Policy Brief No. 001/IP/2016
PENGUATAN PROGRAM LISTRIK PERDESAAN BERBASIS TENAGA SURYA Maxensius Tri Sambodo, Ahmad Helmy Fuady, Siwage Dharma Negara, Felix Wisnu Handoyo, Erla Mychelisda, dan Rio Vandra
Economic Research Center Indonesian Institute of Sciences 4th-5th Fl. Widya Graha LIPI, Jl. Jend. Gatot Subroto 10 Jakarta Telp. +6221 5207120 www.ekonomi.lipi.go.id
Bridging research to policy
POLICY BRIEF No. 001/IP/2016
Economic Research Center Paper Series is published electronically by Economic Research Center, Indonesian Institute of Sciences ©
Copyright is held by the author or authors of each Policy Brief
Economic Research Center Policy Brief cannot be republished, reprinted, or reproduced in any format without the permission of the paper’s author or authors. Note: The views expressed in each paper are those of the author or authors of the paper. They do not necessarily represent or reflect the views of the Economic Research Center, its Editorial Committee or of Indonesian Institute of Sciences.
ISBN 978-602-6303-02-8
The Economic Research Centre - Indonesian Institute of Sciences (P2E-LIPI) is one of the Indonesian Government Research Institutes established in 1967. P2E-LIPI plays a leading role in the field of economic and development policy research. The Centre is previously known as The National Economic and Social Institution (Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional/ LEKNAS), then LEKNAS-LIPI was reorganized into the Centre for Economics and Development Studies Indonesian Institute of Sciences (Pusat Penelitian Pengembangan Ekonomi dan Pembangunan/PEPLIPI) in 1986. Based on President Decree No. 178/2000 on December 15th, 2000 and LIPI Director Decree No.1151/M/2001 June, PEP-LIPI has been renamed to the Economic Research Center – Indonesian Institute of Sciences (Pusat Penelitian Ekonomi/P2E-LIPI) in 2001. P2E-LIPI consists of three Research Group: Regional Development, Industrial and Trade, Finance and Banking. The main objective of P2E is to advice the government on all economic and development issues, both on national and international economic issues. The focus issues are poverty reduction; economic governance and competitiveness; and infrastructure. The center also carries out joint research, in collaboration with domestic and international research institutions.
PENGUATAN PROGRAM LISTRIK PERDESAAN BERBASIS TENAGA SURYA Maxensius Tri Sambodo, Ahmad Helmy Fuady, Siwage Dharma Negara, Felix Wisnu Handoyo, Erla Mychelisda, dan Rio Vandra
LATAR BELAKANG Tingkat konsumsi listrik per kapita di Indonesia masih sangat rendah dan kesenjangan akses listrik yang besar antara desa dan kota Sektor ketenagalistrikan di Indonesia dihadapkan dapat tiga permasalahan utama. Pertama, masih tingginya jumlah penduduk yang belum memiliki akses listrik yaitu mencapai sekitar 60 juta orang. Kedua, adanya ketimpangan akses listrik yang besar antara kota dan desa. Ketiga, tingkat konsumsi listrik per kapita yang masih rendah. Dengan demikian, upaya menggenjot produksi listrik listrik nasional, menjamin tingkat pemertaan akses dan kuantitas pasokan menjadi tugas berat yang perlu segera diselesaikan oleh pemerintah. Tabel 1 Komparasi Akses dan Konsumsi Listrik Negara ASEAN Tahun 2012 Negara Penduduk Rasio Rasio Rasio Konsumsi tanpa elektrifikasi elektrifikasi elektrifikasi listrik per akses nasional kota desa kapita(kWh )* listrik % % % (juta) Brunei 0 100 100 99 9,092 Kamboja 10 34 97 18 207 Indonesia 60 76 92 59 730 Laos 1 78 93 70 .. Malaysia 0 100 100 99 4,345 Myanmar 36 32 60 18 153 Filipina 29 70 89 52 672 Singapura 0 100 100 100 8,690 Thailand 1 99 100 99 2,465 Vietnam 4 96 100 94 1,273 Sumber: World Energy Outlook; *World Development Indicators
Guna meningkatkan akses listrik khususnya bagi masyarakat perdesaan, sejak tahun 2011 pemerintah telah menganggarkan dana alokasi khusus (DAK) untuk listrik perdesaan. Di tahun 2013, pemerintah mengganti istilah DAK listrik perdesaan menjadi DAK energi perdesaan. Namun demikian, belum ditemukan suatu pola yang kuat akan korelasi antara peningkatan anggaran listrik perdesaan dengan peningkatan rasio elektrifikasi. Dengan 1|Policy Brief No. 001/IP/2016
mengumpulkan total anggaran yang telah diberikan untuk program listrik perdesaan dan perubahan rasio elektrifikasi antara tahun 2011 dan 2014, terlihat bahwa semakin banyak dana diberikan maka peningkatan rasio elektfikasi belum berubah banyak. Hal ini tentu perlu menjadi perhatian pemerintah untuk mengkaji ulang program listrik perdesaan yang telah berjalan selama ini.
Peningkatan rasio elektrifikasi (%)
60 50 40 30 20
R² = 0,0071 10 0 25,8
26
26,2
26,4
26,6
26,8
27
27,2
Log kumulatif dana program listrik perdesaan
Gambar 1: Korelasi antara peningkatan rasio elektrifikasi dan kumulatif anggaran listrik perdesaan di tingkat provinsi (2011 – 2014) Meningkatkanya alokasi anggaran listrik perdesaan belum menjamin percepatan peningkatan rasio elektrifikasi AKAR PERMASALAHAN Kegagalan koordinasi (coordination failure) menjadi penyebab utama lemahnya keberlanjutan listrik perdesaan Program listrik perdesaan dengan sistem tenaga surya (PLTS) baik yang bersifat kepemilikan tunggal atau solar home system (SHS) dan bersama (communal), mendapat perhatian sangat besar dari pemerintah. Saat ini model tersebut berjalan dengan melibatkan banyak pihak (gambar 2). Tim peneliti menilai model tersebut tidak berkelanjutan karena: (i) berorientasi pada capaian fisik dan mengabaikan pengembangan kapasitas pengelolaan; (ii) tidak terdapat standar yang sama dalam teknis peralatan, pengeloaan dan pembiayaan (tabel 2); dan (iii) kurang mengoptimalkan peranan pemerintahan desa.
2|Policy Brief No. 001/IP/2016
KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, DIREKTORAL JENDERAL ENERGI BARU, TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI (EBTKE)
PT. PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA (PERSERO)
PEMERINTAH PROVINSI
PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA, DINAS ENERGI DAN PERTAMBANGAN
Kementerian lainnya (lewat SKPD terkait), LSM, dan Swasta
SHS
SEHEN RUMAH TANGGA SASARAN (RTS)
Gambar 2 Model off grid yang saat ini berjalan – Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Apabila ditinjau dari aspek keberlanjutan program, maka program SEHEN lebih menjanjikan dibandingkan program SHS. SEHEN dikelola oleh PLN yang memiliki kompetensi dan kapasitas dalam bidang pemasangan dan pemeliharaan sistem ketenagalistrikan. Sedangkan program SHS belum didukung penuh oleh bantuan pemeliharaan dan kurannya dana untuk rehabilitasi apabila terjadi kerusakan. Dengan demikian, jika keberlanjutan program menjadi prioritas maka perlu dilakukan evaluasi atas program SHS yang membebankan seluruh biaya perawatan kepada masyarakat. Program PLTS yang berjalan belum memiliki standar yang sama dalam dari sisi teknis dan manajerial
3|Policy Brief No. 001/IP/2016
Tabel 2: Perbedaan Utama antara Program PLTS ESDM dan PLTS PLN Indikasi ESDM PLN Iuran pemanfaatan Untuk SHS gratis; dan PLTS Dikenakan beban pemakaian terpusat ada iuran yang besarnya tiap bulan Rp 35.000 utk ditentukan oleh kesepakatan SEHEN dan untuk PLTS antara masyarakat pengguna terpusat mengikuti tarif golongan sosial (S1) yaitu Rp 18.400 per bulan Penanggung jawab Dinas terkait, dan kontraktor PLN-Ranting ketika proyek dalam masa garansi, dan setelah beroperasi dikelola oleh masyarakat melalui organisasi masyarakat setempat (OMS) untuk PLTS terpusat dan untuk SHS menjadi milik rumah tangga penerima Kapabilitas teknis Terbatas Kompetensi utama Askses spare part Masyarakat mencari sendiri Menjadi tanggung jawab PLN Kemudahan Dikelola masyarakat (mudah) Membutuhkan biaya membayar tagihan transportasi ke bank/kantor PLN terdekat Daya listrik (per 50 - 100 WP 12 WP untuk SEHEN dan daya rumah tangga) PLTS bervariasi dan bisa mencapai 450 WP Biaya perawatan Ditanggung pengguna Ditanggung oleh PLN Catatan: SHS = Solar home system; PLTS = Pembangkit listrik tenaga surya Sumber: LIPI (2014) Kendala keberlanjutan program listrik perdesaan berbasis SHS juga dikarenakan program ini dilakukan oleh kementerian lainnya. Di beberapa tempat tim peneliti menemukan kasus dimana masyarakat mendapatkan bantuan program SHS dari kementerian yang berbeda. Tumpang tindih ini dapat terjadi akibat kurangnya koordinasi antar kementerian yang memiliki program SHS. Masyarakat biasanya akan meminta program dari kementerian lainnya apabila program dari salah satu kementerian gagal karena kendala teknis ataupun non teknis. Kondisi ini menunjukkan adanya inefisiensi dalam pengelolaan anggaran listrik perdesaan. Pihak yang diuntungkan dengan adanya berbagai program SHS adalah para pemasok peralatan listrik SHS termasuk pihak-pihak terkait yang melihat program ini sebagai proyek komersial. Oleh karena itu, ke depan pemerintah harus lebih serius memikirkan kualitas keberlanjutan program-program SHS tidak hanya berorientasi pada indikator kuantitas.
4|Policy Brief No. 001/IP/2016
Pertumbuhan peralatan PLTS yang pesat tidak diimbangi oleh peningkatan keahlian dan pengelolaan Saat ini pemerintah daerah dibebankan oleh tanggung-jawab untuk melakukan monitoring dan implementasi program. Mereka menghadapi kendala dalam hal ketersediaan sumber daya manusia yang kompeten. Kekurangan SDM yang kompeten ini sangat dirasakan pada saat implementasi program menghadapi masalah teknis. Akibatnya program-program yang telah direncanakan tidak berjalan seperti yang diharapkan. Kualitas program pun secara bertahap mengalami kemunduran.
SOLUSI Perlunya kebijakan satu pintu untuk membangun sinergi program listrik perdesaan Diperlukan komunikasi yang baik antara pemerintah, PLN dan para pemangku kepentingan lainnya agar terjadi sinergi antar program-program kelistrikan di perdesaan. Langkah yang sangat mendesak adalah memastikan program listrik off grid dapat berjalan dalam satu pintu koordinasi, yaitu dibawah kementerian ESDM. Sejalan dengan semangat UU Desa, maka aset SHS yang sudah berjalan dapat diberikan kepada pemerintah desa. Pemda bisa mendorong pendirian Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) untuk mengurus usaha listrik perdesaan. Pemerintah pusat dan daerah bisa mengundang tenaga ahli dari universitas atau lembaga litbang untuk membantu Bumdes mengurusi masalah-masalah teknis operasi dan pemeliharaan dalam wadah traning center di tingkat kecamatan. Mekanisme ini dapat menjamin keberlanjutan program SHS di masa datang. Untuk menjamin keberlanjutan program listrik perdesaan dibutuhkan penguatan kelembagaan, peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM), dan pendanaan. Untuk hal ini diperlukan koordinasi antara Kementerian ESDM, Kementerian desa, pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi, dan PT.PLN Penguatan badan usaha milik desa sebagai agen utama peningkatkan akses listrik masyarakat
5|Policy Brief No. 001/IP/2016
Gambar 3 merekomendasikan model pengelolaan jaringan listrik off-grid untuk wilayah perdesaan. Model ini bercirikan pada penguatan kelembagaan Bumdes sebagai garda terdepan dalam upaya meningkatkan akses listrik bagi masyarakat di perdesaan. Model ini mensyaratkan semua program listrik perdesaan yang tersebar di beberapa kementerian dan lembaga dilakukan dalam satu pintu di bawah koordinasi Kementerian ESDM yang bertanggung-jawab atas peningkatan akses listrik. Adanya penambahan anggaran infrastruktur energi pada Kementerian ESDM dapat mendukung program listrik perdesaan. Kementerian ESDM juga bertanggung-jawab menjalankan program listrik murah dan hemat melalui jalur on grid. Dengan semakin besarnya tanggung jawab dan tantangan yang dihadapi oleh kementerian ESDM, maka kementerian ini perlu memperkuat SDM. Guna membantu pemerintah untuk percepatan listrik perdesaan, dalam organisasi PLN, perlu dipertimbangkan untuk membentuk direktur listrik perdesaan. Hal ini penting untuk semakin memperkuat sinergi dengan kementerian terkait lainnya.
6|Policy Brief No. 001/IP/2016
KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU, TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI (EBTKE)
PT. PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA (PERSERO)
PEMERINTAH PROVINSI
PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA, DINAS ENERGI DAN PERTAMBANGAN Swasta & LSM
PEMERINTAH DESA
BADAN USAHA MILIK DESA
RUMAH TANGGA SASARAN (RTS)
Gambar 3: Model Off Grid usulan LIPI Sumber: LIPI (2014) Pemerintah provinsi menjadi fasilitator antara pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten. Jika sebelumnya DAK berhenti di tingkat pemerintah Kabupaten, maka dengan adanya UU Desa, perlu dipikirkan untuk melakukan pelimpahan kewenangan ini kepada pemerintah desa. Dengan demikian, pelaksanaan program akan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah desa. Agar program listrik perdesaan dapat tersebar secara adil dan merata, maka program PLN berbasis desa juga harus masuk dalam pengelolaan Bumdes. Demikian pula halnya dengan partisipasi sektor swasta dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) perlu diletakkan dalam kerangka mitra strategis Bumdes. Selanjutnya Bumdes akan menentukan alokasi pada rumah tangga sasaran termasuk memberikan subsidi bagi keluarga miskin. PT. PLN bersama pemerintah daerah kabupaten dan desa 7|Policy Brief No. 001/IP/2016
memegang peranan penting untuk membangun Bumdes yang memiliki kapasitas dalam mengelola listrik perdesaan. PLN perlu menjadi mitra strategis baik pemerintah, koperasi, dan swasta untuk membangun kapasitas pengelolaan listrik perdesaan Akhirnya, hal terpenting dalam transformasi menuju model pengelolaan yang lebih berkelanjutan, maka sangat diperlukan keinginan politik (political will) dan komitmen yang kuat dari permerintah. Kesungguhan pemerintah akan menjadi kunci penting keberhasilan pembangunan listrik perdesaan
8|Policy Brief No. 001/IP/2016