PENGENCERAN prinsipnya bahwa kecepatan = dosis / pengenceran misalnya, Dobutamin dosisnya kan 5 - 10 mcg/kgbb/menit kita mau pake spuit 50 cc syring pump kita hitung dosisnya, misal kita mau pake yang 5 mcg/kgbb/menit, jadinya kan ... misal BB= 50 kg deh dosis---> 5 x 50 = 250 mcg/ menit ---> 250 x 60= 15000 mcg/jam ( dijadiin jam dunk, kan syringe pump settingannya pake ml/jam ) pengenceran--> dobutamin tuh 1 ampulnya 250 mg/ 5 cc, mo kita pake spuit 50 cc so 250 mg/50 cc--> sama dengan 5 mg/cc = 5000mcg/cc dijadiin mcg biar sinkron ama dosisnya yah) jadinya kecepatan syringe pumpnya = 15000/5000 = 3 cc/jam sekarang Dopamin dosisnya: 10 mcg/ kgbb/menit sediaan : 200 mg/10cc misal, BB= 50 kg dosis = 10 x 50 x 60 mcg/jam = 30.000 mcg/jam pengenceran = 200 mg/50 cc = 4 mg/cc = 4000 mcg/ cc kecepatannya = 30.000/4000 = 7.5 cc / jam Morphine dosis = 10 -20 mcg/kgbb/ jam sediaan = 10 mg/cc misal, BB=50 kg dosisnya , = 10 x 50 = 500 mcg/jam pengenceran = 10 mg / 50 cc = 0.2 mg/cc = 200 mcg/cc kecepatan = 500/200 = 2.5 cc/jam gampang
kan? sekali laghi speed sama dengan dosis dibagi pengenceran, yang harus diingat tentunya satuannya mesti sama ya, semoga membantu...c u
INTUBASI TRAKEA PENDAHULUAN
Sejak dilakukannya tindakan bedah, sebenarnya kalangan medis telah berusaha untuk melakukan tindakan anestesi yang bertujuan untuk mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri atau rasa sakit. (Anonim, 1989) Pada prinsipnya, seorang penderita akan dibuat tidak sadarkan diri dengan melakukan tindakan yang sering dilakukan secara fisik seperti memukul, mencekik dan lain sebagainya. Hal tersebut terpaksa dilakukan agar pasien tidak merasa kesakitan dan akhirnya meloncat dari meja operasi yang mengakibatkan terganggunya jalannya acara operasi. (Anonim, 1986). Sejak diperkenalkannya penggunaan gas ether oleh William Thomas Greene Morton pada tahun 1846 di Boston Amerika Serikat, maka berangsur-angsur cara kekerasan fisik yang sering dilakukan untuk mencapai keadaan anestesi mulai ditinggalkan. Penemuan tersebut merupakan titik balik dalam sejarah ilmu bedah, karena membuka cakrawala kemungkinan dilakukannya tindakan bedah, yang lebih luas, mudah serta manusiawi. (Anonim, 1986). Dalam suatu tindakan operasi, seorang dokter bedah tidak dapat bekerja sendirian dalam membedah pasien sekaligus menciptakan keadaan anestesi. Dibutuhkan keberadaan seorang dokter anestesi untuk mengusahakan, menangani dan memelihara keadaan anestesi pasien. Tugas seorang dokter anestesi dalam suatu acara operasi antara lain : 1. Menghilangkan rasa nyeri dan stress emosi selama dilakukannya proses pembedahan atau prosedur medik lain. 2. Melakukan pengelolaan tindakan medik umum kepada pasien yang dioperasi, menjaga fungsi organ-organ tubuh berjalan dalam batas normal sehingga keselamatan pasien tetap terjaga.
3. Menciptakan kondisi operasi dengan sebaik mungkin agar dokter bedah dapat melakukan tugasnya dengan mudah dan efektif. Salah satu usaha yang mutlak harus dilakukan oleh seorang dokter ahli anestesi adalah menjaga berjalannya fungsi organ tubuh pasien secara normal, tanpa pengaruh yang berarti akibat proses pembedahan tersebut. Pengelolaan jalan napas menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan jalan napas berjalan dengan baik. Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan melakukan tindakan intubasi endotrakheal, yakni dengan memasukkan suatu pipa ke dalam saluran pernapasan bagian atas. Karena syarat utama yang harus diperhatikan dalam anestesi umum adalah menjaga agar jalan napas selalu bebas dan napas dapat berjalan dengan lancar serta teratur. Bahkan, menurut Halliday (2002) penggunaan intubasi endotrakheal juga direkomendasikan untuk neonatus dengan faktor penyulit yang dapat mengganggu jalan napas.
Anatomi - Fisiologi Saluran Napas Bagian Atas. Dalam melakukan tindakan intubasi endotrakheal terlebih dahulu kita harus memahami anatomi dan fisiologi jalan napas bagian atas dimana intubasi itu dipasang. Pada pembahasan tentang anatomi dan fisiologi ini, penyusun akan menguraikan tentang beberapa hal yang menyangkut fisiologi rongga orofaring, sebagian naso faring dan akan lebih ditekankan lagi pada bagian laring. (William, 1995 : 1630).
Anatomi Saluran Nafas Bagian Atas, Respirasi Internal dan Eksternal Respirasi merupakan kombinasi dari proses fisiologi dimana oksigen dihisap dan karbondioksida dikeluarkan oleh sel-sel dalam tubuh. Hal ini merupakan proses pertukaran gas yang penting. Respirasi dibagi dalam dua fase. Fase pertama ekspirasi eksternal dalam pengertian yang sama dengan bernafas. Ini merupakan kombinasi dari pergerakan otot dan skelet, dimana udara untuk pertama kali didorong ke dalam paru dan selanjutnya dikeluarkan. Peristiwa ini termasuk inspirasi dan ekspirasi. Fase yang lain adalah respirasi internal yang
meliputi perpindahan / pergerakan molekul-molekul dari gas-gas pernafasan (oksigen dan karbondioksida) melalui membrana, perpindahan cairan, dan sel-sel dari dalam tubuh sesuai keperluan.
Gambar 1.: Anatomi Pernafasan
FISIOLOGI RESPIRASI Sistem respirasi manusia mempunyai gambaran desain umum yang dapat dihubungkan dengan sejumlah aktivitas penting. Respirasi merupakan kombinasi dari proses fisiologi dimana oksigen dihisap dan karbondioksida dikeluarkan oleh sel-sel dalam tubuh. Respirasi adalah pertukaran gas-gas antara organism hidup dan lingkungan sekitarnya.Pada manusia dikenal dua macam respirasi yaitu eksternal dan internal. Respirasi eksternal adalah pertukaran gas-gas antara darah dan udara sekitarnya. Pertukaran ini meliputi beberapa proses yaitu : 1.Ventilasi:proses masuk udara sekitar dan pembagian udara tersebut ke alveoli 2.Distribusi :distribusi dan percampuran molekul-molekul gas intrapulmoner 3.Difusi : masuknya gas-gas menembus selaput alveolo-kapiler 4.Perfusi : pengambilkan gas-gas oleh aliran darah kapiler paru yang adekuat.
Respirasi internal adalah pertukaran gas-gas antara darah dan jaringan. Pertukaran ini meliputi beberapa proses yaitu : 1.Efisiensi kardiosirkulasi dalam menjalankan darah kaya oksigen 2.Distribusi kapiler 3.Difusi,perjalanan gas ke ruang interstitial dan menembus dinding sel 4.Metabolisme sel yang melibatkan enzim. Gambar.2. : Sistem Respirasi
INTUBASI ENDOTRAKHEAL A. Definisi Menurut Hendrickson (2002), intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trakhea. Pada intinya, Intubasi Endotrakhea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakha ke dalam trakhea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan dikendalikan (Anonim, 2002). B. Tujuan Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal :
a. Mempermudah pemberian anestesia. b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran pernafasan. c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk). d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial. e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama. f. Mengatasi obstruksi laring akut.
C. Persiapan pasien • Beritahukan pasien tentang tindakan yang akan dilakukan • Mintakan persetujuan keluarga / informed consent • Berikan support mental • Hisap cairan / sisa makanan dari naso gastric tube. • Yakinkan pasien terpasang IV line dan infus menetes dengan lancar
D. Alat-alat yang dipergunakan 1.
Laringoskop. Ada dua jenis laringoskop yaitu :
- Blade lengkung (McIntosh). dewasa. - Blade lurus. (blade Magill) bayi dan anak-anak. 2.
Pipa endotrakheal. terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi tertentu misalnya
di daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi (non kinking). Untuk mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa endotrakheal mempunyai balon (cuff) pada ujung distalnya. Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada anak-anak karena bagian tersempit jalan nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa dipakai pipa dengan balon karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada orang dewasa biasa digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 – 9,0 mm dan perempuan 7,5 – 8,5 mm.
Untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 – 23 cm. Pada anakanak
dipakai
rumus
:
Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan pipa 0,5 mm lebih besar dan lebih kecil. Untuk anak yang lebih kecil biasanya dapat diperkirakan dengan melihat besarnya jari kelingkingnya. 3.
Pipa orofaring atau nasofaring. mencegah obstruksi jalan nafas karena
jatuhnya lidah dan faring pada pasien yang tidak diintubasi. 4.
Plester memfiksasi pipa endotrakhea setelah tindakan intubasi.
5.
Stilet atau forsep intubasi. (McGill) mengatur kelengkungan pipa endotrakheal
sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forsep intubasi digunakan untuk memanipulasi pipa endotrakheal nasal atau pipa nasogastrik melalui orofaring. 6.
Alat pengisap atau suction.
Gambar 3. Persiapan alat-alat . E. Persiapan obat-obatan Obat-obatan untuk intubasi
• Sedasi - Pentothal 25 mg / cc dosis 4-5 mg/kgbb - Dormicum 1 mg / cc dosis 0,6 mg/kgbb - Diprivan 10 mg/cc 1-2 mg/kgbb • Muscle relaksan - Succynilcholin 20 mg / cc dosis 1-2 mg/kgbb - Pavulon 0,15 mg/kgbb - Tracrium 0,5-0,6 mg/kgbb - Norcuron 0,1 mg/kgbb • Obat-obatan emergency (troley emergency) - Sulfas Atropine - Epedrine - Adrenalin / Epinephrin - Lidocain 2%
F. Posisi Pasien untuk Tindakan Intubasi. Gambaran klasik yang betul ialah leher dalam keadaan fleksi ringan, sedangkan kepala dalam keadaan ekstensi. Ini disebut sebagai Sniffing in the air position. Kesalahan yang umum adalah mengekstensikan kepala dan leher. Posisi Untuk Intubasi
Ganmbar.4 : Posisi Intubasi
G. Indikasi dan Kontraindikasi. Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele tahun 2002 antara lain : a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui masker nasal. b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan karbondioksida di arteri. c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai bronchial toilet. d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi. Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi endotrakheal antara lain : a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan
untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus. b.Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
H. Kesulitan intubasi Kesulitan yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal (Mansjoer Arif et.al., 2000) biasanya dijumpai pada pasien-pasien dengan : a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap. b. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak antara mental symphisis dengan lower alveolar margin yang melebar memerlukan depresi rahang bawah yang lebih lebar selama intubasi. c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi. d. Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth). e. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang sendi temporomandibuler, spondilitis servical spine. f. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi kepala pada leher di sendi atlantooccipital. g. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan fleksi leher. h. Fraktur servical i. Rahang bawah kecil j. Osteoarthritis temporo mandibula joint k.Trismus. l. Ada masa di pharing dan laring
G. Kegagalan intubasi
Hal yang perlu dilakukan apabila terjadi keadaan gagal intubasi adalah mengunakan alatalat anestesi lain yang kemungkinan dapat berguna. Salah satu yang dapat dan sangat sering digunakan serta menunjukkan angka keberhasilan cukup tinggi adalah laryngeal mask airway (LMA) atau sungkup laring. Selain itu pada keadaan yang sangat gawat, tindakan krikotiroidotomi dengan menggunakan jarum yang besar dapat dilakukan 4
Gambar 5. Penampakan faring posterior pada tes Mallampati.
Penting untuk dicatat luas lapangan pandang dari laring yang telah kita dapatkan. Informasi ini penting, apabila di kemudian hari dilakukan kembali tindakan manajemen jalan napas. Gambaran standart yang digunakan adalah klasifikasi menurut Cormack dan Lehane (1984): 1.
Grade 1 : seluruh laring dapat terlihat
2.
Grade 2 : bagian posterior dari laring saja yang dapat terlihat
3.
Grade 3 : hanya epiglotis saja yang dapat terlihat
4.
Grade 4 : tidak ada bagian laring yang dapat terlihat
Komplikasi Intubasi Endotrakheal. A. Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi (Anonim, 1989)
a. Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial serta malposisi laringeal cuff. b. Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau mukosa mulut, cedera tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi retrofaringeal. c. Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intracranial meningkat, tekanan intraocular meningkat dan spasme laring. d. Malfungsi tuba berupa perforasi cuff.
B. Komplikasi pemasukan pipa endotracheal. a. Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke endobronkial dan malposisi laringeal cuff. b. Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa, serta ekskoriasi kulit hidung c. Malfungsi tuba berupa obstruksi.
C. Komplikasi setelah ekstubasi. a. Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis atau trachea), suara sesak atau parau (granuloma atau paralisis pita suara), malfungsi dan aspirasi laring. b. Gangguan refleks berupa spasme laring. Anonim, (1986), Kesimpulan Kuliah Anestesiologi, edisi pertama, Aksara Medisina, Jakarta.
Prosedur Tindakan Intubasi. A. Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup keras atau botol infus) kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea dan laringoskop berada dalam satu garis lurus.
B. Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit. Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan. C. Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Blade laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan lapangan pandang akan terbuka. Blade laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan bentuk huruf V. D. Pemasangan pipa endotrakheal. Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan blade laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester. E. Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-kadang timbul suarawheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrum atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup. F. Ventilasi. Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien bersangkutan.
Gambar 6. Correct (endotracheal) vs. Incorrect (Esophageal) Intubation Tanda-tanda ETT 1.
Dada mengembang
2.
Terdapat embun di ET
3.
Kemballinya bellow baik
4.
Auskultasi di lapang paru +
5.
Auskultasi di epigastrium –
Laryngeal Mask Airway (LMA) Apabila terjadi keadaan gagal intubasi adalah menggunakan alat-alat anestesi lain yang kemungkinan dapat berguna. Salah satu yang dapat dan sangat sering digunakan serta menunjukkan angka keberhasilan cukup tinggi adalah laryngeal mask airway (LMA) atau sungkup laring. Laryngeal
mask
airway mempunyai
beberapa
keuntungan
dbandingkan
denganEndotrakeal tube. pemasangan tidak memerlukan laringoskop, tidak memerlukan pelumpuh otot, tidak merusak pita suara, respon kardiovaskuler sangat rendah jika dibandingkan intubasi endotrakeal
Tabel.1 Keuntungan dan kerugian LMA dibandingkan intubasi ET dan sungkup muka.
Tabel.2 Karakteristik dari laryngeal mask airway Macam – macam bentuk LMA,antara lain ;
1
2
3
4
5
Gambar.7 macam-macam laryngeal mask airway Keterangan ; 1.
LMA ProSeal
2.
LMA Flexible
3.
LMA Ctrach
4.
LMA Fastrach
5.
LMA Klasik
Indikasi penggunaan LMA Yang menjadi indikasi untuk menggunakan LMA antara lain sebagai berikut : 1. Untuk menghasilkan jalan nafas yang lancar tanpa penggunaan sungkup muka. 2. Untuk menghindari penggunaan ET/melakukan intubasi endotrakeal 3. selama ventilasi spontan. 4. Pada kasus-kasus kesulitan intubasi. 5. Untuk memasukkan ET ke dalam trakea melalui alat intubating LMA.
Kontraindikasi penggunaan LMA Ada beberapa hal yang harus diperhatikan yang merupakan kontraindikasi untuk menggunakan LMA, yaitu :
1. Ketidakmampuan menggerakkan kepala atau membuka mulut > 1,5 cm, misalnya pada ankylosing spondylitis, severe rheumatoid arthritis, servical spine instability, yang akan mengakibatkan kesulitan memasukkan LMA. 2. Kelainan didaerah faring (abses, hematom). 3. Obstruksi jalan nafas pada atau dibawah laring. Pasien dengan lambung penuh atau kondisi yang menyebabkan lambatnya pengosongan lambung. 4. Meningkatnya resiko regurgitasi (hernia hiatus, ileus intestinal). 5. Ventilasi satu paru. 6. Keadaan dimana daerah pembedahan akan terhalang oleh kaf dari LMA.
EKSTUBASI Ekstubasi adalah mengeluarkan pipa endotrakheal setelah dilakukkan intubasi(6) Tujuan Ekstubasi 1. Untuk menjaga agar pipa endotrakheal tidak menimbulkan trauma. 2. Untuk mengurangi reaksi jaringan laringeal dan menurunkan resiko setelah ekstubasi Syarat Ekstubasi 1.
insufisiensi nafas (-)
2.
hipoksia (-)
3.
hiperkarbia (-)
4.
kelainan asam basa (-)
5.
gangguan sirkulasi (TD turun, perdarahan) (-)
6.
pasien sadar penuh
7.
mampu bernafas bila diperintah
8.
kekuatan otot sudah pulih
9.
tidak ada distensi lambung
Kriteria Ekstubasi Ekstubasi yang berhasil bila 1. Vital capacity 10 – 15 ml/kg BB 2. Tekanan inspirasi diatas 20 cm H2O 3.
PaO2 diatas 80 mm Hg
4. Kardiovaskuler dan metabolic stabil 5.
Tidak ada efek sisa dari obat pelemas otot
6.
reflek jalan napas sudah kembali dan penderita sudah sadar penuh
Pelaksanaan Ekstubasi Sebelum ekstubasi dilakukan terlebih dahulu membersihkan rongga mulut efek obat pelemas otot sudah tidak ada, dan ventilasi sudah adequate. Melakukan pembersihan mulut sebaiknya dengan kateter yang steril. Walaupun diperlukan untuk membersihkan trachea atau faring dari sekret sebelum ekstubasi, hendaknya tidak dilakukan secara terus menerus bila terjadi batuk dan sianosis. Sebelum dan sesudah melakukan pengisapan, sebaiknya diberikan oksigen. Apabila plester dilepas, balon sudah dikempiskan, lalu dilakukan ekstubasi dan selanjutnya diberikan oksigen dengan sungkup muka. Pipa endotrakheal jangan dicabut apabila sedang melakukan pengisapan karena kateter pengisap bisa menimbulkan lecet pita suara, perdarahan, atau spasme laring Sesudah dilakukan ektubasi, pasien hendaknya diberikan oksigen dengan sungkup muka bila perlu rongga mulut dilakukan pembersihan kembali. Sebelum dan sesudah ektubasi untuk menghindari spasme laring., ekstubasi dilakukan pada stadium anestesi yang dalam atau dimana reflek jalan sudah positif. Napas sudah baik. Untuk mencegah spasme bronchus atau batuk, ekstubasi dapat dilakukan pada stadium anestesi yang dalam dan pernapasan sudah spontan. Spasme laring dan batuk dapat dikurangi dengan memberikan lidokain 50 – 100 mg IV (intra vena) satu menit atau dua menit sebelum ektubasi Kadang-kadang dalam melakukan ekstubasi terjadi kesukaran, kemungkinan kebanyakan disebabkan oleh balon pada pipa endotrakheal besar, atau sulit dikempiskan, pasien mngigit pipa
endotrakheal. Ekstubasi jangan dilakukan apabila ada sianosis, hal ini disebabkan adanya gangguan pernapasan yang tidak adequate atau pernapasan susah dikontrol dengan menggunakan sungkup muka pada pembedahan penuh ekstubasi napas. Pasien dengan lambung penuh ekstubasi dilakukan apabila pasien sudah bangun atau dilakukan ekstubasi pada posisi lateral. Pada pembedahan maxillofacial daerah jalan napas bila perlu dipertimbangkan untuk melakukan trakheostomy sebelum ekstubasi. Apabila pasien mengalami gangguan pernapasan atau pernapasan tidak adequate pipa hendaknya jangan dicabut sampai penderita sudah yakin baik, baru ke ruang pulih dengan bantuan napas terus menrus secarra mekanik sehingga adequate.
Pengisapan Trakhea Pengisapan orotrakheal atau nasotrakheal hanya dilakukan apabila pada auskultasi terdengar adanya bunyi yang ditimbulkan oleh retensi sekret dan tidak dapat dibersihkan dengan batuk. Pengisapan trachea sebaiknya tidak dilakukan sebagai pencegahan atau secara rutin. Hal ini menyebabkan iritasi mekanisme oleh kateter selama pengisapan trachea, serta dapat pula menyebabkan trauma pernapasan, dan hal ini merupakan predisposisi untuk terjadinya infeksi. Selain itu pengisapan trachea oleh kateter dapat menimbulkan reflek vagal, dapat berupa bradikardi dan hipotensi. Pengisapan trachea juga dapat menimbulkan hipoksemia karena aspirasi gas pada paruparuyang menyebabkan penutupan “small air way” kolapnya dan alveoli. Hipoksemia selama pengisapan trachea dapat dikurangi dengan cara : 1. Pemberian oksigen 100% sebelum pengisapan. 2. Diameter kateter pengisap tidak lebih dari setengah diameter trachea. 3. Lama pengisapan tidak lebih dari 15 detik. 4. Setelah melakukan pengisapan, dilakukan pemompaan secara manual untuk mengembangkan alveoli kembali. Penyulit Ekstubasi Hal-hal yang dapat terjadi setelah sektubasi : 1. Spasme laring
2. Aspirasi 3.
Edema laring akut karena trauma selam ekstubasi Penyulit lanjut setelah dilakukan ekstubasi :
1. Sakit tenggorokan 2.
Stenosis trachea dan trakheomolasia
3.
Radang membran laring dan ulserasi
4.
Paralisis dan granuloma pita suara
5.
Luka pada sarap lidah. . Komplikasi setelah ekstubasi.
1. Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis atau trachea), suara sesak atau parau (granuloma atau paralisis pita suara), malfungsi dan aspirasi laring. 2. Gangguan refleks berupa spasme laring.
KESIMPULAN Penggunaan intubasi endotrakeal pada anestesi umum adalah penting, mengingat perlu tetap dipeliharanya pernapasan yang adekuat. Pemasangan intubasi harus mengikuti prosedur yang baik agar tujuan dari penggunaannya dapat tercapai tanpa timbul efek samping. Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa intubasi endotrakheal adalah suatu tindakan pembebasan jalan nafas (airway) dengan cara memasukkan selang ETT ke trakhea dengan tujuan pemberian oksigen dan lain-lain.
Sebelum
melakukan prosedur intubasi endotrakheal,kita harus
melakukan persiapan pasien dan keluarga (informed consent),persiapan obatobatan(obat emergency,induksi,pelumpuh otot), dan persiapan alat-alat (Ambu bag, sungkup oksigen,laringoscop handle dan blade,mesin suction dan suction catheter,oropharingeal
airway ,endotracheal
pasien dan stylet,plester dan
tubessesuai
gunting,spuit
10
ukuran cc,xylocaine
jell,stetoskop,serta hand scoon. Indikasi adekuat(terutama
intubasi pada
endotrakheal orang
dengan
antara
lain
penurunan
untuk
menjamin
kesadaran
dan
oksigenasi obstruksi
yang saluran
pernafasan),perlindungan saluran pernapasan dari aspirasi lambung dan regurgitasi,serta pada prosedur bedah yang melibatkan kepala dan leher / posisi tengkurap yang menghalangi jalan nafas.
Setelah dilakukannya intubasi perlu dilakukannya ekstubasi, Untuk menjaga agar pipa endotrakheal tidak menimbulkan trauma dan untuk mengurangi reaksi jaringan laringeal dan menurunkan resiko setelah ekstubasi.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Protap
pemasangan
ETT
(Endotrakeal
tube)
from:http://www.scribd.com/doc/58779525/17/Pengertian-Intubasi/ Diunduh
available pada
tanggal 3 November 2011. 2.
Putz R,Pabst R.Anatomy. Atlas Anatomi Manusia Sobotta. Jakarta:EGC;2007
3. Lauralee Sherwood,Sistem Pernapasan.Fisiologi manusia.Jakarta : EGC ; 2001 ; 13 : 410-448. 4. Anastesi adalah seni available from: http://www.scribd.com/doc/51439743/menguak-misterikamar-bius/ Diunduh tanggal 3 november 2011. 5. Kriteria intubasi. Available from : http://www.scribd.com/doc/55253315/kriteria-intubasiekstubasi/ Diunduh pada tanggal 3 November 2011. 6.
Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu Dasar Anestesia. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007; 2:3-45 7.
Intubasi
Endotrakeal.
Availeble
: http://medlinux.blogspot.com/2007/09/intubasi-endotrakeal.html/ Diunduh
from tanggal
3
November 2011.
8. Desai,Arjun M.2010. Anestesi. Stanford University School of Medicine. Diakses dari: http://emedicine.medcape.com 9. Gamawati, Dian Natalia dan Sri Herawati. 2002. Trauma Laring Akibat Intubasi Endotrakeal. Diakses dari: http://ojs.lib.unair.ac.id