PENGGUNAAN KATA TAKLIF DALAM AL-QURAN
Skripsi DiajukankepadaFakultasUshuluddin UntukMemenuhiPersyaratanMemperoleh GelarSarjanaTheologi Islam (S.Th.I)
DisusunOleh :
Ahmad Damanhury. AR NIM: 109034000104
FAKULTAS USHULUDIN PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M/1435 H
ABSTRAK
Islam melalui syariat yang dibawa oleh Baginda Rasulullah SAW melalui wahyu dari Allah SWT datang dengan membawa cahaya kebenaran, berpegang teguh kepada prinsip al-Quran dan as-Sunnah. Perintah melaksanakan syariat merupakan salah satunya. Manusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah untuk alam dunia ini, diberikan tugas untuk menjalin relasi antar individu dengan Tuhannya, atau individu dengan individu, atau dengan kelompok lainnya. Sebagai makhluk tentu manusia di dalam dirinya dibebankan untuk menjalin relasi tersebut sesuai dengan kadar kemampuannya. Tidaklah Allah menciptakan suatu urusan atau beban dalam kehidupannya, melainkan sesuai dengan kadar kemampuannya. Hal itulah yang mengantarkan manusia menjadi makhluk yang mulia, disebabkan karena pembebanan tersebut. Seperti yang diketahui banyak ayat yang mengatakan Allah tidak akan membebani seseorang sesuai dengan kemampuannya. Namun kenyataannya banyak tindakan tercela yang terjadi di dalam kehidupan ini, dengan alasan tidak sanggup atas beban yang diterimanya. Ini semua diluar batas kemampuannya Hal itu terlihat jelas dalam al-Quran dengan penggunaan kata taklif secara berulang kali, dengan waktu, kondisi, dan situasi yang berbeda, hal ini sebagai isyarat yang nyata dalam kehidupan manusia bahwasannya taklif tersebut merupakan bagian yang tidak bisa terpisahkan. Penelitian ingin mengetahui sejauh mana penggunaan kata taklif dalam alQuran dengan menggunakan beragam gaya bahasa, subjek (pelaku), maupun objek (sasaran) yang berbeda, dan interpretasinya dalam tatanan masyarakat modern sekarang ini. Apakah kebenaran al-Quran sebagai kitab shalih fi qulli zaman wa makan terbukti secara keseluruhan, dalam hal ini semua ayat-ayatnya mampu menyesuaikan dengan kehidupan dari zaman ke zaman atau hanya sebagian ayat saja yang mampu menyesuaikan dengan zamannya masing-masing.
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbi al-‘Alamin, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia, dan inayahnya kepada seluruh alam. Berkat Rahmat dan Pertolongan-Nya, serta ketulusan hati, keikhlasan niat dan motivasi dari berbagai pihak sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul :“ Penggunaan Kata Taklif dalam alQuran “. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw, keluarga, sahabat, serta pengikutnya dan semoga kelak kita mendapatkan syafa’atnya. Munculnya berbagai hambatan selama penulis menjalankan studi hingga akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini, seakan ringan berkat bantuan dan dorongan berbagai pihak, untuk itu penulis ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada orang yang sangat istimewa dalam kehidupan penulis, yakni ibunda tercinta Rofiqah bin Maksum, ayahanda Amiruddin bin Abd Mami, terima kasih atas pengorbanan baik moril maupun materil, motivasi dan do’a yang selalu diberikan kepada penulis. Begitu juga saya ucapkan terimakasih kepada : 1. Prof.Dr.Komarudin Hidayat, MA. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.
ii
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kultsum, MA, selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis, dan Bapak Jauhar Azizy, MA, Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayataullah Jakarta, terimakasih atas motivasi dan dorongan untuk menyelasaikan skripsi ini. 4. Bapak pembimbing Dr. Moqsith Ghazali MA, dan bapak Muslih, Lc. yang bersedia meluangkan waktu dan pikirannya dalam membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini di tengah-tengah kesibukannya. 5. Dr. Eva Nugraha, MA. Yang telah meluangkan waktunya di tengah-tengah kesibukannya dalam mengajar. Semoga senantiasa diberikan kemudahan dan kesuksesannya. 6. Seluruh dosen pengajar Fakultas Ushuludin yang dengan ketulusan hati dan kesabarannya telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama belajar di Ushuluddin. 7. Kepada segenap karyawan/ti UIN Syarif Hidayatullah, khususnya akademik Fakultas Ushuludin yang telah membantu selama kuliah. 8. Seluruh staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Fakultas Dakwah, Fakultas Syariah, Pasca Sarjana, serta tak lupa pula kepada karyawan Perpustakaan Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ), Perpustakaan Masjid al-Ihsan Rawamangun Jakarta Timur, Perpustakaan Masjid Syahid Nurul Iman Sudirman Jakarta Pusat, Perpustakaan Iman Jama Lebak Bulus, yang rela dan bersedia memberikan layanan dengan baik kepada penulis selama perkuliahan sampai penulisan skripsi ini.
iii
9. Keluarga besar penulis, kepada (Pihak Ibu), Kakek Maksum (alm) dan Nenek Aminah (alm), kepada (Pihak Ayah), Kakek Abdul Mami (alm) dan Nenek Wartini (alm), serta Adik-adik ku“ Sayyidah Nafisah. AR (terimakasih telah membantu menerjemahkan teks), Lailatul Badriyah. AR (terimakasih motivasi dan doanya), sukses selalu untuk kalian. dan Muhammad dim Yati. AR (alm), yang sudah membantu memberikan dukungannya baik moral dan materill penulis dalam menjalani kuliah di UIN, semoga Allah selalu memberikan yang terbaik bagi kalian dan kesuksesan melebihi kaka-kakanya. 10. Kepada Paman Muhammad Satori dan keluarga (terimakasih telah mengedit ulang tulisannya), dan Paman Drs. Hasyim Maksum yang terus membantu dan mengarahkan dalam penyelesaian skripsi penulis, serta kepada seluruh keluarga besar. 11. Kepada seluruh Sesepuh Pondok Buntet Pesantren Cirebon, khususnya KH. Chowas Nuruddin (Alm) dan Nyai Hj. Ghumaesoh (Alm) tercinta. serta KH. Ahmad Rifqi Chowas dan KH. Ahmad Syauqi Chowas dan para Asatidz keluarga Pondok Pesantren Darussalam Buntet Pesantren, yang telah banyak memberikan ilmu sehingga penulis bisa belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 12. Kepada seluruh Asatidz Pondok Sabilussalam Tangerang, Ciputat, pimpinan Prof. Dr. HD. Hidayat, MA. tidak lupa pula kepada Yayasan arRidho Sawah Baru, Bintaro yang di pimpin oleh Ust. H. Bahron, MA. Tak
iv
lupa juga kepada seluruh jajaran Lembaga Pusat Ilmu Bahasa dan alQuran (LBIQ) Jakarta. 13. Kepada seluruh pengurus Yayasan Masjid al-Ihsan, Khususnya Bapak H. Bastiansah Hamid beserta keluarga besarnya dan Ibu Hj. Yusmirdas, M.Pd beserta keluarga besarnya, yang telah memberikan beasiswa pendidikan dari jenjang TK (taman kanak-kanak), hingga jenjang Universitas dan Bapak Ir. Rukhyat Kustomi beserta keluarga besarnya, atas beasiswa penulisan skripsi serta bantuan moral, materil, arahan, bimbingan dan motivasi yang diberikannya kepada penulis. Semoga Allah membalas kebaikan didunia dan diakhirat, keberkahan dan kemuliaan semoga senantiasa terlimpahkan. Amiien… 14. Teman-teman Fakultas Ushuluddin seluruh angkatan dan jurusan TH, PA dan AF, khususnya jurusan Tafsir Hadis A, B, dan C angkatan 2009, khususnya kelas TH. C (Ahmad Heri, S.Th,i, Ahmad Gunawan, S.Th,i, Mukmin Mulyana S.Th,i, Muhammadun, S.Th,i, Sahlan al-Badawi, Dimas YS, Taufik Akbar, Zenal Muid, Agus Maulana Y, Azizah Iffah, S.Th,i, Ayu Khairunnisa, Lia Ernawati, Nasroh, Umi Hani, Nurul Wati dan Lainnya) ,yang sama-sama berjuang selama kuliah, aku tidak akan pernah melupakan kalian.(Jalan-jalan, Ngopi, Dia mulai Lapar, Main UnO, Futsal, PS, dan Tuyul. Hahahaha…..) 15. Kepada Deslina Herliani, S.Pd,i. yang selama ini selalu memotivasi, menghibur, dan memberi perhatiannya yang sangat besar kepada penulis dalam menyelasaikan skripsi ini.
v
16. Dan kepada teman-teman nongkrong n ngopi di BEM Fakultas dan Jurusan Ushuluddin, PMII Fak. Ushuluddin, Tarbiyah dan Fisip, HMI Fak. Tarbiyah, HTI Cab. Ciputat, ARKADIA, KMPLS Ciputat, KMSGD Cirebon, dan LDK yang telah banyak memberikan wawasan, motivasi dan pengalamannya. (sukses untuk kalian semua) Semoga pengorbanan yang telah kalian lakukan untuk penulis, dibalas oleh Allah Swt dengan balasan yang lebih, dan menjadi amal kebaikan di akhirat nanti.
Jakarta, 28 April 2014
Penulis
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK .........................................................................................................
i
KATA PENGANTAR .......................................................................................
ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... vii PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... ix
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................
1
B. Tujuan dan Kegunaan ...........................................................
7
C. Tinjauan Pustaka ...................................................................
7
D. Metode Penelitian..................................................................
8
E. Sistematika Penulisan ...........................................................
9
KLASIFIKASI PENYEBUTAN BERDASARKAN SUBJEK DAN OBJEK A. Subjek (Pelaku) Taklif ......................................................... 11 1. Term Allah ...................................................................... 11 2. Kata Ganti Nahnu ............................................................ 17 B. Objek (Sasaran) Taklif .......................................................... 23 1. Nafs ................................................................................. 23 2. Muhammad ..................................................................... 28
BAB III
SISTEM MAKNA "TAKLIF" A. Amal Ibadah .......................................................................... 35 B. Menyusui Anak ..................................................................... 43
vii
C. Kadar Nafkah Untuk Keluarga.............................................. 51 D. Harta Anak Yatim ................................................................. 56 E. Jihad ...................................................................................... 62
BAB IV
PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................... 69 B. Saran ..................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 71
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI Pedoman transliterasi huruf arab latin dalam penulisan skripsi ini berpedoman pada buku panduan penulisan karya ilmiah, skripsi, tesis, dan desertasi yang disusun oleh tim penulis ceQda UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terbitan tahun 2008. Konsonan Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan
ا
Tidak dilambangkan
ب
B
Be
ت
T
Te
ث
Ts
Te dan es
ج
J
Je
ح
H
H dengan garis bawah
خ
Kh
Ka dan ha
د
D
Da
ذ
Dz
De dan zet
ر
R
Er
ز
Z
Zet
س
S
Es
ش
Sy
Es dan ye
ص
S
Es dengan garis bawah
ض
D
De dengan garis bawah
ط
T
Te dengan garis bawah
ظ
Z
Zet dengan garis bawah
ع غ ف
Koma terbalik keatas, menghadap kekanan
Gh
Ge dan ha
F
Ef
ix
ق ك ل م ن و ء
Q
Ki
K
Ka
L
El
M
Em
N
En
W
We
H
Ha
‘
Apostrop
Y
Ye
Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vocal tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong. Untuk vocal tunggal alihaksaranya adalah sebagaiberikut : TandaVokal Arab
TandaVokal Latin a i u
Keterangan Fathah Kasrah Dammah
Adapun untuk vocal rangkap, ketentuan alihaksaranya sebagai berikut : TandaVokal Arab
TandaVokal Latin
Keterangan
_______
ai
a dan i
_______
au
a dan u
Vokal Panjang(Madd) Ketentuan alihaksara vocal panjang (madd), yang dalam bahasa arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut : TandaVokal Arab
TandaVokal Latin
Keterangan
ـــــﺄ
â
a dengan topi diatas
ـــــﻲ
î
i dengan topi diatas
ــــــﻮ
û
u dengan topi diatas
x
Kata Sandang Kata sandang, yang dalam system aksara arab dilambangkan dengan huruf, yaitu alif dan lam, dialihaksarakan menjadi huruf /i/ ,baik diikuti oleh huruf Syamsiyah maupun Qamariyah. Contoh :al-rijâl bukan ar-rijal, al-diwân bukan ad-diwan. Syaddah (Tashdid). Syaddah atau tasydid yang dalam system bahasa tulisan arab dilambangkan dengan sebuah tanda, dalam alihaksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah.Misalnya yang secara lisan berbunyi ad-darûrah, tidak ditulis “ad-darurah”, melainkan“aldarûrah”, demikian seterusnya. Ta Marbutah Berkaitan dengan alihaksara ini, jika huruf ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbutah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbutah tersebut diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3). Contoh : No
Kata Arab
Alih Aksara
1
طريقة
Tarîqah
2
الجامعة االسالمية
al-jâmiah al-islâmiyah
3
وحدة الﻮجﻮد
Wahdat al-wujud
Huruf kapital Meskipun dalam tulisan arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih aksara ini, huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain
xi
yang menuliskan kalimat, huruf awal nama, tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh : Abu Hamid al-Ghazali bukan Abu Hamid Al-Ghazali, al-Kindi bukan Al-Kindi.
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Al-Quran yang merupakan sumber pokok ajaran agama Islam, bukanlah sebuah kitab yang di dalamnya hanya sebatas ayat, surat, terlebih-lebih masalah juz semata. Kandungan al-Quran baik dalam hal lafal dan maknanya diyakini memiliki esensi tersendiri. Oleh karena itu, melalui pemahaman maknanya, kita dapat memperoleh di dalam al-Quran signifikansi teologis, sosiologis, kultural, juga tentu saja signifikansi saintifik1. Hal ini mempertegas bahwa al-Quran tidak mementingkan aspek atau ilmu akhirat dan ilmu-ilmu ritual semata, seperti yang selama ini diketahui, seperti: thaharah, percaya qada dan qadar, zakat, puasa, shalat, surga, neraka, amalan akhirat, hal-hal ghaib dll. Dengan mengacu pada makna agama (al-Quran) tersebut dan juga dalam perenungan yang mendalam terhadap al-Quran dan al-hadits, terasa sekali sangat sederhana jika Islam dilihat hanya dari sisi tauhid, fiqih, hadits, akhlak, tasawuf dan seterusnya sebagaimana yang ada selama ini. Padahal, al-Quran dan hadits sebagai sumber ajaran ternyata memuat keterangan, penjelasan dan petujuk yang begitu luas, mendalam dan meyeluruh2. Al-Quran berisi kisah-kisah simbolsimbol, nilai-nilai kehidupan, berbicara tentang jagad raya, kehidupan manusia serta perilakunya, pelestarian alam dan seterusnya.
1
M. Quraisy Shihab, Lentera Hati, (Bandung: Mizan, Juli 1996), cet-VI, h. 32 M. Quraisy Shihab, Wawasan al-Quran Tafsir Maudhu’I Atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1997), cet-V, hal. 3 2
1
2
Dalam konteks kajian ke-Islaman, sungguh suatu hal yang aneh jika isi alQuran yang sedemikian luas telah disimplifikasi menjadi hanya dalam beberapa Kajian seperti tauhid, fiqih, hadis, tasawuf, akhlak dan seterusnya. Hal inilah yang dalam praktik dan realitasnya menjadi kurang menarik. Fenomena ini tidak jarang telah menyebabkan isi Kajian keislaman menjadi kering dan jauh dari persoalan kehidupan sehari-hari. Padahal, Islam semestinya berhubungan erat dengan kehidupan dan bahkan menjadi bagian terdalam dari kehidupan manusia seharihari. 3 Manusia diciptakan Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi, serta memiliki misi yang menjadi tujuan diciptakannya 4. Yaitu menyembah (ibadah) kepada penciptanya yaitu Allah. Penyembahan berarti ketundukan manusia kepada ajaran Allah SWT. dalam menjalankan kehidupan di muka bumi ini, baik yang menyangkut hubungan vertikal (manusia dengan Allah SWT), maupun horizontal (manusia dengan manusia dan alam semesta. Menyangkut hubungan ini (hubungan horizontal) setiap manusia memiliki misi atau tugas tersebut tentu berbeda antara manusia satu dengan manusia yang lainnya. Allah SWT. Maha Mengetahui setiap makhluk ciptaannya tanpa melewatkan sedikit pun yang menjadi kebutuhan setiap hambanya, bahkan hingga hal-hal sekecil pun. Begitu pula hal-hal yang berkaitan erat dengan kebutuhan, baik bersifat jasmani maupun kebutuhan yang bersifat rohani5.
3
Zainuddin, Kesalehan normative dan sosiall,(UIN Malang: Prees, 2007), h.6 Achmad, et.al, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, (Surabaya: Grasindo, Juli 2009), h. 46. 5 Hudzaifah Ismail, Tadabbur Ayat-Ayat Motivasi, (Jakarta: PT Elek Media Komputindo Kelompok Gramedia, Februari 2010), h. 4. 4
3
Manusia diciptakan dan hidup di alam dunia ini dengan jalan hidupnya masing-masing6 Menurut penulis hal tersebut juga melahirkan tingkatan beribadah yang berbeda pula dalam kehidupan sehari-hari seperti: ada hamba yang rajin ibadah, ada yang biasa-biasa saja, bahkan ada hamba yang malas dalam beribadah. Ada sejumlah individu atau kelompok yang dengan gigihnya menegakkan agama Allah SWT. firman Allah : ٧١ /(اإلسراء
)٤٨
Artinya: Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya. (QS. Al-Isra: 84) Seorang hamba hidup sesuai dengan kapasitas dan kadar kemampuan yang diberikan oleh Allah untuknya7. Orang kaya diuji dengan kekayaannya, dan orang miskin di uji dengan kemiskinannya, orang kuat diuji dengan kekuatannya, orang lemah diuji dengan kelemahannya. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah: ) ٢٤٢ :٢/( البقراة... Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS. Al-Baqarah: 286) Berbeda jauh dengan pengertian dan maksud ayat di atas, dewasa ini terdapat banyak sekali fenomena yang terjadi di masyarakat sekitar yang berseberangan, berkaitan dengan pemaknaan bahwasannya manusia seakan-akan tidak akan mendapatkan ujian, musibah atau cobaan sesuai dengan kadar 6
Sayyid Quthb, Tafsir Fî Ẕilalil Qurân, Terj. As’ad Yasin, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), cet.1, juz VI, h. 243. 7 M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, Mei 2007), cet-XXXI, h. 344
4
kemampuannya. Dengan segala perbedaan ujian dan kualitas yang dimiliki masing-masing, dapat dipastikan bahwa kapasitas dan kadar kemampuan seorang hamba pun juga berbeda-beda, hal ini tidak lepas dari faktor sekitar, seperti budaya, etnis, bahasa, masyarakat, dan tingkah laku keseharian. Atas faktor inilah kehidupan manusia semakin kompleks dalam menjalani kesehariaannya. Salah satu ajaran terpenting adalah bahwa kita selalu di uji sepanjang hidup kita. Allah menguji keikhlasan dan keimanan kita dalam kejadian-kejadian yang berbeda. Dia juga memberikan karunia untuk menguji hambanya apakah termasuk orang yang bersyukur ataukah sebaliknya. Dia menciptakan berbagai kesulitan bagi kita untuk mengetahui apakah kita bersabar atau tidak. Oleh karenanya al-Quran sebagai pedoman hidup umat Islam, juga merupakan mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya selalu berkesinambungan erat oleh perubahan waktu, masa, jaman, budaya dan ilmu pengetahuan serta masih banyak ragamnya lagi8. Ia diturunkan Allah kepada Rasulullah, Muhammad SAW, untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang. Serta membimbing mereka kejalan yang lurus9. ) ٢٥١ :٢/ …( البقراة …
Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). (QS. al-Baqarah: 257). Ayat di atas memberikan pemahaman bahwa kegelapan disitu dimaknai seseorang yang di dalam hatinya tidak memiliki keimanan kepada Allah SWT. , 8
Muhammad Ash-Shayyim, Mukjizat Nabiku Muhammad SAW, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), cet-ke-1, hal. 17 9 Manna Khalil al-Qattan, Studi ilmu al-Quran, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2004), cet-ke-1, h.13
5
serta percaya kepada-Nya, sehingga hatinya senantiasa tertutup dan dibutakan dari cahaya Ilahi. Sedangkan kata cahaya dimaksudkan ialah, apabila kepercayaan kepada Allah SWT. dipelihara, tumbuh subur keimanannya, tidak memberi tempat buat mempercayai yang lain. Hal itulah yang menjadikan jiwa mendapat sinar selalu dari Allah SWT. dan menimbulkan ukhuwah islamiyah, menyuburkan hidup berjamaah serta menimbulkan masyarakat yang bercorak islam 10. Dengan demikian al-Quran menginformasikan kejadian-kejadian masa lalu serta memberikan putusan terhadap segala permasalahan, baik yang timbul pada masa lampau maupun yang akan datang. lebih lanjut, ia juga memberikan penjelasan yang memadai dan benar tentang hal-hal yang sebelumnya tiak diketahui manusia. al-Quran datang untuk mereformasi kehiupan manusia.11 Ketika turun ke bumi al-Quran menghadapi berbagai tipe manusia. Diantara mereka ada yang muah menerima kebenaran dan ada yang sulit, ada yang ditakirkan hidup sengsara an sebaliknya, serta ada yang dilapangkan Allah dadanya untuk menerima cahaya Ilahi, sebaliknya ada yang dikunci mati. semua perbedaan yang dicontohkan tersebut lebih lanjut juga merupakan suatu keniscayaan, sehingga sebagaimana yang dipahami turunnya al-Quran pasti disertai misi dan target-target tertentu bagi manusia. Demikian untuk mewujudkan target-target yang dimaksud, maka al-Quran merasa perlu untuk menjelaskan atau memaparkan satu tema tertentu beberapa kali.
10
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: PT Pustaka Panji Mas, 1984), juz III, h. 26 Muhammad Mahmud Hijazi, Fenomena Keajaiban al-Quran, (Jakarta: Gema Insani, 2010), cet-I., hal. 38-39 11
6
Berangkat dari uraian di atas, menurut penulis perlu adanya kajian mendalam bersumber langsung dari al-Quran, mengkaji dan menjelaskan maksud serta pemahaman pengulangan tema atau ayat-ayat yang berkaitan dengan taklif. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Dari penjelasan yang dipaparkan pada latar belakang di atas, penulis mengeidentifikasi beberapa masalah yang ada, yaitu : a. Megapa Allah dalam penggunaan lafadz taklif mengunakan kata-kata yang berbeda? b. Apakah kata taklif yang digunakan dalam al-Quran ditujukan untuk memberikan informasi masa lalu atau masa yang akan datang? c. Bicara masalah hukum al-Quran, tentu hukum atau norma di dalamnya bersifat tegas dan pasti, lantas mengapa terdapat ayat-ayat hukum yang dilafalkan berulang kali dengan surat yang berbeda? d. Apa maksud dan tujuan dari pengulangan yang terdapat dalam al-Quran? 2. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dari beberapa masalah tersebut yang muncul dalam permukaan, perlu kiranya penulis membatasi masalah yang akan diselesaikan dalam skripsi ini. Dari beberapa pertannyaan yang muncul di atas, penulis membatasi permasalahan yang terdapat pada poin A dan B, serta menitik beratkan pada QS. Al-Baqarah/2: 233 dan 286, QS. An-Nisa/4: 84, QS. Al-An’am/6: 152, QS. Al-‘Araf/7: 42, QS. AlMu’minun/23: 62, dan QS. At-Thalaq/65: 7.
7
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah: Penggunaan Kata Taklif Dalam al-Quran?
B. Tujuan dan Kegunaan Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penulis yang ingin dicapai ialah: 1. Mengetahui maksud dan tujuan pengulangan dalam al-Quran. 2. Mengetahui Maksud dan Tujuan Penggunaan Taklif dalam al-Quran 3. Memberikan pemahaman apakah taklif sebagai suatu perintah yang harus dipatuhi, atau tidak, serta memberikan penjelasan yang mendalam berkaitan dengan penggunaan serta pengulangan kata taklif tersebut. 4. Sebagai syarat untuk mendapat gelar Sarjana pada Jurusan Tasir Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
C. Tinjauan Pustaka Penelitian ini tidak terlepas dari rujukan buku-buku yang berhubungan dengan judul ini. Setelah melalui beberapa pemeriksaan pustaka, penulis menemukan beberapa karya yang membahas tentang taklif, diantaranya skripsi yang berjudul Taklif dalam perspektif al-Quran (studi komparatif penafsiran Imam Syafi’iy dan at-Thabariy pada al-Baqarah/2 :286) karya Yarsi Qomari Anwar pada tahun 2006. Begitu pula dengan skripsi yang berjudul Eksistensi manusia sebagai khalifah dan implikasinya terhadap taklif syariah, karya Hilwah
8
pada tahun 2003. Serta skripsi karya Iqbal Mochammad dengan judul Pembebanan taklif terhadap seseorang yang mempunyai kepribadian ganda pada tahun 2003. Berdasarkan pemeriksaan pustaka, penulis tidak menemukan karya yang melakukan penelitian secara mendalam terhadap penggunaan kata taklif yang terdapat dalam al-Quran, maka posisi skripsi ini adalah menggambarkan ayat-ayat Taklif, dalam skripsi yang berjudul “Penggunaan Kata Taklif Dalam al-Quran”. Sehingga penulis berkeyakinan bahwa spesifikasi pembahasan dan penelitian tentang konsep taklif dalam al-Quran belum pernah dibahas sebelumnya. Untuk itu penulis meneliti bagaimana penggunaan kata taklif dalam al-Quran tersebut.
D. Metodologi Penelitian 1. Metode Pengumpulan Data Untuk mendukung metode tersebut, dalam pengumpulan data yang berkaitan dengan skripsi ini, penulis melakukan penelitian dengan cara melalui studi perpustakaan (library research). Dalam hal pengumpulan data, penulis merujuk dan menggunakan sumber-sumber tertulis, baik sumber primer maupun sekunder. Ada pun sumber primer yang penulis gunakan yaitu merujuk kepada Kitab Tafsir langsung yaitu: tafsir al-Misbah, tafsir al-Maraghi, dan tafsir alQurthubi. Sebagai sumber sekunder, penulis menggunakan sumber lain yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas baik dari buku, jurnal, skripsi dan lainnya.
9
2. Metode Pembahasan Dalam menulis skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptifanalisis yaitu menggambarkan secara cermat ayat-ayat yang berkaitan dengan Taklif. Sedangkan yang dimaksud dengan metode analisis ialah berusaha untuk menganalisa (menguji) hipotesa-hipotesa serta mengadakan interpretasi yang lebih mendalam. 3. Teknik Penulisan Ada pun teknik penulisan dalam skripsi ini, penulis mengacu pada Buku Pedoman Akademik Penulisan Skripsai, Tesis dan Disertasi karya Tim UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2011.
E. Sistematika Penulisan Penelitian ini disusun dalam beberapa bab. Bab Pertama, yaitu, pendahuluan yang menguraikan tentang problematika dan signifikasi penelitian. Pendahuluan meliputi latar belakang masalah diangkatnya tema penelitian ini, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan yang akan diperoleh dari penelitian ini. Selanjutnya tinjauan pustaka atau bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian. Metode penelitian yang meliputi metode pengumpulan data, metode pembahasan dan teknis penulisan. Serta memaparkan sistematika dalam penulisan penelitian ini. Bab kedua memuat penjelasan tentang klasifikasi penyebutan berdasarkan subjek dan objek taklif, dimana subjek (pelaku) taklif memuat tentang term Allah
10
dan kata ganti nahnu, sedangkan objek (sasaran) taklif di dalamnya membahas nafs, dan Muhammad. Bab ketiga membahas seputar sistem makna "taklif'" berkaitan dengan taklif dalam al-Quran dengan membaginya dalam beberapa pembahasan yaitu pembahasan seputar amal shalih, hak asuh anak, kadar nafkah bagi keluarga, harta anak yatim, dan pembahasan terakhir berkaitan dengan jihad fi sabilillah. Bab keempat penutup, yang berisi uraian penutup atas penelitian ini yang berupa kesimpulan dan saran-saran.
BAB II KLASIFIKASI PENYEBUTAN BERDASARKAN SUBJEK DAN OBJEK TAKLIF
A. Subjek (Pelaku) Taklif 1. Term Allah SWT. Ayat-ayat menjelaskan bahwa konsep tentang Allah sebagai wujud tertinggi dan nama Allah itu sendiri sudah ada di Zaman Jahiliyah, bukan saja dikalangan Yahudi dan Nasrani melainkan dikalangan suku-suku Badui. Selain itu ada yang mengatakan "apakah Lafadz Allah ( )اهللberasal dari perkataan orang Arab اإللهdimana huruf hamzah dibuang, dan huruf lam yang asli bertemu dengan huruf lam tambahan, lalu keduanya melebur menjadi satu kata dan jadilah lafadz Allah ()اهلل.1 Di samping itu, kata itu sering terdapat dalam syair-syair dan juga namanama orang di zaman pra-Islam seperti Abdullah (hamba Allah). suku-suku kafir tertentu mempercayai suatu Tuhan yang mereka namakan Allah, dan yang mereka percayai sebagai pencipta langit dan bumi dan pemegang pangkat tertinggi. Sebagaimana suku-suku yang lain bahwa orang Quraisy pun sebelum mengenal Islam dan terlebih setelah mengenalnya mempercayai Allah Tuhannya. Dengan demikian jelaslah bahwa konsepsi al-Quran tentang Allah tidak sepenuhnya baru, tetapi, ia mentransformasikan konsepsi jahiliyah sebelumnya.
1
Abu Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Thabari,
hal.209
11
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), jil-1.,
12
Walau begitu konsep ketuhanannya berbeda, konsep jahiliyah tentang Allah mempunyai sekutu dan suatu objek pemujaan yang jauh, sedang dalam al-Quran (Islam) Allah tunggal tiada sekutu bagi-Nya, serta mendominasi setiap fase kehidupan manusia dari lahir hingga mati. Dalam al-Quran ketika menyebutkan nama Allah diharuskan adanya keterlibatan hati dan lisan di dalam rangka mengingat keagungan dan kebesaran Allah, serta nikmat-nikmat yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya. Akan halnya menyebut nama Allah dengan lisan berarti mengucap "Asmâ al Husnâ, sekaligus memuji dan merasakan syukur kepada Allah. juga berarti memohon pertolongan kepada Allah agar memberi kekuatan untuk melaksanakan perbuatan sesuai dengan ketentuan syariat. Sebab seluruh perbuatan yang tidak dimulai dengan menyebut nama Allah, berarti tidak diakui syariat. Kata Allah sendiri merupakan isim 'alam, khusus diberikan kepada yang wajib disembah secara benar. Nama ini tidak boleh digunakan untuk selain Allah.2 Kata Allah merupakan nama Tuhan yang paling populer, setidaknya disebutkan lebih dari 2679 kali dalam al-Quran. Apabila anda berkata "Allah", apa yang diungkapkan itu telah mencakup semua nama-nama-Nya yang lain, sedangkan bila mengucapkan nama-Nya yang lain misalnya ar-Raẖ îm atau sifatsifat lain-Nya, maka Ia hanya menggambarkan sifat Rahmat atau sifat kepemilikan-Nya. Di sisi lain tidak satu pun dapat dinamai Allah, baik secara hakikat atau majaz, sedangkan sifat-sifat yang lain secara umum dapat dikatakan
2
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1974), juz-I., hal 33
13
bisa disandang oleh makhluk-makhluk-Nya. Secara tegas, Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri yang menamai dirinya Allah. firman Allah: ) ٤١ : ٠٢/ (طه
Artinya: Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku. (QS. Thaha: 14) Selain itu Allah juga bertanya dalam al-Quran, Firman Allah:
)٥٦ : ٤۹/ (مريم Artinya: Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah). (QS. Maryam: 65) Ayat ini dipahami oleh para pakar al-Quran bermakna " apakah engkau mengetahui ada sesuatu yang bernama seperti nama ini? Atau apakah engkau mengetahui sesuatu yang berhak memperoleh keagungan dan kesempurnaan sebagaimana pemilik nama itu (Allah)? atau bermakna apakah engkau mengetahui ada nama yang lebih agung dari pada nama ini? Juga dapat berarti apakah kamu mengetahui ada sesuatu yang sama dengan Dia (yang patut disembah)? Pertanyaan-pertanyaan
yang
mengandung
makna
sanggahan
ini,
kesemuanya benar karena hanya Tuhan Yang Maha Esa yang wajib wujud-Nya itu yang berhak menyandang nama tersebut, sedangkan lain-Nya tidak ada bahkan tidak boleh. Selain itu kata Allah itu sendiri tidak terambil dari satu akar tertentu,
14
tetapi Ia adalah nama yang menunjuk pada Zat yang wajib wujud-Nya, yang menguasai seluruh hidup dan kehidupan dan yang kepada-Nya seharusnya seluruh makhluk mengabdi dan memohon. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa kata Allah asalnya adalah ()إله Ilâh yang dibubuhi huruf alif dan lâm dan dengan demikian Allah merupakan nama khusus disebut ulang sebanyak 111 kali dalam bentuk mufrad, ilaẖ a ini dalam bentuk tatsniyah 2 kali dan aliẖ ah dalam bentuk jama' disebut ulang sebanyak 34 kali, karena itu tidak dikenal bentuk jamaknya. Sedang Ilâh adalah nama yang bersifat umum dan yang dapat berbentuk jamak (plural) ( )ألهةAlihah. Dalam bahasa Ingris baik yang bersifat umum atau khusus, keduanya diterjemahkan dengan god, demikian juga dalam bahasa Indonesia. Sedangkan kata "Tuhan" dalam bahasa Arab adalah Ilah ( )إلهdisebut ulang sebanyak 111 kali dalam bentuk mufrad, ilaha ini dalam bentuk tatsniyah 2 kali dan alihah dalam bentuk jama' disebut ulang sebanyak 34 kali alif dan lâm yang dibubuhkan dalam pada kata Ilâh berfungsi menunjukan bahwa kata yang dibubuhi itu (dalam hal ini kata Ilâh) merupakan sesuatu yang telah dikenal dalam benak mereka adalah Tuhan Pencipta, berbeda dengan tuhantuhan (alihah, bentuk jamak dari Ilâh) yang lain. Selanjutnya hamzah yang berada antara dua lâm yang dibaca (i) pada kata ( )االلهal-Ilâh tidak dibaca lagi sehingga berbunyi ( )اهللAllah, dan sejak itulah kata ini seakan-akan telah merupakan kata baru yang tidak memiliki akar kata, sekaligus sejak itu pula kata Allah menjadi nama khusus bagi pencipta dan pengatur alam raya yang wajib wujud-Nya.3
3
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran) (Ciputat: Lentera Hati, 2009), cet-1, jil-1., hal.22
15
Kata "Allah" sendiri mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki kata lain, ia adalah kata yang sempurna hruf-huruf dan maknanya serta memiliki kekhususan berkaitan dengan rahasianya sehingga kata itulah yang dinamai Ism Allah al-'azam (nama Allah yang paling mulia), yang bila diucapkan dalam doa, Allah akan mengabulkannya. Dari segi lafadz terlihat keistimewaannya ketika dihapus huruf-hurufnya. Bacalah kata Allah ( )اهللdengan menghapus huruf awalnya, akan berbunyi ) (هللLillâh dalam arti milik/bagi Allah. kemudian hapus huruf awalnya dari kata Lillâh itu akan dibaca ( )لهLahu dalam arti bagi-Nya. Selanjutnya hapus lagi huruf awal dari kata lahu, akan terdengar dari ucapan Hû yang berarti Dia (menunjuk Allah), dan bila ini pun dipersingkat maka akan terdengar kata Âh yang sepintas atau pada lahirnya mengandung makna keluhan, tetapi pada hakikatnya adalah seruan permohonan kepada Allah. karena itulah kata Allah terucap oleh manusia sengaja atau tidak sengaja, suka atau tidak suka.4 Firman Allah: )۹٨: ۹۹/ الزمر).... Artinya: dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah". )QS. Az-Zumar: 39) Dari segi makna dapat dikemukakan bahwa kata Allah mencakup segala sifat-sifat-Nya, bahkan Dialah yang menyandang sifat-sifat tersebut. Karena itu jika berkata Ya Allah, semua nama-nama serta sifat-sifat-Nya telah dicakup oleh kata tersebut. Di sisi lain jika berkata ar-Rahîm (Yang Maha Pengasih),
4
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran) (Ciputat: Lentera Hati, 2009), cet-1, jil-1., hal. 21
16
sesungguhnya yang anda maksud adalah Allah, demikian juga jika berkata alMuntaqim (Yang Membalas Kesalahan), namun kandungan makna ar-Rahîm tidak mencakup pembalasan atau sifat-sifat yang lain-Nya. Seperti contohnya ketika mengucapkan Asyhadu an Lâ Ilâha Illa Allah, dan tidak dibenarkan mengganti kata Allah tersebut dengan nama-nama-Nya yang lain seperti Asyhadu an Lâ Ilâha Illa ar-Rahîm.5 Jika menyebut nama Allah, pasti akan menjadikan hati kita tenang demikian pula dengan penyebutan Asmâ al-Husna. Firman Allah :٤۹/ (الرعد )٠٨ Artinya: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.(QS. Ar-Raad: 28) Ketentraman dan ketenangan itu lahir bila anda percaya bahwa Allah adalah penguasa Tunggal dan pengatur alam raya. Ketenangan itu akan dirasakan bila menghayati sifat-sifat, kudrat dan kekuasaan-Nya dalam mengatur dan memelihara segala sesuatu. Demikian itu Allah SWT. karena itu tidak heran jika ditemukan sekian banyak ayat al-Quran yang memerintahkan orang-orang beriman agar memperbanyak zikir menyebut nama Allah, dan karena itu setiap perbuatan yang penting hendaknya dimulai dengan menyebut nama Allah.
5
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran) (Ciputat: Lentera Hati, 2009), cet-1, jil-1., hal. 24
17
2. Kata Ganti Kami ))وحه Di dalam Al-Quran, penggunaan kata ganti juga diterapkan untuk lafadz Allah SWT, ada kata ganti pertama singular (anâ), dan ada kata ganti pertama plural (nahnu), terkadang membahasakan Allah dengan kata ganti Dia (huwa), di mana makna aslinya adalah dia laki-laki satu orang. Tetapi kita tahu bahwa Allah SWT bukan laki-laki dan juga bukan perempuan atau banci. Kalau ternyata AlQuran menggunakan kata ganti Allah dengan lafadz huwa, dan bukan hiya (untuk perempuan), sama sekali tidak berarti bahwa Allah itu laki-laki. Juga tak terkecuali kata nahnu, yang meski secara penggunaan asal katanya untuk kata ganti orang pertama, jamak (lebih dari satu), baik laki-laki maupun perempuan, namun sama sekali tidak berarti Allah itu berjumlah banyak. Sama dengan tata bahasa lainnya. Dalam ilmu bahasa arab, penggunaan banyak istilah dan kata itu tidak selalu bermakna zahir dan apa adanya. Karena Al-Quran adalah kitab yang penuh dengan muatan nilai sastra tingkat tinggi. Selain kata ganti tersebut ada juga kata „antum’ yang sering digunakan untuk menyapa lawan bicara meski hanya satu orang. Padahal makna `antum` adalah kalian (jamak). Secara rasa bahasa, bila kita menyapa lawan bicara kita dengan panggilan „antum’, maka ada kesan sopan dan ramah serta penghormatan ketimbang menggunakan sapaan "anta". Khusus kata „nahnu` tidak selalu bermakna banyak, tetapi menunjukkan keagungan Allah SWT. Ini dipelajari dalam ilmu balaghah. Contoh: Dalam bahasa kita ada juga penggunaan kata “Kami” tapi bermakna tunggal. Misalnya seorang Kepala Sekolah dalam pidato sambutan
18
berkata,”Kami sebagai kepala sekolah berpesan….
Padahal Kepala Sekolah
hanya dia sendiri dan tidak banyak, tapi dia bilang “kami”. Lalu apakah kalimat itu bermakna bahwa Kepala Sekolah sebenarnya ada banyak, atau hanya satu ? Kata “kami” dalam hal ini digunakan sebagai sebuah rasa bahasa dengan tujuan nilai kesopanan. Tapi rasa bahasa ini mungkin tidak bisa diserap oleh orang asing yang tidak mengerti rasa bahasa atau mungkin juga karena di barat tidak lazim digunakan kata-kata seperti itu.6 Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang ada pada tiap-tiap diri hamba-Nya. Oleh karenanya bentuk penggunaan kata ganti kami bukan tanpa alasan atau sebab begitu saja tanpa adanya maksud tertentu yang tersirat. Ada pun maksud dari penggunaan kata ganti kami yang terdapat dalam al-Quran bertujuan untuk: 1. Sebagai kata kami (nahnu) bermakna bahwa dalam mengerjakan tindakan tersebut Allah melibatkan unsur-unsur makhluk (selain diri-Nya sendiri) dalam kasus nuzulnya al-Quran makhluk-makhluk yang terlibat dalam pewahyuan dan pelestarian keasliannya ialah sejumlah malaikat terutama jibril, kedua; Nabi Muhammad sendiri, ketiga; para pencatat/penulis, keempat; para huffadz (penghafal), dan lain-lain. Kalau diperhatikan kebanyakan ayat-ayat yang bercerita tentang turunnya al-Quran, Allah selalu menggunakan kata kami (nahnu).7 2. Selain itu ayat yang menggunakan kata "kami" biasanya menceritakan sebuah peristiwa besar yang berada di luar kemampuan jangkauan nalar 6 7
hal 67
Sumber: http://adiabdullah.wordpress.com/2008/12/02/kata-aku-dan-kami-dalamIbnu Taimiyyah, Al Furqon Baina ‘l Haq wa ‘l Bathil (Dar Ihyai‟t Turotsi „l Arabi: tth),
19
manusia, seperti penciptaan Adam penciptaan bumi, dan langit. Di sini, selain peristiwa itu sendiri yang bernilai besar, Allah sendiri ingin mengukuhkan/memberi kesan "Kemahaan-Nya" kepada manusia agar manusia dapat menerima/mengimani segala sesuatu yang berada di luar jangkauan nalar/rasio manusia. Seperti contoh berikut:
) ١١: ۷/ ) االعراف Artinya Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada Para Malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam", Maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak Termasuk mereka yang bersujud.(QS. Al-'Araf: 7)
3. Kata ganti Tuhan (Allah) dalam al-Quran berbentuk tunggal dan jamak, itu menunjukkan pihak-pihak yang berperan atau terlibat aktif dalam prosesi berlangsungnya 'kata kerja'. Tugas-tugas seperti mencipta jin dan manusia, kata ganti tunggal 'Aku' yang dipilih, itu artinya bahwa hanya Dia, dan tidak ada campur tangan pihak lain, yang terlibat dalam tugas penciptaan itu. Adapun tugas sepeti menurunkan rejeki, menjaga (otentisitas) alQuran dan sebagainya, digunakan kata ganti jamak 'Kami', itu berarti bahwa benar Dialah yang pada tingkat hakiki menurunkan rejeki, namun pada tingkat lahiriah manusia individu yang bersangkutan ikut pula menentukan apakah ia akan memperolehnya (dengan segala kualitas dan kuantitasnya) atau tidak.8
8
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, al-Aqidah at-Tadmuriah (Beirut: ttp, tth), hal. 109.
20
Lafadz ( ))إواdan ( )وحهatau selainnya termasuk bentuk jamak, tapi dapat diucapkan untuk menunjukkan seseorang yang mewakili kelompoknya, atau dapat pula mewakili seseorang yang agung. Sebagaimana dilakukan oleh sebagian raja apabila mereka mengeluarkan keputusan atau ketetapan, maka dia berkata, “Kami tetapkan” atau semacamnya, padahal dia yang menetapkan itu hanyalah satu orang. Akan tetapi diungkapkan demikian untuk menunjukkan keagungan. Dengan kata lain ketika Allah menggunakan kata “Kami”, pada saat itu Allah sedang menunjukkan kebesaran, keagungan, dan kemahaan-Nya. Sehingga kata-kata “Kami” banyak digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan penciptaan seperti penciptaan alam semesta, atau ketika Allah mengatakan mengenai ayat-ayat (tanda-tanda)-Nya yg berada di alam. Atau ketika Allah mengatakan “Kami maafkan”, saat itu Allah sedang mengagungkan Diri-Nya sebagai Maha Pemaaf. Sedangkan ketika Allah menggunakan kata “Aku”, Allah sedang menegaskan ketunggalan-Nya, hanya Dia, keunikan-Nya. Jadi ketika Allah mengatakan “ayaati (ayat-ayat-Ku) di beberapa tempat dalam Al-Qur‟an, bukannya “ayaatiina (ayat-ayat Kami)” sebagaimana yang digunakan di banyak tempat yg lainnya dalam Al-Qur‟an, Allah ingin menegaskan bahwa semua tandatanda, semua ayat-ayat itu adalah milik-Nya semata. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwasannya Al-Quran adalah kitab yang penuh dengan muatan nilai sastra tingkat tinggi, tak heran jika dalam hal ini al-Quran pun sering terdapat perubahan dan pengulangan di sebagian ayatnya dari segi bentuknya, yaitu penggunaan kata kerja, baik fi'il madhi atau fi'il mudhari.
21
Penggunaan kata kerja masa lampau (fi'il mâdhi) dan kata kerja masa kini (fi'il mudha'ri) pun mengandung pemahaman yang jauh berbeda. Kata kerja masa lampau, misalnya menunjuk kepada peristiwa yang terjadi pada masa lampau, sedangkan kata kerja masa kini menunjuk kepada peristiwa yang terjadi secara berulang-ulang.9 Seperti contoh berikut: )۹ :۹٦ / (فا طر... …. Artinya: Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi (QS. Fathir: 35) Berdasarkan kaidah yang demikian pula, maka para ulama memahami lafal yarzuqu dalam kalimat di atas, bahwa Allah memberikan rizki kepada makhlukNya secara berulang-ulang dan berkesinambungan. Artinya pekerjaan memberi rizki itu telah menjadi perilaku-Nya secara terus menerus. Itulah sebabnya Allah di sebut Razzâq. Dalam ayat 58 di Dzariyat
Dengan begitu dapat dimengerti bahwa Razzâq atau Râziq adalah sifat yang tetap dan tidak berubah-ubah, sementara yarzuqu menggambarkan suatu sikap yang terlaksana secara berulang-ulang dan berkesinambungan, tapi bukan sikap yang menetap pada dirinya. Contoh lain yang sejalan dengan ini, misalnya kosa kata infâq. Dalam al-Quran dalam rangka mendorong umat agar berinfak Allah selalu menggunakan fi'il mudhari dalam berbagai konjugasinya , تىفق,يىفق تىفقون, يىفقونdan lain-lain, tidak menggunakan isim (kata benda). Itu berarti kata 9
Al-Suyûthi, al-Itqan Fî Ulûm Quran (Beirut: Dâr al-Fikr, tth), Juz-II., hal. 322
22
berinfak harus dilakukan secara berulang kali dan berkesinambungan secara terus menerus, misalnya Allah berfirman: مثل الذيه يىفقون أموالهم في سبيل اهلل كمثل حبة
...أوبتت سبع سىا بل. Allah tidak berkata مثل المىفقيهkarena yang dikehendaki ialah agar mereka berinfak secara berulang-ulang dan terus menerus dan sifat mau berinfak itu tidak perlu menyatu dalam diri mereka secara menetap. Berbeda dengan iman, takwa, syukur dan lain-lain. Bentuk kosa kata tersebut dalam fi'il mudhari dimaksudkan untuk memberikan pemahaman bahwa sifat-sifat tersebut harus diperbarui secara terus menerus dan berkesinambungan.10 Kata kerja fi'il mudhari menunjukan pada sesuatu yang dilaksanakan secara berulang-ulang tapi belum merupakan sifat yang menyatu dalam diri pelakunya, serta pemakaian kata kerja masa lampau (fi'il mudhari) pula tidak memberikan pemahaman yang spesifik karena ia menjelaskan kejadian suatu peristiwa pada masa lampau. Pemakaian kata kerja pada masa lampau juga memberitakan peristiwa yang akan terjadi di masa depan mengandung makna bahwa peristiwa itu pasti akan terjadi, cepat atau lambat dan tidak dapat ditolak oleh siapapun.11 Apabila suatu ayat menggunakan fiil mudhari tetapi yang ditunjukkannya sudah lampau, dinisbatkan kepada Allah, maka hal itu menunjukan terus menerus.12 Selai itu menunjukan pengertian yang sebenarnya dan itu berarti kata tesebut memiliki makna yang menjadi fokus utama ayat al-
10
Nashruddin Baidan, Wawasan Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), cet-1., hal. 322-323 11 Nashruddin Baidan, Wawasan Ilmu Tafsir , hal. 325 12 Rachmat Syafe'I, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006) hal.,239
23
Quran ini. kandungannya memiliki keberlangsungan sepanjang zaman, masa sekarang dan masa mendatang13. Dari uraian di atas jelaslah bahwa pemakaian satu lafal dalam al-Quran bukan secara kebetulan, melaikan sengaja dibuat dengan sedemikian rupa agar membawa pesan yang dimaksud dengan tepat dan mengenai sasarannya dengan jitu dalam membingbing umat ke jalan yang benar demi memperoleh kebahagian dunia dan akhirat.
B. Objek (Pelaku) Taklif 1. nafs Kata nafs ( )وفسdalam bentuk mufrad disebutkan 77 kali tanpa idhâfah dan 65 kali dalam bentuk idhâfah. Kata tersebut terdapat dalam surat al-Baqarah ayat: 48, 233, 281, 286, 30, 185; surat al-Imrân ayat: 25, 28, 93; surat an-Nisa ayat: 1, 79, 83 dan lain-lain. Kata nafs dalam bentuk jamak mengikuti pola (wazan af'al) dalam al-Quran disebutkan 184 kali, diantaranya ialah, al-Baqarah ayat: 155, anNisa ayat: 128, an-Nahl ayat: 16, az-Zumar ayat: 42. Untuk mengetahui makna kata secara morfologis (leksikal) yang paling mudah dilakukan adalah dengan melihat kamus Mu'jam al-Wajiz memberi padanan kata nafs dengan ruh dan zat (subtansi) sesuatu.14 Kata nafs adalah bentuk mashdar. Kata ini diderivasi dari kata nafusayanfusu-nafs (indah; berharga) nafisa-yanfisu-nafs (kikir; melahirkan) ketika kata ini menempati bentuk mashdar, memiliki berbagai makna, seperti mengandung 13
H.D. Hidayat, al-Balaghah al-Jami'ah wa asy-syawahid min kalami al-Badi, (Semarang: PT: Karya Toha Putra & Bina Masyarakat Qurani, tth), hal. 95, 14 Anonymous, al-Mu'jam al-Wajîz (Majma' al-Lughah al-Arabiyyah), hal. 627
24
pengertian mata, jahat, jasad, darah, tubuh, semangat, hasrat, kehendak, pendapat, kemuliaan, hawa, hisapan, mufakat, orang, ruh, tegukan, model, ruh, akal, zat, dan esensi.15 Dari pendapat Ali Atabik, kata nafs tampaknya memiliki banyak makna. Dengan kata lain jenis kata tersebut dapat dikatakan sebagai jenis kata musytarak lafdhi atau sebuah kata yang memiliki banyak makna. Ar-Râghib al-Ashfahâni, menjelaskan kata nafs dengan memberikan padanannya yaitu dengan kata rûh. ) السروح: (الىفسAbdul Khamid Zahwan memberikan penjelasan makna kata nafs dengan ruh, tubuh, nyawa, diri seseorang, darah, niat, orang dan kehendak16. Ibrahim Anis dalam Mu'jam al-Wasith memaknai kata nafs dengan kata ruh, seperti dalam kalimat kharajat nafsuhu (ruhnya keluar) artinya ia telah mati.17 Manurut Abu Husen Ahmad bin Faris bin Zakariya kata nafs berasal dari kata huruf nun-fa, dan sin. Kata ini mengandung pengertian bagaimana keluarnya sesuatu yang lembut seperti, angin dan sebagainya ruh dan darah.18 Kata nafs dalam al-Quran disebutkan dalam bentu-bentuk kata jadian seperti nafs, anfus, nufûs, tanâfasa, yatanâfasu, dan mutanâfisan. Kata nafs dalam bentuk kata kerja hanya disebutkan dua kali. Satu dalam bentuk fi'il mâdhi, dan yang satu dalam bentuk fi'il mudhâri. Kedua kata nafs tersebut sudah mengalami perubahan pola (wazan) atau telah mengalami proses afiksasi yaitu tanaffasa 15
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, al-Mu'jam al-Ashri, (Yogyakarta: Pondok Pesantren Krapyak, 1999), hal. 1932-1933., Lihat Muhammad Idris Abd al-Rauf al-Marbawi Idris al-Marbawi, Juz-1, karya (Indonesia: Karya Insani), hal. 334 16 Ar-Raghib al-Ashfahani, Mu'jam Mufradat al-Fadl al-Quran (Beirut: Libanon, Dâr alFikr, tth), hal. 522 17 Abdul Khamid Zahwan, Kamus al-Kamil: Arab-Indonesia-Arab (Maktabah wa Mahbaah Usaha Keluarga: ttp, tth), hal.549 18 Ibrahim Anis, al-Mu'jam al-Wasith (Maktabah wa Syirkah Makhfa al-Babi al-Halabi wa Awladuhu: ttp, 1972), cet-II, Juz-II., hal. 360
25
( )تىفسdan yatanâfasu ()يتىافس. Dalam bentuk tanaffasa artinya bernafas, menarik nafas dan bersenang diri.19 Ibn Mandhûr memaknai kata tanaffasa dengan padanan kata
minum (syariba), terbit (thala'), atau menyinari (nawwara).20
Sedangkan dalam bentuk yatanâfasu ( )يتىافسmaknanya adalah ()رغب في menyukai.21 Adapun kata nafs yang mengalami perubahan bentuk hanya satu kata yaitu al-Mutanâfisûn ) )المتىافسونkata jadian ini terdapat dalam surat al-Muthaffifin ayat 26. Secara leksikal kata tersebut merupakn bentuk ism fa'il dan fi'il mâdhi تىافس يتىافسjadi kata al-Mutanâfisûn bermakna "orang yang menyukai".22 Walaupun kata itu berasal dari kata nafasa dan nafisa tetapi kata jadian tersebut terlalu jauh dari makna kata dasarnya. Ada pula kata jamak dimana suatu benda yang berjumlah dua atau lebih. Dalam pendekatan semantik jika sebuah kata berbentuk jamak, tetapi belum bergabung dengan kata lain maka tetap disebut kata tunggal. Semua kata nafs dalam al-Quran yang berbentuk jamak adalah bermakna kully/tarkiby (karena sudah bergabung dengan kata lain). Kata nafs dalam al-Quran yang menunjukan jumlahnya lebih dari dua disebutkan sebanyak 160 kali. Al-Quran menyebutkan dua kali dalam bentuk nufûs yang mengikuti pola bentuk jamak ( )فعولdalam bahasa Arab seperti dalam surat at-Takwir ayat 7 dan al-Isra ayat 25; dan 158 dalam bentuk anfus mengikuti pola bentuk jamak ()أفعل. Seperti di bawah ini:
19
Abdul Khamid Zahwan, Kamus al-Kamil: Arab-Indonesia-Arab (Maktabah wa Mahbaah Usaha Keluarga: ttp, tth), hal. 549 20 Ibn Mandzur, Lisân al-Arab (Dâr al-Ma'arif: ttp, tth), jil-VI.,hal. 237 21 Muhammad Abd al-Lathif al-Sabaki, al-Mukhtâr min Shihhah al-Lughah, hal. 533 22 Muhammad Abd al-Lathif al-Sabaki, al-Mukhtâr min Shihhah al-Lughah, hal. 533
26
)۷ :٨٤/ (التكوير )٠٦ :٤۷/(االسراء... )٠٨٥: ٠/ (البقراة...
... )٠۹۹:٠/(البقراة
Pada surat al-Baqarah ayat 233 dan 286 di atas kata nafs mengandung pengertian "individu" manusia dalam arti fisik manusia dari sisi luarnya dan psikis manusia dari sisi dalamnya. Karena secara konteks linguistik kata nafs salah satu kata yang menjadi unsur kalimat dari dua struktur kalimat yaitu "la tukallafu nafsun ila wus 'aha" dan struktur kalimat "la yukallifullahu nafsan ilâ wus 'aha" kata nafs pada kedua struktur di atas berfungsi sebagai pergerakan manusia. )٨١:١/(النساء
…
Kemudian kata nafs dalam surat an-Nisa ayat 84 di atas bermakna kewajiban karena berhubungan dengan kalimat "fa qâtil fi sabilillâh lâ tukalafu 'illa nafsaka". Kata nafs bermakna kewajiban dalam ayat ini, karena berkaitan dengan asbâb an-nuzûl dan sejarah ayat ini diturunkan. Berdasarkan konteks sejarahnya, ayat ini muncul karena merupakan perintah Allah kepada Nabi Muhammad SAW untuk pergi berperang ke Badar kubrâ. Ayat ini berhubungan
27
dengan keengganan dengan sebagian orang-orang Madinah untuk pergi berperang bersama Nabi ke tempat itu.
)٥:٤٦٠/ )االنعام....
Makna kata nafs pada surat al-An'am ayat 152 di atas adalah bermakna manusia dari sisi dalam dan sisi luarnya. Manusia dari sisi luarnya adalah akal dan dari sisi luarnya adalah fisik. Kata nafs mengandung makna demikian karena berkaitan dengan struktur kalimat sebelum dan sesudahnya, yaitu wa aufû al-kaila wa al-mizâna bi al-qisthi- lâ nukallifu nafsan illâ wus 'ahâ. Kegiatan penakaran dan penimbangan memerlukan dua unsur, yaitu kesanggupan akal dan kemampuan fisik. Kesimpulannya makna kontekstual kata nafs dalam al-Quran yaitu mencakup: kata nafs konteks sejarah seperti dalam surat an-Nisa ayat 84, maknanya adalah perintah Allah kepada Rasul untuk berperang. Selain itu kata nafs bisa berarti budaya (tsaqâfi) seperti dalam surat al-Maidah ayat 32
)۹٠ : ٦/ ) المائدة
Artinya: Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena
28
orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. (QS. Al-Maidah: 32) 2. Nabi Muhammad. SAW Disadari atau tidak, wujud Tuhan (Allah) pasti dirasakan oleh jiwa manusia baik redup, atau pun benderang. Manusia menyadari bahwa suatu ketika dirinya akan mati. Kesadaran ini mengantarkannya pada pertanyaan apa yang akan terjadi setelah kematian, bahkan menyebabkan manusia berusaha memperoleh kedamaian dan keselamatan di negeri yang tidak diketahui itu. Wujud Tuhan (Allah) yang dirasakan, serta hal kematian, merupakan dua dari sekian banyak faktor pendorong manusia untuk berhubungan dengan Tuhan dan memperoleh informasi yang pasti. Namun, tidak semua manusia mampu melakukan hal itu, kemurahan Allah menyebabkan-Nya memilih manusia tertentu untuk menyampaikan pesan-pesan Allah, baik untuk waktu dan masyarakat tertentu, atau untuk seluruh manusia di setiap waktu dan tempat. Mereka yang mendapat tugas itulah yang dinamai Nabi (penyampai berita) dan Rasul (utusan Allah).23 Jumlahnya yang banyak sehingga secara pasti tidak diketahui, al-Quran hanya menginformasikan bahwa:
23
M. Quraish Syihab, Wawasan al-Quran (Tafsir Maudhu'I atas Berbagai Persoalan Umat), (Bandung: Mizan, 1997), cet-V., hal. 41
29
)۷٨:١٢/ ) غافر Artinya: dan Sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. (QS. Ghafir: 78) Dalam sejarah, peradaban Islam tidak dapat dipisahkan dari sejarah seorang tokoh agung yang dilahirkan dalam lingkungan masyarakat jahiliah dan paganis di Jazirah Arab. Dia adalah Muhammad bin „Abdullah, rasul terakhir. AlQuran menyebutkan secara tegas nama dua puluh lima Nabi dan Rasul 18 kali, Nabi Muhammad salah satunya-diutus kepada seluruh manusia, dan merupakan khataman nabiyyin (penutup para Nabi) disebutkan dalam al-Quran. Firman Allah:
) ١٢: ۹۹/ (االحزاب Artinya: Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.(QS. Al-Ahzab: 40) Nama Muhammad SAW. disebutkan dalam Al-Quran dengan dua jenis sebutan yaitu Muhammad dan Ahmad. Sebutan Nabi dengan nama Muhammad terulang 4 kali, sedangkan Ahmad hanya disebutkan satu kali. Kalau mengamati nama Nabi Muhammad, maka sebenarnya akar katanya terambil dari kata َحَمَد, kata itu disusun dengan 4 huruf yaitu, ẖ a, mim (sukun), mim (fathah) dan dal.
30
Ketika menghitung nama Nabi dengan Muhammad SAW terulang sampai 4 kali sungguh ini berarti tepat dengan jumlah huruf dari akar katanya. Tapi walaupun seperti itu Nabi Muhammad SAW. juga disebutkan dalam al-Quran dengan nama Ahmad dan itu terulang hanya satu kali. Tepatnya 4 di tambah 1 jumlahnya 5, itu juga berarti sesuai dengan jumlah huruf nama beliau ketika ditulis dengan bahasa Arab yakni محمد, mim (dommah), ẖ a (fathah), mim (sukun), mim(fathah) dan dal (sukun).24 Nama Muhammad dalam Al-Qur‟an dapat kita temui dalam 4 ayat sebagai berikut:
) )١١١ :۹/االعمران Artinya: Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.(QS. Al-Imran: 144)
)١٢: ۹۹/ ) االحزاب
Artinya: Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu., tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Ahzab: 40)
24
http://infosyiah.wordpress.com/2007/04/06/nama-nabi-muhammad-saw-dalam-al-
quran/
31
) ٠ :١۷/(محمد
Artinya: dan orang-orang mukmin dan beramal soleh serta beriman kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan Itulah yang haq dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki Keadaan mereka. (QS. Muhammad: 2)
) ٠۹ :١٨/(الفتح Artinya: Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. Al-Fath: 29) Dan nama sebutan Ahmad untuk Nabi Saw dapat di baca dalam surat AsShaf ayat 6 yaitu:
32
)٦ :٥٤/ (الصف…. Artinya: dan (ingatlah) ketika Isa Ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, Yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." (QS. Asy-Shaff: 6) Baik kata Ahmad atau Muhammad sebenarnya artinya sama yaitu yang dipuji atau terpuji. Bagaimana ketika Allah SWT memanggil Nama Nabi Muhammad SAW?
tidak satupun ayat yang mencantumkan panggilan Nabi
Muhammad itu menggunakan kedua namanya yakni Muhammad dan Ahmad, Tapi Allah Swt memanggilnya dengan kata “ Wahai Nabi , Wahai Rasul , Wahai Orang Berselimut” dan lain-lain25. Bahkan dalam Al-Qur‟an Surat an-Nur Ayat 63 Allah SWT.
melarang siapapun dari sahabat-sahabat Nabi Saw untuk
memanggil beliau dengan menyebutkan namanya, sepertinya sangat tidak suka kalau kekasihnya itu di samakan panggilannya dengan yang lain. Firman Allah: )٥۹ : ٠١/ )النور Artinya: janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). (QS. An-Nur: 63) Dalam tafsir Majmu‟ al-Bayan dikatakan: “nama Muhammad dan Ahmad adalah nama yang dipilih oleh Allah untuk Rasulullah saw”. dalam tafsir alAmtsal disebutkan: “nama Muhammad adalah nama yang dipilih oleh Abdul 25
M. Quraish Syihab, Wawasan al-Quran (Tafsir Maudhu'I atas Berbagai Persoalan Umat), (Bandung: Mizan, 1997), cet-V., hal. 55
33
Muthallib, kakek Rasulullah untuk beliau, sedangkan nama Ahmad adalah nama yang dipilih oleh Aminah, ibu Rasulullah untuk beliau. Demikian juga Abu Thalib paman Rasulullah memanggil beliau dengan Muhammad dan Ahmad. Muhammad berasal dari kata Hamd, yang berarti pujian. Ahmad adalah orang yang paling banyak memiliki pujian Ilahi di antara semua makhluk. Muhammad adalah nama Rasulullah di bumi dan Ahmad adalah nama beliau di langit. Kata Nabi dan Rasul banyak disebutkan dalam ayat-ayat al-Quran. Yang paling banyak disebutkan untuk beliau adalah "Nabi" yakni orang yang diturunkan kepadanya wahyu dan pembawa kabar gaib. Ia menyampaikan pesan ilahi, meskipun tidak diperintahkan untuk menyampaikan ajaran secara terangterangan. Sedang "Rasul" adalah seorang nabi juga memiliki tugas menyampaikan ajaran ilahi mengajak untuk memeluk agama Ilahi. Kerasulan dan kedudukan yang lebih tinggi dari kenabian Oleh karena itu, kelebihan Nabi Muhammad atas nabi-nabi lainnya adalah Allah tidak memanggil beliau dengan nama, sedangkan nabi-nabi yang lain dipanggil dengan nama, seperti “Ya Musa! Ya Daud! Dan lain-lain. Tetapi beliau dipanggil dengan “Ya Ayyuha an-Nabi! Ya Ayyuha ar-Rasul!” Penyebutan kata Muhammad sendiri dalam al-Quran, ini menunjukkan akan kemutlakan beliau sebagai hamba. Menjadi hamba Allah secara mutlak merupakan nilai kemanusiaan yang tinggi, bahkan paling tinggi nilai kemanusiaannya. Penghambaan kepada Allah adalah sarana untuk mencapai kesempurnaan maknawi.
BAB III BERKAITAN DENGAN TAKLIF: TINJAUAN NORMATIF DAN APLIKATIF
A. Amal Ibadah Penyakit jiwa yang saat ini merajalela diseluruh dunia adalah karena manusia mengabaikan kebutuhan ibadah. Jumlahnya tidak dapat kita duga, tetapi begitu jelas dan nyata. Naluri untuk bertobat dan beribadaah termasuk salah satu fenomena spiritual manusia yang paling purba, bertahan lama, dan paling mengakar. Kajian terhadap berbagai peninggalan purba kala menunjukan bahwa dimana saja manusia hidup disana pasti ditemukan jejak-jejak praktik peribadatan meskipun satu sama lain berbeda bentuk, cara, dan objeknya Bentuk peribadatan setiap kelompokpun berbeda-beda pada awalnya, mungkin manusia menari-nari dan menggelar ritual-ritual rutin secara berjamaah disertai dzikir dan melantunkan puja-puji hingga pada puncaknya mereka larut dalam ketundukan dan kekhusuan sakral, tenggelam dalam irama dzikir dan pujian suci. Objek peribadatan merekapun berkembang mungkin pada awalnya mereka menyembah batu dan kayu, lalu akhirnya menyembah dzat Ajali yang Kekal, yang tidak terikat batas ruang dan waktu. Islam sebuah kata bahasa Arab yang berarti pasrah kepada Allah SWT. Agama yang mendatangkan kedamaian bagi umat manusia apabila mereka mau memasrahkan diri kepada Allah dan menyerahkan kemauan mereka kepada kehendak-Nya. Dengan demikian manusia itu diciptakan bukan sekedar untuk
35
36
hidup mendiami dunia ini kemudian mengalami kematian tanpa adanya pertanggung jawaban kepada penciptannya, melainkan manusia itu diciptakan oleh Allah SWT. untuk mengabdi dan beribadah kepada-Nya. Untuk menjadi seorang muslim sejati diperlukan tiga hal yaitu: kepercayaan, perbuatan, dan kesadaran. Kepercayaan kepada Allah SWT. serta diiringi kesadaran dan perbuatan terciptanya hubungan manusia dengan Tuhan (horizontal), sedangkan dari hubungan horizontal tersebut buahnya ialah hubungan antar sesama makhluk hidup (vertikal).1 Sebagaimana yang dikonsepkan di atas, mengandung isyarat akan kepastian adanya yang memberi atau melimpahkan beban kepada pihak yang menerimanya, yaitu mukallaf. Pembebanan terhadap mukalaf itu sendiri tidak serta merta berupa tanggungan yang harus dilaksanakan dan berhubungan dengan pemberi beban dalam hal ini Allah SWT. dan penerima (hamba), tetapi terkadang perintah yang datang itu juga berkaitan antar sesama. Dengan kata lain taklif disini secara tidak langsung memiliki hubungan antar manusia dengan Tuhan-Nya (Hablum min Allah), dan hubungan antar sesama manusia (Hablum min an-Nass). )٢۸٦: ٢/ (البقراة...
Artinya: Allah SWT. tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (QS. Al-Baqarah: 286) Ayat di atas menunjukan bahwa setiap tugas yang dibebankan kepada seorang tidak keluar dari tiga kemungkinan; pertama, mampu dan mudah
1
Khurshid Ahmad, Pesan Islam (Bandung: Pustaka, 1983), cet-1., hal.3
37
dilaksanakan, kedua, sebaliknya tidak mampu dia laksanakan, dan ketiga, dia mampu melaksanakannya tapi dengan susah payah dan terasa sangat berat.2 Artinya dalam hal ini kewajiban yang diterima seseorang dari Tuhannya itu, merupakan sesuatu yang dapat dipikul dan dilaksanakan dengan baik apabila dia berusaha dengan kekuatannya sendiri, sekalipun itu membutuhkan usaha yang keras. Selain itu Abu Ja'far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya mengatakan: orang yang membenarkan Allah dan Rasulnya, serta mengakui dan membenarkan apa yang dibawa dan disyariatkan akan menjalankan apa yang Allah SWT. perintahkan kepada mereka dengan menaati dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. Dan Allah SWT. tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekadar kesanggupannya. Kami tidak akan membebankan amal-amal kepada satu jiwa pun kecuali yang sanggup dilakukannya sehingga tidak memberatkannya.3 Sudah bukan rahasia umum lagi bahwasannya kewajiban pertama seorang muslim tak peduli dibagian dunia manapun ia hidup adalah mempraktikan ibadah yang teratur di dalam kehidupannya.4 Ibadah itu sendiri berarti merendahkan diri serta tunduk, yang berarti merendahkan diri dihadapan Allah SWT. Manusia yang telah menyatakan dirinya sebagai muslim dituntut untuk senantiasa melaksanakan ibadah sebagai pertanda keikhlasan mengabdi diri
2
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, jil. 1., cet. 1., hal. 751 3 Abû Ja'far Muẖammad bin Jarir ath-Ṯabari, tahqiq: Ahmad Abdurraziq al-Bakri, Muẖammad Adil Muẖammad, Muẖammad Abdul Latif Khalaf, Maẖmud Mursi Abdul Hamid, Tafsir ath-Ṯabari (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jil. 11., hal. 107 4 Suzanne Haneef, Islam dan Muslim (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), cet-1., hal. 229
38
kepada Allah SWT. tanpa adanya ketaatan beribadah, berarti pengakuannya sebagai muslim diragukan dan dipertanyakan. Jika ada kesenjangan antara pengakuan dan amal ibadah, berarti ia belum memahami sepenuhnya konsepsi syariat Islam tentang kewajiban mengabdi kepada Allah SWT.5 Ibadah dalam Islam itu sendiri merupakan cara untuk mensucikan jiwa dan amal perbuatan manusia sehari-hari. Dasar ibadah ialah kenyataan bahwa manusia adalah makhluk Allah SWT. dan karenanya juga budak Allah SWT, pencipta dan Raja kepada siapa manusia ditakdirkan untuk kembali. Jadi berpalingnya manusia kepada Allah SWT, dalam komuni yang intim, penuh hormat, dan dalam semangat pengabdian serta penyerahan yang rendah hati ini disebut Ibadah.6 Allah telah memberikan peringatan kepada kita, bahwa hidup di atas dunia ini tidak lain hanya untuk beribadah kepada Allah SWT. atau dalam bahasa keseharian mengabdi kepada Tuhan. Firman AllahSWT : )١٣ :۹/ (التوبت
Artinya: Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. (QS. At-Taubah: 31) )٥ :۹۸/ ) البينت Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus. (QS. Al-Bayyinah: 5)
5
Iftitah Jafar, Konsep Ibadah dan Dakwah dalam al-Quran (Yogyakarta: Cakrawala, 2009), cet-1., hal. 103 6 Khursid Ahmad, ISLAM: Its Meaning and Message, Pesan Islam, Terj. Achsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 1983), hal. 126
39
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa hendaklah kita sadar bahwa segala gerak-gerik kita hidup di dunia ini hendaklah didikan ibadah kepada Allah SWT. semata-mata. Supaya hidup kita lebih berharga, tidak terbuang secara percuma. Berkaitan tentang ibadah, Islam memilki pandangan sendiri bahwa setiap pemeluk Islam yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, akalnya sempurna dapat berfikir dengan baik, baligh, mumayyiz (mampu membedakan mana yang baik dan buruk, serta dapat memahami dengan baik apa yang diterima dari lawan bicaranya itu, maka seketika itu pula telah di kenai beban untuk melaksanakan ibadah secara sempurna. Seluruh hukum syar'i yang berkenaan dengan perintah atau larangan yang datang dari Allah SWT. dan Rasul-Nya wajib untuk dipatuhi dan ditaati. Dari pengertian tersebut dapat ditarik pemahaman bahwa tidak seorang pun boleh menyangkal bahwa dia tidak mampu, sesungguhnya Allah SWT. telah memberikan kesanggupan serta kemampuan terhadap masing-masing individu atau kelompok untuk dapat memikul beban yang diberikannya, tanpa harus berdalih dia tidak cukup mampu untuk menerima beban yang dihadapinya. Oleh karena itu tidak satu pun anjuran dan perintah-Nya yang tidak bernilai ibadah. Bahkan menurut Islam, setiap aktivitas manusia yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT. dinilai ibadah.7 Firman Allah SWT.:
)۹۹:٣٦/ (النحل
7
Ahmad Thib Raya, Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk-Beluk Ibadah Dalam Islam (Jakarta: Prenada Media, 2003)cet-1., hal. 141
40
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.(QS. An-Nahl: 97) Manusia yang mempunyai pandangan hidup bahwa semua aktivitasnya diarahkan pada amal shalih berarti memandang materi, harta, pangkat, jabatan, dan lainnya adalah alat untuk mencapai tujuan hidup yang diridhai Allah SWT. Sikap demian sangat terpuji di sisi Allah SWT, karena mengikuti, patuh, dan taat atas setiap perintah dan larangan yang diberikan-Nya. Firman Allah SWT: ) ١۸: ٢/ )البقراة …
Artinya: Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati".(QS. Al-Baqarah: 38) Ayat di atas menunjukan kemampuan intern untuk membentuk diri adalah milik manusia, tidak ada makhluk lain yang menyandang kemampuan ini, sehingga hanya manusia sajalah yang dapat secara bebas menentukan perbuatan dan masa depan. Hal ini karena manusia memiliki kemampuan insani yang istimewa, kemampuan yang paling penting, yakni daya nalar yang luar biasa menuju kehidupan yang mereka inginkan. 8 Perlu diingat kewajiban-kewajiban moral yang berupa taklifi dari Tuhan adalah mustahil jika tanpa disertai tanggung jawab. Bagaimanapun juga ia akan diminta
8
Murtadho Munṯ ahari, Perspektif Islam Tentang Manusia dan Agama, Terjemahan, (Bandung: Mizan, 1995), cet-7., hal. 138
41
pertanggung jawaban atas perbuatannya, dan tanggung jawab tersebut merupakan syarat mutlak dan mesti dari kewajiban moral.9 Firman Allah SWT:
)٢۸٦: ٢/ … (البقراة
Artinya: Allah SWT. tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (QS. Al-Baqarah: 286) Melihat ayat di atas pula al-Maraghi lebih melihat pada kemurahan atas sifat Allah SWT. bukan karena ketidak berdayaan manusianya. Hal ini dapat terlihat jelas dalam kitaf tafsirnya yaitu,10 "bahwa faktor penyebab tidak adanya hukuman karena lupa dan bersalah, hal ini dikarenakan mendapat ampunan dari Allah SWT. Dan faktor tidak adanya pembebanan kewajiban yang berat adalah, karena mendapat magfirah. Sedangkan faktor yang menyebabkan tidak adanya beban yang menyulitkan adalah karena rahmat Allah SWT ." Baik itu ibadah yang berupa lafdziyah atau pun ibadah berupa tindakan amaliyah11 jika menilik pada pemahaman ayat di atas maka setiap tindakan yang dilakukannya semua akan menimbulkan dampak balasan dalam kehidupan ini, firman Allah )۸ :۹۹/ (الزلزلت 9
Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Pustaka, 1988), cet-1.,
hal. 13 10
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj.Bahrun Abu Bakar, Hery Noer Aly, Anshori Umar Sitanggal, juz-1, 2, 3., cet-2., hal. 152 11 Ibadah lafalz adalah rangkaian kalimat dan dzikir yang diucapkan dengan lidah seperti, hamdalah, al-Quran, dzikir dalam sujud, ruku dan tahiyat shalat, atau membaca talbiyyah dalam ibada haji. Sedangkan ibadah amal adalah seperti ruku dan sujud dalam shalat, wukuf di padang Arafah dan tempat-tempat suci lainnya dan thowaf. Dan kebanyakan ibadah dalam Islam merupakan perpaduan antara ibadah lafadz dan amal seperti shalat dan haji.
42
Artinya: dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.(QS. Al-Zalzalah: 8) Dalam konsepsi Islam itu sendiri, ibadah merupakan kerangka umum bagi setiap ajarannya. Jika ibadah dilaksanakan dengan baik, sebagai imbasnya, baik pula kehidupan moral dan sosial seseorang. Sebaliknya jangan pernah percaya bahwa seorang punya kehidupan moral dan sosial yang baik, sementara ibadahnya berantakan seperti masalah kebanyakan dewasa ini yaitu: pelajar yang melakukan mabuk-mabukan,12 penggunaan narkoba oleh berbagai kalangan, bunuh diri, tindakan criminal yang merajalela, membunuh antar sesama, dan lain sebagainya. Jika kita melihat banyak orang melakukan ibadah, tetapi belum dapat memunculkan sikap dan prilaku terpuji serta kebersihan jiwa, maka sebenarnya perbuatan ibadahnya itu belum dapat dikatakan sesuai dengan ibadah dalam pengertian sebenarnya, yaitu senantiasa mawas diri dan taqarrub kepada Allah SWT.13 Kita tidak mungkin mengakui keberimanan seseorang yang tidak mau shalat, namun memiliki kepribadian yang baik. Karenanya, tidak mengherankan bila sebagian manusia menyerah dan berdalih, "ibadah itu tidak mudah. Hal ini dikarenakan disatu sisi kita punya urusan menyangkut keluarga, istri, dan anakanak, serta pekerjaan. Bagi sesorang mukmin, maka hendaknya berusaha untuk menghindari dari perbuatan-perbuatan keji meskipun sifatnya kecil, Rasulullah menyerukan agar 12
http://www.organisasi.org/1970/01/faktor-penyebab-alasan-seseorang-memakaimenggunakan-narkoba-narkotika-zat-adiktif.htm 13 Abuddin Nata, Kajian Tematik al-Quran Tentang Fiqih dan Ibadah (Bandung: Angkasa, 2008), cet-1., hal. 51
43
umat Islam waspada terhadap masalah-masalah remeh dan berusaha mencegahnya serta senantiasa membersihkan bekas-bekas perbuatan itu, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam bermasyarakat. Akan lebih baik jika sesorang mukmin mengerjakan sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT. dan Rasulnya untuk mendapatkan ganjaran kebaikan kelak dan mendapatkan kehidupan yang senantiasa diridhai Allah SWT.14 Kesimpulannya, manusia yang cenderung mengira bahwa dirinya dibiarkan begitu saja, sehingga ia berbuat sesuai dengan hawa nafsunya serta mengabaikan petunjuk yang telah digariskan oleh al-Quran melalui risalah Rasul adalah keliru. Sungguh syariat Allah SWT. tidak membebani seseorang di luar kesanggupannya. Semua kewajiban dari Allah SWT. ada dalam kesanggupan dirinya. Semua kewajiban dari Allah SWT. ada dalam kesanggupan manusia dan kekuatannya. Dia lah yang akan membalas hamba pada hari kiamat.15
B. Menyusui Anak Islam adalah agama yang sempurna, kesempurnaan itu dapat dilihat salah satunya dibuktikan dengan nilai dan prinsipnya yang ditetapkan untuk mengatur kehidupan umatnya. Mulai dari kehidupan seseorang dengan Tuhannya, kehidupan dirinya dengan orang lain, alam sekitar dan kehidupan yang mengatur dirinya sendiri, termasuk salah satunya berkenaan dengan pernikahan.
14
Al-Ghazali, Menjadi Muslim Ideal: Meletakan Islam Sebagai Petunjuk dan Penerang Kehidupan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), cet-2., 125-126 15 Muhammad Ali ash-Sabuny, Cahaya al-Quran Tafsir Tematik, terj, Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), cet-1., hal.398
44
Pernikahan itu sendiri merupakan komitmen dua belah pihak, antara suami dan istri untuk menjalani kehidupan bersama dengan membentuk keluarga. Untuk membentuk keluarga maslahah perlua ada niat dan usaha dari kedua belah pihak, sehingga segala hal yang mengarah kepada pembentukan keharmonisan keluarga seperti saling setia, menjaga rahasia keluarga, saling membantu, menyayangi serta melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing adalah keawajiban bersama antara suami dan istri. Salah satu tujuan pernikahan adalah meneruskan keturunan, yaitu adanya anak. Dengan adanya anak berarti hubungan dan relasi dalam berkeluarga bertambah, tidak hanya suami dan istri, tetapi juga antara orang tua dan anak. Sebagaimana antara suami dan istri, relasi antara orang tua dan anak juga diatur dalam Islam. Adanya pengaturan kewajiban dan hak antara orang tua dan anak pada dasarnya adalah dalam rangka merealisa sikan tujuan pernikahan yaitu membentuk keluarga harmonis dan bahagia. Kasih sayang antara orang tua dan anak pada dasarnya adalah fitrah manusia, bahkan fitrah dari seluruh makhluk hidup di Bumi ini, tidak terkecuali binatang ganas sekalipun tentu akan menyayangi serta melindungi anaknya. Kasih sayang seorang bapak dengan mencari dan memberi nafkah kepada istri dan anaknya, sedang kasih sayang ibu dengan memberi perhatian besar kepada anaknya dari mulai kandungan, melahirkan, dan menyusui.16 Firman Allah:
16
Tafsir al-Quran Tematik: Membangun Keluarga Harmonis (Departemen Agama RI, 2008), jil-3., cet-1., hal.115
45
)٢١١:٢/(البقراة
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah SWT. dan ketahuilah bahwa Allah SWT. Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 233) Ayat di atas menyampaikan empat hal; pertama petunjuk Allah SWT. kepada para ibu agar senantiasa menyusui anak-anaknya secara sempurna, yakni dua tahun sejak kelahiran sang anak. Kedua, kewajiban ayah memberi makanan dan pakaian kepada para ibu yang menyusui dengan cara yang baik. Ketiga, diperbolehkannya menyapih anak sebelum dua tahun asalkan dengan kerelaan dan permusyawarahan keduanya. Keempat, adanya kebolehan menyusukan anak kepada perempuan lain.
46
Menyusui anak adalah salah satu kodrat perempuan selain haid, mengandung, dan melahirkan. Semua
perempuan normal pasti memiliki dan
merasakan kodrat ini. Pada kodrat inilah cinta kasih sayang dan perlindungan seorang perempuan serta seorang ibu kepada anaknya terbentuk. Di dalam organ menyusui Allah SWT. meletakan kehormatan dan kemuliaan perempuan.17Oleh karenanya bagi setiap perempuan yang bisa menjaga dengan baik sesuai dengan perintah Allah SWT. dan Rasul-Nya, maka kemuliaan diri dan surga menjadi miliknya. Terlepas dari alasan kesehatan, anak tidak mau disusui ibunya, dan alasan lain yang dibenarkan secara syar'i, seorang ibu harus menyusui anaknya. Sedangkan tujuan lain yang mengandung motivasi nafsu duniawi dan syahwat, seperti menjaga kebagusan dan kecantikan bentuk tubuh (payudara) untuk menarik perhatian dari lawan jenis, dan lain sebagainya adalah alasan yang dilarang secara syar'i. Sang ibu wajib menyusukan anaknya kalau memang dia ditentukan untuk itu, apabila tidak ada wanita lain yang mengambil alih tugas menyusui anak tersebut atau bayi itu tidak mau menyusu kecuali kepada ibunya saja, atau sang ayah dan bayi itu tidak memiliki harta yang cukup untuk membayar upah wanita lain yang akan menyusukan, dan juga tidak ada wanita lain yang mau menyusukan bayi tersebut dengan gratis.18
17
Ahmad Husain Ali Salim, Terapi al-Quran: Untuk Penyakit Fisik dan Psikis Manusia, terj. Muhammad al-Mighwar (Jakarta: Asta Buana Sejahtera, 2006), cet-1., hal. 56 18 Zakariya Ahmad al-Barrya, Hukum Anak-Anak dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), cet-1., hal. 43
47
Seorang ibu bertugas menyusukan anaknya dengan air susu yang terjadi segera setelah lahirnya anak itu; karena anak itu akan menjadi kuat dan tegap badannya dengan meminum air susu permulaan itu. Adapun pada hari-hari berikutnya, maka si ibu tidak lagi wajib menyusukan anaknya itu, baik ia berstatus sebagai istri yang resmi, atau pun yang telah diceraikan dan ada wanita lain yang akan menyusuknya, maka si ibu wajib menyusukan anak itu untuk selanjutnya sampai disapih, baik statusnya sebagai istri yang resmi ataupun yang telah diceraikan. Kata al-walid itu sendiri dihubungkan dengan kata yurdi'na yang terdapat dalam ayat 233 surat al-Baqarah mengandung arti umum, yakni semua perempuan yang dapat menyusui, bukan hanya ibu yang melahirkannya.19Sejalan dengan pendapat tersebut M. Quraish Shihab menguraikan bahwa kata al-walid dalam penggunaan al-Quran berbeda dengan kata ummah yang merupakan bentuk jamak dari kata um. Kata ummah biasanya digunakan untuk menunjukan kepada para ibu kandung, sedangkan kata al-walid maknanya ialah para ibu, baik ibu kandung atau bukan.20 Selain itu perempuan yang diwajibkan menyusui anaknya adalah ibu yang telah dicerai, khususnya cerai bain dan budak. Adapun jika ibu anak itu masih berstatus istri walau telah ditalaq secara raji', maka kewajiban memberi makan dan pakaian adalah atas dasar hubungan suami istri, sehingga bila mereka menuntut imbalan penyusuan anaknya, maka suami wajib memenuhinya selama
19
Muẖammad ibn Asyr, al-Taẖrir wâ al-Tanwir (Tunis: Dâr Sahnun Linnasy wâ alTawzȋ, tth), hal.429 20 M. Qurais Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, jil-1., hal. 470
48
tuntutan itu wajar. Muhammad Abduh mengatakan bahwa fuqaha tidak mewajibkan ibu menyusui anaknya, menurutnya suamilah yang berkewajiban menyusui anaknya dengan cara mencarikan ibu susuan untuk anaknya, kecuali kalau suami tidak sanggup untuk itu.21 Oleh karenanya bagi seorang ibu yang berkeinginan menyusui, tidak dapat dihalangi. Hal itu merupakan salah satu haknya dan juga hak anaknya. Untuk memenuhi hak tersebut, maka suami berkewajiban untuk memenuhi segala kebutuhan mereka yang berkaitan dengan penyusuan. Hal ini dikarenakan sudah menjadi sebuah keyakinan bahwa yang berkewajiban menyusui bayi adalah ibunya sendiri, lantaran ibu memegang peranan penting dalam menciptakan sumberdaya manusia yang berkualitas, generasi penerus yang lahir sebagai anak yang cerdas berawal dari masa prenatal atau sebelum kelahiran yaitu kehamilan, masa menyusui, balita, masa kanak-kanak dan seterusnya. Berkaitan dengan ayat di atas bahwa "Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya". Makna ayat ini seorang istri tidak dibebani untuk bersabar dalam menerima upah yang minim dan suami tidak dibebani untuk mengeluarkan nafkah di luar batas kewajaran, akan tetapi ia harus memperhatikan nilai-nilai kesederhanaan.22Artinya dalam hal ini suami dipersilahkan untuk memilih hak menyusukan anaknya kepada istrinya, atau disepakati terlebih dahulu untuk kemudian nantinya
21
Muẖammad Abduh, Tafsir al-Manar (Mesir: ttp, 1914), hal. 409-410 Syaikh Imam al-Quṯubi, Tafsir al-Qurṯubi, terj. Fathurrahman, Ahmad Hotib, Dudi Rasyadi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), cet-1., jil-3., hal.349 22
49
meyerahkan kepada orang lain. Dalam hal ini Allah SWT. tidak memberikan beban kewajiban kepadanya. Kalau misalnya si ibu tidak mau menyusukan bayinya kecuali dengan syarat upah yang tertentu, dan ada orang lain yang mau menyusukannya secara gratis, atau dengan syarat upah lebih sedikit dari upah yang diminta oleh ibunya, maka dalam hal ini si ibu tidak lagi diutamakan untuk menyusukan anaknya itu. Dan tugas menyusukan diserahkan kepada wanita lain yang mau menyusukan dengan gratis itu.23 Penyerahan itu dilaksanakan karena yang menjadi tujuan utama dalam menyusukkan anak ialah memberi makanan yang bergizi sempurna kepada anak yaitu, air susu wanita yang sesuai dengan si anak dalam umur seperti itu. Selain itu kesejahteraan anak dapat diwujudkan dengan cara memberi makanan yang bergizi, tanpa memberatkan sang ayah dengan paksaan membayar upah yang mahal seperti yang diminta oleh si ibu tadi Kepada para suami yang shalih janganlah seorang laki-laki membebani istrinya pekerjaan menyusui yang dapat menimbulkan mudarat terhadap diri istrinya karena hanya untuk kepentingan anak laki-lakinya, padahal istrinya tidak menginginkan kesulitan itu.24 Jika sudah seperti ini maka sang ayahlah yang berkewajiban untuk membayar upah menyusukan tersebut. Hal ini lantaran menyusukan anak itu sama dengan pemberian nafkah, sedang pemberian nafkah merupakan kewajiban suami atau ayah si anak.
23
Zakariya Ahmad al-Barrya, Hukum Anak-Anak dalam, cet-1., hal. 46 Abdurraẖman Jalaluddin al-Suyuti, al-Dûr al-Manar fî tafsir al-Manâr (Beirut: Dar alFikr, 1993), jil-1., hal. 681 24
50
Begitupula dengan para wanita yang telah ditalaq suaminya, sedang mereka mempunyai anak yang telah lahir sebelum jatuh talaq atau lahir setelah jatuh talaq dengan adanya senggama sebelum jatuhnya talaq tersebut, menyusui anak-anak mereka sebab ibu lebih berhak dari yang lain. Dan ini bukanlah perintah yang wajib hukumnya bagi ibu. Namun jika masih ada bapak yang masih hidup dalam keadaan lapang, sebab ayat lain menyebutkan: " Jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya".
)٦:٦٥/(الطالق
Artinya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (QS. At-Thalaq: 6) Ayat ini menjelaskan jika kedua orang tua kesulitan memberikan upah maka perempuan lain bisa menyusuinya, dan tidak diwajibkan bagi ibu untuk menyusui anaknya. Sebagaimana diketahui " Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun". Merupakan dalil batas menyusui ketika kedua orang tua tersebut berselisih dalam batas masa tersebut maka ditentukan batas masa menyusui dan bukannya dalil wajib menyusui anaknya.25 25
Abû Ja'far Muẖmmad bin Jarir ath-Ṯabari, tahqiq: Aẖmad Abdurraziq al-Bakri, Muẖammad Adil Muẖammad, Muẖammad Abdul Latif Khalaf, Maẖmud Mursi Abdul Hamid, Tafsir ath-Ṯabari, jil. 4., hal. 2
51
Karena menyusui anak adalah suatu bentuk peribadatan kepada Allah SWT, maka Allah SWT. menyediakan pahala dan kemuliaan bagi perempuan atau seorang ibu yang melakukannya. Karena menyusui itu sendiri adalah tanggung jawab yang melelahkan, membutuhkan energy, dan kesungguhan serta keikhlasan yang besar. Ini sama halnya dengan seperti rasa sakit saat haid, mengandung dan melahirkan. Seluruh beban diri yang menimpa perempuan akibat kodrat keperempuannya, Allah SWT. menggantikannya dengan pahala dan rahmat-Nya. Menyusui anak dengan tujuan beribadah, mengandung unsur pendidikan, pembinaan dimana didalamnya terdapat nilai-nilai ketaatan dan perbaikan keimanan kepada Allah SWT. Seorang muslimah yang menyusui anaknya secara sadar pasti menjaga dirinya untuk tidak meng konsumsi makan, minum yang haram secara sifat dan materi, serta cara memperolehnya.
C. Kadar Nafkah Bagi Keluarga Suami memiliki kewajiban yang telah Allah tetapkan dan begitu urgen, sekaligus sebagai hak istri yang wajib untuk dipenuhi. Memberikan nafkah kepada istri dan anak adalah merupakan salah satu kewajiban seorang suami dalam kehidupan rumah tangga. Tanggung jawab seorang ayah sebagai pemimpin keluarga tidaklah mudah. Telah kita ketahui bahwasannya kewajiban suami terhadap istri ialah memberikan nafkah. Suami perlu mencukupi keperluan ekonomis istri, meliputi keperluan makan, pakaian, dan perumahan serta lain-lain yang bersifat ekonomis, juga diharuskan memberikan nafkah baik itu nafkah berupa pendapatan atau pun
52
nafkah batin kepada istri. Secara lengkap dan
menyeluruh.
dengan cara
memberikan kebutuhan tersebut secukupnya
)۹:٦٥/(الطالق
Artinya:Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah SWT. kepadanya. Allah SWT. tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah SWT. berikan kepadanya. Allah SWT. kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS. At-Thalaq:7) Syeikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di rahimahullah berkata "Ini sesuai dengan hikmah dan rahmat Allah SWT. yang menjadikan kewajiban setiap orang sesuai dengan keadaannya, dan Dia meringankan dari orang yang kesusahan. Sehingga dalam masalah nafkah dan yang lainnya, Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kemampuannya26. Dengan begitu hal ini mengindikasikan bahwa menafkahi istri dan anak adalah merupakan salah satu kewajiban seorang suami dalam kehidupan rumah tangga. Sehingga dalam mencari nafkah hendaknya sang suami tidak boleh bermalas-malasan dan tidak boleh menggantungkan hidupnya kepada orang lain, serta tidakboleh minta-minta kepada orang lain untuk memberi nafkah kepada istri dan anaknya. Suami sendiri sebagai kepala rumah tangga, pada dirinya terletak tanggungjawab yang besar, kewajiban yang bermacam-macam terhadap 26
Tafsir Karim ar-Rahman, Majalah http://www.almanhaj.or.id/content/2623/slash
as-Sunnah
Edisi
04,
tahun
2006.
53
keluarganya, dirinya dan agamanya yang harus ia letakan secara seimbang. Sehingga suatu kewajiban tidak mengurangi kewajiban yang lain. Sungguh Allah SWT. telah berkehendak memberikan amanah kepada perempuan untuk hamil, melahirkan dan menyusui. Tugas yang amat besar, karenanya sangat adil, jika kemudian Allah SWT. membebankan tugas kepada laki-laki untuk mencari nafkah, memenuhi kebutuhan utama keluarganya. Memberikan nafkah disini dipahami dengan mencukupi istri dan anak dengan baik. Dilihat dari kemampuan suami, apakah ia termasuk orang yang dilapangkan dalam rizki ataukah tidak, ini berarti harus sesuai dengan kondisi, tempat, dan zamannya. Hendaklah seseorang memberi nafkah menurut kemampuannya, hal ini menjelaskan bahwa berapa kadar nafkah, dimana sang suami hendaknya memberi nafkah kepada istri dan anaknya yang masih kecil sesuai dengan kemampuannya. Dalam at-Tashil lȋ ulûm at-Tanzil disebutkan, ini merupakan perintah agar tiap orang memberi nafkah sesuai dengan kemampuannya.27 Menurut penulis ini berarti sang suami tidak dipaksa di atas kemampuannya sehinga istri tidak disia-siakan dan tidak memberatkannya dari sisi kemampuan. Selain itu penafsiaran di atas menunjukan bahwa, nafkah berbeda sesuai dengan perbedaan status ekonomi seseorang. Allah SWT. tidak membebani siapapun, kecuali sesuai kemampuan dan kesanggupannya. Allah SWT. tidak membebani si miskin apa yang dibebani si kaya.
27
Syaikh Muhammad Alî ash-Sabunî, Safwâtut Tafâsir, terj. Yasin (Jakarta: Pustaka alKautsar, 2011), jil-5., cet-1., hal. 392
54
M. Quraish Shihab mengatakan hendaklah bagi seorang suami yang lapang, yakni mampu dan memiliki banyak rezeki, memberi nafkah istri dan anak-anaknya sebatas kadar kemampuannya, dengan demikian hendaknya ia memberi sehingga anak dan istrinya itu memiliki pula kelapangan dan keluasan berbelanja dan siapa yang disempitkan rezekinya, yakni terbatas penghasilannya, maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.28 Dalam hal ini jangan sampai ia memaksakan diri untuk nafkah itu dengan mencari rezeki dari sesuatu yang diharamkan oleh syariat. Karena sesungguhnya Allah SWT. tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sesuai apa yang Allah SWT. berikan kepadanya. Karena itu hendaklah sang istri janganlah menuntut terlalu banyak dan pertimbangkanlah keadaan suami atau bekas suami.
Firmannya, “الَ ُي َكّهِفُ اهللُ نَ ْفسًا إِالَ مَا آتاَهَاAllah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya,” artinya adalah, Allah SWT. tidak akan membebani seseorang untuk menafkahi keluarganya kecuali berdasarkan rezeki yang diberikan Allah SWT. kepadanya. Bila dia punya harta yang banyak maka dia membelanjakannya sesuai kadar kekayaannya, dan bila miskin maka disesuaikan dengan itu pula. Si miskin tidak dibebankan untuk menafkahi dengan jumlah yang sama dengan si kaya.29 Jika suami hanya mampu memberikan nafkah hanya cukup untuk sekali makan saja, maka hendaknya ia memberi sesuai dengan kadarnya, begitu juga jika dia mampu memberikan lebih maka sesuai dengan kelebihannya pula. 28
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-, jil. 1., cet. 1.,
hal.146 29
Abû Ja'far Muẖammad bin Jarir ath-Ṯabari, tahqiq: Ansari Taslim, Muhyiddin Mas Riḏ a, Muhammad Rana, Tafsir at-Thabari (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), cet-1., jil.25., hal197
55
Berkaitan dengan surat at-Thalaq ayat 7 itu sendiri Al-Maraghi mengatakan Allah SWT. tidak membebani seseorang dengan nafkah untuk orang yang harus diberinya nafkah, baik karena hubungan kerabat maupun hubungan rahim, kecuali menurut kadar rezeki yang diberikan Allah SWT. kepadanya. Sehingga orang yang fakir tidak dibebani dengan beban yang dibebankan dengan beban yang dibebankan kepada orang kaya. Allah SWT. juga menjelaskan bahwa rezeki itu berubah dari kesulitan menuju kelonggaran Allah SWT. akan menjadikan sesudah kesulitan itu kemudahan, sesudah kesempitan itu kelapangan dan sesudah kefakiran itu kekayaan. Sebab dunia itu tidak tetap dalam suatu keadaan seperti firman Allah SWT: )٦: ۹٤/(الشرح
Artinya: Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.(QS. AlInsyirah: 6) Yang demikian itu merupakan kabar gembira, bagi orang-orang mukmin yang dikuasai ke fakiran dan kepapaan.30 Hal ini menegaskan bahwa nafkah yang diberikan suami terhadap keluarganya lebih besar nilainya disisi Allah SWT, Hal ini jelas betapa pentingnya suami memberi nafkah kepada istri, untuk menjaga hubungan keluarganya, mencegah terjadinya tindak kriminal. Oleh karenanya untuk menghindari itu semua, maka hukum melindunginya dengan diperbolehkannya sang istri membantu suami untuk meringankan beban kebutuhan ekonominya.
30
Ahmad Musṯ afa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj.Bahrun Abu Bakar, Hery Noer Aly, Anshori Umar Sitanggal (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993), juz-4, 5, 6., cet-2., hal. 239
56
D. Harta Anak Yatim Dalam al-Quran sebanyak 23 kali disebut perkataan "yatim" dan penggunaan kata-kata yatim itu merujuk kepada kemiskinan dan kepapaan. Artinya mereka yang berada dalam golongan yatim (anak yatim) memerlukan perhatian dan pembelaan serta tanggung jawab dari kita semua agar mereka bisa belajar dengan tenang, bergembira mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan kebutuhan anak-anak mampu lainnya serta memiliki ayah dan ibu. Begitu banyak ayat al-Quran menjelaskan tentang tanggung jawab setiap muslim agar memperhatikan dan memelihara anak yatim dari segi kejiwaan serta sosial kemasyarakatannya. Tetapi realitannya hanya sebagian orang muslim yang mau peduli mengambil tanggung jawab sebagai orang tua dari sekian banyak anak yatim dan anak terlantar. Menyayangi dan memelihara anak yatim adalah kewajiban sosial setiap orang Islam, selain itu merupakan salah satu tindakan yang jarang dilakukan orang. Justru masalah sosial
yang ada dalam sebuah masyarakat terkait dengan
keberadaan anak-anak yatim yang kehilangan orang yang melindungi dan bertanggung jawab atas mereka. Anak-anak yatim ini biasanya kekurangan kasih sayang dan bila ini tidak ditutupi, maka mereka akan menjadi anak-anak yang terlantar, kriminal, dan pada akhirnya kehilangan kebahagiaan dan menjadi masalah bagi masyarakat. Al-Quran memperingatkan orang-orang yang tidak memperhatikan perasaan manusia, tidak peduli dan memakan harta anak yatim.
57
)٦:٣٥٢/ )االنعام....
Artinya: dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. (QS. Al-An'am: 152) M. Quraish Shihab mengatakan bahwa larangan menyangkut harta dimulai dengan larangan mendekati harta kaum lemah, yakni anak-anak yatim. Ini sangat wajar karena mereka tidak dapat melindungi diri dari penganiayaan akibat kelemahannya. Dan karena itu pula, larangan ini tidak sekedar melarang memakan atau menggunakan, tetapi juga mendekati. Dalam kamus bahasa Indonesia, yang disebut yatim adalah seorang anak yang telah ditinggal mati ibu dan atau ayahnya.31 Sedangkan dalam kamus bahasa Arab yang disebut yatim32 adalah ( من فقذ أباه ونم يبهغ مبهغ انرجالorang yang ditinggal mati ayahnya sedang ia belum mencapai usia dewasa). Adapun seorang yang ditinggal mati ibunya disebut al-‘aj y. Dan anak yang ditinggal mati oleh ayah dan ibunya disebut al-lath m . Istilah yatim juga digunakan untuk binatang yang ditinggal mati induknya.33 Dalam konteks masyarakat Indonesia, nama yatim lebih sering digunakan bagi anak yang bapaknya meninggal dunia, sedangkan kalau yang meninggal
31
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 1015 32 Secara bahasa kata yatim memiliki beberapa arti yaitu, khatara atau خَتَرَ أَعْيَا (lemah/letih),ْ( إِنْ َفهَتterlepas), َ( أَبْطَأlambat), ٌ( َهمsedih), dan ْ( إِنْفِرَادkesendirian). Lihat selengkapnya Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhzar, Kamus Kontemporer Arab – Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Ponpes Krapyak, 1996), cet-1, h. 2045 33 Luis Ma’luf, al-Munjid fî al-Lughah (Beirut: Dâr al-Mishria, 1982), cet ke-26, h. 923
58
adalah kedua orang tuanya maka anak tersebut dinamakan yatim piatu. Oleh karenanya anak yatim membutuhkan bimbingan, pengawasan dan kasih sayang untuk kemajuan masa depannya.
, , )٣-٤: ٣١۹/ (الماعون... ,
Artinya: Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama, Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (QS. AlMaun: 1-4) Ayat di atas menjelaskan bahwa setiap muslim harus memperhatikan dan menyayangi anak-anak yatim kerena mereka merupakan titipan kepada umat yang harus diberikan santunan, diurus, dan didik dengan baik, sehingga mereka dapat merasakan yang sama sewaktu masih ada orang tuanya. Akan tetapi jika ada yang menelantarkan dan memberlakukannya dengan sewenang-wenang serta memakan harta anak yatim, maka diterangkan dalam sebuah hadits bahwa pada hari hisab ada sebagian orang yang akan dibangkitkan dalam keadaan api dinyalakan di mulut mereka. Mendengar hal ini sebagian sahabat ra bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah mereka ini?” Rasulullah saw menjawab dengan membaca ayat al-Qur'an berikut:
)٣١: ٤/ (النساء
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS. AnNisa: 10)
59
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa pesoalan anak yatim adalah persoalan yang sangat besar dan setiap orang bertanggung jawab untuk menjaga harta anak yatim dengan hati-hati dan berusaha memberikan manfaat dari harta anak yatim itu kepadanya dan menjaga jangan sampai kita memakan harta anak yatim. Selain itu Allah melarang siapa saja menggunakan secara tidak sah harta anak yatim, kecuali dengan cara yang terbaik sehingga dapat menjamin keberadaan, bahkan pengembangan harta itu, dan hendaklah pemeliharaan secara baik itu berlanjut hingga ia, yakni anak yatim itu, mencapai kedewasaannya dan menerima dari kamu harta mereka untuk mereka kelola sendiri.34 Artinya Allah SWT. melarang mendekati harta anak yatim ketika ia masih kecil, kecuali dengan cara yang paling baik, sampai ia menginjak dewasa, jika ia telah dewasa hendaknya sang wali tetap mengawasinya, Allah SWT. melarang mendekatinya dengan maksud agar berhati-hati dan menjaga harta tersebut hingga tiba saatnya ia dewasa. Jadi, setiap tindakan terhadap anak yatim atau terhadap hartanya yang tidak termasuk dalam lingkaran “yang lebih baik dan lebih bermanfaat” adalah dilarang. Maka memakan hartanya dengan tamak dan dengan maksud menindasnya merupakan sesuatu yang diharamkan dan dilarang. Membekukannya dan tidak mengembangkannya dengan pertanian, perindustrian atau perniagaan adalah haram. Berlebihan mempergunakannya, meskipun untuk kepentingan anak yatim, tetapi untuk hal-hal yang tidak baik, adalah haram. Meremehkan anak 34
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, jil. 3., cet. 1., hal. 734-735
60
yatim dan tidak menjaganya, sehingga memungkinkan orang lain untuk merampok hartanya dan menguasainya adalah haram.35 Adanya pelarangan itu diharapkan dapat meredam dorongan untuk mengulurkan tangan dalam usaha merusak harta anak yatim. Mengingat bahwa harta termasuk barang yang menjadi kejaran semua orang dan tidak terkecuali semua kalangan, sebagai pemenuhan syahwat dan digandrungi oleh hawa nafsu, maka larangan itu diarahkan kepada usaha untuk mengendalikan dorongandorongan itu, memeranginya dan usaha melucutinya. Berkaitan dengan kalimat, سعَهَا ْ ُ الَ نُكَهِّفُ نَ ْفسًا إِالَ وath-Thabari berpendapat: "Janganlah mempersulit dalam perkara ini, sebab Allah SWT. Maha Mengetahui keadaan hamba-Nya, bahwa banyak di antara mereka yang jiwanya sempit untuk berbuat kebaikan kepada orang lain dengan sesuatu yang tidak diwajibkan baginya.”36 Oleh karena itu, Allah SWT. memerintahkan kepada pemberi untuk memenuhi pemberiannya kepada yang berhak (anak yatim), karena itu adalah miliknya, dan Allah SWT. tidak membebaninya dengan tambahan disebabkan kesempitan jiwanya, serta memerintahkan kepada orang yang berhak agar mengambil haknya dan tidak membebaninya dengan sesuatu yang lebih sedikit dari yang sebenarnya ia miliki, sebab adanya hak yang berkurang dapat menimbulkan kesempitan jiwanya. Oleh karena itu, Allah SWT. tidak memberi
35
Mahmud Syaltut, Tafsir al-Quran al-Karim: Pendekatan Syaltut dalam Menggali Esensi al-Quran (Bandung: Diponegoro, 1990), cet-1., hal.764 36 Abu Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Ṯabari, Tafsir ath-Ṯabari, tahqiq: Akhmad Affandi, Benny Sarbeni, Abdul Somad (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jil. 10., hal. 687
61
beban kecuali dengan sesuatu yang tidak mempersulit dan mempersempit jiwanya. Syaikh Abdul Aziz rah.a. menulis dalam tafsirnya bahwa dua jenis kebaikan dapat dilakukan kepada anak-anak yatim. Yang pertama adalah apa yang wajib bagi ahli waris, misalnya, menjaga harta anak-anak yatim, mengembangkan hasil dari tanahnya agar keuntungannya dapat dipergunakan untuk memenuhi keperluan anak itu, pakaian dan pendidikan sopan santun (akhlak). Yang kedua bersifat umum, yaitu jangan membiarkan anak yatim dalam kesusahan, berilah kasih sayang kepadanya. Di dalam majelis berilah tempat duduk yang terhormat. Usaplah kepalanya dengan perasaan kasih sayang, perlakukan ia seperti kepada anak sendiri, lahir dan batin. Karena apabila seorang ayah meninggal dunia, sehingga anaknya menjadi yatim, Allah SWT. memerintahkan kepada hambahamba-Nya untuk menyayanginya seperti seorang ayah kepada anak kandungnya, agar ia tidak terlalu merasakan kesedihan dan duka cita yang berlatut-larut setelah kematian ayahnya. Menurut syariat anak yatim harus dianggap sebagai keluarga sendiri.37 Islam sedemikian detailnya memperhatikan serta memberikan kepedulian yang sangat besar terhadap kondisi anak yatim, hal ini menandakan betapa besarnya perhatian Allah SWT. kepada anak yatim dan tentunya merupakan tuntunan yang harus dipatuhi oleh manusia. Betapapun beratnya menyantuni anak yatim atau menyayangi, tetapi lebih berat lagi bahaya yang ditimbulkan akibat membiarkannya hidup terlantar tanpa ada seorang pun yang mempedulikannya.
37
Maulana Abdul Wahib, Fadhilah Sedekah , hal.161
62
Karena membangun anak yatim identik dengan membangun masa depan bangsa secara nyata, yaitu dengan menenamkan harapan para anak yatim dimasa kini agar dapat menuai masa depan mereka yang lebih cerah. Selain itu pemerintah harus bertanggung jawab terhadap nasib-nasib mereka, karena bagaimanapun
pemerintah adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
anggota masyarakat di suatu Negara. Sebagaimana tertera dalam Undang-undang Dasar 1945 yaitu. "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara".
E. Jihad Kebajikan dan keburukan sama-sama bersanding dalam jiwa setiap manusia. Artinya setiap manusia memiliki potensi kebaikan dan keburukan. Seperti itu jugalah sifat masyarakat dan negara yang terdiri dari banyak individu. Keburukan mendorong pada kesewenang-wenangan, kebajikan berseru dan merintih untuk mencegahnya. Dari sanalah lahir perjuangan, baik ditingkat individu maupun ditingkat masyarakat dan negara. Islam datang membawa nilai-nilai kebaikan dan menganjurkan manusia agar
menghiasi
diri
dengannya,
serta
memerintahkan
manusia
agar
memperjuangkannya hingga mengalahkan kebatilan atau dengan melontarkan yang hak kepada yang batil hingga mampu menghancurkannya. Akan tetapi hal itu tidak dapat terlaksana dengan sendirinya, kecuali melalui perjuangan. Bumi adalah tempat untuk berjihad menghadapi musuh. Istilah al-Quran untuk menunjukan perjuangan adalah kata jihad.
63
)۸٤:٤/(النساء
Artinya: Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat Para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah SWT. menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(Nya). (QS. An-Nisa: 84)
Ath-Thabari mengatakan dalam tafsirnya berkaitan dengan ayat di atas bahwa38; “Allah tidak akan membebanimu dengan kewajiban berjihad melawan musuh-Nya dan musuhmu pada semua yang telah disyariatkan untukmu, dan itu adalah Islam. Kecuali apa yang telah terbebani kepadamu dari hal itu, bukan apa yang menjadi beban pada selain dirimu. Artinya, kamu hanya mengikuti apa yang telah kamu dapatkan, bukan apa yang telah didapat oleh orang lain, dan dengan apa yang telah Aku bebani kepadamu, bukan apa yang Aku bebani kepara orang lain. Maka perangilah mereka sekalipun kamu sendirian”. Rasulullah SAW. bersabda:
عن عائشة رضي اهلل عنها انها قانت يا رسىل اهلل نري انجهاد أفضم انعمم افال نجهذ قال )نكن أفضم انجهاد حج مبرور (رواه انبخاري Artinya:“Diriwayatkan dari Aisyah ra. Bahwa beliau berkata kepada Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah, telah ditunjukkan kepada kami bahwa jihad adalah amal yang paling utama; apakah kami tidak berjihad?” Rasulullah menjawab, “untuk kalian, jihad yang paling utama adalah haji mabrur.” (Al-Bukhari).39 38
Abû Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Ṯabari, tahqiq: Ahmad Abdurraziq al-Bakri, Muhammad Adil Muhammad, Muhammad Abdul Latif Khalaf, Mahmud Mursi Abdul Hamid, Tafsir ath-Ṯabari, jil. 19., hal. 395-396 39 Al-Bukhari, Shahih Bukhari, h. 12
64
Dapat kita ketahui dari dalil-dalil di atas tersebut menunjukkan jihad. Secara etimologis, kata jihad itu sendiri berasal dari kata kerja jahada yang berarati bersungguh-sungguh dan bekerja keras.40Kata jahada juga berarti upaya, kesungguhan, keletihan, kesulitan, penyakit, dan kegelisahan. Al-Quran menyebut kata jihad 40 kali, dan maknanya bermuara pada upaya mencurahkan seluruh kemampuan atau menanggung pengorbanan41. Secara terminologis, makja jihad adalah mengoptimalkan usaha dengan mencurahkan segala potensi dan kemampuan, baik perkataan, perbuatan, atau apa saja yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. Al-Quran menjelaskan makna jihad dalam konteks beragam, di antaranya yang terkait dengan perjuangan untuk mewujudkan as-salam, as-salamah, as-salah dan al-ihsan. Menurut alRagib al-Asfahani, jihad berarti mengerahkan segala kemampuan untuk mempertahankan diri dari musuh. Berangkat dari pemahaman demikian ini, ia membagi jihad menjadi tiga, yaitu: jihad terhadap musuh yang tampak, jihad terhadap setan, dan jihad terhadap diri sendiri.42 M. Qurasih Shihab menjelaskan, jihad adalah cara untuk mencapai tujuan, dan metodenya disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai dan modal yang tersedia. Jihad tidak mengenal putus asa, menyerah, kelesuan, dan pamrih. Mujahid adalah yang mencurahkan seluruh kemampuannya dan berkorban dengan nyawa, tenaga pikiran, emosi dan apa saja yang berkaitan dengan diri manusia.43
40
Ibnu Manẕ ûr, Lisânul Arab, (Beirut: ttp, tth), jil-3., hal. 163-164 Lajnah Pentashihan Mushaf al-Quran, Jihad; Makna dan Implementasinya (Tafsir alQuran Tematik) (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Quran, 2012), jil-5., hal. 22 42 Ar-Râgib al-Asfahânì, Mu'jam Mufradat li Alfâzi Quran (Beirut: Dārul Fikr, tth), hal. 99 43 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah ,Juz-9., hal. 134-135 41
65
Menurut penulis ayat 84 quran surat an-Nisa di atas juga menjadi bukti bahwa jihad tidak selalu berarti angkat senjata. Ayat ini turun ketika Nabi Muhammad SAW. masing tinggal di Mekkah, dalam situasi umat Islam masih sangat lemah dan belum memiliki kekuatan fisik. Namun demikian, beliau mendapat perintah untuk berjihad, dalam arti mencurahkan semua kemampuannya untuk menghadapi kaum musyrik dengan kalimat-kalimat persuasif yang menyentuh nalar dan kalbu, bukan dengan senjata yang melukai fisik atau mencabut nyawa. Seperti diketahui ada satu kalimat yang sering kita dengar dalam bahasan jihad, yaitu jihad fi sabilillah, perjuangan mewujudkan pesan agama di jalan Allah SWT. Ini dapat kita jumpai dalam firman Allah SWT:
)٥١: ٥/(المائداث
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maidah: 53) Melalui kalimat “berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya agar kamu beruntung,” Allah SWT. meminta umat Islam untuk memerangi musuh mereka, yaitu orang kafir dan musyrik44 yang keluar dari jalan Allah SWT. Dari kalangan
44
Musyrik:Yaitu orang yang menjadikan bagi Allah sekutu atau tandingan atau meyakini adanya wujud Tuhan selain Allah.kafir bermakna orang yang ingkar,yang tidak beriman (tidak percaya) atau tidak beragama Islam. Musyrik adalah orang yang mempersekutukan Allah, mengaku akan adanya Tuhan selain Allah atau menyamakan sesuatu dengan Allah. Perbuatan itu disebut musyrik. Syrik adalah perbuatan dosa yang paling besar, kerana itu kita harus menjauhi perbuatanyangmenjerumuskankepadasyrik.(QS.Luqman:31) sedangkan Kafir ialah Orang yang tidak beriman dan tidak beragama Islam. Dengan kata lain orang kafir adalah orang yang tidak mahu memperhatikan serta menolak terhadap segala hukum Allah atau hukum Islam disampaikan melalui para Rasul (Muhammad saw) atau para penyampai dakwah/risalah. Perbuatan yang semacaminidisebutdengankufur(QS.AlMaidah:73)lihatselengkapnyahttp://islamwiki.blogspot.com/2 010/08/musyrik-munafik-fasik-kafir-dan-murtad.html
66
muslim tidak sedikit yang menyempitkan makna jihad hanya pada batas perang, mengangkat senjata untuk memerangi musuh Islam. Sedangkan dari golongan non-muslim, ada yang menggambarkan jihad dengan pemaknaan memerangi manusia keseluruhan untuk memaksanya agar masuk islam, atau menundukkan mereka secara paksa kepada pemerintahan kaum Muslimin45. Pada hal jelas-jelas Allah SWT. berfirman:
)۹۸:٢٢/…(الحج
Artinya: Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS. Al-Hajj: 78) Ayat di atas mengandung pemahaman yang bersifat umum, sehingga yang dimaksud berjihad disini adalah menghadapi musuh-musuh yang mengancam keamanan dalam beragama, baik musuh yang datangnya dari luar (setan, orang kafir, orang munafik, dan fasik), diri dan yang datang dari diri sendiri (hawa nafsu,kebodohan,kemalasan).Karena sesungguhnya Allah SWT. telah menetapkan pilihan-Nya terhadap umat yang istiqomah untuk menanggung tanggung jawab besar.46 Jadi itulah mengapa jihad harus menunjukan kepada suatu konsep yang lebih komprehensif, dimana salah satu sisinya adalah berjuang di jalan Allah SWT. melalui penggunaan senjata. Namun, bila jihad dipahami dengan pengertian sempit yang telah sebutkan di atas, oleh al-Quran dibatasi pada saat-saat tertentu 45
http://id.wikipedia.org/wiki/pengertian.jihad diakses pada tanggal 15 Februari pukul
15.30 46
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Ẕilalil Quran, diterjemahkan oleh As’ad Yasin. (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), cet-1., jil. 8.,hal. 151
67
khususnya dalam rangka mempertahankan diri.47 Agaknya karena pengertian sisi sempit inilah yang secara keliru dianggap sebagai ciri utama jihad yang mengundang kontroversi dan pertikaian pendapat.48Seperti pandangan dunia barat yang memandang Islam sebagai teroris, penuh dengan kekerasan dan mengartikan jihad sebagai holy war (perang suci).49 Oleh karenanya jika kita mau menyikapi secara bijak, maka hendaknya tidak sekali-kali menganggap bahwa jihad itu harus selalu dipahami dengan peperangang atau membunuh orang kafir, tetapi terkadang memahami makna jihad harus disesuaikan dengan porsi yang tepat dan dilakukan sesuai dengan kondisi serta keadaan yang ada di lingkungan sekitar. Artinya pelaksanaan jihad itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari dapat dilakukan sesuai dengan kemampuan mukallaf itu sendiri. Tidak selayaknya harus dimaknai dengan kekerasan. Pemaknaan jihad yang lebih luas merupakan jawaban terhadap pemaknaan jihad yang sering disalah fahami oleh kalangan umat Islam dan non muslim serta solusi dari problematika keumatan kontemporer. Hal ini menunjukan bahwa Jihad haruslah mengeluarkan segala potensi, daya, usaha dan kekuatan secara sungguh-sungguh untuk melawan suatu objek yang tercela dalam rangka menegakkan agama Allah SWT. dalam koridor semangat mengusung kejujuran, keadilan, perdamaian, dan tata pergaulan antar
47
Yusuf Qaradhawi, Kita dan Barat: Menjawab Berbagai Pertanyaan yang Menyudutkan Islam, Penerjemah Arif Munandar Riswanto dan Yadi Saeful Hidayat (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2007), h. 71 48 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an (, Cet. 3, h. 284 49 Abdurrahman Wahid, Islam tanpa Kekerasan (Yogyakarta: LkiS, 2000), cet. 2, h. 10
68
bangsa dan antar negara yang bermartabat itulah al-Qur'an menganjurkan jihad untuk memerangi mereka. Jadi, jelaslah bahwa dimensi jihad dalam Islam amat luas, dan bukan semata perang fisik. Allah SWT. mewajibkan kaum muslim berperang demi mempertahankan diri, agama, dan tanah air, berjuang dengan harta dan nyawa, karena yang demikian itu adalah suatu perbuatan yang baik, menguntungkan di dunia, dan membahagiakan di akhirat. Kewajiban jihad dalam arti perang hanya dapat digugurkan oleh berbagai halangan yang dibolehkan syariat, seperti sakit, usia lanjut, dan cacat fisik. Tujuan jihad dalam islam adalah meninggikan kalimat Allah SWT. dan menghapuskan kezaliman yang dilakukan oleh orang-orang yang memusuhi Islam.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Setelah memaparkan seluruh hal yang berkaitan dengan penggunaan kata taklif, penulis menyimpulkan bahwa: "setiap perintah Allah yang ditujukan kepada manusia mengandung taklif. Dimana taklif itu sendiri tidak bersifat kaku atau mengikat, artinya taklif tersebut dulu hingga sekarang masih tetap berlaku ketetapan hukumnya. Hal ini menunjukan taklif tersebut sesuai dengan situasi, kondisi zaman, dan masyarakat. Melihat al-Quran menggunakan kata taklif secara berulang-ulang dalam setiap ayat dan surat yang berbeda. Itu semua terjadi tidak lepas karena objek yang dituju berbeda-beda situasi dan kondisinya, selain itu maksud yang ingin disampaikannya pun lain. Selain itu terdapat beberapa poin yang dapat diutarakan yaitu: 1) Taklif yang Allah SWT. bebankan kepada manusia itu bersifat dinamis. Pembebanan tersebut dapat berubah sesuai dengan kondisi keadaan mukallaf alami, hal itu terlihat dari banyaknya ayat berkenaan dengan taklif itu sendiri. 2) Dalam penggunaannya kata taklif melibatkan berbagai pihak yang ada, hal ini menunjukan besarnya pengaruh taklif dalam kehidupan. 3) Penggunaan kata taklif dalam al-Quran semuanya dalam bentuk kata kerja fiil mudhari, itu mengindikasikan taklif tersebut memiliki ajaran yang keberlangsungannya terus menerus hingga masa yang akan datang.
69
70
4) Sebagi sebuah subjek (pelaku) Allah SWT. bebas menjadikan dirinya untuk berbicara langsung dengan menggunakan kata "Allah" atau "nahnu".
B. Saran Kajian ‘taklif’ merupakan sebuah kajian penting dan menarik, hal ini karena sidikit orang yang memahaminya. Padahal taklif itu sendiri disadari atau tidak sudah menjadi bagian dari kehidupan sejak dalam kandungan hingga ajal menjemput. Kajian ini dimaksudkan agar kita mengetahui lebih jelas konsep taklif dalam al-Quran dalam kehidupan sehari-hari serta memandang taklif tersebut lebih bijaksana. Penulis merasa banyak sekali kekurangan dalam pembahasan ini, dikarenakan dalam penulisannya kajian mengenai taklif dirasa sangat luas, hingga memungkinkan untuk mencapai segala aspek, kehidupan, sosial, politik, ekonomi, jual beli, pendidikan, dll. Oleh karenanya penulis berharap kajian ini tidak berhenti sampai disini. Mudah-mudahan Allah memberikan kita semua keberkahan dalam hidup, khususnya bagi Saya pribadi mudah-mudahan Allah SWT. masih memberikan nikmatnya yang mulia, untuk melanjutkan studi S.2. (bidang hukum atau pendidikan) amiiin…. Akhirnya, hanya kepada Allah SWT. lah saya menyandarkan diri dan kepada-Nya pula kuserahkan segala perkara. Bagi-Nya segala puji dan kenikmatan serta di sisi-Nya petunjuk dan perlindungan.
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad, Syarh Nahj al-Balaghah, Beirut: Dâr al-Andalus, 1382/1963 ______________ Ta'lif Muhammad Rasyid Rido, Tafsir al-Quran al-Hakim alQahirah: Dâr al-Manar, 1367 H, juz-8 Achmad. Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Surabaya: Grasindo. 2009. Ahmad, Khurshid, Pesan Islam, Bandung: Pustaka, 1983, cet-1 ______________, ISLAM: Its Meaning and Message, Pesan Islam, Terj. Achsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 1983 Ali Atabik dan Muhzar Zuhdi Ahmad, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Ponpes Krapyak, 1996, Cet-1 ______________, al-Mu'jam al-Ashri, Yogyakarta: Pondok Pesantren Krapyak, 1999 Anis, Ibrahim, al-Mu'jam al-Wasith, Maktabah wa Syirkah Makhfa al-Babi alHalabi wa Awladuhu, ttp, 1972, Cet-II, Juz-II Anonymous, al-Mu'jam al-Wajiz, Majma' al- Lughah al-Arabiyyah, al-Asfahānì, Ar-Rāgib, Mu'jam Mufradat li Alfâzi Quran, Beirut: Dârul Fikr, tth ______________, Mu'jam Mufradat al-Fadl al-Quran, Beirut: Libanon, Dâr alFikr al-Bantani, Al-Syekh Nawawi, Marah Labid, Beirut: Dâr al-Fiker, 1980, jil-1 al-Barrya, Ahmad Zakariya, Hukum Anak-anak dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1977, Cet. 1 al-Faruqi, Ismail Raji, Tauhid, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Pustaka, 1988, cet1 Al-Ghazali, Menjadi Muslim Ideal: Meletakan Islam Sebagai Petunjuk dan Penerang Kehidupan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, cet-2 Ali Salim, Ahmad Husain, Terapi al-Quran: Untuk Penyakit Fisik dan Psikis Manusia, terj. Muhammad al-Mighwar Jakarta: Asta Buana Sejahtera, 2006, cet-1
71
72
al-Maraghi, Ahmad Musṯ afa, Tafsir al-Maraghi, terj. Drs. Anwar Rasyidi, et.al., Semarang: Toha Putra, 1989, cet-1. __________________, Tafsir al-Maraghi (Mesir: Maktabah wa Maṯ a'ah Musṯ afa al-Baby al-Halabi, 1974), cet-5., juz, 16 Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi ilmu al-Quran. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2004. al-Qurṯ ubi, Syaikh Imam, Tafsir al-QurTubi al-Jami lî ahkam Quran, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, jil. 10., cet. 1 al-Rauf, Abd Idris Muhammad, al-Marbawi Idris al-Marbawi, Indonesia: Karya Insani, Juz-I al-Sabaki, Muhammad Abd al-Lathif, al-Mukhtâr min Shihhah al-Lughah, ttp, tth al-Suyuti, Abdurrahman Jalaluddin. al-Dur al-Manar fî tafsir al-Manar . Beirut: Dar al-Fikr, 1993 ________________, al-Itqan Fî Ulum al-Quran, Beirut, Dâr al-Fikr, tth, Juz-II ash Syayyim, Muhammad, Mukjizat Nabiku Muhammad SAW. Jakarta: Gema Insani Press, 2003 ash-Sabuny, Muhammad Ali, Cahaya al-Quran Tafsir Tematik, terj, Kathur Suhardi, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001, cet-1 __________________ safwatut Tafasir, terj. Yasin, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011, jil-5, Cet-1 Asyr, Muhammad ibn, al-Tahrir wa al-Tanwir, Tunis: Dar Sahnun Linnasy wa alTawzi, tth ath-Ṯ abari, Abû Ja'far Muhammad bin Jarir, tahqiq: Aẖ mad Abdurraziq al-Bakri, Muẖ ammad Adil Muhammad, Muhammad Abdul Latif Khalaf, Mahmud Mursi Abdul Hamid, Tafsir ath-Tabari, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, jil. 19 Baidan, Nashruddin, Wawasan Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, Cet-I Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 1988 Hamka, Studi Islam, Semarang: Pustaka Panjimas, 1984, Juz-III Haneef, Suzanne, Islam dan Muslim, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, cet-1
73
Hidayat, H.D, al-Balaghah al-Jami'ah wa Asy-Syawahid min Kalami al-Badi, Semarang: PT. Karya Toha Putra & Bina Masyarakat Qurani, tth Hijazi, Muhammad, Mahmud, Fenomena Keajaiban al-Quran, Jakarta: Gema Insani, 2010, Cet-I Ismail, Hudzaifah, Tadabbur Ayat-Ayat Motivasi. Jakarta: PT Elek Media Komputindo Kelompok Gramedia, Februari 2010. Jafar, Iftitah, Konsep Ibadah dan Dakwah dalam al-Quran, Yogyakarta: Cakrawala, 2009, cet-1 Lajnah
Pentashihan al-Quran, Tafsir Tematik (Jihad; Makna dan Implementasinya), Jakarta: Lajnah Pentashihan al-Quran, 2012, cet-1., jil5
Luis Ma’luf, al-Munjid fî al-Lughah, Beirut: Dâr al-Misria, 1982, cet ke-26 Mandzur, Ibn, Lisân al-Arab, Dâr al-Ma'rif, ttp, tth, Jil-VI Munthahari, Murtadho, Perspektif Islam Tentang Manusia dan Agama, Terjemahan, Bandung: Mizan, 1995, cet-7 Najati, Utsman, Ilmu Jiwa, Kuwait: Daar asy-Syuruk, 1982 Nata, Abuddin, Kajian Tematik al-Quran Tentang Fiqih dan Ibadah, Bandung: Angkasa, 2008, cet-1 Qaradhawi, Yusuf, Kita dan Barat: Menjawab Berbagai Pertanyaan yang Menyudutkan Islam, Penerjemah Arif Munandar Riswanto dan Yadi Saeful Hidayat, Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2007 Qutb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Quran, terj As'ad Yasin, et.al, Jakarta: Gema Insani, 2004, cet-1., jil-8 ________________, Tafsir Fi Zhilalil Quran, diterjemahkan oleh As’ad Yasin. Jakarta: Gema Insani Press, 2002. Raya, Ahmad Thib, Mulia, Siti Musdah, Menyelami Seluk-Beluk Ibadah Dalam Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003, cet-1 Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran Jakarta: Lentera Hati, 2002, jil. 2., cet. 1 ________________, Wawasan al-Quran, Bandung: Mizan, 1997, cet.V ________________, Lentera Hati "Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung: Mizan, 1996, cet. VI
74
________________, Membumikan al-Quran, Bandung: Mizan. Mei 2007. ________________, Lentera Hati. Bandung: Mizan, Juli 1996. ________________, Wawasan al-Quran Tafsir Maudhu’I Atas Berbagai Persoalan Umat.Bandung: Mizan, 1997. Syafe'I, Rachmat, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka Setia, 2006 Syaltut, Mahmud, Tafsir al-Quran al-Karim: Pendekatan Syaltut dalam Menggai Esensi al-Quran, Bandung: Diponegoro, 1990, Cet-1 Taimiyyah, Ibn, al-Furqon Baina al-Haq wa al-Bathil, Dâr Ihyat al-Turots alI'rabi, tth ________________, al-Aqidah at-Tadmuriah, Beirut, ttp, tth Wahib, Maulana Abdul, Fadhilah Sedekah, Bandung: Zadul Maād, tth Wahid, Abdurrahman, Islam tanpa Kekerasan, Yogyakarta: LkiS, 2000, cet. 2 Zahwan, Abdul Hakim, Kamus al-Kamil: Arab-Indonesia-Arab, Maktabah wa Mahbâh Usaha Keluarga.
Tafsir Karim ar-Rahman, Majalah as-Sunnah Edisi 04, tahun 2006. http://www.almanhaj.or.id/content/2623/slash http://www.organisasi.org/1970/01/faktor-penyebab-alasan-seseorang-memakaimenggunakan-narkoba-narkotika-zat-adiktif.htm http://id.wikipedia.org/wiki/pengertian.jihad diakses pada tanggal 15 Februari pukul 15.30 Sumber: http://adiabdullah.wordpress.com/2008/12/02/kata-aku-dan-kami-dalam-