PENGARUH INTERFERENSI ION KADMIUM (Cd2+) TERHADAP BIOSORPSI ION TIMBAL (Pb2+) OLEH SEL RAGI Saccharomyces cereviseae PADA VARIASI WAKTU KONTAK DAN pH MEDIA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Sains Kimia
Oleh: Ariqah Khoirunnisa 12307144016
JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2016
i
ii
iii
iv
MOTTO “Hasbunallah wa ni’mal wakil (Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.” “Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an). Dia melindungi orang-orang saleh.” (QS. Ali ‘Imran (7): 196) “Allah selalu menyuruh hamba-Nya untuk berserah, bukan untuk menyerah.”
v
PERSEMBAHAN
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Karya ini saya persembahkan untuk: Sang Pencipta alam beserta isinya ALLAH SWT Orang tuaku tercinta, Bapak Kirdianto & Ibu Triwanti Adikku, Qori Ambar K & Dimas Elang Satria Sahabat-sahabatku, Kawanan Wanita Bahagia Teman-teman Kimia Swadana ‘12 Almamaterku Universitas Negeri Yogyakarta
vi
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam atas limpahan rahmat, karunia, dan hidayah-Nya. Sholawat dan salam selalu tercurahkan kepada nabi besar Muhammad SAW yang dirindukan syafaatnya di yaumul qiyamat nanti. Alhamdulillah atas berkat rahmat Allah SWT sehingga laporan tugas akhir ini mampu terselesaikan. Penelitian kimia berjudul “Pengaruh Interferensi Ion Timbal (Pb2+) terhadap Biosorpsi Ion Kadmium (Cd2+) oleh Sel Ragi Saccharomyces cerevisiae pada Variasi Waktu Kontak dan pH Media” telah dapat diselesaikan dengan baik sebagai persyaratan memperoleh gelar sarjana sains yang telah ditetapkan oleh Jurusan Pendidikan Kimia di Universitas Negeri Yogyakarta. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Hartono selaku Dekan FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin dalam penulisan tugas akhir ini. 2. Bapak Drs. Jaslin Ikhsan, M.App.Sc., Ph.D selaku Ketua dan Koordinator Tugas Akhir Skripsi Program Studi Kimia, Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kelancaran pelayanan dan urusan akademik. 3. Bapak Sunarto, M.Si selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah memberikan dorongan dalam penulisan tugas akhir ini.
vii
4. Bapak Dr.rer.nat. Senam, selaku dosen pembimbing utama yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan saran. 5. Ibu Prof. Dr. Hj. Indyah Sulistyo Arty, M.S. selaku penguji utama, atas pertanyaan, kritik, dan saran yang diberikan. 6. Ibu Dr. Das Salirawati, M.Si selaku penguji pendamping, atas pertanyaan, kritik, dan saran yang diberikan. 7. Ibu Sulistyani, M.Si selaku sekretaris penguji, atas pertanyaan, kritik, dan saran yang diberikan. 8. Seluruh Dosen, Staf, dan Laboran Jurusan Pendidikan Kiimia FMIPA UNY yang telah banyak membantu selama perkuliahan dan penelitian. 9. Ibu, Ayah, adik dan seluruh keluargaku yang selalu mendoakan, mendukung, memotivasi dan segala kasih sayangnya selama ini. 10. Dhaul, Zainab, Kara, Fia, Sita, Nado, Ifa, Tika, April, Titik, sahabat Kawanan Wanita Bahagia yang selalu memberi dukungan, semangat, dan doa. 11. Teman-teman Kimia Swadana 2012 yang selalu memberi motivasi dan doa. 12. Karamina, mitra kerja selama penelitian yang sudah memberikan bantuan tenaga dan motivasi. 13. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan secara moral maupun material dalam penyelesaian Tugas Akhir Skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebut satu per satu. Semoga semua bantuan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis, Inshaa Allah mendapat balasan dari Allah SWT. viii
Penulis menyadari bahwa laporan tugas akhir ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan perbaikan pendidikan di masa yang akan datang. Aamiin. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Yogyakarta, 24 November 2016
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………...…………..
i
HALAMAN PERSETUJUAN……………………………...……………………..
ii
HALAMAN PERNYATAAN…………………………….……………………….
iii
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………………….. iv HALAMAN MOTTO ……………………………………………………………..
v
HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………………...
vi
KATA PENGANTAR …………………………………………………………….. vii DAFTAR ISI ………………………………………………………………………. x DAFTAR TABEL………………………………………………………………….
xiii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………........ xv DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………….
xvii
ABSTRAK …………………………………………………………………………
xviii
ABSTRACT ………………………………………………………………………...
xix
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………. 1 A. Latar Belakang Masalah ….……………………………………………………... 1 B. Identifikasi Masalah ..………………………………………………………........
4
C. Pembatasan Masalah .………………………………………………………........
5
D. Rumusan Masalah ……………………………………………………………….
6
E. Tujuan Penelitian …………...…………………………………………………… 6 F. Manfaat Penelitian ………………………………………………………............. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………….…
8
A. Deskripsi Teori ………………………………………………………………….. 8 1. Pencemaran Lingkungan…….…………………………………………...….…
8
2. Pengolahan Limbah ………………………………………….…………….…..
12
3. S. cerevisiae……………………….………………………………….……...… 17 4. Asam-Basa Lunak-Keras………………………………………………………. 22
x
5. Pengukuran …………………………………………………………………….
24
B. Penelitian yang Relevan ……………………………...………………………….
27
C. Kerangka Berpikir ………………………………………...……………………..
28
BAB III METODE PENELITIAN………………………………….…….............
31
A. Subjek dan Objek Penelitian …………………………………………………….
31
1. Subjek Penelitian ………………………………………………………………
31
2. Objek Penelitian ……………………………………………………………….
31
B. Variabel Penelitian ……………………………………………………...……….
31
1. Variabel Bebas …………………………………………………………………
31
2. Variabel Terikat ………………………………………………………………..
32
C. Instrumen Penelitian …………………………………………………………….. 32 1. Alat Penelitian ..................................................................................................... 32 2. Bahan Penelitian .................................................................................................
32
3. Tempat Penelitian ...............................................................................................
33
D. Prosedur Penelitian ……………………………………………………................ 33 1. Pembuatan Media Yeast Peptone Dextrosa (YPD) Padat ……………………... 33 2. Pembuatan Media Yeast Peptone Dextrosa (YPD) Cair ..……………………….
34
3. Peremajaan Sel Ragi S. cerevisiae ………………………………………………..
34
4. Pembuatan Kultur Awal (Starter) …………………………………….…………..
35
5. Pengamatan Profil Pertumbuhan Ragi S. cerevisiae …………………………….
35
6. Pembuatan Larutan Induk Pb2+ ………………………………………………...
35
7. Pembuatan Larutan Induk Cd2+ ………………………………………………..
36
8. Pengaruh Variasi Konsentrasi Pb2+ terhadap Pertumbuhan Ragi S. cerevisiae... 37 9. Pengaruh Interfensi Variasi Konsentrasi Cd2+ terhadap Pertumbuhan Ragi S. cerevisiae …………………………………………………….....................................
39
10. Pengaruh Variasi Waktu Kontak terhadap Biosorpsi Ion Pb2+ ……………...
41
11. Pengaruh Interferensi Ion Cd2+ terhadap Biosorpsi Ion Pb2+ oleh Sel Ragi S. cerevisiae pada Variasi Waktu Kontak ……….…………………………...
xi
42
12. Pengaruh Variasi pH Media terhadap Biosorpsi Ion Pb2+ ……………….….. 43 13. Pengaruh Interferensi Ion Cd2+ terhadap Biosorpsi Ion Pb2+ oleh Sel Ragi S. cerevisiae pada Variasi pH Media ……….…………..……………………...
44
E. Teknik Analisis Data …………………………………………………………….
45
1. Pengukuran dengan Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)…………………... 45 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………………………
48
A. Profil Pertumbuhan S. cerevisiae…...………………………………………........
48
B. Pengaruh Konsentrasi Ion Pb2+ terhadap Pertumbuhan Sel S. cerevisiae ………..
50
C. Pengaruh Interferensi Variasi Konsentrasi Ion Pb 2+ terhadap Pertumbuhan Sel S. cerevisiae ………………………………………………………………………………
53
D. Pengaruh Waktu Kontak terhadap Efisiensi Biosorpsi Ion Pb2+……………........ 55 E. Interfensi Ion Cd2+ terhadap Biosorpsi Ion Pb2+ pada Variasi Waktu Kontak …..
60
F. Pengaruh pH Media terhadap Efisiensi Biosorpsi Ion Pb2+ …..…………….…...
67
G. Interfensi Ion Cd2+ terhadap Biosorpsi Ion Pb2+ pada Variasi pH Media ……….. 71 H. Mekanisme Reaksi Biosorpsi ……..…………………………………………….
77
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………...
80
A. Kesimpulan …………………………………………………..….......................... 80 B. Saran ……………………………………………………………….……………. 80 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….…….. 81 DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………………
xii
83
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Kandungan Asam Amino dalam Khamir S. cerevisiae…….…...…. 21
Tabel 2.
Klarifikasi Kriteria Lunak-Keras Asam-Basa Lewis …………..… 23
Tabel 3.
Volume Larutan Pb2+ pada Setiap Variasi Konsentrasi……….…..
Tabel 4.
Volume Larutan Cd2+ pada Setiap Variasi Konsentrasi ………..… 40
Tabel 5.
Data Absorbansi Kultur Ragi S. cerevisiae…………..……….…..
49
Tabel 6.
OD600 Kultur Ragi S. cerevisiae pada Variasi Konsentrasi Pb2+.…
51
Tabel 7.
OD600 Kultur Ragi S. cerevisiae pada Variasi Konsentrasi Cd2+.…
53
Tabel 8.
OD600 Kultur Ragi S. cerevisiae pada Variasi Waktu Kontak…..... 56
Tabel 9.
Konsentrasi Ion Pb2+ yang Terbiosorpsi pada Variasi Waktu Kontak …………………………………………………………
Tabel 10.
58
Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ pada Variasi Waktu Kontak............................................................................................
Tabel 11.
62
Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ dengan Interferensi Cd2+ pada Variasi Waktu Kontak …................................................................
Tabel 14.
60
Konsentrasi Ion Pb2+ yang Terbiosorpsi pada Variasi Waktu Kontak dengan Interferensi Cd2+............………...………………
Tabel 13.
59
OD600 Kultur Ragi S. cerevisiae pada Variasi Waktu Kontak dengan Interferensi Cd2+…………………………………………
Tabel 12.
38
63
Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ tanpa dan dengan Interferensi Cd2+ pada Variasi Waktu Kontak…………………......................... 65
Tabel 15.
OD600 Kultur Ragi S. cerevisiae pada Variasi pH Media …....…...
Tabel 16.
Konsentrasi Ion Pb2+ yang Terbiosorpsi pada Variasi pH Media…………..............................………………………………
Tabel 17.
Efisiensi
Biosorpsi
Ion
Logam
Pb2+
pada
Variasi
OD600 Kultur Ragi S. cerevisiae pada Variasi pH Media dengan
xiii
69
pH
Media…………………………...................................................... Tabel 18.
67
70
Interferensi Cd2+…………………………………….…………… Tabel 19.
Konsentrasi Ion Pb2+ yang Terbiosorpsi pada Variasi pH Media dengan Interferensi Cd2+............………...………………….……
Tabel 20.
71
74
Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ dengan Interferensi Cd2+ pada Variasi pH Media …........................................................................ 75
Tabel 21.
Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ tanpa dan dengan Interferensi Cd2+ pada Variasi pH Media .......…………………........................
Tabel 22.
Data Absorbansi Larutan Standar Timbal pada Variasi Waktu Kontak tanpa Interfensi Cd2+ ……………………………………..
Tabel 23.
76
94
Data Absorbansi Larutan Standar Timbal pada Variasi pH Media tanpa Interfensi Cd2+ ………………….………………………….. 95
Tabel 24.
Data Absorbansi Larutan Standar pada Variasi Waktu Kontak dan pH Media dengan Interferensi Cd2+ ……………............………… 96
Tabel 25.
Perhitungan Korelasi X dan Y Larutan Standar Pb2+ pada Variasi Waktu Kontak …………………………………………………….
Tabel 26.
97
Perhitungan Korelasi X dan Y Larutan Standar Pb 2+ pada Variasi pH Media………………………………………………………….
xiv
99
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Strukur Kimia Kitin ………………..…………………………..... 16
Gambar 2.
Struktur Kimia metallothionein …………………………….…….....
16
Gambar 3.
S. cerevisiae pembesaran 10 x 40 ……………………………….
18
Gambar 4.
Fase Pertumbuhan S. cerevisiae …………………………………
20
Gambar 5.
Komponen pada Spektrofotometer Serapan Atom………………
25
Gambar 6.
Kerangka Berpikir Biosorpsi Menggunakan S. cerevisiae............
30
Gambar 7.
Kurva Pertumbuhan Sel Ragi S. cerevisiae ……………………... 49
Gambar 8.
Grafik Hubungan Konsentrasi Pb2+ dengan Besarnya OD600 ...…
Gambar 9.
Grafik Hubungan Konsentrasi Cd2+ dengan Besarnya OD600 …... 54
Gambar 10.
Hubungan antara OD600 Sel Ragi S. cerevisiae Sebelum dan Sesudah Dikontakkan pada Variasi Waktu Kontak ……………..
Gambar 11.
51
57
Grafik Hubungan antara Variasi Waktu Kontak dengan Konsentrasi Pb2+ ………………………………………………… 58
Gambar 12.
Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ oleh Sel Ragi S. cerevisiae pada Variasi Waktu Kontak …......................................................
Gambar 13.
59
Hubungan antara OD600 Sel Ragi S. cerevisiae Sebelum dan Sesudah Dikontakkan pada Variasi Waktu Kontak dengan Ion Pb2+ dan Cd2+…………………………………………………....
Gambar 14.
61
Grafik Hubungan antara Variasi Waktu Kontak dengan Konsentrasi Ion Pb2+ yang Terbiosorpsi dengan Adanya Interferensi Cd2+ ………………………………………………… 63
Gambar 15.
Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ oleh Sel Ragi S. cerevisiae pada Variasi Waktu Kontak dengan Interferensi Cd2+ .….............
Gambar 16.
64
Perbandingan Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ oleh Sel Ragi S. cerevisiae tanpa dan dengan Interferensi Cd2+ pada Variasi Waktu Kontak…………………....................................................
xv
66
Gambar 17.
Perbandingan OD600 Sel Ragi S. cerevisiae Sebelum dan Sesudah Dikontakkan pada Variasi pH Media ………………..... 68
Gambar 18.
Grafik Hubungan antara Variasi pH Media dengan Konsentrasi Pb2+ yang Terbiosorpsi ………………………………..………… 69
Gambar 19.
Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ oleh Sel Ragi S. cerevisiae pada Variasi pH Media ………...................................................... 70
Gambar 20.
Hubungan antara OD600 Sel Ragi S. cerevisiae Sebelum dan Sesudah Dikontakkan pada Variasi pH Media dengan Ion Pb2+ dan Cd2+…………………………………………………............
Gambar 21.
Grafik Hubungan antara Variasi pH Media dengan Konsentrasi Ion Pb2+ yang Terbiosorpsi dengan Adanya Interferensi Cd2+..…
Gambar 22.
74
Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ oleh Sel Ragi S. cerevisiae pada Variasi pH Media dengan Interferensi Cd2+ …....................
Gambar 23.
72
75
Perbandingan Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ oleh Sel Ragi S. cerevisiae tanpa dan dengan Interferensi Cd2+ pada Variasi pH Media ………………………………………..…………………... 77
Gambar 24.
Kemungkinan Ikatan yang Terjadi antara Sel Ragi dengan Ion Logam Pb2+ dan Cd2+……………………………………………
Gambar 25.
Kurva Kalibrasi Larutan Standar Timbal pada Variasi Waktu Kontak tanpa Interfensi Cd2+ ……………………………………
Gambar 26.
94
Kurva Kalibrasi Larutan Standar Timbal pada Variasi pH Media tanpa Interfensi Cd2+ ………………….…………………………
Gambar 27.
79
95
Kurva Kalibrasi Larutan Standar pada Variasi Waktu Kontak dan pH Media dengan Interferensi Cd2+ ………………………...
xvi
96
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Skema Kerja ............................................................................... 84 Lampiran 2. Daftar dan Kurva Larutan Standar ……………………………. 94 Lampiran 3. Uji Signifikansi Garis Regresi ………………………………...
97
Lampiran 4. Uji Linearitas Persamaan Garis Regresi.....................................
99
xvii
PENGARUH INTERFERENSI ION KADMIUM (Cd2+) TERHADAP BIOSORPSI ION TIMBAL (Pb2+) OLEH SEL RAGI Saccharomyces cereviseae PADA VARIASI WAKTU KONTAK DAN pH MEDIA
Oleh : Ariqah Khoirunnisa NIM. 12307144016 Pembimbing: Dr. rer. nat. Senam ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu kontak dan pH media terhadap efisiensi biosorpsi ion Pb2+ oleh sel ragi S. cerevisiae dengan adanya pengaruh interferensi ion Cd2+. Subjek penelitian ini adalah ragi S. cerevisiae dan objek penelitian ini adalah biosorpsi ragi S. cerevisiae terhadap ion Pb2+. Penelitian ini dilakukan secara bertahap untuk mengetahui kondisi biosorpsi meliputi: (1) Penentuan profil pertumbuhan S. cerevisiae pada rentang waktu 0, 2, 4, 6, 8, 16, 24 dan 48 jam, (2) pengukuran terhadap pertumbuhan ragi S. cerevisiae dengan konsentrasi Pb2+ 0, 5, 10, 15, 20, dan 25 ppm, (3) pengukuran terhadap pertumbuhan ragi S. cerevisiae pada variasi waktu kontak 0, 2, 4, 6, 8 dan 10 jam tanpa dan dengan interferensi Cd2+, (4) pengukuran terhadap pertumbuhan ragi S. cerevisiae dengan pH media 3, 5, 7 dan 9 tanpa dan dengan interferensi Cd2+. Karakterisasi sampel dengan menggunakan Spectronic 20 dan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa variasi waktu kontak dan pH media berpengaruh terhadap pertumbuhan ragi S. cerevisiae. Pada waktu kontak 6 jam menunjukkan efisiensi pertumbuhan sebesar 45,31%. Pada pH 5 ragi S. cerevisiae menunjukkan biosorpsi optimum yaitu 43,78%. Kata kunci: ion Pb2+, ion Cd2+, biosorpsi, S. cerevisiae, waktu kontak, pH Media
xviii
THE INFLUENCE OF CADMIUM ION (Cd2+) INTERFERENCE ON THE BIOSORPTION OF LEAD (Pb2+) ION BY S. cerevisiae YEAST CELL IN THE VARIATION OF TIME CONTACT AND pH MEDIUM By : Ariqah Khoirunnisa Number of Student: 12307144016 Supervisor: Dr. rer. nat. Senam ABSTRACT The aim of this research are to study the influence of time contact and pH solution at on biosorption of Pb2+ by S. cerevisiae yeast with of interference Cd2+. The subject and the object of this research respectively were S. cerevisiae yeast and biosorption of it. The biosorption process was done step by step to get the best condition. The evaluation of the biosorption consist of: (1) Measurement growth of S. cerevisiae yeast in 0, 2, 4, 6, 8, 16, 24, and 48 hours, (2) Measurement growth of S. cerevisiae yeast with variation concentration: 0, 5, 10, 15, 20 and 25 ppm, (3) Measurenment growth of S. cerevisiae with contact time varied at 0, 2, 4, 6, 8 and 10 hours without Cd2+ and with existence of Cd2+, (4) Measurement growth S. cerevisiae yeast at pH medium 3, 5, 7 and 9 without Cd2+ and with existence of Cd2+. Samples were characterized by Spectronic 20 and Atomic Absorbtion Spectrofotometer (AAS). The results showed that the growth efficiency of S. cerevisiae at 6 hours contact time was 45,31% and the optimum biosorption of it at media pH 5 was 43,78%. Keywords: Pb2+ ion, Cd2+ ion, biosorption, S. cerevisiae, time contact, and pH medium.
xix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Air yang menutupi hampir 70% permukaan bumi, memiliki peranan penting sebagai sumber kebutuhan pokok makhluk hidup yang digunakan untuk melangsungkan metabolisme, sistem asimilasi, menjaga keseimbangan tubuh dan lain-lain. Saat ini pemenuhan terhadap air bersih menjadi perhatian khusus, seiring dengan tingginya tingkat kepadatan penduduk serta meningkatnya aktivitas penduduk dikarenakan adanya arus globalisasi. Arus globalisasi ini memberikan pengaruh pada berbagai sektor perindustrian, pertambangan, dan transportasi yang membawa dampak negatif bagi lingkungan dan manusia. Salah satu dampak negatif ini berupa pencemaran lingkungan akuatik oleh logam berat. Limbah
logam
berat
pada
lingkungan
akuatik
membahayakan
keberlangsungan lingkungan, terutama manusia. Peristiwa ini dapat dilihat pada kasus pencemaran logam berat kadmium yang pernah terjadi di Toyama Jepang. Peristiwa ini mengakibatkan penduduk menderita penyakit Itai-itai (Ouch-ouch), yakni tulang mengalami pelunakan (osteomalacia), kemudian menjadi rapuh dan otot mengalami kontraksi karena kehilangan sejumlah kalsium, serta menderita kelainan ginjal (Soemirat, 2005).
1
Pencemaran logam dapat merusak jaringan makhluk hidup. Beberapa logam berbahaya yang terdapat di lingkungan, antara lain antimony (Sb), arsen (As), kadmium (Cd), kromium (Cr), kobalt (Co), timbal (Pb), zink (Zn), merkuri (Hg). Nikel (Ni), strontium (Sr) dan selenium (Se). Pencemaran lingkungan oleh logam mengganggu kesehatan makhluk hidup bahkan dapat menyebabkan kematian. Timbal merupakan logam yang bersifat racun jika terakumulasi di dalam tubuh. Top Hazardous Subtance Priority List (2013) menjelaskan bahwa timbal menempati urutan ke dua sebagai zat yang paling sering ditemukan dan menimbulkan potensi yang signifikan bagi kesehatan manusia. Timbal dapat masuk dalam lingkungan dan tubuh manusia dari berbagai macam sumber, seperti bensin (petrol), daur ulang atau pembuangan baterai mobil, mainan, cat, pipa, tanah, beberapa jenis kosmetik dan obat tradisional dan berbagai sumber lainnya (WHO, 2007). Pencemaran lingkungan oleh limbah logam berat umumnya diatasi dengan pengolahan secara fisiko-kimia dan fitoremediasi. Adapun cara-cara fisiko kimia yang umum digunakan seperti reverse osmosis, elektrodialisis, ultrafiltrasi pertukaran ion, dan pengendapan kimiawi. Akan tetapi pengolahan secara fisikokimia dan fitoremediasi masih menyebabkan berbagai kerugian misalnya pemindahan ion logam yang tidak sempurna, kebutuhan energi dan reagen yang tinggi, biaya yang mahal, menghasilkan lumpur toksik atau produk lain yang justru akan menimbulkan limbah sekunder (Rakhmawati, 2006). Oleh karena itu
2
dibutuhkan pengolahan yang efektif dan efisein dalam usaha mengurangi pencemaran logam berat. Metode berbasis bioteknologi seperti biosorpsi atau bioakumulasi menjadi metode alternatif yang dapat digunakan dalam menangani pencemaran logam berat. Proses biosorpsi menggunakan mikroorganisme yang terdapat di alam, seperti rumput laut, fungi maupun bakteri. Faktor utama dalam pemilihan mikroorganisme tersebut berupa; organisme mudah tersedia di alam, dan dapat mengalami pertumbuhan cepat, terutama dibudayakan atau diperbanyak untuk keperluan biosorpsi; efektivitas biaya (Volesky, 2000). Fungi dapat dibedakan menjadi yeast (khamir, sel ragi), kapang (mold), cendawan dan jamur lendir. Jamur dan khamir mendapat perhatian yang besar sebagai penyerap logam, terutama karena keduanya dapat diperoleh pada industri fermentasi (Gadd, 1992). Ragi S. cereviseae pada penelitian ini digunakan sebagai mikroorganisme model biosorben, telah banyak diteliti berkaitan dengan potensinya sebagai biosorben dan bioakumulator, diantaranya karena mudah diperoleh banyak digunakan pada proses fermentasi serta memiliki presentase material dinding sel sebagai sumber pengikatan logam yang tinggi. Hasil penelitian sebelumnya S. cerevisiae telah banyak digunakan dalam mengurangi logam berat, seperti Zn, Cu, Co, serta Th (Veglio, 1996). Pada penelitian ini mempelajari ion logam Pb2+ sebagai ion yang dibiosorpsi oleh ragi S. cereviseae, sedangkan ion Cd2+ digunakan sebagai ion yang menginterferensi ion Pb2+ pada proses biosorpsi kondisi optimal. Penelitian ini 3
memberikan alternatif dalam penanganan pencemaran oleh limbah yang mengandung ion logam berat pada lingkungan. Proses biosorpsi ion Pb2+ yang terinterferensi Cd2+ sebagai ion penganggu dari proses penyerapan timbal. Pada penelitian ini dikaji berdasarkan pengaruh ion logam lain, yaitu Cd2+ pada variasi waktu kontak, dan pH media yang dimungkinkan mampu mempengaruhi proses biosorpsi ion Pb2+ oleh sel ragi S. cereviseae. Pemilihan ion Pb2+ pada penelitian ini didasarkan pada kondisi di lingkungan dimana banyak ditemui ion Pb2+ pada limbah industri yang mencemari lingkungan. Pemilihan waktu kontak didasarkan pada pertumbuhan ragi S. cereviseae yang diperoleh melalui pengamatan profil pertumbuhan ragi. Pengaruh interferensi oleh logam Cd2+ dilakukan sebagai simulasi keberadaan ion lain dalam limbah, serta untuk mengetahui pengaruhnya terhadap biosorpsi ion Pb2+ oleh ragi S. cereviseae yang diambil berdasarkan konsep asam basa lunak keras. Ion logam Cd2+ pada konsep asam basa lunak-keras terletak pada golongan asam-lunak, sedangkan ion logam Pb2+ terdapat pada daerah batas. Alasan menggunakan Cd2+ adalah untuk mengetahui kemampuan biosorpsi ragi S.cereviseae terhadap kedua logam yang memiliki kemiripan antara pasangan asam-basanya.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian ini dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut.
4
1.
Belum dilakukan pengolahan limbah cair yang mengandung logam berat timbal secara optimal, sehingga limbah ion logam yang terbuang mencemari lingkungan
2.
Pengolahan limbah cair khususnya yang mengandung logam berat timbal menggunakan biomassa S. cerevisiae belum dilakukan.
3.
Adanya kemungkinan logam berat lain yang terdapat dalam kandungan limbah cair yang mengandung timbal, seperti kadmium yang dapat mengganggu proses biosorpsi.
4.
Larutan logam berat timbal dan kadmium yang digunakan dalam penelitian ini berupa larutan simulasi berupa Pb(NO3)2 dan CdSO4.
5.
Pengolahan limbah cair logam berat timbal menggunakan konsentrasi timbal (II) optimum dengan kondisi S. cerevisiae yang masih dapat hidup.
6.
Pengolahan limbah cair yang mengandung logam berat timbal yang diinterferensi logam kadmium dengan variasi waktu kontak dan pH media belum diteliti.
C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah dilakukan pembatasan masalah pada penelitian ini sebagai berikut: 1. Media pertumbuhan yang digunakan yaitu media YPD (Yeast Peptone Dextrosa).
5
2. Variasi konsentrasi larutan ion Pb2+ yang digunakan adalah 0; 5; 10; 15; 20; dan 25 ppm untuk mendapatkan konsentrasi optimum ragi S.cerevisiae masih dapat hidup dengan baik. 3. Variasi konsentrasi interferensi larutan ion Cd2+ yang digunakan adalah 5; 10; 15; 20; dan 25 ppm untuk mendapatkan konsentrasi interferensi optimum ragi S.cerevisiae masih dapat hidup dengan baik. 4. Variasi waktu kontak yang digunakan sebesar 0; 2; 4; 6; 8; dan 10 jam. 5. Variasi pH media yang digunakan 3, 5, 7 dan 9.
D. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini meliputi: 1. Adakah pengaruh interferensi ion Cd2+ terhadap efisiensi biosorpsi ion Pb2+ oleh sel ragi S. cereviseae pada variasi waktu kontak? 2. Adakah pengaruh interferensi ion Cd2+ terhadap efisiensi biosorpsi ion Pb2+ oleh sel ragi S. cereviseae pada variasi pH media?
E. Tujuan Penelitan Penelitian ini bertujuan untuk menguji: 1. Ada tidaknya pengaruh interferensi ion Cd2+ terhadap biosorpsi ion Pb2+ oleh sel ragi S.cereviseae pada variasi waktu kontak. 2. Ada tidaknya pengaruh interferensi Cd2+ terhadap biosorpsi ion Pb2+ oleh sel ragi S. cereviseae pada variasi pH media. 6
F. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bagi masyarakat, menambah wawasan pengetahuan mengenai potensi lain sel ragi S. cereviseae dalam membantu mengatasi pencemaran lingkungan dan memberikan pengetahuan tentang bidang bioteknologi mengenai pemanfaatan mikroorganisme ragi dalam kehidupan manusia. 2. Bagi mahasiswa, memberikan pengetahuan mengenai pengaruh interferensi ion kadmium (II) terhadap biosorpsi ion timbal (II) oleh ragi S. cerevisiae pada variasi waktu kontak dan pH media dan sebagai acuan bagi referensi selanjutnya.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teori Deskripsi teori yang terkait dengan biosorpsi ion logam berat oleh mikroorganisme disajikan secara rinci meliputi: 1. Pencemaran Lingkungan Definisi pencemaran lingkungan menurut Undang-undang No. 23 tahun 1997 adalah masuknya dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya, kemudian Undangundang tersebut diperbaharui kembali dengan Undang-undang No. 32 tahun 2009 menurut undang-undang tersebut pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Sumber pencemaran lingkungan dapat disebabkan oleh limbah industri dan limbah domestik. Zat atau bahan yang dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan disebut polutan. Syarat-syarat suatu zat disebut polutan bila keberadaannya dapat menyebabkan kerugian terhadap makhluk hidup. Suatu zat dapat dikatakan polutan apabila jumlahnya melebihi jumlah normal serta 8
berada pada waktu yang tidak tepat. Pencemaran lingkungan dalam bidang industri menjadi suatu perhatian khusus dikarenakan sangat berbahaya bagi kesehatan. Logam berat yang terkandung dalam pencemaran dalam bentuk ion logamnya seperti, Zn2+, Ni2+, Cu2+, Pb2+, Ag2+, Cd 2+ dan Cu2+.. Kasus pencemaran timbal dalam lingkungan biasanya disebabkan hasil samping industri. Industri kertas menghasilkan limbah cair timbal dalam volume yang besar. Limbah cair tersebut merupakan air dari hasil filtrasi limbah yang berupa bubur kertas encer yang apabila tidak dikelola dapat mengganggu kehidupan makhluk hidup (Maharai Haryati dkk, 2012). Pencemaran lingkungan oleh timbal kebanyakan berasal dari aktivitas manusia yang mengekstraksi dan mengeksploitasi logam tersebut. a. Timbal Timbal (Pb) merupakan salah satu jenis logam berat yang sering juga disebut dengan istilah timah hitam. Timbal memiliki titik lebur yang rendah, mudah dibentuk, memiliki sifat kimia yang aktif, sehingga biasa digunakan untuk melapisi logam agar tidak timbul perkaratan. Timbal adalah logam yang lunak berwarna abu-abu kebiruan mengkilat dan memiliki bilangan oksidasi +2 (Sunarya, 2007). Timbal (Plumbum) beracun baik dalam bentuk logam maupun garamnya. Garamnya yang beracun adalah: timbal karbonat (timbal putih); timbal tetraoksida (timbal merah); timbal monoksida; timbal sulfida; timbal
9
asetat (merupakan penyebab keracunan yang paling sering terjadi). Ada beberapa bentuk keracunan timbal, yaitu keracunan akut, subakut dan kronis. Baku mutu udara ambien untuk timbal, yaitu sebesar 2,0 μg/Nm3 berdasarkan PP RI No. 41 Tahun 1999. Public Health Service Amerika Serikat (Evi Naria, 2005) menetapkan bahwa sumber-sumber air untuk masyarakat tidak boleh mengandung timbal lebih dari 0,05 mg/L, sedangkan WHO menetapkan batas timbal di dalam air sebesar 0,1 mg/L. Indonesia mempunyai batas maksimum cemaran Timbal (Pb) pada bahan makanan yang ditetapkan oleh Dirjen POM dalam Surat Keputusan Dirjen POM No. 03725/B/SK/VII/89 tentang Batas Maksimum Cemaran Logam dalam Makanan. Bahan makanan seperti susu dan hasil olahannya kadar maksimum adalah 1,0 ppm, untuk sayuran dan hasil olahannya maksimum 2,0 ppm, untuk ikan dan hasil olahannya maksimum 2,0 ppm, dan untuk beberapa jenis bahan makanan lainnya (Eva Naria, 2005). Kemungkinan pencemaran timbal (Pb) oleh manusia dikarenakan luasnya penggunaan timbal oleh manusia seperti dalam bahan bakar bensin, baterai, cat dan sebagainya (Nana Dyah dkk., 2004). Palar (Meyliana, 2013) menjelaskan keracunan timbal dapat terjadi jika timbal atau persenyawaanya masuk ke dalam tubuh. Sama seperti jenis logam berat lainnya, timbal dapat masuk ke tubuh manusia melalui beberapa cara, antara lain: melalui pernapasan (inhalasi), konsumsi makanan dan minuman yang terkontaminasi
10
timbal maupun penetrasi melalui kulit. Peristiwa absorpsi melalui kulit terjadi untuk senyawa timbal organik (alkil timbal dan naftalenat timbal). Keracunan timbal dapat menyerang manusia dari berbagai usia. Akan tetapi, anak usia muda, wanita hamil dan pekerja di industri tertentu lebih besar resikonya dibandingkan kelompok yang lain (Kessel I & O’Connor, 1997). Anak-anak lebih sensitif dibandingkan orang dewasa karena pusat perkembangan sistem saraf mereka masih berkembang (Albalak et al, 2003). b. Kadmium Widowati (Istana, 2014) menjelaskan kadmium merupakan logam berwarna putih perak, lunak, mengkilap, tidak larut dalam basa, mudah bereaksi, serta menghasilkan kadmium oksida bila dipanaskan. Kadmium (Cd) umumnya terdapat dalam kombinasi dengan klor (Cd klorida) atau belerang (Cd sulfit). Kadmium membentuk Cd2+ yang bersifat tidak stabil. Cd memiliki nomor atom 40, berat atom 112,4, titik leleh 321°C, titik didih 767 °C dan memiliki masa jenis 8,65 g/cm3. Seperti berbagai logam berat lain, logam kadmium membawa sifat racun yang dapat merugikan makhluk hidup. Sarwoko Mangkoediharjo dan Ganjar
Hardianto
(2009)
menjelaskan
bahwa
meskipun
kadmium
mempunyai konfigurasi elektronik dan sifat kimia yang mirip dengan seng tetapi kadmium mempunyai daya racun yang lebih tinggi dibandingkan seng. Daya racun atau toksisitas logam berat kadmium sangat tinggi, tetapi masih lebih rendah (di bawah) logam merkuri. Namun demikian, kadmium 11
mempunyai sifat mobilitas yang tinggi dalam tatanan lingkungan dibandingkan logam berat lainnya, sehingga kadmium lebih mudah masuk ke dalam rantai makanan dan terakumulasi dalam tubuh makhluk hidup. Terpapar akut oleh kadmium menyebabkan gejala nausea (mual), muntah, diare, kram otot, anemia, dermatitis, pertumbuhan lambat, kerusakan ginjal dan hati, dan gangguan kardiovaskuler, emfisema dan degenerasi testikular. Perkiraan dosis mematikan akut adalah sekitar 500 mg/kg untuk dewasa dan efek dosis akan nampak jika terabsorpsi 0,043 mg/kg per hari. Gejala akut keracunan Cd adalah sesak dada, kerongkongan kering dan dada terasa sesak, nafas pendek, nafas terengah-engah, dan dapat berkembang ke arah penyakit radang paru-paru, sakit kepala dan menggigil, bahkan dapat diikuti dengan kematian. Gejala kronis keracunan Cd yaitu nafas pendek, kemampuan mencium bau menurun, berat badan menurun, gigi terasa ngilu dan berwarna kuning keemasan (Widaningrum dkk, 2007).
2. Pengolahan Limbah Pemisahan logam berat dapat dilakukan secara fisika, kimia dan biologi. Dyah Purwaningsih (2005) menjelaskan bahwa hampir semua logam berat dapat dipisahkan dengan cara pengendapan dengan pH tinggi. Oleh karena itu pada umumnya, cara pemisahan yang sering digunakan adalah cara kimia, yaitu cara pengendapan dengan pH tinggi yang dilakukan dengan menambahkan bahan kimia agar terjadi pengendapan hidroksida. Pengolahan secara fisika 12
yang umum dilakukan adalah absorpsi menggunakan karbon aktif atau dengan cara penyaringan menggunakan membran. Suyono (Dyah Purwaningsih, 2005) menjelaskan bahwa pengolahan secara fisika-kimia dibebani suatu harapan (terpenuhinya) kriteria efisien (tidak mahal) dan efektif. Namun ternyata cara tersebut tidak memenuhi kedua kriteria secara kompherensif. Harris dan Ramellow (1990) menjelaskan bahwa cara tersebut membutuhkan teknologi tinggi, serta peralatan dan sistem monitor yang mahal. Selain itu kelemahannya cara ini adalah dimasukkannya bahan kimia lain dalam proses pemisahannya. Oleh karena itu, perlu dikembangkan suatu sistem pengolahan yang menggunakan bahan (material) murah untuk memisahkan logam berat dari air buangan. Cara lain yang digunakan yaitu fitoremediasi menggunakan tanaman tertentu untuk membersihkan tanah, sedimen, dan air yang terkontaminsai logam. Kerugian menggunakan metode ini ialah dibutuhkan waktu lama untuk pemindahan logam dan regenerasi tanaman untuk proses biosorpsi lebih lanjut sukar (Rakhmawati, 2006). Metode pengolahan limbah logam berat terutama timbal yang perlu dikembangkan
yaitu
dengan
metode
biosorpsi
dengan
menggunakan
mikroorganisme. Kratochvil & Volesky (Ahalya et al, 2006) menjelaskan keuntungan utama biosorpsi dibandingkan dengan semua metode penanganan limbah yang ada ialah murah, efisiensi tinggi, minim bahan kimia dan buangan lumpur, tidak memerlukan nutrien tambahan, adanya regenerasi biosorben, dan adanya kemungkinan pengunduhan logam. 13
a. Biosorpsi Biosorpsi merupakan suatu proses dalam pengikatan kation secara pasif dengan menggunakan mikroorganisme hidup atau mati yang dapat mengurangi toksisitas dari logam tersebut. Forest (Rakhmawati, 2006) menjelaskan bahwa biosorpsi dapat didefinisikan sebagai kemampuan dari materi biologi untuk mengakumulasi logam berat dari perairan baik dengan cara fisiko-kimia maupun secara metabolik. Proses biosorpsi melibatkan bahan padat (biosorben: materi biologi) dan bahan cair (solven: biasanya digunakan air) mengandung logam berat yang akan diserap (sorbat; ion logam). Dengan adanya daya afinitas yang tinggi biosorben terhadap sorbat, sorbat akan ditarik dan terikat oleh mekanisme yang berbeda (Rakhmawati, 2006). Biosorpsi logam terjadi karena kompleksitas ion logam yang bermuatan positif dengan pusat aktif yang bermuatan negatif pada permukaan dinding sel atau dalam polimer-polimer ekstraseluler, seperti protein dan polisakarida sebagai sumber gugus fungsi yang berperan penting dalam mengikat ion logam. Proses penyerapan ini berlangsung cepat dan terjadi pada sel hidup maupun sel yang telah mati (Volesky, 2000). Selain itu biosorpsi juga terjadi karena adanya peristiwa pertukaran ion dimana ion +
2+
2+
+
monovalent dan divalent seperti Na , Mg , Ca , K pada dinding sel digantikan oleh ion-ion logam berat (Suhendrayatna, 2001).
14
Absorpsi logam berat (proses biosorpsi): melalui proses passive uptake dan active uptake (Zarkasyi, 2008). Passive uptake merupakan proses yang terjadi ketika ion logam berat terikat pada dinding sel biosorben. Mekanisme passive uptake dapat dilakukan dengan dua cara, pertama dengan cara pertukaran ion di mana ion pada dinding sel digantikan oleh ion-ion logam berat; dan kedua adalah pembentukan senyawa kompleks antara ion-ion logam berat dengan gugus fungsional seperti karbonil, amino, tiol, hidroksi, posfat dan hidroksi-karboksil secara bolak balik dan cepat (Suhendrayatna, 2001; Ahalya et al., 2004). Dinding sel fungi sangat efisien untuk biosorpsi logam karena adanya gugus-gugus fungsional yang dimilikinya. Polisakarida fungi memiliki gugus amino, karboksi, fosfat, dan sulfat (Rakhmawati, 2006). Protein dan polisakarida yang terdapat dalam fungi memiliki peran dan proses biosorpsi logam karena ikatan-ikatan kovalen termasuk juga dengan gugus amino dan karboksil. Gambar 1 memperlihatkan struktur kimia dari kitin yang merupakan penyusun utama dinding sel S. cerevisiae. Kitin memiliki gugus amino dan karboksil yang dapat berperan dalam biosorpsi logam (Rakhmawati, 2006).
15
Gambar 1. Struktur Kimia Kitin Mekanisme proses biosorpsi juga dapat diawali dengan pengikatan logam pada gugus sulfur dari asam amino sistein yang terdapat pada dinding sel S. cerevisiae. Protein reseptor akan mengenali adanya logam asing (non esensial),
selanjutnya
gen
akan
mengkode
untuk
pembentukan
metallothionein dalam sel. Gambar 2 memperlihatkan strutur protein dalam metallothionein. Protein metallothionein merupakan suatu protein pengikat logam yang memiliki berat molekul 6000-7000 dalton, mengandung 30% asam amino sistein. Kandungan sistein dan thiol yang tinggi menyebabkan protein tersebut memiliki daya afinitas yang kuat terhadap logam (Rakhmawati, 2006).
Gambar 2. Struktur Kimia Mettalothienin (Rakhmawati, 2006)
Active uptake merupakan mekanisme secara simultan terjadi berbagai tipe sel hidup, seiring dengan konsumsi ion logam untuk pertumbuhan
16
mikroorganisme dan akumulasi intraseluler ion logam tersebut. Logam berat dapat diendapkan pada proses metabolisme, proses ini tergantung dari energi yang terkandung dari energi yang tergantung dan sensifitasnya terhadap parameter yang berbeda seperti pH, suhu dan kekuatan ionik. Proses biosorpsi dapat dihambat oleh suhu yang rendah, tidak tersedianya sumber energi dan beberapa penghambat metabolisme sel, selain itu biosorpsi logam berat dengan sel hidup sangat terbatas dikarenakan oleh akumulasi ion yang meracuni mikroorganisme. Mikroorganisme yang tahan terhadap efek toksik dari ion logam dapat dihasilkan berdasarkan prosedur seleksi yang ketat terhadap pemilihan jenis mikroorganisme yang tahan terhadap kehadiran ion logam berat.
3. Saccharomyces cerevisiae S. cerevisiae merupakan khamir sejati tergolong eukariot yang secara morfologi hanya membentuk blastopora yang berbentuk bulat lonjong, silindris, oval atau bulat telur yang dipengaruhi oleh strainnya. Dapat berkembang biak dengan membelah diri melalui budding cell. Reproduksinya dapat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan serta jumlah nutrisi yang tersedia bagi pertumbuhan sel. Penampilan makroskopik mempunyai koloni berbentuk bulat, warna kuning muda, permukaan berkilau, licin, tekstur lunak dan memiliki sel bulat dengan askospora 1-8 buah (Ahmad, 2005).
17
Gambar 3. S. cerevisiae Pembesaran 10 x 40 (Jean-Michel 2005). Sel S. cerevisiae dapat tumbuh pada medium yang mengandung air gula dengan konsentrasi tinggi. S. cerevisiae merupakan golongan khamir yang mampu memanfaatkan senyawa gula yang dihasilkan oleh mikroorganisme selulotik untuk pertumbuhannya. Spesies ini dapat memfermentasikan berbagai karbohidrat dan menghasilkan enzim invertase yang bisa memecah sukrosa menjadi glukosa dan frukosa serta dapat mengubah glukosa menjadi alcohol dan karbondioksida sehingga banyak digunakan dalam industri pembuatan bir, roti ataupun anggur (Fardiaz, 1992). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan S. cerevisiae yaitu (Agustining, 2012): a. Suhu S. cerevisiae memiliki suhu optimum untuk pertumbuhannya. Pada posisi suhu dibawah minimal maupun diatas maksimal dapat menyebabkan terjadinya denaturasi enzim sehingga S. cerevisiae tidak dapat tumbuh. Sebagian besar S. cerevisiae umumnya tumbuh baik pada kisaran 25-460C.
18
b. pH Laju pertumbuhan mikroorganisme S. cerevisiae bergantung pada pH, adanya perubahan pH dapat mempengaruhi permebilitas sel dan sintesis enzim, oleh sebab itu diperlukan upaya dalam mempertahankan pH dan buffer. Adapun nilai pH optimal untuk pertumbuhan S. cerevisiae berada di antara 2,5-4,5. Dalam tahapan pertumbuhannya S. cerevisiae mengalami enam fase yaitu: a. Fase Adaptasi (Lag Phase) Fase ini merupakan fase dimana S. cerevisiae menyesuaikan diri (adaptasi) dengan lingkungan barunya dan belum mengadakan perbanyakan sel. Mikroba merombak substrat menjadi nutrisi untuk pertumbuhannya (Satriyo Krido., dkk, 2011). b. Fase Eksponensial / Pertumbuhan (Log Phase) S. cerevisiae telah menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pembelahhan sel terjadi secara sangat cepat secara eksponensial. Dalam kondisi kultur yang optimum, sel mengalami reaksi metabolisme yang maksimum. Fase eksponensial ini berlangsung selama 2 jam. Peristiwa ini dapat menunjukkan bahwa kultur telah berada kondisi aktif dan proses aktivasi sebelumnya berjalan baik (Satriyo Krido., dkk, 2011).
19
c. Fase Penurunan (Deceleration Phase) Fase ini berlangsung selama 20 menit, dimana pertumbuhan mengalami perlambatan (Satriyo Krido., dkk, 2011). d. Fase Penetapan/ Konstan (Stationer Phase) Pada fase ini kecepatan pertumbuhan S. cerevisiae adalah nol. Namun demikian, bukan berarti tidak terjadi pertumbuhan sel. Konsentrasi biomassa pada fase ini berada dalam keadaan maksimum. Pada fase ini menghasilkan metabolisme sekunder, yaitu merupakan inhibitor dan bersifat racun. Nutrien yang merupaka asupan nutrisi bagi S. cerevisiae mulai berkurang, sehingga adanya persaingan antar mikroba yang mengakibatkan semakin cepat kematian (Satriyo Krido., dkk, 2011). e. Fase Kematian (Decline Phase) Tahapan pada fase ini terhentinya aktifitas kehidupan S. cerevisiae, dikarenakan tidak adanya energi yang digunakan untuk melakukan metabolisme (Satriyo Krido., dkk, 2011).
Gambar 4. Fase Pertumbuhan S. cerevisiae 20
Mekanisme dalam proses biosorpsi S. cerevisiae diawali dengan pengikatan logam pada gugus sulfur yang terdapat dari asam amino sistein yang terdapat pada dinding sel. Berikut kandungan asam amino yang terdapat dalam S. cerevisiae: Tabel 1. Kandungan Asam Amino dalam Khamir S. cerevisiae No. Asam Amino 1. Fenilalanin 2. Isoleusin 3. Lisin 4. Leusin 5. Metionin 6. Sistein 7. Treonin 8. Triptofan 9. Valin (Suriawiria, 1990)
Jumlah (%) 4,1-4,8 4,6-5,3 7,7-7,8 7,0-7,8 1,6-1,7 0,9 4,8-5,4 1,1-1,3 5,3-5,8
Gugus sulfur yang terdapat pada asam amino sistein sebesar 0,9% dalam ragi S. cerevisiae dimungkinkan dapat mengikat logam berat seperti timbal dan kadmium. Metallothionein sebagai protein pengikat logam (metal-binding protein) berfungsi dan berperan dalam pengikatan atau penyekapan logam dalam jaringan makhluk hidup. Kandungan dalam metallothionein berupa residu sistein yang dibutuhkan dalam mendetoksifikasi logam-logam berat dengan mengikat kation dalam logam transisi. Terdapat dua domain dalam metallothionein yang mempunyai peran fungsional yaitu domain β (N-terminal) yang terlibat dalam homeostasis dari ion logam esensial, dan domain α (Cterminal) yang mengikat dengan kuat logam-logam toksik (Ekawati, 2014).
21
Pertukaran ikatan dengan protein lain dalam metallothionein dapat berlangsung dengan mudah, meskipun metallothionein dapat mengikat logam dengan sangat kuat. Peristiwa ini karena ikatan metallothionein terhadap logam memiliki kestabilan termodinamik yang tinggi namun stabilitas kinetiknya rendah. Alasan inilah yang menjadikan metallothionein mempunyai fungsi biologis sebagai distributor dan mediator intraseluler terhadap logam-logam yang diikatnya (Ekawati, 2014).
4. Asam-Basa Lunak-Keras Asam-basa lunak merupakan asam basa yang elektron valensinya mudah dilepaskan, sedangkan asam-basa keras merupakan asam-basa yang mempunyai sifat terpolarisasi rendah karena sifatnya yang tidak mempunyai elektron valensi. Istilah lunak-keras bersifat relatif tanpa adanya pemisahan yang tajam antara keduanya. Daerah batas umumnya banyak terdapat pada logam-logam transisi. Golongan utama logam pada bagian kanan sistem periodik unsur bersifat asam lunak. Beberapa ion logam tertentu bersifat asam lunak karena muatan ion rendah dan keras karena muatan ion tinggi (Cowan, 1997). Pearson (1963) menjelaskan bahwa asam-basa Lewis dapat diklasifikasi sebagai asam basa lunak (soft) atau keras (hard). Asam-basa lunak adalah asam basa yang elektron-eletron valensinya mudah terpolarisasi atau dilepaskan, sedangkan asam-basa keras adalah asam-basa yang tiak mempunyai elektron valensi atau yang elektron valensinya sukar terpolarisasi.
22
Informasi yang paling penting untuk dipahami adalah bahwa istilah lunak-keras bersifat relatif tanpa adanya pemisahan yang tajam (mendadak) antara keduanya sehingga menghasilkan apa yang dapat dikatakan sebagai “daerah batas” (borderline) bagi keduanya. Secara umum, ion logam-logam yang terletak pada bagian kiri sistem periodik unsur bersifat asam keras; peristiwa ini paralel dengan rendahnya sifat elektronegatif atau tingginya sifat elektropositif logam-logam yang bersangkutan. Daerah batas umumnya terdapat pada logam-logam transisi. Golongan utama logam pada bagian kanan sistem periodik unsur bersifat asam lunak. Sifat asam juga berkaitan dengan muatan ion; beberapa ion logam tertentu bersifat aman lunak bagi muatan ion rendah dan keras bagi muatan ion ton tinggi. Beberapa contoh sifat asam-basa menurut klasifikasi Pearson dapat diperiksa pada Tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi Kriteria Lunak-Keras Asam Basa Lewis Acid Bases + + + + 2+ Hard (Keras) H , Li , Na , K , Be , H2O, NH3, N2H4, F-, Mg2+, Ca2+, Sr2+, Ti4+, Cr3-, Cl-,OH-, ROH, R2O, Cr6+, Mn2+, Mn7+, Fe3+, NOM-,ClO4-, Co3+, BF3, BCl3, Al3+, CH3COO-, O2-, CO32-, Al3+, AlCl3, AlH3, CO2, SO42-, PO43HX 2 Intermediate Fe2-, Co2+, Ni2+, Zn2+, Sn2+, Imidazole Piridine, 2+ + 3+ (Batasan) Pb , C6H5, NO , Sb , Pyridine Bi3+, SO2 3 Soft (Lunak) Cu+, Ag+, Au+, Hg+, Cd2+, H-, C4H4, C6H6, CO, Pd 2+, Pt 2+, Br2, atom- SCN-, CN-, I-, S2-, atom logam S2O32(K.H. Sugiyarto dkk, 2013) No 1
23
5. Pengukuran Pengukuran untuk memperoleh data selama pelaksanaan penelitian dilakukan menggunakan: a. Spektronik 20 Spektronik 20 dapat mengukur kepekaan sel dalam suspensi dengan parameter optical density (OD). Dalam mikrobiologi OD sebagai suatu hitungan karena OD sebanding dengan jumlah sel dalam suspensi biakan (Bibiana, 1994). Dalam penggunaanya, penentuan jumlah sel dengan spektronik 20 dengan parameter OD memerlukan dua tahap. Pada tahap pertama, spektronik 20 dikalibrasikan hingga mempunyai nilai 0 bila tidak ada sel. Langkah ini dilakukan dengan memasukkan kuvet yang berisi larutan blanko, sedangkan pada tahap kedua dilakukan dengan memasukkan kuvet yang berisi larutan sampel hingga diperoleh nilai OD (Bibiana, 1994). Pengukuran densitas optik dengan menggunakan spektronik 20 didasarkan pada pemisahan cahaya pada panjang gelombang 600 nm. Panjang gelombang 600 nm memiliki warna oranye, pemilihan panjang gelombang 600 nm ini dikarenakan dengan panjang gelombang 600 nm bahan organik lebih mudah menyerap cahaya. Prinsipnya gelombang cahaya akan melewati suspensi biakan hingga banyaknya cahaya yang akan ditransmisikan setelah melewati suspensi dapat
24
diukur. Jumlah cahaya yang ditransmisikan setelah melewati biakan berbanding terbalik dengan jumlah mikroorganisme. Densitas optik suatu supensi tidak langsung menunjukkan jumlah sampel dalam suatu populasi, namun menunjukkan jumlah cahaya yang disebar
oleh
populasi
tersebut.
Untuk
memperoleh
jumlah
sel
mikroorganisme, maka nilai kerapatan optik harus disetarakan dengan jumlah organisme. Semakin besar OD600 maka semakin banyak selnya (OD600 = 1 menjadi 107 sel/mL).
b. Spektroskopi Serapan Atom Spektrofotometri serapan atom adalah suatu metode yang digunakan untuk mendeteksi atom-atom logam dalam fase gas. Metode ini seringkali mengandalkan nyala untuk mengubah logam dalam larutan sampel menjadi atom-atom logam berbentuk gas yag digunakan untuk analisis kuantitatif dari logam dalam sampel. Metode spektrofotometri serapan atom berdasarkan pada prinsip absorpsi cahaya oleh atom. Atom-atom akan menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya.
Gambar 5. Komponen pada Spektrofotometer Serapan Atom 25
Spektroskopi serapan atom pada penelitian ini digunakan untuk mengukur jumlah konsentrasi Pb2+ yang tersisa maupun Pb2+ yang sudah terinteferensi oleh Cd2+. Metode analisis yang digunakan untuk mengukur jumlah atom logam yang kembali dari energi tinggi menuju pada energi dasarnya. Khopkar (1990) menjelaskan bahwa metode ini mampu mendeteksi logam sampai jumlah yang sangat kecil, yaitu bagian per juta (ppm). Dengan metode pengukuran ini dapat mendeteksi kadar logam berat salah satunya kadmium dan timbal dengan jumlah yang sangat kecil. Energi radiasi disebabkan oleh terjadinya perpindahan elektron ke tingkat energi yang lebih tinggi. Pengurangan interaksi yang ditimbulkan sebanding dengan jumlah atom pada tingkat energi dasar yang menyerap energi tersebut. Sehubungan dengan itu intensitas radiasi yang dapat diserap menunjukkan konsentrasi unsur dalam suatu larutan (Khopkar, 1990). Teknik analisis kuantitatif menggunakan spektrofotometer serapan atom digunakan untuk mengukur konsentrasi larutan dalam sampel dengan menggunakan kurva standar berdasarkan persamaan Lambert-Beer, A = bc. Bila dan b tetap maka persamaan Lambert-Beer secara matematik dapat dinyatakan dengan Y= aX. Y menyatakan besarnya absorbansi, X menyatakan konsentrasi dan a menyatakan tetapan dengan a= bc, merupakan koefisien ektingsi molar dan b adalah tebal media dalam cm.
26
B. Penelitian yang Relevan Nunik Ekawati (2014) melakukan penelitian mengenai biosorpsi ion logam Cd oleh biomassa S. cerevisiae dengan menggunakan logam simulasi. Biosorspi dilakukan dengan menambahkan biomassa S. cerevisiae yang telah diinokulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biomassa S. cerevisiae mencapai waktu optimum pada jam ke-6 dan pada suhu 25oC biomassa S. cerevisiae mencapai suhu optimum. Adanya interferensi logam lain mengakibatkan penurunan efisiensi biosorpsi dari 24,57% menjadi 16,23% dan pada variasi suhu inkubasi terjadi penurunan efisiensi dari 44,47% menjadi 35,22%. Sunardi (2011) telah melakukan penelitian adanya penurunan kadar krom (VI) dengan Sargassum Sp, S. cerevisiae dan kombinasinya pada limbah cair industri batik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan S. cerevisiae dapat digunakan untuk menurunkan kadar krom(VI) serta limbah cair industri batik. Rahmadhan dan Handajani (2010), melakukan penelitian untuk mengetahui biomassa S. cerevisiae sebagai biosorben untuk menyerap kandungan ion logam Cr yang terdapat pada larutan. Penelitian dilakukan dengan menguji kemampuan biosorpsi pada variasi pH, waktu kontak dan konsentrasi logam Cr. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa biosorpsi tertinggi mencapai 45% dengan kapasitas adsorpsi maksimum sebesar 62,5 mg Cr/g sorben. Muwardi et al (1997) telah meneliti mengenai pemanfaatan biomassa S. cerevisiae untuk penyerapan logam Pb2+. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurang lebih 86% dari total serapan terjadi pada 10 menit pertama waktu kontak 27
dengan serapan maksimum 33,04 mg Pb/g biomasaa. Veglio dan Beolchini (1996) telah menunjukkan kapasitas biosorpsi dari S. cerevisiae dalam mengurangi logam-logam seperti kobalt, zink, serta uranium.
C. Kerangka Berpikir Pesatnya arus globalisasi yang ditandai dengan perkembangan industri menyebakan pencemaran logam berat pada lingkungan, terutama pada lingkungan perairan. Logam berat yang banyak ditemukan di alam berupa timbal, yang menempati urutan ke dua sebagai zat yang paling sering ditemukan dan menimbulkan potensi yang signifikan bagi kesehatan manusia. Selain logam timbal tidak menutup kemungkinan adanya logam-logam berat lain yang terbawa dan mampu menyebabkan pencemaran lingkungan akuatik juga. Dalam penelitian ini digunakan logam berat kadmium sebagai simulasi keberadaan logam lain di alam. Untuk mengatasi masalah pencemaran logam tersebut perlu dilakukan penelitian dengan metode yang ramah lingkungan, salah satunya dengan biosorspi memanfaatkan sel ragi dengan menggunakan mikroorganisme. Mikroorganisme seperti jamur, khamir, bakteri, alga secara efisen dapat menyerap logam berat dengan memiliki berbagai keunggulan lebih murah dibandingkan metode fisikakimia. Penelitian ini menggunakan mikroorganisme S. cerevisiae yang berpotensi sebagai biosorben dan bioakumulator logam berat, diantaranya karena material dinding sel sebagai sumber pengikat logam yang tinggi.
28
Penelitian ini mengkaji mengenai kemampuan ragi S. cerevisiae dalam mengabsorpsi Pb2+ yang tercampur ion logam Cd2+ yang keduanya berbeda kelompok sesuai klasifikasi asam basa lunak-keras. Hal ini dilakukan berdasarkan keberadaan ion-ion logam lain dalam limbah selain ion Pb2+ yang mungkin dapat mengabsorpsi ion Pb2+. Ion logam dapat diabsorpsi oleh mikroorganisme S. cerevisiae dengan cara berikatan dengan gugus sulfida dan asam amino sistein pada protein dinding sel ragi S. cerevisiae. Berdasarkan klasifikasi asam basa lunak keras gugus sulfida termasuk ke dalam golongan basa lunak. Dengan demikian, secara teori dapat diramalkan bahwa gugus sulfida akan cenderung mengikat ion golongan asam lunak atau ion daerah batas. Berdasarkan konsep asam basa lunak keras ion logam Pb2+ dan ion logam Cd2+ terletak pada klasifikasi yang berbeda. Pb2+ terletak pada daerah batas dan Cd2+ terletak pada daerah asam lunak. Ditinjau dari elektron valensi gugus sulfida dan ion Pb2+ mempunyai elektron yang sesuai yaitu 2- dan 2+, sehingga dimungkinkan akan
lebih
mudah terjadi
ikatan.
Berdasarkan beberapa
kemungkinan di atas maka interferensi ion Cd2+ diduga akan berpengaruh dalam mempengaruhi biosorpsi ragi S. cerevisiae terhadap logam Pb2+ apabila kedua ion logam tersebut tercampur.
29
Pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan berbagai variasi yaitu waktu kontak dan pH media untuk mengetahui efisiensi biosorpsi ion Pb2+ yang terinteferensi ion logam Cd2+. Secara ringkas kerangka berpikir dapat ditampilkan melalui Gambar 6.
Gambar 6. Kerangka Berpikir Biosorpsi Menggunakan S. cerevisiae
30
BAB III METODE PENELITIAN
A. Subjek dan Objek Penelitian Subjek dan obyek penelitian ini dijelaskan secara rinci dengan memisahkan antara subyek penelitian dan obyek penelitian. 1. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini berupa sel ragi S. cerevisiae yang mampu membiosorpsi ion Pb2+ yang diinterferensi oleh ion Cd2+ pada pengaruh variasi waktu kontak dan pH media. 2. Objek Penelitian Objek penelitian ini berupa absorptivitas sel ragi S. cereviseae terhadap ion Pb2+ yang diinterferensi oleh ion Cd2+ pada pengaruh variasi waktu kontak dan pH media.
B. Variabel Penelitian Variabel penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat yang masing-masing variabel dijelaskan pada bagian berikut. 1. Variabel Bebas Variabel bebas pada penelitian adalah variasi perbandingan Pb2+ dan Cd2+ waktu kontak, yaitu 0; 2; 4; 6; 8 dan 10 jam, serta pH yaitu 3; 5; 7 dan 9.
31
2. Variabel Terikat Variabel terikat pada penelitian ini adalah jumlah ion Pb2+ yang dibiosorpsi oleh sel ragi S. cereviseae pada media pertumbuhan yang mengandung ion Pb2+.
C. Instrumen Penelitian Instrumen dalam penelitian ini terdiri dari alat penelitian, bahan penelitian, dan tempat penelitian sebagai berikut. 1. Alat Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Spektrofotometer Serapan Atom (SSA), Shaker Eyela, Autoklaf Model 25 No 25X Wiscosin Aluminium, sentrifuge H-103n Kokusan, laminar air flow (LAF) SCB- 4000A Shimadzu, timbangan analitik, tabung sentrifuge, mikropipet 10 mL; 5mL; dan 1 mL, labu ukur 100 mL, erlenmeyer, cawan petri, tabung reaksi, beakerglass, kawat ose, pipet tetes, stopwatch, tip, dan tabung fihn.
2. Bahan Penelitian Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: yeast extract, bacto pepton, bacto agar, sel ragi S. cerevisiae, NaOH 0,5 M, HNO3 0,5 M, serbuk Pb(NO3)2, serbuk CdSO4, kapas, kasa, kertas payung, karet dan akuades.
32
3. Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi FMIPA UNY dan Laboratorium Kimia Organik FMIPA UNY.
D. Prosedur Penelitian Sebagian besar kerja dan penelitian ini dilakukan dalam kondisi steril untuk menghindari
adanya
kontaminasi,
terutama
ketika
menggunakan
media
pertumbuhan dan inokulasi sel ragi. Inokulasi dilakukan di Laminar Air Flow (LAF) yang sebelumnya telah diberi sinar ultraviolet dan disemprot dengan alkohol 70%. Semua peralatan gelas, kawat ose, YPD ( Yeast Peptone Dextrosa ) cair dan padat harus disterilkan terlebih dahulu menggunakan autoklaf pada suhu 121 ͦ C dan tekanan 1 atm selama 15 menit (Widyatmoko, 2012). Pengukuran koloni mikroorganisme berdasarkan jumlah koloni secara kualitatif menggunakan spektronik 20 dengan λ = 600 nm. Sedangkan pengukuran secara kuantitatif dengan mengukur kadar timbal menggunakan SSA.
1. Pembuatan Media Yeast Pepton Dekstrosa (YPD) Padat Sebanyak 2 g glukosa, 1 g yeast extract, 2 g agarosa dan 2 g bacto pepton. Bacto pepton, yeast extract, dan agarosa dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL dan ditambah akuades hingga volume 70 mL. Glukosa dimasukkan dalam erlenmeyer lain dan ditambah akuades hingga volume 30 mL. Masing-masing
33
larutan disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121 ͦC selama 10 menit dan tekanan 1 atm, kemudian larutan dicampur di dalam Laminar Air Flow. Media dituangkan pada cawan petri dan ditunggu sekitar 10 menit hingga memadat (Widyatmoko, 2012). Media YPD padat dapat digunakan setelah dua hari untuk melihat ada tidaknya kontaminasi jamur lain.
2. Pembuatan Media Yeast Pepton Dekstrosa (YPD) Cair Sebanyak 2 g glukosa, 1 g yeast exctract, dan 2 g bacto pepton ditimbang. Bacto pepton dan yeast extract dicampur dalam erlenmeyer 250 mL dan ditambah akuades hingga volume 70 mL. Glukosa dimasukkan dalam erlenmeyer lain dan ditambah akuades hingga volume 30 mL. Masing–masing larutan disterilkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121 oC selama 10 menit dan tekanan 1 atm, kemudian larutan dicampur di dalam Laminar Air Flow. Media YPD cair siap digunakan (Widyatmoko, 2012).
3. Peremajaan Sel Ragi S. cerevisiae Media YPD padat pada cawan petri disiapkan. Sel ragi alami (wild type S. cereviseae) sebagai sel stok diambil dengan kawat ose steril. Sel yang menempel pada kawat ose digesekkan pada media YPD padat, kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 2 hari. Sel ragi dalam cawan petri ini
34
berperan sebagai sel stok dan disimpan pada alat pendingin dengan suhu 4 oC untuk dapat digunakan pada penelitian selanjutnya ( Widyatmoko, 2012).
4. Pembuatan Kultur Awal (Starter) Media YPD cair yang telah disterilkan menggunakan autoklaf dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Sel ragi pada media diambil menggunakan ose steril, kemudian dimasukkan ke dalam 10 mL YPD cair. Inkubasi dilakukan pada suhu kamar selama 12 jam (Widyatmoko, 2012).
5. Pengamatan Profil Pertumbuhan Ragi S. cerevisiae Sebanyak 25 mL media YPD cair dimasukkan dalam 2 buah Erlenmeyer 250 mL yang telah disterilkan terlebih dahulu. Media ditambah dengan starter masing-masing 0,5 mL (dari metode 4). Kultur tersebut diinkubasi menggunakan shaker dengan kecepatan 125 ppm pada suhu kamar selama 48 jam (erlenmeyer ditutup dengan kapas). Pengukuran OD600 dilakukan pada jam ke 0, 2, 4, 6, 8, 16, 24 dan 48. Profil pertumbuhan ragi S.cereviseae diketahui dengan
menghubungkan
grafik
antara
waktu
kontak
dengan
OD600
(Widyatmoko, 2012).
6. Pembuatan Larutan Induk Pb2+ Pembuatan larutan induk Pb2+ dilakukan dengan menimbang serbuk Pb(NO3)2 dan dilarutkan dengan akuades hingga larut dalam erlenmeyer. 35
Larutan tersebut kemudian dimasukkan dalam labu ukur 100 mL dengan menambahkan akuades hingga tanda batas. Kemudian larutan digojog hingga homogen. Larutan induk ini disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121 oC selama 10 menit dan tekanan 1 atm. Pembuatan larutan induk didasarkan pada perhitungan (Widyatmoko, 2012). Massa kristal Pb(NO3)2 = = = 159,848 mg
7. Pembuatan Larutan Induk Cd2+ Pembuatan larutan induk Cd2+ dilakukan dengan menimbang serbuk CdSO4 dan dilarutkan dengan akuades hingga larut dalam erlenmeyer. Larutan tersebut kemudian dimasukkan dalam labu ukur 100 mL dengan menambahkan akuades hingga tanda batas. Kemudian larutan digojog hingga homogen. Larutan induk ini disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121 oC selama 10 menit dan tekanan 1 atm. Pembuatan larutan induk didasarkan pada perhitungan (Widyatmoko, 2012). Massa kristal CdSO4 = = = 185,409 mg
36
8. Pengaruh Variasi Konsentrasi Pb2+ terhadap Pertumbuhan Ragi S. cerevisiae Tahap ini dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai konsentrasi larutan Pb2+ maksimum dengan kondisi sel ragi yang masih dapat hidup dengan baik. Variasi konsentrasi larutan Pb2+ yang digunakan yakni 0; 5; 10; 15; 20 dan 25 ppm (masing-masing dilakukan secara duplo). Volume larutan Pb2+ yang ditambahkan dapat ditentukan dengan rumus pengenceran berikut. V1 x C1 = V2 x C2 Keterangan: V1
: volume larutan Pb2+ yang akan ditambahkan
C1
: konsentrasi larutan Pb2+ yang akan ditambahkan
V2
: volume total sampel
C2
: konsentrasi larutan Pb2+ total sampel Volume total sampel yaitu 10 mL termasuk 0,5 mL starter. Melalui rumus
di atas, maka akan diperoleh volume larutan Pb2+ yang ditambahkan pada setiap variabel konsentrasi dapat dilihat pada Tabel 3.
37
Tabel 3. Volume Larutan Pb2+ pada Setiap Variasi Konsentrasi No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Konsentrasi Pb2+ (ppm) 0 5 10 15 20 25
VYPD (mL) 9,5 9,45 9,4 9,35 9,3 9,25
V Pb2+ (mL) 0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25
Vstarter (mL) 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5
VTotal Sampel (mL) 10 10 10 10 10 10
Sebanyak 12 buah erlenmeyer yang sudah disterilkan dengan autoklaf diisi dengan media YPD cair sesuai dengan tabel di atas. Setiap dua erlenmeyer diisi masing-masing 9,5 mL; 9,45 mL; 9,4 mL; 9,35 mL; 9,3 mL; dan 9,25 mL. Starter sebanyak 0,5 mL ditambahkan pada masing-masing media cair dan diinkubasi selama 6 jam, kemudian dilakukan pengukuran OD600 setelah media diinkubasi. Larutan Pb2+ ditambahkan sesuai dengan variasi konsentrasi, setelah media diinkubasi selama 6 jam. Masing-masing kultur diinkubasi kembali menggunakan shaker dengan kecepatan 125 rpm selama 10 jam (sesuai hasil dari profil pertumbuhan ragi) pada suhu kamar. Untuk mengetahui jumlah sel ragi yang mampu hidup dalam media yang telah diberi Pb2+, dapat dilakukan pengukuran dengan menggunakan spektronik 20. Data yang didapatkan berupa OD600 pada variasi konsentrasi Pb2+. Data ini kemudian digambarkan dalam sebuah grafik yang menjelaskan mengenai konsentrasi Pb2+ optimum dimana kondisi ragi S. cerevisiae masih tumbuh dengan baik.
38
9. Pengaruh Interferensi Variasi Konsentrasi Cd2+ terhadap Pertumbuhan Ragi S. cerevisiae Tahap ini dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai konsentrasi larutan Cd2+ maksimum dengan kondisi sel ragi yang masih dapat hidup dengan baik. Variasi konsentrasi larutan Cd2+ yang digunakan yakni 5; 10; 15; 20 dan 25 ppm (masing-masing dilakukan secara duplo). Volume larutan Pb2+ yang ditambahkan disesuaikan dari hasil konsentrasi pengaruh variasi konsentrasi Pb2+, sedangkan volume larutan Cd2+ dapat ditentukan dengan rumus pengenceran berikut. V1 x C1 = V2 x C2 Keterangan: V1
: volume larutan Cd2+ yang akan ditambahkan
C1
: konsentrasi larutan Cd2+ yang akan ditambahkan
V2
: volume total sampel
C2
: konsentrasi larutan Cd2+ total sampel Volume total sampel yaitu 10 mL termasuk 0,5 mL starter, dan 0,15 mL
Pb2+. Dengan menggunakan rumus diatas, maka akan diperoleh volume larutan Cd2+ yang ditambahkan pada setiap variabel konsentrasi dapat dilihat pada Tabel 4.
39
Tabel 4. Volume Larutan Cd2+ pada Setiap Variasi Konsentrasi
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Konsentrasi Cd2+ (ppm) 5 10 15 20 25
VYPD (mL) 9,3 9,25 9,2 9,15 9,1
VLarutan Cd2+ (mL) 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25
VLarutan Pb2+ (mL)
VStarter (mL)
VTotal Sampel (mL)
0,15 0,15 0,15 0,15 0,15
0,5 0,5 0,5 0,5 0,5
10 10 10 10 10
Sebanyak 10 buah erlenmeyer yang sudah disterilkan dengan autoklaf diisi dengan media YPD cair sesuai dengan tabel di atas. Setiap dua erlenmeyer diisi masing-masing 9,3 mL; 9,25 mL; 9,2 mL; 9,15 mL; dan 9,1 mL. Starter sebanyak 0,5 mL ditambahkan pada masing-masing media cair dan diinkubasi selama 6 jam, kemudian dilakukan pengukuran OD600 setelah media diinkubasi. Larutan Cd2+ sesuai dengan variasi konsentrasi dan larutan Pb2+ ditambahkan, setelah media diinkubasi selama 6 jam. Masing-masing kultur diinkubasi kembali menggunakan shaker dengan kecepatan 125 rpm selama 10 jam (sesuai hasil dari profil pertumbuhan ragi) pada suhu kamar. Untuk mengetahui jumlah sel ragi yang mampu hidup dalam media yang telah diberi Pb2+ dengan
interferensi
Cd2+,
dapat
dilakukan pengukuran dengan
menggunakan spektronik 20. Data yang didapatkan berupa OD600 pada variasi konsentrasi Pb2+ dengan adanya interferensi Cd2+. Data ini kemudian digambarkan dalam sebuah grafik yang menjelaskan mengenai konsentrasi Pb2+ optimum dimana kondisi ragi S. cerevisiae masih tumbuh dengan baik walaupun dengan adanya interferensi Cd2+.
40
10. Pengaruh Variasi Waktu Kontak terhadap Biosorpsi Ion Pb2+ Sebanyak 12 buah erlenmeyer 100 mL steril dilakukan secara duplo ( 2 kali ulangan ) disiapkan dan diisi dengan media YPD cair steril masingmasing 9,35 mL (berdasarkan konsentrasi optimum pada Pb2+ 15 ppm). Pengambilan media itu dilakukan di dalam Laminar Air Flow dan ditambah dengan 0,5 mL, starter pada media di atas kemudian diinkubasi pada kecepatan 125 rpm selama 6 jam. Kultur ragi diambil 2 mL untuk pengukuran OD600 nya. Larutan Pb2+ ditambahkan sebanyak 0,15 mL dan diinkubasi pada suhu kamar, masing-masing pada variasi waktu 0, 2, 4, 6, 8, dan 10 jam dengan kecepatan 125 rpm selama 10 jam (waktu kontak optimum). Besarnya OD 600 kultur ragi diukur setiap variasi waktu kontak kemudian dibuat grafik yang menghubungkan antara waktu kontak versus OD600. Masing-masing kultur ragi disentrifugasi pada 3000 rpm selama 15 menit . Supernatan diambil dengan hati-hati dan ditambah dengan 3 tetes HNO3 pekat. Kandungan logam Pb2+ sisa pada supernatan diukur dengan menggunakan SSA. Konsentrasi akhir Pb2+ akhir dapat diketahui dengan bantuan kurva larutan standar Pb2+, sehingga diperoleh waktu kontak optimum untuk proses biosorpsi ion Pb2+ oleh sel ragi S. cerevisiae.
41
11. Pengaruh Interferensi Cd2+ terhadap Penyerapan Ion Pb2+ oleh Sel Ragi S.cereviseae pada Variasi Waktu Kontak Pada tahap ini sebanyak 12 buah Erlenmeyer 100 mL steril dilakukan secara duplo (2 kali ulangan) disiapkan dan diisi dengan media YPD cair steril masing-masing 9,15 mL. Pengambilan media itu dilakukan dilakukan di dalam Laminar Air Flow ditambah dengan 0,5 mL starter pada media di atas kemudian diinkubasi pada kecepatan 125 rpm selama 6 jam. Kultur ragi diambil 2 ml untuk pengukuran OD600-nya. Larutan Pb2+ ditambahkan sebanyak 0,2 mL dan larutan Cd2+ ditambahkan sebanyak 0,15 mL dan diinkubasi dengan menggunakan Waterbatch shaker masing-masing pada variasi 0, 2, 4, 6, 8, dan 10 jam dengan kecepatan 125 rpm selama 10 jam (waktu kontak optimum). Besar OD600 kultur ragi diukur pada setiap variasi waktu kontak, kemudian dibuat grafik yang menghubungkan antara waktu kontak versus OD600. Kultur ragi disentrifugasi pada 3000 rpm selama 15 menit. Supernatan diambil dengan hati-hati dan ditambah dengan 3 tetes HNO3 pekat. Kandungan logam Pb2+ sisa dalam supernatant diukur dengan menggunakan SSA. Konsentrasi Pb2+ akhir dapat diketahui dengan bantuan kurva larutan standar Pb2+, sehingga diperoleh waktu kontak.
42
12. Pengaruh Variasi pH Media terhadap Biosorpsi Ion Pb2+oleh Ragi S. cereviseae Disiapkan 8 buah erlenmeyer 100 mL dilakukan secara duplo (2 kali ulangan) disiapkan dan diisi dengan media YPD cair yang telah disterilkan dengan menggunakan autoklaf masing-masing sebanyak 9,35 mL. Pengambilan YPD cair dilakukan di dalam Laminar Air Flow, kemudian pH media diatur pada variasi 3, 5, 7, dan 9 ditambah dengan HCl atau NaOH. Sebanyak 0,5 mL starter ditambahkan pada media diinkubasi selama 6 jam (berdasarkan waktu kontak optimum). Kemudian 2 mL diambil dan diukur OD600nya. Larutan Pb2+ ditambah sebanyak 0,15 mL (konsentarasi optimum) dan diinkubasi dengan kecepatan 125 rpm selama 6 jam (berdasarkan waktu kontak optimum). OD600 kultur ragi diukur untuk setiap variasi pH media versus OD600. Masing-masing kultur utama ragi disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Supernatan diambil dengan hati-hati dan ditambah dengan 3 tetes HNO3 pekat agar tidak terjadi pengendapan. Kandungan logam Pb2+ sisa dalam supernatant diukur dengan menggunakan SSA. Konsentrasi Pb2+ akhir dapat diketahui dengan bantuan kurva larutan standar Pb2+, sehingga diperoleh pH optimum untuk proses biosorpsi Pb2+ oleh sel ragi S. cereviseae.
43
13. Pengaruh Interferensi Cd2+ terhadap Penyerapan Ion Pb2+ oleh Sel Ragi S. Cereviseae pada Variasi pH Media Disiapkan 8 buah erlenmeyer 100 mL dilakukan secara duplo (2 kali ulangan) disiapkan dan diisi dengan media YPD cair yang telah disterilkan dengan menggunakan autoklaf masing-masing sebanyak 9,15 mL. Pengambilan YPD cair dilakukan di dalam Laminar Air Flow, kemudian pH media diatur pada variasi 4, 5, 7, dan 9 ditambah dengan HCl atau NaOH pekat. Sebanyak 0,5 mL starter ditambahkan pada media diinkubasi selama 6 jam, kemudian 2 mL kutur diambil dan diukur OD600-nya. Larutan Pb2+ ditambahkan sebanyak 0,2 mL dan larutan Cd2+ ditambahkan sebanyak 0,2 mL dan diinkubasi pada suhu kamar masing-masing pada variasi pH 4, 5, 7, 9 dengan kecepatan 125 rpm selama 10 jam (waktu kontak optimum). OD600 kultur ragi diukur pada setiap variasi suhu inkubasi kemudian dibuat grafik yang menghubungkan antara suhu inkubasi versus OD600. Masing-masing kultur utama ragi disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Supernatan diambil dengan hati-hati dan ditambah dengan 3 tetes HNO3 pekat agar tidak terjadi pengendapan. Kandungan logam Pb2+ sisa dalam supernatan diukur dengan menggunakan SSA. Konsentrasi Pb2+ akhir dapat diketahui dengan bantuan kurva larutan standar Pb2+ sehingga diperoleh pH optimum untuk proses biosorpsi Pb2+ oleh sel ragi S. cereviseae.
44
E. Teknis Analisis Data Data yang telah diperoleh dari hasil pengumpulan data selanjutnya dianalisis untuk memperoleh makna. Teknik analisis data dilakukan terhadap data yang meliputi: 1. Pengukuran dengan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) Analisis kuantitatif terhadap hasil pengamatan data absorbansi larutan standar Pb2+ dan larutan sampel dapat dilakukan sebagai berikut: a. Penentuan Persamaan Garis Regresi Linier Larutan Standar Dalam membuat regresi linier, nilai koefisien korelasi (r) sangat penting karena menunjukkan adakah hubungan yang nyata antara x dan y sehingga nilai r harus mendekati angka 1. Apabila nilai r menunjukkan hubungan yang nyata antara data x dan y, persamaan garis baru dapat dipakai untuk menghitung a dan b. Nilai r, a, dan b dapat diperoleh dengan menggunakan rumus berikut. ∑ xy−(
r= √ (∑ y2 −
a= b=
2 (∑ y ) n
∑x∑y ) n
) −
2
(∑ x −
(∑ x)2 ) n
∑ y.∑ x2 − ∑ x.∑ xy 2
n.∑ x2 −(∑ x)
n ∑ xy− ∑ x.∑ y 2 n.∑ x2 −(∑ x)
Keterangan: x : konsentrasi larutan standar (ppm)
45
y : absorbansi larutan standar a : intersep b : slope r : koefisien relatif n : frekuensi data b. Pengujian Linearitas Persamaan Garis Regresi Persamaan garis regresi yang linier dapat diketahui dengan adanya hubungan yang bermakna antara absorbansi dengan konsentrasi larutan. Linearitas persamaan garis regresi dilakukan dengan menghitung Freg menggunakan rumus: ∑𝑥𝑦 = ∑𝑋𝑌 − ∑𝑥 2 = ∑𝑋 2 − ∑𝑦 2 = ∑𝑌 2 − 𝐽𝐾𝑟𝑒𝑔 =
(∑𝑋)(∑𝑌) 𝑁
(∑𝑋)2 𝑁 (∑𝑌)2 𝑁
(∑𝑥𝑦)2 ∑𝑥 2
𝐽𝐾𝑟𝑒𝑠 = ∑𝑦 2 −
(∑𝑥𝑦)2 ∑𝑥 2
𝑑𝑏𝑟𝑒𝑔 = 1 𝑑𝑏𝑟𝑒𝑠 = 𝑁 − 2 𝐽𝐾𝑟𝑒𝑔
𝑅𝐽𝐾𝑟𝑒𝑔 = 𝑑𝑏
𝑟𝑒𝑔
𝐽𝐾
𝑅𝐽𝐾𝑟𝑒𝑠 = 𝑑𝑏𝑟𝑒𝑠
𝑟𝑒𝑠
46
𝐹𝑟𝑒𝑔 =
𝑅𝐽𝐾𝑟𝑒𝑔 𝑅𝐽𝐾𝑟𝑒𝑠
Keterangan: N
: banyaknya data
JK
: jumlah kuadrat
RJKreg
: rerata jumlah kuadrat regresi
RJKres
: rerata jumlah kuadrat residu
db
: derajat kebebasan
Freg
: harga bilangan F garis regresi
Harga Freg hasil perhitungan dibandingkan dengan harga Freg tabel pada taraf signifikansi 1% dengan derajat kebebasan dbreg = 1. Jika harga Freg hitung lebih besar daripada Freg tabel maka persamaan garis regresi dinyatakan linier. c. Penentuan Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ Efisiensi biosorpsi ion logam Pb2+ dapat dihitung berdasarkan rumus berikut: 𝐸=
𝐶𝑎𝑤𝑎𝑙 −𝐶𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝐶𝑎𝑤𝑎𝑙
𝑥 100%
Keterangan: E
: efisiensi biosorpsi ion logam Pb2+
Cawal : konsentrasi ion ion logam Pb2+ sebelum biosorpsi. Cakhir : konsentrasi ion ion logam Pb2+
47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Profil Pertumbuhan S. Cerevisiae Pengukuran Optical Density (OD) dilakukan dengan menggunakan Spectronic 20 pada panjang gelombang 600 nm. Alasan pengukuran sel dengan menggunakan OD600 dikarenakan metode ini memiliki beberapa keuntungan dibandingkan metode lain, yang berupa, tidak memerlukan banyak peralatan gelas, dan tidak memerlukan waktu yang lama. Data yang diperoleh dapat disajikan dalam bentuk kurva pertumbuhan, yang menunjukkan gambaran mengenai profil serta kecepatan pertumbuhan dari sel S. cerevisiae. Berdasarkan kurva pertumbuhan ini dapat diketahui kondisi sel S. cerevisiae yang dihasilkan optimum, dimana asupan nutrisi bagi sel S. cerevisiae masih tersedia dan kultur dari sel telah berada pada kondisi aktif. Sehubungan dengan kondisi tersebut, diharapkan ragi S. cerevisiae yang digunakan dalam penelitian dapat berfungsi sebagai biosorben yang baik. Sebelum dilakukan pengukuran OD600, ragi S. cerevisiae yang terdapat dalam agar miring diinokulasi menggunakan kawat ose ke dalam media YPD cair dengan inkubasi selama 48 jam. Pengukuran absorbansi terhadap kultur sel dilakukan pada jam ke 0, 2, 4, 6, 8, 16, 24 dan 48 jam dengan menggunakan panjang gelombang 600 nm. Nilai yang dihasilkan dari pengukuran OD 600 sebanding dengan jumlah sel ragi S. cerevisiae. Untuk nilai OD600 sebesar 1 48
menunjukkan bahwa sel ragi yang terdapat di dalam kultur berjumlah sekitar 107 sel/mL. Larutan blanko yang digunakan yaitu media cair tanpa penambahan sel ragi. Data absorbansi kultur sel ragi S. cerevisiae disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Data Absorbansi Kultur Ragi S. cerevisiae waktu (jam)
No.
Pengenceran (kali)
OD600
Konsentrasi (Sel/mL)
1. 0 0,155 1,55 x 106 2. 2 0,175 1,75 x 106 3. 4 0,208 2,08 x 106 4. 6 0,323 3,23 x 106 5. 8 0,587 10 5,87 x 107 6. 16 0,638 10 6,38 x 107 7. 24 0,521 10 5,21 x 107 8. 48 0,495 10 4,95 x 107 Konsentrasi = OD600 x faktor pengenceran x 107 sel/mL Data pada Tabel 5. bila dilukiskan dalam bentuk kurva (kurva pertumbuhan) disajikan pada Gambar 7. 0.7
0.638
0.587
0.6
0.521
0.495
OD600
0.5 0.4
0.323
0.3 0.208 0.175
0.155 0.2
0.1 0 0
10
20
30
40
50
WAKTU (JAM)
Gambar 7. Kurva Pertumbuhan Sel Ragi S. cerevisiae
49
60
Berdasarkan Gambar 7 diperoleh ilustrasi yang menunjukkan bahwa sel ragi S. cerevisiae memiliki fase adaptasi pada jam ke-0 sampai jam ke-4 Fase adaptasi terjadi karena sel ragi S. cerevisiae mulai menyesuaikan diri dengan media pertumbuhan baru dan dapat tumbuh dengan baik. Fase selanjutnya yaitu fase pertumbuhan (eksponensial) yang terjadi pada jam ke-6 hingga jam ke-16. Pada fase ini sel S. cerevisiae mulai mengalami pertumbuhan serta perkembangbiakan secara optimal. Setelah mengalami fase pertumbuhan sel S. cerevisiae mengalami fase stationer pada jam ke-16 hingga jam ke-48. Setelah inkubasi selama 48 jam terjadi penurunan jumlah sel ragi yang menunjukkan bahwa sel S. cerevisiae telah memasuki fase kematian. Fasa kematian dapat disebabkan oleh berkurangnya sumber nutrisi yang dapat diserap sel S. cerevisiae, sehingga ragi mengalami penurunan jumlah sel dan mengakibatkan kematian. Berdasarkan hasil di atas diperoleh informasi yang berhubungan dengan ketepatan waktu dalam penambahan ion logam. Penambahan ion Pb2+ maupun Cd2+ pada kultur sel dapat dilakukan pada jam ke-6. Pada jam ke-6 menunjukkan sel S. cerevisiae telah memasuki fase pertumbuhan. Penambahan ion Pb2+ maupun Cd2+ yang dilakukan sebelum jam ke-6 dikhawatirkan akan mengganggu fase pertambuhan dari S. cerevisiae.
B. Pengaruh Konsentrasi Ion Pb2+ terhadap Pertumbuhan Sel S. cerevisiae Pertumbuhan sel ragi dapat diamati dari nilai OD 600 yang mewakili jumlah mikroorganisme dalam suspensi. Data OD600 kultur sel diperlukan untuk
50
mengetahui konsentrasi Pb2+ optimum, kondisi yang menunjukkan ragi masih dapat hidup dengan baik. Profil pertumbuhan ragi S. cerevisiae ketika dikontakkan dengan variasi konsentrasi larutan Pb2+ disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. OD600 Kultur Ragi S. cerevisiae pada Variasi Konsentrasi Pb2+ No.
Pb2+ (ppm)
1.
0
2.
5
3.
10
4.
15
5.
20
6.
25
OD600 awal
Ratarata
0,112
0,104
0,096 0,208 0,196 0,199 0,212 0,215 0,220 0,222 0,242 0,270 0,258
0,202 0,206 0,218 0,232 0,264
OD600 akhir 0,132 0,186 0,296 0,220 0,230 0,232 0,271 0,230 0,292 0,293 0,281 0,272
Ratarata
Pengence ran
Konsentrasi (sel/mL)
0,159
10
1,59 x 107
0,258
10
2,58 x 107
0,231
10
2,31 x 107
0,251
10
2,51 x 107
0,293
10
2,93 x 107
0,277
10
2,77 x 107
Data mengenai pertumbuhan sel S. cerevisiae yang terdapat pada Tabel 6 bila diilustrasikan dalam bentuk grafis disajikan sesuai Gambar 8. OD600 awal inkubasi
OD600 akhir inkubasi
0.30
0.25
OD600
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00 0
5
10
15
20
25
Konsentrasi (ppm)
Gambar 8. Grafik Hubungan Konsentrasi Pb2+ dengan Besarnya OD600.
51
Pengukuran OD600 kultur sel S. cerevisiae dilakukan sebelum dikontakkan dengan larutan Pb2+ yaitu pada jam ke-6 yang merupakan fase adaptasi dari S. cerevisiae, dan pada jam ke-16 setelah dikontakkan dengan larutan Pb2+ selama 10 jam. Dari pengukuran OD600 dapat diperoleh konsentrasi ion Pb2+ maksimum, namun kondisi ragi S. cerevisiae masih dapat hidup dengan baik. Rerata besarnya OD600 kultur sel ragi sebelum maupun setelah dikontakkan dengan larutan Pb2+ menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan terhadap pertumbuhan sel S. cerevisiae. Berdasarkan Gambar 8 menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi ion Pb2+ menyebabkan semakin kecil rerata OD600. Semakin kecil rerata OD600 ini dapat disebabkan adanya ion Pb2+ dalam media yang dapat menghambat pertumbuhan sel S. cerevisiae. Pada konsentrasi Pb2+, 0 sampai dengan 20 ppm nilai OD600 mengalami peningkatan dan menurun pada konsentrasi 25 ppm. Konsentrasi maksimum Pb2+ pada penelitian ini adalah 20 ppm dengan nilai OD600 sebesar 0,293. Pada konsentrasi tersebut sel S. cerevisiae masih tumbuh dengan baik. Untuk penelitian selanjutnya menggunakan konsentrasi ion Pb2+ sebesar 15 ppm, hal ini karena jika menggunakan konsentrasi ion Pb2+ sebesar 20 ppm sel S. cerevisiae berada pada fase pertumbuhan maksimum dan akan menyebabkan pertumbuhan ragi S. cerevisiae tidak optimal. Konsentrasi 15 ppm ini digunakan untuk mengetahui efisiensi biosorpsi ion Pb2+ variasi waktu kontak dan pH media tanpa dan adanya interferensi Cd2+ pada tahapan selanjutnya.
52
C. Pengaruh Interferensi Variasi Konsentrasi Cd2+ terhadap Pertumbuhan Ragi S. cerevisiae Pertumbuhan sel ragi dapat diamati dari nilai OD 600 yang mewakili jumlah mikroorganisme dalam suspensi. Data OD600 kultur sel diperlukan untuk mengetahui kondisi pertumbuhan S. cerevisiae yang medianya mengandung konsentrasi Pb2+ optimum dari penelitian sebelumnya sebesar 15 ppm, serta dengan adanya interferensi Cd2+. Profil pertumbuhan ragi S. cerevisiae ketika dikontakkan adanya dengan variasi konsentrasi larutan Cd 2+ yang disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. OD600 Kultur Ragi S. cerevisiae dengan Interferensi Variasi Konsentrasi Cd2+
No.
Cd2+ (ppm)
1.
5
2.
10
3.
15
4.
20
5.
25
OD600 awal 0,121 0,116 0,178 0,196 0,190 0,202 0,186 0,230 0,214 0,232
Ratarata 0,119 0,187 0,196 0,208 0,223
OD600 akhir 0,133 0,156 0,216 0,220 0,200 0,222 0,241 0,251 0,243 0,253
Ratarata
Pengenceran
Konsentrasi (Sel/mL)
0,145
10
1,45 x 107
0,218
10
2,18 x 107
0,211
10
2,11 x 107
0,246
10
2,46 x 107
0,248
10
2,48 x 107
Data mengenai pertumbuhan sel S. cerevisiae yang terdapat pada Tabel 7 bila diilustrasikan dalam bentuk grafis disajikan sesuai Gambar 9.
53
OD600 awal inkubasi
OD600 akhir inkubasi 0.25
0.20
OD600
0.15
0.10
0.05
0.00 5
10
15
20
Konsentrasi Cd
25
2+
Gambar 9. Grafik Hubungan Kultur Ragi Interferensi Variasi Konsentrasi Cd 2+ OD600.
Pengukuran OD600 kultur sel S. cerevisiae dilakukan sebelum dikontakkan dengan larutan Pb2+ dan Cd2+ yaitu pada jam ke-6 yang merupakan fase adaptasi dari S. cerevisiae, dan pada jam ke-16 setelah dikontakkan dengan larutan Pb2+ dan Cd2+ selama 10 jam. Dari pengukuran OD600 dapat diperoleh konsentrasi ion Pb2+ maksimum walaupun dengan adanya variasi interferensi Cd2+, namun kondisi ragi S. cerevisiae masih dapat hidup dengan baik. Rerata besarnya OD600 kultur sel ragi sebelum maupun setelah dikontakkan dengan larutan Pb2+ menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan terhadap pertumbuhan sel S. cerevisiae. Berdasarkan Gambar 9 menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi ion Cd2+ menyebabkan semakin besar rerata OD600. Pada konsentrasi Cd2+, 5 sampai dengan 25 ppm nilai OD600 mengalami peningkatan. Konsentrasi maksimum Cd2+ pada penelitian ini adalah 25 ppm
54
dengan nilai OD600 sebesar 0,248. Pada konsentrasi tersebut sel S. cerevisiae masih tumbuh dengan baik. Untuk penelitian selanjutnya menggunakan konsentrasi ion Cd2+ sebesar 20 ppm, hal ini karena jika menggunakan konsentrasi ion Cd 2+ sebesar 25 ppm sel S. cerevisiae berada pada fase pertumbuhan maksimum dan akan menyebabkan pertumbuhan ragi S. cerevisiae tidak optimal. Konsentrasi 20 ppm ini digunakan untuk mengetahui efisiensi biosorpsi ion Pb2+ pada variasi waktu kontak dan pH media dengan interferensi Cd2+. D. Pengaruh Waktu Kontak terhadap Efisiensi Biosorpsi Ion Pb 2+ Profil pertumbuhan ragi S. cerevisiae saat dikontakkan dengan larutan Pb2+ sebesar 15 ppm pada variasi waktu kontak selama 0, 2, 4, 6, 8, dan 10 jam disajikan pada Tabel 8. Pengukuran OD 600 dilakukan sebelum dikontakkan dengan larutan Pb2+, yaitu pada jam ke-6 dan setelah dikontakkan selama 10 jam, pada jam ke-16. Pengukuran konsentrasi Pb2+ dilakukan dengan menggunakan SSA terhadap kultur sel pada jam ke-6 untuk mengetahui konsentrasi awal dan pada jam ke-16 untuk mengetahui konsentrasi akhir Pb2+. Berdasarkan data besarnya OD600 pada Tabel 8 menunjukkan bahwa waktu kontak dapat mempengaruhi pertumbuhan ragi S. cerevisiae pada media yang mengandung Pb2+ 15 ppm.
55
Tabel 8. OD600 Ragi S. cerevisiae pada Variasi Waktu Kontak
No.
Waktu Kontak (Jam)
1.
0
2.
2
3.
4
4.
6
5.
8
6.
10
OD600 Awal 0,266 0,260 0,360 0,378 0,385 0,389 0,408 0,360 0,366 0,337 0,297 0,371
Pengenceran
Rata -rata
Konsentrasi (Sel/mL)
10
0,26
2, 63 x 107
10
0,37
3,69 x 107
10
0,39
3,87 x 107
10
0,38
3,84 x 107
10
0,35
3,52 x 107
10
0,33
3,34 x 107
OD600 Akhir
Rata -rata
Pengenceran (x)
Konsentrasi (Sel/ml)
0,290 0,310 0,422 0,458 0,474 0,408 0,486 0,468 0,420 0,413 0,371 0,382
0,30 0
10
3,00 x 107
0,44 0
10
4,40 x 107
0,44 1
10
4,41 x 107
0,47 7
10
4,77 x 107
0,41 7
10
4,17 x 107
0,37 7
10
3,77 x 107
Pada variasi waktu 0 sampai dengan 6 jam nilai OD600 mengalami peningkatan dan menurun mulai variasi waktu 8 jam dan 10 jam. Hal ini menandakan bahwa sel S. cerevisiae masih dapat tumbuh dengan baik pada rentang waktu 0-6 jam, meskipun adanya ion Pb2+ dalam media pertumbuhan ragi. Hasil pada Tabel 8, dapat diilustrasikan melalui Gambar 10 yang menunjukkan bahwa semakin lama variasi waktu media yang mengandung larutan ion Pb2+ menyebabkan semakin kecil rerata OD600. Semakin kecil rerata OD600 ini dapat disebabkan adanya ion Pb2+ dalam media yang dapat menghambat pertumbuhan sel S. cerevisiae.
56
OD600 awal inkubasi
OD600 akhir inkubasi
0.50 0.45 0.40
Rerata OD600
0.35 0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00 -1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Waktu Kontak (Jam)
Gambar 10. Hubungan antara OD600 Sel Ragi S. cerevisiae Sebelum dan Sesudah Dikontakkan pada Variasi Waktu Kontak. Data mengenai selisih antara konsentrasi Pb2+ awal dengan konsentrasi Pb2+ akhir menggambarkan jumlah ion logam yang terserap oleh S. cerevisiae. Besarnya data tersebut dapat dihitung dengan menggunakan persamaan garis regresi linier dari kurva kalibrasi larutan standar Pb2+ yang memiliki persamaan Y= 0,03087x + 0,002, dengan variabel x yang menandakan besarnya konsentrasi Pb2+ dalam ppm, serta variabel Y yang menggambarkan besarnya absorbansi larutan. Data hasil pengukuran SSA mengenai konsentrasi ion Pb2+ yang terbiosorpsi oleh S. cerevisiae disajikan pada Tabel 9.
57
Tabel 9. Konsentrasi Ion Pb2+ yang Terbiosorpsi pada Variasi Waktu Kontak No
Waktu Kontak (Jam)
1.
0
2.
2
3.
4
4.
6
5.
8
6.
10
Pb2+ Awal (ppm) 15,34 15,26 15,15 15,88 15,15 15,65 15,98 15,32 15,9 15,56 15,72 15,42
Ratarata
Pb2+ Akhir (ppm) 6,78 5,96 5,23 4,11 4,28 3,27 4,41 1,66 4,34 4,67 4,04 4,25
15,34 15,15 15,4 15,98 15,9 15,72
Rata-rata
Pb2+ Terabsorpsi (ppm)
6,37
8,97
4,67
10,48
3,775
11,375
3,035
12,945
4,505
11,395
4,145
11,575
Hasil pada Tabel 9, dapat diilustrasikan melalui Gambar 11
yang
menunjukkan hubungan antara konsentrasi Pb2+ yang terbiosorpsi dengan waktu kontak. Dalam grafik ini dapat dilihat waktu kontak maksimum dari ragi S. cerevisiae yang media pertumbuhannya mengandung ion logam Pb2+. B
12
11
2+
Konsentrasi ion Pb yang terbiosorpsi (ppm)
13
10
9
0
2
4
6
8
10
Waktu (jam)
Gambar 11. Grafik Hubungan antara Variasi Waktu Kontak dengan Konsentrasi Ion Pb2+ yang terbiosorpsi.
58
Melalui konsentrasi Pb2+ yang terbiosorpsi dapat dilakukan perhitungan efisiensi biosorpsi yang disajikan melalui Tabel 10. Tabel 10. Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ pada Variasi Waktu Kontak No.
Sampel
1. 2. 3. 4. 5. 6.
A B C D E F
Waktu Kontak (Jam) 0 2 4 6 8 10
Efisiensi Biosorpsi (%) 58,47 69,17 75,08 81,01 71,67 73,63
Berdasarkan perhitungan dari Tabel 10 dapat dibuat grafik yang menyatakan hubungan antara efisiensi penyerapan S. cerevisiae dengan variasi waktu kontak. 85
Efisiensi Penyerapan (%)
80
75
70
65
60
55 0
2
4
6
8
10
Waktu Kontak (Jam)
Gambar 12. Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ oleh Sel Ragi S. cerevisiae pada Variasi Waktu Kontak Pada Gambar 12 menunjukkan bahwa konsentrasi ion Pb2+ yang terbiosorpsi oleh sel ragi S. cerevisiae mengalami kenaikan pada jam ke-2 hingga jam ke-4 dan maksimum pada jam ke-6 dengan efisiensi sebesar 81,01%. Konsentrasi ion Pb2+
59
yang terserap mengalami penurunan pada jam ke-8 sampai ke-10. Penurunan efisiensi biosorpsi terjadi karena ragi mengalami kejenuhan serta dapat pula dimungkinkan karena petumbuhan ragi terhambat oleh adanya ion Pb2+. Data rerata OD600 kultur sel dan konsentrasi ion logam Pb2+ dalam sampel menunjukkan bahwa ragi masih dapat tumbuh dan memiliki efisiensi penyerapan logam Pb2+ maksimum pada waktu kontak 6 jam. E. Interferensi Ion Cd2+ terhadap Biosorpsi Ion Pb2+ pada Variasi Waktu Kontak Data pertumbuhan sel ragi S. cerevisiae setelah dikontakkan dengan larutan Pb2+ pada variasi waktu kontak dengan adanya interferensi logam Cd 2+ disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. OD600 pada Variasi Waktu Kontak dengan Interferensi Cd2+
Waktu No. Kontak (Jam) 1.
0
2.
2
3.
4
4.
6
5.
8
6.
10
OD600 Awal 0,18 0,213 0,228 0,275 0,28 0,278 0,408 0,36 0,31 0,328 0,28 0,345
Pengenceran (x) 10 10 10 10 10 10
Rata -rata 0,19 7 0,25 2 0,27 9 0,38 4 0,31 9 0,31 3
60
Konsentr OD600 asi Akhir (Sel/mL) 0,21 1,97 x 7 10 0,285 0,305 2,52 x 7 10 0,315 0,351 2,79 x 107 0,349 0,476 3,84 x 7 10 0,383 0,336 3,19 x 7 10 0,38 0,284 3,13 x 7 10 0,385
Rata- Pengenrata ceran (x) 0,248
10
0,310
10
0,350
10
0,430
10
0,358
10
0,335
10
Konsentr asi (Sel/mL) 2,48 x 107 3,10 x 107 3,5 x 107 4,30 x 107 3,58 x 107 3,35 x 107
Pengukuran OD600 terhadap kultur sel ragi dilakukan pada jam ke-6 sebelum dikontakkan dengan larutan Pb2+ dan ion Cd2+. Pengukuran berikutnya dilakukan pada jam ke-16. Konsentrasi ion logam yang terbiosorpsi oleh sel ragi diukur menggunakan SSA pada jam ke-6 untuk konsentrasi awal dan jam ke-16 untuk konsentrasi akhir. Berdasarkan data OD600 seperti yang tersaji pada Tabel 11 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh terhadap pertumbuhan ragi S. cerevisiae setelah dikontakkan dengan larutan Pb2+ dan ion Cd2+. Pada rentang jam ke-0 sampai jam ke-6 menunjukkan bahwa semakin lama waktu kontak antara sel ragi dengan larutan yang mengandung ion logam maka semakin besar pula rerata OD 600. Data ini memberi gambaran bahwa ragi masih dapat tumbuh meskipun adanya ion logam Pb2+ dan ion logam Cd2+, walaupun keberadaannya mampu menghambat pertumbuhan ragi. Hubungan antara OD600 kultur sel pada variasi waktu kontak dengan ion logam Pb2+ dan ion logam Cd2+ disajikan pada Gambar 13. OD600 awal inkubasi
OD600 akhir inkubasi
0.45 0.40 0.35
Rerata OD600
0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00 -1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
waktu kontak (Jam)
Gambar 13. Hubungan antara OD600 Sel Ragi S. cerevisiae Sebelum dan Sesudah Dikontakkan pada Variasi Waktu Kontak dengan Ion Pb2+ dan Cd2+.
61
Persamaan garis regresi linier yang digunakan untuk menghitung konsentrasi ion Pb2+ yang terserap yaitu Y= 0,03087x + 0,002, dengan variabel x yang menandakan besarnya konsentrasi Pb2+ dalam ppm, serta variabel Y yang menggambarkan besarnya absorbansi larutan. Data hasil pengukuran SSA mengenai konsentrasi ion Pb2+ yang terbiosorpsi oleh S. cerevisiae disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Konsentrasi Ion Pb2+ yang Terbiosorpsi pada Waktu Kontak dengan Interferensi Cd2+
No.
Waktu Kontak (Jam)
1.
0
2.
2
3.
4
4.
6
5.
8
6.
10
Pb2+ Awal, Penambahan Cd2+ (ppm) 15,23 15,45 15,63 15,72 15,43 15,32 15,25 15,32 15,98 15,62 15,18 15,34
Ratarata 15,34 15,68 15,38 15,29 15,80 15,26
Pb2+ Akhir, Setelah Penambahan Cd2+ (ppm) 13,89 12,17 12,19 12,5 10,36 10,6 13,39 3,33 8,7 9,21 10,621 11,342
Ratarata 13,030 12,345 10,480 8,360 8,955 10,982
Pb2+ Terbiosorp si (ppm) 2,31 3,33 4,90 6,93 6,85 4,28
Hasil pada Tabel 12, dapat diilustrasikan melalui Gambar 14 yang menunjukkan hubungan antara variasi waktu kontak dengan konsentrasi ion Pb2+ yang terbiosorpsi dengan adanya interferensi Cd2+. Dalam grafik ini dapat dilihat
62
waktu kontak maksimum dari ragi S. cerevisiae yang media pertumbuhannya mengandung ion logam Pb2+ dengan adanya interferensi Cd2+.
B
6
5
4
2+
Konsentrasi Pb yang terbiosorpsi (ppm)
7
3
2
0
2
4
6
8
10
waktu (jam)
Gambar 14. Grafik Hubungan antara Variasi Waktu Kontak dengan Konsentrasi Ion Pb2+ yang Terbiosorpsi dengan Adanya Interferensi Cd2+. Melalui konsentrasi Pb2+ yang terbiosorpsi dapat dilakukan perhitungan efisiensi biosorpsi yang disajikan melalui Tabel 13. Tabel 13. Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ dengan Interferensi Cd2+ pada Variasi Waktu Kontak No.
Sampel
Waktu Kontak (Jam)
1.
A
0
Efisiensi Biosorpsi (%) 15,06
2.
B
2
21,24
3.
C
4
31,84
4.
D
6
45,31
5.
E
8
43,32
6.
F
10
28,04
63
Hasil perhitungan efisiensi penyerapan dapat dibuat grafik yang menggambarkan hubungan antara efisiensi biosorpsi ion logam Pb2+ oleh sel ragi S. cerevisiae dengan variasi waktu kontak dengan interferensi Cd2+ yang disajikan pada Gambar 15. 55 50
Efisiensi Penyerapan (%)
45 40 35 30 25 20 15 10 0
2
4
6
8
10
Waktu Kontak (Jam)
Gambar 15. Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ oleh Sel Ragi S. cerevisiae pada Variasi Waktu Kontak dengan Interferensi Cd2+ Gambar 15 menunjukkan besarnya efisiensi biosorpsi ion Pb2+ yang terinterferensi ion Cd2+ pada variasi waktu kontak, terjadi kenaikan efisiensi pada jam ke-0 hingga jam ke-6. Pada jam ke-6 terjadi penyerapan ion Pb2+ secara maksimal, kemudian pada jam ke-8 hingga jam ke-10 penyerapan ion Pb2+ oleh ragi S. cerevisiae telah menurun. Penurunan jumlah biosorspi ini mengindikasikan bahwa ragi S. cerevisiae telah berada pada kondisi jenuh oleh adanya ion logam Pb2+ dan ion logam Cd2+. Berdasarkan data tersebut pula dikatakan bahwa waktu kontak maksimum antara sel ragi dengan ion logam Pb2+ terjadi pada jam ke-6 dengan konsentrasi ion
64
yang terserap sebesar 6,93 ppm dan efisiensi sebesar 45,31%. Data ini menunjukkan bahwa pada rentang waktu tersebut memungkinkan seluruh sisi aktif penyusun S. cerevisiae telah berikatan dengan ion logam Pb2+ yang terdapat dalam media pertumbuhan. Selanjutnya dapat dilakukan perbandingan antara efisiensi biosorpsi ion logam Pb2+ tanpa dan dengan interferensi Cd2+ pada variasi waktu kontak. Adanya perbandingan ini untuk mengetahui waktu optimum pengikatan ion logam Pb2+. Tabel 14. Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ tanpa dan dengan Interferensi Cd2+ pada Variasi Waktu Kontak
Tanpa Interferensi Cd2+
Interferensi Cd2+
1.
Waktu Kontak (Jam) 0
58,47
15,06
2.
2
69,17
21,24
3.
4
75,08
31,84
4.
6
81,01
45,31
5.
8
71,67
43,32
6.
10
73,63
28,04
No.
Efesiensi Biosorpsi (%)
Selanjutnya melalui tabel efisiensi di atas dapat digambarkan grafik yang menyatakan hubungan antara perbandingan efisiensi penyerapan tanpa dan dengan interferensi vs waktu kontak. Grafik efisiensi penyerapan ion Pb2+ tanpa dan dengan interferensi disajikan melalui Gambar 16.
65
2+
efisiensi penyerapan ion Pb tanpa interferensi 2+
efisiensi penyerapan ion Pb dengan interferensi
85 80 75
Efisiensi Penyerapan (%)
70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 0
2
4
6
8
10
Waktu (Jam)
Gambar 16. Perbandingan Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ oleh Sel Ragi S. cerevisiae Tanpa dan dengan Interferensi Cd2+ pada Variasi Waktu Kontak Berdasarkan Gambar 16 menunjukkan bahwa waktu kontak optimum tanpa dan dengan interferensi Cd2+ terjadi pada waktu kontak 6 jam. Namun dapat dilihat melalui grafik efisiensi biosorpsi ion Pb2+ dengan menggunakan interferensi Cd2+ lebih mengalami penurunan dibandingkan dengan sebelumnya. Penurunan ini dapat disebabkan adanya ion penganggu yang terdapat dalam media, sehingga menghambat proses biosorpsi ion Pb2+, serta dengan adanya ion pengganggu berupa Cd2+ yang menyebabkan adanya kompetisi pengikatan ion logam dalam dinding sel. Berdasarkan teori asam-basa lewis lunak-keras, gugus S2- yang terdapat pada dinding sel terletak pada daerah basa lunak dan Cd 2+ terletak pada asam lunak sehingga akan lebih mudah berikatan dibandingkan dengan ion logam Pb2+ yang terletak pada daerah asam intermediate.
66
F. Pengaruh pH Media terhadap Efisiensi Biosorpsi Ion Pb 2+ Pengukuran pertumbuhan ragi S. cerevisiae yang ditambah dengan larutan Pb2+ yang diinkubasi pada variasi pH media dilakukan pada jam ke-6, karena pada waktu tersebut sel ragi mulai melakukan adaptasi dengan media pertumbuhan baru. Untuk pengukuran berikutnya dilakukan pada jam ke-12, sehingga sel ragi telah mengalami kontak dengan ion logam selama 6 jam. Variasi pH media yang digunakan sebesar 3, 5, 7 dan 9. Data OD600 pada variasi pH media disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. OD600 Ragi S. cerevisiae pada Variasi pH Media
No.
pH
1.
3
2.
5
3.
7
4.
9
OD600 Awal
Rata -rata
0,272 0,252 0,478 0,553 0,56 0,413 0,332 0,329
0,26 2 0,51 6 0,48 7 0,33 1
Pengenceran (x)
Konsentrasi (Sel/mL)
10
2,62 x 107
10
5,16 x 107
10
4,87 x 107
10
3,31 x 107
OD600 Akhir 0,32 0,363 0,561 0,588 0,589 0,600 0,403 0,354
Ratarata
Pengenceran (x)
Konsentra si (Sel/mL)
0,342
10
3,42 x 107
0,575
10
5,75 x 107
0,595
10
5,95 x 107
0,379
10
3,79 x 107
Hasil pada Tabel 15, dapat diilustrasikan melalui Gambar 17
yang
menunjukkan bahwa perbandingan OD600 sel ragi S. cerevisiae sebelum dan sesudah dikontakkan dengan ion logam Pb2+.
67
OD600 awal inkubasi
OD600 akhir inkubasi 0.6
0.5
Rerata OD600
0.4
0.3
0.2
0.1
0.0 2
3
4
5
6
7
8
9
10
pH
Gambar 17. Perbandingan OD600 Sel Ragi S. cerevisiae Sebelum dan Sesudah Dikontakkan pada Variasi pH media. Berdasarkan OD600
sesuai
Gambar
17,
menunjukkan
bahwa
pertumbuhan ragi pada pH media 5 dan 7 mengalami kenaikan. Pada pH media 3 dan 9 mengalami penurunan diakibatkan sel ragi tidak mampu tumbuh dan berkembang pada pH media tersebut. Konsentrasi ion logam Pb2+ yang terbiosorpsi oleh sel ragi pada variasi pH media diukur dengan menggunakan SSA dengan pengambilan sampel pada jam ke-6 sebagai konsentrasi awal dan pada jam ke-16 sebagai konsentrasi akhir ion logam Pb2+. Persamaan garis regresi linier yang digunakan untuk menentukan konsentrasi ion logam Pb2+ yang terbiosorpsi yaitu Y= 0,03087x + 0,002, dengan variabel x yang menandakan besarnya konsentrasi Pb2+ yang terbiosorpsi dalam ppm, serta variabel Y yang menggambarkan besarnya absorbansi larutan. Data hasil pengukuran SSA mengenai konsentrasi ion Pb2+ yang terbiosorpsi oleh S. cerevisiae disajikan pada Tabel 16.
68
Tabel 16. Konsentrasi Ion Pb2+ yang Terbiosorpsi pada Variasi pH Media No. pH 1. 2. 3. 4.
3 5 7 9
Pb2+ Awal (ppm) 15,54 15,43 15,32 15,25 15,65 15,98 15,85 15,38
Ratarata
Pb2+ Akhir (ppm)
Rata-rata
6,37 5,93 6,03 5,68 5,41 5,8 7,18 6,39
15,49 15,29 15,82 15,62
6,15 5,855 5,605 6,785
Pb2+ Terabsorpsi (ppm) 9,34 9,43 10,21 8,83
Hasil pada Tabel 16, dapat diilustrasikan melalui Gambar 18
yang
menunjukkan hubungan antara konsentrasi Pb2+ yang terbiosorpsi dengan pH media. Dalam grafik ini dapat dilihat pH media optimum dari ragi S. cerevisiae yang media pertumbuhannya mengandung ion logam Pb2+. B 10.4
2+
Konsentrasi Pb yang terbiosorpsi
10.2 10.0 9.8 9.6 9.4 9.2 9.0 8.8 3
4
5
6
7
8
9
pH Media
Gambar 18. Grafik Hubungan antara Variasi pH Media dengan Konsentrasi Ion Pb2+ yang terbiosorpsi. Berdasarkan Gambar 18, diketahui pada pH media 7 konsentrasi ion Pb2+ yang terabsorpsi mencapai kondisi maksimum, yaitu sebesar 10,21 ppm, sehingga
69
dapat dikatakan pH tersebut merupakan pH optimum untuk proses biosorpsi ion Pb2+. Melalui perhitungan konsentrasi Pb2+ yang terbiosorpsi dapat dilakukan perhitungan efisiensi biosorpsi pada variasi pH media yang disajikan melalui Tabel 17. Tabel 17. Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ pada Variasi pH Media No. Sampel pH Efisiensi Biosorpsi (%) 1. 60,28 A 3 2.
B
5
61,69
3.
C
7
64,56
4.
D
9
56,55
Berdasarkan Tabel 17 dapat dibuat grafik yang menunjukkan gambaran efisiensi biosorpsi ion logam Pb2+ dengan pH optimum. 66
Efisiensi Penyerapan (%)
64
62
60
58
56
3
4
5
6
7
8
9
pH Media
Gambar 19. Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ oleh Sel Ragi S. cerevisiae pada Variasi Variasi pH Media. Berdasarkan Gambar 19, menunjukkan bahwa pada pH media 7, memberikan kondisi yang sangat baik untuk biosorpsi oleh sel ragi S. cerevisiae
70
dengan efisiensi biosorpsi tertinggi, yaitu 64,56%. pH media 7 merupakan pH netral yang baik digunakan dalam proses biosorpsi ion logam Pb2+. Wallace (Nana Dyah, 2012) menjelaskan bahwa jika pada pH rendah maka akan terjadi kompetisi ion logam dengan ion hidrogen, sehingga ion logam berat terhambat untuk diserap oleh dinding sel. Kompetisi ini diakibatkan banyaknya ion hidrogen pada pH rendah yang dapat menghalangi adsorpsi kation logam pada dinding sel. Sedangkan jika pada pH diatas 7 tidak efektif, karena pada saat pH 6 mulai terjadi presipitasi. G. Interferensi Ion Cd2+ terhadap Biosorpsi Ion Pb2+ pada pH Media Analisis terhadap OD600 bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan sel ragi S. cerevisiae pada variasi pH media sebesar 3, 5, 7 dan 9. Media ini mengandung ion Pb2+ yang terinterferensi ion Cd2+. Data OD600 yang diperoleh disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. OD600 pada Variasi pH Media dengan Interferensi Cd2+ No. 1. 2. 3. 4.
pH 3 5 7 9
OD600 Awal
Rata -rata
0,112 0,242 0,225 0,256 0,249 0,238 0,062 0,053
0,17 7 0,24 1 0,24 4 0,05 8
Pengenceran (x)
Konsentrasi (Sel/mL)
OD600 Akhir
10
1,77 x 107
10
2,41 x 107
10
2,44 x 107
10
5,75 x 106
0,165 0,273 0,341 0,322 0,299 0,287 0,177 0,098
71
Ratarata
Pengenceran (x)
Konsentrasi (Sel/mL)
0,219
10
2,19 x 107
0,332
10
3,32 x 107
0,293
10
2,93 x 107
0,138
10
1,38 x 107
Berdasarkan data OD600 seperti yang tersaji pada Tabel 18 menunjukkan bahwa dengan adanya variasi pH media terdapat pengaruh terhadap pertumbuhan ragi S. cerevisiae setelah dikontakkan dengan larutan Pb2+ dan ion Cd2+. Data ini memberi gambaran bahwa adanya pengaruh variasi pH media, tidak menganggu pertumbuhan ragi. Hal ini dibuktikan dengan ragi masih dapat tumbuh meskipun adanya ion logam Pb2+ dan ion logam Cd2+, walaupun keberadaannya mampu menghambat pertumbuhan ragi. Hubungan antara OD600 kultur sel pada variasi pH media dengan ion logam Pb2+ dan ion logam Cd2+ disajikan pada Gambar 20.
OD600 pada awal inkubasi OD600 pada akhir inkubasi
0.35
0.30
Rerata OD600
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00 2
3
4
5
6
7
8
9
10
pH Media
Gambar 20. Hubungan antara OD600 Sel Ragi S. cerevisiae Sebelum dan Sesudah Dikontakkan pada Variasi pH Media dengan Ion Pb2+ dan Cd2+. Gambar 20 menunjukkan pertumbuhan ragi secara optimal terjadi pada pH media 5. Pada pH media 9 mengalami penurunan signifikan, yang mengakibatkan sel ragi tidak mampu tumbuh dan berkembang pada pH media tersebut. Hal ini
72
menandakan ragi S. cerevisiae tidak mampu tumbuh dalam suasana yang terlalu basa. Tinggi rendahnya pH media pertumbuhan serta interferensi logam memberikan pengaruh terhadap jumlah sel ragi S. cerevisiae yang tumbuh serta besarnya efisiensi biosorpsi ion Pb2+ oleh sel ragi tersebut. Pada pH asam sebesar 3 menunjukkan rendahnya tingkat biosorpsi. Kondisi ini juga terjadi pada pH 7 dan 9, biosorpsi Pb2+ mengalami penurunan. Konsentrasi ion logam Pb2+ yang terbiosorpsi oleh sel ragi pada variasi pH media diukur dengan menggunakan SSA dengan pengambilan sampel pada jam ke-6 sebagai konsentrasi awal dan pada jam ke-16 sebagai konsentrasi akhir ion logam Pb2+. Persamaan garis regresi linier yang digunakan untuk menentukan konsentrasi ion logam Pb2+ yang terbiosorpsi yaitu Y= 0,03087x + 0,002, dengan variabel x yang menandakan besarnya konsentrasi Pb2+ yang terbiosorpsi dalam ppm, serta variabel Y yang menggambarkan besarnya absorbansi larutan. Data hasil pengukuran SSA mengenai konsentrasi ion Pb2+ yang terbiosorpsi oleh S. cerevisiae disajikan pada Tabel 19.
73
Tabel 19. Konsentrasi Ion Pb2+ yang Terbiosorpsi pada Variasi pH Media dengan Interferensi Cd2+ Pb2+ Awal, Penambahan Cd2+ (ppm)
No. pH
1. 2. 3. 4.
Ratarata
15,72 15,62 15,24 15,73 15,23 15,95 15,71 15,18
3 5 7 9
Pb2+ Akhir, Setelah Penambahan Cd2+ (ppm)
Pb2+ Rata-rata Terbiosorp si (ppm)
10,43 11,41 9,11 8,3 9,34 10,29 10,31 10,677
15,67 15,49 15,59 15,45
10,92 8,705 9,815 10,4935
4,75 6,78 5,78 4,95
Hasil pada Tabel 19, dapat diilustrasikan melalui Gambar 21 yang menunjukkan hubungan antara konsentrasi Pb2+ yang terbiosorpsi dengan pH media. Dalam grafik ini dapat dilihat pH optimum ragi S. cerevisiae yang media pertumbuhannya mengandung ion logam Pb2+.
6.5
6.0
2+
Rerata Konsentrasi Pb yang terbiosorpsi
7.0
5.5
5.0
4.5 3
4
5
6
7
8
9
pH Media
Gambar 21. Grafik Hubungan antara Variasi pH Media dengan Konsentrasi Ion Pb2+ yang Terbiosorpsi dengan Adanya Interferensi Cd2+.
74
Melalui konsentrasi Pb2+ yang terbiosorpsi dapat dilakukan perhitungan efisiensi biosorpsi yang disajikan melalui Tabel 20. Tabel 20. Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ dengan Interferensi Cd2+ pada Variasi pH Media No. 1.
Sampel A
pH 3
Efisiensi Biosorpsi (%) 30,31
2.
B
5
43,78
3.
C
7
37,04
4.
D
9
32,06
Hasil perhitungan efisiensi
penyerapan dapat
dibuat
grafik
yang
menggambarkan hubungan antara efisiensi biosorpsi ion logam Pb2+ oleh sel ragi S. cerevisiae dengan variasi pH media yang juga mengandung interferensi Cd 2+ yang disajikan pada Gambar 22.
44
Efisiensi Penyerapan (%)
42 40 38 36 34 32 30 3
4
5
6
7
8
9
pH Media
Gambar 22. Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ oleh Sel Ragi S. cerevisiae pada Variasi pH Media dengan Interferensi Cd2+.
75
Berdasarkan Gambar 21 menunjukkan adanya penurunan efisiensi biosorpsi pada pH 7 dan 9. Kondisi ini dimungkinkan karena pada pH 3 sampai 5 ion logam Pb2+ sebagian besar dalam bentuk ion bebas selanjutnya pada pH basa 7 sampai 9 sebagian besar dapat terbentuk endapan Pb(OH) 2. Efisiensi biosorpsi maksimum terjadi pada pH 5 karena kemungkinan pada pH 3 kondisi media terlalu asam, sehingga menyebabkan kecepatan pertumbuhan ragi rendah dan konsentrasi logam Pb2+ yang terabsorpsi juga lebih rendah. Selanjutnya dapat dilakukan perbandingan antara efisiensi biosorpsi ion logam Pb2+ tanpa dan dengan interferensi Cd2+ pada variasi pH media. Adanya perbandingan ini untuk mengetahui efisiensi optimum pengikatan ion logam Pb2+ yang disajikan dengan Tabel 21. Tabel 21. Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ tanpa dan dengan Interferensi Cd2+ pada Variasi pH Media Efesiensi Biosorpsi (%) Tanpa Interferensi Cd2+ Interferensi Cd2+ 60,28 30,31
No.
Sampel
1.
A
2.
B
61,69
43,78
3.
C
64,56
37,04
4.
D
56,55
32,06
Selanjutnya melalui tabel efisiensi di atas dapat digambarkan grafik yang menyatakan hubungan perbandingan efisiensi penyerapan tanpa dan dengan interferensi vs pH media. Grafik perbandingan efisiensi penyerapan ion Pb2+ tanpa dan dengan interferensi disajikan melalui Gambar 23.
76
Efisiensi Penyerapan (%)
2+
Efisiensi penyerapan ion Pb tanpa interferensi 2+ Efisiensi penyerapan ion Pb dengan interferensi
66 64 62 60 58 56 54 52 50 48 46 44 42 40 38 36 34 32 30 3
4
5
6
7
8
9
pH Media
Gambar 23. Perbandingan Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ oleh Sel Ragi S. cerevisiae Tanpa dan dengan Interferensi Cd2+ pada Variasi pH Media Berdasarkan Gambar 23 menunjukkan bahwa efisiensi biosorpsi ion Pb2+ mengalami penurunan dengan adanya interferensi ion Cd 2+ di dalam media pertumbuhan. Penurunan ini mungkin disebabkan adanya ion penganggu yang terdapat dalam media, sehingga menghambat proses biosorpsi ion Pb2+. Pada Gambar 23 menunjukkan bahwa pH media sebesar 7 merupakan pH yang baik untuk biosorpsi ion Pb2+ tanpa adanya interferensi, dan pH media sebesar 5 merupakan pH yang baik untuk biosorpsi ion Pb2+ dengan adanya interferensi. Hal ini dimungkinkan karena sifat larutan ion logam yang ikut berperan juga dalam proses biosorpsi. H. Mekanisme Reaksi Biosorpsi Mekanisme reaksi biosorpsi oleh mikroorganisme masih dalam taraf dugaan dan belum diketahui lebih lanjut. Mekanisme biosorpsi dimungkinkan dengan diawalinya proses pengikatan ion logam berat dengan protein pada dinding sel
77
mikroorganisme, kemudian diikat oleh metallothionein di dalam mikroorganisme (Mashuni, 1998). Kemungkinan mekanisme reaksi biosorpsi Cd2+ diawali dengan terikatnya ion gugus sulfida dari asam amino sistein pada protein dinding sel. Ion logam tersebut selanjutnya akan ditransfer ke dalam sel melalui mekanisme transport pasif, kemudian akan berikatan dengan metallothionein dalam sel. Protein metallothionein yang sudah berikatan dengan ion logam Pb2+ tersebut diduga akan dibawa ke vakuola, kemudian sel akan terus membentuk protein metallothionein selama ada logam yang bisa diikat oleh gugus sulfida pada protein dinding sel. Ketika sel mengalami titik jenuh maka sel berada dalam fase kematian. Pada fase tersebut ion logam Pb2+ dikeluarkan dalam bentuk yang belum diketahui tergantung suasana asam atau basa. Pada struktur metallothionein, atom S dari asam amino sistein akan mengikat logam Pb yang sebelumnya terikat pada dinding sel. Ion logam Pb2+ berikatan dengan 2 atom S pada sistein sedangkan ion Cd2+ dengan 2 atom S pada sistein juga, kemudian struktur metallothionein akan berbentuk seperti jepit rambut (Pratami, 2012). Kemungkinan ikatan yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 24.
78
Gambar 24. Kemungkinan Ikatan yang Terjadi antara Sel Ragi dengan Ion Logam Pb2+ dan Cd2+.
Pada umumnya mekanisme reaksi antara logam dengan protein terjadi dengan diserangnya gugus sulfida yang ada pada molekul protein oleh ion logam. Kondisi ini akan menyebabkan kerusakan dari struktur protein yang bersangkutan (Palar, 1994). Peristiwa ini menyebabkan sel ragi S. cerevisiae mengalami pertumbuhan yang lebih lambat akibat adanya ion logam dalam media pertumbuhan. Palar (1994) menyebutkan bahwa asam-asam kuat akan berikatan kuat dengan basa-basa kuat, sedangkan asam-asam lemah lebih cenderung berikatan dengan basa-basa lemah.
79
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat pengaruh interferensi ion Cd2+ terhadap biosorpsi ion Pb2+ oleh ragi S. cerevisiae pada variasi waktu kontak. Efisiensi biosorpsi ion Pb2+ optimum dengan adanya interferensi Cd2+ terjadi pada waktu kontak jam ke-6 sebesar 47,93%. 2. Terdapat pengaruh interferensi ion Cd2+ terhadap biosorpsi ion Pb2+ oleh ragi S. cerevisiae pada variasi pH media. Efisiensi biosorpsi ion Pb2+ optimum dengan adanya interferensi Cd2+ terjadi pada media pH 5 sebesar 43,78%.
B. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disarankan: 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan air limbah. 2. Perlu dilakukan lebih lanjut dengan menggunakan variasi yang berbeda, seperti mikroorganisme, logam, maupun perlakuan. 3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai mekanisme biosorpsi ragi S. cerevisiae secara pasti dalam pengikatan logam berat.
80
DAFTAR PUSTAKA
Anna Rakhmawati. (2006). Biosorpsi Ion Logam Kadmium oleh Aspergillus flavus. Prosiding, Seminar Nasional MIPA. Yogyakarta: FMIPA UNY. Anonim. (2013). Priority List of Hazardous Subtances 2013. Diakses dari http://www.atsdr.cdc.gov/spl/ pada tanggal 25 September 2015, pukul 19.00WIB. Cowan, J.A. (1997). Inorganic Chemistry. Elsiver: New York. Denny Ardyanto. (2005). Deteksi Pencemaran Timah Hitam (Pb) dalam Darah Masyarakat yang Terpajan Timbal (Plumbum). Jurnal Kesehatan Lingkungan. Vol.2. No.1 Dhita Agustining. (2012). Daya Hambat Saccharomyces cerevisiae Terhadap Pertumbuhan Jamur Fusarium Oxvsporum. Skripsi. Universitas Jember. Dyah Purwaningsih. (2005). Proses Biosorbsi dengan Menggunakan Mikroorganisme Sebagai Salah Satu Alternatif Bioremoval Logam Berat dalam Lingkungan Tercemar. Prosiding Semnas Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA. Yogyakarta: FMIPA UNY. Eva Naria. (2005). Mewaspadai Dampak Bahan Pencemar Timbal (Pb) di Lingkungan Terhadap Kesehatan. Jurnal Komunikasi Penelitian. 17 (4). Fesri Istaini dan Elliana S. Pandebesie. (2014). Studi Dampak Arsen (As) dan Kadmium (Cd) terhadap Penurunan Kualitas Lingkungan. Jurnak Teknik Lingkungan. 3(1). Hafidh Zarkasyi. (2008). Biosorpsi Logam Merkuri (Hg) oleh Bacillus megaterium Asal Sungai Hilir Cisadane. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Khopkar, S.M. (1990). Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Meyliana. (2013). Logam Berat di Sekitar Kita. Yogyakarta: FMIPA UNY. Nunik A.S. Ekawati. (2012). Pengaruh Interferensi Ion Fe (III) Terhadap Biosorpsi Ion Cd (II) Oleh Sel Ragi S. cerevisiae Pada Variasi Waktu Kontak, dan Suhu Inkubasi, Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta.
81
Palar, H. (1994). Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: Rineka Cipta. Riza Zainuddin Ahmad. (2005). Pemanfaatan Khamir Saccharomyces cerevisiae untuk Ternak. Wartazoa Vol 15, No.1. Rumahlatu, D., A.D. Corebima, M.Amin dan F.Rachman . (2012). Kadmium dan Efeknya terhadap Ekresi Protein Metallothionein pada Deadema setosum (Echinodea; Echinodermata). Jurnal Penelitian Perikanan. 1(1). Hlm 26-35. Satriyo Krido Wahono., Ema Damayanti., Vita Taufika Rosyida., Evi Irina Sadyastuti. (2011). Laju Pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae pada Proses Pembentukan Bioetanol dari Biji Sorgum (Sorghum bicolor L.) Seminar. Rekayasa Kimia dan Proses. Semarang: Universitas Diponegoro. Siswati., Nana Dyah., Tenti Indrawati dan Meliya Rahmah. ( ). Biosorpsi Logam Berat Plumbum (Pb) Menggunakan Biomassa Phanerochaete Chrisosporium. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan. 1 (2). Hlm. 67-72. Sugiyarto, Kristian H., Hari Sutrisno dan Retro Dwi Suyanti. (2011). Dasar-Dasar Kimia Anorganik Transisi. Yogyakarta: Graha Ilmu. Suriawira, U. (1990). Pengantar Biologi Umum. Penerbit: Angkasa, Bandung. Susy Retnowati. (2010). Keracunan Timbal di Indonesia. Australia: Global Lead Advice & Support Device. Volesky, B., & May-Philps, H.A. (1995). Biosorpstion of Heavy Metal by S. cerevisiae.Appl. Microbiol Biotechnol., 42,797-806. WHO (2007). Risiko kesehatan dari logam berat dari jarak jauh polusi udara lintas batas. Copenhagen: Kantor Wilayah Organisasi Kesehatan Dunia untuk Eropa. Diakses dari http://www.euro.who.int/document/E91044.pdf pada tanggal 09 September 2015 pukul 17.00. Widianingrum., Miskiah., dan Suismono. (2007). Bahaya Kontaminasi Logam Berat dalam Sayuran Dan Alternatif Cegahan Cemarannya. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian. Vol.3. Wydhiatmoko. (2012). Pengaruh Interferensi Ion Kadmium (II) Terhadap Biosorpsi Ion Zink (II) Oleh Sel Ragi Yarrow Lypotica Pada Variasi Waktu Kontak, pH Media dan Suhu Inkubasi, Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta.
82
LAMPIRAN
83
Lampiran 1 Skema Kerja 1. Pembuatan Media Yeast Pepton Dektrosa (YPD) Padat 2 g glukosa, 1 g yeast extract, 2 g agarosa dan 2 g bacto pepton ditimbang
Bacto pepton, yeast extract, agarosa dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL Ditambah dengan akuades hingga volume 70 mL
Glukosa dimasukkan ke dalam erlenmeyer lain hingga volume 30 mL
Masing-masing disterilkan dengan autoklaf pada suhu 1210C, selama10 menit dengan tekanan 1 atm
Larutan dicampur dalam Laminar Air Flow
Media dituangkan pada cawan petri dan ditunggu sekitar 10 menit hingga memadat
Media YPD padat siap digunakan untuk menumbuhkan ragi
84
2. Pembuatan Media Yeast Pepton Dektrosa (YPD) Cair 2 g glukosa, 1 g yeast extract, 2 g agarosa dan 2 g bacto pepton ditimbang
Bacto pepton, yeast extract, agarosa dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL Ditambah dengan akuades hingga volume 70 mL
Glukosa dimasukkan ke dalam erlenmeyer lain hingga volume 30 mL
Masing-masing disterilkan dengan autoklaf pada suhu 1210C, selama10 menit dengan tekanan 1 atm
Larutan dicampur dalam Laminar Air Flow
Media YPD cair siap digunakan.
3. Peremajaan Sel Ragi Saccharomyces cerevisiae YPD padat pada cawan petri disiapkan
Sel ragi alami S.cerevisiae diambil dengan kawat ose steril
Sel digesekkan dengan media YPD padat
Inkubasi pada suhu kamar selama 2 hari Sel stok disimpan pada lemari pendingin dengan suhu 40C
85
4. Pembuatan Kultur Awal Ragi (Starter) YPD cair dimasukkan ke dalam erlenmeyer
Disterilkan pada suhu 1210C, selama10 menit dengan tekanan 1 atm
Sel ragi pada YPD padat diambil dan dimasukkan ke dalam 10 mL YPD cair sebagai starter
Inkubasi dengan kecepatan 125 rpm pada suhu kamar selama 12 jam
5. Pengamatan Profil Pertumbuhan Ragi S. cerevisiae 2 buah erlenmeyer 250 mL masing-masing diisi dengan 25mL media YPD cair
Disterilkan Sebanyak 0,5 mL starter ditambahkan pada masing-masing media cair
Inkubasi dengan kecepatan 125 rpm pada suhu kamar selama 48 jam
Kultur diambil 2 mL, diukur OD600 pada panjang 600 nm dengan selang waktu 0, 2, 6, 8, 16, 24 dan 48 jam Grafik waktu kontak vs OD600
86
6. Pembuatan Larutan Induk Pb2+ Serbuk Pb(NO3)2 ditimbang sebanyak 159,848 mg dan dilarutkan dengan akuades hingga larut
Dituang ke dalam labu ukur 100 mL, ditambah akuades hingga tanda batas Larutan induk disterilkan pada suhu 1210C, selama 15 menit dan tekanan 1 atm
Diukur dengan SSA
7. Pembuatan Larutan Induk Cd2+ Serbuk CdSO4 ditimbang sebanyak 185,409 mg dan dilarutkan dengan akuades hingga larut
Dituang ke dalam labu ukur 100mL, ditambah akuades hingga tanda batas Larutan induk disterilkan pada suhu 1210C, selama 15 menit dan tekanan 1 atm Diukur dengan SSA
87
8.
Pengamatan Pengaruh Variasi Konsentrasi Pb2+ terhadap Pertumbuhan Ragi S. cerevisiae 12 buah erlenmeyer 100 mL berisi YPD cair (duplo) yang sudah steril
Disterilkan
Ditambahkan masing-masing starter 0,5 mL Diinkubasi selama 6 jam (suhu ruang)
Diambil masing-masing 2 mL untuk pengukuran OD600
Larutan Pb2+ ditambahkan sesuai dengan variasi konsentrasi
Masing-masing kultur diinkubasi pada 125 rpm selama 10 jam Diukur OD600 lalu dibuat grafik Pb2+ vs OD600 Konsentrasi Optimum
88
9.
Pengamatan Pengaruh Variasi Konsentrasi Cd2+ terhadap Pertumbuhan Ragi S. cerevisiae 8 Erlenmeyer 100 mL berisi YPD cair (duplo) diisi dengan ketentuan
Disterilkan
Ditambahkan masing-masing starter 0,5 mL Diinkubasi selama 6 jam (suhu ruang)
Diambil masing-masing 2 mL untuk pengukuran OD600
Larutan Pb2+ 0, 15 mL dan larutan Cd2+ sesuai dengan variasi konsentrasi ditambahkan
Masing-masing kultur diinkubasi pada 125 rpm selama 10 jam Diukur OD600 lalu dibuat grafik Pb2+ vs OD600 Konsentrasi Optimum
89
10. Pengamatan Efisiensi Penyerapan terhadap Biosorpsi Ion Pb 2+ oleh Sel Ragi S. cerevisiae pada Variasi Waktu Kontak 12 Erlenmeyer diisi dengan YPD cair 9,35 mL (sesuai ketentuan variasi konsentrasi)
Disterilkan
Masing-masing ditambah 0,5 mL kultur awal
Diinkubasi kecepatan 125 rpm selama 6 jam
Ditambah larutan Pb2+ 0,15 mL
Diambil 2 mL untuk dilakukan pengukuran OD600 awal
Inkubasi 125 rpm selama 10 jam
Diambil 2 mL untuk dilakukan pengukuran OD600 pada setiap waktu kontak 0, 2, 4, 6, 8, 10 jam
Disentrifuse 3000 rpm selama 15 menit
Supernatan diambil, dan ditambahkankan 3 tetes HNO3 pekat
Diukur dengan SSA
90
11. Pengamatan Efisiensi Penyerapan terhadap Biosorpsi Ion Pb 2+ oleh Sel Ragi S. cerevisiae pada Variasi Waktu Kontak dengan Adanya Interferensi Cd 2+ 12 Erlenmeyer diisi dengan YPD cair 9,35 mL (sesuai ketentuan variasi konsentrasi)
Disterilkan
Masing-masing ditambah 0,5 mL kultur awal Diinkubasi kecepatan 125 rpm selama 6 jam
Diambil 2 mL untuk dilakukan pengukuran OD600 awal
Ditambah larutan Pb2+ 0,15 mL dan Cd2+ 0,2 mL
Inkubasi 125 rpm selama 10 jam
Disentrifuse 3000 rpm selama 15 menit
Diambil 2 mL untuk dilakukan pengukuran OD600 pada setiap waktu kontak 0, 2, 4, 6, 8, 10 jam
Supernatan diambil, dan ditambahkankan 3 tetes HNO3 pekat
Diukur dengan SSA
91
12. Pengamatan Efisiensi Penyerapan terhadap Biosorpsi Ion Pb 2+ oleh Sel Ragi S. cerevisiae pada Variasi pH Media 8 Erlenmeyer diisi dengan YPD cair 9,35 mL
pH media diatur sebesar 3, 5, 7 dan 9 Disterilkan
Masing-masing ditambah 0,5 mL kultur Diinkubasi kecepatan 125 rpm selama 6 jam
Diambil 2 mL untuk dilakukan pengukuran OD600 awal
Ditambah larutan Pb2+ 0,15 mL
Inkubasi 125 rpm selama 10 jam
Disentrifuse 3000 rpm selama 15 menit
Diambil 2 mL untuk dilakukan pengukuran OD600 pada setiap waktu kontak 0, 2, 4, 6, 8, 10 jam
Supernatan diambil, dan ditambahkankan 3 tetes HNO3 pekat
Diukur dengan SSA
92
13. Pengamatan Efisiensi Penyerapan terhadap Biosorpsi Ion Pb 2+ oleh Sel Ragi S. cerevisiae pada Variasi pH Media dengan Adanya Interferensi Cd2+ 8 Erlenmeyer diisi dengan YPD cair 9,35 mL
pH media diatur sebesar 3, 5, 7 dan 9
Disterilkan Masing-masing ditambah 0,5 mL kultur
Diinkubasi kecepatan 125 rpm selama 6 jam
Diambil 2 ml untuk dilakukan pengukuran OD600 awal
Ditambah larutan Pb2+ 0,15 mL dan Cd2+ 0,2 mL
Inkubasi 125 rpm selama 10 jam
Disentrifuse 3000 rpm selama 15 menit
Diambil 2 mL untuk dilakukan pengukuran OD600 pada setiap waktu kontak 0, 2, 4, 6, 8, 10 jam
Supernatan diambil, dan ditambahkankan 3 tetes HNO3 pekat
Diukur dengan SSA
93
LAMPIRAN 2 DATA DAN KURVA LARUTAN STANDAR TIMBAL
Tabel 22. Data Absorbansi Larutan Standar Timbal pada Variasi Waktu Kontak tanpa Interferensi Cd2+ No.
Konsentrasi (X) (ppm)
Absorbansi (Y)
1 2 3 4 5 6
0 1 2 3 4 5
0,0007 0,0330 0,0650 0,0951 0,1265 0,1547
0.18 y = 0.03087x + 0.002 R² = 0.9996
0.16
Absorbansi
0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 0
1
2
3
4
5
6
Konsentrasi
Gambar 25. Kurva Kalibrasi Larutan Standar pada Variasi Waktu Kontak tanpa Interferensi Cd2+
94
Tabel 23. Data Absorbansi Larutan Standar Timbal pada Variasi pH Media tanpa Interferensi Cd2+ No.
Konsentrasi (X) (ppm)
Absorbansi (Y)
1 2 3 4 5 6
0 1 2 3 4 5
0,0009 0,0357 0,0701 0,1034 0,1353 0,1667
0.18 y = 0.0332x + 0.0024 R² = 0.9995
0.16
Absorbansi
0.14 0.12 0.1 0.08 0.06
0.04 0.02 0 0
1
2
3
4
5
6
Konsentrasi (ppm)
Gambar 26. Kurva Kalibrasi Larutan Standar pada Variasi pH Media tanpa Interferensi Cd2+
95
Tabel 24. Data Absorbansi Larutan Standar Timbal pada Variasi Waktu Kontak dan pH Media dengan Interferensi Cd2+ No . 1 2 3 4 5 6
Konsentrasi (X) (ppm)
Absorbansi (Y)
0 1 2 3 4 5
0,0009 0,0357 0,0701 0,1034 0,1353 0,1667
0.18 y = 0.0332x + 0.0024 R² = 0.9995
0.16
Absorbansi
0.14 0.12 0.1 0.08 0.06
0.04 0.02 0 0
1
2
3
4
5
6
Konsentrasi (ppm)
Gambar 27. Kurva Kalibrasi Larutan Standar pada Variasi Waktu Kontak dan pH Media dengan Interferensi Cd2+
96
LAMPIRAN 3 UJI SIGNIFIKANSI GARIS REGRESI
Korelasi x dan y dapat ditentukan dengan teknik korelasi tangkar dari Preason menggunakan rumus berikut:
N(∑ XY) − (∑ X)(∑ Y)
rXY =
√[N(∑X 2 ) − (∑ X)2 ][N (∑Y 2 )−(∑ Y)2 ] 1. Variasi Waktu Kontak Tabel 25. Perhitungan Korelasi x dan y Larutan Standar Pb2+ Variasi Waktu Kontak No X Y X2 Y2 XY (ppm) (Absorbansi) 1 0 0,0007 0 0,00000049 0 2 1 0,033 1 0,001089 0,033 3 2 0,065 4 0,004225 0,13 4 3 0,0951 9 0,00904401 0,2853 5 4 0,1265 16 0,01600225 0,506 6 5 0,1547 25 0,02393209 0,7735 ∑ 15 0,475 55 0,05429284 1,7278
N(∑ XY) − (∑ X)(∑ Y)
rXY =
√[N(∑X 2 ) − (∑ X)2 ][N (∑Y 2 )−(∑ Y)2 ]
rXY =
6(1,7278) − (15)(0,475) √[6(55) − (225][6 (0,0542984) − 0,225625]
= 0,9996
97
Harga tersebut kemudian dibandingkan dengan r tabel dengan jumlah data 6 dengan taraf signifikansi 1%. Harga r hitung lebih besar dari harga r tabel 0,917 yang menandakan ada korelasi yang signifikan antara variabel x dan y.
2. Variasi pH Media Tabel 26. Korelasi x dan y Larutan Standar Pb2+ Variasi pH Media No 1 2 3 4 5 6 ∑
rXY =
X (ppm) 0 1 2 3 4 5 15
Y (absorbansi) 0,0009 0,0357 0,0701 0,1034 0,1353 0,1667 0,5121
X2
Y2
XY
0 1 4 9 16 25 55
0,00000081 0,00127499 0,00491401 0,01069156 0,01830609 0,02778889 0,06297585
0 0,0357 0,1402 0,3102 0,5412 0,8335 1,8608
N(∑ XY) − (∑ X)(∑ Y) √[N(∑X 2 ) − (∑ X)2 ][N (∑Y 2 )−(∑ Y)2 ]
rXY =
6(1,8608) − (15)(0,5121) √[6(13,75) − (225][6 (0,06297585) − 0,26224641]
= 0,9995 Harga tersebut kemudian dibandingkan dengan r tabel dengan jumlah data 6 dengan taraf signifikansi 1%. Harga r hitung lebih besar dari harga r tabel 0,917; dengan demikian ada korelasi yang signifikan antara variabel x dan y.
98
LAMPIRAN 4 UJI LINEARITAS PERSAMAAN GARIS REGRESI
Persamaan garis regresi yang linier dapat diketahui dengan adanya hubungan yang bermakna antara absorbansi dengan konsentrasi larutan.
Linearitas
persamaan garis regresi dilakukan dengan menghitung Freg menggunakan rumus: ∑𝑥𝑦 = ∑𝑋𝑌 − ∑𝑥 2 = ∑𝑋 2 − ∑𝑦 2 = ∑𝑌 2 − 𝐽𝐾𝑟𝑒𝑔 =
(∑𝑋)(∑𝑌) 𝑁
(∑𝑋)2 𝑁 (∑𝑌)2 𝑁
(∑𝑥𝑦)2 ∑𝑥 2
𝐽𝐾𝑟𝑒𝑠 = ∑𝑦 2 −
(∑𝑥𝑦)2 ∑𝑥 2
𝑑𝑏𝑟𝑒𝑔 = 1 𝑑𝑏𝑟𝑒𝑠 = 𝑁 − 2 𝐽𝐾𝑟𝑒𝑔
𝑅𝐽𝐾𝑟𝑒𝑔 = 𝑑𝑏
𝑟𝑒𝑔
𝐽𝐾
𝑅𝐽𝐾𝑟𝑒𝑠 = 𝑑𝑏𝑟𝑒𝑠
𝑟𝑒𝑠
𝐹𝑟𝑒𝑔 =
𝑅𝐽𝐾𝑟𝑒𝑔 𝑅𝐽𝐾𝑟𝑒𝑠
99
Keterangan: N
: banyaknya data
JK
: jumlah kuadrat
RJKreg : rerata jumlah kuadrat regresi RJKres : rerata jumlah kuadrat residu db
: derajat kebebasan
Freg
: harga bilangan F garis regresi
1. Variasi Waktu Kontak ∑𝑥𝑦 = ∑𝑋𝑌 −
(∑𝑋)(∑𝑌) 𝑁
∑𝑥𝑦 = 1,7278 − ∑𝑥 2 = ∑𝑋 2 − ∑𝑥 2 = 55 −
6
𝑁
6
= 17,5
(∑𝑌)2 𝑁
∑𝑦 2 = 0,05429284 −
𝐽𝐾𝑟𝑒𝑔 =
𝐽𝐾𝑟𝑒𝑔
= 1,175525
(∑𝑋)2
(15)2
∑𝑦 2 = ∑𝑌 2 −
15𝑥0,475
(0,225625) = 0,016689 6
(∑𝑥𝑦)2 ∑𝑥 2
(10,5403)2 = = 0,01668 17,5
100
𝐽𝐾𝑟𝑒𝑠
(∑𝑥𝑦)2 = ∑𝑦 − ∑𝑥 2 2
𝐽𝐾𝑟𝑒𝑠 = 0,016689 −
(0.5403)2 = 7,62 x 10−6 17,5
𝑑𝑏𝑟𝑒𝑔 = 1 𝑑𝑏𝑟𝑒𝑠 = 6 − 2 = 4 𝑅𝐽𝐾𝑟𝑒𝑔 =
𝐽𝐾𝑟𝑒𝑔 𝑑𝑏𝑟𝑒𝑔
𝑅𝐽𝐾𝑟𝑒𝑔 =
0,01668 = 0,01668 1
𝑅𝐽𝐾𝑟𝑒𝑠 =
𝐽𝐾𝑟𝑒𝑠 𝑑𝑏𝑟𝑒𝑠
𝑅𝐽𝐾𝑟𝑒𝑠 =
7.62 x 10−6 = 1,906 x 10−6 4
𝐹𝑟𝑒𝑔 =
𝑅𝐽𝐾𝑟𝑒𝑔 𝑅𝐽𝐾𝑟𝑒𝑠
𝐹𝑟𝑒𝑔 =
0,01668 = 8.751,96 1,906 x 10−6
Harga Freg
hitung
ini dibandingkan dengan Ftabel index pada taraf signifikansi 1% dengan
db pembilang 1 dan db penyebut 4, didapat harga taraf Ftabel index sebesar 21,20. Harga Freg lebih besar dari F
tabel index,
maka dapat disimpulkan bahwa persamaan garis
regresi larutan standar kadmium adalah linier.
101
2. Variasi pH Media ∑𝑥𝑦 = ∑𝑋𝑌 −
(∑𝑋)(∑𝑌) 𝑁
∑𝑥𝑦 = 1,8608 − ∑𝑥 2 = ∑𝑋 2 − ∑𝑥 2 = 55 −
15𝑥0,5121 6
= 0,58055
(∑𝑋)2 𝑁
(15)2 6
= 17,5
(∑𝑌)2 ∑𝑦 = ∑𝑌 − 𝑁 2
2
∑𝑦 2 = 0,06297585 −
(∑0,5121)2 = 0,019268 6
𝐽𝐾𝑟𝑒𝑔 =
(∑𝑥𝑦)2 ∑𝑥 2
𝐽𝐾𝑟𝑒𝑔 =
(0,58055)2 = 0,019268 17,5
𝐽𝐾𝑟𝑒𝑠
(∑𝑥𝑦)2 = ∑𝑦 − ∑𝑥 2 2
𝐽𝐾𝑟𝑒𝑠 = 0,019268 −
(0,58055)2 = 8,668 X 10−6 17,5
𝑑𝑏𝑟𝑒𝑔 = 1 𝑑𝑏𝑟𝑒𝑠 = 6 − 2 = 4 𝑅𝐽𝐾𝑟𝑒𝑔 =
0,019268 = 0,019268 1
102
𝑅𝐽𝐾𝑟𝑒𝑠 =
𝐽𝐾𝑟𝑒𝑠 𝑑𝑏𝑟𝑒𝑠
𝑅𝐽𝐾𝑟𝑒𝑠
8,668 X 10−6 = = 2,167 X 10−6 4
𝐹𝑟𝑒𝑔 =
𝑅𝐽𝐾𝑟𝑒𝑔 𝑅𝐽𝐾𝑟𝑒𝑠
𝐹𝑟𝑒𝑔 =
0,019268 = 8.882,81 2,167 X 10−6
Harga Freg hitung ini dibandingkan dengan F tabel pada taraf signifikansi 1% dengan db pembilang 1 dan db penyebut 4, didapat harga taraf F tabel sebesar 21,20. Harga Freg lebih besar dari F tabel, maka dapat disimpulkan bahwa persamaan garis regresi larutan standar kadmium adalah linier.
103