VOL. 3, NO. 1, MARET 2009
VOL. 3, NO. 1, MARET 2009: 1-80
PENGARUH PERSEPSI KUALITAS LAYANAN DAN KEPUASAN PELANGGAN PADA NIAT PEMBELIAN ULANG KONSUMEN Dessy Puspita Sari MANFAAT EKONOMI KONSERVASI BARANG PUSAKA KEBUDAYAAN: KASUS GEDUNG PENINGGALAN DE JAVASCHE BANK YOGYAKARTA Amiluhur Soeroso SUMBERDAYA MANUSIA (SDM) PEMBELAJAR: MENGGAPAI KINERJA DAN DAYA SAING ORGANISASI YANG LEBIH TINGGI N.H. Setiadi Wijaya PENGARUH BLOK-BLOK PERDAGANGAN BEBAS REGIONAL TERHADAP PERDAGANGAN BILATERAL INDONESIA: MENGGUNAKAN MODEL GRAVITASI, TAHUN 2003-2007 Sarwoko PERAN RASIO KEUANGAN DALAM MEMPREDIKSI LABA DI MASA DEPAN Fany Arista Baldric Siregar ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPEMILIKAN, PENGGUNAAN, PEMBAYARAN, DAN PELUANG TERJADINYA GAGAL BAYAR DALAM BISNIS KARTU KREDIT Jusup Agus Sayono Ujang Sumarwan Noer Azam Achsani Hartoyo
VOL. 3
NO. 1
Hal 1-80
Maret 2009
ISSN: 1978-3116
JURNA L
Vol. 3, No. 1, Maret 2009
EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
JURNAL EKONOMI & BISNIS (JEB) EDITOR IN CHIEF Prof. Dr. Djoko Susanto, MSA., Akuntan STIE YKPN Yogyakarta EDITORIAL BOARD MEMBERS Dr. Baldric Siregar, MBA., Akuntan STIE YKPN Yogyakarta
Dr. Soeratno, M.Ec. Universitas Gadjah Mada
Dr. Dody Hapsoro, MSPA., MBA., Akuntan STIE YKPN Yogyakarta
Dr. Wisnu Prajogo, SE., MBA. STIE YKPN Yogyakarta
MANAGING EDITORS Dra. Sinta Sudarini, MS., Akuntan STIE YKPN Yogyakarta EDITORIAL SECRETARY Drs. Rudy Badrudin, M.Si. STIE YKPN Yogyakarta PUBLISHER Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STIE YKPN Yogyakarta Jalan Seturan Yogyakarta 55281 Telpon (0274) 486160, 486321 ext. 1100 Fax. (0274) 486155 EDITORIAL ADDRESS Jalan Seturan Yogyakarta 55281 Telpon (0274) 486160, 486321 ext. 1332 Fax. (0274) 486155 http://www.stieykpn.ac.id O e-mail:
[email protected] Bank Mandiri atas nama STIE YKPN Yogyakarta No. Rekening 137 – 0095042814
Jurnal Ekonomi & Bisnis (JEB) terbit sejak tahun 2007. JEB merupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Yayasan Keluarga Pahlawan Negara (STIE YKPN) Yogyakarta. Penerbitan JEB dimaksudkan sebagai media penuangan karya ilmiah baik berupa kajian ilmiah maupun hasil penelitian di bidang ekonomi dan bisnis. Setiap naskah yang dikirimkan ke JEB akan ditelaah oleh MITRA BESTARI yang bidangnya sesuai. Daftar nama MITRA BESTARI akan dicantumkan pada nomor paling akhir dari setiap volume. Penulis akan menerima lima eksemplar cetak lepas (off print) setelah terbit. JEB diterbitkan setahun tiga kali, yaitu pada bulan Maret, Juli, dan Nopember. Harga langganan JEB Rp7.500,- ditambah biaya kirim Rp12.500,- per eksemplar. Berlangganan minimal 1 tahun (volume) atau untuk 3 kali terbitan. Kami memberikan kemudahan bagi para pembaca dalam mengarsip karya ilmiah dalam bentuk electronic file artikel-artikel yang dimuat pada JEB dengan cara mengakses artikel-artikel tersebut di website STIE YKPN Yogyakarta (http://www.stieykpn.ac.id).
ISSN: 1978-3116
JURNA L
Vol. 3, No. 1, Maret 2009
EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
DAFTAR ISI
PENGARUH PERSEPSI KUALITAS LAYANAN DAN KEPUASAN PELANGGAN PADANIAT PEMBELIAN ULANG KONSUMEN Dessy Puspita Sari 1-10 MANFAAT EKONOMI KONSERVASI BARANG PUSAKA KEBUDAYAAN: KASUS GEDUNG PENINGGALAN DE JAVASCHE BANK YOGYAKARTA Amiluhur Soeroso 11-19 SUMBERDAYA MANUSIA(SDM) PEMBELAJAR: MENGGAPAI KINERJADAN DAYA SAING ORGANISASI YANG LEBIH TINGGI N.H. Setiadi Wijaya 21-30 PENGARUH BLOK-BLOK PERDAGANGAN BEBAS REGIONALTERHADAPPERDAGANGAN BILATERAL INDONESIA: MENGGUNAKAN MODEL GRAVITASI, TAHUN 2003-2007 Sarwoko 31-39 PERAN RASIO KEUANGAN DALAM MEMPREDIKSI LABADI MASADEPAN Fany Arista Baldric Siregar 41-60 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPEMILIKAN, PENGGUNAAN, PEMBAYARAN, DAN PELUANG TERJADINYA GAGAL BAYAR DALAM BISNIS KARTU KREDIT Jusup Agus Sayono Ujang Sumarwan Noer Azam Achsani Hartoyo 61-80
ISSN: 1978-3116 PENGARUH PERSEPSI KUALITAS LAYANAN DAN ............... (Dessy Puspita Sari)
Vol. 3, No. 1, Maret 2009 Hal. 1-10
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
PENGARUH PERSEPSI KUALITAS LAYANAN DAN KEPUASAN PELANGGAN PADA NIAT PEMBELIAN ULANG KONSUMEN Dessy Puspita Sari Magister Manajemen STIE YKPN Yogyakarta Jalan Seturan, Yogyakarta 55281 Telepon +62 274 486160, 486321, Fax. +62 274 486155 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT The aim of this research is to find out the effect of service quality perception and repurchase intention on retai company. This research is a replication from two previous research which are Setyawan and Susia (2004) then Taylor and Baker (1994). Setyawan and Susila (2004) chose three variables in their research. They were service quality perception as independen variable, customer satisfaction as moderation variable and repurchase intention as dependent variable. The researcher will try to reexaminate the model of Taylor and Baker (1994) research with any modification on the dependent variable which modificated from the purchase intention to repurchase intention. The population target in this research is students who ever buy at “X” supermarket in Yogyakarta. The sample consists of 200 students which are chosen using nonpropbability sampling. The chosen non-probability sampling type is convenience method. The model in this research use the previous model of Taylor and Baker (1994), the moderator regression analysis model (MRA). The first is a regression analysis between service quality perception and repurchase intention. The result shows that service quality perception has a positive effect on the repurchase intention. The second one is a regression analysis of interaction variable which is intended to know whether the customer satisfaction moderates the relationship between service quality perception and repurchase intention. It show that the interaction variable has a negative significant
result. The customer satisfaction moderates the relationship between service quality perception and repurchase intention. Keywords: service quality perception, satisfaction, repurchase intention.
PENDAHULUAN Globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia mengakibatkan perubahan yang cepat pada lingkungan bisnis. Oleh karena itu, setiap perusahaan yang ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya haruslah dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada dan mempunyai keunggulan kompetitif. Keunggulan kompetitif dapat dicapai melalui penjualan barang yang berkualitas, harga yang relatif murah, penyerahan barang yang cepat, dan layanan yang baik sehingga kepuasan pelanggan dapat tercapai. Hal ini mengakibatkan adanya hubungan jangka panjang antara pelanggan dengan perusahaan. Salah satu bidang usaha yang merasakan dampak perkembangan ekonomi global adalah sektor bisnis retail, bahkan salah satu tolak ukur keberhasilan perekonomian suatu negara adalah keberhasilan dalam sektor bisnis retail.. Bisnis retail meliputi semua kegiatan yang melibatkan penjualan barang dan jasa secara langsung kepada konsumen akhir untuk penggunaan pribadi dan bukan bisnis (Kotler dan
1
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 1-10
Keller, 2006). Pengecer adalah usaha bisnis yang volume penjualanya terutama berasal dari penjulan eceran. Organisasi apa pun yang menjual kepada konsumen akhir baik itu produsen, grosir, atau pengecer dikatakan melakukan usaha eceran. Menurut Berman dan Evans dalam Setyawan (2004) ada beberapa hal yang membuat industri retail penting untuk dipelajari, yaitu 1) implikasi retailing dalam perekonomian global karena penjualan retailing dan daya serap tenaga kerjanya menjadi kunci perekonomian global; 2) fungsi retail dalam rantai distribusi yaitu menjadi penghubung antara final consumer dengan manufacturer dan wholesaler; 3) hubungan antara pengecer dengan pelanggan. Salah satu cara untuk meningkatkan daya saing adalah dengan peningkatan kualitas layanan karena dengan kualitas layanan yang baik maka kepuasan pelanggan akan tercapai. Tercapainya kepuasan pelanggan akan mempengaruhi perilaku konsumen untuk membeli barang atau jasa yang ditawarkan perusahaan. Hal ini berarti niat pembelian ulang konsumen dipengaruhi oleh kualitas layanan dan kepuasan pelanggan, sedangkan kualitas layanan harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan. Persepsi pelanggan terhadap kualitas layanan merupakan penilaian yang menyeluruh atas keunggulan suatu jasa. Mengingat arti penting kualitas layanan, kepuasan pelanggan, dan niat beli ulang konsumen dalam bisnis ritel, maka perlu dikaji lebih mendalam bagaimana persepsi kualitas layanan dilaksanakan pada bisnis retail serta tingkat kepuasan pelanggan yang dicapai sehingga mempengaruhi pembentukan niat pembelian ulang konsumen. Penelitian ini berupaya untuk menganalisis pengaruh antara persepsi kualitas layanan dan kepuasan pelanggan pada pembentukan niat pembelian ulang konsumen di supermarket “X” di Yogyakarta. Kualitas layanan dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan (Kotler dan Keller, 2006). Hal ini berarti bahwa citra kualitas yang baik bukanlah berdasar pada sudut pandang atau persepsi pihak penyedia jasa melainkan berdasar persepsi pihak pelanggan. Pelangganlah yang mengkonsumsi dan menikmati jasa perusahaan, sehingga merekalah yang seharusnya menentukan kualitas jasa. Persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa merupakan penilaian menyeluruh terhadap keunggulan
2
suatu jasa. (Tjiptono, 2006). Perceived quality adalah penilaian konsumen akan entitas kesempurnaan dan superioritas jasa. Semakin tinggi tingkat kualitas jasa yang dipersepsikan, semakin besar kepuasan konsumen. Parasuraman et al (1988) mendefinisikan service quality sebagai sebuah perbandingan antara harapan pelanggan dengan persepsi layanan aktual yang diterima. Penelitian mengenai kualitas layanan dan niat pembelian ulang dilakukan antara lain, Taylor dan Baker (1994) dan Olsen (2002) sedangkan di Indonesia dilakukan oleh Setyawan dan Susila (2004), Wijaya (2005), Asakdiyah (2005), serta Setiawati dan Murwanti (2006). Konsep awal service quality ditulis di dalam Jurnal of Retailing pada akhir dekade 80-an. Setelah itu ada banyak artikel yang membahas tentang konsep ini. Penjualan eceran atau lazim disebut sebagai retailing adalah aktifitas penjualan kepada konsumen akhir (Berman dan Evans, 2001). Industri ini adalah bagian dari industri jasa. Oleh karena itu, sangat relevan untuk mengkaji service quality dalam penjualan eceran. Konsep service quality terdiri dari lima dimensi, yaitu tangibles, reliability, responsiveness, assurance, dan empathy (Parasuraman et al, 1988). Selanjutnya masingmasing dimensi didefinisikan sebagai berikut 1) bukti langsung (tangibles) adalah fasilitas fisik, peralatan, dan penampilan dari pegawai; 2) keandalan (reliability) adalah kemampuan untuk melakukan layanan yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan; 3) daya tanggap (responsiveness) adalah kesediaan untuk membantu konsumen dan memberikan layanan dengan tanggap; 4) jaminan (assurance) adalah pengetahuan, perilaku karyawan, dan kemampuan untuk menginspirasikan kepercayaan dan keyakinan; 4) empati (empathy) adalah kemudahan melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian individu dari perusahaan kepada pelanggannya dan memahami kebutuhan para konsumen. Kotler dan Keller (2006) mendefinisikan kepuasan sebagai perasaan suka atau kecewa seseorang sebagai hasil dari perbandingan antara persepsi atas kinerja produk dengan harapanya. Definisi ini mengandung pengertian bahwa kepuasan merupakan fungsi kinerja yang dipersepsikan dengan harapan. Banyak perusahaan memfokuskan pada kepuasaan tinggi karena para konsumen yang kepuasannya hanya terbatas mudah untuk berubah
PENGARUH PERSEPSI KUALITAS LAYANAN DAN ............... (Dessy Puspita Sari)
Ketidakpuasan atau keluhan konsumen terhadap suatu jasa layanan karena tidak sesuai dengan yang diharapkan dapat berdampak negatif terhadap keberhasilan jasa layanan tersebut. Menurut Engel et al (1995) dalam Wijaya (2005) kepuasan didefinisikan sebagai evaluasi pasca konsumsi bahwa suatu alternatif yang dipilih setidaknya memenuhi atau melebihi harapan. Harapan pelanggan dibentuk dan didasarkan oleh beberapa faktor, di antaranya pengalaman berbelanja di masa lampau, opini teman dan kerabat, serta informasi dan janji perusahaan dan para pesaing (Kotler dan Keller, 2006). Faktor-faktor tersebutlah yang mengakibatkan harapan seseorang biasa-biasa saja atau sangat kompleks. Beberapa penyebab utama tidak terpenuhinya harapan pelanggan antara lain dikendalikan oleh penyedia jasa. Dengan demikian, penyedia jasa bertanggungjawab untuk meminimumkan miskomunikasi dan misinterpretasi yang mungkin terjadi dan menghindarinya dengan cara merancang jasa yang mudah dipahami dengan jelas. Dalam hal ini penyedia jasa harus mengambil inisiatif agar penyedia jasa dapat memahami dengan jelas instruksi dari klien dan klien mengerti benar apa yang akan diberikan.
pikiran apabila mendapat tawaran yang lebih baik. Bagi konsumen yang mempunyai kepuasan tinggi lebih sukar untuk mengubah pikirannya. Dengan kepuasan yang tinggi akan menciptakan kelekatan emosional terhadap merek tertentu bukan hanya kesukaan/ preferensi rasional. Kepuasan pelanggan ditentukan oleh layanan yang diberikan oleh retailer baik secara tangible maupun intangible. Dalam hal ini, penilaian dilakukan oleh pelanggan mengenai kategori dari jasa yang diberikan oleh retailer. Kepuasan pelanggan merupakan evaluasi spesifik terhadap keseluruhan layanan yang diberikan, dimana pengukuran atau respon pelanggan dilakukan secara langsung atas layanan yang telah diberikan pemberi jasa sehingga kepuasan pelanggan hanya dapat dinilai berdasarkan pengalaman yang pernah dialami saat proses pemberian pelayanan (Zeithamal dan Bitner, 1996). Menurut Tjiptono (2006) pada umumnya harapan pelanggan merupakan perkiraan atau keyakinan pelanggan tentang apa yang akan diterima apabila pelanggan mengkonsumsi suatu produk (barang atau jasa) sedangkan kinerja didasarkan pada persepsi pelanggan terhadap apa yang diterima setelah mengkonsumsi produk yang dibeli.
Pelanggan Keliru Mengkunsumsi Jasa yang Diinginkan Pelanggan Keliru Menafsirkan Signal (Harga, Positioning, dan sebagainya)
Kinerja Karyawan Perusahaan Jasa yang Buruk W
W
W Harapan Tidak Terpenuhi
W
W
Miskomunikasi Rekoamendasi Mulut ke Mulurt
Miskomunikasi Penyedia Jasa oleh Pesaing
Sumber: Tjiptono (2006).
Gambar 1 Penyebab Utama Tidak Terpenuhinya Harapan Pelanggan
3
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 1-10
Perusahaan banyak menggunakan berbagai cara untuk mempertahankan konsumen. Salah satunya adalah dengan memastikan kualitas produk dan jasa memenuhi harapan konsumen. Pemenuhan harapan akan menciptakan kepuasan bagi konsumen. Niat membeli ulang (purchase intention) merupakan fungsi dari sikap individual terhadap produk atau jasa. Menurut Kotler dan Keller (2006) dalam tahap evaluasi para konsumen membentuk preferensi atas merek-merek yang ada di dalam kumpulan pilihan. Konsumen tersebut juga dapat membentuk niat untuk membeli ulang merek yang disukai. Namun ada dua faktor berikut dapat berada di antara niat pembelian ulang dan keputusan pembelian ulang seperti ditunjukkan pada Gambar 2.
Evaluasi Alternatif
Niat Pembelian Ulang
terhadap faktor-faktor seperti pendapatan keluarga, harga, dan manfaat produk yang diharapkan. Apabila konsumen bertindak tetapi faktor situasi yang diantisipasi terjadi mungkin akan mengubah perilaku pembelian tersebut. Perilaku setelah pembelian akan menimbulkan sikap puas atau tidak puas dari konsumen. Kepuasan konsumen merupakan fungsi dari harapan pembeli terhadap produk atau jasa dengan kinerja yang dirasakan. Konsumen yang puas dapat melakukan pembelian ulang pada waktu yang akan datang dan memberitahukan pada orang lain atas kinerja produk atau jasa yang dirasakan. Menurut Solomon (2007), konsumen yang puas terhadap barang dan jasa yang
Sikap Orang Lain
Faktor Situasi yang Tidak Terantisipasi
Keputusan Pembelian Ulang
Sumber: Kotler dan Keller (2006). Gambar 2 Tahapan Antara Evaluasi Alternatif dan Keputusan Pembelian Ulang
Dua faktor yang mempengaruhi niat pembelian ulang konsumen yaitu sikap orang lain dan faktor situasi yang tidak terantisipasi. Sejauh mana sikap orang lain mengurangi alternatif yang disukai seseorang akan bergantung pada dua hal, yaitu intensitas sikap negatif orang lain terhadap alternatif yang disukai konsumen dan motivasi konsumen untuk menuruti keinginan orang lain. Semakin gencar sikap negatif orang lain dan semakin dekat orang lain tersebut dengan konsumen, konsumen semakin mengubah niat pembeliannya. Keadaan sebaliknya juga berlaku, preferensi seseorang membeli suatu merek akan meningkat jika seseorang yang ia sukai juga sangat menyukai merek yang sama. Konsumen membentuk suatu penilaian pembelian
4
dikonsumsinya akan mempunyai kecenderungan untuk membeli ulang dari produsen yang sama. Keinginan untuk membeli ulang sebagai akibat dari kepuasan ini adalah keinginan untuk mengulang pengalaman yang baik dan menghindari pengalaman yang buruk. Niat membeli juga merupakan minat pembelian ulang yang menunjukkan keinginan pelanggan untuk melakukan pembelian ulang (Assael,1998). Menurut Dharmmesta (1999), niat pembelian ulang terkait dengan sikap dan perilaku. Beberapa pengertian niat pembelian ulang adalah niat pembelian ulang dianggap sebagai sebuah “perangkap” atau perantara antara faktor-faktor motivasional yang mempengaruhi perilaku, niat
PENGARUH PERSEPSI KUALITAS LAYANAN DAN ............... (Dessy Puspita Sari)
pembelian ulang juga mengidikasikan seberapa jauh seseorang mempunyai kemauan untuk mencoba, niat pembelian ulang menunjukkan pengukuran kehendak seseorang, dan niat pembelian ulang berhubungan dengan perilaku yang terus-menerus. Gambar 3 menunjukkan bahwa perilaku niat untuk membeli atau purchase intention adalah hasil dari proses evaluasi terhadap merek. Tahapan terakhir dari pengambilan keputusan secara kompleks termasuk membeli merek yang diinginkan, mengevaluasi merek tersebut pada saat dikonsumsi, dan menyimpan informasi untuk digunakan di masa yang akan datang. Menurut Assael (1998), ketika seseorang konsumen melakukan evaluasi terhadap merek mereka cenderung untuk membeli merek yang memberikan tingkat kepuasan tertinggi. Konsep ini berlaku untuk produk-produk yang bersifat high involvement.
Taylor dan Baker (1994) meneliti mengenai service quality perception dan purchase intention pada industri komunikasi, transportasi, kesehatan, dan hiburan. Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa variabel satisfaction memoderasi hubungan antara variabel service quality perception dan variabel purchase intention. Penelitian Taylor dan Baker menjelaskan variabel service quality perception diekpektasikan mempengaruhi purchase intention dengan satisfaction sebagai faktor moderasi. Setyawan dan Susila (2004) mereplikasi penelitian Taylor dan Baker pada perusahaan retail. Penelitian ini menguji pengaruh service quality perception dengan satisfaction sebagai variabel moderating. Model yang dikemukakan Taylor dan Baker (1994) ternyata tidak terbukti dalam setting penelitian ini. Dalam penelitian ini variabel satisfaction mempunyai pengaruh yang
Proses Pengolahan Informasi
Kebutuhan
Evaluasi terhadap Merek
Umpan Balik
Evaluasi Pasca Pembelian
Pembelian
Niat untuk membeli atau Niat Pembelian
Tindakan Instrument
Kendala dari Luar
Sumber: Assael (1998)
Tidak Melakukan Pembelian
Gambar 3 Evaluasi Pembelian dan Pasca Pembelian
5
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 1-10
signifikan terhadap variabel purchase intention, variabel service quality perception tidak berpengaruh terhadap variabel purchase intention, dan variabel interaksi tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel purchase intention. Service quality perception dan satisfaction merupakan variabel independen. Penelitian Woodside dalam Setyawan dan Susila (2004) menyatakan pelanggan menilai sikap pemberi jasa sebagai ekspektasi awal mengenai performance toko dan sikap ini mempengaruhi minat pembelian pada sebuah toko. Perubahan sikap menjadi input yang menentukan pembelian pelanggan. Asakdiyah (2005) menganalisis hubungan antara kualitas layanan dan kepuasan pelanggan dalam pembentukan niat pembelian ulang konsumen pada departement store “X” di Yogyakarta dengan sampel ibu rumah tangga yang bekerja dan tidak bekerja. Hasil penelitian menyatakan kualitas layanan signifikan mempengaruhi niat pembelian. Kepuasan pelanggan secara parsial signifikan mempengaruhi niat pembelian. Interaksi antara kualitas layanan dan kepuasan pelanggan secara parsial signifikan mempengaruhi niat pembelian. Wijaya (2005) menyatakan service quality perception dan satisfaction berpengaruh secara simultan terhadap purchase intention. Service quality perception dan satisfaction berpengaruh secara parsial terhadap purchase intention. Dalam penelitian ini, Wijaya (2005) menggunakan model hasil penelitian Setyawan dan Susila (2004) dengan objek penelitian pada toko buku “X” di Yogyakarta. Penelitian ini mereplikasi penelitian Setyawan dan Susila (2004) dengan menetapkan variabel persepsi kualitas layanan sebagai variabel independen, variabel kepuasan pelanggan sebagai variabel moderasi, dan variabel niat pembelian ulang konsumen sebagai variabel dependen. Penelitian ini dilakukan untuk menguji ulang model Taylor dan Baker (1994) dengan sedikit modifikasi pada variabel dependen yaitu dari niat beli menjadi niat pembelian ulang. Penelitian ini juga menggunakan sampel mahasiswa. Hal ini didasari karena mahasiswa dalam memenuhi kebutuhan seharihari akan melakukan pembelian eceran dan sebagai obyek penelitian adalah mahasiswa yang berbelanja eceran di supermarket “X” di Yogyakarta. Hipotesis penelitian ini menguji pengaruh service quality perception dengan satisfaction sebagai variabel moderating.
6
H1: Persepsi kualitas layanan berpengaruh positif pada niat pembelian ulang. H2: kepuasan pelanggan memoderasi hubungan antara persepsi kualitas layanan dengan niat pembelian ulang MATERI DAN METODE PENELITIAN Target sampel penelitian ini adalah mahasiswa yang berbelanja di supermarket “X” di Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan 200 orang responden sebagai sampel yang dipilih dengan metode sampel non-probability sampling yaitu setiap unsur dalam populasi tidak memiliki kesempatan atau peluang yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Metode non-probality sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode convenience dengan memilih anggota populasi yang paling mudah ditemui sebagai responden (Sekaran,2002). Kriteria responden yang ditetapkan adalah mahasiswa yang berbelanja minimal sebulan sekali di supermarket “X” di Yogyakarta. Dalam menganalisis data penelitian digunakan metode statistika. Seluruh perhitungan statistik dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS versi 11.5. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Moderator Regression Analysis, Koefisien Determinasi (R2), Uji t dan Uji F. Model dalam penelitian ini menggunakan model yang dikemukakan oleh Taylor dan Baker (1994) yaitu model moderator regression analysis (MRA). Menurut Ghozali (2006) uji interaksi atau sering disebut dengan Moderated Regression Analysis (MRA) merupakan aplikasi khusus regresi berganda linear dimana dalam persamaan regresinya mengandung unsur interaksi (perkalian dua atau lebih variabel independen). Adapun model yang digunakan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagi berikut:
Y1= â0 + â1X1 + â2X2 + â3X1X2 + e keterangan: Y1 = Variabel dependen (niat pembelian ulang konsumen supermarket “X” â0
= Konstanta
PENGARUH PERSEPSI KUALITAS LAYANAN DAN ............... (Dessy Puspita Sari)
â 1,â 2,â 3
= Koefisien Regresi
X1
= Variabel independen (Persepsi Kualitas Layanan) = Variabel moderator (Kepuasan Pelanggan) = Interaksi antara kualitas pelayanan dengan kepuasan pelanggan = Standard eror
X2 X1X2 e
Koefisien beta (b) X 1 X 2 signifikan mengidentifikasikan bahwa kepuasan pelanggan secara nyata memoderasi hubungan persepsi kualitas layanan dengan intensi pembelian konsumen. Koefisien Determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Analisis uji koefisien determinasi berganda (R²) dalam penelitian ini dilakukan dengan bantuan komputer SPSS 11.5 Koefisien determinasi menunjukkan besarnya hubungan variabel bebas terhadap variabel yang dipengaruhi. Uji statistik t menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel dependen. Dalam uji t, kriteria pengambilan keputusan dilakukan dengan membandingkan nilai statistik t dengan titik kritis menurut tabel. Apabila nilai t hitung < t tabel, maka variabel bebas tersebut tidak signifikan sebagai estimator niat pembelian ulang. Uji statistik F menunjukkan apakah semua variabel independen yang dimasukkan dalam model berpengaruh secara bersama terhadap variabel dependen. Dalam uji F, kriteria pengambilan keputusan dilakukan dengan membandingkan nilai F hasil perhitungan dengan nilai F menurut tabel. Apabila
nilai F hitung lebih besar dari nilai F tabel, maka H0 ditolak dan menerima Ha atau jika F hitung e” F tabel maka semua variabel bebas secara bersama dapat digunakan untuk memprediksi niat pembelian ulang konsumen. HASIL PENELITIAN Analisis Regresi Moderator terdiri dari dua persamaan regresi dengan persamaan pertama memasukkan persepsi kualitas layanan sebagai variabel independen, persamaan kedua memasukkan persepsi kualitas layanan, dan kepuasan pelanggan serta interaksi antara persepsi kualitas layanan dan kepuasan pelanggan sebagai variabel independen. Berdasarkan data yang dikumpulkan dari 200 responen maka hasil analisis regresi dapat disajikan melalui Tabel 1. PEMBAHASAN Model persamaan pertama memasukkan persepsi kualitas layanan sebagai variabel independen dengan model sebagai berikut: Y= â0 + â1X1 Y= 11,610 + 0,260X1 Koefisien determinasi sebesar adjusted R 2 (0,754) yang menunjukkan bahwa 75,4% variance niat pembelian ulang ditentukan oleh variance persepsi kualitas layanan. Berarti variabel persepsi kualitas layanan dapat menjelaskan variabel niat pembelian ulang konsumen sebesar 75,4%, sedang sisanya
Tabel 1 Hasil Analisis Regresi Moderator
Sumber: Data Primer, data diolah. Keterangan: variabel dependen = PKL, variabel independen= NPU, dan variabel moderator = KP.
7
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 1-10
sebesar 24,6% disebabkan oleh variabel-variabel lain di luar model penelitian. Variabel PKL hanya berpengaruh sebesar 26%. Model persamaan kedua memasukkan persepsi kualitas layanan, kepuasan pelanggan, serta interaksi antara persepsi kualitas layanan dan kepuasan pelanggan sebagai variabel independen dengan model sebagai berikut: Y = â0+ â1X1+ â2X2+ â3X1X2 Y = -57,929 + 1,376X1 + 2,348X2 0,038X1X2 Koefisien determinasi sebesar adjusted R2 (0,785) yang menunjukkan bahwa 78,5% variance niat pembelian ulang ditentukan oleh variance persepsi kualitas layanan, kepuasan pelanggan, serta interaksi antara persepsi kualitas layanan dan kepuasan pelanggan. Berarti variabel persepsi kualitas layanan, kepuasan pelanggan, serta interaksi antara persepsi kualitas layanan dan kepuasan pelanggan dapat menjelaskan variabel niat pembelian ulang konsumen sebesar 76,9% sedang sisanya sebesar 21,5% disebabkan oleh variabel-variabel lain di luar model penelitian. Variabel interaksi hanya berpengaruh sebesar 3,8%. Hasil regresi pada hipotesis pertama merupakan hasil regresi terhadap persepsi kualitas layanan. Variabel niat pembelian ulang konsumen berpengaruh positif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi persepsi kualitas layanan semakin tinggi niat konsumen melakukan pembelian ulang. Oleh karena itu, Ho yang menyatakan bahwa persepsi kualitas layanan tidak berpengaruh positif pada niat pembelian ulang ditolak dan sebaliknya Ha yang menyatakan bahwa persepsi kualitas layanan berpengaruh positif pada niat pembelian ulang diterima. Hal ini menunjukkan bahwa penilaian pelanggan terhadap persepsi kualitas layanan adalah hasil dari perbandingan harapan (sebelum menerima pelayanan) dan pengalaman konsumen (sesudah menerima layanan). Persepsi kualitas layanan tinggi berarti konsumen pada supermarket “X” di Yogyakarta merasa harapannya terpenuhi sehingga mempunyai persepsi yang positif. Hasil penelitian ini ternyata mendukung hipotesis pertama dan hasil penelitian ini sejalan dengan
8
penelitian yang dilakukan oleh Taylor dan Baker (1994), Asakdiyah (2005), dan Wijaya (2005) yang menyatakan bahwa Persepsi kualitas pelayanan berpengaruh positif pada niat pembelian ulang konsumen. Hasil regresi pada hipotesis kedua merupakan hasil regresi terhadap persepsi kualitas layanan, kepuasan pelanggan, dan interaksi antara persepsi kualitas layanan dan kepuasan pelanggan secara parsial. Variabel interaksi signifikan negatif menunjukkan bahwa kepuasan pelanggan memoderasi secara negatif hubungan antara persepsi kualitas layanan dengan niat pembelian ulang konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi ketidakpuasan konsumen akan memperlemah pengaruh persepsi kualitas layanan pada niat pembelian ulang konsumen. Variabel kepuasan yang negatif ini tidak mendukung model aslinya. Sebaliknya, variabel persepsi kualitas layanan memberikan pengaruh yang tinggi kepada konsumen untuk melakukan pembelian ulang dan kepuasan yang diperoleh konsumen saat membeli produk hanya disebabkan oleh persepsi kualitas layanan yang baik, bukan dari kepuasan yang diperoleh saat membeli produk. Oleh karena itu, H o yang menyatakan bahwa kepuasan pelanggan tidak memoderasi hubungan antara persepsi kualitas layanan dengan niat pembelian ulang ditolak. Sebaliknya, Ha yang menyatakan bahwa kepuasan pelanggan memoderasi hubungan antara persepsi kualitas layanan dengan niat pembelian ulang diterima. Hasil penelitian memberikan dukungan terhadap penelitian yang dilakukan (Taylor dan Baker, 1994) yang menyatakan bahwa variabel service quality perception diekspektasikan mempengaruhi purchase intention dengan satisfaction sebagai faktor moderasi. Setyawati dan Murwati (2006) juga menyatakan kualitas layanan, kepuasan pelanggan, interaksi antara kualitas layanan dan kepuasan pelanggan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap niat pembelian ulang konsumen. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penelitian ini mencoba menganalisis pengaruh persepsi kualitas layanan dan kepuasan pelanggan dalam pembentukan niat pembelian ulang konsumen dengan
PENGARUH PERSEPSI KUALITAS LAYANAN DAN ............... (Dessy Puspita Sari)
tujuan untuk mengetahui apakah persepsi kualitas layanan berpengaruh secara positif pada niat pembelian ulang. Penelitian ini juga bertujuan mengetahui apakah kepuasan pelanggan memoderasi hubungan persepsi kualitas pelayanan dan niat pembelian ulang. Berdasarkan hasil analisis data dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa persepsi kualitas layanan berpengaruh secara positif pada niat pembelian ulang. Hal ini menunjukkan bahwa penilaian pelanggan terhadap persepsi kualitas layanan adalah hasil dari perbandingan harapan (sebelum menerima pelayanan) dan pengalaman konsumen (sesudah menerima pelayanan). Persepsi kualitas layanan tinggi berarti konsumen pada supermarket “X” di Yogyakarta merasa harapannya terpenuhi sehingga mempunyai persepsi yang positif. Kepuasan pelanggan memoderasi dengan pengaruh yang negatif signifikan antara persepsi kualitas layanan dan niat pembelian ulang. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi ketidakpuasan konsumen maka akan memperlemah pengaruh persepsi kualitas layanan pada niat pembelian ulang konsumen. Saran Pada kondisi saat ini, perusahaan (retail) mengalami persaingan yang ketat, baik untuk mendapatkan pelanggan yang baru, mempertahankan pelanggan yang sudah ada, atau memenangkan persaingan diantara retailer-retailer yang ada. Para retailer juga harus memahami bahwa persepsi kualitas layanan merupakan evaluasi purna beli terhadap jasa yang diterima. Jika kinerja yang dirasakan pelanggan melebihi keinginan pelanggan, maka hal ini menimbulkan persepsi positif. Persepsi positif menimbulkan sikap berupa kepuasan yang didapat dari perbandingan kinerja yang dirasakan dengan harapan. Semakin tinggi kinerja yang dirasakan dibanding keinginan dan harapan pelanggan, maka tingkat kepuasan akan tinggi dan pada akhirnya niat pembelian ulang juga tinggi. Perusahaan juga perlu membuat standarisasi layanan yang sesuai agar keinginan dan harapan pelanggan tidak terlalu tinggi dan tidak terlau rendah sehingga tidak menimbulkan gap dan kinerja yang dirasakan pelanggan.
DAFTAR PUSTAKA Asakdiyah, S. (2005), “Analisis Hubungan Antara Kualitas Layanan dan Kepuasan Pelanggan dalam Pembentukan Intensi Pembelian Konsumen Matahari Group di Daerah Istimewa Yogyakarta,” Jurnal Akuntansi & Manajemen, Vol. XVI, No. 2, h. 129-139. Assael, H. (1998), Consumer Behavior and Marketing Action, 6th ed. Cincinnati.OH: South-Western College Publishing. Anzwar, S. (2001), Reliabilitas dan Validitas, ed. 3 Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Berman, B. dan Evans, J.R. (2001). Retail Management: Strategic Approach, 8th ed. Upper Saddle River. NJ: Prentice Hall, Inc. Dharmmesta, B.S. dan Khasanah. U. (1999), “Theory of Planned Behavior: An Application to Transporter Service Consumers”. Gadjah Mada International Journal of Business, Vol 1. No 1. Engel, J.F; Blackwell, R.D: Milliard, P.W. (1995). Consumer Behavior. Internasional 8"’ ed. Forth Worth. Chicago: The Dryden Press. Ghozali, I. (2006), Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, ed 4 Semarang: Penerbit Universitas Diponegoro. Hair, J.F; Anderson, R.E; Tantham. R.L; Black, W.C. (1998), Multivariate Data Analysis, 5th ed. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, Inc. Hartono, J. (2004/2005), Metodologi Penelitian Bisnis: Salah Kaprah dan Pengalaman-Pengalaman. Yogyakarta: Penerbit BPFE. Kotler, P. dan Keller, K. L. (2006). Marketing Management, 12th ed. Upper Saddle River, NJ: PrenticeHall International, Inc.
9
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 1-10
Madu, N.C; Kueh, C.H; dan Jacob (1996), “An Empirical Assesment of The Influence of Quality Dimensions on Organizational Performance,” International Production Research. Vol 34, No 7, pp 1943-1962. Olsen, S.O. (2002), “Comparative Evaluation and The Relationship Between Quality, Satisfaction, and Repurchase Loyalty,” Journal of the Academy of Marketing Science. Vol 3. No 3, pp. 240-249 Parasuraman, A; Zeithaml.V.A: dan Berry, L.L. (1988). “SEVERQUAL: A Multiple Item Scale For Measuring Consumer Perceptions of Service Quality,” Journal of Retailing. Vol 46, pp. 12-14. Setyawan, A. dan Susila. I. (2004), “Pengaruh Service Quality Perception terhadap Purchase Intentions: Studi Empirik Pada Konsumen Supermarket,” Usahawan, No 7, th XXXIII, Juli. h. 29-37. Setiawati, E. dan Murwati. S. (2006). Pengaruh Kualitas Layanan dan Kepuasan Pelanggan dalam Pembentukan Intensi Pembelian Konsumen,” Benefit. Vol 10, No 1. pp. 76-88. Sekaran. U. (2003). Research Methods for Bussuness. 4"’ cd. New York: John Willey and Son Inc. Solomon, M. (2007), Consumer Behavior: Buying, Having, and Being, 7th ed. Upper Saddle River, NJ: Prentice- Hall International. Inc. Taylor.A.S dan Baker, L.T. (1994), “An Assesment of Relationship Between Service Quality and Customer Satisfaction in The Formation of Consumer Purchase Intention,” Journal of Retailing, Vol 70, No 2. pp. 163-178. Tjiptono, F. (2006), Manajemen Jasa, ed 4 Yogyakarta: Penerbit Andi Offset. Wijaya, T. (2005), “Pengaruh Service Quality Perception dan Satisfaction Terhadap Purchase Intention,” Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol 17 (1), h.39-52.
10
Zeithaml,V.A; Berry, L.L; dan Parasuraman, A. (1996), “The Behavioral Consequences of Service Quality,” Journal of Marketing, Vol 60., pp. 31-46. Zeithaml.V.A dan Bitner. M.J. (1996), Service Marketing. Singapore: The Mc. Graw-Hill, Inc.
ISSN: 1978-3116 MANFAAT EKONOMI KONSERVASI BARANG PUSAKA KEBUDAYAAN: ............... (Amiluhur Soeroso)
Vol. 3, No. 1, Maret 2009 Hal. 11-19
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
MANFAAT EKONOMI KONSERVASI BARANG PUSAKA KEBUDAYAAN: KASUS GEDUNG PENINGGALAN DE JAVASCHE BANK YOGYAKARTA Amiluhur Soeroso STIE Pariwisata API Yogyakarta Jalan Glendongan TB XV/15-B, Yogyakarta 55281 Telepon +62 274 485630, Fax. +62 274 487247 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Aim of the study is measuring conservation benefits of an ancient building of De Javasche Bank that expected directly addresses the issues of cultural environmental quality. Data were obtained from interviews toward both local resident and tourist in Yogyakarta and conducted by contingent valuation method (CVM). After that, willingness to pay (WTP) toward conservation demand models are estimated and used to derive total consumer surplus. Keywords: conservation, benefit, CVM, WTP, consumer surplus
PENDAHULUAN De Javasche Bank (DJB), pada masa kolonial diberi tugas pemerintah Belanda sebagai bank sirkulasi dan kegiatan komersial di Hindia Belanda. Bank ini didirikan pada tahun 1828, pada saat perang Diponegoro yang memakan anggaran besar pihak kolonial Belanda. Sesuai hasil Konferensi Meja Bundar tahun 1949, pasca kemerdekaan Republik Indonesia, DJB ditetapkan sebagai Bank Sentral. Kemudian di tahun 1953, bank ini dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia, sekaligus ditetapkan sebagai bank sentral sampai sekarang. Berakhirnya sejarah De Javasche Bank tidak menjadikan artefak bangunan gedung peninggalannya,
sebagai bukti jejak peradaban manusia, yang tersebar di berbagai kota di Indonesia ikut terkubur. Satu di antaranya adalah gedung di DJB Yogyakarta yang dibangun tahun 1879. Sebagai landmark dan heritage kota berarsitektural Indiche, bangunan tersebut mencuat indah, artistik, antik, klasik di antara gedunggedung yang berdiri di sekelilingnya. Namun kini, bangunan itu hanya digunakan sebagai tempat menumpuk barang atau digunakan tidak sesuai fungsinya sehingga nilainya dikhawatirkan terdegradasi. UNESCO menyatakan bahwa pemanfaatan pusaka kebudayaan kini tidak lagi ditujukan hanya untuk kepentingan elit atau pemerintah saja, tetapi juga harus memberi akses kepada publik. Model pengelolaannya lebih fokus kepada ruang dan kehidupan masyarakat di sekitarnya, bukan hanya situs, artefak, dan monumen mati (Engelhardt, 2005). Dengan munculnya kesadaran itu, pemegang otoritas berkeinginan melakukan konservasi dan merevitalisasi bangunan itu, kecuali supaya tidak terjadi penurunan kondisi, juga agar di kemudian hari dapat dinikmati khalayak ramai sebagai medium sumber inspirasi kebudayaan yang tidak pernah padam. Bank Indonesia tidak ingin melakukan konservasi mandiri sehingga merasa perlu melibatkan partisipasi masyarakat. Berkaitan dengan itu, tujuan penelitian ini adalah mengkaji nilai manfaat ekonomi konservasi dan perluasan pemanfaatan bangunan peninggalan De Javasche Bank di Yogyakarta, bukan hanya berfungsi sebagai gedung perkantoran biasa Bank Indonesia
11
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 11-19
tetapi memberikan juga akses layanan kepada publik. Beberapa peneliti terdahulu telah melakukan telaah terhadap nilai manfaat ekonomi barang pusaka kebudayaan dengan obyek Fès Medina sebuah kota tua di tengah gurun Maroko (Carson et al., 1997), Museum Napoli (Santagata & Signorello, 1998), Museum Galleria Borghese di Italia (Mazzanti, 2003), kawasan tua Kotagede di Yogyakarta (Soeroso, 2000; Soeroso et al. 2008), dan cultural landscape Borobudur (Soeroso, 2007). Hasilnya memberi gambaran manfaat ekonomi konservasi berbagai jenis barang kebudayaan. MATERI DAN METODE PENELITIAN Pada dasarnya ciri barang kebudayaan (cultural goods), termasuk juga benda cagar budaya (BCB) seperti gedung peninggalan De Javasche Bank, tidaklah berbeda dengan barang lingkungan lainnya yang diproduksi alam (natural goods), misalnya udara dan air bersih serta panorama alam. Sebagai barang publik, BCB bersifat tidak bersaing (non-rival) artinya manfaat yang dinikmati seseorang tidak akan menimbulkan biaya terhadap individu lain yang kemudian menikmatinya dan juga tidak dapat eksklusif (non-excludable) dimiliki oleh perseorangan. Dalam konteks ekonomi, benda, barang, atau sumberdaya kebudayaan adalah sebuah produk yang dianggap sebagai harta atau modal karena memberikan kontribusi sehingga logikanya fitur kebudayaan itu tentu memiliki “nilai” atau afdol disebut “nilai kebudayaan”, yang dapat didekati dari banyak aspek seperti antropologi, sosiologi, dan ekonomi (Eur, 2003). Namun, pengertian nilai dapat berbeda jika ditelaah dari berbagai disiplin ilmu itu sehingga perbedaan konsepsi nilai tersebut tentu akan menyulitkan pemahaman mengenai pentingnya suatu modal kebudayaan. Tolok ukur yang relatif mudah dan dapat diterima banyak pihak adalah pemberian harga pada produk yang dihasilkannya. Barang kebudayaan memiliki dua nilai. Pertama, nilai ekstrinsik (use value) yaitu kesediaan maksimum konsumen membayar akses suatu barang, melampaui ongkos memperolehnya, atau jumlah uang terbesar yang bersedia dibayar pemakai agar memiliki kesempatan menggunakannya bukan untuk menguasainya (Navrud & Ready, 2002) karena barang kebudayaan seperti ini tidak eksis di pasar biasa. Nilai
12
ekstrinsik yang mencerminkan nilai kebudayaan terdiri dari nilai estetika dan harmoni, sejarah (hubungan dengan masa lalu), spiritual (wawasan, pencerahan, dan pengetahuan) dan keaslian (integritas dan keunikan), sosial (identitas dan integritas), dan simbolis (pembawa pesan dan makna). Kedua, nilai intrinsik (non-use value) adalah manfaat yang diterima konsumen karena dapat menikmati artefak kebudayaan yang dilindungi. Di sini terkandung nilai ekonomi berupa (1) nilai eksistensi (karena keberadaan barang tersebut sehingga masih dapat dikonsumsi; misalnya keindahan arsitektur bangunannya), (2) nilai opsi (option) berupa pilihan dilindungi, dipreservasi, dikonservasi atau tidak, dikembangkan atau dibiarkan mati, dan (3) nilai warisan (bequest) karena konsumennya adalah generasi mendatang. Mengacu Pearce (1993), Throsby (1995, 1999), Moran dan Bann (2000), nilai ekonomi total (TEV) barang kebudayaan adalah penjumlahan nilai ekonomi dan kebudayaan. Tabel 1 Nilai Ekonomi Total (TEV)
Sumber: Pearce (1993), Throsby (1995, 1999), Moran dan Bann (2000). Diolah. Dengan begitu, nilai manfaat ekonomi adalah ukuran jumlah maksimum suatu produk yang ingin dikorbankan seseorang untuk memperoleh produk lainnya atau menghindari biaya penurunan (degradasi) fungsi barang itu. Konsep ini, secara formal disebut kesediaan individu untuk membayar (willingness to pay, WTP). Penelitian dilakukan dengan survei pada bulan Juli-November 2008, terhadap 400 responden (penduduk dan wisatawan) yang diambil secara bertingkat (multistage) dan random. Sampel penduduk ditentukan berdasarkan domisili di kecamatan,
MANFAAT EKONOMI KONSERVASI BARANG PUSAKA KEBUDAYAAN: ............... (Amiluhur Soeroso)
sedangkan sampel wisatawan diambil di hotel, bandara, stasiun kereta api, dan terminal bus. Penggunaan responden yang kompleks merujuk pandangan Bank Dunia bahwa bangunan pusaka kebudayaan tidak hanya dinikmati penduduk lokal tetapi juga oleh nonpenduduk (Carson et al., 1997). Alat yang digunakan mengestimasi adalah contingent valuation method (CVM). Pertama, data primer dikumpulkan memakai wawancara untuk menggali kesediaan individu untuk menilai barang dengan menunjukkan serangkaian fotofoto gedung peninggalan De Javasche Bank di Yogyakarta pada masa lalu dan kini (Gambar 1) sekaligus daftar atribut yang dimilikinya (estetika, sejarah, eksistensi) kepada responden. Kedua, menentukan nilai lelang (bid). Vektor harga dipilih berdasarkan studi terdahulu dan harga tanda masuk (HTM) world heritage (US $ 1-25). Skenario pasar hipotetis disampaikan melalui wawancara dwi bahasa (Indonesia dan Inggris). Otoritas Bank Indonesia menetapkan kebijakan bahwa dalam rangka konservasi gedung peninggalan De Javasche Bank, sebagian darinya akan dibuka untuk publik dengan difungsikan sebagai museum, gallery seni, toko buku dan merchandise, café dan sebagainya. Hal disebabkan karena mereka ingin agar bangunan tersebut tidak terdegradasi kondisi serta fungsinya atau terdapat jarak sosial-budaya yang memisahkan dengan lingkungan dan masyarakat yang hidup di sekitarnya. Kesediaan penduduk untuk memberikan donasi dan bilamana gedung menyediakan acara seni bertaraf internasional sehingga suatu saat dapat menampilkan
karya seniman terkenal seperti Raden Saleh, Affandi, Pablo Piccasso, Vincent Van Gogh, Claude Monet, dan Rembrandt van Rijn, diperoleh informasi dengan variasi donasi dari Rp10.000,- sampai dengan Rp250.000,- dan harga tiket tanda masuk yang layak (bukan yang paling murah) per kunjungan, untuk mendukung program tersebut dari US$1 sampai dengan US$25 (US$1 = Rp. 10.000,-). Jika Q0 merepresentasikan diskripsi bangunan atau monumen kebudayaan yang komplit dan Q 1 menggambarkan perbedaan diskripsi fisik yang terjadi akibat adanya satu atau serangkaian perubahan, maka nilai barang itu dapat dinyatakan sebagai perbedaan antara Q0 dan Q1. Fungsi utilitas ini secara logika berkaitan pula dengan tingkat kesejahteraan individu, Y, maupun fisik barang itu sendiri, Q, sehingga utilitas individu dapat ditulis sebagai V(Y, Q). Kombinasi Y dan Q yang menghasilkan tingkat utilitas tinggi tentu lebih disukai dibandingkan yang rendah. Perubahan nilai Q0 ke Q1 adalah kesediaan individu menyerahkan sejumlah uang untuk memperoleh Q 1 atau Q 0 yang secara matematis ditulis sebagai berikut. V(Y, Q0) = V(Y-WTP, Q1)
(1)
Analoginya adalah jika ongkos memakai sumberdaya pusaka kebudayaan dibebankan kepada individu, maka ada dua kemungkinan pilihan, yaitu berpartisipasi dengan menerima harga yang ditawarkan atau menghentikan aktivitas karena menolak biaya
Sumber: Bank Indonesia (2008) Gambar 1 Gedung Peninggalan De Javasche Bank di Yogyakarta: Dulu dan Kini
13
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 11-19
(akibat preferensi terhadap nilai barang itu atau karena kendala anggaran). Dengan asumsi individu mengetahui pilihan terbaik, maka menurut Henemann (Lee et al., 1998: 42) penawaran akan diterima atau ditolak jika: v(1, Y-A; s) +e1³ v(0, Y-A; s) +e0
(2)
v adalah utilitas tidak langsung yang diasumsikan setara dengan utilitas u. Y adalah pendapatan. A adalah penawaran menggunakan sumberdaya tersebut. s adalah karakteristik sosialekonomi yang mempengaruhi preferensi individu. en (n = 0, 1) adalah variabel acak yang didistribusikan secara independen dengan rerata nol. Perbedaan utilitas (Dv) yang terjadi dapat diekspresikan melalui persamaan (3). Dv = v(1, Y-A; s) - v(0, Y-A; s) + (e1 - e0)
(3)
Format closed-ended CVM dengan variabel terikat dikotomi adalah model pilihan kualitatif (Bishop & Heberlain, 1979). Menurut Hanemann (1989), Gujarati (2003), dan Greene (2003) probabilitas (Pi) individu menerima penawaran (offered, O) diekspresikan sebagai model logit.
1 Pi = Fh (Dv) =
1+e
−Δv
=
1
1+e
−(α + βO +γY )
(4)
Fh adalah fungsi distribusi kumulatif logistik dengan variasi logistik standar; b dan g merupakan koefisien yang diestimasi. Menurut Lee et al. (1998: 43) nilai harapan (E) WTP diestimasi dengan integral numerik antara 0 hingga ~.
berikut. (ki+ki+1)/(ni+ni+1)
(6)
ki adalah jumlah responden yang menerima subpenawaran Oi, ni adalah total responden yang dianjurkan menerima subpenawaran Oi (i= 1, 2, 3 …, j1). Dengan menggunakan interpolasi linier diperoleh fungsi empiris, dan kemudian rerata WTP diduga dengan menghitung luas daerah di bawah kurva. Luas segi empat (¡%) adalah penawaran (O) dikalikan probabilitas (P), sedangkan luas segi tiga (³%) adalah ½ (setengah) alas (penawaran) dikalikan tinggi (probabilitas). HASIL PENELITIAN Berdasarkan data 400 responden, 257 orang adalah penduduk dari 50 kecamatan di empat kabupaten dan satu kota di DIY, sedangkan 143 orang lainnya adalah wisatawan, 93 orang wisatawan nusantara (wisnu) dan 50 orang wisatawan mancanegara (wisman). Rerata usia responden 44,50 tahun (25-61 tahun) sehingga masih dalam lingkup usia produktif. Pendidikan mereka rerata di atas SLTA, dengan penghasilan penduduk Rp 21 juta, wisnus Rp 27 juta, dan wisman Rp 90 juta per tahun. Tabel 2 Profil Demografi Responden
∞
E (WTP) =
∫ F η (Δv ).dO
(5)
0
Jika asumsi distribusi monotonik yang menurun pada persamaan (5) tidak terpenuhi, maka Fh menjadi tidak konsisten (Yatchew & Griliches, 1985). Padahal tipe survei discrete-response diharapkan monotonik tidak meningkat, sehingga perlu penyesuaian. Untuk mengatasinya digunakan probabilitas estimator bebas distribusi (distribution-free maximum likelihood, DFML) terhadap penerimaan. Kriström (1990) mengganti proporsi Oi dan Oi+1 dengan algoritma
14
Sumber: Data primer. Pendapatan, pekerjaan, dan pendidikan wisatawan berpengaruh terhadap pemilihan daerah tujuan wisata. Semakin tinggi pendapatan, pekerjaan, dan pendidikan wisatawan akan menghasilkan kebutuhan produk pariwisata yang semakin exotic (Searle & Jackson, 1985; Luzar et al., 1998). Perbedaan gender dan umur wisatawan secara umum mempunyai ketidaksamaan akses waktu bersenang-senang dan
MANFAAT EKONOMI KONSERVASI BARANG PUSAKA KEBUDAYAAN: ............... (Amiluhur Soeroso)
seringkali perlu proses sosialisasi tersendiri (Henderson et al., 1988). Adapun negara asal menyiratkan perbedaan perilaku mereka terhadap kebutuhan produk pariwisata, sedangkan ukuran keluarga (family size) seringkali merupakan barriers komitmen terhadap leisure activity (Searle & Jackson, 1985). Semua responden menerima penawaran nol (0) rupiah atau gratis, sedangkan penawaran di atas Rp250.000 (US$25) ditolak. Total E(WTP) penduduk US$3.58 (Rp35.800,-) per orang per kunjungan. Jika jumlah penduduk DIY 3.220.808 jiwa, maka TEV (total economic value) manfaat konservasinya adalah sebesar US$11,530,492.64 atau Rp115.304.926.400,-
Tabel 4 Analisis WTP: Wisnus
Keterangan: O: penawaran, Pr: probabilitas; Pb: probabilitas baru; O dan WTP (US$). Tabel 5 Analisis WTP: Wisman
Tabel 3 Analisis WTP: Penduduk
Keterangan: O: penawaran, Pr: probabilitas; Pb: probabilitas baru; O dan TP (US$). Keterangan: O: penawaran, Pr: probabilitas; Pb: probabilitas baru; O dan WTP (US$). Perhitungan nilai WTP wisnu, wisman, dan gabungan keduanya memiliki probabilitas hitung yang tidak monotonik (penawaran US$10) sehingga perlu penyesuaian. Total E(WTP) wisnus US$11.06 (Rp110.600,00), wisman US$17.06 (Rp170.600,00), dan gabungan US$16.79 (Rp167.900,00) per orang per kunjungan. Rerata jumlah wisnus, wisman, dan total wisatawan ke DIY per tahun 3.611.019, 411.511, dan 4.022.530 orang sehingga TEV manfaat konservasi masing-masing US$39,937,872.463 (Rp399.378.724.630), US$7,020,377.66 (Rp70.203.766.000), US$67,538,282.226 (Rp675.382.822.260). Perhitungan disajikan pada Tabel 4, 5, dan 6.
Tabel 6 Analisis WTP: Wisatawan
Keterangan: O: penawaran, Pr: probabilitas; Pb: probabilitas baru; O dan TP (US$). Kemudian, total E(WTP) pemangku kepentingan (stakeholders) sebesar US$7.07 (Rp70.700,00) per orang per kunjungan. Dengan asumsi jumlah pemangku kepentingan (gabungan penduduk dan wisatawan) 7.243.338 orang maka estimasi TEV
15
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 11-19
manfaat konservasi adalah US$51,210,399.66 (Rp512.103.996.600). Hasil perhitungan memperlihatkan E(WTP) antara penduduk (US$3.58) dan wisatawan (US$16.79) terdapat perbedaan signifikan sebesar US$13.21 atau Rp132.100 per orang per kunjungan. Hal ini disebabkan perbedaan apresiasi dan preferensi terhadap manfaat ekonomi konservasi kegiatan kebudayaan dan bangunan cagar budaya atau karena faktor sosial-demografi khususnya pendapatan. Hal ini adalah sesuatu yang biasa terjadi karena menunjukkan kecermatan sikap invidu. E(WTP) wisatawan merupakan kompromi antara preferensi wisnu dan wisman, sedangkan E(WTP) stakeholders adalah integrasi antara preferensi penduduk dan wisatawan. Gambar 2 menunjukkan detail luasan kurva WTP setiap sub-sampel dan kelompok sampel penelitian yang dijadikan perhitungan.
Tabel 7 Analisis WTP: Stakeholders
Keterangan: O: penawaran, Pr: probabilitas; Pb: probabilitas baru; dan O dan TP (US$).
Sumber: Data Primer (diolah) Gambar 2 Manfaat Konservasi
16
MANFAAT EKONOMI KONSERVASI BARANG PUSAKA KEBUDAYAAN: ............... (Amiluhur Soeroso)
Tabel 8 Ringkasan WTP
SIMPULAN DAN IMPLIKASI Simpulan
Sumber: Data Primer (diolah).
Nilai manfaat ekonomi konservasi gedung peninggalan De Javasche Bank sebagai pusaka kebudayaan (cultural heritage) yang terungkap adalah bentuk opportunity cost terhadap fungsi dan pemakaian benda itu agar tidak terdegradasi. Jika terjadi kesalahan alokasi dalam melakukan pengelolaan, termasuk restorasi, renovasi, rehabilitasi, rekonstruksi atau revitalisasi sehingga merubah bentuk, filosofi dasar atau pergelaran acara yang tidak sesuai dengan nuansa bangunan tersebut tentunya akan menimbulkan ongkos ekonomi, mengubah landmark dan citra kota.
PEMBAHASAN Implikasi Secara umum, temuan penelitian ini memberikan gambaran bahwa publik memberikan apresiasi positif terhadap konservasi barang kebudayaan berupa bangunan peninggalan De Javasche Bank. Dampaknya, kerusakan terhadap barang tersebut dianggap tidak menyenangkan sehingga stakeholders bersedia memberikan dukungan sejumlah dana untuk menghindari terjadinya kerusakan atau memperlambat terjadinya penurunan kondisi tersebut. Hal ini menunjukkan pula esensi nilai sumberdaya, tidak hanya menyangkut yang dikonsumsi tetapi juga menyangkut yang tidak dikonsumsi secara langsung sehingga pengertiannya mencakup aspek luas karena memiliki nilai intrinsik, terlepas dikonsumsi atau tidak. Bahkan ekstrimnya, ada kunjungan manusia atau tidak (Fauzi, 2005) di area bentang kebudayaan tersebut. Penetapan HTM bagi publik untuk mengkonsumsi bangunan atau acara di areal gedung tersebut berkisar US$4-7 atau Rp40-70 ribu per kunjungan. Besaran HTM ini adalah visitor management policy sebagai alat pengendalian jumlah pengunjung. Dengan demikan, bentuk konservasi pusaka budaya yang ditetapkan otoritas Bank Indonesia dengan membuka akses terhadap publik adalah pilihan yang tidak keliru, bukan hanya meningkatkan citra gedung perkantoran di Yogyakarta, tetapi institusi Bank Indonesia secara keseluruhan termasuk kota tempat keletakannya.
Manfaat ekonomi konservasi gedung peninggalan De Javasche Bank memberi pengetahuan terhadap nilai barang kebudayaan yang dilindungi, sehingga menjadi alat kuat penentu kebijakan melakukan manajemen sumberdaya dan mengalokasikan pendanaan. Valuasi ekonomi juga membantu stakeholders menemukan “satu pandangan umum” terhadap pilihan kebijakan yang harus diambil. Temuan ini memberikan pandangan pentingnya konservasi, bukan hanya bagi barang kebudayaan itu sendiri atau masyarakat yang hidup di sekitarnya tetapi juga kemaslahatan dunia. Pemeliharaan modal kebudayaan dapat dilakukan melalui pendanaan publik (public funding), misalnya menetapkan besaran entrance fee, foster parents dan heritage investment programs.
DAFTAR PUSTAKA Bank Indonesia, 2008. Arsip Bank Indonesia: Fotofoto Koleksi Gedung De Javasche Bank. Yogyakarta: Bank Indonesia. Bishop, R.C. and T.A. Heberlein. 1979. Measuring values of extramarket goods: Are indirect measures biased? American Journal of Agricultural Economics, 61 (December): 926-930.
17
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 11-19
Carson, R.C., R. T. Mitchell, M.B. Conaway and S. Navrud. 1997. Non-Moroccan Values for Rehabilitating the Fes Medina. A report to the World Bank on the Fes Cultural Heritage Rehabilitation Project. San Diego: Department of Economics, UC-San Diego. Danchev, A., and S. Mourato. 1997. Bulgaria in Transition: Economy and Heritage. The Measurement and Achievement of Sustainable Development in Eastern Europe. Report to DGXII. Engelhardt, R.A. 2005. World Heritage: Its implication and relevance for humanity. Paper presented at UNITAR Hiroshima Office for Asia and the Pacific Training Workshop on the Conservation and Management on World Heritage Sites. Hiroshima, Japan, April 18th, 2005. Erasmus University Rotterdam (EUR), 2003. A Handbook of Cultural Economics. Rotterdam, Netherlands: Digital Academic Repository-Erasmus University Rotterdam. Fauzi, A. 2005. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Garrod, G.D., K.G. Willis, G. Bjarnadottir, and P. Cockbain. 1996. The non-priced benefits of renovating historic buildings: A case study of Newcastle’s Grainger Town. Cities, 13 (6): 423-430. Greene, W.H. 2003. Econometric Analysis. (5th ed.). Saddle River, NJ, USA: Prentice Hall, Inc. Gujarati, D. 2003. Basic Econometrics. (4 th ed.). Singapore: McGraw-Hill. Hanemann, W.M. 1989. Welfare evaluations in contingent valuation experiments with discrete responses data: Reply. American Journal of Agricultural Review, 71 (August): 332-341. Henderson, K.A., D. Staineker, and G. Taylor. 1988. The relationship between barriers to recreation and gender role personality traits for women. Journal of Leisure Research, 20: 69-80.
18
Kriström, B. 1990. A-non parametric approach to the estimation of welfare measures in discrete response valuation studies. Land Economics, 66 (2): 135-139. Lee, C., J. Lee., and S. Han. 1998. Measuring the economic value of ecotourism Resources: The Case of South Korea. Journal of Travel Research, 36 (Spring): 40-47. Luzar, E.J., A. Diagne., C.E. Gan., and B.R. Henning. 1998. Profilling the nature-based tourist: A multinomial logit approach. Journal of Travel Research, 37 (August): 48-55. Mazzanti, M. 2003. Discrete choice model and valuation experiments. Journal of Economic Studies, 30 (6): 584- 604. Moran D., and C. Bann. 2000. The Valuation of Biological Diversity for National Biodiversity Action Plans and Strategies: a Guide for Trainers. United Nations Environmental Program (UNEP). Navrud, S., and R.C. Ready. 2002. Valuing Cultural Heritage: Applying Environmental Valuation Techniques to Historic Buildings, Monuments and Artefacts. Cheltenham, U.K: Edward Elgar Publishing, Ltd. Pearce, D.W. 1993. Economic Value and the Natural World. Cambridge, Massachusetts: MIT Press. Searle, M.S. and E.L. Jackson. 1985. Socioeconomic variations in perceived barriers to recreation participation among would-be participants. Leisure Sciences, 7: 227-249. Soeroso, A. 2000. Penilaian Kawasan Ekowisata Kotagede. Tesis. Sekolah Pascasarjana S-2 UGM. ________. 2007. Manfaat ekonomi konservasi saujana budaya Borobudur. Jurnal Ekonomi, 12 (2): 119135.
MANFAAT EKONOMI KONSERVASI BARANG PUSAKA KEBUDAYAAN: ............... (Amiluhur Soeroso)
Soeroso, A., D. Krisnadewara., dan Y. Sri Susilo, 2008. Nilai Manfaat Pusaka Kotagede: Sebelum dan Sesudah Goncangan Gempa Bumi. Makalah dipresentasikan dalam Simposium Nasional Riset dan Kebijakan Ekonomi: Dampak Bencana Alam dan Lingkungan Terhdap Pengelolaan Ekonomi Indonesia. Departemen Ilmu Ekonomi, Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya, Agustus 2008. Throsby, D. 1995. Cultural, economics and sustainability. Journal of Cultural Economics, 19: 199-206. ________. 1999. Cultural capital. Journal of Cultural Economics, 23: 3-12. Yatchew, A. and Z. Grilliches. 1985. Specification error in probit models. Review of Economics, 67 (Feb): 134-139.
19
.
ISSN: 1978-3116 SUMBERDAYA MANUSIA (SDM) PEMBELAJAR: MENGGAPAI ............... (N.H. Setiadi Wijaya)
Vol. 3, No. 1, Maret 2009 Hal. 21-30
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
SUMBERDAYA MANUSIA (SDM) PEMBELAJAR: MENGGAPAI KINERJA DAN DAYA SAING ORGANISASI YANG LEBIH TINGGI N.H. Setiadi Wijaya Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN Yogyakarta Jalan Seturan Yogyakarta 55281 Telepon +62 274 486160, 486321, Fax. +62 274 486155 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Competition among countries as well as companies is not based on the amount of natural resources or capital possessed, but on how well whether countries or companies improve the quality of their human capital. Creating human resource quality in organization is not a simple process, but this requires both holistic view and never ending process. The organization must provide organizational environment that allows the organization’s members become resourcefulness human through continuously learning. This article explores an idea how an organization creates the learning environment. By having learners, the organization optimistically will be more competitive in the intense competition. Keywords: learning, performance gap, opportunity gap, empowerment, competitiveness.
PENDAHULUAN Persaingan antarnegara, tidak lagi berbasis pada kepemilikan sumberdaya alam, namun berbasis pada kepemilikan sumberdaya manusia (SDM) yang mumpuni, yang mampu mengolah produk (barang/jasa) yang mempunyai nilai tambah tinggi. Dalam sebuah tulisan yang dimuat dalam www.pikiran-rakyat.com (2003) menyebutkan bahwa pengetahuan (yang menjadi
milik SDM) dan human capital adalah jantung agenda ekonomi dunia. Pada level mikro, semua organisasi, yang menginginkan dirinya menjadi pemenang, tidak dapat melupakan ujung tombaknya, yaitu SDM. Kualitas SDM dilihat dari kandungan ilmu (content knowledge), kemampuan untuk mengaplikasikan ilmu atau ketrampilan (skill), dan mental kerjanya (mentality) (Abeng, 1997). Hal ini terbukti bahwa negara maju bukan negara yang memiliki sumberdaya alam melimpah, namun yang memiliki SDM yang berkualitas. Umum terjadi apabila kesenjangan selalu ada. Harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Kalau berbicara daya saing, maka kondisi SDM Indonesia sungguh sangat mengkuatirkan, terlebih lagi apabila menghadapi kenyataan persaingan perdagangan bebas telah semakin nyata. Masalah SDM Indonesia pada umumnya terletak pada mental kerja yang menyangkut etos, daya juang, kreatifitas, dan kemauan untuk belajar terus mencapai hasil kerja yang terbaik (spirit of excellence) yang rendah. Bachtiar (dalam Kristanto, 1995) dalam makalahnya yang berjudul “Manajemen dalam Perkembangan Sejarah Indonesia”, mengatakan bahwa masalah manusia Indonesia dalam dunia usaha adalah (1) sukar bekerja sama, saling tidak percaya; (2) nepotisme, ciri penonjolan kepentingan kelompok sendiri; (3) keengganan terhadap inovasi; (4) keengganan untuk melibatkan usaha dalam pertumbuhan jangka panjang, dan lebih mengarahkan pada keuntungan jangka pendek; (5) melihat keberhasilan usaha lebih ditentukan oleh keuntungan daripada hasil suatu perhitungan dan usaha; (6) kurang
21
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 21-30
mampu memperkirakan seluruh unsur biaya yang perlu untuk menunjang usaha; dan (7) kurang menyadari kewajiban dan hal-hal yang mungkin timbul di kemudian hari dari keputusan yang dibuat hari ini. Hal yang harus diwujudkan Indonesia adalah membentuk masyarakat pada umumnya dan masyarakat bisnis khususnya yang berbudaya “senang belajar”. Belajar dalam hal ini tidak dikonsepsikan seperti bersekolah formal, namun mencakup mental manusia yang eksploratif terhadap hal-hal baru. Apalagi apabila dicermati, sebagian masalah di atas berakar masalah pada: “keengganan SDM Indonesia untuk belajar/ menjadi pembelajar”. Aspek mental dalam hal ini ternyata berperan sangat penting, terutama dalam pembentukan sisi “jiwa” SDM sebagai pembelajar. Kemauan untuk belajar adalah salah satu aspek mental SDM kunci yang penting untuk segera dibentuk. Ilmu dan ketrampilan bukan hal yang berlaku terus untuk semua kondisi, namun harus selalu diperbaharui mengikuti kebutuhan lingkungan. Kalau seseorang tidak mempunyai kemauan dan kemampuan untuk menjadi pembelajar (lifelong learner), maka lambat laun dirinya akan ketinggalan. Kreatifitas juga terbentuk karena belajar. Tidak mungkin seorang mampu menemukan cara yang kreatif untuk mencapai tujuannya tanpa melalui proses belajar. Sesuai dengan pernyataan Schein (1996); “The ability to create new organizational forms and processes, to innovate in both the technical and organizational arenas, is crucial to remaining competitive in an increasingly turbulent world,” disain organisasional baru dan berinovasi akan menentukan bagaimana organisasi tersebut mampu bersaing. Namun membentuk organisasi menjadi “masyarakat pembelajar” (knowledge-based society) tidak mudah. Budaya belajar bukan perilaku yang muncul sementara, namun harus dijaga terus-menerus dan membutuhkan nilai, keyakinan, dan norma yang kuat untuk mempertahankannya. Komitmen untuk menumbuhkan budaya belajar juga penting. Komitmen terus menerus dari pemimpin organisasi dan seluruh anggotanya, bahwa bahan baku menghadapi persaingan adalah “ilmu” dan ilmu hanya diperoleh dari belajar. Artikel ini membahas tentang pentingnya manusia menjadi pembelajar berkelanjutan, hubungan belajar dengan teori motivasi, dan bagaimana pembentukan infrasruktur organisasional yang
22
berfokus pada pembentukan sumberdaya manusia yang pembelajar. MASALAH DAN PEMBAHASAN Pembelajaran pada tingkat perorangan merupakan perolehan dan penciptaan pengetahuan dan gagasangagasan baru yang mengubah cara seseorang dalam mengenali, memahami, atau mengambil tindakan (www.access-indo.or.id). Selanjutnya, pembelajaran akan ditingkatkan dengan adanya kebebasan untuk berpikir secara kreatif sehingga mengarah pada inovasi. Definisi pembelajaran menurut Nelson & Quick (1996) dan Gibson et al (2006) adalah perubahan perilaku yang relatif tetap karena pengalaman. Pembelajaran dengan demikian bukan karena proses alamiah kedewasaan atau berubah sementara. Menurut Chattell (1995) pembelajaran jika seseorang melewati proses berkelanjutan dari hal-hal berikut (1) menemukan realitas (individual sees reality); (2) merefleksikan apa yang bisa dilakukan (reflecting on what can be done); (3) berkomunikasi dengan orang lain (dialogue with others); (4) membuat pilihan-pilihan (making individual choices); (5) tindakan bersama yang disepakati (collective action); dan yang terakhir (6) kapasitas beradaptasi (ability to adapt). Jadi, proses pembelajaran tidak hanya mencakup sisi kognitif/ pemahaman (cognitive learning), namun juga sisi perilaku (behavioral learning) dan sisi sosial (social learning). Poin (1), (2), (3) dan (4) adalah proses penajaman sisi kognitif, sedangkan poin (5) dan (6) proses penajaman sisi perilaku (dan sikap) sekaligus sisi sosial. Menurut Jogiyanto (2006) Pembelajaran yang baik mempunyai sasaran yang seharusnya berfokus pada hal-hal berikut: (1) meningkatkan kualitas berpikir (qualities of mind) yaitu berpikir dengan efisien, konstruktif, mampu melakukan judmen (judgment) dan kearifan (wisdom); (2) meningkatkan attitude of mind, yaitu menekankan pada keingintahuan (curiosity), aspirasi-aspirasi dan penemuan-penemuan pembelajaran merupakan kegiatan “seni” untuk menemukan sesuatu (discovery process); (3) meningkatkan kualitas personal (qualities of person) yaitu karakter (character), sensitivitas (sensitivity), integritas (integrity), tanggung jawab (responsibility); (4) meningkatkan kemampuan untuk menerapkan
SUMBERDAYA MANUSIA (SDM) PEMBELAJAR: MENGGAPAI ............... (N.H. Setiadi Wijaya)
konsep-konsep dan pengetahuan-pengetahuan di situasi spesifik. Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran mencakup dimensi dan sasaran yang luas. Untuk menjadi insan yang optimal di tempat kerjanya, karyawan tidak hanya belajar dari buku/manual atau mendengarkan kelas turtorial, namun mampu mengendapkan apa yang telah dibaca, didengar, dan diamati yang teraplikasi pada cara bekerja yang lebih konstruktif dan efisien. Kearifan muncul ketika seseorang benar-benar mampu merasakan dengan batinnya; apa yang sebenarnya telah dilihat, apa yang benar/tidak benar, apa yang seharusnya, dan bagaimana karyawan memaknai pekerjaannya. Kearifan selain dapat didapatkan dari pengalaman seniornya, dapat pula didapatkan dari pengalaman masing-masing individu. Ciri khas orang yang suka belajar adalah keingintahuannya yang besar. Keingintahuan yang besar membuat orang tersebut ingin mengeksplorasi berbagai hal, fenomena, dan keterkaitannya dari banyak hal yang diamatinya. Bahkan dapat dikatakan orang yang tidak mempunyai rasa ingin tahu adalah orang yang tidak pernah belajar. Banyak contohnya; seorang anak yang mempunyai impresi besar di satu saat melihat orang lain bermain gitar yang membuat dia mempunyai keinginan kuat untuk mempelajarinya. Rasa ingin tahu bisa juga muncul dari kegagalan, misalnya kegagalan seorang untuk mendapatkan pekerjaan dapat memicu keingintahuan (apa, mengapa, dan bagaimana), sehingga mampu belajar dari fenomena kegagalannya. Dalam hal ini, organisasi harus merangsang rasa ingin tahu karyawannya, dengan sering menanyakan; “Mengapa hal ini terjadi?’, “Apa penyebab utama dari masalah ini?”, “Apa yang seharusnya dilakukan?”, dan sebagainya. Organisasi harus mengkondisikan penekanan bukan pada kegagalannya, namun apa yang harus dipelajari dari kegagalan itu. Karyawan menjadi “pintar” bukan karyawan yang tidak pernah berbuat kesalahan, namun mereka yang semakin pintar lewat kesalahan-kesalahan. Hal ini sangat idealis karena di lapangan manajer sering lebih gampang memfokuskan diri pada kesalahan, bukan pada hal yang lebih bermakna dari kesalahan. Kualitas personal di saat ini menempati posisi yang sangat penting dalam dimensi manusia yang berkualitas (Abeng, 1997), bahkan organisasi
mensyaratkannya sebagai syarat yang dominan dalam pemilihan calon karyawannya, seperti pernyataan perusahaan sekaliber Disney Land, yaitu: “We are looking for personality, skill can be trained” (Nelson & Quick, 1996). Selanjutnya menurut Abeng, karakter kualitas personal yang disebut dengan “mental” adalah bagian yang tidak mudah dibentuk. Sifatnya yang lebih abstrak (intangible) menjadikannya juga sulit diukur. Kualitas personal merupakan dimensi bangunan budaya organisasi di level nilai-nilai (values). Pembelajaran yang paling efektif adalah dengan sosialisasi “kredo” organisasi dengan dibarengi dengan komitmen dan keteladanan dari pemimpin. Lewat sistem budaya, secara sosial setiap karyawan akan mengikatkan diri dengan nilai-nilai yang dipahami benar dan harus dijunjung tinggi. Akhirnya, hasil pembelajaran harus nyata, misalnya dilihat bagaimana karyawan menjadi lebih baik dalam melayani, produktivitas yang baik, waktu penyelesaian pekerjaan lebih pendek, dan penemuanpenemuan cara kerja baru yang lebih baik, efisien dan efektif. Sasaran pembelajaran ini adalah yang relatif bisa diamati. Dalam level organisasional, pembelajaran kualitas personal yang berhasil dapat dilihat dari indikator menurunnya kebohongan, tingkat kemangkiran (absenteeism), pencurian, kekerasan, ketidakadilan, diskriminasi, dan sebagainya – sebaliknya meningkatnya motivasi, etos kerja, dan lingkungan kerja yang bernuansa moral. Salah satu kebutuhan manusia adalah berkembang melalui pembelajaran. Jadi pembelajaran sangat terkait dengan motivasi. Semakin tinggi kesempatan untuk belajar, semakin tinggi motivasi dan kepuasan kerja karyawan. Hal ini bisa dijelaskan dengan teori motivasi hirarki kebutuhan dari Maslow dan teori ERG dari Aldefer (Gibson, Ivancevich, Donnely, 2000). Maslow menempatkan kebutuhan belajar pada level tertinggi dalam hirarki kebutuhannya. Aktualisasi diri menurutnya mencakup bagaimana seseorang menggunakan semua kapasitas, ketrampilan dan potensinya. Teori ERG dari Alderfer juga menampilkan unsur pertumbuhan (growth) sebagai hal penting untuk menggerakkan orang. Alderfer bahkan menyebutkan, orang yang tidak terpuaskan kebutuhan berkembangkan akan frustasi (Gibson, Ivancevich, & Donnely, 2000). Herzberg dalam penelitiannya menyebutkan opportunities to growth
23
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 21-30
dan opportunities to advancement pada situasi tepat yang mampu memuaskan jika terpenuhi (Teori Motivasi Dua faktor) (Gibson, Ivancevich, & Donnely, 2000). Sedangkan McClelland menyebutkan need for achievement sebagai motivator yang penting (Gibson et al, 2006). Sejak manusia dilahirkan sebenarnya mempunyai sifat dasar mempunyai kebutuhan belajar, dari hal yang sangat sederhana sampai pada yang paling rumit. Belajar dari nalurinya, meniru orang lain, memodifikasi, mensintesakan beberapa hal menjadi nampak berbeda, sampai menemukan suatu hal-hal yang benar-benar baru (Yogiyanto, 2006). Masalahnya sekarang apakah belajar dipandang sebagai “proses alamiah” atau “proses terstruktur”. Ada sebagian sisi hidup manusia yang memang didapatkan dari proses alamiah (naluriah), namun proses ini tidak cukup membuat potensinya berkembang optimal. Dia harus mampu mengembangkan cara-cara belajar dan harus dalam sebuah sistem pembelajaran yang efektif. Selain telah diungkapkan oleh teoritisi, bahwa belajar adalah kebutuhan setiap orang, sehingga organisasi harus mengakomodasi – di sisi yang lain, organisasi harus mampu menyediakan “wadah” (aspek budaya dan sistem) organisasional yang memampukan orang-orangnya menjadi pembelajar efektif. Kondisi timbal balik harus terjadi. Organisasi memberikan kesempatan belajar seluas-luasnya, sehingga hal ini mampu merangsang pertumbuhan SDM, sekaligus memotivasi. Di sisi lain, kontribusi SDM pembelajar memberikan sumbangan yang tidak ternilai bagi pertumbuhan organisasi. Chattell (1995) berpendapat bahwa seseorang akan menjadi pembelajar efektif jika dia mempunyai visi untuk apa dia belajar. Visi adalah acuan yang memampukan seorang bertanya dua hal, yaitu (1) “Di mana saya sekarang?” dan (2) “Seharusnya saya di mana?” atau “Ke daerah mana yang saya inginkan?”. Dua pertanyaan ini memunculkan kesenjangan (gap), yaitu “jarak” antara “di mana sekarang” dan “di mana seharusnya.” Kesenjangan akan menyadarkan bahwa dia masih perlu melakukan sesuatu untuk menyelesaikan kesenjangannya. Hal ini sekaligus menjadi sumber tenaga ekstra untuk memicu kemauan untuk belajar. Ada dua jenis kesenjangan yaitu (1) kesenjangan kinerja (performance gaps) (Tushman & O’Reilly, 1997; Winardi, 2006; Zimmener & Scarborough,
24
1998) dan (2) kesenjangan kesempatan (opportunity gaps) (Tushman & O’Reilly, 1997). Pertama, kesenjangan kinerja adalah “jarak” antara kinerja yang telah direncanakan dan dicapai yang bisa muncul karena adanya sistem pengendalian diri masing-masing SDM (di antara titik “Di mana saya sekarang?” dan titik “Di mana seharusnya saya sekarang?”). Berarti kesenjangan kinerja adalah kesenjangan yang sekarang sudah terjadi atau kesenjangan yang benar-benar dihadapinya. Untuk menemukan kesenjangan kinerja setiap saat, seseorang butuh sistem pengendalian diri (selfcontrol system). Hal ini sangat penting, karena memampukannya melakukan pengendalian aktivitas yang telah atau sedang berjalan dan kendalanya yang berguna untuk pembelajaran. Karyawan bisa memperkecil/menghilangkan kesenjangan, jika kesenjangan cepat dipahami. Pembelajaran karena kesenjangan kinerja adalah pembelajaran reaktif, yaitu bereaksi terhadap yang seharusnya tidak terjadi (hal yang tidak sesuai dengan perencanaan). Contohnya, seorang manajer yang menentukan toleransi kerusakan/ kecacatan paling banyak 50 unit pada setiap 1.000.000 unit produk jadi (kerusakan/kecacatan = 0,005%), namun yang terjadi terdapat 100 unit yang rusak atau cacat (0,01%), maka terjadi kesenjangan kinerja antara apa yang dia rencanakan dengan kenyataan. Manajer tersebut harus bertanya mengapa kesenjangan terjadi dan bagaimana cara menyelesaikannya. Yang kedua, kesenjangan kesempatan adalah kesenjangan yang muncul karena prediksi-prediksi karyawan mengenai apa yang akan terjadi di masa yang akan datang (opportunities). Kesenjangan ini belum terjadi, namun diprediksikan akan terjadi (di antara “Di mana saya sekarang?” dan “Saya ingin ke mana?”. Seorang tidak akan berhasil melompat dengan baik, jika persiapan melompat tidak dari sekarang. Karyawan harus belajar, apa yang akan terjadi, apa yang harus dipersiapkan dari sekarang? Hal ini sangat memacu kreatifitas untuk tindakan antisipatif. Berbeda dengan kesenjangan kinerja, kesenjangan kesempatan berorientasi pada pembelajaran proaktif. Setiap karyawan dituntut memiliki sistem pengukuran diri sendiri (self-measurement system), selalu siap dengan segala sesuatu yang diprediksikan terjadi. Tentang “apa yang diprediksikan” terjadi bisa terkait dengan rencana jangka panjang
SUMBERDAYA MANUSIA (SDM) PEMBELAJAR: MENGGAPAI ............... (N.H. Setiadi Wijaya)
organisasi (visi) dan pengamatan lingkungan eksternal yang cerdik. Contohnya, seorang karyawan akan siap “menjadi siapa” pada 5 tahun yang akan datang, dengan asumsi organisasi telah sebesar apa, organisasi memberikan kesempatan seluas apa, dan seterusnya. Karyawan yang mempunyai sistem pengukuran diri baik, lebih siap melompat jika di depannya terdapat kesempatan yang diraihnya. Karyawan harus belajar bahwa tenaga melompat akan besar jika dipersiapkan jauh dari jarak lubang (kesenjangan), sebaliknya tenaga akan tidak berarti jika dikumpulkan tepat/dekat di pinggir lobang (kesenjangan). Lewat pembelajaran ini, setiap individu mampu menciptakan lompatan kuantum (quantum leap) atau disebut juga lompatan katak (frog leap), hasilnya adalah perubahan radikal atas dirinya sendiri. Namun, untuk dapat melakukan lompatan besar (mengatasi opportunity gap) SDM harus belajar melakukan lompatan-lompatan kecil dulu, yakni menyelesaikan kesenjangan-kesenjangan kinerja.
menghadapi masalah. Pendekatan ini tidak mendewasakan karyawan (Chattel, 1995). Mereka akan seperti seorang anak yang tidak mampu bertumbuh optimal. Hal ini berarti mememdam potensi karyawan terus menerus. Berarti pula organisasi mendehumanisasikan SDM-nya. Apa yang seharusnya dilakukan oleh organisasi? Prinsipnya, karyawan harus diberdayakan (empowerment) (Nelson & Quick, 1997; Redman & Wilkinson, 2002; Sudarusman, 2004). Menurut Sudarusman (2004) pemberdayaan adalah proses mendorong individu dalam organisasi untuk menggunakan insiatif, kewenangan dan tanggung jawab dalam menyelesaikan pekerjaan. Proses pemberdayaan karyawan menurutnya, tidak hanya sekadar menjadikan karyawan menjadi bagian dari sebuah pekerjaan, namun lebih dari itu adalah pelibatan karyawan (employee involvement) dalam pekerjaan. Pemberdayaan akan mendorong karyawan ber-
Gambar 1 Kesenjangan Kinerja dan Kesempatan Hubungan paternalistik antara atasan-bawahan tercermin pada keinginan atasan untuk selalu memberikan jawaban (solusi) terhadap segala masalah yang dihadapi oleh karyawan. Sebaliknya, cara ini mendorong terus menerus karyawan untuk selalu bertanya “apa solusinya?” ketika dalam bekerja mereka
kontribusi sebesar-besarnya bagi organisasi (Redman & Wilkinson, 2002). Pendapat yang lebih esensial adalah dari Chattell (1995), yaitu karyawan harus diposisikan sebagai manusia yang bersumberdaya (people as resourcefulness humans) bukan sebagai faktor produksi
25
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 21-30
(people as human resources). Karyawan adalah manusia yang memiliki kapasitas dan kompetensi yang dapat dikembangkan, berbeda dengan mesin. Kapasitas dan kompetensi karyawan dapat dikembangkan bukan dengan memberikan jawaban (providing the answers) namum justru dengan memberikan masalah (providing the problems). Dengan memberikan masalah, karyawan diajar untuk bertanggung jawab menyelesaikannya. Pekerjaan adalah milik karyawan, satu paket dengan masalahnya. Dengan terbiasa menyelesaikan masalah tiap hari, mereka akhirnya menjadi ahli-ahli di bidangnya masing-masing. Organisasi dalam hal ini perlu mempersiapkan: (1) Brainware. Kompetensi karyawan harus dipersiapkan agar mereka mampu menyelesaikan masalah dengan memberikan pelatihan dan pengembangan yang diperlukan;(2) Infrastruktur. Brainware tidak akan berguna kalau tidak ada infrastruktur penunjang yang menolong karyawan dalam menjawab masalahnya. Infrastruktur yang dimaksud misalnya data, alat-alat, program, dan lainlain; (3) Mental karyawan. Mental adalah berkaitan dengan kesediaan dan keberanian karyawan menanggung risiko pekerjaannya. Karyawan harus belajar, yang dimaksudkan dengan risiko bukan berarti bertindak sembrono, namun bertindak berani namun terukur. Brainware dan infrastruktur tidak akan berguna jika karyawan tidak mempunyai mental bersedia dan berani untuk menjawab sendiri semua masalahnya. Seorang pemimpin memberi kepercayaan sambil mendukung “dari belakang”; (4) Iklim organisasi yang kondusif. Hal yang penting adalah “mental karyawan dibentuk atas dasar kepercayaan yang diberikan organisasi”. Organisasi harus punya keseimbangan antara (a) “membiarkan” kesalahan terjadi dan (b) mencegah kesalahan tidak terjadi, di awal pembangunan mental ini.1 Perusahaan yang prosedural dan sangat rapi mempunyai ekses negatif yaitu mengajarkan kepada
26
anggotanya “hanya ada satu jalan menuju satu tempat”. Hal ini berarti pula mematikan kreatifitas mereka. Secara ekstrim bisa dikatakan inilah “pembodohan yang tersistem”. Seorang pemain bola yang kreatif tidak percaya hanya ada satu cara membobol gawang lawan dan seorang koki yang cerdas tidak akan percaya membuat pisang menjadi lebih enak hanya dengan digoreng. Organisasi harus menyadarkan kepada karyawan bahwa banyak cara dan formula untuk mencapai tujuan pekerjaan. Organisasi yang mendukung karyawannya bertumbuh adalah organisasi yang mau mencoba memberikan tujuan pekerjaan, bukan senantiasa memberikan cara dan formula untuk mencapai tujuan tersebut. Seorang manajer tim sepak bola hanya menekankan; “kalian harus menang” dan seorang manajer hotel memberikan tujuan pada kokinya; “buatlah masakan yang terlezat”, selebihnya bagaimana cara mencapainya sebaiknya diserahkan kepada pelaksana pekerjaan. Cara lain agar karyawan dapat bertumbuh adalah melibatkan karyawan dalam tim. Setiap karyawan akan melewati pertukaran pengetahuan (sharing knowledge) yang efektif melalui tim mandiri, karena karakteristik tim yang beranggotakan beberapa orang yang memiliki kemampuan dan ketrampilan yang berbeda dan bersinergi. Tim tidak hanya mempercepat penyelesaian masalah, tetapi juga hasil sinergi menyebabkan setiap orang mendapatkan nilai pekerjaan yang lebih tinggi daripada penjumlahan nilai pekerjaan jika masing-masing bekerja sendiri (TEAM = Together Everyone Achieve More)2. Tugas organisasi adalah merumuskan tujuan tim, kemudian tim yang memutuskan bagaimana cara mencapainya dengan asumsi sumberdaya tersedia (waktu, biaya, dan kompensasi). Organisasi pembelajar adalah organisasi yang mampu merespon lingkungannya, mengumpulkan pengalaman dan pengetahuan, dan menggunakannya sebagai memori untuk pengelolaan organisasi yang lebih baik.
1
Dalam Tushman & O’Reilly (1997) membahas hasil penelitian yang menunjukkan hubungan yang signifikan antara norma pembentuk kreatifitas dan implementasi ide-ide baru dalam 5 organisasi inovatif yang sangat berjauhan dari sisi geografis dan industri. Penelitian ini menyebutkan semua organisasi ini mengembangkan norma “mistake OK” atau “acceptance of failure” atau “freedom to fail” sebagai norma yang sangat penting pembentuk kreatifitas dalam organisasinya.
2
Istilah “TEAM = Together Everyone Achieve More” didapatkan penulis pada saat menempuh Magister Sains FE UGM dalam kuliah Manajemen Operasional yang diasuh oleh Drs. Wachid Slamet Ciptono, M.B.A., M.P.M.
SUMBERDAYA MANUSIA (SDM) PEMBELAJAR: MENGGAPAI ............... (N.H. Setiadi Wijaya)
Namun sebelum menjadi organisasi pembelajar, organisasi tersebut harus lebih dahulu membentuk manusia yang dimilikinya menjadi manusia pembelajar. Organisasi harus mampu menciptakan masyarakat yang berbasis ilmu (knowledge-based society). Masyarakat yang berbasis ilmu harus berisikan manusia yang senang belajar dan merespon perubahan. Peter Senge menyebutkan bahwa keandalan personal merupakan komponen yang penting dalam organisasi pembelajar (Redman & Wilkinson, 2002). Dalam www.pikiran-rakyat.com (2003) disebutkan beberapa faktor yang mencirikan organisasi pembelajar. Faktor-faktor tersebut adalah (1) adaptif pada lingkungan eksternal, (2) terus menerus meningkatkan kapabilitas untuk berubah, (3) mengembangkan kemampuan belajar secara individual dan kolektif, dan (4) menggunakan hasil belajar untuk mencapai hasil yang lebih baik Jadi, bisa disebut sebuah kamuflase adalah jika sebuah organisasi disebut sebagai organisasi pembelajar, namun tidak berisikan manusia yang suka belajar dan senang berubah. Mengapa organisasi gagal membentuk manusia pembelajar? Lingkaran dalam Gambar II menunjukkan lingkaran kegagalan ini. Disain organisasi yang hirarkis, pengendalian dan arus informasi atas-bawah, supervisi yang berfokus pada pengendalian, dan orientasi kerja organisasi pada divisi fungsional adalah ciri khas pengelolaan organisasi yang tidak menempatkan manusianya pada tempat sentral, namun sistem pada tempat penting. Dalam lingkungan organisasi seperti ini, manusia hanya sebagai salah satu komponen dari sistem tersebut. Harusnya manusia adalah pengerak sistem. Organisasi yang hirarkis bukan masalah “bentuk” saja, namun juga menunjukkan dengan asumsi apa organisasi tersebut dikelola. Disain organisasi seperti ini menyebabkan kontrol yang terlalu kuat terhadap “aktor utama” organisasi, yaitu SDM-nya. Mereka seperti ditempatkan di sangkarnya masing-masing layaknya merpati (pigeon holing) yang mengerjakan pekerjaan rutin dengan batasan ruang-ruang yang jelas. Yang terjadi kemudian adalah SDM dipaksa inersia secara potensi. Inersia atau kelembaman adalah kondisi SDM yang tidak mau bergerak lagi, karena ruang geraknya yang terlalu dibatasi. Kondisi inersia sangat membahayakan bagi SDM organisasi, karena pada kondisi ini SDM nampak hidup namun sebenarnya kreatifitasnya dimatikan oleh
sistem. SDM dipaksa tidak berkembang, karena memang sistem yang menghambatnya. Peran SDM yang seharusnya sentral menjadi kaku dengan prosedur yang terstandarisasi, serta tanggung jawab SDM dalam pekerjaan yang sempit. Peran yang kaku, prosedur yang sangat terstandarisasi lagi-lagi menyebabkan terkungkungnya kebutuhan alamiah manusia yang ingin senantiasa belajar dan mengenal hal-hal baru. Secara psikologis, kondisi ini juga berperan memunculkan kebosanan, karena setiap hari karyawan dipaksa untuk melakukan pekerjaan yang sangat kaku, tersandarisasi, dan terspesialisasi. Bagaimana seharusnya organisasi memotong lingkaran tidak konsisten dengan lingkungan pembelajaran ini? Organisasi harus merespon dengan mengadakan perubahan-perubahan disain organisasi secara signifikan. Pengurangan lapis adalah salah satu pilihan organisasi. Ditegaskan sekali lagi, yang terpenting bukan terletak setipis apa strukturnya, namun asumsi dasar pengelolaan. Manusia harus ditempatkan pada tempat pertama, sedangkan bentuk organisasi hanya wadah penolong manusia bisa berkarya dengan optimal. SDM yang mampu mengendalikan dan menilai dirinya sendiri dengan cara diberi tanggung jawab atas pekerjaannya, mengidentifikasi masalah, dan membuat formula untuk menyelesaikannya. Tujuan ini dipermudah lewat pendekatan tim. Dalam tim, secara bersama-sama setiap individu diberi kesempatan untuk memiliki pekerjaan sepaket dengan masalah dan cara menyelesaikannya. Sejauh mungkin organisasi mengupayakan agar mau berpindah dari disain organisasi yang mekanistik (mechanistic organization) menjadi yang cenderung organik (organic organization), yakni organisasi dengan didisain lebih fleksibel dan responsif dengan perubahan lingkungan eksternal (Nelson & Quick, 1997). Disain organisasi yang baru, akan mendorong inisiatif SDM yang lebih besar. Mereka distimuli untuk memperoleh wawasan lebih luas yang difasilitasi disain pekerjaan yang kreatif dan fleksibel. Manajemen SDM penting mengkaitkan dengan program pelatihan agar SDM cukup fleksibel mengerjakan tugas-tugas yang variatif. Dukungan pada daur hidup kerja adalah dengan meringkas dan mengefektifkan jalur komunikasi, kerja lintas fungsional dan sinergi, serta SDM yang didukung potensinya dengan kebijakan
27
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 21-30
terkait dan relevan yang menyangkut layanan kepada sumberdaya manusia, yaitu sistem penghargaan, promosi, kesempatan, dan sebagainya. Lovelock dan Wirtz (2007) menyebutkan layanan kepada karyawan dan lingkungan kerja yang baik berpengaruh signifikan terhadap tingkat kepuasaan, komitmen dan loyalitas karyawan dan akan berpengaruh pada tingkat layanan kepada pelanggan eksternal. Disebutkan lebih lanjut, perusahaan yang
memberikan layanan kepada karyawan dengan baik adalah perusahaan yang juga berkemampulabaan baik, karena baiknya layanan kepada pelanggannya. Selain layanan kepada karyawan. kuncinya terletak bagaimana organisasi mau memperdayakan manusianya agar menjadi SDM yang berkembang optimal potensinya. Organisasi seperti ini tidak hanya mempunyai kefleksibelan yang lebih baik, namun juga atmosfir yang kondusif bagi SDM-nya untuk belajar. Disain
Gambar 2 Disain Ulang Organisasional untuk Pembelajaran SDM yang Efektif
28
SUMBERDAYA MANUSIA (SDM) PEMBELAJAR: MENGGAPAI ............... (N.H. Setiadi Wijaya)
organisasi fleksibel yang dimaksudkan tidak menghilangkan birokrasi sama sekali. Birokrasi dalam arti prosedur/sistem adalah hal yang baik.3 Birokrasi dibuat agar aktivitas organisasi rapi, bukan dimaksudkan mengungkung manusia di dalamnya. Tanggung jawab karyawan yang fleksibel seperti melepaskan mereka dari ruang sempit yang mengungkung. Wawasan mereka lebih luas dan kesempatan belajar juga diperbesar. Organisasi yang demikian adalah organisasi yang membentuk para ahli, bukan hanya pelaksana. Apabila organisasi berisikan para ahli, maka daya saing meningkat. SIMPULAN Peran organisasi dalam menciptakan lingkungan kondusif untuk membentuk SDM pembelajar tidak mudah. Perlu perombakan asumsi pengelolaan organisasi yang cukup signifikan. Organisasi harus menciptakan lingkungan yang mendukung pembentukan SDM pembelajar. Perombakan disain organisasi tidak akan berjalan jika tidak ada dukungan budaya yang pas dengan nilai-nilai pentingnya belajar secara berkelanjutan. Pemimpin punya peran sentral, tidak hanya harus mempunyai komitmen yang tinggi, namun juga sebagai panutan. Seorang pemimpin harus menjadi contoh dengan menjadikan dirinya seorang pembelajar. Belajar adalah sarana yang baik untuk berubah (Chattell, 2005; Tushman & O’Reilly, 1997; Winardi, 2006) SDM yang suka belajar tidak hanya mampu melihat lebih dalam apa yang nampak di permukaan. Pekerjaan bukan hanya segala sesuatu yang nampak, namun menyangkut “jiwa” dari pekerjaan. Seluruh anggota organisasi harus memaknai pekerjaan yang dilakukan. Dengan memaknai pekerjaanya SDM akan mampu mengalami proses belajar yang lebih, dibandingkan mereka yang hanya melakukan pekerjaan tanpa memahami makna dari pekerjaan tersebut. Dengan
3
belajar pula SDM punya kesempatan untuk dijadikan insan (to be humanized) yang di dalamnya penuh potensi yang siap dikembangkan. Akhirnya, tren dipenuhinya kantor-kantor di kota-kota besar di Indonesia (Bandung, Surabaya, dan Medan) oleh pegawai berkewarganegaraan asing (Sulistyo, 2003) akan dikurangi. Pembentukan manusia pembelajar pada hakekatnya akan meningkatkan daya saing SDM Indonesia dibanding SDM asing dalam memperoleh pekerjaan dan kesempatan seimbang berkarir, terutama di negara sendiri – Indonesia. Dalam perspektif lebih luas, pembangunan Indonesia akan berhasil jika organisasi pembangunnya (institusi pemerintah, BUMN, perusahaan swata, dan koperasi) lebih pintar, cekatan, dan peka.
DAFTAR PUSTAKA —. ?. “ACCESS dan Pembelajaran yang Berkelanjutan.” www.access-indo.or.id. —. 1995 (Maret). The learning organization. Chief Executive, 101, 57-64. —. 2003 (Oktober). “Sebuah Alternatif: Organisasi Pembelajar.” www.pikiran rakyat.com. Abeng, Tanri. 1997. Dari Meja Tanri Abeng: Gagasan, Wawasan, Terapan, dan Renungan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Baldwin, Timothty T., Camden Danielson; & William Wiggenhorn. 1997 (November). “The evolution of learning strategies in organization: from employee development to business redefinition.” Academy of Management Executive, 11 (4), 4758.
Penulis mengkontraskan istilah “birokrasi” dan “birokratis”. Birokrasi dalam arti prosedur/sistem adalah sesuatu yang baik, karena menjamin aktivitas terkoordinasi. Sedangkan birokratis adalah asumsi manajemen “kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah”. Birokratis cenderung berkonotasi buruk. Terdapatnya birokratis kuat dalam organisasi disebabkan karena penguasaan informasi oleh bagian tertentu atau oleh level atas. Penyebab lain, karena ada orang/bagian tertentu yang ingin mempertahankan kekuasaannya dengan cara mempertahankan level birokratis yang tinggi.
29
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 21-30
Bowen, David E. & Edward E III Lawyer. 1995. “Empowering service employee.” Sloan Management Review, 36 (4), 73-84.
Pane, Farina. 1995 (April). “Learning organization: respon terhadap tuntutan kompetisi global.” Jurnal Akuntansi & Manajemen, l5-12.
Chattell, Alf. 1995. Managing for The Future. London: MacMillan Press Ltd.
Redman, Tom & Adrian Wilkinson. 2002. The Informed Student Guide to Human Resource Management. London: Thomson Learning.
Dunham, Randall B.; Jean A. Grube; dan, Maria B. Castaneda. 1994. “Organizational commitment: the utility of an integrative definition.” Journal of Applied Psychology, 79 (3), 370-380. Garvin, David A. 1994 (Januari). “Building a learning organization.” Business Credit, 96 (1), 19-28. Gibson, James L., John M. Ivancevich, & James H. Donnelly, Jr. 2000. Organizations: Behavior, Structure, Process. Boston: McGraw-Hill, Inc. Gibson, James L., John M. Ivancevich, James H. Donnelly, Jr., & Robert Kanopaske. 2006. Organizations: Behavior, Structure, Process. Boston: McGraw-Hill, Inc. Gordon, Jack. 1989 (September). “In search of…lifelong learning.” Training, 26 (9), 25-34. Jogiyanto, H.M. 2006. Filosofi, Pendekatan, dan Penerapan Pembelajaran Metode Kasus untuk Dosen dan Mahasiswa. Yogyakarta: Penerbit Andi. Kristanto, Heru. 1995 (April). “Peningkatan produktivitas sumberdaya manusia nasional melalui aspek budaya.” Jurnal Akuntansi & Manajemen, 70-77. Lovelock, Christopher & Jochen Wirtz. 2007. Service Marketing: People, Technology, Strategy. Six Edition. USA: Pearson Prentice Hall. Luthans, Fred. 1995. Organizational Behavior. Seventh Edition. Boston: McGraw-Hill, Inc. Nelson, Debra L. & James Campbell Quick. 1996. Organizational Behavior: Fundation, Realities, and Challenge. Second Edition. Minneapolis/St. Paul: West Publising Company.
30
Robbins, Stephen P. 2001. Organizational Behavior. Ninth Edition. New Jersey: Prentice Hall International. Inc. Schein, Edgar H. 1996. “Three cultures of management: the key to organizational learning.” Sloan Management Review, 38 (1), 9-20. Stein, Robert G. & Gifford Pinchot. 1995 (November). Building an intelligent organization. Association Management, 47 (11), 32-39. Sudarusman, Eka. 2004 (Agustus). “Pemberdayaan Sebuah Usaha Memotivasi Karyawan.” Fokus Ekonomi, 3 (2). Sulistyo, Otte. Juli 2003. “Manajemen Produktivitas Indonesia, Masihkah Punya Visi?” www.pikiranrakyat.com. Tushman, Michael & Charles A. O’Reilly III. 1997. Winning Through Innovation: A Practical Guide To Leading Organizational Change and Renewal. Boston: Harvard Business School Press. Winardi. 2006. Manajemen Perubahan (Management of Change). Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Zimmener, Linda Williams & Cindy Scarborough. 1998. Essential of Entrepreneurship and Small Business Management. New Jersey: Prentice Hall Inc.
ISSN: 1978-3116 PENGARUH BLOK-BLOK PERDAGANGAN BEBAS REGIONAL TERHADAP ............... (Sarwoko)
Vol. 3, No. 1, Maret 2009 Hal. 31-39
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
PENGARUH BLOK-BLOK PERDAGANGAN BEBAS REGIONAL TERHADAP PERDAGANGAN BILATERAL INDONESIA: MENGGUNAKAN MODEL GRAVITASI, TAHUN 2003-2007 Sarwoko Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi BBANK Yogyakarta Jalan Magelang KM 8 Nomor 10C, Jombor Yogyakarta 55284 Telepon +62 274 564933, Fax. +62 274 564933 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT This research used gravity equation model to see the impact of regional trade blocks, AFTA and APEC, on the non-oil and gas bilateral trade between Indonesia and the main trading partner countries with using pooled data 2003-2007. After accounting for economic measurements and distances between Indonesia and the main partners, the estimate results show that the preferential trade agreements for both AFTA and APEC have statistically significant effects on the non-oil and gas bilateral trade and export from Indonesia to the pair countries besides most economic measurements and distances. Keywords: gravity equation, regional trade blocks, AFTA, APEC
PENDAHULUAN Liberalisasi perdagangan sudah menjadi fenomena dunia, apalagi setelah runtuhnya sistem sosialis yang nyaris tidak dapat dihindari oleh setiap negara sebagai anggota masyarakat dunia. Pertemuan Tingkat Menteri WTO di Seattle pada tahun 1999 yang kurang berhasil dan buntunya perkembangan perundingan WTO termasuk gagalnya pertemuan di putaran Doha pada tahun 2001, telah mendorong beberapa negara membentuk blok-blok perdagangan bebas regional
yang disebut dengan Free Trade Area (FTA) (Garry C.Hufbauer and YeeWong, 2005) dan (Fatmawati, 2008, 115-126). FTA dapat diartikan sebagai free trade area atau free trade agreement atau free trade arrangement. FTA merupakan kesepakatan untuk menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan, tariff dan non-tariff, dan tidak boleh mengecualikan sektor tertentu dari liberalisasi. Dasar FTA adalah “preferential” sedangkan WTO berdasarkan “Most Favoured Nations”. FTA sah dan diakui oleh WTO di bawah artikel 5 GATT dan artikel 24 WTO (Direktorat PI, 2007). Menurut Direktorat PI (2007), Free Trade Area didefinisikan sebagai beberapa negara yang saling berdekatan yang sepakat untuk mengadakan perdagangan bebas di antara mereka. Sementara Free Trade Agreement didefiniskan sebagai suatu usaha dari dua negara atau lebih dalam mengurangi dan menghilangkan batas-batas perdagangan di antara negara-negara anggota blok perdagangan, untuk menciptakan kepastian dalam akses pasar, mengadakan kerjasama ekonomi dan pembangunan, serta memfasilitasi investasi. Pada akhir dekade ini, sejumlah besar negara mempunyai minat yang besar untuk membentuk FTA baik secara bilateral maupun regional, karena ketakutan akan dampak hilangnya pasar ekspor yang sebelumnya mereka miliki yang diambil alih oleh mitra negara yang menjadi anggota FTA itu. Perkembangan blok-blok perdagangan bebas regional, termasuk di dalamnya persetujuanpersetujuan perdagangan bebas atau free trade agreements (FTAs) dan penyeragaman aturan-aturan
31
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 31-39
kepabeanan mengalami peningkatkan yang sangat pesat, terutama pada tahun 2007. Jumlah blok-blok perdagangan bebas regional menjadi 194 buah. Sebelumnya perkembangan ini tidak begitu kuat, karena sampai dengan tahun 1990 baru sebanyak 25 buah, kemudian sampai dengan tahun 2000 baru mencapai rekor 91 buah blok perdagangan regional (Shujiro Urata and Misa Okabe, 2007). Adanya blok-blok perdagangan bebas regional ini, banyak pihak dapat diuntungkan karena akan tercipta trade creation maupun trade diversion. Trade creation adalah terciptanya transaksi dagang di antara anggota FTA, yang sebelumnya tidak pernah terjadi, akibat adanya berbagai insentif setelah terbentuknya FTA. Trade diversion terjadi akibat insentif penurunan tarif, seperti adanya peralihan impor komoditi tertentu dari satu negara ke negara lainnya karena adanya kesepakatan FTA yang menerapkan impor tarif yang lebih rendah atau bahkan 0%. Manfaat trade creation jauh lebih besar daripada trade diversion (Direktorat PI, 2008). Beberapa negara menyatakan memperoleh dampak ekonomi yang positif setelah melakukan FTA. Bagi negara-negara di Asia Timur, FTA memberikan dampak positip dari sudut ekonomi dan non-ekonomi. Dampak positip dari sudut ekonomi adalah adanya pertumbuhan ekonomi, meningkatnya akses pasar, meningkatnya perdagangan dan liberalisasi FDI, serta reformasi kebijakan domestik. Berdasarkan sudut nonekonomi dampak positipnya adalah adanya stabilitas ekonomi dan politik serta adanya saling pengertian yang mendalam di antara negara anggota FTA. Boleh dikatakan blok-blok perdagangan bilateral maupun regional merupakan langkah awal dari perdagangan bebas multilateral sesuai yang dikehendaki oleh forum World Trade Organization (WTO). FTA membawa dampak perluasan perdagangan dunia karena FTA bertujuan menghilangkan hambatanhambatan perdagangan dan meningkatkan perdagangan di antara mitra dagang di dalamnya. Diharapkan dengan FTA arus ekspor barang dan jasa serta Penanaman Investasi Luar Negeri Langsung (Foreign Direct Investment/FDI) dapat ditingkatkan. Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa forum FTA adalah forum yang dapat digunakan oleh para anggotanya untuk mempromosikan ekspor produk dan jasa di antara para anggota FTA itu.
32
Sejak tahun 1976, Indonesia telah memiliki mitra dagang dengan negara-negara yang tergabung dalam organisasi ASEAN karena salah satu tujuan didirikan organisasi itu adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, serta pengembangan kebudayaan di kawasan ini melalui usaha bersama dalam semangat kesamaan dan persahabatan untuk memperkokoh landasan sebuah masyarakat bangsabangsa Asia Tenggara yang sejahtera dan damai (Deplu RI, 2007). Untuk memperkuat dan mempercepat terciptanya intergrasi ekonomi di kawasan ini, pada tahun 1992, negara-negara ASEAN bersepakat mengambil bagian dan mendirikan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (Asean Free Trade Area AFTA) yang pembentukannya berlangsung selama 10 tahun. Untuk mengawasi, mengkoordinasikan, dan mengkaji pelaksanaan program menuju terbentuknya AFTA maka dibentuklah lembaga setingkat menteri. Isi persetujuan berupa kerangka dalam meningkatkan kerjasama ekonomi ASEAN (Framework Agreement on Exchanging ASEAN Economic CoorporationFAEAEC) yang ditandatangani presiden dan perdana menteri tiap-tiap negara ASEAN pada 27-28 Januari 1992. Persetujuan ini kemudian menjadi payung dari seluruh kerangka kerjasama ekonomi ASEAN. Sementara, perjanjian khusus mengenai pembentukkan AFTA yakni Basic Agreement on the Common Effective Prefential Tariff (CEPT Scheme Towards the AFTA ) ditandatangani oleh para menteri yang bergerak di sektor perdagangan dan perindustrian (HR.Halmawi, 2005). Kesepakatan tersebut dapat dicapai karena sebagai suatu organisasi yang memang mempunyai perhatian pada peningkatan kesejahteraan dan standar hidup dan ekonomi, ASEAN berkepentingan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kemajuan ekonomi, kemajuan sosial dan perkembangan kebudayaan melalui usaha bersama bagi masyarakat Asia Tenggara yang makmur dan damai dan meningkatkan cara kerja yang lebih efektif untuk mencapai daya guna yang lebih besar dalam bidang pertanian, industri dan perdagangan internasional untuk mempertinggi taraf hidup rakyat. Pelaksanaan AFTA dimulai tahun 2003 setelah kesepakatankesepakatan yang terdapat di dalam perjanjian CEPT itu ditetapkan bersama.
PENGARUH BLOK-BLOK PERDAGANGAN BEBAS REGIONAL TERHADAP ............... (Sarwoko)
Di samping menjadi anggota AFTA, Indonesia juga telah bergabung dengan organisasi semacam itu di tingkat kawasan Asia dan Pasifik, yaitu Asean Pasific Economic Conference (APEC). APEC terbentuk dalam Konferensi Canberra 5-7 November 1989. Hadir dalam konferensi ini adalah menlu dan menteri ekonomi 12 negara, yaitu Brunei Darussalam, AS, Indonesia, Kanada, Malaysia, Jepang, Filipina, Korea Selatan, Singapura, Selandia Baru, Thailand, dan Autralia. Sampai dengan tahun 1994, anggota APEC bertambah menjadi 18 negara. Negara-negara yang baru bergabung adalah RRC, Hongkong, Taiwan, Papua Nugini, dan Meksiko. Anggota baru terakhir adalah Chili (Kompas, November 1996). Penelitian ini ingin mengupas pengaruh blok-blok perdagangan bebas regional AFTA dan APEC terhadap perdagangan bilateral non-migas antara Indonesia dengan negara-negara mitra dagang utama dengan menggunakan model persamaan gravitasi. MATERI DAN METODE PENELITIAN Prinsip dasar model gravitasi dalam perdagangan internasional meminjam teori gravitasi dalam fisika yang dikenal dengan hukum gravitasi Newton. Sebuah arus digambarkan sebagai hasil dari kekuatan gaya tarikmenarik antara dua buah obyek. Kekuatan gaya tarik menarik ini secara positif tergantung kepada jumlah massa yang dihasilkan oleh dua objek tersebut dan secara negatif tergantung kepada jarak antara kedua obyek itu. Dalam konteks aliran perdagangan internasional, kedua obyek itu adalah ekspor dan impor antarnegara. Massa antarnegara adalah ukuran ekonomi negara masing-masing yang dianggap dapat menghasilkan aliran-aliran potensi perdagangan internasional. Semakin besar ukuran ekonomi (GDP) negara-negara mitra, semakin besar pula aliran perdagangan negara-negara itu. Namun demikian, jarak menjadi hambatan perdagangan internasional. Semakin jauh jarak antarnegara mitra dagang, semakin besar pula biaya transpor dan biaya-biaya lain yang bersangkutan dengan pengiriman barang. Dengan demikian, semakin kecil kemungkinan terjadinya perdagangan bilateral. Jadi jarak dapat dipakai sebagai proxy terhadap biaya transpor. Menggunakan pendekatan induksi dalam merumuskan spesifikasi persamaan gravitasi antara
Indonesia dengan negara-negara mitra dagang utama digunakan variabel perdagangan bilateral (ekspor + impor non-migas) sebagai variabel terikat. Untuk variable-variabel penjelas (bebas) adalah GPD negara ekspor maupun negara utama tujuan ekspor, GDP per kapita baik negara ekspor maupun negara utama tujuan ekspor, dan jarak geografis antara negara ekspor dan negara-negara impor. Dalam penelitian ini digunakan data sekunder, data pool antara tahun 2003-2007 meliputi 12 (dua belas) negara mitra dagang Indonesia. Selama kurun waktu tiga tahun, 2005-2007 negara-negara mitra dagang utama Indonesia relatif tetap, yaitu Jepang, Amerika, Singapore, China, India, Malasia, Korea Selatan, Belanda, Thailand, Taiwan, Hongkong, dan Jerman. Data ekspor-impor Indonesia diperoleh dari Ditjen Bea dan Cukai, Produk Domestik Bruto (PDB) dan PDB per kapita Indonesia diperoleh dari BPS, Gross Domestic Product dan GDP per kapita negara-negara mitra dagang utama diperoleh dari World Bank, sebagian diperoleh dari IMF. Jarak georafis Indonesia dengan negara-negara mitra dagang diukur atau dihitung dari ibukota negara Indonesia dengan ibukota-ibukota negara mitra sebagai pusat-pusat perekonomian negara dengan menggunakan great cyrcle distances (http// www.cepii.fr/anglaisqraph/bdd/distances.htm) atau (www.macalester.edu/research/economics/page/ haveman/traderesources/tradedata.html). Ukuran ini mengasumsikan bahwa jarak laut, darat, dan udara dianggap sama. Newton menemukan hukum Gravitasi pada tahun 1687. Menurut Newton, kekuatan gaya tarikmenarik dari dua buah obyek tergantung secara langsung oleh massa dari dua objek tersebut dan secara tidak langsung dari jarak antara dua obyek tersebut. Persamaan gravitasi dinyatakan sebagai: Mi Mj Fij = G
.................................................(1) D2ij
keterangan: Fij Mi dan Mj D2ij G
adalah kekuatan gaya tarik-manarik adalah massa adalah jarak antara dua objek itu adalah konstanta gravitasi
33
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 31-39
Jan Timbergen (1962) menggunakan analogi persamaan hukum gravitasi dari Newton untuk menganalisis aliran perdagangan internasional. Sejak itu persamaan hukum gravitasi dapat diaplikasikan terhadap apa yang dapat disebut sebagai “social interactions”, termasuk migrasi, pariwisata, dan investasi asing langsung. Hukum gravitasi untuk interaksi sosial dapat diformulasikan sebagai berikut: Mαi Mβj Fij = G
.................................................(2) Dθij
Keterangan: Fij adalah “aliran” dari titik asal i menuju titik tujuan j. Kemungkinan lain, Fij menunjukkan volume total interaksi antara i dan j (jumlah aliran dari kedua arah: £ ij = Fij + Fji) Mi dan Mj adalah ukuran- dari dua lokasi itu. Jika F diukur sebagai aliran uang (misalnya ekspor), maka M biasanya Gross Domestic Product (GDP) atau Gross National Product (GNP) dari tiap-tiap lokasi. Jika F merupakan aliran orang, maka M adalah populasi-populasi kedua lokasi. Dij adalah jarak antara kedua lokasi itu. Spesifikasi model Gravitasi yang dipersembahkan oleh Bergstrand (1985) ditunjukkan pada persamaan 3. Persamaan tersebut menggambarkan volume ekspor antara dua mitra dagang sebagai fungsi dari PDB atau Gross Domestic Product (GDP) negara tersebut dan jarak di antara keduanya. PXij,t = αo(Yi,t ) (Yj,t ) (Dij ) (Aij ) ζij ………………(3) β1
β2
β3
β4
keterangan: PXij,t menggambarkan volume ekspor dari negara i ke negara j, pada waktu t Yi,t menggambarkan GDP negara i, pada waktu t Yj,t menggambarkan GDP negara j, pada waktu t Dij menggambarkan jarak geografis (dalam mil) antara negara i dengan negara j A ij menggambarkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perdagangan bilateral antara negara i dengan negara j.
34
Estimasi model gravitasi dalam penelitian perdagangan bilateral antara Indonesia dengan negaranegara mitra dagang utama menggunakan pendekatan induksi. Untuk merumuskan spesifikasi persamaan gravitasi antara Indonesia dengan negara-negara mitra dagang utama digunakan variabel perdagangan bilateral (ekspor + impor non-migas) sebagai variabel terikat; untuk -variabel penjelas (bebas) adalah GPD negara ekspor Indonesia, GDP negara-negara tujuan ekspor (pengimpor), dan GDP per kapita baik negara ekspor maupun negara-negara pengimpor, jarak geografis negara Indonesia dengan negara-negara tujuan ekspor, dua buah variabel boneka (dummy variables), yaitu keanggotaan negara Indonesia maupun negara-negara mitra dagang ke dalam NAFTA dan APEC. Penambahan variabel GDP per kapita secara terpisah adalah menunjukkan suatu tingkat pembangunan. Apabila sebuah negara berkembang maju, permintaan konsumen (masyarakat) negara itu cenderung kepada berbagai barang luar negeri yang eksotik.yang dianggap barang-barang yang lebih superior. Kecuali itu, GDP per kapita ini juga dapat dianggap mewakili infrastruktur transportasi sebuah negara. Pada negara-negara yang penduduknya memiliki perdapatan per kapita yang tinggi, sarana dan prasarana transportasi perdagangan dari negara yang bersangkutan sudah lebih lengkap dan maju (Rahman, 2004). Dengan demikian, spesifikasi model gravitasi dalam penelitian perdagangan bilateral antara Indonesia dengan negara-negara mitra dagang memiliki fungsi dan persamaan gravitasi sebagai berikut: Trdij,t = αo(GDPi,t )β1(GDPj,t )β2(Yit)β3 (Yjt)β4(Dist ij )β5 D1β6 D2β7 εij
...............................................… (4)
Bentuk fungsi di atas apabila diubah dalam bentuk persamaan memiliki persamaan dengan model logaritma, sebagai berikut: LogTrd = β0+ β1log GDPi + β2log GDP + β3log yi + β4log yp + β5log Dist + β6D1 + β7D2 + eij
……………… (5)
keterangan: Trd = nilai perdagangan (ekspor + impor non-migas) bilateral antara Indonesia dengan negara-
PENGARUH BLOK-BLOK PERDAGANGAN BEBAS REGIONAL TERHADAP ............... (Sarwoko)
negara patner dagang. nilai ekspor non migas dari Indonesia ke negara-negara mitra dagang GDPi= produk domestik bruto negara Indonesia GDPp= produk domestik bruto negara-negara mitra dagang yi = produk domestik bruto per kapita negara Indonesia yp = produk domestik bruto per kapita negaranegara mitra dagang Dist = jarak km. antara Indonesia dan negara-negara mitra dagang D1 = variabel boneka keanggotaan di dalam AFTA, 1 untuk anggota AFTA dan 0 untuk bukan anggota AFTA D2 = variabel boneka keanggotaan APEC, 1 untuk anggota APEC dan 0 untuk bukan anggota APEC e/ì = variabel error distribution Eks =
Model gravitasi telah banyak diaplikasikan secara luas dalam menganalisis arus perdagangan internasional bilateral antarnegara lebih daripada empat dekade. Tinbergen (1962) dan Pöyhönen (1963) adalah pioneer-pioneer awal dalam mengaplikasikan model gravitasi untuk mempelajari arus perdagangan internasional. Sejak itu banyak analisis-analisis empiris yang menggunakan model tersebut telah dilakukan untuk memberikan berbagai verifikasi-verifikasi dan implikasi-implikasi perdagangan internasional. Sejak tahun 1980an dasar-dasar teoritis dari model gravitasi telah tersedia di dalam kerangka teori perdagangan internasional berdasarkan imperfect substitutes, increasing return to scale, dan product differentiations pada tingkat perusahaan. Sejak tahun 1990an, model gravitasi banyak menarik perhatian dalam menganalisis perdagangan internasional sebagai hasil dari pembaharuan minat terhadap ekonomi geografi, dengan menganggap lokasi geografis dan semacam lain dari ‘jarak’ sebagai suatu faktor penting dari kegiatankegiatan ekonomi. Persamaan gravitasi merupakan sebuah metodologi yang popular untuk mempelajari akibatakibat dari sistem perdagangan internasional, seperti Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) dan Persetujuan-Persetujuan Perdagangan Bebas Regional atau Free Trade Agree-
ments (FTAs) serta penyatuan-penyatuan mata uang (currency unions). Tinbergen, orang pertama yang mencoba meneliti efek FTA terhadap perdagangan internasional dan mampu menemukan dampak-dampak yang positif dan signifikan di antara anggota-anggota persemakmuran Inggris (the British Commonwealth) namun tidak signifikan bagi FTA Benelux. Linneman mengikuti jejak Tinbergern. Penelitian aliran perdagangan internasional tahun 1966 menggunakan pendekatan Model Gravitasi dalam menjelaskan aktivitas perdagangan antarbangsabangsa. Timbergen mempelajari pola perdagangan antarbangsa dengan menggunakan sampel sebanyak 80 negara bangsa. Sebagai -variabel independen adalah GNP (penghasilan), jarak, variabel preferensi-preferensi dagang, dan FTAs (perlakuan istimewa dalam perdagangan). Preferensi dagang dibedakan antara preferensi dagang di tiga area (bekas koloni)- Inggris, Perancis, dan Portugis/Belgia. Linneman menjalankan regresi terpisah antara ekspor dan impor dan menemukan hubungan yang sangat signifikan antara volume ekspor/impor antara negara-negara yang ditelitinya. Berdasarkan semua variabel independen GNP, populasi memiliki kekuatan yang terbesar dalam menjelaskan fluktuasi volume perdagangan antarnegara-negara itu. Variabel-variabel sisanya, kendatipun signifikan, kurang memberikan sumbangan yang berarti dalam menjelaskan hubungan dagang itu. Lebih lanjut untuk mengurangi kelemahan dalam modelnya, Linneman menambah satu independen, yakni komposisi produk dagang dari negara-negara itu. Linneman menegaskan bahwa produk-produk yang berbeda memdorong perdagangan antarbangsabangsa itu dan produk-produk yang homogen menghambat perdagangan. Linneman juga menggunakan “jarak spikis” dalam modelnya dan menyatakan bahwa latar belakang budaya yang sama akan mendukung saling pengertian antarnegara-negara, dan karena negara-negara ini memiliki rasa budaya yang sama, produksi akan cenderung menjadi barang-barang yang oleh kedua bangsa akan dianggap berharga dan lebih lanjut mendorong perdagangan. Pada tahun 1970an dan 1980an beberapa penelitian menganalisis dampak-dampak dari skema-skema dan blok-blok perdagangan regional, seperti EEC (European Economiy Community), EFTA (European Free Trade Association), LAFTA (Latin America Free Trade Agree-
35
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 31-39
ment) (Aitken (1973) serta Brada dan Mendez (1983). Untuk mendapatkan dampak-dampak FTAs terhadap arus perdagangan, mereka menambahkan sebuah variabel, dengan memasukkan angka 1 (satu) bagi negara-negara mitra dagang yang menjadi anggota FTA dan 0 (nol) bagi bagi negara-negara mitra dagang yang bukan anggota ke dalam model persamaan gravitasi. Sejak itu, metode variabel dummy ini telah banyak digunakan dalam penelitian-penelitian dengan model gravitasi itu. Berdasarkan perkembangan FTA yang begitu cepat sejak tahun 1990an, sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh FTA dengan model persamaan gravitasi. Frankel, Stain, and Wei (1995) dan Frankel (1997) mempelajari pengaruh FTAFTA utama seperti, EU, NAFTA, MERCUSOR, dan AFTA. Solaga dan Winters (2000) mencoba meneliti dampak trade creation dan trade diversion dua jalan pada FTA-FTA multilateral utama. Mereka menemukan dampak positif dan signifikan terhadap trade creation dari FTA-FTA di negara-negara Amerika Latin dan juga menemukan dampak signifikan terhadap trade diversion untuk kasus di EU dan EFTA. Endoh (1999) meneliti dampak trade creations dan trade diversions pada EEC, LAFTA, Council of Mutual Economic Assistance (CMEA), dan COMECON dan menemukan dampak FTA-FTA ini walaupun menurut pengamatannya dampak tersebut berkurang pada tahun 1990an. Berbagai hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa hasil estimasi terhadap dampak dari FTA-FTA tersebut pada arus perdagangan menggunakan model gravitasi tidak seragam, tetapi campur. Dengan memperhatikan penyempurnaan terhadap metode estimasi, Baier dan Bergstrand (2002) memperlakukan variabel-variabel dummy dari FTA sebagai variabel-variabel endogenous dan mereka menunjukkan bahwa dampak dari FTA-FTA terhadap arus perdagangan adalah lipat kali empat. Carrere (2003) menggunakan spesifikasi dari Baier dan Bergstrand untuk analisis-analisis data panel, dan hasilnya menunjukkan bahwa FTA-FTA menghasilkan suatu kenaikan dalam perdagangan berbeda dengan hasilhasil sebelumnya. Chen dan Tsai (2005) membangun suatu model gravitasi yang dimodifikasi dan membandingkan hasil-hasil dengan menggunakan data panel. Mereka menemukan bahwa nilai-nilai estimasi berbeda-beda di antara FTA-FTA yang berbeda.
36
Achay L. (2006) melakukan penelitian tentang faktor-faktor penentu aliran perdagangan pada berbagai negara di dunia. Achay menggunakan model persamaan gravitasi terhadap sampel sebanyak 146 negara dengan sub-periode lima tahun antara tahun 1970-2000. Model tersebut menggunakan variabelvariabel GDP, jarak, dan kesepakatan integrasi dagang regional. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa estimasi terhadap semua koefisien adalah signifikan dan arah dari koefisien-koefisien itu sesuai dengan arah yang diharapkan teori. Koefisien determinasi (R2) cukup besar, yakni sebesar 71%. Achay L. juga menemukan bahwa GDP, GDP per kapita, batas negara, bahasa umum, dan mata uang umum memiliki pengaruh positif terhadap volume perdagangan bilateral. Di lain pihak, jarak geografis memiliki pengaruh negatif terhadap volume perdagangan tersebut. Rahman (2004) menggunakan model gravitasi untuk menganalisis aliran dagang negara Bangladesh dengan negara-negara mitra dagang menggunakan teknik-teknik estimasi data panel. Rahman mengestimasi persamaan-persamaan model gravitasi untuk ekspor dan impor antara Bangladesh dengan negara-negara mitra. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perdagangan Bangladesh dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti ukuran ekonomi, GNP per kapita masing-masing negara yang terlibat, dan keterbukaan ekonomi Bangladesh. Faktor penentu utama ekspor Bangladesh adalah nilai tukar mata uang, total permintaan impor negara-negara mitra, dan keterbukaan ekonomi Bangladesh. Semua faktor ini berpengaruh signifikan dan positif terhadap ekspor Bangladesh. Sementara, biaya transportasi berpengaruh signifikan dan negatif terhadap perdagangan Bangladesh. Koo, Kennedy, and Skipnitchenko (2006) demikian juga Shujiro Urata dan Misa Okabe (2007) menggunakan model Gravitasi untuk menganalisis effek-effek Persetujuan Perdagangan Regional (Regional Trading Agreements, RTA) termasuk di dalamnya Persetujuan Perdagangan Bebas (Free Trade Agreements, FTA) terhadap aliran-aliran perdagangan antarnegara yang mereka teliti. RTA-RTA yang dianalisis adalah AFTA (Asian Free Trade Agreement), CAN (Andean Community), the EU (European Union) dan NAFTA (North Atlantic Free Trade Agreement). Koo, Kennedy, dan Skipnitchenko mempelajari eksporimpor produk-produk hasil pertanian. Di samping
PENGARUH BLOK-BLOK PERDAGANGAN BEBAS REGIONAL TERHADAP ............... (Sarwoko)
menggunakan variabel RTA, Koo, Kennedy, dan Skipnitchenko menggunakan variabel standar dalam model Gravitasi. Mereka menemukan bahwa semua RTA secara positif dan signifikan mempengaruhi kenaikan volume perdagangan antarnegara anggota dalam blok perdagangan masing-masing. Temuan yang lebih menarik adalah bahwa RTA menciptakan trade creation effect dan trade diversion effect. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat barang-barang subtitusi di antara barang-barang yang diperdagangkan. HASIL PENELITIAN Regresi OLS dengan data pool untuk persamaanpersamaan gravitasi (5) ditunjukkan dalam Tabel 1. Kinerja secara keseluruhan dari model itu nampaknya cukup bagus karena ¯R2 adjusted nilainya 0.894. Hal ini menunjukkan bahwa model gravitasi tersebut cukup efisien dalam menjelaskan hubungan perdagangan bilateral antara Indonesia dengan 12 negara mitra dagang utama sejak tahun 2003-2007. Berdasarkan uji spesifikasi dari Ramsey menunjukkan bahwa Ho yang menyatakan tidak ada perbedaan antara variabel tambahan tidak dapat ditolak (tidak signifikan) pada level signifikan, á = 1%, F2,50 = 3,23. Simpulannya tidak terdapat kesalahan spesifikasi. Hasil-hasil yang sama juga ditunjukkan oleh kriteria Akaike dan kriteria Schwarz. Kriteria-kriteria yang lebih kecil cenderung memilih model yang bersangkutan. Berdasarkan uji normalitas terhadap distribusi residual menunjukkan bahwa hipotesis nol yang menyatakan bahwa E(e) = 0 tidak dapat ditolak pada level signifikan, á = 1%, Chi-SQ (df.2) = 9,21. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa distribusi residual mengikuti pola distribusi normal. Uji parameter secara individual menunjukkan bahwa GDP negara-negara pengimpor arahnya positif dan signifikan pada level signifikan, á = 1%, sementara GDP per kapita negara-negara pengimpor signifikan pada level, á = 20%; jarak (km) antara Indonesia dengan negara-negara mitra dagang utama arahnya negatif dan signifikan pada level signifikan, á = 1%; untuk spesifikasi ini GDP negara ekspor (Indonesia) baik total maupun per kapita tidak signifikan. Bahkan, pada log GDP per kapita arahnya negatif, ini bisa berarti bahwa apabila terjadi kenaikan tingkat penghasilan per kapita, konsumsi terhadap barang-barang dalam negeri
meningkat sehingga akan mengurangi ekspor. Keanggotaan Indonesia dalam organisasi perdagangan bebas regional baik AFTA maupun APEC bersama negara-negara mitra dagang utama adalah signifikan masing-masing pada level signifikan, á = 20 % dan á = 1%. Tabel 1 Hasil Regresi dengan OLS untuk Model Gravitasi Persamaan (5) Penjelas Konstanta LGDP neg-impor LGDP neg-impor/kapita LGDP neg-ekspor LGDP neg-ekspor/kapita Ldist (jarak) D1/AFTA D2/APEC Jumlah Sampel R2 R2 (Adjusted) F Jarque-Bera Ramsey test Kriteria Akaike Kriteria Schwarz
Koefisien -14,49961 0,704257 0,039427 4,093610 -3,861091 -0,774346 0,142343 0,476127 60 0,906955 0,894429
L Trade Std.error 20,50662 0,040941 0,024075 4,407978 4,761107 0,101469 0,088512 0,117237
Statistik-t -0,707070 17,20191 1,637707 0,928682 -0,810965 -7,631322 1,608174 4,061221
72,40951 2,603711 1,039 -0,017289 0,261957
PEMBAHASAN Secara umum, koefisien-koefisien hasil regresi dengan OLS untuk perdagangan bilateral dengan model gravitasi ini sesuai dengan harapan teori. Apabila GDP negara-negara penerima ekspor Indonesia (negaranegara pengimpor) baik total maupun per kapita naik masing-masing 1%, maka volume perdagangan bilateral masing-masing naik 0,70% dan 0,04%. Untuk persamaan ekspor, apabila GDP negara-negara penerima ekspor Indonesia (pengimpor) baik total maupun per kapita naik masing-masing 1%, maka volume ekspor masing-masing naik 0,69% dan 0,11%. Berdasarkan angka-angka tersebut, nampak pola perdagangan bilateral lebih responsif terhadap perubahan-perubahan GDP total daripada GDP per kapita dari negara-negara penerima ekspor. Jarak dan keanggotaan Indonesia dalam organisasi perdagangan bebas regional
37
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 31-39
berpengaruh kuat terhadap total perdagangan bilateral Indonesia. SIMPULAN Penelitian ini ingin mengupas pengaruh blok-blok perdagangan bebas regional AFTA dan APEC, di samping variabel-variabel standar dalam model persamaan gravitasi, terhadap perdagangan bilateral non-migas antara Indonesia dengan negara-negara mitra dagang utama Jepang, Amerika, Singapore, China, India, Malasia, Korea Selatan, Belanda, Thailand, Taiwan, Hongkon, China dan German, dengan menggunakan model persamaan gravitasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa perdagangan Indonesia hampir sama dengan kasus-kasus dari negara-negara lain dimana volume perdagangan secara positif dipengaruhi oleh ukuran-ukuran ekonomi. Ukuran-ukuran tersebut adalah PDB, PDRB per kapita negara-negara mitra dagang utama, jarak geografis antara Indonesia dengan negara-negara mitra dagang utama, dan keterlibatan negara-negara mitra dagang utama dalam blok-blok perdagangan bebas regional, AFTA, dan APEC dimana Indonesia juga termasuk sebagai salah satu anggota di dalamnya.
Agreements, “ American Economic Association annual meeting. Carrilo, Carlos, and Carmen A. Li, (2002), “Trade Blocks and the Gravity Model: Evidence from Latin American Countries. “ University of Essex, August 2002. Carrere, C. (2003), “Revisiting the Effects of Regional Trading Agreements on Trade Flows with Proper Specification of the Gravity Model, “ CERDI, 2003, 10. Chen, I.H. and Tsai, Y.Y. (2005), “Estimating the Staged Effects of Regional Economic Integration on Trade Volumes, “ Department of Applied Economics, National University of Kaohsiung, working paper. Direktorat PI (2007),”Pengertian Dasar FTA(Free Trade Area).” Jakarta, Maret 2007. Direktorat Jenderal Kerjasam ASEAN, Deplu RI, “ Asean Selayang Pandang. “2007. Endoh, M. (1999), “Trade Creation and Trade Diversion in the EEC, the LAFTA and the CMEA: 1960-1994, “ Applied Economics, 31, 207-216.
DAFTAR PUSTAKA Aitken, N.D.(1973), “The Effect of EEC and EFTA on European Trade: A Temporal cross-section Analysis, “ American Economic Review, Vol. 63, pp. 881-892. Achay L.(2006), “Assessing Regional Intergration in North Africa,”National Institute of Statistics and Applied Economics, Rabat, r Nocco. Braga, J.C. and Mendez, J.A. (1983), “ Economic Integration among Developed, Developing, and Centrally Planned Economies: A Comparative Analysis. “ Review of Economics and Statistics 67, no. 4 (November 1985): 549-556. Baier dan Bergstrand (2002), “On the Endogeneity of International Trade Flows and Free Trade
38
Fatmawati, Sri, (2008). Kerjasama Perdagangan Regional (AFTA): Kajian Ekonomi Terhadap Perdagangan Barang Indonesia, “Jurnal Ekonomi & Bisnis”, 115-126. Frankel, J.A., Stain, E. and Wei S.J. (1995), “Trading Blocks and the Americas: the natural, the unnatural, and the super-natural, “ Journal of development Economics, Vol. 47 (1), 61-95. Frankel, J.A., (1997), Regional Trading Blocs in the World Economic System. Institute for International Economics, Washington, DC Halmawi, R. Hendra, (2005). Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi. Jakarta: Ghalia dan sekretariat ASEAN.
PENGARUH BLOK-BLOK PERDAGANGAN BEBAS REGIONAL TERHADAP ............... (Sarwoko)
Hufbauer C. Gary, and Yee Wong, (2005), “Prospects for Regional Free Trade in Asia.” Working Paper Series, number WP 05-12, October 2005. Jayanthakumaran, Kansesu and Elias Sanidas, (2005). “ The Impact of Unilateral and Regional Trade Liberalisation on the Intra-Asean 5 Founding Nation’s Exports and Export GDP Nexsus. “ University of Wollongong, Economics Working Paper Series. Koo, W., Kennedy, P.L., Skripnitchenko, A. (2006) “Regional Preferential Trade Agreements: Trade Creation and Diversion Effects. “ Review of Agricultural Economics. 28(3) forthcoming. Linneman, H. (1966). An Econometrics Study of Inernational Trade Flows Amsterdam: North Holland Publishing Co. Linder, S.B. 1961, “ An Essay on Trade and Transformation, “ NewYork: John-Wiley and Sons. Fb, the Generalized Gravity Model, “ The Economic Society of Australia’s 33, Conference of Economists, University of Sydney, NSW 2006, Australia. Solaga, I. and Winters, L.A. (2000), “Regionalism in the nineties: What Effect on Trade?, “ CEPR Discussion papers, 2183. Tinbergen, J. (1962), Shaping the World Economy: Suggestions for an International Economic Policy, New-York, The Twentieth Century Fund. Urata, Shujiro and Misa Okabe, (2007). The Impact of Free Trade Agreements on Trade Flows: An Application of the Gravity Model Approach. REITI Discussion Series 07-E-052, July 2007.
39
.
ISSN: 1978-3116 PERAN RASIO KEUANGAN DALAM MEMPREDIKSI LABA ............... (Fany Arista dan Baldric Siregar)
Vol. 3, No. 1, Maret 2009 Hal. 41-60
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
PERAN RASIO KEUANGAN DALAM MEMPREDIKSI LABA DI MASA DEPAN Fany Arista Jalan. Kranjan, Nomor 15 Pelemkerep, Mayong, Jepara 59465 E-mail:
[email protected]
Baldric Siregar Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN Yogyakarta Jalan Seturan Yogyakarta 55281 Telepon +62 274 486160, 486321, Fax +62 274 486155 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT This study examines the usefulness of financial ratios in predicting earnings change and compares the prediction powers of those ratios among one and two years ahead. As many as 49 financial ratios of manufacturing firms listed in the Indonesian Stock Exchange for the period from 2003 to 2006 are used. Principal component analysis is used in searching for the best set of financial ratios should be included in the model and multiple regression analysis is used in testing the usefulness of those ratios to predict future earnings. The evidence shows that financial ratios proved to be useful in predicting future earnings. Keywords: financial ratios, earnings, prediction power
PENDAHULUAN Memahami informasi keuangan dapat dilakukan melalui analisis laporan keuangan. Dengan melakukan analisis laporan keuangan, maka informasi yang dibaca dari laporan keuangan akan menjadi lebih luas dan lebih
dalam. Salah satu teknik analisis keuangan tersebut yang populer diaplikasikan dalam praktik bisnis adalah analisis rasio keuangan. Hasil analisis rasio keuangan dapat membantu menjelaskan berbagai hubungan dan indikator keuangan, menunjukkan perubahan dalam kondisi keuangan atau prestasi operasi di masa lalu, serta menggambarkan trend pola perubahan di masa yang akan datang. Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris peran rasio keuangan dalam memprediksi laba di masa depan. Prediksi dilakukan baik untuk satu tahun dan dua tahun ke depan. MATERI DAN METODE PENELITIAN Secara harafiah, analisis laporan keuangan terdiri dari dua kata, yaitu analisis dan laporan keuangan. Ini berarti bahwa analisis laporan keuangan merupakan suatu kegiatan menganalisis laporan keuangan suatu perusahaan. Analisis laporan keuangan merupakan suatu proses pertimbangan dalam rangka membantu mengevaluasi posisi keuangan dan hasil operasi perusahaan pada masa sekarang dan masa lalu, dengan tujuan utama untuk menentukan estimasi dan prediksi mengenai kondisi dan kinerja perusahaan pada masa yang akan datang.
41
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 41-60
Analisis laporan keuangan mencakup pengaplikasian alat dan teknik analisis pada laporan dan data keuangan, dalam rangka memperoleh ukuran-ukuran dan hubungan-hubungan yang berarti dan berguna dalam proses pengambilan keputusan. Analisis laporan keuangan dilakukan untuk mencapai beberapa tujuan, yaitu mengkonversi data menjadi informasi; sebagai screening awal dalam memilih alternatif investasi atau merger; sebagai alat forecasting mengenai kondisi dan kinerja keuangan di masa datang; sebagai proses diagnosis terhadap masalah-masalah manajemen, operasi atau masalah lainnya; atau sebagai alat evaluasi terhadap manajemen (Prastowo dan Juliaty, 2005). Berdasarkan semua tujuan tersebut, yang terpenting dari analisis laporan keuangan adalah untuk mengurangi ketergantungan para pengambil keputusan pada dugaan murni, terkaan, dan intuisi; serta mengurangi dan mempersempit lingkup ketidakpastian yang tidak bisa dielakkan pada setiap proses pengambilan keputusan. Analisis laporan keuangan tidaklah berarti mengurangi kebutuhan akan penggunaan pertimbangan-pertimbangan, melainkan memberikan dasar yang layak dan sistematis dalam menggunakan pertimbangan-pertimbangan tersebut (Prastowo dan Juliaty, 2005). Dua jenis laporan keuangan (utama) yang umumnya dibuat oleh setiap perusahaan adalah neraca dan laporan laba rugi. Berbagai teknik analisis digunakan pada analisis laporan keuangan untuk menekankan pentingnya suatu data yang disajikan dalam mengevaluasi posisi perusahaan. Berbagai teknik analisis yang biasa digunakan adalah analisis rasio, analisis trend, dan analisis impas (break even analysis). Tidak ada satupun teknik analisis yang terbaik, yang mampu mendukung semua temuan atau memenuhi semua kebutuhan pengguna. Berbagai informasi yang diperoleh dari berbagai teknik tersebut harus dikombinasikan untuk menentukan posisi keuangan perusahaan (Prastowo dan Juliaty, 2005). Dalam penelitian ini, penulis mencoba untuk menggunakan teknik analisis laporan keuangan yang paling banyak digunakan, yaitu analisis rasio dalam memprediksi laba yang merupakan indikator kinerja perusahaan. Rasio keuangan biasanya dinyatakan dalam satuan persentase (%) atau frekuensi. Analisis rasio mengadakan hubungan dari berbagai pos dalam suatu laporan keuangan untuk menginterpretasikan kondisi
42
keuangan dan hasil operasi suatu perusahaan. Rasio menggambarkan hubungan atau perimbangan (mathematical relationship) antara suatu jumlah tertentu dengan jumlah yang lain, dan dengan menggunakan teknik analisis ini, akan dapat menjelaskan atau memberi gambaran kepada penganalisa tentang baik atau buruknya keadaan atau posisi keuangan suatu perusahaan (Munawir, 1995). Menurut Prastowo dan Juliaty (2005), beberapa jenis rasio keuangan dikelompokkan ke dalam kelompok sebagai berikut (1) Likuiditas. Rasio likuiditas digunakan untuk mengukur kemampuan suatu perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Rasio yang biasa digunakan adalah rasio modal kerja, curent ratio, acid-test/quick ratio, perputaran piutang (account receivable turnover), dan perputaran persediaan (inventory turnover); (2) Solvabilitas (Struktur Modal). Rasio solvabilitas adalah rasio yang mengukur kemampuan suatu perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka panjangnya atau mengukur tingkat proteksi kreditor jangka panjang. Rasio yang biasa digunakan adalah debt-to-equity ratio dan time interest earned (3) Return on Investment. Rasio ini mengukur tingkat kembalian investasi yang telah dilakukan oleh perusahaan. Rasio yang biasa digunakan adalah ROA (return on total assets) dan ROE (return on equity).; (4) Pemanfaatan Aktiva. Rasio pemanfaatan aktiva mengukur efisiensi dan efektivitas pemanfaatan setiap aktiva yang dimiliki perusahaan. Rasio yang biasa digunakan adalah rasio perputaran total aktiva (total asset turnover), rasio perputaran modal kerja (working capital turnover), rasio perputaran aktiva tetap (fixed asset turnover), dan rasio perputaran aktiva lainlain (other asset turnover); (5) Kinerja Operasi. Rasio kinerja operasi mengukur efisiensi operasi perusahaan. Rasio yang biasa digunakan adalah rasio laba kotor terhadap penjualan (gross profit margin), rasio laba bersih terhadap penjualan (net profit margin), rasio laba usaha terhadap penjualan (operating income margin), rasio harga pokok penjualan terhadap penjualan dan biaya usaha terhadap penjualan; dan (6) Rasio Investor. Para pemegang saham biasa hanya memiliki hak sisa atas laba dan aktiva perusahaan. Hanya setelah hak para kreditor dan pemegang saham istimewa dipenuhi, para pemegang saham biasa bisa menerima dividen atau distribusi aktiva (dalam hal likuidasi). Oleh karenanya, ukuran yang berkaitan
PERAN RASIO KEUANGAN DALAM MEMPREDIKSI LABA ............... (Fany Arista dan Baldric Siregar)
dengan para pemegang saham biasa sangat dibutuhkan. Beberapa angka rasio yang sering digunakan adalah EPS (earning per common share), PER (price/earning ratio), dividend pay-out, dividend yield, percentage of earning retained, dan book value per share. SFAC No. 2 menyatakan bahwa salah satu karakteristik kualitatif yang harus dimiliki oleh informasi akuntansi agar tujuan pelaporan keuangan tercapai adalah kemampuan prediksi. Hal ini menunjukkan bahwa informasi akuntansi yang tercantum dalam pelaporan keuangan dapat digunakan oleh investor sekarang maupun investor potensial dalam memprediksi penerimaan kas dari dividen dan bunga di masa yang akan datang. Oleh karena itu, prediksi laba perusahaan dengan menggunakan informasi keuangan menjadi penting untuk dilakukan. Salah satu cara yang dapat ditempuh dalam memprediksi laba perusahaan adalah dengan menggunakan analisis rasio keuangan. Beberapa penelitian yang menghubungkan kegunaan rasio keuangan dengan berbagai fenomena akuntansi dan ekonomi telah banyak dilakukan. Penelitian yang paling awal mengenai peran rasio keuangan sejauh yang dapat ditelusuri oleh penulis, di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Altman (1968). Altman (1968) melakukan penelitian ini karena awalnya terdapat perbedaan pendapat antara kalangan akademisi dan praktisi. Kalangan akademisi melihat adanya pengeliminasian dari penggunaan analisis rasio dalam menaksir kinerja perusahaan. Altman (1968) mencoba untuk menaksir kualitas analisis rasio yang berjumlah lima rasio keuangan sebagai alat analitikal dalam memprediksi kebangkrutan perusahaan dengan menggunakan MDA (multiple discriminant analysis). Dalam hal ini, diharapkan masyarakat dapat melihat perbedaan antara rasio keuangan tradisional dengan menggunakan teknik statistik yang populer. Altman (1968) menggunakan sampel sebanyak 66 perusahaan yang berbasis manufaktur, yang terdiri dari 33 perusahaan bangkrut dan 33 perusahaan yang tidak bangkrut. Altman menemukan bahwa rasio-rasio keuangan likuiditas, solvabilitas, dan profitabilitas7 bermanfaat dalam memprediksi kebangkrutan perusahaan dengan tingkat keakuratan yang semakin menurun seiring dengan lamanya periode prediksi. Pada periode prediksi satu tahun sebelum perusahaan mengalami kebangkrutan, rasio-rasio keuangan
tersebut bermanfaat untuk memprediksi kebangkrutan dalam tingkat keakuratan 95%, yang menurun menjadi 72% untuk periode dua tahun, 48% untuk periode tiga tahun, 29% untuk periode empat tahun, dan kemudian naik lagi menjadi 36% untuk periode lima tahun sebelum perusahaan mengalami kebangkrutan. Kegunaan rasio keuangan dalam memprediksi kebangkrutan juga dilakukan oleh Dambolena dan Khoury (1980). Dambolena dan Khoury (1980) menggunakan sampel penelitian yang berjumlah 46 perusahaan yang berbasis retail dan manufaktur, yang terdiri dari 23 perusahaan bangkrut dan 23 perusahaan yang tidak bangkrut. Dengan menggunakan linear discriminant analysis, Dambolena dan Khoury (1980) menganalisis 19 rasio keuangan dan menemukan bahwa rasio keuangan memiliki kemampuan dalam memprediksi kebangkrutan perusahaan untuk periode lima tahun sebelum perusahaan mengalami kebangkrutan. Penelitian yang mengkombinasikan sejumlah variabelvariabel ekonomi dengan rasio keuangan dalam memprediksi kebangkrutan perusahaan dilakukan oleh Darayseh et al. (2003). Dengan menggunakan analisis logit (logit analysis) terhadap100 perusahaan gagal dan 100 perusahaan yang tidak gagal, diperoleh bahwa sebuah model yang menggunakan variabel makroekonomi yang dikombinasikan dengan rasio keuangan dapat digunakan dalam memprediksi kebangkrutan perusahaan. Di Indonesia, penelitian sejenis mengenai rasio keuangan dan stabilitas rasio dalam memprediksi potensi kegagalan suatu perusahaan properti dilakukan oleh Sukarno dan Winatha (2003). Sampel yang digunakan adalah sebanyak 20 perusahaan properti. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan MDA. Hasil analisis menunjukkan bahwa rasio keuangan dapat digunakan untuk memprediksi sukses dan gagalnya suatu perusahaan. Almilia dan Herdiningtyas (2005) melakukan penelitian mengenai kegunaan rasio keuangan dalam memprediksi kondisi keuangan perusahaan perbankan. Sampel yang terpilih adalah sebanyak 24 bank umum swasta nasional untuk tahun 2000-2002, yang terdiri dari 16 bank kondisi tidak bermasalah dan 8 bank kondisi bermasalah. Dengan menggunakan regresi logistik, hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio keuangan CAMEL (capital, assets, management, earnings, dan liquidiy) memiliki daya klasifikasi atau daya prediksi
43
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 41-60
untuk kondisi bank yang mengalami kesulitan keuangan dan mengalami kebangkrutan. Peran rasio keuangan dalam memprediksi kondisi financial distress dilakukan oleh Almilia dan Kristijadi (2003). Sampel yang digunakan adalah 61 perusahaan manufaktur, yang terdiri dari 24 perusahaan yang mengalami financial distress dan 37 perusahaan yang tidak mengalami financial distress. Dengan menggunakan regresi logit, hasilnya mengindikasikan bahwa rasio keuangan dapat digunakan untuk memprediksi financial distress suatu perusahaan.cPeran rasio keuangan dalam memprediksi keuntungan saham dilakukan oleh O’Connor (1973), dengan menggunakan sampel sebanyak 127 perusahaan. O’Connor (1973) menggunakan analisis univariate dan multivariate yang menguji 10 rasio keuangan. Hasilnya menunjukkan bahwa rasio keuangan tidak memiliki kemampuan dalam memprediksi keuntungan saham. Penelitian yang menguji peran rasio keuangan dalam memprediksi keuntungan saham juga dilakukan oleh Ou dan Penman (1989). Dengan menggunakan teknik analisis logit pada perusahaan manufaktur, Ou dan Penman (1989) menganalisis 68 rasio keuangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji kegunaan analisis laporan keuangan dalam menaksir nilai perusahaan. Nilai perusahaan diindikasikan oleh informasi dalam harga saham. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa informasi akuntansi yang diindikasikan oleh rasio keuangan mengandung informasi fundamental yang tidak tercermin dalam harga saham. Penelitian yang sejauh ini dapat ditelusur oleh penulis yang terhitung cukup awal adalah penelitian yang dilakukan oleh Freeman et al. (1982). Freeman et al. (1982) mencoba menolak hipotesis dari literaturliteratur yang telah ada, yang mengatakan bahwa laba akuntansi (tahunan) adalah tidak dapat diprediksi. Oleh karena itu, laba mengikuti pergerakan yang bersifat acak (random walk hypothesis). Dengan menggunakan prosedur logit, Freeman et al. (1982) menganalisis rasio ROR (rate of return) dalam memprediksi perubahan laba. Sampel yang digunakan adalah sebanyak 30 perusahaan selama periode 32 tahun, dari tahun 1946 sampai dengan tahun 1977. Hasilnya menunjukkan bahwa rasio ROR memiliki kandungan informasi yang bersifat prediktif terhadap perubahan laba.
44
Ou (1990) menguji kekuatan prediksi dan kandungan informasi dari unsur laporan keuangan selain laba dalam memprediksi laba satu tahun yang akan datang. Dengan menggunakan analisis logit univariate dan multivariate, hasilnya menunjukkan bahwa terdapat delapan rasio keuangan yang terbukti signifikan sebagai prediktor laba. Penman (1992) menguji secara empiris apakah laporan keuangan menyajikan informasi yang relevan untuk mengevaluasi perubahan laba. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 1.482 sampai 1.677 perusahaan selama periode 11 tahun, dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1983. Hasilnya menunjukkan bahwa laporan keuangan menyajikan informasi yang relevan untuk mengevaluasi perubahan laba. Penman (1992) juga menunjukkan bahwa unsur laporan keuangan selain laba serta laporan keuangan beberapa tahun yang lalu berhubungan dengan persistensi perubahan laba. Machfoedz (1994) melakukan penelitian yang menguji 68 perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEJ (Bursa Efek Jakarta), yang mempublikasikan laporan keuangannya selama empat tahun untuk periode 1989 sampai dengan 1992. Machfoedz (1994) menganalisis 47 rasio keuangan yang dikategorikan ke dalam sembilan kategori rasio, yaitu short-term liquidity, longterm solvency, profitability, productivity, indebtedness, investment intensiveness, leverage, return on investment, dan equity. Metode yang digunakan untuk memilih rasio keuangan adalah MAXR-Procedure, sedangkan untuk menguji hipotesis manfaat rasio keuangan dalam memprediksi laba di masa mendatang adalah dengan menggunakan regression analysis, ttest, dan logit-model. Dengan menggunakan MAXRProcedure, hasilnya menunjukkan bahwa terdapat 13 rasio yang signifikan untuk dijadikan sebagai prediktor laba, yaitu satu rasio kategori short-term liquidity, satu rasio kategori long-term solvency, tiga rasio kategori profitability, satu rasio kategori productivity, satu rasio kategori indebtedness, satu rasio kategori investment intensiveness, satu rasio kategori leverage, satu rasio kategori return on investment, dan tiga rasio kategori equity. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rasio keuangan yang digunakan bermanfaat dalam memprediksi laba satu tahun ke depan, namun tidak bermanfaat untuk prediksi lebih dari satu tahun.
PERAN RASIO KEUANGAN DALAM MEMPREDIKSI LABA ............... (Fany Arista dan Baldric Siregar)
Penambahan rasio keuangan yang diteliti oleh Machfoedz (1994) dilakukan oleh Warsidi dan Pramuka (2000), yang menguji kegunaan rasio keuangan dalam memprediksi perubahan laba untuk satu tahun, dua tahun, dan tiga tahun yang akan datang. Sampel yang digunakan adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEJ, yang mempublikasikan laporan keuangannya pada tahun 1993 sampai dengan tahun 1997. Dengan menganalisis 49 rasio menggunakan regresi stepwise (stepwise regression), hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio-rasio keuangan secara statistik dapat digunakan sebagai prediktor perubahan laba untuk satu tahun, dua tahun, dan tiga tahun yang akan datang. Lebih lanjut, hasilnya mengindikasikan bahwa terdapat penurunan jumlah rasio keuangan yang dapat digunakan sebagai prediktor laba dengan semakin panjangnya periode prediksi. Zainuddin dan Hartono (1999) menguji manfaat rasio keuangan dalam memprediksi pertumbuhan laba satu tahun dan dua tahun yang akan datang berdasarkan rasio CAMEL yang berjumlah 19 rasio. Sampel penelitian ini adalah 36 perusahaan perbankan yang terdaftar di BEJ, yang mengeluarkan laporan keuangan tahun 1989 sampai dengan 1996. Pengujian dilakukan terhadap rasio keuangan, baik pada tingkat individual maupun pada tingkat construct (gabungan dari rasio-rasio individual yang dijadikan satu variabel). Analisis regresi digunakan untuk menganalisis rasio keuangan pada tingkat individual dan AMOS (analysis of moment structures) pada tingkat construct. Hasilnya menunjukkan bahwa secara individual, rasio keuangan tidak signifikan dalam memprediksi pertumbuhan laba satu tahun dan dua tahun mendatang. Hasil pada tingkat construct, rasio keuangan capital, assets, earnings, dan liquidity signifikan dalam memprediksi pertumbuhan laba satu tahun ke depan, akan tetapi tidak untuk dua tahun ke depan. Lebih lanjut, hasil penelitian Zainuddin dan Hartono (1999) mengindikasikan bahwa kekuatan prediksi keempat rasio construct tersebut untuk dua tahun ke depan lebih rendah dibandingkan dengan satu tahun ke depan. Penelitian yang menguji kegunaan rasio keuangan dalam memprediksi pertumbuhan laba berdasarkan rasio CAMELS (capital, assets, management, earnings, liquidity, sensitivity to market risk) juga dilakukan oleh Sudarini (2005). Dengan
menggunakan 19 rasio keuangan pada 18 perusahaan perbankan yang dianalisis dengan regresi stepwise, hasilnya menunjukkan bahwa rasio keuangan berpengaruh terhadap perubahan laba untuk satu tahun yang akan datang. Ou (1990) menguji kekuatan prediksi dan kandungan informasi dari unsur laporan keuangan selain laba dalam memprediksi laba satu tahun yang akan datang. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa rasio keuangan terbukti signifikan sebagai prediktor laba satu tahun yang akan datang. Pengaruh rasio keuangan yang signifikan dalam memprediksi laba satu tahun yang akan datang pada perusahaan manufaktur juga dihasilkan dalam penelitian Machfoedz (1994) serta Warsidi dan Pramuka (2000) sedangkan pada perusahaan perbankan, dilakukan oleh Zainuddin dan Hartono (1999) serta Sudarini (2005). Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan hipotesis alternatif sebagai berikut: H1: Perubahan rasio keuangan berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan laba satu tahun yang akan datang. Pertumbuhan laba perusahaan sangat dipengaruhi oleh banyak hal termasuk kondisi ekonomi. Hal ini akan memberi implikasi bahwa informasi yang tercantum dalam analisis rasio keuangan akan kurang dapat memprediksi perubahan laba perusahaan untuk jangka waktu yang lama. Hal ini terbukti dalam penelitian Machfoedz (1994) serta Zainuddin dan Hartono (1999), yang menghasilkan kegagalan rasio keuangan dalam memprediksi laba dua tahun yang akan datang. Hasil yang berkebalikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Machfoedz (1994) serta Zainuddin dan Hartono (1999) dihasilkan dalam penelitian Warsidi dan Pramuka (2000), yang justru membuktikan bahwa rasio keuangan dapat digunakan dalam memprediksi laba dua tahun yang akan datang. Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H2: Perubahan rasio keuangan berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan laba dua tahun yang akan datang. Hasil penelitian Machfoedz (1994) serta Zainuddin dan Hartono (1999) menunjukkan bahwa rasio keuangan yang digunakan bermanfaat untuk memprediksi laba satu tahun yang akan datang, namun tidak bermanfaat untuk prediksi lebih dari satu tahun. Hal ini berbeda dengan penelitian Warsidi dan Pramuka (2000), yang menunjukkan bahwa rasio-rasio keuangan
45
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 41-60
secara statistik dapat digunakan sebagai prediktor perubahan laba untuk satu tahun dan dua tahun yang akan datang. Lebih lanjut, hasilnya mengindikasikan bahwa terdapat penurunan jumlah rasio keuangan yang dapat digunakan sebagai prediktor laba dengan semakin panjangnya periode prediksi. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut, terbukti bahwa penelitian yang menguji kemampuan prediksi rasio keuangan terhadap perubahan laba antar berbagai periode cenderung tidak persisten. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesisnya sebagai berikut: H3: Kemampuan prediksi rasio keuangan terhadap perubahan laba berbeda untuk satu tahun dan dua tahun yang akan datang. Sampel dalam penelitian ini adalah sampel yang dipilih berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. Untuk memperoleh sampel tersebut, maka penulis menggunakan metode purposive sampling. Dengan metode tersebut, sampel dipilih atas dasar kesesuaian karakteristik sampel dengan kriteria pemilihan sampel yang telah ditentukan. Kriteria yang ditetapkan adalah (1) Perusahaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan yang mempublikasikan laporan keuangannya pada tahun 2003, 2004, 2005, dan 2006. Data dalam laporan keuangan ini, akan digunakan untuk perhitungan perubahan rasio keuangan dan perubahan laba; (2) Perusahaan masuk kategori industri manufaktur yang terdaftar di BEI (Bursa Efek Indonesia). Pertimbangan dalam memilih industri manufaktur didasarkan pada penelitian sebelumnya (Machfoedz, 1994), yang menggunakan jenis industri yang sama untuk membuktikan konsistensi peran rasio keuangan sebagai prediktor laba; dan (3) Perusahaan mempublikasikan laporan tahunan yang berakhir tanggal 31 Desember. Kriteria ini penting untuk memastikan bahwa sampel tidak memasukkan laporan keuangan parsial karena kemungkinan data perusahaan yang diperlukan untuk menghitung rasio belum lengkap. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder. Data sekunder yang digunakan diperoleh dari laporan keuangan perusahaan-perusahaan yang terdaftar di BEI. Data penelitian ini adalah rasio keuangan dan laba yang tersedia dan dapat dihitung dari laporan keuangan. Berdasarkan laporan keuangan yang masuk ke dalam sampel, laporan keuangan tahun 2003 dan 2004 digunakan untuk menghitung perubahan rasio
46
keuangan, sedangkan laporan keuangan tahun 2004, 2005, dan 2006 digunakan untuk menghitung perubahan laba. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah perubahan laba. Perubahan laba yang digunakan adalah perubahan laba relatif. Alasan menggunakan angka laba relatif adalah karena angka laba tersebut lebih representatif dibandingkan dengan laba absolut yang dimaksudkan untuk menghindari pengaruh ukuran perusahaan (Machfoedz, 1994). Angka laba ini dapat dilihat dan dihitung dari laporan laba rugi. Indikator perubahan laba yang digunakan adalah laba operasi. Alasan penggunaan laba operasi adalah bahwa laba operasi lebih mampu menggambarkan operasi perusahaan dibandingkan jenis laba yang lainnya, misalnya laba bersih dianggap masih dipengaruhi oleh hal-hal lain yang ada di luar kendali manajemen, seperti peristiwa luar biasa (bencana alam atau kebakaran) yang meningkatkan atau menurunkan laba. Selain itu, laba operasi juga diasumsikan memiliki hubungan langsung dengan penciptaan laba melalui biaya-biaya operasi, misalnya biaya iklan ditujukan untuk mendorong terjadinya penjualan. Perhitungan perubahan laba relatif untuk satu tahun yang akan datang, yaitu sebagai berikut:
ΔE i ,t +1 =
E i ,t +1 − E i ,t
(1)
E i ,t
ΔEi,t+1 = Perubahan laba untuk periode t+1. Ei,t+1 = Laba absolut pada periode yang dihitung angka perubahannya. Ei,t = Laba absolut pada periode satu tahun sebelumnya. I = Data observasi ke-i. Perhitungan perubahan laba relatif untuk dua tahun yang akan datang, sebagai berikut:
ΔE i ,t + 2 =
E i ,t + 2 − E i ,t +1 E i ,t +1
(2)
ΔEi,t+2 = Perubahan laba untuk periode t+2. Ei,t+2 = Laba absolut pada periode yang dihitung angka perubahannya.
PERAN RASIO KEUANGAN DALAM MEMPREDIKSI LABA ............... (Fany Arista dan Baldric Siregar)
Ei,t+1 = Laba absolut pada periode satu tahun sebelumnya. I = Data observasi ke-i. Data perubahan laba yang digunakan adalah tahun 2004, 2005, dan 2006. Perubahan laba relatif untuk satu tahun yang akan datang (tahun 2005) dihitung dari selisih laba antara tahun 2005 dengan laba tahun 2004 dibagi laba tahun 2004. Demikian juga halnya dengan perubahan laba relatif dua tahun yang akan datang (tahun 2006) dihitung dari selisih laba antara tahun 2006 dengan laba tahun 2005 dibagi dengan laba tahun 2005. Variabel independen dalam penelitian ini adalah perubahan rasio keuangan. Perubahan rasio keuangan yang digunakan adalah perubahan relatif rasio keuangan. Alasan penggunaan angka relatif rasio keuangan ini dimaksudkan untuk menghindari pengaruh variasi besaran perusahaan (Warsidi dan Pramuka, 2000). Formula perhitungannya adalah:
ΔFr i ,t =
Fr i ,t − Fr i ,t −1 Fr i ,t −1
(3)
DFri,t = Perubahan relatif rasio keuangan untuk periode t. Fri,t = Rasio keuangan pada periode t. Fri,t-1 = Rasio keuangan periode t –1. i = Data observasi ke-i. Data yang digunakan untuk menghitung perubahan rasio keuangan adalah data tahun 2003 dan 2004. Perubahan relatif rasio keuangan untuk tahun 2004 dihitung dari rasio keuangan tahun 2004 dikurangi dengan rasio keuangan tahun 2003 dibagi rasio keuangan tahun 2003. Tabel 1 menunjukkan rasio-rasio keuangan yang digunakan dalam penelitian ini, yang diambil dari penggabungan antara rasio keuangan Machfoedz (1994) dengan Warsidi dan Pramuka (2000), Dambolena dan Khoury (1980), dan summary of financial ratios. Rasio-rasio keuangan yang terdapat dalam penelitian Machfoedz (1994) berjumlah 47 rasio, yang berasal dari penggabungan lima penelitian, yaitu O’Connor (1973), Chen dan Shimerda (1981), Seitz (1984), Ou dan Penman (1989), serta Barlev dan Livnat (1990). Penulis dalam hal ini menggunakan 46 rasio
keuangan Machfoedz (1994) karena penulis mengganti rasio working capital to total assets pada construct productivity dengan cost of goods sold to net sales yang terdapat dalam penelitian Warsidi dan Pramuka (2000) yang ternyata rasio tersebut terbukti berperan sebagai prediktor laba untuk satu tahun dan dua tahun yang akan datang. Alasan penulis mengganti rasio tersebut karena rasio working capital to total assets terdapat pula dalam construct investment intensiveness, sehingga kemungkinan akan menghasilkan bias dalam pemilihan rasio yang dapat mewakili masingmasing construct tersebut. Dalam penelitian Dambolena dan Khoury (1980), penulis mengambil satu rasio keuangan (fixed assets to net worth) sebagai bagian dari construct indebtedness, dan satu rasio (long-term debt to equity) dari artikel summary of financial ratios sebagai bagian dari construct leverage. Penulis menambahkan dua rasio, yaitu fixed assets to net worth dan long-term debt to equity karena dalam penelitian Machfoedz (1994), masing-masing construct indebtedness dan leverage hanya diwakili tiga rasio keuangan. Selain itu, penulis mengambil rasio dari penelitian Dambolena dan Khoury (1980) karena rasio tersebut dapat digunakan sebagai salah satu prediktor, walaupun sebagai prediktor kebangkutan perusahaan. Dengan demikian, jumlah rasio yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 49 rasio, untuk kemudian dipilih dengan menggunakan principal component analysis agar menghasilkan sekumpulan rasio keuangan terbaik yang dapat dijadikan sebagai prediktor laba. Dalam rangka menguji hubungan antara perubahan laba sebagai variabel dependen dengan perubahan rasio-rasio keuangan sebagai variabel independen, maka dilakukan pemilihan atas 49 rasio keuangan sebagaimana tersaji dalam Tabel 1. Pemilihan rasio dilakukan agar diperoleh rasio-rasio keuangan yang secara signifikan dapat dijadikan sebagai prediktor perubahan laba. Metode pemilihan variabel yang digunakan adalah principal component analysis.
47
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 41-60
Tabel 1 Rasio Keuangan yang akan Digunakan untuk Menghasilkan Rasio Keuangan Terbaik
48
PERAN RASIO KEUANGAN DALAM MEMPREDIKSI LABA ............... (Fany Arista dan Baldric Siregar)
Untuk menguji pengaruh rasio keuangan terhadap perubahan laba satu tahun dan dua tahun yang akan datang (H1 dan H2), maka digunakan alat persamaan statistika uji regresi linear berganda. Persamaan (4) merupakan persamaan regresi untuk hipotesis pertama, yaitu rasio keuangan yang digunakan untuk memprediksi perubahan laba satu tahun yang akan datang. Dalam hipotesis kedua, digunakan persamaan (5) yang digunakan untuk memprediksi perubahan laba dua tahun yang akan datang. Persamaan masing-masing diuraikan sebagai berikut: ΔEi,t+1 = β0 + β1ΔFri,1 + β2ΔFri,2 + ... + βkΔFri,k + εi
(4)
ΔEi,t+2 = β0 + β1ΔFri,1 + β2ΔFri,2 + ... + βkΔFri,k + εi
(5)
ΔEi,t+1 = Perubahan laba untuk periode t+1. ΔEi,t+2 = Perubahan laba untuk periode t+2. ΔFri, 1, 2, ..., k = Perubahan relatif rasio keuangan ke-1, 2, ..., k. b0 = Intercept, perubahan laba yang diasumsikan jika tidak dihubungkan dengan perubahan relatif rasio keuangan. b1, 2, ..., k = Koefisien arah regresi rasio keuangan ke-1, 2, ..., k. e = Kesalahan residu. i = Data observasi ke-i. Untuk menguji hipotesis ketiga yang menyatakan apakah kemampuan prediksi rasio keuangan terhadap perubahan laba berbeda untuk satu tahun dan dua tahun yang akan datang, penulis membandingkan nilai adjusted R square dalam hasil output SPSS yang digunakan untuk pengujian hipotesis pertama dan kedua. Dengan membandingkan nilai adjusted R 2, maka dapat diketahui apakah kemampuan prediksi rasio keuangan terhadap perubahan laba yang berbeda untuk satu tahun dengan dua tahun disebabkan oleh nilai adjusted R2 yang lebih tinggi atau lebih rendah di antara kedua tahun yang diprediksi.
HASIL PENELITIAN Penelitian ini didasarkan pada data yang tersedia di BEI tahun 2003, 2004, 2005, dan 2006. Berdasarkan pemilihan sampel yang telah dilakukan dengan metode purposive sampling, diperoleh sampel sejumlah 89 perusahaan yang akan dimasukkan ke dalam analisis. Di antara 89 sampel tersebut, 43 perusahaan tidak mencatat akun long-term debt di dalam laporan keuangannya untuk tahun 2003 dan/atau 2004. Hal ini mengakibatkan perhitungan rasio keuangan yang melibatkan akun long-term debt dan penghitungan perubahan relatifnya memiliki angka penyebut nol, sehingga hasilnya menjadi tidak terdefinisikan. Empat puluh tiga sampel ini kemudian dikeluarkan dari analisis sehingga jumlah sampel yang dianalisis menjadi 46 perusahaan. Data akhir yang diperoleh merupakan data awal yang dikurangi dengan data yang tidak lengkap dan outliers. Outliers diperoleh setelah melakukan uji asumsi klasik. Setelah mengurangi data yang tidak lengkap dan mengeluarkan outliers, maka diperoleh data akhir masing-masing sebanyak 41 perusahaan untuk pengujian hipotesis pertama dan kedua. Variabel yang digunakan dalam pengujian hipotesis pertama dan kedua adalah sama yang terdiri dari enam variabel, yaitu perubahan ROI 5 (net income to total assets), II 9 (cash flow to sales), II 7 (working capital to sales), I 4 (fixed assets to net worth), dan PROD 11 (cost of goods sold to net sales) sebagai variabel independen serta perubahan laba sebagai variabel dependen. Principal component analysis digunakan dengan tujuan untuk menemukan komponenkomponen di antara rasio-rasio keuangan dan memilih rasio keuangan yang akan digunakan untuk analisis regresi berganda. Principal component analysis dilakukan terhadap 49 rasio keuangan dengan menggunakan 46 sampel perusahaan manufaktur. Langkah-langkah dan penjelasan hasil analisisnya dengan principal component analysis akan diuraikan seperti di bawah ini. Proses analisis dimulai berdasarkan penyusunan matriks korelasi di antara variabel-variabel yang diteliti. Apabila terdapat korelasi yang tinggi di antara variabel-variabel, maka principal component analysis cocok digunakan untuk analisis pengurangan jumlah variabel atau menemukan komponen yang mendasari di antara variabel-variabel yang diteliti.
49
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 41-60
Berikut ini merupakan matriks korelasi di antara variabelvariabel yang diteliti. Hasil pengolahan data awal diperoleh banyak pencampuran rasio-rasio keuangan dalam beberapa faktor, sehingga penulis melakukan pemodelan kembali secara berulang-ulang sehingga ditemukan model penyusunan matriks korelasi yang terbaik, yang menyaring 49 rasio keuangan menjadi 13 rasio keuangan seperti yang terdapat dalam Tabel 2. Matriks korelasi di atas menunjukkan bahwa terdapat beberapa korelasi di antara variabel-variabel yang cukup besar, yaitu: 1. Korelasi 0,73. 2. Korelasi 0,99. 3. Korelasi 0,76. 4. Korelasi 0,76.
antara variabel ROI 2 dengan ROI 1 sebesar
5. Korelasi antara variabel ROI 3 dengan ROI 2 sebesar 0,77. 6. Korelasi antara variabel ROI 4 dengan ROI 2 sebesar 0,98. 7. Korelasi antara variabel ROI 5 dengan ROI 2 sebesar 1,00. 8. Korelasi antara variabel ROI 4 dengan ROI 3 sebesar 0,78. 9. Korelasi antara variabel ROI 5 dengan ROI 3 sebesar 0,80. 10. Korelasi antara variabel ROI 5 dengan ROI 4 sebesar 0,99. 11. Korelasi antara variabel II 9 dengan II 1 sebesar 1,00. 12. Korelasi antara variabel II 7 dengan II 3 sebesar 0,96.
antara variabel ROI 3 dengan ROI 1 sebesar antara variabel ROI 4 dengan ROI 1 sebesar antara variabel ROI 5 dengan ROI 1 sebesar
Berdasarkan hasil tersebut di atas, menunjukkan bahwa terdapat beberapa variabel yang mempunyai korelasi tinggi sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan principal component analysis dapat
Tabel 2 Correlation Matrix
50
PERAN RASIO KEUANGAN DALAM MEMPREDIKSI LABA ............... (Fany Arista dan Baldric Siregar)
diterima. Pengujian kesesuaian model principal component analysis dapat dilakukan dengan menggunakan Barlett’s test of sphericity dan ukuran kecukupan pengambilan sampel Indeks KMO (Kaiser-MeyerOlkin). Berikut ini merupakan hasil pengujian Barlett dan ukuran kecukupan pengambilan sampel Indeks KMO. Tabel 3 Hasil Uji Barlett dan KMO
cipal component analysis sesuai adalah > 0,5. Nilai Indeks KMO pada pengujian ini adalah 0,563 lebih besar daripada 0,50. Hasil ini memberikan kesimpulan bahwa principal component analysis dapat dinyatakan sebagai teknik yang sesuai untuk analisis matriks korelasi observasi. Pada penelitian ini, penulis menggunakan penentuan jumlah komponen berdasarkan eigenvalue dan berdasarkan persentase varian kumulatif untuk menentukan banyaknya komponen yang akan digunakan dalam analisis berikutnya. Berikut ini disajikan komunalitas, total varian yang dijelaskan, dan scree plot dari hasil analisis data. Tabel 4 Communalities
Uji Barlett mempunyai hipotesis nol bahwa variabel-variabel tidak berkorelasi dalam populasi. Nilai uji Barlett yang besar akan menolak hipotesis nol. Apabila hipotesis nol tidak dapat ditolak, maka kesesuaian principal component analysis dapat dipertanyakan. Hasil Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa nilai uji Barlett adalah 1341,040 dengan tingkat signifikansi 0,000, maka hipotesis nol yang menyatakan bahwa variabel-variabel dalam populasi tidak berkorelasi ditolak. Nilai KMO yang kecil mengindikasikan bahwa korelasi di antara pasanganpasangan variabel tidak dapat dijelaskan oleh variabel lain dan principal component analysis tidak sesuai dalam analisis. Indeks KMO yang digunakan agar prinTabel 5 Total Variance Explained
51
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 41-60
Matriks komponen berisi koefisien-koefisien yang digunakan untuk mengekpresikan variabelvariabel yang distandarisasi untuk komponen yang bersangkutan. Matriks komponen yang belum dirotasi menunjukkan hubungan antara komponen dengan setiap variabelnya. Matriks ini kurang mampu memberikan interpretasi dengan baik karena komponenkomponen berkorelasi dengan banyak variabel. Oleh karena itu, matriks komponen ditransformasi menjadi matriks komponen yang dirotasi. Matriks komponen yang telah dirotasi dapat menunjukkan koefisien yang signifikan pada setiap komponen. Suatu variabel ditentukan mempunyai koefisien kuat pada satu komponen tertentu saja. Terdapat beberapa metode untuk melakukan rotasi terhadap matriks komponen. Penulis menggunakan prosedur varimax. Berikut ini merupakan hasil uji pada matriks komponen dan matriks komponen yang telah dirotasi. Tabel 6 Component Matrix
Tabel 7 Rotated Component Matrix
52
Dengan menggunakan prosedur varimax terhadap sampel, diperoleh suatu matriks komponen yang telah dirotasi seperti yang terdapat pada Tabel 7 di atas. Dalam matriks tersebut, dapat diidentifikasi variabel-variabel yang mempunyai korelasi tinggi pada suatu komponen, yaitu (1) Variabel ROI 1, ROI 2, ROI 3, ROI 4, dan ROI 5 mempunyai korelasi tinggi dengan komponen 1; (2) Variabel I 4 mempunyai korelasi tinggi dengan komponen 2; (3) Variabel II 1 dan II 9 mempunyai korelasi tinggi dengan komponen 3; (4) Variabel II 3 dan II 7 mempunyai korelasi tinggi dengan komponen 4; dan (5) Variabel PROD 11 mempunyai korelasi tinggi dengan komponen 5. Apabila variabel-variabel mempunyai koefisien besar pada satu komponen yang sama, maka dapat diinterpretasikan bahwa variabel-variabel tersebut berada dalam suatu dimensi yang sama. Dengan demikian, dapat dilakukan peringkasan dari beberapa variabel menjadi satu dalam satu komponen atau dimensi. Hasil principal component analysis dalam penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Variabel ROI 1, ROI 2, ROI 3, ROI 4, dan ROI 5 dalam satu dimensi, yaitu return on investment; (2) Variabel I 4 merupakan dimensi indebtedness; (3) Variabel II 1 dan II 9 merupakan dimensi investment intensiveness; (4) Variabel II 3 dan II 7 merupakan dimensi investment intensiveness. Walaupun II 1, II 9, II 3, dan II 7 merupakan satu construct investment intensiveness, namun dimensi rasio-rasio tersebut berbeda, yakni rasio II 1 dan II 9 mewakili komponen 3 sedangkan II 3 dan II 7 mewakili komponen 4 sehingga dilakukan penulisan secara terpisah; dan (5) Variabel PROD 11 dan PROF 1 dalam satu komponen tetapi sulit diidentifikasi dimensinya karena PROD 11 merupakan dimensi productivity sedangkan PROF 1 adalah rasio profitability. Rasio PROD 11 mempunyai koefisien yang lebih tinggi daripada rasio PROF 1. Peneliti tidak menggunakan skor komponen karena skor komponen harus dihitung dari fungsi komponen dan memasukkan semua variabel yang dianalisis. Oleh karena itu, peneliti memilih variabel pengganti di antara variabel original untuk masingmasing komponen. Pemilihan variabel pengganti dilakukan dengan menggunakan informasi dalam matriks komponen yang telah dirotasi. Variabel yang memiliki koefisien terbesar pada suatu komponen dipilih sebagai variabel pengganti komponen yang
PERAN RASIO KEUANGAN DALAM MEMPREDIKSI LABA ............... (Fany Arista dan Baldric Siregar)
bersangkutan. Hasilnya dapat diuraikan sebagai berikut (1) Variabel pengganti untuk komponen 1 dipilih variabel ROI 5 karena mempunyai koefisien tertinggi, yaitu 0,990; (2) Variabel pengganti untuk komponen 2 dipilih variabel I 4 karena mempunyai koefisien sebesar 0,967; (3) Untuk komponen 3 terdapat dua variabel yang mempunyai koefisien yang sama, yaitu variabel II 1 dan II 9 sebesar 0,992. Dalam hal ini, penulis memilih salah satunya, yaitu II 9 yang merupakan rasio cash flow to sales. Diharapkan rasio ini lebih dapat mengukur seberapa besar kemampuan perusahaan dalam menghasilkan arus kas dari penjualan daripada arus kas yang dihasilkan dari total utangnya seperti dalam II 1 yang merupakan rasio cash flow to total liabilities. Selain itu, diharapkan rasio II 9 dapat mewakili construct investment intensiveness dalam memprediksi laba di masa depan; (4) Variabel pengganti untuk komponen 4 dipilih variabel II 7 karena mempunyai koefisien sebesar 0,987; (5) Variabel pengganti untuk komponen 5 dipilih variabel PROD 11 karena mempunyai koefisien sebesar 0,794. Berdasarkan hasil pemilihan variabel pengganti tersebut, maka untuk analisis berikutnya digunakan hanya lima komponen, yaitu variabel ROI 5, I 4, II 9, II 7, dan PROD 11. Tahap terakhir dalam principal component analysis adalah penentuan kesesuaian model. Kesesuaian model dapat diuji dengan menggunakan
residuals, yaitu perbedaan antara korelasi observasi dengan korelasi reproduksi yang diestimasi dengan matriks komponen. Jika terdapat banyak residuals yang bernilai besar (> 0,1), maka model principal component analysis tidak mempunyai kesesuaian yang baik terhadap data sehingga perlu dilakukan pemodelan kembali. Hasil pengujian menunjukkan bahwa hanya terdapat satu residual yang mempunyai residual lebih besar dari 0,1, yaitu antara PROF 1 dengan PROD 11 sedangkan sisanya lebih kecil dari 0,1. Dengan demikian, model principal component analysis tersebut mempunyai kesesuaian dengan data. Tujuan dari statistik deskriptif adalah memberikan gambaran tentang suatu data, seperti nilai minimum, maksimum, rata-rata, dan standar deviasi. Uji statistik dilakukan terhadap data ROI 5 (net income to total assets), II 9 (cash flow to sales), II 7 (working capital to sales), I 4 (fixed assets to net worth), dan PROD 11 (cost of goods sold to net sales) sebagai variabel independen dengan perubahan labanya sebagai variabel dependen. Tabel 8 menyajikan statistik deskriptif yang berkaitan dengan rasio ROI 5, II 9, II 7, I 4, dan PROD 11 dengan perubahan laba untuk satu tahun yang akan datang (tahun 2005), sedangkan Tabel 9 berkaitan dengan rasio ROI 5, II 9, II 7, I 4, dan PROD 11 dengan perubahan laba untuk dua tahun yang akan datang (tahun 2006).
Tabel 8 Statistik Deskriptif pada Pengujian Hipotesis
Tabel 9 Statistik Deskriptif pada Pengujian Hipotesis Kedua
53
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 41-60
Hasil statistik deskriptif menyatakan bahwa nilai minimum dan maksimum rasio-rasio ROI 5, II 9, II 7, I 4, dan PROD 11 untuk perubahan laba satu tahun yang akan datang (Tabel 8) adalah sama dengan nilai minimum dan maksimum rasio-rasio ROI 5, II 9, II 7, I 4, dan PROD 11 untuk perubahan laba dua tahun yang akan datang (Tabel 9), yang secara berturut-turut untuk nilai minimumnya adalah -26,70; -284,77; -11,20; -4,17; dan 1,95 sedangkan nilai maksimumnya adalah 7,21; 12,40; 2,42; 0,51; dan 0,58. Hasil statistik deskriptif juga menyatakan bahwa nilai rata-rata variabel ROI 5 untuk perubahan laba satu tahun yang akan datang adalah 0,8858 dengan standar deviasi 4,63916, sedangkan ratarata variabel ROI 5 untuk perubahan laba dua tahun yang akan datang adalah -0,7088 dengan standar deviasi 4,61616. Hasil ini menunjukkan bahwa ROI 5 antara perubahan laba satu tahun dengan dua tahun yang akan datang tidak terlalu berbeda. II 9 memiliki nilai rata-rata -7,6510 dengan standar deviasi 44,47292 untuk perubahan laba satu tahun yang akan datang dan nilai rata-rata -7,4813 dengan standar deviasi 44,51322 untuk perubahan laba dua tahun yang akan datang. Variabel II 7 memiliki nilai rata-rata -0,3864 dengan standar deviasi 1,98568 untuk perubahan laba satu tahun yang akan datang dan nilai rata-rata -0,3576 dengan standar deviasi 2,02070 untuk perubahan laba dua tahun yang akan datang. I 4 memiliki nilai rata-rata -0,1253 dengan standar deviasi 0,69196 untuk perubahan laba satu tahun yang akan datang dan nilai rata-rata -0,1277 dengan standar deviasi 0,69287 untuk perubahan laba dua tahun yang akan datang. Variabel PROD 11 memiliki nilai rata-rata -0,0424 dengan standar deviasi 0,32274 untuk perubahan laba satu tahun yang akan datang dan nilai rata-rata -0,0412 dengan standar deviasi 0,32415 untuk perubahan laba dua tahun yang akan datang. Hasil ini menunjukkan bahwa rasio-rasio selain ROI 5, yaitu II 9, II 7, I 4, dan PROD 11 untuk perubahan laba satu tahun dengan dua tahun yang akan datang tidak terlalu berbeda. Hasil statistik deskriptif untuk variabel dependennya, yaitu perubahan laba menunjukkan bahwa perubahan laba satu tahun dengan dua tahun yang akan datang juga tidak terlalu berbeda jika dilihat dari nilai minimum, maksimum, rata-rata maupun standar deviasinya. Hasil untuk laba satu tahun secara berturutturut adalah -3,04; 3,40; -0,2174; 1,10234 sedangkan hasil untuk laba dua tahun secara berturut-turut adalah -
54
12,53; 2,76; -0,3707; 2,15006. Penulis menduga hasil ini mungkin disebabkan karena sedikitnya variasi pada data akibat dikeluarkannya outliers pada data yang dianalisis. Pengujian hipotesis pertama dilakukan dengan meregresikan variabel dependen perubahan laba satu tahun yang akan datang (2005) dengan variabel independen ROI 5, II 9, II 7, I 4, dan PROD 11. Dari hasil pengujian hipotesis pertama tersebut (lihat Tabel 10), diketahui nilai uji-F sebesar 1,171 tidak signifikan pada alpha 5%, sehingga model regresi pengujian hipotesis pertama tidak dapat digunakan dalam penelitian ini. Tabel 10 Hasil Uji-F pada Pengujian Hipotesis Pertama
Pengujian hipotesis kedua dilakukan dengan meregresikan variabel dependen yang diwakili oleh perubahan laba dua tahun yang akan datang (2006) dengan variabel independen ROI 5, II 9, II 7, I 4, dan PROD 11. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis kedua tersebut (Tabel 11), diketahui nilai uji-F sebesar 21,790 signifikan pada alpha 5%, sehingga model regresi pengujian hipotesis kedua dapat digunakan dalam penelitian ini. Tabel 11 Hasil Uji-F pada Pengujian Hipotesis Kedua
Uji-t bertujuan untuk melihat besarnya pengaruh masing-masing variabel independen secara individual terhadap variabel dependen. Pengujian hipotesis pertama dilakukan dengan meregres variabel dependen, yaitu perubahan laba satu tahun yang akan datang dengan variabel independennya, yaitu ROI 5, II 9, II 7, I 4, dan PROD 11.
PERAN RASIO KEUANGAN DALAM MEMPREDIKSI LABA ............... (Fany Arista dan Baldric Siregar)
Berdasarkan Tabel 12, tampak bahwa ROI 5 memiliki nilai signifikansi sebesar 0,234. Dengan menggunakan á/2 = 0,025, nilai signifikansi ROI 5 lebih besar dari tingkat signifikansinya atau 0,234 > 0,025. Untuk nilai t hitung adalah 1,212 lebih kecil dari t tabel sebesar 1,960 pada alpha 5%, menunjukkan bahwa rasio keuangan ROI 5 tidak berpengaruh terhadap perubahan laba satu tahun yang akan datang (2005). Hal yang sama juga terjadi pada variabel-variabel yang lainnya, yaitu II 9, II 7, I 4, dan PROD 11. Dengan menggunakan á /2 = 0,025, masing-masing nilai signifikansi II 9, II 7, I 4, dan PROD 11 adalah sebesar 0,726; 0,673; 0,041; dan 0,840 yang semuanya lebih besar dari 0,025. Selain itu, nilai t hitungnya berturut-turut adalah -0,354; 0,426; 2,126; dan -0,204. Nilai t hitung rasio II 9, II 7, dan PROD 11 semuanya berada pada daerah penolakan hipotesis alternatif dari t tabel 1,960, tetapi pada I 4 mempunyai nilai t hitung > t tabel 1,960 yang seharusnya secara individual rasio ini berpengaruh terhadap perubahan laba satu tahun yang akan datang. Namun, nilai signifikansinya 0,041 > 0,025
dan nilai uji-F sebesar 1,171 tidak signifikan pada alpha 5%, yang berarti bahwa tidak terdapat salah satu variabel independen yang mempengaruhi variabel dependen. Berdasarkan argumen tersebut, dapat diasumsikan bahwa rasio I 4 tidak berpengaruh terhadap perubahan laba satu tahun yang akan datang. Dengan demikian, hasil penelitian ini belum dapat menemukan bukti yang cukup kuat untuk hipotesis pertama (H1) yang menyatakan bahwa perubahan rasio keuangan berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan laba satu tahun yang akan datang. Berdasarkan Tabel 13, tampak bahwa terdapat salah satu rasio yang berpengaruh terhadap perubahan laba dua tahun yang akan datang, yaitu rasio ROI 5. ROI 5 memiliki tingkat signifikansi 0,000. Dengan menggunakan á/2 = 0,025, nilai signifikansi ROI 5 lebih kecil dari tingkat signifikansinya atau 0,000 < 0,025. Untuk nilai t hitung adalah 10,248 lebih besar dari t tabel 1,960 pada alpha 5%, yang menunjukkan bahwa ROI 5 mempunyai pengaruh terhadap perubahan laba dua tahun yang akan datang (2006).
Tabel 12 Hasil Uji-t pada Pengujian Hipotesis Pertama
Tabel 13 Hasil Uji-t pada Pengujian Hipotesis Kedua
55
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 41-60
Dengan menggunakan á/2 = 0,025, masingmasing nilai signifikansi variabel yang lainnya, yaitu II 9, II 7, I 4, dan PROD 11 adalah sebesar 0,880; 0,482; 0,139; dan 0,075 semuanya lebih besar dari 0,025. Selain itu, nilai t hitungnya berturut-turut adalah 0,153; -0,711; 1,514; dan 1,836 yang semuanya berada pada daerah penolakan hipotesis alternatif dari t tabel 1,960. Berdasarkan hasil Tabel 13 tersebut, hasil penelitian ini berhasil menemukan bukti yang cukup kuat untuk hipotesis kedua (H 2 ) yang menyatakan bahwa perubahan rasio keuangan berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan laba dua tahun yang akan datang. Berdasarkan hasil hipotesis kedua penelitian ini, maka diperoleh model persamaan regresi untuk perubahan laba dua tahun yang akan datang sebagai berikut: “Et+2 = -0,010 + 0,403 “ROI 5 + å Koefisien determinasi atau R square digunakan untuk mengukur persentase variasi dalam variabel dependen yang dijelaskan atau diprediksi oleh variasi dalam variabel independennya. Semakin besar nilai R2, maka semakin baik. Untuk hasil yang lebih baik, penulis akan menggunakan adjusted R 2 karena mempertimbangkan besarnya jumlah sampel dan banyaknya variabel yang digunakan dalam penelitian. Koefisien adjusted R2 ini dilakukan untuk menguji hipotesis ketiga yang menyatakan bahwa kemampuan prediksi rasio keuangan terhadap perubahan laba berbeda untuk satu tahun dan dua tahun yang akan datang. Berdasarkan pengujian hipotesis pertama diketahui nilai adjusted R2 sebesar 0,021 (2,1%). Hasil tersebut menunjukkan bahwa 2,1% laba perusahaan untuk satu tahun yang akan datang (2005) mampu dijelaskan oleh variasi rasio keuangan ROI 5, II 9, II 7, I 4, dan PROD 11 sedangkan sisanya, yaitu 97,9% diterangkan oleh variabel lain. Berdasarkan pengujian hipotesis kedua diketahui nilai adjusted R2 sebesar 0,722 (72,2%). Hasil tersebut menunjukkan bahwa 72,2% laba perusahaan untuk dua tahun yang akan datang (2006) mampu dijelaskan oleh variasi rasio keuangan ROI 5, II 9, II 7, I 4, dan PROD 11 sedangkan sisanya, yaitu 27,8% diterangkan oleh variabel lain. Hasil kedua adjusted R2 tersebut membuktikan bahwa kedua kemampuan prediksi rasio keuangan untuk laba satu tahun dan laba dua tahun yang akan datang berbeda, dengan kemampuan prediksi laba untuk dua
56
tahun yang akan datang lebih tinggi. Hal ini berarti hipotesis ketiga penelitian ini dapat diterima. PEMBAHASAN Hasil pada pengujian hipotesis pertama berdasarkan menyatakan bahwa perubahan rasio keuangan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan laba satu tahun yang akan datang. Penelitian ini bertolak belakang dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ou (1990) di Amerika Serikat bahwa rasio keuangan berpengaruh terhadap laba satu tahun yang akan datang. Selain berbeda dengan penelitian Ou (1990) di Amerika Serikat, penelitian ini juga berbeda dengan beberapa penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Machfoedz (1994), Warsidi dan Pramuka (2000), serta Sudarini (2005) bahwa rasio keuangan berpengaruh terhadap laba satu tahun yang akan datang. Namun, hasil penelitian ini mendukung dan memperkuat penelitian yang dilakukan oleh Zainuddin dan Hartono (1999) yang menemukan bahwa pengujian rasio keuangan secara individual tidak signifikan dalam memprediksi pertumbuhan laba satu tahun ke depan. Salah satu penyebab ketidakkonsistenan hasil temuan mengenai kegagalan rasio keuangan dalam memprediksi perubahan laba satu tahun yang akan datang mungkin disebabkan oleh adanya faktor-faktor ekonomi yang mempengaruhi kinerja perusahaan, seperti tingkat inflasi yang tidak stabil. Pada mulanya, penulis berusaha untuk mengatasi masalah yang terjadi dengan tidak terbuktinya hipotesis pertama yang memiliki hasil yang berbeda dan tidak konsisten dengan penelitian sebelumnya. Cara yang ditempuh oleh penulis adalah mencoba mengganti variabel dependen selain perubahan laba operasi dengan jenis laba lain, seperti laba kotor, laba sebelum pajak, laba bersih, earnings per share (EPS), maupun membagi subsampel perusahaan sesuai dengan ukuran perusahaan yang besar dan kecil berdasarkan penjualan dan total aktiva, tetapi penulis belum dapat menemukan hasil yang lebih baik dari model yang dihasilkan dengan laba operasi. Penulis menduga mungkin penggunaan laba operasi lebih efektif karena laba operasi lebih mampu menggambarkan operasi perusahaan dibandingkan jenis laba yang lainnya, misalnya laba bersih dianggap masih dipengaruhi oleh hal-hal lain yang ada di luar
PERAN RASIO KEUANGAN DALAM MEMPREDIKSI LABA ............... (Fany Arista dan Baldric Siregar)
kendali manajemen, seperti peristiwa luar biasa yang meningkatkan atau menurunkan laba. Selain itu, laba operasi juga diasumsikan memiliki hubungan langsung dengan penciptaan laba melalui biaya-biaya operasi, misalnya biaya iklan ditujukan untuk mendorong terjadinya penjualan. Pada hasil pengujian hipotesis kedua menunjukkan bahwa perubahan rasio keuangan berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan laba dua tahun yang akan datang. Hasil penelitian ini tidak dapat mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Machfoedz (1994) serta Zainuddin dan Hartono (1999) yang menyatakan bahwa rasio keuangan tidak berpengaruh terhadap laba dua tahun yang akan datang. Namun, penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian Warsidi dan Pramuka (2000) bahwa rasio keuangan dapat digunakan untuk memprediksi perubahan laba dua tahun yang akan datang (2006). Hal ini terbukti dalam hasil pengujian hipotesis kedua yang membuktikan bahwa terdapat satu rasio keuangan yang signifikan dalam memprediksi perubahan laba dua tahun yang akan datang (2006), yaitu rasio ROI 5 (net income to total assets) dengan tingkat signifikansi sebesar 0,000. Namun, terdapat beberapa hal yang perlu dianalisis lebih lanjut mengenai ketidakkonsistenan rasio-rasio keuangan secara individual dengan penelitian-penelitian sebelumnya karena rasio ROI 5 (net income to total assets) dalam penelitian sebelumnya tidak memiliki daya prediksi baik untuk perubahan laba satu tahun maupun dua tahun yang akan datang. Hal ini mungkin dikarenakan penggunaan prosedur pemilihan rasio keuangan yang berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya karena penulis mencoba menggunakan prosedur baru yang umumnya masih jarang dilakukan untuk jenis penelitian keuangan, yaitu penulis menggunakan principal component analysis, sedangkan peneliti terdahulu menggunakan MAXR-Procedure (Machfoedz, 1994) ataupun regresi stepwise (Warsidi dan Pramuka, 2000; Sudarini, 2005). Selain itu, terbuktinya hipotesis ini mungkin disebabkan oleh meningkatnya kinerja perusahaan, semakin baiknya kondisi ekonomi pada tahun 2006, serta kemungkinan meningkatnya tren penggunaan analisis rasio keuangan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusahaan, yang sampai saat ini ternyata terbukti cukup signifikan tidak hanya dalam
memprediksi harga saham, financial distress, maupun kebangkrutan saja tetapi juga dalam memprediksi laba perusahaan. Pada pengujian hipotesis yang ketiga dalam penelitian ini, ternyata penulis menemukan bahwa kemampuan prediksi rasio keuangan terhadap perubahan laba berbeda untuk satu tahun dan dua tahun yang akan datang, dengan peningkatan kemampuan prediksi pada tahun kedua. Hasil ini tidak dapat mendukung penelitian yang dilakukan oleh Machfoedz (1994), Zainuddin dan Hartono (1999), serta Warsidi dan Pramuka (2000) yang menyatakan bahwa kemampuan prediksi rasio keuangan akan menurun seiiring dengan panjangnya periode prediksi. Hasil yang berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu ini, mengingatkan penulis dengan penelitian yang dilakukan oleh Altman (1968). Pada penelitian Altman (1968) yang menguji kebangkrutan perusahaan, menghasilkan tingkat keakuratan secara keseluruhan yang menurun seiring dengan lamanya periode prediksi. Namun pada tahun kelima, kemampuan rasio dalam memprediksi kebangkrutan ini meningkat. Pada periode prediksi satu tahun sebelum perusahaan mengalami kebangkrutan, rasio-rasio keuangan tersebut bermanfaat untuk memprediksi kebangkrutan dalam tingkat keakuratan 95%, yang menurun menjadi 72% untuk periode dua tahun, 48% untuk periode tiga tahun, 29% untuk periode empat tahun, dan kemudian naik lagi menjadi 36% untuk periode lima tahun sebelum perusahaan mengalami kebangkrutan. Pada tahun kelima ini, kekuatan prediksi meningkat dari 29% menjadi 36%. Sedikit fenomena ini sama dengan yang terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh penulis, yang menghasilkan adjusted R2 sebesar 2,1% pada pengujian hipotesis pertama yang kemudian meningkat sebesar 72,2% pada pengujian hipotesis kedua. Terdapat beberapa kemungkinan yang menyebabkan peningkatan kemampuan prediksi ini, misalnya dikeluarkannya outliers yang dapat menyebabkan variasi data dalam penelitian ini ataupun meningkatnya validitas data yang digunakan dalam penelitian. Penulis menduga bahwa model prediksi penelitian akan semakin baik apabila dilakukan penambahan atas rasio yang akan digunakan maupun menambah jumlah sampel perusahaan dalam penelitian ini. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai kemampuan prediksi rasio keuangan terhadap
57
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 41-60
perubahan laba. Dalam penelitian-penelitian sebelumnya, umumnya kemampuan prediksi akan semakin menurun seiiring panjangnya periode prediksi. Berbeda dengan penelitian ini bahwa kemampuan prediksi justru lebih tinggi untuk laba dua tahun. Hal ini dapat dikatakan anomalis karena sulit diinterpretasikan dengan penalaran yang logis, meskipun bisa saja dijelaskan sebagai akibat dari perubahan laba sebagai data time series, semakin meningkatnya kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba pada tahun 2006, prosedur pemilihan rasio keuangan yang berbeda karena penulis menggunakan metode principal component analysis, meningkatnya validitas data, dikeluarkannya outliers pada data yang dianalisis, maupun kondisi ekonomi yang semakin baik. Hasil yang tidak konsisten ini, secara lebih jauh berimplikasi kepada keharusan melakukan pengkajian-pengkajian teoritis yang lebih intensif terhadap rasio keuangan dan fenomena-fenomena akuntansi lainnya, termasuk penggunaan prosedur pemilihan rasio keuangan yang berbeda agar ditemukan model prediksi yang semakin baik. SIMPULAN Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh rasio keuangan terhadap perubahan laba pada masa yang akan datang. Hasil penelitian menunjukkan rasio keuangan memiliki tidak memiliki daya prediksi laba untuk satu tahun yang akan datang. Akan tetapi bukti empiris menunjukkan bahwa rasio keuangan memiliki daya prediksi laba dua tahun yang akan datang. Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa kemampuan prediksi rasio keuangan terhadap perubahan laba berbeda untuk satu dan dua tahun. Penelitian ini masih memiliki keterbatasan yang kemungkinan dapat mempengaruhi hasil penelitian. Kelemahan tersebut adalah tidak dimasukkannya indikator-indikator ekonomi makro seperti tingkat inflasi dan suku bunga yang mungkin berpengaruh terhadap angka-angka akuntansi. Karena itu penelitian selanjutnya diharapkan mengakomodir hal ini agar hasil penelitian mengenai pengaruh rasio keuangan terhadap perubahan laba perusahaan menjadi lebih robust.
58
DAFTAR PUSTAKA Almilia, Luciana S. dan Kristijadi, E. (2003). “Analisis Rasio Keuangan untuk Memprediksi Kondisi Financial Distress Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta.” Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia. Vol. 7, No. 2. Almilia, Luciana S. dan Herdiningtyas, W. (2005). “Analisis Rasio CAMEL terhadap Prediksi Kondisi Bermasalah pada Lembaga Perbankan Periode 2000-2002.” Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Vol. 7, No. 2: 131-147. Altman, Edward I. (1968). “Financial Ratios, Discriminant Analysis, and the Prediction of Corporate Bankruptcy.” Journal of Finance. Vol. XXIII, No. 4: 589-609. Aryati, Titik dan Manao, H. (2002). “Rasio Keuangan sebagai Prediktor Bank Bermasalah di Indonesia.” Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol. 5, No. 2: 137-147. Dambolena, I. G. dan Khoury, S. J. (1980). “Ratio Stability and Corporate Failure.” The Journal of Finance. Vol. XXXV, No. 4: 1017-1026. Darayseh, Musa; Waples, E.; dan Tsoukalas, D. (2003). “Corporate Failure for Manufacturing Industries using Firms Specifics and Economic Environment with Logit Analysis.” Managerial Finance. Vol. 29, No. 8: 23-36. FASB (1978). Statement of Financial Accounting Concepts No. 1. Objectives of Financial Reporting by Business Enterprises. FASB (1980). Statement of Financial Accounting Concepts No. 2. Qualitative Characteristics of Accounting Information. FASB (1984). Statement of Financial Accounting Concepts No. 5. Recognition and Measurement in Financial Statements of Business Enterprises.
PERAN RASIO KEUANGAN DALAM MEMPREDIKSI LABA ............... (Fany Arista dan Baldric Siregar)
Febrianto, Rahmat dan Widiastuty, E. (2006). “Tiga Angka Laba Akuntansi: Mana yang Lebih Bermakna bagi Investor?” Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol. 9, No. 2: 200-215.
Ou, Jane A. (1990). “The Information Content of Nonearnings Accounting Numbers as Earnings Predictors.” Journal of Accounting Research. Vol. 28, No. 1: 144-163.
Freeman, Robert N.; Ohlson, J. A.; dan Penman, S. H. (1982). “Book Rate-of-Return and Prediction of Earnings Changes.” Journal of Accounting Research. Vol. 20, No. 2: 639-653.
Ou, Jane A. dan Penman, S. H. (1989). “Financial Statement Analysis and the Prediction of Stock Returns.” Journal of Accounting and Economics. No. 11: 295-329.
Houghton, K. A. dan Woodliff, D. R. (1987). “Financial Ratios: The Prediction of Corporate ‘Success’ and Failure.” Journal of Business Finance and Accounting. Page: 537-554.
Penman, Stephen H. (1992). “Financial Statement Information of Earnings Change.” The Accounting Review. Vol. 67, No. 3: 563-577.
Lev, Baruch dan Thiagarajan, S. R. (1993). “Fundamental Information Analysis.” Journal of Accounting Research. Vol. 31, No. 2: 190-215. Libby, Robert (1975). “Accounting Ratios and the Prediction of Failure: Some Behavioral Evidence.” Journal of Accounting Research. Page: 150-161. Lo, Eko W. (2001). “Rasio Keuangan untuk Mengukur Asosiasi Likuiditas, Struktur Modal, dan Kualitas Aktiva dengan Profitabilitas Bank: Analisis Korelasi Kanonikal.” Jurnal Bisnis dan Akuntansi. Vol. 3, No. 1: 315-334. Machfoedz, M. (1994). “Financial Ratios Analysis and the Earnings Changes in Indonesia.” Kelola. No 7: 114-137. Malhotra, Noresh K. (1996). Marketing Research. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Munawir, S. (1995). Analisis Laporan Keuangan. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
Prastowo D., Dwi dan Juliaty, R. (2005). Analisis Laporan Keuangan. Yogyakarta: UPP AMP YKPN. Santoso, Singgih (1999). SPSS Mengolah Data Statistik Secara Profesional Versi 7.5. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Santoso, Singgih (2000). Buku Latihan SPSS Parametrik. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Sasongko, Noer dan W., Nila. (2006). “Pengaruh EVA dan Rasio-Rasio Profitabilitas terhadap Harga Saham.” Empirika. Vol. 19, No. 1: 68-80. Sudarini, Sinta (2005). “Penggunaan Rasio Keuangan dalam Memprediksi Laba pada Masa yang akan Datang (Studi Kasus di Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta).” Jurnal Akuntansi dan Manajemen. Hal.: 195-207.
O’Connor, Melvin C. (1973). “On the Usefulness of Financial Ratios to Investors in Common Stock.” The Accounting Review. Page: 339-352.
Sukarno, Agus dan Winatha, I. K. (2004). “Peranan Rasio Keuangan dan Stabilitas Rasio untuk Memprediksi Potensi Kegagalan pada Perusahaan Properti yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta (Studi Empiris pada Bursa Efek Jakarta 1996-2000).” JMK. Vol. 1, No. 2.
Ohlson, James A. (1980). “Financial Ratios and the Probabilistic Prediction of Bankruptcy.” Journal of Accounting Research. Vol. 18, No. 1: 109131.
Susilawati, Chistine D. K. (2005). “Pengaruh Rasio Keuangan terhadap Harga Saham pada Perusahaan Manufaktur.” Jurnal Ilmiah Akuntansi. Vol. 5, No. 2.
59
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 41-60
Warsidi dan Pramuka, B. A. (2000). “Evaluasi Kegunaan Rasio Keuangan dalam Memprediksi Perubahan Laba di Masa yang akan Datang: Studi Empiris pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta.” Jurnal Akuntansi, Manajemen, dan Ekonomi. Vol. 2, No. 1. Wijaya, Putu L. A. dan Hartadi, B. (2000). “Pengaruh Perubahan Laba Akuntansi terhadap Perubahan Harga Saham Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Jakarta.” Kompak. No. 24: 715-733. Zainuddin dan Hartono, J. (1999). “Manfaat Rasio Keuangan dalam Memprediksi Pertumbuhan Laba.” Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol. 2, No. 1: 66-90. Zubaidah, Siti dan Zulfikar (2005). “Pengaruh FaktorFaktor Keuangan dan Nonkeuangan terhadap Pengungkapan Sukarela Laporan Keuangan.” Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Vol. 4, No. 1: 48-83.
60
ISSN: 1978-3116 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG, .................. (Jusup Agus Sayono, Ujang Sumarwan, Noer Azam Achsani,Hartoyo)
Vol. 3, No. 1, Maret 2009 Hal. 61-80
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPEMILIKAN, PENGGUNAAN, PEMBAYARAN, DAN PELUANG TERJADINYA GAGAL BAYAR DALAM BISNIS KARTU KREDIT Jusup Agus Sayono PT. Polychem Indonesia Tbk. Wisma 46 Kota BNI, 20th Floor Jalnn Jenderal Sudirman Kav. 1, Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta Pusat 10220 Fax. 021 - 5512196 E-mail:
[email protected]
Ujang Sumarwan, Noer Azam Achsani, Hartoyo Program Doktor Managemen Bisnis Institut Pertanian Bogor Jalan Raya Pajajaran, Bogor 16151 Telepon +62 251 8313813, 8378667, Fax. +62 251 8318515
ABSTRACT Credit card as medium of exchange, giving amenity and acceptance that extensive whereabouts just comprises shopping centre, hotel, restaurant and acceptable various worldwide place because credit card is assessed more practical and safe (cash less). Another thruster factor in product development and credit card business is increasing trend credit card purposes, in height gain which is gotten for publisher credit card, managing bank ( acquirers ), and service or business man grocer that receptive credit card as medium of exchange( merchant); and easy result of Medium of Exchange Technology development by use of Card (APMK). Credit card transactions phenomenon really ever increasing from time to time, but on the other hand in comment that market potency needs to be bewared overtakes is still in height non performing loan on this finances type. It denotes that impressed credit card bank of issues has been forget principle prudential banking in gets competition to market. About problem in that credit card business, where is need strategy to
solve. Strategy where can increases competitiveness going concern, with aim increases gain and down stagnant credit jeopardy also about another credit card problem. Best strategy can be applied from analysis result influential factor to ownership behaviors, purposes, payments and things that becomes opportunity because basic it is happening baffled pays credit card (probability default). Important transcendent thus for analyses demography factor with it is characteristic, motivates, attitudes and personalities factor to ownership, purposes, payments and opportunity happening it is unsuccessful pays in billing. Base that problem subject, therefore this research purposes to analyses influential factor to ownerships, purposes, payments, analyses happening opportunity causal factors it baffled pays in billing (probability default), and also to formulate marketing strategy for credit card. Data has been processed with binary and ordinal logistics regression. Keywords: credit card, consumer behavior, non performing loan.
61
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 61-80
PENDAHULUAN Akhir-akhir ini pola konsumsi masyarakat terhadap barang-barang konsumsi cenderung meningkat. Berbagai macam cara penawaran produk dilakukan oleh para produsen untuk mendapatkan daya tarik konsumen, seperti dengan memberikan hadiah kepada calon konsumen atau memberikan kemudahan dalam cara pembayaran. Semua proses aktivitas pembayaran melalui berbagai jenis alat pembayaran ini diproses oleh berbagai penyelenggara sistem pembayaran seperti bank dan nonbank. Institusi inilah yang nantinya menyelenggarakan jasa mulai proses pengiriman dana, kliring, hingga settlement. Cara pembayaran yang populer di kalangan masyarakat pada masa sekarang adalah menawarkan kemudahan berbelanja kepada konsumen dengan menggunakan kartu kredit. Pengertian kartu kredit didefinisikan secara terperinci oleh Bank Indonesia dan tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI No. 7/52/PBI/2005) sebagai alat pembayaran dengan menggunakan kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan/atau untuk melakukan penarikan tunai di mana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh aqcuirer atau penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban melakukan pelunasan kewajiban pembayaran tersebut pada waktu yang disepakati, baik secara sekaligus (charge card) ataupun secara angsuran. Kartu kredit memberi kemudahan pula kepada konsumen untuk pengambilan uang tunai melalui ATM (Automated Teller Machine). Pemegang kartu secara
tidak langsung bisa mendapatkan fasilitas kredit yang dapat memberikan keleluasaan masa bebas bunga dari penerbit kartu kreditnya. Selain memberikan keuntung-an kepada pemegang kartu kredit (cardholder), salah satu faktor yang menempati prioritas utama dalam mendorong berkembangnya jenis kartu kredit adalah tingginya pertumbuhan pasar. Menyelenggarakan jasa kartu kredit menjadi bisnis yang menguntungkan serta tak berisiko tinggi, karena menjanjikan bank penerbit memperoleh pendapatan Rp 50 ribu hingga Rp 1 juta, antara lain dari iuran (annual fee) yang harus dibayar oleh para pemegang kartu setiap tahunnya, selain itu, pihak bank masih akan memperoleh keuntungan sekitar 2,5% hingga 4% per bulan dari setiap nominal kredit yang disalurkan lewat jasa ini dan rabate dari merchant. Potensi pasar yang belum tergarap masih cukup besar. Lebih dari itu, banyaknya bank mengembangkan bisnis kartu kredit menandakan bahwa bisnis ini masih menyimpan peluang yang baik bagi bank penerbit untuk meraih untung. Hal tersebut ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah bank penerbit/ penyelenggara kartu kredit. Hingga akhir Agustus 2005, jumlah bank penyelenggara kartu kredit dilansir sebanyak 17 bank (Bank Indonesia 2005). Pada tahun 2008, data Bank Indonesia menyebutkan jumlah penyelenggara kartu kredit meningkat menjadi 21 penyelenggara/penerbit kartu kredit yang terdiri dari lembaga perbankan dan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) (Bank Indonesia 2009a). Daftar penerbit kartu kredit disajikan pada Tabel 1, dengan market leader kartu kredit sampai dengan April tahun 2008 adalah Citibank, berikutnya adalah BNI, Mandiri, BCA, Danamon, dan HSBC (Kiryanto 2008).
Tabel 1 Daftar Penerbit Kartu Kredit
Sumber: Bank Indonesia (2009).
62
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG, .................. (Jusup Agus Sayono, Ujang Sumarwan, Noer Azam Achsani,Hartoyo)
Perkembangan penggunaan kartu kredit di Indonesia yang berkembang pesat didorong oleh deregulasi perbankan dengan diterbitkannya SK Menkeu No. 1251/KMK.031/1998 pada 20 Desember 1998 yang menggolongkan bisnis kartu kredit sebagai kelompok usaha jasa pembiayaan untuk membeli barang dan jasa. Perkembangan pesat ini diikuti oleh penerbit asing lainnya (bekerja sama dengan bank nasional maupun perusahaan nonbank), seperti Amex, JCB, Mastercard, dan Visa. Pertumbuhan kartu kredit dapat dilihat dari dua sisi. Pertama adalah jumlah kartu yang diterbitkan (sebagai tolak ukur market share) dan kedua, sales (penjualan). Berdasarkan sisi penjualan ini adalah banyaknya pemakaian kartu kredit. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Jumlah Kartu Plastik Beredar
beredar di Indonesia berjumlah 8,8 juta. Pada Januari 2009, atau dalam kurun waktu satu tahun lebih, jumlah kartu kredit yang beredar naik sebesar kurang lebih 2,2 juta kartu menjadi 11 juta kartu. Dengan asumsi bahwa satu orang nasabah atau konsumen memiliki tidak hanya satu kartu, pasar kartu kredit masih sangat terbuka lebar. Tanpa asumsi tersebut pun, jumlah pemegang kartu kredit masih terbilang sangat kecil dibandingkan jumlah potensi dari penduduk Indonesia yang kini mencapai lebih dari 206 juta jiwa (BPS, 2002). Saat ini, jenis kartu kredit beredar yang berada di posisi tiga besar adalah kartu kredit Visa Reguler 2,8 juta, Mastercard Reguler 2,1 juta, dan Visa Gold 1,4 juta kartu. Jenis kartu kredit yang lain rata-rata masih di bawah 400 ribu kartu (Trust, 2008). Peningkatan jumlah kartu kredit memberikan kecenderungan peningkatan volume transaksi. Pada bulan September 2007, volume transaksi total (tunai dan belanja) mencapai 10 juta transaksi dengan total nilai Rp6,1 triliun. Dalam jangka waktu lebih dari satu tahun, yaitu pada bulan Januari 2009 volume transaksi total kartu kredit menjadi 14,4 juta transaksi dengan total nilai Rp 9,7 triliun. Nilai transaksi kartu kredit per bulan memang fluktuatif namun cenderung meningkat. Tabel 3 Jumlah Transaksi Kartu Kredit (Rp000.000,-)
Sumber: Bank Indonesia (2009). Jumlah kartu kredit yang beredar di Indonesia dari tahun 2007 hingga 2009 meningkat sangat pesat. Pada bulan September 2007 jumlah kartu kredit yang
63
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 61-80
Keterangan: 1. Pengkategorian jenis kartu dilakukan berdasarkan fungsi penggunaan kartu yang umum di masyarakat. 2. Naik turunnya jumlah pemegang Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dikarenakan terdapat kebijakan di beberapa penerbit untuk menghapus pemilikan kartu dari pengguna yang sudah tidak aktif atau tidak dapat memenuhi kewajiban sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Sumber: Bank Indonesia (2009). Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (Tabel 4) pun semakin meningkat, yang meliputi terminal ATM, Merchant, EDC, dan Imprinter. Sejalan dengan perkembangan teknologi, instrumen pembayaran khususnya yang menggunakan kartu (APMK) juga tumbuh dengan pesat. Tidak saja dari volume dan nilai yang ditransaksikan namun juga dari fitur, jenis, fungsi serta berbagai fasilitas yang diberikan kepada pemegang kartu. Tabel 4 Jumlah Infrastruktur APMK
Keterangan: 1. Naik turunnya jumlah merchant dikarenakan terdapat kebijakan di beberapa penerbit untuk memutuskan hubungan kerja sama dengan mer-
64
chant yang sudah tidak aktif. Hal ini akan berpengaruh juga dengan penurunan jumlah EDC. Contoh penurunan jumlah merchant dan EDC periode Desember 2007 dibanding dengan periode November 2007. 2. Untuk data periode bulan Januari 2008 adalah kompilasi data per 25 Maret 2008. Sumber: Bank Indonesia (2008). Fenomena transaksi kartu kredit memang terus meningkat dari waktu ke waktu, namun di sisi yang lain dalam menanggapi potensi pasar tersebut perlu diwaspadai menyusul masih tingginya kredit bermasalah pada jenis pembiayaan ini. Tren kredit bermasalah (non performing loan/NPL) kartu kredit cenderung naik walaupun mengalami fluktuasi. Tahun 2001, NPL kartu kredit berada pada kisaran 10%. Tahun 2002, angkanya turun menjadi 8.29%. Tahun 2003, meningkat cukup tinggi dengan angka 10.29%, tahun 2004 dengan kisaran 8.15%. Tren NPL kartu kredit sempat terlihat turun hingga tahun 2006. Setelah 2006, angka NPL kartu kredit terus meningkat hingga pernah menembus lebih dari 12% antara kurun waktu akhir 2007 dan awal 2008. Pada akhir semester I tahun 2008, menurut catatan Bank Indonesia, kredit konsumsi mengalami peningkatan jumlah dengan NPL Gross sebesar 2,9%. NPL kartu kredit memberikan kontribusi sebesar Rp 0,3 triliun dan NPL Gross kartu kredit sebesar sebesar 11,6%. Angka tersebut merupakan angka tertinggi dibandingkan jenis kredit konsumsi lainnya seperti kredit properti dan lain-lain. Berdasarkan laporan Bank Indonesia, sejak tahun 2001 hingga semester I 2008 NPL Gross kartu kredit selalu lebih tinggi dibanding NPL Gross kredit konsumsi lainnya (Bank Indonesia, 2008). Beberapa bank yang tercatat memiliki NPL tinggi di bisnis kartu kredit adalah Bank BNI serta Bank Mandiri. Dalam catatan yang diperoleh Kontan (2008), di awal tahun 2008, kredit macet bisnis kartu kredit di BNI sudah mencapai 11.26%. Adapun di Bank Mandiri mencapai 6%. Hal ini menandakan bahwa bank-bank penerbit kartu kredit terkesan melupakan prinsip prudential banking dalam berkompetisi memasarkan kartu kreditnya. Berlakunya kewajiban pembayaran tagihan kartu kredit minimal sebesar 10% juga diduga sebagai penyebab pembayaran nasabah cenderung. Tidak dapat pula dipungkiri tingginya tingkat suku bunga
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG, .................. (Jusup Agus Sayono, Ujang Sumarwan, Noer Azam Achsani,Hartoyo)
yang mencapai 48% per tahun dan penurunan pendapatan masyarakat akibat kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu dianggap banyak pihak sebagai penyebab naiknya NPL. Permasalahan industri kartu kredit memang membutuhkan strategi dan regulasi yang kondusif. Strategi yang mampu meningkatkan daya saing berkelanjutan, dengan tujuan meningkatkan keuntungan dan menurunkan risiko kredit macet serta permasalahan kartu kredit. Strategi terbaik dapat diturunkan dari kebutuhan dan perilaku pemilikan dan penggunaan kartu kredit. Sebagai regulasi, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 7/52/2005 tentang Penyelenggaraan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK), yang menggantikan PBI Nomor 6/30/PBI/2004. Salah satu poin penting dalam PBI tersebut adalah aturan bahwa pendapatan minimum pemohon kartu kredit harus tiga kali upah minimum regional (UMR) per bulan. Jika memenuhi syarat tersebut, nasabah kartu kredit diharapkan tidak kesulitan membayar cicilan kartu kredit. PBI tersebut juga mengharuskan seluruh penerbit kartu kredit menerapkan kebijakan persentase minimum pembayaran yaitu 10% dari total tagihan para pemegang kartu kredit. Terkait dengan hal tersebut, Bank Indonesia mengeluarkan peraturan yang memudahkan bank penerbit dalam melakukan kolektibilitas terhadap tagihan-tagihan kartu kredit yang akan dihapusbukukan (write off). Bank penerbit kartu kredit saat ini kesulitan melakukan penghapusbukuan terhadap tagihan kartu kredit yang telah lama tak tertagih. Aturan kartu kredit untuk tagihan lebih dari 180 hari (kategori macet) dapat dihapusbukukan (Bank Indonesia, 2007). Berdasarkan uraian di atas, peran kartu kredit sebagai indikator tumbuhnya cashless society, yang merupakan sistem pembayaran dunia yang lebih aman, dan praktis, juga memiliki potensi kredit macet yang besar. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengkaji faktor demografi, motivasi, sikap, kepribadian, dan perilaku pemilikan, penggunaan, serta pembayaran kartu kredit. Dengan demikian, dalam persaingannya penerbit kartu kredit dan acquirer dapat meningkatkan keuntungan secara berkelanjutan, memperbesar pangsa pasar, dan mengurangi risiko-risiko dari perilaku pembayaran kartu kredit yang akan terjadi. Berdasarkan uraian kecenderungan perkembangan industri kartu kredit dan juga
perkembangan risiko kredit bermasalah, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut agar perkembangan bisnis tetap menjadi lebih baik. Di samping itu, risiko NPL dapat ditekan serendah mungkin atau paling tidak sesuai dengan aturan regulasi dari bank sentral. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu diketahui dari dasarnya terlebih dahulu, yaitu tentang perilaku konsumen untuk memiliki, menggunakan, dan pola pembayaran kartu kredit yang dipengaruhi oleh demografi, motivasi, sikap, dan kepribadian konsumen, sehingga dapat dirumuskan pokok permasalahan, yaitu (1) Bagaimanakah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kepemilikan kartu kredit?; (2) Bagaimanakah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penggunaan kartu kredit?; (3) Bagaimanakah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembayaran kartu kredit?; (4) Bagaimanakah faktor-faktor yang berpengaruh terjadinya peluang gagal bayar?; dan (5) Bagaimana merumuskan strategi pemasaran kartu kredit yang memiliki daya saing secara berkelanjutan sehingga prospek bisnis untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal terpenuhi dengan risiko yang minimal? Batasan dan ruang lingkup kartu kredit yang akan diteliti adalah analisis perilaku konsumen dalam mengambil keputusan kepemilikan, penggunaan, dan pola pembayaran kartu kredit dilakukan dengan menguji hipotesis variabel berpengaruh meliputi faktor demografi, motivasi, sikap, dan kepribadian. Adapun ruang lingkup responden dalam penelitian ini adalah para karyawan/karyawati di delapan perusahaan besar di Jakarta, yang kemudian distratifikasi berdasarkan jabatan (meliputi staf, supervisor, manajer, dan direktur). Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut, hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah mencari pengaruh timbal balik dan analisis demografi, motivasi, sikap dan kepribadian, dengan outcome berupa rekomendasi prioritas pembenahan bagi penerbit kartu kredit dan acquirer dalam membuat keputusan dan strategi bauran pemasaran yang komprehensif. Outcome tersebut menjadi hal yang penting ketika penerbit kartu kredit dan acquirer terlibat dalam persaingan pasar kartu kredit yang sangat kompetitif saat ini. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kepemilikan kartu kredit; (2) menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penggunaan kartu kredit; (3) menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh
65
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 61-80
terhadap pembayaran kartu kredit; (4) menganalisis faktor-faktor penyebab peluang terjadinya gagal bayar; dan (5) merumuskan strategi pemasaran kartu kredit yang memiliki daya saing secara berkelanjutan, meningkatkan keuntungan, dan mengurangi risikorisiko dari perilaku pembayaran kartu kredit yang akan terjadi. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan, khususnya bagi penerbit kartu kredit dan bank pengelola (acquirer) ataupun pihak-pihak yang terkait. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan pedoman bagi bank-bank yang ingin mendirikan Card Center sebagai salah satu bagian dalam perusahaannya yang dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada para nasabahnya, dengan fokus utama pada keuntungan, meningkatkan pengembangan pangsa pasar, dan mengurangi risiko kredit bermasalah. Selain itu, bagi para kalangan profesional muda atau mahasiswa program pascasarjana yang berminat untuk mempelajari daya tarik konsumen terhadap kartu kredit. Secara spesifik belum ada penelitian yang secara khusus membahas mengenai daya tarik keputusan pemilikan, penggunaan kartu kredit, dan perilaku pembayaran pengguna kartu kredit. Kerangka penelitian yang akan dilakukan adalah menelaah perilaku pemilikan, penggunaan (meliputi frekuensi dan jumlah transaksi) serta pola pembayaran kartu kredit, dengan menjustifikasi teori dan analisis penelitian-penelitian terdahulu, menstruktur ulang variabel-variabelnya serta menambahkan kebaruan dalam perilaku pembayaran kartu kredit. Hal tersebut akan menjadi outcome dalam menjawab kebutuhan penerbit kartu kredit dan aqcuirer dalam persaingan kartu kredit yang kompetitif. Pemodelan penelitian ini akan mampu menghasilkan strategic marketing yang memiliki daya saing berkelanjutan. Perilaku pembayaran kartu kredit adalah perilaku pengguna kartu kredit pada saat mendapatkan jatuh tempo tagihan, di mana tagihan tersebut harus dibayarkan kembali dengan kondisi antara lain pembayaran penuh (full payment), pembayaran minimal sebesar 10% dari total tagihan yang sisanya dikenakan bunga, dan pembayaran kurang dari 10%. Perilaku pembayaran tersebut menjadi bentuk kebaruan variabel yang merupakan manifestasi perilaku pascapenggunaan kartu kredit.
66
Perilaku pemilikan, penggunaan, serta pola pembayaran kartu kredit yang dipengaruhi demografi (meliputi usia, jenis kelamin, status pernikahan, jumlah anggota keluarga, pendidikan, jabatan dalam pekerjaan, dan pendapatan), motivasi, sikap, dan kepribadian hidup dapat menjadi peta untuk mengetahui alternatif campaign/promotion strategy, cara-cara meningkatkan persaingan merchant dengan mengoptimalkan rantai pembelanjaan (chain store) dan kerja sama yang saling menguntungkan, yang mampu mengikat konsumen dalam jangka panjang, sehingga meningkatkan kepuasan dan loyalitas pemegang kartu kredit. Kebaruan (novelty) yang akan dicapai dalam penelitian ini menjadi umpan balik/implikasi manajerial bagi penerbit kartu kredit dan acquirer dalam persaingan kartu kredit. Hal tersebut ditelusuri dengan menyusun langkah bauran pemasaran yang komprehensif dan tepat, memberikan pelayanan terbaik kepada konsumen melalui produk kartu kredit, sumber daya manusia yang siap membantu dan selalu ramah serta program-program yang mampu membina partnership jangka panjang dengan konsumen, sehingga dapat meningkatkan keuntungan secara berkelanjutan, memperbesar pangsa pasar, dan mengurangi risikorisiko dari perilaku pembayaran kartu kredit yang akan terjadi. Manajemen risiko menjadi kewajiban bagi penerbit kartu kredit dan acquirer yang meliputi manajemen risiko likuiditas, manajemen risiko kredit, dan manajemen risiko operasional. Kebaruan yang telah diuraikan akan dinamakan Strategic Competitive Advantage Marketing (SCAM) untuk kartu kredit. MATERI DAN METODE PENELITIAN Definisi kartu kredit secara terminologis juga dinyatakan oleh Al-Mushlih dan Shalah (2006) bahwa kartu kredit adalah kartu yang dikeluarkan oleh pihak bank dan sejenisnya yang dapat digunakan oleh pembawanya untuk membeli segala keperluan dan barang-barang serta pelayanan tertentu secara hutang. Jika diterjemahkan kata ‘kredit giro’ ini secara langsung artinya adalah kartu pinjaman, atau kartu yang memberikan kesempatan kepada pembawanya untuk mendapatkan pinjaman. Dalam studi yang dilakukan oleh Dellande dan Saporoschenco (2004), kartu kredit berarti media pembayaran,apabila semua tagihan dilunasi atau disebut convinience user dan juga berarti
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG, .................. (Jusup Agus Sayono, Ujang Sumarwan, Noer Azam Achsani,Hartoyo)
kredit apabila membayar kurang dari tagihan (sumber utang) atau disebut installment user. Keputusan konsumen untuk berutang atau menabung terkait dengan dimensi waktu, masa kini/ sekarang dan masa depan. Keputusan yang dilakukan sekarang, berutang atau menabung akan menentukan masa depannya, membayar utang atau menikmati hasil tabungannya. Dengan demikian, konsumenlah yang menentukan besarnya jumlah yang dikonsumsi kini dan masa depan (Varian 1987 dalam Sumarwan 1993). Katona (1975) dalam Sumarwan (1993) mengembangkan model faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan berutang atau menabung. Faktor tersebut di antaranya persepsi mengenai pendapatan, persepsi mengenai inflasi, dan persepsi mengenai tingkat suku bunga. Kepribadian dan situasi ekonomi mempengaruhi persepsi atau evaluasi konsumen terhadap kondisi ekonominya. Persepsi inilah yang akan mempengaruhi perilaku ekonomi konsumen (Van Raaij 1981 dalam Sumarwan 1993). Permintaan kredit konsumsi dipengaruhi oleh perceived cost oleh konsumen, karakteristik demografi konsumen, sikap terhadap utang, dan kebutuhan konsumen akan barang-barang (Peterson 1980 dalam Sumarwan 1993). Perilaku Konsumen adalah semua kegiatan, tindakan, dan proses psikologis yang mendorong tindakan tersebut pada saat sebelum membeli, ketika membeli, menggunakan, menghabiskan produk dan jasa setelah melakukan hal-hal di atas atau kegiatan mengevaluasi (Sumarwan 2003). Perilaku konsumen didefinisikan sebagai tindakan yang terlibat secara langsung dalam mendapatkan, mengonsumsi dan menghabiskan produk atau jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyertai tindakan tersebut. (Engel et al. 2005). Definisi tersebut mengungkapkan dua hal penting yang tercakup dalam perilaku konsumen, yaitu tindakan langsung atau secara fisik dalam mendapatkan, mengonsumsi, dan menghabiskan produk atau jasa dan proses pengambilan keputusan, termasuk keputusan yang mendahului dan menyertai tindakan di atas. Hal tersebut menggambarkan hubungan perilaku atau tindakan konsumen akan berbeda karena adanya perbedaaan dalam faktor yang mempengaruhi proses keputusan. Perilaku konsumen merupakan aspek penting yang harus diperhatikan oleh perusahaan yang menganut konsep pemasaran, dengan tujuan
memberikan kepuasan kepada konsumen. Engel et al. (2005) mendefinisikan perilaku konsumen sebagai tindakan yang terlibat secara langsung dalam mendapatkan, mengonsumsi dan menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan ini. Dikemukakan pula oleh Schiffman dan Kanuk (1994) bahwa perilaku konsumen sebagai perilaku yang diperlihatkan konsumen dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan menghabiskan produk dan jasa yang diharapkan akan memuaskan kebutuhannya. Sementara itu, Loudon dan Della Bita (2004) menekankan perilaku konsumen sebagai suatu pengambilan keputusan yang mensyaratkan aktivitas individu untuk mengevaluasi, memperoleh, menggunakan, atau mengatur barang dan jasa. Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa perilaku konsumen adalah semua kegiatan, tindakan, dan proses psikologis yang mendorong tindakan tersebut pada saat sebelum membeli, ketika membeli, menggunakan, menghabiskan produk dan jasa setelah melakukan hal-hal di atas atau kegiatan mengevaluasi (Sumarwan 2003).
Gambar 1 Model Keputusan Konsumen Kartu Kredit (Modifikasi Model Sumarwan, 2003)
Menurut Kaynak dan Harcar (2001), usia berpengaruh positif terhadap kepemilikan kartu kredit. Kelompok usia yang paling banyak memiliki kartu kredit adalah antara 36-45 tahun. Menurut Stayins (2001), usia berpengaruh terhadap penggunaan pembayaran secara
67
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 61-80
elektronik. Konsumen muda ditemukan berpeluang lebih kecil menggunakan kartu kredit, direct deposit, dan pembayaran langsung. Peluang konsumen muda lebih besar untuk penggunaan ATM, kartu debit, computer banking, dan smart card. Menurut Steffes (2005) jumlah kartu kredit yang dimiliki seseorang berhubungan negatif dengan usia. Semakin muda usia seseorang maka kecenderungan untuk memiliki kartu kredit semakin tinggi. Hal ini disebabkan usia muda adalah kelompok yang memiliki banyak kebutuhan namun memiliki sumber pendapatan yang terbatas. Menurut Hogg dan Garrow (2003), terdapat kecenderungan yang sama dari perilaku setiap gender untuk mengetahui efek iklan terhadap aspek psiklogis. Terjadi kesamaan antara pria dan wanita dalam mengonsumsi iklan yang ditayangkan dan bagaimana proses mengintepretasikan iklan tersebut. Menurut Pahl (2007), terdapat perbedaan gender dalam keputusan pengelolaan keuangan rumah tangga. Oleh karena itu, sebaiknya perusahaan penerbit kartu kredit mengeluarkan jenis produk kartu kredit yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masing-masing, baik secara individu dan pasangan. Menurut Pahl (2000), seseorang yang telah menikah akan lebih mudah memperoleh kredit. Hal ini diakibatkan sumber pendapatan, sumber pendapatan, dan sumber informasi yang lebih banyak dimiliki yang telah menikah dibandingkan yang tidak menikah. Menurut Dellandre and Saporoschenko (2004), orangorang yang sudah berumah tangga lebih mampu menyelesaikan program manajemen utang dibandingkan dengan mereka yang belum menikah atau yang sudah cerai. Menurut Yilmazer and DeVaney (2005), pasangan yang sudah menikah memiliki kemungkinan lebih besar memiliki berbagai bentuk utang dibandingkan dengan yang belum menikah. Tidak terdapat data hasil penelitian terdahulu terhadap variabel jumlah anggota keluarga. Menurut Kaynak dan Kalcar (2001), semakin tinggi pendidikan mempengaruhi secara positif tingkat pemilikan kartu kredit. Menurut Stayins (2007), peningkatan pendidikan memberikan pengaruh pada penggunaan kartu kredit dan computer banking. Bertaut and Haliassos (2004) menyatakan bahwa peluang kepemilikan kartu kredit untuk pendapatan yang rendah lebih kecil dibandingkan dengan pendapatan yang tinggi. Perlakuan kartu kredit sebagai
68
pinjaman lebih besar dilakukan oleh orang yang berpendapatan rendah dibandingkan dengan pendapatan menengah. Menurut Taehyung et al. (2005), motivasi pemegang kartu kredit dalam menggunakan kartu kreditnya dapat dibagi dua, yaitu pengguna yang mencari tingkat suku bunga lebih redah dan pengguna yang mengutamakan kenyamanan dalam bertransaksi. Menurut Hayashi (2006), pengguna kartu kredit juga akan semakin sering menggunakan kartu kreditnya, jika fungsi kartu kredit tersebut memiliki lebih banyak manfaat, antara lain menggabungkan kartu kredit dengan fungsi kartu ATM dan penghapusan beberapa beban biaya. Menurut Devlin et al. (2007), motivasi yang mendorong pemegang kartu kredit ganda untuk memiliki kartu kredit utama adalah penawaran diskon superior dan promosi, penawaran poin superior, mengadakan hubungan dengan bank, fasilitas manajemen debit, harga superior, desain dan tampilan kartu, limit kartu yang tinggi, serta menghasilkan gengsi yang tinggi. Mittal (2006) dalam penelitiannya mengidentifikasi perilaku konsumen yang mengaitkan penggunaan produk dengan identitas yang dibangun oleh konsumen. Peneliti juga bertujuan mengidentifikasi komponen yang mempengaruhi pembentukan rasa pemilikan seseorang tersebut. Kemudian diidentifikasi proses terjadinya pengasosian penggunaan suatu produk dengan identitas seseorang. Beberapa literatur penelitian tentang konsumen mengidentifikasi hubungan antara penggunaan produk oleh konsumen dan identitas yang sedang dibangun oleh konsumen dengan menggunakan produk tersebut. Konsumen tidak sadar (namun terkadang juga sadar) bahwa rasa ingin memiliki yang ada di dalam diri mereka berhubungan dengan perasaan yang mereka bangun dalam diri mereka sendiri (Goffman 1959; Belk 1988, diacu dalam Mittal 2006). Penggunaan sebuah produk dan rasa memiliki terhadap sebuah produk, membantu konsumen mendefinisikan identitas diri mereka. Dalam teori yang disampaikan oleh Goffman terdapat dua gap, yaitu adanya penjelasan yang tidak eksplisit tentang konsep kepemilikan itu sendiri dalam literatur perilaku konsumen dan proses psikologis yang membangun rasa pemilikan tersebut. Dalam pandangan penelitian Mittal (2006), visualisasi kepribadian disusun oleh lima komponen, yaitu nilai (value), karakter, kompetensi dan
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG, .................. (Jusup Agus Sayono, Ujang Sumarwan, Noer Azam Achsani,Hartoyo)
kesuksesan, aturan sosial, tampilan dan tingkat penerimaan seseorang secara pribadi. Setiap konsumen memiliki proporsi dan penekanan yang berbeda untuk tiap komponen tersebut, dan konsumen dapat disegmentasi, paling tidak secara teori sesuai dengan profil konsumen yang ada. Bagaimanapun, segmentasi tersebut sangat berguna bagi pemasar (marketer) untuk merespons kondisi yang terjadi pada konsumen tersebut. Ratha (2001) melakukan penelitian yang bertujuan menganalisis apakah pengunaan kartu kredit bagi individu dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan pemegang kartu kredit. Hal tersebut dikarenakan penggunaan kartu kredit dapat meningkatkan kemampuan daya beli seseorang. Peningkatan daya beli tersebut seolah menunjukkan bahwa kualitas hidup seseorang menjadi meningkat. Sesungguhnya dengan menggunakan kartu kredit, berarti seseorang menggadaikan pendapatan masa depannya untuk digunakan saat ini. Kartu kredit adalah salah satu cara yang banyak digunakan orang untuk meminjam uang. Dengan kartu kredit, orang dapat membeli tanpa harus menggunakan uang tunai, karena perusahaan penerbit kartu kredit akan membayar pembelian tersebut dan pengguna kartu kredit akan membayarnya kembali ke perusahaan penerbit kartu kredit tersebut. Dalam jumlah pembelian tertentu, pemegang kartu kredit harus membayar tingkat bunga dari pinjamannya. Tingkat suku bunga dari pinjaman tersebut dihitung sebagai bagian dari total pinjaman dan pinjaman tersebut dikenakan biaya untuk periode tertentu. Pelunasan bunga pinjaman, mengurangi jumlah uang yang tersedia bagi pemegang kartu kedit untuk melakukan pembelian yang bersifat reguler, sehingga hal tersebut dapat menurunkan tingkat kualitas hidup pemegang kartu kredit dalam jangka panjang. Kajian yang dilakukan oleh Tim Inisiatif 2006 Grand Desain Upaya Peningkatan Penggunaan Pembayaran Nontunai menyatakan bahwa secara umum masyarakat pengguna nontunai adalah masyarakat yang terbuka terhadap informasi, memandang dirinya sebagai pelopor/panutan bagi orang lain, dan memang menyukai model pembayaran nontunai (Hidayat et al. 2006). Dengan demikian masyarakat yang menggunakan alat pembayaran nontunai secara umum adalah orang yang aktif terhadap inovasi atau inovatif.
Dennis et al. (2002) dalam penelitiannya mempertimbangkan aspek berbelanja dan gaya belanja (shopping style) konsumen, dibandingkan dengan berbelanja secara elektronik (e-shopping), dan mengidentifikasi atribut yang berasosiasi dengan konsumen dalam membangun image yang ideal terhadap shopping center. Oleh karena itu, e-shopping perlu meningkatkan pengalaman yang dirasakan konsumen ketika berkunjung ke shopping center dengan menawarkan lebih banyak interaksi, hiburan dan aktivitas yang mendukung gaya hidup seperti yang didapatkan konsumen ketika berbelanja di shopping center. Secara skematik, kerangka pemikiran penelitian konseptual dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Konseptual
tidak termasuk lingkup penelitian
Penyusunan proposal penelitian ini dimulai pada bulan April 2007 dan survei telah dilakukan pada bulan Maret 2008. Penelitian dilakukan kepada karyawan/ karyawati di delapan perusahaan besar yang berdomisili
69
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 61-80
di Jakarta. Perusahaan-perusahaan tersebut bergerak dalam bidang jasa perbankan (Bank Central Asia, Bank Internasional Indonesia, dan Bank Ganesha), jasa asuransi (PT Dayin Mitra, PT Lumbung Sari, dan PT Surya Pertiwi), jasa penyewaan mobil (Indorent), dan perusahaan manufaktur (PT Polychem Indonesia, Tbk). Berdasarkan delapan perusahaan tersebut, empat di antaranya telah berstatus perusahaan publik. Alasan pemilihan perusahaan dan lokasi penelitian adalah reputasi kedelapan perusahaan sebagai perusahaan besar dan bonafid, lokasi perusahaan terletak di Jakarta sehingga memudahkan proses penelitian, dan keragaman karyawan yang tinggi karena karyawan kedelapan perusahaan berdomisili di Jabodetabek. Oleh karena penelitian ini memerlukan ketepatan karakteristik sampel secara mutlak, penentuan sampel ditentukan secara bertingkat (stratified random sampling), yaitu membagi populasi menjadi beberapa grup yang biasa disebut sebagai strata dan kemudian mengambil sampel secara acak dari masing-masing strata. Sampel yang diambil proporsional dengan jumlah anggota populasi dalam strata. Dalam penelitian ini sebelum diambil sampel dilakukan pendataan populasi karyawan perusahaan berdasarkan kepemilikan kartu kredit dan tingkat jabatan, kemudian diambil sampel
sebesar 75% dari populasi yang memiliki kartu kredit dan 25% dari populasi yang tidak memiliki kartu kredit secara acak dan bertingkat dengan memiliki perbedaan karakteristik mengenai jabatan, meliputi staf, supervisor, manajer, dan direktur sebanyak 300 responden. Penelitian ini menganalisis demografi, motivasi, sikap, kepribadian, perilaku kepemilikan, perilaku penggunaan, perilaku pembayaran kartu kredit, dan bertujuan merumuskan strategi pemasaran kartu kredit yang memiliki daya saing secara berkelanjutan, dengan meningkatkan keuntungan dan mengurangi risiko dari perilaku pembayaran kartu kredit yang akan terjadi. Kajian ini menggunakan variabel terikat (meliputi kepemilikan kartu kredit, frekuensi penggunaan kartu kredit, total transaksi penggunaan, dan perilaku pembayaran kartu kredit) dan variabel bebas (meliputi usia, jenis kelamin, status pernikahan, jumlah anggota keluarga, pendidikan, jabatan, pendapatan per bulan, motivasi, sikap, dan kepribadian). Variabel tersebut menguji dan menganalisis hipotesis yang diciptakan dengan menggunakan regresi logistik sehingga menghasilkan output sesuai dengan tujuan dan novelty yang diinginkan. Penelitian yang dilakukan secara skematik ditunjukkan dengan kerangka pemikiran penelitian operasional.
Tabel 5 Responden Berdasarkan Kepemilikan Kartu Kredit Dan Tingkat Jabatan
70
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG, .................. (Jusup Agus Sayono, Ujang Sumarwan, Noer Azam Achsani,Hartoyo)
Gambar 3 Kerangka Pemikiran Penelitian Operasional Variabel yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua macam, yaitu variabel terikat dan variabel bebas. Variabel terikat adalah variabel yang sedang diprediksi yang dapat juga disebut criterion variable, sedangkan variabel bebas adalah variabel yang dipakai untuk memprediksi yang disebut juga predictor variable. Dalam penelitian ini, variabel terikat/tidak bebas adalah kepemilikan kartu kredit, frekuensi penggunaan kartu kredit, total nilai transaksi penggunaan, perilaku pembayaran kartu kredit (Full Payment), perilaku pembayaran kartu kredit (<10 % Payment), dan denda keterlambatan pembayaran. Variabel bebasnya adalah usia, jenis kelamin, status pernikahan, jumlah anggota keluarga, pendidikan, jabatan dalam pekerjaan, pendapatan, motivasi, sikap, dan kepribadian. Definisi variabel penelitian sebagai berikut. Responden didefinisikan sebagai usia pada saat dilakukan wawancara. Usia dikategorikan ke dalam 4 kelompok, antara lain (1) 17-25 tahun, (2) 26-40 tahun, (3) 41-55 tahun, dan (4) >55 tahun. Jenis kelamin responden didefinisikan antara lain sebagai laki-laki atau perempuan. Status pernikahan responden didefinisikan sebagai status responden pada saat
dilakukan wawancara, yang dibedakan menjadi menikah dan tidak menikah. Jumlah anggota keluarga responden dibedakan menjadi kurang atau sama dengan dua orang dan lebih dari dua orang. Pendidikan responden merupakan tingkat pendidikan terakhir yang telah diselesaikan oleh responden. Pendidikan dikategorikan ke dalam lima kelompok, antara lain (1) SMU, (2) Diploma, (3) Sarjana, dan (4) Pascasarjana. Pekerjaan didefinisikan sebagai status kedudukan struktural responden saat ini. Pekerjaan tersebut dioperasionalkan ke dalam empat kategori, yaitu (1) Staf, (2) Supervisor, (3) Manajer, dan (4) Direktur. Pendapatan didefinisikan sebagai total pendapatan responden setiap bulannya. Pendapatan tersebut dioperasionalkan ke dalam enam kategori, (1)
Rp25 juta. Motivasi terhadap kartu kredit merupakan alasan-alasan yang memotivasi responden untuk memiliki kartu kredit. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala interval. Responden kemudian dibedakan menjadi memiliki motivasi rendah dan motivasi tinggi. Sikap adalah persetujuan responden terkait dengan pernyataan mengenai kartu kredit, yang diukur dengan skala interval. Responden kemudian dibedakan menjadi memiliki sikap negatif dan sikap positif. Kepribadian meliputi keberanian responden untuk mengambil risiko yang dikaitkan dengan keaktifannya menerima inovasi. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala interval. Responden kemudian dibedakan menjadi risk averter yang pasif (tidak berani mengambil risiko dan pasif terhadap inovasi), risk averter yang aktif (tidak berani mengambil risiko dan aktif terhadap inovasi), risk taker yang pasif (berani mengambil risiko dan pasif terhadap inovasi), dan risk taker yang aktif (berani mengambil risiko dan aktif terhadap inovasi). Kepemilikan dikelompokkan dalam kategori memiliki dan tidak memiliki kartu kredit, yang diukur dengan skala nominal, dengan katagori (1) memiliki kartu Kredit dan (0) tidak memiliki kartu kredit. Frekuensi penggunaan didefinisikan sebagai rata-rata frekuensi pemakaian kartu kredit per bulan, yang diukur dengan skala ordinal. Frekuensi penggunaan kartu kredit dikategorikan ke dalam (1) <5 kali, (2) 5 – 8 kali, (3) 9 – 10 kali, (4) 11 – 15 kali, dan (5) >15 kali. Total nilai transaksi penggunaan didefinisikan sebagai besarnya
71
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 61-80
rata-rata total nilai transaksi penggunaan kartu kredit per bulan, yang diukur dengan skala ordinal. Jumlah rata-rata transaksi dengan menggunakan kartu kredit, dikategorikan ke dalam (1) Rp3 juta - Rp6 juta, (4) >Rp6 juta - Rp10 juta, dan (5) >Rp10 juta. Perilaku pembayaran didefinisikan secara operasional sebagai rata-rata membayarkan tagihan kartu kredit dikategorikan ke dalam (1) 1% sampai dengan kurang dari 10%, (2) 10% sampai kurang dari 100%, dan (3) lunas 100%.Pengukuran dengan menggunakan skala ordinal. Peluang gagal bayar didefinisikan secara operasional sebagai rata-rata membayarkan tagihan kartu kredit kurang dari 10% (analisa nilai konstanta 1 dari model perilaku pembayaran) dan Denda karena terlambat membayar diukur dengan skala nominal dengan kategori (1) terkena denda dan (0) tidak terkena denda. Dalam difinisi operasional dijelaskan secara fakta dan nyata berdasarkan data dan pertanyaan dalam koesioner, akan tetapi ada 3 variabel bebas yaitu usia kategori 4 (>55 tahun) total jumlah respondennya hanya 4, kemudian tingkat pendidikan kategori 4 (pasca sarjana) total jumlah respondennya 16 dan terakhir adalah pendapatan kategor 5 (> 25 juta) total jumlah respondennya 8, niali persentasenya sangat kecil dari total polulasi sebanyak 300 responden. Sehubungan dengan hal tersebut untuk meminimalkan adanya error matematis dalam alat analisis regresi Minitap,maka dilakukan peleburan data 3 variabel bebas tersebut menjadi usia kategori 3 (>40 tahun), Pendidikan kategori 3 (sarjana/pascasarjana) dan pendapatan kategori 4 (Rp.10.000.001 sampai tidak terhingga) Analisis regresi merupakan kajian hubungan pengaruh peubah penjelas (X) terhadap peubah respons (Y) melalui model persamaan matematis tertentu. Apabila peubah Y berupa peubah dengan skala numerik, maka analisis regresi yang diterapkan dapat menggunakan metode kuadrat terkecil biasa. Pada beberapa bidang terapan, peubah Y dapat juga berupa peubah kategorik. Penelitian ini mengenai pengaruh usia, jenis kelamin, status pernikahan, jumlah anggota keluarga, pendidikan, pekerjaan, dan tingkat pendapatan sebagai peubah penjelas terhadap kepemilikan, penggunaan, dan pembayaran kartu kredit seseorang sebagai peubah respons. Dalam hal ini peubah respons tersebut berupa kategori. Secara umum apabila peubah respons dalam analisis regresi berupa
72
peubah kategorik, maka analisis regresi yang digunakan adalah analisis regresi logistik (Firdaus & Farid, 2008). Berdasarkan tipe peubah kategori peubah Y, analisis regresi logistik dapat dibagi menjadi tiga, yaitu (1) biner; regresi logistik biner; (2) nominal; regresi logistik nominal; dan (3) ordinal; regresi logistik ordinal. Secara umum, analisis regresi logistik menggunakan peubah penjelasnya, yang dapat berupa peubah kategorik ataupun peubah numerik, untuk menduga besarnya peluang kejadian tertentu dari kategori peubah respons. Dengan kata lain, analisis regresi logistik merupakan suatu teknik untuk menerangkan peluang kejadian tertentu dari kategori peubah respons. Di dalam analisis regresi logistik biner, pemodelan peluang kejadian tertentu dari kategori peubah respons dilakukan melalui transformasi logit. Formula dari transformasi logit tersebut adalah:
dengan pi adalah peluang munculnya kejadian kategori sukses dari peubah respons untuk orang ke-i dan loge adalah logaritma dengan basis bilangan e. Kategori sukses secara umum merupakan kategori yang menjadi perhatian dalam penelitian. Pada penelitian ini, peubah responsnya adalah memiliki atau tidak, kejadian sukses adalah kejadian apabila seseorang mempunyai kartu kredit. Model yang digunakan dalam analisis regresi logistik biner adalah sebagai berikut ini. Logit(pi) = 0 + 1*X dengan logit(pi) adalah nilai transformasi logit untuk peluang kejadian sukses, 0 adalah intersep model garis regresi, 1 adalah slope model garis regresi dan X adalah peubah penjelas. Dengan demikian, untuk n ini, model regresi logistik dapat berupa: Logit(pi) = 0 + 1*Usia + 2*Jenis kelamin + 3*Status pernikahan + 4*Jumlah anggota keluarga + 5*Pendidikan + 6*Jabatan + 7*Pendapatan + 8*Motivasi + 9*Sikap + 10*Kepribadian Di dalam kajian hubungan antarpeubah kategorik dikenal adanya ukuran asosiasi, atau ukuran
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG, .................. (Jusup Agus Sayono, Ujang Sumarwan, Noer Azam Achsani,Hartoyo)
keeratan hubungan antarpeubah kategori. Salah satu keuntungan penggunaan analisis regresi logistik adalah bahwa ukuran asosiasi ini seringkali merupakan fungsi dari penduga parameter yang didapatkan. Salah satu ukuran asosiasi yang dapat diperoleh melalui analisis regresi logistik adalah rasio odds. Odds sendiri dapat diartikan sebagai rasio peluang kejadian sukses dengan kejadian tidak sukses dari peubah respons. Adapun rasio odds mengindikasikan seberapa lebih mungkin, dalam kaitannya dengan nilai odds, munculnya kejadian sukses pada suatu kelompok dibandingkan dengan kelompok lainnya. Sebagai contoh, seberapa lebih besar peluang responden untuk memiliki kartu kredit dibandingkan tidak memiliki (Firdaus & Farid, 2008). Misalkan peubah respons Y adalah peubah dengan skala ordinal dan memiliki c kategori. Misalkan P(Y d” j) adalah peluang peubah respons Y berada pada kategori j atau kategori di bawahnya (yaitu kategori 1, 2, …, j). Peluang seperti itu dinamakan sebagai peluang kumulatif. Peluang ini sama dengan penjumlahan dari peluang Y berada pada kategori 1 sampai kategori j, P(Y d” j) = P(Y = 1) + P(Y = 2) + … + P(Y = j) Dengan demikian peluang kumulatif peubah respons Y berada pada kategori 1, 2, …, c memiliki hubungan sebagai berikut ini. P(Y d” 1) d” P(Y d” 2) d” … P(Y d” c) = 1. Konsep peluang kumulatif ini digunakan dalam pemodelan peubah respons berskala ordinal. Perhatikan rasio peluang berikut ini.
Rasio tersebut dapat dipandang sebagai besarnya odds peubah respons pada kategori j atau di bawahnya. Dengan demikian, apabila rasio tersebut bernilai 3, dapat diartikan sebagai peluang peubah respons Y berada pada kategori j atau di bawahnya adalah 3 kali lebih besar dibandingkan peluang peubah respons Y berada pada kategori di atas kategori j.
Model untuk peubah respons berskala ordinal menggunakan logit dari peluang kumulatif. Logit untuk P(Y d” j) sama dengan log dari rasio atau odd di atas, yaitu: ; j = 1, 2, …, c-1
Logit dari peluang kumulatif di atas dinamakan sebagai logit kumulatif. Apabila dikaitkan dengan peubah bebas X, model regresi logistk ordinal dapat dituliskan sebagai berikut ini. Logit[P(Y d” j)] = ?j + ?X; j = 1, 2, …, c-1 Model tersebut mengasumsikan bahwa pengaruh X adalah sama untuk setiap peluang kumulatif. Apabila asumsi ini tidak dipenuhi, maka dapat digunakan model regresi logistik nominal. Model logit kumulatif dengan pengaruh bersama semacam ini dinamakan sebagai model odd proporsional. Model regresi pada pengolahan dan analisis data penelitian ini adalah: 1. Untuk menjawab tujuan analisis kepemilikan kartu kredit: Y1 = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + b7X7 + b8X8 + b9X9 + b10X10 + î 2. Untuk menjawab tujuan analisis frekuensi penggunaan kartu kredit: Y2 = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + b7X7 + b8X8 + b9X9 + b10X10 + î 3. Untuk menjawab tujuan analisis nilai penggunaan kartu kredit: Y3 = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + b7X7 + b8X8 + b9X9 + b10X10 + î 4. Untuk menjawab tujuan analisis perilaku pembayaran kartu kredit: Y4 = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + b7X7 + b8X8 + b9X9 + b10X10 + î 5. Untuk menjawab tujuan analisis denda terlambat membayar tagihan: Y5 = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + b7X7 + b8X8 + b9X9 + b10X10 + î
73
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 61-80
HASIL PENELITIAN Tabel 6 Peluang Semua Faktor
PEMBAHASAN Strategi pemasaran SCAM (Sustainable Competitive Advantage Marketing) untuk faktor-faktor yang mempengaruhi pemilikan kartu kredit dengan tujuan untuk mencari nasabah baru dan mempertahankan nasabah yang sudah ada. Strategi promosi adalah pasar dari karakteristik demografi dan faktor motivasi yang harus menjadi tujuan promosi guna peningkatan penjualan kartu kredit adalah pasar untuk usia antara 26 ke atas, namun lebih baik fokus pada usia produktif dan bekerja, tingkat pendidikan antara diploma sampai sarjana/pascasarjana, level jabatan staf difokuskan dari pada jabatan yang lain seperti supervisor, manajer atau direktur, pendapatan yang diperoleh berkisar Rp3.000.000 sampai Rp25.000.000 menjadi fokus dan di atas Rp25.000.000 harus ditawarkan jenis atau level kartu kredit platinum yang memiliki limit yang tinggi dan yang terakhir adalah strategi komunikasi untuk menggelitik motivasi calon nasabah di mana bahwa memiliki kartu kredit adalah aman dan tidak perlu membawa uang tunai. Strategi komunikasi untuk faktor motivasi tinggi tentang keamanan adalah positif dan jangka panjang bisa mengurangi risiko gagal bayar dibandingkan dengan faktor motivasi yang lain.
74
Penanganan nasabah yang membuat nasabah selalu diperhatikan dan memberikan solusi atau informasi yang jelas dan cepat adalah faktor utama untuk kesuksesan dari pemasaran. Sehubungan dengan faktor yang berpengaruh pada kepemilikan kartu kredit maka pihak penerbit kartu kredit wajib memiliki pelayanan call center yang berkualitas dan sumber daya manusianya wajib diberikan pelatihan untuk bisa mengatasi semua permasalahan dari kelompok usia produktif bekerja, kelompok dengan level pendidikan, kelompok dengan level jabatan, kelompok dengan level pendapatan. Nasabah yang memiliki pendapatan yang tinggi, pendidikan pascasarjana, jabatan direktur, dan memiliki motivasi tinggi bahwa memiliki kartu kredit untuk alasan keamanan atau cashless. Nasabah tersebut memiliki kelas atau level kartu keseluruhannya adalah platinum dengan limit yang besar dan tidak pernah menunggak pembayaran dan selalu melunasi 100% total tagihannya. Nasabah tersebut ada masalah dengan kurs debet dan kredit, mengingat saat kartu kredit dipakai di luar negeri untuk membeli suatu barang dan ternyata barang tersebut sudah habis stocknya, kemudian oleh merchant dikreditkan kembali sesuai nominalnya. Pada saat
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG, .................. (Jusup Agus Sayono, Ujang Sumarwan, Noer Azam Achsani,Hartoyo)
menerima tagihan tercatat bahwa kurs yang dipakai penerbit kartu kredit sangat tinggi pada saat pendebetan dan pada saat pengkreditan kurs yang dipakai sangat rendah, sehingga nasabah merasa dirugikan dengan hal itu. Seharusnya dengan penanganan nasabah, pihak customer service diberikan pengetahuan tentang cara komunikasi dan pengetahuan yang jelas perihal semua permasalahan. Hal penting lainnya adalah pengetahuan berbicara dengan level demografi yang berbeda, jangan semua disama-ratakan,sehingga yang terjadi adalah nasabah tidak puas dan langsung menutup kartu kreditnya. Hanya karena SDM call center yang dibayar murah, pelayanan yang diberikan asal-asalan. Contoh tersebut diharapkan bisa memberikan masukan yang positif untuk bank penerbit kartu kredit agar melakukan perbaikan internal, sehingga bisa melayani semua kelompok demografi dan faktor motivasi tersebut di atas oleh SDM dengan baik dan profesional. Program loyalty adalah pemberian free annual fee, seperti yang dilakukan bank penerbit kartu kredit saat ini sanagatlah bagus dan tetap fokus pada pasar faktor demografi dan motivasi yang telah ditulis di atas. Untuk menjaga loyalitas nasabah yang sudah memiliki kartu kredit yaitu dengan memberikan kenaikan limit sesuai dengan reputasi dan data historis nasabah tanpa harus nasabah meminta dan juga penghapusan annual fee karena pemakaian dan pembayaran yang baik. Hal ini membuat nasabah bangga dan merasa diperhatikan, sehingga nasabah akan loyal. Program layanan personal adalah layanan personal berupa bundling produk perbankan dengan kriteria nasabah besar sudah dilakukan perbankan dan hal ini tidak mempengaruhi faktor-faktor penelitian. Hal ini wajar karena secara psikologis tidaklah mungkin bahwa level nasabah dari faktor-faktor dalam penelitian ini meminta program pelayanan personal, akan tetapi apabila bank penerbit berdasarkan penelitian ini akan membuat pelayanan personal sesuai dengan levelnya adalah sangat luar biasa. Sampai saat ini belum ada yang menjalankan, mungkin sangat berhubungan dengan biaya. Program kerjasama dengan merchant adalah program ini telah berjalan di semua bank penerbit kartu kredit. Hanya saja masukan sehubungan dengan penelitian ini adalah membuat program kerja sama yang fokus pada faktor personality, misalkan program kerja
sama dengan tour travel, sekolah atau kampus, untuk mengadakan acara gathering atau outbond yang dapat diikuti seluruh anggota keluarga di dalam atau di luar negeri, pembayarannya memakai kartu kredit dan bisa dicicil sesuai kemampuan kepala keluarga. Pasar untuk program ini sangat besar, mengingat kesibukan para orang tua, tapi tetap menjadikan keluarga adalah penting dalam mengambil keputusan. Strategi pemasaran SCAM (Sustainable Competitive Advantage Marketing) untuk faktor–faktor yang mempengaruhi penggunaan kartu kredit dengan tujuan untuk meningkatkan frekuensi penggunaannya menjadi lebih dari 15 kali per bulan (nasabah yang sudah ada/outstanding customer). Status responden adalah hasil probabilitas 67.80% adalah signifikan dan besar. Oleh karenanya, bank penerbit kartu kredit harus membuat strategi pemasaran atau membuat program promosi yang fit dan difokuskan untuk status yang sudah menikah atau berkeluarga. Salah satu contoh strategi pemasaran atau program yang bisa dilakukan adalah membuat program menjual barang-barang atau jasa di mana membeli satu produk maka dapat gratis satu produk yang sama atau lainnya (buy one get one free). Jumlah keluarga responden adalah hasil probabilitas 56% adalah signifikan dan besar. Oleh karenanya, bank penerbit kartu kredit harus membuat strategi pemasaran atau membuat program promosi yang fit dan difokuskan responden yang sudah menikah dan memiliki tanggungan lebih dari 2 orang. Salah satu contoh strategi pemasaran atau program yang bisa dilakukan adalah membuat program menjual barangbarang atau jasa di mana membeli satu produk maka dapat gratis satu produk yang sama atau lainnya (buy one get one free), seperti strategi untuk karekteristik status. Jabatan responden adalah hasil probabilitas 14,2% adalah signifikan tetapi kecil peluangnnya. Oleh karenanya, bank penerbit kartu kredit harus membuat strategi pemasaran atau membuat program promosi yang fit dan difokuskan responden yang memiliki jabatan direktur, salah satu usulan program adalah bekerjasama dengan merchant yang memiliki produk dengan merk yang berkelas dan kualitas yang tinggi, atau kegiatan yang menjadi hobi level direktur seperti golf.
75
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 61-80
Pendapatan atau income responden adalah bahwa probabilitas untuk melakukan transaksi di atas 15 kali per bulan adalah kecil. Oleh karenanya, bank penerbit kartu kredit harus membuat strategi yang berbeda, yaitu dengan cara bagaimana probabilitas pemakaian di atas 15 kali per bulan menjadi besar untuk range pendapatan Rp10.000.001,- sampai tak terhingga. Hal ini sangat menarik dan merupakan tantangan bagi para pemasar. Responden yang memiliki tingkat pendapatan yang besar, rata-rata berumur antara 41 tahun sampai 55 tahun, memiliki jabatan yang tinggi, pendidikan sarjana atau lebih. Untuk itu perlu diidentifikasi mengenai gaya hidupnya. Penelitian ini tidak meneliti mengenai gaya hidup, sehingga tidak bisa memberikan usulan dari sisi gaya hidup dari perilaku konsumen. Akan tetapi secara pandangan umum dan pengalaman, biasanya semakin besar pendapatan seseorang maka orang tersebut menjadi semakin pelit untuk membelanjakan pendapatannya. Mereka biasanya memakai fasilitas perusahaan tempat di mana mereka bekerja atau miliki. Untuk itu salah satu strategi yang bisa dipakai adalah mengembangkan kartu kredit perusahaan (corporate credit card). Di samping itu, untuk yang sudah memiliki kartu kredit pribadi maka program buy one get one free bisa dilakukan, akan tetapi merk produk, tempat, dan kualitasnya harus kelas atas. Contohnya adalah makan di hotel bintang lima, golf eksklusif, atau pergi ke luar negeri dengan pesawat terbaru seperti yang ditawarkan oleh BCA bekerja sama dengan Singapore Airlines. Personality responden, sehubungan dengan hasil estimasi yang signifikan negatif, yang berarti responden yang berani mengambil risiko dan aktif dalam berinovasi berpeluang lebih kecil untuk melakukan transaksi lebih dari 15 kali per bulan, maka bank penerbit harus memiliki strategi yang andal untuk itu. Salah satu usulan strategi adalah bekerja sama dengan merchant yang memiliki produk yang mempunyai nama dan kelas tinggi seperti Hugo Boss dan lain sebagainya untuk membuat program cicilan atau diskon. Akan tetapi program tersebut mempunyai limit waktu yang terbatas dalam pembeliannya, atau dalam istilah siapa cepat maka akan mendapatkannya. Strategi pemasaran SCAM (Sustainable Competitive Advantage Marketing) untuk faktor–faktor yang mempengaruhi penggunaan kartu kredit dengan tujuan untuk meningkatkan transaksi penggunaannya menjadi
76
lebih dari Rp10.000.000,- per bulan (nasabah yang sudah ada/outstanding customer). Usia 1 dan 2 responden. Hasil probabilitas 73,30% dan 77,80% adalah signifikan dan besar. Untuk itu bank penerbit kartu kredit harus membuat strategi pemasaran atau membuat program promosi yang fit dan difokuskan untuk usia antara 26 sampai 55 tahun saja. Melihat bahwa level usia tersebut adalah level usia yang produktif dalam bekerja dan masih ada usia yang di bawah 40 tahun,dimana usia ini adalah usia yang masih muda dan bersemangat tinggi, untuk itu strategi harus dipecah menjadi 2 bagian yaitu untuk mengakomodasi usia 26 tahun sampai 40 tahun dan usia di atas 40 tahun sampai 55 tahun. Untuk strategi pemasaran usia di atas 40 tahun bisa dipakai strategi yang telah dijabarkan pada Y2frekKK, sedangkan untuk strategi pemasaran usia 26-40 bisa dipakai pemberian diskon dan tambahan diskon untuk produk asesoris mobil atau peralatan yang bertehnologi, seperti handphone ataupun komputer/laptop. Jabatan 2 dan 3 responden. Hasil probabilitas adalah kecil mengingat signifikan negatif, artinya nilai pembelanjaannya akan lebih rendah dibandingkan dengan jabatan staf (jabatan 0). Untuk itu bank penerbit kartu kredit harus membuat strategi pemasaran atau membuat program promosi yang fit dan difokuskan untuk meningkatkan transaksi rupiah bagi jabatan manager dan direktur, akan tetapi tetap melihat dari pendapatan riilnya juga besaran limit yang diberikan, karena apabila terjadi kesalahan strategi bisa menyebabkan kegagalan bayar. Program cicilan pembelian barang dengan besar cicilannya bisa diatur dan pembelian khusus atau fokus untuk barang yang berkelas atau mahal adalah salah satu strategi pemasaran yang cocok. Income 2 responden. Probabilitas kecil dan negatif, maka usulan strategi untuk income antara Rp5.000.001 sampai Rp10.000.000 bisa dibuat program nonton boskop atau makan dengan sistem diskon atau beli satu gratis satu. Program ini diharapkan dapat meningkatkan jumlah transaksi rupiah per bulan kartu kreditnya. Personality responden. Sehubungan dengan hasil estimasi yang signifikan negatif, dimana responden yang berani mengambil risiko dan aktif dalam berinovasi peluang lebih kecil untuk melakukan transaksi lebih dari 15 kali per bulan, maka bank penerbit harus memiliki startegi yang handal untuk itu. Salah
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG, .................. (Jusup Agus Sayono, Ujang Sumarwan, Noer Azam Achsani,Hartoyo)
satu usulan strategi adalah bekerja sama dengan merchant yang memiliki produk yang mempunyai nama dan kelas tinggi seperti Hugo Boss dan lain sebagainya untuk membuat program cicilan atau diskon, akan tetapi program tersebut mempunyai limit waktu yang terbatas dalam pembeliannya atau dalam istilah siapa cepat dia akan mendapatkannya. Strategi pemasaran SCAM (Sustainable Competitive Advantage Marketing) untuk faktor–faktor yang mempengaruhi perilaku pembayaran kartu kredit, dalam hal perilaku pembayaran ini difokuskan untuk melihat perilaku pembayaran yang lunas 100%. Sebenarnya perilaku pembayaran yang melunasi 100% tagihan merupakan hal yang kurang memberikan kontribusi keuntungan kepada bank penerbit kartu kredit,mengingat bank hanya mendapatkan hasil dari merchant berkisar antara 2-3% dari setiap nominal yang dibelanjakan nasabahnya. Kontribusi keuntungan adalah apabila memperoleh pendapatan dari 2 sisi yaitu dari sisi merchant dan dari sisi perolehan bunga. Bunga yang dicharge oleh penerbit kartu cukup tinggi yaitu berkisar antara 3,5% sampai dengan 4%. Simpulan dari hal ini adalah kontribusi keuntungan akan maksimal apabila nasabah tidak membayar tagihan lunas 100% atau di antara pembayaran 10% sampai kurang dari 100%. Simpulan SCAM untuk hal nasabah yang membayar lunas 100% total tagihannya adalah bahwa dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pembayaran. Hal yang dapat dilakukan adalah pembuatan strategi pemasaran dan promosi yaitu melakukan kerjasama dengan merchant untuk membuat program cicilan, sehingga secara otomatis pihak bank penerbit akan mendapatkan kontribusi keuntungan dari dua sisi, juga dari sisi nasabah tetap merasa selalu melunasi cicilannya (winwin solution). Strategi ini juga bermanfaat, selain akan memberikan kontribusi keuntungan dan juga bermanfaat menurunkan risiko gagal bayar dan NPL bagi bank penerbit kartu kredit. Hal yang perlu diwaspadai adalah responden atau nasabah dengan jenis kelamin laki-laki, kemudian jabatan staf, supervisor dan manajer, tetapi yang perlu lebih diwaspadai adalah jabatan staf, income di bawah Rp3.000.000 sampai Rp5.000.000, dengan fokus kewaspadaan lebih pada income di bawah Rp3.000.000. Untuk income di atas Rp10.000.001 tidak perlu terlalu khawatir mengingat hasilnya lebih kecil peluangnya,
hanya saja walaupun peluangnya hanya 29,9%, salah satu usulan strategi adalah melakukan pengamatan apabila terjadi, karena dikhawatirkan income tersebut sudah hilang oleh karena adanya kasus ataupun pemutusan hubungan kerja. Usulan strategi yang lain untuk faktor demografi yang lain di luar income 3 adalah selalu melakukan monitoring data pembayaran dengan ketat dan pemberian limit yang rendah, khususnya untuk faktor-faktor demografi tersebut di atas. Faktor motivasi negatif dalam penelitian ini perlu dijadikan point penyaringan pada saat akan membuat strategi pemasaran ataupun strategi promosi. Faktor sikap dalam penelitian ini untuk sebagai bagian kajian permasalahan nasabah akibat kejadian negatif dalam hubungan kepemilikan kartu kreditnya. Usulan strategi adalah peningkatan layanan nasabah. Faktor personality dalam penelitian ini dijadikan bahan kajian untuk melakukan identifikasi nasabah yang memiliki personality rendah, untuk itu usulan strateginya adalah memonitoring ketat data pembayaran dan memberikan limit yang rendah. Hasil kajian memperlihatkan bahwa terdapat satu karakteristik faktor demografi yaitu status responden yang sudah menikah dan faktor motivasi responden yang mempengaruhi responden terkena denda akibat terlambat dalam membayar tagihan. Faktorfaktor tersebut perlu diwaspadai oleh penerbit kartu kredit dengan cara melakukan memonitoring dengan ketat untuk nasabahnya yang memiliki status sudah menikah. Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan, di antaranya membuat SOP atau Sistem Operasi Prosedur untuk memonitor hal tersebut, yang dapat diaplikasikan dengan pemakaian tehnologi informasi untuk memantau. Di samping itu, diberikan batasan berapa kali maksimal bahwa nasabahnya diperbolehkan untuk terlambat membayar sehingga dapat terseleksi guna mengurangi risiko adanya gagal bayar, yang ujungnya adalah risiko NPL. Faktor motivasi yang tinggi untuk memiliki kartu kredit antara lain dorongan bahwa kartu kredit merupakan gengsi, mengikuti trend, sebagai tambahan atau cadangan dana, dapat berbelanja lebih/konsumtif, dan mudah untuk berutang. Motivasi tersebut merupakan faktor yang perlu diwaspadai oleh bank penerbit kartu kredit.
77
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 61-80
SIMPULAN, SARAN, DAN KETERBATASAN PENELITIAN Simpulan Strategi pemasaran SCAM (Sustainable Competitive Advantage Marketing) untuk faktor–faktor yang mempengaruhi pemilikan kartu kredit dengan tujuan untuk mencari nasabah baru dan mempertahankan nasabah yang sudah ada, untuk faktor–faktor yang mempengaruhi penggunaan kartu kredit dengan tujuan untuk meningkatkan frekuensi penggunaannya menjadi lebih dari 15 kali per bulan (nasabah yang sudah ada/ outstanding customer), untuk faktor– faktor yang mempengaruhi penggunaan kartu kredit dengan tujuan untuk meningkatkan transaksi penggunaannya menjadi lebih dari Rp10.000.000,- per bulan (nasabah yang sudah ada/outstanding customer), dan untuk faktor– faktor yang mempengaruhi perilaku pembayaran kartu kredit, dalam hal perilaku pembayaran ini difokuskan untuk melihat perilaku pembayaran yang lunas 100% ada perbedaaan. Saran Untuk mendapatkan keunggulan bersaing dalam bisnis kartu kredit, maka penulis memberikan saran kepada pelaku bisnis ataupun calon pelaku bisnis kartu kredit, untuk melakukan pembuatan strategi pemasaran yang komprehensif, atau tidak hanya membuat strategi yang bertujuan untuk meningkatkan kontribusi keuntungan saja, akan tetapi juga membuat strategi untuk meminimalkan risiko kegagalan bayar dan risiko kredit macet. Risiko tersebut akan membawa dampak negatif dari sisi kinerja maupun nama baik institusi. Sehubungan dengan hal pembuatan startegi pemasaran tersebut, maka pelaku bisnis wajib melakukan kajian berdasarkan perilaku manusia terhadap keputusan untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam kajian ini pelaku bisnis bisa memakai landasan konsep berpikir berdasarkan uji teoritis tentang perilaku konsumen ataupun penelitian-penelitian yang berhubungan dengan perilaku manusia atau konsumen. Peneliti juga menyarankan bahwa aturan dan sistem terhadap analisis kelayakan calon nasabah adalah penting sekali, mengingat hal tersebut menjadi pintu masuk awal untuk terjadinya hubungan bisnis
78
pelaku bisnis kartu kredit dengan nasabahnya. Prosedur Bank Indonesia Checking, Bank Checking ataupun Personal Checking harus dilaksanakan, juga pembuatan aplikasi harus diadakan perbaikan, dimana ada tambahan pertanyaan yang berhubungan dengan perilaku konsumen, sehingga gambaran awal perilaku calon nasabah bisa tergambar dan menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan diterima atau ditolak aplikasi, dan juga penentuan besarnya limit kartu kredit. Untuk pelaku bisnis kartu kredit adalah untuk melakukan kerja sama program belanja dengan angsuran, diskon, maupun buy one get one free, dan lain sebagainya dengan merchant bonafide yang memiliki visi dan misi bisnis sepaham. Dasar alasan saran penulis adalah untuk peningkatan transaksi, baik secara kuantitas maupun rupiah, juga sehubungan dengan adanya pasar untuk nasabah yang cenderung membayar tagihannya 100% lunas. Peneliti juga merekomendasikan untuk penelitian mendatang agar respondennya berasal dari populasi pegawai negeri atau pemerintah dengan dasar pertimbangan bahwa saat ini belum ada penelitian pemasaran berkaitan dengan kartu kredit yang fokus untuk pegawai negeri atau pemerintah. Hasil yang didapatkan dapat dijadikan bahan pembanding strategi pemasaran untuk pasar di sektor swasta maupun pemerintah. Keterbatasan Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis faktor demografi, faktor motivasi, faktor sikap, dan faktor personality yang berpengaruh terhadap kepemilikan, penggunaan, pembayaran, dan peluang terjadinya gagal bayar kartu kredit. Sample dan design yang dilakukan untuk menghasilkan hasil penelitian akan memiliki keterbatasan apabila digunakan untuk mengeneralisasi bila hasilnya digunakan pada populasi yang besar yaitu seluruh jumlah dari nasabah ataupun calon nasabah kartu kredit. Limitasi terbesar dari penelitian ini termasuk bahwa hasil atas peluang dari faktor-faktor yang berpengaruh, yang diperoleh jawabannya dari responden dalam penelitian ini mungkin bukankan pilihan yang tepat atau fit untuk mengeneralisasi populasi yang lain. Sebagai contoh adalah dalam penelitian ini bahwa prospek potensial pemasaran kartu kredit adalah untuk jabatan staf, akan
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG, .................. (Jusup Agus Sayono, Ujang Sumarwan, Noer Azam Achsani,Hartoyo)
tetapi bukan berarti bahwa jabatan staf tersebut menjadi representatif dari populasi yang besar. Hal tersebut juga berlaku pada faktor yang lainnya, akan tetapi paling tidak bahwa hasil penelitian ini bisa memberikan gambaran ataupun bench marking untuk pembuatan suatu strategi atas hal-hal yang paling berpengaruh signifikan atas kepemilikan, penggunaan, pembayaran, dan peluang terjadinya gagal bayar kartu kredit.
Capricon Indonesia Consult Inc. 1994. Studi on Multi Finance Business Development and Prospects in Indonesia. Edisi Januari, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Ekolita. 1999. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Majalah Mutu (Edisi Mei-Juni), Jakarta.
Al Mushlih, A. dan Shalah, A. 2006. Hukum Kartu Kredit. http://www.halalguide.info Anaroga, P. 1997. Manajemen Bisnis (Terjemahan). Rineka Cipta, Jakarta. Assael, H. 1998. Consumer Behaviour & Marketing Action. 6th edition. PWS Kent Publishing Co., Boston. Bank Indonesia. 2005. Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu. PBI No: 7/52/PBI/2005. ________. 2006. Persepsi, Preferensi, Perilaku Masyarakat dan Lembaga Penyedia Jasa terhadap Pembayaran Non Tunai, Jakarta. ________. 2008. Statistik Sistem Pembayaran, Infrastruktur APMK. www.bi.go.id .
Chaterjee, S and B. Prince. 1977. Regression Analysis by Example. John Wiley and Sons. New York. Engel, J.F, Blackwell R.D & Miniard. 2005. Consumer Behavior. 10th Edition. The Dryden Press, Chicago.
Firdaus M, Farid MA. 2008. Metode Kuantitatif Terpilih untuk Manajemen dan Bisnis. IPB Press. Bogor. Info Bank. 1995. Kartu Kredit. Edisi Khusus Desember, No. 192. Istijanto. 2006. Riset Sumber Daya Manusia. Gramedia. Jakarta. Jollite, I.T. 1986. Principal Component Analysis. Springer Verlog. New York. Kasmir. 2004. Manajemen Perbankan. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Kotler, P. 2006. Marketing Management: Analysis, Planning, Implementation, and Control. Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey.
________. 2009. Statistik Sistem Pembayaran, Penyelenggara APMK. www.bi.go.id .
Les Frair, Jessica O. Matson, dan Jack E. Matson. 1998. An Undergraduate Curriculum Evaluation with the Analytic Hierarchy Process. IEEE.
________. 2009a. Statistik Sistem Pembayaran, Jumlah Kartu Beredar. www.bi.go.id .
Mahmoeddin. 2004. Melacak Kredit Bermasalah. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
________. 2009b. Statistik Sistem Pembayaran, Jumlah Transaksi Kartu Kredit. www.bi.go.id .
Muljono. 2001. Manajemen Perkreditan bagi Bank Komersil BPFE., Yogyakarta.
Bernthal, M.J., David, C., and Randall, L.R. 2005. Credit card and lifestyle facilitators. Journal of consumer research Gainesville, vol 32 page 130.
Myers, R.H. 1990. Classical and Modern Regression with Application. Second Edition. PWS Kent, Boston.
79
JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 61-80
Peter, J. P., Olson, J. C. 2004. Consumer Behavior and Marketing Strategy. 7th Edition, Richard D. Irwin, Boston. Prospek. 1994. Pilihan Bagi yang Tak Suka Utang. Edisi 17 Desember. Saaty, T. L. 1988. Decision Making for Leaders, RWS Publications. ____________. 1988. The Analytic Hierarchy Process. RWS Publications. Setiadi, N. J. 2003. Perilaku Konsumen: Konsep dan Implikasi untuk Penelitian Pemasaran. Prenada Media, Jakarta. Suharjo, B dan Suwarno. 2002. LISREL (Linear Structural Relationship): Teori dan Aplikasinya. Jurusan Matematika. FMIPA IPB. Institut Pertanian Bogor. Simamora, B. 2004. Panduan Riset Perilaku Konsumen. Gramedia Pustaka, Jakarta. Santoso, S. 1999. Aplikasi Excel dalam Bisnis. Elex Media Komputindo. Jakarta Sumarwan, U. 2003. Perilaku Konsumen: Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Ghalia Indonesia, Jakarta. Umar, H. 2003. Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
80
ISSN: 1978-3116
JURNA L
Vol. 3, No. 1, Maret 2009
EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
INDEKS PENULIS DAN ARTIKEL JURNAL EKONOMI & BISNIS (JEB)
Vol. 1, No. 1, Maret 2007 Harjanti, Theresia Tri dan Eduardus Tandelilin, pp. 1-10, Pengaruh Firm Size, Tangible Assets, Growth Opportunity, Profitability, dan Business Risk pada Struktur Modal Perusahaan Manufaktur di Indonesia: Studi Kasus di BEJ. Dewi, Kurnia, pp. 11-22, Pengaruh Pengetahuan tentang Taktik Pemasang Iklan, Penghargaan Diri, Kerentanan Konsumen, dan Pengetahuan Produk Konsumen pada Skeptisme Remaja terhadap Iklan Televisi. Khasanah, Mufidhatul, pp. 23-31, Analisis Nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) pada Investasi di Kabupaten Sleman, Tahun 2000-2004. Yusuf, Muhammad, pp. 33-48, Metodologi Event Study: Telaah Metodologi di Bidang Ekonomi dan Keuangan. Kusumawati, Rini, pp. 49-58, Pengaruh Image, Kualitas yang Dipersepsikan, Harapan Nasabah pada Kepuasan Nasabah dan Pengaruh Kepuasan Nasabah pada Loyalitas Nasabah dan Perilaku Beralih Merek Norpratiwi, AM Vianey, pp. 59-65, Aspek Value Added Rumah Sakit sebagai Badan Layanan Umum. Vol. 1, No. 2, Juli 2007 Puspitasari, Christiana Rini, pp. 67-75, Dampak Ekonomi Pembangunan Perumahan Casa Grande di Kabupaten Sleman Terhadap Masyarakat di Luar Perumahan, Tahun 2000-2005 (Studi Kasus di Desa Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Sleman) Estikasari, Ni Nengah Ami Estikasari, pp. 77-86, Pengaruh Pendukung Online pada Web Site Penyedia Layanan Telekomunikasi dalam Meningkatkan Loyalitas Pelanggan Handayani, Asri Wening dan Rudy Badrudin, pp. 87-97, Analisis Deskriptif Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota di Propinsi D.I. Yogyakarta, Tahun 2004-2005
ISSN: 1978-3116 Vol. 3, No. 1, Maret 2009
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
Prajogo, Wisnu, pp. 99-103, Interpersonal Network: Keterkaitannya dengan Personality dan Kinerja Berdasarkan Sudut Pandang Social Resources Theory Algifari, pp. 105-112, Analisis Pertumbuhan Ekspor Indonesia Sebelum dan Setelah Krisis Ekonomi Supriyanto, Y, pp. 113-118, Kontroversi Penggunaan Risk-Adjusted Discount Rates (RADR) untuk Mendiskontokan Cash Flows dalam Capital Budgeting Vol. 1, No. 3, Nopember 2007 Anatan, Lina dan Fahmy Radhi, pp. 119-133, The Effect of Environmental Factors, Manufacturing Strategy and Technology on Operational Performance: Study Amongst Indonesian Manufacturers Ciptono, Wakhid Slamet, pp. 135-146, Triple-R Strategy of Reformation—Revitalization, Reflection, and Realization: in Memory of 10 Years of Reformation and 100 Years of National Awakening [2008] Handayani, Asri Wening dan Rudy Badrudin, pp. 147-160, Analisis Deskriptif Struktur Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten/Kota di Propinsi D.I. Yogyakarta, Tahun 2004-2005 Astuti, Kurnia dan Budiono Sri Handoko, pp. 161-173, Analisis Pertumbuhan Ekonomi, Kebutuhan Investasi, dan Penyerapan Tenaga Kerja di Kabupaten Sleman Fachrunnisa, Olivia, pp. 175-186, Identifikasi Pentingnya Komunikasi Nonverbal di Organisasi Purnamawati, Astuti, pp. 187-192, Pengukuran Tingkat Keunggulan Komparatif Barang Ekspor Indonesia Vol. 2, No. 1, Maret 2008 Maryatmo, R., pp. 1-8, Strategi Bisnis Eceran (Studi Kasus di Yogyakarta) Windayani, Santi, pp. 9-28, Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Penggunaan Informasi Kinerja dalam Penganggaran
ISSN: 1978-3116 Vol. 3, No. 1, Maret 2009
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
Prajogo, Wisnu, pp. 29-35, Pengaruh Proactive Personality pada In-Role dan Extra-Role Performance (Kasus pada Sebuah Perguruan Tinggi di Yogyakarta) Sardjito, Bambang dan Osmad Muthaher, pp. 37-49, Pengaruh Partisipasi Penyusunan Anggaran terhadap Kinerja Aparat Pemerintah Daerah: Budaya dan Komitmen Organisasi sebagai Variabel Moderating Raharjo, Achmad, pp. 51-55, Prospek Pengembangan Industri Komponen dan Perakitan Otomotif di Kabupaten Sleman Fatmawati, Sri, pp. 57-65, Pemerataan Kepemilikan Saham dan Keadilan: Kebijakan Pemecahan Saham Vol. 2, No. 2, Juli 2008 Dominanto, Nedi Nugrah, pp. 67-75, Perbedaan Sikap Terhadap Iklan, Merek, Dan Niat Beli Konsumen pada Iklan dengan Fear Appeal Tinggi dan Rendah pada Partisipan Wanita Suparmono, pp. 77-94, Analisis Optimasi Faktor Produksi Budidaya Udang Galah di Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman Fajar, Siti Al, pp. 95-100, Model Kepemimpinan Baru dalam Mengelola Diversitas Angkatan Kerja dalam Rangka Meraih Keunggulan Bersaing Pasaribu, Rowland Bismark Fernando, pp. 101-113, Pengaruh Variabel Fundamental Terhadap Harga Saham Perusahaan Go Public di Bursa Efek Indonesia (BEI) Periode 2003-2006 Fatmawati, Sri, pp. 115-126, Kerjasama Perdagangan Regional (AFTA): Kajian Ekonomi Terhadap Perdagangan Barang Indonesia Manoppo, Yosua Pontolumiu, pp. 127-144, Pengaruh Kualitas Inti, Kualitas Hubungan, Risiko yang Dipersepsikan, dan Harapan Konsumen pada Loyalitas Pelanggan dan Komplain Pelanggan pada Salon Kecantikan “X” yang Ada di Yogyakarta
ISSN: 1978-3116 Vol. 3, No. 1, Maret 2009
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
Vol. 2, No. 3, Nopember 2008 Anwar, Andlie Liano, pp. 145-158, Analisis Pengaruh Pendukung Online Website Layanan Operator Seluler pada Kepuasan dan Loyalitas Pelanggan Operator Seluler di Indonesia Edy, pp. 159-174, Pengaruh Budaya Organisasional dan Lingkungan Kerja terhadap Kinerja Perawat “Rumah Sakit Mata Dr. YAP” Yogyakarta dengan Motivasi dan Kepuasan Kerja sebagai Variabel Pemediasi Sukmawati, Ferina, pp. 175-194, Pengaruh Kepemimpinan, Lingkungan Kerja Fisik, dan Kompensasi terhadap Kinerja Karyawan di PT. Pertamina (Persero) UPMS III Terminal Transit Utama Balongan, Indramayu Rosalina, Willy Lutfiani, pp. 195-216, Pengaruh Kecerdasan Emosional Perawat terhadap Perilaku Melayani Konsumen dan Kinerja Perawat Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Indramayu Rosidi, Abidarin, pp. 217-232, Iklan Industri Kecil Melalui Word Wide Web (WWW) di Daerah Istimewa Yogyakarta: Masalah Efektifitas Isi dan Desain Iklan Badrudin, Rudy, pp. 233-246, Dampak Krisis Keuangan Amerika Serikat terhadap Perdagangan Internasional Indonesia
ISSN: 1978-3116
JURNA L
Vol. 3, No. 1, Maret 2009
EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
PEDOMAN PENULISAN
JURNAL EKONOMI & BISNIS (JEB) Ketentuan Umum 1. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sesuai dengan format yang ditentukan. 2. Penulis mengirim tiga eksemplar naskah dan satu compact disk (CD) yang berisikan naskah tersebut kepada redaksi. Satu eksemplar dilengkapi dengan nama dan alamat sedang dua lainnya tanpa nama dan alamat yang akan dikirim kepada mitra bestari. Naskah dapat dikirim juga melalui e-mail. 3. Naskah yang dikirim belum pernah diterbitkan di media lain yang dibuktikan dengan pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh semua penulis bahwa naskah tersebut belum pernah dipublikasikan. Pernyataan tersebut dilampirkan pada naskah. 4. Naskah dan CD dikirim kepada Editorial Secretary Jurnal Akuntansi & Manajemen (JAM) Jalan Seturan Yogyakarta 55281 Telpon (0274) 486160, 486321 ext. 1332 O Fax. (0274) 486155 e-mail: [email protected] Standar Penulisan 1. Naskah diketik menggunakan program Microsoft Word pada ukuran kertas A4 berat 80 gram, jarak 2 spasi, jenis huruf Times New Roman berukuran 12 point, margin kiri 4 cm, serta margin atas, kanan, dan bawah masing-masing 3 cm. 2. Setiap halaman diberi nomor secara berurutan. Gambar dan tabel dikelompokkan bersama pada lembar terpisah di bagian akhir naskah. 3. Angka dan huruf pada gambar, tabel, atau histogram menggunakan jenis huruf Times New Roman berukuran 10 point. 4. Naskah ditulis maksimum sebanyak 15 halaman termasuk gambar dan tabel. Urutan Penulisan Naskah 1. Naskah hasil penelitian terdiri atas Judul, Nama Penulis, Alamat Penulis, Abstrak, Pendahuluan, Materi dan Metode, Hasil, Pembahasan, Ucapan Terima Kasih, dan Daftar Pustaka. 2. Naskah kajian pustaka terdiri atas Judul, Nama Penulis, Alamat Penulis, Abstrak, Pendahuluan, Masalah dan Pembahasan, Ucapan Terima Kasih, dan Daftar Pustaka. 3. Judul ditulis singkat, spesifik, dan informatif yang menggambarkan isi naskah maksimal 15 kata. Untuk kajian pustaka, di belakang judul harap ditulis Suatu Kajian Pustaka. Judul ditulis dengan huruf kapital dengan jenis huruf Times New Roman berukuran 14 point, jarak satu spasi, dan terletak di tengah-tengah tanpa titik. 4. Nama Penulis ditulis lengkap tanpa gelar akademis disertai alamat institusi penulis yang dilengkapi dengan nomor kode pos, nomor telepon, fax, dan e-mail.
ISSN: 1978-3116 Vol. 3, No. 1, Maret 2009
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
5.
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
14.
Abstrak ditulis dalam satu paragraf tidak lebih dari 200 kata menggunakan bahasa Inggris. Abstrak mengandung uraian secara singkat tentang tujuan, materi, metode, hasil utama, dan simpulan yang ditulis dalam satu spasi. Kata Kunci (Keywords) ditulis miring, maksimal 5 (lima) kata, satu spasi setelah abstrak. Pendahuluan berisi latar belakang, tujuan, dan pustaka yang mendukung. Dalam mengutip pendapat orang lain dipakai sistem nama penulis dan tahun. Contoh: Badrudin (2006); Subagyo dkk. (2004). Materi dan Metode ditulis lengkap. Hasil menyajikan uraian hasil penelitian sendiri. Deskripsi hasil penelitian disajikan secara jelas. Pembahasan memuat diskusi hasil penelitian sendiri yang dikaitkan dengan tujuan penelitian (pengujian hipotesis). Diskusi diakhiri dengan simpulan dan pemberian saran jika dipandang perlu. Pembahasan (review/kajian pustaka) memuat bahasan ringkas mencakup masalah yang dikaji. Ucapan Terima Kasih disampaikan kepada berbagai pihak yang membantu sehingga penelitian dapat dilangsungkan, misalnya pemberi gagasan dan penyandang dana. Ilustrasi: a. Judul tabel, grafik, histogram, sketsa, dan gambar (foto) diberi nomor urut. Judul singkat tetapi jelas beserta satuan-satuan yang dipakai. Judul ilustrasi ditulis dengan jenis huruf Times New Roman berukuran 10 point, masuk satu tab (5 ketukan) dari pinggir kiri, awal kata menggunakan huruf kapital, dengan jarak 1 spasi b. Keterangan tabel ditulis di sebelah kiri bawah menggunakan huruf Times New Roman berukuran 10 point jarak satu spasi. c. Penulisan angka desimal dalam tabel untuk bahasa Indonesia dipisahkan dengan koma (,) dan untuk bahasa Inggris digunakan titik (.). d. Gambar/Grafik dibuat dalam program Excel. e. Nama Latin, Yunani, atau Daerah dicetak miring sedang istilah asing diberi tanda petik. f. Satuan pengukuran menggunakan Sistem Internasional (SI). Daftar Pustaka a. Hanya memuat referensi yang diacu dalam naskah dan ditulis secara alfabetik berdasarkan huruf awal dari nama penulis pertama. Jika dalam bentuk buku, dicantumkan nama semua penulis, tahun, judul buku, edisi, penerbit, dan tempat. Jika dalam bentuk jurnal, dicantumkan nama penulis, tahun, judul tulisan, nama jurnal, volume, nomor publikasi, dan halaman. Jika mengambil artikel dalam buku, cantumkan nama penulis, tahun, judul tulisan, editor, judul buku, penerbit, dan tempat. b. Diharapkan dirujuk referensi 10 tahun terakhir dengan proporsi pustaka primer (jurnal) minimal 80%. c. Hendaknya diacu cara penulisan kepustakaan seperti yang dipakai pada JAM/JEB berikut ini:
Jurnal Yetton, Philip W., Kim D. Johnston, and Jane F. Craig. Summer 1994. “Computer-Aided Architects: A Case Study of IT and Strategic Change.”Sloan Management Review: 57-67.
ISSN: 1978-3116 Vol. 3, No. 1, Maret 2009
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
Buku Paliwoda, Stan. 2004. The Essence of International Marketing. UK: Prentice-Hall, Ince. Prosiding Pujaningsih, R.I., Sutrisno, C.L., dan Sumarsih, S. 2006. Kajian kualitas produk kakao yang diamoniasi dengan aras urea yang berbeda. Di dalam: Pengembangan Teknologi Inovatif untuk Mendukung Pembangunan Peternakan Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional dalam Rangka HUT ke-40 (Lustrum VIII) Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman; Purwokerto, 11 Pebruari 2006. Fakutas Peternakan UNSOED, Purwokerto. Halaman 54-60. Artikel dalam Buku Leitzmann, C., Ploeger, A.M., and Huth, K. 1979. The Influence of Lignin on Lipid Metabolism of The Rat. In: G.E. Inglett & S.I.Falkehag. Eds. Dietary Fibers Chemistry and Nutrition. Academic Press. INC., New York. Skripsi/Tesis/Disertasi Assih, P. 2004. Pengaruh Kesempatan Investasi terhadap Hubungan antara Faktor Faktor Motivasional dan Tingkat Manajemen Laba. Disertasi. Sekolah Pascasarjana S-3 UGM. Yogyakarta. Internet Hargreaves, J. 2005. Manure Gases Can Be Dangerous. Department of Primary Industries and Fisheries, Queensland Govermment. http://www.dpi.gld.gov.au/pigs/ 9760.html. Diakses 15 September 2005. Dokumen [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman. 2006. Sleman Dalam Angka Tahun 2005.
Mekanisme Seleksi Naskah 1. 2. 3.
Naskah harus mengikuti format/gaya penulisan yang telah ditetapkan. Naskah yang tidak sesuai dengan format akan dikembalikan ke penulis untuk diperbaiki. Naskah yang sesuai dengan format diteruskan ke Editorial Board Members untuk ditelaah diterima atau ditolak. 4. Naskah yang diterima atau naskah yang formatnya sudah diperbaiki selanjutnya dicarikan penelaah (MITRA BESTARI) tentang kelayakan terbit. 5. Naskah yang sudah diperiksa (ditelaah oleh MITRA BESTARI) dikembalikan ke Editorial Board Members dengan empat kemungkinan (dapat diterima tanpa revisi, dapat diterima dengan revisi kecil (minor revision), dapat diterima dengan revisi mayor (perlu direview lagi setelah revisi), dan tidak diterima/ditolak). 6. Apabila ditolak, Editorial Board Members membuat keputusan diterima atau tidak seandainya terjadi ketidaksesuaian di antara MITRA BESTARI. 7. Keputusan penolakan Editorial Board Members dikirimkan kepada penulis. 8. Naskah yang mengalami perbaikan dikirim kembali ke penulis untuk perbaikan. 9. Naskah yang sudah diperbaiki oleh penulis diserahkan oleh Editorial Board Members ke Managing Editors. 10. Contoh cetak naskah sebelum terbit dikirimkan ke penulis untuk mendapatkan persetujuan. 11. Naskah siap dicetak dan cetak lepas (off print) dikirim ke penulis.