Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi 2015 (SENTIKA 2015) Yogyakarta, 28 Maret 2015
ISSN: 2089-9815
PENGENALAN WAJAH MENGGUNAKAN PRINCIPAL COMPONENT ANALYSIS DAN SELF ORGANIZING MAPS Anggina Primanita1, Dian Retno Anggraini2 Teknik Informatika, Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Sriwijaya Perum. Bukit Sejahtera, blok DJ10, Bukit Besar, Palembang Telp. (0711)379249 Teknik Informatika, Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Sriwijaya Perum. Bukit Sejahtera, blok AQ20, Bukit Besar, Palembang Telp. (0711)358421 E-mail:
[email protected],
[email protected]
ABSTRAKS Wajah merupakan elemen biometrik yang dinamik. Pengenalan wajah menggunakan komputer memerlukan metode khusus karena komputer tidak dibekali cara berfikir seperti hal nya manusia dapat mengenali wajah dengan cara mengingat kembali wajah manusia yang pernah ditemui meskipun wajah manusia tersebut telah mengalami perubahan. Penelitian ini menerapkan Principal Component Analysis (PCA) dan Self Organizing Maps (SOM). Principal Component Analysis digunakan untuk melakukan reduksi terhadap elemen elemen gambar wajah. Sementara Self Organizing Maps digunakan sebagai alat untuk mengenali atau mengklasifikasi. Hasil percobaan terhadap sistem dengan 300 data gambar wajah yang berukuran 80x80 mendapatkan akurasi sebesar 86%, hasil akurasi tergolong sangat baik, sehingga dapat disimpulkan bahwa Principal Component Analysis dapat digunakan untuk memodelkan input Self Organizing Maps. Kata Kunci: Pengenalan Wajah, Principal Component Analysis, Self Organizing Maps, YaleFace Database ABSTACTS Human face is a dynamic biometric element. Face recognition using a computer require a special method because a computer doesn’t have ability like human being. Humans can recognize a person even though they’re not meet each other for a very long time. This study applies Principal Component Analysis (PCA) and Self Organizing Maps (SOM). Principal Component Analysis is used to perform the reduction of the face image elements. While Self Organizing Maps is used as a tool to identify or classify. The experimental results of the system with 300 face image data with size 80x80 obtain an accuracy of 86%, The result is pretty good, so it can be concluded that the Principal Component Analysis can make to Self Organizing Maps model. Key Words: Face Recognition, Principal Component Analysis, Self Organizing Maps, YaleFace Database.
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengenalan pola adalah disiplin ilmu yang tujuannya untuk mengklasifikasikan obyek menjadi beberapa kategori atau kelas. aplikasi pengenalan pola antara lain: pengenalan karakter, pengenalan suara, pengenalan wajah, dan bioinformatika. Dengan bantuan teknologi, pengenalan wajah dapat diaplikasikan untuk menyelesaikan masalah yang bervariasi seperti identifikasi pelaku kriminal, investigasi kejahatan, dan sistem keamanan. Salah satu pengenalan pola adalah pengenalan wajah, yaitu proses identifikasi manusia dengan menggunakan gambaran wajah seseorang. Pengenalan wajah dapat dilakukan oleh komputer dengan adanya bantuan aplikasi secara real time dan non real time. Pada pengenalan wajah secara non real time, data masukkan berupa gambar wajah dengan format tertentu, seperti JPEG, GIF, PNG, BMP, dan TIFF. Sebuah gambar wajah yang memiliki ukuran tertentu, jika panjang dan lebar dari
gambar tersebut adalah w dan h piksel maka jumlah informasi yang akan diolah adalah sebanyak w*h (Rahman, 2010). Hal ini dapat menyebabkan kinerja sistem menjadi lambat karena banyaknya informasi yang akan diolah. PCA (Principal Component Analysis) adalah suatu perhitungan yang digunakan untuk analisis data pada multi dimensi sekumpulan data (dataset) khususnya pada bidang grafik. Metode PCA digunakan untuk mereduksi informasi tanpa harus menghilangkan informasi utamanya. informasi yang direduksi tersebut di hilangkan dengan maksud agar kinerja sistem lebih cepat dan akurat. Permasalahan dalam PCA adalah bagaimana menemukan nilai eigen dan vector eigen untuk mendapatkan nilai kovariansi dan korelasi antar dimensi pada suatu data. Jaringan syaraf tiruan atau umumnya disebut neural network, adalah sistem pembelajaran berbentuk jaringan yang terinspirasi berdasarkan jaringan syaraf manusia. SOM (Self Organizing 463
Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi 2015 (SENTIKA 2015) Yogyakarta, 28 Maret 2015
Maps) sebagai metode pengenalan atau klasifikasi termasuk salah satu metode jaringan syaraf tiruan. Metode ini termasuk unsupervised learning, yaitu tidak memiliki target atau ditentukannya hasil output. Metode ini juga telah banyak dilakukan untuk pengenalan pola baik berupa citra maupun data. Pengenalan wajah menjadi penting dalam beberapa bidang seperti sistem keamanan, sistem login dan lain sebagainya. Proses pengenalan wajah ada 2 yaitu Training dan Testing, pada tahap awal wajah Training dan Testing akan dimasukkan ke tahap pre-processing. Setelah itu akan dicari ciri pada wajah training dan testing dengan menggunakan metode Principal Component Analysis (PCA), sedangkan untuk klasifikasi menggunakan Self-Organizing Map (SOM). 1.2
Rumusan Masalah Pengenalan wajah merupakan masalah yang sulit karena intensitas pencahayaan, ekspresi wajah, penuaan dan lain sebagainya. Untuk itu diperlukan metode ekstraksi ciri yang baik agar hasil pengenalan lebih optimal. Metode ekstraksi ciri PCA serta klasifikasi dengan jaringan syaraf tiruan SOM akan digunakan untuk menghasilkan pengenalan wajah yang memiliki tingkat akurasi lebih optimal. 1.3
Tujuan Tujuan Penelitian ini adalah mengembangkan perangkat lunak pengenalan wajah dengan metode Principal Component Analysis sebagai ekstrasi fitur serta algoritma clustering Self Organizing Maps untuk mengenali citra wajah dan mengetahui tingkat akurasi yang didapat dari perangkat lunak pengenalan wajah menggunakan metode yang dipilih. 2.
PEMBAHASAN
Dapat dilihat pada Gambar 1. Proses pengenalan wajah ada 2 tahap, yaitu pelatihan (Training), dan pengujian (Testing). Pada pelatihan wajah terdapat 3 tahapan, yaitu pra-pengolahan, ekstrasi ciri dan klasifikasi. Pra-pengolahan berfungsi untuk membersihkan citra serta mempersiapkan citra agar dapat menghasilkan fitur yang lebih baik pada tahap ekstrasi ciri. Setelah citra dibersihkan tahap selanjutnya adalah melakukan perhitungan PCA dengan tujuan untuk mendapatkan nilai ciri. Setelah ciri didapat maka langkah selanjutnya adalah nilai ciri yang didapat diolah dengan perhitungan SOM. Pada tahap pengujian wajah nilai dari citra yang akan dikenali akan diproyeksikan terhadap nilai bobot yang telah di dapat pada tahap pelatihan wajah sebelumnya dengan mencari jarak yang paling maksimal dengan dot product, dari hasil perhitungan tersebut maka akan didapatkan citra yang paling mendekati wajah yang akan dikenali. Pengenalan wajah dari komputer sulit dilakukan tidak seperti halnya manusia, komputer harus melalui beberapa proses dan harus mempunyai perangkat lunak khusus untuk mengenali wajah manusia. 2.1
Analisis Data Wajah Citra digital merupakan suatu matriks yang terdiri dari baris dan kolom, dimana setiap pasangan indeks baris dan kolom menyatakan suatu titik pada citra. Nilai matriksnya menyatakan nilai kecerahan titik tersebut. Titik-titik tersebut dinamakan sebagai elemen citra, atau pixel (picture elemen) (Stallings, 1995). Pada umumnya piksel piksel tersebut mengandung berbagai variasi nilai RGB yaitu komponen warna merah/red, hijau/green, biru/blue. Cira RGB akan diubah ke bentuk citra derajat keabuan karena citra dalam bentuk skala keabuan lebih mudah untuk dianalisa dibandingkan dengan citra berwarna. Data wajah yang digunakan sebanyak 300 gambar dari YaleFace database, 300 gambar tersebut terdiri dari 30 orang, masingmasing orang mempunyai 10 gambar wajah yang berbeda dengan ekstensi JPEG. 2.2
Gambar 1. Proses pengenalan wajah
ISSN: 2089-9815
Prapengolahan Pra-pengolahan merupakan tahap awal dalam pengenalan objek yang merupakan proses penelitian dengan menggabungkan konsep citra digital, pengenalan pola, matematika dan statistik. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya citra yang akan dilakukan proses deteksi harus diubah terlebih dahulu kedalam bentuk citra derajat keabuan. Hal ini perlu dilakukan karena proses pengolahan citra warna lebih sulit dilakukan dan kompleks dikarenakan citra warna memiliki tiga komponen warna utama yaitu merah, hijau dan biru (Purnomo, 2010). Berikut adalah cara untuk mengubah citra berwarna ke citra derajat keabuan: Gray (0.3 * r ) (0.5 * g ) (0.2 * b) (1) Tahap kedua dalam pra-pengolahan yaitu resize, resize adalah merubah ukuran gambar dengan tujuan 464
Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi 2015 (SENTIKA 2015) Yogyakarta, 28 Maret 2015
dan skalar λi dapat diperoleh dengan memecahkan untuk eigen vector dan eigen value dari matrik kovarian.
membuat semua ukuran gambar menjadi sama. Dalam penelitian ini, resize gambar dilakukan dengan bantuan aplikasi lain. 5.
2.3
Principal Component Analysis Principal Component Analysis adalah alat matematika untuk mengekstrak fitur fitur khas yang disebut eigenfaces dari data gambar asli (smith, 2002). Setiap principal component merupakan representasi dari suatu kombinasi linier dari semua citra-citra wajah training yang sudah dikurangi dengan mean citra, gabungan dari citra wajah inilah yang dinamakan eigenface. Pelatihan dan pengujian dengan PCA yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.
Merepresentasikan nilai-nilai piksel kedalam vector dengan cara membaca nilai piksel citra dari kiri atas sampai kanan bawah. Vektor ini disebut sebagai vektor data asli. Vektor data asli (original data vector) X mempresentasikan nilai sebenarnya dari citra wajah yang telah diakuisisi.
2.
Menghitung rata-rata vector dengan mengurangi rata-rata image (µ) dari setiap image vector (φi). Mencari rata-rata image dapat dilakukan dengan membagi setiap nilai gambar dengan jumlah seluruh gambar. 1 M Xi µ= (2) M i 1 lalu pengurangan rata-rata image dari setiap image vector dilakukan sebagi berikut: i i (3)
3.
Menghitung matrik kovarian PCA dengan mengalikan matriks data dengan matriks data yang telah di transpose dan dibagi jumlah wajah. 1 T iM 1 ( i )( i ) C= (4) n 1
4.
Menentukan eigen value (λi) dan eigen vector (νi ) karena dimensi matrik kovarian yang besar, maka dibutuhkan sebuah metode numerik untuk melakukan dekomposisi eigen vector dan eigen value. φ adalah matriks yang terdiri dari vektorvektor kolom φi yang ditempatkan berdampingan. Ukuran matrik kovarian (C) adalah N × N yang memiliki nilai sangat besar. Misalnya, gambar ukuran 100 × 100 piksel membuat matriks kovarians ukuran 10000 × 10000. Hal ini tidak praktis untuk memecahkan vektor eigen dari C secara langsung. Sebuah teorema yang umum di aljabar linear menerangkan bahwa vi vektor
ISSN: 2089-9815
Menentukan komponen dan membentuk fitur vector, Langkah ini mengambil eigenvector yang diinginkan dari list eigenvector, dan membentuk sebuah matrik dengan eigenvector didalam kolom. Penurunan data set baru ini adalah langkah terakhir dalam proses ektrak fitur dengan PCA sebelum data tersebut menjadi input dari JST. classifier dalam penelitian ini adalah jaringan saraf tiruan, maka matriks PCA harus memiliki rentang antara -1 sampai dengan 1. Hal ini dapat dilakukan dengan cara normalisasi, yaitu mengkonversi nilai PCA dari hasil ektraksi kedalam nilai bipolar antara -1 sampai dengan 1.
2.4
Self Organizing Map (SOM) / Kohonen Self Organizing Map (SOM) adalah jenis jaringan syaraf tiruan yang dilatih menggunakan pembelajaran tanpa pengawasan. Jaringan syaraf tiruan Kohonen memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan algoritma JST propagasi balik, perbedaan terletak di cara bagaimana jaringan ini melakukan pelatihan dan cara memanggil kembali pola. Jaringan syaraf tiruan Kohonen tidak menggunakan fungsi aktivasi. Lebih jauh lagi, JST Kohonen tidak memiliki bobot bias (Heaton, 2007). Kaidah dari JST ini adalah generalisasi dari proyeksi topografi langsung antara 2 struktur yang berlapislapis yang dikenal sebagai retinotectal mapping (Kohonen, 1982). Output dari SOM bukan merupakan gabungan atau jumlah dari beberapa neuron, saat suatu pola dimasukkan ke dalam jaringan SOM salah satu neuron akan dipilih sebagai pemenang (winner), neuron pemenang ini adalah output akhir dari jaringan SOM, neuron-neuron pemenang ini akan mewakili suatu kumpulan data yang akan dikenali oleh jaringan SOM. (II-3)
Gambar 2. Struktur Jaringan Kohonen
465
Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi 2015 (SENTIKA 2015) Yogyakarta, 28 Maret 2015
Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. struktur jaringan SOM hanya memiliki dua layer, input layer dan output layer biasa dikenal Kohonen layer, tidak memiliki hidden layer di dalam JST Kohonen, masukan untuk sebuah jaringan saraf tiruan Kohonen diberikan kepada jaringan melalui neuron input, input neuron tersebut akan diisi dengan angka yang akan membangun suatu pola input yang akan dikenali jaringan, input yang akan dimasukkan harus dinormalisasi hingga memenuhi batas pengenalan input dari JST Kohonen yaitu berada di antara nilai -1 dan 1, bila pola input ini telah terbangun di jaringan, akan memancing reaksi dari neuron output. Di jaringan ini hanya satu neuron output yang akan benar-benar menghasilkan suatu nilai, nilai tunggal ini merupakan nilai benar atau salah, saat pola input dimasukkan kepada jaringan maka satu neuron output akan dipilih sebagai pemenang (winning neuron), dan dalam neuron inilah informasi output diperoleh. Pelatihan dan pengujian dengan SOM yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.
dan neuron output, perhitungan menggunakan persamaan (Taner,1997) :
Oj
iN 1x(i ).w(i, j )
(6)
Dimana x adalah nilai neuron input, w adalah bobot neuron output, dan O adalah nilai neuron output. Langkah selanjutnya melakukan pemetaan output ke angka bipolar (bipolar number). Di dalam sistem bipolar nilai nol akan dipetakan menjadi -1 dan biner akan tetap menjadi 1, karena input dari jaringan ini telah dinormalisasi ke dalam range tersebut maka kita harus melakukan normalisasi yang sama ke neuron output. Dalam notasi matematika, proses pencarian titik pemenang ini dapat didefinisikan sebagai:
C max wij * xi (7) Dimana C adalah winning node, wij adalah bobot neuron output dan xi adalah nilai dari layer input.
Normalisasi Input JST Kohonen membutuhkan input untuk dinormalisasi terlebih dahulu, karena ini sebagian literatur menyebutkan proses normalisasi sebagai layer ke-tiga. Nilai input merupakan salah satu keterbatasan dari jaringan syaraf tiruan Kohonen, jaringan ini hanya menerima nilai input yang berada di antara jarak -1 hingga 1, dan sebaiknya semua input memaksimalkan semua nilai yang berada pada range tersebut, apabila satu atau lebih neuron input hanya menggunakan nilai 0 atau 1 maka performa dari JST ini akan menurun.Untuk melakukan normalisasi input, pertama-tama harus dilakukan perhitungan untuk mencari jarak vektor (vector length) dari input data, atau vektor. Hal ini dapat dilakukan dengan mengalikan kuadrat dari vektor input. Dalam notasi matematika proses normalisasi ini dapat dinyatakan dengan : 1 f (5) 2 n 1 i 0 xi Dimana f adalah faktor normalisasi, x merupakan nilai neuron input, dan n merupakan jumlah neuron input.
2.
ISSN: 2089-9815
Menghitung Keluaran dari Tiap Output Neuron Untuk Menentukan Neuron Pemenang Algoritma Kohonen menyebutkan bahwa untuk nilai dari neuron output didapat dengan cara menghitung dot product dari vektor input dan bobot diantara neuron input 466
3.
Learning Rate Learning rate adalah suatu konstan yang digunakan oleh algoritma pembelajaran, merupakan suatu nilai positif yang lebih kecil dari 1, biasanya learning rate adalah angka seperti 0,4 atau 0,5, dan disimbolkan dengan simbol alpha (α). Mengatur learning rate dengan nilai besar akan mengakibatkan fase latih (training) menjadi lebih besar, tapi hal ini dapat mengakibatkan jaringan tidak pernah mencapai kondisi konvergen, hal ini dikarenakan osilasi dari bobot vektor akan menjadi terlalu besar hingga menyulitkan munculnya pola klasifikasi, Learning rate hanyalah suatu variabel yang digunakan sebagai bagian dari algoritma untuk menyesuaikan bobot dari neuron.
4.
Menyesuaikan Bobot Keseluruhan memori dari JST Kohonen disimpan di dalam koneksi berbobot diantara input dan output layer, bobot akan disesuaikan dalam setiap iterasi/epoch. Epoch terjadi saat data latih dimasukkan ke dalam jaringan Kohonen dan bobot disesuaikan berdasarkan hasil dari data latih. Penyesuaian dari bobot akan menghasilkan jaringan yang menghasilkan hasil yang lebih memuaskan di saat selanjutnya data latih disajikan. Epoch akan berlanjut seiring dengan banyaknya data yang dimasukkan ke dalam jaringan dan bobot akan terus disesuaikan. Metode asli untuk menghitung perubahan bobot, yang diajukan Kohonen seingkali dikenal sebagai metode additive. Metode ini menggunakan persamaan sebagai berikut:
Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi 2015 (SENTIKA 2015) Yogyakarta, 28 Maret 2015
t 1
w
t
w x t
|| w x ||
(8)
Dimana variabel x adalah nilai neuron input yang akan disajikan kepada jaringan, variabel wt adalah bobot dari neuron pemenang, wt+1 adalah bobot baru dan α merupakan learning rate. 5.
Menghitung Error Dalam metode Self Organizing Maps, error akan dihitung menggunakan metode RMS (Root Mean Square), yang merupakan akar dari jumlah error yang di kuadratkan, error disini adalah perbedaan antara input dan bobot winning neuron (Taner, 1997). Dalam notasi matematika perhitungan ini dapat dinyatakan sebagai : 2 tn1 ( xt wt ) RMSerror (9) n Dimana x merupakan nilai neuron input, w merupakan nilai bobot output dan n merupakan banyaknya neuron input.
3. PENGUJIAN 3.1 Pengujian Konfigurasi 1 Pengujian pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data gambar dengan ukuran 80x80, sebanyak 300 data dan 150 data akan digunakan untuk pembelajaran. Hasil pengujian dan analisa selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 1. Hasil Pengenalan Wajah Konfigurasi 1
No
Jumlah Citra
1 2
300 150
Hasil Pengenalan Tidak Dikenali Akurasi Dikenali 300 0 100% 276 24 86%
ISSN: 2089-9815
(Heseltine, 2005). Penelitian tersebut menggunakan dataset wajah dari AR Face Database sebanyak 900 gambar, terdiri dari 120 orang (60 laki-laki dan 10 wanita) dan memiliki 15 gambar wajah yang berbeda, ukuran gambar yang digunakan adalah 100x100, 90x90, 80x80, 70x70, 60x60, 50x50, 40x40, 30x30, 20x20, dan 10x10. Hasilnya tidak ada perubahan yang signifikan terhadap akurasi dari masing masing resolusi gambar, perubahan justru terjadi pada waktu kinerja sistem saat bekerja. Resolusi kecil lebih cepat selesai dibandingkan dengan resolusi besar. Untuk membenarkan hasil pengujian dari penelitian tersebut, maka penelitian ini perlu di tambahkan pengujiannya untuk resolusi gambar yang berbeda yaitu 120x120 dan 160x160. 3.2
Pengujian Konfigurasi 2 Pengujian 2 pada penelitian ini menggunakan data gambar dengan ukuran 120x120, sebanyak 300 data dan 150 data akan digunakan untuk pembelajaran. Hasil pengujian dan analisa selengkapnya dapat dilihat pada table 2 di bawah ini: Tabel 2. Hasil Pengenalan Wajah Konfigurasi 2
No
Jumlah Citra
1 2
300 150
Hasil Pengenalan Tidak Dikenali Akurasi Dikenali 300 0 100% 274 26 82.7%
Berdasarkan tabel 2, pengenalan menggunakan data wajah sebanyak 300 gambar yang berukuran 120x120 menghasilkan akurasi sebesar 100%, karena data wajah yang telah di latih sebelumnya memiliki nilai bobot yang sama dengan 300 data yang akan diuji sehingga menghasilkan akurasi yang sangat baik.
Berdasarkan Tabel 1, pengenalan menggunakan data wajah sebanyak 300 gambar yang berukuran 80x80 menghasilkan akurasi sebesar 100%, karena data wajah yang telah di latih sebelumnya memiliki nilai bobot yang sama dengan 300 data yang akan diuji sehingga menghasilkan akurasi yang sangat baik. Sedangkan dengan menggunakan 150 data latih menghasilkan akurasi sebesar 86%. Hasil akurasi tersebut cukup baik karena hanya 24 gambar wajah yang tidak dikenali dari 150 gambar yang akan dikenali. sistem tidak dapat mengenali gambar wajah tersebut karena nilai bobot yang didapat mendekati nilai bobot gambar wajah yang lain, sehingga gambar tidak dapat dikenali. Menurut dari sebuah penelitian, bahwa tidak ada perubahan yang signifikan dengan hasil akurasi menggunakan resolusi yang berbeda-beda,
Gambar 3. Diagram perbedaan waktu pada pengujian 1 & 2. 467
Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi 2015 (SENTIKA 2015) Yogyakarta, 28 Maret 2015
Dapat dilihat pada Gambar 3. yang membedakan pengujian 1 dan pengujian 2 dengan menggunakan 300 data uji yang sama adalah waktu kinerja pengujian 1 lebih cepat dibandingkan dengan pengujian 2, selisih waktu antara kedua konfigurasi tersebut adalah 15 menit.
ISSN: 2089-9815
sama dengan 300 data yang akan diuji sehingga menghasilkan akurasi yang sangat baik.
Gambar 5. Diagram perbedaan waktu pada konfigurasi 1, 2 dan 3. Gambar 4. Diagram perbedaan akurasi pada pengujian 1 & 2. Dapat dilihat pada gambar 4. akurasi yang di dapat pada konfigurasi 1 dan konfigurasi 2 tidak terlalu jauh hanya 1,3% sesuai dengan pengujian yang dilakukan oleh Heseltine,D.T (2005), namun pada pengujian tersebut hanya sebatas pada resolusi 100x100, maka dari itu diperlukan pengujian konfigurasi 3 dengan resolusi 160x160, untuk menguji apakah jika resolusi diatas 100x100 masih tidak ada perubahan signifikan terhadap akurasi yang di dapat.
Pada Gambar 5. Menunjukkan bahwa perbedaan pada pengujian konfigurasi 1 dan 2 lebih cepat dibandigkan dengan lama sistem bekerja pada konfigurasi 3, karena konfigurasi 3 menggunakan resolusi 160x160 yang berarti ada 25.600 data yang akan diolah pada satu gambar wajah maka kinerja pengujian konfigurasi 3 lebih lama.
3.3
Pengujian Konfigurasi 3 Pengujian yang dilakukan dengan menggunakan data gambar dengan ukuran 160x160, sebanyak 300 data dan 150 data akan digunakan untuk pembelajaran. Hasil pengujian dan analisa selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 3. Hasil Pengenalan Wajah Konfigurasi 3
No
Jumlah Citra
1 2
300 150
Hasil Pengenalan Tidak Dikenali Akurasi Dikenali 300 0 100% 272 28 81.4%
Pada tabel 3, hasil yang dilampirkan sama dengan konfigurasi 1 dan 2, karena data wajah yang telah di latih sebelumnya memiliki nilai bobot yang
Gambar 6. Diagram perbedaan waktu pada konfigurasi 1, 2 dan 3. 468
Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi 2015 (SENTIKA 2015) Yogyakarta, 28 Maret 2015
Dapat dilihat dari Gambar 6. Pengujian konfigurasi 3 yang mendapat akurasi yang paling rendah dibanding yang lain, akurasi dapat ditingkatkan jika nilai komponen ciri PCA di tingkatkan. Jika kita menggunakan resolusi 160x160 atau bahkan lebih maka sebaiknya nilai ciri yang diambil lebih dari 150 karena semakin banyak ciri yang diambil maka semakin detail gambar wajah yg akan dikenali, karena resolusi gambar 160x160 memiliki 25.600 nilai data maka terlalu sedikit jika nilai ciri yang diambil hanya 150 dibandingkan dengan jumlah nilai data per gambar. Resolusi yang tinggi akan mendapatkan hasil akurasi yang tinggi jika nilai komponen ciri PCA yang akan diolah ditingkatkan (Veldhuis et al., 2006). Pada pengujian tersebut menggunakan dataset sebanyak 3699 gambar wajah yang berresolusi tinggi dan 1803 gambar wajah yang berresolusi rendah, 270 nilai ciri komponen PCA digunakan untuk resolusi yang tinggi dan pengujian kedua menggunakan 110 nilai ciri komponen PCA untuk resolusi rendah, resolusi tinggi yang dipilih adalah 128x128 sedangkan resolusi rendah adalah 32x32. Hasil kedua pengujiannya memberikan hasil yang baik dan sesuai dengan yang diharapkan oleh para peneliti, jika resolusi tinggi yang digunakan maka lebih baik nilai ciri komponen PCA sebaiknya lebih dari 90 agar mendapat akurasi yang tinggi.
ISSN: 2089-9815
Rahman, M. A. 2010. Sistem Pengenalan Wajah Menggunakan Webcam Untuk Absensi Dengan Metode Template Matching. Thesis Mahasiswa Politeknik Elektronika Negeri Surabaya. Kampus PENS-ITS Sukolilo, Surabaya. Smith, L. I. 2002. A Tutorial on Principal Components Analysis. Technical report, Cornell University, USA. Stallings, W. 1995, Network and Internetwork Security Principles and Practice, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey 0763. Taner, T.M.1997. Kohonen’s Self Organizing Networks with “Conscience”. United State: Rock Solid Images. Veldhuis, R. N. J., Spreeuwers, L. J., Beumer, G. M., & Boom, B. J. 2006. Effect of Image Resolution on the Performance of a Face Recognition System. 1–4244–0342–1/06/$20.00IEEE.
4.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan implementasi yang telah dilakukan pada penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa dalam penelitian ini, hasil pengujian dengan menggunakan 300 data mendapatkan akurasi sebesar 100 % sedangkan hasil pengujian dengan menggunakan 150 data mendapatkan ragam akurasi, yaitu 86% untuk gambar dengan resolusi 80x80, 82.7% untuk gambar dengan resolusi 120x120, dan 81.3% untuk gambar dengan resolusi 160x160. Sehingga dapat disimpulkan bahwa menggunakan resolusi gambar yang tinggi membuat kinerja sistem menjadi lambat dan akurasi yang di dapat tidak terlalu baik, akurasi dapat dinaikkan jika memperbesar jumlah komponen PCA yang menjadi nilai input SOM. PUSTAKA Kohonen, T. 1982. Self Organization and Associative Memory. Berlin: Springer. Heaton, J. 2007. Introducing the Kohonen Neural Network. http://www.heatonresearch.com/articles/ 6/pages2.html. Heseltine, D.T. 2005. Face Recognition: TwoDimensional and Three-Dimensional Techniques. For the qualification of PhD, The University of York: Department of Computer Science. Purnomo, M.H., dan Muntasa, A. 2010. Konsep Pengolahan Citra Digital dan Ekstraksi Fitur. Yogyakarta: Graha Ilmu 469