Mandala of Health. Volume 4, Nomor 2, Mei 2010
Perdini, Simetidin dan kadar SGPT-SGOT
PENGARUH PEMBERIAN SIMETIDIN TERHADAP KADAR SGOT DAN SGPT TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIBERI ANTI TUBERKULOSIS RIFAMPISIN DAN ISONIAZID Eska Perdini1, Wahyu Siswandari, Fajar Wahyu Pribadi1 1
Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Tuberkulosis (TB) has long been known as an infection diseases, and has been reported to increased. The INH dan Rifampisin are two different drugs that are known tobe the most active drugs, therefore both drugs are being used as never ending drugs in curing the TB. Utilization of both INH and rifampisin in a combination to cure the TB patients, however could increase the possibility of hepar lession risk. This research was aimed to firstly, knowing whether cimetidine could prevent increase of SGOT and SGPT levels of rats (Rattus norvegicus) given by both drugs INH and rifampisin, and secondly what was the minimum dose of cimetidine that able to prevent the increase of SGOT and SGPT levels. A Completely Random Design (CRD) was applied in this research, 24 male rats (Rattus norvegicus) of the wistar variety were divided into 4 different groups. The first group, was only given the INH and rifampisin orally at the doses of 50 mg/Kg body weight/day, the next groups groups II, III, and IV were also given those two drugs at the same dose, but the cimetidine was also given at 112,5 , 225, and 450 mg/Kg body weight/day for the 28 days. Consequently the SGOT and SGPT levels were measured twice pre and post treatments. The data obtained were analysied by the paired t test, a one way ANOVA, Post Hoc Tukey’s HSD, Kruskal-Wallis and Mann-Whitney test. This research result showed that the cimetidine that given following the INH and rifampisin could prevent the increase of SGOT and SGPT levels. The highest dose of 450 mg/Kg body weight/day that given orally showed highly significant different from other (p<0,00) in preventing the SGOT and SGPT of treated animals. Key words: isoniazid, rifampisin, cimetidine, SGOT, SGPT
juga telah mempermudah proses penularan
PENDAHULUAN Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan. Salah satu penyakit infeksi
yang
masih
menjadi
masalah
TB dan berperan dalam peningkatan jumlah kasus TB1. Tuberkulosis
merupakan
penyakit
kesehatan baik di Indonesia maupun di dunia
infeksi pembunuh nomor satu di dunia. WHO
adalah
Tuberkulosis
(World Health Organization) memperkirakan
adalah
penyakit
disebabkan
(TB).
infeksi
oleh
kuman
Tuberkulosis kronik
yang
Mycobacterium
tuberculosis1. Insidensi
sekitar 2 miliar orang menderita TB, dan 3 juta orang di
dunia meninggal
setiap
tahunnya karena TB3. Di Indonesia, TB penyakit
TB
saat
ini
merupakan
masalah
utama
kesehatan
meningkat di negara tertentu akibat dari
masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia
tingkat infeksi yang tinggi, penurunan daya
merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah
tahan tubuh karena kemiskinan atau penyakit
India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar
AIDS
Deficiency
10% dari total jumlah pasien TB di dunia.
Syndrome), dan peningkatan insidensi kasus
Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun
TB
(Acquired resisten2.
Immune
Lingkungan
hidup
dan
ada 539.000 kasus baru dan kematian
pemukiman yang padat di wilayah perkotaan
97
Mandala of Health. Volume 4, Nomor 2, Mei 2010
Perdini, Simetidin dan kadar SGPT-SGOT
101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA 4
dan
rifampisin
dibandingkan
dengan
8
positif sekitar 110 per 100.000 penduduk .
penggunaan isoniazid saja .
Jumlah kasus TB meningkat dan
Efek samping hepatotoksik pengobatan
banyak yang tidak berhasil disembuhkan,
TB dengan OAT dapat dihindari dengan
terutama di negara yang dikelompokkan
pemberian hepatoprotektor. Hepatoprotektor
dalam 22 negara dengan masalah TB besar
adalah zat yang dapat melindungi hati dari
(high burden countries). Menyikapi hal
kerusakan akibat agen infeksius maupun zat
tersebut,
WHO
toksik. Zat yang bersifat hepatoprotektor
mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia
tersebut dapat berasal dari bahan kimia
(global emergency). Awal tahun 1990-an
maupun alamiah. Beberapa hepatoprotektor
WHO dan IUATLD (International Union
yang telah terbukti secara eksperimental
Against Tuberculosis and Lung Disease)
antara lain adalah mengkudu (Morinda
telah
citrifolia)9, tanaman Solanum trilobatum10,
pada
tahun
1993,
mengembangkan
strategi
penanggulangan TB yang dikenal sebagai
dan larva lalat rumah (Musca domestica)11.
strategi DOTS (Directly Observed Treatment
Saat ini sedang diteliti juga beberapa
Short-course) dan telah terbukti sebagai
obat
strategi
hepatoprotektor, walaupun
penanggulangan
yang
secara 4
ekonomis paling efektif (cost-efective) . Pengobatan menyembuhkan kematian,
TB
bertujuan
penyakit, mencegah
yang
diduga
mempunyai
sifat
obat tersebut
penggunaanya untuk penyakit lain, misalnya untuk
simetidin. Simetidin merupakan obat yang
mencegah
tergolong antagonis reseptor H2. Efek penting
kekambuhan,
dari
antagonis
reseptor
H2
adalah
lambung12.
memutuskan rantai penularan dan mencegah
menurunkan
terjadinya resistensi kuman terhadap Obat
Simetidin juga dapat menghambat sistem
4
sekresi
asam
Anti Tuberkulosis (OAT) . Obat lini pertama
metabolisme obat oksidatif sitokrom P-450,
yang digunakan untuk mengobati TB adalah
dan hal inilah yang memungkinkan simetidin
isoniazid,
dapat berefek hepatoprotektor8.
pirazinamid streptomisin
rifampisin,
etambutol,
untuk terapi
awal, dengan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan efek simetidin dalam
Isoniazid (INH) dan rifampisin merupakan
mencegah peningkatan kadar SGOT dan
dua
SGPT tikus putih yang diberi obat anti
yang
terapi
5
alternatif .
obat
sebagai
dan
paling
aktif
sehingga 6
digunakan sepanjang waktu pengobatan .
tuberkulosis rifampisin dan isoniazid. Hasil
Penggunaan
dan
penelitian ini diharapkan dapat menjadi
dapat
bahan masukan dan pertimbangan bagi
meningkatkan resiko kejadian kerusakan
klinisi dalam terapi TB untuk mengurangi
rifampisin
kombinasi pada
isoniazid
pengobatan
TB
7
hepar . Adapun insidensi hepatoksisitas lebih
efek samping obat anti tuberkulosis (OAT)
tinggi pada penggunaan kombinasi isoniazid
98
Mandala of Health. Volume 4, Nomor 2, Mei 2010
Perdini, Simetidin dan kadar SGPT-SGOT
dan diharapkan dapat menjadi dasar untuk
perlakuan IV, diberi rifampisin dan isoniazid
penelitian lanjutan yang lebih mendalam.
masing-masing
50
mg/KgBB/hari,
serta
simetidin dosis 450 mg/KgBB/hari melalui sonde lambung selama 28 hari.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan 24 ekor
Variabel bebas dalam penelitian adalah
tikus putih (Rattus norvegicus) jantan strain
dosis larutan simetidin, rifampisin, dan
Wistar.
isoniazid, sedangkan variabel terikat pada
Tikus
yang
digunakan
harus
memenuhi kriteria inklusi yaitu sehat, berusia
penelitian adalah kadar SGOT dan SGPT.
2-3 bulan dengan berat badan dalam kisaran
Analisis univariat dilakukan terhadap
yang sama yaitu 150-200 gram, dan tidak
setiap variabel dari hasil penelitian yaitu
sedang mengidap suatu penyakit. Kriteria
kadar SGOT dan SGPT. Analisis bivariat
eksklusinya yaitu tikus putih yang mati
dilakukan dengan uji t berpasangan untuk
selama penelitian berlangsung.
data kadar SGOT dan SGPT pre test dan post
Metode penelitian yang digunakan
test pada kelompok I, kelompok II, kelompok
adalah metode eksperimental terhadap hewan
III, dan kelompok IV. Analisis multivariat
coba tikus putih (Rattus norvegicus) dengan
menggunakan
Rancangan Acak
atau
dilanjutkan post hoc dengan Tukey’s HSD
(CRD).
atau Kruskall-Wallis yang dilanjutkan dengan
Completely
Lengkap (RAL)
Randomized
Design
uji
Mann-Whitney
One
Penelitian ini dilakukan selama 28 hari,
uji
dengan menggunakan pre test and post test
terdistribusi secara normal).
way
(jika
ANOVA
data
tidak
with control group design. Penelitian ini menggunakan 4 macam perlakuan terhadap
HASIL DAN PEMBAHASAN
perlakuan
Perbandingan rerata kadar SGPT antara
tersebut adalah sebagai berikut : Kelompok
pre test dan post test dari tiap kelompok
perlakuan
perlakuan berserta hasil uji statistik tampak
hewan
coba.
I
Masing-masing
(kontrol
negatif)
diberi
kombinasi rifampisin dosis 50 mg/KgBB/hari
pada Tabel 1 dan Gambar 1.
dan isoniazid dosis 50 mg/KgBB/hari melalui sonde lambung selama 28 hari; Kelompok perlakuan II, diberi rifampisin dan isoniazid masing-masing
50
mg/KgBB/hari,
serta
Tabel 1. Rerata SGPT hewan coba Kelompok Rerata SGPT p Pre test Post test Perlakuan
simetidin dosis 112,5 mg/KgBB/hari melalui
Kelompok I
47
64,67
p=0,005*
sonde lambung selama 28 hari; Kelompok
Kelompok II
60,67
75,167
p=0,002*
perlakuan III, diberi rifampisin dan isoniazid
Kelompok III
52,5
64,33
p=0,006*
masing-masing
Kelompok IV
47,5
26,67
p=0,015*
50
mg/KgBB/hari,
serta
simetidin dosis 225 mg/KgBB/hari melalui
* hasil p pada uji t berpasangan
sonde lambung selama 28 hari; Kelompok
99
Mandala of Health. Volume 4, Nomor 2, Mei 2010
Perdini, Simetidin dan kadar SGPT-SGOT
80 70 60 50
Kadar SGPT (U/l) Pre test
40
Kadar SGPT (U/l) Post test
30 20 10 0 I
II
III
IV
Kelompok Perlakuan
Gambar 1. Rerata kadar SGPT pre dan post test pada masing-masing kelompok.
Dari data di atas dapat disimpulkan
bermakna untuk mencegah kerusakan hepar
bahwa bahwa INH dan rifampisin dengan
tikus putih (Rattus norvegicus) yang diberi
dosis masing-masing 50 mg/kgBB/hari dapat
INH
menyebabkan kerusakan hepar tikus putih
ditinjau dari kadar SGPT. Uji normalitas data
(Rattus norvegicus) ditinjau dari peningkatan
untuk selisih kadar SGPT pre test dan post
kadar SGPT. Pemberian simetidin dengan
test dengan uji Shapiro-Wilk menunjukkan
berbagai dosis menunjukkan hasil yang
data berdistribusi normal. Uji homogenitas
bervariasi dalam mencegah kerusakan hepar
varians menunjukkan nilai p = 0,039 (p<
tikus putih (Rattus norvegicus) yang diberi
0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa
INH dan rifampisin 50 mg/kgBB/hari. Dosis
paling tidak terdapat dua kelompok yang
simetidin 112,5 mg/KgBB/hari dan 225
mempunyai varians data yang berbeda secara
mg/KgBB/hari dapat mencegah kerusakan
bermakna. Pada hasil uji Kruskall-Wallis
hepar
diperoleh nilai p= 0,003 (p<0,05), hal ini
dilihat
dari
peningkatan
kadar
dibandingkan
dengan
lebih SGPT
rendahnya post
kelompok
test
kontrol
negatif (Kelompok I). Dosis simetidin 450
dan
rifampisin
menunjukkan
50
setidaknya
mg/kgBB/hari
terdapat
dua
kelompok yang berbeda bermakna. Analisis data dilanjutkan dengan uji
mg/KgBB/hari dapat mencegah kerusakan
Mann-Whitney
hepar ditinjau dari penurunan kadar SGPT
kelompok manakah perbedaan bermakna
post test.
tersebut ada. Hasil menunjukkan bahwa dosis
Analisis
data
dilanjutkan
mengetahui dosis simetidin yang paling
untuk
untuk
mengetahui
pada
simetidin 450 mg/kgBB/hari dapat mencegah kerusakan hepar pada tikus putih (Rattus
100
Mandala of Health. Volume 4, Nomor 2, Mei 2010
Perdini, Simetidin dan kadar SGPT-SGOT
norvegicus) yang diberi INH dan rifampisin
kerusakan
50 mg/kgBB/hari ditinjau dari kadar SGPT.
norvegicus) yang diberi INH dan rifampisin
Perbandingan
rerata
kadar
SGOT
50
hepar
tikus
mg/kgBB/hari,
putih
ditandai
(Rattus
dengan
antara pre test dan post test dari tiap
peningkatan SGOT post test yang lebih besar
kelompok
dibandingkan kelompok I (kontrol negatif).
perlakuan
berserta
hasil
uji
statistik tampak pada Tabel dan Gambar 2.
Pemberian simetidin dengan dosis 450 mg/KgBB/hari dapat mencegah kerusakan
Tabel 2. Rerata SGOT hewan coba Kelompok Rerata SGOT p Pre test Post test Perlakuan
yang
Kelompok I
74,67
93,83
p=0,005*
mg/kgBB/hari, ditandai dengan penurunan
Kelompok II
82,167
104,167
p=0,029*
SGOT post tets secara bermakna.
Kelompok III
65,33
62,67
p=0,660
Kelompok IV
73,5
46,83
p=0,000*
hepar pada tikus putih (Rattus novergicus) diberi
INH
dan
rifampisin
50
Analisis data dilanjutkan dengan OneWay ANOVA terhadap selisih kadar SGOT pre test dan post test untuk mengetahui dosis
* hasil p pada uji t berpasangan
120 100 80
Kadar SGOT (U/l) Pre test
60
Kadar SGOT (U/l) Post test
40 20 0 I
II
III
IV
Kelompok Perlakuan
Gambar 2. Rerata kadar SGOT pre dan post test pada masing-masing kelompok.
Penelitian ini menunjukkan bahwa INH
simetidin yang paling bermakna dalam
dan rifampisin dengan dosis masing-masing
mencegah
50
(Rattus novergicus) yang diberi INH dan
mg/kgBB/hari
dapat
menyebabkan
kerusakan
hepar tikus putih
(Rattus
rifampisin 50 mg/kgBB/hari ditinjau dari
norvegicus) ditinjau dari peningkatan kadar
kadar SGOT. Uji normalitas data untuk
SGOT post test. Pemberian simetidin dosis
selisih kadar SGPT pre test dan post test
112,5 mg/KgBB/hari belum dapat mencegah
dengan uji Shapiro-Wilk menunjukkan data
kerusakan
hepar
tikus
putih
101
Mandala of Health. Volume 4, Nomor 2, Mei 2010
Perdini, Simetidin dan kadar SGPT-SGOT
berdistribusi normal dan data memiliki
yang diberikan semakin besar penghambatan
varians yang sama (p=0,066). Hasil uji One-
yang terjadi. Hal ini terbukti dengan semakin
Way ANOVA menunjukkan bahwa p=0,000
kecilnya peningkatan kadar SGPT pada
dengan
terdapat
kelompok yang diberi simetidine dosis 225
perbedaan selisih kadar SGOT pre test dan
mg/KgBB/hari, bahkan pada dosis 450
post test yang bermakna pada dua kelompok.
mg/KgBB/hari
demikian
setidaknya
Analisis dilanjutkan dengan uji Post Hoc
dengan
Tukey’s
HSD.
Hasil
terjadi
penurunan
kadar
SGPT. Adanya penurunan kadar SGPT ini dikarenakan
selain
penghambatan
menunjukkan bahwa dosis simetidin 450
simetidin
mg/kgBB/hari dapat mencegah kerusakan
kemungkinan terjadi perbaikan pada sel-sel
hepar pada tikus putih (Rattus novergicus)
hepar yang mengalami kerusakan.
yang
diberi
INH
dan
rifampisin
50
mg/kgBB/hari ditinjau dari kadar SGOT.
terhadap
efek
P-450,
Kelompok kontrol negatif (kelompok I) menunjukkan
Penelitian ini menunjukkan pemberian
sitokrom
peningkatan
kadar
SGPT
paling tinggi dibandingkan kelompok lain.
simetidin dengan dosis 112,5 mg/KgBB/hari
Hasil
menyebabkan peningkatan kadar SGPT yang
sebelumnya yang dilakukan Rana et al.15
lebih
dengan
yang menyatakan bahwa kombinasi INH dan
peningkatan kadar SGPT pada kelompok
rifampisin dengan dosis tersebut serta dengan
kontrol negatif. Hasil ini sesuai dengan
lama pemberian selama 28 hari, dapat
penelitian sebelumnya yang dilakukan Kalra
menimbulkan efek hepatotoksik pada tikus
rendah
dibandingkan
8
ini
sesuai
dengan
penelitian
et al. yang menyatakan bahwa simetidin
putih strain Wistar. Pemberian INH dan
dapat mencegah kerusakan hepar yang
rifampisin dapat meningkatkan kadar SGOT
disebabkan
Efek
dan SGPT mencapai 3-4 kali lipat8. INH
pencegahan tersebut ditinjau dari kadar
merupakan obat yang tergolong metabolite
SGPT dan SGOT. Efek pencegahan dari
related
simetidin ini terjadi karena simetidin dapat
menimbulkan gangguan hepar melalui bahan
menghambat sitokrom P-4508. Sitokrom P-
metabolitnya. Zat yang bersifat hepatotoksik
450
proses
dari hasil metabolisme INH adalah acetyl
perubahan INH menjadi zat hepatotoksik,
radical yang merupakan acylating agent14.
yaitu perubahan acetylhidrazyne menjadi
Pemberian kombinasi INH dan rifampisin
INH
merupakan
dan
rifampisin.
katalis
pada
13
acetyl radical . Acetyl radical ini merupakan 14
dapat
hepatotoxicity,
meningkatkan
yang
toksisitas
dapat
terhadap
acylating agent yang bersifat hepatotoksik .
hepar. Rifampisin meningkatkan toksisitas
Adanya penghambatan pada sitokrom P-450
INH melalui induksi sitokrom P-450 karena
ini menyebabkan terbentuknya acetyl radical
acetylhidrazyne dari INH
yang bersifat hepatotoksik juga menjadi
acetyl radical yang dikatalisis oleh sitokrom
terhambat. Semakin banyak dosis simetidin
P-450 menjadi zat hepatotoksik13.
diubah menjadi
102
Mandala of Health. Volume 4, Nomor 2, Mei 2010
Hasil
penelitian
menunjukkan
dapat mencegah kerusakan hepar yang
bahwa simetidin dosis 112,5 mg/KgBB/hari
disebabkan INH dan rifampisin. Semakin
sudah dapat mencegah peningkatan yang
tinggi
bermakna
dosis
simetidin
yang
diberikan
SGPT,
namun
secara
semakin besar efek yang ditimbulkan, hal ini
simetidin
yang
paling
ditandai dengan penurunan kadar SGOT
bermakna untuk mencegah kerusakan hepar
yang bermakna pada kelompok yang diberi
akibat pemberian INH dan rifampisin 50
simetidin dosis 450 mg/KgBB/hari8.
statistik
kadar
ini
Perdini, Simetidin dan kadar SGPT-SGOT
dosis
mg/KgBB/hari adalah 450 mg/KgBB/hari.
Kelompok kontrol negatif yang hanya
Hal ini dapat dilihat dengan terjadinya
diberi INH dan rifampisin 50 mg/KgBB/hari
penurunan pada kadar SGPT.
menunjukkan peningkatan kadar SGOT,
Penelitian ini menunjukkan pemberian
sebagaimana halnya yang terjadi pada kadar
simetidin dengan dosis 112,5 mg/KgBB/hari
SGPT. Hasil ini sesuai dengan penelitian
menyebabkan peningkatan kadar SGOT yang
sebelumnya yang telah dilakukan Rana et
paling
kelompok
al.15 dan penelitian Kalra et al.8 INH
lainnya, bahkan kelompok kontrol negatif.
merupakan obat yang bersifat hepatotoksik
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
dikarenakan metabolitnya. Efek hepatotoksik
pemberian simetidin dosis 50 mg/KgBB/hari
dari INH ini ditingkatkan oleh rifampisin
menimbulkan peningkatan kadar SGOT yang
yang merupakan induksi sitokrom P-45013.
tinggi
dibandingkan
lebih rendah dibandingkan kelompok yang hanya diberi INH dan
Rifampisin 50 8
Hasil
penelitian
ini
menunjukkan
bahwa simetidin dosis 225 mg/KgBB/hari
mg/KgBB/hari (kontrol negatif) . Hasil yang
sudah dapat menurunkan kadar SGOT,
berbeda ini dapat disebabkan karena SGOT
namun secara statistik dosis simetidin yang
merupakan enzim yang banyak terdapat di sel
paling bermakna untuk mencegah kerusakan
hati dan miokard serta dalam jumlah kecil di
hepar akibat pemberian INH dan rifampisin
muskuloskeletal, ginjal, pankreas, otak dan
50 mg/KgBB/hari adalah 450 mg/KgBB/hari.
16,17
eritrosit
. Terdapatnya organ-organ lain
yang mengandung enzim ini menyebabkan
Hal ini dapat dilihat dengan terjadinya penurunan bermakna pada kadar SGOT.
SGOT tidak spesifik untuk mendeteksi adanya kerusakan hepar. Berbeda halnya
KESIMPULAN
dengan SGPT yang merupakan penanda yang
Pemberian simetidin dapat mencegah
lebih spesifik untuk mendeteksi adanya
peningkatan kadar SGOT dan SGPT tikus
kerusakan hepar
18, 19
putih (Rattus norvegicus) yang diberi INH
.
Hasil pemeriksaan kadar SGOT pada
dan
rifampisin.
Dosis
mg/KgBB/hari
mg/KgBB/hari
mencegah peningkatan kadar SGOT dan
450
mg/KgBB/hari
bermakna
450
kelompok yang diberi simetidin dosis 225 dan
paling
simetidin
dalam
menunjukkan adanya penurunan. Simetidin
103
Mandala of Health. Volume 4, Nomor 2, Mei 2010
Perdini, Simetidin dan kadar SGPT-SGOT
SGPT tikus putih (Rattus norvegicus) yang diberi INH dan rifampisin.
13.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Sudoyo, Aru W., Bambang S, Idrus A, Marcellus S, Siti S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid I. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 2. Dahlan, Zul. 1997. Diagnosis dan Penatalaksanan Tuberkulosis. Cermin Dunia Kedokteran. No. 115. Hal 8. 3. Herchline, Thomas and Judith KA. 2007. Tuberculosis : Article. Emedicine. Section 2. 4. Depkes. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Edisi 2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. 5. Katzung, Bertram G. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VIII. Buku 3. Salemba Medika, Jakarta. Hal 93-98. 6. Chambers. 2001. Basic and Clinical Pharmacology. 8th ed. Lange Medical BooksMcGraw-Hill, New York. pp 803-13 7. Palmer, Melissa. 2004. Medications and The Liver/Hepatitis : Article. Dr. Melissa Palmer's Guide of Hepatitis and Liver Disease. 8. Kalra, Bhupinder S, Sarita A, Nita K and Usha G. 2007. Effect of Cimetidine on Hepatotoxicity Induced by IsoniazidRifampicin Combination in Rabbits: Departements of Pharmacology, Biochemistry and Pathology, Maulana Azad Medical College New Delhi. 9. Sastrowardoyo, W dan SA Sudjarwo. 2004. Potensi Ekstrak Mengkudu (morinda citrifolia) Sebagai Hepatoprotektor pada Mencit yang Diberi Parasetamol. Jurnal Penelitian Medika Eksakta. Vol 5 No 2, 18290. 10. Shahjahan, M, KE Sabitha, M Jainu, CS Devi, Syahmala. 2004. Effect of Solanum trilobatum Againts Carbon Tetrachloride Induced Hepatic Damage in Albino Rats. Indian Journal of Medical Research. 11. Wang, FR, H Ai, XM Chen, CL Lei. 2007. Hepatoprotective Effetc of a ProteinEnriched Fraction from The Maggots (Musa domestica) Againts CCl4-Induced Hepatic Damage in Rats. Biotechnol Lett, 29 : 853-8. 12. Ganiswarna, S, Rianto S, Frans DS, Purwantyastuti, dan Nafrialdi. 1995. Farmakologi dan Terapi, Edisi 4. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
14.
15.
16.
17. 18.
19.
Universitas Indonesia, Jakarta. 256-257; 599; 601 hal. Chen, J dan K Raymond. 2006. Roles of Rifampicin in Drug-Drug Interaction : Underlying Molecular Mechanism Involving Nuclear Pregnane X Receptor. Annals of Clinical Microbiology and Antimicrobials. Vol 5. pp 3 Kasilo, OJ, and CFB Nhachi, M Dahlet, F Flesch, A Jaeger. 1992. Isoniazid : article. International Programme on Chemical Safety Poisons Information Monograph 288 Pharmaceutical Rana, S, P Ravinder, V Kim, S Kartar. 2006. Effect of Different Oral Doses of IsoniazidRifampisin in Rats. Molecular and Cellular Biochemistry. Vol 289 : 39-47. Hardjoeno, H. 2003. Interpretasi Hasil Tes Laboratorium Diagnostik Bagian dari Standar Pelayanan Medik. Lembaga Penerbitan Universitas Hasanudin, Makasar. Hal 271-273. Baron, DN. 1990. Kapita Selekta Patologi Klinik. EGC, Jakarta. Hal 136; 212; 222. Prihatni, D, Ida Parwati, Idaningroem Sjahid, dan Coriejati Rita. 2005. Efek Hepatotoksik Anti Tuberkulosis Terhadap Kadar Aspartat Aminotransferase dan Alanine Aminotransferase Serum Penderita Tuberkulosis Paru. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 1. Hal 2. Arsyad, Zulkarnain. 1996. Evaluasi FaaI Hati pada Penderita Tuberkulosis Paru yang Mendapat Terapi Obat Anti Tuberkulosis. Cermin Dunia Kedokteran. No. 110. Hal 17.
104