PENGARUH PENERAPAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
Endang Sayekti, S.H, M.Hum., Rosa Ristawati, S.H., Zendy Wulan Ayu WP, S.H.1 Abstract Since the enactment of Law No. 12/2006 concerned in Nationality of Republic Indonesia, there are some changes in the fundamental requirement in order to process Immigration documents. Although there is no requirement in order to complete the Indonesia Citizenship evidence letter(Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia//SKBRI) as one of the requirements in the immigration process but this change has no significant effect on the implementation. The complicated requirements in practices show that there are still some weaknesses on the Law No. 12/2006 concerned in Nationality of Republic Indonesia and its implementation. Key Word: Nationality, Immigration, SKBRI
PENDAHULUAN UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia telah diundangkan dan berlaku pada tanggal 1 Agustus 2006. Kelahiran undang-undang ini mengakhiri perjuangan panjang dari rentang waktu maupun berbagai kelelahan dalam proses sosialisasi rancangannya dan juga mengakhiri kecemasan mereka yang selama ini merasa tidak memperoleh perlindungan dari UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Berbeda dengan UU Kewarganegaraan sebelumnya, UU No. 12 Tahun 2006 ini dari materi yang diatur tampak ada upaya untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia (“human rights) tidak sekedar mengakui dan melindungi hak dasar (“fundamental rights”) yaitu hak yang dimiliki oleh warga negara. Sehingga asas nondiskriminatif dan asas pengakuan serta perlindungan hak asasi manusia merupakan bagian dari beberapa asas yang mendasari penyusunan Undang-Undang ini. UU No. 12 Tahun 2006 merupakan induk bagi peraturan perundang-undangan yang terkait, dengan demikian perubahan berbagai asas yang mendasari penyusunannya maupun materi yang diatur akan berpengaruh baik pada peraturan yang terkait maupun
1
Dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga
1
pejabat
pelaksananya,
misalnya
bidang
keimigrasian,
catatan
sipil
maupun
kependudukan. A.
Kebijakan Keimigrasian Diundangkannya UU No. 12 Tahun 2006 berpengaruh pada bidang keimigrasian,
karena keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Pengaruh-pengaruh tersebut utamanya terhadap kewenangan bidang keimigrasian antara lain: 1. Pembatalan / Pencabutan Izin keimigrasian; 2. Penerbitan Paspor; 3. Peneraan Cap pada Paspor Republik Indonesia dan Pemberian Keterangan secara affidavit pada Paspor Asing bagi Subyek Kewarganegaraan Ganda Terbatas; 4. Pemberian Surat Keterangan Keimigrasian (SKIM) dalam rangka Pewarganegaraan dan Menyampaikan Pernyataan Untuk Menjadi WNI; 5. Menyesuaikan berbagai peraturan keimigrasian dengan UU No. 12 Tahun 2006. Dari pengaturan dalam UU No. 12 Tahun 2006 tersebut, yang berpengaruh pada bidang keimigrasian antara lain: 1. Pasal 4 huruf c dan d yaitu anak yang lahir dari perkawinan yang sah salah satu orang tuanya berkewarganegaraan asing; 2. Pasal 4 huruf h yaitu anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu Warga Negara Asing (selanjutnya disingkat WNA) yang kemudian diakui oleh ayahnya yang WNI; 3. Pasal 4 huruf l yaitu anak dari orang tua WNI yang lahir di negara lain yang kebetulan menggunakan asas ius solli; 4. Pasal 5 yaitu anak WNI yang lahir diluar perkawinan yang sah belum berusia 18 tahun dan belum kawin yang diakui secara sah oleh ayahnya WNA. Anak
sebagaimana
diatur
dalam
pasal
tersebut
dimungkinkan
untuk
berkewarganegaraan ganda dan setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin anak tersebut harus memilih salah satu kewarganegaraannya (Pasal 6 ayat (1) ). Anak Subyek Kewarganegaraan Ganda Terbatas yang lahir sebelum UU No. 12 Tahun 2006, tidak secara otomatis mendapatkan status kewarganegaraan Republik Indonesia. Untuk keperluan perolehan status kewarganegaraan RI maka orang tuanya/ walinya mendaftarkan kepada Menteri Hukum dan HAM melalui Pejabat (Kepala Kantor
2
Wilayah Departemen Hukum dan HAM RI). Batas waktu pengajuan permohonan paling lama adalah 4 tahun ( paling lambat tanggal 1 Agustus 2010 Pasal 8 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.01-HL.03.01 Tahun 2006). Adanya pembatasan tersebut berarti lebih dari tanggal yang ditetapkan mereka tidak lagi dapat menggunakan haknya untuk mendapatkan status kewarganegaraan RI. Karena sifat pengaturan terbatas sampai 2010 saja maka ditindak lanjuti dalam Surat Edaran Menteri Hukum dan HAM RI No. M.09-IZ.03.10 tahun 2006 tentang Fasilitas Keimigrasian Bagi Anak Subyek Kewarganegaraan Ganda Terbatas yang lahir sebelum UU Kewarganegaraan RI yang baru diundangkan. Lebih lanjut dalam SE Menteri Hukum dan HAM tersebut menyatakan: 1. Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, d, h, l dan Pasal 5 UU No.12 Tahun 2006, yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, yang belum mengajukan permohonan pendaftaran untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia (Pasal 41 Undang-Undang No.12 Tahun 2006 ) tetap diwajibkan memiliki izin keimigrasian dan izin keimigrasian tersebut cukup diselesaikan / dilakukan oleh kantor imigrasi yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal anak. 2. Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, d, h, l dan Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2006, yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin yang telah mengajukan permohonan pendaftaran untuk memperoleh kewarganegaraan RI dan mendapat Keputusan Menteri tentang perolehan kewarganegaraan RI, maka orang tua/ wali dari anak yang bertempat tinggal di wilayah negara RI, wajib melaporkan secara tertulis perolehan kewarganegaraan RI tersebut kepada kantor imigrasi yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal anak. Dalam hal anak bertempat tinggal di luar wilayah negara maka laporan tersebut disampaikan kepada Perwakilan RI yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal anak. Adapun persyaratan yang harus dilampirkan :
Keputusan Menteri Hukum dan HAM tentang Perolehan Kewarganegaraan RI;
Paspor asing atau paspor orang tuanya ( bagi anak yang tercantum dalam paspor orang tuanya) ;
Dokumen keimigrasian atas nama anak yang bersangkutan.
3
Proses selanjutnya adalah Kepala Kantor Imigrasi atau Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal anak setelah menerima permohonan tertulis dari orang tua/ wali anak melakukan:
Pembatalan/ pencabutan izin keimigrasian atas nama anak yang bersangkutan;
Penerbitan Paspor RI atas permohonan anak yang bersangkutan dan/ atau orang tua/ walinya serta mencatatnya dalam buku register dengan menerapkan cap pada Paspor RI di dalam pengesahan:” Pemegang Paspor ini adalah subyek Pasal 4 huruf c, d, l dan Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2006”.
Pemberian keterangan yang dilekatkan (affidavit) pada paspor asing bahwa :” yang bersangkutan adalah subyek Pasal 4 huruf c, d, l dan Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2006”.
Anak pemegang dua paspor yang memilih menggunakan paspor asing pada saat masuk atau keluar wilayah negara RI maka Pejabat Imigrasi atau Petugas Pemeriksa pendaratan di tempat pemeriksaan menerakan cap “ Yang bersangkutan subyek Pasal 4 huruf c, d, l dan Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2006” pada arrival departure card miliknya.
3. Untuk anak subyek kewarganegaraan ganda terbatas yang didaftarkan menunggu
keputusan
menteri,
tetapi
izin
keimigrasiannya
tengah habis
masa berlakunya diberi penangguhan selama 90 hari. Fasilitas
keimigrasian
dapat
pula
diberikan
kepada
anak-anak
subyek
kewarganegaraan ganda terbatas dalam bentuk:
Anak yang hanya memegang paspor asing pada saat masuk dan berada di wilayah negara RI dibebaskan dari kewajiban memiliki Visa, Izin Tinggal dan Izin Masuk Kembali ( Re-Entry Permit);
Anak yang hanya memegang paspor asing tersebut di atas, yang melakukan perjalanan masuk atau ke luar wilayah Indonesia pada paspornya diterakan Tanda Bertolak / Tanda Masuk oleh Pejabat Imigrasi atau Petugas Pemeriksa Pendaratan di tempat pemeriksaan imigrasi;
Anak pemegang 2 paspor pada saat bersamaan, pada saat masuk / keluar wilayah negara RI wajib menggunakan 1 paspor yang sama;
4
Sedangkan bagi anak subyek Pasal 4 huruf c, d, h, l dan Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2006, yang lahir setelah diundangkannya UU tersebut secara otomatis menjadi WNI. Anak tersebut dapat mengajukan permohonan paspor RI di Kantor Imigrasi. Namun bagi anak subyek pemegang 2 paspor atau berkewarganegaraan ganda terbatas, maka orang tua/ walinya wajib mendaftarkan ke Kantor Imigrasi/ Perwakilan RI di luar negeri yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal anak tersebut guna diperlakukan sebagai WNI pada paspor asingnya. B.
Kebijakan Naturalisasi ( Pewarganegaraan) Status kewarganegaraan Indonesia dapat juga diperoleh melalui pewarganegaraan
(Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2006). Untuk melaksanakannya, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan RI (selanjutnya disebut PP No. 2 Tahun 2007). 1. Pewarganegaraan Biasa. Setiap orang berhak atas suatu kewarganegaraan dan tidak seorangpun dengan semena-mena dapat dicabut kewarganegaraannya atau ditolak hanya untuk mengganti kewarganegaraannya (Pasal 15 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia). Himbauan PBB tersebut ditindaklanjuti Pemerintah Negara RI dengan memberi kesempatan bagi orang asing untuk menjadi WNI. Pewarganegaraan adalah tata cara bagi orang asing untuk memperoleh. Kewarganegaraan RI melalui permohonan. Pasal 9 UU No. 12 Tahun 2006 menentukan bahwa permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. telah berusia 18 tahun atau sudah kawin; b. pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara RI paling singkat 5 tahun berturut-turut atau paling singkat 10 tahun tidak berturut-turut; c. sehat jasmani dan rohani; d. dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan UUD 1945; e. tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 tahun atau lebih; f. jika dengan memperoleh Kewarganegaraan RI tidak menjadi berkewarganegaraan ganda;
5
g. mempunyai pekerjaan dan/ atau berpenghasilan tetap dan h. membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara. Dari persyaratan tersebut yang sering dipertanyakan adalah persyaratan sehat jasmani dan rohani, yang sering dianggap diskriminatif terhadap mereka yang cacat. Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa status kewarganegaraan memang hak setiap orang namun di sisi lain negara juga berhak untuk menentukan siapa yang layak menjadi warganegaranya. Artinya negara memiliki kewenangan untuk selektif dalam menerima orang asing menjadi warganegaranya, termasuk dicantumkannya syarat “tidak pernah dipidana”. Persoalan akan menjadi lain jika pemohon adalah mereka yang generasi keturunan yang lahir dan tumbuh di Indonesia namun stateless. Untuk melaksanakan UU tersebut pemerintah mengundangkan PP No. 2 Tahun 2007. Dalam PP tersebut diatur persyaratan permohonan Pewarganegaraan (biasa) maupun pemberian kewarganegaraan kepada orang asing yang berjasa kepada Negara RI. 1.1. Pengajuan Permohonan Pewarganegaraan (Biasa) Orang asing dapat mengajukan permohonan menjadi WNI. Pengajuan permohonan pewarganegaraan oleh WNA disampaikan kepada Presiden dengan melalui Menteri, permohonan dan lampirannya disampaikan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal pemohon (Pasal 2 jo Pasal 3 ayat (3) PP No. 2 tahun 2007). Dalam Pasal 3 PP tersebut mengatur mengenai persyaratan pengajuan permohonan pewarganegaraan yang pada intinya ditulis dalam bahasa Indonesia dan memuat : a. Identitas pemohon termasuk kewarganegaraan asal; b. Akte-akte / surat-surat bukti yang diperlukan misalnya akte lahir, akte nikah, akte perceraian ataupun akte kematian jika pemohon berstatus janda/duda; c. Surat keterangan keimigrasian yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal pemohon yang menerangkan bahwa pemohon telah bertempat tinggal 5 tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut di wilayah negara Republik Indonesia; d. Kartu Ijin Tinggal Tetap yang disahkan pejabat ybs;
6
e. Surat-surat yang antara lain menerangkan pernyataan sehat jasmani dan rochani, dapat berbahasa Indonesia, mengakui dasar negara Pancasila dan UUD Republik Indonesia 1945; f. Surat keterangan kepolisian Negara Republik Indonesia; g. Surat Keterangan dari Perwakilan Negara pemohon yang menyatakan bahwa dengan menjadi WNRI tidak akan berkewarganegaraan ganda; 1.2. Prosedur Pemeriksaan Permohonan dan Lampirannya Setelah persyaratan permohonan beserta lampirannya lengkap akan memasuki tahap pemeriksaan, hal ini untuk menjaga agar kepentingan nasional tidak dirugikan dengan kehadiran warga negara baru. Untuk itu tahap-tahap pemeriksaan yang harus dilalui adalah: 1.2.a. Pemeriksaan oleh Pejabat Pasal 4 ayat (1) pemeriksaan kelengkapan persyaratan administratif permohonan dan lampirannya dilakukan oleh Pejabat, setelah persyaratan adminsitratif permohonan lengkap, prosedur selanjutnya dalam pasal 4 ayat (2) dilakukan pemeriksaan substantif permohonan dalam waktu paling lama 14 hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima. Prosedur selanjutnya, bila permohonan tidak memenuhi persyaratan substantif, maka permohonan dikembalikan kepada pemohon dalam waktu paling lama 7 hari terhitung sejak tanggal pemeriksaan substantif selesai dilakukan (Pasal 4 ayat (3)), sedangkan bila permohonan dinyatakan memenuhi persyaratan substantif, pejabat meneruskan permohonan kepada Menteri dalam waktu paling lama 7 hari terhitung sejak tanggal pemeriksaan substantif selesai dilakukan (Pasal 4 ayat (4)). 1.2.b. Pemeriksaan oleh Menteri Pasal 5 ayat (1), Menteri melakukan pemeriksaan substantif dan meneruskan permohonan disertai dengan pertimbangan kepada Presiden dalam waktu paling lama 45 hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima dari pejabat, apabila diperlukan, Menteri dapat meminta pertimbangan instansi terkait (Pasal 5 ayat (2)). Instansi terkait memberikan pertimbangan tertulis kepada Menteri dalam waktu paling lambat 14 hari terhitung sejak tanggal permintaan pertimbangan diterima, apabila pertimbangan tidak diberikan kepada Menteri dalam waktu tersebut, instansi terkait dianggap tidak berkeberatan.
7
1.3. Prosedur Pengabulan atau Penolakan Permohonan Oleh Presiden Persyaratan beserta lampiran permohonan kewarganegaraan setelah melalui tahap pemeriksaan baik oleh pejabat maupun Menteri berujung pada Presiden sebagai pejabat yang berwenang untuk mengabulkan atau menolak permohonan kewarganegaraan seseorang (Pasal 13 ayat (1) UU No.12 Tahun 2006). Kewenangan Presiden adalah sebagai konsekuensi ujung tombak pemegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif) pelaksana undang-undang. 1.3.a. Permohonan Dikabulkan Pengabulan permohonan pewarganegaraan yang menjadi kewenangan Presiden ditetapkan dengan Keputusan Presiden, ditetapkan paling lambat 3 bulan terhitung sejak permohonan diterima oleh Menteri dan diberitahukan kepada pemohon paling lambat 14 hari terhitung sejak Keputusan Presiden ditetapkan. Keputusan Presiden berlaku efektif terhitung sejak tanggal pemohon mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia. Paling lambat 3 bulan terhitung sejak Keputusan Presiden dikirim kepada pemohon, Pejabat memanggil pemohon untuk mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia (Pasal 13 ayat (2), (3) jo Pasal 14 ayat (1),(2) UU No. 12 Tahun 2006). Berapa lama waktu yang diperlukan untuk proses permohonan pewarganegaraan dari saat diterimanya berkas permohonan sampai keputusan pengabulan ataupun penolakan oleh Presiden? Pasal 4, 5 dan 6 PP No. 2 Tahun 2007 menyatakan bahwa dalam hal persyaratan administratif permohonan diterima secara lengkap maka: -
Pejabat melakukan pemeriksaan substantif permohonan paling lama 14 hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima;
-
Dalam hal permohonan memenuhi persyaratan , Pejabat meneruskan permohonan kepada Menteri dalam waktu paling lama 7 hari terhitung sejak tanggal pemeriksaan substantif selesai dilakukan;
-
Menteri melakukan pemeriksaan substantif dan meneruskan permohonan disertai pertimbangan kepada Presiden dalam waktu 45 hari terhitung sejak permohonan diterima dari Pejabat;
-
Presiden mengabulkan atau menolak permohonan pewarganegaraan dalam waktu paling lambat 45 hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima dari menteri.
8
Jika ditotal waktu proses permohonan pewarganegaraan menurut Peraturan Pemerintah tersebut paling lama 111 hari. Batasan waktu dalam proses pewarganegaraan tersebut, merupakan langkah positif yang artinya di satu sisi menunjukan kinerja pemerintah lebih serius dalam pelayanan publik. Di sisi lain batasan waktu tersebut menunjukan pemerintah lebih bertanggung jawab pada asas-asas yang menjadi dasar penyusunan UU No. 12 Tahun 2006 utamanya asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Sehingga nasib dan harapan pemohon dapat segera diketahui dan tidak berlarut-larut tanpa ada kepastian, yang ujungnya berpeluang terjadinya penyalahgunaan wewenang. 1.3.b. Prosedur Pengucapan Sumpah Pasal 7 ayat (1), Pejabat memanggil pemohon secara tertulis untuk mengucap sumpah atau menyatakan janji setia dalam waktu 3 bulan terhitung sejak tanggal pemberitahuan petikan Keputusan Presiden dikirim kepada pemohon. Bila pemohon memenuhi panggilan dalam waktu yang telah ditentukan, pemohon mengucap sumpah atau menyatakan janji setia di hadapan pejabat dan disaksikan oleh 2 orang saksi (Pasal 7 ayat (2)), bila pemohon tidak memenuhi panggilan dengan alasan yang sah, pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia dapat dilakukan di hadapan Pejabat dalam batas waktu yang ditentukan (Pasal 7 ayat (3)). Pelaksanaan pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia, dalam Pasal 7 ayat (4), dibuat berita acara pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia dalam rangkap 4. Bila pemohon tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara tertulis oleh Pejabat untuk mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia pada waktu yang telah ditentukan, maka Keputusan Presiden batal demi hukum, selanjutnya pejabat melaporkan Keputusan Presiden yang batal demi hukum tersebut kepada Menteri dengan melampirkan petikan Keputusan Presiden (Pasal 8). Bila pemohon dalam waktu 3 bulan tidak mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia sebagai akibat kelalaian Pejabat, pemohon dapat mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia di hadapan Pejabat lain yang ditunjuk oleh Menteri. Selanjutnya, Menteri dalam waktu 14 hari terhitung sejak tanggal menerima laporan mengenai kelalaian Pejabat menunjuk pejabat lain untuk mengambil sumpah atau pernyataan janji
9
setia pemohon, kemudian dalam waktu 14 hari sejak tanggal penunjukkannya memanggil pemohon untuk mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia (Pasal 9). Setelah pengucapan sumpah atau menyatakan janji setia, pemohon wajib mengembalikan dokumen atau surat-surat keimigrasian atas namanya ke kantor imigrasi yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal pemohon dalam waktu paling lambat 14 hari terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia. Anak-anak pemohon yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin ikut memperoleh status kewarganegaraan pemohon, dokumen atau surat-surat keimigrasian atas nama anak-anak pemohon wajib dikembalikan kepada kantor imigrasi yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal pemohon (Pasal 10). Selanjutnya, dalam Pasal 12 dinyatakan, bahwa Menteri mengumumkan nama orang yang telah memperoleh Kewarganegaraan RI dalam Berita Negara RI, setelah berita acara pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia diterima oleh Menteri. Tindakan ini untuk memenuhi asas publisitas agar masyarakat dapat mengetahuinya. 1.3.c. Permohonan Ditolak Bila permohonan ditolak, Presiden memberitahukan kepada Menteri disertai alasan dan diberitahukan secara tertulis oleh Menteri kepada pemohon dengan tembusan kepada Pejabat dalam waktu paling lambat 3 bulan terhitung sejak tanggal permohonan diterima oleh Menteri. Penolakan harus disertai alasan dan pembatasan waktu untuk pemberitahuan dimaksudkan sebagai perwujudan asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (Pasal 11). 2. Tata Cara Pemberian Kewarganegaraan Kepada Orang Asing yang Berjasa Kepada Negara Republik Indoensia atau dengan Alasan Kepentingan Negara Orang asing yang berjasa kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara dapat diberi Kewarganegaraan RI oleh Presiden setelah memperoleh pertimbangan DPR, kecuali dengan pemberian kewarganegaraan tersebut mengakibatkan yang bersangkutan berkewarganegaraan ganda (Pasal 20 UU No. 12 Tahun 2006). Apa yang diatur dalam Pasal 20 UU No. 12 Tahun 2006 ditindak lanjuti dalam Pasal 13 ayat (1) PP No. 2 Tahun 2007
yang mengatur bahwa
Presiden dengan
pertimbangan DPR, memberikan Kewarganegaraan RI kepada orang asing yang berjasa
10
kepada negara RI, kecuali dengan pemberian kewarganegaraan tersebut mengakibatkan yang bersangkutan berkewarganegaraan ganda. Ketentuan pasal tersebut menyiratkan bahwa pemberian status kewarganegaraan ”istimewa” ( karena pemberian Negara) tetap mensyaratkan asas anti bipatride (anti kewarganegaraan ganda), dan Negara tetap meminta persetujuan rakyat yang pada dasarnya pemilik kedaulatan ( dalam hal ini diwakili DPR). Peraturan Pemerintah tersebut membatasi kriteria orang asing yang dapat diberi kewarganegaraan istimewa yaitu: a. mereka yang berjasa kepada negara RI, karena prestasinya luar biasa di bidang kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, kebudayaan, lingkungan hidup, atau keolahragaan telah memberikan kemajuan dan keharuman nama bangsa Indonesia; (Pasal 13) b. orang asing karena alasan kepentingan negara, yang dinilai oleh negara telah dan dapat memberikan sumbangan luar biasa untuk kepentingan memantapkan kedaulatan negara dan meningkatkan kemajuan khususnya di bidang perekonomian Indoensia (Pasal 14) Usulan pemberian Kewarganegaraan RI menurut Pasal 15 PP No. 2 Tahun 2007, diajukan kepada Menteri oleh pimpinan Lembaga Negara, Lembaga Pemerintah, atau Lembaga Kemasyarakatan terkait, dengan tembusan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal orang asing yang diusulkan. Usulan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia diatas kertas bermeterai cukup yang dilampiri persyaratan-persyaratan tertentu. Setelah persyaratan dipenuhi dilanjutkan dengan pemeriksaan Substantif pengusulan oleh Menteri (Pasal 16 ayat (1)). Berdasarkan hasil pemeriksaan, Menteri meneruskan usul pemberian Kewarganegaraan RI disertai pertimbangan kepada Presiden. Selanjutnya Presiden menyampaikan usul kepada DPR untuk memperoleh pertimbangan (Pasal 17 ayat (1)). Setelah memperoleh pertimbangan DPR, Presiden menetapkan Keputusan Presiden mengenai pemberian Kewarganegaraan RI, yang petikannya disampaikan kepada Menteri untuk diteruskan kepada Orang Asing yang bersangkutan . 3. Pewarganegaraan Bagi Anak
11
Pasal 21 UU No. 12 Tahun 2006 nampaknya masih menganut asas mengekor bagi kewarganegaraan anak (yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin) kepada kewarganegaraan orang tuanya. Sehingga anak yang bertempat tinggal di wilayah negara RI, dari ayah atau ibu yang memperoleh kewarganegaraan RI dengan sendirinya berkewarganegaraan RI. Selain asas mengekor pewarganegaraan bagi anak juga menganut asas anti bipatride
(anti
kewarganegaraan
ganda)
sehingga
bagi
anak
yang
menjadi
berkewarganegaraan ganda harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya, ketika berusia 18 tahun atau sudah kawin sebagaimana dimaksud Pasal 6. Khusus bagi anak WNA yang diangkat oleh orang tua WNI, PP No.2 Tahun 2007 mensyaratkan orang tua angkat mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal pemohon yang diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia diatas kertas bermeterai cukup dan sekurang-kurangnya memuat: identitas calon orang tua angkat dan juga identitas anak angkat.
4. Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia Seseorang yang kehilangan kewarganegaraan RI dapat kewarganegaraannya melalui
memperoleh kembali
prosedur pewarganegaraan. Pasal 23 huruf a sampai
dengan huruf i UU No. 12 Tahun 2006 mengatur hal-hal yang menyebabkan hilangnya status kewarganegaraan Indonesia. Lebih lanjut PP No. 2 tahun 2007 memilah pelaksanaan perolehan kembali kewarganegaraan yang hilang menjadi 2 yaitu: a. Bagi warga negara yang kehilangan Kewarganegaraan RI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a sampai dengan huruf h UU No. 12 Tahun 2006, dapat memperoleh kembali kewarganegaraannya dengan mengajukan permohonan kepada Presiden
melalui
Menteri.
Sedangkan
prosedurnya
melalui
Permohonan
Pewarganegaraan biasa artinya sudah dianggap sebagai WNA yang ingin menjadi WNI. Jadi apakah penyebab hilangnya kewarganegaraan dalam Pasal 23 huruf a sampai huruf h ini bagi Negara RI dianggap ada kemauan yang disadari (tentunya dengan segala konsekuensinya), sehingga tidak diperlukan alasan tambahan ” sepanjang yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan”.
12
b. Bagi warga negara yang kehilangan Kewarganegaraan RI sebagaimana dimaksud Pasal 23 huruf i UU No. 12 Tahun 2006 (dengan catatan jika dengan kehilangan ini tidak
menjadi
tanpa
kewarganegaraan),
dapat
memperoleh
kembali
kewarganegaraannya dengan mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan RI yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal pemohon. Prosedur perolehan kembali Kewarganegaraan RI dalam kasus ini ada sedikit perbedaan dengan prosedur bagian a tersebut, antara lain: -
mencantumkan alasan kehilangan Kewarganegaraan RI;
-
foto copy paspor RI, atau surat lain yang membuktikan bahwa pemohon pernah menjadi WNI. Dari persyaratan ini nampak bahwa hilangnya status kewarganegaraan seseorang
lebih dikarenakan adanya kelalaian untuk melaporkan keberadaannya ke Perwakilan RI yang wilayah kerjanya meliputi negara tempat tinggalnya. Karena kelalaian tersebut jika berakibat seseorang menjadi tanpa kewarganegaraan tidak akan menyebabkan hilangnya status kewarganegaraan seseorang, hal ini selain negara harus konsisten dengan asas anti apatride juga asas perlindungan hukum maksimal dari negara kepada warganegaranya dimana saja ia berada. Sebenarnya sebelum diundangkannya PP No. 2 Tahun 2007, Menteri Hukum dan HAM mengeluarkan Peraturan Menteri sebagai beleidsregel (peraturan kebijaksanaan) untuk mengisi kekosongan hukum dalam pengaturan sebagaimana diatur dalam PP tersebut. Dengan diundangkannya PP No. 2 Tahun 2007 maka kekosongan hukum tidak lagi terjadi maka hal-hal yang terkait dengan tata cara memperoleh, kehilangan, pembatalan dan perolehan kembali kewarganegaraan dasar hukumnya adalah PP tersebut. C. KEBIJAKAN KEPENDUDUKAN Sejak diundangkannya UU No. 12 Tahun 2006 diikuti pula perubahan peraturan perundang-undangan yang terkait. Salah satunya UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (selanjutnya disebut UU No. 23 tahun 2006). Dengan diundangkannya UU No. 23 tahun 2006 ini, maka Buku Kesatu Bab Kedua Bagian Kedua dan Ketiga Burgerlijk Wetboek voor Indonesie Staatsblad 1847 ; Peraturan Pencatatan Sipil untuk Golongan Eropa, Golongan Cina, Golongan Indonesia, Golongan
13
Kristen Indonesia, UU No. 4 Tahun 1961 tentang Perubahan atau Penambahan Nama Keluarga, kesemuanya ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pencabutan peraturan-peraturan tersebut sudah sepantasnya karena UU No. 23 Tahun 2006 ini dipayungi oleh UU Kewarganegaraan. Sehingga ketika ada perubahan yang mendasar terhadap asas-asas yang terkandung dalam UU Kewarganegaraan maka UU No. 23 Tahun 2006 tidak mungkin mengabaikannya agar tidak terjadi konflik baik asas maupun normanya. Administrasi Kependudukan ini merupakan rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitan dokumen dan data kependudukan melalui Pendaftaran Penduduk; Pencatatan Sipil; pengelolaan informasi Administrasi Kependudukan serta pendaya gunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain. Mengingat pentingnya tugas dan kewenangan yang terkait dengan administrasi kependudukan ini, maka Pemerintah Kabupaten / Kota berkewajiban dan bertanggung jawab untuk menyelenggarakan urusan Administrasi Kependudukan yang dilakukan oleh Bupati / Wali Kota. Pada tingkat pelaksanaan di daerah contohnya Kota Surabaya, yang pada 10 Januari 2007 berhasil mengundangkan Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil (selanjutnya disebut Perda No. 2 Tahun 2007). Perda No. 2 Tahun 2007 ini menggantikan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil. Satu hal yang menarik adalah rumusan Pasal 1 angka 11 Perda Kota Surabaya No. 2 Tahun 2007 yang merumuskan pengertian Penduduk adalah ”setiap WNI dan Orang Asing yang masuk secara sah serta bertempat tinggal di wilayah Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Kalimat ”masuk secara sah” tersebut tidak tercantum baik dalam UU No. 23 Tahun 2006 maupun UUD 1945 sebagai dasar semua peraturan perundang-undangan di Indonesia yang sama-sama merumuskan pengertian penduduk ialah ”warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia”. Dengan demikian apakah UUD 1945 dan UU No. 23 Tahun 2006 mentolerir orang asing yang masuk secara tidak sah-pun dapat menjadi penduduk? Nampaknya persyaratan ”masuk secara sah” dalam Perda Kota Surabaya tersebut sebenarnya tidak
14
diperlukan, karena seseorang yang memasuki wilayah negara lain jika tidak secara sah otomatis termasuk illegal sehingga layak untuk dideportasi. Status sebagai penduduk menurut Perda Kota Surabaya memiliki hak dan kewajiban, baik bagi mereka yang berstatus Penduduk Tinggal Tetap, Penduduk Tinggal Sementara maupun Penduduk Rentan Administrasi Kependudukan (penduduk yang mengalami hambatan memperoleh dokumen penduduk yang disebabkan oleh bencana alam, kerusuhan sosial dan penduduk terbelakang, yang mendapat rekomendasi dari pejabat yang berwenang). Adapun hak penduduk tersebut adalah mendapatkan pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (Pasal 2). Sedangkan kewajiban sebagai penduduk tersebut adalah mendaftarkan diri untuk memperoleh dokumen penduduk (Pasal 3 ayat 1). Kartu Tanda Penduduk (KTP) wajib dimiliki setiap penduduk yang berusia 17 tahun atau sudah/pernah kawin. KTP berlaku secara nasional dan digunakan sebagai tanda pengenal dalam pelayanan publik. Sedangkan penduduk yang dapat diberi KTP adalah setiap orang baik WNI atau Orang Asing yang bertempat tinggal tetap di atas tanah dan bangunan atau persil secara sah (Pasal 8). Persyaratan untuk memperoleh KTP dapat dikatakan relatif tidak mudah untuk dapat dipenuhi oleh setiap orang yang memerlukan. Persyaratan yang kelihatannya cukup sederhana hanya ”Surat Pengantar Lurah” ( yang untuk memperolehnya harus ada pengantar dari RT dan RW ) akan dengan mudah dipenuhi oleh mereka yang kebetulan dalam status penduduk ”normal”. Namun bagaimana dengan mereka yang dalam kondisi di luar kenormalan tersebut misalnya mereka WNI gelandangan dan miskin atau mereka keturunan Orang Asing yang mewarisi status stateless dan menjadi pemukim turun temurun? Bagaimana mereka akan memperoleh surat pengantar dari Lurah kalau mereka tidak terdaftar sebagai warga dari kampung tertentu yang akan mengantarnya dengan surat RT dan RW? Dari persoalan ini nampak ada pengaturan untuk ketertiban data penduduk justru menuai keruwetan yang perlu dipertimbangkan langkah yang benarbenar bijak agar dapat mencapai sasaran. Masih banyaknya penduduk yang belum punya KTP bukan hanya karena kesalahannya tapi juga karena sistem hukum tidak memberinya peluang untuk mendapatkannya.
15
Karena pentingnya KTP, Surat Keterangan Tempat Tinggal (SKTT) untuk orang asing tinggal terbatas, Surat Keterangan Tinggal Sementara
(SKTS) dan Surat
Keterangan Pengganti Tanda Identitas (SKPTI) wajib selalu dibawa oleh pemegang yang bersangkutan setiap saat meninggalkan rumah (Pasal 4). Bila tidak mentaati Pasal 4 ini dianggap sebuah pelanggaran (Pasal 55) yang berakibat kepada yang bersangkutan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00. Sanksi atas kelalaian untuk membawa kartu tanda pengenal yang diatur dalam Pasal 55 Perda tersebut lebih berat dari pada UU No. 23 Tahun 2006. Menurut Pasal 91 UU No. 23 Tahun 2006 bagi penduduk yang bepergian tidak membawa KTP dikenakan sanksi administratif paling banyak Rp. 50.000,00. Sedangkan bagi Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas yang bepergian tidak membawa Surat Keterangan Tempat Tinggal (SKTT) dikenai denda administratif paling banyak Rp. 100.000,00. Tampaknya Perda Kota Surabaya mengacu ketentuan Pasal 143 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur bahwa Peraturan Daerah dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00. Namun jika melihat bahwa untuk kasus tidak membawa kartu tanda pengenal ( KTP maupun SKTT) ketika bepergian telah diatur dalam Perda Kota Surabaya yang mengacu kepada UU no. 23 Tahun 2006 yang lebih khusus mengatur daripada UU No. 32 Tahun 2004. Oleh karena itu penetapan sanksi dalam Perda Kota Surabaya ini perlu ditata ulang daripada menunggu munculnya gugatan hak uji materiil dulu baru ada revisi.
D. PROBLEM WARGA KETURUNAN CINA YANG STATELESS Warga yang bermukim di Indonesia pada kenyataannya banyak yang berstatus stateless terutama keturunan cina, salah satu penyebabnya adalah akibat penyelesaian status dwi kewarganegaraan keturunan cina di Indonesia sebelum tahun 1960 yang belum tuntas. Pada awal lahirnya UU No. 12 Tahun 2006 harapan untuk menuntaskan permasalahan stateless ini seakan nampak dapat segera teratasi mengacu pada ketentuan Pasal 4 huruf k yang menyatakan bahwa WNI adalah ” anak yang lahir di wilayah
16
negara RI bila ayah dan ibunya tidak berkewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya”. Pada awal sosialisasi UU Kewarganegaraan, Hamid Awaludin sebagai Menteri Hukum dan HAM pernah melakukan koordinasi dengan Departemen Dalam Negeri melalui Dinas Kependudukan di seluruh Indonesia dengan batas Mei 2007 untuk mendata penduduk Indonesia yang stateless untuk kemudian diberikan status kependudukan secara masal agar dapat mengurus kewarganegaraannya. Namun upaya tersebut belum terlaksana, keburu ada pergantian pejabat Menteri Hukum dan HAM dari Hamid Awaludin kepada Andi Mattalatta. Terhentinya program ini tidak jelas apakah Departemen Dalam Negeri yang tidak melaksanakannya atau pihak Departemen Hukum Dan HAM yang tidak meneruskan program tersebut karena tidak adanya perintah dari Menteri Hukum dan HAM yang baru. Bahkan kemudian permohonan mereka yang dalam status stateless untuk menjadi WNI harus memenuhi syarat yang tersebut dalam Pasal 2 ayat (2) PP No. 2 Tahun 2007 tentang syarat naturalisasi atau pewarganegaraan. Informasi yang diperoleh dalam penelitian menunjukkan bahwa tidak ada kewarganegaraan bagi orang yang tidak berkewarganegaraan, artinya orang yang ingin mengajukan permohonan menjadi WNI haruslah mempunyai kewarganegaraan asing dari negara manapun, karena UU No. 12 Tahun 2006 tidak berlaku surut. Dengan demikian yang dicegah status stateless adalah anak yang lahir dari orang tua staeless dalam pengertian kelahiran anak tersebut setelah berlakunya UU No. 12 Tahun 2006, bukan bagi orang tuanya. Dilihat dari asas hukum, UU No. 12 Tahun 2006 tidak berlaku surut dapat dibenarkan, namun membiarkan pemukim stateless tanpa kejelasan untuk dapat memperoleh status kewarganegaraan juga kurang bijak. Kalau kebijakan pemerintah tetap teguh mempertahankan penyelesaian pemberian status kewarganegaraan hanya bagi mereka yang mempunyai status kewarganegaraan asing, maka perlu ada pembicaraan kembali tentunya dengan pemerintah negara asing yang warga keturunannya menjadi pemukim dengan status stateless di Indonesia atau perlu itikad baik pemerintah untuk membuat kebijakan yang bertujuan menuntaskan persoalan stateless semata-mata karena rasa kemanusiaan dan penghormatan, pengakuan juga perlindungan hak asasi manusia.
17
Ditengarai masih ada berkas stateless yang ditolak setelah diajukan melalui Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM di suatu daerah tertentu untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia, adalah satu contoh
perolehan status
kewarganegaraan bagi pemukim yang stateless bukan hal mudah. Sebagai solusi, Departemen Hukum dan HAM berharap pada Pejabat Administrasi dan Kependudukan segera memberikan kejelasan status kependudukan bagi pemukim stateless untuk selanjutnya dapat digunakan mengurus permohonan naturalisasi. Persoalannya jika kelengkapan persyaratan sudah terpenuhi namun sebagai stateless tentunya tidak punya bukti kewarganegaraan asing apakah dapat diproses pewarganegaraannya? Perlu kiranya segera dibuat peraturan pelaksanaan yang khusus menjadi acuan pemerintah untuk menyelesaikan status kewarganegaraan bagi para pemukim stateless ini. Belum adanya peraturan pelaksanaan akan menimbulkan tidak adanya kepastian hukum bagi khususnya pemukim keturunan cina yang stateless sebagai akibat kebijakan politik tahun 1950an yang kini sebagian besar tinggal keturunannya.
PENUTUP Kesimpulan UU No. 12 tahun 2006 kenyataannya masih memiliki kelemahan dalam beberapa pasalnya, sehingga dalam prakteknya menjadi mandul ketika harus menyelesaikan berbagai persoalan, misalnya: hak ikut serta dalam pemilihan umum bagi anak berkewarganegaraan ganda terbatas maupun persoalan stateless bagi pemukim yang lahir di Indonesia sebelum diundangkannya UU Kewarganegaraan tersebut. Akibat lebih lanjut persyaratan yang terkait dengan pengurusan dokumen keimigrasian, pewarganegaraan dan kependudukan di Jawa Timur belum ada perubahan yang fundamental kecuali tidak lagi mengharuskan untuk mencantumkan SBKRI. Peraturan yang ada masih mengedepankan mata rantai persyaratan yang panjang dan rumit (meskipun kelihatan sederhana, contoh: KTP menjadi syarat fundamental), juga lebih mengedepankan semangat untuk menerapkan sanksi, meskipun menjadi tidak sinkron dengan peraturan yang lebih tinggi. Asas hukum tidak berlaku surut menjadi tameng untuk tidak dengan segera menuntaskan problem pemukim yang stateless.
18
DAFTAR PUSTAKA Hadjon, Philipus M., “Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia”, Bina Ilmu, 1987. Lubis, Solly, “Azas-azas Hukum Tata Negara” Bandung, Alumni, 1982. Marzuki, Peter Mahmud, “Penelitian Hukum”, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005. Rosyada, Dede, et.al, “Demokrasi, Hak Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani” Jakarta, Prenada Media, 2003. Soehino, “Ilmu Negara”, Yogyakarta, Liberty, 1998.
19