PENGOLAHAN LIMBAH BAGLOG JAMUR DENGAN KOTORAN HEWAN AYAM SECARA AEROB UNTUK PEMBUATAN PUPUK ORGANIK
NASKAH PUBLIKASI Untuk Memenuhi sebagai Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1
Disusunoleh: FARID SETYO LEGOWO A420100072
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN Jl. A. Yani Tromol Pos I – Pabelan, Kartasura Telp. (0271) 717417, Fax : 7151448 Surakarta 57102
Surat Persetujuan Artikel Publikasi Ilmiah
Yang bertanda tangan ini pembimbingskripsi/tugas akhir : Nama
: Dr. Siti Chalimah, M.Pd.
NIP/NIK/NIDN
: 07116125901
Telah membaca dan mencermati naskah artikel publikasi ilmiah, yang merupakan ringkasan skripsi/tugas akhir dari mahasiswa: Nama
: Farid Setyo Legowo
NIM
: A420100072
Program Studi
: Pendidikan Biologi
Judul Skripsi
:
“PENGOLAHAN LIMBAH BAGLOG JAMUR DENGAN KOTORAN HEWAN AYAM SECARA AEROB UNTUK PEMBUATAN PUPUK ORGANIK ”
Naskah artikel tersebut, layak dan dapat disetujui untuk dipublikasikan. Demikian persetujuan dibuat, semoga dapat dipergunakan seperlunya.
Surakarta, 1 Juni 2014 Pembimbing,
Dr. Siti Chalimah, M.Pd NIDN. 07116125901
PENGOLAHAN LIMBAH BAGLOG JAMUR DENGAN KOTORAN HEWAN AYAM SECARA AEROB UNTUK PEMBUATAN PUPUK ORGANIK Farid Setyo Legowo(1), Dr. S. Chalimah, M. Pd (2) (1) Mahasiswa PendidikanBiologi FKIP UMS (2) Dosen Pembimbing Biologi FKIP UMS
Abstrak Permasalahan yang timbul dalam produksi jamur adalah melimpahnya limbah baglog yang berpotensi sebagai sumber polusi di lingkungan. Solusi yang akan diberikan adalah mengolah limbah baglog secara aerob dengan memanfaatkan mikroorganisme pada kotoran ayam untuk proses degradasi. Limbah baglog dapat diolah dengan berbagai inokulum untuk mempercepat proses degradasi, agar dapat digunakan kembali serta menekan tumpukan limbah di lingkungan. Tujuan penelitian 1)mengetahui perbedaan konsentrasi kotoran ayam sebagai inokulum terhadap kadar makronutrien C, N, P, K dan C/N Ratio, 2)mengetahui faktor lingkungan pada proses degradasi limbah baglog. Metode penelitian eksperimen dengan 1 faktorial dan 4 konsentrasi perlakuan (0%, 20%, 30%, 40%). Kotoran hewan yang digunakan adalah kotoran ayam. Desain percobaan RAL, dengan uji Anava satu jalur (One Way). Indikator fisik yang diukur yaitu suhu, pH, kelembaban, tekstur, warna, aroma, dan kandungan makronutrien C, N, P, K dan C/N rasio. Lama waktu penelitian yaitu 27 hari. Hasil pengamatan menunjukkan suhu awal cukup rendah, kemudian suhu naik pada pengamatan hari ke 18, setelah itu suhu kembali menurun. PH pada pngamatan hari pertama cukup rendah, kemudian pH naik dan menjadi netral pada hari ke 18. Kandungan makronutrien N, P, dan K tertinggi pada perlakuan 40%, sedangkan kandungan C tertinggi pada perlakuan 0%. Pupuk organik limbah baglog sudah memenuhi standar mutu Menpan 2009. Aroma, warna, dan tekstur limbah baglog yaitu beraroma seperti tanah, berwarna coklat kehitaman, dan bertekstur lembut, hal tersebut menunjukkan pupuk telah matang. Kata kunci: Limbah baglog jamur, Kotoran ayam, Aerob, Pupuk organik.
PENDAHULUAN Limbah baglog jamur adalah limbah dari media tanam jamur yang sudah tidak produktif dan tidak digunakan lagi. Baglog memiliki kandungan Lignin dan selulosa yang cukup tinggi. Lignin adalah zat yang berfungsi sebagai penyususun sel yang terdapat dalam kayu bersama dengan selulosa. Komposisi baglog jamur terdiri dari 80% serbuk gergaji, 10% dedak padi, 1,8% kapur, 1,8% gipsum dan 0,4% TS (Ghazali, 2009). Sutanto (2002), menyatakan bahwa proses pengomposan limbah organik dengan bermacam-macam komposisi relative lebih mudah dari pada bahan dasar secara individual. Pembuatan kompos merupakan salah satu strategi yang dapat dilaksanakan dengan tujuan untuk menekan banyaknya limbah, pengumpulan, dan biaya pengangkutan. Ada beberapa bahan dari berbagai sumber yang dapat dikomposkan misalnya limbah ternak, limbah manusia, limbah pertanian, pupuk hijau, sampah kota, sampah pemukiman, limbah agroindustri, dan limbah hasil laut. Ghazali (2009), menyatakan bahwa komposisi dari baglog jamur terdiri dari 80% serbuk gergaji, 10% dedak padi, 1,8% kapur, 1,8% gipsum dan 0,4% TS. Kurniawan (2008), menyatakan bahwa berdasarkan komposisi limbah baglog jamur dengan 80% serbuk gergaji dan 10% dedak padi yang ada dalam baglog jamur merupakan bahan baku superkarbon. Setyorini (2005), menyatakan bahwa pupuk organik mengandung unsur hara makro (N, P, K) dan mikro (Ca, Mg, Fe, Mn, Bo, S, Zn dan Co) yang dapat memperbaiki struktur tanah. Pemakaian pupuk organik pada tanah liat akan mengurangi kelengketan sehingga mudah diolah. Sedang pada tanah berpasir dapat meningkatkan daya ikat tanah terhadap air dan udara. Sutanto (2002), menyatakan bahwa karakteristik kompos matang yaitu strukturnya bersifat remah, sehingga tidak dikenali kembali bahan dasarnya. Warna terbaiknya adalah coklat kehitaman dan proses dekomposisi aerob ditunjukkan dari terjadinya perubahan warna menjadi kehitaman. Kelembapan kompos dapat diperkirakan dengan menusukkan tangkai pada kedalaman yang
berbeda. Bau kompos yang baik harus berbau seperti humus atau tanah. PH terbaik adalah netral sampai agak keasaman dengan kisaran antara 6,0–7,5. Gaur (1986), menyatakan bahwa aktifator merupakan bahan yang mampu mengatur dekomposisi mikroba dalam proses pengomposan. Aktifator organik adalah bahan yang mengandung N tinggi dalam bentuk yang bervariasi (protein dan asam amino) yang berasal dari mikroba. Terdapat dua jenis bahan aktifator, yaitu berbentuk mikroba yang disebut sebagai aktifator alam (fungi yang dikoleksi dari kompos matang, sisa binatang, darah kering, tanah yang kaya humus, dan sampah) dan berbentuk komiawi yang disebut aktifator buatan (amonium sulfat, asam amino, sodium nitrat, urea, dan amonia). Saraswati dkk (2006), menyatakan bahwa proses perombakan bahan organik dapat berlangsung pada kondisi aerob dan anaerob. Pengomposan anaerob dapat diartikan sebagai proses dekomposisi bahan organik tanpa menggunakan O2. Proses pengomposan terdiri atas tiga tahapan dalam kaitannya dengan suhu, yaitu mesofilik, termofilik, dan pendinginan. Tahap awal mesofilik, suhu proses naik sekitar 40oC karena adanya fungi dan bakteri pembentuk asam. Pada kisaran suhu termofilik, proses degradasi dan stabilisasi akan berlangsung secara maksimal. Pada tahapan pendinginan terjadi penurunan aktivitas mikroba, penggantian mikroba termofilik dengan bakteria dan fungi mesofilik. Tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui perbedaan konsentrasi kotoran ayam sebagai inokulum terhadap kadar makronutrien C, N, P, K, dan C/N rasio, mengetahui perbedaan kadar C, N, P, K, dan C/N Ratio terhadap kandungan inokulum kotoran ayam pada konsentrasi berbeda, dan mengetahui pengaruh faktor lingkungan terhadap proses degradasi limbah baglog. METODE PENELITIAN Penelitian dalakukan di Edupark Universitas Muhammadiyah Surakarta pada tanggal 11 Januari sampai 7 Februari 2014. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan menggunakan pola rancangan faktorial yang terdiri dari 1 faktor dengan 4 kombinasi perlakuan dan masing-masing perlakuan menggunakan 4 kali ulangan.
Faktor 1. Jenis inokulum terdiri dari 1 taraf yaitu: A = inokulum kotoran ayam Perbandingan jumlah konsentrasi terdiri dari 4 taraf yaitu: 0 = 0% x = 20% y = 30% z = 40% Tabel 1. Rancangan Penelitian Konsentrasi
Inokulum A
0
x
y
Z
A0
Ax
Ay
Az
Keterangan: A0 : Kompos tanpa inokulum sebagai kontrol. Ax : Penambahan inokulum kotoran ayam dengan konsentrasi 20%. Ay : Penambahan inokulum kotoran ayam dengan konsentrasi 30%. Az : Penambahan inokulum kotoran ayam dengan konsentrasi 40%.
Tabel 2. Perlakuan Ulangan Ulangan
Perlakuan 1
2
3
4
A0
A01
A02
A03
A04
Ax
Ax1
Ax2
Ax3
Ax4
Ay
Ay1
Ay2
Ay3
Ay4
Az
Az1
Az2
Az3
Az4
Data yang diambil adalah data kualitatif yang dapat diperoleh saat menguukur melelui statistik sederhana atau rerata sedangkan data kuantitatif dapat di hitung melalui uji anava satu jalur (One Way Anova) dan membandingkan hasil analisis laboratorium dengan standar baku mutu pupuk organik dari ManPan 2009.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Suhu pupuk Tabel 3. Pengamatan Suhu Pupuk Limbah Baglog. Suhu (hari ke) Perlakuan 0
9
18
27
A0
18,23
24,43
26,53
24,24
Ax
16,13
25,11
26,89
23,01
Ay
19,68
25,32
27,18
23,77
Az
18,08
24,69
27,74
24,27
Suhu pupuk pada awal pengamatan hari ke 0 cukup rendah, kemudian suhu naik dan mencapai suhu maksimal pada pengamatan hari ke 18. Hal tersebut terjadi karena adanya peningkatan aktifitas mikroba yang menyebabkan meningkatnya suhu pada pupuk organik (Sumardi, 1999). Pada pengamatan hari ke 27 suhu pupuk kembali menurun. Hal tersebut merupakan tahap pematangan pupuk organik. Tahap ini aktifitas mikroba menurun karena jumlah bahan makanannya berkurang (Cahaya dan Nugraha, 2008). 2.
pH pupuk Tabel 4. Hasil Pengamatan pH Pupuk Limbah Baglog. pH (hari ke) Perlakuan 0
9
18
27
A0
6,2
6,6
7,0
7,1
Ax
6,4
7,0
7,1
7,0
Ay
5,9
6,8
7,1
7,0
Az
6,3
6,9
7,1
6,9
Pengamatan pH pupuk pada awal pengamatan hari ke 0 cukup rendah. Kemudian pH naik pada pengamatan hari ke 9 dan menjadi netral pada pengamatan hari ke 18 dan ke 27. Terjadinya penurunan pH pada awal proses pengomposan karena aktivitas bakteri yang menghasilkan asam. Dengan munculnya mikroorganisme lain dari bahan yang
didekomposisi maka pH kembali naik setelah beberapa hari, dan pH berada pada kondisi netral (Sutanto, 2002). 3.
Kandungan Makronutrien Tabel 5. Kandungan Makronutrien Pupuk Limbah Baglog. Perlakuan
Makronutrien
Control 0% (%)
C.Organik Bahan Organik Nitrogen Kalium (K2O) Phospor (P2O2) C/N rasio
33,15 57,04 0,8 0,63 0,34 36,74
Inokulum Kotoran Ayam 20% (%) 20,86 35,97 1,19 0,83 0,7 17,58
Inokulum Kotoran Ayam 30% (%)
Inokulum Kotoran Ayam 40% (%)
21,78 37,55 1,37 0,61 1 15,97
23,78 40,99 1,73 0,76 1,14 13,74
Satuan
% % % % % -
Nilai SNI Manpan 2009 >12 <6 <6 <6 15-25
Kandungan makronutrien C-Organik tertinggi pada perlakuan tanpa penambahan inokulum kotoran ayam, sedangkan pada perlakuan lain cenderung rendah. Hal tersebut terjadi karena C.Organik merupakan bentuk karbon yang masih terikat dengan yang lain dan tidak adanya proses degradasi oleh inokulum. Mirwan (2008), menyatakan bahwa dalam proses dekomposisi, karbon dijadikan sebagai bahan energi untuk menyusun bahan selular sel-sel mikroba dengan membebaskan CO2 dan bahan lain yang mudah menguap. Kandungan Bahan Organik tertinggi pada perlakuan kontrol atau tanpa penambahan inokulum kotoran ayam, karena pada perlakuan tersebut tidak ada penambahan mikroorganisme perombak dari inokulum kotoran ayam, sehingga menyebabkan proses degradasi berjalan lambat dibanding perlakuan lainnya. Penambahan inokulum kotoran ayam dapat mempercepat proses degradasi pupuk organik (Sutanto, 2002). C/N rasio tertinggi pada perlakuan kontrol atau tanpa penambahan inokulum kotoran ayam, karena pada perlakuan tersebut tidak ada penambahan mikroorganisme perombak dari inokulum kotoran ayam sehingga kandungan N rendah. Kandungan N mempengaruhi jumlah C/N rasio yang dihasilkan. Poedjiastoeti (2009), menyatakan bahwa nilai C/N
rasio yang rendah terjadi karena jumlah N yang besar dan akan berakibat pada penguapan ammonia sehingga C/N rasio kurang optimum. Kandungan Nitrogen, Kalium, dan Phospor lebih tinggi pada perlakuan penambahan inokulum sebanyak 40%. Semakin banyak penambahan inokulum, maka proses degradasi semakin cepat. Hal tersebut berarti pada perlakuan pupuk organik dengan penambahan inokulum sudah terdegradasi dan mudah terdekomposisi karena adanya penambahan inokulum kotoran ayam (Sutanto, 2002). 4. Aroma pupuk Tabel 6. Aroma Pupuk Limbah Baglog PERLAKUAN A0 Ax Ay Az
Aroma (hari ke) 0 Menyengat
9 Kurang Menyengat
Menyengat
Menyengat
Menyengat
Menyengat Kurang Menyengat
Menyengat
18 Kurang Menyengat Kurang Menyengat Kurang Menyengat Kurang Menyengat
27 Tidak Menyengat Tidak Menyengat Tidak Menyengat Tidak Menyengat
Aroma pupuk organik yang dihasilkan pada semua perlakuan sama. Pada pengamatan hari ke 0 aroma pupuk cukup menyengat. Hal tersebut terjadi karena adanya aktifitas fermentasi. Pada pengamatan selanjutnya aroma menyengat pupuk semakin berkurang, dan pada pengamatan hari ke 27 aroma pupuk tidak menyengat atau beraroma seperti tanah, karena materi yang dikandungnya menyerupai tanah. Hal tersebut menunjukan bahwa pupuk telah matang (Muhammad Refqi, 2013).
5. Tekstur pupuk Tabel 7. Tekstur Pupuk Limbah Baglog. PERLAKUAN A0 Ax Ay Az
Tekstur (hari ke) 0
9
18
Kasar
Kasar
Lembut
Kasar
Kasar
Lembut
Kasar
Kasar
Lembut
Kasar
Kasar
Lembut
27 Sangat Lembut Sangat Lembut Sangat Lembut Sangat Lembut
Tekstur pupuk pada pengamatan hari ke 0 dan hari ke 9 cukup kasar. Bahkan pada saat proses pencampuran limbah baglog yang menggumpal harus dihaluskan terlebih dahulu. Pengamatan pada hari selanjutnya, tekstur pupuk organik berubah lembut. Hal tersebut berarti bahwa pupuk organik limbah baglog telah matang. Sesuai dengan pernyataan Asngad dan Suparti (2005), bahwa ketika pupuk organik dalam keadaan matang tekstur yang dimiliki dalam keadaan halus. Apabila dikepal pupuk akan menggumpal, dan apabila ditekan pupuk akan halus kembali. 6. Warna pupuk Tabel 8. Warna Pupuk Limbah Baglog. PERLAKUAN A0 Ax Ay Az
Warna (hari ke) 0 Kuning Kecoklatan Kuning Kecoklatan Kuning Kecoklatan Kuning Kecoklatan
9
18
Coklat
Coklat
Coklat
Coklat
Coklat
Coklat
Coklat
Coklat
27 Coklat Kehitaman Coklat Kehitaman Coklat Kehitaman Coklat Kehitaman
Warna juga dapat menjadi indikator dalam pembuatan pupuk. Pada pengamatan hari ke 0 warna pupuk organik limbah baglog masih kekuningan. Kemudian warna pupuk organik limbah baglog menjagi
coklat kehitaman pada pengamatan hari ke 27. Hal tersebut menunjukkan bahwa pupuk organik limbah baglog telah matang. Sesuai dengan pernyataan Asngad dan Suparti (2005), bahwa kompos yang sudah berbau seperti tanah, berwarna coklat kehitaman, dan bertekstur halus (remah), menujukkan kompos telah matang. 7. Kelembaban Kelembaban dapat menjadi faktor penting dalam pembuatan pupuk organik. Dalam penelitian pembuatan pupuk organik limbah baglog, kelembaban dikondisifkan bekisar antara 50%-70%. Dalam kondisi cukup lembab maka kelengasan akan meningkat, akan tetapi apabila terlalu lembab maka akan menyebabkan pupuk menjadi busuk. Menurut Crawfod (1993); Diaz et al. (1993) dan Polprasert (1989) menyatakan bahwa kelembaban optimum perlu dijaga pada 50%-70% untuk mendapatkan proses pengomposan yang baik.
Hasil Analisis Data Tabel 9. Analisis uji normalitas berdasarkan Shapiro-Wilk. Pengamatan Suhu
Waktu Pengamatan (hari ke) 0
Perlakuan
Nilai Sig > 0,05
Keterangan
A0 Ax Ay Az A0 Ax Ay Az A0 Ax Ay Az A0 Ax Ay Az A0 Ax Ay Az A0 Ax Ay Az A0 Ax Ay Az A0 Az
0,447 0,196 0,296 0,195 0,045 0,787 0,418 0,489 0,515 0,460 0,001 0,215 0,475 0,491 0,703 0,65 1 0,850 0,114 0,369 0,161 0,001 0,001 0,683 0,001 0,001 0,001 0,001 0,024 0,272
Normal Normal Normal Normal Tidak Normal Normal Normal Normal Normal Normal Tidak Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Tidak Normal Tidak Normal Normal Tidak Normal Tidak Normal Tidak Normal Tidak Normal Tidak Normal Normal
9
18
27
ph
0
9
18
27
Tabel 10. Analisis uji homogenitas berdasarkan Shapiro-Wilk. Pengamatan Suhu
ph
Waktu Pengamatan (hari ke) 0 9 18 27 0 9 18 17
Nilai Sig > 0,05
Keterangan
0,372 0,014 0,002 0,211
Homogen Tidak Homogen Tidak Homogen Homogen
0,042 0,004 1,000 0,267
Tidak Homogen Tidak Homogen Homogen Homogen
Hasil analisis data dari pengamatan limbah baglog cukup beragam, ada yang memiliki data normal dan ada yang memiliki data tidak normal. Data dinyatakan normal apabila memiliki nilai signifikan lebih besar dari 0,05 (>0,05) (Hadiwidjaja dan Triani, 2009). Widayanto (2010), menyatakan bahwa data dinyatakan normal dan homogen apabila memiliki nilai signifikan lebih besar dari 0,05 (>0,05), kemudian dalanjutkan dengan uji anova. Data dinyatakan tidak normal dan tidak homogen apabila data memiliki nilai signifikan lebih kecil dari 0,05 (<0,05), kemudian dilanjutkan dengan uji nonparametrik Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney. SIMPULAN 1. Limbah baglog jamur dapat diolah dengan kotoran ayam menjadi pupuk organik. Konsentrasi kotoran ayam yang dicampurkan dengan limbah baglog dapat mempengaruhi kadar C, N, P, K, dan C/N rasio. 2. Kandunan makronutrien pada pupuk organik limbah baglog sudah memenuhi standar mutu pupuk Menpan 2009, walau pun cukup rendah. 3. Faktor lingkungan mempengaruhi proses degradasi terhadap pupuk organik yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA Asngad, A. dan Suparti. 2005. Model Pengembangan Pembuatan Pupuk Organik dengan Inokulan (Studi Kasus Sampah Di TPA Mojosongo Surakarta dalam Jurnal Penelitian Sains & Teknologi, 6 (20): 101 – 11. Cahaya,T.S.A. dan Nugroho,D.A..2008. Pembuatan kompos menggunakan limbah padat organik (Sampah sayuran dan ampas Semarang: Jurusan Tehnik Kimia UNDIP.
dengan tebu).
Crawford. J.H. Composting of Agricultural Waste. In Biotechnology Applications and Research, Paul N, Cheremisinoff and R. P.Ouellette (ed). p. 68-77. FFTC (Food and Fertilizer Technology Center). 2003. Bioactivator do Decompose Agricultural Waste. Soil and fertilizer PT 2003 – 23. http://www.fftc.agnet.org (22 March 2007) dalam Jurnal Sains dan Teknologi 7 (2), september 2008: 58-61.
Diaz, L.F., G.M. Savage, L.L. Eggerth, & C.G. Golueke. 1993. Composting and recycling. Municipal solid Waste. Lewish Publishers, Boca Raton, Florida. dalam Jurnal Sains dan Teknologi 7 (2), september 2008: 58-61. Gaur, AC. 1986.A Manual OfRulalcomposting. FAO/UNDP Regional Project Divition Of Microbiology. New Delhi: Indian Agricultural RecearchInstitut. Ghazali S dan Pratiwi PS, 2009. Usaha Jamur Tiram Skala Rumah Tangga. Jakarta: Penebar Swadaya. Hadiwidjaja, Rini Dwiyanti dan Triani, Lely Fera. 2009. Pengaruh Profitabilitas Terhadap Dividend Payout Ratio Pada Perusahaan Manufaktur Di Indonesia. Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 5, Nomor 2, Maret 2009, 49-54. Kurniawan O dan Marsono, 2008. Superkarbon Bahan Bakar Alternatif Pengganti Minyak Tanah dan Gas. Jakarta: Penebar Swadaya. Mirwan, M. 2008. Optimasi Pengomposan Sampah Kebun dengan Variasi Aerasi dan Penambahan Kotoran Sapi sebagai Bioaktifator. Dalam Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan Vol. 4, No. 1. Polprasert, C. 1989. Organic waste recycling. Chichester:John Wiley & Sons. dalam Jurnal Sains dan Teknologi 7 (2), september 2008: 58-61. Saraswati et al. 2006. Organisme perombak bahan organik. 211-230. Setyorini, D., 2005, Pupuk Organik Tingkatkan Produksi Tanaman. Warta Penelitian dan Pengembanagn Pertanian, 27, 13-15. Sumardi. 1999. Pengaruh Penambahan Bahan pemercepat Pada Proses Pengomposan Sampah Terhadap Hasil Kompos, Duta Farming Vol. 17. No. 1, Semarang. Sutanto, Rahman. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Yogyakarta : Kanisus. Widayanto, Joko. 2010. SPSS For Windows untuk Analisis Data dan Penelitian. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.