AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
PENGARUH PENGOLAHAN PANAS TERHADAP KONSENTRASI ANTOSIANIN MONOMERIK UBI JALAR UNGU (Ipomoea batatas L) Efect of Heat Processing on Monomeric Anthocyanin of Purple Sweet Potato (Ipomoea batatas L) Ai Mahmudatussa’adah1,2, Dedi Fardiaz1,3, Nuri Andarwulan1,3, Feri Kusnandar1,3 Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga Bogor 16680 2 Program Studi Pendidikan Tata Boga, Fakultas Teknologi dan Kejuruan, Universitas Pendidikan Indonesia, Jl. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung 14450 3 Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Centre, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga Bogor 16680 Email:
[email protected] 1
ABSTRAK Antosianin merupakan salah satu kelompok zat warna alami yang terdapat pada tanaman, seperti daun, bunga, umbi, buah atau sayur. Salah satu sumber antosianin pada tanaman adalah ubi jalar ungu (UJU) yang mengandung lebih dari 98% antosianin terasilasi dari konsentrasi antosianin umbi. Warna antosianin bervariasi mulai dari merah, ungu, biru, sampai kuning. Warna dan konsentrasi antosianin dapat berubah karena pengaruh panas. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan warna dan konsentrasi antosianin monomerik sebagai akibat proses pengolahan dalam pembuatan ÀDNHV UJU. Penelitian ini mengkaji juga mengenai model kinetika reaksi pengaruh suhu dan waktu panggang terhadap konsentrasi antosianin UJU segar dan ÀDNHV rehidrasi. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan tiga kali ulangan. Warna dan konsentrasi antosianin dari UJU segar, setelah proses pengukusan dan setelah menjadi ÀDNHV dibandingkan. UJU segar berwarna ungu kecoklatan (L*=23,38±0,71, C=9,84±0,98, Hue=12,25±1,61). Konsentrasi antosianin monomerik pada UJU segar adalah 1,45±0,00 mg setara sianidin (CyE)/g basis kering (bk). Secara umum, warna dan konsentrasi antosianin UJU berubah selama proses pembuatan ÀDNHV. UJU yang dikukus selama 7 menit berubah menjadi ungu cerah (L*=25,88±0,47, C=24,64±0,25, Hue=348,83±0,33) dengan konsentrasi antosianin monomerik meningkat menjadi 3,76±0,01 mg CyE/g bk. )ODNHV UJU berwarna ungu sangat cerah (L*=36,12±0,11, C=9,97±0,18, Hue=359,29±0,31) dan konsentrasi antosianin monomerik sedikit lebih rendah dibandingkan ubi jalar setelah dikusus (3,19±0,12 mg CyE/g bk). Jumlah antosianin monomerik UJU segar dan ÀDNHV rehidrasi menurun seiring dengan waktu dan suhu pemanggangan. Kata kunci: Warna, antosianin, ubi jalar ungu, ÀDNHV, kecepatan penururunan ABSTRACT $QWKRF\DQLQ LV D QDWXUDO SLJPHQW IRXQG LQ SODQWV VXFK DV OHDYHV ÀRZHUV URRWV IUXLWV RU YHJHWDEOHV 3XUSOH VZHHW potato (PSP) is one source of antocyanin consisting of 98% acylated anthocyanin of the total anthocyanin content in tuber. Anthocyanin color varies from red, purple, blue to yellow. The color and amount of anthocyanin may change due to heating processings. The purpose of this research was to observe the changes in color and anthocyanin monomeric content in PSP during heat processing of flakes. The other purpose of this reseach was to observe the order kinetics model of effect temperature and time baking on total anthocyanin monomeric of fresh PSP and rehydration PSP flakes. The experimental applied a completely randomized design with three replications. The color and amount of anthocyanin IURPIUHVK363DIWHUVWHDPLQJSURFHVVDQGSURFHVVHGLQWRDÀDNHZHUHFRPSDUHG)UHVK363KDGEURZQ\SXUSOHFRORU (L * = 23.38 ± 0.71, C = 9.84 ± 0.98, Hue = 12.25 ± 1.61). Total monomeric anthocyanin in fresh PSP was 1.45 ± 0.00 mg cyanidin equivalent (CyE)/g dry basis (db). In general, the color and the amount of PSP anthocyanin changed during the flakes processing. Steamed PSP for 7 minutes turned its color into a bright purple (L * = 25.88 ± 0.47, C = 24.64 ± 0.25, Hue = 348.83 ± 0.33) with the amount of monomeric anthocyanin increased to 3.76 ± 0.01 CyE mg/g db. Flakes PSP was very bright purple (L * = 36.12 ± 0.11, C = 9.97 ± 0.18, Hue = 359.29 ± 0.31) and the amount of monomeric
129
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
anthocyanin was slightly lower than that of steamed sweet potato (3.19 ± 0.12 mg CyE / g db). Total monomeric anthocyanin of fresh PSP and rehydration flakes PSP decrease during baking time. Keywords: Color, anthocyanin, purple sweet potato, flakes, degradation kinetics
PENDAHULUAN Antosianin merupakan zat warna larut air yang banyak ditemukan pada tanaman, yaitu di bagian bunga, daun, umbi, buah atau sayur. Antosianin adalah senyawa yang terdiri dari antosianidin dan gugus gula. Antosianidin yang banyak ditemukan di dalam buah, sayur atau umbi adalah SHODUJRQLGLQ VLDQLGLQ GHO¿QLGLQ SHRQLGLQ SHWXQLGLQ GDQ malvidin (Kim dkk., 2012). Antosianin dapat memberikan warna yang berbeda (merah, ungu, biru, atau kuning), tergantung pada pHnya. Pada kondisi pH asam antosianin berwarna merah atau ungu, pada pH basa berwarna hijau atau kuning, dan pada pH netral berwarna biru. Antosianin sebagai pewarna banyak digunakan sebagai pewarna alami pada produk minuman, minuman fermentasi, jus, sari buah, dan mie instan. Di samping sebagai zat warna alami, antosianin MXJDGDSDWEHUSHUDQVHEDJDLDQWLRNVLGDQDQWLLQÀDPDVLDQWL kanker (kanker kolon), dan mempunyai kemampuan untuk menurunkan glukosa darah (Cevallos-Casals dan CisnerosZevallos, 2004; Wu dkk., 2004; Jiao dkk., 2012; Burgos dkk., 2013). Ubi jalar ungu merupakan sumber antosianin, yaitu mengandung lebih dari 98% antosianin terasilasi dari konsentrasi antosianin yang terkandung di dalam umbi (Jie dkk., 2013). Jenis antosianin yang ditemukan di dalam ubi jalar ungu adalah sianidin 3-kafeol-sophorosida-5-glukosida dan peonidin 3-kafeol-sophorosida-5-glukosida (Odake dkk., 1992; Goda dkk., 1997; Terahara dkk., 2004; Montilla dkk., 2011; Jie dkk., 2013). Varietas Ayamurasaki mengandung 74% peonidin dan 19% sianidin dari antosianin yang diasilasi (Tsukui dkk., 2002). Antosianin terasilasi pada ubi jalar ungu stabil terhadap perubahan pH, panas, mempunyai aktivitas antioksidan dan anti mutagenetik (Yoshimoto dkk., 1999; Yoshimoto dkk., 2001; Cevallos-Casals dan CisnerosZevallos, 2004; Kano dkk., 2005; dan Jie dkk., 2013). Ubi jalar ungu (UJU) banyak dikonsumsi dalam bentuk goreng/rebus atau diolah menjadi dodol dan selai. UJU juga mulai dikembangkan menjadi tepung untuk digunakan sebagai ingredien pangan, misalnya untuk mie telo. Di antara potensi pemanfaatan lain dari UJU adalah diolah menjadi bentuk ÀDNHV dengan warna khas dari antosianin. )ODNHV merupakan sediaan kering atau serpihan yang dibuat melalui tahapan pembuatan pasta dan dikeringkan dengan pengering drum. Umumnya ÀDNHV diproses dari bahan baku kentang, yaitu dikenal dengan potato ÀDNHV. )ODNHV dapat diolah lebih
130
lanjut sebagai ingredien pangan untuk pembuatan french fried potatoes atau potato chips (Lamberti dkk., 2004). Ubi jalar secara alami mengandung fenol dan enzim fenolase (Walter dan Pucell, 1980; Thompson, 1981), sehingga setelah proses pengupasan sangat mudah mengalami proses pencoklatan secara enzimatis (Krishnan dkk., 2010) yang dipercepat dengan paparan terhadap oksigen. Proses pencoklatan dapat mempengaruhi warna ubi jalar, sehingga enzim perlu diinaktivasi. Inaktivasi enzim dapat dilakukan dengan cara pengukusan, perebusan, penggorengan, atau pemanggangan. Pembuatan ÀDNHV secara umum melalui tahapan proses pembuatan pasta dengan cara dikukus, direbus, digoreng atau dipanggang, kemudian pasta tersebut dikeringkan dengan pengering drum. Konsentrasi dan warna antosianin dapat berubah karena pengaruh pemanasan (Truong dkk., 2010; Kim dkk., 2012; Lachman dkk., 2012; dan Burgos dkk., 2013). Informasi mengenai perubahan warna dan konsentrasi antosianin sebagai akibat proses pengolahan panas ubi jalar menjadi ÀDNHV ubi jalar belum tersedia. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi seberapa besar perubahan warna dan konsentrasi antosianin yang terjadi selama tahap pemanasan pada proses pembuatan ÀDNHV ubi jalar ungu. Kinetika reaksi perubahan konsentrasi antosianin monomerik dari UJU segar dan ÀDNHV rehidrasi oleh proses pemanggangan juga dipelajari. METODE PENELITIAN Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah UJU varietas Ayamurasaki yang didapatkan dari petani di Desa Cilembu, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang. UJU varietas Ayamurasaki (dengan masa tanam 5 bulan, Juni – Nopember WHODK GLYHUL¿NDVL NDUDNWHULVWLN WDNVRQRPLQ\D GL %DODL Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi), Malang. Setelah dipanen UJU dicuci bersih, dikeringkan dengan cara diangin-anginkan kemudian disimpan selama 7 hari pada ruangan berventilasi dengan kelembaban 80%. Ubi jalar ungu sampai tahap ini disebut sebagai UJU segar. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis di antaranya metanol, KCl, CH3COONa, NaOH, dan HCl dari Merck Jerman. Peralatan utama yang digunakan untuk pembuatan sampel ÀDNHV UJU adalah pengupas abrasive Hobart,
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
pengukus, mesin penghancur Alexanderwerk, dan pengering drum. Alat analisis yang digunakan di antaranya sentrifuse (Hermle Z383K), pengering beku (Labconco), evaporator putar Buchi Switzerland R210, colorimeter (Minolta CR 310) dan Spektrofotometer UV-Vis (2450 Shimadzu). Penyiapan UJU Segar, Kukus dan Flakes Pembuatan ÀDNHV UJU mengikuti metode Lamberti dkk. GHQJDQ VHGLNLW PRGL¿NDVL pada tahap pengukusan. Sebanyak 5 kg sampel UJU dikupas dengan pengupas abrasive, dicuci dalam air yang mengalir, dipotong dengan panjang 3 cm (UJU segar), dan ditiriskan. Potongan UJU dikukus selama 7 menit untuk menghasilkan UJU kukus. )ODNHV UJU disiapkan dengan cara menghancurkan UJU kukus dengan mesin penghancur sehingga diperoleh pasta UJU, lalu dihomogenkan dan dikeringkan dengan pengering drum pada suhu 141,5 oC dengan kecepatan putaran 1 rpm. )ODNHV UJU dikemas dalam kantong plastik, UJU segar dan UJU kukus dikeringbekukan dengan freeze dryer pada suhu -51 oC selama 48 jam. Sampel disimpan pada suhu -27 oC hingga dianalisis. Ekstraksi Antosianin Ekstraksi antosianin sampel UJU segar, UJU kukus, ÀDNHV UJU, UJU segar panggang dan ÀDNHV rehidrasi panggang mengikuti metode Huang dkk. (2010) dengan PRGL¿NDVLSDGDSHUEDQGLQJDQMXPODKVDPSHOGHQJDQSHODUXW dan jenis pelarut yang digunakan. Sebanyak 1 gram sampel disuspensikan dalam 32 mL larutan asam-metanol 15% HCl (HCl, 1.5 M di dalam metanol). Suspensi diaduk dalam alat penangas air goyang pada suhu 50 oC selama 60 menit. Selanjutnya suspensi sampel disentrifus pada kecepatan 4000 rpm selama 15 menit. Supernatan dipisahkan dan disaring dengan kertas saring Whatman No. 1. Endapan diekstrak kembali dengan larutan asam-metanol 15% sebanyak dua kali lagi, kemudian supernatan dikumpulkan dalam botol gelap. Sebanyak 88 mL supernatan diuapkan dengan evaporator putar Buchi Switzerland R210 pada suhu 40 oC, 4 rpm selama 20 menit sampai diperoleh ekstrak antosianin pekat yang ditandai dengan mulai terbentuknya endapan. Sebanyak 5-7 mL ekstrak antosianin pekat disimpan di dalam botol gelap, disimpan pada suhu -27 oC sampai digunakan untuk analisis. Pengukuran Warna Warna sampel UJU segar, UJU kukus dan ÀDNHV UJU diukur dengan colorimeter dengan sistem pengukuran CIELAB (Truong dkk., 2012). Parameter yang diukur meliputi L* (Lightness), a * = merah (+) sampai hijau (-), b * = kuning (+) sampai biru (-). Chromacity (C) menunjukkan intensitas warna yang dihitung dengan rumus
. Hue angle (H*) dihitung sebagai tan-1 (b*/a*). Hue diekspresikan sebagai derajat sudut mulai dari 0o – 360o, dimana 0o (merah) dalam kuadran +a*, diputar berlawanan arah jarum jam 90o (kuning) untuk +b*, 180o (hijau) untuk –a*, 360o (biru) untuk –b*. Colorimeter dikalibrasi dengan L* = 92,75, a* = - 0,76, b* = - 0,07. Sampel dimasukkan ke dalam cawan petri dan secara hati-hati permukaannya ditekan untuk menghilangkan gelembung udara. Nilai parameter warna tersebut dihitung dari rata-rata tiga kali ulangan pengukuran. Analisis Antosianin Monomerik Analisis antosianin monomerik mengacu metode Jie dkk. (2013) yaitu atas metode yang digunakan oleh Lee dkk. (2005). Metode ini didasarkan pada perbedaan struktur antosianin pada pH 1 dan pH 4.5. Sebanyak 1 mL ekstrak antosianin dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL, kemudian ditambahkan larutan buffer KCl (0,025 M) pH 1 sampai volume menjadi 5 mL. Selanjutnya 1 mL ekstrak antosianin dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL yang lain, kemudian ditambahkan larutan buffer Na-asetat (0,4 M) pH 4,5 sampai volume menjadi 5 mL. Kedua labu tersebut ditempatkan di ruang gelap selama 60 menit. Absorbansi dari setiap larutan setelah mencapai kesetimbangan diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang yang memberikan absorbansi maksimal dan pada panjang gelombang 700 nm dengan blanko akuabides. Selanjutnya antosianin monomerik (CyE) dihitung dengan menggunakan dua Persamaan (1) dan (2) (Jie dkk., 2013). Monomer antosianin dihitung dan dinyatakan sebagai ekuivalen sianidin-3-glukosida (CyE, C21H21O11, mg/L). A ൌ(AȜYLV-max – A700)pH1.0 - (AȜYLV-max – A700)pH4.5 Antosianin monomerik (CyE, mg/L) :
୶୶୶ଵ ᖡ୶୪
(1) (2)
dimana AȜYLVPD[ (absorbansi pada panjang gelombang penyerapan maksimum di daerah sinar tampak); A (absorbansi), BM (Berat molekul sianidin-3-glukosida, 449,2 g/mol), FP (faktor pengenceran), ε (absorptivitas molar sianidin – 3 glukosida, 26900 L/cm /mol), l panjang sel kuvet (1 cm) dan 1000 faktor konversi g ke mg. Semua pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Untuk mendapatkan absorbansi maksimum, spektrum dari larutan sampel diukur pada panjang gelombang 350–700 nm. 6DPSHOLQLPHQXQMXNNDQȜvis-max pada panjang gelombang 521 nm untuk pH 1 dan 544 nm untuk pH 4,5.
131
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Kinetika Penurunan Konsentrasi Antosianin Monomerik Akibat Pemanggangan Kinetika penurunan konsentrasi antosianin monomerik akibat pemanggangan dilakukan pada UJU segar dan ÀDNHV yang telah direhidrasi. UJU segar dibersihkan, dikupas, dipotong-potong berbentuk kubus dengan panjang sisi 4 cm, kemudian masing-masing dibungkus dengan aluminium foil. Rehidrasi ÀDNHV dilakukan dengan cara menambahkan air pada ÀDNHV sesuai kadar air pada UJU segar (65%), kemudian diaduk hingga membentuk pasta. Pasta dibentuk di dalam cetakan berbentuk kubus dengan panjang sisi 4 cm kemudian dibungkus aluminium foil. Sampel UJU segar dan ÀDNHV rehidrasi dipanggang dalam oven pada suhu dan waktu yang berbeda, yaitu 150 oC selama 0-120 menit, 200 oC selama 0-90 menit, dan 250 oC selama 0-60 menit. Pada setiap suhu pemanggangan diambil 7 titik sampel, yaitu pada 150 oC (0, 20, 40, 60, 80, 100 dan 120 menit), pada 200 oC (0, 15, 30, 45, 60, 75 dan 90 menit) dan pada 250 oC (0, 10, 20, 30, 40, dan 60 menit). Sampel didinginkan di dalam cooler box yang sudah dilengkapi dry ice, kemudian dikeringbekukan, digiling membentuk tepung dan disaring dengan saringan berukuran 80 mesh. Sampel disimpan pada suhu -27 oC sampai digunakan untuk analisis konsentrasi antosianin monomerik. Orde reaksi penurunan konsentrasi antosianin ditentukan dengan cara memplotkan data sebagai fungsi dari waktu pemanggangan dan konsentrasi antosianin, kemudian ditentukan nilai konstanta laju reaksinya (k) pada masing-masing suhu pada orde reaksi nol dan satu. Persamaan kinetika reaksi orde nol : ܥ௧ ൌ ܥ െ ݇( ݐ3)
Persamaan kinetika reaksi orde satu : ݈݊ ൌ െ݇( ݐ4)
Analisis Data Data-data yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk nilai rerata ± standar deviasi (Mean ± SD). Data analisis warna dan konsentrasi antosianin monomerik dari perlakuan pemanasan UJU (segar, kukus dan ÀDNHV) diuji sidik ragamnya (ANOVA) kemudian dilakukan uji jarak berganda Duncan dengan menggunakan aplikasi SPSS 16 untuk menentukan perbedaan antar perlakuan. HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Warna UJU segar mengandung air sebanyak 65%. Setelah proses pengukusan, kadar air meningkat menjadi 72%, dan setelah pengeringan dengan pengering drum menurun kembali menjadi 6%. UJU segar memiliki warna merah ungu kecoklatan (Gambar 1A). Warna UJU berubah setelah proses pengukusan selama 7 menit menjadi ungu kemerahan (Gambar 1B). Proses lebih lanjut dengan pengering drum drier pada suhu 141,5 o C menghasilkan ÀDNHV UJU berwarna ungu cerah (Gambar 1C). Proses pengukusan dapat menginaktifkan enzim antosianase, polifenol oksidase, dan peroksidase sehingga tidak mendegradasi antosianin (Shi dkk., 1992; Jang dkk., 2005; dan Truong dkk., 2010). Enzim alami yang terdapat dalam UJU inaktif, maka tidak akan terjadi proses oksidasi dan pencoklatan, sehingga warna dari UJU kukus adalah ungu kemerahan. Proses pengeringan pasta UJU dapat menghilangkan sebagian besar dari kandungan air pasta, sehingga ÀDNHV UJU berwarna ungu cerah.
ሾ ሿ
(5)
ି ୪୬ ǡହ
(6)
Waktu paruh (t1/2) orde nol : ቂ ቃ ଶ Waktu paruh (t1/2) orde satu :
Pengaruh suhu terhadap penurunan konsentrasi antosianin selama pemanggangan, ditentukan dengan menghitung energi aktivasi menggunakan persamaan Arhenius : ்݈݊݇ ൌ ݇ െ
ܽܧ ܴܶ
(7)
Co = konsentrasi antosinin pada waktu 0; Ct = konsentrasi antosinin pada waktu ke t; kT = konstanta laju reaksi, ko = faktor pre-eksponensial (mol/L/s); Ea : Energi aktivasi (kJ/ mol), R konstanta gas ideal (8,314 J/mol K) dan T : suhu (Kelvin). Energi aktifasi dan faktor pre-eksponensial masingmasing ditentukan dari slop dan intersep hasil regresi linier antara ln k dan 1/T (Jie dkk., 2013).
132
A
B
C
Gambar 1. A: UJU segar, B: UJU kukus, dan C: )ODNHV UJU
Perubahan warna secara visual pada Gambar 1, GLNRQ¿UPDVL GHQJDQ SHQJXNXUDQ VHFDUD RE\HNWLI GHQJDQ colorimeter (Tabel 1). Parameter warna (L*, a*, b*, C dan Hue) berbeda secara nyata (P<0,05) pada UJU segar, UJU kukus dan ÀDNHV UJU. Dari parameter L* dan b*, ÀDNHV UJU menunjukkan warna paling cerah dan paling ungu biru, sedangkan berdasarkan parameter intensitas warna (C), dan a* UJU kukus menunjukkan kekuatan warna paling tinggi dibandingkan dengan UJU segar dan ÀDNHV UJU. UJU segar menunjukkan warna merah kekuningan, dengan a*, b* positif dan derajat Hue yang cenderung menunjukkan warna merah oranye. UJU kukus menunjukkan warna merah kebiruan
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
7DEHO.DUDNWHULVWLNZDUQDGDUL8-8VHJDUNXNXVGDQÀDNHV Sampel UJU Segar Kukus )ODNHV
L* 23,38 ± 0,71c 25,88 ± 0,47b 36,12 ± 0,11a
a* 9,60 ± 0,90b 24,17± 0,22a 9,97 ± 0,18b
b* 2,11 ± 0,48a -4,77 ± 0,18b -0,13 ± 0,06c
C 9,84 ± 0,98b 24,64 ± 0,25a 9,97 ± 0,18b
Hue (o) 12,25 ± 1,61c 348,83 ± 0,33b 359,29 ± 0,31a
L* (Lightness, kecerahan), a*(redness) b* (yellowness), C (chromacity). Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil uji berbeda nyata (P<0,05).
(a* positif, b* negatif), dan derajat Hue yang cenderung menunjukkan warna ungu. Ubi jalar ungu segar menunjukkan warna merah kekuningan cenderung coklat. UJU kukus dan ÀDNHV UJU menunjukkan warna merah kebiruan cenderung ungu. Nilai C dari UJU kukus menunjukkan intensitas warna yang lebih kuat (24,64 ± 0,25) dibandingkan dengan sampel yang lainnya. )ODNHV UJU lebih cerah dibandingkan UJU segar dan UJU kukus. Hal ini disebabkan proses pengeringan dengan pengering drum berlangsung pada suhu tinggi dengan waktu yang singkat, sehingga ÀDNHV UJU memiliki warna ungu yang lebih cerah. Menurut peneliti sebelumnya (Oki dkk., 2002) mengemukakan bahwa karakteristik warna dari tepung ubi jalar ungu Ayamurasaki adalah L* : 44,0, a* : 21,6, b* : -6,7 dan hue : - 0,3, radian : 342,88o , dan menurut Husnah (2010) karakteristik warna tepung UJU Ayamurasaki adalah L: 42,08, a*: 13,04, b*: -2,88, dan hue: 347,7, hampir sama dengan karakteristik warna UJU kukus dalam penelitian ini. Antosianidin yang dominan di dalam ubi jalar ungu adalah sianidin yang dominan memberikan warna biru, dan peonidin yang dominan memberikan warna merah (Montilla dkk., 2011). Perubahan Kadar Pemanasan
Antosianin
Monomerik
karena
Perubahan konsentrasi antosianin monomerik dari UJU segar, kukus dan ÀDNHV disajikan pada Tabel 2. Konsentrasi antosianin monomerik UJU segar, kukus, dan ÀDNHV berbeda nyata (P<0.05). Konsentrasi antosianin monomerik UJU kukus lebih besar dibandingkan dengan ÀDNHV UJU dan juga UJU segar dengan konsentrasi antosianin monomerik secara berurutan 3,76 ± 0,01 mg CyE/gram (bk), 3,19 ± 0,12 mg CyE/gram (bk), dan 1,45 ± 0,01 mg CyE/gram (bk). Tabel 2. Konsentrasi antosianin monomerik UJU segar, kukus, dan ÀDNHV Sampel UJU Segar Kukus )ODNHV
Konsentrasi antosianin mgCyE/g (bk) 1,45 ± 0,00c 3,76 ± 0,02a 3,19 ± 0,12b
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil uji berbeda nyata (P<0.05).
Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Truong dkk. (2010), yaitu pemasakan dengan pengukusan selama 25 menit pada beberapa varietas ubi jalar ungu dapat meningkatkan konsentrasi antosianin monomerik, ZDODXSXQ WLGDN PHPEHULNDQ SHQJDUXK \DQJ VLJQL¿NDQ terhadap perubahan konsentrasi antosianin total. Demikian juga Lachman dkk. (2012) melaporkan bahwa konsentrasi antosianin monomerik pada kentang ungu meningkat 3,34 kali setelah dipanggang, 4,2 kali setelah direbus, dan 4,5 kali setelah dikukus. Namun Kim dkk. (2012) melaporkan hasil yang berbeda, yaitu konsentrasi antosianin UJU varietas Shinzami berkurang hampir setengahnya ketika dikukus vakum (121 oC, 10 menit) dan hanya sedikit berkurang setelah dipanggang pada 200 oC selama 40-50 menit. Konsentrasi antosianin monomerik UJU segar paling rendah yang menunjukkan adanya aktivitas enzim antosianase, polifenol oksidase dan peroksidase yang menurunkan kandungan antosianin dan merubah warna antosianin melalui reaksi oksidasi. Menurut Shi dkk. (1992), perubahan warna pada ubi jalar ungu pada suhu ruang berhubungan dengan adanya penurunan polifenol oleh aktivitas enzim antosianase, polifenol oksidase dan peroksidase. Jang dkk. (2005) menunjukkan juga bahwa enzim polifenol oksidase yang terdapat pada kentang berdaging ungu sangat aktif pada suhu ruang dan terdegradasi pada suhu lebih tinggi dari 70 oC. Proses pengukusan atau pembekuan potongan ubi jalar segar sebelum ekstraksi antosianin dapat meminimalkan kerusakan antosianin dan fenolat (Truong dkk., 2010). Konsentrasi antosianin monomerik dari ÀDNHV UJU lebih tinggi dibandingkan dengan UJU segar dan lebih kecil dibandingkan dengan UJU kukus. )ODNHV UJU mengalami dua kali proses pemanasan, yaitu pengukusan dan pengeringan dengan pengering drum. Proses pengeringan pasta UJU dengan pengering drum berjalan cepat 1 rpm, sehingga dapat mempertahankan konsentrasi antosianin monomerik. Teknik pengeringan yang dilakukan dengan cepat dapat mempertahankan kandungan nutrisi dari bahan yang dikeringkan (Afzal dkk., 1999). Beberapa peneliti terdahulu menemukan bahwa konsentrasi antosianin monomerik dari ÀDNHV kentang ungu adalah 4,01 mg/g bubuk (Han dkk., 2007); antosianin di dalam tepung ubi jalar Ayamurasaki tertinggi 1,88 mg Cy-
133
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
3-glukosida/g tepung (Husnah, 2010). Menurut Jiao dkk. (2012) konsentrasi antosianin UJU 1,38 mg/g bk. Jumlah antosianin monomerik ÀDNHV UJU hasil penelitian ini lebih rendah dari jumlah antosianin ÀDNHV kentang ungu (Han dkk., 2007), namun lebih tinggi dari jumlah antosianin tepung UJU Ayamurasaki (Husnah, 2010). Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan bahan baku ÀDNHV dan teknik pengeringan ÀDNHV dengan tepung yang berbeda. Konsentrasi UJU segar dalam penelitian ini hampir sama dengan jumlah antosianin UJU yang ditemukan oleh Jiao dkk. (2012). Kinetika Penurunan Konsentrasi Antosianin Monomerik Akibat Pemanggangan
[Antosianin monomerik mgCyE/g]
Perubahan konsentrasi antosianin monomerik dari UJU segar dan ÀDNHV rehidrasi yang dipanggang pada suhu 150 oC, 200 oC dan 250 oC pada waktu yang berbeda-beda disajikan pada Gambar 2. Secara umum, UJU segar dan ÀDNHV rehidrasi yang dipanggang pada suhu yang lebih rendah memiliki kandungan antosianin monomerik yang lebih tinggi pada waktu pemanasan yang sama. Hal ini ditunjukkan dengan nilai konstanta laju reaksi yang semakin kecil pada suhu pemanggangan yang lebih rendah (Tabel 3).
Antosianin monomerik yang dipanggang pada suhu yang sama cenderung menurun dengan semakin lamanya waktu proses. Data pada Gambar 2 juga menunjukkan bahwa pemanggangan pada suhu lebih tinggi tetapi dengan waktu yang lebih cepat memiliki konsentrasi antosianin monomerik yang lebih tinggi. Analisis data lebih lanjut menunjukkan bahwa penurunan konsentrasi antosianin monomerik UJU segar dan ÀDNHV rehidrasi cenderung mengikuti model reaksi orde nol dan orde satu, karena memberikan nilai R2 yang hampir sama (Tabel 3). Peneliti sebelumnya menemukan bahwa stabilitas panas dari antosianin UJU (Jie dkk., 2013) dan antosianin beras hitam (Hou dkk., 2013) adalah mengikuti model kinetika reaksi orde satu. Semakin tinggi suhu pemanggangan, semakin kecil waktu paruh, berarti antosianin semakin mudah rusak. Energi aktivasi UJU segar lebih tinggi dibandingkan energi aktivasi ÀDNHV rehidrasi, menunjukkan UJU segar lebih sensitif terhadap perubahan suhu dibandingkan ÀDNHV rehidrasi. Peneliti sebelumnya menemukan bahwa energi aktivasi (Ea) ekstrak antosianin ubi jalar ungu pada pH 6 adalah 89,38 kJ/mol, dan Ea nya menurun ketika ditambahkan ke dalam jus buah (Jie dkk., 2013). KESIMPULAN
ϯ͕Ϯ ϯ Ϯ͕ϴ Ϯ͕ϲ Ϯ͕ϰ Ϯ͕Ϯ Ϯ Ϭ
ϮϬ
^ϭϱϬ
^ϮϬϬ
ϰϬ
ϲϬ
ϴϬ
Waktu (menit) ^ϮϱϬ &ϭϱϬ
ϭϬϬ &ϮϬϬ
ϭϮϬ &ϮϱϬ
Gambar 2. Perubahan konsentrasi antosianin monomerik pada UJU segar (S) dan ÀDNHV rehidrasi (F) pada berbagai suhu dan waktu pemanggangan
Proses pengolahan UJU menjadi ÀDNHV UJU menyebabkan perubahan warna dan konsentrasi antosianin monomerik. Proses pengukusan selama 7 menit dapat mempertahankan karakteristik warna alami dan konsentrasi antosianin UJU. Pembuatan ÀDNHV UJU dengan pengering drum pada suhu 141,5 oC mengubah warna menjadi ungu cerah dan konsentrasi antosianin monomerik lebih tinggi dibandingkan UJU segar. Perubahan konsentrasi UJU segar dan ÀDNHV rehidrasi selama proses pemanggangan mengikuti model orde reaksi nol dan satu. Antosianin ÀDNHV rehidrasi relatif lebih stabil dibandingkan antosianin UJU segar.
Tabel 3. Kinetika perubahan konsentrasi antosianin monomerik UJU segar dan ÀDNHV rehidrasi pada berbagai suhu pemanggangan Sampel UJU Segar
)ODNHV rehidrasi
134
Suhu (oC) 150 200 250 150 200 250
Model orde reaksi 0 k 0,0077 0,0097 0,0122 0,0087 0,0105 0,0125
R2 0,9847 0,9779 0,9786 0,9876 0,9893 0,9689
t1/2 208,7 178,4 133,1 185,7 153,2 129,8
Model orde reaksi 1 Ea (kJ/mol) 8,3
6,6
k 0,0028 0,0034 0,0042 0,0032 0,0038 0,0043
R2 0,9909 0,9833 0,9838 0,9934 0,9926 0,9773
t1/2 248,03 203,96 164,97 193,84 165,14 144,92
Ea (kJ/mol) 7,39
5,35
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
DAFTAR PUSTAKA Afzal, T.M., Abe, T. dan Hikida, Y. (1999). Energy and quality aspects during combined FIR-convection drying of barley.-RXUQDORI)RRG(QJLQHHULQJ42: 177-182. Burgos, G., Amoros, W., Mun˜oa, L., Sosa, P., Cayhualla, (6DQFKH]&'ÕD]&GDQ%RQLHUEDOH0 Total phenolic, total anthocyanin and phenolic acid concentrations and antioxidant activity of purpleÀHVKHGSRWDWRHVDVDIIHFWHGE\ERLOLQJ-RXUQDORI)RRG &RPSRVLWLRQDQG$QDO\VLV 30: 6-12. Cevallos-Casals, B.A. dan Cisneros-Zevallos, L. (2004). Stability of anthocyanin based aqueous extracts of $QGHDQ SXUSOH FRUQ DQG UHGÀHVKHG VZHHW SRWDWR compared to synthetic and natural colorants. )RRG &KHPLVWU\86: 69-77.
2 ,GHQWL¿FDWLRQDQGWKHUPDOVWDELOLW\RISXUSOH ÀHVKHGVZHHWSRWDWRDQWKRF\DQLQVLQDTXHRXVVROXWLRQV with various pH values and fruit juices.)RRG&KHPLVWU\ 136: 1429-1434. Kano, M., Takayanagi, T., Harada, K., Makino, K. dan Ishikawa, F. (2005). Antioxidative activity of anthocyanins from purple sweet potato, ,SRPRHDEDWDWDV cultivar Ayamurasaki. Bioscience, %LRWHFKQRORJ\ DQG %LRFKHPLVWU\ 69: 979-988. Kim, H.W., Kim, J.B., Cho, S.M., Chung, M.N., Leen, Y.M., Chu, S.M., Che, J.H., Kim, S.N., Kim, S.Y., Cho, Y.S., Kim, J.H., Park, H.J. dan Lee, D.J. (2012). Anthocyanin FKDQJHV LQ WKH .RUHDQ SXUSOHÀHVKHG VZHHW SRWDWR Shinzami, as affected by steaming and baking. )RRG &KHPLVWU\ 130: 966-972.
Goda, Y., Shimizu, T., Kato, Y., Nakamura, M., Maitani, T., Yamada, T., Terahara, N. dan Yamaguchi, M. (1997). Two acylated anthocyanins from purple sweet potato. 3K\WRFKHPLVWU\ 44: 183-186.
Krishnan, J.G., Padmaja, G., Moorthy, S.N., Suja, G. dan Sajeev, M.S. (2010). Effect of pre-soaking treatments RQWKHQXWULWLRQDOSUR¿OHDQGEURZQLQJLQGH[RIVZHHW SRWDWR DQG \DP ÀRXUV ,QQRYDWLYH )RRG 6FLHQFH DQG (PHUJLQJ7HFKQRORJLHV11: 387-393.
Han, K.H., Matsumoto, A., Shimada, K., Sekikawa, M. dan Michihiro, F. (2007). Effects of anthocyanin-rich purple SRWDWR ÀDNHV RQ DQWLR[LGDQW VWDWXV LQ ) UDWV IHG D cholesterol-rich diet. %ULWLVK -RXUQDO RI 1XWULWLRQ 98: 914-921.
Lachman, J., Hamouz, K., Orsak, M., Pivec, V., Hejtmankova, K., Pazderu, K., Dvorak, P. dan Cepl, J. (2012). Impact of selected factors - Cultivar, storage, cooking and EDNLQJRQWKHFRQWHQWRIDQWKRF\DQLQVLQFRORXUHGÀHVK potatoes. )RRG&KHPLVWU\ 133: 1107-1116.
Hou, Z., Qin, P., Zhang, Y., Cui, S. dan Ren, G. (2013). ,GHQWL¿FDWLRQRIDQWKRF\DQLQVLVRODWHGIURPEODFNULFH (2U\]DVDWLYD L.) and their degradation kinetics. )RRG 5HVHDUFK,QWHUQDWLRQDO50: 691-697.
Lamberti, M., Geiselman, A., Conde-Petit, B. dan Escher, F. (2004). Starch transformation and structure development in production and reconstitution of potato ÀDNHV/HEHQVPLWWHO:LVVHQVFKDIWXQG7HFKQRORJLH 37: 417-427.
Huang, C.L., Liao, W.C., Chan, C.F. dan Lai, Y.C. (2010). Optimization for extraction anthocyanin from purple sweet potato roots using response surface methodology. -RXUQDORI7DLZDQ$JULFXOWXUDO5HVHDUFK59: 143-150. Husnah, S. (2010). 3HPEXDWDQ 7HSXQJ 8EL -DODU 8QJX ,SRPRHD %DWDWDV 9DULHWDV $\DPXUDVDNL GDQ $SOLNDVLQ\D GDODP 3HPEXDWDQ 5RWL 7DZDU Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jang, J., Ma, Y., Shin, J. dan Song, K. (2005). Characterization of polyphenoloxidase extracted from 6RODQXP WXEHURVXPJasim. )RRG6FLHQFHDQG%LRWHFKQRORJ\ 14: 117-122. Jiao, Y., Jiang, Y., Zhai, W. dan Yang, Z. (2012). Studies on antioxidant capacity of anthocyanin extract from purple sweet potato (,SRPRHD EDWDWDV L.)$IULFDQ -RXUQDO RI %LRWHFKQRORJ\ 11: 7046-7054. Jie, L., Xiao-ding, L., Yun, Z., Zheng-dong, Z., Zhi-ya, O., Meng, L., Shao-hua, Z., Shuo, L., Meng, W. dan Lu,
Lee, J., Durst, W. dan Wrolstad, R.E. (2005). Determination of total monomeric anthocyanin pigment content of fruit juices, beverages, natural colorants, and wines by the pH differential method: Collaborative study. -RXUQDORI $2$&,QWHUQDWLRQDO 88: 1269-1278. Montilla, E.C., Hillebrand, S. dan Winterhalter, P. (2011). Anthocyanins in purple sweet potato (,SRPRHDEDWDWDV L.) varieties. )UXLW9HJHWDEOHDQG&HUHDO6FLHQFHDQG %LRWHFKQRORJ\ 5(Special Issue 2): 19-24. Odake, K., Terahara, N., Saito, N., Toki, K. dan Honda, T. (1992). Chemical structures of two anthocyanins from purple sweet potato, ,SRPRHDEDWDWDV 3K\WRFKHPLVWU\ 31: 2127-2130. Oki, T., Masuda, M., Furuta, S., Nishiba, Y. Terahara, N. dan Suda, I. (2002). Involvement of anthocyanins and other phenolic compounds in radical-scavenging activity of SXUSOHÀHVKHG VZHHWSRWDWR FXOWLYDUV -RXUQDO RI )RRG 6FLHQFH 67: 1752-1756.
135
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Shi, Z., Bassa, I.A., Gabriel, S.L. dan Francis, F.J. (1992). Anthocyanin pigments of sweetpotatoes ,SRPRHD EDWDWDV. -RXUQDORI)RRG6FLHQFH57: 755-770. Terahara, N., Konczak, I., Ono, H., Yoshimoto, M. dan Yamakawa, O. (2004). Characterization of acylated anthocyanins in callus induced from storage root RI SXUSOHÀHVKHG VZHHW SRWDWR ,SRPRHD EDWDWDV L. -RXUQDORI%LRPHGLFLQHDQG%LRWHFKQRORJ\ 5: 279-286. Thompson, D.P. (1981). Chlorogenic acid and other phenolic compounds in fourteen sweet potato cultivars.-RXUQDO RI)RRG6FLHQFH46: 738-740. Truong, V.D., Deighton, N., Thompson, R.T., Mc Feeters, R.F., Dean, L.O., Pecota, K.V. dan Yencho, G.C. (2010). Characterization of anthocyanins and anthocyanidins in SXUSOHÀHVKHGVZHHWSRWDWRHVE\+3/&'$'(6,06 MS. -RXUQDO RI $JULFXOWXUH DQG )RRG &KHPLVWU\ 58: 404-410. Truong, V.D., Hua, Z., Thompson, R.L., Yencho, G.C. dan Pecota, K.V. (2012). Pressurized liquid extraction and TXDQWL¿FDWLRQ RI DQWKRF\DQLQV LQ SXUSOHÀHVKHG VZHHW potato genotypes. -RXUQDO RI )RRG &RPSRVLWLRQ DQG $QDO\VLV26: 96-103.
136
Tsukui, A., Murakami, T., Shiina, R. dan Hayashi, K. (2002). Effect of alcoholic fermentation on the stability of purple sweet potato anthocyanins. )RRG 6FLHQFH DQG 7HFKQRORJ\5HVHDUFK 8: 4-7. Walter, W.M. dan Purcell, A.E. (1980). Effect of substrate levels and polyphenol oxidase activities on darkening in sweet potato cultivars. -RXUQDO RI $JULFXOWXUDO DQG )RRG&KHPLVWU\ 28: 941-944. Wu, X., Beecher, G.R., Holden, J.M., Haytowitz, D.B., Gebhardt, S.E. dan Prior, R.L. (2004). Lipophilic and hydrophilic antioxidant capacities of common foods in the United States.-RXUQDORI$JULFXOWXUDODQG)RRG &KHPLVWU\ 52: 4026-4037. Yoshimoto, M., Okuno, S., Yoshinaga, M., Yamakawa, O., Yamaguchi, M. dan Yamada, J. (1999). Antimutagenicity of sweetpotato (,SRPRHD EDWDWDV) roots. %LRVFLHQFH %LRWHFKQRORJ\DQG%LRFKHPLVWU\ 63: 537-541. Yoshimoto, M., Okuno, S., Yamaguchi, M. dan Yamakawa, O. (2001). Antimutagenicity of deacylated anthocyanins in SXUSOHÀHVKHGVZHHWSRWDWR%LRVFLHQFH%LRWHFKQRORJ\ DQG%LRFKHPLVWU\ 65: 1652-1655.
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
KARAKTERISTIK YOGHURT KERING YANG DIPERKAYA DIFRUCTOSE ANHYDRIDE III DARI UMBI DAHLIA SEBAGAI MINUMAN FUNGSIONAL The Characteristics of Dried Yogurt Enriched by Difructose Anhydride III from Dahlia Tubers as Functional Drink Ainia Herminiati1, Rimbawan2, Budi Setiawan2, Dewi Apri Astuti3, Linar Zalinar Udin4 Pusat Pengembangan Teknologi Tepat Guna, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jl. Aipda K.S. Tubun No. 5 Subang 41213 2 Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, Jl. Lingkar Akademik, Kampus IPB Darmaga Bogor 16680 3 Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Jl. Agatis Kampus IPB Darmaga Bogor 16680 4 Pusat Penelitian Kimia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jl. Cisitu-Sangkuriang, Bandung 40135 Email:
[email protected]
1
ABSTRAK Yoghurt kering merupakan salah satu inovasi pengembangan produk yoghurt. Yoghurt kering dapat meningkatkan daya simpan yoghurt serta lebih praktis karena mengurangi volume sehingga lebih memudahkan dalam proses distribusi. Pengayaan yoghurt kering dengan 'LIUXFWRVH$QK\GULGHIII sebagai pangan fungsional yang berperan dalam meningkatkan penyerapan kalsium bermanfaat sebagai pencegahan terhadap osteoporosis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis karakteristik yoghurt kering yang diperkaya dengan DFA III dari umbi dahlia dan umbi FKLFRU\ VHEDJDL PLQXPDQ IXQJVLRQDO WHUKDGDS VLIDW NLPLD ¿VLN PLNURELRORJL GDQ RUJDQROHSWLN 0HWRGH SHQHOLWLDQ meliputi: (1) proses pembuatan yoghurt kering tanpa pengayaan (Y), diperkaya dengan DFA III dari umbi dahlia (YD), dan diperkaya dengan DFA III komersial dari umbi FKLFRU\<& SHQJXMLDQVLIDWNLPLD¿VLNPLNURELRORJLGDQ organoleptik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kemurnian DFA III dari umbi dahlia 96,0% dan DFA III komersial dari umbi FKLFRU\99,9%. Hasil terbaik diperoleh dari yoghurt kering yang diperkaya dengan DFA III dari umbi dahlia (YD) menghasilkan rendemen 17,83±0,36% lebih tinggi secara nyata dibandingkan dengan tanpa pengayaan (Y) 14,90±1,27% dan pengayaan dengan DFA III dari umbi FKLFRU\ (YC) 14,71±1,69% (p<0,05). Produk YD mengandung kadar air 7,89±0,01%; kadar abu 3,43±0,06%; kadar protein 12,43±0,13%; kadar lemak 1,22±0,07%; kadar karbohidrat 75,02±0,10%; pH/derajat keasaman 3,9±0,00; keasaman sebagai asam laktat 0,49±0,02%; derajat putih 89,29±0,08%; dan viabilitas bakteri asam laktat 1,20x107cfu.g-1. Pengujian organoleptik menggunakan 40 panelis semi terlatih, dengan hasil penilaian untuk aroma dan warna menunjukkan kriteria suka, untuk tekstur dan rasa menunjukkan kriteria agak suka. Yoghurt kering yang diperkaya dengan DFA III dari umbi dahlia yang bersifat prebiotik dapat meningkatkan viabilitas bakteri asam laktat sebagai probiotik yang menunjukkan bahwa produk tersebut dapat digolongkan sebagai produk sinbiotik dan dapat digunakan sebagai minuman fungsional untuk meningkatkan penyerapan kalsium sebagai pencegahan terhadap osteoporosis. Kata kunci: 'LIUXFWRVH$QK\GULGHIII, karakteristik, pengayaan, yoghurt kering ABSTRACT Dried yogurt is one of yogurt product development innovations. Beside increases the shelf life, dried yogurt is also more practical because it reduces the volume to the easier distribution process. Dried yogurt enriched by Difructose Anhydride III as functional food in increasing calcium absorption is useful as osteoporosis prevention. The purpose of this study was to analyze the characteristics of dried yogurt enriched by DFA III from dahlia and chicory tubers as functional drink on physicochemical, microbiology, and organoleptic properties. The research stages include: (1) The production of dried yogurt without enrichment (Y), with DFA III enrichment from dahlia tubers (YD), and with DFA
137
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
III commercial enrichment from chicory tubers (YC), (2) The test for physicochemical, microbiology, and organoleptic properties.The results showed that the purity level of DFA III from dahlia tubers was 96.0% and commercial DFA III from chicory tubers was 99.9%. The best results were obtained from the dried yogurt enriched by DFA III from dahlia WXEHUV<' ZKLFKSURGXFHG\LHOGRI,WZDVVLJQL¿FDQWO\KLJKHUWKDQGULHG\RJXUWZLWKRXWHQULFKPHQW< which produced yield of 14.90±1.27% and dried yogurt enriched by DFA III from chicory tubers (YC) which produced yield of 14.71±1.69% (p<0.05). YD product had moisture content of 7.89±0.01%; ash content of 3.43±0.06%; protein content of 12.43±0.13%; fat content of 1.22±0.07%; carbohydrate content of 75.02±0.10%; pH/acidity of 3.9±0.00; acidity as lactic acid of 0.49±0.02%; whiteness degree of 89.29±0.08%; and lactic acid bacteria viability of 1.20x107 FIXJ2UJDQROHSWLFWHVWZDVFRQGXFWHGE\VHPLWUDLQHGSDQHOLVWV7KHUHVXOWVVKRZHGWKDWIRUÀDYRXUDQGFRORU levels got like preference, while for texture and taste level got medium-like preference. Dried yogurt enriched by DFA III from dahlia tubers could improve the viability of lactic acid bacteria as probiotic. It means that the dried yogurt FRXOGEHFODVVL¿HGDVV\QELRWLNSURGXFWVDQGXVHGDVDIXQFWLRQDOGULQNWRLQFUHDVHFDOFLXPDEVRUSWLRQDVRVWHRSRURVLV prevention. Keywords: Difructose AnhydrideIII, characteristics, enrichment, dried yogurt PENDAHULUAN 'LIUXFWRVH$QK\GULGHIII merupakan senyawa disakarida siklik dan termasuk dalam kategori pangan fungsional, dapat dihasilkan melalui proses enzimatis dari umbi FKLFRU\ dengan menggunakan enzim IUXFWRV\OWUDQVIHUDVH $UWKUREDFWHU sp. H65-7 (Kikuchi dkk., 2009). Pudjiraharti dan Asano (2012) menggunakan enzim inulinfruktotransferase yang diisolasi dari 1RQRPXUDHD sp. ID06-A0189 untuk proses pembuatan DFA III dari umbi dahlia. DFA III telah terbukti dapat meningkatkan penyerapan kalsium pada usus tikus, sapi dan manusia yang berperan sebagai FDUULHUWUDQVSRUWHU, reseptor, kofaktor, pentrigger pembuka VLJQDO FKDQQHO kalsium, dan memberi pengaruh asam pada usus besar (Suzuki dkk., 1998; 2004; Mitamura dkk., 2002; Shigematsu dkk., 2004; Minamida dkk., 2006; Sato dkk., 2007). Berdasarkan hal tersebut, DFA III sebagai prebiotik dapat dikonsumsi dengan cara ditambahkan pada produk pangan fungsional yang berperan dalam meningkatkan penyerapan kalsium dan bermanfaat sebagai pencegahan osteoporosis. Yoghurt mengandung kadar kalsium relatif tinggi 145 mg.100 g-1 (Tamime dan Robinson, 2007). Menurut Mazahreh dan Ershidat (2009) bahwa produk yoghurt mengandung SURWHLQULERÀDYLQNDOVLXPGDQIRVIRU 0,13%. Salah satu pangan fungsional yang populer di kalangan masyarakat dan dikembangkan oleh industri pangan adalah susu fermentasi dalam bentuk yoghurt (Jenie, 2003). Donkor dkk. (2007) menjelaskan bahwa yoghurt yang mengandung probiotik dengan ditambahkan prebiotik dapat meningkatkan konsentrasi asam asetat dan asam laktat, keberadaan asam laktat dan VKRUWFKDLQIDWW\DFLG (SCFA) di dalam usus besar mampu meningkatkan penyerapan kalsium. Kadar kalsium yang relatif tinggi dari yoghurt dapat diberikan sebagai konsumsi harian pada wanita pre-menopause dan pasca-menopause untuk memelihara
138
kesehatan tulangnya dan mencegah terjadinya osteoporosis (Hardcastle dkk., 2011). Menurut Jenie (2003) keunggulan yoghurt selain mengandung kalsium yang tinggi, apabila GLNRQVXPVLVHFDUDWHUDWXUGDSDWPHQ\HLPEDQJNDQPLNURÀRUD usus, dimana bakteri-bakteri yang merugikan dapat ditekan jumlahnya dan usus akan didominasi oleh bakteri yang menguntungkan. Saint-Eve dkk. (2006) mengemukakan bahwa yoghurt adalah salah satu produk susu yang paling umum dikonsumsi di seluruh dunia, dan memiliki atribut sensori yang berpengaruh besar terhadap penerimaan konsumen. Hal tersebut menunjukkan bahwa yoghurt dapat diperkaya dengan DFA III dengan tujuan meningkatkan penyerapan kalsium bagi yang mengkonsumsinya. Pengembangan produk pangan fungsional dari yoghurt yang diperkaya dengan DFA III dapat dibuat dalam bentuk kering. Menurut Eddy (1999) kelebihan yoghurt kering adalah dapat disimpan dalam bentuk yang stabil dan siap untuk digunakan, juga dapat memperpanjang masa simpan yoghurt. Penyajian yoghurt ini dengan cara melarutkan 10 gram yoghurt kering ke dalam 100 ml air. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis karakteristik yoghurt kering yang diperkaya dengan DFA III dari umbi dahlia dan umbi FKLFRU\ WHUKDGDSVLIDWNLPLD¿VLNPLNURELRORJLGDQRUJDQROHSWLN METODE PENELITIAN Bahan dan Alat yang Digunakan Bahan yang digunakan meliputi: yoghurt segar diperoleh dari Laboratorium Teknologi Hasil Peternakan Fakultas Peternakan IPB; DFA III dari umbi dahlia ('DKOLDSLQQDWD) diperoleh dari Pusat Penelitian Kimia LIPI; DFA III dari umbi FKLFRU\(&KLFRU\XPLQW\EXVL.) diperoleh dari Nippon Beet Sugar Mfg. Co. Ltd. Obihiro Hokkaido Jepang; pati jagung, susu skim, sukrosa, asam sitrat dan gum arab diperoleh dari
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
toko bahan kimia di Bogor. Peralatan yang digunakan adalah VSUD\ GU\HU (Buchi 190, Swedia), KRPRJHQL]HU $UP¿HOG L4R, Inggris), peralatan gelas untuk analisis kimia, pH meter, peralatan untuk pengujian organoleptik, dan 6FDQQLQJ (OHFWURQ0LFURVFRS\(JEOL JSM 6510 LA, Jepang). 3HQJD\DDQ')$,,,SDGD
Tanpa pengayaan (g)
Diperkaya DFA III umbi dahlia (g)
Diperkaya DFA III umbi FKLFRU\(g)
500
500
500
10,0%
50
50
50
DFA III
3,0%
0
15
15
Susu skim
1,9%
9,5
Sukrosa
2,0%
10
Asam sitrat
0,1%
0,5
0,5
0,5
Gum arab
0,1%
0,5
0,5
0,5
Pengujian Sifat Organoleptik
Kimia,
9,5 10
Fisik,
9,5 10
Mikrobiologi,
dan
Analisis yang dilakukan meliputi: (1) pengujian karakteristik DFA III dari umbi dahlia dan umbi FKLFRU\; (2) pengujian sifat kimia yoghurt kering meliputi: kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, pH atau derajat keasaman, keasaman sebagai asam laktat, GDQ NDGDU NDOVLXP $2$& SHQJXMLDQ VLIDW ¿VLN meliputi: rendemen produk, dan derajat putih (AOAC, SHQJDPDWDQ EHQWXN ¿VLN PHQJJXQDNDQ 6FDQQLQJ (OHFWURQ 0LFURVFRS\ (Goldstein dkk., 1992); (4) pengujian mikrobiologi dengan viabilitas bakteri asam laktat (BSN,
2009); dan (5) pengujian organoleptik meliputi: aroma, tekstur, rasa, dan warna berdasarkan tingkat hedonik dengan skala 1 - 6 (Soekarto dan Hubeis, 1992). Pengolahan dan Analisis Data Semua data yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk nilai rerata+standar deviasi (Mean±SD). Nilai rata-rata dan standar deviasi dihitung dengan menggunakan aplikasi program Microsoft Excel 2007 dan SPSS versi 15. Data hasil pengukuran parameter dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) pada selang kepercayaan 95%, apabila terdapat keragaman dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Difructose Anhydride III 'LIUXFWRVH $QK\GULGH III komersial berasal dari umbi FKLFRU\ yang sudah diproduksi oleh Nippon Beet Sugar Mfg. Co. Ltd. Obihiro Hokkaido Jepang. DFA III dari umbi dahlia diperoleh dari Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Tanaman dahlia tumbuh baik di daerah Cihideung dan Cihanjuang kawasan Lembang, Cibodas dan Cipanas kawasan Cianjur, dan Salabintana kawasan Sukabumi. Proses pembuatannya dimulai dari tahapan pemanenan umbi dahlia pada umur 7-10 bulan dari penanaman. Menurut Widowati (2006) umbi dahlia mempunyai masa panen 210 hari dengan produksi umbi sebesar 28,5 ton.ha-1. Inulin yang terdapat di dalam umbi dahlia dapat terurai menjadi fruktosa oleh enzim inulinase yang terdapat di dalam umbi (Whitley, 1985). Oleh karena itu, umbi dahlia perlu segera diolah setelah dipanen, dengan cara diproses menjadi irisan tipis dan dikeringkan pada suhu 60oC. Menurut Takeuchi dan Nagashima (2011), pemanasan pada suhu 60oC untuk menginaktifkan enzim inulinase. Irisan (FKLSV) umbi dahlia yang sudah kering kemudian dihaluskan menjadi tepung yang akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan DFA III (Pudjiraharti dan Asano, 2012). Selanjutnya dilakukan proses pembentukan DFA III dari tepung umbi dahlia menggunakan enzim inulinfruktotransferase (IFTase) dari 1RQRPXUDHDsp. (Pudjiraharti dkk., 2011). DFA III merupakan produk turunan dari inulin umbi dahlia dan aman digunakan sebagai bahan pangan, berdasarkan hasil penelitian Anan’ina dkk. (2009) terhadap VWDQGDUGLVDVLHNVWUDNLQXOLQGDULXPELGDKOLDGDQVLIDW¿VLNR kimianya, yaitu kemampuan mengikat air, aktivitas pada bagian permukaan, kemampuan pembentukan misel, dan daya larut. Hasil analisis karakteristik DFA III sebagai bahan pengayaan untuk yoghurt kering dapat dilihat pada Tabel 2.
139
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Tabel 2. Karakteristik DFA III dari umbi dahlia dan umbi FKLFRU\ Karakteristik
DFA III (umbi dahlia)
DFA III (umbi FKLFRU\)
Pengayaan DFA III pada pangan fungsional dipilih yoghurt, karena yoghurt mengandung kadar kalsium relatif lebih tinggi (0,179%) dibandingkan susu segar. Menurut Tamime dan Robinson (2007) yoghurt mengandung kadar kalsium (0,145%) dan susu segar (0,119%). Hasil analisis kadar kalsium dari yoghurt segar dan yoghurt kering yang diperkaya DFA III disajikan pada Tabel 4.
Derajat putih
55,14%
94,59%
pH
6,6
5,7
Kelarutan dalam air pada suhu 25oC
100%
100%
Kekentalan dalam air (5%,10°C)
2,9 mPa.s
2,8 mPa.s
Jenis yoghurt
Kadar air
0,59%
0,09%
Yoghurt segar
0,199%
Weinsier dan Krumdieck (2000)
Yoghurt segar
0,145%
Tamime dan Robinson (2007)
Yoghurt segar
0,160%
Mazahreh dan Ershidat(2009)
Yoghurt segar
0,179%
Herminiati dkk. (2014)
Yoghurt kering tanpa pengayaan
0,302%
Herminiati dkk. (2014)
Yoghurt kering diperkaya DFA III dari umbi dahlia
0,334%
Herminiati dkk. (2014)
Yoghurt kering diperkaya DFA III dari umbi FKLFRU\
0,322%
Herminiati dkk. (2014)
Tabel 4. Kadar kalsium yoghurt segar dan yoghurt kering
Gula total
77,77%
76,29%
Kalsium Logam berat Pb Tingkat kemurnian
4,58 mg.100 g-1 Tidak terdeteksi 96,0%
6,13 mg.100 g-1 Tidak terdeteksi 99,9%
Derajat putih DFA III dari umbi dahlia lebih rendah dibandingkan DFA III dari umbi FKLFRU\. Hal ini terjadi karena DFA III dari umbi dahlia yang digunakan masih berwarna kecokelatan. Warna tersebut kemungkinan berasal dari komponen-komponen hasil oksidasi senyawa polifenol atau fenolik atau poliasetilin, di mana pada saat pengeringan terjadi perubahan warna pada irisan umbi dahlia yang tidak diEODQFKLQJ menjadi kecokelatan. Menurut Takeuchi dan Nagashima (2011) bahwa proses EURZQLQJ pada irisan umbi selama pengeringan terjadi karena oksidasi senyawa fenolik oleh SROLIHQRORNVLGDVH(PPO). Pengayaan Difructose Anhydride III pada Yoghurt Kering Hasil pengujian yoghurt segar yang digunakan dalam proses pembuatan yoghurt kering ini sesuai dengan Standar Nasional Indonesia untuk yoghurt segar dengan nomor 01.2981-2009 (BSN, 2009) sehingga memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bahan dasar pembuatan yoghurt kering. Hasil analisis yoghurt segar dibandingkan dengan SNI disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil analisis yoghurt segar dibandingkan dengan SNI No. 01.2981-2009 Parameter
Yoghurt segar
pH/ derajat keasaman
3,85
Keasaman sebagai asam laktat Viabilitas bakteri asam kaktat
0,50% 6,1 x 107 cfu.g-1
SNI yoghurt segar *) 0,5 – 2,0% Min 107 cfu.g-1
Kadar air
92,24%
-
Kadar abu
0,78%
Maks. 1,0%
Kadar protein (N x 6.38)
2,80%
2,70%
Kadar lemak
0,97%
0,50%
Kadar karbohidrat
3,21%
-
*) Badan Standardisasi Nasional, 2009
140
Kadar kalsium Keterangan
Tahapan proses yang paling penting pada pembuatan yoghurt kering adalah pencampuran bahan-bahan penunjang ke dalam yoghurt segar, untuk homogenisasi larutan menggunakan KRPRJHQL]HU, selanjutnya di keringkan menggunakan VSUD\ GU\HU. Menurut Eddy (1999), VSUD\ GU\HU dapat digunakan untuk pengeringan yoghurt, hasil pengeringan menggunakan suhu inlet 120oC dan outlet 80oC, setelah rehidrasi 10% memiliki aroma yang terbaik. Karakteristik Sifat Kimia, Fisik, dan Mikrobiologi Yoghurt Kering Hasil analisis kimia dari ketiga perlakuan yoghurt kering disajikan pada Tabel 5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air yoghurt kering yang diperkaya DFA III dari umbi dahlia (YD) lebih tinggi secara nyata dibandingkan dengan yoghurt kering tanpa pengayaan (Y) dan yang diperkaya dengan DFA III komersial dari umbi FKLFRU\ (YC). Kadar abu dari yoghurt kering tanpa pengayaan (Y) lebih tinggi secara nyata dibandingkan produk YD dan YC. Kadar abu pada produk yoghurt dipengaruhi oleh kandungan mineral di dalam produk, yang dapat berasal dari susu skim dan DFA III. Analisis pH atau derajat keasaman berkisar antara 3,85±0,07 – 3,90±0,00 menunjukkan tidak berbeda nyata, nilai ini sudah memenuhi pH yoghurt yang baik antara pH
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Tabel 5. Hasil analisis kimia yoghurt kering dengan 3 perlakuan Parameter Air Abu Protein Lemak Karbohidrat pH atau derajat keasaman Keasaman (asam laktat)
Diperkaya DFA III umbi dahlia (YD) 7,89 ± 0,01b 3,43 ± 0,06a 12,43 ± 0,13a 1,22 ± 0,07a 75,02 ± 0,10b 3,90 ± 0,00a 0,49 ± 0,02a
Tanpa pengayaan (Y) (%) (%) (%) (%) (%) (%)
7,32 ± 0,16a 4,42 ± 0,09b 13,24 ± 0,15b 1,58 ± 0,42a 63,44 ± 0,64a 3,90 ± 0,00a 0,63 ± 0,00b
Diperkaya DFA III umbi FKLFRU\ (YC) 7,29 ± 0,18a 3,25 ± 0,07a 12,48 ± 0,26a 0,98 ± 0,05a 76,00 ± 0,55b 3,85 ± 0,07a 0,45 ± 0,04a
Keterangan : huruf yang sama pada baris yang sama, menunjukkan tidak ada perbedaan pada uji lanjut Duncan dengan tingkat kepercayaan 95% (p<0,05)
(SEM) dengan pembesaran 1000x dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen yoghurt kering yang diperkaya DFA III dari umbi dahlia lebih tinggi secara nyata, dibandingkan dengan yoghurt tanpa pengayaan (Y), dan yang diperkaya dengan DFA III komersial dari umbi FKLFRU\(YC). Pengayaan DFA III komersial dari umbi FKLFRU\ memberikan hasil yang lebih rendah, karena produk yoghurt kering sebagian menempel pada kolom VSUD\GU\HU pada saat proses pengeringan berlangsung. Derajat putih dari produk Y lebih tinggi secara nyata dibandingkan dengan produk YD dan YC. Hal ini menunjukkan pengayaan DFA III dapat mempengaruhi warna produk, karena pada saat pemanasan tinggi menggunakan VSUD\GU\HU terbentuk karamel dari DFA III yang menimbulkan warna agak kecokelatan. Pengujian dengan SEM dilakukan untuk menentukan morfologi permukaan dan ukuran kapsul serta gambar
3,8 – 4,6 (Tamime dan Robinson, 2007), selanjutnya menurut Chandan dkk. (2006) pH minuman yoghurt segar bervariasi antara 4,0 – 4,5. Nilai pH yang rendah pada produk yoghurt terbentuk karena adanya asam laktat sebagai hasil degradasi laktosa oleh bakteri asam laktat. Keasaman sebagai asam laktat pada produk Y lebih tinggi secara nyata dibandingkan produk YD dan YC, hal ini dipengaruhi oleh pengayaan DFA III sebagai prebiotik. Kadar protein pada yoghurt kering dipengaruhi oleh penambahan susu skim. Kadar karbohidrat pada produk YD dan YC lebih tinggi secara nyata dibandingkan dengan produk Y, karena pada produk YD dan YC selain ditambahkan pati jagung sebagai sumber karbohidrat juga ditambahkan DFA III. Kadar lemak pada produk Y tidak berbeda secara nyata dibandingkan dengan produk YD dan YC. +DVLO DQDOLVLV ¿VLN PHOLSXWL UHQGHPHQ SURGXN GDQ derajat putih dapat dilihat pada Tabel 6, dan bentuk yoghurt kering dari hasil pengamatan 6FDQQLQJ(OHFWURQ0LFURVFRS\
Tabel 6. Hasil analisis rendemen produk dan derajat putih yoghurt kering dengan 3 perlakuan Parameter
Tanpa pengayaan (Y)
Rendemen produk (%) Derajat putih (%)
14,90 ± 1,27a 92,27 ± 0,11c
Diperkaya DFA III umbi dahlia (YD) 17,83 ± 0,36b 89,29 ± 0,08b
Diperkaya DFA III umbi FKLFRU\ (YC) 14,71 ± 1,69a 86,66 ± 0,08a
Keterangan : huruf yang sama pada baris yang sama, menunjukkan tidak ada perbedaan pada uji lanjut Duncan dengan tingkat kepercayaan 95% (p<0,05)
Tanpa pengayaan
Diperkaya DFA III umbi dahlia
Diperkaya DFA III umbi chicory
(Y)
(YD)
(YC)
Keterangan : tanda panah menunjukkan DFA III dari umbi FKLFRU\ Gambar 1. Hasil pengamatan scanning electron microscopy yoghurt kering
141
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
SHUPXNDDQVSHVLPHQ%HQWXN¿VLNSURGXN<&WHUOLKDWOHELK merata dan partikel memiliki bentuk bola dan kubus dengan permukaan yang halus dibandingkan dengan produk Y dan YD. Hal ini dipengaruhi oleh pengayaan DFA III dari umbi FKLFRU\yang memiliki tingkat kemurnian 99,9%, sedangkan DFA III dari umbi dahlia 96,0%. Pada produk YC terlihat bentuk kristal DFA III, walaupun telah melewati proses pemanasan dengan menggunakan VSUD\ GU\HU masih bisa terlihat kompak dan stabil. %HQWXN¿VLN\DQJWLGDNPHUDWDGHQJDQSHUPXNDDQ\DQJ padat pada produk Y dan YD, disebabkan penggunaan panas pada proses VSUD\GU\LQJ. Menurut Deladino dkk. (2008), suhu pemanasan pada proses pengeringan dapat mengakibatkan kehilangan senyawa aktif sehingga permukaan menjadi lebih padat. Pada Tabel 7 disajikan hasil analisis mikrobiologi terhadap viabilitas bakteri asam laktat yang terdapat pada yoghurt kering dengan tiga perlakuan. Viabilitas bakteri asam laktat pada ketiga produk yoghurt kering masih memenuhi standar (>106 cfu.mL-1), menurut FAO/WHO (2002) bahwa probiotik adalah mikroorganisme hidup yang masuk dalam jumlah yang cukup (106 – 108 cfu.mL-1) sehingga dapat memberikan manfaat kesehatan bagi inangnya. Hal ini dipengaruhi oleh adanya penambahan 10% pati jagung sebagai bahan pengisi ke dalam yoghurt dan DFA III yang bersifat prebiotik, sebelum proses pengeringan dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian Eddy (1999) bahwa yoghurt kering yang sebelumnya ditambahkan 10% pati, setelah rehidrasi dapat memberikan rasa yang lebih baik dan total bakteri asam laktat tertinggi. Tabel 7. Viabilitas bakteri asam laktat yoghurt kering dengan 3 perlakuan Viabilitas bakteri asam laktat (cfu.g-1)
Tanpa pengayaan (Y)
Diperkaya DFA III umbi dahlia (YD)
T = 20°C, t = 0 hari
1,61 x 106
1,20 x 107
7,50 x 106
T = 20°C, t = 15 hari
1,56 x 106
2,60 x 106
2,80 x 106
T = 20°C, t = 30 hari
9,50 x 10
1,90 x 10
2,20 x 106
4
6
Diperkaya DFA III umbi FKLFRU\ (YC)
Pada awal penyimpanan dengan suhu 20°C menggunakan pengemas DOXPLQXP IRLO, viabilitas bakteri asam laktat dari yoghurt kering yang diperkaya DFA III dari umbi dahlia (YD) memberikan hasil yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pengayaan dengan DFA III yang bersifat prebiotik mampu meningkatkan substrat yang dapat digunakan oleh bakteri asam laktat (BAL) sebagai probiotik sehingga mempunyai kemampuan untuk hidup lebih lama. Hasil penelitian Ngatirah dan Ulfah (2013) dengan penambahan tepung sumber prebiotik dari umbi dahlia untuk enkapsulasi probiotik dapat meningkatkan jumlah sel sampai
142
1 silkus log, karena senyawa prebiotik dari umbi dahlia dapat masuk ke dalam matriks kapsul serta menutupi pori-pori kapsul sehingga dapat menahan laju difusi asam. Viabilitas bakteri asam laktat dari produk YD dan YC relatif lebih tinggi dibandingkan produk Y, hal ini dipengaruhi oleh pengayaan DFA III yang berasal dari umbi dahlia dan umbi FKLFRU\. Produk Y masih memiliki viabilitas bakteri asam laktat (106 cfu.g-1) sesuai standar. Hal ini terjadi, karena proses pembuatan yoghurt kering dengan menggunakan VSUD\GU\HU pada suhu inlet 120°C dan outlet 80°C, dengan penambahan pati jagung dan DFA III sebagai senyawa prebiotik dapat melindungi probiotik dengan cara enkapsulasi, sehingga dapat mempertahankan viabilitas bakteri asam laktat. And dan Kailasapathy (2005) menjelaskan bahwa penambahan pati Hi-Maize dengan konsentrasi 1% (b/v) pada proses enkapsulasi mampu melindungi sel terhadap pengaruh pH 2,0 dan mampu meningkatkan jumlah sel secara nyata, karena pati Hi-Maize mampu masuk ke dalam matriks kapsul dan menutupi pori-pori kapsul sehingga mencegah terjadinya difusi asam ke dalam kapsul. Setelah penyimpanan hari ke-30 produk YD dan YC masih menunjukkan viabilitas bakteri asam laktat yang stabil (106 cfu.g-1), sedangkan produk Y berada pada batas mutu produk yang diharapkan dengan viabilitas bakteri asam laktat (<106), menunjukkan nilai mutu produk yang mulai ditolak konsumen. Hasil penelitian Allgeyer dkk. (2010) yang menambahkan 3 jenis prebiotik pada yoghurt (polydextrose, inulin FKLFRU\, dan serat jagung larut), setelah 10 hari penyimpanan pada suhu dingin, viabilitas probiotik menurun sekitar 70% pada perlakuan penambahan prebiotik polydextrose dan serat jagung larut, tetapi yoghurt yang diberi perlakuan penambahan prebiotik inulin FKLFRU\ viabilitas bakteri asam laktat dapat bertahan dengan tingkat kelangsungan hidup yang tinggi. Roberfroid (2007) menyatakan bahwa inulin sebagai prebiotik dapat menghasilkan VKRUWFKDLQIDWW\DFLGV (SCFA) yang meliputi propionat, butirat, asetat, dan laktat. Asam laktat dapat membuat pH usus menjadi asam, kondisi ini menyebabkan ion kalsium menjadi lebih mudah larut, sehingga meningkatkan penyerapan kalsium pada usus besar. Selanjutnya Donkor dkk. (2007) menjelaskan bahwa yoghurt yang mengandung probiotik dengan ditambahkan prebiotik dapat meningkatkan konsentrasi asam asetat dan asam laktat, dimana keberadaan asam laktat dan asam lemak rantai pendek di dalam usus besar mampu meningkatkan penyerapan kalsium. Dengan demikian yoghurt kering yang diperkaya DFA III selain bersifat prebiotik juga masih mengandung probiotik yang tinggi, sehingga masuk kriteria sebagai minuman sinbiotik. Produk yoghurt kering Y, YD, dan YC dapat digolongkan sebagai minuman fungsional. Menurut FAO (2004) pangan
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
fungsional mengandung komponen biologis aktif yang terdapat secara alami atau ditambahkan dan mempunyai PDQIDDW ¿VLRORJLV EDJL NHVHKDWDQ 6HQDGD GHQJDQ KDVLO penelitian Allgeyer dkk. (2010) bahwa produk susu yang diperkaya dengan prebiotik dan probiotik perkembangannya pesat dan meningkat, karena konsumen lebih menyukai makanan yang beraroma dan menunjang kesehatan. 6LQELRWLN GLGH¿QLVLNDQ VHEDJDL VXDWX NRPELQDVL dari prebiotik dan probiotik yang menguntungkan inang, dengan meningkatkan pertahanan dan implantasi suplemen makanan yang mengandung mikrobia hidup dalam saluran pencernaan, yang secara selektif memicu pertumbuhan dan atau mengaktifkan metabolisme dari sejumlah bakteri baik sehingga meningkatkan kesehatan inangnya (Panesar dkk., 2009). Kombinasi ini dapat meningkatkan tingkat kelangsungan hidup probiotik dan memberikan manfaat kesehatan tambahan untuk KRVW (Collins dan Gibson, 1999). Manfaat mengonsumsi pangan sinbiotik di antaranya dapat meningkatkan penyerapan mineral dan kalsium sehingga dapat mencegah osteoporosis (Bosscher dkk., 2006). Karakteristik Organoleptik Yoghurt Kering Pengujian organoleptik meliputi: aroma, tekstur, rasa, dan warna menggunakan metode Soekarto dan Hubeis (1992) oleh 40 panelis semi terlatih. Skala hedonik yang dijadikan penilaian : 1 = tidak suka, 2 = kurang suka, 3 = agak suka, 4 = suka, 5 = sangat suka, dan 6 = amat sangat suka. Hasil pengujian organoleptik disajikan pada Gambar 2. Hasil penilaian untuk aroma dan rasa lebih tinggi secara nyata pada yoghurt yang diperkaya DFA III dari umbi FKLFRU\ (YC), sedangkan untuk tekstur dan warna menunjukkan hasil tidak berbeda secara nyata dari ke tiga produk tersebut. Aroma pada yoghurt kering yang diperkaya DFA III (produk YD dan YC) lebih disukai dibandingkan produk Y, sedangkan DFA III tidak memiliki aroma. Hal ini terjadi karena pada saat pemanasan tinggi menggunakan VSUD\GU\HU menimbulkan aroma wangi karamel, yang mengakibatkan aroma produk lebih disukai oleh panelis. Penilaian terhadap rasa pada yoghurt kering yang diperkaya DFA III dari umbi FKLFRU\ (YC) agak disukai dibandingkan dengan produk Y dan YD, karena DFA III memiliki rasa manis separuh kemanisan sukrosa (Asano, 2005), akibatnya setelah proses VSUD\GU\LQJ produk yoghurt kering terasa sedikit lebih manis. DFA III juga memiliki titik leleh yang tinggi (162oC) dan tidak akan membentuk karamel pada proses VSUD\GU\LQJ(Kikuchi dkk., 2004), karena karamelisasi yang berlebih dapat menyebabkan rasa pahit. Pengayaan DFA III tidak mempengaruhi tekstur yoghurt kering, karena DFA III adalah senyawa yang sangat mudah larut dalam air dan pada saat dicampurkan ke dalam yoghurt
4.5 4
3,98b 3,85ab 3,48a 3,25a
3.5
3,83a 4,08a 3,98a
3,3a 3,23a
3,15b 2,73a
2,65a
3
Y
2.5 2
YD
1.5
YC
1 0.5 0 Aroma
Tekstur
Rasa
Warna
Keterangan : Y = Yoghurt kering tanpa pengayaan YD = Yoghurt kering diperkaya dengan DFA III dari umbi dahlia YC = Yoghurt kering diperkaya dengan DFA III dari umbi chicory Gambar 2. Hasil pengujian organoleptik terhadap aroma, tekstur, rasa, dan warna.
segar larut sempurna membentuk campuran yang homogen, sehingga setelah proses VSUD\GU\LQJ tidak mengubah tekstur produk yoghurt kering. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Anan’ina dkk. (2009) bahwa ekstrak inulin dari umbi dahlia sebagai bahan baku DFA III memiliki kemampuan mengikat air dengan daya larut tinggi. Penilaian panelis menunjukkan tidak berbeda nyata pada warna yoghurt kering yang disajikan dengan cara melarutkan 10 gram yoghurt kering ke dalam 100 ml air. KESIMPULAN Karakteristik yoghurt kering yang diperkaya dengan DFA III dari umbi dahlia dan umbi FKLFRU\ yang bersifat prebiotik dapat mempertahankan viabilitas bakteri asam laktat sebagai probiotik sampai penyimpanan hari ke-30 pada suhu 20°C dengan menggunakan pengemas DOXPLQXP IRLO, yang membuktikan bahwa produk yoghurt kering tersebut dapat digolongkan sebagai produk sinbiotik. DFA III dari umbi dahlia sebagai produk lokal dapat menggantikan DFA III dari umbi FKLFRU\ yang merupakan produk impor, berdasarkan aplikasinya pada minuman fungsional yoghurt NHULQJWHUKDGDSNDUDNWHULVWLNVLIDWNLPLD¿VLNPLNURELRORJL dan organoleptik. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Deputi Bidang Sumber Daya Iptek Kementerian Riset dan Teknologi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian yang telah mendanai penelitian ini.
143
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
DAFTAR PUSTAKA Allgeyer, L.C., Miller, M.J. dan Lee, S.Y. (2010). Sensory and microbiological quality of yogurt drinks with prebiotics and probiotics. -RXUQDORI'DLU\6FLHQFH93(10): 44714479. Anan’ina, N.A., Andreeva, O.A., Mycots, L.P. dan Oganesyan, E.T. (2009). Standardization of inulin extracted from dahlia single tubers and some physicochemical properties of inulin. 3KDUPDFHXWLFDO&KHPLVWU\-RXUQDO 43(3): 157-160. And, C.I. dan Kailasapathy K. (2005). Effect of coencapsulation of probiotics with prebiotics on increasing the viability of encapsulated bacteria under LQ YLWUR acidic and bile salt conditions and in yoghurt. -RXUQDO RI)RRG6FLHQFH70(1): M18-M23. >$2$&@$VVRFLDWLRQRI2I¿FLDO$QDO\WLFDO&KHPLVWV 2I¿FLDO0HWKRGVRI$QDO\VLVRI$VVRFLDWLRQRI2I¿FLDO $QDO\WLFDO&KHPLVWV$VVRFLDWLRQRI2I¿FLDO$QDOLW\FDO Chemists. Washington DC. Asano, K. (2005). Oligosaccharides function to promote calcium absorption and prevent osteoporosis. Functional foods: trends and challenges. /,3,3UHVV 1: 11-32. Bosscher, D., Van Loo, J. dan Franck, A. (2006). Inulin and oligofructose: as functional ingredients to improve bone mineralization. ,QWHUQDWLRQDO'DLU\-RXUQDO16: 10921097. [BSN] Badan Standardisasi Nasional (2009). SNI No. 01.2981-2009. 6\DUDW 0XWX
144
Eddy, F.F. (1999). 3HPEXDWDQ
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
0D]DKUHK $6 GDQ (UVKLGDW 270 7KH EHQH¿WV of lactic acid bacteria in yogurt on the gastrointestinal function and health. 3DNLVWDQ-RXUQDORI1XWULWLRQ8(9): 1404-1410.
Sato, T., Nakai, T., Sadoya, H., Ohtami, M., Hanada, M. dan Okamoto, M. (2007). Effect of Difructose Anhydride III on hypocalcemia in dairy cows after calving. $QLPDO 6FLHQFH-RXUQDO78(1): 37-43.
Minamida, K., Asakawa, C., Nengah, S.I., Maki, K., Ayumi, A., Sone, T., Hara, H., Asano, K. dan Tomita, F. (2006). Effects of long-term ingestion of Difructose Anhydride III on intestinal bacteria and bile acid metabolism in humans. -RXUQDO RI %LRVFLHQFH DQG %LRHQJLQHHULQJ 101(2): 149-155.
Shigematsu, N., Okuhara, Y., Shiomi, T., Tomita, F. dan Hara, H. (2004). Effect of Difructose Anhydride III on calcium absorption in humans. %LRVFLHQFH%LRWHFKQRORJ\DQG %LRFKHPLVWU\68(5): 1011-1016.
Mitamura, R., Hiroshi, H., Yoritaka, A. dan Chiji, H. (2002). Supplemental feeding of Difructose Anhydride III restores calcium absorption impaired by ovariectomy in rats. -RXUQDORI1XWULWLRQ132: 3387-3393. Ngatirah dan Ulfah, M. (2013). Penambahan tepung umbi dahlia, kedelai, dan bawang putih sebagai sumber prebiotik untuk enkapsulasi probiotik. -XUQDO7HNQRORJL GDQ,QGXVWUL3DQJDQ24(1): 14-21. Panesar, P.S., Kaur, G., Panesar, R. dan Bera, M.B. (2009). Synbiotics: potential dietary supplements in functional foods. FST Bulletin, Food Science Central, IFIS Publishing UK. http://www.foodsciencecentral.com/ fsc/ixid15649. [10 agustus 2011]. Pudjiraharti, S., Takesue, N., Katayama, T., Lisdiyanti, P., +DQD¿07DQDND06RQH7GDQ$VDQR. Actinomycete 1RQRPXUDHD sp. isolated from Indonesian soil is a new producer of inulin fructotransferase. -RXUQDORI%LRVFLHQFHDQG%LRHQJLQHHULQJ20(20): 1-4.
Soekarto, S.T. dan Hubeis, M. (1992). 0HWRGRORJL3HQHOLWLDQ 2UJDQROHSWLN. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suzuki, T., Hara, H., Kasai, T. dan Tomita, F. (1998). Effects of Difructose Anhydride III on calcium absorption in small and large intestines of rats. %LRVFLHQFH%LRWHFKQRORJ\ DQG%LRFKHPLVWU\62(5): 837-841. Suzuki, T. dan Hara, H. (2004). Various non-digestible saccharides increase intracellular calcium ion concentration in rat small-intestinal enterocytes. %ULWLVK -RXUQDORI1XWULWLRQ92: 751-755. Takeuchi, J. dan Nagashima, T. (2011). Preparation of dried chips from Jerusalem artichoke (+HOLDQWKXV WXEHURVXV L.) tubers and analysis of their functional properties. )RRG&KHPLVWU\126: 922-926. Tamime, A.Y. dan Robinson, R.K. (2007).
Pudjiraharti, K. dan Asano, K. (2012). Proses pembuatan Difructose Anhydride III dari umbi dahlia menggunakan enzim inulin fruktotransferase dari 1RQRPXUDH sp ID06-A0189. Paten terdaftar No. Paten P00201200458.
Widowati, S. (2006). 'DKOLD %XQJDQ\D ,QGDK 8PELQ\D 0HQJDQGXQJ,QXOLQ. Sinar Tani edisi 19-25 April 2006.
Roberfroid, M.B. (2007). Inulin and oligofructose: health EHQH¿WV DQG FODLPV±D FULWLFDO UHYLHZ -RXUQDO RI 1XWULWLRQ137: 2493S-2502S.
Weinsier, R. dan Krumdieck, C. (2000). Dairy foods and bone health: examination of the evidence. $PHULFDQ-RXUQDO RI&OLQLFDO1XWULWLRQ72(3): 681-689.
Saint-Eve, A., Levy, C., Martin, N., dan Souchon, I. (2006). ,QÀXHQFH RI SURWHLQV RQ WKH SHUFHSWLRQ RI ÀDYRUHG stirred yogurts. -RXUQDORI'DLU\6FLHQFH89: 922-933.
145
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
KARAKTERISASI ISOLAT BAKTERI ASAM LAKTAT DARI MANDAI YANG BERPOTENSI SEBAGAI PROBIOTIK Characterization of Lactic Acid Bacteria Isolates from Mandai Function as Probiotic Aswita Emmawati1,2, Betty Sri Laksmi Suryaatmadja Jenie2, Lilis Nuraida2,3, Dahrul Syah2,3 Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Mulawarman, Kampus Gunung Kelua, Samarinda, Kalimantan Timur 75123 2 Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga Bogor 16680 3 Southeast Asian Food and Agriculture Science and Technology Center, Kampus IPB Darmaga Bogor 16680 Email:
[email protected]
1
ABSTRAK Mandai merupakan pangan fermentasi yang terbuat dari dami atau bagian dalam kulit cempedak. Penelitian tentang PDQGDL, khususnya bakteri yang terlibat dalam fermentasi PDQGDL, masih belum banyak dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan isolasi dan karakterisasi bakteri asam laktat yang diisolasi dari PDQGDL serta mengevaluasi potensinya sebagai probiotik. Sampel PDQGDL diperoleh dari beberapa industri rumah tangga di Kalimantan Timur, yang dibuat dengan kadar garam 5, 10 dan 15%. Delapan puluh lima isolat bakteri asam laktat diperoleh dari PDQGDL pada hari ke-4, 8 dan 12 fermentasi dan dikaji sifat-sifat probiotiknya. Semua isolat menunjukkan toleransi yang baik terhadap pH rendah (pH 2,0) dengan penurunan jumlah sel hidup kurang dari 2 log cfu/ml. Isolat bakteri asam laktat dapat tumbuh dengan adanya 0,5% garam empedu walaupun jumlah sel hidupnya menurun dibandingkan dengan jumlah sel hidup pada medium tanpa garam empedu. Penurunan jumlah isolat viabel kurang dari 1 log cfu/ml teramati pada 21 isolat. Sembilan belas isolat dapat mentoleransi pH 2,0 dan garam empedu 0,5% lebih baik daripada yang lain dengan total penurunan jumlah sel hidup kurang dari 1 log cfu/ml. Sebagian besar isolat (11 dari 19) yang mentoleransi pH rendah diperoleh dari fermentasi PDQGDL hari ke-8. Isolat MC812 dan MC809 mempunyai sifat antimikroba yang baik terhadap semua patogen uji (/LVWHULDPRQRF\WRJHQHV ATCC 13932, (QWHURFRFFXVIDHFDOLV ATCC 19433, %DFLOOXV FHUHXV ATCC 10876, (VFKHULFKLDFROL ATCC 25922 dan 6DOPRQHOODW\SKLPXULXP ATCC 14028). Sembilan isolat lain mempunyai sifat antimikroba yang baik terhadap 3 atau lebih patogen uji. Resistensi terhadap antibiotik bervariasi di DQWDUDLVRODW.HVHSXOXKLVRODWGLLGHQWL¿NDVLVHEDJDL/DFWREDFLOOXVSODQWDUXPGHQJDQ$3,&+/GDQGLNRQ¿UPDVL dengan UHDOWLPH-PCR. Keseluruhan hasil mengindikasikan bahwa kesepuluh bakteri asam laktat yang diisolasi dari mandai berpotensi sebagai probiotik. Kata kunci: Probiotik, bakteri asam laktat, sifat antimikroba, PDQGDL,/DFWREDFLOOXVSODQWDUXP ABSTRACT 0DQGDL is a fermented product made of cempedak ($UWRFDUSXVFKDPSHGHQ) dami. The research aimed to isolate and characterize lactic acid bacteria isolated from PDQGDL and to evaluate their probiotic potency. 0DQGDL samples were collected from several home industries in East Kalimantan areaPDGHZLWKDQGVDOWFRQWHQWV(LJKW\¿YH lactic acid bacteria (LAB) isolates were obtained from PDQGDL on day 4, 8, and 12 fermentation and assessed for their probiotic properties. All isolates showed good tolerances towards low pH (pH 2.0) with the decrease of viable counts of less than 2 log cfu/ml. The LAB isolates could grow in the present of 0.5% bile salt although the viable counts decreased as compared to those in medium without bile salt. Reduction of viable counts less than 1 log cfu/ml was observed in 21 isolates. Nineteen isolates could tolerate pH 2.0 and 0.5% bile salt better than others with the total decrease in viable counts less than 1 log cfu/ml. Most of isolates (11 out of 19 isolates) which tolerate low pH were obtained from 8 days PDQGDL fermentation. Isolate MC812 and MC809 had good antimicrobial properties against /LVWHULDPRQRF\WRJHQHV ATCC 13932, (QWHURFRFFXVIDHFDOLV ATCC 19433, %DFLOOXVFHUHXV ATCC 10876, (VFKHULFKLD FROL ATCC 25922 and 6DOPRQHOODW\SKLPXULXP ATCC 14028. Ten isolates had good antimicrobial properties against DWOHDVWSDWKRJHQVWHVWHG7KHLUUHVLVWDQFHWRZDUGDQWLELRWLFVYDULHGEHWZHHQLVRODWHV$OOLVRODWHVZDVLGHQWL¿HGDV
146
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
/DFWREDFLOOXVSODQWDUXPZLWK$3,&+/DQGFRQ¿UPHGZLWKUHDOWLPH3&57KHRYHUDOOUHVXOWVLQGLFDWHGWKDWFHUWDLQ LAB isolates obtained from PDQGDL show promising probiotic properties. Keywords: Probiotic, lactic acid bacteria, antimicrobial, PDQGDL, /DFWREDFLOOXVSODQWDUXP
PENDAHULUAN Pangan yang diproses dengan fermentasi yang melibatkan bakteri asam laktat telah menjadi bagian dari khasanah kekayaan budaya tradisional kita. Salah satunya adalah makanan fermentasi khas masyarakat yang hidup di wilayah propinsi Kalimantan Tengah, Selatan dan Timur, yaitu 0DQGDL. Mandai merupakan makanan fermentasi yang dibuat secara tradisional dari dami atau kulit buah cempedak bagian dalam yang telah dibersihkan dan direndam dalam larutan garam. 0DQGDL yang telah jadi, dicuci, diberi bumbu dan dikonsumsi sebagai lauk teman nasi. Rasanya yang enak dan gurih serta teksturnya yang menyerupai daging membuat makanan ini digemari. Proses fermentasi PDQGDL merupakan bagian dari upaya pengawetan makanan agar tersedia untuk waktu yang lama sekaligus upaya pemanfaatan limbah dari konsumsi buah cempedak. 0DQGDL yang dibuat dengan baik, umumnya dapat bertahan hingga 1 tahun atau lebih. Sebagai pangan fermentasi yang belum banyak dikenal, penelitian tentang PDQGDL masih terbatas. Rahayu (2003) melakukan penelitian tentang mikroorganisme yang terlibat dalam pangan fermentasi tradisional Indonesia, salah satunya PDQGDL, dan telah berhasil mengisolasi 9 bakteri dari PDQGDL, GL DQWDUDQ\D WHODK GLLGHQWL¿NDVL VHEDJDL /DFWREDFLOOXV SODQWDUXP dan 3HGLRFRFFXV SHQWRVDFHXV. Kedua bakteri ini tergolong dalam kelompok bakteri asam laktat. Proses fermentasi PDQGDL berikut perubahan yang terjadi selama fermentasi telah diteliti oleh Nur (2009) meliputi perubahan jumlah mikroorganisme dan bakteri asam laktat, gula tereduksi, produksi asam organik dan perubahan pH selama fermentasi. Bakteri asam laktat merupakan kelompok besar PLNURRUJDQLVPH \DQJ VHFDUD ¿VLRORJLV PHQJKDVLONDQ asam laktat sebagai metabolit utama. Kelompok ini secara alami terdapat pada banyak bahan pangan serta saluran gastrointestinal dan urogenital manusia dan hewan. Selama pertumbuhannya, bakteri asam laktat dapat memproduksi komponen metabolit, seperti asam organik, hidrogen peroksida, bakteriosin, dan komponen lainnya. Bakteriosin merupakan suatu péptida antimikroba yang dihasilkan bakteri asam laktat selama fase pertumbuhan eksponensial yang dalam jumlah yang cukup, dapat membunuh atau menghambat bakteri lain yang berkompetisi dalam ekologi yang sama (Vasiljevic dan Shah, 2008).
Beberapa spesies dari kelompok bakteri asam laktat, terutama dari genera /DFWREDFLOOXV and %L¿GREDFWHULXP, telah GLNDUDNWHULVDVL VHEDJDL SURELRWLN 3URELRWLN GLGH¿QLVLNDQ sebagai mikrorganisme hidup yang jika dikonsumsi dalam jumlah cukup akan memberikan manfaat kesehatan bagi yang mengkonsumsinya (FAO/WHO, 2002). Mikroorganisme probiotik memberikan manfaat terhadap kesehatan manusia, melindungi dari infeksi bakteri enterik, menurunkan kejadian dan durasi diare, QHFURWL]LQJ HQWHURFROLWLV (NEC) dan LQÀDPPDWRU\ERZHOGLVHDVH (Culligan dkk., 2009; Vasiljevic dan Shah, 2008). Penyakit-penyakit gastrointestinal yang disebabkan oleh bakteri masih menjadi masalah besar dalam dunia kesehatan. Diperkirakan lebih dari 4 juta kasus diare terjadi setiap tahun dan 2,2 juta di antaranya menyebabkan kematian (WHO, 2008). Di Indonesia sendiri proporsi kematian akibat diare secara umum adalah 3,5 per seratus kematian. Untuk kelompok bayi dan balita, diare menjadi penyebab kematian tertinggi dengan proporsi 31,2% untuk bayi dan 25,2% untuk kelompok balita (Balitbangkes, 2007). Terapi antibiotik telah digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri pada saluran pencernaan manusia. Akan tetapi, meningkatnya resistensi antibiotik menjadi penyebab yang menyadarkan masyarakat terhadap penggunaan probiotik sebagai terapi alternatif untuk penyakit infeksi saluran pencernaan. Probiotik mempunyai kemampuan untuk tumbuh secara kompetitif dengan bakteri enterik, sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri enterik dalam saluran pencernaan manusia. 6LIDW IXQJVLRQDO EDNWHUL DVDP ODNWDW EHUVLIDW VSHVL¿N strain sehingga masih perlu dilakukan eksplorasi strain bakteri asam laktat yang unggul dalam sifat fungsional tertentu. Eksplorasi sumber-sumber bakteri asam laktat dapat dilakukan pada pangan fermentasi tradisional, seperti tauco, tempoyak, pikel, sawi asin, bekasam, dan lain-lain untuk mencari isolat-isolat yang mempunyai sifat fungsional yang dapat meningkatkan kesehatan (Rahayu, 2003). Isolat yang diperoleh dapat dipergunakan sebagai kultur starter pada pangan fermentasi sehingga akan menaikkan nilai tambah produk fermentasi menjadi bernilai fungsional. Karakterisasi dan fungsionalitas isolat-isolat bakteri asam laktat asal PDQGDL masih belum dilakukan dan perlu diinvestigasi lebih lanjut untuk mengetahui kelayakan sebagai kandidat probiotik. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan isolasi dan mengkarakterisasi isolat bakteri asam
147
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
laktat asal PDQGDL sebagai bagian dari seleksi sesuai kriteria sebagai kandidat probiotik. METODE PENELITIAN Kultur Bakteri Kultur bakteri, (VFKHULFKLDFROL ATCC 25922, /LVWHULD PRQRF\WRJHQHV ATCC 13932, %DFLOOXVFHUHXV, dan 6DOPRQHOOD W\SKLPXULXP ATCC 14028 diperoleh dari SEAFAST Center IPB. (QWHURFRFFXV IDHFDOLV ATCC 19433 dibeli dari Oxoid. Semua bakteri patogen kecuali (QWHURFRFFXVIDHFDOLVATCC 19433 dipelihara dalam BHI broth. Semua isolat bakteri asam laktatdan (QWHURFRFFXV IDHFDOLV ATCC 19433 dipelihara dalam MRS broth (Oxoid, Hampshire, UK). Pengumpulan Sampel Tiga kelompok sampel PDQGDL (9 sampel masingmasing, untuk kadar garam 5, 10 dan 15%), dikumpulkan dari 5 industri rumah tangga di Samarinda, Kalimantan Timur. Dami cempedak segar dalam larutan garam 5, 10 dan 15% dibuat oleh masing-masing industri rumah tangga setelah dipesan secara khusus. Proses pembuatan PDQGDL dilakukan dengan cara sebagai berikut: dami cempedak yang telah dibersihkan dari kulit luarnya, dibubuhi garam dapur dengan konsentrasi 5, 10 dan 15% (b/v) kemudian dimasukkan ke dalam stoples yang bersih. Air ditambahkan sampai seluruh permukaan dami terendam oleh air. Wadah ditutup dan diberi beberapa lubang untuk aerasi. 0DQGDL yang baru dibuat dibawa ke laboratorium dan dibiarkan pada suhu ruang selama 12 hari. Kondisi fermentasi aerobik dan pada suhu ruang dilakukan sesuai kondisi fermentasi PDQGDL yang sesungguhnya di produsen PDQGDL. Penghitungan dan isolasi bakteri serta penentuan pH dilakukan pada hari fermentasi ke 4, 8 dan 12. Penghitungan dan Isolasi Bakteri Asam Laktat selama Fermentasi Mandai Sepuluh gram sampel, secara aseptis, dimasukkan ke GDODP PO ODUXWDQ ¿VLRORJLV PHQJDQGXQJ 1D&O dan dihomogenkan. Suatu seri pengenceran (10-1-10-6) dibuat untuk masing-masing sampel.Satu ml dari pengenceran yang sesuai dipupuk pada cawan dan dituang MRS agar (Oxoid, Hampshire UK) yang disuplementasi dengan 0,3% garam empedu dan 3% CaCO3 (Merck, Darmstadt, Germany). Semua cawan diinkubasi pada 30oC selama 24-48 jam secara aerobik.Penghitungan dilakukan pada cawan yang berisi 25250 koloni sesuai BAM (2001). Koloni yang representatif dicuplik dari cawan dan digores pada cawan berisi MRS agar. Koloni yang mempunyai morfologi berbeda dimurnikan dengan cara dicuplik dan
148
digoreskan kembali pada cawan baru berisi MRS agar sampai dihasilkan koloni dengan bentuk dan ukuran seragam. Satu koloni tunggal dicuplik dan digoreskan pada agar miring. Morfologi isolat diamati dengan melakukan pewarnaan Gram dan uji katalase menggunakan hidrogen peroksida 3%. Isolat dengan morfologi batang/bulat Gram positif dan katalase QHJDWLIGLNRQ¿UPDVLVHEDJDLEDNWHULDVDPODNWDW Stok kultur gliserol dibuat untuk tujuan pengawetan kultur.Masing-masing isolat diinokulasi dalam MRS broth (Oxoid, Hampshire UK) yang mengandung 30% gliserol dan disimpan pada -20oC. Kultur stok diperbaharui setelah penyimpanan 6 bulan. Untuk penyimpanan jangka panjang, GLODNXNDQOLR¿OLVDVLWHUKDGDSNXOWXUWHUSLOLK Kemampuan Hidup dalam Suasana Lambung Kemampuan isolat bakteri untuk bertahan dalam suasana asam di lambung dievaluasi dengan menginkubasi bakteri dalam suasana pH 2,0 sesuai pH lambung selama 3 jam (Hosseini dkk., 2009). Sel bakteri asam laktat dari kultur 24 jam dalam MRS broth dipanen dengan sentrifugasi, dicuci dengan PBS steril (Oxoid, Hampshire UK). Sel bakteri diresuspensi dalam PBS steril yang telah disesuaikan pHnya menjadi pH 2,0 dan diinkubasi pada 37oC selama 3 jam. Jumlah mikroba sebelum dan setelah inkubasi ditentukan pada MRS agar. Toleransi terhadap Garam Empedu Kemampuan strain untuk tumbuh pada media mengandung garam empedu ditentukan berdasarkan metode Vinderola dan Reinheimer (2003). Setiap isolat diinokulasi ke dalam MRS broth dan diinkubasi selama 24 jam pada 37oC. Isolat selanjutnya diinokulasi (2% v/v) dalam MRS broth mengandung 0.5% (w/v) garam empedu (Difco). Kultur diinkubasi pada 37oC selama 24 jam. Absorbansi ditentukan pada 560 nm dan dibandingkan dengan kulturyang ditumbuhkan dalam MRS broth tanpa garam empedu. Aktivitas Antimikroba terhadap Bakteri Enterik Aktivitas antimikroba diuji dengan menggunakan metode sumur (Pan dkk., 2009). Kultur bakteri enterik dan kultur bakteri asam laktat berusia 18 jam dalam media cair BHI dan MRS, berturut-turut, yang akan dipergunakan dalam uji aktivitas antimikroba, telah disiapkan sebelumnya. Sejumlah 25 μl kultur dari setiap strain indikator disebarkan pada cawan berisi 25 ml Mueller Hinton agar. Sumur berukuran 6 mm dibuat pada agar dan 50 μl kultur bakteri asam laktat yang diuji diinokulasi pada sumur. Setelah inkubasi 24 jam pada 37oC, diameter zona penghambatan diukur dari 3 sisi yang berbeda. Pengujian aktivitas antimikroba dilakukan juga pada supernatan yang telah dinetralkan. Kultur bakteri asam laktat
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
dalam medium cair MRS disentrifugasi pada 10.000 g selama 10 menit. Supernatan yang telah dinaikkan pH-nya menjadi 6,5 dengan NaOH 2 N digunakan dalam metode difusi sumur seperti yang dilakukan pada kultur bakteri asam laktat. Mikroba uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah bakteri-bakteri enterik, yaitu (IDHFDOLV/PRQRF\WRJHQHV % FHUHXV 6 W\SKLPXULXP ( FROL. Hasil pengukuran diameter penghambatan (setelah dikurangi diameter sumur), GLNODVL¿NDVLNDQ VHEDJDL EHULNXW NHNXDWDQ SHQJKDPEDWDQ lemah (0-3 mm), sedang (3-6 mm), kuat (6-9 mm), dan sangat kuat (>9 mm). Pengujian Resistensi Antibiotik Pengujian antibiotik dilakukan dengan metode difusi kertas cakram sesuai standar NCCLS (National Committee for Clinical Laboratory Standards, 1998) menggunakan media Mueller Hinton Agar (Oxoid, Hampshire UK). Cakram pengujian resistensi antibiotik (aQWLELRWLF6XVFHSWLELOLW\GLVF) diperoleh dari Oxoid dan disimpan dalam wadah tertutup yang dilengkapi dengan penyerap kelembaban (GHVLFFDQW) pada 4oC. Pengujian resistensi antibiotik dilakukan terhadap amoksisilin JFDNUDP NORUDPIHQLNRO VLSURÀRNVDVLQ sefadroksil (30), eritromisin (15), streptomisin (30), tetrasiklin (30), trimetoprim/sulfametoksazol (30), dan rifampisin (30). Larutan stok antibiotik sebelumnya telah disterilisasi dengan membran 0,22 μl dan disimpan pada -20oC. Antibiotik yang dipilih mewakili yang berspektrum luas dan terbatas serta mewakili beberapa tipe mode aksi terhadap mikroorganisme. Cakram pengujian resistensi antibiotik diletakkan di permukaan cawan berisi 20 ml Mueller Hinton Agar yang telah diinokulasi 20 μl isolat bakteri asam laktat, yang sebelumnya telah disegarkan dalam MRSB selama 18 jam dalam 37oC. Sejumlah 10 μl larutan antibiotik diteteskan pada cakram. Setelah inkubasi pada 37oC selama 24 jam, ditentukan ukuran zona penghambatan. Berdasarkan ukuran ]RQDSHQJKDPEDWDQLVRODWGLNODVL¿NDVLNDQVHEDJDLUHVLVWHQ PRGHUDWDWDXVXVHSWLEHOWHUKDGDSDQWLELRWLNVHVXDLNODVL¿NDVL untuk masing-masing antibiotik dengan mengacu pada NCCLS (1998). ,GHQWL¿NDVL ,VRODW 0HQJJXQDNDQ $3, $QDO\WLFDO 3UR¿OH Index) 50 CHL ,GHQWL¿NDVLLVRODWEDNWHULDVDPODNWDWPHQJJXQDNDQ$3, 50 CHL (Biomerieux) dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditentukan oleh produsen. Kultur bakteri yang digunakan adalah yang berusia 24 jam pada cawan berisi MRS agar. Isolat bakteri asam laktat asal PDQGDL \DQJ GLLGHQWL¿NDVL adalah yang telah melewati penapisan berdasarkan sifatsifat probiotik, yaitu ketahanan terhadap pH 2.0 dan garam empedu 0,5% serta mempunyai sifat antimikroba yang kuat.
,GHQWL¿NDVL0LNURRUJDQLVPHGHQJDQ4XDOLWDWLYH3&5 (NVWUDN '1$ LVRODW GLSHUROHK GHQJDQ PRGL¿NDVL GDUL metode Sambrook (2001) sebagai berikut: Sejumlah 1.5 ml kultur isolat berusia 24 jam disentrifus (8000 rpm 3 menit). Pellet yang diperoleh ditambahkan 500 μl buffer TE dan disentrifus (5000 rpm 7 menit). Sejumlah 50 μl buffer TE dan 100 μl lisozim ditambahkan ke pellet, diinkubasi 4oC 5 menit. Ke dalam suspensi ditambahkan 25 μl SDS 10%, 50 μl NaCl 5M, 100 μl proteinase k (20 mg/ml) lalu diinkubasi pada 55oC selama 2 jam. Suspensi ditambah 500 μl Phenol – Chloroform (PC = 1:1) dan diinkubasi pada -20oC selama 30 menit untuk kemudian disentrifus pada 12000 rpm 10 menit. Supernatan dipindahkan ke PLFURWXEH baru yang steril. Proses penambahan PC, inkubasi dan sentrifugasi diulang sampai 3 kali. Supernatan ditambah 500 μl kloroform dan disentrifus pada 12000 rpm 10 menit. Sejumlah 0,3x volume ammonium asetat 10M pH 7,4 dan 1x volume isopropanol dingin ditambahkan ke dalam supernatan yang telah dipindahkan ke PLFURWXEH baru lalu. Setelah diinkubasi selama 2 jam pada -20oC, suspensi disentrifus pada 14000 rpm selama 30 menit, lalu supernatant dibuang. Pellet ditambah 500 μletanol 70% dingin dan disentrifus lagi pada 12000 rpm selama 5 menit. Supernatan dibuang dan pellet diangin-anginkan. Setelah kering, pellet diresuspensi dengan 50 μl buffer TE dan siap disimpan pada -20oC. Selanjutnya ekstrak DNA dianalisis dengan qualitativePCR. Campuran pereaksi untuk q-PCR dibuat sebagai berikut: 10 μl SYBR Green PCR mix, 1 μl templat DNA, 1 μl untuk masing-masing primer, 7 μl airbebas nuklease. Total volume campuran adalah 20 μl. Parameter yang digunakan untuk menjalankan rt-PCR adalah sebagai berikut: Kondisi running PCR yang digunakan adalah denaturasi awal pada 95oC selama 5 menit, dilanjutkan dengan 35 siklus 95oC 1 menit, 50oC 1 menit, 72oC 2 menit, dan tahap perpanjangan 72oC 7 menit. 0HOWLQJ dilakukan dengan suhu awal 72oC dan target suhu akhir 94oC dengan step 0.5oC. Primer yang digunakan adalah 1541R dan 9F (Arief 2011). HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Jumlah Bakteri Asam Laktat selama Fermentasi Mandai Jumlah bakteri asam laktat pada seluruh sampel meningkat selama fermentasi, kecuali pada kadar garam 5 persen (Gambar 1). Jumlah awal sekitar 6-7 log cfu/ml dan jumlah akhir pada kisaran 7,0-7,7 cfu/ml. Sampai hari ke-12 fermentasi, jumlah bakteri asam laktat masih menunjukkan trend meningkat. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Nur (2009) yang menunjukkan trend peningkatan
149
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
jumlah bakteri selama fermentasi PDQGDL sampai hari ke-14. Total jumlah bakteri adalah 5 log cfu/ml pada awal fermentasi, 6 log cfu/ml pada hari ke-5 dan 7 log cfu/ml pada hari ke-14. .RQVHQWUDVL JDUDP EHUSHQJDUXK VHFDUD VLJQL¿NDQ terhadap jumlah bakteri asam laktat. Semakin tinggi konsentrasi garam yang ditambahkan selama PDQGDL, jumlah bakteri asam laktat semakin berkurang. Perbedaan jumlah bakteri asam laktat pada fermentasi PDQGDL dengan kadar garam berbeda menunjukkan pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan bakteri asam laktat. Garam dalam fermentasi PDQGDL ditambahkan sebagai faktor seleksi lingkungan. Garam dapat menurunkan nilai aw dan meningkatkan potensial reduksi. Dengan adanya garam, mikroorganisme yang dapat tumbuh hanyalah yang dapat mentoleransi garam. Hal serupa juga dilaporkan oleh Bautista-Gallego dkk. (2013) bahwa semakin tinggi garam yang ditambahkan pada fermentasi buah zaitun, jumlah bakteri asam laktat yang dapat tumbuh semakin berkurang. Pengaruh kadar garam terhadap pertumbuhan bakteri asam laktat selama fermentasi juga dilaporkan oleh Ji dkk. (2007). Pada fermentasi kubis, peningkatan kadar garam diikuti oleh penurunan total hitungan bakteri asam laktat. Penghambatan pertumbuhan bakteri asam laktat sempat terjadi pada konsentrasi garam 8-12% di awal fermentasi untuk kemudian mengalami peningkatan pada akhir fermentasi. Verluyten dkk. (2004) juga melaporkan bahwa pada sosis fermentasi dengan kadar garam NaCl lebih tinggi, pertumbuhan / FXUYDWXV LTH 1174 menurun. Garam mempengaruhi pertumbuhan mikroba dengan cara menurunkan ketersediaan air dalam sel. Adanya garam juga menurunkan potensial reduksi sehingga membatasi pertumbuhan mikroorganisme aerobik dan sebaliknya mendukung pertumbuhan mikroorganisme yang bersifat PLNURDHUR¿OLNGDQDQDHURELN Pada hari ke-8, jumlah bakteri asam laktat pada PDQGDL dengan kadar garam 5% turun sedangkan pada PDQGDL dengan
Gambar 1. Jumlah bakteri asam laktat selama fermentasi mandai pada tiga WLQJNDWDQNDGDUJDUDPƇ Ŷ GDQŸ
150
kadar garam 10 dan 15% tetap meningkat. Pada hari ke-12 kecenderungannya sama dengan hari ke-4. Pada PDQGDL dengan kadar garam 5% diduga mikroba-mikroba lain masih dapat tumbuh dan menekan pertumbuhan bakteri asam laktat. Akan tetapi dengan berjalannya fermentasi, pertumbuhan bakteri asam laktat kembali meningkat. 3UR¿O,VRODW%DNWHUL$VDP/DNWDW$VDOMandai Isolasi bakteri asam laktat dari PDQGDL telah memperoleh 85 isolat dari beberapa waktu fermentasi (Tabel 1). Umumnya isolat bakteri asam laktat mempunyai morfologi batang, 68 isolat, dan bulat atau kokus, 17 isolat. Isolat berbentuk kokus umumnya diperoleh pada hari ke-4 dan 8 fermentasi. Dilihat dari kadar garam dan hari fermentasi, isolat PDQGDL lebih banyak diperoleh pada kadar garam 15% dan hari fermentasi ke-8. Banyaknya isolat yang diperoleh pada PDQGDL dengan kadar garam 15% mengindikasikan isolat yang bersifat KDORWROHUDQDWDXKDOR¿OLN Isolat yang berbentuk kokus tidak diperoleh lagi pada fermentasi hari ke-12. Diduga pertumbuhan bakteri asam laktat berbentuk kokus mengalami penghambatan pada lingkungan yang asam seperti PDQGDL pada hari fermentasi ke-12. Pada tahap fermentasi yang lebih lanjut, pada hari ke-12, metabolit lebih banyak diproduksi, di antaranya asam organik, sehingga menurunkan pH dan membuat suasana menjadi asam. Pada produk PDQGDL dalam penelitian ini, setelah 12 hari, pH akhir produk berada pada kisaran 4,164,8. Tabel 1. Jumlah dan morfologi isolat bakteri asam laktat asal PDQGDL pada beberapa tahap fermentasi Lama fermentasi Konsentrasi garam
Hari ke-4
Jumlah Hari ke-8
Hari ke-12
Kokus
Batang
Kokus
Batang
Kokus
Batang
Garam 5%
1
3
0
7
0
5
16
Garam 10%
6
10
2
4
0
2
24
Garam 15%
3
3
5
24
0
10
45
Jumlah
10
16
7
35
0
17
85
Ballesteros dkk. (1999) melaporkan bahwa dalam fermentasi Almagro, asam-asam organik telah diproduksi sejak dimulainya fermentasi dan berimplikasi pada penurunan pH. Produksi asam organik dan penurunan pH sejak awal fermentasi juga dilaporkan oleh Roberts dan Kidd (2005) pada fermentasi bawang merah. Dalam laporan sebelumnya, Osmanagaoglu dkk. (2010) melaporkan bahwa 3HGLRFRFFXV, yang merupakan salah satu bakteri asam laktat berbentuk kokus, tidak resisten terhadap pH 2, sedangkan Argyri dkk. (2013) melaporkan bahwa /PHVHQWHURLGHV, yang merupakan juga bakteri asam laktat berbentuk kokus, ditemukan
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
jumlahnya turun hingga di bawah 1 log cfu/ml setelah 3 jam dipapar pada pH 2,5. Kemampuan Mentoleransi Asam Lambung dan Garam Empedu Hampir semua isolat bakteri asam laktat asal PDQGDL mempunyai kemampuan mentoleransi keasaman lambung ditandai dengan kemampuan bertahan hidup selama 3 jam pada pH 2, dengan penurunan jumlah bakteri hingga 1 log cfu/ml (Gambar 2). Nilai pH lambung adalah 2-3 dan lama waktu transit adalah 2-3 jam. Kemampuan mentoleransi pH 2 diduga berhubungan dengan lingkungan asal isolat (yaitu PDQGDL), yang pH akhir produknya setelah fermentasi 12 hari adalah 4,16-4,8.
asam lambung. Demikian juga Vidhyasagar dan Jeevaratnam (2013) melaporkan bahwa 4 dari 6 isolat bakteri asam laktat dari LGO\ yang dapat mentoleransi asam juga dapat mentoleransi empedu 0,3%. Jumlah total isolat yang mampu mentoleransi asam dan empedu dengan total maksimum penurunan jumlah bakteri sebesar 1 log cfu/ml adalah 19 isolat. Kesembilanbelas isolat ini yang akan diteruskan dalam analisis selanjutnya. Aktivitas Antimikroba terhadap Bakteri Patogen Dari pengujian terhadap 19 isolat yang mempunyai toleransi asam dan garam empedu, sepuluh di antaranya mempunyai aktivitas antimikroba yang kuat terhadap tiga atau lebih bakteri uji (Tabel 2). Isolat MC812 mempunyai sifat antimikroba yang kuat terhadap semua bakteri uji. Isolat MB411, MB427, MA314, M325 dan M337 bersifat antimikroba hanya terhadap tiga bakteri uji. Akan tetapi supernatannya yang telah dinetralkan tidak mempunyai atau hanya mempunyai aktivitas antimikroba yang lemah terhadap bakteri uji. Diduga aktivitas antimikroba ini disebabkan oleh penurunan pH karena produksi asam-asam organik selama fermentasi seperti asam laktat dan asam asetat (Vitali dkk. 2012) dan bukan karena produksi substansi antimikroba seperti bakteriosin. Tabel 2. Isolat bakteri asam laktat asal PDQGDL yang mempunyai aktivitas antimikroba yang kuat terhadap tiga atau lebih isolat Isolat
Gambar 2. Kemampuan isolat bakteri asam laktat asal PDQGDL mentoleransi kondisi keasaman lambung (pH 2,0) dan empedu (0,5%)
Kemampuan mentoleransi 0,5% empedu ditunjukkan hanya oleh 21 isolat (Gambar 2), ditandai oleh kemampuan untuk tumbuh dan memperbanyak diri dalam media yang mengandung 0,5% empedu, dengan selisih jumlah di bawah 2 log dibandingkan dengan pertumbuhan isolat yang sama dalam media yang tidak mengandung empedu. Kemampuan mentoleransi empedu 0,5% merupakan karakteristik yang penting dimiliki oleh bakteri probiotik sebab merupakan prasyarat untuk dapat melewati saluran pencernaan dan sampai di kolon. Bautista-Gallego dkk. (2013) melaporkan sebaliknya, bahwa kemampuan mentoleransi garam empedu pada isolatisolat bakteri asam laktat asal zaitun terfermentasi (IHUPHQWHG WDEOH ROLYH) lebih baik daripada kemampuan mentoleransi
Aktivitas antimikroba terhadap /PRQRF\WRJHQHV
(IDHFDOLV
MC802
V
V
%FHUHXV
(FROL
6W\SKLPXULXP
V
MC804
V
V
V
V
V
MC804
V
V
V
V
MC805
V
V
V
MC807
V
MC809
V
MC812
V
MB411
V
V
MB427
V
V
MA314
V
M325
V
M337
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V V
V V
V V
V
V
V
Beberapa penelitian juga melaporkan hasil serupa. Argyri dkk. (2013) melaporkan bahwa tak satupun supernatan bebas sel dari isolat bakteri asam laktat asal zaitun terfermentasi, yang mempunyai aktivitas antimikroba. Demikian juga isolat-isolat /DFWREDFLOOXV asal susu yang dilaporkan Maragkoudakis dkk. (2006) tidak lagi bersifat antimikroba pada pH netral.
151
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Dari kelima bakteri uji, ke-10 isolat bakteri asam laktat asal PDQGDL lebih bersifat menghambat terhadap / PRQRF\WRJHQHV dan ( FROL. Diduga pertumbuhan / PRQRF\WRJHQHV lebih dihambat karena sensitivitasnya terhadap adanya asam organik seperti asam laktat. Wilson dkk. (2005) melaporkan aktivitas antilisterial / SODQWDUXP SK1 terjadi pada akhir fase log dari pertumbuhannya yang dihubungkan dengan turunnya pH media pertumbuhan sampai 4.26. Rendahnya pertumbuhan juga teramati saat / PRQRF\WRJHQHV ditumbuhkan pada supernatan dari media pertumbuhan / SODQWDUXP yang diadjust pH-nya dengan penambahan asam laktat. Resistensi terhadap Antibiotik Resistensi antibiotik merupakan salah satu indikator keamanan kandidat probiotik. Semua isolat bakteri asam laktat asal PDQGDL bersifat resisten (R) terhadap semua antibiotik yang diujikan kecuali streptomisin (Tabel 3). Beberapa isolat sensitif terhadap amoksisilin dan eritromisin. Dilihat dari mode aksi antibiotik, seluruh isolat bakteri yang diujikan resisten terhadap tipe antibiotik inhibitor metabolisme folat (trimetoprim/sulfametoksazol), inhibitor sintesis dinding sel (sefadroksil dan amoksisilin), inhibitor sintesis DNA VLSURÀRNVDVLQ GDQ 51$ ULIDPSLVLQ ,VRODWLVRODW EDNWHUL asam laktat asal PDQGDL bervariasi resistensinya terhadap antibiotik tipe inhibitor sintesis protein. Isolat bakteri asam laktat sensitif terhadap streptomisin, resisten terhadap tetrasiklin dan kloramfenikol, namun resistensinya terhadap eritromisin bervariasi. Tabel 3. Resistensi beberapa isolat bakteri asam laktat asal PDQGDL terhadap beberapa antibiotik Isolat
Amx
Tri/Sm
Tec
Chl
Rpn
Cfdx
Ern
Strn
Cfpx
MC802
R
R
R
R
R
R
R
S
R
MC804
R
R
R
R
R
R
R
S
R
MC805
R
R
R
R
R
R
R
R
R
MC807
R
R
R
R
R
R
R
S
R
MC812
R
R
R
R
R
R
R
S
R
MC314
R
R
R
R
R
R
S
S
R
MC411
S
R
R
R
R
R
S
S
R
MC427
S
R
R
R
R
R
R
S
R
MC325
R
R
R
R
R
R
R
S
R
MC337
S
R
R
R
R
R
R
S
R
Keterangan: R: resisten, S: Suseptibel, Amx: Amoxicillin, Tri/Sm: Trimethoprim/ Sulphamethoxazole, Tec: Tetracyclin, Chl:Chloramphenicol, Rpn: Rifampicin, Cfdx: Cefadroxil, Ern: Erythromicin, Strn:Streptomicin, &IS[&LSURÀR[DFLQ
152
Resistensi bakteri asam laktat terhadap antibiotik telah banyak dilaporkan. Argyri dkk. (2013) melaporkan bahwa bakteri asam laktat resisten terhadap tetrasiklin dan eritromisin. Resistensi tinggi terhadap rifampisin, VLSURÀRNVDVLQ GDQ WULPHWRSULPVXOIDPHWRNVD]RO VHUWD sensitivitas terhadap streptomisin, juga dilaporkan oleh Liu dkk. (2009). Resistensi terhadap antibiotik menjadi perhatian dan tidak dikehendaki sebab diduga berbasis genetik dan dikhawatirkan terdapat potensi untuk dipindahkan kepada mikroorganisme lain. Dugaan adanya potensi tranfer gen resistensi antibiotik SHUOX GLNODUL¿NDVL OHELK ODQMXW 0HQXUXW 0DWKXU GDQ 6LQJK (2005), resistensi antibiotik bakteri asam laktat ada yang bersifat intrinsik dan perolehan (DFTXLUHG). Resistensi antibiotik yang bersifat intrinsik merupakan resistensi yang bersifat alami, disandikan dalam kromosom, diturunkan pada saat membelah diri dan tidak dipindahkan pada spesies lain. Resistensi yang bersifat intrinsik dapat disebabkan oleh komposisi tertentu pada dinding sel sehingga tidak mudah dilemahkan oleh antibiotik. Diduga resistensi isolat bakteri asam laktat asal PDQGDL terhadap beberapa antibiotik dengan mode aksi terhadap dinding sel (seperti sefadroksil dan amoksisilin) bersifat intrinsik. 5HVLVWHQVLLQWULQVLNODNWREDVLOLWHUKDGDSVLSURÀRNVDVLQ streptomisin, trimetoprim/sulfametoksazol dilaporkan oleh Danielsen dan Wind (2003). Ouoba dkk. (2008) yang menginvestigasi resistensi antibiotik terhadap beberapa strain bakteri asam laktat asal Afrika dan Eropa, melaporkan resistensi terhadap antibiotik yang bersifat intrinsik dengan tidak ditemukannya gen resisten terhadap antibiotik tertentu. Berbeda dengan resistensi intrinsik, resistensi yang bersifat perolehan disandikan di plasmid dan dapat dipindahkan secara horisontal ke spesies lain. Laktobasili dapat mempunyai plasmid dan dapat dipindahkan secara konyugasi (Mathur dan Singh 2005). Gen WHW dan HUP (menyandi resistensi terhadap tetrasiklin dan eritromisin) pada plasmid dilaporkan pada beberapa laktobasilli yang diisolasi dari manusia dan susu, yaitu /DFLGRSKLOXV,/FULVSDWXV,/JDVVHULdan/SODQWDUXP yang menunjukkan adanya antibiotik dapatan (Cataloluk dan Gogebaken 2004). Dalam penelitian ini, isolat bakteri asam laktat asal PDQGDL juga ditemukan bersifat resisten terhadap tetrasiklin dan eritromisin, hanya belum diketahui apakah resistensi bersifat intrinsik atau perolehan. Untuk memastikan bakteri asam laktat asal PDQGDL aman dikonsumsi manusia dari sisi resistensi antibiotik, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat potensi transfer gen resistensi pada spesies lain. Ouoba dkk. (2008) melakukan sekuensing terhadap beberapa gen resistensi antibiotik dari beberapa spesies /DFWREDFLOOXV. Hanya gen resistensi eritromisin pada / UHXWHUL 12002 yang mengandung sekuen homolog dengan
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
,GHQWL¿NDVL ,VRODW %DNWHUL $VDP /DNWDW \DQJ 3RWHQVLDO sebagai Probiotik Dengan menggunakan API 50 CHL, kesepuluh isolat bakteri asam laktat asal PDQGDL GLLGHQWL¿NDVL VHEDJDL /DFWREDFLOOXVSODQWDUXP dengan persen identitas di atas 99% (Tabel 4). Hanya isolat MA314 memiliki persen identitas 99.4% sedangkan sembilan isolat yang lain memiliki SHUVHQ LGHQWLWDV +DVLO LQL GLNRQ¿UPDVL GHQJDQ PHPEDQGLQJNDQ SUR¿O NXUYD SHOHOHKDQ HNVWUDN '1$ GDUL sepuluh isolat asal PDQGDL yang dianalisis dengan q-PCR secara kualitatif. Analisis pelelehan dilakukan setelah tiga tahapan PCR dilakukan, yaitu denaturasi, penempelan (DQQHDOLQJ) dan perpanjangan untai DNA (elongasi). Pola dan suhu pelelehan yang diperoleh dibandingkan dengan pola dan suhu pelelehan bakteri standar yang telah diketahui identitasnya yaitu /DFWREDFLOOXV SODQWDUXP BSL. Bakteri standar dipilih berdasarkan dugaan identitas spesies dari hasil LGHQWL¿NDVLGHQJDQ$3,&+/\DLWX/SODQWDUXP. 7DEHO+DVLOLGHQWL¿NDVLEHEHUDSDLVRODWEDNWHULDVDPODNWDW asal PDQGDL yang berpotensi sebagai kandidat probiotik Isolat MC802 MC804 MC805 MC807 MC812
7HULGHQWL¿NDVLVHEDJDL /DFWREDFLOOXVSODQWDUXP /DFWREDFLOOXVSODQWDUXP /DFWREDFLOOXVSODQWDUXP /DFWREDFLOOXVSODQWDUXP /DFWREDFLOOXVSODQWDUXP
% ID 99.90% 99.90% 99.90% 99.90% 99.90%
MB411 MB427 MA314
/DFWREDFLOOXVSODQWDUXP /DFWREDFLOOXVSODQWDUXP /DFWREDFLOOXVSODQWDUXP
99.90% 99.90% 99.40%
M325 M337
/DFWREDFLOOXVSODQWDUXP /DFWREDFLOOXVSODQWDUXP
99.90% 99.90%
L. plantarum sa28k
Derivatif (-dF/dT)
gen resistensi yang sudah didaftarkan pada JHQHEDQN, mengindikasikan gen HUP pada / UHXWHUL 12002 dapat diperoleh sebagai resistensi perolehan. Homologi dengan gen resistensi antibiotik lain seperti tetrasiklin, amoksisilin, NORUDPIHQLNRO VLSURÀRNVDVLQ VWUHSWRPLVLQ WULPHWRSULP sulfametoksazol, tidak ditemukan pada beberapa spesies /DFWREDFLOOXV yang diuji. Hasil ini mengindikasikan bahwa resistensi spesies /DFWREDFLOOXV terhadap beberapa jenis antibiotik lain bersifat intrinsik. Gen resistensi terhadap eritromisin tidak ditemukan pada /DFWREDFLOOXV selain / UHXWHUL 12002 mengindikasikan bahwa resistensi terhada eritromisin selain dapat bersifat dapatan juga dapat bersifat LQWULQVLNVHUWDEHUVLIDWVSHVL¿NVSHVLHV
MC805 M325 MB427 MA314
Suhu (T, oC)
Gambar 3. Kurva melting beberapa isolat bakteri asam laktat asal PDQGDL dibandingkan dengan kurva melting /DFWREDFLOOXV SODQWDUXP sa28k sebagai bakteri standar
Dalam Gambar 3, / SODQWDUXP BSL memiliki kurva pelelehan yang hampir berhimpitan dan menunjukkan kesamaan pola dengan kurva pelelehan beberapa isolat bakteri asam laktat asal PDQGDL\DQJVHEHOXPQ\DWHODKGLLGHQWL¿NDVL dengan API 50 CHL. Kurva pelelehan yang hampir berhimpit mengindikasikan kesamaan pola dan suhu pelelehan, yaitu 85.5oC. Suhu pelelehan dilihat dari suhu pada puncak kurva pelelehan. Kesamaan pola kurva dan suhu pelelehan menjadi GDVDU LGHQWL¿NDVL VHEDJDL VSHVLHV \DQJ VDPD +DJHQ GNN 2005). Kurva pelelehan isolat MA314, meskipun mempunyai kesamaan pola dengan kurva pelelehan / SODQWDUXP BSL, akan tetapi bergeser 0.5oC ke kiri dibandingkan dengan kurva pelelehan / SODQWDUXP BSL. Perbedaan ini dapat diduga sebagai spesies yang berbeda atau hanya strain yang EHUEHGD 'DODP NRQ¿UPDVL LGHQWLWDV &URQREDFWHU VDND]DNL, menggunakan q-PCR, beberapa strain yang sebelumnya telah diketahui identitasnya sebagai &VDND]DNL secara molekuler, akan tetapi berbeda strain, dapat menunjukkan perbedaan suhu pelelehan hingga 0.5oC (Jenie dkk., 2014). ,GHQWL¿NDVL LVRODW NDQGLGDW SURELRWLN KDUXV GLODNXNDQ hingga level strain dengan sekuensing atau penentuan urutan basa pada gen yang menyandikan 16S rRNA. Dari urutan basa yang diperoleh dapat diketahui identitas bakteri dengan cara membandingkan dengan data yang sudah ada di JHQHEDQN. KESIMPULAN Sejumlah 19 isolat bakteri asam laktat asal PDQGDL mempunyai kemampuan mentoleransi lingkungan ber-pH 2 dan mengandung 0,5% garam empedu dengan penurunan pertumbuhan sampai 1 log cfu/ml dibandingkan lingkungan berpH netral tanpa garam empedu. Sepuluh di antara isolat bakteri asam laktat mempunyai sifat antimikroba baik terhadap tiga dari lima bakteri yang diujikan. Isolat MC812 mempunyai aktivitas antimikroba yang baik terhadap semua bakteri uji. Umumnya sepuluh isolat bakteri asam laktat asal PDQGDL bersifat resisten terhadap 8 antibiotik yang diujikan dan bersifat sensitif terhadap streptomisin. Berdasarkan
153
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
LGHQWL¿NDVLGHQJDQ$3,&+/GDQGLNRQ¿UPDVLGHQJDQUW PCR, kesepuluh isolat asal PDQGDL termasuk /DFWREDFLOOXV SODQWDUXP. Berdasarkan hasil karakterisasi yang telah dilakukan, sepuluh isolat / SODQWDUXP asal PDQGDL dapat dipertimbangkan sebagai kandidat probiotik. DAFTAR PUSTAKA Arief, I.I. (2011). .DUDNWHULVDVL%DNWHUL$VDP/DNWDW,QGLJHQXV $VDO'DJLQJ6DSLVHEDJDL3URELRWLNGDQ,GHQWL¿NDVLQ\D GHQJDQ$QDOLVLV8UXWDQ%DVD*HQ6U51$. Disertasi Program Doktor, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Argyri, A.A., Zoumpopoulou, G., Karatzas, K.G. Tsakalidou, E., Nychas, G.E., Panagou, E.Z. dan Tassou, C.C. (2013). Selection of potential probiotic lactic acid bacteria from fermented olives by in vitro tests. )RRG 0LFURELRORJ\33: 282-291. Balitbangkes. (2007). 5LVHW .HVHKDWDQ 'DVDU. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. %DOHVWHURV & 3DORS / GDQ 6DQFKH] , ,QÀXHQFH of sodium chloride concentration on the controlled lactic acid fermentation of “Almagro” eggplants. ,QWHUQDWLRQDO-RXUQDORI)RRG0LFURELRORJ\53: 13-20. Bautista-Gallego, J., Arroyo-Lopez, F.N., Rantsiou, K. dan Jimenez-Diaz, R. (2013). Screening of lactic acid bacteria isolated from fermented table olives with probiotic potential. )RRG 5HVHDUFK ,QWHUQDLRQDO 50: 135-142. Culligan, E.P., Hill, C.dan Sleator, R.D. (2009).Probiotics and gastrointestinal disease: Successes, problems, and future prospects. *XW3DWKRJHQV1: 19. Danielsen M dan Wind A. (2003). Susceptibility of /DFWREDFLOOXV spp. to antimicrobial agents. ,QWHUQDWLRQDO -RXUQDORI)RRG0LFURELRORJ\ 82(1): 1-11. [FAO/WHO] Food Agricultural Organization/World Health Organization. (2002). *XLGHOLQHV IRU WKH (YDOXDWLRQ RI 3URELRWLFV LQ )RRG. Report of a Joint FAO/WHO Working Group on Drafting Guidelines for the Evaluation of Probiotics in Food. Ontario, Canada. Hagen, R.M., Seegmueller, I., Navai, J., Kappstein, I., Lehn, N. dan Miethke, T. (2005). Development of a realWLPH3&5DVVD\IRUUDSLGLGHQWL¿FDWLRQRIPHWKLFLOOLQ resistant 6WDSK\ORFRFFXVDXUHXV from clinical samples. ,QWHUQDWLRQDO -RXUQDO RI 0HGLFDO 0LFURELRORJ\ 295: 77-86. Hosseini, S.V., Arlindo, S., Bohme, K., Fernandez-No, C., Calo-Mata, P. dan Barros-Velazques, J. (2009).
154
Molecular and probiotic characterization of bacteriocinproducing (QWHURFRFFXV IDHFLXP strains isolated from nonfermented animal foods. -RXUQDO RI$SSOLHG 0LFURELRORJ\107: 1392-1403. Ji, F., Ji, B., Li, B. dan Han, B. (2007). Microbial changes during the salting process of traditional pickled Chinese cabbage. )RRG 6FLHQFH DQG 7HFKQRORJ\ ,QWHUQDWLRQDO 13: 11-16. Liu, C., Zhancg, Z., Dong, K., Yuan, J. dan Guo, X. (2009). Antibiotic resistance of probiotic strains of lactic acid bacteria isolated from marketed foods and drugs. %LRPHGLFDODQG(QYLURQPHQWDO6FLHQFHV22: 401-412. Maragkoudakis, P.A., Zoumpopoulou, G., Miaris, C., Kalantzopoulos, G., Pot, B.dan Tsakalidou, E. (2006). Probioticpotential of /DFWREDFLOOXV strains isolated from dairy products. ,QWHUQDWLRQDO 'DLU\ -RXUQDO 16: 189199. Mathur S. dan Singh R. (2005). Antibiotic resistance in food lactic acid bacteria – a review. ,QWHUQDWLRQDO-RXUQDORI )RRG0LFURELRORJ\ 105: 281-295 Maturin, L. dan Peeler, J.T. (2001). $HURELF SODWH FRXQW 'DODP:%DFWHULRORJLFDO$QDO\WLFDO0DQXDO. US. Food and Drug Administration, New Hampshire, MD. [NCCLS] National Committee for Clinical Laboratory Standards. (1998). 3HUIRUPDQFH 6WDQGDUGV IRU $QWLPLFURELDO 'LVF 6XVFHSWLELOLW\ 7HVW. National Committee for Clinical Laboratory Standards. Nur, H.S. (2009). Suksesi mikroba dan aspek biokimiawi fermentasi PDQGDL dengan kadar garam rendah. 0DNDUD 13(1): 13-16. Osmanagaoglu, O., Kiran, F. dan Ataoglu, H. (2010). (YDOXDWLRQR¿QYLWURSURELRWLFSRWHQWLDORI3HGLRFRFFXV SHQWRVDFHXV OZF isolated from human breast milk. 3URELRWLFVDQG$QWLPLFURELDO3URWHLQV2: 162-174. Ouoba, L.I.I.O., Lei, V. dan Jensen, L.B. (2008). Resistance of SRWHQWLDOSURELRWLFODFWLFDFLGEDFWHULDDQGEL¿GREDFWHULD of African and European origin to antimicrobials: Determination and transferability of the resistance genes to other bacteria. ,QWHUQDWLRQDO-RXUQDORI)RRG 0LFURELRORJ\121: 218-224. Pan, X., Chen, F., Wu, T., Tang, H. dan Zhao. Z. (2009). The acid, bile tolerance and antimicrobial property of /DFWREDFLOOXVDFLGRSKLOXV NIT. )RRG&RQWURO20: 598602. Rahayu, E.S. (2003). Lactic acid bacteria in fermented foods of Indonesian origins. $JULWHFK23: 75-84.
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Roberts, J.S. dan Kidd, D.R. (2005). Lactic acid fermentation of onions. /HEHQVPLWWHO :LVVHOFKDIW XQG 7HFKQRORJLH 38: 185-190. Sambrook, J. dan Russel, D.W. (2001). 0ROHFXODU&ORQLQJ $ODERUDWRU\PDQXDO. Cold Spring Harbour Laboratory Press, New York. Stuart, C.H., Schwartz, S.A., Beeson, T.J. dan Owatz, C.B. (2006). (QWHURFRFFXV IDHFDOLV: its role in root canal treatment failure and current concepts in retreatment. -RXUQDORI(QGRGRQWLFV32: 93-98.
Verluyten, J., Messens, W. dan De Vuyst, L. (2004). Sodium chloride reduces production of curvacin A, a bacteriocin produced by /DFWREDFLOOXV FXUYDWXV strain LTH 1174, originating from fermented sausage. $SSOLHG DQG (QYLURQPHQWDO0LFURELRORJ\70(4): 2271-2278. Vinderola, C.G.dan Reinheimer, J.A. (2003). Lactic acid starter and probiotic bacteria: a comparative “in vitro” study of probiotic characteristics and biological barrier resistance. )RRG5HVHDUFK,QWHUQDWLRQDO36: 895-904.
Todar, K. (2008). Listeria. Dalam: Online Textbook of Bacteriology, www.textbookofbacteriology.net. [27 Januari 2014].
Vidhyasagar, V.dan Jeevaratnam, K. (2013). Evaluation of 3HGLRFRFFXV SHQWRVDFHXV strains isolated from Idly batter for probiotic properties in vitro. -RXUQDO RI )XQFWLRQDO)RRG5: 235-243.
Vasiljevic, T. dan Shah, N.P. (2008). Probiotics -from Metchnikoff to bioactive. ,QWHUQDWLRQDO 'DLU\ -RXUQDO 18: 714-728.
[WHO] World Health Organization. (2008). 7KH *OREDO %XUGHQ RI 'LVHDVH 8SGDWH. World Health Organization Press, Geneva.
155
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
PENGARUH SUHU DAN KELEMBABAN TERHADAP PERTUMBUHAN Fusarium verticillioides BIO 957 DAN PRODUKSI FUMONISIN B1 The Effect of Temperature and Humidity on the Growth of Fusarium verticillioides Bio 957 and Fumonisin B1 Productions Dwi Rahayu1, Winiati Pudji Rahayu2, 3, Hanifah Nuryani Lioe2, Dian Herawati2, 3, Wisnu Broto4, Santi Ambarwati5 Program Studi Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga Bogor 16680 Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga Bogor 16680 3 Southeast Asian Food and Agriculture Science and Technology Center, Kampus IPB Darmaga Bogor 16680 4 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No. 12 Bogor 16114 5 South East Asian Minister of Education Organization Biologi Tropika, Jl. Raya Tajur Km.6 Bogor Email:
[email protected] 1
2
ABSTRAK )XVDULXPYHUWLFLOOLRLGHV adalah spesies )XVDULXP yang dominan dalam memproduksi fumonisin pada produk-produk pertanian. Fumonisin B1 (FB1) merupakan fumonisin yang paling banyak ditemukan di alam dan paling toksik dibandingkan jenis fumonisin lainnya. Faktor ekstrinsik utama yang mempengaruhi pertumbuhan )YHUWLFLOOLRLGHV dan produksi FB1 adalah suhu dan kelembaban. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh suhu dan kelembaban terhadap pertumbuhan )YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 dan produksi FB1 pada media jagung dan kedelai. Jagung dan kedelai yang telah diiinokulasi dengan suspensi ) YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 diinkubasi pada suhu 20, 30 dan 40 °C dengan kelembaban 70, 80 dan 90% selama 14 hari. Pengamatan pertumbuhan dilakukan dengan penimbangan massa sel dan analisis konsentrasi FB1 dilakukan dengan HPLC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan )YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 pada jagung dan kedelai paling tinggi terjadi pada suhu 30 °C dan kelembaban 90%, berat massa selnya yaitu 904,5 dan 885,5 mg per 20 g masing-masing jagung dan kedelai. Konsentrasi FB1 paling tinggi pada jagung dan kedelai masing-masing yaitu 374 dan 67 ppb, pengamatan pada suhu 30 °C pada jagung dan 20 °C pada kedelai, keduanya pada kelembaban yang sama (90%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa )YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 mampu tumbuh dengan baik dan menghasilkan konsentrasi FB1 paling tinggi pada jagung dan kedelai pada suhu 20 dan 30 °C dengan kelembaban 90%. Pada suhu 40 °C dengan kelembaban 70, 80 dan 90%, )XVDULXPYHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 tidak menunjukkan adanya pertumbuhan, sehingga pembentukan FB1 dapat dihindari. Kata kunci: Fumonisin B1, )XVDULXPYHUWLFLOOLRLGHV Bio 957, kelembaban, suhu ABSTRACT )XVDULXP YHUWLFLOOLRLGHV was the predominant )XVDULXP species in producing fumonisin on agricultural products. Fumonisisn B1 (FB1) is the most abundant fumonisin in nature and the most toxic than other fumonisin. The main factors affecting the growth of ) YHUWLFLOOLRLGHV and production of fumonisin are temperature and humidity. This research aimed to assess the effect of changes in temperature and humidity on the growth of )YHUWLFLOOLRLGHV and FB1 production on maize and soybeans medium. Maize and soybeans that have inoculated with suspension )YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 were incubated at 20, 30 and 40 °C with 70, 80 and 90% of humidity for 14 days. Observations of growth made by weighing the cells mass and analysis of FB1 production performed by HPLC. The results showed that the highest growth of )YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 in maize and soybeans was occurred at temperature 30 °C and 90% of humidity, the cell mass weights were 904,5 and 885,5 mg per 20 g of maize and soybeans respectively. The highest concentration of FB1 in maize and soybeans were 374 and 67 pbb respectively, observed at temperature 30 °C for maize and 20 °C for soybeans, both at same humidity (90%). The results showed that )YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 was able to grow well and produced the highest concentrations of FB1 in maize and soybeans at a temperature of 20 and 30 °C with 90% of humidity. At a temperature of 40 °C with 70, 80 and 90% of humidity, the growth of )XVDULXPYHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 was not observed, therefore FB1 formation was avoided. Keywords: Fumonisin B1, )XVDULXPYHUWLFLOOLRLGHV Bio 957, humidity, temperature
156
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan suhu dan kelembaban yang tinggi. Kondisi ini sangat mendukung pertumbuhan kapang toksigenik penghasil mikotoksin. Kapang penghasil mikotoksin seperti )XVDULXP sp banyak ditemukan pada komoditas pertanian di Indonesia seperti serealia (jagung, gandum, sorgum dan beras) dan kacang-kacangan (kacang tanah dan kedelai) yang digunakan sebagai bahan pangan dan pakan. Mikotoksin yang dihasilkan oleh )XVDULXP sp sebagai metabolit sekunder, diantaranya adalah fumonisin (Leslie dan Summerell, 2006). Fumonisin merupakan salah satu dari 5 mikotoksin yang mendapat perhatian dunia, karena dampaknya terhadap kesehatan manusia dan hewan serta perdagangan internasional. FAO telah mengestimasi bahwa lebih dari 25% hasil pangan rusak per-tahun akibat kontaminasi mikotoksin, dimana )XVDULXP sp berkontribusi cukup tinggi (FAO, 2004). Oleh karena itu, beberapa negara di dunia telah menentukan batas maksimum residu (BMR) fumonisin pada produk pertanian dan hasil olahannya, seperti SNI menentukan batas ambang fumonisin untuk jagung dan produk olahan jagung adalah 1000 - 2000 ppm (SNI, 2009). ,$5& PHQJNODVL¿NDVLNDQ )% VHEDJDL karsinogen golongan 2B, yaitu senyawa yang dapat menyebabkan kanker pada manusia. Berbagai penyakit seperti kanker esofagus dan kerusakan ginjal yang dialami penduduk seperti di Afrika Selatan (William dkk., 2010) serta QHXUDO WXEHGHVHDVHV (NTD) di sepanjang perbatasan Texas-Meksiko (Missmer dkk., 2006) dilaporkan berkaitan erat dengan konsumsi bahan pangan yang terkontaminasi FB1. Sementara itu, fumonisin juga menyebabkan OHXNRHQFKHSKDORPDODFLD (ELEM) pada kuda dan toksisitas pada kardiovaskuler kuda dan babi (Marasas dkk., 2008) serta penurunan kekebalan pada ayam (Keck dan Bodine, 2006). Penelitian terbaru menghubungkan keterkaitan fumonisin di Afrika dengan peningkatan kerentanan terhadap HIV (William dkk., 2010). Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan ) YHUWLFLOOLRLGHV dan kontaminasi fumonisin adalah suhu dan kelembaban. Pada jagung dan kedelai, produksi fumonisin pada daerah dataran rendah, biasanya lebih besar dibandingkan dengan daerah dataran tinggi. Hal ini disebabkan karena pada dataran rendah kondisi suhu dan kelembaban relatif lebih tinggi dari pada dataran tinggi (Bush dkk., 2004). Saat ini belum diketahui sejauh mana pertumbuhan kapang toksigenik ) YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 dan produksi fumonisin B1 yang dihasilkan akibat faktor lingkungan yaitu kondisi suhu dan kelembaban. Pengaruh suhu dan kelembaban terhadap pertumbuhan )YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 dan produksi FB1 pada media jagung dan kedelai diteliti agar dapat dikembangkan cara pengendaliannya. Penelitian
ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh suhu dan kelembaban terhadap ketahanan hidup ) YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 dan produksi FB1 yang dihasilkan pada jagung dan kedelai. METODE PENELITIAN Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan antara lain adalah HPLC Agilent 1100 6HULHV (Agilent Technologies, Amerika Serikat) \DQJ GLOHQJNDSL GHQJDQ GHWHNWRU ÀXRUHVHQ NRORP =RUED[ C18 4,6 mm x 150 mm dengan ukuran partikel 5 μm (Agilent Technologies), inkubator dengan suhu 20, 30 dan 40 °C, oven, mini desikator, blender, kertas saring :KDWPDQ (Vicam), mikro pipet, jangka sorong dan timbagan digital. Selain itu juga digunakan berbagai jenis alat-alat gelas (cawan petri, labu ukur, corong pemisah, dan lainnya). Bahan utama yang digunakan adalah kapang toksigenik penghasil fumonisin B1 yang digunakan yaitu ) YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi SEAMEO-BIOTROP Bogor, kapang ini merupakan isolat lokal Indonesia dari bahan sorgum. Bahan pangan yang digunakan adalah jagung (varietas Bisi 1) dan kedelai (varietas Willis) yang diperoleh dari daerah Kediri Jawa Timur. Media F]DSH[GR[DJDU (CDA) (Oxoid, Inggris) sebagai media pertumbuhan kapang. Bahan untuk pengaturan kelembaban adalah garam teknis yaitu amonium klorida (NH4Cl), barium klorida (BaCl2), natrium nitrat (NaNO3), amonium sulfat ((NH4)2SO4) dan kalium nitrat (KNO3) diperoleh dari toko bahan kimia di Bogor dan garam kualitas p.a (SUR DQDO\VLV) yaitu K2SO4 dan KNO3 (Merck, Jerman). Bahan untuk analisis fumonisin adalah standar FB1 (Vicam, Amerika Serikat), kolom IAC FumoTestTM WB (Vicam), metanol (Merck), asetonitril (Merck), UHDJHQW RSKWKDODOGHK\GH (OPA) (Vicam), SKRVSKDW EXIIHUHG VDOLQH (PBS) (Vicam), gas nitrogen (KLJK SXULW\), DTXDELGHVW dan LC PRELOHSKDVH Persiapan Spora Kapang F. verticillioides Bio 957 Metode perlakuan yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada metode Kusumaningtyas (2006) dengan PRGL¿NDVL MHQLV PHGLD .DSDQJ ) YHUWLFLOOLRLGHV BIO 957 dalam media PDA pada tabung reaksi yang berumur 7 hari, sporanya diambil sebanyak 1 ose dan diinokulasi pada media CDA miring dan diinkubasi pada suhu 29í31°C selama 7 hari. Kemudian disimpan dalam UHIULJHUDWRU untuk kultur stok. Konsentrasi kapang ) YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 yang digunakan pada penelitian adalah 106 CFU/mL.
157
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Pengaturan Kelembaban Metode pengaturan kelembaban yang digunakan pada percobaan ini mengacu pada metode Hinojo dkk. (2005) GHQJDQPRGL¿NDVLMHQLVJDUDP Garam yang telah ditimbang dengan berat tertentu dimasukan ke dalam erlenmeyer 250 mL dan dilarutkan dalam sejumlah air sampai jenuh, lalu disterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121 oC selama 15 menit. Sementara itu desikator disterilkan terlebih dahulu dengan alkohol 70%, setelah itu diisi larutan garam jenuh steril. Jenis dan jumlah garam per 100 mL air untuk pengaturan kelembaban dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis dan jumlah garam per 100 mL air Suhu (°C)
Kelembaban (%)
Jenis garam
Jumlah garam (g)
20
70 80 90
Amonium klorida (NH4Cl) – Teknis Barium klorida (BaCl2) – Teknis Kalium sulfat (K2SO4) – Pro $QDO\VLV
120 140 100
30
70 80 90
Amonium sulfat (NH4)2SO4 – Teknis Kalium nitrat (KNO3) – Teknis Kalium nitrat (KNO3) – Pro $QDO\VLV
93 110 200
70 80 90
Natrium nitrat (NaNO3) – Teknis Kalium nitrat (KNO3) – Teknis Kalium sulfat (K2SO4) – Pro $QDO\VLV
70 80 90
40
Iradiasi Media Pangan Metode iradiasi yang digunakan pada percobaan ini PHQJDFX SDGD PHWRGH$]L] GNN GHQJDQ PRGL¿NDVL jumlah dosis. Jagung dan kedelai yang sudah dikemas disterilisasi dengan cara iradiasi menggunakan sinar gamma yang dihasilkan oleh Cobalt 60 pada dosis 25 kGy untuk menghilangkan semua jenis mikroba. Iradiasi dilakukan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Jakarta. Setelah itu jagung dan kedelai diukur kadar airnya dengan metode AOAC (2005). Pengaruh Suhu dan Kelembaban terhadap Pertumbuhan Fusarium verticillioides Bio 957 pada Medium CDA Metode perlakuan yang digunakan pada percobaan ini mengacu pada metode Kokkonen dkk. (2010) dengan PRGL¿NDVL MHQLV PHGLD SDGDW VXKX GDQ NHOHPEDEDQ \DQJ diatur. Kapang ) YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 sebanyak satu ose diinokulasi di tengah-tengah media cawan agar CDA, kemudian cawan diinkubasi pada suhu 20, 30 dan 40 oC dengan kelembaban 70, 80 dan 90%. Inkubasi dilakukan hingga miselium kapang memenuhi permukaan agar pada cawan (± 8 hari). Pertumbuhan kapang diamati setiap 48 jam
158
dengan mengukur diameter koloni yang tumbuh pada media CDA menggunakan jangka sorong. Perlakuan dilakukan sebanyak dua ulangan. Pengaruh Suhu dan Kelembaban terhadap Pertumbuhan Fusarium verticillioides Bio 957 dan Produksi Fumonisin B1 pada Jagung dan Kedelai Metode perlakuan yang digunakan pada percobaan ini mengacu pada metode Kokkonen dkk. (2010) dengan PRGL¿NDVL MHQLV PHGLD SDQJDQ MXPODK NDSDQJ \DQJ diinokulasi, suhu dan kelembaban yang diatur. Media jagung dan kedelai masing-masing sebanyak 20 g dimasukkan kedalam cawan petri dan diinokulasi dengan 4 mL suspensi kapang )YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 (106 CFU/mL), kemudian diinkubasi selama 14 hari pada suhu 20, 30 dan 40 oC dengan kelembaban 70, 80 dan 90%. Perlakuan dilakukan dua ulangan. Pengukuran pertumbuhan )YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 pada jagung dan kedelai dilakukan dengan menimbang berat massa sel menggunakan timbangan digital. Analisis Berat Massa Sel Berat Massa Sel Awal = Berat Massa Sel Awal dalam Cawan – (Berat Cawan kosong + 1 mL Suspensi Kapang) Berat Massa Sel Akhir = Berat Massa Sel Akhir dalam Cawan – (Berat Cawan kosong + 1 mL Suspensi Kapang yang telah diinkubasi selama 14 hari) Jumlah Massa Sel = Berat Massa Sel Akhir – Berat Massa Sel Awal
Analisis Kadar Fumonisin B1 Metode analisis yang digunakan pada percobaan ini PHQJDFX SDGD PHWRGH $2$& GHQJDQ PRGL¿NDVL pada saat pembuatan konsentrasi larutan standar yang diatur kembali. Metode analisis fumonisin terdiri dari pembuatan kurva standar fumonisin, preparasi sampel dan analisisnya menggunakan HPLC Agilent 1100 VHULHV yang dilengkapi GHQJDQGHWHNWRUÀXRUHVHQ Konsentrasi larutan standar stok FB1 adalah 10.000 ppb. Larutan standar kerja FB1 dibuat konsentrasi 10.000, 5.000, 2.500, 1.000, 500 dan 250 ppb dalam asetonitril:air (50:50 v/v). Larutan standar 50 μL dimasukkan ke dalam tabung vial 1 mL, lalu larutan tersebut diderivatisasi dengan menambahkan reagen R3KWKDODOGHK\GH (OPA) sebanyak 50 μL. Larutan dihomogenkan selama 30 detik, kemudian 40 μL diinjeksikan ke dalam HPLC tepat setelah 3 menit. Kondisi HPLC sebagai berikut ini: Kolom : C18 (150 x 4,6 mm id, 5 μm) Fase gerak : Metanol-0,1M Sodium dihidrogenfosfat (NaH2PO4) (77+23 v/v) pH 3,4 dengan asam fosfat (H3PO4)
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Laju alir : Suhu : Sampel loop : Detektor :
1 mL/min 29-31 °C 20 μL Fluoresen dengan panjang gelombang eksitasi 335 nm dan emisi 440 nm
Sejumlah 20,0±0,1 g sampel diblender dengan 50 mL metanol-asetonitril-air (25:25:50 v/v/v). Setelah itu disaring dengan kertas ÀXWHG¿OWHU (:KDWPDQNo.14), kemudian 10 mL ¿OWUDW GLNXPSXONDQ GDODP HUOHQPH\HU P/ \DQJ EHUVLK Filtrat diencerkan dengan 40 mL larutan PBS dan disaring dengan kertas PLFUR¿EHU ¿OWHU (:KDWPDQ GF/A). Sejumlah P/VHWDUDGHQJDQJVDPSHO ¿OWUDWGLSLSHWGDQGLDOLUNDQ PHODOXL NRORP D¿QLWDV )XPRQL7HVW GHQJDQ NHFHSDWDQ sekitar 1–2 tetes/detik dan eluatnya dibuang. Kolom dicuci dengan cara mengalirkan 10 mL larutan PBS melalui kolom dengan kecepatan sekitar 1–2 tetes/detik. FB1 dalam kolom D¿QLWDVGLHOXVLGHQJDQP/PHWDQROGHQJDQNHFHSDWDQ tetes/detik. Eluat diuapkan dengan nitrogen pada suhu ruang (29–31 °C) hingga kering. Ekstrak kering dilarutkan kembali dalam 200 μL metanol:DTXDELGHVW (50:50 v/v). $OLTXRWV 50 μL dari ekstrak dipindahkan ke dalam tabung vial 1 mL, kemudian ditambahkan reagen OPA sebanyak 50 μL dan dihomogenkan selama 30 detik. Sebanyak 40 μL larutan diinjeksi ke dalam HPLC tepat setelah 3 menit. Konsentrasi FB1 dihitung dengan persamaan sebagai berikut: Konsentrasi FB1 (Pg/g) = K Konsentrasi Kurva Standar (Pg/mL)xVol. Larutan Akhir (mL)xFP Berat sampel (g) Ket. : Volum Larutan Akhir = 0,2 mL FP (Faktor Pengenceran) = 25
Rancangan Penelitian dan Analisis Statistik Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RALF) dengan dua ulangan untuk pertumbuhan koloni dan massa sel serta RAL untuk konsentrasi FB1 (Aunuddin, 2005). Faktor perlakuan yaitu suhu (T); T1 = 20 °C; T2 = 30 °C; T3 = 40 °C; dan kelembaban (H); H1 = 70%; H2 = 80%; H3 = 90%. Analisis statistik menggunakan SPSS untuk windows (versi 16,0, SPSS Inc., Chicago, IL, USA). Semua data dalam bentuk nilai rata-rata ± Standar Deviasi (SD). Hasil analisis \DQJPHQXQMXNNDQQLODLSVLJQL¿NDQ SDGDSHUODNXDQ akan dilakukan uji lanjut menggunakan analisis varian (ANOVA) yaitu uji Duncan’s untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan yang nyata pada perlakuan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Suhu dan Kelembaban terhadap Pertumbuhan Fusarium verticillioides Bio 957 pada Medium CDA Pada penelitian ini dilakukan pengujian pertumbuhan ) YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 pada medium CDA sebagai VFUHHQLQJ awal sebelum dilakukannya pengujian pertumbuhan ) YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 pada media pangan. Medium CDA mengandung 20% sakarosa dan dapat digunakan untuk membedakan kultur dan karakteristik mikrobiologi ) YHUWLFLOOLRLGHV dengan )XVDULXP spp. Perbedaan yang paling utama adalah panjang diameter dan warna koloni (Ismail dkk., 2013). Pertumbuhan ) YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 pada medium CDA diakhir waktu inkubasi pada suhu 20, 30 dan 40 ºC dengan kelembaban 70, 80 dan 90% dapat dilihat pada Gambar
(% ) RH
Diameter Koloni (mm)
Waktu Pertumbuhan (hari) Suhu (°C) Gambar 1. Pertumbuhan )YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 pada medium CDA dengan waktu inkubasi 8 hari pada kondisi suhu 20, 30 dan 40 °C dan kelembaban 70, 80 dan 90% $QJNDSDGDJUD¿NGHQJDQKXUXI\DQJEHUEHGDPHQXQMXNNDQSHUEHGDDQVLJQL¿NDQS
159
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
germinasi dan pertumbuhan ) YHUWLFLOOLRGHV optimum pada 25–30 °C dan kelembaban yang tinggi. Pengaruh Suhu dan Kelembaban terhadap Pertumbuhan Fusarium verticillioides Bio 957 pada Jagung dan Kedelai Pertumbuhan ) YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 pada media jagung dan kedelai diakhir waktu inkubasi pada suhu 20, 30 dan 40 ºC dengan kelembaban 70, 80 dan 90% dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan suhu dan kelembaban berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan massa sel )YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 pada jagung dan kedelai (p < 0.05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan )YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 pada jagung dan kedelai yang diamati pada suhu 20 dan 30 °C memiliki berat massa sel antara 200,5–904,5 mg, lebih tinggi dari pada perlakuan pada suhu 40 °C. Pada suhu 40 °C baik pada jagung atau pun kedelai )YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 tidak dapat tumbuh, hal ini karena suhu yang lebih tinggi menyebabkan terjadinya penurunan kadar air bahan pangan dan denaturasi protein yang diperlukan kapang untuk melakukan pertumbuhan sehingga kapang tidak dapat tumbuh (Madigan dkk., 2009). De la Campa dkk. (2005) menjelaskan bahwa suhu antara 15 dan 34 °C merupakan suhu optimum pertumbuhan ) YHUWLFLOOLRLGHV. Pertumbuhan ) YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 pada kelembaban 90% memiliki berat massa sel antara íPJOHELKWLQJJLGLEDQGLQJNDQSDGDNHOHPEDEDQ 70 dan 80%. Hal ini disebabkan karena kelembaban yang tinggi akan meningkatkan kadar air bahan pangan sehingga memudahkan penyerapan nutrisi dan mendukung pertumbuhan ) YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 (Madigan dkk., 2009). Pertumbuhan massa sel terbaik dari perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini adalah pada suhu 20 dan
RH
(% )
Berat Massa Sel (mg)
1. Hasil analisis statistik menunjukan bahwa perlakuan suhu dan kelembaban berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan koloni )YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 (p < 0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan koloni ) YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 yang diinkubasi pada suhu 30 ºC memiliki diameter 90 mm, lebih panjang dari pada diameter pada perlakuan suhu 20 dan 40 °C. Pada suhu 20 °C pertumbuhan koloni PHPSXQ\DL GLDPHWHU í PP 3HUWXPEXKDQ NRORQL tersebut lebih rendah dibandingkan pertumbuhan koloni pada suhu 30 ºC, akan tetapi apabila dibandingkan dengan pertumbuhan koloni pada suhu 40 °C, maka diameter koloni yang diamati pada suhu 20 °C lebih panjang daripada yang diamati pada suhu 40 °C. )XVDULXP YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 dapat melakukan metabolisme pada suhu 20 dan 30 °C, namun pada suhu 40 °C )YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 tidak dapat melakukan metabolisme, karena suhu tersebut lebih tinggi dari pada suhu yang dapat ditoleransi oleh ) YHUWLFLOOLRLGHV (Madigan dkk., 2009). Romsyah (2007) menyatakan bahwa ) YHUWLFLOOLRLGHV tumbuh pada suhu optimum 22,5–27,5 ºC dengan suhu maksimum 32–37 ºC. De la Campa dkk. (2005) juga menjelaskan pada suhu antara 15 dan 34 °C merupakan suhu pertumbuhan optimum )YHUWLFLOOLRLGHV. Pertumbuhan koloni ) YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 pada kelembaban 90% memiliki diameter 80-90 mm, lebih panjang daripada diameter pada perlakuan kelembaban 70 dan 80%. Hal tersebut karena semakin tinggi kelembaban maka akan meningkatkan kadar air dalam protoplasma sehingga metabolisme dapat terjadi lebih cepat (Madigan dkk., 2009). Pertumbuhan terbaik dari perlakuan yang diberikan adalah perlakuan pada suhu 30 °C dengan kelembaban 90%. Hasil tersebut didukung oleh Maiorano dkk. (2009) yang menyatakan bahwa sporulasi,
Suhu (°C)
Gambar 2. Pertumbuhan )YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 pada media jagung dan kedelai pada akhir inkubasi (14 hari) pada kondisi suhu 20, 30, dan 40 °C dan kelembaban 70, 80 dan 90% $QJNDSDGDJUD¿NGHQJDQKXUXI\DQJEHUEHGDPHQXQMXNNDQSHUEHGDDQVLJQL¿NDQS
160
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
30 °C dengan kHOHPEDEDQ \DLWX DQWDUD í mg per 20 g jagung atau kedelai. Pada suhu 20 dan 30 °C berat massa sel ) YHUWLFLOOLRGHV Bio 957 pada jagung lebih tinggi dari pada kedelai. Hal tersebut karena di dalam kedelai WHUGDSDWVHQ\DZDDVDP¿WDW\DQJGLGXJDGDSDWPHQJKDPEDW pertumbuhan )YHUWLFLOOLRGHV. Pengaruh Suhu dan Kelembaban terhadap Produksi FB1 pada Jagung dan Kedelai
RH
(%
)
Konsentrasi FB1 (ppb) RH (%)
Hasil analisis kandungan FB1 pada media jagung dan kedelai diakhir waktu inkubasi 14 hari pada suhu 20, 30 dan 40 ºC dan kelembaban 70, 80 dan 90% dapat dilihat pada Gambar 3. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan suhu dan kelembaban berpengaruh nyata terhadap produksi FB1 dari )YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 pada jagung dan kedelai (p < 0,05). Pada kedelai di suhu 20 dan 30 ºC dengan kelembaban 70 dan 80%, massa sel )YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 berkisar antara 207–339 mg serta pada jagung di suhu 30 ºC dengan kelembaban 70% dengan massa sel )YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 sebesar 227,5 mg tidak terdeteksi adanya FB1. Hal tersebut membuktikan bahwa adanya massa sel ) YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 tidak selalu menghasilkan FB1. Hasil tersebut didukung oleh Chu dan Li (1994) yang menyatakan bahwa jagung dengan jumlah )XVDULXP yang tinggi, belum tentu mengandung fumonisin dengan konsentrasi tinggi. Sebaliknya kandungan fumonisin juga pernah terdeteksi pada sampel jagung di India yang baru saja dipanen dan masih segar (Sreenivasa, 2012). Hasil tersebut juga sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Abbas dkk. (2012) yang menemukan bahwa meskipun tanaman kedelai dapat terinfeksi oleh beberapa spesies )XVDULXP, namun bijinya relatif lebih tahan terhadap kontaminasi fumonisin. Hal tersebut karena di dalam kedelai terdapat senyawa asam ¿WDW \DQJ GLGXJD GDSDW PHQJKDPEDW SHUWXPEXKDQ )
YHUWLFLOOLRGHV Selain itu juga disebabkan karena kadar air jagung lebih tinggi dari pada kadar air kedelai. Sampel yang diinokulasikan dengan ) YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 pada jagung dan kedelai mengandung FB1 dengan konsentrasi berkisar antara 373–374 dan 49–67 ppb. Konsentrasi FB1 terbanyak diproduksi dalam media jagung pada suhu 20 dan 30 °C dengan kelembaban 90% yaitu 374 dan 373 ppb. Hal tersebut diduga karena kadar air jagung pada suhu 20 dan 30 °C dengan kelembaban 90% lebih tinggi dibandingkan kadar air kedelai. Christensen dkk (1974) menyatakan bahwa kadar air (% b.b) jagung dan kedelai pada kelembaban relatif 90% masing-masing yaitu 19 dan 18,5%. Tingginya kadar air jagung dibandingkan kedelai diduga karena luas permukaan biji jagung lebih besar dibandingkan dengan biji kedelai, sehingga jagung dapat lebih banyak menyerap air dari lingkungan dibandingkan dengan kedelai. Kadar air yang tinggi pada jagung menyebabkan proses metabolisme berjalan lebih cepat dan produksi FB1 yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan produksi FB1 pada kedelai. Pada suhu 40 °C dengan kelembaban 70, 80 dan 90% karena tidak ada pertumbuhan massa sel )YHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 baik pada jagung maupun kedelai, maka tidak dilakukan analisis kandungan FB1. Hasil tersebut didukung oleh Marin dkk. (2005) yang melaporkan bahwa pertumbuhan kapang ) YHUWLFLOOLRLGHV dan produksi fumonisin yang optimum terjadi pada suhu 25 °C. Samapundo dkk. (2005) juga menyatakan bahwa suhu optimum produksi FB1 oleh ) YHUWLFLOOLRLGHV berkisar antara 15–25 °C dengan kelembaban 86–97,5%. Beberapa Peneliti juga menyatakan bahwa FB1 yang dihasilkan ) YHUWLFLOOLRGHV pada media jagung yang diinkubasi pada suhu 20–40 °C dengan kelembaban 50–98% memiliki konsentrasi yang lebih tinggi (22,83–143,9 μg/g) dibandingkan bahan pangan lainnya seperti beras (3,84 μg/g)
Suhu (°C)
Gambar 3. Produksi FB1 pada media jagung dan kedelai pada akhir inkubasi (14 hari) pada kondisi suhu 20, 30, dan 40 °C dan kelembaban 70, 80 dan 90% $QJNDSDGDJUD¿NGHQJDQKXUXI\DQJEHUEHGDPHQXQMXNNDQSHUEHGDDQVLJQL¿NDQS
161
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
dan sorgum (14,51 μg/g) (Marin dkk, 1998; Hinojo dkk., 2005; Sreenivasa dkk, 2013). Kondisi tersebut sangat sesuai dengan iklim di Indonesia. KESIMPULAN )XVDULXPYHUWLFLOOLRLGHV Bio 957 mampu tumbuh baik pada media CDA dan jagung pada suhu 20 dan 30 °C dengan kelembaban 90% dan tidak dapat tumbuh pada suhu 40 °C dengan kelembaban 70, 80 dan 90%. Fumonisin B1 terbentuk dengan baik pada suhu 20 dan 30 °C dengan kelembaban 90%. Pembentukan konsentrasi FB1 pada jagung yang dikontaminasi lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai yang dikontaminasi dengan jumlah kapang yang sama. Jumlah massa sel )YHUWLFLOOLRGHV Bio 957 pada jagung dan kedelai yang tinggi tidak selalu menghasilkan konsentrasi FB1 yang tinggi. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh program Kerjasama Kemitraan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Nasional (KKP3N) tahun 2013 dengan nomor kontrak 692/ LB.620/I.1/2/2013 atas nama Prof. Dr. Winiati P. Rahayu. DAFTAR PUSTAKA Abbas, H.K., Bellaloui, N., Zablotowicz, R.M., Bruns, H.A. dan Gillen, A.M. (2012). Corn-soybean rotation system in the Misisipi delta: Implications on mycotoxin contaminatoin and soil populations of $VSHUJLOOXV ÀDYXV. ,QWHUQDWLRQDO -RXUQDO RI $JURQRP\ 2012 (ID 935463): 1-7. $VVRFLDWLRQ RI 2I¿FLDO $QDO\WLFDO &KHPLVWU\ $2$& (2005). 2I¿FLDO0HWKRGRI$QDO\VLVRI7KH$VVRFLDWLRQ RI 2I¿FLDO $QDO\WLFDO RI &KHP\VW. The Association of 2I¿FLDO$QDO\WLFDORI&KHP\VW,QF$UOLQJWRQ86 $VVRFLDWLRQ RI 2I¿FLDO $QDO\WLFDO &KHPLVWU\ (AOAC). (2012). 2I¿FLDO0HWKRGVRI$QDO\VLV$QDO\VLVIXPRQLVLQ LQ FRUQ 1R KDO . Trucksess, M.W., (ed) chapter 49. 7KH $VVRFLDWLRQ RI 2I¿FLDO $QDO\WLFDO RI Chemyst Inc., Arlington (US).
Bush, M.B., Silman, M.R. dan Urrego, D.H. (2004). 48.000 years of climate and forest change in a biodiversity hot spot. -RXUQDORI6FLHQFH 303: 827-829. Chu, F.S. dan Li, G.Y. (1994). Simultaneoeus occurrence of fumonisin B1 and other mycotoxins in moldy corn collected from the people’s Republic of China in regions with high incidences of esophageal cancer. -RXUQDO $SSOLHGDQG(QYLURQPHQWDO0LFURELRORJ\60: 847-852. De la Campa, R., Hooker, D.C., Miller, J.D., Schaafsma, A.W. dan Hammond, B.G. (2005). Modeling effects of envirotment, insect damage, and Bt genotypes on fumonisin accumulation in maize in Argentina and the Philippines. -RXUQDO0\FRSDWKRORJLD 159: 539-552. Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO). (2004). $QLPDO3URGXFWLRQ$QG+HDOWK3URWHLQ 6RXUFHV IRU 7KH $QLPDO )HHG ,QGXVWU\. FAO, Rome, Italy. Hinojo, M.J., Medina, A., Algarra, F.M.V., Adelantado, J.V.G., Jimenez, M. dan Mateo, R. (2005). Fumonisin production in rice cultures of )XVDULXP YHUWLFLOOLRLGHV under differrent incubation conditions using an optimized analytical methode. ,QWHUQDWLRQDO-RXUQDORI )RRG0LFURELRORJ\23(2006): 119-127. International Agency for Research on Cancer (IARC). (2002). Traditional herbal medicines, some mycotoxins, napthalene, and styrene. 0RQRJUDSKVRQWKHHYDOXDWLRQ RI FDUFLQRJHQLF ULVNV WR KXPDQV. Hal. 82-171. IARC Press, Lyon, France. Ismail, M.A., Abdel-Hafez, S.I.I., Hussein, N.A. dan AbdelHameed, N.A. (2013). Contribution to physiological and biochemical diagnostics of )XVDULXP taxa commonly isolated in Egypt. -RXUQDO RI &]HFK 0\FRORJ\ 65(1): 133-150. Keck, B.B. dan Bodine, A.B. (2006). The effect of fumonisin B1 on viability and mitogenic response of avian immune cells. -RXUQDORI3RXOWU\6FLHQFH 85: 1020-1024. Kokkonen, M., Ojala, L., Parikka, P. dan Jestoi, M. (2010). Mycotoxin production of selected )XVDULXP species at different culture conditions. ,QWHUQDWLRQDO -RXUQDO RI )RRG0LFURELRORJ\ 143: 17-25.
Aunuddin (2005). 6WDWLVWLND5DQFDQJDQGDQ$QDOLVLV'DWD. IPB Pr, Bogor.
Kusumaningtyas, E. (2006). Isolat lokal 6DFFKDURP\FHV FHUHYLVLDH sebagai biokompetitor $VSHUJLOOXV IDOYXV. -XUQDO,OPX7HUQDNGDQ9HWHULQHU 11(4): 325-330.
Aziz, N.H., El-Far, F.M., Shahin, A.A.M. dan Roushy, S.M. (2005). Control of )XVDULXP moulds and fumonisin B1 in seeds by gamma irradiation. -RXUQDORI)RRG&RQWURO 18 (2007): 1337-1342.
Leslie, J.F. dan Summerell, B.A. (2006). )XVDULXPlaboratory workshops-a recent history. -RXUQDO RI 0\FRWR[LQ 5HVHDUFK 22: 73-74.
162
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Madigan, M.T., Martinko, J.M., Dunlap, P.V. dan Clark, D.P. (2009). %URFN %LRORJ\ RI 0LFURRUJDQLVPV. Ed Ke-12. Pearson Benjamin-Cummings, San Francisco.
Romsyah, M. (2007). Mewaspadai bahaya kontaminasi mikotoksin pada makanan. dc350.4shared.com/doc/ msWwAaU9/preview.html. [4 Mei 2013].
Maiorano, A., Reyneri, A., Sacco, D., Magni, A. dan Ramponi, C. (2009). A dynamic risk assessment model (FUMAgrain) of fumonisin synthesis by )XVDULXP YHUWLFLOOLRLGHV in maize grain in Italy. -RXUQDORI&URS 3URWHFWLRQ 28: 243-256.
Samapundo, S., Devlieghere, F., De Meulenaer, B., Geeraerd, A.H., Van Impe, J.F. dan Dedevere, J.M. (2005). Predictive modelling of the individual and combined effect of water activity and temperature on the radial growth of )XVDULXPYHUWLFLOOLRLGHV and )SUROLIHUDWXP on corn. ,QWHUQDWLRQDO -RXUQDO RI )RRG 0LFURELRORJ\ 105: 35-52.
Marasas, W.F., Gelderblom, W.C.A., Shephard, G.S., dan Vismer, H.F. (2008). Mycotoxin: A global problem. 'DODP: Leslie, J.F., Bandyopadhyay, R. dan Visconti, A. (ed). 0\FRWR[LQV'HWHFWLRQ0HWKRGV0DQDJHPHQW 3XEOLF +HDOWK DQG $JULFXOWXUDO 7UDGH. CAB International, Oxfordshire (UK). Marin, S., Magan, N., Ramos, A.J. dan Sanchis, V. (2005). Fumonisin producing strains of )XVDULXP: A review of their ecophysiology. -RXUQDORI)RRG3URWHFWLRQ 67(8): 1792-1805. Missmer, S.A., Suarez, L., Falkner, M., Wang, E., Merrill, A.H.Jr., Rothman, K.J. dan Hendricks, K.A. (2006). Exposure to fumonisins and the occurrence of neural tube defects along the Texas-Mexico border-RXUQDORI (QYLURQPHQWDO+HDOWK3HUVSHFWLYH 114: 237-241.
Standar Nasional Indonesia (SNI). (2009). Batas maksimum kandungan mikotoksin dalam pangan. SNI 7385-2009: CSS 67.220.20. Sreenivasa, M.Y. (2012). Fumonisin-A potential carcinogen is of global concern. 5HVHDUFK-RXUQDORI%LRWHFKQRORJ\ 7(4): 1-2. William, J.H., Grugg, J.A., Davis, J.W., Wang, J., Jolly, P.E., Ankrah, N., Ellis, W.O., Afriyie-Gyawu, E., Johnson, N.M., Robinson, A.G. dan Phillips, T.D. (2010). HIV and hepatocellular and esophageal carcinomas related to consumption of mycotoxinprone foods in subSaharan Africa. $PHULFDQ-RXUQDORI&OLQLFDO1XWULWLRQ 92(1): 154-160.
163
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
SELEKSI BAKTERI ASAM LAKTAT DENGAN AKTIVITAS ANTI JAMUR YANG DIISOLASI DARI SILASE DAN SALURAN CERNA TERNAK Isolation of Lactic Acid Bacteria for Antifungal Activity Isolated from Silage and Animal Digestives Tract Ema Damayanti, Ade Erma Suryani, Ahmad Sofyan, Muhammad Faiz Karimy, Hardi Julendra Unit Pelaksana Teknis Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia (UPT-BPPTK), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jl. Jogja - Wonosari Km. 31, Gading, Playen Gunungkidul, Yogyakarta 55861 Email:
[email protected];
[email protected] ABSTRAK Kontaminasi jamur dalam bahan pakan masih menjadi masalah dalam industri ternak di Indonesia. Selain karena menurunkan kualitas pakan, akumulasi mikotoksin yang dihasilkan oleh jamur kontaminan dalam tubuh ternak juga mengakibatkan efek immunosupresif yang menyebabkan ternak mudah terserang penyakit hingga menyebabkan kematian. Penggunaan agen biologis berupa mikrobia dengan aktivitas anti jamur menjadi solusi menjanjikan dan penting untuk dikaji. Penelitian ini bertujuan untuk menyeleksi bajteri asam laktat (BAL) dengan aktivitas anti jamur penghasil mikotoksin. BAL diisolasi dari silase pelepah sawit, saluran cerna unggas dan ruminansia (kambing dan sapi). Pengujian aktivitas anti jamur dilakukan dalam secara kualitatif dengan metode RYHUOD\dan secara kuantitatif dengan menguji daya hambat supernatan bebas sel menggunakan metode difusi kertas cakram terhadap kapang $VSHUJLOOXV ÀDYXV FNCC 6002, $VSHUJLOOXV SDUDVLWLFXV FNCC 6033 dan 3HQLFLOOLXP FLWULQXP FNCC 6111. Hasil penelitian menunjukkan isolat PDS2 dari silase memiliki daya hambat yang nyata terhadap ketiga jamur uji, sedangkan isolat BAL dari saluran cerna unggas dan ruminansia tidak menunjukkan daya hambat yang nyata. Kata kunci: Anti jamur, bakteri asam laktat, saluran cerna ternak, silase ABSTRACT Fungi contamination was a serious problem on feed industry in Indonesia. Mycotoxin was produced by contaminated fungi could decrease feed quality and it accumulation on animal caused immunosuppressive and mortality effect. The application of biological agent such as antifungal microbe was a promising solution and to be important for futher study. The objective of this research was to select lactic acid bacteria (LAB) with antifungal activity against mycotoxin producing fungi. Lactic acid bacteria were isolated from oil palm frond (OPF) silage, poultry and ruminant digestive tracts (cattle and goat). Antifungal activities of LAB was conducted by using overlay method and paper disc diffusion method of the cell free supernatant against $VSHUJLOOXVÀDYXVFNCC 6002, $VSHUJLOOXVSDUDVLWLFXVFNCC 6033 and 3HQLFLOOLXPFLWULQXPFNCC 6111. The result showed that LAB strain PDS2 from OPF silage had the highest DQWLPLFURELDODFWLYLWLHVZKHUHDV/$%IURPSRXOWU\DQGUXPLQDQWGLJHVWLYHVWUDFWKDGQRVLJQL¿FDQWLQKLELWLRQDFWLYLWLHV Keywords: Animal, lactic acid bacteria, fungi, mycotoxin, oil palm frond silage
PENDAHULUAN Kehilangan bahan pangan dan pakan akibat kontaminasi jamur di seluruh dunia diperkirakan mencapai 5 – 10% (Yang dan Chang, 2010) sedangkan )RRG DQG $JULFXOWXUH 2UJDQL]DWLRQ (FAO) memperkirakan sekitar 25% bahan pangan dan pakan ternak terkontaminasi mikotoksin yang dihasilkan oleh jamur kontaminan (Fuchs dkk., 2008). Mikotoksin merupakan metabolit sekunder dari jamur
164
yang tumbuh pada berbagai komoditas pangan dan pakan pada berbagai tahap proses produksi. Kontaminasi biologis dari kapang $VSHUJLOOXV )XVDULXP dan 3HQLFLOLXP yang merupakan penghasil mikotoksin menjadi perhatian serius karena tingkat bahayanya terhadap kesehatan ternak dan manusia. Mikotoksin menyebabkan gangguan kesehatan baik pada manusia maupun hewan seperti karsinogenik, mutagenik, teratogenik, immunosuppressif (Topcu dkk., 2010).
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Strain kapang $VSHUJLOOXV ÀDYXV dan $ SDUDVLWLFXV dan sebagian kecil $ QRPLXV merupakan kapang penghasil PLNRWRNVLQDÀDWRNVLQ$) +DWKRXWGNN5HGG\GNN 2010) yang merupakan kontaminan alami pada produk pangan GDQ SDNDQ$ÀDWRNVLQ % $)% PHUXSDNDQ JRORQJDQ$) yang paling toksik dan paling sering mengkontaminasi dan merupakan salah satu mikotoksin yang paling berpotensi sebagai mutagen dan karsinogen. AFB1 dan metabolitnya dapat terakumulasi dan menetap dalam jaringan hewan, dan kemudian masuk ke tubuh manusia saat mengkonsumsinya (Hathout dkk., 2011). Spesies 3HQLFLOOLXP dan $VSHUJLOOXV juga menghasilkan mikotoksin patulin yang sangat reaktif (Topcu dkk., 2010; Fuchs dkk., 2008). Spesies $VSHUJLOOXV dan 3HQLFLOOLXP juga diketahui menghasilkan Ochratoxin A yang dapat menyebabkan efek nephrotoksik, genotoksik dan efek karsinogenik pada ternak dan manusia (Fuchs dkk., 2008). Eksplorasi senyawa anti jamur pada penelitian sebelumnya antara lain dilakukan oleh Husni dkk. (2014) yang mengkaji aktivitas anti jamur dari hewan invertebrate laut 6WLFKRSXV MDSRQLFDV. Penggunaan agen biologis berupa mikroba dengan aktivitas anti jamur juga mulai banyak dikaji dan diharapkan mampu mengatasi cemaran jamur khususnya kapang penghasil mikotoksin baik pada produk pangan maupun pakan. Mikrooganisme yang umumnya digunakan untuk eliminasi mikotoksin adalah bakteri asam laktat (BAL) karena kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan kapang yang memproduksi mikotoksin (Hathout dkk., 2011). Salah satu BAL dengan aktivitas anti jamur antara lain /DFWREDFLOOXV SODQWDUXPAF1 diketahui menghasilkan senyawa C12H22N2O2, 3,6-bis(2-methylprophyl)-2,5,piperazinedon dengan BM 226 (Da) yang mampu menghambat$ ÀDYXV ATCC 22546 dan $ IXPLJDWXV ATCC 96918 (Yang dan Chang, 2010). BAL umumnya merupakan mikrobiota alami yang ditemukan dalam produk pangan dan pakan terfermentasi seperti silase. Selain itu BAL juga banyak ditemukan saluran cerna ternak baik unggas maupun ruminansia yang memiliki peran pada proses fermentasi bahan makanan dan penyeimbang populasi berbagai jenis mikroba dalam saluran cerna. Hasil penelitian sebelumnya ditemukan BAL potensial probiotik dari saluran cerna ayam kampung dan ayam broiler (Damayanti dkk., 2012b) dan dari rumen kambing dan sapi (Herdian dkk., 2013). Penelitian sebelumnya oleh (Kawamoto dkk., 2001) pelepah sawit dapat dimanfaatkan untuk ternak ruminansia dengan proses fermentasi. Proses silase hijauan diketahui dilakukan oleh bakteri asam laktat dan khamir sehingga menghasilkan silase yang beraroma khas, memiliki tingkat kecernaan tinggi dan bebas jamur kontaminan (Sofyan dkk., 2011). Isolasi BAL dari silase pelepah sawit belum banyak dilakukan dan pengujian BAL kandidat probiotik dari saluran cerna ternak terhadap aktivitas anti jamur belum
dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan BAL yang memiliki aktivitas anti jamur penghasil mikotoksin. METODE PENELITIAN Bakteri Asam Laktat Bakteri asam laktat yang digunakan adalah BAL koleksi Laboratorium Mikrobiologi UPT BPPTK LIPI. Bakteri asam laktat R01, R02, dan DB9 diisolasi dari ayam broiler, sedangkan RK6 dan RS2 diisolasi dari rumen kambing dan sapi. Isolat BAL PDS1, PDS2, PDS3, PDS4, PDS5, dan PDS6 diisolasi dari silase pelepah sawit. Preparasi Larutan Spora Jamur Produksi dan preparasi spora jamur dilakukan dengan menggunakan metode Yang dan Chang (2010) yang GLPRGL¿NDVL -DPXU XML \DQJ GLJXQDNDQ DGDODK NDSDQJ $VSHUJLOOXV ÀDYXV FNCC 6002, $VSHUJLOOXV SDUDVLWLFXV FNCC 6033 dan 3HQLFLOOLXP FLWULQXP FNCC 6111. Kapang ditumbuhkan dalam medium PDA cawan pada suhu 30 ºC selama 7 hari hingga terjadi sporulasi. Spora dipanen dari media dengan menambahkan akuades steril yang mengandung 0,05% (v/v) Tween 80 dan digojog perlahan. Larutan spora yang digunakan sebagai stok disimpan pada suhu -20 ºC dalam larutan gliserol/air (20:80, v/v). Konsentrasi spora kapang dihitung dengan menggunakan KDHPRF\WRPHWHU dan dibuat konsentrasinya menjadi 107 spora/ml pelarut. Pengujian Aktivitas Anti Jamur secara Kualitatif Pengujian aktivitas anti jamur secara kualitatif dilakukan sesuai metode (Ström, 2005). Media yang digunakan adalah PDA dalam cawan yang ditambah dengan spora kapang sebanyak 106 spora/ml media (20 ml PDA) yang mengandung 1,5% (w/v) agar. Isolat BAL diseleksi untuk mendeteksi adanya aktivitas anti jamur dengan uji dua kultur gores dalam MRS agar cawan. Isolat BAL ditumbuhkan dalam dua garis pada cawan pada kondisi anaerob selama 24 jam pada suhu 37 ºC. Setelah inkubasi, cawan dilapisi dengan malt extract soft agar yang mengandung spora jamur (106 spora/ml). Jika zona jernih terbentuk pada MRS agar cawan maka isolat BAL dianggap memiliki aktivitas anti jamur dan diseleksi kembali untuk pengujian lebih lanjut. Uji Aktivitas Anti Jamur secara Kuantitatif Pengujian aktivitas antijamur secara kuantitatif dengan metode difusi agar dilakukan menurut metode (Yang dan Chang, 2010). Pengujian dirancang dengan pola faktorial menggunakan 2 faktor yaitu bakteri asam laktat dan kapang uji. Langkah pertama yang dilakukan adalah preparasi supernatan bebas sel dari BAL. Bakteri asam laktat terpilih
165
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
ditumbuhkan dalam medium MRS Broth pada suhu 37 ºC selama 24 jam. Kultur disentrifugasi pada 9.500 g selama PHQLWGDQGLVWHULOLVDVLGHQJDQPHQJJXQDNDQ¿OWHUGHQJDQ ukuran pori sebesar 0.45 μm. Supernatan bebas sel yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk pengujian. Pengujian masing – masing dilakukan menggunakan 3 ulangan. Media yang digunakan untuk pengujian adalah PDA dalam cawan yang ditambah dengan spora kapang sebanyak 106 spora/ml media (20 ml PDA) yang mengandung 1,5% (w/v) agar. Pada pengujian kertas cakram berdiameter 8 mm diletakkan dalam PDA cawan dan ditetesi dengan 100 μL sampel supernatan bebas sel. Cawan diinkubasi pada suhu 30 ºC selama 48 jam dan dihitung diameter zona hambat yang terbentuk di sekitar sumuran atau kertas cakram dan diukur dengan menggunakan jangka sorong.
Berdasarkan penapisan awal secara kualitatif menggunakan metode overlay seperti pada Gambar 1 diketahui bahwa beberapa isolat BAL memiliki kemampuan anti jamur khususnya isolat PDS5, PDS3, PDS4, RS2 dan PDS2 sedangkan isolat lainnya seperti PDS1, RK6 hanya menunjukkan sedikit aktivitas anti jamur dan isolat DB9 tidak menunjukkan aktivitas tersebut. Begitu juga dengan isolat R01, R02 dan PDS6 tidak menunjukkan daya hambat terhadap pertumbuhan jamur. Perbedaan kemampuan ini disebabkan perbedaan sumber dan jenis spesies isolat BAL. Seperti dikemukaan oleh Hathout dkk. (2011) bahwa BAL dilaporkan dapat menghilangkan mikotoksin dari pelarut air PHODOXLSURVHVSHQJLNDWDQ\DQJVSHVL¿NVSHVLHVGDQVWUDLQ
Analisis Data Analisis data kuantatif pada pengujian aktivitas antijamur dengan metode difusi kertas cakram dilakukan secara statistik menggunakan 2QHZD\DQDO\VLVRIYDULDQFH (ANOVA) dengan uji lanjut 'XQFDQ PXOWLSOH 5DQJH 7HVW (P<0.05). HASIL DAN PEMBAHASAN Isolat bakteri asam laktat yang digunakan dalam uji anti jamur memiliki karakteristik umum sebagai BAL yaitu katalase negatif dan Gram positif. Morfologi BAL dari silase semuanya berbentuk batang sedangkan BAL dari saluran cerna baik ternak unggas maupun ruminansia berbentuk kokus (Tabel 1).
Gambar 1. Aktivitas anti jamur beberapa bakteri asam laktat (BAL) terhadap kapang $VSHUJLOOXV ÀDYXV FNCC 6002. Isolat BAL strain PDS 1, PDS2, PDS3, PDS4, PDS5 diisolasi dari silase pelepah sawit. Isolat BAL strain DB9 diisolasi dari duodenum ayam broiler, sedangkan RK6 diisolasi rumen kambing dan RS2 dari rumen sapi. BAL dengan aktivitas anti jamur ditandai dengan adanya zona jernih di sekitar koloni
Tabel 1. Karakter isolat bakteri asam laktat Isolat BAL PDS1 PDS2 PDS3 PDS4 PDS5 PDS6 R01 R02 DB9 RS2 RK6
166
Sumber isolat Silase pelepah sawit Silase pelepah sawit Silase pelepah sawit Silase pelepah sawit Silase pelepah sawit Silase pelepah sawit Proventriculus ayam broiler Proventriculus ayam broiler Duodenum ayam kampung Rumen sapi Rumen kambing
Katalase -
Pewarnaan gram + + + + + + + + + + +
Morfologi Batang Batang Batang Batang Batang Batang Kokus Kokus Kokus Kokus Kokus
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Proses pengujian lebih lanjut isolat BAL potensial dengan metode difusi kertas cakram menjadi penting karena setiap strain memiliki kemampuan yang berbeda dalam menghambat pertumbuhan jamur (Tabel 2). Hasil yang sama didapatkan pada penelitan Muhialdin dan Hassan (2011) yang mengungkapkan bahwa / EUHYLV G004, / IHUPHQWXP Te007 dan 3HGLRFRFFXV SHQWRVDFHXV Te010 menunjukkan kemampuan daya hambat yang berbeda terhadap pertumbuhan biomassa kapang $RU\]DH. Bakteri kode strain DB9 dan R02 dari saluran cerna ayam broiler tidak menunjukkan aktivitas anti jamur, sedangkan strain RK6 dan RS2 menunjukkan sedikit daya hambat. Daya hambat yang tinggi ditunjukkan oleh isolat BAL yang diisolasi dari silase pelepah sawit yaitu BAL strain PDS3 dan PDS5. Beberapa BAL telah diketahui menunjukkan kemampuan menghambat pertumbuhan jamur penghasil mikotoksin. /DFWREDFLOOXVSODQWDUXPCRL 778, / UHXWHULCRL 1100, /EUHYLVCRL 772 dan CRL 796 senyawa yang dihasilkan DFHWLF and SKHQ\OODWLFDFLGmemiliki aktivitas anti jamur $VSHUJLOOXV, )XVDULXP dan 3HQLFLOOLXP (Gerez dkk., 2009), / SODQWDUXP IMAU10014 memiliki aktivitas anti jamur $OWHUQDULDVRODQL, )R[\VSRUXP (Wang dkk., 2011) dan /GHOEUXHFNLLmemiliki kemampuan anti jamur terhadap 3FKU\VRJHQXP, 3ROVRQLL dan 3URTXHIRUWL(Miyamoto dan Naito, 2013). Penghambatan pertumbuhan kapang dapat terjadi pada fase pertumbuhan miselium maupun pada tahap germinasi spora. Gerez dkk. (2009) melaporkan bahwa dari total 95 strain BAL homofermentatif dan heterofermentatif, sebagian besar BAL (63 strain) mampu menghambat germinasi konidia sedangkan hanya 4 strain saja yang mampu menghambat pertumbuhan miselia. Germinasi konidia merupakan tahap paling sensitif untuk dihambat. Tabel 2. Daya anti jamur BAL secara kualitatif menggunakan metode overlay selama pengamatan 24 jam Isolat BAL Sumber isolat
Luasan zona hambat
DB9
Duodenum ayam kampung
-
R01
Proventriculus ayam broiler
-
R02
Proventriculus ayam broiler
-
RK6
Rumen kambing
+
RS2
Rumen sapi
++
PDS1
Silase pelepah sawit
++
PDS2
Silase pelepah sawit
++
PDS3
Silase pelepah sawit
+++
PDS4
Silase pelepah sawit
++
PDS5
Silase pelepah sawit
++++
PDS6
Silase pelepah sawit
+
Keterangan : FP±FP±FP±FPFP
Hasil yang berbeda didapatkan pada pengujian kuantitatif dengan metode difusi kertas cakram dari supernatan bebas sel yang dihasilkan. Pada pengujian secara kuantitatif dipilih BAL yang positif memiliki aktivitas anti jamur. Pada Tabel 3 diketahui bahwa isolat BAL dengan kemampuan anti jamur paling tinggi dihasilkan oleh isolat PDS2, PDS3 dan PDS5 yang semuanya merupakan isolat dari silase pelepah sawit. Kawamoto dkk. (2001) dalam studinya menjelaskan bahwa silase pelepah sawit membutuhkan proses fermentasi minimal 1 bulan. Machin (1999) menjelaskan bahwa dalam silase terkandung sekitar 5 – 20% karbohidrat yang dapat terfermentasi oleh bakteri asam laktat. Secara alami bakteri asam laktat dalam silase secara anaerob maupun semi aerob melakukan mekanisme penghambatan terhadap jamur maupun kapang. Sofyan dkk. (2011) menyebutkan penggunaan BAL dalam proses silase hijauan juga terbukti menghambat pertumbuhan kapang kontaminan. Hal ini berbeda dengan bakteri asam laktat dari saluran cerna ternak yang umumnya lebih memiliki kemampuan untuk menghambat bakteri pathogen (Damayanti dkk., 2012a). Tabel 3. Diameter zona hambat (mm) supernatan bebas sel bakteri asam laktat (BAL) terhadap kapang penghasil mikotoksin BAL
$ÀDYXV
$SDUDVLWLFXV
3FLWULQXP
Rerata
RK6
6,37 ± 0,23
6,97 ± 0,15
7,13 ± 0,06
6,82 ± 0,38 de
RS2
6,27 ± 0,38
6,47 ± 0,42
6,27 ± 0,21
6,33 ± 0,32
e
PDS1
6,27 ± 0,12
8,13 ± 0,23
7,87 ± 0,65
7,42 ± 0,94
bc
PDS2
6,97 ± 0,86
9,10 ± 0,26
8,20 ± 1,57
8,09 ± 1,30
a
PDS3
6,60 ± 0,44
10,70 ± 0,26
6,43 ± 0,23
7,91 ± 2,11 ab
PDS4
7,20 ± 0,50
7,63 ± 0,23
6,63 ± 0,06
7,16 ± 0,52 cd
PDS5
6,57 ± 0,25
7,57 ± 0,12
9,15 ± 0,85
7,76 ± 1,21 ab
Rerata 6,60 ± 0,51 c 8,08 ± 1,37 a 7,38 ± 1,18 b Keterangan : Huruf dibelakang angka pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). (RK6 : BAL dari rumen kambing, RS2 : BAL dari rumen sapi, PDS1, PDS2, PDS3, PDS4, PDS5 : BAL dari silase pelepah sawit)
Selain perbedaan kemampuan daya hambat dari BAL, perbedaan daya hambat juga ditentukan oleh jenis kapang uji yang digunakan. Kapang $ SDUDVLWLFXV merupakan kapang paling sensitif, diikuti kapang 3 FLWULQXP dan $ ÀDYXV yang memiliki sensitivitas berbeda nyata (P<0,05). Gerez dkk. (2009) menjelaskan bahwa kemampuan anti jamur dari BAL tergantung pada strain BAL dan spesies kapang. Kemampuan asam organik dari BAL dalam menghambat kapang 3HQLFLOOLXP, )XVDULXP dan $VSHUJLOOXV memiliki nilai hambat minimum yang berbeda terhadap ketiga kapang tersebut. Cizeikiene dkk. (2013) juga melaporkan perbedaan kemampuan 4 strain BAL dalam menghambat pertumbuhan
167
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
beberapa jenis kapang antara lain $QLJHU, $IXPLJDWXVdan 3FKU\VRJHQXP. Beberapa penelitian senyawa anti jamur yang dihasilkan oleh BAL telah diungkapkan pada penelitian terdahulu. Yang dan Chang (2010) menyatakan bahwa BAL merupakan alternatif yang menjanjikan sebagai pengganti pengawet kimia karena kemampuannya dalam menghasilkan senyawa antimikroba seperti asam laktat, asam asetat, hidrogen peroksida, diacetyl, CO2, dan bakteriosin. Senyawa anti jamur dari BAL merupakan metabolit berupa asam organik, senyawa protein dan senyawa dengan berat molekul rendah (kurang dari 1000 Da). Senyawa anti jamur merupakan produk metabolit ekstraseluler yang dihasilkan selama proses pertumbuhan BAL dalam medium fermentasi. Senyawa anti jamur dalam bentuk senyawa campuran memiliki aktivitas anti jamur yang lebih tinggi dibandingkan dalam bentuk VHQ\DZDWXQJJDOKDVLOSXUL¿NDVLOHELKODQMXW Strom (2005) mengungkapkan bahwa kemampuan anti MDPXU GDUL %$/ GLKDVLONDQ ROHK VHQ\DZD VSHVL¿N EHUXSD peptide aktif. Dua senyawa dipeptida siklik yaitu cyclo (L-Phe-L-Pro) dan cyclo(L-Phe-WUDQV-4-OH-L-Pro dan 3-phenyl asam laktat diketahui sebagai senyawa anti jamur dari /SODQWDUXPMiLAB dan /FRU\QLIRUPLVSi3 terhadap jamur $ IXPLJDWXV dan 3 FRPPXQH. Palaez dkk. (2012) melaporkan senyawa lain yang diketahui memiliki aktivitas anti jamur adalah asam organik yang dihasilkan BAL selama proses fermentasi. Gerez dkk. (2009) menambahkan bahwa efek anti fungi dari / UHXWHUL / EUHYLV dan / SODQWDUXP berhubungan dengan produksi senyawa organik baik laktat, acetate dan phenyllactic acid (PLA) dan pH rendah (3,5) yang dihasilkan setelah fermentasi. Mekanisme penghambatan pertumbuhan kapang salah satunya pada $ÀDYXVoleh berbagai level konsentrasi asam laktat dan asam asetat dijelaskan oleh Palaez dkk. (2009). Asam asetat menyebabkan penghambatan dengan menurunkan pH sitoplasma hingga level yang mampu PHQJKDPEDWNDSDQJKDOLQLGLWXQMXNNDQSDGDXMLDVLGL¿NDVL sitoplasma dengan pemberian asam asetat pada konidia $ ÀDYXV. Penghambatan kapang oleh asam laktat melalui mekanisme kemampuan asam laktat untuk menurunkan pH media dan karakteristik lipolitik dari bentuk undisosiasi, yang memfasilitasi penetrasinya melalui dinding sel. Perbedaan kemampuan strain BAL dalam menghambat pertumbuhan jamur dijelaskan lebih lanjut pada penelitian Gerez dkk. (2009). Perbedaan aktivitas anti jamur disebabkan oleh kemampuan perbedaan menghasilkan asam organik baik asam laktat, asam asetat maupun PLA yang berfungsi sebagai anti jamur. Efektivitas PLA (MIC50 0,02 – 6,0 mM) lebih tinggi dibandingkan dengan asam laktat dan asetat. Semua asam organik, kecepatan disosiasinya tergantung pada pH. Pada pH rendah bentuk undisosiasi dapat dengan
168
mudah melewati membran sel dan dapat terakumulasi dalam sitoplasma sehingga menyebabkan kehilangan viabilitas dan kerusakan sel. Fakta ini dapat dijelaskan dengan perbedaan aktivitas (yang dinyatakan dengan MIC50). Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian Cizeikiene dkk. (2009) yang menunjukkan bahwa supernatan BAL tanpa dinetralkan dan supernatan yang dinetralkan menjadi pH 6,5 memiliki daya hambat yang sama terhadap kapang uji. Dengan demikian diduga terdapat senyawa lain selain asam organik yang berperan sebagai antijamur. Karakterisasi asam organik dan senyawa anti jamur pada penelitian lebih lanjut yang dihasilkan oleh BAL pada penelitian ini penting untuk dilakukan agar diketahui senyawa apakah yang berperan utama sebagai antijamur. KESIMPULAN Aktivitas anti jamur dipengaruhi oleh jenis bakteri asam laktat (BAL) dan jenis kapang uji yang digunakan. Daya hambat paling tinggi dihasilkan oleh bakteri asam laktat dari silase pelepah sawit strain PDS2. Berdasarkan jenis kapang, daya hambat tertinggi terjadi berturut – turut pada $VSHUJLOOXV SDUDVLWLFXVFNCC 6033, 3HQLFLOLXPFLWULQXPFNCC 6111 dan $VSHUJLOOXVÀDYXVFNCC 6002. DAFTAR PUSTAKA Cizeikiene, D., Juodeikiene, G., Paskevicius, A. dan Bartkiene, E. (2013). Antimicrobial activity of lactic acid bacteria against pathogenic and spoilage microorganism isolated from food and their control in wheat bread. )RRG &RQWURO 31(2): 539-545. Damayanti, E., Herdian, H., Angwar, M., Febrisiantosa, A. dan Istiqomah, L. (2012b). Lactic acid bacterial screening from gastrointestinal digestive tract of native and broiler chicken for probiotic candidate purposes. -RXUQDORIWKH,QGRQHVLDQ7URSLFDO$QLPDO$JULFXOWXUH 37: 168-175. Damayanti, E., Yusiati, L.M. dan Dinoto, A. (2012a). 16s U51$ ,GHQWL¿FDWLRQ RI 3HGLRFRFFXV spp. from broiler and studies of adherence ability on immobilized mucus. ,QGRQHVLDQ-RXUQDORI%LRWHFKQRORJ\37: 96-106. Fuchs, S., Sontag, G., Stidl, R., Ehrlich, V., Kundi, M. dan .QDVPXOOHU 6 'HWR[L¿FDWLRQ RI SDWXOLQ DQG ochratoxin A, two abundant mycotoxins, by lactic acid bacteria. )RRGDQG&KHPLFDO7R[LFRORJ\46: 1398-1407. Gerez, C.L., Torino, M.I., Rollán, G. dan de Valdez, G.F. (2009). Prevention of bread mould spoilage by using
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
lactic acid bacteria with antifungal properties. )RRG &RQWURO20: 144-148. Hathout, A.S., Mohameda, S.R., El-Nekeety, A.A., Hassan, N.S., Aly, S.E. dan Abdel-Wahhab. M.A. (2011). Ability of /DFWREDFLOOXVFDVHL and /DFWREDFLOOXVUHXWHUL WRSURWHFWDJDLQVWR[LGDWLYHVWUHVVLQUDWVIHGDÀDWR[LQV contaminated diet. 7R[LFRQ58: 179-186. Herdian, H., Sofyan, A., Sakti, A.A., Julendra, H., Karimy, M.F., Suryani, A.E., Damayanti, E. dan Istiqomah, L. (2013). Performance and meat quality of local sheep administered with feed additive containing probiotic and organic mineral complex. 0HGLD 3HWHUQDNDQ 36: 203-208. Husni, A. Shin, II-S. dan Chung, D. (2014). Effect of extraction methods on antifungal activity of sea cucumber (6WLFKRSXVMDSRQLFXV). $JULWHFK 34 :1-7. Kawamoto, H., Mohamed, W.Z., Syukur, N.I.M., Ali, M.S.M., Ismail, Y. dan Oshio, S. (2001). Palatability, digestibility and voluntary intake of processed oil palm fronds in cattle. -DSDQ$JULFXOWXUDO5HVHDUFK4XDUWHUO\ 35: 195-200. Machin, D.H. (1999). The potential use of tropical silage for livestock production with special reference to smallholders. FAO Electronic Conference onTropical Silage, FAO, 1 Sep – 15 Sep 1999. http://www.fao.org. [27 Maret 2014]. Miyamoto, T. dan Naito, Y. (2013). 6WUDLQVRI/DFWREDFLOOXV ZLWK $QWLIXQJDO 3URSHUWLHV. Patent Number WO201374792A1. Publication Date: Nov 28, 2013. Muhialdin, B.J. dan Hassan, Z. (2011). Screening of lactic acid bacteria for antifungal activity against $VSHUJLOOXV RU\]DH. $PHULFDQ-RXUQDORI$SSOLHG6FLHQFHV8: 447451.
Peláez, A.M.L., Cataño, C.A.S., Yepes, E.A., Villarroel, Q.R.R., Antoni, G.G.L.D. dan Giannuzzi, L. (2012). Inhibitory activity of lactic and acetic acid on $VSHUJLOOXV ÀDYXVgrowth for food. )RRG&RQWURO 24: 177-183. Reddy, K.R.N., Farhana, N.I., Salleh, B. dan Oliveira, C.A.F. (2010). Microbiological control of mycotoxins: present status and future concerns.)RUPDWH[0LFURELDO6HULHV 2: 1078-1084. Sofyan, A., Yusiati, L.M., Widyastuti, Y. dan Utomo, R. (2011). Microbiological characteristic and fermentability of king grass (3HQQLVHWXPK\EULG) silage treated by lactic acid bacteria-yeast inoculants consortium combined with rice bran addition. -RXUQDO RI WKH ,QGRQHVLDQ 7URSLFDO$QLPDO$JULFXOWXUH36: 265-272. Strom, K. (2005). )XQJDO LQKLELWRU\ ODFWLF DFLG EDFWHULD FKDUDFWHUL]DWLRQ DQG DSSOLFDWLRQ RI /DFWREDFLOOXV SODQWDUXP 0L/$% . Doctoral Thesis. Swedish University of Agricultural Sciences, Uppsala. 7RSFX$%XODW7:LVKDK5GDQ%R\DFÕ,+ 6KRUW FRPPXQLFDWLRQ GHWR[L¿FDWLRQ RI DÀDWR[LQ % DQG patulin by (QWHURFRFFXVIDHFLXP strains. ,QWHUQDWLRQDO -RXUQDORI)RRG0LFURELRORJ\139: 202-205. Wang, H., Yan, H., Shin, J., Huang, L., Zhang H. dan Qei, W. (2011). Antivity against plant pathogenic fungi of /DFWREDFLOOXV SODQWDUXP IMAU10014 isolated from Xinjiang koumiss in China. $QQDOVRI0LFURELRORJ\61: 879-885.
169
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK KULIT KAYU AKWAY (Drimys piperita Hook f.) TERHADAP BAKTERI PATOGEN Antibacterial Activities of Akway (Drimys piperita Hook f.) Bark Extracts on Pathogenic Bacteria Gino Nemesio Cepeda, Meike Meilan Lisangan, Isak Silamba Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian, Universitas Negeri Papua Jl. Gunung Salju Amban Manokwari 98314 Email:
[email protected] ABSTRAK Akway ('ULP\VSLSHULWD Hook f) adalah tumbuhan berkayu, berdaun hijau yang aromatik dan tergolong dalam famili Winteraceae. Tumbuhan ini digunakan oleh Suku Sougb yang bermukim di desa Sururey Distrik Manokwari Papua Barat untuk mengobati malaria dan meningkatkan vitalitas tubuh. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan kapasitas antibakteri ekstrak kulit kayu akway pada beberapa tingkat konsentrasi, waktu pemanasan ekstrak pada 100oC, tingkat keasaman (pH) dan kandungan garam. Proses ekstraksi kulit kayu akway dilakukan dengan menggunakan metode maserasi pada suhu ruang selama 72 jam. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut etanol, etilasetat dan heksan. Pengujian kapasitas antibakteri ekstrak dilakukan dengan menggunakan metode difusi agar terhadap empat spesies bakteri, yaitu (VFKHULFKLD FROL ATCC25922 %DFLOOXV FHUHXV ATCC10876 3VHXGRPRQDV DHUXJLQRVD ATCC27853 dan 6WDSK\ORFRFFXVDXUHXVATCC25923 Hasil menunjukkan bahwa konsentrasi dan tingkat keasaman mempengaruhi kapasitas antibakteri ekstrak etilasetat kulit kayu akway. Pemanasan pada suhu 100oC selama 25 menit dan kandungan garam sampai 5% tidak mempengaruhi kapasitas antimikroba ekstrak kulit kayu akway. Kata kunci: Akway, ekstrak, antibakteri, pemanasan, pH dan kandungan garam ABSTRACT Akway ('ULP\VSLSHULWD Hook f.) is a woody, evergreen and aromatic plan that was a member of Winteraceae. This plant is used by Sougb tribe living in Sururey village, District of Manokwari, West Papua to heal malaria and to enhance the vitality of body. The objectives of the research were to determine antibacterial activities of extract of akway bark on some concentrations, heating time on 100oC, level of acidity (pH) and salt content. The extraction process of akway bark was done by using maceration method at room temperature for 72 hours. The extraction was done by using three kinds of solvent, those are ethanol, ethylacetate and hexane. Antibacterial capacity assay was done by using agar diffusion method on four species of bacteria those are (VFKHULFKLDFROLATCC25922%DFLOOXVFHUHXV ATCC108763VHXGRPRQDVDHUXJLQRVD ATCC27853 and 6WDSK\ORFRFFXVDXUHXVATCC25923. The results indicated WKDW FRQFHQWUDWLRQ DQG OHYHO RI DFLGLW\ LQÀXHQFHG WKH DQWLEDFWHULDO FDSDFLW\ RI HWK\ODFHWDWH H[WUDFW RI DNZD\ EDUN Whereas heating time on 100o&GXULQJPLQXWHVDQGVDOWFRQWHQWXSWRRIH[WUDFWVROXWLRQGLGQRWLQÀXHQFHWKH antibacterial capacity of akway bark extracts. Keywords: Akway, extract, antibacterial, heating, pH and salt content
PENDAHULUAN Tumbuhan obat berperan penting dalam kesehatan individu maupun masyarakat. Khasiat dari suatu tumbuhan obat terletak pada beberapa senyawa kimia aktif atau senyawa ¿WRNLPLD \DQJ GDSDW PHQJKDVLONDQ SHQJDUXK ¿VLRORJLN GDODP WXEXK PDQXVLD 6HQ\DZDVHQ\DZD ¿WRNLPLD WHUVHEXW
170
diantaranya adalah alkaloid, saponin, tanin, glikosida, ÀDYRQRLG WHUSHQRLG GDQ VWHURLG %DQ\DN WXPEXKDQ DVOL yang terdapat di suatu daerah sering digunakan untuk tujuan pengobatan (Rahayu dkk., 2006). Akway ('ULP\VSLSHULWD Hook. f) merupakan tumbuhan endemik Papua, yang merupakan tumbuhan berkayu, berdaun aromatik dan termasuk kerabat Winteraceae (Stevens, 2015).
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Akway digunakan sebagai tumbuhan obat tradisional oleh Suku Sougb di Distrik Sururey Papua Barat. Tumbuhan ini digunakan untuk mengobati malaria dan untuk meningkatkan daya tahan tubuh dalam melakukan pekerjaan berat, serta untuk meningkatkan vitalitas tubuh (Paliling, 2004). %HEHUDSD SHQHOLWLDQ WHQWDQJ VHQ\DZD ¿WRNLPLD penyusun ekstrak akway telah dilakukan. Ekstrak etanol bubuk kulit kayu 'ULP\V SLSHULWD dilaporkan dapat menghambat pertumbuhan bakteri (VFKHULFKLD FROL verotoksigenik, yang menyebabkan diare berdarah (Cepeda, 2008), sedangkan daunnya mengandung senyawa yang bersifat anti diare (Pladio dan Villasenor, 2004). Cepeda dkk. (2010) juga melaporkan, bahwa ekstrak metanol dan etilasetat kulit ND\X D. piperita PHQJDQGXQJ VHQ\DZD IHQROLN ÀDYRQRLG terpenoid dan tanin), saponin dan alkaloid. Kandungan total IHQROGDQÀDYRQRLGHNVWUDNPHWDQROGDXQ'SLSHULWDcukup tinggi masing-masing 18,64% dan 7% (Cepeda, dkk., 2010). 6HQ\DZD ÀDYRQRLG WDQLQ GDQ VHQ\DZD IHQROLN ODLQQ\D dilaporkan memiliki aktivitas antimikroba (Davidson dan Naidu, 2000). Ekstrak dari berbagai sumber tanaman atau tumbuhan telah dibuktikan dapat menghambat pertumbuhan berbagai spesies mikroba secara in vitro, menggunakan metode agar diffusion. Cepeda (2009) melaporkan, bahwa ekstrak etanol sereh dapat menghambat pertumbuhan dan produksi toksin (VFKHULFKLD FROL verotoksigenik. Ekstrak metanol /HFDQLRGLVFXVFXSDQLRLGHV dapat menghambat pertumbuhan EDNWHUL*UDPSRVLWLIGDQ*UDPQHJDWLI6R¿GL\DGNN Ekstrak air dan metanol daun Lawsonia inermis Linn. dapat menghambat pertumbuhan 6WDSK\ORFRFFXV DXUHXV %DFLOOXV VXEWLOLV(FROLdan 3VHXGRPRQDVDHUXJLQRVD(Saadabi, 2007) serta ekstrak etilasetat daun beluntas dapat menghambat pertumbuhan beberapa bakteri patogen dalam makanan (Ardiansyah, 2002). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tersebut menunjukkan bahwa ekstrak dari berbagai tumbuhan memiliki aktivitas antibakteri yang kuat. Namun demikian sampai saat ini informasi tentang kemampuan antibakteri ekstrak etilasetat 'ULP\V SLSHULWD terhadap bakteri-bakteri patogen yang menyebabkan penyakit lewat makanan belum pernah dilaporkan, oleh sebab itu penelitian ini ditujukan untuk mengetahui kapasitas antimikroba ekstrak 'ULP\V SLSHULWD terhadap bakteri-bakteri patogen yang menyebabkan penyakit lewat makanan dan pengaruh faktor pengolahan pangan seperti pemanasan, penambahan garam NaCl dan tingkat keasaman (pH) terhadap kapasitas antibakterinya.
METODE PENELITIAN Persiapan Bahan Akway ('ULP\V SLSHULWD) yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Distrik Anggi Kabupaten Manokwari, Papua Barat. Kulit kayu yang digunakan berasal dari tumbuhan akway dengan diameter batang utama ± 8-10 cm. Sebanyak ± 5 kg kulit kayu dikeringkan-anginkan selama kurang lebih 5 hari sampai kulit kayu menjadi mudah hancur. Kulit kayu yang sudah kering digiling dan diayak dengan ukuran 40 mesh. Bubuk yang diperoleh dikemas dalam kemasan plastik polietilen kapasitas 1 kg. Ekstraksi Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut etanol, etilasetat dan heksan (JT. Baker, p.a. 99,9%). Proses ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi. Perbandingan bubuk kulit kayu akway dan pelarut adalah 1:4. Ekstraksi dilakukan pada suhu kamar selama 72 jam. Selama proses ekstraksi dilakukan pengadukan dengan menggunakan shaker incubator. Ekstrak yang diperoleh dari hasil penyaringan, pelarutnya diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator Eyela N1000 pada suhu 40oC dengan kecepatan 60 rpm. Ekstrak hasil penguapan, disimpan dalam botol yang berwarna gelap. Persiapan Kultur Bakteri Kultur bakteri uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah (VFKHULFKLD FROL ATCC25922, %DFLOOXV FHUHXV ATCC10876, 3VHXGRPRQDV DHUXJLQRVD ATCC27853 dan 6WDSK\ORFRFFXV DXUHXV ATCC25923. Vial isolat kultur bakteri uji dibuka secara aseptik, kemudian ditambahkan Nutrient Broth (NB) (Oxoid) sebanyak 1 ml dan diaduk hingga tercampur sempurna. Campuran kultur dan medium NB dipipet dan dipindahkan dalam tabung reaksi yang telah berisi 10 ml NB dan divorteks. Kultur diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam. Kultur yang telah tumbuh dalam medium NB, digores pada medium agar miring Nutrient Agar (NA) (Oxoid) dan diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam. Setelah terlihat pertumbuhan bakteri pada agar miring, kultur bakteri siap digunakan dalam pengujian. Pengujian Daya Hambat pada Beberapa Tingkat Konsentrasi Ekstrak 6HEDQ\DN ȝO NXOWXU EDNWHUL XML 7 cfu/ml), yang telah ditumbuhkan dalam medium NB pada suhu 37ºC selama 20 jam, disebarkan merata pada permukaan medium NA yang telah membeku dalam cawan petri. Kemudian pada media NA yang sudah membeku dibuat sumur dengan diameter 6 mm. Masing-masing sumur dimasukkan ekstrak sebanyak
171
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
60 μL dengan perlakuan konsentrasi; 0 (pelarut 100%), 5, 10, 15, 20, dan 25% (b/v), dengan kontrol positif penisilin G (10%). Masing-masing perlakuan dilakukan dengan ulangan 2 kali. Kemudian cawan petri diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam. Setelah masa inkubasi selesai, diameter zona penghambatan (zona bening disekitar sumur diukur dengan PHQJJXQDNDQNDOLSHU0RGL¿NDVL(O]DDZHO\GNN Penentuan Konsentrasi Penghambatan Minimum (KPM) Penentuan nilai KPM dilakukan berdasarkan daya hambat ekstrak etilasetat pada berbagai konsentrasi PHQJJXQDNDQ PHWRGH %ORRP¿HOG \DLWX GHQJDQ memplotkan antara nilai ln M (ln konsentrasi ekstrak) pada sumbu X, terhadap nilai kuadrat zona penghambatan ekstrak terhadap bakteri uji (Z2) pada sumbu Y. Perpotongan antara persamaan yang diperoleh dari regresi linear Y = a + bX dengan sumbu X adalah nilai Mt. Mt adalah nilai ln konsentrasi ekstrak pada perpotongan persamaan regresi linear pada Y = 0 dengan sumbu X. Nilai KPM adalah 0.25 x nilai konsentrasi ekstrak pada titik Mt. Pengujian Pengaruh Faktor Pengolahan terhadap Daya Antibakteri Ekstrak
Ekstrak
Pengujian pengaruh faktor pengolahan terhadap daya antimikroba ekstrak akway meliputi uji pengaruh pemanasan pada suhu 100oC, tingkat keasaman (pH) dan penambahan garam NaCl. Pengujian ini dilakukan terhadap ekstrak terpilih, yaitu ekstrak etilasetat dengan daya hambat terbesar pada uji pengaruh tingkat konsentrasi ekstrak. Konsentrasi ekstrak yang digunakan adalah 10%, yaitu konsentrasi ekstrak terendah yang memiliki daya hambat yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji statistik dengan konsentrasi yang lain pada semua bakteri uji. Daya Antibakteri pada Beberapa Tingkat Pemanasan Suhu 100oC 6HEDQ\DNȝ/NXOWXUEDNWHULXML7 cfu/mL), yang telah ditumbuhkan dalam medium NB pada suhu 37ºC selama 20 jam, disebarkan merata pada permukaan medium NA yang telah membeku dalam cawan petri. Kemudian pada medium NA yang sudah membeku dibuat sumur dengan diameter 6 mm. Masing-masing sumur dimasukkan ekstrak sebanyak 60 μL yang telah dipanaskan pada suhu 100oC selama 0 (tanpa pemanasan), 5, 10, 15, 20 dan 25 menit. Masing-masing perlakuan dilakukan dengan ulangan 2 kali. Kemudian cawan petri diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam. Setelah masa inkubasi selesai, diameter zona penghambatan (zona bening di sekitar sumur) diukur dengan menggunakan kaliper 0RGL¿NDVL(O]DDZHO\GNN
172
Daya Antibakteri pada Beberapa Tingkat Keasaman (pH) 6HEDQ\DNȝ/NXOWXUEDNWHULXML7 cfu/mL), yang telah ditumbuhkan dalam medium NB pada suhu 37ºC selama 20 jam, disebarkan merata pada permukaan medium NA yang telah membeku dalam cawan petri. Kemudian pada medium NA yang sudah membeku dibuat sumur dengan diameter 6 mm. Masing-masing sumur dimasukkan ekstrak konsentrasi 10% sebanyak 60 μL dengan perlakuan tingkat keasaman ekstrak, yaitu pH 4, 5, 6, 7 dan 8,5. Tingkat keasaman ekstrak diatur dengan penambahan asam asetat glasial dan Kalium Hidroksida 0,1 N. Masing-masing perlakuan dilakukan dengan ulangan 2 kali. Kemudian cawan petri diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam. Setelah masa inkubasi selesai, diameter zona penghambatan (zona bening di sekitar sumur) GLXNXUGHQJDQPHQJJXQDNDQNDOLSHU0RGL¿NDVL(O]DDZHO\ dkk., 2005). Daya Antibakteri pada Beberapa Tingkat Konsentrasi Garam 6HEDQ\DNȝ/NXOWXUEDNWHULXML7 cfu/mL), yang telah ditumbuhkan dalam medium NB pada suhu 37ºC selama 20 jam, disebarkan merata pada permukaan medium NA yang telah membeku dalam cawan petri. Kemudian pada medium NA yang sudah membeku dibuat sumur dengan diameter 6 mm. Masing-masing sumur dimasukkan ekstrak etilasetat sebanyak 60 μL dengan perlakuan konsentrasi garam NaCl ekstrak masing-masing 0 (tanpa penambahan garam), 1, 2, 3, 4, dan 5% (b/v). Masing-masing perlakuan dilakukan dengan ulangan 2 kali. Kemudian cawan petri diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam. Setelah masa inkubasi selesai, diameter zona penghambatan (zona bening disekitar sumur) diukur GHQJDQ PHQJJXQDNDQ NDOLSHU 0RGL¿NDVL (O]DDZHO\ GNN 2005). Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam rancangan acak kelompok (RAK) dengan tingkat NHSHUFD\DDQĮ 3HUODNXDQ\DQJEHUEHGDQ\DWD dilakukan uji lanjutan menggunakan Beda Nyata Jujur (BNJ). HASIL DAN PEMBAHASAN Aktivitas Antimikroba Ekstrak Akway pada Beberapa Tingkat Konsentrasi Hasil pengujian kapasitas antibakteri ekstrak kulit kayu akway pada konsentrasi 0-25% menunjukkan bahwa ekstrak etanol hanya dapat menghambat pertumbuhan bakteri % FHUHXV dan 6 DXUHXV ekstrak heksan dapat menghambat (FROL%FHUHXVdan 6DXUHXVsedangkan ekstrak etilasetat
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
dapat menghambat semua bakteri uji. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak berpengaruh nyata terhadap daya antibakteri ekstrak etilasetat sedangkan pada ekstrak etanol dan heksan peningkatan NRQVHQWUDVLWLGDNPHQXQMXNNDQSHQJDUXK\DQJQ\DWDSDGDĮ = 0,05 (Tabel 1.). Kemampuan ekstrak etilasetat akway dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji disebabkan oleh senyawa-senyawa antibakteri yang terdapat dalam ekstrak tersebut. Ekstrak etilasetat kulit kayu akway dilaporkan mengandung senyawa DONDORLG ÀDYRQRLG GDQ WHUSHQRLG &HSHGD -HQLV senyawa terpenoid yang terdapat dalam kulit kayu akway DGDODKĮSLQHQȕSLQHQGDQWHUSLQHRO&HSHGDGNN Senyawa-senyawa tersebut diduga merupakan senyawasenyawa yang berperan sebagai antibakteri di dalam ekstrak etilasetat karena senyawa-senyawa tersebut telah dilaporkan memiliki daya antibakteri dan antijamur yang kuat (Chang dkk., 2008; Mercier dkk., 2009).
Penghambatan ekstrak etilasetat terhadap pertumbuhan bakteri menunjukkan bahwa dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak 0-25% (menurunnya konsentrasi pelarut yang digunakan) menyebabkan meningkatnya diameter zona penghambatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa ekstrak etilasetat kulit kayu akway memiliki daya hambat terhadap pertumbuhan bakteri uji. Peningkatan kapasitas ekstrak etilasetat akway dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji dengan meningkatnya konsentrasi diduga disebabkan oleh peningkatan jumlah senyawa-senyawa antibakteri yang ada di dalam ekstrak akway. Makin tinggi konsentrasi ekstrak yang digunakan menyebabkan makin tinggi pula jumlah senyawa-senyawa yang ada dalam ekstrak. Peningkatkan konsentrasi senyawasenyawa antimikroba dalam ekstrak akan meningkatkan laju difusi senyawa-senyawa antimikroba tersebut dalam medium agar sehingga diameter zona penghambatan dalam medium agar semakin besar pula.
Tabel 1. Daya antibakteri ekstrak kulit kayu akway pada beberapa konsentrasi Diameter zona penghambatan (mm)
Konsentrasi Pelarut Etanol
ekstrak (FROL
%&HUHXV
0
10,15
8,18
8,55
8,13
5
0,00
12,18
0,00
11,03
10
0,00
13,13
0,00
16,08
15
0,00
15,35
0,00
19,08
20
0,00
16,83
0,00
19,10
25
0,00
19,28
0,00
19,30
34,23
19,85
0,00
60,45
0
8,65
7,60
9,10
0,00a
5
12,53ab
15,55b
11,75ab
13,50b
10
13,83b
16,05b
12,40ab
15,00bc
15
14,65b
16,83b
12,48ab
15,33bc
20
15,15b
17,55b
13,55ab
16,93bc
25
15,45b
18,15b
14,05b
18,58c
33,40
13,50
0,00
63,00
Penicilin G (10%) Etilasetat
Penicilin G (10%) Heksan
Bakteri uji
(%)
a
a
3DHUXJLQRVD
a
6DXUHXV
0
9,53
8,88
9,25
10,73
5
13,30
17,28
0,00
12,55
10
13,95
19,25
0,00
17,43
15
14,05
18,35
0,00
18,00
20
15,80
19,15
0,00
18,95
25
15,28
19,48
0,00
18,00
33,68
19,15
0,00
64,60
Penicilin G (10%)
1LODL\DQJGLLNXWLGHQJDQQRWDVL\DQJEHUEHGDPHQXQMXNNDQSHUODNXDQEHUEHGDQ\DWDSDGDĮ
173
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Tabel 1 juga menunjukkan bahwa ekstrak etanol hanya menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif saja, ekstrak heksan dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif ( FROL sedangkan ekstrak etilasetat dapat menghambat pertumbuhan semua bakteri Gram positif dan negatif. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ekstrak etilasetat merupakan ekstrak yang memiliki daya antimikroba dengan spektrum yang luas. Disamping itu ekstrak etilasetat memiliki kapasitas antibakteri terhadap P. aeruginosa ATCC27853 yang merupakan bakteri uji yang resisten terhadap penicilin G. Pada konsentrasi ekstrak etilasetat 10% menghasilkan diameter zona penghambatan terhadap pertumbuhan P. aeruginosa sebesar 12,40 mm sedangkan pada konsentrasi yang sama, penicillin G tidak bisa menghambat pertumbuhan bakteri tersebut. Hal ini menunjukkan ekstrak etilasetat memiliki potensi yang besar untuk digunakan sebagai sumber senyawa antibakteri alami dalam menghambat pertumbuhan bakteri yang tahan terhadap antibiotik. Konsentrasi Penghambatan Minimum (KPM) KPM adalah konsentrasi terendah yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri dalam suatu medium. Hasil menunjukkan bahwa KPM ekstrak kulit kayu akway terhadap bakteri uji adalah 0,25-0,55% (Tabel 2). Tabel 2. Hasil Perhitungan KPM Bakteri E. coli
Aktivitas Antimikroba Ekstrak pada Pemanasan 100oC Pengujian pengaruh pemanasan ekstrak etilasetat kulit kayu akway dilakukan pada suhu 100oC selama 0-25 menit. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui ketahanan senyawa-senyawa antibakteri yang terdapat dalam ekstrak akway terhadap proses pemanasan yang merupakan proses pengolahan pangan yang sering dilakukan. Hasil pengujian statistik menunjukkan bahwa pemanasan ekstrak pada suhu 100oC selama 25 menit tidak berpengaruh nyata terhadap kapasitas antibakteri ekstrak etilasetat kulit kayu akway terhadap bakteri uji (Tabel 3). Tabel 3. Pengaruh pemanasan pada suhu 100°C terhadap aktivitas antibakteri ekstrak Lama lemanasan pada suhu 100°C
Diameter zona penghambatan (mm)
Regresi Linear
R2
Mt
KPM (%)
(Menit)
(FROL
%FHUHXV
3DHUXJLQRVD
6DXUHXV
Y = 29,47X - 5,29
0,99
0,18
0,30
0
12,95
15,75
15,78
14,28
5
12,60
12,65
15,23
14,00
10
12,70
15,48
15,68
13,03
15
13,20
15,00
15,55
13,30
20
13,08
15,25
15,40
13,33
25
13,00
15,65
15,30
13,35
B. Cereus
Y = 50,60X - 17,20
0,99
0,34
0,35
P. aeruginosa
Y = 18,63X - 0,26
0,84
0,01
0,25
S. aureus
Y = 56,52X - 44,71
0,83
0,79
0,55
KPM ekstrak etilasetat tersebut relatif lebih kecil dibandingkan dengan beberapa penelitian tentang akstrak tumbuhan lainnya terhadap bakteri tersebut. KPM ekstrak etanol Tamarindus indica terhadap ( FROL 3 DHUXJLQRVD %VXEWLOLVdan 6DXUHXV sebesar 0,8-2,0% (Doughari, 2006), sedangkan ekstrak etanol Sida acuta berkisar 0,5-1,0% (Oboh dkk., 2007) dan ekstrak air bawang putih sebesar 0,6-1,8% (Durairaj, 2009). Hasil tersebut menunjukkan bahwa ekstrak etilasetat memiliki potensi untuk digunakan sebagai sumber senyawa antibakteri. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa nilai KPM paling rendah, yaitu sebesar 0,26% sudah dapat menghambat pertumbuhan 3 DHUXJLQRVD yang merupakan bakteri yang resisten terhadap penicilin G. Hal ini menunjukkan bahwa 3DHUXJLQRVDlebih rentan terhadap ekstrak etilasetat akway dibandingkan dengan bakteri uji lainnya. Sedangkan bakteri
174
yang paling tahan terhadap ekstrak etilasetat adalah6DXUHXV Hal ini dapat dilihat dari nilai KPM yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan bakteri tersebut adalah sebesar 0,54% atau kira-kira dua kali lebih tinggi dari konsentrasi yang dibutuhkan untuk menghambat 3DHUXJLQRVD Perbedaan resistensi bakteri tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan sensitivitas bakteri-bakteri tersebut terhadap senyawasenyawa antibakteri yang ada di dalam ekstrak etilasetat.
Perlakuan pemanasan ekstrak etilasetat akway pada suhu 100oC selama 0-25 menit cenderung tidak merusak senyawasenyawa antibakteri yang terdapat dalam ekstrak tersebut. Hal ini dapat dilihat dari diameter zona penghambatan ekstrak etilasetat terhadap bakteri (FROL%FHUHXV3DHUXJLQRVD dan 6 DXUHXV masing-masing sebesar 12,60-13,20, 12,65-15,75, 15,23-15,68 dan 13,03-14,00 mm yang tidak menunjukkan perubahan daya antibakteri yang nyata. Hasi l yang sama pula ditemukan pada ekstrak&RULDQGUXP VDWLYXP+LELVFXVVDEGDULIID dan bunga kecombrang dimana pemanasaan ekstrak pada suhu 80-121°C selama 30 menit tidak berpengaruh nyata terhadap daya antibakterinya (Cao. dkk., 2012; Higginbotham dkk., 2014; Naufalin dkk., 2006) sedangkan pada ekstrak daun papaya ditemukan hal yang
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
berbeda, yaitu pemanasan berpengaruh nyata terhadap aktivitas antibakteri ekstrak. Ketahanan senyawa-senyawa antibakteri dalam ekstrak etilasetat akway menunjukkan bahwa ekstrak tersebut sangat berpotensi digunakan sebagai sumber senyawa antibakteri untuk pengawetan pangan yang diolah dengan proses pemanasan pada suhu 100oC. Aktivitas Antimikroba Ekstrak pada Beberapa Tingkat Keasaman (pH) Pengujian pengaruh pH ekstrak etilasetat terhadap kapasitas antibakterinya dilakukan pada pH 4-8,5. Tingkat keasaman atau pH tersebut merupakan selang pH pertumbuhan untuk sebagian besar bakteri (Jay, 2000). Hasil menunjukkan bahwa pH rendah akan meningkatkan kapasitas antibakteri ekstrak etilasetat kulit kayu akway (Tabel 4). Tabel 4. Pengaruh tingkat keasaman (pH) terhadap aktivitas antibakteri ekstrak Tingkat
Diameter zona penghambatan (mm)
keasaman (pH)
(FROL
%FHUHXV
3DHUXJLQRVD
6DXUHXV
4
15,71
19,09
11,19
a
17,56a
5
15,36ab
17,91bc
10,58ab
16,00b
6
14,76
17,43
10,19
b
15,60b
7
14,09c
17,35c
10,35b
15,93b
8,5
14,45
18,08
10,75
15,60b
a
bc
c
a
bc
b
ab
*) Nilai yang diikuti dengan notasi yang berbeda menunjukkan perlakuan EHUEHGDQ\DWDSDGDĮ
Ekstrak etilasetat dengan pH 4 memiliki daya antibakteri yang paling kuat kemudian diikuti oleh pH 5, 6 dan 7. Hasil yang serupa juga dilaporkan oleh Romasi dkk. (2011) dan Campo dkk. (2000), bahwa daya antibakteri ekstrak daun papaya dan rosemary meningkat dengan menurunnya pH. Perlakuan tingkat keasaman (pH) yang rendah memiliki dampak sinergis terhadap daya antibakteri ekstrak etilasetat akway. Asam dapat menurunkan pH sitoplasma sel bakteri dan berdampak pada terganggunya kerja enzimenzim di dalam sel dan aktivitas transportasi melalui membran termasuk transport nutrien ke dalam sel (Ray, 2001) serta dapat menyebabkan kerusakan membran luar sel dan menyebabkan senyawa-senyawa antibakteri yang bersifat hidrofobik lebih mudah masuk dalam sel (Alakomi dkk., 2000). Perubahan-perubahan tersebut diduga akan menyebabkan sel-sel bakteri lebih rentan terhadap senyawasenyawa antibakteri yang masuk ke dalam sel sehingga pH yang rendah akan meningkatkan daya antibakteri ekstrak etilasetat akway. Pengaruh sinergis dari pH rendah terhadap daya antibakteri ekstrak etilasetat akway menunjukkan
bahwa ekstrak etilasetat kulit kayu akway sangat berpotensi digunakan sebagai sumber antibakteri produk pangan dengan pH rendah. Proses yang sama diduga juga terjadi pada perlakuan pH yang tinggi. Ekstrak etilasetat dengan pH 7 memiliki daya antibakteri yang paling rendah kemudian dengan peningkatan pH ekstrak menjadi pH 8,5 cenderung meningkatkan daya hambatnya. Peningkatan daya hambat ekstrak etilasetat pada pH 8,5 diduga disebabkan oleh pengaruh ion hidroksil yang terbentuk pada pH tinggi. Ion hidroksil dapat menginduksi peroksidasi lipid sehingga menyebabkan kerusakan fosfolipid dalam membran sel bakteri yang dapat menyebabkan kematian sel (Siqueira dan Lopes, 1999). Kerusakan membran sel bakteri tersebut akan memudahkan senyawasenyawa antibakteri dalam ekstrak untuk masuk ke dalam sel dan mempercepat kematian sel. Aktivitas Antimikroba Konsentrasi Garam
Ekstrak
pada
Beberapa
Pengujian pengaruh konsentrasi garam NaCl ekstrak etilasetat akway dilakukan pada konsentrasi 0-5%. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan garam terhadap daya antibakteri ekstrak kulit kayu akway. Hasil menunjukkan bahwa daya hambat ekstrak etilasetat kulit kayu akway terhadap ( FROL % FHUHXV 3 DHUXJLQRVD dan 6DXUHXV pada konsentrasi garam 0-5% masing-masing adalah 13,65-14,29, 18,10-18,50, 10,00-11,05 dan 14,98-15,66 mm (Tabel 5). Berdasarkan hasil pengujian statistik menunjukkan bahwa perlakuan penambahan garam tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas antibakteri ekstrak etilasetat akway. Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan garam sampai dengan 5% cenderung tidak meningkatkan kapasitas antibakteri ekstrak kulit kayu akway. Tabel 5. Pengaruh konsentrasi garam terhadap aktivitas antibakteri ekstrak Konsentrasi
Diameter Zona Penghambatan (mm)
Garam (%)
(FROL
%&HUHXV
3DHUXJLQRVD
6DXUHXV
0
13,78
18,45
10,00
15,60
1
14,01
18,50
10,50
15,25
2
13,71
18,11
10,23
15,33
3
13,65
18,10
10,28
15,66
4
14,23
18,25
10,68
15,11
5
13,89
18,50
11,05
14,98
Perlakuan konsentrasi garam yang tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas antibakteri tersebut diduga disebabkan
175
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
konsentrasi garam yang digunakan tersebut masih berada dalam selang toleransi kandungan garam untuk pertumbuhan bakteri tersebut. Garam telah diketahui dapat menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara menurunkan aktivitas air dan menarik air keluar dari dalam sel bakteri akibat perbedaan tekanan osmotik (Jay, 2000). Menurut Brewer (2000), aktivitas air (aw) yang menunjang pertumbuhan sebagian besar bakteri adalah 0,95-0,99 atau setara dengan konsentrasi garam 0-8% oleh sebab itu penggunaan garam dengan konsentrasi 0-5% tidak akan menghambat pertumbuhan ( FROL % FHUHXV 3 DHUXJLQRVD dan 6 DXUHXV karena masih dalam selang toleransi kandungan garam untuk pertumbuhannya. Toleransi kandungan garam untuk pertumbuhan 6 DXUHXV dilaporkan sebesar 15% (Tsai dkk., 2011), ( FROL 5% (Hrenovic dan Ivankovic, 2009), % FHUHXV 7,5% (Batt, 2000) dan 3DHUXJLQRVD 5% (Sivaprakasam dkk., 2008). KESIMPULAN Ekstrak etilasetat kulit kayu akway memiliki kapasitas antibakteri yang paling tinggi dibandingkan dengan ekstrak metanol dan heksan. Daya antibakteri ekstrak etilasetat kulit kayu akway meningkat dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak yang digunakan. Ekstrak etilasetat dengan pH 4 memiliki daya antibakteri tertinggi. Perlakuan pemanasan pada suhu 100oC sampai 25 menit dan penambahan garam sampai 5% tidak merubah kapasitas antibakteri ekstrak. Ekstrak etilasetat akway berpotensi digunakan sebagai sumber antibakteri alami pada produk pangan yang dioleh dengan pemanasan dan pH rendah. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah mendanai penelitian ini melalui penelitian Hibah Bersaing tahun anggaran 2013. DAFTAR PUSTAKA
Batt, C.A. (2000). %DFLOOXVFHUHXV 'DODP: Robinson, R.K., Batt, C.A. dan Patel, P. D. (ed.). (QF\FORSHGLDRI)RRG 0LFURELRORJ\ hal 119-124. Academic Press, London. %ORRP¿HOG6) 0HWKRGVIRUDVVHVVLQJDQWLPLFURELDO activity. 'DODP: Denyer, S.P., Hugo, W.B., (ed.). 0HFKDQLVP RI $FWLRQ RI &KHPLFDO %LRFLGHV 7KHLU 6WXG\DQG([SORLWDWLRQKDO%ODFNZHOO6FLHQWL¿F Publication, London. Brewer, M.S. (2000). Traditional preservatives-sodium chloride. 'DODP: Robinson, R.K., Batt, C.A. dan Patel, P.D. (ed.). (QF\FORSHGLD RI )RRG 0LFURELRORJ\ hal 1723-1728. Academic Press, London. Campo, J.D., Amiot, M.J. dan Nguyen-The, C. (2000). Antimicrobial effect of rosemary extracts. -RXUQDO RI )RRG3URWHFWLRQ 63: 1359-1368. Cao, X.Z., You. J.M., Lin. X.S. dan Zhang, Y.L. (2012). Antimicrobial activity of the extracts from &RULDQGUXP VDWLYXP ,QWHUQDWLRQDO -RXUQDO RI )RRG 1XWULWLRQ DQG 6DIHW\ 1(2) :54-59. Cepeda, G.N. (2005). $NWLYLWDV$QWLPLNURED (NVWUDN (WDQRO 6HUHK &\PERSRJRQ FLWUDWXV 6WDSK / WHUKDGDS 3HUWXPEXKDQGDQ3URGXNVL9HURWRNVLQROHK(VFKHULFKLD FROL YHURWRNVLJHQLN Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Cepeda, G.N. (2008). Daya hambat akway ('ULP\VSLSHULWD +RRN f.) terhadap pertumbuhan (VFKHULFKLD FROL $JURWHN 1(3): 41-50. Cepeda, G.N. (2009). Penghambatan ekstrak etanol sereh (&\PERSRJRQ FLWUDWXV '& Stapf) pada beberapa konsentrasi garam dan pH terhadap pertumbuhan (VFKHULFKLDFROLverotoksigenik. $JURWHN 1(4): 9-17. Cepeda, G.N., Santoso, B.B., Lisangan, M.M. dan Silamba, , 3HQDSLVDQ¿WRNLPLDDNZD\'ULP\VSLSHULWD Hook f.). $JURWHN 1(8): 28-33. Cepeda, G.N., Santoso, B.B., Lisangan, M.M. dan Silamba, I. (2011). Komposisi kimia minyak atsiri kulit kayu akway ('ULP\VSLSHULWD Hook f.). %LRQDWXUD 13(2): 118-124.
Alakomi, H.L., Skytta, E., Saarela, M. dan Mattila-Sandholm, T. (2000). Lactic acid permeabilizes gram-negative bacteria by disrupting the outer membran. $SSOLHG (QYLURQPHQWDO0LFURELRORJ\66: 2001-2005.
Chang, H.T., Cheng, Y.H., Wu, C.L., Chang, S.T., Chang, T.T. dan Su, Y.C. (2008). Antifungal activity of essential oil and its constituents from &DORFHGUXV PDFUROHSLV var. )RUPRVDQD ÀRULQ OHDI DJDLQVW SODQW SDWKRJHQLF IXQJL %LRUHVRXUFHV7HFKQRORJ\99: 6266-6270.
Ardiansyah (2002). .DMLDQ $NWLYLWDV $QWLPLNURED (NVWUDN 'DXQ%HOXQWDV3OXFHDLQGLFD/ Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Davidson P.M. dan Naidu A.S. (2000). Phyto-phenols. 'DODP: Naidu, A.S., (ed). 1DWXUDO)RRG$QWLPLFURELDO6\VWHP hal 265-294. CRC Press, New York.
176
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Doughari, J.H. (2006). Antimicrobial activity of 7DPDULQGXV LQGLFD Linn. TURSLFDO -RXUQDO RI 3KDUPDFHXWLFDO 5HVHDUFK5(2): 597-603. Durairaj, S., Srinivasan, S. dan Lakshmanaperumalsamy, P. (2009). In vitro antibacterial activity and stability of garlic extract at different pH and temperature. (OHFWURQLF -RXUQDORI%LRORJ\ 5(1): 5-10. Elzaawely, A.A., Xuan, T.D. dan Tawata, S. (2005). Antioxidant and antibacterial activities of 5XPH[ MDSRQLFXV Houtt. aerial parts. %LRORJLFDO DQG 3KDUPDFHXWLFDO %XOOHWLQ 28(12): 2225-2230. Higginbotham, K.L., Burris, K.P., Zivanovic, S., Davidson, P.M. dan Steward-Jr., C.N. (2014). Antimicrobial activity of +LELVFXVVDEGDULIID aqueous extracts against (VFKHULFKLD FROL O157:H7 and 6WDSK\ORFRFFXV DXUHXV in a microbiological medium and milk of various fat concentrations. -RXUQDORI)RRG3URWHFWLRQ 77(2): 262268. Hrenovic, J. dan Ivankovic, T. (2009). Survival of (VFKHULFKLD FROL and Acinetobacter junii at various concentrations of sodium chloride. (XU$VLD-RXUQDORI%LR6FLHQFHV3: 144-151. Jay, J.M. (2000). Modern Food Microbiology. 6th edn. Aspen Publishers Inc, Maryland. Mercier, B., Frost, J. dan Frost, M. (2009). The essential RLO RI WXUSHQWLQH DQG LWV PDMRU YRODWLOH IUDFWLRQ Į DQG ȕSLQHQH ,QWHUQDWLRQDO -RXUQDO RI 2FFXSDWLRQDO 0HGLFLQHDQG(QYLURQPHQWDO+HDOWK 22(4): 331-342. Naufalin, R., Jenie, B.S.L., Kusnandar, F., Sudarwanto, M. dan Rukmini, H.S. (2006). Pengaruh pH, NaCl dan pemanasan terhadap stabilitas antibakteri bunga kecombrang dan aplikasinya pada daging sapi giling. -XUQDO7HNQRORJLGDQ,QGXVWUL3DQJDQ 17(3): 197-203. Oboh, I.E., Akerele, J.O. dan Obasuyi, O. (2007). Antimicrobial activity of the ethanol extract of the aerial parts of 6LGDDFXWDBurn f. (Malvaceae). 7URSLFDO -RXUQDORI3KDUPDFHXWLFDO5HVHDUFK 6(4): 809-813. Paliling, B.T. (2004). 3HPDQIDDWDQ7XPEXKDQVHEDJDL2EDW 7UDGLVLRQDOROHK0DV\DUDNDW6XNX6RXJEGL.DPSXQJ 6XUXUH\ 'LVWULN 6XUXUH\ .DEXSDWHQ 0DQRNZDUL
Fakultas Kehutanan Manokwari.
Universitas
Negeri
Papua,
Pladio L.P. dan Villasenor (2004). Anti-spasmodic Constituents from 'ULP\V SLSHULWD Hook F. Leaves. 3KLOLSSLQH-RXUQDORI6FLHQFH 133(1): 17-21. Rahayu, M., Sunarti, S., Sulistiarini, D. dan Prawirosdmojo, S. (2006). Pemanfaatan tumbuhan obat secara tradisional oleh masyarakat lokal di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara. %LRGLYHUVLWDV 7(3): 245-250. Ray, B. (2001). )XQGDPHQWDO )RRG 0LFURELRORJ\ 2nd edn, CRC Press, New York. Romasi, E.F., Karina, J. dan Parhusip, A.J.N. (2011). Antibacterial activity of papaya leaf extracts against pathogenic bacteria. 0DNDUD6HUL7HNQRORJL15(2): 173177. Saadabi, M.A.A. (2007). Evaluation of /DZVRQLD LQHUPLV Linn. (Sudanese henna) leaf extracts as an antimicrobial agent. 5HVRXUFH-RXUQDORI%LRORJLFDO6FLHQFH2: 419423. Siqueira, Jr., J.F. dan Lopes, H.P. (1999). Mechanisms of antimicrobial activity of calcium hydroxide: a critical review. ,QWHUQDWLRQDO(QGRGRQWLF-RXUQDO32: 361-369. Sivaprakasam, S., Mahadevan, S., Sekar, S. dan Rajakumar, S. (2008). Biological treatment of tannery wastewater by using salt-tolerant bacterial stains. 0LFURELDO FHOO IDFWRULHV 7:15. 6R¿GL\D 02 -LPRK )2 $OLHUR $$ $IROD\DQ $- Odukoya, O.A. dan Familoni, O.B. (2008). Antioxidant and antimicrobial properties of /HFDQLRGLVFXV FXSDQLRLGHV 5HVRXUFH -RXUQDO RI 0LFURELRORJ\ 3(2): 91-98. Stevens, P.F. (2015). Angiosperm phylogeny website: Canellales. http://www.mobot.org/ MOBOT/Research/ Apweb/orders/canellalesweb.htm. [1 Mei 2015]. Tsai, M., Ohniwa, R.L., Kato, Y., Takeshita, S.L., Ohta, T., Saito, S., Hayashi, H. dan Morikawa, K. (2011). 6WDSK\ORFRFFXV requires cardiolipin for survival under conditions of high salinity. %0&0LFURELRORJ\11(13): 1-12.
177
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
EKSTRAKSI MASERASI OLEORESIN DAUN JERUK PURUT (Citrus hystrix DC): OPTIMASI RENDEMEN DAN PENGUJIAN KARAKTERISTIK MUTU 0DFHUDWLRQ([WUDFWLRQRI.DI¿U/LPH/HDYHVCitrus hystrix DC) Oleoresin: Yield Optimization and Quality Characteristics Examination Kawiji, Lia Umi Khasanah, Rohula Utami, Novita Try Aryani Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami 36 A, Kentingan, Surakarta 57126 Email:
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi rendemen optimum dalam proses produksi oleoresin daun jeruk purut pada variasi suhu dan waktu kontak selama proses ekstraksi maserasi dan mengetahui karakteristik mutu oleoresin daun jeruk purut yang meliputi kadar sitronelal, kadar minyak atsiri dan kadar sisa pelarut pada rendemen yang optimum. Penelitian ini menggunakan variasi suhu ekstraksi (70, 75 dan 80°C) dan waktu ekstraksi (4, 5 dan 6 jam). Pada pengolahan data dengan menggunakan 5HVSRQVH6XUIDFH0HWKRGRORJ\(RSM) diketahui persamaan optimasi rendemen oleoresin daun jeruk purut yaitu Y = 7,9333 + 1,2333X1 + 0,5333X2 - 1,0000X1² - 0,7000X1² + 0,1250X1X2. Rendemen optimum oleoresin daun jeruk purut diperoleh sebesar 8,447%, didapatkan pada kondisi suhu ekstraksi 78,221°C dan waktu ekstraksi 5,438 jam. Karakteristik mutu oleoresin daun jeruk purut pada rendemen optimum yaitu kadar sitronelal 25,66%, kadar minyak atsiri 9,638% dan kadar sisa pelarut 5,8%. Kata kunci: Ekstraksi, jeruk purut, mutu, oleoresin, optimasi ABSTRACT This research ZDVDLPHGWR¿QGRXWWKHRSWLPXP\LHOGFRQGLWLRQRQNDI¿UOLPHOHDYHVROHRUHVLQSURGXFWLRQDWYDULRXV WHPSHUDWXUH DQG FRQWDFW WLPH GXULQJ PDFHUDWLRQ H[WUDFWLRQ DQG WR ¿QG RXW WKH FKDUDFWHULVWLFV RI NDI¿U OLPH OHDYHV ROHRUHVLQVXFKDVFLWURQHOODFRQWHQWNDI¿UOLPHOHDYHVRLOFRQWHQWDQGVROYHQWUHVLGXHOHYHOVDWRSWLPXP\LHOG7KLV research used the variations of extraction temperature (70, 75 and 80°C) and extraction time (4, 5 and 6 hours). Based RQ5HVSRQVH6XUIDFH0HWKRGRORJ\560 WKHHTXDWLRQRINDI¿UOLPHOHDYHVROHRUHVLQVDPSOHRSWLPL]DWLRQDVIROORZ Y = 7,9333 + 1,2333X1 + 0,5333X2 - 1,0000X1² - 0,7000X1² + 0,1250X1X27KHRSWLPXP\LHOGRINDI¿UOLPHOHDYHV oleoresin (8,447%) was obtained at 78,221°C extraction temperature and 5,438 hour extraction time. The characteristics RINDI¿UOLPHOHDYHVROHRUHVLQTXDOLW\DWWKHRSWLPXP\LHOGVXFKDVFLWURQHOODOHYHONDI¿UOLPHOHDYHV oil content and 5,8% solvent residue level. Keywords: H[WUDFWLRQNDI¿UOLPHROHRUHVLQRSWLPL]DWLRQTXDOLW\
PENDAHULUAN Jeruk purut (&LWUXV K\VWUL[ '&) merupakan salah satu WDQDPDQ KRUWLNXOWXUD \DQJ XPXP GLJXQDNDQ VHEDJDL ÀDYRU alami pada berbagai produk makanan dan minuman di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya. Flavor dari daun jeruk purut berasal dari minyak atsiri yang dikandungnya. Saat ini di Indonesia sudah banyak industri yang mengekstrak komponen aktif rempah-rempah dan
178
diperdagangkan dalam bentuk oleoresin dan minyak atsiri. Oleoresin dan minyak atsiri rempah-rempah banyak digunakan GDODP LQGXVWUL PDNDQDQ PLQXPDQ IDUPDVL ÀDYRU SDUIXP pewarna dan lain-lain. Misalnya dalam industri pangan banyak digunakan untuk pemberi cita rasa dalam produkproduk olahan daging, ikan dan hasil laut lainnya, roti, kue, puding, sirup, saus dan lain-lain (Koswara, 2010). Ekstraksi daun jeruk purut belum banyak dilakukan, namun dengan EHUNHPEDQJQ\D LQGXVWUL PDNDQDQ PLQXPDQ GDQ ÀDYRU
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
oleoresin dan minyak daun jeruk purut merupakan salah satu alternatif yang potensial. Selain itu, produksi oleoresin dan minyak atsiri ini juga dapat mengatasi kelemahan dari produk segarnya. Oleoresin adalah gabungan dari resin dan minyak atsiri. Oleoresin dapat diperoleh dari ekstraksi bagian tanaman tertentu dengan menggunakan pelarut organik misalnya oleoresin dari rempah-rempah. Oleoresin berbentuk padat atau semi padat dan biasanya konsistensinya lengket (Whitteley dkk., 1952 dalam Desmawarni, 2007). Pengambilan oleoresin daun jeruk purut menggunakan cara ekstraksi maserasi. Menurut Ramadhan dan Phasa (2010) faktor-faktor yang berpengaruh dalam operasi ekstraksi yaitu penyiapan bahan sebelum ekstraksi, ukuran partikel, pelarut, metode yang digunakan dalam ekstraksi, waktu, suhu serta proses pemisahan pelarut dari hasil ekstraksi. Hal-hal tersebut melatar belakangi penelitian untuk mencari perlakuan ekstraksi yang berupa variasi suhu dan lama ekstraksi untuk menghasilkan oleoresin dengan rendemen yang optimal serta karakteristik mutu oleoresin daun jeruk purut tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi rendemen optimum dalam proses produksi oleoresin daun jeruk purut pada berbagai variasi suhu (70°C, 75°C dan 80°C) dan waktu kontak (4, 5 dan 6 jam) selama proses ekstraksi maserasi serta mengetahui karakteristik mutu oleoresin daun jeruk purut yang meliputi kadar sitronelal, kadar minyak atsiri dan kadar sisa pelarut pada rendemen yang optimum. METODE PENELITIAN
j
p 7
Keterangan: 1. Hot Plate
5
2. Labu leher tiga
4 6 3 2
3. Karet penutup
1
6. Air masuk
4. Termometer 5. Kondensor UHIOX[ 7. Air keluar
Gambar 1. Rangkaian alat ekstraksi maserasi
Optimasi Rendemen Oleoresin Daun Jeruk Purut Pada penelitian ini ditetapkan dua variabel (X1 - Suhu dan X2 - Waktu) yang masing-masing terdiri dari tiga level. Penetapan model untuk respon yang diukur adalah rendemen oleoresin yang diperoleh dari berbagai variasi perlakuan. Desain percobaan menggunakan pendekatan faktorial dengan model kuadratik. Metode optimasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5HVSRQVH 6XUIDFH 0HWKRGRORJ\ (Matlab 7.0). Rancangan percobaan serta batasan level yang digunakan untuk setiap variabel ditunjukkan dalam Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Range dan level percobaan dari variabel Level variabel 0 75 5
X, Variabel X1, Suhu (oC) X2, Waktu (jam)
-1 70 4
+1 80 6
Bahan Daun jeruk purut (&LWUXV K\VWUL[ DC) diperoleh dari pedagang di Pasar Legi, Surakarta. Pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi daun jeruk purut adalah pelarut etanol 96% teknis. Ekstraksi Oleoresin Daun Jeruk Purut Daun jeruk purut (&LWUXV K\VWUL[ '&) segar dirajang sekitar 1,5 cm. Ekstraksi daun jeruk purut dilakukan dengan cara maserasi menggunakan labu leher tiga yang dilengkapi GHQJDQNRQGHQVRUreflux*DPEDU 3HODUXW\DQJGLJXQDNDQ dalam proses ekstraksi daun jeruk purut adalah etanol 96% dengan perbandingan bahan dengan pelarut 1 : 5. Setelah itu dilakukan proses penyaringan untuk memisahkan antara DPSDV GDQ ¿OWUDW )LOWUDW \DQJ GLSHUROHK GLSLVDKNDQ GHQJDQ rotary vacuum evaporator untuk didapatkan oleoresin daun jeruk purut.
Tabel 2. Rancangan percobaan pendekatan faktorial Run
Variabel
Kode variabel
Suhu ( C)
Waktu (jam)
X1
X2
1
70
4
-1
-1
2
70
5
-1
0
3
70
6
-1
+1
4
75
4
0
-1
5
75
5
0
0
6
75
6
0
+1
7
80
4
+1
-1
8
80
5
+1
0
9
80
6
+1
+1
o
Pada tahapan ini akan terbentuk suatu persamaan matematika dengan polynomial orde kedua yang fungsinya kuadratik sebagai berikut:
179
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
< ȕ0 ȕ1X1 + ȕ2X2 ȕ11X12 ȕ22X22+ȕ12X1X2 ………..(1)
'LPDQD< DGDODK UHQGHPHQ ROHRUHVLQ GDXQ MHUXN SXUXW ȕ0 DGDODK LQWHUVHSNRQVWDQWD ȕ1 ȕ2 PHUXSDNDQ NRH¿VLHQ OLQLHU ȕ11, ȕ22 DGDODKNRH¿VLHQNXDGUDWLNȕ12 DGDODKNRH¿VLDQLQWHUDNVL perlakuan. X1 adalah suhu ekstraksi (oC), dan X2 adalah waktu ekstraksi (menit). Karakterisasi Oleoresin Daun Jeruk Purut Oleoresin pada rendemen optimum diuji karakteristik mutunya meliputi kadar sitronelal, kadar minyak atsiri dengan metode destilasi, dan kadar sisa pelarut dengan metode GC. Kadar sitronelal diuji dengan metode GC-MS (Loh dkk, GHQJDQPRGL¿NDVL2OHRUHVLQGLODUXWNDQGDODPSHODUXW DVHWRQ6DWXȝ/VDPSHOEHUXSDODSLVDQEHQLQJGLVXQWLNNDQNH dalam GC-MS Shimadzu GC-2010 yang dilengkapi dengan GCMS-QP2010S. Kondisi operasional GC-MS berupa : NRORP NDSLOHU 5[L06 P î PP NHWHEDODQ ¿OP 0,25 um), Helium digunakan sebagai gas pembawa, sampel disuntikan dengan split mode,suhu oven 60°C, ditahan 3 menit, kecepatan 20oC/menit suhu 100°C, kecepatan 7oC/menit suhu 240oC, ditahan 5 menit dan total program time adalah 30 PHQLW0DVLQJPDVLQJSXQFDNGDULKDVLONURPDWRJUD¿GLEXDW spektrum massanya dan dibandingkan dengan spektrum bank data WILEY7.LIB. Kadar minyak atsiri diuji menurut Sundari (2002). Oleoresin sebanyak 2-3 gram dimasukkan ke dalam labu didih 1 liter. Aquadest sebanyak 250 ml ditambahkan ke dalam labu dan dihubungkan dengan alat penyuling minyak atsiri. Alat pemisah minyak atsiri diisi air sampai tengahnya ditambah beberapa ml xylol. Labu dididihkan selama 6 jam. Volume minyak atsiri yang tertampung di dalam alat penampung di catat. Kadar minyak atsiri sampel dihitung dengan cara menghitung prosentase perbandingan antara volume minyak atsiri tertampung yang telah dikurangi volume xylol dengan berat oleoresin. Kadar sisa pelarut (kadar etanol) ditentukan mengaacu pada Widayanti (2004). Oleoresin dilarutkan dengan aquadest dan diambil lapisan atas yang bening. Sampel sebanyak 1 ȝ/ GLVXQWLNNDQ NH GDODP DODW *& GHQJDQ NRQGLVL NRORP stabilwax-DA, suhu kolom 100oC, kontrol mode split, gas pembawa helium dan hidrogen. Kadar etanol sampel dihitung dengan membandingkan dengan kadar etanol standar. HASIL DAN PEMBAHASAN Optimasi Rendemen Oleoresin Daun Jeruk Purut Proses ekstraksi maserasi menghasilkan oleoresin daun jeruk purut. Kemudian dilakukan perhitungan rendemen oleoresin. Data rendemen oleoresin yang diperoleh dari
180
berbagai variasi perlakuan selanjutnya akan dianalisis dengan Response Surface Methodology (RSM) menggunakan software Matlab versi 7.0 untuk menentukan kondisi optimalnya. Pada Tabel 3 ditampilkan hasil analisis rendemen oleoresin daun jeruk purut. Tabel 3. Hasil analisis rendemen oleoresin daun jeruk purut Kombinasi perlakuan
Suhu (°C) X1
Waktu (jam) X2
Rendemen (%) Y
1 2 3 4 5 6 7 8 9
70 (-1) 70 (-1) 70 (-1) 75 (0) 75 (0) 75 (0) 80 (1) 80 (1) 80 (1)
4 (-1) 5 (0) 6 (1) 4 (-1) 5 (0) 6 (1) 4 (-1) 5 (0) 6 (1)
5,1 5,5 5,1 5,7 8,3 8,4 7,3 8,0 7,8
Tabel 4. Analisis varian regresi untuk rendemen oleoresin daun jeruk purut Source Regression linear: X1 X2 Square: X1*X1 X2*X2 Interaction: X1*X2 Residual error Total R-Sq = 85,76 %
DF 5 1 1
Seq SS 13,878 9,127 1,707
Adj MS 2,775 9,126 1,707
P 0,001 0,041 0,233
1 1
2,000 0,980
2,000 0,980
0,205 0,341
1 3 8
0,062 2,304 16,180
0,062 0,768
0,794
Hasil analisis varian untuk rendemen oleoresin daun jeruk purut menunjukkan nilai R2 sebesar 85,76 %, hal ini mengindikasikan bahwa variabel tetap (X1 dan X2) memberikan pengaruh sebesar 85,76 % terhadap model. Pvalue UHJUHVLVHEHVDUOHELKNHFLOGDULSDGDGHUDMDWVLJQL¿NDQVL Į +DO LQL EHUDUWL YDULDEHOYDULDEHO SHQHOLWLDQ memberikan pengaruh yang berarti dalam model, baik model linear maupun model kuadratik. Model matematika yang diperoleh untuk memprediksi nilai rendemen oleoresin daun jeruk purut adalah sebagai berikut: Y = 7,9333 + 1,2333XΌ + 0,5333X - 1,0000XΌ² - 0,7000X² + 0,1250XΌX
…...(2)
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Persamaan tersebut menghasilkan akar-akar dalam bentuk kode (8,4474; 0,6441; 0,4384). Pengubahan akarakar menjadi tak kode diperoleh (78,221°C; 5,438 jam) yang berarti interaksi antara suhu destilasi 78,221°C dan waktu destilasi 5,438 jam akan menghasilkan rendemen optimum oleoresin daun jeruk purut sebesar 8,44 %. Gambar 2 merupakan gambar plot surface dan plot contour respon permukaan rendemen oleoresin daun jeruk purut. Pada Gambar 2 terlihat bahwa suhu dan waktu ekstraksi berpengaruh terhadap rendemen oleoresin yang dihasilkan. Semakin tinggi suhu maka rendemen yang dihasilkan juga akan semakin tinggi hingga mencapai titik 0,6441 atau pada suhu 78,221°C. Ekstraksi daun jeruk purut pada suhu ruang selama 24 jam hanya menghasilkan rendemen sebesar 1,8%. Treyball (1981) dalam Ramadhan dan Phasa (2010) menyatakan bahwa kenaikan suhu akan menyebabkan gerakan molekul etanol sebagai pelarut semakin cepat dan acak. Selain itu, kenaikan suhu menyebabkan pori-pori padatan mengembang sehingga memudahkan etanol sebagai pelarut untuk masuk ke dalam pori-pori padatan bahan dan melarutkan oleoresin. Namun jika suhu dinaikkan lagi maka akan terjadi penurunan rendemen. Menurut Moestofa (1981), ekstraksi lebih cepat dilakukan pada suhu tinggi, tetapi hal ini akan menyebabkan beberapa komponen yang terkandung dalam rempah-rempah mengalami kerusakan. Selain itu, pada suhu tinggi akan menyebabkan sebagian etanol menguap sehingga jumlah pelarut berkurang dan tidak mencukupi untuk mengekstrak bahan dan rendemen menjadi berkurang. Semakin lama waktu ekstraksi maka rendemen yang dihasilkan juga akan semakin tinggi hingga mencapai titik 0,4384 atau pada waktu 5,438 jam karena waktu kontak antara bahan dengan pelarut semakin besar dan lewat dari 5,438 jam rendemen oleoresin menurun kemungkinan hal ini terjadi karena larutan sudah mencapai titik jenuh (Suryandari, 1981 dalam Lestari, 2006). Pada penelitian
(a)
ini ekstraksi maserasi yang dilakukan dilengkapi dengan SHQGLQJLQ EDOLN reflux condenser )XQJVL SHQGLQJLQ EDOLN adalah untuk mengembunkan kembali pelarut yang menguap, sehingga resiko pelarut hilang ke lingkungan semakin kecil dan dapat kembali melarutkan bahan yang akan diekstrak, selain itu untuk menyempurnakan pendinginan. Tetapi diduga kemungkinan pelarut yang hilang masih ada meskipun sedikit, sehingga rendemen oleoresin pada penelitian ini menurun. Karakteristik Mutu Oleoresin Daun Jeruk Purut pada Kondisi Rendemen Optimum Kondisi optimum ekstraksi maserasi oleoresin daun jeruk purut yang diperoleh dari perhitungan Response Surface Methodology (RSM) yaitu pada suhu 78,221°C dan waktu 5,438 jam. Perlakuan ini menjadi dasar pembuatan oleoresin yang nantinya akan diuji karakteristik mutunya. Dilakukan YHUL¿NDVLWHUKDGDSKDVLORSWLPXP\DQJGLSHUROHK(NVWUDNVL oleoresin daun jeruk purut dilakukan pada suhu 78°C selama 5 jam 27 menit. Oleoresin daun jeruk purut yang dihasilkan GDUL SURVHV YHUL¿NDVL PHPLOLNL NDUDNWHULVWLN VHSHUWL \DQJ disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Karakteristik oleoresin daun jeruk purut Parameter analisis
Karakteristik oleoresin Hasil penelitian
Pustaka
Rendemen
8,8%
2,56 ) - 10,36% b)
Kadar sitronelal
25,66%
25,87 - 36,94% c)
Kadar minyak atsiri
9,638%
> 15% d)
Kadar sisa pelarut
5,8%
30 ppm atau 0,003% e)
a
Sumber : a) Hiran dkk (2009), b) Chueahongthong dkk (2011), c) Haiyee dan Winitkitcharoen (2012), d ) Sutianik (1999), e) Food and Drug Administration (2012)
Rendemen oleoresin daun jeruk purut. Rendemen ROHRUHVLQGDXQMHUXNSXUXW\DQJGLSHUROHKGDULKDVLOYHUL¿NDVL
(b)
*DPEDU*UD¿N'RSWLPDVLUHQGHPHQROHRUHVLQGDXQMHUXNSXUXWD SORWsurfaceE SORWcontour
181
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
VHEHVDU+DVLOYHUL¿NDVLSURVHVHNVWUDNVLSDGDNRQGLVL optimum ternyata menunjukkan rendemen yang lebih tinggi daripada nilai hasil prediksi dengan RSM. Nilai ini juga lebih tinggi daripada rendemen oleoresin bubuk daun jeruk purut sebagaimana dilaporkan oleh Hiran dkk. (2009) (2,56%) dan Ampasavate dkk. (2010) (7,42%). Namun demikian pada penelitian Chueahongthong dkk. (2011) rendemen oleoresin bubuk daun jeruk purut sebesar 10,36%. Variasi rendemen dari ekstrak mungkin karena bahan tanaman berbeda memiliki komposisi kimia yang berbeda, atau sifat tanah dan kondisi agroklimatik. Faktor-faktor lain termasuk efektivitas ekstraksi pelarut untuk melarutkan senyawa endogen (Chueahongthong dkk., (2011). Menurut Lestari (2006), ada beberapa faktor yang mempengaruhi rendemen dan mutu oleoresin yaitu meliputi varietas, kondisi dan ukuran serbuk rempah, pemilihan pelarut, kondisi ekstraksi dan proses penguapan pelarut.
retensi 9,304 menit dan indeks kemiripan (Similarity Index) VHEHVDU WHULGHQWL¿NDVL VHEDJDL VHQ\DZD VLWURQHODO Kadar sitronelal sebesar 25,66% diperoleh sebagai komponen utama. Selain sitronelal, komponen penyusun oleoresin daun jeruk purut terlihat pada Tabel 6 yaitu Citronellyl acetate (8,89%), citronellol (8,75%), trans-caryophyllene (9,13%), germacrene B (13,41%) dan linalool (5,56%). Ekstraksi yang dilakukan oleh Haiyee (2012) untuk memproduksi oleoresin daun jeruk purut menggunakan Pressurized Liquid Extraction (PLE) menghasilkan sitronelal (25,87%), linalool (3,22%) dan citronellol (4,02%). Sedangkan ekstraksi menggunakan soxhlet menghasilkan sitronelal (36,94%), linalool (4,85%) dan citronellol (3,34%). Variasi persentase kandungan oleoresin daun jeruk purut disebabkan oleh beberapa faktor seperti kondisi penyimpanan, metode ekstraksi (Lota dkk., 2000 dalam Chanthaphon dkk, 2008), keadaan tanah dan iklim tempat tumbuh (Jamal, 2009).
Kadar sitronelal oleoresin daun jeruk purut. Sitronelal merupakan komponen utama yang terdapat dalam minyak daun jeruk purut. Koswara (2011) menyatakan perbedaan komposisi kimia dalam minyak akan menyebabkan perbedaan dalam kehalusan dan kelembutan aromanya. Pada dasarnya, makin tinggi kandungan geraniol, sitronelal, hidroksi sitronelal, linalol dan linalil asetat, aromanya akan makin halus dan lembut. Kandungan sitronelal yang tinggi menjadi salah satu kelebihan minyak daun jeruk purut di bidang industri, khususnya industri parfum dan kosmetik. Minyak dengan kandungan sitronelal tinggi dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk isolasi sitronelal yang digunakan sebagai zat pewangi sabun, parfum, obat gosok, pasta gigi, obat pencuci mulut dan insektisida (Ketaren, 1985 dalam Hidayat, 1999). 6HODLQLWXMXJDGLJXQDNDQVHEDJDLEDKDQREDWflavoringSDGD minuman, kue dan produk-produk coklat (Hidayat, 1999). Pengujian kadar sitronelal dalam oleoresin menggunakan GC-MS. Pada Gambar 3 memperlihatkan hasil kromatogram GC-MS oleoresin daun jeruk purut.
Tabel 6. Senyawa pada oleoresin daun jeruk purut
Sitronelal
Gambar 3. Kromatogram GC-MS oleoresin daun jeruk purut
$QDOLVLV NURPDWRJUD¿ JDV GDUL ROHRUHVLQ GDXQ MHUXN purut pada penelitian ini memberikan puncak dengan waktu
182
1 2 3 4
Waktu retensi 9,034 10,465 10,567 12,709
5
13,192
77333
3,21
6 7 8
13,830 14,266 14,850
210502 219832 62973
8,75 9,13 2,62
9 10 11
15,074 15,596 15,690
40442 322840 74031
1,68 13,41 3,08
Citronella (S)-Citronellene Allylacetone Citronellyl acetate Methyl cyclopropyl ketone Citronellol Trans-caryophyllene Gamma.Campholenaldehyde Cyclopropyl carbinol Germacrene B Docosane
12
15,980
81835
3,40
Germacrene D
13 14 15
16,548 16,693 17,016
133821 58588 47409
5,56 2,43 1,97
16
17,395
50493
2,10
17
19,373
54593
2,27
Linalool Geranyl nitrile Propynyl alcohol Dimyristyl thiodipropionate Docosane
Puncak
Area
% Area
Nama senyawa
617580 78397 62461 213901
25,66 3,26 2,59 8,89
Kadar minyak atsiri oleoresin daun jeruk purut. Kandungan minyak atsiri merupakan salah satu kualitas yang sering diujikan pada oleoresin rempah-rempah, karena sebagian besar rempah-rempah digunakan terutama karena kandungan minyak volatil, yang sangat menentukan ÀDYRUQ\D 6HPDNLQ EDQ\DN NDQGXQJDQ PLQ\DN DWVLUL GDODP oleoresin maka kualitas oleoresin semakin baik. Standar mutu kadar minyak atsiri yang diterapkan dalam perdagangan internasional adalah harus lebih besar dari 15% (Sutianik,
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
1999). Jika dibandingkan dengan minyak atsiri hasil destilasi, minyak atsiri dalam oleoresin mempunyai aroma dan bau yang lebih lemah tetapi tahan lama dan menyebar (Goldman, 1949 dalam Lestari, 2006). Kadar minyak atsiri oleoresin daun jeruk purut pada penelitian ini sebesar 9,638% ditunjukkan pada Tabel 5. Hasil ini kurang dari 15% sehingga belum memenuhi standar perdagangan internasional. Hal ini mungkin dikarenakan pada proses evaporasi menggunakan suhu 80°C memungkinkan minyak atsiri ikut menguap bersama pelarut dan masuk ke dalam labu destilat. Seperti yang diutarakan oleh Lestari (2006), penguapan dengan suhu yang tinggi dan waktu yang lama dapat merusak komponen minyak atsiri yang terdapat di dalam oleoresin. Dan selain itu juga, banyak komponen oleoresin yang mudah menguap akan terbawa oleh pelarut yang teruapkan. Yusmeiarti dkk. (2007) menyatakan kadar minyak atsiri dalam oleoresin cassiavera (Cinnamomum burmanii, BL) hasil ekstraksi dengan pelarut etanol sebesar 7,289,72%. Hasil ini juga belum memenuhi standar perdagangan internasional. Hasil penelitian Sullaswatty, dkk (2001), kadar minyak atsiri pada oleoresin kulit kayu manis yang dihasilkan berkisar antara 1,09% sampai 2,79%. Semakin lama proses ekstraksi serta semakin tinggi suhu yang digunakan maka semakin banyak kemungkinan minyak atsiri yang menguap. Sisa pelarut oleoresin daun jeruk purut (kadar etanol). Pemisahan pelarut dari oleoresin merupakan tahapan yang sangat penting. Kesulitan yang sering dihadapi dalam pemisahan pelarut dari oleoresin adalah dalam upaya menekan hilangnya minyak atsiri. Cara pengambilan pelarut akan menentukan kandungan sisa pelarut yang masih tertinggal di dalam oleoresin, karena sisa pelarut ini akan mempengaruhi mutu oleoresin (Lestari, 2006). Selain itu, etanol juga berdampak buruk bagi kesehatan manusia yaitu dapat mengganggu fungsi hati, otak, jantung dan ginjal; kerusakan lambung dan jaringan tubuh; kelumpuhan syaraf dan gagal Etanol
fungsi organ serta cacat dan gangguan pertumbuhan bagi janin bahkan kematian. Pemekatan dilakukan sampai tidak ada pelarut yang menguap, masing-masing perlakuan mempunyai waktu penguapan yang berbeda, tergantung jumlah pelarut yang digunakan (Muhiedin, 2008). Kualitas oleoresin yang masih mengandung pelarut masih diperbolehkan dengan batas-batas kandungan pelarut yang diajukan menurut Food and Drug Administration (FDA). Dari hasil pengujian kadar sisa pelarut yang terlihat pada Tabel 5 dan Gambar 4 menunjukkan bahwa kadar sisa pelarut etanol pada oleoresin daun jeruk purut sebesar 5,8% atau 58.000 ppm. Hasil ini tidak memenuhi standar batasan sisa pelarut dalam bahan makanan menurut Food and Drug Administration (FDA) yaitu sebesar 30 ppm. Hal ini disebabkan proses evaporasi untuk mendapatkan oleoresin kurang sempurna. Pada proses evaporasi, kondisi vakum tidak berjalan maksimal sehingga etanol tidak menguap secara sempurna dan berdampak pada tingginya nilai sisa pelarut etanol yang masih tertinggal dalam oleoresin (Muhiedin, 2008). Yusmeiarti dkk. (2007) menyatakan oleoresin cassiavera (Cinnamomum burmanii, BL) hasil ekstraksi dengan pelarut etanol mengandung sisa pelarut sebesar 5,66-11,98%. Hasil ini juga melebihi standar kadar sisa pelarut etanol menurut Food and Drug Administration (FDA) yang seharusnya 30 ppm. Hasil penelitian Ma’mun dkk. (2005), sisa pelarut etanol yang terdapat dalam oleoresin sambiloto masih cukup tinggi yaitu sebesar 5,59-21,50%. Tingginya sisa pelarut ini dipengaruhi oleh kondisi pemisahan dan penguapan pelarut dalam alat rotary vacuum evaporator. KESIMPULAN Hasil optimasi dengan RSM rendemen optimum oleoresin daun jeruk purut adalah sebesar 8,447% yang didapatkan pada kondisi suhu ekstraksi 78,221°C dan waktu ekstraksi 5,438 jam. Karakteristik mutu oleoresin daun jeruk purut pada rendemen optimum adalah kadar sitronelal 25,66%, kadar minyak atsiri 9,638% dan kadar sisa pelarut (kadar etanol) 5,8%. UCAPAN TERIMA KASIH Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi yang telah membiayai penelitian ini melalui Program Desentralisasi Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi 2012 dengan judul “Perbaikan Kualitas Mutu Minyak Atsiri dan Oleoresin Daun Jeruk Purut sebagai Pengawet Pangan Segar dan Pangan Olahan”.
Gambar 4. Kromatogram GC oleoresin daun jeruk purut
183
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
DAFTAR PUSTAKA Ampasavate, C., Okonogi, S. dan Anuchapreeda, S. (2010). Cytotoxicity of extracts from fruit plants againt leukemic cell lines.$IULFDQ-RXUQDORI3KDUPDF\DQG 3KDUPDFRORJ\ 4(1): 013-021. Chanthaphon, S., Chanthachum, S. dan Hongpattarakere, T. (2008). Antimicrobial activities of essential oils and crude extracts from tropical citrus spp. Against foodrelated microorganisms. 6RQJNODQDNDULQ -RXUQDO RI 6FLHQFHDQG7HFKQRORJ\ 30(Suppl.1): 125-131. Chueahongthong, F., Ampasavate, C., Okonogi, S., Tima, S. dan Anuchapreeda, S. (2011). Cytotoxic effects of FUXGH NDI¿U OLPH Citrus hystrix, DC. OHDI IUDFWLRQDO extracts on leukemic cell lines. -RXUQDO RI 0HGLFLQDO 3ODQWV5HVHDUFK 5(14): 3097-3105. Desmawarni (2007). Pengaruh Komposisi Bahan Penyalut dan Kondisi Spray Drying terhadap Karakteristik Mikroenkapsul Oleoresin Jahe. Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Food and Drug Administration (2012). Guidance for Industry, Impurities: Residual Solvents in New Veterinary Medicinal Product, Active Substances and Excipients (Revision 2). U.S Departement of Health and Human Services. Haiyee, Z.A. dan Winitkitcharoen, C. (2012). Extraction of YRODWLOHRLOIURPNDI¿UOLPHOHDYHVCitrus hystrix XVLQJ pressurised liquid extraction. ,QWHUQDWLRQDO -RXUQDO RI )RRG1XWULWLRQDQG3XEOLF+HDOWK 5(1/2/3): 201-210. Hidayat, F.K. (1999). Ekstraksi Minyak Atsiri dari Daun Jeruk Purut (Citrus hystrix DC) pada Skala Pilot-Plant. Sripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hiran, P., Kerdchoechuen, O. dan Laohakunjit, N. (2009). (I¿FDF\ RI SODQW H[WUDFW IURP OLPH NDI¿U OLPH DQG pummelo on microbial inhibition. $JULFXOWXUDO6FLHQFH -RXUQDO 40(1) (Suppl.): 91-94. Jamal, Y. (2009). Komposisi kimia minyak atsiri Melodorum cylindricum (Maing. ex Hook.f and Thoms), Litsea firma %OXPH +RRNI )O %ULW ,QG GDQ Callistemon lanceolatus D.C. %HULWD%LRORJL9(6): 721-730. Koswara, S 7HNQRORJL HQNDSVXODVL ÀDYRU UHPSDK rempah. http://minyakatsiriindonesia.wordpress.com/ teknologi-pengolahan-atsiri/sutrisnokoswara/. [25 Maret 2014]. Koswara, S. (2011). Menyuling dan menepungkan minyak atsiri daun jeruk purut. http://www.ebookpangan. c o m / A RT I K E L / M E N Y U L I N G % 2 0 D A N % 2 0
184
MENEPUNGKAN%20MINYAK%20ASIRI.pdf. [28 Maret 2013]. Lestari, W.E.W. (2006). Pengaruh Nisbah Rimpang Dengan Pelarut dan Lama Ekstraksi Terhadap Mutu Oleoresin Jahe Merah (Zingiber officinale var. rubrum). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Loh, F.S., Rita, Awang, R.W., Omar, D. dan Rahmani, M. (2011). Insecticidal properties of Citrus hystrix DC leaves essential oil against Spodoptera litura fabricius. -RXUQDO RI 0HGLFLQDO 3ODQWV 5HVHDUFK 5(16): 37393744. Ma’mun, B.S., Manoi, F., Suhirman, S., Tritianingsih dan Gani, A. (2005). Perbaikan Metode Ekstraksi dan Penyimpanan Ekstrak Terstandar Sambiloto. Laporan Teknis Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Moestofa, A. (1981). Isolasi Minyak Atsiri dan Oleoresin dari Lada Hitam. Prosiding Minyak Atsiri II. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil Pertanian. 0XKLHGLQ ) Efisiensi Proses Ekstraksi Oleoresin Lada Hitam dengan Metode Ekstraksi Multi Tahap. Skripsi. Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Universitas Brawijaya, Malang. Ramadhan, A.E. dan Phasa, H.A. (2010). Pengaruh Konsentrasi Etanol, Suhu dan Jumlah Stage pada Ekstraksi Oleoresin Jahe (Zingiber Officinale Rosc) secara Batch. Skripsi. Jurusan Teknik Kimia. Universitas Diponegoro, Semarang. Sulaswatty, A., Wuryaningsih., Hartati, S., Abimanyu, H. dan Laksono, J.A. (2001). Kajian awal hasil ekstraksi minyak dan oleoresin dari kulit kayu manis (Cinnamomum burmanii Blume). Prosiding Seminar Nasional X “Kimia dalam Industri dan Lingkungan”, Yogyakarta. Sundari, E. (2002). Pengambilan Minyak Atsiri dan Oleoresin dari Kulit Kayu Manis. Tesis. Departemen Teknik Kimia. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Sutianik (1999). Pengaruh Suhu Pengeringan dan Ukuran Bahan terhadap Rendemen dan Mutu Oleoresin Jahe (Zingiber officinale, Roscoe). 6NULSVL -XUXVDQ 7HNQLN Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Widayanti, S.M. (2004). Uji Penggunaan Microwave pada 3URVHV (NVWUDNVL 2OHRUHVLQ -DKH =LQJLEHU RI¿FLQDOH Rosc.). Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. <XVPHLDUWL 6LO¿D GDQ 6\DULI 5 3HQJDUXK EDKDQ WDPEDKDQWHUKDGDSVLIDW¿VLNROHRUHVLQFDVVLDYHUDPXWX rendah. Buletin Baristand Industri Padang XV(2): 29-37.
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
KARAKTERISTIK KIMIA DAN TEKSTUR TEMPE SETELAH DIPROSES DENGAN KARBON DIOKSIDA BERTEKANAN TINGGI Chemical Charactersitics and Texture of Tempe Processed with High Pressure Carbon Dioxides Maria Erna Kustyawati, Filli Pratama, Daniel Saputra, Agus Wijaya Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Lampung Jl. S. Brojonegoro, No.1, Bandar Lampung 34145 Email:
[email protected] ABSTRAK Karakteristik khas tempe dihasilkan dari komponen makro dan mikromolekul penyusunnya sehingga perubahan konsentrasi senyawa di dalam tempe akan mengubah karaktersitiknya. Karbon dioksida bertekanan tinggi merupakan teknologi pengolahan tanpa panas yang dapat mempertahankan kualitas gizi produk walaupun dapat mempengaruhi senyawa nonpolar dan senyawa dengan ikatan non kovalen. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi karakteristik kimia dan tekstur tempe setelah diproses dengan karbon dioksida bertekanan tinggi. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok yang disusun faktorial dengan dua faktor perlakuan dan tiga kali pengulangan. Tempe yang diperlakukan dengan tekanan 7,6 MPa selanjutnya disebut tempe PS sedangkan yang diperlakukan dengan tekanan 6,3 MPa disebut tempe PC. Faktor pertama adalah tekanan dengan dua level perlakuan meliputi 7,6 MPa dan 6,3 MPa, sedangkan faktor ke dua adalah lama waktu tekanan dengan 4 level yaitu 5, 10, 15, 20 menit. Parameter yang diamati meliputi tekstur, kadar air, protein, lemak, abu dan karbohidrat, mineral kalsium, dan vitamin B1, B2, B3 pada tempe kontrol dan tempe perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tekanan, lama waktu tekanan dan interaksinya berpengaruh nyata terhadap kadar air, protein, lemak dan abu, tetapi tidak berpengaruh terhadap tekstur. Karbon dioksida tekanan tinggi baik pada 7,6 MPa maupun 6,3 MPa menurunkan kadar air dan lemak, tetapi kadar air tempe PC lebih tinggi dibanding tempe PS. CO2 tekanan 7,6 MPa yang menurunkan kadar protein. Perlakuan tekanan tinggi (7,6 MPa dan 6,3 MPa) juga menurunkan mineral kalsium tetapi tidak mempengaruhi kandungan vit B1, B2, B3 tempe. Kata kunci: Karakteristik kimia, CO2, tekanan tinggi, tempe ABSTRACT The chemical compositions of tempe indicated their typical characteristics. As a result, the micro or macromolecule changes were likely to produce difference characteristic of tempe. High pressure carbon dioxide was a non-thermal processing method that could retain nutrition qualities, but it affects nonpolar and non covalent bond of substances. This research was conducted to evaluate chemical characteristics of tempe after being processed with high pressure carbon dioxides. The experimental design was carried out in factorial completely randomized design with two factors, that were pressure at 7,6 MPa and 6,3 MPa, and holding time for 5, 10, 15, and 20 minutes. The proximate, calcium, vitamin B and texture were determined in control and treated tempe. The results showed that the treatments of pressures, the KROGLQJWLPHDQGWKHLULQWHUDFWLRQVKDGVLJQL¿FDQWHIIHFWRQZDWHUSURWHLQIDWDQGDVKFRQWHQWVEXWWKH\GLGQRWDIIHFW the textures. The high pressure of both 7,6 MPa and 6,3 MPa sharply reduced the fat content of all the treated tempe and water content as well. It was only the pressure of 7,6 MPa decreased the protein content. The high pressure treatments increased the calcium of treated tempe but they did not affect the vitamin B1, B2, B3. Keywords: Chemical characteristics, carbon dioxide, high pressure, tempe
185
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
PENDAHULUAN
METODE PENELITIAN
Tempe adalah produk fermentasi kedelai oleh aktivitas enzimatik kapang 5KL]RSXVROLJRVSRUXV. Selama fermentasi, kapang menghidrolisis senyawa komplek kedelai menjadi senyawa sederhana dan mengakibatkan derajad ketidak jenuhan asam lemak tempe meningkat, protein dalam bentuk terlarut, produksi vitamin B meningkat, dan ketersediaan mineral tertentu meliputi besi, kalsium, magnesium dan zink meningkat serta menghasilkan rasa dan aroma khas tempe (Nout dan Kiers, 2005; Shurtleff dan Aoyagi, 2001; Mulyowidarso dkk., 1991). Warna putih dengan tekstur padat dan kompak pada tempe juga dihasilkan dari pertumbuhan miselium kapang (Sparringa dkk., 2002). Perubahan konsentrasi makromolekul maupun mikromolekul senyawa penyusun tempe pada saat pengolahan sangat mungkin menghasilkan karakteristik tempe yang berbeda. Suatu alternatif metode pengolahan yang dapat menghasilkan WHPSH GHQJDQ SHUEHGDDQ NDUDNWHULVWLN \DQJ WLGDN VLJQL¿NDQ perlu dipelajari. Karbondioksida bertekanan tinggi merupakan teknologi pengolahan tanpa menggunakan panas (Rastogi dkk., 2007; White dkk., 2006), karena pada tekanan 1099 psi (7,3 MPa) dan suhu 31,1oC CO2 berada dalam kondisi superkritis. Karbon dioksida superkritis memiliki tegangan permukaan nol, kerapatan rendah seperti gas dan memiliki kelarutan tinggi sehingga mudah berdifusi dan terlarut dalam padatan dan mengakibatkan perubahan struktur senyawa penyusun suatu produk. Pengolahan jus lychee menggunakan CO2 pada tekanan 8 MPa, suhu 36oC, lama tekanan 2 menit tidak mempengaruhi konsentrasi polifenol dan terdapat peningkatan MXPODK DVDP DPLQR VHFDUD VLJQL¿NDQ *XR GNN Sementara itu, pengolahan menggunakan CO2 pada tekanan 5,52 MPa, suhu 38oC selama 5 menit menghasilkan keasaman susu meningkat dan pengendapan kasein (VanHekken dkk., 2000). Komponen makromolekul pangan yang bersifat nonpolar dan memiliki berbagai ikatan kimia meliputi ikatan non-kovalen (hidrogen, hidrofobik) sensitif terhadap CO2 tekanan tinggi sedangkan komponen pangan yang bersifat polar dengan berat molekul rendah seperti senyawa-senyawa yang berperan dalam sensori dan nutrisi produk tidak rusak oleh CO2 tekanan tinggi (Liao dkk., 2010; Jung dkk., 2009; Rastogi dkk., 2007; Parton dkk., 2007). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik kimia (proksimat, kalsium, vitamin B1, B2, B3) dan tekstur pada tempe setelah diproses dengan karbondioksida bertekanan tinggi.
Bahan dan Alat
186
Bahan utama dalam penelitian ini adalah tempe yang diperoleh dari PRIMKOPTI Macan Lindungan Palembang, dan gas karbondioksida (CO2) dari PT. Pusri Palembang, serta bahan-bahan untuk analisis kimia yang meliputi HCl 0,1 N, indikator methyl orange, NaOH 30 %, NH4.2C2O4 10%, H2SO4 25%, KMnO4 0,1 N, H3BO3, heksana, dan alkohol 70%. Alat-alat yang digunakan meliputi satu unit peralatan bertekanan tinggi untuk perlakuan yang terdiri dari tabung tahan tekanan tinggi, tabung gas karbondioksida, jaket pemanas, dan pipa yang tahan tekanan tinggi. Diagram peralatan untuk proses perlakuan dengan karbondioksida bertekanan tinggi seperti pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram alat untuk proses perlakuan dengan karbon dioksida bertekanan tinggi
Pelaksanaan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak kelompok yang disusun secara faktorial dengan dua faktor perlakuan dan tiga kali pengulangan. Faktor I adalah tekanan karbon dioksida yang terdiri dari PS yaitu tekanan 7,6 MPa, suhu 35oC (CO2 superkritis) dan PC yaitu tekanan 6,3 MPa, suhu 25oC (CO2 cair), dan faktor II adalah lama waktu tekanan (T) yang terdiri dari empat level yaitu T1, T2, T3, T4 masing-masing 5, 10, 15, dan 20 menit. Penentuan besarnya tekanan dan lama waktu perlakuan berdasar pada penelitian yang dilakukan oleh Garcia-Gonzales dkk. (2009); Parton dkk. (2007), dan pada penelitian pendahuluan. Proses Perlakuan Tempe Proses perlakuan tempe dengan gas CO2 bertekanan tinggi seperti yang diterangkan oleh Pratama dkk. (2007) adalah sebagai berikut: tempe yang berbentuk silinder SDQMDQJFPșFP GLOHWDNNDQNHGDODPWDEXQJWHNDQ kemudian setelah tabung ditutup aliran gas CO2 dimasukkan
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
sampai tekanan mencapai tekanan 6,3 MPa dan 7,6 MPa dengan mengatur suhu. Suhu dikontrol dengan menambahkan air panas atau es ke dalam kontainer.Tekanan dilakukan selama 5, 10, 15, dan 20 menit, kemudian gas dilepas dari tabung dengan membuka katup secara perlahan-lahan untuk menghindari kerusakan tempe dan menahan aroma tempe. Dalam penelitian ini diperlukan waktu 2-3 menit untuk membebaskan tekanan dari dalam tabung. Tempe kemudian dikeluarkan dari tabung tekan dan dianalisis. Analisis dilakukan terhadap tempe kontrol, dan tempe perlakuan tekanan 7,6 MPa (tempe PS) dan tempe perlakuan tekanan 6,3 MPa (tempe PC).
suhu 35oC. Campuran tersebut ditambah natrium asetat 2,5 M sebanyak 5ml, selanjutnya diinkubasi pada suhu 42°C selama MDP6HODQMXWQ\DGLVHQWULIXJDVLGDQGLDPELO¿OWUDWQ\DODOX GLVDULQJ GDQ VHEDQ\DN ȝ/ GLLQMHNVLNDQ SDGD HPLC Kondisi HPLC yang digunakan adalah laju aliran1,5 ml/menit, kepekaan 0,05 dan total run 20 menit. Untuk analisis secara kuantitatif dibuat kurva kalibrasi larutan standar dengan plot luas area terhadap konsentrasi (ppm). Kadar vitamin B1, B2, B3 dapat dihitung sebagai berikut: Konsentrasi vitamin B1, B2, B3 (mg/Kg) = /XDV DUHD VDPSHO IS ( IDNWRU SHQJHQFHUD n) / 6ORSH % %RERW VDPSHO
Parameter yang Diamati Parameter yang diamati adalah: parameter proksimat meliputi kadar air, protein (total Nitrogen dengan Kjeldahl), lemak kasar (metode Soxhlet), karbohidrat (by difference) dan abu (metode furnace), mengikuti prosedur dalam AOAC (2005), kalsium dengan titrasi (AOAC, 2005), dan vitamin B1, B2, dan B3. Penentuan vitamin B1, B2, dan B3 dilakukan dengan metode HPLC mengikuti prosedur di dalam Aslam dkk. (2008) menggunakan satu unit HPLC (Hewlett Packard Series 1100 system) yang dilengkapi dengan pompa (HP 1100 series Binary Pump), injector sampel (model 7725/7725i), dan UV detector (HP 1100 series Diode Array Detector) dan sebuah loop 20 μl. Pengukuran PHQJJXQDNDQ NRORP ȝ-Bondapak C18, detektor ultra violet pada panjang gelombang 254 nm, dan eluen yang digunakan adalah campuran metanol/larutan bufer asetat pH 3,6 (15 + 85) dengan menambahkan 0,005 M garam natrium I-heptan asam sulfonat. Sampel tempe dalam bentuk kering dihaluskan dan ditimbang sebanyak 7 g ditambah 10 ml HCL 0,1 N dan disimpan semalam pada
Untuk mengetahui pengaruh setiap perlakuan dilakukan analisis data dengan menggunakan analisis keragaman (ANOVA) melalui program SAS versi 6,12. Bagi perlakuan yang berbeda nyata dilakukan uji lanjut Duncan pada taraf 5%, untuk mengetahui perbedaan kadar kalsium, vitamin B1, B2, B3 tempe perlakuan dengan kontrol dilakukan uji Dunnet pada taraf 5% (Gomez dan Gomez, 1995), dan perlakuan terbaik akan ditentukan menggunakan indeks efektivitas. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Proksimat Tempe Hasil analisis menunjukkan interaksi antara tekanan dan lama waktu berpengaruh nyata terhadap kadar abu dan sangat nyata terhadap kadar air, protein, lemak dan karbohidrat pada tingkat kepercayaan 95% (Tabel 1).
Tabel 1. Pengaruh tekanan dan lama waktu terhadap nilai proksimat tempe Perlakuan
Kadar air (%)
Kadar protein (% bk)
Kadar lemak (% bk)
Kadar abu (% bk)
Kontrol
66,74± 0,84
24,35±0,07
12,16±0,51
0,85± 0,02
62,64±0,72
PST1
60.07±0,15
16,79± 0,38
7,21± 0,16
h
2,80±0.042
73,27±0.026a
PST2
59,56± 0,25a
19,87±0,39 b
6,14± 0,06d
2,21±0.02 ef
71,76±0.032b
PST3
60,07± 1,26a
23,04 ± 0,15c
5,79 ±0,02cd
2,18±0.10 e
68,99±0.010c
PST4
59,57± 0,46a
23,08±0,1de
3,82 ±0,17a
2,29±0.09 fg
70,8±0.068d
PCT1
65,22± 0,50c
24,28±0,23e
10,1 ±0,55h
1,53±0.02 a
64,09±0.030e
PCT2
65,33± 0,05cd
24,23±0,21e
10,33± 0,15hg
1,85±0.01c
63,59±0.050f
PCT3
63,18± 0,66b
23,67±0,64d
9,61± 0,15f
1,76±0.04b
64,96±0.050g
PCT4
64,35± 0,67bc
23,45±0,07e
5,56± 0,22bc
1,92±0.04cd
69,07±0.026h
a
a
e
Karbohidrat by difference (%bk)
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada taraf 5%. PS=7,6 MPa dan PC=6,3 MPa, dan T (waktu menit) T1=5, T2=10, T3=15, T4=20.
187
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Kadar Air Tabel 1 menunjukkan bahwa kadar air semua tempe perlakuan berkisar antara 59,56% sampai dengan 65,33%. Kadar air tempe yang rendah karena air terekstraksi oleh tekanan tinggi pada fase superkritis. Menurut Beckman (2004), pada proses pengolahan dengan CO2 superkritis kelarutan CO2 dalam air sangat tinggi karena air mempunyai polaritas yang besar. Pada saat pelepasan tekanan CO2 kembali menjadi gas dan mengakibatkan kadar air bahan menurun. Hal ini terjadi pada tempe perlakuan tekanan 7,6 MPa selama 20 menit mempunyai kadar air paling rendah 59,57% dan semua tempe perlakuan tekanan 7,6 MPa (superkritis) mempunyai kadar air yang tidak berbeda nyata (Tabel 1). Pada fase cair kelarutan CO2 dalam air lebih rendah dibanding fase superkritis dan hal ini mengakibatkan kadar air menurun sedikit karena densitas CO2 cair lebih rendah sehingga tidak banyak air yang terlarut. Hal ini terjadi pada tempe dengan pelakuan 6,3 MPa selama 10 menit mempunyai kadar air paling tinggi (65,33%) (Tabel 1). Menurut Park dkk. (2013), air meningkatkan polaritas CO2 dan mengakibatkan kelarutannya dalam CO2 superkritis lebih tinggi dibanding CO2 cair. Kadar Protein Pada Tabel 1 menunjukkan kadar protein dalam tempe perlakuan berkisar antara 16,79% hingga 24,45%. Kadar protein yang rendah pada tempe disebabkan oleh denaturasi protein yang mengakibatkan protein menggumpal dan kelarutannya menurun. Karbon dioksida superkritis EHULQWHUDNVL GHQJDQ JXJXV VDPSLQJ SROLSHSWLGD KLGUR¿OLN melalui ikatan ionik dan dengan komponen hidrofobik melalui ikatan nonkovalen di bagian dalam struktur protein, tetapi WLGDNPHUXVDNLNDWDQKLGURJHQGLGDODPVXVXQDQĮhelixGDQ ȕsheet VWUXNWXU VHNXQGHU +DO LQL PHQJDNLEDWNDQ VWUXNWXU protein terbentang dan mudah membentuk gumpalan. Bentuk struktur terbentang menyebabkan protein membentuk agrerat dan tidak larut dalam air. Hal ini terjadi pada tempe tekanan 7,6 MPa waktu 5 menit. Liu dkk. (2004); Petterson (2005) melaporkan bahwa CO2 tekanan tinggi merusak struktur tersier protein tetapi meningkatkan kestabilan struktur VHNXQGHU\DQJWHUGLULGDULVXVXQDQĮhelix'1$GDQȕsheet dan ikatan peptida dalam stuktur primer. Protein terdenaturasi apabila struktur lipatan (IROGHGVWUXFWXUH) molekulnya rusak atau terbentang (XQIROGHG), struktur sekunder dan tersiernya berubah tetapi ikatan peptida antara asam asam amino nya tetap utuh (Murray dkk., 2006). Sementara itu, makin lama waktu perlakuan kadar nitrogen terukur makin besar karena kelarutan protein di dalam CO2 makin meningkat. Pada tekanan dan suhu yang sama penambahan waktu perlakuan meningkatkan konsentrasi CO2 dan mengakibatkan makin banyak molekul
188
protein berinteraksi dengan molekul CO2. Menurut Pansurya dan Singhal (2009), pada kondisi CO2 superkritis peningkatan waktu meningkatkan kejenuhan CO2, dan meningkatnya konsentrasi CO2 meningkatkan laju reaksi karena ketersediaan reaktan untuk bereaksi dengan CO2 makin banyak (Calvo dan Torres, 2010). Pada fase cair, kelarutan CO2 di dalam protein rendah karena sifatnya yang nonpolar hanya bereaksi dengan gugus protein yang nonpolar. Hal ini mengakibatkan kandungan protein yang tidak berbeda nyata yaitu pada tempe tekanan 6,3 MPa dengan lama waktu 5 menit, 10 menit, dan 20 menit., dan berbeda nyata dengan tempe tekanan 6,3 MPa dengan lama waktu 15 menit (Tabel 1). Menurut Wimmer dan Zarevucka (2010), stabilitas protein pada CO2 tekanan tinggi dipengaruhi oleh besarnya tekanan dan suhu dalam sistem, dan struktur tiga-dimensi protein tidak mengalami perubahan nyata pada tekanan di bawah superkritis. Penelitian ini sejalan dengan Froning dkk. (1998) yang menemukan bahwa telur yang telah diperlakukan dengan CO2 superkritis menghasilkan sponge cake dengan volume yang menurun secara nyata karena protein telur telah terdenaturasi. Kadar Lemak Pada Tabel 1 menunjukkan kadar lemak tempe perlakuan berkisar antara 3,82 hingga 10,33%. Menurunnya kadar lemak karena terekstraksi oleh CO2 tekanan tinggi. Lemak bersifat non-polar dan mudah terlarut dalam molekul CO2. Densitas CO2 yang tinggi pada kondisi superkritis mengakibatkan molekul CO2 bereaksi dengan bagian non-polar trigliserida, memutuskan ikatan ester dan menghasilkan asam lemak bebas. Menurut Tomasula dkk. (2003); Brunner (2005), CO2 tekanan tinggi mempunyai densitas tinggi sehingga kelarutannya di dalam molekul hidrofobik dan non-polar meningkat. Menurut Warner dan Hotckiss (2006); Muljana dkk. (2010); Ferrentino dan Spilimbergo (2011), pengolahan dengan CO2 superkritis mempunyai pengaruh ekstraksi lemak lebih besar dibanding fase mendekati superkritis (near-supercritic), karena makin tinggi densitas CO2 meningkatkan daya pelarutnya ke dalam bahan. Hal ini terjadi pada tempe PST4 (perlakuan tekanan 7,6 MPa selama 20 menit) mengandung lemak 3,82% (Tabel 1). Pada tekanan CO2 6,3 MPa (fase cair), makin sedikit lemak yang terekstraksi karena densitas CO2 makin rendah. Hasil penelitian ini sejalan dengan Al-Matar dkk. (2012); Hashim dkk. (2013) yang menemukan bahwa kolesterol lemak daging merah (kambing dan sapi) menurun makin besar pada tekanan CO2 makin tinggi karena densitas yang tinggi pada CO2 superkritis meningkatkan kelarutan kolesterol dalam CO2. Sementara itu, semakin lama waktu kadar lemak menurun berbeda nyata. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada tekanan yang sama penambahan waktu meningkatkan kejenuhan konsentrasi CO2, dan mengakibatkan makin banyak molekul lemak terlarut di dalam CO2. Pada perlakuan selama 20 menit
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
makin banyak lemak yang terekstraksi dan mengakibatkan kadar lemak di dalam tempe paling rendah. Kadar lemak tempe tekanan 6,3 MPa lama waktu 20 menit lebih rendah dibanding tempe tekanan 6,3MPa lama waktu 15 menit, dan demikian juga tempe tekanan 7,6 MPa lama waktu 5 menit lebih tinggi dibanding tempe tekanan 7,6 MPa lama waktu 10 menit (Tabel 1). Menurut Hubbard dkk. (2004); King dkk. (1989), laju ekstraksi lemak di dalam pangan oleh CO2 superkritis tergantung pada konsentrasi lemak terlarut di dalam CO2, makin tinggi konsentrasi lemak ekstraksi makin cepat. Kadar Kalsium dan Vitamin Hasil uji Dunnet pada Tabel 2 menunjukkan bahwa kadar kalsium (Ca2+) tempe perlakuan lebih tinggi dari kontrol pada tingkat kepercayaan 95%. Tabel 2. Hasil uji Dunnet pengaruh tekanan dan tanpa tekanan (kontrol) terhadap nilai kalsium, vit B1, B2, dan B3 tempe (dalam mg/100gbk). Perlakuan Kontrol
Kalsium
Vit B1
Vit. B2
Vit B3
0,20±0,02
13,65±0,19
0,67±0,02
2,06 ±0,02
PST1
1,13 ±0,01**
2,36±0,26**
0,55 ±0,01*
1,2 ±0,02*
PST2
1,01±0,01**
2,01± 0,13**
0,53 ±0,01*
1,15± 0,01*
PST3
0,70± 0,01**
1,97± 0,11**
0,50± 0,01*
1,1±2 0,01*
PST4
0,61± 0,01**
1,85± 0,13**
0,48± 0,01*
1,0± 0,02*
PCT1
1,04± 0,05
13,42±0,38*
0,56 ±0,01*
2,17±0,01tn
PCT2
**
0,79±0,03
13,40± 0,02*
0,55± 0,02*
2,15± 0,03 tn
PCT3
0,66±0,01**
13,35± 0,03*
0,53± 0,02*
2,13± 0,02 tn
PCT4
0,58±0,01**
13,10± 0,24*
0,51± 0,01*
2,1± 0,01 tn
**
Keterangan: ** = berbeda sangat nyata pada taraf 5%, * = berbeda nyata, tn= tidak nyata pada taraf 5% pada kolom yang sama. PS=7,6 MPa dan PC=6,3 MPa, dan T (waktu menit) T1=5, T2=10, T3=15, T4=20
.DOVLXP \DQJ WHULNDW GL GDODP DVDP ¿WDW WHUHNVWUDNVL oleh karbon dioksida superkritis karena adanya ikatan ionik, dan menghasilkan kalsium bebas. Karbon dioksida tekanan tinggi bersifat memiliki tegangan permukaan nol sehingga mudah penetrasi ke dalam matriks tempe dan melarutkan &D¿WDW\DQJPDVLKWHUGDSDWGLGDODPELMLNHGHODL0HQXUXW James dan Eastoe (2012), kalsium dapat berfungsi sebagai surfactant counterion untuk meningkatkan karaktersitik solvabilitas CO2, berarti kelarutan CO2 superkritis di dalam &D¿WDW WLQJJL .DGDU NDOVLXP WHPSH NRQWURO OHELK UHQGDK NDUHQD NDOVLXP PDVLK WHULNDW GDODP &D¿WDW +DO LQL GDSDW dilihat dari meningkatnya kalsium di dalam tempe setelah perlakuan tekanan tinggi. Uji Dunnet pengaruh tekanan dan kontrol terhadap kandungan vitamin B1, B2, B3 (Tabel 2) menunjukkan bahwa semua tempe perlakuan lebih rendah dibanding kontrol pada
tingkat kepercayaan 95%. Vitamin B1, B2, B3 tempe perlakuan tekanan 7,6 MPa lebih tinggi dibanding tekanan 6,3 MPa. Kandungan vitamin B yang lebih rendah karena melarut dalam CO2 tekanan tinggi melalui interaksi asam Lewisbasa Lewis. Molekul vitamin B mempunyai gugus COOH sebagai basa Lewis berperan sebagai donor ion H +. Menurut Raveendran dan Wallen (2002), gugus karbonil mempunyai kelarutan tinggi di dalam CO2 superkritis disebabkan oleh interaksi asam-Lewis LA) – basa-Lewis (LB) antara CO2 dengan karbon karbonil (CO-OH). Ion H +pada gugus karbonil (COOH) sebagai basa-Lewis berikatan dengan O pada CO2 sebagai asam-Lewis. Sementara itu, semakin meningkat lama waktu kadar kalsium, vit B1, B2, dan B3 semakin menurun. Hal ini dapat dijelaskan bahwa kelarutan kalsium, vit B1, B2, dan B3 dalam CO2 tekanan tinggi semakin meningkat karena konsentrasi CO2 makin meningkat dengan penambahan waktu pada tekanan yang sama. Analisis Tekstur Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa semua perlakuan baik tekanan maupun lama waktu tekanan dan interaksinya tidak berpengaruh pada tekstur pada taraf 5%. Tabel 5. Pengaruh tekanan dan lama waktu terhadap tekstur tempe. Perlakuan Kontrol PST1 PST2 PST3 PST4 PCT1 PCT2 PCT3 PCT4
Tekstur (gf) 356,67±0,09 314,7±6,01ab 302±6,03a 291,5±7,04a 273,1±2,05a 300,2±2,02a 292,1±5,2a 295,1±0,77a 293,8±0,99a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada taraf 5%. PS=7,6 MPa dan PC=6,3 MPa, T (waktu menit), T1=5, T2=10, T3=15, T4=20
Pada Tabel 5 menunjukkan tekstur tempe perlakuan tekanan 6,3 MPa selama 5 menit sebesar 314,72 berbeda tidak nyata dengan tekstur tempe perlakuan lainnya pada tingkat kepercayaan 95%. Semua tempe perlakuan mempunyai tekstur lebih rendah dibanding kontrol (356,67gf) yang mengindikasikan lebih lunak. Tekstur tempe dipengaruhi antara lain oleh kandungan protein dan air. Di dalam matriks tempe, molekul CO2 berinteraksi dengan molekul protein melalui ikatan
189
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
nonkovalen yaitu ikatan hidrogen dan hidrofobik. Interaksi antara molekul CO2 superkritis dengan protein mengakibatkan protein terdenaturasi. Protein yang terdenaturasi membentuk struktur gel. Menurunnya kadar air karena terekstraksi oleh CO2 tekanan tinggi mendukung terbentuknya tekstur elastis. Menurut Aquila, dkk. (2006), tekstur bahan dipengaruhi oleh kadar air dan komponen penyusun bahan pangan. Menurut Rastogi dkk. (2007), protein kedelai yang diperlakukan dengan CO2 tekanan tinggi terjadi proses gelasi dan menghasilkan gel yang lebih lunak dibanding gel yang terbentuk oleh proses pemanasan. Proses pelepasan tekanan menghasilkan ruang-ruang kosong antara sel-sel biji kedelai yang menyusun tempe karena dinding selnya mengkerut (Brown, 2010). Pada waktu tekanan dilepaskan CO2 kembali berbentuk gas dan senyawa baru struktur gel bentukan protein yang terdenaturasi tertinggal didalam ruang-ruang kosong antara sel kedelai. Hal ini menghasilkan tekstur tempe lunak dan kenyal. Tempe yang mendapat tekanan tinggi CO2 baik tekanan 6,3 MPa maupun 7,6 MPa mempunyai tekstur lunak dan kenyal, dan mengandung komponen senyawa terlarut lebih tinggi. Karakteristik tersebut mungkin akan berpengaruh pada umur simpan tempe. KESIMPULAN Perlakuan CO2 tekanan 7,6 MPa dan 6,3 MPa mempengaruhi kadar abu, kadar air, lemak, protein serta karbohidrat, tetapi tidak mempengaruhi tekstur tempe. Perlakuan tekanan 6,3 MPa dan lama waktu 5 menit adalah perlakuan terbaik dan menghasilkan tempe dengan persen perubahan komponen protein terhadap kontrol sebesar 7,0% paling rendah diantara tempe perlakuan lain. Teknologi CO2 cair dapat digunakan sebagai alternatif metode pengolahan tempe. Pengaruh perubahan karakteristik kimia terhadap laju kerusakan tempe selama penyimpanan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. DAFTAR PUSTAKA $JXLOD-66DVDNL))+HLI¿J/62UWHJD(00-D Comino, A.P. dan Kluge, R.A. (2006). Fresh-cut radish using different cut types and storage temperatures. 3RVWKDUYHVW%LRORJ\7HFKQRORJ\ 40:149-154. $O0DWDU$GDQ6KDZLVK6 ,QÀXHQFHRIFRVROYHQWV on the solubility of cholesterol in supercritical CO2. The Sixth Jordan International Chemical Engineering Conference. 12-14 March 2012, Amman, Jordan. $2$& Officials Methods of an Analysis of Official Analytical Chemistry. AOAC International, United States of America.
190
Aslam, J., Mohajir, M.S., Khan, S.A. dan Khan, A.Q. (2008). HPLC analysis of water-soluble vitamins (B1, B2, B3, B5, B6) in in vitro and ex vitro germinated chickpea (Cicer arietinum L.). $IULFDQ-RXUQDORI%LRWHFKQRORJ\ 7(14): 2310-2314. Beckman, E.J. (2004). Supercritical and near-critical CO2 in green chemical synthesis and processing. -RXUQDO RI 6XSHUFULWLFDO)OXLG 28: 121-191. Brown, Z.K., Fryer, P.J, Norton, I.T. dan Bridson, R.H. (2010). Drying of agar gels using supercritical carbon dioxide.-RXUQDORI6XSHUFULWLFDO)OXLG54: 89-95. %UXQQHU * 6XSHUFULWLFDO ÀXLGV 7HFKQRORJ\ DQG application to food processing. -RXUQDO RI )RRG (QJLQHHULQJ 67(1-2): 21-33. Ferrentin, G. dan Spilimbergo, S. (2011). High pressure CO2 pasteurization of solid food: Current knowledge and future outlooks. 7UHQGVLQ)RRG6FLHQFHDQG7HFKQRORJ\ 22: 427-441. Frowning, G.W., Wehling, R.L., Cuppett, S. dan Niemann, L. (1998). Moisture content and particle size of dehydrated egg yolk affect lipid and cholesterol extraction using supercritical carbon dioxide.3RXOWU\6FLHQFH 77: 17181722. Gomez, K.A. dan Gomez, A.A. (1995). Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian, Edisi ke-2. Penerbit UIPress. Garcia-Gonzales, L., Geeraerd, A.H., Elst, K., Van-Ginneken, L., Van-Impe, J.F. dan Devlieghere, F. (2009). Inactivation of naturally occurring microorganisms in liquid whole egg using high pressure carbon dioxide processing as an alternative to heat pasteurization. 7KH -RXUQDORI6XSHUFULWLFDO)OXLGV51(1): 74-80. +DVKLP,%1XDLPL6$$¿¿+67DKHU+$O=XKDLU S. dan Al-Marzouqi, A. (2013). Quality caractristics of low fat lamb meat produces by supercritical CO2 extraction. *OREDO-RXUQDORI%LRORJ\DQG$JULFXOWXUH +HDOWK6FLHQFH 2(1): 5-9. -DPHV & GDQ (DVWRH - ,RQ VSHFL¿F HIIHFWV ZLWK CO2-philic surfactants. Current Opinion in Colloid and Interface Science 18(1): 40. Jung, W.Y., Choi, Y.M. dan Rhee, M.S. (2009). Potential use of supercritical carbon dioxide to decontaminate Escherichia coli O157:H7, /LVWHULD PRQRF\WRJHQHV DQG6DOPRQHOODW\SKLPXULXP in Alfalfa sprouted seeds. ,QWHUQDWLRQDO -RXUQDO RI )RRG 0LFURELRORJ\ 136(1): 66-70.
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Kadam, P.S., Jadhav, B.A., Salve, R.V. dan Machewad G.M. (2012). Review on the high pressure tchnology (HPT) for food peservation. -RXUQDO RI )RRG 3URFHVVLQJ 7HFKQRORJ\ 3(1): 1-5. Liao, H., Zhang, L., Hu, X. dan Liao, X. (2010). Effect of high pressure CO2 and mild heat processing on natural microorganisms in apple juice.,QWHUQDWLRQDO-RXUQDORI )RRG0LFURELRORJ\137(1): 81-87. Liu, H.L., Hsieh, W.C. dan Liu, H.S. (2004). Molecular dynamics simulations todetermine the effect of supercritical CO2 on the structu-ral integrity of hen egg white lysozyme. %LRWHFKQRORJ\3URJUHVV 20: 930-838. Muljana, H., Knoop, S., Keijzer, D. dan Picchioni, F. (2010). Synthesis of fatty acid starch esters in supercritical CO2. &DUERK\GUDWH3ROO\PHUV 82: 346-354.
Pratama, F., Saputra, D. dan Yuliati, K. (2007). Metode pencucian udang segar yang mengandung kloramfenikol dengan menggunakan karbon dioksida fase superkritik. Paten ID 0020002 (29-10-2007). Data Granted Paten Lembaga Penelitian Universitas Sriwijaya, Palembang. Rastogi, N.K., Raghavarao, K.S.M.S., Balasubramaniam, V.M., Niranjan, K. dan Knorr, D. (2007). Opportunities and challenges in high pressure processing of foods. &ULWLFDO 5HYLHZ LQ )RRG 6FLHQFH DQG 1XWULWLRQ 47(1): 69-112. Raveendran, P. dan Wallen, S.L. (2002). Sugar acetates as novel renewable CO2-philes. -RXUQDO RI $PHULFDQ &KHPLFDO6RFLHW\124: 7274-7275.
Murray, R.K., Granner, D.K. dan Rodwell, V.W. (2006). Biokimia Kedokteran. Edisi 27. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Sparringa, R.A., Kendall, M., Westby, A. dan Owens, J.D. (2002). Effects of temperature, pH, water activity and CO2 concentration on growth of 5KL]RSXVROLJRVSRUXV NRRL 2710.-RXUQDORI$SSOLHG0LFURELRORJ\92: 329337.
Nout, M.J.R. dan Kiers, J.L. (2005). Tempe fermentation, innovation and functionality: Up date into the third millennium.-RXUQDORI$SSOLHG0LFURELRORJ\ 98: 789805.
Taylor, D.L. dan Larick, D.K. (1995). Investigations into the effect of supercritical CO2 extraction on the fatty DFLGDQGYRODWLOHSUR¿OHVRIFRRNHGFKLFNHQ-RXUQDORI $JULXOWXUH)RRG&KHPLVWU\ 43: 2369-2374.
Park, J.Y., Back, S.S. dan Chun, B.S. (2008). Protein properties of mackerel viscera extracted by supercritical carbon dioxide. -RXUQDO RI (QYLURQPHQWDO %LRORJ\ 29(4): 443-448.
Tisi, D.A. (2004). Effect of Dense Phase CO2 on Enzyme Activity and Casein Protein in Raw Milk. Thesis. Cornel University.
Park, H.S., Choi, H.J. dan Kim, K.H. (2013). Effect of supercritical CO2PRGL¿HGZLWKZDWHUFRVROYHQWRQWKH sterilization of fungal spore-contaminated barley seeds and the germination of barley seeds. -RXUQDORI6DIHW\ 33(1): 1-18. Parton, T. A., Bertucco, A. dan Bertoloni, G. (2007). Pasteurization of grape must and tomato paste by dense-phase CO2. ,WDOLDQ-RXUQDO)RRG6FLHQFH 19(4): 425-437. Patterson, M.P. (2005). Microbiology of pressure-treated foods. A Review. -RXUQDORI$SSOLHG0LFURELRORJ\98: 1400-1409.
Tomasula, P.M. dan Craig, J.C. (2003). Preparation of casein using carbon-dioxide. -RXUQDORI'DLU\6FLHQFH78(3): 506-514. :HUQHU %* GDQ +RWFKNLVV -+ &RQWLQXRXV ÀRZ nonthermal CO2 processing: The lethal effects of subcritical and supercritical CO2 on total microbial population and bacterial spores in raw milk. -RXUQDORI 'DLU\6FLHQFH 89: 872-881. White, A., Burns, D. dan Christensen, T.W. (2006). Effective terminal sterilization using supercritical carbon dioxide. -RXUQDORI%LRWHFKQRORJ\7:1-12.
191
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
PENGARUH RETROGRADASI PADA PEMBUATAN SOHUN PATI JAGUNG TERHADAP KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA PRODUK DAN AKTIVITAS PREBIOTIKNYA The Effect of Retrogradation on the Physicochemical Properties of Maize Starch Noodle and Its Prebiotic Potential Prima Interpares, Haryadi, Muhammad Nur Cahyanto Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Jl. Flora No. 1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281 Email:
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk PHQFDULODPDZDNWXUHWURJUDGDVL\DQJPHPEHULNDQVLIDW¿VLNRNLPLDRSWLPXPSDGDVRKXQ pati jagung dan mengetahui nilai aktivitas prebiotik produk sebagai hasil pembentukan sifat fungsional prebiotiknya. Penelitian dilakukan dengan perlakuan variasi lama waktu retrogradasi 0, 1, 2 dan 3 jam pada pembuatan sohun SDWLMDJXQJGDQGLHYDOXDVLSHQJDUXKQ\DWHUKDGDSVLIDW¿VLNRNLPLDNDGDUDLUSURGXNODPDSHPDVDNDQWRWDOSDGDWDQ terlarut, rehidrasi, rasio pengembangan, elongasi, WHQVLOHVWUHQJWK, tekstur, dan kuat patah sohun kering). Hasil analisis dibandingkan dengan sampel komersial dan dipilih produk yang memiliki karakteristik sama dengan produk komersial. Produk terpilih dipreparasi menjadi RS (UHVLVWDQWVWDUFK GHQJDQGLKLGUROLVLVPHQJJXQDNDQHQ]LPĮDPLODVHSDQNUHDWLQ SRUFLQH (30 U/mg) dan enzim amiloglukosidase (300 U/mL), lalu sampel dicuci dengan alkohol 50%, dikeringkan dan disimpan 4oC hingga pemakaian. Analisis nilai aktivitas prebiotik dilakukan dengan menumbuhkan bakteri probiotik (%L¿GREDFWHULXPORQJXPATCC 15707/DFWREDFLOOXVSODQWDUXPJCM 1551) dan bakteri enterik ((VFKHULFLDFROLIFO 3301) pada media yang mengandung substrat 1% RS sohun teretrogradasi,1% glukosa, 1% RS produk komersial, 1% inulin dan kontrol selama 24 jam pada 37oC.%ORQJXPATCC 15707 diinkubasi pada kondisi anaerobik sedangkan ( FROLIFO 3301dan /SODQWDUXPJCM 1551 diinkubasi secara aerobik. Nilai aktivitas prebiotik ditentukan berdasarkan pertumbuhan populasi sel bakteri probiotik dan enterik selama 0 dan 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan retrogradasi 3 jam pada suhu 4oC menghasilkan sohun pati jagung dengan mutu yang paling mendekati produk komersial. Pengaruh lama waktu retrogradasi berbeda nyata terhadap kadar air produk akhir, lama pemasakan, total kehilangan padatan terlarut, rasio pengembangan, dan tekstur. Nilai aktivitas prebiotik sohun pati jagung teretrogradasi 3 jam pada pertumbuhan % ORQJXP sebesar 0,730 dan / SODQWDUXP 0,041. Nilai aktivitas prebiotik komersial A, komersial B, dan inulin pada %ORQJXPadalah 1,058; 0,405 dan 1,130 sedangkan pada /SODQWDUXP nilai aktivitasnya sebesar 0,062; 0,066; dan 0,076. Kata kunci: Sohun pati jagung, retrogradasi, mutu produk, nilai aktivitas prebiotik ABSTRACT The study was aimed to determine the optimal storage time of steamed maize starch noodle that gives the desirable properties along with the prebiotic potential. Noodle was prepared by extrusion of the partially cooked maize starch, followed by steaming the strands, and keeping strands at 4oC at various time (0, 1, 2, and 3 h) to enhance retrogradation, and then drying the noodle. The resulted noodle was characterized for physicochemical properties. To evaluate the prebiotic activity, the noodle was rehydrated, and then hydrolyzed by porcine pancreatiFĮDP\ODVHHQ]\PDFWLYLW\ 30 U/mg) and amyloglucosidase (enzym activity 300 U/mL) to obtain the resistant starch (RS) Type 3. The prebiotic activity of the RS was analayzed by the relative growth ratios of the probiotic bacterias, i. e. %L¿GREDFWHULXPORQJXP ATCC 15707 and /DFWREDFLOOXV SODQWDUXP JCM 1551, to the enteric bacteria ((VFKHULFLD FROL IFO 3301) on the UHVSHFWLYHVXEVWUDWHFRQWDLQLQJ56DWWKHUHVSHFWLYHVSHFL¿HGFRQGLWLRQ$FRPPHUFLDO56DQGLQXOLQZHUHXVHG for control.The results showed that the longer storage time of the cooked starch noodle strands led to the higher values of hardness and cooking time, but lower cooking loss and swelling index, indicating the different level of retrogradation. Prebiotic activities of the RS obtained from cooked noodle strands kept for 3 h was 0.730 based on the growth rate of the %L¿GREDFWHULXPORQJXP, and 0.041 based on that of the /DFWREDFLOOXVSODQWDUXP. The score for the
192
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
commercial RSI, commercial RSII and inulin were 1.058; 0.405; and 1.130 based on the growth of%L¿GREDFWHULXP ORQJXPrespectively. The prebioctic activities on/DFWREDFLOOXVSODQWDUXPfor the commercial RSI, commercial RS II and inulin were 0.062; 0.066; and 0.076 respectively. Keywords: Maize starch noodle, retrogradation, product property, prebiotic activity
PENDAHULUAN PHPHULQWDK JHQFDU PHQ\XDUDNDQ GLYHUVL¿NDVL SDQJDQ berbasis lokal terkait isu ketahanan pangan yang melanda Indonesia. Salah satu produk pangan yang dapat menjawab WDQWDQJDQ SHPHULQWDK GDODP GLYHUVL¿NDVL SDQJDQ EHUEDVLV lokal dan pengurangan konsumsi beras adalah sohun jagung. Hal ini didukung dengan data konsumsi nasional sohun jagung dari tahun ke tahun yang mengalami kenaikan. Pada tahun 2006 jumlah konsumsi sohun jagung sebanyak 2.400 ton, lalu tahun 2009 meningkat menjadi sekitar 120 ribu ton 5L\DQWR 'DUL VXGXW SDQGDQJ GLYHUVL¿NDVL SDQJDQ peluang tersebut harus diikuti dengan peningkatan daya saing melalui perbaikan mutu dan penambahan sifat fungsional produk. Galvez dkk. (1994) dalam Kim dkk. (1996) melaporkan bahwa sohun yang diinginkan konsumen harus mempunyai struktur yang kokoh, tidak lengket saat dimasak, tidak berwarna, mengkilap, transparan, lama pemasakan singkat, padatan yang larut dalam air masakan (total kehilangan padatan) sedikit dan terasa lunak. Parameter yang paling mudah diamati oleh konsumen adalah total kehilangan padatan dan tingkat kepatahan sohun. Total kehilangan padatan berhubungan dengan daya tahan sohun pada saat pemasakan. Total kehilangan padatan yang tinggi ditandai dengan keruhnya air masakan karena banyak pati yang larut (Bhattacharya dkk., 1999). Keadaan ini tidak diinginkan karena menyebabkan penurunan mutu masakan sohun. Proses pembuatan sohun di Indonesia pada umumnya tidak menggunakan tahap retrogradasi pati setelah tahap gelatinisasi pati. Tahap retrogradasi penting dilakukan karena memberi kesempatan bagi amilosa dan amilopektin untuk membentuk jaringan gel yang kuat. Jane dan Chen (1992) dalam Tan dkk. (2009) menyebutkan bahwa selama proses retrogradasi amilosa berkristalisasi sehingga strukturnya kompak dan tahan terhadap hidrolisis. Penambahan tahap retrogradasi mempengaruhi daya tahan sohun selama pemasakan sehingga akan diperoleh total kehilangan padatan yang rendah. Proses retrogradasi tidak hanya mempengaruhi karakter mutu sohun tetapi juga berpengaruh pada sifat fungsionalnya. Retrogradasi dengan pendinginan pada pati tergelatinisasi mendorong pembentukan pati resisten. Pati resisten tahan terhadap hidrolisis enzim amilase dalam saluran pencernaan
sehingga lolos masuk ke dalam kolon. Menurut Gibson dan Roberfroid (1995), serat pangan seperti oligosakarida GDQ SDWL UHVLVWHQ VHFDUD VLJQL¿NDQ GDSDW PHPRGXODVL ÀRUD usus, menghasilkan SCFA (VKRUW FKDLQ IDWW\ DFLG) terutama propionat yang berpengaruh pada metabolisme kolesterol dan butirat yang berpotensi menurunkan risiko berkembangnya kanker kolon. Sifat resisten pati teretrogradasi masuk dalam konsep prebiotik. Prebiotik merupakan bahan makanan \DQJ GDSDW PHPRGXODVL SHUWXPEXKDQ PLNURÀRUD GL VDOXUDQ pencernaan secara selektif dan memberi efek kesehatan. Penambahan tahap retrogradasi penting dilakukan dalam proses pembuatan sohun jagung terkait pengaruhnya terhadap perbaikan mutu dan pembentukan sifat fungsional produk. Penelitian ini dilakukan untuk mencari lama waktu UHWURJUDGDVL \DQJ PHPEHULNDQ VLIDW ¿VLNRNLPLD RSWLPDO pada sohun pati jagung dan mengetahui pembentukan sifat fungsional produk menjadi prebiotik melalui nilai aktivitas prebiotik. METODE PENELITIAN Bahan dan Alat Bahan pembuatan sohun adalah pati jagung dan air. Produk komersial sohun pati jagung (Putri Jagung-TPS) dan bihun beras (Superior-TPS) sebagai pembanding. Bahan kimia analisis kadar amilosa antara lain: etanol 96%, NaOH 1 N, asam asetat 1 N, amilosa murni, dan larutan iodine 0,2%. %DKDQSUHSDUDVL56HQ]LPĮDPLODVHSDQNUHDWLQ8PJ amiloglukosidase (300 U/mL), buffer natrium maleat pH 6, etanol 96%, etanol 50%, dan kertas saring. Pada uji nilai aktivitas prebiotik digunakan kultur murni %L¿GREDFWHULXP ORQJXP ATCC 15707 /DFWREDFLOOXV SODQWDUXP JCM 1551 dan (VFKHULFLD FROL IFO 3301 dari Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, alkohol 70%, akuades, media MRS, Nutrient Broth, MRS agar, Nutrient Agar, pepton, l-cystein, basal medium A dan B, inulin, dan glukosa. Alat yang digunakan dalam pembuatan sohun adalah timbangan, KDQG PL[HU, loyang, kukusan, kompor, cetakan sohun, lemari pendingin, dan FDELQHW GU\HU. Analisis sifat ¿VLNRNLPLD GHQJDQ WLPEDQJDQ DQDOLW RYHQ GHVLNDWRU blender, spektrofotometer, dan kompor listrik. Preparasi RS menggunakan pH meter, falcon, ZDWHUEDWK VKDNHU, dan
193
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
alat sentrifuse. Uji nilai aktivitas prebiotik menggunakan mikropipet, propipet, vortex, ZDWHUEDWK rak, ose, driglaski, DQDHURELF MDU, DXWRFODYH, ODPLQDU ÀRZ, inkubator 37oC, timbangan analit, JODVVLQVWUXPHQW, dan spatula. Analisis Bahan Baku Pati jagung diukur kadar air (AOAC, 1984), kadar amilosa (AOAC, 1984), serta volume pengembangan dan kelarutan pati (Adebowale dkk., 2003). Pembuatan Sohun Pencampuran pati jagung (estimasi Ka = 12%) sebanyak 450 g dan air sebanyak +250 mL dengan memperhitungkan kadar air pati (perbandingan pati kering : volume air = 1:1,5). Adonan diaduk hingga tercampur merata. Adonan dibuat pelet dengan panjang 3-5 cm dan dicetak dengan )RRG ([WUXGHU PD 45-N, La. Pramigiana (diameter cetakan berukuran 15 mm). Pelet dikukus selama + 3 menit. Pelet yang telah dikukus kemudian dicampur kembali hingga seluruh adonan merata. Lalu dicetak kembali menggunakan )RRG ([WUXGHU dengan diameter cetakan berukuran 0,7 mm dan diperoleh untaian sohun mentah. Sohun mentah dikukus + 20 menit hingga masak. Lalu proses retrogradasi pada suhu 4oC dengan variasi waktu 0, 1, 2, dan 3 jam. Sohun pasca retrogradasi dikeringkan pada FDELQHWGU\HU pada suhu 50°C hingga kadar air < 12%. Pengujian Sifat Fisikokimia Sohun Parameter mutu produk yaitu kadar air (AOAC, 1984), lama pemasakan (Collado dkk, 2001), total kehilangan padatan dan rehidrasi (Tan dkk., 2009) rasio pengembangan sohun (Nwabueze dan Anoruoh, 2011), elongasi dan WHQVLOH VWUHQJWK (Chen dkk., 2002), tekstur (Kim dan Seib, 1993 dalam Tam dkk., 2004), dan kuat patah bihun kering (Suryani, 1999) 3HQJXMLDQ VLIDW ¿VLN VRKXQ PHQJJXQDNDQ 8QLYHUVDO 7HVWLQJ 0DFKLQH (Zwick 0.5, Lloyd’s Universal Testing Instrument), dan mikrometer tipe VFUHZ JDXJH (Mitutoya, Japan) dengan tingkat ketelitian 0,01 mm.
enzim-substrat ditambah 4 mL etanol 96% lalu digoyang hingga tercampur merata. Tabung falcon berisi campuran disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Supernatan dipisahkan, pelet dilarutkan dalam 8 mL etanol 50%, lalu digoyang dan disentrifugasi lagi dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Pembuatan suspensi dan tahap sentrifugasi sekali lagi dilakukan. Supernatan dipisahkan dan tabung dibalik diatas kertas absorben untuk menghilangkan cairan yang masih tersisa. Natan berupa RS disimpan pada suhu 4oC hingga waktu pemakaian. Nilai Aktivitas Prebiotik Pengujian aktivitas prebiotik sohun pati jagung dengan waktu retrogradasi terpilih dilakukan dengan PHWRGH +XHEQHU GNN WHUPRGL¿NDVL *DPEDU Prinsip metode berdasarkan perbandingan pertumbuhan biomassa sel probiotik setelah diinkubasikan selama 24 jam pada 1% prebiotik maupun 1% glukosa dengan perubahan pertumbuhan biomassa sel enterik yang diinkubasikan pada kondisi suhu yang sama. Skor aktivitas prebiotik dihitung menggunakan rumus Huebner dkk. (2007): ୪୭ ୮୰୭ୠ୧୭୲୧୩୮ୟୢୟ୮୰ୣୠ୧୭୲୧୩ଶସ୨ୟ୫ି୪୭ ୮୰୭ୠ୧୭୲୧୩୮ୟୢୟ୮୰ୣୠ୧୭୲୧୩୨ୟ୫
ቄ
୪୭ ୮୰୭ୠ୧୭୲୧୩୮ୟୢୟ୪୳୩୭ୱୟଶସ୨ୟ୫ି୪୭ ୮୰୭ୠ୧୭୲୧୩୮ୟୢୟ୪୳୩୭ୱୟ୨ୟ୫ ୪୭ ୣ୬୲ୣ୰୧୩୮ୟୢୟ୮୰ୣୠ୧୭୲୧୩ଶସ୨ୟ୫ି୪୭ ୣ୬୲ୣ୰୧୩୮ୟୢୟ୮୰ୣୠ୧୭୲୧୩୨ୟ୫
ቄ
୪୭ ୣ୬୲ୣ୰୧୩୮ୟୢୟ୪୳୩୭ୱୟଶସ୨ୟ୫ି୪୭ ୣ୬୲ୣ୰୧୩୮ୟୢୟ୪୳୩୭ୱୟ୨ୟ୫
ቅെ
ቅ=
Rancangan Percobaan dan Analisis Data Penelitian berdasarkan Rancangan Acak Lengkap. Variabel terikat adalah lama waktu retrogradasi 0, 1, 2 dan 3 jam. Dibandingan dengan kontrol yaitu sohun pati jagung (FROL
/SODQWDUXP%ORQJXP Pembuatan inokulum 1% pada 10 ml MRS cair
Pembuatan inokulum 1% pada 10 ml Nutrient Broth
Inkubasi 37oC, 20-24 jam
Inokulasi 1% inokulum pada 10 ml basal medium A dengan 1% RS, 1% inulin dan 1% glukosa
Inokulasi 1% inokulum pada 10 ml basal medium B dengan 1% RS, 1% inulin dan 1% glukosa
Preparasi Pati Resisten Produksi pati resisten menggunakan metode Mc Cleary dan Monaghan (2002). Sebanyak 0,2 gram sohun pati jagung yang sudah halus dimasukkan dalam tabung falcon, GLVXVSHQVLNDQ GDODP P/ ĮDPLODVH SDQNUHDWLQ porcine (10 mg/mL) yang mengandung amiloglukosidase (3U/ mL) dalam buffer A yaitu campuran 0,1 M natrium maleat pH 6,0 yang mengandung CaCl (1mM) dan natrium azida (0,02%). Campuran enzim-substrat dicampur dengan vorteks lalu diinkubasi pada suhu 37oC dengan VKDNLQJ ZDWHUEDWK kecepatan 100 rpm selama 16 jam. Pasca inkubasi, campuran
194
3ODWWLQJ jam ke-0 dan 24 dengan metode SRXUSODWH pada media MRS untuk /SODQWDUXP, %ORQJXP dan NA untuk (FROL. (semua sampel duplo) Inkubasi 37oC (/ SODQWDUXP dan ( FROL aerob, %ORQJXP anaerob) Enumerasi jam ke-0 dan 24 jam Penghitungan aktivitas prebiotik
Gambar 1. Bagan alir penentuan nilai aktivitas prebiotik (Huebner dkk., WHUPRGL¿NDVL
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
(bihun jagung) dan sohun tepung beras komersial. Setiap perlakuan dilakukan tiga kali ulangan analisis. Analisis data statistik menggunakan 6WDWLVWLFDO 3URGXFW DQG 6HUYLFH 6ROXWLRQ (SPSS) versi 16. Data diolah dengan metode ANOVA ($QDO\VLV 2QH 9DULDQFH). Apabila pengaruhnya VLJQL¿NDQ 3 PDND GLODQMXWNDQ GHQJDQ XML 'XQFDQ 0XOWLSOH 5DQJH 7HVW untuk menentukan perbedaan antara rataan perlakuan.
pengikatan air oleh granula pati. Granula pati mengembang dan saat mencapai suhu gelatinisisasi, granula akan pecah dan molekul pati larut dalam air. Kisaran suhu gelatinisasi pati jagung dengan amilosa tinggi yaitu 66-170oC (Whistler dan BeMiller, 2009). Tabel 1.Volume pengembangan dan kelarutan pati Suhu (oC) 60 75 90
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisikokimia Pati Jagung Kadar air pati jagung. Hasil analisis kadar air pati jagung sebesar 11,77% (berat basah). Hal ini tak jauh berbeda dengan hasil penelitian Ariyantoro (2012), pati jagung mempunyai kadar air sebesar 11,79% (berat basah). Kadar air pati menentukan jumlah air yang ditambahkan dalam pembuatan adonan sohun. Kadar amilosa pati jagung. Analisis pati jagung mendapatkan kadar amilosa sebesar 46,64%. Tam dkk. (2004) menggolongkan pati jagung dengan kadar amilosa 40,060,8% sebagai pati jagung amilosa tinggi. Kim dkk. (1996) menyatakan semakin tinggi kadar amilosa pati, semakin kuat struktur gel yang terbentuk semakin kukuh untaian sohun matang dan semakin kecil total kehilangan padatan selama pemasakan. Volume pengembangan dan kelarutan pati. Volume pengembangan merupakan kenaikan volume dan berat maksimum pati selama mengalami pengembangan di dalam air. Hasil analisis volume pengembangan dan kelarutan pati terlihat pada Tabel 1 menggunakan 3 variasi suhu untuk melihat kenaikan volume pengembangan dan kelarutan pati pada kisaran suhu tertentu. Semakin tinggi suhu pemanasan, nilai volume pengembangan dan kelarutan pati semakin besar. Suhu pemanasan yang tinggi mempercepat
Volume Pengembangan (g/g) 1,28 7,52 9,58
Kelarutan pati (%) 6,27 11,55 25,83
Karakteristik Fisikokimia Sohun Kadar air dan sifat pemasakan sohun. Hasil pengukuran kadar air dan sifat pemasakan sohun seperti lama pemasakan, total kehilangan padatan, rehidrasi, dan rasio pengembangan tersaji dalam Tabel 2. a.
Kadar air sohun jagung
Produk sohun dengan variasi waktu retrogradasi telah memenuhi standar kadar air yang dipersyaratkan menurut SNI 7621-2011 yaitu maksimal 12% (berat basah). Semakin rendah kadar air, umur simpan produk menjadi lebih lama. Akan tetapi sohun dengan kadar air yang semakin rendah menyebabkan produk menjadi getas sehingga lebih mudah hancur saat terkena gaya. Berdasarkan Tabel 2, perlakuan lama waktu retrogradasi memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar air produk. Semakin lama waktu retrogradasi, semakin tinggi kadar air produk akhir. Menurut Whistler dan BeMiller (2009), selama retrogradasi terjadi pembentukan ikatan hidrogen pada gugus hidroksil antar molekul amilosa membentuk bagian kristalin yang kompak dalam jaringan tiga dimensi. Pada tahap pengeringan sohun teretrogradasi, pembentukan bagian kristalin menyebabkan untaian sohun lebih mudah patah meskipun dimungkinkan masih berkadar air tinggi. Oleh karena itu, banyaknya struktur kristalin yang
Tabel 2. Kadar air dan sifat pemasakan sohun Perlakuan Sohun retrogradasi 0 jam Sohun retrogradasi 1 jam Sohun retrogradasi 2 jam Sohun retrogradasi 3 jam Komersial A Komersial B
Kadar air (% berat basah) 7,25a 8,76b 10,60c 11,97d 10,46c 11,72d
Lama pemasakan (menit) 2,75b 3,20c 3,50d 3,70d 2,00a 2,20a
Total kehilangan padatan (%) 7,88d 6,96c 5,02b 4,61b 0,97a 1,50a
Rehidrasi (%) 284,56b 272,00b 269,84b 267,42b 249,87a,b 228,64a
Rasio pengembangan (%) 176,80d 165,18c 165,06c 150,18b 104,50a 108,98a
+XUXIVXSHUVNULS\DQJVDPDSDGDNRORP\DQJVDPDPHQ\DWDNDQWLGDNEHGDQ\DWDSDGDWLQJNDWVLJQL¿NDQVL komersial A = sohun jagung; komersial B = bihun beras
a,b,c,d *)
195
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
terbentuk mempengaruhi kemudahan patah untai sohun meskipun produk berkadar air tinggi. b.
Lama pemasakan (FRRNLQJWLPH)
Lama pemasakan merupakan waktu yang dibutuhkan sohun untuk terehidrasi sempurna (Collado dkk., 2001). Tabel 2 menyatakan bahwa lama pemasakan bihun komersial lebih singkat yaitu 2,00 menit (komersial A) dan 2,20 menit (komersial B). Sementara lama pemasakan sohun dengan variasi lama waktu retrogradasi berbeda nyata satu sama lain. Semakin lama waktu retrogradasi, semakin besar nilai lama pemasakan. Tam dkk. (2004) menyebutkan bahwa struktur kristalin yang terbentuk akibat retrogradasi menghalangi penetrasi air masuk ke dalam pati, sehingga waktu masak menjadi lebih lama. Nilai lama pemasakan sohun komersial jauh lebih kecil dibandingkan sohun teretrogradasi karena penambahan zat aditif pada formula sohun komersial. Menurut Sajilata dkk. (2005), keberadaan ion dapat mencegah pembentukan ikatan hidrogen antar rantai amilosa dan amilopektin karena penyerapan ion pada gugus rantai pati. Dengan kata lain penambahan zat aditif pada sohun teretrogradasi tidak mungkin dilakukan. Tahap retrogradasi bertujuan menghasilkan untai sohun yang lebih kukuh sehingga sohun teretrogradasi tidak diarahkan menjadi produk instan yang dapat direhidrasi dalam waktu yang singkat. c.
Total kehilangan padatan (FRRNLQJORVV)
Nilai FRRNLQJORVV yang tinggi tidak dikehendaki karena menyebabkan mutu dari bihun tersebut berkurang dengan hilangnya padatan saat pemasakan. CRRNLQJ ORVV sohun komersial lebih rendah dan berbeda nyata dibandingkan dengan sohun yang mengalami retrogradasi. Pada industri sohun proses ekstruksi dilakukan dengan tenaga yang besar sehingga menghasilkan untaian sohun yang lebih rapat dan kompak. Untaian sohun yang rapat menyebabkan pori-pori menjadi kecil sehingga akan mengurangi hilangnya padatan selama pemasakan. &RRNLQJORVVsohun teretrogradasi menjadi semakin turun seiring bertambahnya lama waktu retrogradasi karena retrogradasi amilosa yang sempurna. Dalam Lee dkk.
(2005), FRRNLQJ ORVV pada sohun pati ubi kayu berkurang dengan bertambahnya lama waktu retrogradasi. Menurut Mestres (1988) dalam Chen dkk. (2002), FRRNLQJ ORVV dipengaruhi oleh rekristalisasi pati yang mempengaruhi sifat gel pati. Retrogradasi menyebabkan terbentuknya kembali struktur kristalin pati setelah tergelatinisasi. Struktur jaringan tiga dimensi yang kompak menghalangi hilangnya padatan sohun sehingga menurunkan nilai FRRNLQJORVVsohun. d.
Rehidrasi
Rehidrasi merupakan persen pertambahan berat sohun akibat penyerapan air selama pemasakan, umumnya disebut pulaFRRNLQJZHLJKW (Tan dkk., 2009). Perlakuan lama waktu retrogradasi 0, 1, 2, dan 3 jam tidak berpengaruh secara nyata terhadap rehidrasi sohun yang dihasilkan. Hal ini ditunjukkan hasil uji DMRT yang bernotasi sama. Waktu retrogradasi yang lebih lama dimungkinkan dapat memberikan pengaruh terhadap penurunan nilai rehidrasi karena semakin banyak ikatan antar pati yang membentuk jaringan kokoh selama retrogradasi dapat menghalangi masuknya air selama proses pemasakan. e.
Rasio pengembangan (VZHOOLQJLQGH[)
Rasio pengembangan (VZHOOLQJ LQGH[) merupakan rasio perbandingan pengembangan ukuran (diameter) sohun saat kering dan setelah dimasak (Nwabueze dan Anoruoh, 2011). Variasi lama waktu retrogradasi berpengaruh nyata terhadap rasio pengembangan sampel. Semakin lama waktu retrogradasi, semakin kecil nilai rasio pengembangan. Selama retrogradasi, molekul amilosa yang berbentuk linier membentuk jaringan internal yang menghalangi penyerapan air selama pemasakan sehingga menurunkan tingkat rasio pengembangannya. Menurut Chen dkk. (2002), rasio pengembangan dipengaruhi oleh proses rekristalisasi pati yang terjadi selama proses retrogradasi. 6LIDW ¿VLN VRKXQ +DVLO SHQJXNXUDQ VLIDW ¿VLN VRKXQ seperti elongasi,WHQVLOHVWUHQJWK, tekstur dan kuat patah sohun kering tersaji dalam Tabel 3.
7DEHO6LIDW¿VLNVRKXQ Perlakuan Sohun retrogradasi 0 jam Sohun retrogradasi 1 jam Sohun retrogradasi 2 jam Sohun retrogradasi 3 jam Komersial A Komersial B a,b,c,
Elongasi (%) 58,18 50,02 43,56 38,41 60,27 59,52
7HQVLOH VWUHQJWK (N) 0,032a 0,034a 0,035a 0,037a 0,119c 0,049b
Tekstur (N) 0,364a 0,460a 1,097b 1,234b 0,498a 1,068b
+XUXIVXSHUVNULS\DQJVDPDSDGDNRORP\DQJVDPDPHQ\DWDNDQWLGDNEHGDQ\DWDSDGDWLQJNDWVLJQL¿NDQVL
* Pengujian tidak dapat dilakukan sebab untai sohun sangat lenting
196
Kuat patah sohun kering (N) -* -* -* -* 1,919b 1,126a
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
a.
Elongasi
Elongasi menunjukkan persentase perubahan panjang sohun maksimum sampai putus saat menerima perlakuan mekanis berupa gaya tarik dibandingkan dengan panjang mulamula. Perlakuan lama waktu retrogradasi tidak berpengaruh nyata terhadap sampel sohun teretrogradasi. Hasilnya pun tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan dua produk komersial. Hal serupa ditemui pada penelitian Ariyantoro (2012) bahwa lamanya pendinginan tidak berpengaruh secara nyata terhadap elongasi sohun. b.
7HQVLOHVWUHQJWK
7HQVLOH VWUHQJWK atau kuat tarik merupakan sifat ¿VLN VRKXQ \DQJ PHQXQMXNNDQ JD\D PDNVLPXP XQWXN memutuskan sohun masak dengan perlakuan mekanis berupa tarikan. Semakin kecil gaya yang diperlukan untuk memutuskan untaian sohun menunjukkan kualitas sohun yang semakin rendah karena mudah hancur selama pemasakan. Perlakuan lama waktu retrogradasi 0, 1, 2, dan 3 jam tidak berpengaruh secara nyata terhadap WHQVLOH VWUHQJWK sohun masak. Dimungkinkan terjadi pengaruh yang nyata jika retrogradasi dilakukan lebih lama. Menurut Jane dan Chen (1992) dalam Tan dkk. (2009), selama retrogradasi struktur pati menjadi lebih kompak karena molekul amilosa saling berikatan membentuk gugus kristalin. Hal ini mempengaruhi GD\DWDKDQ¿VLNVRKXQVHODPDSHPDVDNDQ c.
Kekerasan
Tekstur merupakan sifat yang berhubungan dengan kekuatan atau konsistensi gel yang terbentuk setelah diseduh. Hasil sampel teretrogradasi 0 dan 1 jam memiliki nilai yang tidak jauh berbeda dengan komersial A. Sementara sampel teretrogradasi 2 dan 3 jam memiliki nilai yang tidak berbeda nyata dengan komersial B. Hasil analisis menunjukkan kecenderungan semakin lama waktu retrogradasi, semakin
besar nilai kekerasan sohun. Retrogradasi pati selama pendinginan menyebabkan rantai pati menjadi stabil pada matriks gel. Hal ini menyebabkan gaya yang dibutuhkan untuk menghancurkan sohun semakin besar seiring bertambahnya waktu retrogradasi. Tan dkk. (2009) menyebutkan bahwa sifat tekstur pada sohun berupa kekerasan yang diuji menggunakan alat penguji tekstur berkorelasi positif terhadap lama waktu retrogradasi. d.
Kuat patah sohun kering
Saat pengujian tidak didapatkan nilai kuat patah pada sohun kering teretrogradasi karena untaian sohun yang terlalu lenting sehingga tidak dapat dipatahkan. Retrogradasi mempengaruhi kelentingan sohun jagung kering karena SHPEHQWXNDQ VWUXNWXU NULVWDOLQ PHQ\HEDENDQ ¿VLN VRKXQ menjadi kokoh. Nilai kuat patah produk sohun komersial masih dapat diukur karena proses pembuatan sohun tanpa retrogradasi sehingga tahap pembentukan jaringan kristalin yang kokoh tidak sempat terjadi. Spider web karakteristik sohun. Pada Gambar 2, nilai setiap parameter dianggap semakin baik jika semakin menjauhi titik pusat VSLGHU ZHE. Skala parameter elongasi, WHQVLOHVWUHQJWK dan tekstur menunjukkan nilai yang semakin besar jika menjauhi titik pusat VSLGHU ZHE. Semakin besar nilai pada elongasi, WHQVLOHVWUHQJWK dan tekstur menunjukkan kualitas sohun yang semakin baik. Sementara untuk parameter lama pemasakan (FRRNLQJWLPH), total kehilangan padatan (FRRNLQJ ORVV), rasio pengembangan, dan rehidrasi menunjukkan nilai yang semakin kecil jika menjauhi titik pusat VSLGHUZHE sehingga semakin kecil nilai semakin baik kualitas sohun. Parameter kuat patah sohun kering tidak masuk dalam VSLGHUZHE karena tidak didapatkan hasil analisis pada sampel sohun dengan variasi lama waktu retrogradasi. Dari gambar VSLGHUZHEsohun teretrogradasi 3 jam memiliki hasil
Gambar 2. Spider web karakteristik sohun
197
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
analisis yang nilainya mendekati komersial A dan komersial B jika dibandingkan dengan sampel sohun teretrogradasi 0, 1 dan 2 jam. Hal ini tampak pada beberapa parameter seperti total kehilangan padatan, rehidrasi, rasio pengembangan, dan WHQVLOH VWUHQJWK. Pada keempat parameter tersebut hasil analisis sohun teretrogradasi 3 jam berada pada skala titik paling luar menjauhi pusat VSLGHU ZHE dan dekat dengan sampel komersial sebagai pembanding. Hal ini menjadi pertimbangan dalam pemilihan sohun teretrogradasi 3 jam untuk dianalisis nilai aktivitas prebiotiknya. Nilai Aktivitas Prebiotik
mendegradasi polisakarida dan oligosakarida menjadi gula sederhana yang dapat digunakan untuk fermentasi. KESIMPULAN Perlakuan retrogradasi 3 jam pada suhu 4oC menghasilkan sohun pati jagung dengan mutu yang paling mendekati produk komersial dibandingkan variasi waktu 0, 1, dan 2 jam. RS sohun teretrogradasi 3 jam dapat digunakan bakteri probiotik sebagai substrat pertumbuhan dengan nilai aktivitas prebiotik yang berbeda yaitu pada %ORQJXP sebesar 0,730 dan /SODQWDUXP0,041. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis berterima kasih kepada PT Indofood Sukses Makmur Tbk yang telah memberikan dana penelitian melalui program Indofood Riset Nugraha 2012-2013. DAFTAR PUSTAKA
Gambar 3. Nilai aktivitas prebiotik sampel
Hasil pengujian menunjukkan proses retrogradasi selama 3 jam membentuk sifat fungsional sohun jagung sebagai prebiotik tetapi kemampuannya dalam mendorong pertumbuhan bakteri /SODQWDUXP tidak lebih baik dibanding komersial A, komersial B dan inulin (Gambar 3). Urutan nilai aktivitas prebiotik pada bakteri %ORQJXPadalah komersial A, sohun teretrogradasi 3 jam dan komersial B yaitu 1,058; 0,730; dan 0,405. Nilai aktivitas prebiotik sohun teretrogradasi 3 jam tidak lebih baik dibanding inulin sebagai prebiotik komersial. Jika dibandingkan dengan sampel lainnya, sohun retrogradasi 3 jam memiliki nilai yang lebih besar dari komersial B tetapi lebih kecil dibanding komersial A. Hal ini menunjukkan bahwa proses retrogradasi membentuk sifat fungsional prebiotik pada sohun jagung tetapi nilainya tidak lebih baik daripada inulin dan komersial A. Secara keseluruhan sohun retrogradasi 3 jam dapat mendorong pertumbuhan bakteri %ORQJXPdan /SODQWDUXP dengan nilai aktivitas prebiotik pada % ORQJXP 0,730 dan / SODQWDUXP 0,041. Data tersebut menunjukkan bahwa proses retrogradasi membentuk sifat fungsional prebiotik pada sohun jagung walaupun kemampuan mendorong pertumbuhan kedua bakteri probiotik tersebut berbeda-beda. Nilai aktivitas prebiotik pada % ORQJXP lebih tinggi pada semua sampel dibanding /SODQWDUXP. Van Den Broek dan Voragen (2007) melaporkan bahwa %L¿GREDFWHULXP sp. mampu menghasilkan enzim hidrolase glikosida yang
198
Adebowale, K.O. dan Lawal, O.S. (2003). Microstructure, physicochemical properties and retrogradation behaviour of Mucuna Bean Starch on heat moisture treatment. )RRG+\GURFROORLGV17: 265-272. Anonim (1984). 2I¿FLDO 0HWKRGHV RI $QDO\VLV RI WKH $VVRFLDWLRQRI$QDO\WLFDO&KHPLVW. 14th ed. AOAC Inc. Arlington. Virginia. Ariyantoro, A.R. (2012). 3HQJDUXK SURSRUVL FDPSXUDQ GDQ /DPD3HQGLQJLQDQ6HWHODK3HQJXNXVDQ%LKXQGDUL3DWL -DJXQJGDQ7HSXQJ8EL.D\XWHUKDGDS6LIDW)LVLNRNLPLD. Tesis Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Bhattacharya, M., Zee, S.Y. dan Harold, C. (1999). Physicochemical properties related to quality of rice noodles. &HUHDO&KHPLVWU\76(6): 861-867. BSN (2011). 61, %LKXQ -DJXQJ . Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. Chen, Z., Sagis, L., Legger, A., Linssen, J.P.H., Schols, H.A. dan Voragen, A.G.J. (2002) Evaluation of starch noodles made from three typical Chinese sweet potato starches. -RXUQDORI)RRG6FLHQFH6(9): 3342-3347. Collado, L.S., Mabesa, L.B., Oates, C.G. dan Corke, H. (2001). Bihon type noodles from heat moisture treated sweet potato starch. -RXUQDO RI )RRG 6FLHQFH 66(4): 604-609.
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Gibson. G. R. dan Roberfroid. M.B. (1995). Modulation of the human colonic microbiota: introducing the concept of prebiotics. -RXUQDORI1XWULWLRQ125: 1401-1412.
Sajilata, M.G., Singhal, R.S. dan Klukarni, P.R. (2006). Resistant starch–a review. &RPSUHKHQVLYH 5HYLHZV LQ )RRG6FLHQFHDQG)RRG6DIHW\ 5(1): 1-17.
Huebner, J., Wehling, R.L. dan Hutkins, R.W. (2007). Functional activity of commercial prebiotics. ,QWHUQDWLRQDO'DLU\-RXUQDO17: 770-775.
Suryani, C.L. (1999). 3HPXWLKDQGDQ3HQJLNDWDQ6LODQJ3DWL 6DJX XQWXN 6XEVWLWXVL %HUDV SDGD 3HPEXDWDQ %LKXQ 7HVLV. Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kim, Y.S., Dennis, P.W., James, H.L. dan Patrizia, B. (1996). Suitability of edible bean and potato starches for starch noodles. &HUHDO&KHPLVWU\73(3): 302-308. Lee, S.Y., Woo, K.S, Lim, J.K., Kim, H.I. dan Lim, S.T. (2005). Effect of processing variables on texture of sweet potato starch noodles prepared in a nonfreezing process. &HUHDO&KHPLVWU\82(4): 475-478. Mc Cleary, B.V. dan Monaghan, D.A. (2002). Measurement of resistant starch. -RXUQDO RI $2$& ,QWHUQDWLRQDO 85(3): 665-675. Nwabueze, T.U. dan Anoruoh, G.A. (2011). Evaluation of ÀRXUDQGH[WUXGHGQRRGOHVIURPHLJKWFDVVDYDPRVDLF disease resistant varieties. )RRG%LRSURFHVV7HFKQRORJ\ 4(1): 80-91. Riyanto, S. (2009). Melirik turunan jagung. http://www.agrinaonline.com/show_article.php?rid=10andaid=1975. [18 Maret 2012].
Tam, L.M., Harold, C., Wilson, T.T., Jiansheng, L. dan Lilia, S.C. (2004). Production of ELKRQ-type noodles from maize starch differing in amylose content &HUHDO &KHPLVWU\81(4): 475-480. Tan, H.Z., Li, Z.G. dan Tan, B. (2009). Starch noodles: KLVWRU\ FODVVL¿FDWLRQ PDWHULDOV SURFHVVLQJ VWUXFWXUH nutrition, quality evaluating and improving. )RRG 5HVHDUFK,QWHUQDWLRQDO42: 551-576. Van Den Broek, L.A.M. dan Voragen, A.G.J. (2008). %L¿GREDFWHULXP JO\FRVLGH K\GURODVH DQG SRWHQWLDO prebiotics. ,QQRYDWLYH )RRG 6FLHQFH DQG (PHUJLQJ 7HFKQRORJLHV9: 401-407. Whistler, R.L. dan BeMiller, J.N. (2009). 6WDUFK&KHPLVWU\ DQG 7HFKQRORJ\ Academic Press, United States of America.
199
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
PENDUGAAN UMUR SIMPAN JAGUNG MANIS BERDASARKAN KANDUNGAN TOTAL PADATAN TERLARUT DENGAN MODEL ARRHENIUS Shelf Life Estimation of Sweet Corn Based on Its Total Soluble Solid by Using Arrhenius Model Rita Khathir, Ratna, Mega Apriesti Puri Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Jl. Tgk. H. Hasan Krueng Kalee No. 10 Darussalam, Banda Aceh 23111 Email:
[email protected] ABSTRAK Umur simpan jagung manis relatif singkat apalagi kalau disimpan pada suhu ruang di negara-negara tropis (28-32°C). Kerusakan jagung manis dapat diindikasikan dengan penurunan kandungan gulanya. Penelitian ini bertujuan untuk menduga umur simpan jagung manis berdasarkan reaksi penurunan kandungan total padatan terlarutnya (TPT) dengan pendekatan model Arrhenius. Jagung manis segar yang baru siap panen segera disimpan selama 10 hari pada 3 kombinasi suhu yaitu 5, 15 dan 28°C. Setiap hari dilakukan analisis kandungan TPT dengan UHIUDNWRPHWHUDEEH. Uji organoleptik dilakukan dengan skala hedonik 1-7. Proses pengamatan dihentikan apabila responden telah memberikan nilai 5 (agak tidak suka), 6 (tidak suka) dan 7 (sangat tidak suka). Pendekatan model Arrhenius dilakukan dengan dua persamaan yaitu persamaan orde 0 dan orde 1. Hasil analisis menunjukkan bahwa kedua persamaan tersebut dapat dipergunakan untuk menduga umur simpan jagung. Nilai faktor percepatan reaksi penurunan mutu (Q10) untuk persamaan orde 0 adalah 1,49, sedangkan nilai Q10 untuk persamaan orde 1 adalah 1,51. Dengan menggunakan pendekatan orde 0, penyimpanan jagung manis pada suhu 30, 25, 20,15, 10 dan 5°C akan berpengaruh kepada umur simpan jagung manis menjadi 3,7, 4,5, 5,5, 6,7, 8,2, dan 10 hari. Sedangkan dengan pendekatan orde 1, penyimpanan jagung manis pada suhu yang sama akan berpengaruh kepada umur simpan jagung manis menjadi 3,7, 4,5, 5,6, 6,8, 8,4, dan 10,3 hari. Dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil dugaan tersebut sangat valid dengan hasil observasi. Kata kunci: Jagung manis, umur simpan, total padatan terlarut ABSTRACT Sweet corn has short shelf life at room temperature storage in the tropical countries (28-33°C). The quality deterioration of sweet corn can be determined by the decrease of its sugar content. The study aimed to estimate the shelf life of sweet corn based on the reduction of its total soluble solid (TSS) by using Arrhenius model. The samples were prepared from fresh harvested corn stored for 10 days at 3 different temperatures of 5, 15 and 28 °C. Total soluble solid (TSS) were analyzed every day by using abbe refractrometer. Organoleptic analysis was used by using hedonic scales from 1 to 7. The analysis was conducted until respondents had graded the samples at score 5 (dislike slightly), 6 (dislike) and GLVOLNHH[WUHPHO\ 7KH$UUKHQLXVPRGHOZDVDSSOLHGDWQXOODQG¿UVWRUGHUGHJUDGDWLRQ5HVXOWVVKRZHGWKDWERWK approaches can be used to calculate the shelf life of sweet corn. The acceleration factor for the TSS degradation at null RUGHUZDVZKLOHWKHDFFHOHUDWLRQIDFWRUIRUWKH766GHJUDGDWLRQDW¿UVWRUGHUZDV%\XVLQJWKHQXOORUGHU approach, it was estimated that if the sweet corn were stored at temperature of 30, 25, 20, 15, 10 and 5°C, the shelf OLIHZDVDQGGD\VUHVSHFWLYHO\:KLOHE\XVLQJWKH¿UVWRUGHUDSSURDFKDWWKHVDPHVWRUDJH temperatures, the shelf life of sweet corn would be 3.7, 4.5, 5.6, 6.8, 8.4, and 10.3 days. In conclusion, the shelf life predictions of sweet corn were valid well with the experimental results. Keywords: Sweet corn, shelf life, total soluble solid
200
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
PENDAHULUAN Bahan pangan atau makanan akan mengalami proses penurunan mutu selama distribusi dan penyimpanan sampai kepada taraf tidak dapat dikonsumsikan lagi. Mekanisme penurunan mutu ini sangat tergantung kepada jenis bahan pangan atau makanan. Herawati (2008) menyatakan bahwa informasi umur simpan menjadi faktor penting yang harus diberikan kepada konsumen sebelum produk dipasarkan. Informasi ini hanya dapat ditentukan dengan kajian khusus terhadap penurunan mutu suatu zat dalam makanan. Penerapan model Arrhenius dapat digunakan untuk menduga umur simpan produk pangan dengan mempelajari pengaruh suhu penyimpanan terhadap kecepatan reaksi penurunan mutu suatu parameter. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa kimia dalam makanan akan semakin cepat (Winarno, 2010). Jagung manis (=HD PD\V VDFFKDUDWD) adalah bahan pangan populer bagi masyarakat Indonesia (Purwono dan Hartono, 2008). Jagung dapat dikonsumsikan sebagai makanan selingan seperti jagung bakar ataupun dapat dimasak menjadi sop yang lezat. Salah satu indikasi penurunan mutu jagung manis selama penyimpanan adalah penurunan nilai gula sebagai akibat dari proses respirasi yang berkelanjutan. Menurut Sumoprastowo (2004), kandungan nutrisi jagung manis sangat mudah rusak dimana kandungan gulanya dapat hilang sampai 50% dalam 1 hari apabila tidak dilakukan penanganan yang baik. Selama ini jagung manis dipasarkan dalam kemasan plastik transparan tanpa informasi tentang masa NDGDOXDUVDQ\D .RQVXPHQ GDSDW PHQJLGHQWL¿NDVLNDQ PXWX MDJXQJPDQLVWHUVHEXWEHUGDVDUNDQSHQDPSDNDQ¿VLNWHNVWXU maupun aroma. Menurut Huda (2005), konsumen adalah penilai mutakhir untuk suatu produk yang akan dipasarkan, sedangkan umur simpan suatu produk makanan adalah suatu batas waktu kualitas dimana produk itu masih diterima oleh konsumen (Siswantoro dkk., 2012). Penelitian ini bertujuan untuk menduga umur simpan jagung manis dengan menggunakan model Arrhenius berdasarkan parameter mutu penurunan kandungan total padatan terlarutnya (TPT). METODE PENELITIAN Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jagung manis (=HD PD\V VDFFKDUDWD) sebanyak 60 tongkol. Sedangkan peralatan yang dibutuhkan adalah lemari pendingin, UHIUDNWRPHWHU DEEH, termometer, tissue, kain saring, dan parutan.
Prosedur Penelitian Jagung manis yang digunakan langsung dipanen dari kebun di Kabupaten Aceh Barat, dengan ciri-ciri tangkai dan pelepah masih segar (berwarna hijau kekuningan), tidak layu dan tingkat kematangan fase PLON\. Jagung-jagung tersebut dikarungkan dan ditransportasikan ke Kota Banda Aceh. Kemudian jagung-jagung tersebut disortasi berdasarkan ukuran, lalu dikupas kelobotnya. Jagung tersebut disimpan pada 3 suhu penyimpanan 5, 15 dan 28°C. Pengamatan kadar total padatan terlarut (TPT) dilakukan setiap hari selama 10 hari dan dihentikan apabila sampel jagung telah ditolak oleh panelis. Analisis Total Padatan Terlarut Kandungan gula pada jagung manis relatif tinggi. Analisis kandungan total padatan terlarut (TPT) dapat GLODNXNDQ VHEDJDL FDUD WLGDN ODQJVXQJ PHQJLGHQWL¿NDVLNDQ kandungan gulanya. Kadar TPT diukur dengan sebuah 5HIUDNWRPHWHU $EEH. Nilai TPT ditunjukkan oleh angka yang didapat pada batas garis biru dan putih dan dinyatakan dalam oBrix. Sebanyak 2 gram jagung manis diparut halus untuk mendapatkan ekstraknya. Kemudian ekstrak tersebut diteteskan ke atas prisma refraktometer dan dicatat nilai TPTnya (Gardjito dan Wardana, 2003). Uji Organoleptik Uji organoleptik dilakukan secara hedonik sehingga penilaian dapat dilakukan oleh 30 orang panelis tidak terlatih yang dianggap dapat mewakili konsumen dalam memutuskan masa kadaluarsanya jagung manis selama penelitian Penilaian dilakukan dengan menggunakan skala hedonik berdasarkan kriteria sangat suka sampai sangat tidak suka dengan skala sebagai berikut: 1 untuk ”sangat suka”, 2 untuk ”suka”, 3 untuk ”agak suka”, 4 untuk ”netral”, 5 untuk ”agak tidak suka”, 6 untuk ”tidak suka”, dan 7 untuk ”sangat tidak suka”. Sampel jagung manis dianggap telah ditolak apabila panelis telah memberikan skor setidaknya 5. Kriteria hedonik ditentukan untuk faktor warna, tekstur dan bentuk biji jagung. Apabila jagung manis pada suatu perlakuan telah ditolak oleh panelis maka pengamatan mutu akan dihentikan. Analisis Umur Simpan Pada tahun 1889, Arrhenius mempelajari pengaruh suhu terhadap laju reaksi kimia. Selanjutnya pada tahun 1980, Labuza telah menguraikan penggunaan reaksi kimia dalam mempelajari penurunan mutu bahan makanan. Perkiraan masa simpan dilakukan dengan menggunakan orde 0 atau orde 1, tergantung kepada jenis kerusakan. Tipe kerusakan orde 0 meliputi reaksi enzimatis, pencoklatan enzimatis dan oksidasi sedangkan tipe kerusakan orde 1 misalnya reaksi kerusakan
201
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
akibat pertumbuhan mikroba, ketengikan, produksi RIIÀDYRU, kerusakan vitamin dan penurunan mutu protein (Labuza, 1982 dalam Winarno, 2010). Penurunan mutu berdasarkan kandungan TPT belum pernah dikaji sebelumnya sehingga dalam hal ini proses analisis akan dilakukan dengan kedua pendekatan tersebut, baik persamaan orde 0 mapun persamaan orde 1. Persamaan orde 0 dapat dilihat pada Persamaan 1 sedangkan persamaan orde 1dapat dilihat pada Persamaan 2.
$ $0 NW
(1)
ln $ ln $0 NW
(2)
Pengaruh suhu terhadap kecepatan reaksi dapat dituliskan sebagai berikut: ln N
( ln N 0 $ R u7
(3)
Dengan memplotkan nilai k pada berbagai suhu SDGD VXDWX JUD¿N PDND QLODL N SDGD VXKX \DQJ ODLQ GDSDW ditentukan. Pada akhirnya nilai faktor percepatan penurunan mutu (Q10) ditentukan dengan Persamaan 4 dan masa simpan pada berbagai suhu dapat ditentukan dengan Persamaan 5 (Winarno, 2010). 410
W7 1
(4)
N7 10 N7
410
'7 / 10
(5)
u W7 2
Jagung
Manis
selama
Presentase penurunan mutu berdasarkan kandungan TPT jagung manis dapat dilihat pada Tabel 1. Penyimpanan pada suhu 28°C berlangsung selama 4 hari, penyimpanan pada suhu 15°C berlangsung selama 7 hari, dan penyimpanan
202
Penyimpanan hari ke0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Suhu penyimpanan 28°C 15°C 5°C 100 100 100 99 85 102 58 79 97 56 77 96 54 67 94 sd 64 84 sd 59 76 sd 55 67 sd sd 62 sd sd 57 sd sd 55
Keterangan: sd, sampel sudah ditolak oleh panelis, basi nilai TPT masih 100% pada hari ke-0
Model Arrhenius
HASIL DAN PEMBAHASAN Terlarut
Tabel 1. Perhitungan nilai TPT jagung manis (%) selama 10 hari penyimpanan
Pada penyimpanan suhu 5°C hari ke-1, perhitungan nilai TPT adalah sebesar 102%. Nilai ini merupakan anomali karena basis yang digunakan adalah 100% (Tabel 1). Hal ini dapat disebabkan oleh adanya data nilai TPT pada sampel hari ke-1 (15,1°Brix) yang lebih besar dari nilai TPT sampel hari ke-0 (14,55°Brix).
Keterangan: $ : Kandungan TPT yang tersisa setelah penyimpanan (°Brix) $ : Kandungan TPT awal (°Brix) N : Konstanta laju reaksi W : Waktu (hari) ($ : Energi aktivasi (kal/mol) R : Konstanta gas yang nilainya 1,986 (kal/mol K) 7 : Suhu absolut (K) 4 : Faktor percepatan penurunan mutu k7 : Konstanta laju reaksi pada suhu T k7 : Konstanta laju reaksi pada suhu T + 10° t7 : Umur simpan pada suhu estimasi (hari) t7 : Umur simpan pada suhu basis (hari)
Total Padatan Penyimpanan
pada suhu 5°C berlangsung selama 10 hari. Dengan demikian penyimpanan pada suhu 5°C mempertahankan jagung manis selama 9 hari penyimpanan, sedangkan penyimpanan pada suhu 15 dan 28°C mempertahankan jagung manis selama 6 dan 3 hari penyimpanan. Penolakan panelis terhadap sampel jagung manis terjadi pada saat kandungan TPT tersisa antara 54-55% atau ketika kandungan TPT telah menurun sebesar 45-46% (Tabel 1). Kisaran kandungan TPT awal adalah 14,4-14,7°Brix, sedangkan kisaran kandungan TPT pada saat sampel telah ditolak oleh panelis adalah 7,60-8,2°Brix.
Berdasarkan data penurunan kandungan TPT, persamaan orde 0 dan orde 1 yang dihasilkan dirincikan dalam Tabel 2. Kedua jenis persamaan menunjukkan bahwa konstanta laju reaksi (k) bernilai negatif sebagai idikasi dari fenomena penurunan kandungan TPT selama penyimpanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan, nilai konstanta laju reaksi ini juga semakin besar. Hal ini menjelaskan bahwa reaksi penurunan TPT pada penyimpanan dengan suhu tinggi lebih besar dari pada penyimpanan dengan suhu rendah. Fenomena tersebut dapat dilihat dari kedua jenis persamaan, baik orde 0 ataupun orde 1. Nilai k pada persamaan orde 0 yaitu 0,7732 1,95, sedangkan nilai k pada persamaan orde 1 adalah 0,069 – 0,178.
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Tabel 2. Persamaan orde 0 dan orde 1 untuk penurunan TPT jagung manis selama penyimpanan No.
Suhu Penyimpanan (°C)
Orde 0
Galat
Orde 1
Galat
1.
28
$ 14,6 1,95W
3,21
ln $ ln(14,686) 0,178W
2,83
2.
15
$ 13,704 0,8708W
0,25
ln $ ln(13,908) 0,081W
0,15
5
$ 15,648 0,7732W
0,41
ln $ ln(16,208) 0,069W
0,70
3.
Adapun galat pada persamaan orde 1 lebih kecil daripada galat pada persamaan orde 0. Secara umum dapat dilihat bahwa galat berada pada nilai dibawah 1%, kecuali pada penyimpanan suhu 5°C. Galat pada penyimpanan suhu 5°C lebih besar dari 1% yang diduga disebabkan oleh anomali nilai TPT pada hari ke-1 penyimpanan (Tabel 1). Secara teori nilai kandungan TPT jagung manis akan menurun selama penyimpanan. Namun demikian jagung manis dapat mempunyai kadar TPT antara 14,62 – 15,32°Brix (varietas macarena). Hal ini dapat menjelaskan anomali kandungan TPT jagung manis pada hari ke-1 sebesar 15,1°Brix. Bahkan kandungan TPT jagung manis untuk varietas yang lain bisa mencapai kadar yang lebih tinggi yaitu 18°Brix. Hubungan antara konstanta laju reaksi dan suhu dapat diplotkan dalam bentuk ln(k) dan 1/T, dimana T dalam derajat Kelvin (Gambar 2, Persamaan 3). Slope dari persamaan pada Gambar 2 merupakan nilai energi aktivasi berbanding dengan konstanta gas (1,986 kal/mol/°K). Dengan demikian energi aktivasi pada analisis orde 0 dan orde 1 adalah 6.379 kal/mol dan 6.508 kal/mol. Energi aktivasi pada analisis menggunakan orde 1 lebih besar dari energi aktivasi pada analisis menggunakan orde 0. Berdasarkan energi aktivasi ini dapat disimpulkan bahwa perubahan suhu penyimpanan tidak mempunyai pengaruh yang besar terhadap perubahan kecepatan reaksi penurunan kandungan TPT.
Masih dari Gambar 2, eksponen dari ln(k0) adalah nilai k0. Setelah mengetahui nilai k0 dan energi aktivasi, maka model Arrhenius jagung manis berdasarkan kandungan TPT dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Model Arrhenius kandungan TPT No. 1.
Orde 0
ko 72.692,97
N
2.
1
8.294,93
N
0 0.003 -0.2
0.0033
0.0036
0.0039
Model Arrhenius
72.692,97 u " 3.212 (1 / 7 )
8.294,93 u " 3.277 (1/ 7 )
-1
-1.5
0.0033
0.0036
0.0039
y = -3277.2x + 9.0234 R² = 0.9269
-2 -2.5
-0.4 -0.6
0 0.003 -0.5
ln k
ln k
0.2
berdasarkan
Nilai faktor percepatan reaksi (Q10) ditentukan berdasarkan nilai k pada perlakuan suhu penyimpanan 5 dan 15°C (Persamaan 4). Nilai Q10 untuk persamaan orde 0 dan orde 1 diperoleh sebesar 1,49 dan 1,51. Nilai Q10 akan semakin menurun apabila digunakan nilai k pada suhu yang lebih tinggi. Sementara itu nilai Q10 ini berbanding lurus dengan umur simpan. Dengan demikian pemilihan nilai Q10 berdasarkan kombinasi suhu yang lebih rendah lebih baik dilakukan untuk mendapatkan dugaan umur simpan minimal. Selanjutnya nilai Q10 ini dapat digunakan untuk menduga umur simpan pada berbagai suhu penyimpanan (Persamaan 5). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa terdapat
y = -3212.2x + 11.194 R² = 0.9046
0.4
manis
Pendugaan Umur Simpan Jagung Manis
0.8 0.6
jagung
1/T (K)
-3
1/T (K)
(a)
(b)
Gambar 2. Hubungan konstanta laju reaksi dengan suhu pada plot Arrhenius (a) orde 0 dan (b) orde 1
203
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
perbedaan yang tipis antara pendugaan umur simpan pada penggunaan persamaan orde 0 dan orde 1, sehingga kedua jenis persamaan itu dapat digunakan dalam menduga umur simpan jagung manis berdasarkan penurunan kandungan TPT (Tabel 4). Sebagai tambahan, hasil pendugaan umur simpan menunjukkan angka yang sangat cocok dengan hasil observasi. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4, semakin tinggi suhu penyimpanan maka umur simpan bahan akan semakin pendek. Kondisi ini berlaku secara umum untuk berbagai produk lain seperti mentimun Jepang (Darsana dkk., 2003), bubuk jahe merah (Sugiarto dkk., 2007), seasoning (Budijanto dkk., 2010), dan sebagainya.
menggunakan metode-metode yang lain dalam rangka meningkatkan keakuratan pendugaan umur simpan. Untuk meningkatkan efesiensi dalam pendugaan umur simpan produk pangan, analisis penurunan mutu selama penyimpanan pada beberapa suhu yang lebih tinggi perlu dilakukan.
Tabel 4. Pendugaan umur simpan jagung manis menggunakan nilai Q10 orde 0 dan 1 antara suhu penyimpanan 5 ke 40°C
Darsana, L., Wartoyo dan Wahyuti, T. (2003). Pengaruh saat panen dan suhu penyimpanan terhadap umur simpan dan kualitas mentimun Jepang (&XFXPLV VDWLYXV L.). -XUQDO$JURVDLQV 5(1): 1-12.
Suhu penyimpanan (°C)
Umur simpan (hari)
Budijanto, S., Sitanggang, A.B., Silalahi, B.E. dan Murdiati, W. (2010). Penentuan umur simpan seasoning menggunakan metode accelerated shelf life testing dengan pendekatan kadar air kritis. -XUQDO 7HNQRORJL 3HUWDQLDQ 11(2): 71-77.
2,4
Hasil observasi -
Gardjito, M. dan Wardana, A.S. (2003). +RUWLNXOWXUD7HNQLN $QDOLVLV 3DVFD 3DQHQ. Transmedia Global Wacana, Yogyakarta.
3,0
-
Herawati, H. (2008). Penentuan umur simpan pada produk pangan. -XUQDO 3HQHOLWLDQ GDQ 3HQJHPEDQJDQ 3HUWDQLDQ 27(4): 124-130.
Orde 0, Q10=1,49
Orde 1, Q10=1,51
40
2,5
35
3,0
30
3,7
3,7
-
28
4,0
4,0
4,0
25
4,5
4,5
-
20
5,5
5,6
-
15
6,7
6,8
7,0
10
8,2
8,4
-
5
10,0
10,3
10,0
KESIMPULAN DAN SARAN Persamaan orde 0 dan orde 1 dapat dipergunakan untuk menduga umur simpan jagung manis berdasarkan penurunan kandungan TPT dimana nilai Q10 yang diperoleh dari kedua persamaan tersebut menghasilkan dugaan umur simpan jagung manis yang cocok dengan hasil observasi. Nilai faktor percepatan reaksi penurunan mutu (Q10) untuk persamaan orde 0 adalah 1,49, sedangkan nilai Q10 untuk persamaan orde 1 adalah 1,51. Dengan menggunakan pendekatan orde 0, penyimpanan jagung manis pada suhu 30, 25, 20,15, 10 dan 5°C akan berpengaruh kepada umur simpan jagung manis menjadi 3,7; 4,5; 5,5; 6,7; 8,2 dan 10 hari. Sedangkan dengan pendekatan orde 1, penyimpanan jagung manis pada suhu yang sama akan berpengaruh kepada umur simpan jagung manis menjadi 3,7; 4,5; 5,6; 6,8; 8,4 dan 10,3 hari. Pendugaan umur simpan jagung manis perlu juga diuji dengan menggunakan parameter mutu yang lain atau dengan
204
DAFTAR PUSTAKA
Huda, N. (2005). 3ULQVLS 3HQLODLDQ 6HQVRUL. Unripress, Pekanbaru. Purwono dan Hartono, R. (2008). %HUWDQDP-DJXQJ8QJJXO. Penebar Swadaya, Jakarta. 6LQJK 53 6FLHQWL¿F SULQFLSOHV RI VKHOI OLIH evaluation. 'DODP: Man, C.M.D. dan Jones, A.A. (Ed). 6KHOI/LIH(YDOXDWLRQRI)RRGV. Chapman and Hall Inc. New York. Siswantoro, Rahardjo, B., Bintoro, N. dan Hastuti, P. (2012). Pemodelan matematik perubahan parameter mutu selama penyimpanan dan sorpsi-isotermis kerupuk goring pasir. $JULWHFK 32(3): 265-274. Sugiarto, Yuliasih, I. dan Tedy (2007). Pendugaan umur simpan bubuk jahe merah. -XUQDO 7HNQRORJL ,QGXVWUL 3HUWDQLDQ 17(1): 7-11. Sumaprastowo, R.M. (2004). 0HPLOLKGDQ0HQ\LPSDQ6D\XU 0D\RU %XDK%XDKDQ GDQ %DKDQ 0DNDQDQ. Bumi Aksara, Jakarta. Winarno, F.G. (2010). .HDPDQDQ3DQJDQ. Jilid 1. Cetakan 1. M-Brio Press, Bogor.
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
REDUKSI PEMBOROSAN UNTUK PERBAIKAN VALUE STREAM PRODUKSI “MI LETHEK” MENGGUNAKAN PENDEKATAN LEAN MANUFACTURING Waste Reduction to Improve Value Stream of “Mi Lethek” Production Using Lean Manufacturing Approach $GLW\D1XJURKR0DNKPXGXQ$LQXUL1D¿V.KXUL\DWL Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Jl. Flora No.1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281 Email:
[email protected] ABSTRAK Industri “Mi Lethek” merupakan industri yang menghasilkan produk berupa mi kering berbahan baku tepung tapioka. Pada proses pengolahan mi di industri “Mi Lethek”, terdapat berbagai pemborosan (ZDVWH) yang dapat merugikan industri. Diantara pemborosan yang terjadi berupa persediaan bahan baku yang belum diperlukan dan transportasi berlebih. Untuk mereduksi pemborosan tersebut diperlukan suatu perbaikan pada YDOXH VWUHDP menggunakan pendekatan OHDQ. Pendekatan OHDQGLIXQJVLNDQVHEDJDLVHEXDKVLVWHP\DQJGLJXQDNDQXQWXNPHQJLGHQWL¿NDVLVHOXUXK aktivitas yang ada pada industri “Mi Lethek”. Aktivitas-aktivitas tersebut kemudian digolongkan menjadi dua jenis aktivitas, yaitu aktivitas yang memberikan nilai tambah dan aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah. Waktu dari masing-masing aktivitas tersebut yang selanjutnya digunakan untuk menghitung nilai SURFHVVF\FOHHI¿FLHQF\(PCE). 3&(DGDODKH¿VLHQVLUHODWLIGDODPVHEXDKSURVHV\DQJPHZDNLOLSHUVHQWDVHZDNWX\DQJGLJXQDNDQXQWXNPHQDPEDK nilai pada produk dibandingkan total waktu yang digunakan produk selama dalam proses. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan nilai PCE awal dari industri “Mi Lethek” sebesar 12,05 %Perbaikan yang dilakukan ialah dengan mengubah tata letak pabrik dan melakukan perbaikan penjadwalan pemesanan bahan baku. Hasil perbaikan tersebut berhasil meningkatkan nilai PCE menjadi 15,68 %. Kata kunci: PemborosanYDOXHVWUHDP, “Mi Lethek”,OHDQPDQXIDFWXULQJ ABSTRACT “Mi Lethek” industry is an industry that produce dry noodles. In the production process of “Mi Lethek” industry, WKHUHZHUHVRPHZDVWHWKDWFRXOGLQÀLFWD¿QDQFLDOORVVIRULQGXVWU\:DVWHWKDWRFFXULQ³0L/HWKHN´LQGXVWU\ZHUH unnecessary inventory and excessive transportation. To reduce that waste, lean manufacturing approach is required. /HDQDSSURDFKIXQFWLRQDOL]HGDVDV\VWHPIRULGHQWL¿HGDOORIDFWLYLWLHVLQ³0L/HWKHN´LQGXVWU\7KDWDFWLYLWLHVZHUH FODVVL¿HGLQWRWZRNLQGDFWLYLWLHVQDPHO\YDOXHDGGHGDFWLYLW\DQGQRQYDOXHDGGHGDFWLYLW\7KHWLPHRIHDFKDFWLYLW\ XVHGWRFDOFXODWHWKHSURFHVVF\FOHHI¿FLHQF\3&( %DVHGRQWKHUHVHDUFKWKHH[LVWLQJVFRUHRI3&(LQ³0L/HWKHN´ industry was 12,05%. The recommendations for increase PCE are relayouting the plant and change the order scheduling of raw materials. These recommendations could increase PCE score to 15,68 %. Keywords: Waste, value stream, “Mi Lethek”, lean manufacturing
PENDAHULUAN Industri “Mi Lethek” di Yogyakarta merupakan salah satu industri pangan yang menghasilkan produk berupa mi kering. Industri ini mengolah bahan baku berupa tepung tapioka dan tepung gaplek menjadi mi kering yang menyerupai mi bihun, namun yang membedakan ialah warna mi yang kusam sehingga mendapat julukan “Mi Lethek”. “Mi
Lethek” memiliki diameter sebesar 1 mm yang untaiannya ditata membentuk persegi seperti mi instan pada umumnya. Mi kering dimasukkan ke dalam kemasan plastik dengan berat 5 kg per kemasan. Persaingan yang cukup ketat antar produsen mi menuntut industri “Mi Lethek” untuk melakukan perbaikan secara terus menerus dengan meminimalkan pemborosan dan berfokus pada penciptaan nilai (YDOXH).
205
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Pemborosan merupakan segala aktivitas kerja yang tidak memberikan nilai tambah bagi produk. Shingo (1989) berhasil merumuskan tujuh jenis pemborosan yang mungkin terjadi dalam suatu perusahaan. Ketujuh pemborosan tersebut adalah RYHUSURGXFWLRQ (produksi berlebih), XQQHFHVVDU\ PRWLRQ (pergerakan yang tidak diperlukan), H[FHVVLYH WUDQVSRUWDWLRQ (transportasi yang berlebih), LQDSSURSULDWH SURFHVVLQJ (proses tidak tepat), GHOD\(waktu tunggu), GHIHFW (cacat produk), dan XQQHFHVVDU\LQYHQWRU\ (persediaan tidak perlu). Pemborosan dapat ditemukan dalam bentuk apapun dan dimana pun, seperti permasalahan yang dihadapi industri “Mi Lethek”. Pemborosan yang terjadi berupa GHOD\ produk setengah jadi yang menunggu untuk diproses oleh stasiun kerja berikutnya. Selain itu tata letak pabrik yang kurang baik menyebabkan waktu transportasi antar stasiun kerja menjadi lama. Pemborosan-pemborosan ini perlu untuk direduksi bahkan dihilangkan. /HDQ PDQXIDFWXULQJ adalah suatu upaya untuk menghilangkan pemborosan dan meningkatkan nilai tambah (DGGHG YDOXH) produk agar dapat memberikan nilai kepada pelanggan (FXVWXPHUYDOXH) (Gasperz, 2007). Langkah dasar dalam OHDQ \DLWX PHQJLGHQWL¿NDVL SURVHV DOLUDQ QLODL YDOXH VWUHDPSURFHVV) dan menghilangkan pemborosan yang terjadi sepanjang proses aliran nilai tersebut. Pemborosan yang terjadi di industri “Mi Lethek” tergolong dalam pemborosan dari sisi waktu. Ukuran untuk mengetahui sejauh mana H¿VLHQVLZDNWXGDULSURVHVDOLUDQQLODLGLLQGXVWULGLQ\DWDNDQ dengan PCE. PCE merupakan persentase dari waktu yang dipergunakan untuk menambah nilai pada produk dibandingkan total waktu yang dipergunakan produk selama dalam proses. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai PCE produksi “Mi Lethek” berdasarkan pemetaan kondisi awal dan mengetahui lebih lanjut faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pemborosan. Berdasarkan IDNWRUIDNWRU\DQJWHULGHQWL¿NDVLVHODQMXWQ\DGLVXVXQXVXODQ perbaikan untuk mereduksi pemborosan. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di industri “Mi Lethek” yang beralamatkan di dusun Bendo, Srandakan, Bantul Yogyakarta dengan pelaksanaan kegiatan selama periode April-Juni 2012. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan menggunakan data masa lalu dan juga data sekarang. Penentuan nilai PCE awal dan pembuatan &XUUHQW6WDWH0DS dengan tahapan sebagai berikut:
206
0HQJLGHQWL¿NDVLVHOXUXKDNWLYLWDVNHUMD\DQJDGDSDGD proses produksi, mulai dari penyiapan bahan baku sampai pengemasan produk, kemudian dibagi dalam elemen-elemen kerja yang lebih kecil.
2.
3.
4.
Penentukan waktu siklus dari tiap-tiap elemen kerja (Ws) dengan menggunakan data yang telah lolos uji keseragaman dan kecukupan data. Penentuan waktu normal (Wn) dengan rumus: ܹ݊ ൌ ܹݔݏሺͳ Ψݎݐ݂ܿܽ݃݊݅ݐܽݎሻ .............. (1) Penentuan waktu baku (Wb) dengan rumus: ܹܾ ൌ ܹ݊ݔሺͳ Ψ݈݈ܽݎݐ݂ܿܽ݁ܿ݊ܽݓሻ ........ (2)
5.
6.
Pengelompokan elemen kerja ke dalam YDOXHDGGHGWLPH (VAT) dan QRQYDOXHDGGHGWLPH(NVAT). VAT adalah waktu dari aktivitas yang memberikan nilai tambah pada produk seperti kegiatan operasi, sedangkan NVAT adalah waktu dari aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah seperti kegiatan transportasi. Perhitungan SURFHVV OHDG WLPH (PLT) berdasarkan waktu yang dihabiskan mulai dari VAT, NVAT, dan OHDG WLPH (LT). LT adalah waktu tunggu bahan pada proses produksi untuk proses selanjutnya (ZRUN LQ SURFHVV/ WIP). Nilai LT didapatkan dari jumlah LQYHQWRU\ yang terjadi pada tiap tingkat permintaan produk. . ௩௧௬ ......... (3) ݕݎݐ݊݁ݒ݊݅݁݉݅ݐ݀ܽ݁ܮൌ ௗௗ௧
ܲ ܶܮൌ ܸ ܶܣ ܸܰ ܶܣ ܶܮ.................. (4)
7.
Perhitungan PCE berdasarkan VAT dan PLT yang terjadi ܲ ܧܥൌ
8.
ܸܶܣ ͲͲͳݔΨ ................ (5) ܸ ܶܣ ܸܰ ܶܣ ܶܮ
Pembuatan FXUUHQWVWDWHYDOXHVWUHDPPDS 9DOXHVWUHDPPDSSLQJ(VSM) adalah suatu pendekatan yang digunakan untuk memetakan aliran nilai sepanjang proses produksi secara mendetail sehingga GDSDW PHQJLGHQWL¿NDVL NHJLDWDQ \DQJ EHUVLIDW QRQ YDOXHDGGHG dan menemukan penyebab terjadinya serta memberikan cara yang tepat untuk menghilangkan atau menguranginya. &XUUHQW VWDWH VSM digunakan untuk mengetahui keadaan awal industri “Mi Lethek”. Nilai PCE awal dan data lain yang telah diolah kemudian dijadikan sebagai input informasi dalam pembuatan FXUUHQWVWDWHPDS
,GHQWL¿NDVL)DNWRU3HQ\HEDE3HPERURVDQ Berdasarkan informasi yang ada pada FXUUHQWVWDWHPDS, maka dapat diketahui pemborosan yang terjadi di sepanjang aliran nilai, yang selanjutnya dianalisis untuk mengatahui faktor-faktor apakah yang menyebabkan pemborosan tersebut.
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Rekomendasi Perbaikan
Penentuan Nilai PCE Awal dan Pembuatan Current State Map
Rekomendasi perbaikan diberikan berdasarkan faktor-faktor penyebab terjadinya pemborosan. Pemberian rekomendasi perbaikan yang tepat dapat meningkatkan nilai PCE akhir.
Proses produksi pembuatan “Mi Lethek” terbagi menjadi 11 stasiun kerja yang secara berurutan meliputi penyiapan bahan, pencampuran 1, pemadatan, pengukusan adonan, pencampuran 2, pengepresan, pengukusan mi, penirisan, perendaman dan penataan mi, penjemuran, dan pengemasan. Setiap stasiun kerja dibagi menjadi beberapa elemen kerja dan ditentukan waktu bakunya yang selanjutnya dikelompokkan dalam VAT dan NVAT. Misalnya pada stasiun pencampuran 1, pekerjaan terbagi menjadi lima elemen kerja yaitu persiapan alat, penuangan bahan, pencampuran, transportasi bahan ke dalam keranjang, dan transportasi keranjang ke stasiun kerja berikutnya. Elemen kerja kedua dan ketiga dikelompokkan dalam VAT, sisanya termasuk NVAT. Total nilai 9$7 dan 19$7pada produksi “Mi Lethek” masing-masing sebesar 101800,19 detik dan 18371,79 detik. Berdasarkan data LQYHQWRU\ di setiap stasiun kerja, dapat dihitung LT produksi “Mi Lethek” (Tabel 1). Dari perhitungan yang dilakukan dengan rumus (5), diketahui nilai PCE kondisi awal sebesar 12,05 %. PCE perusahaan Toyota Jepang adalah 53%, perusahaan lain di Jepang sekitar 50%, perusahaan Amerika sekitar 20-40%, perusahaan lokal Indonesia masih dibawah 10%. Jika nilai 3&( kurang dari 30%, maka proses tersebut disebut XQOHDQ atau proses produksi yang tidak ramping (Gazpersz, 2007). Industri “Mi Lethek” merupakan industri yang kapasitas produksinya tergantung pada kapasitas mesin atau tipe 0DFKLQLQJ sehingga menurut Gazperz (2007), batas bawah nilai PCE sebesar 1 % dan batas atas sebesar 20 %. Target perbaikan yang menjadi acuan ialah berusaha meningkatkan QLODL3&(PHQGHNDWLEDWDVDWDV\DLWXVHEHVDU'DWDSUR¿O industri dan data olahan, mulai dari proses kedatangan bahan baku sampai proses distribusi mi ke konsumen setiap harinya, dijadikan sebagai input pada FXUUHQWVWDWHPDS (Gambar 1).
Penentuan Nilai PCE Akhir dan Pembuatan Future State Map Berdasarkan rekomendasi perbaikan yang diberikan, kemudian dihitung kembali nilai PCE kondisi usulan. Rekomendasi perbaikan dapat dikatakan berhasil apabila nilai PCE usulan lebih besar dari kondisi awal. Nilai PCE usulan dan data lain yang telah diolah kemudian dijadikan sebagai input informasi dalam pembuatan IXWXUHVWDWHPDS. HASIL DAN PEMBAHASAN Industri “Mi Lethek” didirikan sekitar tahun 1940 dan saat ini memiliki pekerja tetap sejumlah 24 orang. Industri beroperasi dengan satu shift dari pukul 06.00-19.30 WIB dengan waktu istirahat pada pukul 08.00-09.00 WIB dan 11.00-13.00 WIB sehingga waktu efektif kerja setiap harinya adalah 10,5 jam atau 37.800 detik. Permintaan rata-rata “Mi Lethek” (GHPDQGUDWH) setiap bulan adalah sejumlah 19259,58 kg atau 846,6 kg per hari. Dengan demikian waktu rata-rata yang diperlukan untuk memenuhi permintaan pelanggan (7DNW WLPH) adalah 44,65 detik/kg. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku utama yaitu tepung, setiap bulannya dilakukan pemesanan sejumlah 27.265,5 kg atau 119.8,352 kg per hari. Rata-rata frekuensi pemesanan terhadap bahan baku setiap bulannya sebesar 2,5 sehingga jumlah bahan baku yang dipesan setiap kali pesan sejumlah 10.905 kg. Industri “Mi Lethek” setiap harinya melakukan dua siklus kerja, dengan hasil mi kering setiap siklusnya (ORWVL]H) sebesar 475 kg. Tabel 1. DataOHDGWLPH produksi' ”Mi Lethek” No 1 2 3 4 5 6 7 8
WIP
Jenis OHDGWLPH Persediaan bahan di gudang Bahan baku di stasiun kerja pencampuran 1 Bahan baku di stasiun kerja pengukusan 1 Bahan baku di stasiun kerja pencampuran 2 Adonan di stasiun kerja pengepresan Adonan di stasiun kerja pengukusan 2 Mi basah di stasiun kerja perendaman dan penataan Mi kering di pengemasan
Bahan baku Bahan baku Adonan Adonan Adonan Mi basah Mi basah Mi kering
7RWDOOHDGWLPHGD\V 7RWDOOHDGWLPH(detik)*
,QYHQWRU\(kg) (a) 9866,43 316,67 166,48 497,62 494,05 332,95 488,12 411,67
'HPDQGUDWH(kg) (b) 846,6 846,6 846,6 846,6 846,6 846,6 846,6 846,6
/HDGWLPH(GD\V) (a/b) 11,650 0,370 0,197 0,590 0,580 0,390 0,580 0,540 14,904 724334,4
*konversi waktu 1 hari = 13,5 jam kerja
207
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
terjadi pada persediaan bahan baku, yaitu sebesar 11,65 hari. Tingginya nilai LT ini disebabkan karena banyaknya jumlah persediaan bahan baku di gudang.
,GHQWL¿NDVL)DNWRU3HQ\HEDE3HPERURVDQ Berdasarkan FXUUHQWVWDWHPDS pada Gambar 1, terdapat EHEHUDSDMHQLVSHPERURVDQ\DQJWHULGHQWL¿NDVL'DULWLPHOLQH diketahui bahwa di semua stasiun kerja terdapat NVAT yang sebagian atau seluruhnya merupakan elemen kerja pemindahan bahan (transportasi). Misalnya, dari stasiun kerja penjemuran ke pengemasan membutuhkan waktu transportasi sebesar 1.153 detik (19,21 menit). Transportasi berlebihan di industri “Mi Lethek” karena frekuensi transportasi yang terlalu tinggi dan juga tata letak pabrik yang kurang baik, sehingga jarak antar stasiun kerja menjadi jauh. Tata letak industri “Mi Lethek” dapat dilihat pada Gambar 2. Aliran bahan antar stasiun tidak lurus dan terdapat beberapa EDFNWUDFLQJ. %DFNWUDFNLQJ terjadi karena satu alat digunakan untuk dua tahapan proses yang tidak berurutan, misalnya alat pencampur digunakan untuk proses pencampuran 1 dan pencampuran 2, yang keduanya bukan merupakan proses yang berurutan. Jarak perpindahan bahan mulai dari penyiapan bahan baku sampai pengemasan produk sejauh 217,9 m dengan waktu tempuh 8.935,65 detik. Selain pemborosan karena transportasi berlebihan, pada Gambar 1 terlihat adanya pemborosan berupa persediaan yang belum diperlukan (simbol D), baik di dalam gudang bahan baku maupun WIP di beberapa stasiun kerja. LT terbesar
Rekomendasi Perbaikan %HUGDVDUNDQKDVLOLGHQWL¿NDVLSHPERURVDQ\DQJWHUMDGL pada industri “Mi Lethek”, disusun rekomendasi perbaikan untuk mereduksi pemborosan sebagai berikut : Rekomendasi perbaikan pada pemborosan transportasi berlebihan. Rekomendasi yang diberikan ialah perbaikan tata letak pabrik. Perbaikan tata letak diperlukan untuk memperlancar aliran bahan, menghilangkan EDFNWUDFLQJ, dan juga memperpendek jarak perpindahan bahan. Perbaikan dilakukan dengan mempertimbangkan keterkaitan antar aktivitas, stasiun kerja yang prosesnya berurutan diletakkan berdekatan. Alat pencampur, pengukus, dan press yang sebelumnya tidak digunakan diusulkan untuk dimanfaatkan lagi sehingga tidak terjadi EDFNWUDFNLQJ. Perbaikan tata letak ini dapat menurunkan jarak perpindahan bahan sebesar 27% atau menjadi 158,3 m dengan waktu tempuh 6.775,72 detik. 3HUXEDKDQ MDUDN \DQJ VLJQL¿NDQ LDODK SDGD VWDVLXQ NHUMD pengukusan 1 menuju pengepresan dan stasiun pengukusan 2 menuju penirisan. Rekomendasi perbaikan tata letak industri “Mi Lethek” dapat dilihat pada Gambar 3.
Current State Map Of Lethek Noodle Industry Daily Order
Industry Owner (Bapak Feri) (production control)
Weekly Order
Customer
Supplier Demand/month : 19259.58 kg Demand/day : 846.6 kg
Working days/month : 22 days Shift/day : 1 shift Break : 3 hours Avaliable time : 37800 sec/day Takt time : 44.65 sec/kg
ĂŝůLJ ĂŝůLJ ĂŝůLJ ĂŝůLJ ĂŝůLJ
Penyiapan bahan
i
Avaliable time : 37800 sec Cycle time : 517.11 sec
10905 kg Lot size : 475 kg LT = 11.65 days
Pemadatan
Pencampuran 1
2
i 350 kg LT = 0.37 days
Avaliable time : 37800 sec Cycle time : 2261.997 sec
Avaliable time : 37800 sec Cycle time : 4345.017 sec
Lot size : 475 kg
Lot size : 475 kg Machine : 1
517.11 sec NVAT
3054.86 sec VAT
i
Avaliable time : 37800 sec Cycle time : 6538.713 sec
184 kg LT = 0.197 Lot size : 475 kg days Machine : 2
Pengepresan
Pencampuran 2
2
i
Cycle time : 7778.937 sec 550 kg LT = 0.587 Lot size : 475 kg days Machine : 1
Pengukusan Mi
5
3 Avaliable time : 37800 sec
ĂŝůLJ ĂŝůLJ ĂŝůLJ ĂŝůLJ ĂŝůLJ
i
Avaliable time : 37800 sec
Cycle time : 13339.21 sec 546.05 kg LT = 0.583 Lot size : 475 kg days Machine : 1
2
i
Avaliable time : 37800 sec Cycle time : 6651.45
368 kg LT = 0.39 Lot size : 475 kg days Machine : 2
Perendaman dan Penataan Mi
Penirisan Mi
2 Avaliable time : 37800 sec Cycle time : 24832.5 sec Lot size : 475 kg
12
i
Avaliable time : 37800 sec Cycle time : 12135.73 sec
539.5 kg Lot size : 475 kg LT = 0.576 days
Pengemasan
Penjemuran
2 Avaliable time : 37800 sec Cycle time : 32627.46 sec Lot size : 475 kg
4
i
Avaliable time : 37800 sec Cycle time : 9660.93 sec
455 kg Lot size : 475 kg LT = 0.537 days
1741.17 sec 579.88 sec 3281.57 sec 2780.41 sec 1232.01 sec 1290.15 sec 874.79 sec 4488.89 sec 1153.25 sec 949.64 sec 6037.76 sec NVAT 8850.32 sec NVAT 5498.19 sec NVAT 23882.9 sec NVAT 11555.84 sec NVAT 29345.88 sec NVAT 6880.52 sec NVAT 5306.7 sec NVAT NVAT 1387.2 sec NVAT VAT VAT VAT VAT VAT VAT VAT VAT VAT
Total Lead Time = 724331.6 sec Total Non Value Added Time (NVAT)= 18731.79432 sec Value Added Time (VAT) = 101800.1944 sec Process Lead Time = Total Lead Time + NVAT + VAT = 844503. 59 sec Process Cycle Efficiency = VAT/Process Lead Time x 100% = 12.05 %
Gambar 1. &XUUHQW6WDWH0DS
208
Pengukusan Adonan
2
3
ĂŝůLJ
FP
4030cm
T
6NDOD 3300cm
O - 11
FP
K
0-8
Q
B
07HPDSDW0L5HPXN 1'DSXU 27RLOHW3HNHUMD 3$ODWSHQFDPSXUWLGDNGLSDNDL 4$ODW3UHVPDQXDOWLGDNGLSDNDL 5*DUDVL 6.DQWRU
FP
F
E
0-1
O-7
O-4
O-2
I–2 O-6 I–1 O-3
D
O-5
0-8 O-5
U
O - 11
B
F
O-5
G
E
0-1
O-4
S S 4$ODW3UHVPDQXDOWLGDNGLSDNDL 5'DSXH 6.DQWRU 75XDQJ$GPLQLVWUDVL 8.DQGDQQJVDSL 9*DUDVL
FP
M
A
730cm
O-2
I–2 O-6
3
I–1 O-3
D
O-7
I 0-8
C
C
J
7$7$/(7$.868/$1,1'8675,0,/(7+(.
.HWHUDQJDQ*DPEDU $*XGDQJJDSOHN,$ODW3HQJXNXV %7HPSDWSHUHQGDPDQ-$ODW3HQJXNXV &*XGDQJ7DSLRND.7HPSDW3HQLULVDQ '$ODWSHQFDPSXU /7HPSDWSHUHQGDPDQGDQSHQDWDDQ (7HPSDW3HPDGDWDQ07HPSDWSHQMHPXUDQ )$ODW3HQJXNXV17HPSDW3HQJHPDVDQ *$ODW3HQJXNXV27HPSDWPLUHPXN +$ODW3UHVV3$ODWSHQFDPSXU
FP
.HWHUDQJDQ*DPEDU $*XGDQJJDSOHN *$ODW3HQJXNXV5*DUDVL %7HPSDWSHUHQGDPDQ +$ODW3UHVV6.DQWRU &*XGDQJ7DSLRND ,7HPSDW3HQLULVDQ '$ODWSHQFDPSXU6OHQGHU -7HPSDWSHUHQGDPDQGDQSHQ\XVXQDQ0LH (7HPSDW3HPDGDWDQ .7HPSDW3HQMHPXUDQ )$ODW3HQJXNXV /7HPSDWSHQJHPDVDQ*XGDQJ3URGXN
6NDOD
A
FP
K
4830cm
O-9
O-9
3
Q
I-3 O - 10
L
I-3 O - 10
J
O
N
5
9 FP
I-4 O - 12
FP
I-4 O - 12
S
M
L
5
1
S
FP
T
FP
4830cm
FP FP
G
H
I
H
Gambar 2. Tata letak awal industri “Mi Lethek” FP FP
O
7$7$/(7$.$:$/,1'8675,0,/(7+(.
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Gambar 3. Tata letak usulan industri “Mi Lethek”
209
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Rekomendasi perbaikan pada jenis pemborosan persediaan yang belum diperlukan. Reduksi pemborosan berupa persediaan yang belum diperlukan dilakukan dengan mengatur jadwal pemesanan bahan baku sehingga menurunkan OHDG WLPH penyimpanan di gudang. Usulan perbaikan ialah dengan menyeragamkan frekuensi pemesanan bahan baku setiap bulan. Berdasarkan perhitungan sebelumnya, industri ini melakukan pemesanan bahan baku dengan rata-rata frekuensi pemesanan sebesar 2,5 kali setiap bulannya, dengan frekuensi terbanyak ialah 4 kali dan frekuensi terendah ialah 2 kali. Untuk mengurangi OHDGWLPH pada gudang bahan baku diberikan usulan melakukan pemesanan secara seragam, yaitu 4 kali setiap bulan agar OHDG WLPH menjadi berkurang. Pemilihan pemesanan sebanyak 4 kali didasari oleh pertimbangan kemampuan industri “Mi Lethek”. Karena perbaikan ini akan menjadi dasar dalam kegiatan produksi industri “Mi Lethek” ke depannya, maka perhitungan kebutuhan bahan baku didasarkan pada hasil peramalan permintaan kedepan, dalam penelitian ini tiga bulan. Jumlah rata-rata permintaan setiap bulan diramalkan sebesar 23.501,52 kg mi kering atau setara 25.975,36 kg bahan baku. Untuk mengantisipasi ketidakpastian permintaan maupun pasokan dari VXSSOLHU, industri perlu menyiapkan
persediaan pengaman (VDIHW\VWRFN). Dengan tingkat VHUYLFH OHYHO 99%, diperoleh jumlah VDIHW\VWRFN sebesar 815,57 kg. Berdasarkan data tersebut, maka jumlah bahan baku yang harus dipesan setiap kali pesan ialah 7.309,41 kg, dengan OHDGWLPH 7,67 hari atau 372.786,1 detik. Penurunan OHDGWLPH yang cukup besar akan berpengaruh terhadap peningkatan nilai PCE. Penentuan nilai PCE usulan dan pembuatan Future State Map Berdasarkan usulan perbaikan, terjadi perubahan pada jumlah 19$7 dan juga WRWDO OHDG WLPH 19$7 kondisi awal sebesar 18371,79 detik sedangkan kondisi usulan sebesar 15605,77 detik. Nilai WRWDO OHDG WLPH kondisi awal sebesar 724334,4 detik, sedangkan kondisi usulan sebesar 530712 detik. Dari data tersebut didapatkan nilai 3&( hasil usulan SHUEDLNDQVHEHVDU1LODLWLQJNDWH¿VLHQVLUHODWLILQL lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi awal sebesar 12,05 %. Dengan demikian terjadi peningkatan sebesar 3,63 %. Data hasil olahan tersebut kemudian dijadikaan sebagai input informasi dalam pembuatan IXWXUH VWDWH PDS seperti pada Gambar 4.
Future State Map Of Lethek Noodle Industry 'DLO\2UGHU
,QGXVWU\2ZQHU%DSDN)HUL SURGXFWLRQFRQWURO
:HHNO\2UGHU
&XVWRPHU 6XSSOLHU 'HPDQGPRQWKNJ 'HPDQGGD\NJ
:RUNLQJGD\VPRQWKGD\V 6KLIWGD\ VKLIW %UHDN KRXUV $YDOLDEOHWLPH VHFGD\ 7DNWWLPH VHFNJ
Daily Daily Daily Daily Daily
3HQ\LDSDQEDKDQ
L
$YDOLDEOHWLPH VHF &\FOHWLPHVHF
/RWVL]HNJ NJ /7 GD\V
3HPDGDWDQ
3HQFDPSXUDQ
L
$YDOLDEOHWLPH VHF &\FOHWLPH VHF
$YDOLDEOHWLPH VHF
&\FOHWLPH NJ VHF /7 /RWVL]HNJ GD\V
/RWVL]HNJ
0DFKLQH
VHF 19$7
VHF
VHF 19$7 VHF
9$7
9$7
7RWDO/HDG7LPH VHF 7RWDO1RQ9DOXH$GGHG7LPH19$7 VHF 9DOXH$GGHG7LPH9$7 VHF 3URFHVV/HDG7LPH 7RWDO/HDG7LPH19$79$7 VHF 3URFHVV&\FOH(IILFLHQF\ 9$73URFHVV/HDG7LPH[
Gambar 4. )XWXUH6WDWH0DS
210
3HQJXNXVDQ$GRQDQ
L
$YDOLDEOHWLPH VHF &\FOHWLPH VHF
NJ /7 /RWVL]HNJ GD\V 0DFKLQH
VHF 19$7
VHF 9$7
L
&\FOHWLPH VHF NJ /7 /RWVL]HNJ GD\V 0DFKLQH
3HQJXNXVDQ0L
$YDOLDEOHWLPH VHF
Daily Daily Daily Daily Daily
3HQJHSUHVDQ
3HQFDPSXUDQ
Daily
L
$YDOLDEOHWLPH VHF
&\FOHWLPH VHF NJ /7 /RWVL]HNJ GD\V 0DFKLQH
L
$YDOLDEOHWLPH VHF &\FOHWLPH VHF
NJ /7 /RWVL]HNJ GD\V 0DFKLQH
VHF VHF 19$7 VHF 19$7 VHF 19$7 9$7 9$7
VHF 9$7
3HUHQGDPDQGDQ 3HQDWDDQ0L
3HQLULVDQ0L
$YDOLDEOHWLPH VHF &\FOHWLPH VHF /RWVL]HNJ
$YDOLDEOHWLPH VHF &\FOHWLPH VHF
$YDOLDEOHWLPH VHF &\FOHWLPH VHF
NJ /RWVL]HNJ /7 GD\V
/RWVL]HNJ
L
3HQJHPDVDQ
3HQMHPXUDQ
L
$YDOLDEOHWLPH VHF &\FOHWLPH VHF
NJ /RWVL]HNJ /7 GD\V
VHF VHF VHF VHF VHF 19$7 VHF 19$7 VHF 19$7 VHF 19$7 VHF 19$7 9$7 9$7 9$7 9$7
.HWHUDQJDQ:DUQDPHUDKPHQXQMXNNDQDGDQ\D SHUXEDKDQGDULNRQGLVLVHPXOD
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
KESIMPULAN Nilai PCE berdasarkan pemetaan kondisi awal sebesar 12,05 % dengan pemborosan berupa transportasi berlebih dan persediaan yang belum diperlukan. Rekomendasi perbaikan yang diusulkan ialah perbaikan tata letak pabrik dan penjadwalan pemesanan bahan baku. Rekomendasi ini mampu meningkatkan nilai PCE menjadi 15,68 %. DAFTAR PUSTAKA $O¿DQWR<5 $QDOLVDGDQ3HUDQFDQJDQ8ODQJ7DWD /HWDN 3DEULN 6WXGL .DVXV SDGD 3HUXVDKDDQ 7HNVWLO .XVXPDWH[ . Skripsi. Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Gazperz, V. (2007). /HDQ6L[6LJPDIRU0DQXIDFWXULQJDQG 6HUYLFHV,QGXVWULHV6WUDWHJL'UDPDWLN5HGXNVL&DFDW .HVDODKDQ %LD\D ,QYHQWRUL GDQ /HDG 7LPH GDODP :DNWXNXUDQJGDUL%XODQ. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hines, P. dan Rich, N (1997). The seven value stream mapping tools.,QWHUQDWLRQDO-RXUQDORI2SHUDWLRQDQG 3URGXFWLRQ0DQDJHPHQW17(1): 46-64. Lee, Q. dan Snyder, B. (2007). 9DOXH 6WUHDP DQG 3URFHVV 0DSSLQJ. Enna Products Corporation, Bellingham. Ma’arif, M.S. dan Tanjung, H. (2003). 0DQDMHPHQ2SHUDVL. PT Grasindo, Jakarta.
Nasution, A.H. (1999). 3HUHQFDQDDQ GDQ 3HQJHQGDOLDQ 3URGXNVL. PT Candimas Metropole, Jakarta. Nelson, B.L., Nicol, D.M., Banks, J. dan Carson, J.S. (2005). 'LVFUHWH(YHQW6\VWHP6LPXODWLRQ, 4th edition, Pearson Education, inc. Premysis Consulting. (2008). +DQGRXW 7UDLQLQJ 6L[ 6LJPD .DU\DZDQ $VWUD 9DOXH 6WUHDP 0DSSLQJ 9DOXH RI 6SHHG3URFHVV&\FOH(I¿FLHQF\*HQHULF3XOO6\VWHP ; Astra International, Jakarta. Pujawan, N. (2005). 6XSSO\ &KDLQ 0DQDJHPHQW (GLVL 3HUWDPD. Penerbit Guna Widya, Surabaya. Ridwan, A. dan Ekawati, R. (2008). 5DQFDQJDQ 6LVWHP 3URGXNVLGHQJDQ0HQJJXQDNDQ9DOXH6WUHDP$QDO\VLV 7RROV 9$/6$7 Jurusan Teknik Industri. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten. Rother, M. dan Shook, J. (1999). /HDUQLQJ WR 6HH 9DOXH 6WUHDP0DSSLQJWR$GG9DOXHDQG(OLPLQDWH0XGD. 1.2 Edition. The Lean Enterprise Institute, Inc., Brookline, MA. Shingo, S. (1989). $6WXG\RIWKH7R\RWD3URGXFWLRQ6\VWHP IURP DQ ,QGXVWULDO (QJLQHHULQJ. Productivity Press, Cambridge. Sutalaksana (1979). 7HNQLN7DWD&DUD.HUMD. Teknik Industri. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Wignjosoebroto, S. (2000). (UJRQRPL 6WXGL *HUDN GDQ :DNWX. Penerbit Guna Widya, Surabaya.
Muslich, M. (1993). 0HWRGH .XDQWLWDWLI. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
211
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
PENGEMBANGAN TORTILA BERKALSIUM SEBAGAI ALTERNATIF PANGAN DIET CASEIN FREE-GLUTEN FREE PADA INDUSTRI KECIL DENGAN METODE VALUE ENGINEERING 'HYHORSPHQWRI)RUWL¿HG&DOFLXP7RUWLOODSnack as an Alternative Food for Casein-Free Gluten-Free Diet with Value Engineering Method for Small Scale Industry Jeremy Yonathan Sadikin, Agustinus Suryandono, Jumeri Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Jl. Flora No.1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281 Email:
[email protected] ABSTRAK Dengan jumlah penyandang autis yang terus meningkat, misalnya peningkatan sebesar 56% pada 1998 – 2013, maka produk tortila berkalsium potensial dikembangkan sebagai alternatif pangan untuk diet CFGF (FDVHLQIUHH, JOXWHQIUHH) dan kandungan kalsiumnya bisa membantu menggantikan kalsium dari susu sapi yang mengandung kasein. Tujuan penelitian adalah merancang sejumlah konsep produk tortila berkalsium dan memilih satu konsep yang paling disukai NRQVXPHQVHUWDOD\DNGLZXMXGNDQVHFDUD¿QDQVLDOGDODPVNDODLQGXVWULNHFLOMetode penelitian adalah YDOXHHQJLQHHULQJ yang terdiri dari tiga tahap: informasi, kreativitas dan analisa. Penelitian juga dilengkapi analisa lanjutan: analisa kimia GDQ NHOD\DNDQ ¿QDQVLDO XQWXN VNDOD LQGXVWUL NHFLO 3DQHOLV GDQ UHVSRQGHQ SHQHOLWLDQ LQL WHUGLUL GDUL PDKDVLVZD GDQ guru, selaku masyarakat umum yang bisa mengonsumsi produk. Produk ini memang diawali dari adanya kebutuhan diet CFGF, namun konsumsi produk tetap bisa untuk umum sehingga produk bisa dikonsumsi semua kalangan, tidak terbatas hanya untuk penyandang autis yang perlu diet CFGF. Konsep terbaik yang diperoleh adalah tortila dengan komposisi bahan berupa rasio tepung jagung : tapioka sebesar 50:50 dan 3 g garam serta 7 g tepung tulang rawan ayam pedaging, per 200 g adonan keripik. Konsep ini didesain dengan kemasan gusset ukuran besar, serta bentuk kepingan EHUXSDVHLJLWLJDXNXUDQFP[FP.RQVHSLQLWHUPDVXNSDQJDQEHUNDOVLXPGDQOD\DNVHFDUD¿QDQVLDO Kata kunci7RUWLODIRUWL¿NDVLNDOVLXPYDOXHHQJLQHHULQJ, FDVHLQIUHHJOXWHQIUHHGLHWautisme ABSTRACT The number of people with autism increased 56% in 1998 – 2013, and it was a global problem. People with autism need special treatments and CFGF diet (casein free, gluten free) was one of those treatments. That’s why, the development RIWRUWLOODIRUWL¿HGE\FDOFLXPLVLPSRUWDQW7KHGHYHORSHGWRUWLOODZDVFDVHLQIUHHDQGLWFRQWDLQHGFDOFLXPFRQWHQW The calcium content was expected to substitute the calcium from dairy consumption, which shouldn’t be consumed by people with autism. The method used in this product development was value engineering which separated in three steps: information, creativity, and analysis steps. Respectively, this research was also further completed with chemical WHVW DQG ¿QDQFLDO IHDVLELOLW\ VWXG\ IRU VPDOO VFDOH LQGXVWU\ The goal of this research was to design some product FRQFHSWV DQG WKHQ WR LGHQWLI\ WKH EHVW RQH WKDW KDG KLJKHVW FRQVXPHU¶V DFFHSWDELOLW\ DQG ¿QDQFLDO\ IHDVLEOH WR EH implemented in small scale industry. Respondends and panelist in this research were consisted of students and teachers. They acted as the market of the product, especially as a part of general society. This product were designed to provide CFGF snack for people with autism, and those who need CFGF diet. But this product was not limited to that market, it can be consumed by general society not only for people with autism, hence the students and teachers were used. The research showed that the best concept was a product produced with UDWLRRIFRUQÀRXUDQGWDSLRFDÀRXUJUDPV VDOWDQGJUDPVERQHÀRXUto get 200 grams of dough. This product concept was also designed to be packed in big size gusset packaging materials and the chips was triangle-shaped with size of FP[FP7KLVSURGXFWZDV¿QDQFLDOO\ feasible to be produced in small scale industry. Keywords7RUWLOODFDOFLXPIRUWL¿FDWLRQ value engineering, casein-free gluten-free diet,autism
212
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
PENDAHULUAN Autisme merupakan gangguan fungsi otak, sistem imunitas dan gangguan perilaku dengan tiga gejala utama yaitu gangguan komunikasi, interaksi dan empati (Coplan, 2000). Tampak ada peningkatan jumlah penyandang autis, misalnya 2008, secara nasional sudah muncul 9.000 penyandang autis setiap tahunnya (Winarno dan Agustinah, 2008). Selama 2008 – 2013 terjadi peningkatan jumlah penyandang autis sekitar 18,67% (Anonim, 2013). Salah satu kebutuhan khusus penyandang autis adalah terapi diet CFGF, yaitu pola makan yang bebas kasein dan bebas gluten untuk menekan gejala autis. Penerapan diet CFGF yang disiplin dapat memperbaiki pencernaan, pola tidur, dan tingkah laku penyandang autis (Lisa, dkk., 2012). Diet CFGF berarti penyandang autis harus menghindari produk berbasis susu sapi yang mengandung kasein dan tepung terigu yang mengandung gluten (Winarno dan Agustinah, 2008). Banyak produk VQDFN yang beredar di pasar adalah produk yang berbahan baku tepung terigu yang mengandung kasein. Di sisi lain, anak-anak memerlukan produk VQDFN sebagai variasi pangan. 6QDFN tortila yang sudah ada di pasaran telah direspon positif, namun masih mengandung tepung terigu sehingga belum sesuai untuk diet CFGF. Diet CFGF berarti pola makan yang bebas dari gluten dan kasein. 6QDFN tortila sangat potensial dikembangkan untuk diet CFGF karena bisa diproduksi tanpa bahan yang mengandung JOXWHQ GDQ NDVHLQ 3URGXN LQL GLIRUWL¿NDVL GHQJDQ NDOVLXP agar memenuhi kebutuhan kalsium penyandang autis yang DOHUJL WHUKDGDS NDVHLQ SDGD VXVX VDSL )RUWL¿NDVL NDOVLXP ini dilakukan dengan memanfaatkan tulang rawan ayam pedaging sekaligus sebagai pemanfaatan limbah pemotongan ayam. Menurut Wikanta (1999) dan Trilaksani, dkk. (2006) tulang rawan dan gigi merupakan sumber kalsium yang tinggi. Pengembangan produk dilakukan dengan metode YDOXH HQJLQHHULQJ, yaitu metode sistematis untuk meningkatkan QLODL GDQ NXDOLWDV GHQJDQ PHQJLGHQWL¿NDVL SHOXDQJ XQWXN mengurangi biaya dengan menjaga kualitas, keandalan, performa dan faktor penting lainnya agar tetap sesuai harapan konsumen atau bahkan melampauinya (Dell’Isola dan Alphonse, 1997). Metode ini dipilih karena sesuai dengan fungsi YDOXHHQJLQHHULQJ yakni merancang produk baru yang masih asing di pasar. 6QDFN GHQJDQ IRUWL¿NDVL NDOVLXP GDQ bebas gluten masih belum lazim sehingga tergolong produk baru (Artha, 2011). Tortila yang dikembangkan diharapkan memiliki kandungan kalsium yang cukup tinggi sebagai asupan nutrisi bagi anak penyandang autis dengan tetap memiliki karakteristik pangan yang disukai. Tujuan penelitian adalah merancang tortila berkalsium yang memenuhi CFGF dan GLVXNDL NRQVXPHQ VHUWD OD\DN GLZXMXGNDQ VHFDUD ¿QDQVLDO
dalam skala industri kecil. Diharapkan produk VQDFN berkalsium ini bisa diwujudkan dalam industri karena produk seperti itu belum atau masih sulit ditemukan di pasar. Menurut Biro Pusat Statistik (2003), industri kecil adalah industri dengan pekerja 5 sampai 19 orang termasuk pengusaha serta memiliki aset selain tanah dan bangunan NXUDQJ GDUL 5S VHVXDL GH¿QLVL %DQN ,QGRQHVLD (2013). Meski operasional industri kecil cenderung sederhana tapi analisa kelayakan tetap diperlukan agar industri dapat EHUWDKDQ ODPD GDQ PHPEHULNDQ SUR¿W \DQJ VHVXDL GHQJDQ target (Giatman, 2006) METODE PENELITIAN Bahan Produk Bahan tortila adalah: tepung jagung dan tepung tapioka, air, tepung tulang rawan ayam pedaging. Bahan tambahan yaitu garam sebagai penambah cita rasa. Bahan untuk pembuatan tepung tulang rawan ayam pedaging adalah: tulang ayam pedaging dari bagian dada, dan diperoleh di pasar atau tempat pemotongan ayam. Penelitian Pendahuluan Pembuatan tepung tulang rawan ayam pedaging. Proses pembuatan tepung tulang ayam pedaging dilakukan berdasarkan metode Hardianto (2002). Tulang ayam direbus selama 60 menit. Selanjutnya, tulang rawan dipisahkan dari tulang keras dan sisa-sisa daging, lalu dilunakkan dengan Presto selama 120 menit pada tekanan 2 atm, kemudian dihancurkan dengan IRRGSURFHVVRU. Adonan yang diperoleh disangrai (goreng tanpa minyak) sampai kering lalu dihaluskan dengan lumpang-alu dan disaring sampai diperoleh ukuran butiran sesuai SNI 01-3727-1995 tentang standarisasi tepung MDJXQJ \DLWX PLQLPDO ORORV ¿OWHU PHVK DWDX ORORV ¿OWHU PHVK 8NXUDQ LQL GLVDPDNDQ GHQJDQ VWDQGDU ukuran bahan utama yakni tepung jagung. Pembuatan tortila berkalsium. Metode produksi tortila yang digunakan berdasarkan penelitian Khasanah GHQJDQ VHGLNLW PRGL¿NDVL 3URVHV SHUWDPD DGDODK pencampuran bahan yaitu tepung terigu, tapioka, tepung tulang rawan ayam pedaging, dan garam. Bahan ditambah dengan air dan diaduk merata sampai diperoleh adonan yang kalis. Kemudian bahan dicetak dalam loyang dan dikukus selama 40 menit. Adonan yang telah kompak dan liat lalu dipipihkan dengan menggunakan UROOHU dan SDVWD PDNHU sampai diperoleh ketebalan yang seragam sebesar 3 mm. Setelah itu adonan dipotong-potong sesuai bentuk dan ukuran keripik yang diinginkan lalu dijemur di bawah sinar matahari selama 1 hari sampai kering. Keripik kering ini bisa langsung digoreng atau disimpan dulu.
213
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Cara Penelitian Tahap informasi. Kuesioner disebarkan untuk mengumpulkan informasi terkait atribut-atribut produk yang penting bagi konsumen, beserta prioritas tingkat kepentingannya. Kuesioner meliputi kuesioner pendahuluan dan kuesioner lanjutan. Kuesioner menggunakan skala OLNHUW dengan lima alternatif jawaban: angka 1 untuk Sangat Tidak Penting, sampai skala 5 untuk Sangat Penting. Kuesioner pendahuluan berfungsi untuk PHQJLGHQWL¿NDVL DWULEXWDWULEXW PXWX SURGXN \DQJ SHQWLQJ bagi konsumen. Hasil yang diperoleh lalu diuji validitas dan kehandalannya. Kuesioner disebarkan ke 55 responden sehingga telah memenuhi jumlah minimal 30 sampel untuk populasi yang tidak diketahui jumlahnya (Sugiyono, 2008). Kuesioner lanjutan disebarkan setelah kuesioner pendahuluan telah YDOLG dan UHOLDEOH. Kuesioner lanjutan disebarkan ke 100 responden dengan tingkat kepercayaan GDQ WLQJNDW VLJQL¿NDQVL PDND WHODK PHPHQXKL sampel sebagai jumlah minimal (Singarimbun dan Effendi, 7XMXDQGDULNXHVLRQHUODQMXWDQDGDODKPHQJLGHQWL¿NDVL preferensi konsumen sebagai dasar pertimbangan penentuan konsep produk terbaik. Hasil dari tahap ini adalah pembobotan atribut produk dimana atribut dengan bobot yang tinggi berarti memiliki prioritas yang tinggi dalam pertimbangan pengembangan produk. Panelis untuk uji organoleptik sebanyak 55 orang. Panelis yang diambil berasal dari kalangan mahasiswa dan guru-guru di Sekolah Khusus Autisme. Guru-guru di Sekolah Khusus Autisme dipilih karena mereka sering berinteraksi langsung dengan penyandang autisme sehingga bisa memberikan masukan lebih mengenai kebutuhan diet penyandang. Selain itu guru-guru juga sebagai pendamping orang tua murid dalam memutuskan konsumsi pangan anakanaknya yang menyandang autis. Mahasiswa sebagai segmen kaum muda dipilih karena mereka sering mengonsumsi VQDFN dan cukup berpengalaman dalam melakukan uji organoleptik sehingga bisa memberi masukan yang lebih handal. Hal ini juga untuk mengimbangi pihak panelis lainnya yang kurang terlatih atau kesulitan dalam memberikan penilaian. Penelitian tidak dibatasi hanya melibatkan penyandang autis karena mereka memiliki kesulitan memilih dan memutuskan. Produk ini memang diawali dari adanya kebutuhan diet CFGF, namun konsumsi produk bisa untuk umum, dan tidak dibatasi hanya untuk penyandang autis dan mereka yang perlu diet CFGF sehingga mahasiswa dan guru bisa sebagai panelis. Rumus untuk menghitung tingkat kepentingan dan bobot atribut adalah: ൌ
214
ݐݑܾ݅ݎݐܽݎ݁ݎ݇ݏ݈ܽݐݐ ݆݊݁݀݊ݏ݁ݎ݄݈ܽ݉ݑ
.......(1)
ൌ
݊ܽ݃݊݅ݐ݊݁݁݇ݐܽ݇݃݊݅ݐ ݈ܽݐݐ݊ܽ݃݊݅ݐ݊݁݁݇ݐܽ݇݃݊݅ݐ
…....…(2)
Tahap kreativitas. Pada tahap ini, faktor atribut produk GLLGHQWL¿NDVL ODOX GLDQDOLVD OHELK ODQMXW XQWXN PHQJHWDKXL faktor-faktor yang mempengaruhi atribut-atribut tersebut. Keterkaitan faktor-faktor itu ditampilkan pada diagram FAST. Berdasarkan keterkaitan dan prioritasnya, atributDWULEXW LWX LWX GLPRGL¿NDVL GDQ GLNRPELQDVLNDQ VHKLQJJD GLSHUROHKVHMXPODKYDULDVLNRQVHSSURGXNVHVXDLPRGL¿NDVL yang dirancang. Tahap evaluasi/analisa. Konsep-konsep dari tahap kreativitas dianalisa berdasarkan penilaian responden (uji preferensi) kemudian dihitung performansi dan analisa biaya serta analisa YDOXH. Uji preferensi adalah uji inderawi atas produk pangan untuk membedakan tingkat kesukaan konsumen atas satu konsep dibanding konsep lainnya. Jumlah untuk pengujian inderawi sesuai menurut Sugiyono (2008) adalah minimal sebanyak 30 panelis semi-terlatih. Dalam penelitian ini digunakan 55 orang panelis. Skor pada uji preferensi ini menggunakan skala likert 1 sampai 5, dengan skor 1 untuk Sangat Tidak Suka dan 5 untuk Sangat Suka. Dari uji preferensi diperoleh nilai skor total dari seluruh panelis untuk setiap konsep produk. Kemudian data itu diolah sehingga diperoleh performansi per konsep produk. Performansi adalah kemampuan produk untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan konsumen. Performansi=Nilai Total x Bobot Atribut ……......…(3) Analisa biaya dilakukan untuk mengetahui biaya produksi untuk setiap unit masing-masing Kode Konsep produk. Biaya produksi itu lalu akan diolah lebih lanjut dalam Analisa 9DOXH. Biaya produksi meliputi biaya tetap: tenaga kerja, sewa bangunan dan biaya variabel: bahan baku, air, listrik (Kumalaningsih dkk., 2005). Dalam penelitian ini, karena Biaya Tetap produksi tidak berbeda antara satu konsep dengan konsep lainnya maka Analisa Biaya dibatasi pada Biaya Variabel produksi. Biaya yang dianalisa dalam penelitian ini merupakan PRGL¿NDVLGDULELD\D\DQJPHQJDFXSDGDGDWDGDULLQGXVWUL keripik tortila CV. Senden Industry di Purwomartani, Sleman. Ada perbedaan bahan baku antara tortila yang diteliti dengan yang ada di industri tersebut. Tortila yang diproduksi oleh industri itu tidak menggunakan tepung tapioka sebagai FDPSXUDQ6HODLQLWXSURGXNSXQWLGDNGLIRUWL¿NDVLNDOVLXP seperti tortila yang dikembangkan dalam penelitian ini. 9DOXH dihitung dengan membagi nilai performansi konsep dengan biaya produksi per unitnya. Konsep dengan YDOXH tertinggi adalah yang terbaik. Namun seleksi konsep
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
terbaik ini juga mempertimbangkan hasil Analisa Lanjutan yang juga memastikan bahwa produk memenuhi syarat produk pangan CFGF. Rumus menghitung YDOXH: ܸ݈ܽ ݁ݑൌ
…….................................(4)
Analisa lanjutan. Uji kimia yang dilakukan meliputi uji proksimat untuk mengetahui sejumlah kadar nutrisi produk yang dirancang dan uji kalsium untuk mengetahui kadar kalsium produk. Selain itu uji ini juga memastikan tidak adanya kandungan gluten dan kasein pada produk sesuai dengan tujuan awal pengembangannya. Pengujian melalui jasa Lab Chemix. Analisa kelayakan yang dilakukan berupa QHW SUHVHQW YDOXH (NPV) untuk mengetahui besar keuntungan proyek pada nilai uang sekarang, EUHDN HYHQ SRLQW (BEP) untuk mengetahui jumlah produk terjual untuk mencapai titik impas antara pengeluaran dan pendapatan, dan SD\EDFN SHULRG(PBP) untuk mengetahui kapan balik modal tercapai (Giatman, 2006). Analisa ini dilakukan untuk mengetahui kelayakan usaha bila konsep produk itu diproduksi dalam skala industri kecil (Kumalaningsih, dkk., 2005). $QDOLVDNHOD\DNDQ¿QDQVLDOPHQJJXQDNDQDVXPVLVXNX bunga (i) sebesar 12% per tahun yang akan mempengaruhi tingkat suku bunga majemuk dalam perhitungannya. Selain itu industri yang dirancang diasumsikan akan dikenai pajak sebesar 1% dari omzet, sesuai dengan PPh Final 1% UMKM berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/ PMK.011/2013. Net present value. Analisa NPV memproyeksikan semua aliran uang yang terjadi setiap periode selama usia investasi tertentu ke dalam nilai uang saat ini. Investasi layak untuk dilakukan bila nilai NPV > 0. Rumus NPV adalah (Giatman, 2006):
ൌ ሺ୲ ሺ ሻ୲ െ
ሺ ሻ୲ ሻ …………………..(5) ௧ୀ
dimana: -
&E &DVKÀRZEHQH¿WDOLUDQXDQJNDVPDVXN &F &DVKÀRZFRVWDOLUDQXDQJNDVNHOXDU FBP = faktor bunga present n = umur investasi t = periode waktu NPV = nilai present atas total aliran uang selama periode investasi tertentu di dalam
Payback period$QDOLVD3%3DNDQPHQJLGHQWL¿NDVLNDQ periode ke berapa akan dicapai titik impas atas keseluruhan modal usaha yang telah diinvestasikan. Rumus perhitungan PBP adalah (Giatman, 2006):
୩
ൌ ୲ ሺ ሻ୲ Ͳ ………….......................…..(6) ௧ୀ
dimana: -
CFt &DVKÀRZSHULRGHNHW FDVKÀRZ EHQH¿W±FDVKÀRZFRVW «««««««« FBP = faktor bunga present n = umur investasi k = jumlah periode pengembalian (untuk balik modal)
Break even point. Analisa BEP (%UHDN (YHQ 3RLQW) PHQJLGHQWL¿NDVL MXPODK XQLW SHQMXDODQ SURGXN \DQJ KDUXV terjual) agar diperoleh titik impas antara pengeluaran modal dan pendapatan usaha. Rumus Perhitungan BEP adalah (Giatman, 2006): Total Pengeluaran = Total Pendapatan Usaha …… (8) dimana: - Total Pendapatan Usaha = Unit Penjualan x Harga Jual per Unit ……………………(9) - Total Pengeluaran = Investasi + Biaya Tetap + Biaya Variabel ……………….…..(10) - Biaya Variabel Total = Biaya Variabel per Unit xUnit Penjualan ……........................…..(11) - BEP = jumlah produk terjual yang diperlukan untuk titik impas HASIL DAN PEMBAHASAN Atribut Produk dan Pembobotan Tingkat Kepentingan Hasil kuesioner dan analisanya menunjukkan bahwa atribut produk yang penting bagi konsumen, dengan diurutkan dari tingkat prioritasnya, yaitu: kerenyahan, rasa, aroma, bahan kemasan, warna, bentuk kemasan, bentuk kepingan, dan ukuran kepingan. Urutan itu sesuai dengan nilai bobot atributnya, yang disajikan pada Tabel 1. Kerenyahan, rasa dan aroma menjadi prioritas utama dalam penilaian responden. Tabel 1. Pembobotan atribut tortila berkalsium Atribut mutu Kerenyahan produk Rasa produk Aroma produk Bahan kemasan Warna produk Bentuk kemasan Ukuran kemasan Bentuk kepingan produk Ukuran kepingan produk
Bobot atribut (%) 13,09% 12,43% 12,33% 11,47% 10,56% 10,41% 10,21% 10,06% 9,45%
215
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Dalam uji organoleptik indera yang biasa dipakai adalah indera pencicip di rongga mulut dan pencium di rongga hidung. Selain itu indera penglihat juga cukup dominan untuk menilai warna atau rupa dan indera pendengar untuk menilai suara seperti pada sifat kerenyahan. Indera peraba digunakan untuk menentukan tekstur kasar halus suatu produk. Dengan produk berupa keripik maka suatu kewajaran bila atribut terpenting adalah kerenyahan. Atribut berbobot tinggi lainnya adalah rasa dan aroma, itu pun sesuai teori bahwa indera pencicip dan pembau dominan pada penilaian bahan pangan (Dewa, 2011). Penyusunan Variasi Konsep Produk Faktor yang mempengaruhi atribut tortila berkalsium yaitu: jenis dan komposisi bahan baku, penambahan garam dan perisa, penambahan pewarna, cetakan/potongan keripik, serta desain kemasan. Keterkaitan faktor itu ditampilkan pada Diagram FAST. Dari sejumlah faktor itu didesain 2 varian konsep berdasarkan komposisi bahan, 4 varian berdasarkan bentuk dan ukuran kepingan keripik, serta 6 varian berdasarkan desain kemasannya. Sejumlah varian konsep itu disajikan pada Tabel 2 – 4.
Gambar 1. Diagram FAST tortila berkalsium
216
Konsep kemasan terdiri dari dua varian: kemasan besar dengan kapasitas 200 g, dan kemasan kecil berkapasitas 35 g. Ukuran kepingan keripik besar yaitu 3 cm x 3 cm, sedangkan yang kecil sebesar 2 cm x 2 cm. Variasi ukuran kemasan dan kepingan keripik ini mengacu pada produk VQDFN yang sudah ada di pasar. Komposisi bahan produk tortila yang dikembangkan terdiri dari tepung jagung, tapioka, tepung tulang, garam dan air. Rasio tepung jagung dan tapioka dibuat cukup dengan dua varian yakni 50:50 dan 60:40 pada konsep tortila didasarkan pada kerenyahan sebagai atribut dengan bobot kepentingan tertinggi sehingga produk harus diupayakan agar memiliki parameter mutu kerenyahan yang baik. Rasio yang hampir setara antara tepung jagung dan tapioka ini dilakukan agar produk bisa memberikan pengembangan volume dan kerenyahan yang optimal. Pemilihan rasio ini juga berdasarkan praktik produksi di laboratorium, yaitu bila jumlah tepung jagung ditingkatkan (rasio jagung : tapioka 70 : 30) maka adonan yang diperoleh akan sulit untuk diproses lebih lanjut. Hal ini sesuai sifat tepung tapioka yaitu sebagai pengikat (Susilawati, 2011) sehingga semakin banyak tepung tapioka di adonan, maka adonan menjadi semakin mudah dibentuk dan dicetak.
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Tabel 2. Konsep tortila berkalsium berdasarkan desain kemasan Konsep
KS.1
KS.2
KS.3
KS.4
KS.5
KS.6
Karakteristik
Bahan kemasan
Plastik PP
Plastik PP
Plastik PP
Plastik PP
Gusset (modern)
Gusset (modern)
Konsep
Ukuran kemasan
Kecil
Besar
Kecil
Besar
Kecil
Besar
Tabel 3. Konsep tortila berkalsium berdasarkan variasi bentuk dan ukuran kepingan keripik Konsep
BU.1
BU.2
BU.3
BU.4
Karakteristik
Bentuk kepingan
Kotak
Kotak
Segitiga
Segitiga
Konsep
Ukuran kepingan
Kecil
Besar
Kecil
Besar
Tabel 4. Konsep tortila berkalsium berdasarkan variasi komposisi bahan Konsep Karakteristik
Rasio jagung : tapioka Garam per 200 g
Konsep
Tepung tulang per 200 g adonan
KB.1
KB2
50:50
60:40
3g
5g
7g
7g
Prototipe dari konsep KB.1, KB.2, dan BU.1 – BU.4 diuji preferensi. Konsep berdasarkan variasi desain kemasan diujikan juga tapi tidak menggunakan prototipe, namun hanya menggunakan model kemasan di pasaran yang bisa mewakili konsep itu. Variasi KS, KB dan BU itu lalu dikombinasikan sehingga diperoleh 48 varian kode konsep yaitu dari kode A.1.1 – F.2.4. Kode ini tersusun atas tiga digit yang terdiri dari satu digit huruf dan dua digit angka. Digit huruf A sampai F menunjukan variasi Desain Kemasan. Digit A menunjukan konsep KS.1, kode B menunjukan konsep KS.2, dan seterusnya. Digit angka pertama setelah digit huruf menunjukan variasi Komposisi Bahan. Digit 1 menunjukan KB.1 dan digit 2 menunjukan KB.2. Digit angka terakhir menunjukan variasi Bentuk dan Ukuran Keripik. Digit 1 menunjukan konsep BU.1 dan digit 2 menunjukan konsep BU.2, dst. Jadi, bila Kode Konsepnya adalah E.2.3, hal ini berarti produk itu terdiri dari kombinasi konsep KS.5, KB.2, dan BU.3.
Tabel 5. Performansi tiap atribut per konsep berdasarkan variasi komposisi bahan Atribut
Konsep KB.1
KB.2
Warna Aroma Rasa Kerenyahan
9,82 12,08 12,8 14,92
10,56 13,56 14,67 16,88
49,63
55,67
JUMLAH
Tabel 6. Performansi tiap atribut per konsep berdasarkan variasi desain kemasan Atribut Bahan kemasan Bentuk kemasan Ukuran kemasan JUMLAH
Konsep KS.1
KS.2
KS.3
KS.4
KS.5
KS.6
10,9
12,16
11,13
11,01
15,6
16,4
10,41
11,14
10,62
11,45
13,64
14,47
11,94
13,17
11,64
11,74
14,09
15,21
33,25
36,46
33,38
34,2
43,32
46,08
Tabel 7. Performansi tiap atribut per konsep berdasarkan bentuk dan kepingan keripik Atribut Bentuk kepingan Ukuran kepingan JUMLAH
BU.1
Konsep BU.2 BU.3
BU.4
11,87 10,77
10,56 9,54
11,77 10,96
13,27 12,47
22,64
20,1
22,73
25,75
Hasil perhitungan performansi disajikan pada Tabel 5 – 7. Performansi Total dari tiap kode konsep dihitung sebagai jumlah dari ketiga nilai performansi varian konsep penusunnya. Misalnya, pada Kode Konsep E.2.3, yang berarti terdiri dari kombinasi konsep KS.5 (performansi 43,32), KB.2 (performansi 55,67), dan BU.3 (performansi 22,73) maka Performansi Totalnya adalah jumlah dari ketiga nilai itu, yaitu 122.
217
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Tabel 8. Hasil uji lab konsep produk Konsep
Analisa
KB. 1
Air Abu Protein Lemak Serat Kasar Karbohidrat Energi Kalsium
Rerata 4,26% 2,82% 6,18% 17,43% 3,09% 66,22% 439,09 cal/100 g 1,95%
Konsep
Analisa
KB.2
Air Abu Protein Lemak Serat Kasar Karbohidrat Energi Kalsium
Rerata 2,14% 2,53% 5,83% 21,40% 2,89% 65,21% 469,65 cal/100 g 1,32%
Tabel 9. Hasil analisa YDOXHtortila yang dirancang
4,57 4,46 4,57 4,7
Kode konsep D.1.1 D.1.2 D.1.3 D.1.4
Performansi total 106 104 107 110
Biaya (Rp) per Gram 18,6
24,29
4,59 4,49 4,6 4,72
D.2.1 D.2.2 D.2.3 D.2.4
113 110 113 116
19,79
5,69 5,56 5,69 5,84
109 106 109 112
16,85
6,45 6,3 6,46 6,64
E.1.1 E.1.2 E.1.3 E.1.4
116 113 116 119
25,95
4,45 4,36 4,46 4,57
B.2.1 B.2.2 B.2.3 B.2.4
115 112 115 118
18,04
6,36 6,22 6,37 6,54
E.2.1 E.2.2 E.2.3 E.2.4
122 119 122 125
27,14
4,48 4,39 4,48 4,6
C.1.1 C.1.2 C.1.3 C.1.4
106 103 106 109
38,81
2,72 2,66 2,72 2,8
F.1.1 F.1.2 F.1.3 F.1.4
118 116 118 121
17,6
6,72 6,58 6,73 6,9
C.2.1 C.2.2 C.2.3 C.2.4
112 109 112 115
40
2,79 2,73 2,79 2,87
F.2.1 F.2.2 F.2.3 F.2.4
124 122 124 128
18,79
6,62 6,49 6,62 6,79
Kode konsep A.1.1 A.1.2 A.1.3 A.1.4
Performansi total 106 103 106 109
Biaya (Rp) per Gram 23,1
A.2.1 A.2.2 A.2.3 A.2.4
112 109 112 115
B.1.1 B.1.2 B.1.3 B.1.4
218
Value
Value 5,73 5,59 5,73 5,89
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Pada konsep KB.2 diperoleh performansi aroma, rasa dan kerenyahan yang lebih tinggi dari KB.1. Hal ini wajar karena kadar garam KB.2 lebih tinggi sehingga lebih bercita rasa di lidah. Aroma dan kerenyahan juga lebih disukai karena kandungan tapioka yang lebih tinggi sehingga membuat organoleptik VQDFN lebih kentara (Susilawati, 2011). Sedangkan untuk varian berdasarkan bentuk dan ukuran kepingan dan kemasan menunjukan ketertarikan panelis pada ukuran kemasan dan kepingan yang besar. Ini menunjukan keinginan konsumen pada sifat praktis, yakni VQDFN lebih cepat dihabiskan karena ukuran kepingan yang lebih besar dan VQDFN bisa dibagi-bagikan ke banyak orang, sesuai kultur sosial Indonesia. Konsumen juga lebih menyukai penampilan modern sehingga paling menyukai kemasan gusset modern sebagai yang paling menarik dan memang telah banyak digunakan pada VQDFNmodern. Analisa Biaya Variasi konsep yang mempengaruhi Biaya Variabel adalah Komposisi Bahan (KB.1 – KB.2) dan Kemasan (KS.1 – KS.6). Variasi konsep Bentuk dan Ukuran Keripik (BU.1 – BU.4) tidak mempengaruhi produksi keripik sehingga tidak diikutsertakan dalam analisa. Hal ini berarti digit angka kedua dalam Kode Konsep tidak memberikan perbedaan dalam perhitungan biaya produksi sehingga hanya diperoleh 12 variasi. Analisa Value Tabel 9 menunjukan konsep dengan 9DOXH Tertinggi adalah F.1.4, yaitu kode konsep dengan komposisi bahan KB.1 (komposisi tepung 50:50, garam 3 gram, tepung tulang 7 g), kemasan KS.6 (gusset, ukuran besar) dan BU.4 (bentuk keripik segitiga, ukuran besar). Kode dengan 9DOXH terendah adalah C.1.2 yaitu konsep dengan komposisi bahan KB.1 (komposisi tepung 50:50, garam 3 gram, tepung tulang 7 g), kemasan KS.3 (plastik PP+duplex, ukuran kecil) serta bentuk dan ukuran kepingan BU.2 (segitiga, kecil). Dari komposisi bahan, tampak bahwa konsep dengan komposisi KB.2 memiliki biaya yang lebih tinggi dibanding KB.1. Hal ini karena kadar garam dan tapioka yang lebih tinggi sehingga menimbulkan biaya yang lebih besar. Meski secara organoleptik KB.2 lebih disukai, namun karena biayanya lebih tinggi maka performansi konsep dengan KB.2 lebih rendah dibanding konsep-konsep dengan KB.1. Hal ini juga berlaku untuk jenis kemasan, meski kemasan yang paling favorit adalah KS.6 (gusset modern ukuran besar), namun karena tingginya biaya, maka konsep itu tidak memiliki performansi yang baik dibanding konsep KS.3 yang tergolong lebih murah tapi tetap menarik.
Analisa Kimia Konsep Produk Terbaik Konsep produk ini mengandung kadar kalsium sebesar 6\DUDW SDQJDQ \DQJ GLIRUWL¿NDVL NDOVLXP PHQXUXW Houtkooper dan Farrell (2011) adalah mengandung 200 – 300 mg kalsium untuk takaran saji sebesar 8 ons (226,8 g), atau setara dengan 0,008 – 0,132% kalsium per takaran saji. Dengan takaran 8 ons, tortila itu 460 mg kalsium. Hal ini berarti konsep tortila sudah layak sebagai produk pangan berkalsium. Rincian kadar nutrisi konsep produk berdasarkan variasi Komposisi bahan disajikan pada Tabel 8. 6QDFN yang dikembangkan tergolong bebas gluten dan bebas casein (JOXWHQIUHH – FDVHLQIUHH) sesuai dengan standar AOECS (2011), bahwa bahan tergolong bebas gluten bila kandungan gluten di dalamnya kurang dari 20 ppm (0,002%), dan tergolong bahan rendah gluten bila kandungannya 20 – 100 ppm (0,002 – 0,010 %). Dengan kadar protein pada tepung tapioka sebesar 0,28 – 0,86% (Pangestuti, 2010) dan kadar gluten yang bisa mencapai 75 – 80% dari protein tepung (Jeff, 2010), maka tortila yang dirancang dengan komposisi tepung itu mengandung gluten sebesar 4,76 – 15,6 ppm sehingga tergolong bebas gluten. Kisaran kadar gluten itu tergantung rasio komposisi tepung dan varietas ubi kayu pada tepung tapioka yang digunakan. Kasein adalah salah satu komponen protein pada susu sapi. Tanpa tambahan produk susu sapi dan turunannya maka tortila ini pun bebas kasein. Analisa Kelayakan Finansial Industri untuk Konsep Produk Terbaik Usia investasi yang digunakan adalah 5 tahun, sesuai dengan usia terpanjang dari alat yang dibeli untuk investasi. Kapasitas produksi adalah 60 ton per bulan dengan produk WHUMXDOVHEDQ\DNGDULNDSDVLWDVWHUVHEXW'DWD¿QDQVLDO acuan diperoleh dari CV. Senden Industry. Analisa ini dengan menyesuaikan kebutuhan bahan dan proses produksi. Rincian Investasi Awal dan Depresiasi per Tahun disajikan pada Tabel 10. Sedangkan Tabel 11 untuk rincian biaya variabel tahunan industri konsep F.1.4 dan Tabel 12 untuk rincian FDVK ÀRZ industri. Net present value. Dari Tabel 12 tampak bahwa NPV setelah 5 tahun beroperasi akan memberikan suatu sisa kas yang positif sebesar Rp.3.718.265.521. Payback period. Biaya tetap industri sebesar Rp 28.800.000 per tahun meliputi sewa lahan, perijinan, perawatan alat dan mesin. Tabel 12 menunjukkan bahwa industri memberikan QHWDIWHUWD[ yang bernilai positif pada periode satu tahun pertama, sebesar Rp. 885.925.262 sehingga VHFDUD¿QDQVLDOLQGXVWULLQLOD\DNGLMDODQNDQ
219
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Tabel 10. Investasi awal dan depresiasi per tahun Nama barang Penggiling Pencuci Tong logam rebus-kukus Tong plastik perendaman Pencampur bumbu Baskom Rigen Wajan Kompor gas Sealer Food Processor Presto
Usia (Thn)
Jumlah pembelian
Unit yang diperlukan
Unit total
5 5 3 2 3 1 1 2 3 2 4 3
1 1 1 2 1 5 5 2 1 2 1 1
1 1 8 6 1 4 50 1 1 1 1 1
1 1 8 12 1 20 250 2 1 2 1 1
Harga satuan*
Total investasi*
12.000 9.000 1.250 170 8.000 30 10 250 300 300 590 500
TOTAL
Break even point. Pada konsep F.1.4., harga jual per unit produk 200 g adalah Rp. 9000,00. Biaya pokok produksi Rp. 3.615,54, dihitung dari Biaya Total Konsep F.14 per tahun dibagi jumlah produksi per tahun (dalam satuan gram) lalu dikalikan dengan 200 g (ukuran 1 kemasan). Biaya tetap tahunan (PDLQWHQDQFH dan operasional) Rp. 2.400.000,00.
Depresiasi per Thn*
12.000 9.000 10.000 2.040 8.000 600 2.500 500 300 600 590 500
2.400 1.800 2.000 408 1.600 120 500 100 60 120 118 100
46.630
9.326
Biaya depresiasi per tahun, sebesar Rp. 9.326.000. Rincian biaya depresiasi ada pada Tabel 9. Biaya-biaya itu digabungkan sebagai Biaya Tetap dalam perhitungan BEP. Dari perhitungan tampak bahwa titik BEP dicapai bila penjualan mencapai 11.990 unit produk.
Tabel 11. Biaya variabel per tahun tortila berkalsium kode konsep F.1.4. No.
Nama barang
Biaya/satuan
1
Tepung jagung
Rp 6.000/kg
350 kg
1.575.000,0
275.625.000,0
2
Bumbu (garam)
Rp. 2.000 / 200g / pcs
17,5 pcs
35.000,0
6.125.000,0
3
Tepung Tapioka
Rp. 6.000/ 500g / pcs
116,67 pcs
641.685,0
112.294.875,0
4
Air
Rp. 50 /liter
600 liter
30.000,0
5.250.000,0
5
Kemasan gusset
Rp. 900/pcs
1715 pcs
1.543.500,0
270.112.500,0
6
Minyak Goreng
Rp. 53.000/ jerigen
24.751,0
4.331.425,0
7
Tepung tulang
Rp. 3.250 / 60 g / pcs
584 pcs
1.898.000,0
332.150.000,0
8
Listrik
Rp 150.000 / 8 ton jagung
0,04375
6.562,5
1.148.437,5
9
Gas
Rp. 55.000/12kg / tabung
0,3 tabung
16.500,0
2.887.500,0
10
Jagung
Rp 750 / kg jagung
350 kg
262.500,0
45.937.500,0
6.033.498,5
1.055.862.237,5
Jumlah
220
Pemakaian/batch
0,467 jerigen
Biaya/batch
Biaya/tahun
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Tabel 12. &DVKÀRZ tortila berkalsium kode konsep F.1.4. Periode
Investasi
0 1 2 3 4 5
-46.630.000 -46.630.000 -46.630.000 -46.630.000 -46.630.000 -46.630.000
Biaya -968.494.911 -1.833.187.647 -2.605.141.762 -3.294.444.613 -3.909.990.433
Depresiasi -8.327.185 -15.761.872 -22.399.186 -28.325.859 -33.618.364
KESIMPULAN Konsep tortila berkalsium dengan YDOXH tertinggi adalah konsep F.1.4 yaitu konsep dengan Kemasan KS.6 (gusset, ukuran besar), Komposisi Bahan KB.1 (rasio 50:50, garam 3 gram per 200 g adonan, tepung tulang 7 g), serta Bentuk dan Ukuran Keripik BU.4 (segitiga, ukuran besar). Konsep ini juga memenuhi syarat produk pangan CFGF serta, berdasarkan perhitungan PBP, NPV, dan BEP, konsep produk ini layak diimplementasikan dalam skala industri kecil. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada PT Indofood Sukses Makmur Tbk yang telah memberikan sponsorship untuk penelitian ini melalui Indofood Riset Nugraha 2013. DAFTAR PUSTAKA Anonim (2013). Jumlah anak autis melonjak, Indonesia, 2013. http://www.binaautis.org/2013/01/jumlah-anakautis-melonjak.html. [22 Agustus 2013]. AOECS (2011). $2(&6 $VVRFLDWLRQ RI (XURSHDQ &RHOLDF 6RFLHWLHV 6WDQGDUGIRU)RRGIRU3HUVRQV,QWROHUDQWWR *OXWHQ. Brussel. Belgium. Artha, N. (2011). Konsep dan tahapan dalam pengembangan produk baru, 2011. http://www.warmadewa.ac.id/ wp-content/uploads/2011/05/Microsoft-Word-arta1konsep-dan-tahapan-dalam-pengembangan-produkbaru.pdf. [1 Maret 2014]. Dell’Isola, P.E. dan Alphonse (1997). Value Engineering: Practical Applications. RS Means, Kingston. Dewa (2011). Aspek, unsur, dan penilaian organoleptik yang berhubungan dengan pencicipan dan penciuman, 2011. http://dewa-barista.blogspot.com/p/aspek-unsur-danpenilaian-organoleptik.html. [6 September 2014].
Pendapatan 1.928.664.000 3.650.616.000 5.187.888.000 6.560.568.000 7.786.368.000
1HW%HIRUH7D[ 905.211.902 1.755.036.479 2.513.717.051 3.191.167.526 3.796.129.201
1HW$IWHU7D[ 1% Omzet -46.630.000 885.925.262 1.718.530.319 2.461.838.171 3.125.561.846 3.718.265.521
Houtkooper, L. dan Farrell, V.A. (2011). &DOFLXP6XSSOHPHQW *XLGHOLQHV. University of Arizona Cooperative Extension. College of Agricultural and Life Sciences. University of Arizona. Giatman, M. (2006). (NRQRPL7HNQLN5DMD*UD¿QGR3HUNDVD Jakarta. Hardianto, V. (2002). 3HPEXDWDQ 7HSXQJ 7XODQJ 5DZDQ $\DP 3HGDJLQJ 0HQJJXQDNDQ 3HQJHULQJ 'UXP GHQJDQ3HQDPEDKDQ%DKDQ3HPXWLK. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jeff (2010). What is the SURWHLQRUJOXWHQFRQWHQWRIYDULRXV ÀRXUV" Amerika, 2010. http://www.nyx.net/~dgreenw/ whatistheproteinorglutenco.html. [20 Januari 2014]. Khasanah, U. (2003).)RUPXODVL.DUDNWHULVDVL)LVLNR.LPLD GDQ 2UJDQROHSWLN 7RUWLOOD &KLS Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kumalaningsih, S., Wignyanto dan Fitria (2005). Perancangan unit pengolahan keripik tortilla jagung dalam skala industri kecil. -XUQDO7HNQRORJL3HUWDQLDQ6(1): 7-16. Lisa, P.L.A. dan Christy, E.M. (2012). Diet JOXWHQGDQNDVHLQ EDJL SHQGHULWD DQDN DXWLV, Indonesia, 2012. http:// meetdoctor.com/article/diet-gluten-dan-kasein-bagianak-penderita-autism. [30 Maret 2014]. Pangestuti, B.D. (2010). .DUDNWHULVDVL7DSLRNDGDULEHEHUDSD 9DULHWDV8EL.D\X0DQLKRWHVFXOHQWD&UDQW]). Insititut Pertanian Bogor, Bogor. Susilawati, I. (2011). 3HQJJXQDDQEHUEDJDL%DKDQ3HQJLNDW WHUKDGDS .XDOLWDV )LVLN GDQ .LPLD 3HOOHW +LMDXDQ 0DNDQDQ7HUQDN. Universitas Padjajaran, Bandung. Singarimbun, M. dan Effendi, S. (1989). 0HWRGH3HQHOLWLDQ 6XUYDL. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta. Sugiyono (2008). 0HWRGH 3HQHOLWLDQ .XDQWLWDWLI .XDOLWDWLI GDQ5GDQ', cetakan keempat. Alfabeta, Bandung.
221
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Trilaksani, W., Salamah, E. dan Nabil, M. (2006)Pemanfaatan limbah tulang ikan tuna (7KXQQXV VS) sebagai sumber kalsium dengan metode hidrolisis protein. %XOHWLQ 7HNQRORJL+DVLO3HUWDQLDQ IX(2): 38-43. Wikanta, T. (1999). Senyawa bioaktif khondroitin sulfat dari tulang rawan ikan hiu. -XUQDO 3HQHOLWLDQ GDQ 3HQJHPEDQJDQ3HUWDQLDQ 18: 1-16.
222
Winarno, F.G. dan Agustinah, W. (2008). Pangan dan autisme, Indonesia, 2008. http://www.lspr.edu/csr/ autismawareness/media/seminar/Autism%20dan%20 Peran%20Pangan%20-%20Prof%20Winarno%202009-08.pdf. [9 Oktober 2012].
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
ANALISIS STRATEGI PENANGANAN RISIKO KEKURANGAN PASOKAN PADA INDUSTRI PENGOLAHAN RUMPUT LAUT: KASUS DI SULAWESI SELATAN A Risk Handling Strategy for Supply Shortage in Seaweed Agro-Industry: A Case in South Celebes Sarinah17DX¿N'MDWQD2 Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi dan Industri Pertanian Universitas Halu Oleo, Jl. H.E.A. Mokodompit No. 1 Malaka Anduonohu Kota Kendari, Sulawesi Tenggara 93232 2 Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Jl. Lingkar Akademik, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 Email:
[email protected], WDX¿NGMDWQD#LSEDFLG
1
ABSTRAK Strategi penanganan risiko kekurangan pasokan merupakan upaya untuk mengurangi terjadinya risiko kekurangan bahan baku rumput laut kering untuk kebutuhan industri rumput laut di PT XYZ dengan melakukan pemilih pemasok. Manajemen risiko rantai pasokan memainkan peran yang lebih penting daripada sebelumnya. Perusahaan harus fokus WLGDNKDQ\DSDGDH¿VLHQVLUDQWDLSDVRNDQWHWDSLMXJDSDGDULVLNRULVLNRQ\D-LNDVXDWXNHMDGLDQ\DQJWDNWHUGXJDWHUMDGL VHPXDDQJJRWDUDQWDLSDVRNDQDNDQWHUSHQJDUXKGDQKDVLOQ\DDNDQPHQ\HEDENDQNHUXJLDQ\DQJVLJQL¿NDQ2OHKNDUHQD itu, naskah ini mengusulkan metode 0RGL¿HG)DLOXUH0RGHDQG(IIHFWV$QDO\VLV0)0($ XQWXNPHQJLGHQWL¿NDVL risiko dari perspektif tiap risiko rantai pasokan dan memilih pemasok dengan menerapkan metode $QDO\WLF+LHUDUFK\ 3URFHVV(AHP) untuk menentukan bobot masing-masing kriteria dan sub-kriteria untuk pemilihan pemasok PT XYZ adalah industri pengolahan rumput laut dalam bentuk alkali treated cottonii (ATC)-Chips dan SRC SRZGHU. Hasilnya menunjukkan bahwa perusahaan memdapatkan pemasok yang lebih efektif dan pada saat yang sama mendapatkan mitra rantai pasokan yang berisiko rendah. Kata kunci: Pemilihan pemasok, manajemen risiko rantai pasok, MFMEA, AHP ABSTRACT 5LVNPDQDJHPHQWSOD\VDFULWLFDOUROHLQLPSURYLQJWKHHI¿FLHQF\RIVXSSO\FKDLQRIUDZPDWHULDOVWRVXSSRUWLQGXVWULDO production processes. It is critical in the sense that it can be employed to identify any potential risks before they RFFXUVDQGDYRLGVLJQL¿FDQWSURGXFWLRQORVVHVRUGHOD\V7KLVSDSHUGLVFXVVHGWKHULVNPDQDJHPHQWVWUDWHJ\WKDWFRXOG be used to reduce the potential shortage of dried seaweed supply needed by PT XYZ using pemasok selection. This VWXG\GHYHORSHGD0RGL¿HG)DLOXUH0RGHDQG(IIHFWV$QDO\VLV0)0($ WRLGHQWLI\DQ\ULVNVDVVRFLDWHGZLWKWKH supply chain model. The best selected suppliers were determined through assessing different assigned weights to the criteria and sub-criteria constructed in a Analytic Hierarchy Process (AHP) tree. PT XYZ is an alkali treated cottoni (ATC) chips and SRC powderSURFHVVLQJLQGXVWU\7KHUHVXOWVLQGLFDWHGWKDWWKH¿UPKDVEHHQPDLQWDLQLQJDQHIIHFWLYH supplier network with low risk supply chain partnership. Keywords: Supplier selection, supply chain risk management, MFMEA, AHP
PENDAHULUAN Risiko kekurangan rumput laut kering menimbulkan permasalahan pada keberlanjutan ekspor rumput laut dan keseluruhan industri pengguna bahan baku dari rumput laut baik dalam negeri maupun luar negeri. Risiko kekurangan bahan baku berakibat pada penurunan kinerja perusahaan.
Memilih pemasok yang tepat merupakan langkah penting dalam manajemen rantai pasok melalui pengurangan biaya operasional dan waktu pengiriman. Demikian pula, memilih pemasok yang salah dapat meningkatkan jumlah produk cacat, pengiriman tidak stabil, atau biaya penyimpanan,
223
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
yang semuanya dapat meningkatkan total biaya perusahaan dan merusak reputasinya (Che dan Wang, 2008). Untuk itu, bagaimana memilih pemasok yang tepat menjadi isu penting bagi perusahaan yang ingin meminimalkan risiko rantai pasokannya. 6WXGL VHEHOXPQ\D WHODK PHQJLGHQWL¿NDVL EHEHUDSD kriteria untuk mengevaluasi pemasok. Berdasarkan hubungan antara pemasok dan produsen, Dickson (1966) dari 23 kriteria yang digunakan menempatkan empat kriteria penting yaitu kualitas, proses pengiriman, kinerja, dan kebijakan garansi. Dalam Tracey dan Tan (2001) memilih kualitas, reliabilitas pengiriman, karakteristik produk, dan harga satuan sebagai kriteria bagi perusahaan untuk menilai kemampuan pemasok perusahaan. Sedangkan Katsikeas dkk. (2004) menggunakan reliabilitas pemasok, harga yang kompetitif, pelayanan, dan keterampilan teknis. Selanjutnya dalam kajian Ho dkk. (2010), kualitas dianggap sebagai kriteria paling penting, selanjutnya diikuti oleh proses pengiriman, harga, kemampuan manufaktur, jasa, manajemen, dan teknologi. Dalam rangka meningkatkan daya saing perusahaan dalam manajemen rantai pasokan, perusahaan harus dapat menjaga hubungan jangka panjang dengan pemasok yang paling dapat diandalkan. Ketika perusahaan memilih pemasok yang tepat, biaya bukanlah satu-satunya kriteria yang harus dipertimbangkan, perusahaan juga perlu mempertimbangkan kualitas, proses pengiriman, dan pelayanan (Ho dkk., 2010). Keempat kriteria tersebut juga yang akan digunakan dalam naskah melihat risiko pemasokdan untuk memilih pemasok yang tepat bagi industri rumput laut. Evaluasi masalah pemasok dan pemilihan pemasoktelah banyak dilakukan dan dengan berbagai metode namun pemilihan pemasok berdasarkan dengan risiko pemasok atau risiko rantai pasokan masih terbatas (Ho dkk., 2010). Dalam Wu dkk. (2006) menggunakan Analisis Hirarki Proses (AHP) untuk menilai risiko pasokan, dimana menganggap enam faktor risiko yaitu: faktor internal yang terkontrol, faktor internal terkendali parsial, faktor internal yang tidak terkendali, faktor eksternal terkontrol, faktor eksternal terkendali parsial, dan faktor eksternal tidak terkendali. Schoenherr dkk. (2008) menerapkan metode AHP dalam mempelajari bagaimana industri di Amerika Serikat menilai risiko rantai pasokan dan pengambilan keputusan dalam pengadaan lepas pantainya, dimana menggunakan kriteria (seperti produk, mitra, dan lingkungan) dan sub-kriteria (seperti kualitas, biaya, pelayanan, dan kemampuan manajemen). Selanjutnya, Thun dan Hoenig (2011) mengamati 67 produsen otomotif Jerman untuk kerentanan rantai suplai dan pendorong utama risiko rantai pasokan dengan menerapkan probabilitas-dampakmatrix untuk menganalisis risiko rantai pasokan internal dan eksternal serta cara untuk mengurangi risiko rantai pasokan tersebut.
224
Dalam penilaian risiko pemasok, )DLOXUH 0RGH DQG (IIHFW $QDO\VLV(FMEA) adalah metode yang populer untuk mengukur pencegahan risiko (Ko, 2013). Metode FMEA banyak diterapkan dalam desain produk dan perencanaan proses manufaktur (Ekmekcioglu dan Kutlu, 2012). Risiko tradisional FMEA dievaluasi dengan menghitung jumlah prioritas risiko (RPN). RPN merupakan tingkat prioritas risiko (5LVN 3ULRULW\ 1XPEHU-RPN) yang diperoleh dari hasil perkalian dari tiga faktor (O, S, dan D), dimana O dan S mewakili kejadian (2FFXUUHQFH) dan tingkat keparahan kegagalan (6HYHULW\ GDQ'GLGH¿QLVLNDQVHEDJDLGHWHNVL\DQJ berarti kemampuan untuk mendeteksi kegagalan ('HWHFWLRQ) sebelum mencapai pelanggan (Chin dkk., 2009). Setiap faktor dievaluasi pada skala 10-point. Setelah menghitung tiap RPN dari setiap kegagalan dan mengurutkan tiap RPN dari yang terbesar sampai ke yang terkecil. Kegagalan dengan nilai RPN tinggi menunjukan tingkat kepentingan dan perlunya perhatian yang lebih besar. FMEA dapat membantu menilai risiko kegagalan dan memberikan pedoman untuk perbaikan. Penggunaan FMEA telah diperkenalkan ke industri lainnya (Almannai dkk., 2008) Risiko pasokan menyangkut pengurangan volume dan kualitas barang pada setiap lokasi dan waktu dalam sebuah aliran rantai pasokan (Bogataj dan Bogataj, 2007). Konsekuensi dari kegagalan mengatur risiko tersebut menjadi lebih buruk dalam rantai pasok suatu barang. Yang paling nyata berdampak pada pendapatan dan laba, disamping itu gangguan dalam pemasokan atau permintaan dapat mengganggu hubungan dagang dengan mitra usaha, mengingat keterkaitan sebuah rantai pasokan memiliki efek gelombang yang dapat mempengaruhi semua ekosistem rantai pasokan (Shi, 2004). Maka itu, risiko pasokan adalah masalah utama dalam perencanaan dan manajemen organisasi manapun (Finch, 2004). 6XSSO\&KDLQ5LVN0DQDJHPHQW(SCRM) telah menjadi isu penting dalam manajemen rantai pasokan (Neiger dkk., 2009). Hallikas dkk.(2004) menggambarkan rantai pasokan bukan sebagai rantai vertikal sederhana, tetapi sebagai jaringan pasokan multi lapisan. Jaringan rantai pasokan menghadapi empat jenis risiko: permintaan, tanggal jatuh tempo, manajemen biaya, dan risiko yang terkait dengan NHPDPSXDQ SURGXNVL GDQ ÀHNVLELOLWDV RSHUDVL 7DQJ menjelaskan bahwa risiko rantai pasokan terdiri dari risiko operasional dan gangguan. Risiko operasional dikaitkan dengan ketidakpastian proses seperti permintaan pelanggan, MXPODK SDVRNDQ GDQ ÀXNWXDVL ELD\D 5LVLNR *DQJJXDQ mencakup bencana alam dan ulah manusia, seperti gempa bumi, banjir, angin topan, serangan teroris, krisis keuangan, atau mogok kerja. Manajemen rantai pasokan yang efektif, menjadikan pemasok sebagai partner dalam strategi perusahaan untuk
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
memuaskan pasar sasaran. Keunggulan bersaing tergantung pada hubungan yang erat dengan pemasok dalam jangka panjang (FORVHORQJWHUP VWUDWHJLF UHODWLRQVKLS). Terlihat bahwa risiko pasokan sangat ditentukan oleh kinerja pemasok. Mengurangi ketidakpastian pasokan, SCRM harus membangun pemilihan pemasok dan sistem penilaian yang baik (Srinivasan dkk., 2011). Bekerja sama dengan para pemasok dapat mengurangi risiko operasional dan mengurangi kemungkinan kerugian bagi semua anggota rantai pasokan. Berdasarkan tinjauan pustaka, peneliti sebelumnya yang telah melihat pilihan pemasok sebagai masalah keputusan multi-kriteria yang dapat digunakan untuk penanganan risiko operasional terkait ketidakpastian pasokan (Ho dkk, 2010). Dalam penelitian menganggap jenis ini (risiko operasional) sebagai masalah SCRM. Pillay dan Wang (2003) menemukan bahwa hasil FMEA bisa membantu manajer dalam membuat keputusan yang tepat dalam menghadapi risiko rantai pasokan. Strategi penanganan risiko pasokan pada kajian ini diperoleh dengan pemilihan pemasok rumput laut dengan metode FMEA dan AHP. Kajian ini dilakukan pada permasalahan pada PT. XYZ yang bergerak dibidang pengolahan rumput laut di Maros Baru, Kabupaten Maros. Jenis rumput laut (XFKHXPDFRWWRQL dan (XFKHXPDVSLQRVXP merupakan jenis rumput laut yang diolah menjadi produk dalam bentuk ATC-Chips dan SRC SRZGHU, dengan jumlah produksi perhari 7,2 ton dan jumlah produksi pertahun 1000 ton. Bahan baku industri berasal dari berbagai Kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan seperti Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Selayar, juga dari dari luar Sulawesi Selatan yaitu Sulawesi Tengah, Kendari, Bau-bau dan Kepulauan, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur. Hasil industri PT. XYZ menjadikan rumput laut bermutu sangat tinggi sehingga permintaannya terus meningkat karena dicari pasar luar negeri. Dari permasalahan di atas memberi arahan pada penetapan tujuan dari kajian ini dalam hal untuk: 0HQJLGHQWL¿NDVLVWUXNWXUUDQWDLSDVRNUXPSXWODXW 0HQJLGHQWL¿NDVLNULWHULDSHPDVRNSRWHQVLDO 0HQJLGHQWL¿NDVLULVLNRGDQSHQLODLDQULVLNRSHPDVRN 4) Menentukan strategi risiko kekurang pasokan.
mewujudkan hal tersebut maka ada empat tahap yang dapat GLODNXNDQGDODPNDMLDQLQL*DPEDU \DLWXPHQJLGHQWL¿NDVL VWUXNWXU UDQWDL SDVRN UXPSXW ODXW PHQJLGHQWL¿NDVL NULWHULD SHPDVRN SRWHQVLDO PHQJLGHQWL¿NDVL ULVLNR GDQ SHQLODLDQ risikopemasok dan menentukan strategi penangan risiko kekurang pasokan. Tahapan Penelitian Dalam strategi penanganan risiko pasokan ini dibagi dalam empat tahapan, sebagai berikut : 7DKDS0HQJLGHQWL¿NDVLVWUXNWXUUDQWDLSDVRNUXPSXWODXW 'DODPLGHQWL¿NDVLVWUXNWXUUDQWDLSDVRNUXPSXWODXWGLODNXNDQ dengan prasurvey pada industri pengolahan dan melakukan wawancara dengan pihak terkait untuk memperoleh gambaran umum rantai pasokan dan risiko pasokan rumput laut serta NRQGLVLJHRJUD¿VREMHNNDMLDQ 7DKDS 0HQJLGHQWL¿NDVL NULWHULD SHPDVRN SRWHQVLDO ,GHQWL¿NDVL NULWHULD SHPDVRN SRWHQVLDO PHUXSDNDQ NULWHULD yang digunakan dalam menilai pemasok rumput laut yang akan mendukung industri pengolahan rumput laut. Hal ini dilakukan dengan studi pustaka dan wawancara dengan pihak terkait.
Mulai
Identifikasi Struktur Rantai
Identifikasi Kriteria
Identifikasi Resiko
Tidak Pemilihan Pemasok Rekomendasi perbaikan dari kriteria yang resiko tinggi (RPN tinggi)
Ya Pemasok Terpilih
Strategi Penanganan
METODE PENELITIAN Selesai
Kerangka Pikir Kajian ini didasari atas pemikiran bagaimana menjaga ketersediaan pasokan rumput laut kering dalam industri, dimana rumput laut kering diolah menjadi bentuk DONDOL WUHDWHGFRWWRQLL(ATC)-&KLSV dan SRC SRZGHU.Ketersediaan pasokan tersebut akan menentukan kebelanjutan industri terutama dalam memenuhi permintaan luar negeri. Dalam
Gambar 1. Tahapan kajian
7DKDS 0HQJLGHQWL¿NDVL ULVLNR GDQ SHQLODLDQ ULVLNR SHPDVRN'DODPLGHQWL¿NDVLLQLGLODNXNDQPHODOXL.XHVLRQHU yang berisi daftar pertanyaan yang ditujukan kepada pihak-
225
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
pihak terkait dengan topik kajian, yaitu kepada petani rumput laut, pengumpul, peneliti, dan pihak perusahaan pengolah. LGHQWL¿NDVL ULVLNR SHPDVRN GHQJDQ DQDOLVLV GHVNULSWLI GDQ metode )DLOXUH0RGHDQG(IIHFWV$QDO\VLV (FMEA). Dalam melakukan pengukuran risiko ada beberapa variabel yang harus diteliti, yaitu : 6HYHULW\(S) yaitu dampak yang timbul apabila suatu kesalahan (IDLOXUH) terjadi2FFXUHQFH (O) yaitu kemungkinan atau probabilitas atau frekuensi terjadinya kesalahandan 'HWHFWLRQ (D) kemungkinan untuk mendeteksi suatu kesalahan akan terjadi atau sebelum dampak kesalahan tersebut terjadi. Selanjutnya diperoleh nilai RPN (5LVN 3ULRULW\1XPEHU). FMEA dievaluasi dengan menghitung nilai prioritas risiko (RPN). RPN dihitung dengan mengalikan tiga variabel tersebut (O, S, dan D). Chin dkk. (2009), O dan S mewakili kejadian dan tingkat keparahan kegagalan, dan D GLGH¿QLVLNDQVHEDJDLGHWHNVL\DQJEHUDUWLNHPDPSXDQXQWXN mendeteksi kegagalan sebelum mencapai pelanggan. Setiap faktor dievaluasi pada skala 10-point. Setelah menghitung tiap RPN dari setiap kegagalan, pihak perusahaan bisa mengurutkan tiap RPN dari terbesar ke terkecil.Kegagalan dengan RPN tinggi dapat dipandang sebagai lebih penting dan sebagai perhatian yang lebih besar. Oleh karena itu, FMEA dapat membantu pihak perusahaan menilai risiko kegagalan dan memberikan ke manajer sebagai pedoman untuk perbaikan. Nilai RPN akan membantu memberikan pertimbangan untuk tindakan korektif pada setiap moda kegagalan dan akan digunakan dalam pemilihan pemasok dengan metode AHP. Tahap 4 : Menentukan strategi penangan risiko kekurang pasokan. Strategi penanganan risiko kekurangan pasokan dilakukan dengan melakukan pemilihan pemasok rumput laut yang dapat menggulangi risiko kekurangan bahan baku rumput laut kering untuk industri.
Dalam pemilihan menggunakan Nilai RPN dari metode )DLOXUH 0RGH DQG (IIHFWV$QDO\VLV (FMEA) dan bobot dari Analisis Hierarki Proses (AHP). Dalam pengisian kuisioner untuk metode AHP menggunakan pakar dari manajemen industri rumput laut yang memahami dan mengenal tentang pemasok yang dibutuhkan. Metode AHP dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, diterapkan untuk pengambilan keputusan permasalahan yang kompleks. Metode AHP didasarkan pada perbandingan berpasangan (aij) pendapat ahli dengan menggunakan skala pada Tabel 1. Indikator konsistensi dalam AHP diukur melalui &RQVLVWHQF\,QGH[&, AHP mengukur seluruh konsistensi penilaian menggunakan &RQVLVWHQF\ 5DWLR&5 yang merupakan perbandingan antara CI dengan 5DQGRP ,QFRQVLVWHQF\ ,QGH[ 5, . Jika nilai CR adalah kurang dari 0,1 (CR < 0,1), dikatakan bahwa elemen-elemen telah dikelompokkan secara konsisten (Saaty, 1999). Bobot kriteria dan subkriteria dari Metode AHP digunakan untuk menilai masing-masing pemasok utama perusahaan dengan menggunakan panduan penilaian risiko pada metode FMEA. Penilaian ini dilakukan pihak perusahaan pada masing-masing pemasok. Evaluasi terakhir adalah dari nilai Total Bobot RPN yang merupakan hasil perkalian bobot kriteria dari metode AHP dan nilai RPN untuk masing-masing pemasok. Penilaian akhir pemasok yang memilih nilai Bobot RPN terendah dikategorikan sebagai pemasok yang memiliki risiko rendah dan terpilih untuk menjadi pemasok tetap perusahaan. Tahapan terakhir adalah rekomendasi, dari hasil pengumpulan data, pengolahan data dan analisa selanjutnya akan ditampilkan kesimpulan mengenai tingkatan risiko yang terjadi dalam pengadaan bahan baku rumput laut, dan alternatif cara penanganan risiko serta mendapatkan pemasok yang efektif. Pada tahap ini disertakan juga usulan
Tabel 1. Skala dasar perbandingan pada AHP Intensitas tingkat kepentingan 1
Sama penting
3
Sedikit lebih penting
5
Lebih penting
7
Sangat lebih penting
9
Mutlak lebih penting
2, 4, 6, 8 Nilai kebalikan (UHFLSURFDO)
226
'H¿QLVL
Nilai tingkat kepentingan yang mencerminkan suatu nilai kompromi Nilai tingkat kepentingan jika dilihat dari arah yang berlawanan. Misalnya jika A sedikit lebih penting dari B (intensitas 3), maka berarti B sedikit kurang penting dibanding A (intensitas 1/3).
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Gambar 2. Struktur rantai pasok rumput laut pada industri pengolahan rumput laut di Sulawesi Selatan
Industri pengolahan rumput laut menganggap kriteria pemasok tidak hanya kriteria tradisional, seperti kualitas, biaya, SURVHVSHQJLULPDQ, dan pelayanan, tetapi juga kriteria praktis, seperti teknologi dan produktivitas. Sebagaimana menurut literatur, teknologi dan produktivitas sangat penting untuk pemilihan pemasok. Sebagai contoh, Weber dkk (1991) memberikan gambaran tentang isu-isu seleksi pemasok, dimana kriteria dasar adalah harga, pengiriman, NXDOLWDVIDVLOLWDVSURGXNVLGDQNDSDVLWDVORNDVLJHRJUD¿VGDQ kemampuan teknis. Dimana, fasilitas produksi dan kapasitas mengacu pada produktivitas, sedangkan kemampuan teknis mengacu pada teknologi. Menurut Hodkk.(2010) pada pemilihan pasokan menunjukan bahwa kriteria paling penting untuk dipertimbangkan oleh pengambil keputusan adalah berkualitas, harga/biaya, kemampuan manufaktur, layanan. Dalam kajian naskah ini diperoleh kriteria 6 kriteria yang akan digunakan dalam pemilihan pemasok yaitu : biaya, NXDOLWDV SURVHV SHQJLULPDQ WHNQRORJL SURGXNWL¿WDV GDQ teknologi. Dengan penjelasan kriteria yang dimaksud adalah (1) Biaya, terkait dengan total biaya dan upaya pengurangan biaya yang dilakukan, (2) Kualitas, terkait dengan pengawasan mutu, kemampuan menghasilkan rumput laut yang tingkat kerusahan kecil, reabilitas, kelebihan dalam pengendalian risiko kerusakan (3) Proses pengiriman, yang menyangkut dengan siklus pengadaan, ketepatan pengiriman, dan OHDGWLPH pengiriman, (4) Teknologi, yang terkait dengan kemampuan mengeringkan rumput laut, kemampuan memecahkan masalah, NHPDPSXDQ SHUEDLNDQ EHUNHODQMXWDQ 3URGXNWL¿WDV \DQJ WHUNDLW GHQJDQ ÀHNVLELWDV SHQJDGDDQ UXPSXW ODXW GDQ MXPODK rumput laut yang dapat disiapkan, dan (6) Pelayanan, terkait dengan pemprosesan keluhan, respon permintaan serta pembuatan laporan. Kriteria dan sub kriteria tersebut yang digunakan dalam pemilihan pemasok rumput laut.
,GHQWL¿NDVL.ULWHULD3HPDVRN3RWHQVLDO
,GHQWL¿NDVL5LVLNRGDQ3HQLODLDQ5LVLNR3HPDVRN
Pemasok rumput laut dalam industri pengolahan menentukan kredibilitas industri dalam memasarkan produk olahannya terutama untuk melayani kebutuhan ekspor. Saat ini industri rumput laut telah mendapat peringatan dari pihak pelanggan akan kualitas produk olahan yang dihasilkan. Sementara kualitas tersebut sangat tergantung pada para pasokan bahan baku rumput laut kering dari berbagai daerah. Rendahnya kualitas rumput laut dibandingkan dengan kualitas produk rumput laut negara tetangga semakin mempengaruhi daya saing ekspor produk olahan yang masuk ke pasar dunia. Untuk itu kriteria pemasok menjadi bahan untuk meningkatkan kualitas pasokan rumput laut. Dalam kajian ini studi pustaka dan wawancara dengan pihak industri GDQ SDNDU NDMLDQ PHQJLGHQWL¿NDVL EDKZD NULWHULD SHPDVRN yang dibutuhkan adalah terkait dengan risiko kekurang bahan baku rumput laut kering.
'DODPLGHQWL¿NDVLULVLNRLQLGLODNXNDQPHODOXLNXHVLRQHU yang berisi daftar pertanyaan yang ditujukan kepada pihakpihak terkait dengan topik kajian, yaitu kepada petani rumput laut,pengumpul, akademisi dan pihak perusahaan pengolah. LGHQWL¿NDVLULVLNRSDVRNDQGHQJDQDQDOLVLVGHVNULSWLIGDQPHWRGH EHUGDVDUNDQ SURVHV PDQDMHPHQ ULVLNR LGHQWL¿NDVL ULVLNR pengukuran risiko, pemetaan risiko, dan penanganan risiko). ,GHQWL¿NDVL ULVLNR SDVRNDQ GLOLKDW GDUL NULWHULD pemilihan pemasok yang telah diperoleh dari tahap 2. Penilaikan dilakukan oleh pihak industri terhadap pemasok rumput laut yang selalma ini bekerjasama dengan industri. 0HQGH¿QLVLNDQ VLVWHP SHQLODLDQ XQWXN SHPLOLKDQ SHPDVRN berdasarkan dampak yang terjadi terhadap gangguan dalam kriteria pemasok seperti disajikan dalam Tabel 2. 'DODP PHQJLGHQWL¿NDVL PRGH NHJDJDODQ SRWHQVLDO pihak perusahaan sebagai tim penilai menentukan mode
atau masukan yang dapat dipergunakan oleh perusahaan untuk melakukan perbaikan agar kemungkinan terjadinya risiko tidak terlalu tinggi. HASIL DAN PEMBAHASAN ,GHQWL¿NDVL6WUXNWXU5DQWDL3DVRN5XPSXW/DXW 'DODP LGHQWL¿NDVL VWUXNWXU UDQWDL SDVRN UXPSXW ODXW dilakukan dengan prasurvey pada industri pengolahan dan melakukan wawancara dengan pihak terkait untuk memperoleh gambaran umum rantai pasokan dan risiko SDVRNDQUXPSXWODXWVHUWDNRQGLVLJHRJUD¿VREMHNNDMLDQ Dalam struktur rantai pasok industri pengolahan rumput laut di Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa rantai pasok rumpul laut di mulai dari petani, pedagang di tingkat petani, pedagang besar/eksportir, industri dan berakhir pada konsumen yang dalam rantai ini pihak luar negeri. Dari struktur rantai yang disajikan Gambar 2 menunjukkan bahwa industri menjual atau ekspor produk tidak hanya dalam bentuk olahan rumpul laut tetapi juga berupa bahan baku (UDZ PDWHULDO) rumpul laut kering. Keadaan ini bila kebutuhan bahan baku untuk industri telah terpenuhi. Pedagang di Tingk. Petani
Petani
Pedagang Besar
Pedagang/ Eksportir
KOLEKTOR
Keterangan :
EKSPOR
INDUSTRI
: Produk Olahan Rumput Laut : Rumput Laut Kering
227
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
kegagalan potensial berdasarkan masing-masing skor. Untuk kriteria teknologi, perusahaan kasus menemukan bahwa beberapa pemasok memiliki lebih sedikit kemampuan mengeringkan rumput laut dari pesaingnya. Hal ini dilihat sebagai modus kegagalan untuk calon pemasok. Dalam evaluasi dampak dari modus kegagalan dan mengukur tingkat besarnya atau beratnya, jika pemasok memiliki kemampuan memberikan rumput laut yang lemah, maka diyakini tidak mampu menghasilkan atau mengirim rumput laut kering yang diminta oleh perusahaan. Karena
pasar luar negeri dari rumput laut maupun olahan rumput laut menginginkan standar rumput laut kering dengan kadar air 10 %. Jika keinginan dari konsumen pengimpor mengalami perubahan maka semua anggota rantai pasokan harus memiliki kemampuan teknologi yang kuat untuk melakukan perubahan sesuai dengan pesanan. Oleh karena itu, pihakperusahaan perlu untuk mengevaluasi pengaruh (atau keparahan) dari kegagalan yang disebabkan oleh pemasok. Dengan tingkat kemampuan diberi nilai dari 1 (terendah) sampai 4 (tertinggi), seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Skala untuk penilaian 6HYHULW\ 6HYHULW\ Sangat rendah
Penilaian 1
-
Rendah
2
-
Sedang
3
-
Tinggi
4
-
228
Deskripsi Biaya : Pemasok akan menawarkan rumput laut yang murah Kualitas: Pemasok akan menawarkan sedikit kerusakan diantara rumput lautnya Proses pengiriman: Pemasok akan mengirim rumput laut dengan sedikit terlambat Teknologi: Pemasok akan memiliki kemampuan kuat untuk memecahkan masalah-masalah teknis yang disebabkan oleh proses pengeringan rumput laut 3URGXNWL¿WDV 3HPDVRN DNDQ PHPLOLNL NHPDPSXDQ NXDW XQWXN PHPSURGXNVL EDKDQ EDNX \DQJ disesuaikan untuk perusahaan Pelayanan: Pemasok akan menangani keluhan dari perusahaan dalam waktu singkat. Biaya : Pemasok akan menawarkan rumput laut berharga menengah Kualitas: Pemasok akan menawarkan beberapa kecacatan/kerusakan dalam rumput lautnya Proses pengiriman: Pemasok akan mengirim rumput laut dengan penundaan yang normal Teknologi: Pemasok akan memiliki kemampuan biasa untuk memecahkan masalah teknis yang disebabkan oleh proses pengeringan rumput laut 3URGXNWL¿WDV3HPDVRNDNDQPHPLOLNLNHPDPSXDQQRUPDOXQWXNPHPSURGXNVLUXPSXWODXW\DQJ disesuaikan untuk perusahaan Pelayanan: Pemasok akan menangani keluhan perusahaan dengan waktu sedang Biaya : Pemasok akan menawarkan rumput laut berharga tinggi Kualitas: Pemasok akan menawarkan banyak kecacatan/kerusakan dalam rumput lautnya Proses pengiriman: Pemasok akan mengirim rumput laut dengan penundaan yang panjang Teknologi: Pemasok akan memiliki kemampuan rendah untuk memecahkan masalah teknis yang disebabkan oleh proses pengeringan rumput laut 3URGXNWL¿WDV3HPDVRNDNDQPHPLOLNLNHPDPSXDQUHQGDKXQWXNPHPSURGXNVLUXPSXWODXW\DQJ disesuaikan untuk perusahaan Pelayanan: Pemasok akan menangani keluhan perusahaan dengan waktu yang lama Biaya : Pemasok akan menawarkan rumput laut berharga sangat mahal Kualitas: Pemasok akan menawarkan sangat banyak kecacatan/kerusakan dalam rumput lautnya Proses pengiriman: Pemasok akan mengirim rumput laut dengan penundaan yang sangat panjang Teknologi: Pemasok akan memiliki kemampuan sangat lemah untuk memecahkan masalah teknis yang disebabkan oleh proses pengeringan rumput laut 3URGXNWL¿WDV3HPDVRNDNDQPHPLOLNLNHPDPSXDQVDQJDWVHGLNLWXQWXNPHPSURGXNVLUXPSXWODXW yang disesuaikan untuk perusahaan Pelayanan: Pemasok akan menangani keluhan perusahaan dengan waktu yang sangat panjang
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Tabel 3. Skala untuk penilaian 2FFXUUHQFH 6HYHULW\
Penilaian
Deskripsi
Sangat rendah
1
-
Rendah
2
-
Sedang
3
-
Tinggi
4
-
Biaya : Pemasok jarang menawarkan rumput laut yang mahal Kualitas: Pemasok jarang menawarkan rumput laut yang cacat/rusak Proses pengiriman: Pemasok jarang gagal mengirim rumput laut tepat pada waktunya Teknologi: Pemasok jarang tidak dapat memecahkan masalah teknis yang disebabkan oleh proses pengeringan rumput laut - 3URGXNWL¿WDV 3HPDVRN MDUDQJ WLGDN GDSDW PHPSURGXNVL UXPSXW ODXW \DQJ GLVHVXDLNDQ XQWXN perusahaan - Pelayanan: Pemasok jarang gagal menangani keluhan dari perusahaan dalam waktu yang sesuai. Biaya : Pemasok terkadang menawarkan rumput laut yang mahal Kualitas: Pemasok terkadang menawarkan rumput laut yang cacat/rusak Proses pengiriman: Pemasok terkadang gagal mengirim rumput laut tepat pada waktunya Teknologi: Pemasok terkadang tidak dapat memecahkan masalah teknis yang disebabkan oleh proses pengeringan rumput laut - 3URGXNWL¿WDV 3HPDVRN WHUNDGDQJ WLGDN GDSDW PHPSURGXNVL UXPSXW ODXW \DQJ GLVHVXDLNDQ XQWXN perusahaan - Pelayanan: Pemasok terkadang gagal menangani keluhan dari perusahaan dalam waktu yang sesuai. Biaya : Pemasok seringkali menawarkan rumput laut yang mahal Kualitas: Pemasok seringkali menawarkan rumput laut yang cacat/rusak Proses pengiriman: Pemasok seringkali gagal mengirim rumput laut tepat pada waktunya Teknologi: Pemasok seringkali tidak dapat memecahkan masalah teknis yang disebabkan oleh proses pengeringan rumput laut - 3URGXNWL¿WDV 3HPDVRN VHULQJNDOL WLGDN GDSDW PHPSURGXNVL UXPSXW ODXW \DQJ GLVHVXDLNDQ XQWXN perusahaan - Pelayanan: Pemasok seringkali gagal menangani keluhan dari perusahaan dalam waktu yang sesuai Biaya : Pemasok biasanya menawarkan rumput laut yang mahal Kualitas: Pemasok biasanya menawarkan rumput laut yang cacat/rusak Proses pengiriman: Pemasok biasanya gagal mengirim rumput laut tepat pada waktunya Teknologi: Pemasok biasanya tidak dapat memecahkan masalah teknis yang disebabkan oleh proses pengeringan rumput laut - 3URGXNWL¿WDV 3HPDVRN ELDVDQ\D WLGDN GDSDW PHPSURGXNVL UXPSXW ODXW \DQJ GLVHVXDLNDQ XQWXN perusahaan - Pelayanan: Pemasok biasanya gagal menangani keluhan dari perusahaan dalam waktu yang sesuai
Faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan menentukan GDQ PHQJNODVL¿NDVLNDQ NHPXQJNLQDQ WHUMDGLQ\D NHJDJDODQ Misalnya, tinggi harga bahan baku yang ditawarkan oleh pemasok dapat dikaitkan dengan biaya tenaga kerja langsung yang tinggi. Pihak perusahaan perlu mengevaluasi seberapa sering harga bahan baku yang ditawarkan oleh pemasok yang GLNODVL¿NDVLNDQNHGDODPHPSDWWLQJNDWGDULMDUDQJ VDPSDL 4 poin (paling sering), seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.
Selanjutnya menggambarkan deteksi setiap kegagalan dari masing-masing pemasok dan dengan menentukan masing-masing subkriteria. Untuk mendeteksi kegagalan calon pemasok, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pihak perusahaan dapat mendeteksi semua kegagalan calon pemasok, dengan deteksi semua subkriteria berada pada penilaian 1.
229
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Tabel 4. Skala untuk penilaian deteksi Deteksi
Penilaian
Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi
1 2 3 4
Probabilitas pendeteksian (%) untuk kriteria 76 - 100 51 - 75 26 - 50 0 - 25
Penentukan Strategi Penanganan Risiko Kekurang Pasokan Perusahaan dalam siklus produksinya selalu menghadapi permasalahan bahan baku yang tidakpasti. Pemasok yang sebelumnya menjadi pemasok bahan baku rumpul laut untuk perusahaan pada tahun berikutnya belum tentu menjadi pemasok lagi untuk perusahaan. Keadaan ini sangat menyulitkan perusahaan terutama untuk memenuhi target produksi dan menjamin permintaan luar negeri akan terpenuhi. Sementara pihak perusahaan perlu menjaga kepuasan konsumennya akan layanan yang diberikan. Pemasok memegang peranan penting dalam ketersediaan bahan baku untuk berlangsungnya aktivitas produksi suatu perusahaan. Dalam hal ini perusahaan perlu untuk bekerjasama dengan pemasok untuk melanjutkan
aktivitas produksinya. Pada bagian pengadaan suatu perusahaan, pemilihan pemasok merupakan permasalahan yang cukup penting. Pemilihan pemasok yang tepat tidak hanya menguntungkan bagi perusahaan tetapi juga meningkatkan kepuasan pelanggan. Menurut Demirtas dan Ustun (2008) komponen bahan baku dapat mencapai 70% dari biaya produk dalam industri manufaktur. Oleh karena itu pemilihan pemasok memainkan peranan penting dalam manajemen pembelian. Penggunan metode FMEA dalam penilaian risiko yang disajikan pada Tabel 2 sampai Tabel 4, kemudian dipadukan dengan penilaian bobot dari metode AHP yang disajikan pada Tabel 5. Hasil dari kedua metode tersebut digunakan pihak perusahaan dalam menilai masing-masing pemasoknya, yaitu 3 pemasok utama perusahaan. Namun hanya penilaian perusahaan untuk pemasok terpilih yang disajikan yaitu pemasok B pada Tabel 6. Hasil penilaian pihak perusahaan terhadap masingmasing pemasok menunjukan pemasok dengan bobot RPN terendah diperlihatkan oleh pemasok B. Nilai total bobot RPN untuk pemasok A, B dan C masing-masing adalah 6,506, 3,631 dan 7,225. Nilai bobot RPN terendah menunjukan pemasok yang memiliki risiko terendah, sehingga menjadi pemasok yang diprioritaskan.
Tabel 5. Bobot kriteria dan sub kriteria dalam pemilihan pemasok dengan metode AHP Kriteria
Bobot
(a)
(b)
Biaya
0,26
Kualitas
0,18
Proses pengiriman
0,02
Teknologi
0,41
3URGXNWL¿WDV
0,07
Layanan
0,06
230
Sub kriteria (c) Total biaya Rencana pengurangan biaya Kemampuan proses pengeringan Input pengendalian kualitas Reliabilitas Pengendalian tinggi produksi Siklus produksi Ketepatan pengiriman Lead time pengiriman Kemampuan desain Kemampuan memecahkan masalah Kemampuan perbaikan berkelanjutan Fleksibilitas produksi Jumlah produksi Pemrosesan pengaduan Respon permintaan Pembuatan laporan
Bobot (d) 0,87 0,13 0,22 0,04 0,22 0,53 0,14 0,74 0,12 0,75 0,17 0,08 0,88 0,12 0,33 0,56 0,11
Total bobot sub kriteria (b) * (d) 0,225 0,035 0,039 0,007 0,040 0,096 0,003 0,017 0,003 0,307 0,070 0,032 0,059 0,008 0,020 0,034 0,007
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Tabel 6. Bobot RPN untuk pemasok B
(c)*(d)*(e) = (f)
Total bobot subkriteria (g)
Bobot RPN (Ri) (f)*(g)
1 1 1
4 3 4
0,225 0,035 0,039
0,902 0,104 0,157
1 2 2 1 3 2 3 1
1 1 1 1 1 1 1 1
1 2 4 2 3 4 3 2
0,007 0,040 0,096 0,003 0,017 0,003 0,307 0,070
0,007 0,079 0,383 0,006 0,050 0,011 0,920 0,140
3
4
1
12
0,032
0,384
1 3 3 2 2
3 2 3 1 1
1 1 1 1 1
3 6 9
0,059 0,008 0,020 0,034 0,007 1,001
0,178 0,048 0,181 0,068 0,014 3,631 0,561
Kriteria
Sub kriteria
S
O
D
RPN
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
Total biaya Rencana pengurangan Biaya Kemampuan proses pengeringan
2 3 2
2 1 2
Input pengendalian Kualitas Reliabilitas Pengendalian tinggi produksi Siklus produksi Ketepatan pengiriman Lead time pengiriman Kemampuan desain Kemampuan Memecahkan masalah
1 1 2 2 1 2 1 2
Kemampuan perbaikan berkelanjutan Fleksibilitas produksi Jumlah produksi Pemrosesan pengaduan Respon permintaan Pembuatan laporan
Biaya
Kualitas
Proses pengiriman
Teknologi
3URGXNWL¿WDV
Layanan
2 2 Total = Rata =
Keterangan : 6 6HYHULW\2 2FFXUUHQFH' 'HWHFWLRQ
Tabel 7. Rekomendasi untuk pemasok A Sub-kriteria Kemampuan desain (pengeringan rumput laut)
531 9
6DUDQXQWXNNULWHULDGHQJDQ531 Meningkatkan jumlah tenaga kerja dalam rangka memperkuat pemasok dalam menghasilkan rumput laut kering dengan tingkat pengeringan yang diinginkan perusahaan
Total biaya produk
9
Total biaya produk dari pemasok A lebih tinggi dari rata-rata industri. Maka itu, pemasok A seharusnya memiliki manajemen biaya yang lebih untuk pengadaan rumput laut kering
Fleksibilitas produksi
8
Meningkatkan kepekaan terhadap keinginan jenis rumput laut pesanan perusahaan
Pembuatan laporan
8
Mengumpulkan lebih banyak data produksi dan kualitas
/HDGWLPH pengiriman Rencana pengurangan biaya
6 6
Mengurangi jangka waktu pemrosesan pesanan Mengurangi harga penjualan
Hasil penilaian para pemasok, Pemasok B memiliki nilai layanan lebih tinggi dari pemasok A, dan skor Pemasok B untuk biaya, kemudahan pengiriman, dan layanan yang lebih tinggi dari Pemasok C, tiap berat rata-rata RPN pemasok B masih yang terendah.Hal ini menunjukkan bahwa
bekerja sama dengan pemasok B memungkinkan perusahaan untuk beroperasi di lingkungan berisiko rendah dalam rantai pasokan. Sehingga direkomendasikan untuk agar perusahaan bekerja sama dengan pemasok B dalam pengadaan bahan baku. Namun mengingat kebutuhan bahan baku industri
231
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
cukup besar sehingga perusahaan dapat merekomendasikan pemasok lain dengan catatan melakukan perbaikan berdasarkan hasil penilaian risiko pasokan tersebut. Misalnya pada pemasok A seperti disajikan pada Tabel 7. Penilaian metode ini akan membantu pemasok untuk mengenali kebutuhan perusahaan sebagai pelanggan pemasok. Masing-masing pemasok dapat mengenali komponenkomponen kriteria yang dapat memberikan nilai RPN menjadi lebih tinggi, sehingga pemasok perlu melakukan langkahlangkah strategis untuk memperkecil risiko yang disesuaikan dengan kebutuhan atau keinginan perusahaan dimana tempat mensuplai rumput laut kering.
ELD\D NXDOLWDV SURVHV SHQJLULPDQ WHNQRORJL SURGXNWL¿WDV dan pelayanan, (3) Strategi pemasok dengan risiko terendah untuk 6 kriteria adalah Pemasok B, namun untuk kriteria 4 kriteria yaitu biaya, kualitas, proses pengiriman dan layanan adalah pemasok C.
Tabel 8. Perbandingan bobot RPN untuk ketiga pemasok
Almannai, B., Greenough, R. dan Kay, J. (2008). A decision support tool based on QFD and FMEA for the selection of manufacturing automation technologies. 5RERWLFV DQG&RPSXWHU,QWHJUDWHG0DQXIDFWXULQJ24: 501-507.
Kriteria Biaya Kualitas Proses pengiriman Teknologi 3URGXNWL¿WDV Pelayanan Rata-rata RPN dari keenam kriteria Rata-rata RPN dari keempat kriteria
Bobot RPN tiap kriteria Pemasok A Pemasok B Pemasok C 0,590 2,238 1,006 0,884 0,568 0,626 0,051 0,052 0,067 4,713 2,894 1,444 0,743 0,482 0,225 0,244 0,271 0,263 1,084
0,561
1,204
0,782
0,490
0,442
Keterangan : Angka yang dicetak miring dan ditebalkan merupakan nilai terendah dari ketiga pemasok
Pembandingan nilai bobot RPN masing-masing kriteria untuk ketiga pemasuk seperti disajikan pada Tabel 8. Hasil ini menunjukkan bahwa pemasok B yang memiliki nilai bobot RPN terendah namun pemasok C memiliki jumlah bobot RPN yang lebih banyak kriteria risiko rendah yaitu dari biaya, proses pengiriman dan layanan. Kondisi ini menjadi bahan pertimbangan untuk perusahaan dalam menentukan pemasoknya. Sehingga bila perusahaan mengambil empat kriteria yang umum digunakan untuk memilih pemasok yaitu : kualitas, biaya, proses pengiriman dan pelayanan maka pemasok C yang menjadi prioritas utama. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan pengumpulan dan pengolahan data serta analisis yang dilakukan maka dapat diperoleh kesimpulan : (1) struktur rantai pasok rumput laut terdiri dari petani rumput laut, pedagang ditingkat petani, pedagang besar, ekportir, LQGXVWULGDQNRQVXPHQ 5LVLNR\DQJGDSDWWHULGHQWL¿NDVL pada pemasokan rumput laut berdasarkan 6 kriteria yaitu
232
Saran 3HUOX GLNHPEDQJNDQ LQGLNDWRU HIHNWL¿WDV GDQ H¿VLHQVL pemilihan pemasok, yang akan menjamin penanganan risiko yang lebih adil bagi masing-masing pihak dalam rantai pasok. DAFTAR PUSTAKA
Bogataj, D.dan Bogataj, M. (2007). Measuring the supply chain risk and vulnerability in frequency space. ,QWHUQDWLRQDO -RXUQDO RI 3URGXFWLRQ (FRQRPLFV 108: 291-301. Che, Z.H. dan Wang, H.S. (2008). Pemasok selection and supply quantity allocation of common and non-common parts with multiple criteria under multiple products. &RPSXWHUVDQG,QGXVWULDO(QJLQHHULQJ55(1): 110-133. Chin, K.S., Wang, Y.M., Poon, G.K.K. dan Yang, J.B. (2009). Failure mode and effects analysis by data envelopment analysis. 'HFLVLRQ6XSSRUW6\VWHPV48(1): 246-256. Demirtas, E.A. dan Ustun, O. (2008). An integrated multi objective decision-making process for pemasok selection and order allocation. ,QWHUQDWLRQDO-RXUQDORI 0DQDJHPHQW6FLHQFH2PHJD36: 76-90. Dickson, G. (1966). An analysis of pemasok selection systems and decisions. -RXUQDORI3XUFKDVLQJ2(1): 5-17. Ekmekcioglu, M. dan Kutlu, A.C. (2012). A fuzzy hybrid approach for fuzzy process FMEA: An application to a spindle manufacturing process,QWHUQDWLRQDO-RXUQDO RI&RPSXWDWLRQDO,QWHOOLJHQFH6\VWHPV5(4): 611-626. Finch, P. (2004). Supply chain risk management. 6XSSO\FKDLQ PDQDJHPHQW$Q,QWHUQDWLRQDO-RXUQDO9(2): 183-196. Hallikas, J., Karvonen, I., Pulkkinen, U., Virolainen, V.M. dan Tuominen, M.(2004). Risk management processes in pemasok network. ,QWHUQDWLRQDOMRXUQDORI3URGXFWLRQV (FRQRPLFV90(1): 47-58. Ho, W., Xu, X. dan Dey, P.K. (2010). Multi-criteria decision making approaches for pemasok evaluation and selection: A literature review. (XURSHDQ -RXUQDO RI 2SHUDWLRQDO5HVHDUFK202(1): 16-24.
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Katsikeas, C.S., Paparoidamis, N.G. dan Katsikea, E. (2004). Supply source selection criteria: The impact of pemasokkinerja on distributor kinerja. ,QGXVWULDO 0DUNHWLQJ0DQDJHPHQW 33(8): 755-764. Neiger, D., Rotaru, K. dan Churilov, L. (2009). Supply FKDLQ ULVN LGHQWL¿FDWLRQ ZLWK YDOXHIRFXVHG SURFHVV engineering. -RXUQDORI2SHUDWLRQV0DQDJHPHQW27(2): 154-168. 3LOOD\$ GDQ :DQJ - 0RGL¿HG IDLOXUH PRGH DQG effects analysis using approximate reasoning. 5HOLDELOLW\ (QJLQHHULQJDQG6\VWHP6DIHW\79(1): 69-85. Saaty, T.L. (1999). Fundamentals of the analytic network process, in 7KH )LIWK ,QWHUQDWLRQDO 6\PSRVLXP RQ WKH$QDO\WLF+LHUDUFK\3URFHVV,6$+3 12-14 August, Kobe, Japan. Hal. 1-14. Srinivasan, M., Mukherjee, D. Dan Gaur, A.S. (2011). Buyerpemasok partnership quality and supply chain kinerja: Moderating role of risks, and environmental uncertainty. (XURSHDQ0DQDJHPHQW-RXUQDO29(4): 260-271.
Tang, C.S. (2006). Perspectives in supply chain risk management. ,QWHUQDWLRQDO -RXUQDO RI 3URGXFWLRQ (FRQRPLFV103(2): 451-488. Thun, J.H. dan Hoenig, D. (2011). An empirical analysis of supply chain risk management in the German automotive industry. ,QWHUQDWLRQDO -RXUQDO RI 3URGXFWLRQ(FRQRPLFV131(1): 242-249. Tracey, M. dan Tan, C. (2001). Empirical analysis of pemasok selection and involvement, customer satisfaction, DQG ¿UP NLQHUMD 6XSSO\ FKDLQ PDQDJHPHQW: $Q ,QWHUQDWLRQDO-RXUQDO6(4): 174-188. Weber, C.A., Current, J.R. dan Benton, W.C. (1991). Vendor selection criteria and methods. European -RXUQDO RI 2SHUDWLRQDO5HVHDUFK50(1): 2-18. Wu, T., Blackhurst, J. dan Chidambaram, V. (2006). A model for inbound supply risk analysis. &RPSXWHUVLQ,QGXVWU\ 57(4): 350-365.
233
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
PRODUKSI BIODIESEL DARI TRANSESTERIFIKASI MINYAK JELANTAH DENGAN BANTUAN GELOMBANG MIKRO: PENGARUH INTENSITAS DAYA DAN WAKTU REAKSI TERHADAP RENDEMEN DAN KARAKTERISTIK BIODIESEL %LRGLHVHO3URGXFWLRQIURP0LFURZDYH$VVLVWHG7UDQVHVWHUL¿FDWLRQRI:DVWH&RRNLQJ2LO7KH(IIHFWRI3RZHU,QWHQVLW\DQG Reaction Time on the Yield and Biodiesel Characteristic Agus Haryanto, Ully Silviana, Sugeng Triyono, Sigit Prabawa Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung Jl. Sumantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung 35145 Email:
[email protected] ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh intensitas daya dan waktu reaksi terhadap rendemen dan karakteristik ELRGLHVHO GDUL PLQ\DN MHODQWDK \DQJ GLKDVLONDQ PHODOXL UHDNVL WUDQVHVWHUL¿NDVL \DQJ GLEDQWX GHQJDQ SHPEHULDQ gelombang mikro (PLFURZDYH). Minyak jelantah diperoleh dari pabrik kerupuk yang berlokasi di Sukarame, Bandar Lampung. Reaksi pembuatan biodiesel dilakukan menggunakan gelas erlenmeyer yang dipanaskan di dalam oven PLFURZDYHberdaya 399 watt dan frekuensi 2.450 MHz yang telah dilengkapi dengan pengaduk listrik berkecepatan 1446 RPM. Penelitian menggunakan rancangan acak faktorial dengan dua faktor. Kedua faktor adalah intensitas daya gelombang mikro dengan tiga taraf [(30, 50, dan 70%) dan waktu reaksi, juga dengan tiga taraf (30, 60, dan 120 detik). 6HWLDS NRPELQDVL SHUODNXDQ GLODNXNDQ GHQJDQ WLJD NDOL XODQJDQ 5HDNVL WUDQVHVWHUL¿NDVL GLODNXNDQ GHQJDQ PO minyak jelantah pada perbandingan molar minyak jelantah terhadap metanol 1:6. Parameter yang dianalisis meliputi rendemen, bilangan asam, massa jenis, dan viskositas biodiesel. Data dianalisis menggunakan ANOVA diikuti uji beda Q\DWDWHUNHFLO%17 SDGDWLQJNDWVLJQL¿NDQVLĮ = 5% dan Į = 1%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas daya gelombang mikro dan waktu reaksi tidak berpengaruh terhadap bilangan asam, viskositas, dan massa jenis biodiesel. Biodiesel yang dihasilkan memiliki bilangan asam 2,98–4,20 mgKOH/g, massa jenis 0,87–0,88 g/mL, dan viskositas 1,9–2,0 cSt. Intensitas daya gelombang mikro dan waktu reaksi serta interaksinya berpengaruh nyata pada rendemen biodiesel. Dalam penelitian ini, tanpa memperhatikan intensitas daya gelombang mikro, waktu reaksi terbaik adalah 30 detik saat rendemen biodiesel rata-rata mencapai 91,1%. Kata kunci%LRGLHVHOPLQ\DNMHODQWDKWUDQVHVWHUL¿NDVLJHORPEDQJPLNUR ABSTRACT The purpose of this research was to study the effect of power intensity and reaction time on the yield and the characteristic RIELRGLHVHOPDGHIURPZDVWHFRRNLQJRLOYLDWUDQVHVWHUL¿FDWLRQUHDFWLRQDVVLVWHGE\PLFURZDYH:DVWHFRRNLQJRLOZDV FROOHFWHGIURPDFUDFNHULQGXVWU\ORFDWHGLQ6XNDUDPH%DQGDU/DPSXQJ7KHWUDQVHVWHUL¿FDWLRQUHDFWLRQLVFRQGXFWHG using an erlenmeyer glass heated in a microwave oven with power capacity of 399 watt and frequency of 2,450 0+]ZKLFKKDVEHHQ¿WWHGZLWKDQHOHFWULFVWLUUHUDW530$FRPSOHWHO\UDQGRPL]HGGHVLJQZLWK[IDFWRULDO arrangements was used in this experiment. Treatment consisted of two factors, namely power intensity and reaction time. The power intensity included three levels (30, 50, and 70%). Similarly did for the reaction time (30, 60, and 120 VHFRQGV 7UDQVHVWHUL¿FDWLRQUHDFWLRQZDVFDUULHGRXWZLWKPOZDVWHFRRNLQJRLODWDPRODUUDWLRRIZDVWH cooking oil to methanol). Parameters to be analyzed included biodiesel yield, acid number, density, and viscosity of ELRGLHVHO'DWDZDVDQDO\]HGXVLQJ$129$IROORZHGE\OHDVWVLJQL¿FDQWGLIIHUHQFHWHVWDWDOHYHORIĮ DQGĮ = 1%. The results showed that both microwave power intensity and reaction time and their interaction had no effect on the viscosity, acid number and density of produced biodiesel. Biodiesel produced has acid number of 2.98 to 4.20 mgKOH/g, density of 0.87 to 0.88 g/mL, and viscosity of 1.9 to 2 cSt. Microwave power intensity and reaction time and WKHLULQWHUDFWLRQKDGVLJQL¿FDQWO\DIIHFWHGWKH\LHOGRIELRGLHVHO5HJDUGOHVVWKHPLFURZDYHSRZHULQWHQVLW\UHDFWLRQ time of 30 seconds was adequate for microwave-assisted biodiesel synthesis with an average yield reaching 91.1%. Keywords%LRGLHVHOZDVWHFRRNLQJRLOWUDQVHVWHUL¿FDWLRQPLFURZDYH
234
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
PENDAHULUAN Salah satu upaya untuk mengurangi kebutuhan bahan bakar untuk transportasi adalah menciptakan bahan bakar alternatif, seperti biodiesel dan bioetanol. Biodiesel, yang terdiri dari campuran mono-alkil ester dari rantai panjang asam lemak, adalah bahan bakar alternatif untuk mesin diesel yang terbuat dari minyak nabati atau lemak hewan. Penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar memiliki banyak keuntungan di antaranya berasal dari sumber yang dapat diperbaharui (UHQHZDEOH) dan mudah ditemukan, mudah terurai secara biologis, dan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca, kecuali NOx (Haas dkk., 2001; Canakci dan van Gerpen, 2003). Biodiesel memiliki bilangan setana dan titik nyala (ÀDVK SRLQW) lebih tinggi sehingga lebih mudah disimpan (Knothe dkk., 2005). Selain itu biodiesel tersedia dalam bentuk cairan sehingga memudahkan transportasinya. Salah satu bahan baku untuk pembuatan biodiesel adalah minyak jelantah. Seiring dengan meningkatnya konsumsi minyak goreng, maka potensi minyak jelantah juga akan meningkat. Selama ini minyak jelantah masih dimanfaatkan dalam pengolahan bahan makanan. Penggunaan minyak jelantah untuk pengolahan makanan bisa membahayakan kesehatan karena trigliserida yang ada sudah mengalami kerusakan dan bersifat karsinogenik (penyebab kanker). Pengolahan minyak jelantah menjadi biodiesel merupakan salah satu alternatif yang perlu dikaji dalam pemanfaatan minyak jelantah. 0HODOXL WUDQVHVWHUL¿NDVL *DPEDU WULJOLVHULGD GL dalam minyak jelantah bereaksi dengan alkohol (dipercepat oleh katalis) dan menghasilkan biodiesel atau FAME (IDWW\ DFLG PHWK\O HVWHU) yang dapat digunakan sebagai energi alternatif pengganti solar (Manurung, 2006). Selain biodiesel, reaksi tersebut juga akan menghasilkan produk sampingan berupa gliserin (Jaichandar dan Annamalai, 2001).
dalam bahan baku. Freedman dkk. (1984) menyatakan bahwa ALB bahan baku untuk biodiesel tidak boleh melebihi 3HQHOLWL ODLQ PHQ\DWDNDQ EDKZD UHDNVL WUDQVHVWHUL¿NDVL langsung dapat dilakukan jika ALB di dalam bahan kurang dari 3% (Ribeiro dkk., 2011) atau 5% (van Gerpen, 2005). Kandungan ALB yang tinggi akan mengakibatkan terjadinya UHDNVLSHQ\DEXQDQVDSRQL¿NDVL \DQJGDSDWPHPSHQJDUXKL proses pemurnian biodiesel (Ma dan Hanna, 1998). 5HDNVL WUDQVHVWHUL¿NDVL OHELK OHELK GLVXNDL GDULSDGD HVWHUL¿NDVL NDUHQD OHELK FHSDW GDQ PHPHUOXNDQ DONRKRO OHELKVHGLNLWYDQ*HUSHQ 7UDQVHVWHUL¿NDVLELRGLHVHO dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya waktu reaksi (Yuniawati dan Karim, 2009; Aziz, 2011), suhu (Kwartiningsih dkk, 2007; Aziz, 2011), jenis katalis, dan perbandingan rasio molar trigliserida dengan alkohol (Jagadale dan Jugulkar, 2012; Satriana dkk, 2012). Produksi biodiesel secara konvensional umumnya dilakukan pada suhu tinggi dengan sumber panas eksternal. Perpindahan panas berlangsung kurang efektif karena terjadi secara konduksi dan konveksi. Pemanasan seperti ini memerlukan energi yang besar dan waktu yang cukup lama (Motasemi dan Ani, 2012). Salah satu upaya yang dilakukan untuk mereduksi energi dan waktu reaksi adalah dengan memanfaatkan gelombang mikro (PLFURZDYH). Pemanfaatan gelombang mikro di dalam proses produksi biodiesel telah banyak dilakukan (Hernando dkk, 2006; Lin dkk., 2012; Widodo dkk., 2007). Gelombang ini dapat merambat melewati cairan sehingga proses pemanasan akan berlangsung lebih efektif dan proses pembuatan biodiesel dapat dilakukan lebih singkat (Barnard dkk., 2007). Derajat pemanasan yang dihasilkan oleh gelombang mikro dipengaruhi oleh intensitas daya dan lama pemberian gelombang tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh intensitas daya gelombang mikro dan waktu reaksi terhadap rendemen dan kualitas biodiesel dari bahan minyak jelantah dengan bantuan pemberian gelombang mikro. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli hingga November 2013, di Laboratorium Rekayasa Bioproses dan Pascapanen, Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
*DPEDU6NHPDUHDNVLWUDQVHVWHUL¿NDVLPHQJJXQDNDQPHWDQRO
%LRGLHVHOMXJDGDSDWGLSURVHVPHODOXLUHDNVLHVWHUL¿NDVL PHQJJXQDNDQ NDWDOLV DVDP $]L] GDQ HVWHUL¿NDVL WUDQVHVWHUL¿NDVL %HUULRV GNN 3HPLOLKDQ UHDNVL bergantung pada kandungan asam lemak bebas (ALB) di
Bahan Bahan yang digunakan adalah minyak jelantah yang diperoleh dari pabrik kerupuk di Kecamatan Sukarame, Bandar Lampung. Untuk memisahkan partikel kasar, minyak jelantah disaring menggunakan kain kasa. Minyak jelantah diuji untuk mengetahui massa jenis, bilangan asam, angka
235
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
asam lemak bebas (ALB). Metanol dan katalis NaOH yang digunakan dalam penelitian ini adalah berkualitas teknis (WHFKQLFDOJUDGH). Bahan kimia lain adalah aquades, indikator PP, isopropil alkohol, dan KOH. Alat Peralatan yang digunakan adalah oven mLFURZDYH dengan daya keluaran maksimum 399 W dan frekuensi gelombang 2450 MHz \DQJ WHODK GLPRGL¿NDVL GL EDJLDQ atasnya untuk menempatkan pengaduk listrik dengan kecepatan 1446 RPM (Gambar 2). Peralatan lain meliputi peralatan gelas, pengaduk listrik, spatula, buret, IDOOLQJ EDOO YLVFRPHWHU, neraca analitik, piknometer, dan pemanas (KRW SODWH).
1:6 (Jagadale dan Jugulkar, 2012). Sebanyak 100 ml minyak jelantah dicampur dengan 20 ml larutan metoksida (NaOH dalam metanol) dalam erlenmeyer. Selanjutnya campuran minyak dan metoksida dipanaskan di dalam oven PLFURZDYH berpengaduk listrik (Gambar 1). Biodiesel yang dihasilkan didiamkan selama kurang lebih 24 jam untuk mengendapkan gliserol. Setelah dipisahkan dari gliserol, biodiesel dicuci menggunakan aquades tiga sampai empat kali hingga jernih. Pengamatan dan Pengukuran Parameter yang diamati meliputi suhu reaksi, rendemen biodiesel, bilangan asam, massa jenis, dan viskositas biodiesel. Rendemen biodiesel dihitung menggunakan Persamaan (2): Rendemen
hasil biodiesel (g) u 100% ………… (2) minyak jelantah (g)
Bilangan asam (%$, dalam mgKOH/g) biodiesel diukur dengan metode titrasi menggunakan larutan KOH 0,1 N dan dihitung dari Persamaan (3): %$
9 .1 .56,1 u 100 ....................................................(3) m u 1000
dengan 9 adalah volume KOH untuk titrasi (mL); 1 adalah normalitas larutan KOH (mol/L); 56,1 adalah bobot molekul KOH; dan m adalah massa sampel biodiesel (g). Gambar 2. Peralatan dalam pembuatan biodiesel dengan bantuan gelombang mikro (oven PLFURZDYH yang dilengkapi pengaduk listrik)
Metode
Massa jenis biodiesel (ȡbd) diukur dengan metode sederhana menggunakan piknometer dan dihitung menggunakan Persamaan (4): ȡbd = m/9
............................................................... (4)
6HEHOXP GLODNXNDQ UHDNVL WUDQVHVWHUL¿NDVL GLODNXNDQ penetapan jumlah katalis melalui titrasi. Sebanyak 1 ml minyak yang telah disaring dimasukkan ke dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan 10 ml isopropil akohol dan 2–3 tetes indikator phenophetalanin (PP), dan dititrasi dengan larutan NaOH 0,025 N. Banyaknya katalis dihitung menggunakan Persamaan (1) (Ryan, 2004):
dengan m adalah massa sampel biodiesel (g), dan 9 adalah volume piknometer (mL).
.DWDOLV1D2+ W + 3,5 ............................................. (1)
GHQJDQ ȝbd adalah viskositas biodiesel (cSt), . adalah NRH¿VLHQ EROD EDMD VWDLQOHVV (0,01336 mPa.s.cm3JV ȡbola adalah massa jenis bola baja (8,02 g/ml), dan W adalah waktu aliran bola dalam biodiesel dari garis batas atas hingga garis batas bawah viskometer (detik).
di mana W NaOH adalah rata-rata volume NaOH yang diperlukan pada titrasi (ml). Nilai 3,5 adalah banyaknya NaOH yang diperlukan untuk mereaksikan satu liter minyak murni. Penelitian menggunakan rancangan acak faktorial dengan dua faktor, yaitu faktor intensitas daya (D) dengan tiga taraf (30, 50, dan 70%) dan faktor waktu reaksi (T) dengan tiga taraf (30, 60, dan 120 detik). Setiap perlakuan dilakukan dengan tiga kali ulangan. Pembuatan biodiesel dilakukan pada perbandingan molar antara minyak jelantah dan metanol
236
Viskositas biodiesel diukur menggunakan IDOOLQJ EDOO YLVFRPHWHU dan ditentukan menggunakan Persamaan (5): ȝbd = . (ȡbola – ȡbd) W ................................................. (5)
Analisis Hasil penelitian dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji beda nyata terkecil (BNT) pada WLQJNDWVLJQL¿NDQVLĮ = 5% dan Į = 1%.
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Rendemen Biodiesel
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Minyak Jelantah Hasil pengujian memberikan karakteristik minyak jelantah seperti disajikan pada Tabel 1. Dalam hal ini berat molekul asam lemak dihitung dari data komposisi asam lemak dalam minyak jelantah seperti dilaporkan Kheang dkk. (2006). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa berat molekul asam lemak total adalah 280,8 g/mol sehingga berat molekul minyak jelantah adalah 880,4 g/mol. Hasil pengujian menunjukkan bahwa jumlah katalis yang diperlukan untuk UHDNVLWUDQVHVWHUL¿NDVLDGDODKJ/PLQ\DNMHODQWDK
Tabel 2 memperlihatkan rendemen dan karakteristik biodiesel yang dihasilkan dari perlakuan intensitas daya gelombang mikro dan waktu reaksi. Analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa intensitas daya gelombang mikro dan waktu reaksi tidak berpengaruh terhadap bilangan asam, viskositas, dan massa jenis biodiesel. Tetapi, intensitas daya gelombang mikro dan waktu reaksi berpengaruh sangat nyata terhadap rendemen biodiesel dan terdapat interaksi yang sangat nyata antara intensitas daya gelombang mikro dan waktu reaksi terhadap rendemen biodiesel (Tabel 3). Hasil uji BNT diberikan pada Tabel 4.
Tabel 1. Karakteristik minyak jelantah yang digunakan Karakteristik Massa jenis (g/mL) Bilangan asam (mgKOH/g) ALB (%) Warna
Nilai 0,910 5,6 2,81 Gelap, keruh
Tabel 2. Rendemen dan karakteristik biodiesel yang dihasilkan dari perlakuan intensitas daya gelombang mikro dan waktu reaksi Perlakuan Intensitas daya D (%)
Waktu reaksi T (detik)
30 30 30 50 50 50 70 70 70
30 60 120 30 60 120 30 60 120
Rendemen ratarata (%)
Bilangan asam (mgKOH/g)
93,58 88,51 92,71 90,45 88,52 90,06 89,18 87,72 76,67
3,51 3,55 3,53 3,18 3,31 3,68 2,98 4,05 4,20
Viskositas (cSt)
Massa jenis (kg/L)
1,91 1,95 2,00 1,94 1,95 1,98 1,95 1,96 2,00
0,875 0,869 0,870 0,869 0,869 0,869 0,866 0,867 0,868
Tabel 3. Analisis sidik ragam untuk rendemen biodiesel Sumber Keragaman Perlakuan Intensitas Daya (D) Waktu Reaksi (T) D×T (DT) GALAT TOTAL
KT
FHIT
F TAB
db
JK
8
581,97
72,75
14,66
2
243,98
121,99
25,18*
3,55
6,01
2 4 18 26
102,75 230,54 87,21 1253,24
51,38 57,64 4,85
10,60* 11,90*
3,55 2,93
6,01 4,58
0,05
0,01
*) berbeda nyata
237
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Tabel 4. Hasil uji BNT untuk rendemen biodiesel Perlakuan Intensitas Waktu reaksi daya D (%) T (detik) 30 30 30 60 30 120 50 30 50 60 50 120 70 30 70 60 70 120
Rendemen (%)
Į
76,67 87,72 88,51 88,52 89,18 90,06 90,45 92,71 93,58
a b bc bc bcd bcd bcd cd d
DQJND\DQJGLLNXWLKXUXI\DQJVDPDSDGDEDULVGDQNRORPĮ\DQJVDPD berarti tidak berbeda nyata.
Gambar 3 memperlihatkan bahwa pada waktu reaksi 30 detik, perlakuan daya menghasilkan rendemen biodiesel yang tidak berbeda nyata dengan nilai rendemen rata-rata 91,1%.
ϵϬ
ϴϬ
ϯϬй
ϵϬ
ϱϬй
ϳϬ
ϲϬ Ϭ
ϭϱ
ϯϬ
ϰϱ
ϲϬ
ϳϱ
ϵϬ
ϭϬϱ
ϭϮϬ
tĂŬƚƵZĞĂŬƐŝ;ĚĞƚŝŬͿ
Rendemen Biodiesel (%)
ϭϬϬ
ϳϬ
ϲϮ͘ϴ
ϲϮ͘ϵ
ϲϬ
ϰϰ͘ϱ
ϱϬ ϰϬ
ϰϵ͘ϭ
ϰϱ͘ϱ
ϯϵ͘ϯ
ϯϬй
ϯϳ͘ϴ
ϯϰ͘ϯ
ϯϬ
ϱϬй
ϮϬ
ϳϬй
ϭϬ
Ϭ
ϵϬ
Ϭ
ϭϱ
ϯϬ
ϰϱ
ϲϬ
ϳϱ
ϵϬ
ϭϬϱ
ϭϮϬ
ϭϯϱ
tĂŬƚƵZĞĂŬƐŝ;ĚĞƚŝŬͿ ϴϬ
30 detik
Gambar 4. Hubungan antara intensitas daya dan waktu reaksi terhadap suhu reaksi
60 detik 120 detik
ϳϬ
ϲϬ Ϭ
ϭϬ
ϮϬ
ϯϬ
ϰϬ
ϱϬ
ϲϬ
ϳϬ
Intensitas Daya Gelombang Mikro (%) Gambar 3. Hubungan antara waktu reaksi dan intensitas daya gelombang mikro terhadap rendemen biodiesel
238
ϴϰ͘ϭ
ϴϬ
ϳϬй
^ƵŚƵZĞĂŬƐŝ;ŽͿ
ZĞŶĚĞŵĞŶŝŽĚŝĞƐĞů;йͿ
ϭϬϬ
Hal yang sama terjadi pada waktu reaksi 60 detik (rendemen rata-rata 88,3%). Secara umum rendemen biodiesel yang tinggi diperoleh pada waktu reaksi yang lebih singkat (30 detik) tanpa memperhatikan besarnya intensitas daya gelombang mikro. Meningkatkan waktu reaksi menjadi 60 GHWLN WLGDN VHFDUD VLJQL¿NDQ PHQJXEDK UHQGHPHQ ELRGLHVHO untuk reaksi dengan intensitas daya gelombang mikro 50 GDQ WHWDSL VHFDUD VLJQL¿NDQ PHQXUXQNDQ UHQGHPHQ untuk reaksi dengan intensitas daya 30%. Dari waktu reaksi 60 hingga 120 detik, rendemen biodiesel tidak berubah untuk reaksi dengan intensitas daya 30 dan 50%, tetapi turun VLJQL¿NDQXQWXNUHDNVLGHQJDQLQWHQVLWDVGD\D Gambar 3 juga memperlihatkan bahwa pada perlakuan intensitas daya gelombang mikro 70% mengakibatkan WHUMDGLQ\DSHQXUXQDQUHQGHPHQELRGLHVHO\DQJVLJQL¿NDQGDUL 89,2% pada waktu reaksi 30 detik menjadi 76,7% pada waktu reaksi 120 detik. Hal ini terjadi karena transfer panas yang efektif mengakibatkan naiknya suhu reaksi secara cepat. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa suhu reaksi dapat mencapai hingga 84oC pada intensitas daya 70% dan waktu reaksi 120 detik (Gambar 4). Suhu ini lebih tinggi dari suhu penguapan metanol (65 oC) sehingga sebagian metanol berada dalam fase uap dan menurunkan efektivitas reaksi. Penurunan rendemen pada suhu tinggi (70 oC) juga terjadi pada proses produksi biodiesel secara konvensional (Aziz, 2011). Pemberian kondensor pada sistem reaksi dapat mengembalikan fase uap metanol menjadi cair. Tetapi, efektivitas kondensor masih perlu dikaji mengingat waktu reaksi yang sangat singkat.
'LEDQGLQJNDQ GHQJDQ UHDNVL WUDQVHVWHUL¿NDVL PLQ\DN bekas secara konvensional, pemberian gelombang mikro GDODP SURVHV WUDQVHVWHUL¿NDVL PHQJKDVLONDQ UHQGHPHQ biodiesel lebih tinggi. Sinaga dkk. (2014) melaporkan rendemen biodiesel tertinggi 72,9% pada reaksi dengan perbandingan molar 1:6, suhu reaksi 65oC dan waktu reaksi 30
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
menit. Transfer panas melalui gelombang mikro berlangsung secara efektif mengakibatkan pemanasan yang lebih cepat yang pada gilirannya meningkatkan laju reaksi. Bilangan Asam Bilangan asam di dalam bahan bakar dapat mempengaruhi sifat korosinya terhadap mesin. Semakin tinggi bilangan asam maka korosivitasnya semakin tinggi. Bilangan asam dalam biodiesel yang dihasilkan berkisar dari 2,98 mgKOH/g hingga 4,20 mgKOH/g. Jika dibandingkan dengan bilangan asam bahan baku minyak jelantah, yaitu 5,6 mgKOH/g (Tabel 1), maka bilangan asam biodiesel yang dihasilkan telah mengalami penurunan. Meskipun demikian, nilai bilangan asam biodiesel yang dihasilkan masih lebih tinggi dari nilai SNI, yaitu 0,8 mgKOH/g. Hal ini menunjukkan bahwa biodiesel yang dihasilkan masih memiliki kandungan asam yang tinggi sehingga belum dapat digunakan sebagai campuran minyak solar untuk menggerakkan motor diesel. Tingginya bilangan asam karena penggunaan metanol teknis (70%) sebagai pereaksi sehingga mengakibatkan reaksi kurang sempurna. Satriana dkk (2012) menunjukkan bahwa penurunan konsentrasi metanol dari 90% hingga 70% telah mengakibatkan terjadinya peningkatan bilangan asam biodiesel dari 0,8 mgKOH/g menjadi 3,73 mgKOH/g.
digunakan sebagai bahan bakar pengganti solar. Oleh sebab itu dipandang perlu untuk melihat potensi pemanfaatannya sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah. Untuk itu dilakukan uji kapilaritas untuk mengetahui seberapa jauh biodiesel yang dihasilkan mampu diserap oleh sumbu kompor minyak tanah. Hasil pengujian menunjukkan bahwa biodiesel yang dihasilkan memiliki kapilaritas yang tidak kalah dari minyak tanah, yaitu setinggi 37,5 cm hingga 38,5 cm (Tabel 5).
Gambar 5. Hubungan antara intensitas daya dan waktu reaksi terhadap viskositas
Tabel 5. Tabel perbandingan kapilaritas minyak tanah dan biodiesel Viskositas (cSt)
Kapilaritas (cm)
2,05
37
Biodiesel dengan viskositas tertinggi
2
37,5
Biodiesel dengan viskositas terendah
1,9
38,5
Massa Jenis Biodiesel Standar massa jenis biodiesel yang diperbolehkan oleh SNI berkisar 0,85–0,9 g/mL. Berdasarkan standar massa jenis untuk biodiesel tersebut maka biodiesel yang dihasilkan pada penelitian ini memenuhi standar. Biodiesel yang dihasilkan memiliki massa jenis 0,87 – 0,88 g/mL. Hasil ini tidak berbeda dengan massa jenis biodiesel yang dihasilkan dari reaksi konvensional. Massa jenis biodiesel yang diperoleh GDUL UHDNVL WUDQVHVWHUL¿NDVL GHQJDQ SHPEHULDQ SDQDV VHFDUD konvensional pada rasio molar yang sama berkisar pada 0,85–0,86 g/mL (Sinaga dkk., 2014). Viskositas Biodiesel Gambar 5 menunjukkan bahwa biodiesel yang dihasilkan memiliki nilai viskositas antara 1,9 cSt hingga 2 cSt. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan viskositas biodiesel yang diperoleh dari WUDQVHVWHUL¿NDVL dengan pemberian panas secara konvensional yang dilaporkan oleh Sinaga dkk. (2014), yaitu 1,65–1,85 cSt. Nilai viskositas biodiesel dalam penelitian ini masih lebih rendah dibandingkan nilai viskositas yang dipersyaratkan SNI. Uji Kapilaritas dan Uji Nyala Karakteristik biodiesel sebagaimana dibahas di atas menunjukan bahwa biodiesel yang dihasilkan belum dapat
Minyak tanah
Biodiesel juga diuji penyalaannya menggunakan lentera sederhana dan hasilnya menunjukkan bahwa lentera dapat menyala dengan baik sebagaimana kalau menggunakan minyak tanah. Dengan demikian maka biodiesel yang dihasilkan dari penelitian ini memiliki potensi untuk dapat digunakan sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah XQWXNNRPSRUWDQSDPHPRGL¿NDVLWLQJJLWDQJNLNRPSRU KESIMPULAN Intensitas gelombang mikro dan waktu reaksi tidak berpengaruh terhadap sifat biodiesel yang dihasilkan (bilangan asam, viskositas, dan massa jenis). Biodiesel yang dihasilkan memiliki bilangan asam berkisar 2,98–4,20 mgKOH/g, massa jenis biodiesel berkisar 0,87–0,88 g/mL, dan viskositas biodiesel berkisar 1,9–2 cSt. Intensitas daya gelombang mikro dan waktu reaksi serta interaksinya berpengaruh nyata terhadap rendemen biodiesel. Produksi biodiesel yang tinggi diperoleh pada waktu reaksi 30 detik dengan rendemen rata-
239
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
rata mencapai 91,1% tanpa memperhatikan intensitas daya gelombang mikro. Biodiesel yang dihasilkan berpotensi dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar kompor minyak tanah. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh DIPA Fakultas Pertanian, Universitas Lampung dengan Kontrak No. 270.A/UN26/4/ DT/2013, tanggal 25 Februari 2013.
An overview. -RXUQDO RI 6XVWDLQDEOH (QHUJ\ (QYLURQPHQW2: 71-75. Kheang, L.C., May, C.Y., Foon, C.S. dan Ngan, M.A. (2006). Recovery and conversion of palm olein-derived used frying oil to methyl esters for biodiesel. -RXUQDORI2LO 3DOP5HVHDUFK 18: 247-252. Knothe, G., Gerpen, J.V. dan Krahl, J. (editor). (2005). 7KH %LRGLHVHO+DQGERRN. AOCS Press, Champaign, Illinois.
Aziz, I. (2011) .LQHWLND UHDNVL WUDQVHVWHUL¿NDVL PLQ\DN goreng bekas. -XUQDO9DOHQVL 1: 19-23.
Kwartiningsih, E., Setyawardhani, D.A., Widyawati, E.D. dan Adi, W.K. (2007). Pengaruh temperatur terhadap kinetika reaksi metanolisis minyak jelantah menjadi biodiesel (ditinjau sebagai reaksi homogen). -XUQDO (NXLOLEULXP 6(2): 71-74.
Barnard, T.M., Leadbeater, N.E., Boucher, M.B., Stencel, /0 GDQ :LOKLWH %$ &RQWLQXRXVÀRZ preparation of biodiesel using microwave heating. (QHUJ\DQG)XHOV 21: 1777-1781.
Lin, Y.C., Lin, J.F., Hsiao, Y.H. dan Hsu, K.H. (2012). Soybean oil biodiesel production assisted a microwave system and sodium methoxide catalyst. 6XVWDLQDEOH (QYLURQPHQW5HVHDUFK 22(4): 247-254.
Berrios, M., Martín, M.A., Chica, A.F. dan Martín, A. 6WXG\RIHVWHUL¿FDWLRQDQGWUDQVHVWHUL¿FDWLRQLQ biodiesel production from used frying oils in a closed system. &KHPLFDO(QJLQHHULQJ-RXUQDO 160: 473-479.
Ma, F. dan Hanna, H.A. (1998). Biodiesel production: A review. %LRUHVRXUFH7HFKQRORJ\ 70: 1-15.
Canakci, M, dan van Gerpen, J.H. (2003). Comparison of engine performance and emissions for petroleum dieselfuel, yellow-grease biodiesel and soybean-oil biodiesel. 7UDQVDFWLRQVRIWKH$6$( 46: 937-944.
Motasemi, F. dan Ani, F.N. (2012). A review on microwaveassisted production of biodiesel. 5HQHZDEOH DQG 6XVWDLQDEOH(QHUJ\5HYLHZV 16: 4719-4733.
DAFTAR PUSTAKA
Manurung, R. (2006). Transesterifrikasi minyak nabati. -XUQDO7HNQRORJL3URVHV 5(1): 47-52.
Freedman, B., Pryde, E.H. dan Mounts, T.L. (1984). Variables DIIHFWLQJ WKH \LHOGV RI IDWW\ HVWHU IURP WUDQVHVWHUL¿HG vegetable oils. -RXUQDO RI $PHULFDQ 2LO &KHPLVWV¶ 6RFLHW\ 61(10): 1638-43.
5LEHLUR$&DVWUR)GDQ&DUYDOKR- ,QÀXHQFHRI free fatty acid content in biodiesel production on nonedible oils. VW ,QWHUQDWLRQDO &RQIHUHQFH RQ :$67(6 6ROXWLRQV 7UHDWPHQWV DQG 2SSRUWXQLWLHV. September 12th-14th 2011.
van Gerpen, J. (2005). Biodiesel processing and production. )XHO3URFHVVLQJ7HFKQRORJ\ 86: 1097-1107.
Ryan, D. 2004. %LRGLHVHO $ 3ULPHU. National Center for Appropriate Technology. 13 hal. Davis, California.
Haas, M.J., Scott, K.M., Alleman, T.L. dan McCormick, R.L. (2001). Engine performance of biodiesel fuel prepared from soybean soapstock: A high quality renewable fuel produced from a waste feedstock. (QHUJ\DQG)XHOV 15: 1207-1212.
Satriana, N.E. Husna, Desrina dan Supardan, M.D. (2012). .DUDNWHULVLWN ELRGLHVHO KDVLO WUDQVHVWHUL¿NDVL PLQ\DN jelantah menggunakan teknik kavitasi hidrodinamik. -XUQDO7HNQRORJLGDQ,QGXVWUL3HUWDQLDQ4(2): 15-20.
Hernando, J., Leton, P., Matia, M.P., Novella, J.L. dan Alvarez-Builla, J. (2006). Biodiesel and FAME synthesis assisted by microwaves: Homogeneous batch DQGÀRZSURFHVV)XHO 86: 1641-1644. Jagadale, S.S. dan Jugulkar, L.M. (2012). Review of various reaction parameters and other factors affecting on production of chicken fat based biodiesel. ,QWHUQDWLRQDO -RXUQDO RI 0RGHUQ (QJLQHHULQJ 5HVHDUFK 2(2): 407411. Jaichandar, S. dan Annamalai, K. (2011). The status of biodiesel as an alternative fuel for diesel engine -
240
Sinaga, S.V., Haryanto, A. dan Triyono, S. (2014). Pengaruh suhu dan waktu reaksi pada proses pembuatan biodiesel dari minyak jelantah. -XUQDO7HNQLN3HUWDQLDQ3(1): 2734. Widodo, C.S., Nurhuda, M., Aslama, A., Hexa, A. dan Rahman, S. (2007). Studi penggunaan PLFURZDYH pada proses WUDQVHVWHUL¿NDVL VHFDUD NRQWLQ\X XQWXN PHQJKDVLONDQ biodiesel. -XUQDO7HNQLN0HVLQ 9(2): 54-58. Yuniawati, M. dan Karim, A.A. (2009). Kinetika reaksi pembuatan biodiesel dari minyak goreng bekas (jelantah) dan metanol dengan katalis KOH. -XUQDO 7HNQRORJL 2(2): 130-136.
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
STUDI KOMPARASI PREDIKSI CURAH HUJAN METODE FAST FOURIER TRANSFORMATION (FFT), AUTOREGRESSIVE INTEGRATED MOVING AVERAGE (ARIMA) DAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK (ANN) Comparation Study on Precipitation Prediction Using Fast Fourier Transformation (FFT), Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) and Artificial Neural Network (ANN) Dyah Susilokarti1, Sigit Supadmo Arif2, Sahid Susanto2, Lilik Sutiarso2 Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementrian Pertanian, Jl. R.M. Harsono No. 3 Ragunan - Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12550 2 Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Jl. Flora No. 1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281 Email:
[email protected] 1
ABSTRAK Kondisi iklim dan ketersediaan air yang optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman sangat diperlukan dalam upaya mendukung strategi budidaya tanaman sesuai ruang dan waktu. Prediksi curah hujan sangat diperlukan untuk untuk mengetahui sejauh mana curah hujan dapat memenuhi kebutuhan air pada setiap tahap pertumbuhan tanaman. Variabilitas curah hujan yang tinggi saat ini, membutuhkan pemodelan yang dapat memprediksi secara akurat bagaimana kondisi curah hujan dimasa yang akan datang. Prediksi yang dilakukan adalah prediksi berdasarkan urutan waktu (WLPHVHULHV). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan akurasi prediksi curah hujan antara metode )DVW)RULHU7UDQVIRUPDWLRQ (FFT), $XWRUHJUHVVLYH,QWHJUDWHG0RYLQJ$YHUDJH (ARIMA) dan $UWL¿FLDO1HXUDO 1HWZRUN (ANN). Kinerja ketiga metode yang digunakan dilihat dari nilai 0HDQ6TXDUH(UURU (MSE). Metode dengan nilai korelasi tertinggi dan nilai MSE terkecil menunjukkan kinerja terbaik. Hasil penelitan untuk FFT diperoleh nilai MSE = 14,92, ARIMA = 17,49 sedangkan ANN = 0,07. Ini menunjukkan bahwa metode $UWL¿FLDO1HXUDO1HWZRUN (ANN) menunjukkan kinerja yang paling baik diantara dua metode lainnya karena menghasilkan prediksi yang mempunyai nilai MSE terkecil. Kata kunci: Prediksi curah hujan, )DVW )RULHU 7UDQVIRUPDWLRQ (FFT), $XWRUHJUHVVLYH ,QWHJUDWHG 0RYLQJ $YHUDJH (ARIMA) dan $UWL¿FLDO1HXUDO1HWZRUN (ANN) ABSTRACT Optimum climate condition and water availability are essential to support strategic venue and time for plants to grow and produce. Precipitation prediction is needed to determine how much precipitation will provide water for plants on each stage of growth. Nowadays, the high variability of precipitation calls for a prediction model that will accurately foresee the precipitation condition in the future. The prediction conducted is based on time-series data analysis. The research aims to comparethe effectiveness of three precipitation prediction methods, which are Fast Forier Transformation (FFT), Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) and Artificial Neural Network (ANN). Their respective performances are determined by their Mean Square Error (MSE) values. Methods with highest correlation values and lowest MSE shows the best performance. The MSE result for FFT is 14,92; ARIMA is 17,49; and ANN is 0,07. This research concluded that Artificial Neural Network (ANN) method showed best performance compare to the other two because it had produced a prediction with the lowest MSE value. Keywords: Precipitation prediction, Fast Forier Transformation (FFT), Autoregressive Integrated Moving Average $5,0$ DQG$UWL¿FLDO1HXUDO1HWZRUN$11
241
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
PENDAHULUAN Budidaya tanaman memerlukan strategi yang tepat untuk menyesuaikan variabilitas curah hujan yang tinggi dan ketersediaan air yang optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Kondisi iklim ekstrim akibat tingginya variabilitas curah hujan sering terjadi tetapi terlambat diantisipasi sehingga menyebabkan terjadinya gagal panen. Prediksi curah hujan perlu dilakukan menggunakan pemodelan yang dapat memprediksi secara akurat bagaimana kondisi curah hujan dimasa yang akan datang. Prediksi dilakukan menggunakan analisis deret waktu (WLPH VHULHV) yang dapat memberikan informasi tentang adanya kecenderungn (WUHQG VLNOXV DWDX ÀXNWXDVL GLVHNLWDU nilai rata-rata jangka panjang, sehingga analisis ini dapat digunakan sebagai alat pemodelan dan prediksi. Terdapat tiga kelompok model yang umum dipakai dalam menganalisis masalah - masalah cuaca dan iklim yaitu model deterministik, parametrik dan stokastik. Model deterministik murni dapat diperoleh dengan mengikut sertakan seluruh hubungan hubungan teoritis dari suatu kejadian sedangkan model stokastik diperoleh dengan menggunakan data percobaan untuk menghasilkan keluaran yang hanya dapat diduga dengan pengertian statistik, yaitu penggunaan data yang sama akan menghasilkan keluaran yang berbeda mengikuti pola statistik tertentu (Bey, 1991 dalam Askari dan Bey, 2000). Penelitian ini menggunakan 3 (tiga) model stokastik yaitu FFT ()DVW )RXULHU 7UDQVIRUPHU), ARIMA ($XWRUHJUHVVLYH ,QWHJUDWHG 0RYLQJ $YHUDJH) dan ANN ($UWL¿FLDO1HXUDO1HWZRUN ). Analisis FFT digunakan untuk mengetahui hubungan atau korelasi antara siklus/frekuensi terhadap besaran amplitudonya. Periodogram data curah hujan yang dihasilkan analisis FFT menunjukkan besarnya data untuk masing-masing siklus, sehingga melalui siklus yang dihasilkan menunjukkan tingkat proritas yang akan digunakan dalam model prakiraan curah hujan. Metode FFT, memiliki kemampuan yang hampir sempurna dalam memodelkan pola dari parameter terukur dalam satu periode tertentu. Metode ini menerapkan model yang sinusoidal, dimana akan menghasilkan nilai prediksi yang sama untuk setiap waktu ( t) pada periode mana pun. $XWRUHJUHVLI ,QWHJUDWHG 0RYLQJ $YHUDJH ($5,0$) sering disebut metode runtun waktu %R[-HQNLQV adalah model yang menggunakan nilai masa lalu dan sekarang dari variabel dependen untuk menghasilkan peramalan jangka pendek yang akurat, sangat baik digunakan untuk melihat pola masa lampau dan kemudian merepresentasikan pola masa yang akan datang untuk memprediksinya. Bey (2003) mengatakan bahwa ARIMA adalah metode stokatik yang sangat bermanfaat untuk membangkitkan proses/data deret waktu dimana setiap kejadian saling berkorelasi.
242
$UWL¿FLDO 1HXUDO 1HWZRU $11 merupakan sistem pemrosesan informasi yang didesain dengan menirukan cara kerja jaringan syaraf otak manusia yang diimplemintasikan dengan menggunakan program komputer yang mampu menyelesaikan sejumlah proses perhitungan selama proses pembelajaran, karena memiliki kemampuan belajar terhadap informasi numerik melalui algoritma pembelajaran dan kemampuan pengenalan pola (Kusumadewi, 2003). ANN mampu melakukan pengenalan kegiatan berbasis data masa lalu sehingga mampu memberikan keputusan terhadap data yang belum pernah dipelajari. Askari dan Bey, (2000); Dupe, (1999); Estiningtyas dan Amien, (2006) telah mengembangkan model prakiraan curah hujan dengan pendekatan analisis keterkaitan antar waktu maupun keterkaitan antar ruang menggunakan regresi, ARIMA, analisis FFT, dan analisis Kalman Filter. Modelmodel yang disusun umumnya menggambarkan adanya ketidakseimbangan antara aspek analisis ruang (VSDWLDO DQDO\VLV) dengan analisis deret waktu (WLPHVHULHVDQDO\VLV). Model-model peramalan deret waktu umumnya cenderung tidak tajam dalam membahas aspek keterkaitan ruang. Sebaliknya pada model-model prakiraan yang menggunakan analisis keterkaitan ruang antar stasiun atau analisis hubungan antar parameter umumnya diterapkan pada satu periode waktu tertentu dan mengabaikan keterkaitan deret waktu (Pramudia, 2008). Model peramalan curah hujan yang menerapkan keterkaitan deret waktu dengan keterkaitan ruang antar stasiun DWDXNHWHUNDLWDQGHQJDQSDUDPHWHULNOLPGDQSDUDPHWHU¿VLN lainnya sudah dikembangkan Halide dan Ridd (2000) dengan memanfaatkan teknik ANN yang mampu menggabungkan aspek analisis waktu dan ruang secara simultan pada bidang hidrologi. Mahdi dan Suerborn (2002) melakukan analisis terhadap keragaman curah hujan jangka panjang di Ethiopia yang menunjukkan kecenderungan curah hujan menurun selama abad 20. Sipayung, dkk. (2003), melakukan analisis deret waktu pada data curah hujan di Indonesia dan hasilnya menunjukkan bahwa puncak curah hujan Indonesia sebagian besar didominasi oleh DQQXDORVFLOODWLRQ dan terdapat juga daerah-daerah yang didominasi oleh VHPL DQQXDO RVFLOODWLRQ dan fenomena ENSO ((O 1LxR 6RXWKHUQ 2VFLOODWLRQ). Valipour, M. (2012) melakukan kalibrasi model time series menggunakan $XWR 5HJUHVLI ,QWHJUDWHG 0RYLQJ $YHUDJH (ARIMA), $XWR 5HJUHVL 0RYLQJ $YHUDJH (ARMA), $XWR 5HJUHVLI (AR) dan 0RYLQJ $YHUDJH (MA) dengan membandingkan R2 model, untuk peramalan curah hujan dalam iklim semi-arid dengan kesimpulan akurasi model time series meningkat untuk data observasi yang lebih panjang. Nanda, dkk. (2013). Menggunakan Model ARIMA (1,1,1) dengan membandingkan model pembelajaran ANN yang berbeda untuk analisis data curah hujan, antara lain
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
0XOWL /D\HU 3HUFHSWURQ (MLP), )XQFWLRQDOOLQN $UWL¿FLDO 1HXUDO 1HWZRUN (FLANN) and /HJHQGUH 3RO\QRPLDO (TXDWLRQ (LPE). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Flann memberikan hasil prediksi yang lebih baik dibandingkan dengan model ARIMA (1,1,1) dengan nilai $EVROXWH$YHUDJH 3HUFHQWDJH(UURU (AAPE) yang lebih kecil. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan akurasi prediksi curah hujan menggunakan metode )DVW )RULHU 7UDQVIRUPDWLRQ (FFT), $XWRUHJUHVVLYH ,QWHJUDWHG 0RYLQJ $YHUDJH (ARIMA) dan $UWL¿FLDO 1HXUDO 1HWZRUN (ANN). Studi kasus di wilayah selatan Jatiluhur Kabupaten Subang. Tingkat akurasi dinilai berdasarkan kinerja ketiga metode yang digunakan dilihat dari nilai 0HDQ6TXDUH(UURU (MSE). Metode dengan nilai MSE terkecil menunjukkan kinerja terbaik.
stasiun curah hujan disekitar lokasi penelitian yaitu stasiun: (1) Kalijati; (2) Curugagung; (3) Cinangling; (4) Dangdeur; (5) Subang dan (6) Pegaden. Data diperoleh dari Lanud Suryadharma Kalijati dan Divisi III Perum Jasatirta II Kabupeten Subang. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer dengan VRIWZDUHMATLAB versi 2010a untuk menganalisis ANN, SPSS 16 untuk menganalisis FFT dan ARIMA, 0LFURVRIW H[HO untuk entri data dan 0LFURVRIWZRUG untuk penyajian makalah. Langkah Analisis Langkah analisis dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : Mulai Mulai
METODE PENELITIAN
Data Curah Hujan Bulanan
Lokasi Lokasi penelitian adalah beberapa Daerah Irigasi (DI) di wilayah selatan Jatiluhur yaitu DI. Curugagung, DI. Cileuleuy, DI. Cinangka dan DI. Pangsor. Lokasi dipilih karena merupakan daerah irigasi yang tidak mendapatkan suplesi dari bendungan Jatiluhur dan hanya mengantungkan ketersediaan air dari sumber setempat sehingga rencana penelitian selanjutnya tentang pembuktian dampak perubahan iklim terhadap ketersediaan air pada lokasi penelitian dapat terpenuhi.
Data
Data Testing
Pembentukan Model FFT
ARIMA
ANN
Komparasi Performansi Tidak
Ya Best Fit?
Validasi Perbandingan Kesimpulan
Selesai Gambar 2. Alur penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Metode Fast Fourier Transform (FFT) Gambar 1. Lokasi penelitian dan stasiun curah hujan
Data dan Perangkat Lunak Penelitian ini menggunakan data curah hujan bulanan periode tahun 1975 – 2012. Data diperoleh dari 6 (enam)
Prediksi curah hujan menggunakan FFT dilakukan dengan menggunakan data curah hujan 5 tahun untuk memprediksi data 5 tahun berikutnya. Persamaan terbaik yang diperoleh dengan MSE = 14,92. dengan tingkat kepercayaan dalam pemodelan adalah 95%.
243
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Gambar 3. Model FFT untuk prediksi curah hujan 5 tahun Gambar 5. Data curah hujan yang sudah VWDVLRQHU
Hasil prediksi menunjukkan terbuka kemungkinan untuk memodelkan data curah hujan dengan FFT sebagai analisis waktu tetapi, FFT lebih cenderung diaplikasi sebagai WRROVanalisis dibandingkan SUHGLFWRU tunggal yang notabene mengestimasi data-data non linear.
Berdasarkan analisis FRUUHORJUDP maka untuk data Curah Hujan wilayah Tahun 1975 – 2012. dengan GLIIHUHQFLQJ (d) =1 data sudah stasioner. Analisis colleogram (ACF dan PACF)
Analisis Metode Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) (p,d,q) Uji Stasioneritas
Terlihat ACF langsung putus pada lag ke 1, demikian juga untuk PACF. Gambar 6. Analisis FROOHRJUDP (ACF dan PACF)
Gambar 4. Data curah hujan dengan WUHQG menurun
Hasil analisis awal data curah hujan selama 38 tahun menunjukkan adanya WUHQG yang bergerak turun. 7UHQG menunjukkan bahwa data tersebut tidak stasioner sehingga sebelum dijadikan data untuk analisis prediksi, data curah hujan harus ditrasformasi menjadi data yang stasioner. Untuk menghilangkan sebuah trend, mengunakan teknik GLIIHUHQFLQJ orde ke 1 dan menghasilkan data seperti pada Gambar 4.
244
Hasil analisis awal data curah hujan wilayah diperoleh orde ARIMA (p,d,q) untuk model yang prediksi curah hujan sebagai berikut : a. p=1, diperoleh berdasarkan plot ACF untuk data dengan GLIIHUHQFLQJGLPDQDDGDVDWXNRH¿VLHQ\DQJVLJQL¿NDQ yaitu pada lag 1. b. d=1, proses pembedaan yang dilakukan sehingga didapatkan stasioner adalah GLIIHUHQFLQJ sebanyak 1 kali. Sehingga nilai d=1. c. q=1, terlihat berdasarkan plot PACF untuk data dengan GLIIHUHQFLQJGLPDQDDGDVDWXNRH¿VLHQ\DQJVLJQL¿NDQ yaitu pada lag 1.
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
0HODOXL SURVHV LGHQWL¿NDVL SHQDNVLUDQ GDQ SHQJXMLDQ diperoleh model sementara dari plot data curah hujan adalah model ARIMA (1,1,1), ARIMA (0,1,1), ARIMA (0,1,0), dan ARIMA (1,1,0). Tabel 1. Ukuran kebaikan model secara statistik
Kecepatan Model RMSE MAPE MAE
Model ARIMA (0,1,1)
(0,1,0)
(1,1,0)
(1,1,1)
134,57 531,94 103,90
137,98 437,84 103,45
134,01 390,03 103,45
133,91 254,45 102,82
Nilai Error yang dihasilkan model ARIMA (1,1,1) paling kecil dibanding model lainnya.
Analisis Metode $UWL¿FLDO1HXUDO1HWZRUN(ANN) Prediksi curah hujan menggunakan metode $UWL¿FLDO 1HXUDO 1HWZRUN (ANN) %DFNSURSDJDWLRQ memperoleh nilai terbaik arsitektur jaringan adalah 1-20-2 yaitu 1 LQSXWOD\HU berisi data curah hujan 20 KLGGHQOD\HU, dan 1 RXWSXWberisi data curah hujan hasil prediksi dengan nilai MSE 0,001. Performa pengujian/validasi data dapat dikenali dengan baik sesuai hasil pengujian MSE = 0.0129. Tahap testing menggunakan metode IHHGIRUZDUG (langkah maju) dengan arsitektur 1-20-1, OHDUQLQJ UDWH Į 7DKDS WHVWLQJ tersebut menghasilkan nilai kuadrat HUURU sebesar 0.0116. Hasil pengujian model untuk mengetahui performa ANN ditunjukkan pada Gambar 1. Dengan R2 = 0,717.
Model prediksi ARIMA (p,d,q) di atas memberikan hasil IRUHFDVWLQJ yang berbeda-beda. Untuk itu dipilih satu model yang memenuhi kriteria baik secara statistik, artinya model tersebut bisa dengan tepat secara statistik meramalkan curah hujan sesuai dengan data sesungguhnya. Berdasarkan nilai RMSE, MAPE dan MAE, maka model yang memberikan nilai penyimpangan terkecil adalah ARIMA(1,1,1), Sehingga dipilih model ARIMA(1,1,1). Model ARIMA(1,1,1) kemudian digunakan untuk proses prediksi data curah hujan 5 tahun. Diperoleh hasil terbaik dengan MSE = 17,49. Gambar 8. Performa ANN tahap pengujian (testing)
Model yang telah didapatkan digunakan untuk memprediksi curah hujan. Data yang digunakan sebagai LQSXW adalah data tahun sebelumnya. Prediksi menggunakan input data yang telah dimiliki dan kemudian dibandingkan dengan data yang sebenarnya. Hasil prediksi menunjukkan error yang cukup baik yaitu MSE= 0.07.
Gambar 7. Model ARIMA untuk prediksi curah hujan 5 tahun
Hasil Prediksi membuktikan bahwa metode ini cukup baik dalam memprediksi suatu deret data tetapi metode ini mempunyai kelemahan karena tidak mampu memprediksi untuk periode yang panjang, karena semakin jauh memprediksi hasilnya semakin konstan mendekati nilai tertentu (umumnya semakin mendekati nilai tengahnya). Gambar 9. Model ANN untuk prediksi curah hujan 5 tahun
245
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Analisis Tiga Metode Prediksi Curah Hujan Hasil prediksi curah hujan menggunakan metode FFT, ARIMA dan ANN dapat dilihat di bawah ini. Tabel 2. Komparasi performa model FFT Vs ARIMA Vs ANN No. 1 2 3
Metode FFT ARIMA (1,1,1) ANN – (%DFNSURSDJDWLRQ)
MSE 14,92 17,49 0,07
Masing-masing metode yang digunakan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Metode FFT, memiliki kemampuan yang hampir sempurna dalam memodelkan pola dari parameter terukur dalam satu periode tertentu. Metode ini menerapkan model yang sinusoidal, sehingga akan menghasilkan nilai prediksi yang sama untuk setiap waktu t pada periode mana pun. Pada kenyataannya, ÀXNWXDVL FXUDK KXMDQ VDQJDW DFDN GDQ DNDQ PHPLOLNL QLODL yang berbeda dan acak meskipun pada waktu t yang sama pada periode yang berbeda. Sehingga teknik ini pun sangat berpotensi menghasilkan bias yang tidak kecil. Metode ini masih cendrung lemah jika digunakan untuk melakukan peramalan dengan prediksi yang dihasilkan memiliki error yang tidak saling bebas satu sama lain (DXWRNRUHODVL). Suatu data curah hujan dapat memiliki pola yang sama untuk setiap SHULRGHQ\D WHWDSL ÀXNWXDVLQ\D SDVWL EHUEHGD SDGD VHWLDS periodenya. Metode ARIMA merupakan pengembangan lebih lanjut dari model $XWRUHJUHVVLYH 0RYLQJ $YHUDJH (ARMA) yang berdasar pada konsep regresi linier dan keterkaitan antar waktu terhadap data yang berurutan. Metode ARIMA dapat digunakan untuk analisis data deret waktu dan peramalan data. Metode ini memerlukan penetapan karekteristik data deret berkala seperti stasioner, musiman dan sebagainya yang memerlukan suatu pendekatan sistematis dan akhirnya akan menolong untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai model – model dasar yang akan ditangani. Kelemahan model DXWRUHJUHVLI atau PRYLQJ DYHUDJH seperti ini adalah tidak mampu memprediksi untuk periode yang jauh ke depan, karena semakin jauh memprediksi hasilnya semakin konstan mendekati nilai tertentu, umumnya semakin mendekati nilai tengahnya. ANN dalam WLPH VHULHV relatif lebih mudah dalam perkembangannya dan implementasinya. Hal ini terutama didasarkan pada kemampuan ANN untuk prediksi data non OLQHDU .RQ¿JXUDVL DUVLWHNWXU SDGD $11 GDSDW PHQJDWDVL beberapa non linearitas data, sehingga konvergensi dapat dihindari, walau masih menggunakan data yang dilatih dengan tingkat kesalahan rata-rata kudrat (MSE) = 0.07, tapi
246
perubahan pola dapat dikenali oleh ANN. Hal ini disebabkan adanya fase propagasi balik saat pelatihan, sehingga sinyal informasi jauh lebih kaya dengan pola-pola data non linearnya. Apriyanti (2005) menggambarkan bahwa teknik ANN baik diterapkan pada model prakiraan curah hujan yang memfokuskan pada aspek skala waktu dan skala ruang secara bersamaan. KESIMPULAN Hasil studi komparasi tiga metode prediksi curah hujan di peroleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Performa dari ketiga metode yang digunakan dilihat dari standarisasi MSE (MHDQ 6TXDUH (UURU) sebagai standar perhitungan deviasi perbedaaan antara data real dan data pemodelan. Untuk FFT diperoleh nilai MSE = 14,92, ARIMA MSE= 17,49 sedangkan ANN diperoleh hasil MSE = 0,07. Sehingga metode dengan performa terbaik yang dipilih berdasarkan hasil MSE nya yaitu model ANN dengan hasil MSE terkecil dibandingkan dengan metode FFT atau ARIMA. 1. Metode FFT, memiliki kemampuan yang hampir sempurna dalam memodelkan pola dari parameter terukur dalam satu periode tertentu, tetapi metode ini masih cendrung lemah jika digunakan untuk melakukan peramalan dengan prediksi yang dihasilkan memiliki error yang tidak saling bebas satu sama lain (DXWRNRUHODVL). 2. Metode ARIMA menganalisis keterkaitan waktu, hasil peramalan dari metode ini memiliki pola dasar \DQJ VDPD VHWLDS SHULRGHQ\D GHQJDQ ÀXNWXDVL \DQJ FHQGHUXQJ VDPD GLPDQD ÀXNWXDVL \DQJ GLKDVLONDQ tersebut terikat dengan pola dasarnya. Kelemahan model ARIMA adalah tidak mampu memprediksi untuk periode yang jauh ke depan, karena semakin jauh memprediksi hasilnya semakin konstan mendekati nilai tertentu, umumnya semakin mendekati nilai tengahnya. 3. Model ANN sebagai model analisis runtun waktu untuk prediksi curah hujan hasilnya lebih baik dibanding metode FFT dan ARIMA dari segi performa dan kehandalan dalam memprediksi waktu yang akan datang yang bersifat nonlinear. DAFTAR PUSTAKA Apriyanti, N. (2005). 2SWLPDVL -DULQJDQ 6\DUDI 7LUXDQ GHQJDQ $OJRULWPD *HQHWLND XQWXN 3HUDPDODQ &XUDK +XMDQ. Skripsi. Departemen Ilmu Komputer. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian, Bogor.
AGRITECH, Vol. 35, No. 2, Mei 2015
Askari, M. dan Bey, A. (2000). $QDOLVLV 'HUHW :DNWX $QDOLVLV 'DWD ,NOLP GHQJDQ 0HWRGH %R[-HQNLQV . Bahan Praktikum Metode Klimatologi pada Program 3HQFDQJNRNDQ $JURNOLPDWRORJL -XUXVDQ *HR¿VLND dan Meteorologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Bey, A. (2003). Prospek model ARIMA sebagai alat prediksi curah hujan Stasiun Karawang sebagai kasus dalam Ratag (Ed). Prediksi cuaca dan iklim. 3URVLGLQJ 7HPX ,OPLDK 1DVLRQDO GL /HPEDJD 3HQHUEDQJDQ GDQ $QWDULNVD1DVLRQDO%DQGXQJ. Dupe, Z.L. (1999). Prediction Nino-3.4 SST anomaly using simple harmonic model. Paper presented at WKH6HFRQG ,QWHUQDWLRQDO &RQIHUHQFH RQ 6FLHQFH DQG 7HFKQRORJ\ IRU WKH $VVHVVPHQW RI *OREDO &OLPDWH &KDQJH DQG ,WV ,PSDFW RQ ,QGRQHVLDQ 0DULWLPH &RQWLQHQW 29 November-1 Desember 1999. Estiningtyas, W. dan Amien, L.I. (2006). Pengembangan PRGHO SUHGLNVL KXMDQ GHQJDQ PHWRGH ¿OWHU NDOPDQ untuk menyusun skenario masa tanam. -XUQDO6XPEHU 'D\D/DKDQ 10(2): 1-18. Halide, H. dan Ridd, P. (2000). Modeling inter-annual variation of local rainfall data using a fuzzy logic technique, ,QWHUQDWLRQDO)RUXPRQ&OLPDWH3UHGLFWLRQ $JULFXOWXUHDQG'HYHORSPHQW, James Cook Univ. 26-28 April 2000, Australia: IRI, 2000.
Kusumadewi, S. (2003). $UWL¿FLDO ,QWHOOLJHQFH 7HNQLN GDQ $SOLNDVLQ\D. Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta Nanda, S.K., Tripathy, D.P., Nayak, S.K. dan Mohapatra, S. (2013). Prediction of rainfall in India using DUWL¿FLDO QHXUDO QHWZRUN $11 PRGHOV ,QWHUQDWLRQDO -RXUQDO RI ,QWHOOLJHQW6\VWHPVDQG$SSOLFDWLRQV 12 :122. Mahdi, O. dan Suerborn, P. (2002). A Preliminiary assessment of characteristics and long term variability of rainfall in Ethiopia - basis for suistainable land use and resource management, in 3URFHHGLQJRI &RQIHUHQFHRI ,QWHUQDWLRQDO $JULFXOWXUH UHVHDUFK IRU 'HFHORSPHQW, Witzenhausen, Oktober 9-11. Pramudia, A. (2008). 3HZLOD\DKDQ+XMDQGDQ0RGHO3UHGLNVL &XUDK+XMDQXQWXN0HQGXNXQJ$QDOLVLV.HWHUVHGLDDQ VDQ .HUHQWDQDQ 3DQJDQ GL 6HQWUD 3URGXNVL 3DGL. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sipayung, B.S., Hariadi, T.E, Nurzaman, A. dan Hermawan, E. (2003). The spectrum analysis of rainfall in Indonesia. ,QGRQHVLDQ-RXUQDORI3K\VLFV 14: 3. Valipour, M. (2012). Number of required observation data for rainfall forecasting according to the climate conditions. $PHULFDQ-RXUQDORI6FLHQWL¿F 74: 79-86.
247