang merupakan given area yang sesuai. Strategi pengembangan lanskap agrowisata perdesaan dipandang sebagai unsur pengembangan masyarakat yang lebih fundamental karena berbasiskan pada masyarakat, dan orientasinya menyangkut kemampuan mandiri manusia pada lanskap perdesaan. Semua program pengembangan sepatutnya bertindak sebagai motivator, inovator dan dinamisator terhadap pertumbuhan dan perkembangan masyarakat menurut proses evolusi perdesaan yang wajar. Dengan demikian idealisasi lanskap perdesaan sebagai lanskap agrowisata di kawasan BOPUNJUR hendaknya akan segera terealisasi. Saat ini beberapa arah pengembangan lanskap agrowisata telah diimplementasikan di kawasan lanskap perdesaan. Dalam tiga tahun ke depan akan dapat dilihat realita agrowisata yang mampu mengakomodir
76
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 76
6/22/2010 6:23:38 PM
Analisis Biaya dan Manfaat
supply-demand dengan tidak melupakan pembangunan keberlanjutan lingkungan BOPUNJUR.
4.4 Sebuah Catatan Pembangunan di kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur (BOPUNJUR) tidak terkontrol, padahal lahan konservasi di kawasan itu telah ditetapkan pemerintah pusat sebagai area tangkapan air bagi wilayah DKI Jakarta. Dalam hal ini, seharusnya lahan konservasi itu dipertahankan dengan baik. Jika pembangunan tidak terkendali, akibatnya bisa kita lihat sekarang in di mana membuat wilayah Provinsi Jawa Barat makin sensitif dengan kemungkinan terjadinya bencana. Alih fungsi lahan yang mengakibatkan hutan berkurang drastis untuk pembangunan rumah dan/atau vila menimbulkan potensi bencana karena daerah resapan air berkurang drastis. Tambah lagi, hutan dirambah, pepohonan ditebangi, area perkebunan swasta yang habis hak guna usahanya dibangun vila-vila sehingga kita sedih jika melihat lahan konservasi yang sudah dikapling-kapling kemudian dijual bebas, malahan kini semakin sulit dikendalikan. Keyataan ini sama kondisinya dengan kawasan Bandung Utara yang juga sangat sulit dikendalikan. Akibatnya, daerah Jabar menuai bencana banjir dan longsor, khususnya di daerah hilir seperti Karawang dan daerahdaerah dipantai utara lainnya. Demikian pula dengan Pantai Utara (Pantura) DKI Jakarta yang lokasinya berada dibawah dataran tinggi BOPUNJUR. Padahal berdasarkan Keppres No 114/1999 tentang BOPUNJUR menegaskan bahwa area BOPUNJUR ditetapkan sebagai daerah konservasi. Oleh sebab itu, berbagai pendapat para ahli bahwa banjir di Jakarta sebetulnya adalah ketidak-pekaan pemangku jabatan terhadap masalah-masalah pembangunan yang memiliki perspektif jangka panjang. Kenyataan menunjukkan bahwa persoalan pengelolaan 77
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 77
6/22/2010 6:23:38 PM
Analisis Biaya dan Manfaat
banjir masih bias Jakarta, padahal daerah-daerah lain juga perlu perhatian yang tidak kalah pentingnya. Penyebab banjir sebetulnya hanya ada 3 faktor alam dan selebihnya adalah akibat tindakan manusia. Dari fenomena fisik (faktor alam) adalah terjadinya pasang purnama (pasang tinggi), curah hujan ekstrim di Jakarta dan Bogor selama 5 hari dan multifungsi dari tata ruang serta eksploitasi berlebih dari alam merupakan faktor yang menyebabkan timbulnya volume air hujan yang mengalir ke permukaan secara luas biasa. Untuk permasalahan perubahan tata guna lahan di kawasan BOPUNJUR, masih perlu pengkajian lebih lanjut mengenai dampaknya serta kemungkinan intervensi teknologi pengelolaam banjir dalam menyimpulkan pengaruhnya terhadap timbulnya banjir. Di Kawasan BOPUNJUR, khuisusnya di kabupaten Bogor yang mempunyai 450 situ sebanyak 93 situ yang tersebar di wilayah Kabupaten Bogor seluas 450 hektare, hanya 30% yang masih berfungsi, dan sisanya (70%) harus direhabilitasi. (Oles sebab itu, rehabilitasi situ di kabupaten Bogor harus dilakukan guna menampung luapan air dari kawasan BOPUNJUR, terutama pada musim hujan. . Terjadinya banjir sebenarnya ada di kawasan BOPUNJUR, namun pada kenyataannya Jakarta menjadi tempat genangan air atau banjir. Pasalnya, tutupan lahan yang berupa hutan di Jawa tinggal 35 persen sehingga menjadi persoalan yang kompleks dan memberikan kontribusi terhadap kemampuan penyerapan lokal dari air hujan. Hal ini diperkuat oleh hasil pencitraan dengan Landsat menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan tata guna lahan di Gunung Pangrango yang signifikan. Selain itu, masterplan banjir DKI Jakarta belum mampu mengakomodasikan atau justru mengantisipasi perubahan cepat dari pembangunan perkotaan. Sebagai contoh, telah terjadi konversi dari daerah rawa (Rawasari, Rawamangun, Rawabadak, Rawajati) menjadi kawasan terbangun. Demikian pula, perubahan dari pulau
78
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 78
6/22/2010 6:23:38 PM
Analisis Biaya dan Manfaat
(pulo) seperti Pulogadung, Pulogebang, Pulokambing. Persiapan atau perencenaan yang kurang menyebabkan terjadinya kelompok rentan (miskin, anak-anak, wanita hamil dan lanjut usia) menjadi potensi korban lanjutan akibat banjir, terutama munculnya berbagai penyakit. Oleh karena itu, kontrol penyebaran penyakit perlu dilakukan dengan segera dan prioritas harus diberikan kepada upaya perolehan air bersih dan listrik.
79
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 79
6/22/2010 6:23:38 PM
Analisis Biaya dan Manfaat
80
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 80
6/22/2010 6:23:38 PM
Kesimpulan dan Saran
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini telah terjadi perubahan fungsi lahan di kawasan BOPUNJUR dari lahan pertanian bahan makanan, perkebunan maupun kehutanan menjadi kawasan wisata yang menumbuhkan berbagai hutan beton, seperti perhotelan, pemukiman mewah maupun tempat-tempat hiburan. Kondisi ini memungkinkan bisa terjadi karena kawasan ini memiliki topografi yang indah serta udara sejuk yang sesuai untuk kegiatan pengembangan pariwisata. Namun bagaimanapun perubahan fungsi lahan mempunyai dampak, baik pengangruh langsung maupun pengaruh tidak langsung, terhadap aktivitas sosial dan ekonomi di kawasan BOPUNJUR dan sekitarnya, tentunya. Dampak tersebut bisa menghasilkan sesuatu yang positif maupun negatif. Beberapa catatan dari dampak tersebut antara lain bisa diinventarisasikan sebagai berikut : a) Secara kualitatif manfaat, benefit, yang diperoleh dari perubahan fungsi itu cenderung lebih rendah apabila dibandingkan dengan biaya, cost, yang ditimbulkan oleh perubahan fungsi tersebut. Sementara itu, biaya yang ditimbulkan oleh perubahan fungsi itu harus ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah daerah setempat, b) Dalam beberapa dasawarsa belakangan ini, perubahan fungsi lahan itu diperlihatkan melalui berkurangnya lahan pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan maupun daerah 81
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 81
6/22/2010 6:23:38 PM
Kesimpulan dan Saran
aliran sungai yang “disulap” menjadi daerah pariwisata yang diperlihatkan dengan berdirinya berbagai perhotelan, pusatpusat wisata maupun hiburan, c) Jelas, besarmya tuntutan atau permintaan terhadap pengembangan lahan pariwisata di kawasan BOPUNJUR telah menimbulkan berbagai spekulasi bagi penguasa dan/atau pengusaha untuk memperoleh keuntungan yang tidak wajar, rent seeking economy, nampaknya. Mereka berkolusi untuk mendaptkan lahan semurah mungkin dari petani dan menjualnya semahal mungki kepada calon pembeli dari kota. Mereka disebut dengan RCTI (Rayon Calo Tanah Indonesia), d) Hilangnya lahan pertanian bahan makanan, perkebunan maupun kehutanan juga memperkuat kecenderungan penduduk lokal merantau ke kota-kota besar untuk menajajakan tenaganya sebagai kuli (buruh kasar) bangunan dan sejenisnya karena mereka tidak bisa bekerja dalam bentuk aktivitas pariwisata yang memerlukan ketrampilan khusus, e) Sebaliknya, pesatnya perkembangan pariwisata di kawasan BOPUNJUR mengundang pesatnya para pekerja pariwisata dari berbagai penjuru kota dan setiap liburan kawasan BOPUNJUR dipadati oleh wisatatawan, baik wisatawan mancanegara (WISMAN) maupun wisatawan nusantara (WISNU),
5.2 SARAN Dari kesimpulan yang telah diangkat di dalam penelitian ini, tentu studi ini juga memberikan beberapa saran agar dapat dimanfaatkan oleh para pengambil keputusan atau pada para peneliti yang akan melanjutkan studi ini. Saran tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
82
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 82
6/22/2010 6:23:38 PM
Kesimpulan dan Saran
a) Pengembangan pariwisata di BOPUNJUR hendaknya masih bisa tetap mampu mempertahankan fungsi-fungsi ekologi dari kawasan melalui usaha pengembangan jenis EKOWISATA, walau masih mampu menumbuhkan fungsi-fungsi sosial dan produksi di kawasan BOPUNJUR tersebut, b) Di dalam pengembangan EKOWISATA harus memperhatikan keseimbangan ekosistem sehingga tidak mengganggu keseimbangan biosfir, dan c) Untuk itu pelaku pengelolaan EKOWISATA harus didasarkan pada pemberdayaan masyarakat, community development, yang dilakukan oleh masyarakat lokal/setempat.
83
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 83
6/22/2010 6:23:38 PM
Kesimpulan dan Saran
84
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 84
6/22/2010 6:23:39 PM
Daftar Pustaka
DAFTAR PUSTAKA
Alan Grifith & Start Wall (1996); International Microeconomics, Theory and Applications, Longman, London and NewYork. Badan Pusat Statistik, 2002, Kabupaten Bogor Dalam Angka (Cibinong : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor) Bahari, W., et.al., 2006. Sekilas Tentang Konservasi (Jakarta : Ditjen PHKJICA) Bappeda Propinsi Jawa Barat, 2009, Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPAD) Jawa Barat 2009 III-12, Bandung. Badan Perencanaan Daerah, 2002, Kebijakan Pemerintah Kabupaten Bogor dalam Pembangunan DAS Ciliwung (Cibinong : Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor( _____________, 2002, Konsepsi dan Kinerja Penataan Ruang Kawasan BOPUNJUR-Jabotabek (Cibinong : Kabupaten Bogor) Bartelmus, P., 1996, The Valuation of Nature: Valuation and Evaluation in Environmental Accounting (Tokyo : IARIW) Dinas Cipta Karya, 2002, Upaya Penertiban Bangunan Kawasan Parimeter Puncak Dinas Cipta Karya Kabupaten Bogor (Cibinong : Dinas cipta Karya Kabupaten Bogor) Departemen Kehutanan. 2001. Kriteria dan Indikator Pengelolaan DAS Ciliwung. Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Rehabilitasi dan Perhutanan Sosial. Badan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Citarum Ciliwung. Jakarta.
85
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 85
6/22/2010 6:23:39 PM
Daftar Pustaka
_____________, 2000, Pengembangan Sistem Insentif Dalam Rangka Rehabilitasi Lahan/Penghijauan di DAS Ciliwung Bogor: Kerjasama Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan dengan Fakultas Kehutanan IPB Bogor) _____________, 2001. Pedoman Penyelengaara Pengelolaan DAS. Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Rehabilitasi dan Perhutanan Sosial, Jakarta. Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, 2003, Kaji Ulang Rencana Detil Tata Ruang Kawasan Puncak. Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Direktorat Jenderal Penataan Ruang Jakarta. Duerr, W. A., 1993, Introduction to Forest Resource Economics Colorado : McGraw Hill Emerson, C., 1984, Mining Taxation in ASEAN, Australia and Papua New Guinea Kuala Lumpur : ASEAN-Australia Joint Research Projects. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, 2000, Studi Nilai Sewa dan Pajak Sumberdaya Alam, Bogor : Lembaga Studi Kebijakan dan Manajemen Hutan Tropika FK-IPB. Hakim, L. 2004. Dasar-Dasar Ekowisata, Malang : Bayumedia Publishing Istiadi, Y., et. al., ed., 1997, Manajemen Bioregional Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, Taman Nasional Gunung Halimun dan gunung Salak, Jakarta : LIPI-UI Kedeputian IPSK-LIPI, 2004, Lokakarya Nasional Pengelolaan Kawasan JABOPUNJUR untuk Pemberdayaan Sumber Daya Air, Jakarta : IPSK-LIPI, 30-31 Maret)
86
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 86
6/22/2010 6:23:39 PM
Daftar Pustaka
Kodoatie, R. J., et. al., eds., 2002, Pengelolaan Sumber Daya Air dalam Otonomi Daerah, Andi, Yogyakarta. Lim, D., et. al., 1985, Development Problems of Resource-Rich Countries : A Study of Papua New Guinea, Canberra : --) McVey, R., ed., 1992, Kaum Kapitalis Asia Tenggara, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Mustaruddin, 2008, Model Pengaruh Penyebaran Logam Berat Akibat Cemaran Industri pada Perairan Umum terhadap Nilai Ekonomi Air; Studi Kasus Kali Cakung Dalam (anak Kali Ciliwung) di Roroton-Marunda Jakarta Utara, Bogor -: IPB) Nan Arifjaya dan Lilik B Prasetio (004); Dampak Perubahan Lahan terhadap Perubahan Aliran Permukaan di setiap Kecamatan di DAS Ciliwung dalam Manajemn Bioregional Jabodetabek, Puslit Biologi LIPI Noerdjito, M, I. Maryanto dan R. Ubaidillah, 2006, Manajemen Bioregional : Atlas Tematik JABODETABEK, Dilengkapi dengan Peta Rekomendasi Peta Dasar dan Peta Akibat Dinamika Manusia Bogor: Pusat Penelitian Biologi LIPI. Pearce, D. W., 1990, Sustainable Development : An Economic Perspective, London : International Institution of Economic Development. Pusat Penelitian Biologi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPBLIPI) (2004); Manajemen Bioregional Jabodetabek, PPB-LIPI, Cibinong 2004. Sen, A. K., 1984, Resources, Values and Development, Oxford : Basic Blackwell.
87
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 87
6/22/2010 6:23:39 PM
Daftar Pustaka
Soeriadmadja, 2002, Hubungan Timbal Balik Manusia dan Sungai (dan Danau) : Kasus Pengembangan Sistem Pengelolaan Terpadu Sungai Ciliwung, Bogor : mimeograph. Sudarto, G, 1999. Ekowisata, Bekasi : Yayasan Kalpataru. Suparmoko, 1996, Ekonomi Sumber Daya Alam (Jakarta : Gajahmada University Press) Sukarna Wiranta, 1990, Analisis Biaya Manfaat BLK Departemen Tenaga Kerja RI, Jurnal Masyarakat Indonesia, Volume XVII No 2, Desember, Jakarta Widada, B., 2008. Mendukung Pengelolaan Taman Nasional yang Efektif, Jakarta : Ditjen PHK-JICA Widada, B., et. al., 2006. Sekilas Tentang Konservasi, Jakarta: Ditjen PHK-JICA http://reganleanordkaswanto.blog.frindsite, 2007, Oktober http://www.spph.itb.ac.id/ppk/index http://regional.com tanggal 9 Februari 2009 http://www.sphbogor.perumperhutani.com http:www.sphbogor.perumperhutani.com tanggal 9 Februari 2009 http://westjava.invest.com http://www.satunews.com http://www2.kompas.com http://www.sappk.itb.ac.id/ppk/index http:www.sphbogor.perumperhutani.com tanggal 9 Februari 2009 http://westjava.invest.com http://www.satunews.com http://www2.kompas.com
88
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 88
6/22/2010 6:23:39 PM
Lampiran
LAMPIRAN Lampiran 1 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 114 TAHUN 1999 TENTANG PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR-PUNCAK-CIANJUR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : A.
Bahwa fungsi utama Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur sebagai konservasi air dan tanah kurang berfungsi sebagaimana mestinya akibat perkembangan pembangunan yang pesat dan kurang terkendali, sehingga pemanfaatan ruangnya perlu ditertibkan kembali;
B.
Bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Kawasan BogorPuncak-Cianjur dikategorikan sebagai kawasan tertentu yang memerlukan penanganan khusus dan merupakan kawasan yang mempunyai nilai strategis sebagai kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya bagi wilayah Daerah Propinsi Jawa Barat dan wilayah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
C.
Bahwa pemanfaatan ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 79 Tahun 1985 tentang Penetapan Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Puncak dan Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 1983 tentang
89
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 89
6/22/2010 6:23:39 PM
Lampiran
Penanganan Khusus Penataan Ruang dan Penertiban serta Pengendalian Pembangunan pada Kawasan Pariwisata Puncak dan Wilayah Jalur Jalan Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur di wilayah luar daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kotamadya Bogor, Kota Administratif Depok, Kota Cianjur, dan Kota Cibinong, sudah tidak dapat menjadi acuan dalam menjamin konservasi air dan tanah; D.
Bahwa untuk menjamin berlangsungnya konservasi air dan tanah sesuai dengan fungsi utama Kawasan Bogor-PuncakCianjur, maka penataan ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur perlu disempurnakan dengan Keputusan Presiden;
Mengingat : 1.
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
3.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3721);
5.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;
90
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 90
6/22/2010 6:23:39 PM
Lampiran
MEMUTUSKAN : Menetapkan: Keputusan Presiden tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan: 1.
Rencana Rata Ruang adalah hasil Perencanaan Tata Ruang.
2.
Penataan Ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
3.
Kawasan tertentu adalah kawasan yang ditetapkan secara nasional mempunya nilai strategis yang penataan ruangnya diprioritaskan.
4.
Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
5.
Kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang karena keadaan dan sifat fisik wilayah perlu dibina dan dipertahankan sebagai hutan dengan penutupan vegetasi secara tetap guna kepentingan pengaturan tata air, pencegahan bahaya banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah baik dalam kawasan hutan yang bersangkutan maupun kawasan disekitarnya, dan kawasan bawahannya.
6.
Kawasan cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. 91
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 91
6/22/2010 6:23:39 PM
Lampiran
7.
Kawasan taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang di dalamnya terdapat jenis-jenis tumbuhan, satwa atau ekosistem yang khas, yang dikelola dengan sistem zonasasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya dan pariwisata.
8.
Kawasan taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata alam.
9.
Sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai.
10.
Kawasan sekitar mata air adalah kawasan di sekeliling mata air yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi mata air.
11.
Kawasan sekitar waduk/danau/situ adalah kawasan di sekeliling waduk/danau/situ yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian waduk/danau /situ.
12.
Situ adalah suatu wadah genangan air di atas permukaan tanah yang terbentuk secara alami maupun buatan yang airnya berasal dari tanah atau air permukaan sebagai siklus hidrologis yang potensial dan merupakan salah satu bentuk kawasan lindung.
13.
Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan.
14.
Kawasan budidaya pertanian tanaman tahunan/perkebunan adalah kawasan budidaya pertanian dengan tanaman tahunan/perkebunan sebagai tanaman utama yang dikelola dengan masukan teknologi sederhana sampai tinggi dengan
92
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 92
6/22/2010 6:23:39 PM
Lampiran
memperhatikan asas konservasi tanah dan air. Kawasan ini bisa berupa perkebunan besar, perkebunan rakyat, maupun hutan produksi. 15.
Kawasan budidaya pertanian lahan basah adalah kawasan budidaya pertanian yang memmiliki sistem pengairan tetap yang memberikan air secara terus menerus sepanjang tahun, musiman atau bergilir dengan tanaman utama padi.
16.
Kawasan budidaya pertanian tanaman pangan lahan kering adalah areal lahan kering yang keadaan dan sifat fisiknya sesuai bagi tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan. Kawasan ini berupa areal pertanian dengan sistem pengelolaan lahan kering dengan kegiatan utama pertanian tanaman pangan, dan dapat dikombinasikan dengan perkebunan tanaman hortikultura dan atau usaha tani peternakan.
17.
Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal/ lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
18.
Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
19.
Kawasan perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
93
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 93
6/22/2010 6:23:39 PM
Lampiran
20.
Menteri adalah menteri yang bertugas mengkoordinasikan penataan ruang sebagai-mana dimaksud pada Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992.
21.
Gubernur adalah Gubernur Jawa Barat.
22.
Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bogor, Kota Depok dan Kabupaten Tangerang.
23.
Bupati/Walikota adalah Bupati Bogor, Bupati Cianjur, Bupati Tangerang, dan Walikota Depok.
24.
Koefisien Dasar Bangunan (KDB) adalah perbandingan antara luas dasar bangunan dengan luas persil/tanah.
25.
Koefisien Lantai Bangunan (KLB) adalah perbandingan antara luas lantai bangunan dengan luas persil tanah.
26.
Indeks Konservasi Alami adalah parameter yang menunjukkan kondisi hidrologisideal untuk konservasi yang dihitung berdasarkan variabel curah hujan, jenis batuan, kelerengan, ketinggian dan guna lahan.
27.
Indeks Konservasi Aktual adalah parameter yang menunjukkan kondisi hidrologis yang ada untuk konservasi yang dihitung berdasarkan variabel curah hujan, jenis batuan, kelerengan, ketinggian dan guna lahan. Pasal 2
Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur selanjutnya disebut kawasan BOPUNJUR adalah kawasan konservasi air dan tanah yang meliputi 19 (sembilan belas) kecamatan dan hasil pemekarannya di Daerah Kabupaten Bogor, Daerah Kabupaten Cianjur, Daerah Kota Depok dan Daerah Kabupaten Tangerang pada Daerah Propinsi Jawa Barat, yang terdiri dari, :
94
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 94
6/22/2010 6:23:39 PM
Lampiran
y
11 (sebelas) Kecamatan di Daearh Kabupaten Bogor meliputi wilayah : 1) Kecamatan Ciawi; 2) Kecamatan Cibinong; 3) Kecamatan Citeureup; 4) Kecamatan Gunung Putri; 5) Kecamatan Sukaraja; 6) Kecamatan Parung; 7) Kecamatan Kemang; 8) Kecamatan Gunung Sindur; 9) Kecamatan Cisarua; 10) Kecamatan Megamendung; 11) Kecamatan Bojong Gede.
y
3 (tiga) Kecamatan di Daerah Kabupaten Cianjur meliputi wilayah: 1) Kecamatan Cugenang; 2) Kecamatan Pacet; 3) Kecamatan Sukaresmi.
y
3 (tiga) Kecamatan di daerah Kota Depok meliputi wilayah: 1) Kecamatan Cimanggis; 2) Kecamatan Sawangan; 3) Kecamatan Limo.
y
2 (dua) Kecamatan di Daerah Kabupaten Tangerang meliputi wilayah: 1) Kecamatan Ciputat; 2) Kecamatan Pamulang.
95
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 95
6/22/2010 6:23:39 PM
Lampiran
Lampiran 2 DAFTAR PERTANYAAN Penilaian Biaya-Manfaat Perubahan Fungsi Kawasan Bogor, Puncak dan Cianjur : Sebuah Studi Kasus A. RESPONDEN ELIT POLITIK 1. Sepengetahuan Bapak/Ibu selama satu/dua dasawarsa ini terjadi pembangunan pemukiman (rumah dan atau vila/rumah mewah) di sekitar sini? a) Biasa b) Meningkat c) Sangat meningkat 2. Siapa sajakah pemilik vila atau rumah mewah tersebut? a) Penduduk setempat b) Kabupaten tetangga c) Jakarta/Bandung 3. Seberapa jauh mereka mampu mendorong perekonomian daerah? a) Penyerapan tenaga kerja, b) Pertumbuhan warung/kakilima c) Perkembangan pasar (harian/mingguan/bulanan) 4. Apakah pembangunan vila atau rumah mewah tersebut memenuhi perencanaan tata ruang? 5. Seberapa jauh pengetahuan bapak/ibu tentang peren-canaan tata ruang yang akomodatif? 6. Apakah tata ruang yang telah tersusun itu dibuat telah sesuai dengan kebutuhan peruntukan lahan di daerah ini ? Kalau tidak, kenapa? 96
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 96
6/22/2010 6:23:39 PM
Lampiran
B. RESPONDEN MASYARAKAT 1. Bapak/ibu berasal dari mana? 2. Apa pekerjaan sehari-hari Bapak/ibu? 3. Bagaimana perkembangan ekonom bapak/ibu selama berusaha disini? 4. Apakah jumlah masyarakat yang bekerja seperti ini meningkat selama 10 tahun terakhir ini? 5. Apakah tempat usaha bapak/ibu ini telah mendapatkan ijin resmi dari Pemda? 6. Kalau tidak, apakah bapak/ibu harus membayar retribusi? Bila ya, kepada siapa bapak/ibu harus membayar?
97
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 97
6/22/2010 6:23:40 PM
Lampiran
Lampiran 3 Peta Tematik 1 Kawasan Rawan Banjir di Wilayah DKI Jakarta, 2004
Peta Tematik 2 Kawasan Hutan dan Perkebunan di Wilayah JABODETABEK
98
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 98
6/22/2010 6:23:40 PM
Lampiran
Peta Tematik 3 Geologi Wilayah JABODETABEK
Peta Tematik 4 Batas Administrasi Wilayah JABODETABEK
99
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 99
6/22/2010 6:23:40 PM
Lampiran
Peta Tematik 5 Daerah Aliran Sungai Wilayah JABODETABEK
Peta Tematik 6 Debit Air Hujan Wilayah JABODETABEK
100
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 100
6/22/2010 6:23:40 PM
Lampiran
Peta Tematik 7 Prioritas Penghijauan untuk Peresapan dan Penguapan Air Larian di Cekungan Jakarta
101
lap dikti revisi-2- Hari Susanto.indd 101
6/22/2010 6:23:40 PM